energi minyak sebagai sumber alami power negara-kesimpulan

2

Click here to load reader

Upload: mega-mustika

Post on 26-Jun-2015

180 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Energi Minyak Sebagai Sumber Alami Power Negara-kesimpulan

ENERGI MINYAK SEBAGAI SUMBER ALAMI POWER NEGARA

PendahuluanMinyak bumi sebagai salah satu dari sumber alami dari power negara

memiliki pengaruh yang begitu besar dalam penentuan kebijakan luar negeri suatu negara. Disatu sisi, minyak memberikan keuntungan yang berlipat dalam proses produksi bagi yang menguasainya dan disisi lain, negara penghasil minyak dapat mengatur ketergantungan negara lain terhadap hasil produksinya. Dalam perang, negara tidak hanya mengandalkan militer sebagai bentuk perlawanan, tetapi juga menjadikan minyak bumi sebagai power-nya melalui pemberian sanksi berkaitan dengan ekspor-impor minyak bumi terhadap negara lawan. Tindakan sanksi ini seperti pengenaan embargo, tariff, atau kuota. Tindakan embargo oleh negara pengekspor minyak dapat menghancurkan perekonomian dari negara lain karena terhambatnya proses produksi perusahaan-perusahaan di negara tersebut. Fenomena-fenomena seperti ini menimbulkan konsep oil weapon.

Kapabilitas Power dalam Pandangan Kaum Neorealist. Sebagaimana realisme, neorealisme menjadikan negara dan perilaku negara sebagai fokusnya dan berusaha menjawab pertanyaan mengapa perilaku negara selalu terkait dengan kekerasan.Berbeda dengan pendahulunya realisme yang menekankan power dari segi kekuatan militer, bagi neorealis, power lebih dari sekedar akumulasi dari sumber-sumber daya militer dan kemampuan untuk menggunakan militer sebagai koersi dan kontrol terhadap negara lain dalam sistem. Waltz dan neorealis lainnya melihat power sebagai kombinasi dari kapabilitas dari negara. Karena power merupakan kombinasi dari kapabilitas dari negara maka tidak diragukan lagi bahwa energi merupakan salah satu sumber utama power saat ini. Dimana posisi negara di mata internasional sangat tergantung pada kekayaan sumber energi ini terutama bagi negara-negara industri.

Kasus Yom Kippur dalam Perspektif NeorealismePerang Yom Kippur pada tahun 1973 adalah puncak dari serangkaian

perang dan pertikaian yang telah dimulai sejak tahun 1920-an. Dalam perang ini, negara-negara Teluk tidak hanya mengandalkan militer namun juga mengenakan embargo minyak bumi bagi AS dan Sekutuny dengan berturut-turut pada pertengahan Oktober 1973. Langkah pertama dilakukan oleh Raja Faisal bin Abdul Aziz dari Arab Saudi yang menaikkan harga jual resmi Saudi

Arabian Light Marker sebesar 70% dari $ 3,01 per barel pada 4 Oktober 1973. Selanjutnya, pada 17 Oktober keenam negara Teluk secara sepihak menetapkan harga minyak baru yang sebelumnya bersama-sama dinegosiasikan antara perusahaan minyak dan tuan rumah pemerintah Arab. Akhirnya, pada tanggal 18 Oktober mereka semakin mengurangi produksi minyak mereka secara bulanan setidaknya 5% terhadap Amerika Serikat dan Belanda. Lalu, pada 20 Oktober 1973, setelah pengumuman oleh Presiden Nixon atas paket bantuan militer bagi Israel sebesar $ 2.2 miliar pada tanggal 19 Oktober 1973, Libya dan Arab Saudi menanggapi dengan embargo total terhadap Israel dan Amerika Serikat yang diikuti negara-negara penghasil minyak lain dalam beberapa hari.

Semua ini berkat kecerdikan Anwar Sadat, yang tak mau melayani pertikaian hanya di medan pertempuran. Ia berhasil menggerakan OPEC dan OAPEC untuk menjepit AS dan negara-negara Eropa pendukung Israel dengan serangan embargo minyak guna melumpuhkan kekuatan Israel, terutama kekuatan yang bersumber dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Hal ini didasarkan bahwa negara-negara tersebut merupakan negara industri yang tidak akan lepas dari kebutuhan akan minyak. Sementara Arab merupakan penghasil cadangan minyak terbesar di dunia, sehingga segala kebijakan tentang produksi minyak di Arab akan mempengaruhi negara lain di dunia, ditambah dengan kemampuan Arab menggerakkan OPEC dan OAPEC.

Dari kasus Yom Kippur ini, negara-negara Teluk tidak hanya mengandalkan kekuatan militer sebagai power, juga menggunakan kapabilitas minyak bumi, diplomasi, dan sanksi ekonomi untuk memperoleh kemenangan. Ini sesuai dengan pandangan Kenneth Waltz bahwa power suatu negara bukan hanya kapabilitas militernya saja melainkan kombinasi dari penggunaan kapabilitas-kapabilitas yang dimiliki oleh sebuah negara. Kepemilikan minyak yang di dominasi oleh negara-negara Arab memberikan posisi tawar-menawar yang lebih tinggi daripada negara-negara industri sehingga ia mampu menentukan arah kebijakan negara industri lainnya. Waltz juga berpendapat, bahwa setiap negara memiliki kapabilitasnya masing-masing dan kapabilitas ini menentukan posisi negara-negara yang memilikinya. Dalam kasus ini, Arab memang lemah dalam menentukan strategi militernya walaupun kuantitas militernya lebih banyak daripada Israel, namun Israel mendapatkan bantuan dari negara-negara besar yang memiliki kekuatan besar pula dalam militer. Namun negara-negara pendukung Israel yang memiliki kekuatan besar masih tetap bergantung pada sumber daya minyak yang dominan dimiliki oleh Arab.