emisi gas metana varietas padi mutan batan yang

101
EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG DIBUDIDAYAKAN TEKNIK KONVENSIONAL DAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) SKRIPSI WAWAN SETIYAWAN PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M / 1439 H

Upload: others

Post on 29-Jun-2022

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN

YANG DIBUDIDAYAKAN TEKNIK KONVENSIONAL

DAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)

SKRIPSI

WAWAN SETIYAWAN

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M / 1439 H

Page 2: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN

YANG DIBUDIDAYAKAN TEKNIK KONVENSIONAL

DAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

Wawan Setiyawan

1113096000017

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M / 1439 H

Page 3: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG
Page 4: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG
Page 5: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG
Page 6: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

i

ABSTRAK

WAWAN SETIYAWAN. Emisi Gas Metana dari Varietas Padi Mutan BATAN

yang Dibudidayakan Teknik Konvensional Dan System Of Rice Intensification

(SRI). Dibimbing oleh IRAWAN SUGORO dan HENDRAWATI

Salah satu penyebab pemanasan global adalah gas rumah kaca (GRK), seperti gas

metana (CH4) yang merupakan kontributor kedua terbesar penyebab pemanasan

global setelah karbon dioksida (CO2). Sumber emisi metana dapat berasal dari

lahan basah seperti pertanian. Lahan sawah di Indonesia menyumbang emisi

GRK sebesar 69%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui emisi gas metana

dari berbagai jenis tanaman padi yang dibudidayakan menggunakan teknik SRI

dan Konvensional. Penelitian ini dilakukan secara ex situ, dengan variasi

pengukuran pada umur 7, 14, 28, 56 dan 84 HST (hari setelah tanam). Hasil

penelitian kondisi media tanam menunjukan pH berkisar 6,93 – 7.04, suhu 30-

310C, karbon (C) 3,01-3,34%, nitrogen (N) 0,16-0,23%, rasio C/N 13,05-16,29 dan

Volatile Fatty Acids (VFA) total 13,39-3,29. Tingkat emisi metana dipengaruhi

oleh jumlah kandungan C pada tanah. Kebutuhan C ditunjukkan dengan nilai rasio

C/N dan VFA total. Hasil analisis sedimen menunjukkan rasio C/N dan VFA total

tertingi pada varietas Ciherang Konvensional dan terendah pada Sindenuk SRI.

VFA parsial memiliki konsentrasi asam asetat yang lebih tinggi dibandingkan

propionat. Hasil analisis emisi metana menunjukan bahwa sedimen perlakuan

menghasilkan nilai fluks yang berbeda dan meningkat seiring dengan

bertambahnya umur tanam. Emisi metana tertinggi dihasilkan oleh varietas

Ciherang Konvensional (111,67 mg/m2jam) dan terendah pada varietas Sidenuk

SRI (47,61 mg/m2jam). Teknik SRI dapat menekan emisi metana hingga 29,27 %

pada varietas Sidenuk dan 5,35 % pada varietas Ciherang.

Kata kunci: Gas metana, ex situ, lahan sawah

Page 7: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

ii

ABSTRACT

WAWAN SETIYAWAN. The Emission of Methane Gas From Variety Paddy

Mutan BATAN Cultivated by Conventional Techniques and System Of Rice

Intensification (SRI). Guided by IRAWAN SUGORO and HENDRAWATI

One of the causes of global warming is greenhouse gas (GHG), like methane gas

(CH4), methane is the second largest contributor to global warming after carbon

dioxide (CO2). Sources of methane emissions can come from wetlands such as

agriculture. Indonesia's rice fields contribute 69% of GHG emissions. The purpose

of this research was to know the emission of methane gas from various types of rice

cultivated using SRI and Conventional techniques. This research was conducted ex

situ, with variation measurement at age 7, 14, 28, 56 and 84 HST (days after

planting). Result of research condition on planting medium showed pH ranged from

6.93 - 7.04, temperature of 30-31C, carbon (C) 3,01-3,34%, nitrogen (N) 0,16-

0,23%, rasio C/N 13,05-16,29 and total of Volatile Fatty Acids 13,39 -3.29.

Methane emission levels are affected by the amount of C content on the soil.

Requirement C is indicated by the total C / N and VFA ratio. The result of sediment

analysis showed the highest total C / N and VFA ratio on Conventional Ciherang

varieties and lowest on SRI Sindenuk. Partial VFA has a higher concentration of

acetic acid than propionate. The methane emission analysis results show the

treatment sediments yield different flux values and increase with increasing age of

planting. The highest methane emissions were produced by Conventional Ciherang

varieties (111.67 mg / m2 hour) and the lowest on Sidenuk SRI variety (47.61 mg /

m2 hour). SRI techniques can reduce methane emissions by up to 29,27 % in

Sidenuk varieties and 5,35 % in Ciherang varieties.

Keywords: Methane gas, ex situ, wetland

Page 8: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul ‘Emisi Gas Metana Varietas Padi Mutan BATAN yang

dibudidayakan dengan teknik konvensional dan System Of Rice Intensification

(SRI)’. Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar S1

bagi mahasiswa pada program Studi Kimia. Penulis menyadari bahwa skripsi ini

masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun dari semua pihak.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga

pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

memberikan bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak langsung

kepada penulis dalam penyusunan skripsi hingga selesai, terutama kepada yang

saya hormati.

1. Dr. Irawan Sugoro, M.Si, selaku Pembimbing I yang telah memberikan

bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama berlangsungnya penelitian

serta meluangkan waktunya untuk berdiskusi.

2. Dr. Hendrawati, M.Si, selaku Pembimbing II yang telah memberikan

pengarahan, pengetahuan, serta bimbingannya sehingga banyak membantu

penulis dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan penulisan laporan

ini.

Page 9: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

iv

3. Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains

dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Agus Salim, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas

Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Nurhasni, M.Si dan Nurmaya Arofah, M.Eng selaku penguji yang akan

memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

6. Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta Bapak Dimin dan Ibu Suminah

atas segala cinta, doa, pengorbanan, nasihat dan motivasinya kepada penulis.

7. Seluruh staf PAIR BATAN, Pak Dono, Ibu Ania, Pak Dika dan Pak Dinar yang

telah memberikan bantuan dan bimbingannya selama penelitian berlangsung.

8. Teman-teman kimia angkatan 2013 dan teman-teman seperjuangan di PAIR

BATAN yang senantiasa memberi dukungan dan keceriaan selama berjalannya

penelitian.

9. Serta semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung,

yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Untuk itu kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik secara moril

maupun materil, penulis ucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT membalas

semua amal baik yang telah diberikan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, Mei 2017

Penulis

Page 10: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

v

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................. vi

DAFTAR ISI ................................................................................................. ix

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x

DAFTAR TABEL ........................................................................................ xi

LAMPIRAN .................................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan masalah.................................................................................... 4

1.3 Hipotesis .................................................................................................. 5

1.4 Tujuan ...................................................................................................... 5

1.5 Manfaat .................................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 6

2.1. Gas Rumah Kaca ..................................................................................... 6

2.2. Gas Metana ............................................................................................. 7

2.3. Metanogen dan Metanotrof ..................................................................... 9

2.4. Emisi Metana dari Lahan Sawah............................................................. 12

2.5. Lahan Sawah dan Tanaman Padi ............................................................ 15

2.5.1 Lahan Sawah .................................................................................. 15

2.5.2 Tanaman Padi ................................................................................. 15

2.5.3 Varietas Padi Unggul ..................................................................... 17

2.5.3.1 Padi Ciherang .................................................................... 18

2.5.3.2 Padi Inpari Sidenuk ........................................................... 19

2.5.4 Sistem Budidaya Tanaman Padi .................................................... 20

2.5.4.1 Sistem Pertanian Konvensional ......................................... 20

2.5.4.2 Metode System Of Rice Intensification (SRI) .................... 20

2.6 Spektofotometer UV-VIS......................................................................... 21

2.7 Gas Chromatograph (GC) ....................................................................... 22

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 23

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 23

Page 11: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

vi

3.2. Alat dan Bahan ........................................................................................ 23

3.3. Diagram Alir Penelitian .......................................................................... 23

3.3.1. Pembuatan Media Tanam Tanah Sawah ....................................... 23

3.3.2. Perawatan Tanaman Padi .............................................................. 24

3.4. Metode Penelitian ................................................................................... 25

3.4.1. Pemeliharaan Tanaman Padi ......................................................... 25

3.4.1.1.Pembuatan Media Simulasi Tanah Sawah ......................... 25

3.4.1.2.Persemaian Padi dan Perawatan Padi ................................. 25

3.4.2. Uji parameter ................................................................................. 26

3.4.2.1 Pengukuran Sifat Fisika Kimia Tanah ............................. 26

3.4.2.1.1 pH dan Suhu tanah ........................................... 26

3.4.2.1.2.Pengukuran Kadar Air ...................................... 26

3.4.2.1.3 Pengukuran Karbon Organik Tanah ................. 26

3.4.2.1.4 Pengukuran Kadar Nitrogen Total Tanah......... 27

3.4.2.1.5 Pengukuran Rasio C/N ..................................... 28

3.4.2.2 Analisa Volatil Fatty Acids (VFA) Parsial ........................ 28

3.4.2.3 Pengambilan dan Pengukuran Sampel Gas Metana .......... 29

3.4.2.4 Kondisi Setalah Masa Panen ............................................. 30

3.4.2.4.1 Tinggi Tanaman Dan Jumlah Anakan ............................ 30

3.4.2.4.2 Pengukuran Karbon Organik Jerami dan Gabah 30

3.4.2.4.3 Pengukuran Kadar Nitrogen Jerami dan Gabah 31

3.4.2.4.4 Pengukuran Kadar Fosfor Jerami dan Gabah ... 32

3.3.3. Analisa Data ......................................................................................... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................... 34

4.1 Sifat Fisika dan Kimia Sedimen Perlakuan .............................................. 34

4.1.1 pH dan Suhu Tanah ........................................................................ 34

4.1.2 Karbon, Nitrogen dan Rasio C/N Tanah ........................................ 37

4.2 Volatile Fatty Acids (VFA) Parsial Sedimen Perlakuan .......................... 42

4.3 Emisi Metana ........................................................................................... 46

4.4 Kondisi Setelah Masa Panen .................................................................... 51

4.4.1 Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan ............................................ 51

4.4.2 C-Organik, Nitrogen, Fosfor Padi Gabah dan Jerami .................... 53

Page 12: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

vii

BAB V PENUTUP ........................................................................................ 57

5.1 Simpulan .................................................................................................. 57

5.2 Saran ......................................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 58

LAMPIRAN .................................................................................................. 67

Page 13: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik ............ 8

Gambar 2. Skema alur produksi metan di lahan sawah ............................... 13

Gambar 3. Bentuk arenkim padi umur 21 hari. Ae = aerenkim ................... 13

Gambar 4. Mekanisme emisi metana melalui aerenkima pada jaringan

tanaman padi ................................................................................. 14

Gambar 5. Varietas sidenuk umur 56 HST (dokumen pribadi) .................... 18

Gambar 6. Varietas ciherang umur 56 HST (dokumen pribadi) .................. 19

Gambar 7. Reaktor penampung gas metana ................................................. 28

Gambar 8. Persamaan reaksi aminasi, amonifiaksi dan nitrifikasi ............... 40

Gambar 9. Tinggi tanaman .......................................................................... 51

Gambar 10. Jumlah anakan .......................................................................... 52

Page 14: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Karakteristik beberapa bakteri metanogen ..................................... 10

Tabel 2. Perbedaan bakteri metanogen dan bakteri metanotrof ................... 11

Tabel 3. pH simulasi tanah sawah ................................................................. 34

Tabel 4. Suhu simulasi tanah sawah .............................................................. 36

Tabel 5. Kadar karbon, nitrogen dan rasio C/N pada sedimen perlakuan ..... 38

Tabel 6. Kadar VFA pada sedimen perlakuan............................................... 43

Tabel 7. Emisi metana satu musim tanam ..................................................... 47

Tabel 8. Jumlah biji tanaman padi pada 5 malai, kadar C jerami, C gabah, P

gabah, P jerami, N jerami dan N gabah ........................................... 54

Page 15: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

x

LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Uji ANOVA nilai pH (perbedaan umur tanam).............................. 67

Lampiran 2. Uji ANOVA nilai pH (pebedaan perlakuan) .................................. 67

Lampiran 3. Uji t pH Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional .......................... 68

Lampiran 4. Uji t pH Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional ....................... 68

Lampiran 5. Uji ANOVA nilai suhu (perbedaan umur tanam) ........................... 68

Lampiran 6. Uji ANOVA nilai suhu (pebedaan perlakuan) ................................ 69

Lampiran 7. Uji t suhu Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional ....................... 69

Lampiran 8. Uji t suhu Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional .................... 69

Lampiran 9. Kadar VFA total pada tanah sawah ................................................ 70

Lampiran 10. Uji ANOVA emisi metana (perbedaan umur tanam) ................... 70

Lampiran 11. Uji ANOVA emisi metana (pebedaan perlakuan) ........................ 71

Lampiran 12. Uji t emisi metana Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional........ 71

Lampiran 13. Uji t emisi metana Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional .... 72

Lampiran 14. Uji ANOVA tinggi tanaman (perbedaan umur tanam) ................. 72

Lampiran 15. Uji ANOVA nilai tinggi tanaman (pebedaan perlakuan) ............. 72

Lampiran 16. Uji t tinggi tanaman Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional ..... 73

Lampiran 17. Uji t tinggi tanaman Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional .. 74

Lampiran 18. Uji ANOVA jumlah anakan (pebedaan umur tanam) .................. 74

Lampiran 19. Uji ANOVA jumlah anakan (pebedaan perlakuan) ...................... 74

Lampiran 20. Uji t jumlah anakan Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional ..... 75

Lampiran 21. Uji t jumlah anakan Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional .. 76

Lampiran 22. Perhitung kadar air tanah dan faktor koreksi ................................ 76

Lampiran 23. Perhitungan C organik dan N organik tanah ................................. 77

Lampiran 24. Perhitungan Rasio C/N ................................................................. 78

Lampiran 25. Perhitungan emisi metana ............................................................. 79

Lampiran 26. Perhitungan C organik gabah dan jerami ...................................... 80

Lampiran 27. Perhitungan Nitrogen gabah dan padi ........................................... 81

Lampiran 28. Perhitungan fosfor gabah dan padi ............................................... 82

Lampiran 29. Penekanan emisi metana teknik SRI ............................................. 83

Lampiran 30. Kondisi penelitian emisi metana dari lahan sawah secara ex situ . 84

Page 16: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Istilah pemanasan global digunakan untuk menggambarkan peningkatan

suhu akibat efek rumah kaca (Indrawan et al., 2007; Marhan et al., 2015; Xiao et

al., 2018). Penyebab pemanasan global adalah Gas Rumah Kaca (GRK). GRK

merupakan gas yang mempunyai kemampuan untuk meneruskan energi cahaya

matahari dan menahan energi tersebut di dalam permukaan bumi sehingga

menyebabkan kenaikan suhu (Indrawan et al., 2007). Gas-gas yang termasuk GRK

yaitu uap air, CO2, metana, nitrooksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs),

perfluorokarbon (PCFs), sulfoheksafluorida (SF6) (Yamin. 2012). Gas metana lebih

efektif menyebabkan efek rumah kaca dibandingkan CO2 (Tang et al., 2014; Zhang

et al., 2018). Metana adalah kontributor kedua terbesar penyebab pemanasan global

setelah CO2. Metana berpotensi 25-30 kali lebih besar menyebabkan pemanasan

global dibandingkan CO2 (Basu, 2013; Myhre et al. 2013; Tang et al., 2014; Zhang

et al., 2018).

Pertanian menyumbang sekitar 50% dan 60% dari emisi antropogenik

global masing-masing untuk metana dan nitrogen oksida (Reay et al., 2007). Lahan

sawah menyumbang emisi 15-20% dari total emisi antropogenik global (Xu et al.,

2007; Li et al., 2011). Tanaman padi memegang peranan penting dalam melepaskan

metana ke atmosfer dari lahan sawah (Watanabe et al., 2005; Kerdchoechuen, 2005;

Alberto et al., 2009; Cobena et al., 2014) dan emisi metana tahunan diperkirakan

sebesar 25-100 Tg (Xu et al., 2007). (Han et al., 2016) menjelaskan emisi metana

Page 17: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

2

dari lahan pertanian berjumlah 33-112 Tg pertahun, atau 9-19% dari total emisi

antropogenik global. Ekosistem dengan kondisi anaerob akibat penggenangan

seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya merupakan sumber utama emisi

metana.

Indonesia memiliki luas lahan sawah 8.112.103 Ha yaitu sekitar 6,50% dari

ladang beras dunia (Kementerian Pertanian Indonesia, 2014). Lahan sawah

menyumbang emisi GRK sebesar 69% di Indonesia (Kementerian Lingkungan

Hidup, 2009). Hal itu disebabkan oleh kondisi sawah yang selalu tergenang

sehingga menghasilkan gas seperti CO2, N2O, dan metana (Ussiri & Lal, 2012).

Pengolahan lahan sawah dan keadaan tanah sawah yang dapat memacu

metanogenesis yaitu pengelolaan air, pengolahan tanah, varietas, penggunaan

pupuk, dan iklim (Panjaitan et al., 2015). Setiap varietas mempunyai umur dan

aktivitas akar yang berbeda yang erat kaitannya dengan emisi metana, karena akar

tanaman padi menyediakan substrat berupa karbohidrat, asam organik, asam amino,

dan senyawa fenolik untuk bakteri metanogen sehingga dapat meningkatkan

emisi metana (Das & Baruah, 2008). Rizosfer tanaman padi merupakan habitat

penting bagi bakteri metanogen (Timmis et al., 2010; Watanabe et al., 2010; Ma &

Lu, 2011), karena dekomposisi akar padi serta produksi H2 dan CO2, yang

merupakan substrat untuk metanogenesis (Watanabe et al., 2010).

Metanogen bertanggung jawab atas produksi metana melalui jalur

metabolisme yang disebut proses metanogenesis (Singh, 2009). Laju emisi metana

dari tanah sawah juga ditentukan oleh kombinasi berbagai faktor alami seperti

redoks potensial tanah (Eh), tingkat keasaman (pH) tanah, kondisi iklim, suhu udara

(Watanabe et al., 2005; Huang et al., 2005), sumber karbon, karakteristik tanah,

Page 18: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

3

serta kondisi pertanaman padi yang besarnya berbeda tergantung pengelolaan lahan

dan air serta budidaya tanaman yang diterapkan (Susilokarti, 2007; Kim et al.,

2012; Begum et al., 2014; Cobena et al., 2014; Zhou et al., 2014; Hu et al., 2016).

Pertanian di Indonesia, terdapat berbagai macam teknik dalam menanam

padi, salah satunya dengan cara Konvensional dan System of Rice Intensification

(SRI). Teknik Konvensional menggunakan 3 malai dalam satu sistem penanaman

padi, sedangkan SRI menggunakan 1 malai (Uphoff et al., 2009; Thiyagarajan &

Gujja, 2012). Budidaya secara SRI secara umum memunyai keuntungan yaitu

mampu meningkatkan jumlah anakan, pertumbuhan akar yang besar, meningkatkan

jumlah gabah, kualitas gabah yang lebih tinggi dan lebih berat, cepat panen, hemat

air dan tidak mudah rebah (Thiyagarajan & Gujja, 2012). Sekian banyak varietas,

Sidenuk dan Ciherang merupakan salah satu varietas unggul yang banyak

digunakan oleh masyarakat Indonesia. Varietas Ciherang merupakan hasil

persilangan anatara IR18349-53-1-3-1-3/IR19661-131-31//IR19661-131-3-

1///IR64////IR64 (Suprihatno et al., 2010), sedangkan varietas Sidenuk merupakan

hasil dari varietas Diah Suci yang diiradiasi gamma 60Co dengan dosis 0,20 kGy

(Suprihatno et al., 2010).

Kerusakan yang diakibatkan oleh GRK terus meningkat, khususnya gas

metana yang dihasilkan oleh antropogenik dibidang pertanian, maka perlu

dilakukan sebuah tindakan pencegahan, agar kerusakan tidak semakin parah. Allah

SWT telah memerintah manusia untuk selalu bertanggung jawab. Seperti yang di

jelaskan pada surat Ar-Ruum ayat 41 yang berbunyi :

Page 19: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

4

‘Telah nampak kerusakan di darat dan di laut di sebabkan karena perbuatan tangan

manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)

perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)’ (QS Ar-Ruum: 41)

Berdasarkan ayat tersebut, manusia diwajibkan menjaga bumi salah satunya dari

kerusakan yang diakibatkan GRK, khususnya gas metana dari lahan pertanian.

Masalah tersebut perlu dilakukan sesuatu penelitian, tujuannya agar emisi

metana dari lahan sawah dapat dipelajari sehingga dimasa mendatang dapat

diminimalisir atau dihilangkan. Studi tentang penelitian emisi gas metana dari lahan

sawah sudah banyak dilakukan, namun pengaruh sistem tanam dengan varietas padi

yang berbeda dalam menghasilkan gas metana secara ex situ masih belum

dilakukan. Berdasarkan pemaparan di atas maka perlu diteliti pengaruh variasi padi

Sidenuk dan Ciherang dengan sistem tanam yang berbeda dalam menghasilkan

emisi gas metana.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana produksi gas metana dari jenis padi Sidenuk dan Ciherang ?

2. Bagaimana produksi gas metana dari sistem tanam Konvensional dan

SRI ?

3. Bagaimana pengaruh pH, suhu, tinggi tanaman, jumlah anakan, rasio

C/N, total Volatil Fatty Acids (VFA) terhadap produksi gas metana ?

Page 20: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

5

1.3. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Perbedaan jenis padi Sidenuk dan Ciherang menghasilkan produksi gas

metana yang berbeda.

2. Perbedaan sistem tanam Konvensional dan SRI menghasilkan kondisi

tanah yang berbeda, semakin besar kandungan oksigen pada tanah maka

semakin besar penekanan gas metana.

3. Perbedaan pH, suhu, tinggi tanaman, jumlah anakan, rasio C/N, total

Volatil Faty Acid (VFA) berpengaruh terhadap produksi gas metana.

1.4. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan, tujuan penelitian ini adalah

1. Mengetahui emisi gas metana dari padi Sidenuk dan Ciherang

2. Mengetahui emisi gas metana dari teknik Konvensional dan SRI

3. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi emisi gas metana

1.5 Manfaat

Berdasarkan tujuan yang diuraikan, manfaat dari penelitian ini adalah dapat

mengetahui emisi gas metana pada varietas Sidenuk dan Ciherang, dapat

mengetahui emisi gas metana dari teknik Konvensional dan SRI kemudian dapat

mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi emisi gas metana.

Page 21: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gas Rumah Kaca

Radiasi matahari yang masuk ke bumi dengan menembus atmosfer berupa

gelombang pendek akan menjadi gelombang panjang ketika mencapai

permukaan bumi dan sebagian gelombang lainnya dipantulkan kembali ke

atmosfer. Tidak semua gelombang tersebut dapat menembus atmosfer bumi karena

sebagian ditahan dan diserap oleh gas-gas yang berada di atmosfer, yang disebut

sebagai Gas Rumah Kaca (GRK) (Kodoatie & Sjarief, 2010). Gas ini disebut GRK

karena fungsinya seperti rumah kaca. Rumah kaca akan meneruskan cahaya

matahari tetapi menahan energi di dalam ketika suhu mulai menghangat atau

memanas. Dampak penghangatan yang sama juga terjadi di bumi oleh gas-gas

atmosfer, sehingga disebut efek rumah kaca (Indrawan et al., 2007). Istilah

pemanasan global digunakan untuk menggambarkan peningkatan suhu akibat efek

rumah kaca (Indrawan et al., 2007; Marhan et al., 2015; Xiao et al., 2018).

Saat ini, konsentrasi gas-gas rumah kaca bertambah banyak, sehingga

mempengaruhi iklim di bumi. Berdasarkan protokol Kyoto, gas-gas rumah kaca

utama meliputi uap air, karbon dioksida, metana, nitrogen dioksida,

hidrofluorokarbon, perfluorokarbon dan sulfoheksafluorida (Yamin, 2012).

Konsentrasi metana di atmosfer kurang dari 0,02% dari jumlah CO2, namun

metana menunjukkan 2 5 - 30 kali lebih berpotensi merusak dibandingkan CO2

(Tang et al., 2014; Zhang et al., 2018). Diketahui pula bahwa keberadaan

konsentrasi metana di atmosfer saat ini meningkatkan temperatur permukaan bumi

sebesar 1,3°C lebih tinggi dibandingkan tanpa meta32na (Basu, 2013).

Page 22: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

7

2.2. Gas Metana

Metana merupakan hidrokarbon yang terdiri dari molekul organik berupa satu

karbon dan empat molekul hidrogen. Sifat dari metana yaitu berupa gas, tidak

bewarna, tidak aromatis, dan merupakan gas alam (Raven et al., 2012).

metana memiliki berat molekul sebesar 16,04 g/mol, titik lebur -182,5°C, titik

didih -161,5°C, dan densitas 0,717 kg/m3 (Campbell & Farrell 2015; Capareda,

2013). Metana memiliki waktu paruh di atmosfer selama 12 tahun (Oliver, 2008).

Metan adalah gas rumah kaca yang dihasilkan melalui dekomposisi bahan organik

secara anaerobik (Levy et al., 2007; Susilokarti, 2007; Bridgham et al., 2013; Yuan

et al., 2014; Singh et al., 2015; Breidenbach & Conrad, 2015).

Mikroorganisme mengkonversi zat organik menjadi asam organik, kemudian

diubah menjadi metana (Yuan et al., 2014). Proses dekomposisi anaerobik untuk

menghasilkan metana terbagi ke dalam 4 fase yaitu hidrolisis, asidogenesis,

asetogenesis, dan metanogenesis (Gambar 1) (Ahring, 2003; Singh et al,. 2015).

Hidrolisis merupakan tahapan awal dalam degredasi anaerobik dari substrat

organik kompleks. Selama hidrolisis, bakteri mengubah substrat organik kompleks

ke senyawa sederhana. Hidrolisis dari molekul kompleks dibantu oleh enzim

ekstraseluler yang diproduksi mikroorganisme hidrolisis (Singh et al., 2015).

Contoh dari bakteri hidrolitik adalah Clostridium spp, Bacilus spp, Probacteria,

(Carballa et al., 2015). Tahapan kedua adalah asidogenesis yang akan

mengkonversi bahan terlarut organik hasil hidrolisis menjadi asam lemak rantai

pendek dan alkohol (Capareda, 2013). Selama proses asidogenesis terjadi proses

fermentasi molekul organik terlarut, dengan bantuan bakteri Pseudomonas,

Bacillus, Clostridium, Micrococcus, dan Flavobacterium (Zieminski & Frac, 2012)

Page 23: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

8

Gambar 1. Proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik (Ahring, 2003;

Al Saedi, 2008).

Tahap selanjutnya adalah asetogenesis yang merupakan suatu tahapan dimana

Volatile Fatty Acid (VFA) terdegradasi secara total menjadi asam asetat, hidrogen,

dan karbon dioksida (Cheng, 2009). Produk sampingan dari fase asetogenesis

adalah asam propionat, asam butirat, dan alkohol. Bakteri yang terlibat dalam

proses ini bersifat fakultatif, hidup berkolaborasi dengan bakteri metanogen, dan

hanya dapat bertahan dalam simbiosis dengan jenis yang mengkonsumsi hidrogen.

Mikroorganisme yang berperan dalam tahap asetogenesis adalah bakteri dari genus

Syntrophomonas, Syntrophobacter, Methanobacillus, dan Desulfovibrio

(Suriawiria, 2008).

Metanogenesis adalah tahapan terakhir dengan 2 proses, yaitu konversi asam

asetat menjadi metana (asetotropik) dan konversi dari hidrogen menjadi metana

dengan memanfaatkan karbon dioksida (hidrogenotropik) (Capareda, 2013).

Selain asam asetat dan hidrogen terdapat substrat lain yang memungkinkan untuk

proses metanogenesis, yaitu asam format, metanol, karbon monoksida, dan

Page 24: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

9

metilamin (Rao et al., 2013). Kelompok organisme metanogenesis berasal dari

genus Methanosaeta, Methanosarcina, Methanobacterium, Methanococcus,

Methanogenium, dan Methanobrevibacter (Liu & Whitman, 2008).

2.3. Metanogen dan Metanotrof

Bakteri metanogen adalah mikroorganisme prokariotik filum Euryarchaeota

yang menggunakan beberapa substrat dalam menghasilkan metana sebagai produk

akhir metabolisme (Tabel 1). Bakteri metanogenik adalah organisme uniselular

anaerobik (Singh et al., 2015) yang termasuk dalam kerajaan Euryarchaeota dari

domain Archaea (Ferry, 2010). Sebagian besar bakteri metanogen bersifat

mesofilik, dapat berfungsi pada rentang suhu 20 – 40oC (Puspitasari et al., 2012).

Methanogen bertanggung jawab atas produksi metana melalui jalur metabolisme

yang disebut proses metanogenesis (Singh, 2009). Jalur metanogenesis meliputi

metanogenesis asetoklastik (konversi asetat menjadi metana dan karbon dioksida),

dan methanogenesis hidrogenotrofik (konversi hidrogen dan karbon dioksida

menjadi metana) (Dubey, 2005; Nguyen et al., 2015; Breidenbach & Conrad,

2015). Meskipun, ada jalur metanogenesis lain yang melibatkan pengurangan zat

seperti, karbon monoksida, format, methanol, ethanol, isopropanol dan

methylamides (Conrad, 2007; Borrel et al., 2011), tetapi asetat dan CO2 + H2

merupakan sumber karbon utama menghasilkan metana, dibandingkan substrat

yang lain (Yuan et al., 2014).

Page 25: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

10

Tabel 1. Karakteristik beberapa bakteri metanogen

Ordo/Genus Jumlah Spesies Substrat

Metanogenesis

DNA (mol% GC)

Methanobacteriales

Methanobacterium 19 H2 + CO2, format 29‒61 27‒31

Methanobrevibacter 7 H2 + CO2, format 26

Methanosphaera 2 Metanol + H2

H2+CO2; dapat

mereduksi S0

33

Methanothermus 2 H2 + CO2, format 29‒34

Methanococcales

Methancoccus 11 H2+CO2,

piruvat+CO2,

format

45‒49

Methanomicrobiales

Methanomicrobium

2 H2 + CO2, format 51‒61

Methanogenium 11 H2 + CO2, format

Methanospirillium 1 46‒50

Methanocorpusculum 5 H2 + CO2, format

H2+CO2, format,

alcohol

48‒52

Methanoculleus H2+CO2, format, 54‒62

Methanosarcinales

Methanosarcina 8 H2+CO2, metanol,

metilamin, asetat

41-43

Methanolobus 5 metanol,

metilamin

38-42

Methanahalobium 1 metanol,

metilamin

44

Methanococides 2 metanol,

metilamin

42

Methanohalophilus 3 metanol,

metilamin, metil

sulfide

41

Madigan et al. (2000)

Lingkungan akuatik seperti tanah sawah, emisi metana ditentukan oleh dua

proses mikroorganisme yang berbeda, yaitu produksi metana oleh bakteri

metanogen secara anaerobik (Bridgham et al., 2013; Breidenbach & Conrad, 2015)

dan oksidasi metana oleh bakteri metanotrof secara aerobik (Tabel 2) (Yun et al.,

Page 26: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

11

2013; Knief, 2015). Selain oksidasi secara aerobik, metana juga dapat dioksdasi

dalam kondisi anaerob (Luke et al., 2010; Knief, 2015). Oksidasi aerobik dilakukan

oleh bakteri metanotrof yang memanfaatkan metana sebagai satu-satunya sumber

karbon dan sumber energi (Chen et al., 2014; Nguyen et al., 2015), sedangkan

oksidasi anaerobik digunakan dalam mereduksi sulfat, logam dan nitrit didalam

tanah (Ettwig et al., 2010; Joye, 2012; Scheller et al., 2016). Akan tetapi, sebagian

besar metana yang diproduksi secara biogenik akan teroksidasi secara aerobik oleh

bakteri metanotrof pada permukaan tanah (Conrad, 2007; Yun et al., 2013).

Tabel 2. Perbedaan bakteri metanogen dan bakteri metanotrof

Ciri Metanogen Metanotrof

Bentuk sel Batang, kokus, spiral Batang, kokus, vibrio

Reaksi gram gram +/- gram -

Klasifikasi Arkaeabakteria Eubakteria

Dinding sel Pseudomurein, protein,

heteropolisakarida,

Peptidoglikan

Metabolisme Anaerobik Aerobik

Sumber karbon

dan energi

H2, CO2, H2+metanol; format;

metilamin; metanol, asetat

metana; metanol; dimetil-eter,

metil format, dimetil

karbonat

Produk katabolik metana atau metana + CO2 CO2

Siklus TCA Tidak kompleks Tidak kompleks (tipe I) atau

kompleks (tipe II) ribulosa

monofosfat

Isi GC mol % 20 – 60 50 – 62.5

Spesies Methanobacterium bryanthii

Methanobrevibacter smithii

Methanomicrobium mobile

Methylosinus trichosporium

Methylomonas methanica

Methylocystis minimus

Dubey, 2005

Page 27: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

12

2.4. Emisi Metana Dari Lahan Sawah

Emisi metana tahunan diperkirakan sebesar 25-100 Tg (Xu et al., 2007). Han

et al., (2016) menjelaskan emisi metana dari lahan pertanian berjumlah 33-112 Tg

pertahun, atau 9-19% dari total emisi antropogenik global. Dekomposisi bahan

organik dalam tanah sawah dapat menghasilkan produksi metana, yang merupakan

gas rumah kaca potensial dan penyumbang terbesar kedua setelah CO2 (Myhre et

al. 2013). Di Indonesia, lahan sawah menyumbang emisi gas rumah kaca

sebesar 69% (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). Lahan sawah padi

merupakan kontributor penyumbang emisi gas rumah kaca, mengingat kondisinya

yang selalu tergenang sehingga menghasilkan gas seperti karbon dioksida, N2O,

dan metana yang berpotensi menimbulkan pemanasan global (Ussiri & Lal, 2012;

Zhou et al., 2014; Sukmawati et al., 2016). Sekitar 90% metana terlepas dari tanah

sawah ke atmosfer lewat tanaman padi (Anitha & Bindu, 2016; Zhang et al., 2018)

karena tanaman padi mempunyai ruang aerenkim dan intersel sebagai media

pengangkutan metana dari tanah tereduksi ke atmosfer.

Metana diemisikan dari lapisan bawah tanah ke atmosfer melalui tiga cara,

yaitu: (1) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air genangan

melalui mekanisme ebulisi, (2) proses difusi melalui air genangan, dan (3) metana

yang terbentuk masuk ke dalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak

secara difusi dalam pembuluh aerenkimia untuk selanjutnya dilepaskan ke

atmosfer (Gambar 2) (Sharkey et al., 2012).

Page 28: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

13

Gambar 2. Skema alur emisi metana di lahan sawah (Dubey, 2005; Liu et al., 2017).

Menurut Handayani et al., (2013) keberadaan aerenkim digunakan untuk

mendistribusikan oksigen ke zona akar sebagai bentuk adaptasi sistem perakaran

di tanah yang lembab (Gambar 3). Keberadaan oksigen di zona perakaran

memungkinkan terjadinya oksidasi metana di zona tersebut. Pada saat yang sama,

metana yang ada di zona perakaran ditransportasikan menuju atmosfer dengan

melewati zona aerob melalui jaringan aerenkim (Anitha & Bindu, 2016).

ae = aerenkim

Gambar 3. Bentuk aerenkim padi umur 21 hari. (Handayani et al., 2013)

Rizosfer tanaman padi merupakan habitat penting bagi Methanocellales yang

merupakan salah satu bakteri metanogen (Watanabe et al., 2010; Ma & Lu, 2011),

Page 29: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

14

karena dekomposisi akar padi memproduksi H2 dan CO2, yang merupakan substrat

untuk metanogenesis (Watanabe et al., 2010). Perbedaan gradien konsentrasi air di

sekitar akar dengan ruang antar sel pada akar menyebabkan metana terlarut

terdifusi. Pada dinding korteks, metana terlarut berubah menjadi gas dan disalurkan

ke batang melalui pembuluh aerenkima, kemudian lepas ke udara melalui pori-pori

mikro tanaman pada pelepah daun bagian bawah (Gambar 4) (Nouchi, 1992; Lai,

2009).

Gambar 4. Mekanisme emisi metana melalui aerenkima pada jaringan tanaman

padi (Nouchi, 1992)

Pengolahan lahan sawah atau keadaan tanah sawah yang dapat memacu

metanogenesis yaitu pengelolaan air, pengolahan tanah, varietas, penggunaan

pupuk, dan iklim (Okubo et al., 2014; Begum et al., 2014; Cobena et al., 2014;

Zhou et al., 2014; Panjaitan et al., 2015; Hu et al., 2016). Lahan sawah yang

diberikan pupuk organik mempunyai struktur yang baik, dan tanah yang kecukupan

bahan organik mempunyai kemampuan mengikat air lebih besar dari pada tanah

yang kandungan organiknya rendah. Umumnya pupuk organik mengandung hara

Page 30: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

15

makro nitrogen, fospat dan kalium rendah, tetapi mengandung hara mikro dalam

jumlah cukup. Bahan organik yang tersedia di tanah tersebut akan dimanfaatkan

mikroorganisme dalam memproduksi metana (Yuan et al., 2014).

2.5. Lahan Sawah dan Tanaman Padi

2.5.1 Lahan sawah

Menurut Hardjowigweno dan Rayes (2005), tanah sawah (paddy soil)

merupakan tanah yang digunakan atau berpotensi digunakan untuk menanam padi

sawah. Dalam definisi ini tanah sawah mencangkup semua tanah yang terdapat

dalam zona iklim dengan rezim temperatur yang sesuai untuk menanam padi paling

tidak satu kali dalam setahun (sesuai dengan tersedianya air untuk menggenangi

tanah selama waktu yang diperlukan oleh tanaman padi sawah tersebut). Dengan

demikian temparatur dan air sawah merupakan pembatas utamanya. Salah satu sifat

khas yang dimiliki tanaman padi sawah yakni dapat tumbuh dengan baik pada tanah

yang tergenang. Penggenangan dan pengolahan tanah untuk menanam padi dapat

menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah. Perubahan tersebut meliputi sifat

morfologi, fisika, kimia, mikrobiologi maupun sifat-sifat lain yang berbeda dari

sifat asalnya (Damanik et al., 2010; Pardosi et al., 2013)

2.5.2. Tanaman Padi

Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan penting yang

telah menjadi makanan pokok lebih dari setengah penduduk dunia. Tanaman padi

mengalami tiga fase pertumbuhan, yaitu fase vegetatif aktif, fase reproduktif dan

fase pemasakan. Fase vegetatif aktif dimulai dari perkecambahan sampai inisiasi

primordia malai, fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordia malai sampai

rampak, dan fase pemasakan dimulai dari rampak sampai masak (Yoshida, 1981).

Page 31: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

16

Tanaman padi merupakan tanaman semusim, termaksud golongan rumput-

rumputan dengan klarifikasi sebagai berikut ( Tjitrosoepomo, 2004,):

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Ordo : Graminales

Family : Graminea

Class : Monocotyledonae

Syb Family : Oryzae

Genus : Oryzae

Spesies : Oryza sativa, L.

Adapun morfologi Tanaman padi meliputi :

a. Akar

Padi mempunyai tiga jenis akar, yaitu akar radikal, akar mesokotil dan

akar buku (adventiv). Ruang udara berhubungan dengan batang dan daun

yang merupakan sistem penyaluran udara yang efisien dari tajuk ke akar.

Akar tanaman memberikan pengaruh yang besar terhadap proses

pembentukan metana oleh bakteri metanogen karena dalam

metabolismenya, akar tanaman akan menghasilkan substrat (eksudat akar)

yang mempercepat proses pembentukan metana. Substrat akar merupakan

hasil samping metabolisme karbon berupa senyawa organik yang

mengandung gula, asam organik dan asam amino (Das & Baruah, 2008).

Kemampuan fotosistesis yang baik pada tanaman akan menyebabkan

substrat akar yang dihasilkan mudah terdegradasi. Kapasitas pengoksidasi

akar yang baik menyebabkan konsentrasi oksigen di sekitar akar meningkat

dan metana teroksidasi secara biologis oleh bakteri metanotrof.

b. Batang

Batang padi terdiri dari suatu rangkaian buku dan ruas yang terbungkus

dalam pelepah daun. Pemanjangan batang hanya terjadi pada beberapa ruas

atas, sedangkan ruas bagian bawah pendek dan tebal. Pembentukan ruang

udara di dalam ruas tergantung pada lingkungan tumbuh dan varietasnya.

Page 32: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

17

c. Daun

Daun padi terdiri dari pelepah, helaian, lidah dan teliga daun.

Pertambahan panjang daun bersamaan dengan pertambahan jumlah daun.

Pada helaian dan pelepah daun terdapat ruang udara. Ruang udara pada

pelepah daun berhubungan dengan stomata dan ruang udara pada batang

dan akar.

2.5.3 Varietas Padi Unggul

Sifat fisiologis dan morfologis suatu varietas mempengaruhi besarnya emisi

metana. Selain itu, tiap varietas mempunyai umur dan aktivitas akar yang berbeda

yang erat kaitannya dengan emisi metana. Seperti yang dipaparkan oleh Panjaitan

et al., (2015) bahwa perbedaan varietas mempengaruhi emisi metana. Penggunaan

varietas yang tepat diharapkan dapat menekan emisi metana. Ada beberapa aspek

yang perlu mendapat pertimbangan dalam menentukan pilihan, misalnya potensi

hasil, umur tanaman, ketahanan terhadap hama dan penyakit, mutu beras, selera

konsumen, dan kondisi ekosistem (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan, 2006). Penelitian Produk Rekayasa Genetik (PRG) tanaman di Indonesia

dimulai sejak pertengahan 1990-an pada komoditas padi. Dinamika persepsi

terhadap tanaman PRG merupakan tantangan dalam pengembangan teknologi

pertanian secara komersial, meskipun pengalaman beberapa negara selama 17

tahun (1996- 2012), termasuk Indonesia, menunjukkan pengembangan tanaman

PRG tidak terbukti mengganggu lingkungan dan kesehatan manusia (Estiati &

Herman, 2015).

Page 33: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

18

2.5.3.1 Padi Ciherang

Ciherang adalah hasil persilangan antara varietas IR64 dengan

varietas/galur lain. Sebagian sifat IR64 juga dimiliki oleh Ciherang, termasuk hasil

dan mutu berasnya yang tinggi. Karakteristik varietas padi Ciherang dipaparkan

oleh Suprihatno et al., (2010):

Gambar 5. Varietas Ciherang umur 56 HST (dokumen pribadi)

a. Asal persilangan : IR18349-53-1-3-

1-3/IR19661-131-

31//IR196611331

///IR64////IR64

b. Umur tanaman : 116-125 hari

c. Bentuk tanaman : tegak

d. Tinggi tanaman : 91-106 cm

e. Anakan produktif : 14-17 batang

f. Warna kaki : hijau

g. Warna batang : hijau

h. Warna lidah daun : putih

i. Warna daun : hijau

j. Muka daun : kasar pada

sebelah bawah

k. Posisi daun : tegak

l. Daun bendera : tegak

m. Bentuk gabah : panjang ramping

n. Warna gabah : kuning bersih

o. Kerontokan : sedang

p. Kerebahan : sedang

q. Tekstur nasi : pulen

r. Kadar amilosa : 23%

s. Bobot 1000 butir : 27-28 gram

t. Potensi hasil : 5-8.5 ton/ha

u. Ketahanan hama : tahan terhadap

wereng coklat

biotipe 2 dan

3

v. Dilepas tahun : 2000

Page 34: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

19

2.5.3.2 Padi Inpari Sidenuk

Padi inpari sidenuk merupakan padi unggul hasil pemanfaat teknologi

nuklir. Induk dari padi sidenuk merupakan padi diah suci yang diiradiasi gamma

60Co dengan dosis 0,20 kGy (Suprihatno et al., 2010). Karakteristik varietas padi

inpari sidenuk yaitu berdasarkan Suprihatno et al., (2010):

Gambar 6. Varietas Sidenuk umur 56 HST (dokumen pribadi)

a. Status pelepasan : 2257Kpts/SR.

120/5/2011/2

Mei 2011

b. Nomor Seleksi :Obs-1703/Ps.J

c. Asal Usul : Diah Suci yang

Diiradiasi

gamma 60Co

0,20 kGy

d. Umur tanaman : ± 103 hari

e. Bentuk tanaman : tegak

f. Tinggi tanaman : ±104 cm

g. Anakan produktif : ±15 malai

h. Warna kaki : hijau

i. Warna batang : hijau

j. Warna daun : tidak berwarna

k. Warna daun : hijau

l. Muka daun : kasar

m. Posisi daun : tegak

n. Daun bendera : tegak

o. Bentuk gabah : ramping

p. Warna gabah : kuning bersih

q. Kerontokan : sedang

r. Kerebahan : tahan

s. Tekstur nasi : pulen

t. Kadar amilosa : 20,6 %

u. Bobot 1000 butir : ±25,9 gram

v. Potensi hasil : 9,1 ton/ha

w. Ketahanan t hama : tahan terhadap

wereng coklat

biotipe 1, 2 dan

3

Page 35: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

20

2.5.4 Sistem Budidaya Tanaman Padi

2.5.4.1 Sistem Pertanian Konvensional

Sistem konvensional merupakan sistem yang sudah lama dilakukan oleh

petani-petani di dunia. Penanaman padi metode konvensional dimulai dengan

penyemaian, pengolahan tanah, penanaman, pemupukan dengan pupuk kimia.

Terdapat beberapa komponen penting dalam penerapan metode Konvensional yaitu

(Bouman et al., 2005; Stoop et al., 2009) :

a. Bibit padi ditransplantasi saat dua daun telah muncul pada batang muda,

biasanya saat berumur 20-30 hari.

b. Bibit ditanam 3-4 benih

c. Jarak tanam lebar minimal 10 x 10 cm hingga 20 x 20 cm

d. Kondisi tanah selalu tergenang

2.5.4.2 Metode System of Rice Intensification (SRI)

SRI adalah cara budidaya tanaman padi yang efisien dengan proses

manajemen perakaran yang berbasis terhadap tanah, tanaman, dan air. Metode SRI

mulai dikembangkan sejak awal tahun 1980 di Madagaskar oleh biarawan Yesuit

asal Perancis bernama Fr. Henri de Laulanie, S.J. Sistem intensfikasi padi ini

memungkinkan petani yang mempunyai lahan sempit dapat meningkatkan hasil

padi sampai 50 atau 100% dengan merubah cara pengelolaan tanaman, air, dan hara

(Uphoff et al., 2009). Secara umum keuntungan metode SRI yaitu meningkatkan

jumlah anakan, pertumbuhan akar yang besar, meningkatkan jumlah gabah, kualitas

gabah yang lebih tinggi dan lebih berat, cepat panen, hemat air, tidak mudah rebah,

dan tidak memerlukan pupuk kimia (Thiyagarajan & Gujja, 2012). Terdapat

beberapa komponen penting dalam penerapan metode SRI yaitu (Bouman et al.,

2005; Stoop et al., 2009) :

Page 36: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

21

a Bibit padi ditransplantasi saat dua daun telah muncul pada batang muda,

biasanya saat berumur 8-12 hari.

b Bibit ditanam satu benih

c Jarak tanam lebar minimal 25 x 25 cm hingga 50 x 50 cm agar akar tanaman

tidak berkompetisi dan mempunyai cukup ruang untuk berkembang

sehingga anakan maksimum dapat dicapai.

d Kondisi tanah tidak tergenang, tetapi tetap lembab (irigasi berselang).

e Petak sawah diairi mulai 25 hari sebelum panen.

2.6 Spektrofotometer UV–VIS

Spektrofotometer UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi

yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet (190-375 nm) dan sinar

tampak (375-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja et al.,

1995) Prinsip dari spektrofotometer UV-Vis adalah mengukur jumlah cahaya yang

diabsorbsi atau ditransmisikan oleh molekul-molekul di dalam larutan berdasarkan

pada hukum Lambert Beer. Ketika panjang gelombang cahaya ditransmisikan

melalui larutan, sebagian energi cahaya tersebut akan diserap (diabsorbsi).

Besarnya kemampuan molekul-molekul zat terlarut untuk mengabsorbsi cahaya

pada panjang gelombang tertentu dikenal dengan istilah absorbansi (A), yang setara

dengan nilai konsentrasi larutan tersebut dan panjang berkas cahaya yang dilalui

(biasanya 1 cm dalam spektrofotometri) ke suatu titik dimana persentase jumlah

cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi diukur dengan phototube (Khopkar,

2003). Hukum Lambert Beer dikembangkan pada tahun 1852 oleh Beer dan

Lambert yang menyatakan secara kuantitatif absorbsi ini sebagai :

Log Io/It = €.L.C

Keterangan :

Io = Intensitas cahaya sebelum melewati sampel

It = Intensitas cahaya setelah melewati sampel

€ = Koefesien ekstingsi, yaitu konstanta yang tergantung pada sifat alami

senyawa substansi dan panjang gelombang yang digunakan untuk analisis.

L = Panjang atau jarak cahaya yang melewati sampel

C = Konsentrasi dari larutan yang dianalisa

Page 37: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

22

Hubungan Io/It akan lebih cepat dipahami dengan melihat kebalikan dari

perbandingan tersebut yakni It/Io sebagai transmisi (T) dari larutan, sedangkan log

(Io/It) dikenal sebagai absorbansi (A) larutan (Khopkar, 2003). Sumber radiasi

untuk spektroskopi UV-Vis adalah lampu tungsten. Cahaya yang dipancarkan

sumber radiasi adalah cahaya polikromatik. Cahaya polikromatik UV akan

melewati monokromator yaitu suatu alat yang paling umum dipakai untuk

menghasilkan berkas radiasi dengan satu panjang gelombang (Day dan Underwood,

1989).

2.7 Gas Chromatograph (GC)

Kromatogram gas merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk

mengidentifikasi senyawa kimia yang bersifat mudah menguap. Kromatogram gas

(GC) merupakan suatu metode pemisahan campuran yang terdiri dari dua jenis

komponen atau lebih, yang didasarkan pada perbedaan migrasi di antara dua fase,

yaitu fase diam yang berupa padatan dan fase gerak berupa gas. Gas yang digunakan

harus bersifat inert. Gas yang umumnya digunakan adalah helium, nitrogen, argon

atau hidrogen. (Leba, 2017). Prinsip pemisahan kromatografi gas didasarkan atas

distribusi komponen-komponen senyawa dalam campurannya terhadap fase diam

di dalam kolom. Pada pemisahan dengan metode ini, analit dalam sampel akan

dibawa oleh fase gerak bermigrasi melalui fase diam didalam kolom dengan

kecepatan tertentu dan akan terelusi berdasarkan kenaikan titik didih dan

interaksinya dengan fase diam (Leba, 2017).

Page 38: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

23

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September

2017 di green house dan Laboratorium Biologi, Pusat Aplikasi Isotop dan

Radiasi Badan Teknologi Nuklir Nasional (PAIR–BATAN), Pasar Jumat, Jakarta

Selatan.

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah kromatografi gas (GC) Shimadzu tipe GC

8A, spektrofotometer UV-VIS Shimadzu UV 2450, ember (20 buah), kaca

penampung gas emisi gas metana (3 buah), kantung gas (12 buah), alat destilasi,

pH meter, termometer digital, neraca analitik, alat gelas kimia lainnya, dan alat

tulis. Bahan- bahan yang digunakan adalah bibit padi sidenuk dan ciherang, pupuk

NPK, glukosa, selenium, aquadest, molibdat vanadat, K2Cr2O7, HNO3, H2SO4,

NaOH, dan HCl.

3.3 Diagram Alir Penelitian

3.3.1 Pembuatan Media Tanam Tanah Sawah

15 kg tanah dikeringkan

Dimasukkan kedalam pot

Proses Penyawahan

Uji awal tanah sawah

1. Karbon Organik

2. Kadar Nitrogen total

3. Rasio C/N

4. Volatile Fatty Acids

(VFA)

5. Emisi metana

Page 39: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

24

3.3.2 Perawatan tanaman padi

SD.S SD.K CH.S CH.K

Penyemaian

Masuk ke dalam pot

1. Karbon Organik

2. Kadar Nitrogen total

3. Rasio C/N

4. Volatile Fatty Acids (VFA)

Pengukuran pada hari ke- 84 HST

1. Gas Metana

2. pH

3. Suhu

Pengukuran pada hari ke- 7, 14, 28, 56

dan 84 HST

1. Tinggi Tanaman

2. Jumlah Anakan

Pengukuran pada hari ke- 7, 14, 21, 28, 35, 42,

49, 56, 63 dan 84 HST

Pengukuran parameter

Data dianalisa menggunakan SPSS

Sidenuk Ciherang

Pemberian pupuk NPK

Page 40: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

25

3.4 Metode Penelitian

3.4.1 Pemeliharaan Tanaman Padi

3.3.1.1 Pembuatan Media Simulasi Tanah Sawah

Tanah yang berasal dari kawasan PAIR-BATAN Pasar Jumat dikeringkan

pada suhu ruang green house ±30oC selama 2 minggu, kemudian ditimbang

sebanyak 15 kg dan dimasukan ke dalam pot. Tanah kering diberi air hingga

terendam dan didiamkan selama 2 minggu agar tanah berubah menjadi media tanah

sawah.

3.3.1.2 Persemaian dan Perawatan Padi

Penyemaian dilakukan pada lahan basah, kedua jenis variasi padi yang

berbeda yaitu Sidenuk dan Ciherang disemai selama 12 hari. Padi berumur 12 hari

dipindahkan ke dalam pot yang berukuran lebih besar. Padi yang sudah

dipindahkan ke dalam media tanam berupa pot, diperhatikan ketinggian air, untuk

metode SRI ketinggian air hanya berupa mencak-mencak atau lembab. Pemberian

pupuk menggunakan NPK, dimana N = urea, P = TSP dan K = KCl. Pengukuran

sampel gas metana dilakukan selama perawatan padi, yaitu pada hari ke -0, 7, 14,

28, 56 dan 84 hari setelah tanam (HST). Sampel tanah diukur pada umur 0 dan 84

HST. Pengukuran meliputi karbon organik, kadar nitrogen total, rasio C/N dan

Volatile Fatty Acids (VFA). pH dan suhu diukur pada umur ke- 0, 7, 14, 28, 56 dan

84 HST, sedangkan untuk tinggi tanaman, jumlah anakan diukur pada umur 7, 14,

21, 28, 35, 42, 49, 56, 63 dan 84 HST (Hari Setelah Tanam)

Page 41: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

26

3.3.2 Uji Parameter

3.3.2.1 Pengukuran Sifat Fisika Kimia Tanah

3.3.2.1.1 Pengukuran Suhu dan pH (SNI 06-6989.23-2005 dan SNI 03-6787-2002)

Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termomter digital dan

pH menggunakan pH mater. Pengukuran dilakukan pada pot saat uji metana sedang

dilakukan. Pengukuran dilakukan pada pagi, siang dan sore pada umur 0, 7, 14, 28,

56 dan 84 HST

3.3.2.1.2 Pengukuran kadar air

Timbang 5,000 g sampel tanah media tanam kedalam cawan yang telah

diketahui bobotnya. Keringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 3 jam. Angkat

cawan dengan penjepit dan masukkan ke dalam deksikator. Setelah dingin cawan

ditimbang. Bobot yang hilang adalah bobot air. Pengukuran kadar air diukur

menggunakan rumus berikut

Perhitungan Kadar Air (%) = (kehilangan bobot / bobot contoh) x 100%.......... (1)

koreksi kadar air (fk) = 100 / (100 – kadar air) .................................................. (2)

3.3.2.1.3 Pengukuran Karbon Organik Tanah (Agus et al., 2005).

Pengukuran karbon organik dilakukan dengan metode

spektrofotometri (Agus et al., 2005). Sampel sedimen dimasukkan sebanyak 0,5 g

dalam labu ukur 100 ml, lalu ditambahkan berturut-turut 5 ml larutan K2Cr2O7 2N

dan 7 ml H2SO4 pekat kemudian dikocok dan dibiarkan 30 menit. Untuk standar

sebanyak 5 ml larutan standar glukosa 5000 ppm C dimasukkan ke dalam labu takar

100 ml lalu ditambahkan 5 ml H2SO4 dan 7 ml larutan K2Cr2O7 2N. Dikerjakan

pula blanko yang digunakan sebagai standar 0 ppm C. Masing- masing diencerkan

Page 42: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

27

dengan air bebas ion dan setelah dingin volume ditera hingga 100 ml, kemudian

dikocok dan dibiarkan semalam. Sehari kemudian diukur dengan spektrofotometer

pada panjang gelombang 561 nm. Kadar C organik dapat diukur dengan

perhitungan sebagai berikut

Kadar C organik (%) = ppm kurva x 10 /mg sampel x fk................................... (3)

Keterangan:

ppm = kadar contoh yang didapat dari kurva regresi hubungan antara

kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikurangi

blanko.

fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – %ka).

3.3.2.1.4 Pengukuran Kadar Nitrogen Total Tanah (Sudarmadji et al., 1996)

Pengukuran kadar nitrogen total menggunakan metode Kjedahl.

Dimasukkan sampel tanah sebanyak 1 g tanah dengan ukuran < 0,5 mm kedalam

tabung digest. Ditambahkan 1 g campuran selenium dan 10 ml H2SO4 (pekat),

didekstruksi hingga suhu 350 oC (3-4 jam). Dekstruksi selesai bila keluar uap putih

dan didapat ekstrak jernih kehijauan. Tabung diangkat, didinginkan dan kemudian

ekstrak diencerkan dengan air bebas ion hingga tepat 100 ml. Setelah homogen dan

dingin dipipet sebanyak 5 mL, masukkan ke dalam labu destilasi. Tambahkan 10

mL larutan NaOH 30% melalui dinding dalam labu destilasi hingga terbentuk

lapisan dibawah larutan asam. Labu destilat dipasang dan dihubungkan dengan

kondensor, lalu ujung kondensor dibenamkan dalam cairan penampung. Uap dari

cairan yang mendidih akan mengalir melalui kondensor menuju erlemeyer

penampung. Erlenmeyer penampung diisi dengan 10 mL larutan HCl 0,1 N yang

telah ditetesi indikator metil merah. Cek hasil destilasi dengan kertas lakmus, jika

hasil sudah tidak bersifat basa, maka penyulingan dihentikan. Setelah proses

Page 43: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

28

destilasi, tahap selanjutnya adalah titrasi. Hasil destilasi yang ditampung dalam

erlemeyer berisi HCl 0,1 N ditambahkan indikator metil merah sebanyak 5 tetes

dan langsung dititrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 N. Titik akhir titrasi

ditandai dengan warna merah muda menjadi kuning, kemudian dihitung kadar N%

dengan rumus.

Kadar N (%) = (V.HCL – V.NaOH)x 0,1 x BM Nitrogen

𝑤 𝑥 100 % .................. (4)

Keterangan:

V. HCl = volume HCl (ml)

V. NaOH = volume NaOH (ml)

BM Nitrogen = berat molekul

w = berat sampel (mg)

3.3.2.1.5 Pengukuran Rasio C/N (Agus et al., 2005)

Rasio C/N merupakan indikator yang menunjukan proses mineralisasi-

immobilisasi unsur hara oleh bakteri dekomposer bahan organik. Rasio C/N

optimal diantara 10-20 yang berarti telah terjadi proses dekomposisi bahan organik

menjadi anorganik (Pramaswari et al., 2011). Perhitungan rasio C/N menggunakan

rumus

𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛 (𝐶)

𝑁𝑖𝑡𝑟𝑜𝑔𝑒𝑛 (𝑁)=

𝑥

𝑦 ....................................................................................... (5)

Keterangan:

X = Kadar karbon (C),

Y = Kadar nitrogen (N)

3.3.2.2 Analisa Volatil Fatty Acid (VFA) Parsial (Bachruddin, 1996)

Analisis konsentrasi VFA parsial menggunakan alat kromatografi gas (GC).

Sampel sebanyak 5 ml sampel sedimen dimasukkan ke dalam tabung eppendorf,

Page 44: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

29

kemudian ditambahkan dengan 1 ml H2SO4 15%. Tabung eppendorf disentrifus

pada kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Setelah itu, ekstrak sebanyak 0.4 µl

cairan jernih diinjeksikan ke dalam GC. Perbedaan partisi atau absorbsi pada fase

diam (kolom) dan fase gerak (gas) memunculkan puncak pada layar monitor GC.

VFA sampel dapat diukur dengan membaca kromatogram standar acuan VFA yang

konsentrasinya telah diketahui.

3.3.2.3 Pengambilan dan Pengukuran Gas Metana (Minamikawa et al., (2015)

Sampel gas diambil dengan menancapkan kaca penampung gas ke dalam

pot. Masing-masing kaca penampungan ditancapkan dengan kedalaman sekitar 5

cm. Bagian ujung selang dihubungkan dengan kantung penampung gas. Sampel gas

diambil setelah 1 jam, dan gas metana diambil pada pagi, siang dan sore hari.

Pengambilan sampel dilakukan pada umur ke-0, 7, 14, 28, 56 dan 84 HST.

Penampungan gas metana digambarkan pada Gambar 7 yang direkomendasi oleh

Minamikawa et al., (2015)

Gambar 7. Reaktor penampung gas

metana

Keterangan:

a. Karet (tempat mengambil gas

menggunakan siring)

b. Kipas (menghomogenkan

kondisi udara di dalam kaca)

c. Dudukan batrai (sumber energi

penggerak kipas)

d. Selang (menampung gas di gas

bag)

e. Tabung kaca (reaktor

penampungan gas metana

Jumlah produksi gas metana yang dihasilkan dapat diketahui dengan

melihat penambahan volume gas pada gas bag. Gas yang tertampung ditarik

sebanyak 20 ml menggunakan siring dan dimasukkan secara perlahan ke dalam gas

Page 45: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

30

bag 10 ml. Kemudian, gas pada gas bag tersebut diuji dengan alat kromatografi

gas untuk mengetahui konsentrasi gas metana yang dihasilkan. Kromatografi yang

digunakan berjenis Shimadzu 8A dengan detektor flame ionization detector (FID)

dan kolom terbuat dari stainless steel dengan ukuran 6m x 2mm. Perhitungan emisi

gas metana dilakukan dengan persamaan yang digunakan oleh Minamikawa et al.,

(2015)

E CH4 = dc

dtx

V

Ax 𝜌 x [

273,2

273,2+𝑇] ...................................................................... (6)

Keterangan :

E CH4 = emisi gas metana (mg/m2/menit)

dc/dt = ppm/jam

V/A = volume boks/luas boks (m3/m2)

T = temperatur rata-rata dalam pengambilan contoh gas (oC)

ρ = densitas CH4 (0.717 kg/m3)

3.3.2.4. Uji Kondisi Setalah Masa Panen

3.3.2.4.1. Pengukuran Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan mulai dari permukaan tanah

hingga ujung daun, sedangkan jumlah anakan dihitung setiap batang padi yang

muncul pada satu tanaman. Pengukuran tinggi tanaman dan jumlah anakan

dilakukan pada pagi hari hingga umur ke 84 HST.

3.3.2.4.2. Pengukuran Karbon Organik Padi Jerami dan Gabah (Agus et al., 2005).

Pengukuran karbon organik dilakukan dengan metode

spektrofotometri (Agus et al., 2005). Sampel padi dan gabah dimasukkan sebanyak

0,10 g dalam labu ukur 100 ml, lalu ditambahkan berturut-turut 5 ml larutan

K2Cr2O7 2N dan 7 ml H2SO4 (pekat) kemudian dikocok dan dibiarkan 30 menit.

Page 46: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

31

Untuk standar sebanyak 5 ml larutan standar glukosa 5000 ppm C dimasukkan ke

dalam labu takar 100 ml lalu ditambahkan 5 ml H2SO4 dan 7 ml larutan K2Cr2O7

2N. Dikerjakan pula blanko yang digunakan sebagai standar 0 ppm C. Masing-

masing diencerkan dengan air bebas ion dan setelah dingin volume ditera hingga

100 ml, kemudian dikocok dan dibiarkan semalam. Sehari kemudian diukur

dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm. Kadar C organik

dapat diukur dengan perhitungan sebagai berikut

Kadar C organik (%) = ppm kurva x 100 /mg sampel x Fk .............................. (7)

Keterangan:

ppm = kadar contoh yang didapat dari kurva regresi hubungan antara

kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikurangi

blanko.

Fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – %ka).

3.3.2.4.3. Pengukuran Kadar Nitrogen Padi Jerami dan Gabah (Agus et al. 2005)

Pengukuran kadar nitrogen total menggunakan metode Kjedahl.

Dimasukkan sampel tanah sebanyak 1 g jerami dan gabah dengan ukuran < 0,5 mm

kedalam tabung digest. Ditambahkan 1 g campuran selenium dan 10 ml H2SO4

(pekat), didekstruksi hingga suhu 350 oC (3-4 jam). Dekstruksi selesai bila keluar

uap putih dan didapat ekstrak jernih kehijauan. Tabung diangkat, didinginkan dan

kemudian ekstrak diencerkan dengan air bebas ion hingga tepat 100 ml. Setelah

homogen dan dingin dipipet sebanyak 5 mL, masukkan ke dalam labu destilasi.

Tambahkan 10 mL larutan NaOH 30% melalui dinding dalam labu destilasi hingga

terbentuk lapisan dibawah larutan asam. Labu destilat dipasang dan dihubungkan

dengan kondensor, lalu ujung kondensor dibenamkan dalam cairan penampung.

Uap dari cairan yang mendidih akan mengalir melalui kondensor menuju erlemeyer

Page 47: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

32

penampung. Erlenmeyer penampung diisi dengan 10 mL larutan HCl 0,1 N yang

telah ditetesi indikator metil merah. Cek hasil destilasi dengan kertas lakmus, jika

hasil sudah tidak bersifat basa, maka penyulingan dihentikan. Setelah proses

destilasi, tahap selanjutnya adalah titrasi. Hasil destilasi yang ditampung dalam

erlemeyer berisi HCl 0,1 N ditambahkan indikator metil merah sebanyak 5 tetes

dan langsung dititrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 N. Titik akhir titrasi

ditandai dengan warna merah muda menjadi kuning, kemudian dihitung kadar N%

dengan rumus.

Kadar N (%) = (V.HCL – V.NaOH)x 0,1 x BM Nitrogen

𝑤 𝑥 100 % .................. (8)

Keterangan:

V. HCl = volume HCl (ml)

V. NaOH = volume NaOH (ml)

BM Nitrogen = berat molekul

w = berat sampel (mg)

3.3.2.4.4 Pengukuran Kadar Fosfor Padi Jerami dan Gabah (Helrich, 1990).

Sampel jerami atau gabah sebanyak 1 gram dimasukkan kedalam cawan

porselen, kemudian dipanaskan di atas hot plate sampai kering. Sampel diabukan

dengan temperatur 500oC selama 5 jam. Setelah dingin, abu ditambahkan 5 ml

HNO3 (1:1), kemudian diuapkan pada hot plate sampai kering dan dimasukkan

kembali ke dalam tanur dengan suhu 500oC selama 1 jam (Helrich, 1990). Sampel

hasil destruksi dilarutkan dalam 5 ml HNO3 (1:1), lalu dimasukkan ke dalam labu

ukur 100 ml dan diencerkan dengan aquadest hingga garis tanda (Helrich, 1990).

Larutan disaring dan ditampung dalam botol. Larutan sampel dipipet 10 ml,

dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml dan ditambahkan akuades sehingga volume

Page 48: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

33

larutan menjadi 50 ml. Larutan pereaksi molibdat vanadat ditambahkan sebanyak

13 ml, kemudian dikocok, dan ditambahkan dengan aquades hingga batas tera.

Sampel didiamkan hingga membentuk warna, dan diukur dengan menggunakan

spektofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Kadar fosfor diperoleh dengan

rumus

% P = 𝐶 𝑥 𝑉 𝑥 𝑓𝑝

W x 1000 𝑥 100% .................................................................... (9)

Keterangan :

C = konsentrasi fosfor (ppm)

V = volume labu ukur (ml)

W = berat Sampel (g)

fp = faktor pengenceran

3.3.2 Analiss Data (ANOVA)

Penetapan pH, suhu, tinggi tanaman dan jumlah anakan dalam

menghasilkan emisi gas metana dianalisis menggunakan program Statistical

Package for the Social Science (SPSS) 20 dengan uji analisis variansi satu arah

(ANOVA) pada batas kepercayaan 95% (α=0,05). Apabila terdapat perbedaan

maka dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mendeterminasi perbedaan tersebut.

Pengambilan keputusan apakah terdapat perbedaan pada perlakuan SRI dan

Konvensional pada varietas Ciherang dan Sidenuk yang diuji menggunakan H0

(sig>0.05) dan H1 (sig<0.05), dengan keterangan hipotesis sebagai berikut:

H0 = parameter kimia dan biologi tidak berpengaruh terhadap reduksi gas

metana pada sedimen sawah

H1 = parameter kimia dan biologi berpengaruh terhadap reduksi gas metana

pada sedimen sawah.

Page 49: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Fisika dan Kimia Sedimen Perlakuan

4.1.1 pH dan Suhu Tanah

Hasil uji nilai pH tanah menunjukkan terjadinya perubahan selama masa

tanam sampai 84 HST (Tabel 3). Rentang pH pada semua sampel berkisar antara

6,10 hingga 7,67. Peningkatan pH terjadi mulai dari umur 7 hingga 36 HST dan

terus menurun hingga umur 84 HST. Hasil statistik ANOVA menunjukkan bahwa,

perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada nilai pH

setiap umur tanam (p≥0,05) (Lampiran 1). Contoh perlakuan Sidenuk SRI dan

Sidenuk Konvensional dengan pH masing-masnig 6,77 dan 6,80. Akan tetapi,

perubahan nilai pH setiap umur tanam menunjukkan adanya perbedaan untuk

masing-masing perlakuan (p≤0,05) (Lampiran 2). Contoh perlakuan Sidenuk SRI

pada umur 7 HST dan umur 36 HST dengan masing-masing memiliki nilai pH

yaitu 6,77 dan 7,63. Hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa perlakuan SRI dan

Konvensional baik pada varietas Sidenuk dan Ciherang tidak menghasilkan

perbedaan nilai pH yang signifikan (Lampiran 3 dan 4).

Tabel 3. pH simulasi tanah sawah

Sampel pH Sedimen Perlakuan Pada Waktu (HST)

7 14 28 56 84

Sidenuk SRI

6,77 a 7,00 a 7,63 a 6,97 a 6,30 a

B B C B A

Sidenuk Konvensional

6,80 a 7,30 a 7,50 a 7,00 a 6,10 a

B CD D BC A

Ciherang SRI

6,63 a 7,67 a 7,67 a 7,03 a 6,23 a

AB C C B A

Ciherang Konvensional

6,83a 7,30 a 7,53 a 7,00 a 6,23 a

B BC C BC A

Keterangan : Angka yang ditandai huruf sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%. Huruf kecil dibaca

ke arah vertikal, huruf besar dibaca ke arah horisontal.

Page 50: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

35

pH tanah mengalami nilai yang fluktuasi pada satu masa tanam. Peningkatan

pH khususnya di umur 14 dan 28 HST selain adanya penambahan pupuk NPK, juga

dikarenakan pembentukan akar padi yang masih rendah. Menurunnya pH pada

umur 56 dan 84 HST disebabkan oleh perakaran tanaman yang sudah lebih besar

dibandingkan sebelumnya yang menyebabkan kandungan eksudat akar akan lebih

meningkat berupa asam-asam organik di dalam tanah. Menurut Das & Baruah

(2008) eksudat akar menyediakan berupa karbohidrat, asam organik, asam amino,

dan senyawa fenolik. Senyawa-senyawa tersebut akan diubah menjadi asam butirat,

propionat dan asetat oleh mikroorganisme di dalam tanah. Peningkatan pH pada

umur 28 HST sesuai seperti yang dilakukan oleh (Husny, 2010) yang menyatakan

bahwa, pH tanah untuk semua perlakuan baik Konvensional dan SRI akan

mengalami peningkatan dari umur 28 HST sampai dengan umur 56 HST, kemudian

mengalami penurunan sampai dengan umur ke- 84 HST.

Pada umur 28 HST, perlakuan SRI memiliki pH yang lebih tinggi

dibandingkan Konvensional, dimana nilai pH Sidenuk SRI sebesar 7,63 dan

Sidenuk Konvensional adalah 7,50 sedangkan pH Ciherang SRI yaitu 7,67 dan

Ciherang Konvensional sebesar 7,53. Hal tersebut karena, pada teknik SRI

tumbuhan padi masih dalam tahap penyesuaian. Hal tersebut menyebabkan

pembentukan eksudat akar pada teknik Konvensional lebih baik dibandingkan

teknik SRI, sehingga nilai pH teknik SRI lebih tinggi dibandingkan teknik

Konvensional. Pada umur 56 dan 84 HST, tidak ada perbedaan yang signifikan

terhadap semua perlakuan, hal tersebut karena akar tanaman padi sudah tumbuh

secara sempurna baik pada teknik SRI maupun Konvensional, yang menyebabkan

kandungan asam-asam organik didalam tanah lebih banyak dibandingkan umur

Page 51: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

36

tanam sebelumnya. Tingkat keasaman mempengaruhi terjadinya emisi metana yang

dihasilkan bakteri metanogen. pH optimum bakteri metanogen pada kisaran

mendekati netral. Panjaitan et al., (2015) menjelaskan bahwa bakteri metanogen

pada umumnya tumbuh pada kisaran pH mendektai 6-8, dengan pH optimum

pembentukan gas metana adalah pH netral. Selain mempengaruhi emisi metana,

tingkat keasaman dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi. Padi dapat

tumbuh dengan baik pada tanah yang ketebalan lapisan tanahnya antara 18-22 cm

dengan pH antara 4-7 (Helmi, 2015).

Selain pH, salah satu faktor yang mempengaruhi emisi metana adalah suhu

tanah. Suhu tanah mengalami perubahan hingga umur 84 HST pada semua

perlakuan (Tabel 4). Nilai suhu tertinggi adalah 330C di umur 7 HST dan terendah

sebesar 290C di umur 84 HST.

Tabel 4. Suhu simulasi tanah sawah

Sampel Suhu (0C) Sedimen Perlakuan pada Waktu (HST)

7 14 28 56 84

Sidenuk SRI 33a 31 a 32 a 30 a 29 a

A A A A A

Sidenuk Konvensional 31 a 30 a 31 a 30 a 29 a

A A A A A

Ciherang SRI 32 a 29 a 32 a 30 a 29 a

A A A A A

Ciherang Konvensional 32 a 29 a 32 a 29 a 29 a

A A A A A Keterangan : Angka yang ditandai huruf sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%. Huruf

kecil dibaca ke arah vertikal, huruf besar dibaca ke arah horisontal.

Hasil statistik ANOVA menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang

signifikan pada nilai suhu pada setiap umur tanam (p≥0,05) (Lampiran 5). Contoh

pada umur 56 HST, sampel Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional memiliki nilai

suhu sebesar 300C. Hasil statistik pada setiap perlakuan juga tidak menghasilkan

perbedaan nilai suhu yang signifikan (p≥0,05) (Lampiran ). Contoh perlakuan

Page 52: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

37

Sidenuk SRI, pada umur 7 HST dan 28 HST suhu yang dihasilkan masing-masing

yaitu 33 dan 320C. Untuk hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa perlakuan SRI

dan konvensional pada padi Sidenuk dan Ciherang tidak terjadi adanya perbedaan

nilai suhu yang nyata (Lampiran 7 dan 8).

Semua sampel baik varietas Ciherang maupun Sidenuk yang dibudidayakan

dengan teknik SRI atau Konvensional, mengalami penurunan pada umur 56 dan

84 HST. Umur tersebut kondisi padi sudah mengalami fase generatif. Fase ini

merupakan fase dimana tanaman sudah tumbuh secara sempurna, sehingga cahaya

yang masuk kedalam tanah terhalangi oleh tanaman padi. Suhu merupakan salah

satu faktor penting bagi bakteri metanogen (Wang et al., 2018). Bakteri metanogen

umumnya bersifat mesofilik, dengan aktivitas optimal terjadi pada suhu 20-30°C

(Wihardjaka, 2015; Liu et al., 2016). Bakteri mesofilik merupakan bakteri yang

tumbuh optimal pada kisaran 20-30°C dan suhu optimum pada 40°C (Puspitasari et

al., 2012). Berdasarkan nilai suhu pada setiap perlakuan, maka pada umur 56 dan

84 HST memiliki potensi penghasil metana paling tinggi dibandingkan minggu-

minggu sebelumnya.

4.1.2 Karbon, Nitrogen dan Rasio C/N Tanah

Bahan organik berperan dalam aktivitas biologi dengan meningkatkan

aktivitas tanah melalui pelepasan unsur-unsur hara. Salah satu unsur tersebut adalah

karbon organik (C-organik). Pengukuran C organik pada umur 84 HST, mengalami

perubahan pada setiap sampelnya (Tabel 5). Rentang C organik pada umur 84 HST

adalah 2,5648% hingga 3,3413% dengan kadar awal yaitu 3,0126%. Kandungan C

organik setiap sampel selama masa tanam masuk dalam kategori rendah. Hal

tersebut dibandingkan dengan data kategori C organik dalam buku Rosmarkam &

Page 53: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

38

Yuwono (2002) bahwa lahan sawah atau pertanian memiliki kandungan C organik

yang sangat rendah (<0,8%), rendah (0,8-3%), sedang (3-9%), tinggi (9-25%) dan

sangat tinggi (>25%).

Tabel 5. kadar karbon, nitrogen dan rasio C/N pada sedimen perlakuan

Perlakuan C Organik % N% rasio C/N

Tanah Awal 3,0126 0,2308 13,0499

Sidenuk SRI 84 HST 2,6130 0,1959 13,3366

Sidenuk Konvensional 84 HST 3,3413 0,2239 14,9225

Ciherang SRI 84 HST 2,9530 0,2169 13,6145

Ciherang Konvensional 84 HST 2,5648 0,1575 16,2867

Didalam tanah, C organik dihasilkan melalui metabolisme tumbuhan yang

dilepas melalui akar. Akar-akar yang baik menyediakan substrat berupa

karbohidrat, asam organik, asam amino yang digunakan untuk metabolisme bakteri

(Das & Baruah, 2008). Kandungan C organik digunakan oleh mikroorganisme

untuk menghasilkan energi, sehingga penambahan bahan organik akan

meningkatkan populasi mikroorganisme, salah satunya bakteri metanogen

(Yulipriyanto, 2010; Liu et al., 2016). Pada 84 HST, C organik mengalami

penurunan pada sampel Sidenuk SRI, Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional,

sedangkan untuk sampel Sidenuk Konvensional mengalami kenaikan yang

dibandingkan dengan data tanah awal. Masing-masing sampel memiliki nilai yaitu

2,6130; 2,9530; 2,5648 dan 3,3413%

Kenaikan kadar C organik pada Sidenuk Konvensional dapat dihasilkan

karena adanya penambahan sisa-sisa batang padi atau jerami (Yuan et al., 2014;

Islam et al., 2018). Pada saat sampling metana banyak jerami padi yang rusak dan

dibiarkan membusuk di dalam pot, sehingga dapat meningkatkan kadar C organik

tanah. Hal ini sesuai yang dilakukan oleh Pane et al., (2014) bahwa pemberian

Page 54: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

39

jerami padi dapat meningkatkan kandungan C organik mencapai 7,2%. Tidak ada

perbedaan yang signifikan antara kadar C organik baik sampel SRI maupun

Konvensional, dimana pada varietas Sidenuk yang ditanam dengan SRI memiliki

konsentrasi C organik yang lebih rendah, sedangkan varietas Ciherang teknik SRI

memiliki konsentrasi C organik yang lebih tinggi dibandingkan Konvensional.

Kandungan nitrogen (N) semua sampel mengalami penurunan pada umur

84 HST. Kehilangan kandungan nitrogen pada tanah perlakuan menandakan adanya

penyerapan oleh tanaman padi, dengan rentang nilai dari 0,1575% hingga 0,2239%

dan kandungan awal sebesar 0,2308%. Hasil tersebut masuk kategori rendah hingga

sedang berdasarkan kategori N dalam buku Rosmarkam & Yuwono (2002) yang

menyatakan bahwa tanah pertanian memiliki kandungan N organik apabila sangat

tinggi (>0,75%), tinggi (0,51-0,75%), sedang (0,21-0,50%), rendah (0,10-0,20%)

dan sangat rendah (<0,10%). Untuk sampel Sidenuk SRI, Sidenuk Konvensional,

Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional masing-masing yaitu 0.1959, 0.2239,

0.2169 dan 0.1575%.

Kandungan N pada setiap sampel tidak semuanya langsung dimanfaatkan

oleh tumbuhan, karena hilangnya nitrogen dapat disebabkan oleh nitrifikasi,

denitrifikasi dan erosi (Sari & Prayudyaningsih, 2015; Pambudi et al., 2017)

Penyerapan nitrogen oleh tanaman dilakukan dalam bentuk ion nitrat dan ion

ammonium (Patti et al., 2013). Sumber N dapat dihasilkan dari pupuk urea yang

mengalami proses mineralisasi dengan tahapan aminasi, amonifikasi dan nitrifikasi

(Gambar 8) (Rosmarkam & Yuwono, 2002; Suyasa et al., 2011).

Page 55: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

40

NH2NH2

O

OH2 2 NH3 + CO2

NH3 OH2 OH-

+ +NH4

+

NH4

+0,5 O2 NO2

-2H

+ H2O

NO2

-0,5 O2

NO3

-

+ + +

+

Gambar 8. Persamaan reaksi aminasi, amonifiaksi dan nitrifikasi (Pramaswari et al., 2011)

Selain dimanfaatkan oleh tumbuhan. nitrogen juga digunakan oleh mikroorganisme

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Eskawidi et al., (2005) menjelaskan ion

nitrat akan berubah menjadi ion nitrit oleh nitrat reduktase. Reaksi selanjutnya nitrit

akan diubah menjadi amonia yang kemudian bergabung dengan kerangka karbon

hasil respirasi. Kerangka karbon ini digunakan untuk pembentukan asam amino,

sebagai bahan dasar protein (Eskawidi et al., 2005)

Jumlah N pada sampel SRI maupun Konvensional memiliki nilai yang tidak

signifikan, dimana pada varietas Sidenuk, sistem SRI memiliki konsentrasi nitrogen

yang lebih rendah dibandingkan Konvensional. Sedangkan varietas Ciherang,

teknik SRI memiliki nilai yang lebih tinggi dari Konvensional. Hubungan antara

konsentrasi N dan emisi metana, harus dilihat terlebih dahulu melalui rasio C/N.

Hal tersebut karena, peningkatan potensi produksi metana dari tanah sawah

dipengaruhi secara nyata oleh tingginya kandungan C organik (Wihardjaka et al.,

2012; Liu et al., 2016). Bila konsentrasi C organik tinggi, maka kadar N akan

rendah. Hubungan antara C organik dan N dinyatakan melalui rasio C/N.

Aminasi

Amonifikasi

Nitrikasi

Page 56: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

41

Rasio C/N adalah perbandingan antara banyaknya kandungan unsur C

terhadap banyaknya kandungan unsur N yang ada pada suatu bahan organik

(Widarti et al., 2015). Rentang rasio C/N sedimen perlakuan pada umur 84 HST

adalah 13,3366 hingga 16,2867, dengan rasio awal 13,0499 %. Rata-rata kandungan

C/N semua sampel termaksud dalam kategori sedang. Hal tersebut dibandingakan

dengan data Rosmarkam & Yuwono (2002) yang menyebutkan bahwa kadar C/N

tanah sawah sangat tinggi (>25), tinggi (15-25), sedang (10-15), rendah (8-10) dan

sangat rendah (<8). Sampel Sidenuk Konvensional dan Ciherang Konvensional

memiliki potensi yang cukup tinggi menghasilkan emisi metana dilihat dari rasio

C/N-nya yaitu 14,9225 dan 16,2867 %. Sedangkan sampel Sidenuk SRI dan

Ciherang SRI memiliki rasio sebesar 13,3366 dan 13,6145 %.

Rasio C/N yang rendah menandakan kandungan N yang tinggi. Konsentrasi

N tinggi akan menekan emisi metana (Wihardjaka et al., 2012; Xiao et al., 2018).

Hal tersebut karena N dalam bentuk ion nitrat atau nitrit yang tidak digunakan

dalam proses pertumbuhan, akan digunakan oleh bakteri metanotrof untuk bereaksi

dengan metana dengan hasil CO2 dan N2 dalam kondisi aerobik (Ettwig et al., 2010;

Vaksmaa et al., (2017).

4NO3- + CH4 4NO2

- + CO2 + 2H2O

8NO2- + 3CH4 + 8H+ 4N2 + 3CO2 + 10H2O

Apabila konsentrasi nitrat yang berlebih pada kondisi anaerobik maka bakteri

denitrifikasi akan mereduksi nitrat dengan bantuan asam asetat dan hidrogen

(Gambar 10) (Xiao et al., 2018). Penggunaan asam asetat dan hidrogen oleh bakteri

Page 57: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

42

denitrifikasi membuat bakteri metanogen tidak dapat memanfaatkannya dalam

menghasilkan metana (Yuan et al., 2014).

0,84 CH3COOH + NO3- 0,08 C5H7O2N + HCO3 + 0,3 CO2 + 0,92 H2O + 0,46 N2

0,85 CH3COOH + NO3- + H+ 0,1 C5H7O2N + 1,2 CO2 + H2O + 0,45 N2

Teknik Konvensional menghasilkan rasio C/N yang lebih tinggi

dibandingkan SRI karena, pada teknik Konvensional kondisi tanah lebih bersifat

anaerob. Kondisi anaerob akan menghambat pertumbuhan bakteri nitrifikasi

sehingga meningkatkan jumlah bakteri metanogen (Rosmarkam & Yuwono, 2002;

Nguan et al., 2010). Rasio C/N terbesar ada pada sampel Ciherang Konvensional

sebesar 16,2867 % yang menandakan bahwa perlakuan tersebut memiliki potensi

menghasilkan emisi metana tertinggi di umur 84 HST.

4.2 Volatile Fatty Acids (VFA) Parsial Sedimen Perlakuan

Nilai VFA parsial pada media tanam setiap perlakuan memiliki konsentrasi

yang berbeda (Tabel 6). Dari tabel penelitian dapat dilihat bahwa kandungan VFA

total umur 84 HST tertinggi pada sampel Ciherang SRI. Kandungan VFA total

adalah asam asetat, propionat, butirat, iso butirat, valerat dan iso valerat (Lampiran

9), sedangkan VFA parsial hanya asam asetat, propionat dan butirat. VFA parsial

positif mempengaruhi emisi metana, dibandingkan asam-asam organik lainnya

Deublein & Steinhauser, 2008). Setiap perlakuan memiliki konsentarsi VFA total

yaitu Sidenuk SRI (3,29), Sidenuk Konvensional (3,27), Ciherang SRI (4,57) dan

Ciherang Konvensional (4,81) dengan kandungan VFA total tanah awal yaitu 13,9

mM. Teknik SRI akan menghasilkan asam VFA total yang lebih tinggi karena akar

Page 58: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

43

pada teknik SRI lebih sehat yang menghasilkan substrat lebih besar dibandingkan

Konvensional.

Varietas Ciherang memiliki potensi penghasil metana yang lebih banyak

dibandingkan Sidenuk, yang dilihat dari nilai total VFA. Windyasmara, (2015)

menjelaskan bahwa produksi gas tergantung pada produksi VFA, semakin tinggi

VFA total maka semakin tinggi emisi metana yang dihasilkan. Menurunnya

konsentrasi VFA pada umur 84 HST diduga berhubungan dengan penurunan

degradasi bahan organik yang terdapat dalam tanah sawah (Windyasmara, 2015).

Tabel 6. Kadar VFA parsial pada sedimen perlakuan

Sampel

Asam asam VFA parsial (mM) VFA

Total Asetat propionat butirat

Tanah Awal 9,4 2,95 0,53 13,9

Sidenuk SRI

84 HST 2,37 0,23 0,18 3,29

Sidenuk Konvensional

84 HST 2,06 0,51 0,17 3,27

Ciherang SRI

84 HST 2,73 0,79 0,39 4,57

Ciherang Konvensional

84 HST 2,32 1,04 0,37 4,18

Konsentrasi asam butirat lebih rendah dibandingkan asam asetat dan asam

propionat pada setiap sampel, hal ini dikarenakan asam butirat merupakan salah

satu asam organik pertama yang diproduksi dari hasil degradasi bahan organik di

dalam tanah (Al-Saedi, 2008). Kadar asam butirat pada sampel Sidenuk

Konvensonal, Sidenuk SRI, Ciherang Konvensional dan Ciherang SRI berturut-

turut yaitu 0,18; 0,17; 0,39 dan 0,37 mM. Kadar asam butirat pada teknik SRI lebih

tinggi dibandingkan dengan Konvensional baik pada varietas Sidenuk maupun

Page 59: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

44

Ciherang. Hal tersebut karena pada teknik SRI memiliki zona perakaran yang lebih

baik, sehingga akan mengahasilkan eksudat yang lebih banyak dibandingkan

Konvensional, sedangkan varietas Ciherang menghasilkan asam butirat yang lebih

besar dibandingkan varietas Sidenuk. Hal tersebut menandakan jumlah eksudat

akar pada varietas Ciherang lebih banyak dibandingkan Sidenuk. Asam butirat

dapat dijadikan prekursor awal dalam menentukan emisi metana (Rahman et al.,

2013). Akan tetapi besarnya emisi metana tergantung dari konsentrasi asam asetat

yang dihasilkan (Capareda, 2013)

Kandungan asam asetat memiliki kadar yang lebih banyak dibandingkan

asam VFA lainnya, karena hasil semua degradasi substrat akan mengahasilkan

asam asetat pada tahap asetogenesis (Deublein & Steinhauser, 2008). Asam asetat,

CO2 dan H2 digunakan dalam memproduksi metana oleh bakteri metanogen (Yuan

et al., 2014).

2CH3COOH 2CH4 + 2CO2

4H2 + CO2 CH4 + 2H2O

Konsentrasi asam asetat pada sampel Sidenuk Konvensonal, Sidenuk SRI, Ciherang

Konvensional dan Ciherang SRI di umur 84 HST sebesar 2,37; 2,06; 2,73 dan 2,32

mM. Kandungan asam asetat pada tanah awal yaitu 9,4 mM memiliki kandungan

yang lebih besar dibandingkan pada umur 84 HST. Hal tersebut karena, kondisi

tersebut tingkat kandungan substrat tanah masih tinggi dan jumlah bakteri yang

sedikit membuat degradasi yang baru dimulai akan menghasilkan kandungan asam

VFA lebih banyak.

Bakteri metanogen

Bakteri metanogen

Page 60: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

45

Kandungan asam asetat pada sampel yang ditanam dengan teknik SRI lebih

besar dibandingkan teknik konvensional baik pada varietas Ciherang maupun

Sidenuk. Hal tersebut karena pada tanaman padi yang dibudidayakan dengan SRI

menghasilkan substrat perakaran yang lebih banyak. Banyaknya kandungan

substrat akan meningkatkan nutrisi mikroorganisme didalam tanah, sehingga

produk hasil metabolismenya seperti asam asetat akan semakin tinggi

(Windyasmara, 2015). Zona perakaran pada teknik SRI, akan lebih bersifat aerobik

yang menyebabkan bakteri metanogen tidak dapat hidup. Keberadaan bakteri

metanogen yang sedikit, menyebabkan kebutuhan H2 hanya dimanfaatkan oleh

bakteri asetogenik untuk menghasilkan asam asetat (Windyasmara, 2015). Pada

teknik Konvensional, kandungan asam asetat varietas Ciherang lebih besar

dibandingkan Sidenuk yang menandakan bahwa varietas Ciherang berpotensi

menghasilkan emisi metana yang lebih tinggi.

Asam propionat merupakan salah satu jenis asam VFA pasial selain asetat

dan butirat. Asam propionat dihasilkan pada tahap asidogenesis dari perombakan

bahan organik hasil hidrolisis di dalam tanah (Romli, 2010). Konsentrasi asam

propionat pada umur 84 HST sampel Sidenuk Konvensonal, Sidenuk SRI, Ciherang

Konvensional dan Ciherang SRI yaitu 0,23; 0,51; 0,79 dan 1,04 mM. Asam

propionat merupakan kebalikan dari asam asetat, bila kandungan asam asetat kecil

maka konsentrasi asam propionat akan besar. Hal tersebut yang menyebabkan pada

teknik SRI nilai asam propionat lebih rendah dibandingkan Konvensional.

Meningkatnya asam asetat diimbangi dengan menurunnya asam propionat, karena

asam propionat akan terdegradasi menjadi asetat, CO2 dan H2 (Deublein &

Steinhauser, 2008). Renhua et al., (2013) menjelaskan bahwa penghambatan asetat

Page 61: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

46

oleh peningkatan asam propionat dapat menjadi indikasi produksi gas metana yang

lebih rendah.

4.3 Emisi Metana

Emisi metana selama satu musim tanam berbeda pada setiap sampelnya dan

memiliki nilai yang tertinggi pada umur 84 HST (Tabel 7). Variasi metana tidak

hanya dipengaruhi oleh jenis tanah, tetapi cara pengolahan dan varietas tanaman

mempunyai peran penting terhadap emisi metana yang dihasilkan (Panjaitan et al.,

2015). Gas metana dihasilkan dengan bantuan bakteri metanogen dengan

mengubah asam asetat, CO2 dan H2 menjadi metana (Capareda, 2013). Pemberian

pupuk tidak hanya meningkatkan pertumbuhan padi, namun dapat membuat

komposisi bahan organik tanah lebih tinggi, yang secara langsung dapat

meningkatkan emisi metana. Hasil statistik ANOVA menunjukkan bahwa,

perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan nilai emisi metana pada setiap

umurnya (p≤0,05), kecuali minggu ke-2 (p≥0,05) (Lampiran 10). Contoh pada

umur 7 HST, Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional memiliki nilai emisi metana

masing - masing sebesar 1,86 dan 3,66 mg/m2jam. Perubahan umur pada setiap

perlakuan menunjukkan adanya perbedaan nilai emisi metana untuk masing-masing

perlakuan (p≤0,05) (Lampiran 11). Contoh untuk sampel Ciherang SRI pada umur

28 dan 56 HST, nilai emisi metana masing-masig sebesar 8,46 dan 53,59

mg/m2jam. Hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa perlakuan SRI dan

Konvensional pada varietas Sidenuk menghasilkan perbedaan nilai emisi metana

yang signifikan, sedangkan varietas Ciherang tidak menghasilkan perbedaan yang

signifikan (Lampiran 12 dan 13).

Page 62: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

47

Tabel 7. Emisi metana satu musim tanam

Sampel

HST (mg/m2jam) Rata-

rata 0 7 14 28 56 84

Sidenuk SRI 2,52a 1,87 a 35,33 b 11,32 a 34,87 a 47,62 a 22,25

A A B A B B

Sidenuk

Konvensional 2,52 a 3,67 a 50,73 c 6,54 a 60,19 a 65,13 a

31,46

A A B A B B

Ciherang SRI 2,52 a 2,01 a 48,22 bc 8,47 a 53,60 a 67,52 a 30,39

A A BC AB C C

Ciherang

Konvensional 2,52 a 2,47 a 12,09 a 8,65 a 55,29 a 111,67 a

32,11

A A A A B C Keterangan : Angka yang ditandai huruf sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%. Huruf

kecil dibaca ke arah vertikal, huruf besar dibaca ke arah horisontal.

Berdasarkan data emisi metana pada satu musim masa tanam, umur 7 HST

merupakan hasil yang paling rendah. Emisi yang dihasilkan pada umur 7 HST

sudah menghasilkan perbedaan antara teknik SRI dengan Konvensional, dimana

teknik Konvensional menghasilkan emisi yang lebih besar dibandingkan teknik

SRI. Tanah pada teknik SRI bersifat aerobik yang membuat kandungan oksigen

pada tanah ini sedikit lebih tinggi dibandingkan teknik Konvensional (Nguan et al.,

2010). Hal tersebut membuat bakteri metanogen tidak tumbuh, karena bakteri

metanogen akan tumbuh pada zona yang bersifat anaerobik (Yuan et al., 2014;

Singh et al., 2015).

Kenaikan signifikan emisi metana terjadi pada umur 14 HST yang

menyebabkan terdapat perbedaan antara penggunaan varietas dan teknik tanam

terhadap emisi metana yang dilihat berdasarkan uji ANOVA. Hal tersebut terjadi

karena adanya penambahan pupuk pada umur tersebut, yang membuat kandungan

bahan organik dan jumlah mikroorganisme di dalam tanah meningkat. Pupuk sangat

mempengaruhi emisi metana yang dihasilkan (Son et al., 2015), salah satunya

Page 63: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

48

adalah aplikasi pupuk N seperti urea (Gagnon et al., 2011). Pemberian urea selain

menyumbang kadar N untuk pertumbuhan padi dan bakteri, pupuk urea juga

melepaskan CO2 pada proses aminasi (Pramaswari et al., 2011) CO2 merupakan

bahan utama bagi bakteri metanogen dalam pembentukan gas metana sehingga jika

pemberian pupuk N pada sedimen yang bersifat anaerobik, maka jumlah bakteri

metanogen akan meningkat. Masing-masing perlakuan pada 14 HST mempunyai

nilai emisi metana yaitu Sidenuk SRI 35,32; Sidenuk Konvensional 50,73;

Ciherang SRI 48,22 dan Ciherang Konvensional 12,08 mg/m2jam.

Emisi metana pada umur 28, 56 dan 84 HST terus mengalami kenaikan

pada setiap umurnya. Bila dilihat dari pola emisi metana pada satu musim tanam,

umur 28 HST hingga 56 HST mengalami peningkatan emisi metana yang tinggi.

Hal tersebut karena, umur tersebut merupakan fase vegetatif, yaitu fase dimana

tanaman padi dalam tahap anakan maksimum hingga pembentukan malai. Besarnya

tinggi tanaman dan meningkatnya jumlah anakan, akan membuat jalur transportasi

metana akan semakin banyak yang menyebabkan emisi metana akan naik. Pada

umur 84 HST kenaikan emisi metana relatif konstan kecuali pada perlakuan

Ciherang Konvensional. Hal tersebut karena, pada umur 84 HST masuk ke proses

pematangan atau fase generatif. Fase generatif merupakan fase dimana tinggi

tanaman dan jumlah anakan sudah tidak mengalami perubahan. Emisi metana pada

umur 56 HST sebesar 34,86; 60,18; 53,59 dan 55,28 mg/m2jam, sedangkan pada

umur 84 HST yaitu 47,61; 65,12, 67,52 dan 111,67 mg/m2jam untuk masing-

masing sampel Sidenuk SRI, Sidenuk Konvensional, Ciherang SRI dan Ciherang

Konvensional.

Page 64: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

49

Bila dilihat dari jumlah rata-rata emisi metana selama satu musim tanam,

teknik SRI memiliki emisi yang lebih rendah dibandingkan teknik Konvensional

pada semua varietas. Karena pada teknik SRI tanah bersifat aerobik sehingga

bakteri metanogen tidak dapat hidup (Yuan et al., 2014; Singh et al., 2015). Selain

itu, tanah yang banyak mengandung oksigen, juga akan membuat metana mudah

teroksidasi (Lofton et al., 2014; Chen et al., 2014; Nguyen et al., 2015). Teknik SRI

dapat menekan emisi metana hingga 29,27 % pada varietas Sidenuk dan 5,35 %

pada varietas Ciherang. Rata-rata misi metana pada satu musim tanam sebesar

22,25; 31,46; 30,39 dan 32,11 mg/m2jam, untuk masing-masing sampel Sidenuk

SRI, Sidenuk Konvensional, Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional.

Berdasarkan uji t, varietas Sidenuk menghasilkan perbedaan yang

signifikan dalam menghasilkan emisi metana, dibandingkan varietas Ciherang. Hal

tersebut karena, varietas Sidenuk pada teknik SRI lebih kuat saat pindah masa

tanam, sehingga pertumbuhan akar pada varietas Sidenuk lebih baik dibandingkan

Ciherang. Berdasarkan perbedaan varietas dalam satu teknik, emisi metana lebih

tinggi terletak pada varietas Ciherang. Hal ini sesuai dengan nilai rasio C/N dan

VFA total yang dihasilkan, bahwa varietas Ciherang mempunyai nilai yang lebih

besar dibandingkan Sidenuk. Besarnya nilai C/N dan VFA total dapat menghasilkan

emisi metana yang lebih tinggi (Yuan et al., 2014). Hal tersebut karena C organik

dan asam asetat merupakan sumber utama energi bagi bakteri, salah satunya bakteri

metanogen. (Wihardjaka et al., 2012; Yuan et al., 2014; Windyasmara, 2015).

Namun bila dilihat menggunakan data ANOVA (p≤0,05), semua perlakuan kecuali

umur 14 HST tidak adanya perbedaan dalam menghasilkan emisi metana pada satu

musim tanam.

Page 65: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

50

Tidak adanya perbedaan karena semua perlakuan dilakukan secara ex situ.

Metode ini menggunakan media tanah yang di masukkan ke dalam pot, dan diubah

menjadi simulasi tanah sawah. Pot yang digunakan pada semua sampel memiliki

ukuran yang sama, dengan kedalaman tanah yang sama tingginya. Kedalaman tanah

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses metanogenesis dengan

kedalaman optimum pada 30 cm (Bednarik et al.,2015). Keterbatasan volume tanah

yang dibatasai oleh pot, membuat akar dari varietas padi Sidenuk dan Ciherang

yang ditanam dengan teknik SRI maupun Konvensional memiliki kedalaman yang

sama, sehingga emisi metana yang dihasilkan pada setiap perlakuan tidak memiliki

perbedaan signifikan. Panjaitan et al., (2015) menjelaskan bahwa sifat fisiologis

dan morfologis suatu varietas mempengaruhi besarnya emisi metana. Akan tetapi,

varietas Sidenuk dan Ciherang merupakan varietas unggul yang memiliki tinggi dan

jumlah anakan yang hampir sama, sehingga tidak ada perbedaan dalam

menghasilkan emisi metana pada kedua varietas yang ditanam secara ex situ ketika

diuji dengan ANOVA (P>0,05)

Emisi metana ditentukan oleh dua proses mikroorganisme yang berbeda,

yaitu produksi metana oleh bakteri metanogen dan konsumsi metana oleh bakteri

metanotrof (Nonci et al., 2015). Bakteri metanotrof merupakan bakteri

pengkonsumsi metana (Krause et al., 2010) yang bersifat aerobik (A. Hu & Lu,

2015). Bakteri metanotrof menjadikan metana untuk menghasilkan sumber karbon

dan sumber energi (Chen et al., 2014; Nguyen et al., 2015). Hal tersebut sesuai

dengan hasil metana pada umur 56 dan 84 HST, dimana sampel Sidenuk ataupun

Ciherang yang ditanam dengan teknik SRI memiliki nilai emisi metana yang lebih

rendah dibandingkan dengan teknik Konvensional.

Page 66: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

51

4.4 Kondisi Setelah Masa Panen

4.4.1 Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan

Pertumbuhan tanaman padi terus meningkat dan konstan dimulai umur tanam

28 hingga 84 HST (Gambar 7). Hasil statistik ANOVA memperlihatkan bahwa,

masing-masing perlakuan menunjukkan adanya perbedaan dalam menghasilkan

tinggi tanaman pada setiap umur tanam (p≤0,05) (Lampiran 14). Perubahan tinggi

pada setiap umur tanam, juga menunjukkan adanya perbedaan pada masing-masing

perlakuan (p≤0,05) (Lampiran 15). Hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa

perlakuan SRI dan Konvensional baik pada padi Sidenuk dan Ciherang

mengahasilkan perbedaan nilai tinggi tanaman yang signifikan (Lampiran 16 dan

17).

Gambar 9. Tinggi tanaman padi varietas Sidenuk dan Ciherang

Pertumbuhan tinggi tanaman didapatkan hasil bahwa, pada umur 7 hingga

42 HST setiap perlakuan mengalami peningkatan. Hal ini karena tanaman padi

masuk pada fase pertumbuhan dan kemudian stabil di umur 49 hingga minggu 84

HST, yang merupakan fase pematangan. Lita et al., (2013) memaparkan bahwa

tanaman padi menghasilkan tinggi tanaman yang berbeda nyata pada umur 14

hingga 49 HST dan tidak berpengaruh nyata pada 63 dan 84 HST. Teknik

0

20

40

60

80

100

120

140

7 14 21 28 35 42 49 56 63 84

Tin

ggi

tanam

an (

cm)

HST

Sidenuk SRI (A) Sidenuk Konvensional (B) Ciherang SRI (C) Ciherang Konvensional (D)

Page 67: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

52

Konvensional memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan teknik SRI,

karena pada teknik SRI pada masa pindah tanam, tumbuhan masih menyesuaikan

kondisi lingkungan yang baru, sehingga pertumbuhannya sedikit terhambat.

Varietas Sidenuk memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan

Ciherang (Suprihatno et al., 2010). Tinggi tanaman akan mempengaruhi emisi

metana, karena semakin tinggi tumbuhan akan memperbesar bentuk aerenkim pada

tanaman padi. Arenkim merupakan jalur lepasnya metana dari dalam tanah ke udara

(Sharkey et al., 2012). Selain tinggi tanaman, emisi metana juga dipengaruhi oleh

jumlah anakan yang secara langsung meningkatkan aerenkim pada tumbuhan padi.

Jumlah anakan, mengalami peningkatan pada setiap minggunya dengan

teknik SRI yang memiliki jumlah lebih banyak dibandingkan Konvensional

(Gambar 8). Hasil statistik ANOVA menunjukkan bahwa, perlakuan mengalami

perbedaan dalam menghasilkan jumlah anakan pada setiap umur tanam (p≥0,05),

kecuali di umur 28 HST (p≤0,05) (Lampiran 18). Perubahan jumlah anakan setiap

umur tanam, juga menunjukkan adanya perbedaan pada masing-masing perlakuan

(p≤0,05) (Lampiran 19). Hasil statistik uji-t menunjukkan bahwa perlakuan SRI dan

Konvensional baik pada padi Sidenuk dan Ciherang mengahasilkan perbedaan nilai

emisi metana yang signifikan (Lampiran 20 dan 21).

Gambar 10. Jumlah anakan varietas Sidenuk dan Ciherang

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

7 14 28 28 35 42 49 56 63 84

Jum

lah

an

akan

HSTSidenuk SRI Sidenuk Konvensional Ciherang SRI Ciherang Konvensional

Page 68: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

53

Jumlah anakan pada teknik SRI baik untuk varietas Sidenuk maupun Ciherang

mempunyai jumlah yang paling banyak dibandingkan teknik konvensional (Lita et

al., 2013). Banyaknya jumlah anakan pada teknik SRI karena pada sistem budidaya

SRI, tanaman padi mampu menghasilkan pertumbuhan akar yang lebih baik dan

lebih sehat, serta menghasilkan anakan yang lebih banyak (Uphoff et al., 2009).

Jumlah benih yang ditanam pada teknik SRI hanya 1 anakan, sehingga tidak terjadi

perebutan nutrisi pada simulasi tanah sawah. Berbeda dengan teknik konvensional,

dimana jumlah benih yang ditanam berjumlah 3 anakan. Banyaknya nutrisi yang

digunakan oleh tanaman padi pada teknik SRI, menyebabkan pertumbuhan akar

dan jumlah anakan yang besar (Thiyagarajan & Gujja, 2012)

4.4.2 Nilai C-Organik, Nitrogen, Fosfor Padi Gabah dan Jerami

Tumbuhan padi akan mengalami masa panen setelah masuk fase generatif.

Jerami dan gabah merupakan salah satu bagian padi yang dimanfaatkan setalah

masa panen. Gabah dan jerami memiliki kadar air sebesar 19,56 dan 15%

(Oktavianty & Wildian, 2016; Aprintasari et al., 2012). Pada masa panen dilakukan

pengukuran kadar C jerami, C gabah, P (fosfor) jerami, P gabah, N jerami dan N

gabah yang memiliki perbedaan nilai pada setiap sampelnya (Tabel 8). Kadar C

organik, P dan N merupakan nutrisi penting yang dibutuhkan tanaman padi untuk

memenuhi kebutuhan bagi pertumbuhan atau perkembangan tumbuhan.

Page 69: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

54

Tabel 8. Jumlah biji tanaman padi pada 5 malai, kadar C jerami, C gabah, P

gabah, P jerami, N jerami dan N gabah

Sampel C organik (%) Fosfor (%) Nitrogen (%)

Jerami gabah jerami Gabah Jerami gabah

Sidenuk SRI 10,19 10,26 5,07 8,87 1,95 1,37

Sidenuk

Konvensional 10,50 11,28 5,31 9,72 1,08 1,25

Ciherang SRI 10,36 10,73 5,42 8,42 1,61 1,32

Ciherang

Konvensional 9,73 9,80 4,77 9,32 1,56 0,99

Kandungan C organik jerami pada setiap perlakuan Sidenuk SRI, Sidenuk

Konvensional, Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional masing-masing adalah

10,19; 10,50; 10,36 dan 9,73% sedangkan kadar C organik pada gabah yaitu 10,26;

11,28; 10,73 dan 9,80%. Jerami ataupun gabah merupakan salah satu bagian

tanaman padi dengan kandungan mineral yang cukup tinggi. Menurut (Sitepu et al.,

2017) komponen utama jerami padi adalah selulosa, hemiselulosa, lignin serta

protein dalam jumlah kecil. Senyawa tersebut bila dilakukan pengujian kadar C

organik, memiliki nilai yang cukup tinggi. Pane et al., (2014) menjelaskan bahwa

kandungan C organik jerami dapat mencapai sekitar 7,2%. Hasil C organik tidak

menghasilkan perbedaan yang signifikan pada perbandingan jenis varietas maupun

teknik tanam, namun Sidenuk Konvensional memiliki kandungan C organik yang

lebih tinggi baik dari gabah ataupun jerami, karena varietas Sidenuk mempunyai

pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan Ciherang.

Selain C organik, unsur P merupakan nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh

tumbuhan karena P berguna sebagai batas antara pertumbuhan dengan

perkembangan. (Aisyah et al., 2010). Perlakuan A, B, C dan D menghasilkan

Page 70: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

55

kandungan pada gabah padi yaitu 8,87; 9,72; 8,42 dan 9,32 %. Kadar kesemua

sampel memiliki hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan data Aisyah et al.,

(2010), bahwa pemberian pupuk P dengan takaran rekomendasi dapat

menghasilkan kandungan pada gabah yaitu 10,54 %. Kandungan P pada gabah lebih

banyak dibandingkan jerami. Hal ini karena, peran P yang membantu pembentuk

bulir dan gizi gabah menjadi lebih baik (Aisyah et al., 2010). Kandungan P jerami

pada sampel A, B, C dan D yaitu 5,07; 5,31; 5,42 dan 4,77 %. Hasil tersebut lebih

kecil dibandingkan data Aisyah et al., (2010), yaitu 0,57 %. Hal tersebut karena

tanaman padi pada semua sampel belum masuk masa panen secara sempurna.

Seperti pada C organik, hasil analisa P jerami juga tidak memiliki perbedaan

yang signifikan terhadap perbedaan varietas maupun teknik tanam. Namun pada P

gabah, teknik Konvensional memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan

SRI. Hal tersebut karena pada nilai rasio C/N sistem Konvensional memiliki

konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan SRI. Rasio C/N mempengaruhi jumlah

mikroorganisme didalam tanah, sehingga bakteri pelarut P lebih banyak terjadi pada

teknik Konvensional. Varietas Sidenuk mempunyai konsentrasi P yang lebih tinggi

dibandingkan Ciherang. Hal tesebut karena varietas Sidenuk memiliki waktu masa

tanam yang lebih sebentar, sehingga penyerapan P gabah lebih cepat pada varietas

Sidenuk dibandingkan Ciherang.

Selain C dan P, serapan N juga mempunyai peranan penting bagi tanaman

padi, yaitu mendorong pertumbuhan tanaman dengan cepat (Suharno et al., 2007;

Patti et al., 2013) Kadar N pada semua sampel A, B, C dan D baik dari jerami

maupun gabah pada masing-masing sampel yaitu 1,95; 1,08; 1,61 dan 1,56 %

sedangkan untuk sampel gabah yaitu 1,37; 1,25; 1,32 dan 0,99 %. Konsentrasi N

Page 71: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

56

pada semua perlakuan baik gabah atau jerami, memiliki kandungan yang sesuai

dengan data Patti et al., (2013) yang mejelaskan bahwa tanaman hanya mampu

menyerap unsur N dari tanah sekitar 19 – 47%, dan kadar N rata-rata dalam jaringan

tanaman adalah 2 – 4% dari berat kering.

Konsentrasi N pada teknik SRI lebih tinggi dibandingkan Konvensional baik

pada varietas Ciherang maupun Sidenuk. Hal ini disebabkan bahwa, SRI

menghasilkan zona akar yang lebih besar dan lebih sehat, sehingga penyerapan N

akan lebih banyak. Selain itu, teknik SRI menghasilkan zona akar yang banyak

mengandung oksigen, sehingga hasil degradasi bahan organik tanah lebih banyak

dimanfaatkan oleh bakteri aerobik, seperti bakteri amonifikasi dan nitrifikasi (Hink

et al., 2016). Sedangkan berdasarkan varietas, Sidenuk menghasilkan penyerapan

yang lebih tinggi karena pertumbuhan tanaman varietas Sidenuk lebih tinggi

dibandingkan Ciherang.

Page 72: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

57

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

1. Emisi gas metana rata rata pada varietas Sidenuk teknik SRI dan Konvensional

adalah 22,54 dan 31,46 mg/m2jam, sedangkan untuk varietas Ciherang teknik

SRI dan Konvensional yaitu 30,39 dan 32,11 mg/m2jam.

2. Emisi gas metana pada media tanam yang dibudidayakan dengan teknik SRI

dapat menekan emisi sebesar 29,27 % pada varietas Sidenuk dan 5,35 % pada

varietas Ciherang.

3. Emisi metana dipengaruhi oleh rasio C/N dan VFA total, sedangkan pH, suhu,

C, N, tinggi tanaman dan jumlah anakan tidak mempengaruhi emisi metana

pada umur tanam yang sama.

5.2 Saran

Emisi metana sangat berpengaruh terhadap bakteri metanogen. Agar lebih

optimal maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang mempelajari karakteristik

bakteri metanogen pada tanah sawah secara ex situ, baik menggunakan teknik SRI

maupun Konvensional

Page 73: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

58

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah D, Suyono AD & Citraresmini A. (2010). Komposisi Kandungan Fosfor

Pada Tanaman Jagung Sawah (Oryza sativa L.) Berasal Dari Pupuk P dan

Bahan Organik., 12(3), 126–135.

Anitha K & Bindu G. (2016). Effect of Controlled-release Nitrogen Fertilizer on

Methane Emission from Paddy Field Soil. Procedia Technology, 24, 196–202.

Agus F, Sulaeman, Suparto & Eviati. (2005). Petunjuk Teknis Analisis Kimia

Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Jakarta: Balai Penelitian Tanah, BPPT,

Departemen Pertanian.

Al Saedi. (2008). Biogas Handbook. Denmark : University of Southern Denmark

Esbjerg, Niles Bohrs

Aprintasari R, Sutrisno CL & Tampoeboelon. (2012). Uji Total Fungi Dan

Organoleptik Pada Jerami Padi Dan Jerami Jagung Yang Difermentasi Dengan

Isi Rumen Kerbau. Animal Agriculture Journal, 1(2), 311–321.

Bachruddin Z. (1996). Pengukuran pH dan Asam Lemak Terbang (Volatile Fatty

Acid – VFA) Cairan Rumen dengan Gas Khromatografi (Kursus Singkat

Teknik Evaluasi Pakan Ruminansia). Fakultas Peternakan. UGM.

Yogyakarta.

Basu A, ( 2013). An Analysis of The Global Atmospheric Methane Budget

Under Different Climates. Jülich: Forschungszentrum Jülich.

Bednařík A, Čáp L, Maier V & Rulík M. (2015). Contribution of Methane Benthic

and Atmospheric Fluxes of an Experimental Area (Sitka Stream). Clean - Soil,

Air, Water, 43(8), 1136–1142.

Begum N, Guppy C, Herridge D & Schwenke G. (2014). Influence of source and

quality of plant residues on emissions of N2O and CO2 from a fertile, acidic

Black Vertisol. Biology and Fertility of Soils, 50(3), 499–506.

Borrel G, Jézéquel D, Biderre-Petit C, Morel-Desrosiers N, Morel JP, Peyret P,

Fonty G. Lehours, AC. (2011). Production and consumption of methane in

freshwater lake ecosystems. Research in Microbiology, 162(9), 833–847.

Bouman BAM, Peng S, Castañeda AR & Visperas RM. (2005). Yield and water

use of irrigated tropical aerobic rice systems. Agricultural Water Management,

74(2), 87–105.

Breidenbach B & Conrad R. (2014). Seasonal dynamics of bacterial and archaeal

methanogenic communities in flooded rice fields and effect of drainage.

Frontiers in Microbiology, 5(DEC), 1–17.

Page 74: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

59

Bridgham SD, Cadillo-Quiroz H, Keller JK & Zhuang Q. (2013). Methane

emissions from wetlands: Biogeochemical, microbial, and modeling

perspectives from local to global scales. Global Change Biology, 19(5), 1325–

1346.

Campbell MK & Farrell SO. 2015. Biochemistry 8th Edition. USA: Delmar

Cengage.

Capareda SS. 2013. Introduction to Biomass Energy Conversions. New York: CRC

Press.

Carballa M, Regueiro L & Lema JM. (2015). Microbial management of anaerobic

digestion: Exploiting the microbiome-functionality nexus. Current Opinion in

Biotechnology, 33, 103–111.

Chen R, Wang Y, Wei S, Wang W, & Lin X. (2014). Windrow composting

mitigated CH4emissions: Characterization of methanogenic and

methanotrophic communities in manure management. FEMS Microbiology

Ecology, 90(3), 575–586.

Cheng J. (2009). Biomass to Renewable Energy Processes. New York: CRC Press

Cobena AS, Marco GS, Quemada M, Gabriel JL, Almendros P & Vallejo A. (2014).

Do Cover Crops Enhance N2O, CO2 or CH4 Emissions From Soil In

Mediterranean Arable Systems. Science of The Total Environment 466–467,

164-174

Conrad R. (2007). Microbial Ecology of Methanogens and Methanotrophs.

Advances in Agronomy, 96(07), 1–63.

Das K & Baruah KK. (2008). A comparison of growth and photosynthetic

characteristics of two improved rice cultivars on methane emission from

rainfed agroecosystem of northeast India. Agriculture, Ecosystems and

Environment, 124(1–2), 105–113.

Day RA & Underwood AL. (1996). Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi ke-empat.

Erlangga : Jakarta. Hal. 390

Damanik MMB, Hasibuan BE, Fauzi, Sarifuddin & Hanum H. (2010). Kesuburan

Tanah dan Pemupukan. USU Press. Medan.

Deublein D, Steinhauser A. (2008). Biogas From Waste And Renewable Resources.

Morlenbach: WILEY-VCH

Dubey SK. (2005). Microbial ecology of methane emission in rice agroecosystem:

A review. Applied Ecology and Environmental Research, 3(2), 1–27.

Eskawidi MR, Anggarwulan E & Solichatun. (2005). Pengaruh Vermikompos

terhadap Kadar Nitrogen Tanah , Aktivitas Nitrat Reduktase dan Pertumbuhan

Caisin ( Brassica rapa L . cv . caisin ). BioSMART, 7(April), 32–36.

Estiati A & Herman DM. (2015). Regulasi keamanan hayati produk rekayasa

genetik di indonesia. Analisis Kebijakan Pangan, 13(2), 129–146.

Page 75: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

60

Ettwig KF, Butler MK, Le Paslier D, Pelletier E, Mangenot S, Kuypers MMM, …

Strous M. (2010). Nitrite-driven anaerobic methane oxidation by oxygenic

bacteria. Nature, 464(7288), 543–548.

Ferry JG. (2010). The chemical biology of methanogenesis. Planetary and Space

Science, 58(14–15), 1775–1783.

Gagnon B, Ziadi N, Rochette P, Chantigny MH & Angers DA. (2011). Fertilizer

Source Influenced Nitrous Oxide Emissions from a Clay Soil under Corn. Soil

Science Society of America Journal, 75(2), 595.

Hardjowigeno S & Rayes L. (2005). Tanah Sawah. Malang. Bayumedia Publishing

Han X, Sun X, Wang C, Wu M, Dong D, Zhong T, … Wu W. (2016). Mitigating

methane emission from paddy soil with rice-straw biochar amendment under

projected climate change. Scientific Reports, 6(April), 1–10.

Handayani F, Maideliza T & Mansyurdin. (2013). The study of root aerenchyma

development of wetland and upland paddy on nursery stage by flooding

treatment. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.), 2(2), 145–152.

Helmi. (2015). Peningkatan Produktivitas Padi Lahan Rawa Lebak Melalui

Penggunaan Varietas Unggul Padi Rawa. Jurnal Pertanian Tropik, 2(2), 78–

92.

Helrich K. (1990). Official Methods of Association of Official Analytical Chemist.

Edisi ke-15. Arlington: Virginia USA

Hink L, Nicol GW & Prosser JI. (2016). Archaea produce lower yields of N2O than

bacteria during aerobic ammonia oxidation in soil. Environmental

Microbiology, 19(12), 4829–4837.

Hu A & Lu Y. (2015). The differential effects of ammonium and nitrate on

methanotrophs in rice field soil. Soil Biology and Biochemistry, 85, 31–38.

Hu X, Liu L, Zhu B, Du E, Hu X, Li P, … Fang J. (2016). Asynchronous responses

of soil carbon dioxide, nitrous oxide emissions and net nitrogen mineralization

to enhanced fine root input. Soil Biology and Biochemistry, 92, 67–78.

Huang Y, Wang H, Huang H, Feng ZW, Yang ZH & Luo YC. (2005).

Characteristics of methane emission from wetland rice-duck complex

ecosystem. Agriculture, Ecosystems and Environment, 105(1–2), 181–193.

Husny Z. (2010). Fluks Gas Metan (Ch4) Pada Budidaya Padi Secara System Of

Rice Intensification Dan Konvensional Pada Sawah Pasang Surut, Lebak Dan

Beririgasi. Jur. Agroekotek, 2(2), 38–45.

Indrawan M, Primack RB & Supriatna J. (2007). Biologi Konservasi. Jakarta:

Buku Obor.

Islam SFU, Van Groenigen JW, Jensen LS, Sander BO & de Neergaard A. (2018).

The effective mitigation of greenhouse gas emissions from rice paddies

without compromising yield by early-season drainage. Science of the Total

Environment, 612, 1329–1339.

Page 76: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

61

Joye SB. (2012). Microbiology: A piece of the methane puzzle. Nature, 491(7425),

538–539.

Kementerian Lingkungan Hidup. (2009). Summary for Policy Makers: Indonesia

Second National Communication Under The United Nation Framework

Convention on Climate Change (UNFCCC). Jakarta.

Kerdchoechuen O. (2005). Methane emission in four rice varieties as related to

sugars and organic acids of roots and root exudates and biomass yield.

Agriculture, Ecosystems and Environment, 108(2), 155–163.

Khopkar SM. (2003). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : Universitas Indonesia

Pers

Kim SY, Gutierrez J & Kim PJ. (2012). Considering winter cover crop selection as

green manure to control methane emission during rice cultivation in paddy

soil. Agriculture, Ecosystems and Environment, 161, 130–136.

Knief C. (2015). Diversity and habitat preferences of cultivated and uncultivated

aerobic methanotrophic bacteria evaluated based on pmoA as molecular

marker. Frontiers in Microbiology, 6(DEC).

Kodoatie RJ, Sjarief R. (2010). Tata Ruang Air. Yogyakarta: ANDI.

Krause S, Lüke C & Frenzel P. (2010). Succession of methanotrophs in oxygen-

methane counter-gradients of flooded rice paddies. ISME Journal, 4(12),

1603–1607.

Lai DYF. (2009). Methane Dynamics in Northern Peatlands: A Review.

Pedosphere, 19(4), 409–421.

Leba, MAU. 2017. Buku Ajar Ekstraksi dan Real Kromatografi. CV BUDI

UTAMA. yogyakarta

Levy PE, Mobbs DC, Jones SK, Milne R, Campbell C & Sutton MA. (2007).

Simulation of fluxes of greenhouse gases from European grasslands using the

DNDC model. Agriculture, Ecosystems and Environment, 121(1–2), 186–192.

Li D, Liu M, Cheng Y, Wang D, Qin J, Jiao J, … Hu F. (2011). Methane emissions

from double-rice cropping system under conventional and no tillage in

southeast China. Soil and Tillage Research, 113(2), 77–81.

Lita TN, Soekartomo S & Guritno B. (2013). Pengaruh perbedaan sistem tanam

terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi ( Oryza Sativa L) di lahan

sawah. JURNAL PRODUKSI TANAMAN, 1(4), 361–368.

Liu S, Feng X, & Li X. (2017). Bioelectrochemical approach for control of methane

emission from wetlands. Bioresource Technology, 241(June), 812–820.

Liu Y, Liu X, Cheng K, Li L, Zhang X, Zheng J, … Pan G. (2016). Responses of

methanogenic and methanotrophic communities to elevated atmospheric

Co2and temperature in a paddy field. Frontiers in Microbiology, 7(NOV), 1–

14.

Page 77: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

62

Liu Y & Whitman WB. (2008). Metabolic, phylogenetic, and ecological diversity

of the methanogenic archaea. Annals of the New York Academy of Sciences,

1125, 171–189.

Lofton DD, Whalen SC & Hershey AE. (2014). Effect of temperature on methane

dynamics and evaluation of methane oxidation kinetics in shallow Arctic

Alaskan lakes. Hydrobiologia, 721(1), 209–222.

Lüke C, Krause S, Cavigiolo S, Greppi D, Lupotto E & Frenzel P. (2010).

Biogeography of wetland rice methanotrophs. Environmental Microbiology,

12(4), 862–872.

Ma K & Lu Y. (2011). Regulation of microbial methane production and oxidation

by intermittent drainage in rice field soil. FEMS Microbiology Ecology, 75(3),

446–456.

Marhan S, Auber J & Poll C. (2015). Additive effects of earthworms, nitrogen-rich

litter and elevated soil temperature on N2O emission and nitrate leaching from

an arable soil. Applied Soil Ecology, 86(3), 55–61.

Madigan MT, Martinko JM & Parker J. 2000. Brock Biology of Microorganisms.

Ed Ke 49. New Jersey (US) : Prentice Hall

Minamikawa K, Tokida T, Sudo S, Padre A & Yagi K. (2015). Guidelines for

Measuring CH4 and N2O Emissions From Rice Paddies By a Manually

Operated Closed Chamber Method. National Institute for Agro-Evironmental

Science, Japan

Nguan TS, Gypmantasiri G, Boonkerd N, Thies JE & Teaumroong N. (2010).

Changes in Bacterial Community Composition in the System of Rice

Intensification (SRI) in Chiang Mai, Thailand. Microbes and Environments,

25(3),

Nguyen SG, Guevarra RB, Kim J, Ho CT, Trinh MV & Unno T. (2015). Impacts

of Initial Fertilizers and Irrigation Systems on Paddy Methanogens and

Methane Emission. Water, Air, and Soil Pollution, 226(9).

Nouchi I. (1992). Mechanism of CH4 Transport Through Rice Plants. CH4 and N2O

Workshop. National Instirute of Agro-Environmental Science, Tsukuba,

Japan

Nonci M, Baharuddin, Rasyid B & Pirman. (2015). Seleksi Bakteri Methanotrof (

Pereduksi Emisi Gas Metan Di Lahan Sawah ) Berdasarkan Aktivitas Enzim

Methan. Ilmu Lingkungan, 13(2), 86–91.

Oktavianty NU & Wildian. (2016). Rancang Bangun Alat Ukur dan Indikator Kadar

Air Gabah Siap Giling Berbasis Mikrokontroler dengan Sensor Fotodioda.

Jurnal Fisika Unand, 5(1), 94–100.

Okubo T, Tokida T, Ikeda S, Bao Z, Tago K, Hayatsu M, … Minamisawa K.

(2014). Effects of Elevated Carbon Dioxide, Elevated Temperature, and Rice

Growth Stage on the Community Structure of Rice Root–Associated Bacteria.

Microbes and Environments, 29(2), 184–190.

Page 78: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

63

Oliver JE. (2008). Encyclopedia of World Climatology. Heidelberg: Springer

Pambudi A, Susanti & Priambodo TW. (2017). Isolasi Dan Karakterisasi Bakteri

Tanah Sawah Di Desa. Al-Kauniyah; Journal of Biology, 10(2), 105–113.

Pane MA, Damanik MMB & Sitorus B. (2014). Pemberian Bahan Organik Kompos

Jerami Padi Dan Abu Sekam Padi dalam Memperbaiki Sifat Kimia Tanah

Ultisol Serta Pertumbuhan Tanaman Jagung. Jurnal Online Agroekoteknologi

., 2(2337), 1426–1432.

Panjaitan E, Indradewa D, Martono E & Sartohadi J. (2015). Sebuah dilema

pertanian organik terkait emisi metan. Jurnal Manusia Dan Lingkungan,

22(1), 66–72.

Pardosi E, Jamilah & Lubis KS. (2013). Kandungan Bahan Organik Dan Beberapa

Sifat Fisik Tanah Sawah Pada Pola Tanam Padi-Padi Dan Padi Semangka.

Jurnal Online Agroekoteknologi, 1(3), 429–439.

Patti PS, Kaya E & Silahooy C. (2013). Analisis Status Nitrogen Tanah Dalam

Kaitannya Dengan Serapan N Oleh Tanaman Padi Sawah Di Desa Waimital,

Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat. Agrologia, 2(1), 51–58.

Pramaswari IAA, Putra AAB & Suyasa IWB. (2011). Kombinasi Bahan Organik

(Rasio C:N) Pada Pengolahan Lumpur (Sludge) Limbah Pencelupan. Jurnal

Kimia, 5(1), 64–71.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. (2006). Varietas Unggul

Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Bogor.

Puspitasari FD, Shovitri M & Uswytasari NDK. (2012). Isolasi dan Karakterisasi

Bakteri Aerob. Sains Dan Seni ITS, 1(1), 3–6.

Rahman MM, Salleh MAM, Sultana N, Kim MJ & Ra CS. (2013). Estimation of

total volatile fatty acid (VFA) from total organic carbons (TOCs) assessment

through in vitro fermentation of livestock feeds. African Journal of

Microbiology Research, 7(15), 1378–1384.

Rao DG, Senthilkumar R, Byrne JA & Feroz S. (2013). Wastewater Treatment:

Advanced Processes and Technologies. New York: CRC Press.

Raven PH, Hassenzahl DM & Berg LR. ( 2012). Environment 8th Edition. USA:

Wiley.

Renhua N, Dong R, Zhu Z & Chen YHX. (2013). Effects of Forage Type and

Dietary Concentrate to Forage Ratio on Methane Emissions and Rumen

Fermentati. Transactions of the ASABE, 56, 1115–1122.

Reay D S, Hewitt N, Smith KA & Grace J. (2007). Greenhouse Gas Sinks.

Wallingford: CABI.

Rosmarkam A & Yuwono NW. (2002). Ilmu Kesuburan Tanah. KANISIUS.

Yogyakarta

Page 79: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

64

Romli M. (2010). Teknologi Penanganan Limbah Anaerobik. Bogor: TML

Publikasi

Sari R & Prayudyaningsih R. (2015). Rhizobium: Pemanfaatannya Sebagai Bakteri

Penambat Nitrogen. Info Teknis EBONI, 12(1), 51–64.

Scheller S, Yu H, Chadwick GL, McGlynn SE, Orphan V. . (2016). Artificial

Electron Acceptors Decouple Archaeal Methane Oxidation from Sulfate

Reduction. Science, 351(6274), 1754–1756.

Sharkey TD, Holland EA & Mooney HA. (2012). Trace Gas Emissions by Plants.

San Diego: Academic Press

Singh B, Bauddh K & Bux F. (2015). Algae and Environmental Sustainability. New

Delhi: Springer.

Singh SN. (2009). Environmental Science and Engineering. Climate Change and

Crops. Springer

Sitepu RB, Anas I & Djuniwati S. (2017). Pemanfaatan Jerami Sebagai Pupuk

Organik Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Dan Produksi Padi (Oryza

Sativa), Buletin Tanah dan Lahan, 1(1), 100–108.

SNI 03-6787-2002 Metode pengujian pH tanah dengan alat pH meter

SNI 06-6989.23-2005 Air dan air limbah - Bagian 23: Cara uji suhu dengan

termometer

Son G, Nguyen RB, Guevarra JK, Cuong T, Ho MV & Tatsuya U. (2015). Impacts

of Initial Fertilizers and Irrigation Systems on Paddy Methanogens and

Methane Emission. Water Air Soil Pollut 226: 309

Stoop WA, Adam A & Kassam A. (2009). Comparing rice production systems: A

challenge for agronomic research and for the dissemination of knowledge-

intensive farming practices. Agricultural Water Management, 96(11), 1491–

1501.

Sudarmadji S, Haryono B & Suhardi. (1996). Analisa Bahan Makanan dan

Pertanian. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta

Suharno, Mawardi I, Setiabudi, Lunga N & Tjitrosemito S. (2007). Nitrogen–use

efficiency in different vegetation type at Cikaniki Research Station, Halimun-

Salak Mountain National Park, West Java. Biodiversitas, Journal of Biological

Diversity, 8(4), 287–294.

Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Behaki, Suprihatno, Setyono A, Indrasari SD,

Wardana IP & Sembiring H. (2010). Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi. Subang

Suriawiria U. (2008). Mikrobiologi Air. Bandung: PT ALUMNI.

Page 80: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

65

Susilokarti D. (2007). Konservasi Air dalam Menanggulangi Kelangkaan Air

Sebagai Upaya Adaptasi Perubahan Iklim. Departemen Pertanian. Jakarta.

Tjitrosoempomo G. (2004). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta

Sukmawati, Rusmana I & Mubarik NR. (2016). The effectiveness of

methanotrophic bacteria and Ochrobactrum anthropi to reduce CH4 and N2O

emissions and to promote paddy growth in lowland paddy fields. Malaysian

Journal of Microbiology, 12(1), 50–55.

Tang HM, Xiao XP, Tang WG, Wang K, Sun JM, Li WY & Yang GL. (2014).

Effects of winter cover crops straws incorporation on CH4 and N2O emission

from double-cropping paddy fields in southern China. PLoS ONE, 9(10).

Timmis, Kenneth N, McGenity, Terry J, Meer VD. Roelof J, Lorenzo D & Victor.

(2010). Handbook of Hydrocarbon and Lipid Microbiology-Taxonomy of

Methanogens. Springer-Verlag, Heidelberg. 549-558

Uphoff N, Anas I, Rupela OP, Thakur AK & Thiyagarajan TM. (2009). Learning

about positive plant-microbial interactions from the System of Rice

Intensification (SRI). Aspects of Applied Biology, (98), 29–53.

Ussiri D & Lal R. (2012). Soil Emission of Nitrous Oxide and Its Mitigation.

Heidelberg: Springer.

Vaksmaa A, Guerrero-Cruz S, van Alen TA, Cremers G, Ettwig KF, Lüke C &

Jetten MSM. (2017). Enrichment of anaerobic nitrate-dependent

methanotrophic ‘Candidatus Methanoperedens nitroreducens’ archaea from an

Italian paddy field soil. Applied Microbiology and Biotechnology, 101(18),

7075–7084.

Wang C, Jin Y, Ji C, Zhang N, Song M, Kong D, … Pan G. (2018). An additive

effect of elevated atmospheric CO2and rising temperature on methane

emissions related to methanogenic community in rice paddies. Agriculture,

Ecosystems and Environment, 257(January), 165–174.

Watanabe A, Yamada H & Kimura M. (2005). Analysis of temperature effects on

seasonal and interannual variation in CH4emission from rice-planted pots.

Agriculture, Ecosystems and Environment, 105(1–2), 439–443.

Watanabe T, Kimura M & Asakawa S. (2010). Diversity of methanogenic archaeal

communities in Japanese paddy field ecosystem, estimated by denaturing

gradient gel electrophoresis. Biology and Fertility of Soils, 46(4), 343–353.

Widarti BN, Wardhini WK & Sarwono E. (2015). Pengaruh Rasio C/N Bahan Baku

Pada Pembuatan Komppos Dari Kubis Dan Kulit Pisang. Integrasi Proses,

5(2), 77.

Wihardjaka A, Tandjung SD, Sunarminto BH & Sugiharto E. (2012). Methane

Emission From Direct Seeded Rice Under the Influences of Rice Straw and

Nitrification Inhibitor, (Sahrawat 2004).

Page 81: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

66

Wihardjaka A. (2015). Mitigation of Methane Emission Through Lowland

Management. Journal Litbang Pertanian, 32(2), 95–104.

Windyasmara L. (2015). Pengaruh jenis kotoran ternak sebagai substrat dan

penambahan serasah daun jati (. Buletin Peternakan, 39(3), 199–204.

Xiao Y, Zhang F, Li Y, Li T, Che Y & Deng S. (2018). Influence of winter crop

residue and nitrogen form on greenhouse gas emissions from acidic paddy soil.

European Journal of Soil Biology, 85(October 2017), 23–29.

Xu S, Jaffé PR & Mauzerall DL. (2007). A process-based model for methane

emission from flooded rice paddy systems. Ecological Modelling, 205(3–4),

475–491.

Yamin F. (2012). Climate Change and Carbon Markets: A Handbook of Emissions

Reduction Mechanisms. New York: Routledge.

Yoshida S. (1981). Fundamental of Rice Crop Science. IRRI, Los Banos,

Philippines.

Yuan Q, Pump J & Conrad R. (2014). Straw application in paddy soil enhances

methane production also from other carbon sources. Biogeosciences, 11(2),

237–246.

Yun J, Yu Z, Li K & Zhang H. (2013). Diversity, abundance and vertical

distribution of methane-oxidizing bacteria (methanotrophs) in the sediments

of the Xianghai wetland, Songnen Plain, northeast China. Journal of Soils and

Sediments, 13(1), 242–252.

Yulipriyanto H. (2010). Biologi Tanah Dan Strategi Pengelolaannya. Graha Ilmu.

Yogyakarta

Zhang W, Sheng R, Zhang M, Xiong G, Hou H, Li S & Wei W. (2018). Effects of

continuous manure application on methanogenic and methanotrophic

communities and methane production potentials in rice paddy soil.

Agriculture, Ecosystems and Environment, 258(February), 121–128.

Zhou T, Pan G, Li L, Zhang X, Zheng J, Zheng J & Chang A. (2014). Changes in

greenhouse gas evolution in heavy metal polluted paddy soils with rice straw

return: A laboratory incubation study. European Journal of Soil Biology, 63,

1–6.

Zieminski & Frac M. (2012). Methane Fermentation Process as Anaerobic

Digestion of Biomass: Transformations, Stages and Microorganisms. African

Journal of Biotechnology, 11(18), 4127 – 41.

Page 82: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

67

LAMPIRAN

Lampiran 1. Uji ANOVA nilai pH (perbedaan umur tanam)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

SS

Between Groups 2,773 4 ,693 31,515 ,000

Within Groups ,220 10 ,022

Total 2,993 14

SK

Between Groups 4,903 4 1,226 8,244 ,003

Within Groups 1,487 10 ,149

Total 6,389 14

CS

Between Groups 4,804 4 1,201 19,582 ,000

Within Groups ,613 10 ,061

Total 5,417 14

CK

Between Groups 2,964 4 ,741 8,821 ,003

Within Groups ,840 10 ,084

Total 3,804 14

Keterangan:

SS: Sidenuk SRI

SK: Sidenuk Konvensional

CS: Ciherang SRI

CK: Ciherang Konvensional

Lampiran 2. Uji ANOVA nilai pH (pebedaan perlakuan)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

HST7

Between Groups ,041 3 ,014 ,233 ,871

Within Groups ,468 8 ,059

Total ,509 11

HST14

Between Groups 1,072 3 ,357 1,482 ,291

Within Groups 1,930 8 ,241

Total 3,002 11

HST28

Between Groups ,018 3 ,006 ,144 ,930

Within Groups ,338 8 ,042

Total ,357 11

HST56

Between Groups ,006 3 ,002 ,057 ,981

Within Groups ,274 8 ,034

Total ,280 11

HST84

Between Groups ,058 3 ,019 ,770 ,542

Within Groups ,199 8 ,025

Total ,257 11

Page 83: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

68

Lampiran 3. Uji t pH Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-

tailed) Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair

1

SS -

SK

-

,09333 ,45272 ,11689 -,34404 ,15737 -,798 14 ,438

Keterangan:

SS: Sidenuk SRI

SK: Sidenuk Konvensional

Lampiran 4. Uji t pH Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-

tailed) Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair

1

CS -

CK ,06667 ,34983 ,09033 -,12706 ,26040 ,738 14 ,473

Keterangan:

CS: Ciherang SRI

CK: Ciherang Konvensional

Lampiran 5. Uji ANOVA nilai suhu (perbedaan umur tanam)

ANOVA

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

SS

Between Groups 36,933 4 9,233 1,592 ,251

Within Groups 58,000 10 5,800

Total 94,933 14

SK

Between Groups 15,733 4 3,933 1,475 ,281

Within Groups 26,667 10 2,667

Total 42,400 14

CS

Between Groups 30,000 4 7,500 4,891 ,019

Within Groups 15,333 10 1,533

Total 45,333 14

CK

Between Groups 21,600 4 5,400 4,765 ,021

Within Groups 11,333 10 1,133

Total 32,933 14

Keterangan:

SS: Sidenuk SRI

SK: Sidenuk Konvensional

CS: Ciherang SRI

CK: Ciherang Konvensional

Page 84: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

69

Lampiran 6. Uji ANOVA nilai suhu (pebedaan perlakuan)

ANOVA

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

HST7

Between Groups 4,917 3 1,639 ,937 ,467

Within Groups 14,000 8 1,750

Total 18,917 11

HST14

Between Groups 8,000 3 2,667 ,314 ,815

Within Groups 68,000 8 8,500

Total 76,000 11

HST28

Between Groups 2,000 3 ,667 ,320 ,811

Within Groups 16,667 8 2,083

Total 18,667 11

HST56

Between Groups ,667 3 ,222 ,178 ,908

Within Groups 10,000 8 1,250

Total 10,667 11

HST84

Between Groups ,000 3 ,000 ,000 1,000

Within Groups 2,667 8 ,333

Total 2,667 11

Lampiran 7. Uji t suhu Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-

tailed) Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair

1

SS -

SK ,86667 1,55226 ,40079 ,00705 1,72628 2,162 14 ,048

Keterangan:

SS: Sidenuk SRI

SK: Sidenuk Konvensional

Lampiran 8. Uji t suhu Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-

tailed) Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair

1

CS -

CK ,26667 ,59362 ,15327 -,06207 ,59540 1,740 14 ,104

Keterangan:

CS: Ciherang SRI

CK: Ciherang Konvensional

Page 85: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

70

Lampiran 9. Kadar VFA total pada tanah sawah

Sampel

Asam asam VFA (mM)

VFA total C2 C3 1C4 nC4 1C5 nC5

Tanah Awal 9,4 2,95 0,57 0,53 0,15 0,3 13,9

Sidenuk SRI (A)

84 HST 2,37 0,23 0,04 0,18 0,27 0,2 3,29

Sidenuk

Konvensional (B)

84 HST 2,06 0,51 0,18 0,17 0,19 0,16 3,27

Ciherang SRI (C)

84 HST 2,73 0,79 0,23 0,39 0,15 0,28 4,57

Ciherang

Konvensional (D)

84 HST 2,32 1,04 0,22 0,37 0,11 0,12 4,18

Keterangan:

C2 : Asam asetat

C3 : Asam propionat

1C4 : Iso asam butirat

nC4 : Asam butirat

1C5 : Iso asam valerat

nC5 : Asam valerat

Lampiran 10. Uji ANOVA emisi metana (perbedaan umur tanam)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

SS

Between Groups 5693,082 5 1138,616 12,618 ,000

Within Groups 1082,861 12 90,238

Total 6775,944 17

SK

Between Groups 13682,533 5 2736,507 10,838 ,000

Within Groups 3029,973 12 252,498

Total 16712,506 17

CS

Between Groups 12894,291 5 2578,858 4,507 ,015

Within Groups 6866,876 12 572,240

Total 19761,166 17

CK

Between Groups 28716,749 5 5743,350 15,955 ,000

Within Groups 4319,697 12 359,975

Total 33036,446 17

Keterangan:

SS: Sidenuk SRI

SK: Sidenuk Konvensional

CS: Ciherang SRI

CK: Ciherang Konvensional

Page 86: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

71

Lampiran 11. Uji ANOVA emisi metana (pebedaan perlakuan)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

HST0

Between Groups ,000 3 ,000 ,000 1,000

Within Groups 3,272 8 ,409

Total 3,272 11

HST7

Between Groups 6,019 3 2,006 1,966 ,198

Within Groups 8,166 8 1,021

Total 14,185 11

HST14

Between Groups 2812,108 3 937,369 15,211 ,001

Within Groups 493,009 8 61,626

Total 3305,116 11

HST28

Between Groups 34,796 3 11,599 1,456 ,298

Within Groups 63,752 8 7,969

Total 98,548 11

HST56

Between Groups 1109,389 3 369,796 1,430 ,304

Within Groups 2069,082 8 258,635

Total 3178,472 11

HST84

Between Groups 6694,330 3 2231,443 1,410 ,309

Within Groups 12662,126 8 1582,766

Total 19356,456 11

Lampiran 12. Uji t emisi metana Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional

Paired Samples Test

Paired Differences T df Sig. (2-

tailed) Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair 1 SS -

SK

-

9,2083

3

15,00693 3,53717 -16,67111 -1,74556 -2,603 17 ,019

Keterangan:

SS: Sidenuk SRI

SK: Sidenuk Konvensional

Page 87: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

72

Lampiran 13. Uji t emisi metana Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-

tailed) Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair 1 CS –

CK

-

1,72444 25,89562 6,10366 -14,60203 11,15314 -,283 17 ,781

Keterangan:

CS: Ciherang SRI

CK: Ciherang Konvensiona

Lampiran 14. Uji ANOVA tinggi tanaman (perbedaan umur tanam)

ANOVA

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

SS

Between Groups 52204,700 9 5800,522 349,204 ,000

Within Groups 996,643 60 16,611

Total 53201,343 69

SK

Between Groups 58578,914 9 6508,768 318,711 ,000

Within Groups 1225,329 60 20,422

Total 59804,243 69

CS

Between Groups 53639,760 9 5959,973 159,832 ,000

Within Groups 2237,334 60 37,289

Total 55877,094 69

CK

Between Groups 42546,796 9 4727,422 168,040 ,000

Within Groups 1687,963 60 28,133

Total 44234,758 69

Keterangan:

SS: Sidenuk SRI

SK: Sidenuk Konvensional

CS: Ciherang SRI

CK: Ciherang Konvensional

Lampiran 15. Uji ANOVA nilai tinggi tanaman (pebedaan perlakuan)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

HST7

Between Groups 759,714 3 253,238 18,656 ,000

Within Groups 325,786 24 13,574

Total 1085,500 27

Page 88: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

73

HST14

Between Groups 814,630 3 271,543 13,294 ,000

Within Groups 490,220 24 20,426

Total 1304,850 27

HST21

Between Groups 1132,804 3 377,601 14,936 ,000

Within Groups 606,763 24 25,282

Total 1739,567 27

HST28

Between Groups 698,741 3 232,914 9,991 ,000

Within Groups 559,500 24 23,313

Total 1258,241 27

HST35

Between Groups 1827,536 3 609,179 25,408 ,000

Within Groups 575,429 24 23,976

Total 2402,964 27

HST42

Between Groups 1374,964 3 458,321 18,117 ,000

Within Groups 607,143 24 25,298

Total 1982,107 27

HST49

Between Groups 2505,598 3 835,199 22,944 ,000

Within Groups 873,643 24 36,402

Total 3379,241 27

HST56

Between Groups 1439,571 3 479,857 10,145 ,000

Within Groups 1135,143 24 47,298

Total 2574,714 27

HST63

Between Groups 1648,170 3 549,390 26,557 ,000

Within Groups 496,500 24 20,688

Total 2144,670 27

HST84

Between Groups 610,107 3 203,369 10,229 ,000

Within Groups 477,143 24 19,881

Total 1087,250 27

Lampiran 16. Uji t tinggi tanaman Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-

tailed) Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence Interval

of the Difference

Lower Upper

Pair 1 SS –

SK

-

5,00000 7,07670 ,84583 -6,68738 -3,31262 -5,911 69 ,000

Keterangan:

SS: Sidenuk SRI

SK: Sidenuk Konvensional

Page 89: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

74

Lampiran 17. Uji t tinggi tanaman Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-

tailed) Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence Interval

of the Difference

Lower Upper

Pair

1

CS -

CK

-

5,16571 8,26343 ,98767 -7,13606 -3,19537 -5,230 69 ,000

Keterangan:

CS: Ciherang SRI

CK: Ciherang Konvensional

Lampiran 18. Uji ANOVA jumlah anakan (pebedaan umur tanam)

ANOVA

Sum of

Squares

df Mean Square F Sig.

SS

Between Groups 2131,371 9 236,819 46,134 ,000

Within Groups 308,000 60 5,133

Total 2439,371 69

SK

Between Groups 261,086 9 29,010 27,318 ,000

Within Groups 63,714 60 1,062

Total 324,800 69

CS

Between Groups 2050,071 9 227,786 25,718 ,000

Within Groups 531,429 60 8,857

Total

2581,500 69

CK

Between Groups 346,057 9 38,451 44,611 ,000

Within Groups 51,714 60 ,862

Total 397,771 69

Keterangan:

SS: Sidenuk SRI

SK: Sidenuk Konvensional

CS: Ciherang SRI

CK: Ciherang Konvensional

Lampiran 19. Uji ANOVA jumlah anakan (pebedaan perlakuan)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

HST7

Between Groups 12,964 3 4,321 7,408 ,001

Within Groups 14,000 24 ,583

Total 26,964 27

HST14

Between Groups 12,964 3 4,321 7,408 ,001

Within Groups 14,000 24 ,583

Total 26,964 27

Page 90: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

75

HST21

Between Groups 18,964 3 6,321 7,586 ,001

Within Groups 20,000 24 ,833

Total 38,964 27

HST28

Between Groups 48,964 3 16,321 3,695 ,026

Within Groups 106,000 24 4,417

Total 154,964 27

HST35

Between Groups 216,000 3 72,000 15,311 ,000

Within Groups 112,857 24 4,702

Total 328,857 27

HST42

Between Groups 284,857 3 94,952 16,934 ,000

Within Groups 134,571 24 5,607

Total 419,429 27

HST49

Between Groups 396,000 3 132,000 24,052 ,000

Within Groups 131,714 24 5,488

Total 527,714 27

HST56

Between Groups 528,107 3 176,036 31,800 ,000

Within Groups 132,857 24 5,536

Total 660,964 27

HST63

Between Groups 528,107 3 176,036 31,800 ,000

Within Groups 132,857 24 5,536

Total 660,964 27

HST84

Between Groups 792,964 3 264,321 40,665 ,000

Within Groups 156,000 24 6,500

Total 948,964 27

Lampiran 20. Uji t jumlah aanakan Sidenuk SRI dan Sidenuk Konvensional

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-

tailed) Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair

1

SS -

SK

5,8571

4 4,45358 ,53230 4,79522 6,91906 11,003 69 ,000

Keterangan:

SS: Sidenuk SRI

SK: Sidenuk Konvensional

Page 91: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

76

Lampiran 21. Uji t jumlah anakan Ciherang SRI dan Ciherang Konvensional

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-

tailed) Mean Std.

Deviation

Std. Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair

1

CS -

CK

4,1571

4 4,47096 ,53438 3,09108 5,22320 7,779 69 ,000

Keterangan:

CS: Ciherang SRI

CK: Ciherang Konvensional

Lampiran 22. Perhitung kadar air tanah dan faktor koreksi

tanah awal cawan kosong setelah

dipanaskan kadar air (%) Rata-rata

3,38 33,16 34,93 52

52,95

3,11 40,27 41,94 54

Kadar Air (%) = (kehilangan bobot / bobot contoh) x 100

= 34,92−33,16

3,38 𝑥 100%

= 52%

Faktor koreksi air

Faktor koreksi air (fk) = 100 / (100 – kadar air)

= 100 / (100 – 52,95)

= 2,13

Page 92: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

77

Lampiran 23. Perhitungan C organik dan N organik tanah

1. C organik tanah

Sampel ABS ppm C fk air % C

Awal 0,13 70,87 2,13 3,01

A 0,11 61,47 2,13 2,61

B 0,14 78,60 2,13 3,34

C 0,12 69,47 2,13 2,95

D 0,11 60,33 2,13 2,56

Sampel Awal

Kadar C organik (%) = ppm kurva x 10 /mg sampel x Fk

= 70,87 x 10/500 x 2,13

= 70,87 x 0,2 x 2,13

= 3,01 %

2. N organik tanah

Sampel Berat Sample HCL NaOH % N Total

Awal 1 25 23,35 0,23085

A 1 25 23,6 0,195924

B 1 25 23,4 0,22391

C 1 25 23,45 0,216905

D 1 25 23,875 0,157477

Kadar N (%) = (V. HCL – V. NaOH)x 0,1 x BM Nitrogen

𝑤 𝑥 100 %

Sampel awal

Kadar N (%) = (V. HCL – V. NaOH) x 0,1 x BM Nitrogen x 100 / 1000

= (25 – 23,35) x 0,1 x 14 x 100 / 1000

= 1,65 x 0,1 x 1,4

= 0,231%

Page 93: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

78

Lampiran 24. Perhitungan Rasio C/N

Perlakuan C Organik % N% rasio C/N

Tanah Awal 3,01 0,23 13,05

Sidenuk SRI 84 HST 2,61 0,20 13,34

Sidenuk Konvensional 84 HST 3,34 0,22 14,92

Ciherang SRI 84 HST 2,95 0,22 13,61

Ciherang Konvensional 84 HST 2,56 0,16 16,29

Rasio C/N tanah awal

𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛 (𝐶)

𝑁𝑖𝑡𝑟𝑜𝑔𝑒𝑛 (𝑁)=

𝑥

𝑦

Rasio C/N = C organik / N

= 3,01% / 0,23%

= 13,05%

Page 94: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

79

Lampiran 25. Perhitungan emisi metana

ulangan 0 HST 7 HST 14 HST 28 HST 56 HST 84 HST

Ppm mg/m2jam ppm mg/m2jam ppm mg/m2jam ppm mg/m2jam ppm mg/m2jam ppm mg/m2jam

Sidenuk SRI

1 2,83 1,82 2,85 1,84 30,15 19,35 15,35 9,92 53,14 34,44 47,25 30,73

Sidenuk SRI

2 4,2 2,68 3,21 2,05 58,16 36,96 21,2 13,61 60,83 39,43 73,4 47,57

Sidenuk SRI

3 4,82 3,07 2,7 1,72 76,12 49,67 16,43 10,44 47,88 30,73 99,6 64,56

Sidenuk

Konvensional

1

2,83 1,82 2,75 1,78 83,73 53,56 5,45 3,52 91,26 59,15 37,54 24,41

Sidenuk

Konvensional

2

4,2 2,68 7,03 4,51 74,03 47,82 11,7 7,51 85,32 55,30 108,86 70,56

Sidenuk

Konvensional

3

4,82 3,07 7,35 4,72 77,88 50,81 13,39 8,59 102,68 66,11 154,93 100,42

Ciherang SRI

1 2,83 1,82 3,08 1,99 70,68 45,51 8,61 5,54 34,05 22,07 15,48 10,07

Ciherang SRI

2 4,2 2,68 2,69 1,72 77,68 50,18 18,81 12,07 90,14 58,23 135,5 87,82

Ciherang SRI

3 4,82 3,07 3,62 2,32 75,06 48,97 12,13 7,78 124,59 80,49 161,51 104,68

Ciherang

Konvensional

1

2,83 1,82 5,77 3,72 17,54 11,29 9,4 6,05 66,61 43,17 103,76 67,48

Ciherang

Konvensional

2

4,2 2,68 2,38 1,52 19,79 12,78 18,81 12,11 98,44 63,80 169,64 109,95

Ciherang

Konvensional

3

4,82 3,07 3,4 2,18 18,665 12,18 12,13 7,78 91,16 58,89 243,13 157,58

Page 95: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

80

Perhitungan emisi metana pada Sidenuk SRI 1 umur 0 HST

E CH4 = dc

dtx

V

Ax 𝜌 x [

273,2

273,2+𝑇]

E CH4 = 2,83

1 jamx

0,04

0,04 x 0.717 x [

273,2

273,2+31]

= 2,83 x 1 x 0,717 x 0,90

= 1,82 mg/m2 jam

Lampiran 26. Perhitungan C organik gabah dan jerami

3. C orgnaik gabah

No Berat sampel Absorbace Konsentarsi

(ppm) C %

1 0,5 0,582 435 10,78228

2 0,5 0,546 407 10,09551

3 0,5 0,4607 341 8,468246

4 0,5 0,5351 399 9,887569

5 0,5 0,5212 388 9,6224

6 0,5 0,6653 499 12,37138

7 0,5 0,5708 426 10,56862

Rata - rata 10,25657

Fk gabah = 100 /(100 – ka% gabah)

Ka gabah = 19,56 %

Fk gabah = 100/(100-19,56%)

= 1,24 %

Sampel gabah Sidenuk SRI 84 HST no 1

Kadar C organik (%) = ppm kurva x 100 /mg sampel x Fk

Kadar C organik (%) = 435 x 10/500 x 1,24

= 435 x 0,02 x 1,24

= 10,78 %

Page 96: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

81

4. C organik jerami

No Berat sampel Absorbace Konsentrasi (ppm) C %

1 1 0,639 479 11,30

2 1 0,6193 463 10,94

3 1 0,5298 395 9,31

4 1 0,6189 463 10,93

5 1 0,5532 413 9,74

6 1 0,5536 413 9,74

7 1 0,5321 396 9,35

Rata - rata 10,18714

Fk jerami = 100 /(100 – ka%)

Ka jerami = 15 %

Fk jerami = 100/(100-15%)

= 1,18 %

Sampel jerami Sidenuk SRI 84 HST no 1

Kadar C organik (%) = 479 x 10/500 x 1,18

= 479 x 0,02 x 1,18

= 11,3 %

Lampiran 27. Perhitungan Nitrogen gabah dan padi

1. Nitrogen Gabah

Berat (g) NaOH HCL konsentrasi N %

1 17,87975 25 0,9968

1 15,68569 25 1,3040

1 12,11851 25 1,8034

1 15,88567 25 1,2760

1 15,07543 25 1,3894

1 11,74842 25 1,8552

1 17,91199 25 0,9923

rata-rata 1,3739

Kadar N (%) = (V. HCL – V. NaOH) x 0,1 x BM Nitrogen x 100 / 1000 (mg)

= (25 – 17,87) x 0,1 x 14 x 0,1

= 7,13 x 0,1 x 14 x 0,1

= 0,99 %

Page 97: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

82

2. Nitrogen Jerami

Berat (g) NaOH HCL konsentrasi N %

1 12,64202 25 1,7301

1 0,0499 25 3,4930

1 15,23321 25 1,3674

1 12,42766 25 1,7601

1 12,0078 25 1,8189

1 14,09163 25 1,5272

1 11,0056 25 1,9592

rata-rata 1,9508

Kadar N (%) = (V. HCL – V. NaOH) x 0,1 x BM Nitrogen x 100 / 1000 (mg)

= (25 – 12,46) x 0,1 x 14 x 0,1

= 12,54 x 0,1 x 1,4

= 1,75 %

Lampiran 28. Perhitungan fosfor gabah dan padi

a. Fosfor Gabah

No Berat sampel Adsorbansi Konsentrasi

(ppm) P total (100)

1 1 0,2793 471 11,77

2 1 0,1527 260 6,49

3 1 0,2101 355 8,88

4 1 0,2296 388 9,70

5 1 0,1801 305 7,63

6 1 0,1848 313 7,83

7 1 0,2325 393 9,82

Rata - rata 8,874286

Sampel Sidenuk SRI 84 HST no 1

% P = 𝐶 𝑥 𝑉 𝑥 𝑓𝑝

W x 1000 𝑥 100%

= 471 x 0,25 x 100

1 𝑥 1000

= 11,75 %

Page 98: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

83

b. Fosfor Jerami

No Berat sampel Absorbace Konsentrasi

(ppm) P total (100)

1 1,0011 0,0926 171 4,28

2 1,0018 0,1265 239 5,96

3 1,0012 0,059 104 2,60

4 1,0013 0,1117 209 5,23

5 1,0018 0,0993 185 4,61

6 1,0004 0,1446 275 6,88

7 1,0001 0,1262 238 5,96

Rata - rata 5,074286

Sampel Sidenuk SRI 84 HST no 1

% P = 𝐶 𝑥 𝑉 𝑥 𝑓𝑝

W x 1000 𝑥 100%

= 171 x 0,25 x 100

1 𝑥 1000

= 4,27 %

Lampiran 29. Penekanan emisi metana teknik SRI

1. Varietas Sidenuk

Sampel

HST (mg/m2jam) Rata-

rata 0 7 14 28 56 84

Sidenuk SRI 2,52a 1,87 a 35,33 b 11,32 a 34,87 a 47,62 a 22,25

A A B A B B

Sidenuk

Konvensional 2,52 a 3,67 a 50,73 c 6,54 a 60,19 a 65,13 a

31,46

A A B A B B

Penekanan emisi metana = 𝑆𝑖𝑑𝑒𝑛𝑢𝑘 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙−𝑆𝑖𝑑𝑒𝑛𝑢𝑘 𝑆𝑅𝐼

𝑆𝑖𝑑𝑒𝑛𝑢𝑘 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 x 100%

= (31,46 – 22,25)/31,46 x 100%

= 29,27%

Page 99: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

84

2. Ciherang

Sampel

HST (mg/m2jam) Rata-

rata 0 7 14 28 56 84

Ciherang SRI 2,52 a 2,01 a 48,22 bc 8,47 a 53,60 a 67,52 a 30,39

A A BC AB C C

Ciherang

Konvensional 2,52 a 2,47 a 12,09 a 8,65 a 55,29 a 111,67 a

32,11

A A A A B C

Penekanan emisi metana = 𝐶𝑖ℎ𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙−𝐶𝑖ℎ𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑅𝐼

𝐶𝑖ℎ𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 x 100%

= (32,11-30,39)/32,11 x 100%

= 5,35%

Lampiran 30. Kondisi penelitian emisi metana dari lahan sawah secara ex situ

Tanah awal yang sudah dikeringkan

Proses penggenangan tanah sawah

Page 100: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

85

Tanaman padi umur 7 HST

Sampling metana umur 7 HST

Pengukuran pH dan suhu tanah

Tanaman padi umur 21 HST

Sampling metana umur 28 HST

Tanaman padi umur 35 HST

Page 101: EMISI GAS METANA VARIETAS PADI MUTAN BATAN YANG

86

h an

Sampling metana umur 56 HST

Tanaman padi umur 84 HST