gas metana batubara (not edited yet)

Upload: bhakti-ayu-annisa

Post on 08-Mar-2016

20 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Data Mentah CBM

TRANSCRIPT

Potensi Gas Metana Batubara di Indonesia berskala besar, dengan cadangan di tempat mencapai 450 TSCF.Dengan recovery factor yang masih rendah (sekitar 10%), berarti Gas Metana Batubara hanya dapat menyediakan cadangan statik sekitar 45 TSCF. Tetapi, karena penyebaran cadangan yang sangat luas, maka yang betul-betul dapat direalisasikan untuk membantu meningkatkan pasokan energi dari sektor gas dalam 20 tahun kedepan tentunya akan kurang dari nilai tersebut. Gas Metana Batubara diharapkan dapat mensubstitusi sekitar 1-2% (sekitar 250 MMSCFD dari 9 BSCFD produksi gas saat Indonesia ini). Masalah yang mungkin timbul saat ini dalam pengembangan Gas Metana Batubara adalah belum adanya regulasi yang secara spesifik mengatur tentang Gas Metana Batubara, baik secara teknis maupun ekonomis. Oleh karena itu, suatu regulasi yang mengatur pengusahaan Gas Metana Batubara di Indonesia secara menyeluruh mutlak diperlukan dalam waktu dekat. Aturan dan hukum yang ada sekarang dapat dikatakan masih memiliki banyak kekurangan, karena belum menyentuh seluruh aspek, terutama yang menyangkut pembagian pendapatan antara pemerintah dengan pihak kontraktor. Sistem pemroduksian Gas Metana Batubara memang unik dan sedikit berbeda dengan pengusahaan gas konvensional. Investor perlu menanamkan investasi yang lebih besar pada awal masa produksi dengan tingkat pendapatan yang rendah. Dengan demikian, sistem PSC yang ada sekarang tidak cocok bila diterapkan pada pengusahaan Gas Metana Batubara. Sistem kontrak yang dikaji dalam paper ini didasarkan terutama pada pertimbangan ekonomis. Bentuk kontrak tersebut adalah berupa Kontrak PSC dan Royalty&Tax yang telah dimodifikasi. Kedua sistem tersebut memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. pada sistem PSC yang dimodifikasi, cost recovery masih diberlakukan, sehingga pemerintah tetap mendapat sharing yang lebih besar. Sedangkan pada Kontrak Royalty&Tax, kontraktor mendapat kewenangan penuh untuk mengatur usahanya, tetapi seluruh biaya yang dikeluarkan menjadi tanggungan kontraktor.ABSTRAKCoalbed methane potencies in Indonesia has large scale with gas in place reaching 450 TSCF. Having low recovery factor (around 10%), coalbed methane can only provide static resource around 45 TSCF. But, due to vast occurrence of coalbed methane in many places in Indonesia, actual reserve that can be realized to increase energy supply from natural gas in the next twenty years will be less than 45 TSCF. Coalbed methane can only substitute about 1-2% (around 250 MMSCFD out of 9 BSCFD Indonesias present gas production). A problem that could occur in the present coalbed methane development is that there are no specific regulations yet, which control technically nor economically. Therefore, a regulation which controls all aspect of the development is greatly needed in short time. Rules and laws which now exist, still cannot touch all of the aspects, especially concerning the income split between government and contractor. Coalbed methane production system is unique and slightly different from the conventional natural gas. Investors need to invest much money at the early production period with low income. Therefore, the present used PSC system will not be applicable on coalbed methane development. The proposed contract systems in this study are primarily based on economic considerations. The contract systems are Modified PSC and Royalty&Tax Contract. Both systems have their own advantages and disadvantages. In the modified PSC system Contract, government will still give cost recovery to the contractors. Therefore, on the modified PSC system, government will have the biggest sharing. On the other hand, In Royalty&Tax Contract system, contractors will have full of policies to arrange his field, but they also have to fee operational costs by themselves.Latar BelakangCoal Bed Methane (CBM) adalah gas metana alami (CH4) pada lapisan batubara.Hal ini disebut juga sebagai Coal Seam Methane (CSM), dan Batubara Seam Gas (CSG).Methane yang terkait dengan operasi penambangan batubara disebut Coal Mine Methane (CMM).Methane telah lama dianggap sebagai masalah utama di bidang pertambangan batubara bawah tanah tetapi sekarang CBM diakui sebagai sumber daya yang berharga.metana ini biasanya dicampur dengan karbon dioksida, hidrokarbon lain dan nitrogen.Meskipun keberadaan metana telah dikenal sejak pertambangan batubara mulai, produksi komersial yang terpisah dari CBM merupakan langkah yang relatif baru.Hal ini dimulai di Amerika Serikat pada tahun 1970-an, dan eksplorasi CBM di Australia dimulai pada tahun 1976 di Queensland Bowen Basin ketika Houston Minyak dan Mineral Australia Incorporated dua sumur bor berhasil.Pada bulan Februari 1996, CMM operasi komersial pertama di tambang Moura dalam proyek drainase metana Queensland (kemudian dimiliki oleh Mitsui BHP Coal Pty Ltd).Pada tahun yang sama diAppindanTowertambang bawah tanah (kemudian dimiliki oleh BHP Pty Ltd) operasi CMM digunakan untuk bahan bakar generator set situs-on (gas dipecat pembangkit listrik).Yang pertama berdiri sendiri produksi komersial dari CBM di Australia dimulai pada bulan Desember 1996 di proyek Valley Dawson (kemudian dimiliki oleh Conoco), berdampingan dengan tambang batubara Moura.CBM bentuk oleh salah satu proses biologis atau termal.Selama tahap awal pembatubaraan dengan pendekatan (proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara) metan biogenik dihasilkan sebagai produk sampingan dari tindakan mikroba (mirip dengan mekanisme yang menghasilkan metana dalam dewan landfill).Metan biogenik biasanya dapat ditemukan di dekat-permukaan batubara peringkat rendah seperti lignit.Termogenik metana biasanya dapat ditemukan di peringkat yang lebih tinggi batubara.Ketika suhu melebihi 50 C karena penguburan, proses termogenik mulai menghasilkan metana tambahan, karbon dioksida, nitrogen dan air.Generasi maksimum metana dalam batubara aspal terjadi pada sekitar 150 C.metana yang dihasilkan adalah teradsorpsi ke permukaan Micro pore dan disimpan dalam cleats, patah tulang dan bukaan lainnya di bara.Hal ini dapat terjadi juga di groundwaters di dalam lapisan batubara.CBM diadakan di tempat dengan tekanan air dan tidak memerlukan perangkap tertutup seperti yang dilakukan akumulasi gas konvensional.batubara bertindak sebagai sumber dan reservoir untuk gas metana saat air segel.CBM diproduksi oleh pengeboran sumur ke dalam lapisan batubara, rekah hidrolik lapisan batubara kemudian melepaskan gas dengan mengurangi tekanan air dengan memompa air.Rekah hidrolik lapisan batubara dilakukan dengan memompa volume besar air dan pasir pada tekanan tinggi ke dalam sumur ke dalam lapisan batubara yang menyebabkannya patah untuk jarak hingga 400mdari sumur.Membawa pasir dalam air disimpan dalam rekahan untuk mencegah mereka menutup ketika memompa tekanan berhenti.gas kemudian bergerak melalui pasir-rekahan diisi ke sumur.Sebuah operasi komersial membutuhkan kombinasi yang tepat ketebalan batubara, kandungan gas, permeabilitas, biaya pengeboran (jumlah sumur, kedalaman dan jenis lapisan batubara), jumlah dewatering dibutuhkan untuk memungkinkan aliran gas dan kedekatan dengan infrastruktur.Teori Tentang Gas Metan Pada BatubaraMetan adalah gas yang lebih ringan dari udara, tak berwarna, tak berbau, dan tak beracun.Metan terdapat di semua lapisan batubara, terbentuk bersamaan dengan pembentukan batubara itu sendiri.Di tambang batubara bawah tanah, udara yang mengandung 5-15% metan dan sekurangnya 12.1% oksigen akan meledak jika terkena percikan api.Jumlah metan dalam suatu lapisan amat bervariasi. Konsentrasi metan akan meningkat seiring peningkatan kualitas batubara dan kedalaman cadangan.Metan terkandung dalam lapisan pori batubara dan terkompresi disana. Saat lapisan tersebut ditambang, metan yang bersemayam di pori lantas terlepas.Sebanyak 70-80% kadar metan justru bukan berasal dari lapisan yang sedang ditambang. Sebagian besar metan berasal dari lapisan sekelilingnya (atas/bawah, kiri/kanan) yang belum ditambang.Ini bisa terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara metan di pori-pori batubara (tekanan tinggi) dengan tekanan udara terowongan (lebih rendah). Gas bertekanan tinggi akan selalu mencari udara dengan tekanan lebih rendah.Di awal perkembangan tambang batubara, sirkulasi udara yang tidak cukup, kegagalan deteksi atas keberadaan metan, penggunaan api, merokok, atau penggunaan bahan peledak (black powder) yang tidak tepat, menjadi penyebab utama ledakan di tambang batubara bawah tanah.Cara yang paling umum digunakan untuk mengurangi kadar metan adalah dengan merancang suatu sistem sirkulasi udara (ventilasi) yang baik. Udara yang cukup dan sirkulasi yang lancar diharapkan mampu mengurangi kadar gas berbahaya ini.Hanya saja, terkadang ventilasi saja tidak mencukupi. Ada kalanya jumlah udara yang melimpah tetap tidak mampu mengurangi kadar metan. Jika ini yang terjadi, pengurangan kandungan metan mesti dilakukan sebelum penambangan itu sendiri dimulai.CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai oleh sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batubara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika. CBM sama seperti gas alam konvensional yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoirnya. Sedangkan gas alam yang kita kenal saat ini, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. Hal lain yang membedakan keduanya adalah cara penambangannya dimana reservoir CBM harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan. Pengertian reservoir batubara masih baru dalam dunia perminyakan di CBM berasal dari material organik tumbuhan tinggi, melalui beberapa proses kimia dan fisika.

Mengenal CBM (Coal BedMethane)Posted by imambudiraharjo on January 19, 2010Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar.Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas ini disebut denganCoal Bed Methaneatau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM termasukunconventional energy(peringkat 3), bersama-sama dengantight sand gas,devonian shale gas, dan gashydrate.High quality gas(peringkat 1) danlow quality gas(peringkat 2) dianggap sebagaiconventional gas.Produksi CBMDi dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix), tempat dimana kebanyakan CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagaisource rock.

Gambar 1. Prinsip produksi CBM(Sumber: sekitan no hon, hal. 109)CBM bisa keluar (desorption) dari matriks melalui rekahan, dengan merendahkan tekanan air pada target lapisan. Hubungan antara kuantitas CBM yang tersimpan dalam matriks terhadap tekanan dinamakan kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan tekanan). Untuk memperoleh CBM, sumur produksi dibuat melalui pengeboran dari permukaan tanah sampai ke lapisan batubara target. Karena di dalam tanah sendiri lapisan batubara mengalami tekanan yang tinggi, maka efek penurunan tekanan akan timbul bila air tanah di sekitar lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal ini akan menyebabkan gas metana terlepas dari lapisan batubara yang memerangkapnya, dan selanjutnya akan mengalir ke permukaan tanah melalui sumur produksi tadi. Selain gas, air dalam jumlah yang banyak juga akan keluar pada proses produksi ini.Potensi CBMMengenai pembentukan CBM, maka berdasarkan riset geosains organik dengan menggunakan isotop stabil karbon bernomor masa 13, dapat diketahui bahwa terdapat 2 jenis pola pembentukan.Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika terjadi perubahan kimia pada batubara akibat pengaruh panas, yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini disebut dengan proses thermogenesis. Sedangkan untuk CBM pada lapisanbrown coal(lignit) yang terdapat di kedalaman kurang dari 200m, gas metana terbentuk oleh aktivitas mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut dengan proses biogenesis. Baik yang terbentuk secara thermogenesis maupun biogenesis, gas yang terperangkap dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.Gambar 2. Pembentukan CBM(Sumber: sekitan no hon, hal. 109)Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut hinggamedium volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit. Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal.Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11 cekungan batubara (coal basin) di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar urutan cadangan sebagai berikut: 1. Sumsel (183 Tcf), 2. Barito (101.6 Tcf), 3. Kutai (80.4 Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber daya CBM di Sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:Pertama, jika ada reservoirconventional gas(sandstone) dan reservoir CBM (coal) pada kedalaman, tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume CBM bisa mencapai 3 6 kali lebih banyak dariconventional gas. Dengan kata lain, CBM menarik secara kuantitas.Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalahadsorptionpadacoal matrix, sehingga dari segi eksplorasi faktor keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa terdapat pada antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya dapat dikatakan bahwa ada batubara ada CBM.Produksi CBM & Teknologi PengeboranPada metode produksi CBM secara konvensional, produksi yang ekonomis hanya dapat dilakukan pada lapisan batubara dengan permeabilitas yang baik.Tapi dengan kemajuan teknik pengontrolan arah pada pengeboran, arah lubang bor dari permukaan dapat ditentukan dengan bebas, sehingga pengeboran memanjang dalam suatu lapisan batubara dapat dilakukan. Seperti ditunjukkan oleh gambar di bawah, produksi gas dapat ditingkatkan volumenya melalui satu lubang bor dengan menggunakan teknik ini.Gambar 3. Teknik produksi CBM(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)Teknik ini juga memungkinkan produksi gas secara ekonomis pada suatu lokasi yang selama ini tidak dapat diusahakan, terkait permeabilitas lapisan batubaranya yang jelek. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan di Australia dan beberapa negara lain, dimana produksi gas yang efisien dilakukan dengan sistem produksi yang mengkombinasikan sumur vertikal dan horizontal, seperti terlihat pada gambar di bawah.Gambar 4. Produksi CBM dengan sumur kombinasi(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)Lebih jauh lagi, telah muncul pula ide berupa sistem produksi multilateral, yakni sistem produksi yang mengoptimalkan teknik pengontrolan arah bor. Lateral yang dimaksud disini adalah sumur (lubang bor) yang digali arah horizontal, sedangkan multilateral adalah sumur horizontal yang terbagi-bagi menjadi banyak cabang.Pada produksi yang lokasi permukaannya terkendala oleh keterbatasan instalasi fasilitas akibat berada di pegunungan misalnya, maka biaya produksi memungkinkan untuk ditekan bila menggunakan metode ini. Secara praktikal, misalnya dengan melakukan integrasi fasilitas permukaan.Catatan:Teknik pengontrolan arah borTeknik pengeboran yang menggunakandown hole motor(pada mekanisme ini, hanya bit yang terpasang di ujungdown hole motorsaja yang berputar, melalui kerja fluida bertekanan yang dikirim dari permukaan) dan bukan mesin borrotary(pada mekanisme ini, perputaran bit disebabkan oleh perputaran batang bor atau rod) yang selama ini lazim digunakan, untuk melakukan pengeboran sumur horizontal dll dari permukaan. Pada teknik ini, alat yang disebut MWD (Measurement While Drilling) terpasang di bagian belakangdown hole motor, berfungsi untuk memonitor arah lubang bor dan melakukan koreksi arah sambil terus mengebor.Gambar 5. Pengontrolan arah bor(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)ECBMECBM (Enhanced Coal Bed Methane Recovery) adalah teknik untuk meningkatkan keterambilan CBM. Pada teknik ini, gas injeksi yang umum digunakan adalah N dan CO2. Disini, hasil yang diperoleh sangat berbeda tergantung dari gas injeksi mana yang digunakan. Gambar di bawah ini menunjukkan produksi CBM dengan menggunakan gas injeksi N dan CO2.Gambar 6. ECBM dengan N dan CO2(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)Bila N yang digunakan, hasilnya segera muncul sehingga volume produksi juga meningkat. Akan tetapi, karena N dapat mencapai sumur produksi dengan cepat, maka volume produksi secara keseluruhan justru menjadi berkurang.Ketika N diinjeksikan ke dalam rekahan (cleat), maka kadar N di dalamnya akan meningkat. Dan karena konsentrasi N di dalam matriks adalah rendah, maka N akan mengalir masuk ke matriks tersebut. Sebagian N yang masuk ke dalam matriks akan menempel pada pori-pori. Oleh karena jumlah adsorpsi N lebih sedikit bila dibandingkan dengan gas metana, maka matriks akan berada dalam kondisi jenuh (saturated) dengan sedikit N saja.Gambar 7. Tingkat adsorpsi gas(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)

Gambar 8. Substitusi gas injeksi pada matriks batubara(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)Namun tidak demikian dengan CO2. Gas ini lebih mudah menempel bila dibandingkan dengan gas metana, sehingga CO2 akan menghalau gas metana yang menempel pada pori-pori. CO2 kemudian segera saja banyak menempel di tempat tersebut. Dengan demikian, di dalam matriks akan banyak terdapat CO2 sehingga volume gas itu yang mengalir melalui cleat lebih sedikit bila dibandingkan dengan N. Akibatnya, CO2 memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai sumur produksi. Selain itu, karena CO2 lebih banyak mensubstitusi gas metana yang berada di dalam matriks, maka tingkat keterambilan (recovery) CBM juga meningkat.*Tulisan ini adalah terjemah bebas buku Sekitan no hon sub bab 45, 47, dan 48 (editor Kazuo Fujita, penerbit Nikkan Kgy Shinbunsha, April 2009), ditambah sumber lain, terutama tulisan Yudi Purnama di milist iagi-net-I tertanggal 24 April 2007.

GAS METANA BATUBARA, ENERGI ALTERNATIF NON-KONVENSIONALDapatkah gas metana batubara menjadi energi alternatif yang menjanjikan? Gas yang dihasilkan dari batubara ini yang dikenal dalam Bahasa Inggeris sebagai sebagai CBM (Coalbed Methane) menarik untuk dikembangkan karena begitu besarnya sumber daya batubara yang terdapat di Indonesia. Gas dari batubara yang digolongkan sebagai gas non-konvensional mungkin dapat membantu Indonesia dalam memenuhi kebutuhan akan gas di dalam negeri.Gas dalam batubara merupakan gas alam yang terjadi pada lapisan batubara, berada di dalam mikropori batubara dalam bentuk terkondensasi karena serapan fisika dari batubara. Gas ini berbeda dengan gas alam konvensional yang terjadi karena migrasi ke lapisan reservoir.Gas metana batubara adalah gas metana (CH4) yang dihasilkan dari proses alami yang terjadi selama proses pembatubaraan. Sisa-sisa tumbuhan yang mati akan membentuk suatu lapisan dan terawetkan melalui proses biokimia. Gas dalam batubara akan terbentuk secara biogenik akibat dekomposisi oleh mikroorganisme lalu menghasilkan gas metana dan CO2. Selama proses pembentukan batubara, sejumlah air dihasilkan bersama-sama dengan gas.Pada tahap pembatubaraan yang lebih tinggi, tekanan dan temperatur juga semakin tinggi. Batubara yang kaya akan kandungan karbon, akan melepaskan kandungan zat terbangnya (volatile matter) seperti metana, CO2, dan air. Pada kondisi ini gas dalam batubara akan terbentuk secara termogenik.Ada pula gas metana biogenik, yaitu gas metana yang terbentuk akibat aktivitas mikroorganisme yang biasanya terjadi di rawa gambut. Gas jenis ini terbentuk pada fasa awal proses pembatubaraan dengan temperatur rendah. Gas biogenik dapat terjadi pada dua tahap, yaitu tahap awal dan tahap akhir dari proses pembatubaraan. Pembentukan gas pada tahap awal diakibatkan oleh aktivitas organisme pada tahap awal pembentukan batubara, dari gambut, lignit, hingga subbituminus (Ro < 0,5%). Pembentukan gas ini harus disertai dengan proses pengendapan yang cepat, sehingga gas tidak keluar ke permukaan.Pembentukan gas pada tahap akhir diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme juga, tetapi pada tahap ini lapisan batubara telah terbentuk. Batubara umumnya juga berperan sebagai akuifer yang dapat menyimpan dan mengalirkan air, sehingga aktivitas mikroorganisme dalam akuifer dapat memproduksi gas biogenik. Gas biogenik dari lapisan batubara subbituminus juga berpotensi menjadi gas metana batubara. Gas biogenik tersebut terjadi oleh adanya reduksi bakteri dari CO2, yang menghasilkan metanogen, bakteri anaerobik yang kuat. Metanogen menggunakan H2 yang tersedia untuk mengkonversi asetat dan CO2 menjadi metana sebagai produk sampingan (by product) metabolismenya. Beberapa metanogen juga membuat amina, sulfida, dan metanol untuk memproduksi metana.Aliran air yang terdapat dalam akuifer batubara dapat memperbaharui aktivitas bakteri sehingga gas biogenik dapat berkembang hingga tahap akhir. Pada saat penimbunan maksimum, temperatur maksimum pada lapisan batubara mencapai 40-90 C. Kondisi ini sangat ideal untuk pembentukan bakteri metana. Metana akan terbentuk setelah aliran air bawah permukaan telah berada.Apabila air tanah turun, tekanan pada reservoir ikut turun. Pada saat ini gas metana batubara bermigrasi menuju reservoir dari sumber lapisan batubara. Perulangan kejadian ini merupakan regenerasi dari gas biogenik. Kejadian ini dipicu oleh naiknya air tanah atau lapisan batubara yang tercuci oleh air. Hal tersebut yang memberikan indikasi bahwa gas metana batubara merupakan energi yang dapat diperbaharui.Jenis gas lainnya adalah gas metana termogenik yang dihasilkan pada saat terjadinya proses pembatubaraan akibat kenaikan tekanan dan temperatur. Gas ini terjadi pada batubara yang mempunyai peringkat batubara lebih tinggi, yaitu pada subbituminus A sampai high volatile bituminous ke atas (Ro > 0,6%). Proses pembatubaraan akan menghasilkan batubara yang lebih kaya akan karbon dengan membebaskan sejumlah zat terbang utama, yaitu metana (CH4), CO2, dan air. Sumber karbon dari gas metana termogenik adalah murni dari batubara. Gas-gas tersebut terbentuk secara cepat sejak peringkat batubara mencapai high volatile bituminous hingga mencapai puncaknya pada saat peringkat batubara low volatile bituminous (Ro = 1,6%).Karakte ristik Gas Metana BatubaraKarakteristik gas metana batubara dipengaruhi beberapa parameter, seperti lingkungan pengendapan, distribusi batubara, peringkat batubara, kandungan gas, permeabilitas, porositas, struktur geologi, dan kondisi hidrogeologi. Gas metana bukan satu-satunya gas yang terdapat dalam batubara, tetapi gas ini dapat mencapai 80-95% dari total gas yang ada. Berbagai tipe batubara memiliki tingkat penyerapan gas yang berbeda. Kapasitas penyerapan batubara meningkat seiring dengan meningkatnya peringkat batubara, mulai dari lignit hingga bituminus, kemudian menurun pada batubara bituminus tingkat tinggi hingga antrasit.Gas metana batubara terdapat dalam dua bentuk, yaitu terserap (adsorbed) dan bebas. Gas dapat tersimpan dalam mikropori batubara karena batubara mempunyai kapasitas serap (adsorption). Besar kecilnya kapasitas serap di dalam batubara dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tekanan, temperatur, kandungan mineral, kandungan air, peringkat batubara, dan komposisi maseral batubara. Makin besar tekanan, kapasitas serapan juga semakin besar. Sewaktu mendekati batas jenuh, kecepatan serapnya semakin berkurang. Apabila tekanan berkurang maka hal itu akan memperbesar pelepasan gas (desorption). Oleh karena itu, dengan meningkatnya kedalaman, kandungan gas dalam batubara akan makin besar.Kelimpahan kandungan gas dalam batubara juga dipengaruhi oleh komposisi maseral dalam batubara, yaitu mineral khas batubara. Potensi pembentukan gas metana secara langsung akan berkaitan dengan komposisi maseral. Maseral yang mengandung banyak hidrogen akan lebih banyak menghasilkan gas metana. Batubara yang kaya akan inertinit tidak akan menghasilkan metana yang banyak karena inertinit relatif berpotensi kecil untuk menghasilkan hidrokarbon. Maseral inertinit dalam hampir semua batubara tidak cocok untuk proses hidrogenisasi karena kandungan hidrogen yang rendah. Namun, maseral liptinit akan paling banyak menghasilkan gas metana. Maseral liptinit cocok untuk proses hidrogenisasi karena liptinit mempunyai kandungan hidrogen yang paling tinggi, disusul dengan maseral vitrinit yang terdapat dalam batubara peringkat rendah dapat dengan mudah terhidrogenisasi.Gas metana batubara pada dasarnya hanya akan terikat pada fraksi organik dari batubara. Dalam batubara terdapat pengotor dalam berbagai bentuk yang biasanya disebut unsur mineral, atau dalam analisis kimia dicerminkan oleh kandungan abu dan sulfurnya. Dalam hal ini unsur mineral tersebut menempati ruang yang seharusnya dapat dipakai untuk menempelnya gas dalam mikropori batubara. Makin tinggi kandungan unsur mineral, semakin kecil kapasitas serapan gasnya. Pada prinsipnya kandungan air (moisture) dalam batubara mempunyai sifat yang sama dengan unsur mineral dalam kaitannya dengan kapasitas serapan gas dalam batubara. Makin tinggi kandungan air dalam batubara, semakin kecil kapasitas serap gasnya.Batubara Sebagai Batuan Induk danReservoirLapisan batubara dapat sekaligus menjadi batuan induk dan reservoir. Karena itu gas metana batubara dapat diproduksi secara insitu yang tersimpan pada rekahan (macropore), mesopore, atau micropore. Gas tersimpan pada rekahan dan sistem pori sampai terjadi perubahan tekanan pada reservoir oleh adanya air. Saat itulah gas kemudian keluar melalui matriks batubara dan mengalir melalui rekahan sampai yang terjadi pada saat pembatubaraan terjadi karena memadatnya batubara oleh pengaruh tekanan dan temperatur (devolatilization). Bertambahnya peringkat batubara mengakibatkan air dalam batubara keluar dan membentuk rekahan-rekahan. Rekahan tersebut umumnya ortogonal dan hampir tegak lurus dengan perlapisan. Rekahan yang dipengaruhi oleh tektonik tidak ada bedanya dengan rekahan dari proses pembatubaraan.Secara geometri rekahan pada batubara dibagi menjadi dua yaitu face cleat, yaitu rekahan yang bersifat lebih menerus, sebagai rekahan primer, dengan bidang rekahan tegak lurus dengan bidang perlapisan, dan butt cleat, yaitu rekahan yang kurang menerus karena dibatasi oleh face cleat. Bidang rekahan ini tegak lurus dengan face cleat. Selain itu diperlukan juga pemahaman mengenai arah gaya tektonik (stress) yang terjadi pada daerah eksplorasi. Hal ini diperlukan karena arah gaya tersebut dapat mempengaruhi permeabilitas batubara. Bila arah gaya tektonik sejajar dengan arah face cleat batubara, maka permeabilitas akan besar. Sebaliknya bila arah gaya tektonik tegak lurus denganarah face cleat, maka permeabilitas akan kecil. Hal ini disebabkan karena tekanan yang diberikan bukan melewati face cleat, melainkan melalui butt cleat.Rekahan batubara juga mempunyai komponen lain selain face dan butt cleat, yaitu bukaan (aperture) yang dimensi celah yang terbuka dalam rekahan tersebut, dan spasi (spacing) yang merupakan dimensi jarak antar-rekahan. Rekahan yang bukaannya terisi oleh mineral akan cenderung menghambat gas keluar dibandingkan dengan rekahan yang terbuka. Rekahan yang terisi ini mengurangi permeabilitas dari batubara.Spasi dan bukaan dalam rekahan batubara dipengaruhi oleh peringkat batubara, tebal lapisan, dan maseral. Spasi dan bukaan rekahan batubara berkurang dari peringkat batubara subbituminus hingga medium-low volatile bituminous, kemudian bertambah lagi pada peringkat batubara antrasit. Keadaan ini dikarenakan derajat pembatubaraan yang naik, sehingga akibat tekanan dan temperatur, rekahan-rekahan yang ada cenderung mengecil.Tebal lapisan batubara mempengaruhi perkembangan rekahan. Pada lapisan batubara yang tipis, rekahan umumnya berkembang dibandingkan pada lapisan batubara yang tebal. Lapisan batubara berciri mengkilap (kilap gelas), biasanya dibentuk oleh maseral yang kaya vitrinit, sehingga mempunyai rekahan yang banyak dibandingkan pada batubara yang kurang mengkilap (dull).Eksplo rasi dan Potensi IndonesiaUntuk memproduksi gas metana batubara, air pada reservoir harus dikeluarkan terlebih dahulu sebelum akhirnya gas dapat dikeluarkan. Rekahanrekahan dalam batubara biasanya dipenuhi oleh air. Air dalam lapisan batubara didapat dari adanya proses penggambutan dan pembatubaraan, atau dari masukan (recharge) air dalam singkapan dan akuifer. Air dalam lapisan tersebut dapat mencapai 90% dari jumlah air keseluruhan. Posisi ketinggian air sangat berpengaruh terhadap gas yang terperangkap pada lapisan batubara. Normalnya, tinggi air berada di atas lapisan batubara, dan menahan gas dalam lapisan batubara. Dengan cara menurunkan tinggi air, maka tekanan dalam reservoir berkurang, sehingga dapat melepaskan gas metana batubara.Agar tekanan dalam reservoir berkurang, air harus dikeluarkan dengan cara memompa air keluar dari lapisan batubara. Aliran air dapat menurunkan tekanan dalam lapisan batubara. Lapisan batubara harus teraliri air dengan baik hingga pada titik gas terdapat pada lapisan batubara. Hal ini dimaksudkan agar gas tersebut dapat mengalir melalui matriks dan pori, serta keluar melalui rekahan atau bukaan yang terdapat pada sumur. Gas metana batubara memiliki tingkat pelarutan yang sangat rendah dalam air, sehingga gas metana batubara dapat dengan mudah terpisah dari air. Gas metana batubara dapat pula bermigrasi secara vertikal dan lateral ke reservoir batupasir yang saling berhubungan, selain juga melalui sesar dan rekahan.Pada saat pertama produksi, sumur gas metana batubara belum menghasilkan gas dalam jumlah yang ekonomis. Pada tahap awal ini yang diproduksi adalah air. Pada tahap berikutnya volume air akan dikurangi (dewatering), agar gas dapat diproduksi lebih tinggi. Setelah tahap ini, produksi umumnya akan stabil. Seiring bertambahnya waktu, puncak produksi akan terjadi. Puncak produksi merupakan saat produksi gas metana batubara mencapai titik maksimal, dan akan menjadi titik pada saat produksi akan turun (decline). Volume gas yang diproduksi akan berbanding terbalik dengan volume air.Dalam pengeboran produksi gas metana batubara, dapat digunakan bor dangkal dengan jumlah yang banyak untuk mengejar target produksi. Cara lainnya adalah dengan pengeboran horizontal. Pengeboran ini menyasar rekahan-rekahan utama batubara (cleat) yang cenderung bersifat tegak lurus terhadap lapisan batubara.Kajian potensi gas metana batubara telah dilakukan oleh ARII (Advanced Resources International, Inc). Publikasi oleh Stevens dan Sani pada konfrensi tahunan IPA (Indonesian Petroleum Association) ke-28, tahun 2001 menyebutkan adanya sebelas cekungan yang berpotensi untuk gas metana batubara, yaitu Cekungan Ombilin, Sumatra Selatan, Sumatra Tengah, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Barito, Pasir/Asem-asem, Tarakan Utara, Jatibarang, Kutai, dan Berau. Potensi gas metana batubara tersebut diestimasi sebesar 453 TCF. Akan tetapi potensi gas metana batubara tersebut perlu ditinjau lebih jauh lagi karena ARII hanya melakukan kajian potensi berdasarkan data-data sekunder. Hanya melalui eksplorasi yang menyeluruh potensi gas metana batubara di cekungan-cekungan tersebut dapat benar-benar diketahui.Penulis adalah Penyelidik Bumi Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi. Oleh: Muhammad Abdurachman Ibrahim

Coal Bed Methane (CBM)Batubara adalah batuan yang kaya karbon berasal dari bahan tumbuhan (gambut) yang terakumulasi di rawa-rawa dan kemudian terkubur bersamaan dengan terjadinya proses-proses geologi yang terjadi. Dengan meningkatnya kedalaman penguburan, bahan tanaman mengalami pembatubaraan dengan kompaksi / pemampatan, melepaskan zat fluida (air, karbon dioksida, hidrokarbon ringan, termasuk metana) karena mulai berubah menjadi batubara. Dengan pembatubaraan dengan pendekatan yang sedang berlangsung, batubara menjadi semakin diperkaya dengan karbon DNA terus mengusir zat terbang. Pembentukan metana dan hidrokarbon lain adalah hasil dari pematangan termal pada bara, dan mulai di sekitar sub-bituminous A untuk tahap tinggi mengandung bitumen peringkat C, dengan jumlah metan yang dihasilkan meningkat secara signifikan.

Batubara dangkal memiliki peringkat rendah dan mungkin belum menghasilkan metana dalam jumlah besar. Lebih dalam bara ini terkubur, maka akan mengalami tingkat pematangan yang lebih besar. Sehingga pembatubaraan tinggi akan menghasilkan kuantitas lebih banyak metan daripada batubara dangkal.

Beberapa metana dalam batubara mungkin telah dihasilkan oleh aktifitas bakteri metanogen. Gas biogenik dapat diproduksi di setiap saat sepanjang proses pembatubaraan dengan pendekatan jika hadir kondisi yang tepat.Mengeluarkan gas metan pada batubara.

Gas metan tersimpan dalam batubara sebagai komponen gas yang teradsorpsi pada atau di dalam matriks batubara dan gas bebas dalam struktur micropore atau cleat lapisanbatubara. Gas ini berada di tempat tempat yg menjebaknya terutama karena adanya tekanan reservoir. Apabila kita dapat mengurangi tekanan reservoir ini, maka memungkinkan gas yang terperangkap akan dapat keluar dari micropore pada batubara ini.

Untuk mengeluarkan gas metan ini tentusaja harus mengurangi tekanan dengan mengalirkan seluruh fluida yang ada terutama air. Ya, air akan sangat banyak terdapat dalam sela-sela lapisan (cleat) juga micropore (porositas mikro) pada batubara ini.

Pada proses penambangan batubara, sering juga dijumapi air ini. Seringkali air membanjiri pada lubang-lubang pertambangan batubara. Dan tentusaja diikuti oleh keluarnya gas-gas metan. Itulah sebabnya seringkali terdengar adanya ledakan tambang yang merupakan akibat terbakarnya gas metan yang terakumulasi dilubang tambang.

Untuk mengurangi resiko ledakan terowongan tambang serta memanfaatkan gas metan yang keluar inilah maka ide CBM muncul sebagai solusi untuk dua hal yang saling berhubungan.

Dalam proses pengeluaran air inilah gas akan secara bersama-sama ikut terproduksi. Jumlah air yang terproduksi semakin lama semakin berkurang sedangkan jumlah gas yang ikut terproduksi bertambah. Proses ini disebut dewatering. Proses dewatering ini memakan waktu yang cukup lama bahkan hingga 3 tahun. Ya selama 3 tahun inilah masa-masa menunggu yang sangat melelahkan sekaligus masa deg-degan karena menunggu sebesarapabesar kapasitas produksi sumur ini.

Berbeda dengan proses produksi minyak dan gas konvensional dimana tekanan gas cukup besar sehingga gas akan keluar dahulu yang kemudian akan diikuti oleh air.

Dibawah ini perbandingan komposisi air dan gas pada proses pengurasan air hingga proses memproduksi gas.

Gambar Tahap produksi CBM

Tentusaja pada saat awal sumur ini dipompa hanya air yang diproduksi. Setelah tekanan pori-porinya berkurang maka akan keluarlah gasnya. Proses awal inilah yang memerlukan kesabaran, karena dapat memakan waktu hingga 3 tahun, bahkan mungkin 5 tahun masih akan memproduksi air.

Walaupun memakan waktu cukup lama, saat ketika memproduksi air ini akan tetap terproduksi gas metana walau dalam jumlah yang sangat kecil. Juga gas ini tentusaja memiliki tekanan yang sangat rendah. Bahkan sering diperlukan kompressor untuk mempompakan gas ke penampungan.Perbedaan CBM dengan gas konvensional.

Gas konvensional memiliki tekanan cukup tinggi sehingga produksi awalnya sangat besar dengan sedikit atau bahkan tanpa air yang ikut terproduksi. Dengan tekanan yang seringkali sangat tinggi ini menjadikan gas ini dapat ditransfer melalui pipa tanpa perlu pompa. Gas konvensional berisi metana C1H4 dan komponen-komponen gas hidrokarbon lainnya, bahkan dapat juga mengandung gas butana atau bahkan pentana yang sering kali menghasilkan kondensat.

Gas CBM seringkali berada pada lapisan batubara yang dangkal, sehingga memiliki tekanan yang sangat rendah. Pada masa produksi awal justru hampir 100% air. Dengan tekanan rendah ini maka apabila akan mengalirkan gas ini memerlukan kompressor untuk mendorong ke penampungan gas. Isinya diatas 95% hanya metana. Gas lainnya sangat sedikit. Sehingga sering disebut drygas atau gas kering.Porositas dan Luas PermukaanBatubara merupakan suatu material yang bersifat porous. Dengan demikian porositasnya dan luas permukaannya (Manhajan dan Walker, 1978) memiliki pengaruh yang dapat dipertimbangkan terhadap perilaku selama penambangan, preparasi, dan penanganannya.

Walaupun porositas mempengaruhi laju difusi metan keluar dari batubara (dalam lapisan batubara), dan terdapat juga beberapa pengaruh selama preparasi batubara dalam arti pemindahan mineral matter, tetapi efek yang banyak berpengaruh dari porositas batubara adalah pada penanganan batubara. Sebagai contoh, selama proses konversi batubara, reaksi-reaksi kimiawi yang terjadi antara produk-produk gas (dan atau cairan) dan permukaan yang menonjol, banyak secara inheren di dalam sistim pori.

Sistim pori batubara yang dipertimbangkan pada umumnya bersifat mikroskopis dengan ukuran sekitar 100 Angstrom dan bersifat makroskopis dengan ukuran lebih besar dari 300 Angstrom (Gan et al. 1972; Mahajan dan Walker, 1978). Peneliti lain (Kalliat et al, 1981), yang menyertakan investigasi sinar-X terhadap porositas dalam batubara, telah mengajukan beberapa keraguan terhadap hipotesis ini dengan mengemukakan suatu usul yang mana data adalah tidak konsisten dengan saran bahwa pori-pori mempunyai diameter dalam beberapa ratus Angstrom tetapi mempunyai batasan akses dalam kaitan dengan bukaan-bukaan kecil yang mana mengeluarkan zat lemas atau nitrogen (dan unsur lainnya) pada temperatur rendah. Melainkan, suatu interpretasi yang mana merupakan penekanan terhadap luas permukaan yang besar yang diperoleh oleh hasil adsorbsi sebagai hasil dalam jumlah besar dari pori-pori dengan minimum dimensi pori tidak lebih besar dari ca. 30 Angstrom.

Ada juga suatu indikasi bahwa penyerapan molekul-molekul kecil, seperti methanol, padabatubara terjadi oleh mekanisme site-specific (Ramesh et al., 1992). Dalam kasus demikian, muncul penyerapan yang terjadi pertama kali pada high-energy sites tetapi dengan meningkatnya kontinuitas penyerapan adsorbat (e.g., methanol) untuk mengikat permukaan dibanding molekul-molekul polar lainnya dari spesis yang sama, dan ini adalah suatu bukti penyerapan terjadi baik secara kimia maupun penyerapan secara fisika. Ditambahkan, pada selubung penutup permukaan kurang dari suatu bentuk monolayer, muncul sebagai lapisan aktivasi terhadap proses penyerapan. Apakah ditemukan mempunyai konsekuensi atau tidak untuk studi luas permukaan dan distribusi pori tetap dapat dilihat. Tetapi fenomena dari aktivasi penutup permukaan adalah sangat menarik, yang mana juga memilki konsekuensi untuk interpretasi efek permukaan selama proses pembakaran. Sebagai salah satu sisi efek ini, studi penyerapan dari molekul-molekul kecil pada permukaan batubara adalah di klaim terhadap struktur copolymeric batubara (Milewska-Duda, 1991).

Porositas batubara berkurang dengan meningkatnya kandungan karbon (King dan Wilkins, 1944) dan mempunyai nilai minimum sekitar 89% karbon lalu diikuti dengan meningkatnya porositas. Ukuran pori-pori juga bervariasi dengan meningkatnya kandungan karbon (rank); sebagai contoh, macrospore selalu utama dalam batubara dengan kandungan karbon yang paling rendah (rank) sedangkan batubara dengan kandungan karbon yang paling tinggi utamanya merupakan microspore. Begitupun, volume pori, yang mana dapat dihitung dari hubungan

Vp = 1/pHg -1/pHe

DimanapHgadalah density merkuri danpHeadalah densiti helium, berkurang dengan kenaikan kadar karbon. Sebagai tambahan, luas permukaan batubara bervariasi antara 10 200 m2 / g dan begitupun kecenderungan berkurang dengan bertambahnya kandungan karbon.

Porositas dan luas permukaan adalah dua propertis batubara yang sangat penting pada proses gassifikasi batubara, ketika reaktivitas batubara meningkat sama sepertiketika porositas dan luas permukaan batubara meningkat. Begitupun, laju gassifikasi adalah lebih besar untuk batubara peringkat rendah daripada batubara peringkat tinggii.Porositas batubara dihitung dengan persamaan dari hubungan.

P = 100 pHg (1/pHg -1/pHe)

Dengan menentukan apparent density batubara dalam fluida yang berbeda, tetapi diketahui, dimensi, adalah mungkin untuk menghitung ukuran dari distribusi pori Bukaan volume pori (V), misalnya, volume pori dapat diakses untuk partikular fluida, dapat dihitung dari hubungan:

v = 1/pHg - 1/pa

Dimanapaadalah apparent density dalam fluida.

Distribusi ukuran dari pori di dalam batubara dapat ditentukan dengan cara membenamkan batubara di dalam larutan merkuri dan tekanan meningkat secara progressif. Efek tegangan permukaan mencegah merkuri dari memasuki pori-pori yang memiliki diameter adalah lebih kecil dari nilai d yang diberikan untuk tiap tekanan partikular p seperti itu bahwa

p = 4ocos0/d

Dimanaoadalah tegangan permukaan fluida.

Berdasarkan jumlah merkuri yang masuk batubara untuk incremental dari tekanan, adalah mungkin untuk membentuk suatu gambaran distribusi ukuran (Van krevelen, 1957). Bagimanapun, total volume pori yang dihitung dengan metode ini adalah secara substansial kurang dari yang diturunkan dari densiti helium, dengan demikian memberikan suatu konsepbahwa batubara mengandung dua sistem pori: (1) sistim pori makro yang dapat diakses terhadap merkuri pada tekanan rendah dan (2) sistem pori mikro yang mana tidak dapat di akses oleh merkuri tetapi oleh helium. Dengan menggunakan cairan yang berbeda variasi ukuran molekulnya adalah mungkin untuk menentukan distribusi ukuran pori mikro. Bagaimanapun, aturan yang berperan tepat atau fungsi pori mikro sebagai bagian dari model struktur batubara adalah tidak dapat dipahami secara penuh, walaupun telah ditunjang bahwa batubara bertindak seperti suatu saringan molekular.

Batubara merupakan batuan sedimen nonklastik yang terdiri dari lebih dari 50% berat dan 70% volume material organik yang terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batuan sedimen nonklastik merupakan batuan sedimen yang terbentuk oleh proses kimia, biologi atau biokimia pada permukaan bumi tanpa mengalami proses erosi dan pengendapan seperti batuan sedimen klastik dan selanjutnya mengalami proses penguburan, pengompakan dan diteruskan dengan coalifikasi ditunjukkan pada Gambar 1.

Coalifikasi merupakan proses transformasi material organik menjadi bentuk material organik yang lain yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Dari tumpukan material organik kemudian mengalami transformasi menjadipeat, lignite, sub-bituminious, bituminious, antrachite dangraphite, yang umumnya disebut tingkatan/rank batubara.Coalifikasi juga menghasilkan produk samping berupa air dan gas. Dari proses coalifikasi ini dapat diketahui bahwa semua batubara mengandung gas seperti ditunjukkan pada Gambar 2yang menyatakan hubungan volume pembentukan gas sebagai fungsi dari rank batubara. Gambar 2 juga menunjukkan bahwarank bituminious mempunyai volume pembentukan gas yang paling tinggi. Rank peat tidak dimasukkan dalam hubungan ini karena penguburan dan terbentuknya peat masih dekat dengan permukaan, sehingga gas yang dihasilkan langsung terbebaskan.

Coal rank (tingkatan batubara) berhubungan erat dengan reservoir CBM karena terbentuknya gas-gas dibawah permukaan terjadi selama proses coalifikasi. Methane, karbondioksida dan komponen batubara lainnya merupakan hasil proses ini. Tingkatan batubara yaitu :

Lignite, berwarna hitam kecoklatan yang merupakan perubahan material tumbuhan yang kemudian akan menjadi peat, tapi tidak seperti batubara coklat.

Bituminous, soft coal yang mudah terbakar.

Anthracite, hard black coal dengan lebih dari 92% karbon.

Biasanya, tingkatan batubara meningkat sebanding dengan kedalaman karena batubara sangat sensitif terhadap temperatur, tekanan dan lamanya terkubur. Namun ada faktor lain yang mempengaruhi tingkatan batubara. Sehingga pada kedalaman yang sama bisa saja memiliki tingkatan yang berbeda. Tingkatan batubara yang komersial berada diantara sub-bituminous sammpai semi-antrachite karena umumnya memberikan kandungan gas yang optimum dan permeabilitas yang cukup untuk diproduksikan.

Maceral composition merupakan komponen organik mikroskopoik batubara, analog dengan mineral pada batuan. Ada tiga jenis utama maceral yaitu :

Jenis vitrinite, berasal dari pembusukan jaringan kayu.

Jenis exinite, berasal dari lapisan spora dan serbuk sari, kulit ari, damar dan jaringan lemak.

Jenis inertinite, umumnya berasal dari karbonisasi parsial berbagai macam jaringan tumbuhan di rawa-rawa.(Rightmire C., et al.,1984)

Salah satu hasil dari prosese coalifikasi adalah Coal Bed Methane merupakan gas yang dihasilkan dan tersimpan pada lapisan batubara, Lapisan batubara yang disebut reservoir CBM merupakan lapisan batubara yang berada >500 m dibawah permukaan dan diproduksikan fluida reservoirnya dengan membuat suatu sumur. Untuk lapisan batubara

Maka dari itu perlu diketahiu bagaimana kondisi reservoir CBM tersebut mulai porositas, permeabilitas, dan lain-lainya

Terbentuk dan terakumulasinya minyak dan gas dibawah permukaan harus memenuhi beberapa syarat yang merupakan unsur-unsur petroleum system yaitu adanya batuan sumber (source rock), migrasi hidrokarbon sebagai fungsi jarak dan waktu, batuan reservoir, perangkap reservoir dan batuan penutup (seal). Petroleum system pada reservoir CBM sama dengan reservoir migas konvensional namun karena lapisan batubara merupakan batuan sumber sekaligus sebagai reservoir, sehingga tidak memerlukan migrasi serta perangkap reservoir. Pada Tabel 1 ditunjukan beberapa perbedaan antara reservoir CBM dan reservoir gas konvensional.

Komponen reservoir CBM terdiri atas batuan reservoir, isi dari reservoir yang terdiri atas komponen utama yaitu gas alam sedangkan air sebagai komponen ikutan, batuan penutup (seal) reservoir dan kondisi reservoir. Reservoir CBM mempunyai porositas ganda.

Porositas merupakan total bagian volume batubara yang dapat ditemapti oleh air, helium atau molekul sejenisnya (GRI,1996). Pori-pori batubara dibagi ke dalam macropores (>500), mesopores (20 sampai 500 ) dan microspores (8 sampai 20 ). Macroporosity antara lain crack, cleat, fissure dan void in fusinite dsb. Macropore biasanya diisi oleh air dan gas bebas. Struktur micropore biasanya memiliki kapasitas aliran yang sangat rendah dan permeabilitas yang kecil (dalam range microdarcy), sebaliknya cleats memiliki kapasitas alir yang besar dan permeabilitas yang tinggi (dalam range milidarcy). Oleh karena itu, batubara dianggap material dengan sistem dual-porosity.

Permeabilitas merupakan kemampuan material untuk melewatkan fluida melalui medium porinya. Permeabilitas merupakan salah satu sifat fisik yang berperan penting untuk memroduksikan gas pada economical rate. Fluida di batubara yakni air dan gas mengalir melalui cleat dan rekahan. Cleatmerupakan rekahan vertikal yang terbentuk secara alami selama proses coalifikasi. Arahnya dikontrol oleh gaya tektonik. Cleat terbentuk oleh dua atau lebih set sub-paralel fracture yang arahnya tegak lurus lapisan (GRI,1996). Facecleat berhubungan dengan fracture yang dominan. Orientasi face cleat merupakan hasil gaya tektonik. Butt cleat biasanya tegak lurus face cleat.

Pada batubara, permeabilitas sangat jelas dan tergantung gaya. Gaya horizontal yang tegak lurus dengan face cleatyang terbuka akan menyebabkan pemeabilitas rendah. Ketika kondisi tegangan kecil, rekahan (fracture) alami akan terbuka dan memberikan permeabilitas untuk mengali melalui lapisan batuan. Lipatan dan patahan dapat menambah permeabilitas batubara melalui rekahan alami.

Selain itu, mineral yang mengisi cleat dapat mempengaruhi permeabilitas batubara. Mineral seperti calcite, pyrite, gypsum, kaolinite dan illite dapat mengisi cleat dan menyebabkan berkurangnya permeabilitas. Jika sebagian besar cleat terisi maka permeabilias absolut akan menjadi sangat rendah.

Adsorption isotherm didefinisikan sebagai kemampuan batubara untuk menyerapa gas methane dalam kondisi tekakan tertentu pada suhu konstan.adsorption isotherm di rumuskan oleh langmuir yang dikenal sebagai isothrem langmuir dengan persamaan untuk menghitung kemampuan menyerapa (sorption capacity) :

Oleh karena itu, sifat utama yang perlu diketahui pada reservoir CBM merupakan prosedur yang penting untuk menjelaskan bagaimana methane tersimpan di batubara, bagaimana methane bisa terlepas dan karakteristik alirannya. Pada dasarnya terdapat dua konsep dalam memahami CBM yaitu methane storage dan methane flow.Penyimpanan Gas pada Reservoir CBMMethane terdapat dalam batubara karena salah satu dari tiga tahap berikut yaitu : (a) Sebagai molekul yang terserap pada permukaan organik, (b) Sebagai gas bebas dalam pori atau rekahan, dan (c) Terlarut dilarutan dalam coalbed (Rightmire, C T et al., 1984). Namun, methane dalam jumlah besar terdapat dalam batubara terserap pada lapisan monomolecular dan hanya ada sedikit gas bebas yang berada pada cleat. Proses penyerapan ini dipengaruhi oleh tekanan, temperatur dan tingkatan batubara. Peningkatan tekanan dan tingkatan batubara dan penurunan temperatur, maka kapasitas metahne dalam batubara akan meningkat. Jadi umumnya lapisan batubara yang lebih dalam memiliki jumlah metahane yang lebih besar pada rank yang sama (gambar 2). selain itu, semakin tinggi rank maka kapasitas penyimpanan akan meningkat pula.

Jumlah methane yang dihasilkan dari proses perubahan dari peat menjadi anthracite lebih besar daripada kapasitas batubara untuk menyerapnya. Boyer dkk berkata jumlah methane (dan gas-gas yang lainnya) yang dihasilkan selama proses coalifikasiumumnya meleang bihi kapasitas penyimpanan batubara, dan kelebihan methane ini seringkali bermigrasi ke sekeliling lapisan. Contohnya, kandungan gas yan tertinggi untuk batubara anthracite di Amerika sebesar 21.6 m3/ton3, hanya sekitar 12% dari jumlah methane yang dihasilkan selama prosescoalifikasi secara teoritis. Fakta ini dapat dijelaskan karena tekanan tekanannya saat ini telah berkurang banyak dibandingkan tekannanya saat terbentuk dan jumlah gas yang dihasilkan biasanya melebihi kapasitas penyerapan lapisan batubara.

Hubungan antara tekanan dan kapasitas batubara dapat dijelaskan menggunakan Langmuirs Isoterm (gambar 3). Secara umum, kaspasitas batubara untuk menyerap gas berupa fungsi non-linear tekanan. Desorption isoterm menunjukkan kosentrasi gas yang terserap pada matriks abtubara berubah sebagai fungsi tekanan gas bebas di sistem cleat batubara. Oleh karena itu, ini menunjukkan hubungan antara aliran di sistem matriks dan aliran di sistem cleat. Hubungan non-linear didefinisikan dengan persamaan Langmuir.

Hasil lain dari proses coalifikasi adalah air. Air memiliki tempat yang penting dalam analisa CBM. Air dapat tersimpan dibatubara melalui dua cara, yaitu : (a) sebagai air yang terikat di matriks batubara dan (b) sebagai air bebas pada cleat. Matriks yang mengikat air tidak mobile dan menunjukkan pengaruh yang signifikan dalam recovery methane dari batubara. Namu, air bebas pada cleat merupakan salah satu parameter yang penting dalam produksi methane. Air bebas bersifat mobile pada saturasi air yang tinggi (lebih besar dari 30%). Banyak endapan batubara merupakan sistem aquifer yang aktif dan saturasi airnya 100% pada cleat

Mekanisme Perpindahan Gas Dalam ReservoirDalam memproduksikan gas dari reservoir CBM, aliran methane mengalami tiga taha yaitu : (a) gas mengalir dari rekahan alami (b) gas terlepas dari permukaancleat dan (c) gas terdifusi melalui matriks menujucleat (GRI,1996).

Sebagian besar methane tersimpan di dalam matriks. Tetapi, tekanan dibatubara sangat rendah, fluida yang mengalir di system cleat adalah air dan dalam gas bebas jumlah yang kecil serta gas yang terlarut dalam air. Setelah proses dewatering, methane terlepas (tahap desorption) dari permukaan batubara. Desorption merupakan proses dimana molekul methane terlepas dari permukaan micropore matriks batubara dan masuk ke system cleat dimana berupa gas bebas (Setelah terlepas dari permukaan batubara, aliran methane di matriks mulai berpindah ke system cleatkarena perbedaan gradient konsentrasi gas di kedua zona tersebut (difusi). Difusi merupakan proses dimana aliran terjadi melalui pergerakan molekul secara acak dari daerah yang memiliki konsentrasi tinggi ke daerah yang konsentarsinya lebih rendah (GRI,1996).Mekanisme Produksi Di Reservoir CBM

Produksi CBM melalui 3 tahap selama life-timenya. Kelakuannya sangat berbeda dari sumur gas konvensional. Profil produksi sumur CBM ditunjukkan pada Gambar 4. Selama tahap I, sumur CBM mengalami produksi air yang konstan dengan peningkatan produksi gas serta penurunan tekanan alir dasar sumur yang sangat rendah bahkan dapat diabaikan. Awalnya, sumur CBM dipenuhi dengan air karena terbebaskan pada saat proses coalifikasi. Air mengisi jaringan cleat yang utama. Untuk memproduksikan gas maka air yang mengisi sebagian besar cleat harus dikeluarkan. Secara teori, produksi air akan mengurangi tekanan hydarulic pada batubara karena pelepasan gas. Proses ini dikenal sebagaidewatering. Waktu proses dewatering dan jumlah air yang terproduksi sangat bervariasi. Akibatnya akan sangat sulit untuk memperkirakan pengaruhnya dalam hal keekonomiannya. Oleh karena itu, lapisan batubara harus dikontrol dengan sifat fisiknya. Sifat fisik utama yang mempengaruhi efisiensi prosesdewatering antara lain permeabilitas, kandungan gas yang diserap, kura permeabilitas relatif dan kurva tekanan kapiler, koefiesien difusi dan desorption isoterm. Diakhir tahap pertama, sumur akan memiliki tekanan alir dasar sumur yang minimum.

Tahap kedua ditandai dengan menurunnya produksi air dan meningkatnya laju produksi gas. Permeabilitas relatif air akan menurun dan permeabilitas relatif gas akan naik. Batas terluar menjadi sangat signifikan dan laju pelepasan gas akan berubah secara dinamis. Batas antara tahap II dan III ditandai dengan dicapainya puncak laju alir gas. Selama tahap III prosesdewatering tetap terjadi tapi jumlahnya sangat sedikit bahkan dapat diabaikan.