elektrofisiologi jantung

27
ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG DAN MEKANISME ARITMIA PENDAHULUAN Elektrofisologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai mekanisme terbentuknya fenomena elektris dan konsekuensinya dalam kehidupan suatu organisme (Dorland, 2007). Elektrofisiologi jantung mempelajari tentang mekanisme, fungsi dan keberadaan aktivitas elektris di jantung termasuk inisiasi impuls dan konduksi dari level seluler. Gangguan jantung dengan dasar gangguan proses elektrik adalah aritmia. Aritmia umumnya didiagnosis klinis berdasarkan gambaran electrocardiogram (ECG), yang mencerminkan arus listrik akibat proses eksitasi otot jantung keseluruhan. Gambar 1 menggambarkan kaitan antara proses elektrofisologis seluler dengan ECG. Gambar 1. Hasil EKG dan potensial aksi di di sel miosit ventrikel (Wildmaier et al, 2001) Aritmia sering terjadi pada manusia dengan penyakit jantung yang mendasari atau pada jantung yang secara struktur normal. Walaupun manifestasi klinik aritmia sangat bervarisasi namun dapat terjadi fenomena elektrofisiologis yang serupa dalam level seluler (Gaztanaga et al, 2012). Terdapat 3 mekanisme utama terjadinya aritmia yaitu automatisitas, trigerred activity dan reentry, semuanya merupakan bentuk perubahan karakter elektrofisiologis jantung. Untuk memahami ketiga hal tersebut diperlukan pengetahuan dasar elektrofisiologi jantung misalnya mengenai potensial membran, potensial aksi, periode refraktori dan sistem konduksi. Pemahaman mengenai mekanisme aritmia penting dalam pengembangan penegakan diagnosis dan manajemen. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai dasar elektrofisiologi jantung dan mekanisme utama terjadinya aritmia.

Upload: wawansetia838668

Post on 08-Aug-2015

404 views

Category:

Documents


28 download

DESCRIPTION

Tentang Aritmia

TRANSCRIPT

ELEKTROFISIOLOGI JANTUNG DAN MEKANISME ARITMIA

PENDAHULUAN

Elektrofisologi adalah ilmu yang mempelajari mengenai mekanisme terbentuknya fenomena elektris

dan konsekuensinya dalam kehidupan suatu organisme (Dorland, 2007). Elektrofisiologi jantung

mempelajari tentang mekanisme, fungsi dan keberadaan aktivitas elektris di jantung termasuk

inisiasi impuls dan konduksi dari level seluler. Gangguan jantung dengan dasar gangguan proses

elektrik adalah aritmia. Aritmia umumnya didiagnosis klinis berdasarkan gambaran

electrocardiogram (ECG), yang mencerminkan arus listrik akibat proses eksitasi otot jantung

keseluruhan. Gambar 1 menggambarkan kaitan antara proses elektrofisologis seluler dengan ECG.

Gambar 1. Hasil EKG dan potensial aksi di di sel miosit ventrikel (Wildmaier et al, 2001)

Aritmia sering terjadi pada manusia dengan penyakit jantung yang mendasari atau pada jantung

yang secara struktur normal. Walaupun manifestasi klinik aritmia sangat bervarisasi namun dapat

terjadi fenomena elektrofisiologis yang serupa dalam level seluler (Gaztanaga et al, 2012). Terdapat

3 mekanisme utama terjadinya aritmia yaitu automatisitas, trigerred activity dan reentry, semuanya

merupakan bentuk perubahan karakter elektrofisiologis jantung. Untuk memahami ketiga hal

tersebut diperlukan pengetahuan dasar elektrofisiologi jantung misalnya mengenai potensial

membran, potensial aksi, periode refraktori dan sistem konduksi. Pemahaman mengenai mekanisme

aritmia penting dalam pengembangan penegakan diagnosis dan manajemen. Pada tulisan ini akan

dibahas mengenai dasar elektrofisiologi jantung dan mekanisme utama terjadinya aritmia.

POTENSIAL MEMBRAN

Setiap membran sel mempunyai potensial membran yang terjadi karena perbedaan konsentrasi ion

di sitoplasma dengan interstitial dan berubah bila ada aliran ion melintasi membran (Mohrman and

Haller, 2006). Potensial membran istirahat didefinisikan sebagai perbedaan potensial listrik (voltase)

pada membran sel eksitabel selama kondisi istirahat. Potensial membran istirahat sel tubuh berada

dalam rentang +5 sampai -100 mV. Pada sebagian besar sel, potensial membran istirahat berada

dalam kondisi terpolarisasi dengan nilai negatif, yang berarti bagian intrasel lebih negatif dari bagian

ekstrasel. Sel pacemaker jantung mempunyai potensial membran istirahat -60 mV sedangkan sel

otot jantung -90 mV (Tortora dan Dericsson, 2010).

PERANAN KANAL ION

Secara umum ion bersifat tidak larut lipid sehingga tidak mampu menembus membran lipid bilayer

dengan bebas. Ion keluar atau masuk sel melalui struktur protein transmembran yang dapat berupa

1) kanal ion, 2) ion exchanger, 3) pompa ion. Dari ketiganya (gambar 2), yang bertanggungjawab

terhadap potensial membran istirahat dan perubahan cepat pada saat timbulnya potensial aksi

adalah kanal ion.

Gambar 2. Protein transmembran untuk aliran ion (Jalife et al, 2009)

Otot jantung mempunyai 3 tipe kanal ion yaitu kanal ion gerbang voltase, kanal ion gerbang ligand

dan kanal ion gerbang mekanik. Pada kondisi normal kanal ion gerbang voltase yang memengang

peran utama dalam penjalaran potensial aksi. Kanal jenis ini mempunyai domain protein bermuatan

sebagai sensor voltase (gambar 3) yang sensitive terhadap perubahan potensial membran (Jalife et

al, 2009)

Gambar 3. Sensor voltase dan keadaan kanal (Jalife et al, 2009)

Kanal ion mempunyai sifat 1) dibentuk oleh molekul protein yang melintasi membran, 2) spesifik

terhadap ion tertentu, 3) berada pada keadaan yang bervariasi yaitu terbuka, tertutup dan inaktif

(Mohrman and Haller, 2006). Tabel 1 dan 2 berikut adalah beberapa kanal ion utama di jantung.

Tabel 1. Kanal Na dan Ca

Arus Kanal Peran fungsional

If

(funny) Na (arus pada pacemaker) Voltase dan ligand

Diaktifkan oleh hiperpolarisasi

Berperan pada depolarisasi diastolik yang tidak stabil

Dipacu oleh stimulasi simpatis INa Kanal Na (cepat)

Voltase Berperan dalam fase 0 potensial aksi

Inaktifasi kanal berperan dalam fase 1 potensial aksi ICa Kanal Ca-L (lambat)

Voltase dan ligand Ditekan oleh stimulasi vagal (parasmpatis)

Berperan dalam fase 2 potensial aksi (plateu)

Inaktifasi kanal berperan dalam fase 3

Dipacu oleh stimulasi simpatis dan agen beta adrenergik

Tabel 2. Kanal K

Arus Kanal Peran fungsional

ITo Kanal K (transient outward)

Kontribusi fase 1 potensial aksi

IKI Kanal K (inward rectifier)

Menjaga permeabilitas K yang tinggi selama fase 4

Decay berperan dalam depolarisasi diastolik

Penekanan pada fase 0-2 berperan dalam plateu IK Kanal K

(delayed rectifier) Menyebabkan fase 3 potensial aksi

Dipacu bila ada peningkatan Ca intrasel

Terdiri dari komponen rapid (IKr) dan slow (IKs) IKATP Kanal K

(sensitif ATP) Meningkatkan permebilitas K jika ATP rendah

IKAch Kanal K (diaktifkan Ach) Ligand

Bertanggungjawab terhadap efek stimulasi vagal

Penurunan depolarisasi diastolic dan frekuensi denyut jantung

Membuat hiperpolarisasi potensial membran

Memendekan fase 2 potensial aksi (Modifikasi dari Mohrman and Haller, 2006; Barret et al 2009)

(

PERUBAHAN POTENSIAL MEMBRAN

Perubahan keadaan kanal ion akan menyebabkan perubahan pada permeabilitas membran.

Peningkatan permeabilitas membran terhadap suatu ion disebabkan oleh peningkatan jumlah kanal

ion yang terbuka. Bila kanal ion terbuka maka terjadilah aliran ion melintasi membran sehingga

konsentrasi ion intrasel dan ekstrasel berubah. Perubahan permeabilitas membran plasma terhadap

ion tertentu dapat mengubah potensial membran dari keadaan istirahat. Perubahan tersebut dapat

berupa depolarisasi, overshoot, repolarisasi dan hiperpolarisasi (gambar 4)

Gambar 4. Perubahan Potensial Membran (Wildmaier et al, 2001)

Tiga ion utama yang berperan dalam menentukan potensial membran jantung adalah ion natrium

(Na), Kalium (K) dan Kalsium (Ca). Konsentrasi ion Na dan Ca lebih tinggi di ekstrasel sedangkan ion K

lebih tinggi di intrasel (Mohrman and Haller, 2006). Pembukaan kanal ion menyebabkan suatu

inward current atau outward current (gambar 5). Peningkatan permebilitas membran terhadap ion

Na dan Ca menyebabkan aliran ion bermuatan positif ke dalam sel (inward current) sehingga

polaritas membran berkurang (arus defleksi negatif, voltase depolarisasi). Sebaliknya peningkatan

permeabilitas membran terhadap ion K menyebabkan aliran ion positif keluar sel (outward current)

sehingga polaritas membran bertambah (arus defleksi positif, voltase repolarisasi). Penutupan atau

inaktivasi kanal ion menghentikan efek ini. Proses yang melibatkan aliran ketiga ion utama ini

mendasari terbentuknya potensial aksi di jantung.

Gambar 5. Inward dan outward current (Jalife et al, 2009)

Setelah terjadi proses potensial aksi maka komposisi ionik ekstra dan intrasel jantung menjadi

berubah. Kadar ion Na dan Ca intrasel menjadi bertambah sedangkan kadar K menjadi berkurang.

Untuk mencegah overload Ca intrasel dan mengembalikan komposisi ionik seperti semula maka

terdapat 3 mekanisme pompa ion (gambar 6). Tiga pompa ion itu adalah 1) pompa aktif Ca keluar sel

yang membutuhkan ATP, 2) mekanisme pompa NCX atau Na-Ca Exchanger dengan perbandingan Na

masuk dan Ca keluar 3:1, 3) transport aktif pompa ion Na/K ATPase mengeluarkan Na dan

memasukan K dengan perbandingan 3:2,

Gambar 6. Mekanisme mencegah overload Ca

Potensial aksi jantung di beberapa bagian jantung mempunyai karakter yang berbeda karena

perbedaan properti elektrofisiologisnya. Secara umum mekanisme timbulnya potensial aksi

dibedakan menjadi dua yaitu potensial aksi yang terjadi di pacemaker dan di otot kontraktil jantung.

Potensial aksi yang timbul di pacemaker merupakan “slow response action potential” sedangkan di

otot jantung merupakan “fast response action potential” (Tabel 3)

Tabel 3. Perbandingan Slow dan Fast Response Action Potential

Slow Response Action Potential Fast Response Action Potential

potensial aksi pacemaker

Inisiasi depolarisasi lebih lambat

amplitude potensial aksi yang lebih rendah

fase plateu yang pendek dan tidak stabil

repolarisasi yang lambat menuju potensial membran istirahat yang tidak stabil

potensial aksi sel otot jantung

depolarisasi cepat, overshoot tinggi (fase 0)

repolarisasi cepat setelah overshoot (fase 1)

adanya plateu yang lama (fase 2)

repolarisasi (fase 3) ke potensial membran istirahat yang stabil dan sangat negatif (fase 4).

(Modifikasi dari Mohrman and Haller, 2006)

MEKANISME POTENSIAL AKSI SEL PACEMAKER

Pacemaker jantung terdiri dari nodus sinoatrial (SA) dan nodus atrioventricular (AV) yang dapat

membentuk potensial aksi secara spontan (gambar 7). Pada kondisi normal nodus SA adalah

pacemaker utama jantung, memiliki potensial membran “istirahat” -60 mV yang tidak stabil yang

senantiasa terdepolarisasi dengan threshold potensial aksi -40mV. Kondisi ketidaksatabilan potensial

membran istirahat di pacemaker diistilahkan sebagai “depolarisasi fase 4”, “diastolik depolarisasi”

atau “potensial pacemaker” (Mohrman and Haller, 2006).

Gambar 7. Mekanisme Potensial Aksi di Pacemaker

Depolarisasi Spontan Pacemaker

Inisiasi depolarisasi diastolik spontan terjadi terutama oleh kanal ion Na pacemaker (If). Kanal ion ini diaktifkan oleh kondisi hiperpolarisasi, setelah potensial aksi berakhir (fase 4). Masuknya ion Na secara lambat meningkatkan potensial membran sampai -40mV (treshold terjadinya potensial aksi). Kanal lain yang terlibat adalah kanal ion Ca. Aliran masuk ion Ca karena pembukaan kanal Ca tipe T (ICa-T) berperan dalam kompletnya prepotensial Terdapat bukti bahwa pelepasan lokal ion Ca dari reticulum sarkoplasma (Ca sparks) juga terjadi selama prepotensial.

Potensial aksi pacemaker

Ketika depolarisasi spontan mencapai threshold maka potensial aksi timbul (overshoot). Potensial aksi pacemaker terjadi terutama karena pembukaan kanal ion Ca tipe L (ICa-L) sehingga ion Ca masuk sel (Ca dependent). Kanal ion Ca bersifat lambat membuka dan lambat menutup sehingga depolarisasi dan repolarisasi membran pacemaker lebih lambat dibanding pada otot jantung.

Repolarisasi dan hiperpolarisasi

Repolarisasi terjadi karena pembukaan kanal ion K (IK) dan penutupan kanal ion Ca. Ion K akan keluar sel dan Ca berhenti masuk sel. Akibatnya potensial membran semakin negatif sampai potensial pacemaker paling negative yang disebut maximal diastolic depolarization (MDP). Setelah potensial membran mencapai MDP maka kondisi hiperpolarisasi ini memicu proses depolarisasi spontan sehingga potensial aksi terjadi kembali.

(Barret et al, 2009

MEKANISME POTENSIAL AKSI OTOT JANTUNG

Berbeda dengan pecemaker, otot jantung mempunyai potensial membran istirahat yang lebih

negatif dan stabil yaitu sekitar -90mV. Bila ada aliran muatan positif (Na dan Ca) melalui gap

junction maka muatan di dalam sel semakin positif sampai potensial membran mencapai treshold

potensial aksi yaitu sekitar -65mV. Secara lengkap mekanisme potensial aksi di otot jantung terbagi

menjadi fase 0 sampai 4 (gambar 8).

Gambar 8. Mekanisme potensial aksi di sel otot Jantung (non pacemaker)

Fase 0 atau fase depolarisasi cepat

Secara tiba-tiba permeabilitas membran terhadap ion Na meningkat. Pembukaan kanal Na (INa) menyebabkan ion Na masuk sel dan terjadilah potensial aksi (overshoot). Pembukaan kanal Na ini cepat dan hanya sebentar yang selanjutnya menjadi inaktif (kondisi tertutup tidak bisa dibuka). Kanal Na hanya dapat diaktifasi kembali bila potensial membran di bawah -50 mV.

Fase 1 atau fase repolarisasi cepat inisial

Penutupan kanal Na menyebabkan terhentinya aliran masuk ion Na. Penutupan ini bersamaan dengan pembukaan kanal K sesaat (ITO) sehingga ion K keluar sel. Kedua proses ini bertanggungjawab terhadap repolarisasi cepat namun sementara.

Fase 2 atau fase plateu

Fase plateu terjadi karena pembukaan kanal ion Ca tipe L (long period, ICa-L) sehingga ion Ca masuk sel. Proses masuknya ion Ca akan berimbang dengan keluarnya ion K (IK terdiri dari rapid IKr dan slow IKs)yang menyebabkan potensial membran relative konstan dalam kondisi positif. Masuknya ion Ca akan memicu pelepasan ion Ca dari reticulum sarkoplasmicum ke sitoplasma yang menginiasi terjadinya kontraksi sel otot jantung.

Fase 3 atau fase repolarisasi cepat akhir

Aktifnya kanal ion K berbagai tipe (IK, IKs, dan IKI) dan inaktifnya kanal ion Ca menyebabkan berhentinya fase plateu dan terjadi repolarisasi.

Fase 4 kondisi potensial membran istirahat

Aliran keluar K (IKI) bertanggungjawab terhadap repolarisasi final ke kondisi potensial membran istirahat.

(Barret et al, 2009)

Periode Refraktori

Karakteristik sel eksitabel adalah ketika sel teraktivasi maka terdapat periode dimana potensial aksi

yang berikutnya tidak dapat dibentuk. Interval waktu saat sel tidak dapat dire-eksitasi disebut

periode refraktori. Periode refraktori dibagi menjadi dua (gambar 9) yaitu periode refraktori absolut

dan periode refraktori relatif. Hal ini disebabkan karena selama depolarisasi kanal Na menjadi inaktif.

Agar kanal Na menjadi konduktif lagi maka dibutuhkan suatu periode recoveri dari inaktif menjadi

aktif, yang diinisiasi oleh repolarisasi Pada periode refraktori absolute sel tidak dapat dieksitasi

berapapun amplitudo gelombang impuls yang datang sedangkan pada periode refraktori relatif sel

masih dapat tereksitasi namun memerlukan arus yang lebih tinggi dari normal (Jalife et al, 2009).

Gambar 9. Periode refraktori absolute dan relative (Gaztanaga et al, 2012)

Periode refraktori sel jantung relative lebih panjang dibandingkan sel eksitabel lain misalnya neuron

dan sel skelet. Sel jantung tidak dapat diaktivasi kembali bila belum relaksasi dari kontraksi

sebelumnya (gambar 10) dan hal ini mencegah terjadinya kontraksi tetanik sel otot jantung (Jalife et

al, 2009)

Gambar 10. Periode refraktori terjadi lama, sampai otot relaksasi dahulu (Wildmaier et al, 2001)

PENJALARAN IMPULS PACEMAKER-OTOT JANTUNG

Impuls dari pacemaker kemudian diteruskan dengan cepat melalui sistem konduksi ke seluruh otot

jantung sehingga menimbulkan kontraksi otot jantung. Sistem konduksi jantung terdiri dari 1) nodus

SA sebagai sumber impuls jantung pada kondisi normal, 2) jalur internodus yang menghantarkan

impuls dari nodus SA ke nodus AV, 3) nodus AV tempat perlambatan impuls sebelum ke otot

ventrikel 4) berkas AV (AV bundles, bundle of His) yang menghantarkan impuls dari atrium ke

ventrikel dan 5) berkas Purkinje dan cabangnya (left and right bundle branch of Purkinje) yang

menghantarkan impuls ke seluruh otot ventrikel.

Gambar 11. Sistem konduksi jantung (Barret et al, 2009)

Potensial pacemaker atau prepotensial senantiasa mengalami depolarisasi spontan menuju

threshold potensial aksi sehingga terjadi impuls yang berkelanjutan dan ritmis. Potensial pacemaker

hanya terdapat pada nodus SA dan AV namun “pacemaker laten” pada bagian lain sistem konduksi

dapat mengambil alih apabila simpul SA dan AV tertekan atau hantaran dari keduanya terhambat.

Walaupun otot atrium dan ventrikel tidak mempunyai prepotensial namun dapat mengeluarkan

impuls spontan bila terjadi kerusakan jaringan atau keadaan abnormal (Barret et al, 2009).

Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kecepatan konduksi

PRINSIP MEKANISME ARITMIA

Mekanisme utama terjadinya aritmia adalah automatisitas, triggered activity dan reentry.

Mekanisme aritmia ini selanjutnya dikelompokan menjadi dua yaitu gangguan pembentukan impuls

dan gangguan konduksi impuls (tabel 4). Automatisitas dan trigerred activity termasuk dalam

kelompok gangguan pembentukan impuls sedangkan reentry adalah bentuk gangguan konduksi

impuls. Aritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh terjadinya salah satu gangguan atau kombinasi

keduanya.

Tabel 4. Pembagian mekanisme aritmia jantung

(Gaztanaga et al, 2012)

GANGGUAN PEMBENTUKAN IMPULS

AUTOMATISITAS

Pada kondisi normal nodus SA paling cepat membentuk potensial aksi spontan (fastest rate of firing)

sehingga mencegah pembentukan impuls spontan pacemaker lain yang lebih lambat (gambar 12).

Setiap kali nodus SA terjadi potensial aksi maka impuls akan dijalarkan ke nodus AV, Bundle His dan

Purkinje. Sebelum pacemaker laten tersebut mencapai potensial threshold intrinsik, sudah

mendapat impuls kembali dari nodus SA sehingga mereka tidak sempat mencetuskan impuls sendiri.

Gambar 12. Frekuensi intrinsik pacemaker (Despopoulos, 2003)

Kecepatan pembentukan potensial aksi spontan ditentukan oleh interaksi 3 faktor yaitu a)

kemiringan depolarisasi fase 4 (prepotential, potensial pacemaker), b) potensial threshold untuk

inisiasi potensial aksi, dan c) maximum diastolic potential (MDP). Perubahan dari ketiga hal tersebut

dapat mengubah kecepatan inisiasi impuls (gambar 13).

Gambar 13. Faktor yang mempengaruhi potensial pacemaker (Despopoulos, 2003)

Tanda khas dari automatisitas normal adalah adanya “overdrive suppression”. Pade pacemaker laten

yang diambil alih (overdriving), frekuensi terbentuknya impuls terjadi lebih cepat dari frekuensi

intrinsiknya dan terjadi penurunan kemiringan fase 4 sebagian besar karena peningkatan aktivitas

pompa Na/K (terjadi hiperpolarisasi).

Pada pacemaker laten, arus depolarisasi dari pacemaker primer memicu masuknya Na ke dalam sel

(gambar 14). Peningkatan kadar natrium intrasel ini memicu pompa Na/K ATPase untuk

mengeluarkan natrium dan bertukar dengan kalium. Semakin sering terjadi arus depolarisasi maka

semakin aktif kerja pompa. Karena perbandingan ion Na masuk dan K keluar adalah 3:2 maka

potensial membrane semakin negatif (hiperpolarisasi). Hal ini mengimbangi proses depolarisasi

otomatis oleh kanal “funny” (If) sehingga sel pacemaker laten tidak pernah terdepolarisasi otomatis

mencapai potensial tresholdnya dan mencegah terjadinya potensial aksi spontan sesuai irama

intrinsiknya.

Gambar 14. Mekanisme ionik overdrive supression

Ketika stimulasi “overdrive” dihentikan (gambar 15), frekuensi pembentukan impuls kembali sesuai

dengan frekuensi intrinsik secara bertahap (disebut periode “warm-up”). Karena overdrive, terjadi

overload Na intrasel sehingga ketika “overdrive” berhenti, pompa Na/K memerlukan waktu untuk

kembali ke pola aktivitas dasarnya. Hal ini yang menjelaskan adanya jeda beberapa saat sebelum

pacemaker laten tersebut kembali ke frekuensi intrinsik. Tingkat supresi dan waktu recover

proporsional dengan frekuensi dan durasi stimulasi yang diberikan.

Gambar 15. Overdrive suppression dengan periode “warm up” (Castanaganza et al, 2012)

Mekanisme ini berperan penting dalam menjaga irama sinus, yang secara berkelanjutan

menghambat pacemaker laten dibawahnya. Pada pasien dengan pacemaker eksternal, irama

intrinsik juga disupresi melalui mekanisme ini. Tidak adanya “overdrive suppression”

mengindikasikan bahwa aritmia yang terjadi ditimbulkan oleh mekanisme selain peningkatan

automatisitas normal.

Aktivitas pacemaker dikontrol oleh sistem saraf otonom (gambar 16) dan dapat dipengaruhi oleh

berbagai factor sistemik termasuk gangguan metabolik, substansi endogen atau obat-obatan.

Gambar. 16. Frekuensi Instrinsik rate nodus SA dan interaksi dengan tonus otonom

Keadaan yang mempengaruhi firing rate nodus SA

AUTOMATISASI NORMAL YANG BERUBAH

Aktivitas parasimpatik mengurangi kecepatan pembentukan impuls pacemaker dengan melepaskan

acetylcholine (Ach) sehingga terjadi hiperpolarisasi sel melalui peningkatan konduktansi kanal K (IK-

Ach). Selain itu juga mengurangi aktivitas kanal Ca (ICa-L) dan aktivitas kanal Na funny (If) sehingga

makin memperlambat pembentukan impuls (gambar 17).

Gambar 17. Efek simpatis dan parasimpatis pada potensial pacemaker (Wildmaier et al, 2001)

Sebaliknya aktivitas simpatik meningkatkan kecepatan pembentukan impuls sinus. Katekolamin

meningkatkan permeabilitas kanal Ca tipe L (Ica-L) sehingga aliran ion Ca meningkat. Selain itu, terjadi

peningkatan arus Na melalui kanal Na funny (If) sehingga kemiringan fase 4 repolarisasi meningkat.

Gangguan metabolik seperti hipoksia dan hipokalemia dapat menyebabkan peningkatan

automatisasi normal karena terjadi hambatan pompa Na/K sehingga arus repolarisasi dasar

berkurang dan meningkatkan kemiringan depolarisasi diastolik fase 4. Sementara itu, kondisi

degeneratif yang mempengaruhi sistem konduksi jantung berupa supresi pacemaker sinus

menyababkan bradikardi atau bahkan sinus arrest. Pacemaker laten dapat manifes jika terjadi

supresi pada automatisitas sinus.

AUTOMATISASI ABNORMAL

Pada kondisi normal sel otot atrial dan ventricular bersifat non pacemaker sehingga tidak melakukan

aktivitas spontan. Kondisi yang menggeser maximal potential threshold (MDP) sel non pacemaker

menuju potensial threshold memungkinkan pada sel tersebut terjadi automatisitas. Pergeseran MDP

dipengaruhi oleh peranan berbagai perubahan aliran ion, yang akhirnya menyebabkan depolarisasi

terkait penurunan konduktansi kalium. Automatisitas abnormal dapat terjadi pada kasus

peningkatan kadar kalium ekstrasel, penurunan pH intrasel dan katekolamin yang berlebihan.

Pada sel nonpacemaker yang terkondisikan terdepolarisasi konstan pada -10 sampai -60 maka dapat

timbul potensial aksi spontan atau automatisitas abnormal (depolarization induced automaticity).

Frekuensi intrinsik dari automatisitas abnormal tergantung pada kondisi potensial membran,

semakin besar kondisi stimulus depolarisasi semakin cepat frekuensi automatisitas. Seperti terlihat

perbandingan frekuensi automatisitas stimulus (a) dengan (b) pada gambar 18 berikut.

Gambar 18. Frekuensi automatisitas meningkat dengan peningkatan depolarisasi (Jalife et al, 2009)

Berbeda dengan peningkatan automatisitas normal, pada automatisitas abnormal berciri kurang

sensitive terhadap “overdrive suppression” walaupun pada kondisi tertentu dapat teramati.

TRIGERRED ACTIVITY

Trigerred activity (TA) terjadi setelah inisiasi impuls karena “afterdepolarisasi” (oskilasi potensial

membran selama atau segera setelah potensial aksi). Afterdepolarisasi hanya terjadi jika ada

potensial aksi yang mendahului (sebagai trigger) dan bila sudah mencapai potensial threshold akan

membentuk potensial aksi yang baru. Hal ini dapat sebagai sumber terpicunya respon baru, menjadi

potensial aksi tersendiri.

Berdasarkan kaitan temporal, afterdepolarisasi dideskripsikan menjadi dua tipe (gambar 19) yaitu

early after depolarizations (EADs) dan delayed after depolarizations (DADs). EADs terjadi selama fase

2 dan 3 dari potensial aksi sedangkan DADs terjadi setelah lengkapnya fase repolarisasi.

Gambar 19. Early after depolarization (EAD) dan Delayed after depolarization (DAD)

TRIGERRED ACTIVITY DIINDUKSI DADs

DADs adalah oskilasi voltase membran yang terjadi setelah lengkapnya repolarisasi dari potensial

aksi yaitu selama fase 4. Oskilasi disebabkan oleh berbagai kondisi yang meningkatkan konsentrasi

Ca intraseluler diastolik sehingga terjadi overload Ca (Ca mediated oscillation). Jika mencapai

threshold stimulasi tertentu maka dapat memicu pembentukan potensial aksi baru atau timbul

trigerred activity (gambar 20)

Gambar 20. Trigerred activity diinduksi DAD

Munculnya DADs pertama kali diamati pada serabut Purkinje yang dipapar kadar toksik digitalis

(gambar 21). Inhibisi pompa ion Na/K ATPase menyebabkan akumulasi Na intrasel yang memicu

masuknya Ca melalui mekanisme Na-Ca exchanger (NCX). Akibatnya terjadi overload Ca intrasel

sehingga terjadi arus masuk sementara ke dalam sel melalui kanal nonspesifik tergantung Ca (Ca-

dependent nonspecific channel) dan terjadilah DADs. Saat ini diketahui bahwa overload Ca intrasel

dapat terjadi selain mekanisme inhibisi pompa ion Na/K ATPase. Stimulus lain yang menyebabkan

overload Ca intrasel adalah katekolamin, iskemia, hypertofi, hipokalemia dan hiperkalemia.

Gambar 21. Mekanisme Ionik DADs (Jalife, 2009)

Katekolamin menyebabkan overload Ca intraseluler via peningkatan aliran masuk Ca melalui kanal

Ca tipe L (ICa-L) dan peningkatan aliran Na-Ca exchanger. DADs yang diinduksi iskemia diduga

dimediasi oleh akumulasi lipofosfogliserida pada jaringan iskemik dengan diikuti peningkatan Na dan

Ca intrasel. Overload Ca intrasel juga dapat disebabkan oleh fungsi reticulum sarkoplasmikum yang

abnormal (misal mutasi reseptor ryanodin), memfasilitasi aritmia klinis seperti catecholaminergic

polymorphic VT.

Adenosin telah dipakai sebagai uji diagnosis DADs. Adenosin mengurangi aliran masuk ion Ca secara

indirek dengan menghambat adenilat siklase dan cyclic adenosine monophosphate (cAMP).

Adenosin dapat menghilangkan DADs yang diinduksi katekolamin namun tidak mengubah DADs yang

diiduksi inhibisi pompa Na/K. Adanya interupsi VT dengan pemberian adenosine menunjukan bahwa

mekanisme aritmia adalah karena DADs yang diinduksi katekolamin.

Karakteristik utama DADs adalah dapat kemunculanya semakin dipicu oleh peningkatan frekuensi

stimulasi. Frekuensi dan durasi stimulasi selanjutnya terkait dengan amplitudo dan jumlah triggered

activity. Misalnya pada skema munculnya DADs pada serabut Purkinje yang dipapar digitalis kadar

toksik (gambar 22). Stimulasi potensial aksi dengan frekuensi yang relative lambat akan diikuti oleh

fase 4 yang normal (a). Jika stimulasi semakin cepat maka terdapat dua gelombang oskilasi selama

fase 4 (b). Apabila stimulasi lebih dipercepat maka DADs mencapai threshold sehingga munculah

trigerred activity (c). Makin cepat stimulasi diberikan maka terjadilah trigerred activity yang berulang

(d).

Gambar 22. Frekuensi stimulasi, DADs dan TA (Jalife, 2009)

Faktor kritis pembentukan DADs adalah durasi potensial aksi. Semakin lama potensial aksi berkaitan

dengan semakin banyaknya overload Ca yang semakin memfasilitasi DADs. Obat-obatan yang

memperlama potensial aksi (seperti agen antiaritmia kelas IA) dapat kadangkala meningkatkan

amplitudo DAD.

TRIGERRED ACTIVITY DIINDUKSI EADs

EADs adalah oskilasi potensial (gambar 23) yang terjadi selama plateu potensial aksi (EADs fase 2)

atau selama repolarisasi akhir (EADs fase 3). Kedua tipe dapat muncul pada kondisi eksperimental

yang sama namun secara morfologi berbeda terkait perbedaan mekanisme ionik yang mendasari.

EADs fase 2 tampaknya berhubungan dengan aliran masuk Ca lewat kanal CA tipe L (ICa-L), sementara

EADs fase 3 adalah hasil dari aliran listrik yang terjadi saat repolarisasi atau karena rendahnya aliran

masuk kalium (IKI).

Gambar 23. EAD fase 2 dan 3 (Gaztanaga et al, 2012)

Suatu triggered activity dapat muncul diinduksi oleh adanya EADs (gambar 24). Aritmia yang dipicu

EADs bersifat tergantung frekuensi, dan secara umum amplitude EADs bertambah pada frekuensi

denyut jantung yang lambat.

Gambar 24. Trigerred activity diinduksi EAD

Plateu dari potensial aksi adalah periode ketika kondisi resistensi membran tinggi dan aliran arus

sedikit. Akibatnya, perubahan kecil pada arus yang menyebabkan repolarisasi atau depolarisasi

dapat berpengaruh terhadap durasi dan profil potensial aksi. Berbagai jenis zat dan kondisi yang

menurunkan arus keluar atau meningkatkan arus masuk (sehingga menggeser current outward yang

normal) dapat menyebabkan kondisi yang diperlukan untuk terjadinya EADs.

Tabel 5. Obat yang dapat menginduksi EAD

(Gaztanaga et al, 2012).

Kondisi utama yang mendasari pembentukan EADs adalah pemanjangan potensial aksi yang tampak

pada electrocardiogram (ECG) sebagai pemanjangan interval QT. Bebrapa obat antiaritmia, terutama

kelas IA dan III dapat menjadi proaritmia karena efek terapinya adalah pemanjangan potensial aksi.

Banyak obat lainya dapat sebagai predisposisi pembentukan EADs terutama ketika dihubungkan

dengan kondisi hipokalemia dan atau bradikardia sebagai faktor tambahan yang menyebabkan

pemanjangan potensial aksi. Katekolamin mungkin dapat meningkatkan EADs dengan meningkatkan

arus Ca, walaupun resultan peningkatan denyut jantung bersamaan dengan peningkatan arus K

secara efektif mengurangi durasi potensial aksi sehingga meniadakan EADs.

GANGGUAN KONDUKSI IMPULS

Perlambatan atau blok konduksi terjadi ketika impuls yang menjalar gagal untuk dihantarkan.

Berbagai faktor aktif dan pasif pada membran menentukan kecepatan dan suksesnya konduksi.

Misalnya adalah faktor efikasi impuls yang menstimulasi dan eksitabilitas jaringan dimana impuls

dihantarkan. Gap junction (gambar 25) berperan penting dalam cepat dan suksesnya konduksi

impuls.

Gambar 25. Gap Junction (Mohrman and Haller, 2006)

Umumnya blok konduksi impuls terjadi pada frekuensi impuls yang tinggi sebagai akibat dari

recoveri yang tidak lengkap dari kondisi refraktori. Ketika suatu impuls berikutnya sampai pada

jaringan yang masih dalam periode refraktori maka impuls tidak dapat dihantarkan atau dihantarkan

dengan aberasi. Hal ini merupakan mekanisme khas yang menjelaskan beberapa fenomena seperti

blok konduksi berkas cabang dari denyut premature, fenomena Ashman selama atrial fibrillation

(AF) dan acceleration dependent aberration.

Bradikardia atau deceleration dependent block diduga disebabkan berkurangnya eksitabilitas pada

interval diastolik yang panjang dengan berkurangnya amplitude potensial aksi.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi konduksi, termasuk frekuensi, tonus otonom, obat (misal

Ca channel blocker, digitalis, adenosine/adenosine trifosfat) atau proses degeneratif (dengan

mengubah fisiologi jaringan dan kapasitas untuk konduksi impuls).

REENTRY

Ketika impuls normal dari nodus sinoatrial telah menjalar ke seluruh ventrikel maka ventrikel akan

masuk ke periode refraktori. Selanjutnya impuls akan berhenti dan tidak akan menjalar lebih jauh

lagi. Apabila terdapat serabut otot tertentu yang tidak teraktivasi saat inisial impuls menjalar (misal

damaged area), maka bagian tersebut dapat lebih dullu mengalami recoveri eksitabilitasnya

sebelum impuls menghilang. Akibatnya bagian tersebut dapat berperan sebagai penghubung untuk

terjadinya reeksitasi di area lain yang sebelumnya terdepolarisasi saat penjalaran impuls inisial tetapi

telah recoveri. Reentry terjadi ketika impuls yang menjalar gagal menghilang dan kemudian me-

reeksitasi jantung yang telah selesai periode refraktorinya (Guyton & Hall, 2006). Karena terjadi

penjalaran berulang impuls yang kembali lagi ke tempat asal untuk mereaktivasi, maka fenomena ini

disebut reentry, reentrant excitation, circus movement, reciprocal/echo beats, atau reciprocating

tachycardia (RT).

Gambar 26. Anatomic reentry dan Functional reentry (Veenhuyzen et al, 2004)

Reentry dibagi menjadi dua kelompok yaitu anatomical/classic reentry dan functional reentry

(gambar 26). Pada anatomical reentry terdapat struktur anatomi yang terlibat sedangkan pada

functional reentry terdapat hambatan fungsional tanpa kelainan struktur. Reentry adalah mekanisme

aritmia yang paling sering dijumpai di klinis (Gaztanaga et al, 2012).

ANATOMICAL REENTRY

Nama lain dari anatomical reentry adalah classic reentry dan digambarkan dengan ring model

(gambar 26). Mekanisme classic reentry didasarkan pada hambatan anatomis berupa area tidak

dapat tereksitasi dikelilingi jalur sirkuler sehingga gelombang awal dapat masuk kembali (reenter),

membentuk sirkuit reentrant yang stabil (Gaztanaga et al, 2012).

(Gaztanaga et al, 2012)

Inisiasi dan keberlangsungan reentry tergantung pada kecepatan konduksi dan periode refraktori di

setiap jalur yang menentukan panjangnya gelombang depolarisasi (wavelength = kecepatan

konduksi x periode refraktori). Agar reentry terjadi panjang gelombang depolarisasi (wavelength)

harus lebih pendek dari panjang jalur (pathway) agar pada tempat semula telah recoveri atau selesai

dari periode refraktori w. Hal ini akan memungkinkan terbentuknya excitable gap (gambar 27).

Gambar 27. Excitable gap (Gaztanaga et al, 2012)

Excitable gap adalah konsep kunci yang penting untuk memahami mekanisme reentry. Excitable gap

adalah excitable myocardium yang berada diantara “head” gelombang reentrant dan “tail” dari

gelombang yang mendahuluinya. Karena area tersebut telah recoveri dari periode refraktori maka

gelombang reentrant dapat kembali menjalar di sirkuit (Gaztanaga et al, 2012).

Gambar 26. Anatomical reentry

Hambatan secara structural anatomi di bagian

sentral akan membentuk dua jalur. Pada

penjalaran impuls, bila terjadi blok searah pada

satu jalur (unidirectional block) dan konduksi

yang lambat melalui jalur lainya maka akan

memungkinkan terjadinya reentry.

Gambar 28. Skema terjadinya reentry

Gambar 28 diatas merupakam skema terjadinya sirkuit reentry (A) Sirkuit memiliki dua jalur, salah

satunya jalur konduksi lambat (kanan). (B) Terdapat blok konduksi anterograde di jalur cepat dan

konduksi tetap terjadi di jalur lambat. Selanjutnya, karena jalur cepat telah recoveri maka

gelombang aktivasi dapat masuk kembali (reenter) ke jalur cepat (secara retrograde). (C) Selama

reentry yang berkelanjutan akan membentuk sebuah sirkuit dengan gap (excitable gap) berada

diantara “head” gelombang reentrant dan “tail” dari gelombang yang mendahuluinya

Inisiasi reentry yang diawali terbentuknya excitable gap ditentukan oleh 3 faktor yaitu 1) Jalur yang

akan dilalui impuls terlalu panjang (too long pathway), 2) kecepatan konduksi melambat, 3) periode

refraktori memendek. Ketiga hal tersebut terjadi pada kondisi patologis yang berbeda. Jalur yang

memanjang khas terjadi pada dilatasi jantung sedangkan penurunan kecepatan konduksi terjadi

pada blok pada sistem Purkinje, iskemi otot, hiperkalemia dan lainya. Pemendekan periode

refraktori terjadi karena obat seperti epinefrin atau stimulasi elektrik yang berulang (Guyton & Hall,

2006).

FUNCTIONAL REENTRY

Pada reentry fungsional, sirkuit yang terbentuk tidak ditentukan oleh hambatan anatomis namun

oleh heterogenitas dinamik properti elektrofisiologik jaringan yang terlibat. Lokasi dan ukuran dari

sirkuit reentrant fungsional dapat bervariasi namun biasanya kecil dan tidak stabil. Reentry

fungsional terjadi karena mekanisme yang berbeda-beda, terdiri dari leading cycle reentry,

anisotropic reentry, figure of eight reentry, reflection, spiral wave activity (Gaztanaga et al, 2012).

MEMBEDAKAN MEKANISME ARITMIA

Pendekatan diagnosis deferensial mekanisme aritmia dapat dilihat pada tabel 6 berikut:

Tabel 6. Cara membedakan mekanisme aritmia

Dugaan mekanisme aritmia diketahui dengan mempertimbangkan gambaran EKG. EKG mungkin

tidak menunjukan dengan jelas namun dapat memberikan petunjuk penting ke arah mekanisme

aritmia yang mendasari. Irama sinus pada EKG dapat menggambarkan proses penyakit yang

diketahui terkait dengan tipe tertentu dari aritmia (Gaztanaga et al, 2012).

Tabel 7. Mekanisme aritmia dan contoh klinis terkait

MEKANISME CONTOH KLINIS

Automatisitas Automatisitas yang berubah

sinus tachycardia terkait exercise, demam dan tirotoksikosis; atrial dan ventricular accelerated rhythms, inappropriate sinus tachycardia, AV junctional rhythms.

Automatisitas abnormal

premature beats, atrial tachycardia, accelerated idioventricular rhythms, ventricular tachycardia (VT), pada fase akut iskemia dan reperfusi.

Trigerred activity

TA diinduksi DADs atrial tachycardia, digitalis toxicity induced tachycardia, accelerated ventricular rhythym pada acute myocardial infarction, beberapa bentuk repetitive monomorphic VT, reperfusion induced arrhythmias, right ventricular outflow tract VT, exercise induced VT (catecolaminergic polymorphic VT)

TA diinduksi EADs torsades de pointes (twisting of the tips), karakteristik polymorphic VT pada pasien dengan long QT syndrome.

Reentry Anatomical reentry

AV reentrant chicardia associated with bypass tract, AV nodal reentrant tachycardia, atrial flutter, bundle branch reentry VT, post infarction

Fungsional Reentry

atrial and ventricular fibrillation, polymorphic VT

(Modifikasi dari Gaztanaga et al, 2012)

KESIMPULAN

Aritmia terjadi karena berbagai perubahan dan gangguan terkait properti elektrofisiologi seluler

jantung. Mekanisme aritmia dikelompokan menjadi gangguan pembentukan impuls (automatisitas,

TA) atau gangguan penjalaran impuls (reentry). Pengembangan untuk penegakan diagnosis dan

manajemen aritmia perlu memperhatikan mekanisme elektrofisiologis yang mendasarinya.

DAFTAR PUSTAKA

Barrett K E, Barman S M, Boitano S, Brooks H. Ganong's Review of Medical Physiology, 23th ed.

McGraw-Hill. 2009.

Despopoulos, A, Silbernagl S. Color Atlas Of Physiology. Thieme. 2003.

Dorland, W. A. Newman. Dorland's illustrated medical dictionary. Philadelphia, PA: Saunders. 2007.

Gaztañaga L, Marchlinski FE, Betensky BP. Mechanisms of cardiac arrhythmias. Rev Esp Cardiol. 2012 Feb;65(2):174-85.

Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology, 11th ed. Philadelphia, PA: Elsevier, 2006.

Jalife J, Delmar M, Davidenko, Anumonwo J, Berenfeld O, Anumonwo KJ. Basic cardiac electrophysiology for the clinician. 2nd ed. New Jersey: Wiley-Blackwell; 2009.

Mohrman D, Heller L. Cardiovascular Physiology 6th ed McGraw Hill 2006.

Widmaier EP, Raff H, Strang KT. Vander, Sherman and Luciano's Human Physiology: the Mechanisms

of Body Function, 8th ed. Boston, MA: McGraw-Hill Higher Education, 2001.

Veenhuyzen G D, Simpson C S, Abdollah H. Atrial fibrillation. CMAJ September 28, 2004 vol. 171