ekspresi seni, vol 16, no 1, juni 2014

173
JURNAL EKSPRESI SENI Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni ISSN: 1412 1662 Volume 16, Nomor 1, Juni 2014, hlm. 1-167 i

Upload: sulfatara

Post on 07-Apr-2016

346 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

JURNAL EKSPRESI SENIJurnal Ilmu Pengetahuandan Karya Seni

ISSN:1412–1662 Volume 16, Nomor1,Juni 2014,hlm. 1-167

i

JURNAL EKSPRESI SENIJurnal Ilmu Pengetahuandan Karya Seni

ISSN: 1412–1662 Volume 16, Nomor1,Juni 2014,hlm. 1-167

Terbit dua kalisetahun pada bulan Juni dan November.Pengelola Jurnal Ekspresi Seni merupakan sub-

sistemLPPMPPInstitut Seni Indonesia (ISI)Padangpanjang.

Penanggung JawabRektor ISI Padangpanjang

Ketua LPPMPP ISI Padangpanjang

PengarahKepalaPusat Penerbitan ISI Padangpanjang

Ketua PenyuntingDede Pramayoza

TimPenyuntingElizar

Sri Yanto

Surherni

Roza Muliati

Emridawati

Harisman

Rajudin

PenterjemahAdi Khrisna

RedakturMeria Eliza

Dini Yanuarmi

Thegar Risky

Ermiyetti

Tata Letak danDesainSampulYoni Sudiani

Web JurnalIlham Sugesti

______________________________________________._________________________________

Alamat Pengelola Jurnal Ekspresi Seni:LPPMPP ISI Padangpanjang Jalan Bahder JohanPadangpanjang

27128, Sumatera Barat; Telepon(0752) 82077 Fax. 82803; e-mail;[email protected]

Catatan.Isi/Materi jurnal adalah tanggung jawab Penulis.

Diterbitkan Oleh

Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang

JURNAL EKSPRESI SENIJurnal Ilmu Pengetahuandan Karya Seni

ISSN:1412–1662 Volume 16, Nomor1,Juni 2014,hlm. 1-167

i

DAFTAR ISI

PENULIS JUDUL HALAMAN

Enrico Alamo Sampuraga: Penciptaan Opera Batak 1-17

Eko Wahyudi Sasadu On The Sea Wacana Seni Budaya

dalam Festival Teluk Jailolo 201318-36

Yosi Ramadona &

Nursyirwan

Pertunjukan Kompang Bengkalis:

dari Arak-Arakan ke Seni Pertunjukan37-48

Ipong Niaga Membentuk Kemampuan Psikologikal

Dasar Calon Aktor dengan Metode Latihan

Bertutur

49-64

Nofrial Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi

Menuju Industri Kreatif65–85

Elsa Putri E. Syafril Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di

Sawahlunto86–97

Ranelis Seni Kerajinan Bordir Hj.Rosma:

Fungsi Personal dan Fisik98–115

Maisaratun Najmi Produksi dan Penyiaran Program Seni dan

Budaya di Grabag Tv116–132

Bahren, Herry

Nur Hidayat,

Sudarmoko,

Virtuous Setyaka

Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan

Sosial Budaya di Sumatera Barat133–155

Zely Marissa Haque Perkembangan Musik Dol di Kota

Bengkulu156-167

_______________________________________________________

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor 49/Dikti/Kep/2011 Tanggal 15 Juni 2011 Tentang Pedoman Akreditasi

Terbitan Berkala Ilmiah. JurnalEkspresi SeniTerbitan Vol.16, No. 1 Juni 2014Memakaikan

Pedoman Akreditasi Berkala Ilmiah Tersebut.

1

SAMPURAGA:

PENCIPTAAN OPERA BATAK

Enrico AlamoProdi Seni Teater, Fakultas Seni Pertunjukan

Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang

[email protected]

ABSTRAKOpera Batak Sampuraga merupakan lakon yang bermula dari pengalaman

melihat sebuah situs kolam Air Panas Sampuraga, di daerah Sirambas

Mandailing- Natal, yang kisahnya dituturkan dari mulut ke mulut (satra lisan).

Kemudian dilakukan penataan ulang baik dari aspek penokohan maupun

peristiwa yang terjadi, menggunakan beberapa struktur teater modern Indonesia.

Dikarenakan Opera Batak memiliki beberapa kesamaan dengan struktur lakon

teater modern Indonesia. Opera Batak Sampuraga sebagai objek penciptaan

karya seni, mengalami berbagai sentuhan kreatifitas baik hadirnya unsur-unsur

kesenian dari daerah lain. Salah satunya gundala-gundala, teater tradisi dari

daerah Karo. Lakon Sampuraga merupakan satu obsesi dan ambisi manusia

dalam menggapai cita-cita, yang memerlukan pengorbanan, walaupun akhirnya

sebuah kutukan yang akan menimpa. Lakon ini ditampilkan melalu pendekatan

realisme dengan gaya representasi. Bentuk tragedi dipilih karena kejadian yang

menimpa dua anak manusia, ibu dan anak. Penciptaan kali ini penting karena

Opera Batak Sampuraga mirip dengan pola dan pengadegan dalam lakon-lakon

teater modern Indonesia .

Kata Kunci: Sampuraga, opera batak, teater modern Indonesia

ABSTRACTOpera Batak Sampuraga is a play that began from the experience of seeing the

site Sampuraga Hot Spring, located in the area Sirambas Mandailing-Natal, and

stories are told from mouth to mouth (oral literature). Then rearrangement is

done regarding characterization and the occuring event by using some structures

of Indonesian modern theater. As Batak Opera has some similarities with the

structure of Indonesian modern theater, Opera Batak Sampuraga as an object of

art creation, experiences a touch of creativity with the presence of various

elements of art from other regions; one of them is gundala-gundala, a traditional

theater of Karo region. Sampuraga play is a human obsession and ambition in

reaching their goals, which requires sacrifice, although it eventually leads a

curse. Opera This play is presented through a realism approach with

representation style. The form of tragedy is chosen because of the incident

happening to two human beings; mother and child. This creation is important

because Opera Batak Sampuraga is similar to the pattern and characterization

of plays in Indonesian modern theater.

Keywords: Sampuraga, opera batak. Indonesian modern theatre

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

2

PENDAHULUAN

Opera Batak adalah salah satu

seni pertunjukan dari daerah Sumatera

Utara yang eksistensinya sebagai teater

tradisi halak Batak semakin memudar

dan bisa dikatakan semakin

menghilang. Kalaupun ada pementasan

Opera Batak, hanya dilakukan sesekali

oleh kelompok yang itu-itu juga, dan

sifatnya hanya sebagai pelepas rindu

ataupun sebuah acara perayaan.

Sementara itu, pementasan

Opera Batak di masa lalu bisa

dikatakan semarak dan melebihi

kesenian-kesenian tradisi lainnya.

Kondisi masyarakat pada masa

keemasan Opera Batak memang sangat

mendukung eksistensi Opera Batak.

Masyarakat pada saat itu memang

sangat membutuhkan hiburan sebagai

sarana untuk melepaskan diri dari

rutinitas yang monoton. Beberapa

lakon Opera Batak tersebut

dipentaskan berulang-ulang lebih dari

satu kali dengan tampilan artistiknya

yang sangat bervariasi. Hal ini

menunjukan bahwa: kadar seni yang

ditampilkan sesuai dengan tingkat

kemampuan dan daya tafsir

masyarakatnya (Purba, 2002:30).

Materi cerita yang ditampilkan

dalam opera adalah sesuatu yang

sangat dekat dengan kehidupan

masyarakat yakni sendi-sendi

kehidupan masyarakat itu sendiri. Ada

kisah nyata, ada legenda, dan ada juga

kiasan atau perumpamaan yang

dihadirkan sekiranya masih relevan

dengan problema kehidupan

masyarakat. Salah satu cerita dalan

Opera Batak tersebut adalah kisah

Guru Saman, yang diilhami kisah nyata

yang terjadi di daerah Tarutung. Cerita

lain adalah kisah Si Singamangaraja,

yang merupakan seorang pahlawan

nasional. Selain itu, beberapa kisah lain

yang sering dipentaskan antara lain:

Batu Gantung, Sampuraga, Simardan,

yang terinspirasi dari situsnya, kisah

Siboru Napinaksa adalah kisah yang

menyerupai kisah Siti Nurbaya atau

Romeo dan Juliet.

Realitas sosial lain yang

acapkali menginspirasi kisah dalam

Opera Batak adalah keberadaan

masyarakat Batak yang terkenal

sebagai masyarakat perantau. Tidak

sedikit laki-laki terlambat menikah

karena mengejar cita-cita dengan

berbagai ‘idealisme’ yang menurut

mereka akan terpenuhi dalam

Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak

3

perantauan. Mereka merasa belum

perlu menikah sebelum dapat

membahagiakan ibunya atau sebelum

merasa memiliki ekonomi yang

‘mapan’.

Selain tema di atas, hampir

seluruh sendi-sendi kehidupan disentuh

oleh opera. Itulah sebabnya Opera

Batak sangat digemari atau bahkan

sangat digandrungi. Sayangnya

kekayaan tematik di atas tidak dikuti

inovasi (pertunjukan) yang lain.

Padahal, masyarakat masa kini yang

merasa dirinya sudah berada dalam

lingkaran ‘kemajuan’ (terutama kaum

muda) beranggapan bahwa hal-hal

yang bersifat kedaerahan dianggap

ketinggalan jaman; adat, bahasa ibu,

benda-benda tradisi, makanan tradisi

dan sebagainya, yang sudah dianggap

tidak proporsional bagi kebutuhan

masyarakat modern.

Kenyataan tersebut, mestinya

disadari juga bahwa masyarakat

(sebagai basis penonton) di masa kini

lebih gemar menikmati sesuatu yang

simple, dan tidak perlu berlama-lama.

Visualisasi Opera Batak yang

berkembang di masa dulu juga terlihat

kurang mempertimbangkan artistik

(cahaya, properti, setting, dan

sebagainya). Pola dialog juga

dihadirkan dengan banyak

pengulangan dan cenderung

‘menggurui’. Unsur-unsur lain seperti

musik dan tarian pun seolah menjadi

unsur pelengkap yang tidak pernah

tergarap secara maksimal. Musik hanya

dimaknai sebagai ‘musik’ saja (un

sich) bukan sebagai bagian yang ‘utuh’

dari opera. Tarian juga mendapat

perlakuan yang sama yakni seringkali

lepas dari ‘dramatik’ perjalanan lakon

cerita.

Opera Batak adalah karya

adiluhung yang pernah mengalami

masa keemasan, tetapi kenyataannya

kini di ambang kepunahan. Secara

kesejarahan Opera ini pernah eksis

tetapi keberadaaanya membutuhkan

kepedulian yang besar. Penciptaan

Opera Batak setidaknya

mengakomodasi tiga persoalan

penting: Pertama, mengapa Opera

Batak yang adiluhung itu kurang

diminati oleh masyarakat

pendukungnya. Kedua, Aspek apa saja

yang perlu mendapatkan perhatian,

pertimbangan, dan penekanan. Ketiga,

unsur apa saja yang harus ditambah

atau dikurangi, dan membutuhkan

‘modifikasi’. Merujuk hal tersebut

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

4

maka persoalan yang diangkat dalam

penciptaan adalah: Bagaimana

mewujudkan pementasan Opera Batak

dalam kebaruan (inovasi) yang tetap

berpijak pada akarnya namun mampu

mengakomodir instrumen-instrumen

seni pertunjukan masa kini. Pilihan

pertamanya adalah menciptakan lakon

Opera Batak Sampuraga, sebuah cerita

rakyat dari Tapanuli. Karena hampir

keseluruhan cerita yang ada pada

pentas Opera Batak bersumber dari

cerita rakyat maupun legenda

masyarakat Sumatera Utara.

Opera Batak Sampuraga adalah

lakon yang terinspirasi dari sebuah

situs telaga air panas yang berada di

desa Sirambas Mandailing-Natal dan

cerita legenda yang diturunkan secara

lisan. Telaga air panas itu merupakan

wujud dari kedurhakaan seorang anak

yang bernama Sampuraga. Ia dikutuk

karena tidak lagi mengakui ibunya

yang dikenal dengan sebutan

Sampuraga Na Maila Marina

(Sampuraga yang malu beribu). Opera

Batak Sampuraga adalah sebuah lakon

opera yang mengisahkan kehidupan

Sampuraga, mulai dari kehidupan yang

miskin, pendirian yang teguh (gengsi

tinggi, harga diri yang selalu dijaga),

dan kehendak untuk mencari jatidiri

dengan pergi merantau; berjuang, rajin,

dan mencapai puncak keberhasilan

hingga jenjang pernikahan. Akan tetapi

ceritapun berakhir ironis: setelah

terwujud semua impiannya, Sampuraga

pun berbalik menjadi durhaka, tidak

hanya pada kekasih dan kampung

halamannya di masa lalu, bahkan

kepada ibunya sendiri pun ia tak

mengakuinya. Lakon ini kemudian

diubah tidak sekedar bercerita tentang

kedurhakaan seorang anak pada ibu

kandungnya, tetapi juga durhaka

terhadap unsur-unsur yang ada di

kampung halaman (yang dianggap

‘kampungan’ atau ketinggalan jaman).

Penciptaan Opera Batak

Sampuraga tidak mengubah esensi

cerita tetapi menambah sasaran tema

yang dianggap urgen pada masa kini,

penggarapannya mengacu pada

konvensi teater modern, serta

memperhitungkan dan

mempertimbangkan aspek pertunjukan.

Opera Batak sebelumnya

menitikberatkan pada kedurhakaan

seorang anak kepada ibunya, tetapi

Penciptaan Opera Batak Sampuraga

justru mengarahkan kedurhakaan itu

kepada hal lain juga yaitu pada kondisi

Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak

5

sosial kampung halaman, kehidupan

tradisional yang seringkali tak

membawa ‘kemajuan’, dan pada

pergesaran ‘nilai’ budaya. Tokoh

Sampuraga dikisahkan sebagai seorang

pengrajin Boneka sigale-gale yang

gagal mendapatkan finansial karena

kehilangan penggemar, sehingga

pekerjaan itu ditinggalkannya

sekalipun sudah menjadi warisan turun

temurun.

PEMBAHASAN

Masyarakat Batak

Masyarakat Batak merupakan

masyarakat yang dikenal dengan

keberagamannya. Istilah Batak

mempunyai arti yang saling terkait,

yakni antara beberapa sub suku yang

tersebar di Sumatera Utara. Batara

Sangti (1978:62-93) menjelaskan

bahwa yang termasuk dalam kelompok

masyarakat Batak adalah: (1) Pak-pak

Dairi; (2) Karo; (3) Simalungun; (4)

Toba; (5) Angkola Sipirok; (6)

Mandailing; (7) Pardembanan; dan (8)

Pesisir. 7 dan 8 terakhir merupakan

kelompok masyarakat yang berasal dari

salah satu atau beberapa masyarakat

sub suku Batak (1-6) yang oleh sebab

ekonomi atau merantau lalu

mendirikan satuan masyarakat sendiri

atau bergabung dengan satuan

masyarakat yang dikunjunginya.

Kebudayaan Batak dapat

ditelusuri sampai pada rentetan

perpindahan manusia (orang-orang)

dari Cina Selatan, Yunnan, dan

Vietnam sebelah Utara. Kemungkinan

mereka adalah petani pengembara yang

berpindah-pindah dan memelihara

tumbuh-tumbuhan berumbi, atau

masyarakat petani dengan teknologi

yang tidak menggunakan alat logam.

Kepercayaan mereka memiliki

persamaan dengan kebudayaan Proto

Melayu lainnya, yakni mengandung

unsur-unsur pemujaan kepada kuasa-

kuasa alam atau okultisme dan

kepercayaan yang kuat kepada roh-roh

para leluhur. Kepercayaan ini pada

akhirnya sangat mempengaruhi

keturunannya.

Orang Batak sangat

menghormati arwah para leluhur yang

meninggal dalam usia tua. Semakin tua

usia dan semakin banyak

keturunannya, maka arwahnya semakin

dihormati dan diagungkan, dan bahkan

mereka yakin bahwa arwah dapat

memberkati dan menjauhkan

keturunannya dari segala macam mara

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

6

bahaya, sehingga orang Batak

menganggap upacara kematian

merupakan suatu upacara yang wajib

dilaksanakan demi ketenteraman jiwa

keturunannya yang sekaligus

memenuhi ketentuan adat.

Cerita rakyat, dongeng, dan

mitos turut mewarnai kebudayaan

Batak. Beberapa cerita rakyat memiliki

kesamaan dengan cerita rakyat yang

ada di daerah lain yakni cerita rakyat di

nusantara terutama pulau Jawa. Dalam

bukunya Philip L. Tobing. ( 1956: 1-

19) menjelaskan:

Hal ini membuktikan luasnya

pengaruh asing dan peleburan

istilah asing ke dalam kosmologi-

agamaniah. Tetapi hubungan ini

lebih dominan dalam hal sosial

ekonomi, karena orang Batak

menurut tabiatnya adalah

konservatif (kolot), sehingga

mereka hanya mau menerima

unsur-unsur asing apabila ke

dalam unsur itu dapat diberi

tempat oleh kosmologi

tradisional.

Dalam hal kemasyarakatan,

salah satu ciri kebudayaan yang paling

menonjol dari masyarakat Batak Toba

adalah susunan kekerabatan mereka

dalam sistem marga. Dalam hal ini

Nalom Siahaan(1982:44) menjelaskan

bahwa Marga dalam masyarakat Batak

membentuk keluarga dan menimbulkan

ketentuan yang ketat terutama dalam

aturan perkawinan. Seseorang pria

harus mengawini wanita dari marga di

luar kelompok marganya. Garis

keturunan yang patrilineal

mengakibatkan wanita harus

meninggalkan marganya, dan anaknya

langsung menyandang marga

suaminya. Konsekuensinya adalah

setiap keluarga secara langsung masuk

ke dalam tiga kelompok adat sekaligus

yaitu dongan tubu/ dongan sabutuha,

hula-hula, dan boru yang membentuk

Dalihan Na Tolu (harafiah: kaki

tungku nan tiga yakni suatu kedudukan

yang kokoh). Dongan sabutuha sebagai

kelompok pertama yang terdiri dari

namarsaompu (segenap keturunan dari

nenek moyang yang sama) dengan

pengertian keturunan laki-laki dari satu

marga. Kelompok hula-hula adalah

kelompok marga dari ayah mertua dari

seorang pria, yang memberinya isteri.

Kelompok boru adalah kelompok

marga menantu laki-laki keluarga

tersebut atau marga yang menerima

anak perempuan sebagai isteri.

Kepribadian orang Batak

amatlah memegang teguh kebudayaan

nenek moyang mereka, sehingga

merupakan kewajiban untuk

Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak

7

mengikutinya. Adat dan kepercayaan

merupakan dua aspek yang saling

mendukung dan tidak dapat

dipisahkan. Adat, yang tidak sekedar

bersifat kebiasaan, juga merupakan

suatu hukum yang sedikit banyaknya

mengandung unsur religius, sehingga

selalu saja upacara

keagamaan/kepercayaan akan diatur

menurut kondisi adat yang berlaku, dan

sebaliknya setiap upacara adat akan

disesuaikan pula dengan sistem

kepercayaan.

Upacara merupakan suatu

wadah formal untuk melaksanakan

unsur-unsur kebudayaan. Dalam

upacaralah norma dan kaidah

kebudayaan dipermasalahkan dan

disempurnakan. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa di masyarakat

Batak kesenian pun muncul hanya

dalam upacara.

Kesenian merupakan salah satu

kebutuhan bagi masyarakat Batak

terlebih jika itu merupakan bentuk

peninggalan nenek moyang. Berbagai

kesenian tersebut antara lain: pertama,

Teater gundala-gundala berasal dari

dataran tinggi Karo. Gundala-gundala

memiliki arti sebuah tarian topeng.

Kedua, kesenian Boneka kayu sigale-

gale, lebih dikenal dari pulau Samosir

(Pangururuan). Sigale-gale merupakan

mitos kisah sedih dalam kehidupan

masa lalu masyarakat Batak, dan

berkaitan erat dengan upacara

kematian. Ketiga, onang-onang; tidak

dapat diartikan secara harafiah;

merupakan pencetusan kerinduan hati

kepada ibu kemudian berkembang pada

kekasih.

Secara eksternal, Kesenian pada

akhirnya juga mengalami proses

keterpengaruhan. Dalam kontek ini,

kolonialisme cukup membawa

pengaruh terhadap kebudayaan Batak.

Ismail Manalu (1985:8) menjelaskan:

sebagian kesenian masih terpelihara

dan sebagian lagi sudah berubah

(akibat kolonialisme) bahkan ada yang

tidak terpelihara. Pengaruh lain adalah

berasal dari kawasan Timur Tengah,

Stanley Sadie (1980) mengatakan:

bahwa musik orang Batak telah

mendapat pengaruh dari luar terutama

dari Arab Persia.

Opèra Batak yang semula

dirintis oleh Tilhang Oberlin Gultom

turut mengalami perubahan budaya

tersebut.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

8

Sumber Penciptaan.

Cerita Sampuraga adalah kisah

yang disampaikan secara lisan

(bertutur) dan berkembang di

masyarakat sejak lama. Hal ini diyakini

oleh masyarakat karena adanya sebuah

situs telaga air panas Sampuraga di

desa Sirambas Mandailing-Natal.

Cerita ini tak pernah lekang dan

berubah hingga saat ini. Masyarakat di

daerah Sirambas dan sekitarnya bahkan

masih memiliki otentitas dan subtansi

cerita yang sama ketika menuturkan

kejadian tersebut. Sampuraga

sebenarnya bermakna teguran.

Sampuraga adalah cerita para orang tua

sejak dulu hingga sekarang yang

dipercaya sebagai kejadian yang

‘mengandung kebenaran’.

Gambar 1.Situs Sampuraga di Desa Sirambas Kabupaten

Mandailing-Natal

(Foto: Enrico Alamo, 2009)

Cerita Sampuraga yang berkisar

pada persoalan kedurhakaan anak pada

ibunya, kemudian dikembangkan

menjadi cerita tentang seorang pelaku

seni yang mulai goyah dengan apa

yang menjadi pekerjaannya. Hal ini

tidak semata-mata dicangkokan dalam

lakon tetapi merupakan respon pada

kecenderungan masyarakat pelaku seni

di masa sekarang yang mengalami

kemunduran dan pergeseran

‘idealisme’ dalam proses kreatifnya.

Sebagai contoh, dapat dilihat pada

pertunjukan sigale-gale (pertunjukan

boneka kayu) yang mengalami

kemunduran akibat melemahnya minat

para kreator seni tersebut.

Berbagai acuan pendukung

dalam Opera Batak Sampuraga

dikumpulkan untuk memperlancar

proses penciptaan, antara lain;

membuat konsep Opera Batak

Sampuraga yakni, situs kolam air

panas Sampuraga di desa Sirambas

Mandailing-Natal sebagai sebuah

sumber Opera Batak Sampuraga. Ini

berarti bahwa legenda tersebut secara

terpisah dibatasi oleh salah satu sub

kedaerahan yang ada di tanah Batak.

Kemudian dikembangkan menjadi

lakon berdiri sendiri tanpa dibatasi oleh

Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak

9

sub-sub daerah, sehingga idiom yang

ada di luar Mandailing-Natal pun dapat

saja diadopsi dengan pertimbangan

masih termasuk rumpun Batak secara

umum.

Gambar 2Desain Sigale-gale

Gambar 3Desain Gundala-gundala

Konsep berikutnya diarahkan

untuk mendesain dan merencanakan

kebutuhan pertunjukan yang sekaligus

akan dijadikan simbol dari pemaknaan-

pemaknaan yang didapat melalui

penelitian dan pengolahan ruang. Salah

satunya adalah dengan menghadirkan

simbol domestik melalui beberapa

sandang yang dikenal secara umum

sebagai ulos. Tiga bagian penting dari

setting adalah rumah tinggal

Sampuraga, hutan dan tempat

pernikahan.

Unsur cahaya merupakan

elemen yang memberikan berbagai

fokus pemaknaan; jenis-jenis lampu

yang dipilih; lampu freshnel, lampu

plano conpeks, lampu ellipsoidal,

lampu freshnel memakai filter warna;

green, blue, yellow, violet dan netral.

Gambar 4Desain Tata Cahaya

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

10

Rias Opera Batak Sampuraga

menunjukan identitas psikologi, rias

berfungsi sebagai penegas karakter dari

setiap aktor dan aktris. Tata busana

yang dipergunakan berbahan berbagai

ulos; ulos ragi hotang(ulos corak

rotan) Ulos ragidup(corak hidup).

Gambar 5.Desain Tata Rias Tokoh

Gambar 6.Desain Tata Busana Tokoh

Musik terdiri dari ansambel

gondang sabangunan dan ansambel

gondang hasapi.

Gambar 7..

Gondang Sabangunan dan ansambel Gondang

Hasapi.

(Foto: Enrico Alamo, 2010)

Materi Cerita; adapun

perancangan rangkaian adegan dalam

Opera Batak Sampuraga dibagi dalam

2 Babak dengan 13 adegan, setiap

pergantian babak dan adegan diselilingi

oleh musik dan nyanyian(opera).

Tokoh-tokoh didalamnya; Sampuraga,

Umak, Rangkaya, Johana, Lisda, Johar,

Nagaor, SeseorangI(Amalopas),

Seseorang II/ Oppung

Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak

11

Kerja penciptaan Opera Batak

Sampuraga dilalui dengan beberapa

tahapan dan menggunakan metode

kerja sebagaimana yang diterapkan

oleh Pavis (1990:137). Tahapan

pertama adalah mewujudkan cerita

yang bertitik tolak dari naskah dan

merupakan identifikasi ide.

Tahapan kedua, observasi artistik

budaya sumber. Tahapan ketiga,

yaitu perspektif seniman. Tahapan

keempat, kongkretisasi pemanggungan.

Tahap kelima, kongkretisasi

resepsi. Kemudian dalam kerja

penyutradaraan, pencipta

menggunakan pendekatan kontemporer

dalam menyampaikan gagasan dan

cenderung melalui kekuatan simbolik,

impresi-impresi dan daya kejut yang

dihasilkan dari berbagai pengolahan

bentuk konvensi lama ataupun

peleburan berbagai genre seni yang

ada, sehingga menghasilkan efek-efek

yang yang lebih inovatif.

Hal diatas dilakukan karena

lakon Opera Batak Sampuraga secara

struktur mirip dengan lakon yang ada

pada teater modern Indonesia, karena

adanya naskah cerita, lakuan

(pemeranan), latar cerita (artistik) dan

pengiring cerita (musik) ditambah

adanya tarian (tor-tor) dan lawakan.

Uraian secara konkret metode

penciptaan pementasan lakon Opera

Batak Sampuraga secara berurutan

dapat dijelaskan sebagai berikut:(1)

Pembacaan Naskah lakon atau

Reading, merupakan latihan awal

dalam perancangan untuk menjajaki

penafsiran naskah; (2) Bloking Kasar,

bloking kasar adalah teknik pengaturan

langkah-langkah para pemain untuk

membentuk pengelompokan

dikarenakan perubahan suasana dalam

lakon; (3) Bloking Halus, bloking halus

merupakan tahapan latihan yang

bertitik tolak dari bloking kasar.

Seluruh gerak dan gestur pemain yang

membentuk blok (kelompok), telah

menjadi susunan pola lantai yang baku;

(4) Detailisasi, tahapan detailisasi

merupakan tahapan pematangan dari

bloking halus yang telah dicapai

sebelumnya.

Realitas pentas lakon Opera

Batak Sampuraga berpedoman pada

tekstur lakon yang terdiri dari: dialog,

suasana (mood) dan spektakel. Tekstur

lakon tersebut merupakan inspirasi

terhadap desain perancangan

pementasan secara keseluruhan.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

12

NO PENGADEGA

N

TOKOH PERISTIWA SUASANA SPEKTAKLE

1. Babak I

Adegan Satu

Sampuraga

Umak

Sampuraga

mengerjakan

Boneka Sigale-gale

Menghampiri

Sampuraga

sepulang dari

bekerja

Sampuraga hatinya

sedang gundah

gulana

Karena niatnya

hendak berangkat

merantau

Umak sedikit riang

sepulang bekerja

Boneka Sigale-

gale yang

sedang

dikerjakan

Mondar-mandir

2. Adegan Dua Datu

Penduduk

Diawali dengan

ritual sebelum

pementasan Sigale-

gale

Awalnya pentas

ramai dikunjungi

penonton, namun

kemudian satu

persatu penonton

pergi meninggalkan

pentas Sigale-gale

Pertunjukan

Boneka Sigale-

gale

3. Adegan Tiga Sampuraga

Umak

Lisda

Sampuraga duduk

sambil memandangi

boneka hasil buatan

tangannya

Umak memandangi

Sigale-gale

Lisda datang

membawa makanan

Sampuraga gelisah

terus karena niatnya

belum disampaikan

pada Umak

sementara Umak,

memuji boneka

Sigale-gale hasil

buatan Sampuraga

Boneka Sigale-

gale yang

sedang

dikerjakan

4. Adegan Empat Sampuraga

Umak

Sampuraga makan

siang ditemani

Umak

Makan dengan lahap

dan memuji masakan

Umak

Kursi panjang

5. Adegan Lima Umak

Sampuraga

Sampuraga pamit

berangkat merantau

Tegang dan Sedih Tangga rumah

6. Adegan Enam Seseorang I

(Amalopas)

Menceritakan

kelanjutan lakon

Mengitari sisi hutan Pohon-pohon

yang berdiri di

tiga sisi

7. Adegan Tujuh Sampuraga

Seseorang

II

Sampuraga bertanya

pada Seseorang II

tentang arah menuju

Mandailing

Seseorang penuh

dengan keyakinan

menceritakan pada

Sampuraga perihal

keadaan Mandailing

Pohon-pohon

yang berdiri di

tiga sisi

8. Babak II

Adegan Satu

Seseorang I

(Amalopas)

Rangkaya

Menceritakan

kelanjutan lakon.

Sampuraga di

hampiri Rangkaya.

Gembira

Suka cita

Pohon-pohon

yang berdiri di

satu sisi

Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak

13

Sampuraga

Nagaor

Johana

Johar

Pekerjaan yang

dilakukannya

mendapat pujian.

Nagaor

menghampiri

Rangkaya, sambil

melirik kearah

Sampuraga, terlihat

ia kurang senang

dengan Sampuraga

Johana mendekati

Sampuraga yang

sibuk bekerja, dan

mengajak untuk

bepergian,

sementara Nagaor

dan Johar

mengintip dari balik

semak

Sedikit gaduh

Johana terlihat

memanjakan diri

pada Sampurga

sementara Nagaor

dan Johar tebakar

hatinya karena iri dan

cemburu

9. Adegan Dua Johana

Sampuraga

Menonton pentas

Gundala-gundala

Riang dan romantis Pertunjukan

Gundala-

gundala dan

tarian

10. Adegan Tiga Johar

Sampuraga

Mencegat

Sampuraga di

tengah hutan dan

mempertanyakan

hubungannya

dengan Johana.

Johar terbakar

cemburu dan marah

Tegang dan gaduh

Perkelahian antara

Sampuraga dan Johar

tak terhindarkan.

Johar dibantu anak

buahnya

Pohon dua sisi

11. Adegan Empat

dan Adegan

Lima

Johana

Sampuraga

Umak

Lisda

Sampuraga tersadar

dari sakitnya, ia

memegang kepala,

Johana

menghampiri

Umak gelisah

karena Sampuraga

tak pernah ada

kabar, sementara itu

Lisda berharap agar

Umak berangkat

untuk mencari

Sampuraga

Johana dengan penuh

perhatian memeriksa

luka Sampuraga

Umak dan Lisda

gelisah

Bulatan cahaya

jatuh kelantai

membuat fokus

keberadaan

masing-masing

tokoh

12. Adegan Enam Umak

Lisda

Seseorang

II

Mencari Sampuraga

ke Mandailing.

Bertemu dengan

Seseorang II dan

menanyakan Perihal

Sampuraga

Sedih dan gembira

karena telah

mengetahui dimana

Sampuraga namun

belum bersua

Pohon tiga sisi

13. Adegan Tujuh Sampuraga Sampuraga dan

Johana menikah.

Suka cita karena

Johana anak pertama

Singgasana

pernikahan dan

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

14

Johana

Rangkaya

Penduduk

Umak

Lisda

Seseorang I

(Amalopas)

Mereka duduk

dalam pelaminan

yang penuh suka

cita

Umak dan Lisda

yang baru saja tiba

seakan tidak

percaya dengan apa

yang dilihatnya,

kemudian

mendatangi,

memanggil

Sampuraga.

Sampuraga terkejut

dan bingung, ia

terlihat malu

mengakui Umak

sebagai ibu

kandungnya

Umak kecewa dan

marah karena

Sampuraga telah

mempermalukan

dirinya. Ia

memohon pada sang

kuasa untuk

mendatangkan

balasan.

Menceritakan akhir

dari lakon

Rangkaya menikah

dengan Sampuraga.

Kemudian berubah

gaduh ketika Umak

datang menghampiri

Sampuraga

Umak memohon

untuk dibalaskan

sakit hatinya dan

suasana pesta

berubah menjadi

suasan duka.

Para tamu hadir

kalang kabut

meninggalkan Horja.

Keadaan kacau

karena bencana yang

datang tiba-tiba

Tenang dan penuh

kepercayaan,menyam

paikan cerita pada

seluruh penonton

yang hadir

umbul-umbul

Petir dan kilat

sambar

menyambar

Tabel 1.

Pengadeganan

Pada tahap berikutnya, desain-

desain tersebut akan dijadikan titik

tolak perwujudan lakon, baik secara

visual maupun auditif. Dialog dalam

lakon merupakan kata-kata yang lazim

ditemui dalam perbincangan

keseharian. Hal ini memungkinkan

ditampilkannya akting yang secara

gestur dan pola ucap lebih menonjolkan

aksen ‘kedaerahan Batak’.

Suasana yang menjadi acuan

dalam pementasan Opera Batak

Sampuraga adalah terwujudnya situasi

tragik dalam alur. Suasana tragik

tersebut ditampilkan dengan

mengoptimalkan aspek-aspek

pemeranan, di samping dukungan

musik, penataan artistik dan penataan

lampu yang mewakili dinamika

suasana. Secara keseluruhan,

dihadirkan untuk menciptakan impresi

Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak

15

kegalauan, optimisme, kesedihan,

sekaligus kemarahan.

Unsur-unsur tersebut meliputi,

penataan setting, penataan kostum dan

rias dan penataan musik cerita dan

musik diluar cerita (ilustrasi). Secara

khusus, penataan setting Opera Batak

Sampuraga menampilkan tiga tempat

kejadian penting, yaitu: Rumah

Sampuraga, Hutan dan Tempat

Pernikahan Sampuraga. Properti yang

digunakan antara lain: beberapa

tongkat, oleh-oleh (sarundeng, sambal

taruma), peralatan pertukangan dan

ulos. Penataan Kostum dan Rias adalah

kostum kreasi baru yang dibuat dengan

berpedoman pada kain ulos. Penataan

Musik dan Ilustrasi Musik, secara

umum musik dibagi dua yaitu: musik

bagian dari cerita dan musik pengiring

cerita(ilustrasi). Penataan Tari(tor-tor)

diperlukan sebagai salah satu unsur

dalam pementasan Opera Batak. Tari

yang yang ditampilkan adalah varian

tor-tor,dikreasikan dengan pola-pola

dan komposisi tari masa kini.

PENUTUP

Penciptaan Opera Batak

Sampuraga merupakan satu kepedulian

terhadap seni pertunjukan khususnya

dari Sumatera Utara yang semakin

tergerus oleh zaman. Melalui

pendekatan kekinian (inovasi), Opera

Batak dikemas ulang agar sesuatu yang

dulu tidak hilang dan yang baru

menguatkan eksistensinya sebagai

teater tradisi halak Batak. Seluruh

bagian-bagian visualisasi Opera Batak

yang tidak ada di masa dulu

dipertimbangkan termasuk

pencahayaan, properti, dan setting. Pola

dialog dengan banyak pengulangan dan

cenderung ‘menggurui’lebih

disederhanakan tanpa menghilangkan

makna. Unsur musik dan tarian pun

digarap secara maksimal.

Opera Batak pada dasarnya

memiliki kesamaan dengan penciptaan

seni teater lain yang menempatkan

aspek penyutradaran sebagai bidang

penting. Seluruh jalinan materi-materi

pementasan, baik lakon, tarian maupun

musik dipengaruhi oleh 'polesan'

penyutradaraan. Sutradara dengan

sendirinya, tidak sekedar harus

menguasai aspek-aspek pemanggungan

tetapi juga harus mampu

menerjemahkan secara tuntas gagasan-

gagasan dasar yang tersirat dalam lakon

sebagai titik tolak yang akan melandasi

wujud pengemasan(gaya lakon).

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

16

Keberadaan lakon, dengan demikian

adalah ruang terhadap berbagai

kemungkinan artistik (estetis) yang

kemudian dipilih sutradara untuk

merealisasikan keseluruhan

imajinasinya.

Lakon Opera Batak Sampuraga

merupakan perwujudan lakon yang

terinspirasi dari situs dan cerita lisan

Sampurga anak Durhaka. Dua inspirasi

tersebut kemudian saling dikaitkan

untuk melahirkan lakon Opera Batak

Sampuraga sebagai lakon baru. Lakon

ini diwujudkan dengan memadukan

keseluruhan unsur-unsur opera yang

meliputi: akting, tarian, nyanyian dan

musikalisasi.

Secara umum, lakon Opera

Batak Sampuraga merupakan lakon

yang mengetengahkan sikap dan ambisi

manusia untuk mendapatkan sesuatu

yang dinginkannya sekaligus

menekankan harga ambisi tersebut

dalam meraih cita-cita. Sampuraga

(pembuat boneka sigale-gale)

sesungguhya adalah manifestasi dari

keinginan manusia untuk meninggalkan

sejarahnya. Sebagai pewaris budaya

(pembuat sigale-gale) Sampuraga lebih

memilih untuk mencari pekerjaan lain

karena kebutuhan dan tuntutan

ekonominya yang besar.

Penciptaan Opera Batak

Sampuraga sesungguhnya memiliki

kesamaan dengan penciptaan teater

modern Indonesia yang berangkat dari

tiga bidang utama yakni:

penyutradaraan dengan pemeranan

yang tercakup didalammya, Penataan

Artistik, dan Penulisan lakon.

Perbedaan yang kemudian ditemukan

adalah adanya nyanyian(opera). Unsur

nyanyian merupakan bagian penting,

karena merupakan unsur dari cerita

serta penanda musikal yang menjadi

nilai khas budaya Batak. Keseluruhan

bidang tersebut memiliki tahapan

kreativitas yang sama-sama spesifik.

Jika semua bidang tersebut

dihubungkan dalam satu rangkaian

penciptaan, maka diskripsi dan metode

penulisan yang diaplikasikan

semestinya perlu dicermati secara

mendalam. Hal ini penting agar

gagasan (ide), penuangan dalam bentuk

lakon dan pengejawantahannya dalam

bentuk materi pementasan dapat

tersetrukturkan secara runut dan

sistematis.

Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak

17

KEPUSTAKAAN

Anirun, Suyatna. 2002. Menjadi

Sutradara. Bandung: STSI

Press Bandung.

Carle, Rainer. 1988. Tenggara: Jurnal

of Southeast Asian Literature.

Dewan Bahasa Dan Pustaka

Lot, Kuala Lumpur: Papers

from the Sixth European

Colluquium on Malay and

Indonesia Studies. ISSN 0126 –

6373.

Harahap, Basyral H. dan Siahaan,

Hotman M. 1987 Orientasi

Nilai-nilai Budaya Batak.

Jakarta: Sanggar Willem

Iskander.

Meriam, Alan P. 1964. The

Anthropology of Music.

Northwestern: University Press.

Pavis, Patrice. 1992. Theatre at the

Crossroad of Culture. Transl.

Loren Kruger. London and New

York: Routledge.

Parkin, Harry. 1978 Batak Fruit of

Hindu Thought. Madras:

Khristian Literature Society.

Purba, Krismus. 2002. Opera Batak

Tilhang Serindo:Pengikat

Budaya Masyarakat Batak Toba

di Jakarta. Yogyakarta: Kalika

Bantul.

Sangti, Batara. 1978. Sejarah Batak.

Balige: Karl Sianipar.

Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan

Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar

Harapan.

Siahaan, Amanihut N. dan H. Pardede.

1964 Sejarah perkembangan

Marga-marga Batak. Balige:

Indra.

Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan

Na Tolu: Prinsip Dan

Pelaksanaannya. Jakarta:

Grafina.

Siahaan, E. K, et al. 1976/1977.

Ensiklopedi Musik Dan Tari

Daerah Sumatera Utara.

Medan: Proyek Penelitian Dan

Pencatatan Kebudayaan Daerah

Sadie, Stanley (ed.). 1980. The New

Grove Dictionary of Music and

Musicians. 9 vols, Hongkong:

Machmillan Publisher Limited.

S. D. Gotein. 1972. Letters of Musical

Jewis-Traders. Princetown:

Princetown University Press.

Tobing, Philip. L. 1956. The Structure

of Toba-Batak Belief in The

High God. Amsterdam: Jacob

van Campen.

Tambunan, Anggur P. 1977. Kamus

Bahasa Batak Toba –

Indonesia. Jakarta: Pusat

Pembinaan Bahasa Departemen

Pendidikan Dan Kebudayaan.

Jakarta.

18

SASADU ON THE SEA

WACANA SENI BUDAYA DALAM

FESTIVAL TELUK JAILOLO 2013

Eko WahyudiProgram Penciptaan Seni Pascasarjana

Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

[email protected]

ABSTRAKSasadu On The Sea merupakan pergelaran karya tari yang diharapkan dapat

memberikan pemahaman dan wacana baru dalam mengenal lebih dekat tentang

seni budaya yang dimiliki masyarakat setempat, khususnya masyarakat Jailolo

Halmahera Barat. Selain itu pergelaran karya tari ini dapat berbagi dalam

memberikan inspirasi atau motivasi kepada para kreator seni (khususnya seniman

tari) terhadap pentingnya sebuah festival yang berpijak pada seni dan budaya

lokal, serta dapat memberi alternatif bagi masyarakat dalam mengapresiasi

karya-karya seni tari tradisional kerakyatan. Peranan rumah adat Sasadu sebagai

tempat dimana masyarakat Jailolo dapat menyatukan rasa persaudaraan dan

kebersamaan diangkat menjadi sebuah tema dan ikon dalam karya Sasadu On

The Sea. Sasadu On The Sea merupakan satu rangkaian dalam acara Festival

Teluk Jailolo yang selalu diselenggarakan setiap tahun di Jailolo, Halmahera

Barat.

Kata Kunci : Sahu, Sasadu dan Festival Teluk Jailolo

ABSTRACTSasadu On The Sea is a dance performance that is expected to provide an

understanding and a new discourse to know bettera bout thearts and culture

owned by the local community, especially the community Jailolo West

Halmahera. In addition, he performance of this dance can inspire and motivate

art creators (especially dance artists) on the importance ofa festival that is

grounded in local arts and culture, and can provide an alternative for people to

appreciate the work of popular traditional dance. The roleSasadu traditional

house as a place where the community can unite Jailolo sense of brotherhood

and together ness was selected as a theme and icon in the work of Sasadu On

The Sea. Sasadu On The Sea is a series in Jailolo Bay Festival which is always

held every year in Jailolo, West Halmahera

Keywords: Sahu, Sasadu and Festival Bay Jailolo

Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013

19

PENDAHULUAN

Sebagai salah satu daerah

tujuan wisata, Halmahera Barat

memiliki keragaman obyek wisata dan

daya tarik yang bisa dikatakan kaya.

Sebagai aset dearah, obyek wisata di

kabupaten Halmahera Barat

sebagiannya sudah dikelola oleh

pemerintah kabupaten. Aset wisata

yang sudah dikelola ini diantaranya

sebagian wisata tirta, wisata seni dan

budaya, dan wisata sejarah. Sedangkan

aset wisata lainnya seperti wisata alam,

wisata agro, wisata fauna dan sebagian

wisata tirta masih dalam program

perencanaan pengembangan wisata

oleh pemkab Halmahera Barat. Salah

satu aset wisata yang diunggulkan

pemerintah Halmahera Barat (Halbar)

adalah seni dan budaya, khususnya

adat istiadat suku- suku yang tumbuh

dan terpelihara hingga kini. Suku Sahu

yang menjadi unggulan wisata adat di

Halmahera Barat yang dapat ditempuh

lewat jalur darat sepanjang 15 Km dari

ibukota kabupaten setelah melewati

pintu masuk pelabuhan Ternate menuju

pelabuhan Jailolo. Sejak dahulu kala,

daerah tersebut sangat memanjakan

penghuninya dengan kekayaan alam

yang melimpah ruah.

Kecamatan Jailolo pun terdapat

beberapa rumah adat yang tetap berdiri

kokoh di tengah-tengah perkampungan

masyarakat. Berdirinya Sasadu (rumah

adat suku Sahu) di kampung-kampung

itu menandakan bahwa desa tersebut

didiami oleh masyarakat yang berasal

dari suku Sahu yang menjunjung tinggi

adat istiadat suku mereka.Dari sejak

jaman dahulu hingga sekarang,

kehidupan sosial suku Sahu sudah

memahami bahwa manusia tidak bisa

hidup tanpa manusia lain.

Pemerintah daerah Halmahera

Barat mencoba membawa

masyarakatnya untuk lebih arif dan

kreatif dalam mengenal seni dan

budaya yang dimiliki. Halmahera Barat

yang memiliki kecamatan Jailolo yang

bertepatan sebagai pintu masuk

pelabuhan serta merupakan sebuah

tempat dimana secara struktur

goegrafis merupakan sebuah teluk. Hal

ini yang pada akhirnya pemerintah

daerah Halmahera Barat untuk

membuat sebuah acara tahunan untuk

mengenalkan aset yang di miliki di

daerah tersebut.

Festival Teluk Jailolo

merupakan acara tahunan yang

diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

20

Halmahera Barat. Pada tahun 2013,

merupakan bentuk festival kelima yang

diselenggarakan oleh pemerintah

daerah setempat dengan tujuan untuk

mempromosikan potensi pariwisata,

sumber daya alam, budaya, juga bisnis

di daerah Jailolo, Halmahera Barat.

Festival Teluk Jailolo biasanya digelar

selama tiga hari dengan

menyelenggarakan berbagai macam

bentuk kegiatan yang menyangkut

perayaan atau pesta pesta seni dalam

bentuk pertunjukan tari dan musik,

pesta budaya ditepi pantai, parade,

perlombaan, dan beberapa kegiatan

lainnya yang diselenggarakan oleh

pemerintah dan masyarakat Jailolo.

Berkaitan dengan festival W. J. S.

Purwadarminta (2008) mengartikannya

dalam dua pengertian yaitu: 1) hari

atau pekan gembira dalam rangka

peringatan peristiwa penting dan

bersejarah, dapat pula diartikan sebagai

pesta rakyat. 2) perlombaan, dapat

diketahui atau disimpulkan bahwa sifat

dasar dari semua festival adalah

sesuatu yang berhubungan dengan

perayaan dan juga pesta rakyat yang

pada umumnya ditentukan oleh sesuatu

yang mempunyai nilai kebudayaan.

Hal tersebut senada dengan pernyataan

Fallasi (1987: 8) bahwa festival adalah

suatu peristiwa atau kejadian penting,

sesuatu fenomena sosial yang pada

hakikatnya dijumpai dalam semua

kebudayan manusia.

Sebagai salah satu kota yang

mempuyai banyak aset wisata, Jailolo

menjadi tempat perayaan Festival

Teluk Jailolo yang bertemakan The

Treasure of Islands Emas Spice.

Perayaan festival dalam bentuk seni

pertunjukan musik drama dan tari di

sutradari oleh Eko Supriyanto, Oleg

Sanchabakhtiar sebagai Art director,

dan Dimas Leimana sebagai

profesional sutradara panggung.

Puncak acara Festival Teluk Jailolo

2013 adalah pertunjukan musikal

drama dan tari berjudul “Sasadu On

The Sea”.

Panggungnya berdiri di atas

laut, melibatkan anak-anak dan

pemuda Jailolo sebagai pemain.

“Sasadu On The Sea” mengangkat

cerita dan pesan tentang rumah adat

suku Sahu: Sasadu. Bagi mereka,

“rumah” dianggap sebagai tempat

kelahiran terjadi, terjalinya

keharmonisan antara anggota keluarga,

tempat dilahirkan dan munculnya

generasi-generasi penerus. Sasadu

Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013

21

adalah rumah adat yang memiliki

banyak kandungan makna dan filosofi,

hal ini yang dapat mencirikan tentang

kebudayaan dan prilaku

masyarakatnya.

Pergelaran karya ini diharapkan

dapat memberi pemahaman terhadap

penonton, masyarakat setempat

khususnya masyarakat di wilayah

Jailolo dan Suku Sahu mengenai seni

budaya daerah dan peranan rumah adat

Sasadu sebagai tempat dimana

masyarakat Jailolo dapat menyatukan

rasa persaudaraan. Adapun manfaat

yang dapat dicapai dalam acara

Festival Teluk Jailolo dalam hal ini

pergelaran karya tari “Sasadu On The

Sea”, adalah dapat berbagi dalam

memberikan inspirasi atau motivasi

kepada para kreator seni (khususnya

seniman tari) terhadap pentingnya

sebuah festival yang berpijak pada seni

dan budaya lokal, serta dapat memberi

alternatif bagi masyarakat dalam

mengapresiasi karya-karya seni tari

tradisional kerakyatan.

PEMBAHASAN

Karya Sasadu On The Sea di Jailolo

Jailolo merupakan harta karun

yang tak pernah ada habisnya, begitu

banyak hasil alam yang bisa

dimanfaatkan dan dinikmati. Hutan dan

laut adalah dua tempat yang kaya akan

harta dan keindahan di dalamnya,

hutan yang kaya akan rempah-rempah,

dan laut dengan kekayaan ikan dan

baharinya. Suatu tempat yang indah di

pulau Halmahera Barat, profinsi

Maluku Utara dan menjadi curahan

inspirasi karya “Sasadu on the Sea”.

Karya ini berawal dari sebuah

nama rumah adat suku Sahu, salah satu

dari empat suku yang ada di

Halmahera Barat, yaitu Rumah Sasadu.

Nama dan bentuk rumah yang menjadi

ikon dari provinsi Maluku Utara,

Halmahera Barat ini, menjadi inspirasi

untuk mewujudkan karya kreatif yang

berisi tari, drama dan musik. Cerita

dari pertunjukan ini memiliki makna,

interpertasi dan pesan serta harapan

untuk mewujudkan impian serta cita-

cita indah generasi pemuda dan seluruh

masyarakat Jailolo. Anak yang sejak

lahir menjadi tanggung jawab dari

keluarga, selanjutnya akan menjadi

tanggung jawab Alam (Hutan/Hijau

dan Laut/Biru) untuk menempa,

menantang dan membentuk jati diri

anak Jailolo menjadi kesatria yang

sadar akan kekuatan budayanya,

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

22

tangguh, tegar dan bijaksana. Alam

yang membuka ruang eksplorasi dan

tempaan tanggung jawab untuk

menjadi pelindung, menghargai serta

mencerdaskan. Alam jugalah yang

menentukan kekuatan dan me-

regristrasi semangat untuk meraih

harapan, mimpi dan cita-cita. Alam

yang kuat dan tangguh menjadikan

anak Jailolo bersatu padu dengan

masyarakatnya untuk menjadi yang

terbaik dan berani keluar menggapai

ilmu dan wawasan yang lebih luas.

Hingga pada akhirnya, pulang kembali

ke rumah, ke alam yang menempanya,

ke Timur yang membentuk jati dirinya

dengan semangat kesadaran berbeda

untuk bersatu dengan indahnya tanah

air negeri.

Secara singkat penjabarannya

adalah berawal dari sebuah bentuk

kelahiran seorang anak laki-laki

Jailolo. Sebuah kelahiran yang

bermuara dari sebuah bentuk

kesederhanaan keluarga. Keluarga

yang berasal dari sebuah rumah

sederhana, keharmonisan, kehangatan,

serta kompleksitas proses pembelajaran

dini untuk anak-anaknya. Keluarga

menjadi penting artinya bagi proses

pendidikan dan tempaan paling dini

untuk anaknya. Orang tua, sanak

saudara dan seluruh isi rumah, adalah

sekolah dan sumber untuk menuntut

ilmu yang paling dasar demi

pertumbuhan mental dan pengetahuan

seorang anak. Rumah Sasadu dan

cermin keluarga sederhana di Teluk

Jailolo adalah menjadi tema utama dari

penciptaan karya ini.

Selanjutnya, alam yang menjadi

substansi proses lanjutan bagi anak

Jailolo. Alam di Jailolo yang secara

nyata bersinggungan langsung dengan

Hutan Hijau dan Laut Biru. Anak yang

sejak lahir menjadi tanggung jawab

seisi rumah, proses kehidupannya pun

selanjutnya menjadi tanggung jawab

Alam untuk menempa, menantang dan

membentuk anak Jailolo menjadi anak

yang tangguh, tegar dan bijaksana.

Alam yang memberikan ruang

eksplorasi dan menuntut tanggung

jawab untuk menjadi pelindung, dan

menghargainya serta dapat

mencerdaskannya. Alam (hijau dan

biru) ini, yang akan meneruskan proses

kehidupan anak Jailolo untuk

menentukan kekuatan dan

meregristrasi semangat dalam meraih

harapan dan mimpi. Alam yang tegar

dan tangguh menjadikan anak Jailolo

Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013

23

bersatu dengan lingkungan alam dan

masyarakat untuk menjadi lebih baik.

Di sisi lain, keluarga dan alam

inilah yang akhirnya akan menantikan

kepulangan sang anak dari perjalanan

panjang menguntai mimpi dan harapan.

Keluarga dan alam yang akan terus

memberikan semangat baru, gairah

baru untuk merestui sang anak pergi

meninggalkannya. Terus bertahan

hidup demi kelangsungan masa depan

yang baru, ketika anak dan generasi

penerusnya mampu mengembalikan

keharmonisan, kemajuan dan untuk

keduannya. Memimpikannya untuk

kembali lagi, membangunnya menjadi

yang lebih baik dan bersahaja.

Mengharapkannya untuk menuai panen

yang lebih baik untuk masa depan sang

anak, keluarga dan bumi pertiwinya.

Menjadi yang terbaik kembali lagi

kepangkuan tanah airnya.

Pertunjukan karya “Sasadu On

The Sea” Karya Komposisi Tari dalam

Festival Teluk Jailolo 2013

berlangsung di Teluk Jailolo yang

bersebelahan dengan pelabuhan

Jailolo. Jailolo merupakan kecamatan

di Halmahera Barat dengan luas sekitar

2.755 kilometer. Kecamatan tersebut

berbatasan langsung dengan laut.

Panggung yang digunakan dalam

festival ini bertempat di pinggir laut.

Pemilihan lokasi tersebut cukup

representatif dan relatif dikenal luas

oleh masyarakat penonton yang

apresiatif. Hal tersebut disebabkan

karena tempat yang digunakan dalam

festival merupakan pusat keramaian

masyarakat yang berlalu-lalang dari

berbagai daerah seperti Jailolo,

Ternate, dan beberapa daerah lainnya.

Panggung pertunjukan yang

digunakan untuk acara pergelaran

Festival Teluk Jailolo 2013 berada

dipinggir laut. Pementasan ini berpusat

kepada para penari, melalui pola gerak,

dan tidak banyak dikuasai kemewahan

rupa dan cahaya panggung. Para penari

menjalankan desain gerak pada

eksplorasi bentuk tari tradisi daerah

yang teridentifikasi dari setiap elemen

artistik pemanggungan mulai dari

gerak, setting, tata rias sampai dengan

konsep musikalitasnya.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

24

Gambar 1.

Desain panggung pertunjukan dalam Festival

Teluk Jailolo tampak samping.

(Foto: Oleg Sanchabakhtiar, 2013)

Gambar 2.Desain panggung pertunjukan dalam Festival

Teluk Jailolo tampak depan.

(Foto: Oleg Sanchabakhtiar, 2013

Pendekatan terhadap Masyarakat

Jailolo

Menyelami dan memahami

masyarakat Jailolo tidaklah mudah,

langkah awal yang lakukan untuk

memperoleh data yang berkenaan

dalam mewujudkan karya tersebut

dengan cara observasi aktif atau

pengamatan pada obyek bertempat di

wilayah Jailolo, Halmahera Barat.

Observasi awal yang dilakukan pada

bulan agustus 2012 bersama dengan

rombongan team kreatif Festival Teluk

Jailolo 2013. Observasi tersebut

dimaksudkan untuk lebih mengenal

dan memahami kondisi wilayah. Hal

tersebut sangat penting dilakukan

berkaitan dengan terwujudnya karya

yang melibatkan masyarakat antar suku

dan wilayah yang digunakan sebagai

tempat untuk mempresentasikan karya

tersebut. Selain pengamatan terhadap

wilayah, juga melakukan pengamatan

terhadap sosial budaya masyarakat

setempat, baik mencakup seni, dan

adat-istiadat masyarakat setempat,

terutama di wilayah teluk Jailolo

sebagai lokasi yang nantinya

digunakan dalam pergelaran karya

seni.

Suku yang paling dekat dengan

Jailolo adalah suku Sahu, di mana suku

tersebut memiliki tarian yang bernama

Sara Dabi Dabi dan Legu Salay, di

mana tarian tersebut adalah tarian yang

sering ditampilkan dari masyarakat

suku Sahu sebagai tarian penyambutan.

Selain tarian Sara Dabi Dabi dan Legu

Salay, suku Sahu juga memiliki rumah

adat bernama Sasadu, di mana rumah

adat tersebut sekarang telah dijadikan

ikon dari Halmahera Barat. Suku

Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013

25

Gamkonora merupakan suku yang

masih berdekatan dengan Kecamatan

Jailolo. Suku tersebut memiliki tarian

Dodengo, sedangkan suku Wayoli

memiliki tarian Manika, Hasa Hasa.

Suku terjauh dari Kecamatan Jailolo

adalah suku Tabaru, di mana suku

Tabaru ini memiliki tarian khas perang

yang bernama tari Cakalele.

Berbagai informasi yang

diperoleh dari hasil observasi selama

dua minggu di Halmahera Barat,

khususnya di daerah Jailolo banyak

membantu dalam penciptaan karya

yang dipersiapkan dalam acara Festival

Teluk Jailolo 2013. Observasi

kemudian dilanjtkan dengan langkah

kedua, yang dilakukan dengan teknik

wawancara mendalam artinya

wawancara dilakukan dengan

pertanyan-pertanyaan yang fokus dan

terkait dengan pokok permasalahan

yang ada pada kajian kepada beberapa

orang-orang yang banyak mengetahui

tentang obyek penelitian. Data yang

diperoleh dari hasil wawancara

merupakan penguat dan pendukung

data yang diperoleh dari hasil

observasi. Pemilihan narasumber

dilakukan berdasarkan pada

kompetensi pengalaman dan

pengetahuan, baik secara praktek,

artistik maupun konseptual.

Narasumber yang dimaksud adalah

Fenny Kiat S.STP., M.Si dan

Gregorius Khrisna Wicaksono S.S.

Kedua narasumber tersebut dapat

memberikan data sesuai dengan

keperluan dan keinginan yang

dibutuhkan oleh pengkarya mengenai

seni dan budaya masyarakat di wilayah

Halmahera yang tepatnya di Teluk

Jailolo.

Wawancara secara pribadi

dengan beberapa tokoh masyarakat di

desa-desa yang juga dapat memberikan

informasi tentang kebiasaan dan

berbagai hal tentang masyarakat

tersebut. Pendekatan secara personal

maupun kelompok dengan para

generasi tua (masyarakat yang

mayoritas berusia sekitar 30 tahun

sampai 60 tahun) dan generasi muda

(remaja Jailolo yang mayoritas masih

duduk di bangku SMP dan SMA) tidak

kalah pentingnya, hal tersebut

dimaksudkan untuk memahami

karakter, pola fikir, minat dan bakat

yang dimiliki, serta kepedulian dalam

mengenal kesenian daerahnya.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

26

Langkah Proses Kekaryaan

Menurut Wallas (1977: 53)

bahwa proses kreatif bisa dikatakan

identik dengan proses mencipta dan

menyusun. Hal tersebut ditempuh

melalui empat tahapan yaitu: (1) tahap

preparasi adalah tahap persiapan ketika

individu mengumpilkan informasi dan

data untuk memecahkan suatu masalah

(2) tahap inkubasi adalah pengendapan

atau perenungan atas ide-ide tersebut.

(3) tahap ilimunasi adalah melakukan

penyusunan ketika ide kreatif itu

diwujudkan dalam karya nyata. (4)

tahap verifikasi adalah tahap evaluasi

dengan melakukan penilaian kembali

atas karya yang diwujudkan. Dalam hal

ini, ada proses menimbang dan

mengukur hasil yang diwujudkan

sesuai dengan ide awal dalam

menggarap atau menyusun karya tari

berdasarkan pada konsep yang di

gunakan.

Berpijak pada kategorisasi

proses kreatif yang diungkapkan oleh

Wallas tersebut di atas, apabila

dikaitkan dengan proses kreatif yang

telah dilakukan terdapat kesamaan.

Proses kerja kreatif tersebut telah

dilakukan secara bertahap, dengan

tujuan agar dalam proses dan tujuan

Penciptaan Karya Seni dapat berjalan

lancar dan tidak banyak mengalami

kendala yang signifikan. Adapun

tahapan yang dilakukan diawali dengan

tahap persiapan, tahap perenungan,

selanjutnya tahap

pengarapan/penyusunan, dan terakhir

tahap evaluasi. Beberapa tahap tersebut

dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, persiapan, yang

ditujukan untuk menunjang proses

kekaryaan dapat berjalan lancar,

dibutuhkan beberapa langkah kerja

kreatif dengan cara melakukan

observasi (pengamatan lapangan

langsung) secara mendalam terhadap

budaya masyarakat Jailolo, melakukan

wawancara dan studi pustaka yang

digunakan sebagai proses penggarapan.

Bentuk seni tradisional kerakyatan

tidak luput dari penelusuran. Beberapa

di antara kesenian tari tradisi lokal

Halmahera Barat merangsang untuk

menyusun beberapa koreografi yang

lebih kompleks tanpa meninggalkan

nilai dan unsur-unsur seni tradisi yang

sudah ada. Adapun langkah kreatif

yang dilakukan adalah tahap persiapan

yang meliputi observasi, wawancara

dan studi pustaka, eksplorasi,

pencarian pendukung tari, dan

Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013

27

pemberian workshop. Langkah kerja

kreatif seperti observasi, wawancara

dan studi pustaka sudah dijelaskan

diatas.

Eksplorasi terhadap materi tari

tradisi seperti Sara Dabi Dabi, Legu

Salay, Dana Dana dan Cakalele

dilakukan secara intensif. Berbagai

macam bentuk tari tradisi daerah

tersebut yang akhirnya digunakan

sebagai pijakan untuk penggarapan

karya dalam pertunjukan Festival

Teluk Jailolo 2013.

Tahapan selanjutnya yaitu

proses memberikan worksop kepada

para pendukung sajian. Sebagai

langkah awal dalam pemberian

workshop team tari memberikan materi

pemahaman tentang apa itu tari, menari

dan gerak tari serta pengolahan gerak

tubuh yang diiringi oleh musik.

Langkah ke kedua mencari penari yang

memiliki kemampuan dalam menari

tarian tradisi setempat secara selektif.

Hal tersebut dilakukan agar penari

yang mempunyai kwalitas tersebut

dapat dijadikan contoh, pemimpin dan

mengatur pendukung tari lain. Di sisi

lain juga melakukan proses pencarian

pendukung tari yang dapat disegani

oleh pendukung tari lainnya, demikian

ini dilakukan untuk membantu dalam

mengkoordinasi pendukung tari

lainnya yang mempunyai karaketer

keras, susah di atur yang disebabkan

karena dari sekian banyaknya

pendukung mempunyai latar belakang

budaya yang berbeda.

Tahap kedua, perenungan,

merupakan tahapan untuk mencoba

berfikir kembali mencari

kemungkinan-kemungkinan dalam

mengembangkan tafsir terhadap data-

data yang diperoleh berkaitan dengan

materi yang disiapkan dalam proses

penggarapan karya. Dalam tahapan ini,

apa yang menjadi persoalan-persoalan

yang melingkupi ide-ide dalam proses

akhirnya mencoba untuk dipecahkan

dalam pola yang logis dan linear

berdasarkan persoalan-persoalan yang

dihadapi.

Perenungan ini mencoba untuk

mencari sebuah solusi atau teknik yang

tepat sasaran dan efektif dalam

penyampaian kepada pelaku dan penari

yang dipersiapkan dalam pertunjukan

Festival Teluk Jailolo 2013. Tehnik

dan solusi penyampaian ini sangat

bermanfaat untuk mentransfer kepada

para pelaku yang terlibat dalam

pertunjukan tersebut. Mayoritas dari

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

28

yang terlibat dalam acara ini adalah

generasi muda yang memiliki perilaku

dan karakter keras dan kurangnya

pengetahuan tentang tari, menari dan

bentuk dari sebuah pertunjukan.

Tahapan ini sangat bermanfaat dan bisa

menemukam ide kreatif dan solusi

untuk penggarapan karya. Ide kreatif

tersebut berupaya melakukan

interpretasi dan pengembangan

terhadap bentuk tari yang tampak pada

visual bentuk pertunjukan.

Tahap pengarapan atau

penyusunan, yang merupakan tahap

ketiga dalam proses kekaryaan ini tidak

lepas dari peran team yang berperan

dalam pertunjukan Festival Teluk

Jailolo 2013. Dalam tahapan ini team

tari melakukan penguasaan materi tari

tradisional kerakyatan Jailolo seperti

tari Sara Dabi-dabi, tari Legu Salay ,

tari Dana-dana dan tari Cakalele.

Penguasaan materi ini untuk

memperdalam penguasaan bentuk,

teknik gerak, ruang, tema dan karakter

tari yang disajikan, dengan tujuan

menselaraskan sajian dan pencapaian

konsep yang ingin dicapai. Sementara

itu untuk proses penggarapan materi,

team tari secara kreatif mengolah,

mengembangkan, memberi variasi,

inovasi pada tari tradisional kerakyatan

dengan sedikit merubah bentuk dan

nilai yang sudah ada dalam tari

tradisional tersebut.

Adapun tahap keempat, yakni

evaluasi merupakan tahapan yang

dilakukan dalam menilai dan

menyeleksi ragam gerak yang telah

dihasilkan pada tahap penguasaan,

pendalaman materi dan penafsiran

bentuk dan isi. Dalam tahapan ini,

team tari bersama dengan sutradara dan

team kreatif lainnya melakukan

evaluasi terhadap proses penguasaan

dan penggarapan pada karya tari yang

akan ditampilkan. Adapun tahapan

evaluasi lebih ditekankan pada bentuk

sajian koreografi. Dalam hal ini

koreografi gerak lebih ditekankan

untuk lebih menunjukkan kondisi

kerakyatan yang didalamnya terdapat

semangat kegotong royongan dan

toleransi antar suku atau berkelompok

masyarakat.

Proses Kekaryaan Sasadu On The

Sea

Karya ini memadukan kesenian

lokal dari suku-suku di Halmahera

Barat yaitu: Suku Tobaru, Suku Sahu,

Suku Wayoli dan Suku Gamkonora

dengan unsur tari-tari eksplorasi baru

Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013

29

dan kreativitas seni pertunjukan

modern yang inovatif. Semua itu

terjalin menjadi satu kesatuan yang

utuh antara seluruh aspek seni

tradisional dan kebaruannya.

Karya Sasadu On The Sea pada

dasarnya bermuara dari Substansi

”Rumah” atau arti kata lain Sasadu

sebagai tempat dimana kelahiran

terjadi, keharmonisan antara anggota

keluarga terjalin, dan tempat

dilahirkannya generasi-generasi

penerus. Substansi pembelajaran yang

bermuara dari keluarga kemudian

bersinggungan dengan aspek-aspek

alam, dimana yang ada di alam

sebagian besar mencakup hutan dan

laut.

Untuk mewujudkan sebuah

gagasan dan menciptakannya menjadi

sebuah karya seni tari yang masih

berpijak pada tradisi yang sudah ada,

demikian ini menggunakan teori

transformasi. Alasan menggunakan

teori transformasi, bahwa dalam

kesenian tradisional rakyat masih

terdapat nilai-nilai estetis yang dapat

diungkapkan melalui gerak-gerak tari

tradisional.

Menurut Bandem (1996: 24)

teori transformasi adalah perubahan

dari asli menjadi karya baru yang dapat

meyakinkan penonton bahwa karya itu

berpijak pada latar belakang seni yang

jelas dan menjadi sebuah hasil

pengembangan dengan hasil warna

baru. Melalui eksperimen atau

percobaan yang sistematis dan

terencana dalam bentuk kreativitas

seni, diharapkan dapat membuktikan

kebenaran suatu teori, sehingga

mendapatkan kesepakatan hasil dari

seluruh penggabungan motif gerak

maupun ide untuk mencapai tema.

Dilandasi dari teori tersebut,

karya seni ini diilhami dari unsur

budaya masyarakat Jailolo yang masih

memegang teguh nilai-nilai tradisi

yang diwarisi secara turun temurun.

Adapun nilai-nilai tersebut diantranya:

kegotong royongan, kebersamaan dan

persatuan dalam membangun negeri.

Dalam bahasa masyarakat Halmahera

Barat nilai- nilai yang tercermin dalam

kebersamaan antar suku sering

diutarakan dengan sebutan mari moi

ngone future, arti dari kalimat tersebut

adalah menyatukan hati membangun

negeri.

Karya tari ini berpijak dari

bentuk-bentuk tari tradisi kerakyatan

suku-suku yang ada di Jailolo,

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

30

kemudian dipadukan dengan unsur-

unsur tari eksplorasi baru dalam

kreatifitas seni pertunjukan modern

yang inovatif dan mengandung unsur

edukatif. Hal tersebut terjalin menjadi

satu kesatuan yang utuh dalam seluruh

aspek seni tradisi dan kebaruan. Karya

ini berangkat dari eksplorasi bentuk

gerak tari tradisional rakyat Jailolo,

seperti tari Sara Dabi-dabi, tari Legu

Salay, tari Dana Dana, tari Cakalele

dan beberapa kesenian lainnya yang

kemudian berkembang dengan ruang

penjelajahan kreatif dengan

memadukan beberapa unsur koreografi

dan komposisi baru tanpa merubah

bentuk nilai ketradisiannya demi

pendalaman intensitas. Dalam tahapan

ini, prosesnya difokuskan pada

eksplorasi gerak tari yang dilakukan

oleh pendukung tari dalam festival

seni.

Adapun model penggarapannya

adalah teknik dan idiom tradisi lokal

yang dikembangkan dan dijadikan

pijakan dalam menyusun bagian-

bagian penyusunan karya tari.

Penggarapan instrumen dari berbagai

kultur, secara kolaboratif dimaksudkan

untuk menghasilkan inovasi baru yang

dapat mempromosikan dan

melestarikan bentuk kesenian daerah

tanpa meninggalkan identitasnya.

Penjelasan konsep garap pertunjukan

karya seni “Sasadu On The Sea” dibagi

menjadi 7 (tujuh) bagian.

Bagian pertama, menampilkan

para pekerja dengan koreografi krodit

(lari, lompat, guling, dan beberapa

gerak lainnya). Kemudian atur posisi,

mulai gerak dengan koreografi gotong

royong, rampak dan gagah, selanjutnya

koreografi rampak koordinasi tangan

dan kaki. Dalam bagian ini

mengungkapkan semangat bekerja

keras dan semangat gotong royong

yang sangat di kedepankan.

Bagian Kedua, mengungkapkan

tentang kelahiran yang terdiri dari

beberapa adegan yakni: (1) Koreografi

Kelahiran, memberikan substansi kasih

sayang orang tua kepada anaknya,

dengan komposisi musik yang digarap

untuk mewujudkan suasana romantis,

kemesraan yang membahagiakan; (2)

Tari Sara Dabi Dabi, yakni tarian

penyambutan yang bertujuan untuk

menyambut kelahiran seorang anak

laki-laki yang kelak dapat membuat

daerahnya maju dan berkembang.

Komposisi gerakan disamakan seperti

konsep aslinya, dengan musik Tari

Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013

31

Sara Dabi Dabi; dan (3) Legu Salay,

sebuah tarian yang sama dengan tarian

sebelumnya, yaitu bentuk tarian

penyambutan dalam kelahiran seorang

anak. Dalam adegan ini, musik digarap

Musik Tari Legu Salay, Standar

instrumen musik Legu Salay. Kostum

yang digunakan dalam adegan ini pada

dasarnya disamakan atau hampir mirip

dari kostum yang di gunakan

selayaknya masing-masing tarian,

namun dalam hal ini ada sedikit

penambahan untuk keperluan kwalitas

dalam bentuk panggung pertunjukan.

Gambar 3.Koreografi Opening tema kerja keras dan

gotong royong

(Foto: Rheza Adi Perwira, 2013)

Gambar 4.Tari Sara Dabi Dabi

(Foto: Rheza Adi Perwira, 2013)

Bagian ketiga terdiri dari 6

(enam) adegan, dimana dalam adegan

ini menggambarkan keadaan hutan dan

isinya yang berada di Jailolo, seperti

berikut: (1) Hutan (pohon), koreografi

lebih menggambarkan gerakan pohon

yang kemudian masuk penari monyet.

Pada adegan ini, musik digarap string

ensamble, cimes, harp dan ambience:

ocean floor dan tali dua; (2) Monyet

dengan koreografi lincah dan rampak.

Musik digarap conga groove, clave, 4

tifa, world triangle, ceramic drum,

pencon Jailolo dan ambience: ocean

floor dan tali dua; (3) Burung Hutan,

koreografi licah dan rampak

menggambarkan sebagaimana karakter

aslinya burung hutan silam. Musik

digarap 3 acous guitar, ukulele, shaker,

ethnic shake loop, voice huming dan

ambience: ocean floor tali dua; (4)

Laut (air), koreografi komposisi hutan

berubah menjadi komposisi laut atau

air (penari tetap). Koreografi laut atau

air menggambarkan sebagaimana

ombak atau gelombang air, dari ombak

atau gelombang pelan kemudian

menjadi ombak atau gelombang cepat

yang kemudian masuk penari ikan.

Komposisi musik yang digunakan

syhnthesizer: string orchestra, taiko,

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

32

timpani, cymbals dengan suasana

memuncaknya gelombang keindahan

Jailolo dan anak itu mulai memahami

esensi tanah kelahirannya; (5) Ikan,

koreografi yang digunakan Rampak

dan mengalir sebagaimana mengikuti

arus gerak air. Ikan happy stream dan

depth dengan menggunakan piano, solo

star shynt, vocal, ooh voice, maraca,

dan syhnthesizer: string orchestra,

taiko, timpani, cymbals,

menggambarkan gelombang keindahan

Jailolo; dan (6) Kawah Bambu Gila,

koreografi yang digunakan merupakan

eksplorasi mengangkat papan yang

akan dinaiki oleh anak yang

memainkan atraksi bamboo di atas

papan. Komposisi musik yang

digunakan adalah Ogoh-Ogoh Jailolo

membara , menegangkan, mengejutkan

dan mendewasakan. Electric bass,

drum, 10 tifa, cow bells, choir, timpani,

syhnthesizer: string orchestra, taiko,

snare, timpani, tifa, vocal dan klimaks

terbentuknya sebuah kedewasaan jiwa

dan anak itu sudah bisa terbang

sekarang. Konsep dalam adegan

tersebut adalah menggambarkan

bagaimana keadaan alam seperti hutan,

laut dan isinya yang menjadi tempat

masyarakat Jaiolo untuk mencari

penghidupan, hutan dan laut adalah

sebagai tempat mengasah ketangguhan

anak-anak Jailolo menjadikan seorang

yang tangguh. Kostum yang di

gunakan dalam adegan ini pada

dasarnya untuk mengambarkan dan

memperkuat kateristik dalam setiap

bagiannya.

Gambar 5.Adegan kelahiran anak masa depan Jailolo

(Foto: Rheza Adi Perwira, 2013)

Gambar 6.Tari Sara Dabi Dabi.

(Foto : Rheza Adi Perwira, 2013)

Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013

33

Gambar 7.Koreografi Kera

(Foto: Rheza Adi Perwira, 2013)

Gambar 8.Koreografi kawah

(Foto: Rheza Adi Perwira)

Bagian Empat terdiri dari dua

adegan yaitu: Konser Musik Jailolo

Music Concert, Quintett Vocal, Yanger

Big Band, Legu Sale & Sara Dabi Dabi

futuristic music, Ensemble Tifa,

Cakalele progresive music, dan tarian

Cakalele. Sementara Bagian Lima,

memiliki dua adegan yaitu Kedatangan

sang tokoh yaitu anak Jailolo dan

tarian Dana Dana sebagai tarian

penyambutan telah kembalinya sang

anak laki-laki yang bisa membangun

daerahnya lebih maju. Pada adegan ini

dinyanyikan lagu Kembali ke Timur,

sebelum lagu selesai perahu perahu

dari laut menuju ke panggung. Musik

yang digunakan syhnthesizer: srting

pad, harp, violin, vocal dengan

relaxation .

Bagian Enam terdiri dari dua

adegan: (1) Kebahagiaan, koreografi

tokoh anak Jailolo berdiri di depan

pintu rumah yang terang dengan

adanya cahaya lampu didalamnya.

Transisi penari silam masuk kerumah,

sementara itu, diatas atap rumah berdiri

seorang penari Cakalele kecil dan

pengkarya menarikan fokabuler dari

tarian Cakalele. Setelah tarian Cakalele

selesai, tokoh tersebut membuka pintu

dan masuk kedalam rumah kemudian

lampu padam. Penggambaran dalam

adegan ini adalah sebuah cerita bahwa

sang tokoh yaitu anak laki-laki Jailolo

yang dulunya pergi merantau akhirnya

telah kembali kerumah dengan

membawa banyak bekal dan

pengalaman untuk siap membangun

daerahnya. Cobaan, godaan, gangguan

yang pernah dia alami sanggup di lalui

dengan baik.

Adegan ini merupakan adegan

puncak dari semua rangkaian adegan

dari awal, suasana yang

menggambarkan bentuk kebanggan

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

34

terhadap daerah dan negerinya pun

disampaikan lewat lantunan musik dan

suasana yang di dukung dengan setting

panggung serta lighting panggung.

Kostum yang digunakan sedikit dibikin

kontras antara sang tokoh dan dengan 2

penari yang berada di atas rumah

Sasadu, alasannya adalah sebagai

penggambaran sang tokoh yang datang

dari kota dengan tinggi peradaannya

dan tetap mau kembali untuk

membangun daerahnya yang terpencil

dan berada di Timur Indonesia.

Gambar 9.Tari Cakalele, adegan kepulangan anak Jailolo

dengan membawa pesan demi kemajuan

daerahnya. (Foto : Rhez Adi Perwira, 2013)

Pada Bagian Tujuh, semua

penari masuk ke panggung dan menari

tarian rakyat secara bersamaan. Dalam

Komposisi bagian ini, musik yang

digunakan yaitu: syhnthesizer: magic

dan Moloku Kieraha new arrangement.

Karya ini secara substansi berupa cerita

dan pesan yang mencurahkan sebuah

bentuk kesederhanaan dari nama

rumah adat suku Sahu, Rumah Sasadu.

Nama dan bentuk ini menjadi inspirasi

untuk mewujudkan karya kreatif berisi

tari, musik drama dan kemasan seni

pertunjukan untuk Festival Teluk

Jailolo 2013. Selain nama rumah adat,

Sasadu ini adalah ikon khas Halmahera

Barat. Rumah Sasadu akan

membungkus seluruh adegan pada

pertunjukan festival ini. Cerita dan

pertunjukan dalam Festival Teluk

Jailolo 2013 ini, dijabarkan dengan

pembagian adegan yang masing-

masing mempunyai pemaknaan,

interpreatasi, dan pesan serta harapan

untuk menjadikan inspirasi bagi

generasi muda dan seluruh lapisan

masyarakat Jailolo khususnya dan

Halmahera Barat pada umumnya.

PENUTUP

Keindahan dan kekayaan alam

serta budaya serta adat istiadat di

Jailolo Halmahera Barat merupakan

aset yang tidak ternilai harganya.

Pemerintah daerah Halmahera Barat

tidak menyianyiakan aset yang dimiliki

untuk memanfaatkan dan

mengembangkan serta mencoba untuk

Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013

35

mengenalkan kekayaan yang dimiliki

secara luas, selain itu juga Pemerintah

Daerah Halmahera Barat mencoba

membawa masyarakatnya untuk lebih

arif dan kreatif dalam mengenal seni

dan budaya yang dimiliki. Halmahera

Barat yang memiliki kecamatan Jailolo

yang bertepatan sebagai pintu masuk

pelabuhan serta merupakan sebuah

tempat dimana secara struktur

goegrafis merupakan sebuah teluk. Hal

ini yang pada akhirnya pemerintah

daerah Halmahera Barat untuk

membuat sebuah acara tahunan untuk

mengenalkan aset yang di miliki di

daerah tersebut.

Festival merupakan sebuah

ajang yang dapat memunculkan bentuk

eksperimen dengan menjelajahi

berbagai kemungkinan untuk

menemukan ekspresi baru dengan lebih

mengenal unsur seni dan budaya yang

ada di wilayah Jailolo. Festival Teluk

Jailolo merupakan acara tahunan yang

diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata

Halmahera Barat dengan tujuan untuk

mempromosikan potensi pariwisata,

sumber daya alam, budaya, juga bisnis

di daerah Jailolo, Halmahera Barat.

Festival Teluk Jailolo digelar selama

tiga hari dengan menyelenggarakan

berbagai macam bentuk kegiatan yang

menyangkut perayaan atau pesta pesta

seni dalam bentuk pertunjukan tari dan

musik, pesta budaya ditepi pantai,

parade, perlombaan, dan beberapa

kegiatan lainnya yang diselenggarakan

oleh pemerintah dan masyarakat

Jailolo.

Karya Sasadu On The Sea

merupakan refelksi dari sebuah

ungkapan masyarakat Jailolo akan

sebuah kekayaan lokal yang meliputi

seni budaya, adat istiadat dan kekayaan

alam. Ungkapan yang digambarkan

dalam sebuah kearifan lokal yang akan

selalu membawa masyarakatnya

menuju sebuah kemajuan dan

kesejahteraan. Rumah adalah

merupakan simbol bagi masyarakat

Halmahera Barat sebagai sebuah

kebersamaan, kerukunan dan saling

membutuhkan satu sama lain.

KEPUSTAKAAN

Bandem, I Made. 1996. Etnologi tari

Bali. Yogyakarta: Kanisius.

Chandra, Julius. 1994. Kreativitas,

Bagaimana Menanam,

Membangun, dan

Mengembangkannya.

Yogyakarta: Kanisius.

Purwadarminta, W J S. 2008. Kamus

Besar Bahasa Indonesia.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

36

Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Supriadi, Dedi. 1977. Kreativitas,

Kebudayaan, dan

Perkembangan Iptek.

Bandung: Alpabeta.

NARASUMBER

Fenny Kiat S.STP., M.Si. 45 tahun,

Kepala dinas Pemuda, Olah

Raga, Kebudayaan dan

Pariwisata Halmahera Barat,

Ternate.

Gregorius Khrisna Wicaksono S.S. 37

tahun, Staf Pemuda, Olah

Raga, Kebudayaan dan

Pariwisata Halmahera Barat,

Jailolo.

DISKOGRAFI

Dokumentasi vidoe Festival Teluk

Jailolo 2012 karya team

Metro TV, koleksi Dinas

Pariwisata Halmahera Barat,

tahun 2012.

Dokumentasi video Jenis Tarian

Halmahera Barat karya

Khresna Martin, koleksi

Khresna Martin, tahun 2010.

37

PERTUNJUKAN KOMPANG

BENGKALIS:

DARI ARAK-ARAKAN KE SENI

PERTUNJUKAN

Yosi Ramadona

NursyirwanProdi Seni Budaya STIE Pekanbaru

Prodi Seni Musik, Fakultas Seni Pertunjukan

Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang

[email protected]

[email protected]

ABSTRAKTulisan ini adalah hasil penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan

perkembangan kompang pada masyarakat Meskom Bengkalis, dari bentuk arak-

arakan menjadi Pertunjukan Atraktif. Tradisi arak-arakan kompang pada

masyarakat Bengkalis sejak awal mula berkembang sebagai bagian syiar Islam,

yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap perayaan keagamaan ataupun

perhelatan yang berkaitan dengan agama Islam. Namun sekarang telah dijumpai

pengembangan dari tradisi arak-arakan kompang menjadi tontonan hiburan yang

dikenal sebagai Pertunjukan Atraksi Kompang. Untuk melihat bentuk

perkembangan kompang dari arak-arakan ke pertunjukan, maka penelitian

menerapkan metode kualitatif yang bersifat deskriptif analisis dengan

menggunakan teori fungsi dan pertunjukan. Pengembangan pertunjukan

kompang dari arak-arakan ke Atraksi Pertunjukan Kompang dilatarbelakangi

oleh kebutuhan masyarakat akan sebuah suguhan seni pertunjukan yang lebih

menarik dan bersifat hiburan. Pengembangan ini dilakukan dengan

menambahkan gerak-gerak atraktif ke dalam pertunjukan yang digabungkan

dengan atraksi permainan kompang tanpa menghilangkan hakikat dari

pertunjukan itu sendiri, yaitu sebagai syiar Islam.

Kata kunci : Pertunjukan, Atraksi, Kompang, Islam, Bengkalis

ABSTRACTThis writing is the result of research with the purpose to describe the

development of kompang music in Meskom community in Bengkalis, from

the music of parade to Attractive Performance. The tradition of kompang

parade in Bengkalis community was formerly part of Islamic religiuos

teaching, an integral part of Islam-related ceremonies or parties. But now

kompang music has developed from music of parade to music of

entertainment known as Kompang Attraction Performance. In order to see

the development of kompang from the music of parade to music of

performance, this research used a qualitative method with descriptive

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

38

analysis using theories of function and performance. The development of

kompang from music of parade to Kompang Performance Attraction was

based on the needs of community for a more attractive art performance

and entertainment. The development was done by adding some attractive

movements into the performance combined with kompang game attraction

without reducing the essence of the performance itself, the Islamic

teaching.

Keywords: Performance, Attractions, Kompang, Islam, Bengkalis

PENDAHULUAN

Bengkalis adalah sebuah

Kabupaten yang terletak di pesisir

timur pulau Sumatera, yang dikenal

kaya dengan ragam kesenian yang

mendapat pengaruh dari agama Islam.

Islam dianut oleh mayoritas

masyarakat Bengkalis dan menjadi

identitas yang tak terpisahkan dari

kehidupan masyarakatnya.

Sebagaimana masyarakat Melayu pada

umumnya, Islam telah menjadi

landasan ideal kebudayaan mereka,

dimana hampir dalam segala aspek

kehidupan masyarakat secara ideal

disesuaikannya dengan norma dan

nilai-nilai Islam (Mahdi Bahar, 2012:

44).

Hal ini terlihat pada fenomena

kesenian kompang yang hidup di

tengah masyarakat Bengkalis.

Kompang adalah kesenian bernafaskan

Islam yang begitu populer di tengah

masyarakat Bengkalis. Kompang telah

menjadi kesenian rakyat yang dapat

dijumpai hampir di seluruh pelosok

Bengkalis, dan meramaikan setiap

perayaan keagamaan dan perhelatan di

tengah masyarakat. sehingga tidak

salah jika Bengkalis dijuluki sebagai

“negeri seribu kompang”. Bahkan ada

ungkapan di tengah masyarakat

setempat dimane ade orang melayu,

disitu ade kompang (dimana ada orang

Melayu, disitu ada kompang).

Kompang adalah sebutan oleh

masyarakat setempat terhadap sejenis

alat musik pukul ataupun pertunjukan

musik yang dimainkan oleh

sekelompok orang dalam bentuk arak-

arakan, sambil melafaskan sya’ir-sya’ir

dari kitab berzanji. Nursyirwan

(2000:3), menjelaskan kitab berzanji

adalah karya sastra Arab yang berisi

cerita bernafaskan Islam berupa puji-

pujian kepada Nabi Muhammad SAW

beserta keluarganya dan puji-pujian

Yosi Ramadona & Nursyirwan, Pertunjukan Kompang Bengkalis: dari Arak-arakan ke Seni

Pertunjukan

39

kepada Allah SWT (Nursyirwan, 2000:

3). Instrumen kompang sendiri

menyerupai rebana, terbuat dari kulit

kambing dan kayu lebam sadang serta

sedak atau rotan yang berfungsi

sebagai penyaring suara.

Diihat dari sejarahnya, alat musik

kompang diperkirakan berasal dari

Arab dan masuk ke tanah Melayu

seiring dengan berkembangnya Islam

di tanah Melayu, khususnya pada masa

Kesultanan Melaka pada abad ke-13

oleh para pedagang India muslim

melalui pesisir Selat Malaka

(wawancara dengan Alwi di Meskom

Bengkalis pada tanggal 15 November

2013). Sampai sekarang, arak-arakan

kompang dikenal sebagai tradisi

kesenian pada masyarakat Melayu

yang berfungsi sebagai syiar Islam.

Namun sekarang, arak-arakan

kompang telah dikembangkan menjadi

sebuah suguhan seni pertunjukan,

sebagai sebuah tontonan. Fenomena ini

dijumpai di daerah Meskom,

Kabupaten Bengkalis. Disini dijumpai

pertunjukan kompang yang berbeda

dari arak-arakan kompang pada umum

dikenal pada masyarakat Bengkalis.

Kompang tidak dimainkan dalam

bentuk arak-arakan, tetapi telah

dikembangkan dengan menambahkan

gerak-gerak atraktif dalam

pertunjukan, serta unsur-unsur lain

yang ada dalam sebuah seni

pertunjukan. Artinya kemasan bentuk

pertunjukan telah beralih menjadi

sebuah suguhan seni pertunjukan, dan

masyarakat setempat menamakannya

dengan Pertunjukan Atraksi Kompang.

Berdasarkan hal tersebut,

menarik untuk mengkaji bagaimana

pertunjukan kompang yang semula

berupa arak-arakan kompang

berkembang menjadi Pertunjukan

Atraksi Kompang sebagai sebuah

suguhan seni pertunjukan pada

masyarakat Bengkalis, serta seperti apa

bentuk perubahan tersebut. Radcliffe

Brown sebagaimana dikutip dalam

Endaswara berpendapat bahwa sistem

budaya dapat dipandang memiliki

“kebutuhan sosial”. Kebudayaan itu

muncul karena ada tuntutan tertentu

baik oleh lingkungan maupun

pendukungnya. Tuntutan itu yang

menyebabkan budaya semakin tumbuh

dan berfungsi menurut strukturalnya

(Suwardi Endaswara, 2003, 109).

Sementara itu, untuk

menjelaskan bentuk Pertunjukan

Atraksi Kompang, digunakan teori

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

40

bentuk dari RM. Soedarsono

(1977:21), bentuk yang dimaksud

didalam penyajian meliputi unsur-

unsur yang saling berkaitan antara lain

menyangkut hal teknis seperti: penari,

gerak, pola lantai, musik, rias dan

busana, property, tempat dan waktu

pertunjukan (RM. Soedarsono, 1977:

21).

Untuk mendapatkan pemahaman

yang lebih luas, serta interpretasi yang

layak, maka penelitian ini

menggunakan metode penelitian

kualitatif sebagaimana yang dikutip

dari Miller, bahwa penelitian kualitatif

adalah tradisi tertentu dalam ilmu

pengetahuan sosial yang secara

fundamental bergantung pada

pengamatan manusia dalam

wawasannya sendiri dan berhubungan

dengan orang-orang tersebut, dalam

bahasanya dan dalam peristilahannya

(Miller, 1995: 3). Artinya dalam

melakukan penelitian, peneliti

sekaligus menerapkan pendekatan

emik dan etik agar hasil penelitian

menjadi layak dan dapat

dipertanggungjawabkan. Kaplan dan

Manner, sebagaimana dikutip dalam

Endaswara (2003: 34), menjelaskan

bahwa pendekatan emik adalah

pengkategorian budaya menurut warga

setempat (pemilik budaya), sedangkan

etik adalah kategori menurut peneliti

dengan menagacu kepada konsep-

konsep yang sebelumnya.

PEMBAHASAN

Arak-Arakan Kompang

Kompang selalu dimainkan

dalam setiap acara perayaan

keagamaan pada masyarakat

Bengkalis. Kompang atau yang dikenal

juga dengan sebutan rebana adalah alat

musik yang melekat dengan tradisi

kesenian yang bernuansa Islam. Hal ini

dikarenakan alat musik kompang pada

awalnya dimainkan sebagai media

untuk syiar atau dakwah Islam. Oleh

sebab itu, kompang senantiasa hadir di

setiap perayaan keagamaan, seperti

perayaan hari-hari besar Islam, khatam

Qur’an, Satu Muharam, Maulid Nabi,

dan Khitanan.

Sebagai syiar Islam,

pertunjukan kompang dilakukan dalam

bentuk arak-arakan. Disini permainan

alat musik kompang lebih

mengutamakan kesemarakan bunyi

kompang yang mengiringi nyanyian

atau lafaz yang memuat syair-syair

islami berisi puji-pujian terhadap Allah

Yosi Ramadona & Nursyirwan, Pertunjukan Kompang Bengkalis: dari Arak-arakan ke Seni

Pertunjukan

41

SWT dan shalawat terhadap nabi.

Sambil melakukan arak-arakan di

sepanjang perjalanan, para pemain

terus memukul alat musik kompang

dengan melafazkan syair puji-pujian.

Hal ini adalah bagian dari tradisi

masyarakat Bengkalis dalam

mensyiarkan agama Islam sebagai

landasan kebudayaan mereka.

Sebagai sebuah arak-arakan,

pertunjukan kompang biasa

ditampilkan oleh beberapa kelompok

kompang dari berbagai pelosok daerah

di Kabupaten Bengkalis. Dapat

dikatakan tradisi arak-arakan kompang

adalah sebuah pertunjukan komunal

yang cukup kolosal, karena melibatkan

banyak para pemain kompang dari

beberapa kelompok. Begitu pula

dengan antusiasme dan riuh banyak

penonton yang ikut memberikan

dukungan bagi arak-arakan kompang

yang tengah mereka tonton di

sepanjang rute perjalanan.

Gambar 1.Arak-arakan pertunjukan kompang dan

antusiasme penonton

(Foto: Yosi Ramadona, 15 November 2013)

Gambar di atas memperlihatkan

semaraknya arak-arakan kompang

yang tampil di sepanjang jalanan kota

Bengkalis, yang ikut menambah

kemeriahan syiar Islam. Arak-arakan

kompang biasanya dimainkan secara

berkelompok dengan jumlah pemain

yang cukup banyak sehingga

mengundang keriuhan di sepanjang

rute arak-arakan. Begitu bunyi

kompang terdengar, masyarakat akan

keluar berduyun-duyun untuk

menyaksikan pertunjukan kompang

yang menambah nuansa religius dalam

perayaan keagamaan. Diluar dari

perayaan keagamaan, arak-arakan

pertunjukan kompang tetap membawa

syiar tersebut meski konteks

penampilannya telah berbeda.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

42

Sebagai sebuah tradisi pada

masyarakat melayu, arak-arakan

kompang begitu digemari oleh

berbagai lapisan masyarakat.

Kelompok-kelompok kesenian

kompang dijumpai hampir di seluruh

pelosok Bengkalis. Setiap desa

memiliki kelompok kompang sendiri

yang selalu meramaikan berbagai

perhelatan rakyat dari pesta

perkawinan, perayaan keagamaan,

sampai acara sunatan. Begitu pula para

pemain kompang yang terdiri dari

berbagai lapisan, dari kelompok

kompang anak-anak, kelompok

kompang remaja, sampai kalangan

kelompok kompang tua ikut terlibat

pada pertunjukan.

Pertunjukan Atraksi Kompang

Pertunjukan Atraksi Kompang

adalah pengembangan dari arak-arakan

kompang umum dijumpai pada

masyarakat Bengkalis. Menurut

keterangan dari Bapak Zainuddin,

seorang seniman tradisi yang aktif

mengembangkan Pertunjukan Atraksi

Kompang agar dikenal oleh

masyarakat Bengkalis, pertunjukan

atrakasi kompang baru dikembangkan

sejak tahun 2012. Meski terbilang baru,

pertunjukan ini telah mendapat

pengakuan dari masyarakat dengan

prestasi yang diraih oleh kelompok ini

yang meraih peringkat pertama pada

Festival Kompang se-Bengkalis tahun

2012. Mereka juga sering diundang

untuk memeriahkan berbagai acara

perhelatan di Bengkalis dan luar

Bengkalis (Wawancara dengan Bapak

Zainuddin di Meskom Bengkalis pada

tanggal 15 November 2013).

Lebih jauh dijelaskan bahwa

pengembangan arak-arakan kompang

menjadi sebuah pertunjukan atrakasi

kompang dilatarbelakangi oleh

tuntutan masyarakat akan suguhan

pertunjukan kompang yang lebih

ditujukan sebagai tontonan hiburan.

Dengan latar belakang sebagai seorang

seniman zapin, Bapak Zainudin

kemudian berusaha mengembangkan

bentuk kompang agar lebih menarik

lagi, dengan menambahkan atraksi

gerak ke dalam pertunjukan. Hasilnya

adalah sebuah bentuk baru pertunjukan

kompang yang atraktif dan menarik

karena telah dikreasikan dengan

penambahan atraksi-atraksi gerak

digabungkan dengan suguhan musik

kompang, serta elemen pendukung

lainnya dalam pertunjukan.

Yosi Ramadona & Nursyirwan, Pertunjukan Kompang Bengkalis: dari Arak-arakan ke Seni

Pertunjukan

43

Sebagai sebuah pertunjukan,

Pertunjukan Atraksi Kompang telah

dilengkapi dengan elemen-elemen

pendukung pertunjukan, sebagaimana

dikutip dalam Soedarsono (1977: 21),

bahwa bentuk yang dimaksud didalam

penyajian meliputi unsur-unsur yang

saling berkaitan antara lain

menyangkut hal teknis seperti: penari,

gerak, pola lantai, musik, rias dan

busana, property, tempat dan waktu

pertunjukan.

Pertunjukan Atraksi Kompang

beranggotakan laki-laki yang sudah

baliqh, berjumlah empat belas orang

dengan memakai kostum melayu

disetiap penampilannya. Laki-laki yang

sudah baliqh dipercaya masyarakat

lebih cepat dalam menghafal isi dari

kitab berjanzi untuk vocal pertunjukan

dan lebih mampu melakukan gerakan-

gerakan energik serta mempunyai

tenaga yang lebih besar dalam

melakukan pukulan-pukulan terhadap

instrumen kompang dalam durasi

waktu yang cukup lama. Dengan kata

lain, para pemain kompang adalah

seniman yang berbakat karena

disamping memiliki keahlian

memainkan alat musik kompang,

mereka juga mampu berolah vokal

dengan baik, serta memiliki kepekaan

dan keahlian dalam memperagakan

gerak-gerak yang atraktif dan energik.

Dilihat dari latar belakang para

pemain, beberapa diantaranya adalah

juga penari zapin, seperti halnya Bapak

Zainudin sendiri yang juga dikenal

sebagai seniman zapin tradisi di

Bengkalis. Hal ini menjelaskan

mengapa mereka cukup mahir dalam

memainkan musik kompang disertai

dengan gerakan-gerakan atraktif.

Pertunjukan Atraksi Kompang

di Meskom menggabungkan formasi

arak-arakan sebagai pembuka dengan

posisi pemain sambil berdiri atau

duduk selama pertunjukan

berlangsung. Pertunjukan dibagi

kedalam tiga tahapan, yaitu

pembukaan, pengantar, dan bermain

kompang. Pembukaan diawali dengan

arak-arakan para pemain kompang

yang berjumlah 14 orang memasuki

area pertunjukan. Setelah dilakukan

pembukaan dalam bentuk menabuh

kompang secara serentak, dimulai

Pertunjukan Atraksi Kompang, dimana

para pemain memainkan kompang

dalam berbagai gaya baik dalam posisi

berdiri ataupun duduk. Sumber pijakan

gerak dalam gerakan Pertunjukan

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

44

Atraksi Kompang adalah silat, siku

kaluang dan tukar kaki. Ketiga gerakan

inti itulah berkembang gerakan-

gerakan lainnya yang membuat

Pertunjukan Atraksi Kompang jadi

sangat menarik.

Gambar 2.Pembukaan Pertunjukan Atraksi Kompang

oleh grup kompang Indah Budaya di Meskom

Bengkalis

(Foto: Yosi Ramadona, 15 November 2013)

Gambar 3.Permainan Atraksi kompang dalam posisi

duduk dan berdiri

oleh grup kompang Indah Budaya di Meskom

Bengkalis

(Foto: Yosi Ramadona, 15 November 2013)

Gambar diatas memperlihatkan

ragam pola lantai permainan kompang.

Pada pembukaan, para pemain berdiri

membentuk garis lurus menghadap

penonton. Adapun posisi para pemain

kompang sambil duduk ataupun berdiri

seperti terlihat pada gambar kedua

dilakukan pada tahapan permainan

kompang. Disini para pemain

menunjukkan keahlian mereka bermain

kompang sambil membentuk variasi

pola lantai dengan posisi duduk dan

berdiri. Atraksi ini jelas sangat menarik

karena memecah fokus permainan ke

dalam dua bentuk, sehingga

pertunjukan menjadi lebih menarik dan

tidak monoton sekedar sebagai

pertunjukan musik pukul dengan

dikreasikannya gerakan-gerakan yang

diatur sedemikian rupa.

Permainan pola lantai dalam

pertunjukan kompang memang cukup

variatif. Pada permainan kompang

yang umum dijumpai adalah para

pemain berdiri berbanjar membentuk

barisan. Namun pada Pertunjukan

Atraksi Kompang, disuguhkan

berbagai pola lantai yang dikreasikan

dengan gerakan-gerakan pemain yang

atraktif mengiringi pukulan kompang.

Ada saat-saat dimana fokus perhatian

penonton dipecah dengan mengubah

variasi pola lantai dalam berbagai

bentuk, seperti memecah pola berjajar

yang dikreasikan dengan gerakan para

pemain yang saling menjauh dan

Yosi Ramadona & Nursyirwan, Pertunjukan Kompang Bengkalis: dari Arak-arakan ke Seni

Pertunjukan

45

membelakangi sambil terus

memainkan kompang. Ada pula pola

lantai melingkar, dimana para pemain

kompang membentuk lingkaran sambil

memainkan kompang dengan gerakan-

gerakan yang atraktif.

Gambar 4.Variasi pola lantai berbanjar

oleh grup kompang Indah Budaya di Meskom

Bengkalis

(Foto: Yosi Ramadona, 15 November 2013)

Gambar diatas memperlihatkan

variasi pola lantai berbanjar dalam dua

baris. Jika pada pertunjukan kompang

biasa para pemain hanya berdiri

membentuk garis lurus sambil

memainkan kompang, disini pola

tersebut dikreasikan dengan gerakan

saling menjauh dan membelakangi

namun tetap dalam posisi berbanjar.

Hal ini menambah keindahan

pertunjukan kompang sebagai tontonan

yang menggabungkan musik dengan

atraksi visual gerak para pemainnya.

Gambar 5.Pola lantai melingkar

oleh grup kompang Indah Budaya di Meskom

Bengkalis

(Foto: Yosi Ramadona, 15 November 2013)

Pola lantai melingkar, seperti

tampak pada gambar diatas adalah

bagian dari atraksi gerak yang cukup

menarik. Disini para pemain

menyuguhkan gerakan-gerakan yang

beragam. Ada saat para pemain berdiri

dengan berbagai pose memukul

kompang, ada pula saat para pemain

berjalan dengan posisi tegak dan

membungkuk. Setiap gerakan

disesuikan dengan ritme pukulan yang

dilakukan. Ada kalanya gerakan

pemain lambat sesuai dengan irama

pukulan yang pelan, terkadang cepat

jika kompang dipukul dengan kuat dan

tempo yang cepat.

Secara keseluruhan, dalam

Pertunjukan Atraksi Kompang terjalin

hamonisasi antara bunyi pukulan

kompang, syair puji-pujian, dengan

gerakan-gerakan atraktif yang

ditampilkan. Sebagai sebuah atraksi

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

46

kelompok, Pertunjukan Atraksi

Kompang mempertunjukkan keahlian

para pemain dalam memainkan

kompang serta bergerak secara rampak

dan harmonis sambil para pemain terus

melafalkan syair puji-pujian kepada

Allah SWT dan Nabi Muhammad

SAW.

Dilihat sebagai sebuah

pertunjukan, Pertunjukan Atraksi

Kompang secara keseluruhan telah

memenuhi estetika dalam sebuah

pertunjukan. Semua elemen dalam

pertunjukan begitu harmonis dan

menarik sebagai sebuah tontonan.

Gerakan atraksi yang dilakukan oleh

pemain kompang sangat bervariasi

dengan menggunakan tenaga, ruang,

waktu, level, arah hadap, pola lantai,

aksen dan sebagainya. Pukulan

terhadap kompangpun bervariasi

terkadang pelan, sedang, kuat dan

sangat kuat. Gerakan dan pukulan

kompang tersebut merupakan bagian

dari atraksi.

Pertunjukan Atraksi Kompang

sebagai sebuah tontonan mendapat

sambutan yang antusias dari

masyarakat. Pertunjukan Atraksi

Kompang yang menyuguhkan lebih

dari sekedar keriuhan bunyi kompang

serta syair puji-pujian, tetapi memberi

tontonan yang lebih menarik dengan

adanya suguhan gerakan-gerakan

atraktif dan energik dalam memainkan

kompang.

Penerimaan masyarakat tak

terlepas dari kepiawaian Bapak

Zainuddin dalam mempertahankan

esensi dari pertunjukan itu sendiri,

yang tidak sekedar sebagai hiburan

tetapi lebih sebagai bagian dari syiar

Islam. Meskipun Pertunjukan Atraksi

Kompang telah menggabungkan unsur

seni pertunjukan ke dalam pertunjukan,

namun pertunjukan itu sendiri tetap

mengacu kepada etika dan adab

Melayu yang Islami. Fungsi

pertunjukan sebagai syiar Islam pun

tetap dipertahankan karena secara

keseluruhan pertunjukan tetap memuat

puji-pujian terhadap Allah SWT dan

Rasulnya. Murgiyanto menjelaskan

bahwa kelangsungan sebuah tradisi

memang sangat bergantung dari

adanya penyegaran atau inovasi yang

terus menerus dari para pendukungnya

dalam mengembangkan keunikan

perorangan, detail, kebiasaan, persepsi

intern, dan ekstern (Sal Murgiyanto,

2004: 3).

Yosi Ramadona & Nursyirwan, Pertunjukan Kompang Bengkalis: dari Arak-arakan ke Seni

Pertunjukan

47

Pertunjukan Atraksi Kompang

adalah salah satu bentuk

pengembangan dari seni tradisi arak-

arakan kompang, yang membuat tradisi

kompang tetap bertahan dan digemari

di tengah masyarakat pendukungnya.

PENUTUP

Fenomena pertunjukan

kompang pada masyarakat Bengkalis

adalah sebuah gejala perkembangan

seni pertunjukan yang menarik

dicermati. Tradisi arak-arakan

kompang yang telah begitu dikenal

pada masyarakat Bengkalis

bagaimanapun tidak luput dari tuntutan

perubahan. Adanya kebutuhan

masyarakat akan sebuah suguhan

pertunjukan yang lebih menarik, telah

mendorong seniman setempat untuk

mengembangkan sebuah suguhan

tontonan yang dikenal dengan

Pertunjukan Atraksi Kompang.

Pertunjukan Atraksi Kompang

di daerah Meskom adalah sebuah

bentuk pertunjukan rakyat yang

inovatif karena telah mengembangkan

pertunjukan kompang yang berbeda

dari pertunjukan kompang pada

umumnya di Bengkalis. Jika tradisi

arak-arakan kompang hanya

menampilkan permainan alat musik

kompang disertai nyanyian yang

memuat syair puji-pujian terhadap

Allah SWT dan Rasulullah, maka

Pertunjukan Atraksi Kompang telah

dikembangkan dengan menambahkan

elemen-elemen dalam seni pertunjukan

yang membuat pertunjukan menjadi

lebih atraktif sebagai sebuah tontonan.

Di samping sajian yang lebih menarik,

Pertunjukan Atraksi Kompang tetap

mempertahankan esensi dari

pertunjukan kompang, yaitu sebagai

sajian estetis yang memuat syiar Islam,

sehingga kemasan baru ini dapat

diterima di tengah masyarakat

Bengkalis.

KEPUSTAKAAN

Bahar, Mahdi. 2012. Islam Landasan

Ideal Kebudayaan Melayu.

Padangpanjang: ISI

Padangpanjang.

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies

Teori & Praktek. Yogyakarta:

Kreasi Wacana.

Hadi, Y. Sumandyo. 2012. Seni

Pertunjukan dan Masyarakat

Penonton. Yogyakarta: BP ISI

Yogyakarta.

Hadi, Y. Sumandyo. 2000. Seni dalam

Ritual Agama. Yogyakarta:

Yayasan Untuk Indonesia.

Hermansyah, dkk. 2005. Budaya

Tradisional Melayu Riau.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

48

Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata dengan Tim Pusat

Penelitian Kebudayaan dan

Kemasyarakatan Universitas

Riau.

Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan

Inovasi. Jakarta: Wedatama

Widya Sastra.

Roys, Anya Peterson. 1977. The

Anthropology of Dance.

Bloomington: Indiana

University Press.

Salim, Agus. 2006. Teori dan

Paradigma Penelitian Sosial.

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Soedarsono. 1997. Tari-Tarian

Indonesia I. Jakarta: Proyek

Pengembangan Media

Kebudayaan Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.

_________. 1977. Kamus Istilah Tari

& Karawitan Jawa. Jakarta:

Proyek Penelitian Bahasa dan

Sastra Indonesia dan Daerah.

Saifullah & Yulika, Febri. 2012.

Sejarah perkembangan seni

dan kesenian dalam islam.

Padangpanjang: ISI

Padangpanjang.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif dan

R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian

Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

49

MEMBENTUK KEMAMPUAN

PSIKOLOGIKAL DASAR

CALON AKTOR DENGAN METODE

LATIHAN BERTUTUR

Ipong NiagaProdi Pendidikan Sendratasik Universitas Negeri Gorontalo

[email protected]

ABSTRAKAkting dan beberapa masalahnya, terutama tentang bagaimana mempersiapkan

aktor yang baik, mensyaratkan pencarian metode pelatihan terus menerus guna

menemukan solusi yang tepat. Metode Stanislavski membedakan dua faktor yang

perlu dilatih dalam akting, yakni faktor luar dan faktor dalam. Faktor-faktor luar

mencakup tubuh dan suara, sementara faktor dalam adalah aspek psikologis.

Masing-masing faktor mutlak harus terkombinasi dengan baik dalam menyajikan

karakter di atas panggung. Dengan tingkat kesulitan khusus di masing-

masingnya, hal tersebut meminta aktor untuk melatih kedua faktor ini agar

memiliki keterampilan yang kompleks. Penelitian ini akan membahas salah satu

dari faktor dimaksud, yaitu faktor dalam yang melibatkan persiapan keterampilan

psikologis dasar seperti konsentrasi, observasi dan emosi. Melalui metode

bertutur, penelitian dimaksudkan sebagai percobaan untuk menemukan metode

yang tepat dan terukur dalam proses persiapan faktor dalam bagi seorang aktor.

Kata Kunci: Metode Latihan, Akting, Bertutur

ABSTRACTActing andsome of its problems, especiallyhow to prepare agood actor,requires

continuous search of training methods to find appropriate solutions.

Stanislavski’s methoddistinguishes twokinds of factorsthatneed to be trainedin

acting, namey the external factor and internal factor. The external factor

includes body and voice, while the internal factor refers to psychological aspects.

Each factor should be absolutely combined in presenting characters on stage.

With its own level of difficulty, actors are required to train both factors in order

to achieve complex skills. This study will discuss one the two factors above, that

is, the internal factor that calls for preparation of basic psychological skills such

as concentration, observation, and emotion. Through the method of speech, this

study is meant as an experiment in order to find a right and measurable method

in the process of preparing the actor for the internal factor.

Keyword: Exercise Method, Acting, speech

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

50

PENDAHULUAN

Perkembangan dunia akting

dewasa ini menjadi tidak sesederhana

yang dibayangkan banyak orang.

Dibutuhkan keterampilan tinggi dan

kerja keras artistik berupa latihan vokal

yang tidak sederhana serta teknik

menggerakkan tubuh yang baik. Semua

itu bertujuan agar aktor mampu

menciptakan karakter dengan

meyakinkan. Dengan kata lain,

dibutuhkan suatu persiapan sistematik

dan ilmiah untuk mencapai tingkat

keterampilan akting yang tinggi.

Padahal, pembelajaran seni

peran di Indonesia tidak dikenal dalam

pengertian populer. Banyak para

bintang film maupun sinetron yang

sama sekali tidak melalui proses

persiapan menjadi pemeran. Sementara

itu, banyak aktor-aktor teater yang

belum bisa konsisten dalam memukau

dan memuaskan kebutuhan estetik

penikmatnya. Beberapa penghargaan di

bidang seni peran masih selalu menuai

kontroversi atas kriteria penilaiannya

maupun kompetensi para juri yang

menilainya. Sehingga demikian, seni

peran belum dapat tempat yang layak

di mata penonton sebagai bagian dari

kebutuhan estetik mereka.

Oleh sebab itu, penting kiranya

menelaah kembali urgensi pelatihan

persiapan seorang aktor melalui

metode-metode ilmiah dalam

menciptakan aktor yang berkualitas.

Dalam persiapan seorang aktor, ada

beberapa segmen latihan dan materi

yang mesti dilewati dan dikuasai oleh

para aktor, salah satunya adalah aspek

pskologikalnya. Jika tahap-tahap yang

telah dirancang secara sistematis dan

terukur tersebut dilalui oleh para calon

aktor maka terjaminlah kualitas

keaktorannya.

Tulisan singkat ini ditulis untuk

tujuan tersebut, yakni untuk menguji

keberhasilan metode dan materi latihan

bertutur dalam membentuk

keterampilan psikologikal dasar yang

ilmiah dan inspiratif. Tujuan

selanjutnya, ialah untuk

menyempurnakan atau melengkapi

metode dan materi pelatihan dasar

keaktoran. Permasalahan yang hendak

dibahas menyangkut dua hal penting,

yaitu: (1) metode yang efektif untuk

membentuk kemampuan psikologikal

dasar calon aktor di Indonesia; dan (2)

Prosedur dan materi apa yang paling

efektif untuk mengisi salah satu

segmen tersebut. Harapannya lebih

Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode

Latihan Bertutur

51

jauh, tulisan ini dapat bermanfaat

untuk mempermudah para calon aktor

untuk mengisi salah satu segmen

latihan dasarnya, dan lebih jauh,

metode dan materi yang diuraikan

diharapkan dapat bermanfaat untuk

membentuk keterampilan psikologikal

dasar calon aktor secara efektif.

Stanislavsky membagi dua

aspek dasar yang membentuk akting

dalam diri seorang aktor. Pertama,

adalah aspek luaran (outer), yaitu

sumber daya yang menyangkut suara

dan fisikal (tubuh dan bagian-

bagiannya) yang dinikmati penonton

secara kasat indera. Kedua adalah

aspek dalam diri (inner), yaitu aspek-

aspek psikologikal yang hanya bisa

dirasakan oleh penonton setelah

melihat gejala fisiknya dan akan

mempengaruhi tingkat kepercayaan

terhadap tampilan tokoh yang

diperankan. Kedua aspek tersebut

harus dapat dikombinasikan dengan

baik oleh aktor dan aktris dan untuk

memperoleh keterampilan tersebut

maka mereka harus melewati latihan-

latihan dasar, baik fisikal maupun

psikologikal yang tidak mudah.

Mengamati uraian Konstantin

Stanislavski dalam buku An Actor’s

Work A Student’s Diary (translated

and edited by Jean Benedetti [2008], p.

201), dapat dipahami bahwa prinsip

dasar emotional recall, baik itu yang

bersifat visual maupun yang auditori

ialah sebagai penggerak awal yang

membangkitkan imajinasi seorang

aktor terhadap wujud tokoh yang akan

dibawakannya. Oleh sebab itu, jelas

bahwa untuk lebih mahirnya seorang

aktor melakukan proses-proses

‘pemanggilan kembali’, diperlukan

semacam pembiasaan diri yang lebih

mengarah pada keterampilan

psikologikal untuk memunculkan daya

yang membangkitkan citra-citra dalam

imajinasinya menjadi nyata dan hidup.

Sementara itu, beberapa ahli

telah meletakkan dasar-dasar prinsipil

tentang apa yang disebut akting, yang

bertujuan membantu kerja-kerja aktor

yang sedang mempersiapkan dirinya.

Beberapa di antaranya yang dapat

disimak ialah pernyataan pernyataan

Lee Strasberg dalam Strasberg at The

Actors Studio dan pernyataan

Constantin Stanislavsky dalam An

Actor Prepares (via Edwin Wilson dan

Alvin Goldfarb, 1991). Pada dasarnya,

kedua ahli tersebut memberikan kita

sebuah gambaran bahwa meski dalam

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

52

keseharian kita dapat melakukan

aktifitas dengan kondisi yang lebih

nyaman dan natural, tetapi di atas

panggung semua menjadi sangat

berbeda. Seorang aktor akan

berhadapan dengan aktor lain dalam

situasi fiksi yang penuh aturan dan di

hadapan mereka ada banyak penonton

yang sedang mengawasi dengan cermat

semua tindak tanduk mereka. Maka

untuk memperoleh penampilan yang

memukau dan tidak biasa, para aktor

dianjurkan untuk selalu melatih dirinya

agar memiliki tata cara berlaku dengan

baik di atas panggung.

Sementara itu, perihal metode

pelatihan akting, sebagaimana dikutip

dari Wilson dan Golvarb (1993: 29),

untuk memberi isian dalam

pemikirannya, Stanislavsky

mempelajari bagaimana seseorang

berlaku dalam kesehariannya dan

bagaimana mereka menyampaikan

perasaan dan emosinya; dan kemudian

ia menemukan jalan untuk

menyelesaikan masalah yang sama di

atas panggung. Ia membangun

rangkaian pelatihan dan teknik untuk

para aktor yang memiliki tujuan luas,

terdiri dari: (1) Untuk membuat

aktifitas luaran penyaji (aktor) –gestur,

suara dan ritme gerakan –alami dan

meyakinkan; (2) Membiarkan aktor

dan aktris menyampaikan kebenaran

dari dalam (inner) pada setiap peranan.

Bahkan jika seluruh perwujudan yang

terlihat dari seorang tokoh telah benar-

benar dikuasai, pertunjukan akan

terlihat dangkal dan mekanis tanpa

pengertian yang dalam dari rasa yakin

dan kesungguhan; (3) Membuat

kehidupan tokoh di atas panggung

tidak hanya dinamik tetapi berlanjut.

Sebagian penyaji (aktor) cenderung

menekankan hanya pada puncak

tertinggi dari peranan yang

dimainkannya, sehingganya, kehidupan

tokoh jadi berhenti. Dalam kehidupan

nyata, bagaimanapun juga, orang tidak

berhenti hidup; dan (4) Membangun

rasa pengertian yang kuat dari

permainan ensambel dengan pemeran

lain dalam suatu scene.

Masih menurut Stanislavsky,

teknik yang harus dikuasai oleh aktor

dalam mencipta peran yang

meyakinkan adalah: (1) Relaxations

(keluwesan fisik), aktor harus membuat

tubuh dan suaranya fleksibel sehingga

ia dapat mengalir dan hidup dalam

setiap gerakannya; (2) Concentration

(konsentrasi) dan observation

Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode

Latihan Bertutur

53

(observasi), konsentrasi adalah

perhatian penuh terhadap objek atau

orang yang ditemukan aktor di atas

panggung, Stanislavsky menyebutnya

circle of attention (“lingkar

perhatian”). Observasi seorang aktor

tidak sama dengan observasi seorang

ilmuwan yang membutuhkan kerangka

ilmiah. Observasi yang dimaksud di

sini adalah perhatian terhadap

kehidupan sehari-hari. Seorang aktor

harus terus mengamati orang atau

benda-benda di sekitarnya dan

membuat konsep peniruan referensial

dalam pikirannya; (3) Importance of

specifics (penguasaan terhadap

perilaku-perilaku khusus), aktor

diharapkan tidak melakukan hal-hal

yang umum saja dalam lakunya karena

perilaku manusia dalam kenyataan

keseharian selalu bersifat khusus maka

aktor dalam lakunya juga harus

menekankan pada hal-hal konkrit dan

khusus; (4) Inner truth (kesungguhan

dari dalam), yaitu kemampuan aktor

dalam mendalami dunia pikiran dan

perasaan tokoh. Pendekatan yang

disarankan Stanislavsky adalah ”magic

if” (pengandaian yang ajaib), dengan

terus menerus mengandai-andaikan diri

kita adalah orang lain atau objek lain

melalui imajinasi; (5) Emotional recall

(pemanggilan kembali perasaan-

perasaan yang telah lalu), aktor harus

aktif mengenang pengalamannya untuk

menciptakan kondisi perasaan yang

sama ketika ia menghadapi perannya di

atas panggung. Hal tersebut akan

memudahkan ia dalam mendalami

emosi tokoh.

PEMBAHASAN

Seni Bertutur dan Akting

Sebelum manusia mengenal

sastra (tulisan), penuturan merupakan

metode penyampaian cerita yang

sering dipakai dan paling purba dalam

sejarah publisistik. Dalam sejarah,

penutur, yang dalam bahasa Inggeris

disebut story teller, punya andil

penting dalam menyebarluaskan berita

dan cerita. Pengertian bertutur sendiri

adalah orang lain yang menceritakan

(sebagai ganti membacakan) suatu

kisah tertentu di hadapan orang

banyak. Banyak ahli mengatakan

bahwa keterampilan bertutur ini adalah

salah satu cikal bakal keterampilan

berperan. Di Indonesia, kita mengenal

kesenian seperti PM Toh di Aceh,

Sahibul Hikayat di Betawi, Tupai

Janjang dan Bakaba di Minangkabau,

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

54

Gambang Rancak di Betawi, Pantun

Sunda di Jawa Barat, Kentrung di Jawa

Tengah dan Jawa Timur, Dalang

Jemblung di Banyumas, Sinrili di

Sulawesi Selatan, Cepung di Lombok

dan di Bali. Itu semua merupakan

warisan nenek moyang orang

Indonesia yang berupa keterampilan

bertutur. Berdasarkan penggambaran

Ahmad (2006: 43 – 44), pekerjaan seni

bertutur kurang lebih sebagai berikut:

Pencerita (tukang cerita) dalam

teater tutur adalah seorang

seniman yang mengungkapkan

gejolak jiwanya lewat media

ungkap suara (vocal). Ia sama

dengan actor. Ia seorang

pemeran, sekaligus penyanyi,

dan sutradara. Pencerita dengan

kemahiran suaranya, dengan

vocal yang ekspresif, harus

sanggup menggambarkan

berbagai karakter/watak tokoh

yang sedang ia ceritakan. Untuk

mendukung penceritaan, ia harus

juga berlaku dengan

menggunakan ekspresi wajahnya

untuk lebih memperkuat

penggambaran watak yang

sedang ia ceritakan. Ia harus pula

mempunyai suara yang merdu

apabila sesekali harus bernyanyi.

Apalagi kalau seluruh

pengucapan cerita dilakukan

dengan menyanyi. Gerakan

tangan dan gerakan tubuh

pencerita, digunakan untuk

keperluan menghidupkan suasana

bercerita dan meyakinkan

penonton.

…………………….

Masyarakat tradisi di masa

lampau yang belum mengenal

tulisan, hanya mengenal sastra

lisan. Untuk menikmati dan

mengembangkan atau

menyebarluaskan sastra lisan,

dilakukan dengan jalan perantara

orang lain yang menceritakan

(sebagai ganti membacakan).

Sastra lisan hidup dan

berkembang dari mulut ke mulut,

dari seseorang diceritakan

kepada orang lain.

Pada zaman itu, tradisi bercerita

merupakan salah satu alat

komunikasi dan penyebaran

sastra lisan kepada masyarakat

secara luas. Dari sini lahirlah

tukang cerita (story-teller) yang

kemudian berkembang menjadi

bentuk kesenian, yang kita

namakan Teater Tutur.

Perbedaan bertutur dengan

berakting adalah pada substansi

aktifitasnya. Bertutur adalah aktifitas

penceritaan yang di dalamnya

mengandung peragaan. Peragaan

berupa suara dan gerakan ini hanyalah

sebuah perumpamaan atas tokoh yang

sedang di ceritakannya. Penutur

melakukan peniruan-peniruan

perumpamaan untuk sekedar

mewakilkan lakuan dari tokoh tersebut

sehingga penonton terkesima dengan

merasakan dinamika karakter dalam

penuturan yang hanya dilakukan oleh

satu orang tersebut. Dengan begitu,

Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode

Latihan Bertutur

55

cerita yang dibawakan oleh tukang

tutur ini terlihat dan terdengar sangat

meyakinkan dan menarik. Sementara

dalam akting, seorang aktor dituntut

untuk memerankan satu orang karakter

saja dan dalam hal ini aktor haruslah

menjadi karakter tersebut,

meninggalkan kepribadian asalnya.

Ketika sedang bermain, aktor berada

dalam kondisi fiksional berupa

dekorasi panggung, ia dituntut untuk

menyatu secara organik dengan kondisi

tersebut. Jelaslah, bahwa keterampilan

seorang aktor memiliki kesulitan yang

lebih tinggi dibanding seorang penutur.

Aktor bukan memperagakan tetapi

masuk ke dalam dan mewujudkan

secara nyata karakter yang sedang ia

mainkan sehingga tokoh tersebut hidup

dengan nafas, daging dan darah sang

aktor.

Sedangkan kesamaan dari

keduanya adalah prinsip penyajiannya.

Keduanya memiliki kekuatan

penyajian pada ucapan, gerakan tubuh

dan mimik wajah. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa keterampilan

bertutur merupakan atau mengandung

dasar-dasar dari keterampilan berperan.

Tahapan Pelatihan Bertutur untuk

Calon Aktor

Tulisan ini didasari oleh sebuah

penelitian bersifat kualitatif

eksperimental untuk menguji

kefektifan metode pelatihan yang

diduga peneliti memiliki kelebihan

dalam membentuk keterampilan

psikologikal dasar calon aktor. Data

diperoleh melalui teknik sampling,

yaitu dengan menggunakan subjek

percontohan berupa empat orang

mahasiswa yang memiliki ketertarikan

terhadap seni peran dan akan lebih baik

lagi jika mereka juga memiliki

pemahaman tentang bidang ini. Hal itu

dipandang akan mempermudah peneliti

dalam menerima pengertian-pengertian

instruksional yang berkaitan dengan

penelitian. Subjek ini akan

mempraktekan metode dan materi yang

diberikan peneliti dan pada saat itu

peneliti akan mengambil data dari

penampilan secara langsung dan

rekaman audio.

Prosedur yang dilalui dalam

kegiatan penelitian meliputi: (1) Tahap

persiapan, berupa pembuatan

rancangan penelitian serta menyiapkan

fasilitas dan media penunjang

penelitian (ruang latihan dan tape

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

56

recorder); (2) Tahap menentukan

subjek sampel; dan (3) Tahap

Pelaksanaan.

Tahap pelaksanaan eksperimen

dilaksanakan selama beberapa hari.

Pada hari pertama, pelatihan terdiri

atas tiga tahapan. Tahap I, subjek

sampel diinstruksikan untuk bertutur

secara spontan tentang pengalamannya

yang berkesan (sedih atau gembira).

Peneliti mengamati penuturannya dan

mencatat detail laku dan ucapannya

serta merekam suaranya. Setelah

selesai, peneliti memberinya sebuah

puisi balada yang naratif untuk

dipelajari. Hal itu dilanjutkan dengan

tahap II, di mana subjek sampel

diinstruksikan untuk bertutur tentang

puisi yang telah dibacanya tadi, bukan

mendeklamasikan tetapi menceritakan

kandungan kisah dalam puisi tersebut.

Peneliti mengamati penuturannya dan

mencatat detail laku dan ucapannya

serta merekam suaranya. Adapun pada

tahap III, dilakukan diskusi tentang

materi yang telah dipraktekan tersebut

dan peneliti menginstruksikan pada

subjek sampel untuk menyempurnakan

pemahaman dan susunan dua materi

latihan tersebut untuk persiapan latihan

tutur dengan materi yang sama

keesokan harinya.

Memasuki hari kedua, pada

tahap I subjek sampel diinstruksikan

untuk menuturkan hasil

penyempurnaan materi latihan tentang

pengalamannya. Peneliti mengamati

penuturannya dan mencatat detail laku

dan ucapannya serta merekam

suaranya. Pada tahap II, subjek

sampel diinstruksikan untuk bertutur

tentang puisi yang telah diberikan

kemarin dengan harapan

pemahamannya tentang materi sudah

lebih baik. Peneliti mengamati

penuturannya dan mencatat detail laku

dan ucapannya serta merekam

suaranya. Sementara pada tahap III,

dilaksanakan diskusi tentang materi

yang telah dipraktekan tersebut dan

peneliti menginstruksikan pada subjek

sampel untuk lebih menyempurnakan

lagi pemahaman dan susunan dua

materi latihan tersebut untuk persiapan

latihan tutur dengan materi yang sama

keesokan harinya.

Memasuki hari ketiga, pada

tahap I subjek sampel diinstruksikan

untuk menuturkan kembali hasil

penyempurnaan materi latihan tentang

pengalamannya. Peneliti mengamati

Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode

Latihan Bertutur

57

penuturannya dan mencatat detail laku

dan ucapannya serta merekam

suaranya. Pada tahap II, subjek

sampel diinstruksikan untuk bertutur

tentang puisi yang telah diberikan

kemarin dengan harapan

pemahamannya tentang materi sudah

lebih baik. Peneliti mengamati

penuturannya dan mencatat detail laku

dan ucapannya serta merekam

suaranya. Hal tersebut dilanjutkan

dengan tahap III yang berisi diskusi

tentang materi yang telah dipraktekan

tersebut, untuk menghimpun masalah-

masalah yang dialami subjek sampel

selama latihan.

Penilaian Pelatihan Bertutur untuk

Calon Aktor

Penelitian yang dilaksanakan

selama satu bulan (minggu IV

November hingga minggu III

Desember 2009) di studio Teater

Jurusan Pendidikan Sendratasik

Universitas Negeri Gorontalo ini

kemudian dilanjutkan dengan tahapan

analisis data. Tahapan ini sendiri terdiri

atas dua bagian utama. Pertama, tahap

analisis data, berupa: (a) transkripsi,

yaitu menyusun dengan baik hasil

penuturan subjek sampel yang telah

dicatat oleh peneliti dan

menyempurnakan keakurasian catatan

tersebut dengan mencocokkannya

dengan hasil rekaman; (b) analisis dan

penilaian, yaitu menganalisis kualitas

penuturan berdasar teori dan menilai

kualitas kemajuannya berdasar kriteria

yang telah ditentukan peneliti; dan (c)

jika kesimpulan awal menandakan

bahwa kualitas penuturan tidak

meningkat dari hari ke hari, maka

penelitian akan diulangi lagi dengan

memperhatikan masalah yang

ditemukan. Kedua, ialah tahap

penyelesaian, berupa penyusunan

kesimpulan dan laporan hasil

penelitian.

Materi tuturan yang

diujicobakan dalam penelitian ini

adalah: (1) pengalaman pribadi subjek

sampel, materi ini mengandung

emotional recall yang sangat berguna

untuk calon aktor dengan

membiasakan diri pada kenangannya

sendiri di samping itu ia juga dituntut

untuk menyusun kembali kenangan

yang mungkin diingatnya secara tak

beraturan tersebut; dan (2) puisi balada

Rumah Nyonya Abraham karya WS.

Rendra, puisi ini tidak terlalu panjang,

mengandung cerita, bahasanya sangat

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

58

sederhana sehingga mudah dipahami

dalam waktu singkat, mengandung

penokohan dan perubahan suasana.

Hal-hal tersebut sangat berguna dalam

merangsang kemampuan imajinasi dan

intelegensia calon aktor.

Adapun kriteria penilaian

dalam penelitian ini merupakan

turunan dari teori dan metode akting

yang telah digariskan oleh

Stanislavsky. Mengingat batasan

penelitian ini adalah aspek

psikologikal, maka kriteria penilaian

merupakan turunan dari unsur-unsur

psikologikal berupa, intelegensia,

konsentrasi, penguasaan terhadap

perilaku khusus, faktor keyakinan dan

kepercayaan diri, serta bagaimana

menampilkan emosi. Secara detil,

kriteria tersebut terdiri atas: (1)

kemampuan menciptakan dan

melibatkan diri dalam alur dan struktur

dramatik cerita; (2) ketajaman dalam

mendalami dan memperagakan tokoh

dalam suara, elokusi (gaya bicara) dan

gestur yang tepat; (3) penyusunan pola

kalimat dan pemilihan kata; (4)

kemampuan mengekspresikan gejolak

jiwa sebagai bentuk respon terhadap

situasi fiksional cerita melalui mimik

wajah dan suara; (5) kemampuan untuk

melibatkan diri secara utuh dalam

kondisi fiksional (efek empati dan

simpati bagi orang yang menyaksikan);

dan (6) kepercayaan diri dan tampilan

yang meyakinkan.

Sebagai indikator keberhasilan,

peneliti menetapkan hal-hal berikut: (a)

penelitian ini dianggap gagal apabila

hasil penelitian dari tahap satu hingga

tahap ketiga mengalami kemunduran

(kriteria yang berhasil ditampilkan

subjek sampel berkurang) dan atau

tidak mengalami perubahan (terus

mengulangi sajian yang sama dari

tahap ke tahap); dan (b) penelitian

dianggap berhasil apabila hasil

penelitian dari tahap ke tahap

mengalami perkembangan signifikan

berupa peningkatan penguasaan

kriteria dan atau kualitas kriteria.

Perbandingan Antara Hasil

Transkripsi dengan Kriteria

Penilaian

Berdasarkan hasil pemindahan

data rekaman ke dalam data tulisan

(transkripsi), peneliti akan memisahkan

analisa dan penilaian berdasarkan

materi yang diberikan karena keduanya

memiliki perbedaan isian dan

menyebabkan perbedaan cara

Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode

Latihan Bertutur

59

penyampaian. Berikut adalah hasil

analisa dan penilaian peneliti

berdasarkan kriteria yang telah dibuat

oleh peneliti. Kriteria penilaian dalam

penelitian ini merupakan turunan dari

teori dan metode akting yang telah

digariskan oleh Stanislavsky.

Mengingat batasan penelitian ini

adalah aspek psikologikal, maka

kriteria penilaian merupakan turunan

dari unsur-unsur psikologikal berupa,

intelegensia, konsentrasi, penguasaan

terhadap perilaku khusus, faktor

keyakinan dan kepercayaan diri, serta

bagaimana menampilkan emosi.

Analisis dan penilaian terhadap

materi tuturan pengalaman pribadi

a. Aspek cerita

Pengalaman pribadi, meskipun

bersifat nyata, namun ketika ia

diceritakan kembali, apa yang kita lihat

dan dengar hanya bersifat imajiner.

Dalam penelitian ini tidak

mempermasalahkan kejujuran dari

cerita itu dengan asumsi bahwa semua

subjek sampel bercerita dengan apa

adanya. Jika ada penambahan tekanan

pada situasi cerita, hal tersebut

tergolong dalam fiksionalisasi cerita.

Peneliti pun berharap adanya

fiksionalisasi tersebut, karena pada

dasarnya pengalaman pribadi terjadi

begitu saja dan tidak mengandung alur

tetapi mengandung kronologis. Dalam

penuturan, kita membutuhkan alur agar

penuturan tersebut punya dinamika

estetik dan akan terasa enak untuk

didengar dan dinikmati. Proses

pengaluran ini merupakan bagian dari

proses fiksionalisasi terhadap

pengalaman yang bersifat nyata.

Dalam kehidupan nyata pun

tidak terjadi penokohan dan

pengkubuan karena itu hanya terjadi

dalam dunia fiksi. Jika dalam

penceritaan pengalaman terjadi

penokohan dan pengkubuan, maka

cerita tersebut telah mengalami proses

fiksionalisasi. Penutur akan

memposisikan orang-orang yang

terlibat dalam materi tuturannya

sebagai tokoh termasuk dirinya sendiri

jika ia terlibat dalam peristiwa itu. Di

antara para tokoh itu, penutur secara

disadari atau tidak meletakkan mereka

dalam kubu-kubu yang saling

bertentangan.

Karena baik pengaluran cerita

dan penokohan cerita, adalah proses

fiksionalisasi cerita yang akan

memberikan kesan estetik pada sebuah

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

60

cerita, hal tersebut menjadi penting

dalam proses penuturan. Dalam

mewujudkan hal ini, penutur harus

memiliki intelegensia yang baik dan

kepekaan estetik yang baik pula serta

imajinasi yang mampu mengatur itu

semua.

Pada hari pertama penuturan

pengalaman pribadi, seluruh subjek

sampel bercerita hanya secara

kronologis karena peneliti baru

memberikan instruksi itu setengah jam

sebelum eksperimen di mulai. Cerita

yang mereka bawakan masih sangat

kacau dan terlalu banyak kesalahan-

kesalahan penggunaan bahasa. Belum

ada penokohan dan pengaluran. Cerita

masih berupa laporan dari sebuah

pengalaman. Penyampaiannya pun

sangat datar dan tidak dinamis. Maka

peneliti menginstruksikan agar detail

cerita diperbaiki dan agar

penyampaiannya dibuat lebih menarik

untuk keesokan harinya (peneliti tidak

menginstruksikan penokohan dan

pengaluran).

Pada hari kedua, penokohan

dan pengaluran sudah terlihat dan

muncul secara alamiah. Detail cerita

yang sudah semakin baik, terjadi

penambahan dialog dan elemen-elemen

peristiwa. Namun kesalahan-kesalahan

penggunaan bahasa masih tetap ada.

Semua subjek sampel menjadikan

dirinya sebagai tokoh utama

penceritaan dan pihak yang mengalami

penderitaan. Pada hari kedua baru

terlihat bahwa cerita yang mereka

bawakan adalah cerita-cerita yang

mengharukan.

Pada hari ketiga, para subjek

sampel sudah semakin menguasai

cerita pengalamannya sendiri yang

pada hari pertama mereka sangat gagap

untuk mengungkapkannya. Susunan

cerita semakin jelas dan itu pertanda

bahwa mereka telah menyusun dengan

baik kenangan masa lalu yang mungkin

selama ini hanya teringat secara

sepintas. Dalam materi cerita tampak

jelas bagan yang konsisten antara hari

kedua dan ketiga, menandakan mereka

berusaha terus mengingat dan

mengatur ingatan mereka.

b. Aspek Penuturan

Sama halnya dengan penuturan

pengalaman pribadi, penuturan puisi

pun tidak terdapat eksplorasi gestur,

intonasi, mimik wajah dan warna

suara. Semua berjalan natural dan

mereka lebih terkonsentrasi pada

Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode

Latihan Bertutur

61

situasi puitik dan materi cerita.

Meskipun arahan untuk bertutur

dengan sudut pandang orang pertama

telah diberikan tetapi mereka masih

belum terlalu cerdas untuk

memperagakan tokoh lain atau

menggambarkan suasana dengan

menggunakan gestur.

Dalam hal ini, memang dituntut

kemampuan fisikal yang baik. Semua

subjek sampel memang belum

melakukan atau mendapatkan pelatihan

keterampilan fisikal dasar. Asumsi

peneliti bahwa dorongan imajinasi

yang kuat dapat menggerakkan tubuh

dengan sendirinya ternyata tidak

terjadi. Ketegangan dan situasi formal

yang diciptakan oleh subjek sampel

menghalangi hal itu terjadi.

Perbandingan Hasil Keseluruhan

dengan Indikator Keberhasilan

Berdasar dari analisa terhadap

hasil eksperimen, peneliti mencatat

beberapa kemajuan, yaitu

pengembangan cerita melalui

pengaluran dan penokohan,

keterlibatan diri dalam kondisi

fiksional, kepekaan emosi dan

konsentrasi. Hal tersebut terlihat dari

cara mereka menyusun dinamika

cerita, menghadirkan tokoh-tokoh dan

memperbaiki detail cerita.

Beberapa hal yang diharapkan

peneliti dan tidak terjadi atau tidak

dikembangkan oleh subjek sampel

adalah pendayagunaan intonasi, gestur,

mimik wajah dan warna suara.

Berdasarkan premis tersebut maka

peneliti menyatakan bahwa metode

bertutur dapat membentuk

keterampilan psikologikal dasar calon

aktor, terutama yang menyangkut

emosional recall (bertutur

pengalaman), membentuk kepekaan

emosi, membentuk kekuatan

konsentrasi dan observasi

(intelegensia), serta membentuk

kekuatan imajinasi dalam memasuki

kondisi fiksional. Peneliti sangat

optimis jika latihan tersebut dilakukan

secara terus menerus, dalam waktu

yang lebih lama dan dengan

meningkatkan kualitas materi tuturan,

maka keterampilan psikologikal dasar

yang terbentuk akan semakin kuat dan

dapat dijadikan pondasi keterampilan

akting di tahap selanjutnya. Peneliti

juga menyatakan bahwa, materi tuturan

pengalaman pribadi sangat membantu

dalam membangkitkan kepekaan emosi

dari dalam diri seseorang, dan materi

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

62

tuturan puisi balada sangat membantu

imajinasi para calon aktor dalam

memasuki kondisi fiksional yang

paling sederhana.

Catatan di Luar Hasil Penelitian

Beberapa catatan peneliti yang

berada di luar konteks penelitian ini

tetapi dianggap mempengaruhi dalam

proses latihan adalah sebagai berikut:

1. Pentingnya keterampilan

berbahasa bagi para calon aktor

di Indonesia. Tak dapat

dipungkiri bahwa manusia

Indonesia berada dalam dilema

budaya, terutama bahasa. Pada

sisi satu, kita terikat pada bahasa

ibu dengan dialek, sintaksis dan

diksi yang berbeda-beda, di sisi

lain kita harus menguasai bahasa

nasional yang baik dan benar

yang terkadang pola sintaksis,

dialek dan diksinya bertentangan

dengan bahasa ibu kita. Untuk

naskah-naskah drama di

Indonesia, antara yang berbahasa

daerah dan yang berbahasa

nasional kurang lebih sama

banyaknya. Maka bagi para calon

aktor yang kurang memiliki

keterampilan berbahasa nasional

yang baik, hal tersebut akan

menyulitkannya ketika ia

memainkan naskah-naskah

drama yang berbahasa nasional.

Hal tersebut juga terlihat dalam

penelitian ini. Para subjek sampel

masih sangat terpengaruh dan

terikat pada bahasa ibu dan

dialeknya. Pengucapan kalimat

yang terputus-putus dan pola

kalimat yang tidak baku selama

penuturan juga disebabkan oleh

faktor bahwa mereka kurang

menguasai keterampilan

berbahasa nasional dengan baik.

2. Pentingnya apresiasi sastra

terhadap para calon aktor. Karya

sastra apa pun bentuknya dan

terutama yang fiksi akan sangat

membantu para calon aktor

dalam mendalami keterampilan

pengaplikasian bahasa,

mengembangkan imajinasi dan

membiasakan diri dalam situasi

imajiner dan kondisi fiksional.

Para aktor akan berhadapan

dengan naskah drama yang juga

merupakan teks sastra. Untuk

mencapai tingkat kesulitan

tersebut, para aktor akan terbantu

Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode

Latihan Bertutur

63

dengan apresiasinya terhadap

karya sastra yang lain.

PENUTUP

Beberapa hal yang dapat

disimpulkan dari penelitian ini, antara

lain:

1. Keterampilan psikologikal dasar

calon aktor, terutama yang

menyangkut emosional recall

(bertutur pengalaman),

membentuk kepekaan emosi,

membentuk kekuatan konsentrasi

dan observasi (intelegensia),

serta membentuk kekuatan

imajinasi dalam memasuki

kondisi fiksional merupakan

pondasi penting dalam

membentuk keterampilan

berakting.

2. Metode bertutur dapat dijadikan

sebaga metode latihan yang

berfungsi membentuk

keterampilan psikologikal dasar

calon aktor karena dapat

membentuk kekuatan konsentrasi

dan observasi, meningkatkan

daya kepekaan emosional,

membentuk kekuatan imajinasi,

serta membentuk keyakinan dan

kepercayaan diri calon aktor

dalam memasuki kondisi

fiksional dan situasi imajiner.

3. Materi tuturan pengalaman

pribadi yang mengandung

emotional recall akan

merangsang respon emosional

para calon aktor dari dalam diri

mereka sendiri dan dengan

seringnya latihan-latihan bertutur

dengan materi emotional recall,

para calon aktor akan terbiasa

untuk mengingat dan menyusun

kembali ingatannya sehingga

kedepannya ia akan dengan

mudah memanggil perasaan-

perasaan tersebut ketika ia

membutuhkannya.

4. Puisi balada yang pendek akan

membantu para calon aktor

berkenalan secara mendalam

pada sebuah kondisi fiksional

yang tidak terlalu panjang atau

berlama-lama mengingat puisi ini

memiliki deskripsi puitik tentang

set dan perilaku tokohnya.

KEPUSTAKAAN

Achmad, A. Kasim. 2006. Mengenal

Teater Tradisional Di

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

64

Indonesia. Jakarta: Dewan

Kesenian Jakarta.

Anirun, Suyatna. 1998. Menjadi Aktor

– Pengantar Kepada Seni

Peran untuk Pentas dan

Sinema: Cetakan Pertama.

Barranger, Milly S. 2006. Theater,

Microsoft ® Encarta © 1993-

2005 Microsoft Corporation.

Carlson, Marvin. 2006. Drama And

Dramatic Art, Microsoft ®

Encarta ®, © 1993-2005

Microsoft Corporation.

Edwin Wilson dan Alvin Goldfarb.

1991. Theater The Lively Art.

New York: Mc-Graw Hill Inc.

___________. 1993. Theater The

Lively Art (Brief edition). New

York: Mc-Graw Hill Inc.

Gordon, Mel. 2006. Acting, Microsoft

® Encarta ®, © 1993-2005

Microsoft Corporation.

Stanislavski, Konstantin, terj. Asrul

Sani. 1980. Persiapan

Seorang Aktor. Jakarta:

Pustaka Jaya.

__________. 2008. An Actor’s Work A

Student’s Diary (translated

and edited by Jean Benedetti).

New York: Routledge Taylor

& Francis.

Subjek Sampel

Nama : Novita T.

Maliki

Tempat/tgl lahir : Gorontalo, 30

Oktober 1989

Alamat : Jl. Al-ikhwan

kel. Molosipat,

Kota Gorontalo,

Gorontalo

Nama : MAN Arafah

Sarman

Tempat/tgl lahir : Tikong

(Maluku Utara),

6 Agustus 1986

Alamat : Asrama Putra

UPP2 Gorontalo

Nama : Syahrul

Latapeng

Tempat/tgl lahir : Popayato, 2

Juli 1991

Alamat : Jl. Jend.

Sudirman No.6

Kota Gorontalo

Nama : Anasrullah

Tempat/tgl lahir : Amasara

(Silawesi Utara),

23 Februari

1991

Alamat : Jl. Pangeran

Hidayat, Kota

Gorontalo

65

UKIRAN AKAR KAYU PULAU

BETUNG JAMBI

MENUJU INDUSTRI KREATIF

NofrialProdi Seni Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Desain

Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang

[email protected]

ABSTRAKKerajinan ukiran akar kayu Pulau Betung menggunakan kayu lokal, yang

produknya berfungsi untuk perabotan rumah tangga dan cenderamata.

Keberadaan kerajinan ukir Pulau Betung dipengaruhi oleh peranan pengrajin,

pendidikan, pariwisata, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, serta pasar.

Dampak perkembangan seni ukir ini pada masyarakatnya, berupa perubahan

mata pencarian sosial dan ekonomi, dari petani menjadi pengrajin ukir.

Peningkatan perekonomian, membaiknya fasilitas hidup keluarga. Masyarakat

dapat melanjutkan pendidikan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi.

Pengembangan industri kreatif seni ukir Pulau Betung melalui kerja sama

cendekiawan, bisnis, dan pemerintah (Triple Helix), penggerak lahirnya

kreativitas, ide, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hubungan tersebut saling

menunjang dengan peran; (1) Cendekiawan, perannya pembentukan insan kreatif

dan aktivitas penciptaan produk baru kompetitif, (2) Bisnis, berperan dalam

konektivitas dalam rangka ekonomi serta transformasi hasil kreativitas menjadi

bernilai ekonomi (pemasaran dan uang), (3) Pemerintah, pemegang kendali

mekanisme pemberian program insentif, kendali iklim usaha yang kondusif dan

peran edukatif.

Kata Kunci: Kerajinan, Ukiran, dan Industri Kreatif.

ABSTRACTWoodroot handicraft of Pulau Betung uses local timber, whose products serve as

house hold items and souvenirs. The existence of Pulau Betung of wood-carving

handicraft is influenced by the role of it creators, education, tourism, non-

governmental organizations, government, and market. The impact of this

development on the society is in the form of changes in the social and economic

liveli hood, the famers became carvers. Economic development, improved living

facilities of family. People can send their childen to university.The development

of creative industry of craft through cooperation with Pulau Betung scholars,

businesses, and government (Triple Helix), driver ofthe birth of creativity, ideas,

science, and technology. The mutually supportive relationship with the role; (1)

Scholars have a rolein formation of creative people and activity creation of new

competitive products, (2) Business plays a role in connectivity in economy and

the transformation of the creativity into economic value (marketing and money),

(3) the Government, program delivery mechanisms in control incentives,

conducive business climate controls and educative role.

Keywords: Crafts, Carving, and the Creative Industries.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

66

PENDAHULUAN

Kerajinan ukiran akar kayu di

Desa Pulau Betung, Kecamatan

Pemayung, Kabupaten Batang Hari,

dipelopori oleh Syafar, di tengah

masyarakat yang tidak memiliki tradisi

seni ukir. Kerajinan ukiran kayu ini

unik, produknya seperti; meja tamu,

meja oshin, kursi tamu, kursi teras dan

cenderamata pada awalnya dibuat dari

kayu utuh (gelondongan), tanpa

sambungan, penggunaan lem maupun

paku, serta memanfaatkan kayu limbah

berupa akar dan pangkal pohon. Motif

dan desain produk menyerupai akar-

akaran, sehingga dinamakan ukiran

akar kayu. Dalam perkembangan

berikutnya, sesuai kebutuhan, maka

bahan baku yang digunakan tidak

sepenuhnya kayu limbah, bagian akar

dan pangkal pohon, tetapi juga bagian

pokok atau batang kayu.

Kerajinan ukiran kayu ditekuni

beberapa keluarga di Pulau Betung,

yang berkembang menjadi sentra

kerajinan ukiran kayu. Hal ini

memberikan dampak positif pada

pengrajin dan masyarakat dan daerah

setempat. Kerajinan ukiran kayu

menjadi usaha dan sumber ekonomi

pengrajin di Pulau Betung, demikian

juga menjadi aset bagi Batang Hari.

Perkembangan ini meningkatkan

ekonomi dan kesejahteraan

pengrajinnya, serta secara tidak

langsung ikut meningkatkan aspek

sosial-budaya masyarakat setempat.

Kerajinan ukiran kayu Pulau

Betung strategis dalam pengembangan

industri kreatif, bagian dari kriya yang

mempunyai kearifan lokal serta

terdapat dukungan baik sumber daya

manusia, sumber daya alam serta

budaya. Sebagaimana diungkapkan

Wicaksono (2009: 209), karena

berbasis pada kearifan lokal yang

merupakan warisan budaya bangsa,

peluang seni kriya untuk

dikembangkan dan dilestarikan sangat

besar baik sumber daya manusia

pendukung, nilai-nilai yang inheren

pada budaya disekelilingnya, teknik

pembuatan, lingkungan pendukung dan

apresiator atau konsumennya.

Industri kreatif merupakan

salah satu industri yang diprioritaskan

pengembangannya oleh pemerintah.

Kebijakan industri nasional ditetapkan

melalui Peraturan Presiden Nomor 28

Tahun 2008 tentang kebijakan Industri

Nasional (diterbitkan tanggal 7 Mei

2008). Industri kreatif mampu

Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif

67

meningkatkan kualitas hidup

masyarakat, toleransi sosial,

menumbuhkan citra dan identitas

bangsa serta mendorong pertumbuhan

pariwisata. Maka pengembangan

industri kreatif kerajinan ukir Pulau

Betung memerlukan kolaborasi dan

kerjasama yang jelas antara

cendikiawan, bisnis dan pemerintah.

PEMBAHASAN

Sejarah Seni Ukir Pulau Betung

Syafar, memperoleh

pengetahuan dan ketrampilan membuat

mebel serta mengukir selama 3 (tiga)

tahun bekerja sebagai buruh pada

perusahaan pengolahan kayu di kota

Jambi (M. Ali, wawancara 2013).

Karena tidak mendapat gaji yang

memadai Syafar memutuskan berhenti,

dan memulai usaha kerajinannya sejak

tahun 1989. Syafar memanfaatkan

bonggol dan sisa tebangan kayu

Rengas dan Tembesu di sekitar

desanya, kemudian diolah menjadi

barang kerajinan berupa kursi taman,

dalam bentuk ukiran yang khas seperti

akar belit. Produk ukirannya dijual di

pasar, kemudian setelah mulai dikenal

dan diminati masyarakat Syafar

memajang dan menjual hasil ukirannya

di depan rumahnya. Pada awal

usahanya, Syafar menggunakan

peralatan seadanya.

Usaha Syafar kemudian

berkembang dengan banyaknya

pesanan atas produk kerajinannya,

sehingga Syafar mencari dan membina

anggota masyarakat Pulau Betung

untuk menjadi pekerja. Syafar

membuka diri ketika sejumlah warga

berminat belajar memahat dan

mengukir padanya, kemudian

membuka usaha sendiri. Ketika

semakin banyak warga yang mulai

membuka usaha yang sama, desa Pulau

Betung-pun menjadi sentra kerajinan

ukiran kayu. Kemudian ada pengrajin

lainnya yang cukup terkenal seperti

Sulaiman, M. Ali, dan Jangtik.

Puncak perkembangan

kerajinan ukir kayu di Pulau Betung

tahun 2005, terdapat 40 hingga 50 kios

yang memajang produk ukiran. Produk

yang dihasilkan beragam, tidak hanya

meja dan kursi tetapi juga berbagai

cenderamata berbentuk ikan, dan naga.

Konsumen selain berasal dari

masyarakat sekitar, Sumatera

umumnya, pulau Jawa, serta selain itu

ada konsumen yang berasal dari luar

negeri. Meski menggunakan kayu

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

68

rengas, tembesu dan kayu lainnya,

kerajinan ini dikenal dengan nama

kerajinan ukir betung, nama desa itu

lebih dikenal ketimbang nama

kayunya. Salah satu keunikan hasil

pahatannya adalah jalinan ukir yang

tak terputus, dibuat dari potongan kayu

utuh. Setiap produk menjadi senyawa

karena saling terhubung. Adapun

bentuk ukirannya memiliki nuansa

alam.

Proses Pembuatan Produk

Kerajinan Seni Ukir Pulau Betung

Peralatan yang dibutuhkan

proses pembuatan kerajinan ukiran

kayu Pulau Betung diantaranya

meteran, siku-siku, palu, jangkar,

pensil, ketam, gergaji, ditambah

peralatan pahat ukir, kampak, patar

atau kikir, chainsaw, bor dan blowwer

atau kompor tembak. Alat finishing

menggunakan kuas, spray gun dan

compresor.

Gambar1.Penarah dan Pahat ukir

(Foto: Nova Sriyanti, 2004)

Gambar 2.Kampak, pahat, palu, patar dan gergaji besi

(Foto: Nofrial, 2013)

Gambar 3.Chain Saw

(Foto: Nova Sriyanti, 2004)

Pembuatan produk dimulai dari

penyiapan kayu, kemudian dipotong

sesuai produk yang akan dibuat

menggunakan chainsaw. Kayu

digambar/didesain menggunakan

spidol atau arang, dengan motif akar

belit, naga, motif ikan mas koki, motif

bunga kol serta motif alami yang

mengikuti alur/serat kayu. Kayu yang

besar dibentuk secara global

menggunakan chainsaw, untuk benda

yang kecil menggunakan kampak dan

pahat. Kayu dipahat dan dilobangi

sesuai dengan motif yang telah dibuat.

Gambar 4.Kayu Bahan Kerajinan

(Foto: Nofrial, 2013)

Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif

69

Gambar 5.Pengolahan Kayu Bahan Kerajinan

(Foto: Nova Sriyanti, 2004)

Produk dibuat dari satu kayu

utuh, tetapi dalam beberapa jenis

produk, atau mensiasati ukuran dan

kondisi kayu juga dilakukan

penyambungan, terutama untuk

memperbesar dan memperlebar kayu.

Setelah dipahat dan diukir, untuk

menghilangkan serat yang kasar,

sekaligus untuk pemberian warna khas

dilakukan proses pembakaran pada

bagian tertentu menggunakan blowwer

(kompor tembak).

Finishing dimulai dengan

pengamplasan menggunakan amplas

kasar kemudian ampelas halus. Setelah

itu produk dikeringkan dengan cara

diangin-anginkan pada ruang terbuka ±

2-3 minggu. Setelah kering kembali

diampelas halus, bagian yang retak dan

cacat kayu didompul serta diampelas.

Selanjutnya menutup dan mengilapkan

dengan melamin clear gloss.

Umumnya finisihing yang digunakan

adalah natural, tetapi pada bagian

tertentu atau keseluruhan bagian

produk yang diinginkan terkadang juga

diwarnai untuk memperindah dan

menambah daya tarik produk. Proses

pewarnaan dan pengilapan dilakukan

beberapa kali, sampai memperoleh

hasil yang diinginkan. Finishing selain

menggunakan kuas juga disemprot

dengan spray gun. Finishing selesai

dilakukan, maka untuk produk tertentu

dipasangkan kelengkapannya, seperti

kaca untuk meja, karet untuk kaki

meja, dan lainnya.

Gambar 6.Kayu yang sudah dibentuk secara global untuk

meja tamu

(Foto: Nofrial, 2013)

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

70

Gambar 7.Pemahatan kayu untuk tuas/handle persneling

mobil

(Foto: Nofrial, 2013)

Gambar 8.Pembakaran menggunakan blowwer (kompor

tembak)

(Foto: Nova Sriyanti, 2004)

Gambar 9.Finishing tuas/handle persneling mobil

(Foto: Nofrial, 2013)

Fungsi Produk Seni Ukir Pulau

Betung

Produk seni ukir Pulau Betung

digolongkan menjadi dua fungsi,

pertama mebel dan perabotan rumah

tangga, kedua benda cenderamata dan

aksesoris.

1. Mebel dan perabotan rumah tangga

diantaranya Kursi dan Meja Tamu,

Kursi dan Meja Teras, Kursi dan

Meja Taman, Kursi dan Meja

Telpon, dan Meja oshin. Kursi dan

meja tersebut dibuat dalam bentuk

motif naga, motif kerawang, motif

akar belit, motif daun, motif ikan

mas koki, dan bentuk guci.

Gambar 10.Kursi Teras/Taman

(Foto: Nofrial, 2013)

2. Cenderamata dan aksesoris,

diantaranya dudukan guci, tempat

buah, vas bunga, asbak, tempat

tisu, tuas atau handle persneling

mobil, patung ikan arwana, patung

Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif

71

naga, patung serigala, patung elang,

patung rusa, dan patung angso duo.

Gambar 11.Patung Ikan

(Foto: Nofrial, 2013)

Gambar 12.Tuas/handle persneling mobil

(Foto: Nofrial, 2013)

Peranan Lembaga Budaya Terhadap

Perkembangan Industri Kreatif Seni

Ukir Pulau Betung

a). Peranan Pengrajin

Pengrajin pelaku utama dalam

menghasilkan karya seni ukir.

Pengrajin ukir di Pulau Betung hanya

terdapat pengrajin otodidak, yang

memperoleh pengetahuan dan

keterampilan mengukir serta membuat

produk kerajinan dengan belajar

sendiri, meniru, berguru pada

seseorang baik langsung maupun tidak

langsung. Pada perkembangan

berikutnya pengerajin memperoleh

pelatihan formal tentang kerajinan

guna pendalaman pengetahuan dan

ketrampilan yang dimiliki sebelumnya.

Syafar, yang mempelopori

kerajinan ukir di Pulau Betung,

memperoleh pengetahuan dan keahlian

mengukir selain dari pengalamannya

menjadi karyawan pengolahan kayu

dan pembuatan mebel, juga dengan

menciptakan sendiri, meniru bentuk-

bentuk alam terutama akar-akaran.

Pengrajin mengembangkan

kemampuan dan daya imajinasinya

berdasarkan kreativitas sendiri.

Visualisasi hasil ukiran mulai dari

bentuk motif yang paling sederhana,

hingga mencapai bentuk yang rumit.

Bentuk bagian tumbuhan; akar-akaran,

daun, serta bentuk hewan seperti ikan,

angsa, elang dan lainnya. Dalam

penciptaan karya ukiran ini berlaku

konsep imitasi, peniruan alam. Secara

otodidak Syafar, mampu menemukan

dan membuat ragam ukiran yang khas

Pulau Betung, yang tidak ditemukan di

daerah lain.

Ditopang kreativitas dan

tuntutan industri pariwisata, pengrajin

ukir di Pulau Betung seperti Syafar,

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

72

berusaha mencari sesuatu yang baru

yang lebih kreatif. Pariwisata

merupakan angin segar bagi para

pengrajin untuk berkarir lebih jauh

dengan potensi-potensi yang dimiliki,

ber-inovasi dan berkreatifitas

melahirkan produk baru. Peran

pengrajin terhadap aktivitas berkarya

seni, Thur dikutip oleh Astrid (1980:

90), bahwa fungsi seniman; 1)

Seniman sebagai pencipta dan penemu

hal yang baru, 2) Seniman sebagai

penemu dan penyebar nilai-nilai yang

baru, 3). Fungsi sosialisasi dari nilai-

nilai yang baru dan lama.

Pengrajin memiliki kemampuan

menjadi pembaharu (inovator) namun

mereka tidak dapat lepas dari pengaruh

lingkungan budaya tempat mereka

hidup (Kusen, 1986: 83). Pengrajin

mengembangkan daya kreativitas

berkat dorongan dan perhatian

masyarakat. Sorokin (1976) dikutip

Supriadi (1997: 63), menempatkan

kreativitas sebagai faktor penting

dalam menciptakan produk seni yang

membawa perubahan sosial budaya.

Kreativitas berlangsung dalam setiap

dimensi dan aktivitas kehidupan

pengrajin. Adanya unsur kreativitas

itulah yang memberi corak, isi, bentuk,

dan karakter produk yang diciptakan.

Pengrajin seni ukir di Pulau

Betung dapat dikelompokkan menjadi

tiga, yaitu pengrajin ahli, pengrajin

pemula dan pengrajin pengusaha.

1). Pengrajin Ahli

Pengrajin ahli menguasai

pengetahuan dan keterampilan seni

ukir, baik menyangkut desain,

pemilihan dan penyiapan bahan,

proses produksi sampai finishing,

seperti Syafar, Sulaiman, M. Ali dan

Jangtik. Dalam membuat produk

tidak selalu berorientasi pesanan,

tetapi lebih bebas sesuai dengan

keinginan.

2). Pengrajin Pengusaha

Pengrajin pengusaha merupakan

pengrajin ahli yang memiliki

kemampuan mengelola

(managerial), memiliki kemampuan

Leaderships, kemauan keras untuk

maju, dan memiliki wawasan ke

depan. Di samping itu juga

mempunyai modal untuk usahanya.

3). Pengrajin Pemula

Pengrajin pemula adalah pekerja

yang hanya mempunyai

kemampuan dan keahlian terbatas,

pada bidang-bidang tertentu saja.

Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif

73

Pengrajin pemula bekerja pada

pengrajin pengusaha atau pengrajin

ahli, dengan tujuan meningkatkan

keterampilan mengukir dan

sekaligus mendapatkan penghasilan.

b). Peranan Pendidikan

Pendidikan diperlukan untuk

memperdalam pengetahuan teori dan

praktek yang berhubungan dengan seni

ukir, managerial, entreprenuer dan

leadership. Keberadaan lembaga

pendidikan yang berada di Muara

Bulian, Kota Jambi dan Sumatera

umumnya memberi andil terhadap

perkembangan seni ukir Pulau Betung.

Berupa pelatihan desain, keteknikan,

finishing, promosi, serta penelitian.

Tahun 1991 dibangun Sekolah

Menengah Industri dan Kerajinan

SMIK Negeri Batang Hari, di Muara

Bulian dan SMIK Kerinci (SMKN 4

Sungai Penuh). SMIK ini memiliki

empat jurusan; yaitu Jurusan Ukir

Kayu, Logam, Batik, dan Keramik.

Pendirian SMIK ini untuk

mengembangkan seni dan kerajinan di

tengah masyarakat, serta mendukung

perkembangan pariwisata, menyiapkan

pengrajin yang terampil, terdidik, dan

terlatih, didukung oleh dasar

pengetahuan seni rupa. Selain kedua

SMK tersebut, keberadaan Jurusan

Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain

Institut Seni Indonesia Padangpanjang,

yang beberapa alumninya tersebar di

Provinsi Jambi, yang turut memberi

andil dalam pengembangan seni ukir

Pulau Betung.

c). Peranan Pariwisata.

Pembangunan sektor pariwisata

dengan tiga modal dasar, yakni budaya,

keindahan alam dan keramah-tamahan

penduduk. Bidang pariwisata menuntut

pengembangan; sarana dan prasarana

serta kenyamanan dan keamanan. Di

samping itu diperlukan tersedianya

cenderamata yang khas setempat.

Soedarsono (1999: 180), menyatakan

seni yang dikemas untuk komunitas

wisatawan harus memiliki lima ciri: (1)

tiruan dari aslinya, (2) bentuk mini atau

singkat dari aslinya, (3) penuh variasi,

(4) tidak sakral, (5) murah harganya.

Kerajinan yang dikemas untuk

cenderamata di Batang Hari juga

mengacu pada konsep tersebut.

Pulau Betung sebagai salah

satu jalur pariwisata Batang Hari

mengembangkan diri sebagai sentra

seni ukir, yang menyediakan berbagai

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

74

macam produk untuk cenderamata,

yang dipasarkan di beberapa kios seni

di Pulau Betung dan kota Jambi. Seni

ukir Pulau Betung berperan terhadap

pariwisata, sebagai akibat maupun

tujuan (obyek) wisata. Posisi sebagai

“akibat” ia dicari pada akhir suatu

proses wisata, sedangkan dalam posisi

“tujuan” peranannya semakin

monumental sebagai daya tarik wisata

(Anas, 199: 3). Konsekuensinya

pengrajin ukir Pulau Betung dituntut

mampu memenuhi selera konsumen,

sehingga produksi seni ukir

membutuhkan kreasi yang lebih dari

yang bersifat massal. Dilakukan

dengan menciptakan jenis dan bentuk

produk baru, melalui pengembangan

desain atau membuat bentuk baru.

Seni ukir dikembangkan

menjadi destinasi wisata maka

menumbuhkan aspek lain, munculnya

hotel, penjual makanan dan minuman,

perencana perjalanan wisata, agen

perjalanan, dan pramuwisata. Integrasi

seni ukir Pulau Betung dan pariwsiata

akan memunculkan perkembangan

prasarana ekonomi, seperti jalan raya,

terminal, serta prasarana yang bersifat

public utilities.

d). Peranan Lembaga Swadaya

Masyarakat

Pengembangan seni ukir di

Pulau Betung juga menjadi

tanggungjawab berbagai lembaga dan

organisasi yang ada di tengah

masyarakat. Hal inilah yang

melatarbelakangi dibentuknya

Koperasi Industri Kerajinan (Kopinkra)

Setia Kawan di Pulau Betung.

Kopinkra merupakan kesatuan sosial

pengrajin di Pulau Betung. Dibangun

dan melaksanakan tugas sesuai prinsip-

prinsip dan tujuan yang diilhami oleh

kepentingan bersama. Berperan dalam

mengembangkan dan mempromosikan

produk, mediasi dan fasilitasi pengrajin

dengan buyer dan investor. Kopinkra

menjadi jalur dan pintu masuk bantuan

dari berbagai instasi pemerintah

maupun swasta kepada pengrajin.

Termasuk pelibatan pengrajin dalam

pameran dan pelatihan, membantu

pengrajin dalam hal administrasi.

e). Peranan Pemerintah

Pengembangan kerajinan

sejalan dengan pola pembangunan

daerah Batang Hari, yang dititik

beratkan pada bidang ekonomi

bertumpu pada sektor pertanian, sektor

Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif

75

pariwisata dan seni kerajinan. Lembaga

pemerintah dan swasta yang

menunjang pengembangan seni ukir di

Pulau Betung diantaranya bantuan

pinjaman modal kerja dengan sistem

kemitraan dari BUMN; PT. Pusri,

PLN, Jasa Marga, PT. Pos Indonesia,

Pertamina dan PT. Sarana Jambi

Ventura. Pemerintah Batang Hari

melakukan pelatihan pengembangan

disain dan finishing untuk variasi

produk sekaligus menyesuaikan kayu

yang digunakan dengan jenis produk

yang dihasilkan, mengirim pengrajin

ke daerah yang mempunyai kerajinan

sejenis dan lebih maju, seperti Bali,

Yokyakarta dan Jepara, Serta

mendatangkan pengrajin ahli dari

Jepara untuk membantu pengembangan

desain, teknik dan finishing.

Termasuk mengikutsertakan pengrajin

pada berbagai pameran dan promosi

ditingkat lokal, regional maupun

nasisonal (Jangtik, wawancara 2013).

Pameran berskala nasional diantaranya

Pameran Otonomi Expo dan Forum

2012 Asosiasi Pemerintah Kabupaten

Seluruh Indonesia (APKASI), di

Jakarta Convention Center setiap tahun

mulai 2005 (Jangtik, wawancara 2013).

Stand di JCC ini difasilitasi pemerintah

Provinsi Jambi.

f). Peranan Pasar

Pasar yang mendukung

perkembangan kerajinan ukir Pulau

Betung merupakan bentuk transaksi

jual beli antara pengrajin dan pembeli.

Transaksi ini tidak mesti berlansung di

tempat khusus, kios atau pasar pada

umumnya, melainkan bisa di bengkel

kerja atau tempat lainnya, bahkan

tanpa tatap muka antara pengrajin dan

pembeli.

Pasar menjadi struktur

pendukung penting untuk penciptaan

dan distribusi seni, menyalurkan dan

mengembangkan karya-karya para

seniman (Zolberg, 1990: 180). Dengan

adanya kegiatan tersebut, jangkauan

pemasaran produk seni ukir Pulau

Betung semakin luas. Selain itu di

tingkat provinsi juga didirikan pusat

promosi produk kerajinan oleh

Dekranasda. Meningkatnya permintaan

pasar, membuat para pengrajin

semakin tekun meningkatkan

produksinya. Pemasaran produk seni

ukir Pulau Betung dilakukan di kios-

kios Pulau Betung. Konsumen dari

dalam dan luar negeri, sebagaimana

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

76

diungkapkan Syafar, sejak tahun 1994

usahanya ramai, bahkan ada pembeli

dari Bali, Korea, Singapura dan Eropa.

Dampak Perkembangan Seni Ukir

Pulau Betung terhadap masyarakat

Sebagai hasil budaya yang

kongkret, seni ukir Pulau Betung

sangat berpengaruh pada perilaku

masyarakat pendukungnya baik dalam

berinteraksi maupun berkomunikasi,

karena kerajinan ini merupakan bentuk

ekspresi pengrajinnya, dan sering

sekali dipandang sebagai salah satu ciri

kuat dari identitas kebudayaan, artinya

dalam karya seni tercermin sistem

nilai, tradisi, sumber daya lingkungan,

kebutuhan hidup, dan pola perilaku

manusia.

Kontinuitas pengrajin dalam

menciptakan seni ukir di Pulau Betung,

menjadikan kerajinan ini sebagai

sebuah karya yang sarat dengan

keterampilan dan kreativitas. Kekayaan

sumber daya alam dan tuntutan

kebutuhan menjadi motivator

terciptanya dan berkembangnya

kerajinan ukir kayu di Pulau Betung.

Perubahan pola hidup dibarengi

perubahan kebutuhan, menjadikan seni

ukir tidak hanya sebagai pengisi waktu

luang petani, tetapi menjadi pekerjaan

khusus yang memerlukan suatu

pemikiran di samping keterampilan.

Seni ukir mempunyai dampak yang

sangat luas pada kehidupan masyarakat

yang dapat dilihat baik dari segi

ekonomi, sosial, dan budaya

masyarakat. Terkait dengan

perkembangan seni ukir kayu di Pulau

Betung, pada awalnya tidak ada tradisi

seni ukir di tengah masyarakat,

kemudian atas prakarsa dan kreativitas

anggota masyarakatnya (Syafar)

muncul seni ukir. Seni ukir ini mampu

merubah Pulau Betung dari kawasan

perkebunan menjadi sentra kerajinan

ukir kayu, yang keberadaannya tidak

hanya mengharumkan nama Pulau

Betung, Kabupaten Batang Hari tetapi

juga Provinsi Jambi hingga ke tingkat

nasional.

Dampak perkembangan seni

ukir Pulau Betung terlihat dari

kehidupan pengrajin. Semula bekerja

sebagai buruh di pembuatan mebel,

atau petani dan buruh perkebunan

sawit beralih menjadi pengrajin ukir,

yang sifat pekerjaannya lebih ringan

dengan penghasilan yang lebih baik.

Perkembangan seni ukir Pulau Betung

otomatis memajukan pola hidup

Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif

77

masyarakat, karena perekonomian

masyarakat meningkat. Pendapatan

membaik bermuara pada kehidupan

masyarakat yang baik pula, secara

tidak langsung mengubah pola hidup

masyarakat dalam berbagai segi.

Wawasan masyarakat mulai terbuka

karena berinteraksi dengan orang di

luar lingkungannya.

Strategi Pengembangan Seni Ukir

Pulau Betung menuju Industri

Kreatif.

Industri kreatif di Indonesia

didefinisikan sebagai industri yang

berasal dari pemanfaatan kreativitas,

keterampilan serta bakat individu

untuk menciptakan kesejahteraan serta

lapangan pekerjaan dengan

menghasilkan dan mengeksploitasi

daya kreasi dan daya cipta individu

tersebut. Pengembangan industri

kreatif membutuhkan sekurangnya

empat pilar utama yakni resources,

technology, human resource dan

financial institutions. Kerajinan ukir

Pulau Betung termasuk kategori

industri kreatif berbasis sumber daya

alam yang memanfaatkan bahan baku

natural resources, yakni kayu.

Walaupun sudah berkembang

dan memberikan sumbangan dalam

memajukan sosial-budaya dan ekonomi

masyarakat Pulau Betung, tetapi

kerajinan ukir Pulau Betung masih

mengalami beberapa permasalahan.

Terdapat lima kendala utama yang

menjadi perhatian dalam

pengembangan industri kreatif seni

ukir Pulau Betung, diantaranya akses

bahan baku, pemanfaatan dan

dukungan teknologi, permodalan,

perlindungan hasil hak cipta dan

dukungan promosi serta pemasaran

pihak terkait.

Langkah yang dapat ditempuh

pemerintah Batang Hari: pertama,

memberikan dan mempermudah akses

permodalan kepada pengrajin. Selain

itu menciptakan iklim yang kondusif

bagi dunia usaha, birokrasi dan

mekanisme perijinan yang mudah dan

sesuai aturan. Ke-dua, meningkatkan

kualitas dan kuantitas produk kerajinan

melalui pendidikan, pelatihan, dan

workshop. Pelatihan kewirausahaan,

manajemen bisnis kerajinan, maupun

skill teknis bidang kerajinan. Dalam

peningkatan kualitas produk maka

prinsip yang harus diperhatikan; (a)

berorientasi konsumen (yang

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

78

dicari/dibutuhkan konsumen), (2) tidak

terjebak mind-set harga murah, serta

(3) paham terhadap nilai-nilai yang

dianut oleh pasar/konsumen (Sabar,

2013).

Ke-tiga, mengadakan promosi

baik di tingkat regional, nasional,

maupun internasional. Mengiklankan

produk kerajinan di media massa,

mengadakan pameran, membuka

showroom di tempat strategis, maupun

membuat situs dan prmosi di internet.

Hal lain yang harus diperhatikan

adalah menumbuh-kembangkan minat

masyarakat terutama kaum muda Pulau

Betung dan Batang Hari umumnya

terhadap kerajinan khas Pulau Betung,

untuk menjaga eksistensi dan

kelestarian kerajinan ini di masa

mendatang.

Pengembangan ekonomi kreatif

yang dikembangkan pemerintah terdiri

dari komponen pondasi, lima pilar, dan

atap yang saling menguatkan, maka

pengembangan seni ukir Pulau Betung

sebagai industri kreatif, sub sektor

kerajinan dapat dijelaskan sebagai

berikut :

1) Pondasi Pengembangan Industri

Kreatif Seni Ukir Pulau Betung

Pondasi adalah sumber daya

manusia, aset utama dari industri

kreatif. Masyarakat/pengrajin

merupakan kekuatan dasar dan

penggerak utama sehingga kerajinan

ukir dapat berkembang. Agar produksi

berjalan dengan baik, sanggar atau

kelompok pengrajin harus memiliki

pengrajin yang berpengetahuan dan

berketrampilan tinggi. Usaha kerajinan

akan berjalan dengan lancar apabila

pengrajin dan pekerja menjalankan

tugas dan tanggung jawabnya secara

proporsional, tepat dan berdaya guna

sesuai dengan aturan yang ada, dengan

adanya sumber daya manusia yang

baik maka akan ada peningkatan

produktivitas.

2) Pilar Utama Model Pengembangan

Industri Kreatif Seni Ukir di Pulau

Betung

a. Industri

Industri merupakan bagian dari

kegiatan masyarakat yang terkait

dengan produksi, distribusi, pertukaran

serta konsumsi produk atau jasa

(Deperindag RI, 2008: 64). Terkait seni

ukir Pulau Betung, industri yaitu

kumpulan dari sentra-sentra ukir,

sanggar, Kopinkra atau kelompok

pengrajin, maupun individu yang

Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif

79

bergerak di bidang kerajinan ukir kayu

di Pulau Betung. Peningkatan kualitas

dan kuantitas kelompok ini merupakan

upaya yang harus ditempuh untuk lebih

meningkatkan seni ukir di Pulau

Betung.

b. Teknologi

Teknologi merupakan suatu

entitas material atau non material,

aplikasi penciptaan dari proses mental

atau fisik untuk mencapai nilai

tertentu. Teknologi bukan hanya mesin

atau alat, melainkan juga teknik-teknik

dan metode, atau aktivitas yang

membentuk dan mengubah budaya

(Deperindag RI, 2008: 64).

Teknologi kaitannya dengan

seni ukir Pulau Betung yaitu enabler

untuk mewujudkan kreativitas

pengrajin dalam bentuk produk

kerajinan. Teknologi merupakan faktor

penting dalam pengembangan seni ukir

Pulau Betung. Perkembangan

teknologi dalam bidang desain,

pertukangan dan finishing sangat

mendukung pengembangan dan

peningkatan kuantitas serta kualitas

produk kerajinan. Peralihan dari desain

manual ke desain komputer dengan

software khusus dapat menghasilkan

desain yang kreatif dan inovatif.

Penggunaan alat masinal

mempermudah proses kerja,

menghemat tenaga dan waktu

produksi, serta hasil yang maksimal.

Penggunaan sarana komunikasi dan

media internet akan mempermudah

serta memperluas jangkauan promosi

dan proses transaksi.

c. Sumber Daya

Sumber daya yaitu input,

tersedianya sumber daya alam berupa

kayu untuk bahan baku dan lahan

untuk tempat usaha. Kondisi geografis

Pulau Betung maupun Kabupaten

Batang Hari, terlihat bahwa bahan

baku (kayu) tersedia untuk

mengembangkan industri kreatif seni

ukir.

Antisipasi kelangkaan bahan

baku mutlak segera dilakukan,

mengingat sumber daya alam ini juga

terbatas ketersediaannya. Pertama

melalui penanaman di lahan khusus

maupun di lingkungan sekitar milik

masyarakat. Kedua melalui

penebangan yang selektif, khusus

pohon yang sesuai kebutuhan saja yang

ditebang. Ketiga penghematan

penggunaan kayu melalui efisiensi

pengolahan serta penggunaan bahan

sesuai desain. Keempat penggantian

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

80

teknis pembuatan produk, tidak lagi

menggunakan kayu utuh/gelondongan

melainkan kayu olahan tetapi dibuat

menyerupai penggunaan kayu utuh.

d. Institusi

Institusi yaitu tatanan sosial

(norma, nilai, dan hukum) yang

mengatur interaksi antara sesama

pengrajin, serta antara pengrajin

dengan konsumen. Aturan atau norma

antara sesama pengrajin dibangun

melalui sanggar atau Kopinkra dalam

bentuk anggaran dasar dan anggaran

rumah tangga masing-masing sanggar

atau kelompok pengrajin. Selain itu

berupa nota kesepahaman sesama

pengrajin dan atau kelompok

pengrajin. Dalam lingkup yang lebih

luas dapat pula menggunakan hukum

negara yang diemban melalui

pemerintahan desa, kecamatan serta

instansi terkait. Di samping itu juga

norma-norma sosial dan adat istiadat

masyarakat Pulau Betung yang

dinaungi oleh Lembaga Adat desa

Pulau Betung dan Kecamatan

Pemayung. Sementara itu norma yang

mengatur interaksi dan relasi antara

pengrajin dengan pembeli atau

konsumen dapat menggunakan hukum

negara, peraturan dan perundangan

perdagangan serta kontrak atau

kesepakatan antara kedua belah pihak.

Norma atau aturan ini ditujukan

agar tidak terjadi persaingan usaha

yang tidak sehat, serta agar terjamin

hak-hak pekerja. Di samping itu agar

tercipta atmosfir yang kondusif bagi

pengembangan kerajinan ukir kayu di

Pulau Betung. Norma atau aturan yang

mengatur antara pengrajin dan

konsumen serta pihak yang terlibat

dalam proses promosi, distribusi dan

pemasaran ditujukan agar terjaminnya

hak masing-masing pihak serta

terbangun suasana yang saling

menguntungkan.

e. Lembaga Intermediasi

Lembaga intermediasi

keuangan yaitu lembaga penyalur

keuangan baik pihak pemberi modal

maupun perbankkan yang menjadi

media penyaluran keuangan oleh pihak

konsumen kepada pengrajin. Dengan

adanya perbankkan maka proses

transaksi keuangan dapat berjalan

dengan baik, aman serta lancar. Baik

terkait proses jual beli produk

kerajinan, pembayaran jasa, maupun

pemberian bantuan permodalan dari

pihak terkait. Selain perbankan,

Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif

81

terdapat lembaga Pemodalan Nasional

Madani (PNM). Hal penting yang

diperlukan dalam masalah ini adalah

aturan yang memudahkan bagi

pengucuran modal khususnya untuk

mendukung industri kreatif seni ukir

Pulau Betung.

Aktor Utama Pengembangan

Industri Kreatif Kerajinan Ukir

Pulau Betung

Industri kreatif ini dipayungi

oleh interaksi triple helix yang terdiri

dari Intellectuals, Business, dan

Government sebagai aktor utama

penggerak industri kreatif kerajinan

ukir Pulau Betung, bagi lahirnya

kreativitas, ide, ilmu pengetahuan dan

teknologi. Dengan sinergi ketiga unsur

ini maka industri kreatif seni ukir

Pulau Betung akan kokoh dan

berkesinambungan.

a. Intelektual

Kaum intelektual atau

akademisi yang berada pada institusi

pendidikan formal, informal dan non

formal (empu bidang kerajinan) yang

berperan sebagai pendorong lahirnya

ilmu dan ide yang merupakan sumber

kreativitas dan lahirnya potensi

kreativitas para pengrajin.

Meskipun di Kabupaten Batang

Hari belum cukup memiliki

infrastruktur dan lingkungan akademik

yang memenuhi syarat untuk

pengembangan industri kreatif, tetapi

telah banyak putra-putri Batang Hari

mengenyam pendidikan tinggi. Inilah

aset yang perlu dimanfaatkan secara

jeli oleh Pemerintah Daerah. Mereka

dapat diundang, diajak, dan diminta

bantuannya untuk membangun industri

kreatif di Pulau Betung.

SMK, seperti SMIK yang

kurikulumnya telah dikembangkan

dengan tujuan menyiapkan tenaga

kerja siap pakai dalam bidang industri

kreatif. Mahasiswa dan dosen ISI

Padangpanjang, serta perguruan tinggi

yang lain, dapat berperan serta dalam

pengembangan seni ukir Pulau Betung.

Melalui penelitian dan pelatihan di

bidang bahan baku, peralatan, disain,

keteknikan, finishing, promosi dan

pemasaran. Demikian pula institusi dan

lembaga lainnya yang berada dalam

bidang pendidikan, seperti balai latihan

kerja juga dapat berperan dalam

pengembangan seni ukir Pulau Betung.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

82

b. Bisnis

Pelaku usaha yang

mentransformasi kreativitas menjadi

bernilai ekonomi. Nilai ide yang

absrtak dituangkan menjadi berbagai

produk kerajinan yang bernilai

ekonomi. Salah satu faktor suksesnya

industri kreatif seni ukir Pulau Betung

adalah marketing. Pengrajin membuat

produk tetapi kesulitan

memasarkannya. Ketika pasar nasional

lesu, maka peluang pemasaran ke luar

negeri harus digarap, disinilah

diperlukan peran pemerintah sebagai

mediator.

Keberadaan showroom sebagai

salah satu media pemasaran dan media

display berbagai ragam produk penting

keberadaannya. Membantu pengrajin

dalam memasarkan produk, sekaligus

menjadi tempat tujuan pembeli. Dalam

rangka menjadikan seni ukir Pulau

Betung tujuan wisata, maka

keberadaan showroom dan workshop

bengkel proses produksi penting dalam

mensinergikan kerajinan dengan

pariwisata berbasis masyarakat.

Workshop sebagai media

display proses produksi yang

melibatkan pekerja, peralatan, bahan

baku, hingga finishing. Dalam

workshop pelaku dapat berinteraksi

langsung dengan wisatawan,

wisatawan dapat terlibat dalam proses

produksi tersebut. Dalam model ini

terjadi pengenalan proses produksi dan

budaya lokal kepada para wisatawan

sekaligus mengembangkan pariwisata

industri kreatif kerajinan ukiran kayu

Pulau Betung yang berbasis pada

partisipasi masyarakat. Oleh karena itu,

industri kreatif seni uki kayu Pulau

Betung ini dapat disinergikan dengan

potensi yang lain dalam pengembangan

pariwisata lokal di Batang Hari.

Workshop industri kreatif seni ukir

kayu Pulau Betung yang berbasis pada

masyarakat merupakan salah satu

model penarik wisatawan untuk datang

ke Pulau Betung.

c. Pemerintah

Pemerintah merupakan

fasilitator dan regulator agar industri

kreatif tumbuh dan berkembang.

Pemerintah berperan mensuport

pertumbuhan dan perkembangan, serta

melindungi industri kreatif seni ukir

Pulau Betung. Support melalui instansi

terkait dalam bentuk dukungan materi

maupun non materi; bantuan sarana

dan prasarana, pelatihan, perizinan,

Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif

83

permodalan dan lainnya. Memfasilitasi

pertemuan dengan buyer, dan promosi

melalui pameran. Pemerintah juga

menyiapkan payung hukum bagi

kerajinan ukir kayu Pulau Betung, agar

tercipta persaingan yang sehat dengan

usaha sejenis, serta menangkal

perlakuan pihak tertentu yang dapat

merugikan pengrajin.

PENUTUP

Kerajinan ukir kayu Pulau

Betung menggunakan kayu Tembesu,

Rengas, Sungkai, Meranti, Durian,

Nangka, Ambacang dan Jelutung.

Peralatan yang digunakan: meteran,

siku-siku, palu, jangkar, pensil, ketam,

gergaji, pahat ukir, kampak, patar atau

kikir, chainsaw, bor dan blowwer

(kompor tembak). Alat finishing kuas,

spray gun dan compressor. Proses

pembuatan dimulai penyiapan bahan,

mendesain, membetuk secara global

serta memahat sesuai desain. Produk

dikeringkan, kemudian didompul

diampelas dan difinishing. Secara

umum produk kerajinan ukiran kayu

Pulau Betung terdiri dua fungsi, yaitu

pertama sebagai mebel dan perabotan

rumah tangga, kedua sebagai

cenderamata dan aksesoris.

Perkembangan seni ukir Pulau

Betung dipengaruhi oleh, pertama

peranan sumber daya manusia, yakni

pengrajin yang merupakan aktor utama

kegiatan produksi, yang terdiri dari

pengrajin ahli, pengrajin pengusaha

dan pengrajin pemula. Kedua

pendidikan, sarana untuk

memperdalam pengetahuan teori dan

praktek yang berhubungan dengan seni

ukir, managerial, entreprenuer dan

leadership pengrajin. Ketiga

pariwisata, sentra seni ukir Pulau

Betung sebagai salah satu tujuan

wisata, dan atau produknya dicari pada

akhir suatu proses wisata. Keempat

lembaga swadaya masyarakat;

Kopinkra yang mepromosikan produk

seni ukir Pulau Betung, mediasi dan

fasilitasi pengrajin dengan pemerintah,

buyer dan investor. Kelima pemerintah

daerah membina pengadaan bahan,

disain, proses produksi, pemasaran,

kemampuan berwira-usaha, bantuan

permodalan dan peralatannya. Keenam

pasar, transaksi jual beli pengrajin dan

pembeli.

Perkembangan seni ukir Pulau

Betung berdampak terhadap kehidupan

masyarakat pendukungnya. Terjadi

perubahan pola hidup dan perilaku

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

84

masyarakat karena interaksi dan

komunikasi dengan masyarakat luar.

Berubahnya mata pencarian, dari

petani menjadi pengrajin ukir.

Peningkatan perekonomian yang

ditandai dengan membaiknya fasilitas

kehidupan masyarakat. Masyarakat

mempunyai kemampuan untuk

meningkatan taraf pendidikan anak-

anak mereka hingga ke perguruan

tinggi. Pengembangan industri kreatif

seni ukir Pulau Betung dipayungi oleh

kerja sama antara cendekiawan, bisnis,

dan pemerintah sebagai Triple Helix.

Hubungan ketiga faktor itu merupakan

penggerak lahirnya kreativitas, ide,

ilmu pengetahuan, dan teknologi yang

vital bagi berkembangnya seni ukir

Pulau Betung.

KEPUSTAKAAN

Departemen Perdagangan Republik

Indonesia. 2008.

Pengembangan Ekonomi

Kreatif Indonesia 2025:

Rencana Pengembangan

Ekonomi Kreatif Indonesia

2009-2015, Jakarta:

Deperindag RI.

Feldman, Edmund Burke. 1967. Art As

Image And Idea. New Jersey:

Prentice-Hall, Inc,

Englewood.

Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan

Masyarakat. Yogyakarta:

Tiara Wacana.

Kusen. 1986. Kreativitas dan

Kemandirian seniman Jawa

Dalam Mengolah pengaruh

Budaya Asing Studi Kasus

Tentang Gaya Relief Candi Di

Jawa antara Abad IX-XVI

Masehi. Yogyakarta:

Depdikbud, Dirjen

Kebudayaan Proyek

Penelitian dan Pengkajian

Kebudayaan Nusantara

(Javanologi).

Sriyanti, Nova. 2004. Kerajinan Kayu

di Desa Pulau Betung

Kecamatan Pemayung

Kabupaten Batang Hari,

Jambi. Skripsi.

Padangpanjang: Jurusan Seni

Kriya STSI Padangpanjang.

SP. Gustami. 2000. Seni Kerajinan

Mebel Ukir Jepara: Kajian

Estetik Melalui Pendekatan

Multidisiplin. Yogyakarta:

Kanisius.

_________. 2013. Industri Kreatif

Berbasis Budaya Lokal dan

Nasional Menuju Pasar

Global. Makalah dalam

Seminar Nasional Pendidikan

Seni Budaya dan Industri

Kreatif Menghadapi

Tantangan Global, kerjasama

PPS UNP dan Dinas

Pariwisata Sumatera Barat,

tanggal 10 sd 11 November

2013, di Taman Budaya

Sumatera Barat.

Wicaksono, Agung. 2009. Eksistensi

Seni Kriya Indonesia di Era

Gelombang Ekonomi Kreatif.

dalam Seni Kriya Dan

Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif

85

Kearifan Lokal Dalam

Lintasan Ruang dan Waktu

Tanda Mata untuk Prof. Drs.

Gustami, SU. Yogyakarta:

BP. ISI Yogyakarta.

Sumber Internet:

http://kompas.com. Diakses tanggal 02

Maret 2013

86

DIASPORA SEDULUR SIKEP

DAN KESENIANNYA

DI SAWAHLUNTO1

Elsa Putri E. SyafrilUniversitas Taman Siswa Yogyakarta

[email protected]

ABSTRAKSebagai sebuah kota yang diciptakan pemerintahan kolonial, Sawahlunto

menyimpan berbagai narasi tentang modernisme, lompatan ruang-waktu serta

endapan persoalan pengerahan ribuan buruh paksa, khususnya dari tanah Jawa.

Menariknya, di bawah kekuasaan kolonial yang penuh kontrol dan pengawasan,

dengan situasi sosial yang dibuat terkotak-kotak, masyarakat Sawahlunto di masa

lalu justru berhasil memproduksi konsepsi tentang ’kita’ sebagai nation yang

melampaui zamannya. Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan tentang acuan

nilai yang membuat proses menuju ’kita’ itu berlangsung di masyarakat

pertambangan Sawahlunto. Penelitian menunjukkan bahwa selain diwarnai

segregasi dan diferensiasi, masyarakat Sawahlunto juga ditandai oleh hibridisasi

tak tersadari, yang tampak dalam bahasa, berbagai tradisi dan keseniannya.

Sebuah kondisi yang merepresentasikan siasat kebudayaan dalam situasi

kolonial, dalam sebuah konsep yang dinamakan’sedulur’, yang tidak sekadar

mengacu ke pertalian darah, tetapi satu cara pandang memaknai pihak lain yang

diposisikan sama dan sederajat, diikat oleh rasa kedekatan dan kekerabatan.

Kata Kunci: Konsep Kebudayaan, sedulur, Sawahlunto

ABSTRACTAs a town created by the colonial government, Sawahlunto retains a variety of

narations about modernism, time-space leap, and remainder of problems of

forced labour, especially from the Java island. It is interesting to see that during

the colonial administration with its strict control and supervision, and

concentrated social situation, the community Sawahlunto in past was successful

in producing the concept of “we” asa nation beyond its time. The purpose of this

writing to describe the reference of value in the process of becoming “we”

occuring in Sawahlunto’s mining community. This research shows that apart

from segregation and differentiation, the community of Sawahlunto is also

marked by uninformed hybridation as seen in the language, some tradision and

arts. It is a condition that represents a cultural strategy in the colonial time, a

concept called ‘sedulur, which does not only refer to bloodline, but also a

perspective to give meaning to other parties with equal position, bound by the

feeling of closeness and kinship.

1Artikel ini bersumber dari makalah yang disampaikan pada Seri Seminar Kebudayaan di

Indonesia: “Masyarakat, Sejarah, dan Kebudayaan Sawahlunto”, tanggal 25 September 2013,

Ruang Seminar Gedung Unit 1 Lt. 5, Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta.

Elsa Putri E. Syafril, Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto

87

Keywords : cultural concept, sedulur, Sawahlunto

PENDAHULUAN

Sawahlunto, awalnya adalah

hamparan sawah yang dikelilingi bukit

dan dibelah sungai dinamai Batang

Lunto. Di ujung abad ke-19, hamparan

sawah itu berubah jadi “ladang hitam”

batu bara. Hal ini terjadi sejak de Groot

(insinyur Belanda) menemukan

kandungan batu bara di Timur

Singkarak (1851) yang dilanjutkan oleh

de Greve (ahli geologi Belanda) yang

menemukan lapisan batu bara di Ulu

Aie, lembah gunung yang tidak

berpenghuni di daerah aliran Batang

Ombilin (1868).tahun 1871. (Erman,

2005:29 dan Utama (ed.), 1998:1)

Hasil penelitian de Groot dan de

Greve itu diperkuat oleh laporan P. van

Diest satu tahun kemudian tentang

kualitas batu bara Ombilin yang tinggi

dan disusul penelitian Kals-Hoven dan

Ir. Verbeek (1875) (Asoka, et al,

2005:9—10 dan Utama (ed.), 1998:1).

Hasil penelitian Verbeek sangat

mengejutkan, dia memperkirakan

kandungan batu bara di perbukitan

sekitar Batang Lunto minimal 205 juta

ton dan tersebar di sepanjang Batang

Ombilin, dengan rincian: Perambahan

20 juta ton, Sigalut 80 juta ton, Sungai

Durian 93 juta ton, di barat Lurah

Gadang 12 juta ton, dan Lembah Segar

belum diketahui jumlahnya. Informasi

lebih jauh, lihat Elsa Putri E. Syafril,

Menggali Bara, Menemu Bahasa:

Bahasa Tansi, Bahasa Kreol Buruh

dari Sawahlunto (Yogyakarta:

Pemerintah Kota Sawahlunto, 2011)

dan Erwiza Erman, Membaranya Batu

bara: Konflik Kelas dan Etnik

Ombilin—Sawahlunto—Sumatra Barat

(1892—1996). (Depok, Desantara:

2005).

Perubahan pun kemudian

terjadi, dari waktu komunal ke waktu

kolonial, dari monoetnik ke multietnik,

dari kebudayaan berorientasi agraris ke

industrialis. Transportasi air (sungai)

berubah menjadi rel kereta api berelasi

dengan terjadinya gelombang migrasi

sosial. Buruh kontrak (contractkoelies)

Cina didatangkan melalui kongsi-

kongsi pengerah tenaga kerja yang ada

di Penang dan Singapura.

Contractkoelies asal Jawa didatangkan

melalui kantor pengerah tenaga kerja

yang ada di Semarang, Batavia, dan

Surabaya (Erman, 2005:47, Asoka, et

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

88

al, 2005: 65—66, dan Zubir,

2006:137—145). Sementara buruh

paksa (dwangarbeiders) didatangkan

dari kelompok yang distempel

“kriminal” oleh penguasa kolonial. Para

dwangarbeiders ini, karena dianggap

berbahaya, berada dalam kondisi

perantaian (kettingganger atau dalam

bahasa setempat disebut ‘rang rante’).

PEMBAHASAN

Mitologi Sawahlunto

Batu bara dan buruh paksa,

Ombilin dan kota industri modern

Sawahlunto merupakan pertemuan

antara kondisi material dan kepentingan

kekuasaan kolonial. Kota urban

berbentuk wajan penggorengan

dilingkari bukit-bukit purba menjadi

rekaman sejarah tentang bagaimana

satu masyarakat industri modern

dilahirkan dan bagaimana insfrastruktur

pendukung dibangun dengan sarat

ambivalensi dan ironi. Dari hal ini,

konsesi eksplorasi sumber daya alam

dan eksploitasi sumber daya manusia

berserangkai dengan konsepsi tentang

masyarakat pertambangan di kota

industri batu bara Sawahlunto.

Pembangunan kota dengan

berbagai infrastruktur modern

melahirkan lompatan ruang-waktu,

tetapi juga mengendapkan persoalan

menyangkut pengerahan ribuan buruh

paksa, khususnya dari tanah Jawa.

Istilah kriminalisasi manusia dengan

didasari alasan yang tidak jelas,

bermula di sini, yakni pada kebutuhan

untuk menciptakan limpahan tenaga

kerja sebagai daya dukung utama

industri pertambangan.

Batu bara, di era yang disebut

’Abad Mesin Uap’, menjadi komoditas

penting. Sejalan dengan revolusi

industri dan penemuan mesin uap pada

abad ke-18 di wilayah Eropa Barat,

penggunaan batu bara sebagai sumber

energi telah mendorong usaha

pencarian deposit batu bara. Penemuan

dan pembukaan tambang batu bara di

wilayah Ombilin, berdasarkan

penelitian dan eksploitasi yang

dilakukan oleh pemerintah kolonial

pada tahun 1871, dianggap

menguntungkan untuk memasok

kebutuhan batu bara bagi kebutuhan

bahan bakar mesin uap di dunia industri

pada masa itu. Informasi lebih lanjut,

lihat Erwiza Erman ( 2005: 23-54)

dalam Sawahlunto: Sebuah Warisan

Untuk Masa Depan (Transformasi dan

Elsa Putri E. Syafril, Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto

89

Konservasi Sebuah Kota Tambang)

(2005: 6).

Ia berada di balik gerak kapal-

kapal uap dan lokomotif yang menderu

dan mebelah tanah-tanah jajahan. Ia

adalah si ’emas hitam’, bagian dari

kemolekan sang ’Ratu dari Timur’

(Koningin von het Oosten). Oleh karena

itu, masuk akal jika Negara Pusat mau

berinvestasi besar untuk pembangunan

infrastruktur dengan melakukan praktik

dehumanisasi di sisi yang lain demi

janji keuntungan di balik eksplorasi

batu bara.

Berawal dari sini, konsepsi

tentang ’kita’, satu nation pun

terbangun. Batu bara tidak berhenti

sebatas kepentingan monopoli dan

akumulasi keuntungan kolonial, tetapi

juga menjadi awal sejarah pengendapan

konsepsi tentang ’kita’. Nation ’kita’

ini adalah terminologi satu kolektif dari

orang-orang yang disatukan di struktur

dasar kolonial. Mereka yang berasal

dari berbagai tempat di Pulau Jawa dari

sejumlah pulau lainnya, seperti

Madura, Bali, dan Sulawesi, baik dalam

status buruh kontrak maupun buruh

paksa, ditemukan dalam kategori bukan

sebagai warga kota. Data

kependudukan di tahun 1918

menyebutkan jumlah penduduk

Sawahlunto 7.367. anehnya, data

kependudukan di tahun 1918 itu tidak

menyertakan jumlah para pekerja

tambang sebagai bagian dari penduduk

Kota Sawahlunto(?). Padahal, mengacu

pada penelitian yang dilakukan

Zaiyardam Zubir (2006), pada tahun

1918, jumlah pekerja tambang

mencapai 5.197 orang terdiri dari buruh

paksa 3.250 dan buruh kontrak 1.947,

dan tidak termasuk buruh bebas yang

jumlahnya mencapai 2.800 orang.

Artinya, jumlah buruh paksa dan

kontrak jauh lebih banyak

dibandingkan jumah orang Eropa yang

hanya 390 orang pada tahun yang sama.

Namun, mengapa mereka tidak

dimasukan dakam data kependudukan?

Apakah mereka sebagai satu kelompok

sosial sengaja diisolasi dan dianggap

absen?

Berdasarkan data di tahun 1918,

ada 3.250 buruh paksa yang mereka

dinamai ’rang rante’ (kettingganger),

sejenis forced worker, hidup dalam

kondisi perantaian. Salah satu tempat

yang dijadikan penampungan para

pekerja dengan stempel ’huruf dan

angka’ itu adalah penjara Sunge Duren.

Penjara ini sudah ditumbuhi ilalang, di

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

90

sisa-sisa dinding penjara masih bisa

dilihat paku, pecahan batu bara yang

tajam, dan pecahan beling ditempel.

Tujuannya jelas, pertikaian dan

perkelahian antarsesama buruh paksa

yang datang dari beragam etnik itu akan

berujung pada kematian, hanya mereka

yang ’sakti’lah yang akan bertahan.

Kondisi mereka mungkin lebih

buruk dari kaum pekerja paksa di

Karibia atau budak-budak Afrika yang

dipekerjakan di California atau

perkebunan di Brasil. Kondisi

perantaian dapat berarti denotatif, juga

konotatif. Penanda kondisi perantaian

ini ialah stempel di pergelangan tangan

kiri sebelah dalam. Stempel berupa

’huruf dan angka’ menjadi satu-satunya

penanda identitas mereka yang berada

dalam kondisi perataian. Bahkan, di

nisan mereka hanya ditulis identitas

berupa ’hurup dan angka’ itu. Batu-

batu nisan bertulis ’huruf dan angka’

banyak ditemui di Kota Sawahlunto.

Salah satu yang dapat dilihat adalah

batu nisan berukuran kecil, seperti

pancang tanah, ditulis keterangan ’S’ di

bawahnya angka ’907’. Tidak ada

sumber rujukan, atau arsip yang bisa

menjawab siapakah yang berada di

balik keterangan ’S-907’. Arsip

kolonial barangkali satu-satunya

sumber yang bisa menjawab ’rahasia’

impersonaliti ini.

Sedulur sebagai Akar

Di bawah kekuasaan yang

penuh kontrol dan pengawasan, dan di

dalam situasi sosial yang sengaja dibuat

terkotak-kotak, Sawahlunto justru

memproduksi konsepsi tentang ’kita’

sebagai nation yang melampaui

zamannya. Proses menjadi ’kita’ jelas

tidak mudah di tengah situasi sosial

yang dikotak-kotakan, sengaja dipecah-

belah, dan disuntikan pandangan rasial

satu-sama lain. Apa acuan nilai yang

membuat proses menuju ’kita’ itu

berlangsung di masyarakat

pertambangan Sawahlunto?

Pertanyaan tersebut mulai

terjawab. Di Sawahlunto ada lubang

tambang koridor horizontal yang

dinamai Lobang Mbah Suro. Penamaan

ini agaknya mengacu pada cerita lisan

tentang salah satu tokoh yang disegani,

baik oleh sesama pekerja tambang

maupun pihak pengawas kolonial di

daerah pusat kota lama. Lubang

tambang ini pernah ditutup oleh

Pemerintah Kolonial Belanda, saat ini

Elsa Putri E. Syafril, Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto

91

dibuka kembali dan menjadi salah satu

ikon wisata kota Sawahlunto.

Namun siapakah mbah Suro ini

tidak ada penjelasan lebih jauh.

Penjelasan itu justru saya temukan di

Blora dan Pati.2

Pertemuan saya dengan

Lek Tejo dari Dusun Kemantren, Lek

Salim dari Dusun Tambak, Sumber,

Lek Komari dari Dusun Balong,

Kamituwo Desa Sumber, Mbah Kasbi

di Dusun Tambak, Lek Sariban di

Dusun Tanduran, dan beberapa orang

Samin di Sukolilo, Pati menyebutkan

bahwa Samin Surosentiko disélong ke

Sawahlunto bersama beberapa

pengingkutnya. Informasi ini diperkuat

oleh foto yang mereka miliki yang juga

pernah saya lihat di arsip foto kota

Sawahlunto. Mereka mengenali salah

seorang di foto tersebut sebagai Singo

Tirto, salah satu pengikut Samin

Surosentiko yang ikut dibuang ke

Sawahlunto.

Dari dua tempat ini, ada

informasi mengenai Samin Surosentiko

bersama delapan pengikutnya yang

disélong (dibuang) ke Sawahlunto pada

2Untuk riset di Blora dan komunitas Samin,

saya ucapkan terima kasih pada FIB UGM yang

berkenan memfasilitasi riset ”Tuturan Samin”

dan khusus kepada Dr. Suhandano yang sudah

bersama melakukan kerja penelitian.

tahun 1907. Ada banyak versi

berkenanan tempat Samin Surosentiko

dibuang, versi masyarakat di Pati

dikatakan ia dibuang ke Sawahlunto;

menurut Titi Mumfangati, dkk. (2004),

Samin dibuang ke Padang, sementara

M.C. Ricklefs (2005), menyebut Samin

Surosentiko dibuang ke Palembang.

Penjelasan lebih jauh mengenai Gerakan Samin

dapat dilihat dalam Suripan Sadi Hutomo

(1996).

Alasan penangkapan dan

pembuangan Samin dan beberapa

pengikutnya ke Sawahlunto terkait

sikap antikolonial yang diwujudkan

lewat gerakan menolak menyetor padi

ke lumbung desa, menolak membayar

pajak, dan menolak mengandangkan

sapi dan kerbau mereka, dan

diangkatnya Samin Surosentiko oleh

pengikutnya menjadi ratu adil dengan

gelar Prabu Panembahan Suryangalam.

Tanggal 8 November 1907, Ki Samin

diangkat oleh pengikutnya menjadi ratu

adil dengan gelar Prabu Panembahan

Suryangalam, yang 40 hari kemudian,

Ndoro Seten (Asisten Wedana, Camat)

Randublatung, Raden Pranala,

menangkap dan menahannya di bekas

tobong, tempat pembakaran batu

gamping. Ia kemudian dibawa ke

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

92

Rembang, diinterogasi, dan bersama 8

pengikutnya dibuang ke luar Jawa,

tepatnya Sumatera dengan tuduhan

penghasutan dan pendurhakaan.

Penjelasan lebih jauh lihat Suripan Sadi

Hutomo, op. cit.

Koneksitas sosok mbak Suro

yang dikenal di Sawahlunto dengan

keberadaan Samin Surosentiko yang

(dikatakan) dibuang ke Sawahlunto

jelas terlihat. Masyarakat Samin

meyakini Samin Surosentiko dibuang

ke Sawahlunto. Selain bukti foto ‘Singo

Tirto’ dan cerita lisan masyarakat

Samin tentang Samin Surosentiko yang

dibuang ke Sawahlunto, seorang

perempuan Samin di Sukolilo, Gunarti,

bercerita bahwa beliau “bermimpi”

bertemu leluhurnya yang mengatakan

tentang 9 wilayah sebaran Samin,

termasuk salah satunya Sawahlunto.

Namun, Identifikasi tentu sulit

dilakukan akibat arsip kolonial

mengenai riwayat para buruh paksa

belum dibuka. Identitas personal para

buruh paksa yang hanya berupa ’huruf

dan angka’ juga menyulitkan kita untuk

membuka riwayat personal mereka

yang dituduh ’penghasutan dan

pendurhakaan’ tersebut, baik mayoritas

yang datang dari Pulau Jawa maupun

dari pulau-pulau lain di Indonesia.

Ikatan kolektivitas masyarakat

Indonesia sangat menekankan

pentingnya asal-usul. Setiap keluarga di

Indonesia akan merekam jejak leluhur

dan asal-usul mereka, baik

menuliskannya dalam pohon silsilah

keluarga atau sebatas pewarisan secara

lisan. Tradisi mudik lebaran, sebagai

contoh, merupakan manifestasi dari

pentingnya pertalian sejarah dan tanah

asal itu. Hal inilah yang tidak dimiliki

masyarakat Sawahlunto, khususnya

keturunan buruh paksa. Bagi yang

merasa dari Jawa, anak-keturunan

mereka hanya tahu ’datang dari Jawa’,

tetapi persis di mana, mereka tidak

mengetahuinya. Identitas yang lebih

jauh, menyangkut ranji kelurga jelas

lebih sulit dilacak. Hal ini tergambar

dari kisah Pak Ismet, wakil walikota

Sawahlunto, tentang sejarah dirinya.

Identifikasi kebudayaan menjadi

strategi lain guna melihat koneksitas

tersebut. Seperti disebut di atas, kondisi

perantaian serta dalam situasi absen,

justru konsepsi ’kita’ sebagai nation itu

lahir. Karateristik nation di Sawahlunto

dibentuk oleh pertemuan antarmereka

dalam ketegori one down dan

antarmereka dengan tuan Putih yang

Elsa Putri E. Syafril, Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto

93

disebut one up. Pertemuan yang selain

diwarnai segregasi dan diferensiasi,

juga hibridisasi tak tersadari.

Kesenian dan Budaya Hibrida

sebagai Petunjuk

Narasi pertemuan keberbagaian

itu masih tersaji di Sawahlunto sampai

hari ini. Jejeran rumah tansi, Goedang

Ransoem, bekas gedung societeit,

rumah-rumah berarsitektur Eropa dan

pecinan, terowongan dan rel kereta

telah melahirkan kebudayaan campuran

seperti terlihat pada bahasa, kesenian,

dan kuliner.

Dulu, di societeit, digelar toneel

yang cuma bisa diintip para buruh dari

ruang gelap mereka. Di goedang, aula

lepas yang acap jadi tempat pertemuan

buruh, pertunjukan yang mirip toneel

dilahirkan. Pertunjukan itu hadir dalam

penamaan ’tonel’, tetapi ia bukan toneel

melainkan campuran antara sandiwara,

ketoprak, ronggengan, dan slogan

kebangsaan. Kesenian seperti tonel

merepresentasikan siasat kebudayaan

dalam situasi kolonial.

Hal yang sama terlihat di

kesenian ’jalan kepang’ (bukan ’jaran

kepang’ sebagaimana di kenal di Jawa

Tengah). Jalan kepang Sawahlunto

merupakan percampuran dari

pertunjukan jaran kepang, barongsai,

dan barongan tanpa mementingkan

narasi, tetapi lebih pada performance.

Ia seperti ekspresi keterlepasan kolektif

dan respon kreatif atas kekuasaan.

Situasi yang sama terekam jelas

pada bahasa Tansi yang ada di

Sawahlunto. Bahasa Tansi menjadi

’bank dari ingatan orang-orang’ yang

tidak bisa dihapus oleh migrasi sosial,

atau pun status sebagai ’orang

buangan’. Bahasa ini lahir di tansi-

tansi itu, tempat para buruh tambang

menjalani kehidupan sosial yang

timpang dan selalu dalam kontrol.

Namun, dibandingkan di lokasi kerja

dengan sistem kerja pengelompokan

didasari kategori dan etnis, di tansi

interaksi sosial antar buruh jauh lebih

terbuka. Tansi pun menjadi ruang

sosio-kultural bagi mereka yang

menghuni bottom level di dalam waktu

colonial itu.

Mereka yang berasal dari

berbagai etnik, bangsa, dan kategori

menjalin komunikasi, mulai dari yang

sederhana sifatnya, sampai ke yang

lebih kompleks. Di sinilah lahir satu

’bahasa’ berterima dan dipahami

bersama. Bahasa itu, oleh anak-

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

94

keturuan buruh tambang batu bara

Sawahlunto, dinamai sebagai bahasa

(kreol) Tansi, berasal dari campuran

(mixture) beberapa bahasa asal buruh

tambang seperti Minangkabau, Jawa,

Cina, Madura, Sunda, Bugis, Bali, dan

Batak, dengan bahasa Melayu menjadi

bahasa dasar.

Kembali ke pertanyaan di atas:

apa acuan nilai yang membuat proses

menuju ’kita’ itu seperti berlangsung

alami? Jawabannya ialah pada kata

’sedulur’. Di Sawahlunto, kata

’sedulur’ dikenal, tidak sekadar

mengacu ke pertalian darah, tetapi satu

cara pandang memaknai pihak lain

yang diposisikan sama dan sederajat,

diikat oleh rasa kedekatan dan

kekerabatan.

Semangat sedulur itu menjadi

nilai dasar masyarakat Sawahlunto.

Saat melakukan riset bahasa Tansi di

Sawahlunto, saya mendapatkan cerita

menarik tentang bagaimana interaksi

sosial antar pedagang yang berbeda

etnik di Pasar Sapan sekitar awal 80-an.

Laku sedulur hidup di tengah interaksi

sosial-ekonomi para pedagang, seperti

cerita penjual pecel yang

membungkuskan pecel dagangannya

untuk pedagang yang lain, sebagai

ganti ia mendapatkan cabe, bada (teri),

dan beras dari para pedagang yang lain.

Saat mengunjungi rumah Alm. Pak

Jenayak di Tansi Gunung, saya

mendapatkan tradisi penyambutan yang

sama seperti saat mengunjungi Lek

Tejo, Lek Salim, dan komunitas Samin

di Sukolilo. Setiap tamu yang datang

disambut dan dijamu seperti seludur,

dihidangkan makan dengan sajian

terbaik yang mereka miliki. Hal yang

menarik lain yang saya temui, di tengah

wawancara saya dengan Alm. Pak

Jenayak, kami disela oleh kedatangan

seorang perempuan yang tinggal di luar

Tansi dan beretnik Minang. Perempuan

itu meminta Pak Jenayak membuatkan

parang untuk berladang. Pak Jenayak

yang berprofesi sebagai pembuat

loyang (tukang besi) menyanggupi dan

sebagai gantinya kepada perempuan itu,

Pak Jenayak meminta dibawakan

segandok (dua kelapa yang diikat jadi

satu) untuk istrinya membuat lontong.

PENUTUP

Narasi pertemuan keberbagaian

itu masih tersaji di Sawahlunto sampai

hari ini. Jejeran rumah tansi, Goedang

Ransoem, bekas gedung societeit,

rumah-rumah berarsitektur Eropa dan

Elsa Putri E. Syafril, Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto

95

pecinan, terowongan dan rel kereta

telah melahirkan kebudayaan campuran

seperti terlihat pada bahasa, kesenian,

dan kuliner.

Dulu, di societeit, digelar toneel

yang cuma bisa diintip para buruh dari

ruang gelap mereka. Di goedang, aula

lepas yang acap jadi tempat pertemuan

buruh, pertunjukan yang mirip toneel

dilahirkan. Pertunjukan itu hadir dalam

penamaan ’tonel’, tetapi ia bukan toneel

melainkan campuran antara sandiwara,

ketoprak, ronggengan, dan slogan

kebangsaan. Kesenian seperti tonel

merepresentasikan siasat kebudayaan

dalam situasi kolonial.

Hal yang sama terlihat di

kesenian ’jalan kepang’ (bukan ’jaran

kepang’ sebagaimana di kenal di Jawa

Tengah). Jalan kepang Sawahlunto

merupakan percampuran dari

pertunjukan jaran kepang, barongsai,

dan barongan tanpa mementingkan

narasi, tetapi lebih pada performance.

Ia seperti ekspresi keterlepasan kolektif

dan respon kreatif atas kekuasaan.

Situasi yang sama terekam jelas

pada bahasa Tansi yang ada di

Sawahlunto. Bahasa Tansi menjadi

’bank dari ingatan orang-orang’ yang

tidak bisa dihapus oleh migrasi sosial,

atau pun status sebagai ’orang

buangan’. Bahasa ini lahir di tansi-

tansi itu, tempat para buruh tambang

menjalani kehidupan sosial yang

timpang dan selalu dalam kontrol.

Namun, dibandingkan di lokasi kerja

dengan sistem kerja pengelompokan

didasari kategori dan etnis, di tansi

interaksi sosial antar buruh jauh lebih

terbuka. Tansi pun menjadi ruang

sosio-kultural bagi mereka yang

menghuni bottom level di dalam waktu

colonial itu.

Mereka yang berasal dari

berbagai etnik, bangsa, dan kategori

menjalin komunikasi, mulai dari yang

sederhana sifatnya, sampai ke yang

lebih kompleks. Di sinilah lahir satu

’bahasa’ berterima dan dipahami

bersama. Bahasa itu, oleh anak-

keturuan buruh tambang batu bara

Sawahlunto, dinamai sebagai bahasa

(kreol) Tansi, berasal dari campuran

(mixture) beberapa bahasa asal buruh

tambang seperti Minangkabau, Jawa,

Cina, Madura, Sunda, Bugis, Bali, dan

Batak, dengan bahasa Melayu menjadi

bahasa dasar.

Kembali ke pertanyaan di atas:

apa acuan nilai yang membuat proses

menuju ’kita’ itu seperti berlangsung

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

96

alami? Jawabannya ialah pada kata

’sedulur’. Di Sawahlunto, kata

’sedulur’ dikenal, tidak sekadar

mengacu ke pertalian darah, tetapi satu

cara pandang memaknai pihak lain

yang diposisikan sama dan sederajat,

diikat oleh rasa kedekatan dan

kekerabatan.

Semangat sedulur itu menjadi

nilai dasar masyarakat Sawahlunto.

Saat melakukan riset bahasa Tansi di

Sawahlunto, saya mendapatkan cerita

menarik tentang bagaimana interaksi

sosial antar pedagang yang berbeda

etnik di Pasar Sapan sekitar awal 80-an.

Laku sedulur hidup di tengah interaksi

sosial-ekonomi para pedagang, seperti

cerita penjual pecel yang

membungkuskan pecel dagangannya

untuk pedagang yang lain, sebagai

ganti ia mendapatkan cabe, bada (teri),

dan beras dari para pedagang yang lain.

Saat mengunjungi rumah Alm. Pak

Jenayak di Tansi Gunung, saya

mendapatkan tradisi penyambutan yang

sama seperti saat mengunjungi Lek

Tejo, Lek Salim, dan komunitas Samin

di Sukolilo. Setiap tamu yang datang

disambut dan dijamu seperti seludur,

dihidangkan makan dengan sajian

terbaik yang mereka miliki. Hal yang

menarik lain yang saya temui, di tengah

wawancara saya dengan Alm. Pak

Jenayak, kami disela oleh kedatangan

seorang perempuan yang tinggal di luar

Tansi dan beretnik Minang. Perempuan

itu meminta Pak Jenayak membuatkan

parang untuk berladang. Pak Jenayak

yang berprofesi sebagai pembuat

loyang (tukang besi) menyanggupi dan

sebagai gantinya kepada perempuan itu,

Pak Jenayak meminta dibawakan

segandok (dua kelapa yang diikat jadi

satu) untuk istrinya membuat lontong.

KEPUSTAKAAN

Amin, Samir. 2009. World Poverty,

Pauperization, and Capital

Accumulation, dalam Social

Change. Brattleboro, VT: SIT

Graduate Institute.

Asoka, Andi, et al. 2005. Sawahlunto

Dulu, Kini, dan Esok:

Menyongsong Kota Wisata

Tambang yang Berbudaya.

Padang: Pusat Studi

Humaniora Universitas

Andalas.

Erman, Erwiza. 2005. Membaranya

Batubara: Konflik Kelas dan

Etnik Ombilin—Sawahlunto—

Sumatra Barat (1892—1996).

Depok: Desantara.

Hutomo, Suripan Sadi. 1996. Tradisi

dari Blora. Semarang:

Penerbit Citra Almamater.

Pemerintah Daerah Kota Sawahlunto.

2005. Sawahlunto, Kota

Elsa Putri E. Syafril, Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto

97

Wisata Tambang yang

Berbudaya Tahun 2020.

Sawahlunto: Pemda Kota

Sawahlunto.

Ricklefs, M. C. 1981. A History of

Modern Indonesia (terj.

Sejarah Indonesia Modern

oleh Dharmono

Hardjowidjono, 2005).

Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Syafril, Elsa Putri E., 2011. Menggali

Bara, Menemu Bahasa:

Bahasa Kreol Buruh dari

Sawahlunto. Yogyakarta:

Pemerintah Kota Sawahlunto.

Utama, Edi (ed.). 1998. Sejarah

Perjuangan Rakyat

Sawahlunto: Perlawanan

Terhadap Penjajah dan

Menegakkan Revolusi

Kemerdekaan 1945—1949.

Sawahlunto: DHC Angkatan

45 Kodya Sawahlunto dan

Pemda Kodya Sawahlunto.

Zubir, Zaiyardam. 2006. Pertempuran

Nan Tak Kunjung Usai:

Eksploitasi Buruh Tambang

Batu Bara Ombilin oleh

Kolonial Belanda 1891—1927.

Padang: Andalas University

Press.

98

SENI KERAJINAN BORDIR

HJ.ROSMA:

FUNGSI PERSONAL DAN FISIK

RanelisProdi Seni Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Desain

Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang

[email protected]

ABSTRAKKerajinan bordir Hj. Rosma terdapat di Ampek Angkek Canduang, sebuah nagari

di kabupaten Agam Sumatra Barat yang merupakan salah satu daerah sentra seni

kerajinan bordir yang sedang tumbuh dan berkembang. Kegiatan membordir

merupakan kegiatan perekonomian yang selain memiliki fungsi personal yaitu

ekspresi dari Hj. Rosma dalam membuat motif-motif baru yang cantik dan

menarik, dan memiliki fungsi fisik. Seni kerajinan bordir Hj. Rosma sebagai

salah satu bentuk budaya tradisional berawal dari memproduksi perlengkapan

rumah tangga yang berkembang menjadi produk fasion. Corak ragam hias yang

terdapat pada bordiran Hj. Rosma adalah motif tumbuh-tumbuhan dalam bentuk

bunga mawar, melati, kaluak paku dan motif geometris. Produk yang dihasilkan

Rosma diantaranya adalah: mukenah, jilbab, baju kurung dan kebaya. Semua itu

menunjukkan kemampuan Rosma dalam menciptakan ragam hias yang diilhami

dari konsep “alam takambang jadi guru”. Nilai-nilai keindahan kain bordir

secara visual bisa dilihat dari bentuk ragam hias yang ditampilkan, maupun dari

fungsi kain bordir yang dihasilkan.

Kata kunci: bordir Hj. Rosma, motif, fungsi

ABSTRACTHj Rosma embroidery craft located in Ampek Angkek Canduang, the name of a

village in Agam regency of West Sumatra, one of the central areas where

embroidered art is growing and developing. Activities embroidery is a function of

economic activity in addition to having the personal expression of Hj. Rosma in

creating new motifs that are beautiful and attractive, and has a physical function.

Embroidery craft Hj Rosma as one of the traditional culture, which began

producing household items developed into products of fasion. Decorative pattern

contained in embroidery Hj. Rosma are motifs of plants in the form of roses,

jasmine, florals nails and geometric motifs. Florals nails and geometric motifs

are always used in embroidery products. The resulting product of Rosma is:

mukenah, jilbab, baju kurung and kebaya. All that demonstrates the ability to

create decorative Rosma inspired from the concept of "wide open nature is a

teacher". Values visually beautiful embroidered fabrics can be seen from the

form of decoration that is displayed, and from the resulting embroidery fabric

functions.

Keywords: embroidery Hj. Rosma, patterns, functions

Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik

99

PENDAHULUAN

Keahlian membuat barang seni

kerajinan, secara sosial mulai

diperlukan seiring dengan

perkembangan orientasi atau

kekhususan pekerjaan sehari-hari yang

semakin beragam jenisnya (Rohidi,

2000: 197). Seseorang berkarya karena

mempunyai tujuan bahwa hasilnya

dapat menunjang kehidupannya. Usaha

itu berkaitan dengan aktivitas yang

dilakukan para perajin salah satunya

adalah para perajin bordir yang ada di

Sumatera Barat. Seni kerajinan bordir

merupakan salah satu ekspresi budaya

Minangkabau, sekaligus menjadi

kekuatan sosial ekonomi bagi

masyarakat setempat yang mampu

menunjang kepariwisataan di Sumatra

Barat.

Istilah bordir identik dengan

menyulam karena kata bordir diambil

dari istilah Inggris embroidery (im-

broide) yang artinya sulaman. Bordir

dapat juga didefenisikan sebagai ragam

hias untuk asesoris berbagai busana

yang menitikberatkan pada keindahan

dan komposisi warna benang pada

berbagai medium kain, dengan alat

bantu seperangkat mesin jahit bordir

atau mesin jahit komputer (Suhersono,

2007: 6).

Salah satu penghasil seni

kerajinan bordir yang telah lama

berkembang di Sumatera Barat adalah

kerajinan bordir Hj. Rosma di IV

Angkek Canduang Bukittinggi.

Kerajinan bordir Hj. Rosma ini tidak

hanya terkenal di tingkat kabupaten dan

kotamadya Bukittinggi saja namun

sudah sampai ke Mancanegara seperti

Malaysia, Singapura, Brunai

Darussalam, Arab Saudi dan negara

lainnya (Ramli, 1995: 7).

Produk yang dihasilkan Hj

Rosma bermacam-macam seperti

mukenah, jilbab, baju kurung,

selendang, alas gelas, tutup dispenser

dan lain sebagainya. Motif dan teknik

bordir yang ditampilkan mempunyai

ciri khas tersendiri, dimana kerajinan

bordir Hj. Rosma sering kali memakai

motif yang diambil dari alam berupa

motif tumbuh-tumbuhan seperti bunga

melati, bunga Ros dan lain sebagainya.

Hj Rosma dalam menghias produk

yang dihasilkannya dengan teknik suji

cair dan teknik bordir kerancang

Penempatan benangnya dijahit dengan

cara gradasi warna yang dimulai dari

warna yang tua ke warna yang muda.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

100

Sehingga membedakan hasil

bordirannya dengan perajin bordir yang

lain.

Secara kuantitas dan kualitas

produk seni kerajinan bordir Hj. Rosma

mengalami perkembangan dan

merupakan dampak dari kreativitas

serta aktivitas yang berasal dari

pengaruh internal maupun eksternal,

yang secara langsung maupun tidak

langsung mempengaruhi percepatan

laju pertumbuhan sentral kerajinan

tersebut. Kerajinan bordir Hj. Rosma

telah mendapat pengaruh banyak dari

luar, baik lewat konsumen, pemesan

maupun pembinaan dari instansi

lainnya, sehingga muncul desain-desain

baru baik dari segi bentuk ataupun

motif yang ditampilkan.

Berdasarkan penjelasan dari

latar belakang di atas penulis tertarik

untuk mengkaji lebih mendalam

tentang seni kerajinan bordir Hj. Rosma

yang terdapat di daerah IV Angkek

Canduang Bukittinggi salah satu

daerah sentral kerajinan bordir yang

sedang berkembang di Sumatra Barat.

Studi ini mengenai desain produk,

motif, teknik, dan fungsi dari produk

itu sendiri.

PEMBAHASAN

Produk, Motif Dan Proses Produksi

Bordir Hj. Rosma

Seni kerajinan bordir Hj Rosma

merupakan cerminan ungkapan cita

rasa estetik dalam bentuk benda

fungsional, yang proses pembuatannya

didukung oleh kemampuan,

keterampilan, pengalaman, dan

kecakapan teknis yang bertujuan untuk

pemenuhan kebutuhan hidup. Berbagai

upaya dilakukan untuk menghasilkan

produk seni kerajinan yang unik,

berkarakter, dan artistik. Sedikit

sentuhan penambahan ornamen atau

motif pada bordiran menambah nilai

estetik tanpa mengurangi nilai sebagai

benda pakai sehingga mempermudah

mengenali asal dari produk tersebut

dengan ciri khas dari motif bordir yang

dihasilkan.

Seni kerajinan bordir Hj. Rosma

adalah kelompok benda pakai atau

benda fungsional yang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari. Produk

bordir yang dihasilkan Hj. Rosma

antara lain mukena, jilbab, selendang,

alas meja, tatakan gelas, tas, baju

kurung, baju kebaya dan sarung bantal

kursi.

Ranelis, Seni Kerajinan Bord

Gambar 1Bantalan kursi dengan motif

pucuak rabuang dan kaluak p

teknik suji penuh dan teknik

(Foto: Nel, 20

Gambar 2Jilbab dengan motif bung

mawar, bunga anggrek

dan kaluak paku teknik su

kerancang

(Foto: Desi Trisnaw

Gambar 3Mukenah menggunakan mo

ketupat, lingkaran teknik

kerancang

(Foto: Desi Trisnaw

ordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik

1.otif kuciang lalok,

k paku menggunakan

ik bordir kerancang

2012)

2.nga melati, bunga

rek, geometris

suji cair dan bordir

ng

awati, 2012)

3.otif saik ajik/belah

nik suji cair, dan

ng

wati, 2012)

Gambar 4.Baju kebaya panjang motif bunga

dan kaluak paku

(Foto: Desi Trisnawati, 20

Merancang motif bor

terlepas dari hubungan antar

yang punya cita rasa keindaha

desain. Membuat menarikny

produk diawali dengan desa

itu dalam merancang mot

diperlukan tenaga khusus

menangani desain motif bordi

Manusia dalam hidupny

menuntut dua nilai sekaligus;

nilai jasmaniah yang be

dengan kenyamanan pakai, da

nilai rohaniah yang m

kedekatan dengan keindahan

101

a melati,daun

2012)

bordir tidak

ntara manusia

ndahan dengan

iknya suatu

sain. Untuk

otif bordir

khusus yang

bordir tersebut.

upnya selalu

us; pertama,

berhubungan

, dan kedua,

mempunyai

han. Untuk

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

102

memenuhi semua itu peran desain

dalam merancang motif bordir sangat

diperlukan sekali. Desain merupakan

bentuk rumusan dari suatu proses

pemikiran, yang dituangkan dalam

wujud gambar sebagai pengalihan

gagasan konkret perancangnya.

Klasifikasi motif yang terdapat pada

kerajinan bordir antara lain:

1. Motif naturalis, yaitu motif yang

mempunyai kedekatan dengan

wujud aslinya, contohnya bunga,

daun, rumput dan yang lainnya.

2. Motif dekoratif, merupakan

perwujudan bentuk yang terdapat

di alam dan kedamaian, Dekoratif

berarti membuat keindahan.

Motif dekoratif ini lebih banyak

bersifat menghias, dimana irama

garis, titik, warna, bentuk dan

susunan yang harmonis sangat

diutamakan. Bentuk asli dapat

dirobah dan dikembangkan

kedalam bentuk yang lebih

menarik atau distilirkan

3. Motif geometris, adalah

pembagian bidang kain yang akan

diberi motif bordir secara teratur,

dapat disebut sebagai sifat dari

karakteristik bagi tiap motif

(wachid, 1997: 123-124).

Kerajinan bordir Hj. Rosma

dalam membuat desain motif bordirnya

dia lakukan sendiri. Penempatan motif

pada produk yang dihasilkan Rosma

disesuaikan dengan unsur-unsur seni

rupa yaitu kesatuan, keseimbangan,

irama dan penekanan. Seperti yang

dikemukan oleh Iswendi (2002: 8)

dalam menentukan komposisi desain

ragam hias bordir yang terpenting

dipertimbangkan adalah kesatuan

(unity), keseimbangan (balance), irama

(ritme) dan penekanan (accentuation).

Jenis motif bordir yang banyak

digunakan di industri kerajinan Hj.

Rosma adalah jenis motif tumbuh-

tumbuhan dan geometris. Motif

tumbuh-tumbuhan ini umumnya terdiri

dari motif daun, bunga, dan buah.

Bentuk motif yang dihasilkan Hj.

Rosma lebih memberikan kesan

perulang-ulangan seperi motif bunga

melati yang terdapat pada mukenah dan

pada produk lainnya. Kadangkala motif

dapat dibuat secara tersendiri dan dapat

juga dibuat secara berjajaran, serta

adapula yang saling melengkapi. Motif

tumbuh-tumbuhan ini sering pula

dihubungkan dengan membuat akar

yang halus. Susunan motifnya ada yang

berlapis dan ada pula yang berselang-

Ranelis, Seni Kerajinan Bord

seling dengan motif la

dibuat Hj. Rosma

bermacam-macam

keinginan konsumen jik

bunga dengan ukuran ke

motif bunga yang be

sebaliknya jika konsum

motif yang besar maka

bunga dengan ukuran be

motif tumbuh-tumbuha

dengan jenis dari daun, b

yang menyerupai be

(Zulhelman, 2001: 83).

Motif tumbuh-

pada umumnya digunaka

produk yang dihasilka

berupa bunga, daun, da

ini biasanya ditempatka

pinggir bawah baju k

bawah baju kurung,

selendang, dan produk la

ordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik

lain. Motif yang

ma ukurannya

tergantung

jika musim motif

kecil maka dibuat

berukuran kecil,

umen lebih suka

aka dibuat motif

n besar. Penamaan

buhan disesuaikan

, bunga dan buah

bentuk tersebut

).

buh-tumbuhan ini

unakan untuk semua

lkan Hj. Rosma

dan buah. Motif

tkan pada bagian

u kurung, lengan

, pada pinggir

oduk lainnya.

Gambar 5motif bunga matahari, melati dan k

ditempatkan pada baju kur

bagian pinggir bawah

(Foto: Hj. Rosma: 2012

Gambar 6motif bunga anggrek, melati dan k

pada mukenah bagian pinggir

(Foto: Hj. Rosma: 2012

Gambar 7motif bunga melati dan geometris

pada jilbab atau selendang se

(Foto: Hj. Rosma: 2012

103

n kaluak paku

urung

h

12)

n kaluak paku

ir bawah

12)

is ditempatkan

segi tiga

12)

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16

Gambar 8motif bunga melati, daun k

geometris ditempatkan pada

(Foto: Hj. Rosma

Fungsi Personal Dan F

Kerajinan Bordir Hj.R

Suatu benda dika

benda seni karena m

fungsi selain benda pak

benda hias. Dapat dicon

baju kebaya, benda t

dengan berbagai maca

ditempatkan pada ujun

pada bagian depan dan

baju kebaya. Benda seni

yang dibuat untuk

keindahan. Feldman

bahwa kehidupan

berlangsung untuk m

kebutuhan-kebutuhan

tentang ekspresi pribadi,

kebutuhan sosial unt

display, perayaan, dan k

16, No. 1, Juni 2014

8n kaluak paku dan

da dada baju kurung

a: 2012)

Fungsi Fisik

.Rosma

dikatakan sebagai

mempunya dua

akai juga sebagai

contohkan seperti

tersebut dihiasi

cam motif yang

jung lengan dan

dan pinggir bawah

eni adalah benda

untuk memenuhi

n menyebutkan

seni terus

memuaskan: (1)

individu kita

di, (2) kebutuhan-

untuk keperluan

n komunikasi, dan

(3) kebutuhan-kebutuhan

mengenai barang-barang

bangunan-bangunan yang be

Dari kebutuhan-kebutuhan

kemudian mengidentifikasi

fungsi dari seni, yakni: (

personal (personal function of

fungsi sosial (the social functi

dan (3) fungsi fisik (the

function of art) (Feldman, 1967:

Namun, dari ketiga fungsi

seperti yang diungkapkan Fe

dalam mengkaji fungsi seni

bordir Hj. Rosma hanya di

pada fungsi personal dan fung

1. Fungsi personal

Fungsi personal se

kebutuhan individu adalah

ekspresi pribadi. Seni seb

ekspresi pribadi tidak terb

ilham saja, tidak se

berhubungan dengan emos

tetapi seni juga me

pandangan pribadi tentang

dan objek umum dalam kehi

situasi kemanusiaan yang

misalya, cinta, perayaan dan s

terulang secara tetap, seba

dalam seni, namun tema-tem

dibebaskan dari kebiasa

104

n fisik kita

ng dan

bermanfaat.

n itu, ia

si sejumlah

(1) fungsi

on of art), (2)

unction of art),

the pshycal

1967: 2-3).

si kesenian

Feldman itu,

ni kerajinan

difokuskan

ungsi fisik.

seni dalam

lah tentang

sebagai alat

rbatas pada

semata-mata

osi pribadi,

mengandung

ng peristiwa

hidupan dan

mendasar,

n sakit, yang

sebagaimana

ma ini dapat

saan oleh

Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik

105

komentar-komentar pribadi yang secara

unik ditampilkan oleh seniman

Feldman (terjemahan Gustami, 1991: 4-

5).

Seni dipilih oleh seniman untuk

mengekspresikan gagasan atau

pemecahan problem tertentu. Seperti

yang dikemukakan oleh Sahman (1993:

39) bahwa, setiap gagasan

mensyaratkan dipilihnya karya seni

yang relevan untuk gagasan tersebut.

Seorang seniman dalam

mengekspresikan perasaan dan

gagasannya menggunakan bermacam-

macam media. Ekspresi menurut

Santayana, yang dikutip oleh Atmodjo

(1988: 52-53), makna ekspresi diartikan

sebagai: (a) ekspresi yang

direncanakan, semacam tindakan yang

dilakukan seniman dalam mencipta

karya seni, (b) ekspresi dalam arti

penampakkan, yaitu gejala, suatu tanda

diagnostik, dan (c) ekspresi untuk

membayangkan kapasitas objek, bila

dikontemplasikan secara estetis akan

membangkitkan image-image tertentu.

Menurut Djelantik (2004: 16-

18) menjelaskan bahwa hal-hal yang

diciptakan dan diwujudkan oleh

manusia dapat memberi rasa senang

dan kepuasan dengan penikmat disebut

dengan kata seni. Termasuk dalam hal

ini adalah barang-barang kerajinan

tangan (handicraft). Seni kerajinan

bordir sebagai bagian dari seni rupa,

bagi Hj. Rosma itu adalah salah satu

media tersebut. Seni kerajinan bordir

sebagai seni tradisional, dan Hj Rosma

sebagai perajin sekaligus pengusaha

bordir, ekspresinya dapat dilihat dari

ketekunan Hj. Rosma dalam

menyelesaikan setiap motif yang

terdapat pada kain yang akan dibordir.

Hj. Rosma berusaha mengeluarkan ide

dan kemampuannya dalam membuat

bentuk ragam hias yang ditampilkan

dalam sebuah karya seni, yaitu berupa

produk fasion dan perlengkapan hidup

sehari-hari seperti baju kebaya, jilbab,

tatakan gelas, tas dan produk lainnya.

Motif bordiran yang dihasilkan

Rosma terinspirasi dari alam yaitu

berupa motif flora /bunga yang

kemudian distilisasi dan dijahit dengan

jahitan yang rapi dan padat dengan

teknik suji cair dan bordir

kerancang/terawang, sehingga bentuk

produk yang dihasilkan kelihatan lebih

menarik dan indah. Pembuatan motif

yang dilakukan Rosma ini karena

kesukaannya dalam mengamati alam

terutama bunga-bunga yang ada di

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

106

sekeliling rumahnya dan kecendrungan

dalam melihat situasi pasar atau

konsumen.

Rosma dalam menciptakan

motif bordirnya lebih menekankan pada

pencapaian keserasian dan penyelesaian

akhir suatu ekspresi. Salah satu fungsi

seni adalah mengekspresikan perasaan

dan memindahkan pengertian kepada

khalayak ramai. Seperti yang

dikemukan oleh Feldman (terjemahan

Gustami, 1991: 61-62), menjelaskan,

bahwa pada seni tradisional, material

dibentuk supaya mereka dapat meniru

penampilan-penampilan atau

mengekspresikan gagasan-gagasan

tentang kehidupan.

Hj. Rosma lebih banyak

memproduksi sebuah karya seni dan

cendrung memakai nilai-nilai estetika

yang mengarah kepada fungsi

dekoratif, baik dari segi motif yang

digunakan hanya sebagai hiasan saja

pada bidang kain yang dibordir. Hj.

Rosma sebagai perajin sekaligus

pengusaha kerajinan bordir sebagai

pribadi, dalam memenuhi kebutuhan

estetisnya berusaha menciptakan

produk dan motif bordir yang seindah

mungkin, menyenangkan, sekaligus

bermanfaat baik bagi dirinya sendiri

maupun bagi orang lain. Pembuatan

seni kerajinan bordir Rosma umumnya

bersifat fungsional, menuntut dan

membantu di dalam memuaskan

keinginan serta kebutuhan estetis orang

yang akan memakai karya seni tersebut,

di samping kepuasan estetis Hj. Rosma

itu sendiri. Keunggulan sulaman Rosma

adalah kecantikan motif-motif

(umumnya bunga) di atas aneka produk

kain. Kehalusan hasil sulaman dan

perpaduan warna bagaikan lukisan yang

dibuat dengan benang. Motif –motif

tersebut dijadikan Rosma sebagai

hiasan pada produk bordirnya mulai

dari kebaya, selendang, alas meja,

mukenah, tatakan gelas, dan tas.

Fungsi personal dari setiap

karya atau produk yang dihasilkan Hj.

Rosma dapat dilihat dari motif yang

dihasilkannya. Dimana Rosma selalu

menampilkan motif bunga yang

mengagumkan seperti bunga melati dan

bunga mawar pada setiap produk yang

dihasilkannya. Motif tersebut dibuat

dengan bentuk yang indah dan dibordir

dengan bordiran yang rapi dan dengan

pemakaian benang yang bermacam-

macam dengan teknik suji cair dan

terawang atau bordir kerancangnya.

Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik

107

Keunikan dan keindahan bagi

Hj. Rosma, berbagai bentuk bunga

yang sejak kecil sering diamati itu,

telah menimbulkan ketertarikan dan

membuat dirinya merasa kagum.

Mungkin dari situlah timbul pada

dirinya pengalaman pribadi yang

bersifat estetik, sebuah pengalaman

personal bersifat intuitif yang timbul

dari perjumpaan manusia dengan alam,

yang hanya berlangsung sesaat dan

selalu ingin dikenang. (Hartoko, 1991:

14). Kiranya Hj. Rosma menciptakan

karya tersebut karena didorong oleh

keinginan untuk mengabadikan

pengalaman pribadi tentang keindahan

yang dirasakan ketika menyaksikan

beragam bentuk tumbuh-tumbuhan

yang terdapat di alam yaitu bermacam-

macam bentuk bunga. Bentuk motif

bunga yang dia tampilkan akan dia

ganti terus dengan posisi dan ukuran

yang berbeda pula. Kadangkala motif

bunga tersebut dibuat kecil dan

kadangkala motif tersebut dibuat

dengan ukuran yang besar. Dengan

demikian, secara personal karya

tersebut berfungsi untuk mengabadikan

pengalaman keindahan yang pernah

dirasakan dan selalu ingin dikenang.

Karya Hj. Rosma yang bersifat

personal itu, meskipun sebagian dari

produk yang dihasilkan mengandung

nilai-nilai spiritual seperti mukenah,

jilbab bukanlah tergolong seni

keagamaan, tetapi hanya sebagai seni

yang berdimensi spiritual dengan

fungsi komunikatif, yaitu

mengungkapkan dan menyampaikan

nilai-nilai spriritual yang diyakini

sangat bermanfaat bagi dirinya dan

orang lain.

Bahan dan teknik bagi Rosma

seakan memiliki makna tersendiri

untuk membantu mengekspresikan ide-

idenya yang bersifat individu secara

konkret. Hal itu sejalan dengan

pendapat Feldman (1967: 6), bahwa

bahan dan teknik seni menjadi media

ekspresi seorang seniman; bahan dan

teknik memiliki makna sejak digunakan

untuk membantu memberikan wujud

yang objektif. Menurutnya, tanpa bahan

dan teknik yang spesifik, kecil

kemungkinan seorang seniman

mendapatkan ekspresi objektif dari

situasi tertentu tentang perasaan dan

kesadarannya.

2. Fungsi Fisik

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

108

Seni kerajinan bordir Hj. Rosma

adalah kelompok benda pakai atau

benda fungsional yang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari, umumnya

berupa wadah dan alat. Lebih jauh

ditegaskan bahwa fungsi fisik seni yang

dimaksud adalah suatu ciptaan objek-

objek yang dapat berfungsi sebagai

wadah dan alat (Edmund Burke

Feldman terjemahan Gustami,

1991:127). Wadah dan alat perlu

dibentuk dan dikonstruksi secara

khusus yang disesuaikan dengan

persyaratan-persyaratan yang

dikehendaki. Produk seni kerajinan

dipergunakan sekaligus juga dilihat,

sehingga perlu didesain sebaik-baiknya

sehingga dapat berfungsi secara efisien.

Fungsi fisik itu, dihubungkan dengan

penggunaan benda-benda yang efektif

sesuai dengan kriteria kegunaan dan

efisiensi, baik penampilan maupun

tuntutannya (permintaannya) (Feldman

terjemahan Gustami, 1991: 128).

Fungsi fisik produk seni

kerajinan, di samping segi estetik dan

nilai simbol, nilai kepraktisan karya

yang dihasilkan juga sangat

menentukan tingkat keberhasilan karya

tersebut. Seperti pada umumnya produk

seni kerajinan memiliki kegunaan

praktis, namun hal itu tidak berarti

karya seni kerajinan tidak memiliki

nilai estetis, simbol, dan spritual. Nilai-

nilai tersebut seringkali sudah luluh di

dalamnya, bahkan berada di atas fungsi

fisiknya (Gustami, 2000: 267)

Fungsi fisik produk seni

kerajinan umumnya ditentukan oleh

nilai kepraktisannya. Selain seni

kerajinan dapat memenuhi kebutuhan

manusia yang bersifat spiritual, juga

bisa berupa peralatan perlengkapan

kehidupan dan peralatan yang

digunakan sebagai sarana untuk

memproduksi berbagai kebutuhan

hidup. Setiap hasil karya dan keahlian

seni merupakan perpaduan antara

sistem alamiah, sebagai esensi yang

mendasari saling ketergantungan dari

ketiga fungsi seni tersebut.

Produk bordir yang dihasilkan

Hj. Rosma termasuk dalam jenis

produk fungsional praktis atau

memiliki fungsi fisik. menurut Solichin

Gunawan (1986: 74) desain

mempertimbangkan faktor kegunaan,

fungsi, produksi, pemasaran,

keuntungan, dan nilai rupa atau nilai

estetis dari benda pakai tersebut.

Barang-barang yang dihasilkan Hj

Rosma hampir semuanya memenuhi

Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik

109

persyaratan dalam mendesain motif dan

produk yang dihasilkan. Lebih jauh,

Feldman juga menjelaskan bahwa,

fungsi fisik seni atau desain

dihubungkan dengan penggunaan objek

(benda) yang efektif sesuai dengan

kriteria kegunaan dan efesiensi, baik

penampilan maupun tuntutannya

Feldman (Terjemahan Gustami, 1991:

128).

Berdasarkan fungsi fisiknya,

seni kerajinan bordir Hj. Rosma

tumbuh atas dorongan naluri manusia

untuk memiliki alat dan perlengkapan

yang diperlukan dalam melangsungkan

kehidupan. Fungsi fisik seni kerajinan

bordir sebagai produk yang mempunyai

nilai guna, dapat dilihat pada setiap

upacara adat yang dilaksanakan oleh

masyarakat Minangkabau pada

umumnya. Jenis produk bordiran yang

dihasikan Hj. Rosma merupakan salah

satu perlengkapan adat yang selalu

digunakan pada setiap upacara adat,

terutama sekali dalam adat perkawinan

dan acara keramaian lainnya. Produk

bordir itu antara lain selendang, jilbab,

baju kurung, baju kebaya dan lain

sebagainya. Selain itu produk bordir

yang dihasikan Rosma juga berfungsi

untuk pemenuhan kebutuhan hidup

sehari-hari seperti mukenah, selendang,

jilbab, tatakan gelas, tempat tisu, tas

dan jenis produk lainnya.

Lembaga Budaya Pendukung Seni

Kerajinan Bordir Hj. Rosma

Seni kerajinan bordir sebagai

seni tradisional dan warisan masa lalu

merupakan sesuatu yang perlu

dipertahankan oleh masyarakat

pendukungnya. Belajar kesenian bagi

masyarakat Minangkabau merupakan

suatu media pencerahan untuk

menyalurkan perasaan hatinya, melalui

perkataan, perbuatan, di samping

keharusan untuk menguasai adat.

Kreativitas masyarakat Minangkabau

dalam berkesenian sangat bervariasi,

salah satunya adalah kreativitas di

dalam membuat seni kerajinan bordir di

daerah IV Angkek Canduang.

Kelangsungan sentra seni

kerajinan bordir Hj. Rosma tidak

terlepas dari peran dan dukungan dari

masyarakat Panampuang sebagai

masyarakat pendukung seni kerajinan

bordir dan berbagai pihak atau

lembaga. menurut Koentjaraningrat

dalam Kebudayaan Mentalitas dan

Pembangunan, lembaga atau institusi

memiliki dua pengertian. Pertama,

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

110

lembaga dalam arti badan atau

organisasi yang berfungsi untuk

mengatur kehidupan masyarakat.

Kedua, lembaga dalam arti pranata

(2004: 14). Lembaga atau institusion,

merupakan sistem bentuk hubungan

kesatuan masyarakat yang diatur oleh

suatu budaya tertentu. Suatu lembaga

harus melalui prosedur yang

menyebabkan tindakan atau perbuatan

masyarakat dibatasi oleh pola tertentu,

dan diarahkan bergerak melalui jalan

yang dianggap sesuai dengan keinginan

lembaga tersebut (Williams, 1981: 45).

Perkembangan seni kerajinan

bordir dewasa ini, tidak lepas dari

dukungan beberapa lembaga terkait

antara lain lembaga pemerintah,

lembaga swasta, serta lembaga

pendidikan menengah dan tinggi, yang

ikut berperan dalam mengembangkan

seni kerajinan bordir Hj. Rosma.

Dukungan yang diberikan oleh

lembaga-lembaga tersebut bisa berupa

bantuan material atau pinjaman modal,

bisa juga berupa nonmaterial.

Dukungan dari berbagai masyarakat

dan lembaga terhadap keberadaan dan

kelangsungan seni kerajinan bordir

telah memberi kekuatan bagi perajin

bordir dalam melakukan aktivitasnya,

sehingga seni kerajinan bordir tetap

tumbuh dan bertahan hingga menjadi

pekerjaan pokok untuk menopang

kehidupan para perajin. Beberapa pihak

yang berperan dan memberikan

beberapa dukungan terhadap seni

kerajinan bordir Hj. Rosma antara lain:

1. Masyarakat

Masyarakat adalah orang yang

berperan sebagai pendukung terhadap

pertumbuhan dan perkembangan seni

kerajinan bordir Hj. Rosma. Hal ini

ditandai dengan banyaknya masyarakat

kecamatan IV Angkek Canduang

terutama masyarakat daerah

Panampuang yang ikut menjadi perajin

bordir Hj. Rosma

2. Lembaga Pemerintah

Pemerintah merupakan salah

satu lembaga pendukung utama

terhadap keberadaan dan

perkembangan seni kerajinan bordir Hj.

Rosma. Lembaga pemerintah sebagai

bentuk lembaga yang teroganisir secara

resmi, mempunyai peranan yang

signifikan baik sebagai fasilitator

maupun pelindung bagi keberadaan dan

kelangsungan usaha seni kerajinan

bordir Hj. Rosma.

Salah satu dukungan dan

perhatian pemerintah terhadap usaha

Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik

111

seni kerajinan bordir Hj. Rosma adalah

bantuan pinjaman modal dari Bank BRI

dan BNI. Bantuan mesin jahit dari

pemerintah serta selalu diikutsertakan

pada setiap kegiatan pemerintah, seperti

melakukan pameran tetap perdagangan,

penataran manajemen, latihan

peningkatan desain produk, yang

dilakukan oleh Departemen

Perindustrian dan Departemen

Perdagangan di Sumatra Barat.

Kegiatan yang dilakukan oleh

Departemen Perindustrian dan

Perdagangan di atas merupakan

kegiatan positif yang berpengaruh

terhadap kelangsungan dan

perkembangan seni kerajinan bordir Hj.

Rosma. Kegiatan yang dilakukan

pemerintah ini bertujuan sebagai tempat

mempromosikan produk, meningkatkan

kemampuan, mutu produk, dan sumber

daya manusia yang terlatih serta

terampil dalam menjalankan usaha seni

kerajinan bordir yang secara tidak

langsung akan berpengaruh terhadap

kesejahteraan perajin.

3. Lembaga Pendidikan Menengah

dan Pendidikan Tinggi

Lembaga pendidikan menengah

dan pendidikan tinggi juga memberikan

pengaruh terhadap kelangsungan dan

perkembangan seni kerajinan bordir Hj.

Rosma. Lembaga pendidikan

menengah dan tinggi, yang secara tidak

langsung mendukung seni kerajinan Hj.

Rosma adalah Sekolah Menengah

Industri Kerajinan (SMIK)/ Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK 8 Padang)

jurusan tekstil, SMIK Ampek Angkek

Canduang, ISI Padangpanjang jurusan

seni Kriya dan Universitas Negeri

Padang (UNP) jurusan seni rupa.

Kegiatan yang dilakukan itu bertujuan

untuk menunjang kelangsungan dan

perkembangan seni kerajinan Bordir

Hj. Rosma, antara lain kegiatan

penelitian yang dilakukan oleh

Lembaga Pendidikan Tinggi yang

umumnya dilakukan oleh mahasiswa

dan dosen, praktek lapangan (PL), dan

observasi lapangan. Selain itu di

jurusan seni kriya ISI Padangpanjang,

dan SMK 8 Padang dan SMIK Ampek

Angkek Canduang dalam kurikulumnya

menjadikan seni kerajinan bordir

sebagai salah satu mata pelajaran pokok

khususnya pada pilihan minat kriya

tekstil.

Dijadikannya seni kerajinan

bordir sebagai mata pelajaran pokok

pada jurusan tekstil diharapkan, akan

lahir seorang kriyawan yang memiliki

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

112

keterampilan teknik dan wawasan

dalam bidang seni kerajinan bordir

yang luas. Dengan adanya kegiatan

positif yang dilakukan oleh pendidikan

menengah dan pendidikan tinggi seni,

merupakan salah satu usaha untuk

melestarikan dan mempromosikan seni

kerajinan bodir sebagai produk budaya

tradisional masyarakat Sumatera Barat

di tengah kehidupan modern.

4. Lembaga swasta

Lembaga swasta juga ikut

berperan bagi pertumbuhan dan

perkembangan seni kerajinan bordir Hj.

Rosma. Seperti yang dikemukan oleh

Datuak mangiang anak dari Rosma

bahwa banyaknya travel biro yang

datang berkunjung ketempatnya dengan

membawa orang-orang dari malaysia,

thailand dan Singapura. Travel biro

yang pertama kali merintis kunjungan

ketempat Rosma adalah P.T Tunas

Padang, Eka Sukma Tour, Shaan

Holiday.

PENUTUP

Berdasarkan uraian pada seluruh

pembahasan yang telah diuraikan di

depan, maka dapatlah ditarik

kesimpulan bahwa penelitian ini

mencoba untuk menunjukkan peran

seni kerajinan bordir bagi sekelompok

masyarakat di lingkungan pedesaan.

Seni kerajinan bordir bukan hanya

sebagai ekspresi pribadi, tetapi dapat

dipandang sebagai usaha yang

dilakukan oleh para perajin, untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-

hari. Tindakan tersebut tercermin dari

aktivitas yang dilakukan Hj. Rosma

dalam memproduksi bermacam-macam

produk bordir.

Kerajinan bordir Hj. Rosma

berawal dari kesulitan perekonomian

keluargannya yang tidak mencukupi.

Dengan bekal dan keahlian menyulam

yang dia miliki akhirnya usaha ini

berkembang sampai saat ini. Kerajinan

bordir yang dihasilkan Rosma yang

pada awalnya hanya disulam sekarang

dapat dibordir dengan menggunakan

mesin walaupun mesinnya masih

manual. Produk bordir yang dihasilkan

Rosma pada awalnya hanya berupa

taplak meja sekarang sudah

dikembangkan menjadi produk fasion.

Produk bordiran yang dihasilkan Hj.

Rosma dibuat dalam berbagai bentuk

produk sesuai dengan kebutuhan hidup

masa kini. Produk sulaman dibuat

untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari antara lain seperti mukenah,

Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik

113

baju kurung, kebaya, jilbab, selendang,

sarung bantal kursi, tas, tatanan gelas

dan lain sebagainya. Seni kerajinan

bordir terus di butuhkan oleh

masyarakat, baik sebagai barang-barang

praktis maupun sebagai kelengkapan

upacara adat, sehingga seni kerajinan

bordir akan selalu dibutuhkan di tengah

masyarakat Minangkabau maupun

masyarakat luas. Bentuk motif pada

bordiran Hj. Rosma berorientasi dari

bentuk-bentuk yang ada di alam, seperti

dari bentuk flora seperti motif bunga

mawar, bunga melati, kaluak paku,

pucuak rabuang dan lain sebagainya.

Motif bentuk geometris seperti

lingkaran, setengah lingkaran zig-zag

dan lain-lain.

Seni Kerajinan botrdir Hj.

Rosma memiliki ciri khas tersendiri,

baik dari segi teknik menghias, yang

terkenal dengan bordir suji caia dan

bordir terawang, motif yang

ditampilkan pada kain bordirannya

dijahit dengan rapi dan cantik.

Pemakaian corak benang dalam

membuat bordirannya memakai teknik

gradasi warna yaitu, dimulai dari

warna benang yang tua ke warna yang

lebih muda atau sebaliknya dari warna

yang muda ke warna yang lebih tua,

dengan dua tingkatan warna.

Proses produksi yang dilakukan

oleh parajin Hj. Rosma masih memakai

sistem tradisional yaitu menggunakan

mesin yang masih digerakan dengan

kaki tidak dengan dinamo atau listrik.

Walaupun begitu tidak mengurangi

nilai karya seni yang dihasilkan, baik

dilihat dari segi bentuk, gaya, struktur,

maupun fungsi karya tersebut dalam

kehidupan masyarakat pendukungnya,

justru itulah yang menjadi ciri khas dari

bordiran Hj. Rosma.

Kreatifitas perajin merupakan

modal untuk memasuki era

perdagangan bebas, tanpa mengabaikan

kualitas produk. Desain yang selalu

mengikuti trend maupun isu

perkembangan untuk merebut peluang

pasar bebas, inovasi yang dilakukan

Rosma dengan cara menambah variasi

jenis produk dan motif lebih banyak.

Produk yang mampu bersaing di pasar

global adalah produk yang desainnya

memenuhi syarat desain yang baik.

Dengan demikian desain dan mutu

menjadi titik pokok dalam pembinaan

agar produknya mampu bersaing di

pasar global. Untuk dapat bersaing di

pasar global tidak hanya dapat

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

114

membuat produk banyak dengan harga

murah, melainkan desertai dengan

desain yang sesuai dan dengan kualitas

barang yang baik.

Tumbuh dan berkembangnya

seni kerajinan bordir Hj. Rosma tidak

lepas dari adanya peran serta dari

lembaga yang berkompeten di

bidangnya, seperti Lembaga

Pendidikan Menengah, Pendidikan

Tinggi, Lembaga Pemerintahan, dan

Lembaga Swasta. Selain itu

Pertumbuhan dan perkembangan seni

kerajinan bordir, mampu bertahan dan

bersaing dengan produk bordir daerah

lain tidak lepas dari faktor sosio-

kultural masyarakat pendukungnya,

seperti faktor sosial budaya, dan faktor

ekonomi, dan kegigihan Hj. Rosma

sendiri untuk selalu membuat motif-

motif yang baru dan dengan

penempatan yang baru. Pembuatan

produk dan motif bordir Hj. Rosma

tergantung pada selera pasar/

permintaan dari konsumen. Jika mereka

menginginkan bentuk bunga yang

dibuat kecil maka Rosma membuat

motif bordiran yang kecil pada produk

bordirannya. Sebaliknya jika konsumen

meminta motif dibuat dalam ukuran

besar maka Rosma akan membuat

motif bordir dengan ukuran besar.

KEPUSTAKAAN

Djelantik, A. A. M. 2004. Estetika

Sebuah Pengantar. Bandung:

Masyarakat Seni Pertunjukan

Indonesia.

Eswendi. 2002. Desain Ragam Hias

Sulaman Bordir. Program

Semi-que. Proyek Manajemen

Pendidikan Tinggi. Jakarta:

Dirjen Dikti Depdiknas.

Feldman, Edmud Burke. 1967. Seni

Sebagai Ujud dan Gagasan,

diterjemahkan oleh Sp.

Gustami, (1991), judul asli

“Art As Image and Idea”,

Yogyakarta: Fakultas Seni

Rupa dan Disain Institut Seni

Indonesia Yogyakarta.

Gie, The Liang. 2004. Filsafat

Keindahan. Yogyakarta: Pusat

Belajar Ilmu Berguna

(PUBIB).

Gustami SP. 2003. Metode Pendekatan

dalam Kajian Seni Rupa,

dalam Bunga Rampai Kajian

Seni Rupa: Kenangan Purna

Tugas Prof. Drs. Suwaji

Bastomi. Semarang: UPT

UNNES PRESS.

Hartoko, Dick. 1991. Manusia dan

Seni, Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Jumanta. 2005. Aneka pola Hias Tepi

Untuk Sulam & Bordir: Flora,

Fauna, Dekoratif, dan

Geometris. Jakarta: Puspa

Swara.

Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik

115

Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran

dan Perkembangan

Historiografi Indonesia,

Jakarta: PT. Gramedia.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar

Ilmu Antropologi, Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

Nawawi, Hadari. 1983. Penelitian

Bidang Sosial, Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

Ramli, Muhammad. 1995. Pelatihan

Keterampilan Menyulam di

sentra sulaman Hj. Rosma:

Studi Tentang Proses Latihan

Menyulam dan Ragam Hias

yang Dilatihkan, Padang:

FPBS IKIP.

Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000.

Kesenian dalam Pendekatan

Kebudayaan, Bandung: STSI

Bandung Press.

Suhersono, Hery. 2007. Desain Bordir

Motif Flora dan Dekoratif,

Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Wachid, Abdul B.S., Nita Indrawati &

Yusrizal K.W. 1997. Hj.

Rosma dan Nukilan Bordir

Sumatra Barat, Padang: Citra

Budaya Indonesia.

Williams, Raymond. 1981. Culture,

Glasgow: Fontana Paperback.

Zulhelman. 2001. “Konsep Alam

Takambang Jadi Guru dalam

Ragam Hias Minangkabau”,

Tesis, Yogyakarta: Program

Pasca Sarjana UGM.

NARA SUMBER

Hj. Rosma (85 th), Pemilik usaha Hj.

Rosma, wawancara tanggal 4

September 2012, Ampek

Angkek Canduang.

Eddy R. Iskandar Dt. Mangiang (60

tahun) wakil dari Hj. Rosma,

wawancara tanggal 7 Juni 2012,

Ampek Angkek Canduang.

116

PRODUKSI DAN PENYIARAN

PROGRAM SENI DAN BUDAYA

DI GRABAG TV

Maisaratun NajmiProdi Televisi dan Film, Fakultas Seni Rupa dan Desain

Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang

[email protected]

ABSTRAKGrabag TV merupakan salah satu televisi komunitas yang relatif masih

baru, dan belum memiliki peralatan yang begitu lengkap, SDM serta

dukungan dana yang masih terbatas tetapi sudah bisa melaksanakan

produksi dan penyiaran meskipun belum secara kontinuitas setiap hari

dilaksanakan. Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap dan

mengetahui bagaimana televisi komunitas di Grabag TV dalam

penyelenggaraan siarannya terutama dalam program seni dan budaya.

Dalam penyiaran program televisi bukanlah hal yang mudah, pada

prosesnya memerlukan waktu yang relatif lama, peralatan yang kompleks,

dana yang besar dan perlu dukungan profesi-profesi yang menguasai

bidang penyiaran televisi. Untuk itu perlu diketahui bagaimana

penyelenggaraan produksi dan penyiarannya. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa televisi komunitas di Grabag TV dapat bertahan dan

eksis karena dukungan yang penuh dari masyarakat komunitasnya.

Disamping itu Grabag TV memiliki orang yang berpengaruh di dunia

penyiaran televisi, sehingga dapat mempertahankan eksistensi dalam

penyiarannya.

Kata Kunci: Grabag TV, Televisi Komunitas, Produksi dan Penyiaran

ABSTRACTGrabag TV is one of new community televisions which has no complete

equipments, limited human resources and fund, but it can produce and

broadcast although it is on a daily basis. The purpose of this research is to

express and understand how The Grabag TV as a television community

broadcasts its programs, specially those about the art and culture. It is not

easy to produce and broadcast television programs, as there are many

factors such as time of process, complexity of equpments, huge sum of

money, and support from some people with expertise in television

broadcast. Therefore, it is important to know how it implements

production and broadcast. This research shows that community television

in Grabag TV prevails due to support from their community. In addition,

Grabag TV has some influential people who retain its existence in TV

broadcast.

Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV

117

Keywords: Grabag TV, community television, production and

broadcasting.

PENDAHULUAN

Penyiaran TV Komunitas

umumnya digunakan dalam dua

konteks utama, yaitu: komunitas yang

terbentuk secara geografis atau

komunitas dengan batasan geografis

tertentu, dan komunitas yang terbentuk

atas dasar rasa identitas seperti minat,

kepentingan dan/atau kepedulian suatu

komunitas. Untuk melayani kebutuhan

komunitas tertentu atas komunikasi

dan informasi maka dibentuklah

Lembaga Penyiaran Komunitas. Salah

satu alasan terbentuknya TV

Komunitas Grabag TV di desa Grabag

Kecamatan Grabag adalah karena

keadaan geografis daerahnya yang

tidak bisa menerima siaran TV secara

menyeluruh atau disebut dengan

“blank spot area” sehingga munculah

keinginan beberapa orang untuk

mendirikan televisi komunitas yang

diberi nama dengan Grabag TV.

Pendirian Grabag TV di awali

dengan kondisi geografis seperti yang

dijelaskan di atas yaitu desa Grabag

yang disebut dengan blank spot area,

dimana daerah tersebut tidak bisa

menangkap siaran-siaran televisi

swasta nasional (Sudibyo, 2004:225).

Hartanto sebagai salah satu pendiri

Televisi ini juga menjelaskan bahwa

jika daerah-daerah lain dapat

menikmati paling sedikit 5 chanel

siaran televisi nasional, maka warga

Grabag cukup puas dengan menikmati

siaran TVRI saja, kecuali bagi warga

yang berkecukupan bisa membeli

perangkat parabola sehingga bisa

menerima seluruh siaran dari televisi

swasta nasional. Melihat kondisi

wilayah Grabag seperti ini, maka

pendirian televisi komunitas memiliki

kemungkinan yang luas untuk

dikembangkan. Di samping itu Grabag

TV juga dijadikan sebagai alat kontrol

sosial dan literasi media bagi

masyarakat dari siaran televisi swasta

nasional, terutama bagi masyarakat

Grabag yang memiliki parabola

(wawancara dgn Darwanto, maret

2012).

Dalam workshop “Masa Depan

Televisi Komunitas di Indonesia” oleh

Fakultas Film dan Televisi IKJ di

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

118

Jakarta pada bulan Mei 2007,

menghasilkan beberapa point penting

diantaranya; Televisi komunitas

diharapkan menyuarakan kepentingan

dan kebutuhan warga dalam geografis

tersebut, baik televisi berbasis warga,

maupun televisi sekolah/kampus.

Karenanya televisi komunitas tidak

studio based, tetapi field based

sehingga program siaran televisi

komunitas tidak terhambat karena

harus memenuhi “standard

broadcasting” sebagaimana stasiun

televisi swasta. Dengan menggunakan

ruang publik sebagai studio siaran bagi

televisi komunitas, ia justru sedang

memenuhi keragaman isi (diversity of

content) berdasar realitas kehidupan

komunitasnya.

Grabag TV dalam produksi

acara telah menjalankan hal di atas

seperti, tidak adanya kualifikasi dan

persyaratan khusus dalam proses

produksi siaran televisi seperti

layaknya yang terjadi di televisi

swasta, tidak perlu persyaratan camera

face, berpenampilan dan bersuara

menarik. Tayangan televisi komunitas

terlihat sangat natural, apa adanya.

Keterbatasan peralatan tidak

menyurutkan para penggiat televisi

komunitas di Grabag untuk

menyuguhkan tayangan alternatif bagi

pemirsanya.

Grabag TV dalam siarannya

membagi 3 bidang yaitu bidang

pertanian dan kewirausahaan, bidang

pendidikan dan bidang seni budaya.

Semua bidang program yang

diselenggarakan relatif berjalan dengan

lancar serta cukup dapat respon dari

masyarakat Grabag, meskipun dengan

kesederhanaan menajemen yang ada.

Dengan kesederhanaan

manajemen dan lancarnya produksi

dan penyiaran program seni dan

budaya khususnya, Grabag TV layak

dijadikan sebagai obyek penelitian

karena itulah penulis tertarik untuk

melakukan penelitian di Grabag TV

khususnya pada produksi program seni

dan budaya. Maka dirasa penting untuk

mengetahui bagaimana

penyelenggaraan program seni dan

budaya di Grabag TV menyangkut

segala aspeknya. Objek tersebut layak

untuk diteliti dan kemudian hasilnya

dapat dipergunakan sebagai referensi

para penyelenggara TV komunitas dan

juga masyarakat komunitasnya, serta

siapa pun yang memerlukan.

Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV

119

Program seni dan budaya

merupakan salah satu program yang

diproduksi dan disiarkan oleh Grabag.

Dalam produksi dan penyiaran

(penyelenggaraan) program acara

televisi biasanya sangat menguras

materi dan pikiran, dengan

menggunakan peralatan broadcast

yang mahal, melibatkan banyak kru

produksi yang profesional

dibidangnya. Banyak tuntutan yang

harus dijalankan dalam

penyelenggaraan program acara

televisi tersebut, bukanlah hal yang

mudah dalam penyelenggaraannya,

untuk itu dibutuhkan keseriusan dan

ketelatenan bagi setiap orang yang

terlibat didalamnya. Akan tetapi tidak

demikian yang dijalani oleh televisi

komunitas, sebagai televisi komunitas

yang minim biaya dan peralatan

produksi, mengapa bisa terselenggara

penyiaran tersebut, bagaimana dengan

respon masyarakat komunitasnya

terhadap program yang disiarkan.

Hal ini semua perlu untuk di

ketahui bagaimana dengan

penyelenggaraan program acara yang

disiarkan oleh Grabag TV khususnya

dalam bidang seni budaya, hingga

dapat bertahan sampai sekarang

dengan keadaan seperti di atas. Di

samping itu program seni dan budaya

merupakan sebuah program yang

sangat penting untuk disiarkan, agar

dapat melestarikan dan

mengembangkan nilai-nilai seni dan

budaya lokal yang masih ada, dan juga

dengan adanya program ini dapat

membatasi masyarakat dari pengaruh

arus budaya global yang tidak sesuai

dengan kultur masyarakat Grabag.

Dalam program acara televisi,

setiap program punya sasaran yang

jelas dan tujuan yang akan dicapai.

Menurut P.C.S. Sutisno, ada lima

parameter yang harus diperhitungkan

dalam penyusunan program siaran

televisi, yaitu 1) Landasan filosofi

yang mendasari tujuan semua program;

2) Strategi penyusunan program

sebagai pola umum tujuan program; 3)

Siaran program; 4) Pola produksi yang

menyangkut garis besar isi program; 5)

karakter institusi dan manajemen

sumber program untuk mencapai usaha

yang optimal. Di samping itu juga,

dijelaskan suasana program di

pengaruhi oleh komposisi usia, jenis

kelamin, profesi, tingkat pendidikan,

dan persepsi. Siklus waktu secara

vertikal dan horizontal juga

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

120

mempengaruhi, misalnya hubungan

dari satu program ke program

berikutnya dalam sequence yang diatur

secara konsisten dan

berkesinambungan sampai akhir

seluruh program dalam satu hari.

Siklus waktu horizontal

memperhitungkan pola acara dari satu

hari ke hari berikutnya, (Sutisno, 1991:

9-11).

Teknik Produksi Program

Televisi yang ditulis Fred Wibowo

(2007:24), menjelaskan bahwa

merencanakan sebuah produksi

program televisi, seorang produser

profesional akan dihadapkan pada lima

hal sekaligus yang memerlukan

pemikiran mendalam, yaitu materi

produksi, sarana produksi (equipment),

biaya produksi (financial), organisasi

pelaksana produksi dan tahapan

pelaksanaan produksi. Berpikir tentang

produksi program televisi bagi seorang

produser mengandung makna bahwa

mengembangkan gagasan bagaimana

materi produksi itu, selain menghibur,

dapat menjadi suatu sajian yang

bernilai dan memiliki makna. Apa

yang di sebut nilai itu akan tampil

apabila sebuah produksi acara bertolak

dari suatu visi. Dengan kata lain,

produksi yang bernilai atau berbobot

hanya dapat diciptakan oleh seorang

produser yang memiliki visi. Akan

tetapi, masalahnya terletak pada visi itu

tumbuh dari suatu acuan mendalam

yang bermuara pada orientasi, ideologi,

religi dan pemikiran-pemikiran kritis

atas sarana yang dipakai untuk

menampilkan materi produksi. Maka,

visi itu sekedar mengikuti arus yang

sedang mengalir.

Dalam setiap penyusunan

program diperlukan strategi, supaya

program dapat mengena ke khalayak

atau audiens-nya. Penyusunan program

disesuaikan dengan kebutuhan maupun

keinginan dari khalayak serta stasiun

televisi dapat dikenal oleh khalayak

juga. Implementasi dari strategi

program adalah bagaimana

perencanaan program suatu stasiun

televisi, yang meliputi pemilihan

program dan penentuan jam tayang

program. Selain itu pula bagaimana

pengemasan program yang dimiliki

oleh stasiun televisi agar dapat menarik

audiens dan menjadi loyalitas audiens-

nya.

Melalui strategi program yang

dimiliki, bagaimana hingga dapat

menguatkan identitas stasiun televisi

Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV

121

terhadap audiens sebagai stasiun

televisi lokal, yang juga berpengaruh

terhadap kebijakan program stasiun.

Berpikir tentang produksi program

televisi bagi seorang produser

profesional, berarti mengembangkan

gagasan bagaimana materi produksi

itu, selain menghibur, dapat menjadi

suatu sajian yang bernilai dan memiliki

makna. Apa yang disebut nilai itu akan

tampil apabila sebuah produksi acara

bertolak dari suatu visi (Wibowo,

2007:23).

PEMBAHASAN

Jenis Program Seni dan Budaya di

Grabag TV.

Grabag TV memformat

program acara menjadi tiga bidang

seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya, diantaranya adalah bidang

Kesenian. Adapun bidang kesenian ini

juga disusun dari beberapa jenis materi

atau program acara diantaranya:

informasi seputar kesenian, wawasan

dan dialog kesenian, pagelaran seni

tradisi, pertunjukan music dan video

klip, instruksional berbagai cabang

kesenian, dan cerita/fiksi berupa film

pendek, film seri.

1. Program Informasi: berita-berita

seputar kesenian

Program berita seputar kesenian

ini berisi tentang berita-berita yang

baru berkembang tentang kesenian,

adat istiadat, dan budaya yang ada di

sekitar daerah Grabag pada saat itu.

Misalnya dalam menyambut bulan suci

Ramadhan, banyak sekali kegiatan dan

ritual yang dilakukan, seperti acara

nyadran. Nyadran yaitu ziarah ke

makam bersama keluarga dan

masyarakat desa dengan membawa

makanan khas sambil silaturahmi

dengan masyarakat desa dalam

menyambut bulan puasa. Kemudian

melaksanakan pengajian dan malam

kesenian yang mendatangkan

kelompok-kelompok seni seperti

qasidahan, rabana dan lain-lain.

Kegiatan kesenian dan budaya

ini biasanya terjadi berdasarkan even

yang diadakan masyarakat Grabag

pada waktu-waktu tertentu. Pada bulan

Agustus misalnya, banyak dilakukan

kegiatan dalam menyambut hari

kemerdekaan, sehingga masyarakat

setempat mengadakan berbagai macam

acara. Dari perlombaan untuk anak-

anak, ibu-ibu rumah tangga, remaja

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

122

dan sebagainya, disamping itu juga

diadakan acara musik.

Semua contoh kegiatan seni

dan budaya yang dijelaskan di atas

merupakan materi dalam program

informasi seputar kesenian dan budaya

bagi stasiun Grabag TV. Sehingga

dengan adanya dokumentasi kegiatan

tersebut yang dikemas kedalam bentuk

program acara televisi di Grabag TV,

dapat memberikan hiburan bagi

masyarakat komunitasnya pada malam

hari. Dimana pada saat acara

berlangsung mereka tidak dapat

menyaksikan secara langsung karena

kesibukan mereka disaat itu. Dengan

adanya program ini di Grabag TV

maka mereka dapat menyaksikannya.

Berikut ini adalah salah satu foto

kegiatan kesenian yang diliput oleh

Grabag TV.

Gambar.1Grabag TV berpartisipasi dalam Karnaval

menyambut

Peringatan HUT RI ke 62

(Sumber: Dok Grabag TV)

2. Program wawasan dan dialog

kesenian

Program wawasan dan dialog

kesenian adalah memberikan wawasan

dan informasi tentang kesenian dan

kebudayaan. Biasanya dilakukan

setelah pagelaran kesenian tradisi atau

kegiatan kesenian lainnya. Pihak

Grabag TV melakukan wawancara dan

dialog seputar kesenian dan budaya

yang ditampilkan ditempat kejadian.

Biasanya produksi program ini

dilakukan aut door atau ditempat

pementasan pertunjukan tersebut

diadakan. Program ini disajikan

kedalam bentuk talk show yang

menghadirkan tokoh-tokoh atau

seniman Grabag dan membahas tema

yang hangat pada saat itu. Dengan

tujuan memberikan wawasan yang luas

tentang seni budaya masyarakat

Grabag.

3. Pagelaran Seni Tradisi

Program pagelaran seni tradisi

di Grabag TV biasanya diproduksi

mengikuti even/kegiatan masyarakat

Grabag. Jika masyarakat Grabag

mengadakan pagelaran seni, maka pada

waktu itulah kesempatan bagi Grabag

TV untuk mendokumentasikan

kegiatan tersebut dan menyiarkan

Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV

123

kepada masyarakat komunitas yang

tidak sempat menyaksikan pagelaran

tersebut diwaktu lain misalnya pada

malam hari menemani masyarakat

komunitasnya beristirahat. Jika

masyarakat Grabag sudah lama tidak

mengelar seni tradisi, maka pihak

Grabag TV berinisiatif untuk

mengundang salah satu kelompok seni

untuk mengadakan pertunjukannya ke

desa Grabag. Seperti yang dilakukan

Grabag TV pada akhir bulan April

2012, mengundang kelompok kesenian

tradisional Soreng “Satrio Utomo”

(Hartanto, April 2012). Dengan tujuan

untuk menghibur masyarakat

komunitas Grabag disamping itu juga

dapat melestarikan kesenian

daerahnya.

Pagelaran seni tradisi yang

pernah di produksi oleh Grabag TV

adalah kesenian Soreng, Kubrosiswo,

Kuda Lumping, dan Topeng Ireng

seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Dan mereka memberi judul program

acara tersebut sesuai dengan kesenian

yang dipentaskan dan kelompok seni

yang tampil.

4. Pertunjukan Musik

Program pertunjukan musik ini

Grabag TV menayangkan berbagai

macam jenis musik seperti musik-

musik campur sari, lagu-lagu lawas

atau lagu-lagu kenangan dan

sebagainya, bahkan mereka berinisiatif

untuk menciptakan lagu-lagu baru. Di

samping itu Grabag TV juga

menayangkan video klip yang mereka

produksi sendiri. Bahkan video klip

yang mereka tayangkan adalah lagu-

lagu yang diciptakan oleh masyarakat

komunitas Grabag itu sendiri.

Masyarakat komunitas Grabag

juga dibina oleh pengurus dari Grabag

TV sesuai dengan bidang yang mereka

minati, seperti yang bakat dalam

menciptakan lagu, menjadi penyanyi,

presenter atau pembawa acara dan

sebagainya. Grabag TV bersedia

menjadi penyalur bakat-bakat

terpendam tersebut dengan

menciptakan sebuah program TV dan

disiarkan kepada masyarakatnya

kembali. Hal ini membuat mereka

senang dan berbangga, karena dapat di

nikmatinya. Sesuai dengan semboyan

televisi komunitas: “dari masyarakat

oleh masyarakat dan untuk

masyarakat”.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

124

Berikut ini adalah foto kegiatan

di bidang seni pertunjukan musik yang

dilakukan Grabag TV:

Gambar 2.Para pemenang Golav (Grabag Olah Vokal),

atau sering disebut Grabag Idol, bersama

Camat Grabag. Disiarkan langsung oleh

Grabag TV pada tahun 2007. (Sumber: Dok.

Grabag TV)

5. Program Fiksi dan Dokumenter

Selain untuk penyiaran, Grabag

TV juga melakukan dokumentasi video

dari karya-karya seni yang dimiliki

oleh daerah Grabag dan sekitarnya.

Diantaranya kesenian Soreng, kesenian

Topeng Ireng, lomba tari Latar

sekabupaten Magelang dan yang

lainnya. Di samping itu crew Grabag

TV juga sudah membuat dokumenter

tentang pemandian air panas Candi

Umbul yang terdapat di kecamatan

Grabag. Dokumentasi ini nantinya

akan menjadi sebuah karya yang tidak

ternilai harganya karena merupakan

rekaman video yang bisa dijadikan

perpustakaan audio-visual kesenian

tradisi.

Dari program-program yang

sudah ditayangkan oleh Grabag TV

khususnya di bidang seni dan budaya,

dapat dilihat bahwa keinginan dan

kesungguhan Grabag TV dalam

melestarikan dan mengembangan seni

dan budaya masyarakat Grabag.

Walaupun belum semua bidang seni

dan budaya yang ada di daerah Grabag

terakomodir dengan lengkap. Maka

dari program acara yang sudah

diuraikan di atas dapat dilihat Grabag

TV telah melakukan visi dan misi yang

mereka buat.

Tujuan utama dari penyiaran

program-program kesenian yang

dilakukan oleh Grabag TV seperti yang

sudah dijabarkan diatas secara umum

adalah untuk melestarikan seni dan

budaya yang ada di Magelang pada

umumnya dan Kec. Grabag pada

khususnya. Disamping itu juga untuk

mengembangkan kreativitas

masyarakat komunitasnya di bidang

kesenian.

Penyelenggaraan Program.

Penyelenggaraan atau biasa

disebut juga dengan produksi dan

penyiaran program di stasiun televisi

Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV

125

komunitas Grabag TV, dari format atau

jenis acaranya bersifat umum tidak

segmented. Sesuai dengan karakteristik

dan kebutuhan masyarakat Grabag.

Dalam menyusun format program

dalam setiap stasiun televisi tidak

mutlak sama seperti yang dilakukan

Grabag TV misalnya. Mereka

membagi format kedalam 3 bidang,

begitu juga dengan stasiun televisi

swasta dan TVRI mereka memiliki

format yang berbeda dan sesuai dengan

kebutuhan masing-masing stasiun.

Jenis atau format acara televisi

menurut Naratama (2004:63) adalah

“sebuah perencanaan dasar dari suatu

konsep acara televisi yang akan

menjadi landasan kreativitas dan

desain produksi yang akan terbagi

dalam berbagai kriteria utama yang

disesuaikan dengan tujuan dan target

pemirsa acara tersebut”.

Dari pendapat diatas dapat

dijabarkan bahwa pentingnya

mengetahui format acara sebelum

menciptakan acara tersebut. Dalam

menciptakan sebuah program acara

televisi, maka kita harus mengenal

terlebih dahulu “makhluk” yang akan

diciptakan. Terlebih dahulu harus

mengetahui acara yang akan di

produksi ini untuk siapa, target

audiencenya sudah jelas apakah untuk

anak-anak muda, ibu-ibu, anak-anak

dan sebagainya. Jika kita sudah

mengetahui siapa targer yang akan

dituju tentunya sudah diketahui seperti

apa karakteristik dan kesenangan dari

target yang dituju. Agar program yang

dibuat tepat sasaran, bermanfaat dan

tidak sia-sia.

Metode Produksi Program

Dalam produksi acara televisi

biasanya ditentukan terlebih dahulu

metode produksi atau penentuan

pelaksanaan produksi yang akan

dijalankan. Metode produksi disusun

dan ditentukan berdasarkan kebutuhan

dan tergantung pada naskah yang telah

dianalisis oleh seorang pengarah acara

dan berkonsultasi dengan produse.

Adapun karakter produksi dibagi

menjadi 3: (Darwanto, 1994:235),

yakni: (a) Produksi di dalam dan di

luar studio, jenis produksi ini hasilnya

dapat disiarkan secara langsung atau

direkam terlebih dahulu. Dan

penyelesaiannya dapat melakukan post

production atau langsung pada saat

produksi post production nya; (b)

Produksi gabungan, artinya sebagian

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

126

produksi di dalam (studio), dan diberi

insert yang bahannya diproduksi di luar

studio; dan (c) Produksi rekaman, yang

mana pelaksanaanya dapat dilakukan

dengan berbagai versi, yaitu:

(1)Rekaman dilakukan secara utuh

(live on tape); (2) Rekaman

dilaksanakan bagian per bagian

(recording in segments); (3) Rekaman

dengan menggunakan single camera;

dan (4) Rekaman dengan

menggunakan multi camera.

Dengan adanya metode

produksi dalam pelaksanaan produksi

dan teknik rekaman di atas, akan

menimbulkan keuntungan dan kerugian

dalam masing-masingnya, oleh sebab

itu produser harus mempertimbangkan

dalam pemilihan metode produksi

tersebut. Karena akan bergantung pada

kebutuhan peralatan, fasilitas, waktu

serta anggaran produksi.

Berdasarkan pembagian format

program televisi, program seni dan

budaya dikategorikan sebagai program

artistik. Pada umumnya program yang

ditayangkan oleh Grabag TV

merupakan siaran tunda/rekaman,

karena sifat dari stasiun televisi

komunitas ini bukanlah siaran

komersial dan juga memiliki

keterbatasan waktu dan biaya dalam

produksi dan siaran. Tidak menutup

kemungkinan bagi Grabag TV untuk

melakukan siaran secara langsung,

karena sudah pernah dilakukan pada

tahun 1997 yaitu menyiarkan secara

langsung pelaksanaan upacara 17

Agustus di lapangan kecamatan

Grabag. Kemudian dalam rangka

pemilihan kepala desa Grabag, Grabag

TV juga melakukan siaran langsung

dalam pelaksanaan pemilihan dan

penghitungan suara. Hal ini disambut

dengan meriah dan bangga oleh

masyarakat Grabag.

Adapun program pagelaran seni

tradisi dan program kesenian yang

lainnya pada umumnya merupakan

program siaran tunda yang diproduksi

secara live on tape, rekaman dan

menggunakan multi camera (tiga buah

kamera) dan single camera, prosesnya

masih melewati proses editing sebelum

ditayangkan untuk menyempurnakan

hasil rekaman. Semuanya dilakukan

tergantung pada jenis acara yang akan

diproduksi. Target penontonnya adalah

umum. Akan tetapi pada Grabag TV

dalam pembentukan kerabat kerja,

mereka tidak mengenal yang namanya

produser karena mereka merupakan

Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV

127

kelompok paguyupan dengan sistim

kerjasama dan gotong-royong. Dan

yang akan mempertanggung jawabkan

hasil produksi yang ditayangkan adalah

kelompok paguyupan atau komunitas

tersebut. Jangkauan siaran program ini

meliputi wilayah komunitas. Waktu

tayang dari bidang kesenian dan

kebudayaan ini dijadwalkan oleh

stasiun Grabag TV pada setiap hari

jum’at, pukul 14.00-16.00 dan 20.00-

22.00.

Proses Produksi Seni dan Budaya di

Grabag TV

Dalam dunia pertelevisian

sebelum melaksanakan produksi

program, maka ada standar operasional

prosedur (SOP) dalam produksi

program televisi yang harus dilewati.

Alan Wurtzel menguraikan prosedur

kerja untuk memproduksi program

televisi kedalam empat tahapan yang

harus dilewati yaitu praproduksi, setup

and rehearsal (persiapan dan latihan),

produksi dan pascaproduksi

(Darwanto, 1994:156-160). Dalam

pelaksanaan tahap-tapan tersebut

tergantung pada metode produksi yang

akan dilakukan dan jenis program dan

naskah yang akan diproduksi. Misalnya

pada saat acara yang disiarkan secara

live, maka tahap produksi yang

dilakukan adalah tahap produksi dan

pasca produksi dilakukan secara

bersamaan.

Di Grabag TV dalam

melaksanakan proses produksi mereka

juga menjalankan hal yang sama, akan

tetapi tidak begitu mendalam seperti

yang dilakukan oleh stasiun televisi

swasta lainnya, karena keterbatasan

terhadap peralatan, biaya dan

pengalaman dan jam terbang dari kru.

Disamping itu tim produksi dari

Grabag TV tidak mengenal dengan

nama produser, karena sifat kerja

mereka tidak komersial, bersifat

paguyupan dan gotong-royong,

sehingga dalam mengkonsep produksi

program acara yang akan mereka

lakukan hanya dilakukan dengan

spontanitas, dan hasilnya dapat

dibayangkan, itulah salah satu

kelemahan dari tim produksi Grabag

TV. Akan tetapi untuk kerabat kerja

yang lainnya mereka masih

menggunakan jabatan dan

tanggungjawab yang sama dalam

pelaksanaan kerja dalam setiap kerabat

kerja yang sudah ditentukan.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

128

Berpikir tentang produksi

program televisi bagi seorang produser

profesional, berarti mengembangkan

gagasan bagaimana materi produksi

itu, selain menghibur, dapat menjadi

suatu sajian yang bernilai dan memiliki

makna. Apa yang disebut nilai itu akan

tampil apabila sebuah produksi acara

bertolak dari suatu visi (Wibowo,

2007:23). Hal inilah yang dikejar oleh

pihak Grabag TV untuk mengabadikan

setiap kegiatan yang ada di lingkungan

komunitasnya, seperti kegiatan

pagelaran seni tradisi, upacara

kenegaraan, tradisi nyadran dan

padusan dalam meyambut bulan

Ramadhan yang juga sesuai dengan

visi yang mereka emban/usung.

Seperti yang dijelaskan oleh

Fred Wibowo di atas, dalam

perencanaan sebuah produksi program

televisi, ada lima hal yang harus

dipersiapkan, yaitu materi produksi,

sarana produksi (equipment), biaya

produksi (financial), organisasi

pelaksana produksi dan tahapan

pelaksanaan produksi. Lima persiapan

diatas juga dijalankan oleh tim Grabag

TV dalam produksi program, akan

tetapi yang dikatakan dengan sarana

produksi yang sesuai dengan standart

dari stasiun televisi swasta tidak,

mereka menggunakan standart stasiun

televisi komunitas, seperti equipment

yang dimiliki diatas. Peralatan

produksi yang mereka gunakan adalah

kamera Video Handycam sony seri

HC-26, 28, dan 52. Standar peralatan

yang diterapkan Grabag TV lebih pada

penekanan pada audio visualnya.

Dimana peralatan tersebut sudah dapat

menangkap gambar dan suara dengan

jelas, dapat disiarkan dan diterima oleh

masyarakat di rumah dengan jelas.

Menurut Hartanto kamera dan

peralatan (equipment) yang digunakan

dalam produksi program di televisi

komunitas tidaklah harus mahal dan

kualitas yang tinggi, akan tetapi yang

penting adalah bagaimana program

acara yang diciptakan dapat diterima

dengan layak oleh masyarakat

komunitas. Jika mengikuti peralatan

yang canggih dan serba digital seperti

adanya sekarang, televisi komunitas

tidak akan mampu karena sifat dari

penyiaran mereka bukanlah komersial

dan tidak memiliki biaya bagi

komunitas untuk mengikuti

perkembangan teknologi tersebut.

Biaya produksi (financial) di

Grabag TV tidak ditetapkan

Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV

129

sebelumnya seperti halnya stasiun

televisi swasta. Grabag TV dalam

setiap produksi selalu dilaksanakan

dengan gotong royong atau patungan

dalam biaya produksinya.

Dalam pembentukan kru pada

sebuah produksi di Grabag TV sifatnya

sukarela, tidak ada suatu keharusan

atau keterpaksaan untuk terlibat dalam

produksi program apapun bentuknya.

Tidak hanya kru saja, dalam masalah

persiapan peralatan, transportasi dan

akomodasi yang lain pun dibantu oleh

masyarakat komunitas tanpa dipungut

biaya, dalam artian bersifat gotong

royong. Produksi program seni dan

budaya misalnya, komunitas Grabag

melakukan produksi program ini

dengan sukarela. Siapa yang memiliki

waktu pada saat acara di produksi

maka akan membantu jalannya

produksi acara. Hal ini dapat dilihat

pada dokumentasi kegiatan berikut.

Gambar 3.Proses produksi pagelaran seni tradisi Soreng

yang dilakukan kru Grabag TV dengan

menggunakan multi kamera dan switcher.

(Foto: Najmi, April 2012)

Gambar 4.Salah satu kameraman Grabag TV dalam

produksi program

pagelaran seni tradisi Soreng

(Foto: Najmi, April, 2012)

Gambar 5.Salah satu Pengarah Acara Grabag TV

sewaktu produksi program pagelaran seni

tradisi Soreng

(Foto: Najmi, April, 2012)

Gambar 6.Pagelaran seni tradisi Soreng, salah satu

program Grabag TV

(Foto: Najmi, April, 2012)

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

130

Gambar 7.Switcherman Grabag TV

(Foto: Najmi, April, 2012)

Gambar 8.Peralatan swicther dan audio mixer yang

digunakan Grabag TV

(Foto: Najmi, April, 2012)

Pelaksanaan produksi yang

dilakukan oleh Grabag TV pada

program pagelaran seni tradisi Soreng

ini adalah dengan rekaman secara live

on tape yaitu produksi dilaksanakan

dengan multi kamera dengan

dikendalikan dari sub control dan

hasilnya direkam terlebih dahulu.

Penyiaran program ini

merupakan siaran tunda, karena masih

melewati proses pascaproduksi. Dalam

pascaproduksi ini kru dari Grabag TV

melakukan penyempurnaan dalam

editing seperti penambahan kredit title,

grafik dan sebagainya sehingga hasil

produksi kelihatan lebih sempurna.

Proses editing tim editor dari

Grabag TV tidak memberikan efek-

efek yang berlebihan pada program

yang akan ditayangkan, karena konsep

yang mereka terapkan dalam setiap

program yang diciptakan adalah alami

dan apa adanya seperti aslinya. Karena

Grabag TV dalam menayangkan setiap

programnya, berusaha untuk

memberikan sesuatu yang nyata tanpa

polesan grafis, animasi dan

komputerisasi lainnya, begitu juga

dengan setingan yang lainnya.

Disamping dapat menghemat listrik,

tenaga dan biaya produksi yang

lainnya. Apalagi Grabag TV bukanlah

sebuah stasiun televisi yang komersial

dan memiliki sumber daya manusia

yang terbatas dan kurang pengalaman

pada bidangnya.

PENUTUP

Salah satu yang membuat

Grabag TV masih bisa bertahan sampai

sekarang adalah karena Grabag TV

memiliki donatus tetap yang dapat di

andalkan dalam pembiayaan

operasional siarannya, di samping kerja

Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV

131

sama yang dilakukan oleh masyarakat

komunitasnya. Jika mengandalkan

pendanaan hanya dari masyarakat

komunitasnya, sangat susah dan akan

kekurangan dalam pembiayaan

produksi dan penyiaran seperti yang

terjadi pada televisi komunitas lainnya,

tidak dapat melakukan siaran secara

konsisten.

Keberadaan televisi komunitas

di Grabag TV sangat bermanfaat bagi

masyarakatnya, sesuai dengan visi dan

misi yang diciptakan, walaupun belum

semuanya terjalani, tetapi masyarakat

sudah merasakan manfaatnya, seperti

perkembangan perekonomian,

informasi dan pendidikan di bidang

audio visual. Karena bagi masyarakat

yang mau dan berminat mempelajari

produksi acara, Grabag TV selalu

terbuka dalam melakukan pelatihan

dengan gratis.

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa televisi komunitas

di Grabag TV dapat bertahan dan eksis

karena dukungan yang penuh dari

masyarakat komunitasnya. Disamping

itu Grabag TV memiliki orang yang

berpengaruh di dunia penyiaran

televisi, sehingga dapat

mempertahankan eksistensi dalam

penyiarannya.

KEPUSTAKAAN

Burton, Graeme. 2011.

Membincangkan Televisi,

Yogyakarta: Jalasutra.

Danesi, Marcel. 2010. Semiotika

Media. Yogyakarta: Jalasutra.

Djamal, Hidayanto & Andi

Fachruddin. 2011. Dasar-

Dasar Penyiaran. Jakarta:

Kencana Prenada Media

Group.

Effendi, Onong Uchjana. 2000. Ilmu

Teori dan Filsafat

Komunikasi. Bandung: Citra

Aditya Bakti.

Gazali, Effendi et.al. 2002. Penyiaran

Alternatif Tapi Mutlak.

Jakarta: Departemen

Komunikasi-Universitas

Indonesia.

Hartanto, et,al. 2008. Studi Kelayakan

Lembaga Penyiaran

Komunitas Grabag TV.

Grabag.

Hermanto, Budhi. 2010. “Mengapa

Televisi Komunitas?” ditulis

dalam Kombinasi.net

Ishadi SK., MSc. 1999. Dunia

Penyiaran, Prospek dan

Tantanganya. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Maleong, Lexy J. 2010. Metodologi

Penelitian Kualitatif.

Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

McQuail, Denis. 1994. Mass

Communication Theory. 5th

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

132

California: Edition. Sage

Publication.

Morissan, M.A. 2009. Manajemen

Media Penyiaran (Strategi

Mengelola Radio & Televisi).

Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Nazaruddin, Muzayin & Budhi

Hermanto, et.al. 2009.

Televisi Komunitas, Combine.

Jakarta: FPSB UII, FFTV-IKJ.

Naratama. 2004. Menjadi Sutradara

Televisi. Jakarta: Grasindo.

Prasetiyowati, Tri Heni. 2010. “Respon

Masyarakat Kliwonan

terhadap Program Siaran di

Stasiun TV Komunitas-

Grabag TV”, Fakultas

Dakwah, Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

Pringle, Peter K. Dan Michael F. Starr,

dkk. (1991), Electronic Media

Management (second edition),

Fokal press, Bostan-London.

Rakhmad, Jalaludin. 2005. Psikologi

Komunikasi. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Soenarto, RM. 2007. Programa

Televisi dari Penyusunan

Sampai Pengaruh Siaran.

Jakarta: FFTV-IKJ Press.

Stokes, Jane. 2006. How To DO Media

and Culcural Sudies

(Panduan untuk

Melaksanakan Penelitian

dalam Kajian Media dan

Budaya), Yogyakarta:

Bentang.

Subroto, Darwanto Sastro. 1994.

Produksi Acara Televisi,

Yogyakarta: Duta Wacana

University Prees.

Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik

Media Penyiaran,

Yogyakarta: LkiS.

Sutisno, P.C.S. 1991. Skenario Televisi

dan Video. Jakarta: Grasindo.

Wahyudi, J.B. 1994. Dasar-Dasar

Manajemen Penyiaran,

Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

. 1992. Teknologi

Informasi dan Produksi Citra

Bergerak, Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Wibowo, Fred. 2007. Teknik Produksi

Program Televisi, Grasindo:

Yogyakarta.

Sumber internet:

http://www.m-edukasi.web.id

133

INDUSTRI KREATIF BERBASIS

POTENSI SENI DAN SOSIAL BUDAYA

DI SUMATERA BARAT

Bahren, Herry Nur Hidayat, Sudarmoko, Virtuous Setyaka

FIB dan FISIP Universitas Andalas, Padang

[email protected]

ABSTRAKTulisan ini ditujukan untuk menganalisis perkembangan dan konsep dasar

industri kreatif berbasis potensi sosial budaya di Sumatera Barat, khususnya

dalam bidang seni dan budaya. Secara umum, seni tidak memiliki posisi yang

ideal dalam pengembangan industri kreatif. Akan tetapi, berdasarkan pada

pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan dalam penelitian ini, terdapat

beberapa komunitas dan seniman yang menyiapkan diri dan menerapkan

manajemen modern dalam produksi seninya. Seni memiliki hubungan yang

dilematis dengan industri, antara nilai estetika dan nilai pasar. Dalam situasi

seperti ini, manajemen memiliki posisi yang penting dalam upaya

menghubungkan dan menjembatani antara seniman, pasar, pemerintah, kritikus

dan para ahli. Dengan menggunakan metode triple helix, diketahui bahwa daerah

terpilih dalam penelitian ini memiliki peluang besar untuk dikembangkan industri

kreatifnya, baik itu karena potensi artistik, lokasi, seniman, pemerintah,

masyarakat dan pihak terkait lainnya.

Kata Kunci: industri kreatif, seni, sosial budaya, Sumatera Barat

ABSTRACTThis article analyses the development and basic concept of creative industries

based on social and cultural potencies in West Sumatra, in particular on arts and

cultural practices. In general, arts have no ideal position in the development of

creative industries. However, based on observation and interviews conducted in

this research, there are some communities and artists prepared and more over

implemented modern management in their arts production. Arts have dilemmatic

correlation with industries, the problem of aesthetics and market values. In this

regard, management has important position in order to connect and bridge

between artists, markets, goverment, and critics or scholars. By using triple helix

method, this article shows how three selected areas of research have big

opportunities to be developed in the term of creative industries, based on artistic

potential, place and landscape of areas, artists, goverment, society and other

related parties.

Keywords: creative industries, arts, West Sumatra, social and culture

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

134

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini wacana industri

kreatif menjadi bagian pembicaraan

yang serius dalam dunia ekonomi,

politik, dan juga budaya, karena

diyakini akan menjadi salah satu

penyangga penting dalam pertumbuhan

ekonomi. Terutama bila dikaitkan

dengan industri pariwisata, dimana

produk kerajinan, pertunjukan

kesenian, makanan, situs wisata

bersejarah, dan lokasi yang diciptakan

untuk mendukungnya terus

berkembang.

Industri kreatif di sebuah

daerah mensyaratkan adanya kelompok

kreatif yang mengembangkan ide-ide

dan produk kreatif berdasarkan pada

kekuatan intelektual, seni budaya,

teknologi sesuai perkembangan zaman,

yang muncul atas dasar kebutuhan

masyarakat yang berubah. Industri

kreatif yang berbasis pada kebudayaan

dan kekayaan budaya lokal harus

dikembangkan. Kekayaan budaya lokal

menjadi bagian identitas penting dalam

industri kreatif, karena dapat menjadi

ikon yang melibatkan masyarakat

sehingga perkembangan industri dapat

dinikmati secara bersama. Industri

kreatif yang berbasis budaya lokal juga

dapat membantu keterusberlangsungan

budaya, tanpa merusak, tetapi

sebaliknya akan mendukung

kebudayaan itu sendiri.

Industri kreatif memiliki segi

intelektual dan budaya, yang

dikembangkan melalui kajian-kajian

potensial, baik oleh pengelola dan

pelakunya, maupun terhadap produk-

produk yang akan dihasilkan. Sejumlah

bidang dan produk yang termasuk

dalam industri kreatif ialah karya sastra

(novel, puisi, drama), buku cerita,

penulisan kembali cerita rakyat, dan

sebagainya. Sementara dalam produk

lain, film dan musik menjadi salah satu

media yang berkembang dengan pesat,

terutama yang berlabel indie atau

alternatif. Dalam bentuk seni

pertunjukan, berbagai pertunjukan dan

produksi tari, baik tradisional maupun

kontemporer, teater, musik, mulai

menjadi kebutuhan, khususnya di kota-

kota. Demikian juga dengan festival

atau pameran, yang menampilkan

karya-karya seni. Dalam bidang

pariwisata, penting dicatat pertunjukan

seni dan kuliner, yang menyediakan

seni dan makanan tradisional yang

menjadi pilihan penting dalam dunia

pariwisata.

Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat

135

Artikel ini berangkat dari

beberapa pertanyaan, yaitu: (1)

Bagaimana sejumlah komunitas seni

dan aktivis kesenian mengembangkan

usaha dan produktivitasnya sesuai

bidang dan keahlian mereka? Apa saja

yang telah dicapai dalam perjalanan

usahanya dan apa tantangan serta

solusi dari berbagai masalah tersebut?;

(2) Bagaimana potensi sumber usaha

dan pengolahannya, yang

memungkinkan komunitas industri

kreatif melangsungkan usahanya

dengan menggali sejumlah potensi

tersebut; (3) Bagaimana kelangsungan

usaha industri kreatif ini dapat

ditularkan dan dikampanyekan, baik

pada lembaga pendidikan, pemerintah,

komunitas sosial, maupun masyarakat

umum.

PEMBAHASAN

Sektor, Subsektor dan

Pengembangan Industri Kreatif

Wheny Khristianto (2008),

menyatakan bahwa subsektor Inkraf

didasarkan pada tiga fokus basis

industri yaitu: (1) lapangan usaha

kreatif dan budaya (culture and

creative industry); (2) lapangan usaha

kreatif (creative industry); (3) hak

kekayaan intelektual/HAKI

(intellectual property right). Subsektor

inkraf di Indonesia menurut

Departemen Perdagangan Republik

Indonesia (Depdag RI, 2008) ada 14

yaitu: (1) periklanan: (2) arsitektur ;(3)

pasar barang seni; (4) kerajinan; (5)

desain; (6) fashion/fesyen; (7) film,

video, fotografi; (8) permainan kreatif;

(9) musik; (10) seni pertunjukan; (11)

penerbitan dan percetakan; (12)

layanan komputer dan piranti

lunak/software; (13) televisi/TV dan

radio dan (14) riset dan pengembangan

(Departemen Perdagangan Republik

Indonesia,2008).

Pengembangan Inkraf biasanya

dilakukan dengan model triple helix

yaitu kerjasama antara akademisi,

bisnis dan pemerintah. Beberapa hasil

penelitian yang memaparkan hal

tersebut di antaranya adalah

Leydesdorrf (1998), model triple helix

terdiri atas universitas, industri dan

pemerintah sangat dibutuhkan dalam

menunjang terciptanya inovasi dalam

masyarakat. Leydesdorrf dan

Etzkowitz (2000), model triple helix

digunakan sebagai model analitikal

menjelaskan hubungan antar institusi

serta kebijakan yang dapat dihasilkan

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

136

institusi tersebut. Etzkowitz (2002),

model triple helix memerlukan pola

belajar baru dan komunikasi terpadu

pada institusi untuk menghasilkan,

mentransformasikan, menyimpan dan

mengatur proses penciptaan dan

penggunaan pengetahuan bermanfaat.

Leydesdorrf (2005), ekonomi berbasis

pengetahuan harus merubah hubungan

komunikasi antara pihak akademik,

industri dan pemerintah untuk

membentuk ulang sistem inovasi yang

rentan diperdebatkan. Johnson (2007),

kolaborasi triple helix merupakan kerja

sama yang melibatkan peran industri,

akademik dan pemerintah dalam

mengembangkan teknologi (Togar M.

Simatupang, Dkk., 2008).

Pemerintah Indonesia dalam

Buku Pengembangan Ekonomi Kreatif

Indonesia 2025: Rencana

Pengembangan Ekonomi Kreatif

Indonesia 2009-2015 (Depdag RI,

2008) pada bagian dua yaitu kerangka

kerja pengembangan Ekraf Indonesia

menggunakan model triple helix yang

melibatkan peran cendekiawan, bisnis

dan pemerintah sebagai faktor utama

dan faktor penggerak. Selain itu juga

dipaparkan rantai nilai pada Inkraf

yaitu kreasi/originalitas, produksi,

distribusi dan komersialisasi

(Departemen Perdagangan Republik

Indonesia, 2008).

Khaterine Champion (2010)

melaporkan temuan dari studi kasus

yang diselidiki di sektor industri kreatif

yang dipilih di Greater Manchester.

Studi ini menemukan bahwa, ketika

aktivitas kreatif masih sangat

terkonsentrasi di pusat kota, beberapa

produksi kreatif melakukan

desentralisasi untuk mengakses tempat

yang lebih murah. Champion

berpendapat bahwa pilihan lokasi

perusahaan industri kreatif dibatasi

oleh regenerasi pusat kota yang luas,

dengan perusahaan-perusahaan yang

paling rentan, terutama perusahaan

yang masih kecil, menghadapi pilihan

untuk dapat mengakses tempat murah

hanya di pinggiran.

Karin Drda-Kuhn (2010)

mengamati kondisi di mana manfaat

ekonomi budaya (cultural economic)

dapat dihasilkan sebanyak mungkin

oleh pelaku lokal di kota-kota kecil di

daerah pedesaan. Temuan

menunjukkan bahwa jaringan utama

seperti sistem pembelajaran yang

berkelanjutan merupakan faktor

keberhasilan utama dalam proses ini.

Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat

137

Saat ini, hanya ada sedikit jaringan

usaha (working network) yang berhasil

di Jerman dengan fokus ekonomi

budaya yang mungkin bisa berfungsi

sebagai panutan bagi kota-kota kecil di

berbegai tempat.

Pauline White (2010) yang

membahas potensi dan tantangan bagi

sektor kreatif di daerah pedesaan

melalui kasus Wilayah Barat pedesaan

Irlandia dan kegiatan Komisi

Pembangunan Barat (Western Region

of Ireland and the activities of the

Western Development Commission).

Sektor kreatif di rekening daerah

sekitar 3 persen dari lapangan kerja

dan 1,3 persen dari Nilai Tambah

Bruto, didominasi oleh usaha mikro

dan wiraswasta individu dan memiliki

aktivitas ekspor yang rendah. Kualitas

hidup, lingkungan alam dan warisan

kreatif di kawasan ini merupakan

faktor penting dalam menarik orang-

orang kreatif ini wilayah pedesaan.

Tantangan untuk bisnis di sektor ini

termasuk kebutuhan untuk menarik dan

mempertahankan bakat kreatif saat ini

dan masa depan, serta ancaman

terhadap kekuatan utama di kawasan

itu tempat yang kreatif. Isu-isu seputar

penyediaan dan kualitas infrastruktur,

termasuk akses broadband dan

jaringan transportasi, juga ada.

Pengembangan peluang kebijakan dan

jaringan penting dalam mendukung

pertumbuhan sektor di daerah

pedesaan.

Pradel Pareja-Eastaway dan

Marc Pradel i Miquel (2010)

menunjukkan pentingnya lembaga

pemerintah dan bagaimana lembaga-

lembaga yang berbeda dan mekanisme

pemerintahan berkontribusi untuk

mempromosikan industri kreatif dan

ekonomi pengetahuan sebagai landasan

pertumbuhan ekonomi di Barcelona

Metropolitan Region (BMR). Tidak

hanya akan keterlibatan aktor publik,

swasta dan masyarakat dieksplorasi,

tetapi juga hubungan antara kota yang

berbeda dalam skala geografis.

Penelitian tentang industri

budaya, bagaimanapun, telah

mengungkapkan ketegangan laten

antara seni dan pertimbangan

komersial (Gua 2000; Cowen dan

Tabarrok 2000; Kloosterman 2010a).

Amanda M. C Brandellero dan Robert

C. Kloosterman (2010) mengatakan

sebagai industri budaya, yang hanya

bisa bertahan hidup jangka panjang

melalui diferensiasi produk konstan

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

138

dan inovasi, harus ditemukan cara

untuk melindungi pekerja kreatif

setidaknya dari tekanan pasar langsung

untuk dapat datang dengan ide-ide baru

dan inovasi. Salah satu contoh industri

budaya dapat dilihat dari studi kasus

yang terdapat dalam penelitian Petra

Rehling (2012). Rehling menganalisis

potensi pasar untuk teks-teks fantasi

internasional di Taiwan, dan

memberikan latar belakang teoritis

untuk memahami dinamika salah satu

genre sastra ini dengan

mempertimbangkan tradisi lokal,

penerimaan dan pola konsumsi

masyarakat Taiwan.

Tak jauh dari masalah

transkultural tersebut, juga perlu

diperhatikan masalah geografis.

Meskipun berbeda tetapi tetap

diperhatikan hubungan dari dua

wilayah (baik kultural maupun

geografis) dalam industri kreatif.

Caroline Chapain, Roberta Comunian,

dan Nick Clifton (2010) menulis artikel

tentang bagaimana mengembangkan

pemahaman yang lebih baik tentang

dinamika yang mempengaruhi

hubungan antara industri kreatif dan

konteks geografis. Sebuah literatur

yang luas telah berusaha untuk

menjelaskan karakteristik umum dari

tempat kreatif demikian, tapi masih ada

sedikit pengetahuan tentang mikro-

interaksi yang kreatif dan praktisi

bisnis dalam konteks lokal yang

spesifik. Penelitian ini menjawab

pertanyaan ini dari berbagai perspektif.

Selain hubungan antar kultural

dan geografis, Naoto Higuchi &

Nanako Inaba (2012) memberi

perhatian pada hubungan

transnasionalisme. Mereka mengatakan

bahwa kita perlu mempertimbangkan

kembali hubungan antara

transnasionalisme dari atas dan dari

bawah, dengan fokus pada perilaku

konsumen pekerja migran. Meskipun

transnasionalisme dari bawah dapat

dianggap sebagai resistensi positif

terhadap ketergantungan pada negara-

negara dan modal global, juga

memfasilitasi penggabungan ke dalam

budaya konsumen global.

Depdag RI dalam studi

perkembangan Inkraf Indonesia

(2009), belum memasukkan Sumatera

Barat dan kota-kota di dalamnya secara

khusus. Sebab dalam pemaparan Inkraf

di daerah, hanya disebutkan Daerah

Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Kota

Solo, Kota Yogyakarta, Kota

Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat

139

Denpasar, Kota Bandung, dan Kota

Berpotensi yaitu Jember dan Batam

(Departemen Perdagangan Republik

Indonesia, 2009). Penelitian ini,

setidaknya, memberikan gambaran

potensi dan keberadaan industri kreatif

di Sumatera Barat.

Dengan mencatat peran penting

pemerintah dan beberapa pihak

lainnya, penelitian dari daerah sendiri

(Sumatra Barat) sudah dilakukan oleh

Hesti Pusparini (2011) memperlihatkan

peran cendekiawan, pelaku bisnis, dan

pemerintah dalam industri kreatif yang

dalam hal ini Pusparini memberikan

gambaran umum indutri kreatif

subsektor industri bordir/sulaman dan

pertenunan di Sumatra Barat dan

memberi gambaran tentang strategi

paling tepat untk industri kreatif

tersebut menggunakan teknis analisa

SWOT dengan melakukan analisi

internal (Strengh, Weakness) dan

eksternal (Opportunities, Threaths).

Industri Kreatif Berbasis Sosial

Budaya di Sumatera Barat

Industri kreatif bagian tak

terpisahkan dari ekonomi kreatif.

Serangkaian wawancara yang

dilakukan tim peneliti dengan pelaku-

pelaku yang berpotensi

mengembangkan ekonomi kreatif, di

Kota Payakumbuh adalah Komunitas

Seni Intro, EO D’Cress, Lamante Kafe,

Pengelola Saluang Balega, dan

Sanggar Tari Cahayo. Sementara

kelompok-kelompok di Kota Padang:

Kelompok Pentassakral dan Kelompok

Studi Sastra dan Teater (KSST)

Noktah.

Komunitas Seni Intro

Payakumbuh yang didirikan tahun

1990 hingga kini tidak memperlihatkan

perkembangan yang signifikan. Hal

yang sama juga dialami KSST Noktah

dan Pentas Sakral. Setiap kegiatan dan

program yang dilakukan Intro, selalu

bermuara pada manajemen, sarana,

prasarana, dan sumber daya manusia,

serta finasial, namun bersifat sporadis.

Belum terpikirkan untuk melakukan

pengelolaan yang serius dan

profesional. Sebenarnya, Komunitas

Seni Intro merupakan “rumah besar”

tempat berkumpulnya para seniman,

budayawan, sastrawan, pelaku seni

lainnya. Mereka ini banyak berproses

dan bertukar pikiran di komunitas ini.

Polanya yang sangat terbuka menerima

anggota dari latar belakang apa saja,

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

140

membuat nama Intro begitu terkenal di

Kota Batiah ini.

Iven budaya dan seni, bukan tak

ada sama sekali yang dilakukan oleh

Komunitas Seni Intro. Ada beberapa

iven reguler yang setiap tahun digelar

Intro, tapi memang masih sangat

sederhana dengan pengelolaan apa

adanya. Misalnya Lomba Baca Puisi

November. Biasanya dana

penyelenggaraan berasal dari bantuan

anggota dan simpatisan Intro. Ada juga

sedikit bantuan dana dari pemerintah.

Kini, markas Komunitas Seni Intro

memiliki warung dengan lesehan yang

bersifat ekonomis. Ada lapangan

ukuran 10x15 yang dikesankan tempat

pertunjukan. Warung yang mulai aktif

dua tahun terakhir ini diberi label

“Warung Apresiasi Intro”. Tapi,

warung ini tidak menyediakan produk-

produk yang terkait dengan karya

kreatif berupa souvenir, jersi, dan

cindramata. Hadirnya “Warung

Apresiasi Intro” ini membuat markas

komunitas ini terasa hidup. Ruang

berkumpul dan berdiskusi sudah

tersedia dengan fasilitas yang

sederhana.

Beberapa agenda budaya mulai

disusun. Setahun belakangan, Intro

intens menggelar seni-seni pertunjukan

di markasnya itu, antara lain teater,

musik, dan pembacaan karya sastra.

Selain itu, Komunitas Seni Intro kini

sudah memiliki status hukum.

Beberapa pihak telah mulai bersinergi

bekerja sama dengan Intro. Pemda

mulai bisa menerima Intro dan mulai

membantu dana. Kendati mulai

berbenah, Komunitas Seni Intro tetap

masih memiliki masalah besar, yakni

tidak memiliki manajer yang sungguh-

sungguh bekerja mengelola kelompok

ini. Aktivitas dan kegiatan seni budaya

Intro tetap dilakukan, kendati masih

sporadis dan belum teragendakan

dengan baik. Anggotanya masih

berkreativitas, tapi hasilnya belum

mampu untuk menopang kebutuhan

hidup. Minimnya dukungan

pemerintah, sulitnya mencari sponsor,

dan belum terbiasanya penonton untuk

membayar, mengesankan kegiatan

masih bersifat penyalur hobi semata.

Selain itu, ada Willy Sandra

Dinata, juga anggota Komunitas Seni

Intro, kini membuka sebuah kafe di

Kota Payakumbuh, Lamante Kafe.

Kafe ini memadukan iven-iven musik

untuk segmen remaja. Kafe ini sudah

beroperasi sejak dua tahun lalu, dengan

Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat

141

menampung grup-grup musik di Kota

Payakumbuh dan sekitarnya. Namun

Willy sangat menyayangkan aturan

yang diterbitkan Pemerintah Kota

Payakumbuh yang melarang produsen

rokok berpromosi di Kota

Payakumbuh. Akibatnya, kafe yang

dikelola Willy kesulitan mencari

sponsor untuk iven-iven konser

musiknya, sebab sponsor potensial

adalah produsen rokok.

Uwan Safnir, yang juga

simpatisan Komunitas Seni Intro,

beberapa tahun terakhir, bersama

dengan Sigid A Yazid, merintis

komunitas pencinta saluang di Kota

Payakumbuah. Potensi dan apresiasi

masyarakat yang dinilainya cukup baik

terhadap seni tradisi saluang, dinilainya

merupakan peluang untuk

dikembangkan dalam industri kreatif.

Sementara itu, Rike dari

Sanggar Cahayo Payakumbuh, yang

memokuskan grupnya pada seni tradisi

Minang dan hiburan, juga menghadapi

masalah yang sama, yakni manajemen.

Menurut Rahman, yang juga bekerja

sebagai PNS di Dinas Pariwisata

Pemuda dan Olahraga Pemko

Payakumbuh, EO D’Cress didirikan

pada tahun 2009, diawali dengan

kegiatan yang jenisnya subkontrak.

Setahun kemudian, EO ini melangkah

lebih maju menjadi vendor profesional

dengan mendirikan perusahaan event

organizer D’Cress. Empat tahun sejak

didirikan, D’Cress sudah merambah

tiga provinsi, Sumatera Barat, Riau,

dan Sumatera Utara. D’Cress sudah

memiliki aset berbagai kebutuhan

pagelaran seperti rigging, sound

system, dan lighting. Selain itu,

D’Cress juga melakukan dan terus

memperluas kerja sama dengan

komunitas. Demikian juga dengan

pihak sponsor, sinerginya D’Cress

sudah menampakkan perkembangan

dan kepercayaan. Untuk administrasi,

D’Cress terus membenahi secara

bertahap.

Terkait dengan posisi

pemerintah (Pemerintah Kota

Payakumbuh), yang juga tak kalah

banyak menggelar berbagai kegiatan

yang membutuhkan EO untuk

kesuksesan kegiatannya, terkesan

pihak penyelenggara tidak

mempercayakan penuh kepada EO

yang ada di Kota Payakumbuh. Terkait

dengan pengembangan ekonomi

kreatif, SDM Payakumbuh mungkin

tidak akan kehabisan ide dan gagasan.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

142

Tapi yang jadi masalah besar adalah

belum adanya persepsi yang sama

dalam memahami apa itu ekonomi dan

industri kreatif.

Hal yang mungkin tak kalah

pentingnya adalah masalah perizinan,

konsistensi, dan komitmen. D’Cress

merasakan bagaimana sulitnya

pengurusan perizinan itu. Misalnya,

D’Cress sudah membuat komitmen

kontrak dengan sebuah perusahaan

klien dalam jangka satu tahun dengan

melaksanakan iven di space yang telah

disepakati. Namun, saat urusan izin,

selalu berbenturan dengan pihak

kepolisian dan juga SKPD terkait. Dan

ini setiap iven yang mau digelar selalu

bermasalah dengan izin ini. Selain itu,

apresiasi pemerintah, terutama yang

terkait dengan pengembangan ekonomi

kreatif, terkesan masih minim dan tak

memahami potensi yang dimiliki

daerahnya.

Sementara itu, terkait dengan

potensi dan kekayaan seni tradisi yang

dimiliki Kota Payakumbuh dan

Limapuluh Kota, dan masyarakatnya

yang apreasitif dengan keseniannya,

juga menghadapi persoalan

pengelolaan dan minimnya ruang

ekspresi seniman rakyat itu. Uwan

Safnir, Wakil Ketua Komunitas

Saluang Luhak Limapuluh Koto

menyebutkan tahapan dan perubahan

yang terjadi pada seni tradisi saluang

ini. Sebelum tahun 2007, saluang jo

dendang di Payakumbuh, masih kental

dengan tradisinya, sering dimainkan

pada helat perkawinan dan alek nagari.

Setelah 2007, saluang jo dendang

perlahan terlempar karena masuknya

organ tunggal dan adanya salung

dendang dangdut yang sering disebut

“Salut”, yang memiliki penggemar

cukup banyak.

Komunitas Salung Dendang

jumlahnya sekitar 30-an. Pengurus

masih mendata detil dan aktivitasnya.

Aktivitas seniman tradisi ini masih

jauh dari profesional. Kebanyakan,

melakukan pertunjukan atas dasar

permintaan warga untuk mengisi acara

alek atau pesta perkawinan. Menurut

Uwan Safnir, selain tampil di

perhelatan para pedendang saluang

juga melakukan pertunjukan di

pelbagai lokasi di Payakumbuh, yaitu

di pelataran Kantor Pos, Pasar Ibuah,

dan Pasar Panampuang. Selain itu juga

di Ngalau, Padang Data, Kawabebe,

yang dilaksanakan pada hari-hari

tertentu, dan bahkan dilakukan pada

Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat

143

setiap malam. Terkait dengan

pengembangan industri kreatif,

menurut Uwan Safnir, pihak dinas

pawisata membantu menyediakan

lokasi pertunjukan sejak 2012.

Galibnya seni tradisi,

pertunjukannya dikelola mandiri dan

sederhana. Penggemar saluang dan

dendang pun berasal dari kalangan

masyarakat bawah. Penyajian dan

tampilnya tak rumit-rumit. Modal yang

diperlukan adalah pengeras suara, tikar

kecil untuk dua orang seniman itu:

tukang saluang dan dendang

(penyanyi). Pemilik kedai—biasanya

mereka tampil di lapau-lapau kopi—

mempersilakan mereka tampil. Seni

tradisi ini bersifat gurau (canda). Lagu

yang dipertunjukkan penuh dengan

syair canda dan sindiran.

Pagarau (istilah bagi penonton

dan penggemar saluang jo dendang)

biasanya “berkontribusi” dengan cara

memesan lagu kesukaannya. Satu

request bisa mencapai Rp20 ribu

sampai Rp50 ribu. Selain itu, ada juga

“katidiang” (bakul) yang dijalankan

untuk menghimpun uang. Penontonnya

berasal dari Kota payakumbuh,

Bukittinggi, dan Padangpanjang. Satu

malam, mereka bisa memperoleh

penghasilan Rp. 400.000,00 – Rp.

600.000,00. Uang yang diperoleh ini

dibagi tiga: pedendang, tukang

saluang, dan pemilik lapau. Berbeda

dengan jika mereka diundang untuk

tampil. Bayarannya sesuai dengan

kesepakatan. Biasanya pengundang

membayar untuk tampil sehari itu

berkisar Rp.1000.000,00 sampai

dengan Rp.1.500.000,00.

Rata-rata, seniman tradisi ini

tidak semata-mata menggantungkan

penghasilannya dari sini. Umumnya

mereka bekerja sebagai petani dan

berdagang. Kendati begitu, ancaman

paling besar eksistensi seni tradisi

Minang ini adalah organ tunggal dan

makin menyusutnya pelaku kesenian

jenis ini. Pengelolaan komunitas ini

pun masih sangat sederhana. Anggota

belum terdata dengan baik. Kelompok

ini juga tidak memungut iuran anggota.

Mekanisme penghimpunan anggota

pun tidak jelas. Pengurus bekerja

karena prihatin sebab seniman tradisi

ini belum memiliki wadah. Koordinasi

dan komunikasi bahkan hanya

dilakukan lewat telepon genggam.

Rike, pengelola Sanggar Tari

Cahayo, juga mengalami masalah

terkait dengan manajemen. Masalah ini

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

144

memang disadari pengelola sanggar

ini. Sanggar belum bisa memberi

kepastian untuk menopang ekonomi

anggotanya, karena masih dikelola

sebagai kegiatan sampingan.

Kelompok tari ini memiliki anggota

mencapai puluhan. Tapi masing-

masing punya aktivitas sendiri.

Sanggar belum banyak memiliki aset,

seperti kostum yang belum lengkap.

Jika ada undangan untuk tampil,

sanggar ini sering menyewa kostum.

Untuk menjadikan sanggar ini

produktif dan mampu mendatangkan

finansial, tentu masih membutuhkan

kerja keras. Kendati ada rekrutmem

anggota dengan iuran bulanan, serta

beberapa anggota jadi pelatih tari dan

musik di sekolah-sekolah, tapi itu

belum bisa dikatakan sebagai industri

kreatif.

Syuhendri dari Kelompok Studi

Sastra dan Teater (KSST) Noktah

Padang menjelaskan, awal berdiri

Noktah pada Agustus 1993 sebenarnya

tidak untuk menjadi industri kreatif.

Kehadirannya saat itu untuk menjawab

iklim kesenian di Sumatera Barat yang

dirasakan kurang kondusif. Pada waktu

itu, kelompok-kelompok seni cukup

banyak, tapi kurang mengakomodasi

yang muda-muda. Dari kondisi itu

kelompok ini bersepakat dengan

beberapa orang aktivis kesenian seperti

Yusrizal KW, Lilik Zurmalis, Syafrina

dan Thamrin Ismail mendirikan

komunitas yang diberi nama KSST

Noktah.

Dalam perjalanan Noktah,

Syafrina dan Thamrin Ismail tidak ikut

berproses. Dalam usahan untuk

mencari anggota, Noktah membuka

pendaftaran dan ternyata respons

cukup bagus. Banyak peminat seni

teater yang sebenarnya ingin

berkreativitas dan tergabung dalam

kelompok-kelompok teater. Untuk

kajian studi sastra, polanya

diikutsertakan dalam proses latihan

teater. Naskah-naskah drama

didiskusikan secara mendalam. Saat

itu, Noktah fokus pada naskah-naskah

Arifin C Noer. Pementasan pertama

Noktah pada 1994 dengan mengangkat

naskah Arifin C Noor, Interogasi, di

Teater Tertutup Taman Budaya

Sumatera Barat selama 3 malam.

Respons publik teater cukup bagus.

Pada awal pendiriannya, KSST

Noktah konsentrasi pada naskah Arifin

C. Noer. Alasan pemilihan naskah-

naskah Arifin untuk pembelajaran dan

Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat

145

studi naskah drama. Nyaris semua

anggota yang masuk ke Teater Noktah

tidak memiliki latar belakang

pendidikan teater. Saat itu, Noktah

berpendapat, naskah-naskah Arifin

sudah memiliki standar yang jelas.

Kelompok ini juga mementaskan

naskah-naskah asing dalam proses

selanjutnya.

Fase berikutnya KSST Noktah

berusaha untuk merespons budaya

sendiri, yaitu Sumatera Barat

(Minangkabau), tempat dimana

kelompok ini tumbuh. Persoalan yang

dibicarakan adalah konsep dasar adat-

istiadat, budaya, dan kebanyakan

mengkiritisi banyak hal dan mencoba

mengeksplorasinya hingga menjadi

bentuk-bentuk pertunjukan. Akhirnya

KSST Noktah dituntut untuk belajar

tentang budaya Minangkabau itu

sendiri, belajar tentang permainan anak

nagari, tentang seni tradisional.

Menurut Syuhendri, sejak awal

berdiri, Noktah tidak pernah diarahkan

sebagai suatu wadah untuk bisa

menghasilkan secara ekonomi dan

anggotanya bisa hidup dari kelompok

ini. Sampai kini jumlah anggota yang

pernah ikut terlibat dan berproses di

Noktah, mencapai ratusan orang,

dengan latar belakang profesi. Padahal

untuk perkembangan kesenian (teater)

pemahaman seperti itu malah

merugikan komunitas itu sendiri, dan

memperkecil ruang lingkupnya. Kini,

ketika seni pertunjukan dianggap

mampu membangkitkan industri dan

ekonomi kreatif, Noktah merasa telah

jauh tertinggal dan memulai dari nol

lagi untuk mengejar pengelolaan yang

lebih profesional.

Hingga tahun 2013, KSST

Noktah telah memproduksi 23 kali

pertunjukan teater. Akan tetapi, jika

dihitung jumlah pementasannya, sudah

mencapai ratusan kali. Selama

produksi itu, Noktah tidak pernah

mendapat sponsor, baik itu dari

kalangan usaha maupun dana hibah

CSR. Jikapun ada, misal dari Hibah

Kelola, itu lebih bersifat kompetisi.

Sementara itu, pemerintah daerah lebih

banyak membantu sebatas kemampuan

anggaran yang tersedia.

Selama ini, menurut Syuhendri,

dalam mencari biaya produksi

pementasan, Noktah lebih

mengandalkan pada hasil sumbangan

orang-orang yang memiliki perhatian

pada kesenian. Kadang malah

ditambah dengan sumbangan kerabat

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

146

dan keluarga anggota. Kelompok ini

menyadari, untuk membiayai sebuah

produksi teater, memang cukup mahal.

Selain uang, juga menyita pikiran,

waktu, dan tenaga. Jika semua

kebutuhan tersebut dikonversikan

dengan uang, tentu menjadi sangat

mahal sekali. Persoalan manajemen

kelompok menjadi kekhawatiran dan

kebutuhan yang paling mendasar.

Beberapa produksi Noktah memang

pernah dikelola dari kalangan

wartawan sebagai pimpinan produksi,

yaitu Yurnaldi. Tapi, secara

keseluruhan kerjanya bukan mengelola

sebuah produksi teater. Karena

jaringan seorang wartawan cukup luas,

maka ia tak begitu mengalami

kesulitan menggalang dana. Proses

sebuah produksi, tata kelola

administrasi, keuangan, meyakinkan

sponsorship, tetap tak berjalan.

Selain itu pula, Noktah tidak

mengikat anggotanya untuk

beraktivitas dan mengembangkan

potensinya di tempat lain. Beberapa

anggota Noktah tetap berkiprah di

tempat lain dan memilih profesi yang

masih berkaitan dengan seni, seperti

fotografer, film dan kameramen, usaha

distro, dan lain sebagainya.

Sebenarnya, sifat keanggotaan grup

yang terbuka dan tak terikat tersebut,

disadari sangat berisiko. Artinya,

Noktah tak akan pernah memunculkan

aktor dan pemain teater yang handal

dan kuat. Karena mereka datang dan

pergi meninggalkan grup. Berangkat

dari masalah ini pula, kelompok ini

kemudian merasa cukup gamang juga

ikut-ikut iven khusus seperti IPAM

(Indonesia Performing Art Mart) yang

digelar Kementerian Pariwisata dan

Ekonomi Kreatif.

Tak jauh beda dengan motif dan

latar belakang berdirinya sebuah

kelompok seni, yang umumnya

berangkat dari keprihatinan stagnannya

seni itu sendiri. Pasangan suami istri

Alda Wimar (almarhum)-Nina Rianti,

sejak Orkes Gumarang yang didirikan

Oslan Husein tidak aktif, kondisi

permusikan di Sumatera Barat, seperti

kehilangan gairah dan tak berkembang.

Meskipun ada sejumlah kelompok

musik muncul setelah itu, seperti grup

musik Balairung, pimpinan Asnam

Rasyid. Kelompok ini tidak bertahan

karena masalah manajemen juga.

Balairung tidak masuk dalam proses

penciptaan, tapi lebih mengaransir lagu

yang sudah ada. Saat itu, Orkes

Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat

147

Gumarang sebagai ikon grup musik

yang sukses menginspirasi keduanya

untuk memilki kelompok musik yang

tentu saja beda dengan yang sudah ada.

Selain itu, mendirikan kelompok musik

yang ideal, juga didukung AA Navis

(almarhum).

Kehadiran Pentassakral

memang unik. Awalnya, tutur Nina

Rianti yang saat itu bekerja di Kanwil

Departemen Penerangan (Deppen)

Sumatera Barat, kantornya berencana

membeli alat-alat musik tradisional

Minang. Tapi, peralatan musik yang

yang dibeli mengecewakan. Berangkat

dari kekecewaan inilah, ia

membicarakan persoalan tersebut

kepada Alda Wimar. Maka disepakati,

untuk mendirikan kelompok musik

sesuai dengan apa yang dicita-citakan.

Dari sinilah Pentassakral menjadi

sebuah kelompok seni musik.

Lalu, sekitar tahun 1990, di

Pariaman ada acara ritual Oyak

Tabuik. Kedua orang pendiri kelompok

ini ikut serta meneliti proses ritual

tersebut, sejak mengambil tanah hingga

membuang tabuik ke laut. Upacara

religius dan sakral ini menjadi inspirasi

lahirnya nama kelompok musik

Pantassakral itu. Prosesi tersebut juga

menjadi inspirasi bagi produksi musik

kelompok ini, sehingga karya pertama

Pentassakral adalah lagu Pesta Desa

yang menceritakan suasana sakral

peristiwa Oyak Tabuik itu, yang

berkisah tentang perang di Padang

Karbala itu.

Saat lagu Pesta Desa selesai,

sebenarnya Pentassakral belum

memiliki alat-alat musik pendukung.

Beberapa seniman, salah seorang di

antaranya Mak Etek Anduska dan

Sexri Budiman, menyumbang

talempong. Dan beberapa kawan-

kawan ikut bergabung, antara lain

Atong, Ar, In dan lain sebagainya.

Pengalaman pertunjukan pertama

Pentassakral adalah saat diundang

panitia Musda AMPI Sumbar di

Asrama Haji Padang. Pentassakral

membawakan dua lagu. Selain Pesta

Desa dan Laut Bernyanyi, Gelombang

Pun Teduh.

Penampilan Pentassakral yang

dinilai banyak kalangan sukses itu,

menjadi langkah awal untuk

mengembangkan dan menggarap puisi-

puisi menjadi bentuk aransemen musik,

antara lain puisi Chairil Anwar,

Yusrizal KW, Alda Wimar, Leon

Agusta, dan lain sebagainya.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

148

Selanjutnya, Pentassakral

mengukuhkan diri sebagai kelompok

musik berbasis sastra hingga hari ini.

Selain menggarap aransemen puisi,

Pentassakral juga mengisi musik untuk

pertunjukan teater, salah satunya

pertunjukan Antigone yang

disutradarai A Alin De dan Wayang

Padang sutradara Wisran Hadi. Hingga

kini, Pentassakral, telah mengaransir

lebih kurang 60-80-an lagu.

Kelemahan lain yang dihadapi

adalah minimnya dokumentasi proses

dan pertunjukan. Demikian juga,

persoalan manajemen dan distribusi

hasil kesenian yang belum ditata

dengan baik. Akibatnya, beberapa

tahun terakhir Pantassakral stagnan, tak

ada karya baru yang diciptakan.

Pementasan Pentassakral terakhir pada

Desember 2011 lalu di Taman Budaya

Sumatera Barat. Mengenai peralatan

dan fasilitas yang dimiliki,

Pentassakral masih dalam proses

pembenahan. Enam tahun lalu, seorang

pencinta musik dari Swiss, Rud, datang

ke Padang dan menyaksikan

Pantassakral. Rud mengatakan,

peralatan dan sound system yang

digunakan saat itu sangat jelek dan tak

berkualitas. Padahal, garapan dan

konten yang disampaikan cukup bagus.

Rud membantu dana yang cukup untuk

Pentassakral agar rekaman di studio

yang standar. Tahun lalu, Pantassakral

mendapat bantuan dana dari Balai

Pelestarian Nilai Budaya (BPNB)

Padang, yang dimanfaatkan untuk

memperluas studio yang terlalu kecil.

Kini, proses rekaman dan latihan bisa

dilakukan dengan leluasa di studio itu.

Dalam proses kreatifnya,

Pentassakral selalu mengikuti tren

yang berkembang dan jadi ganre musik

dunia, termasuk legenda-legenda yang

tumbuh di tingkat lokal. Biasanya,

proses kreatif Pantassakral itu dimulai

mencari puisi yang cocok dengan aura

dan marwah Pentassakral. Puisi itu

dijadikan lagu, dan selanjutnya

dicarikan komposisinya. Terkadang,

musik yang dihasilkan tak

menggunakan kata-kata, hanya

senandungnya saja. Musik seperti ini

memiliki interpretasi yang beragam

saat menikmatinya.

Musik-musik tradisi

Minangkabau cukup kaya dan variatif.

Ini merupakan aset penting bagi dunia

kesenian (musik) di Minangkabau

(Sumatera Barat). Pentassakral sendiri,

punya konsep mensenyawakan antara

Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat

149

alat musik tradisi dengan Barat.

Keunikan alat musik tradisi Minang

itu, nadanya yang minor, seperti

saluang dan sampelong. Nada dasar

minor ini merupakan tantangan proses

kreatif komposer. Sebagai kelompok

musik yang memahami betul kondisi

kesenian Indonesia yang belum berada

di posisi penting bagi nmasyarakat,

Pentassakral tak menerapkan tarif jika

diundang, malah bisa gratis jika iven

terkait dengan upaya aksi sosial dan

kemanusiaan.

Lima tahun terakhir,

musikalisasi puisi menjadi tren di

sekolah-sekolah dan masuk dalam

ekstra kurikuler. Program ini juga

dikembangkan Balai-balai Bahasa di

Indonesia. Badan Bahasa juga juga

mengadakan festival musikalisasi puisi

sejak tingkat kota hingga nasional.

Personil Pentassakral seringkali

menjadi instruktur dan terlibat dalam

pengembangan ini. Bekerja sama

dengan Balai Bahasa Padang, kini

upaya ini memperlihatkan

perkembangan positif dimana utusan

Sumbar beberapa kali meraih juara

nasional. Indikator ini memperlihatkan,

potensi Sumbar untuk pengembangan

musikalisasi puisi cukup besar.

Analisis Peta Potensi dan Tantangan

Industri Kreatif di Sumatera Barat

Tantangan dalam industri

kreatif dapat dilihat dalam dua arena

kajian, yaitu arena kajian ekonomi dan

arena kajian kreatifitas. Tantangan

utama yang paling mungkin menjadi

pertanyaan dan perdebatan adalah

semakin bergesernya makna kreatifitas

dengan nilai-nilai yang lebih tinggi dari

segi artistik sebagai karya seni budaya.

Di sisi lain, karya seni akan menjadi

produk barang atau jasa yang laku

dijual dalam pasaran seni budaya,

tanpa mempertimbangkan lebih lanjut

aspek segi artistik sebagai karya seni

budaya. Industri kreatif atau industri

budaya adalah kegiatan yang

bersangkutan dengan produksi dan

pemasaran barang dan jasa yang

memiliki konten estetika atau

semiotika (Scott, 2004). Berbagai

penelitian mengungkapkan,

kemunculan industri kreatif sebagai

mesin pertumbuhan ekonomi

mencerminkan konjungtur ekonomi

dan budaya di mana produksi

komoditas telah menjadi terikat dengan

eksperimen artistik yang menghasilkan

ketegangan laten antara seni dan

pertimbangan komersial (Gua 2000,

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

150

Cowen dan Tabarrok 2000,

Kloosterman 2010).

Tantangan-tantangan yang lain

di antaranya, pertama, untuk menarik

dan mempertahankan bakat kreatif saat

ini dan masa depan (Pauline White,

2010). Sebagai industri seni budaya,

hanya bisa bertahan hidup jangka

panjang melalui diferensiasi produk

konstan dan inovasi, sehingga harus

ditemukan cara untuk melindungi

pekerja kreatif setidaknya dari tekanan

pasar langsung untuk selalu

mendapatkan ide-ide dan inovasi-

inovasi baru (Amanda M. C.

Brandellero dan Robert C.

Kloosterman, 2010). Kedua,

penggunaan manajemen dan akuntasi

kuantitatif ekonomi yang beriringan

dengan manajemen kualitatif

kreativitas (C. Rachel Granger dan

Christine Hamilton, 2010). Ketiga,

keberadaan konsumen yang akan

mengkonsumsi produk barang atau jasa

kreatifitas tersebut. Sehingga,

kebutuhan atau keinginan

memasarkannya perlu memahami pola

konsumsi masyarakat sasaran atau

konsumennya. Keempat, jaringan

usaha (working network) yang fokus

pada ekonomi kreatif atau ekonomi

budaya yang mampu menawarkan

potensi ekonomi yang cukup besar

untuk dieksplorasi (Karin drda-Kuhn

dan Dietmaw Wiegand, 2010).

Payakumbuh merupakan salah

satu kota yang memiliki potensi

pengembangan industri kreatif cukup

banyak. Keadaan alam, luas wilayah,

fasilitas umum dan tata ruang, sikap

mental manusianya, dan sistem

pemerintahannya sangat mendukung

iklim kreatif. Ada kekhawatiran

berkaitan dengan kehadiran industri

modern, dalam bidang kesenian dan

sosial budaya, keberadaan kesenian

tradisional menjadi berkurang terutama

pada pelakunya.

Kelompok seni di Kota Padang,

memiliki peluang yang juga besar,

karena secara geografis mudah

dijangkau oleh orang luar, baik daerah

lain Sumatera Barat, maupun dari luar

Sumatera Barat. Sebagai kota pesisir,

Padang sebenarnya juga memiliki

peluang untuk industri kreatif dalam

bidang sosial budaya, karena

keragaman dan keberterimaan ide-ide

baru dalam bidang seni. Percepatan

perubahan terkait media teknologi juga

ikut memengaruhi keberterimaan ini.

Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat

151

Jika menggunakan tabel, maka

pemetaannya dapat diuraikan sebagai

berikut:

Tabel 1.

Pemetaan Potensi dan Tantangan Industri Kreatif

Di Sumatera Barat

Kota Potensi Tantangan

Padang 1. Masyarakat yang heterogen

2. Pengaruh dan

perkembangan teknologi

yang mudah diterima

3. Fasilitas untuk kreativitas

yang cukup tersedia

4. Fasilitas pertunjukan,

penonton, peralatan yang

cukup

5. Ruang pertemuan ide-ide

dan gagasan yang akan

menjadi sumber penciptaan

6. Lokasi yang strategis

sebagai ibu kota provinsi

yang banyak dikunjungi

Tantangan yang dihadapi

kedua daerah ini berdasarkan

pada hasil penelitian ini adalah:

1. Pengelolaan atau

manajemen yang perlu

dibenahi

2. Dukungan dari pemerintah

yang lebih besar, dan

terutama memasukkan

bidang ini dalam kebijakan

dan anggaran

3. Pencarian ide dan gagasan

cukup besar, namun perlu

didukung oleh adanya

tempat kajian, seperti

perpustakaan, pusat

penelitian, laboratorium

seni, dan sebagainya

4. Peran institusi pendidikan,

terutama pendidikan tinggi

seperti Unand, UNP, ISI,

IAIN IB, perlu

dikembangkan, untuk

mendukung kajian dan

peningkatan mutu seni

berbasis sosial budaya

5. Perlu keterlibatan media

massa untuk mendukung

kampanye dan pengenalan

industri kreatif

6. Perlu adanya modul atau

template bagi panduan

pengembangan,

administrasi, dan evaluasi

kelompok seni

Payakumbuh 1. Keadaan alam yang nyaman

dan segar untuk

berkreativitas

2. Keadaan tata ruang dan luas

wilayah memungkinkan

perekayasaan dan penataan

yang nyaman

3. Fasilitas umum dan tata

ruang, sikap mental

penduduk yang berada di

perlintasan dengan daerah

lain, menyangkut

penerimaan ide dan gagasan

4. Dukungan pemerintah yang

mendukung kondisi dan

iklim kreatif.

5. Kekayaan seni, nilai, dan

jenis kesenian berbasis adat

dan budaya yang masih

terjaga

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

152

Menggunakan model triple

helix secara sederhana, yang

merupakan model paling populer

dalam menjawab tantangan

pengembangan industri kreatif di

dunia, maka di dalamnya terkandung

peran-peran dan fungsi (1)

intelektual/akademisi/ universitas, (2)

bisnis/swasta yang di dalamnya

termasuk para pelaku industri kreatif,

dan (3) pemerintah baik pusat maupun

daerah. Maka jika dianalisis dari data

di atas, secara umum jelas sekali

upaya-upaya untuk mempertemukan

ketiga pihak tersebut belum optimal.

Meskipun dalam beberapa wawancara

dan juga dalam diskusi pernah

disinggung keterlibatan pemerintah

dalam dinamika industri kreatif.

Kota Payakumbuh, misalnya,

dengan tantangan kehadiran industri

bidang kesenian dan sosial budaya

modern, sehingga keberadaan kesenian

tradisional menjadi berkurang terutama

pada pelakunya. Maka Pemerintah

Kota Payakumbuh mestinya

menghasilkan regulasi dan kebijakan

yang berupa pertama, pemetaan dan

perncanaan pengelolaan dan

pengembangan industri kreatif baik

yang modern maupun tradisional.

Kedua, perlu adanya perlindungan dan

fasilitasi pada para pelaku kesenian

tradisional dan tidak serta merta

menyerahkan persoalan ini pada

mekanisme pasar semata. Ketiga,

Pemerintah Kota Padang Panjang juga

memfasilitasi pertemuan dalam

jaringan kerja antara pihak universitas/

akademisi/intelektual dengan

bisnis/swasta dan para pelaku industri

kreatif.

Bagi para pelaku industri

kreatif di Sumatera Barat, mungkin

juga perlu memahami bahwa industri

kreatif sebagai mesin pertumbuhan

ekonomi mencerminkan konjungtur

ekonomi dan budaya di mana produksi

komoditas telah menjadi terikat dengan

eksperimen artistik yang menghasilkan

ketegangan laten antara seni dan

pertimbangan komersial (Gua 2000,

Cowen dan Tabarrok 2000,

Kloosterman 2010). Dan nampaknya

ini terjadi di tiga tersebut dengan

perbedaan tingkat penyikapan di mana

Kota Padang lebih siap, salah satunya

dikarenakan letak geografis yang

memengaruhi mobilitas dan

keberterimaan pengaruh dan

perkembangan sosial budaya.

Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat

153

Sedangkan untuk menarik dan

mempertahankan bakat kreatif saat ini

dan masa depan sebagaimana

disampaikan Pauline White (2010),

sebagai industri seni budaya, hanya

bisa bertahan hidup jangka panjang

melalui diferensiasi produk konstan

dan inovasi, sehingga harus ditemukan

cara untuk melindungi pekerja kreatif

setidaknya dari tekanan pasar langsung

untuk selalu mendapatkan ide-ide dan

inovasi-inovasi baru (Amanda M. C.

Brandellero dan Robert C.

Kloosterman, 2010). Nampak bahwa

Kota Padang lebih siap untuk hal

tersebut meskipun peran pemerintah

minim. Sedangkan Kota Padang

Panjang bahkan belum siap dengan

media promosi dan pasar yang tidak

jelas, artinya untuk tantangan yang

kedua ini, Padang Panjang belum

dirasakan tekanan pasar langsung.

Sedangkan Kota Payakumbuh justru

pasar yang baik buat industri kreatif

modern justru mengancam industri

kreatif tradisional. Tantangan untuk

penggunaan manajemen dan akuntasi

kuantitatif perekonomian yang berjalan

dan beriringan dengan manajemen

kualitatif kreativitas sebagaimana C.

Rachel Granger dan Christine

Hamilton (2010) baru bisa dilihat di

Kota Padang, dan tidak di dua kota

lainnya. Tantangan keberadaan

konsumen yang akan mengkonsumsi

produk barang atau jasa kreatifitas

tersebut. Sehingga ketika dihadapkan

pada kebutuhan atau keinginan untuk

memasarkannya perlu memahami pola

konsumsi masyarakat sasaran atau

konsumennya menjadi masalah atau

tantangan di Kota Padang Panjang.

Tantangan jaringan usaha (working

network) yang fokus pada ekonomi

kreatif atau ekonomi budaya yang

mampu menawarkan potensi ekonomi

yang cukup besar untuk dieksplorasi

sebagaimana Karin Drda-Kuhn dan

Dietmaw Wiegand (2010) nampaknya

belum ditemukan pada para pelaku

industri kreatif di Sumatera Barat

tersebut.

PENUTUP

Komunitas seni yang berbasis

sosial budaya memiliki peluang tidak

hanya dalam persoalan budaya secara

umum, namun juga dalam bidang

industri atau ekonomi. Mengingat

pentingnya peran komunitas seni, perlu

dikampanyekan terus menerus, agar

perkembangan dan pertumbuhannya

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

154

menjadi lebih luas. Masing-masing

daerah memiliki peluang dan tantangan

yang berbeda, namun ada sejumlah

permasalahan umum yang dialami oleh

kebanyakan komunitas.

Salah satu persoalan tersebut

adalah manajemen atau pengelolaan.

Rata-rata penggerak komunitas seni

adalah pekerja kreatif, dan kelemahan

manajerial sering ditemui. Dalam

konteks industri kreatif, keterlibatan

pihak lain seperti pemerintah dan

akademisi, termasuk ahli manajemen,

sangat diperlukan. Kerja sama ini

memungkinkan ditemukannya pola

atau sistem manajemen komunitas,

yang berbeda dengan perusahaan atau

organisasi lain. Keunikan ini dapat

menjadi bidang menarik yang dapat

dibantu oleh ahli-ahli manajemen.

KEPUSTAKAAN

Adam Jerusalem, Mohammad. 2009.

Perancangan Industri Kreatif

Bidang Fashion dengan

Pendekatan Benchmarking

pada Queensland’s Creative

Industry, Prosiding Seminar

Nasional Program Studi

Teknik Busana.

Amanda M. C Brandellero And Robert

C. Kloosterman. 2010.

Keeping the market at bay:

exploring the loci of

innovation in the cultural

industries, Creative Industries

Journal: vol. 3:1.

Chapain, Caroline And Roberta

Comunian And Nick Clifton.

2010. Location, location,

location: exploring the

complex relationship between

creative industries and place,

Creative Industries Journal,

vol. 3:1.

Champion, Katherine. 2010. Hobson's

choice? Constraints on

accessing spaces of creative

production in a transforming

industrial conurbation,

Creative Industries Journal,

3:1.

C. Rachel Granger & Hamilton,

Christine. 2010. Re-

spatializing the creative

industries: a relational

examination of underground

scenes, and professional and

organizational lock-in,

Creative Industries Journal,

3:1.

Departemen Perdagangan Republik

Indonesia. 2008.

Pengembangan Eknomi

Kreatif Indonesia 2025:

Rencana Pengembangan

Ekonomi Kreatif Indonesia

2009-2015. Jakarta: Depdag

RI.

Departemen Perdagangan Republik

Indonesia. 2009. Studi

Industri Kreatif Indonesia

2009. Jakarta: Depdag RI.

Drda-Kuhn, Karin., Wiegand, Dietmar.

2010. From Culture to

Cultural Economic Power:

Rural Regional Development

in Small German

Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat

155

Communities, Creative

Industies Journal, 3:1.

Higuchi, Naoto & Nanako Inaba. 2012.

Migrant workers enchanted

with consumer society:

transnationalism and global

consumer culture in

Bangladesh, Inter-Asia

Cultural Studies.

Khristianto, Wheny. 2008. Peluang

dan Tantangan Industri

Kreatif di Indonesia, Jurnal

Bisnis dan Manajemen (ISSN

1411-9366), Volume 5 Nomer

1, September 2008, Bandar

Lampung.

Pareja-Eastaway., Pradel i Miquel,

Marc. 2010. New economy,

new governance approaches?

Fostering creativity and

knowledge in the Barcelona

Metropolitan Region, Creative

Industries Journal, 3:1.

Petra Rehling. 2012. Harry Potter,

wuxia and the transcultural

flow of fantasy texts in

Taiwan. Inter-Asia Cultural

Studies, 13:1.

Pusparini, Hesti. 2011. Strategi

Pengembangan Industri

Kreatif di Sumatra Barat

(Studi Kasus Industri Kreatif

Subsektor Kerajinan: Industri

Bordir/Sulaman dan

Pertenunan), Perencanaan

Pembangunan Pascasarjana

Universitas Andalas.

Togar M. Simatupang, DKK. 2008.

Analisis Kebijakan

Pengembangan Industri

Kreatif di Kota Bandung,

Jurnal Manajemen Teknologi

(ISSN: 1412-1700), Volume 8

Number 1, 2008.

White, Pauline. 2010. Creative

industries in a rural region:

Creaive West: The Creative

sector in the Western Region

of Ireland. Creative Industries

Journal, 3:1.

Sumber internet

Creative Partnerships Arts Council

England. 2007. Cultural and

creative indutries: a review of

the literature. London:

Creative Partnerships Arts

Council England. Diunduh

dari www.creative-

partnerships.com./literaturere

views

Florida, Richard. 2001. “The Rise of

the Creative Class, Why Cities

without gays and rock bands

are losing the economic race”,

dalam

http://washingtonmonthly.com/f

eatures/2001/0205.florida.html

(dikunjungi 16 Juni 2009)

156

PERKEMBANGAN MUSIK DOL

DI KOTA BENGKULU

Zely Marissa HaqueProgram Studi Sendratasik

FKIP Universitas PGRI Palembang.

[email protected]

ABSTRAKEnsamble dol merupakan rangkaian musik untuk mengiringi dan sebagai

pelengkap dalam upacara tabot. Berdasarkan aktivitas dan interaksi masyarakat

Bengkulu mengenai peran musik dol tersebut, permasalahan untuk diteliti, yakni

bagaimana perkembangan musik dol di kota Bengkulu. Adapun metode dalam

penelitian ini adalah deskriptif kualitatif untuk membantu membahas masalah

tersebut dan memfokuskan deskripsi analisis. Perkembangan yang terjadi pada

musik dol setelah dilakukan penelitian yakni pertama : musik dol yang

sebelumnya sebagai media pendukung dalam suatu upacara, beralih fungsi

menjadi sebuah pertunjukan komposisi musik yang disajikan untuk mengisi

acara-acara umum di kota Bengkulu. Kedua : musik dol sebagai instrumen

pelengkap dalam komposisi garapan baru. Ketiga : musik dol juga dijadikan

sebagai bahan ajar di Sekolah dan Sanggar, hal ini berfungsi sebagai upaya

pewarisan terhadap generasi baru dan juga merupakan upaya mendapatkan

identitas kesenian tradisi kota Bengkulu serta menjadi aset bagi pariwisata kota

Bengkulu.

Kata Kunci : Tabot, Perkembangan Musik dol, Kota Bengkulu

ABSTRACTDol ensemble is a series of music to go along with the tabot ceremony. Based on

the activity and interaction of Bengkulu community about the role of dol music,

the problem to be research is the development of dol music in the town of

Bengkulu. The method used in this research was descriptive qualitative to help

with the discussion focussing on analysis description. There are three

developments occuring in dol music after the research was done. First, the dol

music which was previously used to support a ceremony has now become a

performance of music composition presented in general ceremonies in Bengkulu.

Second, dol music as a complementary instrument in new composition. Third, dol

music is also used as teaching material in schools and art groups, functioning as

heritage for the new generation and as an effort to get a new identity of

traditional art of Bengkulu and an asset for tourism in Bengkulu.

Keywords: tabot, dol music development, town of Bengkulu

Zely Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu

157

PENDAHULUAN

Kota Bengkulu merupakan

salah satu daerah di pulau sumatra

yang penduduknya juga terbentuk atas

latarbelakang budaya melayu. Bentuk

dari warisan budaya melayu yang

berkembang dan dilestarikan tersebut

adalah upacara tabot. Upacara tabot

merupakan upacara tradisional

masyarakat Bengkulu yang

dilaksanakan setiap tahun, tepatnya

pada tanggal 1-10 Muharram. Upacara

ini bertujuan untuk mengenang

wafatnya Husein cucu Nabi

Muhammad SAW dalam perang tak

seimbang pada saat perang antara

kaum syi’ah dengan kaum Bani

Umayah yang dipimpin oleh Yazid bin

Muawiyah serta Ubaidillah bin Ziyad

di Padang Karbela wilayah Irak pada

tahun 61 Hijriah atau sekitar 680 M

(Badrul Munir, 1993 : 63).

Pada awalnya upacara ini hanya

dilakukan oleh keluarga Tabot (sipai),

yakni masyarakat keturunan India yang

datang ke Bengkulu dan bekerja pada

pasukan Inggris sekitar tahun 1600-an

untuk membangun benteng

Marborought. Akhirnya para pekerja

tersebut berasimilasi dengan

masyarakat Bengkulu sambil

berdakwah menyebarkan agama Islam

dan sebagian dari mereka juga

melalukan perayaan atas wafatnya

husein. Hasil pencampuran dua budaya

tadilah yang dinamakan dengan

upacara tabot.

Sebagai satu kesatuan upacara,

upacara tabot dibentuk oleh bagian-

bagian yang terangkai dalam bentuk

tahapan-tahapan upacara. Beberapa

tahapan tersebut ialah mengambik

tanah, duduk penja, arak penja, arak

jari-jari, menjara, meradai, arak

sorban, tabot besanding dan tabot

tebuang. Keseluruhan tahapan upacara

tersebut dilaksanakan sesuai dengan

kelengkapan aspek-aspek

pendukungnya.

Adapun salah satu pendukung

dalam pelaksanaan upacara tabot

adalah musik dol. Musik dol (ensambel

musik dol) terdiri dari dol, tassa dan

seruling. Biasanya musik dol di

gunakan pada upacara tahap ke empat

yakni upacara menjara, namun upacara

ini juga kerap mengisi tahap upacara

yang lainnya seperti upacara arak jari-

jari, arak sorban, tabot besanding dan

tabot tebuang.

Sebaliknya tidak hanya

masyarakat Bengkulu yang

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

158

melaksanakan upacara tabot,

masyarakat dari daerah lain juga

merayakan tabot. Seperti daerah Aceh,

Sumatra Barat meliputi Pariaman dan

Padangpanjang. Namun oleh karena

pergerakan budaya sangat dinamis

sehingga terjadilah perkembangan atau

kepunahan oleh masyarakat

pendukungnya, maka yang hanya

melaksanakan perayaan tersebut hanya

di Bengkulu dan Pariaman Sumatra

barat. Bagi masyarakat Pariaman,

upacara tabot sering disebut dengan

upacara Tabuik. Dalam upacara

tersebut, juga terdapat gandang

tambua yang menjadi salah satu aspek

pendukung dalam memeriahkan

upacara tabuik (Asril Muchtar, 2002 :

131). Pada dasarnya gandang tambua

dan dol mempunyai kesamaan fungsi

dan kegunaan namun berbeda dalam

bentuk instrumen.

Hal yang menarik terlepas dari

konteks ritual upacara, bahwa dol juga

digunakan sebagai kesenian tradisi

masyarakat Bengkulu, sebagai

instrument yang bisa dikembangkan

sesuai kebutuhan senimannya, serta

sebagai instrumen yang digunakan

pada setiap acara ceremonial di Kota

Bengkulu, seperti acara penyambutan

tamu-tamu penting dan sebagainya.

Berdasarkan latar belakang

masalah yang telah dijelaskan di atas,

dapat dirumuskan beberapa

permasalahan yakni “Bagaimana

perkembangan musik dol di kota

Bengkulu”. Maka penelitian ini

memiliki tujuan untuk mengetahui

bagaimana perkembangan musik dol di

kota Bengkulu.

Dalam penelitian ini, penulis

memilih penelitian deskriptif kualitatif

sebagai salah satu penelitian yang

dipandang baik untuk membantu

membahas masalah tersebut, dan

memfokuskan deskripsi analisis

sebagai pilihan yang tepat yang

dipakai dalam karya ilmiah ini. Metode

deskripsi analisis yang dimaksudkan

dalam penelitian ini adalah

menguraikan permasalahan setelah

melakukan pengumpulan data yang

diperoleh dari hasil penelitian maupun

hasil wawancara dilanjutkan dengan

mentranskripsikan serta menganalisa

dengan pendekatan teori yang

berhubungan dengan tulisan ini,

kemudian menyusun dalam bentuk

tulisan ilmiah.

Zely Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu

159

PEMBAHASAN

Bentuk Musik Dol Di Kota Bengkulu

Seiring berjalan waktu, dol

mencapai suatu proses pengembangan

dan penyelamatan identitas. Cara ini

lah yang tepat, agar fungsi dan rasanya

masih tetap dirasakan oleh para

penikmatnya. Dengan kata lain

dibutuhkan suatu pewarisan terhadap

generasi-generasi baru bahkan dengan

bentuk-bentuk yang baru dalam hal ini

bentuk instrument, melodi/ritme dan

bentuk pertunjukan serta

perkembangannya di Kota Bengkulu.

Dol adalah sejenis beduk yang

terbuat dari bongkol tempat akar

kelapa yang ditutupi kulit lembu atau

kerbau, dan dibunyikan dengan

memakai alat pukul yang terbuat dari

kayu yang dilapisi kain. Gendang besar

ini dibawa oleh orang Benggali dari

India bersamaan dengan tabot.

Bentuknya seperti tempayan besar,

dengan bagian atas dipotong rata dan

bagian bawahnya tidak berlubang.

Bahannya terbuat dari bonggol kelapa

yang sudah tua, namun pada saat ini

telah dipakai pula bonggol pohon

nangka atau pohon cempedak (Manalu

luhut Dkk, 1995 : 35). Dol termasuk

dalam instrumen klasifikasi

membranophone yaang getaran suara

atau bunyinya berasal dari kulit (kulit

lembu atau kerbau), dimainkan dengan

cara dipukul dengan tangan kanan dan

kiri. Tampilan fisik luar dari dol

diwarnai dengan corak warna-warna

terang seperti merah, hijau dan kuning

menyala agar kelihatan lebih menarik.

Dalam upacara tabot ada tiga repertoar

lagu dol yaitu motif Tamatam, Suwena

dan Suweri. Ketiga repertoar lagu ini

berperan sebagai musik pengiring

dalam upacara tabot khususnya

upacara menjara dan melengkapi

kebutuhan upacara lainnya.

Gambar 1.Upacara beruji dol saat pelaksanaan menjara

dalam upacara tabot

(Foto: Zelly, 2009)

Fungsi Dol di Kota Bengkulu

Dalam upacara tabot, dol

digunakan sebagai musik pendukung

dalam upacara. Dol disajikan pada

upacara arak sorban, menjara, tabot

besanding dan tabot tebuang. Dalam

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

160

hal ini, dol merupakan bagian dari

prosesi upacara yang sangat penting

yang tak terpisahkan dari upacara

tabot, selain memenuhi kebutuhannya

dalam mengiringi rangkaian upacara

agar rangkaian upacara tersebut

menjadi lengkap. Fungsi pertama dol

dalam upacara tabot adalah mengiringi

proses kegiatan mengarak sorban.

Fungsi dol yang kedua mengiringi

kegiatan upacara menjara. Fungsi yang

ketiga adalah sebagai musik hiburan

dalam upacara tabot besanding.

Adapun bentuk acara yang dikonsep

oleh panitia pelaksana, yakni berupa

komposisi musik yang dikemas

dengan reportoar lagu dol dipadu

dengan kesenian tradisi di kota

Bengkulu. Sajian musik dol lainnya

adalah musik iringan tari Melayu

Bengkulu, dalam hal ini dol hanya

sebagai pelengkap media instrumen

dan mengiringi musik dari tari-tarian

tersebut. Fungsi yang terakhir adalah

mengiringi upacara tabot tebuang.

Dalam hal ini musik dol digunakan

dalam bentuk arak-arakan oleh masing-

masing kelompok tabot. Mereka

mengarak tabot dengan diiringi motif-

motif dol menuju tempat pembuangan

tabot. Selain fungsinya untuk

mengiring upacara, musik dol juga

berfungsi menghibur masyarakat kota

Bengkulu yang mengikuti proses tabot

tebuang.

Dol sebagai Media Seremonial di

Kota Bengkulu

Dol di luar dari konteks upacara

tabot, berfungsi sebagai musik yang

digunakan untuk mengisi acara-acara

yang bersifat umum di Kota Bengkulu.

Adapun acara tersebut yakni acara

penyambutan tamu-tamu penting, acara

ulang tahun kota Bengkulu, acara

menyambut hari kemerdekaan

Republik Indonesia dan acara-acara

besar lainnya di kota Bengkulu.

Berdasarkan hasil pengamatan yang

dilakukan, bahwa perkembangan dol

terus meningkat dan mengalami

kemajuan. serta kehadirannya direspon

baik oleh pendukungnya. Dol sebagai

musik tradisi yang berfungsi sebagai

media seremonial dan menjelma

menjadi suatu identitas kesenian dari

daerah Bengkulu tersebut, telah

mampu memberikan kekuatan musik

yang ekspresif dan dinamis dengan

ritmenya yang menghentak-hentak

sehingga mampu membangkitkan

Zely Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu

161

emosi bagi siapa saja yang

menyaksikannya.

Adapun bentuk penyajian

musik dol sebagai sebuah kebutuhan

acara yang bersifat seremonial

biasanya tidak terlepas dari reportoar

lagu yang digabung dengan repertoar

musik tradisi lainnya seperti gendang

serunai dan musik gamat melayu.

Misalnya pada perayaan ulang tahun

kota Bengkulu, oleh para seniman

tradisi yang berasal dari kota

Bengkulu, musik dol dikemas dalam

bentuk komposisi musik yang

berangkat dari reportoar lagu yang

dipadu dengan kesenian tradisi lainnya.

Dalam hal ini agar tercipta sebuah

komposisi musik dengan suasana dan

konsep yang berbeda dari sebelumnya.

Selain itu, sebagai upaya pelestarian

kesenian tradisi musik dol agar dapat

bermanfaat dan dilestarikan oleh

masyarakat Bengkulu.

Dol Sebagai Materi Pembelajaran di

Sekolah dan Sanggar

Seiring berjalannya waktu, dol

mencapai suatu proses perkembangan

berdasarkan fungsi dalam

kebutuhannya sebagai musik upacara

dan sebagai musik pelengkap acara

yang bersifat seremonial di kota

Bengkulu. Agar aktifitas kesenian

tradisi itu terus berjalan, maka

dibutuhkan suatu pewarisan terhadap

generasi-generasi baru yang nantiya

akan mewarisi kesenian tradisi

tersebut.

Adapun bentuk pengembangan

dol saat ini adalah digunakan untuk

bahan ajar mata pelajaran kesenian dan

pelajaran ektrakurikuler SMP dan

SMA di kota Bengkulu. Dalam hal ini,

penulis mengambil contoh salah satu

Sekolah Menengah Pertama (SMP) di

kota Bengkulu. Adapun proses yang

diajarkan adalah sebagai berikut.

a. Mengenai latar belakang sejarah

upacara tabot, prosesi upacara tabot,

maksud dan tujuan upacara tabot,

waktu dan tempat penyelenggaraan

upacara tabot.

b. Mengenai persiapan dan

perlengkapan upacara tabot.

c. Siswa mempelajari tari-tarian

dalam upacara tabot

d. Siswa mempelajari motif dol

dalam upacara tabot beserta

lagunya (Tamatam, Suwena,

Suweri) dan memainkan melodi

dan ritmenya.

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

162

e. Membuat kerajinan tangan berupa

bangunan tabot dan yang

berhubungan dengan upacara

tabot.

Sebagai hasil dari proses

belajar, biasanya setiap akhir

pergantian kenaikan kelas diadakan

Pentas Seni atau Pensi. Tujuan dari

acara ini adalah untuk melihat sejauh

mana para siswa memahami dan

menguasai budaya tabot. Isi dari acara

pentas seni adalah para siswa

mempraktekkan bagaimana cara

bermain dol dan mempraktekkan tari-

tarian tabot yang mereka dapatkan di

sekolah.

Berdasarkan penjelasan di atas,

pengembangan dol pada hakekatnya

adalah upaya pelestarian budaya agar

terus hidup dan berkembang. Musik

dol sebagai bahan ajar di Sekolah

adalah usaha untuk mempertahankan

kesenian tradisi upacara tabot agar

dikenal oleh generasi muda dan

generasi baru berikutnya.

Bentuk lain dari pengembangan

musik dol lainnya adalah kegiatan

sanggar atau komunitas yang berada

dalam wilayah pariwisata kota

Bengkulu dan yang berdiri sendiri

tanpa campur tangan pemerintah.

Aktivitas yang dilakukan oleh sanggar

tersebut adalah berlatih memainkan dol

dan melatih tari-tarian dari daerah

Bengkulu. Salah satu contoh sanggar

yang masih eksis dan sedang gencar-

gencarnya mempromosikan kesenian

tradisi dol dan kesenian tradisi lainnya

di kota Bengkulu adalah sanggar

Mayangsari. Dari beberapa sanggar

yang ada di kota Bengkulu sanggar

Mayangsari memang sedang mendapat

perhatian khusus dari pemerintah kota

Bengkulu. Prestasi yang telah

diperoleh oleh sanggar Mayangsari

yakni mampu memperkenalkan dol

kepada masyarakat luar Bengkulu

untuk dipelajari sebagai wawasan seni

dan sebagai tontonan dari sebuah

pertunjukan seni. Proses yang

dilakukan oleh sanggar Mayangsari

tersebut, juga merupakan cara

mempertahankan dan mengembangkan

kesenian tradisi musik dol agar tidak

punah.

Dol sebagai Sumber Garapan

Komposisi Baru

Dalam kurun waktu yang lama

musik dol mengalami perkembangan

sesuai dengan kebutuhannya. Adanya

proses perkembangan itu disebabkan

Zely Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu

163

oleh perubahan kebudayaan yang

berarti (William Haviland, 1988 : 263).

Maksud dari perubahan dalam tulisan

ini adalah perkembangan yang berarti

bagi para pendukungnya agar kesenian

ini dapat terus bertahan dan bermanfaat

bagi kesenian itu sendiri. Dol sama

dengan musik tradisi lainnya juga

harus dapat menyesuaikan dengan

lingkungan sekitarnya, sehingga

nantinya musik tradisi ini akan terus

berkembang dengan baik.

Berdasarkan pemahaman di

atas, dol sebagai alat musik tradisi,

juga mengalami perkembangan yang

akhirnya mengikuti fungsi dan bentuk

yang terjadi pada gandang tambua di

Pariaman Sumatra Barat. Adapun

bentuk-bentuk perkembangan musik

dol di kota Bengkulu dapat dilihat dari

konsep musik, instrumen, pemain dan

tempat penyajiannya. Dalam

komposisi, konsep utama musik dol

adalah tiga lagu dalam reportoar

upacara tabot yang kemudian

berkembang sesuai dengan konsep dan

keinginan komposer. Pengembangan

yang terjadi, berada pada wilayah ritme

yakni adanya penambahan motif-motif

baru dalam ketiga lagu dol dan

penambahan melodi yang bersifat

mengiringi ritme dalam komposisi dol.

Perkembangan yang terjadi terhadap

instrumen dalam komposisi dol yakni

adalah penambahan instrumen baru

seperti seperangkat dol kecil, gendang

buatan yang berasal dari pipa paralon

dan berukuran kecil. Sehingga dalam

penambahan instrumen tersebut, fluit

yang biasanya digunakan untuk

memberikan aba-aba, tidak lagi

digunakan dalam komposisi dol.

Sumber daya manusia yang

dapat bergerak melalui ruang dan

waktu, dan bertindak sebagai pelaku

seni atau seniman. Dalam sebuah

pertunjukan seni, pemain adalah faktor

pendukungnya. Pemain dapat

merasakan adanya kontak batin

terhadap sistem norma dan nilai dari

suatu kebudayaan serta subjek yang

sedang dilakukannya maka pemain

akan melakukannya berdasarkan proses

yang terus berlangsung dari generasi

sebelumnya hingga generasi

berikutnya.

Dalam proses tersebut budaya

pun berubah oleh karena budaya

bersifat dinamis, maka pemain

mengikuti alur yang telah terjadi di

sekelilingnya. Perubahan ini adalah

salah satu cara agar suatu kebudayaan

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

164

itu akan terus hidup dan berkembang

maka pemain atau sebagai pelaku harus

mengikuti alur sesuai dengan

kebutuhan komposisi dol.

Sesuai dengan kebutuhannya,

dewasa ini bentuk perkembangan

dalam segi pemain musik dol, adalah

anak-anak dan remaja. Anak-anak dan

para remaja lebih menguasai dan

mengekspresikan gaya dalam bermain

dol. Sementara orang yang telah

berumur hanya bertindak sebagai

pelatih atau bertindak sebagai pengajar.

Hal ini dapat dilihat pada saat

permainan dol sedang berlangsung,

anak-anak sangat agresif dan

bersemangat dan lebih ekspresif dari

pada orang-orang dewasa pada

umumnya, yang terkesan monoton dan

biasa-biasa saja. Umumnya anak-anak

yang bermain dol, adalah pelajar dan

anggota sanggar. Setiap akhir pekan

mereka berlatih menabuh dol untuk

mengikuti acara atau festival kesenian

di dalam maupun di luar kota

Bengkulu. Setelah ditelusuri lebih jauh

dorongan semangat yang diciptakan

atas pukulan-pukulan yang dinamis

akhirnya mengundang para perempuan

yang bergelut di dunia seni untuk ikut

memeriahkan pertunjukan tersebut.

Berdasarkan pengamatan yang terjadi,

hal ini mengundang para perempuan

untuk dapat memainkan dan

mengaplikasikan musik tradisi

tersebut.

Gambar 2.Anak-anak dalam permainan beruji dol

ketika upacara tabot

(Foto: Zelly, 2009)

Pertunjukan dol biasanya dapat

dinikmati ketika adanya perayaan

upacara tabot oleh karena fungsinya

dol sebagai pelengkap dan pendukung

dari proses upacara tersebut.

Contohnya pada saat menjara, yang

intinya adalah acara bertanding dol.

Adapun Bentuk pertunjukan dol pada

saat upacara tersebut yakni saling

mengarak atau saling berkunjung

antara kelompok tabot yang paling tua

dan kelompok tabot yang paling muda.

Dalam kompetisi ini, mereka saling

memperlihatkan ketangguhan dalam

bermain dol. Pertunjukan dol tersebut

Zely Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu

165

biasanya diadakan di lapangan terbuka

di Kota Bengkulu ( lapangan merdeka

Bengkulu).

Namun kurun waktu sepuluh

tahun ini, dol menjelma menjadi

instrument yang lebih berenergi dan

sangat agresif. Hal ini tampak jelas

pada acara festival music di solo

berapa tahun yang lalu. Ketika

instrument ini bergabung dengan music

yang lebih bersifat popular seperti

music pop dan music jazz. Pertunjukan

komposisi dol tersebut diringi oleh

gitar elektrik, gitar bass serta

seksophone. Dalam pertunjukan

tersebut juga diisi dengan atraksi

angkat dol. Maksudnya adalah

beberapa pemain menabuh dol dengan

cara mengangkatnya. Hal ini sungguh

berbeda dari biasanya dan tak tampak

bahwa instrumen tersebut berasal dari

upacara ritual.

Pertunjukan dol dengan

kemasan yang lebih menarik tersebut

ternyata juga diikuti oleh regenerasi

baru (anak-anak). Mereka bermain

pada acara festival anak Nusantara di

Taman Mini Indonesia. Permainan

motif ritme dan pukulan dol yang

bersifat dinamis dan bersemangat juga

canda tawa mereka menambah natural

komposisi dol tersebut. Pada saat itu

juga tampak adanya bentuk

perkembangan pada instrumen dol

yakni terdapat dol yang ukurannya

kecil dan berfungsi sebagai pelengkap

dalam komposisi dol bentuk garapan

baru.

Pada akhirnya dol yang tadinya

digunakan sebagai media spritual

untuk mendukung upacara tabot,

beralih fungsi untuk mengisi acara-

acara yang sifatnya ceremonial dan

sebagai hiburan. Hal ini tidak jauh

bedanya dengan gandang tambua yang

berada di Pariaman yang sudah sejak

lama beralih fungsi sebagai kesenian

tradisi masyarakat Pariaman khususnya

dan Sumatra barat pada umumnya.

Sehingga makna dan fungsi yang

awalnya sebagai ekpresif dari perang

yang terjadi di karbela telah berubah

menjadi fungsi hiburan bagi

masyarakat pendukungnya.

PENUTUP

Hasil dari pembahasan

Perkembangan Musik Dol di Kota

Bengkulu, melahirkan berbagai makna

yang terkonteks dalam perilaku-

perilaku budaya. Hal ini disebabkan

oleh suatu perubahan yang

Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014

166

menginginkan musik tradisi itu

berkembang sesuai dengan

kebutuhannya. Untuk melihat

perkembangan terhadap prilaku

tersebut, maka dapat disimpulkan

berdasarkan fungsi dan bentuknya.

Antara lain sebagai berikut.

1. Musik dol digunakan sebagai sarana

ritual

2. Musik dol sebagai presentasi estetis

dan pengikat solidaritas antar

sesama masyarakat di kota

Bengkulu serta sebagai upaya

pewarisan.

3. Musik dol sebagai media seremonial

di kota Bengkulu

4. Musik dol sebagai materi

pembelajaran di Sekolah dan

Sanggar

5. Musik dol sebagai sumber garapan

komposisi baru

Perkembangan yang terjadi pada dol

akhirnya mencapai suatu kepuasan

bagi pemerintah kota Bengkulu, dan

bagi masyarakat pada umumnya. Hal

ini dapat dilihat dari unsur-unsur

estetisnya dan pengikat solidaritas

antar masyarakat kota Bengkulu serta

sebagai musik dan instrumen yang

memberikan warna baru terhadap

pengembangan musik tradisi. Sehingga

terwujudnya pelestarian dan

pengembangan budaya agar kesenian

tradisi tersebut dapat terus bertahan.

Selain itu dapat diketahui

bahwa perkembangan yang terjadi

pada dol bisa membawa dampak positif

dan membuka peluang yang bagus bagi

para seniman untuk lebih bebas dalam

berkarya. Walaupun tadinya dol hanya

digunakan pada acara ritual, namun

dengan perkembangan tersebut dapat

mencegah adanya penurunan atau

krisis kepunahan terhadap instrumen

atau kesenian tradisi.

KEPUSTAKAAN

Asril. 2002. Pertunjukan Gandang

Tambua dalam Upacara Ritual

Tabuik di Pariaman Sumatra

Barat. Tesis, Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada.

Asril, Muctar . 2004. Upacara Tabuik dari

Ritual Heroik ke Pertunjukan

Heriok dalam Seni Tradisi

Menantang Perubahan.

Padangpanjang: Bunga Rampai

STSI.

Hadi Y, Sumandyio. 2006. Seni Dalam

Ritual Agama. Yogyakarta:

Pustaka.

Hanefi. 2002. Buku Ajar Musikologi

Nusantara III. Padangpanjang:

Sekolah Tinggi Seni Indonesia

(STSI).

Zely Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu

167

Haviland, William diterjemahkan oleh R.G

Soekadijo. 1988. Antropologi

Edisi ke Empat Jilid 2.

Yogyakarta: Erlangga.

Koenjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu

Antropologi. Jakarta : Rineka

Cipta.

Martani, Marjani dkk. 1976. “Ensklopedia

Musik dan Tari Daerah Sumatra

Barat Padang,” dalam Studi

Komparatif Musik Dol dalam

Upacara Tabot Dikota Bengkulu

oleh Luhut Manalu DEPDIKBUD.

Bengkulu: Taman Budaya.

Munir, Badrul. 1991. Tabot di Kotamadya

Bengkulu. Direktorat Sejarah dan

Nilai Tradisional Bengkulu:

Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Pohan, Ronald dkk. 1995. Studi

Komparatif Musik Dol Band Salah

Satu Pengolahan Musik Dol

dalam Upacara Tabot di Kota

Bengkulu Propinsi Bengkulu.

Bengkulu: Depdikbud Taman

Budaya.

Smith, Huston. 1996. Ensiklopedia Islam.

Jakarta: Raja Grafindo.

Soedarsono. 2002. Seni Pertunjukan

Indonesia di Era Globalisasi.

Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Suka, Harjana. 2002. Coret-coret Musik

Kontemporer Dulu dan Kini.

Jakarta: MSPI.

EKSPRESI SENIJurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni

Redaksi menerima naskah artikel jurnal dengan format penulisan sebagai berikut:

1. Jurnal Ekspresi Seni menerima sumbangan artikel berupa hasil penelitian

atau penciptaan di bidang seni yang dilakukan dalam tiga tahun terakhir,

dan belum pernah dipublikasikan di media lain dan bukan hasil dari

plagiarisme.

2. Artikel ditulis menggunakan bahasa Indonesia dalam 15-20 hlm (termasuk

gambar dan tabel), kertas A4, spasi 1.5, font times new roman 12 pt,

dengan margin 4cm (atas)-3cm (kanan)-3cm (bawah)-4 cm (kiri).

3. Judul artikel maksimal 12 kata ditulis menggunakan huruf kapital (22 pt);

diikuti nama penulis, nama instansi, alamat dan email (11 pt).

4. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Inggris dan Indonesia) 100-150 kata

dan diikuti kata kunci maksimal 5 kata (11 pt).

5. Sistematika penulisan sebagai berikut:

a. Bagian pendahuluan mencakup latar belakang, permasalahan,

tujuan, landasan teori/penciptaan dan metode penelitian/penciptaan

b. Pembahasan terdiri atas beberapa sub bahasan dan diberi sub judul

sesuai dengan sub bahasan.

c. Penutup mengemukakan jawaban terhadap permasalahan yang

menjadi fokus bahasan.

6. Referensi dianjurkan yang mutakhir ditulis di dalam teks, footnote hanya

untuk menjelaskan istilah khusus.

Contoh: Salah satu kebutuhan dalam pertunjukan tari adalah

kebutuhan terhadap estetika atau sisi artistik. Kebutuhan

artistik melahirkan sikap yang berbeda daripada pelahiran

karya tari sebagai artikulasi kebudayaan (Erlinda,

2012:142).

Atau: Mengenai pengembangan dan inovasi terhadap tari

Minangkabau yang dilakukan oleh para seniman di kota

Padang, Erlinda (2012:147-156) mengelompokkan hasilnya

dalam dua bentuk utama, yakni (1) tari kreasi dan ciptaan

baru; serta (2) tari eksperimen.

7. Kepustakaan harus berkaitan langsung dengan topik artikel.

Contoh penulisan kepustakaan:

Erlinda. 2012. Diskursus Tari Minangkabau di Kota Padang:

Estetika, Ideologi dan Komunikasi. Padangpanjang: ISI

Press.

Pramayoza, Dede. 2013(a). Dramaturgi Sandiwara: Potret Teater

Populer dalam Masyarakat Poskolonial. Yogyakarta:

Penerbit Ombak.

_________. 2013(b). “Pementasan Teater sebagai Suatu Sistem

Penandaan”, dalam Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian &

Penciptaan Seni Vol. 8 No. 2. Surakarta: ISI Press.

Simatupang, Lono. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni

Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Takari, Muhammad. 2010. “Tari dalam Konteks Budaya Melayu”,

dalam Hajizar (Ed.), Komunikasi Tradisi dalam Realitas

Seni Rumpun Melayu. Padangpanjang: Puslit & P2M ISI.

8. Gambar atau foto dianjurkan mendukung teks dan disajikan dalam format

JPEG.

Artikel berbentuk soft copy dikirim kepada :

Redaksi Jurnal Ekspresi Seni ISI Padangpanjang, Jln. Bahder Johan. Padangpanjang

Artikel dalam bentuk soft copy dapat dikirim melalui e-mail:

[email protected]