ekspresi seni, vol 16, no 1, juni 2014
DESCRIPTION
ÂTRANSCRIPT
JURNAL EKSPRESI SENIJurnal Ilmu Pengetahuandan Karya Seni
ISSN:1412–1662 Volume 16, Nomor1,Juni 2014,hlm. 1-167
i
JURNAL EKSPRESI SENIJurnal Ilmu Pengetahuandan Karya Seni
ISSN: 1412–1662 Volume 16, Nomor1,Juni 2014,hlm. 1-167
Terbit dua kalisetahun pada bulan Juni dan November.Pengelola Jurnal Ekspresi Seni merupakan sub-
sistemLPPMPPInstitut Seni Indonesia (ISI)Padangpanjang.
Penanggung JawabRektor ISI Padangpanjang
Ketua LPPMPP ISI Padangpanjang
PengarahKepalaPusat Penerbitan ISI Padangpanjang
Ketua PenyuntingDede Pramayoza
TimPenyuntingElizar
Sri Yanto
Surherni
Roza Muliati
Emridawati
Harisman
Rajudin
PenterjemahAdi Khrisna
RedakturMeria Eliza
Dini Yanuarmi
Thegar Risky
Ermiyetti
Tata Letak danDesainSampulYoni Sudiani
Web JurnalIlham Sugesti
______________________________________________._________________________________
Alamat Pengelola Jurnal Ekspresi Seni:LPPMPP ISI Padangpanjang Jalan Bahder JohanPadangpanjang
27128, Sumatera Barat; Telepon(0752) 82077 Fax. 82803; e-mail;[email protected]
Catatan.Isi/Materi jurnal adalah tanggung jawab Penulis.
Diterbitkan Oleh
Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang
JURNAL EKSPRESI SENIJurnal Ilmu Pengetahuandan Karya Seni
ISSN:1412–1662 Volume 16, Nomor1,Juni 2014,hlm. 1-167
i
DAFTAR ISI
PENULIS JUDUL HALAMAN
Enrico Alamo Sampuraga: Penciptaan Opera Batak 1-17
Eko Wahyudi Sasadu On The Sea Wacana Seni Budaya
dalam Festival Teluk Jailolo 201318-36
Yosi Ramadona &
Nursyirwan
Pertunjukan Kompang Bengkalis:
dari Arak-Arakan ke Seni Pertunjukan37-48
Ipong Niaga Membentuk Kemampuan Psikologikal
Dasar Calon Aktor dengan Metode Latihan
Bertutur
49-64
Nofrial Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi
Menuju Industri Kreatif65–85
Elsa Putri E. Syafril Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di
Sawahlunto86–97
Ranelis Seni Kerajinan Bordir Hj.Rosma:
Fungsi Personal dan Fisik98–115
Maisaratun Najmi Produksi dan Penyiaran Program Seni dan
Budaya di Grabag Tv116–132
Bahren, Herry
Nur Hidayat,
Sudarmoko,
Virtuous Setyaka
Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan
Sosial Budaya di Sumatera Barat133–155
Zely Marissa Haque Perkembangan Musik Dol di Kota
Bengkulu156-167
_______________________________________________________
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 49/Dikti/Kep/2011 Tanggal 15 Juni 2011 Tentang Pedoman Akreditasi
Terbitan Berkala Ilmiah. JurnalEkspresi SeniTerbitan Vol.16, No. 1 Juni 2014Memakaikan
Pedoman Akreditasi Berkala Ilmiah Tersebut.
1
SAMPURAGA:
PENCIPTAAN OPERA BATAK
Enrico AlamoProdi Seni Teater, Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang
ABSTRAKOpera Batak Sampuraga merupakan lakon yang bermula dari pengalaman
melihat sebuah situs kolam Air Panas Sampuraga, di daerah Sirambas
Mandailing- Natal, yang kisahnya dituturkan dari mulut ke mulut (satra lisan).
Kemudian dilakukan penataan ulang baik dari aspek penokohan maupun
peristiwa yang terjadi, menggunakan beberapa struktur teater modern Indonesia.
Dikarenakan Opera Batak memiliki beberapa kesamaan dengan struktur lakon
teater modern Indonesia. Opera Batak Sampuraga sebagai objek penciptaan
karya seni, mengalami berbagai sentuhan kreatifitas baik hadirnya unsur-unsur
kesenian dari daerah lain. Salah satunya gundala-gundala, teater tradisi dari
daerah Karo. Lakon Sampuraga merupakan satu obsesi dan ambisi manusia
dalam menggapai cita-cita, yang memerlukan pengorbanan, walaupun akhirnya
sebuah kutukan yang akan menimpa. Lakon ini ditampilkan melalu pendekatan
realisme dengan gaya representasi. Bentuk tragedi dipilih karena kejadian yang
menimpa dua anak manusia, ibu dan anak. Penciptaan kali ini penting karena
Opera Batak Sampuraga mirip dengan pola dan pengadegan dalam lakon-lakon
teater modern Indonesia .
Kata Kunci: Sampuraga, opera batak, teater modern Indonesia
ABSTRACTOpera Batak Sampuraga is a play that began from the experience of seeing the
site Sampuraga Hot Spring, located in the area Sirambas Mandailing-Natal, and
stories are told from mouth to mouth (oral literature). Then rearrangement is
done regarding characterization and the occuring event by using some structures
of Indonesian modern theater. As Batak Opera has some similarities with the
structure of Indonesian modern theater, Opera Batak Sampuraga as an object of
art creation, experiences a touch of creativity with the presence of various
elements of art from other regions; one of them is gundala-gundala, a traditional
theater of Karo region. Sampuraga play is a human obsession and ambition in
reaching their goals, which requires sacrifice, although it eventually leads a
curse. Opera This play is presented through a realism approach with
representation style. The form of tragedy is chosen because of the incident
happening to two human beings; mother and child. This creation is important
because Opera Batak Sampuraga is similar to the pattern and characterization
of plays in Indonesian modern theater.
Keywords: Sampuraga, opera batak. Indonesian modern theatre
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
2
PENDAHULUAN
Opera Batak adalah salah satu
seni pertunjukan dari daerah Sumatera
Utara yang eksistensinya sebagai teater
tradisi halak Batak semakin memudar
dan bisa dikatakan semakin
menghilang. Kalaupun ada pementasan
Opera Batak, hanya dilakukan sesekali
oleh kelompok yang itu-itu juga, dan
sifatnya hanya sebagai pelepas rindu
ataupun sebuah acara perayaan.
Sementara itu, pementasan
Opera Batak di masa lalu bisa
dikatakan semarak dan melebihi
kesenian-kesenian tradisi lainnya.
Kondisi masyarakat pada masa
keemasan Opera Batak memang sangat
mendukung eksistensi Opera Batak.
Masyarakat pada saat itu memang
sangat membutuhkan hiburan sebagai
sarana untuk melepaskan diri dari
rutinitas yang monoton. Beberapa
lakon Opera Batak tersebut
dipentaskan berulang-ulang lebih dari
satu kali dengan tampilan artistiknya
yang sangat bervariasi. Hal ini
menunjukan bahwa: kadar seni yang
ditampilkan sesuai dengan tingkat
kemampuan dan daya tafsir
masyarakatnya (Purba, 2002:30).
Materi cerita yang ditampilkan
dalam opera adalah sesuatu yang
sangat dekat dengan kehidupan
masyarakat yakni sendi-sendi
kehidupan masyarakat itu sendiri. Ada
kisah nyata, ada legenda, dan ada juga
kiasan atau perumpamaan yang
dihadirkan sekiranya masih relevan
dengan problema kehidupan
masyarakat. Salah satu cerita dalan
Opera Batak tersebut adalah kisah
Guru Saman, yang diilhami kisah nyata
yang terjadi di daerah Tarutung. Cerita
lain adalah kisah Si Singamangaraja,
yang merupakan seorang pahlawan
nasional. Selain itu, beberapa kisah lain
yang sering dipentaskan antara lain:
Batu Gantung, Sampuraga, Simardan,
yang terinspirasi dari situsnya, kisah
Siboru Napinaksa adalah kisah yang
menyerupai kisah Siti Nurbaya atau
Romeo dan Juliet.
Realitas sosial lain yang
acapkali menginspirasi kisah dalam
Opera Batak adalah keberadaan
masyarakat Batak yang terkenal
sebagai masyarakat perantau. Tidak
sedikit laki-laki terlambat menikah
karena mengejar cita-cita dengan
berbagai ‘idealisme’ yang menurut
mereka akan terpenuhi dalam
Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak
3
perantauan. Mereka merasa belum
perlu menikah sebelum dapat
membahagiakan ibunya atau sebelum
merasa memiliki ekonomi yang
‘mapan’.
Selain tema di atas, hampir
seluruh sendi-sendi kehidupan disentuh
oleh opera. Itulah sebabnya Opera
Batak sangat digemari atau bahkan
sangat digandrungi. Sayangnya
kekayaan tematik di atas tidak dikuti
inovasi (pertunjukan) yang lain.
Padahal, masyarakat masa kini yang
merasa dirinya sudah berada dalam
lingkaran ‘kemajuan’ (terutama kaum
muda) beranggapan bahwa hal-hal
yang bersifat kedaerahan dianggap
ketinggalan jaman; adat, bahasa ibu,
benda-benda tradisi, makanan tradisi
dan sebagainya, yang sudah dianggap
tidak proporsional bagi kebutuhan
masyarakat modern.
Kenyataan tersebut, mestinya
disadari juga bahwa masyarakat
(sebagai basis penonton) di masa kini
lebih gemar menikmati sesuatu yang
simple, dan tidak perlu berlama-lama.
Visualisasi Opera Batak yang
berkembang di masa dulu juga terlihat
kurang mempertimbangkan artistik
(cahaya, properti, setting, dan
sebagainya). Pola dialog juga
dihadirkan dengan banyak
pengulangan dan cenderung
‘menggurui’. Unsur-unsur lain seperti
musik dan tarian pun seolah menjadi
unsur pelengkap yang tidak pernah
tergarap secara maksimal. Musik hanya
dimaknai sebagai ‘musik’ saja (un
sich) bukan sebagai bagian yang ‘utuh’
dari opera. Tarian juga mendapat
perlakuan yang sama yakni seringkali
lepas dari ‘dramatik’ perjalanan lakon
cerita.
Opera Batak adalah karya
adiluhung yang pernah mengalami
masa keemasan, tetapi kenyataannya
kini di ambang kepunahan. Secara
kesejarahan Opera ini pernah eksis
tetapi keberadaaanya membutuhkan
kepedulian yang besar. Penciptaan
Opera Batak setidaknya
mengakomodasi tiga persoalan
penting: Pertama, mengapa Opera
Batak yang adiluhung itu kurang
diminati oleh masyarakat
pendukungnya. Kedua, Aspek apa saja
yang perlu mendapatkan perhatian,
pertimbangan, dan penekanan. Ketiga,
unsur apa saja yang harus ditambah
atau dikurangi, dan membutuhkan
‘modifikasi’. Merujuk hal tersebut
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
4
maka persoalan yang diangkat dalam
penciptaan adalah: Bagaimana
mewujudkan pementasan Opera Batak
dalam kebaruan (inovasi) yang tetap
berpijak pada akarnya namun mampu
mengakomodir instrumen-instrumen
seni pertunjukan masa kini. Pilihan
pertamanya adalah menciptakan lakon
Opera Batak Sampuraga, sebuah cerita
rakyat dari Tapanuli. Karena hampir
keseluruhan cerita yang ada pada
pentas Opera Batak bersumber dari
cerita rakyat maupun legenda
masyarakat Sumatera Utara.
Opera Batak Sampuraga adalah
lakon yang terinspirasi dari sebuah
situs telaga air panas yang berada di
desa Sirambas Mandailing-Natal dan
cerita legenda yang diturunkan secara
lisan. Telaga air panas itu merupakan
wujud dari kedurhakaan seorang anak
yang bernama Sampuraga. Ia dikutuk
karena tidak lagi mengakui ibunya
yang dikenal dengan sebutan
Sampuraga Na Maila Marina
(Sampuraga yang malu beribu). Opera
Batak Sampuraga adalah sebuah lakon
opera yang mengisahkan kehidupan
Sampuraga, mulai dari kehidupan yang
miskin, pendirian yang teguh (gengsi
tinggi, harga diri yang selalu dijaga),
dan kehendak untuk mencari jatidiri
dengan pergi merantau; berjuang, rajin,
dan mencapai puncak keberhasilan
hingga jenjang pernikahan. Akan tetapi
ceritapun berakhir ironis: setelah
terwujud semua impiannya, Sampuraga
pun berbalik menjadi durhaka, tidak
hanya pada kekasih dan kampung
halamannya di masa lalu, bahkan
kepada ibunya sendiri pun ia tak
mengakuinya. Lakon ini kemudian
diubah tidak sekedar bercerita tentang
kedurhakaan seorang anak pada ibu
kandungnya, tetapi juga durhaka
terhadap unsur-unsur yang ada di
kampung halaman (yang dianggap
‘kampungan’ atau ketinggalan jaman).
Penciptaan Opera Batak
Sampuraga tidak mengubah esensi
cerita tetapi menambah sasaran tema
yang dianggap urgen pada masa kini,
penggarapannya mengacu pada
konvensi teater modern, serta
memperhitungkan dan
mempertimbangkan aspek pertunjukan.
Opera Batak sebelumnya
menitikberatkan pada kedurhakaan
seorang anak kepada ibunya, tetapi
Penciptaan Opera Batak Sampuraga
justru mengarahkan kedurhakaan itu
kepada hal lain juga yaitu pada kondisi
Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak
5
sosial kampung halaman, kehidupan
tradisional yang seringkali tak
membawa ‘kemajuan’, dan pada
pergesaran ‘nilai’ budaya. Tokoh
Sampuraga dikisahkan sebagai seorang
pengrajin Boneka sigale-gale yang
gagal mendapatkan finansial karena
kehilangan penggemar, sehingga
pekerjaan itu ditinggalkannya
sekalipun sudah menjadi warisan turun
temurun.
PEMBAHASAN
Masyarakat Batak
Masyarakat Batak merupakan
masyarakat yang dikenal dengan
keberagamannya. Istilah Batak
mempunyai arti yang saling terkait,
yakni antara beberapa sub suku yang
tersebar di Sumatera Utara. Batara
Sangti (1978:62-93) menjelaskan
bahwa yang termasuk dalam kelompok
masyarakat Batak adalah: (1) Pak-pak
Dairi; (2) Karo; (3) Simalungun; (4)
Toba; (5) Angkola Sipirok; (6)
Mandailing; (7) Pardembanan; dan (8)
Pesisir. 7 dan 8 terakhir merupakan
kelompok masyarakat yang berasal dari
salah satu atau beberapa masyarakat
sub suku Batak (1-6) yang oleh sebab
ekonomi atau merantau lalu
mendirikan satuan masyarakat sendiri
atau bergabung dengan satuan
masyarakat yang dikunjunginya.
Kebudayaan Batak dapat
ditelusuri sampai pada rentetan
perpindahan manusia (orang-orang)
dari Cina Selatan, Yunnan, dan
Vietnam sebelah Utara. Kemungkinan
mereka adalah petani pengembara yang
berpindah-pindah dan memelihara
tumbuh-tumbuhan berumbi, atau
masyarakat petani dengan teknologi
yang tidak menggunakan alat logam.
Kepercayaan mereka memiliki
persamaan dengan kebudayaan Proto
Melayu lainnya, yakni mengandung
unsur-unsur pemujaan kepada kuasa-
kuasa alam atau okultisme dan
kepercayaan yang kuat kepada roh-roh
para leluhur. Kepercayaan ini pada
akhirnya sangat mempengaruhi
keturunannya.
Orang Batak sangat
menghormati arwah para leluhur yang
meninggal dalam usia tua. Semakin tua
usia dan semakin banyak
keturunannya, maka arwahnya semakin
dihormati dan diagungkan, dan bahkan
mereka yakin bahwa arwah dapat
memberkati dan menjauhkan
keturunannya dari segala macam mara
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
6
bahaya, sehingga orang Batak
menganggap upacara kematian
merupakan suatu upacara yang wajib
dilaksanakan demi ketenteraman jiwa
keturunannya yang sekaligus
memenuhi ketentuan adat.
Cerita rakyat, dongeng, dan
mitos turut mewarnai kebudayaan
Batak. Beberapa cerita rakyat memiliki
kesamaan dengan cerita rakyat yang
ada di daerah lain yakni cerita rakyat di
nusantara terutama pulau Jawa. Dalam
bukunya Philip L. Tobing. ( 1956: 1-
19) menjelaskan:
Hal ini membuktikan luasnya
pengaruh asing dan peleburan
istilah asing ke dalam kosmologi-
agamaniah. Tetapi hubungan ini
lebih dominan dalam hal sosial
ekonomi, karena orang Batak
menurut tabiatnya adalah
konservatif (kolot), sehingga
mereka hanya mau menerima
unsur-unsur asing apabila ke
dalam unsur itu dapat diberi
tempat oleh kosmologi
tradisional.
Dalam hal kemasyarakatan,
salah satu ciri kebudayaan yang paling
menonjol dari masyarakat Batak Toba
adalah susunan kekerabatan mereka
dalam sistem marga. Dalam hal ini
Nalom Siahaan(1982:44) menjelaskan
bahwa Marga dalam masyarakat Batak
membentuk keluarga dan menimbulkan
ketentuan yang ketat terutama dalam
aturan perkawinan. Seseorang pria
harus mengawini wanita dari marga di
luar kelompok marganya. Garis
keturunan yang patrilineal
mengakibatkan wanita harus
meninggalkan marganya, dan anaknya
langsung menyandang marga
suaminya. Konsekuensinya adalah
setiap keluarga secara langsung masuk
ke dalam tiga kelompok adat sekaligus
yaitu dongan tubu/ dongan sabutuha,
hula-hula, dan boru yang membentuk
Dalihan Na Tolu (harafiah: kaki
tungku nan tiga yakni suatu kedudukan
yang kokoh). Dongan sabutuha sebagai
kelompok pertama yang terdiri dari
namarsaompu (segenap keturunan dari
nenek moyang yang sama) dengan
pengertian keturunan laki-laki dari satu
marga. Kelompok hula-hula adalah
kelompok marga dari ayah mertua dari
seorang pria, yang memberinya isteri.
Kelompok boru adalah kelompok
marga menantu laki-laki keluarga
tersebut atau marga yang menerima
anak perempuan sebagai isteri.
Kepribadian orang Batak
amatlah memegang teguh kebudayaan
nenek moyang mereka, sehingga
merupakan kewajiban untuk
Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak
7
mengikutinya. Adat dan kepercayaan
merupakan dua aspek yang saling
mendukung dan tidak dapat
dipisahkan. Adat, yang tidak sekedar
bersifat kebiasaan, juga merupakan
suatu hukum yang sedikit banyaknya
mengandung unsur religius, sehingga
selalu saja upacara
keagamaan/kepercayaan akan diatur
menurut kondisi adat yang berlaku, dan
sebaliknya setiap upacara adat akan
disesuaikan pula dengan sistem
kepercayaan.
Upacara merupakan suatu
wadah formal untuk melaksanakan
unsur-unsur kebudayaan. Dalam
upacaralah norma dan kaidah
kebudayaan dipermasalahkan dan
disempurnakan. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa di masyarakat
Batak kesenian pun muncul hanya
dalam upacara.
Kesenian merupakan salah satu
kebutuhan bagi masyarakat Batak
terlebih jika itu merupakan bentuk
peninggalan nenek moyang. Berbagai
kesenian tersebut antara lain: pertama,
Teater gundala-gundala berasal dari
dataran tinggi Karo. Gundala-gundala
memiliki arti sebuah tarian topeng.
Kedua, kesenian Boneka kayu sigale-
gale, lebih dikenal dari pulau Samosir
(Pangururuan). Sigale-gale merupakan
mitos kisah sedih dalam kehidupan
masa lalu masyarakat Batak, dan
berkaitan erat dengan upacara
kematian. Ketiga, onang-onang; tidak
dapat diartikan secara harafiah;
merupakan pencetusan kerinduan hati
kepada ibu kemudian berkembang pada
kekasih.
Secara eksternal, Kesenian pada
akhirnya juga mengalami proses
keterpengaruhan. Dalam kontek ini,
kolonialisme cukup membawa
pengaruh terhadap kebudayaan Batak.
Ismail Manalu (1985:8) menjelaskan:
sebagian kesenian masih terpelihara
dan sebagian lagi sudah berubah
(akibat kolonialisme) bahkan ada yang
tidak terpelihara. Pengaruh lain adalah
berasal dari kawasan Timur Tengah,
Stanley Sadie (1980) mengatakan:
bahwa musik orang Batak telah
mendapat pengaruh dari luar terutama
dari Arab Persia.
Opèra Batak yang semula
dirintis oleh Tilhang Oberlin Gultom
turut mengalami perubahan budaya
tersebut.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
8
Sumber Penciptaan.
Cerita Sampuraga adalah kisah
yang disampaikan secara lisan
(bertutur) dan berkembang di
masyarakat sejak lama. Hal ini diyakini
oleh masyarakat karena adanya sebuah
situs telaga air panas Sampuraga di
desa Sirambas Mandailing-Natal.
Cerita ini tak pernah lekang dan
berubah hingga saat ini. Masyarakat di
daerah Sirambas dan sekitarnya bahkan
masih memiliki otentitas dan subtansi
cerita yang sama ketika menuturkan
kejadian tersebut. Sampuraga
sebenarnya bermakna teguran.
Sampuraga adalah cerita para orang tua
sejak dulu hingga sekarang yang
dipercaya sebagai kejadian yang
‘mengandung kebenaran’.
Gambar 1.Situs Sampuraga di Desa Sirambas Kabupaten
Mandailing-Natal
(Foto: Enrico Alamo, 2009)
Cerita Sampuraga yang berkisar
pada persoalan kedurhakaan anak pada
ibunya, kemudian dikembangkan
menjadi cerita tentang seorang pelaku
seni yang mulai goyah dengan apa
yang menjadi pekerjaannya. Hal ini
tidak semata-mata dicangkokan dalam
lakon tetapi merupakan respon pada
kecenderungan masyarakat pelaku seni
di masa sekarang yang mengalami
kemunduran dan pergeseran
‘idealisme’ dalam proses kreatifnya.
Sebagai contoh, dapat dilihat pada
pertunjukan sigale-gale (pertunjukan
boneka kayu) yang mengalami
kemunduran akibat melemahnya minat
para kreator seni tersebut.
Berbagai acuan pendukung
dalam Opera Batak Sampuraga
dikumpulkan untuk memperlancar
proses penciptaan, antara lain;
membuat konsep Opera Batak
Sampuraga yakni, situs kolam air
panas Sampuraga di desa Sirambas
Mandailing-Natal sebagai sebuah
sumber Opera Batak Sampuraga. Ini
berarti bahwa legenda tersebut secara
terpisah dibatasi oleh salah satu sub
kedaerahan yang ada di tanah Batak.
Kemudian dikembangkan menjadi
lakon berdiri sendiri tanpa dibatasi oleh
Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak
9
sub-sub daerah, sehingga idiom yang
ada di luar Mandailing-Natal pun dapat
saja diadopsi dengan pertimbangan
masih termasuk rumpun Batak secara
umum.
Gambar 2Desain Sigale-gale
Gambar 3Desain Gundala-gundala
Konsep berikutnya diarahkan
untuk mendesain dan merencanakan
kebutuhan pertunjukan yang sekaligus
akan dijadikan simbol dari pemaknaan-
pemaknaan yang didapat melalui
penelitian dan pengolahan ruang. Salah
satunya adalah dengan menghadirkan
simbol domestik melalui beberapa
sandang yang dikenal secara umum
sebagai ulos. Tiga bagian penting dari
setting adalah rumah tinggal
Sampuraga, hutan dan tempat
pernikahan.
Unsur cahaya merupakan
elemen yang memberikan berbagai
fokus pemaknaan; jenis-jenis lampu
yang dipilih; lampu freshnel, lampu
plano conpeks, lampu ellipsoidal,
lampu freshnel memakai filter warna;
green, blue, yellow, violet dan netral.
Gambar 4Desain Tata Cahaya
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
10
Rias Opera Batak Sampuraga
menunjukan identitas psikologi, rias
berfungsi sebagai penegas karakter dari
setiap aktor dan aktris. Tata busana
yang dipergunakan berbahan berbagai
ulos; ulos ragi hotang(ulos corak
rotan) Ulos ragidup(corak hidup).
Gambar 5.Desain Tata Rias Tokoh
Gambar 6.Desain Tata Busana Tokoh
Musik terdiri dari ansambel
gondang sabangunan dan ansambel
gondang hasapi.
Gambar 7..
Gondang Sabangunan dan ansambel Gondang
Hasapi.
(Foto: Enrico Alamo, 2010)
Materi Cerita; adapun
perancangan rangkaian adegan dalam
Opera Batak Sampuraga dibagi dalam
2 Babak dengan 13 adegan, setiap
pergantian babak dan adegan diselilingi
oleh musik dan nyanyian(opera).
Tokoh-tokoh didalamnya; Sampuraga,
Umak, Rangkaya, Johana, Lisda, Johar,
Nagaor, SeseorangI(Amalopas),
Seseorang II/ Oppung
Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak
11
Kerja penciptaan Opera Batak
Sampuraga dilalui dengan beberapa
tahapan dan menggunakan metode
kerja sebagaimana yang diterapkan
oleh Pavis (1990:137). Tahapan
pertama adalah mewujudkan cerita
yang bertitik tolak dari naskah dan
merupakan identifikasi ide.
Tahapan kedua, observasi artistik
budaya sumber. Tahapan ketiga,
yaitu perspektif seniman. Tahapan
keempat, kongkretisasi pemanggungan.
Tahap kelima, kongkretisasi
resepsi. Kemudian dalam kerja
penyutradaraan, pencipta
menggunakan pendekatan kontemporer
dalam menyampaikan gagasan dan
cenderung melalui kekuatan simbolik,
impresi-impresi dan daya kejut yang
dihasilkan dari berbagai pengolahan
bentuk konvensi lama ataupun
peleburan berbagai genre seni yang
ada, sehingga menghasilkan efek-efek
yang yang lebih inovatif.
Hal diatas dilakukan karena
lakon Opera Batak Sampuraga secara
struktur mirip dengan lakon yang ada
pada teater modern Indonesia, karena
adanya naskah cerita, lakuan
(pemeranan), latar cerita (artistik) dan
pengiring cerita (musik) ditambah
adanya tarian (tor-tor) dan lawakan.
Uraian secara konkret metode
penciptaan pementasan lakon Opera
Batak Sampuraga secara berurutan
dapat dijelaskan sebagai berikut:(1)
Pembacaan Naskah lakon atau
Reading, merupakan latihan awal
dalam perancangan untuk menjajaki
penafsiran naskah; (2) Bloking Kasar,
bloking kasar adalah teknik pengaturan
langkah-langkah para pemain untuk
membentuk pengelompokan
dikarenakan perubahan suasana dalam
lakon; (3) Bloking Halus, bloking halus
merupakan tahapan latihan yang
bertitik tolak dari bloking kasar.
Seluruh gerak dan gestur pemain yang
membentuk blok (kelompok), telah
menjadi susunan pola lantai yang baku;
(4) Detailisasi, tahapan detailisasi
merupakan tahapan pematangan dari
bloking halus yang telah dicapai
sebelumnya.
Realitas pentas lakon Opera
Batak Sampuraga berpedoman pada
tekstur lakon yang terdiri dari: dialog,
suasana (mood) dan spektakel. Tekstur
lakon tersebut merupakan inspirasi
terhadap desain perancangan
pementasan secara keseluruhan.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
12
NO PENGADEGA
N
TOKOH PERISTIWA SUASANA SPEKTAKLE
1. Babak I
Adegan Satu
Sampuraga
Umak
Sampuraga
mengerjakan
Boneka Sigale-gale
Menghampiri
Sampuraga
sepulang dari
bekerja
Sampuraga hatinya
sedang gundah
gulana
Karena niatnya
hendak berangkat
merantau
Umak sedikit riang
sepulang bekerja
Boneka Sigale-
gale yang
sedang
dikerjakan
Mondar-mandir
2. Adegan Dua Datu
Penduduk
Diawali dengan
ritual sebelum
pementasan Sigale-
gale
Awalnya pentas
ramai dikunjungi
penonton, namun
kemudian satu
persatu penonton
pergi meninggalkan
pentas Sigale-gale
Pertunjukan
Boneka Sigale-
gale
3. Adegan Tiga Sampuraga
Umak
Lisda
Sampuraga duduk
sambil memandangi
boneka hasil buatan
tangannya
Umak memandangi
Sigale-gale
Lisda datang
membawa makanan
Sampuraga gelisah
terus karena niatnya
belum disampaikan
pada Umak
sementara Umak,
memuji boneka
Sigale-gale hasil
buatan Sampuraga
Boneka Sigale-
gale yang
sedang
dikerjakan
4. Adegan Empat Sampuraga
Umak
Sampuraga makan
siang ditemani
Umak
Makan dengan lahap
dan memuji masakan
Umak
Kursi panjang
5. Adegan Lima Umak
Sampuraga
Sampuraga pamit
berangkat merantau
Tegang dan Sedih Tangga rumah
6. Adegan Enam Seseorang I
(Amalopas)
Menceritakan
kelanjutan lakon
Mengitari sisi hutan Pohon-pohon
yang berdiri di
tiga sisi
7. Adegan Tujuh Sampuraga
Seseorang
II
Sampuraga bertanya
pada Seseorang II
tentang arah menuju
Mandailing
Seseorang penuh
dengan keyakinan
menceritakan pada
Sampuraga perihal
keadaan Mandailing
Pohon-pohon
yang berdiri di
tiga sisi
8. Babak II
Adegan Satu
Seseorang I
(Amalopas)
Rangkaya
Menceritakan
kelanjutan lakon.
Sampuraga di
hampiri Rangkaya.
Gembira
Suka cita
Pohon-pohon
yang berdiri di
satu sisi
Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak
13
Sampuraga
Nagaor
Johana
Johar
Pekerjaan yang
dilakukannya
mendapat pujian.
Nagaor
menghampiri
Rangkaya, sambil
melirik kearah
Sampuraga, terlihat
ia kurang senang
dengan Sampuraga
Johana mendekati
Sampuraga yang
sibuk bekerja, dan
mengajak untuk
bepergian,
sementara Nagaor
dan Johar
mengintip dari balik
semak
Sedikit gaduh
Johana terlihat
memanjakan diri
pada Sampurga
sementara Nagaor
dan Johar tebakar
hatinya karena iri dan
cemburu
9. Adegan Dua Johana
Sampuraga
Menonton pentas
Gundala-gundala
Riang dan romantis Pertunjukan
Gundala-
gundala dan
tarian
10. Adegan Tiga Johar
Sampuraga
Mencegat
Sampuraga di
tengah hutan dan
mempertanyakan
hubungannya
dengan Johana.
Johar terbakar
cemburu dan marah
Tegang dan gaduh
Perkelahian antara
Sampuraga dan Johar
tak terhindarkan.
Johar dibantu anak
buahnya
Pohon dua sisi
11. Adegan Empat
dan Adegan
Lima
Johana
Sampuraga
Umak
Lisda
Sampuraga tersadar
dari sakitnya, ia
memegang kepala,
Johana
menghampiri
Umak gelisah
karena Sampuraga
tak pernah ada
kabar, sementara itu
Lisda berharap agar
Umak berangkat
untuk mencari
Sampuraga
Johana dengan penuh
perhatian memeriksa
luka Sampuraga
Umak dan Lisda
gelisah
Bulatan cahaya
jatuh kelantai
membuat fokus
keberadaan
masing-masing
tokoh
12. Adegan Enam Umak
Lisda
Seseorang
II
Mencari Sampuraga
ke Mandailing.
Bertemu dengan
Seseorang II dan
menanyakan Perihal
Sampuraga
Sedih dan gembira
karena telah
mengetahui dimana
Sampuraga namun
belum bersua
Pohon tiga sisi
13. Adegan Tujuh Sampuraga Sampuraga dan
Johana menikah.
Suka cita karena
Johana anak pertama
Singgasana
pernikahan dan
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
14
Johana
Rangkaya
Penduduk
Umak
Lisda
Seseorang I
(Amalopas)
Mereka duduk
dalam pelaminan
yang penuh suka
cita
Umak dan Lisda
yang baru saja tiba
seakan tidak
percaya dengan apa
yang dilihatnya,
kemudian
mendatangi,
memanggil
Sampuraga.
Sampuraga terkejut
dan bingung, ia
terlihat malu
mengakui Umak
sebagai ibu
kandungnya
Umak kecewa dan
marah karena
Sampuraga telah
mempermalukan
dirinya. Ia
memohon pada sang
kuasa untuk
mendatangkan
balasan.
Menceritakan akhir
dari lakon
Rangkaya menikah
dengan Sampuraga.
Kemudian berubah
gaduh ketika Umak
datang menghampiri
Sampuraga
Umak memohon
untuk dibalaskan
sakit hatinya dan
suasana pesta
berubah menjadi
suasan duka.
Para tamu hadir
kalang kabut
meninggalkan Horja.
Keadaan kacau
karena bencana yang
datang tiba-tiba
Tenang dan penuh
kepercayaan,menyam
paikan cerita pada
seluruh penonton
yang hadir
umbul-umbul
Petir dan kilat
sambar
menyambar
Tabel 1.
Pengadeganan
Pada tahap berikutnya, desain-
desain tersebut akan dijadikan titik
tolak perwujudan lakon, baik secara
visual maupun auditif. Dialog dalam
lakon merupakan kata-kata yang lazim
ditemui dalam perbincangan
keseharian. Hal ini memungkinkan
ditampilkannya akting yang secara
gestur dan pola ucap lebih menonjolkan
aksen ‘kedaerahan Batak’.
Suasana yang menjadi acuan
dalam pementasan Opera Batak
Sampuraga adalah terwujudnya situasi
tragik dalam alur. Suasana tragik
tersebut ditampilkan dengan
mengoptimalkan aspek-aspek
pemeranan, di samping dukungan
musik, penataan artistik dan penataan
lampu yang mewakili dinamika
suasana. Secara keseluruhan,
dihadirkan untuk menciptakan impresi
Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak
15
kegalauan, optimisme, kesedihan,
sekaligus kemarahan.
Unsur-unsur tersebut meliputi,
penataan setting, penataan kostum dan
rias dan penataan musik cerita dan
musik diluar cerita (ilustrasi). Secara
khusus, penataan setting Opera Batak
Sampuraga menampilkan tiga tempat
kejadian penting, yaitu: Rumah
Sampuraga, Hutan dan Tempat
Pernikahan Sampuraga. Properti yang
digunakan antara lain: beberapa
tongkat, oleh-oleh (sarundeng, sambal
taruma), peralatan pertukangan dan
ulos. Penataan Kostum dan Rias adalah
kostum kreasi baru yang dibuat dengan
berpedoman pada kain ulos. Penataan
Musik dan Ilustrasi Musik, secara
umum musik dibagi dua yaitu: musik
bagian dari cerita dan musik pengiring
cerita(ilustrasi). Penataan Tari(tor-tor)
diperlukan sebagai salah satu unsur
dalam pementasan Opera Batak. Tari
yang yang ditampilkan adalah varian
tor-tor,dikreasikan dengan pola-pola
dan komposisi tari masa kini.
PENUTUP
Penciptaan Opera Batak
Sampuraga merupakan satu kepedulian
terhadap seni pertunjukan khususnya
dari Sumatera Utara yang semakin
tergerus oleh zaman. Melalui
pendekatan kekinian (inovasi), Opera
Batak dikemas ulang agar sesuatu yang
dulu tidak hilang dan yang baru
menguatkan eksistensinya sebagai
teater tradisi halak Batak. Seluruh
bagian-bagian visualisasi Opera Batak
yang tidak ada di masa dulu
dipertimbangkan termasuk
pencahayaan, properti, dan setting. Pola
dialog dengan banyak pengulangan dan
cenderung ‘menggurui’lebih
disederhanakan tanpa menghilangkan
makna. Unsur musik dan tarian pun
digarap secara maksimal.
Opera Batak pada dasarnya
memiliki kesamaan dengan penciptaan
seni teater lain yang menempatkan
aspek penyutradaran sebagai bidang
penting. Seluruh jalinan materi-materi
pementasan, baik lakon, tarian maupun
musik dipengaruhi oleh 'polesan'
penyutradaraan. Sutradara dengan
sendirinya, tidak sekedar harus
menguasai aspek-aspek pemanggungan
tetapi juga harus mampu
menerjemahkan secara tuntas gagasan-
gagasan dasar yang tersirat dalam lakon
sebagai titik tolak yang akan melandasi
wujud pengemasan(gaya lakon).
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
16
Keberadaan lakon, dengan demikian
adalah ruang terhadap berbagai
kemungkinan artistik (estetis) yang
kemudian dipilih sutradara untuk
merealisasikan keseluruhan
imajinasinya.
Lakon Opera Batak Sampuraga
merupakan perwujudan lakon yang
terinspirasi dari situs dan cerita lisan
Sampurga anak Durhaka. Dua inspirasi
tersebut kemudian saling dikaitkan
untuk melahirkan lakon Opera Batak
Sampuraga sebagai lakon baru. Lakon
ini diwujudkan dengan memadukan
keseluruhan unsur-unsur opera yang
meliputi: akting, tarian, nyanyian dan
musikalisasi.
Secara umum, lakon Opera
Batak Sampuraga merupakan lakon
yang mengetengahkan sikap dan ambisi
manusia untuk mendapatkan sesuatu
yang dinginkannya sekaligus
menekankan harga ambisi tersebut
dalam meraih cita-cita. Sampuraga
(pembuat boneka sigale-gale)
sesungguhya adalah manifestasi dari
keinginan manusia untuk meninggalkan
sejarahnya. Sebagai pewaris budaya
(pembuat sigale-gale) Sampuraga lebih
memilih untuk mencari pekerjaan lain
karena kebutuhan dan tuntutan
ekonominya yang besar.
Penciptaan Opera Batak
Sampuraga sesungguhnya memiliki
kesamaan dengan penciptaan teater
modern Indonesia yang berangkat dari
tiga bidang utama yakni:
penyutradaraan dengan pemeranan
yang tercakup didalammya, Penataan
Artistik, dan Penulisan lakon.
Perbedaan yang kemudian ditemukan
adalah adanya nyanyian(opera). Unsur
nyanyian merupakan bagian penting,
karena merupakan unsur dari cerita
serta penanda musikal yang menjadi
nilai khas budaya Batak. Keseluruhan
bidang tersebut memiliki tahapan
kreativitas yang sama-sama spesifik.
Jika semua bidang tersebut
dihubungkan dalam satu rangkaian
penciptaan, maka diskripsi dan metode
penulisan yang diaplikasikan
semestinya perlu dicermati secara
mendalam. Hal ini penting agar
gagasan (ide), penuangan dalam bentuk
lakon dan pengejawantahannya dalam
bentuk materi pementasan dapat
tersetrukturkan secara runut dan
sistematis.
Enrico Alamo, Sampuraga: Penciptaan Opera Batak
17
KEPUSTAKAAN
Anirun, Suyatna. 2002. Menjadi
Sutradara. Bandung: STSI
Press Bandung.
Carle, Rainer. 1988. Tenggara: Jurnal
of Southeast Asian Literature.
Dewan Bahasa Dan Pustaka
Lot, Kuala Lumpur: Papers
from the Sixth European
Colluquium on Malay and
Indonesia Studies. ISSN 0126 –
6373.
Harahap, Basyral H. dan Siahaan,
Hotman M. 1987 Orientasi
Nilai-nilai Budaya Batak.
Jakarta: Sanggar Willem
Iskander.
Meriam, Alan P. 1964. The
Anthropology of Music.
Northwestern: University Press.
Pavis, Patrice. 1992. Theatre at the
Crossroad of Culture. Transl.
Loren Kruger. London and New
York: Routledge.
Parkin, Harry. 1978 Batak Fruit of
Hindu Thought. Madras:
Khristian Literature Society.
Purba, Krismus. 2002. Opera Batak
Tilhang Serindo:Pengikat
Budaya Masyarakat Batak Toba
di Jakarta. Yogyakarta: Kalika
Bantul.
Sangti, Batara. 1978. Sejarah Batak.
Balige: Karl Sianipar.
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan
Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar
Harapan.
Siahaan, Amanihut N. dan H. Pardede.
1964 Sejarah perkembangan
Marga-marga Batak. Balige:
Indra.
Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan
Na Tolu: Prinsip Dan
Pelaksanaannya. Jakarta:
Grafina.
Siahaan, E. K, et al. 1976/1977.
Ensiklopedi Musik Dan Tari
Daerah Sumatera Utara.
Medan: Proyek Penelitian Dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah
Sadie, Stanley (ed.). 1980. The New
Grove Dictionary of Music and
Musicians. 9 vols, Hongkong:
Machmillan Publisher Limited.
S. D. Gotein. 1972. Letters of Musical
Jewis-Traders. Princetown:
Princetown University Press.
Tobing, Philip. L. 1956. The Structure
of Toba-Batak Belief in The
High God. Amsterdam: Jacob
van Campen.
Tambunan, Anggur P. 1977. Kamus
Bahasa Batak Toba –
Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan Bahasa Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan.
Jakarta.
18
SASADU ON THE SEA
WACANA SENI BUDAYA DALAM
FESTIVAL TELUK JAILOLO 2013
Eko WahyudiProgram Penciptaan Seni Pascasarjana
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
ABSTRAKSasadu On The Sea merupakan pergelaran karya tari yang diharapkan dapat
memberikan pemahaman dan wacana baru dalam mengenal lebih dekat tentang
seni budaya yang dimiliki masyarakat setempat, khususnya masyarakat Jailolo
Halmahera Barat. Selain itu pergelaran karya tari ini dapat berbagi dalam
memberikan inspirasi atau motivasi kepada para kreator seni (khususnya seniman
tari) terhadap pentingnya sebuah festival yang berpijak pada seni dan budaya
lokal, serta dapat memberi alternatif bagi masyarakat dalam mengapresiasi
karya-karya seni tari tradisional kerakyatan. Peranan rumah adat Sasadu sebagai
tempat dimana masyarakat Jailolo dapat menyatukan rasa persaudaraan dan
kebersamaan diangkat menjadi sebuah tema dan ikon dalam karya Sasadu On
The Sea. Sasadu On The Sea merupakan satu rangkaian dalam acara Festival
Teluk Jailolo yang selalu diselenggarakan setiap tahun di Jailolo, Halmahera
Barat.
Kata Kunci : Sahu, Sasadu dan Festival Teluk Jailolo
ABSTRACTSasadu On The Sea is a dance performance that is expected to provide an
understanding and a new discourse to know bettera bout thearts and culture
owned by the local community, especially the community Jailolo West
Halmahera. In addition, he performance of this dance can inspire and motivate
art creators (especially dance artists) on the importance ofa festival that is
grounded in local arts and culture, and can provide an alternative for people to
appreciate the work of popular traditional dance. The roleSasadu traditional
house as a place where the community can unite Jailolo sense of brotherhood
and together ness was selected as a theme and icon in the work of Sasadu On
The Sea. Sasadu On The Sea is a series in Jailolo Bay Festival which is always
held every year in Jailolo, West Halmahera
Keywords: Sahu, Sasadu and Festival Bay Jailolo
Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013
19
PENDAHULUAN
Sebagai salah satu daerah
tujuan wisata, Halmahera Barat
memiliki keragaman obyek wisata dan
daya tarik yang bisa dikatakan kaya.
Sebagai aset dearah, obyek wisata di
kabupaten Halmahera Barat
sebagiannya sudah dikelola oleh
pemerintah kabupaten. Aset wisata
yang sudah dikelola ini diantaranya
sebagian wisata tirta, wisata seni dan
budaya, dan wisata sejarah. Sedangkan
aset wisata lainnya seperti wisata alam,
wisata agro, wisata fauna dan sebagian
wisata tirta masih dalam program
perencanaan pengembangan wisata
oleh pemkab Halmahera Barat. Salah
satu aset wisata yang diunggulkan
pemerintah Halmahera Barat (Halbar)
adalah seni dan budaya, khususnya
adat istiadat suku- suku yang tumbuh
dan terpelihara hingga kini. Suku Sahu
yang menjadi unggulan wisata adat di
Halmahera Barat yang dapat ditempuh
lewat jalur darat sepanjang 15 Km dari
ibukota kabupaten setelah melewati
pintu masuk pelabuhan Ternate menuju
pelabuhan Jailolo. Sejak dahulu kala,
daerah tersebut sangat memanjakan
penghuninya dengan kekayaan alam
yang melimpah ruah.
Kecamatan Jailolo pun terdapat
beberapa rumah adat yang tetap berdiri
kokoh di tengah-tengah perkampungan
masyarakat. Berdirinya Sasadu (rumah
adat suku Sahu) di kampung-kampung
itu menandakan bahwa desa tersebut
didiami oleh masyarakat yang berasal
dari suku Sahu yang menjunjung tinggi
adat istiadat suku mereka.Dari sejak
jaman dahulu hingga sekarang,
kehidupan sosial suku Sahu sudah
memahami bahwa manusia tidak bisa
hidup tanpa manusia lain.
Pemerintah daerah Halmahera
Barat mencoba membawa
masyarakatnya untuk lebih arif dan
kreatif dalam mengenal seni dan
budaya yang dimiliki. Halmahera Barat
yang memiliki kecamatan Jailolo yang
bertepatan sebagai pintu masuk
pelabuhan serta merupakan sebuah
tempat dimana secara struktur
goegrafis merupakan sebuah teluk. Hal
ini yang pada akhirnya pemerintah
daerah Halmahera Barat untuk
membuat sebuah acara tahunan untuk
mengenalkan aset yang di miliki di
daerah tersebut.
Festival Teluk Jailolo
merupakan acara tahunan yang
diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
20
Halmahera Barat. Pada tahun 2013,
merupakan bentuk festival kelima yang
diselenggarakan oleh pemerintah
daerah setempat dengan tujuan untuk
mempromosikan potensi pariwisata,
sumber daya alam, budaya, juga bisnis
di daerah Jailolo, Halmahera Barat.
Festival Teluk Jailolo biasanya digelar
selama tiga hari dengan
menyelenggarakan berbagai macam
bentuk kegiatan yang menyangkut
perayaan atau pesta pesta seni dalam
bentuk pertunjukan tari dan musik,
pesta budaya ditepi pantai, parade,
perlombaan, dan beberapa kegiatan
lainnya yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan masyarakat Jailolo.
Berkaitan dengan festival W. J. S.
Purwadarminta (2008) mengartikannya
dalam dua pengertian yaitu: 1) hari
atau pekan gembira dalam rangka
peringatan peristiwa penting dan
bersejarah, dapat pula diartikan sebagai
pesta rakyat. 2) perlombaan, dapat
diketahui atau disimpulkan bahwa sifat
dasar dari semua festival adalah
sesuatu yang berhubungan dengan
perayaan dan juga pesta rakyat yang
pada umumnya ditentukan oleh sesuatu
yang mempunyai nilai kebudayaan.
Hal tersebut senada dengan pernyataan
Fallasi (1987: 8) bahwa festival adalah
suatu peristiwa atau kejadian penting,
sesuatu fenomena sosial yang pada
hakikatnya dijumpai dalam semua
kebudayan manusia.
Sebagai salah satu kota yang
mempuyai banyak aset wisata, Jailolo
menjadi tempat perayaan Festival
Teluk Jailolo yang bertemakan The
Treasure of Islands Emas Spice.
Perayaan festival dalam bentuk seni
pertunjukan musik drama dan tari di
sutradari oleh Eko Supriyanto, Oleg
Sanchabakhtiar sebagai Art director,
dan Dimas Leimana sebagai
profesional sutradara panggung.
Puncak acara Festival Teluk Jailolo
2013 adalah pertunjukan musikal
drama dan tari berjudul “Sasadu On
The Sea”.
Panggungnya berdiri di atas
laut, melibatkan anak-anak dan
pemuda Jailolo sebagai pemain.
“Sasadu On The Sea” mengangkat
cerita dan pesan tentang rumah adat
suku Sahu: Sasadu. Bagi mereka,
“rumah” dianggap sebagai tempat
kelahiran terjadi, terjalinya
keharmonisan antara anggota keluarga,
tempat dilahirkan dan munculnya
generasi-generasi penerus. Sasadu
Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013
21
adalah rumah adat yang memiliki
banyak kandungan makna dan filosofi,
hal ini yang dapat mencirikan tentang
kebudayaan dan prilaku
masyarakatnya.
Pergelaran karya ini diharapkan
dapat memberi pemahaman terhadap
penonton, masyarakat setempat
khususnya masyarakat di wilayah
Jailolo dan Suku Sahu mengenai seni
budaya daerah dan peranan rumah adat
Sasadu sebagai tempat dimana
masyarakat Jailolo dapat menyatukan
rasa persaudaraan. Adapun manfaat
yang dapat dicapai dalam acara
Festival Teluk Jailolo dalam hal ini
pergelaran karya tari “Sasadu On The
Sea”, adalah dapat berbagi dalam
memberikan inspirasi atau motivasi
kepada para kreator seni (khususnya
seniman tari) terhadap pentingnya
sebuah festival yang berpijak pada seni
dan budaya lokal, serta dapat memberi
alternatif bagi masyarakat dalam
mengapresiasi karya-karya seni tari
tradisional kerakyatan.
PEMBAHASAN
Karya Sasadu On The Sea di Jailolo
Jailolo merupakan harta karun
yang tak pernah ada habisnya, begitu
banyak hasil alam yang bisa
dimanfaatkan dan dinikmati. Hutan dan
laut adalah dua tempat yang kaya akan
harta dan keindahan di dalamnya,
hutan yang kaya akan rempah-rempah,
dan laut dengan kekayaan ikan dan
baharinya. Suatu tempat yang indah di
pulau Halmahera Barat, profinsi
Maluku Utara dan menjadi curahan
inspirasi karya “Sasadu on the Sea”.
Karya ini berawal dari sebuah
nama rumah adat suku Sahu, salah satu
dari empat suku yang ada di
Halmahera Barat, yaitu Rumah Sasadu.
Nama dan bentuk rumah yang menjadi
ikon dari provinsi Maluku Utara,
Halmahera Barat ini, menjadi inspirasi
untuk mewujudkan karya kreatif yang
berisi tari, drama dan musik. Cerita
dari pertunjukan ini memiliki makna,
interpertasi dan pesan serta harapan
untuk mewujudkan impian serta cita-
cita indah generasi pemuda dan seluruh
masyarakat Jailolo. Anak yang sejak
lahir menjadi tanggung jawab dari
keluarga, selanjutnya akan menjadi
tanggung jawab Alam (Hutan/Hijau
dan Laut/Biru) untuk menempa,
menantang dan membentuk jati diri
anak Jailolo menjadi kesatria yang
sadar akan kekuatan budayanya,
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
22
tangguh, tegar dan bijaksana. Alam
yang membuka ruang eksplorasi dan
tempaan tanggung jawab untuk
menjadi pelindung, menghargai serta
mencerdaskan. Alam jugalah yang
menentukan kekuatan dan me-
regristrasi semangat untuk meraih
harapan, mimpi dan cita-cita. Alam
yang kuat dan tangguh menjadikan
anak Jailolo bersatu padu dengan
masyarakatnya untuk menjadi yang
terbaik dan berani keluar menggapai
ilmu dan wawasan yang lebih luas.
Hingga pada akhirnya, pulang kembali
ke rumah, ke alam yang menempanya,
ke Timur yang membentuk jati dirinya
dengan semangat kesadaran berbeda
untuk bersatu dengan indahnya tanah
air negeri.
Secara singkat penjabarannya
adalah berawal dari sebuah bentuk
kelahiran seorang anak laki-laki
Jailolo. Sebuah kelahiran yang
bermuara dari sebuah bentuk
kesederhanaan keluarga. Keluarga
yang berasal dari sebuah rumah
sederhana, keharmonisan, kehangatan,
serta kompleksitas proses pembelajaran
dini untuk anak-anaknya. Keluarga
menjadi penting artinya bagi proses
pendidikan dan tempaan paling dini
untuk anaknya. Orang tua, sanak
saudara dan seluruh isi rumah, adalah
sekolah dan sumber untuk menuntut
ilmu yang paling dasar demi
pertumbuhan mental dan pengetahuan
seorang anak. Rumah Sasadu dan
cermin keluarga sederhana di Teluk
Jailolo adalah menjadi tema utama dari
penciptaan karya ini.
Selanjutnya, alam yang menjadi
substansi proses lanjutan bagi anak
Jailolo. Alam di Jailolo yang secara
nyata bersinggungan langsung dengan
Hutan Hijau dan Laut Biru. Anak yang
sejak lahir menjadi tanggung jawab
seisi rumah, proses kehidupannya pun
selanjutnya menjadi tanggung jawab
Alam untuk menempa, menantang dan
membentuk anak Jailolo menjadi anak
yang tangguh, tegar dan bijaksana.
Alam yang memberikan ruang
eksplorasi dan menuntut tanggung
jawab untuk menjadi pelindung, dan
menghargainya serta dapat
mencerdaskannya. Alam (hijau dan
biru) ini, yang akan meneruskan proses
kehidupan anak Jailolo untuk
menentukan kekuatan dan
meregristrasi semangat dalam meraih
harapan dan mimpi. Alam yang tegar
dan tangguh menjadikan anak Jailolo
Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013
23
bersatu dengan lingkungan alam dan
masyarakat untuk menjadi lebih baik.
Di sisi lain, keluarga dan alam
inilah yang akhirnya akan menantikan
kepulangan sang anak dari perjalanan
panjang menguntai mimpi dan harapan.
Keluarga dan alam yang akan terus
memberikan semangat baru, gairah
baru untuk merestui sang anak pergi
meninggalkannya. Terus bertahan
hidup demi kelangsungan masa depan
yang baru, ketika anak dan generasi
penerusnya mampu mengembalikan
keharmonisan, kemajuan dan untuk
keduannya. Memimpikannya untuk
kembali lagi, membangunnya menjadi
yang lebih baik dan bersahaja.
Mengharapkannya untuk menuai panen
yang lebih baik untuk masa depan sang
anak, keluarga dan bumi pertiwinya.
Menjadi yang terbaik kembali lagi
kepangkuan tanah airnya.
Pertunjukan karya “Sasadu On
The Sea” Karya Komposisi Tari dalam
Festival Teluk Jailolo 2013
berlangsung di Teluk Jailolo yang
bersebelahan dengan pelabuhan
Jailolo. Jailolo merupakan kecamatan
di Halmahera Barat dengan luas sekitar
2.755 kilometer. Kecamatan tersebut
berbatasan langsung dengan laut.
Panggung yang digunakan dalam
festival ini bertempat di pinggir laut.
Pemilihan lokasi tersebut cukup
representatif dan relatif dikenal luas
oleh masyarakat penonton yang
apresiatif. Hal tersebut disebabkan
karena tempat yang digunakan dalam
festival merupakan pusat keramaian
masyarakat yang berlalu-lalang dari
berbagai daerah seperti Jailolo,
Ternate, dan beberapa daerah lainnya.
Panggung pertunjukan yang
digunakan untuk acara pergelaran
Festival Teluk Jailolo 2013 berada
dipinggir laut. Pementasan ini berpusat
kepada para penari, melalui pola gerak,
dan tidak banyak dikuasai kemewahan
rupa dan cahaya panggung. Para penari
menjalankan desain gerak pada
eksplorasi bentuk tari tradisi daerah
yang teridentifikasi dari setiap elemen
artistik pemanggungan mulai dari
gerak, setting, tata rias sampai dengan
konsep musikalitasnya.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
24
Gambar 1.
Desain panggung pertunjukan dalam Festival
Teluk Jailolo tampak samping.
(Foto: Oleg Sanchabakhtiar, 2013)
Gambar 2.Desain panggung pertunjukan dalam Festival
Teluk Jailolo tampak depan.
(Foto: Oleg Sanchabakhtiar, 2013
Pendekatan terhadap Masyarakat
Jailolo
Menyelami dan memahami
masyarakat Jailolo tidaklah mudah,
langkah awal yang lakukan untuk
memperoleh data yang berkenaan
dalam mewujudkan karya tersebut
dengan cara observasi aktif atau
pengamatan pada obyek bertempat di
wilayah Jailolo, Halmahera Barat.
Observasi awal yang dilakukan pada
bulan agustus 2012 bersama dengan
rombongan team kreatif Festival Teluk
Jailolo 2013. Observasi tersebut
dimaksudkan untuk lebih mengenal
dan memahami kondisi wilayah. Hal
tersebut sangat penting dilakukan
berkaitan dengan terwujudnya karya
yang melibatkan masyarakat antar suku
dan wilayah yang digunakan sebagai
tempat untuk mempresentasikan karya
tersebut. Selain pengamatan terhadap
wilayah, juga melakukan pengamatan
terhadap sosial budaya masyarakat
setempat, baik mencakup seni, dan
adat-istiadat masyarakat setempat,
terutama di wilayah teluk Jailolo
sebagai lokasi yang nantinya
digunakan dalam pergelaran karya
seni.
Suku yang paling dekat dengan
Jailolo adalah suku Sahu, di mana suku
tersebut memiliki tarian yang bernama
Sara Dabi Dabi dan Legu Salay, di
mana tarian tersebut adalah tarian yang
sering ditampilkan dari masyarakat
suku Sahu sebagai tarian penyambutan.
Selain tarian Sara Dabi Dabi dan Legu
Salay, suku Sahu juga memiliki rumah
adat bernama Sasadu, di mana rumah
adat tersebut sekarang telah dijadikan
ikon dari Halmahera Barat. Suku
Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013
25
Gamkonora merupakan suku yang
masih berdekatan dengan Kecamatan
Jailolo. Suku tersebut memiliki tarian
Dodengo, sedangkan suku Wayoli
memiliki tarian Manika, Hasa Hasa.
Suku terjauh dari Kecamatan Jailolo
adalah suku Tabaru, di mana suku
Tabaru ini memiliki tarian khas perang
yang bernama tari Cakalele.
Berbagai informasi yang
diperoleh dari hasil observasi selama
dua minggu di Halmahera Barat,
khususnya di daerah Jailolo banyak
membantu dalam penciptaan karya
yang dipersiapkan dalam acara Festival
Teluk Jailolo 2013. Observasi
kemudian dilanjtkan dengan langkah
kedua, yang dilakukan dengan teknik
wawancara mendalam artinya
wawancara dilakukan dengan
pertanyan-pertanyaan yang fokus dan
terkait dengan pokok permasalahan
yang ada pada kajian kepada beberapa
orang-orang yang banyak mengetahui
tentang obyek penelitian. Data yang
diperoleh dari hasil wawancara
merupakan penguat dan pendukung
data yang diperoleh dari hasil
observasi. Pemilihan narasumber
dilakukan berdasarkan pada
kompetensi pengalaman dan
pengetahuan, baik secara praktek,
artistik maupun konseptual.
Narasumber yang dimaksud adalah
Fenny Kiat S.STP., M.Si dan
Gregorius Khrisna Wicaksono S.S.
Kedua narasumber tersebut dapat
memberikan data sesuai dengan
keperluan dan keinginan yang
dibutuhkan oleh pengkarya mengenai
seni dan budaya masyarakat di wilayah
Halmahera yang tepatnya di Teluk
Jailolo.
Wawancara secara pribadi
dengan beberapa tokoh masyarakat di
desa-desa yang juga dapat memberikan
informasi tentang kebiasaan dan
berbagai hal tentang masyarakat
tersebut. Pendekatan secara personal
maupun kelompok dengan para
generasi tua (masyarakat yang
mayoritas berusia sekitar 30 tahun
sampai 60 tahun) dan generasi muda
(remaja Jailolo yang mayoritas masih
duduk di bangku SMP dan SMA) tidak
kalah pentingnya, hal tersebut
dimaksudkan untuk memahami
karakter, pola fikir, minat dan bakat
yang dimiliki, serta kepedulian dalam
mengenal kesenian daerahnya.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
26
Langkah Proses Kekaryaan
Menurut Wallas (1977: 53)
bahwa proses kreatif bisa dikatakan
identik dengan proses mencipta dan
menyusun. Hal tersebut ditempuh
melalui empat tahapan yaitu: (1) tahap
preparasi adalah tahap persiapan ketika
individu mengumpilkan informasi dan
data untuk memecahkan suatu masalah
(2) tahap inkubasi adalah pengendapan
atau perenungan atas ide-ide tersebut.
(3) tahap ilimunasi adalah melakukan
penyusunan ketika ide kreatif itu
diwujudkan dalam karya nyata. (4)
tahap verifikasi adalah tahap evaluasi
dengan melakukan penilaian kembali
atas karya yang diwujudkan. Dalam hal
ini, ada proses menimbang dan
mengukur hasil yang diwujudkan
sesuai dengan ide awal dalam
menggarap atau menyusun karya tari
berdasarkan pada konsep yang di
gunakan.
Berpijak pada kategorisasi
proses kreatif yang diungkapkan oleh
Wallas tersebut di atas, apabila
dikaitkan dengan proses kreatif yang
telah dilakukan terdapat kesamaan.
Proses kerja kreatif tersebut telah
dilakukan secara bertahap, dengan
tujuan agar dalam proses dan tujuan
Penciptaan Karya Seni dapat berjalan
lancar dan tidak banyak mengalami
kendala yang signifikan. Adapun
tahapan yang dilakukan diawali dengan
tahap persiapan, tahap perenungan,
selanjutnya tahap
pengarapan/penyusunan, dan terakhir
tahap evaluasi. Beberapa tahap tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, persiapan, yang
ditujukan untuk menunjang proses
kekaryaan dapat berjalan lancar,
dibutuhkan beberapa langkah kerja
kreatif dengan cara melakukan
observasi (pengamatan lapangan
langsung) secara mendalam terhadap
budaya masyarakat Jailolo, melakukan
wawancara dan studi pustaka yang
digunakan sebagai proses penggarapan.
Bentuk seni tradisional kerakyatan
tidak luput dari penelusuran. Beberapa
di antara kesenian tari tradisi lokal
Halmahera Barat merangsang untuk
menyusun beberapa koreografi yang
lebih kompleks tanpa meninggalkan
nilai dan unsur-unsur seni tradisi yang
sudah ada. Adapun langkah kreatif
yang dilakukan adalah tahap persiapan
yang meliputi observasi, wawancara
dan studi pustaka, eksplorasi,
pencarian pendukung tari, dan
Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013
27
pemberian workshop. Langkah kerja
kreatif seperti observasi, wawancara
dan studi pustaka sudah dijelaskan
diatas.
Eksplorasi terhadap materi tari
tradisi seperti Sara Dabi Dabi, Legu
Salay, Dana Dana dan Cakalele
dilakukan secara intensif. Berbagai
macam bentuk tari tradisi daerah
tersebut yang akhirnya digunakan
sebagai pijakan untuk penggarapan
karya dalam pertunjukan Festival
Teluk Jailolo 2013.
Tahapan selanjutnya yaitu
proses memberikan worksop kepada
para pendukung sajian. Sebagai
langkah awal dalam pemberian
workshop team tari memberikan materi
pemahaman tentang apa itu tari, menari
dan gerak tari serta pengolahan gerak
tubuh yang diiringi oleh musik.
Langkah ke kedua mencari penari yang
memiliki kemampuan dalam menari
tarian tradisi setempat secara selektif.
Hal tersebut dilakukan agar penari
yang mempunyai kwalitas tersebut
dapat dijadikan contoh, pemimpin dan
mengatur pendukung tari lain. Di sisi
lain juga melakukan proses pencarian
pendukung tari yang dapat disegani
oleh pendukung tari lainnya, demikian
ini dilakukan untuk membantu dalam
mengkoordinasi pendukung tari
lainnya yang mempunyai karaketer
keras, susah di atur yang disebabkan
karena dari sekian banyaknya
pendukung mempunyai latar belakang
budaya yang berbeda.
Tahap kedua, perenungan,
merupakan tahapan untuk mencoba
berfikir kembali mencari
kemungkinan-kemungkinan dalam
mengembangkan tafsir terhadap data-
data yang diperoleh berkaitan dengan
materi yang disiapkan dalam proses
penggarapan karya. Dalam tahapan ini,
apa yang menjadi persoalan-persoalan
yang melingkupi ide-ide dalam proses
akhirnya mencoba untuk dipecahkan
dalam pola yang logis dan linear
berdasarkan persoalan-persoalan yang
dihadapi.
Perenungan ini mencoba untuk
mencari sebuah solusi atau teknik yang
tepat sasaran dan efektif dalam
penyampaian kepada pelaku dan penari
yang dipersiapkan dalam pertunjukan
Festival Teluk Jailolo 2013. Tehnik
dan solusi penyampaian ini sangat
bermanfaat untuk mentransfer kepada
para pelaku yang terlibat dalam
pertunjukan tersebut. Mayoritas dari
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
28
yang terlibat dalam acara ini adalah
generasi muda yang memiliki perilaku
dan karakter keras dan kurangnya
pengetahuan tentang tari, menari dan
bentuk dari sebuah pertunjukan.
Tahapan ini sangat bermanfaat dan bisa
menemukam ide kreatif dan solusi
untuk penggarapan karya. Ide kreatif
tersebut berupaya melakukan
interpretasi dan pengembangan
terhadap bentuk tari yang tampak pada
visual bentuk pertunjukan.
Tahap pengarapan atau
penyusunan, yang merupakan tahap
ketiga dalam proses kekaryaan ini tidak
lepas dari peran team yang berperan
dalam pertunjukan Festival Teluk
Jailolo 2013. Dalam tahapan ini team
tari melakukan penguasaan materi tari
tradisional kerakyatan Jailolo seperti
tari Sara Dabi-dabi, tari Legu Salay ,
tari Dana-dana dan tari Cakalele.
Penguasaan materi ini untuk
memperdalam penguasaan bentuk,
teknik gerak, ruang, tema dan karakter
tari yang disajikan, dengan tujuan
menselaraskan sajian dan pencapaian
konsep yang ingin dicapai. Sementara
itu untuk proses penggarapan materi,
team tari secara kreatif mengolah,
mengembangkan, memberi variasi,
inovasi pada tari tradisional kerakyatan
dengan sedikit merubah bentuk dan
nilai yang sudah ada dalam tari
tradisional tersebut.
Adapun tahap keempat, yakni
evaluasi merupakan tahapan yang
dilakukan dalam menilai dan
menyeleksi ragam gerak yang telah
dihasilkan pada tahap penguasaan,
pendalaman materi dan penafsiran
bentuk dan isi. Dalam tahapan ini,
team tari bersama dengan sutradara dan
team kreatif lainnya melakukan
evaluasi terhadap proses penguasaan
dan penggarapan pada karya tari yang
akan ditampilkan. Adapun tahapan
evaluasi lebih ditekankan pada bentuk
sajian koreografi. Dalam hal ini
koreografi gerak lebih ditekankan
untuk lebih menunjukkan kondisi
kerakyatan yang didalamnya terdapat
semangat kegotong royongan dan
toleransi antar suku atau berkelompok
masyarakat.
Proses Kekaryaan Sasadu On The
Sea
Karya ini memadukan kesenian
lokal dari suku-suku di Halmahera
Barat yaitu: Suku Tobaru, Suku Sahu,
Suku Wayoli dan Suku Gamkonora
dengan unsur tari-tari eksplorasi baru
Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013
29
dan kreativitas seni pertunjukan
modern yang inovatif. Semua itu
terjalin menjadi satu kesatuan yang
utuh antara seluruh aspek seni
tradisional dan kebaruannya.
Karya Sasadu On The Sea pada
dasarnya bermuara dari Substansi
”Rumah” atau arti kata lain Sasadu
sebagai tempat dimana kelahiran
terjadi, keharmonisan antara anggota
keluarga terjalin, dan tempat
dilahirkannya generasi-generasi
penerus. Substansi pembelajaran yang
bermuara dari keluarga kemudian
bersinggungan dengan aspek-aspek
alam, dimana yang ada di alam
sebagian besar mencakup hutan dan
laut.
Untuk mewujudkan sebuah
gagasan dan menciptakannya menjadi
sebuah karya seni tari yang masih
berpijak pada tradisi yang sudah ada,
demikian ini menggunakan teori
transformasi. Alasan menggunakan
teori transformasi, bahwa dalam
kesenian tradisional rakyat masih
terdapat nilai-nilai estetis yang dapat
diungkapkan melalui gerak-gerak tari
tradisional.
Menurut Bandem (1996: 24)
teori transformasi adalah perubahan
dari asli menjadi karya baru yang dapat
meyakinkan penonton bahwa karya itu
berpijak pada latar belakang seni yang
jelas dan menjadi sebuah hasil
pengembangan dengan hasil warna
baru. Melalui eksperimen atau
percobaan yang sistematis dan
terencana dalam bentuk kreativitas
seni, diharapkan dapat membuktikan
kebenaran suatu teori, sehingga
mendapatkan kesepakatan hasil dari
seluruh penggabungan motif gerak
maupun ide untuk mencapai tema.
Dilandasi dari teori tersebut,
karya seni ini diilhami dari unsur
budaya masyarakat Jailolo yang masih
memegang teguh nilai-nilai tradisi
yang diwarisi secara turun temurun.
Adapun nilai-nilai tersebut diantranya:
kegotong royongan, kebersamaan dan
persatuan dalam membangun negeri.
Dalam bahasa masyarakat Halmahera
Barat nilai- nilai yang tercermin dalam
kebersamaan antar suku sering
diutarakan dengan sebutan mari moi
ngone future, arti dari kalimat tersebut
adalah menyatukan hati membangun
negeri.
Karya tari ini berpijak dari
bentuk-bentuk tari tradisi kerakyatan
suku-suku yang ada di Jailolo,
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
30
kemudian dipadukan dengan unsur-
unsur tari eksplorasi baru dalam
kreatifitas seni pertunjukan modern
yang inovatif dan mengandung unsur
edukatif. Hal tersebut terjalin menjadi
satu kesatuan yang utuh dalam seluruh
aspek seni tradisi dan kebaruan. Karya
ini berangkat dari eksplorasi bentuk
gerak tari tradisional rakyat Jailolo,
seperti tari Sara Dabi-dabi, tari Legu
Salay, tari Dana Dana, tari Cakalele
dan beberapa kesenian lainnya yang
kemudian berkembang dengan ruang
penjelajahan kreatif dengan
memadukan beberapa unsur koreografi
dan komposisi baru tanpa merubah
bentuk nilai ketradisiannya demi
pendalaman intensitas. Dalam tahapan
ini, prosesnya difokuskan pada
eksplorasi gerak tari yang dilakukan
oleh pendukung tari dalam festival
seni.
Adapun model penggarapannya
adalah teknik dan idiom tradisi lokal
yang dikembangkan dan dijadikan
pijakan dalam menyusun bagian-
bagian penyusunan karya tari.
Penggarapan instrumen dari berbagai
kultur, secara kolaboratif dimaksudkan
untuk menghasilkan inovasi baru yang
dapat mempromosikan dan
melestarikan bentuk kesenian daerah
tanpa meninggalkan identitasnya.
Penjelasan konsep garap pertunjukan
karya seni “Sasadu On The Sea” dibagi
menjadi 7 (tujuh) bagian.
Bagian pertama, menampilkan
para pekerja dengan koreografi krodit
(lari, lompat, guling, dan beberapa
gerak lainnya). Kemudian atur posisi,
mulai gerak dengan koreografi gotong
royong, rampak dan gagah, selanjutnya
koreografi rampak koordinasi tangan
dan kaki. Dalam bagian ini
mengungkapkan semangat bekerja
keras dan semangat gotong royong
yang sangat di kedepankan.
Bagian Kedua, mengungkapkan
tentang kelahiran yang terdiri dari
beberapa adegan yakni: (1) Koreografi
Kelahiran, memberikan substansi kasih
sayang orang tua kepada anaknya,
dengan komposisi musik yang digarap
untuk mewujudkan suasana romantis,
kemesraan yang membahagiakan; (2)
Tari Sara Dabi Dabi, yakni tarian
penyambutan yang bertujuan untuk
menyambut kelahiran seorang anak
laki-laki yang kelak dapat membuat
daerahnya maju dan berkembang.
Komposisi gerakan disamakan seperti
konsep aslinya, dengan musik Tari
Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013
31
Sara Dabi Dabi; dan (3) Legu Salay,
sebuah tarian yang sama dengan tarian
sebelumnya, yaitu bentuk tarian
penyambutan dalam kelahiran seorang
anak. Dalam adegan ini, musik digarap
Musik Tari Legu Salay, Standar
instrumen musik Legu Salay. Kostum
yang digunakan dalam adegan ini pada
dasarnya disamakan atau hampir mirip
dari kostum yang di gunakan
selayaknya masing-masing tarian,
namun dalam hal ini ada sedikit
penambahan untuk keperluan kwalitas
dalam bentuk panggung pertunjukan.
Gambar 3.Koreografi Opening tema kerja keras dan
gotong royong
(Foto: Rheza Adi Perwira, 2013)
Gambar 4.Tari Sara Dabi Dabi
(Foto: Rheza Adi Perwira, 2013)
Bagian ketiga terdiri dari 6
(enam) adegan, dimana dalam adegan
ini menggambarkan keadaan hutan dan
isinya yang berada di Jailolo, seperti
berikut: (1) Hutan (pohon), koreografi
lebih menggambarkan gerakan pohon
yang kemudian masuk penari monyet.
Pada adegan ini, musik digarap string
ensamble, cimes, harp dan ambience:
ocean floor dan tali dua; (2) Monyet
dengan koreografi lincah dan rampak.
Musik digarap conga groove, clave, 4
tifa, world triangle, ceramic drum,
pencon Jailolo dan ambience: ocean
floor dan tali dua; (3) Burung Hutan,
koreografi licah dan rampak
menggambarkan sebagaimana karakter
aslinya burung hutan silam. Musik
digarap 3 acous guitar, ukulele, shaker,
ethnic shake loop, voice huming dan
ambience: ocean floor tali dua; (4)
Laut (air), koreografi komposisi hutan
berubah menjadi komposisi laut atau
air (penari tetap). Koreografi laut atau
air menggambarkan sebagaimana
ombak atau gelombang air, dari ombak
atau gelombang pelan kemudian
menjadi ombak atau gelombang cepat
yang kemudian masuk penari ikan.
Komposisi musik yang digunakan
syhnthesizer: string orchestra, taiko,
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
32
timpani, cymbals dengan suasana
memuncaknya gelombang keindahan
Jailolo dan anak itu mulai memahami
esensi tanah kelahirannya; (5) Ikan,
koreografi yang digunakan Rampak
dan mengalir sebagaimana mengikuti
arus gerak air. Ikan happy stream dan
depth dengan menggunakan piano, solo
star shynt, vocal, ooh voice, maraca,
dan syhnthesizer: string orchestra,
taiko, timpani, cymbals,
menggambarkan gelombang keindahan
Jailolo; dan (6) Kawah Bambu Gila,
koreografi yang digunakan merupakan
eksplorasi mengangkat papan yang
akan dinaiki oleh anak yang
memainkan atraksi bamboo di atas
papan. Komposisi musik yang
digunakan adalah Ogoh-Ogoh Jailolo
membara , menegangkan, mengejutkan
dan mendewasakan. Electric bass,
drum, 10 tifa, cow bells, choir, timpani,
syhnthesizer: string orchestra, taiko,
snare, timpani, tifa, vocal dan klimaks
terbentuknya sebuah kedewasaan jiwa
dan anak itu sudah bisa terbang
sekarang. Konsep dalam adegan
tersebut adalah menggambarkan
bagaimana keadaan alam seperti hutan,
laut dan isinya yang menjadi tempat
masyarakat Jaiolo untuk mencari
penghidupan, hutan dan laut adalah
sebagai tempat mengasah ketangguhan
anak-anak Jailolo menjadikan seorang
yang tangguh. Kostum yang di
gunakan dalam adegan ini pada
dasarnya untuk mengambarkan dan
memperkuat kateristik dalam setiap
bagiannya.
Gambar 5.Adegan kelahiran anak masa depan Jailolo
(Foto: Rheza Adi Perwira, 2013)
Gambar 6.Tari Sara Dabi Dabi.
(Foto : Rheza Adi Perwira, 2013)
Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013
33
Gambar 7.Koreografi Kera
(Foto: Rheza Adi Perwira, 2013)
Gambar 8.Koreografi kawah
(Foto: Rheza Adi Perwira)
Bagian Empat terdiri dari dua
adegan yaitu: Konser Musik Jailolo
Music Concert, Quintett Vocal, Yanger
Big Band, Legu Sale & Sara Dabi Dabi
futuristic music, Ensemble Tifa,
Cakalele progresive music, dan tarian
Cakalele. Sementara Bagian Lima,
memiliki dua adegan yaitu Kedatangan
sang tokoh yaitu anak Jailolo dan
tarian Dana Dana sebagai tarian
penyambutan telah kembalinya sang
anak laki-laki yang bisa membangun
daerahnya lebih maju. Pada adegan ini
dinyanyikan lagu Kembali ke Timur,
sebelum lagu selesai perahu perahu
dari laut menuju ke panggung. Musik
yang digunakan syhnthesizer: srting
pad, harp, violin, vocal dengan
relaxation .
Bagian Enam terdiri dari dua
adegan: (1) Kebahagiaan, koreografi
tokoh anak Jailolo berdiri di depan
pintu rumah yang terang dengan
adanya cahaya lampu didalamnya.
Transisi penari silam masuk kerumah,
sementara itu, diatas atap rumah berdiri
seorang penari Cakalele kecil dan
pengkarya menarikan fokabuler dari
tarian Cakalele. Setelah tarian Cakalele
selesai, tokoh tersebut membuka pintu
dan masuk kedalam rumah kemudian
lampu padam. Penggambaran dalam
adegan ini adalah sebuah cerita bahwa
sang tokoh yaitu anak laki-laki Jailolo
yang dulunya pergi merantau akhirnya
telah kembali kerumah dengan
membawa banyak bekal dan
pengalaman untuk siap membangun
daerahnya. Cobaan, godaan, gangguan
yang pernah dia alami sanggup di lalui
dengan baik.
Adegan ini merupakan adegan
puncak dari semua rangkaian adegan
dari awal, suasana yang
menggambarkan bentuk kebanggan
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
34
terhadap daerah dan negerinya pun
disampaikan lewat lantunan musik dan
suasana yang di dukung dengan setting
panggung serta lighting panggung.
Kostum yang digunakan sedikit dibikin
kontras antara sang tokoh dan dengan 2
penari yang berada di atas rumah
Sasadu, alasannya adalah sebagai
penggambaran sang tokoh yang datang
dari kota dengan tinggi peradaannya
dan tetap mau kembali untuk
membangun daerahnya yang terpencil
dan berada di Timur Indonesia.
Gambar 9.Tari Cakalele, adegan kepulangan anak Jailolo
dengan membawa pesan demi kemajuan
daerahnya. (Foto : Rhez Adi Perwira, 2013)
Pada Bagian Tujuh, semua
penari masuk ke panggung dan menari
tarian rakyat secara bersamaan. Dalam
Komposisi bagian ini, musik yang
digunakan yaitu: syhnthesizer: magic
dan Moloku Kieraha new arrangement.
Karya ini secara substansi berupa cerita
dan pesan yang mencurahkan sebuah
bentuk kesederhanaan dari nama
rumah adat suku Sahu, Rumah Sasadu.
Nama dan bentuk ini menjadi inspirasi
untuk mewujudkan karya kreatif berisi
tari, musik drama dan kemasan seni
pertunjukan untuk Festival Teluk
Jailolo 2013. Selain nama rumah adat,
Sasadu ini adalah ikon khas Halmahera
Barat. Rumah Sasadu akan
membungkus seluruh adegan pada
pertunjukan festival ini. Cerita dan
pertunjukan dalam Festival Teluk
Jailolo 2013 ini, dijabarkan dengan
pembagian adegan yang masing-
masing mempunyai pemaknaan,
interpreatasi, dan pesan serta harapan
untuk menjadikan inspirasi bagi
generasi muda dan seluruh lapisan
masyarakat Jailolo khususnya dan
Halmahera Barat pada umumnya.
PENUTUP
Keindahan dan kekayaan alam
serta budaya serta adat istiadat di
Jailolo Halmahera Barat merupakan
aset yang tidak ternilai harganya.
Pemerintah daerah Halmahera Barat
tidak menyianyiakan aset yang dimiliki
untuk memanfaatkan dan
mengembangkan serta mencoba untuk
Eko Wahyudi, Sesadu On The Sea Wacana Seni Budaya dalam Festival Teluk Jailolo 2013
35
mengenalkan kekayaan yang dimiliki
secara luas, selain itu juga Pemerintah
Daerah Halmahera Barat mencoba
membawa masyarakatnya untuk lebih
arif dan kreatif dalam mengenal seni
dan budaya yang dimiliki. Halmahera
Barat yang memiliki kecamatan Jailolo
yang bertepatan sebagai pintu masuk
pelabuhan serta merupakan sebuah
tempat dimana secara struktur
goegrafis merupakan sebuah teluk. Hal
ini yang pada akhirnya pemerintah
daerah Halmahera Barat untuk
membuat sebuah acara tahunan untuk
mengenalkan aset yang di miliki di
daerah tersebut.
Festival merupakan sebuah
ajang yang dapat memunculkan bentuk
eksperimen dengan menjelajahi
berbagai kemungkinan untuk
menemukan ekspresi baru dengan lebih
mengenal unsur seni dan budaya yang
ada di wilayah Jailolo. Festival Teluk
Jailolo merupakan acara tahunan yang
diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata
Halmahera Barat dengan tujuan untuk
mempromosikan potensi pariwisata,
sumber daya alam, budaya, juga bisnis
di daerah Jailolo, Halmahera Barat.
Festival Teluk Jailolo digelar selama
tiga hari dengan menyelenggarakan
berbagai macam bentuk kegiatan yang
menyangkut perayaan atau pesta pesta
seni dalam bentuk pertunjukan tari dan
musik, pesta budaya ditepi pantai,
parade, perlombaan, dan beberapa
kegiatan lainnya yang diselenggarakan
oleh pemerintah dan masyarakat
Jailolo.
Karya Sasadu On The Sea
merupakan refelksi dari sebuah
ungkapan masyarakat Jailolo akan
sebuah kekayaan lokal yang meliputi
seni budaya, adat istiadat dan kekayaan
alam. Ungkapan yang digambarkan
dalam sebuah kearifan lokal yang akan
selalu membawa masyarakatnya
menuju sebuah kemajuan dan
kesejahteraan. Rumah adalah
merupakan simbol bagi masyarakat
Halmahera Barat sebagai sebuah
kebersamaan, kerukunan dan saling
membutuhkan satu sama lain.
KEPUSTAKAAN
Bandem, I Made. 1996. Etnologi tari
Bali. Yogyakarta: Kanisius.
Chandra, Julius. 1994. Kreativitas,
Bagaimana Menanam,
Membangun, dan
Mengembangkannya.
Yogyakarta: Kanisius.
Purwadarminta, W J S. 2008. Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
36
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Supriadi, Dedi. 1977. Kreativitas,
Kebudayaan, dan
Perkembangan Iptek.
Bandung: Alpabeta.
NARASUMBER
Fenny Kiat S.STP., M.Si. 45 tahun,
Kepala dinas Pemuda, Olah
Raga, Kebudayaan dan
Pariwisata Halmahera Barat,
Ternate.
Gregorius Khrisna Wicaksono S.S. 37
tahun, Staf Pemuda, Olah
Raga, Kebudayaan dan
Pariwisata Halmahera Barat,
Jailolo.
DISKOGRAFI
Dokumentasi vidoe Festival Teluk
Jailolo 2012 karya team
Metro TV, koleksi Dinas
Pariwisata Halmahera Barat,
tahun 2012.
Dokumentasi video Jenis Tarian
Halmahera Barat karya
Khresna Martin, koleksi
Khresna Martin, tahun 2010.
37
PERTUNJUKAN KOMPANG
BENGKALIS:
DARI ARAK-ARAKAN KE SENI
PERTUNJUKAN
Yosi Ramadona
NursyirwanProdi Seni Budaya STIE Pekanbaru
Prodi Seni Musik, Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang
ABSTRAKTulisan ini adalah hasil penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan
perkembangan kompang pada masyarakat Meskom Bengkalis, dari bentuk arak-
arakan menjadi Pertunjukan Atraktif. Tradisi arak-arakan kompang pada
masyarakat Bengkalis sejak awal mula berkembang sebagai bagian syiar Islam,
yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap perayaan keagamaan ataupun
perhelatan yang berkaitan dengan agama Islam. Namun sekarang telah dijumpai
pengembangan dari tradisi arak-arakan kompang menjadi tontonan hiburan yang
dikenal sebagai Pertunjukan Atraksi Kompang. Untuk melihat bentuk
perkembangan kompang dari arak-arakan ke pertunjukan, maka penelitian
menerapkan metode kualitatif yang bersifat deskriptif analisis dengan
menggunakan teori fungsi dan pertunjukan. Pengembangan pertunjukan
kompang dari arak-arakan ke Atraksi Pertunjukan Kompang dilatarbelakangi
oleh kebutuhan masyarakat akan sebuah suguhan seni pertunjukan yang lebih
menarik dan bersifat hiburan. Pengembangan ini dilakukan dengan
menambahkan gerak-gerak atraktif ke dalam pertunjukan yang digabungkan
dengan atraksi permainan kompang tanpa menghilangkan hakikat dari
pertunjukan itu sendiri, yaitu sebagai syiar Islam.
Kata kunci : Pertunjukan, Atraksi, Kompang, Islam, Bengkalis
ABSTRACTThis writing is the result of research with the purpose to describe the
development of kompang music in Meskom community in Bengkalis, from
the music of parade to Attractive Performance. The tradition of kompang
parade in Bengkalis community was formerly part of Islamic religiuos
teaching, an integral part of Islam-related ceremonies or parties. But now
kompang music has developed from music of parade to music of
entertainment known as Kompang Attraction Performance. In order to see
the development of kompang from the music of parade to music of
performance, this research used a qualitative method with descriptive
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
38
analysis using theories of function and performance. The development of
kompang from music of parade to Kompang Performance Attraction was
based on the needs of community for a more attractive art performance
and entertainment. The development was done by adding some attractive
movements into the performance combined with kompang game attraction
without reducing the essence of the performance itself, the Islamic
teaching.
Keywords: Performance, Attractions, Kompang, Islam, Bengkalis
PENDAHULUAN
Bengkalis adalah sebuah
Kabupaten yang terletak di pesisir
timur pulau Sumatera, yang dikenal
kaya dengan ragam kesenian yang
mendapat pengaruh dari agama Islam.
Islam dianut oleh mayoritas
masyarakat Bengkalis dan menjadi
identitas yang tak terpisahkan dari
kehidupan masyarakatnya.
Sebagaimana masyarakat Melayu pada
umumnya, Islam telah menjadi
landasan ideal kebudayaan mereka,
dimana hampir dalam segala aspek
kehidupan masyarakat secara ideal
disesuaikannya dengan norma dan
nilai-nilai Islam (Mahdi Bahar, 2012:
44).
Hal ini terlihat pada fenomena
kesenian kompang yang hidup di
tengah masyarakat Bengkalis.
Kompang adalah kesenian bernafaskan
Islam yang begitu populer di tengah
masyarakat Bengkalis. Kompang telah
menjadi kesenian rakyat yang dapat
dijumpai hampir di seluruh pelosok
Bengkalis, dan meramaikan setiap
perayaan keagamaan dan perhelatan di
tengah masyarakat. sehingga tidak
salah jika Bengkalis dijuluki sebagai
“negeri seribu kompang”. Bahkan ada
ungkapan di tengah masyarakat
setempat dimane ade orang melayu,
disitu ade kompang (dimana ada orang
Melayu, disitu ada kompang).
Kompang adalah sebutan oleh
masyarakat setempat terhadap sejenis
alat musik pukul ataupun pertunjukan
musik yang dimainkan oleh
sekelompok orang dalam bentuk arak-
arakan, sambil melafaskan sya’ir-sya’ir
dari kitab berzanji. Nursyirwan
(2000:3), menjelaskan kitab berzanji
adalah karya sastra Arab yang berisi
cerita bernafaskan Islam berupa puji-
pujian kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarganya dan puji-pujian
Yosi Ramadona & Nursyirwan, Pertunjukan Kompang Bengkalis: dari Arak-arakan ke Seni
Pertunjukan
39
kepada Allah SWT (Nursyirwan, 2000:
3). Instrumen kompang sendiri
menyerupai rebana, terbuat dari kulit
kambing dan kayu lebam sadang serta
sedak atau rotan yang berfungsi
sebagai penyaring suara.
Diihat dari sejarahnya, alat musik
kompang diperkirakan berasal dari
Arab dan masuk ke tanah Melayu
seiring dengan berkembangnya Islam
di tanah Melayu, khususnya pada masa
Kesultanan Melaka pada abad ke-13
oleh para pedagang India muslim
melalui pesisir Selat Malaka
(wawancara dengan Alwi di Meskom
Bengkalis pada tanggal 15 November
2013). Sampai sekarang, arak-arakan
kompang dikenal sebagai tradisi
kesenian pada masyarakat Melayu
yang berfungsi sebagai syiar Islam.
Namun sekarang, arak-arakan
kompang telah dikembangkan menjadi
sebuah suguhan seni pertunjukan,
sebagai sebuah tontonan. Fenomena ini
dijumpai di daerah Meskom,
Kabupaten Bengkalis. Disini dijumpai
pertunjukan kompang yang berbeda
dari arak-arakan kompang pada umum
dikenal pada masyarakat Bengkalis.
Kompang tidak dimainkan dalam
bentuk arak-arakan, tetapi telah
dikembangkan dengan menambahkan
gerak-gerak atraktif dalam
pertunjukan, serta unsur-unsur lain
yang ada dalam sebuah seni
pertunjukan. Artinya kemasan bentuk
pertunjukan telah beralih menjadi
sebuah suguhan seni pertunjukan, dan
masyarakat setempat menamakannya
dengan Pertunjukan Atraksi Kompang.
Berdasarkan hal tersebut,
menarik untuk mengkaji bagaimana
pertunjukan kompang yang semula
berupa arak-arakan kompang
berkembang menjadi Pertunjukan
Atraksi Kompang sebagai sebuah
suguhan seni pertunjukan pada
masyarakat Bengkalis, serta seperti apa
bentuk perubahan tersebut. Radcliffe
Brown sebagaimana dikutip dalam
Endaswara berpendapat bahwa sistem
budaya dapat dipandang memiliki
“kebutuhan sosial”. Kebudayaan itu
muncul karena ada tuntutan tertentu
baik oleh lingkungan maupun
pendukungnya. Tuntutan itu yang
menyebabkan budaya semakin tumbuh
dan berfungsi menurut strukturalnya
(Suwardi Endaswara, 2003, 109).
Sementara itu, untuk
menjelaskan bentuk Pertunjukan
Atraksi Kompang, digunakan teori
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
40
bentuk dari RM. Soedarsono
(1977:21), bentuk yang dimaksud
didalam penyajian meliputi unsur-
unsur yang saling berkaitan antara lain
menyangkut hal teknis seperti: penari,
gerak, pola lantai, musik, rias dan
busana, property, tempat dan waktu
pertunjukan (RM. Soedarsono, 1977:
21).
Untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih luas, serta interpretasi yang
layak, maka penelitian ini
menggunakan metode penelitian
kualitatif sebagaimana yang dikutip
dari Miller, bahwa penelitian kualitatif
adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada
pengamatan manusia dalam
wawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang tersebut, dalam
bahasanya dan dalam peristilahannya
(Miller, 1995: 3). Artinya dalam
melakukan penelitian, peneliti
sekaligus menerapkan pendekatan
emik dan etik agar hasil penelitian
menjadi layak dan dapat
dipertanggungjawabkan. Kaplan dan
Manner, sebagaimana dikutip dalam
Endaswara (2003: 34), menjelaskan
bahwa pendekatan emik adalah
pengkategorian budaya menurut warga
setempat (pemilik budaya), sedangkan
etik adalah kategori menurut peneliti
dengan menagacu kepada konsep-
konsep yang sebelumnya.
PEMBAHASAN
Arak-Arakan Kompang
Kompang selalu dimainkan
dalam setiap acara perayaan
keagamaan pada masyarakat
Bengkalis. Kompang atau yang dikenal
juga dengan sebutan rebana adalah alat
musik yang melekat dengan tradisi
kesenian yang bernuansa Islam. Hal ini
dikarenakan alat musik kompang pada
awalnya dimainkan sebagai media
untuk syiar atau dakwah Islam. Oleh
sebab itu, kompang senantiasa hadir di
setiap perayaan keagamaan, seperti
perayaan hari-hari besar Islam, khatam
Qur’an, Satu Muharam, Maulid Nabi,
dan Khitanan.
Sebagai syiar Islam,
pertunjukan kompang dilakukan dalam
bentuk arak-arakan. Disini permainan
alat musik kompang lebih
mengutamakan kesemarakan bunyi
kompang yang mengiringi nyanyian
atau lafaz yang memuat syair-syair
islami berisi puji-pujian terhadap Allah
Yosi Ramadona & Nursyirwan, Pertunjukan Kompang Bengkalis: dari Arak-arakan ke Seni
Pertunjukan
41
SWT dan shalawat terhadap nabi.
Sambil melakukan arak-arakan di
sepanjang perjalanan, para pemain
terus memukul alat musik kompang
dengan melafazkan syair puji-pujian.
Hal ini adalah bagian dari tradisi
masyarakat Bengkalis dalam
mensyiarkan agama Islam sebagai
landasan kebudayaan mereka.
Sebagai sebuah arak-arakan,
pertunjukan kompang biasa
ditampilkan oleh beberapa kelompok
kompang dari berbagai pelosok daerah
di Kabupaten Bengkalis. Dapat
dikatakan tradisi arak-arakan kompang
adalah sebuah pertunjukan komunal
yang cukup kolosal, karena melibatkan
banyak para pemain kompang dari
beberapa kelompok. Begitu pula
dengan antusiasme dan riuh banyak
penonton yang ikut memberikan
dukungan bagi arak-arakan kompang
yang tengah mereka tonton di
sepanjang rute perjalanan.
Gambar 1.Arak-arakan pertunjukan kompang dan
antusiasme penonton
(Foto: Yosi Ramadona, 15 November 2013)
Gambar di atas memperlihatkan
semaraknya arak-arakan kompang
yang tampil di sepanjang jalanan kota
Bengkalis, yang ikut menambah
kemeriahan syiar Islam. Arak-arakan
kompang biasanya dimainkan secara
berkelompok dengan jumlah pemain
yang cukup banyak sehingga
mengundang keriuhan di sepanjang
rute arak-arakan. Begitu bunyi
kompang terdengar, masyarakat akan
keluar berduyun-duyun untuk
menyaksikan pertunjukan kompang
yang menambah nuansa religius dalam
perayaan keagamaan. Diluar dari
perayaan keagamaan, arak-arakan
pertunjukan kompang tetap membawa
syiar tersebut meski konteks
penampilannya telah berbeda.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
42
Sebagai sebuah tradisi pada
masyarakat melayu, arak-arakan
kompang begitu digemari oleh
berbagai lapisan masyarakat.
Kelompok-kelompok kesenian
kompang dijumpai hampir di seluruh
pelosok Bengkalis. Setiap desa
memiliki kelompok kompang sendiri
yang selalu meramaikan berbagai
perhelatan rakyat dari pesta
perkawinan, perayaan keagamaan,
sampai acara sunatan. Begitu pula para
pemain kompang yang terdiri dari
berbagai lapisan, dari kelompok
kompang anak-anak, kelompok
kompang remaja, sampai kalangan
kelompok kompang tua ikut terlibat
pada pertunjukan.
Pertunjukan Atraksi Kompang
Pertunjukan Atraksi Kompang
adalah pengembangan dari arak-arakan
kompang umum dijumpai pada
masyarakat Bengkalis. Menurut
keterangan dari Bapak Zainuddin,
seorang seniman tradisi yang aktif
mengembangkan Pertunjukan Atraksi
Kompang agar dikenal oleh
masyarakat Bengkalis, pertunjukan
atrakasi kompang baru dikembangkan
sejak tahun 2012. Meski terbilang baru,
pertunjukan ini telah mendapat
pengakuan dari masyarakat dengan
prestasi yang diraih oleh kelompok ini
yang meraih peringkat pertama pada
Festival Kompang se-Bengkalis tahun
2012. Mereka juga sering diundang
untuk memeriahkan berbagai acara
perhelatan di Bengkalis dan luar
Bengkalis (Wawancara dengan Bapak
Zainuddin di Meskom Bengkalis pada
tanggal 15 November 2013).
Lebih jauh dijelaskan bahwa
pengembangan arak-arakan kompang
menjadi sebuah pertunjukan atrakasi
kompang dilatarbelakangi oleh
tuntutan masyarakat akan suguhan
pertunjukan kompang yang lebih
ditujukan sebagai tontonan hiburan.
Dengan latar belakang sebagai seorang
seniman zapin, Bapak Zainudin
kemudian berusaha mengembangkan
bentuk kompang agar lebih menarik
lagi, dengan menambahkan atraksi
gerak ke dalam pertunjukan. Hasilnya
adalah sebuah bentuk baru pertunjukan
kompang yang atraktif dan menarik
karena telah dikreasikan dengan
penambahan atraksi-atraksi gerak
digabungkan dengan suguhan musik
kompang, serta elemen pendukung
lainnya dalam pertunjukan.
Yosi Ramadona & Nursyirwan, Pertunjukan Kompang Bengkalis: dari Arak-arakan ke Seni
Pertunjukan
43
Sebagai sebuah pertunjukan,
Pertunjukan Atraksi Kompang telah
dilengkapi dengan elemen-elemen
pendukung pertunjukan, sebagaimana
dikutip dalam Soedarsono (1977: 21),
bahwa bentuk yang dimaksud didalam
penyajian meliputi unsur-unsur yang
saling berkaitan antara lain
menyangkut hal teknis seperti: penari,
gerak, pola lantai, musik, rias dan
busana, property, tempat dan waktu
pertunjukan.
Pertunjukan Atraksi Kompang
beranggotakan laki-laki yang sudah
baliqh, berjumlah empat belas orang
dengan memakai kostum melayu
disetiap penampilannya. Laki-laki yang
sudah baliqh dipercaya masyarakat
lebih cepat dalam menghafal isi dari
kitab berjanzi untuk vocal pertunjukan
dan lebih mampu melakukan gerakan-
gerakan energik serta mempunyai
tenaga yang lebih besar dalam
melakukan pukulan-pukulan terhadap
instrumen kompang dalam durasi
waktu yang cukup lama. Dengan kata
lain, para pemain kompang adalah
seniman yang berbakat karena
disamping memiliki keahlian
memainkan alat musik kompang,
mereka juga mampu berolah vokal
dengan baik, serta memiliki kepekaan
dan keahlian dalam memperagakan
gerak-gerak yang atraktif dan energik.
Dilihat dari latar belakang para
pemain, beberapa diantaranya adalah
juga penari zapin, seperti halnya Bapak
Zainudin sendiri yang juga dikenal
sebagai seniman zapin tradisi di
Bengkalis. Hal ini menjelaskan
mengapa mereka cukup mahir dalam
memainkan musik kompang disertai
dengan gerakan-gerakan atraktif.
Pertunjukan Atraksi Kompang
di Meskom menggabungkan formasi
arak-arakan sebagai pembuka dengan
posisi pemain sambil berdiri atau
duduk selama pertunjukan
berlangsung. Pertunjukan dibagi
kedalam tiga tahapan, yaitu
pembukaan, pengantar, dan bermain
kompang. Pembukaan diawali dengan
arak-arakan para pemain kompang
yang berjumlah 14 orang memasuki
area pertunjukan. Setelah dilakukan
pembukaan dalam bentuk menabuh
kompang secara serentak, dimulai
Pertunjukan Atraksi Kompang, dimana
para pemain memainkan kompang
dalam berbagai gaya baik dalam posisi
berdiri ataupun duduk. Sumber pijakan
gerak dalam gerakan Pertunjukan
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
44
Atraksi Kompang adalah silat, siku
kaluang dan tukar kaki. Ketiga gerakan
inti itulah berkembang gerakan-
gerakan lainnya yang membuat
Pertunjukan Atraksi Kompang jadi
sangat menarik.
Gambar 2.Pembukaan Pertunjukan Atraksi Kompang
oleh grup kompang Indah Budaya di Meskom
Bengkalis
(Foto: Yosi Ramadona, 15 November 2013)
Gambar 3.Permainan Atraksi kompang dalam posisi
duduk dan berdiri
oleh grup kompang Indah Budaya di Meskom
Bengkalis
(Foto: Yosi Ramadona, 15 November 2013)
Gambar diatas memperlihatkan
ragam pola lantai permainan kompang.
Pada pembukaan, para pemain berdiri
membentuk garis lurus menghadap
penonton. Adapun posisi para pemain
kompang sambil duduk ataupun berdiri
seperti terlihat pada gambar kedua
dilakukan pada tahapan permainan
kompang. Disini para pemain
menunjukkan keahlian mereka bermain
kompang sambil membentuk variasi
pola lantai dengan posisi duduk dan
berdiri. Atraksi ini jelas sangat menarik
karena memecah fokus permainan ke
dalam dua bentuk, sehingga
pertunjukan menjadi lebih menarik dan
tidak monoton sekedar sebagai
pertunjukan musik pukul dengan
dikreasikannya gerakan-gerakan yang
diatur sedemikian rupa.
Permainan pola lantai dalam
pertunjukan kompang memang cukup
variatif. Pada permainan kompang
yang umum dijumpai adalah para
pemain berdiri berbanjar membentuk
barisan. Namun pada Pertunjukan
Atraksi Kompang, disuguhkan
berbagai pola lantai yang dikreasikan
dengan gerakan-gerakan pemain yang
atraktif mengiringi pukulan kompang.
Ada saat-saat dimana fokus perhatian
penonton dipecah dengan mengubah
variasi pola lantai dalam berbagai
bentuk, seperti memecah pola berjajar
yang dikreasikan dengan gerakan para
pemain yang saling menjauh dan
Yosi Ramadona & Nursyirwan, Pertunjukan Kompang Bengkalis: dari Arak-arakan ke Seni
Pertunjukan
45
membelakangi sambil terus
memainkan kompang. Ada pula pola
lantai melingkar, dimana para pemain
kompang membentuk lingkaran sambil
memainkan kompang dengan gerakan-
gerakan yang atraktif.
Gambar 4.Variasi pola lantai berbanjar
oleh grup kompang Indah Budaya di Meskom
Bengkalis
(Foto: Yosi Ramadona, 15 November 2013)
Gambar diatas memperlihatkan
variasi pola lantai berbanjar dalam dua
baris. Jika pada pertunjukan kompang
biasa para pemain hanya berdiri
membentuk garis lurus sambil
memainkan kompang, disini pola
tersebut dikreasikan dengan gerakan
saling menjauh dan membelakangi
namun tetap dalam posisi berbanjar.
Hal ini menambah keindahan
pertunjukan kompang sebagai tontonan
yang menggabungkan musik dengan
atraksi visual gerak para pemainnya.
Gambar 5.Pola lantai melingkar
oleh grup kompang Indah Budaya di Meskom
Bengkalis
(Foto: Yosi Ramadona, 15 November 2013)
Pola lantai melingkar, seperti
tampak pada gambar diatas adalah
bagian dari atraksi gerak yang cukup
menarik. Disini para pemain
menyuguhkan gerakan-gerakan yang
beragam. Ada saat para pemain berdiri
dengan berbagai pose memukul
kompang, ada pula saat para pemain
berjalan dengan posisi tegak dan
membungkuk. Setiap gerakan
disesuikan dengan ritme pukulan yang
dilakukan. Ada kalanya gerakan
pemain lambat sesuai dengan irama
pukulan yang pelan, terkadang cepat
jika kompang dipukul dengan kuat dan
tempo yang cepat.
Secara keseluruhan, dalam
Pertunjukan Atraksi Kompang terjalin
hamonisasi antara bunyi pukulan
kompang, syair puji-pujian, dengan
gerakan-gerakan atraktif yang
ditampilkan. Sebagai sebuah atraksi
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
46
kelompok, Pertunjukan Atraksi
Kompang mempertunjukkan keahlian
para pemain dalam memainkan
kompang serta bergerak secara rampak
dan harmonis sambil para pemain terus
melafalkan syair puji-pujian kepada
Allah SWT dan Nabi Muhammad
SAW.
Dilihat sebagai sebuah
pertunjukan, Pertunjukan Atraksi
Kompang secara keseluruhan telah
memenuhi estetika dalam sebuah
pertunjukan. Semua elemen dalam
pertunjukan begitu harmonis dan
menarik sebagai sebuah tontonan.
Gerakan atraksi yang dilakukan oleh
pemain kompang sangat bervariasi
dengan menggunakan tenaga, ruang,
waktu, level, arah hadap, pola lantai,
aksen dan sebagainya. Pukulan
terhadap kompangpun bervariasi
terkadang pelan, sedang, kuat dan
sangat kuat. Gerakan dan pukulan
kompang tersebut merupakan bagian
dari atraksi.
Pertunjukan Atraksi Kompang
sebagai sebuah tontonan mendapat
sambutan yang antusias dari
masyarakat. Pertunjukan Atraksi
Kompang yang menyuguhkan lebih
dari sekedar keriuhan bunyi kompang
serta syair puji-pujian, tetapi memberi
tontonan yang lebih menarik dengan
adanya suguhan gerakan-gerakan
atraktif dan energik dalam memainkan
kompang.
Penerimaan masyarakat tak
terlepas dari kepiawaian Bapak
Zainuddin dalam mempertahankan
esensi dari pertunjukan itu sendiri,
yang tidak sekedar sebagai hiburan
tetapi lebih sebagai bagian dari syiar
Islam. Meskipun Pertunjukan Atraksi
Kompang telah menggabungkan unsur
seni pertunjukan ke dalam pertunjukan,
namun pertunjukan itu sendiri tetap
mengacu kepada etika dan adab
Melayu yang Islami. Fungsi
pertunjukan sebagai syiar Islam pun
tetap dipertahankan karena secara
keseluruhan pertunjukan tetap memuat
puji-pujian terhadap Allah SWT dan
Rasulnya. Murgiyanto menjelaskan
bahwa kelangsungan sebuah tradisi
memang sangat bergantung dari
adanya penyegaran atau inovasi yang
terus menerus dari para pendukungnya
dalam mengembangkan keunikan
perorangan, detail, kebiasaan, persepsi
intern, dan ekstern (Sal Murgiyanto,
2004: 3).
Yosi Ramadona & Nursyirwan, Pertunjukan Kompang Bengkalis: dari Arak-arakan ke Seni
Pertunjukan
47
Pertunjukan Atraksi Kompang
adalah salah satu bentuk
pengembangan dari seni tradisi arak-
arakan kompang, yang membuat tradisi
kompang tetap bertahan dan digemari
di tengah masyarakat pendukungnya.
PENUTUP
Fenomena pertunjukan
kompang pada masyarakat Bengkalis
adalah sebuah gejala perkembangan
seni pertunjukan yang menarik
dicermati. Tradisi arak-arakan
kompang yang telah begitu dikenal
pada masyarakat Bengkalis
bagaimanapun tidak luput dari tuntutan
perubahan. Adanya kebutuhan
masyarakat akan sebuah suguhan
pertunjukan yang lebih menarik, telah
mendorong seniman setempat untuk
mengembangkan sebuah suguhan
tontonan yang dikenal dengan
Pertunjukan Atraksi Kompang.
Pertunjukan Atraksi Kompang
di daerah Meskom adalah sebuah
bentuk pertunjukan rakyat yang
inovatif karena telah mengembangkan
pertunjukan kompang yang berbeda
dari pertunjukan kompang pada
umumnya di Bengkalis. Jika tradisi
arak-arakan kompang hanya
menampilkan permainan alat musik
kompang disertai nyanyian yang
memuat syair puji-pujian terhadap
Allah SWT dan Rasulullah, maka
Pertunjukan Atraksi Kompang telah
dikembangkan dengan menambahkan
elemen-elemen dalam seni pertunjukan
yang membuat pertunjukan menjadi
lebih atraktif sebagai sebuah tontonan.
Di samping sajian yang lebih menarik,
Pertunjukan Atraksi Kompang tetap
mempertahankan esensi dari
pertunjukan kompang, yaitu sebagai
sajian estetis yang memuat syiar Islam,
sehingga kemasan baru ini dapat
diterima di tengah masyarakat
Bengkalis.
KEPUSTAKAAN
Bahar, Mahdi. 2012. Islam Landasan
Ideal Kebudayaan Melayu.
Padangpanjang: ISI
Padangpanjang.
Barker, Chris. 2009. Cultural Studies
Teori & Praktek. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Hadi, Y. Sumandyo. 2012. Seni
Pertunjukan dan Masyarakat
Penonton. Yogyakarta: BP ISI
Yogyakarta.
Hadi, Y. Sumandyo. 2000. Seni dalam
Ritual Agama. Yogyakarta:
Yayasan Untuk Indonesia.
Hermansyah, dkk. 2005. Budaya
Tradisional Melayu Riau.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
48
Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata dengan Tim Pusat
Penelitian Kebudayaan dan
Kemasyarakatan Universitas
Riau.
Murgiyanto, Sal. 2004. Tradisi dan
Inovasi. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra.
Roys, Anya Peterson. 1977. The
Anthropology of Dance.
Bloomington: Indiana
University Press.
Salim, Agus. 2006. Teori dan
Paradigma Penelitian Sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Soedarsono. 1997. Tari-Tarian
Indonesia I. Jakarta: Proyek
Pengembangan Media
Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
_________. 1977. Kamus Istilah Tari
& Karawitan Jawa. Jakarta:
Proyek Penelitian Bahasa dan
Sastra Indonesia dan Daerah.
Saifullah & Yulika, Febri. 2012.
Sejarah perkembangan seni
dan kesenian dalam islam.
Padangpanjang: ISI
Padangpanjang.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
49
MEMBENTUK KEMAMPUAN
PSIKOLOGIKAL DASAR
CALON AKTOR DENGAN METODE
LATIHAN BERTUTUR
Ipong NiagaProdi Pendidikan Sendratasik Universitas Negeri Gorontalo
ABSTRAKAkting dan beberapa masalahnya, terutama tentang bagaimana mempersiapkan
aktor yang baik, mensyaratkan pencarian metode pelatihan terus menerus guna
menemukan solusi yang tepat. Metode Stanislavski membedakan dua faktor yang
perlu dilatih dalam akting, yakni faktor luar dan faktor dalam. Faktor-faktor luar
mencakup tubuh dan suara, sementara faktor dalam adalah aspek psikologis.
Masing-masing faktor mutlak harus terkombinasi dengan baik dalam menyajikan
karakter di atas panggung. Dengan tingkat kesulitan khusus di masing-
masingnya, hal tersebut meminta aktor untuk melatih kedua faktor ini agar
memiliki keterampilan yang kompleks. Penelitian ini akan membahas salah satu
dari faktor dimaksud, yaitu faktor dalam yang melibatkan persiapan keterampilan
psikologis dasar seperti konsentrasi, observasi dan emosi. Melalui metode
bertutur, penelitian dimaksudkan sebagai percobaan untuk menemukan metode
yang tepat dan terukur dalam proses persiapan faktor dalam bagi seorang aktor.
Kata Kunci: Metode Latihan, Akting, Bertutur
ABSTRACTActing andsome of its problems, especiallyhow to prepare agood actor,requires
continuous search of training methods to find appropriate solutions.
Stanislavski’s methoddistinguishes twokinds of factorsthatneed to be trainedin
acting, namey the external factor and internal factor. The external factor
includes body and voice, while the internal factor refers to psychological aspects.
Each factor should be absolutely combined in presenting characters on stage.
With its own level of difficulty, actors are required to train both factors in order
to achieve complex skills. This study will discuss one the two factors above, that
is, the internal factor that calls for preparation of basic psychological skills such
as concentration, observation, and emotion. Through the method of speech, this
study is meant as an experiment in order to find a right and measurable method
in the process of preparing the actor for the internal factor.
Keyword: Exercise Method, Acting, speech
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
50
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia akting
dewasa ini menjadi tidak sesederhana
yang dibayangkan banyak orang.
Dibutuhkan keterampilan tinggi dan
kerja keras artistik berupa latihan vokal
yang tidak sederhana serta teknik
menggerakkan tubuh yang baik. Semua
itu bertujuan agar aktor mampu
menciptakan karakter dengan
meyakinkan. Dengan kata lain,
dibutuhkan suatu persiapan sistematik
dan ilmiah untuk mencapai tingkat
keterampilan akting yang tinggi.
Padahal, pembelajaran seni
peran di Indonesia tidak dikenal dalam
pengertian populer. Banyak para
bintang film maupun sinetron yang
sama sekali tidak melalui proses
persiapan menjadi pemeran. Sementara
itu, banyak aktor-aktor teater yang
belum bisa konsisten dalam memukau
dan memuaskan kebutuhan estetik
penikmatnya. Beberapa penghargaan di
bidang seni peran masih selalu menuai
kontroversi atas kriteria penilaiannya
maupun kompetensi para juri yang
menilainya. Sehingga demikian, seni
peran belum dapat tempat yang layak
di mata penonton sebagai bagian dari
kebutuhan estetik mereka.
Oleh sebab itu, penting kiranya
menelaah kembali urgensi pelatihan
persiapan seorang aktor melalui
metode-metode ilmiah dalam
menciptakan aktor yang berkualitas.
Dalam persiapan seorang aktor, ada
beberapa segmen latihan dan materi
yang mesti dilewati dan dikuasai oleh
para aktor, salah satunya adalah aspek
pskologikalnya. Jika tahap-tahap yang
telah dirancang secara sistematis dan
terukur tersebut dilalui oleh para calon
aktor maka terjaminlah kualitas
keaktorannya.
Tulisan singkat ini ditulis untuk
tujuan tersebut, yakni untuk menguji
keberhasilan metode dan materi latihan
bertutur dalam membentuk
keterampilan psikologikal dasar yang
ilmiah dan inspiratif. Tujuan
selanjutnya, ialah untuk
menyempurnakan atau melengkapi
metode dan materi pelatihan dasar
keaktoran. Permasalahan yang hendak
dibahas menyangkut dua hal penting,
yaitu: (1) metode yang efektif untuk
membentuk kemampuan psikologikal
dasar calon aktor di Indonesia; dan (2)
Prosedur dan materi apa yang paling
efektif untuk mengisi salah satu
segmen tersebut. Harapannya lebih
Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode
Latihan Bertutur
51
jauh, tulisan ini dapat bermanfaat
untuk mempermudah para calon aktor
untuk mengisi salah satu segmen
latihan dasarnya, dan lebih jauh,
metode dan materi yang diuraikan
diharapkan dapat bermanfaat untuk
membentuk keterampilan psikologikal
dasar calon aktor secara efektif.
Stanislavsky membagi dua
aspek dasar yang membentuk akting
dalam diri seorang aktor. Pertama,
adalah aspek luaran (outer), yaitu
sumber daya yang menyangkut suara
dan fisikal (tubuh dan bagian-
bagiannya) yang dinikmati penonton
secara kasat indera. Kedua adalah
aspek dalam diri (inner), yaitu aspek-
aspek psikologikal yang hanya bisa
dirasakan oleh penonton setelah
melihat gejala fisiknya dan akan
mempengaruhi tingkat kepercayaan
terhadap tampilan tokoh yang
diperankan. Kedua aspek tersebut
harus dapat dikombinasikan dengan
baik oleh aktor dan aktris dan untuk
memperoleh keterampilan tersebut
maka mereka harus melewati latihan-
latihan dasar, baik fisikal maupun
psikologikal yang tidak mudah.
Mengamati uraian Konstantin
Stanislavski dalam buku An Actor’s
Work A Student’s Diary (translated
and edited by Jean Benedetti [2008], p.
201), dapat dipahami bahwa prinsip
dasar emotional recall, baik itu yang
bersifat visual maupun yang auditori
ialah sebagai penggerak awal yang
membangkitkan imajinasi seorang
aktor terhadap wujud tokoh yang akan
dibawakannya. Oleh sebab itu, jelas
bahwa untuk lebih mahirnya seorang
aktor melakukan proses-proses
‘pemanggilan kembali’, diperlukan
semacam pembiasaan diri yang lebih
mengarah pada keterampilan
psikologikal untuk memunculkan daya
yang membangkitkan citra-citra dalam
imajinasinya menjadi nyata dan hidup.
Sementara itu, beberapa ahli
telah meletakkan dasar-dasar prinsipil
tentang apa yang disebut akting, yang
bertujuan membantu kerja-kerja aktor
yang sedang mempersiapkan dirinya.
Beberapa di antaranya yang dapat
disimak ialah pernyataan pernyataan
Lee Strasberg dalam Strasberg at The
Actors Studio dan pernyataan
Constantin Stanislavsky dalam An
Actor Prepares (via Edwin Wilson dan
Alvin Goldfarb, 1991). Pada dasarnya,
kedua ahli tersebut memberikan kita
sebuah gambaran bahwa meski dalam
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
52
keseharian kita dapat melakukan
aktifitas dengan kondisi yang lebih
nyaman dan natural, tetapi di atas
panggung semua menjadi sangat
berbeda. Seorang aktor akan
berhadapan dengan aktor lain dalam
situasi fiksi yang penuh aturan dan di
hadapan mereka ada banyak penonton
yang sedang mengawasi dengan cermat
semua tindak tanduk mereka. Maka
untuk memperoleh penampilan yang
memukau dan tidak biasa, para aktor
dianjurkan untuk selalu melatih dirinya
agar memiliki tata cara berlaku dengan
baik di atas panggung.
Sementara itu, perihal metode
pelatihan akting, sebagaimana dikutip
dari Wilson dan Golvarb (1993: 29),
untuk memberi isian dalam
pemikirannya, Stanislavsky
mempelajari bagaimana seseorang
berlaku dalam kesehariannya dan
bagaimana mereka menyampaikan
perasaan dan emosinya; dan kemudian
ia menemukan jalan untuk
menyelesaikan masalah yang sama di
atas panggung. Ia membangun
rangkaian pelatihan dan teknik untuk
para aktor yang memiliki tujuan luas,
terdiri dari: (1) Untuk membuat
aktifitas luaran penyaji (aktor) –gestur,
suara dan ritme gerakan –alami dan
meyakinkan; (2) Membiarkan aktor
dan aktris menyampaikan kebenaran
dari dalam (inner) pada setiap peranan.
Bahkan jika seluruh perwujudan yang
terlihat dari seorang tokoh telah benar-
benar dikuasai, pertunjukan akan
terlihat dangkal dan mekanis tanpa
pengertian yang dalam dari rasa yakin
dan kesungguhan; (3) Membuat
kehidupan tokoh di atas panggung
tidak hanya dinamik tetapi berlanjut.
Sebagian penyaji (aktor) cenderung
menekankan hanya pada puncak
tertinggi dari peranan yang
dimainkannya, sehingganya, kehidupan
tokoh jadi berhenti. Dalam kehidupan
nyata, bagaimanapun juga, orang tidak
berhenti hidup; dan (4) Membangun
rasa pengertian yang kuat dari
permainan ensambel dengan pemeran
lain dalam suatu scene.
Masih menurut Stanislavsky,
teknik yang harus dikuasai oleh aktor
dalam mencipta peran yang
meyakinkan adalah: (1) Relaxations
(keluwesan fisik), aktor harus membuat
tubuh dan suaranya fleksibel sehingga
ia dapat mengalir dan hidup dalam
setiap gerakannya; (2) Concentration
(konsentrasi) dan observation
Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode
Latihan Bertutur
53
(observasi), konsentrasi adalah
perhatian penuh terhadap objek atau
orang yang ditemukan aktor di atas
panggung, Stanislavsky menyebutnya
circle of attention (“lingkar
perhatian”). Observasi seorang aktor
tidak sama dengan observasi seorang
ilmuwan yang membutuhkan kerangka
ilmiah. Observasi yang dimaksud di
sini adalah perhatian terhadap
kehidupan sehari-hari. Seorang aktor
harus terus mengamati orang atau
benda-benda di sekitarnya dan
membuat konsep peniruan referensial
dalam pikirannya; (3) Importance of
specifics (penguasaan terhadap
perilaku-perilaku khusus), aktor
diharapkan tidak melakukan hal-hal
yang umum saja dalam lakunya karena
perilaku manusia dalam kenyataan
keseharian selalu bersifat khusus maka
aktor dalam lakunya juga harus
menekankan pada hal-hal konkrit dan
khusus; (4) Inner truth (kesungguhan
dari dalam), yaitu kemampuan aktor
dalam mendalami dunia pikiran dan
perasaan tokoh. Pendekatan yang
disarankan Stanislavsky adalah ”magic
if” (pengandaian yang ajaib), dengan
terus menerus mengandai-andaikan diri
kita adalah orang lain atau objek lain
melalui imajinasi; (5) Emotional recall
(pemanggilan kembali perasaan-
perasaan yang telah lalu), aktor harus
aktif mengenang pengalamannya untuk
menciptakan kondisi perasaan yang
sama ketika ia menghadapi perannya di
atas panggung. Hal tersebut akan
memudahkan ia dalam mendalami
emosi tokoh.
PEMBAHASAN
Seni Bertutur dan Akting
Sebelum manusia mengenal
sastra (tulisan), penuturan merupakan
metode penyampaian cerita yang
sering dipakai dan paling purba dalam
sejarah publisistik. Dalam sejarah,
penutur, yang dalam bahasa Inggeris
disebut story teller, punya andil
penting dalam menyebarluaskan berita
dan cerita. Pengertian bertutur sendiri
adalah orang lain yang menceritakan
(sebagai ganti membacakan) suatu
kisah tertentu di hadapan orang
banyak. Banyak ahli mengatakan
bahwa keterampilan bertutur ini adalah
salah satu cikal bakal keterampilan
berperan. Di Indonesia, kita mengenal
kesenian seperti PM Toh di Aceh,
Sahibul Hikayat di Betawi, Tupai
Janjang dan Bakaba di Minangkabau,
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
54
Gambang Rancak di Betawi, Pantun
Sunda di Jawa Barat, Kentrung di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, Dalang
Jemblung di Banyumas, Sinrili di
Sulawesi Selatan, Cepung di Lombok
dan di Bali. Itu semua merupakan
warisan nenek moyang orang
Indonesia yang berupa keterampilan
bertutur. Berdasarkan penggambaran
Ahmad (2006: 43 – 44), pekerjaan seni
bertutur kurang lebih sebagai berikut:
Pencerita (tukang cerita) dalam
teater tutur adalah seorang
seniman yang mengungkapkan
gejolak jiwanya lewat media
ungkap suara (vocal). Ia sama
dengan actor. Ia seorang
pemeran, sekaligus penyanyi,
dan sutradara. Pencerita dengan
kemahiran suaranya, dengan
vocal yang ekspresif, harus
sanggup menggambarkan
berbagai karakter/watak tokoh
yang sedang ia ceritakan. Untuk
mendukung penceritaan, ia harus
juga berlaku dengan
menggunakan ekspresi wajahnya
untuk lebih memperkuat
penggambaran watak yang
sedang ia ceritakan. Ia harus pula
mempunyai suara yang merdu
apabila sesekali harus bernyanyi.
Apalagi kalau seluruh
pengucapan cerita dilakukan
dengan menyanyi. Gerakan
tangan dan gerakan tubuh
pencerita, digunakan untuk
keperluan menghidupkan suasana
bercerita dan meyakinkan
penonton.
…………………….
Masyarakat tradisi di masa
lampau yang belum mengenal
tulisan, hanya mengenal sastra
lisan. Untuk menikmati dan
mengembangkan atau
menyebarluaskan sastra lisan,
dilakukan dengan jalan perantara
orang lain yang menceritakan
(sebagai ganti membacakan).
Sastra lisan hidup dan
berkembang dari mulut ke mulut,
dari seseorang diceritakan
kepada orang lain.
Pada zaman itu, tradisi bercerita
merupakan salah satu alat
komunikasi dan penyebaran
sastra lisan kepada masyarakat
secara luas. Dari sini lahirlah
tukang cerita (story-teller) yang
kemudian berkembang menjadi
bentuk kesenian, yang kita
namakan Teater Tutur.
Perbedaan bertutur dengan
berakting adalah pada substansi
aktifitasnya. Bertutur adalah aktifitas
penceritaan yang di dalamnya
mengandung peragaan. Peragaan
berupa suara dan gerakan ini hanyalah
sebuah perumpamaan atas tokoh yang
sedang di ceritakannya. Penutur
melakukan peniruan-peniruan
perumpamaan untuk sekedar
mewakilkan lakuan dari tokoh tersebut
sehingga penonton terkesima dengan
merasakan dinamika karakter dalam
penuturan yang hanya dilakukan oleh
satu orang tersebut. Dengan begitu,
Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode
Latihan Bertutur
55
cerita yang dibawakan oleh tukang
tutur ini terlihat dan terdengar sangat
meyakinkan dan menarik. Sementara
dalam akting, seorang aktor dituntut
untuk memerankan satu orang karakter
saja dan dalam hal ini aktor haruslah
menjadi karakter tersebut,
meninggalkan kepribadian asalnya.
Ketika sedang bermain, aktor berada
dalam kondisi fiksional berupa
dekorasi panggung, ia dituntut untuk
menyatu secara organik dengan kondisi
tersebut. Jelaslah, bahwa keterampilan
seorang aktor memiliki kesulitan yang
lebih tinggi dibanding seorang penutur.
Aktor bukan memperagakan tetapi
masuk ke dalam dan mewujudkan
secara nyata karakter yang sedang ia
mainkan sehingga tokoh tersebut hidup
dengan nafas, daging dan darah sang
aktor.
Sedangkan kesamaan dari
keduanya adalah prinsip penyajiannya.
Keduanya memiliki kekuatan
penyajian pada ucapan, gerakan tubuh
dan mimik wajah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa keterampilan
bertutur merupakan atau mengandung
dasar-dasar dari keterampilan berperan.
Tahapan Pelatihan Bertutur untuk
Calon Aktor
Tulisan ini didasari oleh sebuah
penelitian bersifat kualitatif
eksperimental untuk menguji
kefektifan metode pelatihan yang
diduga peneliti memiliki kelebihan
dalam membentuk keterampilan
psikologikal dasar calon aktor. Data
diperoleh melalui teknik sampling,
yaitu dengan menggunakan subjek
percontohan berupa empat orang
mahasiswa yang memiliki ketertarikan
terhadap seni peran dan akan lebih baik
lagi jika mereka juga memiliki
pemahaman tentang bidang ini. Hal itu
dipandang akan mempermudah peneliti
dalam menerima pengertian-pengertian
instruksional yang berkaitan dengan
penelitian. Subjek ini akan
mempraktekan metode dan materi yang
diberikan peneliti dan pada saat itu
peneliti akan mengambil data dari
penampilan secara langsung dan
rekaman audio.
Prosedur yang dilalui dalam
kegiatan penelitian meliputi: (1) Tahap
persiapan, berupa pembuatan
rancangan penelitian serta menyiapkan
fasilitas dan media penunjang
penelitian (ruang latihan dan tape
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
56
recorder); (2) Tahap menentukan
subjek sampel; dan (3) Tahap
Pelaksanaan.
Tahap pelaksanaan eksperimen
dilaksanakan selama beberapa hari.
Pada hari pertama, pelatihan terdiri
atas tiga tahapan. Tahap I, subjek
sampel diinstruksikan untuk bertutur
secara spontan tentang pengalamannya
yang berkesan (sedih atau gembira).
Peneliti mengamati penuturannya dan
mencatat detail laku dan ucapannya
serta merekam suaranya. Setelah
selesai, peneliti memberinya sebuah
puisi balada yang naratif untuk
dipelajari. Hal itu dilanjutkan dengan
tahap II, di mana subjek sampel
diinstruksikan untuk bertutur tentang
puisi yang telah dibacanya tadi, bukan
mendeklamasikan tetapi menceritakan
kandungan kisah dalam puisi tersebut.
Peneliti mengamati penuturannya dan
mencatat detail laku dan ucapannya
serta merekam suaranya. Adapun pada
tahap III, dilakukan diskusi tentang
materi yang telah dipraktekan tersebut
dan peneliti menginstruksikan pada
subjek sampel untuk menyempurnakan
pemahaman dan susunan dua materi
latihan tersebut untuk persiapan latihan
tutur dengan materi yang sama
keesokan harinya.
Memasuki hari kedua, pada
tahap I subjek sampel diinstruksikan
untuk menuturkan hasil
penyempurnaan materi latihan tentang
pengalamannya. Peneliti mengamati
penuturannya dan mencatat detail laku
dan ucapannya serta merekam
suaranya. Pada tahap II, subjek
sampel diinstruksikan untuk bertutur
tentang puisi yang telah diberikan
kemarin dengan harapan
pemahamannya tentang materi sudah
lebih baik. Peneliti mengamati
penuturannya dan mencatat detail laku
dan ucapannya serta merekam
suaranya. Sementara pada tahap III,
dilaksanakan diskusi tentang materi
yang telah dipraktekan tersebut dan
peneliti menginstruksikan pada subjek
sampel untuk lebih menyempurnakan
lagi pemahaman dan susunan dua
materi latihan tersebut untuk persiapan
latihan tutur dengan materi yang sama
keesokan harinya.
Memasuki hari ketiga, pada
tahap I subjek sampel diinstruksikan
untuk menuturkan kembali hasil
penyempurnaan materi latihan tentang
pengalamannya. Peneliti mengamati
Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode
Latihan Bertutur
57
penuturannya dan mencatat detail laku
dan ucapannya serta merekam
suaranya. Pada tahap II, subjek
sampel diinstruksikan untuk bertutur
tentang puisi yang telah diberikan
kemarin dengan harapan
pemahamannya tentang materi sudah
lebih baik. Peneliti mengamati
penuturannya dan mencatat detail laku
dan ucapannya serta merekam
suaranya. Hal tersebut dilanjutkan
dengan tahap III yang berisi diskusi
tentang materi yang telah dipraktekan
tersebut, untuk menghimpun masalah-
masalah yang dialami subjek sampel
selama latihan.
Penilaian Pelatihan Bertutur untuk
Calon Aktor
Penelitian yang dilaksanakan
selama satu bulan (minggu IV
November hingga minggu III
Desember 2009) di studio Teater
Jurusan Pendidikan Sendratasik
Universitas Negeri Gorontalo ini
kemudian dilanjutkan dengan tahapan
analisis data. Tahapan ini sendiri terdiri
atas dua bagian utama. Pertama, tahap
analisis data, berupa: (a) transkripsi,
yaitu menyusun dengan baik hasil
penuturan subjek sampel yang telah
dicatat oleh peneliti dan
menyempurnakan keakurasian catatan
tersebut dengan mencocokkannya
dengan hasil rekaman; (b) analisis dan
penilaian, yaitu menganalisis kualitas
penuturan berdasar teori dan menilai
kualitas kemajuannya berdasar kriteria
yang telah ditentukan peneliti; dan (c)
jika kesimpulan awal menandakan
bahwa kualitas penuturan tidak
meningkat dari hari ke hari, maka
penelitian akan diulangi lagi dengan
memperhatikan masalah yang
ditemukan. Kedua, ialah tahap
penyelesaian, berupa penyusunan
kesimpulan dan laporan hasil
penelitian.
Materi tuturan yang
diujicobakan dalam penelitian ini
adalah: (1) pengalaman pribadi subjek
sampel, materi ini mengandung
emotional recall yang sangat berguna
untuk calon aktor dengan
membiasakan diri pada kenangannya
sendiri di samping itu ia juga dituntut
untuk menyusun kembali kenangan
yang mungkin diingatnya secara tak
beraturan tersebut; dan (2) puisi balada
Rumah Nyonya Abraham karya WS.
Rendra, puisi ini tidak terlalu panjang,
mengandung cerita, bahasanya sangat
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
58
sederhana sehingga mudah dipahami
dalam waktu singkat, mengandung
penokohan dan perubahan suasana.
Hal-hal tersebut sangat berguna dalam
merangsang kemampuan imajinasi dan
intelegensia calon aktor.
Adapun kriteria penilaian
dalam penelitian ini merupakan
turunan dari teori dan metode akting
yang telah digariskan oleh
Stanislavsky. Mengingat batasan
penelitian ini adalah aspek
psikologikal, maka kriteria penilaian
merupakan turunan dari unsur-unsur
psikologikal berupa, intelegensia,
konsentrasi, penguasaan terhadap
perilaku khusus, faktor keyakinan dan
kepercayaan diri, serta bagaimana
menampilkan emosi. Secara detil,
kriteria tersebut terdiri atas: (1)
kemampuan menciptakan dan
melibatkan diri dalam alur dan struktur
dramatik cerita; (2) ketajaman dalam
mendalami dan memperagakan tokoh
dalam suara, elokusi (gaya bicara) dan
gestur yang tepat; (3) penyusunan pola
kalimat dan pemilihan kata; (4)
kemampuan mengekspresikan gejolak
jiwa sebagai bentuk respon terhadap
situasi fiksional cerita melalui mimik
wajah dan suara; (5) kemampuan untuk
melibatkan diri secara utuh dalam
kondisi fiksional (efek empati dan
simpati bagi orang yang menyaksikan);
dan (6) kepercayaan diri dan tampilan
yang meyakinkan.
Sebagai indikator keberhasilan,
peneliti menetapkan hal-hal berikut: (a)
penelitian ini dianggap gagal apabila
hasil penelitian dari tahap satu hingga
tahap ketiga mengalami kemunduran
(kriteria yang berhasil ditampilkan
subjek sampel berkurang) dan atau
tidak mengalami perubahan (terus
mengulangi sajian yang sama dari
tahap ke tahap); dan (b) penelitian
dianggap berhasil apabila hasil
penelitian dari tahap ke tahap
mengalami perkembangan signifikan
berupa peningkatan penguasaan
kriteria dan atau kualitas kriteria.
Perbandingan Antara Hasil
Transkripsi dengan Kriteria
Penilaian
Berdasarkan hasil pemindahan
data rekaman ke dalam data tulisan
(transkripsi), peneliti akan memisahkan
analisa dan penilaian berdasarkan
materi yang diberikan karena keduanya
memiliki perbedaan isian dan
menyebabkan perbedaan cara
Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode
Latihan Bertutur
59
penyampaian. Berikut adalah hasil
analisa dan penilaian peneliti
berdasarkan kriteria yang telah dibuat
oleh peneliti. Kriteria penilaian dalam
penelitian ini merupakan turunan dari
teori dan metode akting yang telah
digariskan oleh Stanislavsky.
Mengingat batasan penelitian ini
adalah aspek psikologikal, maka
kriteria penilaian merupakan turunan
dari unsur-unsur psikologikal berupa,
intelegensia, konsentrasi, penguasaan
terhadap perilaku khusus, faktor
keyakinan dan kepercayaan diri, serta
bagaimana menampilkan emosi.
Analisis dan penilaian terhadap
materi tuturan pengalaman pribadi
a. Aspek cerita
Pengalaman pribadi, meskipun
bersifat nyata, namun ketika ia
diceritakan kembali, apa yang kita lihat
dan dengar hanya bersifat imajiner.
Dalam penelitian ini tidak
mempermasalahkan kejujuran dari
cerita itu dengan asumsi bahwa semua
subjek sampel bercerita dengan apa
adanya. Jika ada penambahan tekanan
pada situasi cerita, hal tersebut
tergolong dalam fiksionalisasi cerita.
Peneliti pun berharap adanya
fiksionalisasi tersebut, karena pada
dasarnya pengalaman pribadi terjadi
begitu saja dan tidak mengandung alur
tetapi mengandung kronologis. Dalam
penuturan, kita membutuhkan alur agar
penuturan tersebut punya dinamika
estetik dan akan terasa enak untuk
didengar dan dinikmati. Proses
pengaluran ini merupakan bagian dari
proses fiksionalisasi terhadap
pengalaman yang bersifat nyata.
Dalam kehidupan nyata pun
tidak terjadi penokohan dan
pengkubuan karena itu hanya terjadi
dalam dunia fiksi. Jika dalam
penceritaan pengalaman terjadi
penokohan dan pengkubuan, maka
cerita tersebut telah mengalami proses
fiksionalisasi. Penutur akan
memposisikan orang-orang yang
terlibat dalam materi tuturannya
sebagai tokoh termasuk dirinya sendiri
jika ia terlibat dalam peristiwa itu. Di
antara para tokoh itu, penutur secara
disadari atau tidak meletakkan mereka
dalam kubu-kubu yang saling
bertentangan.
Karena baik pengaluran cerita
dan penokohan cerita, adalah proses
fiksionalisasi cerita yang akan
memberikan kesan estetik pada sebuah
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
60
cerita, hal tersebut menjadi penting
dalam proses penuturan. Dalam
mewujudkan hal ini, penutur harus
memiliki intelegensia yang baik dan
kepekaan estetik yang baik pula serta
imajinasi yang mampu mengatur itu
semua.
Pada hari pertama penuturan
pengalaman pribadi, seluruh subjek
sampel bercerita hanya secara
kronologis karena peneliti baru
memberikan instruksi itu setengah jam
sebelum eksperimen di mulai. Cerita
yang mereka bawakan masih sangat
kacau dan terlalu banyak kesalahan-
kesalahan penggunaan bahasa. Belum
ada penokohan dan pengaluran. Cerita
masih berupa laporan dari sebuah
pengalaman. Penyampaiannya pun
sangat datar dan tidak dinamis. Maka
peneliti menginstruksikan agar detail
cerita diperbaiki dan agar
penyampaiannya dibuat lebih menarik
untuk keesokan harinya (peneliti tidak
menginstruksikan penokohan dan
pengaluran).
Pada hari kedua, penokohan
dan pengaluran sudah terlihat dan
muncul secara alamiah. Detail cerita
yang sudah semakin baik, terjadi
penambahan dialog dan elemen-elemen
peristiwa. Namun kesalahan-kesalahan
penggunaan bahasa masih tetap ada.
Semua subjek sampel menjadikan
dirinya sebagai tokoh utama
penceritaan dan pihak yang mengalami
penderitaan. Pada hari kedua baru
terlihat bahwa cerita yang mereka
bawakan adalah cerita-cerita yang
mengharukan.
Pada hari ketiga, para subjek
sampel sudah semakin menguasai
cerita pengalamannya sendiri yang
pada hari pertama mereka sangat gagap
untuk mengungkapkannya. Susunan
cerita semakin jelas dan itu pertanda
bahwa mereka telah menyusun dengan
baik kenangan masa lalu yang mungkin
selama ini hanya teringat secara
sepintas. Dalam materi cerita tampak
jelas bagan yang konsisten antara hari
kedua dan ketiga, menandakan mereka
berusaha terus mengingat dan
mengatur ingatan mereka.
b. Aspek Penuturan
Sama halnya dengan penuturan
pengalaman pribadi, penuturan puisi
pun tidak terdapat eksplorasi gestur,
intonasi, mimik wajah dan warna
suara. Semua berjalan natural dan
mereka lebih terkonsentrasi pada
Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode
Latihan Bertutur
61
situasi puitik dan materi cerita.
Meskipun arahan untuk bertutur
dengan sudut pandang orang pertama
telah diberikan tetapi mereka masih
belum terlalu cerdas untuk
memperagakan tokoh lain atau
menggambarkan suasana dengan
menggunakan gestur.
Dalam hal ini, memang dituntut
kemampuan fisikal yang baik. Semua
subjek sampel memang belum
melakukan atau mendapatkan pelatihan
keterampilan fisikal dasar. Asumsi
peneliti bahwa dorongan imajinasi
yang kuat dapat menggerakkan tubuh
dengan sendirinya ternyata tidak
terjadi. Ketegangan dan situasi formal
yang diciptakan oleh subjek sampel
menghalangi hal itu terjadi.
Perbandingan Hasil Keseluruhan
dengan Indikator Keberhasilan
Berdasar dari analisa terhadap
hasil eksperimen, peneliti mencatat
beberapa kemajuan, yaitu
pengembangan cerita melalui
pengaluran dan penokohan,
keterlibatan diri dalam kondisi
fiksional, kepekaan emosi dan
konsentrasi. Hal tersebut terlihat dari
cara mereka menyusun dinamika
cerita, menghadirkan tokoh-tokoh dan
memperbaiki detail cerita.
Beberapa hal yang diharapkan
peneliti dan tidak terjadi atau tidak
dikembangkan oleh subjek sampel
adalah pendayagunaan intonasi, gestur,
mimik wajah dan warna suara.
Berdasarkan premis tersebut maka
peneliti menyatakan bahwa metode
bertutur dapat membentuk
keterampilan psikologikal dasar calon
aktor, terutama yang menyangkut
emosional recall (bertutur
pengalaman), membentuk kepekaan
emosi, membentuk kekuatan
konsentrasi dan observasi
(intelegensia), serta membentuk
kekuatan imajinasi dalam memasuki
kondisi fiksional. Peneliti sangat
optimis jika latihan tersebut dilakukan
secara terus menerus, dalam waktu
yang lebih lama dan dengan
meningkatkan kualitas materi tuturan,
maka keterampilan psikologikal dasar
yang terbentuk akan semakin kuat dan
dapat dijadikan pondasi keterampilan
akting di tahap selanjutnya. Peneliti
juga menyatakan bahwa, materi tuturan
pengalaman pribadi sangat membantu
dalam membangkitkan kepekaan emosi
dari dalam diri seseorang, dan materi
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
62
tuturan puisi balada sangat membantu
imajinasi para calon aktor dalam
memasuki kondisi fiksional yang
paling sederhana.
Catatan di Luar Hasil Penelitian
Beberapa catatan peneliti yang
berada di luar konteks penelitian ini
tetapi dianggap mempengaruhi dalam
proses latihan adalah sebagai berikut:
1. Pentingnya keterampilan
berbahasa bagi para calon aktor
di Indonesia. Tak dapat
dipungkiri bahwa manusia
Indonesia berada dalam dilema
budaya, terutama bahasa. Pada
sisi satu, kita terikat pada bahasa
ibu dengan dialek, sintaksis dan
diksi yang berbeda-beda, di sisi
lain kita harus menguasai bahasa
nasional yang baik dan benar
yang terkadang pola sintaksis,
dialek dan diksinya bertentangan
dengan bahasa ibu kita. Untuk
naskah-naskah drama di
Indonesia, antara yang berbahasa
daerah dan yang berbahasa
nasional kurang lebih sama
banyaknya. Maka bagi para calon
aktor yang kurang memiliki
keterampilan berbahasa nasional
yang baik, hal tersebut akan
menyulitkannya ketika ia
memainkan naskah-naskah
drama yang berbahasa nasional.
Hal tersebut juga terlihat dalam
penelitian ini. Para subjek sampel
masih sangat terpengaruh dan
terikat pada bahasa ibu dan
dialeknya. Pengucapan kalimat
yang terputus-putus dan pola
kalimat yang tidak baku selama
penuturan juga disebabkan oleh
faktor bahwa mereka kurang
menguasai keterampilan
berbahasa nasional dengan baik.
2. Pentingnya apresiasi sastra
terhadap para calon aktor. Karya
sastra apa pun bentuknya dan
terutama yang fiksi akan sangat
membantu para calon aktor
dalam mendalami keterampilan
pengaplikasian bahasa,
mengembangkan imajinasi dan
membiasakan diri dalam situasi
imajiner dan kondisi fiksional.
Para aktor akan berhadapan
dengan naskah drama yang juga
merupakan teks sastra. Untuk
mencapai tingkat kesulitan
tersebut, para aktor akan terbantu
Ipong Niaga, Membentuk Kemampuan Psikologikal Dasar Calon Aktor dengan Metode
Latihan Bertutur
63
dengan apresiasinya terhadap
karya sastra yang lain.
PENUTUP
Beberapa hal yang dapat
disimpulkan dari penelitian ini, antara
lain:
1. Keterampilan psikologikal dasar
calon aktor, terutama yang
menyangkut emosional recall
(bertutur pengalaman),
membentuk kepekaan emosi,
membentuk kekuatan konsentrasi
dan observasi (intelegensia),
serta membentuk kekuatan
imajinasi dalam memasuki
kondisi fiksional merupakan
pondasi penting dalam
membentuk keterampilan
berakting.
2. Metode bertutur dapat dijadikan
sebaga metode latihan yang
berfungsi membentuk
keterampilan psikologikal dasar
calon aktor karena dapat
membentuk kekuatan konsentrasi
dan observasi, meningkatkan
daya kepekaan emosional,
membentuk kekuatan imajinasi,
serta membentuk keyakinan dan
kepercayaan diri calon aktor
dalam memasuki kondisi
fiksional dan situasi imajiner.
3. Materi tuturan pengalaman
pribadi yang mengandung
emotional recall akan
merangsang respon emosional
para calon aktor dari dalam diri
mereka sendiri dan dengan
seringnya latihan-latihan bertutur
dengan materi emotional recall,
para calon aktor akan terbiasa
untuk mengingat dan menyusun
kembali ingatannya sehingga
kedepannya ia akan dengan
mudah memanggil perasaan-
perasaan tersebut ketika ia
membutuhkannya.
4. Puisi balada yang pendek akan
membantu para calon aktor
berkenalan secara mendalam
pada sebuah kondisi fiksional
yang tidak terlalu panjang atau
berlama-lama mengingat puisi ini
memiliki deskripsi puitik tentang
set dan perilaku tokohnya.
KEPUSTAKAAN
Achmad, A. Kasim. 2006. Mengenal
Teater Tradisional Di
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
64
Indonesia. Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta.
Anirun, Suyatna. 1998. Menjadi Aktor
– Pengantar Kepada Seni
Peran untuk Pentas dan
Sinema: Cetakan Pertama.
Barranger, Milly S. 2006. Theater,
Microsoft ® Encarta © 1993-
2005 Microsoft Corporation.
Carlson, Marvin. 2006. Drama And
Dramatic Art, Microsoft ®
Encarta ®, © 1993-2005
Microsoft Corporation.
Edwin Wilson dan Alvin Goldfarb.
1991. Theater The Lively Art.
New York: Mc-Graw Hill Inc.
___________. 1993. Theater The
Lively Art (Brief edition). New
York: Mc-Graw Hill Inc.
Gordon, Mel. 2006. Acting, Microsoft
® Encarta ®, © 1993-2005
Microsoft Corporation.
Stanislavski, Konstantin, terj. Asrul
Sani. 1980. Persiapan
Seorang Aktor. Jakarta:
Pustaka Jaya.
__________. 2008. An Actor’s Work A
Student’s Diary (translated
and edited by Jean Benedetti).
New York: Routledge Taylor
& Francis.
Subjek Sampel
Nama : Novita T.
Maliki
Tempat/tgl lahir : Gorontalo, 30
Oktober 1989
Alamat : Jl. Al-ikhwan
kel. Molosipat,
Kota Gorontalo,
Gorontalo
Nama : MAN Arafah
Sarman
Tempat/tgl lahir : Tikong
(Maluku Utara),
6 Agustus 1986
Alamat : Asrama Putra
UPP2 Gorontalo
Nama : Syahrul
Latapeng
Tempat/tgl lahir : Popayato, 2
Juli 1991
Alamat : Jl. Jend.
Sudirman No.6
Kota Gorontalo
Nama : Anasrullah
Tempat/tgl lahir : Amasara
(Silawesi Utara),
23 Februari
1991
Alamat : Jl. Pangeran
Hidayat, Kota
Gorontalo
65
UKIRAN AKAR KAYU PULAU
BETUNG JAMBI
MENUJU INDUSTRI KREATIF
NofrialProdi Seni Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang
ABSTRAKKerajinan ukiran akar kayu Pulau Betung menggunakan kayu lokal, yang
produknya berfungsi untuk perabotan rumah tangga dan cenderamata.
Keberadaan kerajinan ukir Pulau Betung dipengaruhi oleh peranan pengrajin,
pendidikan, pariwisata, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, serta pasar.
Dampak perkembangan seni ukir ini pada masyarakatnya, berupa perubahan
mata pencarian sosial dan ekonomi, dari petani menjadi pengrajin ukir.
Peningkatan perekonomian, membaiknya fasilitas hidup keluarga. Masyarakat
dapat melanjutkan pendidikan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi.
Pengembangan industri kreatif seni ukir Pulau Betung melalui kerja sama
cendekiawan, bisnis, dan pemerintah (Triple Helix), penggerak lahirnya
kreativitas, ide, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hubungan tersebut saling
menunjang dengan peran; (1) Cendekiawan, perannya pembentukan insan kreatif
dan aktivitas penciptaan produk baru kompetitif, (2) Bisnis, berperan dalam
konektivitas dalam rangka ekonomi serta transformasi hasil kreativitas menjadi
bernilai ekonomi (pemasaran dan uang), (3) Pemerintah, pemegang kendali
mekanisme pemberian program insentif, kendali iklim usaha yang kondusif dan
peran edukatif.
Kata Kunci: Kerajinan, Ukiran, dan Industri Kreatif.
ABSTRACTWoodroot handicraft of Pulau Betung uses local timber, whose products serve as
house hold items and souvenirs. The existence of Pulau Betung of wood-carving
handicraft is influenced by the role of it creators, education, tourism, non-
governmental organizations, government, and market. The impact of this
development on the society is in the form of changes in the social and economic
liveli hood, the famers became carvers. Economic development, improved living
facilities of family. People can send their childen to university.The development
of creative industry of craft through cooperation with Pulau Betung scholars,
businesses, and government (Triple Helix), driver ofthe birth of creativity, ideas,
science, and technology. The mutually supportive relationship with the role; (1)
Scholars have a rolein formation of creative people and activity creation of new
competitive products, (2) Business plays a role in connectivity in economy and
the transformation of the creativity into economic value (marketing and money),
(3) the Government, program delivery mechanisms in control incentives,
conducive business climate controls and educative role.
Keywords: Crafts, Carving, and the Creative Industries.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
66
PENDAHULUAN
Kerajinan ukiran akar kayu di
Desa Pulau Betung, Kecamatan
Pemayung, Kabupaten Batang Hari,
dipelopori oleh Syafar, di tengah
masyarakat yang tidak memiliki tradisi
seni ukir. Kerajinan ukiran kayu ini
unik, produknya seperti; meja tamu,
meja oshin, kursi tamu, kursi teras dan
cenderamata pada awalnya dibuat dari
kayu utuh (gelondongan), tanpa
sambungan, penggunaan lem maupun
paku, serta memanfaatkan kayu limbah
berupa akar dan pangkal pohon. Motif
dan desain produk menyerupai akar-
akaran, sehingga dinamakan ukiran
akar kayu. Dalam perkembangan
berikutnya, sesuai kebutuhan, maka
bahan baku yang digunakan tidak
sepenuhnya kayu limbah, bagian akar
dan pangkal pohon, tetapi juga bagian
pokok atau batang kayu.
Kerajinan ukiran kayu ditekuni
beberapa keluarga di Pulau Betung,
yang berkembang menjadi sentra
kerajinan ukiran kayu. Hal ini
memberikan dampak positif pada
pengrajin dan masyarakat dan daerah
setempat. Kerajinan ukiran kayu
menjadi usaha dan sumber ekonomi
pengrajin di Pulau Betung, demikian
juga menjadi aset bagi Batang Hari.
Perkembangan ini meningkatkan
ekonomi dan kesejahteraan
pengrajinnya, serta secara tidak
langsung ikut meningkatkan aspek
sosial-budaya masyarakat setempat.
Kerajinan ukiran kayu Pulau
Betung strategis dalam pengembangan
industri kreatif, bagian dari kriya yang
mempunyai kearifan lokal serta
terdapat dukungan baik sumber daya
manusia, sumber daya alam serta
budaya. Sebagaimana diungkapkan
Wicaksono (2009: 209), karena
berbasis pada kearifan lokal yang
merupakan warisan budaya bangsa,
peluang seni kriya untuk
dikembangkan dan dilestarikan sangat
besar baik sumber daya manusia
pendukung, nilai-nilai yang inheren
pada budaya disekelilingnya, teknik
pembuatan, lingkungan pendukung dan
apresiator atau konsumennya.
Industri kreatif merupakan
salah satu industri yang diprioritaskan
pengembangannya oleh pemerintah.
Kebijakan industri nasional ditetapkan
melalui Peraturan Presiden Nomor 28
Tahun 2008 tentang kebijakan Industri
Nasional (diterbitkan tanggal 7 Mei
2008). Industri kreatif mampu
Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif
67
meningkatkan kualitas hidup
masyarakat, toleransi sosial,
menumbuhkan citra dan identitas
bangsa serta mendorong pertumbuhan
pariwisata. Maka pengembangan
industri kreatif kerajinan ukir Pulau
Betung memerlukan kolaborasi dan
kerjasama yang jelas antara
cendikiawan, bisnis dan pemerintah.
PEMBAHASAN
Sejarah Seni Ukir Pulau Betung
Syafar, memperoleh
pengetahuan dan ketrampilan membuat
mebel serta mengukir selama 3 (tiga)
tahun bekerja sebagai buruh pada
perusahaan pengolahan kayu di kota
Jambi (M. Ali, wawancara 2013).
Karena tidak mendapat gaji yang
memadai Syafar memutuskan berhenti,
dan memulai usaha kerajinannya sejak
tahun 1989. Syafar memanfaatkan
bonggol dan sisa tebangan kayu
Rengas dan Tembesu di sekitar
desanya, kemudian diolah menjadi
barang kerajinan berupa kursi taman,
dalam bentuk ukiran yang khas seperti
akar belit. Produk ukirannya dijual di
pasar, kemudian setelah mulai dikenal
dan diminati masyarakat Syafar
memajang dan menjual hasil ukirannya
di depan rumahnya. Pada awal
usahanya, Syafar menggunakan
peralatan seadanya.
Usaha Syafar kemudian
berkembang dengan banyaknya
pesanan atas produk kerajinannya,
sehingga Syafar mencari dan membina
anggota masyarakat Pulau Betung
untuk menjadi pekerja. Syafar
membuka diri ketika sejumlah warga
berminat belajar memahat dan
mengukir padanya, kemudian
membuka usaha sendiri. Ketika
semakin banyak warga yang mulai
membuka usaha yang sama, desa Pulau
Betung-pun menjadi sentra kerajinan
ukiran kayu. Kemudian ada pengrajin
lainnya yang cukup terkenal seperti
Sulaiman, M. Ali, dan Jangtik.
Puncak perkembangan
kerajinan ukir kayu di Pulau Betung
tahun 2005, terdapat 40 hingga 50 kios
yang memajang produk ukiran. Produk
yang dihasilkan beragam, tidak hanya
meja dan kursi tetapi juga berbagai
cenderamata berbentuk ikan, dan naga.
Konsumen selain berasal dari
masyarakat sekitar, Sumatera
umumnya, pulau Jawa, serta selain itu
ada konsumen yang berasal dari luar
negeri. Meski menggunakan kayu
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
68
rengas, tembesu dan kayu lainnya,
kerajinan ini dikenal dengan nama
kerajinan ukir betung, nama desa itu
lebih dikenal ketimbang nama
kayunya. Salah satu keunikan hasil
pahatannya adalah jalinan ukir yang
tak terputus, dibuat dari potongan kayu
utuh. Setiap produk menjadi senyawa
karena saling terhubung. Adapun
bentuk ukirannya memiliki nuansa
alam.
Proses Pembuatan Produk
Kerajinan Seni Ukir Pulau Betung
Peralatan yang dibutuhkan
proses pembuatan kerajinan ukiran
kayu Pulau Betung diantaranya
meteran, siku-siku, palu, jangkar,
pensil, ketam, gergaji, ditambah
peralatan pahat ukir, kampak, patar
atau kikir, chainsaw, bor dan blowwer
atau kompor tembak. Alat finishing
menggunakan kuas, spray gun dan
compresor.
Gambar1.Penarah dan Pahat ukir
(Foto: Nova Sriyanti, 2004)
Gambar 2.Kampak, pahat, palu, patar dan gergaji besi
(Foto: Nofrial, 2013)
Gambar 3.Chain Saw
(Foto: Nova Sriyanti, 2004)
Pembuatan produk dimulai dari
penyiapan kayu, kemudian dipotong
sesuai produk yang akan dibuat
menggunakan chainsaw. Kayu
digambar/didesain menggunakan
spidol atau arang, dengan motif akar
belit, naga, motif ikan mas koki, motif
bunga kol serta motif alami yang
mengikuti alur/serat kayu. Kayu yang
besar dibentuk secara global
menggunakan chainsaw, untuk benda
yang kecil menggunakan kampak dan
pahat. Kayu dipahat dan dilobangi
sesuai dengan motif yang telah dibuat.
Gambar 4.Kayu Bahan Kerajinan
(Foto: Nofrial, 2013)
Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif
69
Gambar 5.Pengolahan Kayu Bahan Kerajinan
(Foto: Nova Sriyanti, 2004)
Produk dibuat dari satu kayu
utuh, tetapi dalam beberapa jenis
produk, atau mensiasati ukuran dan
kondisi kayu juga dilakukan
penyambungan, terutama untuk
memperbesar dan memperlebar kayu.
Setelah dipahat dan diukir, untuk
menghilangkan serat yang kasar,
sekaligus untuk pemberian warna khas
dilakukan proses pembakaran pada
bagian tertentu menggunakan blowwer
(kompor tembak).
Finishing dimulai dengan
pengamplasan menggunakan amplas
kasar kemudian ampelas halus. Setelah
itu produk dikeringkan dengan cara
diangin-anginkan pada ruang terbuka ±
2-3 minggu. Setelah kering kembali
diampelas halus, bagian yang retak dan
cacat kayu didompul serta diampelas.
Selanjutnya menutup dan mengilapkan
dengan melamin clear gloss.
Umumnya finisihing yang digunakan
adalah natural, tetapi pada bagian
tertentu atau keseluruhan bagian
produk yang diinginkan terkadang juga
diwarnai untuk memperindah dan
menambah daya tarik produk. Proses
pewarnaan dan pengilapan dilakukan
beberapa kali, sampai memperoleh
hasil yang diinginkan. Finishing selain
menggunakan kuas juga disemprot
dengan spray gun. Finishing selesai
dilakukan, maka untuk produk tertentu
dipasangkan kelengkapannya, seperti
kaca untuk meja, karet untuk kaki
meja, dan lainnya.
Gambar 6.Kayu yang sudah dibentuk secara global untuk
meja tamu
(Foto: Nofrial, 2013)
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
70
Gambar 7.Pemahatan kayu untuk tuas/handle persneling
mobil
(Foto: Nofrial, 2013)
Gambar 8.Pembakaran menggunakan blowwer (kompor
tembak)
(Foto: Nova Sriyanti, 2004)
Gambar 9.Finishing tuas/handle persneling mobil
(Foto: Nofrial, 2013)
Fungsi Produk Seni Ukir Pulau
Betung
Produk seni ukir Pulau Betung
digolongkan menjadi dua fungsi,
pertama mebel dan perabotan rumah
tangga, kedua benda cenderamata dan
aksesoris.
1. Mebel dan perabotan rumah tangga
diantaranya Kursi dan Meja Tamu,
Kursi dan Meja Teras, Kursi dan
Meja Taman, Kursi dan Meja
Telpon, dan Meja oshin. Kursi dan
meja tersebut dibuat dalam bentuk
motif naga, motif kerawang, motif
akar belit, motif daun, motif ikan
mas koki, dan bentuk guci.
Gambar 10.Kursi Teras/Taman
(Foto: Nofrial, 2013)
2. Cenderamata dan aksesoris,
diantaranya dudukan guci, tempat
buah, vas bunga, asbak, tempat
tisu, tuas atau handle persneling
mobil, patung ikan arwana, patung
Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif
71
naga, patung serigala, patung elang,
patung rusa, dan patung angso duo.
Gambar 11.Patung Ikan
(Foto: Nofrial, 2013)
Gambar 12.Tuas/handle persneling mobil
(Foto: Nofrial, 2013)
Peranan Lembaga Budaya Terhadap
Perkembangan Industri Kreatif Seni
Ukir Pulau Betung
a). Peranan Pengrajin
Pengrajin pelaku utama dalam
menghasilkan karya seni ukir.
Pengrajin ukir di Pulau Betung hanya
terdapat pengrajin otodidak, yang
memperoleh pengetahuan dan
keterampilan mengukir serta membuat
produk kerajinan dengan belajar
sendiri, meniru, berguru pada
seseorang baik langsung maupun tidak
langsung. Pada perkembangan
berikutnya pengerajin memperoleh
pelatihan formal tentang kerajinan
guna pendalaman pengetahuan dan
ketrampilan yang dimiliki sebelumnya.
Syafar, yang mempelopori
kerajinan ukir di Pulau Betung,
memperoleh pengetahuan dan keahlian
mengukir selain dari pengalamannya
menjadi karyawan pengolahan kayu
dan pembuatan mebel, juga dengan
menciptakan sendiri, meniru bentuk-
bentuk alam terutama akar-akaran.
Pengrajin mengembangkan
kemampuan dan daya imajinasinya
berdasarkan kreativitas sendiri.
Visualisasi hasil ukiran mulai dari
bentuk motif yang paling sederhana,
hingga mencapai bentuk yang rumit.
Bentuk bagian tumbuhan; akar-akaran,
daun, serta bentuk hewan seperti ikan,
angsa, elang dan lainnya. Dalam
penciptaan karya ukiran ini berlaku
konsep imitasi, peniruan alam. Secara
otodidak Syafar, mampu menemukan
dan membuat ragam ukiran yang khas
Pulau Betung, yang tidak ditemukan di
daerah lain.
Ditopang kreativitas dan
tuntutan industri pariwisata, pengrajin
ukir di Pulau Betung seperti Syafar,
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
72
berusaha mencari sesuatu yang baru
yang lebih kreatif. Pariwisata
merupakan angin segar bagi para
pengrajin untuk berkarir lebih jauh
dengan potensi-potensi yang dimiliki,
ber-inovasi dan berkreatifitas
melahirkan produk baru. Peran
pengrajin terhadap aktivitas berkarya
seni, Thur dikutip oleh Astrid (1980:
90), bahwa fungsi seniman; 1)
Seniman sebagai pencipta dan penemu
hal yang baru, 2) Seniman sebagai
penemu dan penyebar nilai-nilai yang
baru, 3). Fungsi sosialisasi dari nilai-
nilai yang baru dan lama.
Pengrajin memiliki kemampuan
menjadi pembaharu (inovator) namun
mereka tidak dapat lepas dari pengaruh
lingkungan budaya tempat mereka
hidup (Kusen, 1986: 83). Pengrajin
mengembangkan daya kreativitas
berkat dorongan dan perhatian
masyarakat. Sorokin (1976) dikutip
Supriadi (1997: 63), menempatkan
kreativitas sebagai faktor penting
dalam menciptakan produk seni yang
membawa perubahan sosial budaya.
Kreativitas berlangsung dalam setiap
dimensi dan aktivitas kehidupan
pengrajin. Adanya unsur kreativitas
itulah yang memberi corak, isi, bentuk,
dan karakter produk yang diciptakan.
Pengrajin seni ukir di Pulau
Betung dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu pengrajin ahli, pengrajin
pemula dan pengrajin pengusaha.
1). Pengrajin Ahli
Pengrajin ahli menguasai
pengetahuan dan keterampilan seni
ukir, baik menyangkut desain,
pemilihan dan penyiapan bahan,
proses produksi sampai finishing,
seperti Syafar, Sulaiman, M. Ali dan
Jangtik. Dalam membuat produk
tidak selalu berorientasi pesanan,
tetapi lebih bebas sesuai dengan
keinginan.
2). Pengrajin Pengusaha
Pengrajin pengusaha merupakan
pengrajin ahli yang memiliki
kemampuan mengelola
(managerial), memiliki kemampuan
Leaderships, kemauan keras untuk
maju, dan memiliki wawasan ke
depan. Di samping itu juga
mempunyai modal untuk usahanya.
3). Pengrajin Pemula
Pengrajin pemula adalah pekerja
yang hanya mempunyai
kemampuan dan keahlian terbatas,
pada bidang-bidang tertentu saja.
Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif
73
Pengrajin pemula bekerja pada
pengrajin pengusaha atau pengrajin
ahli, dengan tujuan meningkatkan
keterampilan mengukir dan
sekaligus mendapatkan penghasilan.
b). Peranan Pendidikan
Pendidikan diperlukan untuk
memperdalam pengetahuan teori dan
praktek yang berhubungan dengan seni
ukir, managerial, entreprenuer dan
leadership. Keberadaan lembaga
pendidikan yang berada di Muara
Bulian, Kota Jambi dan Sumatera
umumnya memberi andil terhadap
perkembangan seni ukir Pulau Betung.
Berupa pelatihan desain, keteknikan,
finishing, promosi, serta penelitian.
Tahun 1991 dibangun Sekolah
Menengah Industri dan Kerajinan
SMIK Negeri Batang Hari, di Muara
Bulian dan SMIK Kerinci (SMKN 4
Sungai Penuh). SMIK ini memiliki
empat jurusan; yaitu Jurusan Ukir
Kayu, Logam, Batik, dan Keramik.
Pendirian SMIK ini untuk
mengembangkan seni dan kerajinan di
tengah masyarakat, serta mendukung
perkembangan pariwisata, menyiapkan
pengrajin yang terampil, terdidik, dan
terlatih, didukung oleh dasar
pengetahuan seni rupa. Selain kedua
SMK tersebut, keberadaan Jurusan
Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia Padangpanjang,
yang beberapa alumninya tersebar di
Provinsi Jambi, yang turut memberi
andil dalam pengembangan seni ukir
Pulau Betung.
c). Peranan Pariwisata.
Pembangunan sektor pariwisata
dengan tiga modal dasar, yakni budaya,
keindahan alam dan keramah-tamahan
penduduk. Bidang pariwisata menuntut
pengembangan; sarana dan prasarana
serta kenyamanan dan keamanan. Di
samping itu diperlukan tersedianya
cenderamata yang khas setempat.
Soedarsono (1999: 180), menyatakan
seni yang dikemas untuk komunitas
wisatawan harus memiliki lima ciri: (1)
tiruan dari aslinya, (2) bentuk mini atau
singkat dari aslinya, (3) penuh variasi,
(4) tidak sakral, (5) murah harganya.
Kerajinan yang dikemas untuk
cenderamata di Batang Hari juga
mengacu pada konsep tersebut.
Pulau Betung sebagai salah
satu jalur pariwisata Batang Hari
mengembangkan diri sebagai sentra
seni ukir, yang menyediakan berbagai
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
74
macam produk untuk cenderamata,
yang dipasarkan di beberapa kios seni
di Pulau Betung dan kota Jambi. Seni
ukir Pulau Betung berperan terhadap
pariwisata, sebagai akibat maupun
tujuan (obyek) wisata. Posisi sebagai
“akibat” ia dicari pada akhir suatu
proses wisata, sedangkan dalam posisi
“tujuan” peranannya semakin
monumental sebagai daya tarik wisata
(Anas, 199: 3). Konsekuensinya
pengrajin ukir Pulau Betung dituntut
mampu memenuhi selera konsumen,
sehingga produksi seni ukir
membutuhkan kreasi yang lebih dari
yang bersifat massal. Dilakukan
dengan menciptakan jenis dan bentuk
produk baru, melalui pengembangan
desain atau membuat bentuk baru.
Seni ukir dikembangkan
menjadi destinasi wisata maka
menumbuhkan aspek lain, munculnya
hotel, penjual makanan dan minuman,
perencana perjalanan wisata, agen
perjalanan, dan pramuwisata. Integrasi
seni ukir Pulau Betung dan pariwsiata
akan memunculkan perkembangan
prasarana ekonomi, seperti jalan raya,
terminal, serta prasarana yang bersifat
public utilities.
d). Peranan Lembaga Swadaya
Masyarakat
Pengembangan seni ukir di
Pulau Betung juga menjadi
tanggungjawab berbagai lembaga dan
organisasi yang ada di tengah
masyarakat. Hal inilah yang
melatarbelakangi dibentuknya
Koperasi Industri Kerajinan (Kopinkra)
Setia Kawan di Pulau Betung.
Kopinkra merupakan kesatuan sosial
pengrajin di Pulau Betung. Dibangun
dan melaksanakan tugas sesuai prinsip-
prinsip dan tujuan yang diilhami oleh
kepentingan bersama. Berperan dalam
mengembangkan dan mempromosikan
produk, mediasi dan fasilitasi pengrajin
dengan buyer dan investor. Kopinkra
menjadi jalur dan pintu masuk bantuan
dari berbagai instasi pemerintah
maupun swasta kepada pengrajin.
Termasuk pelibatan pengrajin dalam
pameran dan pelatihan, membantu
pengrajin dalam hal administrasi.
e). Peranan Pemerintah
Pengembangan kerajinan
sejalan dengan pola pembangunan
daerah Batang Hari, yang dititik
beratkan pada bidang ekonomi
bertumpu pada sektor pertanian, sektor
Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif
75
pariwisata dan seni kerajinan. Lembaga
pemerintah dan swasta yang
menunjang pengembangan seni ukir di
Pulau Betung diantaranya bantuan
pinjaman modal kerja dengan sistem
kemitraan dari BUMN; PT. Pusri,
PLN, Jasa Marga, PT. Pos Indonesia,
Pertamina dan PT. Sarana Jambi
Ventura. Pemerintah Batang Hari
melakukan pelatihan pengembangan
disain dan finishing untuk variasi
produk sekaligus menyesuaikan kayu
yang digunakan dengan jenis produk
yang dihasilkan, mengirim pengrajin
ke daerah yang mempunyai kerajinan
sejenis dan lebih maju, seperti Bali,
Yokyakarta dan Jepara, Serta
mendatangkan pengrajin ahli dari
Jepara untuk membantu pengembangan
desain, teknik dan finishing.
Termasuk mengikutsertakan pengrajin
pada berbagai pameran dan promosi
ditingkat lokal, regional maupun
nasisonal (Jangtik, wawancara 2013).
Pameran berskala nasional diantaranya
Pameran Otonomi Expo dan Forum
2012 Asosiasi Pemerintah Kabupaten
Seluruh Indonesia (APKASI), di
Jakarta Convention Center setiap tahun
mulai 2005 (Jangtik, wawancara 2013).
Stand di JCC ini difasilitasi pemerintah
Provinsi Jambi.
f). Peranan Pasar
Pasar yang mendukung
perkembangan kerajinan ukir Pulau
Betung merupakan bentuk transaksi
jual beli antara pengrajin dan pembeli.
Transaksi ini tidak mesti berlansung di
tempat khusus, kios atau pasar pada
umumnya, melainkan bisa di bengkel
kerja atau tempat lainnya, bahkan
tanpa tatap muka antara pengrajin dan
pembeli.
Pasar menjadi struktur
pendukung penting untuk penciptaan
dan distribusi seni, menyalurkan dan
mengembangkan karya-karya para
seniman (Zolberg, 1990: 180). Dengan
adanya kegiatan tersebut, jangkauan
pemasaran produk seni ukir Pulau
Betung semakin luas. Selain itu di
tingkat provinsi juga didirikan pusat
promosi produk kerajinan oleh
Dekranasda. Meningkatnya permintaan
pasar, membuat para pengrajin
semakin tekun meningkatkan
produksinya. Pemasaran produk seni
ukir Pulau Betung dilakukan di kios-
kios Pulau Betung. Konsumen dari
dalam dan luar negeri, sebagaimana
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
76
diungkapkan Syafar, sejak tahun 1994
usahanya ramai, bahkan ada pembeli
dari Bali, Korea, Singapura dan Eropa.
Dampak Perkembangan Seni Ukir
Pulau Betung terhadap masyarakat
Sebagai hasil budaya yang
kongkret, seni ukir Pulau Betung
sangat berpengaruh pada perilaku
masyarakat pendukungnya baik dalam
berinteraksi maupun berkomunikasi,
karena kerajinan ini merupakan bentuk
ekspresi pengrajinnya, dan sering
sekali dipandang sebagai salah satu ciri
kuat dari identitas kebudayaan, artinya
dalam karya seni tercermin sistem
nilai, tradisi, sumber daya lingkungan,
kebutuhan hidup, dan pola perilaku
manusia.
Kontinuitas pengrajin dalam
menciptakan seni ukir di Pulau Betung,
menjadikan kerajinan ini sebagai
sebuah karya yang sarat dengan
keterampilan dan kreativitas. Kekayaan
sumber daya alam dan tuntutan
kebutuhan menjadi motivator
terciptanya dan berkembangnya
kerajinan ukir kayu di Pulau Betung.
Perubahan pola hidup dibarengi
perubahan kebutuhan, menjadikan seni
ukir tidak hanya sebagai pengisi waktu
luang petani, tetapi menjadi pekerjaan
khusus yang memerlukan suatu
pemikiran di samping keterampilan.
Seni ukir mempunyai dampak yang
sangat luas pada kehidupan masyarakat
yang dapat dilihat baik dari segi
ekonomi, sosial, dan budaya
masyarakat. Terkait dengan
perkembangan seni ukir kayu di Pulau
Betung, pada awalnya tidak ada tradisi
seni ukir di tengah masyarakat,
kemudian atas prakarsa dan kreativitas
anggota masyarakatnya (Syafar)
muncul seni ukir. Seni ukir ini mampu
merubah Pulau Betung dari kawasan
perkebunan menjadi sentra kerajinan
ukir kayu, yang keberadaannya tidak
hanya mengharumkan nama Pulau
Betung, Kabupaten Batang Hari tetapi
juga Provinsi Jambi hingga ke tingkat
nasional.
Dampak perkembangan seni
ukir Pulau Betung terlihat dari
kehidupan pengrajin. Semula bekerja
sebagai buruh di pembuatan mebel,
atau petani dan buruh perkebunan
sawit beralih menjadi pengrajin ukir,
yang sifat pekerjaannya lebih ringan
dengan penghasilan yang lebih baik.
Perkembangan seni ukir Pulau Betung
otomatis memajukan pola hidup
Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif
77
masyarakat, karena perekonomian
masyarakat meningkat. Pendapatan
membaik bermuara pada kehidupan
masyarakat yang baik pula, secara
tidak langsung mengubah pola hidup
masyarakat dalam berbagai segi.
Wawasan masyarakat mulai terbuka
karena berinteraksi dengan orang di
luar lingkungannya.
Strategi Pengembangan Seni Ukir
Pulau Betung menuju Industri
Kreatif.
Industri kreatif di Indonesia
didefinisikan sebagai industri yang
berasal dari pemanfaatan kreativitas,
keterampilan serta bakat individu
untuk menciptakan kesejahteraan serta
lapangan pekerjaan dengan
menghasilkan dan mengeksploitasi
daya kreasi dan daya cipta individu
tersebut. Pengembangan industri
kreatif membutuhkan sekurangnya
empat pilar utama yakni resources,
technology, human resource dan
financial institutions. Kerajinan ukir
Pulau Betung termasuk kategori
industri kreatif berbasis sumber daya
alam yang memanfaatkan bahan baku
natural resources, yakni kayu.
Walaupun sudah berkembang
dan memberikan sumbangan dalam
memajukan sosial-budaya dan ekonomi
masyarakat Pulau Betung, tetapi
kerajinan ukir Pulau Betung masih
mengalami beberapa permasalahan.
Terdapat lima kendala utama yang
menjadi perhatian dalam
pengembangan industri kreatif seni
ukir Pulau Betung, diantaranya akses
bahan baku, pemanfaatan dan
dukungan teknologi, permodalan,
perlindungan hasil hak cipta dan
dukungan promosi serta pemasaran
pihak terkait.
Langkah yang dapat ditempuh
pemerintah Batang Hari: pertama,
memberikan dan mempermudah akses
permodalan kepada pengrajin. Selain
itu menciptakan iklim yang kondusif
bagi dunia usaha, birokrasi dan
mekanisme perijinan yang mudah dan
sesuai aturan. Ke-dua, meningkatkan
kualitas dan kuantitas produk kerajinan
melalui pendidikan, pelatihan, dan
workshop. Pelatihan kewirausahaan,
manajemen bisnis kerajinan, maupun
skill teknis bidang kerajinan. Dalam
peningkatan kualitas produk maka
prinsip yang harus diperhatikan; (a)
berorientasi konsumen (yang
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
78
dicari/dibutuhkan konsumen), (2) tidak
terjebak mind-set harga murah, serta
(3) paham terhadap nilai-nilai yang
dianut oleh pasar/konsumen (Sabar,
2013).
Ke-tiga, mengadakan promosi
baik di tingkat regional, nasional,
maupun internasional. Mengiklankan
produk kerajinan di media massa,
mengadakan pameran, membuka
showroom di tempat strategis, maupun
membuat situs dan prmosi di internet.
Hal lain yang harus diperhatikan
adalah menumbuh-kembangkan minat
masyarakat terutama kaum muda Pulau
Betung dan Batang Hari umumnya
terhadap kerajinan khas Pulau Betung,
untuk menjaga eksistensi dan
kelestarian kerajinan ini di masa
mendatang.
Pengembangan ekonomi kreatif
yang dikembangkan pemerintah terdiri
dari komponen pondasi, lima pilar, dan
atap yang saling menguatkan, maka
pengembangan seni ukir Pulau Betung
sebagai industri kreatif, sub sektor
kerajinan dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1) Pondasi Pengembangan Industri
Kreatif Seni Ukir Pulau Betung
Pondasi adalah sumber daya
manusia, aset utama dari industri
kreatif. Masyarakat/pengrajin
merupakan kekuatan dasar dan
penggerak utama sehingga kerajinan
ukir dapat berkembang. Agar produksi
berjalan dengan baik, sanggar atau
kelompok pengrajin harus memiliki
pengrajin yang berpengetahuan dan
berketrampilan tinggi. Usaha kerajinan
akan berjalan dengan lancar apabila
pengrajin dan pekerja menjalankan
tugas dan tanggung jawabnya secara
proporsional, tepat dan berdaya guna
sesuai dengan aturan yang ada, dengan
adanya sumber daya manusia yang
baik maka akan ada peningkatan
produktivitas.
2) Pilar Utama Model Pengembangan
Industri Kreatif Seni Ukir di Pulau
Betung
a. Industri
Industri merupakan bagian dari
kegiatan masyarakat yang terkait
dengan produksi, distribusi, pertukaran
serta konsumsi produk atau jasa
(Deperindag RI, 2008: 64). Terkait seni
ukir Pulau Betung, industri yaitu
kumpulan dari sentra-sentra ukir,
sanggar, Kopinkra atau kelompok
pengrajin, maupun individu yang
Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif
79
bergerak di bidang kerajinan ukir kayu
di Pulau Betung. Peningkatan kualitas
dan kuantitas kelompok ini merupakan
upaya yang harus ditempuh untuk lebih
meningkatkan seni ukir di Pulau
Betung.
b. Teknologi
Teknologi merupakan suatu
entitas material atau non material,
aplikasi penciptaan dari proses mental
atau fisik untuk mencapai nilai
tertentu. Teknologi bukan hanya mesin
atau alat, melainkan juga teknik-teknik
dan metode, atau aktivitas yang
membentuk dan mengubah budaya
(Deperindag RI, 2008: 64).
Teknologi kaitannya dengan
seni ukir Pulau Betung yaitu enabler
untuk mewujudkan kreativitas
pengrajin dalam bentuk produk
kerajinan. Teknologi merupakan faktor
penting dalam pengembangan seni ukir
Pulau Betung. Perkembangan
teknologi dalam bidang desain,
pertukangan dan finishing sangat
mendukung pengembangan dan
peningkatan kuantitas serta kualitas
produk kerajinan. Peralihan dari desain
manual ke desain komputer dengan
software khusus dapat menghasilkan
desain yang kreatif dan inovatif.
Penggunaan alat masinal
mempermudah proses kerja,
menghemat tenaga dan waktu
produksi, serta hasil yang maksimal.
Penggunaan sarana komunikasi dan
media internet akan mempermudah
serta memperluas jangkauan promosi
dan proses transaksi.
c. Sumber Daya
Sumber daya yaitu input,
tersedianya sumber daya alam berupa
kayu untuk bahan baku dan lahan
untuk tempat usaha. Kondisi geografis
Pulau Betung maupun Kabupaten
Batang Hari, terlihat bahwa bahan
baku (kayu) tersedia untuk
mengembangkan industri kreatif seni
ukir.
Antisipasi kelangkaan bahan
baku mutlak segera dilakukan,
mengingat sumber daya alam ini juga
terbatas ketersediaannya. Pertama
melalui penanaman di lahan khusus
maupun di lingkungan sekitar milik
masyarakat. Kedua melalui
penebangan yang selektif, khusus
pohon yang sesuai kebutuhan saja yang
ditebang. Ketiga penghematan
penggunaan kayu melalui efisiensi
pengolahan serta penggunaan bahan
sesuai desain. Keempat penggantian
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
80
teknis pembuatan produk, tidak lagi
menggunakan kayu utuh/gelondongan
melainkan kayu olahan tetapi dibuat
menyerupai penggunaan kayu utuh.
d. Institusi
Institusi yaitu tatanan sosial
(norma, nilai, dan hukum) yang
mengatur interaksi antara sesama
pengrajin, serta antara pengrajin
dengan konsumen. Aturan atau norma
antara sesama pengrajin dibangun
melalui sanggar atau Kopinkra dalam
bentuk anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga masing-masing sanggar
atau kelompok pengrajin. Selain itu
berupa nota kesepahaman sesama
pengrajin dan atau kelompok
pengrajin. Dalam lingkup yang lebih
luas dapat pula menggunakan hukum
negara yang diemban melalui
pemerintahan desa, kecamatan serta
instansi terkait. Di samping itu juga
norma-norma sosial dan adat istiadat
masyarakat Pulau Betung yang
dinaungi oleh Lembaga Adat desa
Pulau Betung dan Kecamatan
Pemayung. Sementara itu norma yang
mengatur interaksi dan relasi antara
pengrajin dengan pembeli atau
konsumen dapat menggunakan hukum
negara, peraturan dan perundangan
perdagangan serta kontrak atau
kesepakatan antara kedua belah pihak.
Norma atau aturan ini ditujukan
agar tidak terjadi persaingan usaha
yang tidak sehat, serta agar terjamin
hak-hak pekerja. Di samping itu agar
tercipta atmosfir yang kondusif bagi
pengembangan kerajinan ukir kayu di
Pulau Betung. Norma atau aturan yang
mengatur antara pengrajin dan
konsumen serta pihak yang terlibat
dalam proses promosi, distribusi dan
pemasaran ditujukan agar terjaminnya
hak masing-masing pihak serta
terbangun suasana yang saling
menguntungkan.
e. Lembaga Intermediasi
Lembaga intermediasi
keuangan yaitu lembaga penyalur
keuangan baik pihak pemberi modal
maupun perbankkan yang menjadi
media penyaluran keuangan oleh pihak
konsumen kepada pengrajin. Dengan
adanya perbankkan maka proses
transaksi keuangan dapat berjalan
dengan baik, aman serta lancar. Baik
terkait proses jual beli produk
kerajinan, pembayaran jasa, maupun
pemberian bantuan permodalan dari
pihak terkait. Selain perbankan,
Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif
81
terdapat lembaga Pemodalan Nasional
Madani (PNM). Hal penting yang
diperlukan dalam masalah ini adalah
aturan yang memudahkan bagi
pengucuran modal khususnya untuk
mendukung industri kreatif seni ukir
Pulau Betung.
Aktor Utama Pengembangan
Industri Kreatif Kerajinan Ukir
Pulau Betung
Industri kreatif ini dipayungi
oleh interaksi triple helix yang terdiri
dari Intellectuals, Business, dan
Government sebagai aktor utama
penggerak industri kreatif kerajinan
ukir Pulau Betung, bagi lahirnya
kreativitas, ide, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan sinergi ketiga unsur
ini maka industri kreatif seni ukir
Pulau Betung akan kokoh dan
berkesinambungan.
a. Intelektual
Kaum intelektual atau
akademisi yang berada pada institusi
pendidikan formal, informal dan non
formal (empu bidang kerajinan) yang
berperan sebagai pendorong lahirnya
ilmu dan ide yang merupakan sumber
kreativitas dan lahirnya potensi
kreativitas para pengrajin.
Meskipun di Kabupaten Batang
Hari belum cukup memiliki
infrastruktur dan lingkungan akademik
yang memenuhi syarat untuk
pengembangan industri kreatif, tetapi
telah banyak putra-putri Batang Hari
mengenyam pendidikan tinggi. Inilah
aset yang perlu dimanfaatkan secara
jeli oleh Pemerintah Daerah. Mereka
dapat diundang, diajak, dan diminta
bantuannya untuk membangun industri
kreatif di Pulau Betung.
SMK, seperti SMIK yang
kurikulumnya telah dikembangkan
dengan tujuan menyiapkan tenaga
kerja siap pakai dalam bidang industri
kreatif. Mahasiswa dan dosen ISI
Padangpanjang, serta perguruan tinggi
yang lain, dapat berperan serta dalam
pengembangan seni ukir Pulau Betung.
Melalui penelitian dan pelatihan di
bidang bahan baku, peralatan, disain,
keteknikan, finishing, promosi dan
pemasaran. Demikian pula institusi dan
lembaga lainnya yang berada dalam
bidang pendidikan, seperti balai latihan
kerja juga dapat berperan dalam
pengembangan seni ukir Pulau Betung.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
82
b. Bisnis
Pelaku usaha yang
mentransformasi kreativitas menjadi
bernilai ekonomi. Nilai ide yang
absrtak dituangkan menjadi berbagai
produk kerajinan yang bernilai
ekonomi. Salah satu faktor suksesnya
industri kreatif seni ukir Pulau Betung
adalah marketing. Pengrajin membuat
produk tetapi kesulitan
memasarkannya. Ketika pasar nasional
lesu, maka peluang pemasaran ke luar
negeri harus digarap, disinilah
diperlukan peran pemerintah sebagai
mediator.
Keberadaan showroom sebagai
salah satu media pemasaran dan media
display berbagai ragam produk penting
keberadaannya. Membantu pengrajin
dalam memasarkan produk, sekaligus
menjadi tempat tujuan pembeli. Dalam
rangka menjadikan seni ukir Pulau
Betung tujuan wisata, maka
keberadaan showroom dan workshop
bengkel proses produksi penting dalam
mensinergikan kerajinan dengan
pariwisata berbasis masyarakat.
Workshop sebagai media
display proses produksi yang
melibatkan pekerja, peralatan, bahan
baku, hingga finishing. Dalam
workshop pelaku dapat berinteraksi
langsung dengan wisatawan,
wisatawan dapat terlibat dalam proses
produksi tersebut. Dalam model ini
terjadi pengenalan proses produksi dan
budaya lokal kepada para wisatawan
sekaligus mengembangkan pariwisata
industri kreatif kerajinan ukiran kayu
Pulau Betung yang berbasis pada
partisipasi masyarakat. Oleh karena itu,
industri kreatif seni uki kayu Pulau
Betung ini dapat disinergikan dengan
potensi yang lain dalam pengembangan
pariwisata lokal di Batang Hari.
Workshop industri kreatif seni ukir
kayu Pulau Betung yang berbasis pada
masyarakat merupakan salah satu
model penarik wisatawan untuk datang
ke Pulau Betung.
c. Pemerintah
Pemerintah merupakan
fasilitator dan regulator agar industri
kreatif tumbuh dan berkembang.
Pemerintah berperan mensuport
pertumbuhan dan perkembangan, serta
melindungi industri kreatif seni ukir
Pulau Betung. Support melalui instansi
terkait dalam bentuk dukungan materi
maupun non materi; bantuan sarana
dan prasarana, pelatihan, perizinan,
Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif
83
permodalan dan lainnya. Memfasilitasi
pertemuan dengan buyer, dan promosi
melalui pameran. Pemerintah juga
menyiapkan payung hukum bagi
kerajinan ukir kayu Pulau Betung, agar
tercipta persaingan yang sehat dengan
usaha sejenis, serta menangkal
perlakuan pihak tertentu yang dapat
merugikan pengrajin.
PENUTUP
Kerajinan ukir kayu Pulau
Betung menggunakan kayu Tembesu,
Rengas, Sungkai, Meranti, Durian,
Nangka, Ambacang dan Jelutung.
Peralatan yang digunakan: meteran,
siku-siku, palu, jangkar, pensil, ketam,
gergaji, pahat ukir, kampak, patar atau
kikir, chainsaw, bor dan blowwer
(kompor tembak). Alat finishing kuas,
spray gun dan compressor. Proses
pembuatan dimulai penyiapan bahan,
mendesain, membetuk secara global
serta memahat sesuai desain. Produk
dikeringkan, kemudian didompul
diampelas dan difinishing. Secara
umum produk kerajinan ukiran kayu
Pulau Betung terdiri dua fungsi, yaitu
pertama sebagai mebel dan perabotan
rumah tangga, kedua sebagai
cenderamata dan aksesoris.
Perkembangan seni ukir Pulau
Betung dipengaruhi oleh, pertama
peranan sumber daya manusia, yakni
pengrajin yang merupakan aktor utama
kegiatan produksi, yang terdiri dari
pengrajin ahli, pengrajin pengusaha
dan pengrajin pemula. Kedua
pendidikan, sarana untuk
memperdalam pengetahuan teori dan
praktek yang berhubungan dengan seni
ukir, managerial, entreprenuer dan
leadership pengrajin. Ketiga
pariwisata, sentra seni ukir Pulau
Betung sebagai salah satu tujuan
wisata, dan atau produknya dicari pada
akhir suatu proses wisata. Keempat
lembaga swadaya masyarakat;
Kopinkra yang mepromosikan produk
seni ukir Pulau Betung, mediasi dan
fasilitasi pengrajin dengan pemerintah,
buyer dan investor. Kelima pemerintah
daerah membina pengadaan bahan,
disain, proses produksi, pemasaran,
kemampuan berwira-usaha, bantuan
permodalan dan peralatannya. Keenam
pasar, transaksi jual beli pengrajin dan
pembeli.
Perkembangan seni ukir Pulau
Betung berdampak terhadap kehidupan
masyarakat pendukungnya. Terjadi
perubahan pola hidup dan perilaku
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
84
masyarakat karena interaksi dan
komunikasi dengan masyarakat luar.
Berubahnya mata pencarian, dari
petani menjadi pengrajin ukir.
Peningkatan perekonomian yang
ditandai dengan membaiknya fasilitas
kehidupan masyarakat. Masyarakat
mempunyai kemampuan untuk
meningkatan taraf pendidikan anak-
anak mereka hingga ke perguruan
tinggi. Pengembangan industri kreatif
seni ukir Pulau Betung dipayungi oleh
kerja sama antara cendekiawan, bisnis,
dan pemerintah sebagai Triple Helix.
Hubungan ketiga faktor itu merupakan
penggerak lahirnya kreativitas, ide,
ilmu pengetahuan, dan teknologi yang
vital bagi berkembangnya seni ukir
Pulau Betung.
KEPUSTAKAAN
Departemen Perdagangan Republik
Indonesia. 2008.
Pengembangan Ekonomi
Kreatif Indonesia 2025:
Rencana Pengembangan
Ekonomi Kreatif Indonesia
2009-2015, Jakarta:
Deperindag RI.
Feldman, Edmund Burke. 1967. Art As
Image And Idea. New Jersey:
Prentice-Hall, Inc,
Englewood.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan
Masyarakat. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Kusen. 1986. Kreativitas dan
Kemandirian seniman Jawa
Dalam Mengolah pengaruh
Budaya Asing Studi Kasus
Tentang Gaya Relief Candi Di
Jawa antara Abad IX-XVI
Masehi. Yogyakarta:
Depdikbud, Dirjen
Kebudayaan Proyek
Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Nusantara
(Javanologi).
Sriyanti, Nova. 2004. Kerajinan Kayu
di Desa Pulau Betung
Kecamatan Pemayung
Kabupaten Batang Hari,
Jambi. Skripsi.
Padangpanjang: Jurusan Seni
Kriya STSI Padangpanjang.
SP. Gustami. 2000. Seni Kerajinan
Mebel Ukir Jepara: Kajian
Estetik Melalui Pendekatan
Multidisiplin. Yogyakarta:
Kanisius.
_________. 2013. Industri Kreatif
Berbasis Budaya Lokal dan
Nasional Menuju Pasar
Global. Makalah dalam
Seminar Nasional Pendidikan
Seni Budaya dan Industri
Kreatif Menghadapi
Tantangan Global, kerjasama
PPS UNP dan Dinas
Pariwisata Sumatera Barat,
tanggal 10 sd 11 November
2013, di Taman Budaya
Sumatera Barat.
Wicaksono, Agung. 2009. Eksistensi
Seni Kriya Indonesia di Era
Gelombang Ekonomi Kreatif.
dalam Seni Kriya Dan
Nofrial, Ukiran Akar Kayu Pulau Betung Jambi Menuju Industri Kreatif
85
Kearifan Lokal Dalam
Lintasan Ruang dan Waktu
Tanda Mata untuk Prof. Drs.
Gustami, SU. Yogyakarta:
BP. ISI Yogyakarta.
Sumber Internet:
http://kompas.com. Diakses tanggal 02
Maret 2013
86
DIASPORA SEDULUR SIKEP
DAN KESENIANNYA
DI SAWAHLUNTO1
Elsa Putri E. SyafrilUniversitas Taman Siswa Yogyakarta
ABSTRAKSebagai sebuah kota yang diciptakan pemerintahan kolonial, Sawahlunto
menyimpan berbagai narasi tentang modernisme, lompatan ruang-waktu serta
endapan persoalan pengerahan ribuan buruh paksa, khususnya dari tanah Jawa.
Menariknya, di bawah kekuasaan kolonial yang penuh kontrol dan pengawasan,
dengan situasi sosial yang dibuat terkotak-kotak, masyarakat Sawahlunto di masa
lalu justru berhasil memproduksi konsepsi tentang ’kita’ sebagai nation yang
melampaui zamannya. Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan tentang acuan
nilai yang membuat proses menuju ’kita’ itu berlangsung di masyarakat
pertambangan Sawahlunto. Penelitian menunjukkan bahwa selain diwarnai
segregasi dan diferensiasi, masyarakat Sawahlunto juga ditandai oleh hibridisasi
tak tersadari, yang tampak dalam bahasa, berbagai tradisi dan keseniannya.
Sebuah kondisi yang merepresentasikan siasat kebudayaan dalam situasi
kolonial, dalam sebuah konsep yang dinamakan’sedulur’, yang tidak sekadar
mengacu ke pertalian darah, tetapi satu cara pandang memaknai pihak lain yang
diposisikan sama dan sederajat, diikat oleh rasa kedekatan dan kekerabatan.
Kata Kunci: Konsep Kebudayaan, sedulur, Sawahlunto
ABSTRACTAs a town created by the colonial government, Sawahlunto retains a variety of
narations about modernism, time-space leap, and remainder of problems of
forced labour, especially from the Java island. It is interesting to see that during
the colonial administration with its strict control and supervision, and
concentrated social situation, the community Sawahlunto in past was successful
in producing the concept of “we” asa nation beyond its time. The purpose of this
writing to describe the reference of value in the process of becoming “we”
occuring in Sawahlunto’s mining community. This research shows that apart
from segregation and differentiation, the community of Sawahlunto is also
marked by uninformed hybridation as seen in the language, some tradision and
arts. It is a condition that represents a cultural strategy in the colonial time, a
concept called ‘sedulur, which does not only refer to bloodline, but also a
perspective to give meaning to other parties with equal position, bound by the
feeling of closeness and kinship.
1Artikel ini bersumber dari makalah yang disampaikan pada Seri Seminar Kebudayaan di
Indonesia: “Masyarakat, Sejarah, dan Kebudayaan Sawahlunto”, tanggal 25 September 2013,
Ruang Seminar Gedung Unit 1 Lt. 5, Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Elsa Putri E. Syafril, Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto
87
Keywords : cultural concept, sedulur, Sawahlunto
PENDAHULUAN
Sawahlunto, awalnya adalah
hamparan sawah yang dikelilingi bukit
dan dibelah sungai dinamai Batang
Lunto. Di ujung abad ke-19, hamparan
sawah itu berubah jadi “ladang hitam”
batu bara. Hal ini terjadi sejak de Groot
(insinyur Belanda) menemukan
kandungan batu bara di Timur
Singkarak (1851) yang dilanjutkan oleh
de Greve (ahli geologi Belanda) yang
menemukan lapisan batu bara di Ulu
Aie, lembah gunung yang tidak
berpenghuni di daerah aliran Batang
Ombilin (1868).tahun 1871. (Erman,
2005:29 dan Utama (ed.), 1998:1)
Hasil penelitian de Groot dan de
Greve itu diperkuat oleh laporan P. van
Diest satu tahun kemudian tentang
kualitas batu bara Ombilin yang tinggi
dan disusul penelitian Kals-Hoven dan
Ir. Verbeek (1875) (Asoka, et al,
2005:9—10 dan Utama (ed.), 1998:1).
Hasil penelitian Verbeek sangat
mengejutkan, dia memperkirakan
kandungan batu bara di perbukitan
sekitar Batang Lunto minimal 205 juta
ton dan tersebar di sepanjang Batang
Ombilin, dengan rincian: Perambahan
20 juta ton, Sigalut 80 juta ton, Sungai
Durian 93 juta ton, di barat Lurah
Gadang 12 juta ton, dan Lembah Segar
belum diketahui jumlahnya. Informasi
lebih jauh, lihat Elsa Putri E. Syafril,
Menggali Bara, Menemu Bahasa:
Bahasa Tansi, Bahasa Kreol Buruh
dari Sawahlunto (Yogyakarta:
Pemerintah Kota Sawahlunto, 2011)
dan Erwiza Erman, Membaranya Batu
bara: Konflik Kelas dan Etnik
Ombilin—Sawahlunto—Sumatra Barat
(1892—1996). (Depok, Desantara:
2005).
Perubahan pun kemudian
terjadi, dari waktu komunal ke waktu
kolonial, dari monoetnik ke multietnik,
dari kebudayaan berorientasi agraris ke
industrialis. Transportasi air (sungai)
berubah menjadi rel kereta api berelasi
dengan terjadinya gelombang migrasi
sosial. Buruh kontrak (contractkoelies)
Cina didatangkan melalui kongsi-
kongsi pengerah tenaga kerja yang ada
di Penang dan Singapura.
Contractkoelies asal Jawa didatangkan
melalui kantor pengerah tenaga kerja
yang ada di Semarang, Batavia, dan
Surabaya (Erman, 2005:47, Asoka, et
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
88
al, 2005: 65—66, dan Zubir,
2006:137—145). Sementara buruh
paksa (dwangarbeiders) didatangkan
dari kelompok yang distempel
“kriminal” oleh penguasa kolonial. Para
dwangarbeiders ini, karena dianggap
berbahaya, berada dalam kondisi
perantaian (kettingganger atau dalam
bahasa setempat disebut ‘rang rante’).
PEMBAHASAN
Mitologi Sawahlunto
Batu bara dan buruh paksa,
Ombilin dan kota industri modern
Sawahlunto merupakan pertemuan
antara kondisi material dan kepentingan
kekuasaan kolonial. Kota urban
berbentuk wajan penggorengan
dilingkari bukit-bukit purba menjadi
rekaman sejarah tentang bagaimana
satu masyarakat industri modern
dilahirkan dan bagaimana insfrastruktur
pendukung dibangun dengan sarat
ambivalensi dan ironi. Dari hal ini,
konsesi eksplorasi sumber daya alam
dan eksploitasi sumber daya manusia
berserangkai dengan konsepsi tentang
masyarakat pertambangan di kota
industri batu bara Sawahlunto.
Pembangunan kota dengan
berbagai infrastruktur modern
melahirkan lompatan ruang-waktu,
tetapi juga mengendapkan persoalan
menyangkut pengerahan ribuan buruh
paksa, khususnya dari tanah Jawa.
Istilah kriminalisasi manusia dengan
didasari alasan yang tidak jelas,
bermula di sini, yakni pada kebutuhan
untuk menciptakan limpahan tenaga
kerja sebagai daya dukung utama
industri pertambangan.
Batu bara, di era yang disebut
’Abad Mesin Uap’, menjadi komoditas
penting. Sejalan dengan revolusi
industri dan penemuan mesin uap pada
abad ke-18 di wilayah Eropa Barat,
penggunaan batu bara sebagai sumber
energi telah mendorong usaha
pencarian deposit batu bara. Penemuan
dan pembukaan tambang batu bara di
wilayah Ombilin, berdasarkan
penelitian dan eksploitasi yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial
pada tahun 1871, dianggap
menguntungkan untuk memasok
kebutuhan batu bara bagi kebutuhan
bahan bakar mesin uap di dunia industri
pada masa itu. Informasi lebih lanjut,
lihat Erwiza Erman ( 2005: 23-54)
dalam Sawahlunto: Sebuah Warisan
Untuk Masa Depan (Transformasi dan
Elsa Putri E. Syafril, Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto
89
Konservasi Sebuah Kota Tambang)
(2005: 6).
Ia berada di balik gerak kapal-
kapal uap dan lokomotif yang menderu
dan mebelah tanah-tanah jajahan. Ia
adalah si ’emas hitam’, bagian dari
kemolekan sang ’Ratu dari Timur’
(Koningin von het Oosten). Oleh karena
itu, masuk akal jika Negara Pusat mau
berinvestasi besar untuk pembangunan
infrastruktur dengan melakukan praktik
dehumanisasi di sisi yang lain demi
janji keuntungan di balik eksplorasi
batu bara.
Berawal dari sini, konsepsi
tentang ’kita’, satu nation pun
terbangun. Batu bara tidak berhenti
sebatas kepentingan monopoli dan
akumulasi keuntungan kolonial, tetapi
juga menjadi awal sejarah pengendapan
konsepsi tentang ’kita’. Nation ’kita’
ini adalah terminologi satu kolektif dari
orang-orang yang disatukan di struktur
dasar kolonial. Mereka yang berasal
dari berbagai tempat di Pulau Jawa dari
sejumlah pulau lainnya, seperti
Madura, Bali, dan Sulawesi, baik dalam
status buruh kontrak maupun buruh
paksa, ditemukan dalam kategori bukan
sebagai warga kota. Data
kependudukan di tahun 1918
menyebutkan jumlah penduduk
Sawahlunto 7.367. anehnya, data
kependudukan di tahun 1918 itu tidak
menyertakan jumlah para pekerja
tambang sebagai bagian dari penduduk
Kota Sawahlunto(?). Padahal, mengacu
pada penelitian yang dilakukan
Zaiyardam Zubir (2006), pada tahun
1918, jumlah pekerja tambang
mencapai 5.197 orang terdiri dari buruh
paksa 3.250 dan buruh kontrak 1.947,
dan tidak termasuk buruh bebas yang
jumlahnya mencapai 2.800 orang.
Artinya, jumlah buruh paksa dan
kontrak jauh lebih banyak
dibandingkan jumah orang Eropa yang
hanya 390 orang pada tahun yang sama.
Namun, mengapa mereka tidak
dimasukan dakam data kependudukan?
Apakah mereka sebagai satu kelompok
sosial sengaja diisolasi dan dianggap
absen?
Berdasarkan data di tahun 1918,
ada 3.250 buruh paksa yang mereka
dinamai ’rang rante’ (kettingganger),
sejenis forced worker, hidup dalam
kondisi perantaian. Salah satu tempat
yang dijadikan penampungan para
pekerja dengan stempel ’huruf dan
angka’ itu adalah penjara Sunge Duren.
Penjara ini sudah ditumbuhi ilalang, di
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
90
sisa-sisa dinding penjara masih bisa
dilihat paku, pecahan batu bara yang
tajam, dan pecahan beling ditempel.
Tujuannya jelas, pertikaian dan
perkelahian antarsesama buruh paksa
yang datang dari beragam etnik itu akan
berujung pada kematian, hanya mereka
yang ’sakti’lah yang akan bertahan.
Kondisi mereka mungkin lebih
buruk dari kaum pekerja paksa di
Karibia atau budak-budak Afrika yang
dipekerjakan di California atau
perkebunan di Brasil. Kondisi
perantaian dapat berarti denotatif, juga
konotatif. Penanda kondisi perantaian
ini ialah stempel di pergelangan tangan
kiri sebelah dalam. Stempel berupa
’huruf dan angka’ menjadi satu-satunya
penanda identitas mereka yang berada
dalam kondisi perataian. Bahkan, di
nisan mereka hanya ditulis identitas
berupa ’hurup dan angka’ itu. Batu-
batu nisan bertulis ’huruf dan angka’
banyak ditemui di Kota Sawahlunto.
Salah satu yang dapat dilihat adalah
batu nisan berukuran kecil, seperti
pancang tanah, ditulis keterangan ’S’ di
bawahnya angka ’907’. Tidak ada
sumber rujukan, atau arsip yang bisa
menjawab siapakah yang berada di
balik keterangan ’S-907’. Arsip
kolonial barangkali satu-satunya
sumber yang bisa menjawab ’rahasia’
impersonaliti ini.
Sedulur sebagai Akar
Di bawah kekuasaan yang
penuh kontrol dan pengawasan, dan di
dalam situasi sosial yang sengaja dibuat
terkotak-kotak, Sawahlunto justru
memproduksi konsepsi tentang ’kita’
sebagai nation yang melampaui
zamannya. Proses menjadi ’kita’ jelas
tidak mudah di tengah situasi sosial
yang dikotak-kotakan, sengaja dipecah-
belah, dan disuntikan pandangan rasial
satu-sama lain. Apa acuan nilai yang
membuat proses menuju ’kita’ itu
berlangsung di masyarakat
pertambangan Sawahlunto?
Pertanyaan tersebut mulai
terjawab. Di Sawahlunto ada lubang
tambang koridor horizontal yang
dinamai Lobang Mbah Suro. Penamaan
ini agaknya mengacu pada cerita lisan
tentang salah satu tokoh yang disegani,
baik oleh sesama pekerja tambang
maupun pihak pengawas kolonial di
daerah pusat kota lama. Lubang
tambang ini pernah ditutup oleh
Pemerintah Kolonial Belanda, saat ini
Elsa Putri E. Syafril, Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto
91
dibuka kembali dan menjadi salah satu
ikon wisata kota Sawahlunto.
Namun siapakah mbah Suro ini
tidak ada penjelasan lebih jauh.
Penjelasan itu justru saya temukan di
Blora dan Pati.2
Pertemuan saya dengan
Lek Tejo dari Dusun Kemantren, Lek
Salim dari Dusun Tambak, Sumber,
Lek Komari dari Dusun Balong,
Kamituwo Desa Sumber, Mbah Kasbi
di Dusun Tambak, Lek Sariban di
Dusun Tanduran, dan beberapa orang
Samin di Sukolilo, Pati menyebutkan
bahwa Samin Surosentiko disélong ke
Sawahlunto bersama beberapa
pengingkutnya. Informasi ini diperkuat
oleh foto yang mereka miliki yang juga
pernah saya lihat di arsip foto kota
Sawahlunto. Mereka mengenali salah
seorang di foto tersebut sebagai Singo
Tirto, salah satu pengikut Samin
Surosentiko yang ikut dibuang ke
Sawahlunto.
Dari dua tempat ini, ada
informasi mengenai Samin Surosentiko
bersama delapan pengikutnya yang
disélong (dibuang) ke Sawahlunto pada
2Untuk riset di Blora dan komunitas Samin,
saya ucapkan terima kasih pada FIB UGM yang
berkenan memfasilitasi riset ”Tuturan Samin”
dan khusus kepada Dr. Suhandano yang sudah
bersama melakukan kerja penelitian.
tahun 1907. Ada banyak versi
berkenanan tempat Samin Surosentiko
dibuang, versi masyarakat di Pati
dikatakan ia dibuang ke Sawahlunto;
menurut Titi Mumfangati, dkk. (2004),
Samin dibuang ke Padang, sementara
M.C. Ricklefs (2005), menyebut Samin
Surosentiko dibuang ke Palembang.
Penjelasan lebih jauh mengenai Gerakan Samin
dapat dilihat dalam Suripan Sadi Hutomo
(1996).
Alasan penangkapan dan
pembuangan Samin dan beberapa
pengikutnya ke Sawahlunto terkait
sikap antikolonial yang diwujudkan
lewat gerakan menolak menyetor padi
ke lumbung desa, menolak membayar
pajak, dan menolak mengandangkan
sapi dan kerbau mereka, dan
diangkatnya Samin Surosentiko oleh
pengikutnya menjadi ratu adil dengan
gelar Prabu Panembahan Suryangalam.
Tanggal 8 November 1907, Ki Samin
diangkat oleh pengikutnya menjadi ratu
adil dengan gelar Prabu Panembahan
Suryangalam, yang 40 hari kemudian,
Ndoro Seten (Asisten Wedana, Camat)
Randublatung, Raden Pranala,
menangkap dan menahannya di bekas
tobong, tempat pembakaran batu
gamping. Ia kemudian dibawa ke
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
92
Rembang, diinterogasi, dan bersama 8
pengikutnya dibuang ke luar Jawa,
tepatnya Sumatera dengan tuduhan
penghasutan dan pendurhakaan.
Penjelasan lebih jauh lihat Suripan Sadi
Hutomo, op. cit.
Koneksitas sosok mbak Suro
yang dikenal di Sawahlunto dengan
keberadaan Samin Surosentiko yang
(dikatakan) dibuang ke Sawahlunto
jelas terlihat. Masyarakat Samin
meyakini Samin Surosentiko dibuang
ke Sawahlunto. Selain bukti foto ‘Singo
Tirto’ dan cerita lisan masyarakat
Samin tentang Samin Surosentiko yang
dibuang ke Sawahlunto, seorang
perempuan Samin di Sukolilo, Gunarti,
bercerita bahwa beliau “bermimpi”
bertemu leluhurnya yang mengatakan
tentang 9 wilayah sebaran Samin,
termasuk salah satunya Sawahlunto.
Namun, Identifikasi tentu sulit
dilakukan akibat arsip kolonial
mengenai riwayat para buruh paksa
belum dibuka. Identitas personal para
buruh paksa yang hanya berupa ’huruf
dan angka’ juga menyulitkan kita untuk
membuka riwayat personal mereka
yang dituduh ’penghasutan dan
pendurhakaan’ tersebut, baik mayoritas
yang datang dari Pulau Jawa maupun
dari pulau-pulau lain di Indonesia.
Ikatan kolektivitas masyarakat
Indonesia sangat menekankan
pentingnya asal-usul. Setiap keluarga di
Indonesia akan merekam jejak leluhur
dan asal-usul mereka, baik
menuliskannya dalam pohon silsilah
keluarga atau sebatas pewarisan secara
lisan. Tradisi mudik lebaran, sebagai
contoh, merupakan manifestasi dari
pentingnya pertalian sejarah dan tanah
asal itu. Hal inilah yang tidak dimiliki
masyarakat Sawahlunto, khususnya
keturunan buruh paksa. Bagi yang
merasa dari Jawa, anak-keturunan
mereka hanya tahu ’datang dari Jawa’,
tetapi persis di mana, mereka tidak
mengetahuinya. Identitas yang lebih
jauh, menyangkut ranji kelurga jelas
lebih sulit dilacak. Hal ini tergambar
dari kisah Pak Ismet, wakil walikota
Sawahlunto, tentang sejarah dirinya.
Identifikasi kebudayaan menjadi
strategi lain guna melihat koneksitas
tersebut. Seperti disebut di atas, kondisi
perantaian serta dalam situasi absen,
justru konsepsi ’kita’ sebagai nation itu
lahir. Karateristik nation di Sawahlunto
dibentuk oleh pertemuan antarmereka
dalam ketegori one down dan
antarmereka dengan tuan Putih yang
Elsa Putri E. Syafril, Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto
93
disebut one up. Pertemuan yang selain
diwarnai segregasi dan diferensiasi,
juga hibridisasi tak tersadari.
Kesenian dan Budaya Hibrida
sebagai Petunjuk
Narasi pertemuan keberbagaian
itu masih tersaji di Sawahlunto sampai
hari ini. Jejeran rumah tansi, Goedang
Ransoem, bekas gedung societeit,
rumah-rumah berarsitektur Eropa dan
pecinan, terowongan dan rel kereta
telah melahirkan kebudayaan campuran
seperti terlihat pada bahasa, kesenian,
dan kuliner.
Dulu, di societeit, digelar toneel
yang cuma bisa diintip para buruh dari
ruang gelap mereka. Di goedang, aula
lepas yang acap jadi tempat pertemuan
buruh, pertunjukan yang mirip toneel
dilahirkan. Pertunjukan itu hadir dalam
penamaan ’tonel’, tetapi ia bukan toneel
melainkan campuran antara sandiwara,
ketoprak, ronggengan, dan slogan
kebangsaan. Kesenian seperti tonel
merepresentasikan siasat kebudayaan
dalam situasi kolonial.
Hal yang sama terlihat di
kesenian ’jalan kepang’ (bukan ’jaran
kepang’ sebagaimana di kenal di Jawa
Tengah). Jalan kepang Sawahlunto
merupakan percampuran dari
pertunjukan jaran kepang, barongsai,
dan barongan tanpa mementingkan
narasi, tetapi lebih pada performance.
Ia seperti ekspresi keterlepasan kolektif
dan respon kreatif atas kekuasaan.
Situasi yang sama terekam jelas
pada bahasa Tansi yang ada di
Sawahlunto. Bahasa Tansi menjadi
’bank dari ingatan orang-orang’ yang
tidak bisa dihapus oleh migrasi sosial,
atau pun status sebagai ’orang
buangan’. Bahasa ini lahir di tansi-
tansi itu, tempat para buruh tambang
menjalani kehidupan sosial yang
timpang dan selalu dalam kontrol.
Namun, dibandingkan di lokasi kerja
dengan sistem kerja pengelompokan
didasari kategori dan etnis, di tansi
interaksi sosial antar buruh jauh lebih
terbuka. Tansi pun menjadi ruang
sosio-kultural bagi mereka yang
menghuni bottom level di dalam waktu
colonial itu.
Mereka yang berasal dari
berbagai etnik, bangsa, dan kategori
menjalin komunikasi, mulai dari yang
sederhana sifatnya, sampai ke yang
lebih kompleks. Di sinilah lahir satu
’bahasa’ berterima dan dipahami
bersama. Bahasa itu, oleh anak-
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
94
keturuan buruh tambang batu bara
Sawahlunto, dinamai sebagai bahasa
(kreol) Tansi, berasal dari campuran
(mixture) beberapa bahasa asal buruh
tambang seperti Minangkabau, Jawa,
Cina, Madura, Sunda, Bugis, Bali, dan
Batak, dengan bahasa Melayu menjadi
bahasa dasar.
Kembali ke pertanyaan di atas:
apa acuan nilai yang membuat proses
menuju ’kita’ itu seperti berlangsung
alami? Jawabannya ialah pada kata
’sedulur’. Di Sawahlunto, kata
’sedulur’ dikenal, tidak sekadar
mengacu ke pertalian darah, tetapi satu
cara pandang memaknai pihak lain
yang diposisikan sama dan sederajat,
diikat oleh rasa kedekatan dan
kekerabatan.
Semangat sedulur itu menjadi
nilai dasar masyarakat Sawahlunto.
Saat melakukan riset bahasa Tansi di
Sawahlunto, saya mendapatkan cerita
menarik tentang bagaimana interaksi
sosial antar pedagang yang berbeda
etnik di Pasar Sapan sekitar awal 80-an.
Laku sedulur hidup di tengah interaksi
sosial-ekonomi para pedagang, seperti
cerita penjual pecel yang
membungkuskan pecel dagangannya
untuk pedagang yang lain, sebagai
ganti ia mendapatkan cabe, bada (teri),
dan beras dari para pedagang yang lain.
Saat mengunjungi rumah Alm. Pak
Jenayak di Tansi Gunung, saya
mendapatkan tradisi penyambutan yang
sama seperti saat mengunjungi Lek
Tejo, Lek Salim, dan komunitas Samin
di Sukolilo. Setiap tamu yang datang
disambut dan dijamu seperti seludur,
dihidangkan makan dengan sajian
terbaik yang mereka miliki. Hal yang
menarik lain yang saya temui, di tengah
wawancara saya dengan Alm. Pak
Jenayak, kami disela oleh kedatangan
seorang perempuan yang tinggal di luar
Tansi dan beretnik Minang. Perempuan
itu meminta Pak Jenayak membuatkan
parang untuk berladang. Pak Jenayak
yang berprofesi sebagai pembuat
loyang (tukang besi) menyanggupi dan
sebagai gantinya kepada perempuan itu,
Pak Jenayak meminta dibawakan
segandok (dua kelapa yang diikat jadi
satu) untuk istrinya membuat lontong.
PENUTUP
Narasi pertemuan keberbagaian
itu masih tersaji di Sawahlunto sampai
hari ini. Jejeran rumah tansi, Goedang
Ransoem, bekas gedung societeit,
rumah-rumah berarsitektur Eropa dan
Elsa Putri E. Syafril, Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto
95
pecinan, terowongan dan rel kereta
telah melahirkan kebudayaan campuran
seperti terlihat pada bahasa, kesenian,
dan kuliner.
Dulu, di societeit, digelar toneel
yang cuma bisa diintip para buruh dari
ruang gelap mereka. Di goedang, aula
lepas yang acap jadi tempat pertemuan
buruh, pertunjukan yang mirip toneel
dilahirkan. Pertunjukan itu hadir dalam
penamaan ’tonel’, tetapi ia bukan toneel
melainkan campuran antara sandiwara,
ketoprak, ronggengan, dan slogan
kebangsaan. Kesenian seperti tonel
merepresentasikan siasat kebudayaan
dalam situasi kolonial.
Hal yang sama terlihat di
kesenian ’jalan kepang’ (bukan ’jaran
kepang’ sebagaimana di kenal di Jawa
Tengah). Jalan kepang Sawahlunto
merupakan percampuran dari
pertunjukan jaran kepang, barongsai,
dan barongan tanpa mementingkan
narasi, tetapi lebih pada performance.
Ia seperti ekspresi keterlepasan kolektif
dan respon kreatif atas kekuasaan.
Situasi yang sama terekam jelas
pada bahasa Tansi yang ada di
Sawahlunto. Bahasa Tansi menjadi
’bank dari ingatan orang-orang’ yang
tidak bisa dihapus oleh migrasi sosial,
atau pun status sebagai ’orang
buangan’. Bahasa ini lahir di tansi-
tansi itu, tempat para buruh tambang
menjalani kehidupan sosial yang
timpang dan selalu dalam kontrol.
Namun, dibandingkan di lokasi kerja
dengan sistem kerja pengelompokan
didasari kategori dan etnis, di tansi
interaksi sosial antar buruh jauh lebih
terbuka. Tansi pun menjadi ruang
sosio-kultural bagi mereka yang
menghuni bottom level di dalam waktu
colonial itu.
Mereka yang berasal dari
berbagai etnik, bangsa, dan kategori
menjalin komunikasi, mulai dari yang
sederhana sifatnya, sampai ke yang
lebih kompleks. Di sinilah lahir satu
’bahasa’ berterima dan dipahami
bersama. Bahasa itu, oleh anak-
keturuan buruh tambang batu bara
Sawahlunto, dinamai sebagai bahasa
(kreol) Tansi, berasal dari campuran
(mixture) beberapa bahasa asal buruh
tambang seperti Minangkabau, Jawa,
Cina, Madura, Sunda, Bugis, Bali, dan
Batak, dengan bahasa Melayu menjadi
bahasa dasar.
Kembali ke pertanyaan di atas:
apa acuan nilai yang membuat proses
menuju ’kita’ itu seperti berlangsung
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
96
alami? Jawabannya ialah pada kata
’sedulur’. Di Sawahlunto, kata
’sedulur’ dikenal, tidak sekadar
mengacu ke pertalian darah, tetapi satu
cara pandang memaknai pihak lain
yang diposisikan sama dan sederajat,
diikat oleh rasa kedekatan dan
kekerabatan.
Semangat sedulur itu menjadi
nilai dasar masyarakat Sawahlunto.
Saat melakukan riset bahasa Tansi di
Sawahlunto, saya mendapatkan cerita
menarik tentang bagaimana interaksi
sosial antar pedagang yang berbeda
etnik di Pasar Sapan sekitar awal 80-an.
Laku sedulur hidup di tengah interaksi
sosial-ekonomi para pedagang, seperti
cerita penjual pecel yang
membungkuskan pecel dagangannya
untuk pedagang yang lain, sebagai
ganti ia mendapatkan cabe, bada (teri),
dan beras dari para pedagang yang lain.
Saat mengunjungi rumah Alm. Pak
Jenayak di Tansi Gunung, saya
mendapatkan tradisi penyambutan yang
sama seperti saat mengunjungi Lek
Tejo, Lek Salim, dan komunitas Samin
di Sukolilo. Setiap tamu yang datang
disambut dan dijamu seperti seludur,
dihidangkan makan dengan sajian
terbaik yang mereka miliki. Hal yang
menarik lain yang saya temui, di tengah
wawancara saya dengan Alm. Pak
Jenayak, kami disela oleh kedatangan
seorang perempuan yang tinggal di luar
Tansi dan beretnik Minang. Perempuan
itu meminta Pak Jenayak membuatkan
parang untuk berladang. Pak Jenayak
yang berprofesi sebagai pembuat
loyang (tukang besi) menyanggupi dan
sebagai gantinya kepada perempuan itu,
Pak Jenayak meminta dibawakan
segandok (dua kelapa yang diikat jadi
satu) untuk istrinya membuat lontong.
KEPUSTAKAAN
Amin, Samir. 2009. World Poverty,
Pauperization, and Capital
Accumulation, dalam Social
Change. Brattleboro, VT: SIT
Graduate Institute.
Asoka, Andi, et al. 2005. Sawahlunto
Dulu, Kini, dan Esok:
Menyongsong Kota Wisata
Tambang yang Berbudaya.
Padang: Pusat Studi
Humaniora Universitas
Andalas.
Erman, Erwiza. 2005. Membaranya
Batubara: Konflik Kelas dan
Etnik Ombilin—Sawahlunto—
Sumatra Barat (1892—1996).
Depok: Desantara.
Hutomo, Suripan Sadi. 1996. Tradisi
dari Blora. Semarang:
Penerbit Citra Almamater.
Pemerintah Daerah Kota Sawahlunto.
2005. Sawahlunto, Kota
Elsa Putri E. Syafril, Diaspora Sedulur Sikep dan Keseniannya di Sawahlunto
97
Wisata Tambang yang
Berbudaya Tahun 2020.
Sawahlunto: Pemda Kota
Sawahlunto.
Ricklefs, M. C. 1981. A History of
Modern Indonesia (terj.
Sejarah Indonesia Modern
oleh Dharmono
Hardjowidjono, 2005).
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Syafril, Elsa Putri E., 2011. Menggali
Bara, Menemu Bahasa:
Bahasa Kreol Buruh dari
Sawahlunto. Yogyakarta:
Pemerintah Kota Sawahlunto.
Utama, Edi (ed.). 1998. Sejarah
Perjuangan Rakyat
Sawahlunto: Perlawanan
Terhadap Penjajah dan
Menegakkan Revolusi
Kemerdekaan 1945—1949.
Sawahlunto: DHC Angkatan
45 Kodya Sawahlunto dan
Pemda Kodya Sawahlunto.
Zubir, Zaiyardam. 2006. Pertempuran
Nan Tak Kunjung Usai:
Eksploitasi Buruh Tambang
Batu Bara Ombilin oleh
Kolonial Belanda 1891—1927.
Padang: Andalas University
Press.
98
SENI KERAJINAN BORDIR
HJ.ROSMA:
FUNGSI PERSONAL DAN FISIK
RanelisProdi Seni Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang
ABSTRAKKerajinan bordir Hj. Rosma terdapat di Ampek Angkek Canduang, sebuah nagari
di kabupaten Agam Sumatra Barat yang merupakan salah satu daerah sentra seni
kerajinan bordir yang sedang tumbuh dan berkembang. Kegiatan membordir
merupakan kegiatan perekonomian yang selain memiliki fungsi personal yaitu
ekspresi dari Hj. Rosma dalam membuat motif-motif baru yang cantik dan
menarik, dan memiliki fungsi fisik. Seni kerajinan bordir Hj. Rosma sebagai
salah satu bentuk budaya tradisional berawal dari memproduksi perlengkapan
rumah tangga yang berkembang menjadi produk fasion. Corak ragam hias yang
terdapat pada bordiran Hj. Rosma adalah motif tumbuh-tumbuhan dalam bentuk
bunga mawar, melati, kaluak paku dan motif geometris. Produk yang dihasilkan
Rosma diantaranya adalah: mukenah, jilbab, baju kurung dan kebaya. Semua itu
menunjukkan kemampuan Rosma dalam menciptakan ragam hias yang diilhami
dari konsep “alam takambang jadi guru”. Nilai-nilai keindahan kain bordir
secara visual bisa dilihat dari bentuk ragam hias yang ditampilkan, maupun dari
fungsi kain bordir yang dihasilkan.
Kata kunci: bordir Hj. Rosma, motif, fungsi
ABSTRACTHj Rosma embroidery craft located in Ampek Angkek Canduang, the name of a
village in Agam regency of West Sumatra, one of the central areas where
embroidered art is growing and developing. Activities embroidery is a function of
economic activity in addition to having the personal expression of Hj. Rosma in
creating new motifs that are beautiful and attractive, and has a physical function.
Embroidery craft Hj Rosma as one of the traditional culture, which began
producing household items developed into products of fasion. Decorative pattern
contained in embroidery Hj. Rosma are motifs of plants in the form of roses,
jasmine, florals nails and geometric motifs. Florals nails and geometric motifs
are always used in embroidery products. The resulting product of Rosma is:
mukenah, jilbab, baju kurung and kebaya. All that demonstrates the ability to
create decorative Rosma inspired from the concept of "wide open nature is a
teacher". Values visually beautiful embroidered fabrics can be seen from the
form of decoration that is displayed, and from the resulting embroidery fabric
functions.
Keywords: embroidery Hj. Rosma, patterns, functions
Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik
99
PENDAHULUAN
Keahlian membuat barang seni
kerajinan, secara sosial mulai
diperlukan seiring dengan
perkembangan orientasi atau
kekhususan pekerjaan sehari-hari yang
semakin beragam jenisnya (Rohidi,
2000: 197). Seseorang berkarya karena
mempunyai tujuan bahwa hasilnya
dapat menunjang kehidupannya. Usaha
itu berkaitan dengan aktivitas yang
dilakukan para perajin salah satunya
adalah para perajin bordir yang ada di
Sumatera Barat. Seni kerajinan bordir
merupakan salah satu ekspresi budaya
Minangkabau, sekaligus menjadi
kekuatan sosial ekonomi bagi
masyarakat setempat yang mampu
menunjang kepariwisataan di Sumatra
Barat.
Istilah bordir identik dengan
menyulam karena kata bordir diambil
dari istilah Inggris embroidery (im-
broide) yang artinya sulaman. Bordir
dapat juga didefenisikan sebagai ragam
hias untuk asesoris berbagai busana
yang menitikberatkan pada keindahan
dan komposisi warna benang pada
berbagai medium kain, dengan alat
bantu seperangkat mesin jahit bordir
atau mesin jahit komputer (Suhersono,
2007: 6).
Salah satu penghasil seni
kerajinan bordir yang telah lama
berkembang di Sumatera Barat adalah
kerajinan bordir Hj. Rosma di IV
Angkek Canduang Bukittinggi.
Kerajinan bordir Hj. Rosma ini tidak
hanya terkenal di tingkat kabupaten dan
kotamadya Bukittinggi saja namun
sudah sampai ke Mancanegara seperti
Malaysia, Singapura, Brunai
Darussalam, Arab Saudi dan negara
lainnya (Ramli, 1995: 7).
Produk yang dihasilkan Hj
Rosma bermacam-macam seperti
mukenah, jilbab, baju kurung,
selendang, alas gelas, tutup dispenser
dan lain sebagainya. Motif dan teknik
bordir yang ditampilkan mempunyai
ciri khas tersendiri, dimana kerajinan
bordir Hj. Rosma sering kali memakai
motif yang diambil dari alam berupa
motif tumbuh-tumbuhan seperti bunga
melati, bunga Ros dan lain sebagainya.
Hj Rosma dalam menghias produk
yang dihasilkannya dengan teknik suji
cair dan teknik bordir kerancang
Penempatan benangnya dijahit dengan
cara gradasi warna yang dimulai dari
warna yang tua ke warna yang muda.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
100
Sehingga membedakan hasil
bordirannya dengan perajin bordir yang
lain.
Secara kuantitas dan kualitas
produk seni kerajinan bordir Hj. Rosma
mengalami perkembangan dan
merupakan dampak dari kreativitas
serta aktivitas yang berasal dari
pengaruh internal maupun eksternal,
yang secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi percepatan
laju pertumbuhan sentral kerajinan
tersebut. Kerajinan bordir Hj. Rosma
telah mendapat pengaruh banyak dari
luar, baik lewat konsumen, pemesan
maupun pembinaan dari instansi
lainnya, sehingga muncul desain-desain
baru baik dari segi bentuk ataupun
motif yang ditampilkan.
Berdasarkan penjelasan dari
latar belakang di atas penulis tertarik
untuk mengkaji lebih mendalam
tentang seni kerajinan bordir Hj. Rosma
yang terdapat di daerah IV Angkek
Canduang Bukittinggi salah satu
daerah sentral kerajinan bordir yang
sedang berkembang di Sumatra Barat.
Studi ini mengenai desain produk,
motif, teknik, dan fungsi dari produk
itu sendiri.
PEMBAHASAN
Produk, Motif Dan Proses Produksi
Bordir Hj. Rosma
Seni kerajinan bordir Hj Rosma
merupakan cerminan ungkapan cita
rasa estetik dalam bentuk benda
fungsional, yang proses pembuatannya
didukung oleh kemampuan,
keterampilan, pengalaman, dan
kecakapan teknis yang bertujuan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup. Berbagai
upaya dilakukan untuk menghasilkan
produk seni kerajinan yang unik,
berkarakter, dan artistik. Sedikit
sentuhan penambahan ornamen atau
motif pada bordiran menambah nilai
estetik tanpa mengurangi nilai sebagai
benda pakai sehingga mempermudah
mengenali asal dari produk tersebut
dengan ciri khas dari motif bordir yang
dihasilkan.
Seni kerajinan bordir Hj. Rosma
adalah kelompok benda pakai atau
benda fungsional yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Produk
bordir yang dihasilkan Hj. Rosma
antara lain mukena, jilbab, selendang,
alas meja, tatakan gelas, tas, baju
kurung, baju kebaya dan sarung bantal
kursi.
Ranelis, Seni Kerajinan Bord
Gambar 1Bantalan kursi dengan motif
pucuak rabuang dan kaluak p
teknik suji penuh dan teknik
(Foto: Nel, 20
Gambar 2Jilbab dengan motif bung
mawar, bunga anggrek
dan kaluak paku teknik su
kerancang
(Foto: Desi Trisnaw
Gambar 3Mukenah menggunakan mo
ketupat, lingkaran teknik
kerancang
(Foto: Desi Trisnaw
ordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik
1.otif kuciang lalok,
k paku menggunakan
ik bordir kerancang
2012)
2.nga melati, bunga
rek, geometris
suji cair dan bordir
ng
awati, 2012)
3.otif saik ajik/belah
nik suji cair, dan
ng
wati, 2012)
Gambar 4.Baju kebaya panjang motif bunga
dan kaluak paku
(Foto: Desi Trisnawati, 20
Merancang motif bor
terlepas dari hubungan antar
yang punya cita rasa keindaha
desain. Membuat menarikny
produk diawali dengan desa
itu dalam merancang mot
diperlukan tenaga khusus
menangani desain motif bordi
Manusia dalam hidupny
menuntut dua nilai sekaligus;
nilai jasmaniah yang be
dengan kenyamanan pakai, da
nilai rohaniah yang m
kedekatan dengan keindahan
101
a melati,daun
2012)
bordir tidak
ntara manusia
ndahan dengan
iknya suatu
sain. Untuk
otif bordir
khusus yang
bordir tersebut.
upnya selalu
us; pertama,
berhubungan
, dan kedua,
mempunyai
han. Untuk
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
102
memenuhi semua itu peran desain
dalam merancang motif bordir sangat
diperlukan sekali. Desain merupakan
bentuk rumusan dari suatu proses
pemikiran, yang dituangkan dalam
wujud gambar sebagai pengalihan
gagasan konkret perancangnya.
Klasifikasi motif yang terdapat pada
kerajinan bordir antara lain:
1. Motif naturalis, yaitu motif yang
mempunyai kedekatan dengan
wujud aslinya, contohnya bunga,
daun, rumput dan yang lainnya.
2. Motif dekoratif, merupakan
perwujudan bentuk yang terdapat
di alam dan kedamaian, Dekoratif
berarti membuat keindahan.
Motif dekoratif ini lebih banyak
bersifat menghias, dimana irama
garis, titik, warna, bentuk dan
susunan yang harmonis sangat
diutamakan. Bentuk asli dapat
dirobah dan dikembangkan
kedalam bentuk yang lebih
menarik atau distilirkan
3. Motif geometris, adalah
pembagian bidang kain yang akan
diberi motif bordir secara teratur,
dapat disebut sebagai sifat dari
karakteristik bagi tiap motif
(wachid, 1997: 123-124).
Kerajinan bordir Hj. Rosma
dalam membuat desain motif bordirnya
dia lakukan sendiri. Penempatan motif
pada produk yang dihasilkan Rosma
disesuaikan dengan unsur-unsur seni
rupa yaitu kesatuan, keseimbangan,
irama dan penekanan. Seperti yang
dikemukan oleh Iswendi (2002: 8)
dalam menentukan komposisi desain
ragam hias bordir yang terpenting
dipertimbangkan adalah kesatuan
(unity), keseimbangan (balance), irama
(ritme) dan penekanan (accentuation).
Jenis motif bordir yang banyak
digunakan di industri kerajinan Hj.
Rosma adalah jenis motif tumbuh-
tumbuhan dan geometris. Motif
tumbuh-tumbuhan ini umumnya terdiri
dari motif daun, bunga, dan buah.
Bentuk motif yang dihasilkan Hj.
Rosma lebih memberikan kesan
perulang-ulangan seperi motif bunga
melati yang terdapat pada mukenah dan
pada produk lainnya. Kadangkala motif
dapat dibuat secara tersendiri dan dapat
juga dibuat secara berjajaran, serta
adapula yang saling melengkapi. Motif
tumbuh-tumbuhan ini sering pula
dihubungkan dengan membuat akar
yang halus. Susunan motifnya ada yang
berlapis dan ada pula yang berselang-
Ranelis, Seni Kerajinan Bord
seling dengan motif la
dibuat Hj. Rosma
bermacam-macam
keinginan konsumen jik
bunga dengan ukuran ke
motif bunga yang be
sebaliknya jika konsum
motif yang besar maka
bunga dengan ukuran be
motif tumbuh-tumbuha
dengan jenis dari daun, b
yang menyerupai be
(Zulhelman, 2001: 83).
Motif tumbuh-
pada umumnya digunaka
produk yang dihasilka
berupa bunga, daun, da
ini biasanya ditempatka
pinggir bawah baju k
bawah baju kurung,
selendang, dan produk la
ordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik
lain. Motif yang
ma ukurannya
tergantung
jika musim motif
kecil maka dibuat
berukuran kecil,
umen lebih suka
aka dibuat motif
n besar. Penamaan
buhan disesuaikan
, bunga dan buah
bentuk tersebut
).
buh-tumbuhan ini
unakan untuk semua
lkan Hj. Rosma
dan buah. Motif
tkan pada bagian
u kurung, lengan
, pada pinggir
oduk lainnya.
Gambar 5motif bunga matahari, melati dan k
ditempatkan pada baju kur
bagian pinggir bawah
(Foto: Hj. Rosma: 2012
Gambar 6motif bunga anggrek, melati dan k
pada mukenah bagian pinggir
(Foto: Hj. Rosma: 2012
Gambar 7motif bunga melati dan geometris
pada jilbab atau selendang se
(Foto: Hj. Rosma: 2012
103
n kaluak paku
urung
h
12)
n kaluak paku
ir bawah
12)
is ditempatkan
segi tiga
12)
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16
Gambar 8motif bunga melati, daun k
geometris ditempatkan pada
(Foto: Hj. Rosma
Fungsi Personal Dan F
Kerajinan Bordir Hj.R
Suatu benda dika
benda seni karena m
fungsi selain benda pak
benda hias. Dapat dicon
baju kebaya, benda t
dengan berbagai maca
ditempatkan pada ujun
pada bagian depan dan
baju kebaya. Benda seni
yang dibuat untuk
keindahan. Feldman
bahwa kehidupan
berlangsung untuk m
kebutuhan-kebutuhan
tentang ekspresi pribadi,
kebutuhan sosial unt
display, perayaan, dan k
16, No. 1, Juni 2014
8n kaluak paku dan
da dada baju kurung
a: 2012)
Fungsi Fisik
.Rosma
dikatakan sebagai
mempunya dua
akai juga sebagai
contohkan seperti
tersebut dihiasi
cam motif yang
jung lengan dan
dan pinggir bawah
eni adalah benda
untuk memenuhi
n menyebutkan
seni terus
memuaskan: (1)
individu kita
di, (2) kebutuhan-
untuk keperluan
n komunikasi, dan
(3) kebutuhan-kebutuhan
mengenai barang-barang
bangunan-bangunan yang be
Dari kebutuhan-kebutuhan
kemudian mengidentifikasi
fungsi dari seni, yakni: (
personal (personal function of
fungsi sosial (the social functi
dan (3) fungsi fisik (the
function of art) (Feldman, 1967:
Namun, dari ketiga fungsi
seperti yang diungkapkan Fe
dalam mengkaji fungsi seni
bordir Hj. Rosma hanya di
pada fungsi personal dan fung
1. Fungsi personal
Fungsi personal se
kebutuhan individu adalah
ekspresi pribadi. Seni seb
ekspresi pribadi tidak terb
ilham saja, tidak se
berhubungan dengan emos
tetapi seni juga me
pandangan pribadi tentang
dan objek umum dalam kehi
situasi kemanusiaan yang
misalya, cinta, perayaan dan s
terulang secara tetap, seba
dalam seni, namun tema-tem
dibebaskan dari kebiasa
104
n fisik kita
ng dan
bermanfaat.
n itu, ia
si sejumlah
(1) fungsi
on of art), (2)
unction of art),
the pshycal
1967: 2-3).
si kesenian
Feldman itu,
ni kerajinan
difokuskan
ungsi fisik.
seni dalam
lah tentang
sebagai alat
rbatas pada
semata-mata
osi pribadi,
mengandung
ng peristiwa
hidupan dan
mendasar,
n sakit, yang
sebagaimana
ma ini dapat
saan oleh
Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik
105
komentar-komentar pribadi yang secara
unik ditampilkan oleh seniman
Feldman (terjemahan Gustami, 1991: 4-
5).
Seni dipilih oleh seniman untuk
mengekspresikan gagasan atau
pemecahan problem tertentu. Seperti
yang dikemukakan oleh Sahman (1993:
39) bahwa, setiap gagasan
mensyaratkan dipilihnya karya seni
yang relevan untuk gagasan tersebut.
Seorang seniman dalam
mengekspresikan perasaan dan
gagasannya menggunakan bermacam-
macam media. Ekspresi menurut
Santayana, yang dikutip oleh Atmodjo
(1988: 52-53), makna ekspresi diartikan
sebagai: (a) ekspresi yang
direncanakan, semacam tindakan yang
dilakukan seniman dalam mencipta
karya seni, (b) ekspresi dalam arti
penampakkan, yaitu gejala, suatu tanda
diagnostik, dan (c) ekspresi untuk
membayangkan kapasitas objek, bila
dikontemplasikan secara estetis akan
membangkitkan image-image tertentu.
Menurut Djelantik (2004: 16-
18) menjelaskan bahwa hal-hal yang
diciptakan dan diwujudkan oleh
manusia dapat memberi rasa senang
dan kepuasan dengan penikmat disebut
dengan kata seni. Termasuk dalam hal
ini adalah barang-barang kerajinan
tangan (handicraft). Seni kerajinan
bordir sebagai bagian dari seni rupa,
bagi Hj. Rosma itu adalah salah satu
media tersebut. Seni kerajinan bordir
sebagai seni tradisional, dan Hj Rosma
sebagai perajin sekaligus pengusaha
bordir, ekspresinya dapat dilihat dari
ketekunan Hj. Rosma dalam
menyelesaikan setiap motif yang
terdapat pada kain yang akan dibordir.
Hj. Rosma berusaha mengeluarkan ide
dan kemampuannya dalam membuat
bentuk ragam hias yang ditampilkan
dalam sebuah karya seni, yaitu berupa
produk fasion dan perlengkapan hidup
sehari-hari seperti baju kebaya, jilbab,
tatakan gelas, tas dan produk lainnya.
Motif bordiran yang dihasilkan
Rosma terinspirasi dari alam yaitu
berupa motif flora /bunga yang
kemudian distilisasi dan dijahit dengan
jahitan yang rapi dan padat dengan
teknik suji cair dan bordir
kerancang/terawang, sehingga bentuk
produk yang dihasilkan kelihatan lebih
menarik dan indah. Pembuatan motif
yang dilakukan Rosma ini karena
kesukaannya dalam mengamati alam
terutama bunga-bunga yang ada di
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
106
sekeliling rumahnya dan kecendrungan
dalam melihat situasi pasar atau
konsumen.
Rosma dalam menciptakan
motif bordirnya lebih menekankan pada
pencapaian keserasian dan penyelesaian
akhir suatu ekspresi. Salah satu fungsi
seni adalah mengekspresikan perasaan
dan memindahkan pengertian kepada
khalayak ramai. Seperti yang
dikemukan oleh Feldman (terjemahan
Gustami, 1991: 61-62), menjelaskan,
bahwa pada seni tradisional, material
dibentuk supaya mereka dapat meniru
penampilan-penampilan atau
mengekspresikan gagasan-gagasan
tentang kehidupan.
Hj. Rosma lebih banyak
memproduksi sebuah karya seni dan
cendrung memakai nilai-nilai estetika
yang mengarah kepada fungsi
dekoratif, baik dari segi motif yang
digunakan hanya sebagai hiasan saja
pada bidang kain yang dibordir. Hj.
Rosma sebagai perajin sekaligus
pengusaha kerajinan bordir sebagai
pribadi, dalam memenuhi kebutuhan
estetisnya berusaha menciptakan
produk dan motif bordir yang seindah
mungkin, menyenangkan, sekaligus
bermanfaat baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain. Pembuatan
seni kerajinan bordir Rosma umumnya
bersifat fungsional, menuntut dan
membantu di dalam memuaskan
keinginan serta kebutuhan estetis orang
yang akan memakai karya seni tersebut,
di samping kepuasan estetis Hj. Rosma
itu sendiri. Keunggulan sulaman Rosma
adalah kecantikan motif-motif
(umumnya bunga) di atas aneka produk
kain. Kehalusan hasil sulaman dan
perpaduan warna bagaikan lukisan yang
dibuat dengan benang. Motif –motif
tersebut dijadikan Rosma sebagai
hiasan pada produk bordirnya mulai
dari kebaya, selendang, alas meja,
mukenah, tatakan gelas, dan tas.
Fungsi personal dari setiap
karya atau produk yang dihasilkan Hj.
Rosma dapat dilihat dari motif yang
dihasilkannya. Dimana Rosma selalu
menampilkan motif bunga yang
mengagumkan seperti bunga melati dan
bunga mawar pada setiap produk yang
dihasilkannya. Motif tersebut dibuat
dengan bentuk yang indah dan dibordir
dengan bordiran yang rapi dan dengan
pemakaian benang yang bermacam-
macam dengan teknik suji cair dan
terawang atau bordir kerancangnya.
Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik
107
Keunikan dan keindahan bagi
Hj. Rosma, berbagai bentuk bunga
yang sejak kecil sering diamati itu,
telah menimbulkan ketertarikan dan
membuat dirinya merasa kagum.
Mungkin dari situlah timbul pada
dirinya pengalaman pribadi yang
bersifat estetik, sebuah pengalaman
personal bersifat intuitif yang timbul
dari perjumpaan manusia dengan alam,
yang hanya berlangsung sesaat dan
selalu ingin dikenang. (Hartoko, 1991:
14). Kiranya Hj. Rosma menciptakan
karya tersebut karena didorong oleh
keinginan untuk mengabadikan
pengalaman pribadi tentang keindahan
yang dirasakan ketika menyaksikan
beragam bentuk tumbuh-tumbuhan
yang terdapat di alam yaitu bermacam-
macam bentuk bunga. Bentuk motif
bunga yang dia tampilkan akan dia
ganti terus dengan posisi dan ukuran
yang berbeda pula. Kadangkala motif
bunga tersebut dibuat kecil dan
kadangkala motif tersebut dibuat
dengan ukuran yang besar. Dengan
demikian, secara personal karya
tersebut berfungsi untuk mengabadikan
pengalaman keindahan yang pernah
dirasakan dan selalu ingin dikenang.
Karya Hj. Rosma yang bersifat
personal itu, meskipun sebagian dari
produk yang dihasilkan mengandung
nilai-nilai spiritual seperti mukenah,
jilbab bukanlah tergolong seni
keagamaan, tetapi hanya sebagai seni
yang berdimensi spiritual dengan
fungsi komunikatif, yaitu
mengungkapkan dan menyampaikan
nilai-nilai spriritual yang diyakini
sangat bermanfaat bagi dirinya dan
orang lain.
Bahan dan teknik bagi Rosma
seakan memiliki makna tersendiri
untuk membantu mengekspresikan ide-
idenya yang bersifat individu secara
konkret. Hal itu sejalan dengan
pendapat Feldman (1967: 6), bahwa
bahan dan teknik seni menjadi media
ekspresi seorang seniman; bahan dan
teknik memiliki makna sejak digunakan
untuk membantu memberikan wujud
yang objektif. Menurutnya, tanpa bahan
dan teknik yang spesifik, kecil
kemungkinan seorang seniman
mendapatkan ekspresi objektif dari
situasi tertentu tentang perasaan dan
kesadarannya.
2. Fungsi Fisik
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
108
Seni kerajinan bordir Hj. Rosma
adalah kelompok benda pakai atau
benda fungsional yang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari, umumnya
berupa wadah dan alat. Lebih jauh
ditegaskan bahwa fungsi fisik seni yang
dimaksud adalah suatu ciptaan objek-
objek yang dapat berfungsi sebagai
wadah dan alat (Edmund Burke
Feldman terjemahan Gustami,
1991:127). Wadah dan alat perlu
dibentuk dan dikonstruksi secara
khusus yang disesuaikan dengan
persyaratan-persyaratan yang
dikehendaki. Produk seni kerajinan
dipergunakan sekaligus juga dilihat,
sehingga perlu didesain sebaik-baiknya
sehingga dapat berfungsi secara efisien.
Fungsi fisik itu, dihubungkan dengan
penggunaan benda-benda yang efektif
sesuai dengan kriteria kegunaan dan
efisiensi, baik penampilan maupun
tuntutannya (permintaannya) (Feldman
terjemahan Gustami, 1991: 128).
Fungsi fisik produk seni
kerajinan, di samping segi estetik dan
nilai simbol, nilai kepraktisan karya
yang dihasilkan juga sangat
menentukan tingkat keberhasilan karya
tersebut. Seperti pada umumnya produk
seni kerajinan memiliki kegunaan
praktis, namun hal itu tidak berarti
karya seni kerajinan tidak memiliki
nilai estetis, simbol, dan spritual. Nilai-
nilai tersebut seringkali sudah luluh di
dalamnya, bahkan berada di atas fungsi
fisiknya (Gustami, 2000: 267)
Fungsi fisik produk seni
kerajinan umumnya ditentukan oleh
nilai kepraktisannya. Selain seni
kerajinan dapat memenuhi kebutuhan
manusia yang bersifat spiritual, juga
bisa berupa peralatan perlengkapan
kehidupan dan peralatan yang
digunakan sebagai sarana untuk
memproduksi berbagai kebutuhan
hidup. Setiap hasil karya dan keahlian
seni merupakan perpaduan antara
sistem alamiah, sebagai esensi yang
mendasari saling ketergantungan dari
ketiga fungsi seni tersebut.
Produk bordir yang dihasilkan
Hj. Rosma termasuk dalam jenis
produk fungsional praktis atau
memiliki fungsi fisik. menurut Solichin
Gunawan (1986: 74) desain
mempertimbangkan faktor kegunaan,
fungsi, produksi, pemasaran,
keuntungan, dan nilai rupa atau nilai
estetis dari benda pakai tersebut.
Barang-barang yang dihasilkan Hj
Rosma hampir semuanya memenuhi
Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik
109
persyaratan dalam mendesain motif dan
produk yang dihasilkan. Lebih jauh,
Feldman juga menjelaskan bahwa,
fungsi fisik seni atau desain
dihubungkan dengan penggunaan objek
(benda) yang efektif sesuai dengan
kriteria kegunaan dan efesiensi, baik
penampilan maupun tuntutannya
Feldman (Terjemahan Gustami, 1991:
128).
Berdasarkan fungsi fisiknya,
seni kerajinan bordir Hj. Rosma
tumbuh atas dorongan naluri manusia
untuk memiliki alat dan perlengkapan
yang diperlukan dalam melangsungkan
kehidupan. Fungsi fisik seni kerajinan
bordir sebagai produk yang mempunyai
nilai guna, dapat dilihat pada setiap
upacara adat yang dilaksanakan oleh
masyarakat Minangkabau pada
umumnya. Jenis produk bordiran yang
dihasikan Hj. Rosma merupakan salah
satu perlengkapan adat yang selalu
digunakan pada setiap upacara adat,
terutama sekali dalam adat perkawinan
dan acara keramaian lainnya. Produk
bordir itu antara lain selendang, jilbab,
baju kurung, baju kebaya dan lain
sebagainya. Selain itu produk bordir
yang dihasikan Rosma juga berfungsi
untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari seperti mukenah, selendang,
jilbab, tatakan gelas, tempat tisu, tas
dan jenis produk lainnya.
Lembaga Budaya Pendukung Seni
Kerajinan Bordir Hj. Rosma
Seni kerajinan bordir sebagai
seni tradisional dan warisan masa lalu
merupakan sesuatu yang perlu
dipertahankan oleh masyarakat
pendukungnya. Belajar kesenian bagi
masyarakat Minangkabau merupakan
suatu media pencerahan untuk
menyalurkan perasaan hatinya, melalui
perkataan, perbuatan, di samping
keharusan untuk menguasai adat.
Kreativitas masyarakat Minangkabau
dalam berkesenian sangat bervariasi,
salah satunya adalah kreativitas di
dalam membuat seni kerajinan bordir di
daerah IV Angkek Canduang.
Kelangsungan sentra seni
kerajinan bordir Hj. Rosma tidak
terlepas dari peran dan dukungan dari
masyarakat Panampuang sebagai
masyarakat pendukung seni kerajinan
bordir dan berbagai pihak atau
lembaga. menurut Koentjaraningrat
dalam Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan, lembaga atau institusi
memiliki dua pengertian. Pertama,
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
110
lembaga dalam arti badan atau
organisasi yang berfungsi untuk
mengatur kehidupan masyarakat.
Kedua, lembaga dalam arti pranata
(2004: 14). Lembaga atau institusion,
merupakan sistem bentuk hubungan
kesatuan masyarakat yang diatur oleh
suatu budaya tertentu. Suatu lembaga
harus melalui prosedur yang
menyebabkan tindakan atau perbuatan
masyarakat dibatasi oleh pola tertentu,
dan diarahkan bergerak melalui jalan
yang dianggap sesuai dengan keinginan
lembaga tersebut (Williams, 1981: 45).
Perkembangan seni kerajinan
bordir dewasa ini, tidak lepas dari
dukungan beberapa lembaga terkait
antara lain lembaga pemerintah,
lembaga swasta, serta lembaga
pendidikan menengah dan tinggi, yang
ikut berperan dalam mengembangkan
seni kerajinan bordir Hj. Rosma.
Dukungan yang diberikan oleh
lembaga-lembaga tersebut bisa berupa
bantuan material atau pinjaman modal,
bisa juga berupa nonmaterial.
Dukungan dari berbagai masyarakat
dan lembaga terhadap keberadaan dan
kelangsungan seni kerajinan bordir
telah memberi kekuatan bagi perajin
bordir dalam melakukan aktivitasnya,
sehingga seni kerajinan bordir tetap
tumbuh dan bertahan hingga menjadi
pekerjaan pokok untuk menopang
kehidupan para perajin. Beberapa pihak
yang berperan dan memberikan
beberapa dukungan terhadap seni
kerajinan bordir Hj. Rosma antara lain:
1. Masyarakat
Masyarakat adalah orang yang
berperan sebagai pendukung terhadap
pertumbuhan dan perkembangan seni
kerajinan bordir Hj. Rosma. Hal ini
ditandai dengan banyaknya masyarakat
kecamatan IV Angkek Canduang
terutama masyarakat daerah
Panampuang yang ikut menjadi perajin
bordir Hj. Rosma
2. Lembaga Pemerintah
Pemerintah merupakan salah
satu lembaga pendukung utama
terhadap keberadaan dan
perkembangan seni kerajinan bordir Hj.
Rosma. Lembaga pemerintah sebagai
bentuk lembaga yang teroganisir secara
resmi, mempunyai peranan yang
signifikan baik sebagai fasilitator
maupun pelindung bagi keberadaan dan
kelangsungan usaha seni kerajinan
bordir Hj. Rosma.
Salah satu dukungan dan
perhatian pemerintah terhadap usaha
Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik
111
seni kerajinan bordir Hj. Rosma adalah
bantuan pinjaman modal dari Bank BRI
dan BNI. Bantuan mesin jahit dari
pemerintah serta selalu diikutsertakan
pada setiap kegiatan pemerintah, seperti
melakukan pameran tetap perdagangan,
penataran manajemen, latihan
peningkatan desain produk, yang
dilakukan oleh Departemen
Perindustrian dan Departemen
Perdagangan di Sumatra Barat.
Kegiatan yang dilakukan oleh
Departemen Perindustrian dan
Perdagangan di atas merupakan
kegiatan positif yang berpengaruh
terhadap kelangsungan dan
perkembangan seni kerajinan bordir Hj.
Rosma. Kegiatan yang dilakukan
pemerintah ini bertujuan sebagai tempat
mempromosikan produk, meningkatkan
kemampuan, mutu produk, dan sumber
daya manusia yang terlatih serta
terampil dalam menjalankan usaha seni
kerajinan bordir yang secara tidak
langsung akan berpengaruh terhadap
kesejahteraan perajin.
3. Lembaga Pendidikan Menengah
dan Pendidikan Tinggi
Lembaga pendidikan menengah
dan pendidikan tinggi juga memberikan
pengaruh terhadap kelangsungan dan
perkembangan seni kerajinan bordir Hj.
Rosma. Lembaga pendidikan
menengah dan tinggi, yang secara tidak
langsung mendukung seni kerajinan Hj.
Rosma adalah Sekolah Menengah
Industri Kerajinan (SMIK)/ Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK 8 Padang)
jurusan tekstil, SMIK Ampek Angkek
Canduang, ISI Padangpanjang jurusan
seni Kriya dan Universitas Negeri
Padang (UNP) jurusan seni rupa.
Kegiatan yang dilakukan itu bertujuan
untuk menunjang kelangsungan dan
perkembangan seni kerajinan Bordir
Hj. Rosma, antara lain kegiatan
penelitian yang dilakukan oleh
Lembaga Pendidikan Tinggi yang
umumnya dilakukan oleh mahasiswa
dan dosen, praktek lapangan (PL), dan
observasi lapangan. Selain itu di
jurusan seni kriya ISI Padangpanjang,
dan SMK 8 Padang dan SMIK Ampek
Angkek Canduang dalam kurikulumnya
menjadikan seni kerajinan bordir
sebagai salah satu mata pelajaran pokok
khususnya pada pilihan minat kriya
tekstil.
Dijadikannya seni kerajinan
bordir sebagai mata pelajaran pokok
pada jurusan tekstil diharapkan, akan
lahir seorang kriyawan yang memiliki
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
112
keterampilan teknik dan wawasan
dalam bidang seni kerajinan bordir
yang luas. Dengan adanya kegiatan
positif yang dilakukan oleh pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi seni,
merupakan salah satu usaha untuk
melestarikan dan mempromosikan seni
kerajinan bodir sebagai produk budaya
tradisional masyarakat Sumatera Barat
di tengah kehidupan modern.
4. Lembaga swasta
Lembaga swasta juga ikut
berperan bagi pertumbuhan dan
perkembangan seni kerajinan bordir Hj.
Rosma. Seperti yang dikemukan oleh
Datuak mangiang anak dari Rosma
bahwa banyaknya travel biro yang
datang berkunjung ketempatnya dengan
membawa orang-orang dari malaysia,
thailand dan Singapura. Travel biro
yang pertama kali merintis kunjungan
ketempat Rosma adalah P.T Tunas
Padang, Eka Sukma Tour, Shaan
Holiday.
PENUTUP
Berdasarkan uraian pada seluruh
pembahasan yang telah diuraikan di
depan, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa penelitian ini
mencoba untuk menunjukkan peran
seni kerajinan bordir bagi sekelompok
masyarakat di lingkungan pedesaan.
Seni kerajinan bordir bukan hanya
sebagai ekspresi pribadi, tetapi dapat
dipandang sebagai usaha yang
dilakukan oleh para perajin, untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-
hari. Tindakan tersebut tercermin dari
aktivitas yang dilakukan Hj. Rosma
dalam memproduksi bermacam-macam
produk bordir.
Kerajinan bordir Hj. Rosma
berawal dari kesulitan perekonomian
keluargannya yang tidak mencukupi.
Dengan bekal dan keahlian menyulam
yang dia miliki akhirnya usaha ini
berkembang sampai saat ini. Kerajinan
bordir yang dihasilkan Rosma yang
pada awalnya hanya disulam sekarang
dapat dibordir dengan menggunakan
mesin walaupun mesinnya masih
manual. Produk bordir yang dihasilkan
Rosma pada awalnya hanya berupa
taplak meja sekarang sudah
dikembangkan menjadi produk fasion.
Produk bordiran yang dihasilkan Hj.
Rosma dibuat dalam berbagai bentuk
produk sesuai dengan kebutuhan hidup
masa kini. Produk sulaman dibuat
untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari antara lain seperti mukenah,
Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik
113
baju kurung, kebaya, jilbab, selendang,
sarung bantal kursi, tas, tatanan gelas
dan lain sebagainya. Seni kerajinan
bordir terus di butuhkan oleh
masyarakat, baik sebagai barang-barang
praktis maupun sebagai kelengkapan
upacara adat, sehingga seni kerajinan
bordir akan selalu dibutuhkan di tengah
masyarakat Minangkabau maupun
masyarakat luas. Bentuk motif pada
bordiran Hj. Rosma berorientasi dari
bentuk-bentuk yang ada di alam, seperti
dari bentuk flora seperti motif bunga
mawar, bunga melati, kaluak paku,
pucuak rabuang dan lain sebagainya.
Motif bentuk geometris seperti
lingkaran, setengah lingkaran zig-zag
dan lain-lain.
Seni Kerajinan botrdir Hj.
Rosma memiliki ciri khas tersendiri,
baik dari segi teknik menghias, yang
terkenal dengan bordir suji caia dan
bordir terawang, motif yang
ditampilkan pada kain bordirannya
dijahit dengan rapi dan cantik.
Pemakaian corak benang dalam
membuat bordirannya memakai teknik
gradasi warna yaitu, dimulai dari
warna benang yang tua ke warna yang
lebih muda atau sebaliknya dari warna
yang muda ke warna yang lebih tua,
dengan dua tingkatan warna.
Proses produksi yang dilakukan
oleh parajin Hj. Rosma masih memakai
sistem tradisional yaitu menggunakan
mesin yang masih digerakan dengan
kaki tidak dengan dinamo atau listrik.
Walaupun begitu tidak mengurangi
nilai karya seni yang dihasilkan, baik
dilihat dari segi bentuk, gaya, struktur,
maupun fungsi karya tersebut dalam
kehidupan masyarakat pendukungnya,
justru itulah yang menjadi ciri khas dari
bordiran Hj. Rosma.
Kreatifitas perajin merupakan
modal untuk memasuki era
perdagangan bebas, tanpa mengabaikan
kualitas produk. Desain yang selalu
mengikuti trend maupun isu
perkembangan untuk merebut peluang
pasar bebas, inovasi yang dilakukan
Rosma dengan cara menambah variasi
jenis produk dan motif lebih banyak.
Produk yang mampu bersaing di pasar
global adalah produk yang desainnya
memenuhi syarat desain yang baik.
Dengan demikian desain dan mutu
menjadi titik pokok dalam pembinaan
agar produknya mampu bersaing di
pasar global. Untuk dapat bersaing di
pasar global tidak hanya dapat
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
114
membuat produk banyak dengan harga
murah, melainkan desertai dengan
desain yang sesuai dan dengan kualitas
barang yang baik.
Tumbuh dan berkembangnya
seni kerajinan bordir Hj. Rosma tidak
lepas dari adanya peran serta dari
lembaga yang berkompeten di
bidangnya, seperti Lembaga
Pendidikan Menengah, Pendidikan
Tinggi, Lembaga Pemerintahan, dan
Lembaga Swasta. Selain itu
Pertumbuhan dan perkembangan seni
kerajinan bordir, mampu bertahan dan
bersaing dengan produk bordir daerah
lain tidak lepas dari faktor sosio-
kultural masyarakat pendukungnya,
seperti faktor sosial budaya, dan faktor
ekonomi, dan kegigihan Hj. Rosma
sendiri untuk selalu membuat motif-
motif yang baru dan dengan
penempatan yang baru. Pembuatan
produk dan motif bordir Hj. Rosma
tergantung pada selera pasar/
permintaan dari konsumen. Jika mereka
menginginkan bentuk bunga yang
dibuat kecil maka Rosma membuat
motif bordiran yang kecil pada produk
bordirannya. Sebaliknya jika konsumen
meminta motif dibuat dalam ukuran
besar maka Rosma akan membuat
motif bordir dengan ukuran besar.
KEPUSTAKAAN
Djelantik, A. A. M. 2004. Estetika
Sebuah Pengantar. Bandung:
Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia.
Eswendi. 2002. Desain Ragam Hias
Sulaman Bordir. Program
Semi-que. Proyek Manajemen
Pendidikan Tinggi. Jakarta:
Dirjen Dikti Depdiknas.
Feldman, Edmud Burke. 1967. Seni
Sebagai Ujud dan Gagasan,
diterjemahkan oleh Sp.
Gustami, (1991), judul asli
“Art As Image and Idea”,
Yogyakarta: Fakultas Seni
Rupa dan Disain Institut Seni
Indonesia Yogyakarta.
Gie, The Liang. 2004. Filsafat
Keindahan. Yogyakarta: Pusat
Belajar Ilmu Berguna
(PUBIB).
Gustami SP. 2003. Metode Pendekatan
dalam Kajian Seni Rupa,
dalam Bunga Rampai Kajian
Seni Rupa: Kenangan Purna
Tugas Prof. Drs. Suwaji
Bastomi. Semarang: UPT
UNNES PRESS.
Hartoko, Dick. 1991. Manusia dan
Seni, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Jumanta. 2005. Aneka pola Hias Tepi
Untuk Sulam & Bordir: Flora,
Fauna, Dekoratif, dan
Geometris. Jakarta: Puspa
Swara.
Ranelis, Seni Kerajinan Bordir Hj. Rosma: Fungsi Personal dan Fisik
115
Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran
dan Perkembangan
Historiografi Indonesia,
Jakarta: PT. Gramedia.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar
Ilmu Antropologi, Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Nawawi, Hadari. 1983. Penelitian
Bidang Sosial, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Ramli, Muhammad. 1995. Pelatihan
Keterampilan Menyulam di
sentra sulaman Hj. Rosma:
Studi Tentang Proses Latihan
Menyulam dan Ragam Hias
yang Dilatihkan, Padang:
FPBS IKIP.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000.
Kesenian dalam Pendekatan
Kebudayaan, Bandung: STSI
Bandung Press.
Suhersono, Hery. 2007. Desain Bordir
Motif Flora dan Dekoratif,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Wachid, Abdul B.S., Nita Indrawati &
Yusrizal K.W. 1997. Hj.
Rosma dan Nukilan Bordir
Sumatra Barat, Padang: Citra
Budaya Indonesia.
Williams, Raymond. 1981. Culture,
Glasgow: Fontana Paperback.
Zulhelman. 2001. “Konsep Alam
Takambang Jadi Guru dalam
Ragam Hias Minangkabau”,
Tesis, Yogyakarta: Program
Pasca Sarjana UGM.
NARA SUMBER
Hj. Rosma (85 th), Pemilik usaha Hj.
Rosma, wawancara tanggal 4
September 2012, Ampek
Angkek Canduang.
Eddy R. Iskandar Dt. Mangiang (60
tahun) wakil dari Hj. Rosma,
wawancara tanggal 7 Juni 2012,
Ampek Angkek Canduang.
116
PRODUKSI DAN PENYIARAN
PROGRAM SENI DAN BUDAYA
DI GRABAG TV
Maisaratun NajmiProdi Televisi dan Film, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang
ABSTRAKGrabag TV merupakan salah satu televisi komunitas yang relatif masih
baru, dan belum memiliki peralatan yang begitu lengkap, SDM serta
dukungan dana yang masih terbatas tetapi sudah bisa melaksanakan
produksi dan penyiaran meskipun belum secara kontinuitas setiap hari
dilaksanakan. Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap dan
mengetahui bagaimana televisi komunitas di Grabag TV dalam
penyelenggaraan siarannya terutama dalam program seni dan budaya.
Dalam penyiaran program televisi bukanlah hal yang mudah, pada
prosesnya memerlukan waktu yang relatif lama, peralatan yang kompleks,
dana yang besar dan perlu dukungan profesi-profesi yang menguasai
bidang penyiaran televisi. Untuk itu perlu diketahui bagaimana
penyelenggaraan produksi dan penyiarannya. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa televisi komunitas di Grabag TV dapat bertahan dan
eksis karena dukungan yang penuh dari masyarakat komunitasnya.
Disamping itu Grabag TV memiliki orang yang berpengaruh di dunia
penyiaran televisi, sehingga dapat mempertahankan eksistensi dalam
penyiarannya.
Kata Kunci: Grabag TV, Televisi Komunitas, Produksi dan Penyiaran
ABSTRACTGrabag TV is one of new community televisions which has no complete
equipments, limited human resources and fund, but it can produce and
broadcast although it is on a daily basis. The purpose of this research is to
express and understand how The Grabag TV as a television community
broadcasts its programs, specially those about the art and culture. It is not
easy to produce and broadcast television programs, as there are many
factors such as time of process, complexity of equpments, huge sum of
money, and support from some people with expertise in television
broadcast. Therefore, it is important to know how it implements
production and broadcast. This research shows that community television
in Grabag TV prevails due to support from their community. In addition,
Grabag TV has some influential people who retain its existence in TV
broadcast.
Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV
117
Keywords: Grabag TV, community television, production and
broadcasting.
PENDAHULUAN
Penyiaran TV Komunitas
umumnya digunakan dalam dua
konteks utama, yaitu: komunitas yang
terbentuk secara geografis atau
komunitas dengan batasan geografis
tertentu, dan komunitas yang terbentuk
atas dasar rasa identitas seperti minat,
kepentingan dan/atau kepedulian suatu
komunitas. Untuk melayani kebutuhan
komunitas tertentu atas komunikasi
dan informasi maka dibentuklah
Lembaga Penyiaran Komunitas. Salah
satu alasan terbentuknya TV
Komunitas Grabag TV di desa Grabag
Kecamatan Grabag adalah karena
keadaan geografis daerahnya yang
tidak bisa menerima siaran TV secara
menyeluruh atau disebut dengan
“blank spot area” sehingga munculah
keinginan beberapa orang untuk
mendirikan televisi komunitas yang
diberi nama dengan Grabag TV.
Pendirian Grabag TV di awali
dengan kondisi geografis seperti yang
dijelaskan di atas yaitu desa Grabag
yang disebut dengan blank spot area,
dimana daerah tersebut tidak bisa
menangkap siaran-siaran televisi
swasta nasional (Sudibyo, 2004:225).
Hartanto sebagai salah satu pendiri
Televisi ini juga menjelaskan bahwa
jika daerah-daerah lain dapat
menikmati paling sedikit 5 chanel
siaran televisi nasional, maka warga
Grabag cukup puas dengan menikmati
siaran TVRI saja, kecuali bagi warga
yang berkecukupan bisa membeli
perangkat parabola sehingga bisa
menerima seluruh siaran dari televisi
swasta nasional. Melihat kondisi
wilayah Grabag seperti ini, maka
pendirian televisi komunitas memiliki
kemungkinan yang luas untuk
dikembangkan. Di samping itu Grabag
TV juga dijadikan sebagai alat kontrol
sosial dan literasi media bagi
masyarakat dari siaran televisi swasta
nasional, terutama bagi masyarakat
Grabag yang memiliki parabola
(wawancara dgn Darwanto, maret
2012).
Dalam workshop “Masa Depan
Televisi Komunitas di Indonesia” oleh
Fakultas Film dan Televisi IKJ di
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
118
Jakarta pada bulan Mei 2007,
menghasilkan beberapa point penting
diantaranya; Televisi komunitas
diharapkan menyuarakan kepentingan
dan kebutuhan warga dalam geografis
tersebut, baik televisi berbasis warga,
maupun televisi sekolah/kampus.
Karenanya televisi komunitas tidak
studio based, tetapi field based
sehingga program siaran televisi
komunitas tidak terhambat karena
harus memenuhi “standard
broadcasting” sebagaimana stasiun
televisi swasta. Dengan menggunakan
ruang publik sebagai studio siaran bagi
televisi komunitas, ia justru sedang
memenuhi keragaman isi (diversity of
content) berdasar realitas kehidupan
komunitasnya.
Grabag TV dalam produksi
acara telah menjalankan hal di atas
seperti, tidak adanya kualifikasi dan
persyaratan khusus dalam proses
produksi siaran televisi seperti
layaknya yang terjadi di televisi
swasta, tidak perlu persyaratan camera
face, berpenampilan dan bersuara
menarik. Tayangan televisi komunitas
terlihat sangat natural, apa adanya.
Keterbatasan peralatan tidak
menyurutkan para penggiat televisi
komunitas di Grabag untuk
menyuguhkan tayangan alternatif bagi
pemirsanya.
Grabag TV dalam siarannya
membagi 3 bidang yaitu bidang
pertanian dan kewirausahaan, bidang
pendidikan dan bidang seni budaya.
Semua bidang program yang
diselenggarakan relatif berjalan dengan
lancar serta cukup dapat respon dari
masyarakat Grabag, meskipun dengan
kesederhanaan menajemen yang ada.
Dengan kesederhanaan
manajemen dan lancarnya produksi
dan penyiaran program seni dan
budaya khususnya, Grabag TV layak
dijadikan sebagai obyek penelitian
karena itulah penulis tertarik untuk
melakukan penelitian di Grabag TV
khususnya pada produksi program seni
dan budaya. Maka dirasa penting untuk
mengetahui bagaimana
penyelenggaraan program seni dan
budaya di Grabag TV menyangkut
segala aspeknya. Objek tersebut layak
untuk diteliti dan kemudian hasilnya
dapat dipergunakan sebagai referensi
para penyelenggara TV komunitas dan
juga masyarakat komunitasnya, serta
siapa pun yang memerlukan.
Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV
119
Program seni dan budaya
merupakan salah satu program yang
diproduksi dan disiarkan oleh Grabag.
Dalam produksi dan penyiaran
(penyelenggaraan) program acara
televisi biasanya sangat menguras
materi dan pikiran, dengan
menggunakan peralatan broadcast
yang mahal, melibatkan banyak kru
produksi yang profesional
dibidangnya. Banyak tuntutan yang
harus dijalankan dalam
penyelenggaraan program acara
televisi tersebut, bukanlah hal yang
mudah dalam penyelenggaraannya,
untuk itu dibutuhkan keseriusan dan
ketelatenan bagi setiap orang yang
terlibat didalamnya. Akan tetapi tidak
demikian yang dijalani oleh televisi
komunitas, sebagai televisi komunitas
yang minim biaya dan peralatan
produksi, mengapa bisa terselenggara
penyiaran tersebut, bagaimana dengan
respon masyarakat komunitasnya
terhadap program yang disiarkan.
Hal ini semua perlu untuk di
ketahui bagaimana dengan
penyelenggaraan program acara yang
disiarkan oleh Grabag TV khususnya
dalam bidang seni budaya, hingga
dapat bertahan sampai sekarang
dengan keadaan seperti di atas. Di
samping itu program seni dan budaya
merupakan sebuah program yang
sangat penting untuk disiarkan, agar
dapat melestarikan dan
mengembangkan nilai-nilai seni dan
budaya lokal yang masih ada, dan juga
dengan adanya program ini dapat
membatasi masyarakat dari pengaruh
arus budaya global yang tidak sesuai
dengan kultur masyarakat Grabag.
Dalam program acara televisi,
setiap program punya sasaran yang
jelas dan tujuan yang akan dicapai.
Menurut P.C.S. Sutisno, ada lima
parameter yang harus diperhitungkan
dalam penyusunan program siaran
televisi, yaitu 1) Landasan filosofi
yang mendasari tujuan semua program;
2) Strategi penyusunan program
sebagai pola umum tujuan program; 3)
Siaran program; 4) Pola produksi yang
menyangkut garis besar isi program; 5)
karakter institusi dan manajemen
sumber program untuk mencapai usaha
yang optimal. Di samping itu juga,
dijelaskan suasana program di
pengaruhi oleh komposisi usia, jenis
kelamin, profesi, tingkat pendidikan,
dan persepsi. Siklus waktu secara
vertikal dan horizontal juga
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
120
mempengaruhi, misalnya hubungan
dari satu program ke program
berikutnya dalam sequence yang diatur
secara konsisten dan
berkesinambungan sampai akhir
seluruh program dalam satu hari.
Siklus waktu horizontal
memperhitungkan pola acara dari satu
hari ke hari berikutnya, (Sutisno, 1991:
9-11).
Teknik Produksi Program
Televisi yang ditulis Fred Wibowo
(2007:24), menjelaskan bahwa
merencanakan sebuah produksi
program televisi, seorang produser
profesional akan dihadapkan pada lima
hal sekaligus yang memerlukan
pemikiran mendalam, yaitu materi
produksi, sarana produksi (equipment),
biaya produksi (financial), organisasi
pelaksana produksi dan tahapan
pelaksanaan produksi. Berpikir tentang
produksi program televisi bagi seorang
produser mengandung makna bahwa
mengembangkan gagasan bagaimana
materi produksi itu, selain menghibur,
dapat menjadi suatu sajian yang
bernilai dan memiliki makna. Apa
yang di sebut nilai itu akan tampil
apabila sebuah produksi acara bertolak
dari suatu visi. Dengan kata lain,
produksi yang bernilai atau berbobot
hanya dapat diciptakan oleh seorang
produser yang memiliki visi. Akan
tetapi, masalahnya terletak pada visi itu
tumbuh dari suatu acuan mendalam
yang bermuara pada orientasi, ideologi,
religi dan pemikiran-pemikiran kritis
atas sarana yang dipakai untuk
menampilkan materi produksi. Maka,
visi itu sekedar mengikuti arus yang
sedang mengalir.
Dalam setiap penyusunan
program diperlukan strategi, supaya
program dapat mengena ke khalayak
atau audiens-nya. Penyusunan program
disesuaikan dengan kebutuhan maupun
keinginan dari khalayak serta stasiun
televisi dapat dikenal oleh khalayak
juga. Implementasi dari strategi
program adalah bagaimana
perencanaan program suatu stasiun
televisi, yang meliputi pemilihan
program dan penentuan jam tayang
program. Selain itu pula bagaimana
pengemasan program yang dimiliki
oleh stasiun televisi agar dapat menarik
audiens dan menjadi loyalitas audiens-
nya.
Melalui strategi program yang
dimiliki, bagaimana hingga dapat
menguatkan identitas stasiun televisi
Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV
121
terhadap audiens sebagai stasiun
televisi lokal, yang juga berpengaruh
terhadap kebijakan program stasiun.
Berpikir tentang produksi program
televisi bagi seorang produser
profesional, berarti mengembangkan
gagasan bagaimana materi produksi
itu, selain menghibur, dapat menjadi
suatu sajian yang bernilai dan memiliki
makna. Apa yang disebut nilai itu akan
tampil apabila sebuah produksi acara
bertolak dari suatu visi (Wibowo,
2007:23).
PEMBAHASAN
Jenis Program Seni dan Budaya di
Grabag TV.
Grabag TV memformat
program acara menjadi tiga bidang
seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, diantaranya adalah bidang
Kesenian. Adapun bidang kesenian ini
juga disusun dari beberapa jenis materi
atau program acara diantaranya:
informasi seputar kesenian, wawasan
dan dialog kesenian, pagelaran seni
tradisi, pertunjukan music dan video
klip, instruksional berbagai cabang
kesenian, dan cerita/fiksi berupa film
pendek, film seri.
1. Program Informasi: berita-berita
seputar kesenian
Program berita seputar kesenian
ini berisi tentang berita-berita yang
baru berkembang tentang kesenian,
adat istiadat, dan budaya yang ada di
sekitar daerah Grabag pada saat itu.
Misalnya dalam menyambut bulan suci
Ramadhan, banyak sekali kegiatan dan
ritual yang dilakukan, seperti acara
nyadran. Nyadran yaitu ziarah ke
makam bersama keluarga dan
masyarakat desa dengan membawa
makanan khas sambil silaturahmi
dengan masyarakat desa dalam
menyambut bulan puasa. Kemudian
melaksanakan pengajian dan malam
kesenian yang mendatangkan
kelompok-kelompok seni seperti
qasidahan, rabana dan lain-lain.
Kegiatan kesenian dan budaya
ini biasanya terjadi berdasarkan even
yang diadakan masyarakat Grabag
pada waktu-waktu tertentu. Pada bulan
Agustus misalnya, banyak dilakukan
kegiatan dalam menyambut hari
kemerdekaan, sehingga masyarakat
setempat mengadakan berbagai macam
acara. Dari perlombaan untuk anak-
anak, ibu-ibu rumah tangga, remaja
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
122
dan sebagainya, disamping itu juga
diadakan acara musik.
Semua contoh kegiatan seni
dan budaya yang dijelaskan di atas
merupakan materi dalam program
informasi seputar kesenian dan budaya
bagi stasiun Grabag TV. Sehingga
dengan adanya dokumentasi kegiatan
tersebut yang dikemas kedalam bentuk
program acara televisi di Grabag TV,
dapat memberikan hiburan bagi
masyarakat komunitasnya pada malam
hari. Dimana pada saat acara
berlangsung mereka tidak dapat
menyaksikan secara langsung karena
kesibukan mereka disaat itu. Dengan
adanya program ini di Grabag TV
maka mereka dapat menyaksikannya.
Berikut ini adalah salah satu foto
kegiatan kesenian yang diliput oleh
Grabag TV.
Gambar.1Grabag TV berpartisipasi dalam Karnaval
menyambut
Peringatan HUT RI ke 62
(Sumber: Dok Grabag TV)
2. Program wawasan dan dialog
kesenian
Program wawasan dan dialog
kesenian adalah memberikan wawasan
dan informasi tentang kesenian dan
kebudayaan. Biasanya dilakukan
setelah pagelaran kesenian tradisi atau
kegiatan kesenian lainnya. Pihak
Grabag TV melakukan wawancara dan
dialog seputar kesenian dan budaya
yang ditampilkan ditempat kejadian.
Biasanya produksi program ini
dilakukan aut door atau ditempat
pementasan pertunjukan tersebut
diadakan. Program ini disajikan
kedalam bentuk talk show yang
menghadirkan tokoh-tokoh atau
seniman Grabag dan membahas tema
yang hangat pada saat itu. Dengan
tujuan memberikan wawasan yang luas
tentang seni budaya masyarakat
Grabag.
3. Pagelaran Seni Tradisi
Program pagelaran seni tradisi
di Grabag TV biasanya diproduksi
mengikuti even/kegiatan masyarakat
Grabag. Jika masyarakat Grabag
mengadakan pagelaran seni, maka pada
waktu itulah kesempatan bagi Grabag
TV untuk mendokumentasikan
kegiatan tersebut dan menyiarkan
Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV
123
kepada masyarakat komunitas yang
tidak sempat menyaksikan pagelaran
tersebut diwaktu lain misalnya pada
malam hari menemani masyarakat
komunitasnya beristirahat. Jika
masyarakat Grabag sudah lama tidak
mengelar seni tradisi, maka pihak
Grabag TV berinisiatif untuk
mengundang salah satu kelompok seni
untuk mengadakan pertunjukannya ke
desa Grabag. Seperti yang dilakukan
Grabag TV pada akhir bulan April
2012, mengundang kelompok kesenian
tradisional Soreng “Satrio Utomo”
(Hartanto, April 2012). Dengan tujuan
untuk menghibur masyarakat
komunitas Grabag disamping itu juga
dapat melestarikan kesenian
daerahnya.
Pagelaran seni tradisi yang
pernah di produksi oleh Grabag TV
adalah kesenian Soreng, Kubrosiswo,
Kuda Lumping, dan Topeng Ireng
seperti yang sudah dijelaskan di atas.
Dan mereka memberi judul program
acara tersebut sesuai dengan kesenian
yang dipentaskan dan kelompok seni
yang tampil.
4. Pertunjukan Musik
Program pertunjukan musik ini
Grabag TV menayangkan berbagai
macam jenis musik seperti musik-
musik campur sari, lagu-lagu lawas
atau lagu-lagu kenangan dan
sebagainya, bahkan mereka berinisiatif
untuk menciptakan lagu-lagu baru. Di
samping itu Grabag TV juga
menayangkan video klip yang mereka
produksi sendiri. Bahkan video klip
yang mereka tayangkan adalah lagu-
lagu yang diciptakan oleh masyarakat
komunitas Grabag itu sendiri.
Masyarakat komunitas Grabag
juga dibina oleh pengurus dari Grabag
TV sesuai dengan bidang yang mereka
minati, seperti yang bakat dalam
menciptakan lagu, menjadi penyanyi,
presenter atau pembawa acara dan
sebagainya. Grabag TV bersedia
menjadi penyalur bakat-bakat
terpendam tersebut dengan
menciptakan sebuah program TV dan
disiarkan kepada masyarakatnya
kembali. Hal ini membuat mereka
senang dan berbangga, karena dapat di
nikmatinya. Sesuai dengan semboyan
televisi komunitas: “dari masyarakat
oleh masyarakat dan untuk
masyarakat”.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
124
Berikut ini adalah foto kegiatan
di bidang seni pertunjukan musik yang
dilakukan Grabag TV:
Gambar 2.Para pemenang Golav (Grabag Olah Vokal),
atau sering disebut Grabag Idol, bersama
Camat Grabag. Disiarkan langsung oleh
Grabag TV pada tahun 2007. (Sumber: Dok.
Grabag TV)
5. Program Fiksi dan Dokumenter
Selain untuk penyiaran, Grabag
TV juga melakukan dokumentasi video
dari karya-karya seni yang dimiliki
oleh daerah Grabag dan sekitarnya.
Diantaranya kesenian Soreng, kesenian
Topeng Ireng, lomba tari Latar
sekabupaten Magelang dan yang
lainnya. Di samping itu crew Grabag
TV juga sudah membuat dokumenter
tentang pemandian air panas Candi
Umbul yang terdapat di kecamatan
Grabag. Dokumentasi ini nantinya
akan menjadi sebuah karya yang tidak
ternilai harganya karena merupakan
rekaman video yang bisa dijadikan
perpustakaan audio-visual kesenian
tradisi.
Dari program-program yang
sudah ditayangkan oleh Grabag TV
khususnya di bidang seni dan budaya,
dapat dilihat bahwa keinginan dan
kesungguhan Grabag TV dalam
melestarikan dan mengembangan seni
dan budaya masyarakat Grabag.
Walaupun belum semua bidang seni
dan budaya yang ada di daerah Grabag
terakomodir dengan lengkap. Maka
dari program acara yang sudah
diuraikan di atas dapat dilihat Grabag
TV telah melakukan visi dan misi yang
mereka buat.
Tujuan utama dari penyiaran
program-program kesenian yang
dilakukan oleh Grabag TV seperti yang
sudah dijabarkan diatas secara umum
adalah untuk melestarikan seni dan
budaya yang ada di Magelang pada
umumnya dan Kec. Grabag pada
khususnya. Disamping itu juga untuk
mengembangkan kreativitas
masyarakat komunitasnya di bidang
kesenian.
Penyelenggaraan Program.
Penyelenggaraan atau biasa
disebut juga dengan produksi dan
penyiaran program di stasiun televisi
Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV
125
komunitas Grabag TV, dari format atau
jenis acaranya bersifat umum tidak
segmented. Sesuai dengan karakteristik
dan kebutuhan masyarakat Grabag.
Dalam menyusun format program
dalam setiap stasiun televisi tidak
mutlak sama seperti yang dilakukan
Grabag TV misalnya. Mereka
membagi format kedalam 3 bidang,
begitu juga dengan stasiun televisi
swasta dan TVRI mereka memiliki
format yang berbeda dan sesuai dengan
kebutuhan masing-masing stasiun.
Jenis atau format acara televisi
menurut Naratama (2004:63) adalah
“sebuah perencanaan dasar dari suatu
konsep acara televisi yang akan
menjadi landasan kreativitas dan
desain produksi yang akan terbagi
dalam berbagai kriteria utama yang
disesuaikan dengan tujuan dan target
pemirsa acara tersebut”.
Dari pendapat diatas dapat
dijabarkan bahwa pentingnya
mengetahui format acara sebelum
menciptakan acara tersebut. Dalam
menciptakan sebuah program acara
televisi, maka kita harus mengenal
terlebih dahulu “makhluk” yang akan
diciptakan. Terlebih dahulu harus
mengetahui acara yang akan di
produksi ini untuk siapa, target
audiencenya sudah jelas apakah untuk
anak-anak muda, ibu-ibu, anak-anak
dan sebagainya. Jika kita sudah
mengetahui siapa targer yang akan
dituju tentunya sudah diketahui seperti
apa karakteristik dan kesenangan dari
target yang dituju. Agar program yang
dibuat tepat sasaran, bermanfaat dan
tidak sia-sia.
Metode Produksi Program
Dalam produksi acara televisi
biasanya ditentukan terlebih dahulu
metode produksi atau penentuan
pelaksanaan produksi yang akan
dijalankan. Metode produksi disusun
dan ditentukan berdasarkan kebutuhan
dan tergantung pada naskah yang telah
dianalisis oleh seorang pengarah acara
dan berkonsultasi dengan produse.
Adapun karakter produksi dibagi
menjadi 3: (Darwanto, 1994:235),
yakni: (a) Produksi di dalam dan di
luar studio, jenis produksi ini hasilnya
dapat disiarkan secara langsung atau
direkam terlebih dahulu. Dan
penyelesaiannya dapat melakukan post
production atau langsung pada saat
produksi post production nya; (b)
Produksi gabungan, artinya sebagian
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
126
produksi di dalam (studio), dan diberi
insert yang bahannya diproduksi di luar
studio; dan (c) Produksi rekaman, yang
mana pelaksanaanya dapat dilakukan
dengan berbagai versi, yaitu:
(1)Rekaman dilakukan secara utuh
(live on tape); (2) Rekaman
dilaksanakan bagian per bagian
(recording in segments); (3) Rekaman
dengan menggunakan single camera;
dan (4) Rekaman dengan
menggunakan multi camera.
Dengan adanya metode
produksi dalam pelaksanaan produksi
dan teknik rekaman di atas, akan
menimbulkan keuntungan dan kerugian
dalam masing-masingnya, oleh sebab
itu produser harus mempertimbangkan
dalam pemilihan metode produksi
tersebut. Karena akan bergantung pada
kebutuhan peralatan, fasilitas, waktu
serta anggaran produksi.
Berdasarkan pembagian format
program televisi, program seni dan
budaya dikategorikan sebagai program
artistik. Pada umumnya program yang
ditayangkan oleh Grabag TV
merupakan siaran tunda/rekaman,
karena sifat dari stasiun televisi
komunitas ini bukanlah siaran
komersial dan juga memiliki
keterbatasan waktu dan biaya dalam
produksi dan siaran. Tidak menutup
kemungkinan bagi Grabag TV untuk
melakukan siaran secara langsung,
karena sudah pernah dilakukan pada
tahun 1997 yaitu menyiarkan secara
langsung pelaksanaan upacara 17
Agustus di lapangan kecamatan
Grabag. Kemudian dalam rangka
pemilihan kepala desa Grabag, Grabag
TV juga melakukan siaran langsung
dalam pelaksanaan pemilihan dan
penghitungan suara. Hal ini disambut
dengan meriah dan bangga oleh
masyarakat Grabag.
Adapun program pagelaran seni
tradisi dan program kesenian yang
lainnya pada umumnya merupakan
program siaran tunda yang diproduksi
secara live on tape, rekaman dan
menggunakan multi camera (tiga buah
kamera) dan single camera, prosesnya
masih melewati proses editing sebelum
ditayangkan untuk menyempurnakan
hasil rekaman. Semuanya dilakukan
tergantung pada jenis acara yang akan
diproduksi. Target penontonnya adalah
umum. Akan tetapi pada Grabag TV
dalam pembentukan kerabat kerja,
mereka tidak mengenal yang namanya
produser karena mereka merupakan
Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV
127
kelompok paguyupan dengan sistim
kerjasama dan gotong-royong. Dan
yang akan mempertanggung jawabkan
hasil produksi yang ditayangkan adalah
kelompok paguyupan atau komunitas
tersebut. Jangkauan siaran program ini
meliputi wilayah komunitas. Waktu
tayang dari bidang kesenian dan
kebudayaan ini dijadwalkan oleh
stasiun Grabag TV pada setiap hari
jum’at, pukul 14.00-16.00 dan 20.00-
22.00.
Proses Produksi Seni dan Budaya di
Grabag TV
Dalam dunia pertelevisian
sebelum melaksanakan produksi
program, maka ada standar operasional
prosedur (SOP) dalam produksi
program televisi yang harus dilewati.
Alan Wurtzel menguraikan prosedur
kerja untuk memproduksi program
televisi kedalam empat tahapan yang
harus dilewati yaitu praproduksi, setup
and rehearsal (persiapan dan latihan),
produksi dan pascaproduksi
(Darwanto, 1994:156-160). Dalam
pelaksanaan tahap-tapan tersebut
tergantung pada metode produksi yang
akan dilakukan dan jenis program dan
naskah yang akan diproduksi. Misalnya
pada saat acara yang disiarkan secara
live, maka tahap produksi yang
dilakukan adalah tahap produksi dan
pasca produksi dilakukan secara
bersamaan.
Di Grabag TV dalam
melaksanakan proses produksi mereka
juga menjalankan hal yang sama, akan
tetapi tidak begitu mendalam seperti
yang dilakukan oleh stasiun televisi
swasta lainnya, karena keterbatasan
terhadap peralatan, biaya dan
pengalaman dan jam terbang dari kru.
Disamping itu tim produksi dari
Grabag TV tidak mengenal dengan
nama produser, karena sifat kerja
mereka tidak komersial, bersifat
paguyupan dan gotong-royong,
sehingga dalam mengkonsep produksi
program acara yang akan mereka
lakukan hanya dilakukan dengan
spontanitas, dan hasilnya dapat
dibayangkan, itulah salah satu
kelemahan dari tim produksi Grabag
TV. Akan tetapi untuk kerabat kerja
yang lainnya mereka masih
menggunakan jabatan dan
tanggungjawab yang sama dalam
pelaksanaan kerja dalam setiap kerabat
kerja yang sudah ditentukan.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
128
Berpikir tentang produksi
program televisi bagi seorang produser
profesional, berarti mengembangkan
gagasan bagaimana materi produksi
itu, selain menghibur, dapat menjadi
suatu sajian yang bernilai dan memiliki
makna. Apa yang disebut nilai itu akan
tampil apabila sebuah produksi acara
bertolak dari suatu visi (Wibowo,
2007:23). Hal inilah yang dikejar oleh
pihak Grabag TV untuk mengabadikan
setiap kegiatan yang ada di lingkungan
komunitasnya, seperti kegiatan
pagelaran seni tradisi, upacara
kenegaraan, tradisi nyadran dan
padusan dalam meyambut bulan
Ramadhan yang juga sesuai dengan
visi yang mereka emban/usung.
Seperti yang dijelaskan oleh
Fred Wibowo di atas, dalam
perencanaan sebuah produksi program
televisi, ada lima hal yang harus
dipersiapkan, yaitu materi produksi,
sarana produksi (equipment), biaya
produksi (financial), organisasi
pelaksana produksi dan tahapan
pelaksanaan produksi. Lima persiapan
diatas juga dijalankan oleh tim Grabag
TV dalam produksi program, akan
tetapi yang dikatakan dengan sarana
produksi yang sesuai dengan standart
dari stasiun televisi swasta tidak,
mereka menggunakan standart stasiun
televisi komunitas, seperti equipment
yang dimiliki diatas. Peralatan
produksi yang mereka gunakan adalah
kamera Video Handycam sony seri
HC-26, 28, dan 52. Standar peralatan
yang diterapkan Grabag TV lebih pada
penekanan pada audio visualnya.
Dimana peralatan tersebut sudah dapat
menangkap gambar dan suara dengan
jelas, dapat disiarkan dan diterima oleh
masyarakat di rumah dengan jelas.
Menurut Hartanto kamera dan
peralatan (equipment) yang digunakan
dalam produksi program di televisi
komunitas tidaklah harus mahal dan
kualitas yang tinggi, akan tetapi yang
penting adalah bagaimana program
acara yang diciptakan dapat diterima
dengan layak oleh masyarakat
komunitas. Jika mengikuti peralatan
yang canggih dan serba digital seperti
adanya sekarang, televisi komunitas
tidak akan mampu karena sifat dari
penyiaran mereka bukanlah komersial
dan tidak memiliki biaya bagi
komunitas untuk mengikuti
perkembangan teknologi tersebut.
Biaya produksi (financial) di
Grabag TV tidak ditetapkan
Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV
129
sebelumnya seperti halnya stasiun
televisi swasta. Grabag TV dalam
setiap produksi selalu dilaksanakan
dengan gotong royong atau patungan
dalam biaya produksinya.
Dalam pembentukan kru pada
sebuah produksi di Grabag TV sifatnya
sukarela, tidak ada suatu keharusan
atau keterpaksaan untuk terlibat dalam
produksi program apapun bentuknya.
Tidak hanya kru saja, dalam masalah
persiapan peralatan, transportasi dan
akomodasi yang lain pun dibantu oleh
masyarakat komunitas tanpa dipungut
biaya, dalam artian bersifat gotong
royong. Produksi program seni dan
budaya misalnya, komunitas Grabag
melakukan produksi program ini
dengan sukarela. Siapa yang memiliki
waktu pada saat acara di produksi
maka akan membantu jalannya
produksi acara. Hal ini dapat dilihat
pada dokumentasi kegiatan berikut.
Gambar 3.Proses produksi pagelaran seni tradisi Soreng
yang dilakukan kru Grabag TV dengan
menggunakan multi kamera dan switcher.
(Foto: Najmi, April 2012)
Gambar 4.Salah satu kameraman Grabag TV dalam
produksi program
pagelaran seni tradisi Soreng
(Foto: Najmi, April, 2012)
Gambar 5.Salah satu Pengarah Acara Grabag TV
sewaktu produksi program pagelaran seni
tradisi Soreng
(Foto: Najmi, April, 2012)
Gambar 6.Pagelaran seni tradisi Soreng, salah satu
program Grabag TV
(Foto: Najmi, April, 2012)
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
130
Gambar 7.Switcherman Grabag TV
(Foto: Najmi, April, 2012)
Gambar 8.Peralatan swicther dan audio mixer yang
digunakan Grabag TV
(Foto: Najmi, April, 2012)
Pelaksanaan produksi yang
dilakukan oleh Grabag TV pada
program pagelaran seni tradisi Soreng
ini adalah dengan rekaman secara live
on tape yaitu produksi dilaksanakan
dengan multi kamera dengan
dikendalikan dari sub control dan
hasilnya direkam terlebih dahulu.
Penyiaran program ini
merupakan siaran tunda, karena masih
melewati proses pascaproduksi. Dalam
pascaproduksi ini kru dari Grabag TV
melakukan penyempurnaan dalam
editing seperti penambahan kredit title,
grafik dan sebagainya sehingga hasil
produksi kelihatan lebih sempurna.
Proses editing tim editor dari
Grabag TV tidak memberikan efek-
efek yang berlebihan pada program
yang akan ditayangkan, karena konsep
yang mereka terapkan dalam setiap
program yang diciptakan adalah alami
dan apa adanya seperti aslinya. Karena
Grabag TV dalam menayangkan setiap
programnya, berusaha untuk
memberikan sesuatu yang nyata tanpa
polesan grafis, animasi dan
komputerisasi lainnya, begitu juga
dengan setingan yang lainnya.
Disamping dapat menghemat listrik,
tenaga dan biaya produksi yang
lainnya. Apalagi Grabag TV bukanlah
sebuah stasiun televisi yang komersial
dan memiliki sumber daya manusia
yang terbatas dan kurang pengalaman
pada bidangnya.
PENUTUP
Salah satu yang membuat
Grabag TV masih bisa bertahan sampai
sekarang adalah karena Grabag TV
memiliki donatus tetap yang dapat di
andalkan dalam pembiayaan
operasional siarannya, di samping kerja
Maisaratun Najmi, Produksi dan Penyiaran Program Seni dan Budaya di GrabagTV
131
sama yang dilakukan oleh masyarakat
komunitasnya. Jika mengandalkan
pendanaan hanya dari masyarakat
komunitasnya, sangat susah dan akan
kekurangan dalam pembiayaan
produksi dan penyiaran seperti yang
terjadi pada televisi komunitas lainnya,
tidak dapat melakukan siaran secara
konsisten.
Keberadaan televisi komunitas
di Grabag TV sangat bermanfaat bagi
masyarakatnya, sesuai dengan visi dan
misi yang diciptakan, walaupun belum
semuanya terjalani, tetapi masyarakat
sudah merasakan manfaatnya, seperti
perkembangan perekonomian,
informasi dan pendidikan di bidang
audio visual. Karena bagi masyarakat
yang mau dan berminat mempelajari
produksi acara, Grabag TV selalu
terbuka dalam melakukan pelatihan
dengan gratis.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa televisi komunitas
di Grabag TV dapat bertahan dan eksis
karena dukungan yang penuh dari
masyarakat komunitasnya. Disamping
itu Grabag TV memiliki orang yang
berpengaruh di dunia penyiaran
televisi, sehingga dapat
mempertahankan eksistensi dalam
penyiarannya.
KEPUSTAKAAN
Burton, Graeme. 2011.
Membincangkan Televisi,
Yogyakarta: Jalasutra.
Danesi, Marcel. 2010. Semiotika
Media. Yogyakarta: Jalasutra.
Djamal, Hidayanto & Andi
Fachruddin. 2011. Dasar-
Dasar Penyiaran. Jakarta:
Kencana Prenada Media
Group.
Effendi, Onong Uchjana. 2000. Ilmu
Teori dan Filsafat
Komunikasi. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Gazali, Effendi et.al. 2002. Penyiaran
Alternatif Tapi Mutlak.
Jakarta: Departemen
Komunikasi-Universitas
Indonesia.
Hartanto, et,al. 2008. Studi Kelayakan
Lembaga Penyiaran
Komunitas Grabag TV.
Grabag.
Hermanto, Budhi. 2010. “Mengapa
Televisi Komunitas?” ditulis
dalam Kombinasi.net
Ishadi SK., MSc. 1999. Dunia
Penyiaran, Prospek dan
Tantanganya. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Maleong, Lexy J. 2010. Metodologi
Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
McQuail, Denis. 1994. Mass
Communication Theory. 5th
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
132
California: Edition. Sage
Publication.
Morissan, M.A. 2009. Manajemen
Media Penyiaran (Strategi
Mengelola Radio & Televisi).
Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Nazaruddin, Muzayin & Budhi
Hermanto, et.al. 2009.
Televisi Komunitas, Combine.
Jakarta: FPSB UII, FFTV-IKJ.
Naratama. 2004. Menjadi Sutradara
Televisi. Jakarta: Grasindo.
Prasetiyowati, Tri Heni. 2010. “Respon
Masyarakat Kliwonan
terhadap Program Siaran di
Stasiun TV Komunitas-
Grabag TV”, Fakultas
Dakwah, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Pringle, Peter K. Dan Michael F. Starr,
dkk. (1991), Electronic Media
Management (second edition),
Fokal press, Bostan-London.
Rakhmad, Jalaludin. 2005. Psikologi
Komunikasi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Soenarto, RM. 2007. Programa
Televisi dari Penyusunan
Sampai Pengaruh Siaran.
Jakarta: FFTV-IKJ Press.
Stokes, Jane. 2006. How To DO Media
and Culcural Sudies
(Panduan untuk
Melaksanakan Penelitian
dalam Kajian Media dan
Budaya), Yogyakarta:
Bentang.
Subroto, Darwanto Sastro. 1994.
Produksi Acara Televisi,
Yogyakarta: Duta Wacana
University Prees.
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik
Media Penyiaran,
Yogyakarta: LkiS.
Sutisno, P.C.S. 1991. Skenario Televisi
dan Video. Jakarta: Grasindo.
Wahyudi, J.B. 1994. Dasar-Dasar
Manajemen Penyiaran,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
. 1992. Teknologi
Informasi dan Produksi Citra
Bergerak, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Wibowo, Fred. 2007. Teknik Produksi
Program Televisi, Grasindo:
Yogyakarta.
Sumber internet:
http://www.m-edukasi.web.id
133
INDUSTRI KREATIF BERBASIS
POTENSI SENI DAN SOSIAL BUDAYA
DI SUMATERA BARAT
Bahren, Herry Nur Hidayat, Sudarmoko, Virtuous Setyaka
FIB dan FISIP Universitas Andalas, Padang
ABSTRAKTulisan ini ditujukan untuk menganalisis perkembangan dan konsep dasar
industri kreatif berbasis potensi sosial budaya di Sumatera Barat, khususnya
dalam bidang seni dan budaya. Secara umum, seni tidak memiliki posisi yang
ideal dalam pengembangan industri kreatif. Akan tetapi, berdasarkan pada
pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan dalam penelitian ini, terdapat
beberapa komunitas dan seniman yang menyiapkan diri dan menerapkan
manajemen modern dalam produksi seninya. Seni memiliki hubungan yang
dilematis dengan industri, antara nilai estetika dan nilai pasar. Dalam situasi
seperti ini, manajemen memiliki posisi yang penting dalam upaya
menghubungkan dan menjembatani antara seniman, pasar, pemerintah, kritikus
dan para ahli. Dengan menggunakan metode triple helix, diketahui bahwa daerah
terpilih dalam penelitian ini memiliki peluang besar untuk dikembangkan industri
kreatifnya, baik itu karena potensi artistik, lokasi, seniman, pemerintah,
masyarakat dan pihak terkait lainnya.
Kata Kunci: industri kreatif, seni, sosial budaya, Sumatera Barat
ABSTRACTThis article analyses the development and basic concept of creative industries
based on social and cultural potencies in West Sumatra, in particular on arts and
cultural practices. In general, arts have no ideal position in the development of
creative industries. However, based on observation and interviews conducted in
this research, there are some communities and artists prepared and more over
implemented modern management in their arts production. Arts have dilemmatic
correlation with industries, the problem of aesthetics and market values. In this
regard, management has important position in order to connect and bridge
between artists, markets, goverment, and critics or scholars. By using triple helix
method, this article shows how three selected areas of research have big
opportunities to be developed in the term of creative industries, based on artistic
potential, place and landscape of areas, artists, goverment, society and other
related parties.
Keywords: creative industries, arts, West Sumatra, social and culture
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
134
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini wacana industri
kreatif menjadi bagian pembicaraan
yang serius dalam dunia ekonomi,
politik, dan juga budaya, karena
diyakini akan menjadi salah satu
penyangga penting dalam pertumbuhan
ekonomi. Terutama bila dikaitkan
dengan industri pariwisata, dimana
produk kerajinan, pertunjukan
kesenian, makanan, situs wisata
bersejarah, dan lokasi yang diciptakan
untuk mendukungnya terus
berkembang.
Industri kreatif di sebuah
daerah mensyaratkan adanya kelompok
kreatif yang mengembangkan ide-ide
dan produk kreatif berdasarkan pada
kekuatan intelektual, seni budaya,
teknologi sesuai perkembangan zaman,
yang muncul atas dasar kebutuhan
masyarakat yang berubah. Industri
kreatif yang berbasis pada kebudayaan
dan kekayaan budaya lokal harus
dikembangkan. Kekayaan budaya lokal
menjadi bagian identitas penting dalam
industri kreatif, karena dapat menjadi
ikon yang melibatkan masyarakat
sehingga perkembangan industri dapat
dinikmati secara bersama. Industri
kreatif yang berbasis budaya lokal juga
dapat membantu keterusberlangsungan
budaya, tanpa merusak, tetapi
sebaliknya akan mendukung
kebudayaan itu sendiri.
Industri kreatif memiliki segi
intelektual dan budaya, yang
dikembangkan melalui kajian-kajian
potensial, baik oleh pengelola dan
pelakunya, maupun terhadap produk-
produk yang akan dihasilkan. Sejumlah
bidang dan produk yang termasuk
dalam industri kreatif ialah karya sastra
(novel, puisi, drama), buku cerita,
penulisan kembali cerita rakyat, dan
sebagainya. Sementara dalam produk
lain, film dan musik menjadi salah satu
media yang berkembang dengan pesat,
terutama yang berlabel indie atau
alternatif. Dalam bentuk seni
pertunjukan, berbagai pertunjukan dan
produksi tari, baik tradisional maupun
kontemporer, teater, musik, mulai
menjadi kebutuhan, khususnya di kota-
kota. Demikian juga dengan festival
atau pameran, yang menampilkan
karya-karya seni. Dalam bidang
pariwisata, penting dicatat pertunjukan
seni dan kuliner, yang menyediakan
seni dan makanan tradisional yang
menjadi pilihan penting dalam dunia
pariwisata.
Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat
135
Artikel ini berangkat dari
beberapa pertanyaan, yaitu: (1)
Bagaimana sejumlah komunitas seni
dan aktivis kesenian mengembangkan
usaha dan produktivitasnya sesuai
bidang dan keahlian mereka? Apa saja
yang telah dicapai dalam perjalanan
usahanya dan apa tantangan serta
solusi dari berbagai masalah tersebut?;
(2) Bagaimana potensi sumber usaha
dan pengolahannya, yang
memungkinkan komunitas industri
kreatif melangsungkan usahanya
dengan menggali sejumlah potensi
tersebut; (3) Bagaimana kelangsungan
usaha industri kreatif ini dapat
ditularkan dan dikampanyekan, baik
pada lembaga pendidikan, pemerintah,
komunitas sosial, maupun masyarakat
umum.
PEMBAHASAN
Sektor, Subsektor dan
Pengembangan Industri Kreatif
Wheny Khristianto (2008),
menyatakan bahwa subsektor Inkraf
didasarkan pada tiga fokus basis
industri yaitu: (1) lapangan usaha
kreatif dan budaya (culture and
creative industry); (2) lapangan usaha
kreatif (creative industry); (3) hak
kekayaan intelektual/HAKI
(intellectual property right). Subsektor
inkraf di Indonesia menurut
Departemen Perdagangan Republik
Indonesia (Depdag RI, 2008) ada 14
yaitu: (1) periklanan: (2) arsitektur ;(3)
pasar barang seni; (4) kerajinan; (5)
desain; (6) fashion/fesyen; (7) film,
video, fotografi; (8) permainan kreatif;
(9) musik; (10) seni pertunjukan; (11)
penerbitan dan percetakan; (12)
layanan komputer dan piranti
lunak/software; (13) televisi/TV dan
radio dan (14) riset dan pengembangan
(Departemen Perdagangan Republik
Indonesia,2008).
Pengembangan Inkraf biasanya
dilakukan dengan model triple helix
yaitu kerjasama antara akademisi,
bisnis dan pemerintah. Beberapa hasil
penelitian yang memaparkan hal
tersebut di antaranya adalah
Leydesdorrf (1998), model triple helix
terdiri atas universitas, industri dan
pemerintah sangat dibutuhkan dalam
menunjang terciptanya inovasi dalam
masyarakat. Leydesdorrf dan
Etzkowitz (2000), model triple helix
digunakan sebagai model analitikal
menjelaskan hubungan antar institusi
serta kebijakan yang dapat dihasilkan
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
136
institusi tersebut. Etzkowitz (2002),
model triple helix memerlukan pola
belajar baru dan komunikasi terpadu
pada institusi untuk menghasilkan,
mentransformasikan, menyimpan dan
mengatur proses penciptaan dan
penggunaan pengetahuan bermanfaat.
Leydesdorrf (2005), ekonomi berbasis
pengetahuan harus merubah hubungan
komunikasi antara pihak akademik,
industri dan pemerintah untuk
membentuk ulang sistem inovasi yang
rentan diperdebatkan. Johnson (2007),
kolaborasi triple helix merupakan kerja
sama yang melibatkan peran industri,
akademik dan pemerintah dalam
mengembangkan teknologi (Togar M.
Simatupang, Dkk., 2008).
Pemerintah Indonesia dalam
Buku Pengembangan Ekonomi Kreatif
Indonesia 2025: Rencana
Pengembangan Ekonomi Kreatif
Indonesia 2009-2015 (Depdag RI,
2008) pada bagian dua yaitu kerangka
kerja pengembangan Ekraf Indonesia
menggunakan model triple helix yang
melibatkan peran cendekiawan, bisnis
dan pemerintah sebagai faktor utama
dan faktor penggerak. Selain itu juga
dipaparkan rantai nilai pada Inkraf
yaitu kreasi/originalitas, produksi,
distribusi dan komersialisasi
(Departemen Perdagangan Republik
Indonesia, 2008).
Khaterine Champion (2010)
melaporkan temuan dari studi kasus
yang diselidiki di sektor industri kreatif
yang dipilih di Greater Manchester.
Studi ini menemukan bahwa, ketika
aktivitas kreatif masih sangat
terkonsentrasi di pusat kota, beberapa
produksi kreatif melakukan
desentralisasi untuk mengakses tempat
yang lebih murah. Champion
berpendapat bahwa pilihan lokasi
perusahaan industri kreatif dibatasi
oleh regenerasi pusat kota yang luas,
dengan perusahaan-perusahaan yang
paling rentan, terutama perusahaan
yang masih kecil, menghadapi pilihan
untuk dapat mengakses tempat murah
hanya di pinggiran.
Karin Drda-Kuhn (2010)
mengamati kondisi di mana manfaat
ekonomi budaya (cultural economic)
dapat dihasilkan sebanyak mungkin
oleh pelaku lokal di kota-kota kecil di
daerah pedesaan. Temuan
menunjukkan bahwa jaringan utama
seperti sistem pembelajaran yang
berkelanjutan merupakan faktor
keberhasilan utama dalam proses ini.
Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat
137
Saat ini, hanya ada sedikit jaringan
usaha (working network) yang berhasil
di Jerman dengan fokus ekonomi
budaya yang mungkin bisa berfungsi
sebagai panutan bagi kota-kota kecil di
berbegai tempat.
Pauline White (2010) yang
membahas potensi dan tantangan bagi
sektor kreatif di daerah pedesaan
melalui kasus Wilayah Barat pedesaan
Irlandia dan kegiatan Komisi
Pembangunan Barat (Western Region
of Ireland and the activities of the
Western Development Commission).
Sektor kreatif di rekening daerah
sekitar 3 persen dari lapangan kerja
dan 1,3 persen dari Nilai Tambah
Bruto, didominasi oleh usaha mikro
dan wiraswasta individu dan memiliki
aktivitas ekspor yang rendah. Kualitas
hidup, lingkungan alam dan warisan
kreatif di kawasan ini merupakan
faktor penting dalam menarik orang-
orang kreatif ini wilayah pedesaan.
Tantangan untuk bisnis di sektor ini
termasuk kebutuhan untuk menarik dan
mempertahankan bakat kreatif saat ini
dan masa depan, serta ancaman
terhadap kekuatan utama di kawasan
itu tempat yang kreatif. Isu-isu seputar
penyediaan dan kualitas infrastruktur,
termasuk akses broadband dan
jaringan transportasi, juga ada.
Pengembangan peluang kebijakan dan
jaringan penting dalam mendukung
pertumbuhan sektor di daerah
pedesaan.
Pradel Pareja-Eastaway dan
Marc Pradel i Miquel (2010)
menunjukkan pentingnya lembaga
pemerintah dan bagaimana lembaga-
lembaga yang berbeda dan mekanisme
pemerintahan berkontribusi untuk
mempromosikan industri kreatif dan
ekonomi pengetahuan sebagai landasan
pertumbuhan ekonomi di Barcelona
Metropolitan Region (BMR). Tidak
hanya akan keterlibatan aktor publik,
swasta dan masyarakat dieksplorasi,
tetapi juga hubungan antara kota yang
berbeda dalam skala geografis.
Penelitian tentang industri
budaya, bagaimanapun, telah
mengungkapkan ketegangan laten
antara seni dan pertimbangan
komersial (Gua 2000; Cowen dan
Tabarrok 2000; Kloosterman 2010a).
Amanda M. C Brandellero dan Robert
C. Kloosterman (2010) mengatakan
sebagai industri budaya, yang hanya
bisa bertahan hidup jangka panjang
melalui diferensiasi produk konstan
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
138
dan inovasi, harus ditemukan cara
untuk melindungi pekerja kreatif
setidaknya dari tekanan pasar langsung
untuk dapat datang dengan ide-ide baru
dan inovasi. Salah satu contoh industri
budaya dapat dilihat dari studi kasus
yang terdapat dalam penelitian Petra
Rehling (2012). Rehling menganalisis
potensi pasar untuk teks-teks fantasi
internasional di Taiwan, dan
memberikan latar belakang teoritis
untuk memahami dinamika salah satu
genre sastra ini dengan
mempertimbangkan tradisi lokal,
penerimaan dan pola konsumsi
masyarakat Taiwan.
Tak jauh dari masalah
transkultural tersebut, juga perlu
diperhatikan masalah geografis.
Meskipun berbeda tetapi tetap
diperhatikan hubungan dari dua
wilayah (baik kultural maupun
geografis) dalam industri kreatif.
Caroline Chapain, Roberta Comunian,
dan Nick Clifton (2010) menulis artikel
tentang bagaimana mengembangkan
pemahaman yang lebih baik tentang
dinamika yang mempengaruhi
hubungan antara industri kreatif dan
konteks geografis. Sebuah literatur
yang luas telah berusaha untuk
menjelaskan karakteristik umum dari
tempat kreatif demikian, tapi masih ada
sedikit pengetahuan tentang mikro-
interaksi yang kreatif dan praktisi
bisnis dalam konteks lokal yang
spesifik. Penelitian ini menjawab
pertanyaan ini dari berbagai perspektif.
Selain hubungan antar kultural
dan geografis, Naoto Higuchi &
Nanako Inaba (2012) memberi
perhatian pada hubungan
transnasionalisme. Mereka mengatakan
bahwa kita perlu mempertimbangkan
kembali hubungan antara
transnasionalisme dari atas dan dari
bawah, dengan fokus pada perilaku
konsumen pekerja migran. Meskipun
transnasionalisme dari bawah dapat
dianggap sebagai resistensi positif
terhadap ketergantungan pada negara-
negara dan modal global, juga
memfasilitasi penggabungan ke dalam
budaya konsumen global.
Depdag RI dalam studi
perkembangan Inkraf Indonesia
(2009), belum memasukkan Sumatera
Barat dan kota-kota di dalamnya secara
khusus. Sebab dalam pemaparan Inkraf
di daerah, hanya disebutkan Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Kota
Solo, Kota Yogyakarta, Kota
Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat
139
Denpasar, Kota Bandung, dan Kota
Berpotensi yaitu Jember dan Batam
(Departemen Perdagangan Republik
Indonesia, 2009). Penelitian ini,
setidaknya, memberikan gambaran
potensi dan keberadaan industri kreatif
di Sumatera Barat.
Dengan mencatat peran penting
pemerintah dan beberapa pihak
lainnya, penelitian dari daerah sendiri
(Sumatra Barat) sudah dilakukan oleh
Hesti Pusparini (2011) memperlihatkan
peran cendekiawan, pelaku bisnis, dan
pemerintah dalam industri kreatif yang
dalam hal ini Pusparini memberikan
gambaran umum indutri kreatif
subsektor industri bordir/sulaman dan
pertenunan di Sumatra Barat dan
memberi gambaran tentang strategi
paling tepat untk industri kreatif
tersebut menggunakan teknis analisa
SWOT dengan melakukan analisi
internal (Strengh, Weakness) dan
eksternal (Opportunities, Threaths).
Industri Kreatif Berbasis Sosial
Budaya di Sumatera Barat
Industri kreatif bagian tak
terpisahkan dari ekonomi kreatif.
Serangkaian wawancara yang
dilakukan tim peneliti dengan pelaku-
pelaku yang berpotensi
mengembangkan ekonomi kreatif, di
Kota Payakumbuh adalah Komunitas
Seni Intro, EO D’Cress, Lamante Kafe,
Pengelola Saluang Balega, dan
Sanggar Tari Cahayo. Sementara
kelompok-kelompok di Kota Padang:
Kelompok Pentassakral dan Kelompok
Studi Sastra dan Teater (KSST)
Noktah.
Komunitas Seni Intro
Payakumbuh yang didirikan tahun
1990 hingga kini tidak memperlihatkan
perkembangan yang signifikan. Hal
yang sama juga dialami KSST Noktah
dan Pentas Sakral. Setiap kegiatan dan
program yang dilakukan Intro, selalu
bermuara pada manajemen, sarana,
prasarana, dan sumber daya manusia,
serta finasial, namun bersifat sporadis.
Belum terpikirkan untuk melakukan
pengelolaan yang serius dan
profesional. Sebenarnya, Komunitas
Seni Intro merupakan “rumah besar”
tempat berkumpulnya para seniman,
budayawan, sastrawan, pelaku seni
lainnya. Mereka ini banyak berproses
dan bertukar pikiran di komunitas ini.
Polanya yang sangat terbuka menerima
anggota dari latar belakang apa saja,
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
140
membuat nama Intro begitu terkenal di
Kota Batiah ini.
Iven budaya dan seni, bukan tak
ada sama sekali yang dilakukan oleh
Komunitas Seni Intro. Ada beberapa
iven reguler yang setiap tahun digelar
Intro, tapi memang masih sangat
sederhana dengan pengelolaan apa
adanya. Misalnya Lomba Baca Puisi
November. Biasanya dana
penyelenggaraan berasal dari bantuan
anggota dan simpatisan Intro. Ada juga
sedikit bantuan dana dari pemerintah.
Kini, markas Komunitas Seni Intro
memiliki warung dengan lesehan yang
bersifat ekonomis. Ada lapangan
ukuran 10x15 yang dikesankan tempat
pertunjukan. Warung yang mulai aktif
dua tahun terakhir ini diberi label
“Warung Apresiasi Intro”. Tapi,
warung ini tidak menyediakan produk-
produk yang terkait dengan karya
kreatif berupa souvenir, jersi, dan
cindramata. Hadirnya “Warung
Apresiasi Intro” ini membuat markas
komunitas ini terasa hidup. Ruang
berkumpul dan berdiskusi sudah
tersedia dengan fasilitas yang
sederhana.
Beberapa agenda budaya mulai
disusun. Setahun belakangan, Intro
intens menggelar seni-seni pertunjukan
di markasnya itu, antara lain teater,
musik, dan pembacaan karya sastra.
Selain itu, Komunitas Seni Intro kini
sudah memiliki status hukum.
Beberapa pihak telah mulai bersinergi
bekerja sama dengan Intro. Pemda
mulai bisa menerima Intro dan mulai
membantu dana. Kendati mulai
berbenah, Komunitas Seni Intro tetap
masih memiliki masalah besar, yakni
tidak memiliki manajer yang sungguh-
sungguh bekerja mengelola kelompok
ini. Aktivitas dan kegiatan seni budaya
Intro tetap dilakukan, kendati masih
sporadis dan belum teragendakan
dengan baik. Anggotanya masih
berkreativitas, tapi hasilnya belum
mampu untuk menopang kebutuhan
hidup. Minimnya dukungan
pemerintah, sulitnya mencari sponsor,
dan belum terbiasanya penonton untuk
membayar, mengesankan kegiatan
masih bersifat penyalur hobi semata.
Selain itu, ada Willy Sandra
Dinata, juga anggota Komunitas Seni
Intro, kini membuka sebuah kafe di
Kota Payakumbuh, Lamante Kafe.
Kafe ini memadukan iven-iven musik
untuk segmen remaja. Kafe ini sudah
beroperasi sejak dua tahun lalu, dengan
Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat
141
menampung grup-grup musik di Kota
Payakumbuh dan sekitarnya. Namun
Willy sangat menyayangkan aturan
yang diterbitkan Pemerintah Kota
Payakumbuh yang melarang produsen
rokok berpromosi di Kota
Payakumbuh. Akibatnya, kafe yang
dikelola Willy kesulitan mencari
sponsor untuk iven-iven konser
musiknya, sebab sponsor potensial
adalah produsen rokok.
Uwan Safnir, yang juga
simpatisan Komunitas Seni Intro,
beberapa tahun terakhir, bersama
dengan Sigid A Yazid, merintis
komunitas pencinta saluang di Kota
Payakumbuah. Potensi dan apresiasi
masyarakat yang dinilainya cukup baik
terhadap seni tradisi saluang, dinilainya
merupakan peluang untuk
dikembangkan dalam industri kreatif.
Sementara itu, Rike dari
Sanggar Cahayo Payakumbuh, yang
memokuskan grupnya pada seni tradisi
Minang dan hiburan, juga menghadapi
masalah yang sama, yakni manajemen.
Menurut Rahman, yang juga bekerja
sebagai PNS di Dinas Pariwisata
Pemuda dan Olahraga Pemko
Payakumbuh, EO D’Cress didirikan
pada tahun 2009, diawali dengan
kegiatan yang jenisnya subkontrak.
Setahun kemudian, EO ini melangkah
lebih maju menjadi vendor profesional
dengan mendirikan perusahaan event
organizer D’Cress. Empat tahun sejak
didirikan, D’Cress sudah merambah
tiga provinsi, Sumatera Barat, Riau,
dan Sumatera Utara. D’Cress sudah
memiliki aset berbagai kebutuhan
pagelaran seperti rigging, sound
system, dan lighting. Selain itu,
D’Cress juga melakukan dan terus
memperluas kerja sama dengan
komunitas. Demikian juga dengan
pihak sponsor, sinerginya D’Cress
sudah menampakkan perkembangan
dan kepercayaan. Untuk administrasi,
D’Cress terus membenahi secara
bertahap.
Terkait dengan posisi
pemerintah (Pemerintah Kota
Payakumbuh), yang juga tak kalah
banyak menggelar berbagai kegiatan
yang membutuhkan EO untuk
kesuksesan kegiatannya, terkesan
pihak penyelenggara tidak
mempercayakan penuh kepada EO
yang ada di Kota Payakumbuh. Terkait
dengan pengembangan ekonomi
kreatif, SDM Payakumbuh mungkin
tidak akan kehabisan ide dan gagasan.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
142
Tapi yang jadi masalah besar adalah
belum adanya persepsi yang sama
dalam memahami apa itu ekonomi dan
industri kreatif.
Hal yang mungkin tak kalah
pentingnya adalah masalah perizinan,
konsistensi, dan komitmen. D’Cress
merasakan bagaimana sulitnya
pengurusan perizinan itu. Misalnya,
D’Cress sudah membuat komitmen
kontrak dengan sebuah perusahaan
klien dalam jangka satu tahun dengan
melaksanakan iven di space yang telah
disepakati. Namun, saat urusan izin,
selalu berbenturan dengan pihak
kepolisian dan juga SKPD terkait. Dan
ini setiap iven yang mau digelar selalu
bermasalah dengan izin ini. Selain itu,
apresiasi pemerintah, terutama yang
terkait dengan pengembangan ekonomi
kreatif, terkesan masih minim dan tak
memahami potensi yang dimiliki
daerahnya.
Sementara itu, terkait dengan
potensi dan kekayaan seni tradisi yang
dimiliki Kota Payakumbuh dan
Limapuluh Kota, dan masyarakatnya
yang apreasitif dengan keseniannya,
juga menghadapi persoalan
pengelolaan dan minimnya ruang
ekspresi seniman rakyat itu. Uwan
Safnir, Wakil Ketua Komunitas
Saluang Luhak Limapuluh Koto
menyebutkan tahapan dan perubahan
yang terjadi pada seni tradisi saluang
ini. Sebelum tahun 2007, saluang jo
dendang di Payakumbuh, masih kental
dengan tradisinya, sering dimainkan
pada helat perkawinan dan alek nagari.
Setelah 2007, saluang jo dendang
perlahan terlempar karena masuknya
organ tunggal dan adanya salung
dendang dangdut yang sering disebut
“Salut”, yang memiliki penggemar
cukup banyak.
Komunitas Salung Dendang
jumlahnya sekitar 30-an. Pengurus
masih mendata detil dan aktivitasnya.
Aktivitas seniman tradisi ini masih
jauh dari profesional. Kebanyakan,
melakukan pertunjukan atas dasar
permintaan warga untuk mengisi acara
alek atau pesta perkawinan. Menurut
Uwan Safnir, selain tampil di
perhelatan para pedendang saluang
juga melakukan pertunjukan di
pelbagai lokasi di Payakumbuh, yaitu
di pelataran Kantor Pos, Pasar Ibuah,
dan Pasar Panampuang. Selain itu juga
di Ngalau, Padang Data, Kawabebe,
yang dilaksanakan pada hari-hari
tertentu, dan bahkan dilakukan pada
Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat
143
setiap malam. Terkait dengan
pengembangan industri kreatif,
menurut Uwan Safnir, pihak dinas
pawisata membantu menyediakan
lokasi pertunjukan sejak 2012.
Galibnya seni tradisi,
pertunjukannya dikelola mandiri dan
sederhana. Penggemar saluang dan
dendang pun berasal dari kalangan
masyarakat bawah. Penyajian dan
tampilnya tak rumit-rumit. Modal yang
diperlukan adalah pengeras suara, tikar
kecil untuk dua orang seniman itu:
tukang saluang dan dendang
(penyanyi). Pemilik kedai—biasanya
mereka tampil di lapau-lapau kopi—
mempersilakan mereka tampil. Seni
tradisi ini bersifat gurau (canda). Lagu
yang dipertunjukkan penuh dengan
syair canda dan sindiran.
Pagarau (istilah bagi penonton
dan penggemar saluang jo dendang)
biasanya “berkontribusi” dengan cara
memesan lagu kesukaannya. Satu
request bisa mencapai Rp20 ribu
sampai Rp50 ribu. Selain itu, ada juga
“katidiang” (bakul) yang dijalankan
untuk menghimpun uang. Penontonnya
berasal dari Kota payakumbuh,
Bukittinggi, dan Padangpanjang. Satu
malam, mereka bisa memperoleh
penghasilan Rp. 400.000,00 – Rp.
600.000,00. Uang yang diperoleh ini
dibagi tiga: pedendang, tukang
saluang, dan pemilik lapau. Berbeda
dengan jika mereka diundang untuk
tampil. Bayarannya sesuai dengan
kesepakatan. Biasanya pengundang
membayar untuk tampil sehari itu
berkisar Rp.1000.000,00 sampai
dengan Rp.1.500.000,00.
Rata-rata, seniman tradisi ini
tidak semata-mata menggantungkan
penghasilannya dari sini. Umumnya
mereka bekerja sebagai petani dan
berdagang. Kendati begitu, ancaman
paling besar eksistensi seni tradisi
Minang ini adalah organ tunggal dan
makin menyusutnya pelaku kesenian
jenis ini. Pengelolaan komunitas ini
pun masih sangat sederhana. Anggota
belum terdata dengan baik. Kelompok
ini juga tidak memungut iuran anggota.
Mekanisme penghimpunan anggota
pun tidak jelas. Pengurus bekerja
karena prihatin sebab seniman tradisi
ini belum memiliki wadah. Koordinasi
dan komunikasi bahkan hanya
dilakukan lewat telepon genggam.
Rike, pengelola Sanggar Tari
Cahayo, juga mengalami masalah
terkait dengan manajemen. Masalah ini
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
144
memang disadari pengelola sanggar
ini. Sanggar belum bisa memberi
kepastian untuk menopang ekonomi
anggotanya, karena masih dikelola
sebagai kegiatan sampingan.
Kelompok tari ini memiliki anggota
mencapai puluhan. Tapi masing-
masing punya aktivitas sendiri.
Sanggar belum banyak memiliki aset,
seperti kostum yang belum lengkap.
Jika ada undangan untuk tampil,
sanggar ini sering menyewa kostum.
Untuk menjadikan sanggar ini
produktif dan mampu mendatangkan
finansial, tentu masih membutuhkan
kerja keras. Kendati ada rekrutmem
anggota dengan iuran bulanan, serta
beberapa anggota jadi pelatih tari dan
musik di sekolah-sekolah, tapi itu
belum bisa dikatakan sebagai industri
kreatif.
Syuhendri dari Kelompok Studi
Sastra dan Teater (KSST) Noktah
Padang menjelaskan, awal berdiri
Noktah pada Agustus 1993 sebenarnya
tidak untuk menjadi industri kreatif.
Kehadirannya saat itu untuk menjawab
iklim kesenian di Sumatera Barat yang
dirasakan kurang kondusif. Pada waktu
itu, kelompok-kelompok seni cukup
banyak, tapi kurang mengakomodasi
yang muda-muda. Dari kondisi itu
kelompok ini bersepakat dengan
beberapa orang aktivis kesenian seperti
Yusrizal KW, Lilik Zurmalis, Syafrina
dan Thamrin Ismail mendirikan
komunitas yang diberi nama KSST
Noktah.
Dalam perjalanan Noktah,
Syafrina dan Thamrin Ismail tidak ikut
berproses. Dalam usahan untuk
mencari anggota, Noktah membuka
pendaftaran dan ternyata respons
cukup bagus. Banyak peminat seni
teater yang sebenarnya ingin
berkreativitas dan tergabung dalam
kelompok-kelompok teater. Untuk
kajian studi sastra, polanya
diikutsertakan dalam proses latihan
teater. Naskah-naskah drama
didiskusikan secara mendalam. Saat
itu, Noktah fokus pada naskah-naskah
Arifin C Noer. Pementasan pertama
Noktah pada 1994 dengan mengangkat
naskah Arifin C Noor, Interogasi, di
Teater Tertutup Taman Budaya
Sumatera Barat selama 3 malam.
Respons publik teater cukup bagus.
Pada awal pendiriannya, KSST
Noktah konsentrasi pada naskah Arifin
C. Noer. Alasan pemilihan naskah-
naskah Arifin untuk pembelajaran dan
Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat
145
studi naskah drama. Nyaris semua
anggota yang masuk ke Teater Noktah
tidak memiliki latar belakang
pendidikan teater. Saat itu, Noktah
berpendapat, naskah-naskah Arifin
sudah memiliki standar yang jelas.
Kelompok ini juga mementaskan
naskah-naskah asing dalam proses
selanjutnya.
Fase berikutnya KSST Noktah
berusaha untuk merespons budaya
sendiri, yaitu Sumatera Barat
(Minangkabau), tempat dimana
kelompok ini tumbuh. Persoalan yang
dibicarakan adalah konsep dasar adat-
istiadat, budaya, dan kebanyakan
mengkiritisi banyak hal dan mencoba
mengeksplorasinya hingga menjadi
bentuk-bentuk pertunjukan. Akhirnya
KSST Noktah dituntut untuk belajar
tentang budaya Minangkabau itu
sendiri, belajar tentang permainan anak
nagari, tentang seni tradisional.
Menurut Syuhendri, sejak awal
berdiri, Noktah tidak pernah diarahkan
sebagai suatu wadah untuk bisa
menghasilkan secara ekonomi dan
anggotanya bisa hidup dari kelompok
ini. Sampai kini jumlah anggota yang
pernah ikut terlibat dan berproses di
Noktah, mencapai ratusan orang,
dengan latar belakang profesi. Padahal
untuk perkembangan kesenian (teater)
pemahaman seperti itu malah
merugikan komunitas itu sendiri, dan
memperkecil ruang lingkupnya. Kini,
ketika seni pertunjukan dianggap
mampu membangkitkan industri dan
ekonomi kreatif, Noktah merasa telah
jauh tertinggal dan memulai dari nol
lagi untuk mengejar pengelolaan yang
lebih profesional.
Hingga tahun 2013, KSST
Noktah telah memproduksi 23 kali
pertunjukan teater. Akan tetapi, jika
dihitung jumlah pementasannya, sudah
mencapai ratusan kali. Selama
produksi itu, Noktah tidak pernah
mendapat sponsor, baik itu dari
kalangan usaha maupun dana hibah
CSR. Jikapun ada, misal dari Hibah
Kelola, itu lebih bersifat kompetisi.
Sementara itu, pemerintah daerah lebih
banyak membantu sebatas kemampuan
anggaran yang tersedia.
Selama ini, menurut Syuhendri,
dalam mencari biaya produksi
pementasan, Noktah lebih
mengandalkan pada hasil sumbangan
orang-orang yang memiliki perhatian
pada kesenian. Kadang malah
ditambah dengan sumbangan kerabat
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
146
dan keluarga anggota. Kelompok ini
menyadari, untuk membiayai sebuah
produksi teater, memang cukup mahal.
Selain uang, juga menyita pikiran,
waktu, dan tenaga. Jika semua
kebutuhan tersebut dikonversikan
dengan uang, tentu menjadi sangat
mahal sekali. Persoalan manajemen
kelompok menjadi kekhawatiran dan
kebutuhan yang paling mendasar.
Beberapa produksi Noktah memang
pernah dikelola dari kalangan
wartawan sebagai pimpinan produksi,
yaitu Yurnaldi. Tapi, secara
keseluruhan kerjanya bukan mengelola
sebuah produksi teater. Karena
jaringan seorang wartawan cukup luas,
maka ia tak begitu mengalami
kesulitan menggalang dana. Proses
sebuah produksi, tata kelola
administrasi, keuangan, meyakinkan
sponsorship, tetap tak berjalan.
Selain itu pula, Noktah tidak
mengikat anggotanya untuk
beraktivitas dan mengembangkan
potensinya di tempat lain. Beberapa
anggota Noktah tetap berkiprah di
tempat lain dan memilih profesi yang
masih berkaitan dengan seni, seperti
fotografer, film dan kameramen, usaha
distro, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, sifat keanggotaan grup
yang terbuka dan tak terikat tersebut,
disadari sangat berisiko. Artinya,
Noktah tak akan pernah memunculkan
aktor dan pemain teater yang handal
dan kuat. Karena mereka datang dan
pergi meninggalkan grup. Berangkat
dari masalah ini pula, kelompok ini
kemudian merasa cukup gamang juga
ikut-ikut iven khusus seperti IPAM
(Indonesia Performing Art Mart) yang
digelar Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif.
Tak jauh beda dengan motif dan
latar belakang berdirinya sebuah
kelompok seni, yang umumnya
berangkat dari keprihatinan stagnannya
seni itu sendiri. Pasangan suami istri
Alda Wimar (almarhum)-Nina Rianti,
sejak Orkes Gumarang yang didirikan
Oslan Husein tidak aktif, kondisi
permusikan di Sumatera Barat, seperti
kehilangan gairah dan tak berkembang.
Meskipun ada sejumlah kelompok
musik muncul setelah itu, seperti grup
musik Balairung, pimpinan Asnam
Rasyid. Kelompok ini tidak bertahan
karena masalah manajemen juga.
Balairung tidak masuk dalam proses
penciptaan, tapi lebih mengaransir lagu
yang sudah ada. Saat itu, Orkes
Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat
147
Gumarang sebagai ikon grup musik
yang sukses menginspirasi keduanya
untuk memilki kelompok musik yang
tentu saja beda dengan yang sudah ada.
Selain itu, mendirikan kelompok musik
yang ideal, juga didukung AA Navis
(almarhum).
Kehadiran Pentassakral
memang unik. Awalnya, tutur Nina
Rianti yang saat itu bekerja di Kanwil
Departemen Penerangan (Deppen)
Sumatera Barat, kantornya berencana
membeli alat-alat musik tradisional
Minang. Tapi, peralatan musik yang
yang dibeli mengecewakan. Berangkat
dari kekecewaan inilah, ia
membicarakan persoalan tersebut
kepada Alda Wimar. Maka disepakati,
untuk mendirikan kelompok musik
sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Dari sinilah Pentassakral menjadi
sebuah kelompok seni musik.
Lalu, sekitar tahun 1990, di
Pariaman ada acara ritual Oyak
Tabuik. Kedua orang pendiri kelompok
ini ikut serta meneliti proses ritual
tersebut, sejak mengambil tanah hingga
membuang tabuik ke laut. Upacara
religius dan sakral ini menjadi inspirasi
lahirnya nama kelompok musik
Pantassakral itu. Prosesi tersebut juga
menjadi inspirasi bagi produksi musik
kelompok ini, sehingga karya pertama
Pentassakral adalah lagu Pesta Desa
yang menceritakan suasana sakral
peristiwa Oyak Tabuik itu, yang
berkisah tentang perang di Padang
Karbala itu.
Saat lagu Pesta Desa selesai,
sebenarnya Pentassakral belum
memiliki alat-alat musik pendukung.
Beberapa seniman, salah seorang di
antaranya Mak Etek Anduska dan
Sexri Budiman, menyumbang
talempong. Dan beberapa kawan-
kawan ikut bergabung, antara lain
Atong, Ar, In dan lain sebagainya.
Pengalaman pertunjukan pertama
Pentassakral adalah saat diundang
panitia Musda AMPI Sumbar di
Asrama Haji Padang. Pentassakral
membawakan dua lagu. Selain Pesta
Desa dan Laut Bernyanyi, Gelombang
Pun Teduh.
Penampilan Pentassakral yang
dinilai banyak kalangan sukses itu,
menjadi langkah awal untuk
mengembangkan dan menggarap puisi-
puisi menjadi bentuk aransemen musik,
antara lain puisi Chairil Anwar,
Yusrizal KW, Alda Wimar, Leon
Agusta, dan lain sebagainya.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
148
Selanjutnya, Pentassakral
mengukuhkan diri sebagai kelompok
musik berbasis sastra hingga hari ini.
Selain menggarap aransemen puisi,
Pentassakral juga mengisi musik untuk
pertunjukan teater, salah satunya
pertunjukan Antigone yang
disutradarai A Alin De dan Wayang
Padang sutradara Wisran Hadi. Hingga
kini, Pentassakral, telah mengaransir
lebih kurang 60-80-an lagu.
Kelemahan lain yang dihadapi
adalah minimnya dokumentasi proses
dan pertunjukan. Demikian juga,
persoalan manajemen dan distribusi
hasil kesenian yang belum ditata
dengan baik. Akibatnya, beberapa
tahun terakhir Pantassakral stagnan, tak
ada karya baru yang diciptakan.
Pementasan Pentassakral terakhir pada
Desember 2011 lalu di Taman Budaya
Sumatera Barat. Mengenai peralatan
dan fasilitas yang dimiliki,
Pentassakral masih dalam proses
pembenahan. Enam tahun lalu, seorang
pencinta musik dari Swiss, Rud, datang
ke Padang dan menyaksikan
Pantassakral. Rud mengatakan,
peralatan dan sound system yang
digunakan saat itu sangat jelek dan tak
berkualitas. Padahal, garapan dan
konten yang disampaikan cukup bagus.
Rud membantu dana yang cukup untuk
Pentassakral agar rekaman di studio
yang standar. Tahun lalu, Pantassakral
mendapat bantuan dana dari Balai
Pelestarian Nilai Budaya (BPNB)
Padang, yang dimanfaatkan untuk
memperluas studio yang terlalu kecil.
Kini, proses rekaman dan latihan bisa
dilakukan dengan leluasa di studio itu.
Dalam proses kreatifnya,
Pentassakral selalu mengikuti tren
yang berkembang dan jadi ganre musik
dunia, termasuk legenda-legenda yang
tumbuh di tingkat lokal. Biasanya,
proses kreatif Pantassakral itu dimulai
mencari puisi yang cocok dengan aura
dan marwah Pentassakral. Puisi itu
dijadikan lagu, dan selanjutnya
dicarikan komposisinya. Terkadang,
musik yang dihasilkan tak
menggunakan kata-kata, hanya
senandungnya saja. Musik seperti ini
memiliki interpretasi yang beragam
saat menikmatinya.
Musik-musik tradisi
Minangkabau cukup kaya dan variatif.
Ini merupakan aset penting bagi dunia
kesenian (musik) di Minangkabau
(Sumatera Barat). Pentassakral sendiri,
punya konsep mensenyawakan antara
Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat
149
alat musik tradisi dengan Barat.
Keunikan alat musik tradisi Minang
itu, nadanya yang minor, seperti
saluang dan sampelong. Nada dasar
minor ini merupakan tantangan proses
kreatif komposer. Sebagai kelompok
musik yang memahami betul kondisi
kesenian Indonesia yang belum berada
di posisi penting bagi nmasyarakat,
Pentassakral tak menerapkan tarif jika
diundang, malah bisa gratis jika iven
terkait dengan upaya aksi sosial dan
kemanusiaan.
Lima tahun terakhir,
musikalisasi puisi menjadi tren di
sekolah-sekolah dan masuk dalam
ekstra kurikuler. Program ini juga
dikembangkan Balai-balai Bahasa di
Indonesia. Badan Bahasa juga juga
mengadakan festival musikalisasi puisi
sejak tingkat kota hingga nasional.
Personil Pentassakral seringkali
menjadi instruktur dan terlibat dalam
pengembangan ini. Bekerja sama
dengan Balai Bahasa Padang, kini
upaya ini memperlihatkan
perkembangan positif dimana utusan
Sumbar beberapa kali meraih juara
nasional. Indikator ini memperlihatkan,
potensi Sumbar untuk pengembangan
musikalisasi puisi cukup besar.
Analisis Peta Potensi dan Tantangan
Industri Kreatif di Sumatera Barat
Tantangan dalam industri
kreatif dapat dilihat dalam dua arena
kajian, yaitu arena kajian ekonomi dan
arena kajian kreatifitas. Tantangan
utama yang paling mungkin menjadi
pertanyaan dan perdebatan adalah
semakin bergesernya makna kreatifitas
dengan nilai-nilai yang lebih tinggi dari
segi artistik sebagai karya seni budaya.
Di sisi lain, karya seni akan menjadi
produk barang atau jasa yang laku
dijual dalam pasaran seni budaya,
tanpa mempertimbangkan lebih lanjut
aspek segi artistik sebagai karya seni
budaya. Industri kreatif atau industri
budaya adalah kegiatan yang
bersangkutan dengan produksi dan
pemasaran barang dan jasa yang
memiliki konten estetika atau
semiotika (Scott, 2004). Berbagai
penelitian mengungkapkan,
kemunculan industri kreatif sebagai
mesin pertumbuhan ekonomi
mencerminkan konjungtur ekonomi
dan budaya di mana produksi
komoditas telah menjadi terikat dengan
eksperimen artistik yang menghasilkan
ketegangan laten antara seni dan
pertimbangan komersial (Gua 2000,
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
150
Cowen dan Tabarrok 2000,
Kloosterman 2010).
Tantangan-tantangan yang lain
di antaranya, pertama, untuk menarik
dan mempertahankan bakat kreatif saat
ini dan masa depan (Pauline White,
2010). Sebagai industri seni budaya,
hanya bisa bertahan hidup jangka
panjang melalui diferensiasi produk
konstan dan inovasi, sehingga harus
ditemukan cara untuk melindungi
pekerja kreatif setidaknya dari tekanan
pasar langsung untuk selalu
mendapatkan ide-ide dan inovasi-
inovasi baru (Amanda M. C.
Brandellero dan Robert C.
Kloosterman, 2010). Kedua,
penggunaan manajemen dan akuntasi
kuantitatif ekonomi yang beriringan
dengan manajemen kualitatif
kreativitas (C. Rachel Granger dan
Christine Hamilton, 2010). Ketiga,
keberadaan konsumen yang akan
mengkonsumsi produk barang atau jasa
kreatifitas tersebut. Sehingga,
kebutuhan atau keinginan
memasarkannya perlu memahami pola
konsumsi masyarakat sasaran atau
konsumennya. Keempat, jaringan
usaha (working network) yang fokus
pada ekonomi kreatif atau ekonomi
budaya yang mampu menawarkan
potensi ekonomi yang cukup besar
untuk dieksplorasi (Karin drda-Kuhn
dan Dietmaw Wiegand, 2010).
Payakumbuh merupakan salah
satu kota yang memiliki potensi
pengembangan industri kreatif cukup
banyak. Keadaan alam, luas wilayah,
fasilitas umum dan tata ruang, sikap
mental manusianya, dan sistem
pemerintahannya sangat mendukung
iklim kreatif. Ada kekhawatiran
berkaitan dengan kehadiran industri
modern, dalam bidang kesenian dan
sosial budaya, keberadaan kesenian
tradisional menjadi berkurang terutama
pada pelakunya.
Kelompok seni di Kota Padang,
memiliki peluang yang juga besar,
karena secara geografis mudah
dijangkau oleh orang luar, baik daerah
lain Sumatera Barat, maupun dari luar
Sumatera Barat. Sebagai kota pesisir,
Padang sebenarnya juga memiliki
peluang untuk industri kreatif dalam
bidang sosial budaya, karena
keragaman dan keberterimaan ide-ide
baru dalam bidang seni. Percepatan
perubahan terkait media teknologi juga
ikut memengaruhi keberterimaan ini.
Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat
151
Jika menggunakan tabel, maka
pemetaannya dapat diuraikan sebagai
berikut:
Tabel 1.
Pemetaan Potensi dan Tantangan Industri Kreatif
Di Sumatera Barat
Kota Potensi Tantangan
Padang 1. Masyarakat yang heterogen
2. Pengaruh dan
perkembangan teknologi
yang mudah diterima
3. Fasilitas untuk kreativitas
yang cukup tersedia
4. Fasilitas pertunjukan,
penonton, peralatan yang
cukup
5. Ruang pertemuan ide-ide
dan gagasan yang akan
menjadi sumber penciptaan
6. Lokasi yang strategis
sebagai ibu kota provinsi
yang banyak dikunjungi
Tantangan yang dihadapi
kedua daerah ini berdasarkan
pada hasil penelitian ini adalah:
1. Pengelolaan atau
manajemen yang perlu
dibenahi
2. Dukungan dari pemerintah
yang lebih besar, dan
terutama memasukkan
bidang ini dalam kebijakan
dan anggaran
3. Pencarian ide dan gagasan
cukup besar, namun perlu
didukung oleh adanya
tempat kajian, seperti
perpustakaan, pusat
penelitian, laboratorium
seni, dan sebagainya
4. Peran institusi pendidikan,
terutama pendidikan tinggi
seperti Unand, UNP, ISI,
IAIN IB, perlu
dikembangkan, untuk
mendukung kajian dan
peningkatan mutu seni
berbasis sosial budaya
5. Perlu keterlibatan media
massa untuk mendukung
kampanye dan pengenalan
industri kreatif
6. Perlu adanya modul atau
template bagi panduan
pengembangan,
administrasi, dan evaluasi
kelompok seni
Payakumbuh 1. Keadaan alam yang nyaman
dan segar untuk
berkreativitas
2. Keadaan tata ruang dan luas
wilayah memungkinkan
perekayasaan dan penataan
yang nyaman
3. Fasilitas umum dan tata
ruang, sikap mental
penduduk yang berada di
perlintasan dengan daerah
lain, menyangkut
penerimaan ide dan gagasan
4. Dukungan pemerintah yang
mendukung kondisi dan
iklim kreatif.
5. Kekayaan seni, nilai, dan
jenis kesenian berbasis adat
dan budaya yang masih
terjaga
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
152
Menggunakan model triple
helix secara sederhana, yang
merupakan model paling populer
dalam menjawab tantangan
pengembangan industri kreatif di
dunia, maka di dalamnya terkandung
peran-peran dan fungsi (1)
intelektual/akademisi/ universitas, (2)
bisnis/swasta yang di dalamnya
termasuk para pelaku industri kreatif,
dan (3) pemerintah baik pusat maupun
daerah. Maka jika dianalisis dari data
di atas, secara umum jelas sekali
upaya-upaya untuk mempertemukan
ketiga pihak tersebut belum optimal.
Meskipun dalam beberapa wawancara
dan juga dalam diskusi pernah
disinggung keterlibatan pemerintah
dalam dinamika industri kreatif.
Kota Payakumbuh, misalnya,
dengan tantangan kehadiran industri
bidang kesenian dan sosial budaya
modern, sehingga keberadaan kesenian
tradisional menjadi berkurang terutama
pada pelakunya. Maka Pemerintah
Kota Payakumbuh mestinya
menghasilkan regulasi dan kebijakan
yang berupa pertama, pemetaan dan
perncanaan pengelolaan dan
pengembangan industri kreatif baik
yang modern maupun tradisional.
Kedua, perlu adanya perlindungan dan
fasilitasi pada para pelaku kesenian
tradisional dan tidak serta merta
menyerahkan persoalan ini pada
mekanisme pasar semata. Ketiga,
Pemerintah Kota Padang Panjang juga
memfasilitasi pertemuan dalam
jaringan kerja antara pihak universitas/
akademisi/intelektual dengan
bisnis/swasta dan para pelaku industri
kreatif.
Bagi para pelaku industri
kreatif di Sumatera Barat, mungkin
juga perlu memahami bahwa industri
kreatif sebagai mesin pertumbuhan
ekonomi mencerminkan konjungtur
ekonomi dan budaya di mana produksi
komoditas telah menjadi terikat dengan
eksperimen artistik yang menghasilkan
ketegangan laten antara seni dan
pertimbangan komersial (Gua 2000,
Cowen dan Tabarrok 2000,
Kloosterman 2010). Dan nampaknya
ini terjadi di tiga tersebut dengan
perbedaan tingkat penyikapan di mana
Kota Padang lebih siap, salah satunya
dikarenakan letak geografis yang
memengaruhi mobilitas dan
keberterimaan pengaruh dan
perkembangan sosial budaya.
Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat
153
Sedangkan untuk menarik dan
mempertahankan bakat kreatif saat ini
dan masa depan sebagaimana
disampaikan Pauline White (2010),
sebagai industri seni budaya, hanya
bisa bertahan hidup jangka panjang
melalui diferensiasi produk konstan
dan inovasi, sehingga harus ditemukan
cara untuk melindungi pekerja kreatif
setidaknya dari tekanan pasar langsung
untuk selalu mendapatkan ide-ide dan
inovasi-inovasi baru (Amanda M. C.
Brandellero dan Robert C.
Kloosterman, 2010). Nampak bahwa
Kota Padang lebih siap untuk hal
tersebut meskipun peran pemerintah
minim. Sedangkan Kota Padang
Panjang bahkan belum siap dengan
media promosi dan pasar yang tidak
jelas, artinya untuk tantangan yang
kedua ini, Padang Panjang belum
dirasakan tekanan pasar langsung.
Sedangkan Kota Payakumbuh justru
pasar yang baik buat industri kreatif
modern justru mengancam industri
kreatif tradisional. Tantangan untuk
penggunaan manajemen dan akuntasi
kuantitatif perekonomian yang berjalan
dan beriringan dengan manajemen
kualitatif kreativitas sebagaimana C.
Rachel Granger dan Christine
Hamilton (2010) baru bisa dilihat di
Kota Padang, dan tidak di dua kota
lainnya. Tantangan keberadaan
konsumen yang akan mengkonsumsi
produk barang atau jasa kreatifitas
tersebut. Sehingga ketika dihadapkan
pada kebutuhan atau keinginan untuk
memasarkannya perlu memahami pola
konsumsi masyarakat sasaran atau
konsumennya menjadi masalah atau
tantangan di Kota Padang Panjang.
Tantangan jaringan usaha (working
network) yang fokus pada ekonomi
kreatif atau ekonomi budaya yang
mampu menawarkan potensi ekonomi
yang cukup besar untuk dieksplorasi
sebagaimana Karin Drda-Kuhn dan
Dietmaw Wiegand (2010) nampaknya
belum ditemukan pada para pelaku
industri kreatif di Sumatera Barat
tersebut.
PENUTUP
Komunitas seni yang berbasis
sosial budaya memiliki peluang tidak
hanya dalam persoalan budaya secara
umum, namun juga dalam bidang
industri atau ekonomi. Mengingat
pentingnya peran komunitas seni, perlu
dikampanyekan terus menerus, agar
perkembangan dan pertumbuhannya
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
154
menjadi lebih luas. Masing-masing
daerah memiliki peluang dan tantangan
yang berbeda, namun ada sejumlah
permasalahan umum yang dialami oleh
kebanyakan komunitas.
Salah satu persoalan tersebut
adalah manajemen atau pengelolaan.
Rata-rata penggerak komunitas seni
adalah pekerja kreatif, dan kelemahan
manajerial sering ditemui. Dalam
konteks industri kreatif, keterlibatan
pihak lain seperti pemerintah dan
akademisi, termasuk ahli manajemen,
sangat diperlukan. Kerja sama ini
memungkinkan ditemukannya pola
atau sistem manajemen komunitas,
yang berbeda dengan perusahaan atau
organisasi lain. Keunikan ini dapat
menjadi bidang menarik yang dapat
dibantu oleh ahli-ahli manajemen.
KEPUSTAKAAN
Adam Jerusalem, Mohammad. 2009.
Perancangan Industri Kreatif
Bidang Fashion dengan
Pendekatan Benchmarking
pada Queensland’s Creative
Industry, Prosiding Seminar
Nasional Program Studi
Teknik Busana.
Amanda M. C Brandellero And Robert
C. Kloosterman. 2010.
Keeping the market at bay:
exploring the loci of
innovation in the cultural
industries, Creative Industries
Journal: vol. 3:1.
Chapain, Caroline And Roberta
Comunian And Nick Clifton.
2010. Location, location,
location: exploring the
complex relationship between
creative industries and place,
Creative Industries Journal,
vol. 3:1.
Champion, Katherine. 2010. Hobson's
choice? Constraints on
accessing spaces of creative
production in a transforming
industrial conurbation,
Creative Industries Journal,
3:1.
C. Rachel Granger & Hamilton,
Christine. 2010. Re-
spatializing the creative
industries: a relational
examination of underground
scenes, and professional and
organizational lock-in,
Creative Industries Journal,
3:1.
Departemen Perdagangan Republik
Indonesia. 2008.
Pengembangan Eknomi
Kreatif Indonesia 2025:
Rencana Pengembangan
Ekonomi Kreatif Indonesia
2009-2015. Jakarta: Depdag
RI.
Departemen Perdagangan Republik
Indonesia. 2009. Studi
Industri Kreatif Indonesia
2009. Jakarta: Depdag RI.
Drda-Kuhn, Karin., Wiegand, Dietmar.
2010. From Culture to
Cultural Economic Power:
Rural Regional Development
in Small German
Bahren, dkk, Industri Kreatif Berbasis Potensi Seni dan Sosial Budaya di Sumatera Barat
155
Communities, Creative
Industies Journal, 3:1.
Higuchi, Naoto & Nanako Inaba. 2012.
Migrant workers enchanted
with consumer society:
transnationalism and global
consumer culture in
Bangladesh, Inter-Asia
Cultural Studies.
Khristianto, Wheny. 2008. Peluang
dan Tantangan Industri
Kreatif di Indonesia, Jurnal
Bisnis dan Manajemen (ISSN
1411-9366), Volume 5 Nomer
1, September 2008, Bandar
Lampung.
Pareja-Eastaway., Pradel i Miquel,
Marc. 2010. New economy,
new governance approaches?
Fostering creativity and
knowledge in the Barcelona
Metropolitan Region, Creative
Industries Journal, 3:1.
Petra Rehling. 2012. Harry Potter,
wuxia and the transcultural
flow of fantasy texts in
Taiwan. Inter-Asia Cultural
Studies, 13:1.
Pusparini, Hesti. 2011. Strategi
Pengembangan Industri
Kreatif di Sumatra Barat
(Studi Kasus Industri Kreatif
Subsektor Kerajinan: Industri
Bordir/Sulaman dan
Pertenunan), Perencanaan
Pembangunan Pascasarjana
Universitas Andalas.
Togar M. Simatupang, DKK. 2008.
Analisis Kebijakan
Pengembangan Industri
Kreatif di Kota Bandung,
Jurnal Manajemen Teknologi
(ISSN: 1412-1700), Volume 8
Number 1, 2008.
White, Pauline. 2010. Creative
industries in a rural region:
Creaive West: The Creative
sector in the Western Region
of Ireland. Creative Industries
Journal, 3:1.
Sumber internet
Creative Partnerships Arts Council
England. 2007. Cultural and
creative indutries: a review of
the literature. London:
Creative Partnerships Arts
Council England. Diunduh
dari www.creative-
partnerships.com./literaturere
views
Florida, Richard. 2001. “The Rise of
the Creative Class, Why Cities
without gays and rock bands
are losing the economic race”,
dalam
http://washingtonmonthly.com/f
eatures/2001/0205.florida.html
(dikunjungi 16 Juni 2009)
156
PERKEMBANGAN MUSIK DOL
DI KOTA BENGKULU
Zely Marissa HaqueProgram Studi Sendratasik
FKIP Universitas PGRI Palembang.
ABSTRAKEnsamble dol merupakan rangkaian musik untuk mengiringi dan sebagai
pelengkap dalam upacara tabot. Berdasarkan aktivitas dan interaksi masyarakat
Bengkulu mengenai peran musik dol tersebut, permasalahan untuk diteliti, yakni
bagaimana perkembangan musik dol di kota Bengkulu. Adapun metode dalam
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif untuk membantu membahas masalah
tersebut dan memfokuskan deskripsi analisis. Perkembangan yang terjadi pada
musik dol setelah dilakukan penelitian yakni pertama : musik dol yang
sebelumnya sebagai media pendukung dalam suatu upacara, beralih fungsi
menjadi sebuah pertunjukan komposisi musik yang disajikan untuk mengisi
acara-acara umum di kota Bengkulu. Kedua : musik dol sebagai instrumen
pelengkap dalam komposisi garapan baru. Ketiga : musik dol juga dijadikan
sebagai bahan ajar di Sekolah dan Sanggar, hal ini berfungsi sebagai upaya
pewarisan terhadap generasi baru dan juga merupakan upaya mendapatkan
identitas kesenian tradisi kota Bengkulu serta menjadi aset bagi pariwisata kota
Bengkulu.
Kata Kunci : Tabot, Perkembangan Musik dol, Kota Bengkulu
ABSTRACTDol ensemble is a series of music to go along with the tabot ceremony. Based on
the activity and interaction of Bengkulu community about the role of dol music,
the problem to be research is the development of dol music in the town of
Bengkulu. The method used in this research was descriptive qualitative to help
with the discussion focussing on analysis description. There are three
developments occuring in dol music after the research was done. First, the dol
music which was previously used to support a ceremony has now become a
performance of music composition presented in general ceremonies in Bengkulu.
Second, dol music as a complementary instrument in new composition. Third, dol
music is also used as teaching material in schools and art groups, functioning as
heritage for the new generation and as an effort to get a new identity of
traditional art of Bengkulu and an asset for tourism in Bengkulu.
Keywords: tabot, dol music development, town of Bengkulu
Zely Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu
157
PENDAHULUAN
Kota Bengkulu merupakan
salah satu daerah di pulau sumatra
yang penduduknya juga terbentuk atas
latarbelakang budaya melayu. Bentuk
dari warisan budaya melayu yang
berkembang dan dilestarikan tersebut
adalah upacara tabot. Upacara tabot
merupakan upacara tradisional
masyarakat Bengkulu yang
dilaksanakan setiap tahun, tepatnya
pada tanggal 1-10 Muharram. Upacara
ini bertujuan untuk mengenang
wafatnya Husein cucu Nabi
Muhammad SAW dalam perang tak
seimbang pada saat perang antara
kaum syi’ah dengan kaum Bani
Umayah yang dipimpin oleh Yazid bin
Muawiyah serta Ubaidillah bin Ziyad
di Padang Karbela wilayah Irak pada
tahun 61 Hijriah atau sekitar 680 M
(Badrul Munir, 1993 : 63).
Pada awalnya upacara ini hanya
dilakukan oleh keluarga Tabot (sipai),
yakni masyarakat keturunan India yang
datang ke Bengkulu dan bekerja pada
pasukan Inggris sekitar tahun 1600-an
untuk membangun benteng
Marborought. Akhirnya para pekerja
tersebut berasimilasi dengan
masyarakat Bengkulu sambil
berdakwah menyebarkan agama Islam
dan sebagian dari mereka juga
melalukan perayaan atas wafatnya
husein. Hasil pencampuran dua budaya
tadilah yang dinamakan dengan
upacara tabot.
Sebagai satu kesatuan upacara,
upacara tabot dibentuk oleh bagian-
bagian yang terangkai dalam bentuk
tahapan-tahapan upacara. Beberapa
tahapan tersebut ialah mengambik
tanah, duduk penja, arak penja, arak
jari-jari, menjara, meradai, arak
sorban, tabot besanding dan tabot
tebuang. Keseluruhan tahapan upacara
tersebut dilaksanakan sesuai dengan
kelengkapan aspek-aspek
pendukungnya.
Adapun salah satu pendukung
dalam pelaksanaan upacara tabot
adalah musik dol. Musik dol (ensambel
musik dol) terdiri dari dol, tassa dan
seruling. Biasanya musik dol di
gunakan pada upacara tahap ke empat
yakni upacara menjara, namun upacara
ini juga kerap mengisi tahap upacara
yang lainnya seperti upacara arak jari-
jari, arak sorban, tabot besanding dan
tabot tebuang.
Sebaliknya tidak hanya
masyarakat Bengkulu yang
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
158
melaksanakan upacara tabot,
masyarakat dari daerah lain juga
merayakan tabot. Seperti daerah Aceh,
Sumatra Barat meliputi Pariaman dan
Padangpanjang. Namun oleh karena
pergerakan budaya sangat dinamis
sehingga terjadilah perkembangan atau
kepunahan oleh masyarakat
pendukungnya, maka yang hanya
melaksanakan perayaan tersebut hanya
di Bengkulu dan Pariaman Sumatra
barat. Bagi masyarakat Pariaman,
upacara tabot sering disebut dengan
upacara Tabuik. Dalam upacara
tersebut, juga terdapat gandang
tambua yang menjadi salah satu aspek
pendukung dalam memeriahkan
upacara tabuik (Asril Muchtar, 2002 :
131). Pada dasarnya gandang tambua
dan dol mempunyai kesamaan fungsi
dan kegunaan namun berbeda dalam
bentuk instrumen.
Hal yang menarik terlepas dari
konteks ritual upacara, bahwa dol juga
digunakan sebagai kesenian tradisi
masyarakat Bengkulu, sebagai
instrument yang bisa dikembangkan
sesuai kebutuhan senimannya, serta
sebagai instrumen yang digunakan
pada setiap acara ceremonial di Kota
Bengkulu, seperti acara penyambutan
tamu-tamu penting dan sebagainya.
Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah dijelaskan di atas,
dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yakni “Bagaimana
perkembangan musik dol di kota
Bengkulu”. Maka penelitian ini
memiliki tujuan untuk mengetahui
bagaimana perkembangan musik dol di
kota Bengkulu.
Dalam penelitian ini, penulis
memilih penelitian deskriptif kualitatif
sebagai salah satu penelitian yang
dipandang baik untuk membantu
membahas masalah tersebut, dan
memfokuskan deskripsi analisis
sebagai pilihan yang tepat yang
dipakai dalam karya ilmiah ini. Metode
deskripsi analisis yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah
menguraikan permasalahan setelah
melakukan pengumpulan data yang
diperoleh dari hasil penelitian maupun
hasil wawancara dilanjutkan dengan
mentranskripsikan serta menganalisa
dengan pendekatan teori yang
berhubungan dengan tulisan ini,
kemudian menyusun dalam bentuk
tulisan ilmiah.
Zely Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu
159
PEMBAHASAN
Bentuk Musik Dol Di Kota Bengkulu
Seiring berjalan waktu, dol
mencapai suatu proses pengembangan
dan penyelamatan identitas. Cara ini
lah yang tepat, agar fungsi dan rasanya
masih tetap dirasakan oleh para
penikmatnya. Dengan kata lain
dibutuhkan suatu pewarisan terhadap
generasi-generasi baru bahkan dengan
bentuk-bentuk yang baru dalam hal ini
bentuk instrument, melodi/ritme dan
bentuk pertunjukan serta
perkembangannya di Kota Bengkulu.
Dol adalah sejenis beduk yang
terbuat dari bongkol tempat akar
kelapa yang ditutupi kulit lembu atau
kerbau, dan dibunyikan dengan
memakai alat pukul yang terbuat dari
kayu yang dilapisi kain. Gendang besar
ini dibawa oleh orang Benggali dari
India bersamaan dengan tabot.
Bentuknya seperti tempayan besar,
dengan bagian atas dipotong rata dan
bagian bawahnya tidak berlubang.
Bahannya terbuat dari bonggol kelapa
yang sudah tua, namun pada saat ini
telah dipakai pula bonggol pohon
nangka atau pohon cempedak (Manalu
luhut Dkk, 1995 : 35). Dol termasuk
dalam instrumen klasifikasi
membranophone yaang getaran suara
atau bunyinya berasal dari kulit (kulit
lembu atau kerbau), dimainkan dengan
cara dipukul dengan tangan kanan dan
kiri. Tampilan fisik luar dari dol
diwarnai dengan corak warna-warna
terang seperti merah, hijau dan kuning
menyala agar kelihatan lebih menarik.
Dalam upacara tabot ada tiga repertoar
lagu dol yaitu motif Tamatam, Suwena
dan Suweri. Ketiga repertoar lagu ini
berperan sebagai musik pengiring
dalam upacara tabot khususnya
upacara menjara dan melengkapi
kebutuhan upacara lainnya.
Gambar 1.Upacara beruji dol saat pelaksanaan menjara
dalam upacara tabot
(Foto: Zelly, 2009)
Fungsi Dol di Kota Bengkulu
Dalam upacara tabot, dol
digunakan sebagai musik pendukung
dalam upacara. Dol disajikan pada
upacara arak sorban, menjara, tabot
besanding dan tabot tebuang. Dalam
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
160
hal ini, dol merupakan bagian dari
prosesi upacara yang sangat penting
yang tak terpisahkan dari upacara
tabot, selain memenuhi kebutuhannya
dalam mengiringi rangkaian upacara
agar rangkaian upacara tersebut
menjadi lengkap. Fungsi pertama dol
dalam upacara tabot adalah mengiringi
proses kegiatan mengarak sorban.
Fungsi dol yang kedua mengiringi
kegiatan upacara menjara. Fungsi yang
ketiga adalah sebagai musik hiburan
dalam upacara tabot besanding.
Adapun bentuk acara yang dikonsep
oleh panitia pelaksana, yakni berupa
komposisi musik yang dikemas
dengan reportoar lagu dol dipadu
dengan kesenian tradisi di kota
Bengkulu. Sajian musik dol lainnya
adalah musik iringan tari Melayu
Bengkulu, dalam hal ini dol hanya
sebagai pelengkap media instrumen
dan mengiringi musik dari tari-tarian
tersebut. Fungsi yang terakhir adalah
mengiringi upacara tabot tebuang.
Dalam hal ini musik dol digunakan
dalam bentuk arak-arakan oleh masing-
masing kelompok tabot. Mereka
mengarak tabot dengan diiringi motif-
motif dol menuju tempat pembuangan
tabot. Selain fungsinya untuk
mengiring upacara, musik dol juga
berfungsi menghibur masyarakat kota
Bengkulu yang mengikuti proses tabot
tebuang.
Dol sebagai Media Seremonial di
Kota Bengkulu
Dol di luar dari konteks upacara
tabot, berfungsi sebagai musik yang
digunakan untuk mengisi acara-acara
yang bersifat umum di Kota Bengkulu.
Adapun acara tersebut yakni acara
penyambutan tamu-tamu penting, acara
ulang tahun kota Bengkulu, acara
menyambut hari kemerdekaan
Republik Indonesia dan acara-acara
besar lainnya di kota Bengkulu.
Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan, bahwa perkembangan dol
terus meningkat dan mengalami
kemajuan. serta kehadirannya direspon
baik oleh pendukungnya. Dol sebagai
musik tradisi yang berfungsi sebagai
media seremonial dan menjelma
menjadi suatu identitas kesenian dari
daerah Bengkulu tersebut, telah
mampu memberikan kekuatan musik
yang ekspresif dan dinamis dengan
ritmenya yang menghentak-hentak
sehingga mampu membangkitkan
Zely Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu
161
emosi bagi siapa saja yang
menyaksikannya.
Adapun bentuk penyajian
musik dol sebagai sebuah kebutuhan
acara yang bersifat seremonial
biasanya tidak terlepas dari reportoar
lagu yang digabung dengan repertoar
musik tradisi lainnya seperti gendang
serunai dan musik gamat melayu.
Misalnya pada perayaan ulang tahun
kota Bengkulu, oleh para seniman
tradisi yang berasal dari kota
Bengkulu, musik dol dikemas dalam
bentuk komposisi musik yang
berangkat dari reportoar lagu yang
dipadu dengan kesenian tradisi lainnya.
Dalam hal ini agar tercipta sebuah
komposisi musik dengan suasana dan
konsep yang berbeda dari sebelumnya.
Selain itu, sebagai upaya pelestarian
kesenian tradisi musik dol agar dapat
bermanfaat dan dilestarikan oleh
masyarakat Bengkulu.
Dol Sebagai Materi Pembelajaran di
Sekolah dan Sanggar
Seiring berjalannya waktu, dol
mencapai suatu proses perkembangan
berdasarkan fungsi dalam
kebutuhannya sebagai musik upacara
dan sebagai musik pelengkap acara
yang bersifat seremonial di kota
Bengkulu. Agar aktifitas kesenian
tradisi itu terus berjalan, maka
dibutuhkan suatu pewarisan terhadap
generasi-generasi baru yang nantiya
akan mewarisi kesenian tradisi
tersebut.
Adapun bentuk pengembangan
dol saat ini adalah digunakan untuk
bahan ajar mata pelajaran kesenian dan
pelajaran ektrakurikuler SMP dan
SMA di kota Bengkulu. Dalam hal ini,
penulis mengambil contoh salah satu
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
kota Bengkulu. Adapun proses yang
diajarkan adalah sebagai berikut.
a. Mengenai latar belakang sejarah
upacara tabot, prosesi upacara tabot,
maksud dan tujuan upacara tabot,
waktu dan tempat penyelenggaraan
upacara tabot.
b. Mengenai persiapan dan
perlengkapan upacara tabot.
c. Siswa mempelajari tari-tarian
dalam upacara tabot
d. Siswa mempelajari motif dol
dalam upacara tabot beserta
lagunya (Tamatam, Suwena,
Suweri) dan memainkan melodi
dan ritmenya.
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
162
e. Membuat kerajinan tangan berupa
bangunan tabot dan yang
berhubungan dengan upacara
tabot.
Sebagai hasil dari proses
belajar, biasanya setiap akhir
pergantian kenaikan kelas diadakan
Pentas Seni atau Pensi. Tujuan dari
acara ini adalah untuk melihat sejauh
mana para siswa memahami dan
menguasai budaya tabot. Isi dari acara
pentas seni adalah para siswa
mempraktekkan bagaimana cara
bermain dol dan mempraktekkan tari-
tarian tabot yang mereka dapatkan di
sekolah.
Berdasarkan penjelasan di atas,
pengembangan dol pada hakekatnya
adalah upaya pelestarian budaya agar
terus hidup dan berkembang. Musik
dol sebagai bahan ajar di Sekolah
adalah usaha untuk mempertahankan
kesenian tradisi upacara tabot agar
dikenal oleh generasi muda dan
generasi baru berikutnya.
Bentuk lain dari pengembangan
musik dol lainnya adalah kegiatan
sanggar atau komunitas yang berada
dalam wilayah pariwisata kota
Bengkulu dan yang berdiri sendiri
tanpa campur tangan pemerintah.
Aktivitas yang dilakukan oleh sanggar
tersebut adalah berlatih memainkan dol
dan melatih tari-tarian dari daerah
Bengkulu. Salah satu contoh sanggar
yang masih eksis dan sedang gencar-
gencarnya mempromosikan kesenian
tradisi dol dan kesenian tradisi lainnya
di kota Bengkulu adalah sanggar
Mayangsari. Dari beberapa sanggar
yang ada di kota Bengkulu sanggar
Mayangsari memang sedang mendapat
perhatian khusus dari pemerintah kota
Bengkulu. Prestasi yang telah
diperoleh oleh sanggar Mayangsari
yakni mampu memperkenalkan dol
kepada masyarakat luar Bengkulu
untuk dipelajari sebagai wawasan seni
dan sebagai tontonan dari sebuah
pertunjukan seni. Proses yang
dilakukan oleh sanggar Mayangsari
tersebut, juga merupakan cara
mempertahankan dan mengembangkan
kesenian tradisi musik dol agar tidak
punah.
Dol sebagai Sumber Garapan
Komposisi Baru
Dalam kurun waktu yang lama
musik dol mengalami perkembangan
sesuai dengan kebutuhannya. Adanya
proses perkembangan itu disebabkan
Zely Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu
163
oleh perubahan kebudayaan yang
berarti (William Haviland, 1988 : 263).
Maksud dari perubahan dalam tulisan
ini adalah perkembangan yang berarti
bagi para pendukungnya agar kesenian
ini dapat terus bertahan dan bermanfaat
bagi kesenian itu sendiri. Dol sama
dengan musik tradisi lainnya juga
harus dapat menyesuaikan dengan
lingkungan sekitarnya, sehingga
nantinya musik tradisi ini akan terus
berkembang dengan baik.
Berdasarkan pemahaman di
atas, dol sebagai alat musik tradisi,
juga mengalami perkembangan yang
akhirnya mengikuti fungsi dan bentuk
yang terjadi pada gandang tambua di
Pariaman Sumatra Barat. Adapun
bentuk-bentuk perkembangan musik
dol di kota Bengkulu dapat dilihat dari
konsep musik, instrumen, pemain dan
tempat penyajiannya. Dalam
komposisi, konsep utama musik dol
adalah tiga lagu dalam reportoar
upacara tabot yang kemudian
berkembang sesuai dengan konsep dan
keinginan komposer. Pengembangan
yang terjadi, berada pada wilayah ritme
yakni adanya penambahan motif-motif
baru dalam ketiga lagu dol dan
penambahan melodi yang bersifat
mengiringi ritme dalam komposisi dol.
Perkembangan yang terjadi terhadap
instrumen dalam komposisi dol yakni
adalah penambahan instrumen baru
seperti seperangkat dol kecil, gendang
buatan yang berasal dari pipa paralon
dan berukuran kecil. Sehingga dalam
penambahan instrumen tersebut, fluit
yang biasanya digunakan untuk
memberikan aba-aba, tidak lagi
digunakan dalam komposisi dol.
Sumber daya manusia yang
dapat bergerak melalui ruang dan
waktu, dan bertindak sebagai pelaku
seni atau seniman. Dalam sebuah
pertunjukan seni, pemain adalah faktor
pendukungnya. Pemain dapat
merasakan adanya kontak batin
terhadap sistem norma dan nilai dari
suatu kebudayaan serta subjek yang
sedang dilakukannya maka pemain
akan melakukannya berdasarkan proses
yang terus berlangsung dari generasi
sebelumnya hingga generasi
berikutnya.
Dalam proses tersebut budaya
pun berubah oleh karena budaya
bersifat dinamis, maka pemain
mengikuti alur yang telah terjadi di
sekelilingnya. Perubahan ini adalah
salah satu cara agar suatu kebudayaan
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
164
itu akan terus hidup dan berkembang
maka pemain atau sebagai pelaku harus
mengikuti alur sesuai dengan
kebutuhan komposisi dol.
Sesuai dengan kebutuhannya,
dewasa ini bentuk perkembangan
dalam segi pemain musik dol, adalah
anak-anak dan remaja. Anak-anak dan
para remaja lebih menguasai dan
mengekspresikan gaya dalam bermain
dol. Sementara orang yang telah
berumur hanya bertindak sebagai
pelatih atau bertindak sebagai pengajar.
Hal ini dapat dilihat pada saat
permainan dol sedang berlangsung,
anak-anak sangat agresif dan
bersemangat dan lebih ekspresif dari
pada orang-orang dewasa pada
umumnya, yang terkesan monoton dan
biasa-biasa saja. Umumnya anak-anak
yang bermain dol, adalah pelajar dan
anggota sanggar. Setiap akhir pekan
mereka berlatih menabuh dol untuk
mengikuti acara atau festival kesenian
di dalam maupun di luar kota
Bengkulu. Setelah ditelusuri lebih jauh
dorongan semangat yang diciptakan
atas pukulan-pukulan yang dinamis
akhirnya mengundang para perempuan
yang bergelut di dunia seni untuk ikut
memeriahkan pertunjukan tersebut.
Berdasarkan pengamatan yang terjadi,
hal ini mengundang para perempuan
untuk dapat memainkan dan
mengaplikasikan musik tradisi
tersebut.
Gambar 2.Anak-anak dalam permainan beruji dol
ketika upacara tabot
(Foto: Zelly, 2009)
Pertunjukan dol biasanya dapat
dinikmati ketika adanya perayaan
upacara tabot oleh karena fungsinya
dol sebagai pelengkap dan pendukung
dari proses upacara tersebut.
Contohnya pada saat menjara, yang
intinya adalah acara bertanding dol.
Adapun Bentuk pertunjukan dol pada
saat upacara tersebut yakni saling
mengarak atau saling berkunjung
antara kelompok tabot yang paling tua
dan kelompok tabot yang paling muda.
Dalam kompetisi ini, mereka saling
memperlihatkan ketangguhan dalam
bermain dol. Pertunjukan dol tersebut
Zely Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu
165
biasanya diadakan di lapangan terbuka
di Kota Bengkulu ( lapangan merdeka
Bengkulu).
Namun kurun waktu sepuluh
tahun ini, dol menjelma menjadi
instrument yang lebih berenergi dan
sangat agresif. Hal ini tampak jelas
pada acara festival music di solo
berapa tahun yang lalu. Ketika
instrument ini bergabung dengan music
yang lebih bersifat popular seperti
music pop dan music jazz. Pertunjukan
komposisi dol tersebut diringi oleh
gitar elektrik, gitar bass serta
seksophone. Dalam pertunjukan
tersebut juga diisi dengan atraksi
angkat dol. Maksudnya adalah
beberapa pemain menabuh dol dengan
cara mengangkatnya. Hal ini sungguh
berbeda dari biasanya dan tak tampak
bahwa instrumen tersebut berasal dari
upacara ritual.
Pertunjukan dol dengan
kemasan yang lebih menarik tersebut
ternyata juga diikuti oleh regenerasi
baru (anak-anak). Mereka bermain
pada acara festival anak Nusantara di
Taman Mini Indonesia. Permainan
motif ritme dan pukulan dol yang
bersifat dinamis dan bersemangat juga
canda tawa mereka menambah natural
komposisi dol tersebut. Pada saat itu
juga tampak adanya bentuk
perkembangan pada instrumen dol
yakni terdapat dol yang ukurannya
kecil dan berfungsi sebagai pelengkap
dalam komposisi dol bentuk garapan
baru.
Pada akhirnya dol yang tadinya
digunakan sebagai media spritual
untuk mendukung upacara tabot,
beralih fungsi untuk mengisi acara-
acara yang sifatnya ceremonial dan
sebagai hiburan. Hal ini tidak jauh
bedanya dengan gandang tambua yang
berada di Pariaman yang sudah sejak
lama beralih fungsi sebagai kesenian
tradisi masyarakat Pariaman khususnya
dan Sumatra barat pada umumnya.
Sehingga makna dan fungsi yang
awalnya sebagai ekpresif dari perang
yang terjadi di karbela telah berubah
menjadi fungsi hiburan bagi
masyarakat pendukungnya.
PENUTUP
Hasil dari pembahasan
Perkembangan Musik Dol di Kota
Bengkulu, melahirkan berbagai makna
yang terkonteks dalam perilaku-
perilaku budaya. Hal ini disebabkan
oleh suatu perubahan yang
Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 16, No. 1, Juni 2014
166
menginginkan musik tradisi itu
berkembang sesuai dengan
kebutuhannya. Untuk melihat
perkembangan terhadap prilaku
tersebut, maka dapat disimpulkan
berdasarkan fungsi dan bentuknya.
Antara lain sebagai berikut.
1. Musik dol digunakan sebagai sarana
ritual
2. Musik dol sebagai presentasi estetis
dan pengikat solidaritas antar
sesama masyarakat di kota
Bengkulu serta sebagai upaya
pewarisan.
3. Musik dol sebagai media seremonial
di kota Bengkulu
4. Musik dol sebagai materi
pembelajaran di Sekolah dan
Sanggar
5. Musik dol sebagai sumber garapan
komposisi baru
Perkembangan yang terjadi pada dol
akhirnya mencapai suatu kepuasan
bagi pemerintah kota Bengkulu, dan
bagi masyarakat pada umumnya. Hal
ini dapat dilihat dari unsur-unsur
estetisnya dan pengikat solidaritas
antar masyarakat kota Bengkulu serta
sebagai musik dan instrumen yang
memberikan warna baru terhadap
pengembangan musik tradisi. Sehingga
terwujudnya pelestarian dan
pengembangan budaya agar kesenian
tradisi tersebut dapat terus bertahan.
Selain itu dapat diketahui
bahwa perkembangan yang terjadi
pada dol bisa membawa dampak positif
dan membuka peluang yang bagus bagi
para seniman untuk lebih bebas dalam
berkarya. Walaupun tadinya dol hanya
digunakan pada acara ritual, namun
dengan perkembangan tersebut dapat
mencegah adanya penurunan atau
krisis kepunahan terhadap instrumen
atau kesenian tradisi.
KEPUSTAKAAN
Asril. 2002. Pertunjukan Gandang
Tambua dalam Upacara Ritual
Tabuik di Pariaman Sumatra
Barat. Tesis, Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Asril, Muctar . 2004. Upacara Tabuik dari
Ritual Heroik ke Pertunjukan
Heriok dalam Seni Tradisi
Menantang Perubahan.
Padangpanjang: Bunga Rampai
STSI.
Hadi Y, Sumandyio. 2006. Seni Dalam
Ritual Agama. Yogyakarta:
Pustaka.
Hanefi. 2002. Buku Ajar Musikologi
Nusantara III. Padangpanjang:
Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI).
Zely Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu
167
Haviland, William diterjemahkan oleh R.G
Soekadijo. 1988. Antropologi
Edisi ke Empat Jilid 2.
Yogyakarta: Erlangga.
Koenjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta : Rineka
Cipta.
Martani, Marjani dkk. 1976. “Ensklopedia
Musik dan Tari Daerah Sumatra
Barat Padang,” dalam Studi
Komparatif Musik Dol dalam
Upacara Tabot Dikota Bengkulu
oleh Luhut Manalu DEPDIKBUD.
Bengkulu: Taman Budaya.
Munir, Badrul. 1991. Tabot di Kotamadya
Bengkulu. Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional Bengkulu:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Pohan, Ronald dkk. 1995. Studi
Komparatif Musik Dol Band Salah
Satu Pengolahan Musik Dol
dalam Upacara Tabot di Kota
Bengkulu Propinsi Bengkulu.
Bengkulu: Depdikbud Taman
Budaya.
Smith, Huston. 1996. Ensiklopedia Islam.
Jakarta: Raja Grafindo.
Soedarsono. 2002. Seni Pertunjukan
Indonesia di Era Globalisasi.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Suka, Harjana. 2002. Coret-coret Musik
Kontemporer Dulu dan Kini.
Jakarta: MSPI.
EKSPRESI SENIJurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni
Redaksi menerima naskah artikel jurnal dengan format penulisan sebagai berikut:
1. Jurnal Ekspresi Seni menerima sumbangan artikel berupa hasil penelitian
atau penciptaan di bidang seni yang dilakukan dalam tiga tahun terakhir,
dan belum pernah dipublikasikan di media lain dan bukan hasil dari
plagiarisme.
2. Artikel ditulis menggunakan bahasa Indonesia dalam 15-20 hlm (termasuk
gambar dan tabel), kertas A4, spasi 1.5, font times new roman 12 pt,
dengan margin 4cm (atas)-3cm (kanan)-3cm (bawah)-4 cm (kiri).
3. Judul artikel maksimal 12 kata ditulis menggunakan huruf kapital (22 pt);
diikuti nama penulis, nama instansi, alamat dan email (11 pt).
4. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Inggris dan Indonesia) 100-150 kata
dan diikuti kata kunci maksimal 5 kata (11 pt).
5. Sistematika penulisan sebagai berikut:
a. Bagian pendahuluan mencakup latar belakang, permasalahan,
tujuan, landasan teori/penciptaan dan metode penelitian/penciptaan
b. Pembahasan terdiri atas beberapa sub bahasan dan diberi sub judul
sesuai dengan sub bahasan.
c. Penutup mengemukakan jawaban terhadap permasalahan yang
menjadi fokus bahasan.
6. Referensi dianjurkan yang mutakhir ditulis di dalam teks, footnote hanya
untuk menjelaskan istilah khusus.
Contoh: Salah satu kebutuhan dalam pertunjukan tari adalah
kebutuhan terhadap estetika atau sisi artistik. Kebutuhan
artistik melahirkan sikap yang berbeda daripada pelahiran
karya tari sebagai artikulasi kebudayaan (Erlinda,
2012:142).
Atau: Mengenai pengembangan dan inovasi terhadap tari
Minangkabau yang dilakukan oleh para seniman di kota
Padang, Erlinda (2012:147-156) mengelompokkan hasilnya
dalam dua bentuk utama, yakni (1) tari kreasi dan ciptaan
baru; serta (2) tari eksperimen.
7. Kepustakaan harus berkaitan langsung dengan topik artikel.
Contoh penulisan kepustakaan:
Erlinda. 2012. Diskursus Tari Minangkabau di Kota Padang:
Estetika, Ideologi dan Komunikasi. Padangpanjang: ISI
Press.
Pramayoza, Dede. 2013(a). Dramaturgi Sandiwara: Potret Teater
Populer dalam Masyarakat Poskolonial. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
_________. 2013(b). “Pementasan Teater sebagai Suatu Sistem
Penandaan”, dalam Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian &
Penciptaan Seni Vol. 8 No. 2. Surakarta: ISI Press.
Simatupang, Lono. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni
Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.
Takari, Muhammad. 2010. “Tari dalam Konteks Budaya Melayu”,
dalam Hajizar (Ed.), Komunikasi Tradisi dalam Realitas
Seni Rumpun Melayu. Padangpanjang: Puslit & P2M ISI.
8. Gambar atau foto dianjurkan mendukung teks dan disajikan dalam format
JPEG.
Artikel berbentuk soft copy dikirim kepada :
Redaksi Jurnal Ekspresi Seni ISI Padangpanjang, Jln. Bahder Johan. Padangpanjang
Artikel dalam bentuk soft copy dapat dikirim melalui e-mail: