eksistensi tiga kepribadian dalam kumpulan puisi

Upload: annisailma

Post on 06-Jan-2016

9 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Apresiasi Puisi

TRANSCRIPT

Eksistensi Tiga Kepribadian Dalam Kumpulan Puisi HAP! Andi GunawanOleh Annisa Ilma Mahasiswa S1 Pend. Bahasa & Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa & SeniUniversitas Negeri Surabaya

Membicarakan puisi sama halnya membicarakan kehidupan, tak memiliki titik mulai, juga tak memiliki titik akhir. Karena sebuah puisi adalah bentuk kebebasan berpikir seseorang, maka jika dikaitkan dengan kata-kata seorang filsuf Descartes yang mengatakan Cogito Ergo Sum (dimaknai Aku berpikir maka aku ada), puisi adalah kebebasan seseorang untuk berpikir sekaligus berbicara yang membuktikan eksistensi dirinya. Banyak yang mengatakan bahwa dalam sebuah puisi, seorang penyair memiliki kepribadian yang berbeda dari kepribadiannya di dunia nyata. Seakan puisi adalah jenis dunia lain yang terlepas dari dunia nyata, yang menyebabkan seorang penyair bisa lebih bebas berpikir dan bersuara. Dalam puisi-puisi Andi Gunawan, akan ditemukan kepribadian-kepribadian itu. Di dunia nyata, selain sebagai seorang penyair, ia juga dikenal melalui stand up comedy, seorang pelawak gaya modern juga seorang wartawan yang selalu ingin tahu sisi kehidupan orang lain. Kesibukannya pada dunia puisi dimulai pada kejatuhcintaannya dengan puisi-puisi Subagyo Sastrowardoyo, yang menyebabkan ia bertanya apa yang sebenarnya penyair pikirkan saat membuat sajak-sajaknya?. Seperti yang diuraikan pada bagian Tentang Penulis , ia kerap menempatkan dirinya sebagai perempuan sosok yang ia yakini berdiam dalam dirinya.Siapa sangka seorang yang sangat vokal mayor di dunia nyata, adalah seorang vokal minor dalam dunia puisi. Artinya, di dunia nyata, Andi Gunawan bukanlah tipe orang yang bisa menutup mulutnya dalam waktu yang lama, ia adalah orang yang dikategorikan editornya sebagai orang yang banyak bicara. Namun, dalam banyak bicara itu, ia memiliki gaya bicara tersendiri dalam berpuisi. Seperti tiga eksistensinya yang ia tampilkan dalam kumpulan puisi HAP!. Pada kumpulan puisi yang diterbitkan Plotpoint itu, Andi Gunawan seakan memosisikan dirinya untuk hadir di dunia dengan tiga kepribadian, yaitu sebagai seorang manusia yang memiliki cinta, sebagai seorang manusia yang memiliki ibu, dan sebagai manusia yang mencari. Maka, bisa dikatakan bahwa dalam satu buku kumpulan puisi setebal Sembilan puluh halaman itu, terdapat tiga kumpulan puisi (lagi) di dalamnya. Konsep yang cukup unik, kumpulan puisi dalam kumpulan puisi. Sebagai seorang manusia yang memiliki cinta, menurut saya adalah bahasan yang sangat umum. Seperti memikirkan pertanyaan seluas apa langit di atas sana?. Sebuah pertanyaan yang hanya bisa dipikirkan tanpa bisa dijawab secara pasti, seperti itulah pikiran saya jika membicarakan puisi tentang cinta, bahwa cinta sendiri adalah sesuatu yang sederhana, sesederhana puisi Andi Gunawan tentunya. Meskipun saya mengatakan bahwa puisi-puisi Andi Gunawan sederhana, bukan berarti saya dapat menelannya secara utuh. Sederhana itu bukan berarti mudah, di balik kesederhanaan terdapat kompleksitas yang hanya penyair saja yang tahu sedalam apa kompleksitas yang ia buat. Sebagai contoh, salah satu puisi yang menarik perhatian karena menjadi judul kumpulan puisi ini :Hap!Kau patahkan hatiku berkali-kalidan aku tak mengapa.

Hatiku ekor cicak.

Dalam satu bait puisi itu, Andi Gunawan berhasil membuat sebuah cerita kecil yang sederhana, yang hampir dialami semua manusia yang pernah hidup dengan cinta yaitu patah hati. Kata seru Hap! sendiri memiliki maksud menangkap, seperti seorang anak kecil yang berusaha menangkap cicak, namun yang didapatkan hanyalah ekornya saja. Seperti yang kita tahu, cicak memiliki kemampuan bertahan hidup autotomi, yaitu memotong ekornya sendiri ketika menghadapi musuh. Belajar dari kemampuan cicak itulah, Andi Gunawan pun belajar melepaskan apa yang menjadi titik bahayanya ketika patah hati. Ibarat cicak yang merelakan sebagian dirinya lepas untuk bertahan hidup. Disini, jelas tampak kepribadian seorang Andi Gunawan yang berusaha untuk bertahan hidup dalam kepatahan hatinya. Sebuah usaha yang tidak banyak diterapkan oleh orang lain pada umumnya. Selain puisi tersebut masih banyak puisi-puisi cinta Andi Gunawan yang meresahkan bagi pembacanya. Contohnya saja puisi berikutSungguh Aku Tak PeduliSiapa yang engkau rindukanlagu-lagu yang selesai, melodi sumbang,atau kemerduan bising di dalam kepala.

Aku hanya ingin berdendang di atas punggungmuyang ramai dengan ingatan: bukan aku.

Siapa yang engkau cintaitemaram kemarin, sangsi-sangsi hari ini,atau ketidakpastian di punggung esok.

Aku hanya ingin berbaik sangka,ingin engkau berbaik-baik saja, di sana.

Bisa tampak dengan jelas bukan jenis keresahan seperti apa pada puisi tersebut? Keresahan yang taka da habisnya karena terlalu mencintai. Perhatikan keterkaitan judul dengan isi puisi. Pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan, ketika seseorang sudah mencintai seseorang hingga ia tak tahu sedalam apa, dan bagaimana tingkat relatifitasnya, pilihan terakhirnya hanyalah menerima cintanya sendiri kepada orang lain dan berharap. Keresahan-keresahan sederhana yang kompleks sejenis ini akan banyak ditemui dalam bagian puisi-puisi Andi Gunawan yang menunjukkan eksistensinya sebagai manusia yang memiliki cinta. Keresahan dalam keyakinan pada puisi Sebuah Keyakinan, keresahan manusia yang berdebat dengan manusia lain yang ada di hatinya pada puisi Setengah Lusin Sajak yang Lebih Pendek Dibanding Ingatanmu tentang Aku, keresahan tentang cinta yang pernah mati tapi hidup kembali pada puisi Cinta Lama Bersemi Kembali, dan puisi-puisi lainnya. Beralih dari manusia dengan cinta, Andi Gunawan menetapkan manusia dengan ibu pada barisan kedua dalam kumpulan puisinya. Pada puisi Kepada Air Susu Ibu, judul yang sama yang menjadi sub judul kumpulan puisinya, sekali lagi terdapat kompleksitas makna di balik kata-kata yang sederhana.Kepada Air Susu Ibu

Sepanjang hari,Aku ingin terjaga.Menjadi toko serba ada.

Seperti yang kita semua tahu, sepenting apa arti Air Susu Ibu bagi seorang anak. Hal pertama yang dicari seorang anak ketika ia lahir ke dunia, tidak lain adalah air susu ibunya. Maka, ketika itu pulalah seorang ibu seakan menjadi toko serba ada yang selalu terjaga, setiap anaknya membutuhkan, dimanapun dan kapanpun, seorang ibu akan siap setiap saat. Disini, Andi Gunawan seolah memberitahu kita bahwa seperti itulah awal kehidupan dan sumber kehidupan pertama seorang manusia. Baginya, setiap manusia pasti menyadari hal itu.Ada lagi puisi yang menjadi simbol ikatan erat seorang manusia dengan manusia sebelum dirinya, yaitu pada puisi Hari Baru.

Pukul dua dini hari seorang anak menangis di ujung ranjang,meringkuk: berhenti bermimpi buruk, tunduk.

Pukul tiga dini hari televisi menyala: bola bundar berkeliaran seperti Bapak.

Pukul empat dini hari aku dan Ibu pernah menjadi simpul mati:bertautan atas nama iman lalu tak terjangkau lagi, membelah jalan.

Jelas dalam puisi tersebut, Andi menceritakan bagaimana seorang aku lahir. Ia menganalogikan dirinya sebelum lahir, diiringi tangisan di di tempat tidur, dan ketika ayahnya yang gelisah menunggu kelahirannya, dan ketika ia dan ibunya tertaut dalam satu tali kehidupan, kemudian terpisah seketika. Pada kata simpul mati, Andi Gunawan memberikan simbol tentang betapa erat sekaligus rapuhnya tali antara ibu dan anak yang akan dilahirkannya. Sekaligus dengan hal itu, Andi Gunawan juga menciptakan suasana resah yang membahagiakan ketika seorang manusia baru lahir ke dunia dalam puisi Laki-lahi di Ruang Tunggu.Ia masih berlatih menyihir lupaberdiri, melompat, duduk lagiserak suaranya sibuk mengemudikan napassebab sebuah namamenjamur dalam kerongokan

Dimakinya punggung dengan langkah menghentak kesunyian neon-seperti bocah pulang sekolahia ingin segera sampaike pangkalnya

Kepalanya mengangguk-anggukbersepakat dengan daya yang bukan miliknya lalu menari ia dalam ruangsempit penuh suara

Selain puisi-puisi yang menunjukkan dirinya sebagai manusia beribu, ia juga bersuara sebagai manusia yang tua dalam puisi Piknik. Menurutnya tua bukan hanya perwujudan manusia beruban yang renta, namun juga manusia yang sudah jauh dari orang tuanya yang pernah merasai masam peluh.PiknikSore hari dan usiaku dua puluh empataku butuh lebih dari dua lusin pakaianuntuk menghangatkan lapuk gigil tubuhkusebab api dalam tungku matamu padamsebelum kita dipejamkan ciuman-ciuman

Kemudian hujan menderaskan ingatanbetapa kerap aku abai memeluk keringatsendiri, dan terlalu sibuk menelan masampeluh wisatawan asing di dadaku.

Berhubungan dengan manusia yang bercinta (makna: memiliki cinta) dan manusia beribu (makna: memiliki ibu), Andi Gunawan tidak lupa memikirkan manusia yang mencari. Pada sebuah pencarian, tak elak manusia membutuhkan kata pergi, maka pada subjudul terakhirnya, ia memilih puisi berjudul Ia Tak Pernah Bepergian.

Ia Tak Pernah Bepergian1Tak seperti hari biasanya aku mendengar gaduh lebih nyaringdari suara tepukan tangan di bawah-bawah panggung:menyentak gendang telingayang seringkali berdiam dirisaat bedug merelakan dirinya dipukuli.

2Segera kucari-caribunyi yang kian lantang ituke setiap jalan di belakangku.

3Aku tak menemukan apa-apasebab mungkin Ia adadi dalam dadaku yang sibukmemeluk dirinya sendiri.

Pada puisi tiga bait yang pada tiap bait terdapat sekat angka melambangkan langkah pencarian Andi Gunawan sendiri. Apa yang sebenarnya ia cari, sangat abstrak, hampir tak dapat dimaknai jika saja tidak terdapat kata bedug yang menyaratkan pada adzan, sebuah panggilan khusus bagi orang muslim untuk melapor pada Tuhannya. Objek pencariannya semakin nampak pada bait terakhir, pada baris sebab mungkin Ia ada , penulisan pronomina Ia yang ditulis dengan awalan kapital merujuk pada istilah Ketuhanan seperti yang selama ini kita ketahui. Perantauan Andi Gunawan dalam menemukan Tuhan juga tergambar pada puisi pendek Kangen. Penggunaan kata kangen sebagai judul, awalnya membuat saya sangsi, mengapa kebakuan yang harusnya ada malah tergantikan ketidakbakuan yang dinamis? Namum, di balik ketidakbakuan istilah itulah yang menyaratkan betapa inginnya seorang Andi Gunawan dekat dan bertemu dengan Tuhannya. Seperti seorang kekasih yang merindukan kekasihnya di tempat yang jauh. Dalam puisi itu pula, nampak bahwa Andi Gunawan sedang resah karena merasa jauh, rasa itulah yang menyebabkan ia merasa kangen. Secara tidak sadar, ketika kita jauh, maka berdampak positif bagi kita untuk berusaha dekat dengan mencari objek rindunya.

Kangen

Cangkir pertama ialah pertandaia bukan yang terakhirsebab mengingatMu mirip takdirtak pernah sederhana

Puisi tentang harapan temu hampir selalu tampak pada puisi-puisi di bagian ini. Seperti pada puisi Aku ingin segera pulang, yang menggambarkan prosesnya dalam menelan kesunyian tanpa ada siapa-siapa yang dirindukan. Pada puisi Pulang 1 dan Pulang 2 yang juga menguraikan benang kusut tentang keinginan pulangnya. Membicarakan puisi-puisi tentang pulang seorang Andi Gunawan, seperti mencari-cari jalan buntu pada jalan tak berujung.Pada intinya, puisi-puisi Andi Gunawan yang menggunakan diksi sederhana namun sarat dengan makna yang kompleks, berhasil menghadirkan dirinya sendiri. Dari sekian banyak puisi tersebut, semuanya adalah jenis Puisi Kamar yang kurang berpotensi untuk disuarakan dengan suara lantang, namun dengan suara lirih yang menunjukkan emosi resah menjadi seorang manusia yang memiliki cinta, memiliki ibu, dan memiliki Tuhan. Tiga kepribadian yang erat dan saling menyatukan untuk menjadi seorang manusia seutuhnya. Sebuah kutipan yang menarik dari akhir bacaan saya pada kumpulan puisi ini adalah, Baginya, menulis puisi ialah upaya memeluk diri sendiri sebab ia tak dapat memaksa orang lain memeluknya.