eksistensi lembaga gadai tanah (pertanian) dalam …

34
LAPORAN PENELITIAN EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM KAITANNYA DENGAN UU NO. 5 TAHUN 1960 DI KABUPATEN BULELENG OLEH: I GUSTI NYOMAN AGUNG, S.H., M.Hum. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

LAPORAN PENELITIAN

EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH

(PERTANIAN) DALAM KAITANNYA DENGAN UU

NO. 5 TAHUN 1960 DI KABUPATEN BULELENG

OLEH: I GUSTI NYOMAN AGUNG, S.H., M.Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

i

Page 3: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

ii

ABSTRAK

Pasal 7 UU No.56 PRP/1960 mengatur tentang pengembalian dan

penebusan tanah pertanian yang dibebani dengan hak gadai. Berdasarkan doktrin,

ketentuan tersebut dikatagorikan sebagai kaidah hukum yang bersifat imperatif

(memaksa), sehingga tidak bisa dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat

oleh para pihak (pemberi dan pemegang gadai). Berdasarkan kajian teoritis

sebagai konsekwensi yuridis sifat memaksa dari ketentuan tersebut, maka dalam

transaksi gadai menggadai tanah pertanian para pihak wajib mematuhinya.

Namun demikian tidak selalu ketentuan yang tersurat dalam undang-undang

sejalan dengan kenyataan yang ada di masyarakat, sehubungan dengan itu perlu

diadakan penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang pelaksanaan Pasal

7 UU No.56 PRP/1960 khusus dalam kaitannya dengan pengembalian dan

penebusan tanah pertanian yang dibebani dengan hak gadai di Kabupaten

Buleleng, sehingga nantinya dapat diketahui apakah para pihak yang terlibat

dalam transaksi gadai tanah pertanian patuh/taat pada aturan yang ditetapkan

dalam undang-undang tersebut.

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode sampling. Penetapan sampel

dilakukan dengan menetapkan sampel area (daerah sampel). Dari delapan

kecamatan di Kabupaten Buleleng diambil lima Kecamatan sebagai sampel dan

dari tiap Kecamatan tersebut diambil masing-masing 15% desa dengan sistem

random. Sebaran dari desa sampel merata di lima Kecamatan tersebut dengan

jumlah yang berimbang. Data dikumpulkan dengan metode interfieuw disertai

dengan sarana daftar pertanyaan baik dalam bentuk tertutup maupun terbuka. Data

yang telah terkumpul diolah secara kualitatif dan didukung oleh data kuantitatif.

Sedangkan data kuantitatif dianalisa secara kualitatif. Informan dan responden

yang dipakai dalam penelitian ini adalah: Kepala Desa di masing-masing desa

sampel, dua orang pemegang gadai dan dua orang pemberi gadai.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pasal 7 UU No.56 PRP/1960 baik

yang berkaitan dengan (1) pengembalian; maupun (2) penebusan tanah pertanian

yang dibebani dengan hak gadai, tidak dilaksanakan dalam praktek. Pemegang

Page 4: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

iii

gadai tidak mau mengembalikan tanah pertanian milik pemberi gadai tanpa uang

tebusan meskipun telah berlangsung selama tujuh tahun lebih. Demikian juga

halnya bagi gadai yang berlangsung kurang dari tujuh tahun penebusannya tidak

mengikuti perhitungan yang ditetapkan oleh undang-undang.

Berdasarkan atas hasil penelitian tersebut, maka perlu diadakan

penyuluhan hukum ke desa-desa, sehingga masyarakat tahu, mengerti, dan paham

atas undang-undang dimaksud dengan harapan nantinya dapat dilaksanakan

dalam kehidupan masyarat.

Kata kunci: pengembalian, penebusan, tanah pertanian, gadai.

Page 5: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

iv

ABSTRACT

The Article 7 of Law 56 PRP/1960 regulating about return and redemption

of agricultural lands encumbered by the liens. Under the doctrine, these provisions

are categorized as the rule of law which is imperative (forcing), so it can not be

excluded by an agreement made by the parties (the grantors and the lien holders).

Based on the theoretical study, as a juridical consequence of the forcing nature of

these provisions, therefore in the lien transaction of the agricultural land, the

parties shall comply with it. However, the procedure laid down in the legislation

has not always in line with the real facts found in the community, in connection

with that the research needs to be done.

The aim of this study was to obtain data on the implementation of Article

7 of Law 56 PRP/1960, specifically in relation to the return and redemption of

agricultural lands encumbered with the liens in Buleleng Regency, so it will be

known whether the parties involved in the transaction the lien of farmland obey

the rules specified by the law.

This research was conducted by the method of sampling. Determination of

the sample is done by setting the sample area. From the eight districts in Buleleng

Regency, it was five sub-districts taken as samples and from each sub-district was

taken each 15% of the villages with random system. The distribution of the data

sample is evenly distributed in the five sub-districts with a balanced number. The

data were collected by means of interview method accompanied by a list of

questions in the form of a closed or open questions. The data that have been

collected were processed qualitatively and it was supported by quantitative data.

While the quantitative data were analyzed qualitatively. Informants and

respondents taken in this study were: the village chiefs in each village samples;

two lien holders and two pledgors.

The research results show that: Article 7 of Law 56 PRP/1960 both with

regard to (1) returns; or (2) the redemption of agricultural land encumbered by

liens, are not implemented in practice. Lien holders do not want to return the farm

of pledgor without redemption money, although it has been going on for seven

years. Similarly, for the lien that lasted less than seven years, it does not comply

with the redemption calculation established by law.

Based on the above research results, we need to hold legal counseling to

the villages, so that people know and understand the above mentioned law, with

the hope eventually it will be implemented in the life of the society.

Keywords: returns, redemption, agricultural land, lien.

Page 6: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

v

KATA PENGANTAR

Berkat karunia Ida Sang Hyang Prama Kawi/Tuhan Yang Maha Esa,

penelitian ini dapat diselesikan tepat pada waktunya. Tanpa bantuan dari pelbagai

pihak sudah tentunya penelitian ini tidak bisa terlaksana, sehubungan dengan itu

melalui tulisan ini peneliti mengucapkan terimakasih yang tulus kehadapan:

1. Bapak Rektor Universitas Udayana dan Bapak Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan untuk

mengadakan penelitian.

2. Keseluruhan Informan dan Responden yang tidak dapat disebutkan satu-

persatu yang dalam penelitian ini telah banyak memberikan bantuan dalam

usaha pengumpulkan data.

Pada akhirnya harapan peneliti tiada lain, semoga hasil penelitian ini

bermanfaat adanya.

Denpasar, 26 Juni 2015

Peneliti

Page 7: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

vi

DAFTAR ISI

LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN................................................ i

ABSTRAK ......................................................................................................... ii

ABSTRACT ....................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

DAFTAR ISI ..................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

I.1. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

I.2. Rumusan Masalah .......................................................................... 3

I.3. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 3

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 8

I.5. Metodologi ..................................................................................... 8

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI TANAH 10

II. 1. Pengertian dan Jenis-jenis Gadai Tanah ...................................... 10

II.l.l. Pengertian Gadai Tanah .................................................... 10

II.1.2. Jenis-jenis Gadai Tanah ................................................... 12

II.2. Dasar Hukum Gadai-menggadai Tanah ....................................... 13

II.3. Syahnya Transaksi Gadai Tanah ................................................. 14

II.4. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai dan Pemegang Gadai ...........17

BAB III PELAKSANAAN PENGEMBALIAN DAN PENEBUSAN

TANAH PERTANIAN YANG DIGADAIKAN 21

BAB IV PENUTUP 24

IV.l. Simpulan ...................................................................................... 24

IV.2. Saran .......................................................................................... 25

DAFTAR BACAAN 26

LAMPIRAN

Page 8: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang Masalah

Dikalangan masyarakat Indonesia gadai tanah bukanlah merupakan suatu

hal yang baru. Menurut ketentuan yang diatur olah hukum adat, gadai tanah

adalah merupakan salah satu bentuk transaksi tanah (grond transactie) yang dapat

dipersamakan dengan jual lepas dan jual tahunan. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa gadai menurut hukum adat adalah merupakan perjanjian pokok

yang berdiri sendiri dan bukan merupakan tambahan (acecoir) dari perjanjian

peminjaman uang seperti halnya gadai menurut Kitab Undang Undang Hukum

Perdata

Hak gadai oleh Undang Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat: UUP A) disebut-sebut dalam

Pasal 52 ayat (2) dan (3) dan Pasal 53 yang pada dasarnya menetapkan bahwa,

hak ini diberikan status sebagai hak atas tanah yang bersifat sementara dan harus

diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan UUP A. Bahkan

hak itupun harus diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat, oleh karena

gadai tanah dianggap mengandung unsur-unsur pemerasan.

Perubahan besar tejadi setelah diundangkannya UU No.56 Prp/1960 tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian yang dalam pasal 7-nya menetapkan hal-hal

berikut:

1. Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada

waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau

lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu

sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen; dengan tidak ada hak

untuk menuntut pembayaran uang tebusan.

Page 9: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

2

2. Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum

berlangsung tujuh tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk

memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai

dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut

rumus

(7+1/2) - waktu berlangsungnya hak gadai

----------------------------------------------------- x uang gadai

7

dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung

tujuh tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut

tanpa pembayaran uang tebusan, dalani waktu sebulan setelah tanaman

yang ada selesai dipanen.

3. Ketentuan dalani ayat (2) pasal ini berlaku juga terhadap hak gadai yang

diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini.

Ketentuan Pasal 7 UU No.56 Prp/1960 bermaksud untuk melindungi pihak

yang ekonominya lemah yaitu si pemilik tanah yang karena memerlukan uang

terpaksa menggadaikan tanah sawahnya. Dianggapnya bahwa setelah menguasai

sawahnya selama 7 tahun itu si penerima gadai sudah cukup menghisap sawah itu

hingga telah memperoleh kembali uang gadai yang telah dikeluarkannya (Subekti,

1977: 7).

Senada dengan ungkapan di atas Sri Soedewi Masjchun Sofwan (1962:52)

menyatakan bahwa, ketentuan Pasal 7 bermaksud untuk memberantas pemerasan

yang terdapat dalam gadai tanah itu, karena dalam prakteknya hasil yang diterima

oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya jauh lebih

besar dari bunga yang layak dari pada uang yang dipinjamkan.

Penjelasan Urnum butir 9a menyatakan, banyak gadai yang berlangsung

bertahun-tahun. berpuluh tahun, bahkan ada pula yang dilanjutkan oleh para akhli

waris penggadai dan pemegang gadai, karena penggadai tidak mampu untuk

menebus tanahnya kembali. Besarnya uang gadai tidak saja tergantung pada

kesuburan tanahnya, tetapi terutama pada kebutuhan penggadai akan kredit. Oleh

karena itu tidak jarang tanah yang subur digadaikan dengan uang gadai yang

Page 10: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

3

rendah. Biasanya orang menggadaikan tanahnya hanya bila ia berada dalam

keadaan yang sangat mendesak. Berhubung dengan itu maka kebanyakan gadai

itu diadakan dengan imbangan yang sangat merugikan penggadai dan sangat

menguntungkan pihak pelepas uang. Dengan demikian maka teranglah bahwa

gadai itu menunjukkan praktek-praktek pemerasan.

Pasal 7 UU No.56 Prp/1960 sebagaimana disebutkan di atas hanyalah

mengatur tentang gadai tanah yang sifatnya terbatas pada penebusan dan

pengembaliannya saja sehubungan dengan itu ketentuan-ketentuan lain mengenai

gadai menggadai tanah (pertanian) tetap diberlakukan hukum adat.

Ketentuan mengenai pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang

dibebani dengan hak gadai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No. 56

PRP/1960 menurut doktrin bersifat imperatif (memaksa), oleh karena itu tidak

dapat dikesampingkan oleh para pihak dalam perjanjian gadai menggadai.

Sehubungan dengan itu perlu diteliti apakah ketentuan tentang

pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang dibebani dengan hak gadai

diikuti oleh para pihak yang tersangkut dalam transaksi gadai menggadai dalam

kenyataan masyarakat khususnya di Kabupaten Buleleng.

1.2. Rumusan Masalah

Atas dasar uraian di atas maka masalah yang diungkap dalam penelitian

ini adalah:

1. Bagaimanakah pelaksanaan Pasal 7 ayat (1) UU No. 56 PRP/1960

sehubungan dengan pengembalian tanah pertanian yang dibebani hak

Page 11: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

4

gadai yang telah berlangsung selama tujuh tahun atau lebih dalam

kenyataan masyarakat di Kabupaten Buleleng?

2. Bagaimanakah pelaksanaan Pasal 7 ayat (2) UU No. 56 PRP/1960 dalam

kaitannya dengan penebusan tanah pertanian yang dibebani dengan hak

gadai yang jangka waktunya kurang dari tujuh tahun di Kabupaten

Buleleng?

1.3. Tinjauan Pustaka

B Ter Haar Bzn (1987:83-84) menyatakan bahwa, "overdracht van grond

kontan betaalde som zodanig dat digene die overdracht het recht behound,den

grond door betaling van dezalfde som tot zich te doen teragkeren onder anderen"

yaitu penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan

sedemikian rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu masih mempunyai hak

untuk menebus/membeli kembali tanah itu kepadanya dengan pembayaran

kembali sejumlah uang tersebut.

Dalam pada itu Penjelasan Umum butir 9a UU No.56 Prp/1960

menetapkan, yang dimaksud dengan gadai ialah hubungn antara seseorang dengan

tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai utang uang padanya. Selama utang

tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang

meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya

menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang

tersebut. Penebusan tanah itu tergantung pada kemauan dan kemampuan yang

menggadaikan.

Page 12: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

5

Penjelasan Umum tersebut diatas nampaknya memberi kesan seolah-olah

gadai dikualifisir sebagai suatu perjanjian utang dengan tanggungan (jaminan

tanah), padahal sebenarnya tidaklah demikian. Hal ini diperkuat oleh

pandangannya Boedi Harsono (1971:298-299) yang antara lain menyatakan, hak

gadai merupakan hak atas tanah, karena memberi wewenang kepada pemegang

gadai untuk meggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang bersangkutan.

Dengan demikian jelaslah bahwa sungguhpun pemilik tanahnya sama-sama

menerima sejumlah uang dari pihak lain, hak gadai bukanlah hak jaminan/hak

tanggungan. Atas dasar hal tersebut maka gadai dirumuskan sebagai berikut: hak

gadai merupakan hubungan hukum antara seorang dengan tanah milik orang lain,

yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai itu belum

dikembalikan, maka tanah yang bersangkutan dikuasai oleh pihak yang memberi

uang (pihak mana disebut pemegang gadai).

Untuk lebih jelasnya maka dikemukakan pendapat Iman Sudiyat (1981:

29-30) yang menyatakan: Transaksi jual gadai tanah bukanlah perjanjian utang

uang dengan tanggungan/jaminan tanah, sehingga pembeli gadai tidak berhak

menagih uangnya dari penjual gadai;

a. Penebusan gadai tergantung kepada kehendak penjual gadai. Hak menebus

itu bahkan dapat beralih kepada akhli warisnya;

b. Uang gadai hanya dapat ditagih oleh pembeli gadai dalam hal transaksi

jual gadai itu disusul dengan penyewaan tanah tersebut oleh si penjual

gadai sendiri dengan janji: jika si penjual (merangkap penyewa) tidak

membayar uang sewanya, maka uang gadai dapat ditagih kembali oleh si

Page 13: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

6

pembeli (merangkap penguasa atas tanah yang kini berfungsi rangkap;

menjadi obyek gadai dan sekaligus obyek sewa pula).

Untuk menghindari kesalahpahaman, maka dibawah ini akan ditunjukkan

perbedaan antara gadai tanah dengan gadai (pand) menurut Kitab Undang Undang

Hukum Perdata.

Pand (gadai menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata)

1. Pand merupakan perjanjian accesoir (tambahan) pada perjanjian utang

uang selaku perjanjian prinsipalnya, dengan benda bergerak yang

berwujud, hak-hak untuk memperoleh pembayaran uang (surat-surat

piutang kepada si pembawa, - atas nama – atas tunjuk) selaku

tanggungan/jaminan;

2. Kekuasaan pemegang/penerima pand tidak meliputi hak memakai,

memungut hasil, menyewakan dan sebagainya;

3. Pemberi pand harus melunasi utangnya dalam waktu yang telah

ditetapkan bersama. Jika ia lalai dalam hal itu, si pemegang pand tidak

wenang mendaku benda jaminan; namun selaku kreditur, pihak terakhir ini

ipso iure dapat melelang benda pand itu atas kekuasaan sendiri, untuk

memperoleh pelunasan dari piutangnya (Liliek Istiqomah, 1982: 61).

Jual gadai menurut hukum adat

1. Transaksi gadai merupakan transaksi jual yang mandiri (hanya terdiri dari

satu perjanjian saja), dengan tanah selaku obyeknya.

2. Pemegang gadai berhak memanfaatkan dan memetik/memungut hasil dari

tanah yang digadaikan itu.

Page 14: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

7

3. Pemegang gadai tidak dapat memaksa pemilik tanah untuk menebus tanah

yang digadaikan. Seandainya pemegang gadai membutuhkan uang, maka

ia boleh mengalihkan gadainya atau menganak-gadaikan kepada pihak

lain.

4. Pemilik tanah sewaktu-waktu dapat menebus tanah yang digadaikannya

dan pemegang gadai wajib mengembalikannya.

5. Tidak harus adanya akta, sebab kadang-kadang dilakukan dengan diam-

diam.

Berdasarkan uraian di atas maka tampak dengan jelas bahwa gadai tanah

bukanlah lembaga jaminan/tanggungan/pinjam uang dengan jaminan tanah,

melainkan suatu lembaga yang dikenal dalam hukum adat yang mempunyai ciri

khas sebagai salah satu bentuk transaksi tanah.

Telah diungkap di atas, bahwa Pembentuk Undang-Undang berpendapat

gadai tanah menurut hukum adat mengandung unsur pemerasan olehkarenanya

sementara hak gadai belum dihapus maka diadakanlah usaha untuk mengurangi

unsur-unsur pemerasan tarsebut melalui ketentuan Pasal 7 UU No.56 Prp/1960.

Ditinjau dari segi doktrin kaidah/norma yang dituangkan dalam pasal tersebut

sifatnya imperatil/memaksa, olehkarena itu tidak dapat dikesampingkan oleh para

pihak. Pendapat ini dipertegas melalui ketentuan yang ada dalam Pasal 10 ayat

(Ib) dan ayat 2 UU No.56/Prp/1960 yang memberikan ancaman hukuman

kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda sebesar-besarnya Rp. 10.000, bagi

mereka yang tidak melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan olah Pasal 7.

Dalam pada itu Boedi Harsono (1971: 308) menyatakan: oleh pembentuk

undang-undang, gadai menggadai menurut ketentuan hukum adat dianggap

Page 15: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

8

mengandung unsur eksploitasi dari pihak pemegang gadai terhadap yang empunya

tanah. Tetapi ternyata di beberapa daerah, misalnya di Pulau Bali tidaklah

demikian keadaannya. Bukan pihak yang empunya tanah yang kedudukannya

lemah tetapi justru sebaliknya pihak yang menerima gadailah umumnya

merupakan pihak yang ekonomis lemah dari pada pemberi gadai. Untuk

membayar uang gadainya para petani itu seringkali haras menjual ternak atau

harta lainnya kepunyaannya. Berhubung dengan itu maka dalam keadaan yang

demikian kiranya ketentuan Pasal 7 UU No.56 Prp/1960 tidaklah seharusnya

diterapkan menurut bunyi kata-katanya.

Senada dengan pendapat di atas, Subekti (1978:68) menyatakan: peraturan

tersebut ada mengandung suatu kelemahan bahwa ia menyamaratakan semua

gadai sawah dengan tidak mengingat besar kecilnya uang gadai yang telah

diterima pihak yang menggadaikan sawahnya. Selain dari itu dilupakan bahwa

ada beberapa daerah dimana justru pihak yang ekonomi kuatlah yang

menggadaikan sawah mereka kepada orang yang ekonomi lemah yang

memerlukan tanah penggarapan untuk mencari nafkah (menurut laporan di Pulau

Lombok).

Demikian pula pandangan Boerhan dan Sjofjan Thalib (BPHN: 1976:225)

yang meneliti masyarakat petani di Minangkabau menemukan bahwa asas gadai

tanah di daerah itu adalah tolong-menolong. Bahkan penelitian yang dilakukan

oleh Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala, di Daerah Istimewa Aceh

ditemukannya juga ftmgsi sosial dari hak gadai itu(BPHN: 1976 228).

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Page 16: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

9

Tujuan Penelitian

1. Memperoleh data tentang penerapan/pelaksanaan Pasal 7 ayat (1) UU

No.56 Prp/1960 berkaitan dengan pengembalian tanah pertanian yang

dibebai dengan hak gadai yang telah berlangsung dalam jangka waktu

selama tujuh tahun atau lebih dalam kenyataan masyarakat di Kabupaten

Buleleng.

2. Memperoleh data tentang penerapan/pelaksanaan Pasal 7 ayat (2) UU No.

56 PRP/1960 dalam kaitannya dengan penebusan tanah pertanian yang

dibebani dengan hak gadai yang jangka waktunya kurang dari tujuh tahun

dalam kenyataan masyarakat di Kabupaten Buleleng.

Manfaat Penelitian

1. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang hukum

agraria dan hukum adat terkait dengan gadai menggadai tanah pertanian.

2. Sebagai bahan untuk penyempurnaan peraturan perundang-undangan

agraria khususnya yang berkaitan dengan masalah gadai menggadai tanah

pertanian.

1.5. Metodologi

1. Sample

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode sampling.

Penentuan sample dilakukan dengan menetapkan sample area berupa kecamatan.

Jumlah sample area (daerah sample) ditetapkan setengah ditambah satu dari

kecamatan yang ada di Kabupaten Buleleng, sehingga diperoleh sample lima

Page 17: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

10

kecamatan atau sekitar kurang lebih 67%. Penentuan sample dilakukan secara

random. Selanjutnya dari lima kecamatan tersebut diambil masing-masing 15%

desa sebagai sample yang ditentukan secara random. Sebaran dari desa sample

merata di lima kecamatan tersebut dengan jumlah yang berimbang. Dari setiap

desa sample ditetapkan responden berupa (1) pemegang gadai sebanyak dua

orang; (2) pemberi gadai sebanyak dua orang; dan (3) kepala desa di masing-

masing desa sample sebagai informan.

2. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dari responden dilakukan dengan menggunakan teknik

wawancara dengan berpedoman pada daftar pertanyaan dalam bentuk kombinasi

(tertutup dan terbuka).

3. Teknik pengolahan data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini lebih banyak diolah secara kualitatif dan

didukung oleh data kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan

menyusun tabel frekuensi jawaban responden. Dalam pada itu analisa terhadap

data kuantitatif dilakukan secara kualitatif (tidak menggunakan analisis statistik).

Page 18: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

11

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI TANAH PERTANIAN

II.1. Pengertian dan Jenis-jenis Gadai Tanah

II. 1.1. Pengertian gadai tanah

Suroyo Wignyodipuro (1973:249) menyatakan bahwa, hukum adat

membedakan transaksi tanah menjadi dua golongan yaitu transaksi tanah yang

bersifat perbuatan hukum sepihak dan transaksi tanah yang bersifat perbuatan

hukum dua pihak. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak dapat

disebutkan sebagai contoh pendirian suatu desa dan pembukaan tanah oleh

seorang warga persekutuan. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua

pihak/timbal balik merupakan salah satu bentuk perbuatan tunai yang berobyek

tanah. Inti daripada trenasaksi ini adalah pengoperan ataupun penyerahan dengan

disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga. Dalam hukum tanah

perbuatan hukum ini disebut transaksi jual (di Jawa disebut adol atau sade bahasa

Jawa tinggi)

Istilah jual dalam hukum adat merupakan istilah yang pengertiannya masih

netral atau umum dan karenanya merupakan istilah yang belum pasti

pengertiannya. Untuk pengertiannya yang pasti haruslah istilah jual tersebut masih

diikuti oleh istilah lain yang membuat istilah itu pasti artinya (Saleh Adiwinata:

1976: 19-20).

Selanjutnya B Ter Haar Bzn (1987: 88) menyatakan, dalam hukum tanah

perjanjian-perjanjian jual itu dapat mengandung tiga jenis maksud yaitu : jual

gade, jual lepas, dan jual tahunan.

Page 19: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

12

a. Menggunakan tanah untuk terima pembayaran tunai sejumlah uang

sedemikianrupa, sehingga orang menyerahkannya tetap ada hak atas

kembalinya lagi tanah itu kepadanya dengan jalan membayar kembali

sejumlah uang yang sama antar lain: menggadai (Min), menjual gade

(Ind), adol sende (Dj), ngajual akad atau gade (Sund).

b. Menyerahkan tanah untuk terima tunai pembayaran uang tanpa hak

menebusnya, jadi buat selama-lamanya menjual lepas (Ind), adol plas, run

tumurun, pati bogor (Dj) menjual jaja (Kalimantan).

c. Menyerahkan tanah untuk terima tunai pembayaran uang dengan janji

bahwa tanah akan kembali lagi kepada pemiliknya tanpa perbuatan-

perbuatan hukum lagi, itupun sesudahnya berlalu beberapa tahun panen:

menjual tahunan (Ind) adol oyodan (Dj).

Dalam bahasa Belanda disebut: a. grond verponding, b. Grand verkoop

dan c. grond verhuur met vooruitbetaalde huurschat.

Atas dasar hal itu maka pengertian transaksi atau jual beli tanah dapat

mempunyai arti-arti tertentu dan menurut Soerjono Soekanto dan Soleman b

Taneko (1981: 213) berdasarkan arti-arti tertentu tersebut dapatlah dikatakan

transaksi tanah merupakan suatu genus, sedangkan spesiesnya terdiri dari bentuk-

bentuk tertentu yang merupakan krangka dari isi transaksi tanah tersebut di atas.

Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah kepada pihak

lain (yakni pribadi kodrati) yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian

rupa sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempinyai hak untuk

menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian, maka pemindahan hak atas

Page 20: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

13

tanah pada jual gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada

patokan tegas mengenai sifat sementara waktu tersebut.

II.1.2. Jenis-jenis gadai tanah

Soerjono Soekanto dan Soleman b Taneko (1981: 214-215) cendrung

membedakan gadai menjadi dua yaitu: (1) gadai biasa; dan (2) gadai jangka

waktu.

1. Gadai biasa

Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap saat.

Pembatasannya adalah satu tahun panen, atau apabila di atas tanah masih terdapat

tumbuh-tunibuhan yang belum dipetik hasilnya. Dalam hal ini maka penerima

gadai tidak berhak untuk menuntut, agar penggadai menebus tanahnya pada satu

waktu tertentu. Untuk melindungi kepentingan penerima gadai, maka dia dapat

melakukan paling sedikit dua tindakan yaitu:

a. Menganak gadaikan (onderverpanden), dimana penerima gadai

menggadaikan tanah tersebut kepada pihak ketiga. Dalam hal ini terjadi

dua hubungan gadai yaitu: pertama; antara penggadai pertania dengan

penerima gadai pertama; dan kedua antara penggadai kedua yang

merupakan penerima gadai pertama dengan pihak ketiga (sebagai

penerima gadai yang kedua).

b. Memindah gadaikan (doorverpanden), yakni suatu tindakan dimana

penerima gadai menggadaikan tanah kepada pihak ketiga tersebut

menggantikan kedudukan sebagai penerima gadai untuk selanjutnya

berhubungan langsung dengan penggadai. Dengan demikian, maka setelah

Page 21: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

14

terjadi pemindahan gadai, maka hanya terdapat hubungan antara

penggadai dengan penerima gadai yang baru.

2. Gadai jangka waktu

Gadai jenis ini cendrung untuk memberikan semacam patokan pada sifat

sementara dari perpindahan hak atas tanah tersebut. Gadai jangka waktu biasanya

dibedakan menjadi dua yaitu: (1) gadai jangka waktu larang tebus, dan (2) gadai

jangka waktu wajib tebus.

1. Gadai jangka waktu larang tebus terjadi apabila antara penggadai dengan

penerima gadai ditentukan, bahwa untuk jangka waktu tertentu penggadai

dilarang untuk menebus tanahnya, Dengan demikian maka, apabila jangka

waktu tersebut telah lalu, gadai itu menjadi gadai biasa.

2. Gadai jangka waktu wajib tebus, yakni gadai dimana oleh penggadai dan

penerima gadai ditentukan, bahwa setelah jangka waktu tertentu, tanah

haras ditebus oleh penggadai. Apabila tanah tersebut tidak ditebus, maka

hilanglah hak penggadai atas tanahnya, sehingga terjadi jual lepas. Akan

tetapi, jual lepas tersebut tidak memenuhi syarat, oleh karena:

a. Tidak terang;

b. Tidak memperhatikan hak utama langsung dan hak utama tidak

langsung;

c. Penggadai yang mempunyai kedudukan lemah, sangat dirugikan,

oleh karena tanah dijual lepas dengan harga yang sangat rendah.

II.2. Dasar Hukum Gadai-menggadai Tanah

Page 22: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

15

Gadai tanah diatur dalam berbagai ketentuan baik dalam bentuk tertulis

maupun tidak tertulis.

1. Ketentuan-ketentuan tertulis:

a. UUPA (Pasal 16 huruf h; Pasal 52 ayat 2 dan 3; Pasal 53 ayat 1

dan 2);

b. UU No. 56 Prp/1960 (Pasal 7 ayat 1, 2, dan 3; Pasal 10);

c. Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK.10/Ka/1963;

d. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraia No. 20 Th. 1963;

e. Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah

dengan Menteri Agraria, tgl. 5 Januari 1961;

2. Ketentuan-ketentuan tidak tertulis (yaitu hukum adat).

II.3. Syahnya Transaksi Gadai Tanah

Menurut hukum adat transaksi gadai tanah merupakan suatu perbuatan

pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti

perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan Kepala Adat yang

berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan syahnya perbuatan

pemindahan hak tersebut, sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum

(Soerjono Soekanto dan Soleman b Taneko, 1981: 210). Tunai berarti perbuatan

pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak, Oleh

karena itu, maka tunai mungkin berarti bahwa harga tanah dibayar secara kontan

atau baru dibayar sebagian (tunai yang dianggap tunai).

Dalam pada itu B Ter Haar Bzn (1987: 89) menyatakan, bahwa untuk

melakukan suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) yang menimbulkan suatu

Page 23: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

16

perubahan yang diinginkan dalam ketertiban hukum dan yang berhak atas

perlindungan hukum, maka ia harus dilaksanakan dengan pembantuan penghulu-

penghulu rakyat atau kepala-kepala dusun yang tugasnya itu (di Jawa) disebut

dengan perkataan yang menunjukkan bahwa mereka itu dengan pembantuannya

itu menanggung (tanggung) bahwa perbuatan itu sudah cukup tertib dan sudah

cukup syah menurut hukumnya. Mereka menjadikan perbuatan itu sampai

kelihatan oleh umum, mengangkatnya sampai ke-ketertiban hukum umum,

menjadikannya terang, tidak gelap, peteng (Dj), menjadikannya di bagasan adat

(bat) di lalulintas hukum yang bebas dan terjamin. Bila perjanjian itu dilaksanakan

di luar pengetahuan penghulu masyarakat maka ia tidak ditingkatkan sampai ke-

ketertiban hukum, tidak berlaku terhadap pihak ketiga, dan si penerima oleh dunia

luar tidak diakui sebagai yang berhak atas tanah. Juga dalam hubungan antara

kedua pihak, maka jika timbul perselisihan mengenai hak atas tanah, resikonya

ada pada si penerima, yang tidak menerimanya dengan terang.

Selanjutnya R Soepomo (1983: 68) menyatakan, dalam hal urusan tanah,

campur tangan kepala-kepala rakyat adalah sejalan dengan wewenang mereka

untuk mengatur soal tanah berdasarkan hak pertuanan desa. Dibeberapa banyak

daerah, bantuan kepala rakyat dalam hal menjual lepas, menjual sende atau

menyewa tanah adalah syarat mutlak dan di seluruh kepulauan Indonesia bantuan

kepala rakyat dalam perjanjian-perjanjian mengenai tanah itu merupakan jaminan

bahwa perjanjian itu terang, tidak menentang hukum adat.

Lebih jelas seperti dikatakan oleh Surojo Wignjodipuro (1973: 250),

Transaksi ini supaya merupakan perbuatan hukum yang syah -artinya- supaya

berhak mendapat perlindungan hukum wajib dilakukan dengan bantuan kepala

Page 24: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

17

persekutuan hukum ini, maka perbuatan tersebut menjadi terang dan tidak gelap

atau peteng (Dj), Untuk bantuannya ini kepala persekutuan lazimnya menerima

uang saksi atau pago-pago (Batak). Apabila dilakukan di luar pengetahuan kepala

persekutuan maka transaksi tersebut tidak diakui oleh hukum adat dan oleh

karenanya maka pihak ketiga tidak terikat olehnya serta oleh umum si penerima

tanah tidak diakui haknya atas tanah yang bersangkutan, perbuatan ini dianggap

perbuatan yang tidak terang. Pada umumnya untuk transaksi-transaksi ini

dibuatkan suatu akta yang ditandatangani (cap jempol) oleh yang menyerahkan

serta dibubuhi pula tanda tangan kepala persekutuan dan saksi-saksi. Akta ini

adalah merapakan surat keterangan, merupakan suatu bukti.

Nampaknya berbeda dengan pandangan Boedi Harsono (1971: 304-305)

yang menyatakan, bahwa gadai menggadai tanah biasanya dilakukan dimuka

kepala desa/adat. Kehadiran pejabat tersebut umumnya bukan merapakan syarat

bagi sahnya gadai menggadai itu, melamkan dimaksudkan untuk memperkuat

kedudukan dan dengan demikian mengurangi risiko pemegang gadai jika

dikemudian hari ada sanggahan. Dari gadai menggadai ini biasanya juga tidak

dibuatkan akta atau bukti yang tertulis.

Kutipan pendapat para akhli sebagaimana dipaparkan di atas nampak

belum adanya kesamaan pandangan dalam melihat syarat syahnya gadai

menggadai tanah terutama berkaitan dengan peranan Kepala Adat/Desa dalam

transaksi gadai termaksud.

Terlepas dari adanya perbedaan pendapat dalam menanggapi syah

tidaknya perbuatan hukum tersebut maka dibawah ini akan disajikan hasil

Page 25: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

18

penelitian dilapangan mulai dari bentuk perjanjian sampai pada keikutsertaanya

Kepala Adat/Desa dalam transaksi gadai termaksud.

Dari lima kecamatan yang diteliti nampak bahwa, sebanyak 71,42%

responden menyatakan bahwa perjanjian gadai tanah yang dibuatnya, dalam

bentuk tertulis sedangkan sisanya (28,56%) menyatakan dalam bentuk tidak

tertulis (Tabel 1 Lamp.l h. 27). Perjanjian gadai tanah (pertanian) yang dibuat

dalam bentuk tertulis pada umumnya hanya merupakan pernyataan gadai

menggadai yang ditulis/ditik dalam selembar kertas dalam bentuk/format tidak

tertentu, ditandatangani oleh kedua pihak dan Kepala Desa/Kepala Dusun atau

Kelian Subak bahkan ada yang hanya disaksikan oleh kerabat-kerabat terdekat

dari pemilik tanah dan pemegang gadai.

Alasan responden membuat perjanjian dalam bentuk tertulis, sebanyak

40% menyatakan sebagai bukti adanya gadai, 20% menyatakan untuk

menghindari perselisihan/sengketa dikemudian hari, dan yang lainnya (20%)

menyatakan agar perjanjian gadi yang dibuatnya itu syah menurut hukum (Tabel

2. Lamp. 1 h.27).

Alasan responden yang membuat perjanjian secara lisan/tidak tertulis

(28,56%), sebanyak 75% diantaranya menyatakan karena saling percaya-

mempercayai, sedangkan selebihnya (25%) menyatakan karena adanya hubungan

keluarga (Tabel 3. Lamp.l h. 27).

II.4. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai dan Pemegang Gadai

a. Hak dan kewajiban pihak pemberi gadai

Page 26: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

19

1. Setelah menerima uang gadai, maka segera tanah yang digadaikan itu

diserahkan kepada pihak yang memberi uang atau disebut dengan

pemegang gadai;

2. Pemberi gadai dapat sewaktu-waktu menebus tanahny dengan syarat

pemegang gadai sudah memetik hasilnya (panen) paling sedikit satu kali;

3. Jika tanah yang digadaikan musnah, pemberi gadai tidak dapat dituntut

untuk mengembalikan uang gadai yang telah diterima;

4. Jika ada perbedaan nilai uang pada waktu menggadai dan menebus, maka

haras menanggung risiko bersama-sama dengan pemegang gadai;

b. Hak dan kewajiban pihak pemegang gadai

1. Setelah membayar uang gadai, maka pemegang gadai menguasai tanah

gadai tersebut, untuk dipelihara dan berhak pula menggunakan serta

memungut hasilnya;

2. Apabila sewaktu-waktu pemegang gadai ini membutuhkan uang, maka

berhak melakukan pendalaman gadai dengan seijin pemilik tanah atau

menganakkan gadai jika tanpa ijin pemilik tanah;

3. Jika tanah gadai tersebut musnah karena bencana alam misalnya banjir

maka pemegang gadai tidak boleh menuntut kembali uang gadainya;

4. Wajib mengembalikan tanah gadai tersebut, setelah dikuasai selama 7

tahun, atau jika tidak sampai dikuasai 7 tahun, maka pengembalian uang

gadainya dihitung menurut rumus yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (2)

UU No, 56 Prp/1960;

Page 27: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

20

5. Dalam perjanjian gadai yang disertai dengan perjanjian, jika dalam waktu

yang ditentukan pemberi gadai tidak dapat menebus kembali tanahnya;

maka dengan perantaraan pengadilan barulah pemegang gadai dapat

memiliki tanah gadai tersebut sesuai dengan perjanjian, kalau perlu dengan

menambah uang lagi sesuai dengan harga tanah jika dijual lepas (Liliek

Istiqomah, 1988: 92-93).

Mengenai hak dan kewajiban pemberi gadai dan pemegang gadai ini

berdasarkan penelitian dilapangan mennjukkan:

1. Hak pemilik tanah (pemberi gadai) dalam perjanjian gadai tanah pertanian

data menunjukkan hal berikut: (a) 15,38% menyatakan pemilik tanah/

pemberi gadai berhak sewaktu-waktu menebus kembali tanah yang

digadaikan; (b) 12,82% menyatakan berhak menebus kembali tanah yang

digadikan dengan ketentuan minimal pemegang gadai dapat memanen/

memetik hasil satu kali; (c) 30,77% menyatakan berhak atas penyerahan

tanah miliknya setelah diadakan penebusan; (d) 12,82% menyatakan

pemilik tanah berhak melarang pemegang gadai mengalihkan gadainya

kepada pihak ketiga; (e) 10,25% menyatakan berhak menebus tanah

miliknya dari pihak ketiga bila terjadi pemindahan gadai; (f) sebanyak

10,25% menyatakan berhak menebus tanah yang bersangkutan dari

pemberi gadai walaupun dianakgadaikan kepada pihak ketiga; dan (g)

7,69% menyatakan bahwa pemilik tanah berhak menebus tanah miliknya

dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian (label 4 Lamp.

2 h. 28);

Page 28: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

21

2. Hak pemegang gadai dalam perjanjian gadai tanah pertanian data

menunjukkan: (a) 30% responden menyatakan bahwa hak pemegang gadai

adalah menikmati manfaat (menggunakan dan memungut hasil) dari tanah

yang digadai selama belum ditebus oleh pemilik tanah; (b) 14%

menyatakan dengan ijin pemilik tanah berhak menggadaikan kembali

tanah yang di gadai; (c) 14% menyatakan berhak membagihasilkan tanah

yang digadai; (d) 4% menyatakan dapat menyewakan tanah yang digadai

baik dengan ijin ataupun tanpa ijin pemilik tanah; (e) 22% selebihnya

menyatakan berhak untuk menguasai tanah yang digadai; dan (f) 22%

selebihnya menyatakan berhak atas uang tebusan.(Tabel 5 Lamp. 3 h.29);

3. Kewajiban pemilik tanah, data menunjukkan hal berikut: (a) 27,08%

responden menyatakan bahwa pamilik tanah berkewajiban menebus tanah

miliknya sesuai dengan perjanjian yang dibuatnya; (b) 29,17%

menyatakan bahwa pemilik tanah wajib menyerahkan tanah kepada

pemegang gadai pada saat dimulainya gadai; (c) 14,58% menyatakan

pemilik tanah wajib membayar pajak atas tanah yang digadaikan; dan (d)

29,17% selebihnya menyatakan pemilik tanah wajib menanggung bahwa

gadai berlangsung dengan aman (Tabel 6 Lamp. 4, h. 30);

4. Kewajiban pemegang gadai, data menunjukkan hal berikut: (a) 36,84%

menyatakan wajib mengembalikan tanah yang digadai setelah ditebus oleh

pemilik tanah; (b) 5,26% menyatakan wajib membayar pajak atas tanah

yang digadaikan; dan (c) 31,57% menyatakan pemegang gadai wajib

memelihara tanah yang digadainya dengan sebaik-baiknya (Tabel 7 Lamp.

5, h. 31);

Page 29: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

22

BAB III

PELAKSANAAN PENGEMBALIAN DAN PENEBUSAN TANAH

PERTANIAN YANG DIGADAIKAN

Secara singkat Pasal 7 UU No.56 Prp/1960 mengatur hal-hal berikut:

1. Pemegang gadai yang menguasai tanah selama tujuh tahun atau lebih

diwajibkan untuk mengembalikan kepada pemiliknya tanpa uang tebusan;

2. Hak gadai yang belum berlangsung tujuh tahun, pemilik tanah setiap

waktu berhak memintanya kembali dengan membayar uang tebusan

berdasarkan runius yang ditetapkan oleh Pasal 7 ayat (2);

3. Ketentuan no.2 tersebut di atas dinyatakan berlaku juga terhadap gadai

yang diadakan sesudah UU No.56/Prp/1960 berlaku.

Selanjutnya Penjelasan Umum angka 9 b UU No. 56 Prp/1960

menyatakan: di dalam pengembalian tanah-tanah gadai tersebut tentu akan timbul

persoalan tentang pembayaran kembali uang gadainya. Peraturan ini memecahkan

persoalan tersebut, dengan berpedoman pada kenyataan sebagai yang telah

diuraikan di atas yaitu, bahwa dalam prakteknya hasil tanah yang diterima oleh

pemegang gadai adalah jauh melebihi bunga yang layak dari pada uang yang

dipinjamkan. Menurut perhitungan maka uang gadai rata-rata sudah diterima

kembali oleh pemegang gadai dari hasil tanahnya dalam waktu lima sampai

sepuluh tahun, dengan ditanibah bunga yang layak (10%). Berhubung dengan itu

maka ditetapkan, bahwa tanah-tanah yang sudah digadai selama tujuh tahun

(angka tengah-tengah di antara 5 dan 10 tahun) atau lebih haras dikembalikan

kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan. Mengenai

Page 30: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

23

gadai yang berlangsung belum sampai tujuh tahun, pula mengenai gadai-gadai

baru diadakannya ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3), sesuai dengan asas-

asas tersebut di atas.

Untuk menjamin terlaksananya ketentuan Pasal 7 UU No.56/Prp/1960

maka ditetapkanlah sanksi pidana bagi pelanggamya sebagaimana ditetapkan oleh

Pasal 10 ayat (Ib) dan (2) yang antara lain menetapkan sebagai berikut: "dipidana

dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-

banyaknya Rp. 10.000, barang siapa tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada

Pasal 3, 6 dan 7 ayat (1). Selanjutnya ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (2) "tindak

pidana tersebut pada ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran".

Adanya sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 7 UU No. 56 Prp/1960

menunjukkan bahwa kaidah hukum yang tercantum dalam pasal tersebut bersifat

imperatif, maksudnya kaidah hukum tersebut tidak dapat dikesampingkan oleh

suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dalam praktek peradilan dapat

ditunjukkan melalui beberapa putusan hakim (pengadilan) bahwa ketentuan Pasal

7 tersebut di atas bersifat memaksa (imperatif). Putusan-putusan termaksud dapat

ditunjukkan: (1) Putusan Pengadilan Negeri Tabanan tgl. 14 Juni 1972 No.9/ Pdt/

Tbn/1972/Pdt; (2) Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tgl. 30 Maret 1972 No.

48/PTD/1972/Pdt; (3) Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tgl. 23 Desember

1971 No. 230/PTD/1971/Pdt. (Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara, 1976: 79-80).

Beberapa Putusan Mahkamah Agung yang dapat ditunjuk dalam

kesempatan ini antara lain: (1) Putusan Mahkamah Agung tgl. 13 September 1971

No. 609/K/Sip/1071; (2) Putusan Mahkamah Agung tgl. 6 Maret 1971 No. 819/

Page 31: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

24

K/Sip/1970; (3) Putusan Mahkamah Agung tgl. 26 Maret 1972 No. 1108/K/

Sip/1971; (4) Putusan Mahkamah Agung tgl. 19 April 1972 No. 1253/K/Sip/1972;

(5) Putusan Mahkamah Agung tgl. 26 Juni 1972 No. 1246/K/Sip/1973; (6)

Putusan Mahkamah Agung tgl. 9 Mi 1974 No. 1369/K/Sip/1973; (6) Putusan

Mahkamah Agung tgl. 10 Oktober 1974 No. 903/K/Sip/1973; (7) Putusan

Mahkamah Agung tgl. 1 April 1975 No. 1272/K/Sip/1973; (8) Putusan

Mahkamah Agung tgl. 23 September 1975 No. 393/K/Sip/1972; dan (9) Putusan

Mahkamah Agung tgl. 6 April 1975 No. 121/K/Sip/1975 (Lembaga Perpustakaan/

Penerbitan Fakultas Hukum Lambung Mangkurat Banjarmasin, Mi 1979: 7).

Penelitian lapangan menunjukkan, bahwa waktu berlangsungnya

perjanjian gadai tanah pertanian: (1) sebanyak 78,57% menyatakan kurang dari 7

tahun; dan (2) sebanyak 21,42% menyatakan telah berlangsung 7 tahun lebih

(label 8 Lamp. 6, h.32). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa: dalam

praktek dapat ditemukan adanya tanah pertanian yang digadai, ada dalam

kekuasaan pemegang gadai walaupun gadai tersebut telah berlangsung 7 tahun

lebih, hal ini berarti penguasaan tanah pertanian termaksud bertentangan dengan

Pasal 7 ayat (1) UU No. 56 Prp/1960.

Page 32: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

25

BAB IV

PENUTUP

IV. 1. Simpulan

Dari uraian di atas maka dapatlah diambil simpulan berikut:

1. Pasal 7 ayat (1) UU No.56 Prp/1960 terkait dengan pengembalian tanah

pertanian yang telah berlangsung selama tujuh tahun atau lebih kepada

pemberi gadai (pemilik tanah) tanpa adanya kewajiban membayar uang

tebusan, tidak dipatuhi dalam kenyataan masyarakat di Kabupaten

Buleleng. Data di lapangan menunjukkan bahwa, bagi pemberi gadai

(pemilik tanah) yang menghendaki tanahnya dikembalikan diwajibkan

membayar uang tebusan sebesar uang tebusan semula.

2. Bahwa Pasal 7 ayat (2) UU No. 56 PRP/1960 sehubungan dengan

penebusan tanah pertanian yang dibebani dengan hak gadai yang jangka

waktunya kurang dari tujuh tahun tidak diterapkan dalam kenyataan

masyarakat di Kabupaten Buleleng. Data di lapangan menunjukkan bahwa

perhitungan tentang besarnya uang tebusan yang ditetapkan dalam

ketentuan tersebut tidak diikuti/ditaati. Pemegang gadai tetap meminta

uang tebusan yang besarnya sama dengan uang gadai semula.

IV.2. Saran

Oleh karena ketentuan Pasal 7 UU No.56 Prp/1960 tentang penebusan dan

pengembalian tanah pertanian yang dibebani dengan hak gadai belum

dilaksanakan dalam kenyataan masyarakat, maka perlu diadakan penyuluhan

Page 33: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

26

hukum ke desa-desa dan diharapkan nantinya bagi yang berkepentingan

mengerti dan paham sehingga ketentuan tersebut dilaksanakan dalam praktek.

Page 34: EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH (PERTANIAN) DALAM …

27

DAFTAR BACAAN

Boedi Harsono, 1971, Undang-Undang Pokok Agraria Sejarah Penvusunan Isi

dan Pelaksanaannya Hukum Agraria, Bagian Pertama Jilid kedua, Djambatan,

Jakarta.

_______, 1987, UndanR-Undang Pokok Agraria Sejarah Penvusunan Isi dan

Pelaksanaannya Hukum Agraria, Bagian Pertama Jilid kedua, Djambatan, Jakarta.

B. Ter Haar Bzn, 1987, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat Terjemahan K. Ng.

Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta.

Lembaga Perpustakaan/Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Lambung

Mangkurat, 1979, Orientasi. Juli Tahun IV.

Liliek Istiqomah, 1982 Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum

Agraria Nasional, Usaha Nasional, Surabaya

Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara di Denpasar, 1976, Pembinaan Hukum/

Yurisprudensi di Bali Tahun 1965-1974. Buku Hukum Perdata.

Saleh Adiwinata, 1976, Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-Undang Pokok

Agraria, Get. Pertama, Alumni, Bandung.

Soepomo R, 1983, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Get. Kedelapan, Pradnya

Paramita, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, edisi

kedua, Jakarta.

Surojo Wignjodipuro, 1973, Pengantar dan Azas-Azas Hukuni Adat, edisi II,

Alumni, Bandung.