ekonomi rakyat

142
Krisis Kapitalisme Global Krisis Kapitalisme Global Syamsul Hadi KTT G-8 di Toyako, Hokkaido, Jepang, yang baru saja berakhir terasa istimewa dengan kehadiran para pemimpin negara berkembang, seperti China, India, Meksiko, dan Indonesia. Pernyataan di akhir KTT dapat dilihat sebagai bentuk positioning negara-negara industri maju atas isu-isu yang berkembang dalam skala global. Menghadapi kenaikan harga minyak dunia, forum menyerukan dialog antara negara produsen dan konsumen guna menekan harga. Terkait krisis pangan, forum menegaskan, komunitas internasional perlu melakukan respons dan strategi yang terintegrasi guna mengatasi kelangkaan pangan, dengan program bantuan pangan dan peningkatan produktivitas pertanian. Perdebatan paling alot terjadi dalam isu perubahan iklim. Negara-negara G-8, terutama AS, menyatakan tidak bisa mencapai target pengurangan emisi 50 persen tahun 2050 jika negara berkembang yang ekonominya sedang tumbuh pesat tidak melakukan hal yang sama. Krisis finansial Perdebatan alot dalam isu perubahan iklim seolah ”menutup” perhatian atas masalah krusial lain, krisis finansial global yang berawal dari krisis subprime mortgage di AS. Pernyataan bersama G-8 memang menekankan komitmen untuk melakukan stabilisasi pasar finansial, tetapi tidak disinggung masalah melemahnya nilai dollar AS atas mata uang kuat lainnya (Kompas, 10/7). Padahal, ketidakmampuan AS untuk cepat mengatasi krisis subprime mortgage mendorong spekulan mengalihkan investasi ke komoditas pangan dan energi, yang mendorong naiknya harga pangan dan minyak dunia. Keterlibatan militer AS di Irak memperparah krisis energi. Mantan spekulan George Soros menyatakan, krisis global saat ini akan cepat berakhir dengan syarat perekonomian, terutama pasar uang, diatur ketat (Kompas, 4/4). Di mata Soros, akar krisis saat ini adalah kekacauan di sektor finansial yang dimulai sejak 1980 saat Ronald Reagan dan Margareth Thatcher memelopori kampanye neoliberalisme di tingkat global.

Upload: akhu79

Post on 05-Dec-2014

115 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

gasgasan tentang ekonomi rakyat sangat perlu diapresiasi. gagasan ini terutama difokuskan pada pembangunan yang berpusat pada rakyat. jadi rakyat akan menjadi kekuatan penentu ekonomi suatu bangsa

TRANSCRIPT

Page 1: ekonomi rakyat

Krisis Kapitalisme GlobalKrisis Kapitalisme GlobalSyamsul Hadi

KTT G-8 di Toyako, Hokkaido, Jepang, yang baru saja berakhir terasa istimewa dengan kehadiran para pemimpin negara berkembang, seperti China, India, Meksiko, dan Indonesia.

Pernyataan di akhir KTT dapat dilihat sebagai bentuk positioning negara-negara industri maju atas isu-isu yang berkembang dalam skala global.

Menghadapi kenaikan harga minyak dunia, forum menyerukan dialog antara negara produsen dan konsumen guna menekan harga. Terkait krisis pangan, forum menegaskan, komunitas internasional perlu melakukan respons dan strategi yang terintegrasi guna mengatasi kelangkaan pangan, dengan program bantuan pangan dan peningkatan produktivitas pertanian. Perdebatan paling alot terjadi dalam isu perubahan iklim. Negara-negara G-8, terutama AS, menyatakan tidak bisa mencapai target pengurangan emisi 50 persen tahun 2050 jika negara berkembang yang ekonominya sedang tumbuh pesat tidak melakukan hal yang sama.

Krisis finansial

Perdebatan alot dalam isu perubahan iklim seolah ”menutup” perhatian atas masalah krusial lain, krisis finansial global yang berawal dari krisis subprime mortgage di AS. Pernyataan bersama G-8 memang menekankan komitmen untuk melakukan stabilisasi pasar finansial, tetapi tidak disinggung masalah melemahnya nilai dollar AS atas mata uang kuat lainnya (Kompas, 10/7). Padahal, ketidakmampuan AS untuk cepat mengatasi krisis subprime mortgage mendorong spekulan mengalihkan investasi ke komoditas pangan dan energi, yang mendorong naiknya harga pangan dan minyak dunia. Keterlibatan militer AS di Irak memperparah krisis energi.

Mantan spekulan George Soros menyatakan, krisis global saat ini akan cepat berakhir dengan syarat perekonomian, terutama pasar uang, diatur ketat (Kompas, 4/4). Di mata Soros, akar krisis saat ini adalah kekacauan di sektor finansial yang dimulai sejak 1980 saat Ronald Reagan dan Margareth Thatcher memelopori kampanye neoliberalisme di tingkat global.

Lemahnya posisi Pemerintah AS berhadapan dengan berbagai perusahaan hedge funds dan pengelola dana investasi untuk tujuan spekulasi telah diprediksi Susanne Soderberg. Dalam The Politics of the New International Financial Architecture (2004), Soderberg menggambarkan, hubungan Pemerintah AS dengan korporasi finansial yang berpusat di Wall Street adalah seperti hubungan Dr Frankenstein dan monster pintar ciptaannya.

Dengan mensponsori penerapan rumus-rumus neoliberal, Pemerintah AS menumbuhkan ”blok” kapitalis finansial yang menggurita di Wall Street, yang kemudian menjeratnya dalam ketidakberdayaan dan posisi serba salah akibat besarnya dominasi perekonomian mereka.

, 01/03/-1,
<!--more-->
Page 2: ekonomi rakyat

Pernyataan menteri keuangan G-8 yang bertemu di Osaka, Juni, juga tak menyinggung perlunya memperketat aturan main sektor finansial global. Pernyataan hanya menyebutkan, Financial innovation has contributed significantly to global growth and development, but in the light of risks to financial stability, it is imperative that transparency and risk awareness be enhanced. Poin tentang sistem finansial ada di bagian terakhir statement bersama dan paling pendek dibandingkan poin-poin pernyataan terkait harga komoditas, perubahan iklim, dan pembangunan Afrika.

Pertumbuhan tanpa batas?

Dalam konteks perubahan iklim, upaya Jepang membuka jalan bagi penyusunan traktat internasional baru menggantikan Protokol Kyoto yang habis masa berlakunya tahun 2012 pada KTT ini tidak berhasil. Memang dicapai ”komitmen umum” untuk pengurangan emisi pada tahun 2050, tetapi tidak dicapai kesepakatan tentang bagaimana target itu secara spesifik harus dicapai. Pernyataan G-8 hanya menyatakan, tiap anggota G-8 akan menyusun target masing-masing untuk periode jangka menengah setelah tahun 2012. Menanggapi hal ini, para pemimpin China, India, Brasil, Afrika Selatan, dan Meksiko membuat pernyataan bersama yang menolak kewajiban tiap negara mengurangi emisi 50 persen dengan menekankan kewajiban negara maju memulai langkah-langkah nyata ke arah itu.

Para aktivis lingkungan juga mengecam keengganan negara G-8, terutama AS, untuk memberi komitmen nyata dan mengikat terkait pemanasan global. Data Greenpeace International menunjukkan, meski hanya dihuni 13 persen populasi dunia, negara G-8 memproduksi 80 persen emisi di atmosfer dan 40 persen emisi CO>sub<2>res<>res<.

Komitmen ”samar-samar” yang diberikan G-8 dinilai tak sebanding dengan dampak perubahan iklim dan global warming yang menimbulkan dampak berantai berupa kekeringan dan bencana alam di dunia. Penurunan emisi karbon akan menurunkan pertumbuhan ekonomi, tetapi amat penting menjaga kelestarian alam dan penghidupan di bumi, yang memperburuk kualitasnya karena industrialisasi dan eksploitasi alam nyaris tanpa batas.

Perbedaan pendapat dalam isu pemanasan global menunjukkan dominasi berkelanjutan paradigma pembangunan pertumbuhan ekonomi atas paradigma pembangunan berwawasan lingkungan. Sulitnya menyatukan langkah dalam mengatasi aneka masalah serius dalam krisis global saat ini seakan membenarkan prediksi Karl Marx, ”krisis berkelanjutan” dalam sistem kapitalisme global senantiasa bersumber dari kecenderungan melakukan akumulasi kapital yang tak kenal batas.

Syamsul HadiPengajar Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI

Krisis Kapitalisme Global Search :

 

Page 3: ekonomi rakyat

Oleh Eric Hiariej

SEORANG sejarawan ekonomi non-marxis, Karl Polanyi, pernah berteori tentang gagalnya demokrasi di Eropa sepanjang dekade 1930-an. Dalam bukunyaThe Great Transformation, Polanyi berargumen kegagalan tersebut bersumber pada praktik self-regulating market yang sengaja memisahkan aktivitas ekonomi dari masyarakat, sembari menciptakan sistem produksi yang dominan dan menentukan kehidupan sosial sehari-hari.

Praktik semacam ini tidak punya preseden historis karena sebelumnya konsep dasar ekonomi sekalipun tidak diperdebatkan secara terpisah dari human action. Baru setelah revolusi industri, gagasan tentang ekonomi yang independen terhadap masyarakat diterima sebagai keniscayaan.

Praktik self-regulating market pada dasarnya membawa perubahan radikal dalam hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan barang yang diciptakannya. Alam sebagai tempat manusia hidup, berkembang dan berinteraksi berubah menjadi natural asset yang nilainya tidak lagi ditentukan tradisi, sejarah atau kepentingan bersama, melainkan diukur berdasarkan keseimbangan antara tingkat kelangkaan dan kebutuhan produksi.

Dalam hubungan produksi; upah, gaji dan insentif menggantikan reprositas dan jaminan sosial dalam interaksi sosial antarsesama manusia. Sedangkan uang yang menjadi alat pertukaran dalam kerangka reprositas dan jaminan sosial, berkembang menjadi komoditas berharga yang bukan saja bisa diperjualbelikan, tapi juga berangsur-angsur mendominasi manusia yang menciptakannya.

Tegasnya, self-regulating market melakukan kapitalisasi terhadap alam, manusia, dan barang, mengubahnya menjadi komoditas yang bisa mendatangkan keuntungan. Ketika menjadi komoditas; alam, manusia, dan barang tercerabut dari akar-akar sosialnya, menjadi sebatas harga sewa, upah, dan bunga. Dengan lain perkataan, praktik self regulating market menciptakan-meminjam Marx-fetisisme kehidupan sosial.

Dalam kehidupan sosial yang fetisis masyarakat terbelah dua menjadi kelompok yang lebih beruntung karena mengendalikan kapitalisasi dan komodifikasi, dan kelompok yang merugi yang tidak memiliki akses ke faktor-faktor produksi. Kelompok merugi juga merupakan manusia-manusia yang "terasing" dari "kemanusiaannya" yang dieksploitasi kelompok beruntung atas nama "pertumbuhan ekonomi".

Dickens menggambarkan situasi semacam ini sebagai social and moral breakdown, sedangkan Disraeli menyebutnya dengan the fracturing of society into 'two nations'.

Menurut Polanyi, self-regulating market tidak datang dengan sendirinya. Sebaliknya, negara berperan besar menjamin property rights, melindungi transaksi ekonomi dari perilaku yang melenceng, dan menjaga nilai uang sebagai media pertukaran.

Negara juga harus kuat agar mampu menahan gempuran kelas bawah dari kota maupun desa. Karenanya, penerapan pasar bebas di masa-masa itu terjadi bersamaan dengan tampilnya "negara kuat" di beberapa tempat.

Di Inggris semenjak 1840, aristokrasi pemilik tanah dan borjuis berkoalisi untuk menguasai pemerintah, sembari membentuk kekuatan bersama melawan kelas menengah-bawah. Sedangkan di Perancis self-regulating market diikuti dengan second empire dari 1851-1871, dan di Jerman dengan tampilnya Bismark.

 

Berita Lainnya :

•Bung Hatta Diadili

• Kesehatan Reproduksi di Kawasan Timur

•Krisis Kapitalisme Global

• Perempuan dan Minuman Botol

•POJOK

•REDAKSI YTH

•TAJUK RENCANA

Page 4: ekonomi rakyat

Yang jelas, praktik ekonomi ini melahirkan double movement dalam sebuah dialektika historis. Pada fase pertama, terjadi upaya membebaskan ekonomi dari kontrol masyarakat yang merusak ikatan-ikatan sosial dan menciptakan konflik kelas. Pada fase berikutnya, masyarakat berangsur-angsur merebut kembali kendali atas kehidupan ekonomi, seraya membenahi efek-efek sosial negatif yang ditimbulkan kapitalisasi dan komodifikasi. Upaya ini dilakukan, terutama, di wilayah politik melalui perjuangan menuntut demokrasi yang dilakukan kelompok sosial marginal.

Masih menurut Polanyi, perjuangan demokratisasi di fase kedua memperoleh tantangan dari Fasisme dan Stalinisme. Tapi, setelah berakhirnya PD II, upaya merebut kembali kendali ekonomi berhasil melembagakan dirinya dalam Fordisme dan kebijakan ekonomi Keynesian. Fordisme dan kebijakan Keynesian kemudian berhasil memberikan demokrasi dan kesejahteraan ekonomi, paling tidak untuk negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Utara sampai awal dekade 1970-an.

***

TAMPAKNYA, argumentasi Polanyi belum terlalu usang untuk menjelaskan "globalisasi ekonomi" yang melanda dunia sejak dekade 1980-an. Globalisasi ekonomi itu sendiri tak lain dari self-regulating market dalam penyamaran yang kembali membebaskan dirinya dari kontrol masyarakat, sembari menciptakan fetisisme kehidupan sosial jilid dua. Globalisasi ekonomi juga menciptakan double movement, dengan bertebarannya gerakan-gerakan anti-globalisasi di berbagai belahan dunia.

Cerita globalisasi ekonomi bermula dari krisis ekonomi di awal 1970-an. Seperti yang diperkirakan, Fordisme dan kebijakan Keynesian melewati masa emasnya, berubah

Page 5: ekonomi rakyat

menjadi inflasi, penumpukan produksi, pengangguran dan menurunnya investasi di negara-negara berkembang.

Situasi tersebut masih diperparah dengan meningkatnya harga bahan bakar minyak dan perlombaan senjata Amerika dan Soviet yang menguras banyak modal. Di saat bersamaan, kubu konservatif melalui Thatcher di Inggris dan Reagan di Amerika berhasil menguasai pemerintah.

Menjawab krisis yang sedang menganga, keduanya mengampanyekan bringing the market back in. Fordisme digantikan sistem produksi (yang kemudian disebut) Post-Fordisme yang lebih menekankan fleksibilitas, economies of scope, sistematisasi produksi dan sistem kerja self-employment.

Kebijakan Keynesian disingkirkan oleh model ekonomi neo-liberal yang anti-intervensi negara, proderegulasi dan menghendaki perdagangan bebas. Selanjutnya, Post-Fordisme dan ekonomi neo-liberal dibakukan dalam "Washington Consensus" yang tak lain dari panduan mengembangkan self-regulating market bagi seluruh negara di dunia. Panduan ini berisi kebijakan-kebijakan semacam menjamin disiplin fiskal, mengurangi belanja publik, reformasi pajak, liberalisasi finansial, mendorong nilai tukar yang kompetitif, liberalisasi perdagangan, melancarkan investasi asing, privatisasi perusahaan negara, deregulasi ekonomi, dan perlindungan terhadap property rights.

Kebijakan-kebijakan neo-liberal pada awalnya menyebar ke Eropa Barat dan Jepang. Lalu, IMF dan World Bank mengekspor "Washington Consensus" ke negara-negara berkembang, melalui structural adjustment program.

Globalisasi ekonomi kemudian tanpa bisa dibendung menjelma menjadi ekspansi pasar bebas ke seluruh dunia dan aspek kehidupan, melalui pendalaman kapitalisasi dan komodifikasi di sektor perdagangan, produksi, dan finansial.

Di sektor perdagangan, globalisasi menciptakan New International Divison of Labour berdasarkan perbedaan produk suku-cadang dalam sebuah sistem produksi global. Sementara di sektor produksi, kemajuan teknologi memungkinkan pemilik kapital merelokasi usahanya ke tempat yang paling menguntungkan, seraya mengintegrasikan berbagai tingkatan yang berbeda dari setiap aktivitas nilai tambah dalam sebuah jaringan global. Sedangkan di sektor finansial, kebebasan perpindahan uang mencari lokasi yang paling menguntungkan menjadikan uang itu sendiri sebagai komoditas yang mendatangkan keuntungan.

Seperti yang diduga, globalisasi ekonomi melahirkan disparitas. Pertama-tama, self-regulating market jilid dua ini menciptakan kesenjangan global. Perbedaan sosial semakin menajam dan terpolarisasi ketika yang kaya bertambah kaya, sedangkan yang miskin bertambah melarat.

Kemudian, kadar eksploitasi juga meningkat pesat. Globalisasi ekonomi, di antaranya, menciptakan individualisasi proses produksi ketika kontribusi buruh terhadap produksi dihitung sendiri-sendiri berdasarkan kontrak individual. Akibatnya, kekuatan buruh untuk melawan kondisi kerja yang buruk secara kolektif menjadi berkurang. Pendek kata, self-regulating market melahirkan milyuner semacam Bill Gate di tengah-tengah buruh-buruh pabrik sepatu yang tertindas di Tangerang, Banten, dan orang-orang Afrika yang sekarat karena kelaparan di Somalia.

Oleh karena itu, berbagai bentuk perlawanan muncul di mana-mana. Di Meksiko, para petani melalui pemberontakan Chiapas menentang perdagangan bebas ala Nafta. Di Eropa, kelompok Neo-Nazi, buruh maupun petani berunjuk rasa menolak

Page 6: ekonomi rakyat

Uni Eropa. Di Seattle, Washington, Chiangmay, Melbourne, dan Genoa, berbagai kelompok sosial lintas etnik, agama, kelas, dan negara, berdemonstrasi menolak WTO, IMF, dan World Bank.

Jika dikategorikan, sekurangnya terdapat tiga macam gerakan perlawanan, yakni fundamentalisme, nasionalisme, dan anti-globalisasi. Gerakan fundamentalisme mengedepankan "agama" sebagai solusi terbaik untuk mengembalikan kontrol sosial atas ekonomi. Gerakan ini bukan saja melawan ideologi dominan (neo-liberalisme) di balik self-regulating market, tapi juga menentang kekuatan politik (terutama pemerintah Amerika) yang membentengi globalisasi.

Nasionalisme merupakan bentuk perlawanan yang ingin meraih kendali kehidupan ekonomi melalui purifikasi bangsa. Gerakan ini, di antaranya, mempermasalahkan globalisasi karena mudahnya perpindahan manusia melampaui batas teritori membawa kerugian sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat. Nasionalisme juga ingin mengembalikan (kejayaan) negara-negara yang diterjang habis-habisan oleh self-regulating market.

Sementara itu, antiglobalisasi adalah gerakan perlawanan terhadap kapitalisme global. Gerakan ini menganggap globalisasi ekonomi merupakan sumber kemiskinan dan kesenjangan sosial dunia kontemporer.

Yang menarik, sekalipun Post-Fordisme dan kebijakan ekonomi neo-liberal terbukti mengandung krisis-krisis bawaan, gerakan-gerakan perlawanan ini belum juga berhasil mengakhiri self-regulating market. Sebaliknya, situasinya menjadi stalemate. Sementara globalisasi ekonomi mulai sempoyongan karena gagal memenuhi janjinya memberikan kesejahteraan, resistensi terhadap ekspansi pasar bebas tidak cukup kuat untuk memenangkan pertarungan.

***

BERDASARKAN cerita Polanyi, self-regulating market akan berakhir dengan "demokrasi", yang tak lain dari Fordisme dan kebijakan Keynesian yang bertumpu pada kompromi kebutuhan kesejahteraan buruh dan kepentingan akumulasi kapital pemilik modal melalui, di antaranya, praktik welfare state.

Akan tetapi, Polanyi juga mengingatkan, kemenangan "demokrasi" berada di bawah bayang-bayang ancaman Fasisme dan Stalinisme. Ironinya, "demokrasi" baru bisa menang (di Eropa Barat dan Amerika Utara) setelah beraliansi dengan Stalinisme untuk mengalahkan Fasisme dalam PD II.

Tampaknya, dibanding dua gerakan lainnya, gerakan anti-globalisasi lebih dekat dengan ide-ide demokrasi. Gerakan ini memperjuangkan kepentingan kelas tertindas, menghendaki kebebasan politik maupun keadilan ekonomi, menuntut inklusi politik yang lebih luas dan juga partisipasi masyarakat dalam kehidupan ekonomi dan sosial sehari-hari.

Sejauh ini gerakan antiglobalisasi sudah memberikan perlawanan yang berarti. Boleh dibilang pertemuan Davos yang melibatkan beberapa NGO yang sangat moderat tidak akan berlangsung jika tidak diawali sebelumnya dengan demonstrasi di Seattle. Namun, baru itu saja kekuatan gerakan anti-globalisasi. Belum lagi gerakan ini masih harus berurusan dengan fundamentalisme dan nasionalisme yang memiliki proyeksi dunia masa depan yang berbeda (dan bisa jadi bukan demokrasi).

Praktis, yang terjadi adalah krisis global. Sementara globalisasi ekonomi mulai dipertanyakan dan ditentang, "kemenangan demokrasi" masih harus diperjuangkan.

Page 7: ekonomi rakyat

Lebih gawat lagi, ujung dari krisis ini bisa jadi bukan demokrasi, jika fundamentalisme atau nasionalisme yang berhasil mendominasi.

Eric Hiariej Staf Fisipol UGM, peneliti pada Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian  

Konsep dan Metode Pemberdayaan Masyarakat Indonesia17 June 2008 in Psikologi, pemikiran anak muda | Tags: Appreciative Inquiry, Community Development, Kepemimpinan Indonesia, Pemberdayaan Masyarakat, Psikologi |

Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 memberikan dampak yang luas

pada perubahan sistem pemerintahan. Jika pada era Orde Baru kekuasaan

sangat bersifat sentralistik, reformasi melahirkan sistem pembagian kekuasaan

yang mulai terdistribusi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan

daerah. Hal ini terwujud dalam Sistem Desentralisasi yang secara legal

dilahirkan lewat Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah yang kemudian menyebabkan Perubahan Kedua UUD 1945 seperti

tertuang pada Bab VI Pemerintahan Daerah pasal 18, 18A, dan 18B. Perubahan

aturan negara seperti di atas menempatkan daerah menjadi aktor sentral dalam

pengelolaan republic yaitu dalam prinsip otonomi dengan desentralisasinya.

Menurut Prof. Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI, “Perubahan aturan main

mengenai pemerintahan daerah merupakan afirmasi-konstitusi, bahwa daerah

menjadi pengambil kebijakan sentral dalam mengatur dan mengurus

pemerintahannya sendiri menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

(medebewind) serta diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta

masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip

demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah

dalam sistem NKRI.

Saat ini pelaksanaan otonomi daerah telah melahirkan perubahan yang cukup

Page 8: ekonomi rakyat

signifikan, terutama berhubungan antarpelaku pembangunan, pengambilan

keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan.

Namun dalam prakteknya otonomi daerah masih menghadapi kendala yang

harus segera dicarikan jalan keluarnya atau penanganannya secara sungguh-

sungguh. Salah satu kendala yang dipaparkan oleh Ginandjar Kartasasmita

adalah kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan

rasional. Di tengah era globalisasi yang serba cepat, masyarakat diharapkan

memiliki daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi agar mampu menjalani

kehidupan masa depan dengan sukses.

Untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat agar lebih berdaya,

berpartisipasi aktif, serta penuh dengan kreativitas, pemerintah melontarkan

komitmen yang berlevel internasional. Komitmen ini telah ditandatangani dalam

KTT Millenium PBB pada tahun 2002 bersama 189 negara lainnya. Komitmen

semua negara di dunia untuk memberantas kemiskinan ditegaskan dan dikokohkan

kembali dalam ”Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan” yang

disepakati oleh para kepala negara atau kepala pemerintahan dari 165 negara yang

hadir pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan,

September 2002. Hasil deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen

”Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan”, yang juga telah ditanda-

tangani oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi acuan dalam melaksanakan

pembangunan di Indonesia dengan target memberantas kemiskinan pada tahun 2015.

Dalam deklarasinya negara peserta menerapkan Tujuan Pembangunan Milenium

atau Millennium Development Goals (MDGs). Dalam MDGs tersebut, terdapat 8

(delapan) tujuan (goal) yang hendak dicapai sampai tahun 2015 oleh negara-negara di

dunia termasuk Indonesia, dengan tujuan pertama adalah mengatasi dan/atau

memberantas kemiskinan dan kelaparan (United Nations, 2000).

Dengan demikian, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen nasional untuk

memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan

(sustainable development). Dimana pemerintah dan semua perangkatnya dalam semua

level, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota bersama-sama dengan berbagai

unsur masyarakat memikul tanggungjawab utama untuk mewujudkan pembangunan

berkelanjutan dan sekaligus memberantas kemiskinan yang terjadi di Indonesia paling

lambat tahun 2015.

Page 9: ekonomi rakyat

Kendati Indonesia ikut serta dalam kesepakatan global melaksanakan MDGs

untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

yang dicanangkan PBB sejak 2000, namun dalam Human Development Report 2007

yang dikeluarkan oleh UNDP, menunjukkan bahwa kualitas manusia Indonesia makin

memburuk dalam 10 tahun terakhir. Dalam laporan tersebut, HDI atau IPM Indonesia

yang diukur dari pendapatan riil per kapita, tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf

dan kualitas pendidikan dasarnya, ternyata peringkat Indonesia masih berada di bawah

negara-negara Asia Tenggara lainnya. Peringkat Indonesia dari tahun ketahun selalu

menurun dari 110 menjadi peringkat 112 dari 175 negara yang dinilai UNDP (2003),

walaupun pada tahun 2006 terdapat peningkatan ranking ke 110 (UNDP, 2007).

Sebagaimana kita alami, era ini merupakan kehidupan yang bercirikan

perubahan yang cepat, kompleks, penuh resiko, dan penuh dengan kejutan.

Dengan demikian individu, kelompok atau komunitas harus melakukan berbagai

upaya untuk ikut berubah, menyesuaikan diri, atau mengambil kendali

perubahan. Di sisi lain interdependensi antara komunitas, terkecil sekalipun, dan

dunia sebagai totalitas, membuat semakin sulit bagi seorang individu untuk

menghadapi perubahan sendirian. Apalagi melihat kenyataan, kenaikan harga

BBM misalnya, yang merupakan perubahan disektor ekonomi dan energi akan

mempengaruhi sector kehidupan yang lain.

Sejak tahun 1960, lahir sebuah konsep pemberdayaan komunitas yang disebut

Community Development (selanjutnya disebut CD). CD adalah sebuah proses

pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari

sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan

kualitas hidup masyarakat (United States Departement of Agriculture, 2005). CD

tidak bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian

masalahatau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. CD adalah bekerja

bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani

masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri

dalam proses pengambilan keputusan (StandingConference for Community

Development, 2001).

Pengembangan otonomi daerah yang diarahkan pada partisipasi aktif dari

masyarakat sangat sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh CD. Kesesuaian

Page 10: ekonomi rakyat

antara kebijakan pemerintah dengan konsep pemberdayaan masyarakat seperti

CD ini membutuhkan pendekatan yang tepat dalam mengimplementasikannya.

Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang

Deficit based dan Strength Based. Pendekatan Deficit-based terpusat pada

berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya.

Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas

terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan

cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa

menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya

situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi.

Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah

produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau

kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk

menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode

yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang

positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang

penuh dengan harapan (Cooperrider dan Srivastva, 1987; Cooperrider dkk.,

2000; Fry dkk, 2002; Ludema dkk, 2000, dalam Gergen dkk., 2004).

Dalam sepuluh tahun terakhir, Appreciative Inquiry menjadi sangat

populer dan dipraktekkan di berbagai wilayah dunia, seperti untuk mengubah

budaya sebuah organisasi, melakukan transformasi komunitas, menciptakan

pembaharuan organisasi, mengarahkan proses merger dan akusisi dan

menyelesaikan konflik. Dalam bidang sosial, Appreciative Inquiry digunakan

untuk memberdayakan komunitas pinggiran, perubahan kota, membangun

pemimpin religius, dan menciptakan perdamaian.

Sumber:

Buku

Cooperrider D. L. & Whitney D. 2006. A Positive Revolution in Change:

Appreciative Inquiry (Vol. 1, pp. 2-3)

Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta :

Page 11: ekonomi rakyat

Pustaka Pelajar.

Makalah

Kartasasmita, Ginandjar. Makalah: Dewan Perwakilan Daerah dan Otonomi

Daerah. Disampaikan pada Seminar Nasional, Institut Teknologi Bandung

(ITB) Dalam Rangka Memperingati Seratus Tahun Kebangkitan Nasional.

Bandung, 17 Mei 2008.

Lubis, Theresiah. Makalah : Community Development dan Nilai-Nilai yang

Mendasari. Dipresentasikan pada Temu Ilmiah Dalam Rangka LUSTRUM IX

Fakultas Psikologi Unpad. Tahun 2006

Internet

http://appreciativeorganization.wordpress.com/2007/08/08/bedah-kasus-

appreciative-inquiry-in-strategic-planning/ (Diakses pada 26 Mei 2008, pukul

11.28)

http://www.scribd.com/doc/732997/laporanlokakaryaAIlowres (Diakses pada 29

Mei 2008, pukul 11.50)

Standing Conference for Community Development (2001). Strategic Framework

for Community Development. http://www.sccd.org.uk

United States Depatment of Agriculture (2005). Community Development

Technical Assistance: Handbook. http://ocdi.usda.gov

http://www.ekonomirakyat.org/ 22 spt 2008

M. Husein Sawit

USULAN KEBIJAKAN BERAS DARI BANK DUNIA: RESEP YANG KELIRU

 

 

ABSTRAK

Kebijakan perberasan Indonesia telah menjadi perhatian buat sejumlah lembaga internasional, seperti Bank Dunia. Lembaga ini telah lama mengeritik dan

Page 12: ekonomi rakyat

menintervensi sejumlah kebijakan pembangunan ekonomi, termasuk kebijakan perberasan. Tampaknya, kelakuan Bank Dunia belum banyak berubah di era desentralisasi dan demokrasi. Seharusnya yang diberi peran besar adalah masyarakat sipil, partai politik, DPR/DRPD, Pemda, dan peneliti dalam merancang kebijakan publik. Itu bukan lagi menjadi domain peneliti, apalagi ahli asing. Dalam makalah ini dibahas tentang kelemahan cara pandang Bank Dunia terhadap kebijakan beras di Indonesia, terutama yang dikaitkan dengan kemiskinan. Kelemahan itu mencakup pengukuran kemiskinan yang terlalu sempit, dan bias jangka pendek, bukan melihat kemiskinan manusia yang bersifat struktural dan kronis. Hampir tidak pernah dijumpai dalam literatur ekonomi pembangunan, bahwa kemiskinan di negera-negara berkembang dapat diatasi dengan memurahkan pangan. Itu konsep pengentasan kemiskinan yang keliru. Yang benar adalah gerakan sektor riil, ciptakan lapangan kerja, serta tingkatkan produktivitas terutama di sektor pertanian di mana penduduk miskin banyak menggantungkan hidupnya. Industri padi/beras adalah salah satu diantaranya. Bukan membuat harga beras murah.

 

Pendahuluan

Sejak akhir 2006, Bank Dunia semakin sering mengeritik pemerintah tentang kenaikan harga beras, baik terbuka maupun tertutup. Akhir-akhir ini, Bank Dunia semakin aktif melobi dan menawarkan resep buat pemerintah, agar Indonesia menempuh privatisasi lembaga pangan, melepas cadangan beras nasional ke swasta, dan liberalisasi impor, mendorong agar swasta diperankan sebagai stabilisator harga dalam negeri. Lembaga pemerintah seperti Bulog dianggap tidak becus dalam melaksanakan fungsinya. Mereka yakin sekali, pasar dapat menyelesaikan instabilitas harga, maupun kemiskinan (World Bank 2007).

Perilaku Bank Dunia di Indonesia tampaknya belum berubah, belum belajar dari kekecewaan masyarakat Indonesia atas keambrukan ekonomi, terjerat hutang luar negeri, serta terlalu banyaknya sumberdaya alam, perbankan dikuasai oleh perusahaan asing. Pendapat Bank Dunia termasuk juga berbagai hasil penelitiannya, tidak kredibel di mata masyarakat luas di Indonesia. Di Makasar misalnya, Bank Dunia terpaksa harus menghilangkan atribut Bank Dunia di kantor di mana proyek mereka ada. Sebelumnya, hampir setiap hari ada saja demonstrasi ke kantor proyek Bank Dunia, sehingga mereka tidak nyaman bekerja.

Sebaik apapun saran Bank Dunia, masyarakat Indonesia pasti mencurigainya, ini akibat dari reputasi mereka masa lalu. Itu akibat dari peri laku mereka sebagai salah satu lembaga perusak ekonomi, termasuk ekonomi Indonesia (Perkin 2004). Tujuan makalah ini adalah untuk menilai kelemahan cara pandangan yang bias tentang kebijakan beras Bank Dunia.

Domain Publik bukan Domain Peneliti

Bank Dunia seharusnya memahami benar, tentang cara-cara menyusun kebijakan publik di era demokrasi, tidak boleh didikte oleh segelintir para ahli. Pada era sentralisasi Orba, para teknokrat dan birokrat –dibantu oleh tenaga ahli asing- berperan besar dalam mendikte kepentingan masyarakat banyak. Namun

Page 13: ekonomi rakyat

dalam era demokrasi, peran masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan publik-seperti kebijakan beras- haruslah lebih besar.

Kebijakan beras itu adalah domain kebijakan publik. Kebijakan beras harus mendapat dukungan luas dari masyarakat sipil, DPR, pemerintah daerah, tidak boleh didikte oleh peneliti, apalagi oleh lembaga asing yang kurang memahami rumah tangga petani dan masyarakat desa secara mendalam. Disamping itu, apabila saran-saran mereka diterapkan pemerintah, diperkirakan itu akan sulit diimplementasi di lapangan, apabila kurang dukungan publik, kurang dukungan Pemda, serta akan selalu dipersoalkan oleh DPR/DPRD.

Kebijakan beras yang mereka susun itu (Bank Dunia 2007) melulu mengacu ke literatur asing. Dari total hampir 100 jumlah literatur, hanya 3-4 literatur yang ditulis oleh orang Indonesia asli. Padahal, banyak studi tentang padi/beras yang telah dilakukan oleh para ahli bangsa Indonesia, tetapi diabaikan tanpa dipakai sebagai bahan rujukan. Ini menunjukan juga bagaimana miskinnya Bank Dunia dalam memahami pikiran para ahli Indonesia.

Namun mereka mencoba mempengaruhi sejumlah menteri ekonomi yang beraliran neo liberal. Bank Dunia juga rajin menyampaikan gagasan perubahan kebijakan beras pada berbagai forum sejak akhir 2006, baik dengan cara mengundang sejumlah ahli Indonesia ke markas mereka di Jakarta. Atau mengadakan seminar di luarnya, seperti di lembaga PBB (CAPSA) di Bogor. Namun, mereka menghindari diskusi terbuka dengan masyarakat luas (civil society) atau dengan para pakar Indonesia di luar kubu mereka.

Bank Dunia langsung menyampaikan gagasannya ke tingkat pengambilan keputusan tentang kebijakan beras ke Kantor Menko Perekonomian atau ke sejumlah menteri lain yang sealiran dengan Bank Dunia. Penulis juga kaget, ada power point tentang kebijakan beras Bank Dunia disiapkan untuk SBY. Ini keterlaluan.

 

Net Konsumen? Data Susenas vs data Tingkat Usahatani

Bank Dunia mengatakan bahwa telah terjadi kenaikan jumlah orang miskin yang cukup serius sejak harga beras naik. Itu buruk buat penduduk miskin, karena sebagian besar petani adalah net konsumen. Pandangan ini adalah keliru.

Pola panen padi adalah musiman, mereka surplus pada MPR (musim panen raya) dan MPG (musim panen gadu), dan defisit hanya pada MP (musim paceklik). Tetapi, data SUSENAS BPS memperlihatkan sebaliknya, sebagian besar petani padi adalah net konsumen. Data SUSENAS haruslah dianalisa dengan hati-hati dalam kaitannya dengan estimasi produksi musiman dan pengeluaran musiman. SUSENAS menaksir tahunan berdasarkan hasil penelitian seminggu, kemudian dikalikan menjadi tahunan. Hasilnya adalah defisit produksi (net consumer), seolah-olah terjadi sepanjang tahun. Data itulah yang dipakai Bank Dunia untuk mempertahankan argumentasinya.

Namun, hasil studi intensif yang dilakukan oleh Sumaryanto dkk (2002) di DAS Brantas dilaporkan sebaliknya. Para petani mengelola usahatani padi untuk MH, MK1 (musim kemarau pertama) dan MK2, masing-masing seluas 0.35 Ha, 0.33

Page 14: ekonomi rakyat

Ha, dan 0,23 Ha per petani. Luas ini adalah umum dijumpai pada usahatani pangan, khususnya padi di Indonesia. Mereka melaporkan bahwa konsumsi per kapita sebesar 107 Kg/kap/tahun (Table 1). Ini adalah jumlah yang dikonsumsi langsung oleh rumah tangga tani, belum termasuk konsumsi tidak langsung seperti makan di warung, pesta, tempat kerja dll.

Table 1. Per kapita konsumsi beras oleh petani miskin dan petani tidak miskin di DAS Brantas, Jawa Timur: 1999/2000.

 

Wilayah Petani Miskin Petani Tidak TOTAL % RT Kg./

kapita

% RT Kg./

Kapita

HH Kg./

Kapita

Hulu 42.5 106.6 57.5 120.5 120 114.6

Tengah 53.0 109.2 47.0 102.2 200 105.9

Hilir 56.9 105.1 43.1 101.7 160 103.6

Total 51.7 107.2 48.3 107.5 480 107.3

Note: RT=Rumah tangga

Sumber: Sumaryanto dkk (2002)

 

Rataan produksi padi sekitar 462 Kg/kapita/tahun. Terungkap adanya marketablesurplus 1) sekitar 354 Kg/kap/tahun. Marketable surplus di musim hujan lebih tinggi dari MK1, namun negatif pada MK2. Pada MK2, banyak petani tidak tanam padi karena kekurangan air, sehingga luas usahatani merosot (Sumaryanto dkk 2002). Oleh karena itu, tidaklah tepat untuk mengasumsikan bahwa semua petani sempit sebagai net konsumen sepanjang tahun. Yang benar adalah mereka net produsen pada dua musim pertama, atau hanya net konsumen di musim paceklik (MK2). Keputusan konsumsi dan pengeluaran bergantung pada asumsi itu. Oleh karena itu, asumsi net konsumen untuk petani padi adalah tidak didukung oleh data empiris.

1) Marketable surplus adalah produksi dikurangi konsumsi rumah tangga yang sedang dipelajari

 

Terabaikan Peran Non-Food Services

Seterusnya, laporan Bank Dunia (2007) itu juga terlalu sempit dalam melihat industri beras yaitu hanya sebagai industri penghasil padi/beras untuk tujuan komersial belaka. Mereka tidak menilai peran pangan, khususnya beras yang menghasilkan non-food services. Itu menyangkut stabilitas politik, stabilitas ekonomi, distribusi pendapatan, penyerapan tenaga kerja. Harga beras yang berlaku di pasar belum memperhitungkan non-food services yang ia berikan ke

Page 15: ekonomi rakyat

publik (Dillon dkk 1999). Konsumen seharusnya perlu membayar harga beras lebih tinggi dari tingkat harga pasar, sekiranya non-food services itu diperhitungkan.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa padi/beras adalah industri kunci dalam pembangunan, khususnya pembangunan perdesaan. Kalau suatu industri yang erat kaitannya ke depan dan kebelakang, menyerap tenaga kerja yang begitu besar, pengangguran tinggi, terutama di perdesaan, maka industri itu harus dianalisa keterkaitannya yang luas, tidak dianalisa secara parsial. Oleh karena itu, industri padi/beras harus dilihat dengan hati-hati dan bijaksana, jangan bias ke jangka pendek.

Kembali ke harga, sebagai salah satu insentif buat pelaku usaha, namun itu bukanlah satu-satunya insentif buat mereka. Peningkatan produktivitas dan efisiensi, merupakan insentif lain yang tidak boleh dibaikan, itu terkait dengan non-price incentive. Insentif harga dan non-harga akan saling memperkuat, bukan saling menggantikan. Oleh karena itu, insentif non-harga tidak ampuh manakala harga gabah/beras terlalu rendah, tidak mampu menutupi ongkos produksi.

Tingkat kemiskinan yang dikaitkan dengan harga beras, merupakan cara pandang sempit. Itu hanya cara hitung menghitung, amat jangka pendek dan ad hoc sifatnya. Kita jangan mengorbankan kepentingan jangka panjang, hanya sekedar untuk mencapai kepentingan jangka pendek. Adalah hampir tidak mungkin, kemiskinan jangka panjang dapat dikurangi secara berkelanjutan, manakala industri beras/padi redup.

Keredupan ini, tidak dengan sendirinya akan tergantikan oleh komoditas lain, seperti hortikultura. Kita tidak boleh menghambat suatu industri yang punya keunggulan komperatif, dipaksakan untuk keluar dari industri itu, padahal industri lain belum kuat terbangun. Pengembangan hortikultura misalnya, akan berisiko tinggi dan instabilitas harga yang besar, karena infrastruktur pemasaran dan distribusi yang masih amat lemah. Apabila mereka beralih ke sektor lain dalam kondisi infrastruktur itu belum diperkuat, maka akan menggiring petani sempit untuk menanggung risiko yang tinggi. Itu tidak akan mampu mengurangi jumlah orang miskin secara berkelanjutan.

Itu mengingatkan pengalaman Mexiko dalam meliberalisasi komoditas jagung sebagai makanan utama mereka, dan petani jagung dialihkan ke kentang. Namun petani Mexiko tidak beralih ke tananam kentang, mereka pindah ke kota. Sebagian juga bermigrasi ke AS (IATP 2007a dan Albert 2004). Penanganan kentang berbeda dengan jagung, terutama dalam penyimpanan, karena pemerintah belum menyiapkan infrastruktur yang layak untuk itu. Yang terjadi adalah peningkatan kemiskinan dan pegangguran di perdesaan Mexiko.

Pada saat kita mengabaikan sektor kunci seperti sub-sektor padi/beras, maka risikonya menjadi besar. Pada situasi pengangguran tinggi dan penggangguran tidak kentara di desa amat menonjol, itu akan menambah kemiskinan dan akan mendorong bertambahnya urbanisasi. Perkotaan akan menerima beban dan akibatnya, seperti kekumuhan, kriminalitas dan keresahan sosial yang terus bertambah. Itu buah dari urbanisasi yang berlebih, mengabaikan peningkatan

Page 16: ekonomi rakyat

pendapatan serta lapangan kerja di perdesaan.

Perdagangan tentu tidak dapat menyelesaikan semua itu, apalagi kemiskinan. Mengotak atik harga pangan agar dibuat murah, sama saja memberi obat penghilang rasa rasa sakit sementara (pin killer), tetapi tidak menyembuhkan penyakit itu sendiri. Penyakit utama adalah lapangan kerja yang terbatas, produktivitas rendah, insentif untuk bekerja di sektor pertanian merosot. Insentif harga adalah salah satu yang tidak boleh diabaikan untuk itu. Demikian juga, pada saat harga beras turun murah yaitu terjadi pada periode import surge yang tinggi periode 1998, 2002, dan 2003, ternyata jumlah orang miskin tetap tidak berkurang secara signifikan. Namun, pada saat harga beras naik, harga beras dianggap sebagai faktor penyebabnya, tidak sebaliknya. Itu amat tidak realistis.

Hampir tidak pernah dijumpai dalam literatur ekonomi, bahwa kemiskinan di negera-negara berkembang dapat diatasi dengan memurahkan pangan. Itu konsep pengentasan kemiskinan yang keliru. Yang benar adalah gerakan sektor riil, ciptakan lapangan kerja, serta tingkatkan produktivitas terutama di sektor pertanian di mana penduduk miskin banyak menggantungkan hidupnya. Industri padi/beras adalah salah satu diantaranya. Bukan membuat harga pangan atau beras murah sehingga menjadi tidak wajar buat petani.

 

Harga Beras dan Kemiskinan: Keganjilan Analisa

Kelemahan lain kaitan harga beras dengan kemiskinan yang dibuat Bank Dunia, telah dibahas dengan baik oleh Sugema (2006). Ia mengatakan bahwa Bank Dunia keliru dalam menyimpulkan hubungan itu. Beras memang besar kontribusinya dalam inflasi, 23%. Namun peran non-beras jauh lebih tinggi mencapai 77%.

Ia juga menyebutkan bahwa hasil penelitiannya dan penelitian lain seperti yang dilakukan UNIDO dan UNSFIR, menemukan bahwa angka kemiskinan BPS amat sensitif dari pengaruh inflasi. Penyebab inflasi tidak sama dengan komponen inflasi. Harga beras adalah komponen inflasi, yang belum tentu penyebab inflasi itu sendiri.

Ia juga mengatakan bahwa adalah keliru kalau memfokuskan pengentasan kemiskinan dari sisi pengeluaran dan harga. Rendahnya pengeluaran keluarga miskin akibat dari ketidakmampuan mereka untuk memperoleh pendapatan yang layak. Peningkatan pendapatan dari pekerjaan yang mereka tekuni, meningkatkan produktivitas kerja, mendorong aktivitas padat kerja adalah solusi yang tepat untuk atasi kemiskinan (Sugema 2006).

Juga penting untuk disikapi secara kritis adalah cara pengukuran tingkat kemiskinan itu sendiri. Pengukuran kemiskinan sebelum krisis terlalu banyak bersandar pada kemiskinan pendapatan berdasarkan indikator konsumsi. Belum banyak memberikan perhatian pada konsep Sen (2000) tentang kemiskinan non-pendapatan. Sen mengatakan bahwa poverty as capability deprivation. Kemiskinan sebagai kehilangan/ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan, perumahan, pendidikan dan pangan. Dimensi kemiskinan Sen terfokus pada non-income poverty, bukan kemiskinan pengeluaran.

Page 17: ekonomi rakyat

Tingkat kemiskinan itu tidak sensitif terhadap harga maupun inflasi. Atas dasar inilah kemudian UNDP merancang kemiskinan manusia, bukan kemiskinan pendapatan. UNDP telah membuat indek tentang itu, yang disebut Human Development Index. Ini seharusnya menjadi acuan kita. Laporan tentang kemiskinan manusia telah dilakukan di Indonesia dengan bantuan UNDP sejak beberapa tahun terakhir. Pada 2004 misalnya, dilaporkan tentang Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia, diterbitkan oleh BPS, Bappenas dan UNDP.

Dengan konsep ini Dhanani dan Islam (2000) misalnya, menghitung kemiskinan manusia di Indonesia sebesar 25%, bandingkan dengan kemiskinan pendapatan BPS hanya 11% pada 1996. Sayang, konsep kemiskinan manusia kurang dipakai sebagai acuan dalam penyusunan program pembangunan daerah maupun nasional. Sehingga Indonesia amat terkebelakang di antara negara ASEAN dalam menyediakan dana untuk kesehatan yang terkait dengan harapan hidup, kematian bayi, akses terhadap air minum yang bersih, juga dana untuk pendidikan.

Oleh karena itu, kalau konsep kemiskinan manusia yang dipakai, maka harga beras atau pangan tidaklah sensitif sebagai penyebab kemiskinan. Capability poverty terkait dengan kemiskinan struktural dan kronis. Itu hanya mungkin dipecahkan oleh pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pertumbuhan yang pro-poor, serta adanya intervensi pemerintah yang terarah ke orang miskin.

 

Impor Beras dari AS tidak Penting?

Bank Dunia (2007) juga mengatakan bahwa ekspor beras AS berpengaruh kecil ke Asia, tentunya juga ke Indonesia. Ekspor beras AS banyak ditujukan ke Amerika Latin. Kalaupun diekspor ke Asia, jenis berasnya berbeda, sehingga harga pasar jenis itu tidak terkait sama sekali (almost completely disconnected) dengan beras lokal. Ini untuk membuktikan bahwa Indonesia tidak perlu kuatir dengan beras yang penuh subsidi berasal dari AS tidak akan berpengaruh besar ke pasar beras dalam negeri.

Namun, data memperlihatkan bahwa impor beras Indonesia dari AS cukup tinggi diantara negara maju yang mengekspor beras ke Indonesia. Impor beras dari AS meningkat di era liberalisasi dan era tarif. Pada 1996, hanya 9 ribu ton, meningkat menjadi 75 ribu ton pada 1999. Pada 2001 dan 2003, adalah tahun-tahun tertinggi impor beras dari AS yaitu mencapai masing-masing 178 ribu dan 108 ribu ton, terbesar selama 10 tahun terakhir.

Setelah Indonesia menerapkan batasan impor beras sejak 2004, impor beras dari AS menurun drastis, hanya 2 ribu ton pada 2005 (Tabel 2). AS berperan penting dalam impor beras ke Indonesia. Hampir separoh impor beras ke Indonesia yang datang dari negara maju berasal dari AS. Beras dari AS yang murah harganya, dipakai oleh para pedagang untuk dicampur (oplos) dengan beras lokal, sehingga menghasilkan jenis beras baru dengan harga yang lebih murah. Atau itu telah memperbesar stok Bulog, sehingga berkurang pula kemampuannya untuk menyerap pengadaan beras/gabah dalam negeri.

Tabel l 2. Impor Beras Indonesia dari Negara Maju dan AS:

Page 18: ekonomi rakyat

1996-2005 (MT)

Tahun USA Negara Maju Lain Total Negara Maju

1996 9,031 6,980 16,011

1997 0 12,352 12,352

1998 22,072 17,756 39,828

1999 74,956 385,725 460,681

2000 49,409 46,975 96,384

2001 177,889 1,522 179,411

2002 13,393 33,158 46,551

2003 107,608 25,231 132,839

2004 16,767 7,327 24,094

2005 2,184 9,081 11,266

Rataan:

Jumlah (MT) 47,331 54,611 101,942

Persen (%) 48 52 100

Sumber: Data dasar berasal dari data impor beras bulanan BPS

 

Impor itu dalam bentuk food aid melalui WFP, program PL480 dengan kredit lunak dan jangka panjang. Kredit lunak dan jangka panjang sesungguhnya juga merugikan pemerintah Indonesia, karena Indonesia harus membayar harga beras yang jauh lebih mahal dari harga beras di luar program. Ini sering dikeluhkan oleh berbagai penjabat di berbagai depertemen, seperti Departemen Keuangan, Bappenas. AS “memaksa” agar Indonesia mau menerima program PL480. Apabila tidak berhasil meyakinkan Bulog misalnya, mereka akan ke departemen lain, atau ke penjabat tertinggi seperti Presiden atau Wakil Presiden. Apabila telah disetujui, selanjutnya yang memutuskan kedatangan beras itu adalah AS. Umumnya didatangkan pada musim panen raya. Itu telah berpengaruh negatif terhadap tingkat harga beras/gabah di dalam negeri. Pemerintah tidak berdaya untuk itu.

AS tentu mampu menjual beras dengan harga murah ke Asia. AS melalui Farm Bill 2002 misalnya memberikan subsidi terhadap 20 komoditas petanian. Namun,

Page 19: ekonomi rakyat

subsidi terbesar ditujukan ke 5 komoditas utama yaitu beras, kapas, gandum, jagung and kedelai (IATP 2007b). Inilah yang menyebabkan mengapa sejumlah negara berkembang sulit bersaing dan terpuruk, seperti petani jagung Meksiko, petani kapas di Afrika ( Husein Sawit, 2007).

AS mensubsidi sejumlah komoditas pangan, itu banyak kaitannya dengan kepentingan korporasi raksasa. Korporasi AS itu merambah dunia, seperti Cargill (beroperasi di 63 negara), Mosanto (61 negara), Tyson Foods (80 negara) dan Archer Danniels Midland yang beroperasi di Amerika Latin, Negara Pasifik, Afrika, Kanada, Eropa.

Hasil penelitian IATP (2007b) menyebutkan bahwa AS melalui lembaga WTO dan Bank Dunia memaksa negara berkembang untuk menurunkan tariff dan membuka pasar, sehingga memuluskan MNCs milik AS untuk melakukan kegiatan bisnis pangan secara global. AS tentu ngiler melihat potensi pasar di sejumlah negara Asia, seperti China, India dan Indonesia. Disana banyak penduduk yang memerlukan pangan, permintaan berbagai jenis pangan yang terus meningkat seiring dengan kemajuan ekonomi. Itu yang mereka ingin rebut.

Penutup

Pandangan Bank Dunia harus disikapi secara kritis. Yang merasakan akibat dari implementasi saran mereka yang bias itu adalah bangsa kita, petani kita, masyarakat kita. Mereka datang kemari silih berganti ahlinya, tetapi itu sekedar melaksanakan pesan sponsor. Kita telah terperangkap dengan hutang luar negeri dan SDA milik bangsa ini yang dikapling dan dikuasai bangsa asing. Kita semakin sulit keluar dari kemiskinan dan kepapaan, padahal kita berada di negara yang kaya.

Sayang para pengambilan keputusan, banyak diantara para birokrat kurang memahami politik kurang terpuji di belakang lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan IMF. Dalam tataran perundingan multilateral misalnya, mereka juga jarang memihak negera berkembang, mereka jelas memihak negara kaya dan korporasi internasional (MNCs). Itulah yang harus disikapi dangan bijaksana dan hati-hati.

 

Daftar Bacaan

 

Albert, H (2004), “ The US Farm Bill and Cotton Cultivation: Is the WTO undermining Rural Development?”, Agriculture and Rural Development, 11 (2)

BPS, Bappenas, UNDP (2004), Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia, UNDP: Jakarta

Dillon, HS, M.H. Sawit, P.Simatupang dan S.R. Tabor (1999),”Rice Policy: A Framework for the Next Millennium”, Report for Internal Review Only for Bulog (November 1999)

Dhanani, S dan I. Islam (2000), “Poverty, Inequality and Social Protection: lessons from the Indonesian crisis”, Working Paper: 00/01, UNSFIR, UNDP

Page 20: ekonomi rakyat

Husein Sawit, M. (2007), Liberalisasi Pangan: Aksi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO, Lembaga Penerbit FE Univ. Indonesia (akan terbit)

IATP (2007a), “A Fair Farm Bill for the World”, a series of papers on the 2007 US Farm Bill, Institute for Agriculture and Trade Policy (IATP): Minnesota

IATP (2007b), “ A Fair Farm Bill for America”, a series of papers on the 2007 US Farm Bill, Institute for Agriculture and Trade Policy (IATP): Minnesota

Perkins, J (2004), Confessions of an Economic Hit Man, Penguin Books Ltd: London

Sen, A. (2000), Development as Freedom, Oxford University Press: New Delhi

Sugema, I (2006), “Inflasi, Kemiskinan, dan Beras”, Kompas, 23 November 2006

Sumaryanto, M. Siregar and Wahida M(2002), “Socio Economic Analysis of

Farm Household in Irrigated Area of Brantas River Basin”, Research report as a part of the study Irrigation Investment, Fiscal Policy, and Water Resource

Allocation in Indonesia and Vietnam , collaboration of IFPRI-CASERD-Kimpraswil-

Jasa Tirta.

World Bank (2007), “Issues in Indonesian Rice Policy”, draft March 2007

 

 

Oleh: Dr. Ir. M. Husein Sawit

Mubyarto

MENGAPA BANK SULIT MEMBERDAYAKAN EKONOMI RAKYAT?

  

Pendahuluan

Memberdayakan ekonomi rakyat di daerah terpencil Kutai Barat ternyata merupakan perjuangan berat bagi siapapun. Bahkan mereka yang percaya perbankan merupakan “agent of development” yang berperan kunci dalam memberdayakan ekonomi rakyat bisa “kecele” menyaksikan kenyataan pahit sulitnya bank bermitra akrab dengan pelaku-pelaku ekonomi rakyat yang miskin, baik di wilayah Ulu Riam di Mahakam Ulu, di kampung-kampung pegunungan, maupun di dataran rendah sepanjang Sungai Mahakam. Meskipun Pemda Kabupaten Kutai Barat sudah menunjuk Bank BPD Melak menyalurkan dana UMKM kepada usaha-usaha kecil “ekonomi rakyat” sebesar Rp 7,5 milyar dari dana APBD, tokh penerima dana-dana DPM (Dinas Pemberdayaan masyarakat) ini masih belum merasakan adanya perhatian dan perlakuan khusus terhadap mereka sebagai pihak-pihak yang berhak menerima perlakuan “istimewa” karena kemiskinannya.

Yulius Seran (37 th) adalah seorang penyandang cacat yang setiap hari menunggu dagangan “rupa-rupa” di pinggir jalan dekat Linggang Bigung. Ia “marah” ketika permintaan pinjaman Rp. 15 juta hanya diberi Rp. 7 juta padahal yang Rp. 8 juta sudah dijanjikan pada seorang teman yang sanggup membuatkan sepeda motor khusus agar ia dapat menggunakannya untuk berbelanja ke

Page 21: ekonomi rakyat

Melak sebulan sekali.

Meskipun belakangan diketahui Yulius Seran seorang yang jujur dan patuh mengangsur kreditnya setiap bulan, tokh Bank BPD tidak tergerak meluluskan sisa kredit yang dimintanya. Rupanya meminjamkan kredit kepada seorang miskin seperti Yulius Seran belum cukup meyakinkan pejabat bank “sebagai jalan melancarkan jalan baginya masuk surga”.

 

Bank adalah Mitra Orang Kaya

Sejak 3 tahun terakhir (2001-2003) jumlah dana masyarakat yang disimpan di 2 bank di Melak (BRI dan BPD) meningkat rata-rata 12,0% pertahun, yaitu dari Rp. 214,2 milyar (2001) menjadi Rp. 256,0 milyar (2002) dan Rp. 272,4 milyar (2003). Yang menarik persentase kenaikan dana pihak ke-3 yang disimpan di bank-bank ini sama sekali tidak diikuti kenaikan yang sepadan dalam jumlah kredit yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha di Melak. LDR (Loan Deposit Ratio) meskipun cenderung naik tetapi hanya sebesar berturut-turut 2,2% (2001), 10,8% (2002), dan 13,8% (2003) dan sampai dengan September 2004 adalah 32,1%. Rupanya kalau tidak ada kredit “UMKM” yang disalurkan dari dana APBD Pemda kabupaten, tidak ada tanda-tanda perbankan “bersemangat” menyalurkan kredit kepada pengusaha-pengusaha di Melak, lebih-lebih kepada usaha-usaha kecil ekonomi rakyat.

Memang ironis. Di satu pihak usaha-usaha kecil lari ke “rentenir” dengan membayar bunga tinggi, tetapi di pihak lain orang-orang kaya menyimpan uang mereka di bank dalam bentuk deposito dengan menerima bunga “menarik”. Para pelepas uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi, dan sebaliknya orang miskin harus membayar bunga tinggi kepada orang-orang kaya.

Jika ekonomi rakyat dapat diberdayakan melalui kredit lunak sehingga kesejahteraannya meningkat, mengapa Pemda tidak terdorong untuk mengambil langka-langkah demikian dalam GSM (Gerakan Sendawar Makmur) dengan menyalurkan kredit mikro sebanyak mungkin kepada usaha-usaha ekonomi rakyat yang membutuhkannya. Ternyata kunci penyebabnya terletak pada diberlakukannya sistem ekonomi kapitalis yang telah dipilih oleh pemerintah pusat. Dalam sistem ekonomi kapitalis segala upaya dilakukan untuk melindungi kepentingan para pemodal/pemilik uang, yang dengan memberikan jaminan rasa aman pada para pemilik modal ini. Maka ada lembaga penjaminan kredit, dan dalam kaitan penyaluran kredit UMKM ada lembaga KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank), yang dibiayai oleh sebagian bunga kredit yang dibayar penerima kredit (debitor). Mengapa tidak ada Konsultan Keuangan Mitra Ekonomi Rakyat (KKMER) meskipun jelas ekonomi rakyat inilah yang paling membutuhkan jasa konsultan, bukan justru bank yang sebenarnya tidak memerlukan konsultan keuangan itu.

Kalau perangsang dan perlindungan kepada para pemilik modal dalam sistem ekonomi kapitalis ini belum dianggap cukup, Bank Indonesia sudah sejak lama mengeluarkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang menjanjikan bunga menarik kepada dunia perbankan untuk menyimpan dana-dana yang dihimpunnya dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Penetapan tingkat bunga yang menarik selalu dijadikan alasan mudah bagi dunia perbankan untuk tidak menyalurkan dananya sebagai kredit kepada dunia usaha. Bunga SBI ini pernah mencapai 17,5% pertahun yang tentu saja menjadi alasan sangat kuat bagi setiap bank untuk mengirimkan dana-dana pihak ke-3 yang dihimpun di bank-bank di daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk dikirim ke Jakarta. Inilah faktor penyebab rendahnya nilai LDR (Loan Deposit Ratio) di setiap daerah, sehingga ketika banyak daerah-daerah miskin/tertinggal berteriak mengharapkan kredit yang murah dan mudah, tokh dana-dana perbankan yang terhimpun di daerah-daerah seperti itu justru dikirim ke kantor pusat bank yang bersangkutan. Bank-bank yang lebih banyak mengirim dana-dana dari daerah-daerah ke kantor pusat selalu mudah menerangkan perilaku keliru ini karena “kesulitan menemukenali” proyek-proyek ekonomi dan bisnis yang bankable yang dapat didanai, padahal yang benar bank-bank ini memang merasa lebih aman menggunakan dana-dana yang dihimpun dengan dibelikan SBI.

Jelas kiranya dari analisis ini bahwa perbankan di Indonesia tidak lain daripada lembaga pencari/pengejar untung, dan sama sekali bukan agent of development. Jika bank-bank kita lebih banyak merupakan perusahaan yang menomorsatukan pendapatan bunga, agar dapat membayar jasa bunga deposito yang menarik kepada deposan, bahkan termasuk tambahan hadiah-hadiah menarik seperti mobil dan rumah-rumah mewah, maka amat sulit menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan ekonomi rakyat. Akibatnya bank juga tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang mendukung upaya-upaya besar pemberantasan kemiskinan.

 

Page 22: ekonomi rakyat

Kesimpulan

Kasus “kecil” perilaku perbankan di Kabupaten Kutai Barat dengan kemiskinan 42% tahun 2003-2004 menarik dijadikan contoh betapa besar hambatan yang dihadapi dalam program-program pemberantasan kemiskinan. Jika suatu daerah miskin sebagian warga masyarakatnya sudah berhasil “menjadi kaya” sehingga mampu menyimpan dana-dana yang dikumpulkannya di bank setempat, kiranya masuk akal bagi perbankan untuk memanfaatkan dana-dana tersebut bagi pemberdayaan ekonomi rakyat dan yang pada gilirannya mampu memberantas kemiskinan. Proses tolong-menolong antar pemilik modal dan ekonomi rakyat yang membutuhkan modal ini dalam era otonomi daerah seharusnya berkembang dengan baik dan bergairah. Tetapi mengapa hal ini tidak terjadi? Dari analisis tersebut bisa dibuktikan bahwa alasan pokoknya adalah karena sistem ekonomi kapitalis-liberal/neoliberal sudah dijadikan pegangan pokok pemerintah pusat/ daerah yang diterapkan di mana-mana di seluruh Indonesia. Dalam sistem ekonomi kapitalis, para pemilik modal (kapitalis) merupakan pihak yang paling dipuja dan dihormati, yang kepentingannya paling dilindungi. Dari sinilah berkembang kepercayaan perlunya penciptaan iklim merangsang agar para pemodal (investor) asing bersedia datang ke Indonesia atau ke daerah-daerah tertentu untuk menanamkan modalnya.

Sebenarnya segera dapat dikenali satu kontradiksi. Jika suatu daerah berusaha menarik investor, yaitu mereka yang memiliki modal, mengapa modal yang terhimpun di bank dari orang-orang kaya setempat malah dikirim keluar daerah, dan justru tidak diputarkan atau ditanamkan dalam usaha-usaha setempat. Fenomena kontradiktif ini sampai kapan pun tetap tidak akan berubah, kecuali jika kita berani mengubah sistem ekonomi kita dari sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem ekonomi Pancasila. Dalam sistem ekonomi Pancasila kebijakan perbankan tidak diarahkan untuk melindungi para pemilik modal secara berlebihan tetapi harus diubah menjadi upaya total pemberdayaan ekonomi rakyat dengan ukuran hasil akhir makin terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

 

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.

 

Ekonomi Rakyat dan Reformasi Kebijakan - Oktober  2004]

Mubyarto

SIAPA LEBIH MERUSAK LINGKUNGAN: ORANG MISKIN ATAU ORANG KAYA?

 

 

The greatest threat to the equilibrium of the environment comes from the way the economy is organized... ever increasing growth and accumulation (Ravaioli, 1995: 4) 

 1. Jika hutan kita menjadi gundul atau terbakar, sehingga lingkungan hidup kita rusak, siapa biang

keladinya? Penduduk miskin di hutan-hutan dan sekitar hutan menebang hutan negara untuk memperoleh penghasilan untuk makan. Tetapi kayu-kayu yang diperolehnya ditampung calo-calo untuk dijual, dan kemudian dijual lagi untuk ekspor, yang semuanya “demi keuntungan”. Siapa yang paling bersalah dalam proses perusakan lingkungan ini? Yang jelas tidak adil adalah kalau yang disalahkan hanya orang-orang miskin saja, sedangkan orang-orang kaya adalah “pahlawan pembangunan”.

2. Apabila dikatakan penduduk miskin terbiasa ... “membuang kotoran manusia secara sembarangan yang akan berakibat pada terjangkitnya diare ...” atau “penduduk miskin hanya menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, dan mereka cenderung mengabaikan pemeliharaan

Page 23: ekonomi rakyat

lingkungan sekitar”, kiranya pernyataan ini juga tidak adil. Pemenuhan kebutuhan pokok penduduk miskin bukan masalah “hanya”, tetapi “mutlak” harus dipenuhi untuk hidup. Penduduk miskin tidak memperhatikan lingkungan hidup sekitarnya bukanlah karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka melakukannya dengan terpaksa.

3. Agar adil kita harus mengakui bahwa kerusakan lingkungan khususnya hutan, disebabkan para pemodal yang haus keuntungan, “memesan” kayu dalam jumlah besar  sebagai bahan baku industri yang memang permintaannya sangat besar pula. Akumulasi keuntungan dan kekayaan yang tidak mengenal batas harus dianggap sebagai penyebab utama kerusakan/pengrusakan hutan, bukan karena orang-orang miskin banyak yang merusak hutan. Maka untuk menjamin terjadinya pembangunan yang berkelanjutan kita harus menghentikan keserakahan orang-orang kaya. Adalah sangat keliru ilmu ekonomi justru memuja “keserakahan”.

4. Perkembangan pedagang kaki lima (PKL) yang tumbuh menjamur dimana-mana, yang dianggap merusak lingkungan karena mengotori jalan dan mengganggu ketertiban, juga tidak mungkin ditimpakan kesalahannya pada PKL karena pekerjaan itulah satu-satunya “mata pencaharian” yang dapat dilakukan dalam kondisi kepepet. Ia menggunakan modal sendiri dengan resiko usaha ditanggung sendiri, tidak ada subsidi apapun dar pemerintah, dan memang ada pembeli terhadap barang/jasa yang ditawarkannya. Jadi dalam hal ini lingkungan yang rusak harus diselamatkan melalui upaya-upaya “pencegahan” munculnya PKL, bukan dengan “menggusurnya” setelah berkembang. PKL bukan “masalah” tetapi ”pemecahan” masalah kemiskinan.

5. Kesimpulan kita, pendekatan terhadap masalah “pengurangan kemiskinan dan pengelolaan lingkungan” atau sebaliknya terhadap “pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan strategi penanggulangan kemiskinan” selama ini kiranya salah dan tidak adil, karena melihat kemiskinan sebagai fakta tanpa mempelajari sumber-sumber dan sebab-sebab kemiskinan itu. Akan lebih baik dan lebih adil jika para peneliti memberi perhatian lebih besar pada sistem ekonomi yang bersifat “serakah” dalam eksploitasi SDA, yaitu sistem ekonomi kapitalis liberal yang berkembang di Barat, dan merajalela sejak jaman penjajahan sampai era globalisasi masa kini. Sistem ekonomi yang tepat bagi Indonesia adalah sistem ekonomi pasar yang populis dan mengacu pada ideologi Pancasila dengan lima cirinya sebagai berikut:

(1)   Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;

(2)   Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;

(3)   Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;

(4)   Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;

(5)   Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggung jawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

6 Oktober 2004

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.

Mubyarto

 

Page 24: ekonomi rakyat

 

Pendahuluan

Menyimak secara serius pernyataan-pernyataan para Capres/Cawapres di media elektronik tentang program-program ekonomi yang dijanjikan kepada rakyat untuk dilaksanakan, jika mereka terpilih, dengan segala maaf saya harus menyatakan sangat prihatin. Pada umumnya para Capres/Cawapres belum memahami benar apa itu ekonomi rakyat, dan karena belum jelas pemahaman mereka mengenai ekonomi rakyat, maka sulit diharapkan dapat dirumuskannya program-program kongkrit bagaimana mengembangkannya, dan yang sangat sering diucapkan bagaimana memberdayakannya.

Yang lebih sering kita dengar justru bukan konsep tentang ekonomi rakyat, tetapi ekonomi kerakyatan, yang menurut mereka harus diberdayakan juga. Maka mereka dengan bersemangat menyatakan akan menyusun dan melaksanakan program pemberdayaan ekonomi kerakyatan padahal ekonomi kerakyatan sebagaimana tercantum jelas dalam Propenas (UU No. 25/2000) adalah sistem ekonomi. Sistem ekonomi dapat dikembangkan dan yang jelas dilaksanakan, tidak diberdayakan, karena yang diberdayakan adalah orangnya, pelakunya, yaitu ekonomi rakyat.

 

Tentang Ekonomi Rakyat

Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut:

Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)

Jika kita mengacu pada Pancasila dasar negara atau pada ketentuan pasal 33 UUD 1945, maka memang ada kata kerakyatan tetapi harus tidak dijadikan sekedar kata sifat yang berarti merakyat. Kata kerakyatan sebagaimana bunyi sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang artinya tidak lain adalah demokrasi ala Indonesia. Jadi ekonomi kerakyatan adalah (sistem) ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi atau (sistem) ekonomi yang demokratis termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:

Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 

Memang sangat disayangkan bahwa penjelasan tentang demokrasi ekonomi ini sekarang sudah tidak ada lagi karena seluruh penjelasan UUD 1945 diputuskan MPR untuk dihilangkan dengan alasan naif, yang sulit kita terima, yaitu “di negara-negara lain tidak ada UUD atau konstitusi yang memakai penjelasan”.

 

Bagaimana memberdayakan ekonomi rakyat

Jika kini telah diyakini bahwa yang harus diberdayakan adalah ekonomi rakyat bukan ekonomi kerakyatan, maka pertanyaan lugas yang dapat diajukan adalah bagaimana (cara) memberdayakan ekonomi rakyat.

Jika ekonomi rakyat dewasa ini masih “tidak berdaya”, maka harus kita teliti secara mendalam mengapa tidak berdaya, atau faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ketidakberdayaan pelaku-pelaku ekonomi rakyat itu. Untuk menjawab pertanyaan inilah kutipan pernyataan Bung Karno di atas sangat membantu, yaitu ekonomi

Page 25: ekonomi rakyat

rakyat menjadi kerdil, terdesak, dan padam, karena sengaja disempitkan, didesak, dan dipadamkan oleh pemerintah penjajah melalui sistem monopoli, dan (sistem) monopoli ini dipegang langsung oleh pemerintah, atau diciptakan pemerintah dan diberikan kepada segelintir perusahaan-perusahaan konglomerat. Dari keuntungan besar yang diperolehnya kemudian konglomerat memberikan “bagi hasil” kepada pemerintah atau lebih buruk lagi kepada “oknum-oknum pejabat pemerintah”. Inilah salah satu bentuk korupsi melalui koneksi dan nepotisme yang kemudian disebut dengan nama KKN.

Cara yang paling mudah memberdayakan ekonomi rakyat adalah menghapuskan sistem monopoli, yang pernah “disembunyikan” dengan nama sistem tata niaga. Misalnya tataniaga jeruk Kalbar atau tataniaga cengkeh Sulut. Padahal yang dimaksudkan jelas sistem monopoli yang pemegang monopolinya ditunjuk pemerintah yaitu BPPC untuk cengkeh dan Puskud untuk Jeruk Kalbar. Itulah yang pernah kami katakan bahwa “di Indonesia pernghapusan monopoli tidak memerlukan UU Anti Monopoli seperti di AS tetapi jauh lebih mudah dan lebih sederhana yaitu dengan menerbitkan sebuah SK (Surat Keputusan) dari Presiden atau Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk mencabut monopoli yang sebelumnya memang telah diberikan pemerintah”.

Cara lain yang juga sudah sering kami anjurkan adalah pemberdayaan melalui pemihakan pemerintah. Jika pemerintah bertekad memberdayakan petani padi atau petani tebu misalnya, pemerintah harus berpihak kepada petani. Berpihak kepada petani berarti pemerintah tidak lagi berpihak pada konglomerat seperti dalam kasus jeruk dan cengkeh, yang berarti petani jeruk dan petani cengkeh memperoleh “kebebasan” untuk menjual kepada siapa saja yang mampu memberikan harga terbaik.

Khusus dalam kasus petani padi, yang terpukul karena harga pasar gabah dibiarkan merosot di bawah harga dasar, keberpihakan pemerintah jelas harus berupa pembelian langsung gabah “dengan dana tak terbatas” sampai harga gabah terangkat naik melebihi harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah.

Demikian pemberdayaan dan pemihakan pada ekonomi rakyat sangat mudah pelaksanaannya kalau kita terapkan langsung pada ekonomi rakyat, bukan pada ekonomi kerakyatan, yang terakhir ini berarti sistem atau aturan main, yang tidak dapat diberdayakan.

Dengan digantinya oleh pemerintah istilah ekonomi rakyat dengan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang sebenarnya sekedar menterjemahkan istilah asing SME (Small and Medium Enterprises), yang tidak mencakup 40 juta usaha mikro (93% dari seluruh unit usaha), maka segala pembahasan tentang upaya pemberdayaan ekonomi rakyat tidak akan mengena pada sasaran, dan akan menjadi slogan kosong.

Bahkan ada Capres/Cawapres yang secara sangat keliru menyamakan sektor ekonomi rakyat dengan sektor informal, yang hanya diartikan sebagai pelaku-pelaku ekonomi yang tidak berbadan hukum yang selalu “melanggar hukum” sehingga harus “ditindak”. Dan dengan definisi ini kemudian diajukan program pemberdayaan sektor “UKM” dengan secepatnya menjadikan atau “mentransformasi” sektor informal menjadi sektor formal. Jelas usulan program seperti ini tidak masuk akal dan menunjukkan ketidakpahaman Capres/Cawapres yang bersangkutan tentang ekonomi rakyat yang menyangkut hajat hidup 160 juta orang Indonesia yang sebenarnya sudah jauh lebih tua dibanding sektor formal, sektor informal sebaiknya justru yang disebut sektor formal.

 

Penutup

Tidak terlalu sulit bagi para Capres/Cawapres untuk mengkampanyekan program-program yang benar-benar dapat memberdayakan ekonomi rakyat asal pengertian ekonomi rakyat dipahami secara benar. Ekonomi rakyat adalah ekonominya wong cilik yang telah tergeser, terjepit, dan tersingkir, ketika pemerintah Orde Baru memprioritaskan kebijakan, strategi, dan program-programnya pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi sekaligus dengan mengabaikan atau menunda pemerataannya. Kini dengan paradigma baru yang menomorsatukan pemerataan dan keadilan sesuai asas-asas ekonomi Pancasila, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dijadikan kebijakan, strategi, dan program-program utama.

Kami anjurkan para Capres/Cawapres tidak memilih menggunakan istilah “UKM” yang salah kaprah, dan lebih baik mengunakan istilah ekonomi rakyat yang setiap orang yang “tidak terpelajar” pun mengerti persis artinya, yang merupakan istilah dan konsep yang sudah dipakai Bung Karno dan Bung Hatta sejak zaman pergerakan kemerdekaan.

 

 

Page 26: ekonomi rakyat

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala

Awan Santosa

RELEVANSI PLATFORM EKONOMI PANCASILA MENUJU PENGUATAN PERAN EKONOMI RAKYAT

 

 

Pemilu 2004 sudah pasti akan diwarnai dengan ‘pertarungan politik’ antar parpol, sekaligus juga antar kandidat calon presiden, caleg, dan antar calon anggota DPD. Hasilnya bisa jadi kekuasaan tetap dipegang ‘pemimpin lama’, atau mungkin pula akan muncul penguasa-penguasa baru, partai baru, dan orang-orang yang baru pula. Lalu, akan berubahkah nasib ekonomi bangsa kita? Tidak dapat dipastikan, kecuali ada ‘janji-janji’ perubahan kebijakan ataupun program ekonomi yang lebih banyak bersifat parsial dan konvensional dari partai peserta pemilu. Saya setuju dengan Khudori (2004) bahwa momen Pemilu 2004 selayaknya bukan saja memungkinkan pergantian orang atau partai melainkan pergantian ideologi atau moral ekonomi yang mengarah pada ciri neoliberal-kapitalistik dewasa ini. Bukan berganti menjadi apa-apa, melainkan kembali ke ideologi atau moral ekonomi Pancasila, sebuah ideologi ekonomi yang ‘ke-Indonesia-an’.

Tulisan ini menjawab pragmatisme atau ketidaktahuan banyak orang sehingga mereka bertanya-tanya, relevankah Ekonomi Pancasila dalam memperkuat peranan ekonomi rakyat dan ekonomi nasional di era global (isme) kontemporer? Mereka skeptis, bukankah sistem ekonomi kita sudah mapan, makro-ekonomi sudah stabil dengan indikator rendahnya inflasi (dibawah 5%), stabilnya rupiah (Rp 8.500,-), menurunnya suku bunga (dibawah 10%). Lalu, apakah tidak mengada-ada bicara sistem ekonomi dari ideologi yang pernah ‘tercoreng’, dan tidak nampak wujudnya, tidak realistis, dan utopis? Mereka ini begitu yakin bahwa masalah ekonomi (krisis 97) adalah karena ‘salah urus’ dan bukannya ‘salah sistem’, apalagi dikait-kaitkan dengan ‘salah ideologi’ atau ‘salah teori’ ekonomi. Tidak dapat disangkal, KKN yang akut memberi sumbangan besar bagi keterpurukan ekonomi bangsa ini. Namun, krisis di Indonesia juga tidak terlepas dari berkembangnya paham kapitalisme disertai penerapan liberalisme ekonomi yang ‘kebablasan’. Akibatnya, kebijakan, program, dan kegiatan ekonomi banyak dipengaruhi paham (ideologi), moral, dan teori-teori kapitalisme-liberal.

Disinilah relevansi platform (istilah penulis) Ekonomi Pancasila, sebagai ‘media’ untuk mengenali (detector) bekerjanya paham dan moral ekonomi yang berciri neo-liberal kapitalistik di Indonesia. Profesor Mubyarto merumuskan Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi yang bermoral Pancasila, dengan lima platform sebagai manifestasi sila-sila Pancasila yaitu moral agama, moral kemerataan sosial, moral nasionalisme ekonomi, moral kerakyatan, dan moral keadilan sosial. Ekonomi Pancasila merupakan prinsip-prinsip moral (ideologi) ekonomi yang diderivasikan dari etika dan falsafah Pancasila. Oleh karena itu, selain berisi cita-cita visioner terwujudnya keadilan sosial, ia juga mengangkat realitas sosio-kultur ekonomi rakyat Indonesia, sekaligus ‘rambu-rambu’ yang bernilai sejarah untuk tidak terjerumus pada paham liberalisme dan kapitalisme. Gagasan Ekonomi Pancasila mulai dikembangkan Profesor Mubyarto sejak tahun 1981 dalam suatu polemik tentang sistem ekonomi nasional sampai saat ini. Inilah platform ekonomi yang lebih awal lahir daripada gagasan Amitai Etzioni tentang ‘ekonomi baru’ yang berdimensi moral dalam bukunya The Moral Dimension: Toward a Newf Economics, Free Press 1988). Penerapan platform Ekonomi Pancasila secara utuh (multi-sektoral) dan menyeluruh (nasional) menempatkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi khas Indonesia yaitu Sistem Ekonomi Pancasila.

Lalu, apa bukti platform Ekonomi Pancasila relevan dengan kondisi sosial-ekonomi kita saat ini? Di tengah pesatnya perkembangan ilmu (ideologi) ekonomi global yang sudah semakin mengarah pada ‘keyakinan’ layaknya agama  (Nelson, 2001), rasanya tidak sulit mengamati ekses dari kecenderungan global tersebut di Indonesia. Relevansi Ekonomi Pancasila dapat ‘dideteksi’ dari tiga kontek yang berkaitan yaitu cita-cita ideal pendiri bangsa, praktik ekonomi rakyat, dan praktek ekonomi aktual yang ‘menyimpang’ karena berwatak liberal, individualis, dan kapitalistik. Semua itu terangkum dalam kajian lima platform Ekonomi Pancasila yang bersifat holistik dan visio-revolusioner (Mubyarto, Ekonomi Pancasila, 2003).Kita mulai dari platform pertama Ekonomi Pancasila yaitu moral agama, yang mengandung prinsip “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”. Pada awalnya founding fathers kita merumuskan ‘politik kemakmuran’, ‘keadilan sosial’, dan ‘pembangunan karakter’ (character building) bangsa yang dilandasi semangat penerapan

Page 27: ekonomi rakyat

ajaran moral dan agama. Itu berarti pembangunan ekonomi harus beriringan dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan untuk menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah, tidak sekedar pembangunan materiil semata. Inilah moral ekonomi rakyat yang tidak sekedar mencari untung, melainkan memperkuat silaturahmi, menegakkan hukum-hukum Allah (syari’ah), dan memperhatikan kepentingan sosial. Asalkan tidak malas untuk turun ke desa-desa atau ke pelaku ekonomi rakyat, tidak sulit untuk menemukan praktek ekonomi bermoral ini.

Relevansi platform Ekonomi Pancasila dalam hal ini dikuatkan akutnya perilaku ekonomi di Indonesia yang sama sekali mengabaikan moral, etika, bahkan agama. Lihat saja korupsi yang sudah membudaya dan melembaga karena tidak pernah diperhatikan secara serius, kecuali saat-saat terakhir menjelang Pemilu 2004 dengan pembentukan KPTPK. Ada lagi maraknya ‘penjarahan alam’ berupa penebangan hutan secara liar (llegal logging) yang terlalu lama ‘didiamkan’ sehingga berakibat banjir, tanah longsor, dan kekeringan di sebagian wilayah di Jawa, Sumatara, dan pulau lainnya. Yang masih panas-panasnya adalah maraknya ‘pornoaksi’ dangdut erotis lewat media TV yang memang ‘dibiarkan’ di alam kebebasan (liberalisme) saat ini. Tanpa peduli moral, agama, dan dampak sosial bagi masyarakat, para penyanyi, produser, perusahaan (iklan), dan stasiun TV, mengeruk ‘rente’ dari kegiatan ekonomi (bisnis) mereka. Masih ada juga  penggusuran orang miskin, pengabaian nasib TKI, dan ribut-ribut soal ‘pesangon’ BPPN atau DPRD di berbagai tempat. Kondisi itu menegaskan perlunya ‘revolusi moral ekonomi’ menuju pengejawantahan platform Ekonomi Pancasila, yang bermoral dan tidak sekuler.

Platform kedua adalah “kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial”. Gagasan ini sudah lama tertuang dalam bagian penjelasan Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen dalam konsep ‘kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang’. Sampai saat ini masih sulit meyakini realisasi semangat tersebut karena setiap upaya ‘memakmurkan ekonomi’ ternyata yang lebih merasakan dampaknya tetap saja ‘orang besar’ baik pengusaha ataupun pejabat pemerintahan. Masih saja ketimpangan sosial-ekonomi susah untuk diperkecil. Di puncak piramida yang menguasai mayoritas kue nasional dihuni segelintir manusia. Sebaliknya, di dasar piramida yang kuenya kecil diperebutkan puluhan juta orang (Khudori, 2004).

Zakat yang sudah diformalkan (UU) dan pajak sebagai instrumen pemerataan ternyata belum mampu berbuat banyak, padahal potensi untuk itu sangat besar. Banyak orang yang memiliki kekayaan milyaran (termasuk calon-calon presiden kita, Tempo, 2004), namun banyak pula yang pendapatannya pas-pasan sekedar untuk bertahan hidup. Itulah kita, hidup di ‘negara kaya’ (SDA) yang ‘miskin’ (terlilit utang), tetapi masih mampu menampilkan gaya hidup mewah, eksklusif, dan glamour dari sebagian elit warganya. Lihatlah pesta-pesta bernilai ratusan juta semalam yang sering diadakan ‘selebriti’, termasuk juga acara-acara pejabat yang sering menyentak hati karena dipaksakan untuk tetap ada dan mewah. Dalam pada itu, kita masih saja berbicara pertumbuhan ekonomi mau 4%, 5%, atau 7%, tanpa berupaya keras memprioritaskan pemerataannya ataupun berusaha sedikit lebih ‘sederhana’ di tengah kemiskinan yang menjerat kurang lebih 36 juta rakyat Indonesia. Kita dapat belajar pada ekonomi rakyat kita, terutama di perdesaan, yang masih memegang prinsip kebersamaan dan solidaritas sosial-ekonomi dalam kegiatan mereka. Ekonomi Pancasila berfungsi sebagai platform ekonomi yang memperjuangkan pemerataan dan moral kemanusiaan melalui upaya-upaya ‘redistribusi pendapatan’.

Platform ketiga adalah “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri”. Platform ini sejalan dengan konsep founding fathers kita, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, perihal ‘politik-ekonomi berdikari’ yang bersendikan usaha mandiri (self-help), percaya diri (self reliance), dan pilihan kebijakan luar negeri bebas-aktif. Kemandirian bukan saja menjadi cita-cita akhir pembangunan nasional, melainkan juga prinsip yang menjiwai setiap proses pembangunan itu sendiri. Ini mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk tidak hanya mencapai ‘nilai tambah ekonomi’ melainkan juga ‘nilai tambah sosial-kultural’, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa (Swasono, 2003). Oleh karena itu pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ekonomi rakyatlah yang bersifat mandiri, tidak ‘menyusahkan’ atau ‘membebani’ ekonomi nasional di saat krisis, sehingga ‘daya tahan’ ekonomi mereka tidak perlu diragukan lagi.

Lalu, kenapa saat ini nasionalisme ekonomi seakan-akan telah dianggap tidak penting, tidak relevan, dan tidak perlu diperjuangkan? Lihat saja, petani dan peternsk kecil kita begitu ‘menjerit’ di saat ada impor beras, gula, dan paha ayam. Apa gunanya kampanye cinta produk dalam negeri bila pemihakan terhadap pelaku ekonomi rakyat sebagai produsen lokal masih setengah hati. Lagi pula, mengapa kita ragu untuk melakukan ‘proteksi’ terhadap petani kita di saat Amerika, Jepang, negara-negara Eropa memberikan perlindungan kepada petani-

Page 28: ekonomi rakyat

petani mereka. Lebih lanjut, justru investasi (asing) dan privatisasi BUMN yang saat ini begitu dipercaya sebagai ‘dewa’ pertumbuhan ekonomi dengan melupakan begitu saja sifat pemodal besar untuk mencari tempat yang menguntungkan bagi investasi mereka. Dengan begitu pelarian modal (capital flight) atau relokasi industri adalah wajar bagi mereka, dan memang tidak ada kamus ‘nasionalisme ekonomi’ atau ‘nasionalisme modal’ dalam istilah mereka. Ada kesan kuat bahwa interaksi yang timpang (sub-ordinatif) dengan lembaga asing seperti IMF dan CGI (terkait dengan jebakan utang) telah ‘mengaburkan’ pentingnya kemandirian ekonomi bangsa yang ditopang oleh semangat nasionalisme ekonomi.

Platform keempat adalah “demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”. Prinsip ini dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945 yang kini sudah berganti menjadi UUD 2002 (amandemen keempat). Perubahan ini telah menghilangkan seluruh penjelasan UUD 1945 termasuk penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan landasan konstitusional koperasi. Oleh karena itu, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah privatisasi BUMN dan liberalisasi impor.

Pemilu 2004 setidaknya merupakan manifestasi demokrasi politik, namun bagaimana dengan manifestasi demokrasi ekonominya?  Penghapusan ‘koperasi’ dari penjelasan UUD 45 dan memasukkan ideologi ‘persaingan’ dan ‘pasar bebas’ dalam pasal 33 merupakan runtutan dari kebijakan privatisasi BUMN yang ditentang banyak kalangan. Beralihnya pemilikan BUMN ke investor swasta melalui privatisasi dikhawatirkan justru memperpuruk kesejahteraan ekonomi rakyat (Baswir, 2001). Kita patut prihatin jika aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak terus ‘diobral’ ke pemodal besar apalagi pemodal asing (kasus Indosat). Jika dasar dan pengertian demokrasi ekonomi (dalam penjelasan Pasal 33 ) sudah ‘dihapuskan’, maka dengan platform Ekonomi Pancasila kita berusaha keras untuk mengembalikan hakekat demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi kerakyatan dengan ciri ‘produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat’.

Platform kelima (terakhir) adalah “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah (daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai potensi masing-masing. Oleh karena itu pengalaman pahit sentralisasi politik-ekonomi era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun strategi pembangunan nasional. Inilah substansi Negara Kesatuan yang tidak membiarkan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan aktivias ekonomi oleh pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma yang kemudian dibangun adalah pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di Indonesia seperti yang dilakukan Orde Baru dengan paham developmentalism yang netral visi dan misi (Swasono, 2003).

Meskipun otonomi daerah telah mendorong kemandirian dan kreativitas Pemda dalam membangun wilayah mereka, namun masih saja mereka merasa kesulitan untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah. Langkah yang lazim diambil adalah optimalisasi PAD melalui pemberlakuan Perda-Perda yang justru kadang ‘bertentangan’ dengan peraturan di atasnya seperti halnya hasil kajian Depdagri menunjukkan ada  sekitar 7000 perda yang dinilai tidak layak diterapkan (Sunarsip, 2004). Keadaan ini dimungkinkan karena masih juga terjadi ketimpangan antarwilayah, antara pusat dan daerah di Indonesia. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimaksudkan untuk mengoreksi sentralisasi ekonomi dan pemerintahan praktis tidak mengubah sedikitpun perimbangan penerimaan negara di Indonesia. Pusat tetap memungut 95 persen, sedangkan PAD seluruh daerah di Indonesia tetap hanya 5 persen. Otonomi hanya mengubah sedikit sisi belanja. Sebelum otonomi pusat membelanjakan 78 persen, kini pusat membelanjakan 70 persen (Khudori, 2004).

Demikian, momentum Pemilu dan Sidang Umum 2004 merupakan saat yang tepat untuk mengoreksi kekeliruan sistem dan paham ekonomi kita, untuk kemudian merombaknya dengan kembali ke Sistem Ekonomi Pancasila. Gagasan para pendiri bangsa kita yang sejalan dengan praktek ekonomi rakyat dan menentang keras praktek ekonomi yang neo-liberal-kapitalistik kiranya menyadarkan kita akan perlunya perombakan sistem ekonomi tersebut. Inilah relevansi lima platform Ekonomi Pancasila yang dapat menjadi panduan (guidance) bagi pergantian sistem dan ideologi ekonomi menjadi ekonomi yang lebih bermoral, berkerakyatan, dan berciri ‘ke-Indonesia-an’, sehingga lebih menjamin upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pertanyaannya, sadarkah para capres, caleg, dan calon pejabat pemerintahan lainnya akan kebutuhan adanya platform ekonomi yang khas Indonesia ini? Seandainya mereka (dan partainya) memiliki platform ekonomi tersendiri, kiranya dapat diperdebatkan dengan platform Ekonomi Pancasila. Bangsa kita benar-benar

Page 29: ekonomi rakyat

membutuhkan platform ekonomi yang utuh, komprehensif, bernilai historis, dan visio-revolusioner. Bukannya platform ekonomi yang konvensional, parsial, dan ‘eksklusif’ dari bidang bidang lain seperti politik, budaya, dan hukum. Seruan memberantas korupsi atau ‘anti politisi busuk’ saja belum cukup tanpa disertai reformasi (revolusi?) ideologi dan moral ekonomi liberal-kapitalistik yang menumbuhsuburkan praktek korupsi dan kejahatan ekonomi (economic crime) lain di Indonesia. Apakah Pemilu dan Sidang Umum 2004 akan mampu menjawab kebutuhan ini?

 

 

Yogyakarta, 5 Februari 2004

 

 

Oleh: Awan Santosa, SE -- Asisten Peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Pancasil (PUSTEP) UGM.

 

Mubyarto

MENGEMBANGKAN EKONOMI RAKYAT SEBAGAI LANDASAN EKONOMI PANCASILA

 

I . Kemiskinan Penduduk Pribumi di Jaman Penjajahan

Pierre Van der Eng, [2] seorang sejarawan Belanda menulis tentang strata ekonomi penduduk di jaman penjajahan. Pada tahun 1930, dua tahun setelah Sumpah Pemuda, 51,1 juta penduduk pribumi (Indonesia) yang merupakan 97,4% dari seluruh penduduk yang berjumlah 60,7 juta hanya menerima 3,6 juta gulden (0,54%) dari pendapatan “nasional” Hindia Belanda, penduduk Asia lain yang berjumlah 1,3 juta (2,2%) menerima 0,4 juta gulden (0,06%) sedangkan 241.000 orang Eropa (kebanyakan Belanda) menerima 665 juta gulden (99,4%). Sangat “njomplangnya” pembagian pendapatan nasional inilah yang sulit diterima para pejuang perintis kemerdekaan Indonesia yang bersumpah tahun 1928 di Jakarta. Kemerdekaan, betapapun sangat “mahal” harganya, harus dicapai karena akan membuka jalan ke arah perbaikan nasib rakyat dan bangsa Indonesia.

[2] Pierre Van der Eng, Indonesia’s Economy and Standard of Living in the 20th Century dalam Grayson Lloyd & Shannon Smith, 2001, Indonesia Today, ISEAS, Singapore, hal. 194.

Kini setelah Indonesia merdeka 58 tahun, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika jaman penjajahan, tetapi konglomerasi (1987-1994) yang menciptakan ketimpangan ekonomi luar biasa, sungguh-sungguh merupakah “bom waktu” yang kemudian meledak sebagai krismon 1997. Dalam 26 tahun (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan 9,8 (1997), dan Gini Rasio meningkat berturut-turut dari 0,18 menjadi 0,21 dan 0,24.[3]

[3] Van der Eng, idem, hal. 197.

Terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi (7% pertahun selama 3 dekade, 1966-1996) “tidak diridhoi” Allah SWT dan krismon “diturunkan” untuk mengingatkan bangsa Indonesia.

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Q.S.   17 Al Israa’: 16)

 

II. Krisis Moneter Mengembangkan Keuangan Mikro

Page 30: ekonomi rakyat

Sejak terjadinya krisis moneter (krismon) yang berakibat langsung pada ditutupnya 16 bank swasta nasional tanggal 1 Nopember 1997, lembaga keuangan mikro berkembang pesat, terutama di perdesaan. BRI yang merupakan lembaga keuangan mikro terbesar di Indonesia yang memiliki 3.825 unit-unit desa di seluruh Indonesia berkembang luar biasa. Di Propinsi DIY jumlah penabung bertambah rata-rata 16,2% per tahun selama 1997 – 2002 dari 457.496 menjadi 950.978 orang. Dan dana tabungan meningkat 26,3% per tahun dari Rp.263 milyar menjadi Rp.788 milyar (tabel 2), berarti setiap orang  memiliki tabungan di BRI sebesar Rp. 828.368,-. Penduduk Propinsi DIY tahun 2002 adalah 3,1 juta orang.

Demikian data-data mikro dari lapangan ini, yang tidak pernah dilihat dan dianalisis oleh para ekonom makro, menunjukkan betapa keliru kesimpulan telah “hancur leburnya” ekonomi Indonesia. Ekonomi rakyat Indonesia tidak pernah mengalami krisis serius meskipun sempat kaget, sehingga tidak memerlukan pemulihan. Kesan masih adanya “krisis ekonomi”  sekarang ini sengaja ditiupkan dan dibesar-besarkan oleh eks-konglomerat dan para pembelanya termasuk teknokrat. Konglomerat ingin melepaskan diri dari kewajiban membayar utang pada bank-bank pemerintah (BLBI dan obligasi rekap). Masyarakat dan pers kita hendaknya waspada dalam hal ini. Sebaiknya kita tidak ikut-ikutan berbicara tentang pemulihan ekonomi (economic recovery) jika yang akan kita pulihkan justru kondisi ekonomi sangat timpang “pra-krisis” yang dikuasai konglomerat dan menjepit ekonomi rakyat.

Keuangan Mikro bukan hal baru bagi Indonesia. Yang baru adalah kesadaran dan pengakuan tentang peranan besar yang dimainkannya dalam perekonomian rakyat dan perekonomian nasional. Kenyataan ini mempunyai implikasi besar terhadap teori tentang peranan modal nasional dan upaya-upaya penguatannya dalam pembangunan ekonomi bangsa. Jika ada pakar ekonomi asing mengatakan “the only way for Indonesia’s economic recovery is mass capital inflow from abroad”, maka jelas kami menolak fatwa yang cenderung “ngawur” tersebut.

Fakta tentang peranan besar keuangan mikro dalam perekonomian nasional hendaknya menyadarkan pemerintah tentang perlunya mengkaji ulang teori ekonomi perbankan modern. Kesediaan pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi perbankan sebesar Rp.650 trilyun untuk “menyelamatkan perbankan modern”, yang bunganya sangat memberatkan APBN, jelas merupakan kebijakan keliru yang tidak berpihak pada kebijakan pengembangan keuangan mikro dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

 

III. Ekonomi Rakyat sebagai Penyelamat Ekonomi Nasional

Jika Ahmad Syafii Ma’arif dan Franz Magnis-Suseno (2003) berbicara keras tentang kerusakan bangsa Indonesia yang “hampir sempurna”, sehingga tinggal tunggu waktu dibawa masuk jurang, maka dilihat dalam perspektif ekonomi diartikan bahwa krisis ekonomi dewasa ini sudah amat parah, yang jika dibiarkan pasti akan mengakibatkan kebangkrutan perekonomian nasional. Meskipun orang tidak pernah lupa menyebutkan bahwa krisis yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini sudah berciri multidimensi, tokh yang paling sering disebutkan di media massa adalah sebagai krisis ekonomi, bukan krisis politik, krisis hukum, atau krisis moral. Sebabnya tidak lain karena selama 3 dekade Orde Baru, pembangunan ekonomi sudah menjadi “agama”, dengan peranan yang amat dominan dari (perusahaan-perusahaan) konglomerat. Kini ketika konglomerat sudah rontok, yang sulit dibayangkan untuk bangkit kembali karena utang-utang yang sangat besar, maka ekonomi Indonesia secara keseluruhan dikatakan sudah dalam keadaan krisis parah.

Bahwa ekonomi nasional dianggap masih dalam kondisi krisis, faktor-faktornya antara lain adalah kurs dollar yang masih 3 kali lebih tinggi dibanding sebelum krisis moneter Juli 1997, bank-bank masih belum mengucurkan kredit ke sektor riil, dan pemerintah terperangkap dalam beban utang dalam dan luar negeri yang sangat berat. Benarkah faktor-faktor ini cukup? Mengapa inflasi yang sudah benar-benar terkendali sejak 1999 yang kini

Page 31: ekonomi rakyat

(2003) berada sekitar 6%, dan pertumbuhan ekonomi yang sudah positif (3-4% pertahun), tidak dianggap sebagai faktor-faktor yang seharusnya tidak lagi menggambarkan kondisi krisis ekonomi? Ekonomi yang krisis adalah ekonomi yang pertumbuhannya terus-menerus negatif dan inflasi merajalela lebih dari 50% per tahun.

Memang pakar-pakar ekonomi makro kita pada umumnya masih mampu berargumentasi dan menunjuk belum adanya investasi terutama investasi asing sebagai salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi rendah. “Jika pertumbuhan ekonomi hanya ditopang oleh konsumsi maka pertumbuhan ekonomi tidak akan berkelanjutan”, kata mereka. Benarkah?

Diagnosis ekonomi yang bersifat pesimistik masih jauh lebih kuat dibanding diagnosis optimistik, karena pada umumnya pakar-pakar ekonomi kita lebih banyak menggunakan data-data makro sekunder dan tersier di bidang keuangan. Sebaliknya data-data mikro sektor ekonomi rakyat, yang memang tidak tercatat dalam statistik, tidak pernah masuk dalam perhitungan. Inilah yang oleh para ekonom makro yang keblinger disebut dengan ekonomi illegal atau hidden economy.

Ekonomi rakyat di manapun di daerah-daerah benar-benar sudah bangkit, tidak sekedar menggeliat. Usaha-usaha ekonomi rakyat yang disebut (secara tidak tepat) sebagai UKM (Usaha Kecil Menengah) berkembang di mana-mana dengan pendanaan mandiri atau melalui dana-dana keuangan mikro seperti pegadaian, koperasi atau lembaga-lembaga keuangan mikro “informal” di perdesaan. Misalnya, selama 1995-2002 kredit yang disalurkan Perum Pegadaian meningkat dengan 5,6 kali (560%), dan jumlah orang yang menggadaikan (nasabah) naik 368% (Tabel 2). Di Yogyakarta, anggota KOSUDGAMA (Koperasi Serba Usaha Dosen-dosen Gadjah Mada) yang kini beranggota 5332 orang (74% diantaranya anggota luar biasa, bukan dosen UGM), anggotanya meningkat lebih dari 5 kali lipat selama periode krisis (1998-2002), dengan nilai pinjaman meningkat 11 kali lipat (1116%) dari Rp. 1,04 milyar menjadi Rp. 11,57 milyar (Tabel 3). Satu Baitul Maal (BMT Beringharjo) di kota Yogyakarta dalam periode relatif singkat (1995-2002) telah meningkat omset pinjamannya dari Rp. 50,9 juta menjadi Rp. 5,2 milyar dengan anggota naik dari 393 menjadi 1333 (Tabel 4). Selain itu Koperasi Bina Masyarakat Mandiri yang didirikan 28 “orang gila” tanggal 28 Oktober 1998 di Jakarta, telah membantu 24.873 penduduk miskin di seluruh Indonesia dengan pinjaman Rp. 39 milyar, padahal pada tahun 1999 baru Rp. 440 juta untuk 917 orang (tabel 5).

Page 32: ekonomi rakyat

 

 

Page 33: ekonomi rakyat

Dapat disimpulkan bahwa kondisi “amat gawat” yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini tidak terletak dalam bidang ekonomi khususnya ekonomi rakyat, tetapi dalam bidang politik, hukum, dan moral. Korupsi yang makin merajalela yang “menyebar” dari pusat ke daerah-daerah bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah bukanlah “krisis ekonomi” tetapi krisis moral, sedangkan “kerusakan bangsa” yang diklasifikasi sebagai “hampir sempurna” oleh Syafii Ma’arif adalah kerusakan dalam bidang tatakrama atau etika politik, bukan kerusakan ekonomi Indonesia. Disinilah kekeliruan fatal pakar-pakar ekonomi makro yang sejak krismon 1997 menyatakan ekonomi Indonesia telah “mati secara aneh dan tiba-tiba” (the strange and sudden death of a tiger)[4]. Jika ekonomi Indonesia telah diibaratkan sebagai harimau (tiger) yang sudah mati sejak krismon 1997-1998, lalu apa yang terjadi dengan orang-orangnya? Apakah mereka (bangsa Indonesia) juga ikut mati? Inilah tidak realistisnya analisis ekonom yang memberikan konsep-konsep ekonomi abstrak dari manusia-manusia ekonomi (homo ekonomikus) tanpa merasa perlu membumikannya. Yang benar manusia adalah juga homo socius dan homo ethicus.[5]

[4] Hal Hill dalam buku pertama tahun 1993 memuji-muji ekonomi Indonesia sebagai The Southeast Asia’s emerging giant, tetapi kemudian pada tahun 1999 menyebutnya telah mati, the strange and sudden death of a tiger.

[5] Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, 1759.

Kerusakan ekonomi bangsa memang hampir sempurna, tetapi bukan kerusakan ekonomi rakyat. Yang rusak adalah ekonomi konglomerat yang pada masa-masa jayanya terlalu mengandalkan pada modal asing yang murah, tetapi setelah terjadi apresiasi dolar 6 kali lipat secara tiba-tiba maka konglomerat-konglomerat tersebut telah benar-benar hancur berkeping-keping. Apakah kondisi ekonomi konglomerasi seperti ini akan kita pulihkan? Pasti tidak. Indonesia sebaiknya tidak usah berbicara tentang pemulihan ekonomi (economic recovery). Ekonomi siapa yang akan dipulihkan? Ekonomi konglomerat jangan dipulihkan.

Demikian, berbeda dengan pandangan pakar-pakar ekonomi arus utama (main stream), kerusakan ekonomi yang dialami sektor modern/ konglomerat tidak perlu diratapi, dan kita tidak perlu mati-matian memulihkan kondisi ekonomi pra-krisis yang sangat timpang. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang demokratis, menunjuk pada asas ke-4 Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dimana ekonomi rakyat mendapat dukungan pemihakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Bahwa sejauh ini pakar-pakar ekonomi arus utama menolak konsep ekonomi kerakyatan, bahkan juga ekonomi kekeluargaan, yang hendak digusur dari pasal 33 UUD 1945, adalah karena mereka secara a priori menganggap ekonomi kerakyatan bukan sistem ekonomi pasar, tetapi dituduh sebagai sistem ekonomi “sosialis-komunis” ala Orde Lama 1959-1966. Pandangan dan pemihakan mereka pada konglomerat yang liberal-kapitalistik memang amat sulit diubah lebih-lebih setelah (istilah mereka) ”Uni Sovyet pun kapok dengan sosialisme, dan RRC juga sudah menjadi kapitalis”. Sudah pasti mereka “keblinger” karena paham sosialisme tidak pernah mati, dan ekonomi RRC tumbuh cepat bukan karena meninggalkan paham sosialisme tetapi karena amat berkembangnya ekonomi rakyat. Ekonomi Indonesia akan tumbuh cepat seperti ekonomi RRC jika mampu mengalahkan virus korupsi yang tumbuh subur sejak awal gerakan reformasi yang telah benar-benar melenceng.

 

IV. Revolusi Mewujudkan Ekonomi Pancasila

Tanggal 12 Agustus 2002 UGM mendirikan PUSTEP (Pusat Studi Ekonom Pancasila) yang kemudian disambut pembentukan Komisi Ad Hoc Kajian Ekonomi Pancasila pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Pendirian PUSTEP-UGM ini kemudian diikuti pembentukan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PSEK) di Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa tanggal 16 Agustus 2003 semuanya berkehendak menyumbangkan teori-teori dan ilmu ekonomi (asli) Indonesia yang benar-benar memberi manfaat pada masyarakat/ bangsa Indonesia khususnya wong cilik.

Ekonomi Pancasila bukanlah sistem ekonomi baru yang masih harus diciptakan untuk mengganti sistem ekonomi yang kini “dianut” bangsa Indonesia. Bibit-bibit sistem ekonomi Pancasila sudah ada dan sudah dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat perdesaan dalam bentuk usaha-usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Page 34: ekonomi rakyat

Seorang pengemudi ’speed boat’ Zamrani (26 th) yang hanya tamat SD 6 tahun menegaskan “Ekonomi Pancasila dalam Aksi” di dalam pelayanan jasa transpor di Sungai Mahakam Kaltim, yaitu di antara 79 ‘speed’ dan 60 taksi yang semuanya dimiliki warga Kota Bangun. ‘Speed’ hanya melayani penumpang Melak-Kota Bangun pulang-pergi (Kutai Barat dan Kutai Kartanegara), sedangkan taksi Kijang dan lain-lain kendaraan “mini-bus” untuk jurusan Kota Bangun-Tenggarong-Samarinda, dan Balikpapan. “Bagi-bagi rezeki” ala ekonomi rakyat di Kota Bangun inilah bukti nyata telah diterapkannya asas-asas ekonomi Pancasila di Kalimantan Timur.

Adapun mengapa praktek-praktek kehidupan riil dan kegiatan ekonomi rakyat yang mengacu pada sistem (aturan main) ekonomi Pancasila ini tersendat-sendat, alasannya jelas karena politik ekonomi yang dijalankan pemerintah bersifat liberal dan berpihak pada konglomerat. Ketika terjadi krismon 1997-1998, meskipun keberpihakan pemerintah pada konglomerat belum hilang, tetapi gerakan ekonomi kerakyatan yang dipicu semangat reformasi memberikan iklim segar pada berkembangnya sistem ekonomi Pancasila yang berpihak pada ekonomi rakyat.

Pembentukan PUSTEP UGM tepat waktu untuk mengisi kevakuman sistem ekonomi nasional, ketika sistem ekonomi kapitalis liberal di Indonesia sedang digugat, dan sistem ekonomi kerakyatan sedang mencari bentuknya yang tepat dan operasional. Sistem ekonomi kerakyatan merupakan sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila yang diragukan dan tegas-tegas ditolak oleh teknokrat “keblinger”, yang begitu  silau dengan sistem ekonomi kapitalis liberal dari Barat (Amerika). PUSTEP UGM bertekad melakukan kajian-kajian kehidupan riil (real life) sehingga dapat membakukan ilmu ekonomi tentang kehidupan riil (real-life economics) dari masyarakat/bangsa Indonesia.

Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, ... janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila (Soekarno, 1 Juni 1945)

Jika Ahmad Syafii Ma’arif dan Franz Magnis-Suseno di dalam Seminar “Meluruskan Jalan Reformasi”, mengibaratkan bangsa Indonesia sudah mendekati “jurang kehancuran”, maka reformasi lebih-lebih yang bersifat tambal-sulam jelas tidak akan memadai. “Kapal” Indonesia harus dibalikkan arahnya. Itulah revolusi bukan sekedar reformasi.

Kompleksitas krisis multidimensi sekarang dan beratnya beban kesulitan mengatasi dan mengakhirinya membuat tekad membangun masa depan harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan besar dan inisiatif tingkat tinggi. Tindakan besar yang dimaksud adalah suatu tindakan fundamental, yang secara moral setara dengan revolusi, atau bahkan perang. Justru inilah suatu bentuk nyata ”jihad akbar” yang tidak menuntut pengorbanan pertumpahan darah, tetapi menuntut pengorbanan melawan egoisme dan subjektivisme, suatu bentuk pengorbanan psikologis. Jihad akbar adalah jenis perjuangan berat melawan diri sendiri, suatu perjuangan yang memerlukan keberanian menyatakan apa yang benar walaupun pahit karena bertentangan dengan kepentingan pribadi atau kelompok.[6]

[6] Nurcholish Madjid, Meluruskan Jalan Reformasi: Perspektif Ideologi dan Moral, Seminar UGM, 25-27 September 2003.

 

11 Oktober 2003

 

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.

[1] Makalah untuk Seminar Ekonomi Masa Depan Indonesia Pasca IMF, KOPMA-UGM, 11 Oktober 2003.

Page 35: ekonomi rakyat

 

Bacaan

1.             Ahmad Syafii Ma’arif, 2003, Meluruskan Jalan Reformasi: Perspektif Ideologi, Moral, dan Pendidikan, Seminar Nasional, Universitas Gadjah Mada.

2.             Chang, Ha-Joon, 2001, Joseph Stiglitz and The World Bank; The Rebel Within, Anthem Press.

3.             De Soto, Hernando, 2000, The Mystery of Capital, Black Swan, London.

4.             Franz Magnis-Suseno SJ, 2003, Kembalikan Moralitas Bangsa, Seminar Nasional, Universitas Gadjah Mada.

5.             Lloyd, Grayson & Shannon Smith, 2001, Indonesia Today, ISEAS, Singapore.

6.             Masri Singarimbun & D.H. Penny, 1976, Penduduk dan Kemiskinan di Pedesaan Jawa, Bhratara, Jakarta.

7.             Mubyarto, 1999, Reformasi Sistem Ekonomi, Aditya Media, Yogyakarta.

8.             Mubyarto, 2000, Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, Yogyakarta.

9.             Mubyarto dan Daniel W. Bromley, 2002, A Development Alternative for Indonesia, Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

10.         Nurcholish Madjid, 2003, Meluruskan Jalan Reformasi: Perspektif Ideologi dan Moral, Seminar Nasional, Universitas Gadjah Mada.

11.         Soekarno, “12 Kali Tepuk Tangan di BPUPKI: Lahirnya Pancasila, Pidato pertama tentang Pancasila yang diucapkan pada tanggal 1 Juni 1945 oleh Bung Karno”, 2003, Panitia Pusat “Silaturahmi Kebangsaan 2003”.

12.         Stiglitz, Joseph E, 2002, Globalization and Its Discontents, WW. Norton, New York.

Mubyarto

PERHATIAN TERHADAP KONDISI PERSEKOLAHAN DI DAERAH TERPENCIL: BUKAN SEKEDAR REFORMASI HARUS REVOLUSI

 

Rusnawati (47 tahun) yang guru SD Kampung Sambung, Kecamatan Bentian Besar, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, bertahun-tahun berjuang “sendirian”, dan kini bertanggungjawab atas pendidikan 25 anak yang terbagi atas 6 kelas yaitu kelas I: 8 murid, kelas II: 3 murid, kelas III: 3 murid, kelas IV: 1 murid, kelas V: 2 murid, dan kelas VI: 8 murid, sehingga total 25 murid.

Sekolah dimulai pukul 6:00 pagi dan pada pukul 6:30 semua murid “gosok gigi” bersama. Anak-anak kelas I – III pulang pukul 11:00, sedangkan anak-anak kelas IV – VI pulang pukul 13:00. Tentu kita kagum bagaimana seorang guru mengajar 25 anak didik dengan 6 kelas yang berbeda dengan buku-buku yang sangat terbatas. Kampung (desa) Sambung, berjarak 160 km dari Melak (Sendawar, ibukota Kutai Barat) dengan perjalanan darat sebagian besar masih jalan tanah buatan perusahaan HPH. Perjalanan dari Melak memerlukan 4 jam, sedangkan ke perbatasan dengan Kalteng yang hanya 10 km ditempuh dalam 1 jam perjalanan.

Bila kita berbicara tentang reformasi yang jalannya hendak kita “luruskan”, maka untuk SD yang ditangani Rusnawati reformasi “belum pernah terjadi”, dan sangat jelas yang diperlukan sekarang bukan sekedar reformasi tambal sulam tetapi revolusi, yaitu revolusi dalam perhatian pemerintah terhadap kondisi persekolahan di kampung ini, dan revolusi dalam kesadaran seluruh warga masyarakat bagaimana menjamin pendidikan yang bermutu bagi generasi anak cucu .

Pertama, tidak mungkin setiap kampung mempertahankan SD sendiri-sendiri dengan jumlah murid sangat sedikit. SD yang layak dan bermutu harus dipusatkan di kecamatan yang murid-muridnya di”asramakan” dan penyelenggaraannya ditanggung Dinas Pendidikan, Pemda Kabupaten.

Page 36: ekonomi rakyat

Kedua, meskipun gaji Rusnawati terhitung lumayan (Rp 1.720.000 per-bulan), namun perhatian terhadap kesejahteraan guru dan penyediaan bahan-bahan ajar harus dengan anggaran yang memadai untuk penyelenggaraan sekolah-sekolah beserta asramanya. Masyarakat yang hampir semuanya miskin sulit diharapkan membayar biaya pendidikan anak-anak mereka.

Kasus kondisi sekolah dasar yang cukup “memilukan” di kampung Sambung menjadi lebih “mengerikan” lagi di kampung Jontai kecamatan Damai, yang merupakan filial SD Dempar. Sengkon (39) dengan gaji Rp 720.000 (baru saja diangkat sebagai PNS) dengan dibantu guru PTT dengan gaji Rp 400.000/bulan bertanggungjawab atas pendidikan 41 murid SD. Gedung SD dari kayu yang bekas rumah penduduk (5 x 15m), tanpa dinding pembatas, dipakai untuk semua murid dengan guru Sengkon sendirian (guru PTT  Sarmoto jarang datang). Melihat buku-buku ajar yang dipakai sebagian besar sudah tua, dikhawatirkan anak-anak sangat tidak menikmati suasana sekolah dan tidak dapat diharapkan menjadi anak-anak yang cerdas. Ada anak kelas I anak penginjil setempat (Yunus) yang tiap hari diantar sekolah oleh ibunya setelah ditinggal selalu pulang lagi. Pada saat kepada penduduk Jontai yang dipilih secara acak diajukan usulan untuk “mengasramakan” anak-anak usia SD mereka ke SD Dempar, beberapa orang spontan mendukung asal tetap tidak perlu dipungut biaya. Sekarang setiap anak membayar BP3 Rp 1.000/bulan, itupun ada yang keberatan karena memang tidak mampu. Kepala sekolah SD Dempar, Jaelani (41 th), sangat mendukung gagasan pengasramaan murid-murid SD desa-desa terpencil ini.

Demikian dari kasus 2 SD di kampung miskin di kabupaten Kutai Barat ini kiranya harus ada revolusi dalam pendidikan dasar, tidak sekedar reformasi yang dalam kenyataan hanya dijadikan retorika politik di Jakarta. Di daerah-daerah, terutama desa-desa/kampung-kampung miskin, pemerintah daerah harus mampu mendorong terjadinya revolusi atau perubahan radikal dalam menangani dunia pendidikan termasuk penyediaan anggaran 20% dari APBD seperti yang “dianjurkan” UUD 1945 yang telah diamandemen.

 

25 September 2003

 

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.

[1]

8 - Nopember 2003]

Vincent Gaspersz dan Esthon Foenay

KINERJA PENDAPATAN EKONOMI RAKYAT DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

 

Strategi pembangunan daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) dilakukan berdasarkan pertumbuhan melalui pemerataan dengan prinsip membangun dari apa yang dimiliki rakyat dan apa yang ada pada rakyat, dengan titik berat pembangunan yang berlandaskan pada pembangunan ekonomi rakyat, pendidikan rakyat, dan kesehatan rakyat. Strategi pembangunan yang menjadi pilihan tersebut memerlukan langkah-langkah operasional yang terukur dan disesuaikan dengan paradigma baru pembangunan (Esthon Foenay, Pos Kupang 11 September 2001 hlm. 4 & 7).

Salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah Nusa Tenggara Timur adalah meningkatkan standar hidup layak yang diukur dengan indikator pendapatan per kapita riil  masyarakat (Peraturan Daerah Provinsi NTT No. 9 Tahun 2001 Tentang Program Pembangunan Daerah Tahun 2001-2004, hlm. 19). Pendapatan per kapita dan pengeluaran per kapita dapat dijadikan sebagai indikator kemajuan pembangunan ekonomi di Nusa Tenggara Timur.

            Kinerja pendapatan per kapita penduduk diukur berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993 dibagi dengan jumlah penduduk tengah tahun.  Pendapatan per kapita dari Provinsi Nusa Tenggara Timur berdasarkan harga konstan 1993 pada tahun 2001 adalah sebesar Rp 732.100 per tahun atau Rp 61.008 per

Page 37: ekonomi rakyat

bulan atau berdasarkan harga yang berlaku pada tahun 2001 adalah sebesar Rp 1.811.696 per tahun atau Rp 150.975 per bulan (NTT dalam Angka Tahun 2001, hlm. 469).  Jika menggunakan nilai kurs $US 1 = Rp 9000-an (rata-rata nilai kurs pada tahun 2001), maka pendapatan per kapita NTT pada tahun 2001 atas dasar harga yang berlaku adalah setara dengan $US 200-an.

            Berdasarkan studi dari Laporan Pembangunan Manusia Global 2002 (UNDP 2002) terhadap 173 negara di dunia, diketahui bahwa kinerja pendapatan per kapita tertinggi adalah dari negara Luxembourg yaitu sekitar $US 50 ribu ($US 50,061) dan terrendah (pendapatan per kapita terrendah) adalah dari negara Sierra Leone yaitu $US 490. Hal ini berarti secara kasar dapat disimpulkan bahwa pendapatan per kapita penduduk NTT yang sebesar $US 200-an—katakanlah berkisar $US 200 - $US 300, masih lebih rendah daripada pendapatan per kapita penduduk negara termiskin di dunia (Sierra Leone) yang sebesar $US 490. 

            Berdasarkan studi dari Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2001 (BPS, BAPPENAS, dan UNDP 2001) diketahui bahwa kinerja pendapatan per kapita tertinggi (PDRB real per kapita—tanpa minyak dan gas) pada lingkup provinsi di Indonesia adalah dari Provinsi DKI Jakarta yaitu Rp 5.943.000 per tahun atau Rp 495.250 per bulan dan terrendah  adalah dari Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Rp 712.000 per tahun atau Rp 59.333 per bulan, atau hanya sekitar 12 persen daripada  pendapatan per kapita penduduk DKI Jakarta.  Kinerja pendapatan per kapita di Nusa Tenggara Timur adalah yang paling rendah (paling buruk) di Indonesia.  Kinerja pendapatan per kapita lingkup kabupaten/kota  tertinggi (PDRB real per kapita—tanpa minyak dan gas) adalah dari Kota Madya Jakarta Pusat (Provinsi DKI Jakarta) yaitu   Rp 15.820.000 per tahun atau Rp 1.318.333 per bulan dan terrendah adalah dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (Provinsi Nusa Tenggara Timur) yaitu Rp 497.000 per tahun atau Rp 41.417 per bulan, atau hanya sekitar 3,14 persen daripada pendapatan per kapita penduduk Jakarta Pusat.  Terdapat dua kabupaten di NTT yang memiliki kinerja pendapatan per kapita terrendah di Indonesia (ranking 293 dan 294 dari 294 kabupaten yang dipelajari), yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan (pendapatan per kapita Rp 497.000 per tahun—ranking 294 dari 294 kabupaten di Indonesia) dan Kabupaten Sumba Barat (pendapatan per kapita Rp 501.000 per tahun—ranking 293 dari 294 kabupaten di Indonesia).

            Kinerja pendapatan per kapita dari kabupaten-kabupaten di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2001 atas dasar harga konstan 1993 adalah terdapat tujuh kabupaten di NTT yang memiliki kinerja pendapatan per kapita per tahun lebih rendah daripada rata-rata Provinsi NTT (Rp 732.100), diurutkan dari yang terrendah adalah: (1) Sumba Barat   (Rp 474.053), (2) Manggarai (Rp 521.105), (3) Timor Tengah Selatan (Rp 550.057), (4) Timor Tengah Utara (Rp 650.591), (5) Alor (Rp 706.009), (6) Sikka (Rp 717.262), dan (7) Ngada (Rp 761.149). Sedangkan enam kabupaten di NTT memiliki kinerja pendapatan per kapita lebih tinggi daripada rata-rata Provinsi NTT (Rp 732.100), diurutkan dari yang tertinggi adalah: (1) Kota Madya Kupang (Rp 1.985.951), (2) Kabupaten Kupang (Rp 852.857), (3) Sumba Timur (Rp 840.636), (4) Ende (Rp 812.039), (5) Flores Timur (Rp 778.680), dan (6) Ngada (Rp 761.149).

            Kinerja pengeluaran per kapita penduduk secara rata-rata dapat juga digunakan sebagai variabel proxy (mewakili) dalam mengkaji kinerja tingkat pendapatan ekonomi penduduk dan distribusi pendapatan penduduk. Pengeluaran per kapita pada tahun 2001 dari penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur atas dasar harga yang berlaku adalah sebesar Rp 1.125.240 per tahun atau Rp 93.770 per bulan  (NTT dalam Angka Tahun 2001, hlm. 129).  Pengeluaran per kapita dari penduduk perkotaan di NTT adalah sebesar Rp 1.728.408 per tahun atau Rp 144.034 per bulan, sedangkan pengeluaran per kapita dari penduduk pedesaan di NTT adalah sebesar Rp 1.015.380 per tahun atau Rp 84.615 per bulan. Hal ini berarti pengeluaran per kapita per tahun dari penduduk perkotaan di NTT lebih tinggi sekitar Rp 713.028 (70,22%) daripada pengeluaran per kapita per tahun dari penduduk pedesaan di NTT.  Pada tahun 2001 atas dasar harga yang berlaku terdapat sekitar 90,15% penduduk NTT (3.493.298 orang) yang memiliki tingkat pengeluaran per kapita kurang dari Rp 150.000 per bulan atau kurang dari Rp 5.000 per hari.  Kelompok penduduk yang memiliki tingkat pengeluaran per kapita kurang dari Rp 150.000 per bulan atau kurang dari Rp 5.000 per hari ini terbanyak berada di daerah pedesaan NTT yaitu sebanyak 3.104.959 orang (94,72%), sedangkan  yang berada di daerah perkotaan NTT adalah sebanyak 388.339 orang (65,04%).  Sangat sulit membayangkan betapa parahnya tingkat kemiskinan masyarakat di Nusa Tenggara Timur, terutama di daerah pedesaan NTT di mana mayoritas penduduknya (94,72% dari total penduduk pedesaan) hanya memiliki tingkat pengeluaran per kapita kurang dari Rp 5.000 per hari pada tahun 2001 atas dasar harga yang berlaku pada saat itu. Berdasarkan studi ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pemerataan kemiskinan di Nusa Tenggara Timur yang ditunjukkan melalui rendahnya tingkat pengeluaran per kapita dari mayoritas penduduk di NTT.

Page 38: ekonomi rakyat

            Berdasarkan studi dari Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2001 (BPS, BAPPENAS, dan UNDP 2001) diketahui bahwa rasio Gini (indeks Gini) dari pengeluaran rumahtangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1999 adalah rendah yaitu 0,28, yang menunjukkan telah terjadi pemerataan pengeluaran rumahtangga pada tingkat pengeluaran yang rendah seperti diungkapkan di atas. 

            Kinerja pengeluaran per kapita dari kabupaten-kabupaten di Nusa Tenggara Timur pada tahun 1999 atas dasar harga konstan 1993 adalah terdapat sebelas kabupaten di NTT yang memiliki kinerja pengeluaran per kapita lebih rendah daripada rata-rata Provinsi NTT (Rp 576.900), diurutkan dari yang terrendah adalah: (1) Sumba Barat   (Rp 437.640), (2) Sikka (Rp 440.010), (3) Timor Tengah Selatan (Rp 472.900), (4) Alor (Rp 485.960), (5) Timor Tengah Utara (Rp 487.560), (6) Belu (Rp 494.650), (7) Ende (Rp 501.270), (8) Flores Timur (Rp 528.820), (9) Kabupaten Kupang (Rp 557.710), (10) Sumba Timur (Rp 566.540), dan (11) Ngada (Rp 566.540). Hanya terdapat dua kabupaten di NTT yang memiliki kinerja pengeluaran per kapita lebih tinggi daripada rata-rata Provinsi NTT (Rp 576.900), diurutkan dari yang tertinggi adalah: (1) Kota Madya Kupang (Rp 1.202.180) dan (2) Manggarai (Rp 579.380).

            Berdasarkan kenyataan di atas, maka pembangunan ekonomi kerakyatan  di masa mendatang seyogianya memprioritaskan pada beberapa kabupaten di NTT yang masih menunjukkan kinerja rendah dalam indikator pendapatan ekonomi masyarakat yaitu: Timor Tengah Selatan, Sumba Barat, Timor Tengah Utara, Manggarai, Belu, Alor, dan  Kabupaten Kupang.

 

Kinerja Produktivitas Tenaga Kerja di NTT

            Apabila ukuran keberhasilan produksi hanya memandang dari sisi output, maka produktivitas memandang dari dua sisi sekaligus, yaitu: sisi input dan sisi output. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa produktivitas berkaitan dengan efisiensi penggunaan input dalam memproduksi output (barang dan/atau jasa).

            Kinerja produktivitas tenaga kerja regional di Nusa Tenggara Timur diukur berdasarkan rasio produk domestik regional bruto (PDRB) kabupaten tahun 2001 atas dasar harga konstan 1993 dengan jumlah tenaga kerja yang ada di kabupaten itu pada tahun 2001.

            Kinerja produktivitas tenaga kerja di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2001 atas dasar harga konstan 1993 adalah sebesar Rp 1.717.650.  Kinerja produktivitas tenaga kerja dari kabupaten-kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah terdapat 10 kabupaten yang memiliki kinerja produktivitas tenaga kerja regional lebih rendah daripada rata-rata produktivitas tenaga kerja tingkat Provinsi NTT (Rp 1.717.650), diurutkan berdasarkan produktivitas tenaga kerja terrendah, adalah: (1) Sumba Barat (Rp 1.017.750), (2) Manggarai (Rp 1.148.580), (3) Timor Tengah Utara (Rp 1.281.730), (4) Belu (Rp 1.406.250), (5) Ngada (Rp 1.523.980), (6) Timor Tengah Selatan (Rp 1.534.660), (7) Flores Timur (Rp 1.575.030), (8) Sikka (Rp 1.597.360), (9) Alor  (Rp 1.652.970), dan (10) Ende (Rp 1.703.280).  Hanya terdapat tiga kabupaten yang memiliki kinerja produktivitas tenaga kerja regional lebih tinggi daripada rata-rata produktivitas tenaga kerja tingkat Provinsi NTT (Rp 1.717.650), diurutkan berdasarkan produktivitas tenaga kerja tertinggi, adalah: (1) Kota Madya Kupang (Rp 7.367.030),  (2) Kabupaten Kupang (Rp 1.962.140), dan (3) Sumba Timur (Rp 1.942.080).

            Dari 34 sektor produksi yang didefinisikan dalam Tabel Input-Output Nusa Tenggara Timur 2001 (BPS NTT, 2002) diketahui bahwa produktivitas tenaga kerja tertinggi berada dalam sektor lembaga keuangan bukan bank yaitu sebesar Rp 35.187.590 (atas dasar harga yang berlaku tahun 2001), sedangkan produktivitas tenaga kerja terrendah berada dalam sektor industri pupuk, kimia dan barang dari karet yaitu sebesar Rp 469.710 (atas dasar harga yang berlaku tahun 2001). Hal ini berarti bahwa tingkat ketimpangan antara produktivitas tenaga kerja sektoral tertinggi (sektor lembaga keuangan bukan bank—Rp 35.187.590) dan produktivitas tenaga kerja sektoral terrendah (sektor industri pupuk, kimia dan barang dari karet—Rp 469.710) di Nusa Tenggara Timur adalah sekitar 75 kali atau 7.500 persen, yang berarti tingkat produktivitas tenaga kerja tertinggi dari sektor lembaga keuangan bukan bank adalah 75 kali lipat (7500%) daripada tingkat produktivitas tenaga kerja terrendah dari sektor industri pupuk, kimia dan barang dari karet.

            Dari 13 kabupaten/kota yang dipelajari, diketahui bahwa produktivitas tenaga kerja tertinggi berada dalam Kota Madya Kupang  sebesar Rp 7.367.030 (atas dasar harga konstan 1993), sedangkan produktivitas tenaga kerja terrendah berada dalam Kabupaten Sumba Barat yaitu sebesar Rp 1.017.750 (atas dasar harga konstan 1993).  Hal ini berarti bahwa tingkat ketimpangan antara produktivitas tenaga kerja regional tertinggi (Kota Madya Kupang—Rp 7.367.030) dan produktivitas tenaga kerja regional terrendah (Kabupaten Sumba Barat—Rp 1.017.750) di Nusa Tenggara Timur adalah sekitar 7,24 kali atau 724 persen, yang berarti tingkat

Page 39: ekonomi rakyat

produktivitas tenaga kerja tertinggi dari Kota Madya Kupang adalah 7,24 kali lipat (724%) daripada tingkat produktivitas tenaga kerja terrendah dari Kabupaten Sumba Barat.

            Berdasarkan hasil studi ini direkomendasikan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja dari kabupaten-kabupaten di NTT melalui melakukan transformasi struktur produksi atau menurunkan tingkat kontribusi  dari sektor-sektor primer terhadap PDRB kabupaten itu. Hal yang paling memungkinkan adalah mengembangkan sektor-sektor agribisnis yang mampu mengaitkan secara terpadu dan terintegrasi dari agribisnis hulu, “on-farm”, dan hilir. Dengan demikian telah jelas bahwa strategi perubahan struktur produksi dari sektor-sektor produksi yang memberikan kontribusi terhadap PDRB, melalui mengembangkan sektor agribisnis dari hulu, “on-farm”, sampai hilir,  di masa mendatang akan mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja regional.

            Peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui perubahan struktur produksi terhadap PDRB, akan memberikan konsekuensi lebih lanjut berupa peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat, yang pada akhirnya akan mampu mewujudkan kemandirian masyarakat membiayai kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Hal ini akan mampu mewujudkan cita-cita jangka panjang berupa mewujudkan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang mandiri, maju, dan sejahtera, sesuai dengan visi dari pembangunan daerah Nusa Tenggara Timur.

 

 

Prof. Dr. Vincent Gaspersz adalah Guru Besar Ekonomi Manajerial pada Program Pascasarjana Unika Widya Mandira, Kupang  dan Universitas Trisakti, Jakarta yang saat ini bermukim di Vancouver, Canada.

Ir. Esthon Foenay, M.Si adalah Kepala BAPPEDA Provinsi Nusa Tenggara Timur yang bermukim di Kupang, NTT. 

 

DAFTAR PUSTAKA

BAPPEDA NTT dan Program Pascasarjana UNIKA WIDYA MANDIRA. 2002.  Perencanaan Sumber Daya Manusia Tingkat Makro di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan Studi Kerjasama Bappeda NTT dengan Program Pascasarjana Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.

BPS, Bappenas, dan UNDP. 2001.  Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2001—Menuju Konsensus Baru: Demokrasi dan pembangunan manusia di Indonesia. Publikasi Bersama oleh BPS, Bappenas, dan UNDP, Jakarta 2001.

BPS Jakarta-Indonesia. 2001.  Penduduk Nusa Tenggara Timur—Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000.  Badan Pusat Satatistik, Jakarta.

BPS NTT. 2001.  Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2000.  Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, Kupang.

BPS NTT. 2002.  Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2001.  Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, Kupang.

BPS NTT. 2002.  Tabel Input-Output Nusa Tenggara Timur 2001—Klasifikasi 35 Sektor.  Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, Kupang.

Foenay, Esthon. 2001.  Perspektif Perencanaan dan Paradigma Baru Pembangunan. Artikel dalam Pos Kupang 11 September 2001, hlm. 4 dan 7.

Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2001.  Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor : 8 Tahun 2001 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Tahun 2001-2004. Kupang.

Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2001.  Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor : 9 Tahun 2001 tentang Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Tahun 2001-2004. Kupang.

Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2002.  Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor : 6 Tahun 2002 tentang Rencana Strategis Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2002-2004. Kupang.

Page 40: ekonomi rakyat

 

Peak Oil and Energy ImperialismJohn Bellamy Foster

Home

Subscribe

Notes Fromthe Editors

ESSAYS ON:

» Africa

» Europe

» Feminism/Women and Politics

» Globalization

» Labor and Working-Class Issues

» Latin America

» Media/ Communications

» 9/11–War on Terrorism » Social/Political Theory » U.S. Politics/ Economics

The rise in overt militarism and imperialism at the outset of the twenty-first century can plausibly be attributed largely to attempts by the dominant interests of the world economy to gain control over diminishing world oil supplies.1 Beginning in 1998 a series of strategic energy initiatives were launched in national security circles in the United States in response to: (1) the crossing of the 50 percent threshold in U.S. importation of foreign oil; (2) the disappearance of spare world oil production capacity; (3) concentration of an increasing percentage of all remaining conventional oil resources in the Persian Gulf; and (4) looming fears of peak oil.

The response of the vested interests to this world oil supply crisis was to construct what Michael Klare in Blood and Oil has called a global “strategy of maximum extraction.”2 This required that the United States as the hegemonic power, with the backing of the other leading capitalist states, seek to extend its control over world oil reserves with the object of boosting production. Seen in this light, the invasion and occupation of Afghanistan (the geopolitical doorway to Western access to Caspian Sea Basin oil and natural gas) following the 9/11 attacks, the 2003 invasion of Iraq, the rapid expansion of U.S. military activities in the Gulf of Guinea in Africa (where Washington sees itself as in competition with Beijing), and the increased threats now directed at Iran and Venezuela—all signal the rise of a dangerous new era of energy imperialism.

The Geopolitics of Oil

In April 1998 the United States for the first time imported the majority of the petroleum it consumed. The crossing of this threshold pointed to a very rapid

Page 41: ekonomi rakyat

growth in U.S. foreign oil dependency. At the same time fears that the world would soon reach peak oil production became increasingly prominent, assuming a high profile behind the scenes in establishment discussions. A key event was the publication in Scientific American in March 1998of “The End of Cheap Oil” by retired oil industry geologists Colin J. Campbell and Jean H. Laherrère. “The End of Cheap Oil” predicted that world oil production would peak “probably within 10 years.” The Campbell and Laherrère article and the question of peak oil immediately drew the attention of the International Energy Agency (IEA), the OECD’s energy organization, in its World Energy Outlook of 1998. The IEA claimed that even adopting the pessimists’ assumptions on the real extent of world oil reserves and the existence of a bell-shaped production curve (but without the sharp oil price hike suggested by Campbell), its own long-term supply model “would not peak until around 2008–2009.” Employing the IEA’s own assumptions on reserves, moreover, would push the peak back around a decade further.3 This, however, was still far from distant. The peaking of United Kingdom North Sea oil production in 1999 (Norwegian production peaked two years later) added a still greater sense of urgency.

Matthew Simmons, CEO of the Houston-based energy investmentbanking firm Simmons and Company International and a member of the National Petroleum Council and the Council on Foreign Relations, published an article in Middle East Insight in 1999 in which he emphasized the “far faster” depletion of major oil fields arising from high-extraction technology. Rather than extending the life of oil fields as previously supposed, the introduction of this technology most likely accelerated their depletion. Referring to oil fields “brought into production since 1970,” Simmons noted that “almost all of these new fields have already reached peak production and are now experiencing rapid rates of decline…fAnd when the stable base of old, but giant, fields also starts to deplete,” he asked, “what will this do to the world’s average depletion rate?”4

In 2000 Simmons’s concerns regarding diminishing oil supply led to his becoming an energy advisor for George W. Bush’s presidential campaign. As he recounted it in a February 2008 interview, he had “pulled aside” Bush’s “first cousin” in early March 2000 to tell him of an earlier conversation he had had with an assistant to Secretary of Energy Bill Richardson, who had been sent to examine the spare oil production capacity of the OPEC countries. As Simmons reported to Bush’s cousin:

I said, “When you have someone who is the head of U.S. oil policy call you and [say ‘shit!’] about five times in 20 seconds, this is so much worse than what they’ve warned us about.” I said, “Between now and the election, if this all breaks out and Bush is misinformed, he can mispronounce every head of state in the world, but this, this will sink you.” And that dragged me into helping create the comprehensive energy plan put forth by Bush when he was running.5

Page 42: ekonomi rakyat

Simmons was a member of the Bush-Cheney Energy Transition Advisory Committee, advising on the growing oil constraints. His 2005 book, Twilight in the Desert: The Coming Saudi Oil Shock and the World Economy, arguing that the Saudi oil production peak was imminent, has become one of the most influential works propounding the peak oil notion.6

The Energy Information Administration (EIA) of the U.S. Department of Energy conducted a full assessment of the peak oil issue as early as July 2000, considering a number of scenarios. As opposed to those who saw the peak occurring “as early as 2004” the EIA concluded that “world conventional oil production may increase two decades or more before it begins to decline.” The analysis itself, however, was not altogether reassuring to the vested interests, since it suggested that a world oil peak could be reached as early as 2021.7

These concerns with regard to world oil supply that began to penetrate the corridors of power in the 1998–2001 period led to a wide-ranging debate within the inner circles in the United States about the nature of the oil extraction problem and the strategic means with which to alleviate it. This was increasingly integrated with wider issues on the expansion of the U.S. empire raised by groups such as the Project for a New American Century.8

In July 1998 the Center for Strategic and International Studies (CSIS) launched its “Strategic Energy Initiative,” at the urging of former chairman of the Senate Armed Services Committee Sam Nunn and former secretary of defense (and former secretary of energy) James R. Schlesinger. In November 2000, the Strategic Energy Initiative issued a three volume report, The Geopolitics of Energy into the 21st Century, with Nunn and Schlesinger as cochairs. It stressed that the Persian Gulf would have to expand its energy production “by almost 80 percent during 2000–2020” in the face of rising demand and declining oil production elsewhere in the world in order to meet world energy needs.

The question of a world oil peak in the decade 2000–10 was also examined, focusing on the arguments of Campbell and Laherrère and Simmons. The CSIS Strategic Energy Initiative officially rejected the notion that the world oil peak would be reached as early as 2010. Nevertheless, its report took the peak oil issue extremely seriously. As the “only superpower” the United States, it declared, had “special responsibilities for preserving worldwide energy supply” and “open access” to the world’s oil. Underscored throughout the report was the necessity of finding ways to increase oil exports from Iraq and Iran both then under U.S. economic sanctions.9

In 2001 the James Baker III Institute for Public Policy of Rice University and the Council on Foreign Relations cosponsored a study of Strategic Energy Policy Challenges for the 21st Century, chaired by energy analyst Edward L. Morse. Task force members included both oil optimists, such as Morse and Daniel Yergin of Cambridge Energy Research Associates, and oil pessimists such as peak oil proponent Simmons. The Baker Institute/Council on Foreign Relations report emphasized the adequacy of world oil reserves for decades to come but argued that world oil was facing “tight supply” due to “underinvestment” in new production capacity and “volatile states.” Excess capacity had been “wiped out,” falling to “negligible” amounts, partly due to oil producing countries devoting oil

Page 43: ekonomi rakyat

revenues to social projects rather than to investment in new production capacity.

In this situation, the Baker Institute/Council on Foreign Relations report pointed out that Iraq had emerged as a key “swing producer” of oil, operating well below capacity, and in the previous year “turning its taps on and off when it has felt such action was in its strategic interests to do so.” This presented a growing danger to the world capitalist economy, which included the “possibility that Saddam Hussein may remove Iraqi oil from the market for an extended period.” Indeed, “Iraqi reserves,” the Strategic Energy Policy report emphasized, “represent a major asset that can quickly add capacity to world oil markets and inject a more competitive tenor to oil trade.” Investment in the enhancement of Iraqi oil production capacity was essential. The problem was what to do about Saddam Hussein.

Overall, the Baker Institute/Council on Foreign Relationsreport emphasized, the stakes were exceedingly high, since there was a danger that oil price increases and supply shortages would make “the United States appear more similar to a poor developing country.”

The answer was for the Western powers led by the United States to play a more direct role in the development of world oil resources. This would be coupled with replacement of the current political economy of oil dominated by national oil companies, which had arisen with the growth of “resource nationalism” in the third world, with one in which the multinational oil corporations centered in the advanced capitalist economies once again took charge of reserves and investments.10

These reports by national security analysts on strategic energy policy were followed in May 2001 by the White House release of its National Energy Policy, issued under the direction of Vice President Dick Cheney. It too emphasized the need for U.S. petroleum security, noting that total U.S. oil production had fallen 39 percent below its 1970 peak and that U.S. reliance on foreign oil imports could increase to almost two-thirds of its total gasoline and heating oil consumption by 2020. President Bush warned in May 2001 that dependence on foreign crude oil put U.S. “national energy security” in the hands of “foreign nations, some of whom do not share our interests.”

In terms of the long-term world oil supply outlook, the U.S. Department of Energy’s International Energy Outlook in 2001 projected the need for a doubling of Persian Gulf oil production over 1999 levels by 2020 in order to meet expected world demand. This optimistic forecast could not possibly be fulfilled, however, without massive investment in an expansion of capacity in the Persian Gulf of a kind that key states, such as Iraq and Iran, and even Saudi Arabia, seemed unlikely to undertake. Iraqi crude oil production in 2001 was 31 percent less than in 1979, while Iran’s had fallen by about 37 percent since 1976. Both nations were viewed as underproducing due to underinvestment and the effects of sanctions. The IEA estimated that Persian Gulf states would have to invest over half a trillion dollars on new equipment and technology for oil production capacity expansion by 2030 in order to meet projected oil production levels.11

Page 44: ekonomi rakyat

U.S. national security and energy analysts as well as energy corporations and the Bush administration had thus arrived at the conclusion by spring 2001 that, while substantial oil reserves still existed, capacity was extremely tight, presaging a series of oil price shocks. Only a vast increase of oil production in the Persian Gulf as a whole could prevent an enormous gap emerging between oil production and demand over the next two decades. Behind all of this lay the specter of peak oil production.

Rather than try to solve the problem on the demand side by lessening consumption, the Bush administration turned, as had all other administrations before it, to the military as the ultimate guarantor. As Michael Klare wrote in his Blood and Oil:

In the months before and after 9/11, the Bush administration fashioned a comprehensive strategy for American domination of the Persian Gulf and the procurement of ever-increasing quantities of petroleum. It is unlikely that this strategy was ever formalized in a single, all-encompassing White House document. Rather, the administration adopted a series of policies that together formed a blueprint for political, economic, and military action in the Gulf. This approach—I call it the strategy of maximum extraction—was aimed primarily at boosting the oil output of the major Gulf producers. But since the sought-after increases could be doomed by instability and conflict in the region, the strategy also entailed increased military intervention.12

Militarily the issue was one of shoring up Saudi Arabia in the face of growing signs of instability, carrying out regime change in Iraq, and exerting maximum pressure on Iran. Key figures in the Bush administration such as Donald Rumsfeld and Paul Wolfowitz had been pushing for an invasion of Iraq even before the election. Once the September 2001 attacks occurred, the “War on Terrorism” led to the invasion first of Afghanistan, giving the United States a geopolitical doorway (and pipeline route) to Central Asia and the Caspian Sea Basin, followed by the invasion in 2003 of Iraq. From the standpoint of the geopolitics of oil, Saddam Hussein’s removal and the occupation of Iraq was seen as enhancing the security of Middle East oil, presenting the possibility of a big boost in Iraqi oil production, and providing a staging ground for increased U.S. military, political, and economic dominance of the Gulf. U.S. strategic control of the Middle East and its oil was viewed as the key to establishing the basis of a “new American century.”

As former Federal Reserve Board Chairman Alan Greenspan, the top U.S. economic official throughout this period, stated in his book The Age of Turbulence in 2007: “I am saddened that it is politically inconvenient to acknowledge what everyone knows: that the Iraq war is largely about oil.” The U.S. invasion of Iraq, Greenspan claimed, needed to be seen against the background of previous Western military interventions aimed at securing the oil of the region, for example: “the reaction, to and reversal of, Mossadeq’s nationalization of Anglo-Iranian oil in 1951 [resulting in the CIA’s overthrow of Iranian Prime Minister Mossadeq and the installation of the Shah in 1953] and the aborted effort by Britain and France to reverse Nasser’s takeover of the key

Page 45: ekonomi rakyat

Suez Canal link for oil flows to Europe in 1956.” The U.S. intervention in Iraq and its increased military role in the Middle East was, for Greenspan—the leading spokesperson for financial capital in the 1990s and early 2000s—justified by the fact that “world growth over the next quarter century at rates commensurate with the past quarter century will require between one-fourth and two-fifths more oil than we use today.” And this vast increase in oil production needed to come largely from the Persian Gulf, where two-thirds of the world’s reserves and hence most of its capacity for increased extraction was located.13

Although the Bush administration criticized Greenspan’s statement, the centrality of oil in the occupation of Iraq was not something that it could easily deny. In a September 13, 2007, prime time television speech, Bush declared that if the United States were to pull out of Iraq “extremists could control a key part of the global energy supply.”14

Peak Oil: A Global Turning Point?

In the five years that have elapsed since the United States invaded Iraq the world oil supply problem has drastically worsened. Estimates of the potential for increased Iraqi oil production made prior to the war had suggested that Iraq free of sanctions could potentially increase its crude oil production within a decade from its previous 1979 high of 3.5 million barrels a day (mb/d) to 6 or even 10 mb/d.15 Instead, Iraq’s average annual oil production in 2007 had fallen to 13 percent below its 2001 level, having declined from 2.4 to 2.1 mb/d. Oil production in the Persian Gulf as a whole increased by 2.4 mb/d on average between 2001 and 2005 and then dropped by 4 percent in 2005–07, along with the stagnation of world oil production as a whole.16

At the time U.S. troops reached Baghdad peak oil was already a specter looming over the globe. Today it is present in all establishment discussions of the world oil issue. Peak oil is not the same as running out of oil. Rather it simply means the peaking and subsequent terminal decline of oil production, as determined primarily by geological and technological factors. The extraction of oil from any given oil well typically takes the form of a symmetrical, bell-shaped curve with extraction steadily rising, e.g., by 2 percent a year, until a peak is reached when about half of the accessible oil has been extracted. Since oil production for an entire country is simply a product of the aggregation of individual wells, national oil production can be expected to take the form of a bell-shaped curve as well. Geologists have become adept at estimating the point at which a peak in national production will occur. These methods were pioneered in the 1950s by oil geologist M. King Hubbert, who achieved fame for successfully predicting the U.S. oil peak in 1970. The eventual peak in oil production is therefore sometimes known as “Hubbert’s peak.”

Peak oil is generally viewed in terms of the peaking of conventional crude oil supplies on which the main estimates of oil reserves are based. There are also unconventional sources of oil that can be produced at much greater cost and with a much lower energy returned on energy invested (EROEI) ratio. These include heavy oil, petroleum derived from oil sand, and shale oil. As the price of oil rises some of these sources become more exploitable, but also at much greater cost—monetarily and to the environment. It is estimated that it takes an

Page 46: ekonomi rakyat

equivalent of two out of three barrels of oil produced to pay for the energy and other costs associated with extracting oil from the tar sands in Alberta. It requires one billion cubic feet of natural gas to generate one million barrels of synthetic oil from oil sands. Two tons of sand must be mined to get one barrel of oil. Oil sand mining also requires vast quantities of water, producing two and a half gallons of toxic liquid waste for every barrel of oil extracted. This liquid waste is stored in enormous and rapidly expanding “tailing ponds.” The economic and environmental costs are thus prohibitive. Peak oil therefore inevitably signals the end of cheap oil.17

A key part of the argument on peak oil is the fact that discoveries of oil fields worldwide peaked in the 1960s, while the average size of new discoveries has also declined over time. Those who argue that peak oil is imminent insist that estimates of proven reserves are commonly exaggerated for political reasons, and that actual retrievable reserves may be considerably less. The conventional notion that there are forty years of crude oil production remaining at current rates of output is seen as misleading, since it exaggerates the reserves in the ground and downplays the fact that the economy requires that oil demand and production levels increase. Peak oil analysts therefore focus on production levels rather than reserves.

The peak oil crisis is more sharply defined than the more general crisis in energy, since not only is petroleum the most protean fuel, but it is also the preeminent liquid fuel in transportation, for which there is no easy substitute in the quantities needed. Therefore more than two-thirds of U.S. oil demand is in the form of gasoline and petrodiesel consumption by cars and trucks. An imminent peak in conventional oil thus strikes at the lifeblood of the existing capitalist economy. It presents the possibility of a drastic economic dislocation and slowdown.18

The peak oil debate, which has often been fierce over the past decade, has now narrowed down to two basic positions. One of these is that of “early peakers” (usually seen as peak oil proponents proper). These analysts argue that peak oil will probably be reached by 2010–12, and may have already been reached in 2005–06. The alternative position, represented by “late peakers,” is that the world oil peak will not be reached until 2020 or 2030.19 Hence, there is a growing consensus that peak oil is or will soon be a reality. The chief question now is how soon, and whether it is already upon us.

An added consideration is whether world oil production will face a classic bell-shaped curve, culminating in a slender, rounded peak, to be followed quickly by a decline (within what can be viewed as a symmetrical curve)—or whether production will rise to a plateau and then stay there for a while, before declining. In fact, world oil supply appears already to have reached a plateau over the last three years at the level of 85 mb/d. This therefore has lent credence to the notion that this is the form the peak will initially take.

Chart 1: World oil production and supply

Page 47: ekonomi rakyat

Source: Energy Information Administration, U.S. Department of Energy, International Petroleum Monthly, April 2008, http://www.eia.doe.gov/ipm/supply.html, tables 1.4d and 4.4.

Chart 1 shows world oil production/supply from 1970 to 2007. “Oil” according to the IEA (and the EIA, which has adopted an almost identical approach) is defined to include “all liquid fuels and is accounted at the product level. Sources include natural gas liquids and condensates, refinery processing gains, and the production of conventional and unconventional oil.” Conventional or crude oil is readily processed oil “produced from underground hydrocarbon reservoirs by means of production wells.” Unconventional oil is derived from other processes, such as liquefied natural gas, oil sands, oil shales, coal-to-liquid, biofuels, “and/or [other fuel that]...needs additional processing to produce synthetic crude.”20 The lower line in chart 1, labeled “crude oil production,” refers simply to production of conventional oil. The higher line, labeled “world oil supply,” also includes unconventional sources plus net refinery processing gains (losses). The “crude oil production” line shows a very slight dip in 2005–07, reflecting the fact that crude oil production fell from an average of 73.8 mb/d in 2005 to 73.3 mb/d in 2007. The “world oil supply” line, however, remains level at about 85 mb/d due to a compensating rise in unconventional sources over the same period, resulting in what appears to be a more definite plateau.

Explaining that a plateau is the most likely initial outcome at the world level, Richard Heinberg, a leading peak oil proponent, writes:

Why the plateau? Oil production is constrained by economic conditions (in an economic downturn, demand for oil falls off), as well as by political events such as war and revolutions. In addition, the shape of the production curve is modified by the increasing availability of unconventional petroleum sources (including heavy oil, natural gas plant liquids, and tar sands), as well as new extraction technologies.

Page 48: ekonomi rakyat

The combined effect of all of these factors is to cushion the peak and lengthen the decline curve.21

The notion that a partly geological-technical, partly political-economic, plateau is emerging has now become the dominant view in the industry. In November 2007 the Wall Street Journal reported:

a growing number of oil-industry chieftains are endorsing an idea long deemed fringe: The world is approaching a practical limit to the number of barrels of crude oil that can be pumped every day....The near adherents [to the peak oil view]—who range from senior Western oil-company executives to current and former officials of the major world exporting countries—don’t believe that the global oil tank is at the half-empty point. But they share the belief that a global production ceiling is coming for other reasons: restricted access to oil fields, spiraling costs and increasingly complex oil-field geology. This will create a production plateau, not a peak, they contend, with oil output remaining relatively constant rather than rising or falling.

The Wall Street Journal article referred to the estimates of Cambridge Energy Research Associates, asserting that the peak will not be reached until 2030 and that it will manifest itself at first as an “undulating plateau.” But the Journal article also took seriously the views of Simmons, who pointed out that, due to declining production in old fields, an increased average daily oil production equivalent to ten times current Alaskan production was needed “just to stay even.” Indeed, “at the furthest out,” he suggested, the crisis associated with the world peak in conventional oil production would be reached “in 2008 to 2012.” Echoing many of the same worries, some oil executives have raised the specter of an oil supply ceiling of 100 million barrels (conventional and unconventional), with petroleum supply likely falling short of expected demand within a decade or less.22

Given the appearance of a world oil production plateau at present, and with oil supply seemingly stuck at the 85 mb/d level, it is not surprising that some analysts believe that peak oil has already been reached. Thus Simmons and Texas oil billionaire T. Boone Pickens have both raised the question of whether the peak was reached in 2005. While the Energy Watch Group in Germany, which includes both scientists and members of the German parliament, contends that “world oil

production...peaked in 2006.”23

Publicly of course the peak oil problem has often been characterized by establishment sources and the media as a “fringe issue.” Yet over the past decade the question has been pursued systematically with increasing concern within the highest echelons of capitalist society: within both states and corporations.24 In February 2005 the U.S. Department of Energy released a

Oil Producing Countries Past Peak (Year of Peak)

Austria (1955), Germany (1967), United States (lower 48, 1971), Canada (conv. 1974), Romania (1976), Indonesia (1977), United States (Alaska, 1989), Egypt (1993), India (1995), Syria (1995), Gabon (1997), Malaysia (1997), Argentina (1998), Venezuela (1998), Colombia (1999), Ecuador (1999), United Kingdom, (1999), Australia (2000), Oman (2001), Norway (2001), Yemen (2001), Denmark (2004), Mexico (2004).

Source: Energy Watch Group, Crude Oil: The Supply Outlook, October 2007, 11.

Page 49: ekonomi rakyat

major report that it had commissioned entitled Peaking of World Oil Production: Impacts, Mitigation, and Risk Management. The project leader was Robert L. Hirsch of Science Applications International Corporation. Hirsch had formerly occupied executive positions in the U.S. Atomic Energy Commission, Exxon, and ARCO. The Hirsch report concluded that peak oil was a little over two decades away or nearer. “Even the most optimistic forecasts,” it stated, “suggest that world oil peaking will occur in less than 25 years.” The main emphasis of the Hirsch report commissioned by the Department of Energy, however, was on the issue of the massive transformations that would be needed in the economy, and particularly transportation, in order to mitigate the harmful effects of the end of cheap oil. The enormous problem of converting virtually the entire stock of U.S. cars, trucks, and aircraft in just a quarter-century (at most) was viewed as presenting intractable difficulties.25

In October 2005, Hirsch wrote an analysis for Bulletin of the Atlantic Council of the United States on “The Inevitable Peaking of World Oil Production.” He declared there that, “previous energy transitions (wood to coal, coal to oil, etc.) were gradual and evolutionary; oil peaking will be abrupt and revolutionary. The world has never faced a problem like this. Without massive mitigation at least a decade before the fact, the problem will be pervasive and long lasting.”26

Similarly, the U.S. Army released a major report of its own in September 2005 stating:

The doubling of oil prices from 2003–2005 is not an anomaly, but a picture of the future. Oil production is approaching its peak; low growth in availability can be expected for the next 5 to 10 years. As worldwide petroleum production peaks, geopolitics and market economics will cause even more significant price increases and security risks. One can only speculate at the outcome from this scenario as world petroleum production declines.27

Indeed, by 2005 there was little doubt in ruling circles about the likelihood of serious oil shortages and that peak oil was on its way soon or sooner. In its 2005 World Energy Outlook the IEA raised the issue of Simmons’s claims in Twilight in the Desert that Saudi Arabia’s super-giant Ghawar oil field, the largest in the world, “could,” in the IEA’s words, “be close to reaching its peak if it has not already done so.” Likewise the U.S. Department of Energy, which had initially rejected Simmons’s assessment, backtracked between 2004 and 2006, degrading its projection of Saudi oil production in 2025 by 33 percent.28

In February 2007 the U.S. Government Accountability Office (GAO) released a seventy-five-page report on Crude Oil pointedly subtitled: Uncertainty about Future Oil Supply Makes It Important to Develop a Strategy for Addressing a Peak and Decline in Oil Production. It argued that almost all studies had shown that a world oil peak would occur sometime before 2040 and that U.S. federal agencies had not yet begun to address the issue of the national preparedness necessary to face this impending emergency. For the GAO the threat of a major oil shortfall was worsened by the political risks primarily associated with four countries, accounting for almost one-third of world (conventional) reserves: Iran,

Page 50: ekonomi rakyat

Iraq, Nigeria, and Venezuela. The fact that Venezuela contained “almost 90 percent of the world’s proven extra-heavy oil reserves” made it all the more noteworthy that it constituted a significant “political risk” from Washington’s standpoint.29

In April 2008, Jeroen van der Ver, CEO of Royal Dutch Shell, pronounced that “we wouldn’t be surprised if this [easy] oil would peak somewhere in the next ten years.” Due to a combination of factors including production shortfalls and a declining dollar, oil in May 2008 reached over $135 a barrel (it averaged $66 in 2006 and $72 in 2007). The same month Goldman Sachs shocked world capital markets by coming out with an assessment that oil prices could rise to as much as $200 a barrel in the next two years. Western oil interests were particularly distressed that the first production from Kazakhstan’s Kashagan oil field (considered the largest oil deposit in the world outside the Middle East) was eight years behind schedule due in part to waters frozen half the year. By May 2008 the IEA, according to analysts for the New York Times, was preparing to reduce its forecast of world oil production for 2030 from its earlier forecasts of 116 mb/d to no more than 100 mb/d.30

It was alarm about gasoline prices and national energy security (and no doubt the specter of a world oil peak) that induced the Bush administration in 2006 to take a more aggressive stance in promoting corn-based ethanol production as a fuel substitute. In 2007, 20 percent of U.S. corn production was devoted to ethanol to fuel automobiles. The price of grain spiked worldwide partly as a result. As environmentalist Lester R. Brown wrote in his Plan B 3.0: “Suddenly the world is facing a moral and political issue that has no precedent: Should we use grain to fuel cars or to feed people?...The market says, Let’s fuel the cars.”31

The New Energy Imperialism

The response in U.S. national security circles to the apparent oil production plateau, the disappearance of surplus oil production capacity, and growing fears of peak oil was swift. In October 2005 the CSIS issued another report, this time on Changing Risks in Global Oil Supply and Demand, written by Anthony Cordesmam (long-time national security analyst for the U.S. Department of Defense, now holder of Arleigh A. Burke Chair in Strategy at CSIS) and Khalid R. Al-Rodhan (a strategic analyst specializing in Gulf issues). Cordesman and Al-Rodhan quoted the IEA’s prediction in its 2004 World Energy Outlook that global oil production would not “peak before 2030 if the necessary investments are made.” Rather the immediate problem was “lagging investment” in the Middle East. Still, peak oil issues were not to be entirely discounted. Thus Cordesman and Al-Rodhan noted that, “Some analysts have questioned the [Saudi] Kingdom’s ability to meet sudden surges in demand because of its lack of spare production capacity, and others—like Matthew Simmons—have estimated that Saudi production may be moving towards a period of sustained decline.”

“Stability in petroleum exporting regions,” Cordesman and Al-Rodhan added, “is tenuous at best. Algeria, Iran, and Iraq all present immediate security problems, but recent experience has shown that exporting countries in Africa, the Caspian Sea, and South America are no more stable than the Gulf. There has been pipeline sabotage in Nigeria, labor strikes in Venezuela, alleged corruption in

Page 51: ekonomi rakyat

Russia, and civil unrest in Uzbekistan and other FSU [Former Soviet Union] states.”32

Even more central than the CSIS study was a 2006 Council on Foreign Relations report, chaired by former CIA Director John Deutch and Schlesinger, entitled, National Security Consequences of U.S. Oil Dependency. The Deutch and Schlesinger report zeroed in on inadequate oil production capacity, with OPEC no longer having the surplus capacity with which to keep prices under control. Production from existing conventional oil fields throughout the world was “declining, on average, about 5 percent per year (roughly 4.3 million barrels per day), and thus even sustaining current levels of consumption” would be enormously difficult. Moreover, “the depletion of conventional sources, especially those close to the major markets in the United States, Western Europe, and Asia, means that the production and transport of oil will become even more dependent on an infrastructure that is already vulnerable.” Major energy suppliers like Russia, Iran, and Venezuela were using oil to pursue domestic and geopolitical goals, rather than reinvesting the oil proceeds. Saudi Arabia, Iraq, Iran, and West Africa were all centers of instability. China was trying to “lock up” oil supplies in Africa, the Caspian Sea, and elsewhere.

Although the Deutch and Schlesinger report discussed some demand-side measures to reduce U.S. consumption and oil dependency, it stressed expanding the role of the U.S. military in securing oil supplies. Thus the report declared that “the United States should expect and support a strong military posture [in the Persian Gulf in particular] that permits suitably rapid deployment to the region, if required…Any nation (or subnational group) that contemplates violence on any scale must take into account the possibility of U.S. preemption, intervention, or retaliation.”33

No less significant was an April 2007 “policy report” issued by the James A. Baker III Institute for Public Policy on “The Changing Role of National Oil Companies in International Energy Markets.”Emphasizing that national oil companies now controlled 77 percent of the world’s total reserves, whereas Western multinational oil companies controlled a mere 10 percent, it contended that this was the key issue in managing the current world oil supply problem. “If the United States were able to wish into existence a world that would favor its terms of trade and superpower status,” the Baker Institute went so far as to declare,

all NOCs [national oil corporations] would be privatized, foreign investors would be treated the same as local companies and OPEC would be disbanded, allowing free trade and competitive markets to deliver energy that is needed worldwide at prices determined solely by the market. But it is hard to imagine why major oil producing countries would agree to that....In light of this reality, the United States will have to accept the existence of NOCs as a fact of life but should encourage steps to make their activities more businesslike, transparent and—to the extent possible—free of onerous government interference.

Page 52: ekonomi rakyat

Above all the U.S. imperial objective should be to “break up” wherever possible “the monopoly power of oil producers” and their use of their oil resources to pursue national goals other than purely commercial ones. The chief example of such state interference in oil production, the Baker Institute report stated, was Venezuela under the leadership of Hugo Chávez. Not only had the Bolivarian Revolution prioritized “the government’s national development policy” and “social and cultural investment” over “commercial development strategy,” it had also used oil as an instrument of “foreign policy activism.” This could be seen in its geopolitically motivated agreements with Bolivia, Ecuador, Nicaragua, and the Caribbean nations. Another case of the geostrategic wielding of oil power was Iran, which had threatened that it “could block the vital oil transitway, the Strait of Hormuz,” if faced with a U.S. military attack. One critical danger that the United States needed to guard against was a “hostile” alliance between major oil producing/consuming states, such as Russia, China, Iran, and the Central Asian states. Another key consideration in the geopolitics of tough oil, the Baker Institute underscored, was the continuing political instability in Iraq. Despite Washington’s attempts to stabilize that country, political unrest and war continued, preventing the oil exploration of Iraq’s Western desert.34

The tightening oil situation has prompted the rapid on the ground growth of U.S. energy imperialism, beyond the continuing Iraq and Afghan wars. The security of Saudi Arabia remains an overriding focus. Washington’s plans for a massive expansion of investment and production in Saudi Arabia, which according to the U.S. Department of Energy needs to double its oil output by 2030, depends on the feudal kingdom remaining in place. Meanwhile, there is rising social tension, emanating from the vastly unequal distribution of the country’s oil revenues. Ninety percent of private sector jobs go to foreigners. The sexes are entirely segregated. The repressive structure of the society conceals massive popular resentment. Any destabilization of the society would likely prompt U.S. military intervention. As James Howard Kunstler has written in The Long Emergency, “a desperate superpower might feel it has no choice except to attempt to control the largest remaining oil fields on the planet at any cost”—particularly if faced by growing rivalry from other states.35

The United States has sought to counter the possibility of an energy alliance between Russia, China, Iran, and Central Asian oil states by expanding its military bases in Afghanistan and Central Asia, notably its Manas air base in Kyrgyzstan on the border of oil-rich Kazakhstan.

Threats of U.S. “preemptive” military intervention directed at Iran meanwhile have been continuous, based on its alleged attempts to acquire nuclear weapons through the aggressive pursuit of nuclear energy, and its “interference” in Iraq. Iran’s pursuit of nuclear power, as a 2007 study published in the Proceedings of the National Academy of Sciences has confirmed, is due to an oil export decline rate of 10–12 percent, arising from the growth of domestic energy demand plus a high rate of oil field depletion and a lack of investment growth in expanded capacity. This led to Iran’s recent inability to meet its OPEC oil export quota. The current trend points to the likelihood of Iranian petroleum exports falling to zero by 2014–15. From the standpoint of Western energy and national security analysts, Iran’s government and its national oil corporation have adopted the

Page 53: ekonomi rakyat

monopolistic policy of underinvesting in oil, deliberating slowing its production in expectation of continually rising prices, thereby holding back on the lifeblood of the world economy.36

During the last few years the U.S. military has dramatically increased its bases and operations in Africa, particularly in the Gulf of Guinea. The United States expects to get 20 percent of its oil imports from Africa by 2010, and 25 percent by 2015. The U.S. military set up a separate Africa Command in 2007 to govern all U.S. military operations in Africa (outside Egypt). Washington sees itself as in direct competition with Beijing over African oil—a competition that it perceives not simply in economic but also military-strategic terms.37

U.S. ruling interests also have increased their threats directed at Venezuela, Ecuador, Bolivia, and other Latin American states, accusing them of “resource nationalism” and presenting them as dangers to U.S. national security. Washington has made one attempt after another to unseat Venezuela’s democratically elected president Hugo Chávez and to overthrow Venezuela’s Bolivarian Revolution, with the clear object of regime change. This has included stepping up its massive military intervention in Colombia and backing the Colombian military and its intrusions into neighboring countries. In 2006 the U.S. Southern Command conducted an internal study, declaring that Venezuela, Bolivia, Ecuador, and conceivably even Mexico (which was then facing elections with a possible populist outcome) offered serious dangers to U.S. energy security. “Pending any favorable changes to the investment climate,” it declared, “the prospects for long-term energy production in Venezuela, Ecuador and Mexico are currently at risk.” The military threat was obvious.38

All of this is in accord with the history of capitalism, and the response of declining hegemons to global forces largely outside their control. The new energy imperialism of the United States is already leading to expanding wars, which could become truly global, as Washington attempts to safeguard the existing capitalist economy and to stave off its own hegemonic decline. As Simmons has warned, “If we don’t create a solution to the enormous potential gap between our inherent demand for energy and the availability of energy we will have the nastiest and last war we’ll ever fight. I mean a literal war.”39 In January 2008 Carlos Pascual, vice president of the Brookings Institution and former director of the Bush administration’s Office of Reconstruction and Stabilization, released an analysis of “The Geopolitics of Energy” that highlighted U.S. capitalism’s de facto dependence on oil production in “Saudi Arabia, Russia, Iran, Iraq, Venezuela, Nigeria, and Kazakhstan”—all posing major security threats. “Due to commercial disputes, local instability, or ideology, Russia, Venezuela, Iran, Nigeria and Iraq are not investing in new long-term production capacity.” This then was both an economic and a military problem for Washington.40

Especially disturbing in this new phase of energy imperialism is the lack of resistance from populations within central capitalist countries themselves. Thus left-liberal publications in the wealthy nations often play on the prejudices of their readers (who are buffeted by rising gasoline prices), encouraging them to support oil imperialism designed to safeguard Western capitalism. David Litvin,

Page 54: ekonomi rakyat

writing on “Oil, Gas and Imperialism” in 2006 for the Guardian in London, claimed that “the inevitability of modern energy imperialism needs to be recognized.” Threats from Russia, OPEC, Venezuela, and Bolivia were highlighted. The United States invaded Iraq, we were told, partly for “oil security.” Clearly sympathizing with that form of energy imperialism that “involves consumer states launching political or military” interventions “to secure supplies,” Litvin concluded: “Energy imperialism is here to stay, and efforts should [therefore] focus on making it a more benign force.”41

Likewise Joshua Kurlantzick, a contributing writer for Mother Jones,wrote a piece entitled “Put a Tyrant in Your Tank” for the May–June 2008 issue of that magazine which attributed oil supply problems to national oil companies, and argued—referring to the Baker Institute report on “The Changing Role of National Oil Companies”—that oil would be better safeguarded if placed in the hands of multinational oil companies as of old. The latter, readers were told, “may cozy up to nasty regimes...but they are at least obligated to respond to public criticism.” Kurlantzick presented repeated criticisms of Hugo Chávez in Venezuela for his “resource nationalism,” going so far as to compare Venezuela to Burma and Russia, as “authoritarian and corrupt,” citing a study from the neoconservative, largely U.S. government-funded, Freedom House. The Mother Jones article also gave credence to the 2006 internal study conducted by the Pentagon’s Southern Command, pinpointing the national security dangers to the United States of resource nationalism in Venezuela, Bolivia, and Ecuador. Other petrostates that were subjected to sharp criticism were Iran, Russia, Kazakhstan, Nigeria, and Libya. Chinese state oil corporations were targeted for their aggressiveness in pursuing oil around the world and for their lack of environmental concerns. U.S. energy imperialism was thus seen as justified even by the putatively progressive Mother Jones—with hope and confidence being placed mainly in big oil and the Pentagon.42

Planetary Conflagration?

The supreme irony of the peak oil crisis of course is that the world is rapidly proceeding down the path of climate change from the burning of fossil fuels, threatening within a matter of decades human civilization and life on the planet. Unless carbon dioxide emissions from the consumption of such fuels are drastically reduced, a global catastrophe awaits. For environmentalists peak oil is therefore not a tragedy in itself since the crucial challenge facing humanity at present is weaning the world from excessive dependence on fossil fuels. The breaking of the solar energy budget that hydrocarbons allowed has generated a biospheric rift, which if not rapidly addressed will close off the future.43

Page 55: ekonomi rakyat

Yet, heavy levels of fossil fuel, and particularly petroleum, consumption are built into the structure of the present world capitalist economy. The immediate response of the system to the end of easy oil has been therefore to turn to a new energy imperialism—a strategy of maximum extraction by any means possible: with the object of placating what Rachel Carson once called “the gods of profit and production.”44 This, however, presents the threat of multiple global conflagrations: global warming, peak oil, rapidly rising world hunger (resulting in part from growing biofuel production), and nuclear war—all in order to secure a system geared to growing inequality.

In the face of the immense perils now facing life on the planet, the world desperately needs to take a new direction; toward communal well-being and global justice: a socialism for the planet. The immense danger now facing the human species, it should be understood, is not due principally to the constraints of the natural environment, whether geological or climatic, but arises from a deranged social system wheeling out of control, and more specifically, U.S. imperialism. This is the challenge of our time.May 25, 2005

Page 56: ekonomi rakyat

Notes1.   Influential mainstream political analyst (and former Nixon White House strategist) Kevin Philips has recently argued that oil in the Middle East and elsewhere has emerged as perhaps the single most important strategic (non-monetary) factor in “the Global Crisis of American Capitalism,” and is closely tied up with the world’s need to shift to a “new energy regime.” See Phillips, Bad Money: Reckless Finance, Failed Politics, and the Global Crisis of American Capitalism (New York: Viking, 2008), 124–27. Indeed, the struggle to control world oil can be seen as the centerpiece of the new geopolitics of U.S. empire, designed at the same time to combat the decline of U.S. hegemony. See John Bellamy Foster, “A Warning to Africa: The New U.S. Imperial Grand Strategy,” Monthly Review 58, no. 2 (June 2006): 1–12.2.   Michael T. Klare, Blood and Oil (New York: Henry Holt, 2004), 82.3.   Colin J. Campbell and Jean H. Laherrère, “The End of Cheap Oil,” Scientific American (March 1998): 78–83; International Energy Agency, World Energy Outlook, 1998 (Paris: OECD, 1998), 94–103.4.   Matthew R. Simmons, “Has Technology Created $10 Oil?,” Middle East Insight (May–June 1999), 37, 39. 5.   Matthew R. Simmons, “An Oil Man Reconsiders the Future of Black Gold,” Good Magazine, February 11, 2008. The insert in square brackets in the quote is in original.6.   Matthew R. Simmons, Twilight in the Desert: The Coming Saudi Oil Shock and the World Economy (Hoboken, New Jersey: John Wiley and Sons, 2005).7.   John Wood and Gary Long, “Long Term World Oil Supply (A Resource Base/Production Path Analysis),” Energy Information Administration, U.S. Department of Energy, July 28, 2000.8.   See Klare, Blood and Oil, 13–14. 9.   Sam Nunn and James R. Schlesinger, cochairs, The Geopolitics of Energy into the 21st Century, 3 volumes (Washington, D.C.: Center for Strategic and International Studies, November 2000), vol. 1, xvi–xxiii; vol. 2, 30–31; vol. 3, 19.10. Edward L. Morse, chair, Strategic Energy Policy Challenges for the 21st Century, cosponsored by the James A. Baker III Institute for Public Policy of Rice University and the Council on Foreign Relations (Washington, D.C: Council on Foreign Relations Press, April 2001), 3–17, 29, 43–47, 84–85, 98; see also Edward L. Morse, “A New Political Economy of Oil?,” Journal of International Affairs 53, no. 1 (Fall 1999), 1–29.11. White House, National Energy Policy (Cheney report), May 2001, http://www.whitehouse.gov/energy/National-Energy-Policy.pdf, 1–13, 8–4.; Department of Energy, Energy Information Administration, International Economic Outlook,2001, http://www.eia.doe.gov/oiaf/archive/ieo01/pdf/0484(2001).pdf, 240; International Petroleum Outlook, April 2008, tables 4.1b and 4.1d; Klare, Blood and Oil, 15, 79–81.12. Klare, Blood and Oil, 82–83. 13. Alan Greenspan, The Age of Turbulence (London: Penguin, 2007), 462–63.14. James A. Baker Institute for Public Policy, “The Changing Role of National Oil Companies in International Markets,” Baker Institute Policy Report, no. 35 (April 2007), http://www.bakerinstitute.org/publications/BI_PolicyReport_35.pdf, 1, 10–

Page 57: ekonomi rakyat

12, 17–19.15. Fareed Muhamedi and Raad Alkadiri, “Washington Makes It’s Case for War,” Middle East Report, no. 224 (Autumn 2002), 5; John Bellamy Foster, Naked Imperialism (New York: Monthly Review Press, 2006), 92. 16. U.S. Department of Energy, Energy Information Administration, International Petroleum Monthly, April 2008, tables 4.1b and 4.1d. 17. Richard Heinberg, The Party’s Over (Garbiola Island, B.C: New Society Publishers, 2005), 127–28; Michael Klare, Rising Powers, Shrinking Planet (New York: Henry Holt, 2008), 41; Greenpeace, “Stop the Tar Sands/Water Polluton,” http://www.greenpeace.org/canada/en/campaigns/tarsands/threats/water-pollution.18. Energy Watch Group, Crude Oil: The Supply Outlook, October 2007, 33–34.19. The distinction between “early” and “late” peakers is to be found in Richard Heinberg, The Oil Depletion Protocol (Garbiola Island, B.C: New Society Publishers, 2006), 17–23. For some representative works from the “early peaker” perspective see Kenneth S. Deffeyes, Hubbert’s Peak (Princeton: Princeton University Press, 2001); David Goodstein, Out of Gas (New York: W. W. Norton, 2004); and Heinberg, The Party’s Over. Cambridge Energy Research Associates is the leading independent representative of the “late peaker” view. See http://www.cera.com/aspx/cda/public1/home/home.aspx.20. International Energy Agency, World Energy Outlook, 1998, 83–84. The increased prominence of unconventional oil has recently led to increasing references to “liquids” as opposed to “oil” as such in Department of Energy reports. See Michael T. Klare, “Beyond the Age of Petroleum,” The Nation, October 25, 2007. 21. Richard Heinberg, Power Down (Gabriola Island, B.C.: New Society Publishers, 2004), 35; James Howard Kunstler, The Long Emergency (New York: Atlantic Monthly Press, 2005), 67–68. In an important paper on the implications of peak oil for global warming, Pushker Kharecha and James Hansen of NASA’s Goddard Institute for Space Studies and the Columbia University Earth Institute provide a graph (in one scenario) of a plateau in oil-based CO2 emissions, stretching from approximately 2016 to 2036. Pushker A. Kharecha and James E. Hansen, “Implications of ‘Peak Oil’ for Atmospheric CO2 and Climate,” Global Biogeochemistry (2008, in press), figure 3.22. “Oil Officials See Limit Looming on Production,” Wall Street Journal, November 11, 2007; Klare, Beyond the Age of Petroleum.” 23. Phillips, Bad Money, 130–31, 153; Energy Watch Group, Crude Oil: The Supply Outlook, October 2007, 71.24. Phillips sees this descrepancy between the analysis at the top and public statements in Washington as due in large part to a desire to keep from the public the view that the U.S. system is itself peaking. See Phillips, Bad Money, 127.25. Robert L. Hirsch, project leader, Peaking of World Oil Production: Impacts, Mitigation, and Risk Management, U.S. Department of Energy, February 2005, 13, 23–25. A different and more official position was issued by the EIA in 2004–2005 in the form of a presentation on “When Will World Oil Production Peak” by EIA administrator Guy Caruso at the 10th Annual Oil and Gas Conference, Kuala Lumpar, Malaysia, June 13, 2005. The central scenario, however, estimated the world oil peak occurring in 2044, a figure too out of line with all other studies to

Page 58: ekonomi rakyat

be considered credible. See http://www.eia.doe.gov/neic/speeches/Caruso061305.pdf. 26. Robert L. Hirsh, “The Inevitable Peaking of World Oil Production,” Bulletin of the Atlantic Council of the United States 16, no. 2 (October 2005): 8.27. Daniel F. Fournier and Eileen T. Westervelt, U.S Army Engineer Research and Development Center, U.S. Army Corps of Engineers, Energy Trends and their Implications for U.S. Army Installations, September 2005, vii.28. International Energy Agency, World Energy Outlook, 2005 (Paris: OECD, 2005), 510-12; Simmons, Twilight in the Desert, 170–79; Klare, Rising Powers, Shrinking Planet, 38.29. United States Government Accountability Office, Crude Oil: Uncertainty about Future Oil Supply Makes It Important to Develop a Strategy for Addressing a Peak and Decline in Oil Production, February 28, 2007, 4, 20–22, 35–38. 30. Bloomberg.com, “Goldman’s Murti Says Oil ‘Likely’ to Reach a $150–$200 (Update 5),” May 6, 2008; “The Cassandra of Oil Prices,” New York Times, May 21, 2008; ; Klare, Rising Powers, Shrinking Planet, 121–22; Joroen van der Veer (interview), “Royal Dutch Shell CEO on the End of ‘Easy Oil’,”; “Not Enough Oil is Lament of BP, Exxon on Spending (Update 1),” Bloomberg.com, May 19, 2008; Mike Nizz, “Market Faces a Disturbing Oil Forecast,” The Lede (New York Times blog), May 22, 2008. 31. Lester R. Brown, Plan B 3.0 (New York: W. W. Norton, 2008), 41; Fred Magdoff, “The World Food Crisis,” Monthly Review 60, no. 1 (May 2008): 1–15, and “The Political Economy and Ecology of Agrofuels,” in this issue.32. Anthony H. Cordesman and Khalid R. Al-Rodhan, The Changing Risks in Global Oil Supply and Demand, Center for Strategic and International Studies, October 3, 2005 (first working draft), 8, 13–19, 55–59, 79, 83.33. John Deutsch and James R. Schlesinger, chairs, National Security Consequences of U.S. Oil Dependence, Council on Foreign Relations, 2006, http://www.cfr.org/publication/11683/, 3, 16–30, 48–56.34. James A. Baker III Institute for Public Policy of Rice University, “The Changing Role of National Oil Companies in International Oil Markets,” Baker Institute Policy Report, no. 35 (April 2007), http://bakerinstitute.org/publications/BI_PolicyReport_35.pdf, 1, 10–12, 17–19. 35. Kunstler, The Long Emergency, 76–84; Baker Institute, “Changing Role of National Oil Companies,” 12.36. Roger Stern, “The Iranian Petroleum Crisis and the United States National Security,” Proceedings of the National Academy of Sciences 104, no. 1 (January 2, 2007): 377–82.37. Foster, “A Warning to Africa”; Michael Watts, “The Empire of Oil: Capitalist Dispossession and the New Scramble for Africa,” Monthly Review 58, no. 4 (September 2006), 1–17; Klare, Rising Powers, Shrinking Planet, 146–76. 38. “U.S. Military Sees Oil Nationalism Spectre,” Financial Times, June 26, 2006; Council on Foreign Relations, “The Return of Resource Nationalism,” August 13, 2007; Eva Golinger, Bush vs. Chávez (New York: Monthly Review Press, 2008).39. Simmons, “An Oil Man Reconsiders the Future of Black Gold.”40. Carlos Pascual, “The Geopolitics of Energy,” Brookings Institution, January 2008, http://www.cfr.org/publication/15342/brookings.html, 3–4.

Page 59: ekonomi rakyat

41. Daniel Litvin, The Guardian (UK), “Oil, Gas and Imperialism,” January 4, 2006.42. Joshua Kurlantzick, “Put a Tyrant in Your Tank,” Mother Jones 33, no. 3 (May–June 2008), 38–42, 88–89. 43. See Richard Heinberg’s excellent chapter on “Bridging Peak Oil and Climate Change Activism” in his Peak Everything (Gabriola Island: New Society Publishers, 2008), 141–57. On the concept of a biospheric rift see Brett Clark and Richard York, “Carbon Metabolism: Global Capitalism, Climate Change, and the Biospheric Rift,” Theory & Society 34, no. 4 (2005): 391–428. In their paper on peak oil and global warming, Kharecha and Hansen present a baseline atmospheric carbon stabailizaton scenario in which oil-based CO2 emissions peak by 2016, due principally to the “peaking” of world oil production (mediated by economic and social as well as geological factors). If such a peak were to occur, they argue, it would facilitate the stabilization of atmospheric carbon at (or below) what scientists increasingly consider to be the maximum safe level of 450 parts per million (associated with a rise in global average temperature of around 2°C above pre-industrial). But stabilization of atmospheric CO2 at this level would also require that CO2 emissions from coal-fired power plants peak by 2025 and that coal-fired plants without sequestration be phased out completely “before mid-century.” Pusher and Kharecha, “Implications of ‘Peak Oil’ for Atmospheric CO2 and Climate.”44. Rachel Carson, Lost Woods (Boston: Beacon Press, 1998), 210.

Aloysius Gunadi Brata

DISTRIBUSI SPASIAL UKM DI MASA KRISIS EKONOMI PENDAHULUAN

  Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di Indonesia.  Sebagai gambaran, kendati  sumbangannya dalam output nasional (PDRB) hanya 56,7 persen dan  dalam  ekspor nonmigas hanya 15 persen, namun UKM memberi kontribusi sekitar 99 persen dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta mempunyai andil 99,6 persen  dalam penyerapan tenaga kerja (Kompas, 14/12/2001). Namun, dalam kenyataannya selama ini UKM  kurang mendapatkan perhatian. Dapat dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya UKM dapat dikatakan barulah muncul belakangan ini saja.

Setidaknya terdapat tiga alasan yang mendasari negara berkembang belakangan ini memandang penting  keberadaan UKM  (Berry, dkk, 2001).  Alasan pertama adalah karena kinerja UKM cenderung lebih baik dalam hal menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, sebagai bagian dari dinamikanya, UKM sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi. Ketiga adalah karena sering diyakini bahwa UKM memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas ketimbang usaha besar.  Kuncoro (2000a) juga menyebutkan bahwa usaha kecil dan usaha rumah tangga di Indonesia telah memainkan peran penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah unit usaha dan mendukung pendapatan rumah tangga.

Alasan yang ketiga yang dikemukakan Berry dkk di atas  sangat  relevan dalam konteks Indonesia yang tengah mengalami krisis ekonomi. Aspek fleksibilitas  tersebut menarik pula dihubungkan dengan hasil  studi Akatiga berdasarkan survei di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Sumatra Utara. Temuan   Akatiga tersebut seperti dikutip Berry dkk (2001) adalah  bahwa  usaha kecil di Jawa lebih menderita akibat krisis daripada luar Jawa, begitu pula  yang di perkotaan bila dibandingkan dengan yang di pedesaan.

Sementara itu, berdasarkan data PDRB,  krisis ekonomi telah menyebabkan propinsi-propinsi di Jawa  mengalami kontraksi ekonomi yang lebih besar ketimbang daerah-daerah lain di Indonesia (lihat gambar berikut).  Lima propinsi di Jawa seluruhnya adalah lima besar propinsi di Indonesia yang mengalami kemorosotan ekonomi terparah. Pada tahun 1998, saat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi terparah, 

Page 60: ekonomi rakyat

hanya  Papua saja yang pertumbuhan ekonominya masih positif sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami kontraksi.  Pada tahun tersebut,  seluruh propinsi di pulau Jawa mengalami kontraksi ekonomi yang jauh lebih parah daripada propinsi-propinsi lainnya (lihat juga Akita dan Alisjahbana, 2002).

Demikianlah, selain  ekonominya mengalami kontraksi terparah, usaha kecil di propinsi-propinsi di pulau Jawa juga lebih menderita akibat krisis ekonomi.  Sementara itu,  menurut hasil analisis Watterberg, dkk (1999),  dampak sosial dari krisis ekonomi  amat terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan di Jawa, serta sejumlah propinsi di Indonesia bagian Timur.   Dengan kata lain, terdapat indikasi adanya dimensi spasial dari krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997.

Dalam konteks UKM, salah satu pertanyaan yang menarik untuk dimunculkan adalah apakah krisis ekonomi betul-betul membawa pengaruh pada dinamika spasial UKM? Tulisan ini hanya mengamati salah satu aspek  saja dari dinamika spasial UKM, yakni distribusi spasialnya.  Dapat dikemukakan bahwa selama ini sejumlah studi sudah dilakukan untuk mengamati  distribusi spasial industri manufaktur, khususnya yang berskala besar dan  menengah, misalnya Azis (1994), Hill (1996), Kuncoro (2000a), Sjöberg dan Sjöholm (2002). Namun, pengamatan serupa terhadap UKM tampaknya  masih belum banyak dilakukan (Kuncoro, 2000b).

                       

Page 61: ekonomi rakyat

BERTAHAN DENGAN UKM

Krisis ekonomi, apalagi yang sangat parah, tentu telah menyulitkan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini bukanlah hal yang mengejutkan  kalau pengangguran, hilangnya  penghasilan serta kesulitan memenuhi kebutuhan pokok merupakan persoalan-persoalan sosial yang sangat dirasakan masyarakat sebagai akibat dari krisis ekonomi.  Hasil survei  yang dilakukan Bank Dunia bekerjasama dengan Ford Foundation dan Badan Pusat Statistik (September-Oktober 1998) menegaskan bahwa  ketiga persoalan itu  oleh  masyarakat ditempatkan sebagai persoalan prioritas atau  harus segera mendapatkan penyelesaian (Watterberg dkk, 1999).  Dengan kata lain, ketiga hal itu merupakan persoalan sangat pelik yang dihadapi masyarakat pada umumnya.

Kondisi ketenagakerjaan  pada masa krisis kiranya dapat memberikan gambaran dampak sosial dari krisis ekonomi (Tabel 1). Tingkat pengangguran mengalami kenaikan dari 4,9 persen pada tahun 1996 menjadi 6,1 persen pada tahun 2000. Krisis ekonomi juga telah membalikkan tren formalisasi ekonomi sebagaimana tampak dari berkurangnya pangsa pekerja sektor formal menjadi 35,1.  Dengan kata lain, peran sektor informal menjadi terasa penting dalam periode krisis ekonomi. Sektor informal sendiri merupakan sektor dimana sebagian besar tenaga kerja Indonesia berada.

Sementara itu, belakangan ini banyak diungkapkan bahwa UKM memiliki peran penting bagi masyarakat di tengah krisis ekonomi.  Dengan memupuk UKM diyakini pula akan dapat dicapai pemulihan ekonomi (Kompas. 14/12/2001). Hal serupa juga berlaku bagi sektor informal. Usaha kecil sendiri pada dasarnya  sebagian besar  bersifat informal dan karena itu relatif mudah untuk dimasuki oleh pelaku-pelaku usaha yang baru.  Pendapat mengenai peran UKM atau sektor informal tersebut ada benarnya setidaknya bila dikaitkan dengan perannya  dalam meminimalkan  dampak sosial dari krisis ekonomi khususnya  persoalan pengangguran dan hilangnya penghasilan masyarakat.

UKM boleh dikatakan merupakan salah satu solusi masyarakat untuk tetap bertahan dalam menghadapi krisis yakni dengan melibatkan diri dalam aktivitas usaha kecil terutama yang berkarakteristik informal.  Dengan hal ini maka persoalan pengangguran sedikit banyak dapat tertolong dan implikasinya adalah juga dalam hal pendapatan.  Bagaimana dengan anjloknya pendapatan masyarakat yang tentu saja mengurangi daya beli masyarakat terhadap produk-produk yang sebelumnya banyak disuplai oleh usaha berskala besar? Bukan tidak  mungkin produk-produk  UKM justru menjadi substitusi bagi produk-produk usaha besar yang mengalami kebangkrutan atau setidaknya masa-masa sulit akibat krisis ekonomi. Jika demikian halnya maka kecenderungan tersebut  sekaligus juga merupakan respon terhadap merosotnya daya beli masyarakat.

Page 62: ekonomi rakyat

Gambar di atas—disusun berdasarkan Hasil Survei Usaha Terintegrasi yang dilakukan BPS—kiranya dapat berguna untuk memberikan gambaran bagaimana peranan UKM bagi masyarakat di masa krisis.[1]  Survei tersebut terbatas hanya pada UKM  yang tidak berbadan hukum sehingga hasilnya dapat juga merefleksikan sektor informal. Seluruh sektor ekonomi dicakup oleh survei tersebut, kecuali sektor pertanian. Oleh karena tidak mencakup sektor pertanian, maka hasil survei  tersebut akan lebih mencerminkan UKM di perkotaan mengingat sektor pertanian sebagian besar berada di wilayah pedesaan. Hal ini menjadi penting  karena  Watterberg dkk (1999) juga menyimpulkan bahwa dampak sosial dari krisis ekonomi lebih terkonsentrasi di wilayah perkotaan. 

[1] Data UKM tersebut bersumber dari publikasi BPS berjudul  Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum Indonesia tahun 1998 dan tahun 2000.Hasil survei tersebut hanya  mencakup  UKM non-pertanian yang tidak berbadan hukum sehingga secara konseptual hasil survei tersebut  juga merefleksikan sektor informal kendati secara terbatas (www.bps.go.id). Oleh karena tidak mencakup sektor pertanian, maka data yang ada di sini barangkali pula  lebih mencerminkan UKM di perkotaan mengingat sektor pertanian sebagian besar berada di wilayah pedesaan. Perlu ditambahkan bahwa pada tahun 1997 tidak ada survei.   Selain itu, untuk tahun 1999 dan 2000 tidak ada data untuk Propinsi Maluku.  Selanjutnya, yang dimaksud dengan UKM dalam tulisan ini adalah sebagaimana definisi UKM tersebut.

Secara umum, hasil survei BPS di atas menunjukkan beberapa kecenderungan menarik. Dari gambar 1 tampak bahwa jumlah unit usaha UKM cenderung berkurang. Jumlah unit usaha pada tahun 2000 masih tetap lebih sedikit dibandingkan sebelum krisis ekonomi.  Hal yang sama juga terjadi pada jumlah tenaga kerja. Hanya saja, penurunan jumlah tenaga kerja tidaklah setajam penurunan jumlah unit usaha.   Oleh karena itu, tenaga kerja yang diserap oleh masing-masing unit usaha secara rata-rata justru mengalami kenaikan. Hal ini merupakan salah satu indikasi bahwa UKM sebetulnya juga  mempunyai keunggulan dalam menyerap tenaga kerja di masa krisis ekonomi. Krisis ekonomi rupanya telah mempertinggi kemampuan masing-masing UKM untuk menyerap tenaga kerja.  Dengan kata lain, sektor  tersebut telah turut berperan dalam mengatasi persoalan pengangguran yang diakibatkan oleh krisis ekonomi. 

Data-data tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa UKM memiliki kemampuan untuk menjadi pilar penting bagi perekonomian masyarakat dalam menghadapi terpaan krisis ekonomi. Hal ini tidak lepas dari  kemampuan UKM untuk merespon krisis ekonomi secara cepat dan fleksibel  dibandingkan kemampuan usaha besar (Berry dkk, 2001). Namun demikian, ada pendapat bahwa sektor informal tidaklah memberikan perbaikan secara berarti terhadap taraf hidup para pekerjanya. Hidup di sektor informal hanyalah hidup secara subsisten (Basri, 2002).  

Page 63: ekonomi rakyat

DISTRIBUSI SPASIAL UKM

Pertanyaan awal yang perlu diperjelas di sini adalah apa indikator UKM yang digunakan. UKM pada dasarnya adalah aktivitas ekonomi sementara  aktivitas ekonomi sendiri secara umum dapat diindikasikan oleh tenaga kerja maupun nilai tambahnya (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Dalam tulisan ini, indikator yang akan digunakan adalah tenaga kerja UKM disertai jumlah unit usahanya sebagai pelengkap.[2]

[2] Dalam konteks industri manufaktur, penggunaan tenaga kerja dan nilai tambah secara bersama-sama sebagai   indikator  aktivitas ekonomi  dapat mencegah terjadi kesimpulan yang bias oleh karena perbedaan distribusi spasial dari industri-industri yang berbeda dimana ada yang bersifat padat tenaga kerja dan ada yang padat modal (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Namun dalam konteks UKM, bias itu mungkin tidak terlalu besar mengingat sebagian besar lebih mengandalkan tenaga kerja, termasuk yang tidak dibayar (lihat, Kuncoro, 2000a).

Seperti juga industri manufaktur besar dan menengah, distribusi spasial UKM dalam kurun waktu 1996-2000 juga terpusat di Pulau Jawa.  Pada tahun 1996, sekitar  66 persen UKM Indonesia berada di Jawa (Tabel 2). Sejak terjadi  krisis ekonomi, UKM justru makin memusat di Jawa, yakni menjadi sekitar 68 persen dari seluruh unit usaha UKM yang ada di Indonesia.  Dari lima propinsi di Jawa, hanya DKI Jakarta saja yang cenderung mengalami penurunan andil, sedangkan Jawa Tengah mengalami peningkatan secara sinambung. Selain  propinsi-propinsi Jawa, hanya Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan saja yang andilnya dalam jumlah UKM cukup tinggi. 

Selain dari jumlah unit usaha, distribusi spasial tersebut tentu perlu pula dilihat dari sisi tenaga kerja. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa  krisis ekonomi mulanya menurunkan pangsa pulau Jawa, namun mulai tahun 1998 pangsa Jawa kembali meningkat sampai menjadi 66 persen pada tahun 2000. Sedangkan Sumatera justru sebaliknya, yakni meningkat pada tahun 1998 namun kemudian terus menurun sampai menjadi kurang dari 16 persen pada tahun 2000.

Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih kuat, perkembangan penyebaran regional dari UKM dapat dilihat dari konsentrasi spasialnya. Konsentrasi spasial di sini menunjuk kepada terkonsentrasinya UKM pada beberapa daerah saja.  Sebagai contoh, dalam  studinya  yang mengukur trend konsentrasi spasial industri di Indonesia 1976-1995, Kuncoro menggunakan Indeks Entropi Theil (Kuncoro, 2000a).  Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser.

Kuncoro menemukan bahwa sampai sebelum tahun 1988, konsentrasi spasial industri memiliki pola menurun, namun sejak memasuki periode deregulasi, konsentrasi spasial tersebut justru mengalami peningkatan. Dicatat pula bahwa peningkatan konsentrasi spasial jauh lebih mencolok di Jawa daripada Sumatera maupun pulau-pulau lainnya di Indonesia.  Masih menurut Kuncoro (2002b), dalam kasus Indonesia, deregulasi perdagangan bersama dengan serangkaian deregulasi yang diterapkan justru memperkuat konsentrasi spasial industri manufaktur.

 Sedangkan untuk kasus industri manufaktur Indonesia 1980 dan 1996, Sjöberg dan Sjöholm (2002) menggunakan indeks Herfindahl dan indeks Ellison-Glaeser terhadap data tenaga kerja maupun nilai tambah yang dihasilkan industri manufaktur. Kesimpulan  yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan temuan Kuncoro.  Dari analisisnya, Sjöberg dan Sjöholm memukan bahwa tingkat konsentrasi spasial industri manufaktur dalam kurun waktu 1980-1996 tidaklah berkurang. Ditambahkan pula  bahwa liberalisasi perdagangan yang dimulai tahun 1983 telah gagal menurunkan tingkat konsentrasi industri manufaktur. 

Page 64: ekonomi rakyat

Kendati ukuran konsentrasi spasial yang digunakan berbeda, kedua studi tersebut di atas memperoleh kesimpulan yang relatif serupa.  Dalam tulisan  ini   ukuran konsentrasi spasial yang digunakan  adalah indeks Herfindahl yang diterapkan baik terhadap data unit usaha maupun jumlah pekerja UKM.  Hasil perhitungan indeks Herfindahl tersebut disajikan dalam Gambar 3. 

Sebelum krisis, tingkat konsentrasi spasial unit usaha UKM adalah 0,126. Sebagai perbandingan, indeks Herfindahl industri manufaktur Indonesia tahun 1996 adalah 0,190 (Sjöberg dan Sjöholm, 2002). Hal ini tidak berubah banyak pada satu tahun setelah terjadi krisis ekonomi. Namun pada tahun 1999 konsentrasi spasial unit usaha UKM  mengalami peningkatan cukup tinggi dan belum menurun secara berarti pada tahun 2000.  Namun jika dilihat dari tenaga kerja, setelah krisis justru terjadi penurunan tingkat konsentrasi spasial kendati relatif kecil. Tahun 1999 dan 2000, indeks Herfindahl pekerja UKM meningkat menjadi lebih dari 0,12. Hal ini memberikan indikasi bahwa sejak terjadi krisis ekonomi, ada kecenderungan menguatnya konsentrasi spasial UKM di Indonesia. Kendati demikian, peningkatan konsentrasi spasial tersebut sebetulnya relatit tidak terlalu besar.

 

PENUTUP

Sejak terjadi krisis ekonomi 1997,  UKM memainkan peran dalam mengatasi persoalan ketenagakerjaan.  Data yang ada menunjukkan  bahwa peran tersebut cukup penting. Namun demikian bagaimana penyerapan tenaga kerja oleh UKM dari aspek spasial tampak masih kurang teramati.  Dalam tulisan ini yang diamati barulah soal distribusi spasial UKM dan belum sampai pada determinan dari dinamika spasial UKM itu sendiri.

            Dari analisis dapat disimpulkan bahwa  sampai dengan tahun 2000,  UKM (non pertanian yang tidak berbadan hukum) masih tetap terkonsentrasi di pulau Jawa,   baik dilihat dari sisi jumlah usaha maupun jumlah pekerjanya. Terdapat pula indikasi menguatnya  konsentrasi spasial UKM  tersebut sejak  krisis ekonomi melanda Indonesia. Indikasi tersebut  kiranya masih perlu dilengkapi dengan upaya mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dinamika spasial UKM sebagaimana dilakukan dalam studi-studi terhadap idustri manufaktur pada umumnya.***

 

 

Page 65: ekonomi rakyat

Oleh: Aloysius Gunadi Brata -- Lembaga Penelitian Universitas Atmajaya, Yogyakarta (UAJY).

 

PUSTAKA

Akita, T dan A. Alisjahbana,  2002, “Regional Income Inequality in Indonesia and the Initial Impact of the Economic Crisis”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 38 (2): 201-222.

Azis, I. J., 1994, Ilmu Ekonomi Regional Dan Beberapa Penerapannya di Indonesia. Jakarta, LP-FEUI.

Basri, M. C., 2002, “Wajah Murung Ketenagakerjaan Kita”. Kompas, 25 November.  

Berry, A., E. Rodriquez, dan H. Sandeem,  2001, “Small and Medium Enterprises Dynamics in Indonesia.”   Bulletin of Indonesian Economic Studies 37 (3): 363-384.

Hill, H.,  1996, Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966: Sebuah Studi Kritis dan Komprehensif. Yogyakarta, PAU-UGM dan Tiara Wacana.

Kompas, 2001, “Memupuk UKM,  Menuai Pemulihan Ekonomi”. 14 Desember 2001.

Kuncoro, M.,  2002a, Analisis Spasial dan Regional: Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Kuncoro, M., 2002b, “A Quest for Industrial Districts: An Empirical Study of Manufacturing Industries in Java.” Makalah disajikan dalam lokakarya Economic Growth and Institutional Change in Indonesia during the

19th and 20th Centuries, Amsterdam 25-26 Februari. 

Sjöberg, Ö dan F. Sjöholm, 2002, “Trade Liberalization and the Geography of Production: Agglomeration, Concentration and Dispersal in Indonesia’s Manufacturing Industry. SSE/EFI Working Paper Series in Economic and Finance No 488. 

Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira, S. Sumarto, 2003, “Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector”, Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 39 No 1, 29-50.

Watterberg, A.,  S. Sumarto,  L. Prittchett.  1999. “A National Snapshot of the Social Impact of Indonesia’s Crisis”.  Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 35 No 3, 145-152.

Setyo Budiantoro

MANUSIA, KEBEBASAN, DAN PEMBANGUNAN

 

Mengingat masa kelam Orde Baru yang se-ring disebut ”orde pembangunan”, membuat pedih. Timbul pertanyaan mengganjal, apakah pembangunan akan selalu membawa destabilisasi? Sebuah proses yang mengakibatkan disparitas sosial-ekonomi membesar akibat laju modernisasi dan industrialisasi, serta menguntungkan sebagian kecil masyarakat? Timbul pula pertanyaan yang menggelisahkan, apakah sebuah ketakterhindaran (inevitability) historis, pembangunan selalu mengorbankan kebebasan manusia?  

Rasanya masih seperti kemarin, jargon pembangunan begitu ”suci” sehingga atas namanya menjadi ”sahih” merampas hak-hak asasi manusia. Tentu belum kering dari ingatan, berbagai kasus yang mentorpedo rasa keadilan seperti Kedung Ombo, Nipah, Jenggawah, dan berbagai penggusuran yang mengatasnamakan ”pembangunan”. Berkecamuk pertanyaan, apakah untuk mencapai kesejahteraan harus selalu ada ”tumbal” (jer basuki mawa bea)?

Sayup-sayup, kini terdengar suara lain dan mulai terdengar nyaring. Suara tersebut antara lain dari Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998. Menurutnya pembangunan bukanlah proses yang dingin dan menakutkan dengan mengorbankan darah, keringat serta air mata, at all cost. Pembangunan, ujar Sen, adalah se-suatu yang "bersahabat". Pembangunan, seharusnya merupakan proses yang memfasilitasi manusia mengembangkan hidup sesuai dengan pilihannya (development as a process of expanding the real freedoms that people enjoy).

Page 66: ekonomi rakyat

Asumsi dari pemikiran Sen, bila manusia mampu mengoptimalkan potensinya, maka akan bisa maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kemakmuran sebuah bangsa dicapai berbasiskan kekuatan rakyat yang berdaya dan menghidupinya. Menurut Sen, penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas.

Diakibatkan keterbatasan akses, ujar Sen, manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya menjalankan apa yang terpaksa dapat di-lakukan (bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan). Dengan demikian, potensi manusia mengembangkan hidup menjadi terhambat dan kontribusinya pada kesejahteraan bersama menjadi lebih kecil. Aksesibilitas yang dimaksud Sen adalah terfasilitasinya kebebasan politik, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), transparansi, serta adanya jaring pengaman sosial.

Temuan lapangan di Indonesia, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Amartya Sen. Lesson learned yang diperoleh dari Yayasan Pemulihan Keberdayaan Ma-syarakat (konsorsium 27 ja-ringan dan ornop besar yang membantu masyarakat keluar dari krisis), menyimpulkan, pe-nyebab kemiskinan adalah akibat ketiadaan akses yang dapat menunjang pemenuhan kehidupan manusiawi. Pada dimensi ekonomi, akibat distribusi akses sumber daya ekonomi yang tak merata menyebabkan rakyat miskin tak dapat mengembangkan usaha produktifnya. Pada dimensi politik, akibat rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat berbagai kebijakan publik, maka kebijakan tersebut tak menguntungkan mereka.

Tesis yang dikemukakan Sen agar tercapainya kesejahteraan, yaitu melalui kebebasan sebagai cara dan tujuan (Development as Freedom). Hal itu, tak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Soedjatmoko (Development and Freedom). Freedom menurut Soedjatmoko merupakan kebebasan dari rasa tak berdaya, rasa ketergantungan, rasa cemas, rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh yang lebih tinggi ataupun adat kebiasaan (misalnya: patriarki, sikap nrimo,dan lain-lainnya).

Untuk memecahkan hal tersebut, diperlukan aspek emansipatoris. Yaitu aspek pembebasan masyarakat dari struktur-struktur yang menghambat, sehingga memungkinkan masyarakat memperkembangkan kemampuan atas dasar kekuatan sendiri (self reliance). Dengan demikian, terfasilitasilah kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri (humanitas expleta et eloquens).

Pembangunan, dengan demikian berarti merangsang suatu masyarakat sehingga gerak majunya menjadi otonom, berakar dari dinamik sendiri dan dapat bergerak atas kekuatan sendiri. Tidak ada model pembangunan yang berlaku universal. Dalam jangka panjang, suatu pembangunan tak akan berhasil dan bertahan, jika pembangunan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang dianut masyarakat.Selama Orde Baru, secara sadar maupun tak sadar, telah terjadi ”kesalahan” besar yang dibuat bersama-sama. Dari tahun ke tahun, lembaran buku GBHN dan Pelita yang dicanangkan pemerintah makin tebal. Masyarakat profesi, para pakar maupun berbagai organisasi masyarakat, berlomba-lomba merumuskan berbagai persoalan, lalu diserahkan pada pemerintah.

Dengan demikian, masyarakat telah ”menyerahkan” kemandirian yang dimiliki, sehingga pemerintah semakin memiliki kekuatan, legitimasi, dan kedaulatan untuk melakukan berbagai hal (bahkan menjadi leviathan). Tragisnya, masyarakat merasa lega karena tak mengerjakan apa-apa, sebab semuanya telah diserahkan pada pemerintah. Meski sebenarnya, telah ”melumpuhkan” diri sendiri.

Pemerintah yang makin percaya diri, lalu merumuskan berbagai program dan proyek untuk dikerjakan. Feasibility studies (baca: penelitian pesanan) lalu dikerjakan oleh para ”intelektual tukang” maupun konsultan asing, untuk mengkreasi dan menjustifikasi urgensi adanya berbagai proyek. Lalu, utang pun digelontorkan. Berbagai proyek tiba-tiba bertebaran. Masyarakat pun melalui desas-desus akhirnya mengetahui dan mahfum, siapa di balik proyek. Tentu, tak jauh dari lingkaran kekuasaan.

Sebagai sebuah proyek, tentu mempunyai batas waktu. Dan akhirnya, dengan berakhirnya berbagai proyek dan usailah sudah semuanya. Dalam waktu singkat, berbagai proyek yang ada terbengkalai. Rakyat yang tak dilibatkan dalam proses, meski proyek tersebut ”ditujukan” untuk mereka, namun akibat tak ada rasa memiliki, rakyat pun tak peduli.

Begitulah, secara umum kondisi rakyat Indonesia menjadi lemah, terlemahkan, dan dilemahkan. Keberdayaan rakyat (civil society), lalu tertinggal. Namun, apakah rakyat benar-benar mengalami kelumpuhan sepenuhnya? Agaknya tidak. Krisis ekonomi, justru menunjukkan ”kedigdayaan” rakyat.

Pukulan krisis, membuat pertumbuhan ekonomi merosot -13,7% (1998), padahal tahun sebelumnya tumbuh +4,9%. Dengan kata lain, dalam satu tahun ekonomi Indonesia anjlok -18,6%. Namun dua tahun kemudian,

Page 67: ekonomi rakyat

ekonomi nasional telah tumbuh 4,8% (Seda, 2002). Anehnya, pada masa itu sedang terjadi capital flight sekitar $ 10 miliar per tahun, usaha-usaha besar ambruk, sedangkan investasi asing tak mau masuk akibat situasi sosial politik yang belum menentu.

Fenomena ini tentu membingungkan penganut ekonomi ortodoks, sebab dalam hitungan makro ekonomi mereka, hal ini tak mungkin terjadi. Dan akhirnya disadari, usaha-usaha ekonomi rakyat yang sering disebut usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ternyata telah menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan krisis. ”Investasi ekonomi rakyat” (underground economy) yang kerap dipandang dengan sebelah mata, ternyata justru menunjukkan kekuatannya.

***

Babakan sejarah yang pahit itu, kini secara berangsur telah ditinggalkan. Setidaknya, babakan itu menyadarkan bahwa orientasi production centered development yang menekankan pertumbuhan, investasi asing dan haus akan utang luar negeri, ternyata memiliki banyak kelemahan. Kue pembangunan ternyata hanya dikuasai sebagian kecil masyarakat, sementara kesenjangan melebar, dan pembangunan pun rapuh tak berakar (bubble economy).

Tujuan pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bersama, maka cara untuk mencapainya pun seharusnya melalui upaya-upaya pencapaian kesejahteraan bersama. Cara sudah seharusnya konsisten dengan tujuan yang ingin dicapai. Untuk mencapai demokrasi, tak ada jalan lain kecuali memakai cara-cara yang demokratis. Demikian pula, untuk mencapai kehidupan yang manusiawi, tentu harus dicapai dengan cara yang manusiawi pula.

Memfokuskan diri pada kesejahteraan rakyat, tentunya harus melalui jalan dari pembangkitan kekuatan rakyat itu sendiri atau dalam terminologi Korten disebut people centered development. Produksi juga merupakan bagian penting dalam pendekatan ini, namun bukan tujuan utama. Ikhwal menetapkan tujuan utama (goal), merupakan hal strategis yang tidak netral dan bebas nilai, sebab akan mempengaruhi paradigma (mindset) berpikir, metodologi dan pengorganisasian pencapaian tujuan. Pendekatan people centered development, menekankan pertumbuhan manusia (aktualisasi potensi manusia), pemerataan, keberlanjutan (sustainability), dan semangat kemandirian masyarakat sendiri.

 

Agenda ke Depan

Kini kita menghadapi persoalan konkret. Usaha-usaha besar, karena mendapat berbagai privilese tumbuh dengan cepat, namun kemudian ambruk. Usaha-usaha ekonomi rakyat, memang terbukti mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis, namun tetap berjalan tertatih-tatih karena keterbatasan akses. Begitulah, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, setidaknya kedua modal itulah yang kini kita miliki.

Menyadari adanya dua modal tersebut, perlu ada transformasi agar kedua sektor usaha tersebut bisa berkembang (dual track), yaitu melalui pemberian akses dan peluang yang sama pada kedua sektor usaha tersebut. Dengan cara demikian, sektor usaha besar yang hidup dari kronisme, rente ekonomi dan fasilitas, mau tak mau harus berkompetisi secara sehat, sebab bila tidak akan jatuh. Sementara usaha besar yang berusaha secara wajar dan kompetitif, akan bisa terus berkembang. Sedangkan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), agar bisa memanfaatkan berbagai akses dan peluang yang ada, diperlukan pula adanya upaya peningkatan kapasitas (capacity building).

Dan perlu disadari, akibat adanya ”dualisme ekonomi” sektor kecil ini tak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai institusi modern. Bahkan seringkali, sektor modern justru makin meminggirkan mereka. Salah satu institusi modern yang sangat sulit diakses oleh UMKM, adalah perbankan.

Meski memobilisasi tabungan dari masyarakat luas, namun pelayanan pembiayaan bank lebih dimanfaatkan sektor besar. Akibatnya, acapkali institusi modern ini justru meningkatkan adanya kesenjangan. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan berbagai institusi modern yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga dapat kompatibel dengan nilai-nilai dan budaya setempat agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.

Demikianlah, dengan berbagai keterbukaan dan peluang, di mana masyarakat mempunyai kebebasan untuk memilih, maka masyarakat dapat mengembangkan berbagai potensi produktif mereka. Dengan demikian, pembangunan akan berkembang secara dinamik berdasar kekuatan masyarakat sendiri. Bila masyarakat telah tumbuh dan berdaya, maka pembangunan akan berurat berakar (rooted) pada rakyat, sehingga makin kuat dan kokoh menyangga bangsa ini.

Page 68: ekonomi rakyat

 

(Dimuat di Sinar Harapan, 29 April 2003)

Oleh: Setyo Budiantoro -- Direktur Kajian Ekonomi dan Pembangunan Center for Humanity and Civilization Studies (CHOICES) dan staf Ketua LSM Bina Swadaya.

 

Mubyarto

EKONOMI RAKYAT SEPANJANG TAHUN 2002

 

 

Tahun 2002 adalah tahun yang benar-benar istimewa bagi ekonomi rakyat. Betapa  tidak. Para ekonom makro pengritik pemerintah “dengan bangga” menunjukkan data BKPM (Persetujuan investasi pemerintah) yang anjlog 57% untuk modal dalam negeri dan 35% untuk modal asing dibanding tahun 2001. Data penurunan penanaman modal yang sangat besar ini, sudah cukup  untuk menyimpulkan bahwa ekonomi nasional makin terpuruk atau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan (recovery). Data-data ini diperkuat lagi oleh “taksiran” pelarian modal ke luar negeri sebesar rata-rata US $ 10 milyar per tahun sejak krismon 1997.

Yang licik atau tidak jujur (unfair) dari analisis makro ekonomi ini adalah tidak dengan menyebutkan secara jelas dan eksplisit bahwa ekonomi Indonesia selama 2002 telah tumbuh 3,5%. Jika saja mereka mau menyebutkan fakta ini memang mereka akan terpaksa mengakui kekeliruan teori ekonomi yang selalu mereka tonjolkan bahwa tanpa investasi tidak mungkin ada pertumbuhan ekonomi. Hukum atau teori ekonomi ini ternyata sama sekali tidak terbukti sepanjang tahun 2002. Investassi tidak berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, karena ternyata dalam kondisi investasi merosot ekonomi tumbuh 3,5%. Analisis makroekonomi (Neoklasik Ortodok) memang di sini menjadi buntu karena tidak ada yang dapat menerangkan mengapa ekonomi dapat tumbuh tanpa investasi. Dalam kondisi bingung inilah Chatib Basri seorang ekonom muda Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia lalu menunjuk adanya ekonomi tersembunyi (hidden economy) yang sulit diraba, sulit dimengerti, dan sulit diterangkan.

Bagi kelompok ekonom lain yang membela dan memihak ekonomi rakyat, yang dalam tulisan yang sama oleh ekonom senior FE-UI (Kompas, 19 Januari) disebut kelompok ekonom populis yang “tidak realistis” dan “tidak ilmiah”, ekonomi tersembunyi ini sangat jelas tidak tersembunyi. Inilah ekonomi rakyat yang dipahami oleh semua orang kecuali pakar-pakar ekonomi keblinger. Bung Hatta, yang ekonom Sumatera saja mengerti apa itu ekonomi rakyat dan pada majalah “Daulat Rakyat” tahun 1931 menulis “Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya”. Bahwa ekonom-ekonom modern zaman sekarang pura-pura tidak mengerti ekonomi rakyat dan mengatakan itu sebagai ekonomi tersembunyi (hidden economy) memang mudah dipahami karena pakar-pakar ekonomi ini sudah tercekoki oleh teori-teori ekonomi Neoliberal dari Barat yang hanya “bergaul” dengan fakta-fakta ekonomi modern, ekonomi industri, ekonomi pasar uang/modal. Pergaulan mereka semakin sempit karena waktu mereka banyak tersita oleh komputer/internet yang mampu memberikan data-data kuantitatif dari seluruh dunia. Sungguh sangat kontradiktif, globalisasi yang arti harafiahnya adalah perluasan wawasan ternyata telah menyempitkan pendangan para ekonom makro Neoliberal hingga ekonomi rakyat di depan mata dianggap ekonomi tersembunyi.

Pada tanggal 18 Maret 2002 Redaktur JER bersama Menteri Koperasi & UKM bertemu Presiden Megawati di Istana Negara untuk melaporkan hasil lokakarya “Ekonomi Kerakyatan” tanggal 11 September 2001. Presiden menyambut baik hasil-hasil seminar yang antara lain menyimpulkan pemihakan Presiden pada Ekonomi Kerakyatan meskipun di muka umum tidak terkesan demikian. Presiden menyatakan antara lain bahwa ekonomi rakyat tidak mungkin mengalami krisis berkepanjangan, karena daya tahan yang sangat tinggi. Daya tahan yang tinggi inilah yang menyebabkan ekonomi rakyat cepat pulih dari krisis “laksana baju bolong-bolong yang merajut kembali sendiri”. Saat itu kami usulkan agar Presiden secara terbuka menunjukkan keberpihakan ini, beliau menjawab: “Bapak-bapak saja, karena kalau saya bersikap demikian, para elit di sekitar saya serta merta akan

Page 69: ekonomi rakyat

menentangnya, dan saya akan terlalu sibuk berdebat dengan mereka, maka saya lebih baik tutup mulut”. Sikap dan jawaban Presiden yang demikian tentu saja mengecewakan kita, karena sepertinya perjuangan kita membela ekonomi rakyat tidak pernah akan berhasil. Presiden kita ternyata tidak bersama kita.

Sidang tahunan MPR-RI bulan Agustus 2002 merupakan tonggak sejarah bagi ekonomi rakyat ketika MPR memutuskan menarik kembali kesepakatan sebelumnya (ST-2000) untuk menghapus asas kekeluargaan dari pasal 33 UUD 1945. ST-MPR 2002 memutuskan mempertahankan asas kekeluargaan bahkan mempertahankan keseluruhan (3 Ayat) pasal 33 tanpa amandemen apapun. Ini berarti kemenangan para pembela ekonomi rakyat yang sejak Mei 2001 sebenarnya telah “dinyatakan kalah” karena 5 dari 7 pakar ekonomi dalam BP-MPR setuju untuk menghapus asas kekeluargaan untuk digantikan dengan asas keadilan, efisiensi, dan demokrasi ekonomi. Secara lengkap rumusan pasal 33 baru hasil ST-2000 berisi 5 ayat sebagai berikut:

1. Perekonomian disusun dan dikembangkan sebagai usaha bersama seluruh rakyat secara berkelanjutan berdasar atas keadilan, efisiensi, dan demokrasi ekonomi, untuk mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai dan/atau diatur oleh negara berdasarkan asas keadilan dan efisiensi yang diatur dengan undang-undang;

3. Bumi, air, dan dirgantara, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai dan atau diatur oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang diatur dengan undang-undang;

4. Pelaku ekonomi adalah koperasi, badan usaha milik negara, dan usaha swasta termasuk usaha perseorangan;

5. Penyusunan dan pengembangan perekonomian nasional harus senantiasa menjaga dan meningkatkan tata lingkungan hidup, memperhatikan dan menghargai hak ulayat, serta menjamin keseimbangan dan kemajuan seluruh wilayah negara.

Demikian menggusur kata asas kekeluargaan dengan memasukkan kata demokrasi ekonomi, keadilan, dan efisiensi, rupanya dianggap memadai dan tidak melanggar asas kerakyatan. Tetapi jika ke 5 ayat baru pasal 33 ini dianggap cukup untuk menghidarkan sistim kapitalisme, liberalisme, dan sosialisme, maka penghapusan penjelasan seluruh pasal 33 masih tetap berbahaya karena tidak lagi ada ketentuan tentang “mendahulukan kepentingan masyarakat, bukan kemakmuran orang seorang”. Lagipula menyebutkan koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi, disamping BUMN dan usaha swasta, sebenarnya merupakan salah kaprah yang sulit dimaafkan. Koperasi bukan pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi tetap saja perorangan sebagai produsen ataupun konsumen, dan pemerintah, sedangkan koperasi adalah wadah organisasi tempat bergiatnya ekonomi rakyat. Hanya orang seorang adalah pelaku ekonomi yang instinknya bekerja keras berusaha mencapai tujuan, sedangkan organisasi koperasi adalah wadah kegiatan yang menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota-anggota koperasi.

Dalam sidang tahunan (ST) MPR-2002 para politisi kita berdebat keras melaksanakan amandemen UUD 1945 yang dikenal dengan amandemen ke-4. Memang amandemen yang paling penting menyangkut bidang politik yaitu tentang pemilihan presiden apakah melalui MPR yang selama ini berjalan atau melalui pemilihan langsung. Ternyata yang menang adalah cara pemilihan yang kedua yaitu pemilihan presiden langsung meskipun tetap tidak ada jaminan dapat terpilihnya presiden yang benar-benar mampu mempersatukan seluruh bangsa untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa yang makin komplek termasuk ancaman disintegrasi bangsa yang amat nyata.

Mungkin karena perhatian amat besar pada masalah pemilihan presiden atau katena perjuangan yang gigih dari segelintir teman-teman kita di MPR seperti Prof. Sri-Edi Swasono, mayoritas anggota nampaknya menyadari kekeliruan pendapat yang ingin menggusur asas kekeluargaan. Hasilnya cukup melegakan karena asas kekeluargaan tidak jadi digusur dan ketiga ayat pasal 33 dipertahankan utuh tanpa perubahan apapun meskipun ada tambahan ayat 4 dan 5 sebagai “kompromi” yang memasukkan kata “efisiensi berkeadilan”. Tetapi sekali lagi tetap merupakan kekeliruan dan kerugian besar bagi bangsa Indonesia dan sistem serta praksis perekonomian, karena MPR memutuskan menghapus seluruh penjelasan pasal 33 termasuk di antaranya hilangnya kata bangun perusahaan koperasi dan pengertian lengkap demokrasi ekonomi yang menekankan pada keharusan mendahulukan kepentingan masyarakat.

Bulan-bulan setelah selesainya ST MPR 2002 terjadi perdebatan menarik tentang perlakuan yang dianggap

Page 70: ekonomi rakyat

tepat pada para konglomerat atau eks-konglomerat yang mbandel tidak mau (bukan tidak mampu) membayar utang yang ratusan trilyun. BPPN yang merupakan rumah sakit raksasa untuk menyelamatkan sektor perbankan dari kebangkrutan total menghadapi dilema. Di satu pihak BPPN diperintahkan MPR dan UU tentang Propenas untuk “membereskan” segala utang ini dalam 5 tahun, termasuk juga melaksanakan komitmen pada LoI-IMF, yaitu melalui restrukturisasi perusahaan yang sakit dan penjualan aset-asetnya. Tetapi TAP MPR yang sama dan UU No 25 tentang Propenas juga tegas-tegas memerintahkan pelaksanaan sistem ekonomi kerakyatan, bukan lagi sistem ekonomi konglomerasi yang terbukti telah menyulut bom waktu berupa krisis moneter 1997. Dilema ini berkepanjangan karena pada setiap kasus seperti penjualan BCA atau Indosat selalu muncul masalah masa depan sistem ekonomi Indonesia, apakah tetap patuh pada pelaksanaan amanat pasal 33 UUD yang nasionalistik atau sistem ekonomi Neoliberal yang kini menguasai ekonomi dunia. Pelaksanaan sistem ekonomi kerakyatan yang (harus) memihak rakyat berkali-kali terbentur atau berbenturan dengan kepentingan kelompok (vested interest) yang ingin tetap menguasai perekonomian Indonesia seperti masa-masa sebelum krismon.

Dilema sangat berat ini menjadi terbuka lebar pada kasus kenaikan serentak harga-harga BBM, Tarif dasar listrik, dan telepon awal Januari 2002, yang mendapat reaksi keras dari rakyat, lebih-lebih dengan pernyataan pembelaan Presiden di Bali tanggal 12 Januari. Presiden dengan tegas dan terus terang menyatakan pilihan kebijakan yang “tidak populis” (tidak memihak rakyat) karena dianggap “konstruktif” dalam jangka panjang. Tentu saja pernyataan ini mendapat reaksi makin keras karena tidak saja kebijakan yang demikian melawan TAP MPR dan UU Propenas tentang sistem ekonomi kerakyatan, tetapi juga secara nyata sangat memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Pemilihan kebijakan yang tidak populis inilah yang kemudian memperkuat demonstrasi mahasiswa yang selanjutnya menuntut Presiden dan Wakil Presiden mundur karena tidak lagi merasa dipihaki. Presiden dan Wakil presiden yang sangat didambakan memihak rakyat tidak lagi dipihak mereka (atau melawan mereka) sehingga tidak ada alasan lagi untuk mendukungnya.

Inilah nasib ekonomi rakyat yang cukup suram dan merisaukan. Berbagai upaya untuk memihakinya selalu kandas ditengah jalan karena kepentingn-kepentingan yang mapan bercokol (vested interest) selalu berusaha keras pula untuk menyabotnya demi kepentingan mereka, sehingga Direktur Utama BRI Rudjito menyatakan di DPR “vested interest lebih tinggi dari interest rate” (yang sudah cukup tinggi!). Pada forum sama di DPR-RI tanggal 28 Januari Nyoman Muna dan Bambang Ismawan mengusulkan dikembangkannya “microcredit wholesaler” (pemasok modal besar untuk ekonomi rakyat) tetapi yang harus dijaga benar-benar agar tidak dicegat oleh pemangsa (predator) yang akan memangsa kredit-kredit mikro ini untuk mereka sendiri. Dalam kaitan ini Kementerian Koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) perlu berhati-hati karena UKM inilah salah satu wadah kelompok yang sangat mudah diselundupi sehingga menjadi pemangsa (predator) barbagai program kredit bagi ekonomi rakyat. Bahaya ini sungguh jelas terlihat karena definisi kredit UKM adalah nilai kredit antara Rp 50 juta dan Rp 500 juta yang jelas bukan kelompok ekonomi mikro yang miskin.

Usulan Filipina dalam AIPO-ASEAN (Organisasi antar Parlemen ASEAN) untuk membentuk Bank Penanggulangan Kemiskinan (ASEAN Poverty Alleviation Bank), dikawatirkan makin melembagakan kehidupan predator-predator kredit mikro bagi penduduk/warga miskin yang haus kredit di negara-negara ASEAN. Di Indonesia sejarah dan praktek BRI sudah dukup meyakinkan sebagai Bank bagi penduduk miskin terutama di perdesaan. Dan praktek perbankan BRI dengan unit-unit desanya dapat didukung kegiatan BPR dan Koperasi yang dikembangkan berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang sudah tumbuh di mana-mana secara mandiri dengan modal tabungan anggota. Praktek-praktek BRI ini sebenarnya sudah ditiru/direplikasi di sejumlah negara Asia seperti India tetapi rupanya kurang mendapat perhatian di negeri sendiri.

Kiranya menjadi jelas bagaimana kehidupan ekonomi rakyat sepanjang tahun 2002 sampai awal 2003 ini. Pertumbuhan ekonomi nasional yang dilaporkan BPS 3,5% jelas-jelas merupakan sumbangan ekonomi rakyat yang dapat diandalkan ketahanannya. Ekonomi rakyat bukanlah ekonomi tersembunyi (hidden economy) tetapi ekonominya wong cilik yang dapat dengan mudah dilihat dan ditemui  di mana-mana di sekitar kita, di desa-desa maupun di kota-kota. Menjamurnya pedagang kaki lima di mana-mana di kota-kota besar dan kecil, adalah indikator penemuan ekonomi rakyat pada habitatnya yang benar, ketika ekonomi sektor industri modern makin tertutup dan bermasalah. Jika pemerintah menganggap menjamurnya pedagang kaki lima sebagai masalah yang memusingkan, ditinjau dari para pelaku ekonomi rakyat ia merupakan pemecahan masalah (solution). Dan jalan keluar atau pemecahan masalah ini sama sekali tidak memperoleh bantuan modal dari pemerintah atau bank-bank pemerintah, tetapi semuanya dengan modal mereka sendiri. Ekonomi rakyat menjadi pendukung utama perekonomian nasional, meskipun hampir tidak pernah dipihaki kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemulihan ekonomi nasional dari krisis yang berkepanjangan justru terletak pada ekonomi rakyat.

 

Page 71: ekonomi rakyat

Prof. Dr. Mubyarto, Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (PUSTEP-UGM)

Fredrik Benu

EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT: SUATU KAJIAN KONSEPTUAL

 

Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia

Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh.  Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi.  Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001).   Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan  gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus.  Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus.  Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya.  Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’.  Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’.  Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang.  Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.

Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto.  Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia.  Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar. 

Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan.  Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama.   Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’.  Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat.  Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha.  Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi.  Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia. 

Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar

Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya.  Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar.  Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat.  Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?.  Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya.  Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. 

Page 72: ekonomi rakyat

Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis.  Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.  

Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik  menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar.  Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar.  Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang.  Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri.  Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional.  Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan  dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada.  Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan.  Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual.  Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.

Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan.  Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi.  Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri.  Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak.  Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987).  Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah.  Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional.  Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak.  Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar?  Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar?  Ataukah pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru ?.  Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis.  Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar.  Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung).  Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan

Page 73: ekonomi rakyat

keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.

Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik.  Bentuk campur tangan pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan pada pengusaha besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim. Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan diharapkan akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada akhirnya bermuara pada incapability dan inefficiency dari industri yang bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri otomotif).  Periode waktu yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam skala dan skop serta melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak bermakna saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih tetap berada pada level perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh berbagai insentif dan berbagai bentuk proteksi.  

Saya juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonomi nasional.  Pendapat seperti ini juga tidak benar secara absolut.  Buktinya negara-negara maju yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik, mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula.  Sudah menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa negara berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security jangka panjang (yang berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok masyarakat yang inferior dalam kompetisi memperoleh akses ekonomi.  Justru negara-negara yang masih setengah hati mendorong bekerjanya mekanisme pasar (seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara mantap.  Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.

Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme pasar, jika ada intervensi pemerintah melalui perpajakan, instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan, dsb.  Ini yang namanya affirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam mekanisme pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).

Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas oleh pemerintah  demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar.  Yang disebut dengan affirmative action seharusnya lebih dutujukkan pada disadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikanya, maka kurang ada justifikasi logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi dengan merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru.  Ini sama artinya dengan “sakit di kaki, kepala yang dipenggal”.  Bagi saya, harganya terlalu mahal bagi rakyat jika kita mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti.   Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama menunggu dengan penuh pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang dapat dinikmati secara bersama.

Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phasing-out process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional.  Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.

Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurna dengan konsep ekonomi kerakyatan?.  Sejak awal saya katakan bahwa semua pihak perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecil-menengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR.  Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan.  Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas lebih jauh tentang kekurangan konsep ekonomi kerakyatan  yang di dengungkan oleh pemerintah

Page 74: ekonomi rakyat

pada sub-pokok bahasan di bawah ini.

Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan.  Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000).    Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action.  Aksi membagi-bagi uang  secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud.  Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material.  Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang.  Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy.  Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat  counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya.  Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar.  Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat.  Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.

Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat.  Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat.  Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider.  Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan.  Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR.  Tapi kita lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal.  Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.

Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di NTT

Kita telah membahas tentang konsep ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi nasional melalui program-program keberpihakan pemerintah terhadap UKM dan Koperasi.  Masih ada masalah lain yang perlu dibahas dalam hubungan dengan internal condition UKM dan Koperasi.  Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi adalah: keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan dan permodalan, keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar, keterbatasan organisasi dan pengelolaannya (Asy’arie, 2001).

Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif ekonomi kerakyatan harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas.  Program pengembangan ekonomi rakyat memerlukan adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep.  Hal ini perlu ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada suatu konsep abstrak (seperti pembahasan tentang konsep ‘binatang’ di atas), tetapi perlu ditindalanjuti dengan pengembangan program-program operasional yang diarahkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses kebanyakan rakyat kecil. Ini adalah suatu model

Page 75: ekonomi rakyat

pendekatan struktural (structural approach).

Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk program operasional berbasiskan ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian yang tinggi.  Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan pada era otonomisasi saat ini tidak harus ditejemahkan dalam perspektif territorial.  Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif ‘regionalisasi’ di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan karakter sosial budaya.

Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang ‘mengurung’  para pengusaha kecil-menengah dan Koperasi (termasuk di dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan rasionalisasi dan ekspansi usaha.  Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi yang langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka.  Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak diperoleh dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran berpikir dan hasrat untuk maju.  Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran berpikir dan realitas perilaku (Bandingkan dengan pendapat Musa Asy’arie, 2001).    Sekedar sebagai pembanding disajikan data realisasi dan tunggakan  Kredit Usaha Tani (KUT) selama periode 1996-2000.  Jumlah realisasi KUT yang telah disalurkan pada petani sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 kurang lebih 35, 6 milyar dengan jumlah tunggakan (pokok+bunga) sebesar kurang lebih 26,1 milyar (Laporan Gubernur NTT, 2002).  Atau dengan kata lain tingkat keberhasilan KUT di NTT hanya mencapai kurang dari 26 %.   Selanjutnya, data yang diperoleh dari Biro Perekonomian Seta NTT menunjukkan bahwa sejak ditetapkannya TAP MPR tentang demokrasi ekonomi yang menekankan adanya keberpihakan yang jelas terhadap UKM dan Koperasi di Indonesia, jumlah KK miskin di NTT malah mengalami kenaikan yang cukup murad sebesar 55 % selama periode 1998-2002.

Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat di NTT secara turun temurun.  Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi perilaku aktor ekonomi rakyat di NTT, termasuk di dalamnya cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb.  Oleh karena itu saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa program pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di NTT, sebaiknya dimulai dengan program rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inner life dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan pasar untuk maju.  Ini adalah suatu model pendekatan lain yang disebut pendekatan kultural (cultural approach).

 

Fredrik Benu – Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang

Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Provinsi NTT, tgl. 26 Nopember 2002. di Hotel Kristal, Kupang.

 

PUSTAKA

Abimanyu, Anggito. 2000, Ekonomi Indonesia Baru, kajian dan alternatif solusi menuju pemulihan, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Asy’arie, Musa. 2001, Keluar dari Krisis Multi Dimensi, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta.

Gillis, Malcolm; Perkins, Dwight, H., Roemer Donald R. 1987, Economics of Development, 2nd Ed. W.W.Norton & Companny, New York.

Kleden, Ignas. 2000, Persepsi dan Mispersepsi tentang Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pokok-Pokok pikiran dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Gubernur Nusa Tenggara Timur, 2002, Laporan disampaikan pada kunjungan Menteri Pertanian Republik Indonesia di Propinsi Nusa Tenggara Timur, tidak dipublikasikan.

Prawirokusumo, Soeharto. 2001, Ekonomi Rakyat, Kosep, Kebijakan, dan Strategi, BPFE, Yogyakarta.

Page 76: ekonomi rakyat

Simanjuntak, Djisman, S. 2000, Ekonomi Pasar Sosial Indonesia, dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Tara, Azwir Dainy, 2001, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta.

Frits O FanggidaE

EKONOMI KERAKYATAN DI NTT: ANTARA REALITAS DAN HARAPAN

 

Realitas Pelaku Ekonomi Kerakyatan di NTT

Rakyat adalah suatu konsep politik yang netral. Komsep ini tidak mempersoalkan perbedaan orang dalam kepelbagaian sosial, ekonomi dan budayanya. Semuanya sama. Ketika konsep rakyat diimbuhkan dengan konsep ekonomi politik yang tidak lagi netral, karena berbagai perbedaan pelaku ekonomi mulai diperhitungkan. Dalam kajian ini, konsep ekonomi kerakyatan yang digunakan juga tidak bersifat netral, yaitu hanya menunjuk pada pelaku ekonomi kecil (gurem) yang tersebar di sudut-sudut jalan perkotaan maupun di pelosok perdesaan.

Di NTT, pelaku ekonomi sebagaimana dimaksud pada umumnya terdiri dari petani kecil, peternak kecil, nelayan kecil dan pengrajin kecil di perdesaan dan para pelaku sektor informal perkotaan. Bagi para petani yang kebetulan memiliki wilayah yang cocok untuk komoditas perkebunan seperti Cengkeh, Kopi, Vanili, Jambu Mete, tingkat ekonomi mereka cukup memadai. Di Sabu dan Rote, sebagian pelaku ekonomi kecil di pesisir pantai dikabarkan mengalami kemajuan berkat budidaya rumput laut. Di Apui (Alor), sejumlah kelompok tani yang menanam vanili mendapat penghasilan yang cukup besar lantaran harga komoditas ini cukup tinggi. Namun bagi para petani yang mengandalkan tanaman pangan dengan wilayah yang relatif kering, tingkat ekonomi mereka memprihatinkan. Para peternak di TTS, betapapun daerah ini dikenal sebagai gudang ternak (sapi), tidak menunjukkan status ekonomi yang lebih baik ketimbang para petani yang menanam tanaman pangan. Demikian juga para nelayan kecil di pesisir pantai Flores, Sumba, Alor dan Timor, kondisi mereka tidak dapat digolongkan mampu secara ekonomis.

Para pelaku ekonomi kecil di sektor informal perkotaan juga memperlihatkan kondisi yang relatif sama, walaupun mungkin pendapatan nominalnya lebih besar dari para peternak kecil, petani kecil dan nelayan kecil di perdesaan. Kecuali beberapa pelaku ekonomi informal yang berasal dari Jawa, Sulawesi dan Sumatra yang pada umumnya berusaha di pusat kota, kinerja ekonomi mereka terbilang cukup baik. Data makro tentang pendapatan per kapita penduduk di berbagai kabupaten di NTT bisa menjelaskan kondisi ekonomi para pelaku ekonomi kecil tersebut.

Tampilan fisik usaha para pelaku ekonomi kecil ini juga memperihatinkan. Selain berjualan secara individual di pasar, mereka juga menggelar hasil usahanya di pinggir jalan secara darurat. Mungkin juga tidak setiap hari mereka bisa berjualan di pasar atau pinggir jalan karena pola produksinya yang bersifat musiman. Unit usaha industri kecil atau rumah tangga yang paling menonjol di NTT adalah industri tenun ikat. Sejumlah kelompok usaha yang dibina intensif dengan kondisi SDM yang relatif baik menunjukkan perkembangan yang baik, namun tidak sedikit kelompok dan usaha individu menjadikan industri tenun ikat sebagai pekerjaan sampingan dengan postur usaha yang serba kekurangan. Tampaknya program-program pengentasan kemiskinan atau pemberdayaan ekonomi seperti IDT, PDMDKE dan berbagai skim program/ pendanaan lainnya belum menyentuh mereka atau mungkin sentuhannya sudah hilang sama sekali.

Inilah kondisi riil pelaku ekonomi kerakyatan di NTT. Pada tataran political will pemerintah, pelaku ekonomi kerakyatan yang serba kekurangan ini ingin ditempatkan sebagai pelaku ekonomi utama, fondasi perekonomian daerah dan sejumlah julukan yang membanggakan. Pemerintah, dari pusat sampai daerah, telah melakukan banyak hal untuk memajukan mereka, tetapi kondisinya tetap seperti kita saksikan saat ini, sebagian besar dalam kondisi serba miskin.

Data ekonomi makro Indonesia bahwa share pelaku ekonomi kecil ini cukup kelihatan. Para pengamat ekonomi memuji pelaku ekonomi kecil ini sebagai lentur dan tahan terhadap konjungtus dan krisis ekonomi. Pujian demikian tidak salah, namun pelaku ekonomi kecil semacam ini pasti buka di NTT. Pada titik inilah kita harus membedakan secara jelas petani kecil, peternak kcil, nelayan kecil, pelaku industri rumah tangga kecil dan pelaku ekonomi sektor informal perkotaan di Jawa dan kota besar lainnya di Indonesia dengan NTT. Lingkungan ekonomi makro dan mikronya sangat kontras berbeda. Suatu isyarat bahwa suatu kebijakan pengembangan

Page 77: ekonomi rakyat

yang berhasil di Jawa dan kota besar lainnya di Indonesia belum tentu berhasil di NTT.

Menurut hemat saya, menjadikan pelaku ekonomi kerakyatan yang serba kecil dan kekurangan di NTT sebagai pemain ekonomi yang utama atau sebagai fondasi ekonomi daerah, masih membutuhkan waktu yang relatif lama dan yang lebih penting dari itu, membutuhkan wawasan dan perlakuan baru terutama dari para penentu dan pelaksana kebijakan pada tingkat pemerintahan. Secara teoretis, kita mengenal cukup banyak konsep pemberdayaan usaha kecil seperti kemitraan, bapak angkat, inti-plasma dan sebagainya. Konsep-konsep ini telah diadopsi sedemikian rupa ke dalam berbagai program pemberdayaan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah maupun swasta, tetapi belum berhasil mengeluarkan para pelaku ekonomi kecil dari lingkaran yang serba kekurangan.

Jauh dari Permintaan dan Miskin Kelembagaan

Salah satu persoalan yang menjadikan pelaku ekonomi kerakyatan di perdesaan NTT sulit berkembang adalah bahwa mereka jauh dari permintaan (pasar). Jauh bukan hanya dalam arti fisik saja, tetapi lebih penting adalah aksesibilitas. Mereka memasuki pasar pembeli (buyer market) secara individual tanpa dukungan kelembagaan yang memadai. Akibatnya, posisi tawar mereka sangat lemah. Petani Vanili di Apui (Alor) yang baru saja menikmati harga vanili yang tinggi, saay ini mulai merasakan bahwa harga vanili sangat ditentukan oleh pembeli (pedagang skala menengah dan besar). Para peternak di TTS sudah sejak lama takluk dengan para pembeli (pedagang). Penghasil rumput laut di Rote dan Sabu juga mulai merasakan betapa fluktuasi harga yang terjadi sulit mereka kendalikan. Sementara itu sebagian nelayan di Pulau Timor secara perlahan-lahan telah bertransformasi menjadi buruh nelayan.

Para pembeli memiliki organisasi yang solid. Mereka bahu-membahu menjalin kekuatan untuk menguasai dan mendikte harga pasar. Organisasi pembeli yang kuat tersebut tidak bisa dilawan oleh para petani secara individual. Organisasi harus dilawan dengan organisasi pula, agar tercapai keseimbangan posisi tawar di pasar. Apakah koperasi sebagai lembaga ekonomi yang dekat dengan para petani, nelayan, peternak, pengrajin dan pedagang kecil dapat menjadi organisasi ekonomi yang diandalkan untuk meningkatkan posisi tawar mereka di pasar? Sangat sulit untuk mengatakan Ya. Kita masih membutuhkan wadah ekonomi lain atau sekurang-kurangnya cara penanganan pasar sedemikian rupa sehingga aksesibilas pasar dan posisi tawar mereka dapat ditingkatkan. Dalam kaitan ini menarik untuk disimak lebih lanjut langkah Pemda Kabupaten Kupang. Dua Perusahaan Daerah, masing-masing bergerak di bidang kelautan dan agribisnis didirikan sebagai outlet bagi para pelaku ekonomi kecil. Sekiranya langkah ini mampu meningkatkan posisi tawar para pelaku ekonomi kecil dan mampu meningkatkan kinerja ekonomi mereka, maka inilah salah satu langkah yang dapat dipertimbangkan untuk direplikasi pada daerah lain.

Formasi Ekonomi Makro dan Mikro

Salah satu keuntungan pelaku ekonomi kecil dan sektor informal perkotaan di Jawa dan kota besar lainnya adalah struktur ekonominya telah terdiversifikasi dengan baik sehingga hubungan fungsional antar sektor ekonomi (pertanian, industri, perdagangan, perhubungan dan lembaga keuangan) telah terjadi dengan baik. Kondisi ini sangat kondusif bagi para pelaku ekonomi kecil. Dengan tingkat pendapatan masyarakat yang relatif tinggi serta kompetisi yang baik antar sektor ekonomi menjadikan outlet bagi produk pelaku ekonomi kecil cukup tersedia dengan insentif harga yang memadai. Demikian juga pada tataran ekonomi mikro, dinamika dunia usaha yang relatif tinggi menjadi media pembelajaran yang efektif dalam pembentukan perilaku ekonomi yang rasional dan produktif. Sikap kewiraswastaan mereka terbentuk dalam dinamika dunia usaha yang tinggi, bukan melalui pelatihan-pelatihan formal. Inilah formasi ekonomi makro dan mikro yang sangat kondusif bagi pelaku ekonomi kecil di Jawa dan kota besar lainnya untuk berkembang.

Di NTT, struktur ekonomi belum terdiversifikasi dengan baik menjadikan hubungan fungsional antar sektor ekonomi belum terjalin baik. Share sektor pertanian sangat menonjol sementara share sektor industri sangat kecil. Pada sisi lain share sektor perdagangan dan perhubungan sedikit agak menonjol. Dari kondisi semacam ini dapat dibayangkan bahwa yang diperdagangkan adalah komoditas pertanian tanpa penglahan yang berarti. Ciri pasar komoditas semacam ini adalah harga relatif rendah dan inferior terhadap komoditas hasil olahan yang diimpor dari luar. Para pelaku ekonomi kecil tidak menikmati nilai tambah dari komoditas yang dihasilkan.

Dalam kondisi semacam ini, pengembangan pelaku ekonomi kecil membutuhkan perubahan yang cukup berarti pada formasi ekonomi makro dan mikro. Perlu ada kebijakan untuk percepatan perubahan struktur ekonomi NTT agar keterkaitan fungsional antar sektor ekonomi dapat tercipta. Berkembangnya sektor ekonomi sekunder dan tersier menjadi prasyarat bagi pengembangan dunia usaha pada aras ekonomi mikro. Menjadi persoalan adalah

Page 78: ekonomi rakyat

bagaimana percepatan perubahan struktur ekonomi ini dapat terjadi. Secara teoretis, perubahan struktur ekonomi akan terjadi bila aliran investasi pada sektor industri pengolahan (sekunder) meningkat. Sektor rkonomi tersier adalah sektor yang melayani. Karena itu sektor ini akan menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi pada sektor primer dan sekunder.

Berkembangnya sektor ekonomi sekunder akan menciptakan peluang bagi dinamika dunia usaha. Perilaku ekonomi atau sikap kewirausahaan merupakan fungsi dari dinamika dunia usaha. Jangan dipaksakan dengan berbagai pelatihan kewirausahaan bila formasi ekonomi makroo dan mikro tidak kondusif. Dorong perkembangan dunia usaha melalui percepatan perubahan struktur ekonomi, agar tercipta media pembelajaran yang luas bagi pelaku ekonomi kecil untuk mematangkan perilaku ekonomi atau sikap kewirausahaannya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan pelaku ekonomi kerakyatan dapat berkembang menjadi fondasi ekonomi yang kokoh bagi perekonomian daerah.

Ancangan Perencanaan

Berbagai perubahan yang diinginkan terhadap pelaku ekonomi kecil butuh perencanaan yang baik dan perencanaan yang baik muncul dari suatu visi pengembangan usaha kecil yang jelas pula. Pertanyaannya, adakah visi kita yang jelas tentang usaha kecil? Cukupkah dokumen perencanaan yang ada (Poldas, propeda dan Renstra) memberi tempat bagi pengembangan usaha kecil secara terpadu dan berkesinambungan? Bagaimana strateginya menjadikan usaha kecil sebagai sokoguru perekonomian daerah?

Sampai sejauh ini kita belum melihat adanya visi yang jelas tentang pelaku ekonomi kecil, selain retorika tentang mereka. Menurut hemat saya, Kepala Daerah harus berani merumuskan visi yang jelas tentang pengembangan pelaku ekonomi kerakyatan. Bila pemerintah menginginkan pelaku ekonomi kecil menjadi fondasi perekonomian daerah, maka Kepala Daerah harus berani merumuskan visi bahwa dalam jangka waktu lima atau 10 tahun mendatang, PDRB NTT akan didominasi share pelaku ekonomi kecil. Visi semacam ini diperlukan agar ada komitmen dan daya paksa untuk menjabarkan visi tersebut dalam perencanaan yang baik.

Berkaitan dengan representasi pengembangan usaha kecil dalam dokumen perencanaan yang ada, harus diakui bahwa format perencanaan standar yang ada saat ini (Poldas, Propeda dan Rentra) tidak memungkinkan rencana pengembangan pelaku ekonomi kecil sebagai inti dari pengembangan ekonomi rakyat diakomodasi dengan baik. Karena itu perlu terobosan dari sisi perencanaan. Rencana Pengembangan Pelaku Ekonomi Kecil dapat dijadikan subsidiary plan dari Propeda atau Renstra yang keabsahannya dilegitimasi juga oleh Perda. Subsidiary plan adalah produk perencanaan sejumlah instansi yang berkaitan langsung dengan usaha kecil yang penyusunannya dikoordinasi Bappeda dan melibatkan representasi pelaku ekonomi skala menengah dan besar. Dari segi pendanaan tidak ada masalah, karena dalam format APBD yang baru, yang menggunakan program sebagai nomenklatur generik serta format pengusulan untuk mendapatkan pembiayaan dekonsentrasi, pembiayaan terhadap subsidiary plan tersebut dapat diakomodasi.

Subsidiary plan tersebut paling kurang berisikan lima hal pokok yaitu Visi dan Misi, strategi yang digunakan, program-program lintas instansi yang akan dilaksanakan, pembiayaan dan guide line pengelolaannya. Untuk itu diperlukan suatu pengkajian mendalam mengenai eksistensi pelaku ekonomi kecil saat ini. Seluruh program yang berkaitan dengan mereka perlu dievaluasi tuntas dan yang paling penting mesti ada wawasan baru tentangnya. Misalnya dalam perumusan kebijakan fiskal daerah (APBD), sebagian dari pos belanja modal yang dianggarkan dapat diarahkan sebagai kapitalisasi pelaku ekonomi kecil. Denganstrategi, pedekatan, program aksi dan pengelolaan yang jelas, kapitalisasi pelaku ekonomi kecil tersebut dapat menjadi pemicu bagi berkembangnya aktivitas usaha pelaku ekonomi kecil.

Perlu Regulasi bagi Pelaku Ekonomi Kecil

Esensi regulasi adalah untuk menciptakan keteraturan, kepastian hukum dan komitmen yang jelas dalam pengembangan UKM. Bila urusan-urusan ekonomi lainnya diregulasi oleh Pemerintah Daerah, maka perangkat hukum dalam bentuk Perda tentang pelaku ekonomi kecil atau UKM perlu dibuat. Perda ini sangat penting, terutama bagi pelaku UKM untuk menuntut dan mengontrol pemerintah agar bersungguh-sungguh dalam mengembangkan UKM. Tanpa Perda ini, wacana tentang UKM ibarat macan ompong. Gaungnya kedengaran keras di mana-mana, tetapi ia tak punya gigi. Demikianlah beberapa pokok pikiran tentang pengembangan ekonomi kerakyatan di NTT. Semoga berguna. Sekian.

 

Page 79: ekonomi rakyat

Frits O FanggidaE – Dosen Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang

Mubyarto

MEMBANGUN PEREKONOMIAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR

  Pendahuluan Gubernur Piet Tallo yang alumni Fakultas Hukum pernah menolak julukan miskin bagi daerahnya. “Mungkin warga NTT belum se-makmur saudara-saudaranya dari daerah lain, tetapi propinsi ini sedang mengeksplorasi berbagai potensi tambang dan kekayaan alam lain yang kelak akan membantu mengubah nasibnya”. Sebagai salah satu dari 4 propinsi “termiskin” di Indonesia berdasarkan tingkat PDRB perkapitanya, yang seluruh desanya dinyatakan sebagai desa IDT pada tahun 1996, survei BPS tahun 1997 menempatkan NTT pada urutan nasional ke-6 (79,5 % berhasil dalam aspek ekonomi). Di antara 4 propinsi “termiskin” ini hasil lengkap survei BPS-1997 dilihat pada tabel 1.   Tabel 1: Tingkat Keberhasilan Pokmas IDT Menurut Bidang (%) di 4 Propinsi

Propinsi Ekonomi Partisipasi Kemandirian Kelembagaan Keseluruhan

NTT 79,5 88,0 64,4 75,6 76,9

NTB 71,1 88,7 63,8 91,2 78,7

Maluku 32,9 96,7 23,5 57,9 52,8

Irja 31,6 86,5 5,30 32,6 39,0

Sumber: RI, Pidato Pertanggungjawaban Presiden, Maret 1998Dalam pertemuan terbatas di Kupang tanggal 20 Januari 2001, wakil LSM dan sejumlah dosen Undana menyatakan optimisme terhadap masa depan ekonomi NTT. Meskipun tahun 1998 terjadi kontraksi ekonomi minus 2,73%, tetapi ekonomi rakyat yang masih agraris berdaya tahan tinggi dan justru merasa diuntungkan oleh krisis moneter tahun 1997. Secara keseluruhan ekonomi NTT sudah pulih dari krisis.  Namun khusus tentang prospek otonomi kebanyakan pakar masih merasa cemas. Bahkan pemahaman tentang pengertian otonomi daerah sendiri masih cukup rancu, yang menonjol di antaranya berupa kerisauan menurunnya wibawa pemerintah daerah propinsi di mata pejabat-pejabat kabupaten/kota. Bahwa OTDA penuh diletakkan di kabupaten/kota, dan di propinsi hanya merupakan otonomi terbatas, rupanya dianggap sebagai perubahan amat fundamental yang terkesan menghapuskan kekuasaan dan fungsi kooordinatif dari pemerintah propinsi atas kabupaten/kota dalam lingkungan propinsi. Kesan demikian tentu mengganggu pelaksanaan pemerintah daerah.   Perekonomian Daerah Jika tahun 1996 dan 1997 pertumbuhan ekonomi NTT cukup tinggi (masing-masing 8,22% dan 5,62%), pada tahun krisis (1998) mengalami kontraksi –2,73%, tidak tinggi dibanding kontraksi –4,64% untuk wilayah-wilayah luar Jawa, dan jauh lebih rendah dibanding kontraksi –11,8% (Jawa-Bali) atau –13,4% (5 propinsi Jawa). Maka dapat dimengerti seperti halnya wilayah-wilayah lain di luar Jawa, adanya bagian-bagian masyarakat yang “menikmati krisis” dengan kemakmuran yang meningkat. Data-data pertumbuhan PDRB per kabupaten/kota yang lebih lengkap selama Repelita VI terlihat pada tabel 2.   Tabel 2: Pertumbuhan PDRB Per Kabupaten/Kota se Propinsi NTT

No. Kabupaten/kota 1998 1999 2000 Rata-rata 1994 - 2000

1. Sumba Barat -0,42 0,42 2,94 3,10

2. Sumba Timur -3,24 -1,21 1,57 3,54

3. Kupang -2,40 4,62 5,13 5,83

Page 80: ekonomi rakyat

4. Timor Tengah Selatan -2,75 3,22 4,54 4,75

5. Timor Tengah Utara -6,28 6,57 3,67 4,11

6. Belu -3,63 2,04 2,91 4,97

7. Alor -2,50 -0,44 4,33 4,05

8. Lembata - - 2,01 -

9. Flores Timur -1,03 5,37 4,95 5,72

10. Sikka 0,22 0,91 4,42 5,20

11. Ende -6,69 1,72 4,71 3,68

12. Ngada -0,54 3,43 6,72 5,49

13. Manggarai 0,08 1,18 3,83 3,72

14. Kota Kupang -8,51 6,18 4,61 0,18

  NTT -2,73 2,73 3,98  

    Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kontraksi ekonomi rata-rata kabupaten/kota se-propinsi cukup merata dengan angka tertinggi di kabupaten Ende (-6,69%) dan TTU       (-6,28%) dan kontraksi terendah adalah di Manggarai yang masih tetap tumbuh positif meskipun kecil sekali (0,08%). Namun menjadi tanda tanya mengapa kontraksi ekonomi yang tertinggi di kabupaten Ende rupanya tidak terkait dengan data perbankan yang justru meningkat yaitu simpanan dan tabungan berjangka masing-masing naik 19,2 kali (dari Rp 2,8 milyar ke Rp 53,6 milyar) dan 6 kali (dari Rp 21,7 milyar ke Rp 129,7 milyar). Data dari Bank Indonesia propinsi NTT 1993-2000 menunjukkan kenaikan penghimpunan dana “luar biasa” yaitu 19,7% pertahun, yang paling tinggi adalah kenaikan pada awal krisis ekonomi yaitu dari Rp 899,20 milyar (1997/98) menjadi Rp 1.554,69 milyar (1998/99) kenaikan 73%. Kenaikan paling tinggi adalah penghimpunan dana di kabupaten Ende (105%) dan Kabupaten Kupang (79%). Kenaikan nilai  penghimpunan dana di Ende yang luar biasa ketika krismon, rupanya berlanjut sampai sekarang (2000), sehingga dana perbankan Ende yang hanya Rp 40,9 milyar tahun 1993/94 (urutan ke-4 dari 7 wilayah) kini menjadi no.3 di Propinsi NTT melampaui wilayah Ngada dan Manggarai. Pada bulan Oktober 2000 dana yang dihimpun perbankan Ende mencapai Rp 210,82 milyar melampaui Ngada/Manggarai yang hanya mencapai Rp 162,31 milyar. Yang menarik untuk dicatat adalah ketimpangan ekonomi antardaerah yang relatif  “ringan”. Dana yang dihimpun perbankan di Ibukota propinsi (Kupang) “hanya” 54,5% dari dana perbankan di seluruh propinsi NTT (Oktober 2000) hanya sedikit meningkat dibanding pangsa tahun 1993/94 sebesar 48,9%. Jumlah dana perbankan yang dihimpun bulan Oktober 2000 seluruh NTT mencapai Rp 2,08 trilyun naik 4,7 kali dari nilainya pada tahun 1993/94 (Rp 439 milyar). Peningkatan dana masyarakat Ende berupa simpanan dan tabungan berjangka (Rp 183,3 milyar, Oktober 2000), tidak “dikembalikan” sebagai kredit yang dibutuhkan masyarakat setempat tetapi dikirim ke luar daerah (Jakarta). Kredit yang diberikan hanya Rp 37,2 milyar (20%) lebih rendah dari persentase kredit yang diberikan pada tingkat propinsi (28,6%). Alasan yang biasanya diajukan adalah tidak adanya usaha-usaha “produktif” yang memenuhi syarat untuk didanai dengan kredit bank, meskipun disadari bahwa syarat-syarat ini adalah syarat-syarat kredit komersial formal yaitu 5 C (collateral, character, capacity, condition dan capital). Syarat-syarat formal ini diakui terlalu kaku, yang oleh BI setempat dalam proyek PHBK (hubungan Bank dan kelompok swadaya) dan KKPA (Kredit Koperasi Pada Anggota) telah diabaikan. Pimpinan Bank Indonesia yang hadir dalam diskusi di Kupang tidak melihat adanya kejanggalan ini karena menurutnya dalam “sistem ekonomi pasar bebas” perilaku modal keluar masuk daerah, bahkan ke luar negeri sekalipun, tidak dapat diatur. Dana bank yang harus dibayar bunganya kepada penabung tidak mungkin dibiarkan diam (idle). Kantor Pusat setiap bank akan harus mengembangkannya, dan yang paling mudah dalam situasi ekonomi sekarang (krismon) adalah dibelikan SBI yang bunganya menarik. Sebenarnya jika Bank Umum di daerah mau bekerja keras, akan ditemukan usaha-usaha kecil ekonomi rakyat yang mau dan mampu memba-yar tingkat bunga pasar. Tetapi sering dikatakan bahwa bank-bank tidak memiliki tenaga dan pengalaman untuk menyalurkan kredit kecil atau kredit mikro seperti ini. Analisis perekonomian daerah kembali ke lingkaran awal. Ekonomi daerah yang miskin tetap selalu tertinggal. Bahkan kenaikan pendapatan yang diperoleh dari dan selama krismon tidak dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi rakyat lebih lanjut. Dalam otonomi daerah “lingkaran setan” seperti ini perlu diputus. Dunia perbankan setempat bersama Pemerintah Daerah harus sungguh-sungguh berkoordinasi untuk mengu-

Page 81: ekonomi rakyat

bah hukum ekonomi kapitalisme liberal menjadi hukum ekonomi kerakyatan. Di daerah harus ada kebijakan khusus yang merangsang investasi. Jika masyarakat kecil (ekonomi rakyat) mulai tertarik menggunakan jasa perbankan yang mudah dalam bentuk simpanan dan tabungan berjangka, pihak perbankan harus juga berubah dalam melayani ekonomi rakyat dalam kebutuhan kredit yang mudah dan murah, dengan meninggalkan kriteria pemberian kredit formal yang kaku. Program pemberdayaan ekonomi rakyat akan berkembang melalui program kredit mikro ala Grameen Bank yang berhasil di Bangladesh dan sudah “ditiru” di banyak negara termasuk di Indonesia. BRI dengan kredit Unit Desanya sebenarnya sudah maju jauh sebelum Grameen Bank, tetapi rupanya tetap saja belum mampu mengatasi kebijakan kredit yang lebih berpihak pada sektor industri modern dan usaha-usaha besar di kota-kota.   Program Pemberdayaan ekonomi rakyat Jika di sejumlah propinsi program IDT sudah “dilupakan” atau sudah “diganti” program lain seperti PPK (Program Pengembangan Kecamatan) di kabupaten Kupang, program IDT masih berjalan baik. Pendamping Sarjana yang diangkat dan digaji Pemda masih banyak yang aktif. Seorang SP2W, Hendrikson Adoe (30 th), yang hadir pada pertemuan dengan 2 Pokmas IDT di Kalurahan Babau kecamatan Kupang Timur, meyakinkan masih perlunya pendamping bagi Pokmas-Pokmas IDT, yang diangkat serta digaji oleh Pokmas yang didampinginya. Ibu Johanna Maxi, pimpinan LSM Bina Swadaya Kupang yang mengkoordinasi 12 pendamping menyatakan dapat dikembangkannya program pendampingan ini dengan syarat pendamping yang bersangkutan mendampingi paling sedikit 20 Pokmas secara sungguh-sungguh dan purna-waktu. Ditaksir sekitar 10% dari SHU Pokmas cukup memadai untuk menggaji Pendamping yang bersangkutan. [1] [1] Pendamping Bina Swadaya mendapat gaji (terendah) Rp 275.000 per bulan ditambah biaya operasional Rp 50.000 per bulan, uang jalan jika berdinas keluar (Rp 7.500/hari), dan dilengkapi sepeda motor. Gaji pendamping yang tinggi ini masih disubsidi kantor Bina Swadaya sampai sekitar 50%.

Program IDT di 2 desa Oebelo, Kupang tengah, dan desa Babau, Kupang Timur, memang berjalan baik. Di desa Oebelo antara 25-35% penerima dana IDT benar-benar telah mentas dari kemiskinan yang melilitnya. Sedangkan di desa ke-2 yaitu Babau berhasil sekitar 30%. Kegagalan 70% program di desa pertama bukanlah karena ketidaksungguhan anggota tetapi karena musibah menjalarnya penyakit ternak babi pada tahun pertama. Di desa Babau sekitar 30% telah berhasil mengubah program IDT menjadi Koperasi Simpan Pinjam yang segera memperoleh status badan hukum. Salah satu kunci keberhasilan program IDT di NTT adalah dukungan penuh dan konsisten dari Pemda, baik Pemda propinsi maupun Pemda kabupaten/kota, antara lain melalui pengembangan program pendampingan dengan dana APBD. Program pendampingan ini akan jauh lebih berhasil lagi, jika Pemda (dhi PMD) serius memantau pelaksanaannya. Dalam kenyataan, cukup banyak pendamping yang bermutu dan memihak pada penduduk miskin. Dalam pada itu 2 jenis pendamping lainnya (yang tidak purna-waktu) seperti aparat desa, dan tokoh-tokoh masyarakat setempat, serta penyuluh-penyuluh dari berbagai dinas sektoral, sulit diharapkan mencurahkan perhatian pada Pokmas IDT dan anggota-anggotanya. Dana Rp 600.000 yang disediakan sebagai BOP (Biaya Operasional Pemantauan) pada desa sulit dilihat hasilnya, lebih-lebih setelah dipadukan ke dalam dana bantuan Desa sejak TA 1996/97.   Otonomi Daerah dan Otonomi Desa Otonomi Daerah dan prospek pelaksanaannya di Propinsi, kabupaten, dan desa-desa di NTT cukup baik meskipun masih ditemukan berbagai masalah. Bahwa Pemda kabupaten/kota kini lebih besar wewenangnya ketimbang propinsi, karena yang pertama menerima otonomi penuh, sedangkan yang ke dua otonomi terbatas, memang benar tercantum dalam pasal-pasal UU No.22/1999. Namun yang belum jelas adalah implikasinya dalam penyusunan program-program untuk melaksanakan wewenang tsb. Misalnya dalam program-program penanggulangan kemiskinan ala IDT, apakah pemikiran ke arah perbaikan dan penyempurnaan program IDT termasuk program pendampingan kini merupakan tanggung jawab penuh Pemda kabupaten? Jika ya, apa tugas dan tanggung jawab Pemda propinsi (atau PMD) dalam hal ini? Yang lebih sulit lagi adalah memikirkan kelanjutan program-program penanggulangan kemiskinan pada tingkat desa. Misalnya seorang ketua Pokmas Simson Misa (49 th, tamatan SD) dari desa Babau, Kupang Timur, dengan polos menanyakan “Apakah setelah Otda masih akan ada tamu seperti Pak Mubyarto yang mengevaluasi program-program penanggulangan kemiskinan seperti IDT dan PPK?”  Pertanyaan demikian diajukan karena ada pernyataan bahwa dalam Otda “semua program penanggulangan kemiskinan harus dibuat sendiri oleh kabupaten”, dan program-program ini harus lebih baik dibandingkan program-program yang disusun secara nasional seperti IDT oleh Bappenas dan Depdagri. Karena mereka lebih dekat dengan rakyat, tidak ada alasan program yang bersangkutan tidak sesuai dengan aspirasi rakyat. Program-program pembangunan yang disusun Pemda kabupaten/kota bersama DPRD memang harus makin banyak yang berasal dari desa/kelurahan, dan disusun oleh BPD (Badan Perwakilan Desa) yang di antara tugas dan kewajibannya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat berdasarkan demokrasi ekonomi (pasal 22 dan

Page 82: ekonomi rakyat

101). Jelas di sini bahwa rakyat atau warga desa sendirilah, melalui BPD, yang setelah dilaksanakannya OTDA dapat menyusun, melaksanakan, dan menilai program-program penanggulangan kemiskinan dan pembangunan perdesaan pada umumnya. Tamu-tamu, atau pakar-pakar dari pusat atau propinsi, tetap dapat datang untuk mengadakan kajian-kajian, tetapi warga desa sendirilah yang pada tingkat akhir akan meluncurkan program-program yang diinginkannya, dan yang dapat menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat. OTDA seharusnya tidak difokuskan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan pemerataan dan keadilan menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  Kesimpulan Menyaksikan ketekunan dan kesungguhan masyarakat dan aparat Pemda propinsi dalam melaksanakan program IDT di propinsi NTT, kita melihat program penanggulangan kemiskinan sudah mencapai tahap gerakan masyarakat sebagaimana dirancang program ini pada awal peluncurannya. Sudah tercapainya tahap gerakan masyarakat (GEMA) antara lain terbukti dari sambutan Pokmas IDT di seluruh propinsi untuk menghimpun kembali dana IDT yang berada di Pokmas-Pokmas untuk dijadikan semacam Bank Desa pada tingkat kecamatan. Meskipun pendirian Bank Desa pada tingkat kecamatan dengan dana IDT yang sudah bergulir di Pokmas ini belum tentu dapat dianggap kemajuan, tetapi akan menjadi indikator tercapainya kemandirian keuangan desa seperti UPK (Unit Pelayanan Keuangan) dalam Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Memang dalam membangun kelembagaan Bank Desa ini profesionalisme dalam pengelolaannya harus prima, dan dilaksanakan dengan koordinasi penuh dengan Bank Indonesia setempat, disamping sikap pemihakan pejabat Pemda yang jelas pada kepentingan ekonomi rakyat. Konsep dasar program IDT adalah makin mendekatkan lembaga perkreditan dan pendanaan pembangunan masyarakat desa pada penduduk desa. Setiap usaha untuk mening-katkan skala ekonomi lembaga ini demi efisiensi harus lebih menguntungkan ekonomi rakyat. Otda yang juga berarti otonomi desa perlu memperoleh perhatian Pemda dan DPRD kabupaten dalam bentuk penyusunan Perda-Perdanya. Sikap dan tradisi demokrasi yang tinggi pada masyarakat NTT harus dimanfaatkan untuk segera  membentuk BPD. Jika BPD berhasil menghimpun tokoh-tokoh muda masyarakat desa yang profesional, seperti mantan SP2W, maka ini merupakan salah satu kunci percepatan pemberdayaan ekonomi rakyat desa. Satu kendala yang selalu disinggung dalam diskusi-diskusi kecil adalah kondisi multietnik masyarakat NTT yang kurang mendukung kerukunan warga desa, lebih-lebih dengan membanjirnya pengungsi dari Timor Timur sejak September 1999. Untuk mengubah kondisi multietnik menjadi faktor dinamika masyarakat, pemerintah daerah perlu membentuk badan/lembaga khusus untuk menanganinya. Jika masalah multietnik ini benar-benar dapat digarap secara transparan dan profesional, maka rasa optimisme Gubernur yang disebutkan pada awal tulisan ini pasti makin berkembang. Dan NTT tidak akan lagi diartikan sebagai “Nasib Tak Tentu” tetapi “Nasib Terpancar Terang”.  

Prof. Dr. Mubyarto, Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (PUSTEP-UGM)

Mubyarto

EKONOMI RAKYAT INDONESIA PASCA KRISMON

 

Pendahuluan

Selama 5 bulan (Juni-Oktober 2000) Pusat Penelitian Kependudukan UGM bekerjasama dengan RAND Corporation Santa Monica mengadakan Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI) di 13 propinsi dengan mewawancarai 10.000 keluarga atau 43.000 orang. Survei yang telah diadakan untuk ketigakalinya ini mewawancarai keluarga-keluarga yang sama (panel) yang menjadi sampel sejak Sakerti 1 (1993) dan Sakerti 2 (1997). Pada tahun 1998 khusus untuk meneliti dampak krismon yang sedang berlangsung, dilaksanakan Sakerti 2+ dengan mengambil 25% sub-sampel. Penemuan-penemuan Sakerti 2+ yang telah disebarluaskan melalui beberapa tulisan antara lain oleh Elizabeth Frankenberg, James Smith, dan

Page 83: ekonomi rakyat

Kathleen Beegle (1999) mengejutkan banyak pihak karena berbeda dengan “anggapan umum”. Namun sejumlah peneliti lain seperti kelompok SMERU menemukan hal-hal yang sejalan dengan penemuan Sakerti 3 khususnya dalam dampak krismon yang tidak terlalu parah terhadap kehidupan keluarga/perorangan. Kami sendiri yang mengadakan kunjungan lapang ke berbagai desa selama 1998-1999 juga mencatat pernyataan banyak warga desa bahwa “krisis ini belum apa-apa dibanding krisis yang lebih berat pada jaman Jepang, awal kemerdekaan, dan krisis ekonomi tahun 1965-66". [1]

[1] Mubyarto, 1999, Reformasi Sistem Ekonomi, Yogyakarta , Aditya Media, hal 129-139.

Demikian keparahan krismon 1997 yang menjadi polemik nasional selanjutnya tenggelam karena pendapat yang lebih condong ke “dampak yang parah” lebih populer agar tidak menghambat peluncuran program-program JPS (Jaring Pengaman Sosial) lebih-lebih yang dananya berasal dari bantuan luar negeri. Program-program JPS adalah program untuk menolong penduduk miskin yang sedang dalam kesusahan sehingga tidaklah dianggap bijaksana menyebarluaskan penemuan kajian-kajian yang menyimpulkan dampak krismon tidak parah. Peneliti-peneliti Indonesia yang jujur melaporkan kenyataan dari lapangan terpaksa mengendalikan diri “demi kemanusiaan”. Namun kemudian mereka merasa terpukul membaca komentar penerima hadiah Nobel Ilmu Ekonomi tahun 1998 Amartya Sen yang menyindir mereka yang telah membesar-besarkan dampak krisis koneter di Asia Timur.

It may wondered why should it be so disastrous to have, say, a 5 or 10 percent fall in gross national product in one year when the country in question has been growing at 5 or 10 percent per year for decades. Indeed, at the aggregate level this is not quintessentially a disastrous situation. (Sen, 1999: 187)

Setelah laporan Sakerti 2+ sedikit dilunakkan “demi kemanusiaan”, kini Sakerti 3 yang dilaksanakan 3 tahun setelah krisis dan 2 tahun setelah Sakerti 2+, ternyata memperkuat penemuan-penemuan Sakerti 2+. Tanpa diduga, dampak yang “menyingkirkan” berita “krisis belum apa-apa” ini merugikan penduduk miskin dan bertentangan dengan kepentingan melidungi dan memajukan ekonomi rakyat, karena telah dimanfaatkan secara licik oleh kelompok tidak miskin yaitu golongan ekonomi kuat dan sektor industri modern dalam rangka menuntut pemerintah menyelamatkan kebangkrutan mereka dan lebih khusus lagi dalam rangka membenarkan kebijakan penalangan (bail out) utang-utang melalui BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yang mulai dikucurkan tahun 1998. Adalah kepentingan para penerima BLBI untuk mengesankan bahwa krisis ekonomi masih terus berjalan, dan makin parah, agar pemerintah tetap tidak dapat bersikap keras pada mereka untuk membayar utang-utang besar yang macet sejak awal krismon. Utang-utang besar yang macet menjadi amat berat karena banyak utang dalam bentuk valuta asing yang tidak dijamin sehingga jika ekonomi Indonesia sudah dianggap pulih dari kondisi krisis, mereka para pengutang akan kehilangan alasan untuk tidak membayarnya. Inilah alasan “tersembunyi” untuk terus memojokkan pemerintah yang sayangnya memperoleh dukungan pakar-pakar ekonomi makro yang tidak pernah meninggalkan meja komputernya dan tidak pernah mau menerapkan metode analisis induktif-empirik dengan cara datang ke daerah-daerah meneliti kehidupan ekonomi riil (real-life economics). Mereka membesar-besarkan dampak krisis dengan menyebutkan pengangguran yang mencapai 40 juta orang, pelarian modal asing US $ 10 milyar per tahun dan lain-lain.

 

Page 84: ekonomi rakyat

Hasil-hasil Sakerti 3

 

1. Kemiskinan. Di 13 propinsi yang disurvei angka kemiskinan perkotaan menurun selama 1997-2000 dari 13,3% menjadi 11,3%, sedangkan di perdesaan menurun dari 20,1% menjadi 18,7% (tabel 1). Penurunan angka kemiskinan di perdesaan terjadi di Sumsel, Lampung, Sulsel, Kalsel, Bali, Sumut, dan Jatim (rata-rata 8,0%), sedangkan penurunan kemiskinan di perkotaan yang relatif lebih kecil terjadi di Jatim, Jateng, Sulsel, dan Jabar (rata-rata 4,9%). Lebih besarnya penurunan tingkat kemiskinan di perdesaan khususnya di propinsi-propinsi luar Jawa menunjukkan adanya perbaikan dasar tukar (term of trade) antara harga-harga yang diterima dan yang dibayar produsen. Di propinsi-propinsi Jatim, Jateng, dan Sulsel, angka-angka kemiskinan di perkotaan juga menurun yang berarti penduduk perkotaanpun masih mampu menghasilkan barang-barang yang harga jualnya meningkat lebih cepat ketimbang harga barang-barang yang dibeli rumah tangga. Bahwa ada kenaikan angka kemiskinan di perdesaan di Jabar, Jateng, dan DIY (rata-rata 3,3%) dan bahkan 11,9% di NTB, mungkin menandakan kurangnya komoditi pertanian “tradisional” yang harganya terangsang naik oleh krismon. Pendapatan riil rumah tangga yang ditaksir dengan median pengeluaran riil per kapita selama 1997-2000 mengalami kenaikan cukup signifikan sebagai berikut:

2. Kesempatan Kerja. Berbeda dengan kesan umum telah terjadinya pengangguran besar-besaran sejak krismon 1997-98, Sakerti 3 melaporkan adanya peningkatan kesempatan kerja pria dari 79% (1997) menjadi 84% (2000) dan untuk wanita dari 45% menjadi 57%. Khusus untuk kerja upahan/bergaji kenaikannya untuk pria dari 74,5% menjadi 77,0% sedangkan untuk wanita dari 36,7% menjadi 42,2%.

Page 85: ekonomi rakyat

Yang cukup signifikan adalah kenaikan persentase kesempatan kerja keluarga tanpa gaji terutama wanita yang naik dari 19,2% menjadi 25,5%, meskipun untuk pria naik lebih kecil yaitu dari 6,1% menjadi 7,9%. Arti kenaikan angka-angka ini jelas bahwa krismon yang pada umumnya menurunkan kegiatan sektor modern/formal, ditanggapi dengan meningkatnya kegiatan ekonomi/ industri sektor tradisional/ informal/ekonomi rakyat, khususnya dengan mempekerjakan lebih banyak wanita atau ibu yang sebelumnya tidak bekerja. Kesimpulan kita jelas bahwa selama 1997-2000 telah terjadi “pergeseran” kesempatan kerja dari sektor ekonomi modern ke sektor ekonomi rakyat, dan tidak benar adanya pengangguran besar-besaran akibat PHK.

The economic crisis has resulted in both negative and positive consequences for the Javanese. It has resulted in a rapid rise in prices of basic items which place them beyond the capacity of many poor people and has reduced employment opportunities in the formal sector. On the other hand, it has resulted in the emergence of many new small enterprises which had previously been destroyed by the economic monopolies and import of mass-produced commodities under the New Order. [2]

[2] Jessica Poppele, Sudarno Sumarto, dan Lant Pritchett, 1999, Social Impacts of the Indonesian Crisis; Agus Dwiyanto, 1998, Krisis Ekonomi: Respon Masyarakat dan Kebijakan Pemerintah, Pelajaran dari Tiga Desa di Jawa, PPK-UGM; Lea Jellinek & Bambang Rustanto, “Survival Strategies of the Javanese During the Economic Crisis” (Survey Report), World Bank, Jakarta, 28 Agustus 1999, dikutip dalam Mubyarto (1999), ibid., hal 134.

3. Standar Hidup dan Kesejahteraan. Sakerti 3 menanyakan bagaimana keluarga menilai tingkat kesejahteraan mereka selama dan sebagai akibat krismon. Hasilnya sungguh mengejutkan karena berbeda dengan anggapan umum telah terjadinya kemerosotan kesejahteraan dan standar hidup akibat krismon, 87% responden menyatakan standar hidup mereka tidak berubah (tetap) atau bahkan membaik, dan yang melaporkan memburuk hanya 13%. Mengenai kualitas hidup, 83,9% responden menyatakan memadai (69,4%) atau lebih dari memadai (14,5%), yang berarti bahwa keluarga yang merasakan kualitas hidup mereka tidak memadai hanya 16,1%. Tentang kualitas hidup yang menyangkut pemenuhan kebutuhan pangan, 90,7% menyatakan memadai atau lebih dari memadai, sedangkan tentang pemeliharaan kesehatan, 85% menyatakan memadai dan 4% menyatakan lebih dari memadai.

Dari 3 ukuran kesejahteraan rakyat yang dilaporkan Sakerti 3 kesimpulan kita tidak meragukan lagi bahwa orang Indonesia mempunyai cara-cara khas menanggapi krisis moneter atau krisis ekonomi. Munculnya krismon berupa kenaikan harga-harga umum besar-besaran tidak serta merta menurunkan kualitas atau standar hidup mereka tetapi mereka menemukan berbagai cara untuk menanggapinya. Cara-cara menang-gapi krismon yang khas dan berbeda-beda inilah yang bagi para pakar ekonomi ortodok (konvensional) tak terpikirkan, dan hanya dapat diketahui/ditemukan melalui penelitian-penelitian lapangan yang serius. Sakerti 1, 2, dan 3 memberikan perhatian khusus pada mekanisme bertahan hidup (coping strategies) dan menanggapi krisis seperti itu.

Metode Menanggapi Krismon

Orang Indonesia yang dikenal kuat menganut asas kekeluargaan dalam segala aspek kehidupannya dapat diamati menerapkan asas atau etika hidup ini di saat terjadi krismon yang datang secara sangat tiba-tiba. Asas hidup kekeluargaan ini yang diperkuat oleh semangat percaya diri dan kepercayaan pada kekuasaan Tuhan berakibat pada sikap bahwa krismon tidak lain daripada “percobaan” dan “peringatan” pada bangsa Indonesia agar menyadari aneka kekeliruan dan penyimpangan yang telah dilakukan.

Sakerti 3 seperti halnya Sakerti 1, 2, dan 2+ sebelumnya, menemukan fakta-fakta menarik tentang metode dan sikap menanggapi krismon secara tepat sehingga tidak mengakibatkan kejutan atau gangguan besar pada konsumsi keluarga dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar kesehatan dan pendidikan terutama bagi anak-anak.

Salah satu cara paling mudah dan paling sering dilakukan keluarga Indonesia saat-saat menghadapi krisis adalah dengan “mengatur kembali” pengeluaran/belanja keluarga dengan cara menunda pengeluaran-pengeluaran yang dianggap dapat ditunda misalnya pembelian pakaian, alat-alat rumah tangga dan pengeluaran-pengeluaran upacara, yang ditaksir berkurang dengan sepertiga. [3] Selain itu suatu keluarga dapat memutuskan “menitipkan” sebagian anggota keluarga pada keluarga lain yang lebih mampu, atau secara umum sangat biasa terjadi pinjam-meminjam uang tanpa bunga antarkeluarga (sebrakan) untuk menutup pengeluaran pokok yang tidak dapat ditunda.

[3] Elizabeth Frankenberg, James P Smith and Duncan Thomas, “Economic Shocks, Wealth and Welfare”, makalah belum diterbitkan, Rand, February 2002, h. 13

Page 86: ekonomi rakyat

Di pihak lain jika pada saat krismon pengeluaran-pengeluaran meningkat sekali, setiap keluarga dengan cara masing-masing berusaha bekerja lebih keras atau lebih lama (melembur) agar pendapatan bertambah. Rata-rata keluarga sejak terjadi krismon menambah waktu kerja 25 jam per minggu, sedangkan per orang pekerja bertambah 10 jam per minggu. Jika satu keluarga bekerja mandiri maka dalam kondisi krisis anggota keluarga yang sebelumnya tidak bekerja, secara spontan ikut bekerja tanpa gaji. Sakerti 3 secara meyakinkan melaporkan bertambahnya kerja tanpa gaji untuk wanita dari 19,2% menjadi 25,5% meskipun untuk pria jauh lebih kecil yaitu dari 6,1% menjadi 7,9%.

Terakhir, tetapi ternyata sangat menonjol di Indonesia, adalah kemampuan untuk memobilisasi kekayaan/aset apapun yang dimiliki keluarga untuk mempertahankan (smooth out) tingkat pengeluaran keluarga. Sakerti 2+ menemukan fakta-fakta menarik bahwa hampir setiap keluarga termasuk yang miskin memiliki kekayaan atau aset yang dapat dijual atau digadaikan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran pokok yang tidak dapat dihindarkan. Lebih dari 90% keluarga di perdesaan dan 70% keluarga di perkotaan mempunyai rumah yang tidak beralih pemilikannya selama krisis, yang berarti meningkatnya pengeluaran karena krisis selalu dapat ditutup dengan cara menambah pendapatan, tidak dengan menjual rumah atau aset-aset berharga lainnya. Tentang pemilikan aset-aset lancar seperti uang tunai atau surat-surat berharga, juga dilaporkan sangat besar peranannya dalam menghadapi krisis, karena 25% keluarga perdesaan dan 40% keluarga perkotaan memilikinya dan persentase yang lebih besar bahkan dilaporkan memiliki kekayaan berupa emas terutama dalam bentuk perhiasan yang sangat mudah digadaikan atau diperjual-belikan. Rumah-rumah gadai bertambah ramai dan pasar emas dilaporkan sangat dinamis/aktif saat krisis. Harga emas mengalami kenaikan 4 kali selama krisis, lebih tinggi ketimbang kenaikan harga-harga umum. Emas ternyata merupakan simpanan andalan bagi banyak keluarga Indonesia untuk berjaga-jaga menghadapi krisis. Bagi keluarga-keluarga paling miskinpun disamping ternak yang hampir selalu dimilikinya, perhiasan dari emas sangat mudah ditemukan.  

Kesimpulan

Sebagaimana sudah sering dikemukakan oleh para peneliti ekonomi rakyat, meskipun Indonesia merdeka sudah berusia 57 tahun dan pembangunan ekonomi “Orde Baru” sudah berlangsung 31 tahun (1966-97) yang mampu meningkatkan pendapatan riil rata-rata bangsa Indonesia 10 kali, tokh dalam kenyataan perekonomian Indonesia masih tetap bersifat dualistik, sebagaimana dikemukakan J.H. Boeke tahun 1910. Ekonomi dualistik adalah ekonomi yang tidak homogen tetapi hampir di semua sektor terpilah menjadi 2 yaitu sektor ekonomi modern/formal dan sektor ekonomi tradisional/informal. Yang kedua disebut Bung Hatta tahun 1931 sebagai sektor (kegiatan) ekonomi rakyat. Memang sangat tidak tepat dan menyesatkan menyebut sektor ekonomi rakyat sebagai sektor informal, karena sektor ini justru sudah lebih tua dan sudah merupakan kegiatan ekonomi “formal” jauh sebelum datangnya para pengusaha/pemodal/kapitalis Belanda ke Indonesia, yang sebagian besar baru beroperasi sesudah UU Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870. Karena para pemodal/pengusaha Belanda yang datang sesudah 1870 ini pada umumnya berbentuk NV (PT) yang besar dengan kantor-kantor dan kebun-kebun besar, dengan membayar pajak-pajak yang besar, maka mereka dianggap perusahaan-perusahaan formal, sedangkan yang sangat kecil/gurem inilah yang disebut ekonomi rakyat, yang lokasinya dapat tidak tetap atau sering pindah, dan disebut sektor informal.

Krisis moneter 1997-98 jelas lebih dulu dan lebih mudah memukul telak sektor ekonomi modern/ formal lebih-lebih perusahaan yang berutang besar dalam nilai nominal dolar, yen, atau valuta asing lainnya. Krisis moneter yang dimulai dengan depresiasi rupiah dan apresiasi dolar sangat memukul perusahaan-perusahaan yang berutang dolar atau valuta asing lain dan memukul impor karena harga rupiah barang-barang impor melonjak sesuai apresiasi dolar. Namun karena hampir semua sektor masih bersifat dualistik, sektor tradisional/ekonomi rakyat tidak terpengaruh krismon, atau terpengaruh secara tidak berarti. Dampak negatif krismon terhadap ekonomi rakyat dapat dihindari atau disikapi sedemikian rupa hingga tidak dirasakan dampaknya, dengan cara-cara atau ”seni” khas ekonomi rakyat, yang dikenal dengan istilah strategi penyikapan (coping strategy) baik dalam produksi, perilaku berkonsumsi, atau sekedar strategi bertahan hidup (survival strategy).

Sakerti 1, 2, 2+, dan 3 secara meyakinkan mengungkapkan bagaimana 10.000 lebih keluarga dan 43.000 orang yang diwawancara menanggapi krismon dengan cara-cara mereka, yang tidak dikenal dan tidak termuat dalam buku-buku teks ilmu ekonomi terbitan Amerika. Sakerti mampu mengungkap perilaku ekonomi riil rakyat Indonesia (real life economics) yang melalui analisis mendalam akan menghasilkan ilmu/ teori ekonomi rii. [4]

[4] Paul Ekins and Manfred Max-Neef (eds), 1992, Real-life Economics, Routledge, London-New York.

Sejak Pemerintah Indonesia mengundang “dokter ekonomi” IMF yang dianggap dokter spesialis bagi penyakit negara-negara berkembang yang terkena krisis keuangan, ekonomi Indonesia terkesan menjadi sangat tergantung pada utang-utang baru dari IMF dan negara-negara “donor” anggota CGI. Sakerti 3 menemukan

Page 87: ekonomi rakyat

kenyataan ekonomi Indonesia, lebih-lebih ekonomi rakyatnya, tegar dan kuat, yang telah tumbuh 3-4% per tahun sejak tahun 2000 sampai tahun 2002 ini. Memang teori ekonomi makro-ortodoks yang tidak mau mengakui atau tidak mengerti ekonomi rakyat, menganggap pertumbuhan ekonomi 4% “terlalu rendah” yang tidak mampu menyerap tenaga kerja lama dan menganggur maupun tambahan tenaga kerja lebih dari 2 juta per tahun. Maka ekonomi Indonesia “harus tumbuh” minimal 7% per tahun dan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi para ekonom tidak pernah merasa perlu mempermasalahkan keadilan dalam distribusi pendapatannya. Tak pernah terpikir pada mereka seandainya perekonomian tumbuh hanya 3-4%, tetapi lebih banyak disumbang dan dengan demikian juga dinikmati ekonomi rakyat, sebenarnya akan lebih adil dan berkelanjutan ketimbang pertumbuhan 7% seperti sebelum krismon, tetapi hanya dinikmati sekelompok kecil ekonomi kuat, yang akhirnya menjadi “bom waktu” yang meledak seperti yang terjadi 1997 tanpa dapat diperkirakan sebelumnya.

Demikian kiranya jelas bahwa tulisan ini berusaha meyakinkan tidak akan terjadi kebangkrutan atau kelumpuhan ekonomi nasional jika Indonesia memutuskan secara sepihak untuk tidak lagi mencari utang-utang baru dari luar atau bahkan dalam negeri. Tanpa ikatan kerjasama dengan IMF, pemerintah dan bangsa Indonesia dapat memusatkan perhatian pada usaha dan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat, sektor ekonomi rakyat banyak yang sejak krismon 5 tahun lalu tidak saja tidak hancur tetapi malah telah menunjukkan ciri khasnya yaitu tahan banting dan mampu menunjukkan keandalan dan kemandiriannya. Bukti-bukti dari Sakerti 3 telah sangat memperkuat berbagai data penelitian lapangan optimistik sebelumnya. Bangsa Indonesia harus percaya diri. Jika pada saat proklamasi kemerdekaan tahun 1945 bangsa Indonesia memiliki rasa percaya diri amat besar untuk merdeka secara politik, kinilah saatnya kita memiliki rasa percaya diri di bidang ekonomi. Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia tahun 1925 di Negeri Belanda (dipimpin oleh Moh. Hatta) dapat kita jadikan acuan rasa percaya diri itu. [5]

[5] Sartono Kartodirdjo, Multi-dimensi Pembangunan Bangsa, Kanisius, 1999, hal. 18

1. Pemerintah dipilih dari dan oleh rakyat Indonesia;

2. Perjuangan itu tidak memerlukan bantuan dari pihak manapun;

3. Perjuangan itu hanya dapat berhasil bila pelbagai unsur rakyat Indonesia bersatu.

 

Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE - UGM

Makalah untuk Seminar "Indonesia Bersatu Menyongsong Era Global", Festival Bhinneka Tunggal Ika- Indonesia Satu, Surabaya, 29 Oktober 2002.

 

 

Daftar Pustaka Dhanani, Shafiq and Inayatul Islam, Poverty, Inequality and Social Protection: Lessons From The Indonesian Crisis. UNSFIR, Jakarta, April 2000

Hardjono, Joan. The Micro Data Pictures: Results of a SMERU Social Impact Survey in the Purwakarta-Cirebon Corridors, SMERU Final Report, July 1999

Mishra, Satish C. “Sistemic Transition in Indonesia: The Crucial Next Steps”, UNSFIR, September 2002

Mubyarto. 1999. Reformasi Sistem Ekonomi: Dari Kapitalisme menuju Ekonomi Kerakyatan, Aditya Media, Yogyakarta

Mubyarto. 2001. Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi, BPFE, Yogyakarta

Mubyarto and Daniel W. Bromley, 2002. A Development Alternative for Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sartono Kartodirdjo, 1999. Multi-dimensi Pembangunan Bangsa, Kanisius, Yogyakarta

World Bank. “Indonesia: Constructing A New Strategy for Poverty Reduction”, Report No. 23028, Ind, October 29, 2001.

Page 88: ekonomi rakyat

 

Yaumil Ch. Agoes Achir

JAMINAN SOSIAL NASIONAL INDONESIA  

Latar Belakang

Jaminan Sosial Nasional adalah program Pemerintah dan Masyarakat yang bertujuan memberi kepastian jumlah perlindungan kesejahteraan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Perlindungan ini diperlukan utamanya bila terjadi hilangnya atau berkurangnya pendapatan.

Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya. Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”.

Perlindungan jaminan sosial mengenal beberapa pendekatan yang saling melengkapi yang direncanakan dalam jangka panjang dapat mencakup seluruh rakyat secara bertahap sesuai dengan perkembangan kemampuan ekonomi masyarakat. Pendekatan pertama adalah pendekatan asuransi sosial atau compulsory social insurance, yang dibiayai dari kontribusi/ premi yang dibayarkan oleh setiap tenaga kerja dan atau pemberi kerja. Kontribusi/ premi dimaksud selalu harus dikaitkan dengan tingkat pendapatan/ upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Pendekatan kedua berupa bantuan sosial (social assistance) baik dalam bentuk pemberian bantuan uang tunai maupun pelayanan dengan sumber pembiayan dari negara danbantuan sosial dan masyarakat lainnya.

Beberapa negara yang menganut welfare state yang selama ini memberikan jaminan sosial dalam bentuk bantuan sosial mulai menerapkan asuransi sosial. Utamanya karena jaminan melalui bantuan sosial membutuhkan dana yang besar dan tidak mendorong masyarakat merencanakan kesejahteraan bagi dirinya. [1] Disamping itu, dana yang terhimpun dalam asuransi sosial dapat merupakan tabungan nasional. Secara keseluruhan adanya jaminan sosial nasional dapat menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pengaturan dalam jaminan sosial ditinjau dari jenisnya terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan santunan kematian.

[1] Australia, sejak tahun 1992, telah menerapkan asuransi sosial wajib.

Sebenarnya, selama dekade terakhir di Indonesia telah ada beberapa program jaminan sosial dalam bentuk asuransi sosial, namun baru mencakup sebagian kecil pekerja di sektor formal. Dari 95 juta angkatan kerja, baru 24,6 juta jiwa memperoleh jaminan sosial, atau baru 12% dari jumlah penduduk. Sementara di Thailand dan Malaysia masing-masing mencapai 50% dan 40% dari total penduduk. [2] Krisis ekonomi yang menyebabkan angka pengangguran melonjak dengan tajam telah menimbulkan berbagai masalah sosial ekonomi. Dalam kondisi seperti ini jaminan sosial dapat membantu menanggulangi gejolak sosial.

[2] Kantor Menko EKUIN bekerjasama dengan LPUI Kajian Kebijakan Jaminan Sosial, Desember 2002

Fakta tersebut membuktikan bahwa amanat UUD pasal 27 ayat 2 sebagian besar belum dapat dilaksanakan sehingga langkah-langkah nyata untuk mewujudkannya diperlukan, antara lain dengan menyusun suatu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Menyadari masih terbatasnya jangkauan jaminan sosial yang ada dan beberapa kekurangan dalam pengaturan dan penyelenggaraannya, serta betapa pentingnya peran jaminan sosial dalam pemberian perlindungan utamanya di saat berkurangnya pendapatan maka dianggap perlu menyusun Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui penerbitan Undang-undang yang akan mengatur Substansi, Kelembagaan dan Mekanisme Sistem Jaminan Sosial yang berlaku secara nasional. Sistem Jaminan Sosial yang akan dibangun ini haruslah sifatnya adil dengan tingkat kepercayaan publikyang tinggi dan transparan dalam penyelenggaraannya.

Putusan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 menugaskan kepada Presiden untukmembentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu. Untuk itu

Page 89: ekonomi rakyat

Presiden mengambil inisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional. Presiden dengan Kepres No. 20 tahun 2002 membentuk Tim SJSN. Kepres ini didahului dengan Keputusan Sekretaris Wakil Presiden No. 7 Tahun 2001, semasa Ibu Presiden sebagai Wakil Presiden.

Saat ini Tim SJSN telah melakukan pembahasan yang cukup mendalam tentang substansi, kelembagaan, mekanisme dan program-program jaminan sosial. Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan dibangun bertumpu pada konsep asuransi sosial..

Substansi

Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan disusun adalah suatu sistem yang berdasarkan pada asas gotong royong melalui pengumpulan iuran dan dikelola melalui mekanisme asuransi sosial. Pelaksanaannya diatur oleh suatu Undang-Undang dan diterapkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan dan kemampuan ekonomi Nasional serta kemudahan rekruitmen dan pengumpulan iuran secara rutin.

Besarnya iuran ditetapkan berdasarkan prosentase tertentu dari pendapatan. Cakupan kepesertaan dilakukan secara bertahap dimulai dari kelompok masyarakat yang mampu mengiur dan secara bertahap diupayakan menjangkau sampai pada kelompok masyarakat yang rentan dan tidak mampu, dimama iuran sebagian atau sepenuhnya dibayarkan oleh pemerintah.

Karena Jaminan Sosial Nasional tersebut diwujudkan melalui mekanisme asuransi sosial maka manfaat yang akan diperoleh peserta tergantung pada besarnya iuran. Manfaat yang diberikan harus cukup berarti sehingga mendorong kepesertaan yang kebih besar dari waktu ke waktu.

Jaminan Sosial Nasional tersebut perlu diatur agar bersifat wajib untuk seluruh tenaga kerja, baik di sektor formal maupun informal, baik yang berpendapatan besar maupun kecil sehinggan dapat terwujud asas kegotong-royongan dan redistribusi pendapatan dari yang kaya ke yang miskin. Cakupan kepesertaan dilakukan secara bertahap dimulai dari kelompok masyarakat yang mampu mengiur dan secara bertahap diupayakan menjangkau sampai pada kelompok masyarakat yang rentan dan tidak mampu, dimana iuran sebagian atau sepenuhnya dibayarkan oleh pemerintah. Karena ada unsur wajib bagi semua pekerja tersebut maka diperlukan adanya Undang-Undang untuk mengaturnya. Namun, secara sukarela pekerja dapat mengikuti program lain dengan kontribusi yang lebih besar dan memperoleh manfaat yang lebih banyak pula (asuransi komersil).

Pengelolaan Jaminan Sosial Nasional menganut prinsip Wali Amanah, yang mewakili stakeholder dalam hal ini peserta/ pekerja, pembekerja, dan pemerintah pengumpulan dan pengelola iuran perlu ditunjang oleh keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas dan efisiensi. Penyelenggaraan dilakukan non-for-profit. Pengertian non-for-profit bukanlah berarti tidak perlu mengembangkan atau menginvestasikan dalam rangka meningkatkan akumulasi dana yang ada, tetapi hasil yang diperoleh nantinya akan dikembalikan atau dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta (merupakan going concern asuransi sosial).

Program-Program SJSN

Program-program pokok SJSN yang akan dikembangkan disesuaikan dengan konvensi ILO No. 102 tahun 1952 yang juga diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK), Program Jaminan Hari Tua (JHT), Program Pensiun, dan Program Santunan Kematian.

Mekanisme SJSN

Mekanisme penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional meliputi pengaturan kepesertaan, iura, santunan/ manfaat, dan investasi. Perluasan cakupan kepesertaan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kondisi ekonomi negara dan masyarakat, serta kemudahan dalam rekruitmen dan pengumpulannya secara rutin.

Besarnya iuran/ premi dihitung berdasarkan analisis aktuaria yang disesuaikan dengan programmanfaat yang akan diberikan, struktur dan trend demografi serta resiko yang dihadapi, ditetapkan dalam prosentase tertentu terhadap upah dengan mempertimbangkan kemampuan/ pendapatan penduduk. Iuran/ premi ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerjanya.

Pelayanan santunan dan klaim disesuaikan dengan besarnya iuran dan jenis program yang diikuti. Manfaat yang diberikan harus cukup berarti sehingga mendorong kepesertaan yang lebih besar dari waktu ke waktu.

Page 90: ekonomi rakyat

Dana iuran/ premi/ kontribusi peserta yang terkumpul perlu dikelola dan diawasi oleh suatu Dewan Wali Amanah (Board of Trustee) dan hanya digunakan untuk kepentingan pesertanya sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Sebagian dana yang terkumpul perlu diinvestasikan dan dikembangkan seaman mungkin. Karena prinsip “non-for-profit”, maka hasil investasi tersebut akan dikembalikan dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.

Untuk dapat menjamin efektifitas dan efisiensi penyelenggaraannya, diperlukan adanya dukungan Sistem Informasi Manajemen serta kemampuan Sumber Daya Manusia yang handal. Dalam pengelolaannya, perlu menerapkan “good corporate governance” (transparency, objectivity, accountibility, dan responsibility).

Kelembagaan

Dalam rangkan menjamin pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional diperlukan suatu lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menjabarkan Undang-undang SJSN, mengkoordinir, memonitor, dan mengawasi pelaksanaan program-program, pengelola dana dan investasi serta pemasyarakatan program Jaminan Sosial Nasional sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Lembaga ini berada langsung di bawah Presiden dibantu Dewan Menteri yang terkait dan beranggotakan wakil pemerintah, wakil pekerja, wakil pemberi kerja dan pakar di bidangnya.

Selama Undang-undang SJSN disiapkan maka lembaga-lembaga yang ada dapat melanjutkan kegiatannya, untuk kemudian setelah Undang-undang SJSN rampung dan dilaksanakan maka program-program yang sejalan dapat menyesuaikan dengan Undang-undang SJSN tersebut selama masa transisi yang akan ditetapkan. Tidak tertutup kemungkinan munculnya lembaga penyelenggaraan lain.

Penutup

Tim SJSN beranggotakan wakil dari berbagai instansi pemerintah, LSM dan Pakar. Konsep awal SJSN tersebut di atas juga telah menghimpun masukan dari beberapa serikat pekerja dan asosiasi pengusaha. Diharapkan masukan-masukan guna memperkaya konsep awal tersebut sebagai bahan penyusunan Naskah Akademik yang kemudian akan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Diharapkan RUU SJSN dapat dirampungkan sebelum bulan Desember 2002.

 

Prof. Dr. Yaumil Chairiah Agoes Achir, Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial SJSN Nasional, Deputi Sekretaris Wakil Presiden, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasionan (BKKBN)

Bayu Krisnamurthi

KRISIS MONETER INDONESIA DAN EKONOMI RAKYAT 

 

PADA setiap diskusi mengenai ekonomi rakyat, sangat sulit untuk tidak berusaha mendefinisikan yang dimaksud dengan ekonomi rakyat. Sayangnya, usaha pendefisnian tersebut banyak yang berakhir justru dengan perdebatan atas definisinya daripada esensi penguatan atau pemberdayaan ekonomi-rakyatnya sendiri. Padahal perdebatan mengenai definisi ekonomi rakyat sebenarnya tidak terlalu produktif, karena pada dasarnya hampir semua pihak telah sepaham mengenai pengertian apa yang dimaksud dengan “ekonomi rakyat” tanpa harus mendefinisikan (Krisnamurthi, 2001).  Namun guna memperoleh perspektif yang sama mengenai diskusi yang akan dilakukan berkaitan dengan judul diatas 1) maka makalah ini bermaksud untuk mendiskusi krisis moneter dalam konteks ekonomi rakyat: bagaimana posisi ekonomi rakyat ketika krisis ekonomi terjadi, apakah sebagai sebab atau penerima akibat; dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah kesalahan serupa terulang dimasa depan.  Oleh sebab itu tetap perlu dilakukan terlebih dahulu, penyampaian persepsi makalah ini atas ekonomi rakyat tanpa bermaksud untuk terlalu menekan pada usaha pendefinisian.

1) Sebenarnya, Panitia Seri Seminar ini hanya memberi judul “Krisis Moneter Indonesia”.  Penulis menambahkan merubah judul agar lebih terlihat konteksnya dikaitkan dengan ekonomi rakyat.

Page 91: ekonomi rakyat

Ekonomi rakyat adalah “kegiatan ekonomi rakyat banyak” (Krisnamurthi, 2001).  Jika dikaitkan dengan kegiatan pertanian, maka yang dimaksud dengan kegiatan ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi petani atau peternak atau nelayan kecil, petani gurem, petani tanpa tanah, nelayan tanpa perahu, dan sejenisnya; dan bukan perkebunan atau peternak besar atau MNC pertanian, dan sejenisnya.  Jika dikaitkan dengan kegiatan perdagangan, industri, dan jasa maka yang dimaksud adalah industri kecil, industri rumah tangga, pedagang kecil, eceran kecil,  sektor informal kota, lembaga keuangan mikro, dan sejenisnya; dan bukan industri besar, perbankan formal, konglomerat, dan sebagainya.  Pendeknya, dipahami bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi rakyat (banyak)” adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang banyak dengan skala kecil-kecil, dan bukan kegiatan ekonomi yang dikuasasi oleh beberapa orang dengan perusahaan dan skala besar, walaupun yang disebut terakhir pada hakekatnya adalah juga ‘rakyat’ Indonesia.

Perspektif lain dari ekonomi rakyat dapat pula dilihat dengan menggunakan perspektif jargon: “ekonomi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Krisnamurthi, 2000).  “Dari rakyat”, berarti kegiatan ekonomi itu berkaitan dengan penguasaan rakyat dan aksesibilitas rakyat terhadap sumberdaya ekonomi.  Rakyat menguasai dan memiliki hak atas sumberdaya untuuk mendukung kegiatan produktif dan konsumtifnya.  Dalam hal ini, sumberdaya ekonomi yang dimaksud adalah segala sumberdaya yang dapat digunakan untuk menjalankan penghidupan, baik sumberdaya alam, modal, tenaga kerja (termasuk tenaga kerjanya sendiri), ketrampilan, pengetahuan, juga sumberdaya sosial (kelompok, masyarakat) sumberdaya jaringan (‘network’), informasi, dan sebagainya. 

“Oleh rakyat”, berarti proses produksi dan konsumsi dilakukan dan diputuskan oleh rakyat.  Rakyat memiliki hak atas pengelolaan proses produktif dan konsumtif tersebut.  Berkaitan dengan sumberdaya (produktif dan konsumtif), rakyat memiliki alternatif untuk memilih dan menentukan sistem pemanfaatan, seperti berapa banyak jumlah yang harus dimanfaatkan, siapa yang memanfaatkan, bagaimana proses pemanfaatannya, bagaimana menjaga kelestarian bagi proses pemanfaatan berikutnya, dan sebagainya. “Untuk rakyat”, berarti rakyat banyak merupakan ‘beneficiaries utama dari setiap kegiatan produksi dan konsumsi.  Rakyat menerima manfaat, dan indikator kemantaatan paling utama adalah kepentingan rakyat. Dalam hal ini perlu pula dikemukakan bahwa ekonomi rakyat dapat berkaitan “dengan siapa saja”, dalam arti kegiatan transaksi dapat dilakukan juga dengan “non-ekonomi-rakyat”.  Juga tidak ada pembatasan mengenai besaran, jenis produk, sifat usaha, permodalan, dan sebagainya.  Ekonomi rakyat tidak eksklusif tetapi inklusif dan terbuka.  Walaupun demikian, sifat fundamental diatas telah pula menciptakan suatu sistem ekonomi yang terdiri dari pelaku ekonomi, mekanisme transaksi, norma dan kesepakatan (“rule of the game”) yang khas, yang umumnya telah memfasilitasi ekonomi rakyat untuk survive dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakatnya. Berdasarkan pemahaman diatas, maka ekonomi rakyat memiliki dimensi yang luas.  Dalam ekonomi rakyat, pelakunya melakukan kegiatan produksi dan konsumsi.  Mereka adalah orang-orang yang bekerja sendiri dan juga mereka yang bekerja menerima upah.  Mereka adalah kegiatan usaha formal (berijin usaha, seperti koperasi atau CV atau bentuk badan hukum lain) dan juga sangat banyak yang informal atau nono-formal. Umumnya mereka berskala mikro dan kecil tetapi juga terdapat beberapa yang berskala menengah. Mereka memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan dan tidak hanya tergantung pada pihak lain (apakah itu bank, pemilik saham, atau entitas lain).  Mereka bisa berada dalam kegiatan ekonomi tradisional tetapi juga tidak sedikit yang bergerak dalam sistem ekonomi modern. Mereka sebagian besar hanya beroperasi secara lokal, tetapi beberapa diantaranya juga memiliki kemampuan dan daya saing internasional yang handal. Mereka bisa melekat pada badan usaha pemerintah atau swasta. Dan yang terpenting adalah mereka berbasis pada manusia, keluarga, dan masyarakat; dari pada hanya sekedar angka-angka uang (modal) atau produk.

Dengan pemahaman diatas pula, dapat dinyatakan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya adalah berbasis ekonomi rakyat.  Ekonomi rakyat (banyak) mencakup 99 % dari total jumlah unit usaha (business entity), menyediakan sekitar 80 % kesempatan kerja, melakukan lebih dari 65 % kegiatan distribusi, dan melakukan kegiatan produksi bagi sekitar 55 % produk dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, 60 % diantaranya berada di daerah pedesaan, 65 % berusaha dibidang pertanian dan kegiatan lain yang terkait, dan menjadi basis dari 63 % konsumsi domestik, serta tersebar merata diseluruh wilayah Indonesia.  Hanya saja, ketimpangan distribusi aset produktif (formal) – yang sekitar 65 %-nya dikuasai oleh 1 % pelaku usaha terbesar – menyebabkan kontribusi nilai produksi (GDP) dan ekspor kegiatan ekonomi raktyat relatif lebih kecil.  Peran ekonomi rakyat juga teraktualisasi pada masa krisis multidimensi saat ini.  Jika memang disepakati bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2000 sebesar 4,5 % terutama disebabkan oleh tarikan konsumsi, baik konsumsi domestik maupun konsumsi asing (ekspor) – terutama karena kegiatan investasi dan pengeluaran pemerintah yang sangat terbatas – maka dapat diduga bahwa peran ekonomi rakyat sangat signifikan.  Hal ini tersebut didasari oleh argumentasi bahwa rumah tangga yang menggantungkan kehidupannya dari kegiatan ekonomi rakyat adalah konsumen terbesar, bahkan bagi produk yang dihasilkan kegiatan ekonomi besar.  Daya produktif

Page 92: ekonomi rakyat

kegiatan ekonomi rakyatlah yang mampu mendorong peningkatan konsumsi, termasuk terjaga maraknya berbagai kegiatan ‘masal’ dari ekonomi riil – seperti mudik Lebaran dan naik haji. Indikasi lain dapat pula ditunjukkan oleh peningkatan kegiatan (tabungan dan penyaluran kredit) hampir diseluruh lembaga keuangan mikro, peningkatan penjualan kendaraan bermotor roda dua, peningkatan jumlah berbagai produk pertanian, tetap hidupnya pasar-pasar tradisional pada saat krisis, dan sebagainya.

Namun demikian perspektif ‘dari, oleh, dan untuk rakyat” tersebut diatas juga mengetengahkan gambaran suram dari ekonomi rakyat di Indonesia. Penguasaan dan akses terhadap sumberdaya oleh rakyat (banyak) masih sangat banyak menghadapi masalah.  Perlindungan hukum atas usaha masih lemah, hak atas tanah masih menjadi sesuatu yang sangat didambakan, posisi rebut-tawar (bargaining position) dalam penguasaan sumberdaya hampir selalu berada pada titik yang terendah. Bahkan sumberdaya yang tadinya dikuasai oleh rakyat, dengan mudah berpindah tangan. Kisah konversi lahan pertanian produktif milik rakyat menjadi lapangan golf, real estate mewah, dan kawasan industri bagi MNC merupakan bentuk ketidak-berdayaan penguasaan sumberdaya oleh rakyat.  Sebaliknya saat lahan HPH yang telah digunduli dan tidak lagi produktif, “non-ekonomi-rakyat” meninggalkannya begitu saja sering kali justru dengan tinggalan masalah adanya konflik kepentingan diantara rakyat sendiri.  Perbandingan ketersediaan sumberdaya ‘publik’ seperti listrik, air, dan telpon yang tidak seimbang antara alokasi untuk bagi kegiatan ekonomi rakyat dan non-ekonomi rakyat, juga menggambarkan situasi suram aspek “dari rakyat” tersebut.

Rakyat juga sering dibatasi kemampuannya untuk mengambil keputusan. Infrastruktur fisik dan kelembagaan yang dibangun cenderung mengarah pada penyeragaman proses pengambilan keputusan yang dirancang tidak oleh rakyat sendiri. Infrastruktur irigasi yang hanya memfasilitasi teknologi lahan sawah, misalnya, telah membatasi kemampuan petani mengembangka usahataninya. Tidak ada infrastruktur irigasi yang dirancang untuk memfasilitasi petani mengembangkan hortikultura atau peternakan.  Kelembagaan koperasi yang diseragamkan menjadi KUD, atau hilangnya kelembagaan panen tradisional, atau hilangnya kelembagaan lumbung desa, semua akibat introduksi teknologi dan kelembagaan serba seragam, serta sistem keuangan yang “memaksa” rakyat menerima sistem yang mensyaratkan berbagai hal tidak sesuai dengan kondisi naturalnya, juga merupakan fakta-fakta lain yang menunjukkan kemampuan “oleh-rakyat” menjadi sangat terbatas.  Rakyat juga memiliki akses yang sangat terbatas terhadap informasi dan teknologi, yang pada gilirannya membuat kemampuan pengambilan keputusan menjadi jauh lebih terbatas. Aspek “untuk rakyat” menghadapi situasi yang lebih jauh tertinggal.  Melalui sistem perbankan yang terpusat, selama 30 tahun dana yang disedot dari pedesaan 2,5 kali lebih besar dari dana yang disalurkan kembali ke pedesaan.  Kontribusi pertanian dalam bentuk pangan yang murah dan tenaga kerja yang lebih terdidik, merupakan manfaat yang dirasakan oleh kegiatan-kegiatan “non-ekonomi-rakyat” sebagia bagian dari strategi “keunggulan komparatif” berbasis tenaga kerja murah. Mungkin tidak sekejam tanam paksa, tetapi pengembangan kegiatan ekonomi berbasis buruh murah telah berjalan lama sejak penjajahan hingga kini. Kemampuan sektor informal kota dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan sistem distribusi kebutuhan pokok dengan murah dan efisien telah pula menjadi manfaat besar bagi “non-ekonomi-rakyat” dalam mengembangkan sistem kerja yang tidak memihak pada buruhnya.

Intinya, terdapat ketidak-adilan dalam pengembangan ekonomi.  Non-ekonomi-rakyat telah mendapat banyak kemudahan dan dukungan, karena dipandang lebih sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Kemudahan dan dukungan tersebut kemudian  Kelompok “non-ekonomi-rakyat” telah banyak mendapat dukungan dari elite pemerintah, dan telah mengembangkan ketergantungannya pada kelompok tersebut sehingga menjadi kelompok “elite penguasa-pengusaha”.  Dalam hal ini kelompok “non-ekonomi-rakyat” menjadi rentan terhadap perubahan yang terjadi pada elite penguasa tersebut.  Pada saat yang sama sistem pengembangan yang penuh dengan “dukungan yang distortif” telah tersebut telah menjadikan “non-ekonomi-rakyat” menjadi lebih terkait dengan ekonomi global.  Keterkaitan dengan pasar dunia, baik pasar barang, pasar uang, dan pasar modal; telah menyebabkan kegiatan “non-ekonomi-pasar” menjadi kegiatan dengan “banyak pengambil keputusan” dalam dunia yang tidak berbatas dan masih rentan.  Sebaliknya, “ekonomi rakyat” yang tidak mendapat kesempatan untuk itu, memang mengalami sangat banyak kesulitan untuk berkembang dan memberi kesejahteraan bagi pelakunya. Dukungan yang relatif kecil dari pemerintah-penguasa telah menjadikan pelaku ekonomi rakyat tidak sangat tergantung pada kondisi elite.  Kondisi yang “terbatas” terhadap akses ke pasar global juga sekaligus memberi ‘kekebalan’ kepada ekonomi rakyat untuk tidak mudah terpengaruh atas kondisi yang terjadi didunia internasional, atau bahkan yang terjadi secara nasional.   Hal inilah yang kemudian menjadi preposisi dasar dalam melihat posisi ekonomi rakyat dalam krisis moneter yang belum lama terjadi dan masih terasa hingga saat ini.

Sebelum membahas krisis moneternya sendiri, ada baiknya disampaikan dahulu perspektif struktur kelembagaan ekonomi Indonesia pada saat krisis akan terjadi 2) seperti dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Page 93: ekonomi rakyat

2) Struktur kelembagaan ekonomi tersebut sebenarnya hingga saat ini masih belum banyak berubah (diubah), walaupun struktur yang demikian itulah krisis ekonomi Indonesia menjadi begitu parah dan sulit diselesaikan.

           

Gambar diatas secara skematik menunjukkan bahwa ekonomi rakyat dalam perspektif seperti Indonesia juga terdapat dinegara-negara lain.  De Soto (2000) menjelaskan bahwa dibanyak negara, ekonomi rakyat yang ‘berbeda’ sistem dan mekanismenya dengan ekonomi berbasis kapital yang dikenal oleh ‘masyarakat barat’ merupakan basis kegiatan ekonomi negara yang bersangkutan.  Demikian pula dengan “non-ekonomi-rakyat” yang dapat diidentifikasikan sebagai kelompok kapital global.

Tanpa bermaksud membatasi aktivitas ekonomi dalam dimensi ruang yang kaku, Gambar 1 menunjukkan bahwa

(1)     Arus moneter (uang tunai dan modal) dari kegiatan ekonomi rakyat ke kegiatan ‘non-ekonomi-rakyat’ memiliki volume yang jauh lebih besar dari pada arus sebaliknya.  Hal ini terjadi melalui sistem perbankan, penyedian pangan murah, penyediaan buruh murah, penyediaan lahan/property murah, dan posisi ekonomi rakyat yang menjadi pasar bagi produk dan jasa.  Kondisi tersebut berlangsung akibat dominasi paduan pengusaha-penguasa, sistem legal-formal yang “bias-against” ekonomi rakyat, dan kemampuan menguasai informasi sebagai sarana untuk promosi.  Singkatnya, ekonomi rakyat telah mensubsidi ‘non-ekonomi-rakyat’ dan terjadi fenomena “double squeezed economy” melalui penyediaan sumberdaya oleh rakyat dan rakyat dijadikan pasar.

(2)     Hubungan antara “non-ekonomi rakyat” lokal dengan kapitalisme global juga merupakan hubungan yang timpang.  Pada tahun 1990-an, kapitalisme global tengah berbenah diri untuk menghadapi abad yang baru yang ditandai oleh dua fenomena besar, yaitu WTO dan mata uang Euro (Soros, 1998). Dan hal ini membuat mereka sedang berada pada situasi yang rentan. Sebagai usaha mengantisipasi hal tersebut modal besar dari para kapitalis global tersebut dialirkan ke kegiatan ekonomi yang dianggap paling menjanjikan, yaitu Asia. Akibatnya modal, dalam bentuk hutang, mengalir “door-to-door” dengan derasnya, baik dalam bentuk modal tunai, tawaran saham dan investasi, maupun aliran input produksi, barang konsumsi, teknologi, bahkan tenaga kerja.  Dalam lingkup domestikpun hutang modal dan hutang konsumsi juga mengalir kesana kemari dengan sangat cepat dan dalam jumlah yang sangat besar.  Sebaliknya, penggunaan (utilization) dari modal tersebut belum berjalan dengan baik, karena sebagian dari proses relokasi industri baru berjalan pada tahap awal.

(3)     Aliran moneter dari kapitalme global ke ekonomi rakyat Indonesia relatif kecil.  Hal ini terutama karena kerangka kelembagaannya tidak berkesesuaian (not-compatible).  Kalaupun ada, hanya dalam bentuk dana-dana pinjaman lunak pemerintah yang banyak kembali ke “negara donor” atau bocor ditengah jalan dari pada diterima oleh ekonomi rakyat.

(4)     Hubungan ekonomi rakyat Indonesia dengan ekonomi rakyat di negara lain juga berjalan lambat dan tersendat, terutama karena infrastruktur dan institusi perdagangan modern memang dikuasai oleh para pelaku “non-ekonomi-rakyat”.  Hubungan Selatan-Selatan atau diantara negara-negara Non-Blok secara

Page 94: ekonomi rakyat

langsung hampir selalu lebih mahal dibandingkan dengan menggunakan ‘jasa’ negara ketiga yang mampu menyediakan layanan infrastruktur perdagangan secara lebih efisien (Isaak, 1995).

Dalam format seperti diataslah situasi ekonomi saat krisis moneter melanda Indonesia.  Krisis moneter yang diawali oleh krisis nilai tukar tersebut sebenarnya telah lama diperkirakan dan telah diduga meningkat peluangnya saat pergantian abad (lihat Soros, 1998, Giddens, 1998, atau Ormerod, 1994, atau bahkan Marx (1849) dalam Magnis-Suseno, 1999).  Ketika nilai tukar jatuh, maka “non-ekonomi-rakyat” di Indonesia langsung terpukul telak oleh dua hal yang sangat ‘mematikan’: membengkaknya nilai hutang dolar dalam rupiah dan mahalnya biaya produksi yang selama ini berbasis input impor.  Perusahaan-perusahaan tidak dapat lagi menunjukkan kinerja keuangan yang sehat, tidak dapat mengembalikan hutang, dan pada gilirannya menghancurkan sistem perbankan.

Sampai pada tahap ini ekonomi rakyat masih belum merasakan dampak negatif yang terlalu besar dari krisis moneter.  Bahkan banyak diantaranya yang mendapat ‘rejeki dolar’ karena harga produk yang dihasilkannya melonjak tinggi sejalan dengan peningkatan nilai dolar, seperti yang dirasakan para petani coklat dan para pengrajin yang memiliki konsumen di luar negeri. Hal tersebut terutama juga karena struktur kelembagaan yang diuraikan diatas.  Lemahnya keterkaitan ekonomi rakyat dengan kapitalisme global yang menjadi  sumber dari krisis moneter tersebut, telah menjadi ‘blessing in disguised’ bagi ekonomi rakyat.  

Namun ketika krisis moneter berlanjut menjadi krisis ekonomi (pertumbuhan ekonomi menurun, inflasi meninggi, banyaknya pegawai di PHK, meningginya harga pangan impor, pengurangan subsidi BBM, dan sebagainya) maka ekonomi rakyat mengalami tekanan yang semakin berat.  Pada tahap inipun sebenarnya daya ‘survival’ ekonomi rakyat sangat tinggi.  Dengan cepat terjadi perubahan-perubahan yang mendasar.  Produk yang diimpor diganti dengan produk lokal atau produk impor yanglebih murah (fenomena motor Cina atau maraknya produk elektronik lokal dan impor yang “mereknya tidak dikenal sebelumnya”).

Tekanan menjadi semakin berat lagi setelah krisis ekonomi juga memicu krisis sosial politik dan keamanan, serta serangkaian pilihan kebijakan dalam usaha untuk mengatasi krisis yang justru menempatkan ekonomi rakyat sebagai pihak yang dikorbankan.  Perbankan dan ‘non-ekonomi-rakyat’ yang notabene menjadi penyebab krisis berusaha ‘diselamatkan’ dengan menggunakan dana trilyunan rupiah dari sumberdaya negara yang telah sangat terbatas, sebaliknya kegiatan ekonomi rakyat seolah ditinggalkan. Mencari hutang baru dan menerapkan sistem legal-formal-konvensional seperti menjadi hal yang dipaksakan harus ada, padahal kedua hal itu justru telah menunjukkan kemampuan menghadapi tekanan eksternal yang berat.  Sebaliknya sistem ekonomi rakyat yang nyata-nyata telah mampu bertahan bahkan telah lebih berkembang selama krisis justru tidak diabaikan.  Dalam kondisi rawan keamananpun, kegiatan ekonomi rakyat juga menjadi kegiatan yang paling rentan dan menderita, saat elite politik berdebat saling mengkritik dan membangun perbedaan pendapat. 

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa ekonomi rakyat merupakan korban dari krisis moneter yang terjadi belum lama ini, terutama akibat timbulnya berbagai masalah setelah krisis terjadi (bukan oleh krisis moneter itu sendiri) dan akibat pilihan kebijakan yang diterapkan sebagai usaha mengatasi krisis.  Oleh karenanya, yang harus dilakukan terutama adalah untuk merubah pendekatan kebijakan yang tidak memihak kepada ekonomi rakyat.  Atau setidaknya yang perlu dikembangkan kebijakan yang ‘not-against’ atau netral terhadap ekonomi rakyat.  Beberapa koreksi yang perlu dilakukan, karena selama ini kebijakan ekonomi sering kali membawa ciri-ciri sebagai berikut (Krisnamurthi, 2001):

a.       Pertimbangan dalam penetapan kebijakan tersebut seringkali memang tidak atas dasar kepentingan kegiatan ekonomi rakyat.  Misalnya, pembentukan tingkat bunga melalui berbagai instrumen moneter lebih didasarkan pada kepentingan ‘balance of payment’ dan penyehatan perbankan; atau dilihat dari pemanfaatan cadangan pemerintah yang sangat besar bagi rekapitalisasi bank, padahal bank tidak (dapat) melayani kegiatan ekonomi rakyat; atau penetapan kebijakan perbankan sendiri yang penuh persyarakatan yang tidak sesuai dengan kondisi objektif ekonomi rakyat, padahal mereka adalah pemilik-suara (voter) terbanyak yang memilih pada pembuat keputusan.  Dalam hal ini, mengingat lamanya pengaruh lembaga internasional (WB, IMF, dll) patut pula diduga bahwa perancangan pola kebijakan tersebut juga membawa kepentingan internasional tersebut.  Demikian juga, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah juga telah mengindikasikan pertimbangan yang tidak berorientasi ekonomi rakyat.  Otonomi seharusnya juga berarti perubahan

b.       Kebijakan pengembangan yang dilakukan lebih banyak bersifat regulatif dan merupakan bentuk intervensi terhadap kegiatan yang telah dilakukan oleh ekonomi rakyat.  Inovasi dan kreativitas ekonomi rakyat, terutama dalam mengatasi berbagai kelemahan dan keterbatasan yang dihadapi, sangat tinggi.  Namun banyak kasus yang menunjukkan bahwa kebijakan yang dikembangkan lebih banyak membawa norma dan pemahaman dari “luar” dari pada mengakomodasi apa yang sudah teruji berkembang dalam masyarakat. 

Page 95: ekonomi rakyat

Posisi lembaga keuangan mikro dalam sistem keuangan nasional merupakan salah satu contoh terdepan dalam permasalahan ini.

c.       Kebijakan pengembangan yang dilakukan cenderung bersifat ‘ad-hoc’ dan parsial. Banyaknya kebijakan yang dilakukan oleh banyak pihak sering kali bersifat kontra produktif.  Seorang Camat atau kepala desa atau kelompok masyarakat misalnya, sering kali harus menerima limpahan pelaksanaan ‘tugas’ hingga 10 atau 15 program dalam waktu yang bersamaan, dari berbagai instansi yang berbeda dan dengan metode dan ketentuan yang berbeda.  Tumpang tindih tidak dapat dihindari, pengulangan sering terjadi tetapi pada saat yang bersamaan banyak aspek yang dibutuhkan justru tidak dilayani.

d.       Mekanisme penghantaran kebijakan (delevery mechanism) yang tidak apresiatif juga merupakan faktor penentu keberhasilan kebijakan.  Kemelut Kredit Usaha Tani (KUT) merupakan contoh kongkrit dari masalah mekanisme penghantaran tersebut.  Demikian pula sikap birokrasi yang ‘memerintah’, merasa lebih tahu, dan ‘minta dilayani’ merupakan permasalahan lain dalam implementasi kebijakan. Sikap tersebut sering kali jauh lebih menentukan efektivitas kebijakan.

e.       Banyak kebijakan yang bersifat ‘mikro’, padahal yang lebih dibutuhkan oleh ekonomi rakyat adalah kebijakan makro yang kondusif.  Dalam hal ini, tingkat bunga yang kompetitif, alokasi kebijakan fiskal yang lebih seimbang sesuai dengan porsi pelaku ekonomi, dan kebijakan nilai tukar, disertai berbagai kebijakan pengaturan (regulative policy) tampaknya masih jauh dari harapan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Perbaikan atas pola kebijakan tersebut diatas harus segera dilakukan. Jika tidak, peluang untuk keluar dari krisis akan semakin kecil, bahkan akan terbuka kembali peluang terjadinya krisis berikutnya yang sangat mungkin akan lebih luas dampaknya bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat.  Jika memang belum dapat dilakukan kebijakan yang mendukung ekonomi rakyat, atau juga masih kesulitan untuk membuat kebijakan yang netral terhadap ekonomi rakyat, minimal jangan buat kebijakan yang merugikan ekonomi rakyat, atau jangan buat kebijakan apapun dan biarkan ekonomi rakyat berkembang dengan kemampuannya sendiri.  Yakinlah, rakyat Indonesia mampu melakukan hal itu.-

Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi: Direktur Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor (IPB)

Makalah disampaikan dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Krisis Moneter Indonesia, Jakarta, 9 April 2002

 

PUSTAKA

1.             De Soto, Hernando.  2001.  The Missing Ingredient.  CIDA Forum on Knowledge and Information.  (www.idrc.ca/library/forum/desoto.html)

2.             De Soto, Hernando. 2000. The Mystery of Capital, Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else. Basic Books, New York.

3.             Giddens, Anthony.  1998.  The Third Way, The Renewal of Society Democracy.  Blackwell Publisher. MA.

4.             Krisnamurthi, Bayu.  2001.  Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Mencari Format Kebijakan Optimal. Makalah pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat : Strategi Revitalisasi Perekonomian Indonesia. CSIS- Bina Swadaya, Jakarta 21 Februari 2001; telah pula dipublikasikan dalam Jurnal Ekonomi Rakyat (online, www.ekonomi-rakyat.org)

5.             Krisnamurthi, Bayu. 2000.  Ekonomi Rakyat dan Pengelolaan Sumberdaya Pantai dan Laut.  Makalah pada Lokakarya Pengelolaan Sumberdaya Pantai dan Laut, Departemen Kehutanan dan Perkebunan.  Jakarta, Nopember 2000.

6.             Ormerod, Paul. 1994.  The Death of Economics.  Cambridge University Press. London.

7.             Magis-Suseno, Franz.  1999.  Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.  PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

8.             Soros, George. 1998.  The Crisis of Global Capitalism.  Open Society Endangered.  Little Brown Company. London.

 

Page 96: ekonomi rakyat

Frans Seda

KRISIS MONETER INDONESIA 

 

KRISIS moneter Indonesia disebabkan oleh dan berawal dari kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 untuk mengambangkan mata uang Thailand “Bath” terhadap Dollar US. Selama itu mata uang Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap. Devaluasi mendadak dari “Bath” ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata uang Negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini.

Indonesia, yang mengikuti sistim mengambang terkendali, pada awalnya bertahan dengan memperluas “band” pengendalian/intervensi, namun di medio bulan Agustus 1997 itu terpaksa melepaskan pengendalian/intervensi melalui sistim “band” tersebut. Rupiah langsung terdevaluasi. Dalam bulan September/Oktober 1997, Rupiah telah terdevaluasi dengan 30% sejak bulan Juli 1997. Dan di bulan Juli 1998 dalam setahun, Rupiah sudah terdevaluasi dengan 90%, diikuti oleh kemerosotan IHSG di pasar modal Jakarta  dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi.  Di tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi –13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% di tahun sebelumnya (1997). Atau jatuh dengan 18,6% dalam setahun.

Sampai sekarang, sudah lima tahun, pemulihan pertumbuhan ekonomi belum mencapai tingkat pra-krisis (tahun 1996/97). 

Mengapa?

Selama dekade sebelum krisis, Ekonomi Indonesia bertumbuh sangat pesat.  Pendapatan per kapita meningkat menjadi 2x lipat antara 1990 dan 1997.  Perkembangan ini didukung oleh suatu kebijakan moneter yang stabil, dengan tingkat inflasi dan bunga yang rendah, dengan tingkat perkembangan nilai tukar mata uang yang terkendali rendah, dengan APBN yang Berimbang, kebijakan Ekspor yang terdiversifikasi (tidak saja tergantung pada Migas), dengan kebijakan Neraca Modal yang liberal, baik bagi modal yang masuk maupun yang keluar. Kesuksesan ini menimbulkan di satu pihak suatu optimisme yang luar biasa dan di lain pihak keteledoran yang tidak tanggung-tanggung.  Suatu optimisme yang mendorong kebijakan-kebijakan ekonomi dan tingkat laku para pelaku ekonomi dalam dan luar negeri, sepertinya lepas kendali. Kesuksesan Pembangunan Ekonomi Indonesia demikian memukau para kreditor luar negeri yang menyediakan kredit tanpa batas dan juga tanpa meneliti proyek-proyek yang diberi kredit itu.  Keteledoran ini juga terjadi dalam negeri. Dimana kegiatan-kegiatan ekonomi dan para pelakunya berlangsung tanpa pengawasan dan tidak dilihat “cost benefit” secara cermat.  Kredit jangka pendek diinvestasikan ke dalam proyek-proyek jangka panjang. Didorong oleh optimisme dan keteledoran ini ekonomi didorong bertumbuh diatas kemampuannya sendiri (“bubble economics”), sehingga waktu datang tekanan-tekanan moneter, Pertumbuhan itu ambruk!

Sementara itu terjadi pula suatu perombakan yang drastis dalam strategi Pembangunan Ekonomi. Pembangunan Ekonomi yang selama ini adalah “State” dan “Government-led” beralih menjadi “led by private initiatives and market”.  Hutang Pemerintah/Resmi/Negara turun dari USD. 80 milyar menjadi USD. 50 milyar di akhir tahun 1996, sementara Hutang Swasta membumbung dengan cepatnya. Jika di tahun 1996 Hutang Swasta masih berada pada tingkat USD. 15 milyar, maka di akhir tahun 1996 sudah meningkat menjadi antara USD. 65 milyar – USD. 75 milyar.

Proses Swastanisasi/Privatisasi dari pelaku utama Pembangunan berlangsung melalui proses liberalisasi dengan mekanisme Deregulasi diliputi visi dan semangat liberal. Dalam waktu sangat singkat bertebaran bank-bank Swasta di seluruh tanah air dan bertaburan Korporasi-Korporasi Swasta yang memperoleh fasilitas-fasilitas tak terbatas. Proses Swastanisasi ini berlangsung tanpa kendali dan penuh KKN. Maka ketika diserang krisis mata uang, sikonnya  belum siap dan masih penuh kerapuhan-kerapuhan, terlebih dunia Perbankan dan Korporasi. Maka runtuhlah bangunan modern dalam tubuh Ekonomi Bangsa. Dan kerapuhan ini ternyata adalah sangat mendalam dan meluas, sehingga tindakan-tindakan penyehatan-penyehatan seperti injeksi modal oleh Pemerintah, upaya-upaya rekapitalisasi, restrukturisasi Perbankan dan Korporasi-Korporasi sepertinya tidak mempan selama dan sesudah 5 tahun ini. Sektor Finansial dan Korporasi masih tetap terpuruk.  Rapuhnya sektor-sektor modern ini adalah dalam hal organisasi, manajemen, dan mental orang-orang/para pelakunya, dalam hal bisnis serta akhlak dan moral. Suatu kerapuhan total dan secara institusional pula!

Page 97: ekonomi rakyat

Apa implikasi dari runtuhnya sektor modern dari bangunan ekonomi kita ini? Peningkatan Pengangguran, Peningkatan Kemiskinan dan Hutang Nasional. Dan hal-hal ini langsung mengena pada nasib ekonomi Rakyat kita. 

Namun akibat-akibat negatif ini dihadapi rakyat banyak dengan suatu Resistensi dan Kreativitas Ekonomi yang militan. Sektor tradisional yang selama ini dianggap sebagai sektor yang tidak penting/prioritas, malahan dianggap sebagai penghambat dari pertumbuhan Ekonomi, bukan saja menampung reruntuhan-reruntuhan dari ambruknya sektor modern,  namun juga memainkan peran sebagai pengganti dari peranan sektor modern yang ambruk itu. Dan yang mengesankan adalah peran dari asas kekeluargaan. Mereka yang di-PHK-kan ditampung dalam sektor tradisional dan sektor informal dan merupakan bagian dari Resistensi Ekonomi Rakyat dalam krisis ini.

Maka para pakar/pengamat yang selama ini meragukan berfungsinya asas kekeluargaan seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD-45, itu perlu “pulang kampung” untuk melihat dan mengalami bahwa asas kekeluargaan itu betul-betul hidup di kalangan masyarakat dan sungguh-sungguh merupakan asas solidaritas yang berfungsi dalam kehidupan ekonomi rakyat.

Resistensi, kreativitas ekonomi rakyat, produktivitas sektor tradisional dan berfungsinya asas kekeluargaan, merupakan kekuatan ekonomi yang riil yang telah mampu menahan kemerosotan ekonomi yang disebabkan oleh krisis itu, dan malahan telah mampu pula mengangkat pertumbuhan ekonomi kembali pada permukaan pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan +13,7% dengan tercapainya tingkat +0% di tahun 1999, dilanjutkan dengan pertumbuhan +4,8% di tahun 2000, yang hampir sama dengan pertumbuhan ekonomi pra krisis (1997, +4,9%). Tentu tidak semuanya oleh Ekonomi Rakyat. Dalam bahasa resmi Ekonomi, pemulihan ekonomi selama 2 tahun itu disebabkan oleh peningkatan ekspor (non Migas), oleh investasi dan konsumsi. Dalam hal ekspor dan konsumsi, peranan ekonomi Rakyat adalah menonjol. Dalam hal ekspor, cukup berperan ekspor hasil Perkebunan rakyat, sehingga di Manado yang unggul dalam hal cengkeh itu – “dia orang bilang, di Jakarta resesi, di Manado resepsi, no!”.  Juga dalam hal konsumsi yang kecuali dipenuhi oleh import, juga oleh produksi dalam negeri, hasil kegiatan rakyat.

Masalahnya adalah mengapa ekonomi Nasional jatuhnya begitu dalam, dalam setahun, tetapi juga dapat cepat pulih dalam 2 tahun berikutnya. Jatuhnya demikian dalam di tahun 1998, menunjukkan betapa rapuhnya dan paniknya  sektor Finansial dan Korporasi, alias sektor modern dari bangunan ekonomi kita. Dan seperti telah dikatakan, begitu rapuhnya sehingga dengan segala “inset” dari modal, energi dan konsentrasi sampai sekarang sektor ini belum dapat berfungsi kembali normal.  Dan cepat kembalinya pemulihan ekonomi selama dua tahun berikutnya dikatakan adalah berkat ekonomi Rakyat. Apakah hanya karena itu saja? Tentu tidak hanya itu saja. Faktor kepercayaan pada programa ekonomi Pemerintah dalam kerjasama dengan IMF dan hilangnya panik ekonomi turut bermain peran.   Namun secara riil, peran ekonomi Rakyat seperti yang telah digambarkan itu memang besar!

Tetapi antara ekonomi Rakyat/Ekonomi Tradisional dan Ekonomi Modern tidak perlu diadakan dikhotomi.  “Dual economy” nya Prof. Boeke, adalah suatu kenyataan dan merupakan dua kekuatan ekonomi yang perlu diintegrasikan menjadi sokoguru dari bangunan ekonomi Nasional yang modern.

Krisis Ekonomi yang kita alami dewasa ini menunjukkan bahwa keserakahan sektor modern akan kredit, fasilitas dan perluasan kegiatan, dan kurang adanya Pengawasan, adanya KKN, itulah yang telah menjerumuskan Ekonomi bangsa ke dalam keterpurukan yang berkelanjutan ini.

Disebabkan oleh Politik Isolasi Nasional dan menumpuknya Defisit APBN dari tahun ke tahun sedari tahun 50-an dan selama penggalan pertama tahun 1960-an, maka di tahun 1965-66 terjadi suatu krisis ekonomi Nasional yang merisaukan, yang telah menumbangkan ORDE LAMA (Demokrasi Terpimpin) dan dibentuknya ORDE BARU.

Pemerintah/Negara mengambil peran untuk keluar dari krisis tersebut, malahan melanjutkan perannya sebagai Pelaku Utama Pembangunan sesudah krisis itu. Sehingga Pembangunan selama itu disebut “Government/State led development”. Hal ini terjadi bukan karena ideology (Sosialisme) melainkan karena kondisi pragmatis, dimana pada waktu itu tidak ada perusahaan Swasta, dan kalau ada berada dalam kondisi sangat lemah.

Dibawah Pimpinan Negara/Pemerintah, maka Pembangunan dan peningkatan pendapatan Nasional dan per kapita maju pesat.  Jika era Demokrasi Terpimpin sebelumnya adalah era dimana Politik menjadi Panglima (upaya pembentukan dari suatu Sistim Politik Nasional) maka era ORBA dapat dinamakan sebagai era dimana Ekonomi menjadi Panglima (dan upaya-upaya untuk membentuk suatu Sistim Ekonomi Nasional).

Page 98: ekonomi rakyat

Di tahun 1980-an, didesak oleh kebutuhan akan modal, efisiensi, dan teknologi yang lebih meningkat untuk menjaga agar Pembangunan Ekonomi berkelanjutan mantap meningkat, dan di bawah pengaruh globalisasi, maka terjadi proses Swastanisasi dari Pembangunan. Proses tersebut ditandai oleh suatu proses Liberalisasi dan mekanismenya adalah Deregulasi/Ekonomi.

Masalahnya adalah mengapa pada waktu itu proses Deregulasi tidak diarahkan langsung kepada Ekonomi Rakyat. Ada keraguan di kalangan Pemerintah pada waktu itu terhadap kemampuan Ekonomi Rakyat sebagai penggerak utama dari roda Pembangunan.

Ekonomi Rakyat masih perlu diberdayakan, dan pemberdayaan itu dilakukan melalui “link and match” dengan sektor Swasta.  Melalui pemberdayaan sektor Swasta maka diharapkan/dianggap Ekonomi Rakyat akan pula dapat diberdayakan. Jika Pembangunan selama ini adalah “top down” maka proses ini tidak langsung beralih ke sistim “bottom up”, namun melalui sistim (peng)antara “middle down” dan “middle up”. Kita tahu apa yang telah terjadi. Bukan proses “memberdayakan”, melainkan proses “memperdayakan”.  “Up” dan “down” diperdayakan oleh si “middle”. Maka terjadilah krisis ekonomi yang berkelanjutan ini.

Masalahnya sekarang adalah, apakah dalam kondisi krisis dewasa ini, sudah tiba waktunya kita beralih ke Ekonomi Rakyat, melihat peran ekonomi rakyat selama krisis ini seperti yang telah diuraikan itu. Memang ideal, jika bisa begitu. Namun sesuatu yang ideal, tidak lalu harus diidealisasikan, Makna dari suatu ideal adalah  bukan sekedar pada idealismenya, namun pada kemampuan untuk merealisasikan apa yang dianggap ideal itu. 

Telah dikemukakan bahwa kemampuan Resistensi Ekonomi Rakyat adalah pada tingkat “subsistence economy”. Ekonomi Rakyat adalah pula ekonomi “from hand to mouth”. Apa yang dihasilkan, dihabiskan! Tidak ada kelebihan untuk melanjutkan dan mendinamisasikan kegiatan. Jika hal itu diperlukan maka dilaksanakan melalui hutang. Sebab itu peran “lintah darat” besar dalam ekonomi Rakyat.

Ini semua dikemukakan tidak dengan maksud untuk memojokkan ekonomi Rakyat, namun untuk mengungkapkan kenyataan yang dihadapi yang perlu diperbaiki agar tugas Nasional yang diserahkan kepada Ekonomi Rakyat dapat terlaksana dengan baik dan penuh prospek dan perspektif.  Apa tugas Nasional itu? Mengatasi Pengangguran, mengatasi Kemiskinan, mengatasi Hutang. Ketiga target ini memang mengena pada kepentingan ekonomi Rakyat! Suatu tantangan bagi ekonomi Rakyat! Menghadapi tugas besar/tugas nasional ini, para pelaku ekonomi Rakyat perlu di”upgrade”.

Disamping tugas besar Nasional yang berjangka itu, ada pula tugas Nasional yang mendesak!  Dewasa ini, terlebih sesudah kejadian 11 September 2001 di Amerika Serikat, kita mengalami kemerosotan investasi dan eksport termasuk Pariwisata. Dalam bahasa ekonominya adalah bahwa kita mengalami kemerosotan dari “external demand”. Kondisi ini perlu diimbangi dengan menciptakan/mengaktifkan “domestic demand” yakni “demand” akan investasi dan konsumsi. Potensi untuk itu ada di dalam Negeri karena masih cukup pendapatan dalam negeri dan simpanan dalam negeri yang tersembunyi dan terpendam. Memang ada pendapatan dan simpanan dalam negeri yang lari keluar, tetapi sebagian besar masih “berkeliaran” di dalam negeri. Mereka tidak menjadi efektif (“effective demand”) antara lain karena ketidakpastian hukum dan keamanan. Maka dari itu programa hukum dan kesesuaian harus menunjukkan prioritas bagi   Pemerintah .  (Hukum dan keamanan ini juga dituntut oleh para investor asing!). Penciptaan dari “domestic demand” ini mungkin, karena pasar dalam negeri yang besar dan luas. Nah, dalam kontekst ini peran ekonomi Rakyat dapat difokuskan, di”upgrade” dan ditingkatkan.

Hanya jangan dikira jika semua rakyat sudah menjadi Subyek Ekonomi, maka dengan sendirinya Kesejahteraan Rakyat tercapai.  Seperti halnya dalam bidang moral dan agama. Jangan disangka jika setiap anggota masyarakat itu bermoral tinggi dan sungguh-sungguh menghayati agamanya, maka masyarakat dengan sendirinya bermoral dan beragama.  Diperlukan suatu Institusi dan pendekatan secara Institusional.

Selama ini kita telah bicara banyak mengenai Ekonomi Rakyat dan Ekonomi Kerakyatan. Apa itu?  Ekonomi Rakyat mempunyai dua aspek integral. Aspek orientasi kepada kepentingan rakyat banyak dan aspek rakyat sebagai Subyek dalam Ekonomi Negara.  Dalam hal Ekonomi Kerakyatan maka jelas orientasinya pada kepentingan ekonomi Rakyat banyak, namun tidak selamanya rakyat harus menjadi Subyek Ekonomi. Dalam hal Ekonomi Rakyat, maka baik orientasi pada kepentingan dalam ekonomi, maupun Subyek dalam ekonomi adalah rakyat. Hanya seperti telah diuraikan itu, perlu diingat, bahwa kalaupun Rakyat sudah menjadi Subyek Ekonomi, maka tidak dengan sendirinya kesejahteraan Nasional tercapai. Sebab kesejahteraan Nasional bukanlah somasi/jumlah dari kepentingan masing-masing rakyat. Diperlukan suatu Institusi yang mengarahkan kepada kepentingan rakyat dan kesejahteraan Nasional. Diharapkan bahwa Institusi yang demikian itu adalah antara lain Pemerintah dan Parlemen.

Page 99: ekonomi rakyat

Rakyat sebagai Subyek Ekonomi seperti halnya dengan Korporasi-Korporasi besar/maju, memerlukan perlindungan/kepastian Hukum dan iklim usaha, memerlukan akses ke modal, teknologi dan Pasar. Hal-hal ini perlu diciptakan oleh Institusi itu.

Masalah ini perlu ditekankan melihat pengalaman-pengalaman dari usaha-usaha rakyat kecil di kota-kota yang lazim dinamakan Kaki Lima yang dikejar-kejar itu. Mereka dianggap sebagai “underground economics”, pengganggu ketertiban umum, sebagai usaha yang “inferior”. (Sementara menurut suatu penelitian, mereka sehari dapat memperoleh antara Rp. 10.000 - Rp. 20.000, melebihi pendapatan orang yang sama di sektor formal). Dilupakan bahwa mereka memenuhi kebutuhan masyarakat. Disitulah letak fungsi ekonomi mereka. Mereka perlu dibimbing, diberi pendidikan, penjelasan-penjelasan dan insentip-insentip.  Mereka perlu diberi pengertian bahwa untuk berusaha secara berkelanjutan diperlukan tertib usaha. Untuk menjamin tertib usaha, mereka tidak boleh mengganggu ketertiban umum dan harus tunduk pada peraturan (hukum) umum!  Pengertian yang diperlukan, bukan penggusuran!

Pemberdayaan ekonomi Rakyat dewasa ini diperlukan pula untuk membina kader-kader Pelaku Ekonomi Generasi baru menggantikan Generasi Pelaku Ekonomi yang sudah tumbang ini. Mereka sendiri tadinya juga berasal dari usaha ekonomi rakyat, usaha/pedagang kecil dan menengah. Namun suatu Generasi Pelaku Ekonomi Nasional yang bersih, tidak dimanjakan dengan subsidi, proteksi dan fasilitas, apalagi dengan KKN, tangguh mental dan professional dalam berusaha.

Ini berarti pula perlu dikembangkan suatu sistim mobilitas vertikal secara sehat dan mandiri dalam masyarakat dunia usaha! Dewasa ini hal ini diblokir oleh tidak selesai-selesainya proses penyehatan Perbankan dan Korporasi.

Kembali kepada masalah Krisis Moneter dan Pemulihan kembali Ekonomi Nasional. Telah dikemukakan betapa terpuruknya Ekonomi kita dan betapa rapuhnya sektor modern kita, terlebih sektor Finansial dan Korporasi. Dengan segala upaya dan energi serta bantuan luar negeri, kita belum saja melihat titik terang. Lima (5) tahun krisis ekonomi adalah sudah terlalu panjang dan karena sifatnya multidimensional maka ia dapat menggerogoti secara meluas dan mendalam sendi-sendi kita hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Jika hal ini dikaitkan dengan bahaya-bahaya proses desintegrasi sosial, regional dan nasional maka krisis ekonomi yang berkepanjangan ini dapat membawa Bangsa, Negara dan Masyarakat kita kepada kehancuran total. Maka dari itu krisis ini perlu segera diatasi!

Dalam hal ini kita berhadapan dengan suatu Dilema Fundamental yang “persistent” sekali. Dilemanya adalah di satu pihak ada tuntutan untuk penyelesaian dulu semua kebobrokan-kebobrokan dari masa lalu, baru melangkah maju, di lain pihak ada urgensi, kita maju ke depan (termasuk upaya penyelesaian krisis), dan sambil berjalan ke depan kita secara selektif menyelesaikan kebobrokan-kebobrokan dari masa lalu.

Untuk mengatasi Dilema Fundamental ini diperlukan suatu Konsensus Politik secara Nasional, yang berfokus pada pilihan politik untuk me-Rekonsiliasikan keperluan penyelesaian secara tuntas masalah-masalah dari masa lalu dengan kepentingan bangsa dan Negara untuk maju ke depan dan yang didukung oleh semua pihak. Dengan adanya Konsensus Politik secara Nasional itu, barulah kita dapat menyusun suatu Programa Nasional untuk cepat keluar dari krisis dan mulai memulihkan kembali Pertumbuhan Ekonomi Nasional yang mampu memberantas Pengangguran, Kemiskinan, Kebodohan, dan Hutang Nasional. Sebab disitulah letak kepentingan mendesak dari ekonomi rakyat kita, Hic et nunc!

Drs. Frans Seda : Penasehat Ekonomi Pemerintah, mantan Menteri Keuangan 

Makalah disampaikan dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Krisis Moneter Indonesia

Krisis Permanen dan Tantangan Dari Bawah*DUNIA sedang diterpa badai krisis: ekonomi, politik, lingkungan, energi, pangan, dan bencana alam. Krisis ini datang silih berganti secara bergelombang, belum selesai yang satu telah datang yang lain. Dengan dunia yang kian terintegrasi satu sama lain, krisis di satu tempat dengan cepat menyebar dan memberi efek tular ke tempat lain.

Page 100: ekonomi rakyat

Tulisan kali ini, hendak memotret dampak dari krisis ekonomi Amerika Serikat (AS), yang hingga kini tak kunjung menemukan jalan keluar pemecahannya. Dari sini, hendak dilihat, bagaimana dampak krisis ini terhadap Indonesia, dan alternatif apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi krisis dan dampaknya tersebut.

Krisis Permanen

Krisis ekonomi AS, yang dipicu oleh krisis di sektor properti, makin tak terkendali. Resep lama, bahwa krisis ini bisa diatasi dengan campur tangan bank Sentral, terbukti tidak mencukupi. Bahkan, ketika Bank Sentral menggelontorkan dana segar sebesar S75B pada Januari 2008, untuk menginjeksi sektor perbankan, tetap saja krisis ekonomi AS tak bisa ditangani. Akibatnya, seperti dikatakan Alan Grenspan, mantan gubernur Bank Sentral AS, “pertumbuhan ekonomi AS saat ini adalah nol.”

 

Ketakutan bahwa krisis ini menjadi krisis permanen, kini menyebar luas. Berbagai skenario pemulihan yang ada, tetap saja berujung pada ketidakmungkinan krisis ini pulih dalam waktu yang singkat. Dengan bersandar pada data Biro Analisa Ekonomi AS (lihat tabel), ekonom Minqi Li menggambarkan beragam skenario yang tidak menggembirakan. Setelah diterpa resesi pada 2001, pemulihan ekonomi AS berjalan lambat. Rata-rata tingkat pertumbuhan per tahun hanya 2.4 persen dibandingkan dengan 4 persen pada dekade 1960an dan 3.3 persen pada dekade 1980an. Sementara itu, upah buruh riil dan jumlah angkatan kerja stagnan. Jika diukur dalam dollar pada 1982,

, 01/03/-1,
<!--StartFragment-->
Page 101: ekonomi rakyat

maka rata-rata upah buruh sektor swasta pada tahun 2006, sebesar $8.2, atau delapan sen lebih rendah dari upah pada 1972. Selain itu, sejak medium 2000, pendapatan riil keluarga menengah terus jatuh. Sebaliknya, pembagian keuntungan korporasi terhadap GDP meningkat dari 5.8 persen pada tahun 2001 menjadi 9.8 persen pada tahun 2006.

Yang menarik, sejak tahun 2001, pertumbuhan ekonomi AS dihela oleh ekspansi konsumsi rumah tangga, yang kini mencapai lebih dari 70 persen GDP. Itu sebabnya, ketika mayoritas pendapatan rumah tangga mengalami stagnasi atau bahkan jatuh, maka yang terjadi ekspansi konsumsi rumah tangga itu dibiayai oleh utang rumah tangga. Ini bisa dilihat dari peningkatan sebesar 14 persen layanan utang rumah tangga (interest and principal payment on debt) pada 2007, suatu jumlah yang tertinggi. Di lain pihak, tingkat tabungan rumah tangga jatuh dari rata-rata 10 persen menjadi mendekat nol persen saat ini.

Dengan gambaran seperti ini, jelas mustahil untuk melihat bahwa konsumsi akan bertumbuh cepat di tahun-tahun mendatang. Dan jika ini terjadi, maka ekonomi AS akan menuju resesi yang lebih dalam yang diikuti dengan apa yang disebut stagnasi berkelanjutan.

Keadaan ini sebenarnya bisa ditangani oleh Bank Sentral, dengan cara menciptakan gelembung aset lain secara besar-besaran. Dihadapkan pada kondisi guncangan besar pasar saham dunia, pilihan yang bisa diambil oleh Bank Sentral adalah melakukan pemotongan secara drastis tingkat suku bunga. Tetapi, karena baik pasar saham maupun pasar properti telah overvalued, sangat sulit untuk mengidentifikasi gelembung besar aset lain yang bisa diciptakan. Di samping itu, karena level utang rumah tangga telah begitu tinggi dan tingkat tabungan rumah tangga juga rendah, maka suku bunga rendah hanya akan kecil sumbangannya dalam merangsang konsumsi rumah tangga.

Yang paling realistis, pemerintah AS melakukan jalan pintas dengan cara melakukan belanja publik dan meningkatkan defisit fiskal. Jika tingkat tabungan rumah tangga meningkat menuju rata-rata selama ini, maka Washington bisa terus melakukan defisit fiskal lebih besar, hingga mencapai 6 persen atau lebih GDP. Soalnya, dengan defisit saat ini yang mencapai 6 persen GDP, maka secara teoritik utang luar negeri bersih AS akan menembus angka 120 persen GDP. Jelas ini sesuatu yang menakutkan.

Masalahnya, jika krisis ekonomi yang melanda AS ini berlangsung dalam waktu yang lama, pengaruhnya sungguh akan sangat besar bagi stabilitas ekonomi-politik dunia. Pertama, sektor keuangan saat ini merupakan sektor yang paling tersebar dan paling terkait secara global. Krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis di sektor finansial, dengan sendirinya menghela ekonomi negara lain ke jalur krisis; kedua, konsumsi AS adalah yang terbesar di dunia dan menjadi sumber utama permintaan ekonomi dunia. Jatuhnya tingkat konsumsi di AS, sangat jelas membuat pertumbuhan ekonomi dunia melambat yang itu berarti, AS mengekspor krisis internalnya ke seluruh dunia; dan ketiga, sebagaimana dikemukakan John Bellamy Foster, seiring meningkatnya finansialisasi ekonomi dunia adalah kian mendalamnya penetrasi kekuasaan imperial terhadap negara-negara dengan kondisi ekonomi sedang berkembang (underdeveloped). Tujuan dari penetrasi ini, menurut William I. Robinson adalah untuk menghancurkan

Page 102: ekonomi rakyat

otonomi para aktor nasional dan selanjutnya menstrukturkan serta mengintegrasikan mereka ke dalam jaringan transnasional yang lebih luas.

Penetrasi yang digerakkan melalui kebijakan globalisasi-neoliberal tersebut, menyebabkan negara-negara yang sebelumnya telah tergantung pada investasi asing kian tergantung padanya (khususnya investasi portofolio) dan keharusan untuk membayar utang kepada kapital internasional. Hasilnya adalah sebuah lingkaran setan; negara-negara berkembang yang mengikuti resep globalisasi-neoliberal, “fundamental ekonominya” membaik menurut kriteria sektor finansial tapi, bersamaan dengannya tingkat suku bunga meningkat, terjadi penghancuran industri (deindustrialization), pertumbuhan ekonomi rendah, dan kian mudahnya ekonomi negara tersebut diserang krisis akibat pergerakan cepat keuangan global.

Dengan pola seperti ini, bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan yang dijalankannya tidaklah membuahkan kemajuan dan kebebasan tapi, pembangunan yang menghasilkan keterbelakangan dan ketertindasan.

Melambungnya Harga Minyak Dunia

Sialnya, belum lagi krisis ekonomi tertangani, ancaman lain telah menghadang yakni, dengan menggilanya harga minyak dunia di pasaran. Laporan terakhir (30/4) menyebutkan, harga minyak dunia telah menembus angka $120 per barel.

Tingginya harga minyak ini tentu saja memberikan daya pukul luar biasa pada perekonomian di seluruh dunia. Sebab ekonomi kapitalis ini sangat tergantung pada bahan-bahan material (minyak, gas alam, dan batubara), yang menyumbang 80 persen suplai energi dunia. Minyak sendiri, diperkirakan menyumbang sepertiga dari total suplai energi dan 90 persennya digunakan di sektor transportasi. Minyak juga, merupakan bahan masukan penting dalam produksi pupuk, plastik, obat-obatan modern, dan benda-benda kimiawi lainnya.

Selain itu, karena minyak merupakan energi yang tak terbarui, maka skenario yang tampak begitu buruk. Studi terbaru dari German Energy Watch Group menyebutkan, eksplorasi minyak telah mencapai puncaknya pada dekade 1960an dan produksi minyak mentah mungkin telah di batas maksimum dan mulai memperlihatkan trend menurun dalam beberapa waktu mendatang. Di luar OPEC, produksi minyak di 25 negara-negara atau wilayah-wilayah penghasil minyak utama, telah mencapai titik jenuh. Tinggal sembilan negara atau wilayah yang memiliki potensi untuk bertumbuh. Seluruh perusahaan-perusahaan minyak besar dunia kini, sedang berjuang untuk mempertahankan produksinya agar tidak jatuh.

Colin Campbel, dari the Association for the Study of Peak Oil and Gas, meramalkan, produksi dunia untuk seluruh bahan-bahan cairan (termasuk minyak mentah, aspal hitam, minyak hasil distilasi, gas alam cair, gas-to-liquids, coal-to-liquids, dan biofuel), mencapai titik jenuhnya pada 2010. Setelah itu, produksi minyak akan menurun sebanyak 25 persen pada 2020, dan mencapai 2/3 pada 2050. Campbel juga meramalkan, produksi gas alam dunia akan mencapai puncaknya pada 2045. Dalam studi awal dari German Energy Watch Group, diperkirakan produksi batubara dunia akan mencapai puncaknya pada

Page 103: ekonomi rakyat

2025.

Kita lihat, gambaran-gambaran ini sungguh suram. Dalam konteks Indonesia, tentu saja kesuraman itu kian menjadi-jadi. Setelah dihajar oleh krisis ekonomi pada 1997, diperparah dengan dampak menular dari krisis keuangan di AS, ditambah dengan dampak kenaikan harga minyak dunia yang gila-gilaan, kini bayang-bayang resesi bahkan depresi ekonomi ada di depan mata. Mari kita ambil contoh berikut. Berdasarkan data Januari 2008, saat ini Pertamina mengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak sebanyak 700 ribu per barel. Berdasarkan harga saat ini sebesar $120 per barel, maka dana yang mesti dikeluarkan Pertamina adalah sebesar $84.000 per hari atau sebesar Rp. 775.866.000 dengan kurs $1 sama dengan Rp. 9.236,5. Dengan pengeluaran sebesar itu, tentu saja tidak masuk akal bagi pemerintah untuk membiayai belanja-belanja sosial yang bermanfaat bagi kepentingan rakyat. Bahkan, bisa dipastikan yang akan terjadi adalah penyesuaian-penyesuaian rencana anggaran, dimana salah satu cara paling gampang adalah kembali menaikkan harga minyak dan mencabut subsidi.

Orientasi Ke dalam?

Krisis ekonomi saat ini, menjadi penanda penting bagi kita bahwa orientasi pembangunan kapitalis-neoliberal yang berlangsung secara global saat ini, tidak bisa lagi dipertahankan. Lebih-lebih dalam konteks seperti Indonesia, yang hingga kini tak kunjung keluar dari krisis. Resep-resep yang digunakan selama ini, terbukti gagal dalam menangani krisis.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, krisis ini adalah krisis kapitalisme keseluruhan, bukan krisis bagian per bagian. Ia bukanlah krisis keuangan jangka pendek tapi, lebih merupakan hasil dari stagnasi ekonomi berkepanjangan. Karena itu, harus ada strategi yang radikal, untuk memotong laju krisis sekarang. Salah satunya, adalah mengandalkan kemampuan domestik dalam menopang bangunan struktur ekonomi nasional. Pemerintahan siapapun, harus berani menolak resep-resep kebijakan neoliberal seperti, privatisasi, deregulasi, pemotongan subsidi, pasar kerja fleksibel, dan liberalisasi sektor moneter. Dan sebaliknya, mempromosikan kebijakan nasionalisasi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Studi-studi yang ada menunjukkan, tidak ada bukti yang kuat bahwa kebangkrutan ekonomi suatu negara disebabkan oleh kebijakan nasionalisasi ekonomi.

Tetapi, sebuah perubahan arah strategi pembangunan dari yang pro kapitalisme-neoliberal menjadi yang anti kapitalisme-neoliberal, mensyaratkan keberadaan rejim yang mendukung penuh perubahan radikal itu. Di sini muncul pertanyaan baru, lagi-lagi dalam konteks Indonesia, adakah rejim dengan watak seperti itu? Pertanyaan lainnya, apakah kelas kapitalis di Indonesia, yang selama ini telah begitu erat terkait dengan kelas kapitalis asing, bersedia melakukan restrukturisasi ekonomi dan sosial yang radikal?

Intervensi Permanen

Sebelum kita masuk pada pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya ingin mengajak anda untuk melihat konstelasi kekuasaan global saat ini. Dari sini, kita bisa meraba-raba, apakah pertanyaan tersebut mengada-ada atau tidak.

Page 104: ekonomi rakyat

Sejak berakhirnya Perang Dingin (yang sesungguhnya hanya dingin di Eropa), tak ada kekuatan lain yang bisa menandingi kedigdayaan AS. Dari segi ekonomi, walaupun kini tengah dilanda krisis parah, ekonomi AS masihlah yang terkuat di dunia. Cina yang dianggap sebagai pesaing baru, bahkan ekonominya belum mampu menandingi kekuatan ekonomi Uni Eropa.

Lebih-lebih di bidang militer. Dengan 180 basis militer (dari yang direncanakan 1.000) di seluruh dunia, praktis tidak ada kekuatan lain yang sanggup menandingi imperialisme Amerika. Dari segi anggaran militer, departemen pertahanan AS menganggarkan sebesar $750B per tahun. Untuk rencana belanja fiskal tahun 2008, dana yang dianggarkan sebesar lebih dari $1T. Angka ini merupakan yang terbesar sejak Perang Dunia II dan besarannya melampaui total belanja militer gabungan seluruh negara lain di dunia. Khusus untuk supplementary budget buat membayar biaya perang di Irak dan Afghanistan, dimana anggaran ini bukan bagian dari anggaran resmi pertahanan, jumlahnya jauh lebih besar dibanding gabungan anggaran militer Rusia dan Cina.

Pertanyaannya kemudian, demi kepentingan apa AS terus membangun dan memperkuat kekuatan militernya? Ada dua jawaban di sini: pertama, seperti dikemukakan kritikus empire (kekaisaran) terkemuka, Chalmers Johnson, pembangunan kekuatan militer itu dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi AS; kedua, menurut Michael Klare, dari segi geopolitik, pembangunan kekuatan militer raksasa itu dimaksudkan untuk “menghadang munculnya kekuatan besar lain sebagai pengimbang kekaisaran AS.” Argumentasi Klare ini bukan tanpa bukti empiris. Seperti dicatat Minqi Li, akibat stagnasi berkepanjangan, sumbangan AS dalam pertumbuhan ekonomi dunia jatuh dari 40 persen pada 1990 menjadi kira-kira 30 persen pada saat ini, demikian juga kontribusi kawasan Eurozone ikut jatuh dari 20 persen menjadi tinggal 10 persen. Tetapi, di tempat lain, kontribusi Cina meningkat sekitar 15 persen dan kelompok BRIC (Brazil, Rusia, India dan Cina) meningkat sebesar 20 persen pada pertumbuhan ekonomi dunia.

Keadaan ini tentu saja mengkhawatirkan para pengambil keputusan strategis di Washington. Dengan tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi dan relatif stabil, kini Cina merupakan satu-satunya kandidat yang bisa menggeser posisi AS, sebagai motor penggerak ekonomi kapitalis global. Dalam konteks geopolitik yang unipolar seperti inilah, kemunculan para pesaing dipandang sebagai ancaman yang harus dinetralisir. Itu sebabnya, AS disamping terus menjalankan perannya sebagai protektorat bagi negara-negara kapitalis inti, seperti peran yang disandangnya di masa Perang Dingin, juga bertujuan untuk mengonsolidasikan kembali apa yang disebut Peter Gowan, sebagai residivis-residivis private-financed-centered yang coba-coba menantang kekaisaran.

Realisasi kebijakan itu menemukan momentumnya dengan terjadinya serangan 11 September 2001. Dengan adanya peristiwa itu, AS tidak membutuhkan tawar-menawar dengan kekuatan di luarnya. Sebaliknya, kekuatan lain itu hanya diberikan pilihan, “bersama kami atau menjadi musuh kami.”

Itu sebabnya, bagi para analis imperialisme, penyerbuan ke Irak dan Afghanistan, misalnya, tidak pertama-tama didorong oleh kepentingan menguasai dan mengontrol kandungan minyak di wilayah tersebut. Benar bahwa

Page 105: ekonomi rakyat

dengan menduduki kawasan Teluk, AS menguasai 70 persen cadangan minyak dunia. Benar pula bahwa minyak bukan hanya sumber energi yang utama tapi, juga sumber kekuasaan. Tetapi, serbuan itu terutama dimaksudkan sebagai sinyal agar “jangan coba-coba menantang kami.” Dan itu berarti, penyerbuan seperti di Irak ini bukanlah sebuah akhir. Ini hanya merupakan awal, dari apa yang disebut Aijaz Ahmad, sebagai “ideologi intervensi permanen.”

Tantangan Dari bawah

Dengan bersandar pada analisa di atas, maka sangat sulit kita mengharapkan munculnya sikap progresif dari kelas kapitalis domestik. Di satu sisi karena mereka telah terintegrasi dalam kelas kapitalis internasional, krisis permanen ini membuat mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali kian tergantung pada belas-kasih sang senior. Di sini, para kapitalis domestik memainkan perannya sebagai yunior partner dan secara bersama-sama membentuk apa yang disebut oligarchy-finance-capital.

Di sisi lain ancaman intervensi permanen melalui doktrin pre-emptive war dari AS, menyebabkan para kapitalis domestik ini tidak berani mengambil jalan berbeda. Intervensi permanen dari kekaisaran bisa mengambil bentuk yang lunak, misalnya melalui perang ekonomi (seperti Kuba) atau juga dalam bentuk keras seperti, intervensi militer (misalnya, Irak).

Hasil dari keadaan ini, kita lihat, di tengah-tengah krisis permanen dan ancaman intervensi permanen saat ini, dimana rakyatlah yang pertama-tama menanggung akibatnya, kelas kapitalis domestik Indonesia, tak berani mengambil sikap yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Bukannya melindungi kepentingan rakyat, mereka malah kian agresif dalam merealisasikan paket-paket kebijakan neoliberal.

Maka satu-satunya penantang paling potesial terhadap kekaisaran, adalah dari rakyat tertindas keseluruhan. Pembangunan yang berorientasi ke dalam, misalnya, tidak mungkin terwujud jika tidak dipimpin dan dikontrol oleh rakyat. Di sini, muncul perbedaan pendapat di kalangan pengamat kekaisaran. James Petras, misalnya, mengatakan perlawanan rakyat tertindas itu tidak bisa diharapkan muncul dari dalam negeri AS. Di matanya, rakyat AS telah cukup lama menikmati permen ekonomi dan juga kooptasi dan represi dari kekaisaran. Satu-satunya penantang serius bagi kekaisaran AS ini, datang dari rakyat tertindas di negara-negara pinggiran. Ia mencontohkan perlawanan rakyat di Venezuela dan Irak saat ini.

Sementara itu, bagi Leo Panitch dan Sam Gindin, jika ingin menghancurkan kekaisaran yang mesti dilakukan adalah mendorong terjadinya perubahan fundamental dalam keseimbangan kekuasaan domestik dalam kekaisaran. Dan itu hanya mungkin, jika terjadi mobilisasi dari bawah yang merupakan kombinasi kepentingan-kepentingan domestik kelas terpinggirkan, kekuatan sosial lainnya yang tertindas, serta gerakan anti-globalisasi dan anti-perang.

Bagi Samir Amin, untuk bisa menantang kekaisaran AS ini, satu-satunya jalan adalah dilakukannya aliansi seluruh rakyat pekerja baik, di Selatan maupun di Utara. Solidaritas universal, itulah kunci kemenangan rakyat pekerja terhadap kekaisaran.***

Page 106: ekonomi rakyat

Kepustakaan:

Aijaz Ahmad, “Imperialism of Our Time” Socialist Register, 2004.John Bellamy Foster, “The Financialization of Capitalism,” Monthly Review, Vol. 58, o. 11 April 2007.————- “The Financialization of Capital and the Crisis,” Monthly Review, Vol. 59, No. 11 April 2008.Leo Panitch and Sam Gindin, “Global Capitalism and American Empire,” Socialist Register, 2004.Michale Klare, “The New Geopolitics,” in John Bellamy Foster and Robert W. McChesney, “Pox Americana exposing the American Empire,” Monthly Review Press, 2004.Minqi Li, “China Peak Oil, & Neoliberalism’s Demise,” Monthly Review, Vol. 59, No. 11 April 2008.Peter Gowan, “U.S. Hegemony Today,” in John Bellamy Foster and Robert W. McChesney, “Pox Americana exposing the American Empire,” Monthly Review Press, 2004.Robin Blackburn, “The Subprime Crisis,”“Impor Minyak Pertamina Harus Dievaluasi”Senin, 21 Januari 2008 | 20:49 WIB, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/01/21/brk,20080121-115889,id.htmlWilliam I. Robinson, “Transnational Conflicts Central America, Social Change, and Globalization,” Verso, London, 2003.

*Artikel ini sebelumnya dimuat dalam buku untuk memperingati 80 tahun Joesoef Isa