eko budi poerwanto, ayu paramita hapsari,
TRANSCRIPT
Eko Budi Poerwanto, Ayu Paramita Hapsari,
Juniartha Reysisca Pinem dan Dhias Purwa Kusuma
KEBIJAKAN JAMINAN SOSIAL
DI MASA PANDEMI
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang
memperbanyak atau memindahkan sebagian atau
seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun secara
elektronik maupun mekanis tanpa izin tertulis dari
Pustaka Amma Alamia Bogor
iii
Eko Budi Poerwanto, Ayu Paramita Hapsari,
Juniartha Reysisca Pinem dan Dhias Purwa Kusuma
KEBIJAKAN JAMINAN SOSIAL
DI MASA PANDEMI
Judul
iv
KEBIJAKAN JAMINAN SOSIAL DI MASA PANDEMI
Penulis
Eko Budi Poerwanto, Ayu Paramita Hapsari, Juniartha
Reysisca Pinem dan Dhias Purwa Kusuma
Desain Sampul dan Lay Out:
Abu Aisyah
Diterbitkan oleh:
Pustaka Amma Alamia
Sukaharja, Cijeruk, Bogor, Jawa Barat
Telp. 085885753838
Email: [email protected]
Cetakan pertama: April 2021
ISBN : 978-623-96823-2-3
Dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau
seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa
izin tertulis dari penerbit atau penulis.
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syallom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam kebajikan
Puji syukur pada Allah SWT yang telah memberikan
kami kemudahan untuk dapat menyelesaikan buku ini sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Tanpa adanya berkat dan
rahmat Allah SWT tidak mungkin rasanya dapat
menyelesaikan buku ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Buku ini merupakan rangkaian tulisan yang disampaikan
oleh beberapa penulis yang diantaranya merupakan kebijakan-
kebijakan di Bidang Jaminan Sosial yang secara khusus
dikawal oleh Sub Direktorat Jaminan Sosial- Direktorat
Harmonisasi Peraturan Penganggaran.
Terlebih penulis ingin mengucapkan terima kasih pada
Bapak Didik Kusnaini Direktur Harmonisasi Peraturan
Penganggaran, Bapak Jani Arjanto Kasubdit Harmonisasi
Jaminan Sosial, para Kepala Seksi di lingkungan Subdit
Harmonisasi Jaminan Sosial dan semua pihak yang
mendukung dan membantu para penulis untuk menyelesaikan
buku yang berjudul “Kebijakan Jaminan Sosial di kala
Pandemi.”
Kami menyadari bahwa penulisan pada buku ini masih
jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis sangat
mengharapkan partisipasi pembaca untuk memberikan
masukan baik berupa kritikan maupun saran untuk membuat
vi
buku ini menjadi lebih baik dari segi isi dan baik dari segi yang
lainnya.
Kami mohon maaf bila ada hal yang kurang berkenan
dalam penulisan buku ini. Akhir kata, kami ucapkan terima
kasih dan selamat membaca.
Jakarta, April 2021
Kasubdit HP Jamsos
Jani Arjanto
vii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...……………............................................
Daftar Isi……………………………………………..........
v
vii
PENERBITAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 64
TAHUN 2020 DAN DEFISIT DANA JAMINAN SOSIAL
KESEHATAN PADA MASA PANDEMI COVID 19
Oleh: Eko Budi Poerwanto
Latar Belakang ...............................................................
Sejarah Regulasi Jaminan Kesehatan ...............................
Sejarah Iuran Jaminan Kesehatan ....................................
Defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan ................
Penerbitan Perpres 64/2020 dan Kebijakan di dalamnya
Defisit Dana DJS Kesehatan Pasca Penerbitan Perpres
64/2020 di Masa Pandemi ................................................
Rekomendasi ...................................................................
Daftar Pustaka .................................................................
2
3
5
10
13
31
32
EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PMK 78/PMK.02/2020 DI
DAERAH DALAM MASA PANDEMI COVID 19
Oleh : Ayu Paramita Hapsari
Pengertian Jaminan Kesehatan ........................................ 34
viii
Kondisi Jaminan Kesehatan Nasional .............................
Perpres 64 Tahun 2020 tentang perubahan Kedua atas
Peraturan Presiden nomor 82 Tahun 2018 tentang
Jaminan Kesehatan ..........................................................
PMK No. 78/PMK.02/2020 tentang Pelaksanaan
Pembayaran Kontribusi Iuran Peserta PBI Jaminan
Kesehatan, Iuran Peserta PBPU dan Peserta BP dengan
Manfaat Pelayanan di Ruang Perawatan Kelas III, dan
Bantuan Iuran Bagi Peserta PBPU dan Peserta BP
dengan Manfaat Pelayanan di Ruang Perawatan Kelas III
Oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah .....
Survey Efektivitas Implementasi PMK 78 ......................
Hubungan antara Komitmen dan Kemampuan ...............
Komitmen .......................................................................
Rekomendasi ...................................................................
Daftar Pustaka .................................................................
Lampiran: Kuesioner Survei Implementasi Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 78/Pmk.02/2020 ...................
35
38
42
47
63
63
69
70
72
PEMBERIAN RELAKSASI IURAN BPJS
KETENAGAKERJAAN SEBAGAI KEBIJAKAN DI MASA
PANDEMI UNTUK MENDORONG PEMULIHAN
EKONOMI
Oleh: Juniartha Reysisca Pinem
Dampak Pandemi tersebar di Segala Arah .....................
Pemulihan Ekonomi Nasional dan Ketenagakerjaan di
Indonesia .........................................................................
80
83
ix
Teori Pertumbuhan Ekonomi ..........................................
Bagaimana Latar belakang penetapan Peraturan
Pemerintah Nomor 49 Tahun 2020? ...............................
Dinamika Pembahasan Peraturan Pemerintah Nomor
49 Tahun 2020 ................................................................
Muatan Substansi Peraturan Pemerintah Nomor 49
Tahun 2020 .....................................................................
Penutup ...........................................................................
Rekomendasi ..................................................................
88
93
101
104
110
114
DAMPAK PANDEMI TERHADAP INVESTASI PT TASPEN
PERSERO
Oleh: Dhias Purwa Kusuma
Dampak Pandemi Covid 19 Terhadap Negara-Negara di
Dunia ...............................................................................
Dampak Pandemi Covid 19 Terhadap Indonesia .............
Penurunan Rating KIK EBA dan MTN pada beberapa
BUMN .............................................................................
Penurunan Rating Instrumen Investasi PT Taspen
Persero .............................................................................
Kebijakan yang Perlu Diambil Kementerian Keuangan ..
116
118
119
122
151
1
PENERBITAN PERATURAN PRESIDEN
NOMOR 64 TAHUN 2020 DAN DEFISIT DANA
JAMINAN SOSIAL KESEHATAN PADA MASA
PANDEMI COVID 19
2
PENERBITAN PERATURAN PRESIDEN
NOMOR 64 TAHUN 2020 DAN DEFISIT DANA
JAMINAN SOSIAL KESEHATAN PADA MASA
PANDEMI COVID 19
Oleh: Eko Budi Poerwanto
Latar Belakang
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah
berjalan selama 6 (enam) tahun. Semenjak program mulai
berjalan tahun 2014, terdapat permasalahan utama pada program
JKN yang terus terjadi setiap tahun, yaitu Defisit Dana Jaminan
Sosial (DJS) Kesehatan. Pada awal tahun permulaan program
yaitu tahun 2014 tersebut, defisit dana jaminan sosial kesehatan
berada di kisaran Rp1,9 triliun, kemudian defisit tersebut
melonjak tajam hingga mencapai Rp9,4 triliun pada tahun 2015,
kemudian defisit mengalami penurunan menjadi Rp6,7 triliun
pada tahun 2016, dan defisit kembali melambung hingga
mencapai Rp13,8 triliun pada tahun 2017, serta melandai di
angka Rp10,45 triliun pada tahun 2018.
Pada tahun 2018, defisit DJS Kesehatan terjadi pelandaian
setelah Pemerintah melakukan penggantian Perpres 12/2013
menjadi Perpres 82/2018 dengan memasukkan 8 paket
kebijakan Pemerintah dalam penanganan defisit DJS Kesehatan.
Namun paket kebijakan yang dimasukkan dalam Perpres
3
82/2018 tersebut tetap belum menyentuh akar pokok
penyelesaian defisit DJS Kesehatan, sehingga pada tahun 2018
defisit DJS Kesehatan masih tetap lebar.
Pada tahun 2019, Pemerintah kembali menerbitkan
Perpres nomor 75 Tahun 2019 sebagai perubahan Peraturan
Presiden nomor 82/2018. Inti utama penerbitan Perpres 75/2020
adalah untuk melakukan perbaikan mismatch antara penerimaan
dan pengeluaran DJS Kesehatan melaui perbaikan premi iuran
(kenaikan iuran).
Namun, belum satu tahun berjalan, Perpres No.75/2019
digugat dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) untuk
kenaikan iuran bagi PBPU dibatalkan. Agar program JKN tetap
berkesinambungan, sekaligus menjamin layanan kesehatan bagi
peserta, maka Pemerintah menerbitkan kembali Perpres Nomor
64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres 82 Tahun
2020. Penerbitan Perpres 64/2020 dilakukan pada masa pandemi
Covid 19 yang sedang mewabah di dunia yang tentunya sangat
berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan
pembayaran iuran. Namun demikian dengan diterbitkannya
Perpres No.64/2020 meskipun pada masa pandemi Covid 19 ini,
diharapkan tetap dapat menyelesaikan permasalahan defisit DJS
Kesehatan, yang tentunya sangat berpengaruh terhadap
keberlangsungan program.
Sejarah Regulasi Jaminan Kesehatan
Pokok inti regulasi dari jaminan kesehatan program JKN
BPJS Kesehatan tersebut sejatinya ialah realisasi dari
4
perwujudan penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi
manusia. Dalam hal ini, konteksnya ialah hak asasi milik warga
negara sebagaimana termaktub di dalam Pasal 28 dan 34 UUD
NRI Tahun 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28H
Ayat
(1)
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan
Ayat
(2)
Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan
Ayat
(3)
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia
yang bermartabat
Pasal 34
Ayat
(1)
Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara
Ayat
(2)
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah
5
dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan
Ayat
(3)
Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
Dari nilai nilai hak asasi sebagaimana yang termaktub
dalam UUD RI tersebut, Pemerintah bersama dengan DPR
menyusun UU nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No.24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
UU SJSN menetapkan program JKN sebagai salah satu
program jaminan sosial dalam sistem jaminan sosial nasional.
Di dalam UU ini diatur asas, tujuan, prinsip, organisasi, dan tata
cara penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional. UU
SJSN menetapkan asuransi sosial dan ekuitas sebagai prinsip
penyelenggaraan JKN. Kedua prinsip dilaksanakan dengan
menetapkan kepesertaan wajib dan penahapan implementasinya,
iuran sesuai dengan besaran pendapatan, manfaat JKN sesuai
dengan kebutuhan medis, serta tata kelola dana amanah Peserta
oleh badan penyelenggara nirlaba dengan mengedepankan
kehati-hatian, akuntabilitas efisiensi dan efektifitas. UU SJSN
membentuk dua organ yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan program jaminan sosial nasional, yaitu Dewan
Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). UU ini mengatur secara umum fungsi,
tugas, dan kewenangan kedua organ tersebut. UU SJSN
6
mengintegrasikan program bantuan sosial dengan program
jaminan sosial. Integrasi kedua program perlindungan sosial
tersebut diwujudkan dengan mewajibkan Pemerintah untuk
mensubsidi iuran JKN dan keempat program jaminan sosial
lainnya bagi orang miskin dan orang tidak mampu. Kewajiban
ini dilaksanakan secara bertahap dan dimulai dari
program JKN. UU SJSN menetapkan dasar hukum bagi
transformasi PT Askes (Persero) dan ketiga Persero lainnya
menjadi BPJS.
UU BPJS menetapkan pembentukan BPJS Kesehatan
untuk penyelenggaraan program JKN dan BPJS
Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan program jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan
jaminan kematian. UU BPJS mengatur proses transformasi
badan penyelenggara jaminan sosial dari badan usaha milik
negara (BUMN) ke badan hukum publik otonom nirlaba (BPJS).
Perubahan-perubahan kelembagaan tersebut mencakup
perubahan dasar hukum, bentuk badan hukum, organ, tata kerja,
lingkungan, tanggung jawab, hubungan kelembagaan, serta
mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban. UU BPJS
menetapkan bahwa BPJS berhubungan langsung dan
bertanggung jawab kepada Presiden
Dari kedua UU tersebut, telah ditetapkan beberapa
peraturan baik itu Peraturan Pemerintah maupun Peraturan
Presiden serta peraturan pelaksanaan lainnya dibawah itu. Di
bagian JKN, telah diterbitkan 7 (tujuh) peraturan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah, 5 (lima) peraturan dalam bentuk
7
Peraturan Presiden, dan peraturan-peraturan teknis lainnya di
level Kementerian/Lembaga khususnya Kementerian
Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial,
Kementerian Dalam Negeri, Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN), dan BPJS Kesehatan.
No No Peraturan Tentang
1 PP No. 86 Tahun
2013
Tata Cara Pengenaan Sanksi
Administratif
Kepada Pemberi Kerja Selain
Penyelenggara Negara dan Setiap
Orang, Selain Pemberi Kerja,
Pekerja, dan Penerima Bantuan
Iuran Dalam Penyelenggaraan
Jaminan Sosial
2 PP 53 Tahun
2018
Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013
tentang Pengelolaan Aset Jaminan
Sosial Kesehatan
3 PP No. 2 Tahun
2018
Standar Pelayanan Minimal
4 PP No. 76 Tahun
2015
Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor
101 Tahun 2012 Tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
5 PP No. 88 Tahun
2013
Tata Cara Pengenaan Sanksi
Administratif Bagi Anggota Dewan
8
Pengawas Dan Anggota Direksi
Badan penyelenggara Jaminan
Sosia
6 PP No. 89 Tahun
2013
Pencabutan Peraturan Pemerintah
Nomor 69 Tahun 1991 Tentang
Pemeliharaan Kesehatan Pegawai
Negeri Sipil, Penerima Pensiun,
Veteran, Perintis Kemerdekaan
Beserta Keluarganya
7 PP No. 90 Tahun
2013
Pencabutan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2003 Tentang
Subsidi Dan Iuran Pemerintah
Dalam Penyelenggaraan Asuransi
Kesehatan Bagi Pegawai Negeri
Sipil Dan Penerima Pensiun
8 PP No. 85 Tahun
2013
Tata Cara Hubungan Antar
Lembaga Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial
9 Perpres No. 12
Tahun 2013,
Perpres No. 111
Tahun 2013,
Perpres No. 19
Tahun 2016,
Perpres No 28
Tahun 2016,
Tentang Jaminan Kesehatan (Sudah
Dicabut)
9
10 Perpres No. 64
Tahun 2020
Perubahan Kedua Perpres No.82
Tahun 2018 tentang Jaminan
Kesehatan
11 Perpres No. 108
Tahun 2013
Bentuk Dan Isi Laporan
Pengelolaan Program Jaminan
Sosial
12 Perpres No. 109
Tahun 2013
Penahapan Kepesertaan Program
Jaminan Sosial
13 Perpres No. 107
Tahun 2013
Pelayanan Kesehatan Tertentu
Berkaitan Dengan Kegiatan
Operasional Kementerian
Pertahanan, Tentara Nasional
Indonesia, Dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia
14 Perpres No. 32
Tahun 2014
Pengelolaan dan pemanfaatan Dana
Kapitasi JKN pada FKTP Milik
pemerintah
Dalam regulasi-regulasi jamkes tersebut, peraturan yang sering
mengalami perubahan adalah Peraturan Presiden tentang
Jaminan Kesehatan. Perpres Jamkes pertama kali digulirkan
pada tahun 2013 melalui Perpres nomor 12 Tahun 2013, dan
sampai saat ini telah dilakukan 5 kali perubahan dan/atau
penggantian Perpres. Substansi yang menyeluruh dan lengkap
tentang kepesertaan, iuran, dan layanan diatur secara rinci dalam
Perpres Jaminan Kesehatan. Termasuk pengaturan dalam
Perpres ini adalah terkait dengan peninjauan iuran, yang secara
10
rutin dilakukan setiap 2 (dua) tahun. Dengan demikian, dalam
hal ketika peninjauan iuran perlu dilakukan perubahan iuran,
maka otomatis Perpres Jamkes perlu dilakukan perubahan.
Sejarah Iuran Jaminan Kesehatan
Apabila dilihat sejarah kenaikan iuran BPJS Kesehatan
selama enam tahun perjalanan program ini, terhitung 3 (tiga) kali
iuran program ini mengalami kenaikan iuran. Hal ini sebenarnya
selaras dengan regulasi yang mengaturnya yaitu Perpres Jamkes
bahwa setiap 2 (dua) tahun sekali akan dilakukan peninjauan
iuran. Setiap kali ada kenaikan iuran sebagai salah satu
fundamental penyelesaian deficit ditanggapi beragam oleh
masyarakat. Bahkan, Perpres Jamkes yang telah diterbitkan
Pemerintah yang terdapat kenaikan iuran, selalu ada perubahan
bahkan ada yang hanya bertahan dalam hitungan bulan. Padahal,
apabila kita lihat terhadap kondisi keuangan DJS kesehatan tidak
kunjung membaik sedangkan jumlah peserta terus mengalami
11
kenaikan karena harus menuju kepada universal health coverage
(UHC).
Pada awal pelaksanaan program, Iuran awal BPJS
Kesehatan di 2014 pada awalnya untuk ruang perawatan kelas
III adalah Rp 25.500 per orang per bulan, kelas II Rp 42.500 per
bulan, dan kelas I Rp 59.500 per bulan. Di tahun pertama, dana
jaminan sosial ini langsung mengalami defisit Rp 1,65 triliun hal
ini karena jumlah iuran yang terkumpul tak sebanding dengan
jaminan kesehatannya
KELAS APR-JUN
2020
PERPRES
82/2018
JAN-MAR
2020
PERPRES
75/2019
JUL-DES
2020
PERPRES
64/2020
2021-DST
PERPRES
64/2020
KELAS I Rp25.500,- Rp42.000,- Rp42.000,- Rp42.000,-
KELAS II Rp51.000,- Rp110.000,- Rp100.000,- Rp100.000,-
KELAS
III
Rp80.000,- Rp160.000,- Rp150.000,- Rp150.000,-
Kenaikan pertama Iuran BPJS Kesehatan dilakukan pada
tahun 2016, tepatnya pada 1 April 2016 untuk pertama kalinya
tarif naik dengan ditetapkannya Perpres No.19/2016. Iuran kelas
I menjadi Rp 80.000 per bulan, kelas II iurannya Rp 51.000 ribu
per bulan, dan kelas III menjadi Rp30.000 per bulan. Dalam
perjalanan waktu, khusus untuk kenaikan iuran kelas III batal
dilaksanakan dan besaran iuran kembali seperti semula yaitu
12
Rp25.500. Hal ini sesuai dengan dalam Peraturan Presiden
No.28/2016 sebagai perubahan Perpres No.19/2016.
Kenaikan kedua iuran BPJS Kesehatan dilakukan pada
tahun 2019 melalui penetapan Perpres No.75/2019. Melalui
Perpres ini, terjadi perubahan fundamental terkait dengan iuran
baik besaran iuran, % (prosentase) iuran bagi Pekerja/PPU, dan
gaji/upah yang menjadi dasar pengenaan iuran. Ada beberapa
iuran BPJS Kesehatan akhirnya naik dua kali lipat. Kelas I iuran
menjadi Rp 160.000, kelas II iuran menjadi Rp 110.000, dan
Kelas III iuran Rp 42.000, termasuk dalam hal ini iuran peserta
PBI naik menjadi Rp42.000 Namun, angka ini hanya berlaku
tiga bulan saja. Kenaikan iuran PBPU kembali kembali seperti
sebelumnya setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji
materi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019. Pengajuan
gugatan dilakukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia
yang merasa keberatan dengan kenaikan iuran tersebut. Dengan
keputusan MA tersebut, kenaikan iuran PBPU dibatalkan dan
kembali semula, sedangkan iuran untuk PBI tetap mengalami
kenaikan termasuk dalam hal ini penduduk yang didaftarkan
oleh Pemerintah Daerah.
Kenaikan ketiga iuran BPJS ditandai dengan penrerbitan
Perpres 64/2020. Perpres ini pada intinya menindaklanjuti
keputusan MA tersebut, sekaligus memperbaiki sisi-sisi lainnya
dari program dan tetap melanjutkan kenaikan iuran sebagaimana
yang telah dilakukan oleh Perpres 75/2020. Pemerintah
mengeluarkan Perpres 64/2020 dengan nominal angka Rp
10.000 lebih kecil untuk Kelas I dan II sebagaimana besaran
13
iuran di Perpres 75/2019 yaitu masing-masing menjadi sebesar
Rp 150.000 dan Rp100.000.
Defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan
Defisit secara harfiah berarti adalah berkurangnya kas
dalam keuangan. Defisit biasa terjadi ketika
suatu organisasi (biasanya pemerintah) memiliki pengeluaran
lebih banyak daripada penghasilan. Dalam dana jaminan sosial
kesehatan, defisit diartikan sebagai adanya mismatch antara
pendapatan yang diterima oleh dana jaminan sosial dengan
pengeluaran (biaya manfaat) untuk pembayaran fasilitas
kesehatan. Dalam hal ini, pendapatan yang diterima oleh dana
jaminan sosial lebih rendah atas pengeluaran yang dilakukan.
14
Pendapatan dana jaminan sosial diatur dalam UU Nomor
24 Tahun 2011, yaitu bersumber dari:
1. Iuran jaminan sosial, termasuk bantuan iuran.
2. Hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial.
3. Hasil pengalihan aset program jaminan sosial yang menjadi
hak peserta dari BUMN yang menyelenggarakan program
jaminan sosial.
4. Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Adapun dalam penggunaan/ pengeluaran Dana Jamina
Sosial telah dibatasi untuk 3 (tiga) kegiatan di bawah ini:
1. Pembayaran manfaat atau pembiayaan layanan jaminan
sosial.
2. Biaya operasional penyelenggaraan program jaminan
sosial.
3. Investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
Untuk masalah defisit ini, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) telah melakukan menyampaikan enam poin pendapatnya
kepada pemerintah untuk mengatasi defisit keuangan Dana
Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Enam Pendapat tersebut
merupakan bagian dari Pendapat BPK terkait Pengelolaan atas
Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dalam dokumen Pendapat BPK disebutkan, defisit dalam
pendanaan penyelenggaraan program JKN terus terjadi meski
pemerintah telah memberikan bantuan keuangan kepada DJS
15
Kesehatan. Terkait hal tersebut, BPK berpendapat pemerintah
harus segera mewujudkan kesinambungan kemampuan
keuangan DJS Kesehatan, sehingga meminimalkan defisit
keuangan.
Pendapat pertama BPK untuk mengatasi hal tersebut
adalah dengan menyusun mekanisme pengumpulan iuran yang
efektif untuk menjamin kolektibilitas dan validitas besaran
iuran. Terutama dari segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) dan
Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).
Pendapat itu disampaikan BPK karena BPJS Kesehatan
belum memiliki mekanisme pengumpulan iuran yang efektif,
terutama untuk menjamin kolektibilitas dan validitas besaran
iuran segmen PPU dan PBPU. Berdasarkan pemeriksaan yang
telah dilakukan BPK, permasalahan defisit keuangan DJS
Kesehatan, antara lain, disebabkan oleh pemungutan dan
pengumpulan iuran dari peserta PPU dan PBPU yang belum
optimal.
Sampai dengan saat ini, BPJS Kesehatan tidak dapat
memastikan jumlah iuran dan penghasilan peserta PPU yang
sebenarnya, karena hanya mengandalkan data dari pemberi
kerja.
Selain itu, berdasarkan Laporan Keuangan DJS Kesehatan
Tahun 2019 (audited), diketahui bahwa piutang iuran segmen
PBPU sebesar Rp11,35 triliun dengan penyisihan piutang
sebesar Rp10,40 triliun (93,33 persen). Hal ini menunjukkan
bahwa peserta PBPU merupakan pembayar iuran dengan
16
kolektibilitas rendah. Di sisi lain, segmen PBPU memiliki rasio
klaim tertinggi (232,42 persen) dibandingkan segmen lainnya.
Pendapat kedua, melakukan reformasi besaran
pembayaran kapitasi kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama
(FKTP). Ini dilakukan dengan mengacu pada standar besaran
tarif dan capaian indikator kinerja yang merujuk pada kualitas
pelayanan medis dan nonmedis yang diberikan, kelengkapan
sumber daya kesehatan, serta kepatuhan dan komitmen dalam
pencegahan kecurangan.
Pendapat Ketiga, melakukan reformasi peran FKTP yang
merupakan garda terdepan dalam sistem layanan kesehatan di
Indonesia, melalui optimalisasi dana bidang kesehatan dari
17
APBN/APBD di fasilitas kesehatan milik pemerintah dalam
rangka meningkatkan upaya promotif, preventif, dan pola
rujukan layanan kesehatan yang ideal.
Pendapat Keempat, melakukan penyempurnaan aplikasi
verifikasi klaim pelayanan kesehatan pada BPJS Kesehatan
dengan mempertimbangkan risiko kecurangan yang mungkin
terjadi.
Pendapat Kelima, mengatasi defisit keuangan DJS
Kesehatan sesuai dengan kemampuan fiskal. Sedangkan
Pendapat keenam adalah mendorong kolaborasi pendanaan
dengan pemerintah daerah sehingga memberi ruang bagi APBD
untuk berkontribusi dalam program JKN.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
juga telah mengeluarkan rekomendasi atas defisit yang terjadi di
DJS Kesehatan. Inti dari rekomendasi tersebut adalah dissi
18
efisiensi pengeluaran agar pengerluaran dapat ditekan seefisien
mungkin. 6 (enam) rekomendasi tersebut yaitu:
Pertama, Kemenkes mempercepat penyusunan Pedoman
Nasional Praktik Kedokteran untuk mencegah unnecessary
treatment atau biaya tidak perlu, yang dapat meningkatkan
pengeluaran. saat baru ada 32 PNPK dari target yang diminta
KPK pada 2015 sebanyak 80 PNPK. Ia menilai ketiadaan PNPK
itu mengakibatkan unnecessary treatment atau pengobatan yang
tidak perlu. KPK memandang PNPK saat ini baru selesai 32
PNPK sampai Juli 2019 yang seharusnya 80 PNPK. Akibatnya,
karena masih ada sekitar 48 yang belum selesai,
Kedua, membuka opsi pembatasan klaim untuk penyakit
katastroupik yang disebabkan gaya hidup tidak sehat seperti
jantung, diabetes, kanker, stroke, dan gagal ginjal.
Ketiga, mengakselerasi coordination of benefit dengan
asuransi kesehatan swasta. berdasarkan data Dewan Asuransi
Indonesia, ada 1,7 persen penduduk Indonesia yang memiliki
asuransi atau sekitar 4,5 juta orang. Dengan asumsi besaran CoB
seperti yang diterapkan di Jepang dan Korea Selatan, yaitu 20-
30 persen, dapat mengalihkan beban klaim peserta PPU (pekerja
penerima upah) nonpemerintah dan PBPU sebesar Rp 600-900
miliar kepada asuransi swasta
Keempat, mengimplementasikan co-payment sebesar 10
persen bagi peserta mandiri sesuai Permenkes 51 Tahun. Kelima,
mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit. Kemudian, keenam
adalah menindaklanjuti verifikasi klaim untuk mengatasi
tindakan curang (fraud) di lapangan
19
Penerbitan Perpres 64/2020 dan Kebijakan di dalamnya
Perpres 64/2020 disusun untuk menindaklanjuti
rekomendasi putusan Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan
Nomor 7 P/HUM/2020 tanggal 27 Februari 2020. Dalam
pertimbangannya, Majelis Hakim saat itu menekankan perlunya
perbaikan holistik dari hulu ke hilir yang mencakup sistem,
manajemen, dan pelayanan. Atas hal itulah, Pemerintah dengan
segera melakukan pembenahan dan mendorong percepatan
reformasi JKN melalui penerbitan Perpres 64/2020.
Melalui penerbitan Perpres 64/2020 ini pula yang
menunjukkan komitmen Pemerintah untuk membangun
ekosistem jaminan kesehatan yang berkelanjutan dan
berkeadilan. Penyesuaian iuran JKN mulai 1 Juli 2020,
didasarkan semangat gotong royong, di mana peserta yang
mampu membantu yang kurang mampu, dan peserta yang sehat
20
membantu yang sakit atau berisiko tinggi. Melalui prinsip
gotong-royong, jaminan kesehatan nasional dapat
menumbuhkan keadilan sosial dan keberlanjutan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Di bawah ini adalah kebijakan-kebijakan yang
diambil oleh Pemerintah yang tertuang dalam Perpres 64/2020.
1) Penyesuaian Iuran
Dalam penyesuaian iuran pada Perpres 64/2020 dilakukan
dengan mempertimbangkan 3 (tiga) hal yaitu: (i)
perhitungan teknis aktuaria. Berdasarkan perhitungan
aktuaria, nilai nominal iuran yang seharusnya adalah
Besaran iuran yang sesuai dengan perhitungan aktuaria dan
kemampuan membayar iuran PBPU Kelas 1 (K1)
=Rp286.085, K2=Rp184.617, K3=Rp137.221 (ii)
kemampuan membayar dari peserta dan (iii) keadilan social.
Saat ini tercatat sebanyak 132,6 juta orang miskin dan tidak
mampu adalah peserta BPJS Kesehatan (JKN) secara gratis
(PBI), dengan mendapatkan layanan setara Kelas 3 dan
Segmen Perpres
64/2020
Iuran
Aktuaria
Selisih
PBPU Kelas
1
Rp150.000,- Rp 286.085,- Rp136.085,-
PBPU Kelas
II
Rp 100.000,- Rp 184.617,- Rp 84.617,-
PBPU Kelas
III
Rp 42.000,- Rp 137.221,- Rp 95.221,-
21
iuran sebesar Rp42.000,- per orang per bulan. Iuran tersebut
ditanggung oleh Pemerintah melalui APBN untuk Penerima
Bantuan Iuran (PBI) sebesar 96,6 juta orang, dan APBD
sebesar 36 juta orang oleh Pemerintah Daerah. Pada Perpres
64/2020 mulai dikenalkan kontribusi dari Pemerintah
Daerah untuk PBI APBN.
Sementara itu pada peserta PBPU dan BP, berdasarkan
Perpres 64/2020, mulai 1 Juli 2020 iuran peserta PBPU dan
BP Kelas 1 disesuaikan menjadi Rp150.000,- per orang per
bulan. Kemudian untuk iuran peserta PBPU dan BP Kelas 2
adalah Rp100.000 per orang per bulan. Iuran tersebut masih
relative jauh di bawah perhitungan aktuaria, artinya bahwa
peserta Kelas 1 maupun Kelas 2 masih dibantu oleh segmen
kepesertaan yang lain. Peserta yang tidak mampu
membayar layanan kesehatan Kelas 1 dan Kelas 2 dapat
berpindah ke Kelas 3 yang hanya membayar Rp25.500,- per
orang per bulan, yaitu tarif yang jauh lebih murah dari tarif
untuk orang miskin sebesar Rp42.000,- yang dibayar oleh
negara. Adapun sisanya yaitu sebesar Rp16.500,- per orang
per bulan akan dibantu oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah melalui skema bantuan iuran peserta
PBPU dan BP kelas III.
2) Denda Layanan
22
Pada Perpres 64/2020 terjadi kenaikan denda layanan bagi
penunggak iuran menjadi 5% yang akan dikenakan mulai
tahun 2021. Pada pengaturan sebelumnya, yaitu di Perpres
82/2018, denda layanan adalah sebesar 2,5 % Denda (untuk
tahun 2021) yaitu sebesar 5% (lima persen) dari perkiraan
biaya paket Indonesian Case Based Groups berdasarkan
diagnosa dan prosedur awal untuk setiap bulan tertunggak
dengan ketentuan:
a. jumlah bulan menunggak paling banyak 12 (dua belas)
bulan; dan
b. besar denda paling tinggi Rp30.000.000,00 (tiga puluh
juta rupiah).
23
3) Relaksasi iuran pada masa pandemic Covid 19
Perpres 64/2020 diterbitkan pada situasi pandemi Covid-19.
Dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, peserta JKN yang
menunggak dapat mengaktifkan kembali kepesertaannya
dengan hanya melunasi tunggakan iurannya selama 6 bulan,
hal ini memberikan kelonggaran dari keharusan pelunasan
selama 24 bulan.
TAHUN PERHITUNGAN BESAR DENDA
PALING TINGGI
2020 2,5% X Bulan Tunggakan
(Maksimal 12 Bulan) X
Diagnosa CBG’s Awal
Rp 30 juta
2021 5% X Bulan Tunggakan
(Maksimal 12 Bulan) X
Diagnosa CBG’s Awal
Rp 30 juta
SKEMA PEMBAYARAN DENDA TAHUN 2020 DAN
2021
24
LAMA
TUNGGAKAN
PEMBAYARAN STATUS KET.
1 – 6 Bulan 1 – 6 Bulan Aktif Berlaku spt
saat ini; tidak
membayar 1
bulan (sd 31
bulan
berjalan),
tidak aktif
6 – 24 Bulan Maksimal 6
Bulan
Aktif Sisa
Tunggakan
harus dilunasi
2021
Sisa tunggakan yang belum terbayar, akan diberikan
kelonggaran sampai dengan tahun 2021. Demikian juga
perlakukan untuk permasalahan denda pada masa pandemi
Covid-19 pada tahun 2020 ini pemberian dukungannya
adalah pengenaan denda yang masih menggunakan %
(persentase) awal yaitu 2,5% belum dikenakan denda
sebesar 5%.
4) Waktu Peninjauan Iuran dan Standar yang Digunakan
Perpres 64/2020 ini juga mengatur bahwa besaran iuran
untuk setiap segmen kepesertaan akan ditinjau paling lama
2 (dua) tahun sekali menggunakan standar praktik aktuaria
jaminan sosial yang lazim dan berlaku umum. Tentunya
dengan mempertimbangkan tingkat inflasi di bidang
SIMULASI RELAKSASI IURAN
25
kesehatan, biaya kebutuhan jaminan kesehatan, dan
kemampuan membayar iuran. Pengusulannya dilakukan
oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) kepada
Presiden RI.
5) Perbaikan Tata Kelola
Melalui Perpres 64/2020 ini, Pemerintah juga terus
mengupayakan perbaikan tata kelola sistem layanan
kesehatan. Menteri Kesehatan bersama Kementerian/
Lembaga terkait, organisasi profesi, dan asosiasi fasilitas
kesehatan (faskes) melakukan peninjauan manfaat sesuai
kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar
paling lambat Desember 2020.
Defisit Dana DJS Kesehatan Pasca Penerbitan Perpres
64/2020 di Masa Pandemi
Defisit DJS kesehatan merupakan mismatch antara penerimaan
dengan pengeluaran. Defisit ditunjukkan dengan kondisi
pengeluaran lebih besar dari pada penerimaan yang diperoleh
sehingga menyebabkan kas negatif (defisit). Telah diketahui di
atas, bahwa dari awal pelaksanaan program JKN, DJS telah
mengalami defisit. Defisit yang dialami oleh DJS Kesehatan
bisa bertambah besar dalam hal tidak ada intervensi Pemerintah
secara langsung untuk menutup/mengurangi defisit tersebut.
Pada awal perjalanan program, untuk menutup defisit DJS yang
dilakukan adalah melakukan penggunaan dana yang ada pada
26
BPJS Kesehatan selaku korporasi dan hal ini dimungkinkan
secara regulasi. Mekanisme yang dimungkinkan oleh BPJS
Kesehatan selaku korporasi dalam membantu DJS Kesehatan
adalah melalui hibah surplus korporasi kepada DJS Kesehatan.
Selain itu, terdapat mekanisme lainnya yaitu penggunaan
mekanisme dana talangan dari aset BPJS kepada aset DJS.
Kedua mekanisme tersebut telah dilakukan pada awal-awal DJS
Kesehatan mengalami defisit, sehingga tidak ada mekanisme
lainnya diluar menaikkan iuran selain dari intervensi Pemerintah
melalui mekanisme penanaman modal negara (PMN) dan
bantuan Pemerintah. Dukungan Pemerintah pada Program JKN
dalam bentuk:
a. Bantuan iuran kepada masyarakat miskin (PBI);
b. Iuran Pemberi kerja bagi PNS/TNI/Polri (PPU
Pemerintah); dan
c. Last resort pembiayaan JKN (PMN & Dana Cadangan)
Intervensi Pemerintah dilakukan setelah semua kebijakan yang
ditempuh dalam bauran kebijakan Pemerintah dan BPJS
Kesehatan dilakukan secara maksimal. Sehingga bisa dikatakan
bahwa intervensi Pemerintah disini Pemerintah sebagai last
resort pendanaan program. Defisit DJS Kesehatan sebagaimana
dijelaskan di awal telah terjadi pada awal-awal pelaksanaan
program, sehingga mulai tahun 2015, Pemerintah telah
mennyuntikkan dana bantuan kepada DJS Kesehatan. Secara
berurutan, bantuan yang diberikan Pemerintah yaitu:
Tahun 2015; intervensi Pemerintah dilakukan dalam
bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp5
27
triliun yang terdiri dari Rp3,46 triliun sebagai pengganti
dana operasional dan 1,5 triliun PMN murni.
Tahun 2016; mengingat kondisi DJS Kesehatan masih
dalam kondisi defisit, maka Pemerintah melakukan
interensi sebagaimana tahun sebelumnya yaitu dengan
menggunakan mekanisme PMN sebesar 6,8 triliun.
Tahun 2017, kondisi defisit DJS masih berlanjut,
sehingga Pemerintah tetap melakukan intervensi.
Namun, dalam intervensi yang dilakukan oleh
Pemerintah tersebut, mekanisme yang digunakan tidak
dalam bentuk PMN namun dalam bentuk belanja.
Sebesar Rp3,6 triliun
Tahun 2018, keadaan Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS
Kesehatan masih defisit. Pemerintah berusaha untuk
mengurangi defisit tersebut dalam bentuk belanja
sebesar Rp10,3 triliun.
Namun, mekanisme intervensi Pemerintah dalam bentuk
PMN ini menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan karena
tidak sesuai dengan filosofis dari PMN, sehingga Pemerintah
ketika melakukan intervensi DJS Kesehatan yang masih dalam
keadaan defisit adalah melalui mekanisme bantuan Pemerintah
(model belanja). Dalam mekanisme belanja ini, maka bantuan
pemerintah tidak menjadi tanggungan/kewajiban DJS
Kesehatan untuk mengembalikan dana tersebut ke Pemerintah.
28
Meskipun intervensi yang dilakukan oleh Pemerintah
telah dilakukan baik dalam bentuk PMN/ bantuan pemerintah
maupun dalam bentuk kebijakan kebijakan (bauran kebijakan),
namun kondisi DJS Kesehatan tetap menunjukkan defisit yang
berkelanjutan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat titik kunci penyelesaian defisit DJS Kesehatan belum
tersentuh yaitu iuran premi yang masih belum ekonomis.
Meskipun tahun 2016 telah dilakukan perbaikan iuran, namun
secara penghitungan aktuaria masih jauh dari ekonomis
sehingga defisit masih terjadi. Untuk itulah Perpres 75/2019
diterbitkan agar defisit DJS Kesehatan segera terselesaikan.
Namun ketika defisit kesehatan telah mulai berangsur angsur
berkurang, Perpres 75/2019 terhenti dengan keputusan MA yang
membatalkan pemberlakukan kenaikan iuran PBPU yang hal ini
tentunya berpengaruh kembali kepada kembalinya trend defisit
DJS kedepan. Untuk itulah Perpres 64/2020 diterbitkan oleh
Pemerintah sebagai pelanjut Perpres 75/2019 sekaligus
memperbaiki kondisi-kondisi lainnya di bidang layanan.
29
Pengaruh Perpres 64/2020 yang diterbitkan pada masa
pandemi sebagai kelanjutan Perpres 75/2019 dalam penanganan
defisit dapat dilihat dari sisi laporan arus kas DJS Kesehatan
sebagai berikut:
Uraian Tahun
2018 (dalam
triliun)
2019 (dalam
triliun)
2020
(dalam
triliun)
Penerimaan 83,09 107,61 135,40
Pengeluaran 93,54 107,63 116,66
Defisit/
Surplus
(10,45) (0,02) 18,74
Dari tabel diatas terlihat adanya kenaikan perbaikan defisit
secara signifikan telah terjadi pada tahun 2019, meskipun secara
nominal masih menunjukkan adanya negatif. Tahun 2020 pada
prinsipnya hanya melanjutkan adanya trend positif yang telah
dilakukan sejak tahun 2019. Artinya kenaikan iuran yang
diambil pemerintah adalah kebijakan produktif yang mampu
menyelesaikan permasalahan defisit DJS Kesehatan. Dari tabel
dimaksud dapat dipahami juga bahwa trend perbaikan defisit
yang telah dimulai pada tahun 2019 tersebut tidak terlepas dari
penerbitan Perpres No.75/2019 yang secara substansi adalah
kenaikan iuran jamkes secara proporsional dengan
mempertimbangkan penghitungan aktuaria. Adapun penerbitan
30
Perpres 64/2020 adalah berperan sebagai penghubung dari
Perpres 75/2019 yang kenaikan iuran dibatalkan MA tersebut.
Dengan diterbitkannya Perpres 64/2020 kenaikan iuran tetap
dilakukan oleh Pemerintah namun dengan tetap
mempertimbangkan kemampuan peserta.
Kondisi keuangan DJS Kesehatan yang berangsur sehat ini
ditunjukkan dengan kemampuan BPJS Kesehatan dalam
membayar seluruh tagihan pelayanan kesehatan secara tepat
waktu kepada seluruh fasilitas kesehatan, termasuk juga
penyelesaian pembayaran atas tagihan tahun 2019. Kondisi
tersebut diharapkan terus membaik dan dapat diertahankan
setiap tahunnya, sehingga diharapkan mulai tahun ini BPJS
Kesehatan bisa melakukan pencadangan memenuhi persyaratan
tingkat kesehatan keuangan DJS Kesehatan sesuai regulasi.
Di sisi lain, masih ada satu pekerjaan rumah yang perlu
diselesaikan yaitu terkait dengan upaya pemenuhani amanat
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2018 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013
tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan. Dalam
pasal 37 disebutkan kesehatan keuangan aset DJS Kesehatan
diukur berdasarkan aset bersih DJS Kesehatan dengan ketentuan
yaitu paling sedikit harus mencukupi estimasi pembayaran
klaim untuk 1,5 bulan ke depan, dan paling banyak sebesar
estimasi pembayaran klaim untuk 6 bulan ke depan.
Aset neto yang sehat ini dihitung, jika dalam istilah
asuransi bisa dikatakan sebagai modal minimum atau Risk
Based Capital (RBC) dari DJS Kesehatan untuk mengelola
31
Program JKN-KIS. Tentu upaya penyehatan DJS Kesehatan ini
terus diupayakan Pemerintah untuk memastikan pelayanan
kesehatan bagi peserta tetap optimal.
Kondisi saat ini di tahun 2020, asset netto masih
membukukan posisi negative sebesar Rp6,3T. Apabila
dibandingkan dengan kondisi aset netto pada posisi akhir tahun
2019 sebesar negative Rp51 triliun, hal ini tentunya mengalami
perbaikan yang cukup pesat. Apabila kondisi ini tetap
dipertahankan pada tahun 2021, maka bisa dipastikan kondisi
kesehatan aset DJS kesehatan yang tercermin dengan kondisi
aset netto pada tahun 2021 akan bisa mencapai angka positif.
Rekomendasi
1. Pandemi covid 19 masih belum bisa ditentukan waktu
penyelesaiannya. Hal ini tentunya akan menurunkan tingkat
ekonomi secara makro yang berdampak pada penghasilan
PBPU dan BP sehingga menurunkan kemampuan
membayar iuran dan menyebabkan terjadinya tunggakan
iuran.
2. Perpres 64/2020 memberikan ruang bagi Pemerintah daerah
untuk berkontribusi khususnya dalam pendanaan, sehingga
perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara simultan.
3. Bantuan Pemerintah terhadap PBPU dan BP kelas III perlu
dimitigasi risiko dengan kemampuan keuangan negara,
karena beban APBN yang besar telah dilakukan untuk
pembayaran iuran JKN melaui kepesertaan PBI dan
PNS/TNI Polri. Langkah ini diperlukan karena kenaikan
32
iuran akan memberikan peluang peserta kelas I dan kelas II
memilih untuk turun ke kelas III sehingga bantuan Negara
dan Pemda menjadi bertambah.
4. Koordinasi yang intens antara seluruh pemangku
kepentingan dalam mengawal pelaksanaan Perpres 64/2020
perlu dilakukan secara intenn, demikian juga sosialisasi atas
Perpres 64/2020 dan peraturan turunannya perlu
diintenskan secara masif agar diperoleh pemahaman yang
sama dalam implementasi di lapangan.
5. Aturan-aturan pendukung/ teknis Perpres 64/2020 perlu
segera diselesaikan, sekaligus melakukan evaluasi atas
peraturan peraturan yang ada selama ini.
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia (2004). Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Negara
Republik Indonesia, (2011). Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Republik Indonesia, 2020. Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun
2020 tentang Perubahan Kedua tentang Peraturan Presiden
Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Jakarta
Kajian Defisit Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019-2020
34
EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PMK
78/PMK.02/2020 DI DAERAH DALAM MASA
PANDEMI COVID 19
Oleh : Ayu Paramita Hapsari
Pengertian Jaminan Kesehatan
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 diamanatkan bahwa tujuan
negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam
Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu
dengan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
kesejahteraan seluruh rakyat.
Sistem jaminan sosial nasional merupakan program
negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001,
Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial
nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi
masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu.
35
Dengan ditetapkannya UU SJSN dan UU BPJS, bangsa
Indonesia telah memiliki sistem Jaminan Sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan sosial
bagi masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu.
Penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip: kegotongroyongan,
nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas,
kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan
Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya
kepentingan Peserta. Jenis – jenis program jaminan sosial dalam
UU SJSN meliputi : jaminan Kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian.
Definisi Jaminan Kesehatan berdasarkan Perpres 82 Tahun
2018 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana diubah yang
kedua dengan Perpres 64 tahun 2020 adalah Jaminan berupa
perlindungan kesehatan agar Peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang
yang telah membayar Iuran Jaminan Kesehatan atau Iuran
Jaminan Kesehatannya dibayar oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah.
Kondisi Jaminan Kesehatan Nasional
Jumlah peserta JKN telah mencapai mencapai 82% dari
36
total penduduk atau sebesar 223 juta jiwa,1 dengan komposisi
sebagai berikut:
(i) Penerima Bantuan Iuran
(Program Jaminan Kesehatan fakir miskin dan orang tidak
mampu yang dibayar oleh Pemerintah Pusat melalui APBN
dan Pemda melalui APBD) sebanyak 133,5 juta jiwa atau
59,9% dan
(ii) Bukan Penerima Bantuan Iuran yang terdiri dari
a. Pekerja Penerima Upah (Setiap orang yang bekerja
pada pemberi kerja dengan menerima gaji atau upah.
antara lain: PNS, BUMN, BUMD, dan Swasta)
sebanyak 54,1 juta jiwa atau 24,2%,
b. Pekerja Bukan Penerima Upah (Setiap orang yang
bekerja atau berusaha atas risiko sendiri yang mampu
membayar iuran. Antara lain: Dokter/ Bidan Prakter
Swasta, Pedagang/ Penyedia Jasa, Petani/ Peternak,
Nelayan, Supir, Ojek) sebesar sebanyak 30,4 juta jiwa
atau 13,6%,
c. Bukan Pekerja (Setiap orang yang bukan termasuk
masyarakat yang didaftarkan dan iurannya dibayar oleh
Pemerintah Pusat/ Daerah, PPU serta PBPU) sebanyak
5 juta jiwa atau 2,2%.
Pemerintah sangat mendukung keberlangsungan program
1 Disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara
pada Media Birefing “Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional“ tanggal 14
Mei 2020.
37
JKN hal itu dibuktikan dengan dukungan pemerintah kepada
BPJS Kesehatan sebagai badan penyelenggara dari tahun 2018
sampai dengan 2020, yaitu sebagai berikut:
Dukungan
Pemerintah
Tahun 2018 Tahun 2019 Tahun 2020
PBI 25,5T 35,8T 48,8T
Tambahan Pemda 6,8T 13,0T 18,1T
Bantuan Pemerintah 10,3T - -
PPU 5,4T 6,5T 11,1T
PBPU dan BP - - 3,1T
Total 48,0T 55,3T 81,1T
Sejak awal dilaksanakannya program JKN pada tahun
2014 telah terjadi defisit DJS Kesehatan yaitu sebesar Rp1,9 T,
pada tahun 2015 sebesar Rp9,4 T, tahun 2016 sebesar Rp6,7 T
dan melonjak tinggi pada tahun 2017 yaitu Rp13,8 T. Pada tahun
2018 telah diterbitkan Perpres 82 Tahun 2018 dengan harapan
dapat mengurangi defisit dan memang defisit DJS Kesehatan
sedikit berkurang yaitu sebesar Rp 9,1 T pada tahun 2018.
Hal tersebut terjadi karena penyebab utama defisit belum
teratasi yaitu mismatch antara penerimaan iuran dengan
pengeluaran. Untuk itu pada tahun 2019 diterbitkan Perpres 75
Tahun 2019 dengan harapan dapat mengatasi defisit DJS
Kesehatan. Dalam Perpres 75 diatur penyesuaian besaran iuran
38
JKN yaitu:
Kelas
Perawatan
Perpres 82 Tahun
2018
Perpres 75 Tahun
2019
PBI Rp42.000 Rp42.000
Kelas III Rp25.500 Rp42.000
Kelas II Rp51.000 Rp110.000
Kelas I Rp80.000 Rp150.000
Tentu terbitnya Perpres 75 Tahun 2019 telah melalui
pembahasan yang panjang dan sesuai dengan Pasal 38 ayat (1)
Perpres 82 Tahun 2018 bahwa “Besaran iuran ditinjau paling
lama 2 (dua) tahun sekali.”
Perpres 64 Tahun 2020 tentang perubahan Kedua atas
Peraturan Presiden nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan
Kesehatan
Tidak lama setelah terbit Perpres Nomor 75 Tahun 2019
tentang Jaminan Kesehatan, Komunitas Pasien Cuci Darah
Indonesia (KPCDI) mengajukan permohonan judicial review
dan atas permohonan tersebut terbit Putusan Mahkamah Agung
(MA) No: 7 P/HUM/2020 yang intinya menyatakan bahwa
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019
mengenai kenaikan iuran Jaminan Kesehatan yang
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan untuk kelas I, II dan III
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dampak Putusan MA tersebut antara lain: (i) besaran
iuran peserta PBI menjadi lebih besar dari iuran kelas III, (ii)
39
kondisi keuangan DJS Kesehatan akhir tahun 2020
diperkirakan akan mengalami defisit sebesar Rp6,9T apabila
dihitung dengan carry over defisit tahun 2019 sekitar Rp15,5
T, (iii) mulai tahun 2021, DJS Kesehatan akan mengalami
defisit yang semakin melebar, dan (iv) putusan MA akan
mempercepat terjadinya defisit JKN yang apabila dilakukan
menggunakan iuran sesuai Perpres 75/2019 mulai tahun 2014,
dan (iv) diperlukan langkah signifikan untuk menjaga
kesinambungan program.
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka
disusunlah Perpres perubahan kedua atas Perpres Nomor 82
Tahun 2018 yaitu Perpres Nomor 64 Tahun 2020. Penyusunan
tersebut dilakukan melalui mekanisme pengajuan izin prakarsa
kepada Presiden. Pemrakarsa dari penyusunan Perpres ini
adalah Menteri Keuangan, yang dalam hal ini dikoordinasikan
oleh Direktorat Jenderal Anggaran dimana secara teknisnya
dilaksanakan oleh Direktorat Harmonisasi Peraturan
Penganggaran. Tujuan utama Perpres 64/2020 untuk
memperbaiki struktur iuran, meningkatkan kepatuhan
pembayaran iuran, dan memberikan relaksasi di masa pandemi
covid-19. Beberapa kebijakan yang diatur dalam Perpres
64/2020 antara lain:
a. Kebijakan Iuran
Kebijakan iuran yang mulai berlaku 1 Juli 2020, yaitu: (i)
Iuran bagi Peserta PBI JK yaitu sebesar Rp42.000 per
orang per bulan (POPB), (ii) Iuran bagi Peserta PPU yaitu
5% dari gaji atau upah per bulan dengan ketentuan 4%
40
dibayar oleh Pemberi kerja dan 1% dibayar oleh Peserta
dengan batas tertinggi Rp12.000.000,- dan batas terendah
adalah upah minimum Kab/Kota., (iii) Iuran bagi peserta
PBPU dan BP kelas III yaitu sama dengan PBI JK tetapi
dengan ketentuan: Tahun 2020, sebesar Rp25.500 POPB
dibayar oleh peserta dan sebesar Rp16.500 POPB dibayar
oleh Pemerintah Pusat sebagai bantuan iuran, serta sebesar
Rp25.500 POPB dibayar oleh Pemda untuk penduduk Ex
PBI Pemda dan untuk Tahun 2021, sebesar Rp35.000
POPB dibayar oleh peserta, dimana sebesar Rp7.000
POPB dibayar oleh Pemerintah Pusat dan Pemda sebagai
bantuan iuran, serta Rp35.000 POPB dapat dibayar oleh
Pemda Sebagian atau seluruhnya, (iv) Iuran bagi peserta
PBPU dan BP kelas II yaitu Rp100.000 POPB, dan (v)
Iuran bagi peserta PBPU dan BP kelas I yaitu Rp150.000
POPB.
Kebijakan iuran untuk bulan Januari – Maret 2020, yaitu:
(i) Iuran bagi peserta PBPU dan BP kelas III sebesar
Rp42.000 POPB, (ii) Iuran bagi peserta PBPU dan BP
kelas II sebesar Rp110.000 POPB, dan (iii) Iuran bagi
peserta PBPU dan BP kelas I sebesar Rp160.000 POPB.
Kebijakan iuran untuk bulan April – Juni 2020, yaitu: (i)
Iuran bagi peserta PBPU dan BP kelas III sebesar
Rp25.500 POPB, (ii) Iuran bagi peserta PBPU dan BP
kelas II sebesar Rp51.000 POPB, dan (iii) Iuran bagi
peserta PBPU dan BP kelas I sebesar Rp80.000 POPB
b. Relaksasi Pengaktifan kepesertaan
41
Karena pandemi covid-19 peserta JKN yang menunggak
dapat mengaktifkan kembali kepesertaannya dengan
melunasi tunggakan iuran selama 6 bulan, yang
sebelumnya harus melunasi 24 bulan. Apabila masih
memiliki sisa tunggakan akan diberi kelonggaran sampai
dengan tahun 2021.
c. Relaksasi pembayaran denda
Untuk tahun 2020, Peserta yang sebelumnya menunggak
dan telah aktif kembali hanya diwajibkan membayar denda
sebesar 2,5% dari perkiraan paket INACBG, atas
pelayanan yang diperolehnya di faskes rujukan tingkat
lanjutan. Sebelum Perpres 64/2020 berlaku, denda yang
dikenakan adalah 5%, dan denda ini akan kembali berlaku
pada tahun 2021 dan seterusnya.
42
PMK No. 78/PMK.02/2020 tentang Pelaksanaan
Pembayaran Kontribusi Iuran Peserta PBI Jaminan
Kesehatan, Iuran Peserta PBPU dan Peserta BP dengan
Manfaat Pelayanan di Ruang Perawatan Kelas III, dan
Bantuan Iuran Bagi Peserta PBPU dan Peserta BP dengan
Manfaat Pelayanan di Ruang Perawatan Kelas III Oleh
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
Untuk melaksanakan Peraturan Presiden 64/2020 Pasal
29 ayat (5) yang terkait dengan kontribusi pembayaran Iuran
bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan yang dibayarkan oleh
Pemerintah Daerah dan Pasal 34 ayat (5) yang terkait dengan
bantuan Iuran kepada Peserta PBPU dan Peserta BP dengan
manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III telah pula
disusun Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.02/2020, yang efektif berlaku mulai 1 Juli 2020.
Peraturan Menteri Keuangan dimaksud antara lain mengatur
mengenai:
a. pelaksanaan pembayaran Bantuan Iuran oleh Pemerintah
Pusat, dan
b. pelaksanaan pembayaran Kontribusi Iuran Peserta PBI, Iuran
Peserta PBPU dan Peserta BP dengan manfaat pelayanan di
ruang perawatan kelas III, dan bantuan iuran oleh Pemda.
Adapun beberapa hal pokok yang di atur dalam PMK
78/PMK.02/2020 adalah:
a. Sharing kewajiban iuran antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
43
Kewajiban
Pemerintah Pusat
Kewajiban Pemerintah
Daerah
Bantuan Iuran PBPU dan BP
Kls 3
• Thn 2020: Rp16.500
• Thn 2021 dst: Rp 4.200
(dibagi Pusat: Daerah
yaitu 60:40; dari total
bantuan Rp7.000)
Kontribusi Pemda dalam PBI
• Thn 2020: (tidak ada, kapasitas
Pemda belum mampu)
• Thn 2021 dst: dibayar
oleh Provinsi
sebesar Rp2.000; Rp2.100; atau
Rp2.200 sesuai kapasitas fiskal
Iuran Peserta PBPU dan BP Kls 3
• Thn 2020: Atas kewajiban
Peserta ex PBI Pemda:
Rp25.500
• Thn 2021 dst: dapat
membayar
sebagian/seluruhnya dari total
kewajiban iuran Peserta sebesar
Rp35.000
Bantuan Iuran PBPU dan BP Kls
3
• Thn 2020: - (tidak ada, semua
ditanggung Pusat)
• Thn 2021 dst: Rp2.800 (dibagi
Pusat:
Daerah yaitu 60:40; dari total
bantuan Rp7.000)
b. Pembayaran bantuan iuran oleh Pemerintah Pusat dilakukan
44
melalui pembayaran Bantuan Iuran oleh KPA BUN kepada
BPJS Kesehatan. KPA pembayaran adalah Kemenkeu c.q.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Pembayaran bantuan
iuran tersebut meliputi tata cara:
(i) Penyediaan dana: bantuan iuran dialokasikan dalam
APBN dan/atau APBNP pada BA 999.08 Pos Cadangan
Lainnya
(ii) Pencairan dana: BPJS Kesehatan setiap bulan
menyampaikan surat tagihan berdasarkan perhitungan
iuran jamkes peserta kelas III dengan status aktif kepada
KPA BUN.
(iii) Pertanggungjawaban dana
KPA BUN bertanggung jawab secara formal atas
penyaluran Bantuan Iuran dari rekening Kas Negara ke
rekening BPJS Kesehatan.
Direksi BPJS Kesehatan bertanggung jawab secara
formal dan materiil atas kebenaran data Peserta Aktif,
kebenaran perhitungan Bantuan Iuran dan penggunaan
Bantuan Iuran yang diterimanya.
(iv) Pengawasan
APIP melakukan pengawasan atas pembayaran bantuan
iuran.
c. Mekanisme pembayaran iuran yang menjadi kewajiban
Pemerintah Daerah meliputi mekanisme:
(i) Pembayaran oleh KPA Pemda terkait, dapat diuraikan
sebagai berikut:
45
Pemerintah Daerah membayar kewajiban iuran
setiap bulan kepada BPJS Kesehatan berdasarkan
data aktif peserta PBI jaminan Kesehatan dan peserta
PBPU dan peserta BP dengan manfaat pelayanan di
ruang perawatan kelas III. Pemerintah Daerah dan
BPJS Kesehatan melakukan rekonsiliasi untuk
menyepakati dan menetapkan: jumlah peserta dan
besaran kontribusi iuran peserta PBI, jumlah peserta
dan iuran peserta kelas III, dan jumlah peserta dan
Bantuan iuran atas peserta kelas III
Pemerintah daerah melakukan pembayaran
kontribusi iuran peserta PBI, iuran peserta kelas III
dan bantuan iuran sesuai tagihan dari BPJS
Kesehatan
(ii) Penetapan tunggakan, dengan uraian sebagai berikut:
BPJS Kesehatan mencatat tunggakan pembayaran
kontribusi iuran peserta PBI, iuran peserta PBPU dan
peserta BP dengan manfaat pelayanan di ruang
perawatan kelas III sebagai piutang BPJS Kesehatan
paling banyak 24 bulan
Dalam hal pemerintah daerah tidak dapat
menyelesaikan pembayaran, BPJS Kesehatan dapat
menyampaikan permohonan penyelesaian
tunggakan pembayaran melalui pemotongan DAU
dan/atau DBH
Tunggakan yang dapat diajukan permohonan
pemotongannya dilakukan setelah melampaui
46
jangka waktu 6 bulan setelah upaya penagihan
optimal oleh BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan dan Pemerintah Daerah melakukan
rekonsiliasi untuk menyepakati besaran jumlah
tunggakan.
Penetapan besaran tunggakan memperhitungkan:
selisih lebih dari jumlah realisasi kontribusi
penerimaan pajak rokok dan pemotongan
penerimaan pajak rokok yang telah disetor
BPJS dapat meminta bantuan BPKP untuk
melakukan audit besaranya tunggakan, dalam hal:
Pemda tidak bersedia melakukan rekonsiliasi; atau
tidak tercapai kesepakatan besarnya tunggakan.
(iii) Pemotongan DAU/DBH dengan KPA: Kemenkeu c.q.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
(berdasarkan permintaan BPJS setelah melakukan
upaya penagihan optimal)
BPJS Kesehatan mengajukan permohonan
pemotongan DAU dan/atau DBH berdasarkan
penetapan besaran tunggakan
DJPK melakukan perhitungan pemotongan DAU
dan/atau DBH dengan mempertimbangkan besarnya
permintaan pemotongan, besarnya penyaluran,
sanksi pemotongan dan/atau penundaan lainnya dan
kapasitas fiskal daerah.
47
Survey Efektivitas Implementasi PMK 78
Mengingat substansi yang diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 64 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 78/PMK.02/2020 berdampak luas bagi
masyarakat terkait dengan kesinambungan program JKN,
namun di sisi lain juga membawa konsekuensi beban anggaran
tambahan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka
dipandang perlu untuk melakukan survey guna memperoleh
gambaran riil mengenai efektivitas implementasi Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.02/2020 di daerah.
Adapun survey dimaksud telah dilakukan pada bulan
Oktober 2020 pada Pemerintah Daerah dan Kantor Cabang
BPJS Kesehatan, yang dipilih secara sampling mewakili 34
provinsi di Indonesia.
Gambaran terkait survey Efektivitas Implementasi
PMK 78/2020 antara lain:
a. Tujuan :
memperoleh gambaran riil mengenai efektivitas
implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.02/2020 di daerah
b. Responden :
berjumlah 122 orang dengan 52 orang responden KC BPJS
Kesehatan dan 70 orang responden Pemda yang disampling
di tiap Kedeputian wilayah BPJS Kesehatan.
c. Metode Analisis :
48
metode ROCCIPI (Rule, Opportunity, Communication,
Interest, Process dan Ideology). Metode ini digunakan untuk
mencari penyebab yang melatarbelakangi tingkat kepatuhan
stakeholders dalam melaksanakan PMK 78/PMK.02/2020
dengan uraian sebagai berikut:
Uraian Tujuan
Rule (Peraturan) keterkaitan antara PMK
78/PMK.02/2020 dengan peraturan
perundang-undangan lain yang
terkait. Di samping itu aspek
substansi, sistematika dan
redaksional sudah dirumuskan
dengan baik dan benar atau tidak
yang berpengaruh pada
pemahaman, komitmen dan
kemampuan stakeholders untuk
melaksanakan kewajiban yang
diatur dalam PMK
78/PMK.02/2020.
Opportunity
(Kesempatan)
sejauh apa stakeholders merespon
aturan yang telah ditetapkan PMK
78/PMK.02/2020. Apakah aturan-
aturan tersebut menciptakan
peluang baru (eksternalitas) bagi
pemangku kepentingan untuk tidak
mematuhi ketentuan yang diatur
dalam PMK 78/PMK.02/2020.
49
Capacity
(Kemampuan)
melihat kemampuan stakeholders
dalam menenuhi kewajiban yang
diatur dalam PMK
78/PMK.02/2020 baik karena
sebab aturan itu sendiri maupun
faktor lain seperti ketersediaan
waktu, anggaran, dan mekanisme
kerja.
Communication
(Komunikasi)
dilihat apakah masalah yang timbul
dikarenakan permasalahan
komunikasi baik yang disebabkan
oleh Kementerian Keuangan (DJA)
atau stakeholders itu sendiri.
Interest (Minat) dieksplorasi keuntungan dan
kelebihan yang menjadi penyebab
minat stakeholders mematuhi
ketentuan yang diwajibkan oleh
PMK 78/PMK.02/2020.
Process (Proses) dilihat sejauh apa mekanisme yang
diatur dalam PMK
78/PMK.02/2020 dipahami oleh
stakeholders.
Ideology
(Keyakinan)
dilihat sejauh apa stakeholders
meyakini bahwa pengendalian dan
evaluasi merupakan bagian penting
dari sistem perencanaan sehingga
50
stakeholders secara sukarela
(voluntary) ketentuan dalam PMK
78/PMK.02/2020.
Dengan ROCCIPI, survei ini pada intinya mencoba
mengeksplorasi Komitmen dan Kemampuan: (i) sejauh apa
konsensus dan komitmen stakeholders dalam melaksanakan
kewajiban yang diatur dalam PMK 78/2020; dan (ii) sejauh
apa kemampuan stakeholders dalam memahami dan
melaksanakan PMK 78/2020, termasuk peran instansi
dalam meningkatkan kemampuan stakeholders. Namun
sebelum alat analisa ROCCIPI ini diterapkan, perlu dibuat
kriteria kunci yang nantinya akan digunakan untuk
mengukur tingkat komitmen dan kemampuan dalam
menjalankan kewajiban yang diatur dalam PMK
78/PMK.02/2020. Namun karena keterbatasan yang ada,
maka kajian ini tidak mengeksplorasi seluruh kriteria.
Kajian ini hanya mengkaji 15 (lima belas) kriteria prioritas
yang ditentukan sebagai berikut:2
2 Kriteria dikembangkan dalam forum rapat Direktorat HPP pada tanggal 1
Oktober 2020.
51
ROCCIPI KRITERIA
SKOR
(1=kurang berpengaruh,
9=sangat berpengaruh)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
RULE Keselarasan dengan
peraturan perundang-
undangan lainnya
v
Rumusan substansi jelas
dan dapat dimengerti
v
Tugas dan fungsi
(kewenangan) para puhak
diuraikan dengan jelas dan
terukur
v
Para pihak terkait
dicantumkan dengan
lengkap dan jelas
v
Telah dilengkapi dengan
peraturan perundang-
undangan turunan atau
aplikasi bagi
implementasi
v
OPPORTUNI
TY
Munculnya eksternalitas
(perlikau dampak) positif
v
Munculnya ekternalitas
(perilaku dampak) negatif
v
CAPACITY Ketersediaan waktu v
Ketersediaan SDM/
kompetensi
v
Ketersediaan anggaran v
52
ROCCIPI KRITERIA
SKOR
(1=kurang berpengaruh,
9=sangat berpengaruh)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
RULE Keselarasan dengan
peraturan perundang-
undangan lainnya
v
Ketersediaan sarana
prasarana
v
Mekanisme implementasi
(mudah/sulit)
v
COMMUNIC
ATION
Sosialisasi regulasi
(campaign dll)
v
Internalisasi regulasi
(fasilitasi, bimtek)
v
Upaya pentaatan melalui
komunikasi
v
Feedback for
improvement
v
Recognition
(penghargaan atas
ketaatan)
v
INTEREST Keuntungan bila mentaati v
Biaya atau kerugian bila
tidak mentaati
v
Peluang yang diperoleh
bila mentaati
v
Resiko bila tidak mentaati v
53
ROCCIPI KRITERIA
SKOR
(1=kurang berpengaruh,
9=sangat berpengaruh)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
RULE Keselarasan dengan
peraturan perundang-
undangan lainnya
v
PROCESS Kejelasan deskripsi para
pihak terkait
v
Kejelasan tugas fungsi
para pihak
v
Kejelasan mekanisme atau
proses bisnis
v
Alat bantu atau aplikasi
bagi implementasi
v
Tatalaksana bagi
implementasi
v
IDEOLOGY Pelaksanaan monitoring
dan evaluasi atas
implementasi
v
Social pressure (bila tidak
melaksanakan)
v
Sanksi formal bagi
pelanggaran
v
Kriteria prioritas yang dipilih mewakili setiap unsur
ROCIPPI. Oleh karenanya setiap unsur paling tidak ada satu
kriteria yang dipilih, selebihnya merupakan kriteria yang
54
mendapatkan nilai tertinggi. Berdasarkan hasil penilaian
tersebut, prioritas kriteria yang dipilih adalah sebagai berikut:
1. Keselarasan dengan peraturan perundang-undangan
lainnya
2. Rumusan substansi jelas dan dapat dimengerti
3. Tugas dan fungsi (kewenangan) para puhak diuraikan
dengan jelas dan terukur
4. Munculnya ekternalitas (perilaku dampak) negatif
5. Ketersediaan waktu
6. Ketersediaan anggaran
7. Mekanisme implementasi (mudah/sulit)
8. Sosialisasi regulasi (campaign dll)
9. Upaya penataan melalui komunikasi
10. Feedback for improvement
11. Keuntungan bila mentaati
12. Biaya atau kerugian bila tidak mentaati
13. Kejelasan tugas fungsi para pihak
14. Kejelasan mekanisme atau proses bisnis
15. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi atas
implementasi
Kelima belas kriteria tersebut merupakan dasar penyusunan
kuesioner yang akan disampaikan kepada stakeholders.
d. Kuesioner
Kuesioner terdiri 25 pertanyaan (Jenis pertanyaan: 8
pertanyaan isian (32%) dan 17 pertanyaan ya/tidak (68%)).
55
Dari 17 pertanyaan ya/tidak, 16 pertanyaan dengan “ya”
bermakna positif (94%) dan 1 pertanyaan dengan jawaban
“ya” bermakna negatif (6%)). Kuesioner pendalaman terdiri
dari 4 pertanyaan pokok. (Kuesioner Terlampir)
ROCCIPI
Hasil Analisis
dan
Interpretasi
Interpretasi
Rule
98% responden mengetahui bahwa
salah satu tujuan ditetapkannya PMK
78/2020 adalah untuk melaksanakan
Perpres 64/2020 dalam rangka menjaga
kualitas dan kesinambungan program
JKN termasuk kebijakan iuran yang
perlu disinergikan dengan kebijakan
keuangan negara.
Dengan sebagian besar responden
(74%) hanya membaca di bawah 3 kali,
namun 98% responden sudah
mengetahui tujuan utama ditetapkannya
PMK 78/PMK.02/2020.
Salah satu asas menurut Undang-
Undang 12 Tahun 2011 yang
berpengaruh pada efektifitas
implementasi dari sebuah peraturan
perundang-undangan adalah “Asas
56
Kejelasan Rumusan”, baik kejelasan
sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa yang digunakan. Dengan
demikian maka peraturan perundang-
undangan menjadi jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
Terkait dengan isi dalam PMK
78/PMK.02/2020:
97% responden menyatakan
kewenangan para pihak yang diatur
sudah jelas.
96% responden menyatakan
rumusan pasal dalam PMK
78/PMK.02/2020 mudah dipahami
96% responden menyatakan PMK
78/PMK.02/2020 telah disusun
secara sistematis
Dengan demikian maka tidak ada
masalah dalam perumusan kata,
kalimat, dan sistematika dari PMK
78/PMK.02/2020 yang berpengaruh
terhadap implementasi PMK
78/PMK.02/2020 itu sendiri.
Asas lainnya yakni asas kepastian
hukum (Het Rechtszekerheids
Beginsel). Dalam asas ini peraturan
perundang-undangan harus selaras
dengan peraturan perundang-undangan
57
lainnya, dengan demikian maka tidak
boleh ada peraturan perundang-
undangan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lain.
Terkait dengan isi dalam PMK
78/PMK.02/2020:
84% responden menyatakan tidak
terdapat pasal yang bertentangan
dengan pasal lain di dalam PMK
78/PMK.02/2020.
98% responden menyatakan PMK
78/PMK.02/2020 Selaras dan saling
melengkapi dengan peraturan lain
yang terkait
Opportunity
76% responden menyatakan bahwa
pelaksanaan pembayaran kewajiban
iuran sebagaimana diatur dalam PMK
78/PMK.02/2020 berdampak pada
pencapaian target kinerja
unit/instansinya. Sebagian besar
responden menyatakan pencapaian
target kinerja menjadi lebih baik. Hal ini
memperlihatkan bahwa dengan adanya
ketentuan yang mengatur dalam PMK
tersebut, secara umum mempengaruhi
kinerja unit/instansi menjadi semakin
optimal.
Capacity
salah satu asas peraturan adalah asas
dapat dilaksanakan (Het Beginsel van
Uitvoerbaarheid). Oleh karenanya agar
58
peraturan tersebut dapat dilaksanakan,
perlu mempertimbangkan aspek
kemampuan dari pihak yang akan
melaksanakan aturan tersebut
82% responden menyatakan
pemberlakuan PMK
78/PMK.02/2020 pada 1 Juli 2020
menyediakan waktu yang memadai
untuk dapat dilaksanakannya
pembayaran sesuai ketentuan dalam
PMK dimaksud.
88% responden menyatakan
pengaturan baru mengenai
kewajiban iuran dalam PMK
78/PMK.02/2020 dapat
diakomodasi dalam penganggaran
pada instansi/unit masing-masing.
95% responden menyatakan sistem,
prosedur, dan mekanisme yang ada
pada instansi/unit masing-masing
dapat mengakomodasi pelaksanaan
ketentuan yang diatur dalam PMK
78/PMK.02/2020.
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
kapasitas instansi/unit telah memadai
dalam rangka memenuhi ketentuan-
ketentuan dalam PMK
78/PMK.02/2020
Communication
Adagium hukum mengatakan bahwa
begitu peraturan diundangkan dalam
59
Lembaran Negara, maka setiap orang
dianggap tahu peraturan tersebut.
Peraturan akan lebih efektif bila
disosialisasikan dan disampaikan
kepada masyarakat. Bahkan lebih jauh
dari itu, peraturan akan lebih efektif bila
dilakukan proses internalisasi baik
melalui bimbingan teknis yang intensif
maupun melalui advokasi
(pendampingan).
72% responden menyatakan pernah
mendapatkan informasi mengenai
PMK 78/PMK.02/2020 dari
Kementerian Keuangan (DJA)?
97% responden menyatakan
informasi yang pernah didapatkan
tersebut membantu dalam
menegakkan ketentuan dalam PMK
78/PMK.02/2020.
46% responden yang pernah
melakukan konsultasi mengenai
pelaksanaan PMK 78/PMK.02/2020
dengan pihak Kementerian
Keuangan apakah Kementerian
Keuangan (DJA) menyampaikan
tanggapan.
Secara umum DJA sudah
menyampaikan informasi PMK
78/PMK.02/2020 secara optimal,
namun demikian, dalam hal komunikasi
dua arah, responden yang pernah
60
melakukan konsultasi ke DJA hanya
sedikit yang mendapatkan tanggapan
yang sesuai. Proses komunikasi yang
baik merupakan proses komunikasi dua
arah, masing-masing pihak harus
melaksanakan dua fungsi secara
bersamaan, baik sebagai penyampai
pesan (sender) maupun sebagai
penerima pesan (receiver) dengan baik
dan efektif, sehingga pesan yang ingin
disampaikan dapat diterima dengan baik
oleh penerima pesan.
Interest
Minat stakeholders untuk melaksanakan
PMK 78/PMK.02/2020 dapat juga
ditentukan oleh keuntungan apa yang
dapat diperoleh stakeholders jika
mematuhi ketentuan yang ada di
dalamnya. Jika berdampak positif bagi
instansi atau memberikan manfaat bagi
instansi, maka tanpa ada sanksi pun,
PMK 78/PMK.02/2020 akan terlaksana
dengan efektif. Dalam hal ini, 87%
responden menyatakan bahwa dengan
diimplementasikannya ketentuan dalam
PMK 78/PMK.02/2020, hal tersebut
membawa dampak positif bagi
instansi/unit masing-masing
Process
Kejelasan mekanisme yang diatur dalam
PMK 78/PMK.02/2020 juga merupakan
hal yang berpengaruh terhadap
efektifitas implementasi PMK
61
78/PMK.02/2020. Semakin jelas
mekanisme yang diatur, semakin tinggi
tingkat kepatuhan dalam melaksanakan
PMK 78/PMK.02/2020. Sebaliknya jika
mekanisme yang diatur tidak jelas,
stakeholders enggan melaksanakannya.
Dalam hal ini,
98% responden menyatakan bahwa
ketentuan dalam PMK
78/PMK.02/2020 sudah jelas.
85% responden menyatakan bahwa
prosedur/mekanisme dalam PMK
78/PMK.02/2020 mudah
dilaksanakan.
Ideology Pemantauan dan evaluasi atas PMK
78/PMK.02/2020 merupakan bagian
penting dari manajemen sebagai bentuk
kontrol atas keefektifan peraturan
maupun pelaksanaan ketentuan di
dalamnya oleh para stakeholders,
namun demikian, 54% responden
menyatakan bahwa sampai dengan saat
ini, telah dilaksanakan monitoring dan
evaluasi atas implementasi PMK
78/PMK.02/2020 di unit/instansi
masing-masing.
Adapun kesimpulan dari hasil yang telah disampaikan di
atas adalah :
1) Hampir seluruh responden mengetahui dan memahami
62
PMK 78/2020 (tujuan pengaturan, kejelasan rumusan,
kewenangan para pihak, serta mekanisme dan prosedur
yang diatur, dan dampak dari pengaturan).
2) Mengenai substansi, seluruh responden menyatakan
PMK 78/2020 telah selaras dengan regulasi yang ada,
berdampak pada target kinerja, berdampak positif bagi
unit/instansi, kewenangan para pihak jelas, mekanisme
mudah dipahami.
3) Mengenai implementasi, sebagian besar responden
menyatakan PMK 78/2020 dapat diimplementasikan,
dan menyediakan waktu yang cukup untuk alokasi dan
pelaksanaan pembayaran.
4) Mengenai sosialisasi, meskipun sebagian besar telah
mendapatkan informasi mengenai PMK 78/2020, dan
yakin bahwa sosialisasi mampu membantu menegakkan
ketentuan dalam PMK, namun sebagian responden
mengharapkan adanya feedback dalam konsultasi,
demikian juga dengan monev atas implementasinya.
5) PMK 78/2020 berdampak utamanya kepada iuran (34%),
anggaran (18%), peserta/kepesertaan (14%), pendapatan
(12%), kolektabilitas (11%).
6) Dampak jika PMK 78/2020 tidak diimplementasikan:
penundaan/pemotongan DAU (15%), pelayanan
kesehatan/perlindungan (12%),
sustainabilitas/keberlangsungan JKN (9%), anggaran
(6%), kolektabilitas (5%), defisit (3%)
7) Meskipun telah dilakukan sosialisasi secara intensif
63
terutama oleh BPJS Kesehatan, namun responden
menilai masih diperlukan
sosialiasi/koordinasi/monitoring/evaluasi dari pemangku
kepentingan (kementerian, Pemda, inspektorat dsb) yang
lebih massif.
8) Hasil analisis interpolasi untuk responden KC BPJS
Kesehatan (52) dan responden Pemda (70) searah dengan
hasil analisis untuk seluruh responden (122).
Hubungan antara Komitmen dan Kemampuan
Komitmen
Komitmen merupakan kesepakatan/perikatan antara dua pihak
atau lebih untuk melakukan sesuatu secara bersama.3 Karena
komitmen merupakan hasil sebuah kesepakatan/konsensus
maka diperlukan adanya permufakatan bersama yang dicapai
melalui kebulatan suara. Dengan adanya kesepakatan yang
dibangun melalui proses dialogis, maka diharapkan munculnya
komitmen bersama untuk mematuhi peraturan secara sukarela
dan sadar (voluntary compliance). Dalam konteks pembentukan
peraturan, hal ini dalam rangka memenuhi asas consensus (Het
Beginsel van Consencus). Namun asas ini dapat pula diperluas
penggunaannya, bukan sekedar digunakan dalam pembentukan
awal sebuah peraturan, asas ini dapat pula dijadikan dasar dalam
mengkaji mengapa sebuah peraturan yang telah ditetapkan tidak
efektif dalam pelaksanaannya. Kesepakatan-kesepakatan
3 Kamus Besar Bahasa Indonesia
64
tersebut dibuat dengan melibatkan dan mendengarkan masukan
pelaku kunci (key stakeholders) yang terkena dampak langsung
dari sebuah peraturan. Kesepakatan-kesepakatan yang dibangun
dapat berupa perubahan atas peraturan atau bukan perubahan
peraturan melainkan cara implementasi peraturan secara kreatif
dan efektif. Dalam hal efektifitas implementasi peraturan maka
kesepakatan harus dibangun dengan melibatkan seluruh
stakeholders.
Kemampuan
Efektifitas implementasi peraturan selain dipengaruhi oleh
faktor komitmen sebagaimana disebut di atas, sangat
dipengaruhi pula oleh faktor kemampuan dari para stakeholders
dalam memenuhi apa yang diperintahkan oleh PMK 78/2020.
Tanpa mempertimbangkan faktor kemampuan, maka komitmen
yang telah dibuat sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tadi
maka tidak dapat terlaksana dengan baik.
Hubungan antara komitmen dan kemampuan merupakan hal
yang berpengaruh terhadap efektifnya implementasi PMK
78/PMK.02/2020. Berikut adalah hubungan antara komitemen
dan kemampuan dari hasil survey yang telah dilakukan
Kombinasi kedua faktor kunci tersebut sangatlah menentukan
efektifitas peraturan.
65
KOMITMEN REFEENSI PERTANYAAN Score
Keselarasan
dengan Peraturan
Perundangan-
Undangan
Lainnya
(8) Responden menyatakan
selaras
98
(6) Responden menyataan
tidak ada pertentangan
dengan peraturan lain
84
Munculnya
Eksternalisasi
(Perilaku
Dampak)
(9) Resonden menyatakan
pelaksanaan pembayaran
kewajiban iuran sebagaimana
diatur dalam PMK
berdampak pada pencapaian
target kinerja unit/instansi
76
Feedback for
Improvement
(18) Responden yang
melakukan konsultasi
mengenai pelaksanaan PMK,
menyatakan Kementerian
Keuangan menyampaikan
tanggapan
46
Keuntungan Bila
Mentaati
(19) Responden menyatakan
Implementasi PMK
membawa dampak positif
bagi instansi/unit
87
Pelaksanaan
Monitoring dan
Evaluasi
(23) Responden menyatakan
telah dilakukan monev atas
PMK
54
RATA-RATA NILAI 74
66
KEMAMPUAN REFEENSI PERTANYAAN Score
Tugas dan Fungsi
(Kewenangan) Para
Pihak Diuraikan dengan
Jelas dan Terukur
(3) Responden menyatakan
kewenangan para pihak yang diatur
sudah jelas
97
Rumusan Substansi Jelas
dan Dapat Dimengerti
(4) Responden menyatakan
rumusan pasal dalam PMK
78/PMK.02/2020 mudah dipahami
96
(5) Responden menyatakan PMK
78/PMK.02/2020 telah disusun
secara sistematis
96
(1) Responden menyatakan
mengetahui tujuan
ditetapkannya PMK
78/PMK.02/2020
98
Sosialisasi
(14) Responden menyatakan pernah
mendapatkan informasi mengenai
PMK 78/PMK.02/2020 dari
Kementerian Keuangan (DJA)
72
(16) Responden menyatakan
informasi yang pernah didapatkan
tersebut membantu dalam
menegakkan ketentuan dalam PMK
78/PMK.02/2020
97
Kemudahan Mekanisme
Implementasi
(22) Responden menyatakan
prosedur/mekanisme dalam PMK
78/PMK.02/2020 mudah
dilaksanakan
85
(11) Responden menyatakan PMK
78/PMK.02/2020 pada 1 Juli 2020
menyediakan waktu yang memadai
untuk dapat dilaksanakannya
pembayaran sesuai ketentuan dalam
PMK dimaksud
82
67
(12) Responden menyatakan
pengaturan baru mengenai
kewajiban iuran dalam PMK
78/PMK.02/2020 dapat
diakomodasi dalam penganggaran
pada instansi/unit
88
(13) Responden menyatakan sistem,
prosedur, dan mekanisme yang ada
pada instansi/unit Saudara dapat
mengakomodasi pelaksanaan
ketentuan yang diatur dalam PMK
78/PMK.02/2020
95
Kejelasan
Mekanisme/Proses
Bisnis
(21) Responden menyatakan
adanya kejelasan mekanisme/proses
bisnis
98
RATA-RATA NILAI 91
RATA-RATA AKHIR = (KOMITMEN+KEMAMPUAN):2 83
Berdasarkan penilaian sebagaimana tersebut di atas, maka dapat
diketahui posisi responden dalam matriks hubungan antara
komitmen dengan konsensus sebagai berikut:
68
Dari matriks tersebut, nampak posisi responden ada di kuadran
I, dengan tingkat komitmen yang tidak terlalu tinggi (74) dan
tingkat kemampuan pada angka yang tinggi (91). Dengan
adanya komitmen yang tinggi dan kemampuan yang tinggi
untuk memahami materi yang diatur di dalam peraturan maka
implementasi peraturan dapat terlaksana dengan baik.
Selanjutnya, perlu adanya peningkatan kualitas baik di sisi
komitmen maupun kemampuan agar efektifitas pelaksanaan
PMK 78/2020 dapat ditingkatkan, terutama terkait dengan:
a) Proses konsultasi terkait PMK 78/PMK.02/2020, dimana
DJA perlu menyampaikan tanggapan ke seluruh
stakeholders yang meminta informasi/berkonsultasi dengan
jawaban yang sesuai dengan yang diinginkan.
b) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap
69
implementasi PMK 78/PMK.02/2020 agar dilaksanakan
secara berkala sehingga akan meningkatkan kualitas
implementasi PMK tersebut.
c) Pelaksanaan penyampaian informasi/sosialisasi dari DJA
perlu ditingkatkan lingkup dan kualitas substansinya.
Rekomendasi
Atas hasil survey implementasi PMK 78/2020 yang telah
dilakukan masih terdapat beberapa catatan antara lain:
a. Perlu perbaikan kualitas baik di sisi komitmen maupun
kemampuan agar efektifitas pelaksanaan PMK 78/2020
dapat ditingkatkan, terutama terkait dengan (i) proses
konsultasi terkait PMK 78/2020, dimana DJA dan/atau
pemangku kepentingan perlu menyampaikan tanggapan ke
seluruh pemangku kepentingan yang meminta
informasi/berkonsultasi secara jelas dan mudah, (ii)
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap
implementasi PMK tersebut, dan (iii) Pelaksanaan
penyampaian informasi atau sosialisasi oleh DJA dan/atau
pemangku kepentingan perlu ditingkatkan lingkup dan
kualitas substansinya.
b. Mengingat dalam PMK 78/2020 selain terdapat ketentuan
yang mulai berlaku 1 Juli 2020 juga terdapat ketentuan yang
berlaku mulai tahun 2021 sehingga dipandang perlu
dilakukan survey untuk mengetahui efektivitas
implementasi PMK 78/2020 di tahun 2021.
70
c. Selain untuk menilai sejauh apa komitmen stakeholders
dalam melaksanakan kewajiban yang diatur dalam PMK
78/2020 dan sejauh apa kemampuan stakeholders dalam
memahami dan melaksanakan PMK 78/2020, perlu diukur
juga bagaimana dampak PMK 78/2020 terhadap keuangan
negara.
Daftar Pustaka
Republik Indonesia, 2020. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.02/2020 tentang Pelaksanaan Pembayaran
Kontribusi Iuran Peserta PBI Jaminan Kesehatan, Iuran
Peserta PBPU dan Peserta BP dengan Manfaat Pelayanan
di Ruang Perawatan Kelas III, dan Bantuan Iuran Bagi
Peserta PBPU dan Peserta BP dengan Manfaat Pelayanan
di Ruang Perawatan Kelas III Oleh Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah.
Republik Indonesia, 2020. Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun
2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Republik Indonesia, 2019. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun
2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden nomor 82
Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Republik Indonesia, 2018. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun
2018 tentang Jaminan Kesehatan.
71
Republik Indonesia, 2011. Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undanganPeraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018
tentang Jaminan Kesehatan.
72
LAMPIRAN
KUESIONER SURVEI IMPLEMENTASI
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
78/PMK.02/2020
RULE
1 Apakah saudara mengetahui bahwa salah satu tujuan
ditetapkannya PMK 78/PMK.02/2020 adalah untuk
melaksanakan Perpres 64/2020 dalam rangka menjaga
kualitas dan kesinambungan program JKN termasuk
kebijakan iuran yang perlu disinergikan dengan
kebijakan keuangan negara?
a. Ya
b. Tidak
2 Sudah berapa kali Saudara membaca ketentuan dalam
PMK 78/PMK.02/2020?
a. membaca 1 (satu) kali
b. membaca 2 (dua) kali
c. membaca 3 (tiga) kali
d. membaca lebih dari 3 (tiga) kali
3 Terkait dengan isi dalam PMK 78/PMK.02/2020, apakah
kewenangan para pihak yang diatur sudah jelas?
a. Ya
b. Tidak
73
4 Apakah rumusan pasal dalam PMK 78/PMK.02/2020
mudah dipahami?
a. Ya
b. Tidak
5 Apakah PMK 78/PMK.02/2020 telah disusun secara
sistematis?
a. Ya
b. Tidak
6 Apakah terdapat pasal yang bertentangan dengan pasal
lain di dalam PMK 78/PMK.02/2020?
a. Ya
b. Tidak
7 Jika ada, Pasal berapa saja?
………………………………………..
8 Apabila dikaitkan dengan peraturan lain yang
berhubungan, apa pendapat Saudara atas PMK
78/PMK.02/2020?
a. Selaras dan saling melengkapi dengan peraturan lain
yang terkait
b. Tumpang tindih dan tidak selaras dengan peraturan
lain yang terkait atau seharusnya dapat diintegrasikan
dengan peraturan lain yang terkait
OPPORTUNITY
74
9 Apakah pelaksanaan pembayaran kewajiban iuran
sebagaimana diatur dalam PMK 78/PMK.02/2020,
berdampak pada pencapaian target kinerja unit/instansi
Saudara?
a. Ya
b. Tidak
10 Jika Ya, sebutkan/jelaskan 2 (dua) dampak yang paling
berpengaruh pada instansi/unit Saudara?
a. ....
b. ....
CAPACITY
11 Apakah pemberlakuan PMK 78/PMK.02/2020 pada 1
Juli 2020 menyediakan waktu yang memadai untuk
dapat dilaksanakannya pembayaran sesuai ketentuan
dalam PMK dimaksud?
a. Ya
b. Tidak
12 Apakah pengaturan baru mengenai kewajiban iuran
dalam PMK 78/PMK.02/2020 dapat diakomodasi dalam
penganggaran pada instansi/unit Saudara?
a. Ya
b. Tidak
13 Apakah sistem, prosedur, dan mekanisme yang ada pada
instansi/unit Saudara dapat mengakomodasi pelaksanaan
ketentuan yang diatur dalam PMK 78/PMK.02/2020?
a. Ya
75
b. Tidak
COMMUNICATION
14 Apakah Saudarai pernah mendapatkan informasi
mengenai PMK 78/PMK.02/2020 dari Kementerian
Keuangan (DJA)?
a. Ya
b. Tidak
15 Apakah Saudarai pernah mendapatkan informasi
mengenai PMK 78/PMK.02/2020 dari instansi/unit lain?
a. Ya, sebutkan .....
b. Tidak
16 Apakah informasi yang pernah Saudara dapatkan
tersebut membantu dalam menegakkan ketentuan dalam
PMK 78/PMK.02/2020?
a. Sangat membantu
b. Kurang membantu
c. Belum mendapat informasi
17 Apabila anda pernah mengalami permasalahan, apakah
anda pernah melakukan konsultasi tentang PMK
78/PMK.02/2020 dengan pihak Kementerian Keuangan
(DJA)?
a. Belum pernah mengalami permasalahan
b. Pernah melakukan konsultasi
76
c. Belum pernah melakukan konsultasi
18 Apabila anda pernah melakukan konsultasi mengenai
pelaksanaan PMK 78/PMK.02/2020 dengan pihak
Kementerian Keuangan, apakah Kementerian Keuangan
(DJA) menyampaikan tanggapan?
a. Ya
b. Tidak
INTEREST
19 Dengan diimplementasikannya ketentuan dalam PMK
78/PMK.02/2020, apakah hal tersebut membawa
dampak positif bagi instansi/unit anda?
a. Ada dampak positif
b. Tidak ada dampak positif
20 Bila ketentuan dalam PMK 78/PMK.02/2020 tidak
diimplementasikan, menurut Saudara apakah ada
biaya/dampak yang akan timbul atau berpotensi akan
timbul? (Sebutkan 2 (dua) saja)
a. ....
b. ....
PROCESS
21 Menurut anda, apakah ketentuan dalam PMK
78/PMK.02/2020 sudah jelas?
77
a. Sudah jelas
b. Belum jelas
22 Apakah prosedur/mekanisme dalam PMK
78/PMK.02/2020 mudah dilaksanakan?
a. Ya
b. Tidak
IDEOLOGY
23 Apakah telah dilaksanakan monitoring dan evaluasi atas
implementasi PMK 78/PMK.02/2020?
a. Ya
b. Tidak
SARAN
24 Saran/masukan atas implementasi PMK
78/PMK.02/2020 untuk tahun 2020
......................................
25 Saran/masukan untuk rencana implementasi tahun 2021,
dimana mulai terdapat kewajiban bagi Pemerintah
Daerah
…………………………………..
79
PEMBERIAN RELAKSASI IURAN BPJS
KETENAGAKERJAAN SEBAGAI KEBIJAKAN
DI MASA PANDEMI UNTUK MENDORONG
PEMULIHAN EKONOMI
80
PEMBERIAN RELAKSASI IURAN BPJS
KETENAGAKERJAAN SEBAGAI KEBIJAKAN
DI MASA PANDEMI UNTUK MENDORONG
PEMULIHAN EKONOMI
Oleh: Juniartha Reysisca Pinem
Dampak Pandemi tersebar disegala sektor
Tahun 2020 adalah tahun yang tidak mudah bagi Dunia
dikarenakan terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19). Indonesia menjadi salah satu negara yang
terdampak dari penyebaran virus COVID-19. Ribuan orang
tertular oleh virus ini dan salah satu strategi Pemerintah dalam
menekan penyebaran Covid-19 adalah dengan menetapkan
kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020
tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB
merupakan kebijakan yang bersifat membatasi kegiatan tertentu
penduduk di suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19)
Pandemi virus COVID-19 telah memberikan dampak yang
luas di berbagai sektor. Terhadap sektor industri yang terjadi
adalah, terdapat industri yang diuntungkan dan industri yang
justru tergerus akibat kondisi covid-19. “potential winner”
81
terjadi seperti pada industri kesehatan ( Rumah sakit, jasa
kesehatan, produk obat-obatan dan multivitamin) e-commerce
( dikarenakan pembatasan kegiatan di tempat ramai
kecenderungan berbelanja berpindah secara online), retail dan
pengolahan makanan (kebutuhan sandang pangan tetap harus
terpenuhi), pertanian (permintaan akan hasil pertanian juga tetap
tumbuh dan tingkat kesadaran manusia akan asupan yang benar
juga meningkat) dan komunikasi (segala sesuatu harus
dilakukan secara daring/online) , sedangkan “potensial losers’’
dalam industri tercatat 7 Sektor Industri paling terdampak
pandemi Covid-19 adalah 1Garment/Tekstil (1,9 Juta tenaga
kerja terdampak,) 2Restauran dan Rumah Makan (12 Ribu
tenaga kerja terdampak, Industri makanan dan minuman paling
terdampak virus corona), 3Transportasi (459 Ribu tenaga kerja
terdampak, Bisnis penerbangan kena imbas Corona) 4Perhotelan
( 532 Ribu tenaga kerja terdampak, Hotel dan Resto rumahkan
pegawai), 5Konstruksi terancam (Pengadaan barang dan jasa
dihentikan/ dialihkan ke biaya penanganan Covid-19) 6Perdagangan Barang dan Jasa ( Mal sepi, toko-toko tutup) dan 7Manufaktur (250 Ribu tenaga kerja terdampak). Dapat
disampaikan bahwa hampir seluruh sektor terdampak pandemi
ini, mulai kesehatan, sosial, ekonomi, termasuk di dalam
keberlangsungan dunia usaha dan ketenagakerjaan, baik pada
Pekerja, Pemberi Kerja maupun Badan Penyelenggara program
perlindungan jaminan sosial Ketenagakerjaan.
1 (detik.finance.com),2 (liputan6.com), 3(detik.com), 4(detik.com) 5(Surat Menkeu No S-47/MK.07/2020 terbit pada
82
27 Maret 2020), 6 (detik,com), 7 (koran tempo), media online
diakses pada rentang waktu Maret s.d. Juni 2020.
Pembatasan Sosial Berskala Besar berdampak pada
timbulnya permasalahan di lapangan dan sektor
ketenagakerjaan. Pertama dari sisi Pemberi Kerja dan Pekerja,
selama pandemi ini, sebagian besar usaha mengalami
penurunan, pada saat pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB), sebagian perusahaan bahkan tidak boleh
beroperasi. Akibatnya, ada perusahaan yang memutuskan untuk
merumahkan pekerja atau memerintahkan pekerja untuk bekerja
dari rumah. Pada satu sisi produksi berkurang dan cash flow
perusahaan terganggu, namun di sisi yang lain tetap harus
mengupah pekerjanya. Akibatnya, Pemberi kerja memilih tidak
menggaji penuh karyawannya atau tidak membayar tunjangan-
tunjangan lain seperti manfaat perlindungan jaminan sosial.
Bahkan tidak sedikit pemberi kerja yang memilih untuk
mengurangi jumlah pekerjanya melalui PHK. Kedua dari sisi
Badan Penyelenggara ketidakmampuan perusahaan membayar
iuran jaminan sosial ketenagakerjaan secara masif dapat
berdampak pada besaran Dana Jaminan Sosial.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanahkan
bahwa Setiap orang berhak atas jaminan sosial dan Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu. Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah sistem penyelenggaraan
program negara dan pemerintah untuk memberikan
perlindungan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi
83
kebutuhan dasar hidup yang layak, menuju terwujudnya
kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia. Jaminan
sosial diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki
yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya
pendapatan seseorang, baik karena memasuki usia lanjut atau
pensiun, maupun karena gangguan kesehatan, cacat, kehilangan
pekerjaan dan lain sebagainya.
Berdasarkan amanah tersebut Pemerintah menghadirkan
asuransi perlindungan bagi ketenagakerjaan. Undang-Undang
40 Tahun 2004 Tentang SJSN mengatur Pesertanya merupakan
yang telah membayar iuran dan mengamanatkan agar Pemberi
kerja (Baik Pemerintah dan Pihak Swasta) wajib mendaftarkan
diri dan pekerja sebagai peserta BPJS sesuai dengan jaminan
sosial yang ikuti. Sehingga berdasarkan amanah Undang-
Undang tersebut Negara berupaya selalu hadir dalam memenuhi
kebijakan yang dapat menjamin perlindungan dan kesejahteraan
bagi pekerja.
Pemulihan Ekonomi Nasional dan Ketenagakerjaan di
Indonesia
Kondisi pandemi ini berdampak pada perekonomian dan
secara langsung juga mempengaruhi keberlangsungan program
dan pengelolaan Dana Jaminan Sosial. Ketidakmampuan usaha
dan permasalah ketenagakerjaan akan mengganggu jalannya
pemulihan ekonomi yang menjadi permasalahan penting
Pemerintah dalam masa ini sehingga melakukan stimulus
84
kebijakan untuk menyelamatkan perekonomian melalui
program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional).
Program PEN bertujuan untuk melindungi,
mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi
pelaku usaha dalam menjalankan usaha dalam masa pandemi
virus Covid-19, yang membuat para pelaku kesulitan
mendapatkan pemasukan yang sebelum nya normal. Untuk
UMKM sendiri diharapkan program ini mampu
“memperpanjang nafas” UMKM dan meningkatkan kinerja
UMKM yang sudah berkontribusi pada perekonomian
Indonesia. 1PEN merupakan bagian dari kebijakan luar biasa yang
ditempuh pemerintah untuk memitigasi eskalasi dampak
pandemi COVID-19 dan perlambatan ekonomi yang tajam
terhadap kesejahteraan masyarakat. "Program PEN dirancang
untuk dapat mendukung pemulihan sisi permintaan maupun sisi
penawaran "Implementasi berbagai modalitas dalam program
PEN akan terus disempurnakan dan disesuaikan dengan
kebutuhan untuk memastikan tercapainya tujuan program PEN,
yaitu mempercepat pemulihan ekonomi nasional," Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan tujuan program
pemulihan ekonomi nasional (PEN) kepada anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) RI Dalam Rapat KEM PPKF.
Melihat hal tersebut jelas Pemerintah berusaha untuk
mengembalikan ekonomi menjadi normal kembali. Pemerintah
membuat kebijakan luar biasa untuk memitigasi dampak Covid-
19 dan pelambatan ekonomi dengan membuat Program
85
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk menjalankan laju
pertumbuhan perekonomian. Kebijakan-kebijakan yang tepat
akan mampu mendorong lajunya pertumbuhan ekonomi
Indonesia saat ini. Namun nyatanya kondisi di lapangan terjadi
perlambatan industri, cashflow yang menurun sehingga
berdampak pada permasalahan dunia usaha dan kelangsungan
bekerja pekerja/buruh. 2Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjan per 7 April
2020, dampak pandemi Covid-19, untuk sektor formal yang
dirumahkan dan di-PHK sebanyak 39.977 perusahaan. Jumlah
pekerja/buruh/tenaga kerja yang terdampak sebanyak 1.010.579
orang.
Rinciannya yakni pekerja formal dirumahkan sebanyak
873.090 pekerja/buruh dari 17.224 perusahaan dan di-PHK
sebanyak 137.489 pekerja/buruh dari 22.753 perusahaan.
Sementara jumlah perusahaan dan tenaga kerja terdampak di
sektor informal sebanyak 34.453 perusahaan dan jumlah
pekerjanya sebanyak 189.452 orang.
"Total jumlah perusahaan yang merumahkan pekerja dan PHK
sebanyak 74.430 perusahaan dengan jumlah
pekerja/buruh/tenaga kerja sebanyak 1.200.031 orang," kata
Menaker Ida Fauziyah dalam keterangan resminya (dikutip dari
CNBC News 9 April 2020).
Sementara itu BPS dalam berita resmi statistic melaporkan
struktur ketenagakerjaan di masa pandemi Covid-19 sebagai
berikut. Jumlah penduduk usia kerja 203,97 juta orang
(meningkat 2,78 juta orang) bekerja sebesar 128,45 juta orang.
86
Struktur angkatan kerja telah mengalami penurunan yakni
pekerja formal mengalami penurunan dibanding Agustus 2019
yaitu 4,59% terutama pada buruh/karyawan/pegawai sedangkan
pekerja informal naik dibanding Agustus 2019 dengan
peningkatan terbanyak pada status pekerja keluarga/tak bayar.
Tingkat pengangguran juga meningkat dibanding Agustus 2019
sebesar 7,07% (9,77 Juta orang). Tingkat pengangguran menurut
provinsi tertinggi tercatat di Provinsi DKI Jakarta sebesar
10,95%
Dampak Covid-19 terhadap penduduk usia kerja 2,56 juta
orang pengangguran karena Covid-19, Bukan Angkatan Kerja
karena Covid 19 ( penduduk usia kerja yang termasuk bukan
angkatan kerja dan memiliki pengalaman berhenti bekerja
karena Covid 19 pada periode Februari-Agustus 2020) sebesar
0,76 juta orang, Sementara tidak bekerja karena Covid 19
sebesar 1,77 juta orang dan bekerja dengan pengurangan jam
kerja (shorter hours) karena Covid-19 sebesar 24,03 juta orang.
Dari total penduduk usia kerja sebanyak 203,97 juta orang,
persentase penduduk usia kerja yang terdampak Covid -19
sebesar 12,28 persen.
Terlihat hal-hal tersebut di atas akan sulit untuk
mendorong lajunya pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa
pandemi Covid-19. Suatu perekonomian dikatakan mengalami
pertumbuhan jika jumlah produksi barang dan jasanya
meningkat. Artinya, pertumbuhan ekonomi menunjukkan
peningkatan aktivitas perekonomian di tengah masyarakat yang
87
menyebabkan kenaikan produksi barang dan jasa, serta berujung
pada bertambahnya pendapatan nasional.
Sedangkan berdasarkan hasil dari Laporan Badan Pusat
Statistik (BPS) Agustus 2020 menyebut bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen.
Sebelumnya, pada kuartal I 2020, BPS melaporkan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 2,97
persen, turun jauh dari pertumbuhan sebesar 5,02 persen pada
periode yang sama 2019 lalu. Dan jelas kinerja ekonomi yang
melemah ini turut pula berdampak pada situasi ketenagakerjaan
di Indonesia.
Melihat kondisi pertumbuhan ekonomi dari PDB yang
disampaikan oleh BPS terlihat bahwa Indonesia mengalami
pertumbuhan yang negatif di masa pademi.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy
Manilet dalam wawancara Bersama detik.com menerangkan
roda ekonomi yang terus bergerak membuat ekonomi terus
tumbuh. Jika ekonomi sebuah negara minus itu artinya kegiatan
ekonomi yang menjadi motor pertumbuhan lebih kecil dari
tahun sebelumnya. "Ekonomi minus itu, jumlah total output dari
kegiatan ekonomi di Indonesia selama 1 tahun penuh 2020
diprediksi lebih kecil dibandingkan tahun 2019," (detikcom,
Minggu (10/5/2020). Dengan output ekonomi yang berkurang,
tentu akan berdampak pada turunnya aktivitas ekonomi.
Sehingga apa yang bisa dikerjakan dalam dunia ekonomi
semakin sedikit. Dengan kegiatan ekonomi yang semakin
sempit, maka perusahaan tidak bisa menjalankan usahanya
88
seperti biasanya. Semakin sempit kegiatan bisnis akan memaksa
perusahaan melakukan penyesuaian.
Berbagai upaya penanggulangan dilakukan pemerintah
untuk meredam dampak dari pandemi Covid-19 di berbagai
sektor tersebut. Jelas hampir seluruh sektor terdampak, tak
hanya kesehatan. Sektor ekonomi juga mengalami dampak
serius akibat pandemi virus corona. Pembatasan aktivitas
masyarakat berpengaruh pada aktivitas bisnis yang kemudian
berimbas pada perekonomian. Sehingga Melalui Kementerian
Keuangan Pemerintah mengeluarkan kebijakan PEN. Sangat
jelas bahwa PEN merupakan bagian dari kebijakan luar biasa
yang ditempuh pemerintah untuk memitigasi eskalasi dampak
pandemi Covid-19 dan perlambatan ekonomi yang tajam
terhadap kesejahteraan masyarakat. Dan keberhasilan tujuan
PEN dapat disempurnakan dengan turut memitigasi factor-
faktor ketenagakerjaan yang mempengaruhi kenaikan
pendapatan melalui sektor industri.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Teori pertumbuhan menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi dan menentukan pertumbuhan ekonomi dalam
jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi adalah sebuah proses
dari perubahan kondisi perekonomian yang terjadi di suatu
negara secara berkesinambungan untuk menuju keadaan yang
dinilai lebih baik selama jangka waktu tertentu.
Definisi itu menjelaskan, pertumbuhan ekonomi menunjukkan
89
perubahan kondisi perekonomian di suatu negara yang menjadi
simbol keberhasilan pembangunan.
Salah satu contoh indikator pertumbuhan ekonomi ialah
produk domestik bruto (PDB) yang biasa dihitung dalam periode
tiga bulan (triwulan) dan tahunan. PDB mengukur dua hal, yakni
pendapatan total dari seluruh penduduk di sebuah wilayah
ekonomi, dan jumlah keseluruhan nilai belanja barang dan jasa
di kawasan perekonomian itu. Oleh karena itu, PDB
didefinisikan sebagai nilai pasar seluruh barang dan jasa yang
diproduksi suatu negara pada periode tertentu.
Dalam perkembangan studi ekonomi makro terdapat
banyak teori pertumbuhan ekonomi. Namun secara umum
terdapat Teori Pertumbuhan Ekonomi yang memfokuskan
terhadap pentingnya modal dan ketenagakerjaan dalam suatu
pertumbuhan ekonomi. Teori Pertumbuhan Neoklasik adalah
model pertumbuhan ekonomi yang menguraikan bagaimana
tingkat pertumbuhan ekonomi bisa stabil hanya jika tiga
kekuatan ekonomi ikut bermain: tenaga kerja; modal; dan
teknologi.
Dikutip dari laman Corporate Finance Institute
diantaranya Teori pertumbuhan ekonomi Harold Domar yang
mengemukakan pentingnya pembentukan modal atau investasi
sebagai syarat mencapai pertumbuhan ekonomi yang kokoh
(steady growth). Bila pembentukan modal telah dilakukan,
perekonomian diprediksi dapat memproduksi barang-barang
dalam jumlah yang lebih besar. Teori Harod Domar menyatakan
bahwa sumber pertumbuhan adalah besarnya porsi pendapatan
90
domestik bruto (PDB) yang ditabung, sebagai capital
stock untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
Teori pertumbuhan Solow-Swan adalah model
pertumbuhan ekonomi yang menguraikan bagaimana tingkat
pertumbuhan ekonomi bisa stabil hanya jika tiga kekuatan
ekonomi ikut bermain: tenaga kerja; modal; dan teknologi.
Solow-Swan menyatakan bahwa ekuilibrium ekonomi jangka
pendek adalah hasil dari setiap jumlah tenaga kerja dan modal
yang memainkan peran penting dalam proses produksi. Teori
tersebut berdalil bahwa perubahan teknologi secara signifikan
mempengaruhi fungsi ekonomi secara keseluruhan. Namun,
teori ini menekankan pada asumsinya bahwa sebuah
keseimbangan akan berlangsung sementara, atau keseimbangan
jangka pendek. Berbeda dari keseimbangan jangka panjang,
yang tidak memerlukan salah satu dari ketiga faktor tersebut.
BPS menyampaikan bahwa 64,13% PDB Indonesia
berasal dari Industri, Pertanian, Perdagangan, Kontruksi dan
Pertambangan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa
pandemi mengalami penurunan. BPS menyampaikan pada
kuartal I 2020 tumbuh sebesar 2,97 persen, dan pada kuartal II
2020 minus 5,32 persen. Kondisi perlambatan ekonomi yang
saat ini terjadi di Indonesia jelas sangat dipengaruhi oleh tidak
stabilnya tiga kekuatan ekonomi yakni tenaga kerja, modal, dan
teknologi.
Mengutip dari wawancara Ekonom Center of Reform on
Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet dalam wawancara
Bersama detik.com (detikcom, Minggu (10/5/2020).
91
menerangkan roda ekonomi yang terus bergerak membuat
ekonomi terus tumbuh. Jika ekonomi sebuah negara minus itu
artinya kegiatan ekonomi yang menjadi motor pertumbuhan
lebih kecil dari tahun sebelumnya. "Ekonomi minus itu, jumlah
total output dari kegiatan ekonomi di Indonesia selama 1 tahun
penuh 2020 diprediksi lebih kecil dibandingkan tahun 2019,"
Dengan output ekonomi yang berkurang, tentu akan berdampak
pada turunnya aktivitas ekonomi. Sehingga apa yang bisa
dikerjakan dalam dunia ekonomi semakin sedikit. Dengan
kegiatan ekonomi yang semakin sempit, maka perusahaan tidak
bisa menjalankan usahanya seperti biasanya. Semakin sempit
kegiatan bisnis akan memaksa perusahaan melakukan
penyesuaian.
Hal tersebut sangat dipahami oleh Pemerintah dan
terimplementasi dalam kebijakan Pemerintah, mengingat
pentingnya perananan Industri untuk mendorong laju
pertumbuhan ekonomi. Olehkarena itu pemberian stimulus
kebijakan yang tepat di bidang ketenagakerjaan akan sangat
berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah tidak
tinggal diam melihat kondisi tersebut, berbagai stimulus pun
dikeluarkan untuk menyelamatkan permasalahan
ketenagakerjaan, di antaranya program kartu pra kerja, program
bantuan subsidi upah bagi pekerja peserta BPJS
Ketenagakerjaan dengan gaji di bawah lima juta rupiah dan
pemberian relaksasi iuran jaminan sosial ketentagakerjaan
selama masa pandemi yang akan kita bahas lebih lanjut dalam
tulisan ini.
92
Untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi salah
satunya adalah dengan mengambil kebijakan yang memperkuat
ekonomi melalui kekuatan tenaga kerja dan modal. Sebagaima
disampaikan di awal tulisan bahwa kondisi Industri dilapangan
adalah adanya penurunan cashflow perusahaan sehingga
berdampak pada permasalahan dunia usaha dan kelangsungan
bekerja pekerja/buruh. Maka dari itu kebijakan pemberian
relaksasi atau keringanan iuran akan sangat membantu pemberi
kerja dan dapat dimanfaatkan oleh pemberi kerja/badan usaha
untuk menunda pembayaran iuran jaminan sosial
ketenagakerjaan. Karena faktanya iklim usaha yang masih
belum baik membuat pemberi kerja/badan usaha melakukan
efisiensi kegiatan bisnis, salah satunya menunda kewajiban
iuran jaminan sosial ketenagakerjaan ataupun mengurangi
jumlah pegawai atau bahkan menutup badan usaha.
Relaksasi Iuran ketenagakerjan adalah penyesuaian iuran
program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pemberi kerja,
peserta penerima upah, dan peserta bukan penerima upah
tertentu, selama bencana non-alam penyebaran Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19).
Tujuan dari pemberian relaksasi adalah Mengedepankan
perlindungan hak-hak jaminan sosial ketenagakerjaan bagi
peserta. Meringankan beban pemberi kerja dan peserta serta
menjaga kesinambungan program perlindungan jaminan sosial
ketenagakerjaan dan dalam rangka mendukung upaya
pemulihan perekonomian & kelangsungan usaha.
93
Bagaimana Latar belakang penetapan Peraturan Pemerintah
Nomor 49 Tahun 2020?
Berdasarkan Surat BPJS Ketenagakerjaan (TK) No.
B.3219/042020, tanggal 3 April 2020 kepada Kemenko
Perekonomian (dengan tembusan Menteri Keuangan) yang
meminta dukungan regulasi relaksasi iuran akibat Covid-19 dan
perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 44, 45, 46 Tahun 2015
tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian
(JKM), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Hari Tua ( JHT) atas
permohonan dunia usaha dan Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif.
Sementara itu para pelaku sektor industry dalam hal ini
pemberi kerja, menyampaikan berbagai Isu kepesertaan
jaminan sosial ketenagakerjaan kepada BPJS Ketenagakerjaan
antara lain adanya PHK tenaga kerja, pekerja yang dirumahkan
dan gaji tidak dibayarkan, pemotongan gaji, penurunan hari
kerja, pengadaan barang dan jasa untuk jasa kontruksi
dihentikan atau bahkan dialihkan ke biaya penangan Covid
sebagaimana Surat Menteri Keuangan Nomor S-
247/MK.07/2020 dan Pengiriman PMI dihentikan sebagaimana
keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 151 Tahun 2020.
Selanjutnya Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
telah ditetapkan merupakan bencana nonalam yang statusnya
sebagai bencana nasional dan telah mengakibatkan
meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda,
meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, serta
94
menimbulkan implikasi pada aspek ekonomi dan sosial yang
berdampak luas di Indonesia.
Hal-hal tersebut di atas menjadi dasar Pemberi kerja
untuk berharap adanya langkah ataupun bantuan dari BPJS
Ketenagakerjaan maupun Pemerintah untuk dapat merespon
kondisi industri yang sedang mengalami kesulitan, Pemerintah
diharapkan memberikan stimulus ekonomi di bidang
ketenagakerjaan, sehingga para pemberi kerja menyampaikan
usulan-usulan agar mendapatkan keringanan pembayaran
maupun bantuan atas kondisi pandemi yang telah menghantam
jalannya usaha dan kesejahteraan pekerja.
EKSPEKTASI PERUSAHAAN KEPADA BP
JAMSOSTEK
No Permintaan Peserta Jumlah
PK/BU
%PK/BU
1 Penundaan Pembayaran &
Tidak Kena Denda
Administrasi
1.006 55,55%
2 Status Peserta Non Aktif
selama dirumahkan tapi
tidak di PHK
228 12,59%
3 Pembatalan
Kepesertaan/Penundaan
Kepesertaan
332 17,78%
95
4 Penurunan Upah 179 9,88%
1.735 95,80%
5 Pembebasan Iuran sesuai
Arahan Pemerintah
35 1,93%
6 Sudah di PHK
seluruh/sebagian
37 2,04%
7 Penurunan Program 4 0,22%%
Jumlah 1.811 100%
*Sumber data PU Besar dan Menengah per 6 April 2020 dari
BPJS Ketenagakerjaan
Di sisi lain akibat kondisi pandemi ini potret kinerja BPJS
Ketenagakerjaan juga turut mengalami penurunan.
Kinerja 2019 2020
(awal)
Realisasi
s.d. 30 Juni
Outlook
s.d Des
2020
^%
1 Tenaga
Kerja Aktif
34.354.268 40.602.735 28.737.698 30.150.000 (25,74)
2 Iuran (Rp
Milliar)
76.038 87.100 36.561 53.479 (38,60)
3 Pembayaran
Jaminan
(Rp miliar)
30.864 32.956 15.729 39.981 21,32
4 Dana
Investasi
(Rp
Milliar)
443.181 543.624 430.125 456.133 (16,09)
96
5 Hasil
Investasi
(Rp miliar)
36.126 48.231 28.737.698 29.105 (39,65)
*Sumber Laporan Semester BPJS Ketenagakerjaan per 30 Juni
2020
Keterangan:
1. Target peserta tenaga kerja aktif turun sebesar 25,7% (10,5
juta Orang) karena adanya PHK dan perlambatan ekonomi
di seluruh sektor.
2. Besaran iuran yang dibayarkan oleh peserta mengalami
penurunan sebesar 38,6% (Rp33,7 T) karena adanya
relaksasi besaran iuran untuk Program JKK dan JKM
menjadi sebesar 1% mulai Juli 2020.
3. Pembayaran jaminan (klaim) kepada peserta meningkat
sebesar 21,3% (Rp7 T) karena banyaknya pekerja yang di-
PHK dan mengambil JHT-nya dengan asumsi sebanyak
2.777.170 Tenaga Kerja.
4. Dana Investasi yang dikelola s.d. akhir tahun 2020
diperkirakan turun sebesar 16,1% (Rp87,5 T) karena
berkurangnya iuran yang diterima sebagai dampak
relaksasi, meningkatnya jumlah pembayaran klaim, serta
perubahan strategi investasi untuk menjaga likuiditas.
5. Hasil investasi atas hasil pengembangan diperkirakan
turun sebesar 39,7% (Rp19 T) karena menurunnya tingkat
97
indeks harga saham gabungan terhadap beberapa
instrumen investasi
Dengan pertimbangan hal-hal tersebut di atas ini,
Pemerintah perlu melakukan tindakan khusus untuk menjaga
kesinambungan penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan akibat kondisi pandemi Corona Virus Disease
2019 karena telah mengakibatkan implikasi yang luas dan saling
berkaitan baik dari aspek ekonomi dan sosial. Kerugian bagi
perusahaan akan berpotensi terhadap ketidakmampuan
perusahaan memenuhi hak pekerja/buruh termasuk membayar
iuran jaminan sosial ketenagakerjaan, ketidakmampuan
perusahaan membayar iuran jaminan sosial ketenagakerjaan
secara masif dapat berdampak pada kesinambungan
penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan
hal tersebut menjadi multiplier effect yang akan mempegaruhi
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Selain pertimbangan kondisi pandemi di Indonesia yang
sudah diuraikan di atas, dalam mengambil suatu kebijakan
Pemerintah juga dapat mempertimbangkan kebijakan-kebijakan
di negara lain yang dapat dijadikan benchmarking dalam
pengambilan kebijakan. Sebagaimana kita ketahui bahwa
Penyebaran Corona Virus Disease 2019 telah terjadi di hampir
seluruh belahan dunia, sehingga dinyatakan sebagai pandemi
global. Setiap negara memiliki kebijakan masing-masing dalam
menghadapi pandemi ini. Hal ini tidak terlepas menjadi bagian
yang diperhatikan Pemerintah dalam pertimbangan penyusunan
98
peraturan sehingga menghasilkan suatu kebijakan yang tepat
yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik di Indonesia.
No Negara Bentuk Stimulus
1 Cina 1. Pengurangan kontribusi iuran
jaminan sosial untuk sector
yang terkena dampak krisis.
2. Membebaskan konribusi
jaminan pensiun,
pengangguran dan kecelakaan
kerja sampai Juni 2020 untuk
perusahaan skala kecil dan
menengah
2 Jepang 1. Pengurangan kontribusi iuran
jaminan sosial unuk sector yang
terkena dampak krisis dengan
kategori perusahaan skala kecil
dan menengah.
2. Orang yang diasuransikan
dalam skema pensiun nasional
dapat mengabaikan kontribusi
mereka jika menganggur, pailit
ataupun penangguhan.
3. Penangguhan pembayaran
kontribusi jaminan sosial
dilakukan untuk pengusaha
yang mengalami kesulitan
99
memenuhi kewajiban, sehingga
dapat mengajukan perpanjangan
tenggat waktu pembayaran yang
bisa mencapai 6 bulan.
3 Thailand 1. Pengurangan kontribusi iuran
jaminan sosial untuk sector
yang terkena dampak krisis.
2. Kontribusi jaminan social dari
pengusaha dilakukan
pengurangan sebesar 1 %
sampai bulan Agustus.
4 Brazil Membebaskan sementara
pengusaha dari kontribusi jaminan
sosial untuk pesangon selama 3
bulan.
5 Jerman Pembebasan kontribusi untuk
perusahaan yang memberlakukan
pengurangan jam kerja
karyawan mereka,
melalui pengangguran
parsial dan pekerjaan jangka
pendek.
6 Spanyol Pembebasan kontribusi untuk
perusahaan yang memberlakukan
pengurangan jam kerja
karyawan mereka,
100
melalui pengangguran
parsial dan pekerjaan jangka
pendek.
7 Argentina Pengusaha yang pendapatannya
sangat menurun karena dampak
COVID19, terutama di sector
pariwisata, hotel dan transportasi
mendapat pengecualian kontribusi
jaminan social.
8 Aljazair Penangguhan pembayaran
kontribusi jaminan social dilakukan
untuk pengusaha yang mengalami
kesulitan memenuhi kewajiban,
sehingga dapat mengajukan
perpanjangan tenggat waktu
pembayaran yang bisa mencapai 3
bulan.
9 Perancis Pengusaha dapat memohon
penundaan pembayaran kontribusi
jaminan social selama 3 bulan.
10
Malaysia
1. Kebijakan bagi peserta
diperbolehkan melakukan
withdrawal (penarikan) akun 2
tabungan hari tuanya hingga
RM500/bulan terhitung 1 April
101
2020 selama satu tahun hingga
Maret 2021.
2. Kebijakan yang dinamakan i-
lestari withdrawal dilakukan
secara online untuk mengurangi
beban finansial pekerja dengan
menambah penghasilan dasar
dan daya beli pekerja yang
terkena dampak COVID19.
3. Pengurangan tingkat kontribusi
pekerja dari 11% menjadi 7 %
untuk peserta dengan usia
kurang dari 60 tahun yang
bersifat opsional. Kebijakan ini
mulai berlaku 1 April hingga
akhir tahun 2020.
11 Korea Selatan Kebijakan pembebasan sanksi dan
denda kepada pemberi kerja yang
terlambat membayar iuran.
Dinamika Pembahasan Peraturan Pemerintah Nomor 49
Tahun 2020
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2020 tentang
Penyesuaian Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
selama Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease
102
2019 (COVID-19) adalah sebagai dasar hukum diberikannya
relaksasi iuran Jaminan sosial ketenagakerjaan. PP dimaksud
diprakarsai oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan dan proses
pembahasannya dikoordinasikan oleh Kemenko Bidang
Perekonomian dan Kemenko Bidang PMK. Adapun proses
pembahasannnya telah melibatkan beberapa instansi terkait,
yaitu Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan
(DJA-Dit.HPP, BKF, DJPPR dan Biro Hukum, Setjen),
Kementerian Sekretariat Negara, BPJS Ketenagakerjaan dan
Dewan Jaminan Sosial Nasional.
Pada April 2020 BPJS Ketenagakerjaan meminta
dukungan regulasi atas dampak kondisi pandemi covid 19
dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 44, 45 dan 46
Tahun 2015 atau menerbitkan peraturan setara, berdasarkan
surat tersebut dan pembahasan di pemerintah maka diputuskan
untuk menyusun suatu peraturan baru yang mengatur mengenai
pemberian kebijakan relaksasi iuran BPJS Ketenagakerjaan.
Pembahasan dilakukan dalam rapat-rapat Panitia Antar
Kementerian (PAK) dan dilakukan secara komprehensif
mengingat keputusan ini sangat strategis. Dalam pembahasan
Pemerintah sepakat bahwa hal ini perlu segera diberikan sebagai
stimulus untuk industri atau dunia usaha, namun tentunya tanpa
melanggar ataupun mengesampingkan good governance dan
mengutamakan kepentingan rakyat.
Pembahasan RPP ini menjadi perhatian karena merupakan
hal yang ditunggu-tunggu industri dalam hal ini pemberi kerja
dan pekerja dan menjadi bagian dari stimulus kebijakan PEN
103
bagi industri dan UMKM yang sudah berkontribusi pada
perekonomian Indonesia yang sangat terdampak dalam kondisi
pandemi virus COVID-19.
Substansi yang diatur dalam RPP sangat strategis, setiap
pembahasan antar Kementerian dilaporkan kepada masing-
masing Pimpinan di Unit masing-masing yang menangani
bahkan sampai level Menteri mengingat pengaturan substansi
RPP sangat strategis dan menjadi perhatian Presiden.
Secara umum Muatan RPP yang perlu dicermati adalah
pembahasan tentang besaran diskon yang akan diberikan,
syarat kriteria yang menerima, masa tenggang waktu pemberian
manfaat, serta ketentuan teknis untuk menjalankan kebijakan
baru ini. Pembahasan-pembahsan substansi dilakukan berulang
kali dalam forum rapat PAK sebagai contoh dinamika
pembahasan RPP ini semula pemberian relaksasi di rencanakan
diberikan 3 bulan namun melihat kondisi saat itu Pemerintah
menyepakati bahwa relaksasi diberikan selama 6 bulan.
Selanjutnya hal yang juga menjadi pembahasan yang perlu
pertimbangan yang mendalam adalah pengaturan diskon
potongan iuran semula diusulkan 90% dan cukup membayar
10% dari iuran semula untuk program JKK & JKM namun
pada akhirnya ditetapkan menjadi 99% sehingga cukup
membayar 1% untuk program JKK dan JKM. Namun selama
pembahasan hal yang sangat penting dipastikan kepada BPJS
Ketenagakerjaan adalah bahwa keringanan-keringanan tersebut
tidak mengurangi manfaat yang merupakan hak peserta.
Mengingat Undang-Undang SJSN mengamanahkan agar
104
perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja adalah hal yang
utama.
Setelah melalui pembahasan antar Kementerian dan juga
bersama stakeholder terkait yakni BPJS Ketenagakerjaan dan
DJSN, langkah selanjutnya adalah proses Harmonisasi
Rancangan Peraturan Pemerintah di Kementerian Hukum dan
HAM, dan selanjutnya dimintakan penetapan lebih lanjut
kepada Kementerian Sekretariat Negara, sehingga pada bulan
September 2020 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2020
tentang Penyesuaian Iuran Program Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan selama Bencana Nonalam Penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) ditetapkan.
Muatan Substansi Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun
2020
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2020 tentang
Penyesuaian Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
selama Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) adalah sebagai dasar hukum diberikannya
relaksasi iuran jaminan sosial ketenagakerjaan.
Pengaturan iuran jaminan sosial ketenagakerjaan secara
eksisting diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
2015 tentang JKK dan JKM (Pasal 21 dan Pasal 22), Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Jaminan Pensiun
(Pasal 30 dan Pasal 31) dan Peraturan Pemerintah Nomor 46
Tahun 2015 (Pasal 29 dan Pasal 20) Hal-hal yang diatur dalam
105
ketiga Peraturan Pemerintah tersebut adalah iuaran dan denda
dengan bahasa yang sama yaitu
Pasal 21 PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang JKK dan JKM
(1) Pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib membayar
iuran JKK dan JKM yang menjadi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 18 kepada BPJS
Ketengaakrjaan.
(2) Pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib membayar
iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap bulan,
paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dari bulan iuran
yang bersangkutan dengan melampirkan data pendukung
seluruh Pekerja dan dirinya.
(3) Apabila tanggal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
jatuh tempo pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada
hari kerja berikutnya.
Pasal 22
(1) Keterlambatan pembayaran iuran bagi Pemberi Kerja selain
penyelenggara negara dikenakan denda sebesar 2% (dua
persen) untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari
iuran yang seharusnya dibayarkan oleh Pemberi Kerja
selain penyelenggara negara.
(2) Denda akibat pembayaran iuran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditanggung sepenuhnya oleh Pemberi kerja
selain penyelenggara negara dan pembayrannya dilakukan
106
sekaligus Bersama-sama dengan penyetoran iuran bulan
berikutnya.
(3) Denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan pendapatan lain dari Dana Jaminan Sosial
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun jenis penyesuaian iuran dan materi muatan PP
tersebut yaitu:
1. Kelonggaran batas waktu pembayaran Iuran JKK,
JKM, JHT, dan JP setiap bulan;
Semula ditetapkan paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya, dalam PP relaksasi ini dilonggarkan
menjadi paling lambat tanggal 30 bulan berikutnya
dari bulan Iuran yang bersangkutan.
Apabila tanggal 30 jatuh pada hari libur, maka Iuran
dibayarkan pada hari kerja sebelum tanggal 30.
2. Keringanan Iuran JKK dan JKM;
Keringanan Iuran JKK dan JKM diberikan sebesar
99%, sehingga Iuran JKK dan JKM menjadi 1% dari
Iuran JKK dan JKM yang ditetapkan dalam PP
Nomor 44 Tahun 2015:
Persyaratan pemberian keringanan Iuran JKK dan
JKM :
1. Pemberi Kerja, Peserta Penerima Upah, dan
Peserta Bukan Penerima Upah yang mendaftar
sebelum bulan Agustus 2020 diberikan
107
keringanan Iuran JKK dan JKM sesuai dengan
ketentuan dalam PP ini setelah melunasi iuran
sampai dengan bulan Juli 2020.
2. Bagi yang mendaftar setelah bulan Juli 2020,
harus membayar Iuran JKK dan JKM untuk 2
(dua) bulan pertama sesuai dengan ketentuan
dalam PP tentang Program JKK dan JKM dan
diberikan keringanan Iuran JKK dan JKM yaitu
dimulai bulan ketiga kepesertaan sampai dengan
berakhirnya jangka waktu keringanan Iuran.
3. Mekanisme pemberian keringanan Iuran JKK dan
JKM diberikan secara langsung oleh BPJS
Ketenagakerjaan tanpa permohonan yang
dilaksanakan melalui sistem kepesertaan yang
dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.
3. Penundaan pembayaran sebagian iuran JP
Sebagian Iuran JP yaitu sebesar 1% dari iuran JP
wajib dibayarkan dan disetorkan setiap bulan sesuai
dengan batas waktu oleh Pemberi Kerja kepada BPJS
Ketenagakerjaan. Sedangkan sisanya yaitu sebesar
99% dari iuran JP diberikan penundaan pembayaran,
yang pelunasannya sekaligus atau bertahap (dimulai
paling lambat 15 Mei 2021 dan diselesaikan paling
lambat tanggal 15 April 2021.
Penundaan pembayaran sebagian Iuran JP diberikan
kepada Pemberi Kerja dan Pekerja skala usaha
108
menengah dan besar dan Pekerja skala usaha mikro
dan kecil yang memenuhi persyaratan tertentu.
Persyaratan bagi Pekerja skala usaha menengah dan
besar adalah yang terganggu kegiatan produksi,
distribusi, atau kegiatan utama usahanya terganggu
akibat Covid-19 sehingga berdampak pada penurunan
omset penjualan/pendapatan bulanan sebesar lebih
dari 30%, dengan mengajukan permohonan kepada
BPJS Ketenagakerjaan,
Pemberi kerja dengan ketentuan
1. Telah mendaftarkan Pekerjanya sebagai Peserta
sebelum bulan Agustus 2020 harus melunasi Iuran
JP samapai dengan bulan Juli 2020;atau
2. Baru mendaftarjan Pekerjanya sebagai Peserta
setelah bukan Juli 2020 haru smemebayar
sebagian Iuran.
3. Pemberi kerja yang terdampak mengajukan
permohonan penundaan pembayaran sebagian
iuran JP kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Sedangkan untuk penundaan pembayaran sebagaian
Iuran JP yang diberikan bagi Pemberi kerja dan
Pekerja skala usaha mikro dan kecil diperlukan syarat
1. Telah mendaftarkan Pekerjanya sebagai Peserta
sebelum bulan Agustus 2020 harus melunasi Iuran JP
sampai dengan bulan Juli 2020,atau
109
2. Baru mendaftarkan Pekerjanya sebagai Peserta
setelah bulan Juli 2020 harus memebayar sebagian
Iuran.
4. Keringanan denda keterlambatan pembayaran
iuran.
Keterlambatan pembayaran Iuran Program Jaminan
Sosial Ketenagakerjaan yang melebihi batas waktu
(tanggal 30 bulan berikutnya) dikenakan denda
sebesar 0,5% untuk setiap bulan keterlambatan (denda
sebelumnya adalah 2%).
Pelunasan atas penundaan pembayaran sebagian Iuran
JP (sisanya sebesar 70%) tidak dikenakan denda
sepanjang dilakukan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam PP ini.
5. Pengaturan Manfaat (Bab III), dalam RPP diatur
sebagai berikut:
Selama masa penyesuaian Iuran, Manfaat
Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang
diterima Peserta tetap sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Jika Peserta melakukan klaim JP pada jangka
waktu berlakunya PP ini dan mendapatkan
Manfaat lumpsum, maka Iuran seluruh
kewajiban bagian Pemberi kerja termasuk yang
ditunda harus dibayar lunas oleh Pemberi Kerja
110
kepada BPJS Ketenagakerjaan sebelum manfaat
lumsum diberikan kepada Pekerja. Peserta di sini
adalah peserta yang mencapai usia pensiun tetapi
masa iurnya tidak mencapai 15 tahun,
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 PP 45 Tahun
2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Pensiun.
6. Masa pemberlakuan penyesuaian iuran
a) Penyesuaian Iuran berlaku dimulai sejak Iuran
Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bulan
Agustus 2O2O sampai dengan Iuran Program
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bulan Januari
2021.
b) Penundaan pembayaran sebagian Iuran JP yang
pelunasannya sekaligus atau bertahap mulai 15
Mei 2021 sampai 15 April 2022.
Penutup
1. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2020 terbit untuk
memberikan pelindungan bagi Peserta, kelangsungan
usaha, dan kesinambungan penyelenggaraan Program
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan selama bencana Covid-
19.
2. Kebijakan startegis yang diatur dalam PP seperti
Potongan iuran 99% & cukup membayar 1% untuk JKK
111
dan JKM, dan Wajib membayar tepat waktu 99% dan
diberikan penundaan pembayaran sisanya 1% untuk JP.
Apabila di hitung berdasarkan nilai besaran rupiah maka
pembebanan iuran JKK dan JKM bila di diskon 99%
dengan iuran terendah dari JKK Jkm adalah sebesar
Rp.10.000 yang ditetapkan dalam PP Nomor 44 Tahun
2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian maka Pemberi
kerja cukup membayar Rp.1000 untuk masing-masing
program tersebut.
3. Adanya Peraturan Pemerintah tentang relaksasi iuran
membuat pemberi kerja/badan usaha dapat menunda
pembayaran iuran jaminan sosial ketenagakerjaan. Iklim
usaha yang masih belum baik membuat pemberi
kerja/badan usaha melakukan efisisiensi kegiatan bisnis
salah satunya menunda kewajiban iuran jaminan sosial
ketenagakerjaan ataupun mengurangi jumlah pegawai
atau bahkan menutup badan usaha.
4. Dari sisi ekonomi kebijakan yang diambil Pemerintah
dalam rangka meningkatkan perekonomian Indonesia
dimasa bencana Covid-19 terlihat berdampak baik. Pada
gambaran kondisi pertumbuhan perekonomian
Indonesia di masa pandemi berdasarkan Badan Pusat
Statistik hingga kuartal III tahun 2020 dapat
disampaikan sebagai berikut. ( Berita Resmi Statistik, 5
November 2020,BPS)
113
Grafik 3
Keterangan:
a) Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (pada Grafik 1)
disampaikan dibandingkan Triwulan 2-2020,
ekonomi Indonesia pada Triwulan 3-2020
mengalami perbaikan dan tumbuh sebesar 5,05%
(q-to-q).
b) Dari sisi Lapangan usaha (Grafik 2) BPS juga
menyampaikan laju pertumbuhan menurut
lapangan usaha mengalami kontraksi positif yang
terjadi selama 2020 (q-to-q).
c) Kontraksi pertumbuhan terdalam terjadi pada
Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan
dan Akomodasi , Makanan dan Minuman, namun
pada triwulan 3-2020 sudah mengalami
perbaikan.
114
Rekomendasi
Pemberian kebijakan relaksasasi kiranya dapat dievaluasi
mengingat pengaturan pemberlakuan relaksasi dilimitasi
dalam Peraturan Pemerintah sedangkan kondisi
Perpanjangan dipengaruhi oleh status keadaan darurat
bencana wabah penyakit akibat Covid-19 di Indonesia
yang sampai saat ini masih belum dicabut oleh
Pemerintah.
116
DAMPAK PANDEMI TERHADAP INVESTASI
PT TASPEN PERSERO
Oleh: Dhias Purwa Kusuma
Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Negara-negara Di
Dunia
Pada Desember 2019, World Health Organization (WHO)
dikejutkan dengan munculnya laporan soal wabah pneumonia
misterius yang terjadi di kota Wuhan China. Dalam laporan awal
terdapat 44 kasus dilaporkan mengidap pneumonia dengan 11
pasien dalam kondisi kritis dan 33 pasien lainnya dalam keadaan
stabil. Berbagai macam dugaan muncul terkait wabah misterius
ini, termasuk diantaranya diduga berasal virus SARS dan flu
burung. Dari hari ke hari, di Wuhan muncul banyak laporan
lonjakan kasus virus yang akhirnya teridentifikasi merupakan
sejenis virus Corona yang memiliki kemiripan dengan virus
penyebab SARS (Severe Acute Respiratiry Syndrome) dan
MERS (Middle East Respiratory Syndrome). China akhirnya
memberlakukan lock down pertama kali pada tanggal 23 Januari
2020 untuk menghambat penyebaran virus karena ditemukannya
bukti transmisi virus antar manusia pada pertengahan Januari
2020.
117
Pada saat pertama muncul di 2019, virus corona yang
mewabah di Wuhan sempat diberi nama Novel Coronavirus
2019-Ncov, namun akhirnya WHO menetapkan nama resmi
untuk virus tersebut yaitu SARS-Cov-2 atau yang lebih dikenal
dengan Covid 19 yang diambil dari istilah Coronavirus Disease
2019.
Hingga pada tanggal 25 Januari 2020 terdapat lonjakan
kasus infeksi virus hingga 2.000 kasus dan mulai menyebar
cepat ke luar China. Hingga pada April 2020, kasus di luar China
terus mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Bahkan
epicenter wabah pun tak lagi di Wuhan, melainkan di Amerika
Serikat yang mencatatkan kasus positif Covid 19 lebih dari dua
ratus ribu kasus positif dan lebih dari lima ribu orang meninggal
akibat Covid 19 dengan angka kematian lebih dari 800 orang
meninggal per hari.
Wabah Covid 19 pada tahun 2020 memberikan pukulan
telak bagi semua negara di dunia termasuk negara-negara maju.
Berbagai macam sektor ekonomi mengalami perlambatan
drastis sebagai efek dari wabah Covid 19. Pada April 2019,
Departemen Perdagangan Amerika Serikat mencatatkan
kontraksi ekonomi AS sebesar -4,8% pada kuartal I 2020.
Kontraksi tersebut merupakan yang terparah sejak tahun 2008
akibat kasus Subprime Mortgage. Sektor investasi mereka pun
tak luput dari efek wabah Covid 19, pada tanggal 15 Januari
2020 setelah ditandatanganinya perjanjian perdagangan fase
pertama antara Amerika Serikat dan China, Indeks Dow Jones
mencatatkan rekor penguatan hingga mencapai 29.030 poin
118
indeks dan indeks Nasdaq mencapai 9.258 poin indeks. Namun
ketika wabah Covid menyebar pesat di Amerika Serikat,
pukulan telak terhadap sektor investasi tak dapat dihindarkan
lagi. Hingga akhir April 2020 Indeks Dow Jones mencatatkan
pelemahan hingga mencapai 24.284 poin indeks, dan Indeks
Nasdaq mencatatkan pelemahan hingga mencapai 8.870 poin
indeks.
China, sebagai raksasa ekonomi baru yang sempat
terlibat perang dagang dengan Amerika Serikat pun tak lepas
dari tohokan keras pandemi Covid 19 dan merupakan negara
pertama yang mengalami efek langsung dari pandemi. Pada
kuartal I 2020, Biro Statistik Nasional China melaporkan
kontraksi ekonomi YoY sebesar -6,8%. Kontraksi tersebut
merupakan kontraksi ekonomi pertama yang tercatat sejak tahun
1992 dimana China selalu mengalami pertumbuhan ekonomi
setiap tahun.
Dampak Pandemi Covid 19 Terhadap Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki kontak
erat dengan China dan sebagai negara yang secara geografis
terletak relatif tidak jauh dari China pun tak luput dari
penyebaran wabah Covid 19. Tingginya lalu lintas kedatangan
WNA ke Indonesia disinyalir merupakan salah satu penyebab
penyebaran munculnya Covid 19 di Indonesia. Pada tanggal 2
Maret 2020, terkonfirmasi kasus pertama positif Covid 19 di
Indonesia dan dengan sangat cepat menyebar ke berbagai daerah
di Indonesia. Pada akhir tahun 2020, tercatat kasus positif di
119
Indonesia mencapai angka 8.074 kasus positif baru sehingga
jumlah kasus menjadi 743.198 kasus positif, sembuh 611.097,
dan meninggal 22.138.
Indonesia yang baru saja dikategorikan oleh World Trade
Organization (WTO) sebagai Negara Maju sejak Februari 2020
tidak dapat mengelak dari jab keras pandemi Covid 19. Sejak
diumumkannya kasus pertama Covid 19 di Indonesia dan sejak
pertama kali diberlakukannya lock down atau Pembatasan Sosial
Berskala Besar di Jakarta, Covid 19 memukul segala sektor
ekonomi yang ada di Indonesia. PSBB di Ibukota yang diikuti
oleh PSBB kota kantong-kantong ekonomi di sekitarnya dan
berbagai daerah Ibu Kota di Indonesia seakan menjadi rem keras
roda-roda penggerak ekonomi nasional. Penurunan produksi,
PHK masal, penutupan pusat-pusat perbelanjaan,dan penurunan
konsumsi, menjadi efek berantai yang berimplikasi pada
kontraksi ekonomi secara nasional. Pada kuartal I 2020, menurut
Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia
mengalami kontraksi sebesar -2,41% sejak kuartal IV 2019
menjadi 2,97%. Sementara itu IHSG menunjukkan pelemahan
dari kuartal IV 2019 pada 6.299 poin indeks menjadi 4.617 poin
indeks pada kuartal I 2020.
Penurunan Rating KIK EBA dan MTN pada beberapa
BUMN
Kinerja keuangan berbagai perusahaan perusahaan besar
di Indonesia mencatatkan kinerja yang memburuk pada kuartal
I sebagai akibat dari pandemi Covid 19 dan PSBB. Berbagai
120
sektor Perusahaan baik Private maupun BUMN seakan tidak
mampu menghindar dari jeratan efek negatif pandemi. Sektor
properti/perumahan dan transportasi menjadi salah satu bagian
dari berbagai macam sektor yang mengalami saat-saat berat
pada tahun 2020. Turunnya daya beli masyarakat menjadi
penghambat utama perusahaan properti/perumahan untuk men-
generate income pada tahun 2020, begitupun pembatasan
penggunaan transportasi umum yang membuat pendapatan
perusahaan transportasi umum terjun bebas.
Dampak nyata dari sektor transportasi nampaknya dialami
oleh salah satu raksasa BUMN Indonesia yaitu Garuda
Indonesia. Masa-masa sulit dialami Garuda akibat
diberlakukannya PSBB pertama dan pembatasan perjalanan.
Hingga kuartal II 2020, kondisi tak kunjung membaik bahkan
jumlah penumpang menurun sampai 90% hingga kuartal II 2020
dan merupakan kondisi terburuk yang pernah dialami dalam
sepuluh tahun terakhir. Pada kuartal I 2020 Garuda
membukukan kerugian sebesar USD 120,1 juta (Rp 1,69 T),
pada kuartal II 2020 membukukan kerugian sebesar USD 712,73
juta (Rp 10,34 T), dan pada kuartal III 2020 membukukan
kerugian sebesar USD 1,07 M (Rp 15,2 T). Tidak hanya sampai
disitu, kesulitan likuiditas akibat rendahnya okupansi
penerbangan dihadapkan pada total hutang lebih dari Rp 18 T.
Seakan menambah daftar kinerja keuangan yang semakin
memburuk, pada tanggal 24 dan 28 Juli 2020 Pefindo
mengeluarkan press release yang mengungkapkan bahwa
Pefindo menurunkan rating KIK EBA Garuda Indonesia dengan
121
seri KIK EBA Mandiri GIAA01 dari peringkat terakhir idA-
menjadi idCCC karena ketidakmampuan membayar pokok EBA
sebesar Rp 360 M. KIK EBA tersebut pada awalnya diterbitkan
dengan menjaminkan potensi pendapatan tiket penerbangan Haji
dari dan ke Jeddah dan Madinah. Namun karena Saudi Arabia
memberlakukan lock down selama pandemi Covid 19 2020,
maka Garuda Indonesia mengalami kesulitan likuiditas untuk
membayar pokok EBA tersebut. Sampai akhirnya pada tanggal
2 September 2020, Garuda Indonesia dapat membayar pokok
cicilan sebesar Rp 360 M dan pada tanggal 18 September
Pefindo menaikkan rating KIK EBA GIAA01 menjadi idBB
dengan outlook negative.
Dari sektor properti/perumahan salah satu BUMN yaitu
Perum Perumnas juga mengalami hal serupa yang dialami
Garuda Indonesia pada tahun 2020. Perumnas selama ini
menyasar segmen menengah ke bawah dengan konsep
membangun rumah bersubsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (MBR). Pada tahun 2019 penjualan Perumnas hanya
sebesar Rp 854 M turun dari penjualan tahun 2018 sebesar Rp
3,89 T. Pada kuartal I 2020 alih-alih meningkatkan penjualan,
penjualan Perumnas tercatat hanya sebesar Rp 278 M, hal
tersebut disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat
akibat pandemi Covid 19.
Pada tanggal 28 April 2020, Pefindo mengeluarkan
pengumuman penurunan rating MTN Perumnas I/2017 menjadi
idD yang disebabkan kegagalan pembayaran pokok MTN
I/2017 sebesar RP 200 M dan menurunkan sebagian besar rating
122
MTN Perumnas lainnya menjadi idCCC yang disebabkan
karena penurunan aktivitas bisnis dan penjualan sampai dengan
April 2020 sebagai dampak pandemi Covid 19. Pada 27 Mei
2020, Pefindo kembali menaikkan rating seluruh MTN
Perumnas menjadi idBBB- dengan negative outlook, karena
Perumnas dapat membayar pokok MTN I/2017 namun dengan
catatan terdapat potensi kesulitan likuiditas.
Penurunan Rating Instrumen Investasi PT Taspen Persero
PT TASPEN (Persero) atau Dana Tabungan dan Asuransi
Pegawai Negeri adalah Badan Usaha Milik Negara Indonesia
yang bergerak di bidang asuransi tabungan hari tua dan dana
pensiun bagi ASN dan Pejabat Negara. Saat ini PT Taspen
(Persero) mengelola program THT, Program JKK, Program
JKM, dan mengelola dana Akumulasi Iuran PNS yang
merupakan dana titipan dari Pemerintah.
PT Taspen (Persero) merupakan BUMN di bawah
pembinaan Kementerian BUMN berdasarkan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Menteri BUMN
bertindak selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
seluruh saham Perseroan yang dimiliki oleh Negara Republik
Indonesia. Meskipun RUPS berada di bawah kendali
Kementerian BUMN, namun supervisi atas pengelolaan dan
pelaporan Program THT, JKK, JKM, dan pengelolaan AIP
berada di bawah kewenangan Kementerian Keuangan. Tata
kelola program-program tersebut termasuk pengelolaan
investasinya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
123
Dalam menjalankan supervisi atas program-program yang
dikelola oleh PT Taspen (Persero), Direktorat Jenderal Anggaran
telah menyusun beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
sebagai pedoman atas ketentuan-ketentuan pelaksaan
pengelolaan dan pelaporan program dan juga sebagai dasar
acuan bagi PT Taspen (Persero) untuk membuat peraturan yang
lebih teknis di tingkat Direksi.
Beberapa PMK yang berkaitan dengan PT Taspen
(Persero) yang disusun oleh DJA antara lain:
1. PMK Nomor 139/PMK.02/2017 tentang Pengelolaan
Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil Dan Pejabat
Negara.
PMK ini disusun untuk efektifitas dan efisiensi pengelolaan
akumulasi iuran pensiun dan penyempurnaan beberapa
ketentuan mengenai pengelolaan akumulasi iuran pensiun,
sehingga perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 201/PMK.02/2015 tentang Pengelolaan Akumulasi
luran Pensiun Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
23/PMK.02/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 201/PMK.02/20 15 tentang Pengelolaan
Akumulasi luran Pensiun Pegawai Negeri Sipil.
Dalam PMK ini diatur:
Pengelolaan akumulasi luran Pensiun dilaksanakan oleh
Badan Penyelenggara (PT Taspen (Persero)). Pengelolaan
akumulasi luran Pensiun dilakukan secara optimal dengan
inempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-
124
hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.
Penggunaan akumulasi luran Pensiun untuk pembayaran
manfaat pensiun dapat dilakukan sesuai dengan kebijakan
Pemerintah. Penggunaan akumulasi luran Pensiun untuk
pemenuhan kewajiban perpajakan, dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan. Penggunaan akumulasi luran Pensiun untuk
pengembalian nilai tunai luran Pensiun, dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengembangan akumulasi luran Pensiun berupa aset dalam
bentuk investasi harus dilakukan melalui penempatan pada
instrumen investasi dalam negeri. Badan Penyelenggara
harus menyelesaikan penempatan aset dalam bentuk
investasi penyertaan langsung dan investasi bangunan atau
tanah dengan bangunan yang dimiliki oleh Badan
Penyelenggara sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri
ini. Laporan perkembangan penyelesaian investasi
disampaikan kepada Menteri Keuangan setiap triwulan.
Segala biaya yang timbul terkait dengan penyelesaian
investasi diperhitungkan dengan hasil yang diperoleh dari
penyelesaian penempatan aset tersebut.
2. PMK Nomor 148/PMK.02/2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.02/2017
tentang Pengelolaan Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai
Negeri Sipil dan Pejabat Negara.
PMK ini disusun untuk efektifitas dan efisiensi pengelolaan
akumulasi iuran pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat
125
Negara, sehingga perlu merubah Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 139/PMK.02/2017 tentang Pengelolaan
Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat
Negara.
Dalam PMK ini diatur:
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 139/PMK.02/2017 diubah yaitu terkait dengan
kebijakan penggunaan akumulasi iuran pensiun untuk
pembayaran manfaat pensiun (Pasal 7), ketentuan mengenai
akumulasi iuran berupa aset dalam bentuk investasi (Pasal
15), ketentuan mengenai penilaian atas aset dalam bentuk
investasi (Pasal 17), ketentuan mengenai pembatasan atas
penempatan aset dalam bentuk investasi (Pasal 19),
ketentuan mengenai divestasi penyertaan langsung (Pasal
23A, Pasal 23B, dan Pasal 23C), ketentuan mengenai
penghapusbukuan akumulasi iuran pensiun (Pasal 25A,
Pasal 25B, Pasal 25C, dan Pasal 25D), dan ketentuan
mengenai penyelesaian penempatan aset dalam bentuk
investasi (Pasal 32).
3. PMK Nomor 241/PMK.02/2016 tentang Tata Cara
Pengelolaan Iuran dan Pelaporan Penyelenggaraan Program
Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil dan Program
Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Aparatur
Sipil Negara
PMK ini disusun untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6C
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981
tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
126
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri
Sipil, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Tata Cara Pengelolaan Juran dan Pelaporan
Penyelenggaraan Program Tabungan Hari Tua Pegawai
Negeri Sipil dan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan
Jaminan Kematian Aparatur Sipil Negara.
Dalam PMK ini diatur penyelenggaraan program THT PNS
dan program JKK dan JKM. Iuran program dan hasil
pengembangan iuran program merupakan pendapatan
Pengelola Program yang pengelolaannya harus dilakukan
secara terpisah untuk masing-masing program.
4. PMK Nomor 206/PMK.02/2017 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 241/PMK.02/2016
tentang Tata Cara Pengelolaan Iuran dan Pelaporan
Penyelenggaraan Program Tabungan Hari Tua Pegawai
Negeri Sipil dan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan
Jaminan Kematian Aparatur Sipil Negara
PMK ini dususun untuk efektifitas dan efisiensi pengelolaan
iuran program tabungan hari tua pegawai negeri sipil dan
program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian
aparatur sipil negara, sehingga perlu merubah Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 241/PMK.02/2016.
Dalam PMK ini diatur perubahan Ketentuan Pasal 1,
Ketentuan Pasal 8, Ketentuan Pasal 9, Ketentuan Pasal 10,
127
dan Ketentuan Pasal 28. Lampiran I Permenkeu
No.241/PMK.02/2016.
5. PMK Nomor 211/PMK.02/2015 tentang Biaya Operasional
Penyelenggaraan Pembayaraan Manfaat Pensiun yang
Dilaksanakan oleh Pt Taspen (Persero) dan Pt Asabri
(Persero)
Dalam PMK ini diatur tata cara pengajuan Biaya
Operasional Penyelenggaraan manfaat Pensiun.
6. PMK Nomor 128/PMK.02/2016 tentang Persyaratan dan
Besar Manfaat Tabungan Hari Tua Bagi Pegawai Negeri
Sipil
PMK ini disusun dalam rangka melaksanakan ketentuan
Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 2013, sehingga perul ditetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Persyaratan dan Besar Manfaat
Tabungan Hari Tua bagi Pegawai Negeri Sipil.
Dalam PMK ini diatur:
Hak-hak Peserta Program Tabungan Hari Tua meliputi
manfaat asuransi dwiguna, dan/atau manfaat asuransi
kematian (askem).
Manfaat Asuransi Dwiguna diberikan dalam hal Peserta
berhenti karena pensiun, meninggal dunia sebelum
diberhentikan dengan hak pension, atau berhenti karena
sebab-sebab lain.
128
Manfaat Askem diberikan dalam hal peserta atau
pensiunan peserta meninggal dunia, Istri/Suami
meninggal dunia, atau anak meninggal dunia.
PT Taspen (Persero) wajib membukukan akumulasi
selisih iuran dan hasil pengembangannya dalam masing-
masing akun Peserta.
Hasil pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang diberikan kepada Peserta oleh PT Taspen
(Persero) adalah sebesar 0,25% (nol koma dua puluh
lima persen) di atas rata-rata bunga deposito counter rate
Bank Pemerintah untuk jangka waktu penempatan 1
(satu) tahun.
Ketentuan teknis mengenai tata cara, persyaratan, dan
pembayaran dalam Peraturan Menteri ini akan diatur
lebih lanjut oleh Direksi PT Taspen (Persero).
Bagi Peserta yang berhenti karena pensiun, meninggal
dunia, atau sebab-sebab lain sebelum tanggal 1 Januari
20 17 dan belum mendapatkan pembayaran atas manfaat
Tabungan Hari Tua, diselesaikan sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor
478/KMK.06/2002 tentang Persyaratan dan Besar
Manfaat Tabungan Hari Tua bagi Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 500/KMK.06/2004.
Diantara PMK tersebut yang terkait dengan pengaturan
terkait program-program yang dikelola oleh PT Taspen (Persero)
129
secara spesifik adalah PMK Nomor 241 tahun 2016 dan PMK
Nomor 206 tahun 2017. Hal-hal yang diatur dalam PMK
tersebut antara lain:
1. Pengelolaan Iuran
Iuran merupakan pendapatan pengelola program
Pengelolaan iuran harus dilakukan secara terpisah untuk
masing-masing program
Pengelolaan iuran harus dilakukan secara optimal
dengan mempertimbangkan aspek likuiditas,
solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil
yang memadai.
2. Kesehatan Keuangan Pengelola Program
Pengelola Program setiap saat wajib menJaga tingkat
solvabilitas. Tingkat solvabilitas merupakan selisih
antara jumlah · Kekayaan Yang Diperkenankan dan
kewajiban.
Kekayaan Yang Diperkenankan merupakan kekayaan
yang memenuhi ketentuan tentang Jems, penilaian, dan
batasan sebagaimana diatur dalam PMK.
Kewajiban dalam perhitungan tingkat solvabilitas adalah
kewajiban Pengelola Program sebagaimana diatur dalam
PMK.
Tingkat solvabilitas paling sedikit sebesar 2% (dua
persen) dari jumlah kewajiban manfaat polis masa depan
dan utang klaim program THT PNS ditambah cadangan
teknis program JKK dan JKM.
130
3. Kekayaan yang diperkenankan
Jenis Kekayaan Yang Diperkenankan terdiri atas
kekayaan dalam bentuk investasi dan bukan investasi
Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
dan bukan investasi harus:
dikuasai oleh Pengelola Program;
tidak dalam sengketa; dan
tidak diblokir oleh pihak yang berwenang.
4. Kekayaan Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Investasi
Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
ditambah dengan piutang iuran atas kewajiban masa lalu
(past service liability) yang telah disetujui oleh Menteri
Keuangan, paling sedikit sebesar jumlah kewajiban
manfaat polis masa depan dan utang klaim program THT
PNS ditambah cadangan teknis program JKK dan JKM.
Instrumen investasi Program THT:
Surat Berharga Negara;
deposito pada Bank;
saham yang diperdagangkan di Bursa Efek;
obligasi yang paling kurang memiliki peringkat BBB
atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek
yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas
di bidang pasar modal;
obligasi dengan mata uang asing yang dikeluarkan
oleh Badan Usaha Milik Negara yang memiliki
131
peringkat yang sama dengan atau satu poin di bawah
peringkat risiko kredit Negara Republik Indonesia,
yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang
diakui secara internasional;
sukuk yang paling kurang memiliki peringkat BBB
atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek
yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas
di bidang pasar modal;
medium term notes yang diterbitkan oleh Badan
Usaha Milik Negara, dengan peringkat paling sedikit
BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat
efek yang telah memperoleh izin dari lembaga
pengawas di bidang pasar modal;
utang subordinasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha
Milik Negara termasuk anak perusahaan Badan U
saha Milik Negara dengan kepemilikan mayoritas,
dengan peringkat paling sedikit BBB atau yang
setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah
memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang
pasar modal;
Reksa Dana berupa: 1) Reksa Dana pasar uang,
Reksa Dana pendapatan tetap, Reksa Dana
campuran, dan Reksa Dana saham; 2) Reksa Dana
terproteksi, Reksa Dana dengan penjaminan, dan
Reksa Dana indeks; 3) Reksa Dana berbentuk
kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas; dan/
132
atau 4) Reksa Dana yang saham atau unit
penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek;
efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan
kontrak investasi kolektif dan telah mendapat
pernyataan efektif dari lembaga pengawas di bidang
pasar modal;
unit penyertaan dana investasi real estat yang telah
mendapat pernyataan efektif lembaga pengawas di
bidang pasar modal;
penyertaan langsung; dan/ atau
tanah, bangunan, dan/ atau bangunan dengan hak
strata (strata title) dengan ketentuan: 1) dilengkapi
dengan bukti kepemilikan atau bukti proses hukum
pengalihan kepemilikan atas nama pengelola
program; 2) memberikan penghasilan ke program
THT PNS; dan 3) tidak ditempatkan pada tanah,
bangunan, atau tanah dengan bangunan yang sedang
diagunkan, dalam sengketa, atau diblokir pihak lain.
Ketentuan penilaian Kekayaan Yang Diperkenankan
Program THT
Surat Berharga Negara, berdasarkan nilai pasar wajar
yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek
yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas
di bidang pasar modal atau lembaga penilaian harga
efek yang telah diakui secara internasional;
133
deposito, deposito berjangka termasuk deposit on
call dan sertifikat deposito yang tidak dapat
diperdagangkan (non negotiable certificate deposit)
pada Bank, berdasarkan nilai nominal;
deposito, berupa sertifikat deposito yang dapat
diperdagangkan (negotiable certificate deposit) pada
Bank Pemerintah, berdasarkan nilai diskonto;
saham yang diperdagangkan di Bursa Efek,
berdasarkan nilai pasar dengan menggunakan
informasi harga penutupan terakhir di Bursa Efek;
obligasi dan sukuk, berdasarkan nilai pasar wajar
yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek
yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas
di bidang pasar modal;
obligasi dengan mata uang asmg, berdasarkan nilai
pasar wajar yang ditetapkan oleh lembaga penilaian
harga efek yang telah diakui secara internasional;
medium term notes, berdasarkan nilai diskonto atau
nilai pasar wajar yang ditetapkan oleh lembaga
penilaian harga efek yang telah memperoleh izin dari
lembaga pengawas di bidang pasar modal;
utang subordinasi, berdasarkan nilai pasar wajar
yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek
yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas
di bidang pasar modal;
134
Reksa Dana berupa: 1) Reksa Dana pasar uang,
Reksa Dana pendapatan tetap, Reksa Dana
campuran, dan Reksa Dana saham; 2) Reksa Dana
terproteksi, Reksa Dana dengan penjaminan, dan
Reksa Dana indeks; 3) Reksa Dana berbentuk
kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas; dan 4)
Reksa Dana yang saham atau unit penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek, berdasarkan nilai
aktiva bersih;
efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan
kontrak investasi kolektif, berdasarkan nilai pasar;
unit penyertaan dana investasi real estat, berdasarkan
nilai aktiva bersih;
penyertaan langsung, berdasarkan standar akuntansi
yang berlaku; dan
tanah dan bangunan berdasarkan Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) atau nilai yang ditetapkan oleh
lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang
berwenang.
Pembatasan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi Program THT
investasi berupa Surat Berharga Negara, paling
sedikit 30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh
investasi;
135
investasi berupa deposito, untuk setiap Bank paling
tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh
investasi;
investasi berupa saham yang emitennya adalah badan
hukum Indonesia, untuk setiap emiten masing-
masing paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari
jumlah seluruh investasi, dan seluruhnya paling
tinggi 40% (empat puluh persen) dari jumlah seluruh
investasi;
investasi berupa obligasi, untuk setiap emiten
masing-masing paling tinggi 10% (sepuluh persen)
dari jumlah seluruh investasi, dan seluruhnya paling
tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh
investasi;
investasi berupa sukuk, untuk setiap emiten
masingmasmg paling tinggi 10% ( sepuluh persen)
dari jumlah seluruh investasi, dan seluruhnya paling
tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh
investasi;
investasi berupa medium term notes, untuk setiap
pihaknya paling tinggi 10% ( sepuluh persen) dari
jumlah medium term notes yang diterbitkan oleh
emiten dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima
persen) dari jumlah seluruh investasi;
investasi berupa utang subordinasi, untuk setiap
pihaknya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari
jumlah utang subordinasi yang diterbitkan oleh
136
emiten dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima
persen) dari jumlah seluruh investasi;
investasi berupa unit penyertaan reksa dana, untuk
setiap Manajer Investasi masing-masing paling
tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh
investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima
puluh persen) dari jumlah seluruh investasi;
investasi berupa efek beragun aset, untuk · setiap
Manajer Investasi masing-masing paling tinggi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah seluruh investasi dan
seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari
jumlah seluruh investasi;
investasi berupa unit penyertaan dana investasi real
estat, untuk setiap Manajer Investasi masing-masing
paling tinggi 10% ( sepuluh persen) dari jumlah
seluruh investasi, dan seluruhnya paling tinggi 20%
(dua puluh persen) dari jumlah seluruh investasi;
investasi berupa penyertaan langsung, untuk setiap
pihak tidak melebihi 5% (lima persen) dari jumlah
seluruh investasi dan seluruhnya paling tinggi 1 0%
(sepuluh persen) dari jumlah seluruh investasi; dan
investasi berupa tanah, bangunan, dan/ atau
bangunan dengan hak strata (strata title), untuk setiap
pihak paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah
seluruh investasi, dan jumlah seluruhnya paling
tinggi 5% (lima persen) dari jumlah seluruh
investasi.
137
Jumlah seluruh investasi dalam bentuk obligasi dan
sukuk sebagaimana dimaksud di atas seluruhnya
paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah
seluruh investasi.
Instrumen investasi Program JKK dan JKM:
Surat Berharga Negara;
deposito pada Bank;
saham yang diperdagangkan di Bursa Efek;
obligasi yang paling kurang memiliki peringkat BBB
atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek
yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas
di bidang pasar modal;
sukuk yang paling kurang memiliki peringkat BBB
atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek
yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas
di bidang pasar modal; dan/ atau
Reksa Dana berupa: 1) Reksa Dana pasar uang;
Reksa Dana pendapatan tetap, Reksa Dana
campuran, dan Reksa Dana saham; 2) Reksa Dana
terproteksi, Reksa Dana dengan penjaminan, dan
Reksa Dana indeks; 3) Reksa Dana berbentuk
kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas; dan/
atau 4) Reksa Dana yang saham atau unit
penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek.
Ketentuan penilaian Kekayaan Yang Diperkenankan
Program JKK dan JKM:
138
Surat Berharga Negara, berdasarkan nilai pasar wajar
yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek
yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas
di bidang pasar modal atau lembaga penilaian harga
efek yang telah diakui secara internasional;
deposito berdasarkan nilai nominal;
saham yang diperdagangkan di Bursa Efek,
berdasarkan nilai pasar dengan menggunakan
informasi harga penutupan terakhir di Bursa Efek;
obligasi dan sukuk, berdasarkan nilai pasar wajar
yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek
yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas
di bidang pasar modal; dan
Reksa Dana, berdasarkan nilai aktiva bersih.
Pembatasan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi Program JKK dan JKM
investasi berupa deposito berjangka paling tinggi
30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh investasi
untuk setiap Bank;
investasi berupa saham yang emitennya adalah badan
hukum Indonesia, untuk setiap emiten masing-
masing paling tinggi 10% ( sepuluh persen) dari
jumlah seluruh investasi, dan seluruhnya paling
tinggi 40% (empat puluh persen) dari jumlah seluruh
investasi;
139
investasi berupa obligasi, untuk setiap emiten
masmgmasing paling tinggi 10% ( sepuluh persen)
dari jumlah seluruh investasi, dan seluruhnya paling
tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh
investasi;
investasi berupa sukuk, untuk setiap emiten
masingmasing paling tinggi 10% (sepuluh persen)
dari jumlah seluruh investasi, dan seluruhnya paling
tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh
investasi; dan
investasi berupa unit penyertaan reksa dana, untuk
setiap Manajer Investasi masing-masing paling
tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh
investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima
puluh persen) dari jumlah seluruh investasi.
Ketentuan Lain Mengenai Penempatan Kekayaan Yang
Diperkenankan Dalam Bentuk Investasi:
Batasan penempatan atas Kekayaan Yang
Diperkenankan dalam bentuk investasi untuk
masmgmasing program se bagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dan Pasal 13 pada satu pihak wajib
memenuhi ketentuan pembatasan investasi paling
tinggi 35% (tiga puluh lima persen) dari jumlah
seluruh investasi, kecuali pada penempatan
instrumen investasi Surat Berharga Negara.
Pihak sebgaimana dimaksud di atas termasuk pula
pihak yang baik secara sendiri-sendiri maupun secara
140
bersama-sama mempunyai hubungan afiliasi dan/
atau hubungan hukum lainnya yaitu: a. hubungan
karena perkawinan dan keturunan sampai derajat
kedua termasuk horizontal maupun vertikal; b.
hubungan antara pihak dengan pegawai, direktur,
atau komisaris dari pihak tersebut; dan/ atau c.
hubungan antara 2 (dua) perusahaan atau lebih
dimana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau
dewan komisaris yang sama.
Batasan penempatan atas Kekayaan Yang
Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana
dimaksud di atas dikecualikan dalam hal hubungan
afiliasi terjadi karena kepemilikan atau penyertaan
modal pemerintah.
Dalam hal penempatan Kekayaan Yang
Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana
dimaksud melebihi batasan karena terj adi kenaikan
dan/ atau penurunan nilai instrumen investasi,
Pengelola Program wajib menyesuaikan kembali
jumlah instrumen investasi tersebut sesuai dengan
ketentuan batasan penempatan instrumen investasi
dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak terjadinya kelebihan batasan tersebut.
Dalam hal penempatan Kekayaan Yang
Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana
dimaksud melebihi batasan karena terj adi
penggabungan para pihak tempat penempatan
141
instrumen investasi dilakukan, Pengelola Program
wajib menyesuaikan kembali penempatan jumlah
instrumen investasi tersebut dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak terjadinya kelebihan
batasan tersebut.
5. Kekayaan Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Bukan
Investasi
Jenis Kekayaan Yang Diperkenannkan terdiri dari:
kas dan bank;
piutang iuran program THT PNS dan program JKK
dan JKM;
piutang iuran atas kewajiban masa lalu (past service
liability) program THT PNS;
piutang investasi yang umurnya tidak lebih dari 1
(satu) bulan dihitung sejak tanggal transaksi
divestasi;
piutang hasil investasi yang umurnya tidak lebih dari
6 (enam) bulan dihitung sejak tanggal hasil investasi
menjadi hak Pengelola Program; dan/ atau
tanah, bangunan dengan hak strata (strata title) , dan
tanah dengan bangunan yang dipakai sendiri, yang
jumlah seluruhnya paling tinggi 30% (tiga puluh
persen) dari modal sendiri (ekuitas) periode berjalan.
Penilaian atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam
bentuk bukan investasi
kas dan bank, berdasarkan nilai nominal;
142
piutang iuran untuk program THT PNS, berdasarkan
nilai sisa tagihan;
piutang iuran untuk program JKK dan JKM,
berdasarkan nilai yang dapat direalisasikan;
piutang iuran atas kewajiban masa lalu (past service
liability) untuk program THT PNS, berdasarkan nilai
sisa tagihan;
piutang investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan;
piutang hasil investasi, berdasarkan nilai sisa
tagihan; dan
tanah, bangunan dengan hak strata (strata title), dan
tanah dengan bangunan yang dipakai sendiri,
berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai
yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar
pada instansi yang berwenang.
6. Kewajiban
Kewajiban Pengelola Program terdiri atas
kewajiban manfaat polis masa depan program THT
PNS;
cadangan teknis program JKK dan JKM;
utang klaim program THT PNS dan program JKK
dan JKM;
utang investasi; dan/ atau
kewajiban pajak, kewajiban imbalan kerja, dan
kewajiban jangka pendek yang masih harus dibayar
143
Kewajiban manfaat polis masa depan program THT PNS
sebagaimana dimaksud di atas termasuk estimasi
kewajiban klaim
Cadangan teknis program JKK dan JKM sebagaimana
dimaksud terdiri atas:
cadangan iuran atas resiko yang belum dijalani;
cadangan atas klaim yang masih dalam proses
penyelesaian; dan
cadangan atas klaim yang sudah terjadi namun belum
dilaporkan.
Kewajiban Pengelola Program sebagaimana dimaksud
wajib dinilai sesuai dengan standar akuntansi keuangan
yang berlaku di Indonesia
Pengelola Program wajib membentuk kewajiban
manfaat polis masa depan program THT PNS
sebagaimana dimaksud, dengan menggunakan metode
dan asumsi yang disetujui oleh Menteri Keuangan
Pengelola Program wajib membentuk cadangan teknis
program JKK dan JKM sebagaimana dimaksud, dengan
metode dan asumsi perhitungan sesuai dengan standar
praktik aktuaria yang berlaku umum
Penilaian terhadap kewajiban dalam bentuk kewajiban
manfaat polis masa depan dan cadangan teknis se
bagaimana dimaksud harus dilakukan oleh aktuaris
Pengelola Program setiap tahun, sesuai dengan standar
praktik aktuaria yang berlaku umum
144
Pengelola Program menunjuk aktuaris independen
paling lama setiap 3 (tiga) tahun sekali untuk
mengevaluasi perhitungan yang dilakukan oleh aktuaris
Pengelola Program
7. Pelaporan
Pengelola Program wajib menyusun laporan keuangan
non konsolidasi dan laporan penyelenggaraan program
untuk setiap program
Laporan keuangan non konsolidasi sebagaimana
dimaksud pada disusun berdasarkan standar akuntansi
keuangan yang berlaku di Indonesia
Pengelola Program wajib menyampaikan kepada
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran:
laporan keuangan triwulanan per 31 Maret, 30 Juni,
30 September, dan 31 Desember, paling lama 1 (satu)
bulan setelah berakhirnya triwulanan yang
bersangku tan;
laporan keuangan tahunan per 31 Desember yang
dilampiri dengan laporan auditor independen, paling
lambat tanggal 30 April tahun berikutnya;
laporan penyelenggaraan program triwulanan per 31
Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember,
paling lama 1 ( satu) bulan setelah berakhirnya
triwulanan yang bersangkutan; dan
145
laporan penyelenggaraan program tahunan per 31
Desember, paling lambat tanggal 30 April tahun
berikutnya.
Pengelola Program wajib mengumumkan laporan posisi
keuangan, perhitungan laba rugi, dan tingkat
solvabilitas, untuk periode yang berakhir pada tanggal 31
Desember tahun berjalan pada sekurang-kurangnya 2 (
dua) surat kabar harian di Indonesia yang memiliki
peredaran luas secara nasional paling lambat tanggal 30
April tahun berikutnya.
Laporan posisi keuangan dan perhitungan laba rug1
sebagaimana dimaksud merupakan bagian dari laporan
keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen.
Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud
disampaikan kepada Menteri Keuangan paling lambat 2
(dua) minggu setelah dilakukannya pengumuman
dimaksud.
8. Larangan
Pengelola Program dilarang memiliki dan/ atau
menempatkan Kekayaan Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi pada:
instrumen derivatif dan/ atau instrumen turunan surat
berharga yang diperoleh sebagai bagian yang
melekat pada suatu surat berharga;
146
instrumen perdagangan berjangka, baik untuk
perdagangan komoditi maupun perdagangan valuta
asing;
kekayaan di luar negeri;
perusahaan yang sebagian atau seluruh sahamnya
dimiliki oleh direksi, komisaris, atau pejabat negara
selaku pribadi; dan/ atau
perusahaan yang sebagian atau seluruh sahamnya
dimiliki oleh keluarga sampai derajat kedua menurut
gans lurus maupun gans ke samping, termasuk
menantu atau ipar dari pihak sebagaimana dimaksud.
Pengelola Program dilarang melakukan penempatan
baru dalam instrumen investasi yang menyebabkan
jumlah seluruh investasi melebihi batasan.
Direksi Pengelola Program, dewan komisaris Pengelola
Program, atau setiap orang yang mempunyai
kewenangan dalam pengelolaan aset Pengelola Program
dilarang melakukan tindakan yang mengakibatkan
Pengelola Program menjual, memindahtangankan,
menyewakan, memberikan pmJaman, menyediakan
Jasa, fasilitas, atau barang, mengalihkan atau
mengizinkan penggunaan kekayaan yang diperkenankan
Pengelola Program selain untuk kepentingan Pengelola
Program, kepada: a. direksi atau dewan komisaris dari
Pengelola Program; b. pihak yang menyediakan jasa
pengelolaan investasi kepada Pengelola Program; c.
direksi, dewan komisaris, atau pemegang saham
147
mayoritas dari pihak sebagaimana dimaksud pada huruf
b; d. keluarga, sampai derajat kedua menurut gans lurus
maupun garis ke samping, termasuk menantu, ipar dari
pihak sebagaimana dimaksud pada huruf c; dan/ atau e.
pihak lain yang dikendalikan oleh pihak se bagaimana
dimaksud pada huruf b.
Dalam PMK 206 Tahun 2017 tentang Perubahan atas
PMK Nomor 241 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengelolaan
Iuran dan Pelaporan Penyelenggaraan Program THT, dan JKK
& JKM bagi ASN, diatur tata kelola program dan investasi.
Salah satu tata kelola investasi yang diatur adalah penempatan
instrumen dan kriteria instrumen Program THT, yang meliputi:
1. Surat Berharga Negara;
2. Deposito Pada Bank;
3. Saham yang diperdagangkan di Bursa Efek;
4. OLbligasi yang paling rendah memiliki peringkat BBB atau
yang setara, dari perusahaan pemeringkat efek yang telah
memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar
modal;
5. Obligasi dengan mata uang asing yang dikeluarkan oleh
BUMN dan anak Perusahaan BUMN yang memiliki
peringkat paling rendah satu pom di bawah peringkat risiko
kredit Negara Republik Indonesia yang dikeluarkan oleh
lembaga pemeringkat yang diakui secara internasional,
dan/atau badan usaha swasta yang di dalamnya terdapat
saham Pemerintah paling sedikit 10% (sepuluh persen) ,
yang memiliki peringkat paling rendah sama dengan
148
peringkat risiko kredit Negara Republik Indonesia yang
dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui secara
internasional;
6. Sukuk yang paling rendah memiliki peringkat BBB atau
yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah
memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar
modal;
7. MTN yang diterbitkan oleh BUMN atau anak perusahaan
BUMN yang memiliki peringkat paling rendah BBB atau
yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah
memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar
modal; dan/ atau badan usaha swasta yang di dalamnya
terdapat saham Pemerintah paling sedikit 10% (sepuluh
persen), yang memiliki peringkat paling rendah BBB+ atau
yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah
memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar
modal;
8. Utang Subordinasi yang diterbitkan oleh BUMN atau anak
perusahaan BUMN yang memiliki peringkat paling rendah
BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek
yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di
bidang pasar modal; dan/ atau badan usaha swasta yang di
dalamnya terdapat saham Pemerintah paling sedikit 10%
(sepuluh persen), yang memiliki peringkat paling rendah
BBB+ atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek
yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di
bidang pasar modal;
149
9. Reksa dana berupa:
reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap,
reksa dana campuran, dan reksa dana saham
reksa dana terproteksi, reksa dana dengan penjaminan,
dan reksa dana indeks
reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif
penyertaan terbatas
reksa dana yang saham atau unit penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek
reksa dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak
investasi kolektif pada proyek infrastruktur yang
mendapat penjaminan dari Pemerintah;
10. Efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak
investasi kolektif dan telah mendapat pernyataan efektif dari
lembaga pengawas di bidang pasar modal;
11. Unit penyertaan dana investasi real estate yang telah
mendapat pernyataan efektif lembaga pengawas di bidang
pasar modal;
12. Penyertaan langsung;
13. Pinjaman dana yang diberikan kepada Anak Perusahaan
dengan ketentuan:
digunakan hanya untuk modal kerja dan investasi
memberikan tingkat bunga paling sedikit 2% (dua
persen) di atas tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia
150
memperhatikan kemampuan Anak Perusahaan untuk
mengembalikan pinjaman; dan/atau
14. Tanah, bangunan, dan/ atau bangunan dengan hak strata
(strata title).
Sampai dengan akhir tahun 2020 terdapat beberapa
instrumen investasi dalam Program THT yang dikelola oleh PT
Taspen (Persero), yang mengalami penurunan rating di bawah
ketentuan PMK sebagai dampak dari pandemi Covid 19.
Seri Emiten Jenis Rating
Awal
Rating
Des
2020
Nilai
(Rp)
MTN IV
Perumnas
2019
Perum
Perumnas MTN IdBBB+ idBBB-
200
M
MTN IV
Perumnas
2019 Seri
B
150
M
MTN III
Perumnas
2018 Seri
A
50 M
MTN III
Perumnas
2018 Seri
B
50 M
151
MTN VIII
Perumnas
2019
300
M
MTN IX
Wika
Realty
2019 Seri
C
Wika
Realty MTN idBBB idBBB-
545
M
KIK EBA
Mandiri
GIAA01
Garuda
Indonesia EBA idAA+ idBB
800
M
Seperti terlihat dalam tabel di atas, MTN Perumnas dan
Wika Realty yang dimiliki oleh Program THT mengalami
penurunan rating di bawah rating minimal BBB yang diatur
dalam PMK 206 Tahun 2017. Sedangkan KIK EBA Mandiri
GIAA01 meskipun tidak diatur rating minimal dalam PMK,
namun Pefindo dalam press release-nya menyampaikan bahwa
GIAA memiliki potensi kesulitan likuiditas sebagai dampak
lanjutan pandemi Covid 19 yang masih berlangsung.
Kebijakan yang Perlu Diambil Kementerian Keuangan
Kementerian Keuangan, selaku perwakilan Pemerintah
dalam melakukan supervisi terhadap pengelolaan program-
program yang dikelola PT Taspen (Persero), selalu melakukan
monitoring dan evaluasi atas program-program tersebut.
152
Sebagai dampak dari pandemi Covid 19 tentunya akan
berimplikasi pada sektor investasi dan akan mempengaruhi
instrumen-instrumen investasi yang dikelola oleh PT Taspen
(Persero).
Tak mau kejadian yang menimpa PT Asabri (Persero)
terulang di PT Taspen (Persero), berdasarkan hasil monitoring
yang dilakukan Direktorat Jenderal Anggaran melalui Direktorat
HPP memanggil manajemen PT Taspen (Persero) untuk
melakukan pendalaman terkait potensi-potensi adanya
instrumen-intrumen investasi yang tidak sesuai dengan
pengaturan dalam PMK. Dari beberapa pembahasan yang telah
dilakukan, ada beberapa instrumen investasi obligasi, MTN, dan
EBA terutama instrumen MTN Perumnas yang mengalami
penurunan rating oleh Pefindo menjadi idCCC kemudian naik
ke idBBB- dikarenakan keterlambatan pembayaran pokok.
Rating tersebut di bawah pengaturan PMK dimana disyaratkan
harus memiliki rating paling rendah BBB.
Dari pendalaman pembahasan yang dilakukan antara
HPP dan PT Taspen (Persero), diperoleh informasi bahwa
terdapat perjanjian buyback MTN antara PT Taspen (Persero)
dan Perumnas dalam hal rating turun di bawah idBBB-. Lebih
lanjut Direktorat HPP meminta manajemen PT Taspen (Persero)
untuk menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk
memitigasi risiko MTN Perumnas yang dimiliki untuk
mencegah kerugian investasi dan tetap mematuhi pengaturan
dalam PMK. Menindaklanjuti hal tersebut PT Taspen (Persero)
menyampaikan langkah-langkah antisipasi yaitu:
153
1. Menunggu kembali naiknya rating investasi MTN Perumnas
menjadi idBBB, karena Perumnas dapat membayar pokok
yang telah jatuh tempo meskipun belum ada kepastian
hingga akhir 2020.
2. Menjual MTN Perumnas jika rating tetap stay di idBBB,
meskipun penjualan tersebut dalam kondisi investasi yang
saat ini sedang buruk memiliki risiko tersendiri.
3. Melakukan opsi buyback MTN oleh Perumnas jika rating
kembali turun ke idCCC atau lebih rendah.
Hasil dari monitoring tersebut dilaporkan kepada
Menteri Keuangan, dan dibahas dalam forum rapat pimpinan
Kemenkeu. Dari hasil pembahasan, diperoleh informasi bahwa
saat ini di Perumnas sedang dilakukan perbaikan manajamen
Perumnas. Selain itu Perumnas memang sedang dihadapkan
pada kondisi kesulitan likuiditas sebagai dampak langsung dari
pandemi Covid 19. Bahkan Perumnas pun mengharapkan
dukungan dana dari Pemerintah guna memulihkan kondisi
kesulitan likuiditas. Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut,
dengan adanya Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN),
Perumnas menjadi salah satu BUMN yang mendapat bantuan
berupa modalitas pemerintah berbentuk pinjaman yang akan
dibayar melalui SMV.
Setelah berkoordinasi dengan unit-unit internal
Kementerian Keuangan, Direktorat HPP perlu melakukan
langkah-langkah guna mengatasi permasalahan tersebut. Jika PT
Taspen (Persero) diminta melakukan opsi buyback MTN
Perumnas, termasuk MTN Wika Realty dan KIK EBA Garuda,
154
dikhawatirkan hal tersebut semakin memperparah kondisi
keuangan BUMN tersebut di bawah tekanan ekonomi seperti
sekarang. Jika dijual ke pasar sekunder ataupun ke pembeli baru,
dengan kondisi seperti sekarang akan sulit mencari pembeli atau
jika dapat dijual tentunya akan dijual pada tingkat diskon yang
berpotensi merugikan Program THT PNS yang dikelola oleh PT
Taspen (Persero). Sedangkan apabila tidak dilakukan langkah
apapun, maka PT Taspen (Persero) akan dianggap tidak comply
atas aturan dalam PMK yang akan berimplikasi pada opini
auditor KAP, dan selain DJA yang diwakili HPP berhak
mengeluarkan teguran atas pelanggaran terhadap ketentuan
dalam PMK.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas dan
kondisi yang force majeure, HPP mengusulkan dilakukan
perubahan atas PMK nomor 241/PMK.02/2016 yang memuat
klausul pengaturan semacam waiver atau dispensasi atas rating
investasi yang dimiliki oleh PT Taspen (Persero). Waiver atau
disepenasi tersebut berupa klausul pengaturan bahwa kriteria
investasi yang diatur dalam PMK hanya diberlakukan pada saat
penempatan instrumen investasi. Alternatif waiver lainnya
lainnya adalah dapat disampaikan suatu surat dari Menteri
Keuangan bahwa karena kondisi force majeure maka kriteria
investasi yang diatur dalam PMK hanya diberlakukan pada saat
penempatan instrumen investasi. Saat ini draft PMK telah
dilakukan harmonisasi dan sedang dibahas dalam forum internal
Kementerian Keuangan yang dikoordinasikan oleh Setkomwas
untuk membahas lebih dalam apa saja yang perlu diatur dalam
155
draft PMK. Dengan adanya kedua opsi di atas, diharapkan dapat
menjadi pertimbangan untuk memutuskan langkap apa yang
akan diambil untuk memberikan kepastian pengelolaan investasi
dalam program THT PNS dan dapat mendukung program PEN
untuk BUMN Pemerintah yang sedang mengalami kondisi
kesulitan likuiditas sebagai dampak pandemi Covid 19.
Dewasa ini, seluruh negara di dunia tidak terkecuali negara Indonesia sedang memprioritaskan dampak adanya pandemi Covid-19. Peraturan, kebijakan, dan program jaminan sosial lebih diarahkan kepada penyelesaian pandemi Covid-19. Banyak peraturan, kebijakan, dan program yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi namun sedikit buku yang telah diterbitkan untuk menjelaskan hal tersebut.
Buku ini adalah salah satu buku yang menjelaskan tentang kebijakan di bidang jaminan sosial dalam mendukung menjaga stabilitas ekonomi dan penyelesaian dampak Covid-19. Ditulis oleh orang-orang yang berkecimpung di dalam jaminan sosial tentunya akan memiliki nilai tersendiri bagi buku ini.
Buku ini terdiri dari beberapa tulisan yaitu Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 dan Defisit Dana Jaminan Sosial Kesehatan pada Masa Pandemi Covid-19, Efektivitas Implementasi PMK 78/PMK.02/2020 di Daerah dalam Masa Pandemi Covid-19, Pemberian Relaksasi Iuran BPJS Ketenagakerjaan Sebagai Kebijakan di Masa Pandemi untuk Mendorong Pemulihan Ekonomi, dan Dampak Pandemi Terhadap Investasi PT Taspen Persero. Selamat membaca buku ini.
Pustaka Amma AlamiaPasirtengah, Sukaharja, Cijeruk, Bogor, Jawa Barat
Telp: 085885753838