eko budi poerwanto, ayu paramita hapsari,

168

Upload: others

Post on 16-Jan-2022

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Eko Budi Poerwanto, Ayu Paramita Hapsari,

Juniartha Reysisca Pinem dan Dhias Purwa Kusuma

KEBIJAKAN JAMINAN SOSIAL

DI MASA PANDEMI

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang

memperbanyak atau memindahkan sebagian atau

seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun secara

elektronik maupun mekanis tanpa izin tertulis dari

Pustaka Amma Alamia Bogor

iii

Eko Budi Poerwanto, Ayu Paramita Hapsari,

Juniartha Reysisca Pinem dan Dhias Purwa Kusuma

KEBIJAKAN JAMINAN SOSIAL

DI MASA PANDEMI

Judul

iv

KEBIJAKAN JAMINAN SOSIAL DI MASA PANDEMI

Penulis

Eko Budi Poerwanto, Ayu Paramita Hapsari, Juniartha

Reysisca Pinem dan Dhias Purwa Kusuma

Desain Sampul dan Lay Out:

Abu Aisyah

Diterbitkan oleh:

Pustaka Amma Alamia

Sukaharja, Cijeruk, Bogor, Jawa Barat

Telp. 085885753838

Email: [email protected]

Cetakan pertama: April 2021

ISBN : 978-623-96823-2-3

Dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau

seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa

izin tertulis dari penerbit atau penulis.

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Syallom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam kebajikan

Puji syukur pada Allah SWT yang telah memberikan

kami kemudahan untuk dapat menyelesaikan buku ini sesuai

dengan waktu yang ditentukan. Tanpa adanya berkat dan

rahmat Allah SWT tidak mungkin rasanya dapat

menyelesaikan buku ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Buku ini merupakan rangkaian tulisan yang disampaikan

oleh beberapa penulis yang diantaranya merupakan kebijakan-

kebijakan di Bidang Jaminan Sosial yang secara khusus

dikawal oleh Sub Direktorat Jaminan Sosial- Direktorat

Harmonisasi Peraturan Penganggaran.

Terlebih penulis ingin mengucapkan terima kasih pada

Bapak Didik Kusnaini Direktur Harmonisasi Peraturan

Penganggaran, Bapak Jani Arjanto Kasubdit Harmonisasi

Jaminan Sosial, para Kepala Seksi di lingkungan Subdit

Harmonisasi Jaminan Sosial dan semua pihak yang

mendukung dan membantu para penulis untuk menyelesaikan

buku yang berjudul “Kebijakan Jaminan Sosial di kala

Pandemi.”

Kami menyadari bahwa penulisan pada buku ini masih

jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis sangat

mengharapkan partisipasi pembaca untuk memberikan

masukan baik berupa kritikan maupun saran untuk membuat

vi

buku ini menjadi lebih baik dari segi isi dan baik dari segi yang

lainnya.

Kami mohon maaf bila ada hal yang kurang berkenan

dalam penulisan buku ini. Akhir kata, kami ucapkan terima

kasih dan selamat membaca.

Jakarta, April 2021

Kasubdit HP Jamsos

Jani Arjanto

vii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...……………............................................

Daftar Isi……………………………………………..........

v

vii

PENERBITAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 64

TAHUN 2020 DAN DEFISIT DANA JAMINAN SOSIAL

KESEHATAN PADA MASA PANDEMI COVID 19

Oleh: Eko Budi Poerwanto

Latar Belakang ...............................................................

Sejarah Regulasi Jaminan Kesehatan ...............................

Sejarah Iuran Jaminan Kesehatan ....................................

Defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan ................

Penerbitan Perpres 64/2020 dan Kebijakan di dalamnya

Defisit Dana DJS Kesehatan Pasca Penerbitan Perpres

64/2020 di Masa Pandemi ................................................

Rekomendasi ...................................................................

Daftar Pustaka .................................................................

2

3

5

10

13

31

32

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PMK 78/PMK.02/2020 DI

DAERAH DALAM MASA PANDEMI COVID 19

Oleh : Ayu Paramita Hapsari

Pengertian Jaminan Kesehatan ........................................ 34

viii

Kondisi Jaminan Kesehatan Nasional .............................

Perpres 64 Tahun 2020 tentang perubahan Kedua atas

Peraturan Presiden nomor 82 Tahun 2018 tentang

Jaminan Kesehatan ..........................................................

PMK No. 78/PMK.02/2020 tentang Pelaksanaan

Pembayaran Kontribusi Iuran Peserta PBI Jaminan

Kesehatan, Iuran Peserta PBPU dan Peserta BP dengan

Manfaat Pelayanan di Ruang Perawatan Kelas III, dan

Bantuan Iuran Bagi Peserta PBPU dan Peserta BP

dengan Manfaat Pelayanan di Ruang Perawatan Kelas III

Oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah .....

Survey Efektivitas Implementasi PMK 78 ......................

Hubungan antara Komitmen dan Kemampuan ...............

Komitmen .......................................................................

Rekomendasi ...................................................................

Daftar Pustaka .................................................................

Lampiran: Kuesioner Survei Implementasi Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 78/Pmk.02/2020 ...................

35

38

42

47

63

63

69

70

72

PEMBERIAN RELAKSASI IURAN BPJS

KETENAGAKERJAAN SEBAGAI KEBIJAKAN DI MASA

PANDEMI UNTUK MENDORONG PEMULIHAN

EKONOMI

Oleh: Juniartha Reysisca Pinem

Dampak Pandemi tersebar di Segala Arah .....................

Pemulihan Ekonomi Nasional dan Ketenagakerjaan di

Indonesia .........................................................................

80

83

ix

Teori Pertumbuhan Ekonomi ..........................................

Bagaimana Latar belakang penetapan Peraturan

Pemerintah Nomor 49 Tahun 2020? ...............................

Dinamika Pembahasan Peraturan Pemerintah Nomor

49 Tahun 2020 ................................................................

Muatan Substansi Peraturan Pemerintah Nomor 49

Tahun 2020 .....................................................................

Penutup ...........................................................................

Rekomendasi ..................................................................

88

93

101

104

110

114

DAMPAK PANDEMI TERHADAP INVESTASI PT TASPEN

PERSERO

Oleh: Dhias Purwa Kusuma

Dampak Pandemi Covid 19 Terhadap Negara-Negara di

Dunia ...............................................................................

Dampak Pandemi Covid 19 Terhadap Indonesia .............

Penurunan Rating KIK EBA dan MTN pada beberapa

BUMN .............................................................................

Penurunan Rating Instrumen Investasi PT Taspen

Persero .............................................................................

Kebijakan yang Perlu Diambil Kementerian Keuangan ..

116

118

119

122

151

x

1

PENERBITAN PERATURAN PRESIDEN

NOMOR 64 TAHUN 2020 DAN DEFISIT DANA

JAMINAN SOSIAL KESEHATAN PADA MASA

PANDEMI COVID 19

2

PENERBITAN PERATURAN PRESIDEN

NOMOR 64 TAHUN 2020 DAN DEFISIT DANA

JAMINAN SOSIAL KESEHATAN PADA MASA

PANDEMI COVID 19

Oleh: Eko Budi Poerwanto

Latar Belakang

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah

berjalan selama 6 (enam) tahun. Semenjak program mulai

berjalan tahun 2014, terdapat permasalahan utama pada program

JKN yang terus terjadi setiap tahun, yaitu Defisit Dana Jaminan

Sosial (DJS) Kesehatan. Pada awal tahun permulaan program

yaitu tahun 2014 tersebut, defisit dana jaminan sosial kesehatan

berada di kisaran Rp1,9 triliun, kemudian defisit tersebut

melonjak tajam hingga mencapai Rp9,4 triliun pada tahun 2015,

kemudian defisit mengalami penurunan menjadi Rp6,7 triliun

pada tahun 2016, dan defisit kembali melambung hingga

mencapai Rp13,8 triliun pada tahun 2017, serta melandai di

angka Rp10,45 triliun pada tahun 2018.

Pada tahun 2018, defisit DJS Kesehatan terjadi pelandaian

setelah Pemerintah melakukan penggantian Perpres 12/2013

menjadi Perpres 82/2018 dengan memasukkan 8 paket

kebijakan Pemerintah dalam penanganan defisit DJS Kesehatan.

Namun paket kebijakan yang dimasukkan dalam Perpres

3

82/2018 tersebut tetap belum menyentuh akar pokok

penyelesaian defisit DJS Kesehatan, sehingga pada tahun 2018

defisit DJS Kesehatan masih tetap lebar.

Pada tahun 2019, Pemerintah kembali menerbitkan

Perpres nomor 75 Tahun 2019 sebagai perubahan Peraturan

Presiden nomor 82/2018. Inti utama penerbitan Perpres 75/2020

adalah untuk melakukan perbaikan mismatch antara penerimaan

dan pengeluaran DJS Kesehatan melaui perbaikan premi iuran

(kenaikan iuran).

Namun, belum satu tahun berjalan, Perpres No.75/2019

digugat dan berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) untuk

kenaikan iuran bagi PBPU dibatalkan. Agar program JKN tetap

berkesinambungan, sekaligus menjamin layanan kesehatan bagi

peserta, maka Pemerintah menerbitkan kembali Perpres Nomor

64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres 82 Tahun

2020. Penerbitan Perpres 64/2020 dilakukan pada masa pandemi

Covid 19 yang sedang mewabah di dunia yang tentunya sangat

berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan

pembayaran iuran. Namun demikian dengan diterbitkannya

Perpres No.64/2020 meskipun pada masa pandemi Covid 19 ini,

diharapkan tetap dapat menyelesaikan permasalahan defisit DJS

Kesehatan, yang tentunya sangat berpengaruh terhadap

keberlangsungan program.

Sejarah Regulasi Jaminan Kesehatan

Pokok inti regulasi dari jaminan kesehatan program JKN

BPJS Kesehatan tersebut sejatinya ialah realisasi dari

4

perwujudan penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi

manusia. Dalam hal ini, konteksnya ialah hak asasi milik warga

negara sebagaimana termaktub di dalam Pasal 28 dan 34 UUD

NRI Tahun 1945 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28H

Ayat

(1)

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat

tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan

sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan

Ayat

(2)

Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan

perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan

dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan

dan keadilan

Ayat

(3)

Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang

memungkinkan

pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia

yang bermartabat

Pasal 34

Ayat

(1)

Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh

negara

Ayat

(2)

Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi

seluruh

rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah

5

dan tidak

mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan

Ayat

(3)

Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas

pelayanan

kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak

Dari nilai nilai hak asasi sebagaimana yang termaktub

dalam UUD RI tersebut, Pemerintah bersama dengan DPR

menyusun UU nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No.24 Tahun 2011 tentang

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).

UU SJSN menetapkan program JKN sebagai salah satu

program jaminan sosial dalam sistem jaminan sosial nasional.

Di dalam UU ini diatur asas, tujuan, prinsip, organisasi, dan tata

cara penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional. UU

SJSN menetapkan asuransi sosial dan ekuitas sebagai prinsip

penyelenggaraan JKN. Kedua prinsip dilaksanakan dengan

menetapkan kepesertaan wajib dan penahapan implementasinya,

iuran sesuai dengan besaran pendapatan, manfaat JKN sesuai

dengan kebutuhan medis, serta tata kelola dana amanah Peserta

oleh badan penyelenggara nirlaba dengan mengedepankan

kehati-hatian, akuntabilitas efisiensi dan efektifitas. UU SJSN

membentuk dua organ yang bertanggung jawab dalam

penyelenggaraan program jaminan sosial nasional, yaitu Dewan

Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (BPJS). UU ini mengatur secara umum fungsi,

tugas, dan kewenangan kedua organ tersebut. UU SJSN

6

mengintegrasikan program bantuan sosial dengan program

jaminan sosial. Integrasi kedua program perlindungan sosial

tersebut diwujudkan dengan mewajibkan Pemerintah untuk

mensubsidi iuran JKN dan keempat program jaminan sosial

lainnya bagi orang miskin dan orang tidak mampu. Kewajiban

ini dilaksanakan secara bertahap dan dimulai dari

program JKN. UU SJSN menetapkan dasar hukum bagi

transformasi PT Askes (Persero) dan ketiga Persero lainnya

menjadi BPJS.

UU BPJS menetapkan pembentukan BPJS Kesehatan

untuk penyelenggaraan program JKN dan BPJS

Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan program jaminan

kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan

jaminan kematian. UU BPJS mengatur proses transformasi

badan penyelenggara jaminan sosial dari badan usaha milik

negara (BUMN) ke badan hukum publik otonom nirlaba (BPJS).

Perubahan-perubahan kelembagaan tersebut mencakup

perubahan dasar hukum, bentuk badan hukum, organ, tata kerja,

lingkungan, tanggung jawab, hubungan kelembagaan, serta

mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban. UU BPJS

menetapkan bahwa BPJS berhubungan langsung dan

bertanggung jawab kepada Presiden

Dari kedua UU tersebut, telah ditetapkan beberapa

peraturan baik itu Peraturan Pemerintah maupun Peraturan

Presiden serta peraturan pelaksanaan lainnya dibawah itu. Di

bagian JKN, telah diterbitkan 7 (tujuh) peraturan dalam bentuk

Peraturan Pemerintah, 5 (lima) peraturan dalam bentuk

7

Peraturan Presiden, dan peraturan-peraturan teknis lainnya di

level Kementerian/Lembaga khususnya Kementerian

Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial,

Kementerian Dalam Negeri, Dewan Jaminan Sosial Nasional

(DJSN), dan BPJS Kesehatan.

No No Peraturan Tentang

1 PP No. 86 Tahun

2013

Tata Cara Pengenaan Sanksi

Administratif

Kepada Pemberi Kerja Selain

Penyelenggara Negara dan Setiap

Orang, Selain Pemberi Kerja,

Pekerja, dan Penerima Bantuan

Iuran Dalam Penyelenggaraan

Jaminan Sosial

2 PP 53 Tahun

2018

Perubahan Kedua atas Peraturan

Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013

tentang Pengelolaan Aset Jaminan

Sosial Kesehatan

3 PP No. 2 Tahun

2018

Standar Pelayanan Minimal

4 PP No. 76 Tahun

2015

Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor

101 Tahun 2012 Tentang Penerima

Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan

5 PP No. 88 Tahun

2013

Tata Cara Pengenaan Sanksi

Administratif Bagi Anggota Dewan

8

Pengawas Dan Anggota Direksi

Badan penyelenggara Jaminan

Sosia

6 PP No. 89 Tahun

2013

Pencabutan Peraturan Pemerintah

Nomor 69 Tahun 1991 Tentang

Pemeliharaan Kesehatan Pegawai

Negeri Sipil, Penerima Pensiun,

Veteran, Perintis Kemerdekaan

Beserta Keluarganya

7 PP No. 90 Tahun

2013

Pencabutan Peraturan Pemerintah

Nomor 28 Tahun 2003 Tentang

Subsidi Dan Iuran Pemerintah

Dalam Penyelenggaraan Asuransi

Kesehatan Bagi Pegawai Negeri

Sipil Dan Penerima Pensiun

8 PP No. 85 Tahun

2013

Tata Cara Hubungan Antar

Lembaga Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial

9 Perpres No. 12

Tahun 2013,

Perpres No. 111

Tahun 2013,

Perpres No. 19

Tahun 2016,

Perpres No 28

Tahun 2016,

Tentang Jaminan Kesehatan (Sudah

Dicabut)

9

10 Perpres No. 64

Tahun 2020

Perubahan Kedua Perpres No.82

Tahun 2018 tentang Jaminan

Kesehatan

11 Perpres No. 108

Tahun 2013

Bentuk Dan Isi Laporan

Pengelolaan Program Jaminan

Sosial

12 Perpres No. 109

Tahun 2013

Penahapan Kepesertaan Program

Jaminan Sosial

13 Perpres No. 107

Tahun 2013

Pelayanan Kesehatan Tertentu

Berkaitan Dengan Kegiatan

Operasional Kementerian

Pertahanan, Tentara Nasional

Indonesia, Dan Kepolisian Negara

Republik Indonesia

14 Perpres No. 32

Tahun 2014

Pengelolaan dan pemanfaatan Dana

Kapitasi JKN pada FKTP Milik

pemerintah

Dalam regulasi-regulasi jamkes tersebut, peraturan yang sering

mengalami perubahan adalah Peraturan Presiden tentang

Jaminan Kesehatan. Perpres Jamkes pertama kali digulirkan

pada tahun 2013 melalui Perpres nomor 12 Tahun 2013, dan

sampai saat ini telah dilakukan 5 kali perubahan dan/atau

penggantian Perpres. Substansi yang menyeluruh dan lengkap

tentang kepesertaan, iuran, dan layanan diatur secara rinci dalam

Perpres Jaminan Kesehatan. Termasuk pengaturan dalam

Perpres ini adalah terkait dengan peninjauan iuran, yang secara

10

rutin dilakukan setiap 2 (dua) tahun. Dengan demikian, dalam

hal ketika peninjauan iuran perlu dilakukan perubahan iuran,

maka otomatis Perpres Jamkes perlu dilakukan perubahan.

Sejarah Iuran Jaminan Kesehatan

Apabila dilihat sejarah kenaikan iuran BPJS Kesehatan

selama enam tahun perjalanan program ini, terhitung 3 (tiga) kali

iuran program ini mengalami kenaikan iuran. Hal ini sebenarnya

selaras dengan regulasi yang mengaturnya yaitu Perpres Jamkes

bahwa setiap 2 (dua) tahun sekali akan dilakukan peninjauan

iuran. Setiap kali ada kenaikan iuran sebagai salah satu

fundamental penyelesaian deficit ditanggapi beragam oleh

masyarakat. Bahkan, Perpres Jamkes yang telah diterbitkan

Pemerintah yang terdapat kenaikan iuran, selalu ada perubahan

bahkan ada yang hanya bertahan dalam hitungan bulan. Padahal,

apabila kita lihat terhadap kondisi keuangan DJS kesehatan tidak

kunjung membaik sedangkan jumlah peserta terus mengalami

11

kenaikan karena harus menuju kepada universal health coverage

(UHC).

Pada awal pelaksanaan program, Iuran awal BPJS

Kesehatan di 2014 pada awalnya untuk ruang perawatan kelas

III adalah Rp 25.500 per orang per bulan, kelas II Rp 42.500 per

bulan, dan kelas I Rp 59.500 per bulan. Di tahun pertama, dana

jaminan sosial ini langsung mengalami defisit Rp 1,65 triliun hal

ini karena jumlah iuran yang terkumpul tak sebanding dengan

jaminan kesehatannya

KELAS APR-JUN

2020

PERPRES

82/2018

JAN-MAR

2020

PERPRES

75/2019

JUL-DES

2020

PERPRES

64/2020

2021-DST

PERPRES

64/2020

KELAS I Rp25.500,- Rp42.000,- Rp42.000,- Rp42.000,-

KELAS II Rp51.000,- Rp110.000,- Rp100.000,- Rp100.000,-

KELAS

III

Rp80.000,- Rp160.000,- Rp150.000,- Rp150.000,-

Kenaikan pertama Iuran BPJS Kesehatan dilakukan pada

tahun 2016, tepatnya pada 1 April 2016 untuk pertama kalinya

tarif naik dengan ditetapkannya Perpres No.19/2016. Iuran kelas

I menjadi Rp 80.000 per bulan, kelas II iurannya Rp 51.000 ribu

per bulan, dan kelas III menjadi Rp30.000 per bulan. Dalam

perjalanan waktu, khusus untuk kenaikan iuran kelas III batal

dilaksanakan dan besaran iuran kembali seperti semula yaitu

12

Rp25.500. Hal ini sesuai dengan dalam Peraturan Presiden

No.28/2016 sebagai perubahan Perpres No.19/2016.

Kenaikan kedua iuran BPJS Kesehatan dilakukan pada

tahun 2019 melalui penetapan Perpres No.75/2019. Melalui

Perpres ini, terjadi perubahan fundamental terkait dengan iuran

baik besaran iuran, % (prosentase) iuran bagi Pekerja/PPU, dan

gaji/upah yang menjadi dasar pengenaan iuran. Ada beberapa

iuran BPJS Kesehatan akhirnya naik dua kali lipat. Kelas I iuran

menjadi Rp 160.000, kelas II iuran menjadi Rp 110.000, dan

Kelas III iuran Rp 42.000, termasuk dalam hal ini iuran peserta

PBI naik menjadi Rp42.000 Namun, angka ini hanya berlaku

tiga bulan saja. Kenaikan iuran PBPU kembali kembali seperti

sebelumnya setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji

materi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019. Pengajuan

gugatan dilakukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia

yang merasa keberatan dengan kenaikan iuran tersebut. Dengan

keputusan MA tersebut, kenaikan iuran PBPU dibatalkan dan

kembali semula, sedangkan iuran untuk PBI tetap mengalami

kenaikan termasuk dalam hal ini penduduk yang didaftarkan

oleh Pemerintah Daerah.

Kenaikan ketiga iuran BPJS ditandai dengan penrerbitan

Perpres 64/2020. Perpres ini pada intinya menindaklanjuti

keputusan MA tersebut, sekaligus memperbaiki sisi-sisi lainnya

dari program dan tetap melanjutkan kenaikan iuran sebagaimana

yang telah dilakukan oleh Perpres 75/2020. Pemerintah

mengeluarkan Perpres 64/2020 dengan nominal angka Rp

10.000 lebih kecil untuk Kelas I dan II sebagaimana besaran

13

iuran di Perpres 75/2019 yaitu masing-masing menjadi sebesar

Rp 150.000 dan Rp100.000.

Defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan

Defisit secara harfiah berarti adalah berkurangnya kas

dalam keuangan. Defisit biasa terjadi ketika

suatu organisasi (biasanya pemerintah) memiliki pengeluaran

lebih banyak daripada penghasilan. Dalam dana jaminan sosial

kesehatan, defisit diartikan sebagai adanya mismatch antara

pendapatan yang diterima oleh dana jaminan sosial dengan

pengeluaran (biaya manfaat) untuk pembayaran fasilitas

kesehatan. Dalam hal ini, pendapatan yang diterima oleh dana

jaminan sosial lebih rendah atas pengeluaran yang dilakukan.

14

Pendapatan dana jaminan sosial diatur dalam UU Nomor

24 Tahun 2011, yaitu bersumber dari:

1. Iuran jaminan sosial, termasuk bantuan iuran.

2. Hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial.

3. Hasil pengalihan aset program jaminan sosial yang menjadi

hak peserta dari BUMN yang menyelenggarakan program

jaminan sosial.

4. Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Adapun dalam penggunaan/ pengeluaran Dana Jamina

Sosial telah dibatasi untuk 3 (tiga) kegiatan di bawah ini:

1. Pembayaran manfaat atau pembiayaan layanan jaminan

sosial.

2. Biaya operasional penyelenggaraan program jaminan

sosial.

3. Investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan

Untuk masalah defisit ini, Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) telah melakukan menyampaikan enam poin pendapatnya

kepada pemerintah untuk mengatasi defisit keuangan Dana

Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Enam Pendapat tersebut

merupakan bagian dari Pendapat BPK terkait Pengelolaan atas

Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dalam dokumen Pendapat BPK disebutkan, defisit dalam

pendanaan penyelenggaraan program JKN terus terjadi meski

pemerintah telah memberikan bantuan keuangan kepada DJS

15

Kesehatan. Terkait hal tersebut, BPK berpendapat pemerintah

harus segera mewujudkan kesinambungan kemampuan

keuangan DJS Kesehatan, sehingga meminimalkan defisit

keuangan.

Pendapat pertama BPK untuk mengatasi hal tersebut

adalah dengan menyusun mekanisme pengumpulan iuran yang

efektif untuk menjamin kolektibilitas dan validitas besaran

iuran. Terutama dari segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) dan

Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).

Pendapat itu disampaikan BPK karena BPJS Kesehatan

belum memiliki mekanisme pengumpulan iuran yang efektif,

terutama untuk menjamin kolektibilitas dan validitas besaran

iuran segmen PPU dan PBPU. Berdasarkan pemeriksaan yang

telah dilakukan BPK, permasalahan defisit keuangan DJS

Kesehatan, antara lain, disebabkan oleh pemungutan dan

pengumpulan iuran dari peserta PPU dan PBPU yang belum

optimal.

Sampai dengan saat ini, BPJS Kesehatan tidak dapat

memastikan jumlah iuran dan penghasilan peserta PPU yang

sebenarnya, karena hanya mengandalkan data dari pemberi

kerja.

Selain itu, berdasarkan Laporan Keuangan DJS Kesehatan

Tahun 2019 (audited), diketahui bahwa piutang iuran segmen

PBPU sebesar Rp11,35 triliun dengan penyisihan piutang

sebesar Rp10,40 triliun (93,33 persen). Hal ini menunjukkan

bahwa peserta PBPU merupakan pembayar iuran dengan

16

kolektibilitas rendah. Di sisi lain, segmen PBPU memiliki rasio

klaim tertinggi (232,42 persen) dibandingkan segmen lainnya.

Pendapat kedua, melakukan reformasi besaran

pembayaran kapitasi kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama

(FKTP). Ini dilakukan dengan mengacu pada standar besaran

tarif dan capaian indikator kinerja yang merujuk pada kualitas

pelayanan medis dan nonmedis yang diberikan, kelengkapan

sumber daya kesehatan, serta kepatuhan dan komitmen dalam

pencegahan kecurangan.

Pendapat Ketiga, melakukan reformasi peran FKTP yang

merupakan garda terdepan dalam sistem layanan kesehatan di

Indonesia, melalui optimalisasi dana bidang kesehatan dari

17

APBN/APBD di fasilitas kesehatan milik pemerintah dalam

rangka meningkatkan upaya promotif, preventif, dan pola

rujukan layanan kesehatan yang ideal.

Pendapat Keempat, melakukan penyempurnaan aplikasi

verifikasi klaim pelayanan kesehatan pada BPJS Kesehatan

dengan mempertimbangkan risiko kecurangan yang mungkin

terjadi.

Pendapat Kelima, mengatasi defisit keuangan DJS

Kesehatan sesuai dengan kemampuan fiskal. Sedangkan

Pendapat keenam adalah mendorong kolaborasi pendanaan

dengan pemerintah daerah sehingga memberi ruang bagi APBD

untuk berkontribusi dalam program JKN.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

juga telah mengeluarkan rekomendasi atas defisit yang terjadi di

DJS Kesehatan. Inti dari rekomendasi tersebut adalah dissi

18

efisiensi pengeluaran agar pengerluaran dapat ditekan seefisien

mungkin. 6 (enam) rekomendasi tersebut yaitu:

Pertama, Kemenkes mempercepat penyusunan Pedoman

Nasional Praktik Kedokteran untuk mencegah unnecessary

treatment atau biaya tidak perlu, yang dapat meningkatkan

pengeluaran. saat baru ada 32 PNPK dari target yang diminta

KPK pada 2015 sebanyak 80 PNPK. Ia menilai ketiadaan PNPK

itu mengakibatkan unnecessary treatment atau pengobatan yang

tidak perlu. KPK memandang PNPK saat ini baru selesai 32

PNPK sampai Juli 2019 yang seharusnya 80 PNPK. Akibatnya,

karena masih ada sekitar 48 yang belum selesai,

Kedua, membuka opsi pembatasan klaim untuk penyakit

katastroupik yang disebabkan gaya hidup tidak sehat seperti

jantung, diabetes, kanker, stroke, dan gagal ginjal.

Ketiga, mengakselerasi coordination of benefit dengan

asuransi kesehatan swasta. berdasarkan data Dewan Asuransi

Indonesia, ada 1,7 persen penduduk Indonesia yang memiliki

asuransi atau sekitar 4,5 juta orang. Dengan asumsi besaran CoB

seperti yang diterapkan di Jepang dan Korea Selatan, yaitu 20-

30 persen, dapat mengalihkan beban klaim peserta PPU (pekerja

penerima upah) nonpemerintah dan PBPU sebesar Rp 600-900

miliar kepada asuransi swasta

Keempat, mengimplementasikan co-payment sebesar 10

persen bagi peserta mandiri sesuai Permenkes 51 Tahun. Kelima,

mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit. Kemudian, keenam

adalah menindaklanjuti verifikasi klaim untuk mengatasi

tindakan curang (fraud) di lapangan

19

Penerbitan Perpres 64/2020 dan Kebijakan di dalamnya

Perpres 64/2020 disusun untuk menindaklanjuti

rekomendasi putusan Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan

Nomor 7 P/HUM/2020 tanggal 27 Februari 2020. Dalam

pertimbangannya, Majelis Hakim saat itu menekankan perlunya

perbaikan holistik dari hulu ke hilir yang mencakup sistem,

manajemen, dan pelayanan. Atas hal itulah, Pemerintah dengan

segera melakukan pembenahan dan mendorong percepatan

reformasi JKN melalui penerbitan Perpres 64/2020.

Melalui penerbitan Perpres 64/2020 ini pula yang

menunjukkan komitmen Pemerintah untuk membangun

ekosistem jaminan kesehatan yang berkelanjutan dan

berkeadilan. Penyesuaian iuran JKN mulai 1 Juli 2020,

didasarkan semangat gotong royong, di mana peserta yang

mampu membantu yang kurang mampu, dan peserta yang sehat

20

membantu yang sakit atau berisiko tinggi. Melalui prinsip

gotong-royong, jaminan kesehatan nasional dapat

menumbuhkan keadilan sosial dan keberlanjutan bagi seluruh

rakyat Indonesia. Di bawah ini adalah kebijakan-kebijakan yang

diambil oleh Pemerintah yang tertuang dalam Perpres 64/2020.

1) Penyesuaian Iuran

Dalam penyesuaian iuran pada Perpres 64/2020 dilakukan

dengan mempertimbangkan 3 (tiga) hal yaitu: (i)

perhitungan teknis aktuaria. Berdasarkan perhitungan

aktuaria, nilai nominal iuran yang seharusnya adalah

Besaran iuran yang sesuai dengan perhitungan aktuaria dan

kemampuan membayar iuran PBPU Kelas 1 (K1)

=Rp286.085, K2=Rp184.617, K3=Rp137.221 (ii)

kemampuan membayar dari peserta dan (iii) keadilan social.

Saat ini tercatat sebanyak 132,6 juta orang miskin dan tidak

mampu adalah peserta BPJS Kesehatan (JKN) secara gratis

(PBI), dengan mendapatkan layanan setara Kelas 3 dan

Segmen Perpres

64/2020

Iuran

Aktuaria

Selisih

PBPU Kelas

1

Rp150.000,- Rp 286.085,- Rp136.085,-

PBPU Kelas

II

Rp 100.000,- Rp 184.617,- Rp 84.617,-

PBPU Kelas

III

Rp 42.000,- Rp 137.221,- Rp 95.221,-

21

iuran sebesar Rp42.000,- per orang per bulan. Iuran tersebut

ditanggung oleh Pemerintah melalui APBN untuk Penerima

Bantuan Iuran (PBI) sebesar 96,6 juta orang, dan APBD

sebesar 36 juta orang oleh Pemerintah Daerah. Pada Perpres

64/2020 mulai dikenalkan kontribusi dari Pemerintah

Daerah untuk PBI APBN.

Sementara itu pada peserta PBPU dan BP, berdasarkan

Perpres 64/2020, mulai 1 Juli 2020 iuran peserta PBPU dan

BP Kelas 1 disesuaikan menjadi Rp150.000,- per orang per

bulan. Kemudian untuk iuran peserta PBPU dan BP Kelas 2

adalah Rp100.000 per orang per bulan. Iuran tersebut masih

relative jauh di bawah perhitungan aktuaria, artinya bahwa

peserta Kelas 1 maupun Kelas 2 masih dibantu oleh segmen

kepesertaan yang lain. Peserta yang tidak mampu

membayar layanan kesehatan Kelas 1 dan Kelas 2 dapat

berpindah ke Kelas 3 yang hanya membayar Rp25.500,- per

orang per bulan, yaitu tarif yang jauh lebih murah dari tarif

untuk orang miskin sebesar Rp42.000,- yang dibayar oleh

negara. Adapun sisanya yaitu sebesar Rp16.500,- per orang

per bulan akan dibantu oleh Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah melalui skema bantuan iuran peserta

PBPU dan BP kelas III.

2) Denda Layanan

22

Pada Perpres 64/2020 terjadi kenaikan denda layanan bagi

penunggak iuran menjadi 5% yang akan dikenakan mulai

tahun 2021. Pada pengaturan sebelumnya, yaitu di Perpres

82/2018, denda layanan adalah sebesar 2,5 % Denda (untuk

tahun 2021) yaitu sebesar 5% (lima persen) dari perkiraan

biaya paket Indonesian Case Based Groups berdasarkan

diagnosa dan prosedur awal untuk setiap bulan tertunggak

dengan ketentuan:

a. jumlah bulan menunggak paling banyak 12 (dua belas)

bulan; dan

b. besar denda paling tinggi Rp30.000.000,00 (tiga puluh

juta rupiah).

23

3) Relaksasi iuran pada masa pandemic Covid 19

Perpres 64/2020 diterbitkan pada situasi pandemi Covid-19.

Dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, peserta JKN yang

menunggak dapat mengaktifkan kembali kepesertaannya

dengan hanya melunasi tunggakan iurannya selama 6 bulan,

hal ini memberikan kelonggaran dari keharusan pelunasan

selama 24 bulan.

TAHUN PERHITUNGAN BESAR DENDA

PALING TINGGI

2020 2,5% X Bulan Tunggakan

(Maksimal 12 Bulan) X

Diagnosa CBG’s Awal

Rp 30 juta

2021 5% X Bulan Tunggakan

(Maksimal 12 Bulan) X

Diagnosa CBG’s Awal

Rp 30 juta

SKEMA PEMBAYARAN DENDA TAHUN 2020 DAN

2021

24

LAMA

TUNGGAKAN

PEMBAYARAN STATUS KET.

1 – 6 Bulan 1 – 6 Bulan Aktif Berlaku spt

saat ini; tidak

membayar 1

bulan (sd 31

bulan

berjalan),

tidak aktif

6 – 24 Bulan Maksimal 6

Bulan

Aktif Sisa

Tunggakan

harus dilunasi

2021

Sisa tunggakan yang belum terbayar, akan diberikan

kelonggaran sampai dengan tahun 2021. Demikian juga

perlakukan untuk permasalahan denda pada masa pandemi

Covid-19 pada tahun 2020 ini pemberian dukungannya

adalah pengenaan denda yang masih menggunakan %

(persentase) awal yaitu 2,5% belum dikenakan denda

sebesar 5%.

4) Waktu Peninjauan Iuran dan Standar yang Digunakan

Perpres 64/2020 ini juga mengatur bahwa besaran iuran

untuk setiap segmen kepesertaan akan ditinjau paling lama

2 (dua) tahun sekali menggunakan standar praktik aktuaria

jaminan sosial yang lazim dan berlaku umum. Tentunya

dengan mempertimbangkan tingkat inflasi di bidang

SIMULASI RELAKSASI IURAN

25

kesehatan, biaya kebutuhan jaminan kesehatan, dan

kemampuan membayar iuran. Pengusulannya dilakukan

oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) kepada

Presiden RI.

5) Perbaikan Tata Kelola

Melalui Perpres 64/2020 ini, Pemerintah juga terus

mengupayakan perbaikan tata kelola sistem layanan

kesehatan. Menteri Kesehatan bersama Kementerian/

Lembaga terkait, organisasi profesi, dan asosiasi fasilitas

kesehatan (faskes) melakukan peninjauan manfaat sesuai

kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar

paling lambat Desember 2020.

Defisit Dana DJS Kesehatan Pasca Penerbitan Perpres

64/2020 di Masa Pandemi

Defisit DJS kesehatan merupakan mismatch antara penerimaan

dengan pengeluaran. Defisit ditunjukkan dengan kondisi

pengeluaran lebih besar dari pada penerimaan yang diperoleh

sehingga menyebabkan kas negatif (defisit). Telah diketahui di

atas, bahwa dari awal pelaksanaan program JKN, DJS telah

mengalami defisit. Defisit yang dialami oleh DJS Kesehatan

bisa bertambah besar dalam hal tidak ada intervensi Pemerintah

secara langsung untuk menutup/mengurangi defisit tersebut.

Pada awal perjalanan program, untuk menutup defisit DJS yang

dilakukan adalah melakukan penggunaan dana yang ada pada

26

BPJS Kesehatan selaku korporasi dan hal ini dimungkinkan

secara regulasi. Mekanisme yang dimungkinkan oleh BPJS

Kesehatan selaku korporasi dalam membantu DJS Kesehatan

adalah melalui hibah surplus korporasi kepada DJS Kesehatan.

Selain itu, terdapat mekanisme lainnya yaitu penggunaan

mekanisme dana talangan dari aset BPJS kepada aset DJS.

Kedua mekanisme tersebut telah dilakukan pada awal-awal DJS

Kesehatan mengalami defisit, sehingga tidak ada mekanisme

lainnya diluar menaikkan iuran selain dari intervensi Pemerintah

melalui mekanisme penanaman modal negara (PMN) dan

bantuan Pemerintah. Dukungan Pemerintah pada Program JKN

dalam bentuk:

a. Bantuan iuran kepada masyarakat miskin (PBI);

b. Iuran Pemberi kerja bagi PNS/TNI/Polri (PPU

Pemerintah); dan

c. Last resort pembiayaan JKN (PMN & Dana Cadangan)

Intervensi Pemerintah dilakukan setelah semua kebijakan yang

ditempuh dalam bauran kebijakan Pemerintah dan BPJS

Kesehatan dilakukan secara maksimal. Sehingga bisa dikatakan

bahwa intervensi Pemerintah disini Pemerintah sebagai last

resort pendanaan program. Defisit DJS Kesehatan sebagaimana

dijelaskan di awal telah terjadi pada awal-awal pelaksanaan

program, sehingga mulai tahun 2015, Pemerintah telah

mennyuntikkan dana bantuan kepada DJS Kesehatan. Secara

berurutan, bantuan yang diberikan Pemerintah yaitu:

Tahun 2015; intervensi Pemerintah dilakukan dalam

bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp5

27

triliun yang terdiri dari Rp3,46 triliun sebagai pengganti

dana operasional dan 1,5 triliun PMN murni.

Tahun 2016; mengingat kondisi DJS Kesehatan masih

dalam kondisi defisit, maka Pemerintah melakukan

interensi sebagaimana tahun sebelumnya yaitu dengan

menggunakan mekanisme PMN sebesar 6,8 triliun.

Tahun 2017, kondisi defisit DJS masih berlanjut,

sehingga Pemerintah tetap melakukan intervensi.

Namun, dalam intervensi yang dilakukan oleh

Pemerintah tersebut, mekanisme yang digunakan tidak

dalam bentuk PMN namun dalam bentuk belanja.

Sebesar Rp3,6 triliun

Tahun 2018, keadaan Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS

Kesehatan masih defisit. Pemerintah berusaha untuk

mengurangi defisit tersebut dalam bentuk belanja

sebesar Rp10,3 triliun.

Namun, mekanisme intervensi Pemerintah dalam bentuk

PMN ini menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan karena

tidak sesuai dengan filosofis dari PMN, sehingga Pemerintah

ketika melakukan intervensi DJS Kesehatan yang masih dalam

keadaan defisit adalah melalui mekanisme bantuan Pemerintah

(model belanja). Dalam mekanisme belanja ini, maka bantuan

pemerintah tidak menjadi tanggungan/kewajiban DJS

Kesehatan untuk mengembalikan dana tersebut ke Pemerintah.

28

Meskipun intervensi yang dilakukan oleh Pemerintah

telah dilakukan baik dalam bentuk PMN/ bantuan pemerintah

maupun dalam bentuk kebijakan kebijakan (bauran kebijakan),

namun kondisi DJS Kesehatan tetap menunjukkan defisit yang

berkelanjutan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa

terdapat titik kunci penyelesaian defisit DJS Kesehatan belum

tersentuh yaitu iuran premi yang masih belum ekonomis.

Meskipun tahun 2016 telah dilakukan perbaikan iuran, namun

secara penghitungan aktuaria masih jauh dari ekonomis

sehingga defisit masih terjadi. Untuk itulah Perpres 75/2019

diterbitkan agar defisit DJS Kesehatan segera terselesaikan.

Namun ketika defisit kesehatan telah mulai berangsur angsur

berkurang, Perpres 75/2019 terhenti dengan keputusan MA yang

membatalkan pemberlakukan kenaikan iuran PBPU yang hal ini

tentunya berpengaruh kembali kepada kembalinya trend defisit

DJS kedepan. Untuk itulah Perpres 64/2020 diterbitkan oleh

Pemerintah sebagai pelanjut Perpres 75/2019 sekaligus

memperbaiki kondisi-kondisi lainnya di bidang layanan.

29

Pengaruh Perpres 64/2020 yang diterbitkan pada masa

pandemi sebagai kelanjutan Perpres 75/2019 dalam penanganan

defisit dapat dilihat dari sisi laporan arus kas DJS Kesehatan

sebagai berikut:

Uraian Tahun

2018 (dalam

triliun)

2019 (dalam

triliun)

2020

(dalam

triliun)

Penerimaan 83,09 107,61 135,40

Pengeluaran 93,54 107,63 116,66

Defisit/

Surplus

(10,45) (0,02) 18,74

Dari tabel diatas terlihat adanya kenaikan perbaikan defisit

secara signifikan telah terjadi pada tahun 2019, meskipun secara

nominal masih menunjukkan adanya negatif. Tahun 2020 pada

prinsipnya hanya melanjutkan adanya trend positif yang telah

dilakukan sejak tahun 2019. Artinya kenaikan iuran yang

diambil pemerintah adalah kebijakan produktif yang mampu

menyelesaikan permasalahan defisit DJS Kesehatan. Dari tabel

dimaksud dapat dipahami juga bahwa trend perbaikan defisit

yang telah dimulai pada tahun 2019 tersebut tidak terlepas dari

penerbitan Perpres No.75/2019 yang secara substansi adalah

kenaikan iuran jamkes secara proporsional dengan

mempertimbangkan penghitungan aktuaria. Adapun penerbitan

30

Perpres 64/2020 adalah berperan sebagai penghubung dari

Perpres 75/2019 yang kenaikan iuran dibatalkan MA tersebut.

Dengan diterbitkannya Perpres 64/2020 kenaikan iuran tetap

dilakukan oleh Pemerintah namun dengan tetap

mempertimbangkan kemampuan peserta.

Kondisi keuangan DJS Kesehatan yang berangsur sehat ini

ditunjukkan dengan kemampuan BPJS Kesehatan dalam

membayar seluruh tagihan pelayanan kesehatan secara tepat

waktu kepada seluruh fasilitas kesehatan, termasuk juga

penyelesaian pembayaran atas tagihan tahun 2019. Kondisi

tersebut diharapkan terus membaik dan dapat diertahankan

setiap tahunnya, sehingga diharapkan mulai tahun ini BPJS

Kesehatan bisa melakukan pencadangan memenuhi persyaratan

tingkat kesehatan keuangan DJS Kesehatan sesuai regulasi.

Di sisi lain, masih ada satu pekerjaan rumah yang perlu

diselesaikan yaitu terkait dengan upaya pemenuhani amanat

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2018 tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013

tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan. Dalam

pasal 37 disebutkan kesehatan keuangan aset DJS Kesehatan

diukur berdasarkan aset bersih DJS Kesehatan dengan ketentuan

yaitu paling sedikit harus mencukupi estimasi pembayaran

klaim untuk 1,5 bulan ke depan, dan paling banyak sebesar

estimasi pembayaran klaim untuk 6 bulan ke depan.

Aset neto yang sehat ini dihitung, jika dalam istilah

asuransi bisa dikatakan sebagai modal minimum atau Risk

Based Capital (RBC) dari DJS Kesehatan untuk mengelola

31

Program JKN-KIS. Tentu upaya penyehatan DJS Kesehatan ini

terus diupayakan Pemerintah untuk memastikan pelayanan

kesehatan bagi peserta tetap optimal.

Kondisi saat ini di tahun 2020, asset netto masih

membukukan posisi negative sebesar Rp6,3T. Apabila

dibandingkan dengan kondisi aset netto pada posisi akhir tahun

2019 sebesar negative Rp51 triliun, hal ini tentunya mengalami

perbaikan yang cukup pesat. Apabila kondisi ini tetap

dipertahankan pada tahun 2021, maka bisa dipastikan kondisi

kesehatan aset DJS kesehatan yang tercermin dengan kondisi

aset netto pada tahun 2021 akan bisa mencapai angka positif.

Rekomendasi

1. Pandemi covid 19 masih belum bisa ditentukan waktu

penyelesaiannya. Hal ini tentunya akan menurunkan tingkat

ekonomi secara makro yang berdampak pada penghasilan

PBPU dan BP sehingga menurunkan kemampuan

membayar iuran dan menyebabkan terjadinya tunggakan

iuran.

2. Perpres 64/2020 memberikan ruang bagi Pemerintah daerah

untuk berkontribusi khususnya dalam pendanaan, sehingga

perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara simultan.

3. Bantuan Pemerintah terhadap PBPU dan BP kelas III perlu

dimitigasi risiko dengan kemampuan keuangan negara,

karena beban APBN yang besar telah dilakukan untuk

pembayaran iuran JKN melaui kepesertaan PBI dan

PNS/TNI Polri. Langkah ini diperlukan karena kenaikan

32

iuran akan memberikan peluang peserta kelas I dan kelas II

memilih untuk turun ke kelas III sehingga bantuan Negara

dan Pemda menjadi bertambah.

4. Koordinasi yang intens antara seluruh pemangku

kepentingan dalam mengawal pelaksanaan Perpres 64/2020

perlu dilakukan secara intenn, demikian juga sosialisasi atas

Perpres 64/2020 dan peraturan turunannya perlu

diintenskan secara masif agar diperoleh pemahaman yang

sama dalam implementasi di lapangan.

5. Aturan-aturan pendukung/ teknis Perpres 64/2020 perlu

segera diselesaikan, sekaligus melakukan evaluasi atas

peraturan peraturan yang ada selama ini.

DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia (2004). Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Negara

Republik Indonesia, (2011). Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Republik Indonesia, 2020. Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun

2020 tentang Perubahan Kedua tentang Peraturan Presiden

Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Jakarta

Kajian Defisit Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019-2020

33

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PMK

78/PMK.02/2020 DI DAERAH DALAM MASA

PANDEMI COVID 19

34

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PMK

78/PMK.02/2020 DI DAERAH DALAM MASA

PANDEMI COVID 19

Oleh : Ayu Paramita Hapsari

Pengertian Jaminan Kesehatan

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 diamanatkan bahwa tujuan

negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam

Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu

dengan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi

kesejahteraan seluruh rakyat.

Sistem jaminan sosial nasional merupakan program

negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan

kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana

diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan

Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001,

Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial

nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi

masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu.

35

Dengan ditetapkannya UU SJSN dan UU BPJS, bangsa

Indonesia telah memiliki sistem Jaminan Sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan sosial

bagi masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu.

Penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional

dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip: kegotongroyongan,

nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas,

kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan

Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk

pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya

kepentingan Peserta. Jenis – jenis program jaminan sosial dalam

UU SJSN meliputi : jaminan Kesehatan, jaminan kecelakaan

kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian.

Definisi Jaminan Kesehatan berdasarkan Perpres 82 Tahun

2018 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana diubah yang

kedua dengan Perpres 64 tahun 2020 adalah Jaminan berupa

perlindungan kesehatan agar Peserta memperoleh manfaat

pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi

kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang

yang telah membayar Iuran Jaminan Kesehatan atau Iuran

Jaminan Kesehatannya dibayar oleh Pemerintah Pusat atau

Pemerintah Daerah.

Kondisi Jaminan Kesehatan Nasional

Jumlah peserta JKN telah mencapai mencapai 82% dari

36

total penduduk atau sebesar 223 juta jiwa,1 dengan komposisi

sebagai berikut:

(i) Penerima Bantuan Iuran

(Program Jaminan Kesehatan fakir miskin dan orang tidak

mampu yang dibayar oleh Pemerintah Pusat melalui APBN

dan Pemda melalui APBD) sebanyak 133,5 juta jiwa atau

59,9% dan

(ii) Bukan Penerima Bantuan Iuran yang terdiri dari

a. Pekerja Penerima Upah (Setiap orang yang bekerja

pada pemberi kerja dengan menerima gaji atau upah.

antara lain: PNS, BUMN, BUMD, dan Swasta)

sebanyak 54,1 juta jiwa atau 24,2%,

b. Pekerja Bukan Penerima Upah (Setiap orang yang

bekerja atau berusaha atas risiko sendiri yang mampu

membayar iuran. Antara lain: Dokter/ Bidan Prakter

Swasta, Pedagang/ Penyedia Jasa, Petani/ Peternak,

Nelayan, Supir, Ojek) sebesar sebanyak 30,4 juta jiwa

atau 13,6%,

c. Bukan Pekerja (Setiap orang yang bukan termasuk

masyarakat yang didaftarkan dan iurannya dibayar oleh

Pemerintah Pusat/ Daerah, PPU serta PBPU) sebanyak

5 juta jiwa atau 2,2%.

Pemerintah sangat mendukung keberlangsungan program

1 Disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara

pada Media Birefing “Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional“ tanggal 14

Mei 2020.

37

JKN hal itu dibuktikan dengan dukungan pemerintah kepada

BPJS Kesehatan sebagai badan penyelenggara dari tahun 2018

sampai dengan 2020, yaitu sebagai berikut:

Dukungan

Pemerintah

Tahun 2018 Tahun 2019 Tahun 2020

PBI 25,5T 35,8T 48,8T

Tambahan Pemda 6,8T 13,0T 18,1T

Bantuan Pemerintah 10,3T - -

PPU 5,4T 6,5T 11,1T

PBPU dan BP - - 3,1T

Total 48,0T 55,3T 81,1T

Sejak awal dilaksanakannya program JKN pada tahun

2014 telah terjadi defisit DJS Kesehatan yaitu sebesar Rp1,9 T,

pada tahun 2015 sebesar Rp9,4 T, tahun 2016 sebesar Rp6,7 T

dan melonjak tinggi pada tahun 2017 yaitu Rp13,8 T. Pada tahun

2018 telah diterbitkan Perpres 82 Tahun 2018 dengan harapan

dapat mengurangi defisit dan memang defisit DJS Kesehatan

sedikit berkurang yaitu sebesar Rp 9,1 T pada tahun 2018.

Hal tersebut terjadi karena penyebab utama defisit belum

teratasi yaitu mismatch antara penerimaan iuran dengan

pengeluaran. Untuk itu pada tahun 2019 diterbitkan Perpres 75

Tahun 2019 dengan harapan dapat mengatasi defisit DJS

Kesehatan. Dalam Perpres 75 diatur penyesuaian besaran iuran

38

JKN yaitu:

Kelas

Perawatan

Perpres 82 Tahun

2018

Perpres 75 Tahun

2019

PBI Rp42.000 Rp42.000

Kelas III Rp25.500 Rp42.000

Kelas II Rp51.000 Rp110.000

Kelas I Rp80.000 Rp150.000

Tentu terbitnya Perpres 75 Tahun 2019 telah melalui

pembahasan yang panjang dan sesuai dengan Pasal 38 ayat (1)

Perpres 82 Tahun 2018 bahwa “Besaran iuran ditinjau paling

lama 2 (dua) tahun sekali.”

Perpres 64 Tahun 2020 tentang perubahan Kedua atas

Peraturan Presiden nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan

Kesehatan

Tidak lama setelah terbit Perpres Nomor 75 Tahun 2019

tentang Jaminan Kesehatan, Komunitas Pasien Cuci Darah

Indonesia (KPCDI) mengajukan permohonan judicial review

dan atas permohonan tersebut terbit Putusan Mahkamah Agung

(MA) No: 7 P/HUM/2020 yang intinya menyatakan bahwa

Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019

mengenai kenaikan iuran Jaminan Kesehatan yang

diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan untuk kelas I, II dan III

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dampak Putusan MA tersebut antara lain: (i) besaran

iuran peserta PBI menjadi lebih besar dari iuran kelas III, (ii)

39

kondisi keuangan DJS Kesehatan akhir tahun 2020

diperkirakan akan mengalami defisit sebesar Rp6,9T apabila

dihitung dengan carry over defisit tahun 2019 sekitar Rp15,5

T, (iii) mulai tahun 2021, DJS Kesehatan akan mengalami

defisit yang semakin melebar, dan (iv) putusan MA akan

mempercepat terjadinya defisit JKN yang apabila dilakukan

menggunakan iuran sesuai Perpres 75/2019 mulai tahun 2014,

dan (iv) diperlukan langkah signifikan untuk menjaga

kesinambungan program.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka

disusunlah Perpres perubahan kedua atas Perpres Nomor 82

Tahun 2018 yaitu Perpres Nomor 64 Tahun 2020. Penyusunan

tersebut dilakukan melalui mekanisme pengajuan izin prakarsa

kepada Presiden. Pemrakarsa dari penyusunan Perpres ini

adalah Menteri Keuangan, yang dalam hal ini dikoordinasikan

oleh Direktorat Jenderal Anggaran dimana secara teknisnya

dilaksanakan oleh Direktorat Harmonisasi Peraturan

Penganggaran. Tujuan utama Perpres 64/2020 untuk

memperbaiki struktur iuran, meningkatkan kepatuhan

pembayaran iuran, dan memberikan relaksasi di masa pandemi

covid-19. Beberapa kebijakan yang diatur dalam Perpres

64/2020 antara lain:

a. Kebijakan Iuran

Kebijakan iuran yang mulai berlaku 1 Juli 2020, yaitu: (i)

Iuran bagi Peserta PBI JK yaitu sebesar Rp42.000 per

orang per bulan (POPB), (ii) Iuran bagi Peserta PPU yaitu

5% dari gaji atau upah per bulan dengan ketentuan 4%

40

dibayar oleh Pemberi kerja dan 1% dibayar oleh Peserta

dengan batas tertinggi Rp12.000.000,- dan batas terendah

adalah upah minimum Kab/Kota., (iii) Iuran bagi peserta

PBPU dan BP kelas III yaitu sama dengan PBI JK tetapi

dengan ketentuan: Tahun 2020, sebesar Rp25.500 POPB

dibayar oleh peserta dan sebesar Rp16.500 POPB dibayar

oleh Pemerintah Pusat sebagai bantuan iuran, serta sebesar

Rp25.500 POPB dibayar oleh Pemda untuk penduduk Ex

PBI Pemda dan untuk Tahun 2021, sebesar Rp35.000

POPB dibayar oleh peserta, dimana sebesar Rp7.000

POPB dibayar oleh Pemerintah Pusat dan Pemda sebagai

bantuan iuran, serta Rp35.000 POPB dapat dibayar oleh

Pemda Sebagian atau seluruhnya, (iv) Iuran bagi peserta

PBPU dan BP kelas II yaitu Rp100.000 POPB, dan (v)

Iuran bagi peserta PBPU dan BP kelas I yaitu Rp150.000

POPB.

Kebijakan iuran untuk bulan Januari – Maret 2020, yaitu:

(i) Iuran bagi peserta PBPU dan BP kelas III sebesar

Rp42.000 POPB, (ii) Iuran bagi peserta PBPU dan BP

kelas II sebesar Rp110.000 POPB, dan (iii) Iuran bagi

peserta PBPU dan BP kelas I sebesar Rp160.000 POPB.

Kebijakan iuran untuk bulan April – Juni 2020, yaitu: (i)

Iuran bagi peserta PBPU dan BP kelas III sebesar

Rp25.500 POPB, (ii) Iuran bagi peserta PBPU dan BP

kelas II sebesar Rp51.000 POPB, dan (iii) Iuran bagi

peserta PBPU dan BP kelas I sebesar Rp80.000 POPB

b. Relaksasi Pengaktifan kepesertaan

41

Karena pandemi covid-19 peserta JKN yang menunggak

dapat mengaktifkan kembali kepesertaannya dengan

melunasi tunggakan iuran selama 6 bulan, yang

sebelumnya harus melunasi 24 bulan. Apabila masih

memiliki sisa tunggakan akan diberi kelonggaran sampai

dengan tahun 2021.

c. Relaksasi pembayaran denda

Untuk tahun 2020, Peserta yang sebelumnya menunggak

dan telah aktif kembali hanya diwajibkan membayar denda

sebesar 2,5% dari perkiraan paket INACBG, atas

pelayanan yang diperolehnya di faskes rujukan tingkat

lanjutan. Sebelum Perpres 64/2020 berlaku, denda yang

dikenakan adalah 5%, dan denda ini akan kembali berlaku

pada tahun 2021 dan seterusnya.

42

PMK No. 78/PMK.02/2020 tentang Pelaksanaan

Pembayaran Kontribusi Iuran Peserta PBI Jaminan

Kesehatan, Iuran Peserta PBPU dan Peserta BP dengan

Manfaat Pelayanan di Ruang Perawatan Kelas III, dan

Bantuan Iuran Bagi Peserta PBPU dan Peserta BP dengan

Manfaat Pelayanan di Ruang Perawatan Kelas III Oleh

Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah

Untuk melaksanakan Peraturan Presiden 64/2020 Pasal

29 ayat (5) yang terkait dengan kontribusi pembayaran Iuran

bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan yang dibayarkan oleh

Pemerintah Daerah dan Pasal 34 ayat (5) yang terkait dengan

bantuan Iuran kepada Peserta PBPU dan Peserta BP dengan

manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III telah pula

disusun Peraturan Menteri Keuangan Nomor

78/PMK.02/2020, yang efektif berlaku mulai 1 Juli 2020.

Peraturan Menteri Keuangan dimaksud antara lain mengatur

mengenai:

a. pelaksanaan pembayaran Bantuan Iuran oleh Pemerintah

Pusat, dan

b. pelaksanaan pembayaran Kontribusi Iuran Peserta PBI, Iuran

Peserta PBPU dan Peserta BP dengan manfaat pelayanan di

ruang perawatan kelas III, dan bantuan iuran oleh Pemda.

Adapun beberapa hal pokok yang di atur dalam PMK

78/PMK.02/2020 adalah:

a. Sharing kewajiban iuran antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah

43

Kewajiban

Pemerintah Pusat

Kewajiban Pemerintah

Daerah

Bantuan Iuran PBPU dan BP

Kls 3

• Thn 2020: Rp16.500

• Thn 2021 dst: Rp 4.200

(dibagi Pusat: Daerah

yaitu 60:40; dari total

bantuan Rp7.000)

Kontribusi Pemda dalam PBI

• Thn 2020: (tidak ada, kapasitas

Pemda belum mampu)

• Thn 2021 dst: dibayar

oleh Provinsi

sebesar Rp2.000; Rp2.100; atau

Rp2.200 sesuai kapasitas fiskal

Iuran Peserta PBPU dan BP Kls 3

• Thn 2020: Atas kewajiban

Peserta ex PBI Pemda:

Rp25.500

• Thn 2021 dst: dapat

membayar

sebagian/seluruhnya dari total

kewajiban iuran Peserta sebesar

Rp35.000

Bantuan Iuran PBPU dan BP Kls

3

• Thn 2020: - (tidak ada, semua

ditanggung Pusat)

• Thn 2021 dst: Rp2.800 (dibagi

Pusat:

Daerah yaitu 60:40; dari total

bantuan Rp7.000)

b. Pembayaran bantuan iuran oleh Pemerintah Pusat dilakukan

44

melalui pembayaran Bantuan Iuran oleh KPA BUN kepada

BPJS Kesehatan. KPA pembayaran adalah Kemenkeu c.q.

Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Pembayaran bantuan

iuran tersebut meliputi tata cara:

(i) Penyediaan dana: bantuan iuran dialokasikan dalam

APBN dan/atau APBNP pada BA 999.08 Pos Cadangan

Lainnya

(ii) Pencairan dana: BPJS Kesehatan setiap bulan

menyampaikan surat tagihan berdasarkan perhitungan

iuran jamkes peserta kelas III dengan status aktif kepada

KPA BUN.

(iii) Pertanggungjawaban dana

KPA BUN bertanggung jawab secara formal atas

penyaluran Bantuan Iuran dari rekening Kas Negara ke

rekening BPJS Kesehatan.

Direksi BPJS Kesehatan bertanggung jawab secara

formal dan materiil atas kebenaran data Peserta Aktif,

kebenaran perhitungan Bantuan Iuran dan penggunaan

Bantuan Iuran yang diterimanya.

(iv) Pengawasan

APIP melakukan pengawasan atas pembayaran bantuan

iuran.

c. Mekanisme pembayaran iuran yang menjadi kewajiban

Pemerintah Daerah meliputi mekanisme:

(i) Pembayaran oleh KPA Pemda terkait, dapat diuraikan

sebagai berikut:

45

Pemerintah Daerah membayar kewajiban iuran

setiap bulan kepada BPJS Kesehatan berdasarkan

data aktif peserta PBI jaminan Kesehatan dan peserta

PBPU dan peserta BP dengan manfaat pelayanan di

ruang perawatan kelas III. Pemerintah Daerah dan

BPJS Kesehatan melakukan rekonsiliasi untuk

menyepakati dan menetapkan: jumlah peserta dan

besaran kontribusi iuran peserta PBI, jumlah peserta

dan iuran peserta kelas III, dan jumlah peserta dan

Bantuan iuran atas peserta kelas III

Pemerintah daerah melakukan pembayaran

kontribusi iuran peserta PBI, iuran peserta kelas III

dan bantuan iuran sesuai tagihan dari BPJS

Kesehatan

(ii) Penetapan tunggakan, dengan uraian sebagai berikut:

BPJS Kesehatan mencatat tunggakan pembayaran

kontribusi iuran peserta PBI, iuran peserta PBPU dan

peserta BP dengan manfaat pelayanan di ruang

perawatan kelas III sebagai piutang BPJS Kesehatan

paling banyak 24 bulan

Dalam hal pemerintah daerah tidak dapat

menyelesaikan pembayaran, BPJS Kesehatan dapat

menyampaikan permohonan penyelesaian

tunggakan pembayaran melalui pemotongan DAU

dan/atau DBH

Tunggakan yang dapat diajukan permohonan

pemotongannya dilakukan setelah melampaui

46

jangka waktu 6 bulan setelah upaya penagihan

optimal oleh BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan dan Pemerintah Daerah melakukan

rekonsiliasi untuk menyepakati besaran jumlah

tunggakan.

Penetapan besaran tunggakan memperhitungkan:

selisih lebih dari jumlah realisasi kontribusi

penerimaan pajak rokok dan pemotongan

penerimaan pajak rokok yang telah disetor

BPJS dapat meminta bantuan BPKP untuk

melakukan audit besaranya tunggakan, dalam hal:

Pemda tidak bersedia melakukan rekonsiliasi; atau

tidak tercapai kesepakatan besarnya tunggakan.

(iii) Pemotongan DAU/DBH dengan KPA: Kemenkeu c.q.

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

(berdasarkan permintaan BPJS setelah melakukan

upaya penagihan optimal)

BPJS Kesehatan mengajukan permohonan

pemotongan DAU dan/atau DBH berdasarkan

penetapan besaran tunggakan

DJPK melakukan perhitungan pemotongan DAU

dan/atau DBH dengan mempertimbangkan besarnya

permintaan pemotongan, besarnya penyaluran,

sanksi pemotongan dan/atau penundaan lainnya dan

kapasitas fiskal daerah.

47

Survey Efektivitas Implementasi PMK 78

Mengingat substansi yang diatur dalam Peraturan

Presiden Nomor 64 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 78/PMK.02/2020 berdampak luas bagi

masyarakat terkait dengan kesinambungan program JKN,

namun di sisi lain juga membawa konsekuensi beban anggaran

tambahan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka

dipandang perlu untuk melakukan survey guna memperoleh

gambaran riil mengenai efektivitas implementasi Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.02/2020 di daerah.

Adapun survey dimaksud telah dilakukan pada bulan

Oktober 2020 pada Pemerintah Daerah dan Kantor Cabang

BPJS Kesehatan, yang dipilih secara sampling mewakili 34

provinsi di Indonesia.

Gambaran terkait survey Efektivitas Implementasi

PMK 78/2020 antara lain:

a. Tujuan :

memperoleh gambaran riil mengenai efektivitas

implementasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor

78/PMK.02/2020 di daerah

b. Responden :

berjumlah 122 orang dengan 52 orang responden KC BPJS

Kesehatan dan 70 orang responden Pemda yang disampling

di tiap Kedeputian wilayah BPJS Kesehatan.

c. Metode Analisis :

48

metode ROCCIPI (Rule, Opportunity, Communication,

Interest, Process dan Ideology). Metode ini digunakan untuk

mencari penyebab yang melatarbelakangi tingkat kepatuhan

stakeholders dalam melaksanakan PMK 78/PMK.02/2020

dengan uraian sebagai berikut:

Uraian Tujuan

Rule (Peraturan) keterkaitan antara PMK

78/PMK.02/2020 dengan peraturan

perundang-undangan lain yang

terkait. Di samping itu aspek

substansi, sistematika dan

redaksional sudah dirumuskan

dengan baik dan benar atau tidak

yang berpengaruh pada

pemahaman, komitmen dan

kemampuan stakeholders untuk

melaksanakan kewajiban yang

diatur dalam PMK

78/PMK.02/2020.

Opportunity

(Kesempatan)

sejauh apa stakeholders merespon

aturan yang telah ditetapkan PMK

78/PMK.02/2020. Apakah aturan-

aturan tersebut menciptakan

peluang baru (eksternalitas) bagi

pemangku kepentingan untuk tidak

mematuhi ketentuan yang diatur

dalam PMK 78/PMK.02/2020.

49

Capacity

(Kemampuan)

melihat kemampuan stakeholders

dalam menenuhi kewajiban yang

diatur dalam PMK

78/PMK.02/2020 baik karena

sebab aturan itu sendiri maupun

faktor lain seperti ketersediaan

waktu, anggaran, dan mekanisme

kerja.

Communication

(Komunikasi)

dilihat apakah masalah yang timbul

dikarenakan permasalahan

komunikasi baik yang disebabkan

oleh Kementerian Keuangan (DJA)

atau stakeholders itu sendiri.

Interest (Minat) dieksplorasi keuntungan dan

kelebihan yang menjadi penyebab

minat stakeholders mematuhi

ketentuan yang diwajibkan oleh

PMK 78/PMK.02/2020.

Process (Proses) dilihat sejauh apa mekanisme yang

diatur dalam PMK

78/PMK.02/2020 dipahami oleh

stakeholders.

Ideology

(Keyakinan)

dilihat sejauh apa stakeholders

meyakini bahwa pengendalian dan

evaluasi merupakan bagian penting

dari sistem perencanaan sehingga

50

stakeholders secara sukarela

(voluntary) ketentuan dalam PMK

78/PMK.02/2020.

Dengan ROCCIPI, survei ini pada intinya mencoba

mengeksplorasi Komitmen dan Kemampuan: (i) sejauh apa

konsensus dan komitmen stakeholders dalam melaksanakan

kewajiban yang diatur dalam PMK 78/2020; dan (ii) sejauh

apa kemampuan stakeholders dalam memahami dan

melaksanakan PMK 78/2020, termasuk peran instansi

dalam meningkatkan kemampuan stakeholders. Namun

sebelum alat analisa ROCCIPI ini diterapkan, perlu dibuat

kriteria kunci yang nantinya akan digunakan untuk

mengukur tingkat komitmen dan kemampuan dalam

menjalankan kewajiban yang diatur dalam PMK

78/PMK.02/2020. Namun karena keterbatasan yang ada,

maka kajian ini tidak mengeksplorasi seluruh kriteria.

Kajian ini hanya mengkaji 15 (lima belas) kriteria prioritas

yang ditentukan sebagai berikut:2

2 Kriteria dikembangkan dalam forum rapat Direktorat HPP pada tanggal 1

Oktober 2020.

51

ROCCIPI KRITERIA

SKOR

(1=kurang berpengaruh,

9=sangat berpengaruh)

1 2 3 4 5 6 7 8 9

RULE Keselarasan dengan

peraturan perundang-

undangan lainnya

v

Rumusan substansi jelas

dan dapat dimengerti

v

Tugas dan fungsi

(kewenangan) para puhak

diuraikan dengan jelas dan

terukur

v

Para pihak terkait

dicantumkan dengan

lengkap dan jelas

v

Telah dilengkapi dengan

peraturan perundang-

undangan turunan atau

aplikasi bagi

implementasi

v

OPPORTUNI

TY

Munculnya eksternalitas

(perlikau dampak) positif

v

Munculnya ekternalitas

(perilaku dampak) negatif

v

CAPACITY Ketersediaan waktu v

Ketersediaan SDM/

kompetensi

v

Ketersediaan anggaran v

52

ROCCIPI KRITERIA

SKOR

(1=kurang berpengaruh,

9=sangat berpengaruh)

1 2 3 4 5 6 7 8 9

RULE Keselarasan dengan

peraturan perundang-

undangan lainnya

v

Ketersediaan sarana

prasarana

v

Mekanisme implementasi

(mudah/sulit)

v

COMMUNIC

ATION

Sosialisasi regulasi

(campaign dll)

v

Internalisasi regulasi

(fasilitasi, bimtek)

v

Upaya pentaatan melalui

komunikasi

v

Feedback for

improvement

v

Recognition

(penghargaan atas

ketaatan)

v

INTEREST Keuntungan bila mentaati v

Biaya atau kerugian bila

tidak mentaati

v

Peluang yang diperoleh

bila mentaati

v

Resiko bila tidak mentaati v

53

ROCCIPI KRITERIA

SKOR

(1=kurang berpengaruh,

9=sangat berpengaruh)

1 2 3 4 5 6 7 8 9

RULE Keselarasan dengan

peraturan perundang-

undangan lainnya

v

PROCESS Kejelasan deskripsi para

pihak terkait

v

Kejelasan tugas fungsi

para pihak

v

Kejelasan mekanisme atau

proses bisnis

v

Alat bantu atau aplikasi

bagi implementasi

v

Tatalaksana bagi

implementasi

v

IDEOLOGY Pelaksanaan monitoring

dan evaluasi atas

implementasi

v

Social pressure (bila tidak

melaksanakan)

v

Sanksi formal bagi

pelanggaran

v

Kriteria prioritas yang dipilih mewakili setiap unsur

ROCIPPI. Oleh karenanya setiap unsur paling tidak ada satu

kriteria yang dipilih, selebihnya merupakan kriteria yang

54

mendapatkan nilai tertinggi. Berdasarkan hasil penilaian

tersebut, prioritas kriteria yang dipilih adalah sebagai berikut:

1. Keselarasan dengan peraturan perundang-undangan

lainnya

2. Rumusan substansi jelas dan dapat dimengerti

3. Tugas dan fungsi (kewenangan) para puhak diuraikan

dengan jelas dan terukur

4. Munculnya ekternalitas (perilaku dampak) negatif

5. Ketersediaan waktu

6. Ketersediaan anggaran

7. Mekanisme implementasi (mudah/sulit)

8. Sosialisasi regulasi (campaign dll)

9. Upaya penataan melalui komunikasi

10. Feedback for improvement

11. Keuntungan bila mentaati

12. Biaya atau kerugian bila tidak mentaati

13. Kejelasan tugas fungsi para pihak

14. Kejelasan mekanisme atau proses bisnis

15. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi atas

implementasi

Kelima belas kriteria tersebut merupakan dasar penyusunan

kuesioner yang akan disampaikan kepada stakeholders.

d. Kuesioner

Kuesioner terdiri 25 pertanyaan (Jenis pertanyaan: 8

pertanyaan isian (32%) dan 17 pertanyaan ya/tidak (68%)).

55

Dari 17 pertanyaan ya/tidak, 16 pertanyaan dengan “ya”

bermakna positif (94%) dan 1 pertanyaan dengan jawaban

“ya” bermakna negatif (6%)). Kuesioner pendalaman terdiri

dari 4 pertanyaan pokok. (Kuesioner Terlampir)

ROCCIPI

Hasil Analisis

dan

Interpretasi

Interpretasi

Rule

98% responden mengetahui bahwa

salah satu tujuan ditetapkannya PMK

78/2020 adalah untuk melaksanakan

Perpres 64/2020 dalam rangka menjaga

kualitas dan kesinambungan program

JKN termasuk kebijakan iuran yang

perlu disinergikan dengan kebijakan

keuangan negara.

Dengan sebagian besar responden

(74%) hanya membaca di bawah 3 kali,

namun 98% responden sudah

mengetahui tujuan utama ditetapkannya

PMK 78/PMK.02/2020.

Salah satu asas menurut Undang-

Undang 12 Tahun 2011 yang

berpengaruh pada efektifitas

implementasi dari sebuah peraturan

perundang-undangan adalah “Asas

56

Kejelasan Rumusan”, baik kejelasan

sistematika, pilihan kata atau istilah,

serta bahasa yang digunakan. Dengan

demikian maka peraturan perundang-

undangan menjadi jelas dan mudah

dimengerti sehingga tidak menimbulkan

berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.

Terkait dengan isi dalam PMK

78/PMK.02/2020:

97% responden menyatakan

kewenangan para pihak yang diatur

sudah jelas.

96% responden menyatakan

rumusan pasal dalam PMK

78/PMK.02/2020 mudah dipahami

96% responden menyatakan PMK

78/PMK.02/2020 telah disusun

secara sistematis

Dengan demikian maka tidak ada

masalah dalam perumusan kata,

kalimat, dan sistematika dari PMK

78/PMK.02/2020 yang berpengaruh

terhadap implementasi PMK

78/PMK.02/2020 itu sendiri.

Asas lainnya yakni asas kepastian

hukum (Het Rechtszekerheids

Beginsel). Dalam asas ini peraturan

perundang-undangan harus selaras

dengan peraturan perundang-undangan

57

lainnya, dengan demikian maka tidak

boleh ada peraturan perundang-

undangan yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan lain.

Terkait dengan isi dalam PMK

78/PMK.02/2020:

84% responden menyatakan tidak

terdapat pasal yang bertentangan

dengan pasal lain di dalam PMK

78/PMK.02/2020.

98% responden menyatakan PMK

78/PMK.02/2020 Selaras dan saling

melengkapi dengan peraturan lain

yang terkait

Opportunity

76% responden menyatakan bahwa

pelaksanaan pembayaran kewajiban

iuran sebagaimana diatur dalam PMK

78/PMK.02/2020 berdampak pada

pencapaian target kinerja

unit/instansinya. Sebagian besar

responden menyatakan pencapaian

target kinerja menjadi lebih baik. Hal ini

memperlihatkan bahwa dengan adanya

ketentuan yang mengatur dalam PMK

tersebut, secara umum mempengaruhi

kinerja unit/instansi menjadi semakin

optimal.

Capacity

salah satu asas peraturan adalah asas

dapat dilaksanakan (Het Beginsel van

Uitvoerbaarheid). Oleh karenanya agar

58

peraturan tersebut dapat dilaksanakan,

perlu mempertimbangkan aspek

kemampuan dari pihak yang akan

melaksanakan aturan tersebut

82% responden menyatakan

pemberlakuan PMK

78/PMK.02/2020 pada 1 Juli 2020

menyediakan waktu yang memadai

untuk dapat dilaksanakannya

pembayaran sesuai ketentuan dalam

PMK dimaksud.

88% responden menyatakan

pengaturan baru mengenai

kewajiban iuran dalam PMK

78/PMK.02/2020 dapat

diakomodasi dalam penganggaran

pada instansi/unit masing-masing.

95% responden menyatakan sistem,

prosedur, dan mekanisme yang ada

pada instansi/unit masing-masing

dapat mengakomodasi pelaksanaan

ketentuan yang diatur dalam PMK

78/PMK.02/2020.

Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa

kapasitas instansi/unit telah memadai

dalam rangka memenuhi ketentuan-

ketentuan dalam PMK

78/PMK.02/2020

Communication

Adagium hukum mengatakan bahwa

begitu peraturan diundangkan dalam

59

Lembaran Negara, maka setiap orang

dianggap tahu peraturan tersebut.

Peraturan akan lebih efektif bila

disosialisasikan dan disampaikan

kepada masyarakat. Bahkan lebih jauh

dari itu, peraturan akan lebih efektif bila

dilakukan proses internalisasi baik

melalui bimbingan teknis yang intensif

maupun melalui advokasi

(pendampingan).

72% responden menyatakan pernah

mendapatkan informasi mengenai

PMK 78/PMK.02/2020 dari

Kementerian Keuangan (DJA)?

97% responden menyatakan

informasi yang pernah didapatkan

tersebut membantu dalam

menegakkan ketentuan dalam PMK

78/PMK.02/2020.

46% responden yang pernah

melakukan konsultasi mengenai

pelaksanaan PMK 78/PMK.02/2020

dengan pihak Kementerian

Keuangan apakah Kementerian

Keuangan (DJA) menyampaikan

tanggapan.

Secara umum DJA sudah

menyampaikan informasi PMK

78/PMK.02/2020 secara optimal,

namun demikian, dalam hal komunikasi

dua arah, responden yang pernah

60

melakukan konsultasi ke DJA hanya

sedikit yang mendapatkan tanggapan

yang sesuai. Proses komunikasi yang

baik merupakan proses komunikasi dua

arah, masing-masing pihak harus

melaksanakan dua fungsi secara

bersamaan, baik sebagai penyampai

pesan (sender) maupun sebagai

penerima pesan (receiver) dengan baik

dan efektif, sehingga pesan yang ingin

disampaikan dapat diterima dengan baik

oleh penerima pesan.

Interest

Minat stakeholders untuk melaksanakan

PMK 78/PMK.02/2020 dapat juga

ditentukan oleh keuntungan apa yang

dapat diperoleh stakeholders jika

mematuhi ketentuan yang ada di

dalamnya. Jika berdampak positif bagi

instansi atau memberikan manfaat bagi

instansi, maka tanpa ada sanksi pun,

PMK 78/PMK.02/2020 akan terlaksana

dengan efektif. Dalam hal ini, 87%

responden menyatakan bahwa dengan

diimplementasikannya ketentuan dalam

PMK 78/PMK.02/2020, hal tersebut

membawa dampak positif bagi

instansi/unit masing-masing

Process

Kejelasan mekanisme yang diatur dalam

PMK 78/PMK.02/2020 juga merupakan

hal yang berpengaruh terhadap

efektifitas implementasi PMK

61

78/PMK.02/2020. Semakin jelas

mekanisme yang diatur, semakin tinggi

tingkat kepatuhan dalam melaksanakan

PMK 78/PMK.02/2020. Sebaliknya jika

mekanisme yang diatur tidak jelas,

stakeholders enggan melaksanakannya.

Dalam hal ini,

98% responden menyatakan bahwa

ketentuan dalam PMK

78/PMK.02/2020 sudah jelas.

85% responden menyatakan bahwa

prosedur/mekanisme dalam PMK

78/PMK.02/2020 mudah

dilaksanakan.

Ideology Pemantauan dan evaluasi atas PMK

78/PMK.02/2020 merupakan bagian

penting dari manajemen sebagai bentuk

kontrol atas keefektifan peraturan

maupun pelaksanaan ketentuan di

dalamnya oleh para stakeholders,

namun demikian, 54% responden

menyatakan bahwa sampai dengan saat

ini, telah dilaksanakan monitoring dan

evaluasi atas implementasi PMK

78/PMK.02/2020 di unit/instansi

masing-masing.

Adapun kesimpulan dari hasil yang telah disampaikan di

atas adalah :

1) Hampir seluruh responden mengetahui dan memahami

62

PMK 78/2020 (tujuan pengaturan, kejelasan rumusan,

kewenangan para pihak, serta mekanisme dan prosedur

yang diatur, dan dampak dari pengaturan).

2) Mengenai substansi, seluruh responden menyatakan

PMK 78/2020 telah selaras dengan regulasi yang ada,

berdampak pada target kinerja, berdampak positif bagi

unit/instansi, kewenangan para pihak jelas, mekanisme

mudah dipahami.

3) Mengenai implementasi, sebagian besar responden

menyatakan PMK 78/2020 dapat diimplementasikan,

dan menyediakan waktu yang cukup untuk alokasi dan

pelaksanaan pembayaran.

4) Mengenai sosialisasi, meskipun sebagian besar telah

mendapatkan informasi mengenai PMK 78/2020, dan

yakin bahwa sosialisasi mampu membantu menegakkan

ketentuan dalam PMK, namun sebagian responden

mengharapkan adanya feedback dalam konsultasi,

demikian juga dengan monev atas implementasinya.

5) PMK 78/2020 berdampak utamanya kepada iuran (34%),

anggaran (18%), peserta/kepesertaan (14%), pendapatan

(12%), kolektabilitas (11%).

6) Dampak jika PMK 78/2020 tidak diimplementasikan:

penundaan/pemotongan DAU (15%), pelayanan

kesehatan/perlindungan (12%),

sustainabilitas/keberlangsungan JKN (9%), anggaran

(6%), kolektabilitas (5%), defisit (3%)

7) Meskipun telah dilakukan sosialisasi secara intensif

63

terutama oleh BPJS Kesehatan, namun responden

menilai masih diperlukan

sosialiasi/koordinasi/monitoring/evaluasi dari pemangku

kepentingan (kementerian, Pemda, inspektorat dsb) yang

lebih massif.

8) Hasil analisis interpolasi untuk responden KC BPJS

Kesehatan (52) dan responden Pemda (70) searah dengan

hasil analisis untuk seluruh responden (122).

Hubungan antara Komitmen dan Kemampuan

Komitmen

Komitmen merupakan kesepakatan/perikatan antara dua pihak

atau lebih untuk melakukan sesuatu secara bersama.3 Karena

komitmen merupakan hasil sebuah kesepakatan/konsensus

maka diperlukan adanya permufakatan bersama yang dicapai

melalui kebulatan suara. Dengan adanya kesepakatan yang

dibangun melalui proses dialogis, maka diharapkan munculnya

komitmen bersama untuk mematuhi peraturan secara sukarela

dan sadar (voluntary compliance). Dalam konteks pembentukan

peraturan, hal ini dalam rangka memenuhi asas consensus (Het

Beginsel van Consencus). Namun asas ini dapat pula diperluas

penggunaannya, bukan sekedar digunakan dalam pembentukan

awal sebuah peraturan, asas ini dapat pula dijadikan dasar dalam

mengkaji mengapa sebuah peraturan yang telah ditetapkan tidak

efektif dalam pelaksanaannya. Kesepakatan-kesepakatan

3 Kamus Besar Bahasa Indonesia

64

tersebut dibuat dengan melibatkan dan mendengarkan masukan

pelaku kunci (key stakeholders) yang terkena dampak langsung

dari sebuah peraturan. Kesepakatan-kesepakatan yang dibangun

dapat berupa perubahan atas peraturan atau bukan perubahan

peraturan melainkan cara implementasi peraturan secara kreatif

dan efektif. Dalam hal efektifitas implementasi peraturan maka

kesepakatan harus dibangun dengan melibatkan seluruh

stakeholders.

Kemampuan

Efektifitas implementasi peraturan selain dipengaruhi oleh

faktor komitmen sebagaimana disebut di atas, sangat

dipengaruhi pula oleh faktor kemampuan dari para stakeholders

dalam memenuhi apa yang diperintahkan oleh PMK 78/2020.

Tanpa mempertimbangkan faktor kemampuan, maka komitmen

yang telah dibuat sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tadi

maka tidak dapat terlaksana dengan baik.

Hubungan antara komitmen dan kemampuan merupakan hal

yang berpengaruh terhadap efektifnya implementasi PMK

78/PMK.02/2020. Berikut adalah hubungan antara komitemen

dan kemampuan dari hasil survey yang telah dilakukan

Kombinasi kedua faktor kunci tersebut sangatlah menentukan

efektifitas peraturan.

65

KOMITMEN REFEENSI PERTANYAAN Score

Keselarasan

dengan Peraturan

Perundangan-

Undangan

Lainnya

(8) Responden menyatakan

selaras

98

(6) Responden menyataan

tidak ada pertentangan

dengan peraturan lain

84

Munculnya

Eksternalisasi

(Perilaku

Dampak)

(9) Resonden menyatakan

pelaksanaan pembayaran

kewajiban iuran sebagaimana

diatur dalam PMK

berdampak pada pencapaian

target kinerja unit/instansi

76

Feedback for

Improvement

(18) Responden yang

melakukan konsultasi

mengenai pelaksanaan PMK,

menyatakan Kementerian

Keuangan menyampaikan

tanggapan

46

Keuntungan Bila

Mentaati

(19) Responden menyatakan

Implementasi PMK

membawa dampak positif

bagi instansi/unit

87

Pelaksanaan

Monitoring dan

Evaluasi

(23) Responden menyatakan

telah dilakukan monev atas

PMK

54

RATA-RATA NILAI 74

66

KEMAMPUAN REFEENSI PERTANYAAN Score

Tugas dan Fungsi

(Kewenangan) Para

Pihak Diuraikan dengan

Jelas dan Terukur

(3) Responden menyatakan

kewenangan para pihak yang diatur

sudah jelas

97

Rumusan Substansi Jelas

dan Dapat Dimengerti

(4) Responden menyatakan

rumusan pasal dalam PMK

78/PMK.02/2020 mudah dipahami

96

(5) Responden menyatakan PMK

78/PMK.02/2020 telah disusun

secara sistematis

96

(1) Responden menyatakan

mengetahui tujuan

ditetapkannya PMK

78/PMK.02/2020

98

Sosialisasi

(14) Responden menyatakan pernah

mendapatkan informasi mengenai

PMK 78/PMK.02/2020 dari

Kementerian Keuangan (DJA)

72

(16) Responden menyatakan

informasi yang pernah didapatkan

tersebut membantu dalam

menegakkan ketentuan dalam PMK

78/PMK.02/2020

97

Kemudahan Mekanisme

Implementasi

(22) Responden menyatakan

prosedur/mekanisme dalam PMK

78/PMK.02/2020 mudah

dilaksanakan

85

(11) Responden menyatakan PMK

78/PMK.02/2020 pada 1 Juli 2020

menyediakan waktu yang memadai

untuk dapat dilaksanakannya

pembayaran sesuai ketentuan dalam

PMK dimaksud

82

67

(12) Responden menyatakan

pengaturan baru mengenai

kewajiban iuran dalam PMK

78/PMK.02/2020 dapat

diakomodasi dalam penganggaran

pada instansi/unit

88

(13) Responden menyatakan sistem,

prosedur, dan mekanisme yang ada

pada instansi/unit Saudara dapat

mengakomodasi pelaksanaan

ketentuan yang diatur dalam PMK

78/PMK.02/2020

95

Kejelasan

Mekanisme/Proses

Bisnis

(21) Responden menyatakan

adanya kejelasan mekanisme/proses

bisnis

98

RATA-RATA NILAI 91

RATA-RATA AKHIR = (KOMITMEN+KEMAMPUAN):2 83

Berdasarkan penilaian sebagaimana tersebut di atas, maka dapat

diketahui posisi responden dalam matriks hubungan antara

komitmen dengan konsensus sebagai berikut:

68

Dari matriks tersebut, nampak posisi responden ada di kuadran

I, dengan tingkat komitmen yang tidak terlalu tinggi (74) dan

tingkat kemampuan pada angka yang tinggi (91). Dengan

adanya komitmen yang tinggi dan kemampuan yang tinggi

untuk memahami materi yang diatur di dalam peraturan maka

implementasi peraturan dapat terlaksana dengan baik.

Selanjutnya, perlu adanya peningkatan kualitas baik di sisi

komitmen maupun kemampuan agar efektifitas pelaksanaan

PMK 78/2020 dapat ditingkatkan, terutama terkait dengan:

a) Proses konsultasi terkait PMK 78/PMK.02/2020, dimana

DJA perlu menyampaikan tanggapan ke seluruh

stakeholders yang meminta informasi/berkonsultasi dengan

jawaban yang sesuai dengan yang diinginkan.

b) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap

69

implementasi PMK 78/PMK.02/2020 agar dilaksanakan

secara berkala sehingga akan meningkatkan kualitas

implementasi PMK tersebut.

c) Pelaksanaan penyampaian informasi/sosialisasi dari DJA

perlu ditingkatkan lingkup dan kualitas substansinya.

Rekomendasi

Atas hasil survey implementasi PMK 78/2020 yang telah

dilakukan masih terdapat beberapa catatan antara lain:

a. Perlu perbaikan kualitas baik di sisi komitmen maupun

kemampuan agar efektifitas pelaksanaan PMK 78/2020

dapat ditingkatkan, terutama terkait dengan (i) proses

konsultasi terkait PMK 78/2020, dimana DJA dan/atau

pemangku kepentingan perlu menyampaikan tanggapan ke

seluruh pemangku kepentingan yang meminta

informasi/berkonsultasi secara jelas dan mudah, (ii)

Pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap

implementasi PMK tersebut, dan (iii) Pelaksanaan

penyampaian informasi atau sosialisasi oleh DJA dan/atau

pemangku kepentingan perlu ditingkatkan lingkup dan

kualitas substansinya.

b. Mengingat dalam PMK 78/2020 selain terdapat ketentuan

yang mulai berlaku 1 Juli 2020 juga terdapat ketentuan yang

berlaku mulai tahun 2021 sehingga dipandang perlu

dilakukan survey untuk mengetahui efektivitas

implementasi PMK 78/2020 di tahun 2021.

70

c. Selain untuk menilai sejauh apa komitmen stakeholders

dalam melaksanakan kewajiban yang diatur dalam PMK

78/2020 dan sejauh apa kemampuan stakeholders dalam

memahami dan melaksanakan PMK 78/2020, perlu diukur

juga bagaimana dampak PMK 78/2020 terhadap keuangan

negara.

Daftar Pustaka

Republik Indonesia, 2020. Peraturan Menteri Keuangan Nomor

78/PMK.02/2020 tentang Pelaksanaan Pembayaran

Kontribusi Iuran Peserta PBI Jaminan Kesehatan, Iuran

Peserta PBPU dan Peserta BP dengan Manfaat Pelayanan

di Ruang Perawatan Kelas III, dan Bantuan Iuran Bagi

Peserta PBPU dan Peserta BP dengan Manfaat Pelayanan

di Ruang Perawatan Kelas III Oleh Pemerintah Pusat

dan/atau Pemerintah Daerah.

Republik Indonesia, 2020. Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun

2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden

nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Republik Indonesia, 2019. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun

2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden nomor 82

Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Republik Indonesia, 2018. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun

2018 tentang Jaminan Kesehatan.

71

Republik Indonesia, 2011. Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undanganPeraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018

tentang Jaminan Kesehatan.

72

LAMPIRAN

KUESIONER SURVEI IMPLEMENTASI

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR

78/PMK.02/2020

RULE

1 Apakah saudara mengetahui bahwa salah satu tujuan

ditetapkannya PMK 78/PMK.02/2020 adalah untuk

melaksanakan Perpres 64/2020 dalam rangka menjaga

kualitas dan kesinambungan program JKN termasuk

kebijakan iuran yang perlu disinergikan dengan

kebijakan keuangan negara?

a. Ya

b. Tidak

2 Sudah berapa kali Saudara membaca ketentuan dalam

PMK 78/PMK.02/2020?

a. membaca 1 (satu) kali

b. membaca 2 (dua) kali

c. membaca 3 (tiga) kali

d. membaca lebih dari 3 (tiga) kali

3 Terkait dengan isi dalam PMK 78/PMK.02/2020, apakah

kewenangan para pihak yang diatur sudah jelas?

a. Ya

b. Tidak

73

4 Apakah rumusan pasal dalam PMK 78/PMK.02/2020

mudah dipahami?

a. Ya

b. Tidak

5 Apakah PMK 78/PMK.02/2020 telah disusun secara

sistematis?

a. Ya

b. Tidak

6 Apakah terdapat pasal yang bertentangan dengan pasal

lain di dalam PMK 78/PMK.02/2020?

a. Ya

b. Tidak

7 Jika ada, Pasal berapa saja?

………………………………………..

8 Apabila dikaitkan dengan peraturan lain yang

berhubungan, apa pendapat Saudara atas PMK

78/PMK.02/2020?

a. Selaras dan saling melengkapi dengan peraturan lain

yang terkait

b. Tumpang tindih dan tidak selaras dengan peraturan

lain yang terkait atau seharusnya dapat diintegrasikan

dengan peraturan lain yang terkait

OPPORTUNITY

74

9 Apakah pelaksanaan pembayaran kewajiban iuran

sebagaimana diatur dalam PMK 78/PMK.02/2020,

berdampak pada pencapaian target kinerja unit/instansi

Saudara?

a. Ya

b. Tidak

10 Jika Ya, sebutkan/jelaskan 2 (dua) dampak yang paling

berpengaruh pada instansi/unit Saudara?

a. ....

b. ....

CAPACITY

11 Apakah pemberlakuan PMK 78/PMK.02/2020 pada 1

Juli 2020 menyediakan waktu yang memadai untuk

dapat dilaksanakannya pembayaran sesuai ketentuan

dalam PMK dimaksud?

a. Ya

b. Tidak

12 Apakah pengaturan baru mengenai kewajiban iuran

dalam PMK 78/PMK.02/2020 dapat diakomodasi dalam

penganggaran pada instansi/unit Saudara?

a. Ya

b. Tidak

13 Apakah sistem, prosedur, dan mekanisme yang ada pada

instansi/unit Saudara dapat mengakomodasi pelaksanaan

ketentuan yang diatur dalam PMK 78/PMK.02/2020?

a. Ya

75

b. Tidak

COMMUNICATION

14 Apakah Saudarai pernah mendapatkan informasi

mengenai PMK 78/PMK.02/2020 dari Kementerian

Keuangan (DJA)?

a. Ya

b. Tidak

15 Apakah Saudarai pernah mendapatkan informasi

mengenai PMK 78/PMK.02/2020 dari instansi/unit lain?

a. Ya, sebutkan .....

b. Tidak

16 Apakah informasi yang pernah Saudara dapatkan

tersebut membantu dalam menegakkan ketentuan dalam

PMK 78/PMK.02/2020?

a. Sangat membantu

b. Kurang membantu

c. Belum mendapat informasi

17 Apabila anda pernah mengalami permasalahan, apakah

anda pernah melakukan konsultasi tentang PMK

78/PMK.02/2020 dengan pihak Kementerian Keuangan

(DJA)?

a. Belum pernah mengalami permasalahan

b. Pernah melakukan konsultasi

76

c. Belum pernah melakukan konsultasi

18 Apabila anda pernah melakukan konsultasi mengenai

pelaksanaan PMK 78/PMK.02/2020 dengan pihak

Kementerian Keuangan, apakah Kementerian Keuangan

(DJA) menyampaikan tanggapan?

a. Ya

b. Tidak

INTEREST

19 Dengan diimplementasikannya ketentuan dalam PMK

78/PMK.02/2020, apakah hal tersebut membawa

dampak positif bagi instansi/unit anda?

a. Ada dampak positif

b. Tidak ada dampak positif

20 Bila ketentuan dalam PMK 78/PMK.02/2020 tidak

diimplementasikan, menurut Saudara apakah ada

biaya/dampak yang akan timbul atau berpotensi akan

timbul? (Sebutkan 2 (dua) saja)

a. ....

b. ....

PROCESS

21 Menurut anda, apakah ketentuan dalam PMK

78/PMK.02/2020 sudah jelas?

77

a. Sudah jelas

b. Belum jelas

22 Apakah prosedur/mekanisme dalam PMK

78/PMK.02/2020 mudah dilaksanakan?

a. Ya

b. Tidak

IDEOLOGY

23 Apakah telah dilaksanakan monitoring dan evaluasi atas

implementasi PMK 78/PMK.02/2020?

a. Ya

b. Tidak

SARAN

24 Saran/masukan atas implementasi PMK

78/PMK.02/2020 untuk tahun 2020

......................................

25 Saran/masukan untuk rencana implementasi tahun 2021,

dimana mulai terdapat kewajiban bagi Pemerintah

Daerah

…………………………………..

78

79

PEMBERIAN RELAKSASI IURAN BPJS

KETENAGAKERJAAN SEBAGAI KEBIJAKAN

DI MASA PANDEMI UNTUK MENDORONG

PEMULIHAN EKONOMI

80

PEMBERIAN RELAKSASI IURAN BPJS

KETENAGAKERJAAN SEBAGAI KEBIJAKAN

DI MASA PANDEMI UNTUK MENDORONG

PEMULIHAN EKONOMI

Oleh: Juniartha Reysisca Pinem

Dampak Pandemi tersebar disegala sektor

Tahun 2020 adalah tahun yang tidak mudah bagi Dunia

dikarenakan terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019

(COVID-19). Indonesia menjadi salah satu negara yang

terdampak dari penyebaran virus COVID-19. Ribuan orang

tertular oleh virus ini dan salah satu strategi Pemerintah dalam

menekan penyebaran Covid-19 adalah dengan menetapkan

kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020

tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). PSBB

merupakan kebijakan yang bersifat membatasi kegiatan tertentu

penduduk di suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus

Disease 2019 (COVID-19)

Pandemi virus COVID-19 telah memberikan dampak yang

luas di berbagai sektor. Terhadap sektor industri yang terjadi

adalah, terdapat industri yang diuntungkan dan industri yang

justru tergerus akibat kondisi covid-19. “potential winner”

81

terjadi seperti pada industri kesehatan ( Rumah sakit, jasa

kesehatan, produk obat-obatan dan multivitamin) e-commerce

( dikarenakan pembatasan kegiatan di tempat ramai

kecenderungan berbelanja berpindah secara online), retail dan

pengolahan makanan (kebutuhan sandang pangan tetap harus

terpenuhi), pertanian (permintaan akan hasil pertanian juga tetap

tumbuh dan tingkat kesadaran manusia akan asupan yang benar

juga meningkat) dan komunikasi (segala sesuatu harus

dilakukan secara daring/online) , sedangkan “potensial losers’’

dalam industri tercatat 7 Sektor Industri paling terdampak

pandemi Covid-19 adalah 1Garment/Tekstil (1,9 Juta tenaga

kerja terdampak,) 2Restauran dan Rumah Makan (12 Ribu

tenaga kerja terdampak, Industri makanan dan minuman paling

terdampak virus corona), 3Transportasi (459 Ribu tenaga kerja

terdampak, Bisnis penerbangan kena imbas Corona) 4Perhotelan

( 532 Ribu tenaga kerja terdampak, Hotel dan Resto rumahkan

pegawai), 5Konstruksi terancam (Pengadaan barang dan jasa

dihentikan/ dialihkan ke biaya penanganan Covid-19) 6Perdagangan Barang dan Jasa ( Mal sepi, toko-toko tutup) dan 7Manufaktur (250 Ribu tenaga kerja terdampak). Dapat

disampaikan bahwa hampir seluruh sektor terdampak pandemi

ini, mulai kesehatan, sosial, ekonomi, termasuk di dalam

keberlangsungan dunia usaha dan ketenagakerjaan, baik pada

Pekerja, Pemberi Kerja maupun Badan Penyelenggara program

perlindungan jaminan sosial Ketenagakerjaan.

1 (detik.finance.com),2 (liputan6.com), 3(detik.com), 4(detik.com) 5(Surat Menkeu No S-47/MK.07/2020 terbit pada

82

27 Maret 2020), 6 (detik,com), 7 (koran tempo), media online

diakses pada rentang waktu Maret s.d. Juni 2020.

Pembatasan Sosial Berskala Besar berdampak pada

timbulnya permasalahan di lapangan dan sektor

ketenagakerjaan. Pertama dari sisi Pemberi Kerja dan Pekerja,

selama pandemi ini, sebagian besar usaha mengalami

penurunan, pada saat pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala

Besar (PSBB), sebagian perusahaan bahkan tidak boleh

beroperasi. Akibatnya, ada perusahaan yang memutuskan untuk

merumahkan pekerja atau memerintahkan pekerja untuk bekerja

dari rumah. Pada satu sisi produksi berkurang dan cash flow

perusahaan terganggu, namun di sisi yang lain tetap harus

mengupah pekerjanya. Akibatnya, Pemberi kerja memilih tidak

menggaji penuh karyawannya atau tidak membayar tunjangan-

tunjangan lain seperti manfaat perlindungan jaminan sosial.

Bahkan tidak sedikit pemberi kerja yang memilih untuk

mengurangi jumlah pekerjanya melalui PHK. Kedua dari sisi

Badan Penyelenggara ketidakmampuan perusahaan membayar

iuran jaminan sosial ketenagakerjaan secara masif dapat

berdampak pada besaran Dana Jaminan Sosial.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanahkan

bahwa Setiap orang berhak atas jaminan sosial dan Negara

mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan

memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu. Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah sistem penyelenggaraan

program negara dan pemerintah untuk memberikan

perlindungan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi

83

kebutuhan dasar hidup yang layak, menuju terwujudnya

kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia. Jaminan

sosial diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki

yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya

pendapatan seseorang, baik karena memasuki usia lanjut atau

pensiun, maupun karena gangguan kesehatan, cacat, kehilangan

pekerjaan dan lain sebagainya.

Berdasarkan amanah tersebut Pemerintah menghadirkan

asuransi perlindungan bagi ketenagakerjaan. Undang-Undang

40 Tahun 2004 Tentang SJSN mengatur Pesertanya merupakan

yang telah membayar iuran dan mengamanatkan agar Pemberi

kerja (Baik Pemerintah dan Pihak Swasta) wajib mendaftarkan

diri dan pekerja sebagai peserta BPJS sesuai dengan jaminan

sosial yang ikuti. Sehingga berdasarkan amanah Undang-

Undang tersebut Negara berupaya selalu hadir dalam memenuhi

kebijakan yang dapat menjamin perlindungan dan kesejahteraan

bagi pekerja.

Pemulihan Ekonomi Nasional dan Ketenagakerjaan di

Indonesia

Kondisi pandemi ini berdampak pada perekonomian dan

secara langsung juga mempengaruhi keberlangsungan program

dan pengelolaan Dana Jaminan Sosial. Ketidakmampuan usaha

dan permasalah ketenagakerjaan akan mengganggu jalannya

pemulihan ekonomi yang menjadi permasalahan penting

Pemerintah dalam masa ini sehingga melakukan stimulus

84

kebijakan untuk menyelamatkan perekonomian melalui

program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional).

Program PEN bertujuan untuk melindungi,

mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi

pelaku usaha dalam menjalankan usaha dalam masa pandemi

virus Covid-19, yang membuat para pelaku kesulitan

mendapatkan pemasukan yang sebelum nya normal. Untuk

UMKM sendiri diharapkan program ini mampu

“memperpanjang nafas” UMKM dan meningkatkan kinerja

UMKM yang sudah berkontribusi pada perekonomian

Indonesia. 1PEN merupakan bagian dari kebijakan luar biasa yang

ditempuh pemerintah untuk memitigasi eskalasi dampak

pandemi COVID-19 dan perlambatan ekonomi yang tajam

terhadap kesejahteraan masyarakat. "Program PEN dirancang

untuk dapat mendukung pemulihan sisi permintaan maupun sisi

penawaran "Implementasi berbagai modalitas dalam program

PEN akan terus disempurnakan dan disesuaikan dengan

kebutuhan untuk memastikan tercapainya tujuan program PEN,

yaitu mempercepat pemulihan ekonomi nasional," Menteri

Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan tujuan program

pemulihan ekonomi nasional (PEN) kepada anggota Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) RI Dalam Rapat KEM PPKF.

Melihat hal tersebut jelas Pemerintah berusaha untuk

mengembalikan ekonomi menjadi normal kembali. Pemerintah

membuat kebijakan luar biasa untuk memitigasi dampak Covid-

19 dan pelambatan ekonomi dengan membuat Program

85

Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk menjalankan laju

pertumbuhan perekonomian. Kebijakan-kebijakan yang tepat

akan mampu mendorong lajunya pertumbuhan ekonomi

Indonesia saat ini. Namun nyatanya kondisi di lapangan terjadi

perlambatan industri, cashflow yang menurun sehingga

berdampak pada permasalahan dunia usaha dan kelangsungan

bekerja pekerja/buruh. 2Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjan per 7 April

2020, dampak pandemi Covid-19, untuk sektor formal yang

dirumahkan dan di-PHK sebanyak 39.977 perusahaan. Jumlah

pekerja/buruh/tenaga kerja yang terdampak sebanyak 1.010.579

orang.

Rinciannya yakni pekerja formal dirumahkan sebanyak

873.090 pekerja/buruh dari 17.224 perusahaan dan di-PHK

sebanyak 137.489 pekerja/buruh dari 22.753 perusahaan.

Sementara jumlah perusahaan dan tenaga kerja terdampak di

sektor informal sebanyak 34.453 perusahaan dan jumlah

pekerjanya sebanyak 189.452 orang.

"Total jumlah perusahaan yang merumahkan pekerja dan PHK

sebanyak 74.430 perusahaan dengan jumlah

pekerja/buruh/tenaga kerja sebanyak 1.200.031 orang," kata

Menaker Ida Fauziyah dalam keterangan resminya (dikutip dari

CNBC News 9 April 2020).

Sementara itu BPS dalam berita resmi statistic melaporkan

struktur ketenagakerjaan di masa pandemi Covid-19 sebagai

berikut. Jumlah penduduk usia kerja 203,97 juta orang

(meningkat 2,78 juta orang) bekerja sebesar 128,45 juta orang.

86

Struktur angkatan kerja telah mengalami penurunan yakni

pekerja formal mengalami penurunan dibanding Agustus 2019

yaitu 4,59% terutama pada buruh/karyawan/pegawai sedangkan

pekerja informal naik dibanding Agustus 2019 dengan

peningkatan terbanyak pada status pekerja keluarga/tak bayar.

Tingkat pengangguran juga meningkat dibanding Agustus 2019

sebesar 7,07% (9,77 Juta orang). Tingkat pengangguran menurut

provinsi tertinggi tercatat di Provinsi DKI Jakarta sebesar

10,95%

Dampak Covid-19 terhadap penduduk usia kerja 2,56 juta

orang pengangguran karena Covid-19, Bukan Angkatan Kerja

karena Covid 19 ( penduduk usia kerja yang termasuk bukan

angkatan kerja dan memiliki pengalaman berhenti bekerja

karena Covid 19 pada periode Februari-Agustus 2020) sebesar

0,76 juta orang, Sementara tidak bekerja karena Covid 19

sebesar 1,77 juta orang dan bekerja dengan pengurangan jam

kerja (shorter hours) karena Covid-19 sebesar 24,03 juta orang.

Dari total penduduk usia kerja sebanyak 203,97 juta orang,

persentase penduduk usia kerja yang terdampak Covid -19

sebesar 12,28 persen.

Terlihat hal-hal tersebut di atas akan sulit untuk

mendorong lajunya pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa

pandemi Covid-19. Suatu perekonomian dikatakan mengalami

pertumbuhan jika jumlah produksi barang dan jasanya

meningkat. Artinya, pertumbuhan ekonomi menunjukkan

peningkatan aktivitas perekonomian di tengah masyarakat yang

87

menyebabkan kenaikan produksi barang dan jasa, serta berujung

pada bertambahnya pendapatan nasional.

Sedangkan berdasarkan hasil dari Laporan Badan Pusat

Statistik (BPS) Agustus 2020 menyebut bahwa pertumbuhan

ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen.

Sebelumnya, pada kuartal I 2020, BPS melaporkan bahwa

pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 2,97

persen, turun jauh dari pertumbuhan sebesar 5,02 persen pada

periode yang sama 2019 lalu. Dan jelas kinerja ekonomi yang

melemah ini turut pula berdampak pada situasi ketenagakerjaan

di Indonesia.

Melihat kondisi pertumbuhan ekonomi dari PDB yang

disampaikan oleh BPS terlihat bahwa Indonesia mengalami

pertumbuhan yang negatif di masa pademi.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy

Manilet dalam wawancara Bersama detik.com menerangkan

roda ekonomi yang terus bergerak membuat ekonomi terus

tumbuh. Jika ekonomi sebuah negara minus itu artinya kegiatan

ekonomi yang menjadi motor pertumbuhan lebih kecil dari

tahun sebelumnya. "Ekonomi minus itu, jumlah total output dari

kegiatan ekonomi di Indonesia selama 1 tahun penuh 2020

diprediksi lebih kecil dibandingkan tahun 2019," (detikcom,

Minggu (10/5/2020). Dengan output ekonomi yang berkurang,

tentu akan berdampak pada turunnya aktivitas ekonomi.

Sehingga apa yang bisa dikerjakan dalam dunia ekonomi

semakin sedikit. Dengan kegiatan ekonomi yang semakin

sempit, maka perusahaan tidak bisa menjalankan usahanya

88

seperti biasanya. Semakin sempit kegiatan bisnis akan memaksa

perusahaan melakukan penyesuaian.

Berbagai upaya penanggulangan dilakukan pemerintah

untuk meredam dampak dari pandemi Covid-19 di berbagai

sektor tersebut. Jelas hampir seluruh sektor terdampak, tak

hanya kesehatan. Sektor ekonomi juga mengalami dampak

serius akibat pandemi virus corona. Pembatasan aktivitas

masyarakat berpengaruh pada aktivitas bisnis yang kemudian

berimbas pada perekonomian. Sehingga Melalui Kementerian

Keuangan Pemerintah mengeluarkan kebijakan PEN. Sangat

jelas bahwa PEN merupakan bagian dari kebijakan luar biasa

yang ditempuh pemerintah untuk memitigasi eskalasi dampak

pandemi Covid-19 dan perlambatan ekonomi yang tajam

terhadap kesejahteraan masyarakat. Dan keberhasilan tujuan

PEN dapat disempurnakan dengan turut memitigasi factor-

faktor ketenagakerjaan yang mempengaruhi kenaikan

pendapatan melalui sektor industri.

Teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori pertumbuhan menjelaskan faktor-faktor yang

mempengaruhi dan menentukan pertumbuhan ekonomi dalam

jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi adalah sebuah proses

dari perubahan kondisi perekonomian yang terjadi di suatu

negara secara berkesinambungan untuk menuju keadaan yang

dinilai lebih baik selama jangka waktu tertentu.

Definisi itu menjelaskan, pertumbuhan ekonomi menunjukkan

89

perubahan kondisi perekonomian di suatu negara yang menjadi

simbol keberhasilan pembangunan.

Salah satu contoh indikator pertumbuhan ekonomi ialah

produk domestik bruto (PDB) yang biasa dihitung dalam periode

tiga bulan (triwulan) dan tahunan. PDB mengukur dua hal, yakni

pendapatan total dari seluruh penduduk di sebuah wilayah

ekonomi, dan jumlah keseluruhan nilai belanja barang dan jasa

di kawasan perekonomian itu. Oleh karena itu, PDB

didefinisikan sebagai nilai pasar seluruh barang dan jasa yang

diproduksi suatu negara pada periode tertentu.

Dalam perkembangan studi ekonomi makro terdapat

banyak teori pertumbuhan ekonomi. Namun secara umum

terdapat Teori Pertumbuhan Ekonomi yang memfokuskan

terhadap pentingnya modal dan ketenagakerjaan dalam suatu

pertumbuhan ekonomi. Teori Pertumbuhan Neoklasik adalah

model pertumbuhan ekonomi yang menguraikan bagaimana

tingkat pertumbuhan ekonomi bisa stabil hanya jika tiga

kekuatan ekonomi ikut bermain: tenaga kerja; modal; dan

teknologi.

Dikutip dari laman Corporate Finance Institute

diantaranya Teori pertumbuhan ekonomi Harold Domar yang

mengemukakan pentingnya pembentukan modal atau investasi

sebagai syarat mencapai pertumbuhan ekonomi yang kokoh

(steady growth). Bila pembentukan modal telah dilakukan,

perekonomian diprediksi dapat memproduksi barang-barang

dalam jumlah yang lebih besar. Teori Harod Domar menyatakan

bahwa sumber pertumbuhan adalah besarnya porsi pendapatan

90

domestik bruto (PDB) yang ditabung, sebagai capital

stock untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.

Teori pertumbuhan Solow-Swan adalah model

pertumbuhan ekonomi yang menguraikan bagaimana tingkat

pertumbuhan ekonomi bisa stabil hanya jika tiga kekuatan

ekonomi ikut bermain: tenaga kerja; modal; dan teknologi.

Solow-Swan menyatakan bahwa ekuilibrium ekonomi jangka

pendek adalah hasil dari setiap jumlah tenaga kerja dan modal

yang memainkan peran penting dalam proses produksi. Teori

tersebut berdalil bahwa perubahan teknologi secara signifikan

mempengaruhi fungsi ekonomi secara keseluruhan. Namun,

teori ini menekankan pada asumsinya bahwa sebuah

keseimbangan akan berlangsung sementara, atau keseimbangan

jangka pendek. Berbeda dari keseimbangan jangka panjang,

yang tidak memerlukan salah satu dari ketiga faktor tersebut.

BPS menyampaikan bahwa 64,13% PDB Indonesia

berasal dari Industri, Pertanian, Perdagangan, Kontruksi dan

Pertambangan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa

pandemi mengalami penurunan. BPS menyampaikan pada

kuartal I 2020 tumbuh sebesar 2,97 persen, dan pada kuartal II

2020 minus 5,32 persen. Kondisi perlambatan ekonomi yang

saat ini terjadi di Indonesia jelas sangat dipengaruhi oleh tidak

stabilnya tiga kekuatan ekonomi yakni tenaga kerja, modal, dan

teknologi.

Mengutip dari wawancara Ekonom Center of Reform on

Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet dalam wawancara

Bersama detik.com (detikcom, Minggu (10/5/2020).

91

menerangkan roda ekonomi yang terus bergerak membuat

ekonomi terus tumbuh. Jika ekonomi sebuah negara minus itu

artinya kegiatan ekonomi yang menjadi motor pertumbuhan

lebih kecil dari tahun sebelumnya. "Ekonomi minus itu, jumlah

total output dari kegiatan ekonomi di Indonesia selama 1 tahun

penuh 2020 diprediksi lebih kecil dibandingkan tahun 2019,"

Dengan output ekonomi yang berkurang, tentu akan berdampak

pada turunnya aktivitas ekonomi. Sehingga apa yang bisa

dikerjakan dalam dunia ekonomi semakin sedikit. Dengan

kegiatan ekonomi yang semakin sempit, maka perusahaan tidak

bisa menjalankan usahanya seperti biasanya. Semakin sempit

kegiatan bisnis akan memaksa perusahaan melakukan

penyesuaian.

Hal tersebut sangat dipahami oleh Pemerintah dan

terimplementasi dalam kebijakan Pemerintah, mengingat

pentingnya perananan Industri untuk mendorong laju

pertumbuhan ekonomi. Olehkarena itu pemberian stimulus

kebijakan yang tepat di bidang ketenagakerjaan akan sangat

berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah tidak

tinggal diam melihat kondisi tersebut, berbagai stimulus pun

dikeluarkan untuk menyelamatkan permasalahan

ketenagakerjaan, di antaranya program kartu pra kerja, program

bantuan subsidi upah bagi pekerja peserta BPJS

Ketenagakerjaan dengan gaji di bawah lima juta rupiah dan

pemberian relaksasi iuran jaminan sosial ketentagakerjaan

selama masa pandemi yang akan kita bahas lebih lanjut dalam

tulisan ini.

92

Untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi salah

satunya adalah dengan mengambil kebijakan yang memperkuat

ekonomi melalui kekuatan tenaga kerja dan modal. Sebagaima

disampaikan di awal tulisan bahwa kondisi Industri dilapangan

adalah adanya penurunan cashflow perusahaan sehingga

berdampak pada permasalahan dunia usaha dan kelangsungan

bekerja pekerja/buruh. Maka dari itu kebijakan pemberian

relaksasi atau keringanan iuran akan sangat membantu pemberi

kerja dan dapat dimanfaatkan oleh pemberi kerja/badan usaha

untuk menunda pembayaran iuran jaminan sosial

ketenagakerjaan. Karena faktanya iklim usaha yang masih

belum baik membuat pemberi kerja/badan usaha melakukan

efisiensi kegiatan bisnis, salah satunya menunda kewajiban

iuran jaminan sosial ketenagakerjaan ataupun mengurangi

jumlah pegawai atau bahkan menutup badan usaha.

Relaksasi Iuran ketenagakerjan adalah penyesuaian iuran

program jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pemberi kerja,

peserta penerima upah, dan peserta bukan penerima upah

tertentu, selama bencana non-alam penyebaran Corona Virus

Disease 2019 (COVID-19).

Tujuan dari pemberian relaksasi adalah Mengedepankan

perlindungan hak-hak jaminan sosial ketenagakerjaan bagi

peserta. Meringankan beban pemberi kerja dan peserta serta

menjaga kesinambungan program perlindungan jaminan sosial

ketenagakerjaan dan dalam rangka mendukung upaya

pemulihan perekonomian & kelangsungan usaha.

93

Bagaimana Latar belakang penetapan Peraturan Pemerintah

Nomor 49 Tahun 2020?

Berdasarkan Surat BPJS Ketenagakerjaan (TK) No.

B.3219/042020, tanggal 3 April 2020 kepada Kemenko

Perekonomian (dengan tembusan Menteri Keuangan) yang

meminta dukungan regulasi relaksasi iuran akibat Covid-19 dan

perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 44, 45, 46 Tahun 2015

tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian

(JKM), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Hari Tua ( JHT) atas

permohonan dunia usaha dan Kementerian Pariwisata dan

Ekonomi Kreatif.

Sementara itu para pelaku sektor industry dalam hal ini

pemberi kerja, menyampaikan berbagai Isu kepesertaan

jaminan sosial ketenagakerjaan kepada BPJS Ketenagakerjaan

antara lain adanya PHK tenaga kerja, pekerja yang dirumahkan

dan gaji tidak dibayarkan, pemotongan gaji, penurunan hari

kerja, pengadaan barang dan jasa untuk jasa kontruksi

dihentikan atau bahkan dialihkan ke biaya penangan Covid

sebagaimana Surat Menteri Keuangan Nomor S-

247/MK.07/2020 dan Pengiriman PMI dihentikan sebagaimana

keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 151 Tahun 2020.

Selanjutnya Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

telah ditetapkan merupakan bencana nonalam yang statusnya

sebagai bencana nasional dan telah mengakibatkan

meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda,

meluasnya cakupan wilayah yang terkena bencana, serta

94

menimbulkan implikasi pada aspek ekonomi dan sosial yang

berdampak luas di Indonesia.

Hal-hal tersebut di atas menjadi dasar Pemberi kerja

untuk berharap adanya langkah ataupun bantuan dari BPJS

Ketenagakerjaan maupun Pemerintah untuk dapat merespon

kondisi industri yang sedang mengalami kesulitan, Pemerintah

diharapkan memberikan stimulus ekonomi di bidang

ketenagakerjaan, sehingga para pemberi kerja menyampaikan

usulan-usulan agar mendapatkan keringanan pembayaran

maupun bantuan atas kondisi pandemi yang telah menghantam

jalannya usaha dan kesejahteraan pekerja.

EKSPEKTASI PERUSAHAAN KEPADA BP

JAMSOSTEK

No Permintaan Peserta Jumlah

PK/BU

%PK/BU

1 Penundaan Pembayaran &

Tidak Kena Denda

Administrasi

1.006 55,55%

2 Status Peserta Non Aktif

selama dirumahkan tapi

tidak di PHK

228 12,59%

3 Pembatalan

Kepesertaan/Penundaan

Kepesertaan

332 17,78%

95

4 Penurunan Upah 179 9,88%

1.735 95,80%

5 Pembebasan Iuran sesuai

Arahan Pemerintah

35 1,93%

6 Sudah di PHK

seluruh/sebagian

37 2,04%

7 Penurunan Program 4 0,22%%

Jumlah 1.811 100%

*Sumber data PU Besar dan Menengah per 6 April 2020 dari

BPJS Ketenagakerjaan

Di sisi lain akibat kondisi pandemi ini potret kinerja BPJS

Ketenagakerjaan juga turut mengalami penurunan.

Kinerja 2019 2020

(awal)

Realisasi

s.d. 30 Juni

Outlook

s.d Des

2020

^%

1 Tenaga

Kerja Aktif

34.354.268 40.602.735 28.737.698 30.150.000 (25,74)

2 Iuran (Rp

Milliar)

76.038 87.100 36.561 53.479 (38,60)

3 Pembayaran

Jaminan

(Rp miliar)

30.864 32.956 15.729 39.981 21,32

4 Dana

Investasi

(Rp

Milliar)

443.181 543.624 430.125 456.133 (16,09)

96

5 Hasil

Investasi

(Rp miliar)

36.126 48.231 28.737.698 29.105 (39,65)

*Sumber Laporan Semester BPJS Ketenagakerjaan per 30 Juni

2020

Keterangan:

1. Target peserta tenaga kerja aktif turun sebesar 25,7% (10,5

juta Orang) karena adanya PHK dan perlambatan ekonomi

di seluruh sektor.

2. Besaran iuran yang dibayarkan oleh peserta mengalami

penurunan sebesar 38,6% (Rp33,7 T) karena adanya

relaksasi besaran iuran untuk Program JKK dan JKM

menjadi sebesar 1% mulai Juli 2020.

3. Pembayaran jaminan (klaim) kepada peserta meningkat

sebesar 21,3% (Rp7 T) karena banyaknya pekerja yang di-

PHK dan mengambil JHT-nya dengan asumsi sebanyak

2.777.170 Tenaga Kerja.

4. Dana Investasi yang dikelola s.d. akhir tahun 2020

diperkirakan turun sebesar 16,1% (Rp87,5 T) karena

berkurangnya iuran yang diterima sebagai dampak

relaksasi, meningkatnya jumlah pembayaran klaim, serta

perubahan strategi investasi untuk menjaga likuiditas.

5. Hasil investasi atas hasil pengembangan diperkirakan

turun sebesar 39,7% (Rp19 T) karena menurunnya tingkat

97

indeks harga saham gabungan terhadap beberapa

instrumen investasi

Dengan pertimbangan hal-hal tersebut di atas ini,

Pemerintah perlu melakukan tindakan khusus untuk menjaga

kesinambungan penyelenggaraan Program Jaminan Sosial

Ketenagakerjaan akibat kondisi pandemi Corona Virus Disease

2019 karena telah mengakibatkan implikasi yang luas dan saling

berkaitan baik dari aspek ekonomi dan sosial. Kerugian bagi

perusahaan akan berpotensi terhadap ketidakmampuan

perusahaan memenuhi hak pekerja/buruh termasuk membayar

iuran jaminan sosial ketenagakerjaan, ketidakmampuan

perusahaan membayar iuran jaminan sosial ketenagakerjaan

secara masif dapat berdampak pada kesinambungan

penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan

hal tersebut menjadi multiplier effect yang akan mempegaruhi

pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Selain pertimbangan kondisi pandemi di Indonesia yang

sudah diuraikan di atas, dalam mengambil suatu kebijakan

Pemerintah juga dapat mempertimbangkan kebijakan-kebijakan

di negara lain yang dapat dijadikan benchmarking dalam

pengambilan kebijakan. Sebagaimana kita ketahui bahwa

Penyebaran Corona Virus Disease 2019 telah terjadi di hampir

seluruh belahan dunia, sehingga dinyatakan sebagai pandemi

global. Setiap negara memiliki kebijakan masing-masing dalam

menghadapi pandemi ini. Hal ini tidak terlepas menjadi bagian

yang diperhatikan Pemerintah dalam pertimbangan penyusunan

98

peraturan sehingga menghasilkan suatu kebijakan yang tepat

yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik di Indonesia.

No Negara Bentuk Stimulus

1 Cina 1. Pengurangan kontribusi iuran

jaminan sosial untuk sector

yang terkena dampak krisis.

2. Membebaskan konribusi

jaminan pensiun,

pengangguran dan kecelakaan

kerja sampai Juni 2020 untuk

perusahaan skala kecil dan

menengah

2 Jepang 1. Pengurangan kontribusi iuran

jaminan sosial unuk sector yang

terkena dampak krisis dengan

kategori perusahaan skala kecil

dan menengah.

2. Orang yang diasuransikan

dalam skema pensiun nasional

dapat mengabaikan kontribusi

mereka jika menganggur, pailit

ataupun penangguhan.

3. Penangguhan pembayaran

kontribusi jaminan sosial

dilakukan untuk pengusaha

yang mengalami kesulitan

99

memenuhi kewajiban, sehingga

dapat mengajukan perpanjangan

tenggat waktu pembayaran yang

bisa mencapai 6 bulan.

3 Thailand 1. Pengurangan kontribusi iuran

jaminan sosial untuk sector

yang terkena dampak krisis.

2. Kontribusi jaminan social dari

pengusaha dilakukan

pengurangan sebesar 1 %

sampai bulan Agustus.

4 Brazil Membebaskan sementara

pengusaha dari kontribusi jaminan

sosial untuk pesangon selama 3

bulan.

5 Jerman Pembebasan kontribusi untuk

perusahaan yang memberlakukan

pengurangan jam kerja

karyawan mereka,

melalui pengangguran

parsial dan pekerjaan jangka

pendek.

6 Spanyol Pembebasan kontribusi untuk

perusahaan yang memberlakukan

pengurangan jam kerja

karyawan mereka,

100

melalui pengangguran

parsial dan pekerjaan jangka

pendek.

7 Argentina Pengusaha yang pendapatannya

sangat menurun karena dampak

COVID19, terutama di sector

pariwisata, hotel dan transportasi

mendapat pengecualian kontribusi

jaminan social.

8 Aljazair Penangguhan pembayaran

kontribusi jaminan social dilakukan

untuk pengusaha yang mengalami

kesulitan memenuhi kewajiban,

sehingga dapat mengajukan

perpanjangan tenggat waktu

pembayaran yang bisa mencapai 3

bulan.

9 Perancis Pengusaha dapat memohon

penundaan pembayaran kontribusi

jaminan social selama 3 bulan.

10

Malaysia

1. Kebijakan bagi peserta

diperbolehkan melakukan

withdrawal (penarikan) akun 2

tabungan hari tuanya hingga

RM500/bulan terhitung 1 April

101

2020 selama satu tahun hingga

Maret 2021.

2. Kebijakan yang dinamakan i-

lestari withdrawal dilakukan

secara online untuk mengurangi

beban finansial pekerja dengan

menambah penghasilan dasar

dan daya beli pekerja yang

terkena dampak COVID19.

3. Pengurangan tingkat kontribusi

pekerja dari 11% menjadi 7 %

untuk peserta dengan usia

kurang dari 60 tahun yang

bersifat opsional. Kebijakan ini

mulai berlaku 1 April hingga

akhir tahun 2020.

11 Korea Selatan Kebijakan pembebasan sanksi dan

denda kepada pemberi kerja yang

terlambat membayar iuran.

Dinamika Pembahasan Peraturan Pemerintah Nomor 49

Tahun 2020

Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2020 tentang

Penyesuaian Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

selama Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease

102

2019 (COVID-19) adalah sebagai dasar hukum diberikannya

relaksasi iuran Jaminan sosial ketenagakerjaan. PP dimaksud

diprakarsai oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan dan proses

pembahasannya dikoordinasikan oleh Kemenko Bidang

Perekonomian dan Kemenko Bidang PMK. Adapun proses

pembahasannnya telah melibatkan beberapa instansi terkait,

yaitu Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan

(DJA-Dit.HPP, BKF, DJPPR dan Biro Hukum, Setjen),

Kementerian Sekretariat Negara, BPJS Ketenagakerjaan dan

Dewan Jaminan Sosial Nasional.

Pada April 2020 BPJS Ketenagakerjaan meminta

dukungan regulasi atas dampak kondisi pandemi covid 19

dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 44, 45 dan 46

Tahun 2015 atau menerbitkan peraturan setara, berdasarkan

surat tersebut dan pembahasan di pemerintah maka diputuskan

untuk menyusun suatu peraturan baru yang mengatur mengenai

pemberian kebijakan relaksasi iuran BPJS Ketenagakerjaan.

Pembahasan dilakukan dalam rapat-rapat Panitia Antar

Kementerian (PAK) dan dilakukan secara komprehensif

mengingat keputusan ini sangat strategis. Dalam pembahasan

Pemerintah sepakat bahwa hal ini perlu segera diberikan sebagai

stimulus untuk industri atau dunia usaha, namun tentunya tanpa

melanggar ataupun mengesampingkan good governance dan

mengutamakan kepentingan rakyat.

Pembahasan RPP ini menjadi perhatian karena merupakan

hal yang ditunggu-tunggu industri dalam hal ini pemberi kerja

dan pekerja dan menjadi bagian dari stimulus kebijakan PEN

103

bagi industri dan UMKM yang sudah berkontribusi pada

perekonomian Indonesia yang sangat terdampak dalam kondisi

pandemi virus COVID-19.

Substansi yang diatur dalam RPP sangat strategis, setiap

pembahasan antar Kementerian dilaporkan kepada masing-

masing Pimpinan di Unit masing-masing yang menangani

bahkan sampai level Menteri mengingat pengaturan substansi

RPP sangat strategis dan menjadi perhatian Presiden.

Secara umum Muatan RPP yang perlu dicermati adalah

pembahasan tentang besaran diskon yang akan diberikan,

syarat kriteria yang menerima, masa tenggang waktu pemberian

manfaat, serta ketentuan teknis untuk menjalankan kebijakan

baru ini. Pembahasan-pembahsan substansi dilakukan berulang

kali dalam forum rapat PAK sebagai contoh dinamika

pembahasan RPP ini semula pemberian relaksasi di rencanakan

diberikan 3 bulan namun melihat kondisi saat itu Pemerintah

menyepakati bahwa relaksasi diberikan selama 6 bulan.

Selanjutnya hal yang juga menjadi pembahasan yang perlu

pertimbangan yang mendalam adalah pengaturan diskon

potongan iuran semula diusulkan 90% dan cukup membayar

10% dari iuran semula untuk program JKK & JKM namun

pada akhirnya ditetapkan menjadi 99% sehingga cukup

membayar 1% untuk program JKK dan JKM. Namun selama

pembahasan hal yang sangat penting dipastikan kepada BPJS

Ketenagakerjaan adalah bahwa keringanan-keringanan tersebut

tidak mengurangi manfaat yang merupakan hak peserta.

Mengingat Undang-Undang SJSN mengamanahkan agar

104

perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja adalah hal yang

utama.

Setelah melalui pembahasan antar Kementerian dan juga

bersama stakeholder terkait yakni BPJS Ketenagakerjaan dan

DJSN, langkah selanjutnya adalah proses Harmonisasi

Rancangan Peraturan Pemerintah di Kementerian Hukum dan

HAM, dan selanjutnya dimintakan penetapan lebih lanjut

kepada Kementerian Sekretariat Negara, sehingga pada bulan

September 2020 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2020

tentang Penyesuaian Iuran Program Jaminan Sosial

Ketenagakerjaan selama Bencana Nonalam Penyebaran Corona

Virus Disease 2019 (COVID-19) ditetapkan.

Muatan Substansi Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun

2020

Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2020 tentang

Penyesuaian Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

selama Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease

2019 (COVID-19) adalah sebagai dasar hukum diberikannya

relaksasi iuran jaminan sosial ketenagakerjaan.

Pengaturan iuran jaminan sosial ketenagakerjaan secara

eksisting diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun

2015 tentang JKK dan JKM (Pasal 21 dan Pasal 22), Peraturan

Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Jaminan Pensiun

(Pasal 30 dan Pasal 31) dan Peraturan Pemerintah Nomor 46

Tahun 2015 (Pasal 29 dan Pasal 20) Hal-hal yang diatur dalam

105

ketiga Peraturan Pemerintah tersebut adalah iuaran dan denda

dengan bahasa yang sama yaitu

Pasal 21 PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang JKK dan JKM

(1) Pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib membayar

iuran JKK dan JKM yang menjadi kewajiban sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 18 kepada BPJS

Ketengaakrjaan.

(2) Pemberi kerja selain penyelenggara negara wajib membayar

iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap bulan,

paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dari bulan iuran

yang bersangkutan dengan melampirkan data pendukung

seluruh Pekerja dan dirinya.

(3) Apabila tanggal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

jatuh tempo pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada

hari kerja berikutnya.

Pasal 22

(1) Keterlambatan pembayaran iuran bagi Pemberi Kerja selain

penyelenggara negara dikenakan denda sebesar 2% (dua

persen) untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari

iuran yang seharusnya dibayarkan oleh Pemberi Kerja

selain penyelenggara negara.

(2) Denda akibat pembayaran iuran sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditanggung sepenuhnya oleh Pemberi kerja

selain penyelenggara negara dan pembayrannya dilakukan

106

sekaligus Bersama-sama dengan penyetoran iuran bulan

berikutnya.

(3) Denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan pendapatan lain dari Dana Jaminan Sosial

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun jenis penyesuaian iuran dan materi muatan PP

tersebut yaitu:

1. Kelonggaran batas waktu pembayaran Iuran JKK,

JKM, JHT, dan JP setiap bulan;

Semula ditetapkan paling lambat tanggal 15 bulan

berikutnya, dalam PP relaksasi ini dilonggarkan

menjadi paling lambat tanggal 30 bulan berikutnya

dari bulan Iuran yang bersangkutan.

Apabila tanggal 30 jatuh pada hari libur, maka Iuran

dibayarkan pada hari kerja sebelum tanggal 30.

2. Keringanan Iuran JKK dan JKM;

Keringanan Iuran JKK dan JKM diberikan sebesar

99%, sehingga Iuran JKK dan JKM menjadi 1% dari

Iuran JKK dan JKM yang ditetapkan dalam PP

Nomor 44 Tahun 2015:

Persyaratan pemberian keringanan Iuran JKK dan

JKM :

1. Pemberi Kerja, Peserta Penerima Upah, dan

Peserta Bukan Penerima Upah yang mendaftar

sebelum bulan Agustus 2020 diberikan

107

keringanan Iuran JKK dan JKM sesuai dengan

ketentuan dalam PP ini setelah melunasi iuran

sampai dengan bulan Juli 2020.

2. Bagi yang mendaftar setelah bulan Juli 2020,

harus membayar Iuran JKK dan JKM untuk 2

(dua) bulan pertama sesuai dengan ketentuan

dalam PP tentang Program JKK dan JKM dan

diberikan keringanan Iuran JKK dan JKM yaitu

dimulai bulan ketiga kepesertaan sampai dengan

berakhirnya jangka waktu keringanan Iuran.

3. Mekanisme pemberian keringanan Iuran JKK dan

JKM diberikan secara langsung oleh BPJS

Ketenagakerjaan tanpa permohonan yang

dilaksanakan melalui sistem kepesertaan yang

dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.

3. Penundaan pembayaran sebagian iuran JP

Sebagian Iuran JP yaitu sebesar 1% dari iuran JP

wajib dibayarkan dan disetorkan setiap bulan sesuai

dengan batas waktu oleh Pemberi Kerja kepada BPJS

Ketenagakerjaan. Sedangkan sisanya yaitu sebesar

99% dari iuran JP diberikan penundaan pembayaran,

yang pelunasannya sekaligus atau bertahap (dimulai

paling lambat 15 Mei 2021 dan diselesaikan paling

lambat tanggal 15 April 2021.

Penundaan pembayaran sebagian Iuran JP diberikan

kepada Pemberi Kerja dan Pekerja skala usaha

108

menengah dan besar dan Pekerja skala usaha mikro

dan kecil yang memenuhi persyaratan tertentu.

Persyaratan bagi Pekerja skala usaha menengah dan

besar adalah yang terganggu kegiatan produksi,

distribusi, atau kegiatan utama usahanya terganggu

akibat Covid-19 sehingga berdampak pada penurunan

omset penjualan/pendapatan bulanan sebesar lebih

dari 30%, dengan mengajukan permohonan kepada

BPJS Ketenagakerjaan,

Pemberi kerja dengan ketentuan

1. Telah mendaftarkan Pekerjanya sebagai Peserta

sebelum bulan Agustus 2020 harus melunasi Iuran

JP samapai dengan bulan Juli 2020;atau

2. Baru mendaftarjan Pekerjanya sebagai Peserta

setelah bukan Juli 2020 haru smemebayar

sebagian Iuran.

3. Pemberi kerja yang terdampak mengajukan

permohonan penundaan pembayaran sebagian

iuran JP kepada BPJS Ketenagakerjaan.

Sedangkan untuk penundaan pembayaran sebagaian

Iuran JP yang diberikan bagi Pemberi kerja dan

Pekerja skala usaha mikro dan kecil diperlukan syarat

1. Telah mendaftarkan Pekerjanya sebagai Peserta

sebelum bulan Agustus 2020 harus melunasi Iuran JP

sampai dengan bulan Juli 2020,atau

109

2. Baru mendaftarkan Pekerjanya sebagai Peserta

setelah bulan Juli 2020 harus memebayar sebagian

Iuran.

4. Keringanan denda keterlambatan pembayaran

iuran.

Keterlambatan pembayaran Iuran Program Jaminan

Sosial Ketenagakerjaan yang melebihi batas waktu

(tanggal 30 bulan berikutnya) dikenakan denda

sebesar 0,5% untuk setiap bulan keterlambatan (denda

sebelumnya adalah 2%).

Pelunasan atas penundaan pembayaran sebagian Iuran

JP (sisanya sebesar 70%) tidak dikenakan denda

sepanjang dilakukan dalam jangka waktu

sebagaimana dimaksud dalam PP ini.

5. Pengaturan Manfaat (Bab III), dalam RPP diatur

sebagai berikut:

Selama masa penyesuaian Iuran, Manfaat

Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang

diterima Peserta tetap sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Jika Peserta melakukan klaim JP pada jangka

waktu berlakunya PP ini dan mendapatkan

Manfaat lumpsum, maka Iuran seluruh

kewajiban bagian Pemberi kerja termasuk yang

ditunda harus dibayar lunas oleh Pemberi Kerja

110

kepada BPJS Ketenagakerjaan sebelum manfaat

lumsum diberikan kepada Pekerja. Peserta di sini

adalah peserta yang mencapai usia pensiun tetapi

masa iurnya tidak mencapai 15 tahun,

sebagaimana diatur dalam Pasal 24 PP 45 Tahun

2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan

Pensiun.

6. Masa pemberlakuan penyesuaian iuran

a) Penyesuaian Iuran berlaku dimulai sejak Iuran

Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bulan

Agustus 2O2O sampai dengan Iuran Program

Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bulan Januari

2021.

b) Penundaan pembayaran sebagian Iuran JP yang

pelunasannya sekaligus atau bertahap mulai 15

Mei 2021 sampai 15 April 2022.

Penutup

1. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2020 terbit untuk

memberikan pelindungan bagi Peserta, kelangsungan

usaha, dan kesinambungan penyelenggaraan Program

Jaminan Sosial Ketenagakerjaan selama bencana Covid-

19.

2. Kebijakan startegis yang diatur dalam PP seperti

Potongan iuran 99% & cukup membayar 1% untuk JKK

111

dan JKM, dan Wajib membayar tepat waktu 99% dan

diberikan penundaan pembayaran sisanya 1% untuk JP.

Apabila di hitung berdasarkan nilai besaran rupiah maka

pembebanan iuran JKK dan JKM bila di diskon 99%

dengan iuran terendah dari JKK Jkm adalah sebesar

Rp.10.000 yang ditetapkan dalam PP Nomor 44 Tahun

2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan

Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian maka Pemberi

kerja cukup membayar Rp.1000 untuk masing-masing

program tersebut.

3. Adanya Peraturan Pemerintah tentang relaksasi iuran

membuat pemberi kerja/badan usaha dapat menunda

pembayaran iuran jaminan sosial ketenagakerjaan. Iklim

usaha yang masih belum baik membuat pemberi

kerja/badan usaha melakukan efisisiensi kegiatan bisnis

salah satunya menunda kewajiban iuran jaminan sosial

ketenagakerjaan ataupun mengurangi jumlah pegawai

atau bahkan menutup badan usaha.

4. Dari sisi ekonomi kebijakan yang diambil Pemerintah

dalam rangka meningkatkan perekonomian Indonesia

dimasa bencana Covid-19 terlihat berdampak baik. Pada

gambaran kondisi pertumbuhan perekonomian

Indonesia di masa pandemi berdasarkan Badan Pusat

Statistik hingga kuartal III tahun 2020 dapat

disampaikan sebagai berikut. ( Berita Resmi Statistik, 5

November 2020,BPS)

112

Grafik 1

Grafik 2

113

Grafik 3

Keterangan:

a) Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (pada Grafik 1)

disampaikan dibandingkan Triwulan 2-2020,

ekonomi Indonesia pada Triwulan 3-2020

mengalami perbaikan dan tumbuh sebesar 5,05%

(q-to-q).

b) Dari sisi Lapangan usaha (Grafik 2) BPS juga

menyampaikan laju pertumbuhan menurut

lapangan usaha mengalami kontraksi positif yang

terjadi selama 2020 (q-to-q).

c) Kontraksi pertumbuhan terdalam terjadi pada

Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan

dan Akomodasi , Makanan dan Minuman, namun

pada triwulan 3-2020 sudah mengalami

perbaikan.

114

Rekomendasi

Pemberian kebijakan relaksasasi kiranya dapat dievaluasi

mengingat pengaturan pemberlakuan relaksasi dilimitasi

dalam Peraturan Pemerintah sedangkan kondisi

Perpanjangan dipengaruhi oleh status keadaan darurat

bencana wabah penyakit akibat Covid-19 di Indonesia

yang sampai saat ini masih belum dicabut oleh

Pemerintah.

115

JUDUL TULISAN KEEMPAT

DAMPAK PANDEMI TERHADAP INVESTASI

PT TASPEN PERSERO

116

DAMPAK PANDEMI TERHADAP INVESTASI

PT TASPEN PERSERO

Oleh: Dhias Purwa Kusuma

Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Negara-negara Di

Dunia

Pada Desember 2019, World Health Organization (WHO)

dikejutkan dengan munculnya laporan soal wabah pneumonia

misterius yang terjadi di kota Wuhan China. Dalam laporan awal

terdapat 44 kasus dilaporkan mengidap pneumonia dengan 11

pasien dalam kondisi kritis dan 33 pasien lainnya dalam keadaan

stabil. Berbagai macam dugaan muncul terkait wabah misterius

ini, termasuk diantaranya diduga berasal virus SARS dan flu

burung. Dari hari ke hari, di Wuhan muncul banyak laporan

lonjakan kasus virus yang akhirnya teridentifikasi merupakan

sejenis virus Corona yang memiliki kemiripan dengan virus

penyebab SARS (Severe Acute Respiratiry Syndrome) dan

MERS (Middle East Respiratory Syndrome). China akhirnya

memberlakukan lock down pertama kali pada tanggal 23 Januari

2020 untuk menghambat penyebaran virus karena ditemukannya

bukti transmisi virus antar manusia pada pertengahan Januari

2020.

117

Pada saat pertama muncul di 2019, virus corona yang

mewabah di Wuhan sempat diberi nama Novel Coronavirus

2019-Ncov, namun akhirnya WHO menetapkan nama resmi

untuk virus tersebut yaitu SARS-Cov-2 atau yang lebih dikenal

dengan Covid 19 yang diambil dari istilah Coronavirus Disease

2019.

Hingga pada tanggal 25 Januari 2020 terdapat lonjakan

kasus infeksi virus hingga 2.000 kasus dan mulai menyebar

cepat ke luar China. Hingga pada April 2020, kasus di luar China

terus mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Bahkan

epicenter wabah pun tak lagi di Wuhan, melainkan di Amerika

Serikat yang mencatatkan kasus positif Covid 19 lebih dari dua

ratus ribu kasus positif dan lebih dari lima ribu orang meninggal

akibat Covid 19 dengan angka kematian lebih dari 800 orang

meninggal per hari.

Wabah Covid 19 pada tahun 2020 memberikan pukulan

telak bagi semua negara di dunia termasuk negara-negara maju.

Berbagai macam sektor ekonomi mengalami perlambatan

drastis sebagai efek dari wabah Covid 19. Pada April 2019,

Departemen Perdagangan Amerika Serikat mencatatkan

kontraksi ekonomi AS sebesar -4,8% pada kuartal I 2020.

Kontraksi tersebut merupakan yang terparah sejak tahun 2008

akibat kasus Subprime Mortgage. Sektor investasi mereka pun

tak luput dari efek wabah Covid 19, pada tanggal 15 Januari

2020 setelah ditandatanganinya perjanjian perdagangan fase

pertama antara Amerika Serikat dan China, Indeks Dow Jones

mencatatkan rekor penguatan hingga mencapai 29.030 poin

118

indeks dan indeks Nasdaq mencapai 9.258 poin indeks. Namun

ketika wabah Covid menyebar pesat di Amerika Serikat,

pukulan telak terhadap sektor investasi tak dapat dihindarkan

lagi. Hingga akhir April 2020 Indeks Dow Jones mencatatkan

pelemahan hingga mencapai 24.284 poin indeks, dan Indeks

Nasdaq mencatatkan pelemahan hingga mencapai 8.870 poin

indeks.

China, sebagai raksasa ekonomi baru yang sempat

terlibat perang dagang dengan Amerika Serikat pun tak lepas

dari tohokan keras pandemi Covid 19 dan merupakan negara

pertama yang mengalami efek langsung dari pandemi. Pada

kuartal I 2020, Biro Statistik Nasional China melaporkan

kontraksi ekonomi YoY sebesar -6,8%. Kontraksi tersebut

merupakan kontraksi ekonomi pertama yang tercatat sejak tahun

1992 dimana China selalu mengalami pertumbuhan ekonomi

setiap tahun.

Dampak Pandemi Covid 19 Terhadap Indonesia

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki kontak

erat dengan China dan sebagai negara yang secara geografis

terletak relatif tidak jauh dari China pun tak luput dari

penyebaran wabah Covid 19. Tingginya lalu lintas kedatangan

WNA ke Indonesia disinyalir merupakan salah satu penyebab

penyebaran munculnya Covid 19 di Indonesia. Pada tanggal 2

Maret 2020, terkonfirmasi kasus pertama positif Covid 19 di

Indonesia dan dengan sangat cepat menyebar ke berbagai daerah

di Indonesia. Pada akhir tahun 2020, tercatat kasus positif di

119

Indonesia mencapai angka 8.074 kasus positif baru sehingga

jumlah kasus menjadi 743.198 kasus positif, sembuh 611.097,

dan meninggal 22.138.

Indonesia yang baru saja dikategorikan oleh World Trade

Organization (WTO) sebagai Negara Maju sejak Februari 2020

tidak dapat mengelak dari jab keras pandemi Covid 19. Sejak

diumumkannya kasus pertama Covid 19 di Indonesia dan sejak

pertama kali diberlakukannya lock down atau Pembatasan Sosial

Berskala Besar di Jakarta, Covid 19 memukul segala sektor

ekonomi yang ada di Indonesia. PSBB di Ibukota yang diikuti

oleh PSBB kota kantong-kantong ekonomi di sekitarnya dan

berbagai daerah Ibu Kota di Indonesia seakan menjadi rem keras

roda-roda penggerak ekonomi nasional. Penurunan produksi,

PHK masal, penutupan pusat-pusat perbelanjaan,dan penurunan

konsumsi, menjadi efek berantai yang berimplikasi pada

kontraksi ekonomi secara nasional. Pada kuartal I 2020, menurut

Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Indonesia

mengalami kontraksi sebesar -2,41% sejak kuartal IV 2019

menjadi 2,97%. Sementara itu IHSG menunjukkan pelemahan

dari kuartal IV 2019 pada 6.299 poin indeks menjadi 4.617 poin

indeks pada kuartal I 2020.

Penurunan Rating KIK EBA dan MTN pada beberapa

BUMN

Kinerja keuangan berbagai perusahaan perusahaan besar

di Indonesia mencatatkan kinerja yang memburuk pada kuartal

I sebagai akibat dari pandemi Covid 19 dan PSBB. Berbagai

120

sektor Perusahaan baik Private maupun BUMN seakan tidak

mampu menghindar dari jeratan efek negatif pandemi. Sektor

properti/perumahan dan transportasi menjadi salah satu bagian

dari berbagai macam sektor yang mengalami saat-saat berat

pada tahun 2020. Turunnya daya beli masyarakat menjadi

penghambat utama perusahaan properti/perumahan untuk men-

generate income pada tahun 2020, begitupun pembatasan

penggunaan transportasi umum yang membuat pendapatan

perusahaan transportasi umum terjun bebas.

Dampak nyata dari sektor transportasi nampaknya dialami

oleh salah satu raksasa BUMN Indonesia yaitu Garuda

Indonesia. Masa-masa sulit dialami Garuda akibat

diberlakukannya PSBB pertama dan pembatasan perjalanan.

Hingga kuartal II 2020, kondisi tak kunjung membaik bahkan

jumlah penumpang menurun sampai 90% hingga kuartal II 2020

dan merupakan kondisi terburuk yang pernah dialami dalam

sepuluh tahun terakhir. Pada kuartal I 2020 Garuda

membukukan kerugian sebesar USD 120,1 juta (Rp 1,69 T),

pada kuartal II 2020 membukukan kerugian sebesar USD 712,73

juta (Rp 10,34 T), dan pada kuartal III 2020 membukukan

kerugian sebesar USD 1,07 M (Rp 15,2 T). Tidak hanya sampai

disitu, kesulitan likuiditas akibat rendahnya okupansi

penerbangan dihadapkan pada total hutang lebih dari Rp 18 T.

Seakan menambah daftar kinerja keuangan yang semakin

memburuk, pada tanggal 24 dan 28 Juli 2020 Pefindo

mengeluarkan press release yang mengungkapkan bahwa

Pefindo menurunkan rating KIK EBA Garuda Indonesia dengan

121

seri KIK EBA Mandiri GIAA01 dari peringkat terakhir idA-

menjadi idCCC karena ketidakmampuan membayar pokok EBA

sebesar Rp 360 M. KIK EBA tersebut pada awalnya diterbitkan

dengan menjaminkan potensi pendapatan tiket penerbangan Haji

dari dan ke Jeddah dan Madinah. Namun karena Saudi Arabia

memberlakukan lock down selama pandemi Covid 19 2020,

maka Garuda Indonesia mengalami kesulitan likuiditas untuk

membayar pokok EBA tersebut. Sampai akhirnya pada tanggal

2 September 2020, Garuda Indonesia dapat membayar pokok

cicilan sebesar Rp 360 M dan pada tanggal 18 September

Pefindo menaikkan rating KIK EBA GIAA01 menjadi idBB

dengan outlook negative.

Dari sektor properti/perumahan salah satu BUMN yaitu

Perum Perumnas juga mengalami hal serupa yang dialami

Garuda Indonesia pada tahun 2020. Perumnas selama ini

menyasar segmen menengah ke bawah dengan konsep

membangun rumah bersubsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan

Rendah (MBR). Pada tahun 2019 penjualan Perumnas hanya

sebesar Rp 854 M turun dari penjualan tahun 2018 sebesar Rp

3,89 T. Pada kuartal I 2020 alih-alih meningkatkan penjualan,

penjualan Perumnas tercatat hanya sebesar Rp 278 M, hal

tersebut disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat

akibat pandemi Covid 19.

Pada tanggal 28 April 2020, Pefindo mengeluarkan

pengumuman penurunan rating MTN Perumnas I/2017 menjadi

idD yang disebabkan kegagalan pembayaran pokok MTN

I/2017 sebesar RP 200 M dan menurunkan sebagian besar rating

122

MTN Perumnas lainnya menjadi idCCC yang disebabkan

karena penurunan aktivitas bisnis dan penjualan sampai dengan

April 2020 sebagai dampak pandemi Covid 19. Pada 27 Mei

2020, Pefindo kembali menaikkan rating seluruh MTN

Perumnas menjadi idBBB- dengan negative outlook, karena

Perumnas dapat membayar pokok MTN I/2017 namun dengan

catatan terdapat potensi kesulitan likuiditas.

Penurunan Rating Instrumen Investasi PT Taspen Persero

PT TASPEN (Persero) atau Dana Tabungan dan Asuransi

Pegawai Negeri adalah Badan Usaha Milik Negara Indonesia

yang bergerak di bidang asuransi tabungan hari tua dan dana

pensiun bagi ASN dan Pejabat Negara. Saat ini PT Taspen

(Persero) mengelola program THT, Program JKK, Program

JKM, dan mengelola dana Akumulasi Iuran PNS yang

merupakan dana titipan dari Pemerintah.

PT Taspen (Persero) merupakan BUMN di bawah

pembinaan Kementerian BUMN berdasarkan Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Menteri BUMN

bertindak selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

seluruh saham Perseroan yang dimiliki oleh Negara Republik

Indonesia. Meskipun RUPS berada di bawah kendali

Kementerian BUMN, namun supervisi atas pengelolaan dan

pelaporan Program THT, JKK, JKM, dan pengelolaan AIP

berada di bawah kewenangan Kementerian Keuangan. Tata

kelola program-program tersebut termasuk pengelolaan

investasinya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

123

Dalam menjalankan supervisi atas program-program yang

dikelola oleh PT Taspen (Persero), Direktorat Jenderal Anggaran

telah menyusun beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK)

sebagai pedoman atas ketentuan-ketentuan pelaksaan

pengelolaan dan pelaporan program dan juga sebagai dasar

acuan bagi PT Taspen (Persero) untuk membuat peraturan yang

lebih teknis di tingkat Direksi.

Beberapa PMK yang berkaitan dengan PT Taspen

(Persero) yang disusun oleh DJA antara lain:

1. PMK Nomor 139/PMK.02/2017 tentang Pengelolaan

Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil Dan Pejabat

Negara.

PMK ini disusun untuk efektifitas dan efisiensi pengelolaan

akumulasi iuran pensiun dan penyempurnaan beberapa

ketentuan mengenai pengelolaan akumulasi iuran pensiun,

sehingga perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 201/PMK.02/2015 tentang Pengelolaan Akumulasi

luran Pensiun Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah

diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

23/PMK.02/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 201/PMK.02/20 15 tentang Pengelolaan

Akumulasi luran Pensiun Pegawai Negeri Sipil.

Dalam PMK ini diatur:

Pengelolaan akumulasi luran Pensiun dilaksanakan oleh

Badan Penyelenggara (PT Taspen (Persero)). Pengelolaan

akumulasi luran Pensiun dilakukan secara optimal dengan

inempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-

124

hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.

Penggunaan akumulasi luran Pensiun untuk pembayaran

manfaat pensiun dapat dilakukan sesuai dengan kebijakan

Pemerintah. Penggunaan akumulasi luran Pensiun untuk

pemenuhan kewajiban perpajakan, dilakukan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang

perpajakan. Penggunaan akumulasi luran Pensiun untuk

pengembalian nilai tunai luran Pensiun, dilakukan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengembangan akumulasi luran Pensiun berupa aset dalam

bentuk investasi harus dilakukan melalui penempatan pada

instrumen investasi dalam negeri. Badan Penyelenggara

harus menyelesaikan penempatan aset dalam bentuk

investasi penyertaan langsung dan investasi bangunan atau

tanah dengan bangunan yang dimiliki oleh Badan

Penyelenggara sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri

ini. Laporan perkembangan penyelesaian investasi

disampaikan kepada Menteri Keuangan setiap triwulan.

Segala biaya yang timbul terkait dengan penyelesaian

investasi diperhitungkan dengan hasil yang diperoleh dari

penyelesaian penempatan aset tersebut.

2. PMK Nomor 148/PMK.02/2018 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.02/2017

tentang Pengelolaan Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai

Negeri Sipil dan Pejabat Negara.

PMK ini disusun untuk efektifitas dan efisiensi pengelolaan

akumulasi iuran pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat

125

Negara, sehingga perlu merubah Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 139/PMK.02/2017 tentang Pengelolaan

Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat

Negara.

Dalam PMK ini diatur:

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 139/PMK.02/2017 diubah yaitu terkait dengan

kebijakan penggunaan akumulasi iuran pensiun untuk

pembayaran manfaat pensiun (Pasal 7), ketentuan mengenai

akumulasi iuran berupa aset dalam bentuk investasi (Pasal

15), ketentuan mengenai penilaian atas aset dalam bentuk

investasi (Pasal 17), ketentuan mengenai pembatasan atas

penempatan aset dalam bentuk investasi (Pasal 19),

ketentuan mengenai divestasi penyertaan langsung (Pasal

23A, Pasal 23B, dan Pasal 23C), ketentuan mengenai

penghapusbukuan akumulasi iuran pensiun (Pasal 25A,

Pasal 25B, Pasal 25C, dan Pasal 25D), dan ketentuan

mengenai penyelesaian penempatan aset dalam bentuk

investasi (Pasal 32).

3. PMK Nomor 241/PMK.02/2016 tentang Tata Cara

Pengelolaan Iuran dan Pelaporan Penyelenggaraan Program

Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil dan Program

Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Aparatur

Sipil Negara

PMK ini disusun untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6C

ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981

tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil sebagaimana

126

telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun

2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor

25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri

Sipil, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan

tentang Tata Cara Pengelolaan Juran dan Pelaporan

Penyelenggaraan Program Tabungan Hari Tua Pegawai

Negeri Sipil dan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan

Jaminan Kematian Aparatur Sipil Negara.

Dalam PMK ini diatur penyelenggaraan program THT PNS

dan program JKK dan JKM. Iuran program dan hasil

pengembangan iuran program merupakan pendapatan

Pengelola Program yang pengelolaannya harus dilakukan

secara terpisah untuk masing-masing program.

4. PMK Nomor 206/PMK.02/2017 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 241/PMK.02/2016

tentang Tata Cara Pengelolaan Iuran dan Pelaporan

Penyelenggaraan Program Tabungan Hari Tua Pegawai

Negeri Sipil dan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan

Jaminan Kematian Aparatur Sipil Negara

PMK ini dususun untuk efektifitas dan efisiensi pengelolaan

iuran program tabungan hari tua pegawai negeri sipil dan

program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian

aparatur sipil negara, sehingga perlu merubah Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 241/PMK.02/2016.

Dalam PMK ini diatur perubahan Ketentuan Pasal 1,

Ketentuan Pasal 8, Ketentuan Pasal 9, Ketentuan Pasal 10,

127

dan Ketentuan Pasal 28. Lampiran I Permenkeu

No.241/PMK.02/2016.

5. PMK Nomor 211/PMK.02/2015 tentang Biaya Operasional

Penyelenggaraan Pembayaraan Manfaat Pensiun yang

Dilaksanakan oleh Pt Taspen (Persero) dan Pt Asabri

(Persero)

Dalam PMK ini diatur tata cara pengajuan Biaya

Operasional Penyelenggaraan manfaat Pensiun.

6. PMK Nomor 128/PMK.02/2016 tentang Persyaratan dan

Besar Manfaat Tabungan Hari Tua Bagi Pegawai Negeri

Sipil

PMK ini disusun dalam rangka melaksanakan ketentuan

Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun

1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 20 Tahun 2013, sehingga perul ditetapkan Peraturan

Menteri Keuangan tentang Persyaratan dan Besar Manfaat

Tabungan Hari Tua bagi Pegawai Negeri Sipil.

Dalam PMK ini diatur:

Hak-hak Peserta Program Tabungan Hari Tua meliputi

manfaat asuransi dwiguna, dan/atau manfaat asuransi

kematian (askem).

Manfaat Asuransi Dwiguna diberikan dalam hal Peserta

berhenti karena pensiun, meninggal dunia sebelum

diberhentikan dengan hak pension, atau berhenti karena

sebab-sebab lain.

128

Manfaat Askem diberikan dalam hal peserta atau

pensiunan peserta meninggal dunia, Istri/Suami

meninggal dunia, atau anak meninggal dunia.

PT Taspen (Persero) wajib membukukan akumulasi

selisih iuran dan hasil pengembangannya dalam masing-

masing akun Peserta.

Hasil pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) yang diberikan kepada Peserta oleh PT Taspen

(Persero) adalah sebesar 0,25% (nol koma dua puluh

lima persen) di atas rata-rata bunga deposito counter rate

Bank Pemerintah untuk jangka waktu penempatan 1

(satu) tahun.

Ketentuan teknis mengenai tata cara, persyaratan, dan

pembayaran dalam Peraturan Menteri ini akan diatur

lebih lanjut oleh Direksi PT Taspen (Persero).

Bagi Peserta yang berhenti karena pensiun, meninggal

dunia, atau sebab-sebab lain sebelum tanggal 1 Januari

20 17 dan belum mendapatkan pembayaran atas manfaat

Tabungan Hari Tua, diselesaikan sesuai dengan

Keputusan Menteri Keuangan Nomor

478/KMK.06/2002 tentang Persyaratan dan Besar

Manfaat Tabungan Hari Tua bagi Pegawai Negeri Sipil

sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri

Keuangan Nomor 500/KMK.06/2004.

Diantara PMK tersebut yang terkait dengan pengaturan

terkait program-program yang dikelola oleh PT Taspen (Persero)

129

secara spesifik adalah PMK Nomor 241 tahun 2016 dan PMK

Nomor 206 tahun 2017. Hal-hal yang diatur dalam PMK

tersebut antara lain:

1. Pengelolaan Iuran

Iuran merupakan pendapatan pengelola program

Pengelolaan iuran harus dilakukan secara terpisah untuk

masing-masing program

Pengelolaan iuran harus dilakukan secara optimal

dengan mempertimbangkan aspek likuiditas,

solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil

yang memadai.

2. Kesehatan Keuangan Pengelola Program

Pengelola Program setiap saat wajib menJaga tingkat

solvabilitas. Tingkat solvabilitas merupakan selisih

antara jumlah · Kekayaan Yang Diperkenankan dan

kewajiban.

Kekayaan Yang Diperkenankan merupakan kekayaan

yang memenuhi ketentuan tentang Jems, penilaian, dan

batasan sebagaimana diatur dalam PMK.

Kewajiban dalam perhitungan tingkat solvabilitas adalah

kewajiban Pengelola Program sebagaimana diatur dalam

PMK.

Tingkat solvabilitas paling sedikit sebesar 2% (dua

persen) dari jumlah kewajiban manfaat polis masa depan

dan utang klaim program THT PNS ditambah cadangan

teknis program JKK dan JKM.

130

3. Kekayaan yang diperkenankan

Jenis Kekayaan Yang Diperkenankan terdiri atas

kekayaan dalam bentuk investasi dan bukan investasi

Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi

dan bukan investasi harus:

dikuasai oleh Pengelola Program;

tidak dalam sengketa; dan

tidak diblokir oleh pihak yang berwenang.

4. Kekayaan Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Investasi

Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi

ditambah dengan piutang iuran atas kewajiban masa lalu

(past service liability) yang telah disetujui oleh Menteri

Keuangan, paling sedikit sebesar jumlah kewajiban

manfaat polis masa depan dan utang klaim program THT

PNS ditambah cadangan teknis program JKK dan JKM.

Instrumen investasi Program THT:

Surat Berharga Negara;

deposito pada Bank;

saham yang diperdagangkan di Bursa Efek;

obligasi yang paling kurang memiliki peringkat BBB

atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek

yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas

di bidang pasar modal;

obligasi dengan mata uang asing yang dikeluarkan

oleh Badan Usaha Milik Negara yang memiliki

131

peringkat yang sama dengan atau satu poin di bawah

peringkat risiko kredit Negara Republik Indonesia,

yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang

diakui secara internasional;

sukuk yang paling kurang memiliki peringkat BBB

atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek

yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas

di bidang pasar modal;

medium term notes yang diterbitkan oleh Badan

Usaha Milik Negara, dengan peringkat paling sedikit

BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat

efek yang telah memperoleh izin dari lembaga

pengawas di bidang pasar modal;

utang subordinasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha

Milik Negara termasuk anak perusahaan Badan U

saha Milik Negara dengan kepemilikan mayoritas,

dengan peringkat paling sedikit BBB atau yang

setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah

memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang

pasar modal;

Reksa Dana berupa: 1) Reksa Dana pasar uang,

Reksa Dana pendapatan tetap, Reksa Dana

campuran, dan Reksa Dana saham; 2) Reksa Dana

terproteksi, Reksa Dana dengan penjaminan, dan

Reksa Dana indeks; 3) Reksa Dana berbentuk

kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas; dan/

132

atau 4) Reksa Dana yang saham atau unit

penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek;

efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan

kontrak investasi kolektif dan telah mendapat

pernyataan efektif dari lembaga pengawas di bidang

pasar modal;

unit penyertaan dana investasi real estat yang telah

mendapat pernyataan efektif lembaga pengawas di

bidang pasar modal;

penyertaan langsung; dan/ atau

tanah, bangunan, dan/ atau bangunan dengan hak

strata (strata title) dengan ketentuan: 1) dilengkapi

dengan bukti kepemilikan atau bukti proses hukum

pengalihan kepemilikan atas nama pengelola

program; 2) memberikan penghasilan ke program

THT PNS; dan 3) tidak ditempatkan pada tanah,

bangunan, atau tanah dengan bangunan yang sedang

diagunkan, dalam sengketa, atau diblokir pihak lain.

Ketentuan penilaian Kekayaan Yang Diperkenankan

Program THT

Surat Berharga Negara, berdasarkan nilai pasar wajar

yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek

yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas

di bidang pasar modal atau lembaga penilaian harga

efek yang telah diakui secara internasional;

133

deposito, deposito berjangka termasuk deposit on

call dan sertifikat deposito yang tidak dapat

diperdagangkan (non negotiable certificate deposit)

pada Bank, berdasarkan nilai nominal;

deposito, berupa sertifikat deposito yang dapat

diperdagangkan (negotiable certificate deposit) pada

Bank Pemerintah, berdasarkan nilai diskonto;

saham yang diperdagangkan di Bursa Efek,

berdasarkan nilai pasar dengan menggunakan

informasi harga penutupan terakhir di Bursa Efek;

obligasi dan sukuk, berdasarkan nilai pasar wajar

yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek

yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas

di bidang pasar modal;

obligasi dengan mata uang asmg, berdasarkan nilai

pasar wajar yang ditetapkan oleh lembaga penilaian

harga efek yang telah diakui secara internasional;

medium term notes, berdasarkan nilai diskonto atau

nilai pasar wajar yang ditetapkan oleh lembaga

penilaian harga efek yang telah memperoleh izin dari

lembaga pengawas di bidang pasar modal;

utang subordinasi, berdasarkan nilai pasar wajar

yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek

yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas

di bidang pasar modal;

134

Reksa Dana berupa: 1) Reksa Dana pasar uang,

Reksa Dana pendapatan tetap, Reksa Dana

campuran, dan Reksa Dana saham; 2) Reksa Dana

terproteksi, Reksa Dana dengan penjaminan, dan

Reksa Dana indeks; 3) Reksa Dana berbentuk

kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas; dan 4)

Reksa Dana yang saham atau unit penyertaannya

diperdagangkan di Bursa Efek, berdasarkan nilai

aktiva bersih;

efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan

kontrak investasi kolektif, berdasarkan nilai pasar;

unit penyertaan dana investasi real estat, berdasarkan

nilai aktiva bersih;

penyertaan langsung, berdasarkan standar akuntansi

yang berlaku; dan

tanah dan bangunan berdasarkan Nilai Jual Objek

Pajak (NJOP) atau nilai yang ditetapkan oleh

lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang

berwenang.

Pembatasan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam

bentuk investasi Program THT

investasi berupa Surat Berharga Negara, paling

sedikit 30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh

investasi;

135

investasi berupa deposito, untuk setiap Bank paling

tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh

investasi;

investasi berupa saham yang emitennya adalah badan

hukum Indonesia, untuk setiap emiten masing-

masing paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari

jumlah seluruh investasi, dan seluruhnya paling

tinggi 40% (empat puluh persen) dari jumlah seluruh

investasi;

investasi berupa obligasi, untuk setiap emiten

masing-masing paling tinggi 10% (sepuluh persen)

dari jumlah seluruh investasi, dan seluruhnya paling

tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh

investasi;

investasi berupa sukuk, untuk setiap emiten

masingmasmg paling tinggi 10% ( sepuluh persen)

dari jumlah seluruh investasi, dan seluruhnya paling

tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh

investasi;

investasi berupa medium term notes, untuk setiap

pihaknya paling tinggi 10% ( sepuluh persen) dari

jumlah medium term notes yang diterbitkan oleh

emiten dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima

persen) dari jumlah seluruh investasi;

investasi berupa utang subordinasi, untuk setiap

pihaknya paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari

jumlah utang subordinasi yang diterbitkan oleh

136

emiten dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima

persen) dari jumlah seluruh investasi;

investasi berupa unit penyertaan reksa dana, untuk

setiap Manajer Investasi masing-masing paling

tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh

investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima

puluh persen) dari jumlah seluruh investasi;

investasi berupa efek beragun aset, untuk · setiap

Manajer Investasi masing-masing paling tinggi 10%

(sepuluh persen) dari jumlah seluruh investasi dan

seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari

jumlah seluruh investasi;

investasi berupa unit penyertaan dana investasi real

estat, untuk setiap Manajer Investasi masing-masing

paling tinggi 10% ( sepuluh persen) dari jumlah

seluruh investasi, dan seluruhnya paling tinggi 20%

(dua puluh persen) dari jumlah seluruh investasi;

investasi berupa penyertaan langsung, untuk setiap

pihak tidak melebihi 5% (lima persen) dari jumlah

seluruh investasi dan seluruhnya paling tinggi 1 0%

(sepuluh persen) dari jumlah seluruh investasi; dan

investasi berupa tanah, bangunan, dan/ atau

bangunan dengan hak strata (strata title), untuk setiap

pihak paling tinggi 2% (dua persen) dari jumlah

seluruh investasi, dan jumlah seluruhnya paling

tinggi 5% (lima persen) dari jumlah seluruh

investasi.

137

Jumlah seluruh investasi dalam bentuk obligasi dan

sukuk sebagaimana dimaksud di atas seluruhnya

paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah

seluruh investasi.

Instrumen investasi Program JKK dan JKM:

Surat Berharga Negara;

deposito pada Bank;

saham yang diperdagangkan di Bursa Efek;

obligasi yang paling kurang memiliki peringkat BBB

atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek

yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas

di bidang pasar modal;

sukuk yang paling kurang memiliki peringkat BBB

atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek

yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas

di bidang pasar modal; dan/ atau

Reksa Dana berupa: 1) Reksa Dana pasar uang;

Reksa Dana pendapatan tetap, Reksa Dana

campuran, dan Reksa Dana saham; 2) Reksa Dana

terproteksi, Reksa Dana dengan penjaminan, dan

Reksa Dana indeks; 3) Reksa Dana berbentuk

kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas; dan/

atau 4) Reksa Dana yang saham atau unit

penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek.

Ketentuan penilaian Kekayaan Yang Diperkenankan

Program JKK dan JKM:

138

Surat Berharga Negara, berdasarkan nilai pasar wajar

yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek

yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas

di bidang pasar modal atau lembaga penilaian harga

efek yang telah diakui secara internasional;

deposito berdasarkan nilai nominal;

saham yang diperdagangkan di Bursa Efek,

berdasarkan nilai pasar dengan menggunakan

informasi harga penutupan terakhir di Bursa Efek;

obligasi dan sukuk, berdasarkan nilai pasar wajar

yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek

yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas

di bidang pasar modal; dan

Reksa Dana, berdasarkan nilai aktiva bersih.

Pembatasan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam

bentuk investasi Program JKK dan JKM

investasi berupa deposito berjangka paling tinggi

30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh investasi

untuk setiap Bank;

investasi berupa saham yang emitennya adalah badan

hukum Indonesia, untuk setiap emiten masing-

masing paling tinggi 10% ( sepuluh persen) dari

jumlah seluruh investasi, dan seluruhnya paling

tinggi 40% (empat puluh persen) dari jumlah seluruh

investasi;

139

investasi berupa obligasi, untuk setiap emiten

masmgmasing paling tinggi 10% ( sepuluh persen)

dari jumlah seluruh investasi, dan seluruhnya paling

tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh

investasi;

investasi berupa sukuk, untuk setiap emiten

masingmasing paling tinggi 10% (sepuluh persen)

dari jumlah seluruh investasi, dan seluruhnya paling

tinggi 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh

investasi; dan

investasi berupa unit penyertaan reksa dana, untuk

setiap Manajer Investasi masing-masing paling

tinggi 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh

investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima

puluh persen) dari jumlah seluruh investasi.

Ketentuan Lain Mengenai Penempatan Kekayaan Yang

Diperkenankan Dalam Bentuk Investasi:

Batasan penempatan atas Kekayaan Yang

Diperkenankan dalam bentuk investasi untuk

masmgmasing program se bagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 dan Pasal 13 pada satu pihak wajib

memenuhi ketentuan pembatasan investasi paling

tinggi 35% (tiga puluh lima persen) dari jumlah

seluruh investasi, kecuali pada penempatan

instrumen investasi Surat Berharga Negara.

Pihak sebgaimana dimaksud di atas termasuk pula

pihak yang baik secara sendiri-sendiri maupun secara

140

bersama-sama mempunyai hubungan afiliasi dan/

atau hubungan hukum lainnya yaitu: a. hubungan

karena perkawinan dan keturunan sampai derajat

kedua termasuk horizontal maupun vertikal; b.

hubungan antara pihak dengan pegawai, direktur,

atau komisaris dari pihak tersebut; dan/ atau c.

hubungan antara 2 (dua) perusahaan atau lebih

dimana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau

dewan komisaris yang sama.

Batasan penempatan atas Kekayaan Yang

Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana

dimaksud di atas dikecualikan dalam hal hubungan

afiliasi terjadi karena kepemilikan atau penyertaan

modal pemerintah.

Dalam hal penempatan Kekayaan Yang

Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana

dimaksud melebihi batasan karena terj adi kenaikan

dan/ atau penurunan nilai instrumen investasi,

Pengelola Program wajib menyesuaikan kembali

jumlah instrumen investasi tersebut sesuai dengan

ketentuan batasan penempatan instrumen investasi

dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan

sejak terjadinya kelebihan batasan tersebut.

Dalam hal penempatan Kekayaan Yang

Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana

dimaksud melebihi batasan karena terj adi

penggabungan para pihak tempat penempatan

141

instrumen investasi dilakukan, Pengelola Program

wajib menyesuaikan kembali penempatan jumlah

instrumen investasi tersebut dalam jangka waktu

paling lama 1 (satu) tahun sejak terjadinya kelebihan

batasan tersebut.

5. Kekayaan Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Bukan

Investasi

Jenis Kekayaan Yang Diperkenannkan terdiri dari:

kas dan bank;

piutang iuran program THT PNS dan program JKK

dan JKM;

piutang iuran atas kewajiban masa lalu (past service

liability) program THT PNS;

piutang investasi yang umurnya tidak lebih dari 1

(satu) bulan dihitung sejak tanggal transaksi

divestasi;

piutang hasil investasi yang umurnya tidak lebih dari

6 (enam) bulan dihitung sejak tanggal hasil investasi

menjadi hak Pengelola Program; dan/ atau

tanah, bangunan dengan hak strata (strata title) , dan

tanah dengan bangunan yang dipakai sendiri, yang

jumlah seluruhnya paling tinggi 30% (tiga puluh

persen) dari modal sendiri (ekuitas) periode berjalan.

Penilaian atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam

bentuk bukan investasi

kas dan bank, berdasarkan nilai nominal;

142

piutang iuran untuk program THT PNS, berdasarkan

nilai sisa tagihan;

piutang iuran untuk program JKK dan JKM,

berdasarkan nilai yang dapat direalisasikan;

piutang iuran atas kewajiban masa lalu (past service

liability) untuk program THT PNS, berdasarkan nilai

sisa tagihan;

piutang investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan;

piutang hasil investasi, berdasarkan nilai sisa

tagihan; dan

tanah, bangunan dengan hak strata (strata title), dan

tanah dengan bangunan yang dipakai sendiri,

berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai

yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar

pada instansi yang berwenang.

6. Kewajiban

Kewajiban Pengelola Program terdiri atas

kewajiban manfaat polis masa depan program THT

PNS;

cadangan teknis program JKK dan JKM;

utang klaim program THT PNS dan program JKK

dan JKM;

utang investasi; dan/ atau

kewajiban pajak, kewajiban imbalan kerja, dan

kewajiban jangka pendek yang masih harus dibayar

143

Kewajiban manfaat polis masa depan program THT PNS

sebagaimana dimaksud di atas termasuk estimasi

kewajiban klaim

Cadangan teknis program JKK dan JKM sebagaimana

dimaksud terdiri atas:

cadangan iuran atas resiko yang belum dijalani;

cadangan atas klaim yang masih dalam proses

penyelesaian; dan

cadangan atas klaim yang sudah terjadi namun belum

dilaporkan.

Kewajiban Pengelola Program sebagaimana dimaksud

wajib dinilai sesuai dengan standar akuntansi keuangan

yang berlaku di Indonesia

Pengelola Program wajib membentuk kewajiban

manfaat polis masa depan program THT PNS

sebagaimana dimaksud, dengan menggunakan metode

dan asumsi yang disetujui oleh Menteri Keuangan

Pengelola Program wajib membentuk cadangan teknis

program JKK dan JKM sebagaimana dimaksud, dengan

metode dan asumsi perhitungan sesuai dengan standar

praktik aktuaria yang berlaku umum

Penilaian terhadap kewajiban dalam bentuk kewajiban

manfaat polis masa depan dan cadangan teknis se

bagaimana dimaksud harus dilakukan oleh aktuaris

Pengelola Program setiap tahun, sesuai dengan standar

praktik aktuaria yang berlaku umum

144

Pengelola Program menunjuk aktuaris independen

paling lama setiap 3 (tiga) tahun sekali untuk

mengevaluasi perhitungan yang dilakukan oleh aktuaris

Pengelola Program

7. Pelaporan

Pengelola Program wajib menyusun laporan keuangan

non konsolidasi dan laporan penyelenggaraan program

untuk setiap program

Laporan keuangan non konsolidasi sebagaimana

dimaksud pada disusun berdasarkan standar akuntansi

keuangan yang berlaku di Indonesia

Pengelola Program wajib menyampaikan kepada

Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran:

laporan keuangan triwulanan per 31 Maret, 30 Juni,

30 September, dan 31 Desember, paling lama 1 (satu)

bulan setelah berakhirnya triwulanan yang

bersangku tan;

laporan keuangan tahunan per 31 Desember yang

dilampiri dengan laporan auditor independen, paling

lambat tanggal 30 April tahun berikutnya;

laporan penyelenggaraan program triwulanan per 31

Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember,

paling lama 1 ( satu) bulan setelah berakhirnya

triwulanan yang bersangkutan; dan

145

laporan penyelenggaraan program tahunan per 31

Desember, paling lambat tanggal 30 April tahun

berikutnya.

Pengelola Program wajib mengumumkan laporan posisi

keuangan, perhitungan laba rugi, dan tingkat

solvabilitas, untuk periode yang berakhir pada tanggal 31

Desember tahun berjalan pada sekurang-kurangnya 2 (

dua) surat kabar harian di Indonesia yang memiliki

peredaran luas secara nasional paling lambat tanggal 30

April tahun berikutnya.

Laporan posisi keuangan dan perhitungan laba rug1

sebagaimana dimaksud merupakan bagian dari laporan

keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen.

Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud

disampaikan kepada Menteri Keuangan paling lambat 2

(dua) minggu setelah dilakukannya pengumuman

dimaksud.

8. Larangan

Pengelola Program dilarang memiliki dan/ atau

menempatkan Kekayaan Yang Diperkenankan dalam

bentuk investasi pada:

instrumen derivatif dan/ atau instrumen turunan surat

berharga yang diperoleh sebagai bagian yang

melekat pada suatu surat berharga;

146

instrumen perdagangan berjangka, baik untuk

perdagangan komoditi maupun perdagangan valuta

asing;

kekayaan di luar negeri;

perusahaan yang sebagian atau seluruh sahamnya

dimiliki oleh direksi, komisaris, atau pejabat negara

selaku pribadi; dan/ atau

perusahaan yang sebagian atau seluruh sahamnya

dimiliki oleh keluarga sampai derajat kedua menurut

gans lurus maupun gans ke samping, termasuk

menantu atau ipar dari pihak sebagaimana dimaksud.

Pengelola Program dilarang melakukan penempatan

baru dalam instrumen investasi yang menyebabkan

jumlah seluruh investasi melebihi batasan.

Direksi Pengelola Program, dewan komisaris Pengelola

Program, atau setiap orang yang mempunyai

kewenangan dalam pengelolaan aset Pengelola Program

dilarang melakukan tindakan yang mengakibatkan

Pengelola Program menjual, memindahtangankan,

menyewakan, memberikan pmJaman, menyediakan

Jasa, fasilitas, atau barang, mengalihkan atau

mengizinkan penggunaan kekayaan yang diperkenankan

Pengelola Program selain untuk kepentingan Pengelola

Program, kepada: a. direksi atau dewan komisaris dari

Pengelola Program; b. pihak yang menyediakan jasa

pengelolaan investasi kepada Pengelola Program; c.

direksi, dewan komisaris, atau pemegang saham

147

mayoritas dari pihak sebagaimana dimaksud pada huruf

b; d. keluarga, sampai derajat kedua menurut gans lurus

maupun garis ke samping, termasuk menantu, ipar dari

pihak sebagaimana dimaksud pada huruf c; dan/ atau e.

pihak lain yang dikendalikan oleh pihak se bagaimana

dimaksud pada huruf b.

Dalam PMK 206 Tahun 2017 tentang Perubahan atas

PMK Nomor 241 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengelolaan

Iuran dan Pelaporan Penyelenggaraan Program THT, dan JKK

& JKM bagi ASN, diatur tata kelola program dan investasi.

Salah satu tata kelola investasi yang diatur adalah penempatan

instrumen dan kriteria instrumen Program THT, yang meliputi:

1. Surat Berharga Negara;

2. Deposito Pada Bank;

3. Saham yang diperdagangkan di Bursa Efek;

4. OLbligasi yang paling rendah memiliki peringkat BBB atau

yang setara, dari perusahaan pemeringkat efek yang telah

memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar

modal;

5. Obligasi dengan mata uang asing yang dikeluarkan oleh

BUMN dan anak Perusahaan BUMN yang memiliki

peringkat paling rendah satu pom di bawah peringkat risiko

kredit Negara Republik Indonesia yang dikeluarkan oleh

lembaga pemeringkat yang diakui secara internasional,

dan/atau badan usaha swasta yang di dalamnya terdapat

saham Pemerintah paling sedikit 10% (sepuluh persen) ,

yang memiliki peringkat paling rendah sama dengan

148

peringkat risiko kredit Negara Republik Indonesia yang

dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang diakui secara

internasional;

6. Sukuk yang paling rendah memiliki peringkat BBB atau

yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah

memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar

modal;

7. MTN yang diterbitkan oleh BUMN atau anak perusahaan

BUMN yang memiliki peringkat paling rendah BBB atau

yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah

memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar

modal; dan/ atau badan usaha swasta yang di dalamnya

terdapat saham Pemerintah paling sedikit 10% (sepuluh

persen), yang memiliki peringkat paling rendah BBB+ atau

yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah

memperoleh izin dari lembaga pengawas di bidang pasar

modal;

8. Utang Subordinasi yang diterbitkan oleh BUMN atau anak

perusahaan BUMN yang memiliki peringkat paling rendah

BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek

yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di

bidang pasar modal; dan/ atau badan usaha swasta yang di

dalamnya terdapat saham Pemerintah paling sedikit 10%

(sepuluh persen), yang memiliki peringkat paling rendah

BBB+ atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek

yang telah memperoleh izin dari lembaga pengawas di

bidang pasar modal;

149

9. Reksa dana berupa:

reksa dana pasar uang, reksa dana pendapatan tetap,

reksa dana campuran, dan reksa dana saham

reksa dana terproteksi, reksa dana dengan penjaminan,

dan reksa dana indeks

reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif

penyertaan terbatas

reksa dana yang saham atau unit penyertaannya

diperdagangkan di Bursa Efek

reksa dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak

investasi kolektif pada proyek infrastruktur yang

mendapat penjaminan dari Pemerintah;

10. Efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak

investasi kolektif dan telah mendapat pernyataan efektif dari

lembaga pengawas di bidang pasar modal;

11. Unit penyertaan dana investasi real estate yang telah

mendapat pernyataan efektif lembaga pengawas di bidang

pasar modal;

12. Penyertaan langsung;

13. Pinjaman dana yang diberikan kepada Anak Perusahaan

dengan ketentuan:

digunakan hanya untuk modal kerja dan investasi

memberikan tingkat bunga paling sedikit 2% (dua

persen) di atas tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia

150

memperhatikan kemampuan Anak Perusahaan untuk

mengembalikan pinjaman; dan/atau

14. Tanah, bangunan, dan/ atau bangunan dengan hak strata

(strata title).

Sampai dengan akhir tahun 2020 terdapat beberapa

instrumen investasi dalam Program THT yang dikelola oleh PT

Taspen (Persero), yang mengalami penurunan rating di bawah

ketentuan PMK sebagai dampak dari pandemi Covid 19.

Seri Emiten Jenis Rating

Awal

Rating

Des

2020

Nilai

(Rp)

MTN IV

Perumnas

2019

Perum

Perumnas MTN IdBBB+ idBBB-

200

M

MTN IV

Perumnas

2019 Seri

B

150

M

MTN III

Perumnas

2018 Seri

A

50 M

MTN III

Perumnas

2018 Seri

B

50 M

151

MTN VIII

Perumnas

2019

300

M

MTN IX

Wika

Realty

2019 Seri

C

Wika

Realty MTN idBBB idBBB-

545

M

KIK EBA

Mandiri

GIAA01

Garuda

Indonesia EBA idAA+ idBB

800

M

Seperti terlihat dalam tabel di atas, MTN Perumnas dan

Wika Realty yang dimiliki oleh Program THT mengalami

penurunan rating di bawah rating minimal BBB yang diatur

dalam PMK 206 Tahun 2017. Sedangkan KIK EBA Mandiri

GIAA01 meskipun tidak diatur rating minimal dalam PMK,

namun Pefindo dalam press release-nya menyampaikan bahwa

GIAA memiliki potensi kesulitan likuiditas sebagai dampak

lanjutan pandemi Covid 19 yang masih berlangsung.

Kebijakan yang Perlu Diambil Kementerian Keuangan

Kementerian Keuangan, selaku perwakilan Pemerintah

dalam melakukan supervisi terhadap pengelolaan program-

program yang dikelola PT Taspen (Persero), selalu melakukan

monitoring dan evaluasi atas program-program tersebut.

152

Sebagai dampak dari pandemi Covid 19 tentunya akan

berimplikasi pada sektor investasi dan akan mempengaruhi

instrumen-instrumen investasi yang dikelola oleh PT Taspen

(Persero).

Tak mau kejadian yang menimpa PT Asabri (Persero)

terulang di PT Taspen (Persero), berdasarkan hasil monitoring

yang dilakukan Direktorat Jenderal Anggaran melalui Direktorat

HPP memanggil manajemen PT Taspen (Persero) untuk

melakukan pendalaman terkait potensi-potensi adanya

instrumen-intrumen investasi yang tidak sesuai dengan

pengaturan dalam PMK. Dari beberapa pembahasan yang telah

dilakukan, ada beberapa instrumen investasi obligasi, MTN, dan

EBA terutama instrumen MTN Perumnas yang mengalami

penurunan rating oleh Pefindo menjadi idCCC kemudian naik

ke idBBB- dikarenakan keterlambatan pembayaran pokok.

Rating tersebut di bawah pengaturan PMK dimana disyaratkan

harus memiliki rating paling rendah BBB.

Dari pendalaman pembahasan yang dilakukan antara

HPP dan PT Taspen (Persero), diperoleh informasi bahwa

terdapat perjanjian buyback MTN antara PT Taspen (Persero)

dan Perumnas dalam hal rating turun di bawah idBBB-. Lebih

lanjut Direktorat HPP meminta manajemen PT Taspen (Persero)

untuk menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk

memitigasi risiko MTN Perumnas yang dimiliki untuk

mencegah kerugian investasi dan tetap mematuhi pengaturan

dalam PMK. Menindaklanjuti hal tersebut PT Taspen (Persero)

menyampaikan langkah-langkah antisipasi yaitu:

153

1. Menunggu kembali naiknya rating investasi MTN Perumnas

menjadi idBBB, karena Perumnas dapat membayar pokok

yang telah jatuh tempo meskipun belum ada kepastian

hingga akhir 2020.

2. Menjual MTN Perumnas jika rating tetap stay di idBBB,

meskipun penjualan tersebut dalam kondisi investasi yang

saat ini sedang buruk memiliki risiko tersendiri.

3. Melakukan opsi buyback MTN oleh Perumnas jika rating

kembali turun ke idCCC atau lebih rendah.

Hasil dari monitoring tersebut dilaporkan kepada

Menteri Keuangan, dan dibahas dalam forum rapat pimpinan

Kemenkeu. Dari hasil pembahasan, diperoleh informasi bahwa

saat ini di Perumnas sedang dilakukan perbaikan manajamen

Perumnas. Selain itu Perumnas memang sedang dihadapkan

pada kondisi kesulitan likuiditas sebagai dampak langsung dari

pandemi Covid 19. Bahkan Perumnas pun mengharapkan

dukungan dana dari Pemerintah guna memulihkan kondisi

kesulitan likuiditas. Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut,

dengan adanya Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN),

Perumnas menjadi salah satu BUMN yang mendapat bantuan

berupa modalitas pemerintah berbentuk pinjaman yang akan

dibayar melalui SMV.

Setelah berkoordinasi dengan unit-unit internal

Kementerian Keuangan, Direktorat HPP perlu melakukan

langkah-langkah guna mengatasi permasalahan tersebut. Jika PT

Taspen (Persero) diminta melakukan opsi buyback MTN

Perumnas, termasuk MTN Wika Realty dan KIK EBA Garuda,

154

dikhawatirkan hal tersebut semakin memperparah kondisi

keuangan BUMN tersebut di bawah tekanan ekonomi seperti

sekarang. Jika dijual ke pasar sekunder ataupun ke pembeli baru,

dengan kondisi seperti sekarang akan sulit mencari pembeli atau

jika dapat dijual tentunya akan dijual pada tingkat diskon yang

berpotensi merugikan Program THT PNS yang dikelola oleh PT

Taspen (Persero). Sedangkan apabila tidak dilakukan langkah

apapun, maka PT Taspen (Persero) akan dianggap tidak comply

atas aturan dalam PMK yang akan berimplikasi pada opini

auditor KAP, dan selain DJA yang diwakili HPP berhak

mengeluarkan teguran atas pelanggaran terhadap ketentuan

dalam PMK.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas dan

kondisi yang force majeure, HPP mengusulkan dilakukan

perubahan atas PMK nomor 241/PMK.02/2016 yang memuat

klausul pengaturan semacam waiver atau dispensasi atas rating

investasi yang dimiliki oleh PT Taspen (Persero). Waiver atau

disepenasi tersebut berupa klausul pengaturan bahwa kriteria

investasi yang diatur dalam PMK hanya diberlakukan pada saat

penempatan instrumen investasi. Alternatif waiver lainnya

lainnya adalah dapat disampaikan suatu surat dari Menteri

Keuangan bahwa karena kondisi force majeure maka kriteria

investasi yang diatur dalam PMK hanya diberlakukan pada saat

penempatan instrumen investasi. Saat ini draft PMK telah

dilakukan harmonisasi dan sedang dibahas dalam forum internal

Kementerian Keuangan yang dikoordinasikan oleh Setkomwas

untuk membahas lebih dalam apa saja yang perlu diatur dalam

155

draft PMK. Dengan adanya kedua opsi di atas, diharapkan dapat

menjadi pertimbangan untuk memutuskan langkap apa yang

akan diambil untuk memberikan kepastian pengelolaan investasi

dalam program THT PNS dan dapat mendukung program PEN

untuk BUMN Pemerintah yang sedang mengalami kondisi

kesulitan likuiditas sebagai dampak pandemi Covid 19.

156

Dewasa ini, seluruh negara di dunia tidak terkecuali negara Indonesia sedang memprioritaskan dampak adanya pandemi Covid-19. Peraturan, kebijakan, dan program jaminan sosial lebih diarahkan kepada penyelesaian pandemi Covid-19. Banyak peraturan, kebijakan, dan program yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi namun sedikit buku yang telah diterbitkan untuk menjelaskan hal tersebut.

Buku ini adalah salah satu buku yang menjelaskan tentang kebijakan di bidang jaminan sosial dalam mendukung menjaga stabilitas ekonomi dan penyelesaian dampak Covid-19. Ditulis oleh orang-orang yang berkecimpung di dalam jaminan sosial tentunya akan memiliki nilai tersendiri bagi buku ini.

Buku ini terdiri dari beberapa tulisan yaitu Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 dan Defisit Dana Jaminan Sosial Kesehatan pada Masa Pandemi Covid-19, Efektivitas Implementasi PMK 78/PMK.02/2020 di Daerah dalam Masa Pandemi Covid-19, Pemberian Relaksasi Iuran BPJS Ketenagakerjaan Sebagai Kebijakan di Masa Pandemi untuk Mendorong Pemulihan Ekonomi, dan Dampak Pandemi Terhadap Investasi PT Taspen Persero. Selamat membaca buku ini.

Pustaka Amma AlamiaPasirtengah, Sukaharja, Cijeruk, Bogor, Jawa Barat

Telp: 085885753838