eklesiologi asia

30
TEMA: GEREJA-GEREJA SETEMPAT DI ASIA DAN TUGAS-TUGAS MISI: INKULTURASI 1 Catatan Pengantar Eklesiologi Asia bagi saya adalah sesuatu yang masih gamang. Kegamangan itu sangat terasakan dalam rancang bangun diskusi yang kerap bias (saya tidak mengerti persoalan). Lebih para lagi betapa sulitnya saya mengerti dan memahami sumber rujukan beserta isi dokumen sebagai salah satu sumber kajian. Berangkat dari kebodohan saya seperti itu ijinkanlah saya mengajukan pertanyaan apa, mengapa, bagaimana, dan kemana arah eklesiologi Asia? (matakuliah eklesiolgi Asia ini). Pertanyaan ini wajar saya kemukakan untuk menjawabi ketidaktahuan dan sekaligus menyudahi segala bentuk kebodohan/kebingungan saya dalam memahami kuliah ini. Bagi saya kiat-kiat untuk menemukan jawaban dan merekam jejak roh eklesiologi Asia menjadi hal yang imperatif dan urgen dilakukan demi terbangunya suatu pemahan yang memadai. Namun sayangnya hal ini masih jauh panggang dari api. Maka dari hati yang tulus saya harus mengatakan bahwa minimnya pengetahuan saya tentang ekkesiologi Asia menjadi alasan logis, dan masuk akal yang menyebabkan mobilitas diskusi kita nanti 1

Upload: valen-jebagu

Post on 26-Jul-2015

337 views

Category:

Documents


21 download

TRANSCRIPT

Page 1: Eklesiologi Asia

TEMA: GEREJA-GEREJA SETEMPAT DI ASIA DAN TUGAS-TUGAS

MISI: INKULTURASI

1 Catatan Pengantar

Eklesiologi Asia bagi saya adalah sesuatu yang masih gamang. Kegamangan itu

sangat terasakan dalam rancang bangun diskusi yang kerap bias (saya tidak mengerti

persoalan). Lebih para lagi betapa sulitnya saya mengerti dan memahami sumber

rujukan beserta isi dokumen sebagai salah satu sumber kajian. Berangkat dari

kebodohan saya seperti itu ijinkanlah saya mengajukan pertanyaan apa, mengapa,

bagaimana, dan kemana arah eklesiologi Asia? (matakuliah eklesiolgi Asia ini).

Pertanyaan ini wajar saya kemukakan untuk menjawabi ketidaktahuan dan sekaligus

menyudahi segala bentuk kebodohan/kebingungan saya dalam memahami kuliah ini.

Bagi saya kiat-kiat untuk menemukan jawaban dan merekam jejak roh eklesiologi

Asia menjadi hal yang imperatif dan urgen dilakukan demi terbangunya suatu

pemahan yang memadai. Namun sayangnya hal ini masih jauh panggang dari api.

Maka dari hati yang tulus saya harus mengatakan bahwa minimnya pengetahuan saya

tentang ekkesiologi Asia menjadi alasan logis, dan masuk akal yang menyebabkan

mobilitas diskusi kita nanti menjadi “ngawur” dan kurang dinamikanya. Namun saya

percaya melalui diskusi yang elegan, santun, dan ilmiah menjadi momentum untuk

memperkaya wawasan dan pengetahuan, pemahaman satu sama lain dalam ber-

Gereja, berteologi dan berpastoral kita meski dengan kondisi serba terbatas. Tema

kita sekarang adalah Gereja-Gereja Setempat di Asia dan Tugas-Tugas Misi:

Inkulturasi. Dari tema ini saya bagi ke dalam empat bagian dengan struktur dan

dinamika proses sebagai berikut pertama: sepintas tentang faktualita Gereja di Asia,

kedua: urgensitas misi di Asia, ketiga: Inkulturasi (gagasan perlunya inkulturasi,

dasar, arti, proses, sikap-sikap, dan titik tolak keberhasilan inkulturasi), keempat:

1

Page 2: Eklesiologi Asia

aplikasinya; sebuah imperatif berteologi dan berpastoral di indonesia, relevansinya

bagi berpastoral kita di tengah umat, dan simpulan.

2. Sepintas tentang Faktualita Gereja di Asia

Suatu fakta yang bisa kita cermati di Asia dewasa ini adalah Gereja katolik

hampir ada di setiap negara. Seperti di Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, Birma,

Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia, Filipina, Vietnam, Hongkong,

Makao, Taiwan, Tiongkok, Korea Selatan, Jepang. Meskipun demikian secarah

kwantitatif orang-orang katolik di Asia relatif kecil hanya 2,48% dari jumlah

penduduk Asia yang berjumlah 2. 796.136.0001. Di Asia yang memiliki jumlah

terbanyak orang katolik yang sangat hidup dan aktif adalah banyak menyebar seperti

di Indonesia, Korea Selatan, Sri Lanka, Hongkong, India, Vietnam, dan hanya

Filipina yang penduduknya mayoritas katolik.2 Selain fakta itu Pieris juga

menggambarkan bahwa pengutusan Gereja lokal dari Asia adalah pengutusan bagi

kaum miskin. Inilah wajah Gereja lokal dari Asia yaitu Gereja miskin yang bekerja

sama dengan kaum miskin, Gereja yang sudah diinjili, Gereja yang telah menjadi

kabar bagi orang-orang Asia dan Gereja yang memandang kemajemukan agama

menjadi rekan-rekan seperjuangan dalam pengutusan bersama. Gereja adalah

kawanan kecil, minoritas di Asia3.

Gereja setempat/lokal dalam arti yang yang paling tepat adalah sebuah keuskupan

yang istilah lainya adalah Gereja partikular.4 Namun dalam kaitanya dengan

pembicaraan kita sekarang ditegaskan dalam arti sebaliknya yaitu Gereja dari suatu

bangsa. Yang di definisikan sebagai berikut: Gereja setempat ialah Gereja yang

berinkarnasi dalam suatu bangsa secara konkrit itu berati Gereja dalam dialog terus

menerus, dalam kerendahan hati dan penuh kasih dengan kenyataan hidup bangsa,

1 Francis, X. Clark SJ, Gereja Katolik di Asia, terj. Yosef Maria Florisan, Maumere: LPBAJ, 2001, hlm. 27-28.2 Ibid. hal. 28.3 Aloysius, Pieris, S.J, Bertologi dalam Konteks, terj. Agus Hardjana, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 68-69.4 Dr. Georg, Kirchberger (ed), Gereja Berwajah Asia, Ende: Nusa Indah, 1995, hlm. 24-25.

2

Page 3: Eklesiologi Asia

tempat Gereja berakar secara mendalam, dan yang sejarahnya maupun kehidupanya

dengan gembira diakui oleh Gereja sebagai riwayat dan hidupnya sendiri. Gereja

mencoba ikut mengalami apa saja yang sungguh dialami oleh bangsa itu: makna-

makna dan nilai-nilainya, aspirasi-aspirasinya dan gagasan-gagasanya serta

bahasanya, lagu-lagu dan kesenianya. Bahkan Gereja mengenakan kerapuhan-

kerapuhan dan kegagalan-kegagalanya juga, supaya semua itu pun disembuhkan.

Sebab memang begitulah Putra Allah mengenakan seluruh kondisi manusiawi kita

yang telah jatu (tanpa tercemar oleh dosa), sehingga Ia sungguh menjadikan

kondisiNya sendiri, dan menebusnya dalam misteri PaskahNya.5 Uskup-Uskup Asia

melukiskan Gereja lokal sebagai Gereja yang menjelma ke dalam suatu bangsa, satu

Gereja pribumi , dan terinkulturasi.6 Sedangkan Ad Gentes melukiskan Gereja lokal

sebagai Gereja yang muncul dari dari pertemuan Sabda Allah dengan kebudayaan dan

tradisi bangsa-bangsa dan menggarisbawahi keharusan pelaksanaan inkulturasi dalam

berbagai bidang kehidupan kristianani dan misi (AG 19-22).7

Dewasa ini Gereja-Gereja Asia bergelut dengan tiga soal mendasar yaitu

realitas kemiskinan, pluralisme agama, dan inkulturasi. Dan sejak awal berdirinya

FABC, telah menyadari sebagai isu-isu aktual dan agenda besar di Asia. Clark

menegaskan ada tiga tugas khusus Gereja-Gereja di Asia terbilang sangat urgen yaitu

Gereja bersama-sama dengan dengan agama-agama Asia dalam dialog, berada

bersama-sama dengan kebudayaan-kebudayaan Asia dalam inkulturasi, berada

bersama-sama dengan kaum miskin guna mencapai martabat manusia.8 Tiga agenda

besar tersebut menjadi lokus teologi dan pastoral Gereja-Gereja Asia dewasa ini.

Artinya berteologi dan bespastoral kita di Asia dewasa ini bertitik tolak dari tiga

realitas tersebut.

3.Urgensitas Misi di Asia

5 Francis, X. Clark SJ, op.cit, hlm. 47.6 Dr. Georg, Kirchberger (ed), op.cit, hlm. 36.7 Ibid, hlm. 37.8 Francis, X. Clark SJ, op.cit, hlm. 45-46.

3

Page 4: Eklesiologi Asia

Seiring dengan situasi Asia yang telah dipaparkan dimuka tadi kini giliranya

kita bertanya apa yang dapat dilakukan atas situasi semacam itu? Jawabanya adalah

Gereja harus bermisi. Apa misi Gereja sebenarnya? Dan bagaimana secarah

konkritnya Gereja bermisi? Inilah yang akan di dalami dalam bagian ini. Misi

sebenarnya berarti mengutus.9 Jelas bahwa mengutus selalu ada siapa yang mengutus

dan apa tugas perutusanya. Penginjil Matius menjelaskan bahwa Yesus Sang

pengutus memberi tugas kepada para murid untuk menjadi semua bangsa murid-

muridNya (Mat 28:19-20). Demikian juga dalam Injil markus “pergilah ke seluruh

dunia, beritakalah Injil kepada segala makhluk” (Mrk. 16:15). Dan inilah misi para

rasul untuk mewartakan Inji kepada seluruh umat manusia. Misi Gereja adalah

melanjutkan misi para rasul untuk mewartakan Injil keseluruh dunia. Artinya misi

Gereja adalah misi Allah sendiri. Konsili Vatikan II dalam Dekrit Kegiatan Misioner

Gereja mengatkan bahwa Gereja sebagai terang dan garam dunia kini dipanggil untuk

memperbaharui seluruh ciptaan, supaya segala sesuatu diperbahurui di dalam Kristus

dan supaya dalam Dia, orang-orang merupakan satu keluarga dan satu umat Allah

(bdk. AG, 1).

Kurt Piskaty memetakan moti-motif misi Gereja10 sebagai berikut pertama:

misi Gereja adalah misi Allah, kedua: misi berarti menseringkan iman akan Yesus

Kristus, ketiga: menjadikan Kerajaan Allah sebagai realits di dunia, keempat:

menjadikan Gereja sebagai sakramen keselamatan, kelima: epifani kehadiran Kristus

yang menyelamatkan di antara segala bangsa, keenam: sebuah syadat di dalam doa,

pengurbanan diri, perayaan sakramental, ketujuh: undangan untuk berperan serta

secara sadar dan penuh dalam karya keselamatan Kristus, kedelapan: sebuah harapan

bagi kaum miskin dan tertindas, kesembilan: sebuah sarana untuk membangun

persekutuan, dan kesepuluh: mengindahkan hak segala orang untuk mengenal

Kristus. Persoalanya bagaimana Gereja harus mewujudkan semua hal itu, lebih-lebih

9 Emanuel, Gerrit Singgih, Ph.D, Berteologi dalam Konteks, Kanisius: Yogyakarta, 2000, hlm. 161. 10 Kurt. Piskaty, “Motif-Motif Karya Misioner Kristen”, dalam Kirchberger Georg (ed), Misi Evangelisasi Penghayatan Iman, Maumere: Ledalero, 2004, hlm. 11-30.

4

Page 5: Eklesiologi Asia

di Asia yang beraneka ragam agamanya? Hanya ada tiga kata kunci untuk mengerti

dan menjawabi hal ini dalam bermisi di Asia yaitu pilihan mendahulukan kaum

miskin, berdialog dengan agama-agama, dan berinkulturasi.

Misi dan Penyebaran Gereja ke Asia tidak terlepas dari pengaruh misi

misionaris-misionaris Eropa. Sehingga sejak awal Gereja-Gereja di Asia mengenal

dan mengimani Kistus dalam konteks budaya orang lain. Para misionaris Eropa telah

sekian lamanya bermisi ke Asia dengan mengusung atribut budaya mereka sendiri

dalam mewartakan Injil. Ada kesan kuat misi Eropa ke Asia menyebabkan

termarginalisasinya budaya-budaya di Asia dan membunuh identitas keasiaan kita.11

Usaha untuk bangkit dan menemukan jati diri Gereja-Gereja Asia menjadi perkara

yang tidak mudah bagi misi Gereja di Asia dewasa ini.12 Inilah yang kemudian

menjadi isu-isu penting dalam misi di Asia kontemporer yakni bagaimana

menjadikan Injil menjadi tuan di negerinya sendiri, bukan sebagai orang asing

sebagaimana yang telah berlangsung lama.13

Usaha untuk menjadikan Injil menjadi tuan di negerinya sendiri kita namakan

dengan sebutan inkulturasi. Ada dua hal yang sangat penting dalam misi Gereja di

Asia...adalah dialog dan inkluturasi (dialog dengan orang miskin & agama).14

Dengan demikian inkulturasi merupakan hal konstitutif dan urgen bagi misi Gereja

lokal di Asia dewasa ini. Sejalan dengan semangat inkulturasi yang demikian kuatnya

saya mengutip ringkasan pendapat Kardinal Jaimen zin dalam Clark “Kalau Gereja

diinkulturasikan di dalam bangsa Asia, di dalam kebudayaan mereka, di dalam diri

kaum muda mereka, di dalam kemisikinan mereka, di dalam tindakan mereka, di

dalam spirituaslirtas mereka, saya melihat suatu masa depan yang cerah bagi agama

katolik di Asia”15. Dengan inkulturasi Gereja-Gereja Asia menjadi beta dengan

11 Dr. Georg, Kirchberger (ed), op.cit. hlm. 50, 87-88, 106-108.12 Dokumen Sidang- Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia, 1970-1991, terj. R. Hardowiryono, 1995, Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, hlm. 231.13 Francis, X. Clark SJ, op.cit, hlm. 51.14 Dr. Georg, Kirchberger (ed), op.cit. hlm. 46-47.15 Francis, X. Clark SJ, op.cit, hlm. 178-179.

5

Page 6: Eklesiologi Asia

kebudayaan mereka sendiri dan memadukan secara utuh iman dan kebudayaan

mereka.16 Pernyataan Jaimen Zin itu menegaskan bahwa Asia menjadi sedemikian

pentingnya untuk pewartaan Injil. Sejalan dengan penegasan itu kita juga

menyaksikan kenyaataan dulu di Asia menginport para misionaris Eropa sekarang

sebaliknya kita mengutus para misionaris Asia ke kawasan-kawasan lain di Asia dan

seluruh dunia.

Oleh Karena itu Gereja-Gereja lokal di Asia baik secara bersama-sama

maupun masing-masing menjadi sangat strategis bagi masa depan Gereja di Asia dan

dunia. Karena Gereja di Eropa sudah dilemahkan dengan sekularisme. Fakta-fakta

semacam ini tentu menjadi kebanggaan di satu pihak dan tantangan di lain pihak.

Mengapa karena Gereja-Gereja lokal Asia harus menjadi diri mereka sendiri. Proses

menjadi diri sendiri kita bahas berikutnya dalam poin inkultursi.

4. Apa itu Inkultuarsi?

4.1 Dasar Pemikiran Perlunya Inkulturasi

Inkulturasi merupakan sebuah tema yang sangat luas dan menyangkut macam-

macam unsur dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu pembahasan kita dalam

tema ini membatasi diri untuk membahas latar belakang, inkarnasi sebagai dasar

inkulturasi, dasar, pengertian, proses, sikap-sikap, dan titik tolak keberhasilan

inkulturasi. Teologi-teologi dan tradisi yang diwarisi dari Gereja-Gereja tua Eropa

tidak begitu cocok lagi dengan kebudayaan yang berbeda di luar Eropa/di Asia.17

Paus Yohanes Paulus II dalam Ensikliknya Redemptoris Missio mengutip pernyataan

terkenal dari Paus Paulus VII: “Jurang pemisah antara Injil dan Budaya tak diragukan

lagi merupakan skandal masa kini.” Skandal tersebut, bagi Paus Paulus VI, tidak saja

memberi pengaruh negatip bagi kebudayaan, namun juga bagi pewartaan Injil.18

Karena itu di kalangan Gereja Katolik Roma mulai dirasakan kebutuhan untuk

16 Ibid.17 E. Martasudjita, Pr, Pengantar Liturgi: Makna, sejarah, dan Teologi Liturgi, Kanisius: Yogyakarta, 1999, hlm. 80.18 Dr. Georg. Kirchberger (ed), op.cit. hlm. 94.

6

Page 7: Eklesiologi Asia

menyesuaikan refleksi teologis dengan kebudayaan setempat. Hal ini telah mendapat

dukungan resmi dalam Konsili Vatikan II. Dalam Dekrit tentang Kegiatan Misi

Gereja, Ad Gentes, adaptasi mendapat persetujuan yang tegas. Dalam Ensiklik

Redemptoris Misio, Paus Yohanes Paulus II, mengatakan: “Melalui inkulturasi,

Gereja menjelmakan injil dalam budaya yang berbeda-beda dan serentak membawa

masuk bangsa-bangsa bersama dengan kebudayaan mereka ke dalam persekutuan

Gereja sendiri”(RM 52)

Dengan kata lain mulai saat itu Gereja resmi menggunakan cara inkulturasi

sebagai cara penyebaran Injil.Dalam proses inkulturasi yang berjalan baik tidak akan

terdapat lagi usaha hanya sebatas terjemahan teologi Gereja Barat/universal ke

dalam teologi lokal, tetapi akan berusaha untuk menemukan teologinya sendiri yang

digali dari kebudayaannya. Dengan demikian melalui inkulturasi kita akan

menemukan Tuhan/Kristus dalam kebudayaan kita sendiri serta berbagai bentuk dan

cara menyembah Allah. Sejalan dengan Perintah Yesus untuk mewartakan Injil ke

seluruh dunia seperti yang telah diuraikan di atas tidaklah gampang. Pewartaan

semacam itu menuntut kemampuan mereka yang di utus untuk mengerti budaya-

budaya setempat dimana Injil itu diwartakan, sebab jika tidak selain adanya konfllik,

lebih dari sekedar itu adalah Injil tidak akan menyapa para pendengarnya, Injil

menjadi jauh panggang dari api. Menghindari hal semacam itu maka dirasa perlu dan

mendesak supaya Gereja melakukan terobosan-terobosan baru demi menghindari

resiko tadi. Terobosan itu kemudian kita kenal dengan sebutan inkulturasi dalam

Gereja dewasa ini.

4.2 Inkarnasi: Dasar/Model Inkulturasi

Secara teologis Inkarnasi menjadi dasar inkulturasi dalam Gereja.19 Dengan

menggunakan ungkapan St, Yohanes: “Sabda telah menjadi daging” (Yoh 1: 14).

Gereja menggunakan istilah “inkarnasi” untuk peristiwa Putera Allah mengambil

kodrat manusiawi, supaya dengan demikian dapat melaksanakan keselamatan kita.

19 E. Martasudjita, Pr, op.cit. hlm. 81.

7

Page 8: Eklesiologi Asia

Peristiwa penjelmaan Yesus menjadi manusia menandakan bahwa Yesus sungguh

masuk dalam sejarah umat manusia. Sebagaimana Yesus adalah orang yahudi yang

terikat pada adat, bahasa, budaya, pola pikir yahudi. Demikian hendaknya Injil harus

disampaikan dan dijelmakan dalam adat, budaya, bahasa, dan pola pikir manusia.20

Inkarnasi seperti yang dijelaskan secara sangat singkat di atas adalah model

inkulturasi. Konsili Vaikan II (1962-1965) mengajarkan bahwa Injil tidak menjadikan

salah satu kebudayaan normatif, melainkan harus dijelmakan dalam setiap

kebudayaan demi penyelamatan seluruh umat manusia (LG 13; 17; 23; GS 39; 55;

58; AG 9-11; 21-22).

Sejalan dengan pengertian inkarnasi dan inkulturasi seperti yang disampaikan di

atas, maka sebagaimana melalui inkarnasiYesus menjadi manusia secara utuh dan

tetap Allah secara utuh pula demikan juga melalui inkulturasi Injil sesuai ajaran

Yesus Kristus harus masuk secara utuh ke dalam kebudayaan sampai ke akarnya.

Dengan demikian melalui inkulturasi yang menembus seluruh lapisan kebudayaan

sampai ke lapisan yang paling dalam akan menjadikan Injil, iman dan nilai-nilai

Kristiani akan menjadi satu dengan iman dan nilai-nilai budaya yang sudah sesuai

dengan iman dan nilai-nilai Kristiani. Hanya dengan ini satu-satunya pembentuk jati

diri kita ialah iman dan nilai-nilai Kristiani dan inilah yang dipakai sebagai pedoman

yang menuntun pola pikir, pola sikap, pola tingkah laku dan pola tindak kita sebagai

orang Katolik. Proses pengintegrasian antara iman, nilai-nilai Kristen dengan iman

dan nilai-nilai budaya akan kita bahas lebih lanjut dalam pokok tentang proses

Inkulturasi.

4.3. Pengertian Inkulturasi.

Mengingat pembicaraan tentang inkulturasi sedemikian luasnya, karena

pemahaman tentang inkultursi menjadi tanggung jawab dari berbagai disiplin ilmu.21

20 Ibid. hlm. 82.21 Ibid. hlm. 79.

8

Page 9: Eklesiologi Asia

Oleh karena itu saya hanya membatasinya pada rana antropologis, teologis, dan

dokumen Gereja. Seorang antropologi bernama Anton Quak, mendefinisikan

inkulturasi sebagai, “integrasi pengalaman Kristen dari satu Gereja lokal ke dalam

kebudayaan umatnya”22 Sedangkan seorang teolog, A. Shorter, mendefinisikan

inkulturasi sebagai, “diaolog berlanjut antara iman dan kebudayaan, ada hubungan

yang kreatif dan dinamis antara warta kristen dan kebudayaan dan antara kebudayaan

dengan kebudayaan yang lainya”23. Lebih lanjut seorang teolog, Anscar J.

Chupungco, mendefinisikan inkulturasi sebagai, “suatu proses asimilasi resiprok

antara iman Kristen dan kebudayaan yang menghasilkan suatau transforamasi budaya

lokal di satu pihak dan pengakaran iman Kristen ke dalam budaya di pihak lain”24.

Dalam Redemptoris Missio Paus Yohanes Paulus II mengartikan “Inkulturasi sebagai

sarana transformasi nilai-nilai budaya otentik melalui integrasinya dengan

Kristianittas dan pemaduan integral Kristianitas dalam realitas kebudayaan

manusiawi setempat”. Atau “inkulturasi berarti suatu transformasi nilai-nilai

kebudayaan otentik secara mendalam melalui poroses integrasi mereka ke dalam

kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam pelbagai kebudayaan umat

manusia” ( RM 52). Sedangkan menurut Prier inkulturasi adalah “suatu proses yang

berlangsung terus menerus dimana Injil diungkapkan dalam seluruh aspek kehidupan

sedemikian rupa hingga ia tidak hanya diwartakan melalui unsur-unsur tersebut,

tetapi menjadi suatu daya yang menjiwai dan mengolah (bersatu dan sejalan) dengan

budaya tersebut; sekaligus budaya tersebut memperkaya budaya Gerejani”25

Bila merujuk dari beberapa pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa

melalui inkultursi Gereja mengingkarnasikan injil dalam kebudayaan yang berbeda-

22 Fr. Hyrro, Bandur, “Inkulturasi: Sebuah Golden Mid untuk Transformasi Budaya”, dalam Biduk, edisi I, thn. XXXIV, Majalah Seminari Tinggi Ritapiret, 1998, hlm. 73.23 Yanuarius Seran, Pr, M. Hum, Pengembangan Komunitass Basis: Cara Baru Menggereja dalam Rangka Evangelisasi Baru,Yayasan Pustaka Nusantara, 2007, hlm. 74.24 Fr. Hyrro, Bandur, op.cit, hlm. 73.

25 Sriti Mayang Sari, ”Wujud Budaya Jawa sebagai unsur Inkulturasi Interior Gereja Katolik”, http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/request.php?PublishedID=INT07050105 . Tanggal akses : 10 Maret 2010.

9

Page 10: Eklesiologi Asia

beda, dan dalam waktu yang sama memperkenalkan umat bersama dengan budaya-

budayanya. Atau dengan kata lain inklutrasi adalah integrasi pengalaman Kristen dari

satu Gereja lokal ke dalam kehidupan umatnya sedemikian sehingga pengalaman itu

tidak hanya menyatakan dirinya dalam unusur-unsur kebudayaan tersebut tetapi

menjadi satu kekuatan yang menjiwai, menggairahkan, dan membaharui kebudayaan.

Dengan demikian Inkulturasi merupakan cara yang paling efektif bagi Gereja untuk

menyebarkan ajarannya. Inkulturasi dilakukan dengan tujuan agar ajaran Gereja

mudah dipahami melalui budaya-budaya kita sendiri. Jadi, kita tidak perlu bersusah

payah memahami ajaran Gereja melalui budaya asal Gereja tetapi melalui budaya kita

sendiri.

4.4 Proses Inkulturasi26:

Redemtoris Missio menjelaskan “proses inkulturasi adalah suatu proses yang

mendalam dan menyeluruh, yang mencakup pesan kristen dan juga refleksi serta

praktek Gereja. Tetapi pada saat yang sama porses ini merupakan proses yang sulit,

oleh karena itu harus sama sekali tidak boleh membahayakan kekhususan dan

keutuhan iman kristen” (Rm 52), meski proses inkulturasi itu dikatakan sulit namun

hal yang paling penting dalam prosesnya adalah Gereja menyampaikan nilai-nilainya

sendiri kepada mereka; serentak pada saat yang sama Gereja mengambil unsur-unsur

yang baik yang ada dalam kebudayaan-kebudayaan itu serta memperbaharui dari

dalam.27 Proses dimaknai sebagai pengintegrasian suatu kebudayaan ke dalam

kebudayaan lainnya sehingga tidak terpisahkan lagi, tetapi merupakan satu kesatuan.

Kita akan melihat proses inkulturasi sbb: Pertama: Inkulturasi tidak hanya sekedar

penyesuaian agama Kristen dengan tradisi tertentu, melainkan penjelmaan Injil dalam

Gereja setempat. Dengan demikian Injil menjadi daya kekuatan yang mengilhami,

membentuk, dan mengubah atau semacam mentransformasikan keadaan tersebut.

26 Dokumen Sidang- Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia, 1970-1991, edisi No. I terj. R. Hardowiryono, 1995, Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, hlm. 230-231.27Mgr.Dr.A.M Sutrisnaatmaka, “Budaya Kristiani, Budaya Indonesia dan Suku-Suku”, 2006, Dialog antara Iman dan Budaya, 2006, Komisi Teologi: Konferensi WaliGereja Indonesia, hlm. 108-109.

10

Page 11: Eklesiologi Asia

Proses itu bisa diawali dengan merefleksi pengalaman dan mempelajari kebudayaan,

secara khusus semua unsur kebudayaan. Kedua: Adanya diaolog antara amanat Injil

dan kenyataan tertentu. Dalam dialog itu memungkinkan terjadinya semacam

transformasi nilai-nilai kebudayaan dan pengintegrasian secara utuh nilai-nilai

Kristiani dan nilai-nilai kebudayaan yang sudah ditransformasikan itu sehingga

benar-benar menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan lagi. Dalam tahap ini

unsur pembentuk “jati diri” kita hanya satu yaitu iman dan nilai-nilai Kristiani yang

sudah disatukan secara utuh dengan nilai-nilai budaya yang sudah ditranformasikan.

Inilah yang akan menjadi pedoman dalam pola pikir, pola sikap, pola tingkah laku

dan pola tindak dari kita sebagai orang Katolik. Melalui diaolog tersebut dapat

diketahui apakah nilai-nilai kebudayaan itu sejalan dengan nilai-nilai Kristiani agar

tetap dipertahankan; atau apakah nilai-nilai kebudayaan itu masih perlu dimurnikan

karena masih ada keraguan ataukah harus ditolak karena memang bertentangan

dengan nilai-nilai Kristiani. Ketiga: Menggali benih-benih sabda yang tersembunyi

dalam kebudayaan-kebudayaan dan tradisi tertentu. Semua unsur kebudayaan digali,

dipelajari secara teliti dan mendalam agar dapat mengetahui dan memahami dengan

baik nilai-nilai yang terpancar dan yang masih tersembunyi dalam setiap unsur

kebudayaan. Sehingga terjadi semacam hubungan timbal balik yang saling

memperkaya. Dimana di dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara nilai-nilai

injil dengan budaya setempat. Dengan demikian budaya yang ada dapat memperkaya

budaya Gereja dan ajaran Gereja dapat terus diungkapkan pada lingkungan budaya

sekitarnya selama makna yang diintegrasikan bersatu dan sejalan. Keempat:

Kebudayaan baru harus mengalami wafat dan bangkit artinya tidak semua budaya

dapat begitu saja digunakan untuk mengungkapkan dan mewartakan Injil, maka

terlebih dahulu harus ditebus atau dimurnikan. Atau semacam mendapat pembenaran

kalau kebudayaan setempat sejalan dengan amanat Injil; atau untuk mendapat

pemurnian kalau masih ada keraguan atau penolakan kalau memang bertentangan

dengan amanat Injil.

11

Page 12: Eklesiologi Asia

4.5 Sikap-sikap terhadap Inkulturasi28.

Proses inkultursi akan dihambat oleh sikap-sikap berikut ini: Sikap pertama:

Superioritas, sikap yang seakan inkultursi tidak relevan, tidak penting dan tidak

berguna karena tidak mempunyai kontribusi bagi agama kristiani. Sikap kedua:

Inkulturasi absurt sebab dapat membahayakan kesatuan gereja dan menimbulkan

pluralisme yang merugikan isi pewahyuan. Sikap ketiga: instan dan tergesa-gesa

mau menikmati hasil tetapi tidak dibarengi dengan persiapan yang memadai. Yang

pada giliranya hasilnya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Sikap keempat: Sikap

etnosentrisme, seorang disebut sebagai etnosentris apabila ia mengecam segala

sesuatu yang ada dalam kebudayaan baru itu, dan menganggap segala prilaku budaya

di tempat itu lebih rendah daripada apa yang dimilikinya sendiri. Sikap kelima:

Sikap sok asli pribumi, dimana ia menerima segala sesuatu yang ada dalam

kebudayaan yang baru tanpa melalui suatu penilain kritis. Sikap pertama, kedua, dan

ketiga lebih teologis, sedangkan ketiga dan keempat antropologis.

4.5Titik Tolak Keberhasilan Inkulturasi29.

Keberhasilan inkultursi sangat ditentukan oleh sikap-sikap: Sikap pertama:

Melibatkan diri dalam seluruh proses inkulturasi yang dinyatakan melalui kesediaan

mendengarkan dan percaya akan bimbingan Roh Kudus. Sikap kedua: menerima

kemajemukan sebagai khzanah dalam mewartakan Injil. Sikap ketiga: Perlunya kerja

sama yang baik dari berbagai pihak dalam mewujudkan masa depan dan kenyataan

yang baru. Sikap keempat:Dibutuhkan kesabaran dan uji coba terus menerus supaya

membuahkan hasil yang baik. Sikap kelima: Yakin bahwa Roh Tuhan selalu

membimbing dan menuntun kita dalam proses itu.

5. Inkulturasi Sebuah Imperatif Berteologi dan Berpastoral Kita di

Indonesia

28 Dokumen Sidang- Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia, 1970-1991, op.cit. hlm. 231.29 Ibid.

12

Page 13: Eklesiologi Asia

Dalam konteks Indonesia, titik tolak inkulturasi perlu ditempatkan dalam

kerangka pluralitas agama dan kemiskinan. Di Indonsia umat katolik hanya 3%30

merupakan agama minoritas di tengah masyarakat yang memeluk agama Islam dan

kemiskinan. Tiga agenda besar di Asia di atas tadi hendaknya menjadi agenda teologi

dan pastoral kita di indonesia. Tiga agenda besar ini menjadi lokus teologi dan

pastoral Gereja-Geraja indonesia dewasa ini. Artinya berteologi dan bespastoral kita

di Indonesia harus bertitik tolak dari kenyataan semacam itu. Pertanyaanya mana

yang diprioritaskan? Beberapa hal berikut dapat membantu kita menjawabi soal ini:

Pertama: berpihak pada kaum miskin.

Misi Gereja katolik tidak dapat terpisahkan dari option with the poor. Gereja

kita adalah Gereja yang berpihak pada visi utama yaitu kaum miskin. Untuk itu

sangat diperlukan kerja sama dari stakeholders sedapat mungkin dalam menekan dan

mengentaskan fakta kemiskinan di indonesia. Oleh karena itu penanganan problem

kemiskinan hanya dapat berlangsung dengan tepat jika dilakukan dalam konteks

dialog dengan agama-agama lain. Kemiskinan dan pemiskinan hadir secara nyata.

Namun sangat sedikit para petugas pastoral mencanangkan sebuah gerakan

kemanusiaan yang erat dan akrab dengan kaum miskin. Para petugas pastoral berada

jauh dari konteks, kurang membaca situasi dan kondisi masyarakat. Ada jurang

pemisah antara petugas pastoral dan masyarakat. Dan inilah yang kita sebut sebagai

sebuah musibah pastoral yang paling parah. Berpihak pada kaum miskin berarti ikut

merasakan, berjuang bersama-sama orang-orang miskin sebagai fokus pastoral kita.

Kedua: mampu berdialog dengan agama-agama.

Dialog adalah hakekat dari sebuah agama dan agama masa depan adalah

agama-agama yang mampu berdialog. Tanpa dialog maka agama akan kehilangan

maknanya. Dalam dialog kita akan nampak unik dan keunikan yang akan kita

30Dr. Piet, Go, “Pastoral New Age”, dalam Valentinus & Yustinus (eds) Mereguk Air Hidup: Beriman dalam Era New Age, edisi 18, vol. 19, STFT Widaya Sasana Malang, 2009, hlm. 179.

13

Page 14: Eklesiologi Asia

tawarkan itu tidak bisa tanpa orang lain. Keunikan dalam segala nuansanya tidak

dapat dirumuskan lewat ekslusif melainkan lewat relasi. Dalam dialog kita akan sadar

sungguh-sungguh bahwa eksistensi yang ada di dunia ini bukanlah eksistensi kita saja

melainkan berada dalam eksistensi dan ada-ada yang lain. Dalam dialog identitas kita

adalah sebuah jati diri yang utuh, terbuka dan profetis. Dalam dialog seperti itu kita

menghayati iman kita, membuang prasangka-prasangka cultural dan teologis

mengenai agama lain, kita dapat berpikir streotip mengenai kelompok lain, kita

menghayati sebuah pendekatan positif. Petugas pastoral dewasa ini harus mampu

meninggalkan paradigma pastoral lama dan merangkul paradigma pastoral yang baru.

Ketiga: membangun budaya.

Untuk membuat kesaksian injili berbunyi dan mengena diperlu dialog

dengan budaya yang berbeda. Melalui dialog dapat diidentifikasi manakah hal-hal

dari budaya masyarakat itu yang menghambat dan manakah yang mendukung

perubahan menuju keadilan sosial bagi semua orang. Untuk selanjutnya mengurang

atau menghilangkan hal-hal yang menghambat dan mengembangkan yang

mendukung. Sikap dasar ini adalah pilihan bagi petugas pastoral dewasa ini. Petugas

pastoral adalah pejuang, activist, bukan penadah-penadah pasif. Petugas pastoral

adalah nabi yang berbicara dengan data-data yang dapat dipertanggung jawabkan.

Disinilah daya pikat petugas pastoral dewasa ini tahan banting, dan terlibat dalam

gerakan-gerakan kemanusiaan. Karena Mencintai orang miskin berarti mencintai

budaya mereka sebagai orang miskin. Maka inkulturasi tidak lagi sebatas dipahami

sebagai suatu kreativitas seni budaya yang ditempelkan dalam suatu Perayaan Liturgi

atau inkulturasi dalam suatu tataran sempit, suatu ekspresi manusiawi yang

ditampilkan dalam suatu visualisasi budaya tertentu. Misalnya, para imam memakai

pakaian adat budaya tertentu ataupun memasukkan tari-tarian daerah yang mengantar

masuk bahan-bahan persembahan, dan lain lain.

14

Page 15: Eklesiologi Asia

6. Relevansi Gereja Asia bagi Pastoral Kita di tengah Umat

Gereja Katolik masuk di indonesia sejak abad 19.31 Dalam kurun usia ini

diharapkan iman Kristiani sudah berakar dalam hati umat. Berakar dalam hati umat

berarti iman Kristiani serta seluruh nilainya sudah menjadi prinsip dasar yang dipakai

sebagai pedoman hidup yang dapat menuntun pola pikir, pola sikap, pola tingkah laku

dan pola tindak dalam hidup harian sebagai orang-orang Katolik. Dari pengalaman

pastoral selama ini sebagai awam, saya mempunyai kesan yang sangat kuat bahwa

iman Kristiani dan seluruh nilainya belum menjadi pedoman hidup yang benar-benar

menuntun pola berpikir, pola bertingkah laku dan pola bertindak bagi umat beriman.

Masih terdapat jurang yang cukup lebar antara iman dan nilai-nilai Kristiani dengan

praktek hidup. Misalnya, masih merebaknya perjudian, berbagai bentuk kekerasan,

pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, perusakan lingkungan hidup, bunuh diri, aborsi

dll.

Kenyataan seperti ini merupakan tantangan yang sungguh menantang dan

mengundang pertanyaan baik bagi kita. Mengapa iman Kristiani dan nilai-nilainya

belum menjadi pedoman hidup bagi para pengikutnya? Tentu ada begitu banyak

jawaban yang dapat diberikan untuk menjawab pertanyaan ini. Tetapi kita tidak

hanya berhenti dengan mengemukakan berbagai jawaban yang dapat dipakai sebagai

sebab mengapa iman Kristiani dan nilai-nilainya belum berakar di dalam hati umat.

Kita harus berlangkah lebih jauh dan dalam dengan bertanya: Bagaimana pelayanan

pastoral kita sebaiknya supaya iman Kristiani dan seluruh nilainya sungguh-sungguh

berakar sehingga benar-benar menjadi pedoman yang dapat menuntun pola pikir,

pola sikap, pola tingkah laku dan pola tindak para pengikutnya.

Memahami betapa pentingnya inkulturasi sebagai misi gereja Asia seperti

yang telah dipaparkan di atas mendorong saya dan kita semua untuk mengevaluasi

31 Francis, X. Clark SJ. op.cit, hlm. 181.

15

Page 16: Eklesiologi Asia

metode pendekatan pastoral yang secara umum dipakai selama ini di Gereja local

Indonesia, baik oleh para Agen pastoral tertahbis maupun tidak tertahbis.

Metode pendekatan pastoral yang biasa dipakai selama ini oleh para Agen

Pastoral sejauh pengamatan saya adalah metode pendekatan yang disebut dari atas ke

bawah. Pendekatan model ini mempengaruhi cara kerja Agen pastoral, yang lebih

banyak duduk di pusat paroki dan di belakang meja dan patroli dari stasi ke stasi

untuk memimpin perayaan-perayaan sakramen. Kurang sekali berusaha untuk

mempelajari dan menyelami kehidupan dan budaya masyarakat. Berpuluhan tahun

metode dan cara kerja seperti ini berjalan terus serta tetap terpelihara sampai sekarang

ini. Mungkin karena bertahan pada metode dan cara kerja seperti ini menyebabkan

iman dan nilai-nilai Kristiani belum membatin, belum menjadi pedoman hidup

sepenuhnya.

Maka kita perlu mencari metode pendekatan pastoral yang tepat agar iman

Kristiani dan seluruh nilainya dapat menjadi satu-satunya pedoman hidup bagi

seluruh umatnya. Salah satu pendekatan pastoral yang dianjurkan ialah pendekatan

yang disebut Pendekatan dari bawah ke atas. Pendekatan inilah yang dipakai dalam

seluruh proses inkulturasi. Bila seluruh proses inkulturasi ini berjalan dengan baik,

maka akan terjadi pula proses pembatinan iman dan nilai-nilai Kristiani ke dalam hati

umat.

7. Simpulan

Gereja setempat di Asia adalah Gereja kaum miskin dan minoritas. Karena itu

Gereja-Gereja lokal di Asia terpanggil berinkarnasi/menjelma masuk dalam dunia

kaum miskin dan bekerja sama dengan kaum miskin. Dan inilah hakekat dari sebuah

inkulturasi sesungguhnya. Yesus telah menegaskan hal ini dengan mengungkapkan

apa yang kamu lakukan bagi saudaraKu yang miskin ini itu kamu lakukan untuk aku.

Berteologi dan berpastoral kita di Asia hendaknya bertitik tolak dari kenyataan

kemiskinan Gereja-Gereja Asia dewasa ini. Karena itu suatu hal yang penting adalah

berpastoral dan berteologi kita harus mengusung (disandingkan) dengan apa yang kita

16

Page 17: Eklesiologi Asia

namakan sebagai inkulturasi. Karena manusia mencapai kemanusiaan yang penuh

dan sejati, hanya melalui kebudayaan, yang dijadikannya sebagai jati dirinya. Maka

betapa tepatnya bila kita melaksanakan dan menjadikan inkulturasi secara penuh yang

adalah pendekatan pastoral dari bawa ke atas sebagai metode yang kita pakai dalam

evangelisasi agar Injil sungguh menjadi satu dengan kebudayaan. Hanya dengan ini

Injil dan seluruh nilai yang terkandung dalamnya tidak dirasa asing atau diasingkan

tetapi dipakai sebagai pandangan hidup yang dijadikan sebagai pedoman dalam pola

pikir, pola sikap, pola tingkah laku dan pola tindak dari setiap kita yang menamakan

diri Gereja-Gereja Asia. Bila kita benar-benar mempergunakan Injil dan seluruh

nilainya di dalam hidup dan karya kita, maka tidak akan ada lagi jurang pemisah

antara iman, nilai-nilai Kristiani dengan praktek hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Bandur, Hyrro, “Inkulturasi: Sebuah Golden Mid untuk Transformasi Budaya”,

dalam Biduk, edisi I, thn. XXXIV, Majalah Seminari Tinggi Ritapiret, 1998.

Clark, X. Francis. 1987, Gereja-Gereja Katolik di Asia. Terjemahan oleh Yosef

Maria Florisan, Maumere: Ledalero, 2001.

17

Page 18: Eklesiologi Asia

Dokumen Sidang- Sidang Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia,

1970-1991, terj. R. Hardowiryono, Departemen Dokumentasi dan Penerangan

Konferensi Waligereja Indonesia, 1995.

Dokumen Konsili Vatikan II, terj. Hardawidyana, Jakarta: Dokpen KWI, 1993.

Go, Piet, Pastoral New Age, Dalam Valentinus & Yustinus (eds.), Mereguk Air

Hidup: Beriman dalam Era New Age, STFT Widaya Sasana Malang, 2009.

Sari Mayang Sriti, ”Wujud Budaya Jawa sebagai unsur Inkulturasi Interior Gereja

Katolik”, http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/request.php?

PublishedID=INT07050105, diakses: 11 Maret 2010.

Kirchberger, Georg (ed.), Misi Evangelisasi Penghayatan Iman, Maumere:

Ledalero, 2004.

; Gereja Berwajah Asia, Ende: Nusa Indah, 1995.

Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja, 1891-1991, terj. R. Hardawiyana,

Jakarta: Dokpen KWI, 1999.

Martasudjita, E. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi,

Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Pieris, Aloysius, Berteologi dalam Konteks Asia, terj. Agus M. Hardjana,

Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Piskaty, Kurt, “Motif-Motif Karya Misioner Kristen”, dalam Kirchberger Georg (ed.),

Misi Evangelisasi Penghayatan Iman. Maumere: Ledalero, 2004.

Singgih, Gerit Emanuel, Berteologi Dalam Konteks, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Sutrisnaatmaka, M.A, “Budaya Kristiani, Budaya Indonesia dan Suku-Suku”, Dialog

antara Iman dan Budaya, Komisi Teologi: Konferensi WaliGereja Indonesia,

2006.

18

Page 19: Eklesiologi Asia

Seran, Yanuarius Pr, Pengembangan Komunitas Basis: Cara Baru Menggereja

dalam Rangka Evangelisasi Baru,Yayasan Pustaka Nusantara, 2007.

19