efektivitas terapi kelompok suportif ...eprints.ums.ac.id/62663/11/naskah publikasi-3.pdfone of them...

27
EFEKTIVITAS TERAPI KELOMPOK SUPORTIF EKSPRESIF DAN EMPATHIC LOVE THERAPY UNTUK MENINGKATKAN PENERIMAAN DIRI PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata II pada Jurusan Magister Psikologi Sekolah Pascasarjana Oleh : DWIANA WIDIYANTI 100 145 011 PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018

Upload: others

Post on 25-May-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

EFEKTIVITAS TERAPI KELOMPOK SUPORTIF EKSPRESIF

DAN EMPATHIC LOVE THERAPY UNTUK MENINGKATKAN

PENERIMAAN DIRI PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata II pada

Jurusan Magister Psikologi Sekolah Pascasarjana

Oleh :

DWIANA WIDIYANTI

100 145 011

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018

i

HALAMAN PERSETUJUAN

EFEKTIVITAS TERAPI KELOMPOK SUPORTIF EKSPRESIF

DAN EMPATHIC LOVE THERAPY UNTUK MENINGKATKAN

PENERIMAAN DIRI PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS

Yang diajukan oleh :

Dwiana Widiyanti, S.Psi

T 100 145 011

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh :

Penguji Pendamping I

Dr. Lisnawati Ruhaena, M.Si., Psikolog

NIK.836

Penguji Pendamping II

Wisnu Sri Hertinjung, S.Psi, M.Psi., Psikolog

NIK.637

ii

HALAMAN PENGESAHAN

EFEKTIVITAS TERAPI KELOMPOK SUPORTIF EKSPRESIF

DAN EMPATHIC LOVE THERAPY UNTUK MENINGKATKAN

PENERIMAAN DIRI PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS

Yang diajukan oleh:

Dwiana Widiyanti, S.Psi

T 100 145 011

Telah dipertahankan di depan dewan penguji

Fakultas Psikologi

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada Tanggal 3 Mei 2018

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

1. Dr. Eny Purwandari, M.Si ____________

Penguji Utama

2. Dr. Lisnawati Ruhaena, M.Si., Psikolog ____________

Penguji Pendamping I

3. Wisnu Sri Hertinjung, S.Psi, M.Psi., Psikolog _____________

Penguji Pendamping II

Mengetahui, Ketua Program

Plt Dekan Fakultas Psikologi Magister Psikologi Profesi

Achmad Dwityanto Oktaviansyah, S.Psi. M.Si Dr. Lisnawati Ruhaena, M.Si.,Psikolog

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam publikasi ilmiah ini tidak

terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kemagisteran di

suatu perguruan tinggi dan sepanjanng pengetahuan saya juga tidak terdapat karya

atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara

tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya di atas,

maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.

Surakarta, 3 Mei 2018

Yang Menyatakan,

Dwiana Widiyanti, S.Psi

1

EFEKTIVITAS TERAPI KELOMPOK SUPORTIF EKSPRESIF

DAN EMPATHIC LOVE THERAPY UNTUK MENINGKATKAN

PENERIMAAN DIRI PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS

Abstrak

Keberadaan HIV dalam tubuh manusia bertindak sebagai stressor karena

menimbulkan permasalahan cukup luas, salah satunya permasalahan psikologis

berupa penerimaan dari terhadap diagnosa HIV. Penelitian ini bertujuan: 1)

mengetahui efektivitas terapi kelompok suportif ekspresif (SE) dan empathic love

therapy (ELT) untuk meningkatkan penerimaan diri Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA). 2) perbedaan efektivitas terapi kelompok SE dengan ELT dalam

meningkatkan penerimaan diri ODHA. 3) mengetahui dinamika psikologis

penerimaan diri ODHA setelah diberikan terapi kelompok SE dan ELT. Penelitian

eksperimen ini menggunakan quasi experiment pretest-posttest control group

design. Subjek penelitian 40 penderita HIV/AIDS dengan penerimaan diri sedang

dan rendah, hasil pengukuran skala penerimaan diri dibagi tiga kelompok: 11

ODHA kelompok eksperimen terapi kelompok SE, 14 ODHA kelompok

eksperimen ELT dan 15 ODHA kelompok kontrol. Analisa data menggunakan uji

Mann Whitney-U. Hasil uji hipotesis: 1) terapi kelompok SE efektif

meningkatkan penerimaan diri ODHA. 2) terapi EL efektif meningkatkan

penerimaan diri ODHA. 3) terapi kelompok SE lebih efektif meningkatkan

penerimaan diri ODHA dibandingkan ELT. Terapi SE meningkatkan penerimaan

diri dengan pola adanya umpan balik positif dan dukungan sosial sehingga

mampu memberikan penguatan kepada peserta untuk bisa menerima

dirinya.Sedangkan pada terapi EL peningkatan penerimaan diri terjadi melalui

pemusatan diri, proses integrasi dan sintesis sehingga peserta mampu mengenal,

menyadari dan menerima sebagaimana adanya dirinya yang terinfeksi HIV.

Kata kunci : Suportif ekspresif; empathic love; penerimaan diri; ODHA

.

Abstract

The existence of HIV in human body serve as stressor as it causes quite a problem,

one of them is psychological problem in the form of self-acceptance to his

HIV.This research aims: 1) know the effectiveness of group therapy supportive

expressive and empathic love therapy in improving self-acceptance of People

Living With HIV/AIDS (PLWHA). 2) there is difference in the effectiveness of

SE group and ELT group in improving self-acceptance of PLWHA. 3) knowing

the psychological dynamics of self-acceptance of PLWHA after being given

therapy group SE and ELT.This experimental research used quasi experiment

pretest-posttest control group design with treatment to SE group therapy and ELT.

The participants were 40 HIV/AIDS patients with moderate and low self-

acceptance, measured by self-acceptance scale. They were divided into three

groups, 11 PLWHA experimental group of SE group therapy, 14 PLWHA

experimental grup of ELT, and 15 PLWHA control group. Data analysis were

done Mann Whitney-U test, the result of hypothesis: 1) the treatment SE group

2

therapy is proven effective in improving self-acceptance of PLWHA. 2) the

treatment empathic love therapy is effective in improving self-acceptance of

PLWHA. 3) the SE group therapy is more effective in improving self-acceptance

of PLWHA compared to ELT. SE group therapy improved self-acceptance with

the pattern of positive feedback and social support which provide reinforcement to

the participants to be able to accept themselves. Whereas in EL therapy increasing

self-acceptance occurs through self-centralization, integration and synthesis

process so that participants are able to recognize, realize and accept as he is

infected with HIV.

Keywords: supportive expressive; empathic love; self-acceptance, PLWHA.

1. PENDAHULUAN

HIV merupakan virus yang menurunkan sitem kekebalan tubuh manusia.

Sel darah putih diserang dan dirusak oleh virus sehingga jumlahnya akan

cenderung terus menurun. Akibatnya, tubuh menjadi lebih rentan terhadap

mikroorganisme sehingga orang yang terinfeksi HIV rentan terhadap penyakit

sekunder. Perkembangan infeksi HIV dalam tubuh bertahan hingga jangka waktu

5-10 tahun kemudian masuk pada tahap AIDS. AIDS merupakan kumpulan gejala

penyakit yang disebabkan oleh HIV (Nasronudin, 2007; KemenKes, 2016).

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan RI mencatat

bahwa sejak pertama kali kasus AIDS ditemukan di Bali pada tahun 1987 sampai

dengan Maret 2017 terus mengalami peningkatan. Data terakhir menyebutkan

jumlah kumulatif penemuan kasus baru HIV pada Desember 2016 meningkat

menjadi 232.323 jiwa atau bertambah 41.250 jiwa dan kasus AIDS menjadi

86.780 jiwa atau dengan kata lain bertambah 9.658 jiwa. Perhitungan terbaru

Maret 2017 jumlah kasus HIV meningkat menjadi 242.699 dan kasus AIDS

menjadi 87.453. Data tersebut menunjukkan penyebaran virus ini sangat cepat

(Kemenkes RI, 2017).

Keberadaan HIV dalam tubuh manusia bertindak sebagai stresor karena

menimbulkan permasalahan cukup luas bagi individu yang terinfeksi, meliputi

permasalahan fisik, psikologis dan psikososialnya (Hawari, 2009). Perubahan

fisik berupa penurunan berat badan, kulit gatal dan menghitam menjadi tekanan

psikologis, seperti munculnya perasaan malu dan tertekan. Secara sosial ODHA

cenderung menutup diri dan merahasiakan penyakitnya kepada keluarga maupun

3

lingkungan karena takut mendapatkan penolakan. Stressor ini akan saling

mempengaruhi satu sama lain, harus dihadapi penderita setiap hari dan seumur

hidup. Efek dari kondisi tersebut berpengaruh terhadap proses penerimaan diri

penderita. ODHA menjadi tidak menerima dirinya dan menyalahkan orang lain

terhadap diagnosis penyakitnya (Nasronudin, 2007;Sidiq dkk, 2016).

Djoerban (2009) dalam penelitiannya menemukan hampir 99% penderita

HIV mengalami penyangkalan pada saat mengetahui dirinya mengidap penyakit

AIDS. Banyak penderita HIV/AIDS yang tidak mampu menerima kenyataan

dirinya terinfeksi HIV. Jersild (1963) mengemukakan pendapatnya bahwa

penerimaan diri merupakan tingkat dimana individu mampu mempertimbangkan

karakteristik pribadinya dan mau hidup dengan karakteristik tersebut sehingga ia

mampu menghargai dirinya sendiri, hidup nyaman dengan dirinya sendiri,

mengenali keinginan, harapan, bahkan ketakutan dan kemarahannya.

Penelitian yang dilakukan Kusumawati (2013) menjelaskan bahwa ODHA

dengan penerimaan diri yang baik mampu menumbuhkan harapan baru untuk

hidup, mampu bersosialisasi dengan lingkungan dan mampu mempersiapkan

masa depan yang berkualitas serta menjalani pengobatan seumur hidup. Namun

apabila ODHA memiliki penerimaan diri yang rendah seringkali memiliki

ketidaksiapan dalam menerima kenyataan bahwa dirinya terinfeksi HIV. Mereka

mengalami kecemasan berulang dan rasa pesimis sehat kembali, kondisi tersebut

menjadi tahapan berat sehingga seringkali memunculkan depresi bahkan

keinginan untuk bunuh diri secara perlahan (Rahmawati, 2015; Irnawati, 2016).

Kondisi psikologis tersebut akan berpengaruh pada kualitas hidup dan

kesiapan menjalani pengobatan selanjutnya. Oleh sebab itu dibutuhkan intervensi

psikologis berkaitan dengan penerimaan diri pada diri ODHA sebagai langkah

preventif untuk mencegah gangguan emosi yang sering dialami penderita dan

mencegah munculnya gangguan mental yang lebih berat, salah satunya dengan

terapi kelompok suportif ekspresif (SE) dan empathic love therapy (EL).

Terapi SE merupakan salah satu bentuk terapi kelompok (Waston &

Kissane, 2011). Terapi kelompok secara umum merupakan terapi ideal bagi

pasien dengan penyakit terminal, karena dianggap sebagai sumber informasi,

4

sarana peningkatan harga diri dan dukungan sosial. Terapi SE digambarkan

sebagai terapi yang dimaknai keterbukaan dan memaknai ekspresi, pikiran dan

emosi. Terapi ini mengutamakan pemberian dukungan dan sebagai wahana

mengekpresikan perasaan serta pikiran kepada seluruh anggota kelompok.( Fobair

(Yunitri, 2012). Terapi kelompok ini berfungsi sebagai strategi untuk mengatasi

efek traumatis seseorang dengan infeksi HIV dan mendorong pasien untuk segera

mampu beradaptasi (Maldonado, 1996).

Terapi SE bertujuan agar setiap anggota kelompok mampu mengidentifikasi

dan mengekspresikan permasalahan yang selama ini direpres dan diarahkan

kepada dirinya sendiri untuk kemudian ditransfer kepada terapis dan anggota

lainnya. Melalui proses ini peserta mengungkapkan dan menyampaikan

pengalamannya kepada peserta lain secara nyaman, kemudian mendapatkan

support berupa dukungan sosial dengan penguatan dan umpan balik positif atas

permasalahan yang dialami peserta lain. Beberapa hasil penelitian sebelumnya,

terapi SE efektif untuk mengatasi stress pasien kanker payudara (Classen dkk,

2007; Prafitri, 2014), efektif mengatasi pasien dengan gangguan kepribadian

(Vinnars dkk, 2005), depresi kronis pada pasien kanker (Kissane, 2004; Yunitri,

2011), pasien HIV/AIDS yang mengalami depresi (Maldonado dkk, 1996;

Mactinger dkk, 2014; Cahyamita, 2015).

Terapi lain sebagai upaya agar ODHA dapat menerima dirinya dan siap

menjalani pengobatan adalah dengan psikoterapi transpersonal. Salah satu

psikoterapi dalam transpersonal adalah psikosintesis. Psikosintesis merupakan

sebuah proses pertumbuhan diri dengan menyadari aspek positif dalam diri yang

menjadi kekuatannya. Roh dalam psikosintesis sendiri adalah Empathic Love

sehingga berbicara tentang psikosintesis sama halnya berbicara tentang Empathic

Love. Proses sintesis dalam diri individu hanya dapat terjadi dengan Empathic

Love (Firman & Gila, 2010; 2007).

Terapi EL dikembangkan untuk mengarahkan seseorang mengenali,

mencintai, menerima apa adanya dirinya, berintegrasi dan bersintesis dengan

seluruh bagian-bagian dalam dirinya dan mulai mengembangkan cinta pada

keseluruhan aspek kepribadiannya sehingga mampu memanfaatkan potensi diri

5

(Firman & Gila, 2007). Sesi-sesi dalam terapi ini membantu seseorang mampu

melakukan penerimaan dengan penuh empatik terhadap kelemahan dan berbagai

pengalaman traumatis yang dialami, kemudian mengarahkan untuk menemukan

kekuatan dan aspek positif dalam diri. Beberapa penelitian sebelumnya, terapi EL

efektif untuk menurunkan kecemasan pasien gagap (Yana, 2015), efektif juga

untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif dan kesiapan guru inklusi (Rosada,

2015), efektif menurunkan symptom depresi pada ODHA dan perempuan korban

kekerasan dalam rumah tangga (Sagala, 2015; Saragih, 2015).

Berdasarkan uraian diatas tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui

efektivitas terapi SE untuk meningkatkan penerimaan diri ODHA. 2) mengetahui

efektivitas terapi EL untuk meningkatkan penerimaan diri ODHA. 3) mengetahui

perbedaan efektivitas terapi SE dengan terapi EL dalam meningkatkan

penerimaan diri ODHA. 4) mengetahui dinamika psikologis penerimaan diri

ODHA setelah diberikan terapi kelompok SE dan ELT.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Rancangan dalam penelitian

ini adalah quasi experiment dengan bentuk desain pretest-posttest control group

design. Subjek penelitian ini sebanyak 40 orang penderita HIV/AIDS dengan skor

penerimaan diri rendah dan sedang, yang terbagi dalam 3 kelompok, yaitu 11

orang dalam kelompok eksperimen terapi SE (KE 1), 14 orang dalam kelompok

eksperimen terapi EL (KE 2) dan 15 orang ada di kelompok kontrol (KK).

Penentuan sampel dilakukan secara random sampling. Pengelompokkan sample

pada kelompok penelitian dilakukan dengan random assignment.

Pengukuran tingkat penerimaan diri menggunakan skala penerimaan diri

yang disusun oleh peneliti yang sebelumnya telah diuji validitasnya dengan

menggunakan formula Aiken’s V. Berdasarkan penilaian 7 rater, dari 68 item

terdapat 12 item yang tidak valid (V>0,75), dengan demikian 56 item favorable

dan unfavorable akan digunakan sebagai skala uji coba penerimaan diri pada

6

orang dengan HIV/AIDS. Setelah dilakukan uji coba skala diperoleh 35 item yang

valid dengan reliabilitas 0,898.

Skala penerimaan diri terdiri dari 4 aspek yaitu: sikap realistis tentang diri

dan penampilannya, percaya pada kemampuan diri, berani bertanggung jawab

terhadap perilakunya, memiliki keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”.

Pengukuran tingkat penerimaan diri dilakukan 3 kali, yaitu screening yang

digunakan sebagai pretest bertujuan memilih subjek penelitian, posttes dilakukan

setelah terapi selesai, dan follow up dua minggu setelah terapi selesai.

Penelitian ini menggunakan 2 modul intervensi, yaitu modul Terapi SE

yang diadaptasi dan di modifikasi oleh Cahyamita (2015), dan modul ELT yang

disusun oleh Sagala dkk (2015). Terapi SE terdiri dari 7 sesi, diberikan dalam 3

kali pertemuan dan membutuhkan alokasi waktu 120 – 300 menit setiap

pertemuan. Terapi SE diikuti 11 ODHA dan dipandu oleh Sistrianova, M.Psi.,

Psikolog. Terapi EL terdiri dari 7 sesi, diberikan dalam 3 kali pertemuan. Setiap

pertemuan alokasi waktu yang dibutuhkan 300-360 menit. Terapi EL diikuti 14

ODHA dan di pandu oleh Henny Regina Salve, M.Psi., Psikolog.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

Hipotesis 1 penelitian terbukti, terdapat perbedaan yang sangat signifikan

peningkatan penerimaan diri pada ODHA yang diberikan terapi kelompok suportif

ekspresif dengan ODHA yang tidak mendapatkan terapi, ditunjukkan dengan nilai

z -4,000 dengan taraf signifikansi p 0,000; p<0,05 melalui uji Mann Whitney-U.

ODHA yang mendapatkan terapi cenderung mengalami peningkatan penerimaan

diri, sedangkan penerimaan diri ODHA yang tidak diberikan terapi cenderung

menurun. Peningkatan dapat diketahui dari mean rank kelompok eksperimen

terapi kelompok suportif ekspresif sebesar 20,50 pada saat posttest dan 20,86 pada

saat follow up, sementara pada kelompok kontrol mean rank pada saat posttest

8,37 dan 8,10 pada saat follow up.

7

Efektifitas terapi kelompok suportif ekspresif juga dapat dilihat berdasarkan

uji Friedman dengan Chi Square 18,488, Asymp.Sig. sebesar 0,000;p<0,05.

Peningkatan diperkuat hasil mean rank pada saat pre test sebesar 1,00, post test

sebesar 2,32 dan follow up sebesar 2,68 sebagaimana terdapat pada gambar 1:

Gambar 1. Grafik pre-post-follow kelompok terapi SE

Berdasarkan gambar 1 disimpulkan ada perbedaan penerimaan diri sangat

signifikan pada kelompok yang mendapatkan terapi SE sebelum dan sesudah

dilakukan terapi. Peningkatan skor penerimaan diri peserta juga bisa dilihat dari

lembar kerja asesmen awal dan akhir pada setiap sesi pada gambar 2 berikut ini:

Gambar 2. Grafik Rata-rata Hasil Asessmen Awal dan Akhir

0

1

2

3

Pretest posttest Follow Up

Skor Terapi SE

Skor Terapi SE

0 5 10 15

Mengenal_kelompok Penerimaan_kondisi_diri

Mood Penerimaan_perubahan_diri

Komunikasi_dengan_keluarga Keterbukaan

Keinginan_bekerja Kesiapan_terbuka

Pengetahuan_terapi Percaya_terapi

Fokus_pada_terapi Keberanian_bertanya_pada_nakes

Kepercayaan_pada-nakes Khawatir_kondisi_diri

Kesiapan_kejadian_tidakdiinginkan Ketidakkhawatiran_hadapi_kejadiantidakdii…

Optimis_masadepan Kepercayaan_dirisendiri

Kepuasan_dirisendiri

asesmen akhir

asesmen awal

Se

si

1

Sesi

2

Ses

i 3

Sesi

4

Ses

i 6

Ses

i 5

8

Gambar 2 menunjukkan skor asesmen akhir pada setiap sesi lebih besar

dibandingkan skor asesmen awal. Hal ini membuktikan terapi SE mampu

memberikan perubahan perilaku pada setiap sesinya. Grafik di atas menunjukkan

adanya peningkatan skor tinggi pada asesmen akhir sesi 1, 4, 5 dan sesi 6. Kondisi

awal peserta mengalami suasana hati tidak stabil, tidak bisa menerima perubahan

diri, pesimis, tidak puas terhadap diri sendiri, takut dan malu untuk mendiskusikan

kesehatan dengan tenaga kesehatan, cemas dan tidak siap apabila terjadi hal yang

tidak diinginkan. Setelah diberikan terapi SE, berdasarkan asesmen akhir peserta

menerima kondisi dan perubahan yang dialami, memiliki strategi positif untuk

menjalin komunikasi dengan tenaga kesehatan, lebih siap menghadapi hal yang

tidak diinginkan serta merubah rasa pesimis menjadi optimis dan percaya diri.

Peningkatan skor penerimaan diri kelompok yang mendapatkan terapi SE

juga dapat dilihat secara individual, sebagaimana terdapat pada gambar 3 dibawah

ini:

Gambar 3. Grafik Penerimaan Diri Individu Kelompok Terapi Kelompok Suportif

Ekspresif

0

20

40

60

80

100

120

140

SS PPT WWS BD AT NU MI EL MM DA NK

Grafik Penerimaan Diri Kelompok Terapi Kelompok Suportif

91 89 89 83 74 82 82 80 74 85 73 100 96 120 108 99 104 112 114 99 103 83 107 105 119 112 105 104 110 114 99 105 91

Pretest

Posttest

Follow

Up

9

Gambar 3 menunjukkan bahwa seluruh peserta mengalami peningkatan skor

penerimaan diri setelah mengikuti terapi SE. Peningkatan skor terbanyak dialami

peserta WWS, AT, MM, BD, MI dan EL. Skor cenderung menetap pada saat

follow up. Sementara peserta PPT, SS dan NK mengalami peningkatan skor pada

saat posttest dan naik kembali pada saat follow up.

Hipotesis 2 penelitian terbukti bahwa terdapat perbedaan yang sangat

signifikan peningkatan penerimaan diri pada ODHA yang diberikan ELT dengan

ODHA yang tidak mendapatkan terapi, ditunjukkan dengan nilai z -4,197 dengan

taraf signifikansi p 0,000; p<0,05 melalui uji Mann Whitney-U. ODHA yang

mendapatkan terapi EL cenderung mengalami peningkatan penerimaan diri.

Peningkatan diperkuat dari mean rank kelompok eksperimen ELT sebesar 21, 86

pada saat posttest dan 21, 61 pada saat follow up, sementara pada kelompok

kontrol mean rank pada saat posttest 8, 60 dan 8,83 pada saat follow up.

Efektifitas terapi EL juga dapat dilihat berdasarkan uji Friedman dengan

hasil Chi Square 23, 286 Asymp.Sig. sebesar 0,000;p<0,05. Peningkatan dapat

diketahui dari mean rank pada saat pre test sebesar 1,00, post test sebesar 2,21dan

follow up sebesar 2,79 sebagaimana terdapat pada gambar 4 berikut ini:

Gambar 4. Grafik pre-post-follow kelompok terapi EL

Berdasarkan gambar 4 dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

penerimaan diri yang sangat signifikan pada kelompok yang mendapatkan terapi

empathic love sebelum dilakukan terapi dan sesudah dilakukan terapi.

0

1

2

3

Pretest Posttest Follow Up

Skor Terapi EL

Skor Terapi EL

10

Peningkatan skor penerimaan diri peserta juga bisa dilihat berdasarkan

lembar kerja peserta mengenai penilaian suasana hati setiap sesi. Peserta

memberikan penilaian tentang suasana hati yang ingin dirubah dengan cara

melingkari angka 1-10. Semakin besar angka yang diberikan semakin

menunjukkan suasana hati yang sangat buruk sebagaimana gambar 5 berikut:

Gambar 5. Penurunan Suasana Hati Peserta Empathic Love Therapy

Setiap Sesi

Gambar 5 menunjukkan penurunan skor suasana hati peserta pada akhir sesi

dibandingkan pada saat sesi awal. Semakin rendah angka yang diberikan semakin

menunjukkan suasana hati yang seimbang. Hal ini menunjukkan sesi –sesi dalam

terapi EL mampu memberikan perubahan pada penerimaan diri peserta. Pada sesi

1 dan 2 peserta menunjukkan suasan hati yang tidak stabil karena mengingat

kembali pengalaman tidak menyenangkan dan mengeksplorasi perasaan terluka

yang terpedam pada saat terdiagnosa HIV. Suasana hati mulai menurun pada saat

sesi 4 dan semakin seimbang pada saat sesi terakhir.

Peningkatan skor penerimaan diri pada kelompok yang mendapatkan ELT

juga dapat dilihat secara individual, sebagaimana terlihat pada gambar 6 berikut

ini:

0 2 4 6 8 10 12

Sesi 1: Eksplorasi Diri

Sesi 2 : Eksplorasi Luka

Sesi 3 : Interaksi Pemain

Sesi 4 : I Love my Self

Sesi 5 : Kehendak

Sesi 6 : Potensi Rencana Aksi

Sesi 7 : Cinta dan Syukur

suasanahati

11

Gambar 6. Grafik Penerimaan Diri Individu Kelompok Empathic Love Therapy

Gambar 6 menunjukkan bahwa seluruh peserta mengalami peningkatan skor

penerimaan diri setelah mengikuti terapi EL. Peningkatan skor terbanyak dialami

peserta IJ, MA, TI, WA dan LE. Skor peserta cenderung kembali naik pada saat

follow up terkecuali WA yang mengalami penurunan dan kembali pada kondisi

awal pada saat follow up.

Hipotesis 3 penelitian terbukti bahwa terdapat perbedaan peningkatan

penerimaan diri yang signifikan antara kelompok yang mendapatkan terapi SE

dengan kelompok ELT dengan nilai z -1,810, taraf signifikansi p 0,035. Hal ini

menunjukkan ada perbedaan tingkat penerimaan diri yang signifikan antara

kelompok yang mendapatkan terapi SE dengan kelompok EL. Dimana terapi SE

lebih efektif meningkatkan penerimaan diri pada orang dengan HIV/AIDS

dibandingkan terapi EL. Keefektifan dapat diketahui dari mean rank terapi SE

sebesar 16,00. Sementara mean rank pada terapi EL 10,64.

0

20

40

60

80

100

120

140

IJ RO MA US NIK AS RIF SU WI DA MAS TI WA LE

Pre Test

Post Test

Follow Up

Grafik Penerimaan Diri Kelompok Empathic Love Therapy

77 74 74 79 73 86 93 8 0 85 76 85 72 73 70 101 88 110 99 89 101 105 97 101 88 98 97 91 91 117 92 105 104 94 110 113 103 107 103 102 96 74 121

12

3.2 Pembahasan

Pada kondisi umumnya diagnosis suatu penyakit kronis seringkali menjadi

goncangan bagi penderitanya. Secara psikologis, seseorang yang pada awalnya

memiliki psikis yang stabil menjadi terganggu karena adanya diagnosis kronis

seperti infeksi HIV. Respon emosional yang muncul secara umum adalah

penolakan, kecemasan, stres dan depresi (Taylor, 1999). Perasaan tersebut

muncul karena pada kenyataannya penyakit yang mereka derita tidak dapat

disembuhkan sehingga mereka harus menghadapinya dalam jangka waktu yang

lama dan juga harus menghadapi efek sosial yang ditimbulkan dari penyakit

tersebut berupa pengucilan sosial dan diskriminasi terkait stigma tentang HIV

(Carr & Gramling, 2004). Efek dari kondisi tersebut berpengaruh terhadap

proses penerimaan diri penderita.

Berdasarkan analisis uji hipotesis 1, disimpulkan bahwa pemberian terapi

SE efektif meningkatkan penerimaan diri pada ODHA. Hal ini sesuai dengan

hasil penelitian yang dilakukan Cahyamita (2015) bahwa terapi kelompok

suportif ekspresif efektif menurunkan depresi pada ODHA dan mampu

meningkatkan penerimaan terhadap keadaan dirinya serta perubahan yang terjadi

kaitannya dengan diagnosa HIV dalam tubuhnya.

Pada setiap sesi terapi SE, peserta dibantu mengidentifikasikan dan

mengekspresikan permasalahan yang selama ini direpres terkait diagnosa HIV

kemudian ditransfer kepada terapis dan peserta lainnya. Melalui proses diskusi,

berbagi pengalaman dan pemberian umpan balik positif peserta mendapatkan

cara baru dalam menyelesaikan permasalahannya. Dukungan dan penguatan

kelompok membuat peserta merasa ada orang lain yang mengalami dan

memiliki permasalahan yang sama dengan dirinya.

Pada sesi 1 peserta mengidentifikasi dan mengekspresikan konsep diri

mereka yang negatif, seperti rasa malu, kehilangan percaya diri, merasa jelek

terkait perubahan fisik setelah terdiagnosa HIV. Sebagian besar peserta

mengeluhkan kulit yang menghitam dan kusam, rambut rontok, kurus, terlihat

lebih tua. Kondisi tersebut mengakibatkan perubahan perilaku berupa menarik

diri. Setelah mengikuti terapi SE peserta lebih mengetahui cara menyelesaikan

13

permasalahan terkait perubahan kondisi fisik. Peserta membagikan pengalaman

menutupi tubuh kurus dan kulit yang menghitam dengan mengenakan kaos

panjang. Peserta mendapatkan penguatan bahwa kenaikan Cd4 akan mengatasi

kerontokan rambut dan meanstrusi yang tidak teratur. Diskusi dan berbagi

pengalaman membuat peserta merasa tidak sendiri dan secara perlahan mulai

menerima perubahan fisik dan kondisi dirinya. Situasi ini memungkinkan

peserta memiliki perspektif baru mengenai diri dan tubuhnya (Maldonado, dkk ,

1996; Yunitri, 2011; Prafitri, 2014; Cahyamita, 2015).

Sesi kedua, peserta mengidentifikasi perubahan dalam hubungannya

dengan keluarga, orang yang dicintai dan lingkungan sosial setelah terinfeksi

HIV. Sebagian besar peserta menyatakan belum membuka status HIV kepada

keluarga, mereka takut membebani keluarga, khawatir ditolak dan dikucilkan.

Peserta mendiskusikan dampak positif apabila membuka status, yaitu lebih

difahami kondisinya, lebih diperhatikan, diingatkan minum obat. Terapis

membantu mendiskusikan tahap-tahap untuk membuka status dengan aman.

Diskusi ini menginspirasi dan menguatkan peserta yang lain untuk membuka

status kepada keluarga dengan tahapan-tahapan yang telah didiskusikan.

Perubahan berdasarkan penguatan kelompok ini sesuai dengan penelitian

terdahulu, bahwa ODHA yang mendapatkan dukungan sebaya memungkinkan

terjadinya perubahan dari emosi negatif menjadi emosi positif. Perasaan senasib

mampu memberikan motivasi untuk bangkit dalam menghadapi lingkungan dan

kondisi dirinya yang telah positif (Mardhiati & Handayani, 2011; Suriana, 2013)

Sesi selanjutnya peserta mengidentifikasi efek samping yang ditimbulkan

terapi ARV seperti mual, gatal dan pusing. Efek samping ini seringkali

mngganggu aktifitas peserta. Diskusi mengenai efek samping berikut cara

mengatasinya, pengalaman dari peserta yang telah lama mengkonsumsi ARV,

serta edukasi rutin mengenai seluk beluk pengobatan ARV dari petugas

kesehatan membuat peserta menganggap ARV merupakan pilihan tepat untuk

pengobatan. Pengetahuan dan pengalaman ARV membuat peserta mampu tetap

fokus pada terapi (Green, 2000; Sastimtaaji, 2010; Suratini, 2011).

14

Sesi 4 terapi SE, peserta mendiskusikan cara menjalin komunikasi yang

baik dengan tenaga kesehatan. Peserta mengidentifikasi perasaan malu, takut dan

segan jika berhadapan dengan dokter. Peserta mengungkapan rasa malu jika

harus mengeluhkan tentang kondisinya, takut dokter akan memberikan lebih

banyak obat, tidak memahami bahasa yang disampaikan dokter dan enggan jika

harus mengantri lama. Diskusi dan berbagi pengalaman positif tentang cara

konsultasi yang efektif membuat peserta memiliki cara baru menjalin hubungan

dengan tenaga kesehatan tanpa rasa segan dan malu. Penguatan kelompok

memberikan pemahaman baru kepada peserta tentang manfaat apabila sering

berkonsultasi dengan tenaga kesehatan dapat mengurangi kecemasan terkait

kondisi kesehatannya. Penelitian menyebutkan adanya dukungan tenaga

kesehatan membuat ODHA merasa dirinya dicintai, dihargai dan diperhatikan

sehingga menumbuhkan harapan baru untuk hidup lebih lama, meningkatkan

kualitas hidup ODHA sekaligus dapat mengurangi kecemasan terkait dengan

kesehatannya(Payuk dkk, 2012; Armiyati dkk, 2015).

Terapi SE membantu peserta mengatasi rasa frustasi dan ketidaksiapan

menghadapi kejadian yang tidak diinginkan. Peserta mengidentifikasi dan

mengekspresikan perasaan takut Cd4 turun, muncul infeksi baru, jatuh sakit dan

kematian. Diskusi dan umpan balik positif tentang bagaimana cara menjaga pola

hidup sehat, minum obat secara teratur, menjaga emosi supaya tetap stabil dan

rutin berkonsultasi dengan dokter agar Cd4 tetap normal dan tidak jatuh sakit

memberikan peserta cara baru mengatasi kekhawatiran menghadapi kejadian

yang tidak diinginkan. Hasil tinjauan literature Yuliana (2015) menyebutkan

konseling yang dilakukan secara berkelompok berperan membantu menemukan

makna tujuan hidup sehingga dapat mengurangi kecemasan terhadap kematian.

Pada sesi akhir. penguatan dan umpan balik positif sebagai bentuk

dukungan terapi kelompok SE membantu peserta mengidentifikasi tujuan hidup

baru yang lebih realistis sesuai dengan kondisinya saat ini. Maldonado (1996)

menguatkan bahwa diskusi mengenai tujuan hidup dapat membantu pasien

dalam memahami efek penyakit HIV pada kehidupan mereka dan membantu

mengembangkan serta memperbaiki tujuan hidupnya.

15

Penjelasan di atas menunjukkan terapi kelompok suportif ekspresif efektif

untuk meningkatkan penerimaan diri pada orang dengan HIV/AIDS. Perubahan

terjadi karena pada setiap sesi peserta dibantu mengekspresikan pengalaman dan

permasalahan yang dialami terkait dengan penyakitnya secara aman, kemudian

mendapatkan support berupa dukungan sosial dan penguatan dari kelompoknya

sehingga peserta merasa ada orang lain yang mengalami dan memiliki

permasalahan yang sama dengan dirinya. Berbagi pengalaman dan pemberian

umpan balik positif membuat peserta mendapatkan cara baru dalam

menyelesaikan masalahnya. Dengan demikian peserta merasa tidak sendiri dan

perlahan-lahan mulai menerima kondisi dirinya yang terinfeksi HIV/AIDS. Hal

ini sejalan dengan pendapat Lazarus & Folkman (1984) yang menyatakan salah

satu bentuk problem focused coping yang dilakukan ODHA adalah seeking

social support, odha memperoleh kenyamanan dan bantuan informasi dari orang

lain untuk menyelesaikan masalahnya.

Berdasarkan analisis uji hipotesis 2, disimpulkan bahwa pemberian terapi

ELT efektif meningkatkan penerimaan diri pada ODHA. Hal ini sesuai dengan

hasil penelitian yang dilakukan Sagala (2015) yang menyatakan bahwa ELT

mampu menurunkan depresi pada ODHA. ODHA mampu berdamai dengan

dengan dirinya sendiri, menerima kondisinya saat ini, menyadari luka yang ada

dalam dirinya dan berusaha mengatasinya dengan potensi yang dimiliki.

Proses penerimaan diri terjadi secara bertahap pada setiap sesi empathic

love. Pelaksanaan terapi EL menggunakan pemusatan diri dan metode guide

imagery. Guided imagery sering juga dipertukarkan dengan istilah visualisasi.

Guided imagery merupakan teknik yang digunakan dalam psikosintesis yang

melibatkan imaginasi visual, auditory dan kinestetik untuk dapat melakukan

kontak dengan simbol-simbol. Gambaran yang muncul diasumsikan sebagai

representasi simbolik dari dinamika yang terjadi dalam jiwa seseorang (Prabowo,

2008). Melalui guided imagery seseorang dapat mengindentifikasi

subkepribadian dalam dirinya dan mulai memahami fungsi keberadaan dari

subkepribadian tersebut (Katz, 1993).

16

Pada awal sesi peserta diminta melakukan identifikasi dan disidentifikasi

pengalaman traumatis dalam hidupnya. Sebagian besar peserta mengeksplorasi

pengalaman dihina, dipersalahkan, ditinggalkan oleh keluarga dan lingkungan

saat terdiagnosa HIV sebagai pengalaman yang menyakitkan dan menimbulkan

luka (Primal wounding). Primal wounding menyebabkan individu mengalami

nonbeing yaitu disintegrasi dan penolakan diri, kehilangan aku yang utuh,

terisolasi, kekosongan serta kecemasan (Firman & Gila, 2002; Firman & Russel,

1994). Sagala (2015) dalam penelitiannya menyebutkan primal wounding terjadi

akibat pengalaman ditelantarkan, kekerasan fisik dan emosional yang umumnya

dilakukan keluarga atau significant other, yang menyebabkan munculnya

perasaan tak berharga, kehilangan identitas, cemas dan depresi.Pada sesi ini

peserta baru menyadari peristiwa menyakitkan dan menimbulkan luka tersebut

membentuk peran tertentu yang tidak pernah disadari selama ini.

Selanjutnya peserta melihat interaksi semua peran berdasarkan kejadian-

kejadian yang menimbulkan luka. Dalam proses ini peserta melihat dinamika

para pemain dalam dirinya dan menyadari dampak konflik dari para pemain

yang saling mendukung maupun saling bertentangan akan mengganggu kualitas

hidup dan kebahagiannya. Sebagian besar peserta memiliki peran Si penyakitan,

Si kehilangan kasih sayang sehingga memunculkan peran Si sensitive dan Si

pemarah. Sesi ini membantu peserta menyadari adanya para pemain yang

menghambat dan menimbulkan perasaan tidak nyaman (Sagala, 2015).

Proses sintesis terjadi pada sesi I love my self. Peserta dibantu menerima

perasaan negatif dengan cara memfokuskan pada pemain yang berhubungan

dengan peristiwa menyakitkan dan menimbulkan konflik untuk berdialog.

Peserta diminta menerima perasaan itu apa adanya, memeluknya dengan penuh

kasih dan belajar mencintai, mensyukuri dan berterima kasih. Selanjutnya, pada

sesi let it go peserta diarahkan untuk bersedia melepaskan, sehingga luka itu

akan mereda perlahan-lahan. Proses letting go dapat digunakan melepaskan luka,

keadaan yang menekan dan pikiran-pikiran negatif, sehingga individu merasa

lebih bebas, lebih tenang, lebih siap menerima emosi yang baru dan optimis

menghadapi hidup ((Ruffler, 1995; Prabowo, 2007; Fourianalistawati, 2011).

17

Berikutnya, peserta dibantu menyadari kualitas-kualitas diri yang positif,

yang selama ini tersembunyi dan seringkali terlupakan akibat adanya luka.

Dengan menyadari kualitas diri yang positif peserta mampu menumbuhkan

harapan baru dan membangun kepercayaan diri untuk mengidentifikasi tujuan

hidupnya saat ini serta merencanakan masa depannya. Peserta menyadari adanya

kekuatan cinta yang sangat besar yang dimilikinya selama ini ternyata mampu

menyembuhkan luka, menenangkan hati, dan jika peserta menggunakannya

dengan baik maka orang-orang yang peserta cintai atau diharapkan mendukung

peserta akan merasakan gelombang cinta tersebut. Kekuatan cinta yang

dirasakan peserta disebut Assagioli (1973) sebagai cinta-diri (self love). Self love

memungkinkan peserta mencintai dirinya lebih tinggi dan menerima dirinya

sebagaimana adanya, membiarkan potensi diri tumbuh dan berkembang.

Penjelasan di atas menunjukkan EL efektif meningkatkan penerimaan diri

pada penderita HIV. Perubahan terjadi karena peserta mendapatkan kesempatan

mengenali, menerima, berintegrasi dan bersintesis dengan seluruh bagian dalam

dirinya dengan penuh empatik terhadap berbagai pengalaman traumatis yang

dialami, kemudian menemukan kekuatan dan aspek positif dalam diri. Dengan

demikian subjek mampu mencintai dirinya sendiri secara mendalam, menerima

sebagaimana adanya dirinya yang terinfeksi HIV/AIDS dan memiliki tanggung

jawab penuh atas kesehatannya. Hasil ini sesuai dengan penelitian Effendi (2008)

menyebutkan psikoterapi transpersonal melalui pemusatan diri dapat membantu

ODHA belajar mengenali tanggung jawab personal sehingga menerima penyakit

HIV/AIDS sebagai tanggung jawabnya. Pemusatan diri tersebut menyebabkan

terjadinya perubahan fisik dan perilaku pada ODHA.

Terdapat pola efektivitas pada masing-masing terapi pada penelitian ini.

Pertama, setiap sesi pada terapi SE memiliki tema dan target perubahan perilaku

yang berbeda, sehingga pada setiap sesinya peserta mampu menyelesaikan

permasalahan sesuai dengan tema dan tujuan terapi. Sedangkan pada terapi EL

merupakan tema berkelanjutan, proses terapi berjalan perlahan-lahan dan goal

dari terapi EL ada di sesi terakhir, sehingga apabila peserta tidak mengikuti sesi

terapi secara tuntas maka tidak akan merasakan dampak terapinya.

18

Temuan kedua, ada pola pada peningkatan penerimaan diri peserta. Efek

yang dihasilkan pada terapi SE bersifat menetap. Peserta mengalami kenaikan

tajam skor posttest. Peserta merasa sudah menemukan solusi permasalahannya

dan segera mengaplikasikan sehingga saat pengukuran follow up dilakukan tidak

mengalami perubahan. Sedangkan pada terapi EL efek peningkatan penerimaan

diri banyak terjadi pada masa follow up. Hal ini disebabkan rentang waktu dua

minggu pasca terapi peserta baru bisa mengaplikasikan manfaat terapi dan

menemukan dirinya yang baru.

Ketiga, terapi SE efektif membantu peserta untuk membuka status HIV

dengan aman. Terapi SE mendiskusikan tentang tahapan pembukaan status HIV,

penguatan kelompok mempersiapkan mental peserta apabila mendapatkan

penolakan. Sedangkan terapi EL efektif membantu mengatasi perasaan peserta

yang sudah membuka status HIV namun mengalami penolakan. Pada terapi EL

mengajarkan bagaimana cara mencintai diri sendiri sehingga mampu menerima

penolakan dan memberikan ketenangan meskipun lingkungan tidak sesuai

dengan yang diharapkan dengan demikian dapat meminimalisir munculnya luka

yang baru.

Keempat, kedua terapi ini memiliki kesamaan yaitu efektif dilakukan pada

subjek yang memiliki kecenderungan pemalu dan penyendiri. Perbedaannya

terletak pada insight yang didapat peserta. Pada terapi SE peserta melihat dan

terbawa pada suasana kelompok sehingga peserta mendapatkan insight bahwa

dirinya boleh mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan aman tanpa

ada perasaan khawatir akan di persalahkan. Sedangkan peserta terapi EL

mendapatkan insight bahwa ternyata dirinya memiliki banyak kebaikan dan

potensi yang dapat digunakan untuk bersama orang lain.

Penelitian ini menguji perbedaan efektivitas terapi SE dengan terapi EL

dalam meningkatkan penerimaan diri pada orang dengan HIV/AIDS. Hasil

penelitian ini menunjukkan terapi SE lebih efektif meningkatkan penerimaan diri

pada orang dengan HIV/AIDS dibandingkan terapi EL. Dengan demikian dalam

penelitian ini menunjukkan faktor eksternal ODHA berupa dukungan sosial

merupakan strategi paling efektif dalam meningkatkan penerimaan diri.

19

Kesimpulan ini sejalan dengan pendapat Yalom (1985) yang menyatakan bahwa

dalam terapi kelompok, memungkinkan individu untuk memperoleh dukungan,

motivasi, dan dapat menguji pemikiran dan perilaku melalui perspektif dari

anggota lain, serta untuk mencontoh dan mempelajari bagaimana strategi yang

diterapkan. Hasil penelitian Spigel (2011) menambahkan bahwa terapi kelompok

menawarkan dukungan untuk mengungkapkan perasaan sehingga kelompok ini

mengalami ikatan yang kuat dan rasa penerimaan.

4. PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan,

dapat disimpulkan terapi SE efektif meningkatkan penerimaan diri pada orang

dengan HIV/AIDS. Efektivitas terapi ini terlihat dari beberapa hal. Pertama, tema

yang diangkat pada setiap sesi terapi SE mampu menyelesaikan permasalahan

peserta sesuai dengan tujuan terapi. Kedua, efek yang dihasilkan pada terapi SE

bersifat menetap. Ketiga, terapi SE untuk membantu peserta membuka status HIV

dengan aman. Keempat, interaksi di dalam kelompok memberikan insight pada

peserta dirinya mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan aman tanpa

ada perasaan khawatir akan di persalahkan.

Terapi EL efektif meningkatkan penerimaan diri pada orang dengan

HIV/AIDS. Efektivitas terapi ini terlihat dari beberapa hal. Pertama, tema yang

diangkat merupakan tema berkelanjutan dan goal dari terapi EL ada di sesi

terakhir. Namun demikan dampak positif berupa ketenangan dan kenyamanan

yang dirasakan peserta masih terasa hingga 2 minggu pasca terapi. Kedua, terapi

EL efektif membantu mengatasi perasaan peserta yang sudah membuka status

HIV namun mengalami penolakan. Ketiga, pemusatan diri memberikan insight

pada peserta ternyata dirinya memiliki banyak kebaikan dan potensi yang dapat

digunakan bersama orang lain.

Terapi SE lebih efektif meningkatkan penerimaan diri pada orang dengan

HIV/AIDS di bandingkan terapi EL. Dalam terapi kelompok suportif ekspresif

tidak hanya terjadi proses katarsis dan ekspresi emosi yang direpres namun juga

terjadi proses pembelajaran baik secara afektif, kognitif dan psikomotor. Selama

20

proses terapi kelompok juga terjadi adaptasi model dan mekanisme koping sesama

anggota kelompok. Dengan demikian dalam penelitian ini menunjukkan

dukungan sosial merupakan strategi paling efektif dalam meningkatkan

penerimaan diri.

Dinamika psikologis penerimaan diri ODHA setelah diberikan terapi SE

terjadi melalui proses identifikasi dan mengekspresikan emosi. Adanya umpan

balik positif dan dukungan sosial membuat peserta mendapatkan penguatan.

ODHA merasa ada orang lain yang mengalami permasalahan yang sama dengan

dirinya dan mendapatkan cara baru untuk menyelesaikan permasalahan terkait

perubahan fisik, efek HIV/AIDS pada keluarga dan lingkungan, pengobatan ARV,

menjalin komunikasi yang efektif tenaga kesehatan, mempersiapkan diri apabila

mengalami kejadian yang tidak diinginkan dan menyusun kembali tujuan hidup.

Sedangkan dinamika psikologis penerimaan diri ODHA setelah diberikan terapi

EL terjadi melalui pemusatan diri, proses integrasi dan sintesis. Peserta

melakukan identifikasi dan disindentifikasi peristiwa yang menimbulkan luka,

memunculkan banyak peran yang saling bertentangan dan mengganggu kualitas

hidupnya, sehingga dibutuhkan penerimaan diri dengan penuh cinta segala bentuk

kemarahan, kebencian, ketakutan kemudian melepaskannya agar perlahan-lahan

peserta merasakan berkurangnya beban perasaan tersebut. Proses integrasi dan

sintesis memberikan kesempatan kepada peserta untuk lebih menyadari kualitas

diri yang lebih positif pada dirinya, mencintai dirinya apa adanya yang terinfeksi

HIV/AIDS, memiliki tanggung jawab penuh atas kesehatannya. Dengan demikian

penerimaan diri meningkat.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis memberikan saran kepada penderita

HIV/AIDS diharapkan dapat memanfaatkan secara maksimal terapi yang pernah

diikuti dan dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kepada Praktisi/ Psikolog layanan klinik PDP di Rumah Sakit diharapkan

dapat menindaklanjuti penelitian ini dengan menggunakan terapi SE dan terapi EL

sebagai salah satu alternatif intervensi psikologis untuk meningkatkan penerimaan

diri pada penderita HIV/AIDS.

21

Kepada peneliti selanjutnya diharapkan dapat menguji efektivitas modul ini

dalam menangani gangguan psikologis lainnya. Melakukan pengukuran untuk

mengetahui kondisi awal subjek sebelum diberikan sebuah perlakuan (intervensi),

sehingga memungkinkan dilakukannya pembanding dan pengukuran terhadap

efek-efek intervensi. Peneliti mengantisipasi adanya hal-hal yang dapat

mempengaruhi hasil penelitian untuk menghindari bias, temasuk melakukan

kontrol terhadap terapi farmakologi.

DAFTAR PUSTAKA

Armiyati Yunie, D. A. (2015). Manajemen Masalah Psikososiospiritual Pasien

HIV/AIDS di Kota Semarang. Malang: The University Research Coloquium.

Universitas Muhammadiyah Malang.

Assagioli, R. (1973). The Act of Will. USA: Penguin Book.

Cahyamita, T. (2015). Efektivitas Terapi Kelompok Suportif Ekspresif Dalam

Menurunkan Depresi Pada Orang Dengan HIV/AIDS. Tesis. Surakarta: Magister

Psikologi Profesi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Catherine Classen, P. L., Cheryl Koopman, P., Elaine Miller, R. M., Sue DiMiceli, B.,

janine Giese-Davis, P., Patricia Fobair, L., et al. (2007). Effects of Supportive-

Expressive Group Theraphy on Survival of Patiens With Metastatic Breast

Cancer. A Randomized Prospective Trial. Psycho-Oncology.

Djoerban, Z. &. (2009). HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.

Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI.

E.S.Br.Sagala, A. (2015). Emphatic Love Therapy Untuk Menurunkan Depresi Pada

Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada.

Firman, J. &. (2002). A Psychosynthesis, A Psychology of the Sprite. USA: State

University of New York Press.

Firman, J. &. (2007). Assagioli's Seven Core Concepts for Psychosynthesis Training.

California: Psychosynthesis Palo Alto.

Fourianalistyawati, E. (2011). Psikoterapi Transpersonal Dalam Kajian Islam Untuk

Meningkatkan Kesehatan Mental. PSYCHO IDEA Tahun 9. No.1, 1693-1076.

Germer, C. K. (2009). The Mindful Path To Self-Compassion United States of America.

The Guilford Press.

22

Halgin, R. P. (2010). Psikologi Abnormal : Perspektif Klinis Pada Gangguan Psikologis.

Buku 2. Jakarta: Salemba Humanika.

Hawari, D. (2009). Global Effect HIV-AIDS Dimensi Psikoreligi. Jakarta: FKUI.

Indonesia, P. D. (2016). Situasi Penyakit HIV/AIDS di Indonesia 2016. Jakarta:

Departeman Kesehatan Indonesia.

Irma Payuk, A. a. (2012). Hubungan Dukungan Sosial Dengan Kualitas Hidup Orang

Dengan HIV/AIDS di PKM Jumpandang Baru Makassar. Jurnal Penelitian

Bagian Epidemiologi Universitas Hassanudin.

Irnawati, S. (2011). Proses Penerimaan Diri Pada Orang Dengan Human

Immunedeficiency Virus (HIV)/ Aquired Immunedeficiency Syndrome (AIDS).

(Studi Kasus Pada Odha Akibat Pajanan). Tesis. Malang: Magister Psikologi

Profesi. Fakutas Psikologi.Universitas Muhammadiyah Malang.

Jersild, A. T. (1965). The Psychology of Adolescence. United State of America: The

McMillan Company.

Katz, R. (1993). Effect of Psychosynthesis is psychotherapy on Body Image and Eating

Behaviors of Female Adolescent. Dissertation. California: California Graduate

Institute.

Kissane, D. W. (2004). Supportive-Ekspressive Group Therapy : The Transmation of

Existentil Ambivalence Into Creative Living While Enchancing Adherence to

Anti-Cancer Therapies. Psycho-oncology. New York: John Willey & Son, Ltd.

Kissane, D. W. (2011). Handbook of Psychotherapy in Cancer Care. UK: Willey

Blackwell.

Kusumawati, M. (2013). Efektivitas Cognitive Behavioural Therapy Untuk

Meningkatkan Penerimaan Diri Pada IDU (Injection Drug Users) Yang

Terinfeksi HIV. Psikologi Mandiri.

Lazarus, R. &. (1984). Stress, Appraisal and Coping. New York: Sprenger.

Lestari, S. P. (2013). Pengarh Terapi Kelompok Supportive Ekspresif Terhadap

Ketidakberdayaan dan Hardiness Klien Kanker. Tesis. Jakarta: Magister Profesi

Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Machtinger, E. L., Hilliard, S., Jones, R., Hobeber, J., & Capito. (2014). An Expressive

Therapy Group Disclosure Intervention for Women Living with HIV Improves

Social Support, Self-Efficacy, and the Safety and Quality of Relationship : A

Qualitative Analysis. Journal of the Association of Nurses in AIDS Care, 1-12.

Maldonado, J. F. (1996). Supportive-Expressive Group Therapy For People With HIV

Infection : A Primer . California: Psychosocial Treatment Laboratory Standford

University School of Medicine.

Mursal Sidiq, A. D., & Iskandarsyah, A. (2014). Efektivitas Rational Emotive Behaviour

Theraphy (REBT) Untuk Meningkatkan Self Acceptance Pada Ibu Rumah

Tangga Yang Terinfeksi HIV/AIDS.

23

Nasrinudin. (2007). HIV/AIDS Pendekatan Biologi, Molekuler, Klinis dan Sosial.

Surabaya: Airlangga University Press.

Nurlalila Effendy, N., E.Prawitasari, J., & D.Hastjarjo, T. (2008). Pengaruh Psikologi

Transpersonal Terhadap Kualitas Hidup Pasien HIV dan AIDS. Anima Indonesia

Psychological Journal. Vol.24, No.1, 1-16.

Nursalam, K. &. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta:

Salemba Medika.

Rahmawati, R. (2015). Rancangan Intervensi Penerimaan Diri (Self Acceptance) Ibu

Rumah Tangga Dengan HIV Positif di Kota Malang. Jatinangor: Program

Magister Psikologi Profesi. Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran.

Retno Mardhiati, S. H. (2011). Ringkasan Eksekutif. Penelitian Peran Dukungan Sebaya

Terhadap Peningkatan Mutu Hidup ODHA di Indonesia. Jakarta: Spiritia &

Lemabaga Penelitian Dan Pengembangan Universitas Muhammadiyah Prof. DR.

Hamka.

Reueffler, M. (1995). Para Pemain Didalam Diri Kita. Sebuah Pendekatan

Transpersonal Dalam Terapi. Terjemahan. Surabaya: Fakultas Psikologi

Universitas Surabaya.

Rosada, A. (2015). Efektivitas Empathic Love Therapy Untuk Meningkatkan

Kesejahteraan Subjektif dan Kesiapan Guru di Sekolah Inklusi. Tesis (Tidak

Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Saragih, S. (2015). Emphatic Love Therapi Pada Perempuan Depresi Korban Kekerasan

Dalam Rumah Tangga. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas

Gadjah Mada.

Suratini. (2011). Pengalaman Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) Mendapatkan

Perawatan Keluarga Di Wilayah Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa

Yogyakarta. Studi Fenomenologis. Tesis. Depok: Program Magister Ilmu

Keperawatan. Universitas Indonesia.

Taylor, S. E. (1999). Health Psychology, third edition. New York: McGrow Hill.

Yalom, I. (1985). The Theory and Practice of Group Psychotherapy. Third Edition. USA:

Basic Books, Inc.

Yana, I. P. (2015). Emphatic Love Therapy Untuk Mengatasi Kecemasan Pada Penderita

Gagap. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Yuliana. (2015). Mengatasi Kecemasan Terhadap Kematian Pada Pasien Sakit Parah

Melalui Konseling Kelompok. Seminar Psikologi & Kemanusiaan. Malang:

Psychology Forum UMM. Program Studi Sains Psikologi. Pasca Sarjana

Universitas Muhammadiyah Malang.

Yunitri, N. (2012). Pengaruh Terapi Kelompok supportiv ekspresif Terhadap Depresi dan

Kemampuan Mengatasi Depresi Pada Pasien Kanker. Tesis. Jakarta: Program Magister

Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan jiwa.

Universitas Indonesia.