efektivitas terapi bermain bola untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar anak tunagrahita di slbn...
DESCRIPTION
proposal skripsiTRANSCRIPT
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
PROPOSAL SKRIPSI
NAMA : ANDI KURNIADI
NIM : 1601411021
JURUSAN : PG-PAUD
I. JUDUL
EFEKTIVITAS TERAPI BERMAIN BOLA UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOTORIK KASAR ANAK
TUNAGRAHITA DI TKLB C SLBN SEMARANG
II. LATAR BELAKANG
Anak tunagrahita adalah individu yang secara signifikan memiliki
intelegensi dibawah intelegensi normal dengan skor IQ sama atau lebih
rendah dari 70 (Kemis dan Rosnawati, 2013: 1). Menurut The American
Association On Mental Deficiency (AAMD), seseorang dikategorikan
tunagrahita apabila kecerdasan secara umum dibawah rata-rata dan
mengalami kesulitan penyesuaian sosial dalam setiap fase perkembangannya.
Salah satu permasalahan yang dihadapi anak tunagrahita adalah
keterlambatan perkembangan gerak fisik atau motorik. Rata-rata
perkembangan motorik anak tunagrahita hanya mencapai tingkat
perkembangan motorik dua sampai tiga tahun dibawah usia kronologisnya.
Asumsi tersebut didapat dari wawancara guru di TKLB C SLB Negeri
Semarang pada tanggal 14 November 2014. Menurut Delphie (dalam jurnal
penelitian Haryani dan Dewi), bahwa segi fisik yang kurang normal pada
tunagrahita ringan mengakibatkan permasalahan pada motorik kasar anak
yang meliputi gerak lokomotor, non lokomotor dan gerak manipulatif.
Hal ini teridentifikasi dari hasil analisa pengamatan pada pra-penelitian
pada tanggal 14-15 November 2014 di TKLB C SLBN Semarang dan tanggal
26 November 2014 di Terapi Talitakum Semarang yang menunjukkan bahwa
anak tunagrahita dengan usia kronoligis 6 tahun belum dapat melambungkan
bola dari belakang kepala dengan baik, mereka hanya mampu menangkap
bola yang itu merupakan tahapan perkembangan motorik kasar anak usia 4
tahun.
Idealnya usia dini merupakan masa keemasan bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Pada tahun-tahun ini, kemampuan motorik kasar anak
berkembang pesat. Secara umum pertumbuhan dan perkembangan anak
berjalan secara alamiah. Pertumbuhan motorik kasar diharapkan dapat
berkembang secara optimal karena secara langsung dan tindak langsung
mempengaruhi perilaku anak sehari-hari. Secara langsung pertumbuhan
motorik kasar anak menentukan kemampuan dalam bergerak. Sementara itu
secara tidak langsung, pertumbuhan dan perkembangan kemampuan motorik
kasar anak mempengaruhi cara anak memandang dirinya sendiri dan orang
lain. Ini semua akan tercermin dari pola penyesuaian diri anak secara umum.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kemampuan motorik kasar anak yang
didalamnya tercakup kemampuan gerak sangat diperlukan anak untuk
bermain (Sujiono, 2007: 1.5)
Efek penting dari peningkatan kemampuan motorik kasar, menurut
pendapat dari Yamin dan Sanan (dalam jurnal Zaenab, 2012) yang
mengatakan bahwa, kemampuan motorik kasar merupakan bagian dari
aktivitas yang mencakup keterampilan otot-otot besar, seperti merangkak,
berjalan, berlari, melompat atau berenang, serta melempar. Pada saat yang
sama usia lima tahun pertama dalam kehidupan anak, motorik kasar ini lebih
dominan berkembang. Motorik kasar anak berkembang sejalan dengan
perkembangan usia dan kematangan syaraf serta otot-otot anak. Akan tetapi,
bagaimana dengan anak-anak penyandang kelainan, seperti anak tunagrahita
terkait perkembangan motoriknya? Apakah tingkat perkembangan mereka
sudah sesuai dengan usia kronologisnya, atau hanya mencapai tingkat
perkembangan dibawah usia kronologisnya?
Berdasarkan asumsi inilah yang kemudian mendorong peneliti untuk
mencari solusi alternatif dalam upaya meningkatkan kemampuan motorik
anak tunagrahita. Solusi alternatif tersebut dikemas peneliti dalam berupa
terapi, lebih khususnya terapi bermain. Terapi bermain sudah terbukti
keefektivitasannya untuk meningkatkan berbagai aspek perkembangan anak
termasuk perkembangan motorik anak. Seperti hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lisnawati, dkk.(2014), dengan judul “Analisis keberhasilan
terapi bermain terhadap perkembangan potensi kecerdasan anak retardasi
mental sedang usia 7-12 tahun”, menunjukkan bahwa terapi bermain mampu
meningkatkan keberhasilan pengembangan potensi kecerdasan anak retardasi
mental sedang. Keberhasilan tersebut berhubungan dengan frekuensi
diberikannya terapi bermain dan didukung oleh kondisi penyerta (faktor
internal dan eksternal) pada diri anak. Penelitian tersebut sejalan dengan teori
yang dikemukakan oleh Astati (1995), bahwa terapi bermain merupakan salah
satu upaya untuk membantu anak tunagrahita agar dapat berkembang baik
dari aspek fisik, intelektual, dan sosialnya secara optimal melalui bermain.
Bermain tidak terlepas dari penggunakan media, semakin berkembangnya
zaman, berbagai macam media ditawarkan sebagai alat untuk bermain. Salah
satu media yang akrab kita jumpai untuk bermain yaitu bola. Bola merupakan
media pembelajaran yang akan membantu berbagai aspek perkembangan
siswa, salah satunya adalah perkembangan motorik kasar siswa (Sudijono,
2007). Bola sangat relevan untuk terapi bermain, seperti hasil penelitian yang
dilakukan oleh Haryani dan Dewi dalam penelitian yang berjudul “efektivitas
penerapan terapi bermain bola untuk meningkatkan kemampuan motorik
kasar pada tunagrahita ringan kelas 1 SMPLB”, menunjukkan bahwa terapi
bermain bola mampu meningkatkan motorik kasar tunagrahita ringan kelas 1
SMPLB.
Berdasarkan ulasan diatas, maka peneliti ingin melakukan analisis
terhadap tingkat efektivitas terapi bermain bola untuk meningkatkan
kemampuan motorik kasar anak tunanetra dalam judul "Efektivitas Terapi
Bermain Bola untuk Meningkatkan Kemampuan Motorik Kasar Anak
Tunagrahita di TKLB C SLBN Semarang”
III. RUMUSAN MASALAH
Untuk mempermudah proses penelitian selanjutnya, penulis merumuskan
masalah penelitian ke dalam rumusan pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah terapi bermain bola efektif untuk meningkatkan kemampuan
motorik kasar anak tunagrahita 5-7 tahun?
IV. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas terapi bermain bola
untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar anak tunagrahita usia 5-7
tahun.
V. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini akan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan
maupun intitusi sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dan sumbangsih
pada pendidikan anak berkebutuhan khusus terumata untuk anak
tunagrahita.
2. Manfaat praktis
a. Bagi peneliti
Bagi peneliti sendiri penelitian ini dapat memberikan pemahaman
tentang hasil perlakuan terapi bermain bola untuk meningkatkan
motorik kasar anak tungrahita. Selanjutnya menginspirasi peneliti
lebih lanjut tentang kajian anak tunagrahita.
b. Bagi anak
Dengan dilaksanakannya penelitian ini, anak mendapatkan kegiatan
tambahan berupa terapi bermain bola yang bertujuan menstimulus
perkembangan motorik anak.
c. Bagi guru
Dengan dilaksanakannya penelitian ini, menambah wawasan guru
tentang manfaat terapi bermain bola dan pemahaman pentingnya
pengembangan motorik kasar anak tunagrahita.
VI. LANDASAN TEORI
VI.1. Terapi bermain bola
VI.1.1. Pengertian Terapi
Terapi berasal dari kata therapy atau therapeutics yang berarti
menyembuhkan atau pengobatan (Prof. Drs. S. Wojowasito-W.J.S.
Poerwadarminta,1991;232).
Terapi secara umum berkaitan erat dengan masalah kesehatan,
sehingga orang yang mengalami gangguan kesehatan mencari
alternatif penyembuhan dari penyakitnya dengan melakukan terapi.
Dalam kamus psikologi disebutkan bahwa terapi adalah therapy
atau theurapeutics yang merupakan cabang ilmu kedokteran ysng
membahas perlakuan dengan maksud untuk mengobati atau
menghindarkan penyakit; istilah terapi digunakan juga dengan
pengertian yang serupa, walaupun titik berat diletakkan pada sarana-
sarana praktis yang digunakan, ketimbang basis ilmiahnya.
Dari pengertian tadi maka dapat dipastikan bahwa terapi dilakukan
ketika orang mengalami masalah dalam tubuhnya baik yang
dirasakan dari dalam maupun yang nampak dari luar atau tampilan.
Pada saat ini istilah terapi semakin banyak digunakan bukan hanya
dalam proses gangguan kesehatan secara fisik, tetapi juga dalam
usaha “mengobati” gangguan perilaku, atau masalah psikologis.
Kaitannya dengan anak Tunagrahita Ringan, terapi dibutuhkan
untuk memperbaiki hal-hal yang ditimbulkan akibat dari
ketunagrahitaannya, sehingga mereka mengalami ketidaksesuaian
dalam beberapa aspek perkembangannya.
VI.1.2. Terapi Bermain (Teraphy play)
Bermain adalah aktivitas yang menyenangkan dan merupakan
kebutuhan yang sudah melekat dalam diri setiap anak. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh Suwarni (2000: 41) bahwa “bermain
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk memperolah
kesenangan tanpa mempertimbangkan hasil akhir.”
Menurut Sudono (2000: 1) “bermain adalah suatu kegiatan yang
dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan
pengertian atau pemberian informasi, memberi kesenangan, maupun
mengembangkan imajinasi anak.
Bermain juga dapat digunakan sebagai terapi. Terapi merupakan
penerapan sistematis dari sekumpulan prinsip belajar terhadap
kondisi atau tingkah laku yang dianggap menyimpang dengan tujuan
melakukan perubahan. Perubahan yang dimaksud bisa berarti
menghilangkan, mengurangi, meningkatkan, atau memodifikasi suatu
kondisi tingkah laku tertentu.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulakn bahwa terapi bermain
adalah usaha untuk mengubah tingkah laku yang bermasalah, dengan
melakukan kegiatan untuk memperoleh kesenangan dan
mengembangkan imajinasi anak. Terapi bermain merupakan salah
satu upaya untuk membantu anak tunagrahita agar dapat berkembang
baik dari aspek fisik, intelektual, dan sosialnya secara optimal melalui
bermain (Astati, 1995 : 120).
Dengan bermain, anak mendapatka masukan-masukan untuk
diproses bersama dengan pengetahuan apa yang dimilkinya, anak
dapat belajar berkomunikasi dengan sesama teman, baik dalam hal
mengemukakan isi pikiran dan perasaannya maupun untuk belajar
memahami apa yang diucapkan teman. Selain itu anak akan belajar
berbagi hak, menggunakan mainan secara bergilir, melakukan
kegiatan bersama, mempertahankan hubungan yang sudah terbina,
mencari cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi, memahami
kaitan antara dirinya dengan lingkungan sosialnya, belajar bergaul
dan memahami aturan ataupun tata cara pergaulan.
VI.1.3. Bola
VI.1.3.1. Pengertian Bola
Sudijono (2007: 8.5), mengatakan bahwa, bola merupakan media
pembelajaran yang akan membantu berbagai aspek perkembangan
siswa, salah satunya adalah perkembangan motorik kasar siswa.
Melalui pemanfaatan media bola akan mendorong kebutuhan siswa
untuk secara aktif berinteraksi dan terlibat dengan lingkungan
fisiknya. Pada saat yang sama dengan menggunakan media bola
siswa berkesempatan untuk memperkaya gerakan-gerakan, misalnya
gerakan dengan sesori motor, tangan, kaki, kepala atau bagian tubuh
lain yang melibatkan otot besar siswa, sehingga memungkinkan
siswa secara penuh mampu mengembangkan kemampuan motorik
kasar.
VI.1.3.2.Manfaat bola
Macam-macam permainan kecil yang menggunakan bola,
diantaranya adalah lari bolak-balik sambil memindahkan bola,
melempar bola kedalam kranjang, lempar tangkap bola,
menggelindingkan bola. Permainan yang menggunakan bola,
menurut pendapat sujiono (2007: 10.18), tidak memerlukan
kemampuan tingkat tinggi, dan memungkinkan semua anak terlibat
kedalamnya, sehingga anak mampu merespon aktivitas dengan
gembira, dapat digunakan secara individu maupun kelompok, dapat
disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, dapat menyalurkan
energi dan aspirasi anak melalui aktivitas melempar, menangkap,
menggelindingkan dan melambungkan serta menendang bola.
Dapat disimpulkan bahwa “terapi bermain bola merupakan usaha
untuk mengubah tingkah laku atau dalam penilitian ini kemampuan
motorik kasar anak tungrahita, yang dilakukan secara individual
dalam bentuk kegiatan yang menyenangkan dengan menggunakan
media berupa bola”.
VI.2. Motori Kasar Anak Tunagrahita
VI.2.1. Motorik Kasar
Pada kenyatannya, para siswa penyandang kelainan memiliki
kebutuhan yang lebih besar akan bergerak. Seperti diakui oleh para
ahli, justru pendidikan jasmani dan olahraga harus merupakan
program utama dari program pendidikan luar biasa secara
keseluruhan, karena menjadi dasar dan fondasi bagi peningkatan
fungsi tubuh yang sangat diperlukan oleh anak-anak berkebutuhan
khusus (Rahyubi, 2014: 369).
Istilah motorik menyiratkan adanya gerak otot, yang seakan akan
tidak melibatkan aspek-aspek kognitif dan perseptual. Tetapi
kenyataannya adalah kemampuan-kemampuan yang dilakukan
biasanya merupakan sesuatu yang kompleks dan melibatkan
penditeksian terhadap rangsang, evaluasi, dan pengambilan respon
nyata yang berwujud gerakan (Sujiono, 2007:1.13)
VI.2.1.1.Klasifikasi aktivitas motorik
Sujiono (2007: 1.13),mengklasifikasikan aktivitas motorik anak
menjadi dua jenis, yaitu motorik halus dan motorik kasar. Berikut ini
secara lengkap diuraikan kajian jenis aktivitas motorik tersebut.
VI.2.1.1.1. Motorik halus (Fine)
Gerak motorik halus merupakan gerak yang hanya
melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh
otot-otot kecil, seperti kemampuan menggunakan jari jemari
tangan dan gerakan pergelangan tangan yang tepat. Gerakan ini
tidak banyak memerlukan tenaga, namun hanya memerlukan
koordinasi mata dan tangan yang cermat.
Kata halus menyatakan suatu kualitas kepekaan atau suatu
yang rumit. Bagian-bagian tubuh tertentu bergerak dalam daerah
yang terbatas untuk menghasilkan tanggapan/reaksi atau respon
yang tepat. Motorik halus ini sering berhubungan dengan
koordinasi tangan dan mata seperti meronce, mewarnai, melipat
dan menulis.
VI.2.1.1.2. Motorik kasar
Gerak motorik kasar terbentuk saat anak mulai memiliki
koordinasi dan keseimbangan hampir seperti orang dewasa.
Yakni kemampuan yang membutuhkan koordinasi sebagian
besar tubuh anak. Oleh karena itu, biasanya memerlukan tenaga
karena dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar.
Gerak motorik kasar dalam pengembangannya, motorik
kasar lebih dahulu daripada motorik halus. Hal ini dapat terlihat
saat anak sudah menggunakan otot-otot kakinya untuk berjalan
sebelum anak dapat menggunakan dan mengontrol tangan serta
jari-jarinya untuk menggunting dan meronce.
Gerak motorik kasar melibatkan aktivitas otot tangan, kaki
dan seluruh tubuh anak. Gerak ini mengandalkan kematangan
dalam koordinasi. Berbagai gerakan motorik kasar anak yang
dicapai tentu sangat berguna bagi kehidupannya kelak. Misalnya
anak dibiasakan untuk terampil berlari, maka anak akan senang
berolahraga (Sujiono, 2007: 1.13). pengembangan gerakan
motorik kasar juga memerlukan koordinasi kelompok otot-otot
anak yang tertentu yang membuat mereka dapat meloncat,
memanjat, berlari, menaiki sepeda roda tiga, serta berdiri dengan
satu kaki.
Mengingat pentingnya peningkatan motorik kasar bagi
anak, untuk itu pokok bahasan pada penilian ini ditekankan pada
kemampuan motorik kasar anak tunagrahita melalui terapi
bermain bola.
VI.2.2. Anak Tunagrahita
VI.2.2.1.Pengertian dan Definisi Anak Tunagrahita
Di mana-mana didunia ini, disamping ada anak yang normal, ada
pula anak dibawah normal dan diatas normal. Beberapa anak lebih
cepat belajar daripada anak yang lain, di samping ada juga anak yang
belajar lebih lamban dari teman seusianya. Demikian pula
perkembangan sosial anak, ada yang cepat, ada pula yang lebih
lamban dari anak normal. Anak-anak dalam kelompok di bawah
normal dan/atau lebih lamban daripada anak normal, baik
perkembangan sosial maupun kecerdasannya disebut anak
terbelakang mental : istilah resminya di Indonesia disebut anak
tunagahita (PP No. 72 Tahun 1991).
Anak tunagahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada di
bawah rata-rata. Di samping itu mereka mengalami keterbelakangan
dalam menyusahkan diri dengan lingkungan. Mereka kurang cakap
dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit, dan yang
berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil
bukan untuk sehari dua hari atau sebulan atau dua bulan, tetapi untuk
selam-lamanya, dan bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir
segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti : mengarang,
menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbol-simbol, berhitung,
dan dalam semua pelajaran yang bersifat teroris. Dan juga mereka
kurang/terlambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk menyebut anak
yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata
(Somantri, 2006:103). Istilah lain untuk siswa (anak) tunagrahita
dengan sebutan anak dengan hendaya perkembangan. Diambil dari
kata Children with developmental impairment. Kata impairment
diartika sebagai hendaya atau penurunan kemampuan atau
berkurangnya kemampauan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas, dan
kuantitas (American Heritage Dictionary,1982: 644;
Maslim.R.,2000:119 dalam Delphie:2006:113).
Penyandang tunagrahita (cacat ganda) adalah seorang yang
mempunyai kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan
yang terganggu, adakalanya cacat mental dibarengi dengan cacat
fisik sehingga disebut cacat ganda Misalnya, cacat intelegensi yang
mereka alami disertai dengan keterbelakangan penglihatan (cacat
pada mata), ada juga yang disertai dengan gangguan pendengaran.
Adanya cacat lain yang dimiliki selain cacat intelegensi inilah yang
menciptakan istilah lain untuk anak tunagrahita yakni cacat ganda.
Penanganan pada setiap ABK memiliki cara tersendiri.Mulai dari
segi akademik, pribadi dan sosial mereka. Semuanya disesuaikan
dengan kondisi fisik dan mental mereka.
Anak tunagahita banyak macamnya, ada yang disertai dengan buta
warna, disertai dengan kerdil badan, disertai dengan berkepala
panjang, di sertai dengan bau badan tertentu, dan segalanya : tetapi
ada pula yang tidak disertai apa-apa. Mereka semua mempunyai
persamaan yaitu kurang cerdas dan terhambat dalam menyesuaikan
dir dengan lingkungan jika dibandingkan dengan teman sebayanya.
Mereka mempunyai ciri-ciri khas dan tingkat tunagahitaan yang
berbeda-beda, ada yang ringan, sedang, berat, dan sangat berat.
Seorang dikatakan normal (rata-rata) jika MA-nya sama hampir
dengan CA-nya. Sedangkan apabila MA seorang jelas-jelas di atas
CA-nya maka anak tersebut tergolong anak cerdas (di atas normal).
Sebaliknya bila MA-nmnya jelas-jelas di bawah CA-nya maka ia
tergolong kecerdasannya terbelakang , dan jika disertai terbelakang
dalam adaptasi perilaku dengan lingkungan maka ia disebut anak
tunagahita sehubungan dengan keterbelakangan kecerdasan ini R.P
mendey dan jhon wiles (1929 : 40).
Sebagai catatan bahwa seseorang yang MA-nya jelas-jelas di
bawah normal (IQ-nya 70 ke bawah) baru dikategorikan tunagahita
jika adaptasi tingkah lakunya pada lingkungan juga dibawah usianya
(CA-nya). Abraham levinson (Achmad, 1970: 62-53)
menggambarkan tentang perkembangan anak-anak yang tergolong
normal yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan/perbandingan
dalam menentukan apakah seseorang anak mengalami hambatan
adaptasi perilaku atau tidak. Sebagaimana dapat dilihat pada tabel. I
Jika anak pada usia tertentu belum mampu melakukan perbuatan
(sesuai dengan tingkah CA-nya) sebagaimana di gambarkan pada
tabel I, maka anak tersebut mengalami hambatan dalam adaptasi
perilaku terhadap lingkungannya. Dengan kata lain, anak tersebut
dikategorikan tunagahita jika IQ-nya juga di bawah 70.
Terdapat perbedaan antara tunagahita dengan skait mental, sakit
jiwa, atau sakit ingatan. Dalam bahasa inggris sakit mental disebut
mental illness yaitu merupakan kegagalan dalam membina
kepribadian dan tingkah laku. Sedangkan tunagahita dalam bahas
inggris di sebut mentally retarded merupakan kurang berkembang
serta kemampuan adaptasi perilakunya terlambat. Hal ini yang
membedakan tunagahita dengan sakit jiwa adalah : tunagahita
bermula dan berkembang pada masa perkembangan, yaitu sejak anak
lahir sampai kira-kira usia 18 tahun. Sedangkan sakit jiwa dapat
menyerang setiap saaat, kapan saja. Namun sekalipun sakit jiwa dan
tunagahita berbeda, tidak mustahil anak tunagahita menderita sakit
jiwa.
VI.2.2.2.Klasifikasi dan Prevalensi
Pengklasifikasian anak tunagrahita yang sudah lama dikenal ialah
Debil untuk yang ringan, Imbesil untuk yang sedang, dan Idiot untuk
berat dan sangat berat. Penglompokkan tunagrahita yang digunakan
oleh kalangan pendidik di amerika (American Education) ialah
Educable Mentali Retarded, Trainable Mentally Retarded, dan
Totally/Custodial Dependent yang diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia : Mampu didik, Mampu latih, dan Mampu rawat.
Pengelompokan tunagrahita berdasarkan IQ menurut WHO (Vivian
Navaratman, 1987:403) yaitu : tunagrahita ringan dengan IQ 50—
70, tunagrahita sedang dengan IQ 30—50, dan tunagrahita yang
berat/sangat berat dengan IQ kurang dari 30.
a. Menurut AAMD dan PP No. 72 Tahun
1. Tunagrahita ringan
Mereka yang termasuk dalam kelompok mi meskipun
kecerdasannya dan adaptasi sosialnya terhambat, namun
mereka mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam
bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan
kemampuan bekerja. Dalam mata pelajaran akademik
mereka pada umumnya mampu mengikuti mata-mata
pelajaran tingkat sekolah lanjutan, baik SLTPLB dan SMLB,
maupun di sekolah biasa dengan program khusus sesuai
dengan berat ringannya ketunagrahitaan yang disandangnya.
Program yang diterapkan hendaknya disesuaikan dengan
kebutuhan khusus mereka. IQ anak tunagrahita ringan
berkisar 50-70. Dalam penyesuaian sosial mereka dapat
bergaul, dapat menyesuaikan din dalam Iingkungan sosial
tidak saja pada lingkungan yang terbatas tetapi juga pada
lingkungan yang lebih luas, bahkan kebanyakan dan mereka
dapat mandiri dalam masyarakat.
Dalam kemampuan bekerja, mereka dapat melakukan
pekerjaan yang semi skill dan pekerjaan sosial sederhana,
bahkan sebagian besar dan mereka mandiri seluruhnya
dalam melakukan pekerjaan sebagai orang dewasa. Anak
tunagrahita ringan seringkali tidak dapat diidentifikasi
serupai ini mencapai usia sekolah. Biasanya mereka
diketahui setelah mengikuti pelajaran di sekolah biasa
selama satu atau dun tahun karena kesukaran mereka dalam
mengikuti pelajaran dan penyesuaian diri dengan teman-
temannya.
Prevalensi anak tunagrahita ringan kira-kira 75 % dari
jumlah seluruh anak tunagrahita.
b. Klasifikasi menurut tingkatan IQ
TERM IQ RANGE FOR LEVEL
Mild Mental Retardition
Moderate Mental Retardition
Sevare Mental Retardition
Unspecified
50-55 Aporox, 70
35-40 to 50-55
20-25 to 35-40
Bellow 20 or 25
Tidak begitu berbeda dengan klasifikasi di atas, Hebert (1977)
yang menggunakan skala sistem penilaian WISC (paye &
patton, 1981 : 49)
- Mild (ringan) : IQ 55-70
- Moderate (sedang) : IQ 40-55
- Severe-Fropound (berat-sangat berat) : Di bawah 40
c. Klasifikasi menurut tipe klinis
1. Dwon syndrom dahulu disebut mongoloid
Anak tunagrahita jenis ini disebut demikian karena seo1ah-
oIahTgnyerupai orang Mongol dengan ciri-ciri : mata sipit
dan miring : lidah tebal dan berbelah-belah serta biasanya
suka rnenu1ur keluar : telinga kecil : tangan kering : makin
dewasa kulitnya makin kasar ; kebanyakan mempunyai
susunan gigi geligi yang kurang baik sehingga berpengaruh
pada pencernaan ; dan lingkar tengkoraknya biasanya kecil.
kebanyakan mempunyai susunan gigi geligi yang kurang
baik sehingga berpengaruh pada pencernaan ; dan lingkar
tengkoraknya biasanya kecil.
2. Kretin
Dalam bahasa Indonesia disebut kate atau cebol. Ciri-
cirinya: badan gemuk dan pendek; kaki dan tangan pendek
dan bengkok; badan dingin kulit kering, tebal dan keriput;
rambut kering; lidah dan bibir tebal; kelopak mata, telapak
tangan dan kaki, dan kuduk tebal; pertumbuhan gigi
terlainbat; serta hidung lebar. Penyebabnya karena ada
gangguan Hyphotyroid. Ketunagrahitaan yang disertai
kelainan mi dapat dicegah atau diatasi dengan yodium yang
terdapat dalarn makanan atau minuman, yang dewasa mi
masyarakat mengenalnya dengan istilah garam.
3. Hydrocephal
Anak mi memiliki ciri-ciri: kepala besar; raut muka kecil;
tengkoraknya ada yang membesar ada yang tidak;
pandangan dan pendengaran tidak sempurna ; mata kadang-
kadang juling. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh karena
dua hal, yaitu cairan otak yang berlebihan atau kurang, dan
sistem penyerapannya tidak seimbang dengan cairan yang
dihasilkan. Jika hal tersebut terjadi sebelum lahir, maka si
bayi jarang lahir dalam keadaan hidup.
VI.2.2.3.Karakteristik Anak Tunagrahita
Karakteristik anak tunagrahita menurut Brown (1991) Wolery &
Haring, 1994 pada Exceptional Children, fifth edition, p.485-486,
1996 menyatakan:
1. Lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, mempunyai
kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang
berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa
latihan yang terus menerus.
2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang
baru.
3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita
berat.
4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak denga
tunagrahita berat mempunyai ketebatasan dalam gerak fisik, ada
yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa
bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang
sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu dan menegakkan
kepala.
5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari
anak tunagrahita berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri,
seperti: berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri.
Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari
kemampuan dasar.
6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahta
ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak
yang mempunyai tunagrahita berat tidak meakukan hal tersebut.
Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak tunagrahita
dalam memberikan perhatian terhadap lawan main.
7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak
tunagrahita berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas.
Kegiatan mereka seperti ritual, misalnya: memutar-mutar jari di
depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang membahayakan
diri sendiri, misalnya: menggigit diri sendiri, membentur-
beturkan kepala, dll.
VI.3. Kerangka berfikir
Kerangka berfikir merupakan sintesa tentang hubungan antar variabel
yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan. Berdasarkan
teori-teori yang telah dideskripsikan tersebut, selanjutnya dianalisis secara
kritis dan sistematis, sehingga menghasilkan sintesa tentang hubungan
antar variabel yang diteliti. Sintesa tentang hubungan variabel tersebut
selanjutnya digunakaan untuk merumuskan hipotesis (Sugiyono, 2011:
95). Jadi kerangka berfikir memaparkan dimensi-dimensi kajian utama,
faktor-faktor kunci, variabel-variabel dan sintesa hubungan antar dimensi
yang disusun dalam bentuk narasi atau grafis.
Terapi bermain adalah usaha untuk mengubah tingkah laku yang
bermasalah, dengan melakukan kegiatan untuk memperoleh kesenangan
dan mengembangkan imajinasi anak. Terapi bermain merupakan salah
satu upaya untuk membantu anak tunagrahita agar dapat berkembang baik
dari aspek fisik, intelektual, dan sosialnya secara optimal melalui bermain
(Astati, 1995: 120). Bola merupakan media pembelajaran yang akan
membantu berbagai aspek perkembangan anak, salah satunya adalah
perkembangan motorik kasar anak (Sudijono, 2007: 8.5). Terapi bermain
bola merupakan usaha untuk mengubah tingkah laku atau dalam penilitian
ini kemampuan motorik kasar anak tungrahita, yang dilakukan secara
individual dalam bentuk kegiatan yang menyenangkan dengan
menggunakan media berupa bola.
Anak tunagrahita merupakan anak yang mempunyai kemampuan
intelektual di bawah rata-rata (Somantri, 2006:103). Keterbatasan
intelektualnya mempengaruhi semua aspek perkembangan anak tersebut,
salah satunya perkembangan motorik kasar. Motorik kasar merupakan
gerak yang ditimbulkan akibat aktivitas koordinasi otot-otot besar seperti
gerak mengayunkan tangan dan menendang bola. Pada kenyataannya,
motorik kasar anak tunagrahita hanya mencapai tingkat perkembangan
motorik kasar anak dua tahun di bawah usia kronologisnya. Untuk itu
pentingnya terapi untuk pengembangan gerak fisik anak tunangrahita
yang salah satunya dapat menggunakan terapi bermain bola.
Terapi bermain bola dalam penilitian ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan motorik kasar anak tunagrahita mendekati
perkembangan motorik kasar sesuai usia kronologisnya. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan peniliti pada tanggal 14 november 2014 di
TKLB C SLBN semarang dan pada tanggal 26 November 2014 di Terapi
Talitakum, kemampuan motorik kasar anak tunagrahita hanya mencapai
tingkat perkembangan motorik kasar anak dua tahun di bawah usia
kronologisnya. Misal, anak tunahgrahita dengan usia kronologis 6 tahun
baru dapat menangkap bola besar yang itu merupakan tahap
perkembangan motorik kasar usia 4 tahun, seharusnya anak usia 6 tahun
sudah dapat melambungkan bola dari belakang kepala dengan baik.
Penilitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
tingakat efektivitas terapi bermain bola untuk meningkatkan kemampuan
motorik kasar anak tunagrahita.
Dari berbagai uraian diatas, maka kerangka berfikir dalam penelitian
ini dapat digambarkan sebagai berikut:
VI.4. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam
bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2009: 96). Sedangkan menurut
Arikunto (2010: 110), hipotesis merupakan jawaban yang berdifat
sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data
yang terkumpul.
Berdasarkan landasan teori diatas, maka dapat dibuat rumusan
hipotesis yaitu:
Anak Tunagrahita
Keterampilan Motorik Kasar
Terapi bermain bola
Ada peningkatan keterampilan motorik
kasar anak tunagrahita
Tidak ada Peningkatan
keterampilan motorik kasar tunagrahita
1. H0: Tidak ada pengaruh yang signifikan perlakuan terapi bermain
bola terhadap peningkatan kemampuan motorik kasar anak
tunagrahita.
2. H1: Ada pengaruh yang signifikan perlakuan terapi bermain bola
terhadap peningkatan kemampuan motorik kasar anak tunagrahita.
VII.METODE PENELITIAN
VII.1. Jenis dan pendekatan penelitian
Metode adalah suatu cara atau teknik yang dilakukan dalam proses
penelitian. Sedangkan penelitian merupakan upaya dalam bidang ilmu
pengetahuan dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dalam prinsip-
prinsip dengan sabar, hati-hati dan sistematis untuk menjawab kebenaran.
Jadi metode penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk
mengumpulkan data yang dikembangkan untuk memperoleh pengetahuan
dengan mengajukan prosedur yang reliabel dan terpercaya.
Desain yang digunakan pada penelitian Pre-Experimental Design
yaitu one-group pre-test post-test. Pemilihan metode ini karena tidak
adanya variabel kontrol dan sampel tidak dipilih secara random
(Sugiyono, 2010: 110). Desain ini merupakan pengembangan dari desain
one-shoot case study (Studi Kasus Satu Tembakan) di mana dalam design
penelitian ini terdapat pre-test sebelum diberi perlakuan.
Kelompok Pre test Treatment Post test
Eksperimen O1 X O2
O1 merupakan hasil dari pre-test prestasi belajar siswa sebelum
diberikan perlakuan (treatment). X adalah perlakuan yang diberikan
dengan menggunakan terapi bermain bola. Sedangkan O2 adalah post-test
merupakan kemampuan motorik kasar anak tunagrahita setelah diberikan
perlakuan (treatment). Penelitian ini menggunakan uji one sample t-test.
Uji ini bertujuan untuk menentukan apakah suatu nilai tertentu (yang
diberikan sebagai pembanding) berbeda secara nyata dengan rata- rata
(mean) sample.
VII.2. Tempat dan Waktu penelitian
VII.2.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di TKLB C SLBN Semarang. Pemilihan
tempat berdasar karena di TKLB C SLBN Semarang belum semua
anak didik memperoleh terapi khusus terutama terapi fisik motorik,
hanya anak-anak dari status sosial tingkat menengah atas saja yang
sudah mendapat terapi.
VII.2.2. Waktu penelitian
Penelitian rencana akan dilakukan pada awal semester 2 tahun
ajara 2015/2016
VII.3. Populasi dan Sampel penelitian
VII.3.1. Polulasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau
subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kan kemudian ditarik
kesimpulannya (sugiyono, 2010:117). Populasi dalam penelitian ini
adalah SLBN Semarang.
VII.3.2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2010: 118). Sampel dalam
penelitian ini adalah kelas TKLB C di SLB negeri semarang.
VII.4. Variabel dan indikator penelitian
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari
orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2011: 61). Adapun variabel dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
VII.4.1. Variabel Bebas (Independen Variabel)
Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi
atau menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen
(terikat) (Sugiyono, 2011: 61). Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah terapi bermain bola.
VII.4.2. Variabel terikat (Dependent Variabel)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2011: 61).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah motorik kasar anak
tunagrahita
VII.5. Teknik pengumpulan data
Untuk memperoleh data, maka penulis menggunakan metode-metode
sebagai berikut:
VII.5.1. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan metode yang digunakan dengan
mencari data melalui peninggalan tertulis seperti arsip dan termasuk
juga buku-buku tentang pendapat, teori dan data yang berhubungan
dengan masalah penelitian. Dokumen yang dikumpulkan pada
penelitian ini berupa data-data yang berkaitan dengan penelitian
seperti identitas siswa, guru, sekolah, perangkat pembelajaran dan
lain-lain. Dalam menggunakan metode dokumentasi ini peneliti
memegang check-list untuk mencari variabel yang sudah ditentukan.
VII.5.2. Metode Observasi
Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang
pembelajaran, yang mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan
dengan teknik yang lain. Teknik pengumpulan data dengan observasi
digunakan bila, peneliti berkenaan dengan perilaku manusia, proses
kerja, gejala-gejala alam dan bila yang diamati terlalu besar
(Sugiyono, 2012: 203). Observasi digunakan untuk memperoleh data
tentang proses terapi bermain bola.
VII.6. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur
fenomena alam maupun sosial yang diamati. Jumlah instrumen penelitian
tergantung pada jumlah variabel penelitian yang telah ditetapkan untuk
diteliti (Sugiyono, 2012: 148). Dalam penelitian dengan judul “Efektivitas
Terapi Bermain Bola untuk Meningkatkan Kemampuan Motorik Kasar
Anak Tunagrahita di TKLB C SLBN Semarang” ada dua instrumen yang
dikembangkan, yaitu: 1. Instrumen untuk mengukur efektivitas terapi
bermain bola; 2. Instrumen untuk mengukur peningkatan kemampuan
motorik kasar anak tunagrahita.
VII.7. Uji Keabsahan Data
Instrumen penelitian (non-tes) setelah disusun sebelum diujikan
harus diujicobakan. Uji coba dilakukan untuk memperoleh instrumen
penelitian yang baik. Untuk mengetahui apakah instrumen itu baik, harus
diketahui analisis validitas dan reliabilitasnya.
VII.7.1. Uji Validitas
Sebuah instrumen dikatakan valid apabila instrumen yang
digunakan dapat mengukur apa yang didinginkan (Arikunto, 2010:
211).
VII.7.2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa sesuatu
instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat
pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik (Arikunto,
2010: 221)
VII.8. Teknik analisis data
Analisis data ini dilakukan dengan membandingkan nilai rata-rata
pre-test dan post-test kelas eksperimen terapi bermain bola yang telah
ditentukan. Analisis ini menggunakan uji satu sampel untuk rata-rata (one
sample t test). Dengan uji tersebut akan diketahui apakah ada pengaruh
antara nilai rata-rata pre-test dan post-test kelas eksperimen.
VII.8.1. Analisis Data Tahap Awal
Sebelum dilakukan uji one sample t test, terlebih dahulu diuji
normalitas untuk mengetahui apakah kelas eksperimen berdistribusi
normal atau tidak. Jika kelas tersebut berdistribusi normal, maka
statistik yang digunakan adalah statistik parameter. Sedangkan jika
menggunakan statistik non-parameter, maka kelas tersebut tidak
harus berdistribusi normal. Metode untuk menganalisis data adalah
sebagai berikut:
VII.8.1.1. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengolah data nilai pre-test dalam
menentukan apakah kelas yang telah diuji berdistribusi normal atau
tidak. Rumus pengujian ini dikenal dengan Chi Kuadrat. Rumus
yang digunakan adalah (Sudjana, 2005:273):
VII.8.2. Analisis Data Tahap Akhir
Metode untuk menganalisis data nilai akhir setelah diberi perlakuan
adalah sebagai berikut:
VII.8.2.1. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengolah data nilai post-test dalam
menentukan apakah kelas yang telah diuji berdistribusi normal atau
tidak. Untuk langkah-langkah pengujian normalitas data tahap akhir
sama dengan langkah- langkah uji normalitas pada analisis data
tahap awal
VII.8.2.2. Uji Perbedaan Dua Rata-rata
Uji perbedaan dua rata-rata digunakan untuk mengetahui pengaruh
hasil pre-test sebelum diberikan perlakuan (treatment) dan hasil
post-test sesudah diberi perlakuan (treatment). Untuk mengetahui
perbedaan dua rata-rata ini menggunakan uji satu pihak (uji t) yaitu
uji pihak kiri. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:
H0 : µ1 ≥ µ2
H1 : µ1 < µ2
Keterangan:
µ1 = rata-rata nilai post-test
µ2 = rata-rata nilai pre-test
Untuk menguji hipotesis di atas digunakan statistik uji t sebagai
berikut:
Dimana:
Dengan kriteria pengujiannya adalah terima H0 jika –ttabel ≤ thitung
dimana ttabel didapat dari daftar distribusi t dengan dk (n1 + n2 – 2)
dan tolak H0 untuk harga t yang lain (Sudjana, 2005: 245)