efektivitas pendidikan kesehatan tentang skabies...
TRANSCRIPT
EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG
SKABIES TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN SANTRI
PESANTREN ASHIDDIQIYAH JAKARTA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Oleh:
NABILAH FITRIYANI
1113104000025
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/2017 M
i
ii
iii
iv
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, Mei 2016
Nabilah Fitriyani , NIM: 1113104000025
Efektivitas Pendidikan Kesehatan Tentang Skabies Terhadap Tingkat
Pengetahuan Santri Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta
XV+ 68 halaman, 17 tabel, 2 bagan, 33 lampiran
ABSTRAK
Skabies dapat mewabah di tempat-tempat atau daerah yang padat penduduk
seperti di pesantren. Pesantren Asshiddiqiyah merupakan salah satu pesantren
dengan jumlah santri yang banyak, yaitu sekitar 700 santri sehingga dapat menjadi
tempat mewabahnya skabies. Pendidikan kesehatan diperlukan untuk memberikan
informasi tentang skabies kepada santri, karena minimnya pengetahuan juga dapat
menjadi salah satu faktor penyebab skabies. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui efektivitas pendidikan kesehatan tentang skabies dengan media
video terhadap tingkat pengetahuan santri putera di pesantren Asshiddiqiyah
Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian quasy eksperiment dengan desain
non-equievalent control group yang dilakukan pada santri putera kelas VIII
MTs.Manbaul U’lum. Teknik sampling yang digunakan adalah random sampling
dengan 30 responden yang terbagi menadi 15 responden kelompok kontrol dan 15
kelompok perlakuan. Hasil dari penelitian menggunakan analisis wilcoxon
menunjukkanadanya perbedaan tingkat pengetahuan yang signifikan sebelum dan
sesudah dilakukan pendidikan kesehatan pada kelompok perlakuan dengan nilai p
= 0.001 (p<0.05), dan hasil analisis data dengan uji mann whitney ditemukan
adanya perbedaan tingkat pengetahuan yang signifikan antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol saat post test dengan nilai p=0.002 (p<0.005) dan
nilai eta squared sebesar 0.6268 yang menunjukkan efektivitas yang besar pada
pemberian pendidikan kesehatan dengan media video. Penelitian ini diharapkan
dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya, dengan meneliti juga efektivitas
pendidikan kesehatan tentang skabies terhadap perubahan perilaku santri.
Kata kunci: Pengetahuan, Pendidikan Kesehatan, Video, Skabies, Pesantren
Referensi: 43 (2002-2012)
v
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
DEPARTEMENT OF NURSING SCIENCE
SYARIF HIDAYATULLAH ISLAMIC STATE UNIVERSITY JAKARTA
Undergraduate Thesis, Mei 2017
Nabilah Fitriyani , NIM: 1113104000025
Effectiveness of Scabies Education toward Student’s Level of Knowledge at
Asshiddiqiyah Islamic Boarding School Jakarta
XV+ 68 pages, 17 tables, 2 charts, 33 attachement
ABSTRACT
Scabies usually spread widely on the overcrowding area such as islamic boarding
school. Asshiddiqiyah islamic boarding school is one of islamic boarding school
that has so many students, it’s about 700 stundents that live there, so it could be a
place for scabies to become an epidemic disease. Health education is needed to provide information about scabies to students,because not only overcrowding that
can be factor in the occurance of scabies, lack of knowledge can also be one of the
factors that can causing scabies. The purpose of this study is to find out the effect
of health education about scabies using video as the media of the health education
on the male student’s level of knowledge at Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta. This
study was quasy eksperiment study with non-equivalent control group design that
had been studied on 8th grader student of Mts. Manbaul ‘Ulum The sampling
technique was using a random sampling with 30 respondents and those were
devided into 15 respondents of control group and 15 respondents of interventions
group. The analysis statistic test using wilcoxon test showed there was significant
differences between the intervention group’s pre test score and post test score with
p value = 0.001 (p<0.005) and the mann whitney test showed that there was a
differences between the intervention group’s pre-test score andthe control group
post-test score with p value = 0.002(p<0.005) and the eta squared score = 0.6268
that indicate the large effect of health education that given on this study. This
studi are expected to be developed in subsequent research, whit also examining
the effectiveness of health education about scabies toward the change of student’s
behaviour.
Keyword: Knowledge, Health Education, Video, Scabies, Pesantren
References : 43 (2002-2016)
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Nabilah Fitriyani
Tempat/Tanggal Lahir : Tasikmalaya, 7 Januari 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Komplek Sarana Indah Permai, Jl.Delima III
blok:C3 No.13. Kedaung-Pamulang Tangerang
Selatan
Telepon/Hp : +6287808644372
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
1. TK Pandawa 1999-2001
2. MI Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2001-2007
3. MTs Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007-2010
4. MA Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010-2013
5. S-1 Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-Sekarang
Riwayat Organisasi
1. Anggota MPK MA Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah 2010-2011
vii
Jakarta
2. Anggota Bidang Ekstrakulikuler OSIS MA Pembangunan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2011-2012
3. Ketua Ekstrakulikuler Musikalisasi Puisi MA
Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2011-2012
4. Anggota Departemen Pemberdayaan Mahasiswa
Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2014-2015
5. Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu
Keperawatan
2016-2017
6. Ketua Divisi Creative Design Kampoeng Hompimpa 2017
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul efektifitas pendidikan kesehatan
tentang skabies terhadap tingkat pengetahuan santri pesantren Asshiddiqiyah
Jakarta
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
mengalami kesulitan dan tantangan, namun berkat pertolongan Allah serta
bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Orang tua penulis, Bapak H. Enda Ruswenda dan Ibu Hj. Nenih Romlah
yang telah mendidik, membesarkan, mencurahkan kasih sayang,
memberikan bantuan baik berupa dukungan moril maupun materiil, dan
juga selalu mendo’akan penulis dalam setiap langkah saya menuju
kesuksesan.
2. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes., selaku dekan Fakultas Kedokateran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ibu Maulina Handayani, S.Kp., MSc selaku Ketua Program Studi Ilmu
keperawatan dan Ibu Ernawati, S.Kp., M.Kep., Sp.KMB selaku Sekretaris
ix
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Ibu Ns. Mardiyanti., M.Kep., MDS dan Ibu Ns. Uswatun Khasanah.,
S.Kep., MNS selaku Dosen pembimbing, terimakasih sebesar-besarnya
penulis sampaikan untuk beliau karena telah meluangkan waktu dalam
membimbing dan memberi arahan kepada penulis dengan sabar selama
penysunan skripsi ini
5. Bapak Karyadi M.Kep., ph.D, selaku Dosen Pembimbing Akademik,
terimakasih sebesar-besarnya untuk beliau yang telah membimbing
penulis dengan sabar selama hampir 4 tahun duduk di bangku perkuliahan
6. Sahabat-sahabat terbaik yang tak pernah lelah mendengarkan keluh kesah
penulis, menyemangati penulis, dan selalu ada disaat penulis senang
maupun susah; Quwatul Mudrikatiz, Rizny Anindya, Jehan Astuti, Sarah
Kamilah, Dyah Imamah, Hanindira Anisa, Nur Nazmi, Isti Nanda,
Amanda febrianti. Terimakasih telah menjadi sahabat terbaik selama
delapan tahun dan tak pernah berhenti menjadi support system terbaik
dalam hidup penulis.
7. Sahabat-sahabat di bangku kuliah yang selalu menjadi tempat keluh kesah
penulis, yang selalu ada disaat susah dan senang selama penulis duduk di
bangku perkuliahan: Yuni Triwardani, Sari Purboyekti, Lisnani Hamidah,
Siti Munawaroh, Karen Maslita, Farhatun Hayati, Alin Septia, Miranti
Eka. Terimakasih telah menyemangati penulis dan berjuang bersama-sama
dalam meraih gelar Sarjana Keperawatan
x
8. Sahabat-sahabat seperjuangan PSIK 2013 tercinta yang selalu mewarnai
hari-hari penulis selama duduk di bangku perkuliahan
9. Kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawtan
periode 2016. Terimakasih telah mengajarkan banyak hal kepada penulis
selama penulis berorganisasi.
10. Kakak pohon dan adik-adik pohon tercinta ka Aninda, Vigur Guevara,
Faruq Ainul, Khielva, Farel dan Tita atas semangatnya yang telah
diberikan kepada penulis
11. Serta seluruh pihak yang telah mendukung kelancaran proposal skripsi ini
hingga selesai
Atas bantuan serta dukungan yang telah diberikan sekecil apapun itu,
semoga Allah SWT. Senantiasa membalas dengan pahala yang berlimpah.
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..................................... Error! Bookmark not defined.
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL................................................................................................ xv
DAFTAR BAGAN ............................................................................................. xvii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 7
C. Tujuan .......................................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 9
E. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................... 10
BAB II .................................................................................................................. 11
xii
TINJAUAN TEORI ............................................................................................ 11
A. Pendidikan Kesehatan ................................................................................ 11
1. Definisi Pendidikan Kesehatan............................................................... 11
2. Metode Pendidikan Kesehatan ............................................................... 12
3. Media Pendidikan Kesehatan ................................................................. 14
B. Skabies ....................................................................................................... 16
1. Definisi ................................................................................................... 16
2. Transmisi ................................................................................................ 17
3. Faktor-faktor penyebab skabies .............................................................. 18
4. Diagnosis ................................................................................................ 21
5. Tanda dan gejala ..................................................................................... 22
6. Patofisiologi ............................................................................................ 23
7. Pengobatan ............................................................................................. 24
8. Pencegahan ............................................................................................. 25
C. Pengetahuan ............................................................................................... 26
1. Tingkat pengetahuan .............................................................................. 27
2. Yang mempengaruhi pengetahuan ......................................................... 28
3. Kriteria tingkat pengetahuan .................................................................. 30
D. Pesantren .................................................................................................... 30
E. Penelitian terkait......................................................................................... 32
F. Kerangka teori ............................................................................................ 34
BAB III ................................................................................................................. 35
xiii
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL .. 35
A. Kerangka konsep ........................................................................................ 35
B. Definisi oprasional ..................................................................................... 36
C. Hipotesis ..................................................................................................... 37
BAB IV ................................................................................................................. 39
METODE PENELITIAN ................................................................................... 39
A. Desain penelitian ........................................................................................ 39
B. Lokasi dan waktu penelitian....................................................................... 40
C. Populasi dan sampel ................................................................................... 40
D. Metode pengumpulan data ......................................................................... 42
1. Instrumen penelitian ............................................................................... 42
2. Uji Validitas dan Reliabilitas.................................................................. 44
3. Prosedur pengumpulan data ................................................................... 45
E. Pengolahan data ......................................................................................... 47
1. Teknik pengolahan data .......................................................................... 47
2. Analisa data ............................................................................................ 49
F. Etika dalam penelitian ................................................................................ 50
BAB V ................................................................................................................... 53
HASIL PENELITIAN ........................................................................................ 53
xiv
A. Gambaran Lokasi ....................................................................................... 53
B. Analisis Univariat....................................................................................... 54
C. Uji Normalitas ............................................................................................ 68
D. Analisis Bivariat ......................................................................................... 69
BAB VI ................................................................................................................. 73
PEMBAHASAN .................................................................................................. 73
A. Karakteristik Responden ............................................................................ 73
B. Pengaruh Video terhadap Pengetahuan Responden Mengenai Skabies .... 78
C. Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 82
BAB VII................................................................................................................ 83
PENUTUP ............................................................................................................ 83
A. Kesimpulan ................................................................................................ 83
B. Saran ........................................................................................................... 83
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3. 1 Definisi operasional ............................................................................. 37
Tabel 4. 1 Kisi-kisi instrumen ...............................................................................43
Tabel 5. 1 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia .......................54
Tabel 5. 2 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman
Mendapatkan Informasi ........................................................................ 55
Tabel 5. 3 Distribusi Krakteristik Responden Berdasarkan Sumber Informasi .... 56
Tabel 5. 4 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman
Menderita Skabies ................................................................................ 57
Tabel 5. 5 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kebiasaan Responden
yang Menjadi Resiko Terjadinya Penularan Skabies ........................... 58
Tabel 5. 6 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Pertama Kali
terkena Skabies ..................................................................................... 59
Tabel 5. 7 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kerabat yang
Mengalami Skabies............................................................................... 59
Tabel 5. 8 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kondisi Lingkungan
yang Beresiko Pada Kejadian Skabies.................................................. 60
Tabel 5. 9 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pengobatan yang
digunakan untuk Menangani Skabies ................................................... 62
Tabel 5. 10 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Informasi Mengenai
Pengobatan............................................................................................ 63
Tabel 5. 11 Distribusi Krakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman
Kesembuhan ......................................................................................... 64
xvi
Tabel 5. 12 Gambaran Rata-rata Skor Pengetahuan Pre-test dan Post-test
Responden ............................................................................................ 65
Tabel 5. 13 Gambaran Rata-rata Skor Pengetahuan Pre-Test dan Post-Test
Responden Kelompok Perlakuan.......................................................... 66
Tabel 5. 14 Gambaran Rata-rata Skor Pengetahuan Pre-Test dan Post-Test
Responden Kelompok Kontrol ............................................................. 67
Tabel 5. 15 Hasil Uji Normalitas Pengetahuan Responden Sebelum dan Sesudah
Pendidikan Kesehatan Tentang Skabies ............................................... 68
Tabel 5. 16 Analisa Beda rerata Skor Pengetahuan Responden Sebelum dan
Sesudah diberikan PendidikanKesehatan Tentang Skabies .................. 70
Tabel 5. 17 Analisis Beda Rerata Skor Pengetahuan Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol saat Pre-Test dan Post-Test (n=30) ....................... 71
xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2. 1 Kerangka teori ..................................................................................... 34
Bagan 3. 1 Kerangka Konsep ................................................................................35
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kulit merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit
yang masih menjadi masalah di dunia dan termasuk didalamnya Indonesia.
Penyakit kulit menyebabkan beban global dalam konteks kesehatan.
Penyakit kulit secara kolektif berada pada peringkat ke-4 yang
menyebabkan beban nonfatal terhadap kematian berdasarkan disabilitas
setiap tahunnya (Hay et al., 2014). Departemen Kesehatan RI (2013)
mengatakan prevalensi penyakit kulit di Indonesia sebesar 9%.
Salah satu jenis penyakit kulit adalah skabies atau yang sering
dikenal dengan sebutan kudis, kuple atau gudig pada masyarakat awam.
Skabies disebabkan oleh tungau yang bernama Sarcoptes Scabiei (Gould,
2010). Chosidow (2008) mengatakan prevalensi skabies di seluruh dunia
dilaporkan terdapat 300 juta kasus pertahunnya. Berdasarkan data dari
WHO (World Health Organization), skabies dapat mempengaruhi 1,3 juta
orang setiap saat. Departemen Kesehatan RI (2008) mengatakan di
Indonesia sendiri prevalensi terjadinya penyakit skabies sebesar 5,60-
12,95% dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit. WHO
mengungkapkan bahwa skabies dapat menyerang seluruh orang dari setiap
negara, biasanya lebih sering terjadi di negara yang beriklim tropis,
2
endemik skabies, dan padat penduduk dimana juga banyak penduduk
dengan status ekonomi yang miskin.
Salah satu faktor penyebab yang berhubungan dengan skabies adalah
kepadatan lingkungan, hal ini menyebabkan kemungkinan besar bagi
penderita skabies untuk melakukan kontak langsung dengan orang lain
yang mengakibatkan terjadinya transmisi dari tungau skabies (Tyring,
2016). Faktor lain dari skabies adalah penularan melalui kontak skin-to-
skin dengan penderita, menurut Micali dan Lacarruba (2009) transmisi dari
skabies terjadi saat adanya kontak antara kulit ke kulit seperti saat
hubungan sexual. Prevalensi paling tinggi terjadi pada anak kecil dan
individu yang melakukan hubungan seksual dengan penderita skabies.
Berjabatan tangan dan penggunaan benda yang dipakai secara bersamaan
tidak cukup panjang untuk transmisi tungau skabies, biasanya terjadinya
transmisi butuh waktu selama 15-20 menit. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Hilma dan Ghazali tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian skabies disalah satu pesantren di Yogyakarta tingkat pengetahuan
juga memiliki hubungan dengan kejadian skabies (Hilma & Ghazali,
2014). Berdasarkan penelitian Sianturi dan Sungkar (2014) terdapat
hubungan antara personal hygiene dengan kejadian skabies di salah satu
pesantren di Jakarta Timur.
Pesantren merupakan salah satu tempat dengan penghuni yang padat.
Hal ini dapat menjadi salah satu faktor transmisi tungau skabies diantara
santri. Pesantren Assiddiqiyah merupakan pesantren yang memiliki santri
3
dengan jumlah yang banyak kurang lebih sejumlah 700 santri. Terdapat
tiga kategori santri yang berada di Asshiddiqiyah, yaitu; santri formal,
santri aitam dan santri Ma,had Aly. Santri formal sendiri adalah santri
yang berpendidikan formal yang meduduki bangku tingkat Madrasah
Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA), dimana selain belajar
tentang ilmu islam santri formal ini juga mengenyam pendidikan formal
seperti anak-anak sekolah pada umumnya. Sedangkan santri aitam adalah
santri yang tinggal di pesantren dan belajar tentang agama namun tidak
mengenyam bangku pendidikan formal seperti santri formal di pesantren
Asshiddiqiya. Terakhir, santri Ma’had Aly adalah santri yang telah lulus
dari pesantren dan masih tinggal di pesantren.
Jumlah total santri pria pesantren Asshiddiqiyah pada tingkat
tsanawiyah sendiri yaitu sebanyak 161 santri. Santri putra pada tingkat
tsanawiyah tidur di kamar yang memiliki luas 4x5 meter dan atau di kamar
yang berukuran 4x6 meter. Setiap kamar berisikian 15 orang atau 16 orang
santri putera. Hasil dari interview dengan Wali asuh santri putera tingkat
Tsanawiyah didapatkan bahwa santri putera tingkat tsanawiyah memiliki
kesadaran akan kerapihan dan kebersihan yang minim. Hal ini dilihat dari
kebiasaan santri dalam memakai handuk secara bersamaan, bertukar-tukar
pakaian satu sama lain, menggunakan sabun batangan secara bersama-
sama dan juga kebiasaan telanjang kaki atau tidak memakai sepatu saat
keluar kamar dan kembali dengan kaki kotor. Selain itu santri-santri itu
juga terbiasa tidur dibawah beralaskan tikar, dimana setelah tikar tersebut
4
selesai digunakan akan ditumpuk menjadi satu dan apabila akan dipakai
kembali tikar tersebut dipakai secara acak (bukan oleh pemilik aslinya).
Hasil interview dengan wali asuh mengatakan, santri putera pada
tingkat Tsanawiyah berbeda dengan santri putera pada tingkat Aliyah yang
jauh lebih memperhatikan kebersihan. Salah seorang pengajar santri
tingkat Aliyah pun mengatakan bahwa tidak banyak santri Aliyah yang
mengalami skabies, dan setiap harinya sebelum masuk kelas guru yang
merupakan lulusan dari Kesehatan Masyarakat tersebut juga mengatakan
setiap akan memlai pelajaran beliau selalau melakukan penyuluhan sedikit
yang menyampaikan tentang skabies.
Hasil dari interview dengan wali asuh didapatkan bahwa seluruh
santri putera pada tingkat tsanawiyah pernah atau sedang mengalami
skabies, kejadian skabies ini merupakan hal yang biasa terjadi pada santri,
dan hal ini sudah seperti “Label” atau identitas yang melekat pada santri.
Wali asuh pun mengatakan beberapa wali murid mengeluhkan kondisi
anaknya yang skabies, namun hal tersebut biasanya terjadi pada wali
murid yang berlatar belakang bukan santri, sedangkan wali murid yang
berlatar belakang santri biasanya tidak mengeluhkan hal ini karena hal ini
sudah dianggap hal biasa dan bukan masalah besar. Upaya dari pesantren
untuk menghadapi kasus ini biasanya dengan mengingatkan untuk lebih
meningkatkan hidup bersih, dan lebih rajin dalam rapih-rapih. Untuk
intervensi sendiri biasanya santri yang mengeluh gatal diberikan obat yang
berupa salep 2-4 dari UKS.
5
Melihat begitu banyaknya santri yang mengalami skabies, dirasa
perlu untuk dilakukan pendidikan kesehatan tentang skabies. Effendy
(2003) mengungkapkan, pendidikan kesehatan adalah gabungan dari
berbagai kegiatan dan kesempatan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip
belajar untuk mencapai suatu keadaan, dimana individu atau kelompok
yang diberikan informasi ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya
melakukan apa yang bisa dilakukan, secara berkelompok maupun
perseorangan dengan meminta pertolongan. Notoatmodjo (2003)
mengatakan dengan dilakukannya pendidikan kesehatan diharapkan terjadi
kontak antara klien dengan petugas yang memberikan penyuluhan secara
intensif sehingga setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat diteliti dan
dibantu penyelesaiannya dan pada akhirya klien tersebut dengan sukarela,
atas dasar kesadaran dan dengan penuh pengertian akan menerima perilaku
tersebut (mengubah perilaku).
Sesuai dengan yang penelitian yang dilakukan oleh Aminah (2015)
tentang hubungan pengetahuan dengan kejadian skabies yang hasilnya
menunjukkan adanya hubungan skabies dengan tingkat pengetahuan, hal
ini dapat dikarenakan pengetahuan seseorang memiliki peranan untuk
melakukan pencegahan, tanpa pengetahuan maka seseorang tidak akan
tahu bagaimana cara melakukan pencegahan dengan melakukan praktik
kebersihan diri yang baik untuk mencegah terjadinya skabies, selain itu
seseorang tersebut juga tidak dapat mengetahui tentang faktor-faktor apa
saja yang menyebabkan skabies (Aminah, Sibero, & Ratna, 2015). Hasil
6
penelitian Hilma dan Ghazali (2014), tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian skabies di salah satu pesantren di yogyakarta
mengatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan
kejadian skabies, dikarenakan pengetahuan adalah domain yang sangat
penting untuk membentuk tindakan seseorang, karena pada seseorang
setelah memiliki pengetahuan maka akan terbentuk sikap yaitu kesiapan
dan atau kesediaan untuk bertindak. Perilaku yang didasarkan oleh
pengetahuan akan lebih langgeng dibandingkan dengan perilaku yang
tidak didasari oleh ilmu pengetahuan.
Pendidikan kesehatan memiliki beberapa metode, yaitu metode
perorangan kelompok dan juga massa. Dalam melakukan penyuluhan
tentunya dibutuhkan media, media ini yang nantinya akan membantu
seseorang yang akan diberikan pendidikan kesehatan menyerap
informasinya. Media-media ini dapat berupa: benda baik benda hidup,
mati, maupun benda sesungguhnya; gambar yang dapat berbentuk poster,
leaflet;gambar optik seperti foto, slide, dan film (Departemen Kesehatan
RI, 2008). Media dalam penyuluhan kepada santri nanti yang akan
digunakan adalah media audio visual berupa video. Penelitian yang
dilakukan Kumboyono (2011) tentang Perbedaan Efek Penyuluhan
Kesehatan Menggunakan Media Cetak dengan Media Audio Visual
terhadap Peningkatan Pengetahuan Pasien Tuberkulosis menunjukan
bahwa pengetahuan pasien yang diberikan melalui media audio visual
7
lebih tinggi dibandingkan yang diberikan penyuluhan melalui media cetak
(Kumboyono, 2011).
Novpriati (2013) dalam penelitiannya tentang peran edukasi
menggunakan video untuk meningkatkan perilaku ibu dalam menyikat gigi
anak mengatakan bahwa video efektif dalam edukasi untuk meningkatkan
perilaku ibu dalam menyikat gigi anak. Hal ini mungkin dapat disebabkan
karena pemberian pendidikan kesehatan dengan audiovisual membuat
seseorang menggunakan dua jenis pengindraannya yaitu indra
pendengaran dan pengelihatan, dimana ketika seseorang menggunakan
lebih dari satu indranya dalam mempelajari sesuatu akan jauh lebih baik
dalam menerap informasi. Penyuluhan atau pemberian informasi yang
nantinya akan dilakukan ini di harapkan dapat meningkatkan pengetahuan
santri tentang skabies serta dapat pula meningkatkan kesadaran diri santri
akan hidup bersih dan sehat, karena tingkat pengetahuan merupakan salah
satu faktor dati kejadian skabies, dan juga diharapkan dapat merubah sikap
santri terhadap hygiene sehari-hari dalam mencegah dan menangani
terjadinya skabies di pesantren.
B. Rumusan Masalah
Hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan dengan survey secara
langsung dan interview dengan wali asuh putra santri tingkat SMP
pesantren Asshiddiqiyah didapatkan bahwa hampir semua santri pernah
dan sedang mengalami skabies. Menurut wali asuh santri putera
8
mengatakan kesadaran santri tentang kebersihan dan perilaku hygiene
santri masih kurang, seperti menggunakan handuk secara bersamaan,
meminjam-minjam pakaian, menggunakan sabun batang secara
bersamaan, menggunakan alas tidur secara bersamaan, dan kebiasan tidak
menggunakan alas kaki saat keluar kamar dan lalu kembali ke kamar tanpa
mencuci kaki terlebih dahulu.
Melihat kejadian diatas maka dirasa perlu untuk diberikan
pendidikan kesehatan tentang sakbies sebagai intervensi terhadap santri
putera tingkat tsanawiyah di pesantren Asshiddiqiyah. Dalam pemberian
intervensi nantinya terhadap santri putra tingkat SMP Asshiddiqiyah,
peneliti ingin mengetahui adakah peningkatan pengetahuan pada santri di
pesantren Asshiddiqiyah setelah dilakukan penyeluhan terkait dengan
penyakit skabies yang dilakukan dengan media audio visua yaitu video.
C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui efektifitas dari penyuluhan skabies menggunakan media
video terhadap tingkat pengetahuan santri putra madrasah tsanawiyah
tentang skabies di pesantren Asshiddiqiyah.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik santri putera tingkat tsanawiyahpesantren
Asshiddiqiyah Jakarta.
9
2. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan santri putra tingkat
tsanawiyah pondok pesantren Asshiddiqiyah tentang skabies
sebelum dilakukannya penyuluhan dengan media video tentang
skabies pada santri putera tingkat tsanawiyah Asshiddiqiyah.
3. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan santri putra tingkat
tsanawiyah pondok pesantren Asshiddiqiyah tentang skabies
setelah dilakukannya penyuluhan dengan media video tentang
skabies pada santri putera tingkat tsanawiyah pondok pesantren
Asshiddiqiyah.
4. Mengidentifikasi efektifitas penyuluhan dengan media video
terhadap tingkat pengetahuan tentang skabies pada santri putera
tingkat tsanawiyah pondok pesantren Asshiddiqiyah.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Institusi tempat penelitian
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk pesantren
Asshiddiqiyah dalam penggunaan media dalam memberikan
pengetahuan tentang skabies.
2. Pendidikan keperawatan
Diharapkan mampu memperluas pengetahuan yang berkaitan dengan
lingkup keperawatan komunitas, terutama dikhususkan pada
penyuluhan kesehatan terhadap santri mengenai skabies.
10
3. Peneliti
Dapat menjadi lahan untuk berbagi ilmu yang sudah didapat peneliti
selama masa pendidikan strata satu pada kawan-kawan santri di
pesantren Asshiddqiyah.
4. Penelitia selanjutnya
Hasil penelitrian ini dapat memberikan informasi tentang keefektivan
penyuluhan dengan media video terhadap tingkat pengetahuan dan
perubahan sikap santri untuk dapat dikembangkan untuk penelitian-
penelitian selanjutanya.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental untuk menilai
efektivitas penyuluhan kesehatan dengan media video terhadap tingkat
pengetahuan santri putera madrasah tsanawiyah tentang skabies di pondok
pesantren Asshiddiqiyah Jakarta.
11
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pendidikan Kesehatan
1. Definisi Pendidikan Kesehatan
Sebagai sebuah tindakan praktis, penyuluhan adalah upaya-
upaya yang dilakukan untuk mendorong terjadinya suatu perubahan
perilaku pada individu, kelompok, komunitas, atau masyarakat agar
mereka tahu, mau, dan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Tujuan dari penyuluhan sendiri adalah hidup dan kehidupan manusia
yang berkualitas dan bermartabat. Subjek telaah dari penyuluhan
adalah manusia yang merupakan bagian dari sistem sosial, sedangkan
obyek materi dari ilmu penyuluhan adalah perilaku yang dihasilkan
dari sebuah dari sebuah proses pendidikan dan atau pembelajaran, dari
proses komunikasi dan sosial (Amanah, 2007).
Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan
kesehatan yang dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan
keyakinan sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan paham akan
tetapi juga mau dan dapat melakukan anjuran-anjuran yang
berhubungan dengan kesehatan. Seorang penyuluh haruslah
menguasai ilmu komunikasi dan menguasai pemahaman yang lengkap
tentang pesan yang akan nantinya disampaikan (Maulana, 2009).
12
Tujuan dari dilaksanakannya pendidikan kesehatan adalah untuk
memodifikasi perilaku positif yang tidak terlepas dari karakakteristik
bangsa (Birawa, 2007).
2. Metode Pendidikan Kesehatan
Promosi kesehatan dapat digolongkan menjadi tiga
golongan yang digolongkan berdasarkan teknik komunikasi, sasaran
yang dicapai, dan indera penerima dari sasaran promosi.
a. Berdasarkan teknik komunikasi:
1) Metode penyuluhan langsung, dimana dalam hal ini
penyuluh secara langsung bertatap muka dengan
sasaran, seperti melalui; kunjungan rumah, pertemuan
diskusi, pertemuan di balai desa, dll.
2) Metode penyuluhan tidak langsung, dimana dalam hal
ini penyuluh tidak langsung berhadapan secara tatap
muka dengan sasaran dimana pesan yang disampaikan
dapat disampaikan melalui perantara atau dalam hal ini
media, seperti; melalui publikasi di media cetak,
pertunjukan, melalui iklan, dll.
b. Berdasarkan jumlah yang dicapai
1) Pendekatan perorangan, dimana penyuluh berhubungan
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
sasaran perseorangan, antara lain: kunjungan rumah,
melalui telepon, konseling dll
13
2) Pendekatan kelompok, dimana petugas yang akan
melakukan promosi berhubungan dengan sekelompok
sasaran, seperti metode pertemuan, demonstrasi,
diskusi kelompok, dll.
3) Pendekatan masal, dimana petugas promosi
menyampaikanpesannya secara sekaligus pada sasaran
yang jumlahnya sangat banyak, seperti dengan
pertemuan umum, pertunjukan kesenian, penyebaran
poster, dll.
c. Berdasarkan indera penerima
1) Metode melihat/memperhatikan, dalam hal ini pesan
akan diterima oleh sasaran melalui indera
pengelihatannya, seperti penempelan poster,
pemasangan foto, pemutaran film, dll
2) Metode pendengaran, dimana dalam hal ini pesan akan
diterima oleh sasaran melalui indera pendengarannya,
seperti penyuluhan yang dilakukan melalui radio,
pidato, ceramah, dll
3) Metode kombinasi, yaitu dimana penyuluhan
demonstrasi (dengan cara dilihat, didengar, dicium,
diraba, dan dicoba)
(Departemen Kesehatan RI, 2008)
14
3. Media Pendidikan Kesehatan
Birawa (2007) mengatakan terdapat banyak media untuk
membantu dalam penyampaian pendidikan kesehatan, seperti:
a. Media cetak, dapat berupa; leaflet, booklet, foto, lembar balik
(flip chart), surat kabar, majalah, poster, jurnal
b. Media elektronik, dapat berupa; televisi, radio, video, slide,
film strip, dll
c. Media papan (Billboard)
Pada dasarnya apapun bentuk media untuk penyampaian
pendidikan kesehatan adalah baik, namun menurut Departemen
Kesehatan RI (2008), seseorang belajar melalui panca indernya, dan
setiap panca indera memiiki pengaruh berbeda pada hasil belajar
seseorang, seperti; 1% melalui rasa, 2% melalui sentuhan, 3% melalui
indera penghidu, 11% melalui pendengaran dan 83% melalui
pengelihatan. Manusia akan dapat mempelajari sesuatu dengan baik
apabila dapat menggunakan lebih dari satu inderanya. Selain itu
seseorang juga dapat mengingat lebih baik melalui; 10% membaca,
20% melalui apa yang di dengar, 30% melalui apa yang dilihat, 50%
melalui apa yang dilihat dan di dengar, 80% melalui apa yang
diucapkan, dan 90% melalui apa yang di ucapkan dan dilakukan
(Departemen Kesehatan RI, 2008)
Wahyuning dkk (2003) mengatakan, media audio visual
adalah media yang bisa didengar dan dilihat secara bersamaan. Media
15
ini menggerakan indra pendengaran dan pengelihatan secara bersama.
Media audio visual dapat berupa; media drama, pementasan, film,
televisi, VCD, video, dll. Djamarah (2002) mengatakan media audio
visual adalah media yang memiliki unsur gambar dan suara, jenis dari
media audio visual ini terbagi kedalam dua jenis, yaitu mediaaudio
visual diam dan media audio visual gerak. Media audio visual diam
yaitu media audio visual yang menampilkan suara dan visual diam,
seperti film sound slide, sedangkan media audio visual gerak yaitu
media yang dapat menampilkan suara dan gambar yang bergerak
contohnya seperti film, VCD, dan video cassete.
Hasil penelitian tentang efektifitas pendidikan kesehatan
dengan media audiovisual terhadap peningkatan pengetahuan keluarga
tentang ISPA didapatkan bahwa terjadi perubahan yang signifikan
sebelum dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan dengan metode
audio visual (Utari, Novayelinda, & Arneliwati, 2011). Hasil
penelitian tentang pendidikan kesehatan menggunakan media audio
visual terhadap perilaku pencegahan filiaris didapatkan terjadinya
peningkatan pengetahuan dan juga perilaku melalui pendidikan
kesehatan dengan media audio visual ini (Santi, Sabrian, & Karim,
2014). Hal ini berarti bahwa dengan diberikannya penyuluhan dapat
mengubah perilaku dan juga pengetahuan, terutama apabila dilakukan
dengan media audio visual.
16
B. Skabies
1. Definisi
Skabies merupakan penyakit atau infeksi yang disebabkan
oleh tungau Sarcoptes scabiei (Golant & Levitt, 2012). Tungau
skabies merupakan artropoda berukuran kecil berukuran 0.1-0.5 mm,
tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, berukuran bundar atau oval,
dan mirip dengan laba-laba yaitu memiliki kaki delapan. Tungau
skabies merupakan ektoparasit obliget, yaitu tungau ini harus berada
di luar tubuh mammalia yang merupakan hostnya untuk dapat
bertahan hidup. Tungau skabies bukan hanya single spesies, namun
terdapat beberapa macam subspesies dari tungau skabies ini
berdasarkan dari fisiologisnya nya. Tungau skabies yang sering
ditemukan pada tubuh manusia adalah Sarcoptes scabiei var hominis
yang mana hanya dapat berkembang dan bereproduksi pada manusia
saja (Michigan Department of Community Health, 2005)
Skabies atau yang dikenal juga dengan kudis, biasanya
menyerang terutama pada seseorang dengan perokonomian rendah,
pada tempat yang padat penghuni dan penuh sesak, dan juga dapat
terjadi pada semua individu pada semua usia tanpa memperhatikan
tingkat kebersihan (Golant & Levitt, 2012). Skabies juga dapat
muncul pada semua jenis kelamin, pada semua orang tanpa
memandang status sosial ekonomi, dan juga dapat terjadi pada semua
kelompok etnik. Sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris
17
mendapatkan skabies biasanya terjadi di area urban dan paling sering
terjadi pada wanita dan anak-anak (Chosidow, 2006).
2. Transmisi
Michigan Departement of Community Health (2005)
mengatakan, terdapat beberapa transmisi dari tungau skabies,
diantaranya; transmisi secara langsung, dan transmisi dari lingkungan.
Transmisi secara langsung terjadi melalui sentuhan kulit langsung dari
satu individu ke individu yang lain. Tungau skabies sangat ahli dalam
merangkak ia dapat merangkak dengan kecepatan 2.5 cm – 1 inch
permenit diatas permukaan kulit, walaupun tungau skabies tidak dapat
lompat namun tungau skabies akan dapat cepat berpindah dari satu
individu ke individu lain apabila terjadi kontak lanngsung antar kulit
dua individu tersebut. Sekali bertemu dengan host baru, tungau akan
langsung mulai menggali liang dalam waktu beberapa menit.
Transmisi melalui lingkungan dapat terjadi dari benda mati
ke manusia, namun peran dari benda mati terhadap transmisi tungau
belum dapat dipastikan, akan tetapi tungau skabies sendiri mampu
hidup jauh dari host nya dalam jangka waktu yang singkat. Hal ini
dapat diartikan bahwa tungau dapat menginvasi host nya melalui baju
dan seprai atau tempat tidur yang dipakai bersamaan, melalui furnitur,
dan juga dapat di transmisikan melalui karpet. Berdasarkan sebuah
penelitian tungau dapat bertahan hidup selama 2-5 hari dalam suhu
ruangan dan kelembaban ruangan. Kombinasi dari temperatur yang
18
rendah dan tingginya kelembaban dapat menjadi kondisi yang optimal
untuk tungau bertahan hidup.
Skabies juga dapat bertansmisi melalui kontak seksual.
Resiko dari transmisinya meningkat dengan frekuensi lamanya kontak
antara kulit ke kulit. Tungau dapat berpindah dari satu orang ke orang
lain dalam komunitas yang dekat, terutama yang tinggal dalam satu
rumah yang dapat di transmisikan melalui aktifitas seperti
berpegangan tangan dalam waktu lama, meskipun begitu skabies tidak
dapat di transmisikan melalui kontak yang sangat singkat seperti
berjabatan tangan. (Gould, 2010)
3. Faktor-faktor penyebab skabies
Skabies merupakan penyakit yang disebabkan oleh tungang
Sarcoptes scabiei yang transmisinya dapat melalui skin-to-skin atau
melalui baju, handuk, kasur yang digunakan secara bersamaan atau
bergantian (Amanda, 2010). Penyakit skabies dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti faktor personal hygiene yang kurang, faktor
tingkat pendidikan, faktor tingkat pengetahuan, faktor kepadatan
lingkungan, dan faktor riwayat keluarga.
a. Faktor personal hygiene
Personal hygiene dapat diartikan sebagai menjaga tubuh,
gigi, rambut, pakaian, dan area genital kita bersih. Personal
hygiene juga merupakan salah satu cara yang dapat digunakan
untuk memutus rantai transmisi suatu penyakit. Seseorang akan
19
berpenampilan indah, bersih, dan enak dipandang apabila
memiliki personal hygiene yang baik. Personal hygiene juga
merupakan gambaran hidup yang baik (Legesse W., 2014).
Penilitian Sianturi (2014) tentang hubungan praktik hygiene
dengan skabies di salah satu pesantren di jakarta timur, terdapat
hubungan antara praktik hygiene santri dengan kejadian skabies.
Penelitian ini menunjukkan kebanyakan santri yang mengalami
skabies merupakan santri yang memiliki hygiene buruk
(Sianturi, 2014). Penelitian Zeba (2012), tentang hubungan
skabies dan faktor lainnya pada pasien yang mengunjungi RS
universitas Liaquat di pakistan didapatkan adanya hubungan
antara hygiene dengan kejadian skabies, hygiene ini diukur dari
keseringan mereka mandi, mencuci baju dan menggunakan
handuk bersamaan.
b. Faktor tingkat pengetahuan
Hasil penelitian dari Aminah (2015) tentang hubungan
tingkat pengetahuan dengan kejadian skabies menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan
kejadian skabies. Penelitian tersebut dilakukan pada pemulung,
dan pemulung yang memiliki pengetahuan yang baik dari hasil
penelitian tersebut tidak ada yang mengalami skabies (Aminah
et al., 2015). Hasil yang sama juga terjadi pada penelitian yang
dilakukan oleh Ratri dna Indriati (2014) tentang faktor yang
20
berhubungan dengan kejadian skabies pada Nelayan di desa
Weru Lamongan, penelitian tersebut mengatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan
kejadian skabies (Ratri & Paskarini, 2014). Adanya hubungan
antara tingkat pengetahuan dengan kejadian sabies disebabkan
karena pengetahuan merupakan domain yang sangat penting
untuk membentuk tindakan seseorang, pada seseorang yang
telah memiliki pengetahuan maka akan terbentuk sikap dan
kesiapan dan atau kesediaan untuk bertindak (Hilma & Ghazali,
2014).
c. Faktor tingkat pendidikan
Hasil penelitian tentang prevalensi skabies dan faktor-
faktor yang berhubungan di sebuah pesantren di Jakarta Timur
yang dilakukan pada santri madrasah tsanawiyah dan madrasah
Aliyah menunjukkan adanya hubungan antara tingkat
pendidikan dengan kejadian skabies, dimana kejadian skabies
terbanyak terjadi pada santri tingkat tsanawiyah (Ratnasari &
Sungkar, 2014). Penelitian lain juga menunjukkan adanya
hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian skabies,
yaitu penelitian mengenai prevalensi dan faktor resiko skabies
diantara populasi pasien kunjungan Teritary care hospital,
dimana angka skabies banyak terjadi pada pasien yang
melaksanakan pendidikan kurang dari lima tahun. Adanya
21
hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian skabies
mungkin terjadi karena individu yang memiliki pendidikan yang
kurang biasanya kurang menyadari pentingnya personal hygiene
(Rathore & Saxena, 2013).
4. Diagnosis
Diagnosis pasti bergantung pada identifikasi dari
keberadaan tungau, telur, atau fragmen kulit telur melalui pemeriksaan
mikroskopik yang dilakukan dengan mengambil spesimen kulit yang
memiliki karakteristik spesifik seperti adanya liang atau papula dan
gelembung (Chosidow, 2006). Skabies dapat dicurigai apabila terjadi
gejala seperti: gatal, terutama pada malam hari; ruam yang simetris,
lesi pada kulit yang terjadi di tempat terjadiyna skabies. Diagnosis
harus dilakukan oleh dokter atau perawat dengan spesialis dalam
bidang drmatologi atau training kesehatan masyarakat, karena sering
terjadi kesalahan dalam mendiagnosa skabies (Gould, 2010).
Brown (2005) mengatakan, terdapat dua tipe utama lesi
kulit pada skabies yaitu skabies terowongan dan skabies ruam. Lesi
terowongan biasanya sering terjadi pada bagian telapak tangan, sela-
sela jari, pergelangan tangan dan punggung kaki, sedangkan lesi ruam
sering terjadi pada bagian umbilikus, paha dan aksila. Lesi ruam
skabies berupa erupsi papula kecil yang meradang. Selain lesi primer
yang telah disebutkan sebelumnya, dapat juga terdapat kelainan
22
sekunder seperti ekskoriasi, eksematisasi dan infeksi bakteri
sekumder.
5. Tanda dan gejala
Infestasi dari skabies dapat mucul dalam tiga tipe, yaitu;
skabies klasik dan skabies hiperkeratotis. Skabies klasik biasanya
muncul pada orang yang sehat dengan sistem imun normal, dimana
pada orang yang belum pernah terkena skabies gejalanya muncul dua
sampai enam minggu setelah paparan, dan pada orang yang terkena
untuk keduakalinya (reinfestation) biasanya gejalanya muncul lebih
cepat. Gejalanya biasanya berupa gatal-gatal yang disebabkan oleh
aktivitas tungau yang sedang menggali liang. Biasanya gatal-gatal
akan semakin parah di malam hari karena aktivitas tungau yang
meningkat pada kondisi yang lembab dan panas. Menggaruk kulit
dapat menyebabkan keparahan pada lesi dan juga terjadinya infeksi
bakteri sekunder. Terowongan yang digali tungau skabies biasanya
akan terlihat jelas pada kulit yang belum di garuk dan muncul sebagai
garis yang sepanjang 1 cm berwarna ke abu-abuan. Keparahan dari
kasus skabies ini bergantung terhadap status imunitas (Gould, 2010).
Skabies inibiasanya muncul pada daerah jari-jari, pergelangan tangan,
sikut, ketiak, paha, genitalia, puting payudara, dibawah payudara dan
bokong bagian bawah (Chosidow, 2006)
Selanjutnya adalah skabies hiperkerototis yang muncul
pada individu yang memiliki imun yang immatur. Skabies ini sangat
23
menular karena tungau muncul dalam jumlah yang sangat banyak.
Tipe ini biasanya disebut dengan skabies norwegian atau crusted
scabies (Gould, 2010). Skabies ini biasana muncul pada lansia,
seseorang dengan immunodeficiancy, bayi, seseorang dengan down
syndrom, dan yang sedang menggunakan kortikosteroid.(Chosidow,
2006).
Tipe skabies yag terakhir adalah atypical scabies, dimana
tipe ini merupakan tipe yang jarang terjadi. Tanda dan gejala dari tipe
ini adalah hiperpigmentasi, kulit yang bersisik, tidak terdapat pruritus
dan erupsi. Skabies ini biasanya terjadi padalansia, usia yang sangat
muda, dan immino-comproised(Michigan Department of Community
Health, 2005).
6. Patofisiologi
Seseorang mengalami gejala skabies ketika tungau
Sarcoptes scabiei masuk kedalam lapisan kulit dan membuat
terowongan di stratum korneum yang menyebabkan lesi dan tungau
betina pun bertelur. Telur yang menetas menjadi larva dalam wajtu 2-
3 hari dan larva menjadi nimfa dalam waktu 3-4 hari dan nimfa akan
menjadi tungau dewasa dalam 4-7 hari. Tungau jantan akan mati
setelah melakukan kopulasi. Diperkirakan pada sebagian infeksi hanya
terdapat 10 sampai 15 tungau. Terkadang terowongan sulit di
identifikasi.
24
Terowongan tersebut biasanya berisi tungau, telur, dan
hasil metabolisme. Terowongan tersebut berwarna putih keabu-abuan
dan berkelok-kelok dangan panjang 1-10mm. Saat menggali
terowongan tungau skabies mengeluarkan sekret yang mampu
melisiskan stratum korneum. Sekret tersebut menimbulkan sensitisasi
sehingga memicu individu untuk menggaruk dan menimbulkan lesi
sekunder. Lesi sekunder tersebut berupa papul, vesikul, pustul, dan
terkadang bula. Terdapat juga lesi tersier yang berupa eksoriasi,
eksematisasi, dan piderma. Tungau hanya dapat ditemukan pada lesi
primer. Lesi primer tersebut sangat menular melalui jatuhnya krusta
yang berisikan tungau dan menyediakan makanan bagi tungau
sehingga memungkinkan tungau bertahan hidup (Syailindra &
Mutiara, 2016)
7. Pengobatan
Kesuksesan dari pengobatan pada skabies bergantung pada
indeks kasus seperti orang pertama yang teridentifikasi. Seluruh
anggota keluarga juga harus mendapatkan treatment meskipun tidak
memiliki tanda gejala. Terdapat beberapa jenis obat topikal yang
berfungsi untuk membunuh tungau seperti permethrin 5% dan
malathion 0,5%.
Permethrin 5% krim kulit. Permethrin merupakan produk
piretoid berair yang berasal dari bunga piretrum. Permethrin 5%
merupakan obat pilihan pertama di inggris. Produk ini harus
25
digunakan pada seluruh tubuh dan dibilas setelah 8 sampai 12 jam
kemudian. Permethrin kurang cocok digunakan pada kulit yang rusak
atau pada infeksi sekunder dan tidak boleh digunakan pada bayi yang
usianya kurang dari 2 bulan tanpa pengaasan medis. Permethrin tidak
boleh digunakan pada individu yang alergi dengan krisan, karena
bunga piretrum sendiri merupakan famili dari krisan. Biasanya
permethrin ini digunakan dalam bentuk insektisida semprot.
Selanjutnya adalah malathion yang merupakan
organisfosfat berair yang digunakan sebagai alternatif apabila
seseorang alergi terhadap permethrin. Produk ini harus digunakan ke
seluruh tubuh dan dibilas setlah 24 jam pemakaian. Apabila kurang
dari 24 jam sudah dibilas maka harus digunakan kembali ke seluruh
tubuh dan dibilas kembali setelah 24 jam kemudian.
8. Pencegahan
Treatment pada lingkungan dapat dilakukan dengan cara
membersihkan dan mendesinfeksi lingkungan. Bagi barang-barang
yang dapat dicuci seperti sprai, handuk dan lain-lainnya hendaklah di
cuci di air yang panas dengan suhu 60°C menggunakan deterjen dan
dikeringkan pada pengering dengan setting-an suhu yang panas
selama 20 menit. Selain itu harus juga dilakukan penggantian linen
seminggu sekali.
Bagi barang-barang yang tidak bisa dicuci seperti jaket,
sepatu, scarves dapat di desinfeksi dengan tiga cara, yaitu;1) taruh
26
berang tersebut di pengering dengan setingan suhu panas selama 20
menit; atau 2) segel barang dalam kantung plastik selama 7 hari di
temperatur ruangan atau di ruangan yang lebih panas; atau 3) segel
barang di dalam kantung plastik dan bekukan selama 12 jam.
Melakukan sedot debu pada karpet, jok mobil, dan pada furnitur-
furnitur juga harus dilakukan. (Michigan Department of Community
Health, 2005).
Menyetrika baju juga dapat membunuh kuman skabies
(Krishna, 2013). Ruteng (2007) mengatakan ada beebrapa hal yang
dapat dilakukan untuk meencegah terjadinya skabies, diantaranya:
a. Mandi secara teratur menggunakan sabun
b. Mencuci bantal, sprei, sarung bantal, dan selimut secara teratur
minimal 2 kali dalam semiggu
c. Menjemur kasur atau alas tidur dan bantal minimal sekali dalam
dua minggu
d. Tidak bertukar pakaian dengan orang lain
e. Menghindari kontak dengan orang-orang maupun kain serta
pakaian yang dicurigai terinfeksi tungau skabies
f. Tidak tidur berhimpitan dalam satu tempat secara bersama-sama.
C. Pengetahuan
Sunaryo (2004) mengatakan, pengetahuan adalah hasil dari tahu
yang terbentuk melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga
terhadap suatu objek tertentu. Menurut Kenneth (2005) pengetahuan
27
adalah peristiwa yang menyebabkan kesadaran manusia memasuki terang
ada.
1. Tingkat pengetahuan
Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif terdapat 6
tingkatan, yaitu;
a. Tahu.
Tahu merupakan tingkat pengetahuan paling rendah yang dapat
diartikan seperti dapat mengingat kembali suatu materi yang
sebelumnya teah dipelajari. Indikator seseorang tahu adalah ia
dapat menyebutkan, menguraikan, dan mendefinisikan serta
menyatakan.
b. Memahami
Memahami dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam
menjelaskan dan menginterpretasikan suatu objek yang diketahui
dengan benar.
c. Penerapan
Penerapan adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang nyata
menggunakan hukum,rumus, metode dan situasi yang nyata.
d. Analisis
Analisis merupakan sebuah kemampuan ntuk menguraikan objek
kedalam bagian-bagian yang lebih kecil akan tetapi masih dalam
satu struktur objek tersebut dan masih terkait satu sama lain.
28
Ukuran kemampuan dari analisis adalah dapat menggambarkan,
membuat bagan, membedakan, memisahkan membuat bagan proses
adopsi perilaku.
e. Sintesis
Merupakan kemampuan untuk menghubungkna bagian-bagian
dalam suatu bentuk dari keseluruan yang baru atau kemampuan
untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada. Ukuran
kemampuan dari sintesis adalah ia dapat menyusun meringkas,
merencanakan, dan menyesuaikan suatu teori atau rumusan yang
telah ada
f. Evaluasi
Evaluasi yaitu adalah kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu objek.
(Sunaryo, 2006)
2. Yang mempengaruhi pengetahuan
Notoatmodjo (2003) mengatakan terdapat beberapa hal yang
mempengaruhi pengetahuan, yaitu:
a. Usia
Usia merupakan variabel yang diperhatikan dalam penyelidikan
epidemiologi, angka kesakitan, maupun kematian hampir
semuanya menunjukkan hubungan dengan usia. Usia
mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang, semakin
berkembang usia seseorang maka akan semakin besar pula pola
29
pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh akan semakin
membaik.
b. Jenis kelamin
Angka dari luar negeri menunjukkan angka kesakitan lebih tinggi
di kalangan wanita daripada kalangan pria.
c. Pendidikan
Secara umum pendidikan mencakup seluruh proses kehidupan
individu sejak kecil hingga dewasa , baik dalam pendidikan formal
maupun informal, berupa interaksi individu dengan lingkungannya.
Pendidikan juga merupakan suatu usaha untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan didalam maupun di luar sekolah dan
berlangsung seumur hidup. Melalui pendidikan maka seseorang
cenderung mendapatkan informasi, maka makin tinggi pendidikan
seseorang makin banyak informasi yang di dapat, makin banyak
informasi yang di daoat maka semakin banyak pula pengetahuan
yang didapat
d. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan.
Ditinjau dari jenis pekerjaan yang sering berinteraksi dengan orang
lain maka akan semakin banyak pengetahuannya.
e. Sumber informasi
Sumber informasi merupakan data yang di proses kedalam suatu
bentuk yang memiliki arti sebagai sipenerima dan memiliki nilai
30
nyata dan terasa bagi keputusan mendatang. Sumber informasi
dapat berupa; media cetak, media elektronik, dan petugas
kesehatan. Informasi yang diperoleh melalui pendidikan formal
maupun informal dapat memberikan pengaruh jangka pendek
sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.
3. Kriteria tingkat pengetahuan
Notoatmodjo (2008) mengatakan terdapat tiga kategori
pengetahuan:
a. Baik : hasil persentase 76% - 100%
b. Cukup : hasil persentase 56% - 75%
c. Kurang : hasil persentase <56%
D. Pesantren
Moesa (2007) mengatakan Pesantren adalah suatu lembaga
pendidikan yang ikut mempengaruhi dan menentukan proses pendidikan
nasional. Dalam buku Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah mengatakan bahwa
pesantren merupakan asrama tempat tinggal para santri. Di indonesia saat
ini terdapat ribuan pesantren yang terletak diseluruh nusantara dari sabang
sampai merauke. Pesantren sudah ada di indonesia semenjak zaman
Hindu-Budha. Tujuan dari sebuah pesantren adalah membentuk manusia
yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran islam bersifat komprehensif.
Selain itu produk pesantren juga dibagun untuk memiliki kemampuan
31
yang tinggi dalam merespon tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks
ruang dan waktu.
Pesantren sebagai sebuah sistem mempunyai empat unsur penting
yang saling memiliki keterkaitan yaitu unsur; Kiai, santri, pondok dan
kitab. Kiai merupakan seorang pengasuh, Kiai merupakan unsur yang
paling utama dan paling menentukan dibanding unsur lainnya. Kiai adalah
seseorang yang paling bertanggung jawab dalam menetapkan sistem dalam
pesantren dan juga sekaligus yang menentukan maju tidaknya sebuah
pesantren. Unsur yang kedua adalah santri, yaitu murid yang belajar
mengenai pengetahuan keislaman kepada Kiai. Santri adalah sumber daya
manusia yang tidak hanya mendukung keberadaan pesantren namun juga
menopang intensitas pengaruh Kiai dalam masyarakat. Unsur ketiga
adalah pondok, yaitu sebuah asrama, yang didalamnya termasuk fasilitas
ibadah berupa masjid yang disediakan kiai untuk mengakomodasi para
santri. Bangunan dari pondok pesantren biasanya sederhan adan minim
fasilitas, namun di zaman sekarang banyak pesantren yang juga memiliki
fasilitas mewah. Pesantren merupakan kompleks perumahan yang meliputi
rumah kiai dan keluarganya, beberapa bangunan kamar (pondok), masjid,
ruang belajar, dan sejumlah kitab kuning. Unsur yang keempat adalah
kitab yang berisikan macam-macam mata pelajaran yang diajarkan oleh
Kiai kepada santri dan masyarakat (Moesa, 2007)
32
E. Penelitian terkait
1. Hasil penelitian tentang efektifitas pendidikan kesehatan dengan media
audio visual terhadap peningkatan pengetahuan keluarga tentang ISPA
didapatkan bahwa terjadi perubahan yang signifikan sebelum dan
setelah dilakukan pendidikan kesehatan dengan metode audio visual
pada kelompok eksperimen dengan value 0,001. Penelitian ini
menggunakan desain penelitian quasi experiment with control group
dengan metode yang digunakan yaitu pre-test and post-test non-
equivalent control group. Sampel dari penelitian ini berjumlah 30
responden yang terdiri dari 15 kelompok perlakuan dan 15 kelompok
kontrol dengan metode pengambilan sampel menggunakan cluster
sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang terdiri dari
2 bagian yaitu kuesioner tentang karakteristik responden dan tentang
pengetahuan responden terhadap ISPA (Utari et al., 2011).
2. Hasil penelelitian Umar dan Sungkar (2013) tentang efektivitas
penyuluhan terhadap pengetahuan mengenai pencegahan skabies pada
santri pondok pesantren di Jakarta Selatan ditemukan adanya
perbedaan yang signifikan pada tingkat pengetahuan santri tentang
pencegahan skabies sebelum dan sesudah diberikannya pendidikan
kesehatan dengan nilai p = 0.000 (p<0.005) dimana dapat disimpulkan
bahwa penyuluhan kesehatan ini dinilai cukup efektif. Penelitian ini
menggunakan desain pre-post study. Responden pada penelitian ini
33
memiliki rata-rata usia sampel yaitu 19,70 dengan usia tertua yaitu 37
tahun dan usia termuda 13 tahun.
3. Hasil penelitian tentang pengaruh penyuluhan kesehatan menggunakan
video dalam pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) terhadap
perubahan pengetahuan dan sikap remaja putri, didapatkan dari hasil
penelitian ini bahwa terjadi perubahan tingkat pengetahuan dan sikap
pada kelompok responden yang diberikan perlakuan. Penelitian ini
merukapan penelitian dengan desain penelitian quasy experimental
dengan rancangan pretest-posttest control group design dimana pada
desain ini terdapat dua kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol
(Sulastri, Thaha, & Russeng, 2012).
4. Hasil penelitian dari Aminah (2015) tentang hubungan tingkat
pengetahuan dengan kejadian skabies menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian skabies dengan
hasil p-value = 0,001. Penelitian ini menggunakan metode analitik
komparatif dengan pendekatan cross sectional dan pengambilan
datanya menggunakan metode total sampling.
34
F. Kerangka teori
Kerangka konsep dimodifikasi dari Sianturi (2014), Aminah (2015), Notoatmodjo
(2003)), Ratnasari dan Sungkar (2014, Ratri dan Paskarini (2014).
Tingkat Pengetahuan
Praktik personal hygiene
Kelembaban
Suhu
Penyediaanair
Pajanan sinar matahari
matahari
Kebersihan kulit
Kebersihan tangan kaki
dan kuku
Kebersihan rambut
Kebersihan badan
Bagan 2. 1 Kerangka teori
Lingkungan
Kontak langsung Kontak tidak langsung
Kejadian skabies
Pengobatan:
Menggunakan salep
permethrine 5%
penatalaksanaan
Modifikasi lingkungan:
Menjemur pakaian,
seprai, bantal, kasur
/alas tidurdibawah
sinar matahari
Merendam cucian
menggunakan air
panas
Pendidikan kesehatan
Tingkat pendidikan usia
pekerjaan
Sumber informasi
Jenis kelamin
35
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka konsep
Menyusun kerangka konsep merupakan salah satu tahapan yang
paling penting dalam suatu penelitian (Nursalam, 2008). Swarjana (2012)
dalam bukunya mengatakan sebuah penelitian mutlak memerlukan sebuah
kerangka konsep,dimana menurut Swarjana kerangka konsep merupakan
model pendahuluan dari sebuah masalah penelitian, dan merupakan
refleksi dari hubungan variabel-variabel yang diteliti. Tujuan dari
kerangka konsep adalah untuk mensintesa dan membimbing atau
mengarahkan penelitian, serta merupakan panduan untuk analisis dan
intervensi.
Kerangka konsep diatas didapatkan variabel independen yaitu
pendidikan kesehatan tentang skabies, sedangkan variabel dependennya
adalah tingkat pengetahuan. Melalui kerangka konsep di atas peneliti ingin
mengetahui efektivitas pendidikan kesehatan dengan media video pada
Bagan 3. 1 Kerangka Konsep
Variabel dependen:
Tingkat pengetahuan
Variabel
independen:
Pendidikan
kesehatan tentang
skabies dengan
media video
36
santri putera Madrasah Tsanawiyah Manbaul Ulum tentang skabies di
pesantren Asshiddiqiyah Jakarta. Variabel perancu adalah tingkat
pendidikan karena, karena tingkat pendidikan memiliki hubungan dengan
tingkat pengetahuan dan kejaidan skabies. Variabel perancu disini adalah
santri yang telah mendapatkan pendidikan kesehatan pada tahun ajaran
baru 2016 kemarin, maka penanggulangannya adalah dengan mengambil
sampel hanya santri kelas 2 Tsanawiyah
B. Definisi oprasional
Definisi operasional merupakam suatu definisi ketika variabel-variabel
penelitian menjadi bersifat operasional. Definisi dari operasional tersebut
menjadikan konsep yang awalnya bersifat abstrak menjadi operasional
yang memudahkan pengukuran variabel-variabel yang di maksud (Wasis,
2008). Definisi operasional menggambarkan bagaimana konsep diukur.
Definisi ini juga menentukan aktivitas yang harus diselesaikan oleh
peneliti sebelum memberikan nilai pada konsep (Churchill, 2005).
37
Tabel 3. 1 Definisi operasional
C. Hipotesis
Swarjana (2016) mengatakan, hipotesis adalah merupakan dugaan
sementara yang masih perlu diuji kebenarannya. Hipotesis menurut
Swarjana juga merupakan jawaban sementara atas rumusan masalah
penelitian yang masih perlu di uji kebenarannya melalui uji hipotesis
maupun uji statistik. Bakry (2016) dalam bukunya mengatakan hipotesis
adalah pernyataan prediktif, yang mampu diuji dengan metode ilmiah,
yang menghubungkan sebuah variabel dependen dengan beberapa variabel
independen.
Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat perbedaan tingkat
pengetahuan setelah dilakukannya pendidikan kesehatan tentang skabies
No variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala
pengukuran
1. Pendidikan
kesehatan
Proses penyampaian
informasi dengan
media video dan
poster
- - -
2. Pengetahuan Pemahaman santri
tentang informasi
yang diberikan yang
meliputi:
Faktor penularan
skabies
Tanda gejala
Perkembangan
tungau
Pengobatan dan
pengendalian
lingkungan
Kejadian
skabies
Wawancara tertutup Kuisioner dengan
skala guttman.
1. Pernyataan positif:
Nilai jawaban
benar:1
Nilai jawaban
salah: 0
2. Pernyataan negatif
Nilai jawaban
benar: 0
Nilai jawaban
salah: 1
a. Baik: hasil
persentase
76%-100%
b. Cukup: hasil
persentase
56%-75%
c. Kurang: hasil
persentase
<56%
(Nursalam,
2008)
ordinal
38
pada santri putra Madrasah Tsanawiyah Manbaul Ulum di pesantren
Asshiddiqiyah Jakarta.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi experiment
dengan bentuk non-equivalent control group. Desain non-equivalent
control group ini sangat baik digunakan untuk evaluasi program
pendidikan kesehatan atau pelatihan. Desain ini juga baik untuk
membandingkan hasil intervensi program kesehatan. (Notoatmodjo, 2010).
Keterangan:
O1: Mengukur tingkat pengetahuan awal responden kelompok perlakuan
sebelum diberikan perlakuan kuisioner
X: Memberikan perlakuan berupa pendidikan kesehatan dengan media
video
O2: Mengukur tingkat pengetahuan responden kelompok perlakuan setelah
diberikan perlakuan dengan kuisioner
P O1 X O2
K O1 O2
O1: Mengukur pengetahuan awal responden kelompok kontrol dengan
kuisioner
O2: Mengukur pengetahuan kelompok kontrol setelah kelompok perlakuan
mendapatkan perlakuan dengan kuisioner
B. Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta.
Penelitian ini dilakukan pada santri putera Madrasah Tsanawiyah Manbaul
Ulum kelas 2 yang berjumlah 30 santri. Penelitian ini dilakukan mulai dari
bulan Februari hingga bulan Maret.
C. Populasi dan sampel
1. Populasi
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri dari: obyek
atau subyek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan di tarik kesimpulannya
(Sugiyono, 2013). Populasi bukan hanya sekedar jumlah namun juga
meliputi karakteristik/sifat yang ada pada subyek atau obyek. Yang
menjadi populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa putra kelas 2
Madrasah Tsanawiyah Manbaul Ulum pesantren Asshiddiqiyah
Jakarta yang berjumlah 62 santri. Kelas 1 tidak peneliti masukan
sebagai responden karena sebelumnya kelas 1 telah mendapatkan
pendidikan kesahatan tentang skabies saat orientasi ajaran baru di
pesantren, sedangkan kelas 3 tidak dimasukkan sebagai responden
karena waktu penelitian yang berdekatan dengan waktu Ujian
Nasional tingkat SMP.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi tersebut (Sugiyono, 2013).
Swarjana (2012) dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian
Kesehatan mengatakan, sampel adalah kumpulan dari individu atau
objek yang dapat diukur yang merupakan perwakilan dari sebuah
populasi. Hasan (2011) dalam bukunya mengatakan menurut pendapat
Gay dan Diehl pengambilan jumlah sampel bergantung kepada desain
penelitiannya, dan dalam desain penelitian eksperimen pengambilan
jumlah sampel minimal yaitu 15 subjek per grup, sehingga total
sampel yang diambil adalah 30 siswa, dimana 15 merupakan
kelompok yang diberikan perlakuan dan 15 siswa lainnya termasuk
kedalam kelompok kontrol. Penelitian ini dilakukan pada kelompok
santri yang terdiri dari santri putra MTs. Manbaul ‘Ulum kelas 2 yang
berjumlah 30 yang dibagi dalam 15 orang kelompok perlakuan yang
diambil dari kelas 8B dan 15 orang pada kelompk kontrol yang
diambil dari kelas 8A, hal ini dilakukan agar seluruh santri kelas 8
memiliki kesempatan yang sama dalam penelitian ini. Penentuan
sample pada penelitian ini dilakukan dengan teknik random sampling,
dengan cara mengeliminasi nama sampel yang di dapatkan dari
absensi kelas. Ada 2 orang sampel yang setelah dilakukan pengocokan
namun tidak ada di tempat sehingga di lakukan pengocokkan ulang
untuk mengganti 2 orang sampel yang tidak ada tersebut
D. Metode pengumpulan data
1. Instrumen penelitian
Instrumen pada penelitian ini menggunakan kuesioner, dengan
jenis kuesioner tertutup. Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang
telah disusun untuk mendapatkan data sesuai yang diinginkan oleh
peneliti (Wasis, 2008). Kuesioner tingkat pengetahuan pada
penellitian ini diambil dari kuesioner penelitian milik dr. Fita Avrista
yang berjudul “Hubungan Antara Intensitas Penyuluhan Poskestren,
Pengetahuan, Sikap dengan Praktik Pencegahan Peularan Skabies
pada Santri Putri Aliyah” tahun 2014 yang telah dilakukan uji
validitas dan reliabilitas oleh peneliti sebelumnya dan hasil uji
validitasnya dinyatakan valid dan reliabel. Pertanyaan yang digunakan
dari penelitian tersebut kemudian di modifikasi kalimatnya dan
ditambahkan beberapa pertanyaan yang diambil dari tinjauan teori
pada penelitian ini, dan ada beberapa pertanyaan yang dibuang setelah
dilakukan uji konten oleh peneliti. Peneliti teah memohon izin kepada
dr. Fita Avrista untuk menggunakan kuesionernya, dan diizinkan oleh
peneliti tersebut.
Instrumen Video pada penelitian dibuat dengan bantuan website
http://Powtoon.com untuk pembuatan animasi. Materi pada video
diambil dari tinjauan teori pada penelitian ini.
Tabel 4. 1 Kisi-kisi instrumen
Variabel Parameter Jumlah
Pertanyaan
No pertanyaan
Data umum
(Kuesioner A) Usia
Kelas
Informasi
Pengalaman skabies
Perilaku yang beresiko penularan
skabies
Tempat terkena skabies
Riwayat keluarga/teman yang
mengalami skabies
Kondisi ligkungan beresiko penularan
skabies
Pengobatan
Pengalaman sembuh
12 1
2
3,4
5
6
7
8
9
10,11
12
Pengetahuan
tentang skabies
(Kuesioner B)
Faktor penularan skabies
Tanda gejala
Perkembangan tungau
Pengobatan dan pengendalian
lingkungan
Kejadian skabies
20 1,7,9,11,14,15,13
5, 21,2
19, 16, 18
3,4,8,10,12,17,20,22
6
Video animasi Definisi skabies
Tanda dan gejala dari skabies
Faktor penyebab skabies
Pengobatan dan penanganan
lingkungan
Pencegahan skabies
2. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas kuesioner pada penelitian ini dilakukan pada 30
responden yang merupakan santri pada pesantren Asshiddiqiyah 06
Serpong. Hasil dari uji validitas menggunakan pearson product
moment didapatkan dari 25 pertanyaan hanya 4 pertanyaan yang di
nyatakan valid, yaitu nomor 6, 9, 10, dan 11. Hasil dari uji reliabilitas
menggunakan Alpha cronbach didapatkan nilai sebesar 0.224 dimana
nilai ini kurang dari nilai R tabel yaitu 0.396 yang menunjukkan
bahwa kuesioner tidak reliabel. Setelah di lakukan uji validitas dan
reliabilitas kuesioner pertanyaan yang tidak valid di modifikasi
dengan menambahkan beberapa poin pernyataan yanag diambil dari
penelitian dr. Fita Avrista dan di modif beberapa kalimatnya, dan
setelahnya dilakukan Expert Judgement .
Expert Judgement adalah menggunakan pendapat para ahli untuk
menguji validitas konstruksi instrumen. Instrumen yang telah dibuat
dikonsultasikan dengan para ahli. Para ahli akan diminta pendapatnya
tentang instrumen yang telah disusun. Ahli akan memberikan
keputusan berupa: instrumen dapat digunakan tanpa perbaiakan, ada
perbaikan dan mungkin di rombak total (Sugiyono, 2012).
Pada penelitian ini isntrumen kuesioner diujikan kepada 3 ahli,
sedangkan instrumen video diujikan pada 2 ahli. Untuk penguji
kuesioner dilakukan oleh:
1. dr. Aprilina Dwi S, M.Sc, Sp.KK dengan hasil instrumen
kuesioner dapat digunakan dengan syarat adanya perbaikan
2. Ratna Pelawati,M.Biomed dengan hasil instrumen kuesioner
dapat digunakan dengan syarat adanya perbaikan
3. Silvia Fitrina Nasution, M.Biomed dengan hasil instrmen
kuesioner dapat digunakan dengan syarat adanya perbaikan
Instrumen video diujikan oleh 2 expert yaitu:
1. dr. Aprilina Dwi S, M.Sc, Sp.KK dengan hasil instrumen video
dapat digunakan dengan syarat adanya perbaikan
2. Ratna Pelawati,M.Biomed dengan hasil instrumen video dapat
digunakan dengan syarat adanya perbaikan.
3. Prosedur pengumpulan data
Jenis pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan data
primer. Data primer didapatkan langsung dari responden penelitian
melalui kuisioner. Kuisioner tersebut berisikan beberapa pertanyaan
untuk mengukur tingkat pengetahuan responden sebelum dan sesudah
diberikan pendidikan kesehatan dan juga untuk mengukur perilaku
responden sebelum dan sesudah diberikan pendidikan
kesehatantentang skabies melalui media video. Kuisioner diberikan
sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan dengan media
video.
Video yang akan diberikan sebagai pendidikan kesehatan kepada
responden merupakan video animasi yang memberikan info seputar
skabies, diantaranya; definisi skabies, faktor penyebab terjadinya
skabies, tanda gejala skabies, penanganan skabies baik secara
farmakologi maupun secara pnenggulangan dalam lingkungan.
Penelitiakan mejelaskan kepada responden mengenai tujuan, manfaat
dan inform consent penelitian untuk menghindari adanya responden
yang mengundurkan diri saat berlangsungnya penelitian.
Tahap pengumpulan data sebagai berikut:
1. Peneliti mengajukan surat untuk melakukan penelitian di
Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta dan Ashhiddiqiyah serpong
untuk uji validitas dan realibilitas instrumen
2. Peneliti melakukan uji validitas dan realibilitas instrumen yang
dilakukan di Pesantren Asshiddiqiyah 06 Serpong. Setelah
dilakukan uji Validitas dan Reliabilitas, peneliti melakukan uji
konten kepada ekspert
3. Santri yang bersedia menjadi responden penelitian baik
kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan diberikan
kuisioner pre-test, dimana pre-test pada kelompok perlakuan
dilakukan di ruang multimedia dan post-tetspada kelompok
kontrol dilakukan di ruang kelas kelompok kontrol yaitu kelas
8A. Pre-test dilakukan pada waktu yang bersamaan. Pre-test
dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden
tentang skabies sebelum diberikan pendidikan kesehatan
4. Responden kelompok perlakuan diberikan pendidikan
kesehatan tentang skabies melalui video mengenai skabies
setelah dilakukan pre-test. Pendidikan kesehatan ini dilakukan
di ruang multimedia pesantren Asshiddiqiyah.
5. Setelah diberikan pendidikan kesehatan responden dibagikan
kusioner post-test, dimana post-test pada kelompok perlakuan
dilakukan terlebih dahulu karena kelompok kontrol sedang
memasuki jam istirahat, dan post-test pada kelompok perlakuan
dilakukan di ruang multimedia. Setelah selesai jam istirahat
dilakukan post-test pada kelompok kontrol, post-test ini
dilakukan di kelas kosong. Post-test dilakukan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan responden setelah diberikan
pendidikan kesehatan tentang skabies pada kelompok
perlakuan.
E. Pengolahan data
1. Teknik pengolahan data
Agar analisispenelitian menghasiljan informasi yang benar, ada
beberapa tahapan dalam pengolahan data yang harus dilalui, yaitu:
a. Editing
Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isi dari
formulir atau kuisioner apakah jawabannya sudah lengkap terisi,
jelas terbaca, relevan dengan pertanyaan, dan konsisten (Sutanto,
2006). Pada saat pengambilan data berlangsung ada beberapa
responden yang lupa mengisi beberapa poin pertanyaan demografi
dalam kuesioner, dan peneliti memintanya untuk melengkapi.
b. Coding
Coding adalah kegiatan untuk merubah data dalam bentuk
angka/bilangan, misalnya untuk variabel pendidikan dilakukan
koding 1 = SD, 2 = SMP, 3 = SMA dan 4 = perguruan tinggi
(Sutanto, 2006). Pada penelitian ini koding dilakukan pada kuesioner
demografi, dan pada pengelompokkan kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol, dimana kelompok perlakuan diberikan kode 1,
dan kelompok kontrol diberikan kode 2.
c. Processing
Langkah ketiga ini dilakukan setelah semua kuisioner terisi penuh
dan benar serta telah melalui pengkodean, maka langkah selanjutnya
adalah agar data yang sudah di-entry dapat dilakukan analisis.
Pemrosesan data ini dilakukan dengan meng-entry data dari
kuisioner ke paket program komputer, seperti salah satu program
yang umum di guakan untunk meng-entry data adalah paket program
SPSS (Sutanto, 2006).
d. Cleaning
Proses cleaning atau pembersihan data adalah kegiatan pemeriksaan
kembali data yang sudah di-entry apakah terjadi kesalahan atau
tidak. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada saat meng-entry ke
komputer (Sutanto, 2006).
2. Analisa data
Data yang telah terkumpul dalam penelitian ini akan dianalisa
dengan analisis univariat dan bivariat yang selanjutnya akan
diinterpretasikan lebih lanjut untuk menguji hipotesa. Untuk
menganalisa data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:
a. Analisa univariat (analisa deskriptif)
Tujuan dari analisa univariat adalah untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik pada setiap variabel penelitian.
Bentuk dari analisis ini tergantung dari jenis datanya. Untuk data
numerik digunakan nilai mean, median, dan standar deviasi.
Umumnya dalam analisis ini hanya meghasilkan distribusi frekuensi
dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010). Analisa pada
penelitian ini adalah karakteristik respoden berdasarkan usia, kelas,
pernah mendapatkan informasi, sumber informasi yang didapat,
selain itu juga menganalisa juga terkait tingkat pengetahuan dan
perilaku sebelum dilakuakn pendidikan kesehatan tentang skabies
dan tingkat pengetahuan dan perubahan perilakusesudah dilakuakn
pendidikan kesehatan tentang skabies.
b. Analisa bivariat
Analisis bivariat dilakukan setelah analisis univariat. Analisis
bivariat dilakuakn pada dua variabel yang diduga berhubungan atau
berkorelasi. Analisis bivariat pada penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui normalitas pengetahuan responden, uji signifikansi
perbedaan tingkat pengetahuan melalui nilai pre-test dan post-test
pada masing-masing kelompok, dan juga untuk mengetahui
perbedaan tingkat pengetahuan post-test natara kedua kelompok.
Hasil dari uji normalitas dengan Saphiro-wilk didapatkan bahwa data
tidak terdistribusi normal, sehingga pada analisis untuk mengetahui
perbedaan tingkat pengetahuan pada pre-test dan post test masing-
masing kelompok menggunakan uji wilcoxon, dan untuk mengetahui
perbedaan tingkat pengetahuan kelompok perlakuan dan kontrol
setelah dilakukan pendidikan kesehatan menggunakan analisis mann
whitney.
F. Etika dalam penelitian
Nursalam (2009) mengatakan pada umumnya prinsip etika
penelitian data dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu;
1. Prinsip manfaat
a. Bebas dari penderitaan
Penelitian haruslah dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan
kepada subjek, terutama apabila menggunakan suatu tindakan
khusus. Pada penelitian ini, tidak ada hal yang membahayakan
responden
b. Bebas dari eksploitasi
Partisipasi dari subjek dalam penelitian harus dihindarkan dari
keadaan yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan
bahwa partisipasinya dalam penelitian tidak akan digunakan untuk
hal-hal yang dapat merugikan subjek. Pada penelitian ini tidak ada
hal yang merugikan responden, dan sebelunya responden telah
diberikan inform concent dan mereka memahami bahwa penelitian
ini tidak akan digunakan untuk hal yang dapat merugikan responden
c. Risiko
Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan
yang berakibat kepada subjek pada setiap tindakan.
2. Prinsip menghargai hak asasi manusia
a. Hak untuk bersedia/tidak bersedia menjadi responden
Subjek memiliki hak untuk memutuskan apakah mereka bersedia
menjadi subjek atau tidak tanpa adanya sangsi apapun atau akan
berakibat terhadap kesembuhannya jika subjek adalah seorang
pasien. Responden pada penelitian ini telah diberikan informed
concent dan seluruhnya bersedia untuk menjadi responden pada
penelitian ini tanpa adanya paksaan dari peneliti.
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan
Peneliti harus mampu memberikan penjelasan secara rinci serta
bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi pada subjek.
Peneliti telah menjelaskan kepada responden sebelum dilakukan
penelitian mengenai fungsi penelitian ini dan jalannya penelitian ini,
dan telah pula dijelaskan mengenai manfaat penelitian ini.
c. Informed consent
Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap mengenai
tujuan dari penelitian yang akan dilaksanakan, subjek juga memiliki
hak kebebasan untuk berpartisipasi atau tidak dalam penelitian ini.
Informed consent diberikan sebelum dilakukan penelitian, dan
seluruh responden menyatakan kesediaannya untuk menjadi
responden.
3. Prinsip keadilan
a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil
Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama,
maupun sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya
diskriminasi apabila ternyata mereka tidak bersedia atau
dikeluarkan dari penelitian
b. Hak dijaga kerahasiaannya
Subjek memiliki hak untuk meminta bahwa data yang diebrikan
harus dirahasiakan, maka dari itu perlu adanya tanpa nama
(anonymity) dan rahasia (Confidentiality)
53
BAB V
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini memaparkan hasil dari pengaruh pendidikan kesehatan
dengan menggunakan media video tentang skabies terhadap pengetahuan santri
putera Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta Barat. Penelitian dilakukan pada
tanggal 28 April 2017 di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Kebon Jeruk, Jakarta
Barat, dalam satu waktu mulai pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 11.00
WIB. Penelitian ini mengambil responden sebanyak 30 orang, dimana 15 orang
sebagai kelompok perlakuan dan 15 orang sebagai kelompok kontrol. Responden
merupakan santri putera kelas 8 tingkat Tsanawiyah Mts. Manbaul ‘Ulum Pondok
Pesantren Asshiddiqiyah Kebon Jeruk.
A. Gambaran Lokasi
Pondok Pesantren Asshiddiqiyah merupakan pondok pesantren
yang padat dihuni oleh santri yang jumlahnya sekitar lebih dari 700 santri.
Santri di tingkat Tsanawiyah / SMP pada Pondok Pesantren Asshiddiqiyah
sendiri berjumlah 360 santri. Santri kelas 8 di tingkat Tsanawiyah
berjumlah 116 dimana 62 diantaranya merupakan santri putera dan 54
santri puteri. Tersedia 5 kamar bagi santeri putera kelas 8 yang berisikan
15-16 orang perkamar dengan ukuran 4x5 meter dan 4x6 meter.
Hasil dari wawancara peneliti dengan salah satu ustadz di pesantren
didapatkan bahwa seluruh santri putera Madrasah Tsanawiyah pernah dan
atau sedang mengalami skabies. Sumber mengatakan santri putera
memiliki kebiasaan bertukar baju atau handuk. Santri putera juga terbiasa
tidur beralaskan kasur dimana setelah digunakan untuk tidur para santri
akan menumpuknya disatukan dengan kasur santri lainnya, dan saat akan
digunakan untuk tidur kembali para santri akan mengambilnya secara
acak, dimana bisa jadi kasur atau alas tidur yang digunakan bukan milik
santri tersebut melainkan kasur milik teman santri lainnya.
B. Analisis Univariat
1. Data Demografi
Usia responden pada penelitian ini berkisar antara 12-15 tahun,
dimana menurut Depkes (2009) usia ini termasuk kedalam masa
remaja awal yaitu usia 12-16 tahun. Hasil pengelolaan data univariat
atau deskriptifakan dapat dilihat dari tabel-tabel dibawah ini. Adapun
karakterstik dari responden sebagai berikut.
Tabel 5. 1 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Responden Mean Usia Min-Max
Kelompok perlakuan 13.80 12-14
Kelompok Kontrol 13.67 13-15
Rata-rata usia responden pada kelompok perlakuan ditemukan
sebesar 13.80. Usia paling kecil pada kelompok perlakuan yaitu usia
12 tahun dan yang paling besar adalah usia 14 tahun. Pada kelompok
kontrol rata-rata usianya ditemukan sebesar 13.67. Responden
kelompok kontrol yang paling kecil berusia 13 tahun dan yang paling
besar berusia 15 tahun.
Tabel 5. 2 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman
Mendapatkan Informasi
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase (%)
Sudah
pernah
mendapatkan
informasi
12 80 15 100
Belum
pernah
mendapatkan
informasi
3 20 0 0
Total 15 100 15 100
Responden yang pernah mendapatkan informasi mengenai
skabies pada kelompok perlakuan sejumlah 12 responden (80%).
Responden yang belum pernah mendapatkan informasi pada
kelompok perlakuan sejumlah 3 responden (20%). Semua responden
(100%) pada kelompok kontrol telah mendapatkan informasi tentang
skabies.
Tabel 5. 3 Distribusi Krakteristik Responden Berdasarkan Sumber
Informasi
Sumber Informasi Kelpmpok Perlakuan Kelompok Kontrol
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase
(%)
TV 0 0 2 13.3
Ustadz/Ustadzah 12 80 13 73.3
Tenaga Kesehatan 0 0 2 73.3
Belum pernah
mendapatkan
informasi
3 20 0 0
Total 15 100 15 100
Responden pada kelompok perlakuan sejumlah 12 responden
(80%) mendapatkan informasi mengenai skabies yang bersumber dari
ustadz/ustadzah di pesantren, sedangkan 3 responden (20%) pada
kelompok kontrol belum pernah mendapatkan info sama sekali
mengenai skabies. Sebanyak 2 responden (13.3%) pada kelompok
kontrol mendapatkan informasi mengenai skabies yang bersumber
dari televisi (TV), sebanyak 13 responden (73.3%) pada kelompok
kontrol mendapatkan informasi mengenai skabies melalui
ustadz/ustadzah, dan 2 responden (13.3%) pada kelompk kontrol
mendapatkan informasi tentang skabies melalui tenaga kesehatan.
Tabel 5. 4 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman
Menderita Skabies
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase
(%)
Belum pernah 0 0 0 0
Masih / Sedang
mengalami 4 26.7 4 26.7
Pernah, satu
bulan yang lalu 5 33.3 3 20
Pernah, Lebih
dari satu bulan
yang lalu
6 40 8 53.3
Total 15 100 15 100
Pada kelompok perlakuan, responden yang masih / sedang
mengalami skabies sebanyak 4 responden (26.7%), 5 responden
(33.3%) pernah mengalami skabies satu bulan yang lalu, dan 6
responden (40%) pernah mengalami skabies lebih dari satu bulan yang
lalu. Pada kelompok kontrol, semua responden pernah mengalami
skabies. Jumlah responden yang masih atau sedang mengalami
skabies pada kelompok kontrol sejumlah 4 responden (26.7%),
sedangkan yang pernah mengalami skabies satu bulan yang lalu pada
kelompok kontrol berjumlah 3 (20%) dan yang pernah mengalami
skabies lebih dari satu bulan yang lalu sebanyak 8 responden (53.3%).
Tabel 5. 5 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kebiasaan
Responden yang Menjadi Resiko Terjadinya Penularan Skabies
R
e
s
p
o
n
Kelompok perlakuan yang sering bertukar-tukar baju dan handuk
sebanyak 10 responden (66.7%), responden yang sering tidur
berhimpitan dengan teman atau saudara yang terkena skabies
sebanyak 4 responden (26.7%), dan responden yang sering mencuci
baju di campur dengan baju milik penderita skabies sebanyak 1
responden (6.7%). Responden pada kelompok kontrol yang sering
bertukar baju dan handuk sebanyak 5 responden (33.3%), responden
yang sering tidur berhimpitan dengan teman atau saudara yang
mengalami skabies sebanyak 9 responden (60%) dan responden yang
sering mencuci baju di campur dengan baju milik penderita skabies
sebanyak 1 responden (6.7%).
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase
(%)
Bertukar-tukar
baju & handuk 10 66.7 5 33.3
Tidur
berhimpitan
dengan teman /
saudara yang
mengalami kuple
/ gudig
4 26.7 9 60
Mencuci baju di
campur dengan
penderita kuple /
gudig
1 6.7 1 6.7
Total 15 100 15 100
Tabel 5. 6 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Pertama
Kali terkena Skabies
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase
(%)
Di Rumah 3 20 0 0
Di Pesantren 12 80 15 100
Total 15 100 15 100
Responden pada kelompok perlakuan yang mengalami kejadian
skabies di rumah sebanyak 3 responden (20%), sedangkan yang
terkena skabies di pesantren sebanyak 12 (80%). Responden pada
kelompok kontrol seluruhnya (100%) mengalami kejadian skabies di
pesantren.
Tabel 5. 7 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kerabat yang
Mengalami Skabies
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase
(%)
Ada, saudara di
rumah
0 0 0 0
Ada, kawan
sekamar di
pesantren
15 100 15 100
Total 15 100 15 100
Pada kelompok perlakuan terdapat 15 responden (100%)
mengatakan memiliki kawan sekamar yang terkena skabies. Pada
kelompok kontrol seluruhnya (100%) mengatakan memiliki kawan
sekamar di pesantren yang mengalami skabies.
Tabel 5. 8 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Kondisi
Lingkungan yang Beresiko Pada Kejadian Skabies
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase
(%)
Pesantren memiliki
kamar yang
sempit, tidur
berhimpitan tanpa
menggunakan alas
tidur milik sendiri
9 60 10 66.7
Lingkungan rumah
kotor, banyak
sampah, lantai
jarang disapu,
karpet jarang di
jemur
1 6.7 1 6.7
Lingkungan
pesantren kotor,
banyak sampah,
lantai kamar jarang
di sapu, karpet/alas
tidur jarang di
jemur
5 33.3 4 26.7
Total 15 100 15 100
Responden pada kelompok perlakuan yang mengatakan kamar
pesantren yang sempit sehingga tidur berhimpitan dan tidak
menggunakan alas tidur milik sendiri adalah resiko dari penularan
skabies berjumlah 9 responden (60%), sedangkan responden yang
mengatakan lingkungan rumah yang kotor, banyak sampah, dan lantai
jarang di sapu serta karpet jarang dijemur merupakan kondisi
lingkungan yang menyebabkan penularan skabies terdapat 1
responden (6.7%). Responden pada kelompok perlakuan yang
mengatakan lingkungan pesantren yang kotor, banyak sampah, lantai
kamar jarang disapu, dan karpet/alas tidur jarang di jemur yang
merupakan penyebab dari penularan skabies terdapat 5 responden
(33.3%).
Responden pada kelompok kontrol yang mengatakan kamar
pesantren yang sempit sehingga tidur berhimpitan dan tidak
menggunakan alas tidur milik sendiri adalah resiko dari penularan
skabies berjumlah terdapat 10 responden (66.7%), sedangkan
responden yang mengatakan lingkungan rumah yang kotor, banyak
sampah, dan lantai jarang di sapu serta karpet jarang dijemur
merupakan kondisi lingkungan yang menyebabkan penularan skabies
terdapat 1 orang responden (6.7%). Responden pada kelompok kontrol
yang mengatakan lingkungan pesantren yang kotor, banyak sampah,
lantai kamarjarang disapu, dan karpet/alas tidur jarang di jemur yang
merupakan penyebab dari penularan skabies terdapat 4 responden
(26.7%).
Tabel 5. 9 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Pengobatan
yang digunakan untuk Menangani Skabies
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase
(%)
Menggunakan
salep yang
mengandung
permethrine 5%
3 20 10 66.7
Menggunakan
bedak calicyl 8 53.3 4 26.7
Menggunakan
salep 2-4
3 20 1 6.7
Tidak diobati 1 6.7 0 0
Total 15 100 15 100
Responden pada kelompok kontrol yang menggunakan salep
permethrine 5% sebagai pengobatan terdapat 3 responden (20%), yang
menggunakan bedak calicyl sebanyak 8 responden (53.3%), yang
menggunakan salep 2-4 sebanyak 3 responden (20%), dan yang tidak
menggunakan obat sebanyak 1 responden (6.7%). Responden pada
kelompok kontrol yang menggunakan salep permethrine 5% sebagai
pengobatan sebanyak 10 responden (66.7%), yang menggunakan
bedak calicyl sebanyak 4 responden (26.7%), dan yang menggunakan
salep 2-4 sebanyak 1 responden (6.7%).
Tabel 5. 10 Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Informasi
Mengenai Pengobatan
Sumber
Informasi
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase
(%)
Dari tenaga
kesehatan
3 20 6 40
Dari
Ustadz/ustadzah
11 73.3 9 60
Dari tetangga 1 6.7 0 0
Total 15 100 15 100
Responden pada kelompok perlakan yang mendapatkan info
tentang pengobatan dari tenaga kesehatan sebanyak 3 responden
(20%). Responden yang mendapatkan informasi tentang pengobatan
melalui ustadz / ustadzah pada kelompok perlakuan sebanyak 11
responden (73.3%) dan yang mendapatkan informasi dari tetangga
terdapat 1 responden (6.7%). Responden pada kelompok kontrol yang
mendapatkan informasi pengobatan dari tenaga kesehatan sebanyak 6
responden (40%) dan yang mendapatkan informasi dari ustadz /
ustadzah sebanyak 9 responden (60%)
Tabel 5. 11 Distribusi Krakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman
Kesembuhan
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase
(%)
Pernah sembuh 1x 2 13.3 3 20
Pernah sembuh 2x 7 46.7 6 40
Pernah sembuh 3x 2 13.3 2 13.3
Pernah sembuh 4x 0 0 1 6.7
Pernah sembuh >
4x
2 13.3 2 13.3
Belum Pernah
sembuh
2 13.3 1 6.7
Total 15 100 15 100
Responden pada kelompok perlakuan yang pernah mengalami
kesembuhan sebanyak satu kali berjumlah 2 responden (13.3%),
responden yang pernah mengalami kesembuhan dua kali sebanyak 7
responden (46.7%), yang pernah mengalami kesembuhan tiga kali
sebanyak 2 responden (13.3%), yang pernah mengalami kesembuhan
sebanyak lebihdari 4 kali berjumlah 2 responden (13.3%), dan
responden yang belum pernah mengalami kesembuhan sebanyak 2
responden (13.3%). Responden pada kelompok kontrol yang pernah
mengalami kesembuhan satu kali sebanyak 3 responden (20%),
responden yang pernah mengalami kesembuhan dua kali sebanyak 6
responden (40%), yang pernah mengalami kesembuhan tiga kali
sebanyak 2 responden (13.3%), yang pernah mengakami kesembuhan
empat kali sebanyak 1 responden (6.7%), yang pernah mengalami
kesembuhan lebih dari empat kali sebanyak 2 responden (13.3%), dan
responden yang belum pernah sembuh sama sekali sebanyak 1
responden (6.7%).
2. Pengetahuan Responden
Perbedaan pengetahuan santri pada kelompok perlakuan sebelum
dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 5. 12 Gambaran Rata-rata Skor Pengetahuan Pre-test dan Post-test
Responden
Responden
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
Median Std.
Deviasi
(SD)
Min-
Max
Median Std.
Deviasi
(SD)
Min-Max
Pre-Test 16.00 .986 15-19 17.00 2.615 11-20
Post-Test 19.00 1.387 17-22 15.00 2.748 11-20
Hasil analisis rata-rata pengetahuan santri pada kelompok
perlakuan sebelum diberikan pendidikan kesehatan tentang skabies
adalah 16.60, dengan nilai minimum 15 dan nilai maksimum 19. Nilai
tengah pre-test pada kelompok perlakuan adalah 16.00 dengan standar
deviasi 0.986. Setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang skabies,
nilai rata-rata responden kelompok perlakuan meningkat 2.47 yaitu
menjadi 19.07 dengan nilai minimum 17 dan nilai maksimum 22.
Nilai tengah turut meningkat sebanyak 3.00 yaitu menjadi 19.00 dan
standar deviasi meningkat menjadi 1.387.
Hasil dari analisis rata-rata pengetahuan santri pada kelompok
kontrol sebelum diberikan pendidikan kesehatan tentang skabies
adalah 16.13 dengan nilai minimum 11 dan maksimum 20. Nilai
tengah pada kelompok kontrol sebelum diberikan pendidikan
kesehatan yaitu 17.00 dengan standar deviasi 2.615. Setelah diberikan
pendidikan kesehatan pada kelompok perlakuan, nilai rata-rata pada
kelompok kontrol menjadi 15.87 dengan nilai minimum yang masih
sama yaitu 11 dan nilai maksimum yang juga masih sama yaitu 20.
Nilai tengah kelompok kontrol setelah diberikannya pendidikan
kesehatan tentang skabies pada kelompok perlakuan menjadi 15.00
dan nilai standar deviasi menjadi 2.748.
Gambaran pengetahuan santri putera responden kelompok
perlakuan tentang skabies dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5. 13 Gambaran Rata-rata Skor Pengetahuan Pre-Test dan Post-Test
Responden Kelompok Perlakuan
Karakteristik
Pengetahuan
Pre-Test Post-Test
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase
(%)
Baik 7 46.7 15 100
Cukup 8 53.3 0 0
Kurang 0 0 0 0
Total 15 100 15 100
Tabel 5.13 menunjukkan, responden yang memiliki pengetahuan
baik terdapat 7 responden (46.7%). Responden dengan tingkat
pengetahuan cukup sebanyak 8 responden (53.3%). Setelah diberikan
pendidikan kesehatan tentang skabies, responden yang memiliki
pengetauan baik sejumlah 15 responden (100%), artinya terjadi
peningkatan pengetahuan responden setelah di berikan pendidikan
kesehatan tentang skabies.
Gambaran pengetahuan santri putera responden kelompok
perlakuan tentang skabies dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5. 14 Gambaran Rata-rata Skor Pengetahuan Pre-Test dan Post-Test
Responden Kelompok Kontrol
Karakteristik
Pengetahuan
Pre-Test Post-Test
Frekuensi Persentase
(%)
Frekuensi Persentase
(%)
Baik 8 53.3 7 46.7
Cukup 6 40 7 46.7
Kurang 1 6.7 1 6.7
Total 15 100 15 100
Tabel 5.14 menunjukkan, responden pada kelompok kontrol yang
memiliki pengetahuan baik sebanyak 8 responden (53.3%), yang
memilki pengetahuan cukup sebanyak 6 responden (40%), dan yang
memiliki pengetahuan kurang sebanyak 1 responden. Setelah
dilakukan pendidikan kesehatan tentang skabies pada kelompok
perlakuan dan dilakukan post-test pada kelompok kontrol, responden
yang memiliki pengetahuan baik menurun menjadi 7 responden
(46.7%), responden yang dengan pengetahuan cukup menjadi 7
responden (46.7%), dan responden yang memilik pengetahuan kurang
tetap terdapat 1 responden (6.7%). Artinya pada kelompok kontrol
terjadi penurunan pengetahuan dari sebanyak 6.7%.
C. Uji Normalitas
Hasil dari Uji Normalitas responden sebelum dan sesudah
pendidikan kesehatan dengan media video tentang skabies dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 5. 15 Hasil Uji Normalitas Pengetahuan Responden Sebelum dan
Sesudah Pendidikan Kesehatan Tentang Skabies
Shapiro-Wilk
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
df Sig. df Sig.
Pre-Test 15 .027 15 .533
Post-Test 15 .440 15 .332
Tabel 5.16 menunjukkan hasil Uji Normalitas pada tabel diatas
mengguakan uji Shapiro-Wilk. Hasil uji normalitas diatas diperoleh nilai
pengetahuan sebelum diberikan pendidikan kesehatan pada kelompok
perlakuan sebesar 0.027 dan pada kelompok kontrol sebesar 0.533, dan
setelah di berikan pendidikan kesehatan pada kelompok perlakuan tentang
skabies hasilnya pada kelompok perlakuan menjadi 0.440 dan pada
kelompok kontrol menjadi 0.332. Berdasarkan keterangan diatas dapat
disimpulkan bahwa data kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tidak terdistribusi
normal (p<0.05), karena pada nilai pengetahuan kelompok perlakuan
sebelum diberikan pendidikan kesehatan sebesar 0.027 (p<0.05) dimana
artinya data tidak terdistribusi normal. Kesimpulan dari hasil uji normalitas
diatas adalah untuk menganalisis perbedaan nilai pre-test dan post-test
pada masing-masing kelompok dilakukan menggunakan uji wilcoxon.
Untuk menganalisa perbedaan nilai post-test antara kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol dilakukan dengan uji mann whitney.
D. Analisis Bivariat
1. Pengaruh Pendidikan Kesehatan dengan Media Video terhadap
Nilai Pengetahuan Responden Kelompok Perlakuan dan
Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah diberikan Pendidikan
Kesehatan
Analisa perbedaan rerata nilai pengetahuan tentang skabies pada
santri putera kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:
Tabel 5. 16 Analisa Beda rerata Skor Pengetahuan Responden Sebelum dan
Sesudah diberikan PendidikanKesehatan Tentang Skabies
Nilai Pengetahuan Alpha (α) Nilai (p) Eta Squared
Kelompok Perlakuan 0.05 .001 0.6268
Kelompok Kontrol 0.05 .854 -
Berdasarkan tabel 5.17 diatas didapatkan Nilai p pada kelompok
perlakuan didapatkan sebesar 0.001, hal ini berarti lebih kecil dari
nilai α 0.05 (p<0.05), maka dapat disimpulkan adanya perbedaan
pengetahuan yang signifikan pada kelompok perilaku sebelum dan
sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang skabies. Dengan nilai
p<0.05 pada kelompok perlakuan, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendidikan kesehatan tentang skabies yang disampaikan dengan
media video memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan pengetahuan responden kelompok yang diberikan
perlakuan. Pada kelompok kontrol didapatkan nilai p sebesar 0.854,
dimana nilai ini lebih besar dari α 0.05 (p>0.05), maka dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat perubahan pengetahuan yang
signifikan pada kelompok kontrol baik sebelum maupun sesudah
diberikannya pendidikan kesehatan tentang skabies pada kelompok
perlakuan.
Berdasarkan nilai Eta Squared pada penelitian ini didapatkan hasi
0.6268, dengan nilai standar perhitungan eta squared yaitu jika eta
squared 0.1 = efek kecil, 0.3 = efek cukup, dan 0.5 = efek besar
(Cohen,1988). Hasil penelitian eta squared pada penelitian ini lebih
dari 0.5, maka dapat disimpulkan bahwa pedidikan kesehatan
menggunakan media video memiliki efek yang besar pada tingkat
pengetahuan responden yang diberikan perlakuan.
2. Analisa Beda rerata Nilai Pengetahuan Responden Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol saat Post-Test
Analisa beda rerata skor pengetahuan pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol padasaat post-test dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 5. 17 Analisis Beda Rerata Skor Pengetahuan Kelompok Perlakuan
dan Kelompok Kontrol saat Pre-Test dan Post-Test (n=30)
Nilai Pengetahuan
Pre-Test Post-Test
Mean Rank Nilai p Mean Rank Nilai p
Kelompok Pelakuan 15.57
P = 0.966
20.47
P = 0.002
Kelompok Kontrol 15.43 10.53
Tabel 5.18 hasil analisis dari uji Mann Whitney menunjukkan skor
pengetahuan saat pre-test antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol menunjukkan nilai p = 0.966 (p>0.05) dimana hasil ini
menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan yang
signifikan pada kedua kelompok sebelum dilakukan pendidikan
kesehatan. Hasil uji mann whitney menunjukkan skor pengetahuan
post-test antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
menunjukkan nilai p = 0.002 (p<0.05) artinya terdapat perbedaan
tingkat pengetahuan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol setelah dilakukan pendidikan kesehatan pada
kelompok perlakuan.
73
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada bab ini memaparkan tentang hasil penelitian tentang efektifitas
pendidikan kesehatan dengan media video tentang skabies pada santri putra di
pesantren Asshiddiqiyah Jakarta. Hasil penelitian ini akan di bandingkan dengan
teori atau penelitian sebelumnya. Bab ini juga akan membahas mengenai
kekurangan atau keterbatasan pada penelitian ini.
A. Karakteristik Responden
Penelitian ini dilakukan pada santri putera kelas 8 tingkat MTs.,
dimana pada penelitian ini usia responed berada di antara usia 12 sampai
15 tahun. Rata-rata responden pada penelitian ini baik pada perlakuan
kontrol maupun klompok kontrol berusia 14 tahun. Usia 13-20 tahun
menurut Potter & Perry (2003) termasuk kedalam usia remaja. Remaja
pada usianya berpartisipasi dalam kesehatan yang berkaitan dengan
melakukan perawatan diri sendiri, oleh karenanya promosi kesehatan
sangat tepat dilakukan pada usia ini karena pada usia remaja mereka akan
mencoba peran baru, mulai menstabilkan identitas mereka, dan nilai serta
perilaku yang didapatkan dari gaya hidup orang dewasa akan tercakup
didalam nya (Potter & Perry, 2003)
Usia responden dikaitkan dengan kejadian skabies berdasarkan
usia. Berdasarkan kejadian skabies, Rathore dan Saxena (2013) pada
penelitiannya mengenai prevalensi dan faktor resiko skabies pada sebuah
rumah sakit dengan Tertiary Care didapatkan kejadian skabies paling
banyak terjadi pada responden yang berusia 11-20 tahun. Lassa dkk.
(2011) dalam penelitiannya tenta epidemiologi dan prevalensi dari skabies
di Inggris didapatkan bahwa pada penelitian tersebut skabies banyak
terjadi pada usia 10 sampai 19 tahun. Williams dkk. (2008) dalam bukunya
yang berjudul Evidence-Based Dermatology menerangkan bahwa dalam
beberapa studi ditemukan prevalensi skabies paling tinggi pada usia
remaja dan pada usia anak sekolah. Penelitian Zeba dkk., (2012)
menemukan skabies terjadi lebih sering pada anak kecil dibandingkan
dengan orang dewasa, hal ini kemungkinan berkaitan dengan rendahnya
tingkat imun anak atau karena seringnya terjadi kontak kulit dengan orang
tua.
Karakteristik berdasarkan informasi yang sudah didapat
menunjukkan bahwa 80% responden pada kelompok perlakuan dan 100%
responden pada kelompok kontrol pernah mendapatkan pengetahuan
tentang skabies, dengan sumber informasi paling banyak pada kedua
kelompok adalah dari ustadz/ustadzah di pesantren. Sumber informasi
merupakan salah satu dari faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
pengetahuan (Notoatmodjo,2003). Sumber informasi yang telah didapat
oleh para responden inilah yang mungkin menyebabkan rata-rata nilai
pengetahuan pre-test kelompok perlakuan dan kelompok kontrol rata-rata
memiliki pengetahuan yang cukup. Setelah dilakukan pendidikan
kesehatan oleh peneliti pada kelompok perlakuan didapatkan terjadi
peningkatan tingkat pengetahuan menjadi seluruh responden kelompok
perlakuan memiliki pengetahuan yangbaik. Hal tersebut menunjukkan
bahwasannya sumber informasi dapat mempengaruhi pengetahuan.
Penelitian ini menggunakan media video dimana media video ini
menggunakan 2 indera pada responden yaitu indera pendengaran dan
indera pengelihatan, hal ini menjadikan pendidikan kesehatan lebih efektif
karena menggunakan lebih dari 1 indera.
Karakteristik kebiasaan responden yang beresiko terhadap
penularan skabies secara tidak langsung, dikaitkan dengan faktor penyebab
skabies yaitu faktor personal hygiene. Penelitian ini menunjukkan bahwa
66.7% responden pada kelompok perlakuan dan 33.3 % responden pada
kelompok kontrol sering bertukar-tukar baju atau handuk dengan kawan
atau saudara. Penelitian Sholihah dkk., (2015) tentang hubungan
pengetahuan, sanitasi lingkungan, dan personal hygiene dengan kejadian
skabies di kalimantan didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan
anatara personal hygiene dengan kejadian skabies, dengan nilai p value =
0.000 (p<0.05). Penelitian diatas juga sejalan dengan penelitian Chairiya
dkk., (2013) tentang hubungan personal hygiene dengan kejadian skabbies
di pondok pendidikan islam di padang, ditemukan adanya hubungan antara
personal hygiene dengan kejadian skabies dengan nilai p=0.000 (p<0.005)
Karakteristik responden selanjutnya adalah terkait dengan
lingkungan tempat tinggal yang menjadi faktor resiko penularan skabies.
Kelompok kontrol pada penelitian ini 60% diantaranya mengatakan bahwa
sering tidur berhimpitan dengan teman / saudara yang menderita skabies,
dan hal tersebut juga dialami oleh 26,7% responden pada kelompok
kontrol. Pada kelompok perlakuan didapatkan 80% diantaranya
mengatakan mengalami skabies saat di pesantren, dan 100% responden
pada kelompok kontrol juga mengatakan hal yang sama, selain itu 60%
responden pada kelompok perlakuan dan 66.7% responden pada kelompok
kontrol mengatakan bahwa pesantren memiliki kamar yang sempit
sehingga tidur berhimpitan. Hal diatas berkaitan dengan penelitian Zeba
dkk., (2014), dalam penelitiannya zeba dkk mengatakan banyak studi
terdahulu yang mencatat adanya hubungan antara kepadatan penghuni
dengan kejadian skabies. Baker dkk (2004) dalam bukunya mengatakan,
kontak personal seperti berpelukan dan berbagi tempat tidur dapat menjadi
media transmisi bagi tungau skabies. Saat santri tidur berhimpitan maka
akan ada kemungkinan terjadinya kontak personal atau kontak dari kulit ke
kulit yang dapat menjadi media transmisi tungau skabies.
Tiak hanya kepadatan penghuni saja, namun adanya santri lain di
kamar yang mengalami skabies dapat menjadi resiko penularan yang besar
di pesantren, ditambah para santri juga memiliki kebiasaan menggunakan
alas tidur secara bersamaan. Kondisi lingkungan yang seperti ini dapat
menjadi faktor tidak langsung dari penularan skabies. Menjaga lingkungan
seperti membersihkan karpet menggunakan penyedot debu, menjemur alas
tidur, menggunakan kasur milik sendiri harus dilakukan oleh santri dan
dipantau oleh wali asuh agar, hal tersebut merupakan bentuk dari
modifikasi lingkungan agar dapat mencegah terjadinya skabies atau
mencegah gejadian berulang dan menurunkan angka kejadian skabies.
Karakteristik responden berdasarkan penggunaan obat, didapatkan
bahwa 20% pada kelompok perlakuan dan 66,7% responden pada
kelompok kontrol menggunakan salep yang mengandung permethrine 5%
untuk mengobati skabies. Permethrine merupakan anti skabies yang paling
poten dibandingkan dengan preparat sulfur dan juga gameksan (Vindita
Mentari, 2014). UKS pesantren Asshiddiqiyah biasa memberikan obat
pada santri saat mengeluh gatal yaitu dengan salep 2-4, dimana salep ini
merupakan salep yang mengandung sulfur. Vindita (2014) pada laporan
studi kasusnya mengenai anak berusia 2,5 tahun yang mengalami skabies
didapatkan bahwa dengan menggunakan salep 2-4 tersebut tidak efektif
dalam menyembuhkan skabies nya. Ketidakefektifan dalam pengobatan
dapat menjadi salah satu penyebab kejadian skabies berulang.
Analisis karakteristik pada penelitian ini yang berkaitan dengan
pengalaman kesembuhan responden menunjukkan bahwa seluruh
responden pernah mengalami kesembuhan, namun kambuh kembali
dengan rata-rata mengalami kesembuhan sebanyak 2 kali. Banyak faktor
yang menyebabkan berulangnya kembali kejadian skabies, seperti
inadekuatnya pengobatan (Zeba, Shaikh, Memon, & Khoharo, 2014)
B. Pengaruh Video terhadap Pengetahuan Responden Mengenai Skabies
Pengetahuan tentang skabies sangat penting, karena kurangnya
pengetahuan masarakat tentang skabies dapat menjadi faktor penyebab,
selain itu bahaya dari penyakit skabies dapat dianggap biasa saja oleh
masyarakat apabila kurang pengetahuan (Aminah dkk, 2015). Penyuluhan
kesehatan adalah pendidikan kesehatan yang dilakukan dengan
menyebarkan pesan dan juga menanamkan keyakinan sehingga
masyarakat tidak hanya sadar, tahu, dan paham, tetapi juga mu dan dapat
melakukan anjuran-anjuran yang berhubungan dengan kesehatan
(Maulana, 2009). Tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk memodifikasi
perilaku positif yang tidak terlepas dari karakteristik bangsa (Birawa,
2007).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan
pengetahuan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol sebelum di lakukannya pendidikan kesehatan tentang skabies pada
kelompok perlakuan dengan nilai p = 0.966 (p>0.05). Hal tersebut
menunjukkan meskipun kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berada
pada kelas yang berbeda yaitu kelompok kontrol berasal dari kelas 8A dan
kelompok perlakuan berasal dari kelas 8B dan pembagian kelas
berdasarkan pada nilai kognitif dan afektif dimana kelas 8A terdiri dari
santri yang memiliki nilai kognitif dan afektif lebih baik dari kelas 8B
namun tingkat pengetahuan kedua kelompok tentang skabies homogen
atau sama pada saat pre-test dan tidak mempengaruhi hasil penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan nilai rata-rata
pengetahuan responden kelompok perlakuan sebelum dan sesudah
dilakukan pendidikan kesehatan, dimana rata-rata nilai kelompok
perlakuan sebelum dilakuakan pendidikan kesehatan adalah 16.60 dan
meningkat menjadi 19.07 setelah diberikan pendidikan kesehatan, dimana
didapatkan nilai p = 0.001 (p<0.05) yang menunjukkan adanya perbedaan
signifikan tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan pendidikan
kesehatan pada kelompok perlakuan, hal ini menunjukan bahwa
pendidikan kesehatan pada penelitian ini memiliki pengaruh pada tingkat
pengetahuan responden kelompok perlakuan. Tujuan diberikannya
pengetahuan adalah supaya seseorang yang tadinya tidak tahu menjadi
tahu, dan dapat pula mengubah sikap seseorang dan perilaku seseorang.
Seperti contohnya, seseorang yang tadinya tidak tahu apa yang
menyebabkan kejadian skabies menjadi tahu, dan mulai mengubah sikap
serta perilaku agar dapat mencegah kejadian tersebut.
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian Utari dkk,
(2011) yang menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan setelah di
berikan pendidikan kesehatan tentang ISPA pada kelompok eksperimen
peelitian. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Umar (2013)
tentang efektivitas penyuluhan terhadap pengetahuan mengenai
pencegahan skabies pada santri, dimana terjadi peingkatan yang signifikan
dengan nilai p=0.000 (p<0.05) setelah diberikan pendidikan kesehatan,
dimana pada penelitian ini penyuluhan diberikan dengan ceramah.
Penelitian ini menggunakan video sebagai media pendidikan
kesehatan, dimana media ini menggunakan lebih dari satu penginderaan
responden yaitu melalui pengelihatan dan pendengaran (audiovisual).
Hasil penelitian ini didapatkan nilai responden pada kelompok perlakuan
setelah diberikan pendidikan kesehatan dengan media video menunjukkan
bahwa seluruh responden memiliki pengetahuan yang baik, dan juga
terdapat perbedaan tingkat pengetahuan yang signifikan setelah dilakukan
pendidikan kesehatan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
dengan nilai p = 0.002 (p<0.05) yang menunjukkan bahwa pendidikan
kesehatan tentang skabies dengan media video berpengaruh terhadap
peningkatan pengetahuan responden. Hal ini juga dibuktikan dengan nilai
eta squared pada penelitian ini sebesar 0.6268 yang menunjukkan bahwa
media video memiliki efek yang besar pada peningkatan pengetahuan.
Informasi dan pedidikan kesehatan diberikan melalui media.
Terdapat beberapa media yang dapat diguakan untukpemberian informasi
seperti media cetak yang berupa leaflet, booklet; media elektronik seperti
televisis, radio, video; serta media papan seperti billboard (Birawa, 2007).
Departemen kesehatan RI (2008) mengatakan bahwasannya seseorang
belajar melalui pengindraan, dan setiap panca indera memiliki pengaruh
yang berbeda terhadap hasil belajar seseorang seperti; 1 % melalui rasa,
2% melalui sentuhan, 3% melalui indera penghidu, 11% melalui
pendengaran dan 83% melalui pengelihatan. Manusia akan dapat
mempelajari sesuatu lebih baik jika menggunakan lebih dari satu
penginderaan, dan manusia akan lebih baik dalam mengingat 105 melalui
membaca, 20% melalui apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50%
melalui apa yang dilihat dan didengar, 80% melalui apa yang diucapakan
dan 90% melalui apa yang diucapkan dan dilakukan. Penelitian ini
menggunakan video, sehingga responden pada kelompok perlakuan
mendapatkan pengetahuan melalui 2 indera, yaitu indera pengelihatan dan
indera pendengaran, seperti yang telah disampaikan diatas bahwa sumber
informasi yang didapatkan melalui apa yang dilihat dan apa yang didengar
50 % lebih baik bagi manusia dalam mempelajari sesuatu.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang Utari dkk (2011)
tentang efektifitas pendidikan kesehatan dengan media audiovisual
terhadap peningkatan pengetahuan keluarga tentang ISPA, dimana
didapatkan terjadinya peningkatan pengetahuan setelah dilakukan
pendidikan kesehatan dengan metode audio visual pada kelompok
eksperimen dengan nilai p = 0.001 (p<0.05). Febriana dkk (2011) pada
penelitiannya tentang efektifitas pengguaa media video utuk meningkatka
kemampuan mengenal bahaya HIV/AIDS bagi remaja tunarungu
megatakan bahwa hasil dari penelitian tersebut menujukkan bahwa media
video efektif untuk meigkatkan kemampuan mengenal bahaya HIV/AIDS
pada remaja tunarungu.
Pendidikan kesehatan dengan video memiliki kekurangan juga,
karena hanya 50% lebih baik untuk manusia dalam mempelajari sesuatu.
Akan lebih melakukan pendidikan kesehatan yang selain dengan indra
pengelihatan dan pendengaran juga digunakan dengan melakukan sesuatu,
contohnya seperti drama atau roleplay yang 90% metode yang baik dalam
pembelajaran. Penerapan perilaku hygiene yang baik dalam kehidupan
sehari-hari, seperti dengan memberikan peraturan bagi para santri untuk
hidup bersih juga dibutuhkan untuk tindak lanjut setelah diberikannya
pendidikan kesehatan.
C. Keterbatasan Penelitian
1. Tempat penelitian pada kelompok perlakuan dilaksanakan pada
ruangan yang terdapat jendela terbuka sehingga saat suara dari luar
kelas dapat terdengar dari dalam. Penelitian pada kelompok kontrol
dilakukan di ruangan kelas, sehingga siswa yang bukan merupakan
responden juga ada di dalam kelas dan mengganggu responden yang
sedang mengisi kuesioner.
2. Pengisian kuesioner pada kelompok kontrol saat pre-test bertabrakan
dengan waktu istirahat, sehingga banyak siswa yang ingin buru-buru
selesai mengerjakan kuesioner agar dapat cepat-cepat istirahat.
3. Kelompok responden perlakuan dan kelompok responden kontrol
berasal dari kelas yang berbeda, dimana penentuan kelas di pesantren
ditentukan berdasarkan nilai akademik dan kognitif siswa.
83
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tingkat pengetahuan responden pada kelompok perlakuan sebelum
diberikan pendidikan kesehatan yaitu 46.7% memiliki pengetahuan
baik, 53.3% memiliki pengetahuan yang cukup. Kelompok kontrol
didapatkan nilai pengetahuan sebelum dilakukan pendidikan
kesehatan tentang skabies pada kelompok perlakuan 53.3% memiliki
pengetahuan baik, 40% dengan pengetahuan cukup dan 6.7% dengan
pengetahuan kurang.
2. Tingkat pengetahuan responden pada kelompok perlakuan setelah
diberikan pendidikan kesehatan yaitu 100% memiliki tingkat
pengetahuan yang baik. Kelompok kontrol didapatkan pengetauan
setelah dilakukan pendidikan kesehatan tentag skabies pada kelompok
perlakuan 46.7% memiliki pengetahuan baik, 46.7% memiliki
pengetahuan cukup dan 6.7% memiliki pengetahuan kurang.
3. Pendidikan kesehatan dengan media video efektif dalam
meningkatkan pengetahuan santri tentang skabies dengan nilai eta
squared 0.6268 yang berarti media video memiliki efek yang besar.
B. Saran
1. Bagi institusi pendidikan keperawatan
84
Institusi diharapkan dapat mengembangkan kurikulum pendidikan
mengenai promosi kesehatan, khususnya promosi kesehatan terkait
dengan skabies yang sering terjadi dipesantren. Promosi kesehatan
dapat disampaikan dengan penggunaan metode promosi kesehatan
yang lebih menarik dan dapat lebih dipahami oleh siswa dan siswi
2. Bagi sekolah
Pesantren Asshiddiqiyah diharapkan dapat menjalin kerjasama
yang lebih baik dengan puskesmas terdekat agar dapat dilakukan
penyuluhan kesehatan mengenai peyakit skabies yang serig terjadi di
pesantren. Organisasi ekstrakulikuler seperti PMR juga diperlukan
agar mendapatkan pelatihan-pelatihan sehingga nantidapat terbentuk
kader dari santri yang akan menjadi penggerak atau contoh bagi santri
lainnya untuk hidup bersih, dan menjaga lingkungan. Selain itu
dibutuhkan juga penyediaan pengobatan seperti salep permethrine 5%
di unit kesehatan sekolah dan juga butuh pemeriksaan berkala pada
santri yang mengalami skabies.
3. Bagi pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan terdekat (Puskesmas) diharapkan dapat
mengadakan promosi kesehatan secara berkala dan berkelanjutan pada
penyakit skabies pada santri dipesantren Asshiddiqiyah. Promosi
kesehatan yang berkala ini diperlukan sehubungan dengan banyaknya
santri yang menderita skabies. Pemeriksaan secara berkala juga perlu
dilakukan. Puskesmas juga dapat bekerjasama dalam membentuk
85
organisai ekstrakulikuler disekolah seperti PMR atau membuat kader-
kader santri agar para santri berperan aktif serta dapat menjadi
penggerak untuk bidak kesehatan disekolah
4. Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti sampai kepada
perubahan sikap atau perilaku setelah diberikan pendidikan kesehatan
dan juga dapat menggunakan media yang lebih atraktif dan menarik
untuk penilitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amanda, O. (2010). Diagnosis and management. Best Practice Journal, (19), 12–
16. Retrieved from
http://www.bpac.org.nz/BPJ/2009/february/docs/bpj19_scabies_pages_12-
16.pdf
Aminah, P., Sibero, H. T., & Ratna, M. G. (2015). Hubungan tingkat pengetahuan
dengan kejadian skabies 1), 4, 54–59. Retrieved from
juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/.../610/614%0A
Azwar, Saifuddin. 2008. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta:
Pustaka Belajar
Bakry, U.S. 2016. Pedoman Penulisan Skripsi Hubungan Internasional.
Jogjakarta: Depublish
Birawa, A.B.P. 2007. Ilmu dan Aplikasi Bag 4 Pendidikan Lintas Bidang:
Pendidikan Kesehatan. Jakarta: Grasindo
Budiman & Riyanto.A. 2013. Kapita Selekta Kuesioner: Pengetahuan dalam
Sikap dan Penelitian Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika
Chosidow, O. (2006). Scabies.
Chruchill, G.A. 2005. Dasar-dasar Riset Pemasaran. Jakarta: Erlangga
Danim, Sudarwan. 2003. Riset Keperawatan: Sejarah dan Metodologi. Jakarta:
EGC
Departemen Kesehatan RI. (2008). Metode dan media promosi kesehatan 1. Field
Book, 1–11.
Djamarah, Syaiful B., Zain, Aswan. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
RinekaCipta
Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek Ed.9.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Golant, a. K., & Levitt, J. O. (2012). Scabies: A Review of Diagnosis and
Management Based on Mite Biology. Pediatrics in Review, 33(1), e1–e12.
https://doi.org/10.1542/pir.33-1-e1
Gould, D. (2010). Prevention, control and treatment of scabies. Nursing Standard
(Royal College of Nursing (Great Britain) : 1987), 25(9), 42–6.
https://doi.org/10.7748/ns2010.11.25.9.42.c8076
Hay, R. J., Johns, N. E., Williams, H. C., Bolliger, I. W., Dellavalle, R. P.,
Margolis, D. J., … Naghavi, M. (2014). The Global Burden of Skin Disease
in 2010: An Analysis of the Prevalence and Impact of Skin
Conditions.Journal of Investigative Dermatology, 134(6), 1527–1534.
https://doi.org/10.1038/jid.2013.446
Hilma, U., & Ghazali, L. (2014). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian
Skabies di Pondok Pesantren Mlangi Nogotirto Gamping Sleman
Yogyakarta. Jkki, 6(3), 148–157.
Kumboyono. (2011). Perbedaan Efek Penyuluhan Kesehatan Menggunakan
Media Cetak Dengan Media Audio Visual Terhadap Peningkatan
Pengetahuan Pasien Tuberkulosis. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 7
(1)(1), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Legesse W., A. A. (2014). Personal Hygiene: For Health Extensions
WOrkers.Lecture Notes USAID, (9), 58–59.
https://doi.org/10.2105/AJPH.13.11.962-a
Maulana, H.D.J. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC
Micali, Lacarruba. 2009. DermatoscopyinClinical Practice: Beyond Pigmented.
Italy: Informa Healthcare.
Michigan Department of Community Health. (2005). Scabies Prevention and
Control Manual, (May).
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta
Nugraheni, D. N., & Maliya, A. (2000). Pengaruh Sikap Tentang Kebersihan Diri
Terhadap Timbulnya Skabies ( Gudik ) Pada Santriwati Di Pondok
Pesantren Al- Muayyad Surakarta. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 180–188. Retrieved from
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3683/DWI
NURLIANA - ARINA MALIYAFix bgt.pdf?sequence=1
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan Ed.2. Jakarta: Salemba Medika
Putu Fani Yustisa, I Ketut Aryana, I. N. G. S. (2012). Efektivitas Penggunaan
Media Cetak Dan Media Siswa Sd. Jurnal Kesehatan Lingkungan, (3), 29–
39.
Rathore, P., & Saxena, P. (2013). Prevalence & Risk Factors for Scabies among
OPD Population of Tertiary Care Hospital Praveen Rathore Praveer Saxena
Global Research Analysis, 2(11), 189–190.
Ratnasari, A. F., & Sungkar, S. (2014). Prevalensi Skabies dan Faktor-faktor
yang Berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur The Prevalence of Scabies
and Its Related Factors in Pesantren X, East Jakarta. Prevalensi Skabies,
7(1).
Ratri, C. ., & Paskarini, I. (2014). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Scabies pada Nelayan di Desa Weru Kecamatan Paciran Kabupaten
Lamongan. The Indonesian Journal of Occupational Safety, Health and
Environment, 1(1), 132–143.
Santi, S. M., Sabrian, F., & Karim, D. (2014). Efektifitas Pendidikan Kesehatan
Menggunakan Media Audiovisual Terhadap Perilaku Pencegahan Filariasis.
Jom Psik, 1(2), 1–8.
Setyaningrum, I.Y. 2013. Skabies Penyakit Kulit yang Terabaikan: Prevalensi,
Tantangan, dan Pendidikan Sebagai Solusi Pencegahan.
http://jurnal.fkip.uns.ac.id. Diakses pada 29-11-2016 11.00 WIBAmanah, S.
(2007). Makna Penyuluhan dan Transformasi Perilaku Manusia. Jurnal
Penyuluhan IPB, 3(1), 63–67. Retrieved from
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/view/2152/1182
Sianturi, I. & S. S. (2014). The Relationship between Hygiene Practices and
Scabies Infestation in a Boarding School in East Jakarta.eJKI,2, 91–95.
Siregar. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta:EGC
Sulastri, Thaha, R. M., & Russeng, S. S. (2012). Pengaruh Penyuluhan Kesehatan
Menggunakan Video Dalam Pemeriksaan Payudara Sendiri ( Sadari )
Terhadap Perubahan Pengetahuan Dan Sikap Remaja Putri Di Sman 9
Balikpapan Tahun 2012 Health Effect Using Video Extension of Breast Self
Examination ( Bse ) Know. SADARI FOUNDATION, (5).
https://doi.org/Sulasih
Swarjana, I.K. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jogjakarta: Penerbit Andi
Swarjana, I.K. 2016. Statistik Kesehatan. Jogjakarta: Penerbit Andi
Syailindra, F., & Mutiara, H. (2016). Skabies.Majority, 5(April), 37–42.
Tyring, S.K. 2016. Tropical Dermatology 2nd Ed. London: Elsevier
Utari, W., Novayelinda, R., & Arneliwati. (2011). Efektifitas Pendidikan
Kesehatan Terhadap Peningkatan Pengetahuan Keluarga Tentang Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Riau, 1–7. Retrieved from
jom.unri.ac.id/index.php/JOMPSIK/article/download/3489/3385
Vindita Mentari, S. K. (2014). A 2,5 years old boy with scabies.Medula Unila,
3(September), 143–150.
Zeba, N., Shaikh, D. M., Memon, K. N., & Khoharo, H. K. (2014). Scabies in
Relation to Hygiene and Other Factors in Patients Visiting Liaquat
University Hospital , Sindh , 3(8), 2012–2015.
Wahyuning, dkk. 2003. Mengkomunikasikan Moral Kepada Anak. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo
Wasis. 2008. Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta: EGC
Yusuf, L.N, Syamsu & Nurihsan. 2006. Teori Kepribadian. Bandung: Rosda
LEMBAR PERSETUJUAN KUESIONER PENELITIAN EFEKTIFITAS
PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG SKABIES TERHADAP
TINGKAT PENGETAHUAN SANTRI PUTRA DI PESANTREN
ASSHIDDIQIYAH JAKARTA
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Salam sejahtera
Nama : Nabilah Fitriyani
NIM : 1113104000025
Saya Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Ilmu Keperawatan sedang melaksanakan
penelitian untuk penulisan skripsi sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan pendidikan
Sarjana Keperawatan (S.Kep).
Dalam lampiran ini terdapat beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan
penelitian. Untuk itu saya harap dengan segala kerendahan hati agar kiranya saudara bersedia
meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan yang nantinya akan saya tanyakan.
Kerahasiaan jawaban saudara akan dijaga dan hanya diketahui oleh peneliti.
Pertanyaan ini saya harap dapat saudara jawab dengan sejujur-jujurnya sesuai dengan
apa yang dipertanyakan, sehingga hasilnya dapat memberikan gambaran yang baik bagi
penelitian ini.
Saya ucapkan terimakasih atas bantuan dan partisipasi saudara dalam pengisian
kuesioner ini.
Apakah saudara bersedia menjadi responden?
YA/TIDAK
Jakarta, 2017
( )
Kuesioner Pengetahuan Santri Putra MTs. Manba’ul Ulum tentang Skabies
Tanggal :
Nomor Responden :
Petunjuk pengisian kuesioner !
1. Nomor responden diisi oleh peneliti
2. Tulislah tanggal pengisian kuesioner
3. Berikan tanda (x) pada jawaban yang anda pilih pada pertanyaan di bawah
4. Jawaban yang dapat dipilih pada nomer 4,6,9,11 dapat dijawab lebih dari
satu jawaban
A. Data Umum
1. Nama lengkap :
2. Usia :
3. Sudah pernah mendapat informasi tentang kuple/gudig sebelumnya?
( )sudah ( )belum
4. Sumber informasi yang didapat:
( )koran ( )Internet
( )Tv ( )Ustadz/Ustadzah
( )buku pelajaran ( )Petugas kesehatan
5. Kapan anda pernah mengalami kuple/gudig (jika pernah lanjut ke
pertanyaan nomor 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12) ?
( ) Belum Pernah
( ) Masih / sedang mengalami
( ) Pernah, sebulan yang lalu
( ) Pernah, lebih dari sebulan yang lalu
6. Menurut Saudara, kebiasaan apa yang menyebabkan saudara
mengalami kuple / gudig ?
( ) Bertukar baju & handuk
( ) Tidur berhimpitan dengan saudara / teman yang mengalami
kuple/gudig
POST-TEST
( ) Mencuci baju di campur dengan penderita kuple/gudig
7. Dimana anda terkena kuple/gudig ?
( )Rumah ( )Pesantren
8. Apakah ada saudara/keluarga serumah atau teman di pesantren yang
mengalami kuple/gudig ?
( ) Tidak ada ( ) Ada, keluarga di rumah
( ) Ada, kawan sekamar di pesantren
9. Bagaimanakah kondisi rumah / pesantren yang menjadi tempat
penularan kuple/gudig ?
( ) Rumah memiliki kamar yang sempit sehingga tidur secara bersama-
sama
( ) Pesantren memiliki ruangan yang sempit dan tidur bersama-sama
secara berhimpitan tanpa menggunakan kasur milik sendiri
( ) Lingkungan rumah kotor, lantai jarang disapu, kasur dan karpet
jarang dijemur
( ) Lingkungan pesantren kotor, banyak sampah, lantai kamar jarang
disapu, karpet/alas tidur jarang dijemur.
10. Saat mengalami kuple/gudig, bagaimana cara saudara mengobatinya ?
( ) Menggunakan obat yang mengandung permethrine 5% (contoh:
Scabimite, scabicid, dll)
( ) Menggunakan bedak Calicyl
( ) Menggunakan salep 2-4 (salep yang mengandung sulfur)
( ) Tidak menggunakan obat
( ) Lainnya, sebutkan .................................
11. Dari mana saudara mendapatkan informasi pengobatan tersebut ?
( ) Dari tenaga kesehatan (contoh: dokter, perawat)
( ) Dari Ustadz / Ustadzah
( ) Dari tetangga
12. Apakah saudara pernah mengalami kesembuhan ? Jika pernah berapa
kali?
( ) Pernah, ........ kali ( ) Belum pernah
B. Pengetahuan
Petunjuk pengisian !
Berilah tanda ( √ ) pada jawaban yang menurut anda paling benar pada
salah satu kolom pilihan jawaban: Benar (B), salah (S)
No Pernyataan B S
1 Kuple/gudig dapat menular melalui berpegangan
tangan dengan penderita dalam waktu yang lama
2 Kuple/gudig hanya dapat terjadi pada telapak tangan
dan pada punggung kaki
3 Kuple/gudig dapat diobati dengan salep permethrine
5% yang dioleskan dari Leher kebawah dan
digunakan 1 minggu sekali
4 Salep Permethrine 5% yang telah dioleskan
keseluruh badan didiamkan selama 8-12 jam dan
tidak boleh terkena air
5 Kuple/gudig tidak menyebabkan luka yang berbentuk
terowongan kecil dan kemerahan pada kulit
6 kuple/gudig hanya terjadi pada anak kecil
7 Air bersih merupakan media penularan penyakit
kuple/gudig
8 Karpet, sofa, dan bangku, harus dibersihkan dengan
menggunakan vacum cleaner (Penyedot debu) untuk
menghindari penularan tungau kuple/gudig
9 kuple /gudig dapat menular melalui makan bersama
10 Merendam baju dengan air panas yang baru mendidih
tidak dapat mematikan kutu gudig/kuple
11 Kuple tidak akan menular apabila bertukar-tukar
pakaian dan handuk
12 Menjemur alas tidur dan bantal 2 minggu sekali bisa
mencegah terjadinya kuple/gudig
No. Pernyataan B S
13 Kuple/gudig sering terjadi pada orang-orang yang
tinggal di tempat berpenghuni penuh/padat seperti di
pesantren
14 Kuple/gudig tidak menular apabila tidur pada kasur
yang sama dengan penderita kuple/gudig
15 Mencampur cucian baju milik sendiri dengan milik
teman yang menderita kuple/gudig akan
menyebabkan penularan kuple/gudig
16 Kamar yang kurang pencahayaan sinar matahari
dapat mempermudah perkembangan kutu skabies
17 Kuple/gudig akan sembuh sendiri tanpa pengobatan
18 Pakaian atau handuk kering dan bersih dapat
dijadikan tempat berkembang tungau kuple/gudig
19 Tungau yang menyebabkan kuple/gudig dapat
bertahan hidup pada suhu yang panas
20 Kuple/gudig tidak dapat disembuhkan hanya dengan
mandi setiap hari
21 Kuple/gudig sering menyebabkan gatal terutama
pada malam hari
22 kuple/gudig tidak memiliki hubungan dengan
kebersihan lingkungan sekitar
ANALISIS UNIVARIAT
A. Kelompok Perlakuan
No
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 1 6,7 6,7 6,7
2 1 6,7 6,7 13,3
3 1 6,7 6,7 20,0
4 1 6,7 6,7 26,7
5 1 6,7 6,7 33,3
6 1 6,7 6,7 40,0
7 1 6,7 6,7 46,7
8 1 6,7 6,7 53,3
9 1 6,7 6,7 60,0
10 1 6,7 6,7 66,7
11 1 6,7 6,7 73,3
12 1 6,7 6,7 80,0
13 1 6,7 6,7 86,7
14 1 6,7 6,7 93,3
15 1 6,7 6,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
Descriptives
Statistic Std. Error
usia Mean 13,80 ,145
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 13,49
Upper Bound 14,11
5% Trimmed Mean 13,89
Median 14,00
Variance ,314
Std. Deviation ,561
Minimum 12
Maximum 14
Range 2
Interquartile Range 0
Skewness -2,919 ,580
Kurtosis 8,388 1,121
pengalamaninfo
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Sudah 12 80,0 80,0 80,0
Belum 3 20,0 20,0 100,0
Total 15 100,0 100,0
sumberinfo
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 0 3 20,0 20,0 20,0
Ustadz/Ustadzah 12 80,0 80,0 100,0
Total 15 100,0 100,0
pengalamankuple
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Masih / sedang mengalami 4 26,7 26,7 26,7
Pernah, sebulan yang lalu 5 33,3 33,3 60,0
Pernah, lebih dari sebulan
yang lalu 6 40,0 40,0 100,0
Total 15 100,0 100,0
penyebabkuple
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Bertukar baju & handuk 10 66,7 66,7 66,7
Tidur berhempitan dengan
saudara / teman yang
mengalami kuple / gudig
4 26,7 26,7 93,3
Mencuci baju dicampur
dengan penderita
kuple/gudig
1 6,7 6,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
tempatkenakuple
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Rumah 3 20,0 20,0 20,0
Pesantren 12 80,0 80,0 100,0
Total 15 100,0 100,0
kerabatygkenakuple
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ada, kawan sekamar di
pesantren 15 100,0 100,0 100,0
kondisilingkungan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid pesantren memiliki kamar
yang sempit dan tidur
berhimpitan tanpa
menggunakan kasur milik
sendiri
9 60,0 60,0 60,0
lingkungan rumah kotor,
banyak sampah, lantai
jarang di sapu, karpet jarang
dijemur
1 6,7 6,7 66,7
lingkungan pesantren kotor,
banyak sampah, lantai
kamar jarang disapu,
karpet/alas tidur jarang
dijemur
5 33,3 33,3 100,0
Total 15 100,0 100,0
pengobatan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Mengguakan obat yang
mengandung permethirne
5%
3 20,0 20,0 20,0
Menggunakan bedak calicyl 8 53,3 53,3 73,3
Menggunakan salep 2-4
(salep yang mengandung
sulfur)
3 20,0 20,0 93,3
Tidak menggunakan obat 1 6,7 6,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
sumberinfopengobatan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Dari tenaga kesehatan 3 20,0 20,0 20,0
dari ustadz/ustadzah 11 73,3 73,3 93,3
dari tetangga 1 6,7 6,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
pengalamansembuh
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Pernah 11 73,3 73,3 73,3
belum pernah 4 26,7 26,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
pernahberapakali
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid satu kali 2 13,3 13,3 13,3
dua kali 7 46,7 46,7 60,0
tiga kali 2 13,3 13,3 73,3
lebih dari empat kali 2 13,3 13,3 86,7
belum pernah sembuh 2 13,3 13,3 100,0
Total 15 100,0 100,0
Statistics
total_pretsperla
kuan Total_posttest
N Valid 15 15
Missing 0 0
Mean 16,60 19,07
Median 16,00 19,00
Std. Deviation ,986 1,387
Minimum 15 17
Maximum 19 22
cut_pre
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 7 46,7 46,7 46,7
cukup 8 53,3 53,3 100,0
Total 15 100,0 100,0
Statistics
Cut_post
N Valid 15
Missing 0
Mean 1,00
Median 1,00
Std. Deviation ,000
Minimum 1
Maximum 1
Cut_post
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 15 100,0 100,0 100,0
B. Kelompok kontrol
usia
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 13 6 40,0 40,0 40,0
14 8 53,3 53,3 93,3
15 1 6,7 6,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
pengalamaninfo
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Sudah 15 100,0 100,0 100,0
sumberinfo
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tv 2 13,3 13,3 13,3
Ustadz/Ustadzah 11 73,3 73,3 86,7
Petugas Kesehatan 2 13,3 13,3 100,0
Total 15 100,0 100,0
pengalamankuple
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Masih / sedang mengalami 4 26,7 26,7 26,7
Pernah, sebulan yang lalu 3 20,0 20,0 46,7
Pernah, lebih dari sebulan
yang lalu 8 53,3 53,3 100,0
Total 15 100,0 100,0
penyebabkuple
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Bertukar baju & handuk 5 33,3 33,3 33,3
Tidur berhempitan dengan
saudara / teman yang
mengalami kuple / gudig
9 60,0 60,0 93,3
5 1 6,7 6,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
tempatkenakuple
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Pesantren 15 100,0 100,0 100,0
kerabatygkenakuple
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ada, kawan sekamar di
pesantren 15 100,0 100,0 100,0
kondisilingkungan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid pesantren memiliki kamar
yang sempit dan tidur
berhimpitan tanpa
menggunakan kasur milik
sendiri
10 66,7 66,7 66,7
lingkungan rumah kotor,
banyak sampah, lantai
jarang di sapu, karpet jarang
dijemur
1 6,7 6,7 73,3
lingkungan pesantren kotor,
banyak sampah, lantai
kamar jarang disapu,
karpet/alas tidur jarang
dijemur
4 26,7 26,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
pengobatan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Mengguakan obat yang
mengandung permethirne
5%
10 66,7 66,7 66,7
Menggunakan bedak calicyl 4 26,7 26,7 93,3
Menggunakan salep 2-4
(salep yang mengandung
sulfur)
1 6,7 6,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
sumberinfopengobatan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Dari tenaga kesehatan 6 40,0 40,0 40,0
dari ustadz/ustadzah 9 60,0 60,0 100,0
Total 15 100,0 100,0
pengalamansembuh
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid pernah 13 86,7 86,7 86,7
belum pernah 2 13,3 13,3 100,0
Total 15 100,0 100,0
pernahberapakali
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid satu kali 3 20,0 20,0 20,0
dua kali 6 40,0 40,0 60,0
tiga kali 2 13,3 13,3 73,3
empat kali 1 6,7 6,7 80,0
lebih dari empat kali 2 13,3 13,3 93,3
belum pernah sembuh 1 6,7 6,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
Statistics
Cut_prettestkont
rol
Cut_Posttestkon
trol
N Valid 15 15
Missing 0 0
Mean 1,53 1,60
Median 1,00 2,00
Std. Deviation ,640 ,632
Range 2 2
Minimum 1 1
Maximum 3 3
Cut_prettestkontrol
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Baik 8 53,3 53,3 53,3
Cukup 6 40,0 40,0 93,3
Kurang 1 6,7 6,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
Cut_Posttestkontrol
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Baik 7 46,7 46,7 46,7
Cukup 7 46,7 46,7 93,3
Kurang 1 6,7 6,7 100,0
Total 15 100,0 100,0
UJI NORMALITAS
Tests of Normality
Kelompok
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
total_pretsperlakuan Perlakuan ,262 15 ,007 ,863 15 ,027
Kontrol ,163 15 ,200* ,951 15 ,533
Total_posttest Perlakuan ,186 15 ,173 ,944 15 ,440
Kontrol ,181 15 ,199 ,936 15 ,332
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
Test of Homogeneity of Variance
Levene Statistic df1 df2 Sig.
total_pretsperlakuan Based on Mean 11,736 1 28 ,002
Based on Median 6,931 1 28 ,014
Based on Median and with
adjusted df 6,931 1 20,696 ,016
Based on trimmed mean 11,540 1 28 ,002
Total_posttest Based on Mean 12,600 1 28 ,001
Based on Median 7,887 1 28 ,009
Based on Median and with
adjusted df 7,887 1 22,526 ,010
Based on trimmed mean 12,803 1 28 ,001
UJI BIVARIAT
Descriptives
Kelompok Statistic Std. Error
total_pretsperlakuan Perlakuan Mean 16,60 ,254
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 16,05
Upper Bound 17,15
5% Trimmed Mean 16,56
Median 16,00
Variance ,971
Std. Deviation ,986
Minimum 15
Maximum 19
Range 4
Interquartile Range 1
Skewness ,971 ,580
Kurtosis 1,425 1,121
Kontrol Mean 16,13 ,675
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 14,69
Upper Bound 17,58
5% Trimmed Mean 16,20
Median 17,00
Variance 6,838
Std. Deviation 2,615
Minimum 11
Maximum 20
Range 9
Interquartile Range 4
Skewness -,444 ,580
Kurtosis -,683 1,121
Total_posttest Perlakuan Mean 19,07 ,358
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 18,30
Upper Bound 19,83
5% Trimmed Mean 19,02
Median 19,00
Variance 1,924
Std. Deviation 1,387
Minimum 17
Maximum 22
Range 5
Interquartile Range 2
Skewness ,420 ,580
Kurtosis ,110 1,121
Kontrol Mean 15,87 ,710
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 14,34
Upper Bound 17,39
5% Trimmed Mean 15,91
Median 15,00
Variance 7,552
Std. Deviation 2,748
Minimum 11
Maximum 20
Range 9
Interquartile Range 5
Skewness -,126 ,580
Kurtosis -1,215 1,121
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
total_pretsperlakuan Perlakuan 15 15,57 233,50
Kontrol 15 15,43 231,50
Total 30
Total_posttest Perlakuan 15 20,47 307,00
Kontrol 15 10,53 158,00
Total 30
Test Statisticsa
total_pretsperla
kuan Total_posttest
Mann-Whitney U 111,500 38,000
Wilcoxon W 231,500 158,000
Z -,043 -3,130
Asymp. Sig. (2-tailed) ,966 ,002
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,967b ,001b
a. Grouping Variable: Kelompok
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
total_pretsperlakuan Perlakuan 15 15,57 233,50
Kontrol 15 15,43 231,50
Total 30
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
total_pretsperlakuan Perlakuan 15 15,57 233,50
Kontrol 15 15,43 231,50
Total 30