efektifitas terapi tertawa terhadap penurunan gejala

Upload: fajar-tama

Post on 02-Mar-2016

58 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Efektifitas Terapi Tertawa

TRANSCRIPT

Efektifitas Terapi Tertawa Terhadap Penurunan Gejala Depresi Ada Lansia di Panti Wredha Hisosu Binjai Tahun 2012Iting* Friens Khana Pasaribu **Erna kasra***Abstrak

Depresi merupakan salah satu gangguan kesehatan mental yang paling banyak ditemui padalanjut usia (lansia). Prevalensi rata-rata depresi pada usia lanjut adalah 13,5%, dengan perbandingan wanita 14,1% dan pria 8,6% . Studi di Amerika juga menyatakan bahwa gejala-gejala penting dari depresi menyerang kira-kira hampir 10 sampai 15 % dari semua orang yang berusia lebih dari 65 tahun yang tidak diinstitusionalisasi, sedangkan angka depresi meningkat secara drastis diantara lansia yang berada di instiitusi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektifitas terapi tertawa terhadap penurunan gejala depresi pada lansia di Panti Wredha Hososu Binjai. Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasy xperiment pre test post test kelompok kontrol, dengan jumlah sampel 26 orang lansia yang diambil secara total sampling. Untuk mengukur gejaladepresi pada lansia digunakan alat ukur Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D) yang memuat 21 kelompok gejala depresi. Terapi Tertawa diberikan sebanyak dua kali seminggu selama empat minggu berturut-turut. Hasil Penelitian ini menunjukkan ada perubahan yang signifikan antara gejala depresi sebelum dan sesudah dilakukan terapi tertawa (P.value < ) dengan rata-rata gejala depresi sebelum terapi tertawa 28.27 dengan standar deviasi 3.863 dan rata-rata gejala depresi sesudah terapi tertawa 24.50 dengan standar deviasi 3.901. Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti factor-faktor yang mempengaruhi penurunan gejala depresi pada lansia.

Kata-kata Kunci : Depresi, lansia,Terapi TertawaPENDAHULUANMenurut organisasi kesehatan dunia (WHO), lanjut usia meliputi : Usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) antara 60 74 tahun, lanjut usia tua (old) antara 75 90 tahun, Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Sedangkan Batasan usia lanjut usia yang tercantum dalam Undang-undang No. 13/1998 tentang kesejahteraan lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Pembagian lanjut usia adalah Usia prasenius atau vinilitas yaitu seseorang berusia antara 45-49 tahun, usia lanjut yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, usia lanjut resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih (Harry, 2012).

Di Indonesia sendiri jumlah penduduk lansia meningkat setiap tahun nya, hal ini sesuai dengan survey yang dilakukan oleh United States Bureau of Census 1993, populasi usia lanjut di Indonesia diproyeksikan pada tahun 1990 2023 akan naik 414 %, suatu angka tertinggi di seluruh dunia dan pada tahun 2020, Indonesia akan menempati urutan keempat jumlah usia lanjut paling banyak sesudah Cina, India, dan Amerika. Fenomena ini akan berdampak pada semakin tingginya masalah yang akan dihadapi baik secara biologis, psikologis dan sosiokultural (Harry, 2012).Lansia merupakan kelompok masyarakat yang memiliki peran penting dalam membangun bangsa (Mentri Sosial Salim Segaf Al Jufri, 2012), namun masyarakat yang berusia lanjut adalah masyarakat yang rentan terhadap gangguan kesehatan, seperti pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang telah mengidentifikasi lansia sebagai kelompok masyarakat yang mudah terserang kemunduran fisik dan mental termasuk depresi. Depresi pada lansia disebabkan oleh stres dalam menghadapi perubahan-perubahan kehidupan. Perubahan perubahan yang dimaksud adalah masa pensiun, penyakit atau ketidakmampuan fisik, ditempatkan dalam panti wreda, kematian pasangan, dan kebutuhan untuk merawat pasangan yang kesehatannya menurun, kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stress yang berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga atau anak, atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya (Suadirman, 2011). Menurut sebuah penelitian di Amerika, Sejauh ini prevalensi depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15 % . Dari laporan negara-negara di dunia, prevalensi rata rata depresi pada usia lanjut adalah 13,5%, dengan perbandingan wanita 14,1% dan pria 8,6%. Studi di Amerika juga menyatakan bahwa gejala-gejala penting dari depresi menyerang kira-kira hampir 10 sampai 15 % dari semua orang yang berusia lebih dari 65 tahun yang tidak diinstitusionalisasi. Sedangkan Angka depresi meningkat secara drastis diantara Lansia yang berada di instiitusi, dengan sekitar 50 % sampai 75 % lansia yang menghuni perawatan jangka panjang memiliki gejala depresi ringan sampai sedang (Stanley, 2007). Sedangkan di Indonesia prevalensi depresi pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun adalah 15% dari komunitas umum, 25% pada pasien di praktek dokter dan 30% di perumahan, hal ini sesuai dengan pernyataan Dr. Petrin Redayani L. Sugijanto, SpKJ, sekretaris Seksi Psikoterapi, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) kepada bee-health yang mengatakan bahwa depresi merupakan masalah mental yang paling banyak ditemui pada usia lanjut (NANDA, 2001).

Lansia yang mengalami depresi tentu akan mengurangi produktifitas dan peran serta dalam pembangunan bangsa, selain depresi pada lansia adalah menurunnya harapan dan kualitas hidup pada lansia itu sendiri, serta meningkatkan ratio ketergantungan usia lanjut (old age ratiodependency). Sehingga diperlukan penanganan serius terhadap masalah psikologis yang dialami lansia khususnya depresi (Mensos, 2012).

Penanganan terhadap depresi pada lansia bisa dilakukan dengan berbagai cara, baik secara farmakologik atau non-farmakologik. Dalam dunia kesehatan terapi komplementer juga efektif digunakan dalam mengatasi depresi pada lansia seperti terapiherbal, terapi nutrisi, relaksasi progresif, meditasi, terapi tawa, akupuntur, akupresur, aromaterapi, terapi bach flower remedy, dan refleksologi (Ayu, 2011). Selama lebih dari dua dekade terakhir telah dilakukan penelitian mendalam di seluruh dunia yang membuktikan bahwa tertawa berdampak positif bagi berbagai sistem di tubuh kita. Terapi tertawa untuk mengurangi depresi sudah banyak di-lakukan orang, berdasarkan penelitian yang dilakukan di India, tertawa dapat menangani kecemasan dan perasaan depresi, yaitu sebanyak 19,5 %. Menurut President National Integration Movement (NIM) Maya Safira Muchtar depresi dapat diatasi dengan tertawa, karena tertawa dapat menghasilkan energi positif, membuat kita lebih optimis dan sehat (Ayu, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Andiati Nugraheni tentang pengaruh terapi tertawa terhadap depresi pada lansiadi Wirosaban RW XIV Sorosutan Umbulharjo Yogyakarta tahun 2006, dengan menggunakan metode eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretest-posttest, hasil analisis statistik dengan uji t berpasangan menunjukkan hasil signifikansi dari kelompok eksperimen dengan p = 0,000 dan p = 0,007 dengan depresi berarti sebelum percobaan 8.125, berarti setelah percobaan pertama 5.750 dan setelah percobaan kedua 5.875 artinya terjadi penurunan dari skor depresi tingkat 2.375 dan 2.250. Penelitian diatas didukung oleh penelitian yang dilakukan Dr. Lee Berk, seorang imunolog dari Loma Linda University di California USA, tertawa bisa mengurangi peredaran dua hormon dalam tubuh, yaitu efinefrin dan kortisol, yang bisa mengalangi proses penyembuhan penyakit baik fisik maupun mental, menurut penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Geriatrics dan Gerontology nternational, para peneliti menemukan terapi tawa bisa mengatasi depresi pada individu (Kataria, 2004). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Panti Wredha Hisosu Binjai pada tanggal 5 Desember 2012, dari sekretaris pengurus panti diperoleh data jumlah lansia yang tinggal di panti wredha tersebut sebanyak 33 orang.

Dari hasil wawancara 33 orang lansia ditemukan gejala depresi pada keseluruhan lansia yang tinggal dipanti tersebut, dengan keluhan yang beragam seperti merasa tidak berguna, tidak berdaya, kesepian, susah tidur pada malam hari, dan malas mengikuti aktivitas dengan lansia lain. Tujuh orang dari 33 lansia mengalami kemunduran fisik seperti kebutaan akibat diabetes mellitus, stroke dan kelumpuhan. Hasil observasi juga menunjukkan lansia lebih banyak berdiam diri di tempat tinggal masing-masing,tanpa melakukan aktivitas atau komunikasi dengan sesamanya. Pada saat melakukan survey lapangan peneliti melihat tidak adanya penanganan terhadap masalah depresi yang dialami lansia tersebut apalagi dengan terapi tertawa. Sehingga peneliti merasa tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan gejala depresi pada lansia di Panti Wreda Hisosu Binjai 2013.

METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimen semu (Quasy experiment). Karena peneliti tidak mengontrol semua variabel yang relevan, dengan pendekatan One Group Pre-Post Test (kelompok kontrol pretest-posttest) yang bertujuan untuk melihat efektifitas terapi tertawa terhadap penurunan gejala depresi pada lansia.Penelitian ini dilakukan sejak 13 April 2012 sampai dengan 24 Mei 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia yang mengalami gejala depresi di Panti Wredha Hisosu Binjai yang berumlah 26 lansia. Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling atau keseluruhan populasi dijadikan sampel, dan lansia yang sudah dijadikan sampel dalam penelitian ini ada sebanyak 26 lansia yang mengalami gejala depresi dan mampu melakukan terapi tertawa sertatidak mengalami keadaan yang kontraindikasi dengan pemberian terapi tertawa.Tingkat depresi pada lansia diukur dengan menggunakan lembar observasi dan wawancara baku yang dikenal dengan Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D) (Hawari, 2011), yang telah teruji reabilitas dan validitasnya, dimana HRS-D ini memuat 21 kelompok gejala depresi, dengan skor tertinggi 68 dan skor terendah 0, dalam menganalisa data menggunakan skala interval dengan masing-masing nilai angka dari ke 21 gejala tersebut dijumlahkan.Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat dilakukan peneliti untuk mendapatkan gambaran distribusi subyek penelitian serta menggambarkan variabel bebas yaitu terapi tertawa dan variabel terikat yaitu gejala depresi pada lansia. Sedangkan analisis bivariat dilakukan peneiti untuk mengetahui apakah ada pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan gejala depresi pada lansia. Data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara, dimana pengukuran dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Hasil pengukuran tersebut dibandingkan untuk menjawab pertanyaan penelitian, sehingga dapat diketahui apakah ada pengaruh pemberian terapi tertawa terhadap penurunan tingkat depresi pada lansia.

Uji statistik dalam penelitian ini adalah uji Paired T-Test (T-Dependent), dengan rumus (Hastono, 2010). Uji signifikan terhadap hasil perhitungan adalah dengan membandingkan hasil perhitungan signifikan (p) untuk level of significance () = 5 % (0,050) atau CI (Confidence Interval) 95 %. Bila nilai p < maka dapat disimpulkan bahwa terapi tertawa efektif untuk menurunkan tingkat depresi pada lansia dan dinyatakan signifikan secara statistik.HASIL PENELITIANDari hasil penelitian yang dilakukan pada 26 orang responden didapat bahwa karakteristik lansia yang tinggal di Panti Wreda Hisosu Binjai bervariasi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel distribusi frekuensi responden berdasarkan karakteristik demografi di bawah ini:

TabeL1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Lama Tinggal di Panti Lansia di Panti Wreda Hisosu Binjai Tahun 2012

Tabel2Analisa Perubahan Gejala Depresi Lansia Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Tertawa di Panti Wredha Hisosu Binjai Tahun 2012

Tabel3Hasil Uji Paired T-Test Efektifitas Terapi Tertawa Terhadap Penurunan Gejala Depresi Lansia di Panti Wredha Hisosu Binjai Tahun 2012

PEMBAHASANDalam penelitian ini lansia yang paling banyak mengalami depresi adalah wanita yaitu 57% (15 orang lansia), ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sadock bahwa depresi paling banyak dialami oleh lansia yang berjenis kelamin wanita, karena perbedaan hormonal, efek-efek dari melahirkan, perbedaan stressor psikososial, dan model-model prilaku dari learn helplessness. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang disampaikan Indian Woman Health (2009) bahwa depresi pada perempuan ditemukan 3 kali lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini disebabkan oleh faktor biologis, yaitu neurotransmitter serotonin yang merupakan salah satu unsur biologi yang berpengaruh terhadap terjadinya depresi pada seseorang. Para peneliti dari Montreal Neurological Institute di Kanada melaporkan bahwa otak pria dan wanita memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan hormone serotonin. Serotonin merupakan senyawa kimia yang dilepaskan tubuh ke dalam sel-sel otak yang berfungsi sebagai jembatan penghantar pesan di dalam otak yang berhubungan dengan emosi. Pada seseorang yang sedang mengalami depresi maka kadar serotonin akan menurun dibandingkan saat normal. Pada keadaan normal otak pria dan wanita mempunyai kadar serotonin yang seimbang, namun otak pria lebih cepat 52% dari otak permpuan dalam menghasilkan serotonin, hal ini lah yang diduga menjadi penyebab perempuan lebih mudah mengalami depresi (Ausrianti, 2010).Selain itu, premenopause dan menopause juga merupakan faktor yang meningkatkan resiko untuk terjadinya depresi pada perempuan. Faktor psikologis, koping mekanisame dan response perempuan terhadap stress cenderung lebih mudah untuk mengalami depresi dibandingkan laki-laki. Dengan demikian secara biologis perempuanlebih berpotensi untuk mengalami depresi (Ausrianti, 2010).

Dari hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa rata-rata lansia yang mengalami depresi adalah mereka yang berusia 66 - 75 tahun (61.5%), hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kira-kira tiga dari 100 orang lansia berusia diatas 65 tahun mengalami depresi. Angka ini akan meningkat pada lansia yang berusia 80 tahun atau lebih. Hal ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan Suryo (2011) dengan judul Gambaran Depresi Lansia di Panti Werdha Dharma Bakti Suryakarta, didapatkan hasil gambaran tingkat depresi lansia dari perspektif umur yang menunjukkan bahwa semakin tua lansia tingkat depresi pun cenderung meningkat (Ausrianti, 2010).

Studi di Amerika juga menyatakan bahwa gejala-gejala penting dari depresi menyerang kira-kira hampir 10 sampai 15% dari semua orang yang berusia lebih dari 65 tahun yang tidak diinstitusionalisasi, sedangkan angka depresi meningkat secara drastis diantara lansia yang berada di instiitusi (NANDA, 2001).Penelitian ini juga menunjukkan bahwa semua lansia yang mengalami depresi mayoritas berada di panti selama kurang

dari lima tahun (53.8%). Menurut Wahit (2006), individu yang belum lama tinggal di panti belum menyatu dengan kegiatan-kegiatan di panti, mereka belum dapat menikmati kegiatan tersebut dan masih perlu beradaptasi dengan lingkungan baru. Lanjut usia yang belum terlibat dalam kegiatan-kegiatan di panti akan merasakan dirinya tidak berarti dan tidak memiliki peran sehingga kemungkinan depresi akan lebih tinggi.Dari hasil penilitian dengan menggunakan uji T-Paired diperoleh nilai P value 0.000 yang berarti bahwa kondisi gejala depresi lansia yang mendapat terapi tertawa menunujukkan ada penurunan yang bermakna sebelum dan sesudah terapi diberikan. Penurunan yang dimaksud dalam hasil penelitian ini adalah bahwa kondisi gejala depresi lansia semakin membaik, dimana nilai pengukuran gejala depresi semakin menurun setelah mendapatkan terapi tertawa. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Dr. Lee Berk, seorang imunolog dari Loma Linda University di California USA pada tahun 2008, tertawa bisa mengurangi peredaran dua hormon dalam tubuh, yaitu efinefrin dan kortisol, yang bisa mengalangi proses penyembuhan penyakit baik fisik maupun mental, menurut penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Geriatrics dan Gerontology International, para peneliti menemukan terapi tawa bisa mengatasi depresi pada individu (Kataria, 2004). Untuk mengetahui sejauh mana gejala depresi pada lansia dalam penelitian ini menggunakan alat ukur (instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D). Dari hasil Penelitian rata-rata gejala depresi sebelum terapi tertawa adalah 28.27 dengan standar deviasi 3.863, dan rata-rata gejala depresi sesudah terapi tertawa 24.50 dengan standar deviasi 3.901. Penurunan gejala depresi pada lansia dalam penelitian ini bervariasi , hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat konsentrasi dan fokus responden selama mengikuti instruksi terapis di setiap tahap terapi tertawa. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Lubis (2010) bahwa individu yang mengalami depresi akan mengalami kesulitan dalam memfokuskan perhatian atau pikiran pada suatu hal atau pekerjaan.

Mengingat kondisi ini maka peneliti berasumsi bahwa tingkat konsentrasi dan keseriusan lansia dalam mengikuti instruksi terapis di setiap tahap terapi tertawa berpengaruh terhadap penurunan gejala depresi pada lansia. Faktor lain yang berpengaruh terhadap penurunan gejala depresi lansia adalah penilaian lansia terhadap dirinya, ini didukung dengan teori kognisi depresi yang dikemukakan oleh Wilkinson bahwa kognisi depresi merupakan penyebab utama depresi, atau yang memperburuk keadaan dan memelihara kondisi tersebut. Menurut Moh Sholeh (2006), seorang yang mempunyai pandangan negative tentang dirinya, dunia, dan masa depan, tidak akan mudah keluar dari situasi penuh tekanan yang membuatnya depresi.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan perbedaan yang signifikan antara gejala depresi sebelum dan sesudah diberikan terapi tertawa, dengan kata lain terapi tertawa efektif dilakukan pada lansia untuk menurunkan gejala depresi yang dialaminya. Penelitian ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Andiati Nugraheni pada Bulan Juni 2004 tentang Pengaruh Terapi Tertawa Terhadap Depresi Lansia di Wirosaban RW XIV Sorosutan Umbulharjo Yogyakarta. Analisis statistik dengan uji t berpasangan

menunjukkan hasil signifikansi dari kelompok eksperimen dengan p = 0,000 dan p = 0,007 dengan depresi berarti sebelum percobaan 8.125, berarti setelah percobaan pertama 5.750 dan setelah percobaan kedua 5.875, artinya terjadi penurunan dari skor depresi tingkat 2.375 dan 2.250. Sementara kelompok kontrol menunjukkan hasil yang tidak memiliki makna, dengan p = 0,451 dan p = 0.351 dengan depresi berarti sebelum percobaan 8.250, berarti setelah percobaan pertama 8.500 dan setelah percobaan kedua 8.000 arti terjadi peningkatan dari 0,250 dan penurunan 0,250. Dan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan signifikan sebelum dan setelah diberikan

terapi tertawa.Sedangkan menurut sebuah studi terbaru yang meneliti efek terapi tertawa pada depresi, kognisi dan tidur pada lanjut usia yang tinggal di sebuah panti yang melibatkan 109 subyek berusia 65 tahun dan lebih tua. Para peserta dibagi menjadi dua kelompok dengan 48 mata pelajaran dalam kelompok terapi tawa dan 61 subyek pada kelompok kontrol. Kelompok-kelompok dibandingkan dengan menggunakan evaluasi depresi, pemeriksaan kesehatan mental dan tes kualitas tidur. Pada awal penelitian, tidak ada perbedaan signifikan antara kedua kelompok pada salah satu evaluasi. Ketika penelitian berakhir, ditemukan bahwa tingkat depresi dan insomnia telah secara signifikan menurun pada kelompok terapi tawa. Penelitian ini juga menemukan bahwa kualitas tidur secara keseluruhan dan kesadaran mental telah meningkat dalam kelompok terapi tawa. Temuan ini menunjukkan bahwa terapi tawa adalah pilihan pengobatan yang berguna dan hemat biaya untuk menurunkan gejala depresi pada lansia (Alicia, 2010).

KESIMPULAN DAN SARANBerdasarkan pembahasan hasil penelitian yang berkaitan dengan bab sebelumnya, maka dapat dibuat kesimpulan dan saran sebagai berikut : Rata-rata gejala depresi sebelum terapi tertawa adalah 28.27 dengan standar deviasi 3.863. Rata-rata gejala depresi sesudah terapi tertawa 24.50 dengan standar deviasi 3.901. Terapi tertawa efektif menurunkan gejala depresi pada lansia di Panti Wredha Hisosu Binjai, hal ini diketahui berdasarkan analisa kuantitatif yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada skor gejala depresi pada lansia sebelum dan sesudah diberikan terapi tertawa.Saran, agar dapat mengikuti rutinitas terapi tertawa yang diadakan panti secara teratur untuk merangsang pengeluaran endorphin dan serotonin dan juga melatonin sehingga lansia bisa merasa lebih tenang dan bisa menurunkan gejala depresi yang dialami lansia. Bagi Pihak Panti Wredha Hisosu Binjai Agar dapat meningkatkan mutu kesehatan lansia serta penanganan baik terhadap lansia yang mengalami depresi di panti wredha dengan cara memberikan terapi-terapi komplementer pada lansia seperti terapi tertawa. Penambahan tenaga medis di panti wredha terutama perawat, dokter, dan psikiater agar lansia yang mengalami masalah psikiatri dapat ditangani dengan baik. Penelitian ini dapat dijadikan bahan pembelajaran dan pengembangan ide untuk penelitian yang selanjutnya yang berkaitan dengan depresi pada lansia. Penelitian ini dapat dilakukan kembali untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi depresi pada lansia yang tinggal di panti.KEPUSTAKAANAftina, Humor Mati (Sebuah Mekanisme Pertahanan). http://wordpress.com. Diakses October 17, 2012. Dilihat 17 Januari 2013.

Alicia. 2010. Health Guides disease depression elderly Risk factor. (http://health.nytimes.com/he alth/guides/disease/depression-elderly/risk-factors.html.Diakses 2 Mei 2010. Dilihat 1 Juni 2013.Ausrianti, Rizka. 2010. Hubungan antara Tingkat Depresi Dengan Tingkat Kemampuan Melaksanakan Aktivitas Dasar Sehari-Hari Pada Lanjut Usia Di Pstw Sabai Nan Aluih Sicincin. http://wordpress.com. Diakses Nopember 2010. Dilihat Mei 2013. Ariana, Atika Dian. 2006. Terapi Humor

untuk Menurunkan Tingkat Stres pada Mahasiswa Baru. Skripsi: Fakultas Psikologi UNAIR. Yogyakarta. Ayu, Anastasia. 2010.Terapi Tertawa. Yogyakarta : Pustaka Larasati. Dadang

Hawari D. 2011. Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. Jakarta : Gaya Baru Harry. Depresi pada lansia. http://Depkes.go.id. Diakses 8 Maret 2012. Dilihat 17 Januari 2013. Hastono. S. Priyo. 2010. Statistika Kesehatan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Hasanat, Nida. I. 1996. Pelatihan Ekspresi Wajah Positif untuk Mengurangi Depresi. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana UGM.

Hodgkinson, Liz. 1991. Smile Therapy. London. Optima book. Kataria, M. 2004. Laugh For No Reason (Terapi Tawa). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Lewis, Michael et al. 2004. Handbook of Emotions Second Edition. New York: The Gulford Press. Mensos . Maksimalkan peran lansia . http://www.kemsos.go.id/. Diakses 28 Nopember 2012. Dilihat 18 Februari 2013.

Muhammad, Asadi.2011.Tertawalah Biar Sehat. Yogjakarta : DIVAPress. NANDA. 2001. Nursing Diagnosis Definition and Classification (2001-2002). Philadelphia

Plutchik, Robert. 2002. Emotions and Life Perspective from Psychology, Biology, and Evolution. Washington DC: American Psychological Association. Purba, Jenny Marlindawani dkk. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Jiwa. 2011. Medan: USU Press. Simanungkalit, Bona & Pasaribu, Bien. 2007. Terapi Tawa Efektif Menagkal Stres dan Membantu Mengobati Kanker, Darah Tinggi, Sakit Kepala, Gangguan Syaraf, Maag danlain-lain. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.Stanley, Mickey. Patricia Gauntlett Bearre. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta : ECG. Suardiman, Siti Partini. 2011. Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.Syamsudin. Depresi pada lansia. http://Depsos.go.id. Diakses 1 Agustus 2010. Dilihat 18 Februari 2013. Yosep, Iyus. 2011. Keperawatan Jiwa. Refika Aditama. Bandung.Manfaat Terapi Tertawa

Merangsang mood, memperbaiki fungsi otak, melindungi jantung, merapatkan hubungan dengan orang lain, melegakan perasaan, tertawa nampak akan mengurangi tingkat stress tertentu dan menumbuhkan hormon. Hormon stress akan menekan sistem kekebalan, sehingga meningkatkan jumlah platelet (sesuatu yang dapat menyebabkan gangguan dalam arteri) dan meningkatkan tekanan darah. Tertawa pada dasar-nya akan membawa keseimbangan pada semua komponen dan unsur dalam sistem kekebalan. Menurunkan tekanan darah tinggi. Tertawa akan meningkatkan aliran darah dan oksigen dalam darah, yang dapat membantu pernapasan.

Tertawa juga dapat meningkatkan usaha tubuh untuk melawan penyakit seperti tekanan darah tinggi, struk, artritis, ulcer dan mengurangi resiko serangan jantung. Bahkan, ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa tertawa juga dapat melancarkan sistem pencernaan dan penyerapan nutrisi makanan. Namun yang paling penting ialah tertawa dapat menguatkan kesehatan mental atau jiwa. Tertawa pada diri sendiri juga bisa mengubah persepsi kita terhadap masalah yang kita hadapi.

Berbagai macam bentuk senyum dapat kita kembangkan Bisa juga karena kenangan indah atau lelucon yang dilontarkan oleh teman atau orang lain di sekitar kita. Tetapi hal ini justru sering dilupakan ketika orang mengalami persoalan hidup yang menekan dan berujung pada stres. Stres pada saat ini dapat ditimbulkan oleh beberapa sebab dan setiap orang memiliki sebab yang berbeda-beda. Setiap orang pun juga memiliki metode yang berbeda beda dalam mengatasi stres yang dialami. Stres yang berkepanjangan (kronik) akan menyebabkan sistem kekebalan tubuh (imun) menurun. Akibatnya berbagai penyakit dan kelemahan menurun. Bahkan bisa mengakibatkan penyakit kanker hingga stroke.

Tetapi kita bisa tenang, karena hal itu bisa dicegah dengan menggunakan teknik "Escape From Stress". Teknik ini akan meningkatkan kualitas hidup, pencegahan terhadap penyakit yang mematikan, seperti stroke, serangan jantung, kanker hingga gejala neurosis. Escape from Stress (EPS) adalah sebuah metode yang sering digunakan belakangan ini. Sebuah metode management stres untuk terbebas dari stres bahkan justru mendapatkan manfaatnya. Banyak program yang telah dikembangkan oleh EPS, antara lain, teknik relaksasi, latihan pernafasan dada dan perut, meditasi medis dan terapi tertawa. Beban hidup dan tuntutan hidup yang harus dipenuhi adalah salah satu faktor stress dan sangat mudah membuat tertawa menjadi barang langka. Padahal tertawa sangat berefek positif pada mental seseorang. Hal yang bisa dilakukan adalah banyak sajian lawak ditayangkan di televisi yang bisa membuat kita tertawa tentu saja lebih bermutu. Maka hal ini selain bisa menjadi terapi tertawa juga bisa menambah pengetahuan.

Dalam dunia psikoterapi, tertawa dapat dilakukan dengan terapi tertawa. Tertawa biasa dan tertawa yang dibuat-buat berbeda dengan terapi tertawa. Terapi tertawa merupakan tertawa yang dimulai dengan tahap demi tahap. Sehingga efek yang dirasakan bagi yang tertawa benar-benar bermanfaat. Terapi tertawa untuk mengurangi stres sudah banyak dilakukan orang. Tertawa 5-10 menit bisa merangsang pengeluaran endorphin dan serotonin, yaitu sejenis morfin alami tubuh dan juga melatonin. Ketiga zat ini merupakan zat baik untuk otak sehingga kita bisa merasa lebih tenang. Terapi tertawa merupakan teknik yang mudah dilakukan, tetapi efeknya sangat luar biasa, bahkan dapat menyembuhkan pasien dengan gangguan mental akibat stres berat. Tertawa dalam dunia medis, merupakan obat mujarab gangguan stres atau gangguan penyakit jiwa lainnya. Antara lain:

1. Rasa nyeri atau sakit akan berkurang setelah tertawa. Tertawa tidak saja bisa mengurangi rasa sakit tapi juga meningkatkan kekebalan tubuh. (Rosemary Cogan dari Texas Tech University).

2. Tertawa terbahak-bahak sangat bermanfaat bagi orang sehat. Tertawa bisa menggoyang-goyangkan otot perut,dada, bahu, serta pernapasan, sehingga membuat tubuh seakan-akan sedang joging di tempat. Sesudah tertawa tubuh terasa rileks dan tenang, sama seperti kalau habis berolahraga. Tertawa melatih diafragma otak, jantung, paru-paru, perut, juga membantu mengusir zat-zat asing dari saluran pernapasan. Tertawa juga sangat ampuh untuk meringankan sakit kepala, sakit pinggang, dan depresi. (Dr. William Foy dari Stanford University).

3. Tertawa bisa mengurangi peredaran dua hormon dalam tubuh, yaitu epinephrine dan kortison yang mengalangi proses penyembuhan penyakit. (Dr. Lee Bark, imunologi dari Loma Linda University di California, Amerika Serikat).

4. Tertawa akan menggerakkan bagian dalam tubuh, mengaktifkan sistem endocrine sehingga mendorong penyembuhan suatu penyakit. Tertawa akan menstimulasi otak untuk memproduksi hormon tertentu yang pada akhirnya akan memicu pelepasan endorphin (zat pembunuh rasa sakit) yang diproduksi oleh tubuh. (Dr. William Frey, pakar biokimia dan direktur Dry Eye and Tears Research Center di Minneapolis, Amerika Serikat).

5. Tertawa bisa membantu para lanjut usia untuk tetap awet muda dan yang muda tetap awet muda, serta mempererat hubungan antara anggota keluarga. (Prof. Dr. Lucille Name how, pakar yang menangani masalah penuaan dari Connecticut, Amerika Serikat).

6. Tertawa bisa membantu para lanjut usia untuk tetap awet muda dan yang muda tetap awet muda, serta mempererat hubungan antara anggota keluarga. (Prof. Dr. Lucille Name how, pakar yang menangani masalah penuaan dan Connecticut, Amerika Serikat).