edisi 2/mei 2016 perempuan-perempuan pemburu...
TRANSCRIPT
1
Cerita InklusipendampingEdisi 2/Mei 2016
www.samanta.id
The Asia Foundation
KEMENTERIAN KOORDINATORBIDANG PEMBANGUNAN MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIA
AIR merupakan salah satu kebutuhan utama bagi setiap umat manusia. Tanpa air bagaimana manusia bisa hidup..? Suatu fakta nyata bahwa dalam dunia ini, tidak ada satu ma
nusia pun yang hidup tanpa setetes air. Para ahli mengatakan bahwa 80% tubuh manusia terdiri atas cairan, dengan demikian manusia lebih banyak membutuhkan air untuk bertahan hidup. Kegunaan air tidak saja untuk kebutuhan konsumsi tetapi sangat menyumbang pada aspek kesehatan rumah tangga dan penguatan ekonomi.
Dari sisi kesehatan rumah tangga misalnya air dapat digunakan untuk di minum, masak, mencuci, mandi, menyiram dan kakus (WC). Ketika pemerintah menghimbau masyarakat agar menjaga perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) tantangannya adalah, bagaimana masyarakat bisa memenuhi kebutuhan dasar terkait kesehatanya, kalau air saja tidak mencukupi?
Perempuan kampung Laitenggi, Desa Meorumba, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, NTT adalah salah satu tempat yang sangat merasakan kekurangan air bersih. Kampung ini hanya ada satu mata air, namun tidak cukup memenuhi kebutuhan sekitar 15 kepala keluarga. Mata air ini yang dulunya bisa bertahan pada musim kemarau, namun kini hanya bisa dimanfaatkan mulai bulan November sampai Mei. Selebihnya masyarakat kampung Laitenggi terutama kaum wanita sangat kesulitan untuk mendapat air bersih.
Hal inilah yang membuat mereka terkadang mengeluh dengan kondisi yang ada. Urusan mengambil air cukup memakan tenaga dan menyita waktu. Kalau sudah demikian, terpaksa mereka harus korbankan pekerjaan lain lagi yang lebih penting. Padahal masih banyak pekerjaan lain yang mestinya dilakukan seperti mencari nafkah maupun tugas mereka sebagai ibu rumah tangga, namun apa daya tempat pengambilan air yang sangat jauh se hingga menyita waktu mereka. Tidak jarang pekerjaan yang lainpun sering kali tertunda.
Geliat berburu air tidak saja berpengaruh pada sektor produktifitas tetapi cukup mempengaruhi kesehat an masyarakat itu sendiri terutama perempuan. Dari pengamatan, 55 % perempuan di pedesaan sakit disebabkan kelelahan atau daya tahan tubuh yang tidak seimbang. Salah satu faktor kelelahan adalah karena mengambil atau memburu air bersih untuk memenuhi kebutuhan
Perempuan-perempuan Pemburu Air
Air bagi masyarakat di dua desa, Mauramba dan Meo-rumba merupakah barang yang langka. Mencari air ibarat manusia hendak berburu rusa. Para perempuan di Kam-pung Laitenggi, Desa Meorumba, Kecamatan Kahaungu Eti Kabupaten Sumba Timur, NTT harus antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan 10- 15 liter air. Terkadang sambil menunggu giliran, ada juga pertengkaran kecil ketika ada yang tidak antri. Lebih parah lagi kalau mata airnya sudah kering kerontang terpaksa mereka harus naik turun gunung untuk mengambil air sungai yang jarak nya kurang lebih 1500 meter.
Laporan Selsilia Yowa Mbali (Pendamping Program Peduli)
2
anggota keluarga. Selain kelelahan, kurangnya
sumber air bersih sangat mempengaruhi kebersihan lingkungan maupun individu. Perempuan sangat membutuhkan air yang cukup banyak terutama bila dalam keadaan haid atau setelah melahirkan. Kurang nya persediaan air terkadang kaum perempuan berupaya apa adanya dalam penanganan kebersihan rumah tangga maupun diri sendiri.
Seperti yang dialami Ibu Uru Hida (49) salah satu warga masyarakat Lai tenggi Desa Meorumba, Kabupaten Sumba timur. Ibu Uru Hida mesti berjalan kaki membawa dua jerigen lima liter yang berisi air bersih, berarti ia membawa air 10 liter air. Air bersih ini di ambil dari sebuah mata air yang berada di sekitar Kampung Laitenggi yang jaraknya 1300 meter. Dalam satu hari ibu Uru Hida pulang pergi sebanyak 34 kali untuk mengambil air atau lebih 3040
liter. Jika dalam satu hari ia PP 2 kali
dan ia secara tidak langsung menempuh perjalanan sejauh 2,6 km, berapa jauh perjalanan yang ia habiskan dalam 1 bulan 1 tahun, dan 10 tahun. Kondisi ini sangat beralasan jika mereka mengeluh tentang keadaanya.
“Beginilah keadaan kami di desa Meorumba, terutama di Kampung Laitenggi. Aku capek , setiap hari harus naik turun bukit. Kalau air sepuluh liter, hanya cukup untuk cuci piring”, kata uru Hida.
“Umbu dan Rambu lagi di sawah.” katanya.
Umbu dan rambu yang dimaksud adalah sang tuannya sendiri, karena ibu ini berasal dari strata bawah atau orang rumahan. Dalam budaya setempat memang bukanlah hal yang sangat mutlak agar orang rumahan wajib mengambil air. Sudah merupakan tradisi setempat tanpa disuruh pun Uru Hida seolaholah
ini sudah merupakan tanggung jawabnya.
“Kalau tidak datang mengambil air di tempat ini, yang jelas kami sekeluarga tidak makan. Tenaga saya bukan seperti tenaga lakilaki, saya hanya mampu memikul 2 jerigen. Umur saya sudah tua, setiap kali saya datang ambil air, ha nya mampu membawa dua jerigen lima liter, itu pun kalau kondisi badan se
hat, kami menggunakan banyak air setap hari untuk minum, masak, kebersihan rumah, WC, untuk mandi bagi anak yang ke sekolah,” kata dia sambil senyum kecil.
Perempuanperempuan kampung sungguh cantik alami tanpa polesan alat kecantikan. Sayangnya memasuki usia 30 tahun keatas nampak lebih tua, kusut dan lusuh. Mereka capek, lelah, letih karena beban pekerjaan.
Ketimpangan gender masih sangat dominan dikalangan perempuan pedesaan dan anakanak. Jam kerja mereka lebih tinggi dibandingkan kaum pria. Urusan ambil air, angkut kayu bakar, urusan masak, cuci pakaian termasuk mengurus anakanak masih merupakan rutinitas perempuan dibandingkan lakilaki. Alasannya, pekerjaan mencuci piring, cuci pakaian, ambil air, angkut kayu api adalah urusan perempuan. Kalaupun ada yang sudah mulai melakukan perubahan terutama mereka yang sudah berpendidikan tinggi dianggap memalukan keluarga.
Kisah ibu Uru Hida menggambarkan kondisi perempuan Sumba Timur terutama yang masih menganut faham feodalisme. Perempuan dan anakanak anak rumahan merupakan ujung tombak dalam setiap pekerjaan rumah tangga. Kalau saja setiap anggota keluarga berperan sama seperti misalnya pria ikut ambil air, angkut kayu bakar, mengurus anak kecil dan lainlain sebagai nya kemungkinan bebab perempuan Salah satu sumber mata air di Meorumba
Ibu Uru Hida (49) berjalan mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya.
3
akan berkurang. Selain itu perbedaan yang sangat mencolok antara perlakuan tuan terhadap orang rumah (atta) dibandingkan anak kandung Maramba (bangsawan) masih sangat menonjol.
Pekerjaan perempuan dimulai saat pagi buta, paling lambat jam 06.00 dengan memberi pakan ternak kecil seperti ayam dan babi. Setelah itu, bergegas ke mata air mengambil air. Sambil merebus air panas untuk kopi atau teh, perempuan sudah bersihbersih halaman. Kirakira jam 07.00 barulah sang suami bangun.
Sementara sang istri menyiapkan kopi, sang pria masih ngobrol sambil menunggu kopi, setelah menyuguhkan kopi, istri mulai menyiapkan sarapan, barulah suami mulai bergeliat mengurus ternak besar misalnya mengeluarkan sapi atau kuda dari kandang. Setelah selesai sarapan pagi, sang istri masih cuci piring, sang suami baru mulai asah parang sambil isap rokok.
Kirakira jam 07.30 suami istri
berangkat ke ladang, bekerja dari jam 08.00 sampai jam 11.00. istri bergegas pulang untuk urus makan siang termasuk mengambil air dari mata air, sang pria bisa saja duduk lesehan atau bahkan tidur pulas dibawah pohon rindang. Mulai bekerja lagi kirakira pada jam 14.00 bersama suami –istri. Jam 16.00, istri atau anak perempuan sudah mulai bergegas untuk mengumpulkan kayu bakar dan pulang sambil memikul kayu. Kaum pria mulai siapsiap untuk potong rumput pakan ternak. Sesampai di rumah, perempuan menyambar jerigen untuk ambil air minum sedang kaum pria sudah bersiapuntuk mandi sore. Pulang dari mata air, perempuan sudah mulai sibuk memasak dan cucui pring, kaum pria boleh santai sambil isap rokok atau ngobrol dengan tetangga. Kirakira jam 19.00 makan malam, setelah makan malam, perempuan masih cuci piring, sedangkan pria sudah santai sambil isap rokok. Setelah cuci piring, mungkin suami mulai tidur pulas tetapi per
empuan mempersiapkan makanan untuk esok paginya seperti titi jagung atau tumbuk padi.
Gambaran kesibukan perempuan desa yang hampir tak punya waktu untuk bersantai atau mengobrol seperti lakilaki. Hal ini sangat dirasakan oleh perempuan terutama dari stara bawah. Pola relasi gender masih timpang bahkan belum berlaku untuk perempuan kampung. Sampai saat ini belum ada terobosan atau solusi yang dilakukan oleh pemerintah terutama dari badan pemberdayaan perempuan paling tidak melakukan penyadaran tentang polarelasi gender.
Berbicara tentang pola relasi gender memang bukan hal yang mudah karena ibarat sepeda menabrak tebing, namun sesungguhnya tebing tidak selamanya angkuh karena kokohnya, paling tidak ada upaya untuk menaklukannya, kalau tidak dibobol paling tidak ada yang berani karena masih ada atletatlet handal yang berani memanjat tebing feodalisme. (*)
Komitmen Kuat, Agar Bidan Desa tak Sekadar PPP
Laporan Stepanus Landu Paranggi (Pendamping Program Peduli)
Suatu hari seusai hujan lebat, Perawat Niwa Lepir mengikuti kegiatan posyandu di Kampung Maukabunu
Dusun Tanatuka Desa Meorumba yang jaraknya sekitar 4 km dari Pustu. Sebelum bertemu Bapak Desa – sebutan untuk Kepala Desa- Umbu Balla Nggiku, ia berjalan dari
pustu. Bapak Desa menawarkan untuk mengantarkan ke lokasi posyandu dengan kendaraan roda dua. Jalanan
yang licin dan berlumpur membuat laju kendaraan jadi susah bergerak. Begitu menanjak pendakian Maukabunu,
motor tergelincir karena licin. Rupanya roda motor tak mampu menaklukan cadas putih dipendakian. Dan Bapak
Desa jatuh tertimpa motor, sedangkan Niwa terlempar sekitar 3 meter. Niwa berupaya sekuat tenaga meng-
angkat besi berat itu agar Bapak Desa bisa bangun. Untung tidak ada yang luka parah.
MENJADI Bidan di desa terpencil seperti di Meorumba tak hanya dibutuhkan ke ahlian yang mumpuni dalam bidang medis, dibutuhkan komitmen yang kuat untuk ber
tahan dengan segala kekurangan. Selain kondisi alam yang kurang bersahabat, kondisi sosial pun menjadi tantangan tersendiri. Namun, apabila sudah menemukan rohnya, maka akan menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan, bukan materi tapi penghargaan dari
Perawat Niwa Lepir dan Bidan Lidia Kabihu Nahu di Pustu Meorumba
4
hasilan ini tidak diklaim sebagai upaya mereka sematamata tetapi atas dukungan pemdes. Memang diakui bahwa hanya kirakira 0,5% yang memiliki WC permanen selebihnya adalah WC darurat atau cemplung. Hal ini sangat wajar mengingat sebagian besar pemukiman masyarakat jauh dari sumber air.
Selain itu, kemudahan mengakses layanan kesehatan yang semakin mudah dibandingkan tahun 2014 kebawah. Ketika itu penderita sakit terutama orang miskin yang tidak punya motor sangat sulit untuk meng akses layanan ke Puskesmas. Walaupun ada jamkesmas atau jamkesda mau tidak mau harus mengeluarkan biaya transportasi kurang lebih Rp. 50.000 untuk bayar ojek pulang pergi. Kini bagi penderita sakit ringan mereka sudah dapat berobat ke Pustu Meorumba sedangkan untuk lanjut usia dan penderita sakit berat kita melakukan pelayanan di rumah. Kalau tingkat penderitaannya tidak dapat diatasi di Pustu baru dirujuk ke Puskesmas.
Dalam hal kesehatan Ibu dan anak (KIA) selain ada peraturan Daerah (Perda KIA), kesadaran masyarakat dalam mengikuti kegiatan Posyandu semakin meningkat. Sebelumnya kegiatan Posyandu seolaholah dilihat sebagai ajang untuk mengetahui naik turunnya berat badan bayi dan balita. Kini masyarakat semakin sadar bahwa kegiatan posyandu adalah demi menjamin keselamatan ibu hamil, anak dalam kandungan dan anakanak usia di bawah Lima tahun. Dulu kegiatan posyandu hanya menjadi beban bagi perempuan, misalnya ibu yang masih menyusui tetapi masih ada Balita. Mereka harus menggendong anak bayi sekaligus balita ke posyandu. Kebiasaan ini
dimungkinkan karena budaya setempat yang berpendapat bahwa urusan anakanak adalah urusan perempuan tanpa sadar disitu ada ketimpangan gender. Kini lakilaki sudah terlibat ke posyandu membantu istri mereka mengantar balita untuk mendapat pelayanan.
Pada tahun 2015, SAMANTA melalui Program Peduli telah memfasilitasi kegiatan sosialisasi tata cara pengurusan Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat dan Jaminan Kesejahteraan Nasional (KIP,KIS dan JKN). Berangkat dari pengalaman tersebut pemdes dan fasilitator Program Peduli melakukan lobi ke Dinas kesehatan kabupaten Sumba Timur, Tujuannya agar masyarakat miskin mendapat Kartu Indonesia Sehat (KIS), hasilnya 184 KK miskin di desa Meorumba mendapat KIS, sedangkan desa Mauramba ada 111 KK miskin.
Persoalan terkait peningkatan derajat kesehatan masyarakat masih menyisahkan tumpukan persoalan seperti kekurangan sumber air bersih, buruknya sarana dan prasarana transportasi dan keterbatasan alat kesehatan di pustu.
“Masyarakat Desa Meorumba ramah dan suka menolong, kami tidak pernah beli sayur, ubi, pisang bahkan ada yang bawa ayam. Disini kami merasa aman tidak ada gangguan baik pencurian atau lakilaki nakal seperti yang pernah dikeluhkan teman bidan atau perawat yang tugas di desa lain,” ujar perawat Niwa.
“Kemanapun kami pergi, masyarakat memperlakukan kami seperti keluarga sendiri dan pemerintah Desa sangat respon dan kerjasama,” sambut bidan Lidia
Terus, dukanya? Banyak…. “Tapi kami menikmatinya dengan rasa senang,” tutup bidan Lidia. (*)
masyarakat yang telah dibantunya.Kehadiran tenaga medis di desa
adalah harapan masyarakat, paling tidak beban penderitaan masyarakat miskin semakin berkurang. Masyarakat tidak lagi berobat ke dukun atau pergi ke puskesmas yang jaraknya cukup jauh. Masyarakat juga tidak lagi bergantung obatobatan yang dijual di kios atau tokotoko eceran. Penempatan tenaga medis di desa terpencil dan terisolir ibarat prajurit yang siap berperang di garis depan. Sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung proses awal mempertahankan nyawa manusia dan memberantas sumber penyakit berawal dari mereka. Pejuang seragam putih, pembela nyawa manusia ini telah membuktikan ketulusan mereka dalam karya dan bakti pada nusa dan bangsa.
Tugas di desa terpencil seperti di Desa Meorumba memerlukan komitmen yang kuat, jika tidak petugas yang ditempatkan disana hanya akan menyandang gelar PPP (Petugas Pergi Pulang). Pada tahun 2010 pernah ada tenaga Medis yang ditempatkan di Puskesmas Pembantu (Pustu) Meorumba, sayangnya tidak lebih dari pengunjung musiman yang datang dan pergi tidak menentu kemudian hilang entah kemana pada hal ia seorang tenaga perawat lakilaki. Ketika itu gedung Pustu Meorumba berubah fungsi menjadi sarang burung Seriti karena lama tidak berpenghuni. Disisi lain derajat kesehatan semakin terpuruk terutama bagi masyarakat miskin dan lanjut usia.
Maret 2015, Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur menempatkan dua orang tenaga medis di Meorumba, Perawat Niwa Lepir. A.Md.Kep. dan Bidan Lidia Kabihu Nahu. A.Md. Keb. Sedikit demi sedikit persoalan kesehatan masyarakat dapat teratasi. Bayi dan balita sudah rutin mengikuti kegiatan posyandu, orang miskin tidak lagi mengeluh tentang biaya transportasi ke Puskesmas dan lainlain.
“Sejak Maret 2015 sampai dengan Mei 2016, sudah tidak ada lagi kasus gizi buruk dan ibu melahirkan di rumah, semua pemeriksaan telah dilakukan di fasilitas kesehatan” kata Niwa Lepir suatu ketika.
Sejak ditempatkan di desa tersebut, banyak hal yang sudah dirasakan dalam segi kesehatan di masyarakat. Perubahan yang sangat menyolok adalah kebiasaan buang air besar sembarangan (BABS) sudah berkurang dari 40% menjadi 80%. Keber
PONDOK SINYAL. salah satu kesulitan di Desa Meorumba adalah layanan komunikasi. Warga harus rela naik bukit setinggi 150 meter untuk mencari sinyal untuk berkomunikasi dengan keluarga atau pekerjaan. Dan harus antri tak lebih dari 3 orang.