ed. 62 juni 2015 : berdaya dengan pengelolaan informasi

28
KOMUNITAS MEMBANGUN JARINGAN INFORMASI Edisi ke-62 Juni 2015 kombinasi.net BERDAYA dengan PENGELOLAAN INFORMASI BERDAYA dengan PENGELOLAAN INFORMASI

Upload: combine-resource-institution

Post on 24-Jul-2016

225 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Bahasan tentang desa yang berdikari, swakelola, mandiri atau apapun namanya sudah sangat sering kita dengar. Itu ada di beragam artikel, jurnal, seminar, diskusi, simposium, lokakarya, program, proyek dan sebagainya selama bertahun-tahun. Namun merealisasikannya tidaklah mudah. Edisi ini mengangkat pengalaman desa-desa yang menuju 'berdaya' dengan bersandar pada inisiatif dan kapasitas warga.

TRANSCRIPT

Page 1: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

KOMUNITAS MEMBANGUN JARINGAN INFORMASI

Edisi ke-62 Juni 2015 kombinasi.net

BERDAYA denganPENGELOLAAN INFORMASI

BERDAYA denganPENGELOLAAN INFORMASI

Page 2: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

2 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

D a r i r e d a k s i

Pemimpin RedaksiImung Yuniardi

Tim Redaksi:

Redaktur PelaksanaApriliana Susanti

EditorApriliana, Angela Sari Dara Puspita

FotoDokumentasi Combine, Dokumentasi Desa Dlingo, A. Dananjaya, Dokumentasi ARuPA

KontributorDwi Nugroho, Andrew Dananjaya

Sampul DepanApriliana S.

Sampul BelakangBambang Shakuntala

Tata LetakTribhuana Tunggadewi

SekretariatUlfa

DistribusiSarjiman, Gandung Triyono

Alamat RedaksiJalan KH Ali Maksum RT 06 No. 183 Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55188Telp/Fax: 0274-411123Email: [email protected]: http://kombinasi.net

Kombinasi adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh Combine Resource Institution atas dukungan dari Ford Foundation.

Combine Resorce Institution adalah lembaga yang mendukung pengembangan jaringan informasi berbasis komunitas.

Redaksi Majalah Kombinasi menerima opini, resensi, maupun tulisan berbasis peliputan seputar tema media komunitas. Panjang tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces), dengan mencantumkan foto untuk tulisan non opini, dan dikirim ke [email protected]. Redaksi berhak memilih dan menyunting tulisan yang masuk ke majalah Kombinasi. Penulis yang karyanya dimuat akan mendapat honor sepantasnya.

Bahasan tentang desa yang berdikari, swakelola, mandiri atau apapun namanya sudah sangat sering kita dengar. Itu ada di beragam artikel, jurnal, seminar, diskusi, simposium, lokakarya, program, proyek dan sebagainya selama bertahun-tahun. Namun merealisasikannya

bukanlah hal mudah. Nyatanya hingga kini topik itu masih sering dibahas dan di sisi lain ribuan desa masih dikategorikan belum mandiri.

Desa, termasuk dusun, adalah komunitas dengan kesamaan geografis administratif. Masing-masing memiliki karakter unik juga potensi. Memang dalam Undang-Undang Desa, pengakuan terhadap hak asal-usul desa menjadi semangat yang melandasi penghargaan terhadap inisiatif dan keunikan karakter desa. Namun ini baru sekedar barisan teks yang masih rawan dipelesetkan menjadi keseragaman lagi, bila yang ditimbang adalah percepatan penyerapan anggaran misalnya.

Bicara tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) misalnya, akan seperti bicara tentang makhluk planet asing bila dilakukan di depan komunitas ibu-ibu penenun di Desa Kandahu Tana, Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya. Apalagi bila mencoba menerangkan tentang promosi digital melalui laman desa atau media sosial. Namun sebaliknya, mereka yang sekedar mendorong penggunaan media digital untuk mendorong tingkat penjualan atau penghasilan, akan kehilangan kekayaan pengetahuan lintasjaman akan motif dalam tenunan para ibu tersebut.

Butuh proses, keseriusan, dan pendampingan oleh pemerintah maupun pihak yang peduli tanpa dibatasi jam kerja. Sekali konsep yang termuat dalam regulasi dipaksakan pada masyarakat desa, maka habislah kisah tentang kebijaksanaan lokal (local wisdom) yang selama ini justru dibanggakan sebagai kekayaan Indonesia.

Desa Dlingo di Bantul dan Dusun Barepan di Borobudur sudah membuktikan, warga memiliki daya lentur dan kemampuan adaptasi tinggi. Mereka berhasil merintis pencapaian menuju kata "berdaya", dengan bersandar pada inisiatif dan kapasitas warga. Mereka mulai mengelola informasi dengan caranya masing-masing, namun tetap dengan tujuan membuka mata dunia luar pada keberadaan desa/dusunnya.

Prinsip transparansi dan partisipasi terhadap proses pembangunan desa yang diidamkan semua pihak pun,

sedikit demi sedikit dapat mulai didorong melalui rintisan pengelolaan informasi tersebut. Sekali lagi, tidak bisa instan

apalagi dengan menafikan kapasitas, karakter, keunikan dan kultur masing-masing desa. Tidak bisa juga

bila sekedar dibahas dalam rapat-rapat, diputuskan di atas meja dan digaungkan di mimbar-mimbar politik tanpa kepekaan, pemahaman dan empati yang tulus. •

”desa Peka, kita Bisa”

Page 3: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

3Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

I n f o s e k i l a s

Media Komunitas BantuKonsolidasi dan Penyebaran Informasi

Battang Barat

Perkumpulan Wallacea bersama Combine Resource Institution (CRI) menggelar workshop mini bertajuk

”Inisiasi Media Komunitas” di Desa Puncak, Kelurahan Battang Barat, Kecamatan Wara Barat, Kabupaten Palopo, Sulawesi Selatan, (8/6). Workshop ini menjadi ajang untuk merumuskan media komunitas yang tepat dalam upaya mendukung perjuangan komunitas To Jambu di kawasan tersebut.

Media komunitas bisa menjadi sarana untuk mengkampanyekan proses pengakuan lahan adat To Jambu dan kondisi yang terjadi di lapangan. Di samping itu, media komunitas juga bisa menjadi sarana konsolidasi internal sesama komunitas.

Sebelumnya, tim Perkumpulan Wallacea telah melakukan identifikasi jenis media yang pernah ada dan dipakai masyarakat To Jambu. Salah satu media tradisional yang pernah dipakai dalam komunitas tersebut adalah Issong atau lesung (tempat menumbuk padi yang menghasilkan bunyi). Issong ini menjadi media untuk mengumpulkan warga dengan cara membunyikannya. Media tradisional lainnya adalah Banua Tangga, yakni semacam rumah adat tempat warga bertemu untuk membahas persoalan sosial kemasyarakatan dan pembangunan pada masa lalu. Sayangnya, Banua Tangga sudah tidak bisa ditemukan lagi saat ini.

Media komunikasi lainnya adalah tempat-tempat ibadah seperti masjid dan gereja. Karena kendala sinyal yang terbatas, telepon genggam maupun media berbasis internet seperti media sosial dan website belum cukup efektif menjadi media komunikasi di sana.

Media visual yang dikembangkan Perkunpulan Wallacea seperti film bermuatan materi lokal memiliki peran penting dalam mengkampanyekan praktik-praktik kearifan lokal To Jambu dalam pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat pun mengusulkan media informasi berupa papan atau poster untuk menyampaikan hukum lokal yang berfungsi mengatur pengelolaan sumber daya alam.

Workshop itu pun menyepakati papan informasi dan buletin komunitas sebagai media komunitas yang paling memungkinkan dapat dilakukan oleh komunitas sesuai kondisi mereka saat ini. Dengan media komunitas tersebut, harapannya masyarakat dapat melestarikan apa yang telah dilakukan oleh komunitasnya dalam memperjuangkan hak atas wilayahnya. Tulisan sejarah perjuangan itu perlu ditempel di papan informasi supaya konsolidasi warga lebih kuat.

Semua upaya yang dilakukan ini adalah bentuk kepedulian dan dukungan beberapa pihak terhadap cita-cita perjuangan masyarakat To Jambu untuk mendapatkan pengakuan melalui mekanisme Permendagri No. 52 Tahun 2014. Saat ini, upaya untuk mendorong pengakuan masyarakat Hukum Adat To Jambu adalah dengan terus membangun komunikasi dengan Pemerintah Kota Palopo melalui Sekretaris Kota yang nantinya akan menjadi ketua tim verifikasi.

Afrianto selaku eksekutif program Perkumpulan Wallacea berharap agar warga kembali membuka ulang hasil-hasil dan aturan adat yang ada. ”Jangan sampai nanti jika tiba waktunya, masyarakat belum siap menyajikan dokumen aturan

tersebut, atau bahkan berbeda dari yang disampaikan dengan kondisi yang terjadi di masyarakat,” katanya.

Keberadaan media komunitas seperti buletin akan efektif membantu sesama warga untuk saling membagi informasi dan kepada pihak luar tentang kegiatan terjadi di wilayah tersebut. ‘’Hanya saja bagaimana informasinya itu bukanlah informasi yang sulit, tetapi informasi yang ringan dan sederhana. Misalnya masalah pertanian, pembangunan, dan cerita perjuangan komunitas. Soal nama buletinnya, nanti disepakati bersama,’’ papar Sarwono selaku pemimpin redaksi suarakomunitas.net.

Hal senada disampaikan Ferdhi dari CRI. Menurutnya, buletin tersebut akan lebih menarik jika disebar di warung-warung sehingga memungkinkan orang yang datang bisa minum kopi sambil membaca buletin. Akan lebih menarik lagi jika dalam buletin tersebut juga memuat promosi souvenir sehingga bisa membantu warga untuk mengenalkan usahanya.

Dalam pengenalan media komunitas itu, masyarakat merumuskan muatan-muatan berita yang perlu dimuat di papan informasi, mulai dari aspek budaya hingga aturan–aturannya. Kesepakatan tentang informasi mana yang boleh dan tidak boleh ditempel di papan informasi juga menjadi diskusi yang menarik. Tujuannya, agar orang yang menempel itu tidak sembarang menempel berita atau pemgumuman. ”Informasi yang boleh ditempel di papan informasi, seperti aturan adat, pengumuman, produk lokal, aspirasi masyarakat, dan petuah-petuah,” tutup Idha Saraswati dari CRI. •

Page 4: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

4 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

I n f o s e k i l a s

Tolak Pemagaran TNI-AD,Ribuan Petani Datangi DPRD Kebumen

kebumen

Warga sejumlah desa dan kecamatan di kawasan pesisir Urut Sewu, Kebumen berbondong-

bondong mendatangi kantor DPRD setempat, (8/7). Massa datang dengan puluhan truk dan sepeda motor dengan membawa sejumlah spanduk sebagai bentuk protes atas pemagaran di lahan pesisir.

”Lemahku Ora Ulih Dipager...Titik...”, ”Tolak!!! Pemagaran Oleh TNI di Tanah Kami”, ”Stop Pemagaran TNI”, ”DPRD Kebumen Aja Turu Bae”, dan ”Tolak Sertifikasi oleh TNI di Tanah Kami”.

Demikian tulisan-tulisan dalam spanduk yang dibawa warga. Mereka menolak pemagaran lahan pesisir yang dilakukan oleh aparat TNI-AD. Warga pun juga menolak proses sertifikasi hak pakai yang diajukan oleh Kementerian Pertahanan atas nama Pemerintah RI melalui TNI-AD terhadap tanah milik rakyat di pesisir Urut Sewu.

Unjuk rasa warga tersebut diwarnai dengan menggelar aksi teatrikal. Seluruh peserta unjuk rasa juga mengenakan kalung janur garing (daun muda pohon kelapa yang sudah dikeringkan-red) yang diberi nomor kode. Massa yang tergabung dalam kelompok Urut Sewu Bersatu (USB) dan Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) itu juga menampilkan kesenian Barongan. Mereka membawa keranda putih

sebagai simbol keprihatinan atas diamnya Pemerintah Kabupaten Kebumen terhadap konflik yang telah berlangsung sejak tahun 2009.

”Kami minta segera hentikan pemagaran dan membongkar pagar yang telah terbangun karena dibangun di atas tanah milik masyarakat,” ujar Widodo Sunu Nugroho selaku koordinator aksi petani sekaligus ketua Urut Sewu Bersatu (USB).

Mewakili warga, Widodo meminta agar DPRD Kebumen melakukan upaya khusus untuk menyelesaikan persoalan di Urut Sewu dengan membentuk panitia khusus. ”Karena selama ini kami rasakan peran pemerintah hilang. Karena itu kami minta difasilitasi pemerintah pusat,” ujarnya.

Kawasan yang menjadi sengketa mencakup tanah selebar 500 meter dari garis pantai sepanjang 22,5 kilometer mulai dari Sungai Lukulo hingga Sungai Wawar. TNI AD mengklaim kawasan tersebut adalah wilayah pertahanan dan keamanan sehingga dijadikan area latihan perang dan uji coba senjata. Selain itu, aparat negara itu juga membangun kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNI-AD di Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren. Di lain pihak, massa yang sebagian besar petani menginginkan kawasan tersebut sepenuhnya dijadikan area

pertanian dan wisata. Mereka pun mengaku memiliki bukti kepemilikan Letter C. Namun, sesuai rencana tata ruang wilayah Kebumen, wilayah Urut Sewu seluas 1.112 hektare tersebut diperuntukkan bagi kawasan pertahanan dan keamanan sekaligus pengembangan pertanian dan wisata. Hal itulah yang membuat warga dari 15 desa di Kecamatan Mirit, Buluspesantren, dan Ambal itu untuk terus menyuarakan penolakan atas pemagaran lahan pesisir karena di dalam lahan tersebut juga terdapat tanah-tanah garapan petani. •

Protes warga terhadap pemagaran kawasan Urut Sewu oleh TNI-AD di Kebumen.

Tagih Janji Pemerintah, 62 Wanita Polara Jalan Kaki 14 KM

sulawesi Tenggara

kaum wanita Polara, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan

(Konkep), Sulawesi Tenggara kembali menunjukkan geliatnya menuntut pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Derawan Berjaya Maining, (3/6). Tidak tanggung-tanggung, 62 wanita bersama beberapa warga Polara melakukan aksi heroik dengan

Warga Polara menuntut pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Derawan Berjaya Maining.

Page 5: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

5Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

Semangat Pemuda Pelopor dari Lombok Timurlombok Timur

sebagai upaya pengakuan dan apresiasi terhadap kegiatan pemuda, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur

menyelenggarakan seleksi pemuda pelopor. Salah satu calon pemuda yang masuk seleksi adalah Hajad Guna Roasmadi dari Kecamatan Swela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat karena upayanya dalam membangun pendidikan masyarakat melalui media komunitas.

Ditemui pemerintah kabupaten selaku dewan juri, Hajad mengaku awalnya mendirikan radio komunitas tahun 2008. namun, karena ijin yang tak kunjung keluar, radio komunitasnya itupun sering ditutup. Akhirnya, ia menggerakkan media komunitas visual dengan selebaran yang kini menjadi buletin

”Speaker Kampong.” Sementara untuk audio visual, Hajad bersama rekannya memanfaatkan kanal TV kabel di desanya untuk menyebarkan hasil kerja mereka.

”Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh radio komunitas kami yang sering ditutup karena persoalan izin prinsip rakom (radio komunitas-red),” ujar Hajad saat mempresentasikan kegiatannya di depan dewan juri,(8/7).

Dewan juri seleksi pemuda pelopor ini adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dari berbagai latar belakang seperti, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Ketahanan Pangan, Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi, Bagian Sosial Sekretaris Daerah Kabupaten Lombok Timur,

dan Forum Komunikasi Pemuda Pelopor Penggerak Pembangunan (FKP4). Ada beberapa aspek penilaian yang menjadi fokus seleksi pemuda pelopor tersebut.

H. Mashur, selaku ketua tim penilai menjelaskan bahwa dalam penilaian ada beberapa aspek yang menjadi fokus. ”Kami akan menilai kepeloporan peserta dari sisi kepemimpinan, kreativitas, keuletan serta aspek dampak positif yang ditimbulkan bagi masyarakat atau lingkungannya. Adapun yang diharapkan melalui penilaian ini adalah bagaimana menggali potensi pemuda dari Kabupaten Lombok Timur hingga dapat menjadi pemuda pelopor di tingkat nasional,” paparnya saat berada di lokasi sekretariat ”Speaker Kampung”, Lombok Timur. •

BKKBN Sumbar Kembangkan Kemitraan dengan Media Lokal

Padang

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengadakan pertemuan dengan media

radio lokal Sumatera Barat di kantor BKKBN Sumatera Barat, (10/6). Berbagai radio komunitas dan radio swasta di Sumatera Barat yang ditunjuk BKKBN sebagai mitra menghadiri acara bertajuk “Pengembangan Kemitraan Melalui Advokasi dengan Media Lokal” itu.

H. Nofrijal selaku perwakilan BKKBN Sumatera Barat memaparkan bahwa BKKBN akan membangun sinergitas dengan media radio, baik radio komunitas, radio swasta, maupun Radio Republik Indonesia (RRI). Hal tersebut dilakukan mengingat kelebihan yang dimiliki media radio, salah satunya adalah kemampuan radio menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

“Semenjak adanya kerja sama antara BKKBN dengan Jaringan Radio Komunitas Indonsesia (JRKI) pada tahun 2012, radio-radio komunitas di Sumatera Barat anggota Jaringan Radio Komunitas Sumatera Barat telah berkomitmen untuk menyebarluaskan informasi Kependudukan dan Keluarga Berencana kepada masyarakat. Radio komunitas mengemasnya dalam berbagai produksi radio seperti talkshow, iklan layanan masyarakat, adlips (iklan yang disampaikan secara improvisasi oleh penyiar radio-red), dan lain sebagainya,” urai Jufri N dari Jaringan Radio Komunitas Sumatera Barat yang menjadi narasumber dalam pertemuan tersebut. •www.

suarakomunitas.net •

berjalan kaki sejauh 14 kilometer ke Langara, ibu kota Konawe Kepulauan!

Para wanita dari Pulau Wawonii itu menuntut pembebasan Muamar, yang merupakan aktivis agraris dari Pulau Wawonii yang ditahan polisi. Mereka juga menuntut pengusutan kasus kekerasan dan pelecehan terhadap masyarakat Polara oleh aparat kepolisisan saat operasi penangkapan masyarakat, (3/5). Aksi tersebut dilakukan lantaran janji pemerintah yang tak kunjung terealisasi.

”Hari ini kami ikut ke Langara untuk melakukan aksi demonstrasi menuntut janji kepada pemerintah Kabupaten Konkep dan DPRD Konkep,” ungkap Saiyara (37) salah seorang warga Polara. •www.

suarakomunitas.net •

Page 6: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

6 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

Sarasehan untuk Tangkal Radikalismelombok Utara

I n f o s e k i l a s

Community Centre Lombok Utara, sebuah lembaga yang bergerak dalam pendampingan isu publik

berbasis kelompok informasi warga, menggelar sarasehan untuk menangkal radikalisme di aula kantor bupati Kabupaten Lombok Utara(KLU), (24/6). Tema yang diangkat dalam sarasehan tersebut adalah ”Penguatan Peran Toga dan Toma dalam upaya Mereduksi dan Menanggulangi Potensi Konflik Sosial dan Radikalisme-Teroris Menjelang Pilkada Kabupaten Lombok Utara Tahun 2015.”

Suardi selaku Sekretaris Daerah KLU yang membuka sarasehan tersebut menyatakan, sudah lima tahun pembangunan KLU dijalankan. Dalam waktu 5 tahun itu, sudah banyak hasil yang diraih, meski masih banyak kekurangan. Keberhasilan itu bukan saja menjadi keberhasilan pemerintah, namun juga menjadi keberhasilan bersama antara pemerintah dan masyarakat.

”Sekalipun kita berbeda tapi kita harus bersatu dalam membangun serta bersama-sama memerangi radikalisme, karena tujuan mendidirikan negara dan daerah tidak lepas dari keinginan untuk maju,” papar Suardi.

Terkait dengan Pilkada KLU, Suardi mengatakan para calon kepala daerah perlu melakukan strategi agar dalam pelaksanaannya

nanti tidak menimbulkan konflik. ”Karenanya para calon perlu melakukan strategi yang baik yaitu dalam arti menyampaikan apa yang menjadi program kerja dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, sehingga tidak menimbulkan konflik. Perbedaan itu adalah rahmat”, tegasnya.

Sementara itu, Marianto selaku koordinator Comunnity Centre Lombok Utara mengatakan bahwa KLU merupakan daerah baru yang memiliki tantangan yang kompleks. Ditambah lagi, daerah ini menyandang predikat sebagai kabupaten dengan angka kemiskinan tertinggi dan Summber Daya Manusia paling lemah dari 10 kabupaten atau kota se-Nusa Tenggara Barat.

Kendati demikian, Marianto berpendapat bahwa KLU termasuk daerah paling aman serta memiliki angka pengangguran yang paling rendah di NTB. ”Hanya harus kita waspadai menjelang Pilkada KLU 9 Desember 2015 mendatang yang tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan konflik. Dalam hal ini pemerintah daerah harus benar-benar ekstra siap dalam menyelenggarakan pilikada kali kedua semenjak lepas dari Lombok Barat,” ujarnya.

Potensi kerawanan yang muncul tentunya harus diantisipasi sedini mungkin. Potensi konflik sosial

sudah mulai terlihat, dimana fanatisme antar pendukung mulai memanas dan saling serang, baik via media sosial maupun dalam interaksi sosial masyarakat. Kondisi ini tentunya menjadi sasaran empuk bagi orang tidak bertanggung jawab untuk memperkeruh keadaan.

Maka dari itu, kegiatan sarasehan ini bertujuan memetakan potensi ancaman konflik sosial bernuansa SARA dan radikalisme agama menjelang Pilkada Lombok Utara tahun 2015. Selain itu, sarasehan ini juga untuk meningkatkan peran tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam mengurangi ancaman konflik sosial berbau SARA dan radikalisme-teroris menjelang Pilkada Lombok Utara 2015. Sarasehan ini juga menjadi ajang untuk menjaga nilai-nilai keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat.

Lebih jauh, sarasehan ini juga bertujuan untuk membangun semangat kebersamaan dalam upaya memerangi paham radikal di KLU. Terbangunnya paham islam yang moderat dan berwawasan kebangsaan, mendorong peran aktif LSM, ormas, gerakan pemuda dalam membentengi masyarakat dari penyusupan paham radikal dan terorisme, serta tergerusnya paham radikal berkedok agama turut menjadi bahasan diskusi dalam sarasehan ini.

Sarasehan tersebut menghadirkan narasumber yaitu H. Muksin Muktar Efendi selaku dosen Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri Mataram sekaligus ketua Forum Kerukunan Umat Beragama KLU. Tiga narasumber lainnya yaitu H. Achmad Dharma, selaku Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri Kabupaten KLU, DR. H. Muallif M selaku Kepala Kementerian Agama KLU dan Ustadz Hidayatullah yang juga turut memberikan materi yang menunjang sarasehan tersebut. •www.suarakomunitas.net •

Sarasehan untuk menangkal radikalisme jelang Pilkada 2015 di Kab Lombok Utara,

Page 7: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

7Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

U T a m a

Terletak di kawasan destinasi wisata dunia Candi Borobudur tidak serta merta menjadikan Dusun Barepan terpetakan dalam daftar kunjungan

utama wisawatan. Padahal, dusun yang terletak di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Magelang ini memiliki potensi untuk menjadi tujuan wisata utama di

Oleh: Apriliana Susanti

kawasan salah satu candi Buddha terbesar di dunia itu.

Selain kemudahan akses lokasi yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari Candi Borobudur, Barepan juga memiliki beragam potensi unggulan yang menarik untuk tujuan wisata berkonsep desa. Kerajinan bambu, batik, kuliner desa,

Tak ingin sekedar menjadi tempat singgah, Barepan berbenah untuk menjadi tujuan para wisatawan di kawasan destinasi wisata dunia, Candi Borobudur. Beragam upaya pun dilakukan, mulai dari menggalang komitmen bersama, pemetaan potensi wisata, hingga penguatan jaringan kemitraan antarpelaku wisata. Tujuannya satu, menggaet atensi lebih banyak wisatawan ke Dusun Barepan.

MeMeTAKAN PoTeNSI,MeNggAeT ATeNSI

Menuju Barepan Berdayasebagai Dusun Wisata Unggulan

Gala dinner, konsep wisata unik yang ditawarkan warga untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Dusun Barepan.

FOTO: APRILIANA

Page 8: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

8 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

U T a m a

Warga memetakan potensi wisata dalam forum diskusi peningkatan pengelolaan wisata di Dusun Barepan.

dan banyak potensi lainnya berpeluang besar menjadi aset emas wisata dusun ini. Pun halnya dengan rumah penduduk yang merangkap penginapan (homestay) yang bertebaran di dusun ini, juga dapat menjadi pendukung konsep wisata desa.

Terkendala Penguasaan Bahasa AsingKomunikasi yang baik dengan

wisatawan menjadi salah pendukung suksesnya pariwisata. Penguasaan bahasa asing tentu saja menjadi syarat wajib bagi pelaku wisata di kawasan Candi Borobudur yang banyak dikunjungi wisatawan mancanegara itu. Akan menjadi

nilai tambah bagi pelaku wisata (dalam hal ini pemandu wisata lokal) ketika ia tidak hanya bisa menawarkan wisatawan untuk memegang ”Kunto Bimo” di dalam stupa, namun juga bisa menjelaskan sejarah, kehidupan masyarakat, dan hal-hal lainnya yang terkait dengan kawasan Candi Borobudur.

Sayangnya, kompetensi tersebut belum dimiliki oleh mayoritas warga Barepan. Warga mengaku masih gagap dan gugup ketika mereka harus berhadapan dengan wisatawan mancanegara. Itulah kenapa, minimnya penguasaan bahasa asing

Page 9: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

9Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

ini kerap dijadikan biang keladi seretnya kunjungan wisatawan ke Barepan.

”Kendala yang saat ini kami hadapi adalah keterbatasan kemampuan bahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya. Padahal, kalau kami bisa menguasai bahasa asing, kami bisa menjelaskan banyak hal kepada tamu-tamu,” tutur Retno Ningtyas dari komunitas ibu-ibu perajin batik ”Dewi Wanu” Dusun Barepan.

Kendala bahasa dan belum optimalnya pengelolaan potensi-potensi wisata lainnya pada akhirnya menyamarkan Barepan dalam peta kunjungan wisata di kawasan Candi Borobudur. Meski berada di kawasan wisata, Barepan belum banyak dilirik oleh para wisatawan.

”Bule (wisawatan mancanegara) sering datang. Tapi mereka sekedar lewat dan foto-foto saja, tidak ada sesuatu yang greget (menarik untuk dilihat),” papar Ayuk, salah seorang pemudi yang tergabung dalam Komunitas Anak Moeda Barepan (Amoeba).

Barepan BerbenahHanya bisa menjadi penonton

sementara dusun-dusun lainnya berlomba menggaet lebih banyak kunjungan wisatawan membuat warga Barepan sadar bahwa mereka harus segera berbenah. Menangkap peluang dari kunjungan dua juta wisatawan per tahun yang mengunjungi kawasan Borobudur pada tahun 2019 mendatang menjadi tantangan yang harus mereka eksekusi jika tak ingin tertinggal terlalu jauh dengan dusun di sekitarnya.

Upaya untuk meningkatkan pengelolaan wisata di Desa Barepan pun semakin digalakkan. Demi mewujudkan niat tersebut, warga termotivasi untuk menjalin kerja sama dengan Combine Resource Institution (CRI), FMYY Jepang dan Radio Komunitas MGM FM Borobudur. Sebagai lembaga yang memiliki komitmen untuk mengembangkan potensi wisata lokal di kawasan candi Borobudur

”Kendala yang saat ini kami hadapi adalah keterbatasan kemampuan bahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya. Padahal, kalau kami bisa menguasai bahasa asing, kami bisa menjelaskan banyak hal kepada tamu-tamu,”

melalui pemanfaatan media komunitas, baik CRI maupun FMYY Jepang mendorong warga Dusun Barepan untuk terus menggali dan meningkatkan potensi yang mereka miliki.

Mengawali kerja sama tersebut, Agustus 2015 lalu keempat pihak menggelar forum diskusi di Dusun Barepan. Dalam forum yang melibatkan komunitas Karang Taruna Amoeba, perangkat dusun, dan komunitas ”Dewi Wanu” itu, warga menyadari pentingnya mengelola potensi budaya lokal sebagai bagian dari aset wisata berbasis komunitas.

”Kami sudah menunggu kesempatan untuk didampingi seperti ini. Kunci utamanya adalah kami mau belajar untuk mengemas potensi wisata di dusun kami melalui forum diskusi ini,” kata Octovani Putrananda, selaku Kepala Dusun Barepan dalam forum diskusi saat itu.

Tujuan peningkatan pengelolaan wisata tentu saja mengerucut pada meningkatnya kuantitas dan kualitas kunjungan wisatawan ke Dusun Barepan. Harapannya, Dusun Barepan tidak lagi sekedar menjadi tempat singgah wisatawan untuk waktu singkat, namun menjadi tempat tujuan utama wisatawan menghabiskan waktu liburannya.

”Ada dua macam tujuan tempat wisata, yakni yang menjadi tempat singgah (ampiran) dan yang menjadi tujuan utama (jujugan) karena ada sesuatu yang ingin dilihat oleh wisatawan. Maka tantangannya sekarang adalah menjadikan Dusun Barepan sebagai jujugan,” urai Andrew Dananjaya dari CRI.

Rintisan ini pun dimulai pada awal September 2015 lalu saat sejumlah mahasiswa dari Osaka University melakukan kunjungan ke Dusun Barepan. Mereka belajar tentang komunitas wisata di sana. Berbagai kegiatan digelar untuk menyambut para tamu dari Jepang tersebut, mulai dari kegiatan membuat origami untuk anak-anak hingga

FOTO: APRILIANA

Page 10: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

10 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

U T a m a

kelas memasak dari ibu-ibu yang menyebut diri mereka ”Lotek Rempong” (yang juga merupakan anggota dari komunitas Dewi Wanu).

Aktivitas ala desa yang ternyata sangat disukai oleh para tamu tersebut semakin memotivasi warga meningkatkan pengelolaan wisata di Barepan. Mereka pun terinspirasi untuk menggelar wisata unik dengan konsep Gala Dinner dalam salah satu forum diskusi di bulan September 2015.

Tidak tanggung-tanggung, konsep yang dipersiapkan satu minggu sebelumnya itu sukses membuat sepetak kebun warga menjadi taman lampion, pameran sederhana batik, dan tentu saja kudapan dan makan malam ala desa. Tak ketinggalan, atraksi tari tradisional dari para pemuda setempat semakin membuat konsep wisata tersebut semakin unik.

”Yang dilakukan tidak mengubah yang ada di Barepan, namun menghadirkan kegiatan wisata yang ada di dusun ini. Kegiatan tersebut bisa dilakukan dengan memberdayakan warga, baik ibu-ibu dengan cooking class-nya, outbond oleh karang taruna, membuat kerajinan, maupun aktivitas lainnya,” papar Muhammad Hatta dari Komunitas MGM FM Borobudur.

Wisata Berbasis KomunitasPeningkatan pengelolaan wisata

berbasis komunitas mustahil dilakukan segelintir orang saja. Masyarakat sebagai pelaku utama dari aktivitas pariwisata yang berkelanjutan perlu dilibatkan dan diberdayakan. Dalam konsep pariwisata berbasis masyarakat, terkandung konsep pembagian peran dan manfaat yang secara nyata dapat dirasakan oleh masyarakat setempat.

Konsekuensi dari pengelolaan wisata berbasis komunitas salah satunya adalah dengan menguatkan jaringan kemitraan antarpelaku wisata. Pemetaan potensi wisata pun mesti terus dilakukan. Penggalian kedua hal tersebut menjadi rujukan untuk menerapkan strategi dalam upaya meningkatkan potensi wisata Dusun Barepan ke depan.

Menjadi destinasi wisata unggulan bagi Dusun Barepan memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Meski demikian, jalan menuju ke sana terbentang lebar. Warga kini telah berbenah, memberdayakan diri, memetakan potensi untuk menggaet atensi wisatawan. Semua itu demi Barepan. •

Kunjungan belajar mahasiswa Osaka University ke Dusun Barepan, September 2015.

Page 11: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

11Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

Berbagi Wawasan Komunitaslewat Selembar Papan Kertas

Penguatan Kapasitas Perajin Tenun di Sumba Barat Daya

Daftar kebutuhan informasi yang akan dibuat dalam papan informasi komunitas.

Bentuknya memang sederhana, hanya lembaran kertas yang ditempelkan di dinding anyaman bambu rumah pertemuan bergaya menara khas Sumba. Namun, justru dari lembaran kertas sederhana itulah, semua informasi penting terdokumentasi, mulai dari seputar tenun hingga topik keseharian di masyarakat. Lembaran kertas dengan tulisan tangan itu bertransformasi menjadi media berbagi informasi dari, oleh dan untuk komunitas para perajin tenun Kandaba Mopir dan Icen Daha di Sumba Barat Daya, NTT.Oleh: Apriliana Susanti

FOTO: Dokumentasi COMBINE

Page 12: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

12 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

U T a m a

Pulpen itu bergerak canggung ketika tangan kokoh Mama Reta menggesekkannya di atas kertas putih. Dengan

penuh konsentrasi, wanita paruh baya itu berusaha keras membentuk sebuah pola dengan pulpennya itu.

”Ini namanya mamoli yang artinya rahim wanita, sebuah motif warisan nenek moyang kami sebagai penghargaan kepada wanita di Sumba,” ujarnya sambil menunjukkan pola mirip rahim wanita yang tadi digambarnya.

Kecanggungannya dalam membaca dan menulis tak menyurutkan semangat Mama Reta untuk membagikan pengalamannya mengolah tenun kepada anggota komunitas lainnya. Meski baru setahun mengenal baca tulis, Mama Reta sadar betul pentingnya saling berbagi pengetahuan melalui media tulisan. Tak ingin muluk-muluk menceritakan motif tenun lewat kata-kata, Mama Reta memilih membagikan wawasannya itu lewat gambar, sebuah bahasa universal

sejak jaman purba. Gambar motif mamoli buatan Mama Reta itu pun lalu ditempel di selembar kertas yang dipajang di dinding anyaman bambu Uma Pege, balai pertemuan warga di Desa Kandahu Tana, Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya.

Sesuai Kondisi KomunitasMama Reta adalah satu dari

delapan belas perempuan perajin tenun yang membagikan pengalaman dan wawasan mereka melalui media papan informasi. Dalam

Kain tenun para perajin masih banyak dipasarkan di pasar tradisional Kodi Utara.

FOTO: Dokumentasi COMBINE

Page 13: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

13Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

kultur masyarakat Sumba, perempuan memang banyak terlibat dalam produksi kerajinan kain tenun untuk menunjang ekonomi keluarganya. Tergabung dalam komunitas Kandaba Mopir dan Icen Daha, para perempuan perajin tenun ini belajar mengelola papan informasi sederhana tersebut untuk menguatkan alur penyebaran informasi dan pengetahuan komunitas.

Informasi yang disebarkan dalam papan informasi itu tak hanya eksklusif untuk anggota komunitasnya saja, namun juga untuk warga umum di luar komunitas itu. Untuk anggota komunitas, papan informasi ini menjadi media berbagi wawasan seputar tenun dan pemasarannya. Di samping itu, pemberitahuan serta laporan hasil pertemuan bagi anggota yang tidak bisa hadir dalam forum juga dipajang dalam papan informasi ini. Sementara untuk warga di luar komunitas, papan informasi ini menjadi media saling bertukar informasi seputar topik keseharian semisal pendidikan, kesehatan, pupuk organik untuk tanaman sayur, pemanfaatan apotek hidup, dan lain-lain.

Hadirnya papan informasi di Uma Pege tak lepas dari upaya Combine Resource Institution (CRI) untuk menguatkan

Melalui papan informasi ini, anggota komunitas bisa saling berbagi wawasan dan pengalaman mereka terkait tenun, pemasarannya, dan topik keseharian warga.

kapasitas perajin tenun di sana lewat media komunitas. Melalui divisi Pasar Komunitas, sejak Juni 2015 lalu CRI telah mengenalkan papan informasi sebagai salah satu media komunitas untuk menunjang penguatan alur penyebaran informasi dan pengetahuan komunitas perajin tenun. Berkolaborasi dengan Yayasan Donders yang memiliki misi pelayanan pada kaum marjinal, kemandirian, pemberdayaan, kerja sama dan penghargaan pada kearifan lokal, CRI mengenalkan papan informasi ini menjadi media komunitas pertama bagi dua komunitas tenun dari Desa Kandahu Tana, Kalena Ronggo, dan Homba Karipit di Kodi Utara.

Hakekat media komunitas memang bukanlah pada alat atau medianya melainkan fungsi dan karakternya yang harus sesuai dengan kondisi warga setempat. Minimnya ketersediaan listrik dan keterbatasan pengalaman warga membuat media audio apalagi audiovisual bukan menjadi pilihan pertama. Inilah yang terjadi di tiga desa tersebut. Munculnya kesadaran yang diikuti kegembiraan untuk berbagi informasi selain dengan cara lisan merupakan awal yang luar biasa bagi kelompok perempuan perajin tenun itu.

FOTO: ANDREW

Page 14: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

14 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

U T a m a

”Selama ini kurangnya akses informasi yang dibutuhkan para pelaku usaha kecil ini menjadi penghambat kemajuan usaha mereka, termasuk terkait pengembangan kualitas dari produk mereka. Persoalan lain yang dihadapi adalah belum tersedianya media informasi berbasis komunitas sebagai penunjang kemandirian mereka dalam mengelola segala sumber daya yang ada. Kedatangan pihak luar seperti CRI bukan untuk membawa dan memaksakan konsep tentang media, melainkan justru menyerap dan berangkat dari kultur, karakter serta konteks yang telah ada,” jelas Andrew Dananjaya dari CRI.

Penguatan Kapasitas Perajin Tenun Melalui Pelatihan

Usaha kerajinan tenun sebagai kain khas Pulau Sumba yang telah dikenal dunia, menghadapi tantangan yang beragam. Selain peran dan fungsi dari struktur organisasi yang belum optimal, tantangan

Pelatihan manajemen organisasi komunitas perajin tenun di halaman Uma Pege, Desa Kandahu Tana, Juni silam.

lainnya adalah belum terbangunnya ruang belajar untuk eksplorasi ide serta gagasan terkait desain kreatif motif tenun komunitas. Akses informasi dan mekanisme pola pemasaran untuk menjangkau pasar di luar wilayah Kecamatan Kodi Utara juga masih belum maksimal. Padahal, perluasan pemasaran membutuhkan pengetahuan dan informasi perajin sebagai pelaku usaha. Lagi-lagi, kebutuhan tersebut masih menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas-komunitas perajin tenun di sana.

Berawal dari pemahaman tentang media komunitas sebagai pintu masuk, proses saling belajar pun berkembang ke ranah manajemen organisasi dan strategi pemasaran produk komunitas. Komunitas tersebut diajak merumuskan kembali tujuan komunitas, mengidentifikasi masalah dan mencari solusi atas masalah-masalah tersebut. Hasilnya, peserta sepakat

FOTO: Dokumentasi COMBINE

Page 15: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

15Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

untuk meningkatkan peran dan fungsi komunitas serta pengelolaan keuangan komunitas.

”Kami sadar, kekompakan memang hal yang masih sulit kami lakukan. Namun, kami sepakat bahwa agar kelompok tidak bubar, kami harus kompak dan jujur terutama soal anggaran keuangan,” aku Mama Amel, perajin tenun dari komunitas Kandaba Mopir.

Papan informasi sederhana untuk menguatkan alur penyebaran informasi dan pengetahuan komunitas.

”Pengembangan kreativitas pun mulaidijejak. Mereka menyadari eksplorasikreativitas itu dapat memberi nilai tambahpada hasil tenunan mereka, baik terkaitpemilihan warna, motif dan detail tenun,maupun pemilihan bahan bakunya.”

Pengembangan kreativitas pun mulai dijejak. Mereka menyadari eksplorasi kreativitas itu dapat memberi nilai tambah pada hasil tenunan mereka, baik terkait pemilihan warna, motif dan detail tenun, maupun pemilihan bahan bakunya. Pengayaan motif tenun salah satunya bisa dilakukan dengan menggali simbol-simbol religi Marapu serta cerita lisan (folklore) tentang kearifan lokal Kodi. Mereka pun sepakat untuk mengoptimalkan peran

FOTO: APRILIANA

Page 16: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

16 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

U T a m a

kelompok sebagai ruang belajar untuk meningkatkan kreasi dan keterampilan anggotanya melalui forum bulanan.

”Tenun akan semakin menarik kalau kita bisa berkreasi dengan motif dan warna. Selama ini, produk kami memang masih belum mampu menampung cerita-cerita lokal di Kodi. Kami harap, pertemuan ini bisa menjadi ruang belajar bagi kami untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan,” ungkap Kristina, perajin tenun dari komunitas Icen Daha.

Mengenalkan papan informasi untuk penguatan penyebaran informasi dari, oleh, dan untuk komunitas serta warga.

Motif tenun yang kaya tentunya akan menunjang ketertarikan pasar yang lebih luas. Kelak mama-mama itu akan setapak demi setapak memasuki pemahaman akan manfaat berjejaring dan media daring (online) sebagai bagian dari promosi serta pemasaran. Dan semuanya diawali dengan lembar-lembar kertas penuh gambar dan tulisan di tembok bambu. •

FOTO: Dokumentasi COMBINE

FOTO: Dokumentasi COMBINE FOTO: Dokumentasi COMBINE

Page 17: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

17Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

DLINgo BeRDAYA denganSISTeM INFoRMASI DeSA

grojogan Lepo,Ubah gemericik Menjadi gemerincing

Siapa sangka, desa terpencil di pegunungan karst yang jauh dari pusat Kota Yogyakarta ini telah mendunia di jagat maya. Terhubung dengan jaringan internet, desa ini mengelola Sistem Informasi Desa (SID) untuk memperkenalkan potensi desanya ke seluruh dunia.

”Tinggal ketik nama DLINGO, maka portal desa kami akan ada di barisan pertama mesin pencari Google,” klaim Bahrun Wardoyo, Kepala Desa Dlingo di Balai Desa Dlingo dalam kunjungan belajar desa-desa dari Sumatera Utara Juni silam.

Benar ternyata! Portal yang beralamat di dlingo-bantul.desa.id memang berada di urutan pertama di mesin pencarian Google tentang Dlingo! Tidak tanggung-tanggung, jumlah pengunjung laman desa ini mencapai 1.000 pengunjung per hari! Angka yang cukup fantastis untuk sebuah laman desa yang baru diluncurkan Oktober 2014 lalu.

Dikelola pamong desa dan Karang Taruna setempat, SID Desa Dlingo tak hanya dimanfaatkan untuk pelayanan data kependudukan saja, namun juga untuk mengenalkan potensi desa. Berita-berita terbaru tentang peristiwa, produk unggulan desa, agenda desa, tempat wisata dan potensi lainnya menghiasi kanal berita SID desa ini setiap hari.

”Kami akui, isi dari kanal berita masih terlalu singkat dan belum mendalam. Tapi kami memang masih belajar,” kata Joko selaku Kepala Urusan (Kaur) Umum yang menjadi salah satu tim pengelola SID.

Untuk meluaskan jaringannya, SID Desa Dlingo terhubung dengan media

sosial Facebook. Tiga akun Facebook yang terhubung dalam SID desa ini yakni ”Balai Desa Dlingo”, ”Perpustakaan”, dan ”Air Terjun Lepo” menjadi sarana publikasi yang efektif untuk mengenalkan potensi Desa Dlingo pada dunia.Desa Melek IT

Sejatinya, baik warga Dlingo maupun perangkat desanya bukan berasal dari kalangan melek IT (Informasi dan Teknologi). Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang masih awam soal internet. Motivasi yang tinggi untuk mengembangkan potensi desanyalah yang membuat mereka gigih untuk belajar mengelola dan memanfaatkan SID.

Demi mewujudkan desanya melek teknologi, berbagai gebrakan pun dilakukan. Mulai dari pengadaan laptop dan netbook untuk para perangkat desa hingga wiifi gratis di balai desa yang bisa diakses seluruh warga dilakukan untuk semakin mendekatkan teknologi ke masyarakat.

”Mengenai pemanfaatan IT, kami mendukung. Maka itu, perangkat desa kami belikan laptop. Ini dalam rangka gebrakan teknologi. Sejak 2013, kami sudah memasang akses internet nirkabel (Wii-Fi) mandiri, dipasang sendiri dan bayar sendiri, per bulan Rp. 500 ribu. Wii-Fi ini

Oleh: Apriliana Susanti

Page 18: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

18 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

digratiskan pada masyarakat,” urai Bahrun Wardoyo.

Keberadaan internet gratis membuat balai desa Dlingo kini menjadi semarak dengan aktivitas warganya. Kompleks balai desa bukan lagi menjadi tempat yang hanya ramai saat ada pertemuan tingkat desa saja, namun kini telah menjadi rumah kedua bagi warganya. Beragam fasilitas tersedia di balai desa ini. Selain akses internet gratis, ada studio radio komunitas desa, gamelan, perpustakaan, kedai fotocopy, bahkan angkringan (warung tenda sederhana, biasanya ada gerobaknya-red) pun ada di sana.

Kehadiran radio komunitas Sandigita FM semakin menyemarakkan Balai Desa Dlingo saban harinya. Mengudara di frekuensi 107.7 MHz, cakupan pancaran radio komunitas ini dapat menjangkau seluruh Desa Dlingo. Tak hanya memperdengarkan musik-musik yang disukai warga saja, Sandigita FM juga turut menyebarluaskan program desa yang telah terpublikasi dalam portal desa secara lebih cepat.

Sandigita IT, Pemuda Pengawal Desa Digital

Menjadi desa digital pertama di Kabupaten Bantul tak membuat Desa Dlingo lalai untuk mengantisipasi efek negatif internet bagi warganya. Tergabung dalam Sandigita IT (Sasana Anak Muda Dlingo Giriloji Cinta Informasi Teknologi), Karang Taruna Desa Dlingo menjadi pengawal bagi para pengguna internet di desanya yang mayoritas anak-anak muda. Kelompok dari beragam berlatar belakang seperti mahasiswa, guru, dan pedagang ini pun berkembang menjadi media silaturahmi dan berkreasi bagi para pemuda dan pemudi di Desa Dlingo.

Mengusung misi ”Menempatkan organisasi untuk mampu menempatkan diri di era modernisasi”, Sandigita IT tak hanya bergerak dalam bidang teknologi informasi saja, namun juga di

”Tak hanya memperdengarkan musik-musik yang disukai warga saja, Sandigita FM juga turut menyebarluaskan program desa yang telah terpublikasi dalam portal desa secara lebih cepat.”

Air terjun Lepo, potensi Desa Dlingo yang sempat terlupakan kini menjadi primadona.

U T a m a

FOTO: APRILIANA

Page 19: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

19Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

bidang sosial budaya. Aktivitas kelompok yang digawangi 20 pemuda pemudi Desa Dlingo ini meliputi pengelolaan radio komunitas desa Sandigita fm, membuat fasilitas outbond dan wisata air terjun Lepo, diklat, bakti sosial, penghijauan pameran dan festival budaya tahunan untuk mengeksplorasi potensi desanya.

”Kami tak hanya menggerakkan IT, tapi juga sosial budaya. Banyak masyarakat menggunakan internet, tapi tidak tahu dampak positif atau negatifnya. Anak-anak bermain game, lalu lupa belajar. Sandigita bertujuan mengingatkan warga agar lebih positif dalam menggunakan internet,” jelas Dwi Candra, Ketua Sandigita FM pada Juni 2015 lalu.

Selain menggandeng Karang Taruna, Desa Dlingo juga menggandeng mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) untuk membantu entri data kependudukan SID. Mereka bahkan telah meneken kontrak MoU selama 4 tahun dengan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) untuk KKN Tematik terkait dengan entri data SID.

Pernah diberi label desa tertinggal nyatanya tak mematahkan semangat Desa Dlingo untuk menjadi desa digital. Dengan kemajuan yang mereka raih saat ini, masyarakat di sana patut merasa bangga.

”Ada istilah kalau pejabat pemkab Bantul tidak bagus akan di Dlingo-kan (dikucilkan) karena dulu Dlingo terkenal sebagai desa tertinggal dan asing. Sekarang kami cukup bangga dengan kemajuan kami,” kata Bahrun Wardoyo.

Grojogan Lepo, Ubah Gemericik Menjadi Gemerincing

Salah satu potensi yang kini dibanggakan adalah Grojogan Lepo. Dulunya, Lepo hanyalah grojogan atau air terjun tak bernama, tak dikenal banyak orang, dan tersembunyi di balik bukit di Desa Dlingo. Gemericik airnya, terlebih saat musim kemarau hanya terdengar oleh orang-orang tertentu yang menyambanginya. Jika bukan

Warga berkontribusi aktif untuk mengembangkan potensi desa.

FOTO: Dokumentasi COMBINE

Page 20: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

20 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

anak-anak yang mandi sambil bermain air, paling hanya orang-orang dewasa saja yang ngarit alias mencari pakan untuk sapi atau kambing mereka.

”Lepo singkatan dari ’Ledhok Pokoh’, karena letaknya memang di ledhokan (cekungan tanah-red) di Dusun Pokoh, Desa Dlingo,” ujar Bahrun ihwal penamaan Lepo.

Setelah dibuka untuk tempat wisata pada 2014 lalu, Lepo kini tak ubahnya seperti gadis cantik yang membuat para wisatawan meliriknya. Ya, siapa sangka Cekungan nan sepi itu kini telah bermetamorfosis menjadi primadona Desa Dlingo? Setiap hari wisata air terjun dengan kolam kecil di bawahnya yang aman untuk berenang anak-anak itu dikunjungi ratusan wisatawan.

Yang menarik di sini adalah pengunjung tidak dikenakan tarif tiket seperti tempat wisata lain pada umumnya. Sumbangan berlaku seikhlasnya. Warga bersepakat meletakkan kotak sumbangan

pembangunan di depan pintu masuk. Sumbangan tersebut nantinya digunakan untuk mengembangkan sarana dan prasarana pendukung di sekitar lokasi wisata seperti toilet, perbaikan jalan, dan sebagainya.

Publikasi dan promosi Lepo yang gencar baik melalui portal desa, Rakom Sandigita FM, media-media massa, maupun dari mulut ke mulut tak ayal membuat wisata alam ini semakin ramai dikunjungi masyarakat. Hal tersebut tentu saja menggeliatkan warga untuk meningkatkan perekonomiannya. Mereka pun menangkap peluang itu dengan menjual makanan tradisional, minuman, dan suvenir khas untuk para wisatawan.

Grojogan Lepo yang dulu jarang dilirik itu kini telah bermetamorfosis menjadi aset andalan desa Dlingo. Gemericik airnya yang menarik banyak kunjungan wisatawan itu pun mampu membuat gemerincing perekonomian warga semakin nyaring. •

Wisata budaya Desa Dlingo ikut menggeliatkan perekonomian warga.

U T a m a

FOTO: Dokumentasi Desa Dlingo

Page 21: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

21Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

K o m U n i T a s

Ketika Masalah Tebang Butuh Selesai oleh Komunitas

Walaupun telah diyakini masyarakat telah mengelola hutan secara lestari, banyak yang mengatakan bahwa bicara pengelolaan hutan rakyat sulit karena adanya tebang butuh. Berawal dari sebuah komunitas yang berkomitmen melakukan pengelolaan hutan rakyat lestari, ancaman tebang butuh dapat dikontrol sehingga hutan dapat lestari.

Oleh: Dwi Nugroho, S. Hut.

Udara sejuk Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul siang itu menerpa wajah kami

bersama 30 pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH) Jasema. Rumah bergaya Limasan dengan kayu-kayunya yang kokoh menambah teduh diskusi siang itu. Suasana

yang sejuk dan teduh itu lambat laun menghangat. Hangatnya suasana bukan karena pohon-pohon di Desa Terong habis ditebang, tetapi karena adanya diskusi serius antar pengurus KTH Jasema untuk mengatasi permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan hutan rakyat. Mereka mendiskusikan

tentang penebangan pohon di hutan rakyat yang dilakukan karena kebutuhan ekonomi anggotanya, atau sering diistilahkan tebang butuh.

Sugiyono selaku ketua KTH Jasema mengungkapkan, permasalahan tebang butuh di Desa Terong tidak bisa dibiarkan. Ia mengkhawatirkan

Hutan rakyat di Dlingo, Bantul.

FOTO: Dokumentasi ARuPA

Page 22: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

22 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

penebangan berdasarkan kebutuhan tersebut berpotensi menghancurkan hutan rakyat.

”Kalau menebangnya masih wajar, tidak jadi masalah. Tapi bagaimana kalau ada kebutuhan masyarakat yang hampir bersamaan pada tahun yang sama? Bisa-bisa hutan rakyat kita hancur!” ungkap Sugiyono.

Pengurus KTH Jasema yang akrab disapa Mbah Umpluk mengamini pernyataan Sugiyono. Dia menambahkan meski tebang butuh menjadi masalah besar, KTH tidak memiliki kewenangan untuk melarang warga atau anggota yang ingin menebang pohon.

Sebagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak dibidang reformasi tata kelola kehutanan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari, AruPA sepakat bahwa tebang butuh

bisa diliat ancaman dan tantangan. Sejak tahun 2012 lalu, AruPA mendampingi KTH Jasema dalam mengelola hutan rakyat di Desa Terong. Tebang butuh bisa menjadi ancaman jika tidak dikontrol dengan benar. Hutan rakyat akan benar-benar habis jika semua masyarakat berbondong-bondong ingin menebangnya. Namun, tebang butuh juga bisa menjadi tantangan bagi masyarakat karena tingginya harga kayu membuat masyarakat mau menanam pohon-pohonnya. Konsekuensinya, kontrol tebang

K o m U n i T a s

butuh wajib dilakukan untuk mencegah rusaknya hutan rakyat.

Solusi terkait masalah tebang butuh pun akhirnya mengerucut pada kesepakatan untuk membangun lembaga simpan pinjam. Tujuannya adalah untuk mengatasi tebang butuh di Desa Terong.

Empat bulan setelah pertemuan tersebut, pembentukan lembaga keuangan tunda tebang pun dimulai. Prosesnya diawali dengan penguatan kapasitas berkolaborasi dengan Pemdes Terong dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul.

Tebang butuh perlu dikelola agar hutan rakyat tetap lestari – foto: ©Dokumentasi ARuPA

”Kalau menebangnya masih wajar, tidak jadi masalah. Tapi bagaimana kalau ada kebutuhan masyarakat yang hampir bersamaan pada tahun yang sama? Bisa-bisa hutan rakyat kita hancur!”

FOTO: Dokumentasi ARuPA

Page 23: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

23Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

Pertemuan persiapan pembentukan Koperasi Tunda Tebang Jasema (KTT).

•Dwi Nugroho, S.Hut. – Direktur Eksekutif ARuPA

Mulai dari pelatihan administrasi lembaga keuangan, pengelolaan keuangan lembaga simpan pinjam, penyusunan standart operational procedur (SOP) dan diskusi-diskusi terkait teknis pelaksanaan untuk meminimalisir masalah yang dihadapi nantinya.

Pada 23 Juli 2014 terbentuklah Koperasi Tunda Tebang (KTT) Jasema. KTT tersebut merupakan lembaga keuangan untuk mengurangi tebang butuh yang dilakukan oleh anggota KTH Jasema. KTT Jasema ini telah mendapatkan izin dari Dinas Perindustrian dan Koperasi Bantul.

Modal awal KTT Jasema adalah sebesar Rp 87 juta yang merupakan tabungan awal anggota KTH Jasema sebanyak 556 anggota. Proses pengumpulan modal tersebut menjadi sesuatu yang menarik

dan merupakan pembelajaran di masyarakat. Hal tersebut karena adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian hutan sehingga KTT Jasema dapat terbentuk. Walaupun belum bisa memberikan pinjaman kepada seluruh anggota Jasema, setidaknya sudah ada sekitar 50 anggota yang meminjam dan mengagunkan pohonnya kepada KTT Jasema untuk mendapatkan pinjaman. Hingga saat ini jumlah pohon yang telah

”Solusi terkait masalah tebang butuh pun akhirnya mengerucut pada kesepakatan untuk membangun lembaga simpan pinjam.

diagunkan sebanyak 500 pohon kayu.

Dengan adanya KTT Jasema ini, masyarakat tidak perlu lagi menebang pohon jika membutuhkan uang, tetapi bisa meminjam kepada KTT Jasema. Ini merupakan proses yang menarik dimana sebuah permasalahan besar dalam pengelolaan hutan bisa diselesaikan melalui proses diskusi oleh komunitas masyarakat, untuk komunitas. •

FOTO: Dokumentasi ARuPA

Page 24: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

24 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

M e d i a

(Me)Rekam Ingatan

Oleh: A. Dananjaya

Produksi karya audiovisual yang bermuatan isu kemanusiaan sebagai upaya mempopulerkan kerja-

kerja advokasi turut membentuk suatu konfigurasi baru dimana video digunakan sebagai instrumen bersama untuk perubahan sosial. Hal itulah yang menjadi latar belakang pelaksanaan program SEA Documentaries Camp Chindwin Workshop di Myanmar pada bulan Juni, 2015. Bekerja sama dengan Equality Myanmar dan Engage Media, agenda temu komunitas para pembuat video independen se-Asia Tenggara tersebut dihadiri oleh 33 aktivis video, pembuat film serta jurnalis warga. Selain untuk memfasilitasi ruang temu, interaksi serta memperkuat jaringan kerja kolaboratif antar pembuat video dari seluruh Asia Tenggara.

Mengusung model diskusi paralel, kegiatan tersebut yang membuka kesempatan bagi para peserta untuk berpartisipasi secara langsung dalam menyampaikan pengalamannya sebagai pembuat video komunitas yang bertema kemanusiaan. Tidak sekedar merayakan perkembangan gawai teknologi yang semakin pesat sehingga melahirkan kemudahan dalam pembuatan serta pendistribusian sebuah video saja, persoalan positioning pembuat video dan relasi dengan si subyek cerita juga menjadi topik bahasan dalam kegiatan itu. Pun halnya dengan langkah-langkah antisipasi yang perlu dipertimbangkan oleh komunitas/personal saat akan merekam peristiwa atau ingatan yang berhubungan dengan narasi kekerasan.

Larang Tayang hingga Layar Tancap

Menilik sejarahnya, sebagaimana dijelaskan oleh Harold Crouch (1986), kebanyakan negara dunia ketiga adalah negara otoriter yang dikuasai oleh kaum militer. Negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Myanmar termasuk di dalamnya dimana perwira-perwira militer amat jelas dominasinya.1 Lebih lanjut, dalam penelitiannya terkait relasi film dan militer, Budi Irawanto menjelaskan bahwa film tidak hanya terbatas sebagai medium hiburan, tetapi sekaligus menjadi medium hegemoni militer. Hal ini coba dibuktikannya melalui kajian terhadap film-film yang diproduksi pada era Orde Baru yang merupakan representasi dari kepentingan militer. Apabila diruntut mulai dari produksi hingga seluruh institusi perfilman, nyaris tidak ada ruang yang bebas dari intervensi militer. Ringkasnya, militer menentukan konteks dan produksi teks pada kesejarahan sinema di Indonesia.2

Kesamaan sejarah tersebut sekaligus menunjukkan adanya kesamaan masalah yang dihadapi komunitas pegiat video dokumenter sebagai penyuara hak-hak minoritas yang selama ini dibungkam. Thet Oo Maung, seorang pembuat video dari Myanmar, mengatakan, ”Kita memiliki problem yang sama, terutama menyangkut kekerasan HAM masa lalu yang dilakukan oleh pihak militer.” Seiring berjalannya waktu, intervensi kekuasaan (negara) dengan membatasi ruang gerak komunitas saat melakukan pemutaran video yang mengangkat narasi kekerasan HAM, menjadi permasalahan yang kerap kali dihadapi. Aksi larang tayang secara sepihak dari aparat militer ataupun ormas, tak jarang memaksa para pegiat video ini untuk ”bubar diri” saat agenda pemutaran video tengah berlangsung karena dianggap melakukan tindakan yang subversif (antipemerintah). Terlebih lagi bila narasi yang disampaikan

Lukisan menjadi bagian dari proses mediasi antara peristiwa (tragedi) dan penyintas. Joko Pekik, seniman Lekra , pada film dokumenter Yang Bertanah Air, Tak Bertanah.

FOTO: A. DANANJAYA

Page 25: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

25Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

mengandung unsur yang masih sensitif di tengah masyarakat, seperti peristiwa politik yang masih menimbulkan trauma bagi sebagian orang.

Serupa dengan Myanmar, Indonesia masih memiliki serentetan peristiwa pelarangan sejumlah video yang dianggap dapat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Salah seorang peserta dari Indonesia mengalami hal tersebut saat pemutaran dokumenter Api Kartini bersama kotakhitam, forum di salah satu universitas negeri di Malang, Jawa Timur. Kala itu, pihak kampus terpaksa membatalkan agenda pemutaran karena video tersebut dianggap akan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Alasannya, video itu disinyalir berkaitan dengan munculnya aliran komunisme gaya baru. Padahal sebaliknya, tujuan pemutaran video tersebut adalah ingin mendiskusikan bentuk pelanggaran atas hak hidup seseorang yang menuntut adanya keberpihakan negara untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.

Kondisi tersebut memaksa komunitas untuk lebih kreatif mengoptimalkan pendistribusian video agar pesan yang akan disampaikan dapat sampai kepada publik. Akan menjadi sia-sia kesungguhan kerja advokasi komunitas apabila pernyataan sikap yang dibungkus dengan format video tersebut tidak mendapat dukungan dari khalayak. Layar tancap adalah strategi distribusi offline yang masih diyakini sebagai salah satu pendekatan langsung pada kelompok yang menjadi sasaran utama advokasi. Walaupun penyebaran isu terbatas pada kelompok/komunitas di wilayah tertentu, hal ini dirasakan cukup efektif dalam menghindari tantangan pembubaran oleh aparat sekaligus dapat memberikan fokus pada penonton sehingga dapat semakin menguatkan ingatan terhadap konten narasi yang dikampanyekan.

Kemudahan akses melalui saluran televisi kabel, smartphone, serta gawai teknologi mutakhir lain, turut membuka kanal distribusi video tersebut secara online melalui jejaring media sosial yang akan membuka peluang akses informasi pada publik yang lebih luas. King Chatoy, pembuat video asal Filipina, mengungkapkan, ”Memaksimalkan peran teknologi jejaring sosial di dunia maya, akan sangat membantu penyebaran pesan kepada publik.” Perkembangan teknologi inilah yang menyebabkan peredaran video ini bisa terlepas dari kontrol negara. ( Khrisna Zen: Kuasa dalam Sinema, 2009).

Hal ini turut mendorong para jurnalis video untuk mempertimbangkan segala resiko yang akan terjadi saat melakukan perekaman suatu peristiwa kekerasan ataupun pelanggaran hukum. Janrasmey Alezovann, jurnalis video dari Kamboja, menuturkan tentang pentingnya langkah taktis saat merekam sebuah aksi protes atau peristiwa yang rentan terhadap keselamatan para pembuat video. Ia menyebutkan salah satu langkah yang bisa ditempuh sebelum melakukan proses perekaman adalah memetakan potensi dari

Perlindungan Bagi Pembuat VideoDalam praktiknya, video tidak lagi

hanya dimaknai sebagai ekspresi seni (diri) pembuatnya, tetapi juga melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-elemen pendukung selama proses produksi berlangsung. Keselamatan para perekam serta orang/figur yang menjadi subyek peristiwa yang kadang terabaikan dari perencanaan awal. Padahal, kondisi tersebut memerlukan perhatian khusus yang perlu dipersiapkan ketika akan melakukan proses perekaman dalam kondisi yang berpotensi bahaya.

Berbagi pengalaman terkait tantangan di lapangan

FOTO: Dokumentasi COMBINE

dampak yang akan terjadi di lokasi perekaman.

”Terutama, apabila kita tidak atau bukan bagian komunitas setempat yang telah mengenal betul kondisi riil di lapangan. Sebisa mungkin mencari informasi sebanyak-banyaknya terkait pihak yang akan direkam, hubungan serta konflik yang terjadi di antara mereka,” tuturnya.Meretas Jarak dengan Penyintas

Alih-alih ingin mendapatkan momen serta cerita yang dianggap mampu mengundang reaksi publik, banyak pembuat video terkadang lalai untuk mempertimbangkan

Page 26: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

26 Kombinasi • Edisi ke-62 • Juni 2015

M e d i a

pengaruh psikis dari pihak yang dijadikan sebagai tokoh (subyek penceritaan). Ingatan terhadap peristiwa yang menyangkut kekerasan di masa lalu seringkali berimbas pada keadaan fisik maupun psikologi pribadi seseorang yang dirasakan hingga saat ini. Kekerasan yang menimbulkan trauma tersebut biasanya terjadi karena perbedaan latar belakang politik serta bentuk teror fisik yang ditujukan pada etnis ataupun kelompok minoritas.

Seringkali, ketika seorang pembuat video ingin menggali informasi lebih mendalam terkait kronologis suatu peristiwa, pertanyaan yang disampaikan pada si subyek terkadang mengingatkan kembali pada kondisi saat mereka merasa dilecehkan atau terancam. Hal ini mengakibatkan emosi si subyek menjadi tidak stabil. Tak jarang, air mata pilu serta kebisuan kerapkali terjadi saat proses wawancara berlangsung. Atau bahkan, si subyek secara tegas menolak untuk meneruskan proses wawancara dan beranjak meninggalkan si penanya. Keadaan seperti itu sebenarnya menjadi tantangan tersendiri bagi para pembuat video, khususnya bagi mereka yang ingin mengangkat narasi pembanding dari peristiwa yang dibungkam selama ini untuk melanggengkan kekuasaan.

T r a g e d i kemanusiaan di masa lalu (seperti perang antar ras/etnis hingga genosida), kekerasan seksual, serta beragam topik lainnya yang dianggap sensitif untuk dibicarakan di tengah publik, m e m e r l u k a n pendekatan khusus saat akan merekam kembali ingatan pelaku sejarah (penyintas). Bila tidak disertai dengan p e r t i m b a n g a n

etis yang matang, maka akan membangkitkan kembali ingatan yang menyakitkan perasaan mereka di masa lalu yang dipicu oleh pertanyaan si pembuat video. Pertanyaannya kemudian, bagaimana pendekatan yang sebaiknya dilakukan oleh si pembuat video saat akan menghadapi subyek film yang memiliki trauma? Terkait pertimbangan etis tersebut, hal yang paling utama ialah memastikan bahwa si subyek telah memahami sepenuhnya tentang apa yang menjadi tujuan perekaman tersebut serta perijinan penggunaan materi rekaman oleh si pembuat video. Perlu dipastikan, apakah si subyek merasa aman apabila dikaitkan dengan isu yang tengah diangkat, atau apapun dampak yang mungkin akan muncul saat hasil rekaman tersebut telah disebarkan pada publik. Tak jarang, tim produksi juga membuat persetujuan secara tertulis terkait perijinan dari proses pembuatan video tersebut sekaligus pendistribusiannya kemudian.

Membangun kepercayaan di antara pembuat video dengan subyeknya adalah persoalan penting lainnya. Rasa saling percaya tersebut diperlukan guna membangun relasi yang cair selama proses perekaman berlangsung. Usaha untuk membangun kepercayaan tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan

pada subyek melalui obrolan ringan (bahkan di luar topik yang dibicarakan) sebelum melakukan proses perekaman. Diakui juga oleh peserta yang memiliki pengalaman serupa, terkadang proses produksi baru dilakukan setelah beberapa kali pertemuan dengan si subyek. Memang perlu waktu serta komitmen yang tidak singkat untuk bisa menggali secara utuh cerita masa lalu dari penyintas kekerasan seksual, terlebih ketika pelaku kekerasan tersebut dilakukan oleh seseorang yang masih memiliki hubungan kekerabatan.

Selain unsur penunjang penggalian cerita tentang para penyintas yang telah disebutkan sebelumnya, empati dari pembuat video juga menjadi salah satu penentu dari kelancaran komunikasi selama proses perekaman berlangsung. Berbeda dengan media arus utama yang sekedar mengejar kontroversi dari pernyataan penyintas, sebagai pegiat media yang memiliki keberpihakan pada kaum minoritas tidak semestinya memaksakan para subyek cerita tersebut untuk menjelaskan secara terperinci kejadian yang telah dialaminya. Pemilihan kata serta model wawancara perlu diperhatikan agar tidak secara vulgar memaksa subyek untuk membongkar ulang ingatan buruk dari si penyintas. Namun, kondisi tersebut memang tergantung pada kesiapan dari masing-masing person (subyek). Karena untuk beberapa kasus di lapangan, malah cenderung sebaliknya. Para subyek video justru dengan sangat santai menceritakan tentang tragedi yang menimpa dirinya di masa lampau. Hal ini terjadi karena, melalui proses wawancara tersebut, terbangun kesempatan untuk bicara yang selama ini tidak pernah diperolehnya. •1 Baca Film, Ideologi dan Militer. Hal.51, Irawanto, Budi.2 Ibid. hal. 178

•A. Dananjaya – Pegiat video komunitas.

Kreasi visual dalam dokumenter.

FOTO: A. DANANJAYA

Page 27: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

Tertarik Menulis di Majalah Kombinasi?Redaksi Majalah Kombinasi menerima tulisan berupa opini, feature hasil liputan, dan resensi (buku dan film dokumenter) dengan tema-tema yang berhubungan dengan komunitas maupun media komunitas.

Ketentuan tulisan• Tulisan merupakan karya sendiri dan belum pernah

dipublikasikan di media lain.• Ditulis menggunakan bahasa Indonesia dengan mengikuti

kaidah penulisan yang benar.• Ditulis dengan font times new roman, ukuran 12, panjang

tulisan sekitar 6.000 karakter (with spaces).• Untuk tulisan feature dan resensi, harap sertakan foto dengan

resolusi standard (minimal 1.000 x 800 pixel).• Mencantumkan nama terang penulis dan aktivitas penulis• Mencantumkan nomor rekening penulis.• Redaksi berhak menyeleksi tulisan yang sesuai dengan

Majalah Kombinasi.• Untuk tulisan yang terpilih, redaksi berhak mengedit tulisan

tanpa mengubah maksud tulisan.• Penulis yang tulisan diterbitkan akan mendapatkan honor

sepantasnya.

Tulisan bisa dikirim ke redaksi Majalah Kombinasi di Jalan KH Ali Maksum RT 06 No.183, Pelemsewu, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (kode pos 55188) atau melalui surat eletronik di [email protected]

Majalah Kombinasi (Komunitas Membangun Jaringan Informasi) adalah majalah yang diterbitkan Combine Resource Institution (CRI) sebagai media untuk menyebarkan gagasan, inspirasi, dan pengetahuan tentang media komunitas. Majalah ini diterbitkan sebagai salah satu upaya Combine untuk membantu pelaku media komunitas dalam mengembangkan medianya, baik dalam hal teknis pengelolaan, keredaksian, maupun isu.

Page 28: Ed. 62 Juni 2015 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi