refrat lupus ed
DESCRIPTION
aaaTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Lupus Eritematosus Diskoid (LED) adalah bentuk lupus eritematosus non-
sistemik yang paling sering ditemui. Lesi awal tampak sebagai makula atau papul
berukuran 1-2 cm dengan warna merah keunguan atau plakat kecil yang
permukaannya menjadi hiperkeratotik dalam waktu singkat. Lesi umumnya
berubah menjadi plakat eritem berbentuk koin (diskoid) berbatas tegas yang
ditutupi sisik yang meluas hingga ke bukaan dari folikel rambut yang telah
melebar. Jika sisik tersebut dikupas, lapisan bawah akan tampak seperti karpet
yang ditusuk dengan beberapa paku sehingga disebut sebagai penampakan paku
karpet.1,2
Prognosis penderita LED umumnya baik. Hanya sekitar 1-5% saja kasus
LED yang akan berkembang menjadi LES.Kasus kambuh jarang, sekitar
<10%.Tingkat mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat
berkelanjutan. Jaringan parut dan atrofi kulit yang terbentuk biasanya permanen.2
i
Pewarisan Gen/ Mutasi SomatikHLA dan Lainnya
Sinar UV dan Lainnya Pembentukan AutoantibodiHilangnya toleransi terhadap komponen tubuh
Perluasan Proses AutoimunEkspansi Sel T
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Kasus LED adalah 50-85% dari keseluruhan kasus lupus eritematosus
kutaneus. LED dapat timbul di berbagai umur tetapi terutama pada umur 20-45
tahun, dengan rata-rata umur 38 tahun. LED tidak biasa ditemukan pada anak,
sehingga tidak ada data khusus mengenai prevalensi kejadian LED. Namun, jika
dianamnesis dengan baik, LED pada anak merupakan manifestasi klinis dari
penyakit sistemik .Perbandingan LE kutaneus pada anak perempuan dan laki-laki
adalah 3:1. Pada masa pra-pubertas, dilaporkan bahwa perbandingan penderita LE
kutaneus adalah antara 1:1 dan 3:1, sedangkan rasio untuk setelah pubertas
(dewasa) adalah sekitar 8:1 dan 10:1. LED juga berkisar antara 15-30% dari
populasi kasus LES. 5 % dari kasus LED dapat mengarah ke LES.1,3
2.2 Etiologi
Penyebab pasti dari LED tidak diketahui secara pasti.Adapun faktor resiko
dari kejadian LED adalah faktor genetik dan faktor lingkungan (paparan sinar
matahari dan obat-obatan) yang memicu suatu respon autoimunitas. Lupus
mengakibatkan perubahan pada regulasi sistem kekebalan sehingga tubuh menjadi
sensitif terhadap jaringan selnya sendiri.4
2.3 Patogenesis
Penyebab dan mekanisme patogenesis yang mengakibatkan LE masih
belum diketahui sepenuhnya.Patogenesis LED tidak dapat dipisahkan dari
patogenesis LES.Patogenesis tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah bagan yang
menjelaskan empat tahapan teoritis yang berurutan yang terjadi sebelum adanya
penampakan klinis dari penyakit ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah pewarisan
gen yang menyebabkan penderita lebih mudah terkena penyakit, induksi
autoimunitas, perluasan proses autoimun dan jejas imunologis:1
2
Gambar 1. Patomekanisme Lupus Eritematosus1
Tahap pertama adalah pewarisan gen yang dianggap sebagai predisposisi
LE. Setidaknya ada empat gen dalam hal ini. Hubungan penyakit kulit spesifik LE
dengan MHC kelas II DR sudah banyak diketahui. Selain itu, gen lain juga
dianggap berperan dalam patogenesis LES, seperti gen yang mengkodekan
komplemen dan tumor necroting factor (TNF), gen yang memediasi apoptosis
serta gen yang melibatkan proses komunikasi antar-sel serta gen yang berperan
dalam pembersihan kompleks imun. 1
Tahap kedua dari patogenesis LES adalah fase induksi yaitu permulaan
proses autoimunitas yang ditandai dengan kemunculan sel T autoreaktif yang
telah kehilangan toleransi terhadap komponen tubuh. Mekanisme yang melandasi
autoreaktifitas tersebut antatara lain: 1,3
1. Regenerasi klonal. karena sel limfosit terus menerus diproduksi dari sel stem,
jika dosis tolerogenik antigen tidak dipertahankan, sistem imun akan
menggantikan sel-sel tua yang toleran tetapi mulai menua dengan sel-sel muda
yang tidak toleran
2. Imunisasi-silang. Pajanan antigen yang bereaksi silang dengan tolerogen dapat
memicu aktivasi sel limfosit T helper (Th) spesifik untuk antigen yang bereaki
silang dan juga menyediakan sinyal yang dibutuhkan limfosit autoreaktif untuk
menimbulkan efek pada tolerogen.
3. Stimulasi klon anergi Anergi adalah suatu proses yang menghilangkan
kemampuan imunologis klon autoreaktif yang berhasil lolos dari delesi klonal
sehingga klon-klon tersebut tidak dapat merespon rangsangan oleh antigen.
3
Diperkirakan bahwa suatu stimulasi sel limfosit T tertentu dapat
menghilangkan anergi dan mengawali proses autoreaktifas
Selain pembentukan klon autoimun, pada tahap kedua dari patomekanisme
LE juga dijelaskan antigen yang berperan dalam autoimunitas.Seperti dibahas
sebelumnya, antigen LE kebanyakan adalah antigen yang terdapat di dalam inti
dan sitoplasma dari sel keratinosit yang terbebaskan ke membran sel akibat
mekanisme tertentu.Uji laboratorium telah membuktikan bahwa antigen tersebut
dapat keluar akibat pajanan sinar ultraviolet. Selain itu, faktor lain yang dapat
memicu lesi LED dan kemungkinan berhubungan dengan pembebasan antigen
dari inti dan sitoplasma keratinosit adalah trauma, infeksi, pajanan dingin, sinar-X
hingga bahan kimia.5
Tahap ketiga atau tahap ekspansi nampaknya melibatkan peningkatan
respon autoimun yang dipicu antigen secara progresif.Pada tahap ini,
autoantibody dihasilkan oleh sel-sel B yang berlipat ganda.Walaupun sangat
banyak, autoantibody LE hanya ditujukan pada beberapa antigen inti dan
sitoplasma. Ada tiga target utama: nukleosom (anti-DNA dan antibodi antihiston),
spliceosome (anti-Sm dan anti-RNP) molekul Ro dan La (anti-Ro dan anti-La).1
Tahapan terakhir yang adalah tahapan yang mungkin paling penting secara
klinis dan menandai awal dari penyakit klinis adalah jejas imunologis. Tahapan
ini sebagian besar diakibatkan oleh kerja dari autoantibodi dan kompleks imun
yang terbentuk yang menyebabkan jejas jaringan baik itu dengan kematian sel
secara langsung, aktivasi seluler, opsonisasi maupun karena terhambatnya fungsi
molekul target. 1
2.4 Manifestasi Klinis
Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik di muka (terutama hidung, pipi),
telinga atau leher. Lesi terdiri atas bercak-bercak (makula merah atau bercak
meninggi), berbatas jelas dengan sumbatan keratin pada folikel-folikel rambut
(follicular plug). Bila lesi-lesi di atas hidung dan pipi berkonfluensi, dapat
berbentuk seperti kupu-kupu (butterfly erythema).2
4
Penyakit ini dapat meninggalkan sikastrik atrofik, kadang-kadang
hipertrofik, bahkan distorsi telinga dan hidung. Hidung dapat berbentuk seperti
paru kakatua. Bagian badan yang tidak tertutup pakaian, yang terkena sinar
matahari lebih cepat beresidif daripada bagian-bagian yang lain. Lesi-lesi dapat
terjadi di mukosa yaitu mukosa oral dan vulva atau di konjungtiva. Klinis nampak
deskuamasi, kadang-kadang ulserasi dan sikatrisasi.2
Varian klinis Lupus Eritematosus Diskoid adalah :2
1. Lupus Eritematosus Tumidus
Bercak eritematos acoklat yang meninggi terlihat dimuka, lutut, dan tumit.
Gambaran klinis dapat menyerupai erisipelas atau selulitis.
2. Lupus Eritematosus Profunda
Nodus-nodus terletak dalam, tampak pada dahi, leher, bokong, dan lengan
atas.Kulit di atas nodus eritematosus, atrofikatauberulserasi.
3. Lupus Hipotrofikus
Penyakit ini sering tampak pada bagian bibir bawah dar imulut, terdiri atas
plak yang berindurasi dengan sentrum yang atrofik.
4. Lupus Pemio (chilblain lupus, Hutchinson)
Penyakit yang terdiri atas bercak-bercak eritematosa yang berinfiltrasi di
daerah-daerah yang tidak tertutup pakaian, memburuk pada hawa dingin.2
2.5 Pemeriksaaan Penunjang
1. PEMERIKSAN HISTOPATOLOGIS 3
Secara histologis, epidermis dan dermis penderita LEDlah yang
mengalami perubahan sedangkan jaringan subkutannya tidak. Penampakan
mikroskopis yang khas untuk LED adalah hiperkeratosis dengan sumbatan folikel,
penipisan dan pendataran epitel serta degenerasi hidrofik lamina basalis.Selain itu,
terdapat keratinosit apoptotik yang tersebar (badan Civatte) pada lamina basalis.
Pada lesi yang sudah lama, penebalan membrana basalis terlihat jelas pada
pewarnaan acid-Schiff. Pada jaringan dermis terdapat infiltrat limfositik
berbentuk perca atau likenoid disertai pengangkatan folikel pilosebaseus. Juga
5
terdapat penimbunan musin pada ruang interstisial dan udem, dan biasanya tidak
dijumpai eosinofil maupun neutrofil.
2. LUPUS BAND TEST (LBT) 1
Imunoglobulin (IgA,IgG, IgM) dan komponen komplemen
(C3,C4,Clz,properdin, faktor B dan membrane attack complex C5b-C9) akan
tertimbun menjadi susunan menyerupai pita linear atau granuler pada taut dermo-
epidermal dari kulit pasien LE sehingga dapat diamati dengan uji direct
immunofluorescence yang disebut Lupus Band Test (LBT).
Penelitian awal menyebutkan bahwa 90% lesi LED imunoreaktan
sehingga positif LBT tetapi penelitian terbaru menunjukkan angka yang lebih
rendah. Lesi di kepala, leher dan lengan lebih sering positif (80%) dari lesi di
badan (20%). LBT nampaknya lebih sering positif pada lesi yang lebih tua (>3
bulan).
3. Tes lainnya
Berikut adalah tabel yang menampilkan ringkasan hasil laboratorium untuk LED dengan perbandingan dengan LEKA dan LEKS :
Tabel 1. Ringkasan hasil laboratorium LED dengan perbandingan LEKA dan LEKS.(dari Cutaneus Lupus Erythematosus).3
Ciri penyakit LED LEKA LEKSANA + +++ ++Antibodi RO/SSA -dg imunodifusi - dg ELISA
0+
+++
++++++
Antibodi DNA antinatif +++ + 0Hipokomplementemia +++ + +
LEKA, lupus eritematosus kutaneus akut; LEKS, lupus eritematosus kutaneus subakut; ANA,antibodi antinuclear; ELISA, enzyme linked immunosorbent assay+++,sangat berhubungan; ++, agak berhubungan; +,berhubungan lemah; 0,negatif, tidak berhubungan.
2.6 Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gabungan antara anamnesis,
pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang.
6
Anamnesis:
Pasien mungkin mengeluh gatal ringan atau nyeri sesekali dalam lesi,
tetapi kebanyakan pasien tanpa gejala. Sekitar 5% atau kurang pasien LED telah
terlibat dalam kelainan sistemik. Arthralgia atau arthritis mungkin terjadi. Jadi,
anamnesis harus difokus pada riwayat penyakit dan gejala LE yang berkaitan
seperti fotosensitivitas, arthralgia atau arthritis, alopesia areata serta fenomena
Raynaud, aborsi spontan pneumonia, karditis serta gangguan neurologis. Untuk
mendukung diagnosis klinis, pemeriksaan histology serta imunohistokimia lesi
kulit akan dilakukan.7
Pemeriksaan fisis (gejala klinis):
Lesi primer LED adalah papul eritematosa atau plak dengan gambaran
sisik. Semakin lama lesi semakin aktif, sisik semakin menebal dan terjadi
perubahan pigmentasi dengan hipopigmentasi didaerah pusat lesi dan pada daerah
perbatasan tidak aktif dan hiperpigmentasi.7
Lesi menyebar sentrifugal dan dapat bergabung. Dengan bertambahnya
usialesi, pelebaran bukan folikular terjadi dengan plug keratinous, disebut folikel
patulous. Resolusi lesi aktif mengakibatkan atrofi dan terjadinya jaringan parut.7
Lesi awal mungkin sulit untuk dibedakan dengan lesi LEKS. Lesi LED
seringkali tersebar menurut pajanan sinar matahari tetapi daerah yang tidak
terkena sinar matahari dapat pula terkena. Kulit kepala seringkali terkena sehingga
menghasilkan alopesia.7
Pasien dengan LED sering dibagi menjadi 2 kelompok: local dan
generalisata. LED local terjadi ketika hanya pada kepala dan leher, sedangkan
LED generalisata terjadi ketika daerah lain.7
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis Banding dari LED antara lain: 7
7
1. Keratosis Aktinik
Gambaran klinis berupa bercak-bercak merah dan berskuama, yang secara
khas bertambah besar dan menyusut bersama dengan waktu, dapat timbul ratusan
lesi pada orang-orang yang sering terpapar sinar matahari. 7
2. Psoriasis
Gambaran utama psoriasis adalah, epidermis menajdi sangat menebal
(akantosis). Tidak terdapat stratum granulosum.Retensi nukleus pada stratum
korneum (parakeratosis). Akumulasi polimorf pada stratum korneum
(mikroabses). Pelebaran pembuluh darah kapiler pada dermis bahagian atas.7
3. Liken Planus
Liken planus merupakan kelainan yang agak bervariasi bentuknya. Bentuk
yang paling sering adalah adanya erupsi akut pada papula yang gatal. Gambaran
klinis: lesi-lesi kulitnya berpermukaan rata, mengkilat, dan poliglonal. Gambaran
permukaannya tampak seperti anyaman halus dari bintik-bintik dan garis-garis,
disebut sebagai “Wickham’s striae” 7
4. Lupus Ertitematosus Kutaneus Subakut
Terdapat lesi-lesi papuloskuamosa atau anular tanpa pembentukan jaringan
parut, terutama pada tempat-tempat yang terpapar sinar matahari.Mugkin juga
didapatkan gejala sistemik, walaupun biasanya ringan.7
2.9 Penatalaksanaan
8
Gambar 2. Alur tatalaksana lupus eritematous diskoid6
2.9.1 Pencegahan
Adapun tujuan dari terapi LED adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien, mengontrol lesi yang telah ada, mengurangi bekas lesi, dan untuk
mencegah perkembangan lesi lebih lanjut.1
Karena lesi kulit lupus diketahui disebabkan atau diperburuk oleh
paparan sinar ultraviolet cahaya, pendekatan logis dalam pengelolaan diskoid
lupus harus mencakup menghindari matahari dan liberal aplikasi tabir
surya.Pengobatan dimulai dengan menghindari faktor pencetus misalnya panas,
obat-obatan dan tentunya sinar matahari dan semua sumber yang menyebabkan
9
paparan radiasi sinar UV. Adapun cara yang digunakan untuk melindungi kulit
adalah memakai pakaian yang tertutup, topi yang lebar. Selain itu pasien
disarankan untuk menghindari penggunaan obat obatan fotosensitif seperti
hiroklorotiazid, tetrasiklin, griseofulvin, dan piroksikam. Pasien juga disarankan
untuk melakukan follow-up setelah perawatan untuk memastikan ada atau tidak
komplikasi.1
2.9.2 Pengobatan Topikal
1. Proteksi sinar matahari dengan menggunakan tabir surya spektrum luas-kedap
air [SPF ≥ 15 dengan agen penghambat UVA seperti parasol dan mikronized
titanium dioxyda.1
2. Glukokortikoid lokal. Walaupun penggunaan potensi medium dari preparat ini
seperti triamsinolon asetonid 0,1% pada area sensitif wajah, obat topikal
superpoten kelas satu seperti klobetasol propinoat atau betametason
diproprionat memberikan hasil yang memuaskan pada kulit. Penggunan 2 kali
sehari selama 2 minggu diikuti dengan 2 minggu periode istirahat dapat
meminimalkan komplikasi seperti atropi dan telengiektasis. Salep lebih efektif
daripada krim pada lesi hiperkeratosis.1
3. Glukokortikoid intralesi. Penggunaan glukokortikoid intralesi seperti suspensi
triamsinolon asetonid 2,5 sampai 5 mg/ml pada wajah dengan konsentrasi
tinggi dibolehkan pada kulit yang kurang sensitif. Hal ini diindikasikan pada
lesi hiperkeratosis atau pada lesi yang tidak merespon pada penggunaan
kortikosteroid lokal, namun perlu berhati-hati menggunakan pengobatan ini
pada pasien dengan jumlah lesi cukup banyak.1
2.9.3 Pengobatan Sistemik
1. Anti Malaria
Terapi dengan antimalaria adalah terapi yang baik digunakan secara tunggal
atau dalam kombinasi. Tiga preparat umum yang biasa digunakan termasuk
klorokuin, hidroklorokuin, dan kuinikrin. Sebaiknya hidroklorokuin dimulai
dengan dosis 200mgper hariuntukdewasadan, jika tidak ada efek samping
gastrointestinal latau lainnya, dosis ditingkatkan dua kali sehari tetapi tidak
diberikan lebih dari 6,5mg/kg/hari. Penting ditekankan kepada pasien bahwa
10
dibutuhkan waktu 4-8 minggu untuk memperoleh perbaikan klinis. Pada
beberapa pasien yang tidak mempan dengan hidroklorokuin, klorokuin
mungkin lebih efektif. Beberapa pasien tidak merespon baik monoterapi
hidroksiklorokuin atau klorokuin sehingga dianjurkan penampahan kuinikrin
ke dalam regimen pengobatan.1
Penggunaan tunggal atau kombinasi dari antimalaria sangat efektif pada
75% pasien dengan lupus eritematous diskoid yang tidak memberikan respon
yang baik dengan terapi topikal.Resiko toksisitas retina, harus diberitahukan
kepada pasien dan pemeriksaan oftalmologi sebelum dimulainya terapi harus
dilakukan.Namun, kejadian retinopati akibat antimalaria sangatlah jarang jika
penggunaan dosis sesuai dengan rekomendasi yaitu tidak lebih dari (untuk
hidrokloroquin 6.5 mg/kgbb dan kloroquin 4 mg/kgbb). Pasien harus dievaluasi
oleh dokter ahli mata setiap 6-12 bulan selama pengobatan.1
Antimalaria memiliki beberapa mekanisme aksi dalam kaitannya dengan
pengobatan lupus eritematous. Pertama, menaikkan pH intraseluler vacuolar.
PH asam diperlukan untuk pengolahan antigen dan presentasi oleh sel dendritik
.Oleh karena itu dengan perubahan pH, penghambatan pengolahan antigen dan
presentasi menyebabkan penurunan potensi respon imun terhadap autoantigens.
Selain itu, antimalaria menghambat pelepasan oleh monosit sitokin pro-
inflamasi seperti IL - 1 , IL - 6 dan TNF – alpha serta Mengurangi formasi dari
peptida – Major Histocompatibility Complex (MHC) kompleks protein
sehingga menurunkan stimulasi dari autoreaktif CD4+ sel T dan menurunkan
pelepasan sitokin. Penghambatan granulasi granulosit dan aktivitas
Phospholipase A2 juga telah dilaporkan.Oleh karena itu, antimalaria dapat
bertindak dalam berbagai mekanisme dan namun belum jelas yang mana
mekanisme yang paling penting. Efek yang diinginkan lainnya dari
hydroxychloroquine mencakup kemampuan untuk menghambat agregasi
platelet dan adhesi, yang akan mengurangi ukuran trombus tanpa
memperpanjang waktu perdarahan . Michelle Petrie telah menemukan bahwa
hydroxychloroquine menurunkan kadar kolesterol, dimana hal ini berguna pada
11
pasien SLE yang mengkonsumsi steroid, dimana steroid dapat meningkatkan
level kolesterol serum. Di Inggris, hydroxychloroquine digunakan dari
profilaksis trombosis. Efek antitrombotik ini mungkin sangat bermanfaat pada
pasien LE dengan antibodi antifosfolipid dan masalah trombosis.7
Hidroklorokuin sulfat 400 mg/hari, harus diberikan pada 6-8 minggu awal
pengobatan untuk mencapai target kadar obat dalam serum. Jika respon klinis
adekuat telah tercapai, dosis harian diturunkan menjadi 200mg/hari untuk
sekurang-kurangnya 1 tahun untuk meminimalisasi rekurensi.Jika tidak ada
respon dakam 8-12 minggu, kuinakrin hidroklorida, 100 mg/hari, dapat
ditambahkan tanpa meningkatkan resiko retinopati.Jika dalam waktu 4-6
minggu, respon klinis adekuat belum tercapai, harus dipertimbangkan
mengganti hidroklorokuin dengan klorokuin difosfat (aralen), 250mg/hari. Di
Eropa, klorokuin secara umum di anggap memiliki efikasi yang lebih
dibanding hidroklorokuin dalam pengobatan lupus, namun hidroklorokuin
dilaporkan memiliki respon perbaikan klinis yang lebih cepat. Hidroklorokuin
dan klorokuin tidak boleh digunakan bersamaan sebagai terapi kombinasi
karena akan meningkatkan resiko toksis pada retina. Di Indonesia, karena
preparat hidroklorokuin hingga sekarang belum tersedia, maka sebagai
penggantinya diberikan klorokuin. Dosis inisialnya ialah 1-2 tablet (@100 mg)
sehari selama 3-6 minggu, kemudian 0,5-1 tablet selama waktu yang sama.obat
hanya dapat diberi maksimal selama 3 bulan agar tidak timbul kerusakan
mata.1,7
Banyak efek samping selain retinotoksis yang dikaitkan dengan
penggunaan anti malaria. Kuinakrin dihubungkan dengan peningkatan
insidensi beberapa efek samping seperti sefalgia, intoleransi gastrointestinal,
toksisitas hematologik, pruritus, erupsi obat dan gangguan pigmentasi pada
kulit dan mukosa.Kuinakrin dapat mengakibatkan pigmentasi kekuningan pada
kulit dan sklera, dapat dapat pulih dengan spontan setelah pengobatan
dihentikan.Kuinakrin dapat mengakibatkan hemolisis yang signifikan pada
pasien dengan G6PD. Beberapa preparat antimalaria dapat mengakibatkan
12
supresi produksi sumsum tulang, termasuk anemia aplastik, walaupun hal ini
sangat jarang jika diberikan dengan dosis yang tepat.Sebelum memulai terapi
dengan hidroklorokuin dan klorokuin, harus dilakukan pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan fungsi hari dan ginjal.Pemeriksaan ini harus diulan
dalam 4-6 minggu setelah terapi inisiasi, dan selanjutnya setiap 4-6 bulan.Jika
tampakan toksisitas hematologik akibat kuinakrin muncul, maka
direkomendasikan untuk lebih sering dilakukan.1
2. Metotreksat
Pada 1995, bottomley dan goodfield menemukan bahwa metotreksat dapat
membantu pada pasien LED yang resisten terhadap pengobatan
konvensional.Metotreksat adalah antagonis asam folat, yang memiliki efek anti
inflamasi dengan penghambatan terhadap proliferasi limfosit, menghambat
sekresi monosit dan makrofag dan berbagai sitokin sperti TNF-alfa, interferon
gamma dan IL-6.Methotrexate diklasifikasikansebagai agen sitotoksik
antimetabolit, tetapi memiliki banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh
termasuk modulasi produksi sitokin. Digunakanseminggu sekali dan jika
diperlukan diberikan pula asam folat sekaliseminggu (tidak pada hari yang
sama dengan methotrexate) secara rutinuntuk mengurangi risiko efek
samping. Mual dan sariawan cukup seringterjadi, leukopenia,
trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormalkadang-kadang dapat
terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selamakehamilan dan harus
dihentikan penggunaannya tiga bulan sebelum konsepsi.7
3. Thalidomide
Thalomide [50 – 300mg/hari] sangat efektif pada LED yang refrakter terhadap
pengobatan lainnya. Beberapa studi melaporkan keberhasilan antara 85-100%,
dengan banyak laporan pasien yang dinyatakan sembuh sempurna. Adapun
efek sampingnya ialah efek teratogenik, sehingga sebaiknya tidak digunakan
pada wanita hamil. Selain itu neuropati sensorik dapat terjadi pada sekitar 25%
dari padien yang mengkonsumsi obat ini.7
4. MMF
13
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis
purinproliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan
siklofosfamid,MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung
telur) danlebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau
alopecia(kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebihbaik
ditoleransi daripada azathioprine namun kontra indikasi dalamkehamilan,
sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur disertai
penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena panjangnywaktu
paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum
konsepsi yang direncanakan.7
Obat lain yang dapat digunakan yaitu preparat emas [auranofin, mycochrysine]
danklofazimin (lampren) walaupun hasilnya bervariasi pada tiap kasus.7
Glukokortikoid sistemik sebaiknya tidak digunakan pada kasus dengan lesi
yang sedikit, namun pada beberapa kasus khususnya pada kasus berat dan
simtomatik metilprednisolon intravena dapat digunakan. Imunosupresif lain
seperti azatioprin [imuran] 1,5 -2 mg/kg/hari oral dapat bertindak sebagai
glukokortikoid-sparing pada kasus lupus eritematosus kutaneus berat. Mikofenolat
mofetil [25-45 mg/kg/hari oral] maerupakan analog purin yang serupa dengan
azatioprin. 7
2.9.4 Terapi Bedah dan Kosmetik
Lupus eritematous diskoid dapat menimbulkan alopesia permanen, atropi
kulit, dan perubahan pigmen. Intervensi bedah seperti transplantasi rambut dan
dermabrasi beresiko karena LED dapat dipicu oleh trauma. Pemulihan dari skar
atropi dengan Erbium : YAG atau laser karbon dioksida dilaporkan bermanfaat.
Injeksi lesi atropi menggunakan kolagen atau sejenisnya sebaiknya dihindari.7
2.7 Komplikasi
Resiko perkembangan penyakit menjadi LES meningkat jika lesi
menyebar dan terdapat abnormalitas hasil pemeriksaan darah dan parameter
serologis. Pengobatan dini dapat mencegah terjadinya jaringan parut atau atrofi.
14
Degenerasi malignan jarang terjadi. Pencegahan tumbuhnya lesi baru dianjurkan
pada daerah yang sering terekspos.1
2.8 Prognosis
Prognosis LED umumnya baik. Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang
akan berkembang menjadi LES. Kemungkinan eksaserbasi dapat muncul terutama
pada musim semi dan musim panas. Kasus kambuh jarang, sekitar <10%.Tingkat
mortalitas pada penyakit ini rendah, tetapi nyeri pada lesi dapat berkelanjutan.
Jaringan parut dan atrofi kulit yang terbentuk biasanya permanen.1
BAB III
15
KESIMPULAN
Lupus eritematosus merupakan penyakit yang menyerang sistem konektif
dan vaskular. Lupus eritematous diskoid bersifat kronik dan tidak
berbahaya.Penyebab pasti dari LED tidak diketahui secara pasti. Adapun faktor
resiko dari kejadian LED adalah faktor genetik dan faktor lingkungan (paparan
sinar matahari dan obat-obatan) yang memicu suatu respon autoimunitas.
Pengobatan pada LED terdiri dari pencegahan, terapi topikal, terapi
sistemik dan terapi bedah. terapi sistemik pilihan utama adalah obat-obatan anti
malaria. terdapat tiga preparat anti malaria yang dapat digunakan dalam
pengobatan LED, yaitu hidroklorokuin, klorokuin, dan kuinakrin, dimana preparat
yang sering digunakan di Indonesia adalah preparat klorokuin. Prognosis LED
umumnya baik.Hanya sekitar 1-5% saja kasus LED yang akan berkembang
menjadi LES.
DAFTAR PUSTAKA
16
1. Cotsner MI, Sontheimer RD. Lupus erythematosus. In: Freedberg IM,
Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, et al, editors.Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine.7th ed. New York: Mc Graw-Hill;
2008.p.1515-30.
2. Djuanda S. Penyakit jaringan konektif. Dalam: Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 6. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2013.h.264-72.
3. Lee LA, Werth VP. Lupus erythematosus. In: Bolognia JL, Joseph LJ,
Rapini RP. Bolognia, editors. Dermatology, 2nded. New York: Mosby
Elsevier; 2008.p.105-13.
4. Thomas B. Cutaneous lupus erythematosus. In: Wolff K, Johnson RA,
editors. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.6th
ed. New York: Mc Graw-Hill; 2007.p.376-87.
5. Kuhn A, Ruland V, cutaneous lupus erythematous: Update of therapeutic
options. Germany. Department of dermatology, university of munster.
2010.
6. Panjwani S. Early diagnosis and treatment for discoid lupus erythematous.
J Am Board Fam Med 2009;22:206–13.
7. Usmani N, Goodfield M. Efalizumab in The Treatment of Discoid Lupus
Erythematosus. Arch Dermatol.2007;143:873–7.
17