lartasm.insw.go.id/public/inswmagz ed. 3_layout design-fa... · 2017-12-19 · dalam hal...

64

Upload: others

Post on 14-Jan-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

@ the momentMozaik galeri yang

merangkum peristiwa-peristiwa yang terjadi di

lingkungan PP INSW50

perspektifPenerapan sistem INSW

di KPPBC Tipe Madya Pabean Balikpapan

dan KPPBC Tipe Madya Pabean Ngurah Rai.42

PEMIMPIN UMUM : Djadmiko PEMIMPIN REDAKSI : Harmen Sembiring WAKIL PEMIMPIN REDAKSI : Andrie Kriesniawan, Sri Dewi Merdekawati REDAKTUR: Maulana Ali, Ali Manshur, Damar Wijayanto, Tatiana JP ED ITOR: Heru B DESAIN GRAF IS : Ricky N FOTOGRAFER : Ibrahim Ghozi SEKRETARIAT: Budiyanti ALAMAT REDAKSI : PP INSW, Gedung Sarana Jaya 3, Jl. Rawamangun No. 59C, Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat Telp. 021-2148 0000 / 2148 0001 / 2148 0002 (Hunting). Majalah Ini dapat diakses melalui www.insw.go.id

forewordKata sambutan dari kepala PP INSW selaku Pemimpin Umum INSW Magz

main portalDalam layanan impor ekspor sering didengar istilah LARTAS (Larangan dan Pembatasan), simak lebih lanjut apa yang dimaksud dengan LARTAS dan mengapa perlu LARTAS.

teropong INSWLartas, yang jelas, Larangan yang dikeluarkan, harus tetap diawasi dan dapat memberikan manfaat bagi negara.

oaseJendela wawasan yang

membagikan pengetahuan, inspirasi dan ide-ide

yang akan memperkaya khazanah wawasan.

03

04

28

suara merekaMenampilkan opini

beberapa tokoh yang patut disimak: PT Teka dan

Woro Nur Endang Sariati (Kepala Balai Karantina

Ikan Denpasar)46

58

Talawang adalah tameng atau perisai Suku Dayak yang terbuat dari kayu ulin atau kayu besi yang dihias ukiran kebudayaan Dayak. Talawang berbentuk persegi panjang yang dibuat runcing pada bagian atas dan bawahnya. Panjang talawang sekitar 1 -2 meter dengan lebar maksimal 50 centimeter.

Sumber: Wikipedia

LARTAS

K etika berbicara mengenai Lartas, ada hal menarik yang kita bisa pelajari bersama. Lartas yang secara terminologi berasal dari kata larangan dan pembatasan ini memiliki cakupan

bahasan yang lebih luas, tidak hanya sebatas pada larangan dan pembatasan semata. Secara umum Lartas sering dipandang hanya sebagai sebuah standar proses dalam meneliti kelengkapan dokumen berserta isinya oleh petugas Negara yang menjaga keluar masuknya barang-barang ekspor maupun impor ke dalam kawasan kepabeanan Indonesia.

Kenyataannya, Lartas tidak sekadar digunakan untuk menjaga keluar masuknya barang di kawasan kepabeanan, namun masih banyak pihak lain yang terlibat di dalamnya. Beberapa Kementerian/Lembaga juga terlibat dengan keberadaan Lartas. Keterlibatan ini lebih kepada pemberian dokumen rekomendasi teknis sebagai syarat untuk bisa memperoleh izin akhir terkait pengawasan barang-barang yang secara teknis memiliki risiko Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan hidup (K3L).

Pada hakikatnya, fungsi utama diberlakukannya Lartas adalah untuk melindungi kepentingan nasional. Lartas sendiri masuk dalam agenda Paket Kebijakan Ekonomi ke-15 khususnya dalam hal penyederhanaan tata niaga yang akan berdampak pada kemudahan berusaha (Ease

of Doing Business/EODB). Salah satu target yang ingin diraih pemerintah Indonesia di tahun 2018 adalah peningkatan EODB hingga peringkat ke-40 yang tentunya tidak bisa lepas dari mekanisme Lartas dalam kegiatan ekspor impor.

Sejumlah insight mengenai Lartas dipaparkan lebih lanjut oleh para Pimpinan dari beberapa Kementerian/Lembaga dalam majalah INSWMagz edisi ke-3 ini. Agar cakupan tulisan bersifat cover both side, tim redaksi juga meminta pandangan dari pihak luar yakni Direktur Institute

for Development of Economics and Finance (INDEF) mengenai dampak Lartas terhadap iklim investasi di Indonesia.

Semoga majalah INSWMagz ini mampu menambah khazanah pemikiran para pembaca mengenai Lartas dan manfaatnya terutama untuk melindungi dan menjaga kepentingan nasional. Kritik dan saran yang membangun akan terus kami nantikan sebagai perbaikan untuk edisi kedepannya. Akhir kata saya mengucapkan selamat kepada tim redaksi yang telah mengangkat Lartas sebagai topik bahasan pada INSWMagz edisi ke 3 ini, selamat membaca…

fore

wo

rd

3PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DJADMIKO Kepala PP INSW

Lartas dan Border Control

Sebenarnya proses LARTAS bukanlah suatu Larangan dan Pembatasan dalam arti kata sebenarnya, dan lebih tepat bila diartikan sebagai suatu standar proses , yaitu standar proses meneliti kelengkapan dokumen dan isinya oleh Petugas DJBC, agar terjamin telah sesuai dengan persyaratan impor/ekspor yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, dan merupakan bukti bahwa komoditi yang diimpor/ekspor dilaksanakan sepengetahuan semua kementerian / lembaga teknis terkait, juga telah memenuhi ketentuan yang disyaratkan di negara tujuan bagi kelancaran ekspor.

Karena pelaksanaan proses LARTAS yang dilaksanakan oleh Petugas Bea dan Cukai di Border Area bersamaan dengan tugas pemeriksaan lainnya, maka proses tersebut merupakan bagian dari prosedur Border control DJBC.

LARTAS merupakan tahap pertama proses border control, yang bila seluruh data dan dokumen sudah memenuhi syarat, maka proses dilanjutkan dengan pemeriksaan lain untuk dapat diperoleh customs clearance dan Cargo release..

Sebagai bentuk pemeriksaan kelengkapan dokumen dari seluruh K/L Teknis dan pemberian izin telah sesuai persyaratan Impor/ekspor, bila diamati dari sudut siklus proses Impor Ekspor, sebenarnya

tindakan penelitian LARTAS dapat dilakukan sebelum Border control, karena sebelum realisasi Impor/ekspor ada proses pembuatan izin final, dan sebelum penerbitan izin final disyaratkan kelengkapan dokumen dan data pendukung bila diperlukan. Sehingga penelitian atas kelayakan dokumen pendukung seharusnya sudah dapat dilakukan bertahap sebelumnya, dan tidak harus dilakukan seluruhnya oleh Petugas Bea Cukai.

Menjadi pertanyaan berikut, mengapa selama ini LARTAS menjadi bagian dari proses Border control, yang dapat diungkap dari perkembangan kebutuhan LARTAS di masa lalu.

Hari S. Noegroho

Deputi I Bidang Proses Bisnis

APA DAN MENGAPA LARTAS

Dalam layanan impor ekspor sering didengar istilah LARTAS, yang sebenarnya perpanjangan dari dua kata Larangan dan Pembatasan, namun tidak banyak masyarakat umum memahami apa yang dimaksud dengan LARTAS atau singkatan dari larangan dan pembatasan, dan mengapa perlu LARTAS.

4

Perkembangan Lartas

Untuk mendapatkan Izin, bagi beberapa komoditi disyaratkan adanya rekomendasi teknis dari K/L penanggung jawab atas pengawasan barang2 yang secara teknis memiliki risiko Keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan hidup (K3L), dan beberapa kebijakan lainnya, yang realisasinya dibuktikan dengan terbitnya dokumen rekomendasi teknis sebagai syarat untuk bisa memperoleh izin Final.

Pada proses secara manual, dimana verifikasi atas dokumen rekomendasi dilakukan dengan verifikasi fisik, dan proses pembuatan izin berdasar data dari dokumen rekomendasi, maka terdapat risiko kemungkinan kesalahan verifikasi maupun kesalahan pengambilan data, yang menyebabkan izin final yang diterbitkan mengandung risiko akurasi sehingga diperlukan “dual control” atau penelitian ulang.

Risiko akurasi bertambah ketika percepatan layanan menjadi proritas, sehingga risiko dokumen aspal, akurasi dll, menjadi risiko yang harus diamankan oleh pihak independen.

Oleh karena beberapa risiko administrasi dari proses manual tersebut, dan ditambah risiko K3L pada komoditas tertentu, maka pengawasan dini oleh K/L Teknis yang dinyatakan dengan kelengkapan syarat impor / ekspor, wajib diawasi ulang kelengkapan dokumen dan akurasi datanya sebelum barang diperiksa lebih lanjut sesuai prosedur pengawasan Border oleh petugas Bea Cukai.

Dalam proses LARTAS secara manual, dilakukan penelitian kelengkapan dokumen persyaratan yang wajib dipenuhi, untuk kemudahan proses tersebut DJBC

menyusun daftar LARTAS yang berisi kelengkapan syarat dokumen yang wajib dilengkapi bagi setiap komoditi, yang selanjutnya dikenal sebagai TABEL LARTAS. Selanjutnya pemeriksaan akurasi data dilakukan dengan pencocokan manual atas konsistensi isi data dalam dokumen rekomendasi, izin hingga pengajuan realisasi Impor/ekspor.

Proses LARTAS mulai berubah dengan adanya INSW sebagai hub untuk merelasikan data dan proses antar KL, sehingga secara bertahap akurasi dan sinkronisasi data rekomendasi dan Izin Final dilakukan dengan pembandingan data elektronik. Sehingga apabila semua proses penerbitan izin secara bisa diverifikasi kesesuaian isinya dengan data rekomendasi, maka sebenarnya izin final dapat dipastikan pasti akurat isinya dengan rekomendasi pendukungnya.

Demikian pula untuk kelengkapan dokumen syarat izin impor ekspor, dengan adanya data elektronik yang mencerminkan isi dokumen dari seluruh K/L, maka proses pemeriksaan kelengkapan dokumen dapat diotomasi dengan melakukan konversi TABEL LARTAS menjadi Tabel Pembuatan Keputusan (Decision Support Table) secara elektronik. Sehingga beban tugas Analyzing Point menjadi ringan dengan proses OTOMASI penelitian kelengkapan dokumen LARTAS yang dijalankan di Portal INSW.

Namun karena adanya risiko akurasi akibat belum semua proses izin final di verifikasi secara elektronik, dan adanya Kebijakan Pemerintah yang isinya tidak dapat diotomasi, maka ada sebagian kegiatan Impor ekspor dari Komoditi berisiko K3L yang ternyata prosesnya tidak memenuhi syarat yang tercantum dalam TABEL LARTAS, atau realisasi

yang memerlukan pertimbangan Petugas karena Kebijakan atas komoditi tertentu yang tidak bisa diotomasi, maka beban kerja Petugas Analyzing Point untuk memeriksa secara manual hasil proses OTOMASI LARTAS masih banyak ditemukan.

Pengawasan Syarat Edar di Border

Khusus untuk barang impor, selain wajib memenuhi persyaratan untuk pengamanan risiko K3L, juga ada komoditi yang harus memenuhi persyaratan peredaran dan standar nasional yang harus dipenuhi oleh importir. Untuk semua komoditi yang berisiko K3L wajib dilakukan penelitian persyaratan dan pemeriksaan sebelum keluar dari Area Pabean.

Dalam realisasi border control di Indonesia, selain komoditi berisiko K3L terdapat pula komoditi tanpa risiko K3L yang diawasi pada Border Area, yaitu barang 2 yang wajib memenuhi Standar Nasional dan Syarat untuk bisa diedarkan di Wilayah NKRI, yang pelaksanaan penelitian persyaratannya oleh K/L teknis penerbit persyaratan didelegasikan ke Kemenkeu untuk dilaksanakan oleh Petugas BC. Selanjutnya pengawasan syarat edar tersebut diperlakukan sama sebagai komoditi LARTAS dan masuk dalam TABEL LARTAS untuk diawasi.

Penggabungan pengawasan kelengkapan syarat edar dalam border control, menjadikan Indonesia istimewa dibanding dengan negara lain, karena jumlah komoditi yang diawasi oleh petugas BC dalam border control extra besar jauh diatas rata-rata dengan negara lain. Untuk itu Pemerintah membuat kebijakan mengurangi beban normalisasi border control, yaitu dengan mengeluarkan semua Komoditi Non K3L dari daftar

ma

in p

orta

l

5PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

LARTAS Border control sehingga pengawasannya dilakukan Post Border.

Adanya kebijakan mengalihkan pengawasan standar dan syarat edar barang non K3L keluar Border Area merupakan hal yang mengejutkan bagi semua K/L, karena sudah lama mereka tidak melakukan tugas pengawasan penuh dengan mendelegasikan tugas pengawasan atas seluruh syarat edar kepada DJBC untuk dilaksanakan sebelum customs clearance. Namun bila semua K/L memahami apa saja yang dilakukan selama ini dalam melaksanakan pengawasan standars dan syarat edar oleh Petugas Bea Cukai, seharusnya tidak perlu ditakutkan, karena teknis pengawasan yang selama ini dilakukan oleh DJBC juga seharusnya dapat dilakukan oleh K/L masing-masing.

Pengawasan Syarat Edar dalam Lartas

Bahwa sebagaimana proses penelitian atas Komoditi LARTAS, semua syarat edar yang diwajibkan bagi komoditi Non K3L yang dititipkan sebagai LARTAS dilaksanakan sama dengan proses LARTAS komoditi K3L, yaitu pemeriksaan dengan memanfaatkan fasilitasi Otomasi penelitian kelengkapan dokumen persyaratan LARTAS untuk memeriksa kelayakan dokumen syarat edar secara otomatis, dan hanya yang tidak lolos dari pemeriksaan Aplikasi OTOMASI LARTAS yang diperiksan secara manual oleh Petugas Analyzing Point. Pemeriksaan berikutnya sesudah pemeriksaan

adanya otomasi penelitian LARTAS di INSW menjadi jauh lebih cepat dan dan jauh lebih ringan di banding ketika pengawasan masih dilakukan manual. Sehingga seharusnya dengan cara yang sama dengan proses pemeriksaan dokumen Lartas, yaitu otomasi pengawasan syarat edar bagi dokumen Impor secara otomatis tidak akan menjadi beban bagi K/L terkait, apabila sudah ada penegasan Unit kerja yang melaksanakan tugas atas penyimpangan yang dijumpai dalam proses otomasi pengawasan syarat edar, sebagaimana tugas Analyzing Point yang harus dilakukan atas hasil proses otomasi syarat LARTAS.

Demikian pula dengan teknis pemeriksaan fisik di Border oleh Bea Cukai, semuanya dengan terapan Manajemen Risiko menjadi beban ringan bagi Bea Cukai, karena yang diperiksa hanya realisasi impor/ekspor yang diidentifikasi berisiko tinggi saja. Oleh karenanya bagi pelaksanaan Border control tidak akan menjadi beban bagi K/L penanggung jawab pengawasan edar apabila telah menerapkan Manajemen Risiko bagi kemudahan Pemeriksaan, dengan menegaskan satuan kerja pelaksana Manajemen Risiko dan pelaksana Pemeriksaan.

Sehingga dapat disimpulkan kemudahan Pengawasan Edar dapat diperoleh apabila Otomasi pemeriksaan Syarat Edar dan Manajemen Risiko dijalankan dalam kegiatan Pengawasan Barang Edar.

MENYEMPURNAKAN OTOMASI PEMERIKSAAN KELENGKAPAN DOKUMENHasil evaluasi atas proses otomasi LARTAS sebagai bagian dari Border control dijumpai masih banyak beban proses pemeriksaan manual

syarat edar adalah pemeriksaan fisik, yang dilakukan berdasar realisasi Impor dengan risiko tinggi (jalur merah) yaitu hasil terapan Manajemen risiko. Sehingga secara praktis tidak banyak barang yang tidak berisiko K3L yang diperiksan secara fisik.

Sehingga bila syarat edar atas komoditi yang tidak berisiko K3L dikeluarkan dari Border control dan menjadi bagian dari Post Border control, maka minimal diperlukan adanya aplikasi computer sejenis untuk otomasi pengawasan kelengkapan dokumen dan isi syarat edar, dengan logika proses seperti otomasi pengawasan dokumen LARTAS di Bea Cukai, dan selanjutnya perlu ditata manajemen risiko pada satuan kerja pelaksana pengawasan disemua K/L untuk mendukung pelaksanaan pengawasan fisik terencana yang dilaksanakan secara realistis berdasar tingkat risiko tinggi.

Ada atau tidak adanya pengalihan pengawasan syarat edar dari Border menjadi Post Border, tetap diperlukan pelaksanaan Manajemen Risiko di semua K/L peserta INSW, sebagai bagian dalam rencana terapan ISRM (Indonesia Single Risk Management). Sehingga dapat disusun rencana kerja peralihan Border control menjadi Post Border Control tanpa menambah banyak beban kerja tambahan disemua K/L peserta INSW.

Otomasi dan Manajemen Risiko bagi Pengawasan Edar

Proses LARTAS yang sebelum terapan INSW merupakan proses pemeriksaan dokumen pelengkap kepabeanan secara manual dan memakan waktu lama untuk dikerjakan oleh Unit Kerja Analyzing Point disetiap Border Area, setelah

6

oleh petugas Analyzing Point. Hal tersebut diakibatkan beberapa hal antara lain:

• Kesalahan Pengurusan Dokumen karena keterlambatan pengkinian INTR,

• Kesalahan pengurusan dokumen karena ketidak taatan Pelaku usaha

• Kebijakan yang penuh perkecualian dan tidak bisa di otomasi

• Adanya komoditi dengan ID sama namun spesifikasi rinci dan perlakuannya berbeda

• Untuk dapat meningkatkan manfaat dari proses Pemeriksaan Dokumen yang diotomasi baik bagi kepentingan LARTAS maupun SYARAT EDAR, diperlukan beberapa perbaikan antara lain:

• Penegasan tata kelolaan peraturan yang merupakan isi dari INTR di Portal INSW, untuk menjadi tanggung jawab langsung semua satuan kerja penanggung jawab penyampaian kebijakan pemerintah kepada Publik, sebagai produsen data dari masing-masing K/L, sehingga isi INTR dijamin akurat dan dapat dipertanggung jawabkan oleh produsen data masing-masing K/L.

• Peningkatan sanksi atas ketidaktaatan pelaku usaha yang mampu menimbulkan efek jera atas penyimpangan Lartas maupun Penimpangan syarat edar yang dijumpai dalam Border control maupun Post Border control.

• Melakukan analisa ulang atas semua Kebijakan yang tidak bisa diotomasi untuk disempurnakan agar dapat diotomasi proses pengawasannya.

• Melakukan penyempurnaan sistem dengan melengkapi teknis proses otomasi dengan menambah ID teknis atas setiap komoditi berbeda yang ada dalam satu HS code, tanpa melakukan perubahan HS Code yang sudah ada.

Penanggung Produsen Data INTR dan Tabel Lartas/Syarat Edar

Tatakelola INTR memerlukan banyak perbaikan yang belum bisa dijalankan karena perlu kesiapan seluruh K/L untuk menyediakan tenaga pelaksana tugas pemeliharaan yang menjalankan tugas dengan status Kewenangan akses sebagai

Produsen Data yaitu pejabat yang berwenang melakukan Create, Update & Delete atas isi INTR.

Kesiapan K/L baru tampak pada DJBC yang sejak awal INTR membantu menyediakan isi INTR. Untuk kejelasan tanggung jawab diperlukan penegasan Pejabat pelaksana pemeliharaan INTR dari semua K/L terkait.

Disamping INTR, ada pula tugas yang harus sinkron dengan isi INTR, yaitu petugas pelaksana pemerliharaan TabeL Pembuatan Keputusan yang diperlukan bagi otomasi pemeriksaan kelengkapan dokumen dan data, yaitu TABEL LARTAS dan TABEL Syarat EDAR yang seharusnya ada dalam mendukung otomasi pemeriksaan dokumen syarat edar dalam pelaksanaan Post Border control. Untuk Tabel LARTAS sudah jelas, dipelihara oleh DJBC, sedang untuk Tabel Syarat Edar masih perlu pembahasan untuk penunjukan penanggung jawabnya.

Keberadaan penanggung jawab tersebut menjadi penting agar proses otomasi pemeriksaan dokumen dapat terlaksana dengan baik dan lancar.

Peningkatan Sanksi atas Penyimpangan

Dari faktor ketidaktaatan pelaku usaha umumnya terjadi karena sanksi yang masih dianggap ringan. Hal tersebut perlu dibuktikan dengan penelitian atas dampak regulasi terkait untuk menjadi dasar penyempurnaan kebijakan Pemerintah dengan pengaturan sanksi yang lebih tepat agar mereka patuh.

Kebijakan sanksi banyak dilakukan negara yang menerapkan prinsip “self assessment” atas pengisian permohonan maupun dokumen pendukung, yang akan menjadi object post audit, dan selanjutnya atas temuan penyimpangan saat post audit akan menjadi dasar pengenaan sanksi yang mampu menyebabkan pelaku usaha atau perantara proses tidak berani melakukan penimpangan atau kebohongan dalam proses impor ekspor.

ma

in p

orta

l

7PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Penataan Isi Kebijakan untuk Otomasi

Dari sudut kebijakan atas komoditi, dijumpai beberapa hambatan kebijakan yang tidak bisa otomasi. Umumnya terjadi karena ketidakkepastian isi kebijakan karena mengandung dengan perkecualian yang memerlukan pertimbangan Petugas.

Dalam pelaksanaan otomasi pemeriksaan kelayakan persyaratan dokumen dan data impor ekspor tidak bisa lepas dari adanya “satu HS Code” dengan rincian beberapa komoditi yang berbeda, sehingga menyebabkan

bagi HS Code tersebut tidak dapat dilakukan proses otomasi pemeriksaan Dokumen, baik LARTAS maupun SYARAT EDAR. Untuk itu beberapa negara mengatasi dengan membuat ID teknis diluar HS Code, agar bagi komoditi memiliki rincian yang tidak sesuai dengan HS code dapat dilakukan otomasi proses pengawasan dokumen dan data untuk memastikan persyaratan telah dipenuhi dan juga dapat dilakukan otomasi proses perhitungan tarif dan lain-lain untuk percepatan layanan dan kemudahan perolehan data statistik.

Sebagai contoh:

• Singapura membuat Product Code untuk highlight proses pengawasan atas komoditi tertentu dan mengatasi perbedaan dalam satu HS code yang sama.

• Amerika menerbitkan commodity code yang selaras dengan HS code dengan menambahkan 4 digit lebih panjang dari HS Code Internasional, sehingga dikenal adanya tabel komoditi (Schedule B) yang diterbitkan oleh US Census Bureau, yang dimanfaatkan untuk otomasi pengawasan, otomasi perhitungan dan analisa statistik.

Untuk itu dalam setiap penyusunan kebijakan, khususnya dalam melakukan analisa dampak kebijakan diperlukan analisa logika atas terapan kebijakan tersebut, perlu sinkronisasi isi kebijakan agar isinya dapat dimasukkan dalam Tabel Pembuat Keputusan (TABEL LARTAS atau TABEL SYARAT EDAR) yang untuk dapat diotomasi proses pemeriksaan dokumen dan isinya.

Sinkronisasi tersebut menjadi perlu masuk dalam daftar pemeriksaan kelayakan kebijakan, mengingat untuk percepatan layanan dan pemeriksaan seharusnya seluruh proses dapat diotomasi untuk memberikan hasil yang akurat bebas dari risiko penyimpangan dalam pembuatan keputusan oleh Pejabat Pelaksana.

Melengkapi HS Code dengan ID Teknis bagi Spesifikasi Rinci atas Komoditi

Wacana terapan Product Code maupun Commodity Code untuk mengatasi kekurangan rincian dalam HS Code selama ini sudah banyak dibahas, namun karena batasan DJBC selalu pengendali HS Code yang tidak diperkenankan melakukan perubahan HS Code, maka masalah tersebut tidak pernah tuntas, untuk itu diperlukan penunjukan Lead Agency di luar DJBC agar kebutuhan kode teknis untuk rincian komoditi di luar HS Code dapat direalisasikan, sebagaimana telah dilaksanakan oleh Pemerintah Amerika Serikat yang menerbitkan ID Komoditi nasional Non HS Code di bawah US Census Bureau.

8

MANAJEMEN RISIKO BAGI PENGAWASAN BARANG EDARPengawasan fisik dalam Border control atas komoditi yang wajib memenuhi syarat edar dapat diperkecil % jumlahnya dengan terapan Manajemen Risiko di Bea Cukai, dan bila komoditi yang sama menjadi Post Border maka diperlukan terapan manajemen risiko yang sama untuk mendukung efektifitas dan efisiensi oleh K/L teknis maupun K/L penerbit izin final.

Untuk melaksanakan Manajemen Risiko diperlukan dua Komponen utama, yaitu:

• Analisa Risiko sesuai Concern K/L masing-masing, untuk menemukan kelompok area risiko dari setiap Komoditi dan pelaku usaha, untuk kemudian dinilai tingkat risiko masing-masing area berdasar analisa atas data statistik time series yang mencerminkan semua transaksi dalam satu periode, yang secara statistik layak menjadi dasar analisa.

• Pemanfaatan nilai risiko yang dihasilkan oleh kelompok tugas pelaksana analisa risiko, untuk dipergunakan dalam otomasi proses layanan dan pengawasan dengan aplikasi komputer, maupun pembuatan keputusan oleh petugas pelaksana layanan dan pengawasan.

Dari kedua komponen tersebut yang paling sulit adalah melaksanakan kegiatan untuk komponen pertama yang akan memberikan gambaran area risiko berikut nilai peringkat risikonya yang layak guna.

Untuk melakukan analisa risiko bukan hanya dibutuhkan data time series realisasi impor / ekspor yang akurat dan memenuhi syarat analisa statistik saja, tetapi juga SDM - tenaga analis yang lengkap dan bertugas rutin dalam satu satuan tugas, karena analisa risiko bersifat time series sesuai perkembangan waktu yang tidak mungkin dilaksanakan sebagai tugas sampingan.

Satuan tugas pelaksana Manajemen Risiko dan pelaksana analisa risiko tersebut sebenarnya hanya diperlukan ada satu dalam setiap K/L sesuai Concern yang ditugaskan dalam tugas dan fungsi masing-masing K/L, namun masih banyak K/L yang belum memiliki Organisasi tersebut.

Organisasi pelaksana Manajemen Risiko sebenarnya memerlukan relasi erat dengan penerbit kebijakan, dan pelaksana pemeriksaan, karena penerbit kebijakan bisa membuat ketentuan yang mengatur agar K/L terhindar dari kondisi yang tidak diinginkan, dan pelaksana pemeriksaan bisa menjadi pelaksana evaluasi atas kelayakan analisa risiko dan ramalan yang dibuat oleh satuan pelaksana Manajemen Risiko tersebut.

Dengan adanya manajemen risiko, maka pemeriksaan fisik pada pelaksanaan Post Border control maupun pengawasan Barang Edar bisa dilakukan sesuai dengan Area dan Tingkat risiko yang diperoleh dari analisa risiko. Apabila risiko peredaran cukup tinggi proses tetap dilakukan di Border, bila area risiko tinggi dijumpai dalam proses distribusi, maka dapat diatur syarat logistik pergudangan bagi komoditi tertentu. Dan apabila area risiko tinggi komoditi tertentu mudah diperoleh dan terjadi di pasar, maka proses pemeriksaan dilakukan pasar, untuk itu diperlukan penataan kebijakan untuk kemudahan pengawasan pasar bagi komoditi tersebut.

Dengan siklus realisasi kebijakan yang dikombinasikan dengan terapan manajemen risiko dan pengawasan, maka akan mempermudah Pemerintah menata perekonomian nasional secara strategis dan tepat sasaran.

KESIMPULANBahwa LARTAS dan Manajemen Risiko merupakan salah satu contoh komponen proses pemeriksaan dan pengawasan yang bisa diotomasi untuk mendukung efektifitas kebijakan pemerintah dalam mengatur perekonomian nasional.

Untuk itu perlu dukungan untuk optimalisasi otomasi lartas agar tercapai transparansi layanan dan pengawasan Pemerintah yang dipahami dan diketahui publik agar perekonomian Nasional bisa tertib dan terkendali.

Diperlukan beberapa penyesuaian kebijakan dan komitmen untuk melaksanakan otomasi dalam mendukung pengawasan Impor ekspor dan Barang edar agar Perekonomian Nasional bisa dikendalikan untuk kepentingan dan kemakmuran Masyarakat dan Bangsa Indonesia. (HARI S. NOEGROHO)

ma

in p

orta

l

9PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

“W aduuh Pak, mana saya tahu ada aturan seperti itu. Tolong lah,” terdengar seloroh dari sudut ruangan kargo bandara di tengah dentuman suara pesawat. “Barang yang saya beli ini untuk saya pakai sendiri, masa harus urus izin segala,” suara lelaki itu berkilah.

Kejadian seperti itu hampir setiap hari ditemui pelayanan impor maupun ekspor di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Tugas DJBC, selain fokus terhadap pemungutan penerimaan negara dari sektor kepabeanan seperti Bea Masuk, Bea Keluar, dan

Menjawab Tantangan, Menyusun Strategi

Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI), juga berkewajiban melaksanakan pengawasan larangan pembatasan saat barang diimpor. Lalu apa pasal, sehingga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga “mengurusi” masalah perizinan masuk dan keluar barang impor maupun ekspor? Toh izin-izin tersebut kan diterbitkan oleh kementerian teknis atau lembaga lainnya, bukan DJBC?

Sejatinya aparat pabean merupakan fiskus, yang melakukan pemungutan pajak di sektor impor dan ekspor. Namun, mengingat posisi pelaksanaan tugasnya

berada di batas negara, maka tugas lainnya yang bersifat non

tariff barrier pun “dititipkan” kepada Bea dan Cukai. Hal ini sejalan dengan penjelasan Pasal 53 ayat (1) bahwa, “Sesuai dengan praktik kepabeanan internasional, pengawasan lalu lintas barang yang masuk atau keluar dari daerah pabean dilakukan oleh instansi pabean. Dengan demikian, agar pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan pembatasan menjadi efektif dan terkoordinasi, instansi teknis yang bersangkutan wajib menyampaikan peraturan dimaksud kepada Menteri untuk ditetapkan dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai”.

Sengaja, diawal sudah disampaikan dasar hukum berupa Undang-Undang agar ada mindset yang sama, bahwa kewenangan ini adalah amanat Undang-undang.

Lalu bagaimana? Apakah begitu diterbitkan dan diundangkan oleh kementerian/lembaga langsung dilaksanakan pengawasannya?

PENGAWASAN BARANG LARANGAN PEMBATASANOLEH DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

B. Wijayanta B.M.

Direktur Penindakan dan Penyidikan DJBC

10

Tunggu dulu, tidak serta merta peraturan yang diterbitkan oleh kementerian/lembaga langsung dilaksanakan pengawasannya. Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Kepabeanan mengamanatkan, “Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan larangan dan pembatasan, instansi teknis yang menetapkan peraturan larangan dan/atau pembatasan atas impor atau ekspor wajib memberitahukan kepada Menteri”.

Lebih lanjut, ada mekanisme penelitian dan “konversi” peraturan Kementerian/Lembaga, sehingga dapat diawasi oleh DJBC sebagaimana amanat Pasal 53 UU Kepabeanan, ayat (2) dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 224/PMK.04/2015 tentang Tentang Pengawasan Terhadap Impor Atau Ekspor Barang Larangan dan/atau Pembatasan. Mekanisme ini semata-mata agar peraturan yang disampaikan untuk diawasi dapat dilaksanakan dengan baik oleh Petugas Bea dan Cukai. Kejelasan jenis barang, kejelasan dokumen yang dipersyaratkan, kejelasan satuan barang dalam hal kuota, dan kejelasan instrumen administrasi yang digunakan DJBC untuk pengawasan adalah objek dari penelitian ini.

Jika telah lulus “tes uji” maka akan diterbitkan Keputusan Menteri Keuangannya. Mulai dari sinilah perintah pengawasan akan dijalankan. Selanjutnya, data barang yang tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan

akan disampaikan ke Portal Indonesia National Single Window (INSW) sebagai referensi tunggal ketentuan larangan dan/atau pembatasan impor atau ekspor.

Ruang Lingkup

Dalam berbagai kesempatan, media masa memberitakan tentang penindakan Petugas Bea dan Cukai di laut terhadap barang dilarang atau dibatasi. Lalu, apakah memang pengawasannya melingkupi sampai dengan perairan dan batas negara? Sebagaimana barang yang masuk ke dalam daerah pabean telah tertuang Bea Masuk. Dalam pengawasan Bea dan Cukai sebagaimana diatur Pasal 2 Undang-undang Kepabeanan, terhadap barang impor yang terkena ketentuan larangan pembatasan, pemenuhan persyaratannya dalam bentuk perizinan juga harus telah dipenuhi sebelum barang masuk ke daerah pabean. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan nomor 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor.

Oleh sebab itulah Petugas Bea dan Cukai dapat melakukan pengawasan sejak saat masuk ke dalam daerah pabean dengan melakukan pemeriksaan atas kapal, muatannya, dan dokumennya. Dalam skema ekspor juga begitu. Sebelum barang dimuat ke sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari daerah pabean, persyaratan berupa perizinan harus sudah dipenuhi terlebih dahulu.

Subjek

Siapa subjek pengawasan barang larangan pembatasan? Secara umum subjek pengawasan barang larangan pembatasan adalah eksportir dan importir yang membawa barang yang diatur oleh peraturan dari kementerian/lembaga. Importir atau eksportir, harus memberitahukan barang Impor yang dilarang atau dibatasi sebagai barang larangan dan/atau pembatasan.

Objek

Masing-masing dalam Peraturan Menteri Perdagangan nomor 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor dan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 13/M-DAG/PER/3/2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor, penggolongan barang impor maupun ekspor antara lain:

� Barang bebas impor atau ekspor;

� Barang dibatasi impor atau ekspor;

� Barang dilarang impor atau ekspor.

Objek pengawasan terkait larangan pembatasan adalah barang yang dibatasi atau dilarang sebagaimana peraturan kementerian atau lembaga yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk diawasi, sebagaimana tercantum pada data larangan pembatasan Portal Indonesia Natinal Single Window (INSW) sebagai single refference.

ma

in p

orta

l

11PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Mekanisme

Konsep pertama yang menjadi pegangan dalam pengawasan barang larangan pembatasan adalah pemberitahuan pabean akan dilayani setelah ketentuan larangan pembatasannya dipenuhi terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor Per-16/BC/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai dan Per-32/BC/2014 tentang Tata Laksana Kepabeanan di Bidang Ekspor. Dengan konsep tersebut, penelitian terhadap pemberitahuan barang larangan dan/atau pembatasan dilakukan saat pengajuan pemberitahuan pabean.

Secara umum, penelitian atas perizinan larangan dan pembatasan yang disampaikan oleh importir atau eksportir dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:

1. Untuk Kantor Pabean yang telah terhubung dengan Portal INSW, penelitian pemenuhan ketentuan larangan dan/atau pembatasan dilakukan oleh Sistem Komputer Pelayanan melalui atau menggunakan Portal INSW;

2. Untuk Kantor Pabean yang belum terhubung dengan Portal INSW namun telah menggunakan Sistem Komputer Pelayanan, penelitian pemenuhan ketentuan larangan dan/atau pembatasan dilakukan oleh Sistem Komputer Pelayanan;

3. Sedangkan dalam hal penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b tidak dapat dilakukan atau PIB disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir, penelitian pemenuhan ketentuan larangan atau pembatasan secara administratif dilakukan oleh Pejabat yang menangani penelitian larangan dan pembatasan.

Jika persyaratan larangan pembatasan telah dipenuhi, selanjutnya adalah mekanisme billing (pembayaran) dan penerbitan nomor pendaftaran pemberitahuan pabean. Secara sederhana, proses penelitian pemenuhan ketentuan larangan pembatasan, adalah sebagai berikut:

Pengecekan Ketentuan Lartas dilakukan secara:

� Otomatis melalui Portal INSW � Manual melalui Petugas Analyzing Point

ADAPERIZINAN

TIDAK ADAPERIZINAN

DOKUMEN AJUPIB/PEB

SUS SISTEM PENJALURAN

CEK KETENTUAN

LARTAS

PEMBATASAN

PROSES

LARANGAN REJECT

REJECT

12

Tantangan dan Strategi

Wilayah geografis menjadi tantangan tersendiri dalam pengawasan kepabeanan, apalagi saat ini Indonesia tercatat memiliki sekitar 17.500 pulau. Terkesan klasik memang. Namun, realitas yang dihadapi para petugas di lapangan, dengan jumlah pegawai DJBC saat ini sekitar 14.000 orang, menjadi tidak mungkin menempatkan pegawai di sepanjang garis batas negara bahkan tidak cukup untuk mengawasi masing-masing pulau.

Sebagai respon dari tantangan kondisi geografis yang ada, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyusun skema organisasi sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 188/PMK.01/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal DJBC dengan format kewilayahan yang terdiri dari 20 Kantor wilayah dan 104 Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai. Serta secara organisasi memiliki unit pengawasan dari tingkat pusat sampai Kantor Pabean yang didukung oleh peralatan dan sarana prasarana seperti:

1. kapal patroli;2. mesin x-ray;3. mesin gamma ray;4. unit anjing pelacak;5. Radiation Portal Monitor;6. Radar;7. Narcotest Kit;8. dll

Dalam kerangka perdagangan luar negeri (ekspor-impor) jumlah pelaku usaha sangatlah besar dan barang yang diperdagangkan juga memiliki cakupan sangat luas. Karenanya sangat mustahil jika melaksanakan

pengawasan dengan memeriksa fisik seluruh barang. DJBC harus bisa melakukan pemetaan wilayah yang rawan, tingkatan profil importir, eksportir, dan komoditi. Dengan begitu, dapat menentukan objek dan subjek pemeriksaan fisik. Inilah yang dikatakan sebagai manajemen risiko, tujuannya tentu agar pengawasan menjadi efektif dan efisien.

Manajemen risiko melahirkan penjaluran yang saat ini dikenal antara lain, jalur hijau yang hanya dilakukan pemeriksaan atas dokumen setelah barang diberikan persetujuan keluar, jalur kuning yang dilakukan pemeriksaan dokumen terlebih dahulu sebelum diberikan persetujuan keluar, dan jalur merah yang dilakukan pemeriksaan fisik dan dokumen sebelum diberikan persetujuan keluar. Selain itu, pemeriksaan juga dapat dilakukan dalam hal terdapat informasi berupa Nota Hasil Intelijen, sehingga barang dengan jalur hijau maupun kuning tetap bisa dilakukan intersepsi untuk diperiksa fisiknya.

Dalam melaksanakan amanat Undang-undang Kepabeanan,

secara umum, wewenang petugas Bea dan Cukai dalam melaksanakan pengawasan impor atau ekspor adalah:

a. Pencegahan barang dan sarana pengangkut;

b. Pengawasan dan penyegelan;c. Pemeriksaan atas Barang;d. Pemeriksaan Pembukuan;e. Pemeriksaan Bangunan

dan Tempat Lain;f. Pemeriksaan Sarana

Pengangkut;g. Pemeriksaan Badan.

Hal yang tidak boleh dikesampingkan dalam pengawasan, adalah kerjasama dengan instansi teknis dan penegak hukum lainnya seperti TNI, POLRI, Badan Narkotika Nasional, Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Imigrasi, BPOM, Badan Karantina Petanian, BKIPM, dan instansi pemerintah/ lembaga negara lainnya.

Hasil Penindakan

Hasil dari kerja pengawasan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, secara nasional dari 1 Januari 2015 sampai dengan 12 September 2017 tergambar dalam grafik data penindakan.

2015

10.009

14.890 16.457

2016 2017

3.935

3.701

4.189

2015 2016 2017

JUMLAH PENINDAKAN NILAI BHP (Miliar Rp)

ma

in p

orta

l

13PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Fungsi utama diberlakukannya Larangan dan Pembatasan (Lartas) adalah

melindungi kepentingan nasional. Lartas yang masuk di dalam Paket Kebijakan

Ekonomi yang dicanangkan pemerintah, menjadi sorotan masyarakat. Jumlah

Lartas yang ada saat ini, dianggap terlalu banyak, sehingga menjadi kendala

tersendiri bagi dunia usaha. Dengan diberlakukannya Paket Kebijakan

Ekonomi (PKE) ke-15 tahun ini, ada upaya mengurangi jumlah Lartas yang

bertujuan untuk memberikan kemudahan pada perdagangan internasional.

Bagaimana sebenarnya dampak Lartas terhadap iklim investasi di Indonesia,

Berikut wawancara INSW Magz dengan Direktur Institute for Development of

Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati.

INSW MAGZ: Sebenarnya, seberapa besar dampak Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) yang di gulirkan pemerintah sejak tahun 2015?

ENNY SRI HARTATI (ESH): Iya, potret dari semua PKE-1 hingga PKE-16 itu sebenarnya pemerintah punya komitmen untuk memperbaiki kinerja. Nah, itu kita apresiasi. Dimulai dari PKE-1 mengenai paket deregulasi dan debirokratisasi. Sebenarnya, awal mula komitmen pemerintah di PKE-1 itu kan jelas, ada dua hal paling utama yang dicatat masyarakat sebagai target pemerintahan Jokowi, yakni meningkatkan produktivitas dan daya saing. Nah itu seharusnya yang menjadi payung dasar untuk seluruh

PKE-PKE stimulus yang semestinya dikeluarkan oleh pemerintah. Jadi arahnya di dua itu saja, peningkatan produktivitas dan daya saing, karena itu juga yang ada di nawacitanya Jokowi. Tapi ketika kita lihat bagaimana PKE-1, dikeluarkan PKE-2 sampai PKE-16 memang ada irisan untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan daya saing. Tetapi ketika kita lihat PKE-2, PKE-3 itu tidak fokus. Setelah lebih banyak dikritik mulai PKE-5 ke atas, kan langsung lebih spesifik. Komitmen (goodwill) dari pemerintah atas PKE yang spesifik tadi ternyata belum mempunyai dampak nyata terhadap perbaikan yang diharapkan oleh masyarakat, terutama dunia usaha.

INSW MAGZ: Memangnya kendala ada dimana?

(ESH): Setelah ada evaluasi, tentang bagaimana implementasi dari paket-paket kebijakan ekonomi ini, ternyata problemnya ada di implementasi. Jadi paketnya oke dan komitmennya oke, tapi ada beberapa hal yang di level implementasi ini tidak terealisasi. Nah tidak terealisasinya ada beberapa hal, ada tumpang tindih kewenangan, ada ketidak jelasan program, dan juga over respon dari kementerian-kementerian teknis terkait.

Ada sinyal dari pemerintah untuk melakukan berbagai macam kemudahan, ini tidak terealisasi atau

WAWANCARA

Enny Sri Hartati

Direktur INDEF (Institute for Development of Economics and Finance)

Lartas, harus hati-HATi

14

komitmen itu. Saya tidak tahu miss-nya di mana tetapi di level kementerian-kementerian teknis ini tidak terealisasi secara penuh seperti goodwill yang ada di pemerintah pusat. Apalagi di pemerintah daerah. Jadi sebenarnya kan pemerintah pusat dan Kementerian-Kementerian berada langsung di bawah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Presiden. Yang setiap pekan setiap bulan ada Ratas Kabinet, tetapi persoalan-persoalan tumpang tindih kewenangan dan juga ternyata juga tidak terselesaikan.

INSW MAGZ: Jadi persoalannya ada pada komitmen?

(ESH): Jadi ini yang menurut kami justru paling krusial. Bagaimana mungkin ketika pemerintah sudah punya komitmen. Ini kan komitmennya eksplisit karena terimplikasi atau terefleksi secara konkret di dalam paket-paket stimulus kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Beda dengan misalnya tahun-tahun sebelumnya ini kan tidak ada paket-paketan sampai dengan 2016. Nah, tetapi kenapa justru dengan pemerintah mengeluarkan paket pun dan sudah detail satu per satu, misalnya, dari sisi tenaga kerja misalnya ada pengupahan

dari sisi ekspor ada KITE, dari sisi yang PKE-15 kemarin yang keluhan dari sisi logistik juga ada. Dan PKE-16 ini lebih spesifik lagi. Keyakinan dari dunia usaha kita tidak mempunyai efek yang signifikan secara konkret.

INSW MAGZ: Sebenarnya, apakah PKE ini sudah sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha?

(ESH): Iya, jadi secara komitmen memang ada beberapa yang ditunggu-tunggu. Nah, tetapi seperti tadi realisasinya ini tidak sesuai dengan harapan dunia usaha. Misalnya, tadikan pemerintah menjanjikan untuk penurunan gas industri sampai sekarang ini sudah satu setengah tahun belum juga terealisasi. Penurunan untuk TDL industri juga persyaratannya banyak, jadi mereka juga tidak menikmati. Sebenarnya yang paling dikeluhkan selama ini oleh dunia usaha adalah untuk memulai usaha itu berbagai macam persyaratan perizinan.

Untuk perizinan ini ada tiga kali paket yang menyentuh perizinan termasuk di PKE-15, itu sampai ditetapkan bahwa waktu sekian dengan biaya sekian tapi juga tidak teralisasi. Ini yang musti harus ada. Bukan hanya

sekadar koordinasi, tapi bagaimana ini juga terimplementasi. Siapa yang bisa benar-benar memastikan bahwa di dalam implementasi di lapangan itu terjadi seperti yang dikomitmenkan oleh pemerintah.

INSW MAGZ: Bukankah ada satgas untuk mengawasi?

(ESH): Saya tidak yakin dengan beberapa satgas-satgas yang dibentuk pemerintah akan menyelesaikan masalah, karena yang dibutuhkan itu sistem. Jadi sekarang problemnya adalah masing-masing daerah itu banyak sekali memiliki aturan yang berbeda-beda. Ini kan butuh harmonisasi, solusinya tidak bisa langsung hanya pemerintah menghilangkan sekian ratus perda, misalnya. Kalau itu dilakukan (perda dihapus-red) lalu apa yang menjadi dasar mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan layanan publik? Padahal, selama ini mereka melakukan pelayanan publik berdasarkan aturan teknis dan yang mereka jadikan panduan itu adalah perda. Nah kalau perda dihapus, panduannya apa?

Jadi tidak bisa hanya sekedar paket dikeluarkan tetapi implementasinya di lapangan itu masih banyak persoalan-persoalan. Jadi ini yang akhirnya paket-paket stimulus itu seolah-olah tidak mempunyai efek. Tidak terasakan realiasinya oleh masyarakat terutama oleh dunia usaha. Jadi kalau kita tanya ke pengusaha, sampai hari ini kita juga mengurus izin tetap susah, masih berbelit belit tidak ada kepastian waktu dan sebagainya.

INSW MAGZ: Indef sudah memberi masukan ke pemerintah?

(ESH): Tidak hanya Indef, tapi pelaku usahanya sendiri juga menyampaikan. Jadi di dalam pokja di situ seluruh pemangku kepentingan ada. Jadi ada pengusaha, pengamat, ekonom dan sebagainya. Semuanya ada termasuk dari sisi pemerintahnya. Nah, cuma memang ini butuh satu leadership

ma

in p

orta

l

15PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

yang mampu mengkoordinasi dan mensinergikan, ini yang harus dimainkan. Misalnya, ketika pemerintah pusat tidak bisa sentralistik lagi, pemerintah pusat masih mempunyai banyak instrumen yang bisa jadi bargaining dengan kepala-kepala daerah. Jadi pemerintah menetapkan skala prioritas secara transparan, secara akuntabel, dan detail, target-targetnya jelas, dan komitmennya jelas. Tinggal komitmen dari kepala kepala daerah, nah tentu tidak bisa uniform.

Misalnya, pemerintah targetnya adalah normatif tapi jelas. Seperti misalnya dua saja, fokusnya adalah peningkatan produktivitas dan daya saing. Masing masing daerah tentu mempunyai comparative advantage yang berbeda beda. Sumatera misalnya mereka kaya dengan perkebunan, Kalimantan kaya dengan tambang, dan sebagainya. Pemerintahkan bisa berkomunikasi jadi apa pun komoditas yang bisa memberikan nilai tambah terbesar buat perekonomian daerah setempat dan kawasan, maka marilah kita menyusun sebuah roadmap untuk berbagai macam stimulus. Nah nanti bisa bagi tugas apa yang bisa dikerjakan oleh daerah apa yang harus dikerjakan oleh pusat. Tapi jangan curang.

INSW MAGZ: Jangan curang, maksudnya?

(ESH): Jangan curang itu artinya mustinya pemerintah daerah itu bisa melakukan A,B,C,D. Ini kan kalau ada support dari pemerintah pusat. Artinya, misalnya infrastruktur apa yang harus dipenuhi agar tadi katakanlah industrialisasi sektor perkebunan, industrialisasi sektor pertambangan misalnya. Kalau itu dijadikan satu fokus ya. Nah, tentu pemerintah pusat ini juga harus berbagi memberikan kemudahan-kemudahan. Termasuk mendukung alokasi anggaran untuk percepatan terpenuhinya kebutuhan energi dan sebagainya. Pemerintah daerah juga harus berkomitmen mengenai kemudahan pembebasan lahan dan sebagainya. Kalau sinergi itu

mampu dikoordinasikan disinergikan, sebenarnya keluhan keluhan tadi antara komitmen paket stimulus dengan implemetasi atau realisasi dari program yang tidak nyambung tidak perlu terjadi.

INSW MAGZ: Kalau begitu apa persoalannya?

(ESH): Tidak ada yang mengerjakan. Begini, paket-paket stimulus itu kan keluarnya melalui Menko Perekonomian, setelah itu siapa ini yang day to day memonitor, paket-paket ini implementasinya gimana. Atau sebelum paket itu dikeluarkan pernah tidak stakeholder yang nanti terkait terhadap paket itu sudah diajak rembugan. Pada awal-awal paket kan tidak tahu, tapi setelah ke sini baru ada. Jadi mereka Perindustrian dan Perdagangan itu tidak dilibatkan, termasuk kalangan dunia usaha.

Dunia usaha ini kan banyak ya tapi mustinya pemerintah menetapkan seperti, misalnya, ketika berbicara persoalan ketenagakerjaan. Ini kan asosiasi buruh banyak mustinya pemerintah ini tegas bahwa pemerintah hanya berdiskusi atau akan menampung aspirasinya dengan asosiasi yang diakui saja. Artinya nanti baik pengusaha maupun buruh ini kalau aspirasinya ingin didengar dia akan mencari yang formal yang diakui pemerintah. Jangan malah pemerintahnya membiarkan, seperti misalnya Kadin saja ada dua. Keduanya diakui, jadi pemerintah sendiri memberikan peluang tidak efektifnya komunikasi antar pemangku kepentingan.

Mungkin komitmen dalam hal kebijakan

oke karena tertuang dalam paket-paket stimulus, tapi bagaimana itu sampai dengan konkret terealisasi itu memang bisa dikatakan rendah. Jadi ada dua hal yang berbeda. Nah ini yang akhirnya masyarakat menstigmakan, ini sama saja dengan pemerintah sebelumnya. Bahwa yang dilakukan hanya sekedar pencitraan. Ya, karena sebuah kebijakan itu yang diukur adalah implementasi.

INSW MAGZ: Tentang larangan terbatas, bagaimana sebenarnya?

(ESH): Jadi begini di dalam mekanisme ekonomi itu sebenarnya pola-pola yang efisien itu adalah melalui mekanisme pasar, itu yang banyak diakui itu justru akan menghasilkan efisiensi. Nah, tetapi memang pasar atau mekanisme pasar tidak selalu bekerja sesuai dengan persaingan yang sehat. Ada beberapa yang terjadi yang namanya kegagalan pasar (market failure). Ketika terjadi market failure maka memang perlu sebuah intervensi. Tetapi selama pasar itu berjalan secara sehat dan efisien, maka ketika ada intervensi pemerintah, justru akan menimbulkan government failure (kegagalan pasar yang diakibatkan karena intervensi pemerintah) itu prinsip dasarnya.

Sekarang untuk kasus Indonesia, memang ada beberapa komoditas terutama yang strategis seperti pangan, terjadi kegagalan pasar. Karena ada dominasi kekuatan yang menyebabkan pasar bersaing tidak secara sehat. Misalnya petani tidak punya cukup posisi tawar sehingga ketika ada pemodal besar petani hanya bisa terima harga. Si pemodal besar itu yang menentukan harga, baik harga di level petani

Ketika ada dominasi pasar, yang dibutuhkan adalah regulasi yang bisa memecah dominasi

kekuatan tadi. Makanya dulu mekanismenya kan dengan sistem operasi pasar, dengan pemerintah

memiliki buffer stock dan sebagainya."

─ E N N Y S R I H A R T A T I

16

maupun harga di level konsumen. Kondisinya seperti itu maka perlu intervensi pemerintah. Tapi intervensi pemerintah jangan malah merusak pasar.

Jadi, ketika ada dominasi pasar, yang dibutuhkan adalah regulasi yang bisa memecah dominasi kekuatan tadi. Makanya dulu mekanismenya kan dengan sistem operasi pasar, dengan pemerintah memiliki buffer stock dan sebagainya. Tidak bisa langsung ditebas dengan regulasi yang sifatnya komando. Ekonomi berbeda dengan politik, jadi kalau politik begitu pemerintah menetapkan regulasi dilarang ormas ABCD, maka ormas tersebut langsung mati bisa. Kalau ekonomi tidak bisa.

INSW MAGZ: Contohnya seperti apa?

(ESH): Misalnya, oke ini karena disparitas harga produsen konsumen tinggi, maka pemerintah langsung menetapkan HET. Nah hati hati justru bisa jadi dengan pemerintah menetapkan HET itu bisa terjadi scarcity (kelangkaan). Nah kalau terjadi kelangkaan justru yang terjadi sebaliknya, harga semakin melambung. Impor juga demikian.

Jadi impor ini kan harus kita kendalikan itu pasti. Tidak ada satu negara pun yang menggantungkan kebutuhan dalam negerinya dari impor, apalagi untuk yang strategis. Katakanlah pangan, hampir semua negara menganggap strategis. Hanya kalau kita lihat dalam volume perdagangan internasional, total perdagangan sektor pangan itu hanya kurang dari 15 persen. Mayoritas untuk diperdagangkan itu adalah barang barang industri. Jadi kalau kita impor antar negara itu coba cek total volume perdagangan yang besar itu pasti manufacturing. Pangan itu jumlahnya pasti terbatas, apalagi di negara-negara yang wilayah daratannya kecil bukan negara agraris seperti Indonesia mereka pasti hati-hati sekali untuk mengelola pasokan pangannya. Maka sekalipun

dia bisa menghasilkan lebih pasti yang diperdagangkan tidak banyak. Kecuali yang besar ya seperti Amerika, Australia, termasuk Cina dan sebagainya. Tapi meraka tetap akan tahan.

INSW MAGZ: Artinya strategi kebijakan pembatasan menjadi penting?

(ESH): Ya. Artinya, kalau Indonesia ingin strategi pangannya untuk swasembada maka kebijakan-kebijakan pembatasan itu harus benar. Seperti contoh yang lalu, pemerintah misalnya mengatur mengenai impor daging yang harganya dipaksa harus 80 ribu. Akhirnya yang diimpor daging-daging murah. Yang jadi masalah adalah yang harganya dianggap mahal oleh pemerintah itu kan memang daging segar. Sementara daging segar itu memang kalau di pasar internasional itu harganya sudah lebih dari 100 ribu. Jadi kalau pemerintah ingin menurunkan harga daging segar, solusinya kan bukan meningkatkan impor daging beku. Mestinya kan impor bibit atau sapi bakalan. Sehingga supply untuk daging segar itu meningkat.

Demikian juga misalnya gula di mana kebutuhan impornya untuk industri sudah sangat tinggi. Mungkin lebih dari 70 persen. Selanjutnya pemerintah membuat kreativitas membedakan antara gula rafinasi dan gula kristal putih. Padahal yang namanya gula itu tinggal diolahnya seperti apa, semua raw sugar itu bisa jadi gula rafinasi atau gula kristal putih. Jadi tergantung mau dijadikan apa, semua raw sugar. Sekarang ini kan pemerintah dengan alasan gula rafinasi untuk industri supaya melindungi pabrik gula dalam negeri dan sebagainya. Maka

diciptakanlah suatu produk imajinasi yang namanya gula rafinasi, yang ini pun dibatasi. Pembatasan itu justru menumbuh suburkan para pemburu rente untuk mencari keuntungan berbisnis di gula rafinasi.

Karena gula rafinasi ini, impornya katakanlah hanya ditugaskan kepada kesebelas perusahaan importir, yang memasok kebutuhan gula untuk industri. Padahal kenyataannya industri di Indonesia itu 99 persen itu adalah UMKM. Bila di-breakdown lagi, survey dari BPS terakhir itu adalah UMKM mikro kecil. Bagaimana mikro kecil tadi bisa akses langsung ke importir tadi dengan proses lelang segala macam yang banyak sekali biayanya. Di samping itu, kebutuhan mereka hanya berapa puluh kilo tidak sampai satu ton. Ketidakkonsistenan regulasi itu bukan justru menyelesaikan persoalan malah menumbuhkan satu bisnis baru yang namanya pemburu rente untuk mengurusi impor. Di dalam ekonomi justru mempunyai peluang untuk terjadinya berbagai macam perilaku risk taker atau moral hazard.

INSW MAGZ: Apakah Lartas untuk melindungi kepentingan nasional suatau Negara?

(ESH): Sebenarnya tidak ada satu negara pun yang menganut perdagangan bebas. Termasuk sebelum transformasi Amerika mempunyai lebih dari 4700 non tariff measure (non tariff barier), Cina lebih dari 2000, Indonesia cuma 272 itu pun kalah setelah digugat oleh WTO. Jadi tidak ada satu pun yang melakukan perdagangan bebas dan terbuka 100 persen, sekalipun sudah ada perjanjian namanya GATT (general Agreement Tariff) di WTO.

Jadi yang mereka setujui itu hanya di perjanjian tarif, tetapi non tarif itu banyak sekali. Ada safe guard, ada dumping, ada anti dumping, ada safe guard khusus, ada anti dumping khusus, quota, sanitary (lingkungan), dan sebagainya. Jumlahnya ada lebih dari 10 jenis pembatasan (barrier)

ma

in p

orta

l

17PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

untuk non tariff measure. Setiap negara punya komitmen untuk melindungi kepentingan nasional interestnya. Itu kata kunci semuanya. Termasuk dalam GATT untuk sektor pertanian pun sampai sekarang belum putus masih mengambang, karena pertanian itu menjadi salah satu unsur stabilitas nasional. Oleh karenanya kalau satu negara mempunyai instrumen untuk pengendalian impor, apapun itu bentuknya pasti sah. Itu satu. Tapi sekarang pengendalian impor yang tadi menimbulkan market failure tidak?

INSW MAGZ: Bagaimana dengan Lartas yang diberlakukan Indonesia?

(ESH): Jadi kalau kita lihat sekarang justru impor-impor yang bahan baku malah aturannya banyak sekali dan pengenaan biaya masuknya cukup tinggi. Sementara impor-impor barang-barang konsumsi itu justru 0%. Nah ini karena kita waktu melakukan perjanjian FTA kita tidak detail. Mustinya yang harus dilakukan itu seperti Cina, misalnya. Cina, ketika ingin FTA dengan Indonesia dia sudah melakukan kajian yang sangat detail dengan market intelijen mereka. Jadi mereka sudah petakan barang Cina yang dibutuhkan masyarakat Indonesia itu sudah dilist. Misalnya 10, nah 10 barang ini akan dilobikan untuk mendapatkan tarif bea masuk yang murah sampai 0. Sebagai resiprokalnya pasti Cina menawarkan ke Indonesia, kita akan kasih anda bea masuk 0% juga untuk barang-barang ekspor Indonesia. Nah barang-barang ekspor Indonesia itu adalah misalnya komoditi, sebagai input untuk Cina. Jadi bayangkan, Cina mendapatkan input yang murah termasuk yang 0% dan dia bisa menjual ke kita dengan biaya 0% juga.

Seperti tembakau, kita notabene masih punya ketergantungan impor 40%-an lebih. Untuk beberapa jenis tertentu lebih dari 50%. Padahal beberapa tembakau ini hampir semuanya bisa kita produksi terutama untuk jenis-jenis tertentu. Tapi ini tidak pernah

ada keterjaminan untuk petani. Harga tembakau berfluktuatif, sehingga insentif petani untuk secara sustainable menanam tembakau ini juga angin-anginan. Melihat nanti harganya bisa bagus atau tidak. Kalau kondisinya begitu, bukan berarti kita tidak mampu menyediakan kebutuhan tembakau yang dibutuhkan industri. Tetapi yang dibutuhkan adalah kepastian. Nah kalau seperti itu yang dijadikan instrumen, itu bukan pelarangan impor tapi insentif dan disinsentif.

INSW MAGZ: Contoh konkretnya seperti apa?

(ESH): Jika industri menggunakan tembakau lokal diberikan insentif, tapi kalau menggunakan tembakau impor diberikan disinsentif. Sehingga memaksa industri untuk memilih. Silahkan kalau mau pakai tembakau impor tapi pemerintah tidak kasih insentif, yang diberikan justru disinsentif (dengan cukai yang lebih mahal). Ini akan dengan sendirinya tidak berlawanan dengan mekanisme pasar. Tapi kalau pemerintah menetapkan melarang yang terjadi malah ilegal. Ilegalnya gimana? bisa macam-macam. Bisa impor hp rasa tembakau, atau dengan yang lain-lain. Apalagi kalau sistem di pelabuhan kita belum terintegrasi. INSW kan kewenangannya hanya mencatat. Tapi apakah INSW bisa melarang? ini boleh ini tidak, kan bukan kewenangannya untuk itu.

Makanya impor tidak harus dengan mekanisme quota, tapi mana yang lebih efektif. Misalnya kedelai--lebih dari 70% impor--jadi untuk apa di quota. Instrumen pembatasannya adalah dengan tarif. Nanti kalau harga dunia tinggi ditambah dengan tarif akan semakin tidak kompetitif. Maka para pengusaha dalam negeri mungkin bisa bekerja sama dengan petani-petani kedelai. Petani kedelainya pun juga harus mendapatkan insentif dari kementerian teknisnya, jadi ada titik temu. Tapi kalau tidak ada insentif, tetap saja walaupun ada kenaikan nilai tukar, ada shock di internasional tetap saja akan lebih murah harga internasional. Seperti gula saat ini kan sudah 2,8 kali harga internasional, beras juga hampir 2 kali lipat harga internasional. Karena problemnya adalah high cost di hulunya sektor pangan kita.

INSW MAGZ: Bagaimana seharusnya Lartas di Indonesia dijalankan?

(ESH): Jadi Lartas harus diidentifikasi sesuai dengan kebutuhan nasional kita. Jadi kalau untuk barang-barang yang sifatnya bahan baku yang bisa berpotensi meningkatkan nilai tambah industri dalam negeri itu yang diberikan kemudahan. Ini yang harus ada kajian white paper-nya ada benchmark-nya ada pohon industrinya. Untuk barang-barang konsumsi sebenarnya bisa dilakukan subtitusi industri, itu yang dikendalikan. Tapi pengendaliannya juga diimbangi dengan memberikan stimulus terhadap industri-industri substitusi impor. Jadi harus berjalan berbarengan. Jadi satu sisi impornya dikendalikan untuk yang

18

bisa disubstitusi tapi industri-industri substitusi impornya juga diberikan fasilitasi kemudahan-kemudahan.

Termasuk investasi-investasi asing, daripada misalnya kita impor langsung dalam bentuk jadi, mustinya industri-industri komponen ini diberikan kemudahan. Tax holiday lah atau apapun lah. Supaya mereka berinvestasi di dalam negeri sehingga yang nanti kita kendalikan diberikan misalnya tarif tinggi itu adalah yang sifatnya end product. Tapi komponen-komponennya mereka sudah di sini jadi investornya juga punya pilihan. Jadi investor itu tidak perlu dipaksa, asal mereka untungnya lebih besar pasti dia akan ikuti. Tapi kalau ini misalnya dibatasi terus di sini tidak ada industri komponennya, permintaan konsumennya besar, ya ilegal. Blackmarket yang terjadi, jadi itu tidak akan efektif juga.

INSW MAGZ: Kalau begitu, apa yang paling dibutuhkan?

(ESH): Jadi ini yang perlu satu sinergi. Sebenarnya dulu konsep dari single window sebuah otoritas bukan hanya sekedar computerized. Salah satu instrumennya itu adalah computerized, karena kalau komputer akan mental disogok, sementara kalau orang ya bisa main-main. Tapi computerized itu cuma salah satu instrumen untuk menjalankan komitmen atau sistem yang single window tadi. Titik crucial-nya adalah bagaimana penguasaan atau keputusan di wilayah kepabeanan misalnya itu ada satu otoritas yang ditunjuk oleh pemerintah. Nanti kementerian-kementerian yang terkait itu dibuat satu rule apa yang menjadi persyaratan-persyaratan mereka.

Misalnya karantina untuk produk-produk tertentu syaratnya apa saja, diserahkan kepada lembaga yang menangani single window ini. Siapa pun lah dia apakah nanti itu diserahkan kepada INSW apa Bea Cukai apa misalnya angkasa pura atau siapa

pun, itu terserah pemerintah sebagai penentu atau regulatornya. Tapi yang memutuskan ini barang reject atau tidak itu harus satu otoritas. Itu namanya penguasa wilayah kepabeanan seperti di banyak negara. Jadi nanti bukan karena oh ini jalur hijau, jalur hijau tidaknya nanti sudah by sistem. Jadi misalnya kriterianya A B C D masukan ke sistem komputer dengan sendirinya dia terkategori jalur hijau, dan yang lain juga demikian. Yang kita perlukan bagaimana membangun sistem itu dengan prinsip itu tadi single otorisasi.

INSW MAGZ: Bagaimana dengan wacana perubahan pengawasan Lartas dari entry border ke post border?

(ESH): Itu bukannya menimbulkan ketidak pastian? Pernah terjadi, waktu itu di impor adalah kasusnya di Surabaya. Jadi dia sudah masuk barangnya mengurus perizinannya itu sampai tidak cukup satu dua minggu. Begitu tidak keluar izin, barangnya dikembalikan sudah tidak diterima. Sekaligus diterima dia juga harus membayar ongkos. Nah itu justru menimbulkan ketidakpastian. Padahal kalau dengan sistem computerized, ini spesifikasinya jelas. Mana barang yang boleh masuk dan mana yang tidak boleh masuk. Mana barang impor yang masuk kategori 1 2 3 kan sudah ada kategorinya masing-masing. Wilayah asal kepabeanan dan di tujuan origin atau di sini asal, tinggal dicek melalui dokumen. Kalau dokumennya oke barang tinggal dikirim, itu lebih memberikan kepastian terhadap dunia usaha. Dengan syarat memang verifikasinya harus cepat.

Kenapa pengusaha ambil barang dulu, karena menunggu verifikasinya yang lama. Tapi kalau prosedurnya ini sudah jelas, transparan dan itu disosialisasikan secara terbuka apakah di semua websitenya secara detail. Barang kalau mau impor makanan itu kriteria yang boleh A,B,C,D. Nah nanti

kalau ada yang lain-lain dia sendiri yang rugi. tapi pemerintah sudah memberikan guidance yang jelas. Tinggal di check list di sana dokumennya lengkap sudah. Bahwa suratnya itu keluar di sini yaitukan sambil katakanlah sambil barangnya jalan suratnya diproses. Tetapi checklist itu harus mulai dari sana, sudah clearance. Clearance nya itu sudah dari pelabuhan sana. Nah itu akan memudahkan. Jadi nanti tidak ada yang namanya surat sakti apapun tidak ada. Jadi misalnya kalau pengusaha sudah dikasih sosialisasi seperti itu tapi dia ingin mengakali nah dia rugi sendiri. Pasti tidak akan keluar. Jadi artinya kita tetap mentoleransi bahwa surat itu kan birokrasi kan kadang juga memerlukan waktu. Tetapi asal dengan persyaratan-persyaratan itu nanti barang itu biasanya kan sehari dua hari di kapal jalan sambil proses. Tetapi dalam waktu proses itu barang-barang itu sudah clearance.

INSW MAGZ: Dari dunia usaha, apa yang sebenarnya mereka inginkan?

(ESH): Kalau dari pengusaha adalah mana yang lebih memberikan jaminan kepastian. Jadi kalau dengan ini bisa memberikan jaminan kepastian dan lebih cepat pasti mereka terima. Asal penjelasan dan sosialisasinya jelas. Jadi kalaupun itu dianggap tetap post border tetapi post border-nya itu katakanlah dengan inovasi, malah lebih terjamin. Jangan post border nanti untuk menginjak, akal-akalan seperti selama ini. Jadi barang sudah sampai mau tidak mau untuk barang keluar dia harus tetap bayar. Nah itu sebenarnya, jadi bukan di post border-nya. Tapi moral hazard diakibatkan oleh sistem post border. Intinya dunia usaha pokoknya tidak rugi dan yang penting pemerintahnya harus konsisten. Jadi kalau diganti-ganti nanti malah barang semua diurus di sini yang terjadi malah barang-barang yang tidak bisa masuk, tapi malah bisa masuk asal ada hengki peengki. Kebijakan itu tidak bisa diserahkan ke pada siapa itu prinsipnya, tapi harus pakai sistem yang maju. (BUDIYANTI & ROTUA N.T.)

ma

in p

orta

l

19PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Kebijakan penyederhanaan tata niaga, dimana Pembatasan dan Larangan

(Lartas) berada didalamnya, memiliki dua tujuan utama: meningatkan citra

investasi Indonesia dan kelancaran arus barang di pelabuhan, terutama untuk

mengurangi dwelling time. Namun, ada hal terpenting dari kebijakan Lartas

ini: menjaga kepentingan nasional. Lantas, seberapa efektif Lartas ini sudah

dilaksanakan dalam mencapai tujuan-tujuan itu? Benarkah ada hambatan

serius yang harus segera diatasi? Berikut wawancara Ali Manshur dan Ibrahim

Ghozi dari INWS Magz dengan Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi

Perniagaan dan Industri Edi Putra Irawady, beberapa waktu lalu.

WAWANCARA

Edy Putra Irawady

Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri

INSW MAGZ: Bagaimana konsep kebijakan penyederhanaan ketentuan Lartas?

EDI PUTRA IRAWADY (EPI): Konsep kebijaksanaan penyederhanaan Lartas pada dasarnya untuk memberikan kemudahan pengadaan bahan baku dan kelancaran arus barang. Kenapa perlu disederhanakan? Sebelum kita sampai ke sana perlu dipahami, kebijakan Lartas merupakan bagian kebijakan tata niaga. Tata niaga secara terminologi adalah penyampaian barang atau jasa dari produsen kepada konsumen. Ini yang perlu dilakukan pengaturan karena beberapa

alasan misalnya, untuk melindungi supply domestic. Kenapa? agar ada jaminan barang yang sampai ke konsumen sesuai dengan kebutuhannya. Tata niaga dibagi menjadi dua, pertama tata niaga dalam negeri, misalnya, tata niaga distribusi pupuk bersubsidi. Kedua, tata niaga cross border (ekspor-impor), dilakukan dengan dua cara, yaitu Lartas ditata dengan kontrol di border/pelabuhan dan post border control (ditata setelah barang keluar dari border/pelabuhan).

PENYEDERHANAAN LARTAS BAGIAN DARI KEBIJAKAN TATA NIAGA

20

INSW MAGZ: Di tingkat internasional, apakah ada kesepakatan tentang tata niaga ekspor-impor ini?

EPI: Ya, salah satunya melaksanakan artikel 20 dan 21 WTO. Barang yang menyangkut SPS, security, food safety, terancam kepunahan, menyangkut perlindungan moral, diberikan hak oleh WTO untuk melakukan pengaturan dengan pertimbangan Kesehatan dan Keselamatan Kerja serta Lingkungan (K3L).tata niaga ekspor-impor dilaksanakan dengan mekanisme trade control di border maupun post border.

Saat ini, tata niaga ekspor-impor yang telah berjalan lebih ke control di border/pelabuhan. Dengan tujuan utamanya supaya industri menjadi efisien karena kelancaran bahan baku. Ekspor dari hasil industri lebih efisien dan berdaya saing. Kebijakan tata niaga arahnya adalah agar control di border atau dipelabuhan hanya untuk yang terkait dengan K3L,

karena merupakan pengamanan kedaulatan. Sedangkan untuk tujuan yang lain dilakukan melalui post border control seperti dalam rangka melindungi konsumen serta melindungi supply domestic. Post border control dilakukan dengan dua cara, yaitu sebelum edar dan setelah edar.

Instrumen yang digunakan untuk control sebelum edar misal dengan adanya Standard Nasional Indonesia (SNI) untuk melindungi konsumen, sedangkan untuk menjaga keamanan makanan dan obat dilakukan dengan adanya syarat edar (izin edar) merk luar negeri. Sementara itu, instrumen setelah edar dilakukan melalui pengawasan dengan sistem post audit. Dengan demikian, persyaratan seperti label, standard, dll, digunakan untuk pengawasan post border.

INSW MAGZ: Artinya, penerapan ini tidak hanya terhadap barang impor saja?

EPI: Betul. Penerapan ini juga untuk pengawasan barang produksi dalam negeri. Penyederhanaan tata niaga adalah dengan memindahkan border control ke post border. Inilah yang dimaksud dengan kebijakan trade facilitation. Secara definisi trade facilitation adalah fasilitas untuk mendorong kemudahan arus barang secara efisien. Dalam Bahasa inggris, trade Facilitation is an essential mean in reducing trade cost, enhancing efficiency production as well as accessing global value chain.

Sementara itu, kebijakan penyederhanaan Lartas arahnya adalah untuk meningkatkan citra investasi Indonesia. Saat ini, pengaturan tata niaga cross border dengan Lartas (control di border) mencapai 48,3% dari total Pos Tariff (HS) barang sebanyak 10.852. Ini terlalu besar dibandingkan rata-rata negara tetangga di kawasan ASEAN yang hanya 17%. Untuk itu, perlu disederhanakan.

Perlu diingat juga, selain dapat meningatkan citra investasi Indonesia, penyederhanaan tata niaga, dimana salah satunya kebijakan Lartas bisa mengurangi dwelling time karena dapat menurunkan beban di front line. Tetapi pengawasan ini tidak berkurang, hanya memindahkan tempat dimana pengawasan tata niaga itu dilakukan.

INSW MAGZ: Terkait pelaksanaan kebijakan pergeseran Lartas dari border ke post border, apa manfaat dan risikonya?

EPI: Manfaat dari kebijakan tersebut adalah untuk mengurangi biaya perdagangan, meningkatkan

ma

in p

orta

l

21PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

efisiensi biaya produksi, masuk dalam global value chain. Sehingga meningkatkan daya saing global dari produk-produk Indonesia, meningkatkan penerimaan negara karena pengawasan efektif jika pelayanannya efisien. Manfaat-manfaat tersebut sebenarnya sejalan dengan konsep NSW. Bagaimana bisa efektif kalau pelayanannya rumit? Inilah manfaat paling besar dari kebijakan tersebut, di samping menurunkan dwelling time menjadi dua hari rata-rata aggregate di akhir tahun 2017.

Mengenai risikonya yang utama adalah terkait kesiapan K/L yang bertanggung jawab untuk mengawasi tata niaga pos border tersebut. Sebab, membutuhkan kapasitas yang cukup dan kompetensi yang tepat. Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, pengawasan post border untuk barang-barang yang dianggap bisa mengganggu supply domestic, baik industri maupun nonindustri, dilakukan melalui control pra-edar. Sehingga, sebelum diberikan clearance oleh K/L terkait tidak bisa diedarkan. Nah, untuk keperluan clearance tersebut, K/L harus memiliki kapasitas, misalnya, bagaimana bisa membedakan antara alloy steel dengan carbon steel? Kalau K/L tidak mempunyai kepiawaian atau keahlian untuk mengawasinya bisa lolos. inilah yang saya maksud sebagai risiko yang perlu diantisipasi.

INSW MAGZ: Artinya, pengawasan barang secara material di border masih sulit?

EPI: Harus diakui. Karena di satu sisi kita mengharapkan kecepatan customs clearance, di sisi lain memerlukan suatu keahlian membedakan barangnya berbahaya atau tidak, labelnya benar atau tidak, standarnya benar atau tidak, dan lain-lain. Makanya, selama ini ada mekansisme Pertimbangan Teknis (PERTEK) yang sebenernya sifatnya formalitas karena tidak didasarkan pada nyata barang itu. Paling tepat adalah dengan memberikan standard kemudian diinspeksi secara tepat. Masalahnya, inspeksi yang dilakukan selama ini melalui laporan surveyor ditugaskan sangat sumir, hanya memeriksa jenis barang nomor HS, negara asal, manufaktur, pelabuhan tujuan. Sedangkan yang kita butuhkan lebih dari itu, misalkan detail barang untuk bisan membedakan antara alloy steel dengan carbon steel Karena itu memerlukan uji laboratorium.

Untuk barang-barang sejenis ini, walaupun dilakukan pergeseran dari border ke post border tetapi diharapkan dilakukan melalui control pra-edar bukan post audit. Untuk itu, perlu manajemen risiko. Atas barang dengan risiko rendah melalui post audit, sedangkan barang dengan risiko lebih tinggi dengan pra-edar. Di sinilah peran INSW diperlukan untuk memberikan informasi kepada setiap K/L atas importasi barang-barang yang menjadi concern K/L tersebut untuk kemudian dapat dilakukan pengawasan baik pra-edar maupun post audit.

Untuk mengatasi risiko terkait kapasitas K/L tersebut, perlu ada transisi kapasitas, misal untuk barang-barang pra-edar harus memakai surveyor. Kalau PNS harus mengawasi sampai ke pabriknya kan kurang cocok walaupun data sudah disediakan oleh sistem INSW. Karena dalam hal ini dibutuhkan spesifikasi keahlian. Artinya, kewenangan tetap di K/L tapi yang ngecek fisik barang di lapangan Tim Ahli atau Surveyor.

INSW MAGZ: Pola pengawasan seperti apa yang efektif untuk K/L dalam melaksanakan pengawasan post border?

EPI: Agar pengawasan dapat efektif perlu ada early warning dari INSW. Tugas INSW akan lebih berat karena akan men-divided mana untuk kepentingan border control, mana untuk kepentingan post border, sehingga atas barang-barang yang pengawasannya digeser ke post border INSW tetap berperan memberikan data importasi kepada K/L yang bertanggung jawab. Di sini peran berat/vital INSW untuk memberikan data tepat waktu dan tepat K/L. Kalau ada suatu barang diawasi oleh 3 K/L, ke-3 K/L tersebut diberitahu. Skema sudah dibuat, tinggal dilakukan uji coba secara bertahap. Diharapkan tahun 2018 secara penuh diterapkan, pengawasan di border sebatas barang-barang K3L yang mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia, sisanya dilakukan penyederhanaan melalui pergeseran post border.

22

Sehingga bila dilihat dari perspektif internasional trade/ komitmen WTO, kita akan mengurangi NTB dan beralih ke NTM.

INSW MAGZ: Jadi, INSW berperan besar dalam proses pergeseran pengawasan border ke post border? Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan?

EPI: Tentu INSW berperan besar. Karena itu diperlukan penguatan kelembagaan INSW. Pengembangan sistem INSW harus dilakukan sebaik mungkin dan user friendly, dengan teknologi termodern agar dwelling time turun, kelancaran arus barang dan penerimaan negara terjamin. Supaya INSW bekerja lebih efektif, selain didukung dengan teknologi yang mutakhir perlu dikembangkan yang namanya product code, seperti di Singapura, lebih spesifik dari HS code untuk menghindari trade malpractices. Hal ini sejelan dengan semakin besarnya pengawalan atas tata niaga. Karena pengawasan kalau tidak secara precisely akan mengganggu kegiatan ekspor impor.

Ekspektasi para pimpinan terhadap INSW sangat besar, oleh karena itu perlu dilakukan penguatan kelembagaan terhadap INSW. Selain itu dari sisi kewenangan juga harus diperkuat, karena INSW harus mempunyai otoritas. Misal ada kerjasama technical seperti ICT Control dengan Negara lain siapa yang berwenang atas hal tersebut? Kan saat ini belum jelas. Oleh karena itu sesuai agreement ASEAN, competence authority-nya itu, ya INSW.

INSW MAGZ: Artinya, INSW juga berada pada posisi sangat strategis?

EPI: Secara kelembagaan, INSW saat ini berada di bawah Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian sebagai pengarah, istilahnya Ibu-nya Menkeu Bapaknya Menko. Menko Perekonomian dapat menggunakan INSW untuk berbagai kepentingan termasuk dalam pengembangan digital ekonomi. Untuk itu, perlu dijadikan competence authority misalnya untuk melakukan

negosiasi teknis, untuk mengawasi bilateral ekspor. Ekspor kita ini yang tidak jelas atau tidak tercatat mencapai USD8,6 miliar per tahun. Misalnya lagi untuk kerja sama pengawasan ekspor timah dengan Malaysia dengan skema Malaysia baru bisa meng-clearance impor timah dari Indonesia setelah ada konfirmasi dari INSW. Karena barang-barang ini, seperti timah, batubara, nikel, dll, keluarnya dari daerah remote area sehingga susah mengontrolnya dari dalam negeri. Untuk itu yang kita pegang pengimpornya.

Kewenangan untuk mereview regulasi-regulasi dan birokrasi yang menimbulkan friksi atau pemeriksaan lebih lama atau menimbulkan ketidakpastian. Yang mempunyai data tersebut kan sistem elektronik, makanya INSW juga diminta untuk mereview/evaluasi regulasi/birokrasi yang akan masuk ke sistem INSW melalui skema Tim Tata Niaga). Artinya NSW juga akan menjadi dapurnya Tim Tata Niaga. (ALI MANSHUR DAN IBRAHIM GHOZI)

"Selain dapat meningatkan citra investasi Indonesia, penyederhanaan tata niaga,

dimana salah satunya kebijakan Lartas bisa mengurangi dwelling time karena dapat

menurunkan beban di front line. "

─ E D Y P U T R A I R A W A D Y

ma

in p

orta

l

23PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

S ejak tahun 2015 lalu, Presiden RI telah menetapkan target

pencapaian peringkat Ease of Doing Business (EODB) atau kemudahan berusaha Indonesia pada posisi ke¬-40 pada tahun 2019 dari posisi yang saat itu menempati peringkat ke 106. Dalam upaya mencapai target tersebut, berbagai kebijakan Pemerintah telah dikeluarkan yang tercantum dalam Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) mencakup berbagai sektor termasuk yang terkait dengan kebijakan dalam rangka mendorong perbaikan peringkat EODB Indonesia.

Paket Kebijakan Ekonomi telah

dikeluarkan sebanyak 15 Paket dan terakhir, meskipun tidak disebut Paket ke-16, juga telah dikeluarkan yaitu fokus pada kebijakan Kemudahan Kelangsungan Berusaha. Berbagai upaya Pemerintah tersebut telah membuahkan hasil dengan perbaikan peringkat EODB Indonesia di tahun 2016 yang naik 15 peringkat yaitu menempati posisi ke-91 dan pada tahun 2017 naik menjadi peringkat 72. Apakah Presiden cukup puas dengan pencapaian tersebut? Tentu saja jawabannya pasti belum puas mengingat target yang ditetapkan

adalah peringkat ke 40 di tahun 2019. Artinya jika ingin mencapai target tersebut, maka lompatan pencapaian target tersebut harus cukup signifikan yaitu minimal 20 peringkat setiap tahunnya agar peringkat ke-40 di akhir tahun 2019 dapat terwujud.

Dalam upaya mencapai target EODB tersebut banyak komponen yang dapat diperbahurui agar lompatannya signifikan sesuai harapan Presiden tersebut. Salah satu upaya yang sedang digarap oleh Pemerintah adalah penyederhanaan terhadap larangan pembatasan atau biasa disebut dengan Lartas khususnya yang terkait prosedur/perizinan eskpor impor. Dalam terminologi perdagangan internasional Lartas bisa disejajarkan dengan Non Tariff Barrier (NTB) yang kebanyakan tidak sejalan dengan peraturan perdagangan internasional dalam kerangka WTO. Barrier atau hambatan yang secara aturan

Bicara Lartas tak bisa dilepaskan dari target pemerintahan

Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam hal pencapaian

peringkat kemudahan berusaha di Indonesia. Kepala Badan

Penelitian dan Pengkajian Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menguraikan secara detail bagaimana Lartas berperan

penting dalam memenuhi target pemerintah tersebut.

Kasan Muhri

Kepala Badan Penelitian dan Pengkajian Kementerian Perdagangan

PENYEDERHANAAN LARTAS MENUJU INDONESIA yang BERDAYA SAING

24

internasional dianjurkan dan comply dengan aturan WTO adalah Non Tariff Measures (NTM) dalam berbagai bentuk seperti SPS, dan Technical Barrier to Trade (TBT) dan lainnya. Berdasarkan catatan yang ada jumlah Lartas ekspor impor justru meningkat pasca pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) bulan September 2015 lalu. Fakta ini tentu saja sangat tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam mereformasi regulasi khususnya kemudahan prosedur ekspor impor yang selama ini masih dikeluhkan oleh para pelaku usaha nasional bahkan para investor asing di Indonesia. Untuk itu, pemerintah saat ini telah mengambil keputusan untuk menyederhanakan Lartas di bidang ekspor impor tersebut agar sejalan dengan upaya memperbaiki peringkat EODB di samping dapat memperbaiki kondisi lainnya yaitu mengurangi dwelling time, perbaikan indeks logistic dan kelancaran arus

barang ekspor serta impor terutama kelancaran penyediaan bahan baku impor yang belum dapat diproduksi di dalam negeri.

Kementerian Perdagangan berupaya melakukan penyederhaaan Lartas sebagai salah satu upaya mencapai target pemerintah.

Penyederhanaan prosedur ekspor impor

Menyadari bahwa pencapaian berbagai paket kebijakan ekonomi tersebut ternyata masih perlu terus ditingkatkan, khususnya dalam hal prosedur ekspor impor yang hingga saat ini masih banyak dikeluhkan oleh para pelaku usaha di sektor perdagangan luar negeri, maka Pemerintah terus berupaya hingga tercapai target yang diharapkan. Salah satu fokus perbaikan yaitu penyederhanaan kebijakan Larangan dan Pembatasan, yang di dalamnya mengatur perizinan terkait aktifitas ekspor dan impor. Kebijakan Larangan dan

Pembatasan atau biasa disebut Tata Niaga merupakan salah satu instrumen perdagangan yang mengatur aliran suatu barang dari produsen/supplier kepada konsumen/pemakai sesuai dengan kepentingan nasional, termasuk hak dan kewajiban dalam ranah kerjasama internasional.

Berdasarkan catatan Indonesia National Single Window (INSW), dari sejumlah 10.826 kode HS BTKI 2017, sebanyak 5.271 kode HS atau setara dengan 48,6% di antaranya terdapat pengaturan Lartas. Jumlah tersebut dirasakan cukup banyak dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Pengaturan mengenai Lartas tersebut dimuat dalam beberapa regulasi yang diterbitkan oleh instansi Pemerintah seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian/ Lembaga teknis terkait lainnya, tercatat terdapat 15 K/L atau 18 unit perizinan yang terlibat dalam pengaturan Lartas.

ma

in p

orta

l

25PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Keberadaan regulasi-regulasi tersebut memberi dampak langsung pada Logistic Cost yang dibebankan kepada pelaku usaha dan kelancaran arus barang di pelabuhan sehingga menyebabkan terjadinya Dwelling Time. Dengan kata lain, berbagai regulasi tersebut dapat menyebabkan bertambahnya waktu dan biaya pada proses bongkar muat di pelabuhan yang pada akhirnya mempengaruhi peringkat Indonesia pada Ease of Doing Business dan Logistic Performance Index (LPI).

Mengingat besarnya jumlah HS yang terkait Lartas, Pemerintah mengambil beberapa langkah strategis. Langkah-langkah tersebut yaitu langkah penyederhanaan yang secara lebih detil meliputi penerapan simplifikasi perizinan, otomatisasi perizinan, single risk management, dan pergeseran pengawasan Lartas ke post border. Langkah lain yang diambil Pemerintah adalah pengurangan jumlah Lartas terutama pada komoditas-komoditas di luar Article XX dan Article XXI WTO-GATT, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan, dan instrumen kebijakan pengamanan perdagangan (Trade Defense).

Perlu diketahui, Article XX dan Article XXI WTO-GATT mengatur pengecualian bagi negara-negara anggota WTO untuk memberikan perlindungan terkait Kesehatan, Keselamatan, Keamanan Lingkungan Hidup dan Moral dari aktivitas ekspor dan impor. Aturan di tingkat nasional mengatur pula hal tersebut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 54 Undang-Undang no.7/2014 Tentang Perdagangan.

Kebijakan penyederhanaan dan pengurangan Lartas yang saat ini digulirkan Pemerintah tidak serta merta mengurangi kewenangan Kementerian/Lembaga teknis terkait. Bahkan justru akan memberikan kewenangan yang lebih jelas dalam hal pengawasan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam pengeluaran atau pengaturan perizinan ekspor impor. Lartas masih tetap dimungkinkan untuk diterapkan, dan dengan adanya pengecualian tersebut diatas menunjukkan tingginya komitmen Pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, lingkungan dan juga para investor yang telah menanamkan dananya di Indonesia dari potensi lonjakan impor sehingga dapat terhindar dari fenomena deindustrialisasi.

Regulasi merupakan instrumen penting yang digunakan oleh Pemerintah untuk melaksanakan kebijakan publik khususnya di bidang ekonomi. Meskipun demikian, terdapat risiko bahwa regulasi dapat menghambat inovasi dan menimbulkan hambatan yang tidak perlu bagi dunia usaha terutama UKM, perdagangan, investasi dan peluang atas pasar global. Berbagai studi menyimpulkan bahwa regulasi yang tidak efisien, usang, dan yang tidak diimplementasikan dengan baik, akan mengurangi kinerja dunia usaha. Riset oleh Bank Dunia, misalnya, menyimpulkan bahwa regulasi dipandang merupakan kendala terbesar dalam menjalankan usaha di negara-negara maju seperti terdapat pada negara anggota OECD.

Strategi dan Target

Untuk menangani regulasi yang tidak efisien dan tidak efektif, beberapa negara maju terutama yang tergabung dalam OECD telah menerapkan program reformasi regulasi dalam skala besar, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas regulasi dan mengurangi beban regulasi, serta menghilangkan regulasi yang tidak diperlukan. Saat ini, reformasi regulasi pada negara-negara OECD menggunakan konsep yang lebih luas yaitu“good regulatory governance”, berdasarkan peran proaktif dari Pemerintah dalam mengembangkan rezim perumusan regulasi yang efektif dan berorientasi pasar, serta perlindungan lingkungan dan sosial pada standar yang tinggi. Hal ini berdasarkan pemahaman bahwa praktek perumusan regulasi yang baik dapat meningkatkan kinerja pasar, efektivitas sektor publik dan kepuasan masyarakat, melalui kombinasi antara deregulasi, re-regulasi, dan regulasi dengan kualitas yang lebih baik, yang didukung oleh kelembagaan yang baru.

Konsep good regulatory governance dirancang untuk memaksimalkan efisiensi dan efektivitas suatu regulasi yang didasarkan pada pendekatan terpadu terhadap (3) tiga elemen yang saling mendukung sebagai berikut:

1. Adopsi kebijakan regulasi pada tingkat politis. Pada banyak negara OECD, elemen mendasar dari suatu kebijakan regulasi, telah diadopsi dalam peraturan dan perundangan. Ini berarti strategi kepatuhan yang bermutu tinggi harus dilampirkan pada tuntutan oleh Pemerintah terhadap kebijakan regulasi.

26

2. Alat kontrol kualitas regulasi. Untuk memastikan good regulatory governance diperlukan alat yang efektif dalam menjaga kualitas regulasi yang dihasilkan, yang didalamnya termasuk Konsultasi publik, Perbandingan alternatif regulasi dan tindakan untuk mengurangi beban regulasi.

3. Kapasitas manajemen regulasi yang berkelanjutan melalui kelembagaan.

Terkait dengan hal tersebut, kebijakan penyederhanaan regulasi berupa kebijakan Lartas yang digulirkan oleh Pemerintah saat ini merupakan kelanjutan dari kebijakan reformasi regulasi atau biasa disebut Deregulasi yang telah dimulai sejak akhir 2015 lalu. Di dalam Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I, terdapat sekitar 134 peraturan perundang-undangan yang menjadi bagian dari Deregulasi Kebijakan dimana 32 diantaranya merupakan bagian dari tugas Kementerian Perdagangan. Tujuan utama deregulasi tersebut adalah untuk mendukung upaya peningkatan kelancaran arus barang dalam rangka ekspor, impor dan distribusi barang di dalam negeri serta meningkatkan iklim usaha yang sehat dan berdaya saing.

Paket deregulasi ekspor-impor di Kementerian Perdagangan dilakukan untuk meningkatkan daya saing di sektor industri dan membuka peluang bisnis yang lebih luas. Paket deregulasi diharapkan akan mampu menciptakan efisiensi pada supply chain sehingga diharapkan akan mengatasi kelangkaan barang di berbagai daerah,

menurunkan disparitas harga barang dan menurunkan inflasi, serta akan membuka peluang kerja yang lebih banyak.

Selama ini, beban regulasi dan birokrasi menjadi salah satu kendala efisiensi perdagangan dalam memenuhi kebutuhan industri, konsumsi, dan ekspor. Begitu banyak identitas yang dikenakan kepada para pelaku usaha ekspor maupun impor serta begitu beragamnya perizinan, rekomendasi, pemeriksaan, dan persyaratan dokumen yang diwajibkan untuk melakukan kegiatan ekspor dan impor. Akibatnya, kemampuan bersaing di pasar global bukan semata dari faktor eksternal dan kapasitas sumber daya manusia, melainkan beban regulasi dan birokrasi yang memperlambat pelaku usaha dalam merebut peluang bisnis.

Secara akumulatif, efisiensi inilah yang kemudian akan mereduksi ekonomi biaya tinggi, menurunkan disparitas harga antar wilayah, menciptakan pemerataan pembangunan dan dalam konteks persaingan global akan meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Sehingga, para pelaku usaha akan diuntungkan, para investor akan berlomba-lomba menanamkan modalnya karena efisiensi biaya juga berarti marjin keuntungan yang lebih

besar. Kemudian, perekonomian nasional akan bergerak lebih dinamis, membuka banyak lapangan kerja, dan penerimaan negara akan meningkat serta tingkat kesejahteraan masyarakat pun akan semakin membaik.

Dalam kebijakan deregulasi ini Pemerintah memangkas peraturan, menyederhanakan berbagai perizinan, dan mengurangi persyaratan yang tidak relevan, serta menghilangkan pemeriksaan yang tidak diperlukan, yang selama ini ditetapkan oleh 15 kementerian/lembaga atau 18 unit penerbit perizinan. Deregulasi ini tidak berhenti karena masih akan terus berlanjut sampai ke peraturan dan perizinan di tingkat daerah.

Untuk itu, regulasi yang mengatur Tata Niaga ekspor maupun impor yang diterbitkan Pemerintah diharapkan dapat lebih bersahabat dengan dunia usaha. Ditargetkan Lartas impor yang saat ini mencapai 48,3% (5.229 Pos Tarif) akan berkurang menjadi sekitar 20,8% (2.256 Post Tarif) dari seluruh kode HS dalam BTKI 2017. Target pengurangan Lartas tersebut akan dilakukan dengan menggeser pengawasan impor dari border ke post border dan simplifikasi Lartas ekspor.

Kementerian Perdagangan telah melakukan identifikasi komoditi yang akan dilakukan pergeseran

ma

in p

orta

l

27PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

pengawasan impor dari border ke post border dengan menetapkan kriteria komoditi yang dilaksanakan pengawasan di border berdasarkan Article XX dan Article XXI WTO-GATT dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan terkait Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, Lingkungan Hidup dan Moral (K3LM), konvensi internasional dan ratifikasi Indonesia pada Perjanjian Internasional. Pergeseran pengawasan yang dilakukan juga mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dalam pelaksanaannya tidak menyalahi/melanggar perundangan, seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengawasan di post border dilakukan dengan melihat kriteria selain pengawasan di border seperti Non Tariff Measures (standar dan label).

Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi komoditas yang pengawasannya di border dipindahkan/digeser ke Pusat Logistik Berikat (PLB). Tujuan pergeseran ke fasilitas PLB yang masih dalam wilayah kepabeanan adalah untuk mengurangi waktu bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan, mendekatkan bahan baku dengan industri, menciptakan efisiensi biaya logistik dan menciptakan peluang investasi. Pengawasan yang dilaksanakan di post border dapat dilakukan dengan pra edar dan post audit. Untuk komoditi/barang yang telah diberlakukan SNI wajib

pengawasan di post border dapat dilakukan melalui post audit.

Berdasarkan identifikasi yang dilakukan, Kementerian Perdagangan telah melakukan analisis dan menargetkan untuk melakukan revisi 35 Permendag terkait Lartas dengan total 3.418 Pos Tarif atau 65,4% dari total Pos Tarif Lartas. Komoditas yang dilakukan pengawasan di border sebanyak 24 komoditas (21 Permendag) sebesar 27,1% total Pos Tarif Lartas (1.417 Pos Tarif) dan 25 komotitas (14 Permendag) sebesar 38,3% total Pos Tarif Lartas (2.001 Pos Tarif) pengawasannya yang akan dilaksanakan di post border. Pemetaan terhadap rencana penyederhanaan dan pemindahan pengawasan dari border ke post border tersebut masih akan terus berkembang sejalan dengan proses penyiapan dan penentuan model pengawasan khususnya di post border yang paling efektif dan tetap dapat menjaga dan melindungi daya saing industri dalam negeri serta melindungi konsumen.

Selain melakukan pergeseran pengawasan dari border ke post border, Kemendag juga akan melakukan penyederhanaan dokumen impor kepabeanan dan mendorong Kementerian

lainnya untuk menerapkan otomasi perizinan serta bekerja sama dengan DJBC untuk penerapan single risk management.

Kemendag juga melakukan upaya lain seperti penyederhanaan perizinan Lartas. Penyederhanaan perizinan dilakukan dengan mengharmonisasikan antar-peraturan Lartas melakukan koordinasi dengan K/L, sehingga peraturan-peraturan Lartas yang berbeda namun mengatur komoditi yang sama dapat disederhanakan menjadi satu peraturan/perizinan Lartas (single licensing) yang diterbitkan oleh K/L yang memiliki kepentingan utama/leading sector.

Di samping itu, mengingat tingginya kebutuhan atas bahan baku produk asal impor yaitu bahan baku produk untuk kebutuhan industri masih harus diimpor karena belum dapat diproduksi di dalam negeri ataupun belum memenuhi spesifikasi yang diinginkan, maka diperlukan kemudahan proses importasi untuk menjaga kelangsungan proses produksi industri khususnya skala kecil dan menengah. Kemendag berkoordinasi dengan K/Luntuk memberikan kemudahan kebijakan Lartas melalui revisi Permendag

"Kementerian Perdagangan telah melakukan analisis dan menargetkan untuk melakukan revisi 35 Permendag terkait Lartas dengan total 3.418 Pos Tarif atau 65,4% dari total Pos Tarif Lartas."

28

Lartas bagi pelaku usaha skala kecil dan menengah. Industri Kecil Menengah (IKM) membutuhkan kecepatan pengadaan bahan baku asal impor dengan jenis dan jumlah sesuai kebutuhannya serta sesuai dengan kemampuan pembayarannya. Hal itu disebabkan oleh kemampuan IKM yang memiliki keterbatasan dalam melakukan ekspor dengan volume, persyaratan, dan sistem pembayaran yang ditetapkan oleh mitra di luar negeri.

Lebih Pro Bisnis

Upaya pemerintah melakukan penyederhanaan kebijakan Lartas ekspor impor yang saat ini sedang dalam proses akan berhasil dan mencapai target apabila semua pihak yang terlibat baik dari

PERGESERAN PENGAWASAN LARTAS IMPOR KEMENDAG

Source : BPPP, Kemendag

LARTAS BORDER(setelah pergeseran)

LARTAS POST BORDER

(setelah pergeseran)

EXISTING

35 PERMENDAG LARTAS

POS TARIF LARTAS3,418 HS (65,4%)

21 +1 BERIRISAN PERMENDAG LARTAS

POS TARIF LARTAS1,417 HS (27,1%)

14 +1 BERIRISAN PERMENDAG LARTAS

POS TARIF LARTAS2,001 HS (38,3%)

KOMODITI BORDER

KOMODITI POST BORDER

1. Udang2. Bahan Peledak 3. PCMX4. Limbah B35. Gombal6. Preskursor7. Nitro Cellulose8. Garam9. Produk Hewan

1. Perkakas Ringan2. Preparat

bau-bauan mengandung alkohol

3. Sakarin4. Ban5. Intan kasar6. Elektronik7. Kosmetik

10. Hewan11. Mesin yang

menggunakan 12. Limbah Non-B313. TPT14. Batik & Motif Batik15. Obat Tradisional16. Beras17. Hortikultura

8. Mainan anak-anak9. Pangan10. Sepatu dan alas kaki11. Pakaian jadi12. Semen13. Bahan baku plastik14. Baja paduan15. Besi atau Baja16. Produk Turunan17. Pelumas

18. Gula19. BPO20. Pakaian Bekas21. MMEA22. B223. Mesin Multifungsi

Berwarna24. Barang Modal

Tidak baru

18. Jagung19. Migas20. Elektronik (HP)21. Mutiara22. Keca lembaran23. Keramik24. UTTP (ukur, tata,

timbang, penetapannya asal impor)

25. Produk kehutanan

pemerintah maupun lembaga terkait memiliki pemahaman yang sama atas manfaat dan dampak dari kebijakan tersebut. Selain manfaat positif yang bisa diperoleh baik bagi pemerintah dalam upaya memperbaiki peringkat EODB dan daya saing nasional di pasar global, upaya tersebut juga akan mengubah peta kebijakan Lartas ekspor impor yang lebih pro bisnis.

Dampak selanjutnya adalah akan menggerakan ekonomi khususnya ekspor dan investasi yang juga telah ditetapkan pemerintah sebagai dua komponen yang diharapkan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional di tahun depan. Namun demikian, masih terdapat tantangan yang saat ini harus diatasi antara lain menyamakan

pemahaman kepada semua pihak terkait dalam mewujudkan target penyederhanaan Lartas dan model pengawasan yang efektif baik di border maupun post border agar tetap dapat melindungi dan menjaga daya saing industri nasional maupun melindungi konsumen dalam negeri. (*)

ma

in p

orta

l

29PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Indonesia adalah negara yang

sangat luas. Sekitar 75%

wilayahnya berupa laut. Sejumlah

negara yang berbatasan laut

dengan Indonesia adalah India,

Thailand, Singapura, Vietnam,

Filipina, Palau, dan Australia.

Sementara di daratan, Indonesia

berbatasan dengan Malaysia,

Timor Leste, dan Papua Nugini.

I ndonesia juga memiliki jumlah penduduk yang sangat besar

dan perekonomian yang sedang tumbuh. Inilah pasar potensial untuk peredaran obat dan makanan. Di samping itu, era globalisasi, perubahan gaya hidup masyarakat dan semakin canggihnya teknologi membuat entry barrier antar negara semakin tipis. Hal ini merupakan tantangan bagi pengawasan obat dan makanan.

Indonesia menghadapi potensi ancaman masuknya produk selundupan dari luar negeri. Pengawasan terpadu dari hulu ke hilir dilakukan untuk mengamankan rantai distribusi obat dan makanan dan meminimalisasi peredaran obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, manfaat dan mutu serta potensi pemalsuan dan penyalahgunaan obat dan makanan.

Sebagai institusi pemerintah, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) melaksanakan tugas pengawasan obat dan makanan agar produk obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetika,

dan makanan/minuman yang beredar terjamin keamanan, khasiat/manfaat, dan mutunya. Tujuannya untuk meningkatkan jaminan produk Obat dan Makanan aman, bermanfaat, dan bermutu guna meningkatkan kesehatan masyarakat serta meningkatkan daya saing Obat dan Makanan di pasar lokal dan global dengan menjamin mutu dan mendukung inovasi, atau terciptanya iklim inovasi yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing Obat dan Makanan di pasar lokal dan global.

Sistem pengawasan obat dan makanan (SISPOM) dilakukan tiga lapis.

1. SUB-SISTEM PENGAWASAN PRODUSEN Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara produksi yang baik atau good manufacturing practices agar setiap bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara hukum produsen bertanggung jawab atas keamanan, manfaat, dan mutu produk yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik administratif maupun pro-justisia.

2. SUB-SISTEM PENGAWASAN KONSUMEN Sistem pengawasan oleh masyarakat selaku konsumen melalui peningkatan pengetahuan dan kesadaran terhadap keamanan, manfaat, dan mutu

produk obat dan makanan yang digunakan/dikonsumsi. Pengawasan oleh konsumen sangat penting dilakukan karena pada akhirnya konsumen lah yang mengambil keputusan untuk membeli/menggunakan suatu produk.

3. SUB-SISTEM PENGAWASAN PEMERINTAH Sistem pengawasan oleh pemerintah dalam hal ini Badan POM melalui pengaturan dan standardisasi; penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diizinkan beredar di Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar; serta peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum. Dan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat selaku konsumen, pemerintah juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi.

Pengawasan Obat dan Makanan terkait dengan banyak sektor, baik pemerintah maupun non pemerintah, sehingga perlu dijalin kerjasama yang baik. Pengawasan oleh pelaku usaha sebaiknya dilakukan dari hulu ke hilir, mulai dari pemeriksaan bahan baku, proses produksi, distribusi, hingga produk tersebut dikonsumsi oleh masyarakat. Pelaku usaha mempunyai peran penting dalam memberikan jaminan produk obat dan makanan yang aman, bermanfaat, dan bermutu melalui proses produksi yang sesuai dengan ketentuan.

Tanpa meninggalkan tugas utama pengawasan, Badan POM berupaya memberikan dukungan kepada pelaku

PENGAWASAN PRODUK OBAT DAN MAKANAN IMPOR YANG BEREDAR DI PASAR OLEH BADAN POM

30

usaha untuk memperoleh kemudahan dalam usahanya yaitu dengan memberikan insentif, clearing house, dan pendampingan regulatory. Untuk mendorong kemitraan dan kerjasama yang lebih sistematis dapat dilakukan melalui tahapan identifikasi tingkat kepentingan setiap lembaga/institusi baik pemerintah maupun sektor swasta dan kelompok masyarakat terhadap tugas pokok dan fungsi Badan POM, identifikasi sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing institusi tersebut dalam mendukung tugas yang menjadi mandat Badan POM, dan menentukan indikator bersama atas keberhasilan program kerjasama. Komunikasi yang efektif dengan mitra kerja di daerah merupakan hal yang wajib dilakukan, baik oleh Pusat maupun Balai Besar/Balai POM (BB/BPOM) sebagai tindak lanjut hasil pengawasan.

Terobosan Badan POM

Paket Kebijakan Ekonomi XV mengamanatkan penyederhanaan peraturan tata niaga ekspor-impor. Kegiatan ekspor-impor dibagi ke dalam pengawasan border (Lartas) dan post border (syarat edar). Penerbitan SKI merupakan mekanisme pengawasan di pintu masuk (border control) yang mengikuti skema barang larangan dan pembatasan (Lartas). Proses clearance obat dan bahan obat impor hanya dapat dilakukan setelah SKI diterbitkan.

Badan POM sebagai instansi pemerintah yang memegang Lartas terbanyak kedua setelah Kementrian Perdagangan dalam mekanisme pengawasan tata niaga ekspor-impor akan melakukan penyederhanaan atau simplifikasi Lartas sesuai arahan Presiden RI yang diamanatkan dalam Paket Kebijakan Ekonomi.

Pada 2 November 2015, Badan POM telah melakukan terobosan layanan publik dengan meluncurkan Layanan Importasi Prioritas Bahan Baku Obat dan Makanan sebagai upaya untuk menurunkan dweeling time. Peluncuran SKI Prioritas ini merupakan salah satu terobosan untuk memberikan kemudahan berinvestasi bagi pelaku usaha. Debirokratisasi mekanisme perizinan ini juga bertujuan untuk menggerakkan ekonomi nasional guna meningkatkan daya saing bangsa di kancah global guna mendukung Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I yang diluncurkan Presiden JOKO WIDODO pada September 2015 dan dilakukan berdasarkan analisis kajian risiko pada tahap pre-customs clearance.

Langkah debirokratisasi revitalisasi layanan importasi bahan baku Obat dan Makanan penting dilakukan, mengingat sebagian besar bahan baku obat dan makanan berasal dari produk impor. Dengan

berlakunya SKI Prioritas, maka layanan importasi obat dan makanan menjadi lebih cepat 2,3 jam dibanding sebelumnya, sehingga saat ini rata-rata Service Level Agreement(SLA) Badan POM hanya 5,7 jam dari SLA awal yaitu 8 jam. Layanan Importasi Prioritas elektronik ini berbasis web yang dapat digunakan juga pada versi android. Pelaku usaha dapat menginput data, analisis tanpa dibatasi waktu, paperless, dan dapat mencetak hasil rekomendasi tanpa harus datang ke Badan POM.

Saat ini Badan POM sedang berproses perubahan penyederhanaan Lartas impor melalui pergeseran pengawasan Lartas ke post border. Pengawasan tidak dilakukan pada saat proses clereance, seluruh proses dilakukan secara otomatis. Badan POM akan tetap berintegrasi secara aktif dengan portal INSW dalam pertukaran data pengawasan post border. Fasilitas single submission (SSM) akan tetap dimanfaatkan secara optimal untuk pertukaran data. Sebagai perlindungan masyarakat dari obat dan makanan yang berisiko, Badan POM tetap memberlakukan pengawasan produk impor obat dan makanan yang masuk ke wilayah Indonesia berkoordinasi dengan Bea Cukai melalui Portal INSW dalam pertukaran data secara terintegrasi. Evaluasi dilakukan dalam dua hal, yaitu penindakan atau pembinaan terhadap penyalahgunaan informasi yang dilaporkan dan memberikan tindakan rekomendasi di Border terhadap perusahaan yang melakukan penyalahgunaan informasi (Blokir).

Pengalihan pengawasan dari Border ke Post Border tidak akan mengurangi perlindungan yang diberikan oleh Badan POM kepada masyarakat terhadap obat dan makanan impor yang berisiko terhadap kesehatan, dengan tetap melakukan pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan sebelum produk di edarkan (pre-edar) dan post audit yang akan diintensifkan. (BADAN POM)

ma

in p

orta

l

31PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Dunia mengakui Lartas sebagai

bentuk perlindungan dari berbagai

ancaman yang justeru merugikan

negara. Indonesia menegaskan

sikapnya Demi kepentingan

nasional, Lartas harus ditegakkan.

U ntuk mengatur kegiatan perdagangan luar negeri,

sesuai Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Perdagangan melakukan pengendalian di bidang ekspor dan impor melalui kebijakan yang diarahkan untuk:

a. peningkatan daya saing produk ekspor Indonesia;

b. peningkatan dan perluasan akses Pasar di luar negeri; dan

c. peningkatan kemampuan eksportir dan importir sehingga menjadi Pelaku Usaha yang andal.

Pada prinsipnya semua barang dapat diekspor atau diimpor, kecuali yang dilarang, dibatasi, atau ditentukan lain oleh undang-undang. Pemerintah melarang impor atau ekspor barang untuk kepentingan nasional antara lain untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral

Veri Anggrijono

Direktur Impor Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan demi kepentingan

nasional masyarakat serta untuk melindungi hak kekayaan intelektual; dan/atau untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.

Ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan dilakukan pembatasan ekspor dan/atau impor barang antara lain:

Alasan penetapan pembatasan ekspor barang:

a. menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri;

b. menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan oleh industri pengolahan di dalam negeri;

c. melindungi kelestarian sumber daya alam;

d. meningkatkan nilai tambah ekonomi bahan mentah dan/atau sumber daya alam;

e. mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas ekspor tertentu di pasaran internasional; dan/atau

f. menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri

Alasan penetapan pembatasan impor barang:

a. untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri; dan/atau

b. untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca Perdagangan

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka eksportir/importir dilarang mengekspor/mengimpor barang yang ditetapkan sebagai barang yang dilarang ekspor/impor dan/atau barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan barang untuk diekspor/diimpor. Apabila eksportir/importir melanggar ketentuan tersebut maka akan dikenakan sanksi dan barang yang akan diekspor dikuasai oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sedangkan untuk barang yang diimpor wajib diekspor kembali, dimusnahkan oleh importir, atau ditentukan lain oleh Menteri Perdagangan. Oleh sebab itu larangan dan pembatasan (Lartas) digunakan sebagai salah satu instrumen pengendalian ekspor dan impor di Indonesia.

Lartas atas barang ekspor dan impor ditetapkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan. Mekanisme penetapan Lartas tersebut berdasarkan usulan dari pemangku kepentingan antara lain usulan dari Kementerian Teknis Pembina, yang ditindaklanjuti dalam rapat koordinasi bersama seluruh pemangku kepentingan dengan mempertimbangkan faktor-faktor

LARANGAN DAN PEMBATASAN EKSPOR DAN IMPOR DI INDONESIA

32

kepentingan nasional. Umumnya rapat koordinasi akan dilakukan beberapa kali guna mendapatkan informasi dan masukan dari seluruh pemangku kepentingan sebelum disepakati ketentuan yang akan digunakan sebagai Lartas ekspor atau impor.

Dalam peraturan Menteri Perdagangan tersebut ditetapkan ketentuan Lartas ekspor/impor atas barang tersebut antara lain dapat berupa:

EKSPOR

1. Penunjukan/Penetapan Eksportir Terdaftar (ET)

2. Surat Persetujuan Ekspor (SPE)3. Verifikasi Teknis/

Laporan Surveyor (LS)

IMPOR

1. Penunjukan/Penetapan Importir Terdaftar (IT)

2. Pengakuan Sebagai Importir Produsen (IP)

3. Verifikasi Teknis/ Laporan Surveyor (LS)

Peraturan Menteri Perdagangan terkait Lartas tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk dapat ditindaklanjuti oleh Petugas

Bea dan Cukai. Dengan demikian eksportir/ importir tidak dapat melakukan ekspor/impor apabila tidak memenuhi ketentuan pembatasan barang ekspor/impor atau dengan kata lain pengawasan terhadap pembatasan ekspor/impor dilakukan oleh Petugas Bea dan Cukai di pelabuhan/ border sesuai peraturan yang telah ditetapkan.

Namun di sisi lain dalam rangka mendukung program pemerintah untuk membangun, mempercepat dan melindungi industri dalam negeri, maka Presiden mengamanatkan melalui Paket Kebijakan Ekonomi XV untuk melakukan penyederhanaan tata niaga ekspor dan impor. Saat ini dari 10.826 Kode HS dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia Tahun 2017 (BTKI 2017) sebanyak 5.229 Kode HS terkena Lartas Impor atau dengan kata lain 48,3% dari seluruh barang yang terdapat dalam BTKI 2017 terkena Lartas.

Mengacu pada arah kebijakan ekonomi tersebut, maka pengawasan impor barang dilakukan pergeseran yang semula dilakukan di Border dipindahkan di Post Border. Perpindahan pengawasan impor barang di Post

Border bertujuan untuk mengurangi jumlah Lartas di Border. Pengawasan di Post Border dapat dilakukan sepanjang instrument pengawasan Post Border telah memadai seperti Izin Edar dan Standard/SNI, namun di sisi lain perlu diperhatikan lebih lanjut terhadap dampak dari pergeseran pengawasan Post Border tersebut.

Menurut hemat kami pergeseran pengawasan tersebut harus tetap mempertimbangkan faktor-faktor Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa. Selain itu ada beberapa komoditi yang perlu dilakukan pengawasan di awal yang bersifat pencegahan dan hal tersebut juga di dukung dengan kesepakatan internasional, sehingga untuk komoditi tersebut tidak dimungkinkan dilakukan pengawasan di Post Border.

Namun di sisi lain barang-barang tersebut merupakan bahan baku dan bahan penolong, tetapi risiko penyimpangan, pencemaran lingkungan dan keselamatan sangat tinggi. Oleh sebab itu untuk ketentuan impor Limbah Non B3, Prekursor, Bahan Perusak Lapisan Ozon (BPO) dan Barang yang menggunakan BPO/Barang Berbasis Sistem Pendingin, Bahan Peledak, Nitrocellullose dan Bahan Berbahaya sebaiknya mengedepankan sifat pencegahan sehingga pengawasan Lartas tetap dilakukan di Border.

Dengan demikian pengawasan di Post Border yang menggunakan instrumen standar ataupun izin edar memerlukan dukungan dan peran serta aktif dari Kementerian Teknis Pembina. Dimana Kementerian Teknis Pembina dapat menetapkan pemberlakuan wajib standard (Standard Nasional Indonesia/SNI) atas barang impor sehingga pengawasan dapat dilakukan Post Border. (*)

ma

in p

orta

l

33PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

B arang larangan dan/atau pembatasan atau yang kerap

disebut dengan barang lartas merupakan kelompok barang yang dilarang dan/atau dibatasi importasi atau eksportasinya. Di Indonesia, kegunaan penetapan barang lartas impor dilakukan dalam rangka untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat; untuk melindungi hak kekayaan intelektual; dan/atau untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup. Barang yang dikategorikan sebagai barang terkena ketentuan lartas saat ini di Indonesia penetapannya di lakukan oleh kurang lebih 18 Kementerian/Lembaga (K/L) yang membidanginya melalui peraturan perundang-undangan. Sehingga dalam setiap impor/eskpor barang yang khususnya terkena ketentuan pembatasan umumnya harus mendapatkan izin dari salah satu atau lebih K/L tersebut.

Pengawasan barang lartas saat ini dibebankan di border (pintu masuk dan keluarnya barang ekspor/impor) baik di pelabuhan laut, pelabuhan darat, maupun

pelabuhan udara. Sesuai dengan praktik kepabeanan internasional, pengawasan lalulintas barang yang masuk atau keluar dari suatu negara dilakukan oleh institusi kepabeanan. Dengan demikian, agar pelaksanaan pengawasan peraturan lartas menjadi efektif dan terkoordinasi, K/L yang bersangkutan wajib menyampaikan peraturan dimaksud kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang merupakan institusi kepabeanan di Indonesia (diintisarikan dari Pasal 53 Undang-Undang Kepabeanan).

Dalam rangka penanganan barang lartas tersebut tentu dilakukan melalui berbagai cara oleh Petugas Bea dan Cukai baik secara manual maupun secara otomatis menggunakan sistem demi mengoptimalkan pelayanan namun tidak terlepas juga dari fungsi pengawasannya di border. Mengingat penerbitan izin terhadap impor/ekspor barang lartas dilakukan oleh banyak K/L yang terlibat, sehingga diperlukan suatu

sistem untuk memudahkan serta mempercepat penyampaian dokumen perizinan secara online, oleh karenanya pengawasan secara otomatis saat ini dilakukan melalui portal Indonesia National Single Window (INSW).

Apabila mengacu pada ketentuan lartas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, pengawasan barang lartas dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Pengawasan Lartas yang berkaitan dengan keselamatan, kesehatan dan keamanan masyarakat (dapat disebut Lartas Keselamatan) dan Pengawasan Lartas yang berkaitan dengan perlindungan ekonomi dalam negeri (dapat disebut Lartas Ekonomi). Di Indonesia saat ini sebanyak 48,3% (5.229 kode HS) dari total pos tarif sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia 2017 (BTKI 2017, 10.826 kode HS) termasuk barang terkena ketentuan lartas impor yang perlu penanganan khusus untuk importasi maupun eksportasinya. Dari 48,3% barang lartas dari total pos tarif BTKI 2017 tersebut dapat dipisahkan antara Lartas Keselamatan sebanyak 37% (1.956 HS) dan Lartas Ekonomi sebanyak 63% (3.273 HS). Jika mengacu pada best practice internasional pelaksanaan pengawasan barang

R. Fadjar Donny Tjahjadi

Direktur Teknis Kepabeanan

Pelaksanaan Aturan Lartas

di Border

34

lartas di border diutamakan pada pengawasan impor barang yang berkaitan Lartas Keselamatan, hal ini juga selaras dengan fungsi DJBC sebagai community protector. Sebagai contoh untuk Lartas Keselamatan seperti importasi bahan peledak, karantina/penyakit, radiasi, dan limbah B3.

Adanya ketentuan mengenai barang lartas yang pengawasannya dibebankan di border, tentu memberikan timbal-balik kepada kegiatan importasi baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Timbal-balik positifnya yaitu mempermudah kegiatan importasi yang pada nyatanya tidak banyak berkontribusi di sektor impor. Sebaliknya, timbal-balik negatif yang diberikan lebih dominan terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan untuk perizinan impor yang berdampak pada tingginya dwelling time dan pengurusan barang impor/ekspor membutuhkan biaya lebih tinggi (high cost). Dampak jangka panjangnya, investasi dalam negeri akan merosot karena hilangnya tingkat kepercayaan investor asing.

Dalam rangka menanggulangi dampak negatif dari pengaturan barang lartas tersebut, diperlukan adanya suatu kebijakan strategis dari pemerintah terkait penanganan barang lartas, berupa:

di border/entry point hanya dilakukan untuk barang yang berkaitan dengan Lartas Keselamatan. Dengan penerapan kebijakan ini diharapkan akan menurunkan jumlah barang lartas yang diawasi di border menjadi sekitar 18% (1.956 HS) dari total pos tarif BTKI 2017.

2. PENERAPAN RISK MANAGEMENT

Penerapan risk management dilakukan dengan membedakan/memisahkan komoditi dan

pengguna jasa yang memang nyata-nyata memerlukan pengawasan lebih mendalam yang disertai kewajiban pemenuhan perizinan, dengan komoditi dan pengguna jasa yang tidak memerlukan pengawasan khusus dan dikecualikan dari kewajiban pemenuhan perizinan. Dengan penerapan kebijakan ini diharapkan dapat mempercepat proses penyelesaian formalitas impor (dikecualikan dari dokumen perizinan lartas) bagi pengguna jasa dengan rekam jejak baik dan memiliki risiko rendah (jalur prioritas). Sebagai kontrol terhadap kebijakan risk management tersebut, maka dapat dilakukan post audit oleh K/L penerbit izin/aturan lartas yang pelaksanaannya dapat dilakukan sewaktu-waktu.

3. SIMPLIFIKASI PERIZINAN

Penerapan simplifikasi perizinan dilakukan dengan melakukan harmonisasi terhadap peraturan-peraturan lartas yang mengatur barang yang sama, sehingga terhadap barang tersebut dapat diterbitkan satu dokumen perizinan yang mewakili kriteria dokumen perizinan yang lain.

Penerapan kebijakan strategis tersebut di atas dapat dilakukan secara simultan dan diharapkan dapat menekan dwelling time, menekan biaya logistik (logistic cost), meningkatkan peringkat EODB (Ease of Doing Business) dan LPI (Logistic Performance Index). Dalam perumusan kebijakan strategis tersebut tentu bukan hanya dilakukan oleh DJBC, tetapi juga perlu adanya peran seluruh K/L dalam pemerintah serta komitmen bersama untuk menemukan solusi dan strategi dalam penanganan barang lartas demi terwujudnya Indonesia yang makin baik. n

1. PERGESERAN PENGAWASAN BARANG LARTAS KE POST BORDER

Pergeseran pengawasan barang lartas yang semula dilakukan di border/entry point dipindahkan menjadi pengawasan sebelum barang beredar (di gudang importir/tempat lain yang ditentukan) sehingga pemenuhan perizinan lartas dilakukan sebelum barang tersebut diedarkan ke konsumen/pasar atau digunakan, sedangkan pengawasan barang lartas

ma

in p

orta

l

35PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Pengelola Portal Indonesia National Single Window (PP INSW) dan Badan Karantina Pertanian (Barantan) Kementerian Pertanian bertemu pada medio Agustus 2017 untuk membahas sejumlah hal penting pada program simplifikasi barang larangan dan pembatasan (lartas)

Menanggapi hal ini, Kepala Barantan BANUN HARPINI, menegaskan akan segera menyiapkan legal formal pelaksanaan SSM di Barantan dan akan menyampaikan usulan pelaku usaha yang akan ikut berpartisipasi. Barantan juga sangat mendukung ide pencantuman product code untuk barang Lartas, sekaligus mengusulkan perlu adanya fasilitas buffer zone di pelabuhan. Pada kesempatan itu, Banun juga meminta akses kepada PP INSW untuk dapat memperbarui peraturan/Lartas pada sistem INTR-INSW.

“Terkait status Badan Karantina Pertanian di pelabuhan, maka disepakati bahwa posisi Badan Karantina Pertanian sebagai bagian CIQ di pelabuhan sejajar

dengan Ditjen Bea dan Cukai dan Ditjen Imigrasi (Badan Inspeksi),” tegas Banun.

Pada bagian lain, Kepala PP-INSW DJADMIKO menjelaskan sejumlah isu strategis dan program PP-INSW yang perlu mendapatkan dukungan dari Kepala Barantan seperti implementasi SSM yang dimulai pada tanggal 28 Agustus 2017, ISRM dan INTR. PP INSW saat ini sedang menyiapkan dashboard data realisasi untuk K/L. “Berkenaan dengan hal tersebut, PP-INSW berharap setiap K/L dapat menyamakan satuan pada Lartas yang diterbitkan,” kata Djadmiko.

Barantan sendiri menginginkan akses terhadap data realisasi dan satuan pada Lartas akan dibahas lebih lanjut pada rapat teknis.

Sebagai tindak lanjut, Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga akan melaksanakan rapat tindaklanjut persiapan implementasi SSM dan pembahasan final ISRM pada hari Jumat, tanggal 11 Agustus 2017 di Ruang Rapat PP INSW. Sedangkan, Deputi Bidang Pengembangan dan Operasional Sistem PP INSW akan segera menyelesaikan dashboard data realisasi untuk disampaikan kepada K/L terkait.

Yang mengemuka pula adalah perlu segera dibentuk tim teknis PP INSW bekerja sama dengan Ditjen Bea dan Cukai dan K/L penerbit Lartas, dalam rangka penyusunan product code bagi barang-barang high risk. (DAMAR WIJAYANTO)

DUKUNGAN SIMPLIFIKASI LARTAS

Pertama, untuk produk Barantan yang tergolong high risk, pengawasan tetap dapat dilakukan di border. Sedangkan, untuk pengawasan di post border, PP-INSW akan menyampaikan data PIB kepada K/L terkait dan Ditjen Bea dan Cukai akan menyampaikan red notice jika suatu barang dianggap tidak memenuhi ketentuan Lartas.

Kedua, kebijakan pengurangan Lartas dipastikan tidak mengurangi otoritas K/L dalam melakukan pengawasan dan tetap dapat melakukan pemeriksaan walaupun Lartas beririsan dengan K/L lain, misalnya dengan BPOM. Ketiga, cara yang dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan akurasi pengawasan yaitu dengan pencantuman product code untuk barang high risk.

36

D alam beleid tersebut, WTO memperkenankan negara-

negara anggotanya untuk menerapkan ketentuan Lartas dengan catatan untuk tujuan tertentu seperti perlindungan keamanan nasional, mencegah penipuan, serta sebagai tindakan untuk melindungi kesehatan manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan. Amanat WTO, penerapan Lartas harus dirumuskan melalui serangkaian pertimbangan yang didasarkan pada data dan informasi teknis serta ilmiah.

Organisasi perdagangan dunia juga mengamanatkan bahwa peraturan Lartas harus dihentikan ketika tujuan yang mendasarinya telah tercapai atau ditemukan mekanisme yang less-restrictive untuk mencapai tujuan tersebut. Jika terdapat standar internasional terkait peraturan teknis Lartas yang akan dikenakan, maka negara anggota WTO diwajibkan untuk menggunakan standar tersebut, kecuali jika terdapat kondisi atau faktor tertentu yang membuat standar internasional tidak dapat diterapkan.

Terdapat tiga prinsip dalam agreement on TBT: non-discrimination, tidak menimbulkan hambatan yang tidak perlu, dan harmonis dengan ketentuan lainnya.

Dalam proses perumusan peraturan Lartas, WTO meminta agar dilakukan konsultasi dengan stakeholders. Anggota WTO juga diminta untuk menyediakan enquiry point untuk menjawab pertanyaan negara lain dan stakeholders terkait peraturan Lartas yang akan diterbitkan. WTO mengklasifikasikan Lartas / Technical Barrier to Trade dalam 3 bentuk yaitu technical regulation, standar, dan comformity assessment procedures.

Technical regulation didefinisikan sebagai dokumen yang mengatur karakteristik atau proses produksi, termasuk juga ketentuan administrasi yang wajib dipenuhi oleh suatu produk. Pengaturan ini termasuk juga ketentuan mengenai terminologi, simbol, pengemasan, penandaan (marking) atau labelling yang menandakan karakteristik atau proses produksi produk tersebut.

Sedangkan standar adalah dokumen yang keluarkan oleh lembaga yang diakui sebagai pedoman untuk menentukan karakteristik atau proses produksi suatu produk. Berbeda dengan technical regulation, standar tidak bersifat wajib, kecuali ditentukan lain oleh otoritas.

Sementara itu, comformity assessment procedure merupakan prosedur yang baik langsung maupun tidak langsung menentukan terpenuhi atau tidaknya technical regulation atau standar yang telah ditetapkan.

Lartas Tak Sepenuhnya "Haram"

World Trade Organization (WTO) dikenal sebagai

organisasi yang mempromosikan perdagangan bebas.

Dalam menyikapi larangan dan pembatasan (Lartas),

WTO tidak sepenuhnya mengharamkannya. Terlihat

sedikit paradoksal tetapi begitulah aturan yang digariskan

WTO melalui Agreement on Technical Barrier to Trade

(TBT). Ali Manshur menuliskannya untuk pembaca.

tero

po

ng

INS

W

37PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Khusus terkait dengan technical regulation, ketentuan tersebut harus sama diberlakukan untuk produk sejenis (like products) baik yang diproduksi di dalam negeri maupun impor.

WTO juga memiliki agreement yang mengatur perizinan sebagai pelaksanaan peraturan Lartas khususnya untuk Lartas impor. Aturan tersebut dituangkan dalam WTO Agreement on Import Licensing Procedures.

Import licensing adalah prosedur administratif yang membutuhkan pengajuan permohonan dan/atau dokumen-dokumen (selain dokumen yang disampaikan ke Customs) kepada Kementerian/Lembaga untuk memenuhi persyaratan tertentu sebelum importasi dilakukan. Terdapat beberapa prinsip dalam WTO Agreement on Import Licensing Procedures, yaitu: aturan import licensing harus bersifat adil dan tidak memihak segala ketentuan mengenai prosedur untuk mengajukan izin impor termasuk di dalamnya orang/

perusahaan yang diperbolehkan mengajukan, Kementerian/Lembaga yang terkait, dan daftar produk yang terkena ketentuan izin impor, harus dipublikasikan secara terbuka.

Terkait dengan publikasi, WTO mengatur beberapa ketentuan: Publikasi harus dibuat maksimal 21 hari sebelum ketentuan izin impor tersebut berlaku. Perubahan atas ketentuan izin impor juga harus dipublikasikan paling lambat 21 hari sebelum perubahan tersebut diterapkan secara efektif. Salinan dipublikasikan, ketentuan izin impor harus disampaikan ke Sekretariat WTO. Negara anggota WTO berhak memberikan tanggapan atas ketentuan izin impor dan Negara yang mengeluarkan ketentuan harus mempertimbangkan tanggapan dari Negara anggota WTO tersebut.

WTO agreement on import licensing procedure juga mengamatkan bahwa form pengajuan izin impor harus dibuat sederhana. Prosedur pengajuan izin impor juga harus dibuat sederhana. Pemohon harus diberikan waktu yang

cukup untuk dapat mengajukan permohonan dan apabila ada batas waktu pengajuan maka harus dimungkinkan perpanjangan waktu minimal 21 hari yang diberikan kepada pemohon untuk melengkapi dokumen pengajuaanya. Pemohon seharusnya hanya diwajibkan mengurus izin pada satu Kementerian/Lembaga. Apabila tidak dimungkinkan dengan hanya satu Kementerian/Lembaga, maka maksimal 3 Kementerian/Lembaga yang harus ditemui pemohon untuk mengajukan perizinan.

Dalam WTO agreement on import licensing procedure dikenal istilah automatic import licensing dan non-automatic import licensing. Automatic import licensing didefinisikan sebagai perizinan dan permohonan izin akan ototamis disetujui dalam segala kondisi. Perizinan impor otomatis bertujuan untuk keperluan pengumpulan statistik dan informasi impor yang diperlukan. Sedangkan Non-automatic import licensing merupakan jenis perizinan impor yang memerlukan persyaratan tertentu untuk dapat disetujui. WTO menekankan bahwa kedua jenis perizinan impor tersebut harus diterapkan secara non-discriminatory.

Beleid WTO ini ibarat permainan layang-layang yang dilepas di langit, bebas terbang sesukanya, tetapi tetap saja dikendalikan oleh benang. Meski mempromosikan pasar bebas, WTO tetap membolehkan larangan dan pembatasan. Ketentuan ini diatur agar berbagai larangan dan pembatasan tidak menjadi penghambat perdagangan bebas.

38

S eperti diketahui bersama bahwa pemerintah pada tanggal 15

Juni 2017 telah menerbitkan kembali Paket Kebijakan Ekonomi Tahap XV (PKE XV) yang fokus pada peningkatan pengembangan usaha dan daya saing penyedia jasa logistik nasional dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing industri, investasi, ekspor, wisata, pangan, dan logistik, serta meningkatkan kelancaran arus barang ekspor impor. Langkah dan tindakan tersebut dilakukan oleh pemerintah dengan dasar pertimbangan yaitu untuk melengkapi sejumlah Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) yang telah diterbitkan sebelumnya (PKE Tahap I, VIII, IX dan XI).

Cakupan PKE Tahap XV terdiri dari 18 (delapan belas) pokok kebijakan, antara lain salah satunya mengenai Kebijakan Penyederhanaan Tata Niaga Ekspor Impor. Terdapat 4 (empat) besaran kebijakan yang tercakup dalam pengaturan Tata Niaga Ekspor Impor, yaitu a. Pengurangan Lartas Border, b. Penyederhanaan Perizinan Lartas Border, c. Harmonisasi 23 Peraturan Lartas, dan d. Super Mudah Tata Niaga untuk Industri Kecil dan Menengah.

Dalam uraian kebijakan tersebut, pada tahap awal ini pemerintah sangat concern terhadap pengurangan ketentuan Larangan dan Pembatasan impor dengan menargetkan 19% dari 49%

yang saat ini ada atau mendekati rata-rata non tariff barrier negara-negara ASEAN. Untuk memenuhi target tersebut, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 71 Tahun 2017 tentang Tim Tata Niaga Ekspor Impor dan Keputusan Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Nomor 07 Tahun 2017 tentang Tim Teknis Tata Niaga Ekspor Impor.

Sesuai dengan dua keputusan di atas, keberadaan PP INSW menduduki peran, tugas, dan tanggung jawab yang cukup

Lartas di border saat ini belum beranjak secara signifikan menjadi post

border. Ada pergeseran. Dari 49% Lartas yang memenuhi border kini

mulai digeser ke post border menjadi 19%. Target inilah yang menjadi PR

banyak institusi. Ridky Irfan Wirautama, Kepala Subdivisi Harmonisasi dan

Transformasi Proses Bisnis II, PP INSW menuliskannya untuk pembaca.

Sinkronisasi, Koordinasi, dan Harmonisasi Penyederhanaan Tata Niaga Ekspor-Impor

tero

po

ng

INS

W

39PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

besar bersama Kementerian Keuangan/Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Perdagangan, dan perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam pelaksanaan tugasnya, guna merumuskan Kebijakan Penyederhanaan Tata Niaga tersebut, Tim Tata Niaga Ekspor Impor selalu mengedepankan dan memperhatikan koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi dengan seluruh stakeholders terkait, serta selalu berhati-hati dalam merumuskan kebijakan.

Pelaksanaan kebijakan tersebut akan dilakukan secara bertahap mengingat masa kerja tim Tata Niaga Ekspor dan Impor berlaku hingga akhir Desember 2019. Selain itu, perlu disampaikan pula bahwa kewenangan pengaturan ketentuan ekspor dan impor ini dimiliki oleh 15 (lima belas) Kementerian/Lembaga yaitu: 1) Kementerian Keuangan, 2) Kementerian Perdagangan, 3) Kementerian Perindustrian, 4) Kementerian Pertanian, 5) Kementerian Kelautan dan Perikanan, 6) Kementerian Kesehatan, 7) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 8) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 9) Kementerian Komunikasi dan Informatika, 10) Kementerian Pertahanan, 11) Kementerian Perhubungan, 12) Mabes Polri, 13) Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan 14) Badan Pengawas Tenaga Nuklir, dan 15} Bank Indonesia.

Ruang lingkup Tugas Tim Tata Niaga Ekspor Impor sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 71 Tahun 2017, adalah sebagai berikut:

1. Menyederhanakan ketentuan peraturan perundangan terkait tata niaga ekspor impor untuk mendrong daya saing industri, investasi, ekspor, wisata, pangan, dan logistik serta melindungi kepentingan nasional.

2. Mengurangi ketentuan peraturan perundangan-undangan terkait larangan dan pembatasan/ tata niaga ekspor impor sesuai mekanisme best practice dengan prinsip menghilangkan duplikasi,

pengulangan/redundant/irisan peraturan antar Kementerian/Lembaga dan transformasi ke perlindungan tarif dan standar.

3. Melakukan analisis atas konsep/usulan regulasi dari Kementerian/Lembaga yang berkaitan dengan ekspor impor.

4. Melakukan evaluasi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait larangan dan pembatasan/tata niaga dengan tarif kuota, daya saing industri investasi dan ekspor impor.

Dengan posisi peran, tugas, dan tanggung jawab yang begitu besar dibebankan kepada Tim Tata Niaga Ekspor Impor, maka tim ini telah menyelenggarakan Rapat-rapat Koordinasi baik di Level Tingkat Menteri terkait maupun Rapat Koordinasi Teknis di Tingkat Eselon I, guna memperoleh kesepakatan bersama dalam melaksanakan Kebijakan Penyederhanaan Tata Niaga. Beberapa catatan utama yang diputuskan dalam Rapat-rapat Koordinasi antara lain:

1. Sebagaimana disepakati dalam Rakortas Tingkat Menteri pada tanggal 8 dan 31 Agustus 2017 yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, penyederhanaan kebijakan tata niaga akan ditempuh melalui pergeseran pengawasan tata niaga impor dari yang selama ini dilakukan di border digeser ke post border.

2. Salah satu tujuan dari dilakukannya pergeseran pengawasan tata niaga dari border ke post border adalah untuk meningkatkan kelancaran pergerakan arus barang di pelabuhan dan meningkatkan kelancaran aktifitas ekspor dan impor. Selain itu kebijakan tersebut juga dimaksudkan untuk mengurangi jumlah Lartas impor di border, dengan target pengurangan dari 48,3% menjadi 20,8%.

3. Berdasarkan prinsip best practices dan mempertimbangkan kepentingan nasional terkait Keselamatan, Keamanan, dan Kesehatan serta Lingkungan (K3L), Tim Teknis Tata Niaga Ekspor Impor telah melakukan identifikasi terhadap peraturan perundangan yang mengatur mengenai larangan dan pembatasan ekspor dan impor. Identifikasi tersebut, menghasilkan sebanyak 72 (tujuh puluh dua)

40

peraturan Lartas impor yang diterbitkan oleh 7 (tujuh) Kementerian/Lembaga (K/L) yang pengawasannya diusulkan untuk digeser dari border ke post border, yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian ESDM dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

4. Daftar peraturan Lartas impor yang diusulkan untuk digeser pengawasannya dari border ke post border tersebut telah disampaikan kepada masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L) yang bersangkutan melalui surat Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri selaku Ketua Tim Tata Niaga Ekspor Impor Nomor: S-104/D.V.M.EKON/08/2017 tanggal 29 Agustus 2017 untuk dilakukan revisi. Melalui surat tersebut, juga sudah dijelaskan mengenai hal-hal pokok yang perlu diperhatikan dalam melakukan revisi peraturan dimaksud.

Terkait langkah kebijakan penyederhanaan tata niaga ekspor impor tersebut, Tim Teknis Tata Niaga Ekspor Impor yang diketuai oleh Kepala PP INSW telah melakukan serangkaian rapat-rapat pembahasan teknis dengan seluruh anggota dan K/L terkait yang dimulai tanggal 24 Mei 2017 sejak SK Tim Tata Niaga Ekspor Impor ditanda tangani pada tanggal 3 Mei 2017. Sejumlah K/L yang telah melakukan pembahasan mengenai pelaksanaan pergeseran pengawasan tata niaga (Lartas) impor dari border ke post border, antara lain Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan).

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, guna mewujudkan tercapainya target pengurangan Lartas, maka diperlukan bantuan dan dukungan seluruh pihak terkait agar kebijakan penyederhanaan tata niaga ekspor impor dapat dilaksanakan dengan baik. Pelaksanaan sinkronisasi, koordinasi dan harmonisasi antara Tim Tata Niaga Ekspor Impor dengan semua K/L pun akan terus berlanjut antara lain melalui sosialisasi yang intensif, baik kepada semua K/L maupun kepada pelaku usaha mengenai langkah dan usulan kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah dalam rangka penyederhanaan tata niaga ekspor impor.

Besar harapan Kebijakan Penyederhanaan Tata Niaga Ekspor Impor melalui pergeseran pengawasan tata niaga impor ke post border ini dapat meningkatkan daya saing perekonomian nasional, terutama untuk memperbaiki peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing

Business /EODB) Indonesia yang saat ini telah menduduki di posisi di 72 dari 190 negara.

tero

po

ng

INS

W

41PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Kalimantan Timur sejak lama dikenal sebagai daerah penghasil tambang seperti minyak gas alam dan batu bara. Provinsi yang berada di ujung timur pulau Kalimantan itu memiliki kawasan industri yang terkonsentrasi di Balikpapan dan Bontang. Kota Balikpapan sebagai kota industri, perdagangan, dan jasa memiliki bandara dan pelabuhan berskala internasional. Sebut saja bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Pelabuhan Semayang, Pelabuhan Peti Kemas Kariangau, serta pelabuhan minyak yang dimiliki Pertamina.

P elabuhan Semayang dan Pelabuhan Peti Kemas

Kariangau yang dikelola oleh PT Pelindo IV (Persero) Cabang Balikpapan, merupakan pintu gerbang (Gateway) masuknya kapal/pengangkut laut ke wilayah Kaltim. Dengan perannya ini, kedua pelabuhan menjadi penghubung antarnegara dalam menjalankan kegiatan impor-ekspor. Keduanya juga menjadi penghubung muatan yang diangkut sarana pengangkut laut dan sarana pengangkut darat.

Pelabuhan Semayang dan Pelabuhan Peti Kemas Kariangau melayani kegiatan bongkar muat peti kemas untuk perdagangan domestik dan Internasional. Komoditi utama yang dilayani adalah peralatan pertambangan, peralatan industri minyak, gas alam dan batu bara. Negara mitra dagang utama ekspor dan impor yaitu Malaysia, Singapura, Jepang,

Korea, Cina, negara-negara Timur Tengah dan Eropa.

Penerapan sistem Indonesia National Single Window (INSW) di Kantor Pengawasan dan Pelayan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean Balikpapan secara mandatory dilaksanakan sejak tahun 2009. Sejak sistem INSW dijalankan, proses ekspor-impor menjadi lebih cepat karena karena pelaku usaha tidak harus menunggu hardcopy dokumen perizinan dikirimkan dari Kementerian/Lembaga (K/L) yang berada di Jakarta. Data elektronik dokumen dapat diterima KPPBC Balikpapan melalui sistem INSW. Sehingga, proses customs clearance berjalan lebih cepat.

Kepala KPPBC Tipe Madya Pabean Balikpapan, KUNAWI, mengapresiasi penerapan sistem INSW di Balikpapan. Melalui sistem INSW, petugas Analyzing

Point (AP) lebih mudah melakukan pemeriksaan perizinan ekspor-impor yang disampaikan oleh pelaku usaha, karena ada acuan tunggal (single reference).

Meski diakui ada kemudahan, namun pelaksanaan teknis INSW masih dijumpai kendala. Seperti diakui seorang pejabat Hanggar KPPBC Balikpapan, sistem INSW masih belum terintegrasi dengan sistem CEISA sehingga petugas AP masih harus membuka dua aplikasi. Selain itu, jaringan yang terkadang down hingga lebih dari dua jam, menyebabkan penundaan proses customs clearance. Akibatnya, pelaku usaha tidak memperoleh kepastian waktu.

Pejabat Penyuluhan dan Layanan Informasi (PLI) KPPBC Balikpapan, Takari, memberikan beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian terkait Larangan dan Pembatasan (Lartas) di sistem

INSW MENJADI SINGLE REFERENCE LARTAS

PELABUHAN SEMAYANG & PELABUHAN PETI KEMAS KARIANGAULaporan Kunjungan

Daerah Tim PP INSW

42

INSW. Pertama, masih adanya jeda waktu pengaktifan Lartas di sistem INSW, rata-rata sekitar satu bulan. Kedua, adanya peraturan Lartas yang belum update. Ketiga, belum semua Lartas masuk ke sistem INSW.

Terhadap hal ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sepakat: hanya mengacu pada sistem INSW sebagai single reference. Apabila Lartas belum ada di sistem INSW, maka barang ekspor atau impor tidak akan diperiksa dan akan memperoleh izin untuk keluar/masuk wilayah pabean. Ke depan, diharapkan K/L penerbit perizinan dapat memperoleh hak akses untuk memperbarui Lartas di sistem INSW secara lebih mudah dan cepat.

Perhatian khusus terhadap implementasi Lartas di Balikpapan juga disampaikan Kepala Seksi Impor, Dinas Perdagangan Kota Balikpapan, Heri. Ia bercerita kendala terkait proses permohonan izin Lartas dari K/L di Jakarta. Lamanya proses ini secara langsung berdampak pada meningkatnya biaya dan waktu yang harus ditanggung pelaku usaha. Contoh Lartas yang menjadi hambatan saat ini, khususnya di Balikpapan adalah Lartas impor Besi dan Baja yang merupakan komoditas penting mengingat pelaku usaha di Balikpapan mayoritas adalah industri pertambangan yang banyak membutuhkan komponen/suku cadang yang berasal dari Besi dan Baja. “Kedua jenis barang ini terkadang harus diimpor karena

mempunyai spesifikasi khusus sehingga tidak dapat dipenuhi oleh produk lokal,” kata Heri.

Kebijakan Lartas dipandang perlu untuk diterapkan secara hati-hati. Kebijakan Lartas yang kurang tepat—yang semula ditujukan untuk mendorong industri Besi dan Baja—di sisi lain dapat memberikan dampak yang menghambat industri pertambangan. Untuk itu, Dinas Perdagangan Kota Balikpapan mengharapkan sistem INSW dapat berperan dan dikembangkan lebih luas sehingga permohonan perizinan/rekomendasi kepada K/L tidak harus datang ke Jakarta, namun dapat diajukan melalui sistem INSW sehingga dapat menghemat waktu dan biaya pelaku usaha di daerah. (DAMAR

WIJAYANTO DAN MAULANA ALI)

MENUNGGU SINGLE SUBMISSION P elaku usaha di Balikpapan

merasakan manfaat sistem INSW dalam rangka kegiatan ekspor dan impor. Sistem INSW terutama dimanfaatkan pada menu Indonesia National Trade Repository (INTR) di Portal INSW untuk mencari informasi tentang ketentuan Larangan dan Pembatasan (Lartas) atas barang yang akan diekspor atau diimpor.

Dengan informasi ini, pelaku usaha dapat mempersiapkan rekomendasi/perizinan yang diperlukan dari Kementerian/Lembaga (K/L) terkait. Tapi, menurut pengakuan PT. Mulia Santika, peraturan Lartas dari K/L terkadang terlambat diunggah pada Portal INSW. Hal ini sering menimbulkan masalah di lapangan: perizinan harus telah selesai sebelum barang tiba. Selain itu, pada menu INTR belum dimutakhirkan bea masuk dan pajak yang harus dibayar serta tidak dilengkapi pajak untuk barang mewah.

Pengakuan sama datang dari UIT Logistic, yang merasakan dampak positif penerapan sistem INSW, meski diakui juga ada yang masih perlu dibenahi, seperti jaringan INSW kerap mengalami gangguan. Persoalan ini mengakibatkan dokumen PIB dan/atau PEB tidak dapat diproses dengan cepat. Pelaku

usaha mengharapkan ada solusi dan kepastian waktu yang jelas kapan kendala ini dapat diatasi, sehingga tidak menghambat kegiatan ekspor-impor.

Umumnya, pelaku usaha di Balikpapan meminta sistem INSW dapat dikembangkan lebih luas dan berharap dapat menyampaikan perizinan secara dalam jaringan (daring) melalui aplikasi Single Submission (SSM) ke semua K/L, tanpa harus ke Jakarta. Bila kendala ini dapat diatasi, bukan tidak mungkin “mimpi” pelaku usaha di daerah agar Lartas tidak menjadi hambatan dalam berusaha dapat terwujud. Dengan adanya perbaikan dan pengembangan sistem INSW, diharapkan akan terwujud empat pilar INSW: Transparency, Consistency, Simplicity, Efficiency yang sangat ditunggu oleh pelaku usaha di Balikpapan. (DAMAR WIJAYANTO

DAN MAULANA ALI)

pe

rspe

ktif

43PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan

Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean Ngurah Rai,

Himawan Indarjono, mengapresiasi sistem

INSW yang dinilai bermanfaat mendukung

pelaksanaan tugas KPPBC Ngurah Rai dalam

pengawasan kegiatan ekspor dan impor yang

melewati Bandara Ngurah Rai Denpasar.

S elama ini, kata Himawan, KPPBC Ngurah Rai banyak

melayani ekspor-impor yang menggunakan pos atau Perusahaan Jasa Titipan (PJT). Sayangnya, seringkali nilai ekspor-impor itu di bawah batas yang diwajibkan untuk memenuhi ketentuan larangan dan pembatasan (Lartas). Dalam kesempatan pertemuan dengan Tim INSW 31 Oktober 2017, Himawan mengakui, sistem

INSW memberikan kepastian dan ketenangan bagi petugas Bea dan Cukai dalam menegakkan peraturan yang diterbitkan Kementerian/Lembaga. ”Kita mengacu pada INSW sebagai single refference untuk peraturan Lartas. Jadi misalkan ada peraturan yang sudah terbit dari Kementerian/Lembaga tapi belum di-upload di INSW, kita belum akan melaksanakannya,” terang Himawan.

Keterangan Himawan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/2015, dimana setiap peraturan yang diterbitkan Kementerian/Lembaga (K/L) harus terlebih dahulu disampaikan ke Menteri Keuangan dan dianalisa Ditjen Bea dan Cukai, untuk kemudian diunggah di portal INSW sebelum dapat diterapkan. Analisa Ditjen Bea dan Cukai meliputi kesesuaian kode barang dan instrumen Lartas yang digunakan. Hasil analisa dituangkan dalam

HARAPKAN PENINGKATAN LAYANAN INSW

Laporan Kunjungan Daerah Tim PP INSW

44

Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Dirjen Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan.

KPPBC Ngurah Rai sempat mengalami masalah terkait penerapan Lartas. Kejadiannya, ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meminta agar KPPBC mencegah ekspor benih lobster yang melewati Bandara Ngurah Rai, sementara pengaturan pencegahan harus terlebih dahulu diproses sesuai prosedur PMK 224/2015.

Meski mengapresiasi manfaat dari sistem INSW, KPPBC Ngurah Rai mengaku ada sejumlah perbaikan yang harus terus dilakukan agar pemanfaatan sistem INSW berjalan optimal. Untuk beberapa importasi yang masuk kategori flag 1 (membutuhkan keputusan dari analyzing point / AP), keputusan AP seringkali harus dilakukan 2 kali di Portal INSW dan di CEISA. Padahal, saat ini penyampaian PIB di KPPBC Ngurah Rai sudah menggunakan PDE EDI. Artinya keputusan AP

harusnya cukup dilakukan di Portal INSW. Sehingga, setelah AP memberikan keputusan terkait pemenuhan Lartas di Portal INSW, maka permasalahan pemenuhan Lartasnya sudah clear dan tidak perlu lagi dilakukan pemberian keputusan di CEISA. KPPBC menganggap ini persoalan serius yang harus mendapat perhatian, agar dapat disederhanakan dengan menghilangkan duplikasi pengambilan keputusan AP.

Permasalahan lain yang ditemui adalah persoalan pembagian petugas yang memanfaatkan Portal INSW. KPPBC Ngurah Rai saat ini hanya mendapat 1 username dan password Portal INSW, sehingga menimbulkan masalah apabila petugas yang bersangkutan sedang berhalangan. KPPBC Ngurah Rai berharap mendapatkan tambahan username Portal INSW, sehingga dapat dilakukan pengaturan petugas yang dapat menggunakan Portal INSW.

KPPBC minta agar 1 username dapat berfungsi sebagai admin yang dapat mengatur username AP yang bertugas sesuai dengan absensi.

Bagi belaku usaha, pelaksanaan sistem INSW sudah cukup membantu. PT. Alamboga Lestari, perusahaan importer penyediaan produk-produk kebutuhan restoran, misalnya mengaku sistem INSW memberikan kecepatan yang dibutuhkan perusahaannya. Ramainya wisatawan asing yang berkunjung ke Bali membutuhkan pasokan produk berkualitas secara cepat ke berbagai restoran. Kebanyakan bahan baku makanan restoran tidak tersedia di pasar lokal, sehingga harus impor. Dengan adanya sistem INSW, pengajuan impor ke KPPBC dapat diproses secara lebih cepat. (ALI

MANSHUR DAN MAULANA ALI)

pe

rspe

ktif

45PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Balai Karantina Ikan Denpasar termasuk lembaga yang secara aktif memanfaatkan sistem INSW. Balai ini memanfaatkann INSW dengan mengirimkan respon karantina ke Ditjen Bea dan Cukai untuk ekspor-impor komoditas-komoditas perikanan wajib karantina. Maklum, pengurusan karantina yang dilayani di Balai Karantina Denpasar terkait ekspor, banyak menghasilkan komoditas hasil laut yang bernilai tinggi, seperti kerang mutiara.

Jika ditemukan permasalah hukum—setelah komoditas diproses karantina—dengan mudah diselesaikan karena sistem INSW menghubungkan Karantina dengan Bea dan Cukai yang dilakukan secara elektronik. Masalah yang umum terjadi, perilaku eksportir coba menghindar dari ketentuan dengan cara melakukan pelarian HS. Sekadar diketahui, komoditas ekspor harus memenuhi beberapa ketentuan perizinan, bahkan terkena larangan, apabila komoditas tersebut menggunakan kode HS tertentu. Untuk menghindari pengaturan tersebut, eksportir seringkali dengan sengaja menggunakan kode HS yang tidak semestinya. Inilah yang dimaksud dengan pelarian HS.

Sebagai solusinya, diperlukan penguatan koordinasi antara Kementerian/Lembaga terkait. PP-INSW sendiri saat ini tengah mengembangkan Single Risk Management melalui

integrasi dan sharing profile

pelaku usaha dari beberapa Kementerian/Lembaga. Dengan begitu, pengawasan akan lebih kuat dan terintegrasi. Kebijakan ini seharusnya bisa mengurangi risiko terjadinya pelarian HS.

Tantangan lain yang kerap ditemui Balai Karantina Denpasar adalah seringnya eksportir melakukan perubahan identitas untuk menghindari pajak. Upaya PP-INSW dan Ditjen Bea dan Cukai untuk melakukan single registration kepabeanan diyakini akan mempersempit ruang pelanggaran. (ALI MANSHUR

DAN MAULANA ALI)

CEGAH EKSPOR ILEGAL KEKAYAAN LAUT INDONESIA

“ B alai Denpasar fokusnya justru ke ekspor, karena

kita ingin melindungi agar kekayaan laut kita tidak dengan mudah diekspor apalagi secara ilegal dan tidak memberikan kontribusi ke perekonomian daerah sekitar,” kata Kepala Balai Karantina Ikan Denpasar WORO NUR ENDANG SARIATI dalam kesempatan pertemuan dengan Tim dari PP-INSW tanggal 31 Oktober 2017.

4646

Perdagangan internasional merupakan salah satu bentuk hubungan

ekonomi yang dilakukan oleh dua negara atau lebih, bukan saja

urusan dua atau lebih pedagang. Ada peran negara di sana. Negara

harus hadir mengatur perdagangan, menjamin kelancaran arus

dari keluar masuknya barang. Sebagai konsekuensi dari kegiatan

perdagangan antarnegara, transaksi yang terjadi bukan semata

pertukaran komoditi, melainkan beberapa ikutan lainnya. Sebut

saja, teknologi, ilmu pengetahuan, budaya, bahkan manusia sebagai

tenaga kerja. Semuanya memberikan dampak positif atau negatif.

"LARTAS, JANGAN MENYULITKAN..."

T entu menjadi tugas negara untuk melindungi kepentingan

nasionalnya. Caranya adalah mengatur hubungan perdagangan internasional lewat serangkaian kebijakan. Salah satunya dengan memberlakukan pengawasan atas komiditi yang diperdagangkan. Ada sebuah kebijakan tata niaga yang diperlukan untuk mengatur perdagangan agar sesuai dengan kepentingan nasional. Kebijakan itu adalah pengawasan dalam bentuk larangan dan pembatasan (Lartas) atas komoditas.

Penetapan Lartas—sesuai Undang-Undang—dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) yang membidanginya. Ada 18 K/L yang mengeluarkan ketetapan Lartas dengan tujuan melindungi kepentingan nasional. Pengelola Portal Indonesia National Single Window (PP-INSW) sebagai lembaga diamanahi untuk mengelola sistem INSW memungkinkan untuk melakukan pengawasan secara ‘dalam jaringan’ (daring) terkait Lartas. Langkah awal proses Lartas adalah melakukan pengecekan terhadap dokumen perizinan yang dikeluarkan oleh 18 Kementerian/Lembaga.

Bagi pelaku usaha, kebijakan tata niaga, seperti Lartas tentu memberikan dampak bagi perusahaan, dan secara luas terhadap industri dalam negeri. Seperti diakui oleh salah satu

sua

ra m

ere

ka

47PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

47PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

perusahaan penanaman modal asing (PMA) antara pemerintah Spanyol dengan Indonesia, PT. Teka P & T Internasional (PT. Teka). Perusahaan yang bergerak dalam industri pembuatan (perakitan) alat-alat teknik untuk kebutuhan dapur yang diperuntukan bagi konsumen rumah tangga itu mengaku salama ini kegiatan ekspor-impornya selalau menggunakan aplikasi INSW.

Maklum, produsen glass hob

(kompor tanam), free standing

(kompor dengan beberapa tungku), sink, kulkas ini masih mendatangkan hampir seluruh komponen untuk produknya dari luar negeri (Eropa) untuk kemudian dilakukan perakitan di Indonesia. Impor dilakukan karena alas an keamanan pemakai dan demi menjaga kualitas produk agar sesuai dengan standar di dunia (khususnya Eropa). Hingga kini perusahaan masih kesulitan dan belum menemukan komponen lokal dalam negeri yang memiliki kualitas yang sesuai standar Eropa.

Aplikasi paling sering digunakan PT. Teka adalah pengecekan Lartas. Meski diakui sudah hafal ketentuan yang harus dipenuhi, pengecekan tetap harus dilakukan mengingat adanya kemungkinan peraturan Lartas terbaru. Kendala utama yang ditemui justru sistem yang sering down tidak dapat diakses, terutama ketika menggunakan aplikasi yang tiap pekan digunakan (antara Kamis-Jumat). Untuk memudahkan pengusaha, PT. Teka mengusulkan agar PP-INSW

menyediakan kolom PPh dan PPnBM pada aplikasi. Usulan ini muncul karena sebelumnya terjadi pengalaman tidak mengenakkan, sistem ditolak karena alasan kurang bayar PPh.

Seperti telah diakui, PT. Teka selalu memantau aplikasi perkembangan Lartas, tetapi tetap saja menimbulkan kebingungan. Pasalnya, komoditi yang terkena Lartas tidak secara jelas memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi pengusaha. Ketika bertanya kepada industri sejenis lainnya, jawaban yang didapat justru mengatakan komoditi yang dimaksud tidak terkena kebijakan Lartas. Sementara, jika dilihat dari kode HS, maka akan terkena Lartas PI besi baja, misalnya. Kode HS 73.21 adalah untuk kompor tapi kalau kode HS untuk komponen kompor ada di 7321.19.90 masuk ke lain-lain. Akhirnya muncul kebingunan: akan dilarikan ke mana tidak bisa, karena seluruhnya sudah terkena Lartas untuk besi.

Pada pelaksanaannya di lapangan, pengurusan dokumen untuk memenuhi persyaratan Lartas, masih menemui beberapa kesulitan. Pertama, mengurus

rekomendasi di Kementerian Perindustrian mengenai kuantitas, produksinya apa saja. Setelah keluar rekomendasi, kemudian mengurus surat Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan. Pengurusan di kedua kementerian itu diakui masih sulit dan membutuhkan waktu yang lama, tidak ada kepastian terhadap janji layanan.

Sekitar Februari 2017 silam, banyak produsen “berteriak” karena ada kebijakan pemberlakuan Lartas baru. Pasalnya, semua besi baja terkena Lartas, tanpa pengecualian. Dampaknya, kegiatan produksi terhambat, berujung kenaikan harga.

PT. Teka nampaknya “bersuara” sendiri. Produsen mengaku belum tergabung dalam asosiasi produsen kompor yang ada karena alasan belum memproduksi kompor secara penuh. Sejauh ini PT. Teka baru pengenalan pasar, belum sepenuhnya merambah pasar lokal. Alasan lainnya karena produsen ini belum mengetahui secara persis sikap asosiasi produsen kompor atas kebijakan Lartas yang memberatkan ini. PT. Teka hanya berharap pemerintah dapat meninjau ulang kebijakannya memberlakukan Lartas besi baja. (BUDIYANTI)

4848

K emudahan berusaha di suatu negara dapat diketahui dengan

melilat ranking Ease of Doing Business (EODB) negara tersebut. EODB merupakan laporan yang disusun untuk mengukur tingkat reformasi regulasi yang dilakukan oleh suatu Negara yang berdampak pada peningkatan kemudahan berusaha. Laporan yang diterbitkan oleh Bank Dunia tersebut pertama kali diluncurkan pada tahun 2003 yang mencakup 133 Negara dengan 5 indikator yang disurvei. Saat ini, laporan EODB telah mencakup 190 negara dengan 10 indikator yaitu: starting a business, dealing with construction permits, registering property, getting electricity, paying taxed, getting credit, protecting minority investors, trading across border, enforcing contracts, dan resolving insolvency. Survei EODB dilakukan secara sampling terhadap pelaku usaha di kota-kota besar di seluruh dunia. Untuk Indonesia, dipilih Jakarta dan Surabaya.

Dalam laporan EODB 2018 yang dirilis oleh Bank Dunia pada November 2017, Indonesia mengalami lonjakan perbaikan yang signifikan sebanyak 13 peringkat dari sebelumnya peringkat ke-91 menjadi peringkat ke-72. Meskipun pencapaian ini sangat menggembirakan, Pemerintah masih harus terus bekerja keras untuk mencapai target peringkat 40 besar dunia. Presiden JOKO WIDODO pada suatu kesempatan kunjungan kerja menyampaikan “Target kemudahan berusaha pada tahun 2019 harus ke level 40 besar dunia. Artinya harus ada

pembenahan total, reform total. Semuanya harus semakin baik”.

Salah satu dari 10 indikator EODB yang disurvey yaitu Trading Across Borders (TAB) merupakan indikantor yang memberikan sumbangan terhadap lonjakan peringkat Indonesia. Bank Dunia mencatat terjadi peningkatan Distance to Frontier (DTF) untuk indikator TAB dari sebelumnya 65,87 menjadi 66,59. DTF menunjukkan rentang jarak pencapaian setiap negara terhadap frontier (batas) pencapaian terbaik dari seluruh negara sejak tahun 2005. Untuk indikator TAB, survey EODB dilakukan terhadap kegiatan ekspor dan impor di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Perak Surabaya. Berdasarkan laporan EODB 2018, Bank Dunia mencatat waktu rata-rata yang diperlukan untuk proses documentary compliance ekspor di Pelabuhan Tanjung Priok 60 jam dengan biaya sebesar USD 130, sedangkan untuk impor proses documentary compliance membutuhkan waktu 119 jam dengan biaya USD 160. Sementara itu, di Pelabuhan Tanjung Perak, proses documentary compliance untuk ekspor membutuhkan waktu 66 jam dan biaya USD 170, sedangkan untuk impor waktu documentary compliance yang dibutuhkan adalah 120 jam dengan biaya USD 180. Sebagai catatan, Bank dunia membagi pengukuran TAB untuk ekspor/impor menjadi 2 bagian, yaitu border compliance dan documentary compliance. Border

Ali Manshur

Kepala Subdivisi Kerjasama Luar Negeri

compliance menggambarkan proses penanganan kargo di pelabuhan, sedangkan documentary compliance mengukur waktu dan biaya pengurusan perijinan ekspor/impor.

Meskipun angka-angka waktu dan biaya documentary compliance tersebut dapat diperdebatkan karena merupakan hasil survei yang sifatnya subyektif, namun angka-angka tersebut mengindikasikan perlunya kebijakan untuk menyederhanakan proses perijinan ekspor/impor, yang dapat diawali dengan penyederhanaan ketentuan Lartas. Sejalan dengan kebutuhan untuk meningkatkan peringkat EODB Indonesia tersebut, pemerintah saat ini sedang melakukan analisa menyeluruh terhadap ketentuan Lartas yang salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah pos tariff komoditas yang terkena Lartas dari 49% menjadi 19%. Selain pengurangan komoditas yang terkena Lartas, Pemerintah juga sedang memformulasikan kebijakan pergeseran Lartas dari border ke post-border dan memperluas cakupan pelayanan sistem INSW. Dengan ketiga kebijakan yang sedang dipersiapkan dan dibangun oleh Pemerintah dimana PP-INSW turut berperan besar, maka diharapkan akan mempercepat proses dan mengurangi biaya kegiatan ekspor/impor di border sehingga mendukung pencapaian target peringkat EODB Indonesia yang dicanangkan Presiden. n

EODB, LARTAS DAN INSW

sua

ra m

ere

ka

49PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KULIAH UMUM PP INSW DI UNS SOLO

ANTUSIASME MAHASISWA SBM ITB MENGIKUTI PERKULIAHAN PP INSWBandung, INSWmagz─ Mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen Program Studi Manajemen Institut Teknik Bandung (ITB) tertarik mengelaborasi sistem INSW. Melalui perkuliahan resmi yang diikuti sekitar 40 mahasiswa, Deputi Hubungan Antar Lembaga PP INSW Harmen Sembiring dan Kadiv Kerjasama Luar Negeri PP INSW Ali Manshur memberi materi perkuliahan tentang sistem INSW.

“ M ahasiswa ingin mengetahui konsep dan teori National Single

Window yang diterapkan Indonesia dan kaitannya dengan sistem yang sama di sejumlah negara,” kata Harmen,

Surakarta, INSWmagz─ Pengelola Portal Indonesia National Single Window (PP-INSW) secara konsisten melakukan sosialisasi kepada publik tentang peran dan fungsi INSW. Kali ini, PP-INSW ambil bagian dalam Kuliah Kerja Lapangan yang diselenggarakan Program Pascasarjana Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan (MESP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Univestitas Sebelas Maret (UNS)

P ada acara yang digelar di Jakarta, 10-11 Oktober 2017 itu, PP-INSW mengisi diskusi dengan mengangkat tema “Peran

INSW dan hubungan antar lembaga, komunikasi, dan penyiapan rekomendasi peraturan terkait pengelolaan portal single window dalam penanganan dokumen kepabean, penzam, logistic, dan kebendarudaraan”.

Selain PP-INSW, acara diskusi lainnya menghadirkan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tema “Sustainable Finance”. Selain itu, The World Bank, mengangkat tema “Efektifitas Dana Desa: Terobosan Desentralisasi Fiskal dalam Mengurangi Kesenjangan Pendapatan di Indonesia. Sedangkan, Global Green Growth Institute (GGGI), berdikusi dengan topik “Green Growth Indonesia”. (ALI MANSHUR)

awal November 2017 usai memberikan perkuliahan di ITB.

Perkuliahan berlangsung cukup lama sejak dimulai pukul 13.00 WIB dan berakhir 15.30 WIB. Mahasiswa terlihat sangat antusias mengikuti pembelajaran. Banyak informasi baru yang belum pernah didengar mahasiswa sebelumnya. Banyak pula inspirasi yang muncul dalma perkuliahan ini. Mahasiswa

ITB bisa mempelajari INSW secara lebih mendalam di kemudian hari.

“Salah satu tugas yang sempat diberikan berupa pelatihan pemanfaatan Indonesia National Trade Repository (INTR) untuk mencari kode HS dan perizinan beberapa produk ekspor impor di Indonesia,” ungkap Harmen.

Kegiatan dosen tamu yang digagas oleh pihak SBM-ITB ini merupakan upaya komitmen pihak kampus untuk mencapai sistem pembelajaran yang excellent bagi para mahasiwa. Ke depan, generasi muda Indonesia ini sudah memiliki pengetahuan yang mumpuni mengenai sistem perizinan ekspor impor secara elektronik guna menjadi pelaku usaha ekspor impor yang handal dan kredibel. (ALI MANSHUR)

50

INTEGRASI DATA BP BATAM Batam, INSWmagz─ Integrasi data merupakan isu penting dalam pengelolaan Indonesia National Single Window (INSW). Berkaitan dengan update kode HS, Larangan dan Pembatasan (Lartas), Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam dan PP-INSW bersama perwakilan KPU Bea dan Cukai tipe B Batam membahas integrasi data serta rekomendasi perizinan ekspor dan impor.

S eperti disampaikan Direktur Lalu Lintas Barang BP Batam,

Tri Novianta Putra, ada sejumlah kesepakatan yang dicapai dari hasil diskusi tersebut. Pertama, dalam rangka peningkatan pengawasan dan keakuratan perizinan yang diterbitkan oleh BP Batam, diperlukan integrasi data dengan PP-INSW yang mencakup daftar kode HS, data Lartas dan data rekomendasi yang diterbitkan oleh Kementerian/Lembaga.

Kedua, integrasi data dengan PP-INSW sangat diperlukan dalam upaya mencegah terjadinya pemalsuan dokumen melalui validasi data dan informasi dari INSW. Disampaikan bahwa jumlah dokumen perizinan yang diterbitkan setiap hari sekitar 130-150 dokumen yang meliputi 46 jenis perizinan.

Dari sisi PP-INSW, Perwakilan Deputi Bidang Pengembangan dan Operasional Sistem PP-INSW menyebut, tidak ada kendala teknis untuk proses integrasi data. Terkait update data Lartas

dan data HS, PP-INSW bahkan menyediakan update data yang dibuthkan ke sistem BP Batam setiap ada data Lartas dan data HS yang diperbarui. Sedangkan untuk data rekomendasi yang diterbitkan oleh K/L, BP Batam dapat menarik data dari PP INSW.

Sedangkan, Perwakilan KPU Bea dan Cukai tipe B Batam berharap data penerbitan izin dari BP Batam dapat diintegrasikan ke sistem Bea dan Cukai Batam sehingga dapat meningkatkan pengawasan dan pelayanan pabean khususnya di pelabuhan Batam. Pertemuan itu juga menyepakati, proses teknis dan legal formal integrasi data akan dilaksanakan secara pararel. Namun, proses legal formal perlu didukung dengan adanya detail elemen data yang akan diintegrasikan.

Sekretaris PP-INSW, KUKUH S. BASUKI, sebagai pemimpin diskusi

yang diselenggarakan 4 Mei 2017 menyampaikan beberapa tahapan

proses integrasi. Yakni, laporan rapat awal identifikasi kebutuhan teknis selesai pada minggu pertama Agustus 2017. Kemudian, laporan teknis integrasi data selesai pada minggu terakhir bulan Agustus 2017. Untuk uji coba integrasi data dilaksanakan minggu kedua bulan Oktober 2017. “Integrasi data dimulai pada 10 November 2017,” tegas Kukuh.

Dalam diskusi yang dibuka oleh Direktur Lalu Lintas Barang BP Batam Tri Novianta Putra, Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga PP-INSW, Harmen Sembiring, memaparkan peran INSW dalam simplifikasi ekspor dan impor, pemaparan proses bisnis dan sistem perizinan di BP Batam, penyampaian tujuan dan target integrasi data, penyiapan legal formal, dan tahapan pelaksanaan integrasi data.

Sebagai tindaklanjutnya, Deputi Bidang Pengembangan dan Operasional Sistem PP-INSW akan segera melakukan koordinasi teknis dengan BP Batam terkait elemen data yang diperlukan, dan konsinyering integrasi data. Sedangkan rapat finalisasi draft MoU integrasi data antara PP-INSW dengan BP Batam rencananya dilaksanakan setelah laporan teknis integrasi data selesai.(DAMAR WIJAYANTO)

@ th

e m

om

en

t

51PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, INSWmagz─ Pengelola Portal Indonesia National Single Window (INSW) memberikan pelatihan penggunaan modul Single Submission (SSM) kepada pelaku usaha. Pelatihan implementasi SSM yang dilaksanakan 28 Agustus 2017 itu sekaligus sebagai forum sosialisasi untuk memberikan pemahaman terhadap SSM dan SSI yang sedang dikembangkan oleh PP INSW.

akses modul SSM kepada PPJK, maka konsekwensi pemberian hak akses menjadi tanggung jawab masing-masing perusahaan.

Kedua, persyaratan untuk memperoleh perizinan dan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) di modul SSM pada prinsipnya sama seperti persyaratan pada saat pelaku usaha mengajukan permohonan ke K/L, perbedaannya hanya terletak pada interface pada saat awal pengajuan yaitu menggunakan modul SSM dan tidak mengunakan modul dari sistem yang ada di K/L.

Ketiga, setiap kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh K/L, akan disosialisasikan oleh K/L terkait, baik dengan mengundang langsung pelaku usaha ataupun dengan menggunakan sarana media seperti pada web site, e-mail, berita media massa & elektronik.

Menanggapi hasil diskusi itu, PP INSW akan mengevaluasi sistem SSM secara berkisinambungan dan akan terus dilakukan pengembangan sehingga dapat mencakup perizinan/rekomendasi ekspor dan impor di 15 K/L. Sebagai tindak lanjut, implementasi SSM akan dimonitoring dan dievaluasi oleh Deputi Bidang Proses Bisnis,

PP-INSW dan Deputi Bidang Pengembangan dan Operasional Sistem, PP-INSW. Sedangkan Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga, PP INSW akan mengagendakan rapat dengan Kementerian Perdagangan dalam rangka untuk mengikutsertakan Kementerian Perdagangan kedalam sistem SSM.

Hasil pertemuan juga disepakati agar perlunya dibentuk tim help desk yang siap sedia 24 jam/ 7 hari, dalam rangka membantu pelaku usaha menggunakan modul SSM sehingga pelaku usaha dapat nyaman dan tertarik menggunakan modul SSM tersebut.

Deputi Bidang Proses Bisnis PP INSW, HARI S. N., pada kesempatan itu juga memaparkan tentang maksud dan tujuan SSM, pengembangan SSM, persiapan implementasi, perubahan prosedur pelayanan perizinan, dan tindaklanjut persiapan SSM di K/L.

Acara diikuti secara aktif dari perwakilan Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu, Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor Kemendag, Badan Karantina Ikan dan Pengendaluan Mutu (BKIPM), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Karantina Pertanian Kementan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. (DAMAR WIJAYANTO)

BIMBINGAN TEKNIS SSM UNTUK PELAKU USAHA

S osialisasi dan Bimbingan Teknis yang dibuka oleh Kepala PP-INSW

Djadmiko, menghasilkan sejumlah kesimpulan bersama. Pada tahap awal, pengunaan modul SSM disepakati bahwa perizinan hanya untuk impor dan bersifat transaksional. Persyaratan perizinan tanpa memerlukan rekomendasi dari K/L lain. Permohonan perizinan hanya untuk barang dengan Lartas flag 0 (nol), namun jika terdapat Lartas flag 1 maka akan tetap diperiksa oleh petugas Analyzing Point (AP). Serta, Pengajuan permohonan perizinan hanya terbatas untuk pelabuhan tertentu, sesuai kesepakatan masing-masing K/L.

Dari hasil diskusi pihak perwakilan Unit Pelayanan Teknis (UPT) dan perwakilan K/L di daerah, mengharapkan agar pemanfaatan modul SSM secara bertahap dikembangkan tidak hanya untuk impor dan hanya di empat K/L, namun juga diperuntukkan untuk ekspor dan mencakup seluruh K/L penerbit izin/rekomendasi. Selain itu, setiap UPT dan perwakilan K/L di daerah meminta agar memperoleh hak akses SSM sehingga dapat memantau realisasi izin/rekomendasi yang telah diterbitkan.

Sedangkan, hasil diskusi dengan pelaku usaha disepakati sejumlah hal. Pertama, Akses modul SSM untuk saat ini hanya diberikan kepada pelaku usaha, bila pelaku usaha memberikan

52

A da tiga hal penting yang disampaikan Djadmiko.

Pertama, untuk barang yang dikategorikan high risk, pengawasan tetap dapat dilakukan di border, sedangkan untuk pengawasan di post border, PP INSW akan menyampaikan data PIB kepada K/L terkait dan Ditjen Bea dan Cukai akan menyampaikan red notice jika suatu barang dianggap tidak memenuhi ketentuan Lartas. Kedua, kebijakan pengawasan Lartas dari border ke Post Border tidak mengurangi otoritas K/L dalam melakukan pengawasan dan tetap dapat melakukan pemeriksaan walaupun Lartas beririsan dengan K/L lain, misalnya dengan Kementerian Perindustrian. Ketiga, untuk meningkatkan akurasi pengawasan, PP INSW akan menyediakan notifikasi berupa E reporting dan Secure File Transfer Protocol (SFTP) yang dapat diunduh oleh Ditjen PKTN.

diharapkan dapat langsung diterima oleh Ditjen PKTN tanpa melalui sistem Inatrade. Sehingga, pengawasan dan penindakan terhadap potensi pelanggaran Lartas dapat dilakukan secara real time tanpa ada jeda waktu.

Dalam kesempatan itu, muncul sejumlah usulan. Seperti:

1. Mengusulkan agar Ditjen PKTN dapat memberikan notifikasi balik kepada Ditjen Bea dan Cukai untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat pada kegiatan impor berikutnya bagi pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran;

2. Saat ini Ditjen PKTN dan Ditjen Daglu telah membentuk tim persiapan pengawasan di post border, namun demikian implementasi pelaksanaannya masih menunggu penugasan resmi dari Menteri Perdagangan. (DAMAR WIJAYANTO)

Jakarta, INSWmagz─ Kepala Pengelola Portal (PP-INSW) Djadmiko dan Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan SYAHRUL MAMMA melakukan pertemuan membahas isu-isu strategis dan program PP-INSW. Pada rapat yang dilakukan 14 November 2017 itu, DJADMIKO menjelaskan penyederhanaan tata niaga ekspor dan impor melalui pergeseran pengawasan Lartas dari border ke post border.

SINERGI PENYEDERHANAAN TATA NIAGA EKSPOR-IMPOR

Pada kesempatan itu, Djadmiko berharap dukungan dari Ditjen PKTN. Di antaranya, implementasi SSM yang telah dimulai sejak tanggal 28 Agustus 2017. Selain itu program lainnya seperti ISRM, INTR dan Data Realisasi perlu pula mendapat dukungan Ditjen PKTN.

Menghadapi hal ini, Syahrul mengatakan, persiapan pengawasan di post border, pihaknya akan berkoordinasi dengan K/L terkait. Pasalnya saat ini telah ada MoU dengan K/L untuk pengawasan barang-barang yang beredar di pasar. Selain itu, Syahrul mengakui, masih perlu memformulasikan mekanisme pengawasan di post border, sanksi kepada pelaku usaha dan persyaratan tambahan, seperti kepemilikan gudang.

Syahrul juga mengatakan, notifikasi dari PP-INSW

SYAHRUL MAMMA DJADMIKO

@ th

e m

om

en

t

53PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

INTERNALISASI BUDAYA KERJA PP-INSW

MESKIPUN BEBERAPA PROSEDUR MASIH MANUAL, LIVE OPERATION ASW TETAP SESUAI JADWALJakarta, INSWmagz─ Pertemuan The Working Group on Technical Matters for ASEAN Single Window (TWG-ASW) ke-41 menegaskan komitmen untuk memulai Live Operation ASW pada 1 Januari 2018 yang sebelumnya telah disepakati pada pertemuan ASW Steering Committee (ASWSC) ke-19. Pertemuan yang diadakan di Hanoi Grand Plaza Hotel, Vietnam pada tanggal 17-20 Oktober 2017 tersebut dipimpin oleh Dr. Ramlah Mukhtar dengan dihadiri oleh 8 negara anggota ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Myanmar. Selain itu, ASEAN Secretariat (ASEC) dan USAID-ACTI juga turut hadir dalam pertemuan tersebut.

L ive Operation ASW yang ditandai dengan penerapan penggunaan e-form D untuk pemberian bea

masuk preferensi merupakan capaian penting untuk mempermudah pertukaran data antar negara anggota ASEAN dengan menggunakan sistem elektronik. Hal ini sesuai dengan tujuan pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) yaitu untuk mempercepat arus perdagangan antar negara di kawasan ASEAN.

Dari 10 negara anggota ASEAN, Indonesia bersama Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam menyatakan siap untuk memulai Live Operation ASW pada 1 Januari 2018. Namun demikian prosedur retroactive check, cancellation, dan replacement masih akan menggunakan cara manual dikarenakan sistem di negara ASEAN belum juga siap. Hal ini juga disampaikan oleh delegasi Indonesia saat mempresentasikan aplikasi yang telah disiapkan untuk melakukan proses cancellation dan retroactive check. Delegasi Indonesia mengatakan bahwa saat ini belum bisa melaksanakan testing aplikasi karena belum ada negara anggota ASEAN lainnya yang siap.

Pembahasan mengenai prosedur retroactive check, cancellation, dan replacement akan dibahas lebih lanjut dengan tidak mengganggu Live Operation ASW pada 1 Januari 2018. Pembahasan lanjutan tersebut bertujuan agar prosedur-prosedur di atas dapat dilakukan melalui sistem sehingga tidak lagi dengan cara manual. (ALI MANSHUR DAN VALENTINE DUNAM)

Jakarta, INSWmagz─ Dalam rangka pengenalan budaya kerja dan meningkatkan rasa kebersamaan di antara pegawai Pengelola Portal Indonesia National Single Window (PP-INSW), khususnya untuk para pegawai baru hasil seleksi pemenuhan kebutuhan pegawai PP-INSW sesuai surat Pengumuman Nomor: PENG-03/PSPPINSW/2017 Tanggal 7 September 2017 dan Nomor: PENG-03/PANSEL/PPINSW/2017 Tanggal 6 Oktober 2017, diadakan kegiatan Program Internalisasi Budaya PP INSW.

P elaksanaan kegiatan berlangsung dari 13 November 2017 hingga 17 November 2017, bertempat di Pusat

Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Bea dan Cukai, Jakarta. Program Internalisasi Budaya PP-INSW dimaksudkan agar para pegawai baru PP-INSW bisa mengenal dan langsung membaur dengan budaya kerja yang telah ada di Kementerian Keuangan dimana PP-INSW bernaung.

Selama kegiatan Program Internalisasi Budaya PP INSW berlangsung, para pegawai baru dididik dan digembleng tentang disiplin dan etika kerja dengan bantuan para pelatih/Pembina yang ada di Pusdiklat Bea dan Cukai. Selain itu juga setiap harinya ada pembekalan dari para Pejabat dan Pegawai PP INSW mengenai Sejarah, Program Kerja, Visi dan Misi, dan Tugas dan Fungsi PP INSW. Mulai dari Kedeputian III Bidang Hubungan Antar Lembaga, Kedeputian I Bidang Proses Bisnis, Kedeputian II Bidang Pengembangan dan Operasional Sistem, dan ditutup oleh Sekretariat PP INSW. (MAULANA ALI)

54

KESEPAKATAN MEMBANGUN SISTEM INFORMASI HANDALJakarta, INSWmagz─ Untuk membangun suatu sistem informasi yang akuntabel, handal, dan transparan untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi, empat pejabat dari instansi berbeda melakukan Nota Kesepahaman. Nota bersama ditandatangani Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga, PP INSW, Dirjen Minyak dan Gas Bumi, Dirjen Bea dan Cukai serta Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi untuk melingkupi kerja sama dalam pengembangan integrasi sistem informasi dalam rangka pemberian fasilitas fiskal atas impor barang operasi keperluan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

K esepakatan yang diteken pada 16 November 2017 bertempat di

Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai itu dalam rangka pemberian rekomendasi Rencana Kebutuhan Barang Impor (RKBI), penandasahan Rencana Impor Barang (RIB), dan penerbitan surat keputusan pembebasan Bea Masuk (BM) dan tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) atas impor barang operasi keperluan Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S)

Kerjasama ini adalah selaras dengan tugas PP-INSW yang diamanatkan pada Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2014 tentang Pengelola Portal Indonesia Single Window, yaitu menyelenggarakan penyampaian data dan informasi secara tunggal (single submission of data and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron (single and synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara

ASEAN SEPAKAT LIVE OPERATION ASW DIMULAI 1 JANUARI 2018

tunggal untuk penyelesaian kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision making for custom release and clearance of cargoes).

Melalui kerjasama ini, PP-INSW berharap dapat terus dikembangkan sehingga sistem informasi yang dibangun dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi kepada para kontraktor kerjasama untuk kegiatan hulu migas dan gas bumi serta menarik investor Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S) beroperasi di Indonesia. [DAMAR W.]

Laos, INSWmagz─ Empat Negara anggota ASEAN yakni Indonesia, Malaysia, Singapura dan Vietnam menyatakan telah siap untuk memulai Live Operation ASEAN Single Window (ASW) pada 1 Januari 2018 mendatang. Komitmen ini ditegaskan oleh para delegasi dari keempat negara tersebut dalam Pertemuan ASEAN Single Window Steering Committee (ASWSC) yang berlangsung dari tanggal 26-27 September 2017 di Vientiane, Laos. Pertemuan ASWSC ke-19 ini dihadiri oleh para delegasi dari 10 Negara ASEAN, ASEAN Secretariat (ASEC) dan juga USAID-ACTI. Angelica Sarmiento, Director IV Department of Finance of the Philippines didapuk sebagai Pemimpin pertemuan yang berlokasi di Crowne Plaza Hotel, Vientiane, Laos.

@ th

e m

om

en

t

55PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NEPAL TERINSPIRASI SISTEM INSWJakarta, INSWmagz─ Nepal, satu dari negeri dari Benua Afrika, terinspirasi sistem yang dibangun Indonesia National Single Window (INSW). Sebuah sistem elektronik yang memungkinkan data dan dokumen sampai secara mudah, cepat dan akurat yang mensinkronisasi tak kurang dari 22 Kementerian/Lembaga pemerintah. Inspirasi INSW ini akan menjadi bagian penting rencana penerapan sistem ekspor impor yang akan dibangun di Nepal.

L ive operation ASW akan diikuti oleh 5 Negara, Indonesia,

Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam. Pada pertemuan ASWSC ke-19, Thailand sempat menyatakan mundur dari live operation 1 Januari 2018 karena masih membutuhkan waktu untuk penyesuaian legal dan teknis. Namun demikian, pada pertemuan Sub Committee on the Agreement of Rules of Origin (SCAROO) ke-25 tanggal 21-24 November 2017 di Nay Pyi Taw Myanmar, Thailand menyatakan kembali pada komitmen awal untuk ikut live operation ASW pada 1 Januari 2018.

Sementara itu, dalam pertemuan ASWSC ini pihak pemerintah Brunei Darussalam turut pula memberikan update bahwa mereka telah sukses melakukan testing pertukaran e-Form D dengan 4 negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Sedangkan testing dengan Singapura masih mengalami kendala teknis yang masih perlu diselesaikan.

Live Operation ASW ini memang menjadi sebuah momentum yang telah lama dinantikan oleh para pelaku usaha di kawasan ASEAN. Live Operation ASW sendiri mengacu pada proses penggunaan SKA Form D elektronik (e-Form D) untuk pemberian bea masuk preferensi. Hadirnya terobosan ASW ini tentu saja akan sangat menguntungkan pebisnis ekspor-impor sebab akan mampu menekan biaya operasional dan memangkas waktu dalam proses pengerjaan dokumen. (ALI MANSHUR DAN

ROTUA NURAINI TAMPUBOLON)

S ebanyak 9 orang delegasi Pemerintah Nepal datang menyambangi kantor PP INSW yang berlokasi di Gedung Sarana

Jaya 3, Jakarta Pusat. Kunjungan yang berlangsung pada Rabu, (25/10) membahas pengembangan dan operasional sistem dari Indonesia National Single Window (INSW). Diskusi berlangsung dengan cukup atraktif. Secara bergantian, para Deputi INSW memberikan penjelasan setiap pertanyaan yang diajukan oleh delegasi Pemerintah Nepal.

“Sistem Single Window yang sudah diterapkan di Indonesia cukup meng-encourage dan sangat menginspirasi kami untuk dapat dikenalkan serta diterapkan di Nepal. Technical system memang menjadi highlight utama kami dalam kunjungan ini,” ungkap Sishir Kumar Dhungana, Ketua Delegasi Pemerintah Nepal.

Pria yang menjabat sebagai The Revenue Secretary Kementerian Keuangan Nepal ini cukup optimis ketika mengetahui bahwa sistem INSW sudah diimplementasikan sejak tahun 2007 silam.

Hal lain yang dianggap cukup meng-influence delegasi Pemerintah Nepal adalah ketika PP-INSW sudah mampu menerapkan sistem mandatory terhadap 22 Kementerian/ Lembaga di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Nepal. Kisah sukses dari Indonesia ini nantinya akan disampaikan oleh delegasi Pemerintah Nepal kepada para pemangku kepentingan di Nepal.

Selain berdiskusi mengenai sistem INSW, para delegasi dari Pemerintah Nepal juga disuguhi presentasi singkat mengenai INATRADE dari Kementerian Perdagangan. Paparan ini diharapkan akan mampu menambah insight para delegasi Pemerintah Nepal dalam hal pengurusan izin ekspor impor secara elektronik di tanah airnya. Pihak Pemerintah Nepal berharap akan segera merealisasikan sistem single window ini di negaranya.

Selepas dari Indonesia, rencananya Pemerintah Nepal akan langsung melanjutnya study visit untuk belajar mengenai sistem single window dan masalah kepabeanan lainnya di Australia dan New Zealand. (ALI MANSHUR & ROTUA N. TAMPUBOLON)

56

INSW GARDA DEPAN TRADE CONTROL Jakarta, INSWmagz─ PP INSW

diminta menjadi garda depan dalam pelaksanaan trade control, baik border maupun post border. Penegasan ini disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Tata Niaga dan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam Focus Group Discussion (11/10/2017) di Hotel Harris Vertu.

impor, logistik dan sistem TIK yang dilaksanakan melalui sistem INSW.

a. FGD mengharapkan agar PP INSW mampu membangun INSW Generasi ke-2 yang handal dalam mewujudkan proses perizinan ekspor impor yang efektif dan efisien, sehingga terjadi percepatan arus barang dan dokumen perdagangan internasional yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing ekonomi nasional.

b. Untuk itu, semua stakeholders harus berpartisipasi aktif bersinergi dalam membangun INSW Generasi ke-2.

c. Dalam menyambut INSW Generasi ke-2, maka diharapkan semua K/L mempersiapkan:

• Legal framework proses bisnis masing-masing K/L;

• Menyiapkan SDM yang kompeten; dan

• Infrastruktur penunjang lainnya.

Dalam upaya memperoleh pemahaman bersama dan peningkatan dukungan K/L terkait rencana pembangunan INSW Generasi II maka perlu disampaikan hasil FGD dimaksud kepada pimpinan K/L terkait. Berkenaan dengan hal tersebut, bersama ini dengan hormat kami sampaikan konsep surat Bapak kepada pimpinan K/L peserta FGD.

Kepala PP INSW Djatmiko dalam sambutan pembukaannya menyampaikan pembangunan dan pengembangan INSW Generasi ke-2 diperlukan penyesuaian dan pengembangan. Hal ini disebabkan, tugas yang melibatkan peran INSW semakin kompleks seiring dengan adanya beberapa Paket Kebijakan Ekonomi yang diluncurkan oleh pemerintah. “Oleh sebab itu, sistem yang akan dibangun tentunya memerlukan pandangan, saran, harapan dan koreksi sehingga akan bermanfaat bagi kepentingan dan kebutuhan K/L dan seluruh pihak yang terkait,” ujarnya. (DAMAR WIJAYANTO)

“ I NSW harus menjadi garda terdepan pelaksanaan trade

control, baik border maupun post-border, sehingga dapat meningkatkan daya saing ekonomi nasional, optimalisasi penerimaan negara, dan melakukan pengawasan kegiatan ekspor-impor. Untuk itu, tiap-tiap K/L diharapkan dapat memperjelas kebutuhan fitur layanan dalam INSW, serta menyiapkan sistem IT yang terintegrasi dan melakukan penyesuaian proses bisnis ekspor impor untuk INSW Generasi ke-2,”tegasnya.

Kegiatan bertajuk “Harmonisasi Proses Bisnis Layanan Ekspor Impor Dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing Perekonomian Nasional melalui Pengembangan INSW Generasi Kedua” ini bertujuan memperkuat sinergi antarkementerian dan lembaga. Acara FGD dibuka dan dipimpin oleh Kepala PP INSW Djatmiko dan dihadiri pimpinan dan staf dari 19 Kementerian/Lembaga (K/L).

Sejumlah narasumber hadir memberikan pandangannya seperti Sekretaris PP INSW, pejabat Deputi Bidang Proses Bisnis, PP INSW, pejabat Deputi bidang Pengembangan Operasional Sistem, PP INSW, Brainmatics dengan Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga.

Acara ini dibagi dalam 2 sesi, yaitu sesi pertama membahas perkembangan kemajuan penerapan INSW saat ini (INSW Generasi ke-1) dan kendala yang dihadapi. Sesi kedua membahas sinkronisasi dan harmonisasi perumusan kebijakan di proses bisnis perizinan ekspor

@ th

e m

om

en

t

57PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

MUNGKIN BANYAK YANG BERTANYA, APA HUBUNGAN

OJEK DAN INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW

(INSW). SECARA KELAKAR MUNGKIN HUBUNGANNYA

BAIK-BAIK SAJA HEHE. TIDAK SALING MENEGASKAN

APALAGI BERTENGKAR. BAIKLAH, SAYA AKAN

PAPARKAN CERITA MASA LALU BAGAIMANA OJEK

MEMILIKI “HUBUNGAN” SANGAT ERAT DENGAN

INSW TERUTAMA SECARA FUNGSIONAL.

O JEK menurut Wikipedia adalah transportasi umum tidak resmi di Indonesia berupa sepeda motor atau sepeda ontel. Penumpang ojek duduk

di jok belakang dan pengemudi duduk di jok depan. Tahun 1971, ketika saya baru menginjakkan kaki di Ibu Kota, ojek sepeda ontel sudah beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok. Pada saat itu seingat saya, ojek bebas beroperasi di sana dan tarifnya ditetapkan berdasar hasil kesepakatan bersama antara pengojek dengan penumpang. Ojek yang berkembang saat itu berupa sepeda ontel. Di kampung saya di Brastagi, sepeda ontel ini sering disebut “kereta angin”. Saat ini sepeda ontel ditinggalkan dan berganti motor atau kata orang Medan disebut “kereta.”

ojek & insw

Pada tahun 70-an, pelanggan ojek dengan mudah dapat membedakan antara sepeda ojek dengan sepeda non ojek yaitu ditandai dari tempat duduk boncengan sepeda. Boncengan sepeda ojek selalu ditambah dengan bahan busa empuk agar penumpang lebih nyaman duduk di boncengan.

Kondisi Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun itu cukup semrawut. Seingat saya, kantor-kantor perusahaan pelayaran, perusahaan perdagangan, Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), pergudangan, kantor pemerintahan yang terkait pengangkutan dan muatan kapal laut banyak berlokasi di pelabuhan atau di sekitarnya. Dapat dibayangkan bagaimana hiruk pikuk lalu lintas angkutan dan orang di Tanjung Priuk. Jika tidak salah angkutan umum opelet dan pedagang asongan, penjual makanan dan minuman “bebas” masuk ke pelabuhan.

Kondisi pelayanan pemerintah terhadap perizinan barang di pelabuhan pada masa itu dilakukan secara manual dan diatur secara ketat. Hampir semua pergerakan barang perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri harus mendapat izin dari pejabat berwenang. Perizinan

"INSW bukan ojek. Ojek juga bukan INSW. Tetapi keduanya memiliki kemiripan

fungsi dalam menciptakan solusi."

58

harus mendapatkan paraf dari staf baru kemduain ditandatangani oleh pejabat. Belum lagi bila perizinan membutuhkan rekomendasi dari instansi lain yang berbeda sehingga dokumen harus dibawa ke berbagai tempat untuk diparaf atau mendatangi berbagai instansi untuk mendapat rekomendasi.

Intinya untuk mendapat izin, petugas perusahaan harus mondar mandir dari satu kantor ke kantor lain di wilayah pelabuhan. Karena perlu cepat padahal kondisi infrastruktur dan transportasi yang belum sepenuhnya mendukung maka terjadi kemacetan dan kesemerautan di jalan raya. Karena itu diperlukan alat transportasi yang lincah, yang dapat mengatasi kesulitan dan kesemrawutan tersebut yaitu sepeda atau dikenal juga ojek

sepeda. Sejak saat itu, ojek menjadi solusi mengatasi keruwetan lalu lintas dan solusi bagi petugas perusahaan mengurus perizinan dari satu kantor instansi ke kantor instansi lainnya. Jadi sejak dulu, telah berjasa mengatasi masalah kesemrawutan tersebut. Saat ini, sedikit banyak, ojek juga telah ikut andil menambah keramaian berlalu lintas di Indonesia khususnya di Jakarta.

Lantas, apa hubungan ojek dengan INSW? INSW adalah suatu sistem pelayanan perizinan ekspor – impor berbasis elektronik yang memungkinkan penyampaian data dan informasi kepada instansi yang berwenang di border secara tunggal secara mudah, cepat dan akurat sehingga pengambilan keputusan oleh pejabat yang berwenang dapat dilakukan dengan tepat dan cepat. Dengan sistem tersebut, pengusaha tidak perlu lagi harus mondar mandir mendatangi berbagai kantor untuk mengurus perizinan yang berkaitan dengan ekspor dan impor.

Adanya INSW sedikit banyak telah berkontribusi mengurangi trafik lalu lintas di jalan raya karena petugas perusahaan tidak perlu lagi mondar-mandir ke kantor-kantor pemerintah mengurus perizinan. Mereka dapat mengurus perizinan secara elektronik dari mana saja dan kapan saja. Ojek pun tak lagi melayani penumpang yang ingin mengurus perizinan ekspor impor tetapi lebih banyak mengantar jemput anak sekolah, melayani penumpang yang

akan pergi ke kantor, atau bahkan antar jemput pesanan makanan dari restoran atau warung.

Untuk mengelola sistem INSW tersebut, Pemerintah Indonesia sejak Agustus 2015 telah membentuk Pengelola Portal INSW atau PP-INSW. Suatu satuan kerja baru di bawah Kementerian Keuangan RI.

INSW bukan ojek. Ojek juga bukan INSW. Tetapi keduanya memiliki kemiripan fungsi dalam menciptakan solusi. Ojek mampu menjadi solusi transportasi yang cepat, menerobos kemacetan untuk mengirim penumpang dari satu tempat ke tempat lainnya. INSW juga demikian. Berbagai dokumen tak perlu lagi diantar ke sana kemari tetapi cukup diinput secara elektronik dan tinggal klik. Semua dokumen sudah sampai ke tujuan masing-masing secara cepat dan akurat.

Dalam melaksanakan fungsinya, INSW didukung oleh dua pilar utama yaitu TRADE.NET dan INAPORT.NET. Trade.net berkaitan dengan flows of document yang saat ini sistemnya telah dibangun di 18 K/L dan telah terintegrasi ke sistem INSW. Sedangkan INAPORT.NET berkaitan dengan flows of cargo yang sedang dibangun oleh Kemenhub. Dengan prinsip transparency, consistency, efficiency, simplicity, INSW harus mampu menjadi solusi dalam dua pilar tersebut yaitu dalam percepatan arus dokumen (flows of document) dan arus muatan barang (flows of cargo). Dengan begitu, daya saing nasional Indonesia akan meningkat di dunia internasional. (*)

HARMEN SEMBIRING

oa

se

59PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

TREN EKONOMI DIGITAL YANG

TENGAH TERJADI SAAT INI DI

BERBAGAI BELAHAN DUNIA

MENJADI SEBUAH FENOMENA

YANG KEHADIRANNYA TAK DAPAT

DIBENDUNG LAGI. BAHKAN

NEGARA-NEGARA KELOMPOK

G-20 BERKOMITMEN MENJADIKAN

EKONOMI DIGITAL SEBAGAI PILAR

PERTUMBUHAN EKONOMI GLOBAL.

INDONESIA MERUPAKAN PASAR

YANG SANGAT POTENSIAL UNTUK

PENGEMBANGAN EKONOMI DIGITAL.

BONUS DEMOGRAFI, PERTUMBUHAN

KELAS MENENGAH DAN PENETRASI

INTERNET YANG TERUS MENINGKAT

MERUPAKAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MENDUKUNG PENGEMBANGAN

EKONOMI DIGITAL DI INDONESIA.

Menjamurnya para netter tanah air dianggap sebagai sebuah peluang oleh pihak pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai The Digital Energy of Asia. Niatan tersebut semakin dipertegas oleh Presiden JOKO WIDODO setelah mengunjungi kawasan industri digital Silicon Valley di California tahun 2016 lalu. Presiden menginstruksikan 8 Kementerian berkolaborasi membentuk roadmap perdagangan digital agar capaian industri di Indonesia tahun 2020 senilai 130 miliar dolar, dengan angka pertumbuhan sekitar 50 persen per tahunnya. Selain adanya E-commerce Roadmap, pemerintah sendiri berupaya membuat target untuk dapat menciptakan 1.000 technopreuners baru di tahun 2020 dengan nilai valuasi bisnis sebesar 10 miliar dolar.

TAPSCOTT (1998) seorang ahli ekonomi digital, menjelaskan bahwa ekonomi digital merupakan sebuah sosiopolitik dan sistem ekonomi yang memiliki ciri sebagai sebuah ruang intelijen, meliputi informasi, berbagai akses instrumen informasi dan pemrosesan informasi, serta kapasitas komunikasi. Keberadaan ekonomi digital akan ditandai dengan semakin maraknya perkembangan bisnis atau transaksi perdagangan yang memanfaatkan internet sebagai medium komunikasi, kolaborasi dan kooperasi antar perusahaan ataupun individu.

Bukti nyata dari perkembangan ekonomi digital di Indonesia adalah dengan lahirnya berbagai perusahaan bisnis startup (rintisan) sebagai E-marketplace seperti Go-Jek, Bukalapak, Tokopedia, Traveloka,

Becermin dari Bisnis Digital Startup

D ilansir dari eMarketer, sebuah lembaga riset pasar yang berbasis di New York,

populasi netter (pengguna internet) di Indonesia pada tahun 2017 mencapai angka 112 juta orang atau berada pada peringkat ke-6 terbesar di dunia, mengalahkan Jepang yang harus puas berada di posisi ke-5. Di atas Indonesia, empat negara lainnya yang masuk dalam pengguna internet terbesar di dunia secara berurutan diduduki oleh Tiongkok, Amerika Serikat, India dan Brazil. Masih dari data hasil riset eMarketer, negara berkembang seperti Indonesia dan India memiliki potensi atas ruang pertumbuhan jumlah pengguna internet yang besarnya bisa mencapai dua digit setiap tahunnya.

60

Lazada dan lainnya. Sederhananya E-marketplace adalah sebuah situs di internet yang mempertemukan antara pembeli dan penjual secara virtual. Masyarakat (konsumen) tidak perlu lagi harus dipusingkan atas waktu maupun biaya tambahan yang harus dikeluarkan demi mendapatkan sebuah barang ataupun jasa. Barang/jasa yang pada awalnya hanya dapat diperdagangkan melalui transaksi konvensional, kini sudah dapat dilakukan dalam bentuk transaksi digital. Dalam bisnis digital start-up, faktor trust (kepercayaan) memegang peranan kunci. Transaksi yang difasilitasi oleh platform tertentu tanpa pertemuan langsung antara pengguna dan penyedia jasa tentunya membutuhkan trust yang besar terhadap platform tersebut. Isu trust ini akan menentukan berkembang atau matinya sebuah bisnis. Dalam bisnis, trust tidak akan bisa muncul begitu saja di benak pengguna karena dibutuhkan serangkaian effort yang kontinu dan konsisten.

Dalam konteks trust tersebut, sistem Indonesia National Single Window (INSW) memiliki kedekatan fungsi dengan platform-platform start-up digital. Sistem INSW diarahkan sebagai platform untuk mempertemukan pelaku usaha sebagai pemohon perizinan dengan Kementerian/Lembaga sebagai pemberi izin. Tanpa trust yang cukup maka sistem INSW tidak dapat berjalan secara efektif. Pelaku usaha perlu diyakinkan bahwa permohonan yang mereka ajukan benar-benar diterima oleh pihak-pihak yang berwenang. Begitu juga dengan Kementerian/Lembaga, mereka perlu yakin bahwa permohonan secara elektronik benar-benar diajukan oleh pelaku usaha yang nyata dan

memenuhi kualifikasi walaupun tidak ada pertemuan fisik.

BILL GROSS, pendiri Idealab dalam sebuah sesi TEG Talks menjelaskan ada 5 faktor yang akan sangat menentukan keberhasilan bisnis startup, yaitu ideas, team, business model, funding dan timing. Bill melakukan riset terhadap 200 startup yang berada di dalam Idealab dan juga di luar Idealab (Uber, AirBnb, Youtube) kemudian menganalisis yang sukses dan gagal. Ternyata dari 200 startup yang diteliti, timing memegang posisi puncak sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan menjalankan bisnis ini. Ada sebesar 42% kesuksesan mereka dipengaruhi oleh faktor timing yang tepat. Kemudian diikuti oleh faktor team/execution sebesar 32%. Faktor ide harus puas menempati peringkat ketiga dengan persentase sebesar 28%. Sementara itu faktor business model dan funding berada di urutan keempat dan kelima dengan besaran persentase 24% dan 14%.

Startup ternama seperti AirBnb dan Uber menjadi dua contoh startup yang berhasil karena mereka menjalankan bisnis dengan sangat memperhatikan faktor timing. Contoh pertama adalah AirBnb. Ketika banyak orang beranggapan tidak akan ada orang yang akan mau menyewakan rumah mereka ke orang asing, ternyata anggapan tersebut salah. AirBnb hadir ketika orang-orang sangat memerlukan uang tambahan dan mereka akan mendapatkan uang tersebut dengan memberikan fasilitas penyewaan rumah/kamar/tempat tinggal mereka melalui aplikasi ini.

Contoh kedua adalah Uber. Bill mengungkapkan bahwa Uber muncul di saat yang tepat, yakni

pada saat kebutuhan transportasi sangat tinggi dan juga banyaknya supir yang ingin mendapatkan penghasilan tambahan.

Walaupun demikian bukan berarti 4 faktor lainnya tidak berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup dari sebuah bisnis startup. Faktor business model sangat penting. Startup tahap awal masih dapat berdiri tanpa adanya faktor tersebut. Begitu pula dengan funding. Bill mengungkapkan bahwa akan sangat mudah bagi para startup untuk mendapatkan dana segar/investasi di saat sekarang ini dengan catatan startup tersebut memiliki tim yang solid dan daya tarik tersendiri.

Hasil riset yang dipublikasikan oleh Bill Gross di tahun 2015 ini memang bukanlah sebuah isapan jempol belaka. Majalah Forbes bahkan pernah menjuluki Bill Gross sebagai mad scientist dengan jiwa entrepreuner karena kemampuan Bill melihat ide dan mewujudkannya dari nol untuk membuatnya menjadi sesuatu.

Penerapan program-program yang sedang dikembangkan INSW seperti single submission, single risk management, dan INSW Gen-2 dapat bercermin dari hasil riset Bill Gross tersebut. Menentukan timing yang tepat untuk meluncurkannya merupakan faktor paling penting untuk kesuksesan program tersebut. Diperlukan riset yang memadai untuk mengidentifikasi tingkat urgensi dan kesiapan pelaku usaha sebagai pengguna terhadap program-program tersebut. Dengan demikian, ketika mulai diterapkan program tersebut benar-benar memenuhi harapan dan kebutuhan pengguna. Beri porsi perhatian lebih pada faktor timing namun tetap tidak menyepelekan faktor-faktor lain seperti ideas, team, business model, dan funding. (ALI MANSHUR

& ROTUA NURAINI TAMPUBOLON)

oa

se

61PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

T eknologi komunikasi cenderung memungkinkan terjadinya transformasi berskala luas dalam kehidupan manusia. Internet membuat

hampir semua orang di belahan dunia dapat saling berkomunikasi dengan cepat dan mudah. Transformasi tersebut telah memunculkan perubahan dalam berbagai pola hubungan antar manusia (patterns of human communication), yang pada hakikatnya adalah interaksi. Pertemuan tatap muka (face to face) secara berhadapan telah dapat dilakukan dalam jarak yang sangat jauh melalui citra atau image to image dalam sebuah ruang yang akrab di telinga dengan istilah cyberspace.

HOWARD RHEINGOLD (2000) dalam bukunya yang berjudul The Virtual Community: Homesteading on The Electronic Frontier menegaskan bahwa cyberspace merupakan ruang konseptual ketika semua kata, hubungan manusia, data,

kesejahteraan dan juga kekuatan dimanifestasikan oleh setiap orang melalui teknologi CMC atau Computer Mediated Communication. Dalam ruang tersebut setiap individu dapat berinteraksi dan melakukan berbagai urusan, mulai dari saling berkenalan, berbisnis bahkan bergosip secara leluasa.

AI, Kecerdasan Buatan (Buat) Siapa?

TEKNOLOGI SANGAT ERAT KAITANNYA DALAM KEHIDUPAN

MANUSIA SEKARANG INI, KHUSUSNYA SETELAH ERA PENEMUAN

INTERNET. PERUBAHAN TERBESAR DI BIDANG KOMUNIKASI

40 TAHUN TERAKHIR (SEJAK MUNCULNYA TELEVISI) ADALAH

PENEMUAN DAN PERTUMBUHAN INTERNET. PERKEMBANGAN

INTERNET SENDIRI SANGAT MEMPENGARUHI KEHIDUPAN SOSIAL

SERTA CARA BERKOMUNIKASI SESEORANG. KEHADIRAN INTERNET

JUGA TELAH MEMBERI PENGARUH CUKUP BESAR TERHADAP

CARA ORANG BERSOSIALISASI DENGAN ORANG LAINNYA.

Komunikasi yang terjalin tidak lagi harus bertatap muka, tapi cukup dengan menatap layar komputer ataupun layar ponsel pintar saja. Komunikasi yang dilakukan dengan bermedia (mediated communication) mengubah perilaku komunikasi yang dulunya face to face menjadi face to screen.

Pergeseran pola komunikasi ini tentu saja membawa angin segar dalam hal efisiensi dan efektivitas khususnya bagi para pelaku usaha ekspor impor. Dulunya untuk dapat memenuhi segala persyaratan izin ekspor impor, seseorang harus bertatap muka langsung dengan pihak-pihak yang terlibat. Namun, seiring perkembangan teknologi komunikasi ini, para pelaku usaha dan para pemberi izin (Kementerian/Lembaga) tidak lagi harus saling bertemu muka dalam hal pengurusan dokumen-dokumen perizinan. Disinilah INSW berperan dalam menciptakan suasana business cyberspace tersebut. Secara bertahap dan berkelanjutan, INSW terus melakukan inovasi untuk bisa mengakomodir fasilitas perizinan ini dengan bantuan teknologi.

Kecerdasan Buatan

Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan merupakan teknologi yang paling sering digunakan dalam menjalankan sebuah proses bisnis. Perusahaan riset pasar Forrester bahkan memprediksi di tahun 2017 ini, investasi terhadap kecerdasan buatan akan

62

meningkat sebesar 300 persen. Prediksi tersebut disebabkan oleh kemampuan AI dalam mengolah data menjadi insight yang berguna. Konsep Artificial Intelligence sebenarnya sudah jauh dipikirkan, bahkan sejak zaman Yunani Kuno. Talos dari Crete, robot perunggu dari Hephaestus, dan Galatea dari Pygmalion menjadi beberapa contoh ide “mesin yang hidup” yang dicetuskan di era tersebut. Walaupun demikian, konsep dari Artificial Intelligence ini baru sekitar setengah abad lalu berubah dari hanya sebuah mitos menjadi sebuah realitas yang faktual.

Ketika berbicara tentang dampak positifnya terhadap umat manusia, AI adalah salah satu contoh teknologi yang dapat mengubah sejarah manusia secara keseluruhan, terutama ketika berbicara tentang otomatisasi dan pengolahan data yang masif. Kecerdasan buatan adalah bidang ilmu yang terus berkembang pesat. Dengan implementasi yang baik, ilmu ini bisa mengubah cara kerja produk teknologi secara drastis dan mendatangkan banyak manfaat. Tapi untuk mencapai hal itu dibutuhkan banyak biaya serta tenaga-tenaga ahli yang tidak bisa didapatkan dengan mudah. Mungkin jalannya masih panjang hingga AI dapat menjadi teknologi yang sempurna, tetapi efek positif yang akan dihasilkannya terhadap lingkungan kerja dalam hal efisiensi dan efektivitas tentunya sangat tidak ternilai.

Walaupun AI memiliki kemampuan yang sangat luar biasa untuk mempelajari informasi, teknologi ini belum dapat mereplikasi akal dan intuisi, yang menjadi tolak ukur manusia dalam memilih untuk melakukan hal yang baik atau buruk. AI masih sangat mengandalkan manusia dalam perkembangannya. Dibutuhkan keseimbangan dalam bekerja dengan AI.

ALAN TURING, seorang ahli matematika dari Inggris yang merupakan pemecah kode di Perang Dunia ke-2 menjadi salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam pencetusan ide tentang teknologi “kecerdasan buatan” ini di tahun 1950. Melalui ide-idenya saat itu, istilah artificial intelligence cukup populer pada pertengahan tahun ’50-an. Bahkan hingga Turing meninggal pada tahun 1954, istilah tersebut masih menjadi perbincangan hangat di kalangan peneliti di masa itu. Akan tetapi, dibutuhkan hingga beberapa dekade bagi masyarakat dunia untuk dapat mengenal potensi sebenarnya dari AI. Beberapa figur teknologi terkenal seperti ELON MUSK dan STEPHEN HAWKING masih terus memperbincangkan perkembangan artificial intelligence hingga hari ini.

ALAN TURING

ELON MUSK

STEPHEN HAWKING

Di INSW sendiri teknologi yang digunakan memang belum sampai pada level AI dan masih dalam tahap otomasi saja. Tidak menutup kemungkinan ke depan, sistem yang dibangun pada Gen-2 INSW akan mulai memanfaatkan AI sebagai sumber utama dalam hal pemprosesan izin antar Kementerian/Lembaga.

Sebagai sistem berbasis teknologi komunikasi, INSW tetap harus update terhadap perkembangan dan peristiwa yang terjadi di seluruh dunia. Jangan sampai INSW tertinggal dan ditinggalkan oleh pelaku usaha baik nasional maupun internasional. Kemajuan teknologi justru harus makin memperkuat sistem yang kini diterapkan INSW. (ROTUA NT)

oa

se

63PENGELOLA PORTAL INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA