e6338-1.-adsorpsi-zn...-nuryono-

Click here to load reader

Upload: eka-pratiwi

Post on 23-Nov-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

...

TRANSCRIPT

ADSORPSI FENOL PADA KITOSAN HASIL ISOLASI DARI LIMBAH UDANG

J.Alchemy, Vol. 5, No. 2 (September 2006), 1-12ISSN 1412-4092ADSORPSI Zn(II) DAN Cd(II) PADA HIBRIDA AMINO-SILIKA DARI ABU SEKAM PADINuryono1 dan Narsito11Jurusan Kimia FMIPA Universtas Gadjah Mada, Sekip Utara Yogyakarta 55281ABSTRAKDalam penelitian ini telah dilakukan kajian adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) dalam larutan oleh adsorben hibrida amino-silika (HAS) yang disintesis dari abu sekam padi melalui proses sol-gel. Penelitian diawali dengan pembuatan larutan natrium silikat dari abu sekam padi. Pengabuan sekam dilakukan pada temperatur 700 C selama 4 jam. Abu sekam dilebur dengan NaOH pada temperatur 500 C selama 30 menit. Hasil peleburan dilarutkan dalam akuades sehingga diperoleh larutan natrium silikat (Na2SiO3). Pembuatan HAS dilakukan dengan menambahkan (3-aminopropil)-trimetoksisilan dan larutan asam sitrat 1 M ke dalam larutan natrium silikat Na2SiO3 sampai pH 7. Karakterisasi hasil dilakukan dengan spektroskopi inframerah (FTIR) dan difraktometri sinar-X (XRD). Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) dilakukan dalam sistem batch selama satu jam dengan memvariasi konsentrasi ion logam dan memvariasi waktu kontak pada kosentrasi ion logam tetap. Ion logam yang teradsopsi secara kuantitatif dihitung berdasarkan konsentrasi ion logam dalam larutan setelah adsorpsi yang ditentukan dengan metode AAS. Data yang diperoleh digunakan untuk mengevaluasi kinetika dan termodinamika adsorpsi. Hasil karakterisasi dengan FTIR menunjukkan bahwa HAS telah dapat disintesis yaitu dengan munculnya serapan yang khas dari gugus fungsional siloksan (SiOSi), silanol (SiOH) dan rantai alifatik (CH2). Dari data XRD diketahui bahwa HAS dan silika gel (SG) yang terbentuk mempunyai struktur amorf. Hasil kajian termodinamika adsorpsi menunjukkan bahwa HAS mempunyai kapasitas adsorpsi terhadap Zn(II) maupun Cd(II) lebih besar (526,3 mol/g dan 135,1 mol/g) daripada silika gel (SG) (277,8 mol/g dan 117,6 mol/g). Energi yang menyertai adsorpsi Zn(II) pada HAS dan SG berkisar 16 kJ sedangkan energi adsorpsi Cd(II) pada HAS dan SG berkisar 18 kJ yang menunjukkan interaksi terjadi melalui fisisorpsi. Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada HAS menghasilkan tetapan laju adsorpsi yang lebih besar dibandingkan adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada SG. Adsorpsi ion logam pada HAS berlangsung melalui dua tahap yaitu cepat dan lambat dengan urutan tetapan laju adsorpsi Zn(II)>Cd(II). Kata kunci: abu sekam padi, sol-gel, silika, adsorpsi, ion logamI. PENDAHULUANDewasa ini modifikasi permukaan silika gel (SG) banyak dilakukan untuk meningkatkan kinerja bahan anorganik itu sesuai dengan keperluannya. Berdasarkan jenis senyawa yang digunakan modifikasi permukaan SG dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu fungsionalisasi organik di mana agen pemodifikasi berupa gugus organik dan fungsionalisasi anorganik di mana gugus pemodifikasi dapat berupa senyawa organometalik atau oksida logam (Jal dkk, 2004). Modifikasi SG dapat dilakukan melalui interaksi fisik dan kimiawi.

Korespondensi :NuryonoJurusan Kimia FMIPA Universitas Gadjah MadaSekip Utara, BLS 21 YogyakartaEmail : [email protected] secara fisik suatu senyawa pada SG dapat dilakukan melalui impregnasi. Terrada dkk (1983) telah melakukan impregnasi pada padatan pendukung SG, karbon aktif dan politrifluoro kloroetilen menggunakan bahanbahan impregnan 2,5-dimerkapto-1,3,4-tiadiazol (DMT), 2-merkaptobenzo tiazol (MBT) dan 2-merkaptobenzimidazol (MBI) untuk adsorpsi Cu(II) dalam medium air. Dilaporkan bahwa adsorpsi hanya efektif pada pH tertentu untuk tiap jenis ligan. Kelemahan modifikasi secara fisik antara lain interaksi yang terjadi relatif lemah atau mudah lepas sehingpga tidak dapat digunakan secara berulang-ulang. Modifikasi SG secara kimia dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu imobilisasi reagen silan dan melalui proses sol-gel. Teknik konvensional untuk memodifikasi permukaan SG secara kimia dilakukan dengan mengembangkan reaksi antara gugus silanol dengan reagen silan yang berfungsi sebagai prekursor untuk immobilisasi molekul organik. Pada umumnya, reagen silan bereaksi dengan permukaan gugus silanol dalam satu langkah sehingga memungkinkan pengikatan gugus fungsional terminal yang diinginkan pada permukaan (Jal dkk, 2004). Fahmiati (2006) telah memodifikasi permukaan SG secara impregnasi tidak langsung menggunakan bahan penghubung -glisidoksipropiltrimetoksisilan (GPS) untuk adsorpsi ion logam Cd(II), Ni(II) dan Mg(II). Hasil yang diperoleh menunjukkan laju adsorpsi ion logam dengan urutan Cd(II)>Mg(II)>Ni(II) dengan aplikasi isoterm Langmuir diperoleh tetapan kesetimbangan adsorpsi (K) untuk ion logam Cd(II), Ni(II) dan Mg(II) berturut turut 9,28 x 102, 14,56 x 102 dan 1,79 x 102. Kelemahan dari modifikasi melalui imobilisasi adalah rendahnya efektivitas pengikatan senyawa pada permukaan SG. Proses solgel telah banyak dikembangkan terutama untuk pembuatan hibrida, kombinasi oksida anorganik (terutama silika) dengan alkoksisilan. Pengunaan proses solgel untuk sintesis beberapa bahan hibrida anorganikorganik telah banyak dilaporkan. Metode pembuatan hibrida silika melalui proses sol gel untuk tujuan adsorpsi telah dilakukan oleh Airoldi dan Arakaki (2001). Mereka menggunakan tetraetoksisilan (TEOS) sebagai bahan dasar yang dicampur dengan senyawa organik aktif 2-{2-{3-(trimetoksisilil)-propilamino}-etiltio}etanatiol (NSSH). Hibrida silika yang dihasilkan digunakan untuk adsorpsi logam divalen. Cestari dkk (2000) telah melakukan imobilisasi ethilendiamin pada permukaan SG melalui proses sol-gel dan digunakan sebagai adsorben untuk adsorpsi ion logam Cu(II), Hg(II) dan Co(II). Nuryono dkk (2005) melaporkan pembuatan hibrida merkapto-silika melalui proses sol-gel dengan prekursor natrium silikat yang dihasilkan dari pengolahan abu sekam padi (ASP). Hasil menunjukkan bahwa modifikasi merkapto pada silika mampu meningkatkan kemampuan adsorpsi terdapat ion logam Zn(II) dan Cd(II).Dalam makalah ini dilaporkan modifikasi SG dengan senyawa aminopropil melalui proses sol-gel menggunakan prekursor natrium silikat hasil pengolahan ASP. Produk yang dihasilkan digunakan sebagai adsorben untuk ion logam Zn(II) dan Cd(II) dalam larutan. Beberapa parameter termodinamika dan kinetika adsorpsi juga dihitung dan dievaluasi.

II. METODE PENELITIANBahan. Sampel sekam padi yang digunakan sebagai sumber silika berasal dari tempat penggilingan gabah di daerah Wates, Kulon Progo, Yogyakarta. Bahan kimia berupa larutan H2SO4 5 %, natrium EDTA 0,01 M digunakan untuk pencucian abu sekam padi. Untuk pembuatan adsorben digunakan padatan NaOH (Merck), asam sitrat, C6H8O7.H2O, (Merck), dan (3-amminpropil)-trimetoksisilan, APTS (Aldrich). Larutan logam diperoleh dengan melarutkan garam klorida dari logam Zn(II) dan Cd(II) yang dibeli dari Merck dalam akuades sesuai keperluan. Peralatan. Peralatan yang digunakan meliputi alat preparasi larutan natrium silikat dari abu sekam padi, yaitu tungku pemanas (Charbolite), pompa vakum (Buchi VacR V-500), dan ayakan ukuran 200 mesh (Fischer). Untuk identifikasi gugus fungsional adsorben digunakan spektrofotometer inframerah (Shimadzu FTIR-8201PC), sedangkan untuk adsorpsi digunakan alat sentrifius (Centrifig 228) dan pengaduk magnet dan spektrometer serapan atom (AAS) (Hitachi Z-8000) untuk analisis logam. Cara KerjaPembuatan larutan natrium silikat dari abu sekam padi. Dalam penelitian ini, sampel sekam padi diambil dari daerah Wates, Kulon Progo, Yogyakarta. Sekam padi dibersihkan dari tanah, kerikil dan kotoran lainnya kemudian dicuci dengan air dan dibilas dengan akuades lalu dikeringkan dalam oven. Sekam padi bersih dan kering dibakar dengan nyala api sehingga diperoleh arang sekam yang berwarna hitam. Arang kemudian diabukan pada suhu 700 C selama 4 jam dalam tungku. Abu sekam yang diperoleh berwarna putih kemudian digerus dan diayak sehingga diperoleh abu yang lolos pada ayakan 200 mesh. Selanjutnya, sampel abu sekam (5 gram) dicuci dengan H2SO4 5% (10 mL), dinetralkan dengan akuades, dicuci lagi dengan Na2EDTA (0,05 M, 20 mL) dan dinetralkan kembali dengan akuades. Abu hasil pencucian dikeringkan dalam oven. Abu sekam hasil pencucian dimasukkan dalam krus porselin, ditambah NaOH (8 gram ) dan dilebur pada 500 C selama 30 menit. Setelah dingin ditambahkan akuades (50 mL) dan dibiarkan semalam kemudian disaring dengan kertas saring. Filtrat yang dihasilkan merupakan larutan natrium silikat ditampung dalam gelas plastik. Kadar Si dalam larutan natrium silikat hasil peleburan abu sekam ditentukan dengan spektrometer serapan atom (AAS).Pembuatan dan karakterisasi adsorben hibrida amino-silika (HAS). Larutan natrium silikat (20 mL) hasil dari peleburan abu sekam padi dimasukkan ke dalam gelas plastik dan ditambahkan (3-aminopropil)-trimetoksisilan (2 mL) sambil diaduk dengan pengaduk magnet. Selanjutnya ditambahkan asam sitrat 1M tetes demi tetes sampai terbentuk gel dan diteruskan hingga pH 7. Gel yang terbentuk didiamkan semalam, disaring dan dicuci dengan akuades hingga netral terhadap indikator universal, kemudian dikeringkan dalam oven pada temperatur 70 C dengan pengurangan tekanan. Setelah kering (HAS) digerus dan diayak dengan ayakan 200 mesh. Pembentukan gel dilakukan dengan cara yang sama tanpa penambahan APTS untuk mendapatkan silika gel (SG). HAS dan SG dikarakterisasi dengan FTIR untuk mengidentifikasi gugus fungsional yang ada. Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II). HAS (100 mg) ditempatkan dalam wadah plastik. Adsorpsi dilakukan dalam sistem batch dengan cara menambahkan larutan Zn (II) (50 mL ) dengan variasi konsentrasi 10, 20, 40, 80, 150, 200, 300 mg/L dan distirer selama 1 jam. Selanjutnya larutan disentrifius dengan kecepatan 2000 rpm untuk memisahkan supernatan dengan adsorben. Masing-masing supernatan dianalisis dengan AAS untuk menentukan jumlah ion logam yang teradsorpsi. Hal yang sama dilakukan untuk logam Cd(II). Adsorpsi yang sama juga dilakukan terhadap SG.

III. HASIL DAN PEMBAHASANSilika Gel dan Hibrida Amino SilikaPembuatan SG dilakukan dengan menggunakan natrium silikat (Na2SiO3) hasil peleburan abu sekam padi. Na2SiO3 yang dilarutkan dalam akuades menghasilkan sistem larutan silikat yaitu hidrosol Na2SiO3. Pada sistem ini, terdapat anion silikat (SiO-) sebagai gugus reaktif dengan ion natrium sebagai penyeimbang muatan. Pembentukan gel dari larutan silikat dilakukan dengan menurunkan pH larutan melalui penambahan asam, dalam penelitian ini digunakan asam sitrat 1M. Penambahan asam sitrat 1M pada 20 mL larutan Na2SiO3 dilakukan tetes demi tetes sampai pH 7. Gel yang terbentuk didiamkan satu malam agar pembentukan gel sempurna kemudian dicuci dengan akuades untuk menghilangkan garam sisa, lalu dikeringkan pada temperatur 120 C selama satu jam. Gel kering yang diperoleh disebut xerogel. Xerogel yang berwarna putih ini kemudian digerus dan diayak dengan ayakan 200 mesh untuk menghomogenkan ukurannya.

Gambar 1. Spektra inframerah (a) SG Kiesel gel 60 tipe G, Merck; (b) SG hasil sintesis dari abu sekam padi; (c) dan HAS Tabel 1. Berat SG dan HAS yang dihasilkanNama ProdukBerat (gram)ASP yang digunakanAPTS yang ditambahkanProduk yang dihasilkanSG2,00-1,85 0,05HAS2,002,0542,70 0,07Pembuatan HAS dilakukan dengan penambahan senyawa organik aktif (3-aminopropil)-trimetoksisilan (APTS) pada larutan Na2SiO3 sebelum ditambah asam sitrat untuk pembentukan gel. Hasil pembuatan SG dan HAS dengan tiga kali pengulangan (n = 3) ditampilkan dalam Tabel 1. Berat HAS yang dihasilkan lebih banyak daripada SG. Hal ini disebabkan adanya penambahan APTS pada pembuatan HAS yang mengakibatkan adanya penggantian gugus silanol oleh merkapato propilsilan yang memiliki berat molekul lebih besar.Karakteristik SG dan HAS Spektra inframerah. Spektroskopi inframerah digunakan untuk mengidentifikasi gugus-gugus fungsional yang terdapat pada SG dan HAS. Setiap gugus fungsi mempunyai serapan inframerah yang karakteristik pada bilangan gelombang tertentu sehingga secara kualitatif dapat diidentifikasi. Pola serapan inframerah SG dan HAS ditampilkan dalam Gambar 1. Gambar 1 (a) merupakan spektra inframerah SG produksi Merck (Kiesel Gel 60 tipe G) yang digunakan sebagai pembanding spektra padatan hasil sintesis. Pita serapan pada bilangan gelombang 472,5 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk gugus siloksan SiOSi. Vibrasi ulur simetris SiO dari SiOSi ditunjukkan oleh pita serapan pada bilangan gelombang 800,4 cm-1. Pita serapan pada 974,0 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur SiO dari SiOH. Pita serapan yang kuat pada bilangan gelombang 1101,3 cm-1 merupakan vibrasi ulur asimetris SiO dari SiOSi sedangkan pita lebar pada bilangan gelombang 3448,5 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur gugus OH dari SiOH. Adanya pita serapan pada 1629,7 cm-1 menunjukkan vibrasi dari molekul air yang terikat (William, 1998).Gambar 1(b) merupakan spektra inframerah SG hasil sintesis dari larutan natrium silikat hasil peleburan abu sekam padi. Hasil spektra yang diperoleh menunjukkan kemiripan dengan spektra SG pembanding Kiesel gel 60 di mana terdapat pita-pita serapan pada bilangan gelombang yang hampir sama. Secara umum gugus fungsional yang terdapat pada SG adalah gugus siloksan dan gugus silanol. Dengan kemiripan pola serapan pada spektra SG hasil sintesis (b) dan Kiesel gel 60 (a) yaitu adanya serapan-serapan yang karakteristik untuk gugus siloksan dan silanol maka dapat disimpulkan bahwa SG hasil sintesis memiliki kemiripan gugus fungsional dengan Kiesel gel 60. Perbedaan terletak pada kuantitas gugus yang ada. Gugus silanol pada SG lebih sedikit dibandingkan dengan gugus silanol pada Kiesel Gel 60 yang ditunjukkan rendahnya intensitas serapan sekitar 3400 cm-1.

Gambar 2. Model mekanisme reaksi pembentukan dimer siloksan pada pembuatan HASPada Gambar 1(c) yang merupakan spektra HAS terlihat adanya perubahan pola serapan. Pita serapan pada bilangan gelombang 3415,7 cm-1 yang merupakan vibrasi ulur gugus OH dari SiOH mengalami penurunan intensitas serapan yang cukup besar dibandingkan spektra SG hasil sintesis, begitu juga pita serapan pada bilangan gelombang 964,3 cm-1 yang merupakan vibrasi ulur SiO dari SiOH. Penurunan intensitas serapan ini menunjukkan berkurangnya jumlah gugus silanol akibat terjadinya kondensasi dengan senyawa APTS pada proses transisi sol-gel. Munculnya pita serapan baru pada bilangan gelombang 2933,5 cm-1 yang merupakan serapan rantai alifatik akibat vibrasi ulur CH2juga menunjukkan bahwa HAS telah berhasil dibuat. Vibrasi ulur NH ditunjukkan oleh serapan pada bilangan gelombang 3500-3100 cm-1 Serapan gugus NH ini mungkin tumpang tindih dengan serapan gugus OH dari SiOH pada bilangan gelombang 3415,7 cm-1. Munculnya serapan baru tersebut didukung dengan terjadinya pergeseran serapan dari gugus siloksan. Serapan pada bilangan gelombang 462,9 cm-1 merupakan vibrasi tekuk SiOSi, vibrasi ulur simetri SiO dari SiOSi muncul pada bilangan gelombang 792,7 cm-1 dan pita kuat pada 1074,3 cm-1 merupakan vibrasi ulur asimetris SiO dari SiOSi. Semua bergeser ke bilangan gelombang yang lebih rendah dibanding serapan pada SG hasil sintesis (b) yang menunjukkan adanya perubahan di lingkungan SiOSi akibat pembentukan HAS.Mekanisme reaksi pembentukan HAS mengikuti mekanisme kondisi basa dan diperkirakan seperti yang ditampilkan pada Gambar 2. Pada saat penambahan asam sitrat, terjadi proses pembentukan gel yang diduga diawali dengan protonasi terhadap atom oksigen pada gugus metoksi (-OCH3) dalam senyawa APTS dan dilanjutkan dengan serangan anion silikat (SiO-) terhadap atom Si dalam senyawa APTS melalui mekanisme reaksi SN2. Dengan adanya protonasi atom oksigen dari gugus metoksi yang terikat pada atom Si tersebut menyebabkan atom Si semakin terpolarisasi positif sehingga mempunyai kecenderungan besar untuk diserang oleh spesies yang bermuatan negatif yaitu anion silikat dan membentuk ikatan siloksan (SiOSi) dengan melepas metanol.Reaksi tersebut masih dapat berlanjut karena masih terdapat gugus metoksi yang memungkinkan untuk terkondensasi dengan anion silikat yang lain. Secara sederhana reaksi tahapan proses sol-gel selanjutnya ditampilkan dalam Gambar 3.

Gambar 4. Berbagai model ikatan di permukaan HASGambar 3 Model reaksi pembentukan HASProses reaksi kondensasi yang disertai pelepasan metanol tersebut tidak selalu berlanjut pada reaksi selanjutnya menghasilkan C akan tetapi dapat terhenti hanya pada persamaan (2) menghasilkan A, demikian juga reaksi dapat terhenti pada persamaan (3) menghasilkan B sehingga setelah HAS terbentuk berbagai variasi permukaan seperti yang dimodelkan pada Gambar 4 mungkin terjadi.Dari Gambar 4 tersebut terlihat bahwa A1 dan B1 masih dapat mengalami reaksi hidrolisis menghasilkan hibrida masing-masing A2 dan B2. Pada hibrida A2, transisi sol-gel yang terjadi melibatkan kondensasi satu gugus SiO- dan gugus metoksi menghasilkan dua gugus silanol dan satu gugus amino sehingga menambah jenis dan jumlah situs aktif pada HAS relatif terhadap SG. Pada hibrida B2 menunjukkan bahwa transisi sol-gel tidak mempengaruhi jumlah situs aktif yang ada, tetapi hanya memvariasi jenis dari situs aktif tersebut sedangkan pada hibrida C transisi sol-gel justru akan mengurangi jumlah situs aktif yang ada.Selain reaksi kondensasi tersebut, pada pembentukan gel hibrida ini juga terjadi kondensasi antara anion silikat dan gugus silanol yang terbentuk dari protonasi anion silikat karena penambahan asam menghasilkan ikatan siloksan yang membentuk jaringan kerangka gel. Masing-masing reaksi kondensasi terus berlangsung membentuk trimer, tetramer, oligomer dan akhirnya membentuk bola-bola polimer. Bola-bola polimer baik yang berasal dari reaksi kondensasi (3-aminopropil)-trimetoksisilan dengan anion silikat maupun dari reaksi kondensasi anion silikat dan silanol akan saling bergabung melalui reaksi kondensasi lebih lanjut membentuk gel hibrida.Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II)Termodinamika adsorpsi. Kajian termodinamika adsorpsi dipelajari dengan membuat seri konsentrasi awal logam Zn(II) dan Cd(II) yang diinteraksikan dengan adsorben selama 60 menit pada temperatur kamar. Pola isoterm adsorpsi ditunjukkan Gambar 5. Kurva hubungan jumlah logam teradsorpsi pada adsorben; (a) Zn(II) dan (b) Cd(II) dengan membuat kurva jumlah ion logam teradsorpsi tiap gram adsorben terhadap ion logam pada kesetimbangan yang ditampilkan pada Gambar 5. Model isoterm adsorpsi Langmuir mengasumsikan bahwa permukaan adsorben mempunyai sejumlah tertentu situs adsorpsi yang sebanding dengan luas permukaan adsorben. Masing-masing situs aktif adsorben hanya dapat mengadsorpsi satu molekul adsorbat sehingga yang terbentuk adalah lapisan adsorpsi monomolekuler. Apabila situs aktif adsorpsi belum jenuh dengan molekul adsorbat, maka kenaikan konsentrasi adsorbat selalu disertai dengan naiknya jumlah ion logam yang teradsorpsi. Sebaliknya, bila situs aktif adsorpsi sudah jenuh dengan molekul adsorbat maka kenaikan konsentrasi adsorbat relatif tidak meningkatkan jumlah logam yang teradsorpsi (Oscik, 1982).Pada gambar 5 nampak bahwa pola isoterm adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) cenderung mengikuti pola isoterm adsorpsi Langmuir, di mana pada kisaran konsentrasi rendah kenaikan konsentrasi kesetimbangan Zn(II) dan Cd(II) diikuti dengan kenaikan jumlah ion yang teradsorpsi dan pada konsentrasi kesetimbangan yang tinggi jumlah ion teradsorpsi cenderung konstan. Oleh karena itu penentuan nilai kapasitas adsorpsi dan tetapan kesetimbangan adsorpsi digunakan persamaan isoterm Langmuir:

di mana C adalah konsentrasi kesetimbangan, m adalah jumlah zat yang teradsorpsi per gram adsorben, b adalah kapasitas adsorpsi dan K adalah tetapan kesetimbangan. Jika data yang diperoleh dari penelitian memenuhi persamaan tersebut maka plot C/m terhadap C akan menghasilkan garis lurus dengan slope 1/b dan intersep 1/bK. Dari grafik C/m versus C dapat ditentukan parameter-parameter isoterm adsorpsi Langmuir. Energi total adsorpsi per mol dapat dihitung dari persamaan berikut: Eads = -G ads = RT ln KK adalah tetapan kesetimbangan adsorpsi yang diperoleh dari persamaan Langmuir dan energi total adsorpsi ekuivalen dengan perubahan energi bebas Gibbs standar, G. Data dari perhitungan menunjukkan adanya kesesuaian dengan persamaan Langmuir di mana diperoleh garis lurus untuk grafik C/m versus C. Parameter-parameter isoterm adsorpsi Langmuir yang diperoleh ditampilkan dalam Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa kapasitas adsorpsi HAS terhadap kedua ion logam cenderung lebih besar dibanding adsorben SG.

Tabel 2 Parameter isoterm adsorpsi LangmuirAdsorbenIon logamParameter isoterm adsorpsi Langmuirb(mol/g)K(L/mol)E(kJ/mol)R2SGZn(II)257,95722,4316,420,9185Cd(II)117,651582,1618,370,9538HASZn(II)310,17673,0116,230,9001Cd(II)135,141349,9217,980,9705Peningkatan kapasitas adsorpsi ini diduga disebabkan oleh bertambahnya jenis dan jumlah situs aktif yang berperan dalam adsorpsi setelah modifikasi. Selain terdapat gugus SiOH dan SiOSi seperti pada SG, juga terdapat gugus aktif baru yaitu gugus NH2. SG tanpa modifikasi dapat mengadsorpsi ion logam Zn(II) dan Cd(II) karena adanya gugus fungsional silanol (SiOH) dan siloksan (SiOSi) setelah dilakukan modifikasi melalui proses sol-gel menjadi HAS ternyata jumlah ion logam yang teradsorpsi baik Zn(II) maupun Cd(II) meningkat.Jika dibandingkan dengan imobilisasi gugus merkapto (-SH) sebagaimana dilaporkan oleh Nuryono dkk (2005) terjadi perbedaan sifat adsorpsi. Imobilisasi merkapto menyebabkan peningkatan kemampuan adsorpsi Cd(II) 3,4 kali lebih besar daripada silika gel, sedangkan untuk Zn(II) kemampuan adsorpsi justru menurun (7 % lebih rendah). Fenomena ini menunjukkan bahwa gugus merkapto (basa lunak) pada permukaan silika gel kurang efektif mengadsorpsi ion Zn(II) yang termasuk asam keras. Dengan kata lain, adsorpsi Zn(II) bergantung pada keberadaan gugus silanol. Penambahan gugus merkapto dapat mengurangi jumlah gugus silanol sehingga menurunkan kemampuan adsorpsi terhadap Zn(II). Sebaliknya, kemampuan adsorpsi terhadap Cd(II) meningkat dengan keberadaan gugus merkapto akibat interaksi efektif antara Cd(II), asam lunak, dan SH, basa lunak. Berdasarkan hasil perhitungan, HAS mempunyai nilai tetapan kesetimbangan adsorpsi (K) dan energi adsorpsi, baik Zn(II) maupun Cd(II) tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan SG. Adanya gugus NH2 yang secara teori bersifat lebih basa daripada silanol dan siloksan pada HAS ternyata tidak memberikan peningkatan terhadap kemampuan adsorpsinya. Hal ini menunjukkan bahwa sifat kebasaan adsorben bukan merupakan satu-satunya faktor yang dominan dalam proses adsorpsi. Nilai energi adsorpsi yang diperoleh masih tergolong rendah untuk adsorpsi kimia. Energi adsorpsi Zn(II) pada adsorben SG dan HAS berkisar 16 kJ/mol, sedangkan untuk logam Cd(II) berkisar 18 kJ. Rendahnya energi adsorpsi ini mengindikasikan bahwa interaksi antara adsorben dengan ion logam bukan merupakan ikatan kimia dan langsung antara ion logam dengan atom dari situs aktif adsorben tetapi diduga melalui jembatan molekul dan membentuk ikatan hidrogen. Penggantian gugus silanol oleh amino dari SG ke HAS berakibat pada lemahnya ikatan hidrogen dan energi adsorpsi lebih rendah.

Gambar 6. Kurva hubungan antara jumlah ion logam teradsorpsi dengan waktu interaksi, (a) Zn(II) dan (b) Cd(II). Konsentrasi awal Zn(II) = 0,72 mmol/L dan Cd(II) = 0,42 mmol/LDari data kapasitas adsorpsi (Tabel 2) diketahui bahwa kapasitas adsorpsi terhadap Zn(II) lebih tinggi dibandingkan Cd(II) baik untuk SG maupun HAS. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui pendekatan jejari hidrasi. Proses adsorpsi dilakukan dalam media air, di mana dalam larutan kedua ion tersebut membentuk kompleks dengan molekul air yaitu kompleks akuo oktrahedral [M(H2O)6]2+. Menurut Martell dan Hancock (1996) logam Zn(II) memiliki jejari kompleks lebih kecil (1,09 ) jika dibanding dengan jejarai Cd(II) (2,30 ). Karena ukuran [Zn(H2O)6]2+ yang lebih kecil ini menyebabkan jumlah Zn(II) yang tertampung di permukaan adsorben lebih banyak daripada [Cd(H2O)6]2+ yang mempunyai ukuran lebih besar. Kinetika Adsorpsi. Kajian kinetika adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada adsorben SG dan HAS dipelajari didasarkan pada proses adsorpsi ion logam dalam sistem batch pada variasi waktu kontak. Laju adsorpsi dari ion logam yang dikaji dari kurva hubungan antara jumlah ion logam yang teradsorpsi terhadap waktu adsorpsi ditunjukkan Gambar 6. Nuryono dkk (2003) membagi kinetika adsorpsi ion logam pada adsorben menjadi tiga, yakni: (a) adsorpsi berlangsung dalam satu tahap cepat kemudian mencapai kesetimbangan. Pada adsorpsi jenis ini, laju desorpsi relatif lambat dan dapat diabaikan (b) adsorpsi berlangsung lambat kemudian mencapai kesetimbangan. Pada adsorpsi ini laju desorpsi relatif cepat dan tidak dapat diabaikan dengan adorpsi yang berlangsung secara reversibel seperti yang ditunjukkan Tabel 3, adsorpsi berlangsung dalam dua tahap, tahap cepat dan lambat kemudian mencapai kesetimbangan.Pada Gambar 6 terlihat bahwa adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada SG maupun HAS termasuk jenis adsorpsi ketiga yaitu adsorpsi berlangsung 2 tahap yaitu cepat dan lambat kemudian mencapai kesetimbangan. Dengan menggunakan asumsi bahwa proses mengikuti order 1, adsorpsi dapat dinyatakan dengan persamaan reaksi:

M adalah ion logam (adsorbat), Adc dan Ad1 adalah situs aktif adsorben reaksi cepat dan lambat, Madc dan Mad1 merupakan adsorben yang telah mengadsorpsi logam M, kc merupakan tetapan laju adsorpsi cepat sedangkan k1 merupakan tetapan laju adsorpsi lambat. Dari kurva hubungan antara ln([M]o/[M]) versus t diperoleh slop (s) yang merupakan harga tetapan laju adsorpsi tahap cepat (kc). Setelah tahap cepat selesai, proses lambat adalah proses yang menentukan laju adsorpsi dan diasumsikan berlangsung secara reversibel. Dari kurva hubungan ln{([M]0 [M]e) / ([M] [M]e)} versus t akan diperoleh slope yang merupakan k1+k1, k1 dan k1 dapat dihitung. Tetapan kesetimbangan (K1) diperoleh dari k1/k1. Proses adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada SG maupun HAS tersebut melalui 2 proses, yaitu proses cepat dan selanjutnya diikuti oleh proses lambat. Dua tahapan adsorpsi ini diduga terjadi pada gugus yang berbeda. Pada SG tahap cepat terjadi antara ion-ion logam dengan gugus silanol, karena gugus silanol terletak lebih di luar maka mudah terjangkau oleh ion-ion logam dan gugus ini akan bereaksi terlebih dahulu dengan ion-ion logam. Tahap lambat diduga terjadi antara ion-ion logam dengan gugus siloksan karena atom O pada gugus siloksan kurang mampu mendonorkan elektronnya relatif dibandingkan O pada silanol dan juga letaknya cenderung agak ke dalam dibandingkan gugus silanol sehingga memerlukan waktu yang lebih lama bagi ion logam untuk mencapai gugus-gugus tersebut.

Tabel 3 Parameter kinetika laju adsorpsi tahap lambat 1SGHASZn(II)Cd(II)Zn(II)Cd(II)kck1k'1K8.31 x 10-32,65 x 10-53,06 x 10-38.67 x 10-37.66 x 10-31,22 x 10-94,35 x 10-80,02821 x 10-32,2 x 10-346 x 10-30,0488.12 x10-32,0 x 10-315 x 10-30,14Pada HAS tahap cepat diduga terjadi antara ion-ion logam dengan gugus-gugus NH2 dan tahap lambat terjadi antara ion-ion logam dengan gugus-gugus silanol (Si-OH) yang masih terdapat pada HAS dan juga gugus siloksan. Hal ini disebabkan atom N pada gugus NH2 dalam HAS bersifat lebih basa dari atom O pada gugus hidroksi (-OH) silanol. Sehingga gugus-gugus NH2 akan lebih siap dalam mendonorkan pasangan elektronnya menyebabkan interaksinya dengan ion logam akan lebih efektif relatif terhadap gugus hidroksi. Karena interaksi ion logam dengan gugus-gugus NH2 lebih efektif maka ion-ion logam akan terlebih dahulu berinteraksi dengan gugus-gugus NH2 daripada dengan gugus-gugus hidroksi (-OH) walaupun keduanya sama-sama terletak di permukaan. Sedangkan gugus siloksan cenderung berperan pada proses adsorpsi tahap lambat karena selain kurang efektif dalam mendonorkan elektronnya relatif terhadap gugus NH2 maupun O pada silanol, keberadaannya relatif lebih di dalam sehingga ion logam memerlukan waktu lebih lama untuk mencapainya.Pada tahap cepat laju adsorpsi untuk Zn(II) dan Cd(II) lebih besar apabila digunakan adsorben HAS dibandingkan SG. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : pada hibrida gugus yang berperan pada adsorpsi tahap cepat adalah gugus-gugus NH2 sedangkan pada SG adalah gugus-gugus hidroksi (-OH). Gugus NH2 bersifat lebih basa daripada gugus OH pada SG. Oleh karena itu gugus NH2 akan lebih efektif dalam mendonorkan pasangan elektronnya daripada gugus hidroksi (OH). Hal tersebut mengakibatkan HAS akan lebih efektif mengadsorpsi Zn(II) dan Cd(II) dibadingkan SG tanpa gugus NH2. Karena interaksi yang lebih efektif antara ion logam dengan gugus-gugus NH2 dibandingkan dengan gugus-gugus hidroksi maka adsorpsi ion logam dengan HAS akan lebih cepat daripada dengan SG.Pada tahap cepat, peningkatan laju adsorpsi untuk Cd(II) pada HAS tidak begitu nyata terlihat dibandingkan untuk Zn(II). Hal ini menyatakan bahwa keberadaan gugus NH2 tidak begitu mempengaruhi adsorpsi Cd(II). Kemungkinan hal tersebut terjadi karena Cd(II) mempunyai ukuran yang besar dan polarizabilitas yang tinggi sedangkan NH2 mempunyai sifat yang tidak berbeda jauh dari OH yaitu ukuran kecil dan polarizabilitas rendah sehingga interaksinya dengan Cd(II) kurang begitu efektif. Seperti pada tahap cepat untuk tahap lambat laju adsorpsi untuk Zn(II) dan Cd(II) juga relatif lebih besar apabila digunakan adsorben HAS dibandingkan SG. Gugus-gugus yang berperan pada tahap lambat untuk HAS adalah gugus-gugus hidroksi pada silanol (Si-OH) dan siloksan sedangkan pada SG hanya gugus-gugus siloksan (Si-O-Si). Pada HAS terdapat 2 situs aktif yang mempengaruhi adsorpsi sehingga proses adsorpsi cenderung akan lebih cepat karena terdapat 2 situs yang siap berinteraksi dengan ion logam. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dipahami laju adsorpsi ion logam apabila digunakan HAS akan lebih besar relatif terhadap SG. Dari Tabel 3 terlihat pula bahwa nilai tetapan laju adsorpsi pada SG maupun HAS untuk Zn(II) lebih tinggi daripada Cd(II). Sebagaimana diuraikan di muka bahwa ion logam Zn(II) dan Cd(II) akan membentuk kompleks dengan molekul air menjadi [Zn(H2O)6]2+ dan [Cd(H2O)6]2+. Karena ukuran Zn(II) yang lebih kecil maka mobilitasnya dalam larutan akan lebih cepat daripada Cd(II) sehingga mempercepat pula interaksi dengan gugus fungsional pada permukaan SG maupun HAS dan akan meningkatkan laju adsorpsi.

IV. KESIMPULANAdsorben hibrida amino-silika telah berhasil dibuat melalui proses sol-gel dengan menggunakan prekursor natrium silika dari abu sekam padi. Hibridisasi dengan gugus amino mampu meningkatkan kapasitas dan laju adsorpsi terhadap Zn(II) dan Cd(II). Proses adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada hibrida amino-silika diduga terjadi melalui ikatan hidrogen antara molekul air yang terhidrat pada ion logam dengan atom O dan N pada gugus fungsional adsorben. Laju adsorpsi ion logam pada silika gel maupun hibrida aminosilika diperoleh urutan laju reaksi Zn(II) > Cd(II). Meskipun hibridisasi silika gel dengan gugus amino mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi Zn(II), peningkatannya masih rendah, yaitu hanya 20%. Untuk itu perlu adanya penelitian lanjutan, yaitu mengganti gugus amino dengan gugus yang diharapkan lebih efektif seperti diamino dan triamino.

UCAPAN TERIMAKASIHPenulis mengucapkan terima kasih kepada Direktor Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan dana untuk penelitian ini melalui Program Penelitian Fundamental tahun anggaran 2006 dan L. Dewi, M.R. Kurniasari atas bantuan dalam pengumpulan data penelitian.

V. DAFTAR PUSTAKAAiroldi, C., dan Arakaki, L.N.N., 2001, Immobilization of Ethylenesulfide on Silica Surface Through Sol-Gel Process and Some Thermodynamic Data of Divalent Cation Interaction, Polyhedron, 20, 929-936.

Cestari, A.R., Viera, E.F.S., Simoni, J.D.A, dan Airoldi, C., 2000, Thermochemical Investigation on The Adsorption of some Divalent Cations on Modified silicas Obtained from Sol-Gel Process, Thermochemica Acta, 348, 25-31

Fahmiati, Nuryono dan Narsito, 2006, Thermodinamics adsorpstion of Cd(II), Ni(II) and Mg(II) on 3-Mercapto-1,2,4-Triazole Immobilized Silica Gel, Indo. J. Chem., 6(1), 52-55

Jal, P.K., Patel, S., dan Misrha, B.K., 2004, Chemical Modification of Silica by immobilization of Fungsional Groups for Extractive Concentration of Metal Ions, Talanta, 62, 1005-1028.

Martel, A.E., dan Hancock, R.D., 1996, Metal Complexes in Aqueous solution, Plenum Press, New York.

Nuryono, V.V.H. susanti, dan Narsito, 2003, Kinetic Study on Adsorption of Chromium(III) to Diatomaceous Earth Pre-treated with Sulfuric and Hydrochloric Acids, Indo. J. Chem., 3(1), 32-38

Nuryono, Suyanta, dan Narsito, 2005, Kinetics of Zn(II) and Cd(II) Adsorption on Mercaptopropyl-Silica Hybrid Synthesized from Rice Husk Ash, Presented in the second International Seminar on Environmental Chemistry and Toxicology (InSECT) in Yogyakarta, Indonesia, April 26-27, 2005

Oscik, J., 1982, Adsorption, Ellis Horwood Limited, England.

Terrada, K., Matsumoto, K., dan Kimora, H., 1983, Sorption of Copper(II) by Some Complexing Agents Loaded on Various Support, Anal. Chim. Acta, 153, 237-247.

William, T., 1998, Stuctural Study of Xerogel, Departement Engineering, the University of Quensland, Australia.

2J.Alchemy, Vol. 5, No. 2 (September 2006), 1-121Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II)(Nuryono dan Narsito)