draft regulatory impact analysis (ria) pengendalian …neo.kemenperin.go.id/files/filelibrary/draft...

23
DRAFT REGULATORY IMPACT ANALYSIS (RIA) “REGULASI UNTUK PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE” Dr.-Ing.Ir.Anton Irawan, MT, IPM SEPTEMBER 2018

Upload: trinhnga

Post on 04-Mar-2019

251 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DRAFT

REGULATORY IMPACT ANALYSIS (RIA)

“REGULASI UNTUK PENGENDALIAN DAN

PENGAWASAN BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE”

Dr.-Ing.Ir.Anton Irawan, MT, IPM

SEPTEMBER 2018

i

DAFTAR ISI

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Identifikasi Masalah 3

1.3 Rumusan Masalah 7

BAB II KONSEP REGULATORY IMPACT ANALYSIS DAN PEMBAHASAN 8

2.1 Kerangka Konsep 8

2.2 Pembahasan 19

BAB III PENUTUP 20

SIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA 24

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Persistant Organic Pollutans (POPs) merupakan senyawa kimia yang memiliki sifat

beracun, sulit terurai, bioakumulasi dan mudah terangkut baik itu melalui udara dan air, serta

mudah berpindah sebelum bioakumulasi. Senyawa tersebut dapat terakumulasi dalam

ekosistem darat dan air termasuk ikan sehingga bisa membahayakan manusia yang memakan

ikan yang mengandung senyawa PoPs. Pada tahun 2001 telah dihasilkan konvensi Stockholm

yang ditanda tangani lebih dari 152 dan 179 pihak yang berpartisipasi termasuk Indonesia ikut

menandatangani konvensi tersebut. Konvensi Stockholm awalnya mengidentifikasi 12 bahan

kimia untuk penghapusan dan pengurangan, kemudian pada tahun 2009 ditambahkan 11

senyawa baru PoPs termasuk didalamnya PBDE pada kelompok Annex A yang harus

dimusnahkan dan tidak boleh diproduksi.

Polybrominated diphenyl ethers (PBDEs) merupakan suatu kelompok senyawa aromatik

organobromin yang telah digunakan sebagai zat tambahan yang berfungsi sebagai penghambat

nyala di berbagai produk. Zat penghambat nyala (flame retardant) termasuk PBDE

ditambahkan pada suatu produk agar terjadi penghambatan nyala apabila produk tersebut

terbakar. Dengan adanya penghambat nyala diharapkan api dapat dipadamkan segara atau tidak

meluas nyala dari api tersebut. Bahan aditif flame retardant (pelambat nyala) yang biasa

digunakan untuk produk-produk berbahan plastik seperti elektronika dan otomotif serta produk

– produk tekstil yang mudah menyala.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti Indonesia dengan Jepang yang telah

dipublikasikan menunjukkan ada beberapa kandungan PBDE untuk lokasi sedimen sungai di

Indonesia sebesar 8-36 ng/gram kering (Ilyas et,all, 2011, 2013). Dengan ditemukan

kandungan PBDE pada lokasi tersebut mengindikasikan potensi adanya PBDE pada beberapa

lokasi lain. Ada beberapa kemungkinan sumber timbulnya PBDE dari hasil temuan tersebut

yaitu bahan plastic yang mengandung PBDE tersebut berasal dari material lama sebelum

adanya konvensi stockhom atau beberapa produk yang didapatkan dari luar mengandung

PBDE. Kemudian hasil analisa dari suatu laboratorium analisa ditampilkan hasil produk -

produk mengandung PBDE hingga lebih dari 6000 ppm (Tabel 1) baik berupa deca dan nona

BDE. Adapun parameter besarnya kandungan PBDE pada suatu produk berdasarkan standar

RoHS maksimum 1000 ppm sehingga nilai lebih dari 1000 ppm menunjukkan kondisi yang

2

membahayakan. Pada tahun 2017, produk komersial c-decaBDE juga telah terdaftar pada

konvensi stockholm.

Tabel 1. Hasil Analisa Beberapa Produk yang Menggunakan Flame Retardant

Sebagai POPs, PBDE memiliki sifat beracun, sulit terurai (persisten), biokamuluasi dan

terangkut melalui udara, air dan spesies berpindah dan melintasi batas internasional serta

tersimpan jauh dari tempat pelepasan, tempat bahan tersebut berakumulasi dalam ekosistem

darat dan air. Menurut penelitian-penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara termasuk

Indonesia, senyawa PBDE telah terdeteksi pada biota laut (ikan dan kerang-kerangan),

sedimen, tanah, debu, udara, dan air susu ibu (ASI). Dampak negatif PBDE bagi kesehatan

menurut beberapa penelitian dapat menyebabkan kanker, turunnya berat badan, keracunan

ginjal, thyroid dan hati, penyakit kulit, serta penurunan kecerdasan pada anak.

Temuan - temuan kandungan PBDE pada beberapa produk bisa dijadikan dasar untuk

pemerintah dalam menyusun suatu aturan dalam mengendalikan dan mengawasi bahan kimia

atau produk -produk yang berpotensi mengandung PBDE. Dengan adanya peraturan tersebut

maka potensi penyalagunaan dalam penggunaan bahan kimia dengan kandungan PBDE dapat

dicegah dari awal. Pemerintah telah meratifikasi Konvensi Stockholm melalui Undang Undang

No 19 tahun 2009 tentang pengesahan Konvensi Stokholm terkait bahan pencemar organik

yang persisten (POPs). Hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan

turunan dari UU NO 19 tahun 2009 untuk mengatur penggunaan PBDE sehingga peraturan

untuk membatasi atau bahkan melarang penggunaan flame retardant jenis halogen (PBDE)

3

sangat diperlukan. Regulasi pemerintah yang harus segera dilakukan adalah melakukan

pengawasan dan pengendalian penggunaan PBDEs mulai dari penyediaan bahan baku PBDE,

proses pembuatan sampai dengan limbah dari proses serta pengawasan produk yang

menggunakan bahan baku flame retardant.

1.2 Identifikasi Masalah Terkait Regulasi Pengendalian dan Pengawasan PBDE

PBDE merupakan salah satu jenis penghambat nyala yang paling banyak digunakan karena

karakteristik dari PBDE mengganggu mekanisme rantai radikal dalam proses pembakaran

sehingga sangat efektif untuk menghambat nyala api. Selain itu penambahan bahan penghambat

nyala PBDE tidak terlalu banyak dibandingkan jenis bahan penghambat nyala lainnya yang

harus ditambahkan dalam jumlah banyak dan berakibat mengganggu karakteristik produk yang

dihasilkan. Dengan tambahan aditif bahan penghambat nyala yang banyak juga menimbulkan

biaya tambahan sehingga PBDE lebih kecil biayanya dibandingkan dengan jenis flame

retardant yang lainnya.

Ada 4 potensi untuk keberadaan dari senyawa PBDE di Indonesia yaitu

1. PBDE bisa diimpor langsung dalam kondisi murni ke Indonesia untuk nantinya

dipergunakan bagi Industri penggguna secara langsung. Dari hasil diskusi dengan Bea

Cukai dan Kementerian Perdagangan Direktorat Import diperoleh informasi bahwa

harmonized system (HS) number untuk PBDE belum ada. Dengan demikian, potensi

impor PBDE dalam kondisi murni belum bisa dipastikan karena kemungkinan PBDE

bisa diimport dalam bentuk senyawa lainnya. Dengan demikian pengawasan bahan –

bahan yang mengandung brom perlu diperketat karena ada potensi impor secara

langsung PBDE dengan nama yang berbeda. Pengawasan ini bisa dilakukan pada

wilayah kerja bea cukai dengan terlebih dahulu pihak – pihak yang langsung terlibat

dapat dibekali pemahaman tentang senyawa PBDE.

2. PBDE terdapat dalam product yang diimport. Dari hasil analisa beberapa

komponen yang mengandung PBDE (Tabel 1) dapat diduga bahwa keberadaaan PBDE

pada produk – produk elektronika, tekstil serta biji plastik. Pemerintah perlu

mendalami lebih jauh untuk besaran kandungan PBDE dalam produk karena hasil

analisa pada produk biji plastik polystyrene (PS) yang terdapa pada tabel 1 didapatkan

4

besaran kandungan Deca PBDE diatas 6000 ppm. Potensi masuknya PBDE melalui

chemical in product sangat besar sehingga perlu langkah – langkah untuk bisa

mengetahui produk – produk yang mengandung PBDE. Pengecekan secara langsung

terhadap produk -produk yang diduga mengandung PBDE bisa dilakukan dengan

menggunakan XRF Portable untuk mendapatkan kandungan Brom dalam suatu

produk.

Gambar 1. XRF Portable untuk Pengecekan Kandungan Brom dalam Suatu Produk

3. Penggunaan material daur ulang dari produk sebelum 2001. Produk – produk yang

menggunakan flame retardant sebelum tahun 2001 seperti TV tabung diduga masih

mengandung PBDE. Apabila produk – produk tersebut dipergunakan kembali maka

PBDE yang terdapat di dalam plastik dari TV tersebut bisa terbawa terus menerus.

Umumnya, plastik daur ulang akan dipergunakan untuk produk -produk yang lebih

rendah seperti kantong atau wadah plastik. Apabila kantong dan wadah plastik tersebut

terkena langsung dengan makanan pada suhu tinggi maka potensi tersebarnya PBDE

akan semakin meluas dan bisa bioakumulasi.

4. Masih adanya produk -produk berupa limbah untuk produk khususnya

elektronika yang diduga mengandung PBDE. Produk – produk tersebut hingga saat

ini masih tersimpan pada konsumen yang menggunakannya seperti TV Tabung atau

peralatan listrik lainnya seperti kabel listrik yang terpasang pada bangunan yang

terbangun sebelum adanya larangan penggunaan senyawa penghambat nyala PBDE.

5

Kondisi ini membahayakan karena masyarakat masih memakainya atau

menyimpannya sehingga potensi terpapar bahaya PBDE dapat dengan muda masuk

kepada penghuninya.

Gambar 2 Alur Material Bahan Penghambat Nyala dalam Penggunaan untuk Menghasilkan Produk

6

Dari alur material bahan penghambat nyala termasuk jenis PBDE terlihat masalah- masalah

yang timbul apabila tidak terjadi pengendalian dan pengawasan senyawa PBDE . Adapun

masalah masalah saat ini yang berhubungan dengan PBDE

• Tidak terlacaknya masuknya PBDE baik dalam kondisi murni atau tercampur dalam

suatu produk. Hal ini terjadi karena belum dimilikinya HS Number untuk bahan

penghambat nyala jenis PBDE.

• Tidak terawasinya keberadaan senyawa penghambat nyala dalam proses produksi di

pabrik – pabrik pengguna penghambat nyala. Pemerintah belum memiliki data-data

jenis industri yang menggunakan bahan penghambat nyala sehingga menyulitkan

dalam proses pengawasan industri penggunaa bahan penghambat nyala.

• Tidak terawasinya penggunaan kembali bahan plastik daur ulang yang kemungkinan

mengandung PBDE. Keberadaan produk produk lama mengandung PBDE sebelum

Konvensi Stockholm bisa didaur ulang untuk mengoptimalkan bahan baku pada industri

pengguna seperti daur ulang produk plastik.

• Kurang pahamnya masyarakat akan bahaya senyawa PBDE dibuktikan dengan masih

banyaknya peralatan elektronika lama yang disimpan atau digunakan oleh masyarakat.

Dengan adanya masalah - masalah yang terkait dengan bahan penghambat nyala PBDE

maka regulasi yang berhubungan pengendalian dan pengawasan sangat diperlukan untuk

menghilangkan masalah -masalah yang timbul tersebut. Regulasi yang disusun harus bisa

membuat iklim usaha dan perdagangan semakin membaik sehingga pihak – pihak yang

menggunakan bahan penghambat nyala dapat terus berbisnis dengan baik dan tidak terganggu

dengan keberadaaan regulasi tersebut. Selain itu regulasi tersebut harus bermanfaat buat

masyarakat agar mendapatkan produk -produk yang digunakan tidak mengandung senyawa -

senyawa yang membahayakan.

7

1.3 Rumusan Masalah

Keberadaaan regulasi yang mengendalikan dan mengawasi sangat diperlukan untuk

mendapatkan kondisi lebih baik dan mengurangi dampak dari keberadaaan senyawa yang

berbahaya seperti PBDE. Adapun substansi yang akan dikendalikan dan diawasi dalam

regulasi tersebut adalah sebagai berikut

a. Pengendalian impor terhadap bahan penghambat nyala serta produk – produk yang

mengandung bahan penghambat nyala

b. Pengawasan industri – industri yang mengunakan bahan penghambat nyala pada proses

produksinya

c. Pengawasan perdagangan terhadap produk – produk yang mengandung bahan

penghambat nyala

d. Pengawasan penggunaan kembali produk -produk mengandung bahan penghambat

nyala untuk didaur ulang

e. Pengawasan terhadap limbah atas produk -produk yang mengandung bahan penghambat

nyala

8

BAB II KONSEP REGULASI IMPACT ANALYSIS (RIA)

PADA RENCANAN REGULASI PBDE

PBDE merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk melapis beberapa produk -produk

agar tidak mudah menyala. Ada dua kemungkinan keberadaan dari senyawa PBDE masuk ke

Indonesia yaitu kondisi senyawa PBDE murni dan bercampur dengan senyawa lainnya dalam

suatu produk. Dengan demikian keberadaan senyawa PBDE perlu diawasi dan dikendalikan

agar dampak dari penggunaan PBDE dapat diminimalkan atau dihilangkan. Salah satu

instrumentasi untuk dapat mengawasi dan mengendalikan keberadaan senyawa PBDE adalah

peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Peraturan mengenai pengendalian dan pengawasan

bahan penghambat nyala sangatlah diperlukan untuk bisa mengurangi dampak dalam

pengunaan bahan kimia yang berbahaya dan beracun dari senyawa PBDE. Regulatory Impact

Analysis (RIA) merupakan salah satu cara untuk menyusun langkah -langkah dalam

penyusunan suatu aturan termasuk regulasi sehingga dampak dari adanya regulasi tersebut lebih

efektif.

2.1 Kerangka Konsep Regulatory Impact Analysis (RIA) dalam Pengendalian dan

Pengawasan Bahan Penghambat Nyala

Beberapa industri yang menggunakan flame retardant antara lain industri elektronika

dan alat listrik, industri otomotif, industri tekstil. Industri elektronika dan alat listrik paling

banyak menggunakan flame retardant karena potensi terjadinya kebakaran pada alat elektronika

dan listrik cukup besar. Hasil survei sebelumnya memperlihatan bahwa industri – industri

elektronika dan alat listrik mendapatkan beberapa materialnya bisa langsung dalam bentuk jadi

dari import atau pembuatannya di dalam negeri. Apabila import komponen elektronika dari luar

negeri maka pencampuran flame retardantnya sudah dilakukan oleh pihak pembuat komponen

tersebut di luar negeri. Kondisi import flame retardantnya dalam kondisi murni akan lebih

mudah diidentifikasi oleh pihak bea cukai sehingga proses pengendalian atau penghilangan

dapat dilakukan untuk impor langsung senyawa flame retardant. . Kondisi import produk -

produk elektronika, alat listrik, tekstil dan komponen kendaraaan dalam bentuk sudah jadi yang

dinamakan chemical in product agak kesulitan dalam melacak kandungan dari material

tersebut. Dengan demikian pada tahapan ini perlu dilakukan suatu pengawasan secara detail

9

kepada pihak – pihak yang melakukan import barang atau komponen untuk industri elektronika,

alat listrik, tekstil dan kendaraan. Pengecekan awal dapat dilakukan dengan menggunakan alat

portable XRF untuk mengetahui kandungan Br yang terdapat dalam produk -produk import

yang diduga mengandung flame retardant.

Selain itu, produk-produk dari industri yang diproduksi sebelum tahun 2006 masih

potensi mengandung senyawa PBDE sebagai flame retardant. Analisa awal bahwa produk-

produk yang memungkinkan digunakan kembali adalah produk elektronika atau kendaraan

yang terbuat dari plastic dengan melakukan daur ulang. Potensi terpaparnya PBDE dapat

terkena kepada manusia yang melakukan proses daur ulang. Kondisi ini bisa diminimalisir

dengan adanya peraturan pengawasan proses daur ulang serta perdagangan pellet plastic daur

ulang dari plastic yang kemungkinan mengandung PBDE.

Kemudian potensi kandungan PBDE bisa terjadi pada tahapan akhir yaitu pemusnahan

dari produk -produk yang menggunakan flame retardant terutama produk yang diproduksi

sebelum tahun 2006. Proses pemusnaan produk -produk yang kemungkinan mengandung

PBDE harus dilakukan pada lokasi pemusnaan yang telah tersertifikasi sehingga proses

pengawasannya akan lebih mudah. Dengan demikian pemusnaan produk -produk elektronika

harus memiliki standar yang jelas dengan teknologi tertentu sehingga emisi yang dihasilkan

tidak keluar dari area pemusnaan produk -produk yang kemungkinan mengandung senyawa

PBDE.

Berdasarkan kondisi tersebut maka rancangan regulasi ini bertujuan untuk

• Mengendalikan penggunaan bahan penghambat nyala yang membahayakan (PBDE)

pada proses produksi

• Mengawasi penggunaan bahan penghambat nyala yang membahayakan (PBDE)

pada proses perdagangan

• Mengawasi limbah -limbah yang mengandung bahan penghambat nyala yang

membahayakan (PBDE) termasuk dalam penyimpanan dan pemusnaan.

Dalam penyusunan suatu peraturan maka perlu diidentfikasi peraturan -peraturan terkait

dengan senyawa PBDE sebagai bahan kimia yang diperdagangkan untuk kebutuhan sektor

industri. Beberapa peraturan yang terkait dengan rencana penyusunan regulasi pengawasan dan

pengendalian bahan penghambat nyala adalah:

10

a. Undang Undang No 19 tahun 2009 tentang Ratifikasi Konvensi Stockholm

Pada ratifikasi konvensi Stockholm tersebut disampaikan bahwa adopsi konvensi

Stockholm harus diikut dengan langkah-langkah selanjutnya yaitu

• mendorong Pemerintah untuk mengembangkan peraturan nasional dan

kebijakan serta pedoman teknis mengenai pengelolaan bahan POPs

• mempersiapkan kapasitas Daerah untuk mengelola timbunan residu bahan POPs

dan melakukan pengawasan dan pemantauan bahan POPs

• mengembangkan kerja sama riset dan teknologi terkait dengan dampak bahan

POPs sesuai dengan Best Available Techniques (BAT) dan Best Environmental

Practices (BEP) yang disusun oleh Konvensi berdasarkan keputusan Sidang

Para Pihak atau Conference of the Parties (COP)

• mengembangkan upaya penggunaan bahan kimia alternatif yang ramah

lingkungan dalam proses produksi

• meningkatkan upaya untuk mengurangi emisi dioxin dan furan dalam proses

produksi

• memperkuat upaya penegakan hukum berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku atas bahan POPs yang dilarang

• mengembangkan Rencana Penerapan Nasional atau National Implementation

Plan (NIP) untuk pelaksanaan Konvensi Stockholm di Indonesia.

Dengan mengamati tahapan selanjutnya terlihat bahwa peraturan nasional dan kebijakan

sangat diperlukan agar implementasi dari isi konvensi Stockholm dapat berjalan dengan baik.

b. Undang – Undang No 3 tahun 2013 tentang Perindustrian

Pada pasal 3 ayat c bahwa perindustrian diselenggarahakan dengan tujuan mewujudkan

Industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau. Kemudian pada pasal 77

disampaikan bahwa Industri hijau dapat terwujud dengan langkah yang dilakukan oleh

pemerintah yaitu

• perumusan kebijakan

• penguatan kapasitas kelembagaan;

• standardisasi

• pemberian fasilitas.

11

Salah satu bentuk perumusan kebijakan adalah pembuatan suatu regulasi yang

mendukung terbentuknya industri yang ramah terhadap lingkungan termasuk penggunaan

bahan baku (pasal 79 ayat 2) yang tidak berakibat berbahaya bagi lingkungan dan manusia.

c. Undang – Undang No 7 tahun 2014 tentang Perdagangan

Pada pasal 35 ayat 1 poin d bahwa pemerintah melakukan pelarangan dan pembatasan

perdagangan barang dan/atau jasa untuk kepentingan nasional dengan alasan melindungi

kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan dan lingkungan hidup. Kemudian

diperkuat pada pasal 50 ayat 2 poin c bahwa pemerintah melarang ekspor dan impor untuk

kepentingan nasional dengan alasan untuk melindungi keseatan dan keselamatan manusia,

hewan, ikan, tumbuhan dan lingkungan hidup.

d. Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya

dan Beracun

Pada pasal 5 ayat 1 ditunjukan tentang klasifikasi bahan berbahaya dan beracun (B3)

dengan salah poin yaitu beracun (h), berbahaya (i) dan berbahaya terhadap lingkungan (l).

PBDE belum masuk list pada B3 yang diatur dalam PP ini dan rencananya PBDE akan

dimasukan dalam revisi PP 74 tahun 2001 yang rencananya akan dikeluarkan pada tahun 2018.

e. Peraturan Pemerintah No 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan

Berbahaya dan Beracun

Salah satu karakteristik limbah B3 pada pasal 5 ayat 2 poin f yaitu beracun sehingga

produk- produk yang mengandung PBDE dan tidak digunakan lagi menjadi limbah perlu

penanganan tertentu sesuai PP 101 tahun 2014. Penanganan tertentu meliputi fasilitas

penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan kembali dan pemusnaaan B3 diatur dalam PP

tersebut.

f. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/M-IND/PER/5/2006

tentang Pengawasan Produksi dan Penggunaan Bahan Berbahaya

Untuk Industri.

Pada peraturan Menteri perindustrian ini diatur hanya untuk 6 bahan yang diperlihatkan

pada pasal 2 ayat 1 dengan ketentuan bahwa bahan tersebut akan diawasi baik yang diproduksi

di dalam negeri atau impor.

12

Selain itu pada pasal 6 dan 7 memuat tentang pelaporan yang harus dilakukan oleh

produsen atau pengguna bahan berbahaya tersebut. Kemudian pada pasal 9 terdapat bagian

pembinaan dan pengawasan bagi produsen dan industri pengguna bahan berbahaya tersebut.

Peraturan ini bisa dikembangkan untuk menaungi beberapa bahan berbahaya lainnya yang

termasuk dalam konvensi Stockholm dengan ketentuan bisa dibuat lebih komprehensif.

g. Peraturan Menteri Perdagangan No 75 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas

Peraturan Menteri Perdagangan No 44 tahun 2009 tentang Pengadaan, Distribusi

dan Pengawasan Bahan Berbahaya

Pada pasal 2 ayat 1 bahwa Jenis Bahan Berbahaya (B2) yang diatur tata niaga impor

dan distribusinya terdiri dari bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan merusak

kelestarian lingkungan hidup. Bila ditelaah lebih bahwa PBDE termasuk bahan berbahaya

sehingga perlu diatur tata niaga impor dan distribusinya tetapi pada lampiran permendag

tersebut tidak dimuat PBDE termasuk pada revisi kedua Permendag No 75 tahun 2014 dengan

adanya tambahan bahan berbahaya menjadi 407 dari sebelumnya 351 bahan pada Permendag

44 tahun 2009.

h. Peraturan Menteri Perdagangan No 94 tahun 2017 tentang Perubahan Ketiga atas

Peraturan Menteri Perdagangan No 87 tahun 2015 tentang Ketentuan Import

Produk Tertentu

Pada peraturan ini ada ketentuan barang -barang yang dikendalikan impornya termasuk

bahan -bahan yang mengandung bahan penghambat nyala. Adapun contoh barang -barang yang

diduga mengandung bahan penghambatnya nyala yaitu

• HS Number 6114.30.20 yaitu pakaian digunakan untuk pelindung

dari api

• HS Number 85.28 yaitu monitor dan proyektor, tidak digabung

dengan aparatus penerima televisi; aparatus penerima untuk televisi,

digabung dengan penerima siaran radio atau aparatus perekam atau

pereproduksi suara atau video, maupun tidak.

13

i. Peraturan Menteri Perdagangan No 36 tahun 2018 tentang Pelaksanaan

Pengawasan Kegiatan Perdagangan

Pada Bab II tentang ruang lingkup pengawasan kegiatan perdagangan khususnya pada

pasal 2 poin b yaitu pengawasan perdagangan barang yang diawasi, dilarang dan atau diatur

serta poin d tentang pendaftaran barang produk dalam negeri dan asal impor terkait dengan

keamanan, keselamtan , kesehatan, dan lingkungan hidup.

Dari telah beberapa peraturan tersebut maka instansi – instansi yang terlibat dalam

pengendalian dan pengawasan bahan berbahaya meliputi

1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan titik awal dari

masuknya suatu bahan itu tergolong berbahaya dan beracun. PBDE sebagai salah satu

bahan yang bisa digolongkan berbahaya dan beracun bisa dimasukan ke dalam

list pada perbaikan PP 74 tahun 2001 sehingga langka -langka dalam pengendalian

dan pengawasan terhadap PBDE akan lebih mudah.

2. Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Impor menjadi pintu awal masuk dalam

memberikan ijin impor barang tertentu termasuk kemungkinan bahan penghambat nyala

PBDE. Direktorat impor akan melarang atau mengendalikan bahan tertentu apabila ada

ketentuan dalam suatu peraturan misalkan PBDE masuk list dalam perbaikan PP 74

tahun 2001. Kemudian pada direktorat perdagangan jendral perlindungan

konsumen dan tertib niaga akan melakukan pengawasan atas barang beredar termasuk

bahan berbahaya yang terkandung dalam suatu produk.

3. Kementerian Keuangan melalui Bea Cukai akan melakukan pemeriksaan awal

terhadap kedatangan barang tersebut di border atau post border termasuk PBDE apabila

masuk list dalam bahan berbahaya dan beracun (B3).

4. Kementerian Perindustrian melalui direktorat industri kimia hulu dan hilir,direktorat

elektronika dan direktorat industri tekstil merupakan industri -industri yang

menggunakan bahan penghambat nyala pada produk – produk yang dihasilkan.

Direktorat- direktorat tersebut bersama -sama dengan dinas perindustrian propinsi serta

14

kabupaten/kota bisa melakukan pengawasan atas penggunaan bahan penghambat nyala

dalam proses produksinya.

Gambar 3. Keterlibatan Beberapa Kementerian dalam Penerapan Aturan Pengendalian

dan Pengawasan Senyawa Penghambat Nyala

Dari kondisi – kondisi tersebut terdapat beberapa opsi untuk alternatif peraturan dan kebijakan

yaitu

• Tidak adanya peraturan khusus yang mengendalikan dan mengawasi bahan penghambat

nyala berbahaya (PBDE) seperti kondisi saat ini

• Adanya peraturan komprehensif yang melibatkan seluruh kementerian terkait mulai dari

pengendalian impor, pengawasan barang beredar , pengawasan sector produksi dan

pengawasan dan pengendalian pada limbah -limbah yang mengandung PBDE

PENGENDALAIANDAN

PENGAWASANSENYAWA

PENGHAMBATNYALA

KEMENTERIANLINGKUNGANHIDUPDANKEHUTANAN

KEMENTERIANPERINDUSTRIAN

KEMENTERIANKEUANGAN

KEMENTERIANPERDAGANGAN

15

• Adanya peraturan sectoral industri yang menggunakan bahan penghambat nyala

berbahaya (PBDE) dalam proses produksinya dengan kementerian perindustrian yang

melakukan pengawasan dan pengendalian.

Langkah selanjutnya adalah membuat suatu matrik keuntungan dan kerugian serta

konsekuensi yang terjadi apabila regulasi tersebut diterapkan. Tabel 2 memperlihatkan matrik

dari 3 alternatif kondisi untuk pengendalian dan pengawasan sehingga bisa dianalisis lebih

mendalam apabila regulasi tersebut diterapkan.

Hasil analisa menunjukkan bahwa alternatif 2 merupakan regulasi yang diharapkan

dapat mengurangi dampak secara signifikan keberadaaan PBDE dalam perdagangan, proses

produksi dan limbah. Alternatif no 2 memerlukan sumber daya manusia dan sarana prasarana

yang mendukung regulasi tersebut dapat diterapkan. Selain itu, ketersediaan bahan pengganti

dari PBDE harus disiapkan terlebih dahulu dengan kemampuan dari bahan pengganti dari

penghambat nyala secara fungsi dan biaya serta kualitas produk tidak lebih buruk dibandingkan

dengan PBDE.

16

Tabel 2. Alternatif Regulasi dalam Pengawasan dan Pengendalian Bahan Penghambat Nyala Berbahaya (PBDE)

No Alternatif Penyelesaian

Masalah PBDE

Keuntungan Kerugian Konsekuensi dari

Alternatif Kebijakan

1 Tidak adanya Peraturan yang

mengatur khusus tentang PBDE

• Tidak perlu ada peraturan yang

dibuat khusus untuk PBDE

• Industri dapat menggunakan bahan

penghambat nyala jenis apapun

sesuai dengan kebutuhan dari

pihak industri

• Kepercayaan dunia terhadap

produk -produk eksport dari

Indonesia menjadi berkurang

• Masyarakat akan

mendapatkan produk yang

membahayakan dari sisi

kesehatan

• Makin banyaknya

produk – produk

mengandung bahan

berbahaya seperti

PBDE masuk ke

Indonesia dan

diperdagangkan

2 Peraturan komprehensif untuk

pengendalian dan pengawasan

bahan penghambat nyala

• Masyarakat mendapatkan produk

yang lebih aman dan sehat

• Impor Bahan Penghambat Nyala

dapat dikendalikan

• Pengawasan dapat berlangsung pada

produksi dan perdagangan terhadap

produk -produk mengandung bahan

penghambat nyala

• Pihak pengguna harus

melalui prosedur dan

birokrasi yang lebih lama

dalam impor bahan baku

penghambat nyala

• Peningkatan biaya produksi

bagi industri dengan tidak

bisa digunakan bahan

• Membutuhkan biaya

yang besar untuk

melakukan

pengendalian dan

pengawasan

• Perlu penyiapan

SDM yang handal

dalam melakukan

17

• Bahan daur ulang dapat lebih

terjamin kualitasnya

• Pemusnaan terhadap produk -

produk mengandung PBDE dapat

dikendalikan dan diawasi

penghambat nyala yang

lebih murah

• Sistem pengawasan menjadi

lebih rumit terhadap bahan

penghambat nyala yang

berbahaya (PBDE)

pengendalian dan

pengawasan

3 Peraturan hanya pengawasan

pada proses produksi bagi

industri penggunan bahan

penghambat nyala

• Menutup kemungkinan

penyalagunaan bahan

penghambat nyala pada proses

produksi

• Masyarakat percaya terhadap

produk dalam negeri

• Produk dalam negeri

tidak laku akibat

murahnya produk impor

yang mengandung

bahan penghambat

nyala

• Industri dalam negeri

susah bersaing dengan

produk luar negeri

• Indsutri kecil dan

menengah pengguna

bahan penghambat

nyala akan kesulitan

berproduksi

18

2.2 Pembahasan Substansi Regulasi

Penyusunan suatu regulasi yang berhubungan dengan berbagai instansi terkait

memerlukan harmonisasi juga dengan peraturan -peraturan yang sudah ada. Pemerintah dalam

hal ini kementerian lingkungan hidup dan kehutanan sedang melakukan revisi dan perbaikan

terhadap Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2001 tentang pengelolaan bahan berbahaya dan

beracun. Dengan adanya revisi tersebut maka PBDE sebagai salah satu bahan yang berbahaya

dan beracun dapat dimasukan ke dalam list pada perbaikan PP No 74 tahun 2001. Dengan

adanya list PBDE sebagai bahan berbahaya dan beracun maka tahapan selanjutnya adalah

membuat regulasi untuk pengendalian dan pengawasan terhadap bahan penghambat nyala yang

berbahaya termasuk PBDE.

Gambar 3. Alur Proses Penyusunan Regulasi Secara Komprehensif

Bersamaan dengan penyusunan regulasi maka kepastiaan dari ketersediaan bahan

alternative pengganti PBDE yang lebih ramah terhadap lingkungan dan manusia serta biaya

yang dikeluarkan tidak terlalu membebani sector industri. Beberapa industri pengguna bahan

penghambat nyala menggunakan bahan alternative berupa Decabromo Diphenyl Ethane

(DBDPE). Bahan ini relative lebih ramah terhadap lingkungan dan belum termasuk yang

19

dilarang dalam konvensi Stockholm. Pemerintah juga perlu mendukung penelitian dan produksi

bahan alternative yang dapat dihasilkan di dalam negeri sehingga industri memiliki pilihan

dalam penggunaan bahan penghambat nyala sesuai dengan kebutuhannya.

Regulasi pengendalian dan pengawasan bahan penghambat nyala ini akan lebih efektif

apabila didukung dengan standarisasi terhadap produk -produk yang mengandung bahan

penghambat nyala. Bentuk standarisasi bisa Standar Nasional Indonesia sesuai dengan

Peraturan Menteri Perindustrian Nomo 86 tahun 2009 tentang Standar Nasional Indonesia

Bidang Industri. Apabila SNI tentang produk -produk industri telah dibuat maka langkah

selanjutnya adalah pengawasan dari SNI tersebut dengan acuan pada Peraturan Menteri

Perindustrian No 4 tahun 2018 tentang Tata Cara Pengawasan Pemberlakuan Standarisasi

Industri Secara Wajib.

Draft Peraturan Pengendalian dan Pengawasan Bahan Penghambat Nyala serta

pembuatan dan pengawasan terhadap SNI produk -produk mengandung bahan penghambat

nyala harus disosilisasikan terlebih dahulu kepada para pemangku kepentingan. Adapun

pemangku kepentingan dengan bahan penghambat nyala adalah

• Import produk -produk mengandung bahan penghambat nyala

• Industri penguna bahan penghambat nyala

• Industri pengolahan daur ulang produk mengandung bahan penghambat nyala

Dari sosialiasi ini akan didapatkan suatu masukan dan perbaikan atas draft regulasi

pengendalian dan pengawasan bahan penghambat nyala. Langkah selanjutnya perbaikan

terhadap regulasi untuk nantinya bisa segera diproses pada biro hukum untuk dijadikan

peraturan resmi dari pemerintah perihal pengendalian dan pengawasan bahan penghambat

nyala.

20

BAB III

PENUTUP

Regulatory Impact Analysis (RIA) terhadap regulasi pengendalian dan pengawasan

bahan penghambat nyala telah dibuat sebagai acuan dalam penyusunan regulasi terkait. RIA

ini perlu disampaikan agar efektif dan asas kemanfaatan dari regulasi pengendalian bahan

penghambat nyala dapat berjalan dengan baik. Hasil dari RIA menunjukkan bahwa regulasi

dibuat secara komprehensif dengan melibatkan beberapa kementerian sehingga bisa

didapatkan hasil yang lebih efektif. Secara bersamaan untuk mendukung penerapan regulasi

tersebut bisa dibuat SNI terhadap produk – produk mengandung bahan penghambat nyala serta

pengembangan produk pengganti PBDE.

21

DAFTAR PUSTAKA

Chai, C.Y., Yu, S.Y., Liu, Y., Tao, S., Liu, W.X. (2018). PBDE emission from E-wastes during

the pyrolytic process: Emission factor, compositional profile, size distribution and gas particle

partitioning. Environmental Pollution, Vol 235, pages 419-428

He, J., Robrock, K. R., dan L. Alvarez-Cohen. (2006). Microbial Reductive Debromination of

PBDEs. Environmental Science & Technology, Vol. 40 pages 4429 – 4434

Ilyas, M., Sudaryanto, A., Setiawan, I.E., Riyadi, A.S., Isobe, T., Ogawa, S., Takahashi, S.,

Tanabe, S. (2011). Charcterization of polychlorinated biphenyls and brominated flame

retardants in surface soils from Surabaya, Indonesia. Chemosphere, Vol: 83, 783-791

Ilyas, M., Sudaryanto, A., Setiawan, I.E., Riyadi, A.S., Isobe, T., Tanabe, S. (2013).

Charcterization of polychlorinated biphenyls and brominated flame retardants in sludge,

sediment and fish from municipal dumpsite at Surabaya, Indonesia. Chemosphere, Vol: 93,

1500 -1510

Parry, E., Zota, A.R., Park, J.S., Woodruff, T.J., (2018). Polybrominated diphenyl ethers

(PBDEs) and hydroxylated PBDE metabolites (OH-PBDEs): A six year temprat trend in

Nothern California pregnant woman, Chemosphere, Vol 195, 777- 783

United States Environmental Protection Agency (EPA). (2014). Technical Fact Sheet

Polybrominated Diphenyl Ether (PBDEs) and Polybrominated Biphenyls (PBBs).

United States Health and Human Service. (2017). Toxicological Profile Polybrominated

Diphenyl Ethers (PBDEs).