UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KARAKTERISTIK FISIK DAN PROFIL PENETRASI GEL
TRANSDERMAL NANOPARTIKEL GLUKOSAMIN
HIDROKLORIDA PADA pH 5 DAN pH 6
SKRIPSI
SYIFA MUNIKA
NIM: 11141020000072
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2018
ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KARAKTERISTIK FISIK DAN PROFIL PENETRASI GEL
TRANSDERMAL NANOPARTIKEL GLUKOSAMIN
HIDROKLORIDA PADA pH 5 DAN pH 6
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
SYIFA MUNIKA
NIM: 11141020000072
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
SEPTEMBER 2018
HA L;\M,A.N P ERN YAI.AAN OIIXI! iI\A I- ITAS
Sliripsi ini :,rcla.lah hasirl knrya saya -s;endirti,
da-u setnua srunlber baik yang dikrrltip rnfluPtr'H ttirtl.|uk
telalr, saya n5'atakatr clengan bena,,r.
Nrma :
NtM :
Tarrda Tnngan :
Syifa Munika
1 1 14 102'000tx)72
Tnnggal : 25 Septembcr 2018
iii UIN Syarif Hi'dayatullah Jakarta
HALA MAN PE,RS E'I'L.]UAN PE-\{I}IMBING
Nama : Syifa Munika
NIM : I1]4rc2AA00072
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : I(arakteristik Fisik dan Profil Penetoasi Gel TransdennalNanopartikel Glukosarnin Hidroklorida pada pH 5 danpH6
Disetujui olel:
Pernburbirrg 1 Fembimbing 2
Yrrni Angqrae.m..M.Falu., Aut Drs. llmar &tansir.r. M,Sc, 4ptNIP i983 1 02820r)91!12008
Mengetahui,
Ketua Program Studi FarmasiFakultas trlmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
N,{.,Dr. Nunmeilis. M.Si.. Apt
NlIr. 1 974073010050 I 2003
iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PENGE SAHAN SKRIPSI
Skripsi ini diajukan oleh:
|rfama
NIM
Program Studi
Judul Skripsi : Karakteristik Fisik dan Profil Penetrasi Gel
Transdetmal Nanopartikel Glukosamin Hidrokloridapada pH 5 dan pH 6
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterimasebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan
(FIK) Universitas Islam Negeri (uIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
DEWAN PEMBIMBING DAN PENGUJI
Syifa Munika
1 1 141020000072
Farrrrasi
Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. (
Drs. Umar Mansttr, M.Sc., APt. (
Marvel, M.Farm., Apt (
Via Rifkia, M.Farm. (
Jakarta
25 September 2018
Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji I
Penguji II
Ditetapkan di
Tanggal
€t*i'
\AP(k
v UIN Syarif HidaYatullah Jakarta
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Syifa Munika
Program Studi : Farmasi
Judul : Karakteristik Fisik dan Profil Penetrasi Gel Transdermal
Nanopartikel Glukosamin Hidroklorida pada pH 5 dan pH 6
Pemberian Glukosamin HCl secara oral telah dilaporkan memiliki bioavailabilitas
yang rendah dan permeabilitas kulit yang rendah secara transdermal. Untuk
mengatasi hal tersebut, glukosamin HCl dibuat dalam bentuk transdermal
menggunakan sistem penghantaran nanopartikel. Pada penelitian ini nanopartikel
dibuat dengan konsentrasi kitosan 0,5% dan gel transdermal nanopartikel dibuat
dalam 3 formula F1, F2, dan Formula kontrol dengan variasi pH yakni pH 5, pH 6
dan tanpa adjust pH. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
karakteristik fisik dan profil penetrasi gel transdermal nanopartikel glukosamin
HCl pada pH 5, pH 6, dan dengan tanpa adjust pH. Nanopartikel dibuat dengan
metode gelasi ionik menggunakan kitosan dan penyambung silang Na-TPP. Uji
penetrasi secara in vitro dilakukan dengan alat sel difusi franz menggunakan
membran kulit tikus. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah
organoleptik, pH, homogenitas, viskositas, rheologi dan profil penetrasinya.
Penelitian menunjukkan bahwa variasi pH sediaan gel mempengaruhi viskositas
sediaan gel transdermal nanopartikel di mana semakin besar pH sediaan maka
viskositas sediaan gel semakin meningkat. Hasil uji penetrasi menunjukkan
jumlah kumulatif glukosamin HCl yang terpenetrasi per luas area selama 8 jam
untuk F1, F2, dan Formula kontrol secara berturut-turut adalah 898,8 µg/cm2;
852,2 µg/cm2; dan 884,1 µg/cm
2. Fluks penetrasi menit ke 480 untuk F1, F2 dan
Formula kontrol secara berturut-turut adalah 112,3 µg cm-2 jam
-1; 106,5 µg cm-
2
jam-1
; dan 110,5 µg cm-2 jam
-1. Dari hasil uji statistik menunjukkan terdapat
pengaruh dari perbedaan pH sediaan gel yang digunakan dalam formula terhadap
penetrasi glukosamin HCl pada Formula kontrol dengan F2 dan F1 dengan F2,
kecuali pada Formula kontrol dengan F1.
Kata kunci: Glukosamin HCl, pH, nanopartikel, kitosan, penetrasi, difusi franz.
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Syifa Munika
Major : Pharmacy
Title : Physical Characteristics and Penetration Profile of Nanoparticle
Glucosamine Hydrochloride Transdermal Gel at pH 5 and pH 6
Oral administration of glucosamine HCl has been reported to have low
bioavailability and low skin permeability transdermally. To overcome those
conditions, glucosamine HCl was prepared in transdermal form using a
nanoparticle delivery system. In this study, nanoparticles were made with 0.5%
chitosan concentration and transdermal nanoparticles gels were made in 3
different formulas, F1, F2; and Control formula with variations in pH (pH 5, pH 6,
and without adjusting pH). This study aimed to know the physical characteristics
and gel penetration profile of transdermal nanoparticles glucosamine HCl at pH 5,
pH 6, and without adjusting pH. Nanoparticles were made using ionic gelation
method by applying chitosan and Na-TPP as cross linker. In vitro penetration test
was carried out by diffusion Franz cell using mouse skin membrane. The
parameters used in this study were organoleptic, pH, homogeneity, viscosity,
rheology, and penetration profile. The result showed that pH variations of gel
influence the viscosity of transdermal nanoparticle gel, where greater pH of gel
cause viscosity of gel preparations increase. The penetration test results indicated
the cumulative amount of penetrated glucosamine HCl per area for 8 hours for
F1, F2, and Control formula were 898,8 µg/cm2; 852,2 µg/cm
2; and 884,1 µg/cm
2
respectively. Penetration flux at minute 480th
for F1, F2, and Control formula
were 112,3 µg cm-2 hour
-1; 106,5 µg cm-
2 hour
-1; and 110,5 µg cm-
2 hour
-1
respectively. Statitical test result showed that there was an effect of the difference
in pH of the gel preparation used in the formula for the penetration of
glucosamine HCl in Control formula with F2 and F1 with F2, except in Control
formula with F1.
Keywords: Glucosamine HCl; pH; nanoparticles; chitosan; penetration; Franz
diffusion.
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Allah SWT yang telah memberikan kasih sayang begitu besar sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Fisik dan
Profil Penetrasi Gel Transdermal Nanopartikel Glukosamin Hidroklorida
pada pH 5 dan pH 6.”. Shalawat dan salam tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah memberikan jalan kebenaran dan suri tauladan
kepada umatnya.
Penulis menyadari bahwa selama masa perkuliahan, penelitian hingga
penyelesaian skripsi ini, penulis memperoleh bantuan, bimbingan, motivasi, dan
doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Yuni Anggraeni, M. Farm., Apt. dan Bapak Dr. Umar Mansur, M. Sc.,
Apt. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,
waktu, tenaga, saran, dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S. KM., M. Kes., selaku Dekan Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M. Si., Apt. selaku Ketua dan Ibu Nelly Suryani, P.hD.,
Apt. selaku Sekretaris Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu meluangkan
waktu untuk membantu dalam urusan jadwal persidangan.
4. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt. sebagai pembimbing akademik yang telah
membimbing dan memberikan dukungan dalam menghadapi permasalahan
akademik.
5. Seluruh dosen dan karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan
selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh laboran, Kak Eris, Kak Yaenap, Kak Rani, Kak Lisa, Kak Waliddan
Kak Rahmadi yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.
7. Kedua orang tuaku, Bapak Abdul Kadir dan Ibu Muji Rahayu yang selalu
memberikan kasih sayang dan doa tiada henti yang senantiasa mengiringi
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
perjalanan hidup penulis, serta dukungan baik secara moril maupun materil
yang tidak terhingga.
8. Kepada saudara-saudaraku tersayang, Tia Wulan Sari, Habibie Ramadhan,
Suryani Rahmi dan Hafidz Dzakwan yang telah membantu serta memberikan
doa dan semangat dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
9. Sahabat seperjuangan penelitian , Puspitasari, atas perhatian, semangat, kerja
sama, bantuan, kebersamaan dan waktu untuk mendengarkan segala keluh
kesah selama penelitian.
10. Kepada Bu Suci dkk yang telah membantu dalam penelitian ini.
11. Sahabat-sahabatku tersayang, Puspitasari, Luluk Muchoyaratul, Revy Aprillia,
Muhaiminul Maulidza, Dea Raudya, Corry Priscilliana, Cut Balqis, Divya
Anjani, Ramadhani pages, Fariz Agus, dan Mohamad Hadi Azmi yang setia
menemani, menyemangati dan yang telah menghabiskan waktu susah senang
bersama sejak awal masa perkuliahan sampai penelitian.
12. Kaka tingkat farmasi 2013, Ka Marisa dan Ka Asyraq, yang telah membantu
dan membimbing selama penelitian.
13. Teman-teman lab, Sheila, Ridho ehuang, Inez, Khoirunisa, Amajida, Nada,
Zakiyah, yang telah menemani, membantu dan memberikan semangat selama
penelitian.
14. Teman-teman penelitian teknologi farmasi bimbingan Bu Yuni, Mutiara ayu,
Elsa, Hadi, Sri, Puspita yang telah memberikan bantuan dan memberikan
semangat selama penelitian.
15. Sahabat-sahabatku “Read by”, Dini Puspitasari, Dita Qonitah, Annisa Firdaus,
Aida Mawardah, Nadia Latifah, dan Saqila Sabila yang setia menemani,
memberikan semangat, dan mendoakan sejak jaman SMP hingga sekarang.
16. Sahabat-sahabatku, Widhi Tri Kusuma, Ndari Putri, Andhika yang
membantu, memberikan semangat dan mendoakan penulis.
17. Teman-teman Farmasi angkatan 2014 yang telah memberikan semangat dan
doa selama ini.
18. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan
penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi
ini. Penulis berdoa semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu
penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Ciputat, 25 September 2018
Penulis
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Syifa Munika
NIM : 11141020000072
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Ilmu Kesehatan (FIK)
Jenis Karya : Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah
saya, dengan judul:
Karakteristik Fisik dan Profil Penetrasi Gel Transdermal Nanopartikel
Glukosamin Hidroklorida pada pH 5 dan pH 6
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Yang menyatakan
(Syifa Munika)
Dibuat di : Ciputat
Pada Tanggal : 25 September 2018
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI .............................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ..................................... xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian....................................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5
2.1. Osteoartritis ................................................................................................ 5
2.2. Glukosamin HCl ........................................................................................ 7
2.3. Gel Transdermal ........................................................................................ 8
2.4. Kulit .......................................................................................................... 10
2.4.1. Struktur Kulit ....................................................................... 11
2.4.2. Jalur Penetrasi Obat ke Kulit ............................................... 13
2.4.3. Faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Perkutan .................. 14
2.5. Nanopartikel Kitosan .............................................................................. 15
2.6. Kitosan ...................................................................................................... 18
2.7. Natrium Tripolifosfat .............................................................................. 19
2.8. Monografi ................................................................................................. 20
2.8.1. Tween 80 .............................................................................. 20
2.8.2. Hidroksipropilmetil Selulosa ............................................... 20
2.8.3. Propilen Glikol ..................................................................... 21
2.8.4. Metil Paraben ....................................................................... 22
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.8.5. Propil Paraben ...................................................................... 23
2.8.6. Trietanolamin (TEA)............................................................ 24
2.9. Uji Penetrasi Metode Sel Difusi Franz ................................................. 24
2.10. Spektrofotometri UV-Vis ....................................................................... 25
2.10.1. Teori Spektrofotometri UV-Vis ........................................... 25
2.10.2. Komponen Instrumen Spektrofotometri UV-Vis ................. 26
2.10.3. Validasi Metode Analisis ..................................................... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 30
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 30
3.2. Bahan Penelitian ...................................................................................... 30
3.3. Alat Penelitian ......................................................................................... 30
3.4. Prosedur Kerja ......................................................................................... 30
3.4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl ............................. 30
3.4.2. Preparasi Sediaan Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ........ 31
3.4.3. Evaluasi Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ....................... 31
3.4.4. Validasi Metode Analisa Derivatisasi Glukosamin HCl...... 32
3.4.5. Uji Penetrasi ......................................................................... 34
3.4.6. Analisis Data ........................................................................ 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 37
4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl ............................................. 37
4.2. Preparasi Gel Glukosamin HCl ............................................................. 37
4.3. Evaluasi Gel Glukosamin HCl .............................................................. 38
4.3.1. Pengamatan Organoleptik .................................................... 38
4.3.2. Pemeriksaan Homogenitas ................................................... 39
4.3.3. Pengukuran pH ..................................................................... 40
4.3.4. Pengukuran Viskositas dan Rheologi .................................. 40
4.4. Validasi Metode Analisa ........................................................................ 43
4.4.1. Pembuatan Senyawa Phenyl Thiourea (PTH) ...................... 43
4.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea
(PTH) ................................................................................... 44
4.4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Standar Glukosamin HCl ........ 44
4.4.4. Uji Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi (LOD dan LOQ) ... 45
4.5. Uji Penetrasi Gel Glukosamin HCl ....................................................... 45
4.5.1. Jumlah Kumulatif Zat Terpenetrasi Per Luas Area ............. 47
4.5.2. Fluks Penetrasi ..................................................................... 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 53
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.1. Kesimpulan .............................................................................................. 53
5.2. Saran ......................................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 54
Lampiran ............................................................................................................. 62
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Patogenesis Osteoartritis ................................................................. 5
Gambar 2.2 Struktur Kimia Glukosamin HCL ................................................... 7
Gambar 2.3 Struktur Kulit ................................................................................. 11
Gambar 2.4 Rute Penetrasi Zat Melalui Kulit ................................................... 13
Gambar 2.5 Struktur Kimia Kitosan.................................................................. 18
Gambar 2.6 Struktur Natrium Tripolifpsfat ...................................................... 19
Gambar 2.7 Struktur Kimia HPMC ................................................................... 20
Gambar 2.8 Struktur Kimia Propilen Glikol ..................................................... 22
Gambar 2.9 Struktur Kimia Metil Paraben ....................................................... 22
Gambar 2.10 Struktur Kimia Propil Paraben ...................................................... 23
Gambar 2.11 Struktur Kimia Trietanolamin ....................................................... 24
Gambar 2.12 Sel Difusi Franz ............................................................................. 25
Gambar 4.1 Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ................................................ 39
Gambar 4.2 Uji Homogenitas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ................... 39
Gambar 4.3 Grafik Viskositas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl .................. 41
Gambar 4.4 Kurva Reologi Gel Nanopartikel Glukosamin HCl....................... 42
Gambar 4.5 Kurva Kalibrasi Standar Glukosamin HCl .................................... 44
Gambar 4.6 Grafik Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area 49
Gambar 4.7 Grafik Fluks Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area .................... 50
xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel 3. 1 Formula Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ..................................... 31
Tabel 4. 1 pH Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ............................................... 40
Tabel 4. 2 Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area .... 49
Tabel 4. 3 Persen Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area ..... 49
Tabel 4. 4 Fluks Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area ........................ 50
xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skema Prosedur Penelitian ............................................................ 62
Lampiran 2 Viskositas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl.............................. 63
Lampiran 3 Persen Torque Gel Glukosamin HCl ............................................. 64
Lampiran 4 Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea (Hasil
Derivatisasi Glukosamin HCl) ..................................................... 65
Lampiran 5 Absorbansi Standar Glukosamin HCl ........................................... 66
Lampiran 6 Data Perhitungan LOD dan LOQ .................................................. 67
Lampiran 7 Data Hasil Uji Penetrasi Formula Kontrol .................................... 68
Lampiran 8 Data Hasil Uji Penetrasi F1 ........................................................... 69
Lampiran 9 Data Hasil Uji Penetrasi F2 ........................................................... 70
Lampiran 10 Data Fluks Penetrasi Formula kontrol ........................................... 71
Lampiran 11 Data Fluks Penetrasi F1 ................................................................. 72
Lampiran 12 Data Fluks Penetrasi F2 ................................................................. 73
Lampiran 13 Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Glukosamin HCl Per Luas
Area ............................................................................................... 74
Lampiran 14 Contoh Perhitungan Fluks Penetrasi Glukosamin HCl ................. 76
Lampiran 15 Hasil Uji Statistik Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter
Penetrasi Per Luas Area................................................................. 77
Lampiran 16 Hasil Uji Statistik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl ..................... 79
Lampiran 17 Gambar Alat yang Digunakan ....................................................... 81
Lampiran 18 Sertifikat Analisa Glukosamin HCl ............................................... 82
Lampiran 19 Sertifikat Analisa Nipagin ............................................................. 83
Lampiran 20 Sertifikat Analisa Nipasol.............................................................. 84
Lampiran 21 Sertifikat Analisa Dietil Eter ......................................................... 85
Lampiran 22 Sertifikat Analisa Tween 80 .......................................................... 86
Lampiran 23 Sertifikat Analisa Trietanolamin ................................................... 87
Lampiran 24 Sertifikat Analisa NaOH................................................................ 88
Lampiran 25 Sertifikat Analisa Natrium Asetat ................................................. 89
Lampiran 26 Sertifikat Analisa Kitosan.............................................................. 90
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Osteoartritis menurut American College of Rheumatology adalah
sekelompok kondisi heterogen yang mengarah kepada tanda dan gejala sendi.
Osteoartritis merupakan penyakit yang sering ditemukan di dunia. Penyakit
osteoartritis menyebabkan nyeri dan disabilitas pada penderita, sehingga
mengganggu aktivitas sehari-hari (Anggraini dan Hendrati, 2014). Osteoartritis
adalah penyakit bersifat kronik, berjalan progresif lambat, non-inflamasi atau
hanya menyebabkan inflamasi ringan, serta ditandai dengan adanya deteriorasi
dan abrasi rawan sendi serta pembentukan tulang baru pada permukaan sendi
(Carter M.A, 2006). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2007,
diketahui bahwa osteoartritis diderita oleh 151 juta jiwa di seluruh dunia dan
mencapai 24 juta jiwa di kawasan Asia Tenggara. Menurut Riskesdas tahun 2013,
prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan di Indonesia
11,9% dan berdasarkan gejala 24,7%.
Glukosamin merupakan substrat yang terlibat dalam biosintesis
proteoglikan dan glikosaminoglikan yang ditemukan pada membran mukosa
saluran cerna, matriks kartilago artikular dan cairan sinovial dalam tubuh manusia
(Tekko, dkk., 2006). Cairan sinovial berfungsi sebagai pelumas pada tulang
rawan, sehingga pergerakan tulang menjadi lebih baik (Huskisson, 2008).
Proteoglikan sebagai bahan pembentuk cairan sinovial memiliki peranan penting
dalam persendian, karena jika terjadi gangguan dalam sintesis proteoglikan maka
dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada sendi (Maulina, 2017).
Glukosamin adalah gula amino yang diklasifikasikan oleh food and drug
administration (FDA) sebagai suplemen makanan yang dipercaya berpotensi
sebagai pengobatan untuk osteoartritis (Hawker G dalam Tekko, I. A, dkk.,
2006). Umumnya, glukosamin diberikan sebagai bentuk glukosamin sulfat yang
distabilkan dengan natrium klorida atau kalium klorida dan glukosamin
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hidroklorida (Tekko, dkk., 2006). Dalam penelitian Han In Hee (2010)
menunjukkan bahwa glukosamin sulfat sangat tidak stabil, sedangkan glukosamin
hidroklorida secara alami stabil. Glukosamin dalam bentuk sulfat maupun
hidroklorida yang telah dipasarkan selama dua dekade terakhir biasanya
diformulasikan secara tunggal atau dikombinasikan (misalnya dengan kondroitin
sulfat) dalam bentuk sediaan kapsul, tablet dan cairan untuk pemberian oral
(Tekko, dkk., 2006).
Telah dilaporkan bahwa bioavailabilitas glukosamin hidroklorida yang
diberikan secara oral sangat rendah yaitu 26 % pada manusia (Barclay, T.S, dkk.,
1998) dan 19 % pada tikus (Aghazadeh-Habashi, A, dkk., 2002), hal ini
dikarenakan adanya metabolisme lintas pertama (Barclay, T.S, dkk., 1998).
Akibat hal tersebut pemberian dosis glukosamin hidroklorida menjadi lebih besar,
sehingga pemberiannya menjadi berkali-kali dalam satu hari. Untuk mengatasi
masalah tersebut, pengembangan obat dengan sistem penghantaran transdermal
menjadi alternatif, karena dapat meningkatkan bioavailabilitas obat (Pathan, I.B.
dan Setty, C.M., 2009) sehingga dosis yang diberikan menjadi lebih sedikit
dibandingkan pemberian secara oral.
Pada pemberian transdermal, obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit
untuk mendapatkan efek sistemik. Namun, kulit merupakan suatu barrier yang
membatasi penetrasi berbagai zat yang masuk menembus kulit (Kurihara, Tamie
& William, R, Good, 1994). Kemudian, glukosamin hidroklorida memiliki
permeabilitas kulit yang rendah karena sifat hidrofiliknya (Han, In Hee, dkk.,
2010). Salah satu cara untuk meningkatkan penetrasi obat dapat digunakan
teknologi nanopartikel atau sistem nanocarrier, yakni suatu sistem pembawa
dalam ukuran nanometer (Brigger, dkk., 2002). Akibat ukuran nano dari partikel
ini memungkinkan partikel dapat masuk dengan lebih efisien melalui berbagai
tipe sel dan akumulasi obat selektif pada tempat aksi (Singh & Lillard, 2009).
Teknologi nanopartikel memiliki keuntungan lain yakni dapat memperbaiki
bioavailabilitas yang buruk, meningkatkan stabilitas zat aktif dari degradasi
lingkungan (penguraian enzimatis, oksidasi, hidrolisis), memperbaiki absorbsi
suatu senyawa makromolekul (Mohanraj and Chen, 2006).
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nanopartikel dapat dibuat dari bahan polimer baik sintetik maupun
alami. Polimer yang memudahkan dalam penyiapan nanopartikel dapat dipilih
berupa polimer yang larut air. Salah satu polimer larut air yang dapat digunakan
pada pembuatan nanopartikel untuk tujuan pengobatan dan yang paling banyak
digunakan adalah kitosan (Tiyaboonchai, 2003). Hal ini dikarenakan kitosan
memiliki beberapa sifat ideal, yakni biokompatibilitas, tidak beracun,
biodegradable, dan tidak mahal. Kitosan juga memiliki gugus amino yang mampu
membentuk interaksi ionik (Bhumkar dan Pokharkar, 2006) yang berperan dalam
pembuatan nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik (Severino, dkk.,
2014). Metode pembuatan nanopartikel kitosan salah satunya dapat dilakukan
dengan metode gelasi ionik. Hal ini didasarkan pada interaksi elektrostatik antara
grup amina kitosan dan grup muatan negatif polianion seperti tripolifosfat.
Metode gelasi ionik digunakan karena prosesnya yang sederhana, murah dan
menghindari penggunaan pelarut organik (Severino, dkk., 2014).
Dalam pembuatan nanopartikel dengan gelasi ionik, reaksi sambung
silang dipengaruhi oleh ukuran agen sambung silang dan muatan dari kitosan dan
agen sambung silang. Muatan densisitas molekul ionik dipengaruhi oleh nilai pKa
dan pada pH dari larutan selama reaksi. pH larutan tidak boleh lebih tinggi dari
pH 6, karena jika pH terlalu tinggi, muatan positif dari kitosan akan ternetralisasi
dan sistem ini tidak menjadi sambung silang secara ionik tetapi akan terbentuk
kitosan yang mengendap (Berger, J, dkk., 2004).
Dalam penelitian Fahruzzaman (2017) telah dilakukan uji penetrasi gel
transdermal nanopartikel glukosamin hidroklorida dengan variasi konsentrasi
kitosan yakni 1 %, 0,5 % dan 0,25 % . Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa
jumlah kumulatif glukosamin hidroklorida yang berdifusi melalui membran kulit
paling baik adalah pada konsentrasi kitosan 0,5 %. Namun, pada sediaan tersebut
pH yang didapatkan belum sesuai dengan pH kulit. Menurut literatur pH sediaan
topikal hendaknya diusahakan sama atau sedekat mungkin dengan pH kulit yakni
4,5-6,5 karena apabila sediaan gel terlalu asam atau terlalu basa dari pH kulit,
kulit dapat menjadi kering, pecah-pecah, mengiritasi kulit dan mudah terkena
infeksi (Tranggono, R.I., 2007). Maka dari itu perlu dilakukan pembuatan gel
transdermal nanopartikel glukosamin hidroklorida dengan pH 5 atau pH 6. Nilai
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pH yang berbeda dapat mempengaruhi karakteristik fisik dan kemampuan
penetrasi obat.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dilakukan
karakterisasi fisik dan uji penetrasi glukosamin HCl dari sediaan gel pada pH 5
dan pH 6 yang dibandingkan dengan sediaan tanpa adjust pH.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana karakteristik fisik
dan profil penetrasi gel transdermal nanopartikel glukosamin HCl pada pH 5 dan
pH 6 dibandingkan dengan sediaan tanpa adjust pH ?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisik dan
profil penetrasi gel transdermal nanopartikel glukosamin HCl pada pH 5 dan pH 6
dibandingkan dengan tanpa adjust pH.
1.4. Manfaat Penelitian
Setelah penelitian ini dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1) Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan literatur
oleh pihak pendidikan yang digunakan oleh mahasiswa/i yang
berkepentingan.
2) Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak peneliti dan
lainnya yang berminat di bidang penelitian lanjutan tentang
nanokitosan yang mengandung bahan aktif glukosamin HCl yang
dapat digunakan sebagai sediaan farmasi untuk osteoartritis.
3) Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh industri farmasi untuk
memproduksi sediaan farmasi osteoartritis dalam sistem
penghantaran obat transdermal nanokitosan yang mengandung
glukosamin HCl.
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Osteoartritis
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi kronik degeneratif yang
tidak diketahui penyebabnya yang ditandai dengan menurunnya kekompakan
tulang kartilago secara bertahap. Osteoartritis merupakan penyakit yang paling
umum di masyarakat, di Inggris dan Wales, antara 1,3 dan 1,75 juta orang
memiliki gejala osteoartritis. Data dari Arthritis Research Campaign
menunjukkan bahwa hingga 550.000 orang di Inggris menderita osteoartritis lutut
berat dan dua juta orang mengunjungi dokter karena osteoartritis (Haq, dkk.,
2003). Osteoartritis dikelompokkan menjadi 2 kelompok , yaitu osteoartritis
primer dan osteoartritis sekunder. Osteoartritis primer adalah osteoartritis yang
tidak memiliki hubungan dengan penyakit sistemik maupun perubahan lokal pada
sendi. Osteoartritis sekunder adalah osteoarthritis yang diketahui penyebabnya
atau yang didasari oleh adanya trauma, obesitas, penyakit paget, atau radang sendi
(Haq, dkk., 2003). Pada tingkat molekuler, osteoartritis ditandai oleh
ketidakseimbangan antara anabolik yaitu biosintesis matriks ekstraseluler dan
katabolik yaitu degradasi jalur matriks ekstraseluler di mana kartilago artikular
adalah situs utama dari cedera jaringan. Karakteristiknya adalah menipisnya
rawan sendi secara progresif disertai pembentukan tulang baru pada trabekula
subkondral dan osteofit pada rawan sendi (Gartner PL, dkk., 2011 ; Ceasario M,
2011).
Gambar 2.1 Patogenesis Osteoartritis
[Sumber: Papanagnou Panagiota, dkk., 2016]
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Osteoartritis memiliki banyak faktor resiko, diantaranya adalah
peningkatan usia, kegemukan, trauma, jenis kelamin (perempuan lebih sering
terkena OA), genetik atau keturunan, aktivitas fisik yang berlebih, dan akibat
penyakit endokrin misalnya pada hipotiroidisme terjadi produksi air dan garam-
garam proteoglikan yang berlebihan pada seluruh jaringan penyokong, sehingga
merusak sifat fisik rawan sendi, ligamen, tendo, sinovia dan kulit (Kalim, 1987;
Isbagio, 2007). Gejala klinis osteoartritis secara umum adalah pasien mengalami
nyeri sendi, hambatan gerakan sendi, nyeri atau kaku sendi setelah imobilitas, rasa
gemeretek (kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit, perubahan
gaya berjalan seperti berjalan menjadi pincang (Kalim, 1987). Hal tersebut dapat
mengalami keterbatasan seseorang dalam bergerak, sehingga mengganggu
seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Pengobatan osteoartritis merupakan hal yang sangat penting, karena bila
dilakukan dengan benar dan tekun, maka hasil yang dicapai terbaik dibandingkan
dengan pengobatan artritis lainnya. Tujuan pengobatan osteoartritis adalah untuk
menghilangkan rasa sakit, memperkecil ketidakmampuan, memperbaiki fungsi
sendi yang terkena, dan menghambat progresivitas (Isbagio, 2007). Pilihan
pengobatan osteoartritis dapat berupa istirahat terhadap sendi yang terkena,
penurunan berat badan pada pasien obesitas, terapi fisik atau fisioterapi dan terapi
dengan menggunakan obat (Isbagio, 2007). Obat-obatan untuk osteoartritis
diantaranya adalah golongan analgesik seperti parasetamol , golongan anti-
inflamasi Non steroid (AINS) dan suplement glukosamin sendi (Haq, dkk., 2003).
Pada golongan analgesik dan AINS perlu diperhatikan penggunaannya
terkait efek samping yang dihasilkan, kemudian pada beberapa golongan AINS
dalam jangka panjang dilaporkan dapat memperberat kerusakan tulang rawan
sendi pada osteoartritis (Kalim, 2007). Institute of Medicine (2004) melaporkan
bahwa efek samping pada pasien yang menggunakan glukosamin lebih rendah
dibandingkan dengan pasien yang menggunakan golongan AINS (ibuprofen).
Glukosamin merupakan senyawa yang secara alami terdapat pada tubuh, terutama
pada jaringan penghubung dan jaringan tulang rawan (Anderson, dkk., 2004).
Food and Drug Administration (2004) menggolongkan glukosamin sebagai
suplemen yang dapat membantu menurunkan risiko penyakit persendian.
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Glukosamin terbukti dapat menstimulasi produksi tulang rawan dan menghambat
enzim yang menghancurkan tulang rawan. Selain itu, glukosamin juga dapat
membantu menghambat terjadinya perubahan metabolisme tulang pada penderita
osteoartritis (Towheed, dkk., 2005; Clegg , dkk., 2006).
2.2. Glukosamin HCl
Glukosamin merupakan amino monosakarida yang merupakan substrat
yang terlibat dalam biosintesis proteoglikan dan glikosaminoglikan yang
ditemukan di membran mukosa gastrointestinal, matriks kartilago artikular dan
cairan sinovial (Tekko, I. A, dkk., 2006). Proteoglikan merupakan komponen
penting dari kartilago artikular. Glukosamin meningkatkan sintesis proteoglikan
sehingga menghambat kerusakan tulang rawan yang disebabkan oleh osteoartritis
dan membantu menjaga keseimbangan antara proses katabolik dan anabolik
tulang rawan (Isbagio H, 2000). Glukosamin HCl dapat menekan produksi
prostaglandin-E2 yang disebabkan kemampuannya dalam menghambat kerja
enzim siklooksigenase, sehingga meredakan pengaruh peradangan pada penderita
osteoartritis (Orth, M.W.,T.L. Peters, J.N. Hawkins., 2002).
Terdapat tiga bentuk glukosamin yakni, glucosamine hydrochloride,
glucosamine sulfate, dan N-acetyl-glucosamine (Institute of Medicine, 2004).
Dalam penelitian Han In Hee (2010) menunjukkan bahwa glukosamin sulfat
sangat tidak stabil dan perlu distabilkan dengan natrium klorida atau kalium
klorida, sedangkan glukosamin hidroklorida secara alami stabil meskipun
memiliki permeabilitas kulit yang rendah karena sifat hidrofiliknya (Han, In Hee,
dkk., 2010).
Gambar 2.2 Struktur Kimia Glukosamin HCl
[Sumber: Han. In Hee, dkk., 2010]
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Secara struktural, glukosamin HCl atau 2-amino-2-deoksi-D-
glukopiranosa hidroklorida memiliki rumus molekul C6H13NO5HCl dengan nama
lain 2-Amino-2-deoxy-D-glucopyranose; chitosamine hydrochloride; D-
glucosamine hydrochloride; D(+)-glucosamine hydrochloride. Glukosamin dalam
bentuk murni berbentuk serbuk kristal putih dengan titik leleh 190-194⁰C dan
massa molekul 215,63 Da. Glukosamin HCl memiliki kelarutan tinggi dalam air
dengan titik larut 100 mg/mL pada suhu 20⁰C (Kralovec dan Barrow 2008).
Glukosamin HCl memiliki pH 3.0 – 5.0 dalam air. Glukosamin hidroklorida harus
disimpan dalam kondisi suhu dan kelembaban yang rendah serta dalam wadah
kedap udara terlindung dari cahaya matahari (Rogers, 2004).
Sekitar 87% dari dosis oral glukosamin diserap pada saluran pencernaan.
Absorbsi glukosamin HCl pada pemberian oral mengalami metabolisme lintas
pertama di hati, sehingga bioavailabilitasnya rendah sebesar 26%. Glukosamin
didistribusikan ke banyak jaringan dengan konsentrasi tertinggi ditemukan di hati,
ginjal, dan tulang rawan artikular. Glukosamin diekskresi terutama dalam urin
(Barclay Teresa Susanne, dkk., 1998).
2.3. Gel Transdermal
Gel merupakan bentuk sediaan semisolid yang ditujukan untuk
penggunaan secara topikal. Gel tersusun atas dispersi molekul kecil atau besar
dalam pembawa berair seperti jeli dengan penambahan bahan pembentuk gel.
Bahan pembentuk gel yang dapat digunakan berupa makromolekul sintetik,
seperti karbomer 934, derivat selulosa, seperti karboksimetilselulosa,
hidroksipropil metilselulosa dan gum alami, seperti tragakan. Selain bahan
pembentuk gel dan air, formulasi gel terdiri dari bahan obat, pelarut, pengawet
antimikroba, dan penstabil (Allen, Loyd V, dkk., 2014).
Gel yang memiliki makromolekul terdistribusi merata di seluruh cairan
tanpa batas yang tampak antara makromolekul yang terdispersi dan cairan disebut
dengan gel fase tunggal, sedangkan massa gel yang terdiri dari flokul partikel
yang terpisah disebut sebagai sistem dua fase. Sediaan gel memiliki beberapa
keuntungan dibandingkan sediaan topikal lainnya yaitu mudah mengering,
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
membentuk lapisan film yang mudah dicuci, penyebarannya di kulit mudah dan
memberikan rasa dingin di kulit (Panjaitan EN, dkk., 2012).
Sediaan topikal dapat digunakan baik untuk efek lokal maupun sistemik.
Perbedaan berikut ini merupakan sesuatu yang penting untuk diperhatikan dalam
penggunaan dermatologik, produk dermatologik topikal dirancang untuk
menghantarkan obat ke dalam kulit pada pengobatan penyakit dermal dengan kulit
sebagai organ target kemudian produk transdermal dirancang untuk
menghantarkan obat melalui kulit (absorpsi perkutan) pada sirkulasi umum untuk
efek sistemik dan kulit bukan merupakan organ target produk transdermal
(Allen,Loyd V, dkk., 2014).
Obat transdermal dirancang untuk larut ke dalam kulit untuk
mendapatkan efek sistemik. Penghantaran obat secara transdermal memberikan
banyak keuntungan dibanding dengan bentuk pemberian obat yang lain yaitu
(Allen, Loyd V, dkk., 2014) :
a. Menghindari kesulitan absorpsi obat pada saluran cerna yang disebabkan oleh
pH, aktivitas enzim, dan interaksi obat dengan makanan, minuman, dan obat
yang diberikan secara per oral lainnya.
b. Menghindari efek lintas pertama (first-pass effect), yaitu lintasan awal obat
pada sirkulasi sistemik dan portal setelah absorpsi pada saluran cerna sehingga
menghindari deaktivasi obat oleh enzim pencernaan dan hati.
c. Tidak invasif, menghindari ketidaknyamanan pada terapi dengan rute
pemberian parenteral.
d. Menyediakan terapi yang lebih lama dengan satu kali pemakaian, memperbaiki
kenyamanan dibandingkan bentuk sediaan lain yang memerlukan pemberian
dosis yang lebih sering.
e. Aktivitas obat yang memiliki waktu paruh singkat menjadi lebih lama dengan
adanya reservoir obat dalam sistem penghantaran terapeutik dan pelepasan
terkendali.
f. Terapi obat dapat dihentikan dengan cepat.
g. Mudah dan cepat diidentifikasi dalam kondisi darurat (misalnya ketika pasien
tidak sadar) karena fisik yang terlihat, ciri-ciri dan penanda identifikasi.
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Namun sayangnya, tidak semua obat dapat diberikan secara transdermal
dengan baik. Idealnya, obat-obat yang akan diberikan secara transdermal memiliki
sifat-sifat (Gaur, dkk, 2009):
a. Memliki bobot molekul relatif kecil (kurang dari 500 Da). Hal ini karena pada
dasarnya stratum korneum pada kulit merupakan barrier yang cukup efektif
untuk menghalangi molekul asing masuk ke tubuh sehingga hanya molekul-
molekul yang berukuran sangat kecil sajalah yang dapat menembusnya.
b. Memiliki koefisien partisi sedang (larut baik dalam lipid maupun air).
c. Memiliki titik lebur yang relatif rendah. Hal ini karena untuk dapat
berpenetrasi ke dalam kulit, obat harus dalam bentuk cair.
d. Memiliki effective dose yang relatif rendah.
e. Obat atau formulasi tidak menyebabkan iritasi pada kulit.
Absorpsi obat melalui sistem penghantaran transdermal diawali dengan
obat melalui stratum korneum, setelah melalui stratum korneum molekul obat
melintasi jaringan epidermal yang lebih dalam dan memasuki dermis. Ketika obat
mencapai lapisan dermal yang kaya pembuluh darah, obat siap untuk terabsorpsi
memasuki sirkulasi sistemik (Allen, Loyd V, dkk., 2014).
2.4. Kulit
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagian
tubuh dengan luas kulit pada manusia rata-rata 2 m2 dan beratnya sekitar 16 %
dari berat badan seseorang (Kusantati Herni, dkk., 2008). Fungsi utama kulit
adalah sebagai perlindungan tubuh dari mikroorganisme, kehilangan cairan dan
zat iritan kimia maupun mekanik. Selain itu juga sebagai pengaturan suhu tubuh,
ekskresi, metabolisme dan komunikasi (Sloane Ethel, 2003). Lapisan kulit terdiri
dari epidermis, dermis dan hipodermis (Sloane Ethel, 2003). Kulit memiliki pH
yaitu antara 4,5 – 6,5. Jika kulit terkena suatu bahan atau sediaan yang terlalu
asam atau terlalu basa dari pH kulit maka kulit dapat menjadi kering, pecah-
pecah, sensitif, dan mudah terkena infeksi (Tranggono, R.I., 2007).
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.3 Struktur Kulit
[Sumber: Kesarwarni Arti, dkk., 2013]
2.4.1. Struktur Kulit
Struktur kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan bagian terluar kulit
(epidermis) yang tersusun menjadi lima lapisan yakni stratum basalis, stratum
spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum dan stratum korneum. Di bawah
lapisan epidermis terdapat lapisan dermis yang terdiri dari stratum papilar dan
stratum retikular dan lapisan terdalam kulit adalah lapisan subkutan (hipodermis)
(Sloane Ethel, 2003).
1. Epidermis
Epidermis adalah bagian terluar kulit yang memiliki ketebalan
berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh, yang paling tebal berukuran 1
milimeter misalnya pada telapak tangan dan telapak kaki, dan yang
paling tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi,
dahi dan perut (Kusantati Herni, dkk., 2008). Sel penyusun utama
epidermis adalah keratinosit. Epidermis tidak memiliki pembuluh darah
dan sel-selnya sangat rapat (Sloane Ethel, 2003). Epidermis terdiri dari
lima lapisan yaitu stratum basalis, stratum spinosum, stratum
granulosum, stratum lusidum dan stratum korneum. Stratum basalis
melekat pada jaringan ikat dari lapisan dermis dan terjadi pembelahan sel
yang cepat pada lapisan ini. Lapisan epidermis teratas adalah stratum
korneum yang terdiri dari 25 sampai 30 lapisan sisik tidak hidup yang
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sangat terkeratinisasi dan semakin gepeng saat mendekati permukaan
kulit (Sloane Ethel, 2003). Stratum korneum merupakan barrier
(penghalang utama) dalam penetrasi obat karena merupakan lapisan
terluar pada kulit sehingga difusi zat melalui stratum korneum agak
lambat (Sinko, Patrick J, 2011; Wasitaatmadja SM, 2007).
2. Dermis
Dermis dipisahkan dari lapisan epidermis dengan adanya
membran dasar atau lamina. Membran ini tersusun dari dua lapisan
jaringan ikat yakni lapisan papilar dan lapisan retikular. Lapisan papilar
mengandung banyak pembuluh darah dan memberikan nutrisi pada
jaringan epidermis. Kemudian lapisan retikular terletak lebih dalam dari
lapisan papilar yang tersusun dari jaringan ikat ireguler yang rapat,
kolagen dan serat elastik (Sloane Ethel, 2003).
3. Hipodermis
Jaringan lemak hypodermis atau subkutan mendukung dermis
dan epidermis. Ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan lemak Lapisan
ini membantu mengatur suhu, memberikan dukungan nutrisi dan
perlindungan mekanis. Lapisan ini terutama mengandung jaringan lemak,
pembuluh darah dan limfe, saraf-saraf yang berjalan sejajar dengan
permukaan kulit. Cabang-cabang dari pembuluh-pembuluh dan saraf-
saraf menuju lapisan kulit jangat. Jaringan ikat bawah kulit berfungsi
sebagai bantalan atau penyangga benturan bagi organ-organ tubuh bagian
dalam, membentuk kontur tubuh dan sebagai cadangan makanan
(Kusantati Herni, dkk., 2008).
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4.2. Jalur Penetrasi Obat ke Kulit
Gambar 2.4 Rute Penetrasi Zat Melalui Kulit (1. melalui saluran keringat, 2.
langsung melintasi stratum korneum, 3. melalui folikel rambut)
[Sumber: Benson Heather A. E., 2005]
Absorpsi perkutan suatu obat secara umum dihasilkan dari penetrasi obat
langsung melalui stratum korneum. Penetrasi obat atau partikulat ke dalam strata
korneum menjadi tugas terpenting dalam pengiriman transdermal. Stratum
korneum merupakan penghalang utama yang menjadi penentu kecepatan transport
transdermal. Stratum korneum merupakan lapisan tipis datar setebal 10 hingga 15
µm yang sebagian merupakan jaringan tidak hidup. tersusun dari sekitar 40%
protein dan 40% air, dalam keseimbangan lipid yang pada prinsipnya berupa
trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfolipid. Kandungan lipid
terkonsentrasi pada fase ekstraselular stratum korneum dan membentuk sebagian
besar membran di sekitar sel. Karena rute penetrasi obat utama melalui saluran
interselular, komponen lipid dianggap sebagai penentu yang penting dalam
langkah pertama absorpsi. Setelah melalui stratum korneum, molekul obat dapat
melintasi jaringan epidermal yang lebih dalam dan memasuki dermis. Ketika obat
mencapai lapisan dermal yang kaya pembuluh darah, obat siap untuk terabsorpsi
memasuki sirkulasi sistemik (Allen, Loyd V, dkk., 2014).
Penetrasi obat melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya
proses difusi melalui 2 cara yaitu transepidermal (interselular dan transelular)
serta jalur transppendageal :
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. Absorpsi transpidermal
Penetrasi obat melalui jalur transpidermal merupakan jalur
difusi melalui stratum korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur
transelular yang berarti melalui protein di dalam sel dan melewati daerah
yang kaya akan lipid (Anwar, 2012). Kemudian terdapat jalur
interselular, dimana obat menembus lapisan kulit melalui ruang antar sel
dari kulit sehingga jalurnya menjadi berliku dan lebih panjang. Untuk
jalur ini lebih cenderung untuk obat yang bersifat lipofilik karena akan
larut dalam lemak yang terdapat di antara filamen (Lund, 1994).
b. Absorpsi transappendageal
Pada jalur ini obat masuk melalui folikel rambut dan kelenjar
keringat disebabkan karena adanya pori-pori di antaranya, sehingga
memungkinkan obat berpenetrasi (Anwar, 2012). Jalur ini kurang
potensial dalam permeasi obat karena luas permukaannya yang kecil
yakni hanya mencakup 0,1% area untuk penyerapannya pada kulit
(Toitou & Barry W, 2007).
2.4.3. Faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Perkutan
Tidak semua senyawa obat cocok untuk dihantarkan secara transdermal.
Faktor-faktor yang berperan dalam absorpsi perkutan di antaranya sifat fisika
kimia obat, meliputi berat molekul, kelarutan, koefisien partisi dan konstanta
disosiasi, sifat bahan pembawa dan kondisi kulit. Berikut faktor-faktor yang
memengaruhi absorpsi obat (Allen, Loyd V, dkk., 2014) :
1. Konsentrasi obat, jumlah obat yang terabsorpsi secara perkutan pada setiap unit
luas permukaan tiap interval waktu meningkat seiring dengan peningkatan
konsentrasi obat dalam sistem penghantaran obat transdermal.
2. Semakin luas area pemakaian (semakin besar sistem penghantaran obat
transdermal) semakin banyak jumlah obat terabsorpsi.
3. Obat harus memiliki gaya tarik fisikokimia yang lebih besar terhadap kulit
dibandingkan terhadap pembawa, sehingga obat akan meninggalkan pembawa
menuju kulit. Beberapa kelarutan obat baik dalam lipid maupun air dianggap
penting untuk absorpsi perkutan yang efektif. Secara umum,obat dalam bentuk
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tidak terionisasi berpenetrasi dalam kulit lebih baik. Obat nonpolar cenderung
melintasi sel barrier melalui bagian yang kaya lemak (rute transelular),
sedangkan obat polar lebih menyukai transport antar sel (rute interselular).
4. Obat dengan berat molekul antara 100-800 dan memiliki kelarutan dalam
lemak dan air dapat melintasi kulit. Berat molekul yang ideal untuk
penghantaran transdermal, yaitu 400 atau kurang.
5. Hidrasi kulit umumnya dapat membantu absorpsi perkutan. Sistem
penghantaran obat transdermal bertindak sebagai barrier hilangnya
kelembapan oklusif yang mengakibatkan keringat tertahan sehingga
meningkatkan hidrasi kulit.
6. Absorpsi perkutan lebih besar ketika sistem penghantaran obat transdermal
digunakan pada daerah dengan lapisan tanduk yang lebih tipis dibandingkan
daerah dengan lapisan tanduk lebih tebal.
7. Aplikasi obat yang lebih lama memungkinkan kontak dengan kulit yang lebih
lama sehingga total obat yang terabsorpsi semakin besar.
8. Suhu dan pH sediaan, permeasi obat meningkat sepuluh kali lipat dengan
variasi suhu. Koefisien difusi menurun saat suhu turun. Asam lemah dan basa
lemah berdisosiasi bergantung pada nilai pH dan pKa atau pKb. Jumlah obat
yang tak terion menentukan konsentrasi obat yang terpenetrasi ke dalam kulit
(Kesarwarni Arti, dkk., 2013).
9. pH kulit, permukaan kulit memiliki pH normal, yaitu sekitar 4,5-6,5,
bergantung usia, jenis kelamin, genetik dan area tubuh. pH vehikulum dan pH
kulit berperan penting dalam difusi obat, karena akan memengaruhi kelarutan,
drug partitioning, dan penetrasi. Beberapa vehikulum terbaru telah
dikembangkan untuk menjaga stabilitas obat, sehingga efektifitasnya lebih baik
(Aliska, dkk., 2015).
2.5. Nanopartikel Kitosan
Nanopartikel adalah dispersi partikel atau partikel padat dengan ukuran
kisaran 10-1000 nm. Dalam sistem penghantaran obat, nanopartikel berperan
sebagai pembawa (carrier) dimana obat di dalamnya terperangkap, terlarut,
terenkapsulasi atau menempel pada matriks nanopartikel (Mohanraj dan Chen,
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2006). Nanopartikel akan memfasilitasi penetrasi molekul obat melalui lapisan
luar subkutan, diikuti oleh pelepasan obat ke dalam lapisan kulit yang lebih
dalam. Nanopartikel yang paling umum digunakan untuk pengiriman obat topikal
dan atau transdermal adalah nanopartikel polimer, nanoemulsi, nanopartikel
berbasis lipid (liposom dan nanopartikel solid lipid), nanopartikel logam dan
dendrimers (Goyal, dkk., 2016).
Tujuan utama dari penggunaan nanopartikel dalam sediaan transdermal
yaitu untuk meningkatkan bioavailabilitas dengan meningkatkan luas permukaan
kontak. Ukuran partikel yang semakin mengecil diharapkan akan meningkatkan
luas kontak partikel dengan membran dan mempermudah partikel masuk
menembus membran. Semakin meningkatnya partikel pembawa yang menembus
membran maka diharapkan jumlah obat yang masuk ke sirkulasi sistemik akan
meningkat dan bioavailabilitas zat aktif akan meningkat (Thassu, dkk., 2007).
Kelebihan nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat yakni sebagai
perlindungan obat terhadap degradasi, dapat menargetkan obat ke tempat kerja,
organ atau jaringan tertentu, dan dapat menghantarkan molekul biologis seperti
protein, peptida, dan oligonukleotida (Thassu, dkk., 2007).
Nanopartikel dapat dibuat dari berbagai macam bahan seperti protein,
polisakarida dan polimer sintetis atau alami (Sailaja, Amareshwar, & Chakravarty,
2010). Dalam pembuatan nanopartikel dengan polimer yang tidak larut dalam air,
polimer harus dipanaskan atau dilarutkan dalam pelarut organik atau gaya geser
tinggi . Hal tersebut berbahaya bagi stabilitas obat. Sebaliknya, polimer yang larut
dalam air menawarkan metode yang sangat sederhana dan ringan tanpa
menggunakan pelarut organik. Di antara banyak polimer larut air yang tersedia,
kitosan merupakan polimer yang paling banyak diteliti . Hal ini karena kitosan
memiliki beberapa sifat yang ideal sebagai pembawa polimer dalam nanopartikel ,
seperti biokompatibel, biodegradable, tidak beracun, dan murah (Tiyaboonchai,
2003).
Dalam pembuatan nanopartikel kitosan terdapat beberapa metode yaitu,
metode sambung silang (gelasi ionik) , metode mikroemulsi, metode difusi pelarut
emulsifikasi dan metode kompleks polielektrolit (Sailaja, Amareshwar, &
Chakravarty, 2010). Nanopartikel dapat dibuat dengan metode sambung silang.
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nanopartikel sambung silang merupakan nanopartikel yang terbentuk dari proses
sambung silang antara elektrolit dengan pasangan ionnya. Pembuatan
nanopartikel sambung silang dapat dilakukan dengan metode sambung silang
konvensional menggunakan senyawa penyambung silang konvensional atau
dengan menggunakan metode gelasi ionik (Maskevich(ed.), 2007). Metode
sambung silang konvensional kurang disukai karena senyawa penyambung silang
konvensional (misalnya glutaraldehid) harus dihindari dengan alasan senyawa
penyambung silang konvensional menyebabkan kerusakan struktur peptida dan
juga toksisitas seluler. Metode gelasi ionik lebih menarik banyak perhatian karena
proses ini tidak beracun, bebas pelarut organik, mudah dikontrol, mencegah
kemungkinan kerusakan obat-obatan, terutama zat biologis dan mudah
dioperasikan (Fan We, dkk., 2012).
Metode gelasi ionik melibatkan proses sambung silang antara
polielektrolit dengan adanya pasangan ion multivalennya. Gelasi ionik didasarkan
pada interaksi elektrostatik antara gugus amino bermuatan positif misalnya
kitosan dengan ion bermuatan negatif misalnya dari tripolifosfat (Mattu, Clara,
dkk., 2012). Teknik metode gelasi ionik menawarkan metode preparasi yang
sederhana dan ringan di lingkungan berair. Pertama, kitosan dapat dilarutkan
dalam asam asetat dengan tidak adanya atau adanya zat penstabil, seperti
poloksamer, yang dapat ditambahkan di larutan chitosan sebelum atau sesudah
penambahan polianion. Polianion atau polimer anionik kemudian ditambahkan.
Akibat kompleksasi antara muatan yang berbeda, kitosan mengalami gelasi ionik
dan presipitasi membentuk partikel bulat seperti bola. Dengan demikian,
nanopartikel dibentuk secara spontan akibat pengadukan mekanis pada suhu
kamar (Irianto Eko Hary & Muljanah Ijah, 2011). Ukuran dan muatan permukaan
partikel dapat dimodifikasi dengan memvariasikan ukuran kitosan dan zat
penstabil (Sailaja, Amareshwar, & Chakravarty, 2010).
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.6. Kitosan
Gambar 2.5 Struktur Kimia Kitosan
[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Kitosan adalah polimer alami yang dihasilkan dari deasetilasi kitin yang
merupakan polisakarida kationik yang terdiri dari unit β (1,4) D-glucosamine dan
N-asetilglukosamin. Kitosan memiliki sifat biokompatibel dengan kulit sehat serta
terinfeksi, biodegradable, nontoksik, dan tidak iritan memiliki sifat antimikroba
yang sangat baik. Kitosan tersedia secara komersial dalam berbagai jenis dengan
berat molekul 10.000-1.000.000 dan dengan derajat deasetilasi yang berbeda-beda
(Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).
Kitosan berbentuk serbuk atau serpihan berwarna putih atau putih-krem
dan tidak berbau. Kitosan sedikit larut dalam air; praktis tidak larut dalam etanol
(95%) dan larutan netral atau alkali pada pH di atas sekitar 6,5 akan tetapi, kitosan
larut dalam sebagian besar larutan asam organik seperti asam format, asam asetat
pada pH kurang dari 6,5 kecuali asam fosfor dan asam sulfur. Setelah pelarutan,
gugus amina polimer terprotonasi menghasilkan polisakarida bermuatan positif
(RNH3+) dan garam kitosan (klorida, glutamat, dan lainlain) yang larut dalam air,
kelarutan dipengaruhi oleh tingkat deasetilasi. Kemudian kelarutan juga sangat
dipengaruhi oleh penambahan garam ke dalam larutan. Semakin besar kekuatan
ionik, maka kelarutan semakin kecil akibat dari pengaruh salting-out, yang
menyebabkan pengendapan kitosan. Kitosan memiliki nilai pH 4.0-6.0 (pada 1%
w/v larutan air (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009; Sailaja A Krishna, dkk., 2010).
Kitosan merupakan poliamin dengan densitas muatan tinggi pada pH
<6,5, sehingga menempel pada permukaan yang bermuatan negatif dan mengkelat
ion logam. Adanya sejumlah gugus amino membuat kitosan dapat bereaksi secara
kimia dengan senyawa anion, yang mana menghasilkan perubahan sifat
fisikokimia dari kombinasi tersebut (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Serbuk kitosan merupakan bahan yang stabil dalam suhu ruang dan dapat
disimpan dalam wadah tertutup baik ditempat yang kering dan sejuk (Rowe,
Sheskey & Quinn, 2009). Dalam bidang medis dan farmakologi, kitosan dapat
diaplikasikan dalam bentuk tablet, membran, mikropartikel dan nanopartikel.
Berbagai metode yang digunakan untuk mempersiapkan nanopartikel berbasis
kitosan dan aplikasinya telah ditinjau secara ekstensif. Kitosan dapat menjerat
obat dengan berbagai mekanisme yakni ikatan sambung silang kimia, ikatan
sambung silang ionik, dan kompleksitas ion (Mattu, Clara, dkk., 2012).
2.7. Natrium Tripolifosfat
Gambar 2.6 Struktur Natrium Tripolifpsfat
[Sumber: Pubchem.ncbi.nlm.nih.gov]
Natrium tripolifosfat adalah senyawa anorganik padat yang memiliki
rumus kimia Na5O10P3 dan berat molekul sebesar 367.86 (g/mol) (HERA, 2003) .
Natrium tripolifosfat ada dalam bentuk garam natrium yang terdapat dalam bentuk
anhidrat maupun heksahidratnya (FAO, 2006) namun bentuk stabil natrium
tripolifosfat adalah dalam bentuk heksahidrat (HERA, 2003). Natrium tripolifosfat
memiliki bentuk serbuk atau granul berwarna putih, sedikit higroskopis dan
memiliki pH 9.0-10 (pada 1% larutan berair) pada suhu 25⁰C. Natrium
tripolifosfat memiliki kelarutan mudah larut dalam air dan tidak larut dalam etanol
(HERA, 2003).
Natrium tripolifosfat sebagai pengikat silang dapat membentuk
nanopartikel dengan kitosan melalui metode gelasi ionik. Metode gelasi ionik
terjadi karena adanya interaksi elektrostatik antara kelompok amina kitosan dan
kelompok polianion yang bermuatan negatif dari natrium tripolifosfat, interaksi
ion ini menghasilkan terbentuknya nanopartikel (Hudson dan Margaritis 2014;
Nagpal, dkk., 2010). Natrium tripolifosfat merupakan crosslinker polianion yang
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
paling banyak digunakan, karena bersifat tidak toksik dan multivalen. Yu-Hsin
Lin, dkk (2008) melaporkan bahwa dengan digunakannya natrium tripolifosfat
sebagai salah satu pasangan ion kitosan, hasil nanopartikel yang didapat lebih
stabil dan memiliki karakter penembusan membran yang lebih baik. Akan tetapi,
menurut Wu, dkk (2005) pembentukan nanopartikel hanya dapat terjadi dengan
beberapa konsentrasi kitosan dan TPP yang tepat.
2.8. Monografi
2.8.1. Tween 80
Tween 80 atau Polioksitilen 20 sorbitan monooleat memiliki rumus kimia
C64H124O26 dengan berat molekul 1310. Tween 80 memiliki aroma yang khas dan
rasa yang pahit. Pada suhu 25ºC tween 80 berbentuk cair, berwarna kuning dan
berminyak. Tween 80 larut dalam air dan etanol dan tidak larut dalam minyak
mineral dan minyak nabati. Tween 80 memiliki pH 6-8 dalam 5% zat (w/v) dalam
larutan berair. Tween 80 memiliki fungsi sebagai zat pembasah, emulgator, dan
peningkat kelarutan. Polisorbat bersifat higroskopis dan harus disimpan di tempat
sejuk dan kering dalam wadah yang tertutup rapat dan terlindungi dari cahaya
(Rowe, Sheskey & Quinn, 2009). Surfaktan dapat digunakan sebagai peningkat
penetrasi dengan cara melarutkan senyawa yang bersifat lipofilik dan melarutkan
lapisan lipid pada stratum corneum. Surfaktan non ionik lebih aman untuk
digunakan karena tidak menyebabkan kerusakan pada kulit (Williams dan Barry,
2004).
2.8.2. Hidroksipropilmetil Selulosa
Gambar 2.7 Struktur Kimia HPMC [Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Hidroksipropilmetil selulosa atau methocel, metilselulosa,
hidroksipropilselulosa, metolose merupakan polimer semisintetik turunan selulosa
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang memiliki rumus kimia CH3CH(OH)CH2. HPMC memiliki bentuk serbuk
granul atau serat berwarna putih atau putih-krem. HPMC larut dalam air dingin,
membentuk larutan koloid kental, praktis tidak larut dalam air panas, kloroform,
etanol (95%) dan eter, tetapi larut dalam campuran air dan alkohol. Beberapa jenis
dari HPMC larut dalam larutan aseton, campuran aseton dan propan-2-ol dan
pelarut organik lainnya. Beberapa dapat mengembang dalam etanol. HPMC
merupakan polimer nonionik, sehingga tidak membentuk kompleks dengan garam
logam atau ion organik dan membentuk endapan yang tidak terlarut (Rowe,
Sheskey & Quinn, 2009).
HPMC pada konsentrasi 2% dalam larutan air memiliki pH sebesar 5,0 -
8,0. Bubuk HPMC adalah bahan yang stabil, meski bersifat higroskopis setelah
pengeringan. Larutan HPMC stabil pada pH 3-11 dan tidak dapat bergabung
dengan beberapa senyawa pengoksidasi kuat. Serbuk HPMC harus disimpan
dalam dalam tertutup wadah di tempat sejuk dan kering. HPMC mengalami
perubahan yang reversibel (dapat kembali) dari bentuk padatan ke bentuk gel
dengan pemanasan dan pendinginan secara berturut turut. Tempertur pembekuan
(gelation) antara 50 – 90⁰C, tergantung pada jenis dan konsentrasinya. Pada
temperatur di bawah temperatur gelasi akan terjadi penurunan viskositas larutan
polimer HPMC dengan peningkatan suhu, sedangkan pada temperatur di atas
temperatur gelasi, viskositas akan meningkat dengan meningkatnya suhu. HPMC
umumnya tidak toksik dan tidak menyebabkan iritasi. HPMC digunakan sebagai
bahan bioadesif, pembentuk film, zat penyalut, zat pengontrol pelepasan obat,
agen pendispersi, peningkat disolusi, emulgator, stabilizer emulsi, zat peningkat
viskositas, zat pengikat tablet, mukoadesif dan agen peningkat kelarutan (Rowe,
Sheskey & Quinn, 2009).
2.8.3. Propilen Glikol
Propilen glikol atau 1,2-dihidroksipropane; E1520; 2-hidroksi propanol;
metil etilen glikol; metil glikol; propan-1,2-diol; propilenglikolum merupakan
cairan bening, tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau, manis, dan memiliki
rasa yang sedikit tajam menyerupai gliserin. Propilen glikol memiliki rumus kimia
C3H8O2 dan struktur kimia seperti pada gambar 2.7. Propilen glikol larut dalam
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin, dan air; larut pada 1 dalam 6 bagian
eter, tidak larut dengan minyak mineral ringan atau fixed oil, tetapi larut dalam
beberapa minyak esensial (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).
Gambar 2.8 Struktur Kimia Propilen Glikol
[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Propilen glikol memiliki fungsi sebagai pengawet antimikroba,
disinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, zat penstabil, dan kosolven yang
bercampur dengan air (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009). Selain itu, propilen glikol
juga berperan sebagai peningkat penetrasi obat ke dalam kulit dan memiliki efek
yang sinergis bersama dengan tween 80 (Pandey, dkk., 2014). Sebagai humektan,
konsentrasi propilen glikol yang digunakan adalah 15%. Propilen glikol bersifat
higroskopik dan harus disimpan di tempat yang sejuk dan kering dalam wadah
tertutup serta terlindung dari cahaya (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).
2.8.4. Metil Paraben
Gambar 2.9 Struktur Kimia Metil Paraben
[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Metil paraben atau nipagin memiliki rumus kimia C8H8O3 dengan berat
molekul 152,15. Metil paraben berbentuk kristal tak berwarna atau bubuk kristal
putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau dan sedikit memberikan rasa panas.
Metil paraben memiliki kelarutan dalam air yaitu 1 bagian larut dalam 400 bagian
air pada suhu ruang dan 1 bagian larut dalam 50 bagian air pada suhu 50⁰C. Metil
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
paraben mudah larut dalam etanol dan dalam propilen glikol namun praktis tidak
larut dalam minyak mineral. Metil paraben bersifat nonmutagenik,
nonteratogenik, dan non-karsinogenik (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).
Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba.
Konsentrasi metil paraben yang digunakan untuk sediaan topikal, yaitu 0,02 % -
0,3 %. Zat ini dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan zat
antimikroba lainnya. Efektivitas metil paraben sebagai anti mikroba berada pada
rentang pH 4 – 8 dan lebih aktif melawan ragi atau jamur dibandingkan bakteri.
Aktivitas antimikroba metil paraben dapat ditingkatkan dengan menggunakan
kombinasi paraben seperti metil-, etil-, propil-, dan butil paraben. Efikasinya
sebagai pengawet juga dapat meningkat dengan ditambahkannya propilen glikol
(2 - 5%) (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).
2.8.5. Propil Paraben
Gambar 2.10 Struktur Kimia Propil Paraben
[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Propil paraben atau nipasol memiliki rumus kimia C10H12O3 dengan
berat molekul 180, 20. Propil paraben berbentuk bubuk putih, kristal, tidak berbau
dan tidak berasa. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan eter, mudah larut
dalam etanol 95% dan dalam propilen glikol. Kelarutannya dalam air adalah 1
bagian larut dalam 2500 bagian air pada suhu ruang dan dalam 225 bagian air
pada suhu 80⁰C (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).
Propil paraben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam
produk kosmetik, makanan, dan farmasi. Aktivitas antimikroba ditunjukkan pada
pH antara 4 – 8. Konsentrasi propil paraben yang digunakan untuk sediaan
topikal, yaitu 0,01 % - 0,6 % (Rowe dkk, 2009). Propil paraben memiliki rantai
yang lebih panjang dibandingkan metil paraben, sehingga kelarutannya menurun,
tetapi aktivitas antimikrobanya lebih baik daripada metil paraben. Penggunaan
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kombinasi paraben dapat meningkatkan aktivitas antimikroba (Rowe, Sheskey &
Quinn, 2009).
2.8.6. Trietanolamin (TEA)
Gambar 2.11 Struktur Kimia Trietanolamin
[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]
Trietanolamin (TEA) atau nama lainnya tealan; triethylolamine;
trihydroxytriethylamine memiliki bentuk cairan kental yang bening, tidak
berwarna hingga sedikit kuning, berbau sedikit amoniak. Pada suhu 20⁰C
trietanolamin dapat bercampur dengan air, metanol dan aseton; dapat larut dalam
24 bagian benzena dan dalam 63 bagian etil eter. TEA berfungsi sebagai pengatur
pH yakni alkalizing agen. TEA inkompatibilitas dengan tembaga, tionil klorida
dan asam mineral. Trietanolamin harus disimpan dalam wadah bebas udara yang
terlindung dari cahaya, di tempat sejuk dan kering (Rowe, Sheskey & Quinn,
2009).
2.9. Uji Penetrasi Metode Sel Difusi Franz
Formulasi suatu sediaan transdermal yang baik harus dapat memberikan
pelepasan obat yang optimal dan deposisi obat ke dalam lapisan kulit yang ingin
dicapai, yaitu stratum korneum, epidermis atau dermis. Studi penetrasi in vitro
berhubungan dengan penilaian bioavailabilitas zat aktif pada kulit untuk
mengukur kecepatan dan jumlah senyawa yang melewati kulit, dimana hal
tersebut tergantung pada obat, bentuk sediaan, bahan eksipien, bahan peningkat
penetrasi dan variabel formulasi lainnya (Witt & Bucs, 2003).
Salah satu cara metode in vitro untuk mengukur jumlah obat yang
terpenetrasi melalui kulit yaitu dengan menggunakan sel difusi Franz. Sel difusi
Franz terbagi atas dua kompartemen, yaitu kompartemen donor dan kompartemen
reseptor yang terpisahkan oleh suatu pelapis atau potongan kulit. Membran yang
digunakan dalam uji penetrasi ini dapat digunakan membran berupa kulit manusia
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
atau kulit hewan. Salah satu kulit hewan yang dapat digunakan adalah membran
kulit tikus. Perbedaan jenis kelamin pada tikus memberikan perbedaan sifat pada
membran kulitnya, di mana membran kulit betina lebih elastis dibandingkan
dengan kulit jantan sehingga mempermudah penggunaannya ketika diletakkan
pada sel difusi franz. Selain itu, kulit tikus jantan 40% lebih tebal daripada kulit
tikus betina (Dao dkk, 2007). Membran diletakkan di antara kedua kompartemen
yang dilengkapi 0-ring untuk menjaga letak membran. Selanjutnya kompartemen
reseptor diisi dengan larutan penerima. Suhu pada sel dijaga sesuai dengan suhu
kulit sebenarnya dengan sirkulasi air menggunakan water jacket di sekeliling
kompatemen reseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada membran kulit.
Kemudian pada interval waktu tertentu cairan dari kompartemen reseptor diambil
beberapa mL dan segera digantikan dengan cairan yang sama sejumlah cairan
yang diambil. Selanjutnya jumlah obat yang terpenetrasi melalui kulit dapat
dianalisis dengan metode yang sesuai (Walters & Brain, 2002 ; Fan, Mitchnick, &
Loxley, 2007).
Gambar 2.12 Sel Difusi Franz
[Sumber: http://permegear.com/franz-cells]
2.10. Spektrofotometri UV-Vis
2.10.1. Teori Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometri UV-Vis adalah salah satu teknik atau instrument yang
paling sering digunakan dalam analisis farmasi untuk mengukur rasio, atau fungsi
rasio, intensitas dua berkas cahaya di wilayah UV-Visible. Hal ini melibatkan
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pengukuran jumlah sinar ultraviolet atau sinar tampak yang diserap oleh suatu zat
dalam larutan. Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah
spektrum ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik dengan
kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang
gelombang 200-800 nm (Gandjar dan Rohman, 2007)
Teknik spektrofotometri merupakan teknik yang sederhana, cepat, cukup
spesifik dan dapat digunakan untuk senyawa yang kecil. Hukum dasar yang
mengatur analisis spektrofotometri kuantitatif adalah Hukum Lambert-Beer.
Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa Intensitas yang diteruskan oleh larutan
zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan. Menurut
Gandjar dan Rohman (2007), metode spektrofotometri ultraviolet-visibel
digunakan untuk menetapkan kadar senyawa obat dalam jumlah yang cukup
banyak. Cara untuk menetapkan kadar sampel adalah dengan menggunakan
perbandingan absorbansi sampel dengan absorbansi baku atau dengan
menggunakan persamaan regresi linier yang menyatakan hubungan antara
konsentrasi baku dengan absorbansinya. Persamaan kurva baku selanjutnya
digunakan untuk menghitung kadar dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.10.2. Komponen Instrumen Spektrofotometri UV-Vis
Menurut Gandjar dan Rohman (2007) komponen dari instrumen
spektrofotometer UV-Vis meliputi sumber-sumber sinar, monokromator dan
sistem optik :
1. Sebagai sumber sinar, lampu deuterium atau lampu untuk daerah UV (190-350
nm) dan lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel (350-900 nm).
2. Monokromator; digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam komponen-
komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh celah
(slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang
gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan instrumen melewati
spektrum.
3. Optik-optik; dapat didesain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber
sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam spektrofotometer
berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat digunakan dalam satu
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau spektrum sampel. Blanko
yang paling sering digunakan dalam spektrofotometri adalah semua pelarut
yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi. (Gandjar & Rohman,
2007).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan
spektrofotometri UV-Vis, terutama untuk senyawa yang semula tidak berwarna
yang akan dianalisis dengan spektrofotometri visibel karena senyawa tersebut
harus diubah terlebih dahulu menjadi senyawa yang berwarna. Berikut adalah
tahapan yang harus diperhatikan (Gandjar & Rohman, 2007) :
a. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis
Hal ini perlu dilakukan jika senyawa yang dianalisis tidak
menyerap pada daerah tersebut. Cara yang digunakan adalah dengan
merubah menjadi senyawa lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu
yang harus memenuhi beberapa persyaratan seperti, reaksinya selektif
dan sensitif, reaksinya cepat dan kuantitatif, serta hasil reaksi stabil
dalam jangka waktu yang lama.
b. Waktu Operasional (operating time)
Tujuan waktu operasional adalah untuk mengetahui waktu
pengukuran yang stabil. Waktu operasional ditentukan dengan mengukur
hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi larutan.
Pengukuran senyawa berwarna (hasil suatu reaksi kimia) harus dilakukan
pada saat waktu operasional, karena semakin lama waktu pengukuran
maka ada kemungkinan senyawa berwarna akan rusak atau terurai
sehingga mengakitbakan intensitas warna dan absorbansinya turun.
c. Pemilihan Panjang Gelombang
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif
adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Hal
ini karena jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang
disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali,
ketika digunakan panjang gelombang maksimal. Alasan lain
digunakannya panjang gelombang maksimum adalah karena pada
panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal.
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d. Pembuatan Kurva Baku
Pembuatan kurva baku dilakukan dengan cara membuat seri
larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi.
Kemudian masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai
konsentrasi diukur dan dibuat kurva yang merupakan hubungan antara
absorbansi dengan konsentrasi. Jika hukum Lamber-Beer terpenuhi maka
kurva baku berupa garis lurus.
e. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan
Absorban yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara
0,2 - 0,8 atau 15 % - 70 % jika dibaca sebagai transmitans. Anjuran ini
berdasarkan anggapan bahwa kesalahan dalam pembacaan T adalah
0,005 atau 0,5 % (kesalahan fotometrik).
2.10.3. Validasi Metode Analisis
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap
parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan
bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya
(Harmitha, 2004). Menurut United States Pharmacopeia (USP) validasi metode
analisis dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik,
reprodusibel dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Validasi metode
analisis perlu dilakukan untuk menjamin bahwa setiap pengukuran serupa yang
dilakukan di masa yang akan datang akan menghasilkan nilai terhitung (calculated
value) yang cukup dekat atau sama dengan nilai sebenarnya dari jumlah analit
yang terdapat dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2012). Parameter yang dinilai
pada validasi metode analisis salah satunya adalah batas deteksi (LOD) dan batas
kuantitasi (LOQ) (Riyanto, 2014).
LOD adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi
yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. LOD
merupakan parameter yang dapat dipengaruhi oleh perubahan kecil dalam sistem
analitis (misalnya suhu, kemurnian reagen, efek matriks, kondisi berperan). Oleh
karena itu, penting bahwa parameter ini selalu dilakukan oleh laboratorium dalam
memvalidasi metode. Batas kuantitasi merupakan konsentrasi terendah analit
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat
diterima dibawah kondisi yang disepakati. Limit deteksi dan limit kuantisasi tidak
dapat dipisahkan karena diantara keduanya terdapat hubungan yang sangat kuat.
Secara praktis cara evaluasi keduanya dapat dikatakan tidak ada perbedaan yang
signifikan. Perbedaan di antara keduanya hanya pada sifat kuantitatif data yang
diperoleh (Riyanto, 2014).
Terdapat tiga cara dalam menentukan LOD dan LOQ, yaitu signal-to-
noise, penentuan blanko dan dengan kurva kalibrasi. Untuk kurva kalibrasi linear,
diasumsikan bahwa respon instrumen y berhubungan linier dengan konsentrasi x
standar untuk rentang yang terbatas konsentrasi. Hal ini dapat dinyatakan dalam
model seperti y = bx + a. Oleh karena itu LOD dan LOQ dapat dinyatakan sebagai
(Riyanto, 2014):
LOD = 3 Sa/b
LOQ = 10 Sa/b
Keterangan:
Sa
b =
=
Standar deviasi
Slope
30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan ± 6 bulan, terhitung dari bulan Januari – Juli tahun
2018 yang dilaksanakan di Laboratorium Kimia Bahan Obat dan Laboratorium
Penelitian 2 FIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2. Bahan Penelitian
Glukosamin HCl (Nutraceuticals International), kitosan (PT. Biotek
Surindo), natrium tripolifosfat (WAKO), hidroksipropilmetil selulosa/HPMC
60SH50 (Shin Etsu Japan), asam asetat, natrium asetat (Merck), dietil eter
(Merck), metil paraben (Bratako), propil paraben (Bratako), propilenglikol
(Bratachem), trietanolamin (Bratako), Dapar fosfat 7,4 ; aquadest, tisu, aluminium
foil, dan plastic wrap.
3.3. Alat Penelitian
Timbangan analitik (AND GH-120), viskotester Haake 6+, pengaduk
magnetik, pH meter (Horiba F-52), spektrofotometri UV-Vis (U- 2900, Hitachi),
Franz Diffusion Cell, buret (50 ml, Pyrex), Overhead stirrer, vial dan alat-alat
gelas yang sering dipakai di laboratorium.
3.4. Prosedur Kerja
3.4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl
Nanopartikel glukosamin HCl dibuat dengan cara melarutkan 1 g
glukosamin HCl dan 0,25 g Tween 80 ke dalam 40 ml larutan kitosan 0,5 %
dalam larutan asam asetat 1%. Sebanyak 10 ml larutan Na-TPP 0,1 % diteteskan
ke dalam larutan kitosan untuk dilakukan sambung silang sambil diaduk
menggunakan bantuan pengaduk magnetik hingga terbentuk dispersi nanopartikel.
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.2. Preparasi Sediaan Gel Nanopartikel Glukosamin HCl
Gel Nanopartikel glukosamin HCl dibuat dalam 3 formula seperti yang
tertera dalam Tabel 3.1
Tabel 3.1 Formula Gel Nanopartikel Glukosamin HCl
Bahan Formula
Fungsi F1 F2 FK
DNPG 50 ml 50 ml 50 ml Zat Aktif
HPMC 4 g 4 g 4 g Gelling Agent
Propilen Glikol 10 g 10 g 10 g Pelarut
Nipagin 0,18 g 0,18 g 0,18 g Pengawet
Nipasol 0,02 g 0,02 g 0,02 g Pengawet
TEA qs ad pH 5 qs ad pH 6 - Pengatur pH
Aquadest Add 100 g Add 100 g Add 100 g Pelarut Keterangan: DNPG = dispersi nanopartikel glukosamin, berisi 1 g glukosamin HCl
FK = Formula Kontrol; F1 = Formula 1; F2 = Formula 2
Nipagin dan nipasol dicampur dengan propilen glikol dan dipanaskan
dalam penangas air dengan suhu 60°C sampai larut, kemudian didinginkan sampai
suhu kamar (M1). Selanjutnya HPMC didispersikan ke dalam air menggunakan
overhead stirrer dengan kecepatan 270 rpm sampai homogen (M2). M1yang telah
dibuat ditambahkan ke dalam M2 dengan menggunakan overhead stirrer hingga
homogen (M3). Kemudian dispersi nanopartikel ditambahkan ke dalam M3
sampai terbentuk massa gel yang homogen. Selanjutnya ditambahkan larutan
pengatur pH TEA hingga diperoleh pH yang diinginkan. Kemudian diaduk secara
perlahan sampai terbentuk massa gel yang homogen.
3.4.3. Evaluasi Gel Nanopartikel Glukosamin HCl
a. Pemeriksaan Organoleptik
Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan mengamati
penampilan fisik sediaan, meliputi bentuk, warna, kekentalan, dan bau
(Departemen Kesehatan RI, 2014).
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Pemeriksaan Homogenitas
Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan menggunakan dua
kaca objek. Cara pengujiannya sebagai berikut, sejumlah tertentu sediaan
dioleskan pada sekeping kaca objek dan kemudian kaca objek yang
lainnya ditempelkan pada kaca objek yang sudah diolesi sediaan. Suatu
sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat
adanya butiran kasar (Departemen Kesehatan RI, 1979). Pemeriksaan
homogenitas dilakukan pengulangan tiga kali.
c. Pengukuran pH
Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter. pH meter
sebelumnya dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar standar pH 4
dan pH 7. Pada saat pengukuran pH, elektroda pada pH meter dicelupkan
ke dalam sediaan yang dibuat dan dicatat nilai pH yang tertera pada layar
(Departemen Kesehatan RI, 2014).
d. Pengukuran Viskositas dan Rheologi
Viskositas (cP) dan rheologi (% Torque) sediaan diukur
menggunakan viskometer Haake 6+. Sediaan diukur viskositas dan
rheologi dengan menggunakan spindel nomor 3 pada kecepatan 2, 3, 4, 5,
6, 10, 12, 20, 30, 50, 60, dan 100 rpm, kemudian kembali lagi dengan
kecepatan 60, 50, 30, 20, 12, 10, 6, 5, 4 dan 2 rpm. Setelah itu dibuat
kurva rheogram untuk mengetahui sifat alir sediaan antara % Torque dan
kecepatan geser (rpm).
3.4.4. Validasi Metode Analisa Derivatisasi Glukosamin HCl (Gaonkar,
dkk., 2006; Riyanto, 2014).
a. Pembuatan Standar Glukosamin HCl
Sebanyak 100 mg glukosamin HCl standar dilarutkan dalam 100
ml natrium asetat 0,10 M dan didiamkan selama ± 24 jam sehingga
diperoleh konsentrasi akhir glukosamin HCl sebesar 1000 mg/L.
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Pembuatan Standar Phenyl Thiourea
Standar phenyl thiourea (PTH) diperoleh dari derivatisasi
glukosamin HCl standar dengan phenyl isothiocyanate (PITC). Sebanyak
4 ml larutan glukosamin HCl standar dimasukkan ke dalam labu
volumetrik 25 ml dan ditambahkan 0,4 mL PITC dan 15 ml metanol,
kemudian ditambahkan dengan metanol : air (3:2) sampai tanda batas.
Sebanyak 10 ml diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu
dipanaskan selama 20 menit di atas penangas air, kemudian didinginkan
dan volume dicukupkan hingga 10 ml dengan aquadest. Larutan tersebut
kemudian diekstraksi sebanyak 2 kali menggunakan 15 ml dietil eter
untuk menghilangkan PITC yang tidak bereaksi, dan bagian larutan yang
mengandung PTH hasil derivatisasi glukosamin HCl diambil.
c. Pemilihan Panjang Gelombang Maksimum
Pemilihan panjang gelombang (λ) dilakukan dengan
menggunakan larutan glukosamin HCl standar, larutan phenyl
isothiocyanate, dan larutan phenyl thiourea hasil derivatisasi glukosamin
HCl dengan phenyl isothiocyanate lalu dilakukan scanning menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada rentang panjang gelombang (λ) 200 - 400
nm.
d. Pembuatan Kurva Kalibrasi Standar Glukosamin
Dibuat seri konsentrasi larutan standar phenyl thiourea
menggunakan aquadest dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 mg/L
kemudian diukur absorbansinya dengan spektrometri UV-Vis pada
panjang gelombang maksimum yang didapat. Kemudian nilai absorbansi
tersebut diplot terhadap konsentrasi untuk mendapatkan kurva standar
dan persamaan garis yang menunjukkan hubungan antara absorbansi
dengan konsentrasi glukosamin.
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. Uji Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi (LOD dan LOQ)
LOD dan LOQ dihitung berdasarkan metode kurva kalibrasi,
dimana untuk kurva kalibrasi linier diasumsikan bahwa respon instrumen
y berhubungan linier dengan konsentrasi x standar untuk rentang yang
terbatas konsentrasi. Hal ini dapat dinyatakan dalam model seperti y = bx
+ a, sehingga LOD dan LOQ dapat dinyatakan sebagai:
LOD = 3 Sa/b
LOQ = 10 Sa/b
Keterangan:
Sa
B =
=
Standar deviasi
Slope
dimana, Sa ditentukan dengan:
2
)( 2
n
yiySa
3.4.5. Uji Penetrasi
a. Sediaan Gel Transdermal Nanopartikel Glukosamin HCl
Uji penetrasi dilakukan dengan menggunakan metode Franz
Difusion Cells dengan kulit tikus sebagai membran. Tikus yang
digunakan adalah tikus betina galur Sparague Dawley berumur 2-3 bulan
dengan berat ± 150-200 gram. Kulit yang digunakan adalah kulit pada
bagian abdomen. Tikus dibius dengan eter hingga mati dan bulu tikus
pada bagian abdominal dicukur secara hati-hati menggunakan pisau
cukur. Kemudian kulit tikus pada bagian abdominal disayat dan lemak-
lemak pada bagian subkutan yang menempel dibersihkan secara hati-hati,
hasil sayatan kulit yang sudah bersih dari lemak direndam dengan
medium reseptor yang digunakan.
Membran ini dipasangkan di antara kompartemen donor dan
kompartemen reseptor. Bagian stratum korneum (luar) menghadap ke
bagian atas (kompartemen donor). Medium reseptor yang digunakan
adalah dapar fosfat pH 7,4. Kompartemen reseptor dikelilingi oleh water
jacket untuk menjaga pada suhu 37°C. Cairan reseptor diaduk
menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 500 rpm. Sampling
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dilakukan dengan mengambil 1 ml dalam interval waktu tertentu. Setiap
setelah melakukan sampling, ditambahkan medium reseptor yang baru
dengan volume dan temperatur yang sama untuk menjaga agar volume
tetap konstan. Jumlah gel yang diaplikasikan sebanyak 300 mg gel.
Kemudian dari hasil sampling dihitung kadar glukosamin menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Fluks dan jumlah kumulatif zat terpenetrasi
dihitung per luas area.
b. Perhitungan Jumlah Kumulatif dan Kecepatan Penetrasi Zat
Aktif
Jumlah kumulatif glukosamin HCl yang terpenetrasi per luas
area difusi (μg/cm2) dihitung dengan rumus (Thakker dan Chern, 2003) :
A
C.SCnVQ
n
i
1
1
Keterangan:
Q = Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (μg/cm2)
Cn = Konsentrasi terpenetrasi pada sampling menit ke-n
V = Volume sel difusi franz (21 ml)
1
1
n
iC = Jumlah konsentrasi zat pada sampling pertama (menit ke-
10 hingga sebelum menit ke-n)
S = Volume sampling (1 ml)
A = Luas area membran (3,14 cm2)
Kecepatan penetrasi tiap satuan waktu (fluks) glukosamin HCl
dihitung dengan rumus :
t
Q
sxt
MJ
Keterangan:
J = Fluks (μg cm-2
jam-1
)
S = Luas area difusi (cm2)
M = Jumlah kumulatif zat yang melalui membran (μg)
T = Waktu (jam)
c. Analisa Kadar Glukosamin (Gaonkar, dkk., 2006)
Masing-masing sampel dari ketiga formula dan sediaan standar
diambil sebanyak 4 ml ( 1 ml sampel + Na Asetat) dan dimasukkan ke
dalam labu volumetrik 25 ml kemudian ditambahkan 0,4 ml PITC dan 15
ml metanol, lalu ditambahkan dengan metanol : air (3:2) sampai tanda
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
batas. Sebanyak 10 ml diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
lalu dipanaskan selama 20 menit di atas penangas air, kemudian
didinginkan dan volume dicukupkan hingga 10 ml dengan aquadest.
Larutan tersebut kemudian diekstraksi sebanyak 2 kali menggunakan 15
ml dietil eter untuk menghilangkan PITC yang tidak bereaksi, dan bagian
larutan yang mengandung PTH hasil derivatisasi glukosamin HCl
diambil. Absorbansinya diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang maksimum yang didapat. Hasil absorbansi yang
diperoleh kemudian dimasukkan dalam persamaan regresi linear dari
kurva standar glukosamin HCl dan diperoleh konsentrasi sampel
glukosamin HCl.
3.4.6. Analisis Data
Data hasil uji penetrasi berupa data fluks dan jumlah kumulatif
zat yang terpenetrasi. Analisis data dilanjutkan dengan analisis statistik
yaitu uji parametrik jika syarat normalitas dan homogenitas terpenuhi.
Uji parametrik dilakukan dengan One Way Analysis of Variance
(ANOVA). Selanjutnya dilakukan uji lanjut Post Hoc dengan LSD (least
square differences).
37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl
Pada penelitian Fahruzzaman (2017) telah dilakukan preparasi gel
nanopartikel glukosamin hidroklorida dengan variasi konsentrasi kitosan, yakni
1%; 0,5%; dan 0,25%. Dari hasil yang diperoleh, jumlah kumulatif dan kecepatan
penetrasi zat aktif paling baik adalah pada konsentrasi 0,5%, namun hasil gel yang
didapatkan tidak sesuai dengan pH kulit, yakni 4,5 – 6,5. Maka dari itu, dalam
penelitian ini dibuat gel nanopartikel glukosamin hidroklorida sesuai dengan pH
kulit, yakni 5 dan 6, kemudian dibandingkan dengan sediaan yang tidak sesuai
dengan pH kulit. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik dan
daya penetrasi sediaan gel transdermal nanopartikel yang mengandung
glukosamin hidroklorida pada masing-masing pH sediaan yang berbeda.
Tahap pertama yang dilakukan adalah pembuatan nanopartikel
glukosamin hidroklorida dengan metode gelasi ionik menggunakan polimer
kitosan dan natrium tripolifosfat. Nanopartikel yang terbentuk terjadi karena
adanya interaksi elektrostatik antara gugus amino bermuatan positif pada kitosan
dengan ion bermuatan negatif pada natrium tripolifosfat (Mattu, Clara, dkk.,
2012). Metode gelasi ionik digunakan karena proses ini tidak beracun, bebas
pelarut organik dan sederhana (Fan We, dkk., 2012).
Dalam pembuatan nanopartikel glukosamin hidroklorida, dibuat dispersi
nanopartikel yakni 1 gram glukosamin HCl dalam 50 ml. Bahan yang digunakan
dalam pembuatan nanopartikel glukosamin HCl ini adalah kitosan, natrium
tripolifosfat dan tween 80. Penggunaan tween 80 digunakan untuk meningkatkan
stabilitas fisik dengan mencegah aglomerasi (Shafie dan Hadeel, 2013).
Konsentrasi natrium tripolifosfat yang digunakan adalah 0,1 % dimana pelarut
yang digunakan adalah aquadest.
4.2. Preparasi Gel Glukosamin HCl
Bentuk sediaan gel dipilih karena medium pendispersi nanopartikel
glukosamin HCl memiliki kadar air yang tinggi, dimana sediaan gel merupakan
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sediaan semisolid transparan yang mempunyai kandungan air yang cukup tinggi
(Martin dkk, 1983), sehingga akan lebih mudah jika dibentuk dalam bentuk gel.
Selain itu, sediaan gel dipilih karena gel mudah mengering, mudah dicuci dan
mudah dalam penyebarannya di kulit (Panjaitan EN, dkk., 2012).
Pada pembuatan gel dibutuhkan bahan pembentuk gel atau gelling agent.
Bahan pembentuk gel yang digunakan pada penelitian ini adalah Hidroksi Propil
Metil Selulosa (HPMC). HPMC dipilih karena merupakan basis gel yang tidak
memiliki muatan (nonionik) atau netral, sehingga tidak menganggu nanopartikel
yang telah terbentuk. Kemudian telah dilakukan uji pendahuluan pembuatan gel
nanopartikel glukosamin HCl dengan basis HPMC dan kitosan, hasil stabilitas
fisik yang diperoleh paling baik adalah dengan menggunakan basis gel HPMC.
Dalam pembuatan gel ini digunakan nipagin dan nipasol yang berfungsi
sebagai pengawet sediaan, karena gel mengandung kadar air yang tinggi sehingga
mudah ditumbuhi bakteri dan jamur. Propilen glikol digunakan sebagai pelarut
nipagin dan nipasol. TEA digunakan sebagai pengatur pH agar sediaan gel sesuai
dengan pH kulit. Pemilihan TEA dikarenakan lebih efisien dan tidak mengiritasi
kulit.
4.3. Evaluasi Gel Glukosamin HCl
4.3.1. Pengamatan Organoleptik
Uji organoleptis gel dilakukan dengan mengamati secara visual meliputi
bentuk, warna dan bau dari gel. Hasil pengamatan organoleptis gel nanopartikel
glukosamin hidroklorida pada F1, F2, dan Formula kontrol menunjukkan bahwa
ketiga formula semitransparan, berbentuk kental, berbau khas HPMC dan sedikit
asam. Bau asam yang tercium berasal dari asam asetat yang digunakan sebagai
pelarut kitosan. Sediaan yang semitransparan dikarenakan bahan-bahan yang
digunakan terdispersi secara koloidal dalam sediaan gel.
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.1 Gel Nanopartikel Glukosamin HCl. (A) pH 6; (B) pH 5; (C) Tanpa
adjust pH
4.3.2. Pemeriksaan Homogenitas
Pemeriksaan homogenitas pada ketiga formula gel nanopartikel
glukosamin hidroklorida bertujuan untuk mengetahui apakah seluruh bahan telah
tercampur secara marata atau tidak, serta pada saat dioleskan di kulit tidak
diperbolehkan terasa adanya bagian padat (Voigt, 1995). Hasil evaluasi
menunjukkan ketiga sediaan gel terlihat homogen. Hal ini sesuai dengan
persyaratan karena tidak terdapat butiran-butiran kasar atau partikel padat yang
belum terdispersi dalam sediaan gel, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4. 2 Uji Homogenitas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl. (A) pH 5; (B)
pH 6; (C) Tanpa adjust pH
A B C
A
B
C
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.3.3. Pengukuran pH
Hasil pengukuran pH gel nanopartikel glukosamin HCl pada F1, F2, dan
Formula kontrol yaitu secara berturut-turut terlihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 pH Gel Nanopartikel Glukosamin HCl
Formula pH
F1 5,013 ± 0,002
F2 6,067 ± 0,014
FK 3,820 ± 0,037
Pada evaluasi pengukuran pH didapatkan hasil yang berbeda-beda pada
setiap formula, hal ini dikarenakan penggunaan TEA sebagai alkalizing agent
yang digunakan dalam setiap formula berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi penambahan TEA yang digunakan, maka akan semakin besar pH
sediaan gel karena TEA merupakan zat basa (Rowe,Sheskey & Quinn, 2009).
Tujuan dibedakannya penambahan TEA, karena ingin melihat karakteristik fisik
dan profil penetrasi pada masing-masing formula.
Berdasarkan hasil evaluasi pengukuran pH didapatkan pada Formula
Kontrol belum memenuhi persyaratan dan pada F1 dan F2 telah memenuhi
persyaratan pH sediaan topikal yaitu antara 4,5 – 6,5. Kulit yang normal memiliki
pH antara 4,5 - 6,5 sehingga sediaan topikal harus memiliki pH yang sama dengan
pH normal kulit tersebut (Wasitaatmadja, 1997). pH sediaan tidak boleh terlalu
asam karena dapat mengiritasi kulit dan tidak boleh terlalu basa karena dapat
membuat kulit menjadi bersisik (Dureja, 2010 dalam Salsabiela 2014; Vasiljevic,
2005 dalam Salsabiela 2014). Kesesuaian pH kulit dengan pH sediaan topikal
mempengaruhi penerimaan kulit terhadap sediaan (Wasitaatmadja, 1997).
4.3.4. Pengukuran Viskositas dan Rheologi
Pengukuran viskositas bertujuan untuk mengetahui tingkat kekentalan
dari sediaan gel nanopartikel yang dihasilkan. Viskositas merupakan pernyataan
dari suatu cairan untuk mengalir, semakin tinggi viskositasnya maka semakin sulit
untuk mengalir atau semakin besar tahanannya (Barokah, 2014). Viskositas
digambarkan melalui suatu kurva viskositas dengan memplotkan laju geser
(sumbu x) dan viskositas cPs (sumbu y) (Islam., dkk., 2004). Viskositas sediaan
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
gel nanopartikel glukosamin HCl berbasis HPMC dapat dilihat pada Gambar 4.3
serta pada Lampiran 2.
Nilai viskositas sediaan gel transdermal nanopartikel glukosamin HCl
menurun seiring dengan meningkatnya kecepatan spindel. Dari hasil yang
diperoleh, nilai viskositas sediaan gel transdermal nanopartikel glukosamin HCl
menurun seiring meningkatnya laju geser, yakni dari 1710 cP menjadi 930 cP
pada Formula Kontrol, 3620 cP menjadi 830 cP pada Formula 1, 4920 cP menjadi
920 cP pada Formula 2. Cairan farmasetik yang memiliki variasi viskositas
dengan adanya peningkatan atau penujunan laju geser merupakan karakteristik
dari cairan non-Newton (Aulton, 2001).
Gambar 4.3 Grafik Viskositas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl
Hasil viskositas yang diperoleh dari ke tiga formula didapatkan viskositas
yang tidak terlalu kental, sehingga mudah dalam pengaplikasian gel ke kulit dan
mudah dalam penuangan. Hal ini sesuai dengan sediaan gel transdermal yang
diharapkan. Dari hasil yang diperoleh, viskositas pada gel nanopartikel
glukosamin HCl semakin tinggi seiring dengan tingginya pH sediaan gel.
Penambahan trietanolamin mengakibatkan pH sediaan gel semakin meningkat.
Perubahan pH ini dapat merubah viskositas larutan kitosan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi viskositas larutan kitosan adalah pH (Jansson Doris, 2010).
Berdasarkan penelitian Whei wang menyatakan bahwa semakin tinggi pH larutan
kitosan maka semakin tinggi viskositasnya.
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.4 Kurva Reologi Gel Nanopartikel Glukosamin HCl
Pengukuran reologi dilakukan untuk mengetahui sifat dasar dari suatu
sistem (Herh dkk, 1998). Reologi terlibat dalam pencampuran dan aliran bahan-
bahan, pengemasan bahan-bahan ke dalam wadah, dan pemindahan sebelum
penggunaannya. Reologi dapat memengaruhi pemilihan peralatan yang digunakan
selama proses produksi. Peralatan yang tidak sesuai akan menyebabkan hasil yang
tidak diinginkan contohnya seperti karakteristik sifat alirnya (Martin dkk, 2008).
Reologi digambarkan melalui suatu kurva reogram dengan memplotkan laju geser
(sumbu x) dan % torque (sumbu y) (Islam dkk, 2004).
Berdasarkan Gambar 4.4 rheogram yang terbentuk pada Formula kontrol
dan formula 1 memiliki sifat alir pseudoplastis tiksotropik karena pada kurva
aliran ini mulai pada titik asal (0,0), oleh sebab itu tidak ada yield value seperti
dalam sistem plastis dan terdapat adanya celah (loop hysteresis) antara kurva naik
dan kurva menurun, di mana kurva aliran menurun berpindah ke sebelah kiri
kurva menaik (Sinko Patrick, 2011). Daerah loop ini menandakan waktu yang
FK F1
F2
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dibutuhkan untuk suatu struktur kembali seperti semula setelah gaya dikurangi
atau dihilangkan (Herh dkk, 1998). Sifat alir pseudoplastis tiksotropi merupakan
suatu sifat alir yang mempunyai konsistensi tinggi dalam wadah namun dapat
dituang atau disebar dari wadah dengan mudah (Sinko Patrick, 2011). Rheogram
dari kurva reologi pada formula 2 menunjukkan sifat alir pseudoplastis, karena
titik asal berawal dari titik (0,0) yang menunjukkan bahan akan langsung mengalir
pada saat diberikan tegangan geser serta menunjukkan penurunan viskositas
dengan meningkatnya laju geser (Sinko Patrick, 2011). Rheogram pada F2 terlihat
kurva naik berhimpit dengan kurva menurun yang menandakan bahwa aliran tidak
dipengaruhi waktu (Sinko Patrick, 2011).
4.4. Validasi Metode Analisa Glukosamin HCl
Validasi metode analisa dilakukan untuk mengukur kadar glukosamin
HCl yang terpenetrasi melalui membran kulit yang diperlukan pada tahap
selanjutnya yakni uji penetrasi menggunakan sel difusi franz. Metode analisa yang
digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan Spektrofotometri UV-
Vis. Hal ini dipilih karena analisa menggunakan spektrofotometri UV-Vis
memiliki teknik yang sederhana, cepat dan tidak memerlukan biaya yang cukup
besar jika dibandingan dengan instrumen lainnya seperti HPLC.
4.4.1. Pembuatan Senyawa Phenyl Thiourea (PTH)
Glukosamin HCl tidak memiliki gugus kromofor pada daerah sinar
ultraviolet atau visual (Laverty dkk, 2005). Kromofor merupakan molekul atau
bagian molekul yang mengabsorbsi sinar dengan kuat di daerah UV-Vis
(Suhartati, 2013). Dalam penelitian ini digunakan instrumen spektrofotometri UV-
Vis sehingga glukosamin HCl harus diderivatisasi terlebih dahulu. Derivatisasi zat
ini dilakukan agar glukosamin HCl membentuk senyawa kromofor sehingga dapat
dideteksi pada daerah UV (Liang dkk, 1999). Glukosamin HCL dapat
diderivatisasi dengan pereaksi fluorogenik. Pada penelitian ini digunakan pereaksi
Phenylisothiocyanate (PITC) untuk menderivatisasi glukosamin HCL. Hasil
derivatisasi glukosamin HCl dengan pereaksi PITC tersebut akan terbentuk
senyawa phenyl thiourea yang dapat dideteksi oleh spektrofotometri UV-Vis.
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Metode pembuatan senyawa phenyl thiourea (PTH) ini mengacu pada
metode yang telah divalidasi oleh Gaonkar (2006). Validasi yang telah dilakukan
dalam penelitian tersebut meliputi akurasi, presisi, linearitas, spesifisitas, dan
keterulangan.
4.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea (PTH)
Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan
menggunakan larutan standar glukosamin HCl dengan konsentrasi 1000 ppm.
Pada penelitian ini diperoleh nilai absorbansi maksimum pada panjang gelombang
238 nm. Panjang gelombang maksimum berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Gaonkar (2006) yang mengukur glukosamin dengan teknik derivatisasi
dengan pereaksi PITC menggunakan spektrofotometri UV-Vis adalah 240 nm.
Perbedaan panjang gelombang sebesar 2 nm masih dalam batas toleransi yang
diperbolehkan menurut Depkes RI (1995). Panjang gelombang maksimum
glukosamin HCl dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Standar Glukosamin HCl
Kurva kalibrasi digunakan untuk mendapatkan persamaan regresi yang
akan digunakan untuk menghitung kadar senyawa glukosamin HCl bebas dan
menghitung batas deteksi serta batas kuantisasi. Kurva kalibrasi dibuat dengan
menghubungkan nilai absorbansi yang dihasilkan dengan beberapa konsentrasi
larutan standar glukosamin HCl yang sudah diderivatisasi pada panjang
gelombang 238 nm. Persamaan regresi dari kurva kalibrasi yang diperoleh adalah
y = 0,0604x - 0,019 dengan koefisien korelasi r2
= 0,9956.
Gambar 4.5 Kurva Kalibrasi Standar Glukosamin HCl
y = 0,0604x - 0,019 R² = 0,9956
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0 2 4 6 8 10 12
Ab
sorb
ansi
Konsentrasi
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.4.4. Uji Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi (LOD dan LOQ)
Uji batas deteksi dilakukan untuk mengetahui jumlah terkecil analit
dalam sampel yang masih dapat dideteksi dan masih memberikan respon yang
signifikan dibandingkan blanko, sedangkan uji kuantisasi dilakukan untuk
mengetahui kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi
kriteria akurasi dan presisi (Harmita, 2004). Selain itu, uji LOD dan LOQ
digunakan untuk memastikan ketepatan pengukuran kadar yang akan dilakukan
pada tahap selanjutnya yakni uji penetrasi. Penentuan batas deteksi dan batas
kuantisasi dihitung secara statistik pada garis linier dari kurva kalibrasi standar
glukosamin HCl yang telah diperoleh. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan
nilai batas deteksi larutan glukosamin HCl sebesar 0,7314 ppm dan nilai batas
kuantisasi larutan glukosamin HCl sebesar 2,4383 ppm. Perhitungan nilai LOD
dan LOQ dapat dilihat pada Lampiran 6.
4.5. Uji Penetrasi Gel Glukosamin HCl
Pada penelitian ini dilakukan uji penetrasi glukosamin hidroklorida
secara in vitro menggunakan sel difusi franz. Uji penetrasi dilakukan untuk
mengetahui jumlah glukosamin HCl yang dapat berpenetrasi melalui kulit selama
interval waktu tertentu dari sediaan gel nanopartikel berbasis HPMC yang telah
dibuat. Uji penetrasi secara in vitro dilakukan dengan menggunakan suatu
membran, dapat berupa membran dari hewan atau membran spangler. Membran
yang digunakan pada penelitian ini adalah membran dari kulit bagian abdomen
tikus putih betina galur Sprague-Dawley dengan berat 150-200 gram. Digunakan
kulit tikus karena mudah didapatkannya dan permeabilitas kulit tikus yang telah
dicukur bulunya mendekati permeabilitas kulit manusia (Marselina Rizky, 2012).
Dalam penyiapan membran kulit tikus, pertama tikus dimasukkan ke
dalam eksikator yang telah jenuh dengan eter. Hal ini bertujuan agar tikus mati
dan proses ini tidak merusak kulit tikus. Kemudian kulit tikus dicukur bulunya
secara hati-hati dan dihilangkan lemaknya dari subkutan agar tidak mengganggu
penetrasi glukosamin HCl ke dalam kulit. Pada saat pencukuran bulu tikus harus
diperhatikan dan dilakukan secara hati-hati. Setelah membran kulit telah
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
disiapkan, kemudian membran kulit direndam dengan cairan medium reseptor
yang akan digunakan. Selanjutnya, membran kulit diletakkan secara hati-hati
diantara kompartemen donor dan kompartemen reseptor dengan stratum korneum
menghadap ke kompartemen donor. Hal ini dikarenakan agar sediaan gel yang
diaplikasikan pada membran dapat berpenetrasi menembus kulit dan masuk ke
dalam medium kompartemen reseptor.
Sediaan gel nanopartikel glukosamin HCl ditimbang sebanyak 300 mg
dan diratakan di atas membran kulit tikus yang telah dipreparasi sebelumnya.
Penentuan bobot sediaan yang diaplikasikan dilakukan berdasarkan luas membran
dan penyebaran sediaan yang merata. Pengaplikasian sediaan dengan bobot yang
terlalu besar pada luas membran yang kecil akan menyebabkan terjadinya
penumpukan sediaan lapisan atas membran, sehingga zat aktif tidak sepenuhnya
terlepas dari sediaan dan hanya tertinggal di permukaan kulit (Simanjuntak,
2005). Pada pengujian ini glukosamin HCl harus larut dalam cairan kompartemen
reseptor yang digunakan. Glukosamin HCl larut dalam air sehingga medium
reseptor yang digunakan pada penelitian ini adalah dapar fosfat 7,4. Penggunaan
dapar fosfat 7,4 menggambarkan simulasi cairan biologis manusia dalam tubuh.
Volume dapar fosfat 7,4 yang digunakan sebanyak 21 ml sesuai dengan
wadah kompartemen reseptor. Suhu medium kompartemen reseptor dijaga agar
sesuai dengan kondisi suhu tubuh yakni 37⁰C dengan bantuan water jacket.
Selama penetrasi berlangsung, medium kompartemen reseptor diaduk
menggunakan stirrer dengan kecepatan pengadukan sebesar 500 rpm, hal ini
berfungsi untuk menghomogenkan zat aktif yang terpenetrasi di dalam cairan
reseptor. Uji penetrasi dilakukan selama 8 jam dan pengambilan sampel sebanyak
1 ml dilakukan pada interval waktu tertentu yakni pada menit ke- 10, 30, 60, 90,
120, 180, 240, 300, 360, 420 dan 480. Setiap kali dilakukan pengambilan sampel,
larutan kompartemen reseptor diganti kembali dengan larutan dapar fosfat 7,4
yang baru sejumlah volume yang sama seperti pengambilan sampel, yakni 1 ml.
Hal ini dilakukan untuk menjaga volume cairan reseptor tetap konstan selama
percobaan dan untuk mempertahankan sink condition (Lachman dkk., 1994) .
Hasil sampel yang telah dicuplik selanjutnya diderivatisasi terlebih dahulu dan
diukur serapannya menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.5.1. Jumlah Kumulatif Zat Terpenetrasi Per Luas Area
Perhitungan jumlah kumulatif zat terpenetrasi per luas area bertujuan
untuk mengetahui jumlah zat aktif yang masuk melewati membran kulit tikus.
Data hasil perhitungan jumlah kumulatif glukosamin HCl yang terpenetrasi per
luas area dapat dilihat pada Tabel 4.2, sedangkan grafik jumlah kumulatif
glukosamin HCl dapat dilihat pada Gambar 4.6. Pada Tabel 4.3 menunjukkan data
persentase kumulatif glukosamin HCl.
Berdasarkan hasil pengujian penetrasi menunjukkan jumlah kumulatif
gukosamin HCl yang terpenetrasi melalui membran kulit tikus selama 8 jam pada
Formula 1, Formula 2, dan Formula kontrol berturut-turut adalah 898,864 ±
15,581 µg/cm2 ; 852,201 ± 11,629 µg/cm
2; dan 884,189 ± 18,913 µg/cm
2. Nilai
tersebut menunjukkan kadar glukosamin HCl yang terdapat di dalam cairan
reseptor. Pada Gambar 4.6 terlihat bahwa jumlah kumulatif glukosamin HCl per
luar area dari ketiga formula meningkat seiring berjalannya waktu. Data jumlah
kumulatif glukosamin HCl pada semua formula diolah dengan menggunakan
statistik SPSS 22 dengan metode uji normalitas, uji homogenitas, uji One Way
Anova dan uji LSD. Pada uji normalitas dan uji homogenitas didapatkan nilai
signifikansi >0,05 yang menunjukkan data terdistribusi secara normal dan
homogen.
Hasil pengolahan data statistik jumlah kumulatif glukosamin HCl dengan
metode uji One Way Anova menunjukkan bahwa hasil jumlah kumulatif
glukosamin HCl per luas area memiliki perbedaan yang bermakna antara ketiga
formula dikarenakan memiliki nilai signifikasi <0,05. Perbedaan bermakna ini
ditunjukkan pada Formula kontrol dengan F2 dan F1 dengan F2 melalui hasil
pengolahan data dengan uji LSD dikarenakan pada Formula kontrol dengan F2
dan F1 dengan F2 memiliki nilai signifikansi <0,05. Kemudian hasil uji LSD pada
Formula kontrol dengan F1 tidak memiliki perbedaan secara bermakna
dikarenakan nilai signifikansi >0,05. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa pH
sediaan memberikan pengaruh terhadap penetrasi zat aktif ke kulit, kecuali pada
Formula kontrol dengan F1.
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Salah satu penyebab yang mempengaruhi penetrasi jumlah kumulatif
glukosamin hidroklorida per luas area pada Formula kontrol dengan F2 dan F1
dengan F2 adalah nilai viskositasnya. Di mana nilai viskositas F2 lebih besar
dibandingkan dengan Formula kontrol dan F1 yang menandakan bahwa F2
memiliki viskositas yang lebih kental. Peningkatan viskositas pada formulasi
menurunkan penetrasi obat ke dalam kulit yang mungkin disebabkan oleh
penurunan difusi (Regnier dkk, 1998). Menurut penelitian Thakker dan Chern
(2003) pelepasan obat berbanding terbalik dengan viskositas dalam formulasi.
Kemudian berdasarkan penelitian Khoirunisa (2017) yang memformulasi sediaan
emulgel gamma oryzanol dengan variasi gelling agent mengakibatkan hasil
viskositas yang berbeda, hasil viskositas tersebut memengaruhi hasil penetrasi
gamma oryzanol. Hasil penetrasi gamma oryzanol paling kecil adalah pada
sediaan emulgel yang memiliki viskositas yang lebih tinggi.
Dari hasil uji LSD pada Formula kontrol dengan F1 tidak terjadi
perbedaan yang signifikan, sedangkan viskositas pada masing-masing formula
tersebut mengalami perbedaan yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa tidak
hanya viskositas yang mempengaruhi penetrasi jumlah kumulatif glukosamin
hidroklorida. Adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi penetrasi obat adalah
ukuran partikel dan efisiensi penjerapan. Di mana semakin kecil ukuran partikel
maka jumlah obat yang berinteraksi dengan area pada stratum korneum akan
meningkat (Pathak dan Deepak, 2009), kemudian semakin besar efisiensi
penjerapan maka semakin cepat dan semakin banyak zat aktif yang masuk
melewati kulit karena perbedaan gradien yang tinggi antara dua kompartemen
(Annisa, dkk., 2016). Dalam penelitian ini belum diketahui hubungan antara pH
dengan ukuran partikel dan efisiensi penjerapan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian lanjutan berkaitan dengan pengaruh pH terhadap ukuran partikel dan
efisiensi penjerapan nanopartikel kitosan glukosamin hidroklorida.
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.2 Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area
Waktu
(menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per Satuan Luas Area (µg/cm2 )
F1 F2 Formula Kontrol
10 419,8 ± 30,4 390,3 ± 15,4 435,5 ± 36,5
30 472,1 ± 26,2 424,5 ± 11,9 484,8 ± 61,7
60 522,2 ± 41,7 459,6 ± 11,5 521,7 ± 62,2
90 556,2 ± 17,3 515,6 ± 32,0 548,2 ± 57,4
120 616,5 ± 42,0 554,9 ± 33,9 609,0 ± 29,5
180 660,1 ± 42,3 592,3 ± 40,8 638,4 ± 76,1
240 718,5 ± 33,4 636,0 ± 14,3 703,1 ± 32,3
300 759,0 ± 37,0 692,6 ± 28,0 742,1 ± 34,3
360 813,0 ± 15,6 725,8 ± 28,0 788,8 ± 39,5
420 845,3 ± 24,3 813,8 ± 28,8 852,2 ± 23,3
480 898,8 ± 15,5 852,2 ± 11,6 884,1 ± 18,9
Gambar 4.6 Grafik Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area
Tabel 4.3 % Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area
Waktu
(menit)
% Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area
F1 F2 Formula Kontrol
10 43,9 ± 3,1 40,8 ± 1,6 45,5 ± 3,8
30 49,4 ± 2,7 44,4 ± 1,2 50,7 ± 6,4
60 54,6 ± 4,3 48,1 ± 1,2 54,6 ± 6,5
90 58,2 ± 1,8 53,9 ± 3,3 57,3 ± 6,0
120 64,5 ± 4,4 58,0 ± 3,5 63,7 ± 3,0
180 69,1 ± 4,4 62,0 ± 4,2 66,8 ± 7,9
240 75,2 ± 3,5 66,5 ± 1,5 73,5 ± 3,3
300 79,4 ± 3,8 72,4 ± 2,9 77,6 ± 3,5
360 85,1 ± 1,6 75,9 ± 2,9 82,5 ± 4,1
420 88,4 ± 2,5 85,1 ± 3,0 89,2 ± 2,4
480 94,0 ± 1,6 89,1 ± 1,2 92,5 ± 1,9
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.5.2. Fluks Penetrasi
Fluks atau kecepatan penetrasi bertujuan untuk mengetahui kecepatan zat
aktif dalam menembus kulit. Data fluks difusi glukosamin HCl dapat dilihat pada
Tabel 4.4, sedangkan grafik fluks difusi glukosamin HCl per luas area dapat
dilihat pada Gambar 4.7.
Tabel 4.4 Fluks Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area
Waktu
(menit)
Fluks Penetrasi (µg cm-2 jam
-1)
F1 F2 Formula Kontrol
10 2519,0 ± 182,9 2341,8 ± 92,4 2613,1 ± 219,2
30 944,2 ± 52,4 849,1 ± 23,8 969,7 ± 123,5
60 522,2 ± 41,7 459,6 ± 11,5 521,7 ± 62,2
90 370,8 ± 11,5 343,7 ± 21,3 365,4 ± 38,2
120 308,2 ± 21,0 277,4 ± 16,9 304,5 ± 14,7
180 220,0 ± 14,1 197,4 ± 13,6 212,8 ± 25,3
240 179,6 ± 8,3 159,0 ± 3,5 175,7 ± 8,0
300 151,8 ± 7,4 138,5 ± 5,6 148,4 ± 6,8
360 135,5 ± 2,6 120,9 ± 4,6 131,4 ± 6,5
420 120,7 ± 3,4 116,2 ± 4,1 121,7 ± 3,3
480 112,3 ± 1,9 106,5 ± 1,4 110,5 ± 2,3
Gambar 4.7 Grafik Fluks Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area
Berdasarkan data pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa fluks penetrasi
ketiga formula semakin menurun dengan bertambahnya waktu. Pada Gambar 4.7
dapat terlihat bahwa fluks penetrasi glukosamin HCl dari ketiga formula awalnya
tinggi lalu menurun dan kemudian mendatar. Pada ketiga formula nilai fluks
meningkat pada menit ke 10, hal ini memperlihatkan bahwa terjadinya pelepasan
zat aktif secara cepat. Setelah itu, pada menit ke 30 hingga 480 kecepatan
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penetrasi mengalami penurunan, namun pada jam ke 4 fluks penetrasi glukosamin
HCl menjadi garis lurus yang menggambarkan bahwa keadaan sudah mencapai
steady state (Martin dan Cammarata, 1983).
Dari data yang diperoleh didapatkan kecepatan penetrasi pada masing-
masing formula berbeda, di mana kecepatan penetrasi paling tinggi adalah pada
F1 dan kecepatan penetrasi paling rendah adalah pada F2. Hasil pengolahan data
statistik SPSS 22 dengan metode uji One Way Anova menunjukkan bahwa hasil
fluks penetrasi glukosamin HCl per luas area memiliki perbedaan yang bermakna
antara ketiga formula dikarenakan memiliki nilai signifikasi <0,05. Perbedaan
bermakna ini ditunjukkan pada Formula kontrol dengan F2 dan F1 dengan F2
melalui hasil pengolahan data dengan uji LSD, hal ini dikarenakan pada Formula
kontrol dengan F2 dan F1 dengan F2 memiliki nilai signifikansi <0,05. Kemudian
hasil uji LSD pada Formula kontrol dengan F1 tidak memiliki perbedaan secara
bermakna dikarenakan nilai signifikansi >0,05. Hal ini menandakan bahwa pH
sediaan mempengaruhi kecepatan penetrasi zat aktif ke kulit, kecuali pada
Formula kontrol dengan F1.
Fluks penetrasi senyawa berbanding lurus dengan jumlah kumulatif zat
aktif terpenetrasi per luas area menurut hukum Ficks I. Oleh karena itu, faktor-
faktor yang mempengaruhi jumlah kumulatif glukosamin HCl terpenetrasi per
luas area turut mempengaruhi fluks penetrasi glukosamin HCl melalui membran
difusi (Anggraeni, 2008). Salah satu faktor yang mempengaruhi absorpsi obat
melalui kulit adalah viskositas sediaan (Martin dan Cammarata, 1983).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ramadon (2012) jumlah kumulatif
obat dan fluks penetrasi obat ke kulit lebih kecil pada sediaan yang memiliki
viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan viskositas yang lebih rendah.
Hal ini terjadi karena laju penetrasi berbanding terbalik dengan nilai viskositas.
Semakin kental suatu sediaan maka akan semakin sulit pelepasan obat dari
pembawanya (Martin dan Cammarata, 1983). Hasil statistik uji LSD pada
Formula kontrol dengan F1 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, hal ini
dapat dikatakan bahwa tidak hanya viskositas yang dapat mempengaruhi fluks
penetrasi. Faktor lain yang dapat mempengaruhi fluks penetrasi adalah ukuran
partikel dan efisiensi penjerapan (Pathak dan Deepak, 2009; Annisa, dkk, 2016).
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai karakteristik ukuran
partikel dan evaluasi penjerapan pada nanopartikel kitosan glukosamin
hidroklorida dengan variasi pH.
53 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1) Perbedaan variasi pH sediaan memberikan perbedaan viskositas dan
sifat alir. Viskositas paling besar hingga paling rendah secara
berturut-turut adalah F2 > F1 > Formula kontrol. Pada hasil uji
homogenitas, sediaan gel nanopartikel glukosamin HCl F1, F2, dan
Formula kontrol homogen secara fisik.
2) Perbedaan variasi pH sediaan pada pembuatan gel nanopartikel
glukosamin HCl memberikan pengaruh atau perbedaan yang
bermakna pada jumlah kumulatif dan fluks penetrasi glukosamin
HCl pada Formula kontrol dengan F2 dan F1 dengan F2, kecuali
pada Formula kontrol dengan F1. Didapatkan hasil jumlah kumulatif
glukosamin HCl yang ter penetrasi per luas area selama 8 jam pada
F1, F2, dan Formula kontrol secara berturut-turut adalah 898,8 ±
15,5 µg/cm2; 852,2 ± 11,6 µg/cm
2; dan 884,1 ± 18,9 µg/cm
2. Fluks
penetrasi menit ke 480 pada F1, F2, dan Formula kontrol secara
berturut-turut adalah 112,3 ± 1,9 µg cm-2 jam
-1; 106,5 ± 1,4 µg cm-
2
jam-1
; dan 110,5 ± 2,3 µg cm-2 jam
-1.
3) Berdasarkan evaluasi yang dilakukan pada penelitian ini, data yang
menunjukkan hasil yang optimal adalah pada Formula 1 (pH 5).
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh pH
sediaan terhadap ukuran partikel nanopartikel glukosamin hidroklorida.
54
DAFTAR PUSTAKA
A, Aghazadeh-Habashi, S. Sattari, F. Pasutto, F. Jamali, J. Pharm. Sci. 5. (2002).
176- 180.
Aliska Gestina., Purwantyastuti., Indriatmi Wresti. (2015). Berbagai Faktor Yang
Memengaruhi Pemberian Obat Secara Topikal. Jakarta: FK Universitas
Indonesia.
Allen, L. V., & Ansel H. C. (2014). Ansel’s Pharmaceutical Dosage Forms and
Drug Delivery Systems, Tenth Edition. Philadelpia: Lippincott Williams
& Wilkins.
American College of Rheumatology. (2012). Osteoarthritis. Lake Boulevard NE,
Atlanta.
Anderson JW., Nicolosi RJ., Borzelleca JF. (2005). Glucosamine effects in
humans: a review of effects on glucose metabolism, side effects, safety
considerations and efficacy. Food and Chemical Toxicology. 43:187-201.
Anggraini dan Hendrati. (2014). Hubungan Obesitas dan Faktor-Faktor Pada
Individu dengan Kejadian Osteoarthritis Genu. Surabaya: Departemen
Epidemiologi FKM Unair.
Annisa, Rahmi., Hendradi, Esti., Melani, Dewi. (2016). Pengembangan sistem
nanostructured lipid carriers (NLC) meloxicam dengan lipid monostearin
dan miglyol 808 menggunakan metode emulsifikasi. Journal Trop.
Pharm. Chem. Vol.3 No.3.
Anwar, E. (2012). Eksipien Dalam Sediaan Farmasi. Cetakan Pertama. Jakarta:
Penerbit Dian Rakyat.
Aulton,M. (2001). Pharmaceutical The Science of Dosage Forms Design:
Chruchill Livingstore.
Barclay, T.S., C. Tsourounus, G.M., McCart, G.M. (1998). Glucosamine. Ann
Pharmacotherapy 32.
Balitbang Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:
Balitbang Kemenkes RI.
Barokah, R. (2014). Variasi Harga HLB Emulgator Berdasarkan Perbandingan
Tween 80 Dan Span 80 Terhadap Sifat Fisik Dan Kimia Krim Ekstrak
Etanol Curcuma Mangga Val Sebagai Sunscreen. Surakarta: Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret.
Benson, Heather A.E.(2005) .Transdermal Drug Delivery: Penetration
Enhancement Techniques. Western Australia: Biomedical Research
Institute School of Pharmacy.
55
Berger, J., Reist, M., Mayer, J.M., Fekt, O, dkk. (2004). Structure and interactions
in covalently and ionically crosslinked chitosan hidrogel for biomedical
applications. Eur. J. Of pharm. And biopharmaceutics. 57 19-34.
Bhumkar, D.R. dan Pokharkar, V.B. (2006). Studies on Effect of pH on
Crosslinking of Chitosan with Sodium Tripolyphosphate: A Technical
Note, AAPS PharmSciTech., 7(2), E1-E6
Brigger I, Dubernet C, Couvreur P. (2002). Nanoparticles in cancer therapy and
diagnosis. Adv. Drug Deliv. Rev; 54, 631-651.
Ceasario M. Osteoarthritis lutut [homepage on the Internet]. 2009. Available
from: http://www.medicalera.com/info.
Carter M. A. (2006). Osteoarthritis dalam: Price S., Wilson L. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Chattopadhyay dan Inamdar. (2012). Studies on Synthesis, Characterization and
Viscosity Behaviour of Nano Chitosan. International Science Congress
Association.
Chen.H, R dan Lin.H, J. (1994). Effects of pH, ionic strength, and type of anion
on the rheological properties of chitosan solutions. VCH
Verlagsgesellschaft mb.
Clegg DO., Reda DJ., Harris CL., Klein MA., O'Dell JR., Hooper MM., Bradley
JD., Bingham CO 3rd., Weisman MH., Jackson CG., Lane NE., Cush JJ.,
Moreland LW., Schumacher HR Jr., Oddis CV., Wolfe F., Molitor JA.,
Yocum DE., Schnitzer TJ., Furst DE., Sawitzke AD., Shi H., Brandt KD.,
Moskowitz RW., Williams HJ. 2006. Glucosamine, chondroitin sulfate,
and the two in combination for painful knee osteoarthritis. New England
Journal of Medicine, 354, 795-808.
Dao, Harry., dan Rebecca, A. Kazin. (2007). Gender Differences in Skin : A
Review of the Literature. Gender Medicine, 4(4), 1550-8579.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia Edisi
III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Farmakope Indonesia. Edisi
V. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dureja, H., Kaushik, D., Gupta, M., Kumar, V., Lather, V. (2005).
Cosmeceuticals: An Emerging Concept, Indian J Pharmacol.
Fahruzzaman, Asyraq. (2017). Uji Penetrasi Gel Transdermal Nanopartikel
Glukosamin Hidroklorida dengan Variasi Konsentrasi Kitosan
Menggunakan Sel Difusi Franz. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Fan, Quiuxi, Mitchick, Mark., & Loxley, Andrew. (2007). In Vitro Release
Testing. Drug Delivery Technology, 63-65.
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fan, W., Yan, W., Xu, Z., Ni, H., (2012), Formation mechanism of monodisperse,
low molecular weight chitosan nanoparticles by ionic gelation technique,
Colloids and Surfaces B: Biointerfaces, 90, 21-27.
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). (2006).
Pentasodium Triphosphate. Diunduh pada tanggal 19 Februari 2018, dari
http://www.fao.org/food/food-safety-quality/scientific-advice/jecfa/jecfa-
additives/detail/en/c/406/.
Formation mechanism of monodisperse, low molecular weight chitosan
nanoparticles by ionic gelation technique Wen Fana,b,1, Wei Yanb,1,
Zushun Xub, Hong Ni. (2012).China: School of Life Science, Hubei
University.
FDA (U.S. Food and Drug Administration). (2004). Letter Regarding the
Relationship Between the Consumption of Crystalline Glucosamine
Sulfate and a Reduced Risk of Osteoarthritis (Docket No. 2004P-0060).
Gandjar, I.G., dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Gandjar, I. G., & Rohman, A. (2012). Analisis Obat secara Spektroskopi dan
Kromatografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gartner PL, Hiatt JL, Strum JM. Tulang rawan dan tulang. In: Saputra L, editor.
Essential Biologi dan Histologi. Jakarta: Binarupa Aksara,2011; p.127-
46.
Gaur, P.K., Mishra, Purohit, S., & Dave, K. (2009). Transdermal drug delivery
system: A Review. AJPCR, 2, 14-20.
Gaonkar, Priya., dkk. (2006). Spectrophotometric Method for Determination of
Glucosamine in T Glucosamine in Tablets. Indian Journal of
Pharmaceutical Sciences.
Goyal, R., dkk. (2016). Nanoparticles and Nanofibers for Topical Drug Delivery.
Journal of Controlled Release, 240, 77-92.
Han, In Hee., dkk. (2010). Identification and Assesment of Permeability
Enhancing Vehicles for Transdermal Delivery of Glucosamine
Hydrochloride. Arcj. Pharm. Res. Vol 33, No 2, 293-299, 2010. DOI
10.1007/s12272-010-0215-4.
Harmita, (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara
Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasiaan, 1(3):117-135.
Haq I, E Murphy., J Dacre. (2003). Osteoarthritis. Postgraduate Medical Journal.
79, 377–383.
Hera. (2003). Sodium Tripolyphosphate (STPP). Human & Environmental Risk
Assessment on ingredients of European household cleaning products.
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Herh, P; Tkachuk, J; Wu, S; Bernzen, M; Rudolph, B. (1998). Application Note:
The Rheology of Pharmaceutical and Cosmetics Semisolids. American
Laboratory, pp 12-13.
Hudson, D., dan A. Margaritis. (2014). Biopolymer nanoparticle production for
controlled release of biopharmaceuticals. Critical Reviews in
Biotechnology 34: 161–179.
Institute of Medicine dan National Research Council. (2004). Prototype
monograph on glucosamine. In Dietary Supplements: a framework for
evaluating safety. C-1-C86.
Irianto Hari Eko dan Muljanah Ijah. (2011). Proses dan Aplikasi Nanopartikel
Kitosan Sebagai Penghantar Obat. Squalen. Vol 6 No 1.
Isbagio H. (2000). Struktur rawan sendi dan perubahannya pada osteoatritis.
Cermin Dunia Kedokteran. 129:6.
Isbagio., dkk. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta:
FKUI.
Islam, M; Rodriguez-Hornedo, N; Ciotti, S; Ackermann, C. (2004). Rheological
Characterization of Topical Carbomer Gels Neutralized to Different pH.
Pharmaceutical Research, Vol 21, No 7, pp 1192-1199.
Jansson, Doris. (2010). Development and Characterisation of Chitosan-plasmid
DNA Nanoparticles. Master of Science Thesis.
Kalim. (1987). Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Kesarwani Arti., Yadav Ajit Kumar., Singh Sunil., Gautam Hemendra., Singh N
Haribansh., Sharma Anamika., Yadav Chitresh. (2013). Theoretical
Aspects Of Transdermal Drug Delivery System. Bulletin of
Pharmaceutical Research. 3(2), 78-89.
Khoirunisa Rosdiana, Auliyani. (2017). Uji Penetrasi Gamma Oryzanol Dalam
Sediaan Emulgel Dengan Variasi Konsentrasi Polimer Karbopol 940
Sebagai Gelling Agent Menggunakan Sel Difusi Franz. Skripsi. UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kralovec JA., Barrow CJ. (2008). Marine Nutraceutical and Functional Foods:
Glucosamine Production and Health Benefits. Canada: CRC Press. VJ
Mohanraj1* and Y Chen2
Kurihara, Tamie &. William, R,Good.(1994). Barrier Properties of the Skin:
Skin Development and Permeation Dalam: Hsieh, D.S., Drug
Permeation Enhancement: Theory and Applications. Ney York.Marcel
Dekker, Inc.,199-200.
Kusantati Herni., Prihatin Pipin Tresna Prihatin., Wiana Winwin. (2008). Tata
Kecantikan Kulit untuk SMK Jilid 1. Jakarta : Direktorat Pembinaan
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Lachman, L, Lieberman, H.A., and Kanig, J.L.. (1994). Teori dan Praktek
Farmasi Industri, Edisi III. Jakarta: UI Press.
Laverty, S., J.D. Sandy, C.Celeste, P.Vachon,J.F.Marier, A.H.K. (2005). Arthritis
Rheum.
Liang, Zhongming, Leslie, J., Adebowale, A., Ashraf, M., & Eddington, N. D.
(1999). Determination of the nutraceutical, glucosamine hydrochloride,
in raw materials, dosage forms and plasma using pre-column
derivatization with ultraviolet HPLC. Journal of Pharmaceutical and
Biomedical Analysis, 20 807–814.
Lund, W. (1994). Pharmaceutical Codex, 12th edition. London: The
Pharmaceutical Press.
Martin, A. , Swarbrick, J., dan Cammarata, A. (1983). Farmasi Fisik (Joshita
Djajadisastra dan Iis Aisyah Baihaki, Penerjemah). Jakarta : UI Press.
Marselina Rizky, Andisti. (2012). Formulasi dan Uji Penetrasi In Vitro B3 Dalam
Sediaan Serum Peptida Cu-GHK. Skripsi. Universitas Indonesia.
Maskevich, Boris O. (2007). Drug Delivery Research Advances. Nova
Science Publishers Inc. 48.
Mattu, Clara, dkk. 2012. Chitosan Nanoparticles as Therapeutic Protein
Nanocarriers: the Effect of pH on Particle Formation and Encapsulation
Efficiency. Polymer Composites.
Maulina Meutia. (2017). Kerusakan Proteoglikan Pada Osteoartritis. Aceh:
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh.
Mohanraj, V. J., dan Chen, Y. (2006). Research Article Nanoparticle-A Review,
Trop J. Pharm, Res,5(1).
Nagpal, K., S.K. Singh, dan D.N. Mishra. (2010). Chitosan nanoparticles: A
promising system in novel drug delivery. Chemical and Pharmaceutical
Bulletin 58: 1423–1430.
Orth, M.W., T.L. Peters dan J. N. Hawkins. (2002). Inhibition of articular
Cartilage Degradation by Glucosamine HCL and Chondroitin Sulfate,
Equine Veterin. J. Suplement:34, 224-229.
Panjaitan EN, A. Saragih, dan D. Purba. Formulasi gel dari ekstrak rimpang jahe
merah (Zingiber officinale Roscoe). 2012. Journal of Pharmaceutics and
Pharmacology. (2012). 1(1): 9-20.
Papanagnou Panagiota. (2016). The Role of miRNAs in Common Inflammatory
Arthropathies: Osteoarthritis and Gouty Arthritis. Biomolecules. 6 (4).
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pathak, Yashwant dan Deepak Thassu. (2009). Drug Delivery nanoparticles
formulation and characterization. USA: Drugs and pharmaceutical
sciences.
Pathan, I.B. dan Setty, C.M. (2009). Chemical penetration enhancers for
transdermal drug delivery systems. Tropical Journal of Pharmaceutical
Research.
Ramadon, Delly. (2012). Penetapan daya Penetrasi Secara In Vitro Sediaan Gel
Dan Emulgel Yang Mengandung Kapsaisinoid Dari Ekstrak Buah Cabai
Rawit ( Capsicum Frutescens L.). Skripsi. Universitas Indonesia.
Riyanto. (2014). Validasi& Verifikasi Metode Uji. Yogyakarta: Deepublish.
Rogers Brent D. (2004). Gras Notification For Regenasuretm Glucosamine
Hydrochloride. Amerika Serikat: Cargill.
Rowe, C. R., Paul J. Sheskey, dan Marian E. Quinn. (2009). Handbook of
Pharmaceutical Excipients, 6 Edition. Washington: Pharmeceutical Press
Sailaja A Krishna., Amareshwar P., Chakravarty P. (2010). Chitosan
Nanoparticles as a Drug Delivery System. India: RJPBCS, Volume 1.
Severino Patricia, dkk. (2014). Chitosan Cross-Linked Pentasodium
Tripolyphosphate Micro/ Nanoparticles Produced by Ionotropic Gelation.
Sugar Tech.
Shafie, M.A.A., dan Hadeel. H.M.F. (2013). Formulation and Evaluation of
Betamethasone Sodium Phosphate Loaded Nanoparticles of Ophthalmic
Delivery. J Clin Exp Ophthalmol.
Simanjuntak, M. T. (2005). Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Kulit.
Universitas Sumatera Utara.
Sinko, P. J. (2011). Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika edisi 5,
diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Singh Rajesh dan Liliard W James. (2009). Nanoparticle- based targeted drug
delivery. USA: Science Direct.
Sloane, Ethel. (2003). Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Suhartati,tati. (2013). Dasar-Dasar Spektrofotometri UV-Vis Dan
Spektrofotometri Massa Untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik.
Lampung: AURA.
Tekko, I. A., Bonner, M. C., dan Williams, A. C. (2006). An optimized reverse-
phase high performance liquid chromatographic method for evaluating
percutaneous absorption of glucosamine hydrochloride. J. Pharm.
Biomed. Anal., 41, 385-392.
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Thakker.D, Kailas dan Chern.H, Wendy. (2003). Development and Validation of
In Vitro Release Tests for Semisolid Dosage Forms Case Study.
Dissolution Technologies
Thassu, D., Deleers M dan Pathak Y. (2007). Nanoparticulate Drug Delivery
System. New York: Informa Healthcare.
Tiyaboonchai W. (2003). Chitosan nanoparticles: A Promising System for Drug
Delivery. Naresuan Univ. J., 11(3),51-66.
Touitou, Elka., Barry W. (2007). Enhancement In Drug Delivery. New York:
CRC Press.
Towheed TE., Maxwell L., Anastassiades TP., Shea B., Houpt J., Robinson V.,
Hochberg MC., Wells G. (2005). Glucosamine therapy for treating
osteoarthritis. Cochrane Database Systematics Reviews. 2: CD002946.
DOI: 10.1002/14651858.CD002946.pub2
Tranggono, R.I. dan Fatma Latifah .(2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan
Kosmetik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
USP. (2012). The United States Pharmacopeia, 35th ed, Elektronic Version,
United States, Volume III, 4541.
Vasiljevic, D., Vuleta, G., dan Primorac, M. (2005). The Characterization Of The
Semi-Solid W/O/W Emulsions With Low Concentrations Of The
Primary Plymeric Emulsifier. Int J CosmetSci.
Voigt, R.. (1995). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Diterjemahkan oleh
Soendani N. S.,. Yogyakarta: UGM Press.
Walters. K.A. (2002). Dermatological and Transdermal Formulations. New York.
Marcel Dekker, 1-4.
Wasitaatmadja SM. Faal kulit. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor.
(2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbitan
FKUI.
Wei Wang, dkk. (1994). Dilute Solution Behavior Of Chitosan In Different Acid
Solvents. Chinese Journal Of Polymer Science.
Williams, A.C., dan Barry, B.W. (2004). Penetration Enhancers. Advanced Drug
Delivery Reviews.
Witt, Krista & D. Bucs. (2003). Studying In Vitro Skin Penetration and Drug
Release to Optimize Dermatological Formulations In Pharmaceutical
Technology. USA: Advanstar Communication Inc.
Wu, Y., Yang, W., Wang, C., Hu, J. and Fu, S. (2005). Chitosan Nanoparticles as
a Novel Delivery System for Ammonium Glycyrrhizinate. International
Journal of Pharmaceutics, 295: 235-245.
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Yu-Shin, L., Kiran, S., Kurt, M.L., Jyuhn, H.J., Long, F., Han, Y., Hsing, W.S.
(2008). Multi-ion-crosslinked Nanoparticles with pH-responsive
Characteristics for Oral Delivery of Protein Drugs. J. Cont Rel. 132, 141-
149.
62 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Skema Prosedur Penelitian
Preparasi nanopartikel glukosamin HCl dengan konsentrasi kitosan 0,5%
Preparasi gel nanopartikel glukosamin HCl tanpa adjust pH, pH 5 dan pH 6
Evaluasi gel nanopartikel glukosamin HCl tanpa adjust pH, pH 5 dan pH 6
Organoleptik pH Homogenitas Viskositas
dan Rheologi
Penetapan Kadar
Penetrasi
Gel nanopartikel glukosamin HCl tanpa adjust pH, pH 5 dan pH 6
Derivatisasi
Pembuatan larutan
induk
Penentuan panjang
gelombang
maksimum
Pembuatan
Kurva Kalibrasi
Analisis kadar
Glukosamin
Penentuan
LOD&LOQ
63
Lampiran 2. Viskositas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl
Laju Geser (rpm) Viskositas (cP)
F1 F2 Formula Kontrol
2 3620 4920 1760
3 2990 4190 1730
4 2860 4160 1710
5 2720 3950 1695
6 2640 3850 1645
10 2060 2460 1635
12 1970 2370 1590
20 1770 2170 1580
30 1710 1880 1570
50 1660 1870 1510
60 1500 1640 1500
100 830 920 930
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Persen Torque Gel Glukosamin HCl
Laju Geser (rpm) % Torque
F1 F2 Formula Kontrol
2 3,5 9,8 3,4
3 4,9 12,5 5,2
4 5,9 16,6 7
5 7,5 19,7 8,8
6 9 23,1 10,3
10 14,9 20,6 18,3
12 18,8 23,7 22
20 29,3 35,4 35,6
30 41,6 51,5 52,5
50 70,3 83 87,6
60 85,2 90,1 95,5
100 83,5 92,7 93
60 98,5 88,5 95,5
50 93,7 81,5 90,1
30 56,6 49,2 75,6
20 43,4 35,1 47,1
12 28,4 22,8 18,9
10 24,6 19,1 15,6
6 15,8 10,5 9,2
5 13,6 8,5 7,7
4 11,4 6,8 6,1
3 8,9 4,6 4,5
2 7,2 3 3,1
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea (Hasil
Derivatisasi Glukosamin HCl)
PTH
ʎ 238 nm
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Absorbansi Standar Glukosamin HCl
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
2 0,104
4 0,211
6 0,362
8 0,452
10 0,588
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Data Perhitungan LOD dan LOQ
Konsentrasi Absorbansi yi (y-yi) (y-yi)2
2 0,104 0,1018 0,0022 4,84E-06
4 0,2115 0,2226 -0,0111 0,00012321
6 0,3625 0,3434 0,0191 0,00036481
8 0,452 0,4642 -0,0122 0,00014884
10 0,588 0,585 0,003 9E-06
Ʃ (y-yi)2 0,0006507
Sa 0,014727525
LOD 0,731499599
LOQ 2,438331995
Persamaan regresi kurva kalibrasi =
y = 0,0604x- 0,019
Perhitungan yi =
y = 0,0604x - 0,019
y = 0,0604(2) - 0,019
y = 0,1018 (nilai yi)
Rumus Standar Deviasi (Sa)
2
)( 2
n
yiySa =
25
)0006507,0( 2
= 0,014727525
Rumus Batas Deteksi
LOD = slope
Sa3 =
0604,0
014727525,03x = 0,7314
Rumus Batas Kuantitasi
LOQ = slope
Sa10 =
0604,0
014727525,010x = 2,4383
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Data Hasil Uji Penetrasi Formula Kontrol
Waktu
(Menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per
Satuan Luas Area (µg/cm2)
% Kumulatif Difusi Glukosamin
HCl
1 2 3 Rata-
rata SD 1 2 3
Rata-
rata SD
10 395,8 442,9 467,8 435,5 36,5 41,4 46,3 48,9 45,5 3,8
30 417,4 538,7 498,4 484,8 61,7 43,6 56,3 52,1 50,7 6,4
60 453,0 574,4 537,6 521,7 62,2 47,4 60,1 56,2 54,6 6,5
90 483,9 566,4 594,3 548,2 57,4 50,6 59,2 62,2 57,3 6,0
120 587,2 642,6 597,2 609,0 29,5 61,4 67,2 62,5 63,7 3,0
180 550,6 685,3 679,3 638,4 76,1 57,6 71,7 71,1 66,8 7,9
240 666,0 726,0 717,2 703,1 32,3 69,7 75,9 75,0 73,5 3,3
300 702,9 767,4 755,5 742,0 34,3 73,5 80,3 79,0 77,6 3,5
360 743,1 812,2 811,0 788,8 39,5 77,7 85,0 84,8 82,5 4,1
420 825,5 868,9 862,3 852,2 23,3 86,4 90,9 90,2 89,2 2,4
480 880,1 904,7 867,6 884,1 18,913 92,122 94,7 90,8 92,5 1,9
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Data Hasil Uji Penetrasi F1
Waktu
(Menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per
Satuan Luas Area (µg/cm2)
% Kumulatif Difusi Glukosamin
HCl
1 2 3 Rata-
rata SD 1 2 3
Rata-
rata SD
10 384,7 434,6 440,1 419,8 30,4 40,2 45,4 46,0 43,9 3,1
30 441,8 488,5 486,0 472,1 26,2 46,2 51,1 50,8 49,4 2,7
60 509,0 488,6 569,0 522,2 41,7 53,2 51,1 59,5 54,6 4,3
90 537,0 570,7 560,8 556,2 17,3 56,2 59,7 58,7 58,2 1,8
120 598,4 586,5 664,6 616,5 42,0 62,6 61,3 69,5 64,5 4,4
180 642,3 629,6 708,5 660,1 42,3 67,2 65,9 74,1 69,1 4,4
240 725,9 682,0 747,9 718,5 33,4 75,9 71,3 78,2 75,2 3,5
300 779,0 716,2 781,8 759,0 37,0 81,5 74,9 81,8 79,4 3,8
360 819,5 795,2 824,5 813,0 15,6 85,7 83,2 86,3 85,1 1,6
420 830,0 832,4 873,4 845,3 24,3 86,8 87,1 91,4 88,4 2,5
480 897,8 883,8 914,9 898,8 15,5 93,9 92,5 95,7 94,0 1,6
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Data Hasil Uji Penetrasi F2
Waktu
(Menit)
Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per
Satuan Luas Area (µg/cm2)
% Kumulatif Difusi Glukosamin
HCl
1 2 3 Rata-
rata SD 1 2 3
Rata-
rata SD
10 376,4 406,9 387,5 390,3 15,4 39,4 42,5 40,5 40,8 1,6
30 413,7 437,3 422,6 424,5 11,9 43,3 45,7 44,2 44,4 1,2
60 446,4 468,3 463,9 459,6 11,5 46,7 49,0 48,5 48,1 1,2
90 479,8 541,3 525,8 515,6 32,0 50,2 56,6 55,0 53,9 3,3
120 516,5 580,9 567,4 554,9 33,9 54,0 60,8 59,3 58,0 3,5
180 548,6 599,1 629,4 592,3 40,8 57,4 62,7 65,8 62,0 4,2
240 619,9 647,4 640,6 636,0 14,3 64,8 67,7 67,0 66,5 1,5
300 660,4 705,3 712,0 692,6 28,0 69,1 73,8 74,5 72,4 2,9
360 701,6 756,5 719,3 725,8 27,9 73,4 79,1 75,2 75,9 2,9
420 835,0 825,4 781,0 813,8 28,8 87,4 86,3 81,7 85,1 3,0
480 857,3 860,3 838,8 852,2 11,629 89,735 90,052 87,804 89,197 1,217
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Data Fluks Penetrasi Formula Kontrol
Waktu
(Menit)
Fluks Penetrasi (µg cm-2
jam-
1)
1 2 3 Rata-
rata SD
10 2375,0 2657,4 2806,9 2613,1 219,2
30 834,9 1077,4 996,8 969,7 123,5
60 453,0 574,4 537,6 521,7 62,2
90 322,6 377,6 396,2 365,4 38,2
120 293,6 321,3 298,6 304,5 14,7
180 183,5 228,4 226,4 212,8 25,3
240 166,5 181,5 179,3 175,7 8,0
300 140,5 153,4 151,1 148,4 6,8
360 123,8 135,3 135,1 131,4 6,5
420 117,9 124,1 123,1 121,7 3,3
480 110,0 113,1 108,4 110,5 2,3
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Data Fluks Penetrasi F1
Waktu
(Menit)
Fluks Penetrasi (µg cm-2
jam-1
)
1 2 3 Rata-
rata SD
10 2308,6 2607,6 2640,8 2519,0 182,9
30 883,7 977,0 972,0 944,2 52,4
60 509,0 488,6 569,0 522,2 41,7
90 358,0 380,5 373,9 370,8 11,5
120 299,2 293,2 332,3 308,2 21,0
180 214,1 209,8 236,1 220,0 14,1
240 181,4 170,5 186,9 179,6 8,3
300 155,8 143,2 156,3 151,8 7,4
360 136,5 132,5 137,4 135,5 2,6
420 118,5 118,9 124,7 120,7 3,4
480 112,2 110,4 114,3 112,3 1,948
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Data Fluks Penetrasi F2
Waktu
(Menit)
Fluks Penetrasi (µg cm-2
jam-1
)
1 2 3 Rata-
rata SD
10 2258,8 2441,5 2325,2 2341,8 92,4
30 827,5 874,7 845,2 849,1 23,8
60 446,4 468,3 463,9 459,6 11,5
90 319,8 360,9 350,5 343,7 21,3
120 258,2 290,4 283,7 277,4 16,9
180 182,8 199,7 209,8 197,4 13,6
240 154,9 161,8 160,1 159,0 3,5
300 132,0 141,0 142,4 138,5 5,6
360 116,9 126,0 119,8 120,9 4,6
420 119,2 117,9 111,5 116,2 4,1
480 107,1 107,5 104,8 106,5 1,4
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Glukosamin HCl Per
Luas Area
Sampel F2 Sediaan Gel Pada menit ke-10
Serapan menit ke 10 (y10) = 0,117
y = 0,0604x - 0,019
0,124 = 0,0604x - 0,019
x10 = 2,252
Faktor pengenceran = Volume labu terukur : Volume sampling
= 25 ml : 1ml
= 25 ml
Konsentrasi terpenetrasi = x10 x faktor pengenceran
= 2,252 x 25
= 56,291 µg/mL
Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif Ter penetrasi Per Luas Area :
Keterangan:
Q = Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (μg/cm2)
Cn = Konsentrasi terpenetrasi pada sampling menit ke-n
V = Volume sel difusi franz (21 ml)
1
1
n
iC = Jumlah konsentrasi zat pada sampling pertama (menit ke-
10 hingga sebelum menit ke-n)
S = Volume sampling (1 ml)
A = Luas area membran (3,14 cm2)
Q = {(56,291 µg/ml x 21 ml) + (0 µg/ml x 1 ml)}/ 3,14 cm2
= 376,471 µg/cm2
%Kumulatif = (Q x A x 100)/ Kandungan zat aktif dalam sediaan
%Kumulatif = (376,471 µg/cm2 x 3,14 cm2 x100)/3000 µg
= 39,404 %
A
C.SCnVQ
n
i
1
1
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(LANJUTAN)
Jumlah kumulatif glukosamin HCl terpenetrasi persatuan luas area pada menit ke
10 adalah 376,471 µg/cm2 dengan %kumulatif 39,404 %
Sampel F2 Sediaan Gel Pada menit ke-30
Serapan menit ke 10 (y10) = 0,124
y = 0,0604x - 0,019
0,124 = 0,0604x - 0,019
x10 = 2,368
Faktor pengenceran = Volume labu terukur : Volume sampling
= 25 ml : 1ml
= 25 ml
Konsentrasi terpenetrasi = x10 x faktor pengenceran
= 2,368 x 25
= 59,189 µg/mL
Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif Ter penetrasi Per Luas Area :
Keterangan:
Q = Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (μg/cm2)
Cn = Konsentrasi terpenetrasi pada sampling menit ke-n
V = Volume sel difusi franz (21 ml)
1
1
n
iC = Jumlah konsentrasi zat pada sampling pertama (menit ke-
10 hingga sebelum menit ke-n)
S = Volume sampling (1 ml)
A = Luas area membran (3,14 cm2)
Q = {(59,189 µg/ml x 21 ml) + (56,291 µg/ml x 1 ml)}/ 3,14 cm2
= 413,775 µg/cm2
%Kumulatif = (Q x A x 100)/ Kandungan zat aktif dalam sediaan
%Kumulatif = (413,775 µg/cm2 x 3,14 cm
2 x100)/3000 µg
= 43,308 %
Jumlah kumulatif glukosamin HCl terpenetrasi persatuan luas area pada menit
ke 30 adalah 413,775 µg/cm2 dengan % kumulatif 43,308 %.
A
C.SCnVQ
n
i
1
1
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14. Contoh Perhitungan Fluks Penetrasi Glukosamin HCl
Sampel F2 Sediaan Gel pada menit ke 120
Kecepatan penetrasi glukosamin HCl (fluks, J, µg cm-2
jam-1
) dihitung dengan
rumus :
Keterangan:
J = Fluks (μg cm-2
jam-1
)
S = Luas area difusi (cm2)
M = Jumlah kumulatif zat yang melalui membran (μg)
T = Waktu (jam)
Diketahui :
M/S = 479,816 µg/cm2
t = 2 jam
Maka :
J = 330,040 µg/cm2 / 2 jam = 165, 020 µg cm
-2 jam
-1
t
Q
sxt
MJ
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Hasil Uji Statistik Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter
penetrasi Per Luas Area
Uji Normalitas Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada Jam
ke- 8
Tests of Normality
Formula
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
JumlahKumulatif FK ,251 3 . ,966 3 ,644
F1 ,194 3 . ,997 3 ,888
F2 ,337 3 . ,853 3 ,250
a. Lilliefors Significance Correction
Keterangan : Signifikansi > 0,05 data terdistribusi secara normal
Uji Homogenitas Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada
Jam ke- 8
Test of Homogeneity of Variances
JumlahKumulatif
Levene Statistic df1 df2 Sig.
,335 2 6 ,728
Keterangan : nilai Sig. > 0,05 data terdistribusi secara homogen
Uji ANOVA Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada Jam ke-
8
ANOVA
JumlahKumulatif
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 3416,041 2 1708,021 6,965 ,027 Within Groups 1471,469 6 245,245 Total 4887,511 8
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi >
0,05 data tidak berbeda secara bermakna
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(LANJUTAN)
Uji LSD Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada Jam ke- 8
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi >
0,05 data tidak berbeda secara bermakna
Multiple Comparisons
Dependent Variable: JumlahKumulatif
LSD
(I) Formula (J) Formula
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
FK F1 -14,676000 12,786579 ,295 -45,96363 16,61163
F2 31,987333* 12,786579 ,046 ,69970 63,27497
F1 FK 14,676000 12,786579 ,295 -16,61163 45,96363
F2 46,663333* 12,786579 ,011 15,37570 77,95097
F2 FK -31,987333* 12,786579 ,046 -63,27497 -,69970
F1 -46,663333* 12,786579 ,011 -77,95097 -15,37570
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 16. Hasil Uji Statistik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl
Uji Normalitas Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke- 8
Tests of Normality
Formula
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
Fluks FK ,251 3 . ,966 3 ,644
F1 ,194 3 . ,997 3 ,888
F2 ,337 3 . ,853 3 ,250
a. Lilliefors Significance Correction
Keterangan : Signifikansi > 0,05 data terdistribusi secara normal
Uji Homogenitas Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke- 8
Test of Homogeneity of Variances
Fluks
Levene Statistic df1 df2 Sig.
,335 2 6 ,728
Keterangan : nilai Sig. > 0,05 data terdistribusi secara homogen
Uji ANOVA Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke- 8
ANOVA
Fluks
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 53,371 2 26,686 6,964 ,027
Within Groups 22,992 6 3,832
Total 76,364 8
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi >
0,05 data tidak berbeda secara bermakna
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(LANJUTAN)
Uji LSD Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke- 8
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Fluks
LSD
(I) Formula (J) Formula
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
FK F1 -1,834333 1,598336 ,295 -5,74532 2,07665
F2 3,998333* 1,598336 ,046 ,08735 7,90932
F1 FK 1,834333 1,598336 ,295 -2,07665 5,74532
F2 5,832667* 1,598336 ,011 1,92168 9,74365
F2 FK -3,998333* 1,598336 ,046 -7,90932 -,08735
F1 -5,832667* 1,598336 ,011 -9,74365 -1,92168
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi >
0,05 data tidak berbeda secara bermakna
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 17. Gambar Alat yang Digunakan
Sel Difusi Franz
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 18. Sertifikat Analisa Glukosamin HCl
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 19. Sertifikat Analisa Nipagin
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 20. Sertifikat Analisa Nipasol
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 21. Sertifikat Analisa Dietil Eter
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 22. Sertifikat Analisa Tween 80
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 23. Sertifikat Analisa Trietanolamin
88
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 24. Sertifikat Analisa NaOH
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 25. Sertifikat Analisa Natrium Asetat
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 26. Sertifikat Analisa Kitosan