i
TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TERHADAP
PRAKTIK PENERAPAN HONORARIUM NOTARIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ABDUL MANAN
NIM: 11150480000104
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440H/2019M
v
ABSTRAK
ABDUL MANAN, NIM 11150480000104, “TINJAUAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TERHADAP PRAKTIK
PENERERAPAN HONORARIUM NOTARIS”. Konsentrasi Hukum Bisnis,
Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1440H/2019M. x + 83 halaman + 4 halaman daftar pustaka + 10 halaman
lampiran.
Permasalahan pada skripsi ini adalah praktik penerapan honorarium Notaris
yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,
bahwa Notaris telah menetapkan tarif dibawah standar. Metode Penilitian ini
menggunakan pendekatan yang bersifat normatif. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah studi kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan
mencari referensi untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai
literatur seperti buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, undang-
undang, dan hasil dokumen serta wawancara dari Notaris terkait.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah praktik penerapan
honorarium Notaris yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, dalam praktiknya bahwa Notaris telah melanggar ketentuan Pasal
13 Ayat (3), Pasal 4 Ayat (9), dan Pasal 4 Ayat (10) Kode Etik Notaris, dan sanksi
yang dapat dikenakan kepada Notaris yang tidak menerapkan honor sesuai
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris telah diatur dalam Pasal 6 Kode
Etik Notaris.
Kata Kunci : Notaris, Honorarium, Majelis Pengawas Notaris
Pembimbing : 1. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.HUM.
2. M. Nuzul Wibawa S.Ag., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1969 – 2015
vi
KATA PENGANTAR
حمنللابسم حيمالر الر
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Atas berkat rahmat,
hidayat, dan juga anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TERHADAP
PRAKTIK PENERAPAN HONORARIUM NOTARIS”. Sholawat serta salam
tidak lupa tercurah oleh peneliti kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang
telah membawa umat manusia dari zaman jahiliah, kepada zaman islamiyah pada
saat ini.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini
tidak dapat diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak selama penyusunan skripsi ini.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para
pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas
pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang
terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MH., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus Dosen Pembimbing I Skripsi
peneliti, saya ucapkan banyak terimakasih atas kesempatan waktu, arahan,
dan kritik, serta saran yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan.
4. M. Nuzul Wibawa S.Ag., M.H. Dosen Pembimbing II Skripsi peneliti, saya
ucapkan banyak terimakasih atas kesempatan waktu, arahan, dan kritik,
serta saran yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan.
5. Ali Mansur, M.A. Dosen Pembimbing Akademik Peneliti, saya ucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala bentuk dukungan yang telah
vii
diberikan hingga saya mampu untuk menyelesaikan studi saya di Program
Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Notaris Mustopa S.H., M.Kn, selaku sumber data penelitian peneliti.
Saya ucapkan terima kasih telah memberikan data serta dukungan berbentuk
motivasi dan inspirasi serta doa kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi
ini.
7. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan, sehingga saya dapat memperoleh bahan referensi untuk
melengkapi hasil penelitian saya.
8. Terimakasih sebesar-besarnya kepada ayahanda Masripin dan ibunda Siti
Masuroh yang telah memberikan doa kepada peneliti untuk menyelesaikan
skripsi ini, nafkah dan kasih sayang sampai selama ini, serta pengorbanan
kepentingannya untuk mendahulukan studi peneliti, semoga Allah SWT
selalu memberikan nikmat panjang umur dan kesehatan kepada kedua orang
tua peneliti, agar mereka dapat melihat peneliti sukses di masa depan.
9. Terimakasih sebesar-besarnya kepada saudara-saudara kandung peneliti.
Wahyudin Akhmad, S.E., M.E. dan Umar Syarif yang telah memberikan
dukungan berbentuk motivasi dan inspirasi serta doa kepada peneliti untuk
menyelesaikan skripsi ini.
10. Terimakasih sebesar-besarnya kepada nenek Hj. Nimah dan keluarga besar
alm. Kakek H. Emung bin H. Niin yang juga telah memberikan dukungan
berbentuk motivasi dan inspirasi serta doa kepada peneliti untuk
menyelesaikan skripsi ini.
11. Terimkasih sebesar-besarnya kepada wanita yang saya cinta Hilyatul
Fajriah, telah setia dengan segenap kasih sayang dan cintanya, serta
dukungan berbentuk motivasi dan inspirasi serta doa kepada peneliti untuk
menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman peneliti Muhammad Yusuf, M. Ardiansyah, M. Mahdi
Firdaus, Ardhi Rachmat Ramadhan, Gagah Yaumiyya Riyoprakoso, Akrom
Sri Nerendo Tomo, Riyanto, Abdul Husen, Rahmat Fadhil, Rizki
Darmawan, Ario Wicaksono, M. Azyimardi, dan teman-teman Ilmu Hukum
viii
Angkatan 2015 yang telah saling membantu selama proses perkuliahan
sehingga tugas-tugas dan skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya.
13. Keluarga besar Moot Court Community (MCC) dan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) SEPATANOVATOR yang telah memberikan dukungan berbentuk
motivasi dan inspirasi, serta doa kepada peneliti untuk menyelesaikan
skripsi ini.
14. Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo), terutama
Divisi Hukum dan Kepatuhan yakni Bapak Muhammad Natsir selaku
Kepala Divisi Hukum dan Kepatuhan, Bapak Bambang Hajar Herwibowo
selaku Kepala Bagian Hukum, Bapak Arry Andru Palapi selaku Kepala
Bagian Kepatuhan, dan Bapak D. Agung Nugroho, serta seluruh karyawan
yang lain Divisi Hukum dan Kepatuhan. Saya ucapkan terimakasih telah
memberikan doa serta dukungan berbentuk motivasi dan inspirasi kepada
peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.
15. Pihak-pihak lain yang telah memberikan kontribusi kepada peneliti dalam
menyelesaikan karya tulis ini.
Jakarta, 9 Mei 2019
Abdul Manan
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEEMBIMBING .............................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................... iii
LEMBAR PENYATAAN .................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................ v
KATA PENGANTAR .......................................................................... vi
DAFTAR ISI .......................................................................................... ix
BAB I: PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 5
D. Metode Penelitian .................................................................... 6
E. Sistematika Penelitian ............................................................... 10
BAB II: KAJIAN PUSTAKA TENTANG NOTARIS ...................... 12
A. Kerangka Konseptual ................................................................ 12
1. Notaris ................................................................................. 14
a. Keberadaan Notaris di Indonesia .................................... 14
b. Kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum ................... 17
c. Kewenangan Notaris ...................................................... 19
d. Kewajiban Notaris .......................................................... 22
e. Larangan Notaris ............................................................ 24
f. Ketentuan Penerapan Honorarium Notaris ...................... 25
g. Lembaga yang Berwenang Mengawasi Notaris ............. 27
2. Pengawasan Notaris ............................................................ 29
a. Pengertian Pengawasn Notaris ....................................... 29
b. Dasar Hukum Pengawasan Notaris ................................ 30
B. Kerangka Teori ......................................................................... 30
Teori Efektivitas Hukum .......................................................... 30
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ....................................... 32
x
BAB III: GAMBARAN UMUM PROFIL dan KASUS PRAKTIK
PENERAPAN HONORARIUM NOTARIS ................... 34
A. Profil Notaris yang Menerapkan Honorarium tidak Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 ................................... 34
B. Kasus Praktik Penerapan Honorarium yang tidak Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 ................................... 34
BAB IV ANALISIS TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2014 TERHADAP PRAKTIK PENERAPAN
HONORARIUM NOTARIS ............................................ 44
A. Analisis Hubungan Hukum Notaris dengan Para Pihak yang Mengikat
Perjanjian yang Tertuang dalam Akta Notaris ......................... 44
B. Analisis Bentuk Praktik Penerapan Honorarium dalam Kasus
Transaksi antara Notaris dengan Para Pihak ............................ 59
C. Analisis Hukuman yang dapat Dikenakan Terhadap Notaris yang
Melanggar Ketentuan Honorarium Notaris ............................. 66
D. Perintah Notaris dalam Perspektif Islam untuk Mematuhi Ketentuan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 ................................... 75
BAB V PENUTUP ................................................................................. 79
A. Kesimpulan ............................................................................... 79
B. Rekomendasi ............................................................................. 83
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 83
LAMPIRAN .......................................................................................... 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara berkembang dilihat dari pembangunan dan
sarana prasarana yang sedang berlangsung, sebagian besar penduduknya mengais
rezeki dengan berwirausaha atau berbisnis. Berkenaan dengan hal tersebut jasa
Notaris sebagai pembuat Akta autentik sangatlah dibutuhkan, dikarenakan Akta
yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris merupakan Akta yang berkekuatan
pembuktian sempurna sehingga dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi
para pihak yang membuatnya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, memberi kewenangan
pada Notaris untuk membuat Akta autentik untuk menjamin kepastian, ketertiban,
dan perlindungan hukum yang tertuang dalam Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 yang berbunyi: “Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan
Akta, memberikan groose, salinan, dan kutipan Akta. Semuanya itu sepanjang
pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”
Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara.1
Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau
tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu
(kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan
pekerjaan tetap. Keberadaan Notaris sebagai pejabat negara yang berwenang
membuat suatu produk hukum yakni Akta autentik tidak mendapatkan honor dari
negara, oleh karena itu Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum
1 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 15
2
yang diberikan sesuai dengan kewenangannya. Notaris menerima honorarium dari
masyarakat umum atas jasa dalam pembuatan Akta autentik. Honorarium hanya
diberikan kepada mereka yang menjalankan tugas jabatan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, sedangkan sucses fee diberikan kepada mereka yang
menjalankan profesi.2
Honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan
nilai sosiologis dari setiap Akta dibuatnya, diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris. Besarnya honorarium yang diterima oleh Notaris
didasarkan pada nilai ekonomis dan sosiologis dari setiap Akta yang dibuatnya.
Nilai ekonomis sudah diatur dalam Pasal 36 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, yaitu:
(1) Sampai dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau ekuivalen gram
emas ketika itu, honorarium yang diterima paling besar adalah 2,5% (dua
koma lima persen);
(2) Di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima paling
besar 1,5% (satu koma lima persen); atau
(3) Di atas Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima
didasarkan pada kesepakatan antara Notaris dengan para pihak, tetapi tidak
melebihi 1% (satu persen) dari objek yang dibuatkan Aktanya.
Dalam praktiknya penerapan honorarium antara Notaris satu dengan Notaris
lain berbeda-beda, ada yang menerapkan besaran honorarium sesuai dengan
ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, namun
banyak Notaris yang menerapkan di bawah standar ketentuan.
Contoh kasus dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan salah satunya
adalah Notaris Mustopa, S.H., M.Kn yang berkedudukan di Pandeglang dan
2 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004), (Bandung: Refika Aditama, 2008), h. 151
3
berkantor di Jl. Raya Serang KM. 3 Kalahang, Pandeglang – Banten, bekerja sama
dengan pihak Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Amal Bhakti Sejahtera.
No. Jenis Pengurusan Dalam Praktik
1. Akta Borgtoch
Rp 0 – Rp 10 juta Rp 200.000,00
Rp 10,1 – Rp 20 juta Rp 230.000,00
Rp 20 juta ke atas Rp 350.000,00
2. Akta Perjanjian Kredit Notariil Rp 220.000,00
3. Akta Pengakuan Hutang (tambahan
Akta Point 2)
Rp 220.000,00
4. Akta Pengakuan Hutang (yang
berdiri sendiri)
Rp 220.000,00
5. Akta SKHMT/FIDUSIA
Rp 0 – Rp 10 juta Rp 150.000,00
Rp 10,1 – Rp 20 juta Rp 200.000,00
Rp 20 juta keatas Rp 350.000,00
6. Akta Kuasa Menjual Rp 250.000,00
7. Legalisasi / Waarkeming Rp 50.000,00
Keterangan : * : Pasal 36 Angka 3 huruf (a) = honorarium paling besar 2,5%
Kerjasama yang dilakukan oleh Notaris dengan Pihak Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) Amal Bhakti Sejahtera, yaitu antara Notaris Mustopa, S.H., M.Kn
dengan pihak Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Amal Bhakti Sejahtera mengenai
daftar penetapan tarif/honor pembuatan Akta Notaris/PPAT, terlihat bahwa
tarif/honor Notaris telah mematok bahwa untuk setiap jasa yang diberikan oleh
Notaris kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Amal Bhakti Sejahtera
menetapkan standar rata-rata yang tidak lebih dari Rp 220.000,00 (dua ratus dua
puluh ribu rupiah) per Akta/pekerjaannya, bahkan ada tarif di bawah harga
4
tersebut, dan tarif/honor terendah yang ditetapkan sebesar Rp 50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah).
Tarif/honor yang ditetapkan tersebut terlihat tidak wajar karena tarif tersebut
merupakan tarif/honor yang sangat murah, jika dibandingkan dengan tarif/honor
pada umumnya. Kesusuaian mengenai honorarium antar Notaris agar terjadi
persaingan yang sehat dalam melaksanakan profesinya dalam membuat Akta
autentik, akan tetapi dalam satu sisi menekankan segi pelayanan. Untuk itu dalam
hal seperti ini perlu adanya pengawasan oleh Majelis Pengawas Notaris terhadap
penerapan honorarium Notaris.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, penilitian ini akan
mengkaji lebih dalam yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul:
“ TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TERHADAP
PRAKTIK PENERAPAN HONORARIUM NOTARIS ”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan di atas terdapat berbagai masalah yang dapat
diidentifikasi, yang pada gilirannya akan diteliti sesuai batasan kemampuan
dalam studi ini, masalah yang dapat diidentifikasi, yaitu:
a. Kesepakatan Notaris dengan para pihak pembuat Akta melanggar syarat-
syarat perjanjian yang sah (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata)
b. Praktik Notaris dalam menerapkan honorarium tidak sesuai dengan Undang-
Undan Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004.
c. Praktik Notaris yang melanggar ketentuan Kode Etik Notaris Ikatan Notaris
Indonesia (I.N.I).
d. Persaingan tidak sehat antar rekan Notaris dalam menetapkan tarif jasa
Notaris.
e. Kurangnya pengawasan Majelis Pengawas Notaris terhadap Notaris yang
menerapkan honorarium tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2
5
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004.
2. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah yang telah peneliti paparkan, karena begitu luas
cakupan penelitian ini, maka penelitian ini hanya pada perihal praktik
penerapan honorarium Notaris yang tidak sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang dilakukan oleh Notaris Mustopa,
S.H., M.Kn yang berkedudukan di Pandeglang dan berkantor di Jl. Raya
Serang KM. 3 Kalahang, Pandeglang – Banten.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan
di atas, maka peneliti rumuskan masalah penelitian yaitu tentang tinjauan
hukum atas praktik penerapan honorarium Notaris yang tidak sesuai
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka
peniliti pertegas dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana hubungan hukum Notaris dengan para pihak yang membuat
perjanjian di hadapan Notaris?
b. Bagaimana bentuk praktik penerapan honorarium dalam kasus transaksi
antara Notaris dengan para pihak?
c. Bagaimana hukuman yang dapat dikenakan terhadap Notaris yang
melanggar ketentuan Honorarium Notaris?
C. Tujuan dan Manfaat Penilitian
1. Tujuan dari penelitian ini secara umum sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui hubungan hukum Notaris dengan para pihak yang
membuat perjanjian dihadapan Notaris.
b. Untuk mengetahui bentuk praktik penerapan honorarium dalam bentuk
kasus transaksi antara Notaris dengan para pihak.
c. Untuk mengetahui hukuman yang dapat dikenakan terhadap Notaris yang
6
melanggar ketentuan honorarium Notaris.
2. Manfaat dari penelitian ini secarama umum terbagi dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
1) Dapat menambah pengetahuan dan khazanah keilmuan tentang hukum
kenotariatan terutama tentang penerapan honorarium Notaris dalam
praktiknya.
2) Sebagai acuan untuk memperdalam penelitian berikutnya terkait
permasalahan penerapan honorarium Notaris.
b. Manfaat Praktis
1) Menambah pengetahuan bagi masyarakat khususnya para pelaku usaha
untuk membayar jasa Notaris dalam membuat perihal perjanjian dan
kontrak-kontrak yang diterapkan berupa Akta autentik.
2) Menjadi bahan masukan bagi penegak hukum agar menerapkan hukum
yang berlaku demi kelancaran bisnis di Indonesia.
D. Metode Penelitian
Penelitian (research) sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan suatu
masalah atau mencari jawaban dari persoalan yang dihadapi secara ilmiah,
menggunakan cara berpikir reflektif, berpikir keilmuan dengan prosedur yang
sesuai dengan tujuan dan sifat penyelidikan.3 Penelitian hukum merupakan
kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada sistematika dan pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan
jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.
1. Pendekatan Penelitian
Peneliti menggunakan statute approach (pendekatan undang-undang)
dan case approach (pendekatan kasus). Pendekatan undang-undang menurut
Peter Mahmud Marzuki adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan smeua regulasi yang berkaitan dengan isu hukum
3 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 24
7
yang sedang ditangani.4 Pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah
kasus-kasus terkait dengan isu hukum yang sedang dihadapi. Secara praktis
ataupun akademis, pendekatan kasus mempunyai kegunaan dalam
mengkaji rasio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi
penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum.
2. Jenis Penelitian
Peneliti menggunakan metode penelitian normatif empiris. Penelitian
normatif adalah penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah
bangunan sistem norma. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad sebagaimana
mengutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji mengemukakan bahwa
penelitian normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan kepustakaan yang mencakup penelitian terhadap asas-asas
hukum, sistematika hukum, sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandiangan
hukum antar negara ataupun dari perkembangan hukum positif dari kurun
waktu tertentu.5 Sedangkan penelitian hukum empiris adalah penelitian tentang
hukum yang pada kenyatannya dan diterapkan oleh manusiayang hidup dalam
masyarakat itu sendiri.6
3. Data Penelitian
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yang
artinya data sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder ini antara
lain: dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang
berbentuk laporan, buku harian, hasil interview, dan lain-lain. Data sekunder
ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2005), h. 93
5 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 34-35
6 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
... h. 34-35
8
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini
yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah:
1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris;
2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004 Tanggal 7 Desember 2004 Tentang Tata
Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan
Anggota, Tata Cara Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis
Pengawas Notaris;
3) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.01-HT.03.01 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pengangkatan, Perpindahan, dan Pemberhentian Notaris;
4) Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.0L.H.T.03.01 Tahun 2003 Tentang Kenotariatan;
5) Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
M.39.PW.07.10 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Majelis Pengawas Notaris;
6) Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I).
b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang penerapan
honorarium Notaris meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum,
dan hasil dokumen serta wawancara dari Notaris terkait dan akademisi
bidang hukum bisnis.
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non-hukum dapat berupa
buku-buku mengenai Sosiologi, Filsafat atau laporan-laporan penelitian
non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian.
Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan
memperluas wawasan peneliti.
4. Sumber Data
9
Sumber data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu berupa dokumen
yang didapati dari Kantor Notaris Mustopa, S.H., M.Kn yang berkedudukan
di Pandeglang dan berkantor di Jl. Raya Serang KM. 3 Kalahang, Pandeglang
– Banten.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu studi
kepustakaan dan case approach (pendekatan kasus). Studi kepustakaan
dilakukan dengan mencari referensi untuk mendukung materi penelitian ini
melalui berbagai literatur seperti buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal,
skripsi, undang-undang, dan hasil dokumen dari Notaris terkait serta
wawancara dari akademisi bidang bisnis. Pendekatan kasus dilakukan dengan
cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang
dihadapi. Kasus dapat berupa sesuatu yang terjadi di Indonesia maupun di
negara lain.
6. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan
hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap
bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui pentingnya mengetahui
penerapan honorarium Notaris untuk membuat Akta agar selalu mengikuti
prosedur yang telah ditentukan dalam menjalankan praktiknya.
7. Pedoman Penulisan Skripsi
Acuan metode penulisan peneliti merujuk pada “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017”. Berdasarkan kaidah-
kaidah dan teknik penulisan yang sudah ditentukan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum.
10
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri
atas sub-sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan
permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab
serta pokok permasalahan, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG NOTARIS
Merupakan bab kajian pustaka yang menjelaskan tentang
kerangka teori, kerangka konseptual, dan tinjauan (review) kajian
terdahulu, berbagai aspek diantaranya: Tinjauan secara umum
mengenai Notaris dan Pengawasan Notaris, dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik
Notaris, dan juga dibahas tentang kerangka teori yaitu teori efektivitas
hukum menurut Lawrence M. Friedman. Pada bab ini juga dibahas
review kajian terdahulu yang relevan dengan fokus pembahasannya
mendiskripsikan persamaan dan perbedaan, serta studi-studi dengan
rencana studi yang akan dilakukan.
BAB III GAMBARAN UMUM PROFIL NOTARIS dan KASUS
PRAKTIK PENERAPAN HONORARIUM NOTARIS
Merupakan bab penyajian data dan penelitian secara deskriptif
yang menjelaskan tentang profil dan kasus Notaris Mustopa, S.H.,
M.Kn yang berkedudukan di Pandeglang dan berkantor di Jl. Raya
Serang KM. 3 Kalahang, Pandeglang – Banten yang menerapakan
honorarium tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris.
11
BAB IV ANALISIS TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN
2014 TERHADAP PRAKTIK PENERAPAN HONORARIUM
NOTARIS
Merupakan bab analisis permasalahan yang membahas dan
menjawab permasalahan pada penelitian ini kasus praktik penerapan
honorarium Notaris yang tidak sesuai Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, hubungan hukum Notaris
dengan para pihak yang membuat perjanjian dihadapan Notaris,
bentuk praktik penerapan honorarium dalam kasus transaksi antara
Notaris dengan para pihak, dan hukuman yang dapat dikenakan
terhadap Notaris yang melanggar ketentuan honorarium Notaris, serta
Penerapan Honorarium Notaris dalam Tinjauan Islam.
BAB V PENUTUP
Merupakan bab yang menjelaskan kesimpulan dan rekomendasi.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA TENTANG NOTARIS
A. Kerangka Konseptual
Sebelum lebih jauh mengulas penelitian ini, terlebih dahulu peneliti akan
mengartikan kata per kata makna dari judul skripsi ini “Tinjauan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Terhadap Praktik Penerapan Honorarium Notaris” yang
peneliti sedang teliti, sebagai berikut:
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “tinjauan” berasal
dari kata tinjau yang berarti melihat, menjenguk, memeriksa, dan meneliti untuk
kemudian menarik kesimpulan. Jadi, pengertian “tinjauan” adalah mempelajari
dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), pandangan pendapat untuk
menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya.1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 adalah Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 ini hanya
merubah beberapa pasal dari undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “terhadap”
mempunyai arti kata depan untuk menandai arah. Kata “terhadap” juga berarti
kepada, kata “terhadap” bisa juga berarti lawan, yang dimaksud dari kata
“terhadap” yang peneliti gunakan untuk judul penelitian yang mempunyai arti
kepada. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “praktik”
mempunyai beberapa arti, yakni: 1) Pelaksanaan secara nyata apa yang disebut
dalam teori, 2) Pelaksanaan pekerjaan (tentang dokter, pengacara, dan
sebagainya), 3) Perbuatan menerapkan teori (keyakinan dan sebagainya). Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “penerapan” adalah perbuatan
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahsasa
(Edisi Keempat), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 1470
13
menerapkan.2 Menurut J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain, penerapan adalah
hal, cara atau hasil. Menurut Lukman Ali, penerapan adalah mempraktikkan dan
memasangkan. Menurut beberapa ahli berpendapat bahwa penerapan adalah suatu
perbuatan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu, dan
untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan
yang telah tercantum dan tersususn sebelumnya. Pengertian penerapan yang telah
dipaparkan dapat disimpulkan bahwa penerapan adalah pengaplikasian dari
sebuah rencana yang telah disusun dan matang secara terperinci untuk mencapai
tujuan tertentu.
Honorarium berasal dari kata latin honor yang artinya kehormatan,
kemuliaan, tanda hormat/penghargaan semula mengandung pengertian balas jasa
para nasabah atau klien kepada dokter, akuntan, pengacara, dan Notaris.
Pengertian itu meluas menjadi uang imbalan atau jasa atau hasil pekerjaan
seseorang yang tidak berupa gaji tetap. Honorarium adalah imbalan atas jasa
hukum Notaris yang diberikan sesuai dengan kewenangannya. Honorarium hanya
diberikan kepada mereka yang menjalankan tugas jabatan berdasarkan peraturan
perundang-undangan, sedangkan sucses fee diberikan kepada mereka yang
menjalankan profesi.
Istilah Notaris pada dasarnya berasal dari perkataan “notarius” (bahasa
Latin), yakni nama yang diberikan pada orang-orang Romawi dimana tugasnya
menjalankan pekerjaan menulis pada saat itu. Ada juga pendapat mengatakan
bahwa nama “notaries” itu berasal dari perkataan “nola litcraria”, yang berarti
tanda (letter merk atau karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan.3 Menurut
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, menyebutkan
bahwa definisi Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
Akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
2 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Modern English Press, 2002), h. 1598
3 R. Soegondo Notodiserjo, Hukum Notaris Indonesia (Suatu Penjelasan), (Jakarta:
Rajawali, 1982), h. 13
14
undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Kode Etik Notaris,
Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia (Banten, 29-30 Mei 2015) dalam
Bab I ketentuan umum pada Pasal 1 Angka 4, bahwa yang dimaksud dengan
Notaris adalah setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan
sebagai pejabat umum, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris.
Jadi dapat disumpulkan makna atau arti dari judul penelitian “Tinjauan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Terhadap Praktik Penerapan Honorarium
Notaris” yang peneliti sedang teliti, yaitu: “Mempelajari dengan cermat Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris guna menganalisa pelaksanaan pekerjaan
tentang pengaplikasian dari sebuah rencana yang telah disusun untuk mencapai
tujuan tertentu tentang imbalan atas jasa hukum Notaris yang diberikan sesuai
dengan kewenangannya yaitu membuat Akta autentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.
1. Notaris
a. Keberadaan Notaris di Indonesia
Lembaga Notaris masuk ke Indonesia yang dikenal sekarang ini,
bukan lembaga yang lahir dari bumi Indonesia. Lembaga Notaris masuk ke
Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Vereenigde Ost
Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia.4 Jan Pieterszoon Coan pada waktu itu
sebagai Gubernur Jenderal di Jacatra (sekarang disebut Jakarta) antara tahun
1617 sampai 1629, untuk keperluan para penduduk dan para pedagang di
Jakarta menganggap perlu mengangkat seorang Notaris, yang disebut
Notarium Publicum, sejak tanggal 27 Agustus 1620, mengangkat Melchior
Kerchem (Notaris pertama di Indonesia), sebagai sekretaris College van
4 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983), h. 15
15
Schepenen (Urusan Perkapalan Kota) di Jacatra untuk merangkap sebagai
Notaris yang berkedudukan di Jacatra.
Tugas Melchoir Kerchem sebagai Notaris dalam surat
pengangkatannya,5 yaitu melayani dan melakukan semua surat libel
(smaadschrift), surat wasiat di bawah tangan (codicil), persiapan
penerangan, Akta perjanjian perdagangan, perjanjian kawin, surat wasiat
(testament), dan Akta-akta lainnya dan ketentuan-ketentuan yang perlu dari
kotapraja. Secara yuridis, pengertian Notaris tercantuk dalam beberapa
peraturan sebagai berikut ini:
1) Staatsblad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris di
Indonesia (Reglemen op Het Notaris Ambt In Indonesia). Menurut Pasal
1 Staatsblad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris di
Indonesia, “Para Notaris adalah pejabat-pejabat umum, khususnya
berwenang untuk membuat Akta-akta autentik mengenai semua
perbuatan, persetujuan, dan ketetapan-ketetapan, yang untuk itu
diperintahkan oleh suatu undang-undang umum atau yang dikehendaki
oleh orang-orang yang berkepentingan, yang akan terbukti dengan tulisan
autentik, menjamin hari dan tanggalnya, menyimpan Akta-akta dan
mengeluarkan groose Akta, salinan-salinan, dan kutipan-kutipannya,
semuanya itu sejauh pembuatan Akta-akta tersebut oleh suatu undang-
undang umum tidak juga ditugaskan atau diserahkan kepada pejabat-
pejabat atau orang-orang lain.”6
Ada dua hal yang tercantum dalam pasal ini, yaitu kedudukan Notaris
dan kewenangannya. Kedudukan Notaris dalam Pasal 1 Staatsblad 1860
Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia (Reglement op
Het Notaris Ambt in Indonesia), yaitu sebagai Pejabat Umum. Pejabat
Umum, yaitu orang yang memegang jabatan untuk mengurus
kepentingan orang banyak. Kewenangan Notaris dalam ketentuan ini
5 Komar Andasasmita, Notaris I, (Bandung: Sumur Bandung, 1981), h. 37
6 Salim HS., Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris, Bentuk
dan Minuta Akta), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), h. 33
16
yaitu, untuk membuat Akta autentik maupun Akta-akta yang dikehendaki
oleh para pihak.
Salah satu produk penting dari peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan dalam era reformasi adalah Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang selanjutnya diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Pembentukan Undang-Undang
ini disebabkan karena Peraturan Jabatan Notaris 1860 Nomor 3 Tentang
Reglemen op Het Notaris Ambt in Indonesia yang mengatur mengenai
jabatan Notaris tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat sekarang ini. Maka setelah berlakunya Undang-
Undang Jabatan Notaris, maka segala peraturan yang mengatur tentang
Jabatan Notaris dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
2) Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris berbunyi bahwa yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat Akta otentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini
atau berdasarkan undang-undang lainnya.
Memperhatikan uraian Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, dapat dijelaskan bahwa Notaris adalah
pejabat umum, berwenang membuat Akta otentik, ditentukan oleh
undang-undang. Tugas Notaris adalah menghubungkan hubungan hukum
antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga
merupakan suatu Akta otentik. Notaris adalah pembuat dokumen yang
kuat dalam suatu proses hukum.
3) Kode Etik Notaris, Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia (Banten,
29-30 Mei 2015) dalam Bab I ketentuan umum pada Pasal 1 Angka 4
Kode Etik Notaris, bahwa yang dimaksud dengan Notaris adalah setiap
orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat
umum, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2
17
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris.
b. Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum
Istilah notarius oleh masyarakat Romawi diberikan kepada mereka
yang melakukan pekerjaan menulis, dimana fungsi dari notarius sendiri
pada zaman tersebut tidaklah sama dengan fungsi Notaris pada saat ini.
Sedangkan istilah pejabat umum dalam burgelijk wetboek (Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata) diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio
sebagai pejabat umum.7 Ambtenaren jika diterjemahkan adalah pejabat,
8
sedangkan openbare adalah umum atau publik,9 dengan demikian Openbare
Ambtenaren dapat dikatakan sebagai pejabat umum. Jika dilihat dari segi
etimologi bahasa, maka dapat diartikan bahwa pejabat umum adalah pejabat
yang diangkat oleh pemerintah serta memiliki kewenangan tertentu dalam
suatu lingkungan pekerjaan yang tetap (karena memangku suatu jabatan)
yang berkaitan dengan pelayan masyarakat.
Notaris menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang hukum
perdata untuk melayani kepentingan rakyat yang memerlukan bukti atau
dokumen hukum berbentuk Akta otentik yang diakui oleh negara sebagai
bukti yang sempurna. Otensitas Akta Notaris bukan pada kertasnya akan
tetapi Akta yang dimaksud dibuat di hadapan Notaris sebagai pejabat umum
dengan segala kewenangannya atau dengan perkataan lain Akta yang dibuat
Notaris mempunyai sifat otentik, bukan karena undang-undang menetapkan
sedemikian, akan tetapi yang dimaksud dalam Pasal 1868 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.10
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
7 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2004), h. 57
8 Marjanne Ternoshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002),
h. 21
9 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris), (Bandung: Refika Aditama, 2008), h. 40
10
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, … h. 51
18
Jabatan Notaris mengalami perubahan tanggal 15 Januari 2014 dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Notaris merupakan pejabat yang diangkat oleh negara untuk mewakili
kekuasaan umum negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat di
bidang hukum perdata demi terciptanya kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum. Bentuk pelayanan hukum di bidang keperdataan yang
dilakukan oleh Notaris adalah dengan membuat Akta otentik. Akta otentik
diperlukan oleh masyarakat untuk kepentingan pembuktian sebagai alat
bukti yang terkuat dan terpenuh. Notaris di Indonesia memiliki beberapa
karakteristik, yaitu :
1) Sebagai Jabatan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN)
merupakan unifikasi dibidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-
satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur
Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan
Notaris di Indonesia harus mengacu kepada Undang-Undang Jabatan
Notaris.11
2) Notaris Mempunyai Kewenangan Tertentu
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi
aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan
baik dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya.
3) Diangkat dan Diberhentikan oleh Pemerintah
Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan
oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan)
yang mengangkatnya pemerintah. Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak siapapun
(impartial), dan tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang
11
Habib Adjie, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi Hukum
Pengaturan Notaris, Renvoi, Nomor 28. Th. III, 3 September 2005, h. 38
19
berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh
pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.
4) Tidak Menerima Gaji atau Pensiun dari yang Mengangkatnya
Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tapi
tidak menerima gaji, pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima
honorarium12
dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat
memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.
5) Akuntabilitas atas Pekerjaannya Kepada Masyarakat
Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
memerlukan dokumen hukum (Akta) otentik dalam bidang hukum
perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani
masyarakat, masyarakat dapat menggugat secara perdata Notaris, dan
menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata Akta tersebut
dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, hal ini
merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.13
c. Kewenangan Notaris
Teori tentang kewenangan Notaris telah ditetapkan sebagaimana
ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris. Kewenangan Notaris tersebut dalam Pasal 15 dari Ayat (1) sampai
dengan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang
dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1) Kewenangan umum Notaris
Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris, yaitu membuat
12
K. Prent, C.M., J. Adi Subrata, dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Latin–Indonesia,
(Yogyakarta: Kanisius, 1969), h. 387
13
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), … h. 15-16
20
Akta secara umum, hal ini disebut sebagai kewenangan umum Notaris
dengan batasan sepanjang:
a) Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-
undang.
b) Menyangkut Akta yang harus dibuat atau berwenang membuat Akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.
c) Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan
siapa Akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.
Menurut Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris bahwa wewenang adalah membuat Akta bukan membuat
surat, seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau
membuat surat lain, seperti Surat Keterangan Waris (SKW).14
Ada beberapa
Akta otentik yang merupakan wewenang Notaris dan juga menjadi
wewenang pejabat atau intansi lain, yaitu:
a) Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata).
b) Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal
1227 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
c) Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi
(Pasal 1405 dan Pasal 1406 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
d) Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan Pasal 218 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang).
e) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKHMT).
f) Membuat Akta risalah lelang.15
2) Kewenangan khusus Notaris
14
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2007), h. 58
15
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), … h. 78-80
21
Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, mengatur mengenai kewenangan khusus Notaris untuk melakukan
tindakan hukum tertentu, seperti:
a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
b) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus.
c) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan.
d) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.
e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta.
f) Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
g) Membuat Akta risalah lelang.
Sebenarnya ada kewenangan khusus Notaris lainnya, yaitu memuat
Akta dalam bentuk In Originali yang tercantum dalam Pasal 16 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yaitu Akta:
a) Pembayaran uang sewa, bungan, dan pensiun.
b) Penawaran pembayaran tunai.
c) Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga.
d) Akta kuasa.
e) Keterangan kepemilikan.
f) Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Notaris juga mempunyai kewenangan khusus lainnya seperti yang
tersebut dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, yaitu berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis atau kesalahan
ketik yang terdapat dalam minuta Akta yang telah ditandatangani, dengan
22
cara membuat berita acara pembetulan, dan salinan atas berita acara
pembetulan tersebut Notaris wajib menyampaikannya kepada para pihak.16
3) Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian
Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris merupakan wewenang yang akan ditentukan kemudian berdasarkan
aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius constituendum).
Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di
luar wewenang, maka produk atau Akta Notaris tersebut tidak mengikat
secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable), dan pihak atau
mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang
tersebut, maka Notaris dapat di gugat secara perdata ke Pengadilan Negeri.17
d. Kewajiban Notaris
Teori tentang kewajiban Notaris telah ditetapkan sebagaimana
ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, sebagai berikut: “Bahwa kehadiran masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang memerlukan bukti otentik, oleh karena itu
pelayanan kepada masyarakat wajib diutamakan sesuai Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, tapi dalam keadaan tertentu dapat
menolak untuk memberikan pelayanan dengan alasan-alasan tertentu (Pasal
16 Ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris”.
Dalam penjelasan tersebut secara limitatif ditegaskan yang dimaksud
dengan alasan untuk menolaknya, alasan yang mengakibatkan Notaris tidak
16
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), … h. 81-82
17
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), … h. 82
23
berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan Notaris
sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai
kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak
dibolehkan oleh undang-undang. Dalam praktik Notaris jika diteliti, akan
ditemukan alasan lain, kenapa Notaris tidak mau atau menolak memberikan
jasanya, dengan alasan antara akta yang akan dibuat tidak cocok dengan
honorarium yang akan diterimanya. Notaris akan menolak memberikan
jasanya kepada pihak yang membutuhkannya, maka penolakan tersebut
harus merupakan penolakan dalam arti hukum, artinya ada alasan atau
argumentasi hukum yang jelas dan tegas sehingga pihak yang bersangkutan
dapat memahaminya.
Khusus untuk Notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 Ayat (1)
huruf j dan l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
disamping dapat dijatuhi sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, juga dapat dikenakan
sanksi berupa Akta yang dihadapan Notaris hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai Akta di bawah tangan atau suatu Akta menjadi batal
demi hukum, dan juga merugikan para pihak yang bersangkutan maka pihak
tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Pasal
16 Ayat (1) huruf m, tidak dipenuhi maka Akta yang bersangkutan sebagai
Akta di bawah tangan. Pasal 16 Ayat (1) huruf n Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris jika tidak dilaksanakan oleh Notaris oleh
Notaris tidak mau menerima magang, maka Notaris akan dikenakan sanksi
peringatan tertulis.18
Kewajiban Notaris tertuang dalam Pasal 3 Kode Etik
Notaris Ikatan Notaris Indonesia.
18
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), … h. 86-88
24
e. Larangan Notaris
Teori tentang larangan Notaris telah ditetapkan sebagaimana
ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, sebagai berikut:
Larangan bagi Notaris, yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan
prohibition for notary, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan
verbod voor Notaris merupakan aturan yang memerintahkan kepada Notaris
untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Larangan bagi Notaris telah ditentukan
dalam Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris.
Dalam hal ini ada 1 (satu) larangan yang perlu ditegaskan mengenai
substansi Pasal 17 (1) huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, yaitu meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh)
hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah. Bahwa Notaris mempunyai
wilayah jabatan 1 (satu) provinsi (Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris) dan mempunyai tempat kedudukan pada 1
(satu) kota atau kabupaten pada provinsi tersebut (Pasal 18 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris).
Dalam hal ini yang dilarang menurut ketentuan Pasal 17 Ayat (1)
huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yaitu
meninggalkan wilayah jabatannya (provinsi) lebih dari 7 (tujuh) hari kerja.
Meninggalkan tempat kedudukan Notaris lebih dari 7 (tujuh) hari kerja, hal
ini harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 19 Ayat (3) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
25
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang menegaskan Notaris tidak
berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya.
Ketentuan Pasal 19 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris jika dilanggar oleh Notaris, tidak ada sanksi apapun
untuk Notaris yang melanggarnya menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris. Jika hal ini terjadi maka sanksi untuk Notaris
dapat didasarkan kepada ketentuan Pasal 1868 dan 1869 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yaitu dinilai tidak berwenangnya Notaris yang
bersangkutan yang berkaitan dengan tempat dimana Akta dibuat, maka Akta
yang dibuat tidak diperlukan sebagai Akta otentik, tapi mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai Akta di bawah tangan, jika ditandatangani
oleh para pihak.19
Larangan Notaris tercantum dalam Pasal 4 Kode Etik
Notaris Ikatan Notaris Indonesia.
f. Ketentuan Penerapan Honorarium Notaris
Pengaturan mengenai honorarium atau imbalan atas jasa Notaris dalam hal
pembuatan Akta autentik telah diatur didalam ketentuan honorarium pada
Bab VI khususnya Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Undang-Undang Nomor 2004
Tentang Jabatan Notaris yaitu:
(1) Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Besarnya honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai
ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap Akta yang dibuatnya.
(3) Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditentukan dari
objek setiap Akta sebagai berikut:
19
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), … h. 90-91
26
(a) Sampai dengan Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau
ekuivalen gram emas ketika itu, honorarium yang diterima
paling besar adalah 2,5% (dua koma lima ratus persen);
(b) Diatas Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), honorarium yang
diterima paling besar 1,5% (satu koma lima persen); atau
(c) Diatas Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), honorarium
yang diterima didasarkan pada kesepakatan antara Notaris
dengan para pihak, tetapi tidak melebihi 1% (satu persen) dari
objek yang dibuatkan Aktanya.
(4) Nilai sosiologis ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari objek setiap
Akta dengan honorarium yang diterima paling besar Rp.5000.000,00
(lima juta rupiah).
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
adalah merupakan satu-satunya pasal yang mengatur mengenai ketentuan
atas honorarium yang berhak diperoleh oleh Notaris atas jasa yang
diberikannya. Pasal tersebut juga dinyatakan cukup jelas atas uraian pasal
tersebut; hanya terdapat sedikit penjelasan mengenai Pasal 36 Ayat (4)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris bahwa Akta yang
memiliki nilai sosiologis atau memiliki fungsi sosial. Berdasarkan
penjelasan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, contohnya adalah: Akta pendirian yayasan; Akta pendirian sekolah;
Akta tanah wakaf; Akta pendirian rumah ibadah; atau Akta pendirian rumah
sakit. Bila dilihat pengaturan mengenai honorarium dalam Pasal 36 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tersebut; disana terlihat
bahwa Undang-Undang hanya mengatur mengenai tarif maksimal jasa
Notaris atau honorarium yang berhak diterima oleh setiap Notaris.
27
g. Lembaga yang Berwenang Mengawasi Notaris
Majelis Pengawas Notaris secara umum mempunyai ruang lingkup
kewenangan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan
pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan Jabatan
Notaris (Pasal 70 huruf a, Pasal 73 Ayat (1) huruf a dan b, Pasal 77 huruf a
dan b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Berdasarkan substansi pasal tersebut bahwa Majelis Pengawas Notaris
berwenang melakukan sidang untuk memeriksa:
1) Adanya dugaan pelanggaran kode etik;
2) Adanya dugaan pelanggaran pelaksanaan tugas jabatan Notaris;
3) Perilaku para Notaris yang diluar menjalankan tugas jabatannya sebagai
Notaris yang dapat menggangu atau mempengaruhi pelaksanaan tugas
jabatan Notaris.20
Pasal 67 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris menentukan bahwa yang melakukan pengawasan terhadap Notaris
dilakukan oleh Menteri. Dalam melaksanakan pengawasan tersebut Menteri
membentuk Majelis Pengawas (Pasal 67 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris), Pasal 67 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris menentukan Majelis Pengawas tersebut
terdiri dari 9 (sembilan) orang, terdiri dari unsur:
1) Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
2) Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
3) Ahli/akademik sebanyak 3 (tiga) orang.
20
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), … h. 171
28
Menurut Pasal 68 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, terdiri atas:
1) Majelis Pengawas Daerah;
2) Majelis Pengawas Daerah; dan
3) Majelis Pengawas Pusat.
Majelis Pengawas Daerah (MPD) dibentuk dan berkedudukan di
kabupaten atau kota, tercantum dalam Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Majelis Pengawas Wilayah (MPW)
dibentuk dan berkedudukan di ibukota provinsi, tercantum dalam Pasal 72
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Majelis
Pengawas Pusat (MPP) dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara,
tercantum dalam Pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris.
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris yang dilakukan oleh
Majelis Pengawas, yang didalamnya ada unsur Notaris, dengan demikian
setidaknya Notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas
yang memahami dunia Notaris. Adanya anggota Majelis Pengawas dari
Notaris merupakan pengawasan internal artinya dilakukan oleh sesama
Notaris yang memahami dunia Notaris luar-dalam, sedangkan unsur lainnya
merupakan unsur eksternal yang mewakili dunia akademik, pemerintah dan
masyarakat. Perpaduan keanggotaan Majelis Pengawas diharapkan dapat
memberikan sinergi pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga
setiap pengawasan dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan
para Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak menyimpang dari
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris karena diawasi
secara internal dan eksternal.
29
2. Pengawasan Notaris
a. Pengertian Pengawasan Notaris
Pengawasan Notaris, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan
notary of supervision, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan
supervisie de Notaris mempunyai peranan yang sangat penting dalam
rangka melihat dan menilik pelaksanaan tugas dan kewenangan Notaris.
Tanpa adanya pengawasan, maka Notaris akan melakukan hal-hal yang
tidak diinginkan. Pengawasan Notaris terdiri dari dua suku kata, yaitu
pengawasan dan Notaris.
Pengawasan diartikan sebagai suatu usaha untuk menjamin adanya
kearsipan antara penyelenggara tugas pemerintahan oleh daerah-daerah dan
untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya
guna dan berhasil guna.21
Di dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia telah disajikan pengertian pengawasan. Pengawasan adalah
pemberian pembinaan dan pengawasan baik secara preventif maupun kuratif
kepada Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat umum
sehingga Notaris senantiasa harus meningkatkan profesionalisme dan
kualitas kerjanya, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian dan
perlindungan hukum bagi penerima jasa Notaris dan masyarakat luas.
Pengawasan terhadap Notaris sangat diperlukan, agar dalam melaksanakan
tugas dan jabatannya Notaris wajib menjunjung tinggi martabat jabatannya.
Jadi, Notaris harus selalu menjaga segala tindak-tanduknya, segala sikapnya
dan segala perbuatannya agar tidak merendahkan martabatnya dan
kewibawaannya sebagai Notaris.22
21
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Hukum Administrasi
Pemerintahan di Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 233
22
L. Sumartini, 2001, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional
tentang Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2001, h. 35-36
30
Tujuan dari pengawasan yang dilakukan terhadap Notaris adalah
supaya Notaris dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut
kepadanya, baik yang berdasarkan Kode Etik Notaris dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris serta berdasarkan pula kepercayaan
yang diberikan masyarakat klien kepada Notaris tersebut demi menjamin
keamanan dan kepentingan masyarakat. Notaris harus selalu berada di
bawah suatu pengawasan, agar Notaris bersungguh-sungguh menjalankan
tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku bagi pembuatan suatu Akta otentik,
selain itu agar Notaris menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang
ada demi pengamanan kepentingan masyarakat umum.23
b. Dasar Hukum Pengawasan Notaris
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengawasan
Notaris tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat pada
zaman Belanda dan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan
disahkan pada zaman reformasi. Peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pengawasan Notaris pada zaman Hindia Belanda, yaitu
Staattsblaad 1860 Nomor 3 Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia
(Reglement Op Het Notaris-Ambt In Indonesie).
Pengaturan tentang pengawasan Notaris dalam Stb, dimuat dalam Bab
V, dengan judul pengawasan terhadap para Notaris dan Akta-aktanya.
Peraturan perundang-undangan yang dibuat pada zaman reformasi yang
mengatur tentang pengawasan Notaris, yaitu tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Pengawasan Notaris diatur
pula didalam peraturan Kode Etik Notaris.
23
G.H.S Lumban Tobing, , Peraturan Jabatan Notaris, … h. 301
31
B. Kerangka Teori
1. Teori Efektivitas Hukum
Lawrence M. Friedman mengemukakan tiga unsur yang harus
diperhatikan dalam penegakan hukum. Ketiga unsur itu, meliputi struktur,
substansi, dan budaya hukum.24
Struktur hukum terdiri dari:
a. Unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yuridiksinya (yaitu jenis kasus
yang mereka periksa dan bagaimana serta mengapa).
b. Cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya; dan
c. Bagaimana badan legislatif ditata, berapa banyak orang yang duduk di
Komisi Dagang Federal, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
prosedur yang harus diikuti.
Pengertian substansi, meliputi:
a. Aturan, norma, perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum;
b. Produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu
keputusan yang mereka keluarkan, aturan yang baru mereka susun.
Budaya hukum sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan
dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikapdan nilai-nilai yang
memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang
berkaitan dengan hukum.
Budaya hukum dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Kultur hukum eksternal; dan
b. Kultur huku internal.25
Kultur hukum eksternal adalah kultur hukum yang ada pada populasi
umum. Kultur hukum internal adalah kultur hukm para anggota masyarakat
yang menjalankan tugas-tugas hukum yang terspesialisasi. Semua masyarakat
memiliki kultur hukum, tetapi hanya masyarakat dengan spesialis hukum yang
24
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (A Legal System A Social
Science Perspektive), (Bandung: Nusa Media, 2009), h. 7-9
25
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (A Legal System A Social
Science Perspektive), ... h. 293
32
memiliki suatu kultur hukum internal. Ermi Warasih Pujirahayu
mengemukakan bahwa:
“Budaya hukum seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda
dengan budaya hukum masyarakat (eksternal legal culture). Bahkan perbedaan
pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat
merupakan faktor yang memengaruhi budaya hukum seseorang. Budaya
hukum merupakan kunci utuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat
di dalam sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan
masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang
berubah karena ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung
sistem hukum dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota
masyarakat itu sendiri”.26
Struktur hukum berkaitan dengan kelembagaan hukum. Di Indonesia,
lembaga yang berwenang melakukan penegakan hukum, adalah seperti
kepolisian, kejaksaan, pengadilan. Sementara itu, substansi berkaitan isi norma
hukum. Norma hukum ini ada yang dibuat oleh negara (state law) dan ada juga
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (living law atau disebut juga
non state law). Kultur hukum berkaitan dengan budaya hukum masyarakat.
C. Kajian (Review) Studi Terdahulu
Penelitian ini mempunyai relevansinya dengan beberapa penelitian
sebelumnya sebagai berikut:
Sinta, skripsi ini ditulis di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
dengan judul Implementasi Pemberian Jasa Hukum Dibidang Kenotariatan Secara
Cuma-Cuma Oleh Notaris Di Kota Makassar, pada tahun 2014.27
Persamaan
skripsi tersebut dengan penelitian yang sedang peneliti teliti tentang honorarium
kepada Notaris. Terletak perbedaan, karena skripsi tersebut hanya menjelaskan
26
Esmi Warasih Pujirahayu, “Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudukan Tujuan
Hukum (Proses Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan)”, (Pidato Pengukuhan Guru Besar
Fakultas Hukum UNDIP Semarang, 14 April 2001), h.1
27
Sinta, Implementasi Pemberian Jasa Hukum Dibidang Kenotariatan Secara Cuma-
Cuma Oleh Notaris Di Kota Makassar, Jurnal Ilmiah Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar, 2014, h. 1, t.d
33
tentang implementasi pemberian jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-
cuma oleh Notaris di Kota Makassar, dan juga menjelaskan faktor-faktor yang
mendukung dan menghambat pemberian jasa hukum di bidang kenotariatan secara
cuma-cuma oleh Notaris di Kota Makassar. Penelitian yang akan dilakukan
peneliti ini fokus kepada tinjauan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 terhadap
praktik penerapan honorarium Notaris.
Habib Adjie, buku dengan judul Hukum Notaris Indonesia ini memiliki
persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti tentang Notaris.
Terletak perbedaan, yaitu buku ini hanya mengupas hal-hal yang berkaitan dengan
Notaris sebagai pejabat publik beserta landasan hukumnya mulai dari persoalan
pengangkatan dan pemberhentian Notaris hingga permasalahan organisasi dan
ketentuan sanksi terhadap Notaris. Penelitian yang akan dilakukan peneliti ini
fokus kepada tinjauan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 terhadap praktik
penerapan honorarium Notaris.
Hamry Theyer, Jurnal ini di tulis di Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan
Universitas Surabaya dengan judul Analisis Honorarium Jasa Hukum Notaris dan
Ketentuan Sanksi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, pada tahun 2013. Jurnal tersebut mempunyai persamaan dengan
penelitian yang sedang peneliti teliti tentang honorarium jasa hukum Notaris dan
ketentuan sanksi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris. Terletak perbedaan, yaitu pada jurnal tersebut membahas tentang bentuk
dan cara persaingan antar Notaris yang dapat menimbulkan persaingan tidak jujur,
dan akibat hukum dari persaingan tidak jujur antar Notaris sebagai dampak dari
penetapan tarif jasa Notaris di bawah standar. Penelitian yang akan dilakukan
peneliti ini fokus kepada tinjauan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 terhadap
praktik penerapan honorarium Notaris.
34
BAB III
GAMBARAN UMUM PROFIL NOTARIS dan KASUS PRAKTIK
PENERAPAN HONORARIUM NOTARIS
A. Profil Notaris yang Menerapkan Honorarium tidak Sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014
Nama : Mustopa, S.H., M.Kn
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 16 Agustus 1982
Alamat kantor : Jl. Raya Serang Km 3 Kadulawang – Pandeglang,
Rt 002/001, Kel. Cigadung, Kec. Karang Tanjung,
Kab. Pandeglang, Banten
No. SK Pengangakatan : AHU-00408 AH 02.01. Tahun 2015
Tanggal SK Pengangkatan : 13 Juli 2015
Wilayah Penempatan Saat Ini : Kabupaten Pandeglang, Banten
B. Kasus Praktik Penerapan Honorarium yang tidak Sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014
Notaris selama menjalankan tugas jabatannya, meskipun diangkat dan
diberhentikan oleh pemerintah, tetapi tidak mendapat gaji dari pemerintah atau
uang pensiun dari pemerintah, sehingga honorarium yang diterima Notaris sebagai
pendapatan pribadi Notaris yang bersangkutan. Honorarium ini hak Notaris,
artinya orang yang telah membutuhkan jasa Notaris wajib membayar honorarium
Notaris, meskipun demikian Notaris berkewajiban pula untuk membantu secara
cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu memberikan honorarium kepada
Notaris. Batasan mampu atau tidak mampu ini Notaris sendiri yang dapat
menilainya. Jasa hukum untuk mereka yang mampu membayar honorarium
Notaris atau yang diberikan secara cuma-cuma karena ketidakmampuan
penghadap, wajib diberikan tindakan hukum yang sama oleh Notaris, karena Akta
35
yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan tidak akan ada bedanya, baik yang
mampu membayar honorarium Notaris maupun yang cuma-cuma.1
Notaris berhak memungut honorarium atau imbalan berupa uang yang
besarnya telah disebutkan dalam bunyi Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, sebagai berikut:
(1) Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Besarnya honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai
ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap Akta yang dibuatnya.
(3) Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud Ayat (2) ditentukan dari objek setiap
Akta sebagai berikut:
(a) Sampai dengan Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau ekuivalen
gram emas ketika itu, honorarium yang diterima paling besar adalah
2,5% (dua koma lima persen);
(b) Di atas Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima paling
besar 1,5% atau;
(c) Di atas Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang
diterima didasarkan pada kesepakatan antara Notaris dengan para pihak,
tetapi tidak melebihi 1% (satu persen) dari objek yang dibuatkan
Aktanya.
(4) Nilai sosiologis ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari objek setiap
honorium yang diterima paling besar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Jika melihat ketentuan yang terdapat diatas, honorarium minimal yang
diterima oleh Notaris dari jasanya dalam membuat Akta otentik, sebenarnya tidak
ditentukan secara tertulis dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Tidak semua Notaris menetapkan pungutan honor sesuai dengan ketentuan
1 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris) (Bandung: Refika Aditama, 2008), h. 108
36
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris.
Salah satu tindakan Notaris dalam praktik yang dapat menimbulkan
persaingan tidak jujur diantara sesama Notaris, yaitu dengan penetapan tarif
honorarium yang lebih rendah dari kesepakatan Notaris, atas jasa pembuatan Akta
otentik. Penetapan tarif jasa atau honorarium Notaris tersebut dilakukan oleh
oknum Notaris bisa dengan berbagai cara, baik langsung maupun independen
artinya Notaris menetapkan tarif jasanya di bawah standar langsung pada klien
yang menggunakan jasanya secara langsung atau bisa juga dengan cara Notaris
melakukan berbagai macam kerjasama dengan pihak lain atau instansi-instansi
tertentu, seperti melakukan kerjasama dengan pihak seperti bank, developer,
ataupun dengan bank perkreditan rakyat dan instansi-instansi lainnya. Persaingan
yang sangat ketat diantara sesama Notaris akan berimplikasi kepada terkikisnya
nilai-nilai idealisme yang ada di masyarakat dan jabatan Notaris sendiri.
Tuntutan konsumerisme yang merupakan bagian dari kehidupan materalistis
dan konsumtif maka Notaris tersebut seringkali melakukan langkah-langkah yang
melanggar Kode Etik Notaris demi memenuhi kepuasan hidupnya. Profesi
dianggapnya sebagai ladang untuk mencari uang semata dan mengabaikan fungsi
pelayanan yang melekat pada profesi, oleh karena itu banyak sekali Notaris yang
memasang tarif dengan sesuai dengan apa yang dikehendaki Notaris tersebut.2
Salah satu bentuk praktik penerapan honorarium yang tidak sesuai dengan
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yaitu bentuk kerja sama
yang dilakukan oleh Notaris Mustopa, S.H., M.Kn dengan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) Amal Bhakti Sejahtera dalam hal penerapan honorarium adalah
sebagai berikut:
No. Jenis Pengurusan Dalam Praktik
1. Akta Borgtoch
2 https://www.e-jurnal.com/2016/04/pertimbangan-pembentukan-pengaturan.html diakses
pada tanggal 4 April 2019 pukul 20.14 WIB
37
Rp 0 – Rp 10 juta Rp 200.000,00
Rp 10,1 – Rp 20 jt Rp 230.000,00
Rp 20 juta ke atas Rp 350.000,00
2. Akta Perjanjian Kredit Notariil Rp 220.000,00
3. Akta Pengakuan Hutang (tambahan
Akta Point 2)
Rp 220.000,00
4. Akta Pengakuan Hutang (yang
berdiri sendiri)
Rp 220.000,00
5. Akta SKHMT/FIDUSIA
Rp 0 – Rp 10 juta Rp 150.000,00
Rp 10,1 – Rp 20 juta Rp 200.000,00
Rp 20 juta keatas Rp 350.000,00
6. Akta Kuasa Menjual Rp 250.000,00
7. Legalisasi / Waarkeming Rp 50.000,00
Keterangan : * : Pasal 36 Angka 3 huruf (a) = honorarium paling besar 2,5%
Kerjasama yang dilakukan oleh Notaris dengan Pihak Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) Amal Bhakti Sejahtera, yaitu antara Notaris Mustopa, S.H., M.Kn
dengan pihak Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Amal Bhakti Sejahtera mengenai
daftar penetapan tarif/honor pembuatan Akta Notaris/PPAT, terlihat bahwa
tarif/honor tersebut Notaris telah mematok bahwa untuk setiap jasa yang diberikan
oleh Notaris kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Amal Bhakti Sejahtera
menetapkan standar rata-rata yang tidak lebih dari Rp 220.000,00 (dua ratus dua
puluh ribu rupiah) per Akta/pekerjaannya, bahkan ada tarif di bawah harga
tersebut, dan tarif/honor terendah yang ditetapkan sebesar Rp 50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah).
Alasan Notaris Mustopa, S.H., M.kN menerapkan honor di bawah ketentuan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dikarenakan semenjak
38
dikeluarkan kebijakan tentang pengangkatan Notaris 1998 Keputusan Menteri
Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) Nomor:
M.05.HT.03.10 Tahun 1998 Tentang Pengangkatan dan Perpindahan Wilayah
Kerja Notaris yang menyebabkan jumlah Notaris di Indonesia meningkat drastis,
yang saat ini jumlahnya sudah mencapai kurang lebih 11.000 (sebelas ribu)
Notaris bagi kehidupan Kenotariatan. Notaris Mustopa, S.H., M.Kn menerapkan
harga di bawah ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,
sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran (demand and supply), ketika
permintaan tidak meningkat (kondisi ekonomi nasional tidak kondusif), sementara
penawaran meningkat (jumlah Notaris bertambah), maka harga atau honor akan
tertekan ke nilai yang lebih rendah dari nilai sebelumnya. Selain itu tuntutan
konsumerisme yaitu untuk membiayai dua orang pegawai dan untuk membiayai
kebutuhan sehari-hari keluarga, hal ini menyebabkan Notaris Mustopa, S.H.,
M.Kn menerapkan harga di bawah ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris. Ia menggaris bawahi, bahwa penerapan honorarium di bawah
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris merupakan
tindakan yang sudah umum bagi kalangan Notaris.
Menurut Notaris Mustopa, S.H., M.Kn bahwa hampir rata-rata setiap
Notaris menerapkan honor di bawah ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, terlebih bagi Notaris baru, hal itu dilakukan dengan alasan masih
belum banyaknya klien yang datang. Disamping itu tujuan banyaknya Notaris
menerapkan honor di bawah ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, untuk memenuhi biaya operasional kantor yang pasti dikeluarkan setiap
bulannya seperti gaji pegawai, biaya pembayaran telepon, pembayaran air,
pembayaran internet, ongkos operasional pergi ke kantor hingga sampai pulang
39
kerumah, dan keperluan lainnya yang pasti membutuhkan biaya yang lumayan
besar untuk setiap bulannya.
Menurut Notaris Mustopa, S.H., M.Kn Praktik penerapan honorarium di
bawah ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, memberikan
keuntungan, yaitu berupa:
1. Mendapatkan rekanan kerjasama dengan instansi lain, antara lain Bank,
Developer, dll;
2. Mendapatkan daya tarik kepada klien atau masyarakat lainnya untuk
menggunakan jasa Notaris untuk pembuatan akta dan sebagainya yang
merupakan kewenangan Notaris dengan honor yang lebih murah;
3. Mengharapkan mendapatkan job atau pekerjaan yang lebih dari klien.
Menurut Notaris Mustopa, S.H., M.Kn tindakan yang ia lakukan atas
penetapan besaran honorarium atas jasa Notaris di bawah ketentuan Pasal 36
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dipastikan menimbulkan
permasalahan persaingan yang tidak sehat antar rekan Notaris yang tentu saja
menimbulkan permasalahan tersendiri, bukan hanya sebatas pada sesama rekan
Notaris tetapi juga terhadap Notaris yang bersangkutan itu sendiri. Selain
menciptakan kesenjangan antar rekan Notaris di dalam suatu wilayah tertentu
sehingga dapat menimbulkan ketidakharmonisan hubungan dengan rekan
seprofesi yang semestinya justru dapat membantu dan saling menghargai, hal
tersebut dapat merendahkan martabat dari profesi Notaris yang harus selalu dijaga
oleh siapa saja yang memangku dan menjalankan profesi tersebut serta telah
melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik
Notaris, serta sumpah jabatan yang mewajibkan setiap Notaris untuk senantiasa
berprilaku jujur, menjaga kehormatan, dan martabat, serta tanggung jawab profesi
Notaris.
40
Menurut Notaris Mustopa, S.H., M.Kn, bahwa pengawasan yang dilakukan
oleh Majelis Pengawas Notaris kurang optimal, hal tersebut disebabkan antara
lain:
1. Perbandingan jumlah anggota Majelis Pengawas Notaris dengan jumlah
Notaris yang diawasi;
2. Perbandingan luas wilayah daerah kerja Notaris dari masing-masing Kota atau
Kabupaten yang sangat luas;
3. Tidak adanya petunjuk standar operasional pengawasan terhadap Notaris
menjadi pedoman teknis bagi Majelis Pengawas Notaris dalam melakukan
pengawasan;
4. Anggaran dari Pemerintah yang sama sekali tidak tersedia, padahal tugas
Majelis Pengawas Notaris yang membutuhkan dana yang sebesar.3
Dari hasil wawancara kepada ibu Fitriani, S.Ag., M.H, selaku dosen
Universitas Islam Negeri Syarif HidAyatullah Jakarta, akademisi bidang hukum
bisnis. Menurutnya tarif/honor yang ditetapkan tersebut terlihat tidak wajar karena
tarif tersebut merupakan tarif/honor yang sangat murah bila dibandingkan dengan
tarif/honor pada umumnya. Permasalahan mengenai honorarium Notaris
merupakan hal yang juga sebelumnya diatur dalam perjanjian kerjasama tersebut.
Karena pada saat Notaris mengajukan penawaran kerjasama atas penggunaan jasa-
jasanya dalam pembuatan Akta-akta otentik, Notaris juga melampirkan daftar
harga penyelesaian pekerjaan pembuatan Akta. Bahwa Notaris seharusnya tidak
melakukan hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris dan Kode Etik Notaris, serta telah melanggar sumpah yang telah Notaris
ikrarkan sebelumnya.
Menurut Ibu Fitriani, S.Ag., M.H, harga yang diajukan oleh Notais tersebut
adalah harga di bawah standar yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris dan perkumpulan, atau jauh lebih rendah serta murah dari
3 Hasil wawancara dengan Notaris Mustopa, S.H., M.Kn., Jakarta, tanggal 23 April 2019
Pukul 10.00 WIB
41
harga semestinya. Praktik penerapan tarif/honor tersebut, berarti Notaris telah
melakukan suatu bentuk persaingan dengan sejawatnya untuk mendapatkan klien
melalui pihak-pihak tertentu.
Kenyataan hal tersebut kian marak terjadi didalam praktik, membuat
persaingan antar rekan Notaris semakin ketat, semakin banyaknya Notaris yang
melakukan menurunkan tarif/honor kian memicu sulitnya menerapkan ketentuan
Pasal 36 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Diperlukan
kesusuaian mengenai honorarium antar Notaris agar terjadi persaingan yang sehat
dalam melaksanakan profesinya dalam membuat Akta autentik, akan tetapi dalam
satu sisi menekankan segi pelayanan. Untuk itu dalam hal seperti ini perlu adanya
pengawasan oleh Majelis Pengawas Notaris terhadap penerapan honorarium
Notaris. Meskipun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mengatur
mengenai honorarium hanya dalam satu pasal saja dan mengatur mengenai
standar honorarium atas jasa yang diberikannya, akan tetapi penetapan tarif jasa
Notaris baik di bawah maupun diatas standar yang telah ditetapkan secara tidak
langsung merupakan pelanggaran terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Pada dasarnya honorarium yang timbul merupakan kesepakatan antara para
pihak atau penghadap dan Notaris, meskipun demikian penetapan honorarium
sangat bergantung pada nilai ekonomis Akta. Semakin besar pencantuman nilai
nominal pada Akta akan menentukan jumlah honorarium yang harus dibayarkan
oleh penghadap atau para pihak, terkait dengan jumlah honorarium yang harus
dibayarkan oleh penghadap. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
telah memberikan batasan tertinggi. Honorarium merupakan hak daripada Notaris
sebagai imbalan atas jasa dan pelayanan yang diberikan kepada kliennya.
Penetapan honorarium bagi Notaris dapat dilihat dari latar belakang Akta yang
dibuat untuk kepentingan kliennya. Akta yang memiliki nilai ekonomis akan
42
berbeda dengan Akta yang memiliki nilai sosial. Semakin tinggi nilai ekonomis
suatu Akta akan mempengaruhi nilai honorarium. Perbedaan nilai ekonomis dan
sosial terhadap Akta akan sangat mempengaruhi penafsiran Notaris yang satu
dengan yang lainnya dalam menetapkan honorarium.
Menurut Ibu Fitriani, S.Ag., M.H, pengaturan mengenai honorarium juga
tercantum dalam beberapa pasal dalam Kode Etik Notaris. Berbeda dengan apa
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dimana
dalam undang-undang tersebut mengatur mengenai tarif maksimal yang boleh
ditetapkan oleh Notaris dalam suatu transaksi tetapi tidak mengatur mengenai tarif
minimal yang boleh ditetapkan dalam dalam suatu transaksi.
Kode Etik Notaris mengatur mengenai larangan bagi Notaris untuk
menetapkan tarif di bawah standar yang telah ditetapkan oleh perkumpulan,
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 Ayat (13) Kode Etik Notaris, bahwa
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib
melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium yang
ditetapkan Perkumpulan. Hal ini berarti bahwa perkumpulan telah membuat suatu
aturan yang berkaitan dengan honorarium Notaris.
Pasal 4 Ayat (9) mengatur bahwa Notaris dilarang melakukan usaha-usaha,
baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya
persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris. Pasal 4 Ayat (10) Kode
Etik Notaris mengatur mengenai honorarium, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 4 Ayat (10) bahwa “Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan
menjalankan jabatan Notaris) dilarang menetapkan honorarium yang harus
dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah
ditetapkan Perkumpulan”. Dari ketentuan pasal tersebut terlihat bahwa Kode Etik
Notaris tidak menghendaki adanya penetapan tarif yang lebih rendah. Seharusnya
dengan adanya aturan yang jelas tertera dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, seharusnya Majelis Pengawas Notaris dengan cepat menindak
lanjuti Notaris kasus tersebut. Jika tidak di awasi dengan baik oleh Majelis
43
Pengawas Notaris, maka akan banyak praktik seperti ini yang terus berlanjut.4
Sedangkan, menurut bapak Zul Trisman yang berkedudukan di Jl. Raya Labuan
KM. 6, Komplek Ruko Bpi Blok A, No. 16, yang merupakan salah satu anggota
Majelis Pengawas Daerah Kabupaten Pandeglang dan Lebak, menerangkan bahwa
selama ini belum adanya laporan dari masyarakat untuk pelanggaran Notaris yang
tidak menerapkan honorarium Notaris sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, dengan tidak adanya aduan dari
masyarakat, maka Majels Pengawas Daerah Kabupaten Pandeglang dan Lebak,
tidak bisa memeriksa bahkan menjatuhi sanksi kepada Notaris yang melanggar
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan dan Kode Etik Notaris.
Apabila suatu waktu Majelis Pengawas Daerah Kabupaten dan Lebak
mendapatkan laporan terkait, maka segera akan kami tindak lanjuti.5..................
4Hasil wawancara dengan Ibu Fitriyani, S.Ag., M.H., Jakarta, tanggal 25 April 2019
Pukul 08.40 WIB
5 Hasil wawancara dengan Anggota Majelis Pengawas Daerah Kabupaten Pandeglang
dan Lebak, Notaris Zul Trisman, S.H., Jakarta, tanggal 13 Mei 2019 Pukul 19.30 WIB
44
BAB IV
ANALISIS TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014
TERHADAP PRAKTIK PENERAPAN HONORARIUM NOTARIS
A. Analisis Hubungan Hukum Notaris dengan Para Pihak yang Membuat
Perjanjian
Notaris merupakan pengemban profesi luhur yang memiliki 3 (tiga) ciri-
ciri pokok. Pertama, bekerja secara bertanggungjawab (dapat dilihat dari mutu
dan dampak pekerjaan). Kedua, menciptakan keadilan (tidak memihak dan
tidak melanggar hak pihak manapun). Ketiga, bekerja tanpa pamrih demi
kepentingan klien dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat sesama
anggota profesi dan organisasi profesinya. Dalam melaksanakan tugas dan
jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh pada Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, sebab tanpa itu
harkat dan martabat professionalisme akan hilang.
Ketika penghadap datang ke Notaris agar tindakan atau perbuatannya
diformulasikan ke dalam Akta otentik sesuai dengan kewenangan Notaris, dan
kemudian Notaris membuatkan Akta atas permintaan atau keinginan para
penghadap tersebut, maka dalam hal ini memberikan landasan kepada Notaris
dan para penghadap telah terjadi hubungan hukum, oleh karena itu Notaris
harus menjamin bahwa Akta yang dibuat tersebut telah sesuai menurut aturan
hukum yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan yang bersangkutan
terlindungi dengan Akta tersebut. Hubungan hukum seperti itu, maka perlu
ditentukan kedudukan hubungan hukum tersebut yang merupakan awal dari
tanggunggugat Notaris.1 Akta Notaris sebagai Akta otentik mempunyai
kekuatan nilai pembuktian sebagai berikut:2
1 Marthalena Pohan, Tanggunggugat Advocat, Dokter, dan Notaris, (Surabaya: Bina Ilmu
Surabaya, 1985), h. 11
2 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan), (Jakarta:
Rajawali, 1982), h. 55
45
1. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht).
Kemampuan lahiriah Akta Notaris, merupakan kemapuan akta itu
sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai Akta otentik (acta
publica probant sese ipsa), jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai Akta
otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai
syarat Akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang
membuktikan bahwa Akta tersebut bukan Akta otentik secara dalam hal ini
beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan Akta
Notaris. Parameter untuk menentukan Akta Notaris sebagai Akta otentik,
yaitu tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada
Minuta dan Salinan dan adanya awal Akta (mulai dari judul) sampai dengan
akhir Akta.
Nilai pembuktian Akta Notaris dari aspek lahiriah, Akta tersebut harus
dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu
dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai
bahwa suatu Akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai Akta, maka yang
bersangkutan wajib membuktikan bahwa Akta tersebut secara lahiriah
bukan Akta otentik. Penyangkalan atau pengingkaran secara lahirian Akta
Notaris sebagai Akta otentik, bukan sebagai Akta otentik, maka penilaian
pembuktiannya harus didasarkan pada syarat-syarat Akta Notaris sebagai
akta otentik. Pembuktian semacam ini harus melalui upaya gugatan ke
pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah
Akta yang menjadi obyek gugatan bukan akta Notaris.
2. Formal (Formale Bewijskracht).
Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan
fakta tersebut dalam Akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau
diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum
dalam Akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam
pembuatan Akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan
kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan
para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap,
46
saksi, dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar
oleh Notaris (pada Akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan
atau pernyataan para pihak/penghadap (pada Akta pihak).
Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dari
formalitas dari Akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari,
tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan ketidakberaran
mereka yang menghadap, membutikan ketidakbenaran apa yang dilihat,
disaksikan dan didengan oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan
ketidak benaran pernyataan atau keterangan para pihak yang
diberikan/disampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tandatangan
para pihak, saksi, dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan Akta yang
tidak dilakukan. Dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta
tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek
formal dari Akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran
tersebut, mak Akta tersebut harus diterima oleh siapa pun.
Tidak dilarang siapapun untuk melakukan pengingkaran atau
penyangkalan atas aspek formal akta Notaris, jika yang bersangkutan
merasa dirugikan atas Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris.
Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu
gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat membuktikan
bahwa ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam Akta yang
bersangkutan, misalnya, bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa
menghadap Notaris pada hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul yang
tersebut dalam awal Akta, atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam
Akta bukan tanda tangan dirinya. Jika hal ini terjadi yang bersangkutan atau
penghadap tersebut menggugat Notaris, dan penggugat harus dapat
membuktikan ketidakbenaran aspek formal tersebut.
3. Materiil (Materiele Bewiskracht).
Merupakan kepastian tentang materi suatu Akta, bahwa yang tersebut
dalam Akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang
membuat Akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum,
47
kecuali ada pembuktian sebaliknya. Keterangan atau pernyataan yang
dituangkan/dimuat dalam Akta pejabat atau berita acara, atau keterangan
para pihak yang yang diberikan/disampaikan di hadapan Notaris (Akta para
pihak) dan para pihak harus dinilai berkata benar yang kemudian
dituangkan/dimuat dalam Akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang
yang datang menghadap Notaris yang kemudian keterangannya
dituangkan/dimuat dalam Akta harus dinilai telah benar berkata.
Jika ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi
tidak berkata benar, maka hal tersebut tersebut tanggung jawab para pihak
sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi Akta
Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, mejadi bukti yang
sah untuk/di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak
mereka. Jika akan membuktikan aspek materiil dari Akta, maka yang
bersangkutan harus dapat membuktikan, bahwa Notaris tidak menerangkan
atau menyatakan yang sebenarnya dalam Akta (Akta pejabat), atau para
pihak yang telah berkata benar (di hadapan Notaris) menjadi tidak berkata
benar, dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek
materiil dari Akta Notaris.
Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan Akta Notaris
sebagai Akta otentik dan siapa pun yang terkait oleh Akta tersebut. Jika dapat
dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, Akta yang bersangkutan
hanya mempunyai kekuatan pembutian sebagai Akta di bawah tangan atau
tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai Akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai Akta di bawah tangan. Bahwa ada
salah satu aspek tersebut yang tidak benar, maka Akta yang bersangkutan
hanya mempunyai kekuatan pembutian sebagai Akta di bawah tangan atau
tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai Akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai Akta di bawah tangan.
Dalam termilogi ilmu hukum suatu kesalahan yang dilakukan di dalam
menjalankan jabatan apapun, disebut dengan beroepfout. Istilah beroepfout
biasanya ditujukan pada kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para dokter,
48
advocat, dan Notaris, karena ketiga jabatan tersebut secara historis termasuk
dalam satu golongan. Menurut Marthalena Pohan, ketiga jabatan tersebut
biasanya disebut sebagai de operae leberales, yaitu jabatan di mana pemegang
jabatan bekerja tidak melulu untuk mencari nafkah tetapi pelaksanaan jabatan
tersebut juga untuk kepeningan umum.
Suatu kesalahan dalam menjalankan profesi dapat disebabkan oleh
kekurangan pengetahuan, kurang pengalaman, atau kurang pengertian.
Demikian pula kesahan Notaris dalam menjalankan jabatan kadangkala
diebabkan oleh kekurangan pengetahuan Notaris terhadap persoalan yang
dimintakan oleh klien baik dari aspek hukum maupun aspek lainnya. Bagi
Notaris tertentu, terutama Notaris baru yang kurang pengalaman dalam
persoalan yang diajukan oleh klien, maka tidak jarang terjadi kesalahan dalam
menuangkan maksud dan permintaan klien dalam Akta yang dibuat.
Ketidakmengertian Notaris terhadap apa yang disampaikan dan minta oleh
klien juga sering kali menimbulkan kesalahan dalam pembuatan Akta oleh
Notaris.
Pelanggaran atau kesalahan Notaris dalam menjalankan jabatan dapat
menimbulkan kerugian pada klien atau pihak lain. Kesalahan yang dilakukan
oleh Notaris dalam menjalankan jabatan dapat membawa dampak pada Akta
yang dibuatnya, yakni hanya mempunyai kekuatan hukum sebagai Akta di
bawah tangan apabila ditandatangani oleh orang-orang yang menghadap.
Sehingga dari Akta otentik sebagai Akta Notaris yang kemudian berubah atau
turun derajat mejadi Akta di bawah tangan dapat menyebabkan Notaris
berkewajiban untuk memberikan ganti rugi. Pihak yang dirugikan akibat
terjadinya pelanggaran atau kesalahan tersebut dapat mengajukan tuntutan atau
gugatan kerugian kepada Notaris yang bersangkutan melalui pengadilan.
Untuk memberikan landasan kepada hubungan hukum seperti tersebut
diatas, perlu ditentukan tanggunggugat Notaris apakah dapat berlandaskan
kepada wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau
49
mewakili orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming)3 atau pemberian kuasa
(lastgeving), perjanjian untuk melakukan pekerjaan tertentu ataupun
persetujuan perburuhan.4 Hubungan hukum antara para penghadap dengan
Notaris dapat dimasukkan atau dikualifikasikan dalam bentuk sebuah
wanprestasi jika terjadi hubungan hukum secara kontraktual, misalnya para
penghadap memberi kuasa untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu untuk dan
atas nama pemberi kuasa. Para penghadap datang kepada semua Notaris
terbuka untuk siapa saja, dan suatu hal tidak tepat jika tiap pemberian kuasa
untuk melakukan pekerjaan tertentu, dalam hal ini membuat Akta.
Tidak adanya perjanjian baik tertulis atau lisan yang dinyatakan secara
tegas atau tidak antara Notaris dengan para pihak untuk membuat Akta yang
diinginkannya, maka tidak tepat jika hubungan hukum antara Notaris dan para
pihak dikualifikasikan sebagai hubungan kontraktual yang jika Notaris
wanprestasi dapat dituntut digugat dengan dasar gugatan Notaris telah
wanprestasi. Inti dari suatu perbuatan melawan hukum, yaitu tidak ada
hubungan kontraktual antara satu pihak dengan pihak lainnya. Perbuatan
melawan hukum dapat terjadi satu pihak merugikan pihak lain tanpa adanya
suatu kesengajaan tapi menimbulkan kerugian pada salah satu pihak.
Dalam praktik Notaris melakukan suatu pekerjaan berdasarkan
kewenangannya atau dalam ruang lingkup tugas jabatan sebagai Notaris
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Para
penghadap datang kepada Notaris atas kesadaran sendiri dan mengutarakan
keinginanannya di hadapan Notaris, yang kemudian dituangkan ke dalam
bentuk Akta Notaris sesuai aturan hukum yang berlaku, dan suatu hal yang
tidak mungkin Notaris membuatkan Akta tanpa ada permintaan dari siapa pun.
Sepanjang Notaris melaksanakan tugas jabatannya sesuai Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dan telah memenuhi semua tatacara dan
3 Marthalena Pohan, Tanggunggugat Advocat, Dokter, dan Notaris, ... h. 17
4 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983), h. 325
50
persyaratan dalam pembuatan Akta, dan Akta yang bersangkutan telah pula
sesuai dengan para pihak yang menghadap Notaris, maka tuntutan dalam
bentuk perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata tidak mungkin untuk dilakukan.
Dalam hal tidak ada kontraktual atau saling mengikatkan diri antara para
penghadap dengan Notaris ataupun ada persetujuan untuk memberikan
pekerjaan-pekerjaan tertentu, dengan demikian hubungan hukum yang terjadi
antara Notaris dan para penghadap merupakan suatu hubungan hukum yang
tidak termasuk ke dalam bentuk suatu perjanjian yang tunduk kepada
pengaturan tentang kuasa, dalam hal ini Notaris menerima atau melakukan
pekerjaan untuk orang lain untuk melakukan suatu urusan atau perjanjian
tertentu, seperti persetujuan untuk melakukan jasa-jasa tertentu, dalam bentuk
persetujuan perburuhan yang pemborongan pekerjaan (Pasal 1601 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata) ataupun persetujuan perburuhan yang
melakukan pekerjaan di bawah perintah orang lain (Pasal 1601 d Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
Subjek hukum yang datang menghadap Notaris didasari adanya suatu
keperluan dan keinginan sendiri, Notaris juga tidak mungkin melakukan suatu
pekerjaan atau membuat Akta tanpa ada permintaan dari para penghadap,
dengan demikian menuntut Notaris dalam bentuk mewakili orang lain tanpa
kuasa (zaakwaarnerning) tidak mungkin berdasarkan Pasal 1354 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Hubungan hukum yang terjadi antara Notaris
dan para penghadap tidak dapat dikonstruksikan dipastikan atau ditentukan
sejak awal ke dalam bentuk adanya atau telah terjadi wanprestasi atau
perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau persetujuan untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu atau mewakili orang lain tanpa kuasa
(zaakwaarnerning) yang dapat dijadikan dasar untuk menunut Notaris berupa
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kontruksi seperti itu tidak dapat
diterapkan secara langsung terhadap Notaris karena tidak ada syarat yang
dipenuhi seperti:
51
a. Tidak ada perjanjian secara tertulis atau kuasa atau untuk melakukan
pekerjaan tertentu;
b. Tidak ada hak-hak para pihak atau penghadap yang dilanggar oleh Notaris;
c. Notaris tidak mempunyai atasan untuk menerima perintah melakukan suatu
pekerjaan; dan
d. Tidak ada kesukarelaan dari Notaris untuk membuat Akta, tanpa ada
permintaan dari para pihak.
Hubungan hukum Notaris dan para penghadap merupakan hubungan
hukum yang khas dengan karakter:
a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam bentuk
pemberian kuasa untuk membuat Akta atau untuk melakukan pekerjaan-
pekerjaan tertentu;
b. Mereka yang datang ke hadapan Notaris, dengan anggapan bahwa Notaris
mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan para
pihak secara tertulis dalam bentuk Akta otentik;
c. Hasil akhir dari tindakan Notaris berdasarkan kewenangan Notaris yang
berasal dari permintaan atau keinginan para pihak sendiri; dan
d. Notaris bukan pihak dalam Akta yang bersangkutan.
Pada dasarnya bahwa hubungan hukum antara Notaris dan para
penghadap yang telah membuat Akta dihadapan atau oleh Notaris tidak dapat
dikontruksikan ditentukan pada awal Notaris dan para penghadap
berhubungan, karena pada saat itu belum terjadi permasalahan apapun. Untuk
menentukan bentuk hubungan antara Notaris dengan para penghadap harus
dikaitkan dengan ketentuan dengan Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, bahwa Akta otentik terdegradasai menjadi mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai Akta di bawah tangan dengan alasan: (1) tidak
berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau (2) tidak mampunya
pejabat umum yang bersangkutan, atau (3) cacat dalam bentuknya, atau karena
ada Notaris dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum.
52
Pelaksanaan tugas jabatan Notaris merupakan pelaksanaan tugas jabatan
yang estorik, diperlukan pendidikan khusus dan kemampuan yang memadai
untuk menjalankannya, oleh karena itu, Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya harus mematuhi berbagai ketentuan yang tersebut dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, sehingga dalam hal ini
diperlukan kecermatan, ketelitian, dan ketepatan tidak hanya dalam teknik
administratif membuat Akta, tapi juga penerapan berbagai aturan hukum yang
tertuang dalam Akta yang bersangkutan untuk para penghadap, dan
kemampuan menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan hukum
pada umumnya.5 Kedudukan Akta Notaris yang mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai Akta di bawah tangan atau Akta Notaris menjadi batal
demi hukum tidak berdasarkan Akta Notaris tidak memenuhi syarat subjektif
dan syarat objektif tapi dalam hal ini:
a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, telah
menentukan sendiri ketentuan syarat Akta Notaris yang mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai Akta di bawah tangan atau Akta Notaris
menjadi batal demi hukum, yaitu tidak memenuhi syarat eksternal.
b. Notaris telah tidak cermat, tidak teliti, dan tidak dapat dalam menerapakan
aturan hukum yang berkaitan pelaksanaan tugas jabatan Notaris berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan juga
dalam menerapkan aturan hukum yang berkaitan dengan isi Akta.
Tuntutan terhadap Notaris dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi
dari bunga sebagai akibat Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai Akta di bawah tangan atau batal demi hukum, berdasarkan adanya:
1. Hubungan hukum yang khas antara Notaris dengan para penghadap dengan
bentuk sebagai perbuatan melawan hukum.
2. Ketidakcermatan, ketidaktelitian, dan ketidaktepatan dalam:
5 Marthalena Pohan, Tanggunggugat Advocat, Dokter, dan Notaris,… h. 45
53
a. Teknik administrasi membuat Akta berdasarkan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
b. Penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam Akta yang
bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada
kemampuan menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan
hukum pada umumnya.
Sebelum Notaris dijatuhi sanksi perdata perdata penggantian biaya, ganti
rugi, dan bunga, maka terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa:
1. Adanya diderita kerugian;
2. Antara kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari Notaris
terdapat hubungan kausal;
3. Pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang
dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan.6
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, pengertian tanggung jawab
adalah “keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, apabila ada sesuatu hal,
boleh dituntut, dipersalahkan, diperbolehkan dan sebagainya”.7 Demikian pula
halnya dengan tanggung jawab seorang Notaris dalam melaksanakan
kewenangan dan kewajibannya.
Sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris berkewajiban
untuk bertanggung jawab atas perbuatannya/pekerjaannya dalam membuat
Akta karena masyarakat mempercayakan Notaris tersebut sebagai seseorang
yang ahli dalam bidang kenotarisan. Besarnya tanggung jawab Notaris dalam
menjalankan profesinya mengharuskan notaris untuk selalu cermat dan hati-
hati dalam setiap tindakannya.
Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang Notaris dalam
menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan baik
6 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris), (Bandung: Refika Aditama, 2008), h. 17
7 Wahyu Baskoro, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Setia kawan, 2005), h.
785
54
karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapat merugikan
pihak lain. Notaris dalam menjalankan jabatannya harus berdasarkan pada
ketelitian, kecermatan dan ketepatan. 3 (tiga) unsur sifat pribadi harus
mendapatkan perhatian khusus yang membentuk karakter didalam menjalankan
jabatan adalah:8
1. Jujur terhadap diri sendiri;
2. Baik dan benar;
3. Profesional.
Salah satu perilaku seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya
adalah senantiasa bersikap profesional. Menyandang jabatan selaku Notaris
harus jujur terhadap diri sendiri yang berlandaskan pada spiritual, moral,
mental, dan akhlak baik dan benar. Selain mempunyai tingkat intelektual tinggi
serta yang mempunyai sifat netral/tidak memihak, independen, mandiri, tidak
mengejar materi, menjunjung harkat, dan martabat Notaris yang profesional.
Perilaku sehari-hari dalam menjalankan jabatannya harus profesional yang
mengandung arti:
1. Sesuai dengan undang-undang, kode etik, anggaran dasar, anggaran rumah
tangga;
2. Sesuai dan menguasai teknik pembuatan Akta;
3. Teliti, jeli, dan sikap kehati-hatian harus diperhatikan;
4. Tidak terpengaruh dan tidak memihak;
5. Membuat sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya;
6. Tidak menghalalkan segala cara atau memaksakan kehendak;
7. Dalam waktu yang cepat dan tepat.
Tugas seorang Notaris adalah membuat suatu Akta otentik yang
diinginkan oleh para pihak untuk suatu perbuatan hukum tertentu. Tanpa
adanya suatu permintaan dari para pihak maka Notaris tidak akan membuatkan
suatu Akta apapun. Notaris dalam membuat suatu Akta harus berdasarkan
keterangan atau pernyataan dari para pihak yang hadir dihadapan Notaris,
8 A.A. Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia,
(Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), h. 92
55
kemudian Notaris menuangkan keterangan-keterangan/penyataan-pernyataan
tersebut kedalam suatu Akta, dimana Akta tersebut telah memenuhi ketentuan
secara ilmiah, formil, dan materiil dalam pembuatan Akta otentik.
Serta Notaris dalam membuat Akta tersebut harus berpijak pada
peraturan hukum atau tata cara prosedur pembuatan Akta, sehingga Notaris
dituntut untuk lebih jeli dan berhati-hati dalam membuat Akta. Akta
merupakan sebuah kebutuhan bagi masyarakat (para penghadap) dan
diharapkan Akta tersebut dapat menjadi suatu bukti apabila terjadi suatu
sengketa dikemudian hari. Apabila Notaris lalai dan kurang berhati-hati dalam
membuat Akta sehingga mengakibatkan Akta tersebut cacat hukum, maka
perbuatan Notaris tersebut harus dipertanggungjawabkan. Atas kesalahan
Notaris tersebut, menyebabkan Notaris telah melakukan perbuatan melawan
hukum. Perbuatan melawan hukum merupakan suatu kumpulan dari prinsip-
prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku
berbahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit
dari interaksi sosial dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan
suatu gugatan yang tepat.
Perbuatan harus memenuhi rumusan bahwa perbuatan itu dilarang oleh
undang-undang, adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan Notaris
tersebut serta perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, baik formil
maupun materiil. Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum,
menurut GHS Lumban Tobing, Notaris harus bertanggung jawab terhadap akta
yang dibuatnya, apabila terdapat alasan-alasan sebagai berikut:9
1. Di dalam hal-hal yang secara tegas ditentukan oleh Peraturan Jabatan
Notaris.
2. Jika suatu akta karena tidak memenuhi syarat-syarat mengenai bentuknya
(gebrek in the vorm), dibatalkan di muka pengadilan, atau dianggap hanya
berlaku sebagai akta di bawah tangan.
9 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, ... h. 325
56
3. Dalam segala hal, dimana menurut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai tanggung
jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), Pasal 1366
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai tanggung jawab dengan
unsur kesalahan khususnya kelalaian, dan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata mengenai tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan)
terdapat kewajiban untuk membayar ganti kerugian, artinya semua hal-hal
tersebut harus dilalui proses pembuktian yang seimbang.
Dalam lapangan hukum keperdataan, sanksi merupakan bentuk
pertanggungjawaban Notaris. Sanksi merupakan tindakan hukuman untuk
memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-undang.
Sanksi yang ditujukan kepada Notaris merupakan sebagai penyadaran, bahwa
Notaris dalam melakukan tugas jabatannya telah melanggar ketentuan-
ketentuan mengenai pelaksanaan tugas jabatan Notaris sebagaimana tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan untuk
mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk
tertib sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.10
Di samping itu, sebagai bentuk tanggung jawab, pemberian sanksi
terhadap Notaris juga untuk melindungi masyarakat dari tindakan Notaris yang
dapat merugikan, misalnya membuat Akta yang tidak melindungi hak-hak yang
bersangkutan sebagaimana yang tersebut dalam Akta Notaris. Sanksi tersebut
untuk menjaga martabat lembaga Notaris sebagai lembaga kepercayaan karena
apabila Notaris melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan
masyarakat terhadap Notaris.
Tanggung jawab perdata atas akta yang dibuat oleh Notaris dalam hal ini
adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil Akta, maka dikenakan
sanksi keperdataan terhadap kesalahan yang terjadi dalam konstruksi perbuatan
10
Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,
Notaris, Kurator, dan Pengurus), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h. 4
57
melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam hal ini dalam sifat aktif
maupun pasif. Aktif dalam arti melakukan perbuatan yang menimbulkan
kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam arti tidak melakukan
perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian.
Jadi unsur perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya kesalahan dan
adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan
luas, yaitu suatu perbuatan yang tidak saja melanggar undang-undang, tetapi
juga melanggar kepatutan, kesusilaan, atau hak orang lain dan menimbulkan
kerugian.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban Notaris dalam lapangan hukum
keperdataan, maka dikenakan sanksi berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga sebagai akibat yang akan diterima Notaris dari gugatan para penghadap
apabila Akta bersangkutan hanya mempunyai pembuktian sebagai Akta di
bawah tangan atau Akta batal demi hukum. Penggantian biaya, ganti rugi, atau
bunga dapat digugat terhadap Notaris harus dengan mendasarkan pada suatu
hubungan hukum antara Notaris dengan para pihak yang menghadap Notaris.
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat langsung dari
suatu Akta Notaris, maka yang bersangkutan dapat menuntut secara perdata
terhadap Notaris. Dalam hal gugatan karena perbuatan melawan hukum, maka
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku. Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membuka kemungkinan pengajuan
berbagai gugatan yaitu: gugatan ganti rugi, pernyataan sebagai hukum, perintah
atau larangan hakim.
Pada ganti rugi dalam hal perbuatan melawan hukum, terbuka
kemungkinan ganti rugi dalam bentuk lain selain sejumlah uang. Syarat ganti
rugi dalam bentuk lain yang bukan uang adalah:
1. Ditentukan oleh penggugat;
2. Hakim menganggapnya cocok.
Mengenai penggantian kerugian dalam bentuk lain selain ganti rugi uang
dapat dilihat dalam pertimbangan dari sebuah Hoge Raad, yang dirumuskan:
“Pelaku perbuatan melawan hukum dapat dihukum untuk membayar sejumlah
58
uang selaku pengganti kerugian yang ditimbulkannya kepada pihak yang
dirugikannya, tetapi kalau pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi dalam
bentuk lain, dan hakim menganggap sebagai bentuk ganti yang sesuai, maka
pelaku tersebut dapat dihukum untuk melakukan prestasi yang lain demi
kepentingan pihak yang dirugikan yang cocok untuk menghapuskan kerugian
yang diderita”.
Mengenai tanggung jawab Notaris atas Akta yang dibuatnya dalam hal
pidana, tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan apabila
Notaris melakukan perbuatan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, dengan catatan bahwa pemidanaan terhadap Notaris
tersebut dapat dilakukan dengan batasan yaitu:
1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahiriah, formal dan
materiil Akta yang disengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan, serta
direncanakan bahwa Akta yang akan dibuat dihadapan Notaris atau oleh
Notaris bersama-sama atau sepakat para penghadap dijadikan dasar untuk
melakukan suatu tindak pidana.
2. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat Akta dihadapan atau oleh
Notaris yang apabila diukur berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris.
3. Tindakan Notaris tersebut juga tidak sesuai menurut instansi yang
berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis
Pengawas Notaris.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum. Larangan tersebut disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu seperti denda maupun kurungan bagi mereka yang melanggar
ketentuan tersebut. Pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang
59
dilakukan oleh Notaris selaku pejabat umum yang berwenang membuat Akta
dan tidak dalam konteks individu sebagai warga negara.11
Menurut Lawrence M. Friedman struktur hukum merupakan pola yang
menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan-
ketentuan formalnya. Seharusnya aparat penegak hukum juga ikut membantu
dalam menegakkan hukum di Indonesia, sebagaimana halnya tanggunggugat
Notaris terhadap para pihak, penegak hukum tidak harus melakukan
pemeriksaan kepada Notaris yang tidak melakukan perbuatan hukum sesuai
aturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode
Etik Notaris.
B. Analisis Bentuk Praktik Penerapan Honorarium dalam Kasus Transaksi
antara Notaris dengan Para Pihak
Pengaturan mengenai honorarium atau imbalan atas jasa Notaris dalam
hal pembuatan Akta autentik telah diatur didalam ketentuan honorarium
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris pada Bab VI
khususnya Pasal 36:
(1) Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Besarnya honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai
ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap Akta yang dibuatnya.
(3) Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditentukan dari
objek setiap Akta sebagai berikut:
(a) Sampai dengan 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau ekuivalen
gram mas ketika itu, honorarium yang diterima paling besar adalah
2,5% (dua koma lima persen);
11
Mahalia Nola Pohan, Suatu Tinjauan Tentang Pembatalan Akta Notaris Yang
Penandatanganannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan, (Universitas Sumatera
Utara: Magister Kenotariatan, 2011), h. 112
60
(b) Di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima
paling besar 1,5% (satu koma lima persen); atau
(c) Di atas Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang
diterima didasarkan kesepakatan antara Notaris dengan para pihak,
tetapi tidak melebihi 1% (satu persen) dari objek yang dibuatkan
Aktanya.
(4) Nilai sosiologis ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari objek setiap
Akta dengan honorarium yang diterima paling besar Rp.5.000.000,00
(lima juta rupiah).
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris adalah merupakan satu-
satunya pasal didalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang mengatur
mengenai ketentuan atas honorarium yang berhak diperoleh oleh Notaris atas
jasa yang diberikannya. Pasal tersebut juga dinyatakan cukup jelas atas uraian
pasal tersebut; hanya terdapat sedikit penjelasan mengenai Pasal 36 Ayat (4)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris bahwa Akta yang
memiliki nilai sosiologis atau memiliki fungsi sosial berdasarkan penjelasan
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, contohnya
adalah: Akta pendirian yayasan; Akta pendirian sekolah; Akta tanah wakaf;
Akta pendirian rumah ibadah; atau Akta pendirian rumah sakit. Bila dilihat
pengaturan mengenai honorarium dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris hanya mengatur mengenai tarif maksimal jasa Notaris
atau honorarium yang berhak diterima oleh setiap Notaris.
Meskipun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
mengatur mengenai honorarium hanya dalam satu pasal saja dan mengatur
mengenai standar honorarium atas jasa yang diberikannya, akan tetapi
61
penetapan tarif jasa Notaris baik di bawah maupun diatas standar yang telah
ditetapkan secara tidak langsung merupakan pelanggaran terhadap beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Pada dasarnya honorarium yang timbul merupakan kesepakatan antara
para pihak atau penghadap dan Notaris, meskipun demikian penetapan
honorarium sangat bergantung pada nilai ekonomis Akta. Semakin besar
pencantuman nilai nominal pada Akta akan menentukan jumlah honorarium
yang harus dibayarkan oleh penghadap atau para pihak. Terkait dengan jumlah
honorarium yang harus dibayarkan oleh penghadap, Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris telah memberikan batasan tertinggi. Honorarium
merupakan hak daripada Notaris sebagai imbalan atas jasa dan pelayanan yang
diberikan kepada kliennya. Penetapan honorarium bagi Notaris dapat dilihat
dari latar belakang Akta yang dibuat untuk kepentingan kliennya.
Akta yang memiliki nilai ekonomis akan berbeda dengan Akta yang
memiliki nilai sosial, semakin tinggi nilai ekonomis suatu Akta akan
mempengaruhi nilai honorarium. Perbedaan nilai ekonomis dan sosial terhadap
Akta akan sangat mempengaruhi penafsiran Notaris yang satu dengan yang
lainnya dalam menetapkan honorarium. Pengaturan mengenai honorarium juga
tercantum dalam beberapa pasal dalam Kode Etik Notaris. Berbeda dengan apa
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dimana
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mengatur
mengenai tarif maksimal yang boleh ditetapkan oleh Notaris dalam suatu
transaksi tetapi tidak mengatur mengenai tarif minimal yang boleh ditetapkan
dalam suatu transaksi.
Kode Etik Notaris mengatur mengenai larangan bagi Notaris untuk
menetapkan tarif di bawah standar yang telah ditetapkan oleh perkumpulan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 Ayat (14) Kode Etik Notaris
62
bahwa Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan
Notaris wajib melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang
honorarium yang ditetapkan perkumpulan. Hal ini berarti bahwa perkumpulan
telah membuat suatu aturan yang berkaitan dengan honorarium Notaris. Pasal 4
Ayat (9) mengatur bahwa Notaris dilarang melakukan usaha-usaha, baik
langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan
yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris.
Pasal 4 Ayat (10) Kode Etik Notaris mengatur mengenai honorarium,
sebagaimana disebutkan bahwa “Notaris maupun orang lain (selama yang
bersangkutan menjalankan jabatan Notaris) dilarang menetapkan honorarium
yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium
yang telah ditetapkan Perkumpulan”. Dari ketentuan pasal tersebut terlihat
bahwa Kode Etik Notaris tidak menghendaki adanya penetapan tarif yang lebih
rendah. Kerja sama yang dilakukan oleh Notaris Mustopa, S.H., M.Kn dengan
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Amal Bhakti Sejahtera dalam hal penerapan
honorarium adalah sebagai berikut:
No. Jenis Pengurusan Dalam Praktik
1. Akta Borgtoch
Rp 0 – Rp 10 juta Rp 200.000,00
Rp 10,1 – Rp 20 jt Rp 230.000,00
Rp 20 juta ke atas Rp 350.000,00
2. Akta Perjanjian Kredit Notariil Rp 220.000,00
3. Akta Pengakuan Hutang (tambahan
Akta Point 2)
Rp 220.000,00
4. Akta Pengakuan Hutang (yang
berdiri sendiri)
Rp 220.000,00
5. Akta SKHMT/FIDUSIA
Rp 0 – Rp 10 juta Rp 150.000,00
Rp 10,1 – Rp 20 juta Rp 200.000,00
Rp 20 juta keatas Rp 350.000,00
63
6. Akta Kuasa Menjual Rp 250.000,00
7. Legalisasi / Waarkeming Rp 50.000,00
Keterangan : * : Pasal 36 Angka 3 huruf (a) = honorarium paling besar 2,5%
Kerjasama yang dilakukan oleh Notaris dengan Pihak Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) Amal Bhakti Sejahtera, yaitu antara Notaris Mustopa, S.H.,
M.Kn dengan pihak Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Amal Bhakti Sejahtera
mengenai daftar penetapan tariff/honor pembuatan Akta Notaris/PPAT, terlihat
bahwa tarif/honor tersebut Notaris telah mematok bahwa untuk setiap jasa yang
diberikan oleh Notaris kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Amal Bhakti
Sejahtera menetapkan standar rata-rata yang tidak lebih dari Rp 220.000,00
(dua ratus dua puluh ribu rupiah) per Akta/pekerjaannya, bahkan ada tarif di
bawah harga tersebut, dan tarif/honor terendah yang ditetapkan sebesar Rp
50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
Tarif/honor yang ditetapkan tersebut terlihat tidak wajar karena tarif
tersebut merupakan tarif/honor yang sangat murah bila dibandingkan dengan
tarif/honor pada umumnya, sedangkan diperlukan kesesuaian mengenai
honorarium antar Notaris agar terjadi persaingan yang sehat dalam
melaksanakan profesinya dalam membuat Akta autentik, akan tetapi dalam satu
sisi menekankan segi pelayanan. Untuk itu dalam hal seperti ini perlu adanya
pengawasan oleh Majelis Pengawas Notaris terhadap penerapan honorarium
Notaris.
Padahal Lawrence M. Friedman mengemukakan budaya hukum bahwa
seharusnya masyarakat sudah mulai mengerti tentang hukum, maka akan
terciptanya budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat
selama ini.Secara sederhana tingkat kepatuhan masyarakat terhadapa hukum,
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Notaris seharusnya
menaati segala bentuk aturan penerapan honorarium Notaris yang telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
64
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode
Etik Notaris.
Berdasarkan data tersebut diatas, analisis yang dapat peneliti kemukakan
berdasarkan ketentuan Pasal 36 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris:
No. Jenis Pengurusan Dalam Praktik Menurut Pasal 36 Ayat 3
Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun
2004
1. Akta Borgtoch
Rp 0 – Rp 10 juta Rp 200.000,00 Paling besar Rp 250.000,00
Rp 10,1 – Rp 20 jt Rp 230.000,00 Rp 250.000,00 – Rp
500.000,00
Rp 20 juta ke atas Rp 350.000,00 Mulai Rp 500.000,00
2. Akta Perjanjian
Kredit Notariil
Rp 220.000,00 Akta jaminan mulai Rp
250.000,00. Kecuali Akta
jaminan tanpa pengakuan
hutang mulai Rp 300.000,00.
3. Akta Pengakuan
Hutang (tambahan
Akta Point 2)
Rp 220.000,00 Akta jaminan mulai Rp
250.000,00. Kecuali Akta
jaminan tanpa pengakuan
hutang mulai Rp 300.000,00.
4. Akta Pengakuan
Hutang (yang berdiri
sendiri)
Rp 220.000,00 Akta jaminan mulai Rp
250.000,00. Kecuali Akta
jaminan tanpa pengakuan
hutang mulai Rp 300.000,00.
5. Akta SKHMT/FIDUSIA
65
Rp 0 – Rp 10 juta Rp 150.000,00 Paling besar Rp 250.000,00
Rp 10,1 – Rp 20 juta Rp 200.000,00 Rp 252.500,00 – Rp
500.000,00*
Rp 20 juta keatas Rp 350.000,00 Mulai Rp 500.000,00
6. Akta Kuasa Menjual Rp 250.000,00 Akta jaminan mulai Rp
250.000,00. Kecuali Akta
jaminan tanpa pengakuan
hutang mulai Rp 300.000,00.
7. Legalisasi /
Waarkeming
Rp 50.000,00 Legalisasi 1% (Minimal
100.000,00).
Permasalahan mengenai honorarium Notaris merupakan hal yang juga
sebelumnya diatur dalam perjanjian kerjasama tersebut. Karena pada saat
Notaris mengajukan penawaran kerjasama atas penggunaan jasa-jasanya dalam
pembuatan Akta-akta otentik, Notaris juga melampirkan daftar harga
penyelesaian pekerjaan pembuatan Akta. Biasanya harga yang diajukan oleh
Notais tersebut adalah harga di bawah standar yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris atau jauh lebih rendah
serta murah dari harga semestinya. Praktik penerapan tarif/honor tersebut,
berarti Notaris telah melakukan suatu bentuk persaingan dengan sejawatnya
untuk mendapatkan klien melalui pihak-pihak tertentu.
Kenyataan hal tersebut yang kian marak terjadi didalam praktik,
membuat persaingan antar rekan Notaris semakin ketat, semakin banyaknya
Notaris yang melakukan menurunkan tarif/honor kian memicu sulitnya
menerapkan ketentuan Pasal 36 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris. Kurangnya pengawasan dari Majelis Pengawas
Notaris dan kurang mengetahuinya masyarakat terhadap penerapan honorarium
Notaris ini menjadi salah satu faktor penyebab sulitnya menerapakan Pasal 36
66
Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
C. Analisis Hukuman yang dapat Dikenakan Terhadap Notaris yang
Melanggar Ketentuan Honorarium Notaris
Sebelum Notaris dikenakan hukuman akibat perbuatannya yang
melanggar ketentuan honorarium, Notaris menjalani pemeriksaan oleh majelis
pengawas Notaris. Pasal 70 huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris dan Pasal 16 Ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004,
menentukan bahwa Majelis Pengawas Daerah berwenang melakukan
pemeriksaan terhadap protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu. Majelis atau tim pemeriksa
dengan tugas seperti ini hanya ada pada Majelelis Pengawas Daerah saja, yang
merupakan tugas pemeriksaan rutin atau setiap waktu yang diperlukan, dan
langsung dilakukan di kantor Notaris yang bersangkutan. Tim pemeriksa ini
sifatnya insidentil (untuk pemeriksaan tahunan atau sewaktu-waktu) saja,
dibentuk oleh Majelis Pengawas Daerah jika diperlukan.
1. Pemeriksaan yang dilakukan tim pemeriksa meliputi pemeriksaan :
2. Kantor Notaris (alamat dan kondisi fisik Notaris);
3. Surat pengangkatan sebagai Notaris;
4. Berita acara sumpah jabatan Notaris;
5. Surat keterangan izin cuti Notaris;
6. Sertifikat cuti Notaris;
7. Protokol Notaris yang terdiri dari:
a. Minuta Akta;
b. Buku daftar Akta atau repertorium;
c. Buku khusus untuk mendaftarkan surat di bawah tangan yang disahkan
tanda tangannya dan surat di bawah tangan yang dibukukan;
d. Buku daftar nama penghadap atau klapper dari daftar Akta dan daftar
surat di bawah tangan yang disahkan;
67
e. Buku daftar protes;
f. Buku daftar wasiat;
g. Buku daftar lain yang harus disimpan oleh Notaris berdasarkan
ketentuan perundang-undangan;
8. Keadaan arsip;
9. Keadaan penyimpanan Akta (penjilidan dan keamanannya);
10. Laporan bulanan pengiriman salinan yang disahkan dari daftar Akta, daftar
surat di bawah tangan yang disahkan, dan daftar surat di bawah tangan
yang dibukukan;
11. Uji petik terhadap Akta;
12. Penyerahan protokol berumur 25 tahun atau lebih;
13. Jumlah pegawai yang terdiri atas:
a. Sarjana; dan
b. Nonsarjana.
14. Sarana kantor, antara lain:
a. Komputer;
b. Meja;
c. Lemari;
d. Kursi tamu;
e. Mesin ketik;
f. Filling cabinet;
g. Pesawat telepon/faksimili/internet.
15. Penilaian pemeriksaan, dan
16. Waktu dan tanggal pemeriksaan.
Pasal 20 Ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menentukan bahwa
pemeriksaan terhadap Notaris dilakukan juga oleh Majelis Pemeriksa (daerah,
wilayah, dan pusat), yang sifatnya insidentil saja, dengan kewenangan
memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama
Notaris (Pasal 20 Ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004).
68
Instansi utama yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap
Notaris, yaitu Majelis Pengawas. Untuk kepentingan tertentu Majelis Pengawas
membentuk tim pemeriksa dan majelis pemeriksa (daerah, wilayah, dan pusat).
Dengan demikian ada 3 (tiga) institusi dengan tugas melakukan pengawasan
dan pemeriksaan terhadap Notaris dengan kewenangan masing-masing, yaitu:
1. Majelis Pengawas (daerah, wilayah, dan pusat), dengan kewenangan
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan
Kode Etik Notaris dan tindak tanduk atau perilaku kehidupan Notaris.
2. Tim Pemeriksa, dengan kewenangan melakukan pemeriksaan terhadap
protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap
waktu yang dianggap perlu.
3. Majelis Pengawas Pemeriksa (daerah, wilayah, dan pusat), dengan
kewenangan untuk memeriksa menerima lapora yang diterima dari
masyarakat atau dari rencana Notaris.
Pengaturan pengawasan dan pemeriksaan seperti itu memperpanjang
rantai pengawasan dan pemeriksaan dengan keharusan Majelis Pengawas untuk
membentuk tim pemeriksa dan majelis pemeriksa untuk melakukan untuk
melakukan pemeriksaan tertentu. Lebih baik yang melakukan pengawasan dan
pemeriksaan Notaris, yaitu Majelis Pengawas saja dengan segala kewenangan
yang ada menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004.12
Sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukuman, juga untuk mentaati
ketetapan yang ditetukan dalam peraturan atau perjanjian. Sanksi juga diartikan
sebagai alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian.
Menurut Philipus M. Hadjon, sanksi merupakan alat kekuasaan yang bersifat
hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap
12
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), … h. 189-191
69
ketidakpatuhan pada norma hukum administrasi. Dengan demikian unsur-unsur
sanksi, yaitu:
a. Sebagai alat kekuasaan;
b. Bersifat hukum publik;
c. Digunakan oleh penguasa;
d. Sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan.
Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum,
dan tiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi di akhir
aturan hukum tersebut. Pembebanan sanksi di Indonesia tidak hanya terdapat
dalam bentuk undang-undang, tetapi bisa dalam bentuk peraturan lain, seperti
keputusan menteri ataupun bentuk lain di bawah undang-undang. Pencantuman
sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti merupakan kewajiban
yang harus dicantumkan dalam tiap aturan hukum, seakan-akan aturan hukum
yang bersangkutan tidak bergigi atau tidak dapat ditegakkan atau tidak akan
dipatuhi jika pada bagian akhir tidak mencantumkan sanksi.
Tiada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah hukum manakala kaidah-
kaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan menegakkan kaidah-
kaidah dimaksud secara prosedural (hukum acara). Sanksi ini selalu ada pada
aturan-aturan hukum yang dikualifikasikan sebagai aturan hukum yang
memaksa. Ketidaktaatan atau pelanggaran terhadap suatu kewajiban yang
tercantum dalam aturan hukum mengakibatkan terjadinya ketidakaturan yang
sebenarnya tidak diinginkan oleh aturan hukum yang bersangkutan. Hal ini
sesuai dengan fungsi sanksi yang dipakai untuk penegakkan hukum terhadap
ketentuan-ketentuan yang biasanya berisi suatu larangan atau yang
mewajibkan. Dengan demikian pada sanksi pada hakikatnya merupakan
instrumen yuridis yang biasanya diberikan apabila kewajiban-kewajiban atau
larangan-larangan yang dalam ketentuan hukum telah dilanggar, dan dibalik
pintu ketentuan perintah dan larangan (geen verbaden) tersedia sanksi untuk
memaksa kepatuhan.
Hakikat sanksi sebagai satu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk
memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu
70
tindakan yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku, dan untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan
berjalannya suatu aturan hukum. Sanksi yang ditujukan terhadap Notaris juga
merupakan sebagai penyadaran, bahwa Notaris dalam melakukan tugas
jabatannya telah melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas
jabatan Notaris sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, dan untuk mengembalikan tindakan Notaris dalam
melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, disamping dengan pemberian sanksi
terhadap Notaris untuk melindungi masyarakat dari tindakan Notaris yang
dapat merugikan masyarakat, misalnya membuat Akta yang tidak melindungi
hak-hak yang bersangkutan sebagaimana yang tersebut dalam Akta Notaris.
Sanksi tersebut untuk menjaga martabat lembaga Notaris, sebagai lembaga
kepercayaan, karena jika Notaris melakukan pelanggaran, dapat menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap Notaris.
Secara individu sanksi terhadap Notaris merupakan suatu nestapan dan
pertaruhan dalam menjalankan tugas jabatannya, apakah masyarakat
mempercayakan pembuatan Akta terhadap Notaris yang bersangkutan atau
tidak. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang mengatur
Notaris berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa atau merupakan
suatu aturan hukum yang imperatif untuk ditegakkan terhadap Notaris yang
telah melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas jabatannya.13
Sanksi terhadap Notaris diatur pada akhir Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, yaitu pada Pasal 84 dan Pasal 85 Undang Nomor 2
13
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), … h. 200-201
71
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris ada 2 (dua) macam, yaitu:
1. Sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, yaitu jika Notaris melanggar (tidak
melakukan) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (1)
huruf i, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal
52.
Jika ketentuan sebagaimana dalam pasal tersebut tidak dipenuhi, maka
Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
Akta di bawah tangan atau Akta menjadi batal demi hukum, dan hal tersebut
dapat dijadikan alasan bagi para pihak (para penghadap) yang tercantum
dalam Akta yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya,
ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Sanksi untuk memberikan ganti rugi,
biaya dan bunga seperti dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris. Dapat dikategorikan sebagai Sanksi Perdata.
2. Sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, yaitu jika Notaris melanggar ketentuan Pasal
7, Pasal 16 Ayat (1) huruf a sampai dengan k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27,
Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63 maka
Notaris akan dijatuhi sanksi berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pemberhentian sementara;
d. Pemberhentian dengan hormat; dan
e. Pemberhentian tidak hormat.
Sanksi-sanksi yang terdapat dalam pasal tersebut berlakunya secara
berjenjang mulai dari teguran lisan sampai dengan pemberhentian secara tidak
hormat. Teguran baik lisan maupun tulisan hanyalah merupakan tahap awal
72
untuk masuk kepada wujud sanksi yang sebenarnya yaitu pemberhentian
sementara pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak
hormat. Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris menentukan alasan Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya
yaitu karena dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang,
berada di bawah pengampuan, melakukan perbuatan tercela, melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan. Jabatan. Sedangkan alasan
Notaris dapat diberhentikan dari jabatannya dengan hormat diuraikan dalam
Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yaitu:
Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena:
a. Meninggal dunia;
b. Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;
c. Permintaan sendiri;
d. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas
jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; atau
e. Merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g.
Sanksi administratif yang terakhir adalah pemberhentian dengan tidak
hormat, alasan Notaris dikenakan sanksi ini diuraikan dalam Pasal 12 dan Pasal
13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Menurut Pasal 12
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Notaris diberhentikan
dengan tidak hormat dari jabatannya oleh menteri atas usul Majelis Pengawas
Pusat apabila:
a. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
b. Berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;
c. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan
Notaris; atau
73
d. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris juga
menguraikan hal yang sama dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris yaitu alasan Notaris dapat diberhentikan dengan tidak
hormat yaitu Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Sanksi yang diatur dalam Pasal 84 dan Pasal 85 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris merupakan sanksi terhadap Notaris yang
berkaitan dengan Akta yang dibuat dihadapan dan oleh Notaris. Hal ini berarti
bahwa setiap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus
memperhatikan aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan tertentu karena jika
tidak akan terdapat sanksi yang akan didapat oleh Notaris yang mengabaikan
aturan-aturan yang ada, penjatuhan sanksi-sanksi atas pelanggaran kedua pasal
tersebut dijatuhkan oleh Majelis Pengawas Notaris.
Sanksi terhadap Notaris yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris tidak hanya berupa sanksi perdata atau sanksi
administratif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 84 dan Pasal 85, akan
tetapi Notaris juga dapat dikenakan sanksi yang lain seperti sanksi pidana dan
sanksi Kode Etik. Sanksi pidana dapat dikenakan kepada Notaris jika Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya telah memenuhi unsur-unsur delik
tertentu suatu tindak pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), sedangkan sanksi Kode Etik diatur dalam Kode Etik Notaris pada
Pasal 6 yaitu sebagai berikut:
1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode
Etik dapat berupa:
74
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Pemberhentian sementara dari keanggotaan Perkumpulan;
d. Pemberhentian dengan hormat dari keanggotaan Perkumpulan;
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
2. Penjatuhan sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang
melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran
yang dilakukan anggota tersebut.
Sanksi ini dapat dikenakan terhadap Notaris yang melanggar ketentuan
Kode Etik Jabatan Notaris dan sanksi tersebut dijatuhkan oleh Dewan
Kehormatan Notaris. Mengenai pemecatan sementara dalam Kode Etik diatur
dalam Pasal 13 yang menyebutkan bahwa: “tanpa mengurangi ketentuan yang
mengatur tentang prosedur atau tata cara maupun penjatuhan sanksi; maka
terhadap seorang anggota perkumpulan yang telah melanggar Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan dikenakan sanksi pemberhentian
dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat; sebagai Notaris oleh
instansi yang berwenang; maka anggota yang bersangkutan berakhir
keanggotannya dalam perkumpulan”.
Notaris dalam hal ini telah melanggar ketentuan Pasal 13 Ayat (3) Kode
Etik Notaris, bahwa dalam praktiknya Notaris tidak melaksanakan dan
mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan perkumpulan.
Notaris juga telah melanggar ketentuan Pasal 4 Ayat (9) Kode Etik Notaris,
bahwa Notaris telah melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak
langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan
sesama rekan Notaris. Dalam praktiknya Notaris juga telah melanggar
ketentuan Pasal 4 Ayat (10) Kode Etik Notaris, bahwa dalam praktiknya
Notaris telah menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam
jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan perkumpulan.
Adapun sanksi yang dapat dikenakan kepada Notaris yang tidak
menerapkan honor sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
75
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, tidak diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, akan tetapi sanksi yang dapat dikenakan kepada Notaris yang
menerapkan honor hanya diatur dalam Pasal 6 Kode Etik Notaris, yaitu:
1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode
Etik dapat berupa:
c. Teguran;
d. Peringatan;
e. Pemberhentian sementara dari keanggotaan Perkumpulan;
f. Pemberhentian dengan hormat dari keanggotaan Perkumpulan;
g. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
2. Penjatuhan sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang
melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran
yang dilakukan anggota tersebut.
Hal ini sejalan dengan substansi hukum yang dikemukakan oleh
Lawrence M. Friedman merupakan aturan, norma, dan pola perilaku nyata
manusia yang berada dalam sistem. Substansi hukum menyangkut peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan
menajadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Seharusnya Majelis Pengawas
Notaris dan Penegak hukum dapat menerapkan sanksi kepada Notaris yang
melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris dan Kode Etik Notaris.
D. Penerapan Honorarium Notaris dalam Tinjauan Islam
Notaris sebelumnya telah di sumpah terlebih dahulu untuk menjalankan
kewenangan dan kewajibannya sebagai pejabat umum. Akan tetapi dalam
praktiknya ada Notaris yang telah melanggar ketentuan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Al-Qur’an telah menjelasakan bahwa
76
seseorang harus bekerja sesuai dengan patut dan layak, hal ini telah dijelaskan
dalam Surat An-Nahl Ayat 97, yang berbunyi:
كى أ بكى دخل ب أ كبثب تتخز ة أ بعذ ق ل تكا كبنت قضت غضنب ي تك
أ أسبى ي ت أي تختهف تى ف و انقبيت يب ك نكى نب ب ب بهكى للا ت إ ي
Artinya: “Dan janganlah kamu seperti perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu
menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu,
disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan
yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan
sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu
kamu perselisihkan itu”. QS. An-Nahl Ayat 97.14
Notaris dalam menerapkan honorarium Notaris kepada masyarakat yang
tidak mampu, tidak boleh terlalu tinggi dan bahkan Notaris dapat menerapkan
honor secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu. Berdasarkan Pasal
37 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Notaris wajib
memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada
orang yang tidak mampu. Hal ini senada dengan firman Allah SWT dalam
surat Al-Baqarah Ayat 177, yang berbunyi:
ان ببلل آي انبش ي ك ن غشة ان ششق جكى قبم ان ا ن ت ظ انبش أ و ن
لئكت ان خش انتبيى ا ي انقشبى ر بل عهى حب آتى ان انب انكتبة
ف ان كبة آتى انض لة أقبو انص قبة ف انش بئه انغ انغبم اب غبك ان
ببش انص ى إرا عبذا ذ بع ئك انز انبأط أن ح اء ش انض ف انبأعبء
تق ئك ى ان أن صذقا
14
https://tafsirq.com/16-an-nahl/ayat-92 diakses pada tanggal 30 April 2019 pada pukul
07.06 WIB
77
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka
itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa”. QS. Al-Baqarah Ayat 177.15
Notaris sebagai pejabat umum negara dalam menjalankan kewenangan,
kewajibannya harus bekerja dengan sungguh-sungguh. Notaris wajib mentaati
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode
Etik Notaris, serta dilarang melakukan yang hal-hal yang menjatuhkan harkat
dan martabat profesi Notaris, salah satunya yaitu Notaris menentukan
honorarium di bawah ketentuan Undang-Undang Notaris Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Hal ini senada dengan firman Allah
SWT dalam surat An-Nisa Ayat 59, yang berbunyi:
تبصعتى ف كى فئ أن اليش ي عل أطعا انش آيا أطعا للا ب انز ب أ
و ا ان ببلل تى تؤي ك عل إ انش إنى للا ء فشد ش أحغ ش نك خ خش ر
ل تأ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
15
https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-177 diakses pada tanggal 1 Mei 2019 pada pukul
07.06 WIB
78
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
QS. An-Nisa Ayat 59.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah peneliti kaji pada
setiap sub bab pembahasan, maka dalam hal ini peneliti memberikan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Hubungan antara Notaris dengan para pihak yang membuat perjanjian
dihadapan Notaris, yaitu ketika penghadap datang ke Notaris agar tindakan
atau perbuatannya diformulasikan ke dalam Akta otentik sesuai dengan
kewenangan Notaris, dan kemudian Notaris membuatkan Akta atas
permintaan atau keinginan para penghadap tersebut, maka dalam hal ini
memberikan landasan kepada Notaris dan para penghadap telah terjadi
hubungan hukum, oleh karena itu Notaris harus menjamin bahwa Akta yang
dibuat tersebut telah sesuai menurut aturan hukum yang sudah ditentukan,
sehingga kepentingan yang bersangkutan terlindungi dengan Akta tersebut.
2. Bentuk praktik dalam kasus transaksi antara Notaris dengan para pihak
adalah dengan menerapkan honor di bawah ketentuan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bentuk kerjasama yang dilakukan
oleh Notaris dengan Pihak Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Amal Bhakti
Sejahtera, yaitu antara Notaris Mustopa, S.H., M.Kn dengan pihak Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) Amal Bhakti Sejahtera mengenai daftar
penetapan tarif/honor pembuatan Akta Notaris/PPAT, terlihat bahwa
tarif/honor tersebut Notaris telah mematok bahwa untuk setiap jasa yang
diberikan oleh Notaris kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Amal Bhakti
Sejahtera menetapkan standar rata-rata yang tidak lebih dari Rp 220.000,00
(dua ratus dua puluh ribu rupiah) per Akta/pekerjaannya, bahkan ada tarif di
bawah harga tersebut, dan tarif/honor terendah yang ditetapkan sebesar Rp
50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Tarif/honor yang ditetapkan tersebut
terlihat tidak wajar karena tarif tersebut merupakan tarif/honor yang sangat
murah bila dibandingkan dengan tarif/honor pada umumnya, sedangkan
80
diperlukan kesusuaian mengenai honorarium antar Notaris agar terjadi
persaingan yang sehat dalam melaksanakan profesinya dalam membuat
Akta autentik, akan tetapi dalam satu sisi menekankan segi pelayanan.
Notaris dalam hal ini telah melanggar ketentuan Pasal 13 Ayat (3) Kode
Etik Notaris, bahwa dalam praktiknya Notaris tidak melaksanakan dan
mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan perkumpulan.
Notaris juga telah melanggar ketentuan Pasal 4 Ayat (9) Kode Etik Notaris,
bahwa Notaris telah melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak
langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat
dengan sesama rekan Notaris. Dalam praktiknya Notaris juga telah
melanggar ketentuan Pasal 4 Ayat (10) Kode Etik Notaris, bahwa dalam
praktiknya Notaris telah menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh
klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan
perkumpulan. Untuk itu dalam hal seperti ini perlu adanya pengawasan oleh
Majelis Pengawas terhadap penerapan honorarium Notaris, kurangnya
pengawasan dari Majelis Pengawas Notaris dan kurang mengetahuinya
masyarakat terhadap penerapan honorarium Notaris ini menjadi salah satu
faktor penyebab sulitnya menerapkan Pasal 36 Ayat (3) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
3. Sanksi yang dapat dikenakan kepada Notaris yang tidak menerapkan honor
sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, tidak
diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, akan tetapi sanksi yang dapat dikenakan kepada Notaris yang
menerapkan honor hanya diatur dalam Pasal 6 Kode Etik Notaris, yaitu:
a. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran
Kode Etik dapat berupa:
1) Teguran;
2) Peringatan;
81
3) Pemberhentian sementara dari keanggotaan Perkumpulan;
4) Pemberhentian dengan hormat dari keanggotaan Perkumpulan;
5) Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
b. Penjatuhan sanksi sebagaimana terurai diatas terhadap anggota yang
melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas
pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.
B. Rekomendasi
Berdasarkan pada permasalahan dalam bahasan penelitian ini, maka
peneliti mencoba untuk memberikan rekomendasi agar nantinya dalam
perjanjian kerjasama Notaris dengan pihak-pihak yang ingin membuat Akta
autentik tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris dan untuk
mencegah terjadinya tindakan persaingan tidak sehat antar sesama Notaris
dalam menerapkan honorariumnya. Adapun rekomendasi tersebut ialah:
1. Tidak adanya kepastian hukum tentang batas honorarium terendah, agar
dapat diterapkan Notaris untuk menetapkan honor atas jasa hukum yang
diberikan kepada pihak-pihak yang membuat Akta autentik dihadapan
Notaris yang seharusnya diatur dalam Pasal 36 Ayat (3) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Konsekuensi
tidak diaturnya batas honorarium terendah yaitu ada Notaris yang
menerapkan honorarium tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004.
2. Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris
terhadap Tindakan Notaris yang menerapkan honorarium tidak sesuai
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, dan
tidak adanya sanksi yang menindak lanjuti terhadap perbuatan Notaris yang
menerapkan honorarium tidak sesuai berdasarkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, sehingga Notaris menerapkan honorarium
82
atas jasa hukum yang diberikan kepada pihak-pihak yang membuat Akta
autentik dihadapan Notaris tidak sesuai berdasarkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris.
83
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adjie, Habib. Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-
Undang Nomor 30 Tentang Jabatan Notaris). Bandung: Refika Aditama.
2008.
Andasasmita, Komar. Notaris I. Bandung: Sumur Bandung. 1981.
Apeldoorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke- 26. Jakarta: Pradyna
Paramita. 1996.
C.M, K. Prent. J. Adi Subrata. dan W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Latin –
Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. 1969.
Friedrich, Carl Joachim. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa
dan Nusamedia. 2004.
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers. 2002.
HS, H. Salim. Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan
Notaris, Bentuk, dan Minuta Akta). Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2015.
Manan, Bagir. Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: Kencana. 2013.
Marbun, SF. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasif di
Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 1997.
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana. 2008.
Nico. Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum. Yogyakarta: Center For
Ocumentation and Studies of Business Law. 2003.
Notodiserjo, R. Soegondo. Hukum Notaris Indonesia (Suatu Penjelasan). Jakarta:
Rajawali. 1982.
Pitlo, A. dalam Tan Thong Kie. Studi Notariat & Serba-serbi Praktek Notaris.
Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. 2007.
Pohan, Marthalena. Tanggunggugat Advocat, Dokter, dan Notaris. Surabaya:
Bina Ilmu Surabaya. 1985.
Salim, Peter. dan Yenny Salim. Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer.
Jakarta: Modern English Press. 2002.
84
Santoso, H.M. Agus. Hukum, Moral, dan Keadilan; Sebuah Kajian Filsafat
Hukum, Cet. 3. Jakarta: Prenada Media Group. 2015.
Situmorang, Viktor M. dan Cormentyna Sitanggang. Hukum Administrasi
Pemerintahan di Daerah. Jakarta: Sinar Grafika. 2003.
Soerodjo, Irawan. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia. Surabaya:
Arloka. 2003.
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:
Pradyna Paramita. 2004.
Sujamto. Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia. Bandung: Sinar Grafika. 2010.
Sumartini, L. Permohonan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional
tentang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia. 2001.
Supriadi. Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. 2006.
Syahrini, Riduan. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit Citra
Aditya Bakti. 1999.
Ternoshuizen, Marjanne. Kamus Hukum Belanda-Indonesia. Jakarta: Djambatan.
2002.
Tobing, G.H.S. Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga. 1983.
Wiyono, Eko Hadi. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Jakarta: Akar Media.
2007.
Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan. Jakarta: Kencana. 2014.
JURNAL
Adjie, Habib. Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi
Hukum Pengaturan Notaris. Renvoi, Nomor 28. Th. III, 3 September
2005.
Departermen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat
Bahasa (Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka. 2002.
85
Faiz, Pan Mohamad. Teori Keadilan John Rawls. Jurnal Konstitusi. Vol. 6.
Nomor 1. April 2009.
Juwanto, Hikmahanto. Konsep Pendidikan Profesi Dalam Upaya Mengangkat
Martabat dan Kedaulatan Bangsa, Seminar – Lombakarya, Kebangkitan
Pendidikan dan Profesi Notaris Dalam Upaya Mengangkat Martabat dan
Kedaulatan Bangsa, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada – Ikatan Notaris Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY), Yogyakarta. 16 – 17 Mei 2008.
Purnamaningsih, Endang. Penegakan Hukum Jabatan Notaris Dalam Pembuatan
Perjanjian Pancasila Dalam Rangka Kepastian Hukum, Adi I: Jurnal
Hukum. Vol. 3. No. 2. 2005.
Sinta. Implementasi Pemberian Jasa Hukum Dibidang Kenotariatan Secara
Cuma-cuma oleh Notaris di Kota Makassar. Jurnal Ilmiah. Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar . 2014.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun
2004 Tanggal 7 Desember 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan
Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Anggota, Tata Cara Kerja,
dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.01-HT.03.01 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pengangkatan, Perpindahan, dan Pemberhentian Notaris.
Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.0L.H.T.03.01 Tahun 2003 Tentang Kenotariatan.
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39.PW.07.10
Tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas
Notaris.
86
Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I).
INTERVIEW
Interview Pribadi dengan Notaris Mustopa, S.H., M.Kn, Jakarta, 25 April 2019
Interview Pribadi dengan Ibu Fitriani, S.Ag., M.H, Jakarta, 29 April 2019
Interview Pribadi dengan anggota Majelis Pengawas Daerah Kabupaten
Pandeglan dan Lebak, Notaris Zul Trisman, S.H., Jakarta, 13 Mei 2019
INTERNET
https://tafsirq.com/16-an-nahl/ayat-92
87
LAMPIRAN
88
89
90
Hasil Wawancara dengan Notaris Mustopa, S.H., M.Kn
Peneliti : Apakah alasan bapak menerapkan honor di bawah ketentuan UUJN?
Notaris : Semenjak dikeluarkan kebijakan tentang pengangkatan Notaris 1998
(Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia (sekarang Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia) Nomor: M.05.HT.03.10 Tahun 1998
Tentang Pengangkatan dan Perpindahan Wilayah Kerja Notaris) yang
menyebabkan jumlah Notaris di Indonesia meningkat drastis, yang saat
ini jumlah sudah mencapai lebih kurang 11.000 Notaris bagi kehidupan
kenotariatan. Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran (demand
and supply): Ketika permintaan tidak meningkat (kondisi ekonomi
nasional tidak kondusif), sementara penawaran meningkat (jumlah
Notaris bertambah) maka harga/honor akan tertekan ke nilai yang lebih
rendah dari nilai sebelumnya. Tuntutan konsumerisme yaitu untuk
membiayai dua orang pegawai dan untuk membiayai kebutuhan sehari-
hari keluarga, hal ini menyebabkan saya menerapkan harga di bawah
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Sebagai catatan bahwa Penerapan Honorarium dibawah ketentuan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris merupakan
sudah rahasia umum bagi kalangan Notaris itu sendiri.
Peneliti : Apa ada Notaris yang telah menerapkan honor di bawah ketentuan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris juga selain bapak?
Notaris : Seperti yang telah saya jelaskan di atas, bahwa hampir rata-rata setiap
Notaris menerapkan honor di bawah ketentuan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, terlebih bagi Notaris baru, hal itu
dilakukan dengan alasan masih belum banyaknya klien yang datang, dan
91
disamping itu untuk pemenuhi operasional kantor yang pasti dikeluarkan
tiap bulannya seperti gaji pegawai, bayar telpon, bayar air, bayar internet,
ongkos operasional bolak-balik kantor, dan keperluan lainnya yang pasti
membutuhkan biaya yang lumayan besar untuk tiap bulannya.
Peneliti : Keuntungan apa saja bapak dapatkan dari menerapkan honor di bawah
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Jabatan Notaris?
Notaris : Keuntungan dari penerapan honor dibawah Undang-Undang Notaris
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris bagi Notaris:
1. Mendapatkan rekanan kerjasama dengan instansi lain, antara lain
Bank, Developer, dll.
2. Mendapatkan daya tarik kepada klien atau masyarakat lainnya untuk
menggunakan jasa N untuk pembuatan akta dan sebagainya yang
merupakan kewenangan Notaris dengan nilai honor yang lebih murah.
3. Mengharapkan mendapatkan Job/pekerjaan yang lebih dari klien.
Peneliti : Apakah tindakan yang bapak lakukan tidak menimbulkan persaingan
yang tidak sehat sesama rekanan Notaris?
Notaris : Tindakan atas Penetapan besaran honorarium atas jasa Notaris di bawah
standar ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris dapat dipastikan menimbulkan persaingan yang
tidak sehat antar rekan Notaris yang tentu saja menimbulkan
permasalahan tersendiri, bukan hanya sebatas pada sesama rekan Notaris
tetapi juga terhadap Notaris yang bersangkutan itu sendiri. Selain karena
dapat menciptakan kesenjangan antar rekan Notaris di dalam suatu
wilayah tertentu sehingga dapat menimbulkan ketidakharmonisan
hubungan dengan rekan seprofesi yang semestinya justru dapat
membantu dan saling menghargai, hal tersebut dapat merendahkan
martabat dari profesi Notaris yang harus selalu dijaga oleh siapa saja
yang memangku dan menjalankan profesi tersebut serta telah melanggar
92
undang-undang jabatan serta kode etik dan sumpah jabatan yang
mewajibkan setiap Notaris untuk senantiasa berprilaku jujur, serta
menjaga kehormatan dan martabat serta tanggung jawab profesi Notaris.
Peneliti : Bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas
Notaris selama ini terhadap Notaris yang menerapkan honor di bawah
ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-U Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris?
Notaris : Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris kurang
optimal, hal tersebut disebabkan oleh antara lain:
1. Perbandingan jumlah anggota Majelis Pengawas Notaris dengan
jumlah Notaris yang diawasi;
2. Perbandingan luas wilayah daerah kerja Notaris dari masing-
masing Kota/Kabupaten yang sangat luas;
3. Tidak adanya petunjuk standar operasional pengawasan terhadap
Notaris yang menjadi pedoman teknis bagi Majelis Pengawas
Notaris dalam melakukan pengawasan;
4. Anggaran dari Pemerintah yang sama sekali tidak tersedia, padahal
tugas Majelis Pengawas membutuhkan dana yang besar;
93
94
Hasil Wawancara dengan Ibu Fitriyani, S.Ag., M.H.
Peneliti : Bagaimanana tanggapan ibu, mengetahui ada Notaris menerapkan
honor di bawah ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris?
Bu Fitriyani : Tarif/honor yang ditetapkan Notaris tersebut terlihat tidak wajar
karena tarif tersebut merupakan tarif/honor yang sangat murah bila
dibandingkan dengan tarif/honor pada umumnya. Permasalahan
mengenai honorarium Notaris mengajukan penawaran kerjasama
atas penggunaan jasa-jasanya dalam pembuatan Akta-akta otentik,
Notaris juga telah melampirkan daftar harga penyelesaian pekerjaan
pembuatan Akta. Bahwa Notaris seharusnya tidak melakukan hal-hal
yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, serta telah melanggar
sumpah yang telah Notaris ikrarkan sebelumnya.
Peneliti : Bagaimana pendapat ibu, apakah hal tersebut termasuk persaingan
usaha yang tidak sehat sesama rekanan Notaris?
Bu Fitriyani : Harga yang diajukan oleh Notaris tersebut adalah harga di bawah
standar yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, dan perkumpulan atau jauh lebih
rendah serta murah dari harga semestinya. Praktik penerapan
tarif/honor tersebut, berarti Notaris telah melakukan suatu bentuk
persaingan dengan sejawatnya untuk mendapatkan klien melalui
pihak-pihak tertentu. Hal tersebut nyatanya kian marak terjadi di
dalam praktik, membuat persaingan antar rekan Notaris semakin
ketat, semakin banyaknya Notaris yang melakukan menurunkan
tarif/honor kian memicu sulitnya menerapkan ketentuan Pasal 36
Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
95
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris. Diperlukan kesesuaian mengenai honorarium antar Notaris
agar terjadi persaingan yang sehat dalam melaksanakan profesinya
dalam membuat Akta autentik, akan tetapi dalam satu sisi
menekankan segi pelayanan. Untuk itu dalam hal seperti ini perlu
adanya pengawasan oleh Majelis Pengawas Notaris terhadap
penerapan honorarium Notaris, meskipun Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, mengatur mengenai
honorarium hanya dalam satu pasal saja, dan mengatur mengenai
standar honorarium atas jasa yang diberikannya, akan tetapi
penetapan tarif jasa Notaris baik di bawah maupun diatas standar
yang telah ditetapkan, secara tidak langsung merupakan bentuk
pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 36 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode
Etik Notaris.
Pada dasarnya honorarium yang timbul merupakan
kesepakatan antara para pihak atau penghadap dan Notaris,
meskipun demikian penetapan honorarium sangat bergantung pada
nilai ekonomis Akta. Semakin besar pencantuman nilai nominal pada
Akta akan menentukan jumlah honorarium yang harus dibayarkan
oleh penghadap atau para pihak, terkait dengan jumlah honorarium
yang harus dibayarkan oleh penghadap. Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang telah memberikan batasan
tertinggi. Honorarium merupakan hak daripada Notaris sebagai
imbalan atas jasa dan pelayanan yang diberikan kepada kliennya.
Penetapan honorarium bagi Notaris dapat dilihat dari latar belakang
Aktar yang dibuat untuk kepentingan kliennya. Akta yang memiliki
nilai ekonomis akan berbeda dengan Akta yang memiliki nilai sosial.
96
Semakin tinggi nilai ekonomis suatu Akta akan mempengaruhi
penafsiran Notaris yang satu dengan yang lainnya.
Peneliti : Bagaimana tanggapan ibu, apakah bentuk pengawasan yang
dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris selama ini terhadap
Notaris yang menerapkan honor di bawah ketentuan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris?
Bu Fitriyani : Pengaturan mengenai honorarium juga tercantum dalam beberapa
pasal dalam Kode Etik Notaris. Berbeda dengan apa yang diatur
dalam Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,
hanya memngatur mengenai tarif maksimal yang boleh ditetapkan
oleh Notaris dalam suatu transaksi tetapi tidak mengatur mengenai
tarif minimal yang boleh ditetapkan dalam suatu transaksi.
Kode Etik Notaris mengatur mengenai larangan bagi Notaris
untuk menetapkan tarif di bawah standar yang telah ditetapkan oleh
perkumpulan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3 Ayat (13)
Kode Etik Notaris, bahwa “Notaris dan orang lain yang memangku
dan menjalankan jabatan Notaris wajib melaksanakan dan mematuhi
semua ketentuan tentang honorarium yang ditetapkan perkumpulan.
Hal ini berarti bahwa perkumpulan telah membuat suatu aturan yang
berkaitan dengan honorarium Notaris”.
Pasal 4 Ayat (9) Kode Etik Notaris mengatur bahwa “Notaris
dilarang melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak
langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak
sehat dengan sesama rekan Notaris”. Pasal 4 Ayat (10) Kode Etik
Notaris mengatur mengenai honorarium, sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 4 Ayat (10) bahwa “Notaris maupun orang lain (selama
yang bersangkutan menjalankan jabatan Notaris) dilarang
menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah
yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan
97
Perkumpulan”. Dari ketentuan pasal tersebut terlihat bahwa Kode
Etik Notaris tidak menghendaki adanya penetapan tarif yang lebih
rendah. Seharusnya dengan aturan yang sudah jelas ini, Majelis
Pengawas Notaris dengan cepat menindak lanjuti kasus seperti ini,
karena hal tersebut telah merendahkan harkat dan martabat profesi
Notaris, dan akan menimbulkan praktik seperti yang secara
berkelanjutan.