Download - Teodas Uji Disolusi
UJI DISOLUSI
Uji ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera
dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan
bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak
kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi. Bila pada etiket dinyatakan bahwa
sediaan bersalut enterik, sedangkan dalam masing-masing monografi uji disolusi atau uji waktu
hancur tidak secara khusus dinyatakan untuk sediaan bersalut enterik, maka digunakan cara
pengujian untuk sediaan lepas lambat seperti yang tertera pada uji pelepasan obat (961), kecuali
dinyatakan lain dalam masing-masing monografi. (FI IV, 1083).
Alat 1 alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan
lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang
berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai berukuran
sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada 370 ± 0,50 selama
pengujian berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap. Bagian
dari alat, termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan,
goncangan atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk.
Penggunaan alat yang memungkinkan pengamatan contoh dan pengadukan selama pengujian
berlangsung. Lebih dianjurkan wadah disolusi berbentuk silinder dengan dasar setengah bola,
tinggi 160 mm hingga 175 mm, diameter dalam 98 mm hingga 106 mm dan kapasitas nominal
1000 ml. Pada bagian atas wadah ujungnya melebar, untuk mencegah penguapan dapat
digunakan suatu penutup yang pas. Batang logam berada pada posisi sedemikian sehingga
sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada tiap titik dari sumbu vertical wadah, berputar dengan halus
dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur kecepatan digunakan sehingga
memungkinkan untuk memilih kecepatan putaran yang dikehendaki dan mempertahankan
kecepatan seperti yang tertera dalam masing-masing monografi dalam batas lebih kurang 4%.
(FI IV, 1084).
Interpretasi Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan dipenuhi
bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan table penerimaan.
Lanjutkan pengujian samapai tiga tahap kecuali bila hasil pengujian memenuhi tahap S1 atau S2.
Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut seperti yang tertera dalam masing-masing
monografi, dinyatakan dalam persentase kadar pada etiket, angka 5% dan 15% dalam table
adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q.
Uji kehancuran yang tercantum dalam seluruh farmakope merupakan criteria kualitas
penting untuk peroralia (Tablet, Dragee, Granulat, Kapsul), meskipun informasinya bagi
ketersediaan hayati sangat terbatas. Kehancuran total menjadi persyaratan yang baik bagi
pelepasan, meskipun bahan penolong dapat memblokir bahan obat sehingga pelepasannya dari
produk yang telah hancur sangat dihambat. Oleh karena kecepatan melarut zat aktif seringkali
menjadi tahap penentu kecepatan untuk proses resorpsi, maka uji pelarutan (dissolution-test)
memberikan informasi yang lebih akurat. Hal itu dapat dilakukan menggunakan alat uji
kehancuran otomatik yang umum, dimana pengamatan tidak ditujukan kepada kehancuran
bentukan kecil, melainkan pada jumlah bahan obat dalam interval waktu tertentu, yang melarut
dalam cairan uji (cairan pencernaan buatan) dari seluruh atau pecahan sediaan obat, yang
dideteksi secara analitik. Hubungan antara bahan obat terlarut (%) terhadap waktu dilukiskan
dalam bentuk grafik kurva pelarutan. Penentuan kecepatan pelarutan pada preparat depo (lama
percobaan 8 jam, cairan pencernaan 37˚C) dan khususnya pada jenis tablet, dimana kehancuran
tablet tidak terjadi (tablet perancah), menjadi alternatif tertinggi.
Tahap Jumlah yang diuji Kriteria Penerimaan
S1 6 Tiap unit sediaan tidak
kurang dari Q + 5%
S2 6 Rata-rata dari 12 unit (S1 +
S2) adalah sama dengan atau
lebih besar dari niali Q dan tidak
satu unit sediaan yang lebih kecil
dari Q-15%
S3 12 Rata-rata dari 24 unit (S1 +
S2 +S3) adalah sama dengan atau
lebih besar dari Q, tidak lebih
dari 2 unit sediaan yang lebih
kecil dari Q-15% dan tidak satu
unit pun yang lebih kecil dari Q-
25%
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat
absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul
tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat salam
slauran lambung usus. Dalam hal ini di mana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah
medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan
dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Anief, 1997).
Pada waktu suatu partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan
mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang
membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi.
Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan
berhubungan dengan membran biologis serta absorpsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus
meninggalkan lapisan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari
permukaan partikel obat dan proses absorpsi tersebut berlanjut (Martin, et. al., 2008).
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat diberikan
sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorpsi terutama
akan tergantung pada kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi
untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk
dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju
dalam proses absorpsi. Perlahan-lahan obat-obat yang larut tidak hanya bisa diabsorpsi pada
suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorpsi atau dalam beberapa
hal banyak yang tidak diabsorpsi setelah emberian oral, karena batasan waktu alamiah bahwa
obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus. Dengan demikian, obat-obat yang sukar
larut atau produk obat yang formulasinya buruk bisa mengakibatkan absorpsi tidak sempurna
dari obat tersebut serta lewatnya dalam bentuk tidak berubah-keluar sistem melalui feses
(Lachman, et. al., 1994).
KECEPATAN PELARUTAN
Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang profil proses pelarutan persatuan waktu.
Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh Noyes dan Whitney sejak tahun 1897 dan
diformulasikan secara matematik sebagai berikut :
dcdt
=k (Cs−Ct )
dc / dt = kecepatan pelarutan ( perubahan konsentrasi per satuan waktu )
Cs = kelarutan (konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut )
Ct = konsentrasi bahan dalam larutan untuk waktu t
K = konstanta yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan
jenuh dan tebal lapisan difusi (Martin, et. al., 2008).
Persamaan tersebut menyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan konstannya suhu,
menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari gradien konsentasi antara konsentasi jenuh
dengan konsentrasi pada waktu t (Martin, et. al., 2008).
Pada saat melarutnya zat padat di sekelilingnya akan terbentuk lapisan tipis dari larutan
jenuhnya, dari lapisan ini akan terjadi difusi ke bagian sisi larutan di sekitarnya. Dengan
mensubtitusikan hukum difusi pertama Ficks ke dalam persamaan Nernst, Brunner dan Bogoski
dapat memberikan kemungkinan perbaikan kecepatan pelarutan secara konkret (Martin, et. al.,
2008).
dcdt
=D F (Cs−Ct )
h V
dc / dt = Kecepatan pelarutan
D = Koefisin difusi bahan obat dalam bahan pelarut (lapisan difusi)
F = Permukaan partikel bahan obat tak larut
h = Tebal lapisan difusi yang mengelilingi partikel bahan obat
V = Volume larutan
Cs = Konsentrasi jenuh
Ct = Konsentrasi bahan obat pada waktu t (Martin, et. al., 2008).
Kecepatan pelarutan ternyata berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat,
koefisien difusi, serta berbanding lurus juga dengan turunnya konsentrasi pada waktu t.
Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi (Anief, 1997).
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik. UGM Press. Yogyakarta.
Ansel, C. H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Penerjemah Farida
Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan
RI. Jakarta.