STRATEGI MANAJEMEN PENGEMBANGAN APARATUR SIPIL NEGARA
UNTUK MENDUKUNG RENCANA STRATEGIS BADAN PENGAWAS OBAT
DAN MAKANAN
(Sebuah Kajian)
Disusun Oleh:
Perdhana Ari Sudewo, S.Psi
NIP.19850320 200912 1 007
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA
2015
- 2 -
SURAT PERNYATAAN
- 3 -
- 4 -
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobilalamin, rasa syukur tidak pernah henti selalu tercurahkan kepada Allah SWT
atas karunia ilmu, umur dan kesempatan sehingga dapat menyelesaikan tulisan sederhana ini.
Salam dan sholawat selalu terucap untuk manusia sempurna, Rosulullah Muhammad SAW yang
menyuruh setiap manusia untuk selalu membaca (iqro) dan menuntut ilmu karena dengan ilmu
Allah akan meninggikan derajat manusia.
Setelah berbulan-bulan menulis, mencurahkan ide dan gagasan sekaligus meningkatkan sebagai
proses belajar dengan harapan dapat meningkatkan kualitas diri dengan ilmu dan pengetahuan,
akhirnya karya sederhana ini selesai juga. Meskipun masih terdapat kekurangan di sana sini
karena masih dangkalnya ilmu manajemen SDM yang dimiliki, tetapi bukan alasan untuk tidak
menghargai karya sederhana ini. Kekurangan dan kelemahan adalah anugerah Allah kepada
setiap manusia agar manusia terus belajar dan tidak membanggakan diri.
Terimakasih saya ucapkan untuk keluarga tercinta, anak dan bidadari kecilku, Tiara Salsabila
Putri Sudewo atas pengertiannya dan dukungannya. Maafkan diri ini jika harus mengorbankan
waktu bermain bersama keluarga dirumah hanya untuk menyelesaikan tulisan ini, apalagi
kesibukan di kantor yang juga tidak dapat ditinggalkan dan justru bertambah tiap harinya.
Terimakasih juga saya haturkan untuk guru-guru saya, atasan, pimpinan dan rekan kerja di
kantor yang telah dengan ikhlas membimbing, menginspirasi dan memotivasi diri ini untuk
terus dan selalu belajar, menjadi seorang pemulung ilmu yang tidak pernah puas dengan ilmu
pengetahuan yang telah dimiliki.
Meskipun karya ini bukanlah karya yang sempurna, tidak menarik untuk dibaca apalagi
diaplikasikan dalam pekerjaan, setidaknya diri ini telah berusaha dengan keterbatasan ilmu
yang dimiliki untuk berkontribusi, memberikan masukan untuk organisasi BPOM dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya untuk melindungi masyarakat dari obat dan makanan
yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Tujuan utama menulis buku ini adalah sebagai sarana
bagi diri ini untuk terus belajar dan mengembangkan diri, dan diri ini sudah cukup bangga
dapat menyelesaikannya. Masukan dan saran perbaikan kami harapkan sebagai bahan untuk
menulis dan berkarya untuk waktu yang akan datang. Dengan berharap kepada Allah SWT, Dzat
Yang Maha Memiliki Ilmu Pengetahuan, semoga masih diberikan kesempatan untuk menulis
dan berkarya lagi, berkontribusi untuk negeri dengan segala keterbatasan yang dimiliki.
Jakarta, 3 Desember 2015
Penulis
Perdhana Ari Sudewo
- 5 -
DAFTAR ISI
Hal.
1. Halaman Judul …………………………………………………………………………………………………………… 1
2. Surat Pernyataan……………………………………………………………………………………………………….. 2
3. Halaman Pengesahan ………………………………………………………………………………………………… 3
4. Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………………………. 4
5. Daftar isi …………………………………………………………………………………………………………………… 5
6. BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………………….. 6
7. BAB II RENCANA STRATEGIS BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
TAHUN 2015-2019 ……………………………………………………………………………………………………..
20
8. BAB III SUMBER DAYA MANUSIA, DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI………… 25
9. BAB IV TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI MANAJEMEN ASN PENGAWASAN OBAT
DAN MAKANAN …………………………………………………………………………………………………………
32
Tujuan Manajemen ASN BPOM ……………………………………………………………………………. 33
Arah Kebijakan Manajemen ASN BPOM ………………………………………………………………… 33
Strategi Manajemen ASN BPOM …………………………………………………………………………… 37
1. Human Capital Acquisition (HC Acquisition) …………………………………………………… 47
2. Human Capital Development (HC Development) ……………………………………………… 60
3. Human Capital Engagement (HC Engagement) ………………………………………………… 80
4. Human Capital Retention (HC Retention) ………………………………………………………… 90
10. BAB V PENUTUP ………………………………………………………………………………………………………… 103
11. DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………………………… 105
12 DAFTAR PERATURAN ……………………………………………………………………………………………… 106
- 6 -
BAB I
PENDAHULUAN
Jika ada sesuatu yang tetap di dunia ini, itu adalah perubahan. Arus perubahan dunia dengan
adanya globalisasi yang telah bergulir sejak pergantian abad ke 21, saat ini telah berkembang
dalam tahap 3.0. Globalisasi tahap 1.0 ditandai dengan komitmen Negara-negara di dunia
membentuk pakta kerjasama blog perdagangan. Globalisasi tahap 2.0 ditandai dengan
banyaknya perusahaan going global untuk menjalin kerjasama antar perusahaan di berbagai
Negara. Globalisasi tahap 3.0 yang saat ini sedang berlangsung ditandai dengan orang-orang di
berbagai Negara dimungkinkan untuk bekerja di level global, secara bersamaan, dan tanpa
kendala oleh batas teritorial Negara. Mereka dapat bekerja di berbagai tempat dan terhubung
dengan siapa pun di belahan dunia mana pun melalui koneksi internet dengan beragam aplikasi
teknologi pendukung yang dinamis dan terus bergerak.
Di Asean, pemberlakukan kesepakatan kerjasama Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir
tahun 2015 dimana perdagangan barang, jasa, modal, dan investasi dapat bergerak bebas tanpa
halangan geografis menjadi tantangan tersendiri di sektor usaha maupun pemerintahan.
Indonesia dengan pasar dan kondisi geografis yang paling besar di antara Negara Asean lainnya
akan menjadi magnet yang paling strategis untuk menjadi target pasar Negara-negara di Asean.
Di bidang Obat dan Makanan, beberapa tantangan yang dihadapi dalam melakukan pengawasan
peredaran Obat dan Makanan antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang menuntut jaminan bahwa sediaan
farmasi, alat kesehatan dan makanan harus memenuhi aspek keamanan, khasiat/manfaat
dan mutu produk, serta tersedia di pasaran.
2. Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berdampak pada
peningkatan permohonan pendaftaran produk obat, baik dari dalam dan luar negeri dengan
berbagai variasi produk obat yang semakin banyak. Selain itu juga berdampak pada
peningkatan permohonan sertifikasi CPOB pada sarana produksi industri obat, tuntutan
untuk semakin meningkatkan pengawasan post market serta Monitoring Efek Samping Obat
(MESO).
3. Agenda Sustainable Development Goals (SDGs) yang menuntut ketersediaaan pangan dengan
gizi yang cukup untuk mendukung peningkatan kesehatan masyarakat, khususnya golongan
masyarakat menengah kebawah dan kelompok rentan, termasuk bayi dan balita. Di bidang
sediaan farmasi, jaminan ketersediaan obat dan vaksin yang aman, berkhasiat, dan bermutu,
serta mudah diakses oleh masyarakat diperlukan untuk meningkatkan kesehatan dan
- 7 -
kualitas hidup masyarakat. BPOM harus mendorong dan memastikan industri pangan dan
farmasi menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP) dan menjamin mutu produknya,
termasuk nilai nutrisi sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan teknis yang dikeluarkan BPOM juga harus mampu mendukung perwujudan
sasaran dan tujuan agenda SDGs.
4. Globalisasi, Perdagangan Bebas dan Komitmen Internasional, antara lain diwujudkan
melalui perjanjian-perjanjian internasional di bidang ekonomi yang menghendaki adanya
area perdagangan bebas (Free Trade Area), seperti ASEAN-6 Free Trade Area, ASEAN-China
FTA, ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), ASEAN-Korea Free Trade
Agreement (AKFTA), ASEAN-India Free Trade Agreement (AIFTA) dan ASEAN-Australia-New
Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA). Selain itu, Indonesia juga dihadapkan dengan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai dilaksanakan akhir tahun 2015. Dengan
berbagai program dan kegiatan tersebut, maka tuntutan untuk meningkatkan daya saing
bangsa, terutama sektor industri farmasi, obat tradisional, kosmetika, suplemen kesehatan
dan makanan dalam negeri menjadi sebuah kewajiban untuk dipenuhi agar Indonesia dapat
bersaing dan menjaga daya saing terhadap produk luar negeri. Peningkatan daya saing tidak
hanya pada produk obat dan makanan, tetapi juga kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Selain itu, arus globalisasi juga membuka kesempatan semakin lebar untuk beredarnya
produk obat dan makanan ilegal (tanpa izin edar, palsu, dan substandard) dan/atau
mengandung bahan berbahaya di Indonesia.
5. Perubahan Iklim yang berdampak pada produksi produk pangan sebagai akibat dari
terganggunya produksi pertanian. Perubahan iklim berpotensi untuk berpengaruh terhadap
berkurangnya ketersediaan pangan yang berkualitas, sehat, bermanfaat dengan harga yang
kompetitif. Selain itu, perubahan iklim juga berpotensi mengakibatkan munculnya bibit
penyakit baru hasil mutasi gen dari beragam virus. Berbagai dampak dari perubahan iklim
tersebut menuntut BPOM untuk dapat berperan aktif untuk mengurangi kontribusi negatif
perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat.
6. Perubahan Ekonomi dan Sosial Masyarakat, antara lain terlihat dari perubahan gaya hidup
(lifestyle) dari golongan masyarakat tertentu. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Word
Bank pada tahun 2014, Indonesia merupakan salah satu dari 10 besar Negara yang
mendominasi ekonomi dunia. Berdasarkan data konsumsi obat yang dilakukan oleh
masyarakat Indonesia tahun 2013, sebagian besar masyarakat Indonesia masih
mengkonsumsi obat modern dengan angka mencapai 90,94%, dibanding obat tradisional
yang hanya 21,41%. Disisi lain, mayoritas bahan baku obat Indonesia masih impor.Indonesa
sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan obat tradisional
- 8 -
karena ketersediaan bahan baku yang melimpah di dalam negeri. BPOM dituntut untuk
dapat mendorong pengembangan obat tradisional ini, melakukan edukasi kepada
masyarakat dan meningkatakan daya saing bangsa
7. Demografi dan Perubahan Komposisi Penduduk. Perkiraan jumlah penduduk Indonesia
tahun 2035 adalah sebesar 450 juta jiwa dengan asumsi rata-rata laju pertumbuhan
penduduk sebesar 1,49% per tahun. Perubahan demografi tersebut berpengaruh terhadap
meningkatnya kebutuhan konsumsi Obat dan Makanan, meningkatnya kebutuhan terhadap
layanan kesehatan dan berpotensi terhadap peningkatan jumlah variasi obat dan makanan
yang beredar di Indonesia. Dampaknya bagi BPOM adalah meningkatnya beban kerja
pengawasan Obat dan Makanan.
Laporan McKinsey (2012) menunjukkan bahwa kelompok middle class atau comsuming class
di Indonesia naik dari waktu ke waktu, yaitu tahun 2010 hanya 45 juta orang, pada tahun
2020 diperkirakan naik menjadi 85 juta orang dan pada tahun 2030 menjadi 135 juta orang.
Data tersebut semakin menunjukkan bahwa potensi perubahan pola konsumsi Obat dan
Makanan di Indonesia sangat mungkin terjadi sehingga dibutuhkan perencanaan dan
peningkatan kualitas di bidang pengawasan Obat dan Makanan dengan baik.
Komposisi penduduk lanjut usia pada tahun 2010 sebesar 9,079 juta jiwa dengan perkiraan
naik menjadi 29,047 juta jiwa pada tahun 2020, artinya hal tersebut akan berpengaruh
terhadap perubahan pola penyakit, yaitu meningkatnya beban kronik untuk kelompok
lanjut usia, yang berdampak terhadap konsumsi dan kebutuhan obat tertentu, khususnya
obat dengan penggunaan jangka panjang yang lebih berkualitas.
8. Desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan urusan kesehatan menjadi salah satu
kewenangan yang diselenggarakan secara konruen antara pusat dan daerah. Hal tersebut
berpengaruh terhadap pola dan strategi pengawasan Obat dan Makanan dimana kebijakan
pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan saat ini bersifat sentralistik dan tidak
mengenal batas wilayah (borderless), dengan one line command (satu komando).
Tantangannya adalah dengan berbagai kepentingan pusat dan daerah, bagaimana mengajak
pemerintah daerah untuk memiliki komitmen yang sama dalam melakukan pengawasan
Obat dan Makanan mengingat secara kelembagaan BPOM tidak memiliki kewenangan untuk
memerintahkan langsung dinas yang ada di daerah untuk mendukung program pengawasan
obat dan makanan.
9. Perkembangan Teknologi, antara lain meliputi perkembangan vaksin baru dan produk
biologi lain, termasuk produk darah, produk jaringan, produk terapi gen, produk stem cell,
produk hormon, pangan hasil rekayasa genetika, pangan iradiasi, perkembangan teknologi
- 9 -
nano untuk produk dan kemasannya, serta produk hasil inovasi lainnya. Hal tersebut
menuntut BPOM untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitya, utamanya pengetahuan
dan teknologi laboratorium pengujian POM selaku “diagnosis pasti” adanya resiko yang
beredar di masyarakat.
Selain perkembangan teknologi dalam melakukan produksi, perkembangan teknologi
lainnya dalah di bidang distribusi Obat dan Makanan. Semakin mudahnya distribusi Obat
dan Makanan menyebabkan produk dapat dengan cepat sampai kepada konsumen. Hal
tersebut harus mendapatkan perhatian BPOM, khususnya dalam melakukan pengawasan
distribusi agar produk yang sampai di tangan konsumen adalah produk yang baik,
memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu produk.
Perkembangan teknologi lainnya yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah
perkembangan teknologi informasi yang sangat identik sekali dengan globalisasi, serta
dampaknya terhadap gaya hidup konsumen. Dengan fasilitas internet, konsumen dapat
melakukan pembelian produk Obat dan Makanan dari berbagai Negara di dunia.
Tantangannya adalah bagaimana cara yang efektif dan efisien untuk melakukan
pengawasan Obat dan Makanan yang dipasarkan melalui online untuk menjamin keamanan,
khasiat dan mutu produk.
10. Implementasi Program Fortifikasi Pangan, yaitu salah satu cara untuk menangani
permasalahan tingginya kekurangan gizi mikro. Pemerintah secara bertahap akan
menerapkan program fortifikasi pangan, diawali dengan fortifikasi pada garam dan tepung
terigu. Mengingat pangan, khususnya pangan olahan merupakan salah satu komoditi yang
menjadi obyek pengawasan BPOM, maka peran dan kontribusi BPOM diperlukan untuk
kesuksesan program tersebut.
11. Jejaring kerja, yaitu tantangan untuk meningkatkan jejaring kerja pengawasan Obat dan
Makanan melalui kerjasama dengan stakeholders dan Instansi terkait, baik di pusat, daerah
maupun di level Internasional.
12. Komitmen untuk terus melaksanakan Reformasi Birokrasi secara konsisten dan
berkesinambungan.
Dari uraian tantangan dalam pengawasan Obat dan Makanan tersebut, diperlukan upaya
bersama yang terorganisir untuk dapat menghadapi berbagai tantangan tersebut, muaranya
jelas adalah pencapain visi “Obat dan Makanan Aman Meningkatakan Kesehatan Masyarakat
dan Daya Saing Bangsa”. Selain itu, terdapat tantangan dan permasalahan lainnya yang dihadapi
BPOM dalam mewujudkan visi tersebut, yaitu belum optimalnya sistem pengawasan Obat dan
Makanan, belum optimalnya pembinaan dan bimbingan kepada pemangku kepentingan melalui
- 10 -
Kerjasama, Komunikasi, Informasi dan Edukasi Publik, dan masih terbatya kapasitas
kelembagaan BPOM.
Untuk menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan tersebut, faktor utama yang harus
diperhatikan dan mendapatkan intervensi pertama kali adalah Sumber Daya Manusia (SDM).
Diperlukan SDM yang unggul untuk menjaga eksistensi dan dapat bersaing dengan Negara-
negara lain di Asean dan Dunia. Sesuai dengan perkembangan globalisasi dunia yang saat ini
sampai pada tahap 3.0 dimana fokus persaingan utama adalah kualitas SDM, mau tidak mau,
pengelolaan SDM harus menjadi fokus utama dan mendapatkan perhatian lebih agar dapat
bergerak cepat jika tidak ingin menjadi penonton di negeri sendiri. Peningkatan kualitas SDM
mutlak diperlukan, tidak hanya di sektor industri dan dunia usaha, tetapi juga sektor
pemerintahan sebagai pengambil kebijakan di Indonesia. Tantangannya semakin besar karena
data Human Development Index (HDI) Indonesia ternyata masih kalah dengan Singapura, Brunei,
Malaysia, Thailand, dan Filipina untuk level Asean dimana penyebabnya terutama karena faktor
kualitas pendidikan di Indonesia. Mengelola dan membuat keputusan yang berkaitan dengan
SDM dengan benar adalah alat terbaik untuk meningkatkan kinerja organisasi dan menjaga
organisasi agar dapat terus bersaing serta berkontribusi terhadap pembangungan. Apabila
pengelolaan dan pengambilan kebijakan di bidang SDM dapat dilakukan dengan baik, hal
tersebut memperlihatkan kompetensi dan nilai-nilai manajemen, dan apakah manajemen telah
mengerjakan pekerjaannya dengan serius.
Dalam bidang Obat dan Makanan, untuk terus dapat melakukan pengawasan terhadap
peredaran Obat dan Makanan dengan baik, kebutuhan terhadap ASN yang berkompeten dan
berkualitas tidak dapat ditawar lagi. SDM adalah faktor utama untuk meningkatkan kapasitas
kelembagaan BPOM dan mendukung peningkatan kualitas pengawasan Obat dan Makanan,
serta dalam melakukan bimbingan kepada stakeholders terkait untuk meningkatkan daya saing
Bangsa di bidang Obat dan Makanan. SDM adalah kekuatan utama yang akan menentukan
kelangsungan hidup organisasi dan menjadi penentu BPOM akan menjadi institusi pengawas
Obat dan Makanan yang ‘bergigi’ dan disegani atau hanya sebagai pelengkap dan syarat bahwa
terdapat institusi pengawas Obat dan Makanan di Indonesia. Dibanding dengan sumber daya
yang lainnya, SDM menjadi sumber daya yang memiliki peran sentral yang tak tergantikan.
Obyek pengawasan BPOM telah berkembang, tidak hanya produk hasil produksi di dalam
negeri, tetapi juga produk-produk luar negeri yang sangat mungkin beredar di Indonesia, serta
produk hasil perkembangan teknologi. Obat dan Makanan telah menjadi komoditi yang
diproduksi oleh perusahaan global dengan target pasar di berbagai Negara dengan kemajuan
teknologi yang sangat canggih sehingga dalam pengawasannya tidak hanya dibutuhkan ASN
dengan standar kualitas nasional, tetapi dibutuhkan ASN dengan standar kualitas global. Sudut
- 11 -
pandang dan pola pikir yang digunakan dalam membuat kebijakan di bidang Obat dan Makanan
harus mengikuti perkembangan dan tantangan global dengan tetap memperhatikan kesiapan
industri Obat dan Makanan dalam negeri. Tantangannya sudah jelas, standar kualitas SDM yang
diperlukan untuk dapat melakukan pengawasan Obat dan Makanan yang dibutuhkan sudah
jelas, permasalahan dan tantangannya adalah bagaimana BPOM dapat menjawab tantangan dan
memenuhi kebutuhan ASN tersebut, tidak hanya kuantitas, tetapi juga kualitas SDM dengan
modal ASN yang dimiliki BPOM saat ini.
Dari data pegawai saat ini, jumlah ASN yang dimiliki BPOM saat ini (per tanggal 9 Agustus 2015)
adalah 3.945 orang pegawai tersebar di unit pusat dan 33 Balai Besar/Balai POM di seluruh
Indonesia. Sesuai dengan perhitungan analisis beban kerja, kekurangan ASN untuk mendukung
pengawasan peredaran Obat dan Makanan mencapai 1.532 orang pegawai. Diperkirakan dalam
rentang waktu 2014 s.d 2019, 344 orang pegawai akan pensiun atau purna bakti. Dengan
asumsi bahwa selama periode 2014 s.d 2019 tidak melakukan penerimaan pegawai karena
adanya kebijakan moratorium, maka hampir dapat dipastikan akan berdampak terhadap
kualitas pengawasan Obat dan Makanan yang dilakukan BPOM akibat kekurangan SDM. Dilihat
dari latar belakang pendidikan ASN, ancaman penurunan kualitas pengawasan Obat dan
Makanan semakin terlihat nyata mengingat dari jumlah SDM tersebut 32% berpendidikan non
Sarjana. Pegawai dengan pendidikan minimal Sarjana juga tidak menjamin memiliki kompetensi
dan kinerja yang dipersyaratkan dan diharapkan. Dari data penilaian kompetensi tahun 2012,
dari 3.197 pegawai yang dilakukan penilaian kompetensi, hanya 2.027 (63,40%) pegawai
dinyatakan memenuhi standar kompetensi.
Dilihat dari input pegawai, atau pegawai baru BPOM yang mayoritas adalah orang-orang dengan
pendidikan teknis (apoteker, kimia, teknologi pangan, biologi, dll), kualitas ASN BPOM
sebenarnya cukup bagus dan tidak kalah dibanding dengan instansi lain, bahkan dapat
dikatakan lebih unggul. Indikasi tersebut setidaknya jika dilihat dari pasing grade program studi
di beberapa Universitas di Indonesia, latar belakang pendidikan pegawai baru BPOM mayoritas
adalah program pendidikan dengan pasing grade tinggi, yang hanya orang-orang dengan
kemampuan tinggi pula yang dapat diterima dalam program tersebut. Dilihat dari data pelamar
yang berminat menjadi pegawai BPOM dalam 5 (lima) tahun terakhir, BPOM termasuk instansi
yang cukup diminati. Artinya dengan ketatnya persaingan untuk dapat menjadi pegawai di
BPOM, hanya orang-orang terbaiklah yang dapat diterima sebagai pegawai BPOM.
Berdasarkan evaluasi hasil penilaian kompetensi, pegawai baru dengan input yang hampir sama
jika dilihat dari prestasi akademik maupun potensi dan kompetensi, ternyata setelah bekerja di
unit kerja masing-masing, beberapa tahun kemudian memiliki kompetensi dan kinerja yang
tidak sama dengan perbedaan yang cukup signifikan. Hal tersebut terlihat berdasarkan sebaran
- 12 -
hasil penilaian kompetensi pegawai pada tahun 2012, terutama jika membandingkan antara
pegawai yang ditempatkan di unit kerja pusat dengan pegawai yang ditempatkan di beberapa
Balai Besar/Balai POM, walaupun pada beberapa Balai juga memiliki pegawai dengan
kompetensi dan kinerja cukup baik. Perbedaan kompetensi dan kinerja pegawai antar unit kerja
menyebabkan kualitas hasil pengawasan Obat dan Makanan juga berbeda-beda antar daerah.
Akibat lainnya dari sebaran kompetensi yang tidak sama tersebut adalah kaderisasi pejabat
yang duduk dalam berbagai jabatan strategis organisasi menjadi terhambat dan tidak berjalan
sesuai harapan. Sebagian unit kerja memiliki cukup banyak pegawai potensial dan kompeten,
tetapi unit kerja lainnya kekurangan pegawai yang potensial dan kompeten untuk dikader atau
dikembangkan sebagai calon pemimpin di unit kerja tersebut.
Antar unit kerja di lingkungan BPOM juga belum memiliki keseragaman terkait dengan kualitas
dan manajemen dalam melakukan pengembangan kompetensi dan mengelola kinerja
pegawainya. Anggapan bahwa yang terpenting dalam manajemen SDM adalah pegawai punya
keahlian, kompetensi dan pengalaman yang diperlukan di beberapa unit kerja dengan
mengabaikan perbaikan dan peningkatan kualitas manajemen ASN menjadi salah satu sebab
perbedaan kualitas ASN yang dimiliki oleh masing-masing unit kerja. Beberapa hal dalam
manajemen SDM masih diabaikan dalam manajemen kepegawaian, antara lain anggapan bahwa
pemeriksaan psikologis, bakat/potensi dan kompetensi tidak perlu dilakukan, atau
pengembangan kompetensi tidak perlu dilakukan secara terstruktur dan berjenjang, serta tidak
perlu intervensi langsung dari pimpinan unit atau atasan pegawai melalui coaching dan
mentoring. Akibatnya, setiap pegawai dibiarkan berkembang sendiri tanpa ada intervensi dari
organisasi, akhirnya banyak pegawai yang tidak berkembang optimal padahal memiliki potensi.
Kaderisasi tidak menjadi hal yang penting karena yang utama adalah pencapaian kinerja saat
ini, akibatnya organisasi tidak pernah memiliki daftar pegawai yang potensial dan kompeten
untuk dipromosikan apabila terdapat pimpinan atau pegawai senior yang promosi atau telah
purna bakti.
Dilihat dari data usia pegawai, komposisi ASN yang dimiliki BPOM saat ini yang terbesar berasal
dari pegawai kelompok generasi Y (gen Y), usia 20 s.d 35 tahun dengan prosentase mencapai
44%. Jumlah pegawai terbesar kedua adalah kelompok gen X, usia 35 s.d 50 tahun dengan
prosentase 35%. Jumlah pegawai yang paling kecil adalah kelompok generasi baby boomers,
usia 50 s.d 60 tahun dengan prosentase 21%. Data lebih lengkap terkait usia ASN BPOM dapat
disampaikan sebagai berikut:
- 13 -
Gambar 1. Data Pegawai BPOM tahun 2015 berdasarkan kelompok umum
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa BPOM saat ini memiliki gap generasi antara pegawai
yang berusia dibawah 35 tahun dengan pegawai yang berusia diatas 35 tahun. Hal tersebut
harus mendapatkan perhatian serius, terutama dalam menyiapkan kader dan calon pemimpin
di BPOM. Percepatan kaderisasi kepemimpinan BPOM menjadi sebuah kewajiban untuk segera
dipenuhi mengingat tantangan yang dihadapi BPOM sudah didepan mata dan tidak mungkin
dihindari lagi. Hal lain yang perlu dicermati dari data tersebut adalah fenomena pegawai gen Y
yang merupakan pegawai mayoritas BPOM saat ini. Gen Y adalah kelompok pegawai yang
memiliki karakteristik bahwa bekerja tidak selalu masalah karier, uang dan fasilitas, tetapi
bekerja adalah terkait dengan passion, aktualisasi diri dan kenyamanan. Terkadang nilai-nilai
yang dipegang oleh pegawai kelompok gen Y tidak sama dengan nilai-nilai yang dikembangkan
dalam organisasi, maupun nilai-nilai yang dipegang oleh pegawai kelompok gen X dan baby
boomers. Dengan karakteristik gen Y tersebut, merupakan tantangan tersendiri bagi pengelola
kepegawaian dan organisasi dalam melakukan pendekatan kepada gen Y dengan tidak
mengabaikan pegawai gen X maupun baby boomers. Agar kinerja organisasi tetap terjaga dan
meningkat, sistem kerjasama dan kolaborasi antar generasi dalam organisasi harus dibuat
sehingga setiap orang dapat menampilkan kinerja terbaiknya sesuai dengan potensi,
kompetensi, dan passion-nya.
Dalam manajemen kepegawaian Aparatur Sipil Negara (), sejak ditetapkan dan diberlakukannya
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang , manajemen ASN mengalami perubahan yang sangat
mendasar. Manajemen kepegawaian dituntut tidak hanya mengurusi masalah administrasi
kepegawaian, tetapi juga terkait dengan pengembangan dan pemberdayaan ASN untuk
mendukung pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Unit pengelola ASN diharapkan dapat berperan
lebih strategis dalam pencapaian visi dan misi organisasi, tidak hanya sebagai supporting unit
yang selama ini berlaku di mayoritas instansi Pemerintah. Sistem manajemen ASN dilaksanakan
melalui sistem merit, yaitu kebijakan dan manajemen yang berdasarkan pada kualifikasi,
kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang
- 14 -
politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi
kecacatan. Setiap Pegawai memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengembangkan
kompetensi dan kariernya.
Pengembangan karier pegawai tidak lagi dilihat dari Daftar Urut Kepangkatan (DUK), tetapi
berdasarkan perbandingan obyektif antara kualifikasi, kompetensi dan kinerja yang diperlukan
dalam jabatan dengan kualifikasi, kompetensi dan kinerja yang dimiliki Pegawai . Setiap instansi
dituntut untuk memiliki manajemen karir yang terdiri dari perencanaan, pengembangan, pola
karir, dan kelompok rencana suksesi (talent pool). Hal tersebut merupakan dampak dari
penerapan sistem merit dalam manajemen . Dampak lainnya adalah semua jabatan harus
memiliki standar kompetensi, perencanaan kebutuhan pegawai harus dilaksanakan
berdasarkan beban kerja, serta pelaksanaan rekrutmen, seleksi, dan promosi dilakukan harus
dilakukan secara terbuka.
Sistem salary atau gaji tidak lagi dibayarkan berdasarkan pangkat dan golongan, tetapi secara
bertahap akan dirubah dengan sistem penggajian berdasarkan harga jabatan dan dibayarkan
sesuai dengan beban kerja, kinerja, tanggungjawab, dan resiko pekerjaan, serta
mempertimbangkan indeks kemahalan tiap daerah. Dengan sistem tersebut, sangat
dimungkinkan pegawai dengan masa kerja yang sama tetapi memiliki kinerja berbeda akan
menerima gaji atau penghasilan yang berbeda. Tantangan bagi setiap instansi untuk dapat
mengkomunikasikan perubahan sistem manajemen dan sistem penggajian agar tidak terjadi
gejolak dan resistensi dari pegawai yang berdampak terhadap demotivasi pegawai, serta
penuruan kinerja pegawai dan organisasi. Dengan perubahan pola pikir dan tata kelola dalam
manajemen ASN tersebut, kesiapan dan kemauan organisasi serta ASN untuk meninggalkan
pola-pola lama dalam pengelolaan kepegawaian, dan berganti dengan sistem manajemen ASN
sesuai dengan tuntutan dalam UU masih menjadi hal serius yang perlu mendapat perhatian.
Dalam survey internal tentang kapasitas organisasi BPOM yang dilaksanakan tahun 2014
terhadap 23 unit kerja di BPOM Pusat masih ditemukan beberapa permasalahan serius yang
urgent untuk segera ditangani, khususnya terkait dengan manajemen ASN.Survey tersebut
bertujuan untuk mendapatkan gambaran nyata mengenai pengembangan kapasitas organisasi
BPOM dalam menjalankan tugya, terutama dalam rangka penerapan Reformasi Birokrasi di
BPOM. Berdasarkan hasil survey, diketahui terdapat beberapa hal yang perlu mendapatan
perhatian dan perbaikan, yaitu:
1. Masih lemahnya pembinaan dan strategi pimpinan dalam mencapai tujuan,
2. Mekanisme pembagian kerja yang masih perlu perbaikan dengan mempertimbangkan
jenjang jabatan masing-masing pegawai,
- 15 -
3. Kebutuhan organisasi terhadap sistem dan mekanisme, ataupun media untuk mendukung
sosialisasi kebijakan organisasi, dan menampung saran dari pegawai dalam perumusan
kebijakan dan implementasi Reformasi Birokrasi,
4. Sistem dan kebijakan terkait pola karier, dan kesempatan peluang karier yang belum jelas
dan kurang transparan,
5. Kebutuhan terhadap apresiasi dan feedback pimpinan terhadap hasil kerja pegawai yang
masih perlu mendapatkan perhatian, dan
6. Dukungan dari pimpinan yang dirasa masih kurang terhadap kesempatan karier dan
promosi pegawai, dikaitkan dengan sasaran kinerja pegawai.
Apabila dibandingkan dengan data survey kesiapan BPOM dalam menerapkan Human Capital
Management (HCM) dalam pengelolaan kepegawaian yang dilaksanakan tahun 2010 terhadap
627 pegawai atau 20,04% dari seluruh jumlah pegawai di BPOM Pusat dan Balai Besar/Balai
POM, hasil survey tahun 2014 menunjukkan belum adanya peningkatan yang berarti terhadap
kualitas manajemen ASN. Hasil survey tahun 2010 menunjukkan bahwa masih terdapat
kelemahan dan perlu mendapat perhatian serius terhadap peran dan fungsi pelaksanaan
administrasi kepegawaian, disiplin pegawai, dan kualitas keseimbangan antara kerja dan
kehidupan. Selain itu, terdapat beberapa hal yang masih perlu untuk ditingkatkan lagi terkait
dengan manajemen ASN, yaitu terkait dengan penempatan dan pengembangan karier, sistem
penilaian kinerja pegawai, dan kebijakan dan strategi/prosedur untuk mencapai tujuan. Aspek-
aspek terkait dengan manajemen ASN, seperti administrasi kepegawaian, kesempatan dan
pengembangan karier, penghargaan atas pekerjaan yang telah dilakukan pegawai dan kebijakan
terkait dengan manajemen ASN masih menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian dan
penanganan serius, setidaknya jika melihat hasil survey tahun 2010 maupun tahun 2014
tersebut.
Hasil survey Indeks Kepuasan Pelanggan (IKM) terhadap pelayanan publik BPOM yang
dilakukan pada tahun 2013 juga menunjukkan masih terdapat beberapa kelemahan pelayanan
publik BPOM. Kelemahan tersebut terutama terkait dengan akuntabilitas pelayanan publik yang
terdiri dari akuntabilitas kinerja pelayanan publik, akuntabilitas biaya pelayanan publik, dan
akuntabilitas produk pelayanan publik. Lebih spesifik lagi, kelemahan tersebut terlihat dalam
unsur kecepatan pelayanan dan kepastian jadwal pelayanan. IKM BPOM tahun 2013 juga
cenderung menurun dibanding dengan hasil survey IKM tahun 2012. Apabila kualitas pelayanan
publik diartikan sebagai salah satu indikator kualitas ASN BPOM, maka salah satu solusi untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik BPOM adalah melalui peningkatan kualitas ASN.
Hasil penelitian yang dilakukan Kristiana Haryati tahun 2014 tentang Hubungan Persepsi
Pelanggan Terhadap Kinerja Pelayanan Surat Keterangan Impor (SKI) dengan Kepuasan
- 16 -
Pelanggan di Badan Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2013 dengan fokus penelitian
terhadap pelayanan publik oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi OT, Kosmetik dan Produk
Komplemen menyatakan bahwa rata-rata nilai kinerja pelayanan SKI adalah 70,0, atau masih
kurang baik. Item yang nilainya paling rendah dalam dimensi empati pelayanan publik adalah
terkait dengan keseriusan pegawai dalam membantu dan memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh pelanggan/stakeholders.
Dengan berbagai tantangan dalam melakukan pengawasan Obat dan Makanan tersebut, serta
kompleksitas permasalahan dalam manajemen ASN di BPOM, maka perlu kebijakan, sistem dan
strategi dalam mengelolan ASN BPOM agar setiap orang dapat berkontribusi maksimal
terhadap kinerja organisasi. Sistem dan strategi manajemen ASN tersebut juga untuk
mendukung pelaksanaan rencana strategis BPOM 2014-2019. Dengan tantangan, target kinerja,
harapan/ekspektasi masyarakat dan stakeholders yang meningkat, hampir dapat dipastikan
tidak dapat dijawab dengan kualitas ASN yang saat ini dimiliki oleh BPOM. Peningkatan kualitas
bisnis proses dalam pengawasan Obat dan Makanan yang telah direncanakan dalam rencana
strategis BPOM untuk mendukung peningkatan sistem pengawasan Obat dan Makanan
memerlukan ASN yang unggul, kompeten, berintegritas, kredibel dan professional dalam
melakukan pengawasan Obat dan Makanan. Selain itu, ASN yang berkualitas juga diperlukan
untuk mendukung peningkatan daya saing Bangsa serta penguatan kapasitas dan kapabilitas
kelembagaan BPOM.
Manajemen ASN harus bertransformasi untuk mendukung bisnis proses BPOM, tidak lagi hanya
mengurusi masalah administrasi terkait kepegawaian. Kebijakan di bidang manajemen ASN
harus dapat mendukung pelaksanaan rencana strategis organisasi untuk mewujudkan visi dan
misi organisasi. Unit pengelola kepegawaian harus direposisi menjadi mitra strategis bagi
manajemen organisasi dalam mengawal penerapan rencana strategis organisasi melalui
pengembangan kompetensi ASN dan penyiapkan ASN yang unggul, kompeten dan siap kerja jika
organisasi membutuhkan karena adanya promosi, mutasi, atau perubahan struktur organisasi
akibat tuntutan dari internal maupun eksternal organisasi.
Kebijakan bidang manajemen ASN harus diselaraskan dengan visi, misi, dan strategi organisasi,
serta nilai-nilai yang ingin dibangun dan dianut organisasi. Hal tersebut untuk menghindari dan
meminimalisir pengambilan kebijakan yang berorientasi jangka pendek yang bersifat pragmatis
dan tidak lebih hanya untuk mengatasi dan memperbaiki keadaan saat ini yang seringkali
membuat permasalahan baru di masa depan. Selain itu, penyelarasan antara kebijakan bidang
manajemen ASN dengan strategi organisasi juga untuk menghindari penetapan kebijakan
bidang manajemen ASN yang hanya mempertimbangkan strategi yang diinginkan oleh
pimpinan organisasi tanpa memperhatikan pertimbangan lainnya. Hal tersebut sering terjadi
- 17 -
dan tidak disadari oleh organisasi dimana organisasi dengan percaya diri dan yakin bahwa
kebijakan dan sistem manajemen SDM yang ada sudah sangat baik dan memadai, menarik
orang-orang terbaik untuk masuk, dapat mempertahankan orang-orang terbaik dalam
organisasi, atau bahkan yakin bahwa tanpa melakukan perbaikan kebijakan dan sistem
manajemen SDM pun, organisasi bisa berjalan dengan baik dan mampu berkinerja dengan baik.
Berbagai kebijakan yang bersifat jangka pendek, pragmatis dan hanya mempertimbangkan
keinginan pimpinan organisasi tentunya harus dihindari dalam penyusunan rencana dan
strategi manajemen dan pengembangan ASN mengingat kesalahan dalam mengelola ASN sama
artinya dengan menjerumuskan organisasi dalam keterpurukan dan melaksanakan pekerjaan
yang sia-sia.
Seiring dengan pemberlakukan UU keterbukaan informasi publik dan UU tentang , sistem dan
strategi manajemen ASN dituntut untuk dapat lebih transparan, terbuka dan dapat diakses oleh
semua pegawai dalam organisasi. Jika pegawai menginginkan kenaikan jenjang pangkat,
pegawai dapat dengan mudah mengetahui syarat administrasi, syarat kompetensi dan syarat
kinerja yang diharapkan dengan target dan penilaian kompetensi yang sistem dan
pengukurannya dibuat jelas dan transparan. Atau jika pegawai menginginkan jabatan yang lebih
tinggi, pegawai tinggal mengikuti jalur karier yang telah ditetapkan organisasi secara jelas dan
transparan. Sistem promosi dibuat secara terbuka dan transparan dengan persyaratan jabatan
dan kualifikasi yang telah ditetapkan.
Dengan kualitas input ASN BPOM yang cukup baik sebagaimana telah diuraikan diatas
merupakan tantangan bagi BPOM, apakah dapat memaksimalkan potensi dan kompetensi ASN
tersebut menjadi sebuah kinerja nyata, serta mengurangi gap kompetensi dan kinerja antar unit
kerja di Lingkungan BPOM. Kenyataan saat ini masih banyak ditemui pegawai dengan bakat dan
kecerdasan yang tinggi ternyata tidak memperoleh kesuksesan dan menunjukkan kinerja yang
optimal, baik untuk diri sendiri maupun organisasi. Pegawai tersebut tidak mampu
memaksimalkan usaha untuk memaksimalkan potensi dan menunjukkan kinerja terbaik,
artinya juga tidak mampu membawa kesuksesan bagi organisasi.
Dengan berbagai permasalahan dalam bidang manajemen ASN BPOM, tantangan yang dihadapi
dan perkembangan ilmu manajemen, khususnya dalam pengelolaan ASN, dapat disampaikan
hasil rangkuman analisis kondisi ASN BPOM saat ini dengan berbagai tantangannya sebagai
berikut:
- 18 -
KEKUATAN KELEMAHAN
Dilihat dari input ASN, mayoritas pegawai baru
BPOM adalah pegawai dengan kualitas dan
kompetensi diatas rata-rata, dan berasal dari
berbagai universitas ternama di Indonesia, dan
sebagian ASN BPOM adalah alumni universitas
di luar negeri
Mayoritas ASN BPOM saat ini adalah berusia
dibawah 40 tahun, atau berada dalam
kelompok usia produktif dan potensial untuk
dikembangkan
Lebih dari 65% ASN BPOM telah memenuhi
standar kompetensi manajerial
Kompetensi teknis ASN BPOM memadai untuk
mendukung pelaksanaan tugas
Komitmen yang kuat dari organisasi BPOM
untuk secara konsisten melaksanakan
Reformasi Birokrasi dengan 8 (delapan) area
perubahan, salah satunya adalah Penataan ASN
Komitmen yang kuat dari organisasi BPOM
untuk secara konsistem menerapkan Quality
Management System dalam menjalankan
bussines process organisasi
Penilaian kompetensi manajerial sebagai salah
satu ukuran penilaian obyektif kompetensi
ASN sudah dapat dilakukan secara mandiri,
artinya dapat mendukung efisiensi pengelolaan
kepegawaian di BPOM
Pejabat analis kepegawaian yang memiliki
tanggung jawab utama dalam manajemen ASN
BPOM telah tersebut hampir di seluruh unit
kerja di BPOM
BPOM telah memiliki pejabat Auditor
Kepegawaian yang bertanggung jawab
terhadap pengawasan penerapan regulasi di
bidang manajemen ASN di BPOM
Kualitas ASN BPOM yang secara input memiliki kualitas dan kompetensi diatas rata-rata, setelah beberapa tahun memiliki kesenjangan kompetensi yang cukup lebar antar unit kerja
Masih terdapat perbedaan dalam melakukan manajemen kepegawaian, khususnya dalam melakukan pengembangan pegawai antar unit kerja
Unit pengelola kepegawaian di BPOM masih selevel unit Eselon III sehingga tidak selaras dengan semangat untuk melakukan penataan ASN dan penerapan Human Capital Management
BPOM saat ini belum memiliki unit penyelenggara dan pengelola pengembangan pegawai sebagai center of exelent dan partner strategis organisasi untuk menghasilkan ASN yang kompetensi dan berwawasan global
Pembinaan dan pengembangan kompetensi serta karier di BPOM belum dilaksanakan secara terstruktur dan terencana, bahkan cenderung sporadis. ASN BPOM dibiarkan berkembang sendiri tanpa ada intervensi yang terukur dari organisasi. Dampaknya, tidak semua jabatan yang kosong di BPOM dapat segera terisi dengan ASN yang memenuhi syarat kualifikasi, kompetensi dan kinerja, atau tidak ada jaminan ketersediaan ASN sesuai dengan kebutuhan organisasi
Jumlah sebaran ASN yang belum memadai di tiap unit kerja, baik secara kuantitas maupun kualitas
Belum semua unsur organisasi memiliki pandangan dan komitmen yang sama dalam melaksanakan manajemen ASN, atau belum semua pegawai menganggap manajemen ASN adalah faktor utama keberhasilan dalam mewujudkan visi dan misi organisasi
Budaya organisasi sebagai nilai-nilai yang diharapkan dapat menjadi ruh bagi pegawai dalam melaksanakan pekerjaan masih sebatas pajangan poster, belum terinternalisasi kepada seluruh ASN di BPOM.
Mind set dan cara pandang sebagian ASN BPOM belum berubah, atau masih mengikuti pola-pola lama yang sebenarnya telah berubah seiring dengan perubahan manajemen ASN nasional dengan diberlakukannya UU
Beberapa kegiatan dalam manajemen ASN masih memerlukan regulasi/pedoman teknis yang saat ini belum tersedia.
Senioritas dan yunioritas masih kental mewarnai keseharian pekerjaan dan manajemen ASN di BPOM
- 19 -
PELUANG TANTANGAN
Perubahan regulasi dan sistem manajemen ASN secara nasional dengan diterapkannya UU . PP dan Perpres sebagai turunan UU saat ini masih dalam tahap pembahasan.
Pemberlakukan sistem merit dalam manajemen ASN seiring dengan diberlakukannya UU dimana seluruh memiliki kesempatan yang sama untuk dikembangkan kompetensinya dan mengembangkan karier
Pembinaan karier ASN tidak lagi didasarkan pada Daftar Urut Kepangkatan (DUK), tetapi berubah berdasarkan kualifikasi, kompetensi dan kinerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dampaknya, pengelolaan manajemen ASN dapat didorong menjadi lebih transparan dan akuntabel dengan tools evaluasi yang terukur.
Sesuai dengan PP Nomor 46 Tahun 2011, manajemen kinerja ASN saat ini telah berkembang ke arah hasil yang terukur (dengan performance scorecard dan measurement yang obyektif).
Tantangan dalam Pengawasan Obat dan Makanan dapat diidentifikasi dengan jelas sehingga memudahkan manajemen menetapkan kebijakan dan strategi di bidang manajemen ASN sebagai faktor utama keberhasilan dalam mewujudkan visi dan misi organisasi.
Meningkatnya ekspektasi masyarakat dan stakeholders terhadap kinerja BPOM
Trend sebaran kompetensi ASN BPOM bahwa semakin tinggi jabatan, semakin besar gap kompetensinya, atau tingkat pemenuhan kompetensi berdasarkan standar kompetensi jabatannya.
Globalisasi yang saat ini sampai pada tahap 3.0 dimana fokus persaingan adalah kualitas SDM
Human Development Index (HDI) Indonesia nomor 121 dari Negara di seluruh Dunia, kalah dengan Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Filipina untuk level Asean dimana penyebabnya terutama karena faktor kualitas pendidikan di Indonesia
Rendahnya minat baca ASN BPOM, terutama terkait dengan regulasi/kebijakan teknis tentang kepegawaian. Hal tersebut diperkuat dengan data dari UNESCO tahun 2012 bahwa hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia, atau hanya 0,001 yang mempunyai minat baca serius
Perubahan regulasi dan sistem manajemen ASN secara nasional, terutama pasca penetapan PP dan Perpres turunan dari UU
Globalisasi perdagangan bebas dan komitmen internasional di bidang Obat dan Makanan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dibutuhkan pembenahan dalam manajemen ASN di BPOM
melalui pengambilan kebijakan dan strategi manajemen ASN untuk menghasilkan ASN BPOM
yang kompeten, professional, kredibel, berwawasan global, berkepribadian sehat dan mampu
berkinerja baik serta siap apabila organisasi membutuhkan untuk mewujudkan visi, misi, tujuan
dan sasaran strategis BPOM. Perubahan visi, misi, sasaran strategis dan sistem pengawasan
Obat dan Makanan sebagaimana tertuang dalam rencana strategis BPOM tahun 2015-2019
dengan berbagai tantangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan, tidak dapat dilakukan
secara optimal dengan kualitas ASN BPOM yang dimiliki saat ini. Dibutuhkan kebijakan, sistem
dan strategi manajemen ASN melalui berbagai program dan kegiatan yang memiliki daya ungkit
(leverage) tinggi untuk mendukung peningkatan kinerja organisasi dan mengimplementasikan
rencana strategis BPOM 2015-2019.
- 20 -
BAB II
RENCANA STRATEGIS BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
TAHUN 2015-2019
Sesuai dengan Peraturan Kepala BPOM Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Badan
Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2015-2019, BPOM sebagai Lembaga Pemerintah non
Kementerian (LPNK) memiliki visi : Obat dan Makanan Aman Meningkatakan Kesehatan
Masyarakat dan Daya Saing Bangsa. Visi tersebut diturunkan kedalam 3 misi organisasi, yaitu:
1. Meningkatkan sistem pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko untuk melindungi
masyarakat;
2. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan Obat dan
Makanan serta memperkuat kemitraan dengan pemangku kepentingan; dan
3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan BPOM.
Visi dan misi tersebut berusaha untuk diwujudkan dengan budaya organisasi PIKKIR, yaitu :
Profesional, Integritas, Kredibilitas, Kerjasama Tim, Inovatif dan Responsif/Cepat Tanggap
(PIKKIR).
Dalam rangka mencapai visi dan misi organisasi tersebut, tujuan yang ingin dicapai oleh BPOM
dalam kurun waktu 2015-2019 adalah:
1. Meningkatnya jaminan produk Obat dan Makanan aman, berkhasiat/bermanfaat, dan
bermutu dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat; dan
2. Meningkatnya daya saing Obat dan Makanan di pasar lokal dan global dengan menjamin
mutu dan mendukung inovasi.
Adapun indikator capain sebagai ukuran keberhasilan dari tujuan tersebut adalah:
1. Meningkatnya jaminan Obat dan Makanan aman, berkhasiat/bermanfaat, dan bermutu
dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat, dengan indikator:
a. Tingkat kepuasan masyarakat atas jaminan pengawasan BPOM.
2. Meningkatnya daya saing Obat dan Makanan di pasar lokal dan global dengan menjamin
mutu dan mendukung inovasi, dengan indikator:
a. Tingkat kepatuhan pelaku usaha Obat dan Makanan dalam memenuhi ketentuan; dan
b. Tingkat kepuasan pelaku usaha terhadap pemberian bimbingan dan pembinaan
pengawasan Obat dan Makanan.
- 21 -
Berdasarkan visi dan misi BPOM, dalam Rencana Strategis (Renstra) BPOM 2015-2019, sasaran
strategis dalam kurun waktu 2015-2019 yang ingin dicapai oleh BPOM adalah sebagai berikut:
1. Menguatnya sistem pengawasan Obat dan Makanan
Sistem pengawasan yang dilakukan oleh BPOM dilakukan secara komprehensif, mencakup
pengawasan pre-market dan post-market dengan target yang ingin dicapai pada tahun 2019
adalah :
a. Persentase obat yang memenuhi syarat sebesar 94%;
b. Persentase obat tradisional yang memenuhi syarat sebesar 84%;
c. Persentase kosmetik yang memenuhi syarat sebesar 93%;
d. Persentase suplemen makanan yang memenuhi syarat sebesar 83%; dan
e. Persentase makanan yang memenuhi syarat sebesar 90,1%.
2. Meningkatkan kemandirian pelaku usaha, kemitraan dengan pemangku kepentingan, dan
partisipasi masyarakat
Keberhasilan dalam melakukan pengawasan peredaran Obat dan Makanan tidak hanya
ditentukan oleh BPOM, tetapi juga tergantung pada keterlibatan pihak-pihak terkait. Untuk
dapat meningkatkan kualitas hasil pengawasan, BPOM melakukan koordinasi dan
kerjasama lintas sektor, khususnya kepada pihak-pihak dan instansi terkait. Selain itu,
untuk mewujudkan kemandirian bangsa, khususnya dalam menghadapi MEA yang
diberlakukan mulai akhir tahun 2015, perlu dilakukan upaya untuk mendorong dan
mendukung kemandirian pelaku usaha dalam negeri di bidang Obat dan Makanan agar
dapat bersaing dengan pelaku usaha dari luar negeri. Target yang ingin dicapai pada
sasaran strategis ini pada tahun 2019 adalah:
a. Sebanyak 40 industri farmasi meningkat kemandiriannya;
b. Sebanyak 81 Industri Obat Tradisional (IOT) memiliki sertifikat CPOTB;
c. Sebanyak 205 industri kosmetik mandiri dalam pemenuhan ketentuan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
d. Sebanyak 11% industri pangan olahan dapat mandiri dalam menjamin keamanan
pangan;
e. Indeks kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi Obat dan Makanan yang memenuhi
syarat khasiat, mutu dan keamanan meningkat pada tahun 2019 dibandingkan dengan
baseline tahun 2016; dan
f. Sebanyak 20 kerjasama yang telah dibangun oleh BPOM dapat diimplementasikan.
- 22 -
3. Meningkatnya kualitas kapasitas kelembagaan BPOM
Peningkatkan kualitas kelembagaan BPOM dilakukan dengan melaksanakan Reformasi
Birokrasi (RB) di 8 (delapan) area perubahan secara konsisten. Kualitas kelembagaan
BPOM adalah prasyarat untuk mencapai tujuan dan sasaran strategis BPOM (nomor 1 dan
2). Untuk dapat meningkatkan kualitas kapasitas kelembagaan BPOM, SDM adalah faktor
utama yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan peningkatan kualitas kapasitas
kelembagaan BPOM. Target yang ingin dicapai pada sasaran strategis ini pada tahun 2019
adalah:
a. Penilaian pelaksanaan RB dengan predikat AA;
b. Opini laporan keuangan BPOM dari BPK dengan target WTP; dan
c. Penilaian SAKIP dari Kementerian PAN dan RB dengan predikat A
Dari visi, misi, tujuan dan sasaran strategis tersebut, maka ditetapkan 5 (lima) Indikator Kinerja
Utama BPOM untuk kurun waktu 2015-2019 sebagai berikut:
1. Persentase obat yang memenuhi syarat;
2. Persentase makanan yang memenuhi syarat;
3. Jumlah industri farmasi yang meningkat tingkat kemandiriannya;
4. Persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin keamanan
pangan;
5. Capaian pelaksanaan Reformasi Birokrasi di BPOM.
Untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran strategis dengan Indikator Kinerja Utama
sebagaimana telah diuraian diatas, serta mendukung tujuan pembangunan nasional sub bidang
gizi dan kesehatan, maka arah kebijakan di bidang pengawasan Obat dan Makanan tahun 2015-
2019 dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Penguatan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko untuk melindungi
masyarakat;
2. Peningkatan pembinaan dan bimbingan dalam rangka mendorong kemandirian pelaku
usaha dalam memberikan jaminan keamanan dan daya saing produk Obat dan Makanan;
3. Peningkatan Kerjasama, Komunikasi, Informasi dan Edukasi publik melalui kemitraan
pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Obat dan Makanan;
dan
- 23 -
4. Penguatan kapasitas kelembagaan pengawasan Obat dan Makanan melalui penataan
struktur yang kaya dengan fungsi, proses bisnis yang tertata dan efektif, budaya kerja yang
sesuai dengan nilai organisasi serta pengelolaan sumber daya yang efektif dan efisien.
Sedangkan strategi untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran strategis BPOM terdiri dari
7 (tujuh) strategi yang mencakup strategi yang bersifat eksternal dan internal dengan
penjabaran sebagai berikut:
Eksternal:
1. Penguatan kemitraan dengan lintas sektor terkait pengawasan Obat danMakanan;
2. Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang Obat danMakanan;
Internal:
3. Penguatan Regulatory System pengawasan Obat dan Makanan berbasisrisiko;
4. Membangun Manajemen Kinerja dari Kinerja Lembaga hingga kinerja individu/pegawai;
5. Mengelola anggaran secara lebih efisien, efektif dan akuntabel serta diarahkan untuk
mendorong peningkatan kinerja lembaga dan pegawai;
6. Meningkatkan kapasitas SDM pengawas di BPOM di tingkat pusat dan daerah secara lebih
proporsional dan akuntabel; dan
7. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung maupun utama dalam mendukung
tugas Pengawasan Obat dan Makanan.
Strategi eksternal lebih ditekankan pada aspek kerjasama dan kemitraan dengan lintas sektor
dan lembaga (pemerintah, dunia usaha dan kelompok masyarakat sipil). Sedangkan strategi
internal lebih difokuskan pada pembenahan internal organisasi dan kelembagaan serta ASN
BPOM, dimana kunci keberhasilan sebuah lembaga sangat ditentukan dari kualitas SDM-nya.
Mengingat begitu kompleksnya tantangan dari lingkungan strategis baik internal maupun
eskternal, maka dengan sendirinya menuntut penyesuaian-penyesuaian dalam mekanisme
internal organisasi dan kelembagaan BPOM.
Adapun penjabaran pembangunan pengawasan Obat dan Makanan agar lebih tajam dan terarah,
berikut disampaikan perencanaan tahunan dengan penekanan sesuai isu nasional terkini
(penjabaran tahunan Nawacita) dan atau mengacu alternatif penekanan sebagai berikut:
1. Tahun 2016: Mendorong penguatan kelembagaan dan Pengembangan program strategis
dalam pengawasan Obat dan Makanan serta memaksimalkan fungsi pelayanan publik.
- 24 -
(Dalam hal ini Penguatan Laboratorium, Sistem IT dan Dukungan Sarana Prasarana menjadi
prasyarat yang harus dipenuhi).
2. Tahun 2017: Penguatan regulasi di bidang pengawasan Obat dan Makanan termasuk
Pelaksanaan Regulatory Impact Analysis, Penguatan sistem data pre dan post terintegrasi
antara pusat dan daerah (sistem pemeriksaan penyidikan dan pengujian), dan Penguatan
Kapasitas dan Kapabilitas Laboratorium Pengawasan Obat dan Makanan untuk
memaksimalkan Fungsi Penegakan Hukum.
3. Tahun 2018: Penguatan dalam penegakan hukum di bidang pengawasan Obat dan Makanan
didukung dengan analisis dampak efektifitas pengawasan secara ekonomi dan sosial untuk
mendukung pencapaian pembangunan nasional (dalam hal ini economic burden akibat
pengawasan Obat dan Makanan yang tidak efektif akan menjadi beban pemerintah secara
nasional).
4. Tahun 2019: Percepatan pengawasan Obat dan Makanan serta evaluasi program (Renstra
2015-2019) dalam rangka peningkatan kinerja pengawasan Obat dan Makanan periode
berikutnya.
Arah kebijakan dan strategi tersebut selaras dan seiring dengan arah kebijakan dan strategi
pembangunan nasional 2015-2019 sebagaimana tercantum dalam visi dan misi pembangunan
nasional periode 2015-2019 yang diturunkan dalam 9 (Sembilan) agenda perubahan yang
disebut dengan Nawacita. Dalam pelaksanaannya, BPOM melalui arah kebijakan pembangunan
nasional “Meningkatkan Pengawasan Obat dan Makanan” mendukung agenda nawacita ke 5,
yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia dengan menunjang Program Indonesia
Sehat melalui pengawasan Obat dan Makanan dengan indikator pembangunan:
NO INDIKATOR STATUS AWAL TARGET 2019
1 Persentase obat yang memenuhi syarat 92 94
2 Persentase makanan yang memenuhi syarat 87,6 90,1
(Sumber: RPJMN 2015-2019)
- 25 -
BAB III
SUMBER DAYA MANUSIA,
DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI
Dalam manajemen SDM, mengelola SDM dapat diartikan dengan memahami manusia sebagai
Sumber Daya yang memiliki keunikan, baik potensi, kepribadiaan maupun kompetensi yang
berpengaruh terhadap sikap kerja dan kinerja, mengelolanya agar dapat berkontribusi
maksimal terhadap kinerja organisasi. Manusia adalah Sumber Daya yang unik, dimana dalam
bersikap dan berperilaku dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain faktor bawaan (genetik dan
mitologi), konsep diri, pengalaman masa lalu, harapan terhadap masa depan, lingkungan sosial,
faktor kesadaran, faktor ketidaksadaran, dan masih banyak faktor lainnya yang berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku manusia. Bagi organisasi, manusia adalah Sumber Daya utama yang
berpengaruh terhadap maju mundur dan baik buruknya organisasi sehingga harus mendapat
perhatian serius dan dikelola dengan baik.
Menurut Carl Gustav Jung, seorang ahli psikologi analitik, manusia memiliki 4 (empat) fungsi
dasar yang membentuk kepribadian, yaitu fungsi penginderaan (sensing), fungsi pikiran
(thinking), fungsi perasaan (feeling) dan fungsi intuisi (intuiting). Fungsi dasar tersebut
merupakan faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku manusia, disamping faktor lainnya
yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk dapat memahami manusia sebagai salah satu Sumber
Daya bagi organisasi, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memahapi tipe-tipe
manusia berdasarkan 4 jenis fungsi dasar kepribadian tersebut.
Dalam teorinya, Jung menyampaikan bahwa keempat fungsi dasar kepribadian tersebut
berkerja bersama-sama dengan kecenderungan terdapat 2 fungsi yang menonjol dan
berpasangan, serta berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Dalam berpasangan, terdapat
fungsi yang superior (dominan) dan terdapat fungsi yang inferior. Fungsi yang superior
menentukan tipe kepribadian seseorang, sehingga terdapat 4 (empat) tipe kepribadian, yaitu
tipe pengindera, tipe pemikir, tipe perasa, dan tipe intuitif. Fungsi superior berpengaruh dan
menguasai terhadap alam sadar (kesadaran) manusia, dan fungsi inferior terdapat dalam dalam
alam tak sadar (ketidaksadaran), tetapi masih dapat mempengaruhi kesadaran manusia. Fungsi
inferior juga dapat menjadi fungsi pelengkap dari kepribadian seseorang.
Selain fungsi dasar kepribadian, Jung juga menyampaikan terdapat sikap dan orientasi
kepribadian yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu sikap ekstraversi dan sikap introversi. Sikap
kepribadian ekstraversi memiliki orientasi kearah dunia luar atau dunia objektif. Sikap
kepribadian introversi memiliki orientasi kearah dunia dalam atau dunia subjektif. Orang
dengan kepribadian ekstraversi biasanya lebih termotivasi oleh hadiah dan orang dengan
- 26 -
kepribadian introversi biasanya termotivasi oleh hukuman. Orang ekstraversi lebih dominan
penggunaan otak sebelah luar, sedangkan orang introversi lebih dominan penggunaan otak
sebelah dalam. Dengan fungsi dasar dan sikap kepribadian tersebut, maka dapat disusun 8
(delapan) tipologi kepribadian manusia untuk lebih memudahkan dalam memahami manusia
sebagai salah satu Sumber Daya dalam organisasi. Dari 8 (delapan) tipologi kepribadian
tersebut dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) sifat utama manusia, yaitu tipe orang yang
bersifat rasional (dominan fungsi thinking dan sensing), dan tipe orang yang bersifat irrasional
(dominan fungsi feeling dan intuiting). Adapun 8 (delapan) tipologi kepribadian manusia dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Manusia dengan tipe kepribadian sensing introversi dengan karakteristik umum kepribadian
antara lain memiliki kemampuan mengingat yang lebih baik dibanding dengan kepribadian
lainnya. Memiliki stamina kuat, bekerja efisien, disiplin, memperlihatkan detail, hemat, jika
diminta membantu lebih memilih mengeluarkan tenaga dibanding dengan uang.
2. Manusia dengan tipe kepribadian sensing ekstraversi dengan karakteristik umum
kepribadian antara lain cenderung lebih dermawan dan lebih boros, lebih santai dan suka
bersenang-senang. Suka show off atau demonstratif. Memiliki kemampuan mengingat yang
baik dan mampu memvisualisasikannya secara rinci.
3. Manusia dengan tipe kepribadian thinking introversi dengan karakteristik umum
kepribadian antara lain mandiri, fokus pada pekerjaan, memberlakukan standar yang tinggi
pada hasil pekerjaan dan bukan tipe seorang medioker. Jika menekuni sesuatu akan fokus
dan tidak setengah-setengah sampai mencapai taraf ahli/pakar. Suka membaca dan pada
umumnya memiliki kemampuan analisis yang baik.
4. Manusia dengan tipe kepribadian thinking ekstraversi dengan karakteristik umum
kepribadian antara lain cenderung segera bereaksi terhadap ketidakadilan, obyektif dalam
menilai, menerima argumentasi orang lain dengan logika, sistematis dalam bekerja dan
menyukai formalitas.
5. Manusia dengan tipe kepribadian feeling introversi dengan karakteristik umum kepribadian
antara lain visioner, nge-bossy, penolong, mudah bergaul, pintar berkata-kata, idealis dan
cepat sakit hati.
6. Manusia dengan tipe kepribadian feeling ekstraversi dengan karakteristik umum
kepribadian antara lain berjiwa sosial, memiliki kemampuan menggembleng orang,
subyektif, berani, ambil resiko, toleran, dan berempati.
7. Manusia dengan tipe kepribadian intuiting introversi dengan karakteristik umum
kepribadian antara lain lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas sehingga
- 27 -
memberikan perhatian lebih terhadap kesempurnaan, puas terhadap hal-hal yang baru atau
inovatif, keras kepala untuk memperjuangkan kemampuannya, dan memiliki pandangan
optimis.
8. Manusia dengan tipe kepribadian intuiting ekstraversi dengan karakteristik umum
kepribadian antara lain berani mengambil resiko, banyak ide, romantis, dan memberi
inspirasi bagi lingkungannya.
Selain 8 tipe kepribadian tersebut, dalam psikologi juga dikenal istilah instink atau naluri
sebagai salah satu fungsi bawaan manusia. Dalam perkembangan manusia, instink berpengaruh
terhadap karakteristik dan kepribadian seseorang. Instink atau naluri adalah bentuk perilaku
yang tidak dipelajari dan bersifat bawaan. Tujuan dari instink yang utama adalah untuk
bertahan hidup. Setiap manusia memiliki instink, tetapi dalam perkembangannya tidak semua
manusia instink-nya berkembang dominan mewarnai kepribadian seseorang. Manusia dengan
fungsi dasar yang dominan adalah instink memiliki karakteristik umum kepribadian antara lain
bertindak secara spontan dengan merujuk terhadap akumulasi pengalaman hidup, memiliki
pandangan yang holistik/menyeluruh, pragmatis tetapi memiliki insight, cenderung tidak
menyukai konflik, tulus berkorban untuk orang lain, jalan pikirannya simple, sederhana, dan
akomodatif.
Dengan perkembangan ilmu psikologi yang mempelajari tentang kognitif dan fungsi otak, antara
lain yang dikembangkan oleh Ned Herrmann melalui teori The Whole Brain Concept dan yang
dikembangkan oleh Paul Mclean Teori melalui Triune Brain, terdapat hubungan antara kuadran
pembagian otak manusia dengan fungsi kepribadian seseorang. Pola hubungan tersebut dapat
dilihat dari kebiasaan manusia dalam menggunakan bagian otak tertentu dalam proses berfikir
dengan tipologi kepribadian, sebagaimana dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Seseorang yang sering menggunakan otak besar (neokorteks) bagian kiri biasanya memiliki
tipe kepribadian dengan dominan fungsi thinking.
2. Seseorang yang sering menggunakan otak besar (neokorteks) bagian kanan biasanya
memiliki tipe kepribadian dengan dominan fungsi intuiting.
3. Seseorang yang sering menggunakan otak kecil (limbik) bagian kiri biasanya memiliki tipe
kepribadian dengan dominan fungsi sensing.
4. Seseorang yang sering menggunakan otak kecil (limbik) bagian kanan biasanya memiliki
tipe kepribadian dengan dominan fungsi feeling.
5. Seseorang yang tidak menggunakan semua bagian otak secara dominan dalam proses
berfikir, biasanya sering menggunakan otak tengah atau otak reptile dengan tipe
- 28 -
kepribadian dengan dominan fungsi instink. Orang dengan tipe kepribadian instink dapat
melibatkan semua otak dalam proses berfikir tetapi tidak dominan sehingga mampu
memahami orang lain dengan berbagai tipe kepribadian dan bertindak sebagai penengah
apabila terjadi konflik.
Dengan memahami berbagai tipologi kepribadian manusia, akan membantu dalam pengelolaan
SDM sebagai salah satu Sumber Daya yang paling berpengaruh dalam organisasi. Manusia
diciptakan dengan potensi yang luar biasa. Ketika potensi tersebut berkembang dalam
lingkungan dan tempaan yang tepat dan terencana dengan baik, maka hasilnya adalah manusia
yang ekstra luar biasa. Dengan mengetahui tipologi kepribadian dari masing-masing pegawai,
maka dapat dilakukan identifikasi cara pendekatan yang tepat untuk masing-masing pegawai
apabila terdapat permasalahan terkait dengan kepegawaian. Selain hal tersebut, dengan
mengetahui tipologi kepribadian akan mendukung pelaksanaan manajemen kepegawaian,
seperti kegiatan perencanaan pegawai, penyusunan analisis jabatan, seleksi pegawai,
pengembangan karier dan kompetensi pegawai, mengelola hubungan industrial, pengelolaan
imbal jasa atau kompensasi kepada pegawai, dll.
Salah satu contoh proses manajemen kepegawaian yang memperhatikan tipologi kepribadian
adalah dalam menyusun analisis jabatan. Dalam dokumen analisis jabatan, selain uraian tugas
dan pekerjaan, harus mencantumkan indikator kinerja yang menjadi ukuran keberhasilan dari
suatu pekerjaan. Selain itu juga harus menyatakan kebutuhan kompetensi serta kualifikasi
(syarat administrasi, karakteristik, tipe kepribadian, dll) pegawai yang dibutuhkan untuk
melaksanakan pekerjaan dalam jabatan. Dari analisis jabatan tersebut, maka seleksi dan
penempatan pegawai dalam suatu jabatan tertentu dapat disesuaikan dengan potensi,
kompetensi, dan kualifikasi pegawai sesuai dengan tipologi kepribadian dan karakteristik
masing-masing pegawai. Tujuannya adalah agar pegawai merasa nyaman dalam melaksanakan
pekerjaannya sehingga secara sukarela memaksimalkan potensi dan kompetensinya menjadi
sebuah kinerja dan prestasi terbaiknya.
Praktik manajemen SDM lainnya yang dapat mempertimbangkan teori psikologi tentang
kepribadian adalah terkait dengan pengembangan pegawai. Pengembangan pegawai identik
dengan pengembangan kompetensi pegawai, sehingga dalam pelaksanaannya harus
mempertimbangkan jenis kompetensi yang akan dikembangkan. Dalam melakukan
pengembangan pegawai, selain kompetensi yang dikembangkan, hal lain yang juga perlu
mendapat perhatian adalah perkembangan kepribadian seseorang dan dinamikanya.
Kepribadian adalah suatu organisasi dinamis dalam diri seseorang yang mempengaruhi
keseluruhan sikap, ekspresi, perasaan, temperamen, ciri khas (keunikan) dan perilaku
seseorang yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati secara langsung. Kepribadian
- 29 -
berperan terhadap cara seseorang melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
Kepribadian adalah sesuatu yang bersifat dinamis, yang dapat berkembang seiring dengan
perkembangan manusia, dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, dan tidak selalu berkorelasi
dengan usia atau umur seseorang.
Menurut Carl Gustav Jung, kepribadian manusia berkembang mengarah kepada individuasi diri
(self individuation). Individuasi diri adalah proses penemuan diri (Self) yang terdalam melalui
analisis diri, dimana Self berada dalam lapisan ketidaksadaran manusia. Seseorang yang telah
menemukan dirinya melalui individuasi diri, maka orang tersebut akan mampu
menyeimbangkan antara kesadaran dengan ketidaksadaran, mengontrolnya secara sadar
sehingga memiliki kepribadian yang sehat. Tidak semua orang mampu melakukan individuasi
diri dengan menemukan dirinya (Self) karena letak Self yang berada dalam ketidaksadaran
manusia yang terdalam (ketidaksadaran kolektif). Untuk dapat menemukan diri yang terdalam
(Self), seseorang harus melewati beberapa tahapan perkembangan kepribadian, antara lain:
1. Tahapan menyadari dan menerima keberadaan persona/topeng.
Disadari atau tidak, setiap orang memiliki dan menggunakan persona dalam berhubungan
dengan lingkungan sosialnya agar dapat diterima oleh lingkungan. Misalnya, seorang hakim
yang memimpin sidang pengadilan bersikap dengan salah satu topeng, setelah itu bertemu
dengan keluarga menggunakan topeng lainnya sebagai seorang ayah dan suami, dan pada
saat ketemu dengan temannya menggunakan topeng yang lain.
Seseorang dapat melewati tahapan perkembangan ini apabila telah menyadari keberadaan
persona tersebut, dan mengendalikannya sehingga tidak membuat seseorang tidak
mengenali dirinya yang sebenarnya dan tidak membuat seseorang tersebut kehilangan
kontak dengan batinnya.
2. Tahapan menyadari dan menerima keberadaan shadow/bayangan.
Shadow diartikan sebagai sisi gelap dari kepribadian atau impuls-impuls kebinatangan yang
mendorong berperilaku seperti mengikuti insting binantang, yang biasanya disembunyikan
atau dihambat perkembangannya dan ditolak kehadirannya. Setiap orang memiliki shadow.
Seseorang dapat melewati tahapan perkembangan ini apabila seseorang tersebut telah
menyadari keberadaan shadow-nya, tidak menolaknya, tetapi menerimanya sebagai bagian
dari kepribadiannya dengan tetap mampu mengontrol kehadirannya, atau tidak
membiarkan shadow menguasai kesadarannya. Selain sebagai sumber insting binantang,
shadow merupakan sumber munculnya spontanitas, kreativitas, emosi yang dalam, dll.
- 30 -
3. Tahapan menyadari dan menerima keberadaan Anima dan Animus.
Anima diartikan sebagai sisi feminin dalam diri seorang laki-laki, dan Animus diartikan
sebagai sisi maskulin dalam diri perempuan. Setiap orang memiliki Anima atau Animus.
Seseorang dapat melewati tahapan perkembangan ini apabila seseorang tersebut telah
menyadari keberadaan Anima atau Animus dalam dirinya, menerimanya sebagai bagian
dari kepribadian dengan tetap mampu mengontrolnya, atau tidak membiarkan Anima atau
Animus menguasai kesadarannya sampai termanifestasi dalam sikap dan perilaku sehari-
hari.
4. Tahapan menyadari keberadaan kepribadian mana dalam dinamika kepribadian manusia.
Kepribadian mana merupakan simbol dari sebuah kekuatan yang suci, kebijaksanaan, atau
sesuatu yang agung sebagai sebuah manifestasi nilai-nilai kebaikan dalam diri manusia.
Letak kepribadian mana adalah berada dalam ketidaksadaran manusia. Setiap orang
memiliki kepribadian mana, tetapi tidak semua orang mampu menyadarinya
keberadaannya dan mengangkatnya menjadi sesuatu yang sadar dan ditunjukkan dalam
sikap dan perilaku sehari-hari dalam bentuk kebaikan, kasih saying, kebijaksanaan, dll.
Seseorang yang mampu menyadari keberadaan kepribadian mana dalam dirinya tetapi
tidak dapat mengontrolnya dalam kesadaran, berpotensi menyebabkan gangguan
kepribadian megalomania, contohnya adalah seseorang yang merasa dirinya nabi atau
utusan Tuhan di dunia, atau seseorang yang merasa paling bijaksana.
5. Tahapan yang terakhir dalam proses individuasi diri adalah menyadari keberadaan diri
yang terdalam (Self), menemuinya dan mengangkatnya dari alam ketidaksadaran menuju
alam sadar sehingga terjadi keseimbangan antara kesadaran dan ketidaksadaran manusia.
Seseorang yang mampu melakukannya dikatakan memiliki kepribadian yang sehat. Orang-
orang seringkali menyebut seseorang yang memiliki kepribadian yang sehat dengan istilah
‘dewasa’.
Sejalan dengan Jung, seorang tokoh Psikologi Humanisme, Abraham Maslow menyampaikan
bahwa kepribadian berkembang menuju aktualisasi diri (self actualization). Kepribadian yang
sehat adalah yang telah mencapai tahap aktualisasi diri, dimana untuk sampai pada tahapan ini,
seseorang harus melalui tahapan pemenuhan kebutuhan sebagaimana dikemukakan oleh
Maslow. Manusia adalah makhluk berkebutuhan yang menuntut untuk dipenuhi dan dipuaskan,
meliputi pemenuhan kebutuhan fisiologis dan biologis sebagai kebutuhan dasar, kebutuhan
terhadap rasa aman, kebutuhan terhadap pengakuan dan kasih sayang, kebutuhan untuk
dihargai dan yang terakhir kebutuhan untuk melakukan aktualisasi diri.
Ciri umum seseorang yang mampu mencapai tahap aktualisasi diri dalam perkembangan
kepribadian mirip dengan ciri seseorang yang sampai pada tahap individuasi diri pada teori
- 31 -
yang dikemukakan Jung. Seseorang yang mampu mengaktualisasikan dirinya dapat dikatakan
memiliki kepribadian yang sehat. Beberapa cirinya dapat terlihat dari kemampuan orang
tersebut dalam melihat hidup dengan lebih jernih, artinya dapat melihat hidup dengan apa
adanya, menerimanya dan tidak hanya berorientasi terhadap pemenuhan keinginan pribadi,
tetapi mampu melihat permasalahan secara menyeluruh dengan mengesampingkan nafsu atau
keinginan pribadi. Tidak bersikap emosional, tetapi bersikap lebih obyektif terhadap sesuatu
yang dilihat dan dirasakan. Kadar konflik dalam diri rendah, atau sama sekali tidak memiliki
konflik dalam diri sehingga dapat menerima diri apa adanya dan tidak melawan terhadap diri
sendiri.
Penerapan dalam dunia organisasi dan manajemen SDM, dengan mengetahui tahapan
perkembangan kepribadian manusia akan lebih memudahkan dalam melakukan suksesi
kepemimpinan, atau promosi jabatan. Semakin tinggi level jabatan dalam organisasi,
permasalahan, beban pekerjaan, dan tanggung jawab juga akan meningkat semakin tinggi.
Seseorang yang duduk dalan jabatan tersebut, selain dituntut memiliki kompetensi yang tinggi
sesuai dengan syarat kompetensinya, juga dituntut memiliki kepribadian yang matang dan
sehat.
Kepribadian manusia bukanlah sesuatu hal yang statis, tetapi bersifat dinamis dan berkembang
seiring dengan perkembangan usia seseorang. Agar pegawai dapat berkembang dan
berkepribadian yang sehat dan matang, tantangan bagi organisasi untuk menciptakan
lingkungan kerja yang nyaman dan mendukung setiap orang dalam organisasi berkembang
sesuai dengan potensi, kompetensi dan tipologi kepribadiannya. Salah satu caranya adalah
melakukan desain pekerjaan dan memberikan pekerjaan kepada pegawai sesuai dengan
potensi, kompetensi dan tipologi kepribadiannya. Selain itu juga dapat melalui pembinaan dan
konseling kepada masing-masing pegawai dalam rangka pengembangan kompetensi dan
kepribadian pegawai dengan memperhatikan keseimbangan unsure intelektual, emosional dan
spiritual. Pembinaan dan konseling kepada pegawai dapat dilakukan oleh atasan langsung
pegawai, pegawai senior, atau seseorang yang memiliki keahlian dalam hal pengembangan
kepribadian, seperti konsultan, motivator, ustad, pendeta, dll.
- 32 -
BAB IV
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI MANAJEMEN ASN
PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN
Kebijakan merupakan proses pembuatan keputusan untuk menentukan tujuan dan menetapkan
cara untuk mencapai tujuan tersebut. Kebijakan dapat dilihat sebagai suatu konsep filosofis,
suatu produk, sebuah proses, maupun sebagai sebuah kerangka kerja. Sedangkan cara untuk
mencapai tujuan disebut dengan strategi. Terdapat banyak cara untuk mencapai sebuah tujuan,
tetapi intinya adalah menemukan faktor-faktor penting dalam mencapai tujuan dalam berbagai
situasi dan kondisi, dan merancang mekanisme untuk mengkoordinasi dan memusatkan
tindakan untuk menghadapi faktor-faktor tersebut agar tujuan dapat tercapai. Titik poin
strategi adalah menentukan cara dan mengeksekusi cara tersebut agar tujuan yang telah
ditetapkan dapat tercapai.
Kebijakan dan strategi yang akan dibahas disini adalah kebijakan dan strategi dalam
manajemen ASN dalam rangka mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi sesuai dengan arah
kebijakan dan rencana strategi organisasi BPOM tahun 2015-2019. Strategi Manajemen SDM
dapat didefinisikan sebagai cara atau pilihan tindakan untuk mengoptimalkan fungsi SDM
sebagai penentu keberhasilan untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasi. Fungsi
strategis manajemen SDM dalam berkontribusi terhadap pencapaian tujuan organisasi adalah
pada pemberdayaan human capital dalam rangka mendukung penguatan kapasitas dan
kapabilitas kelembagaan sehingga tujuan organisasi untuk meningkatkan jaminan produk obat
dan makanan aman, berkhasiat/bermanfaat, dan bermutu dalam rangka meningkatkan
kesehatan masyarakat, serta meningkatkan daya saing obat dan makanan di pasar lokal dan
global dengan menjamin mutu dan mendukung inovasi dapat tercapai.
Kebijakan dan strategi manajemen ASN pengawasan obat dan makanan harus sesuai dan
selaras dengan arah kebijakan dan strategi pengawasan obat dan makanan dalam mewujudkan
visi, misi dan tujuan organisasi. Kebijakan dan strategi manajemen ASN harus mampu
menghasilkan ASN BPOM yang kompeten, handal, professional, adaptif, kredibel dan
berwawasan global, serta berkepribadian sehat untuk mendukung penguatan kapasitas dan
kapabilitas organisasi BPOM. Penguatan kapasitas dan kapabilitas organisasi diperlukan untuk
mewujudkan tujuan organisasi BPOM. Selain itu, kebijakan dan strategi manajemen ASN
pengawasan obat dan makanan harus mendukung pelaksanaan Reformasi Birokrasi di BPOM,
khususnya area perubahan Penataan ASN untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance) di BPOM.
- 33 -
Tujuan Manajemen ASN BPOM
Mengacu kepada roadmap Reformasi Birokrasi Nasional 2015-2019 dan Rencana Strategis
BPOM 2015-2019, maka diusulkan tujuan utama manajemen ASN BPOM adalah meningkatkan
profesionalisme ASN BPOM untuk mendukung pencapain tujuan dan sasaran strategis
meningkatnya kualitas kapasitas kelembagaan BPOM untuk mendukung pelaksanaan program
pengawasan obat dan makanan. Adapun tujuan spesifik dari manajemen ASN BPOM diusulkan
sebagai berikut:
1. Menghasilkan ASN BPOM yang kompeten, professional, kredibel, berwawasan global,
berkepribadian sehat dan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME. ASN yang tidak hanya
cerdas secara intelektual tetapi juga secara emosional dan spiritual, arif dan bijaksana
dalam melihat berbagai persoalan dalam organisasi dan kehidupan, serta mampu berkinerja
baik dalam mendukung pelaksanaan tugas pengawasan obat dan makanan; dan
2. Menjamin ketersediaan ASN yang memenuhi syarat kualifikasi, kompetensi dan kinerja,
baik secara kuantitas maupun kualitas sesuai dengan kebutuhan BPOM untuk saat ini dan
masa yang akan datang pada semua jenis dan jenjang jabatan di BPOM.
Ukuran keberhasilan atau indikator kinerja dari tujuan tersebut adalah tersedianya ASN BPOM
yang memenuhi persyaratan kualifikasi, kompetensi dan kinerja, baik secara kuantitas maupun
kualitas sesuai dengan kebutuhan BPOM untuk saat ini dan masa yang akan datang pada semua
jenis dan jenjang jabatan.
Arah Kebijakan Manajemen ASN BPOM
Untuk menghasilkan ASN yang berkualitas sebagaimana dimaksud dalam tujuan Manajemen
ASN BPOM, kebijakan di bidang manajemen ASN juga harus tepat, sesuai dengan arah kebijakan
pengawasan obat dan makanan, serta selaras dengan kebijakan manajemen secara nasional
sebagaimana tercantum dalam UU . Terkait dengan hal tersebut, maka diusulkan arah kebijakan
di bidang Manajemen ASN BPOM sebagai berikut:
1. Peningkatan secara cepat (leverage) kualitas ASN untuk mewujudkan ASN BPOM yang
kompeten, professional, kredibel, berwawasan global, berkepribadian sehat dan mampu
berkinerja baik dalam mendukung pelaksanaan tugas pengawasan obat dan makanan;
Tantangan dalam melakukan pengawasan obat dan makanan sebagaimana telah diuraikan
dalam BAB I sudah didepan mata dan tidak dapat dihindari lagi. Hampir dapat dipastikan
bahwa dengan kondisi ASN yang dimiliki BPOM saat ini dengan segala kelemahan dan
problematikanya tidak akan mampu secara optimal melakukan pengawasan obat dan
- 34 -
makanan di Indonesia jika tidak dilakukan pembenahan dan peningkatan kualitas ASN
BPOM. ASN merupakan faktor utama pendukung keberhasilan organisasi dalam
menghadapi berbagai tantangan tersebut. Hal tersebut juga sejalan dengan perkembangan
globalisasi yang saat ini telah memasuki tahap 3.0 dimana fokus persaingan utama adalah
pada kualitas SDM.
Untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut, diperlukan kebijakan yang tepat pada
seluruh rangkaian bisnis proses utama pengawasan obat dan makanan, mulai dari
standardisasi kebijakan teknis pengawasan obat dan makanan, pengawasan pre market,
pengawasan post market sampai pada pembinaan dan bimbingan kepada stakeholders
BPOM. Kebijakan yang tepat dalam rangkaian bisnis proses tersebut hanya dapat diambil
apabila BPOM didukung oleh ASN yang berkualitas dan mampu berkinerja baik. Selain itu,
tuntutan untuk memiliki kompetensi dengan wawasan global menjadi sebuah keharusan
karena dampak dari globalisasi, produk obat dan makanan yang diawasi oleh BPOM tidak
lagi hanya yang diproduksi di dalam negeri, tetapi juga produk yang diproduksi di luar
negeri dan diedarkan di Indonesia, atau sebaliknya, produk yang diproduksi di dalam negeri
dengan sasaran pasar untuk diedarkan di luar negeri. Jika kebijakan yang diambil di bidang
obat dan makanan tidak dikaji secara mendalam dan ditetapkan dengan tepat, potensi
dampaknya adalah produk Indonesia tidak dapat bersaing di pasar global, atau justru
produk dari luar negeri yang akan membanjiri pasar dalam negeri dan mematikan dunia
usaha dalam negeri.
Dalam melaksanakan pengawasan obat dan makanan, BPOM tidak dapat melakukannya
sendiri, tetapi dibutuhkan kerjasama dan kemitraan lintas sektor dengan berbagai
pemangku kepentingan dan masyarakat. Selain itu juga diperlukan penguatan dalam
konsilidasi internal kelembagaan BPOM. Untuk melakukan itu semua, tidak cukup hanya
dengan bermodal pengetahuan dan kompetensi, tetapi juga dibutuhkan kedewasaan dan
kematangan kepribadian dari ASN yang dimiliki BPOM mengingat dalam menjalin
kerjasama harus berinteraksi dengan orang lain dan berpotensi untuk mengasilkan
permasalahan baru yang harus diselesaikan.
Untuk menghadapi itu semua, dibutuhkan ASN yang berkualitas, yang mampu mengambil
kebijakan dengan tepat, mampu melakukan pengawasan peredaran obat dan makanan
secara optimal dan mampu melakukan berbagai upaya pembinaan, kerjasama lintas sector
maupun upaya lainnya untuk meningkatkan daya saing bangsa, khususnya di bidang obat
dan makanan.
- 35 -
2. Menjamin ketersediaan ASN yang dibutuhkan organisasi BPOM untuk saat ini maupun masa
yang akan datang sesuai dengan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan kinerja, baik
secara kuantitas maupun kualitas pada semua jenis dan jenjang jabatan di lingkungan
BPOM.
Setelah ASN BPOM memiliki kompetensi dengan wawasan global dan berkepribadian sehat,
mampu bersikap dan bekerja secara professional dan kredibel untuk menghasilkan kinerja
terbaik dalam mendukung pelaksanaan tugas pengawasan obat dan makanan, maka
pelaksanaan manajemen ASN di BPOM harus dapat menjamin ketersediaan ASN yang
dibutuhkan organisasi sesuai dengan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan kinerja, baik
secara kuantitas maupun kualitas pada semua jenis dan jenjang jabatan di lingkungan
BPOM. Kebutuhan organisasi terhadap ketersediaan ASN yang berkualitas mencangkup
kebutuhan saat ini maupun kebutuhan yang akan datang sesuai dengan rencana
pengembangan organisasi BPOM.
Program dan kegiatan dalam manajemen ASN harus memperhatian pemerataan kualitas
dan kuantitas ASN pada semua unit kerja di lingkungan BPOM agar kesenjangan kinerja dan
kompetensi antar unit kerja dapat dikurangi. Organisasi melalui manajemen ASN harus
dapat menjamin, kapanpun organisasi membutuhkan SDM untuk duduk pada semua jenis
dan jenjang jabatan pada masing-masing unit kerja, maka manajemen ASN harus mampu
menyediakan kebutuhan SDM tersebut sesuai dengan syarat kualifikasi, kompetensi dan
kinerja. Hal tersebut memang menjadi sebuah tantangan bagi manajemen maupun unit
pengelola kepegawaian, tetapi tidak ada pilihan lain selain harus dihadapi. Dengan
tantangan nyata didepan mata, dan tuntutan untuk meningkatkan kualitas pengawasan obat
dan makanan, maka jaminan ketersediaan ASN yang berkualitas adalah pilihan satu-satunya
untuk dapat melindungi kesehatan masyarakat dari obat dan makanan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan. Salah satu caranya adalah melalui peningkatan secara cepat
(leverage) kualitas ASN BPOM.
Selain menjamin ketersediaan SDM berkualitas di setiap unit kerja, organisasi juga harus
menjamin ketersediaan calon-calon pemimpin organisasi, mulai dari level jabatan pelaksana
(kelompok jabatan administrasi), jabatan professional dan expert (kelompok jabatan
fungsional) sampai pada level jabatan pimpinan tinggi utama (kelompok jabatan pimpinan
tinggi). Program kaderisasi dan pola pengembangan karier yang jelas untuk masing-masing
pegawai diperlukan untuk menjamin ketersediaan calon-calon suksesor dan pemimpin
masa depan organisasi. Identifikasi pegawai melalui assessmen potensi dan kompetensi,
penilaian kinerja pegawai dan penelusuran track record pegawai perlu dilakukan untuk
menjaring dan memetakan pegawai dalam suatu kelompok ASN sesuai dengan
- 36 -
karakteristiknya. Penjaringan dan pemetaan pegawai diperlukan untuk mengetahui kondisi
ASN saat ini untuk mengetahui portofolio pegawai berdasarkan kompetensi dan kinerja
sehingga pengembangan dan pembinaan pegawai menjadi terarah dan fokus.
Gambar 2. Portofolio pegawai berdasarkan kompetensi dan kinerja
Melalui kegiatan pemetaan pegawai, organisasi dapat mengetahui kelompok pegawai yang
dapat dikembangkan sebagai seorang pemimpin (jabatan struktural) dan kelompok
pegawai yang dapat dikembangkan sebagai seorang professional dan expert (jabatan
fungsional). Selanjutnya organisasi dapat mengidentifikasi kelompok pegawai yang dapat
dimasukkan sebagai kelompok pegawai potensial (talent pool) untuk dapat dipromosikan
dalam jenjang jabatan yang lebih tinggi, dan pegawai yang masih memerlukan banyak
pembinaan dan pengembangan kompetensi untuk dapat bekerja optimal dalam jabatannya.
Hal tersebut untuk memastikan bahwa organisasi tidak kekurangan ASN yang berkualitas
sesuai dengan kebutuhan pada semua jenis dan jenjang jabatan dalam organisasi.
Kebijakan di bidang manajemen ASN BPOM dilaksanakan sesuai dengan mandat transformasi
manajemen sebagaimana telah tertulis dalam UU yang meliputi (i) penyusunan dan penetapan
kebutuhan, (ii) pengadaan pegawai, (iii) pola karier, pangkat, dan jabatan, (iv) pengembangan
karier, penilaian kinerja, dan disiplin, (v) promosi – mutasi, (vi) penghargaan, penggajian dan
tunjangan, (vii) perlindungan jaminan pensiun dan jaminan hari tua, dan (viii) pemberhentian
dari pegawai.
Pengambilan kebijakan di bidang ASN menjadi masalah serius dan harus mendapatkan
perhatian dari setiap pejabat pengambil kebijakan di BPOM jika tidak ingin resiko
permasalahan yang lebih besar dan bersifat jangka panjang menghampiri organisasi BPOM
sebagai dampak dari salah urus, atau salah dalam mengambil kebijakan di bidang manajemen
ASN. Tidak ada suatu kebijakan yang dampaknya lebih besar dan memiliki konsekuensi jangka
panjang selain kebijakan di bidang manajemen SDM. Meskipun bukan merupakan pekerjaan
yang mudah dan tidak ada yang sempurna dalam pengambilan kebijakan di bidang manajemen
SDM, pengambilan kebijakan manajemen SDM harus dilakukan dan sedapat mungkin dilakukan
- 37 -
dengan mendekati sempurna karena sifat dampak dan akibatnya yang bersifat jangka panjang
bagi organisasi. Sekali salah dalam mengambil kebijakan di bidang manajemen SDM, resikonya
tidak hanya penurunan kinerja organisasi, tetapi juga resiko hilangnya respek pegawai terhadap
manajemen BPOM.
Implementasi kebijakan manajemen ASN BPOM dilakukan melalui penerapan praktik-praktik
Human Capital Management, yaitu sebuah praktik pengelolaan kepegawaian dimana SDM
dianggap sebaga salah satu modal utama organisasi (intangible asset) dengan nilai dan jumlah
yang tidak terhingga, yang dapat dikelola dan dikembangkan dalam suatu proses, yang pada
akhirnya menghasilkan value creations bagi organisasi, stakeholders, pegawai, dan masyarakat.
Tanggung jawab implementasi Human Capital Management tidak hanya pada unit pengelola
kepegawaian, tetapi pada semua pihak dan unsur-unsur dalam organisasi, mulai dari pimpinan
tertinggi sampai pada staf terendah dalam organisasi. Melalui penerapan Human Capital
Management, pimpinan organisasi dan para pejabat administrasi maupun pejabat fungsional
tidak hanya dituntut untuk dapat menjalankan business process organisasi, tetapi juga harus
berkomitmen untuk mengembangkan pegawai dan dapat berperan sebagai seorang guru, coach
sekaligus sebagai seorang konselor bagi bawahan. Semua unsur dalam organisasi harus mampu
mengubah segala potensi dan bakat pegawai menjadi kompetensi dan kinerja yang
berkontribusi terhadap kinerja organisasi untuk mendukung pelaksanaan tugas pengawasan
obat dan makanan, serta mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi.
Srategi Manajemen ASN BPOM
Sebagaimana telah dibahas dalam pendahuluan dan latar belakang, input ASN BPOM mayoritas
adalah pegawai-pegawai potensial dengan kompetensi diatas rata-rata. Tetapi, mengelola
orang-orang terbaik tidak selalu mudah, meskipun juga tidak dapat dikatakan selalu sulit.
Diperlukan ‘siasat’ dan strategi yang cerdas untuk mengelola orang-orang terbaik sebagai aset
utama organisasi. Ketidaktepatan dalam memilih dan mengimplementasikan strategi dalam
mengelola orang-orang terbaik dapat menjadikan kontra produktif dan penurunan kinerja,
dengan resiko terburuk orang-orang terbaik tersebut memilih untuk keluar dari organisasi.
Jenjang dan pola karier orang-orang terbaik harus menjadi perhatian dan direncanakan dengan
selaras dan seimbang antara perencanaan karier organisasi dengan rencana pengembangan
karier pegawai.
Dengan pertimbangan dibutuhkan strategi yang cerdas untuk mengelola ASN, maka untuk
mengimplementasikan kebijakan manajemen ASN sebagaimana telah diuraikan dalam arah
kebijakan manajemen ASN BPOM, maka diusulkan strategi manajemen ASN BPOM melalui
- 38 -
penerapan secara konsisten Human Capital Management (HCM) dalam pengelolaan ASN di
BPOM, dikolaborasikan dengan konsep pengelolaan SDM berbasis pada kompetensi
(Competency Based Human Resources Management) dan pengelolaan SDM berbasis pada bakat
(Talent Based Human Resources Management). Dalam HCM, SDM dianggap sebagai salah satu
modal utama organisasi (intangible asset) dengan nilai dan jumlah yang tidak terhingga, yang
dapat dikelola dan dikembangkan dalam suatu proses untuk menghasilkan nilai (value
creations) untuk dapat mengarahkan dan mengakselerasi strategi organisasi untuk
meningkatkan kinerja organisasi. SDM merupakan asset utama organisasi yang menjadi kunci
keberhasilan organisasi. Sebagai sebuah intangible asset, SDM dinilai dan dihargai berdasarkan
potensi/talenta, kepribadian, kompetensi (knowledge, skill dan attitude), kapasitas, komitmen
dan kinerjanya bagi organisasi.
Melalui HCM, diharapkan pengelolaan ASN di BPOM dapat menjadi lebih efektif dan mampu
berkontribusi maksimal terhadap kinerja pegawai untuk mendukung kinerja organisasi. Dalam
sebuah penelitian terkait dengan pengelolaan SDM, efektivitas manajemen SDM berkontribusi
57% terhadap keterikatan (engagement) pegawai dan secara simultan engagement pegawai,
budaya organisasi dan efektivitas manajemen SDM berpengaruh terhadap kinerja pegawai
(Permana, Nina Insania K, 2010). Hasil penelitian tersebut menekankan pentingnya efektivitas
manajemen SDM dalam mempengaruhi kinerja pegawai.
Sebelum HCM diterapkan secara penuh dalam organisasi, maka perlu dilakukan persiapan
sebelum menerapkan HCM. Mengingat investasi yang cukup besar untuk menerapkan HCM,
maka identifikasi kebutuhan organisasi sebelum menerapkan HCM harus tepat. Selain itu harus
dipastikan bahwa strategi dalam HCM harus mampu mendukung pelaksanaan strategi
organisasi dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi. Beberapa hal yang harus
diperhatikan sebelum menerapkan HCM sebagai strategi dalam manajemen ASN adalah:
1. Dukungan dan komitmen dari pimpinan puncak dan seluruh unsur dalam organisasi untuk
menerapkan HCM sebagai strategi manajemen ASN.
Dalam penerapan HCM, ASN adalah aset utama dan faktor kunci keberhasilan organisasi.
Paradigma bahwa ASN sebagai aset terpenting tersebut harus diwujudkan dalam berbagai
kebijakan dan program strategis organisasi, mulai dari rekrutmen pegawai sampai pegawai
tersebut purna tugas dari organisasi. Selain itu, dalam HCM, pimpinan puncak organisasi
harus turun langsung memastikan bahwa organisasi telah mengelola dan menyiapkan
orang-orang terbaiknya untuk duduk dalam posisi dan jabatan strategis organisasi. Kenapa
harus pimpinan puncak organisasi yang turun tangan langsung dalam HCM, karena setiap
pemimpin akan pensiun dan setiap pemimpin wajib memastikan bahwa organisasi akan
- 39 -
dipegang dan diteruskan oleh orang-orang terbaik. Hanya orang-orang terbaiklah yang
mampu membawa kesuksesan dan keberhasilan organisasi di masa yang akan datang.
Orang-orang terbaik tidak akan muncul dalam 1 malam, tetapi diperoleh melalui perubahan
paradigmaa organisasi dalam memandang orang-orang dalam organisasi, diikuti usaha
terus menerus untuk memikat, mengembangkan, memotivasi, dan mempertahankan orang-
orang terbaik yang dimiliki organisasi. Tidak ada kebijakan yang lebih strategis untuk masa
yang akan datang bagi organisasi selain kebijakan dibidang pengelolaan aset SDM. Beberapa
ahli manajemen SDM, antara lain Jim Collins dan Robert M. Tomasko menyatakan bahwa
perusahan-perusahaan besar dan hebat tidak memulai langkah besar bisnisnya dari
memikirkan strategi, tetapi menyiapkan orang. Jadi yang pertama disiapkan adalah siapa,
bukan apa.
Dalam konsep HCM dan terkait dengan komitmen pimpinan puncak dalam manajemen ASN,
salah satu petuah dan konsep tokoh pendidikan sekaligus pahlawan nasional Ki Hajar
Dewantoro yaitu “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”
sampai saat ini masih relevan untuk diterapkan dalam dunia pendidikan dan manajemen
SDM. Petuah dan konsep tersebut akan terasa penerapannya pada proses kaderisasi
kepemimpinan dalam organisasi. Pemimpin puncak organisasi seharusnya terjun langsung
sebagai seorang pelatih sekaligus sebagai mentor bagi pegawai-pegawai terbaik yang
dikader sebagai calon-calon pemimpin organisasi. Tanggung jawab utama seorang
pemimpin adalah menetapkan arah dan tujuan organisasi mau dibawa kemana melalui
berbagai kebijakan strategis organisasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, tidak mungkin
seorang pemimpin mampu mewujudkannya sendiri, maka diperlukan transfer of knowledge
kepada bawahan, juga kepada pegawai yang telah disiapkan sebagai calon-calon pemimpin
organisasi. Proses transfer of knowledge tersebut dapat dilakukan dalam melalui coaching
dan mentoring, sekaligus sebagai kaderisasi antara pimpinan puncak organisasi kepada
orang-orang terbaik dalam organisasi yang telah disiapkan sebagai seorang pemimpin
organisasi di masa yang akan datang.
Seorang pemimpin harus mampu memberikan teladan secara langsung dari depan,
memberi contoh yang baik tentang aspek teknikal, aspek sikap dan perilaku professional,
serta etika kerja yang baik kepada bawahan. Konsep keteladanan tersebut sesuai dengan
petuah “Ing Ngarsa Sung Tulodho”. Petuah kedua adalah “Ing Madya Mangun Karsa”, yaitu
pemimpin harus mampu mengawasi, memotivasi, mengembangkan minat dan bakat
bawahan, serta memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengerjakan secara
langsung apa yang telah dicontohkan dan diajarkan oleh pemimpin dengan harapan
bawahan dapat menorehkan prestasi yang membanggakan. Petuah yang terakhir adalah
- 40 -
“Tut Wuri Handayani”, yaitu pemimpin harus memberikan dorongan moral, mengawasi dari
belakang dan memastikan bawahan terus berada dalam ‘track’nya, tidak salah arah dan
tidak melakukan kesalahan yang membahayakan organisasi. Sebagai bawahan juga harus
bertanggung jawab dan memegang teguh kepercayaan yang diberikan oleh pemimpin.
2. Penetapan role dan people model organisasi.
Role dan people mode organisasi adalah profil pegawai ideal yang dibutuhkan dan akan
dibentuk oleh organisasi melalui HCM untuk dapat melaksanakan pekerjaan sesuai tugas
jabatan dalam job description dan strategi organisasi. Idealnya, seorang pemimpin
organisasi harus dapat berperan sebagai role dan people model bagi pegawai dalam
organisasi, tetapi kenyataannya tidak semua pemimpin organisasi dapat menjadi role dan
people model bagi organisasi. Untuk menetapkan role dan people model organisasi,
setidaknya terdapat 4 (empat) hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Bakat/Talenta Pegawai
Manusia sebagai Sumber Daya utama organisasi adalah sesuatu hal yang unik. Dalam
bersikap dan berperilaku, manusia dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain faktor
bawaan (genetik, potensi dan mitologi), konsep diri, pengalaman masa lalu, harapan
terhadap masa depan, lingkungan sosial, faktor kesadaran, faktor ketidaksadaran, dan
masih banyak hal lainnya yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Dalam
pelaksanaan pekerjaan, salah satu hal yang mempengaruhi sikap dan perilaku kerja
manusia untuk menghasilkan kinerja yang positif adalah bakat/talenta.
Manusia telah diciptakan Tuhan dengan dibekali kecerdasan dan bakat bawaan sebagai
potensi untuk dapat bertahan dalam kehidupan di dunia. Bakat menjadi kelebihan
alamiah seseorang yang apabila terus diasah dan dikembangkan dalam lingkungan yang
tepat dapat terus berkembang dan menjadi penentu kesuksesan seseorang. Dalam
sebuah organisasi, setiap pegawai dalam organisasi memiliki bakat atau talenta sendiri-
sendiri. Tantangan bagi organisasi untuk menemukenali bakat atau talenta dari masing-
masing pegawai sehingga setiap pegawai dapat diperlakukan dan dioptimalkan
kinerjanya sesuai dengan bakat dan talentanya. Seseorang yang bekerja sesuai dengan
bakatnya, berpotensi untuk lebih mampu memberikan kinerja terbaik bagi organisasi
dibanding dengan yang bekerja tidak sesuai dengan bakatnya. Setidaknya terdapat 4
(empat) alasan mengapa organisasi harus menemukenali bakat setiap anggotanya,
mengelolanya, dan mengoptimalkannya dalam kinerja organisasi, yaitu:
- 41 -
1) Pegawai yang beraktivitas dan bekerja sesuai dengan bakatnya memiliki
kemampuan belajar yang lebih baik dibanding dengan pegawai yang bekerja tidak
sesuai dengan bakat dan talentanya,
2) Pegawai yang bekerja sesuai dengan bakatnya, mempunyai potensi lebih besar
untuk mencapai prestasi terbaik dan mampu memberikan kontribusi yang besar
bagi peningkatan kinerja organisasi,
3) Pegawai yang bekerja sesuai dengan bakatnya cenderung memiliki daya tahan
(endurance) yang lebih tinggi dalam pekerjaannya, dan
4) Pegawai yang bekerja sesuai dengan bakatnya cenderung memiliki komitmen yang
lebih tinggi dalam pekerjaannya.
Untuk mengetahui apakah seorang pegawai telah bekerja sesuai dengan bakat dan
talentanya atau belum, setidaknya terdapat 9 (sembilan) indikasi yang dapat
diperhatikan, yaitu:
1) Pegawai tersebut menyukai pekerjaannya
2) Pegawai tersebut bersedia untuk memberikan kontribusi lebih banyak dalam
pekerjaannya walaupun tidak ada bayaran atau imbalan tambahan atas
kontribusinya tersebut
3) Pegawai tersebut merasakan kemudahan, atau tidak memiliki hambatan berarti
dalam melakukan pekerjaannya
4) Pegawai tersebut terus bertumbuh dan berkembang kompetensinya dalam
pekerjaannya
5) Pegawai tersebut sering mendapatkan pujian dari orang lain dalam melaksanakan
pekerjaannya atau atas hasil pekerjaan yang dihasilkannya
6) Pegawai tersebut bersemangat ketika membicarakan pekerjaannya
7) Pegawai tersebut sering lupa waktu ketika melaksanakan pekerjaannya
8) Pegawai tersebut merasa bangga dan puas ketika melakukan pekerjaan tersebut
9) Pegawai tersebut dapat dengan mudah mempengaruhi orang lain dalam bidang
pekerjaannya.
Dalam perkembangan manajemen SDM, konsep bakat dan talenta telah menjadi
perhatian para praktisi manajemen SDM sebagai faktor penentu keberhasilan seseorang
dalam pekerjaan, setidaknya dalam 15 tahun terakhir. Sebelum tahun 1973, intelektual
atau kecerdasan yang diukur berdasarkan nilai Intellectual Quotient (IQ) dianggap
sebagai faktor utama keberhasilan seseorang dalam pekerjaan. Pada tahun 1973, David
- 42 -
McClelland mengenalkan konsep kompetensi sebagai faktor yang mempengaruhi
keberhasilan seseorang dalam bekerja. Yang terbaru, melalui riset yang dikembangkan
sejak tahun 1997, McKinsey and Company memperkenalkan konsep talent management
dalam manajemen SDM. Pada tahun 2003, Mauner memperkuat hasil riset McKinsey
bahwa bakat atau talenta sebagai faktor bawaan yang dapat terus dikembangkan dan
berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang dalam pekerjaan.
Dalam penerapan manajemen SDM berbasis talenta (talent management), dikenal istilah
talent sebagai sebutan bagi pegawai yang diidentifikasi orang-orang terbaik organisasi
yang memiliki keunggulan dalam potensi atau bakat, serta kompeten dalam
melaksanakan pekerjaan. Dengan berbagai keunggulan tersebut, talent dipersiapkan
sebagai calon pegawai yang dipersiapkan untuk duduk dalam berbagai jabatan strategis
organisasi. Agar para talent siap pada saat organisasi membutuhkannya, maka para
talent dikumpulkan dalam suatu kelompok talent (talent pool) untuk dikembangkan
potensi dan kompetensinya dengan berbagai macam pelatihan, penugasan, mentoring
dan coaching. Dalam arti yang lebih luas, talent management diartikan sebagai
manajemen strategis untuk mengelola aliran talenta organisasi dengan tujuan
memastikan tersedianya pasokan talenta untuk menyelaraskan pegawai yang tepat
dengan pekerjaan/jabatan yang tepat pada waktu yang tepat berdasarkan tujuan
strategis organisasi, prioritas kegiatan organisasi dan bisnis proses organisasi (Pella,
Darmin Ahmad dkk, 2011).
Pengelolaan SDM melalui talent management lebih memfokuskan pada potensi atau
bakat unggul, serta kelebihan dari masing-masing pegawai untuk menghasilkan kinerja
maksimal bagi organisasi. Organisasi yang menerapkan talent management menyadari
di era globalisasi, yang menjadi pembeda dan persaingan utama antar organisasi adalah
faktor talenta yang dimiliki organisasi, atau kualitas SDM yang dimiliki organisasi. SDM-
lah yang menentukan kualitas proses, menentukan kualitas produk dan layanan, dan
menentukan persepsi kualitas di mata stakeholders. Keunggulan kompetitif organisasi
tidak ditentukan oleh usia atau umur organisasi, besarnya dana yang dikelola organisasi,
atau seberapa banyak orang yang mengenal organisasi. Keunggulan kompetitif
organisasi dalam jangka panjang ditentukan oleh kemampuan sebuah organisasi dalam
menghasilkan talenta lebih banyak dari kebutuhan organisasi (Pella, Darmin Ahmad
dkk, 2011).
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, penetapan role dan people model organisasi
seharusnya memperhatian bakat/talenta/potensi yang dibutuhkan oleh organisasi.
Setiap jenis dan jenjang jabatan seharusnya memiliki role dan people model sendiri-
- 43 -
sendiri dengan bakat atau talenta yang berbeda tiap jenis dan jenjang jabatan,
disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan pada jenis dan jenjang jabatan tersebut. Hal
tersebut dikarenakan konsep bakat dan talenta berhubungan erat dengan tipologi
kepribadian seseorang dimana setiap orang memiliki keunikannya sendiri-sendri. Untuk
menetapkan role dan people model bagi organisasi, maka perlu ditetapkan standar
pegawai berbakat yang dapat dijadikan role dan people model untuk masing-masing
jenis dan jenjang jabatan dalam organisasi.
b. Kepribadian Pegawai
Setelah bakat atau talenta diidentifikasi, maka hal selanjutnya yang harus diperhatikan
dalam penentuan role dan people model bagi organisasi adalah faktor kepribadian,
sering juga disebut dengan karakter. Disadari atau tidak, kepribadian atau karakter ini
penting bagi seseorang yang duduk dalam berbagai jabatan strategis organisasi.
Kepribadian atau karakter menentukan kedewasaan seseorang dalam bersikap dan
berperilaku, juga mempengaruhi paradigma atau cara pandang seseorang dalam melihat
sesuatu, serta cara seseorang dalam menghadapi permasalahan dan mengambil
keputusan dalam pekerjaan.
Dalam HCM, SDM adalah aset yang terpenting bagi organisasi dan merupakan kekuatan
pendorong pertumbuhan organisasi. Memilih SDM yang kompeten dan tepat merupakan
pekerjaan paling penting. Saat memilih seorang kandidat, organisasi tidak hanya
mengamati apakah kemampuan professional orang tersebut sudah memenuhi standar,
tetapi juga harus memperhatikan kesesuaian karakter dan “people skill”-nya dengan
kebutuhan organisasi. Perhatian juga harus diberikan pada nilai-nilai yang dianut oleh
kandidat tersebut, apakah sesuai dengan nilai-nilai yang ingin dikembangkan organisasi
(Sammy Lee dalam Kerry Larkan, 2008).
Perhatian terhadap kepribadian penting dilakukan dalam penetapan role dan people
model karena kepribadian atau karakter yang dimiliki oleh masing-masing pegawai
dalam suatu organisasi akan membentuk karakter organisasi yang berpengaruh
terhadap budaya organisasi. Setiap organisasi mungkin telah memiliki serangkaian nilai
dan budaya organisasi yang tertulis rapi dalam poster-poster yang tertempel di dinding-
dinding kantor, tetapi pada kenyataannya bukan itu yang membentuk budaya organisasi
yang sebenarnya. Budaya organisasi yang sebenarnya dibentuk berdasarkan
kepribadian dan karakter para pegawainya, terutama pimpinan dan jajaran manajemen
organisasi.
- 44 -
Pada saat memilih dan menetapkan seorang pemimpin dalam organisasi, disadari atau
tidak, organisasi sedang memilih jenis dan budaya organisasi yang akan diwariskan
kepada generasi penerusnya yang ternyata jauh lebih sulit untuk dikoreksi apabila
budaya yang diwariskan adalah budaya negatif. Untuk alasan itulah kepribadian penting
untuk menjadi pertimbangan dalam menetapkan role dan people model, serta penetapan
talent pool sampai pada penetapan pemimpin dan pejabat strategis organisasi
(Bambang WS, Paulus, 2014).
Selain itu, perkembangan manajemen SDM dimana saat ini telah terjadi pergeseran
kepribadian dan karakter antar generasi angkatan kerja ke generasi berikutnya juga
menjadi alasan pentingnya kepribadian dalam penetapan role dan people model.
Indikasi pergeseran dan perubahan tersebut jelas terlihat dengan perbedaan
karakteristik secara mendasar terhadap pegawai generasi baby boomers, generasi X dan
generasi Y.
c. Kompetensi Pegawai, yang meliputi Pengetahuan (knowledge) sikap dan perilaku
(attitude) dan keterampilan kerja (skill)
Kompetensi didefinisikan sebagai karakteristik atau aspek pribadi yang mendasar pada
diri seorang pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja, dan memungkinkan pegawai
tersebut untuk mencapai kinerja yang superior. Aspek-aspek pribadi tersebut antara
lain keterampilan, pengetahuan, sistem nilai, kepribadian, sifat, motif, sikap dan
perilaku. Dalam manajemen SDM, aspek-aspek pribadi kompetensi sering
disederhanakan menjadi 3 (tiga) faktor pembentuk kompetensi, yaitu Pengetahuan
(knowledge) sikap dan perilaku (attitude) dan keterampilan kerja (skill). Kompetensi
akan mengarahkan tingkah laku dan tingkah laku akan menghasilkan kinerja.
Dalam perkembangan ilmu manajemen SDM, kompetensi dibagi menjadi kompetensi
manajerial (soft competency) dan kompetensi teknis (hard competency). Untuk dapat
menjadi role dan people model organisasi, syaratnya harus memenuhi standar
kompetensi yang dipersyaratkan dalam Jabatan, baik kompetensi manajerial maupun
kompetensi teknis.
d. Pengalaman Kerja dan Kinerja Pegawai
Setelah bakat, kepribadian dan kompetensi, hal terakhir yang harus diperhatian dalam
menetapkan role dan people model bagi organisasi adalah pengalaman kerja dan kinerja
pegawai. Bakat dan kepribadian lebih banyak bersifat bawaan, tetapi kompetensi dan
pengalaman kerja serta kinerja pegawai lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
- 45 -
lingkungan dan hasil pembelajaran seseorang. Bakat bersifat menetap setiap orang,
tetapi tidak semua orang dapat menemukenali bakatnya masing-masing. Apabila berada
dalam lingkungan yang cocok, bakat dapat berkembang dan ditunjukkan dalam bentuk
kompetensi. Sedangkan kepribadian, walaupun dipengaruhi oleh faktor bawaan, tetapi
masih dapat berkembang dan berubah meskipun membutuhkan waktu yang relatif
lama, dan harus didukung oleh lingkungan sosialnya.
Sama seperti kompetensi yang dipengaruhi proses pembelajaran dan faktor lingkungan,
pengalaman kerja dan kinerja juga lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan
serta proses belajar. Pengalaman kerja dilihat dari seberapa lama seseorang telah
melaksanakan pekerjaan dan variasi atau macam pekerjaan yang pernah dilakukan oleh
seseorang. Sedangkan kinerja dilihat dari output atau hasil kerja seorang pegawai
dibandingkan dengan target kinerja atau standar kinerja yang telah ditetapkan dalam
jangka waktu tertentu. Kinerja seseorang biasanya sangat dipengaruhi oleh kemampuan
dan kompetensi orang tersebut dalam melaksanakan pekerjaan dimana kemampuan
dan kompetensi dipengaruhi oleh bakat dan kepribadian seseorang. Dalam hal ini,
terdapat keterkaitan antara bakat, kepribadian, kompetensi dan kinerja seseorang.
Untuk dapat menjadi role dan people model organisasi, seseorang seharusnya telah
memiliki pengalaman kerja yang cukup sesuai dengan jenis dan level jabatan, serta
memiliki riwayat kinerja yang baik. Ketentuan mengenai syarat pengalaman kerja dan
kinerja seorang pegawai untuk dapat dijadikan role dan people model bagi organisasi
dapat dibahan dan ditetapkan melalui keputusan pimpinan organisasi.
3. Dukungan organisasi melalui struktur kelembagaan yang mendukung implementasi penuh
HCM.
Dalam renstra BPOM tahun 2015-2019, dalam kerangka kelembagaan BPOM ditekankan
bahwa untuk memperkuat peran dan fungsi BPOM, maka dilakukan beberapa inisiatif
penataan kelembagaan, baik penataan dalam lingkup intraorganisasi BPOM (organisasi
induk) maupun penataan yang bersifat interorganisasi dalam bentuk koordinasi lintas
instansi/lembaga maupun hubungan dengan parapemangku kepentingan utama.
Dalam rangka penerapan HCM, perlu dilakukan restrukturisasi lembaga dan penguatan
pada unit pengelola ASN agar mampu menjadi partner strategis organisasi dalam
mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi. Dukungan lainnya adalah pembentukan unit
permanen yang khusus menangani pengembangan dan penilaian kompetensi ASN sekaligus
sebagai center of exellence dalam pengembangan pegawai.
- 46 -
4. Dukungan sarana dan inftrastrukur pendukung dalam implementasi HCM lainnya.
Selain uraian diatas (nomor 1 s.d 3), untuk dapat mengimplementasi HCM secara penuh
membutuhkan sarana dan infrastruktur pendukung HCM, antara lain:
a. Evaluasi jabatan melalui perbaikan uraian jabatan dengan menambahkan karakteristik
pekerjaan untuk tiap-tiap jabatan, kebutuhan kompetensi jabatan, pembobotan jabatan,
mekanisme penilaian kinerja dan profil pegawai yang dapat menduduki jabatan
tersebut, termasuk jenis tipologi kepribadian yang sesuai untuk dapat melaksanakan
pekerjaan jabatan. HCM baru dapat diterapkan secara optimal jika persyaratan dan
profil tiap-tiap jabatan dalam organisasi jelas, dan tersosialisasikan kepada seluruh
pegawai dalam organisasi. Infrastruktur ini nantinya akan mendukung Acquisition
Process dan Development Process dalam implementasi HCM.
b. Standar kompetensi jabatan, meliputi standar kompetensi untuk kompetensi manajerial
(soft competency) maupun kompetensi teknis (hard competency).
Standar kompetensi dalam organisasi harus direncanakan dan disusun dengan baik agar
kompetensi tersebut dapat selaras dengan visi, misi, tujuan, strategi, tantangan, maupun
sasaran yang ingin dicapai organisasi. Kompetensi yang dimiliki pegawai secara individu
harus mampu mendukung pelaksanaan strategi organisasi dan mampu mendukung
setiap perubahan yang dilakukan organisasi (Veithzal Rivai, 2009).
Dalam perkembangannya, terdapat 2 (dua) jenis kompetensi yang sering digunakan
dalam manajemen SDM, yaitu kompetensi manajerial (soft competency) dan kompetensi
teknis (hard competency). Untuk mengukur dan melakukan penilaian terhadap
kompetensi SDM, metode penilaiannya pun tidak sama untuk masing-masing
kompetensi. Kedua jenis kompetensi tersebut dapat dibandingkan sebagai berikut:
Penilaiannya berpatokan pada kriteria vs Penilaiannya divalidasi dengan
kriteria
Penilaian berbasis hasil vs Penilaian berbasis perilaku
Terkait dengan hasil / output vs Terkait dengan input
Disebut dengan kompeten vs Disebut dengan memiliki kompetensi
Dalam melakukan penilaian kompetensi dari kedua jenis kompetensi tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut (Shirley Fletcher, 2005):
Penilaian Kompetensi Berpatokan
Pada Kriteria /Indikator Perilaku
Penilaian Kompetensi Divalidasi
Dengan Kriteria / Indikator Perilaku
Kompetensi dikembangkan dan disepakati
oleh industri/sektor usaha (nasional) atau
Kompetensi dikembangkan dengan riset
menggunakan perilaku kinerja unggul,
- 47 -
Penilaian Kompetensi Berpatokan
Pada Kriteria /Indikator Perilaku
Penilaian Kompetensi Divalidasi
Dengan Kriteria / Indikator Perilaku
oleh organisasi (khusus untuk organisasi
tertentu)
disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.
Penilaian dilakukan di tempat kerja atau
Tempat Uji Kompetensi (TUK)
Penilaian dilakukan terhadap hasil
pembelajaran dan pengembangan
kompetensi / penilaian perilaku
Kompetensi sebagai ekspektasi dalam bekerja Kompetensi sebagai karakteristik pribadi
Berbasis standar hasil (berpatokan/merujuk
pada output)
Berorientasi hasil standar dan indikator
perilaku yang ditetapkan (validasi oleh
indikator perilaku)
Standar kompetensi dalam pelaksanaan
pekerjaan (kinerja aktual di tempat kerja)
Hasil dari proses pendidikan dan
pengembangan kompetensi
Berpatokan pada kinerja kompeten yang
disepakati
Berpatokan pada indikator perilaku yang
disepakati dengan spesifikasi kinerja
“superior” yang ditetapkan berdasarkan
kajian analisis/riset akademis
Produk - Hard Competency Produk – Soft Competency
Di BPOM, standar kompetensi manajerial telah ditetapkan melalui Keputusan Kepala
BPOM Nomor OR.08.1.07.12.4830 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Jabatan
Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sedangkan
untuk standar kompetensi teknis, khususnya untuk standar kompetensi teknis Jabatan
Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi dan Fungsional Pengawas Farmasi dan Makanan
(PFM) sampai saat ini masih dalam proses penyusunan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi masing-masing unit kerja. Untuk standar kompetensi teknis untuk Jabatan
Fungsional selain PFM dapat mengikuti standar kompetensi teknis yang telah
ditetapkan oleh masing-masing instansi Pembina.
Dalam penerapan HCM terdapat 4 (empat) proses utama Human Capital (Human Capital
Process) yang mempengaruhi keberhasilan dalam penerapan HCM, yaitu Acquisition Process,
Development Process, Engagement Process dan Retention Process. Agar strategi manajemen ASN
melalui penerapan HCM dapat terlaksana dengan baik, lebih fokus dan terarah, berikut
disampaikan penjabaran strategi manajemen ASN untuk tiap-tiap proses dalam HCM sebagai
berikut:
1. Human Capital Acqusition(HC Acquisition)
HC Acquisition merupakan salah satu proses dalam HCM yang bertujuan untuk memastikan
bahwa dalam upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi serta pelaksanaan bisnis
proses, organisasi selalu memiliki ASN lengkap dengan kualifikasi, kompetensi dan kinerja
yang dibutuhkan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Di dalam proses ini, didesain dan
- 48 -
diimplementasikan beberapa sistem Human Capital, terutama terkait dengan perencanaan
human asset, sistem assesmen kepegawaian dan sistem suksesi kepemimpinan.
Dalam roadmap Reformasi Birokrasi 2015-2019, kondisi yang ingin diwujudkan dalam
pembangunan ASN nasional periode 2015-2019 terkait dengan HC Acquisition adalah:
a. Meningkatnya jumlah Instansi Pemerintah yang membentuk kelompok calon suksesi
(talent pool) untuk pengembangan karier pegawai
b. Meningkatnya kepatuhan instansi untuk penerapan manajemen ASN yang berbasis
merit;
c. Meningkatnya pengendalian penerapan sistem merit dalam Manajamen ASN;
Untuk mewujudkan harapan tersebut, maka berbagai kegiatan terkait dengan HC Acquisition
Process yang perlu dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Penguatan dan perbaikan sistem perencanaan pegawai berdasarkan perencanaan
suksesi (succession plan)
Perencanaan pegawai merupakan proses untuk menjamin pemenuhan dan ketersediaan
ASN secara kuantitatif, yaitu jumlahnya memadai dan efisien, maupun secara kualitatif,
yaitu memenuhi syarat skill dan kompetensi yang diperlukan, baik untuk saat ini
maupun proyeksi kebutuhan di masa depan. Sistem perencanaan pegawai meliputi
penyusunan dan penetapan kebutuhan ASN. Setiap instansi pemerintah wajib
menyusun dan menetapkan kebutuhan pegawai untuk jangka waktu 5 tahun untuk
mendukung pencapaian indikator keberhasilan sasaran strategis sesuai dengan rencana
strategis instansi.
Seiring dengan pelaksanaan Reformasi Birokrasi dan perkembangan ilmu manajemen,
perencanaan pegawai dituntut untuk tidak hanya fokus pada kegiatan perencanaan
pegawai untuk menyiapkan dan mengidentifikasi kebutuhkan pegawai baru dalam
organisasi, tetapi perencanaan pegawai harus mampu berperan dan mendukung dalam
kegiatan pembinaan dan pengembangan karier pegawai, serta lebih berperan secara
strategis terhadap pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Dalam hal ini, program
dan kegiatan perencanaan pegawai harus berorientasi jangka panjang dengan
memastikan:
1) Penempatan orang yang tepat pada tempatnya sesuai dengan kebutuhan organisasi
2) Tersedianya bauran potensi dan kompetensi (keterampilan dan keahlian) secara
merata dalam organisasi
- 49 -
3) Pegawai menunjukkan sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dan budaya
organisasi
4) Pengembangan kompetensi dan pembinaan karier pegawai dilakukan secara tepat
Adapun kegiatan dalam perencanaan pegawai meliputi identifikasi kebutuhan melalui
analisis beban kerja dan penetapan formasi jabatan, perencanaan distribusi pegawai,
dan perencanaan suksesi (succession plan) melalui perencanaan pengisian masing-
masing formasi jabatan. Kegiatan terkait perencanaan suksesi termasuk didalamnya
penyiapan orang-orang terbaik yang sesuai untuk mendukung pelaksanaan sistem merit
dalam pengembangan karier pegawai dan penempatan pegawai dengan prinsip “the
right man in the right place in the right time”. Teknis pelaksanaan perencanaan pegawai
dilakukan berdasarkan analisis data, antara lain:
1) Hasil analisis jabatan, meliputi karakteristik jabatan, ruang lingkup tugas dan
tanggung jawab jabatan serta syarat kompetensi dan kualifikasi jabatan
2) Hasil penghitungan beban kerja untuk menetapkan kebutuhan formasi jabatan
3) Struktur organisasi dan peta jabatan masing-masing unit organisasi
4) Hasil pemetaan potensi dan kompetensi pegawai, meliputi profil dan sebaran
potensi dan kompetensi di setiap unit kerja
5) Evaluasi kinerja dan pengembangan pegawai yang termasuk dalam kategori talent
pool
6) Evaluasi kinerja dan track record setiap pegawai dalam organisasi
7) Ketersediaan pegawai pada saat penyusunan kebutuhan untuk masing-masing jenis
dan jenjang jabatan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Dalam proses pelaksanaan perencanaan pegawai tidak dapat dilakukan sendiri oleh unit
yang mengelola perencanaan pegawai, tetapi harus berkolaborasi dan bekerjasama
dengan unit organisasi lain yang bertanggung jawab terhadap pengembangan karier dan
kompetensi pegawai, maupun unit terkait selaku user atau pengguna dari ASN. Melalui
kegiatan perencanaan pegawai yang tidak hanya fokus pada kebutuhan pegawai baru,
tetapi juga memperhatikan sistem dan perencanaan suksesi pegawai, diharapkan tujuan
manajemen ASN BPOM untuk menjamin ketersediaan ASN yang berkualitas pada waktu
yang tepat, dalam jumlah yang tepat, serta pada tempat dan saat yang tepat dapat
diwujudkan.
- 50 -
b. Implementasi sistem merit dalam manajemen ASN BPOM
Sesuai dengan UU tetang ASN, manajemen ASN dilaksanakan dengan sistem merit, yaitu
kebijakan manajemen SDM berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja
secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit,
agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Sistem
merit dalam manajemen ASN meliputi implementasi manajemen dalam pengembangan
karier, pengembangan kompetensi, pola karier, mutasi, dan promosi Jabatan. Dalam
sistem merit, setiap pegawai memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk
mengembangkan kompetensi dan kariernya.
Dalam implementasi HCM dengan sistem merit, hak setiap pegawai adalah sama untuk
diperlakukan layaknya sebuah aset berharga bagi organisasi, tetapi karena terbatasnya
jumlah jabatan tertentu dalam organisasi, diperlukan ukuran yang terstandar dalam
menilai kualifikasi, kompetensi dan kinerja untuk menilai pegawai yang pantas dan
tepat untuk didudukkan atau diangkat dalam sebuah jabatan. Terkait dengan hal
tersebut, agar sistem merit dalam manajemen ASN dapat berjalan dengan baik, maka
perlu infrastruktur pendukung dan prasyarat yang harus dipenuhi organisasi, antara
lain:
a. Standar kompetetensi untuk seluruh jabatan dalam organisasi lengkap dengan
metode dan mekanisme penilaian kompetensi
b. Perencanaan kebutuhan pegawai sesuai dengan beban kerja dan rencana strategis
organisasi, serta perencanaan suksesi jabatan sesuai dengan kebutuhan organisasi
c. Mekanisme pengisian jabatan secara transparan dan terbuka bagi seluruh pegawai
yang memenuhi kualifikasi, kompetensi dan kinerja dengan penilaian yang
dilakukan secara obyektif dengan ukuran penilaian yang terstandar
d. Sistem dan kebijakan dalam manajemen karier pegawai yang terdiri dari
perencanaan karier, pengembangan karier, pola karir, dan kelompok rencana
suksesi (talent pool) yang diperoleh dari manajemen talenta
e. Sistem, kebijakan dan mekanisme pemberian penghargaan dan mengenakan sanksi
berdasarkan pada penilaian kompetensi dan penilaian kinerja yang objektif dan
transparan
f. Penerapan kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN secara konsisten
g. Sistem, kebijakan dan mekanisme pengembangan kompetensi pegawai yang adil
bagi seluruh pegawai sesuai dengan kebutuhan organisasi, kebutuhan pegawai,
- 51 -
rencana pengembangan karier pegawai, penilaian potensi dan kompetensi pegawai,
serta sesuai dengan hasil penilaian kinerja pegawai dan organisasi
h. Sistem, kebijakan dan mekanisme perlindungan kepada Pegawai ASN dari tindakan
penyalahgunaan wewenang, dan
i. Sistem informasi kepegawaian yang terintegrasi dan dapat diakses oleh seluruh
Pegawai ASN
Dengan implementasi sistem merit dalam manajemen ASN yang memfokuskan pada
kompetensi, kinerja dan track record pegawai, diharapkan tujuan untuk menghasilkan
ASN yang berkualitas dalam mendukung pengawasan obat dan makanan dapat
diwujudkan. Kompetisi antar pegawai untuk menduduki suatu jabatan tertentu juga
dapat dilakukan dengan lebih transparan dengan ukuran penilaian yang terstandar dan
dapat diketahui oleh seluruh pegawai ASN. Setiap pegawai memiliki hak yang sama
untuk dikembangkan dan menduduki suatu jabatan tertentu sepanjang memenuhi
kualifikasi, kompetensi, kinerja dan track record yang dipersyaratkan. Dengan sistem ini,
harapannya faktor kedekatan dan politis dalam mendudukkan seorang pegawai dalam
suatu jabatan tertentu dapat dihindari dan dihilangkan.
c. Perumusan sistem dan kebijakan pembentukan dan pengembangan talent pool BPOM
untuk menjamin tersedianya ASN sesuai dengan kebutuhan organisasi
Dari sekian banyak ASN yang dimiliki BPOM, tidak semua pegawai memiliki potensi,
kompetensi, kinerja dan track record yang sama. Terdapat kelompok pegawai yang
memiliki potensi, kompetensi, dan kinerja diatas rata-rata, tetapi juga terdapat
kelompok pegawai yang dibawah rata-rata. Dalam manajemen SDM, seringkali dari
seluruh pegawai yang dimiliki sebuah organisasi, 20% pegawai berkontribusi terhadap
sekitar 60% kinerja organisasi, 70% pegawai berkontribusi terhadap sekitar 60%
kinerja organisasi dan terdapat 10% pegawai yang justru berkontribusi negatif terhadap
sekitar 20% kinerja organisasi (Bambang WS, Paulus, 2014). Hal tersebut menyatakan
bahwa terdapat sekitar 20% s.d 30% pegawai yang memiliki kinerja unggul dan
berkontribusi terhadap mayoritas kinerja organisasi. Pegawai ini sering disebut sebagai
talent atau pegawai terbaik.
Talent dapat didefinisikan sebagai pegawai yang memiliki talenta atau bakat untuk
menjadi pegawai dengan kualitas unggul, memiliki kinerja tinggi (high altitude),
kemampuan yang tinggi (high aptitude) dan perilaku terbaik (high attitude). Untuk
menjaga keberlangsungan hidup organisasi, maka kelompok pegawai ini dikumpulkan
dalam sebuah talent pool, yaitu kelompok pegawai yang diidentifikasi secara khusus
- 52 -
dengan menggunakan kriteria dan standar tertentu untuk dikembangkan dalam jangka
waktu tertentu dan dipersiapkan untuk menduduki posisi atau jabatan strategis/kunci
organisasi. Pembentukan talent pool bertujuan untuk menjamin agar organisasi
memiliki pegawai yang memenuhi syarat kualifikasi jabatan, potensi, kompetensi dan
kinerja sesuai dengan kebutuhan organisasi untuk tiap-tiap jenis dan jenjang jabatan,
khususnya jabatan-jabatan strategis organisasi.
Talent pool tidak hanya dibentuk untuk menyiapkan calon-calon pemimpin puncak
organisasi, tetapi juga untuk menyiapkan calon pejabat pada semua jenis dan jenjang
jabatan dalam organisasi. Hal tersebut disebabkan setiap pegawai yang duduk pada
semua jenis dan jenjang jabatan dalam organisasi memiliki kontribusi terhadap kinerja
organisasi sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
Kebijakan sebaik apapun di level pimpinan jika tidak didukung dengan pegawai yang
berkualitas di level bawah, kebijakan tersebut akan terdistorsi ke bawah. Begitu juga
sebaliknya, apabila komunikasi dari level bawah terhambat karena disebabkan pegawai
yang ditempatkan di middle manajemen bukan pegawai yang berkualitas, pimpinan
puncak tidak akan mendapatkan data atau informasi yang benar sebagai dasar dalam
pengambilan kebijakan organisasi, akibatnya kebijakan yang diambil tidak sesuai
dengan kebutuhan organisasi dan berpotensi mempengaruhi efektivitas dan efisiensi
organisasi. Dengan dasar itulah, kaderisasi pejabat melalui mekanisme talent pool harus
dilakukan pada semua jenis dan jenjang jabatan.
Manajemen ASN melalui pengelolaan talent pool di BPOM telah dimulai pada tahun 2015
tetapi masih perlu perbaikan terkait dengan kebijakan, sistem dan infrastruktur
penunjang pengelolaan talent pool. Dalam pengelolaan ASN, talent pool dapat dibentuk
dalam 2 (dua) kelompok utama talent pool, yaitu:
1) Talent pool untuk kelompok jabatan struktural, dipersiapkan untuk menduduki
Jabatan Pimpinan Tinggi dan Jabatan Administrasi, dibagi menjadi:
a) Talent pool Jabatan Pimpinan Tinggi Madya
b) Talent pool Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama
c) Talent pool Jabatan Administrator
d) Talent pool Jabatan Pengawas
2) Talent pool untuk kelompok jabatan fungsional, dipersiapkan untuk naik jenjang
jabatan fungsional, dibagi menjadi:
a) Talent pool Jabatan Fungsional Utama
- 53 -
b) Talent pool Jabatan Fungsional Madya
c) Talent pool Jabatan Fungsional Muda
Identifikasi dan penentuan pegawai yang masuk dalam berbagai kelompok talent pool
dapat dilakukan dengan menggunakan data hasil evaluasi assessmen potensi dan
kompetensi, kinerja pegawai, track record, serta minat pegawai. Dalam melakukan
identifikasi pegawai yang akan dimasukkan dalam berbagai kelompok talent pool, perlu
diperhatikan kriteria, karakteristik dan standar kompetensi jabatan untuk masing-
masing jenis dan jenjang jabatan, serta kriteria pegawai yang dapat dimasukkan untuk
masing-masing jenjang dan kelompok talent.
Setelah jenis dan jenjang kelompok talent pool ditetapkan, hal selanjutnya yang harus
dilakukan adalah menetapkan program pengembangan talent. Program pengembangan
talent harus dilakukan melalui program yang terencana dan terintegrasi dengan baik.
Dalam pengembangan talent, terdapat hal-hal yang dapat dipertimbangkan dan
diperhatikan, antara lain (Bambang WS, Paulus, 2014):
1) Identifikasi talent harus dilakukan dengan menggunakan kriteria talent yang jelas,
dapat diukur dan semua pegawai dapat mengakses atau mengetahui kriteria
tersebut.
2) Penyiapan lingkungan kerja yang kondusif dan mendukung talent untuk
berkembang sesuai dengan potensi dan kompetensinya.
3) Mentoring program untuk membantu talent dalam merumuskan langkah strategis
serta membantu talent dalam memetakan dan menguraikan masalah operasional
pekerjaan sehingga talent dapat membuat keputusan dengan lebih bijaksana dan
mempertimbangkan berbagai faktor dan resikonya.
4) Pilot testing, yaitu memberikan ujian bagi talent dalam sebuah pekerjaan yang
memiliki permasalahan kompleks dan penuh dengan ketidakpastian. Pilot testing
bertujuan untuk menguji kemampuan talent dalam mengelola konflik dan
kemampuan emosional, serta menguji kemampuan talent dalam memberikan
dampak dan pengaruh dalam melakukan negosiasi dengan pihak lain. Semakin
tinggi jenjang kelompok talent, maka semakin besar dan kompleks pula tantangan
yang harus dikerjakan dan diselesaikan oleh talent.
5) Pemberian kesempatan kepada talent untuk memikirkan hal baru dan berinovasi,
membuat konsep baru, membuat kegiatan baru di area atau fungsi yang dipilih
sendiri oleh talent. Kegiatan ini bertujuan untuk menguji sejauh mana seorang talent
- 54 -
mampu untuk mewujudkan mimpinya dengan mengimplementasi ide terobosan
atau inovasinya.
Selain kelima hal tersebut diatas, harus diperhatikan juga jenis dan jenjang pendidikan
dan pelatihan (diklat) formal maupun non formal yang harus diikuti oleh seorang talent
sesuai dengan jenjang talent pool-nya. Program dan kurikulum diklat harus disesuaikan
dengan kebutuhan program dan pengembangan talent yang dilakukan organisasi untuk
mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi.
Pengelolaan pegawai yang tergabung dalam kelompok talent sering disebut dengan
istilah talent management, yaitu manajemen strategis untuk mengelola aliran talenta
organisasi dengan tujuan memastikan tersedianya pegawai dengan kualitas terbaik
untuk menyelaraskan pegawai yang tepat dengan pekerjaan/jabatan yang tepat pada
waktu yang tepat berdasarkan tujuan strategis organisasi, prioritas kegiatan organisasi
dan bisnis proses organisasi (Pella, Darmin Ahmad dkk, 2011).
Melalui pengelolaan talent pool, diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan
keunggulan kompetitif organisasi, khususnya dalam menghadapi globalisasi.
Keunggulan kompetitif organisasi tidak ditentukan oleh usia atau umur organisasi,
besarnya dana yang dikelola organisasi, atau seberapa banyak orang yang mengenal
organisasi. Keunggulan kompetitif organisasi dalam jangka panjang ditentukan oleh
kemampuan sebuah organisasi dalam menghasilkan talent lebih banyak dari kebutuhan
organisasi.
Sesuai dengan PermenPANRB Nomor 11 Tahun 2015 tentang roadmap Reformasi
Birokrasi 2015-2019, sebelum tahun 2019 diharapkan kebijakan dan pedoman teknis
pengelolaan talent di BPOM melalui talent management telah ditetapkan, mulai dari
tahap penetapan syarat dan kriteria talent, identifikasi talent, pengembangan talent,
sampai pada pedoman dalam melakukan monitoring dan evaluasi implementasi talent
management.
d. Pengembangan rekrutmen berbasis kompetensi yang dilakukan secara transparan,
kompetitif dan berbasis TIK
Kompetensi formal yang dimiliki oleh pelamar tidak selamanya dapat menjamin bahwa
seorang pelamar memenuhi persyaratan kompetensi untuk diterima dan menduduki
jabatan tertentu sesuai dengan formasi jabatan yang dibuka secara umum. Diperlukan
strategi dan mekanisme yang sesuai untuk dapat merekrut orang-orang yang tepat
untuk setiap formasi sesuai jenis dan jenjang jabatannya. Ketepatan teknik seleksi
memiliki peran yang menentukan dalam mencapai kinerja terbaik organisasi.
- 55 -
Ketidaksesuaian antara potensi dan kompetensi pegawai dengan jabatan yang ditempati
dalam organisasi akan menghambat kinerja dan kemajuan organisasi, disebabkan
pegawai tidak mampu menunjukkan performa maksimal untuk meningkatkan
kinerjanya.
Strategi dalam melakukan rekrutmen pegawai harus mempertimbangkan karakteristik
dan syarat kompetensi jabatan yang dibuka, target pelamar yang akan disasar, dan
keterbukaan informasi publik. Karakteristik dan syarat kompetensi jabatan akan
menentukan tools yang akan digunakan untuk menyaring pelamar dan menilai pelamar
sesuai dengan kebutuhan organisasi. Target pelamar yang akan disasar menentukan
mekanisme publikasi atau penyebaran informasi penerimaan calon pegawai ASN agar
informasi tersebut sampai kepada calon pelamar yang dituju atau disasar. Keterbukaan
informasi publik mewajibkan informasi terkait dengan rekrutmen calon ASN harus
terinformasikan dan dapat diakses oleh seluruh warga Negara Indonesia. Selain itu,
dalam pelaksanaan rekrutmen calon ASN juga harus menghindari proses-proses kolusi
dan nepotisme, baik pada saat perencanaan dan penetapan kebutuhan pegawai, maupun
pada saat proses seleksi dan penetapan calon ASN yang diterima.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, maka proses rekrutmen calon ASN harus
dilaksanakan dengan berdasarkan potensi dan kompetensi, dilakukan secara
transparan, kompetitif dan berbasis pada teknologi informasi. Dengan pemanfaatan
teknologi informasi, rekrutmen calon ASN yang dilakukan melalui tahapan perencanaan,
pengumuman rekrutmen ASN kepada calon pelamar, proses pelamaran, seleksi,
pengumuman hasil seleksi dan pengangkatan menjadi calon ASN dilakukan secara
transparan dan dapat diakses oleh publik. Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi
juga memperkecil peluang melakukan kolusi dan nepotisme dalam rangkaian proses
rekrutmen calon ASN. Pemanfaatan teknologi informasi disini tidak hanya dilakukan
melalui pembuatan sistem rekrutmen pegawai, tetapi juga pemanfaatan media sosial
dalam menyampaikan informasi rekrutmen calon ASN kepada masyarakat, khususnya
calon pelamar yang disasar.
Dengan strategi rekrutmen calon ASN yang tepat, dilakukan secara transparan,
kompetitif dan berbasis pada teknologi informasi, harapannya tujuan manajemen ASN
untuk menghasilkan pegawai ASN yang berkualitas dapat diwujudkan. Rekrutmen calon
ASN juga dapat dilakukan dengan biaya yang rendah sehingga efektifitas dan efisiensi
dalam proses rekrutmen calon ASN dapat dilakukan.
- 56 -
e. Penguatan sistem promosi secara terbuka, kompetitif, transparan dan berbasis pada
kompetensi, kinerja dan track record
Sebagai salah satu aset berharga organisasi, ASN harus mendapat perlakuan layaknya
sebuah aset berharga lainnya, antara lain kesempatan dan akses yang luas terhadap
informasi terkait dengan pola dan pengembangan karier pegawai. Sebagaimana telah
diamahkan dalam UU tentang ASN, pembinaan karier pegawai dilakukan dengan sistem
merit melalui pelaksanaan sistem promosi secara terbuka, kompetitif dan transparan
yang berbasis pada kompetensi, kinerja dan track record. Sistem tersebut menggantikan
sistem pembinaan karier sebelumnya yang dilaksanakan berdasarkan Daftar Urut
Kepangkatan (DUK).
Sebagai sebuah sistem baru dalam manajemen ASN, tugas organisasi adalah melakukan
sosialisasi terkait syarat dan ketentuan pelaksanaan sistem promosi secara terbuka,
kompetitif dan transparan sehingga pegawai dapat dengan mudah mengetahui syarat
kualifikasi dan kompetensi untuk dapat dipromosikan, serta pengembangan kompetensi
yang harus dilakukan untuk dapat memenuhi standar kompetensi yang dipersyaratkan.
Pimpinan tertinggi sampai manajer lini organisasi harus memastikan bahwa informasi
terkait dengan pembinaan karier dan sistem promosi jabatan dengan mekanisme yang
baru telah diketahui dan dipahami oleh seluruh pegawai. Selain itu, setiap manajer lini
organisasi harus dapat berperan sebagai pendorong, motivator sekaligus mentor pagi
para pegawainya untuk terus meningkatkan kompetensi sesuai dengan tuntutan jabatan
dan kebutuhan organisasi.
Untuk melaksanakan amanah UU tentang manajemen karier ASN yang harus
dilaksanakan melalui sistem merit, maka perlu dilakukan penguatan sistem promosi
jabatan secara terbuka, transparan dan kompetitif melalui penyiapan dan pengadaan
perangkat serta sarana prasarana pendukung, antara lain:
1) Penyiapan sistem dan regulasi pendukung pelaksanaan pembinaan karier melalui
promosi secara terbuka, kompetitif dan transparan, antara lain prasyarat
administrasi dan kualifikasi untuk dapat mengikuti atau diikutsertakan dalam
promosi jabatan, serta standar kompetensi jabatan.
2) Penyiapan dan pengadaan sarana dan infrastruktur sistem teknologi informasi yang
mendukung pelaksanaan promosi secara terbuka, kompetitif dan transparan, antara
lain sistem yang mengelola manajemen kinerja pegawai dan sistem manajemen
kompetensi.
- 57 -
3) Pengadaan dan pengangkatan pejabat pendukung pelaksanaan promosi secara
terbuka, kompetitif dan transparan, antara lain Analis Kepegawaian sebagai
pelaksana pengelola manajemen evaluasi kinerja pegawai, Assessor SDM Aparatur
sebagai pelaksana pengelola manajemen kompetensi dan penilaian kompetensi
pegawai serta Auditor Kepegawaian sebagai pelaksana penelusuran track record
pegawai.
Selain penyiapan dan pengadaan perangkat serta sarana prasarana pendukung tersebut,
implementasi sistem promosi secara terbuka, kompetitif, transparan dan berbasis pada
kompetensi, kinerja dan track record harus didukung oleh pegawai yang memiliki
kompetensi dan kinerja unggul dalam organisasi, dibuktikan dengan ketertarikan dan
kesediaan mengikuti promosi jabatan secara terbuka sehingga tujuan untuk
menghasilkan ASN yang berkualitas dapat diwujudkan.
f. Pengelolaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) adalah warga negara Indonesia
yang memenuhi syarat tertentu dan diangkat sebagai pegawai ASN berdasarkan
perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas
pemerintahan. Pengelolaan PPPK menjadi tanggung jawab Pejabat Pembina
Kepegawaian (PPK) pada masing-masing Kementerian atau Lembaga. Adapun
pengelolaan atau manajemen PPPK sebagaimana diamanahkan dalam UU ASN meliputi :
1) Penyusunan dan penetapan kebutuhan
2) Pengadaan
3) Penilaian kinerja
4) Pemberian kompensasi, meliputi gaji dan tunjangan
5) Peningkatan dan pengembangan kompetensi
6) Pemberian penghargaan
7) Pengelolaan disiplin
8) Pemutusan hubungan perjanjian kerja; dan
9) Perlindungan.
PPPK dibentuk untuk membantu pekerjaan PNS dalam melakukan tugas pemerintahan
dengan karakteristik jabatan yang dapat diberikan kepada PPPK antara lain:
1) Jabatan yang mensyaratkan kompetensi keahlian dan keterampilan tertentu, khusus,
atau spesifik
2) Jabatan yang kompetensinya tidak tersedia atau terbatas di kalangan PNS dan
diperlukan untuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas organisasi
- 58 -
Pegawai ASN yang diangkat sebagai PPPK tidak dapat secara otomatis diangkat menjadi
seorang PNS, meskipun telah memiliki masa kerja yang lama sebagai PPPK. Masa kerja
atau penugasan PPPK dilaksanakan sesuai dengan perjanjian kerja antara PPPK dengan
Pejabat Pembina Kepegawaian dengan masa minimal 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang sesuai dengan kebutuhan organisasi. Apabila jangka waktu perjanjian
kerja telah habis dan tidak diperpanjang lagi, maka PPPK diberhentikan dengan hormat
sebagai PPPK.
Kewajiban organisasi terhadap PPPK meliputi pemenuhan hak-hak PPPK, antara lain
terkait dengan:
1) Pemberian gaji dan tunjangan
2) Pemberian cuti
3) Perlindungan
4) Pengembangan kompetensi.
Berdasarkan hal tersebut, agar manajemen PPPK dapat dilaksanakan dengan baik dan
profesional, maka diperlukan sistem dan kebijakan dalam manajemen PPPK dalam
organisasi. Pengangkatan PPPK harus mempertimbangkan kebutuhan organisasi dan
formasi yang tersedia sesuai dengan hasil analisis beban kerja, karakteristik pekerjaan
yang akan diberikan kepada PPPK, spesialisasi dan kompetensi yang diperlukan
organisasi yang diharapkan dapat dipenuhi oleh PPK, serta program atau kegiatan yang
melibatkan PPPK, termasuk didalamnya adalah target waktu yang ditetapkan untuk
melaksanakan program dan kegiatan tersebut.
Berbagai pertimbangan tersebut penting mengingat tanggung jawab organisasi,
investasi energi dan sumber daya yang harus dikeluarkan oleh organisasi dalam
manajemen PPPK. Selain itu, pengangkatan PPPK harus dapat memberikan kontribusi
berupa peningkatan kinerja organisasi dalam mendukung pembangunan. Evaluasi
terhadap manajemen PPPK wajib dilakukan secara rutin untuk memastikan bahwa
pengangkatan PPPK telah sesuai dengan tujuan dan harapan yang telah ditetapkan
sebelum melakukan pengangkatan PPPK.
g. Perumusan sistem, kajian dan kebijakan pembentukan dan pemanfaatan Assessment
Center, Lembaga Sertifikasi profesi (LSP) dan Tempat Uji Kompetensi (TUK) BPOM
Kompetensi pegawai terbagi menjadi kompetensi manajerial (soft competency) dan
kompetensi teknis (hard competency). Untuk melakukan evaluasi terhadap penguasaan
kompetensi pegawai, maka dilakukan penilaian kompetensi pegawai, baik kompetensi
manajerial maupun kompetensi teknis. Penilaian kompetensi manajerial dilakukan
- 59 -
melalui assessmen potensi dan kompetensi, dilaksanakan di pusat penilaian kompetensi
(Assessment Center) dimana evaluasi dilakukan terhadap indikator perilaku yang
ditunjukkan pegawai berdasarkan level kompetensi yang telah ditetapkan dalam
standar kompetensi manajerial. Assessment Center adalah suatu proses penilaian
(evaluation) atau rating yang didesain secara khusus untuk meminimalkan
kemungkinan timbulnya penyimpangan (bias) sehingga para peserta penilaian
kompetensi memperoleh kesempatan setara yang seluas-luya untuk mengungkapkan
potensi maupun kompetensinya dalam seperangkat metode assessmen atau evaluasi
yang terstandarisasi, menggunakan berbagai tools penilaian dan dilakukan oleh
beberapa Assessor. Sedangkan untuk penilaian kompetensi teknis dilakukan di Tempat
Uji Kompetensi (TUK) dimana evaluasi dilakukan terhadap penguasaan unit-unit
kompetensi sesuai dengan kriteria unjuk kerja yang telah ditentukan. Pengakuan atas
penguasaan unit kompetensi teknis diberikan melalui sertifikasi kompetensi yang
dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) sesuai dengan bidang pekerjaannya
masing-masing.
BPOM saat ini telah memiliki LSP dan TUK untuk melakukan penilaian atau assessmen
kompetensi teknis bidang keamanan pangan. Sedangkan untuk assessmen kompetensi
manajerial di BPOM saat ini masih dilakukan oleh Tim Penilai Kompetensi (TPK) dengan
jumlah Assessor ASN yang masih terbatas, yaitu sebanyak 3 (tiga) orang. Kapasitas TPK
BPOM untuk melakukan assessmen kompetensi manajerial masih sangat terbatas,
terutama apabila dibandingkan dengan jumlah ASN BPOM saat ini yang hampir 4000
orang.
Untuk mendukung percepatan peningkatan kualitas ASN BPOM, dan mengacu kepada
Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Pedoman Penilaian Kompetensi Pegawai Negeri Sipil, perlu dilakukan kajian,
perumusan sistem dan kebijakan untuk membentuk unit Assessment Center yang
permanen dan struktur organisasi yang jelas untuk melakukan penilaian kompetensi
manajerial seluruh ASN BPOM. Selain itu, perlu menambah LSP dan TUK untuk masing-
masing bidang/sektor sesuai dengan tugas dan fungsi BPOM. Dengan keberadaan LSP
dan TUK tersebut, semua ASN di BPOM sesuai dengan fungsi dan bidang kerjanya
masing-masing dapat dilakukan evaluasi kompetensi teknisnya sesuai dengan standar
kompetensi teknis yang telah ditetapkan.
- 60 -
2. Human Capital Development (HC Development)
HC Development adalah salah satu proses dalam HCM untuk memastikan semua ASN yang
merupakan asset utama organisasi mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan
potensi dan kompetensi yang dimiliki setinggi-tingginya. Di dalam proses ini, didesain dan
diimplementasikan beberapa sistem Human Capital, terutama sistem pembinaan dan
pengembangan pegawai, serta sistem pengembangan kepemimpinan.
Organisasi tidak cukup memiliki SDM yang potensial dan berbakat lalu dibiarkan begitu saja
tanpa memberikan perhatian atau memberikan kesempatan kepada SDM untuk tumbuh dan
berkembang. Benih atau bibit yang unggul tidak akan menghasilkan bila benih tersebut
dibiarkan saja tanpa perawatan dan tanpa diberikan kesempatan untuk tumbuh.
Manajemen yang cerdas menempatkan orang-orang berbakat yang dimilikinya ditempat
yang tepat, diberikan training atau pelatihan yang tepat, dikembangkan kariernya, dan
dimotivasi dengan reward yang layak dan adil. Komitmen dan profesionalitas orang-orang
berbakat harus dipelihara dengan tepat oleh manajemen sehingga mereka tetap bersedia
dengan kesungguhan hati tanpa terpaksa tetap mengabdikan diri untuk kepentingan
organisasi.
Pengembangan pegawai diperlukan karena perubahan lingkungan internal dan eksternal
adalah suatu kepastian dan semua pihak harus siap menghadapi perubahan tersebut.
Dibutuhkan SDM yang berkualitas dan mampu beradaptasi dengan baik, tangguh
menghadapi perubahan dan bersedia untuk terus belajar. Ditengah kondisi yang selalu dan
akan selalu berubah, dibutuhkan orang-orang dengan karakter dan paradigma yang
fleksibel, bersedia dan siap kapanpun dibutuhkan oleh organisasi. Disisi lain, organisasi
harus memiliki sistem dan mekanisme untuk mendapatkan pegawai berkualitas,
memberdayakan dan mengembangkannya sesuai kebutuhan organisasi. Untuk alasan itulah,
pengembangan pegawai dibutuhkan organisasi.
Dalam roadmap Reformasi Birokrasi 2015-2019, kondisi yang ingin diwujudkan dalam
pembangunan ASN nasional periode 2015-2019 terkait dengan HC Development adalah:
a. Meningkatnya profesionalisme Aparatur
b. Meningkatnya jumlah Instansi Pemerintah yang membentuk kelompok calon suksesi
(talent pool) untuk pengembangan karier pegawai
c. Meningkatnya penerapan sistem pengembangan kepemimpinan untuk perubahan;
d. Meningkatnya kemampuan unit pengelola ASN untuk mewujudkan ASN yang kompeten
dan kompetitif.
- 61 -
e. Meningkatnya jumlah instansi yang mampu menerapkan manajemen kinerja individu
untuk mengidentifikasi dan meningkatkan kompetensi ASN;
Untuk mewujudkan harapan tersebut dan mencapai tujuan manajemen ASN BPOM dalam
mendukung pelaksanaan rencana strategis organisasi, maka berbagai kegiatan terkait
dengan HC Development Process yang perlu dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Perumusan dan Penetapan kebijakan di bidang HC Development
Pengembangan pegawai adalah aktivitas yang terencana dan sistematis oleh organisasi
untuk memberikan pegawainya kemampuan dan kompetensi untuk memenuhi
kebutuhan organisasi saat ini dan masa yang akan datang. Dalam perkembangan ilmu
manajemen SDM, terdapat banyak pendekatan dalam pengembangan pegawai,
diantaranya adalah pengembangan pegawai berbasis pada talenta dan pengembangan
pegawai berbasis pada kompetensi. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya
kompetensi, perbedaannya adalah fokus dari masing-masing pengembangan pegawai.
Pengembangan pegawai berbasis talenta memerlukan pendekatan untuk mengenali
bakat atau talenta dari masing-masing pegawai, lalu kompetensi dibangun selaras
dengan talenta yang dimiliki pegawai sehingga dalam waktu singkat memiliki
kompetensi yang diharapkan. Sedangkan pengembangan berbasis pada kompetensi
terlebih dahulu ditetapkaan syarat kompetensi untuk masing-masing jabatan dengan
ketentuan siapapun pegawai yang menempati atau menduduki jabatan tersebut wajib
memiliki kompetensi sesuai dengan standar kompetensi jabatan.
Organisasi dapat memilih salah satu dari kedua pendekatan tersebut, atau
mengkolaborasikan keduanya dalam mengelola pengembangan pegawai. Apapun
pendekatan yang digunakan, yang utama adalah sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan organisasi, serta mendapat dukungan dan komitmen penuh dari manajemen
puncak organisasi. Selain menekankan pada pentingnya kompetensi, hendaknya
pengembangan pegawai juga mendorong organisasi untuk menciptakan pegawai yang
paripurna, yaitu pegawai yang selain kompeten juga beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan YME. Tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga secara emosional dan
spiritual, arif dan bijaksana dalam melihat berbagai persoalan dalam organisasi dan
kehidupan. Berpengetahuan luas, menguasai banyak teori keilmuan, berwawasan
budaya, berfikir secara orisinil, memahami permasalahan dan argumentasi pijakannya,
serta berjiwa teduh. Pegawai yang memiliki kepribadian sehat dan karakter kuat sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan jabatan serta organisasi.
- 62 -
Sebelum melakukan pengembangan pegawai, perlu diperhatikan infrastruktur
pendukung pengembangan pegawai, kondisi organisasi dan SDM yang dimiliki saat ini.
Telah dibahas sebelumnya bahwa sebelum organisasi menerapkan HCM secara penuh,
maka perlu persiapan untuk mengetahui kesiapan organisasi dalam menerapkan HCM.
Salah satu hal yang perlu disiapkan adalah dukungan berupa struktur lembaga dan tata
laksana yang mendukung penerapan HCM. Dalam HC Development proses, dukungan
tersebut dapat berupa penguatan unit pengelola ASN agar mampu menjadi partner
strategis organisasi dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi. Dukungan
lainnya adalah pembentukan unit yang khusus menangani pengembangan dan penilaian
kompetensi ASN sekaligus sebagai center of exellence dalam HC Development process
organisasi. Unit pengembangan dan penilaian kompetensi ASN bertugas untuk
memastikan bahwa setiap program pengembangan pegawai sesuai dengan kebutuhan
praktis dan strategis organisasi dalam menjalankan bisnis proses dan mewujudkan visi,
misi dan tujuan organisasi. Selain itu, unit pengembangan dan penilaian kompetensi
ASN harus dapat memastikan bahwa setiap program pengembangan pegawai harus
dapat menghasilkan pegawai yang berkualitas dan kompeten sesuai dengan standar dan
syarat jabatan, atau selaras dengan potensi dan kompetensi masing-masing pegawai.
Setelah organisasi mendukung pengembangan pegawai melalui penguatan unit
pengelola ASN dan pembentukan unit yang khusus menangani pengembangan dan
penilaian kompetensi ASN, maka perlu dilakukan analisis kebutuhan pengembangan
kompetensi organisasi serta identifikasi kondisi organisasi dan SDM yang dimiliki saat
ini. Terdapat kondisi dimana organisasi membutuhkan perhatian serius dalam
pengembangan pegawai. Salah satu indikasi organisasi perlu secara serius menangani
pengembangan pegawai adalah banyaknya jumlah SDM yang dimiliki tetapi organisasi
mengalami kesulitas dalam memperoleh talent dan calon pemimpin yang berkualitas.
Hal tersebut menunjukkan bahwa organisasi tidak memberikan perhatian terhadap
pengembangan pegawainya, atau membiarkan orang-orang dalam organisasi
berkembang ala kadarnya tanpa ada intervensi dari organisasi maupun jajaran
manajemen. Dengan kata lain, dapat disampaikan bahwa organisasi tersebut sedang
mengalami krisis talenta. Berikut disampaikan beberapa indikator bahwa organisasi
sedang mengalami krisis talenta (Pela, Darman Ahmad dkk, 2011):
1) Begitu banyak rancangan ide, visi, strategi dan target program yang berkualitas
dihasilkan organisasi, tetapi lemah dalam eksekusi atau hanya sedikit yang
dilaksanakan dengan capain output, outcome dan dampak sesuai dengan target yang
telah ditentukan atau direncanakan.
- 63 -
2) Begitu banyak program dan kegiatan berkualitas yang harus dilaksanakan, tetapi
begitu sedikit pegawai berkualitas yang tersedia untuk melaksanakannya
3) Begitu banyak orang yang bersedia ditunjuk untuk melaksanakan program dan
kegiatan, tetapi begitu sedikit yang dapat dipercaya dan menjalankan amanah
tersebut dengan memuaskan
4) Begitu banyak posisi penting yang harus diisi dalam organisasi, tetapi sulit untuk
mencari dan menetapkan pegawai untuk mengisinya
5) Frekuensi kepindahan pegawai terbaik antar unit kerja dalam organisasi terjadi
dalam kurun waktu dibawah satu atau dua tahun
Dengan mengetahui kondisi organisasi dan SDM yang dimiliki saat ini, perumusan dan
penetapan kebijakan dalam bidang pengembangan pegawai dapat diambil dengan tepat
sesuai kebutuhan organisasi. Sesuai dengan tujuan manajemen ASN, kebijakan dalam
pengembangan pegawai harus mampu secara cepat (leverage) menghasilkan orang-
orang terbaik sesuai dengan kebutuhan organisasi, yaitu ASN yang mampu berperan
dalam meningkatkan kinerja organisasi menjadi lebih efektif dan efisien serta
mempercepat pengembalian investasi (return of investmen) yang dilakukan organisasi.
Kebijakan terkait pengembangan pegawai harus memperhatikan 3 (tiga) proses utama
pengembangan pegawai, yaitu:
1) Diklat dan Pengembangan Kompetensi (Training and Development) Pegawai.
Diklat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi yang spesifik sesuai dengan
kebutuhan jabatan dan standar kompetensi jabatan. Sedangkan Pengembangan
kompetensi pegawai dilakukan untuk menyiapkan kompetensi dan kemampuan
untuk kebutuhan untuk masa depan disamping untuk meningkatkan kapasitas
pegawai untuk melakukan pekerjaan saat ini.
2) Pengembangan Karier (Career Development)
Pengembangan karier adalah proses yang terencana untuk membantu pegawai
dalam mengembangan karirnya melalui tahapan dan jalur karir yang tersedia.
3) Pengembangan Organisasi (Organization Development)
Pengembangan organisasi adalah proses untuk meningkatkan efektivitas organisasi
dan kesejahteraan pegawai melalui intervensi yang terstruktur dan terencana.
Mengingat pengembangan pegawai merupakan hal wajib yang harus dilakukan dalam
implementasi HCM, dengan melihat kondisi organisasi BPOM dimana saat ini dimana
unit pengelola ASN masih setingkan unit Eselon III dan ketiadaan unit yang bertanggung
- 64 -
jawab khusus terhadap pengembangan dan penilaian kompetensi ASN, maka perlu
dirumuskan dan ditetapkan alternatif kebijakan di bidang HC Development sambil secara
paralel mengupayakan penguatan unit pengelola ASN BPOM agar lebih mampu menjadi
partner strategis organisasi dalam menerapkan HCM, serta mengusulkan restrukturisasi
organisasi agar BPOM memiliki unit pengembangan kompetensi dan penilaian
kompetensi ASN. Alternatif kebijakan tersebut antara lain dapat berupa:
1) Mengoptimalkan peran unit kerja di lingkungan BPOM dalam melakukan
pengembangan ASN melalui berbagai kegiatan pengembangan ASN, seperti
bimbingan teknis, workshop, seminar, dll, dengan tetap mengacu kepada kebijakan
bidang HC Development dalam mewujudkan tujuan manajemen ASN BPOM.
2) Mengoptimalkan kegiatan pembinaan dan pengembangan ASN melalui mentoring,
coaching dan konseling yang dilakukan oleh setiap atasan langsung pegawai
dan/atau pegawai senior yang kompeten di masing-masing unit kerja.
3) Penguatan kerjasama lintas sektor terkait dengan penyelenggaraan diklat maupun
pendidikan formal dalam rangka pengembangan dan peningkatan kompetensi ASN.
4) Menetapkan berbagai program dan kegiatan lainnya yang mampu untuk
mempercepat (leverage) pengembangan dan peningkatan kompetensi ASN BPOM
sesuai dengan tujuan dan arah kebijakan dalam manajemen ASN BPOM.
Kebijakan terkait dengan arah dan tahapan pengembangan ASN BPOM dapat ditetapkan
untuk tiap-tiap tahun sesuai dengan tujuan, strategi dan arah kebijakan manajemen
ASN. Selain itu, diperlukan upaya untuk mempercepat proses penguatan unit pengelola
ASN dan pembentukan unit yang khusus menangani pengembangan dan penilaian
kompetensi ASN di BPOM. Hal tersebut dibutuhkan sebagai dasar untuk melakukan
percepatan (leverage) peningkatan kualitas ASN BPOM sesuai dengan kebutuhan
organisasi untuk menghasilkan dan menjamin ketersediaan ASN yang berkualitas saat
organisasi membutuhkan.
b. Perumusan kebijakan dan implementasi sistem dan pola pengembangan karier pegawai
yang transparan, berkepastian, adil dan berkeadilan
Sesuai dengan amanah UU tentang , pengembangan karier pegawai tidak lagi dilihat dari
Daftar Urut Kepangkatan (DUK), tetapi berdasarkan perbandingan obyektif antara
kualifikasi, kompetensi dan kinerja yang diperlukan dalam jabatan dengan kualifikasi,
kompetensi dan kinerja yang dimiliki Pegawai. Setiap instansi dituntut untuk memiliki
manajemen karier yang terdiri dari perencanaan dan pengembangan pola dan jalur
- 65 -
karier, serta pembentukan kelompok rencana suksesi (talent pool). Hal tersebut
merupakan dampak dari implementasi sistem merit dalam manajemen ASN. Dampak
lainnya adalah semua jabatan harus memiliki standar kompetensi, perencanaan
kebutuhan pegawai harus dilaksanakan berdasarkan beban kerja dan rencana suksesi
jabatan, serta pelaksanaan rekrutmen, seleksi, dan promosi harus dilakukan secara
transparan dan terbuka.
Dalam manajemen karier SDM, kebijakan sistem dan pola pengembangan karier
pegawai harus mampu menjamin pengembangan kompetensi pegawai, mampu
meningkatkan kinerja organisasi, serta dapat memastikan bahwa pegawai diangkat
dalam jabatan tertentu telah sesuai dengan potensi, kompetensi, karakter dan tipologi
kepribadiannya sehingga menghasilkan kinerja dan prestasi kerja yang optimal dari
masing-masing pegawai.
Kebijakan sistem dan pola pengembangan karier BPOM dilaksanakan dalam rangka
pengembangan ASN dan pengembangan organisasi BPOM, mewujudkan tujuan rencana
strategis organisasi dan tujuan manajemen ASN dalam menjamin ketersediaan ASN yang
berkualitas dan kompeten sesuai dengan kebutuhan organisasi. Output dari
implementasi sistem dan kebijakan pengembangan karier harus diupayakan dapat
memenuhi kebutuhan pegawai untuk melakukan aktualisasi diri dan memenuhi
kebutuhan organisasi terhadap ketersediaan ASN yang berkualitas dan kompeten dalam
mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi.
Dalam manajemen kaarier pegawai, terdapat 3 (tiga) pihak yang bertanggung jawab
dalam keberhasilan pelaksanaan sistem dan pengembangan karier pegawai, yaitu
pegawai, atasan langsung pegawai, dan unit pengelola kepegawaian. Ketiganya harus
dapat bekerjasama untuk mewujudkan keberhasilan implementasi sistem dan kebijakan
pengembangan karier pegawai, mulai dari tahap penyusunan rencana pengembangan
karier pegawai (individual development plan), pelaksanaan assessmen potensi dan
kompetensi pegawai, pelaksanaan penilaian kinerja pegawai, penelusuran track record
pegawai, pelaksanaan pengembangan karier pegawai sampai pada evaluasi sistem dan
kebijakan pengembangan karier pegawai.
Dalam manajemen ASN, karier pegawai terdiri dari 2 (dua) jalur karier, yaitu jalur karier
melalui jabatan struktural (Jabatan Pimpinan Tinggi dan Jabatan Administrasi) dan jalur
karier jabatan fungsional. Dalam implementasi pengembangan karier, seorang pegawai
dimungkinkan untuk mengembangkankan kariernya dengan pindah jalur karier (zig
zag) dari jalur struktural ke jalur fungsional maupun sebaliknya dengan ketentuan
- 66 -
memenuhi persyaratan dan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan.
Agar tujuan dalam manajemen karier ASN dapat dicapai, yaitu melakukan
pengembangan ASN dan pengembangan organisasi, maka manajemen karier harus
dilakukan dengan transparan, berkepastian, dan adil bagi seluruh pegawai. Resiko
kegagalan manajemen karier yang berpotensi muncul dalam pengembangan karier
harus menjadi perhatian dalam manajemen karier. Resiko tersebut misalnya resiko
demotivasi pegawai karena ketidakadilan yang dirasakan pegawai dalam pelaksanaan
manajemen karier, atau karena penurunan job class pada jabatan yang baru, atau karena
jabatan yang baru tidak sesuai dengan potensi dan kompetensi pegawai, atau karena
pegawai mengetahui bahwa dalam manajemen karier pegawai dipengaruhi oleh faktor
kedekatan pimpinan organisasi terhadap beberapa pegawai tertentu, dll. Resiko
manajemen karier tersebut sangat berpotensi memiliki dampak terhadap kemunduran
kinerja organisasi, atau kegagalan organisasi dalam mendorong pegawai untuk
melakukan aktualisasi diri.
Dengan mempertimbangkan resiko kegagalan dalam manajemen karier pegawai
tersebut, maka dalam perumusan sistem dan kebijakan pengembangan karier pegawai,
harus memperhatikan 4 (empat) tahapan dalam mendesaian pola dan jalur
pengembangan karier pegawai sebagai berikut (Society for Human Resource
Management, 2002 dalam Poniman, 2015 dengan modifikasi):
1) Melengkapi analisis pekerjaan atau job analysis dengan karakteristik pekerjaan dan
job class untuk menentukan persyaratan dan kualifikasi potensi, kompetensi,
karakter, kinerja dan track record pegawai untuk dapat menduduki suatu jabatan
tertentu, dan bagaimana menyelaraskan dengan tujuan organisasi dan tujuan
manajemen SDM.
2) Mengembangkan perkembangan alami dari pekerjaan sebagai logika promosi
progresif bagi pegawai untuk dapat mengembangkan kompetensi dan memenuhi
level kompetensi yang dipersyaratkan dalam suatu jabatan tertentu, artinya desain
pola dan jalur karier pegawai harus dapat menjamin pengembangan kompetensi
serta meningkatnya kedewasaan dan kematangan kepribadian pegawai.
3) Mengkomunikasikan pola dan jalur karier kepada seluruh pegawai dalam organisasi,
termasuk persyaratan dan kualifikasi untuk dapat menduduki suatu jabatan
tertentu dalam desain jalur karier pegawai, misalnya syarat kompetensi, kinerja, dan
diklat yang telah dan harus diikuti sehingga pegawai bersama atasan langsungnya
- 67 -
dapat menyusun rencana pengembangan kompetensi dan karier (individual
development plan), serta melakukan pengembangan pribadi dalam rangka mencapai
karier puncak yang telah direncanakan.
4) Menentukan program diklat dan pengembangan pegawai lainnya yang diperlukan
bagi setiap pegawai dalam rangka pengembangan karier pegawai sesuai dengan
pola dan jalur karier yang telah ditetapkan.
Selain itu, dalam mendesain pola dan jalur karier pegawai juga perlu memperhatikan
kompleksitas, kewenangan dan tanggung jawab pekerjaan, serta job class untuk masing-
masing jabatan untuk menghindari kegagalan dalam manajemen karier pegawai.
Tingkat kompleksitas, kewenangan dan tanggung jawab pekerjaan disini disesuaikan
dengan jenis dan karakteristik jabatan, misalnya jabatan struktural bertanggung jawab
terhadap pekerjaan manajemen organisasi, dan jabatan fungsional bertanggung jawab
terhadap pekerjaan teknis organisasi. Hal tersebut penting mengingat tujuan
dibentuknya kedua jabatan tersebut dan jenis kompetensi untuk masing-masing jabatan
tidak sama. Kompetensi manajerial (soft competency) lebih dibutuhkan dalam jabatan
struktural dibanding dengan kompetensi teknis (hard competency), begitu juga
sebaliknya.
c. Assessmen Potensi dan Kompetensi Pegawai
Assessmen potensi bertujuan untuk menemukenali bakat atau talenta dari masing-
masing pegawai sebagai dasar dalam melakukan pengembangan kompetensi dan karier
pegawai. Pengetahuan organisasi terhadap potensi masing-masing pegawai diperlukan
mengingat untuk mengembangkan seorang pegawai, organisasi harus menginvestasikan
anggaran dan sumber daya yang tidak sedikit. Dengan mengetahui bakat atau talenta
pegawai, organisasi dapat memberdayakan, mengembangkan dan mengoptimalkan
kinerja pegawai sesuai dengan bakat atau talentanya. Pegawai yang bekerja sesuai
dengan bakatnya, berpotensi untuk lebih mampu memberikan kinerja terbaik bagi
organisasi dibanding dengan yang bekerja tidak sesuai dengan bakatnya.
Sedangkan assessmen kompetensi pegawai bertujuan untuk mengetahui jenis unit
kompetensi yang dikuasai seorang pegawai (untuk hard competency) atau untuk
mengetahui level kompetensi yang dimiliki pegawai (untuk soft competency). Dari
kompetensi yang dikuasai atau dimiliki pegawai tersebut akan dibandingkan dengan
syarat kompetensi pada jabatannya saat ini, atau pada jabatan yang lebih tinggi yang
telah direncanakan untuk diberikan kepada pegawai. Apabila berdasarkan hasil
- 68 -
perbandingan kompetensi masih ditemukan gap atau kesenjangan, hal tersebut
merupakan salah satu indikasi bahwa perlu peningkatan kompetensi pegawai.
Assessmen potensi dan kompetensi dilaksanakan dengan mengacu kepada standar
kompetensi jabatan, baik untuk kompetensi teknis maupun kompetensi manajerial. Baik
assessmen potensi maupun assessmen kompetensi dapat dilakukan dalam waktu
bersamaan. Assessmen potensi dapat dilakukan menggunakan pendekatan metode dan
tools evaluasi psikologi, sedangkan untuk metode dan tools untuk assessmen
kompetensi disesuaikan dengan jenis kompetensi yang akan dievaluasi. Assessmen
kompetensi untuk mengevaluasi hard competency, sering disebut dengan kompetensi
teknis atau kompetensi kerja dilakukan di Tempat Uji Kompetensi (TUK) dimana
evaluasi dilakukan terhadap penguasaan unit-unit kompetensi sesuai dengan kriteria
unjuk kerja yang telah ditentukan. Pengakuan atas penguasaan unit kompetensi teknis
diberikan melalui sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi
Profesi (LSP) sesuai dengan bidang pekerjaannya masing-masing. Sedangkan untuk
evaluasi soft competency, sering disebut dengan kompetensi manajerial dilakukan di
pusat penilaian kompetensi (assessment center) dimana evaluasi dilakukan terhadap
indikator perilaku yang ditunjukkan pegawai berdasarkan level kompetensi yang telah
ditetapkan dalam standar kompetensi manajerial.
Dengan mengetahui potensi dan kompetensi pegawai melalui kegiatan assessmen
potensi dan kompetensi, pengembangan kompetensi dan karier pegawai dapat
dilakukan lebih terarah dan fokus. Pegawai akan lebih cepat belajar apabila
dikembangkan sesuai dengan potensi dan kompetensinya. Selain itu, pegawai juga
berpotensi untuk berkinerja lebih optimal jika bekerja sesuai dengan potensi dan
kompetensinya sehingga lebih menghemat organisasi dalam menginvestasikan sumber
daya dalam pelaksanaan pengembangan pegawai. Hal tersebut juga sejalan dengan
harapan Reformasi Birokrasi dalam melakukan penataan ASN, yaitu dengan
menerapkan manajemen ASN berbasis pada kompetensi.
Sesuai dengan PermenPANRB Nomor 14 Tahun 2014, PermenPANRB Nomor 11 Tahun
2015 dan Peraturan Kepala BPOM Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis
BPOM Tahun 2015-2019, sampai dengan tahun 2019 diharapkan BPOM dapat
melakukan assessmen potensi dan kompetensi kepada seluruh ASN BPOM. Assessmen
potensi dan kompetensi dilakukan secara berkala untuk melakukan evaluasi
peningkatan kompetensi pegawai sebagai dasar dalam melakukan pengembangan
kompetensi dan karier pegawai.
- 69 -
d. Percepatan Pengembangan Talent Pengawasan Obat dan Makanan
Setelah kebijakan dan pedoman pengembangan talent ditetapkan dalam HC Acquisition
Process, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengimplementasikan
program dan kegiatan pengembangan talent. Pengembangan talent diawali dari
identifikasi talent sampai terpilihnya pegawai dalam kelompok talent pool untuk
masing-masing jenis dan jenjang jabatan sesuai dengan kriteria talent yang telah
ditetapkan. Identifikasi talent dapat dilakukan dengan menggunakan data hasil evaluasi
assessmen potensi dan kompetensi, laporan hasil penilaian kinerja pegawai, track
record, serta minat pegawai, atau menggunakan metode dan cara lainnya sesuai dengan
kebijakan dalam talent management.
Setelah talent teridentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan kegiatan
pengembangan talent dengan langkah dan tahapan sesuai dengan kebijakan yang telah
ditetapkan dalam HC Development dan kebijakan dalam pengelolaan talent pool maupun
talent management BPOM. Pengembangan talent harus dilakukan secara sistematis dan
terencana dengan benar untuk masing-masing tahapannya. Hal tersebut penting untuk
diperhatikan karena untuk dapat mengimplementasikan pengembangan talent
memerlukan sumber daya yang tidak sedikit. Selain itu, mengingat tantangan dalam
pengawasan obat dan makanan dan globalisasi tidak dapat dihindari lagi, maka
implementasi program dan kegiatan pengembangan talent harus mampu meningkatkan
secara cepat (leverage) kualitas ASN, khususnya kelompok talent pool untuk
mewujudkan ASN BPOM yang kompeten, professional, kredibel, berwawasan global,
berkepribadian sehat dan mampu berkinerja baik dalam mendukung pelaksanaan tugas
pengawasan obat dan makanan sesuai dengan arah kebijakan strategis organisasi
BPOM.
Untuk dapat meningkatkan secara cepat kualitas ASN, maka diperlukan program dan
kegiatan percepatan pengembangan talent dimana dalam pelaksanaannya dapat
menggunakan 3 (tiga) kelompok pendekatan pengembangan talent, yaitu:
1) Pembelajaran Formal
Pembelajaran formal adalah sebuah aktivitas belajar terencana dalam suatu
lingkungan pembelajaran yang terstruktur. Bentuk kegiatan pembelajaran formal
dalam percepatan pengembangan talent antara lain dapat dilakukan melalui:
a) Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) secara berjenjang sesuai dengan kelompok
talent pool dan kebutuhan organisasi
- 70 -
b) Pendidikan Lanjutan melalui program Sarjana (S1), Magister (S2), maupun
Doktor (S3) di dalam dan luar negeri.
c) Program pengembangan kompetensi melalui e-learning dengan memanfaatkan
fasilitas teknologi informasi.
2) Pengayaan Pengalaman
Pengayaan pengalaman merupakan penambahan kegiatan atau tugas pekerjaan
kepada seorang pegawai melalui perluasan kewenangan serta cakupan dan kontrol
pekerjaan, serta penambahan tanggung jawab pegawai dalam pekerjaan secara
vertikal dan/atau horizontal. Dalam konsep pengembangan talent, pengayaan
pengalaman memiliki perspektif yang lebih luas, termasuk didalamnya adalah
penugasan secara khusus, pemagangan, rotasi dan mutasi jabatan, on the job
training, serta proses pembimbingan melalui mentoring dan konseling pegawai.
Bentuk kegiatan pengayaan pengalaman dalam percepatan pengembangan talent
antara lain dapat dilakukan melalui:
b) Pilot Testing dan penugasan khusus untuk menguji kapasitas dan kapabilitas
talent dalam mengelola pekerjaan dan permasalahannya, misalnya penugasan
untuk menyelesaikan suatu permasalahan dalam organisasi. Penugasan
disesuaikan dengan tingkat kerumitan masalah dan jenjang kelompok talent.
c) Penugasan oleh manajemen kepada talent untuk menjadi anggota tim atau
kelompok kerja tertentu dalam pekerjaan, atau penugasan secara mandiri dalam
rangka pengembangan organisasi, misalnya melakukan membuat perencanaan
program atau kegiatan baru.
d) Pemagangan talent dalam jabatan atau posisi yang lebih tinggi dibanding jabatan
saat ini. Tujuannya untuk memberikan pengalaman awal dan mengetahui
kesiapan talent apabila diberikan jabatan yang lebih tinggi dibanding dengan
jabatan saat ini. Bentuk pemagangan talent misalnya penunjukan talent sebagai
pelaksana harian (plh) atau pelaksana tugas (plt) jabatan tertentu yang lebih
tinggi.
e) Pemberian kesempatan untuk berinovasi dan mengimplementasikan inovasinya,
yaitu talent diberikan kesempatan untuk memikirkan hal baru, menciptakan
program, proyek atau kegiatan baru, melahirkan konsep baru, dan
mengimplementasikannya dalam pekerjaan sesuai dengan bidang/sektor/fungsi
organisasi yang dipilihnya. Tujuannya adalah memberikan kesempatan pada
talent untuk membuktikan kompetensi, kapasitas dan kapabilitya, sekaligus
- 71 -
sebagai evaluasi apakah pegawai tersebut memang pantas untuk masuk dalam
kelompok talent.
f) Rotasi jabatan, tujuannya agar talent dapat belajar lebih banyak dan lebih luas
lagi, memberikan kesempatan talent untuk mengerjakan pekerjaan yang lebih
bervariasi dan talent dapat melihat bagaimana pekerjaan dalam organisasi
saling terkait dan menunjang kinerja organisasi.
3) Umpan Balik dan Bimbingan
Umpan balik kepada talent secara umum dibagi menjadi 2, yaitu umpan balik positif
dan umpan balik korektif. Umpan balik positif membantu meningkatkan motivasi
talent, antara lain dengan memberikan pengakuan dan apresiasi usaha yang telah
dilakukan talent. Umpan balik korektif bertujuan untuk menginformasikan kepada
talent terkait dengan potensi, kekuatan dan kelemahan talent, serta sisi mana dari
talent yang masih perlu pengembangan. Bentuk kegiatan umpan balik dan
bimbingan dalam percepatan pengembangan talent antara lain dapat dilakukan
melalui:
a) Mentoring dan konseling program melalui proses pembinaan dan bimbingan
kepada talent selaku mentee oleh mentor. Materi pembinaan tidak selalu
masalah pekerjaan, tetapi juga terkait dengan potensi, kompetensi, kinerja,
kehidupan keluarga dengan tujuan agar talent dapat berkembang sesuai dengan
yang diharapkan. Dalam pelaksanaannya, metode mentoring dapat mengadopsi
konsep pembelajaran yang secara ideal dan bijak telah diungkapkan oleh Ki
Hajar Dewantoro dengan petuahnya “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo
Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”.
b) Umpan balik 360 derajat, yaitu umpan balik kepada talent yang diberikan oleh
atasan, rekan kerja dan bawahan, serta penilaian mandiri oleh talent.
c) Individual Develompent Plant atau rencana pengembangan perseorangan, yaitu
rencana pengembangan karakter, kemampuan, dan komitmen talent melalui
kegiatan yang terprogram, spesifik dan memiliki tujuan jelas. Selain itu juga
dalam rangka perencanaan pengembangan karier pegawai.
Setelah pengembangan talent dilakukan, hal lain yang perlu diperhatikan dan dilakukan
adalah monitoring dan evaluasi (monev) implementasi pengembangan talent untuk
memastikan bahwa program dan kegiatan pengembangan talent telah dilaksanakan
sesuai dengan perencanaan. Monev juga bertujuan untuk menjamin dan memastikan
tujuan percepatan pengembangan talent dapat tercapai.
- 72 -
Sesuai dengan PermenPANRB Nomor 11 Tahun 2015, BPOM dapat membentuk talent
pool untuk masing-masing jenjang jabatan. Selain itu, target dalam 5 tahun kedepan
sampai tahun 2019, BPOM dapat melaksanakan percepatan pengembangan talent
dengan sistem, program dan kegiatan pengembangan talent yang telah establish
didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan kebijakan dalam
talent management di BPOM, mulai dari perencanaan, analisis kebutuhan, pelaksanaan
pengembangan talent sampai pada monitoring dan evaluasi pengembangan talent.
e. Penguatan Jabatan Fungsional untuk meningkatkan kualitas Pejabat Fungsional
Manajemen ASN yang dikembangkan harus dapat berkontribusi secara strategis dalam
pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Manajemen ASN juga harus mampu
mendayagunakan ASN BPOM dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai
dengan jenis dan jenjang jabatan, serta sesuai dengan potensi dan kompetensi yang
dimiliki pegawai. Dalam manajemen ASN yang selama ini diterapkan di BPOM, perhatian
begitu besar diberikan kepada Jabatan Struktural, dan terkesan mengesampingkan
Jabatan Fungsional. Sesuai dengan regulasi di bidang kepegawaian, semua Jabatan
(Struktural dan Fungsional) telah memiliki peran, fungsi dan tanggung jawabnya
masing-masing. Agar gap antara Jabatan Struktural dan Jabatan Fungsional tidak
semakin melebar, maka perlu dilakukan Penguatan Jabatan Fungsional agar setiap
jabatan dapat berperan sesuai dengan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya masing-
masing.
Penguatan Jabatan Fungsional dapat dilakukan melalui peninjauan kembali manajemen
pekerjaan di BPOM, serta melalui revitalisasi Jabatan Fungsional dengan mereview
ulang dan memperbaiki sistem manajemen Jabatan Fungsional yang meliputi tugas,
fungsi dan peran Jabatan Fungsional. Dalam penguatan Jabatan Fungsional perlu
dilakukan evaluasi ulang kompetensi Jabatan Fungsional untuk masing-masing jenis dan
jenjang jabatan Fungsional. Tujuan dari penguatan Jabatan Fungsional adalah
meningkatkan kualitas Pejabat Fungsional dalam mendukung peningkatkan kinerja dan
kapasitas organisasi untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi. Kegiatan
revitalisasi Jabatan Fungsional berpotensi memiliki beberapa implikasi perubahan yang
harus dilakukan organisasi, antara lain:
1) Rasionalisasi Jabatan Struktural dan Jabatan Fungsional (right sizing).
2) Perbaikan manajemen karier, pola karier dan rencana karier pegawai.
3) Perbaikan dan penguatan sistem diklat melalui program diklat yang terstruktur
berdasarkan kebutuhan pembinaan karier pegawai dan pengembangan
- 73 -
profesionalisme setiap jabatan yang didukung oleh unit penyelenggara
pengembangan dan penilaian kompetensi yang establish.
4) Evaluasi harga jabatan dan harga kinerja jabatan.
5) Tuntutan untuk menerapkan prinsip ‘the right person on the right place and the right
time’ dalam manajemen ASN.
6) Perbaikan manajemen kinerja pegawai.
7) Perbaikan pengelolaan sistem penghargaan kepada pegawai, baik penghargaan yang
bersifat finansial maupun non finansial, dan
8) Penguatan sistem, budaya kemitraan dan kerjasama antara Jabatan Struktural dan
Jabatan Fungsional berdasarkan kode etik yang berlaku.
Penguatan Jabatan Fungsional tidak hanya dilakukan terhadap Jabatan Fungsional
Pengawas Farmasi dan Makanan (PFM) dimana BPOM sebagai instansi Pembina, tetapi
juga perlu dilakukan terhadap semua Jabatan Fungsional tertentu yang ada di BPOM.
Beberapa program dan kegiatan yang dapat dilakukan dalam penguatan Jabatan
Fungsional antara lain:
1) Perbaikan tata laksana dan tata hubungan kerja tiap-tiap jabatan dalam organisasi.
Perbaikan dilakukan untuk mendukung efektivitas dan efisiensi pelaksanaan
pekerjaan dalam organisasi, dilakukan dengan identifikasi dan membagi pekerjaan
secara proporsional sesuai tugas, fungsi dan tanggung jawab masing-masing jabatan.
Pejabat Struktural fokus pada pekerjaan manajerial dan Pejabat Fungsional fokus
pada pelaksanaan pekerjaan teknis sesuai dengan spesialisasi pengetahuan,
kompetensi dan keilmuannya. Sistem, tata laksana dan tata hubungan kerja
organisasi harus diatur sedemikian rupa agar budaya kemitraan dan kerjasama
dalam pelaksanaan pekerjaan antara Pejabat Struktural dan Pejabat Fungsional
dapat berjalan efektif sehingga kinerja organisasi dapat meningkat.
2) Penerapan standar kompetensi Jabatan Fungsional secara konsisten.
Standar kompetensi jabatan secara konsisten diterapkan mulai perencanaan, seleksi
calon Pejabat Fungsional, pengangkatan pegawai menjadi Pejabat Fungsional,
pembinaan Pejabat Fungsional, pengembangan karier dan peningkatan kompetensi
Pejabat Fungsional. Selain itu, penugasan dan pemberian pekerjaan kepada Pejabat
Fungsional harus disesuaikan dengan tingkat kompetensi dan jenjang jabatannya
sehingga kompetensi yang dimiliki Pejabat Fungsional dapat terjaga dan semakin
meningkat, serta saling terkait antara jenjang yang dibawah dengan jenjang diatya.
- 74 -
3) Mengembalikan peran dan tanggung jawab Pejabat Fungsional sesuai dengan tujuan
dibentuknya Jabatan Fungsional
Sesuai dengan PP Nomor 16 Tahun 1994, Jabatan Fungsional adalah kedudukan
yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai
dalam satu kesatuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugya didasarkan pada
keahlian/dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri. Seorang Pejabat
Fungsional harus memenuhi syarat kompetensi jabatan yang dipersyaratkan untuk
dapat menduduki Jabatan Fungsional tertentu, dibuktikan dengan sertifikasi
kompetensi keahlian/keterampilan. Untuk dapat menduduki Jabatan Fungsional
atau naik jenjang Jabatan, seorang Pegawai harus mengikuti dan lulus Diklat untuk
menduduki Jabatan atau Diklat penjenjangan Jabatan Fungsional. Dalam
pelaksanaan pekerjaan, Pejabat Fungsional bertanggung jawab terhadap hasil
pekerjaannya secara mandiri, meskipun dalam pelaksanaan pekerjaan dapat
dibantu oleh Pejabat Fungsional yang lain. Walaupun demikian, tanggung jawab
terhadap hasil pekerjaan tetap melekat pada Pejabat Fungsional tersebut.
Dalam PP tersebut secara jelas telah dinyatakan bahwa Pejabat Fungsional bekerja
dengan spesialisasi pengetahuan, kompetensi dan keilmuannya sesuai dengan
jenjang jabatannya dan bertanggung jawab secara penuh terhadap kinerja dan
output pekerjaannya.
4) Perbaikan sistem pengembangan kompetensi dan diklat bagi Pejabat Fungsional.
Dalam PP Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional telah dinyatakan
bahwa seorang Pejabat Fungsional harus memenuhi syarat kompetensi jabatan yang
dipersyaratkan untuk dapat menduduki Jabatan Fungsional tertentu, dibuktikan
dengan sertifikasi kompetensi keahlian/keterampilan. Untuk dapat menduduki
Jabatan Fungsional atau naik jenjang Jabatan, seorang Pegawai harus mengikuti dan
lulus Diklat untuk menduduki Jabatan atau Diklat penjenjangan Jabatan Fungsional.
Hal tersebut menuntut masing-masing instansi Pembina Jabatan Fungsional untuk
menyusun sistem pengembangan kompetensi dan diklat bagi Pejabat Fungsional
yang dibinanya. Diklat bagi Pejabat Fungsional meliputi diklat entry masuk sebagai
syarat pengangkatan pegawai dalam Jabatan Fungsional, diklat penjenjangan
sebagai syarat untuk naik jenjang jabatan bagi Pejabat Fungsional, dan diklat teknis
lainnya yang mendukung peningkatan kompetensi Pejabat Fungsional sesuai dengan
jenjang jabatan dan spesialisasi pengetahuan, kompetensi serta keilmuannya.
- 75 -
5) Pengembangan talent management Jabatan Fungsional
Kebijakan penerapan talent management melalui pengelolaan dan pengembangan
talent pool pegawai harus dilakukan terhadap semua jenis dan jenjang jabatan
dalam organisasi, tidak hanya terhadap Jabatan Pimpinan Tinggi saja, tetapi juga
terhadap Jabatan Administrasi dan Jabatan Fungsional. Pelaksanaan talent
management melalui pengelolaan dan pengembangan talent pool Jabatan Fungsional
bertujuan untuk menjamin bahwa organisasi memiliki Pejabat Fungsional
berkualitas dan kompeten, memenuhi syarat kualifikasi dan kompetensi jabatan.
Selain itu, penerapan talent management juga bertujuan untuk menjamin
ketersediaan Pejabat Fungsional yang memenuhi syarat kualifikasi dan kompetensi
untuk dinaikkan jenjang jabatannya apabila terdapat formasi Jabatan Fungsional
yang kosong. Talent management Jabatan Fungsional juga diperlukan karena
semakin tinggi jenjang Jabatan Fungsional, makan kebutuhan formasinya semakin
sedikit sehingga tidak semua Pejabat Fungsional pada jenjang dibawahnya yang
memenuhi syarat kualifikasi dan kompetensi dapat dinaikkan jenjang jabatannya.
Melalui kegiatan penguatan Jabatan Fungsional, diharapkan dapat meningkatkan
kualitas Pejabat Fungsional BPOM, menghasilkan Pejabat Fungsional yang kompeten
sesuai dengan jenis dan jenjang jabatan, spesialisasi pengetahuan dan keilmuannya.
Pada tahun 2019, ditargetkan semua Pejabat Fungsional BPOM dapat bekerja dan
berkinerja sesuai dengan jenis dan jenjang jabatannya serta kompeten sesuai dengan
potensi, pengetahuan, dasar keilmuan dan standar kompetensi jabatannya. Tumpang
tindih pekerjaan, tugas, fungsi dan tanggung jawab antara Pejabat Struktural dan
Pejabat Fungsional dapat berkurang dan jika memungkinkan dapat dihilangkan. Masing-
masing Pejabat di lingkungan BPOM dapat bekerja dan bekerjasama sesuai dengan
peran, tugas dan tanggung jawab Jabatannya masing-masing.
f. Perbaikan dan penguatan sistem pendidikan dan pelatihan (diklat)
Perbaikan dan penguatan sistem diklat harus didukung dengan infrastruktur sarana dan
prasarana yang memadai sebagaimana telah disampaikan dalam perencanaan dan
persiapan sebelum menerapkan HCM. Seiring dengan arah kebijakan dalam rencana
strategis BPOM 2015-2019 untuk melakukan penguatan kapasitas kelembagaan, salah
satunya melalui restrukturisasi organisasi, diharapkan dapat melakukan restrukturisasi
organisasi dengan membentuk unit pengembangan dan penilaian kompetensi ASN yang
sekaligus berperan sebagai center of exellence untuk mendukung perbaikan dan
penguatan sistem diklat. Selain membentuk unit yang bertugas melakukan
pengembangan dan penilaian kompetensi ASN, hal lainnya yang harus dilakukan dalam
- 76 -
rangka perbaikan dan penguatan sistem diklat adalah menyiapkan SDM yang kompeten
dan berkualitas yang akan mengelola program dan kegiatan pengembangan dan
penilaian kompetensi ASN, serta penyiapan sumber daya dan infrastruktur lainnya,
antara lain pendanaan dan program/silabus/kurikulum pengembangan ASN.
Adapun tugas dan tanggung jawab unit pengembangan dan penilaian kompetensi ASN
dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Merumuskan dan melaksanakan program dan kegiatan pengembangan dan
penilaian kompetensi ASN yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek
potensi, kompetensi (serta karakter pegawai) dan spiritualitas pegawai, mampu
mendukung sosialisasi, internalisasi dan implementasi nilai dan budaya organisasi,
serta dapat berperan secara strategis dalam mewujudkan visi dan mencapai tujuan
organisasi.
2) Mencetak pemimpin-pemimpin masa depan organisasi sesuai dengan kebutuhan,
arah pengembangan organisasi dan tuntutan perkembangan zaman.
3) Mencetak SDM yang berkualitas dengan komitmen dan kompetensi tinggi di
bidangnya masing-masing sesuai dengan keilmuan dan spesialisasinya sesuai
dengan kebutuhan organisasi
4) Melakukan penilaian kompetensi dan pemberian sertifikasi kompetensi untuk
kompetensi teknis
Kegiatan pengembangan kompetensi ASN merupakan penggerak utama dalam
melakukan pengembangan ASN dan pengembangan organisasi BPOM. Dalam
memperbaiki sistem dan melakukan penguatan diklat bagi ASN, perlu diperhatikan inti
dan esensi utama dari pengembangan ASN sebagai bentuk pengembangan manusia. Inti
dan esensi utama dari proses pengembangan ASN adalah membantu pegawai untuk
berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing dan untuk mengenali jati dirinya
sebagai seorang manusia dengan berbagai potensi luar biasa yang telah dianugerahkan
oleh Tuhan. Proses pengembangan pegawai harus dilakukan dengan pendekatan yang
holistik dan menyeluruh, melihat pegawai sebagai seorang manusia utuh yang memiliki
rasa, cipta dan karsa serta keunikannya masing-masing, tidak hanya melihat manusia
sebagai pegawai dan alat organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Sesuai dengan roadmap Reformasi Birokrasi Nasional tahun 2015-2019, perbaikan
sistem diklat dilaksanakan melalui:
- 77 -
1) Pengembangan pola diklat berbasis pada potensi dan kompetensi untuk mendukung
sistem kaderisasi pegawai
2) Pengendalian kualitas diklat
3) Evaluasi pelaksanaan diklat yang meliputi evalusi terhadap penyelenggaraan diklat,
evaluasi terhadap peserta diklat dan evaluasi pasca diklat
g. Melaksanakan program dan kegiatan terkait HC Development melalui pelatihan dan
pengembangan pegawai.
Dalam melaksanakan program dan kegiatan HC Development dengan melakukan
pengembangan pegawai, harus diminimalisir pandangan yang menyamakan manusia
dengan mesin dan mengharuskan setiap pegawai untuk menjadi ‘superman’ dengan
menguasai berbagai kompetensi yang dipersyaratkan dalam jabatan organisasi.
Tantangannya adalah bagaimana organisasi dapat menyelaraskan antara potensi dan
kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing pegawai dengan pengembangan karier
pegawai dan memenuhi kebutuhan kompetensi organisasi.
Selain melakukan pengembangan kompetensi, program pengembangan pegawai juga
sebagai kegiatan untu membangun karakter yang kuat dan antusiasme yang tinggi dari
setiap pegawai dalam melaksanakan pekerjaan. Program pengembangan pegawai harus
mampu menciptakan pegawai yang paripurna, yaitu pegawai yang selain kompeten juga
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi
juga secara emosional dan spiritual, arif dan bijaksana dalam melihat berbagai
persoalan dalam organisasi dan kehidupan. Berpengetahuan luas, menguasai banyak
teori keilmuan, berwawasan budaya, berfikir secara orisinil, memahami permasalahan
dan argumentasi pijakannya, serta berjiwa teduh. Pegawai yang memiliki kepribadian
yang sehat dan karakter yang kuat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan jabatan serta
organisasi
Kegiatan utama dalam pengembangan pegawai adalah pendidikan dan pelatihan (diklat)
dan pengembangan kompetensi pegawai. Diklat dilakukan untuk meningkatkan
kompetensi dan mengatasi kesenjangan keterampilan atau kompetensi dalam jangka
pendek. Sedangkan pengembangan kompetensi pegawai adalah proses untuk
menyediakan keterampilan atau kompetensi untuk kebutuhan organisasi di masa yang
akan datang, disamping untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan pegawai untuk
melaksanakan tugas dan pekerjaan saat ini. Kegiatan pengembangan kompetensi lebih
luas cakupannya dibandingkan dengan diklat.
- 78 -
Dalam implementasi kegiatan diklat dan pengembangan kompetensi pegawai harus
memperhatikan rangkaian proses dari kegiatan diklat dan pengembangan kompetensi
pegawai, yaitu:
1) Melakukan analisis kebutuhan diklat dan pengembangan kompetensi pegawai
Analisis kebutuhan dilakukan untuk level organisasi, level pegawai dan
mempertimbangkan rencana pengembangan karier pegawai. Selain hal tersebut,
analisis kebutuhan juga harus memperhatikan peta kompetensi dan kinerja dari
ASN yang dimiliki organisasi.
2) Menetapkan tujuan umum dan tujuan khusus dari kegiatan diklat dan
pengembangan kompetensi pegawai
Tujuan umum dari kegiatan diklat dan pengembangan kompetensi pegawai adalah
terpenuhinya kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan oleh organisasi untuk
saat ini maupun masa depan. Selain tujuan umum, perlu ditetapkan tujuan khusus
dari kegiatan diklat dan pengembangan kompetensi pegawai. Tujuan khusus
disesuaikan dengan jenis kegiatan diklat dan pengembangan kompetensi pegawai,
sasaran pegawai yang menjadi peserta kegiatan, serta jenis kompetensi yang akan
dikembangkan dalam program atau kegiatan pengembangan pegawai.
3) Membuat desain program dan pemilihan metode diklat dan pengembangan
kompetensi pegawai
Desain program dan pemilihan metode diklat dan pengembangan kompetensi
pegawai disesuaikan dengan tujuan dari program dan kegiatan pengembangan
kompetensi pegawai.
4) Evaluasi kegiatan diklat dan pengembangan kompetensi pegawai.
Kegiatan diklat dan pengembangan kompetensi dianggap berhasil apabila tujuan
dari kegiatan pelatihan dan pengembangan kompetensi pegawai dapat tercapai.
Terdapat banyak bentuk dan ragam kegiatan pengembangaan pegawai, dan
pemilihannya disesuaikan dengan hasil analisis kebutuhan serta tujuan dari kegiatan
pengembangan pegawai. Untuk kegiatan diklat yang dilaksanakan untuk menghilangkan
kesenjangan kompetensi yang dibutuhkan dalam pekerjaan dibanding dengan
kompetensi riil yang dimiliki pegawai, dapat dilaksanakan melalui kegiatan pendidikan
dan pelatihan informal, short course, workshop, seminar, bimbingan teknis, dll.
Sedangkan untuk kegiatan pengembangan kompetensi pegawai yang memiliki cakupan
lebih luas dibandingkan dengan diklat dapat dilakukan melalui pengiriman pegawai
- 79 -
untuk mengikuti pendidikan lanjutan, penugasan pegawai dalam berbagai proyek atau
kegiatan khusus, mentoring, dll.
h. Membudayakan budaya inovasi dalam organisasi
Setiap organisasi harus menyadari bahwa yang membuat organisasi sukses di masa lalu,
belum tentu dapat membuat mereka sukses di masa depan. Diperlukan inovasi secara
disiplin untuk dapat bersaing dan mencapai kesuksesan di masa sekarang maupun masa
depan. Untuk berhasil dalam inovasi tidak hanya memerlukan kreativitas, tetapi sebuah
inovasi baru dikatakan berhasil apabila inovasi tersebut dapat mendatangkan manfaat
dan peningkatan kinerja bagi organisasi. Dan untuk dapat melakukan inovasi secara
disiplin dalam organisasi, perlu membudayakan budaya inovasi dalam organisasi.
Untuk membudayakan budaya inovasi dalam organisasi, berdasarkan survey yang
dilakukan oleh Future Think LLC dan The Research Associates yang dipublikasikan
dalam Innovation Tracker 2007: The Shift form Creativity to Value, terdapat 4 (empat)
syarat yang perlu mendapat perhatian dan dimiliki organisasi sebagai berikut:
1) Kepemimpinan yang inspiratif sekaligus penuh komitmen, tidak hanya sebatas “talk
the talk” tetapi juga “walk the talk”.
2) Pegawai yang cerdas dan kreatif. Kecerdasan dan kreativitas pegawai akan muncul
apabila organisasi memberikan dorongan dan kesempatan kepada pegawai untuk
berfikir “outside the box”.
3) Kecerdasan dan kecermatan dalam mengambil resiko, yaitu menyeimbangkan
langkah terobosan inovatif yang beresiko dengan tindakan peningkatan bertahap
yang kurang beresiko.
4) Alokasi waktu yang memadai yang diberikan organisasi dalam melakukan inovasi.
Salah satu budaya organisasi yang ingin dibangun oleh BPOM adalah budaya inovatif.
Untuk mewujdukan budaya tersebut memerlukan kedisiplinan dan komitmen dari
pimpinan puncak organisasi dan seluruh pegawai dalam organisasi. Untuk mewujudkan
budaya inovasi tidak selalu mudah, terdapat potensi kegagalan apabila organisasi tidak
dapat mengantisipasi setiap kendala dan resiko kegagalan pelaksanaan inovasi,
diantaranya:
1) Pola pikir pegawai yang terpaku pada status quo atau kemapanan
2) Pengelolaan sumber daya yang terbatas dan tidak tepat
3) Motivasi pegawai yang rendah untuk melakukan inovasi
- 80 -
4) Adanya perlawanan atau resistensi dari kelompok pegawai yang memiliki
kepentingan tertentu
Untuk mewujudkan dan menghidupkan budaya inovatif, maka berbagai kendala
tersebut harus dihadapi dan diatasi. Dari berbagai potensi kendala tersebut, hal yang
paling berat adalah merubah pola pikir pegawai dari pro status quo menjadi pro inovasi.
Dan untuk melakukannya, organisasi harus mampu menghadirkan pengalaman nyata,
bukan hanya himbauan atau kata-kata untuk melakukan inovasi. Selain itu, untuk
mewujudkan dan menghidupkan budaya inovatif dibutuhkan pemimpin yang memiliki
keberanian untuk menantang dan merubah kebiasaan-kebiasaan konvensional yang
telah berjalan secara rutin dan penuh kemapanan tetapi sebenarnya tidak menghasilkan
apa-apa kecuali kemapanan itu sendiri.
3. Human Capital Engagement (HC Engagement)
HC Engagement adalah salah satu proses dalam HCM untuk memastikan bahwa ASN yang
merupakan asset utama organisasi, terutama ASN yang memiliki kompetensi dan kinerja
tinggi, memiliki komitmen dan keterikatan yang tinggi terhadap organisasi. Engagement
pegawai adalah suatu keadaan / kondisi dimana pegawai memiliki keterikatan yang tinggi
secara emosional dan intelektual dengan organisasi sehingga pegawai termotivasi dan
mampu memberikan kemampuan terbaik mereka untuk berkontribusi terhadap
keberhasilan organisasi dari serangkaian manfaat nyata bagi organisasi dan pegawai itu
sendiri. Dimensi atau aspek dari engagement pegawai adalah:
a. Aspek Vigor, yaitu dimensi engagement yang ditandai dengan tingginya tingkat kekuatan
dan resiliensi mental pegawai dalam bekerja. Keinginan untuk berusaha dengan
sungguh-sungguh dalam pekerjaan serta gigih dalam menghadapi kesulitan.
b. Aspek Dedication, yaitu dimenasi engagement yang ditandai oleh suatu perasaan yang
penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan menantang dalam pekerjaan.
c. Aspek Absorption, yaitu dimenasi engagement yang ditandai dengan adanya konsentrasi
dan minat yang mendalam, tenggelam dalam pekerjaan, waktu terasa berlalu begitu
cepat dan individu sulit melepaskan diri dari pekerjaan sehingga melupakan segala
sesuatu disekitarnya.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi engagement pegawai adalah:
- 81 -
a. Faktor pegawai
Agar engagement pegawai dapat terwujud, pegawai harus mengetahui apa yang mereka
inginkan, apa kebutuhan organisasi, dan kemudian mengambil tindakan untuk mencapai
kedua hal tersebut.
b. Faktor atasan langsung pegawai atau manajer
Atasan langsung pegawai atau manajer harus memahami bakat, kepentingan dan
kebutuhan masing-masing pegawai, kemudian mencocokkan dan menyelaraskan
dengan kebutuhan dan tujuan organisasi. Selain itu, atasan langsung pegawai juga harus
mampu menciptakan rasa saling percaya dalam hubungan interpersonal yang baik
dengan bawahannya.
c. Faktor pimpinan puncak organisasi atau eksekutif
Pimpinan puncak organisasi harus menunjukkan konsistensi dalam kata-kata dan
perbuatan, menjalin komunikasi dengan pegawai untuk membangun kepercayaan
pegawai terhadap kepemimpinan maupun kebijakan yang diambil oleh pemimpin
organisasi, dan menyelaraskan semua aktifitas pekerjaan dalam organisasi untuk
mendorong terciptanya engagement pegawai dengan tidak mengabaikan tercapainya
visi, misi dan tujuan organisasi. Pimpinan harus mampu menyampaikan strategi
organisasi dengan jelas kepada pegawai, dampak dan manfaat dari implementasi
strategis tersebut bagi pegawai, serta alternatif kebijakan apa yang akan diambil oleh
pimpinan organisasi apabila strategi tersebut ternyata gagal atau tidak sesuai dengan
perencanaa.
Dalam HC Engagement Process, didesain dan diimplementasikan beberapa sistem HC
Engagement, terutama terkait dengan sistem hubungan industrial dan hubungan
kepegawaian. Dalam HC Engagement, organisasi harus memastikan bahwa orang-orang
terbaik terikat secara emosional dan intelektual dengan organisasi, serta betah dan nyaman
bekerja dalam organisasi.
Dalam roadmap Reformasi Birokrasi 2015-2019, kondisi yang ingin diwujudkan dalam
pembangunan ASN nasional periode 2015-2019 terkait dengan HC Engagement adalah
meningkatnya kesejahteraan ASN. Untuk mewujudkan harapan tersebut dan mencapai
tujuan manajemen ASN BPOM, maka berbagai kegiatan terkait dengan HC Engagement
Process yang perlu dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Perumusan kebijakan manajemen SDM terkait dengan HC Engagement, yaitu
mendorong penerapan manajemen ASN yang professional dan tidak memihak
- 82 -
Manajemen SDM adalah sistem yang terdiri dari banyak aktifitas yang saling terkait satu
sama lainnya (interdependen). Setiap aktivitas dalam manajemen SDM mempengaruhi
program/kegiatan dan SDM yang lain. Misalnya keputusan untuk memberikan
penghargaan atau hukuman kepada seorang pegawai berpotensi menimbulkan
persoalan baru di bidang kepegawaian, hubungan antar pegawai maupun dengan
manajemen dan bahkan sampai berpengaruh terhadap kepatuhan sosial dan hubungan
kekeluargaan. Obyek dari manajemen SDM adalah manusia yang bersifat dinamis dan
berubah, baik secara kuantitas maupun kualitya sehingga kebijakan terkait dengan
manajemen SDM harus ditetapkan secara tepat, dilakukan secara professional, adil dan
tidak memihak terhadap semua pegawai.
Dalam UU tentang telah ditegaskan bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen
ASN dilaksanakan berdasarkan asas: a) kepastian hukum; b) profesionalitas; c)
proporsionalitas; d) keterpaduan; e) delegasi; f) netralitas; g) akuntabilitas; h) efektif
dan efisien; i) keterbukaan; j) nondiskriminatif; k) persatuan dan kesatuan; l) keadilan
dan kesetaraan; dan m) kesejahteraan.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dibangun dan dirumuskan sistem dan kebijakan
manajemen ASN BPOM yang professional dan tidak memihak untuk meningkatkan
engagement pegawai. Professional mengacu kepada asas manajemen ASN yaitu
kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Selain itu,
professional juga mengacu kepada budaya kerja organisasi BPOM bahwa setiap
pekerjaan di BPOM harus dilaksanakan secara professional. Sedangkan tidak memihak
mengacu kepada asas manajemen ASN yaitu netralitas, nondiskriminatif, keadilan dan
kesetaraan, dan kesejahteraan. Selain itu, tidak memihak juga merupakan implementasi
dari nilai dan budaya kerja organisasi BPOM, yaitu integritas.
b. Perumusan dan perbaikan sistem kebijakan reward dan punishment pegawai berbasis
kinerja dan berkeadilan
Kebijakan dan implementasi manajemen ASN harus mampu meningkatkan engagement
pegawai terhadap organisasi. Engagement pegawai juga diperlukan untuk
mempertahankan orang-orang terbaik dalam organisasi sehingga tujuan untuk menjadi
ketersediaan ASN yang berkualitas dan kompeten dalam organisasi dapat diwujudkan.
Pegawai dengan engagement tinggi terhadap organisasi kecil kemungkinan untuk
pindah dan berpotensi untuk memberikan kinerja yang optimal bagi organisasi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu hal yang harus mendapatkan perhatian
manajemen dalam implementasi manajemen ASN adalah sistem dan kebijakan dalam
- 83 -
pemberian penghargaan (reward) dan pengenaan hukuman (punishment) bagi pegawai.
UU tentang ASN telah menekankan pentingnya kinerja ASN dalam upaya mewujudkan
tata kelola pemerintahan yang baik, serta meningkatkan profesionalitas ASN dalam
melaksanakan pekerjaan. Mengacu kepada hal tersebut, sistem dan kebijakan dalam
pemberian penghargaan dan pengenaan hukuman harus dilakukan berbasis pada
kinerja pegawai, serta dilaksanakan secara adil bagi seluruh pegawai ASN.
Agar kebijakan pemberian hadiah dan pengenaan hukuman dapat adil bagi seluruh
pegawai, perlu disusun ketentuan dan kriteria pegawai yang berhak memperoleh
penghargaan atau hadiah dan pegawai yang harus dikenakan hukuman. Selain itu juga
perlu ditetapkan jenis pengharagaan dan/atau hadiah, serta hukuman yang dapat
diberikan kepada pegawai yang dapat mendorong peningkatan engagement pegawai
terhadap organisasi. Beberapa kriteria telah diatur melalui peraturan perundang-
undangan, terutama terkait dengan hukuman disiplin pegawai. Meskipun demikian,
perlu dikembangkan ketentuan dan kriteria pegawai yang berhak memperoleh
penghargaan, terutama yang berhubungan dengan kontribusi dan kinerja pegawai bagi
organisasi, serta berbagai program untuk peningkatan engagement pegawai. Berbagai
ketentuan dan kriteria terkait dengan pemberian penghargaan atau hadiah, serta
pengenaan hukuman harus tersosialisasikan dan diketahui oleh seluruh pegawai dalam
organisasi.
Kebijakan terkait dengan pemberian penghargaan atau hadiah, serta pengenaan
hukuman sebaiknya juga perlu melihat karakteristik dan tipologi kepribadian pegawai.
Hal tersebut penting karena dalam kenyataannya terdapat pegawai yang lebih
termotivasi dan meningkat engagement-nya terhadap organisasi jika diberikan
penghargaan, tetapi juga ada pegawai yang lebih termotivasi karena takut terhadap
hukuman.
Hal lain yang juga penting dalam sistem kebijakan pemberian penghargaan atau hadiah,
serta pengenaan hukuman adalah konsistensi organisasi dan manajemen dalam
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Konsisten disini tidak hanya bagi pegawai
level menengah kebawah, tetapi juga konsisten bagi seluruh pegawai, termasuk
terhadap pimpinan puncak organisasi. Hal tersebut penting untuk menjaga kepercayaan
pegawai terhadap organisasi. Apabila pegawai sudah tidak percaya terhadap
manajemen dan organisasi, hampir dapat dipastikan akan menghambat implementasi
program peningkatan engagement pegawai melalui kebijakan pemberian penghargaan
atau hadiah, serta pengenaan hukuman.
- 84 -
c. Peningkatan kualitas pelayanan kepegawaian internal organisasi
Upaya yang gencar dilakukan BPOM dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat/stakeholders eksternal harus diimbangi dengan upaya tiada henti untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan internal (baca:pegawai) organisasi.
Kualitas pelayanan kepada pegawai menunjukkan seberapa tinggi komitmen pimpinan
dan manajemen organisasi dalam menerapkan HCM. Semakin tinggi kualitas pelayanan
kepada pegawai menunjukkan komitmen yang tinggi dari pimpinan dan manajemen
untuk menjadikan SDM sebagai aset utama yang sangat berharga dan menjadi faktor
penentu kinerja organisasi, bukan hanya wacana untuk meraih simpati dari para
pegawai.
Untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanan internal BPOM dapat dilakukan
berbagai upaya dengan melibatkan pihak-pihak terkait, antara lain melalui:
1) Optimalisasi peran Teknologi Informasi dalam melakukan pelayanan kepada
pegawai
Apabila untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada stakeholders eksternal
telah dikembangkan berbagai aplikasi e-registration, maka untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kepada pelanggan internal dapat mengoptimalkan peran
Teknologi Informasi melalui pengembangan portal yang hanya dapat diakses oleh
pegawai internal BPOM. Portal tersebut dikembangkan sebagai media untuk
komunikasi, sosialisasi, dan internalisasi berbagai kebijakan internal BPOM yang
bersifat 2 (dua) arah. Dalam portal dapat dikembangkan menu berbagai aplikasi
kepegawaian yang terintegrasi (cuti, SIPT, SKP, LHK, Pengelolaan Jabatan
Fungsional, kompetensi, dossier pegawai, dll), menu terkait knowledge
management, e-learning, inovasi, konsultasi, dll. Dengan berbagai menu tersebut,
harapannya adalah pegawai semakin mudah untuk memperoleh informasi yang
diperlukan terkait dengan kepegawaian dan kebijakan organisasi, mendukung
peningkatan kompetensi pegawai, serta memberikan kemudahan bagi pegawai
dalam mengurus administrasi kepegawaian.
2) Perhatian organisasi melalui pemenuhan kebutuhan pegawai
Berdasarkan teori hierarki kebutuhan yang disampaikan oleh tokoh Psikologi
Humanis Abraham Maslow menyatakan bahwa manusia adalah makhluk
berkebutuhan yang jarang mencapai kepuasan penuh kecuali dalam waktu yang
singkat. Artinya, kebutuhan manusia tidak akan pernah habis sampai manusia
tersebut meninggal dunia. Tingkat kepuasan antara manusia satu dengan manusia
- 85 -
lainnya terkait pemenuhan kebutuhan tertentu juga relatif dan tidak sama, tetapi
jenis kebutuhan antara manusia yang satu dengan yang lain relatif sama, meliputi
kebutuhan fisiologis dan biologis sebagai kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap rasa
aman, kebutuhan terhadap pengakuan dan kasih sayang, kebutuhan untuk dihargai
dan kebutuhan untuk melakukan aktualisasi diri.
Meningkatkan engagement pegawai terhadap organisasi dapat dilakukan melalui
pemenuhan berbagai kebutuhan tersebut oleh organisasi. Dengan kepuasan masing-
masing pegawai yang relatif tidak sama, sebagai bentuk pelayanan organisasi
kepada pegawai, kewajiban organisasi adalah merumuskan dan
mengimplementasikan sistem dan kebijakan agar mampu memfasilitasi semua
pegawai dalam pemenuhan masing-masing kebutuhannya.
Berdasarkan teori yang dikemukakan Maslow pula, arah perkembangan manusia
adalah melakukan aktualisasi diri karena pencapaian aktualisasi diri oleh seseorang
menunjukkan kedewasaan dan kematangan kepribadian dengan pencapaian kondisi
psikologis tertinggi yang memunculkan fenomena pengalaman puncak, nilai-nilai
pertumbuhan, perubahan cara pandang dalam melihat kehidupan menjadi semakin
jernih, artinya dapat melihat hidup dengan apa adanya, menerimanya dan tidak
hanya berorientasi terhadap pemenuhan keinginan pribadi, tetapi mampu melihat
permasalahan secara menyeluruh dengan mengesampingkan nafsu atau keinginan
pribadi. Tidak bersikap emosional, tetapi bersikap lebih obyektif terhadap sesuatu
yang dilihat dan dirasakan. Kadar konflik dalam diri rendah, atau sama sekali tidak
memiliki konflik dalam diri sehingga dapat menerima diri apa adanya dan tidak
melawan terhadap diri sendiri.
Dengan pertimbangan bahwa manusia dalam berkembang memiliki berbagai
kebutuhan yang harus dipuaskan, dan kebutuhan tertinggi dari manusia adalah
aktualisasi diri, maka peningkatan engagement pegawai melalui pelayanan
organisasi terhadap pegawai dapat diarahkan terhadap pemuasan kebutuhan
pegawai dengan mendorong pegawai mencapai aktualisasi diri. Tujuan akhir dari
pelayanan kepada pegawai adalah memunculkan kebahagiaan pada masing-masing
pegawai melalui pemaknaan hidup.
Dengan peningkatan kualitas pelayanan kepada pegawai internal organisasi,
harapannya engagement pegawai terhadap organisasi dapat meningkat sehingga
mendukung peningkatan kinerja pegawai dan organisasi.
- 86 -
d. Mendorong terciptanya budaya organisasi dan lingkungan kerja yang kondusif dan
nyaman untuk bekerja
BPOM dalam rencana strategis 2015-2019 telah menetapkan nilai-nilai dan budaya
organisasi yang ingin dibangun dalam berorganisasi, yaitu Profesional, Integritas,
Kredibilitas, Kerjasama Tim, Inovatif dan Responsif/Cepat Tanggap (PIKKIR). Dengan
nilai dan budaya organisasi tersebut diharapkan dapat menjadi spirit dan menyatukan
setiap unsur organisasi dalam melaksanakan pekerjaan pengawasan obat dan makanan.
Selain itu, agar seluruh pegawai dapat berkontribusi maksimal terhadap kinerja
organisasi, kewajiban organisasi adalah menciptakan sistem dan lingkungan kerja yang
nyaman dan kondusif untuk melaksanakan semua pekerjaan di lingkungan BPOM,
tujuannya adalah terjadi keterikatan atau engagement secara emosional dan intelektual
antara pegawai dengan organisasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, beberapa kegiatan
yang perlu dilakukan, antara lain:
1) Menciptakan organisasi BPOM yang ramah terhadap pegawainya
Ramah disini diartikan bahwa organisasi BPOM harus mampu menjadi tempat yang
nyaman bagi pegawainya dalam berkarya, serta menjadi rumah dan keluarga kedua
bagi pegawainya. Ramah juga diartikan bahwa pegawai BPOM dengan senang hati
datang ke kantor, melaksanakan pekerjaan dengan semangat, layaknya mereka juga
dengan senang hati dan semangat saat jam pulang kantor karena akan bertemu
orang-orang yang disayangi dalam keluarga.
Apabila waktu selama sehari adalah 24 jam, dikurangi jam istiharat seseorang rata-
rata 7 jam sehari dan rata-rata pegawai menghabiskan waktu dikantor lebih dari 8
jam sehari, serta masih ditambah waktu yang dibutuhkan di jalan untuk berangkat
dan pulang kerja, maka dapat disimpulkan mayoritas pegawai menghabiskan waktu
terjaga adalah di kantor. Dapat dibayangkan apabila organisasi BPOM tidak dapat
menjadi tempat yang ramah dan nyaman bagi pegawainya, antar pegawai tidak
mampu berhubungan dengan baik layaknya hubungan dalam keluarga, serta rasa
memiliki dan keterikatan pegawai yang rendah terhadap organisasi, berapa energi
yang harus dikeluarkan dengan sia-sia oleh setiap pegawai saat berada di kantor.
Pimpinan organisasi harus mampu menjadi orang tua bagi seluruh pegawai dengan
menunjukkan kepeduliannya terhadap semua pegawai. Konsisten antara perkataan
dan perbuatan sehingga menjadi contoh yang baik bagi pegawainya. Mampu
bersikap adil dan tidak pilih kasih, layaknya orang tua yang berusaha untuk bersikap
adil terhadap anak-anaknya. Pernyataan pimpinan bahwa SDM adalah aset utama
- 87 -
organisasi yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi harus didukung dengan
kebijakan nyata dari pimpinan yang dapat dirasakan langsung oleh para pegawai
bahwa memang benar mereka adalah aset utama organisasi. Berbagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh pimpinan terkait dengan manajemen SDM harus mampu
membuat pegawai semakin nyaman bekerja dan semakin engage terhadap
organisasi, serta mampu mengantarkan pegawainya terhadap kesuksesannya.
Pemimpin akan dianggap sukses apabila orang-orang yang dipimpinnya juga meraih
kesuksesan.
Organisasi harus mampu menjadi tempat yang ramah dan nyaman bagi pegawainya.
Mampu merubah energi yang dikeluarkan oleh pegawainya selama bekerja menjadi
sebuah energi positif yang mampu menyatukan seluruh anggota organisasi dan
merubahnya menjadi sebuah kinerja optimal dalam rangka melaksanakan amanah
dalam melindungi kesehatan masyarakat dan meningkatkan daya saing bangsa.
Untuk mewujudkan harapan agar BPOM menjadi tempat yang ramah dan nyaman
bagi pegawainya, salah satunya adalah dengan berhenti memberikan alasan dan
mulai menghadapi kenyataan. Pengembangan pegawai harus dilakukan dengan niat
yang tulus dan keikhlasan yang tanpa pamrih selain untuk meningkatkan kualitas
hidup pegawai. Jargon-jargon dan arahan pimpinan untuk meningkatkan kualitas
hidup pegawainya harus benar-benar diimplementasikan dengan baik, bukan hanya
sebagai alat untuk mendorong moral pegawai agar dianggap pemimpin yang
memahami dan mengerti pegawainya dan distempel pegawainya dengan stempel
“merakyat”.
Untuk menjadi organisasi yang ramah bagi pegawainya, pola pikir dan sudut
pandang harus diubah dan diperluas. Pada saat organisasi berusaha untuk
mengembangkan pegawainya, berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup
pegawainya, pada saat itu juga organisasi sedang berusaha untuk meningkatkan
kualitas hidup keluarga dari setiap pegawai. Untuk meningkatkan engagement
pegawai, orientasi organisasi harus diperluas, tidak hanya berorientasi terhadap
kinerja organisasi atau berorientasi terhadap pegawai, tetapi juga berorientasi
terhadap keluarga dari masing-masing pegawai. Organisasi menuntut pegawainya
untuk berkontribusi maksimal terhadap kinerja organisasi, sebaliknya organisasi
juga harus berkontribusi maksimal terhadap kualitas hidup pegawai dan
keluarganya.
- 88 -
2) Sosialisasi dan implementasi nilai dan budaya kerja organisasi
Setelah nilai dan budaya organisasi dirumuskan dan ditetapkan, pekerjaan belum
selesai pada saat nilai dan budaya organisasi tersebut tertulis rapi pada poster-
poster yang tertempel di dinding-dinding kantor. Nilai dan budaya organisasi harus
disosialisasikan kepada seluruh pegawai dan terinternalisasi pada diri masing-
masing pegawai serta teraktualisasi pada sikap dan perilaku kerja pegawai.
Sosialisasi dan internalisasi nilai dan budaya organisasi kepada seluruh pegawai
dalam organisasi diperlukan karena melalui nilai dan budaya organisasi diharapkan
dapat menyatukan seluruh unsur dalam organisasi dan menjadi spirit bagi pegawai
dalam melaksanakan setiap pekerjaannya.
Selain hal tersebut, sosialisasi dan internalisasi nilai dan budaya organisasi penting
untuk dilakukan karena pada kenyataannya bukan nilai dan budaya organisasi yang
tertempel rapi melalui poster di dinding kantor yang membentuk nilai dan budaya
organisasi yang sebenarnya. Nilai dan budaya organisasi yang sebenarnya dibentuk
berdasarkan kepribadian dan karakter para pegawainya, terutama pimpinan dan
jajaran manajemen organisasi. Sikap, perilaku, dan karakter pemimpin organisasi
adalah manifestasi yang sebenarnya dari nilai dan budaya organisasi. Sebaik dan
sebagus apapun nilai dan budaya organisasi, apabila pemimpin dalam organisasi
tidak mencerminkan nilai dan budaya organisasi tersebut dalam perkataan, sikap
dan perilaku sehari-hari, maka hampir dapat dipastikan bahwa nilai dan budaya
organisasi tersebut tidak dapat terinternalisasi dalam diri setiap pegawai dan tidak
tercermin dalam perkataan, sikap dan perilaku dalam berorganisasi.
Sosialisasi dan internalisasi nilai dan budaya organisasi tidak hanya dilakukan
melalui poster, himbauan, ajakan, pemberian hadiah maupuan melalui ancaman
hukuman, tetapi juga melalui contoh nyata dalam perkataan, sikap dan perilaku para
pimpinan maupun pegawai yang dijadikan panutan (role dan people model) dalam
organisasi. Untuk melaksanakan sosialisasi dan internalisasi nilai dan budaya
organisasi, dapat meniru dan mengimplementasikan ajaran dan petuah bijak guru
bangsa Ki Hajar Dewantoro, yaitu “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun
Karso, Tut Wuri Handayani”.
Sosialisasi dan internalisasi nilai dan budaya organisasi baru dapat dinyatakan
berhasil apabila seluruh pegawai dalam organisasi telah mengimplementasikan nilai
dan budaya organisasi dalam bekerja. Nilai dan budaya organisasi telah menjadi
spirit dan ruh dalam kehidupan berorganisasi, mulai dari pimpinan tertinggi sampai
pada pegawai dengan grading terendah.
- 89 -
3) Menciptakan sistem dan iklim kerja yang kondusif dan transparan sehingga mampu
memberi motivasi kerja bagi pegawai, dan sebagai sarana untuk mengembangkan
kompetensi pegawai.
Dalam pengembangan pegawai dan menciptakan engagement pegawai dalam
berorganisasi, perlu diperhatikan dan diantisipasi munculnya bahaya laten dalam
manajemen SDM yang akhirnya memunculkan tindakan kontraproduktif dari
pegawai, seperti menunda-nunda pekerjaan, melambatkan penyelesaian pekerjaan,
melakukan ‘sabotase’ dan penghambatan pekerjaan yang dilakukan sebagai bentuk
pemberontakan terhadap ketidaknyamanan akibat sistem dan praktik manajemen
SDM yang diterapkan organisasi. Untuk mengantisipasi muculnya berbagai bahaya
laten tersebut, organisasi perlu memperhatikan lingkungan dan iklim kerja yang
salama ini telah terbangun, merubahnya menjadi lebih kondusif dan nyaman bagi
pegawainya. Hal tersebut penting mengingat obyek dari manajemen SDM adalah
manusia yang memiliki keunikan sendiri-sendiri.
SDM adalah sumber daya yang unik bagi organisasi dengan berbagai tipologi
kepribadiannya masing-masing, memiliki potensi dan kompetensi yang tidak sama
antar pegawai yang berpengaruh terhadap sikap kerja dan kinerja pegawai. Selain
itu, SDM adalah sumber daya utama yang berpengaruh terhadap maju dan
mundurnya organisasi. Beberapa ahli manajemen SDM, antara lain Jim Collins dan
Robert M. Tomasko menyatakan bahwa perusahan atau organisasi besar dan hebat
tidak memulai langkah besar bisnisnya dari memikirkan strategi, tetapi menyiapkan
orang. Jadi yang pertama disiapkan adalah siapa atau manusianya, bukan apa atau
bagaimana.
Apabila manusia merupakan faktor utama yang paling berpengaruh terhadap
kemajuan organisasi, maka yang harus dilakukan adalah hanya memiliki orang-
orang berkualitas untuk bergabung dalam organisasi, serta menciptakan sistem dan
iklim kerja yang kondusif dan transparan sehingga mampu memberikan
kenyamanan dan motivasi kerja bagi pegawai, serta mampu mengikat pegawai yang
berkualitas dengan organisasi agar bersedia untuk bertahan dalam organisasi. Tugas
organisasi harus mampu menciptakan menciptakan dan menumbuhkan lingkungan
kerja yang nyaman bagi pegawainya dimana rasa saling menghargai dan
mempercayai antar pegawai tumbuh subur dan mendukung terciptanya kreativitas
dan kinerja optimal dari masing-masing pegawai. Sistem dan budaya yang dibangun
harus mampu meningkatkan rasa memiliki pegawai terhadap organisasi sehingga
pegawai dengan ikhlas memberikan potensi dan kompetensinya untuk organisasi
- 90 -
karena mereka sadar bahwa pada akhirnya nanti, apapun kebijakan yang
dikeluarkan organisasi adalah untuk kebaikan semua pegawai dan anggota
organisasi.
4. Human Capital Retention (HC Retention)
HC Retention adalah salah satu proses dalam HCM untuk memastikan bahwa seluruh
penghargaan yang diberikan organisasi kepada ASN berdampak terhadap pengelolaan
kompetensi yang dibutuhkan organisasi dan dapat mempertahankan atau meningkatkan
kinerja setiap ASN dalam organisasi. Dalam proses ini, didesain dan diimplementasikan
beberapa sistem Human Capital, seperti sistem imbal jasa dan sistem manajemen kinerja.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mark A. Murphi pada tahun 2006 (dalam
Poniman, 2015) mengungkapkan bahwa sebuah organisasi yang tidak pernah memikirkan
retensi pegawai dan bergantung kepada mekanisme yang berlaku dan situasi lingkungan
organisasi, maka pada saat bursa kerja menguat, tingkat turn over pegawai akan berubah
drastis dari 5% menjadi 50% hanya dalam satu hari. Penelitian atau survey lain yang juga
dilakukan oleh Mark A. Murphi pada tahun 2010 terhadap 100.000 pemimpin atau manajer
dalam organisasi bisnis di dunia menyatakan bahwa terdapat terdapat 5 (lima) alasan
utama seorang pegawai memutuskan untuk meninggalkan organisasi, yaitu:
a. Coachability (26%), yaitu terkait hubungan antara bawahan dengan atasan, sejauhmana
pegawai menerima dan melaksanakan arahan, tugas, maupun umpan balik yang
diberikan atasan, rekan kerja, atau kolega lainnya dalam organisasi.
b. Kecerdasan emosi pegawai (23%), yaitu kemampuan untuk menerima, memahami dan
mengelola tingkat emosi diri sendiri dan dalam memahami emosi orang lain dalam
berbagai situasi dan kondisi.
c. Motivasi (17%), yaitu dorongan bagi pegawai untuk mengoptimalisasikan potensi dan
kompetensi unggul yang dimiliki dalam pekerjaan.
d. Tipologi Kepribadian (15%), yaitu sikap, kepribadian dan karakter yang dimiliki
pegawai yang sesuai dengan karakteristik pekerjaan dan lingkungan kerja.
e. Kompetensi teknis (11%), yaitu keterampilan atau kemampuan teknis atau fungsional
yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan.
Memperhatikan hasil survey tersebut, faktor lingkungan kerja, terutama hubungan atasan
bawahan maupun hubungan dengan rekan kerja lain menempati posisi tertinggi yang
menyebabkan pegawai memutuskan untuk pindah atau keluar dari organisasi, selain juga
- 91 -
dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan emosi pegawai. Seringkali pegawai memutuskan untuk
pindah atau keluar dari organisasi adalah karena ingin meninggalkan manajer atau
atasannya dibanding dengan meninggalkan organisasi atau pekerjaannya.
Dari sebuah studi juga disebutkan bahwa 47% orang-orang terbaik dalam organisasi aktif
mencari pekerjaan, dan 44% diantaranya melakukannya secara pasif. Penelitian lain yang
dilakukan di salah satu perusahaan di Indonesia menyatakan bahwa hanya 12% pegawai
yang menyatakan bahwa keputusan untuk berpindah atau meninggalkan organisasi tempat
pegawai tersebut bekerja dipengaruhi oleh gaji dan kesejahteraan. Selebihnya adalah
karena faktor lingkungan kerja, sarana dan fasilitas kerja, kenyamanan kerja, dan faktor
atasan yang kurang mendukung pegawai.
Berbagai penelitian maupun survey tersebut mayoritas memang dilakukan di organisasi
swasta yang berorientasi pada keuntungan atau profit finansial, tetapi berbagai data hasil
penelitian tersebut dapat dijadikan bahan dalam mengelola manajemen ASN terkait HC
Retention di Instansi Pemerintah mengingat minimnya data atau hasil penelitian terkait
manajemen ASN yang dilakukan di Instansi Pemerintah di Indonesia.
Kesimpulan dari berbagai penelitian tersebut adalah pentingnya program terkait HC
Retention untuk diperhatikan dan dikelola dengan baik agar dapat mempertahankan orang-
orang terbaik dalam organisasi. Dan untuk melakukannya, dibutuhkan para manajer atau
atasan langsung pegawai yang berkualitas, yang mampu menciptakan lingkungan kerja yang
nyaman bagi bawahan, mampu memahami karakteristik, potensi dan kompetensi bawahan
dan mengoptimalkannya menjadi kinerja dengan tetap menjaga motivasi kerja dan
membuat bawahan nyaman dalam bekerja.
Dalam roadmap Reformasi Birokrasi 2015-2019, kondisi yang ingin diwujudkan dalam
pembangunan ASN nasional periode 2015-2019 terkait dengan HC Retention adalah :
a. Meningkatnya jumlah instansi yang mampu menerapkan manajemen kinerja individu
untuk mengidentifikasi dan meningkatkan kompetensi ASN;
b. Meningkatnya jumlah instansi yang mampu mewujudkan sistem informasi manajemen
ASN yang terintegrasi; dan
c. Penguatan sistem remunerasi berbasis pada kinerja dan berkeadilan.
Untuk mewujudkan harapan tersebut dan mencapai tujuan manajemen ASN BPOM, maka
berbagai kegiatan terkait dengan HC Retention Process yang perlu dilakukan antara lain
dapat diuraikan sebagai berikut:
- 92 -
a. Penguatan sistem dan kebijakan penilaian kinerja pegawai
Mengacu kepada regulasi, penilaian kinerja PNS didefinisikan sebagai suatu proses
penilaian secara sistematis yang dilakukan oleh penilai terhadap sasaran kerja pegawai
dan perilaku kerja PNS. Dengan ditetapkannya UU tentang ASN pada tahun 2014,
manajemen PNS dalam melakukan evaluasi atau penilaian kinerja pegawai telah
berubah. Dulu pegawai yang rajin, datang tepat waktu dan pulang melebihi jadwal
pulang dianggap sebagai pegawai potensial dan berkinerja unggul. Meskipun tidak ada
yang salah dengan hal tersebut, tetapi perlu standar dan ukuran yang lebih baik dalam
menilai pegawai yang berkinerja baik atau buruk. Dengan diberlakukannya PP 46 Tahun
2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil dengan ketentuan pelaksana
sesuai Peraturan Kepala BKN Nomor 1 Tahun 2013 dan di lingkungan BPOM telah
diterbitkan Peraturan Kepala BPOM Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Penilaian
Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan,
mekanisme penilaian dan pengukuran kinerja telah mengalami perubahan dibanding
dengan peraturan sebelumnya yang mengatur tentang Daftar Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan (DP3) Pegawai Negeri Sipil. Penilaian kinerja tidak hanya sekedar masuk
kerja, tetapi setelah bekerja dilakukan evaluasi pegawai tersebut menghasilkan apa.
PP Nomor 46 Tahun 2011 ditetapkan untuk merubah mekanisme penilaian kinerja
pegawai serta menghilangkan subyektifitas dalam melakukan penilaian kinerja pegawai
yang sangat terasa pada saat penilaian kinerja pegawai masih dilakukan dengan DP3.
Pada kenyataannya, pemberlakukan PP Nomor 46 Tahun 2011 yang secara efektif mulai
dilaksanakan pada tahun 2014 ternyata juga tidak secara langsung merubah pola pikir
dan menghilangkan subyektifitas dalam melakukan penilaian kinerja pegawai oleh
atasan langsung pegawai. Uraian dalam sasaran kerja pegawai (SKP) seringkali masih
dipahami sebagai uraian pekerjaan pegawai sehingga penerapannya berubah dari
penilaian kinerja pegawai yang didasarkan pada target dan output hasil pekerjaan
menjadi penilaian terhadap berapa banyak pekerjaan yang telah dilakukan oleh
pegawai. Penetapan target kinerja yang dijadikan dasar dalam melakukan penilaian
kinerja pegawai disusun secara asal-asalan tanpa memperhatikan faktor keadilan antar
pegawai maupun kompetensi pegawai. Target kinerja ditetapkan tidak berdasarkan
jenis dan jenjang jabatan, tetapi berdasarkan kemampuan yang dimiliki pegawai
sehingga pada saat dilakukan penilaian kinerja, mayoritas pegawai mampu mencapai
semua target kinerja yang dibebankan kepada pegawai. Akibat dari perilaku tersebut,
tidak jarang ditemukan target kinerja yang berbeda cukup signifikan antara satu
pegawai dengan pegawai lainnya, baik dari segi jumlah target kinerja maupun output
- 93 -
yang harus dicapai dari masing-masing butir target kinerja padahal jabatannya sama
atau selevel. Evaluasi penilaian kinerja tidak jarang hanya memperhatikan jumlah atau
kuantitas dari capaian output hasil pekerjaan dengan mengesampingkan kualitas dari
output tiap-tiap butir target kinerja. Penilaian kinerja pegawai juga masih menjadi
monopoli atasan langsung pegawai.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, maka perlu dilakukan penguatan sistem dan
kebijakan penilaian kinerja pegawai ASN melalui perbaikan manajemen kinerja ASN,
antara lain melalui perbaikan butir target kinerja dalam formulir penilaian prestasi
kerja pegawai yang tidak hanya menuliskan daftar pekerjaan pegawai, serta
kemungkinan penilaian kinerja pegawai dilakukan dengan format penilaian 360 derajat
dengan evaluasi atau ukuran penilaian yang terstandar. Penguatan sistem dan kebijakan
penilaian kinerja pegawai harus tetap dilaksanakan dengan memegang prinsip-prinsip
dalam manajemen kinerja pegawai, yaitu objektif, terukur, akuntabel, partisipatif,
transparan, serta berkeadilan. Hasil dari penguatan sistem dan kebijakan dalam
manajemen kinerja ASN harus dapat dimanfaatkan dalam:
a. Melakukan identifikasi dan merencanakan kebutuhan pengembangan pegawai,
meliputi pengembangan karier dan kompetensi pegawai.
b. Melakukan upaya perbaikan dalam implementasi manajemen kinerja pegawai
melalui tindaklanjut permasalahan yang ditemukan dalam mengelola kinerja
pegawai, mulai dari perencanaan sampai evaluasi atau penilaian prestasi kerja
pegawai.
c. Pemberian penghargaan dan pengenaan sanksi kepada ASN sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
d. Mendukung pelaksanaan manajemen ASN lainnya.
Selain itu, penguatan sistem dan kebijakan dalam manajemen kinerja tidak dapat
dilepaskan dari fungsi manajemen kinerja dalam manajemen kepegawaian, meliputi
(Raymond dalam Poniman, 2015):
1) Fungsi strategis, yaitu sistem manajemen kinerja harus berkaitan antara aktivitas
pegawai dengan visi, misi dan tujuan strategis organisasi.
2) Fungsi administratif, yaitu sistem manajemen kinerja harus menunjang sistem-
sistem manajemen SDM dalam membuat keputusan terkait dengan SDM, misalnya
kenaikan pangkat, promosi dan mutasi jabatan, gaji, dll.
- 94 -
3) Fungsi pengembangan, yaitu sistem manajemen kinerja harus menunjang
pengembangan karier dan kompetensi pegawai.
Kegiatan dalam manajemen SDM yang baik harus mampu memberikan manfaat bagi
organisasi dan pegawai, begitu pula kegiatan dalam manajemen kinerja pegawai.
Manfaat dari manajemen kinerja bagi organisasi dan pegawai antara lain:
1) Memperbaiki kinerja pegawai
2) Melakukan evaluasi dan dasar dalam penyesuaian terhadap penempatan dan
pengangkatan pegawai dalam jabatan tertentu
3) Sebagai dasar dalam melakukan perencanaan dan pengembangan karier serta
kompetensi pegawai
4) Memperbaiki informasi terkait dengan ketidakakuratan (validitas) data kinerja
pegawai, dan
5) Memberikan umpan balik bagi pegawai terkait dengan pelaksanaan manajemen
SDM dalam organisasi
Untuk jangka panjang, penguatan sistem dan kebijakan dalam melakukan penilaian
kinerja pegawai melalui perbaikan manajemen kinerja pegawai ASN harus mampu
menjamin peningkatan efektifitas dan efisiensi implementasi manajemen ASN,
khususnya implementasi HCM di BPOM dalam mendukung pelaksanaan rencana
strategis organisasi dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi.
b. Evaluasi dan pengukuran kinerja pegawai yang transparan dan berkeadilan
Evaluasi dan pengukuran kinerja pegawai, salah satunya melalui kegiatan penilaian
prestasi kerja/kinerja pegawai harus dilakukan dengan sistem manajemen kinerja yang
baik secara konseptual dan baik dalam implementasinya. Secara konseptual, sistem
manajemen kinerja telah diatur dalam regulasi tentang penilaian kinerja pegawai dan
kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan organisasi terkait manajemen kinerja dalam
organisasi. Tantangan bagi organisasi dan manajemen adalah mengimplementasikan
regulasi dan kebijakan di bidang manajemen kinerja dalam organisasi dengan berbagai
karakteristik dan latar belakang anggotanya dengan tetap menjaga transparansi dan
keadilan antar pegawai, serta mewujudkan tujuan organisasi.
Manajemen kinerja pegawai harus mampu mendukung organisasi dalam mewujudkan
tujuan manajemen ASN, yaitu menjamin ketersediaan ASN yang berkualitas unggul.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pelaksanaan manajemen kinerja pegawai melalui
evaluasi terhadap Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) wajib dilakukan secara konsisten dan
- 95 -
transparan, baik pada saat pembagian pekerjaan dan target pencapaian kinerja untuk
masing-masing pegawai maupun pada saat evaluasi SKP. Setiap pegawai diberikan
beban kerja dan target pencapaian kinerja secara adil dan berkeadilan sesuai dengan
level kompetensi, jenis dan jenjang jabatannya, dan dilakukan evaluasi setiap akhir
tahun secara transparan dengan standar penilaian yang sama untuk seluruh pegawai .
Subyektifiktas dan faktor kedekatan dalam melakukan penilaian kinerja pegawai
semaksimal mungkin dihindari sehingga hasil penilaian kinerja pegawai dapat
dipertanggung jawabkan validitas dan reliabilitasnya.
Hasil dari penilaian kinerja pegawai bersama-sama dengan data penilaian kompetensi
pegawai dan data track record pegawai dijadikan dasar dalam pembinaan dan
pengembangan karier serta kompetensi pegawai. Hal tersebut sekaligus sebagai
implementasi amanah UU tentang untuk menerapkan sistem merit dalam manajemen
ASN.
c. Perumusan dan implementasi sistem dan kebijakan pemanfaatan/pengembangan
database profil potensi, kompetensi, kinerja, dan track record ASN
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang , pengembangan karier
PNS dilakukan berdasarkan kualifikasi, kompetensi, penilaian kinerja, dan kebutuhan
Instansi Pemerintan dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas PNS. Selain
itu, manajemen ASN dilakukan dengan sistem merit dan berbasis jabatan, bukan lagi
berbasis pada karier. Sistem merit dalam manajemen PNS dilaksanakan dengan
berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan
tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis
kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Manajemen ASN berbasis
jabatan dilaksanakan melalui perbandingan obyektif antara kualifikasi dan kompetensi
yang dipersyaratkan dalam jabatan dengan kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki
oleh pegawai dalam pengisian jabatan atau menempatkan pegawai dalam jabatan.
Untuk dapat mengimplementasikan ketentuan tersebut, maka diperlukan data
kompetensi, data hasil penilaian kinerja pegawai, serta data track record pegawai
sebagai dasar dalam pelaksanaan manajemen ASN. Berdasarkan data tersebut, dapat
dilakukan analisis data melalui penyusunan peta kompetensi dan kinerja pegawai. Hasil
analisis data tersebut menjadi dasar dalam melakukan analisis kebutuhan
pengembangan pegawai, pengembangan karier, pengembangan kompetensi dan
program retensi pegawai.
- 96 -
Selain mempertimbangkan data analisis kompetensi dan kinerja pegawai malalui
penyusunan peta kompetensi dan kinerja pegawai, program pengembangan karier dan
kompetensi pegawai serta retensi pegawai juga harus mempertimbangkan profil
pegawai lainnya yang meliputi potensi, karakter dan tipologi kepribadian pegawai. Data
profil kompetensi diperlukan untuk menyelaraskan program pengembangan pegawai
yang dilakukan organisasi dengan proses pengembangan diri pegawai untuk melakukan
aktualisasi diri dan mencapai individuasi diri.
Melihat begitu pentingnya data profil potensi, kompetensi, kinerja, dan track record
ASN, maka perlu dirumuskan sistem implementasi dan kebijakan pemanfaatan
data tersebut dalam mendukung manajemen ASN. Sistem dan kebijakan dalam
hal ini termasuk mekanisme pengelolaan berbagai data tersebut sehingga
menjadi database kepegawaian yang mampu memberikan manfaat secara optimal
dengan kerahasiaan yang terjaga.
d. Evaluasi sistem dan manajemen jabatan
Dalam implementasi HCM, manajemen jabatan adalah hal penting yang harus
diperhatikan untuk mempertahankan orang-orang terbaik dalam organisasi, serta
menghasilkan kinerja optimal dari seluruh pegawai. Penempatan seorang pegawai pada
jabatan yang tidak sesuai merupakan keputusan yang sangat beresiko karena
dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pegawai, tetapi juga organisasi, baik dampak
jangka pendek maupun jangka panjang. Bagi pegawai, penempatan yang salah dalam
jabatan berpotensi memunculkan demotivasi pegawai dalam pekerjaan, dampak paling
buruk adalah pegawai tersebut memutuskan untuk keluar dari organisasi. Bagi
organisasi, penempatan seorang pegawai pada jabatan yang tidak sesuai berpotensi
untuk menurunkan kinerja organisasi atau organisasi tidak dapat berkinerja secara
optimal dari yang seharusnya.
Dalam UU ASN ditekankan bahwa manajemen ASN dilaksanakan berbasis pada jabatan
dan tidak lagi berbasis pada karier. PNS diangkat dalam jabatan tertentu berdasarkan
perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan
oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh
pegawai. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, diperlukan manajemen jabatan yang
baik, mulai dari perencanaan suksesi jabatan, penilaian kompetensi dan kinerja pejabat,
penetapan level atau grading jabatan, penempatan pegawai dalam jabatan, pemberian
kompensasi jabatan sampai pada evaluasi jabatan. Manajemen jabatan penting untuk
diperhatikan dalam rangka melaksanakan program retensi dalam manajemen
- 97 -
kepegawaian, yaitu untuk mempertahankan orang-orang terbaik dan menjaganya agar
dapat terus berkinerja optimal bagi organisasi.
Sistem dan manajemen jabatan harus selaras dengan kebijakan organisasi dalam
manajemen karier dan pengembangan pegawai. Agar percepatan pengembangan ASN
BPOM dapat dilaksanakan dengan baik, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem
dan manajemen jabatan selain perbaikan kebijakan dalam manajemen karier dan
pengembangan kompetensi pegawai. Evaluasi manajemen jabatan dilakukan dalam
rangka menghasilkan profil jabatan dalam organisasi yang lengkap dan komperehensif,
mulai dari tugas, fungsi dan kewenangan jabatan, uraian pekerjaan, syarat administrasi
jabatan, syarat kompetensi jabatan, ukuran kinerja jabatan, hubungan jabatan, sampai
pada karakteristik pekerjaan dan jabatan. Selain itu, evaluasi manajemen jabatan harus
dapat memastikan bahwa semua pegawai telah diangkat dalam jabatan sesuai dengan
potensi dan kompetensi masing-masing pegawai. Antara karakteristik, potensi dan tipe
kepribadian pegawai telah selaras dengan karakteristik pekerjaan dan jabatan sehingga
mampu menghasilkan akselerasi atau percepatan dalam peningkatakan kinerja
organisasi.
e. Perbaikan sistem dan kebijakan manajemen imbal jasa ASN.
Manajemen imbal jasa berkaitan dengan strategi dan kebijakan untuk penguatan
kapasitas kelembagaan yang bertujuan untuk menghargai pegawai secara adil (fairly),
merata (equitable), dan konsisten (consistenly) sesuai dengan nilai-nilai yang ingin
dibangun dalam organisasi, yaitu professional dan berintegritas. Manajemen imbal saja
meliputi seluruh penghargaan (rewards) yang diberikan organisasi kepada pegawainya,
misalnya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dengan beasiswa, kepastian
jenjang karier, fasilitas uang makan, termasuk didalamnya terkait dengan masalah gaji
dan tunjangan kinerja.
Di instansi pemerintah, regulasi terkait imbal jasa yang mengatur tentang besaran nilai
gaji dan tunjangan kinerja telah diatur oleh pemerintah dan berlaku untuk semua
Pegawai . Tetapi manajemen imbal jasa tidak hanya terkait dengan gaji dan tunjangan
kinerja sehingga organisasi perlu menyusun sistem, kebijakan dan strategi dalam
manajemen imbal jasa yang tepat untuk menarik orang lain yang berkualitas untuk
bergabung dalam organisasi, serta menjaga motivasi dan mempertahankan pegawai
yang bekerja dalam organisasi, khususnya pegawai terbaik yang memiliki kualitas,
potensi dan kompetensi tinggi. Dengan bertahannya pegawai yang memiliki kualitas
tinggi dalam organisasi diharapkan tujuan manajemen ASN BPOM untuk menjamin
- 98 -
ketersediaan ASN yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan organisasi dapat
diwujudkan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perbaikan terhadap sistem dan manajemen imbal
jasa harus dilakukan. Perbaikan dimulai dari perapian dan perbaikan sistem dan
manajemen grading jabatan yang lebih adil dan relevan sesuai dengan tuntutan, beban
pekerjaan kewenangan, dan tanggung jawab jabatan untuk masing-masing jenis dan
jenjang jabatan. Nilai-nilai dalam faktor jabatan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri PAN dan RB Nomor 34 Tahun 2011 tentang Pedoman Evaluasi Jabatan harus
benar-benar menggambarkan kondisi riil pekerjaan dengan dasar hukum pelaksanaan
pekerjaan yang kuat, bukan berdasarkan persepsi atau uraian pekerjaan yang dibuat
sendiri oleh pemanggu jabatan dengan unsur subyektifitya menjadi tinggi.
Setelah perbaikan sistem dan manajemen grading jabatan, selanjutnya adalah perbaikan
dan perapian sistem dan mekanisme pengangkatan pegawai dalam jabatan. Setiap
pegawai yang diangkat dalam jabatan harus dipastikan telah memenuhi kualifikasi dan
syarat kompetensi jabatan, serta semaksimal selaras antara potensi, karakter dan
kepribadian pegawai dengan karakteristik jabatan yang diduduki. Perbaikan sistem dan
mekanisme pengangkatan pegawai dalam jabatan juga dalam rangka mengurangi
kecemburuan dan rasa ketidakadilan diantara pegawai.
Selanjutnya adalah perbaikan sistem dan kebijakan dalam manajemen imbal jasa
pegawai. Manajemen imbal jasa pegawai harus disusun secara adil dan berkeadilan
dengan memperhatikan rasa keadilan bagi seluruh pegawai dengan tujuan untuk
meningkatkan engagement pegawai dalam organisasi. Keadilan dalam pemberian imbal
jasa kepada pegawai dapat diuraikan dalam 3 (tiga) unsur pembentuk keadilan imbal
jasa sebagai berikut (poniman, 2015):
1) Keseimbangan antara kinerja (performance) dan imbalan (compensation).
2) Imbalan yang sebanding dengan yang diterima oleh sesama pegawai dalam
organisasi (pay structure) sesuai dengan jenis dan jenjang jabatannya.
3) Imbalan yang sebanding, atau lebih dari yang diberikan untuk pekerjaan, jenis dan
jenjang jabatan yang sama di organisasi lain (benchmarking)
Sistem dan kebijakan manajemen imbal jasa yang akan disusun harus mampu menjawab
tuntutan, permasalahan dan regulasi tentang sistem imbal jasa yang terus berkembang.
Sistem dan kebijakan imbal jasa setidaknya harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
- 99 -
1) Adanya rasa keadilan, atau terpenuhinya keadilan internal.
2) Menarik, tercermin dari rasa keadilan eksternal.
3) Sederhana dan mudah dalam administrasinya, serta dapat diandalkan.
Pada organisasi yang sedang mengalami pertumbuhan dengan pergerakan pegawai
meningkat dengan berbagai jabatan baru yang muncul, ketidaksiapan dalam sistem
manajemen imbal jasa yang memadai dalam menetapkan kompensasi dan penghargaan
dari setiap pekerjaan atau jabatan, akan berdampak terhadap persepsi negatif pegawai
dan berpotensi menimbulkan resistensi pegawai terhadap berbagai upaya yang
dilakukan dalam manajemen ASN. Persepsi rasa keadilan akan terus terjadi dalam
sistem promosi dan mutasi apabila para pegawai mengetahui terdapat perbedaan yang
sangat nyata terkait dengan imbal jasa antara pekerjaan di tempat yang lama dan
pekerjaan di tempat yang baru dengan level dan jenjang jabatan yang sama. Dalam
instansi pemerintah biasanya para pegawai akan membandingkan imbal jasa yang
diperoleh, serta beban dan tanggung jawab pekerjaan yang harus dihadapi antara unit
kerja satu dengan unit kerja lainnya, atau antar instansi pemerintah untuk jenis dan
jenjang jabatan yang sama.
Dalam implementasi HCM, sistem dan kebijakan dalam manajemen imbal jasa ASN
melalui penghargaan atau pemberian kompensasi pegawai merupakan investasi
organisasi terhadap aset SDM. Sesuai dengan karakteristik dan tujuan dari investasi,
pemberian penghargaan atau kompensasi terhadap ASN melalui manajemen imbal jasa
harus memiliki return of investmen (ROI) yang tinggi terhadap organisasi. Dalam hal ini,
melalui manajemen imbal jasa diharapkan dapat memberikan pengembalian investasi
berupa kontribusi pegawai terhadap organisasi berupa peningkatan kinerja pegawai.
Selain itu, melalui manajemen imbal jasa juga diharapkan dapat meningkatkan
keterikatan pegawai dengan organisasi dan meningkatkan motivasi kerja pegawai.
f. Pengembangan sistem informasi kepegawaian yang terintegrasi
Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan pada pengembangan dan
pemanfaatan teknologi informasi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, tak
terkecuali dalam manajemen SDM atau kepegawaian. Pemanfaatan teknologi informasi
dalam manajemen kepegawaian antara lain terkait dengan pengelolaan berbagai data
kepegawaian dan jabatan. Data dan profil pegawai yang akurat dan terkini (up to date)
menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi dalam rangka pengambilan kebijakan dan
implementasi manajemen kepegawaian. Berbagai data tersebut antara lain terkait
dengan data pribadi pegawai, data potensi pegawai, kompetensi, data jabatan, data
- 100 -
kinerja, data disiplin, data riwayat kepangkatan, dll. Selain data terkait pegawai, juga
diperlukan data terkait dengan syarat, kualifikasi, serta karakteristik pekerjaan dan
jabatan. Berbagai kebijakan dan kegiatan dalam manajemen kepegawaian yang
memerlukan data kepegawaian yang akurat dan terkini (up to date) antara lain terkait
dengan analisis beban kerja, perencanaan pegawai, penetapan kebutuhan pegawai,
perencanaan suksesi jabatan, penempatan pegawai dalam jabatan, redistribusi atau
penyebaran pegawai, pengembangan karier pegawai, pengembangan kompetensi
pegawai, dan manajemen talenta.
Mengingat cukup banyak data terkait kepegawaian yang harus menjadi pertimbangan
dalam pengambilan kebijakan dan sebagai dasar dalam pelaksanaan manajemen
kepegawaian, dan memperhatikan dampak strategis jangka panjang dari kebijakan
dalam manajemen kepegawaian, maka diperlukan suatu sistem yang dapat
mengintegrasikan semua data tersebut agar pengambilan kebijakan dan pengelolaan
manajemen kepegawaian dapat dilakukan dengan cepat, tepat dan mampu
meningkatkan kinerja organisasi. Sistem tersebut antara lain dapat dibangun dan
dikembangkan dengan memaksimalkan pemanfaatan teknologi informasi dalam
manajemen kepegawaian. Melalui pemanfaatan teknologi informasi juga dapat
mendukung transparansi tata kelola kepegawaian sehingga tercipta tata kelola
pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance).
Selain manfaat integrasi data kepegawaian dan jabatan, manfaat lainnya dengan
pengoptimalan peran dan manfaat teknologi informasi dalam manajemen kepegawaian
antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Waktu penyiapan kebutuhan data pegawai dan pekerjaan atau jabatan menjadi lebih
efektif dan realtime.
2) Rekapitulasi data dapat disajikan lebih cepat
3) Kemudahan mendapatkan informasi mengenai potensi dan kompetensi pegawai
4) Peningkatkan kinerja (performance) pegawai dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya.
5) Kemudahan dalam penyiapan bahan pertimbangan yang akurat untuk penempatan
pegawai dalam jabatan struktural maupun fungsional sesuai dengan potensi dan
kompetensi
6) Redistribusi/penyebaran pegawai yang proporsional dan merata untuk setiap unit
kerja di BPOM
- 101 -
g. Pelaksanaan audit kepegawaian yang konsisten dan berkelanjutan
Penguatan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan BPOM harus didukung dengan
manajemen yang baik melalui penerapan good and clean governance. Dalam
penerapannya, fungsi manajemen antara lain adalah melakukan pengawasan, dan salah
satu mekanisme pelaksanaan pengawasan adalah melalui audit, termasuk didalamnya
adalah manajemen kepegawaian. Audit dapat diartikan sebagai suatu proses yang
independen dalam melakukan evaluasi terhadap bukti-bukti dan keterangan yang
terukur terhadap kesesuaian dengan kriteria atau standar yang telah ditetapkan.
Mengacu pada hal tersebut, maka audit kepegawaian dapat dipahami sebagai sebuah
proses yang independen dalam mengevaluasi seluruh proses manajemen kepegawaian
sesuai dengan kriteria, norma, syarat dan ketentuan dalam manajemen kepegawaian
yang telah ditetapkan (Veithzal Rivai, 2009). Selain itu, audit kepegawaian harus dapat
mengevaluasi efektivitas dan efisiensi pemanfaatan potensi dan kompetensi SDM dalam
organisasi.
Dalam manajemen kepegawaian, audit kepegawaian memiliki manfaat dalam
meningkatkan kualitas pelaksanaan manajemen kepegawaian dalam organisasi. Manfaat
tersebut antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Melakukan evaluasi efektivitas dan efisiensi implementasi fungsi-fungsi dalam
manajemen kepegawaian
2) Memastikan bahwa semua kriteria, norma, syarat, peraturan, kebijakan dan
prosedur dalam manajemen kepegawaian telah terlaksana dengan baik.
3) Meningkatkan kualitas SDM pengelola kepegawaian
4) Sosialisasi kebijakan terkait dengan manajemen kepegawaian
5) Mengukur kekuatan dan kelemahan dalam manajemen kepegawaian dalam
organisasi
6) Identifikasi titik-titik kritis manajemen kepegawaian dengan data dan fakta akurat
untuk dapat digunakan dalam menentukan alternatif solusi dan melakukan
perbaikan, serta penyusunan norma, pedoman, serta regulasi dalam manajemen
kepegawaian.
Dalam HCM, audit kepegawaian berfungsi untuk memastikan seluruh proses dalam HCM
telah terimplementasi dengan baik dan memastikan bahwa program retensi pegawai
berjalan dengan baik dalam menjaga agar orang-orang terbaik organisasi tetap bertahan
dan memberikan kinerja optimal bagi organisasi. Berbagai sistem, kebijakan, norma,
- 102 -
standar, kriteria, dan regulasi yang telah ditetapkan dalam manajemen kepegawaian
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya harus dapat dipastikan berjalan dan
terimplementasi dengan baik. Kelemahan dan kekurangan dalam implementasi
manajemen kepegawaian adalah sebuah kewajaran sebagai bahan atau masukan untuk
melakukan perbaikan dengan tetap mempertimbangkan rencana strategis organisasi,
kondisi lingkungan internal dan eksternal organisasi. Untuk alasan itulah audit
kepegawaian menjadi penting untuk dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.
Alasan lainnya audit kepegawaian penting untuk dilaksanakan adalah karena
keterbatasan pimpinan maupun manajemen puncak dalam melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan manajemen kepegawaian di seluruh unit organisasi.
- 103 -
BAB V
PENUTUP
Tantangan dan tuntutan perubahan dalam melakukan pengawasan obat dan makanan
mengharuskan organisasi BPOM untuk melakukan evaluasi terhadap pengelolaan manajemen
SDMnya. SDM sebagai sumber daya utama yang menentukan pengelolaan sumber daya lainnya
adalah faktor utama keberhasilan dan faktor pembeda yang berpengaruh terhadap
keberlangsungan hidup organisasi. Seringkali keberhasilan dan kesuksesan sebuah organisasi
dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama tidak ditentukan oleh tangible aset, seperti
besarnya dana yang dikelola atau banyaknya sarana dan prasarana maupun infrastruktur yang
dimiliki organisasi, tetapi keberhasilan dan kesuksesan organisasi ditentukan oleh bagaimana
organisasi tersebut mengelola intangible asetnya, yaitu mengelola SDM atau ASN dalam konteks
organisasi BPOM. Mengelola ASN disini tidak dimaknai dari mengelola jumlah ASN yang dimiliki
organisasi, tetapi mengelola aset yang dimiliki setiap ASN yang meliputi potensi atau talenta,
pengetahuan, keterampilan, karakteristik, sikap dan perilaku pegawai, mengoptimalkannya
menjadi sebuah kinerja nyata yang berkontribusi terhadap keberhasilan organisasi. Dan untuk
melakukannya, dibutuhkan strategi yang tepat dalam manajemen ASN karena obyek dari
manajemen ASN adalah manusia yang memiliki keunikan masing-masing.
Strategi BPOM dalam manajemen dan pengembangan ASN yang dimiliki akan mempengaruhi
keberhasilan BPOM dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan organisasi, khususnya dalam
mewujudkan organisasi yang memiliki kualitas dan kapabilitas unggul dalam mendukung
peningkatan kesehatan masyarakat dan daya saing bangsa di bidang obat dan makanan.
Kebijakan dan strategi manajemen dan pengembangan ASN harus mampu menghasilkan ASN
yang unggul dan kompeten di bidangnya melalui percepatan peningkatan kualitas ASN dan
menjamin ketersediaan ASN yang memenuhi syarat kualifikasi, kompetensi dan kinerja sesuai
dengan kebutuhan organisasi untuk semua jenis dan jenjang jabatan. Adapun untuk
mewujudkan harapan tersebut, strategi dalam manajemen dan pengembangan ASN dilakukan
melalui implementasi HCM secara konsisten dengan mengkolaborasikan manajemen SDM
berbasis pada kompetensi dan berbasis pada talenta atau potensi.
Sebaik dan sebagus apapun kebijakan maupun strategi yang ditetapkan hanya akan berhasil jika
kebijakan dan strategi tersebut diterapkan secara konsisten dengan evaluasi dan perbaikan
secara berkelanjutan. Dan untuk dapat menerapkan secara konsisten berbagai kebijakan dan
strategi dalam manajemen ASN diperlukan komitmen dan contoh langsung dari pimpinan
puncak organisasi. Selain sebagai dukungan terhadap berbagai kebijakan dan strategi
manajemen ASN, contoh langsung dari pimpinan puncak juga dalam rangka membumikan
- 104 -
budaya organisasi dan mengimplementasikan nilai-nilai organisasi melalui sikap dan perilaku
dalam kehidupan sehari-hari di organisasi.
- 105 -
DAFTAR PUSTAKA
Bambang WS, Paulus. 2014. As CEO’S Soulmate. Peran Baru Praktisi SDM di Landskap Baru Bisnis
Global. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Benjamin, R. 2010. Laporan Final Human Capital Management BPOM. Jakarta : PT Dharma
Bidadara Adimulya (Konsultan Manajemen SDM).
Fletcher, Shirley. 2005. The Art of Training and Development, Competence – Based Assessment
Techniques, Teknik Penilaian Berbasis Kompetensi (terjemahan). Jakarta : PT Bhuana
Ilmu Populer
Haryati, Kristiana. 2014. Hubungan Persepsi Pelanggan terhadap Kinerja Pelayanan Surat
Keterangan Impor (SKI) dengan Kepuasan Pelanggan di Badan Pengawas Obat dan
Makanan (Tesis). Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Inspektorat Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Survey Kepuasan Pelanggan 2013,
Indeks Kepuasan Pelanggan (IKM). Jakarta.
La Kahija, YF. 2006. Eksplorasi Ketidaksadaran, Pengantar Psikologi Dalam. Semarang : Psikologi
Universitas Diponegoro
Likker, Jeffrey K, dkk. 2008. The Toyota Way, Mengembangkan SDM Anda Ala Toyota (Edisi
Terjemahan). Jakarta: Penerbit Erlangga
Pella, Darmin Ahad dkk. 2011. Talent Management, Mengembangkan SDM untuk Mencapai
Pertumbuhan dan Kinerja Prima. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Permana, Nina Insania K dkk. 2010. Talent Management Implementation: Belajar dari
Perusahaan-Perusahaan Terkemuka. Jakarta: Penerbit PPM
Poniman, Farid dkk. 2015. Manajemen HR STIFin, Terobosan untuk Mendongkrak Produktifitas.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Rivai, Veithzal. 2009. Islamic Human Capital, Dari Teori ke Praktik. Manajemen Sumber Daya
Islami. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Rudito, Priyantono. 2015. Leveraging Global Talent, 5 Strategi Akselerasi Mengembangkan
Talenta Berkelas Dunia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Rumelt, Richard P. 2015. Good Strategy/Bad Strategy. Strategi Baik dan Buruk dalam Bisnis
(edisi terjemahan). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Semiun, Yustinus. 2013. Teori-Teori Kepribadian, Psikoanalitik Kontemporer, Jilid 1. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
Setiawan, Hendro. 2014. Manusia Utuh, Sebuah Kajian atas Pemikiran Abraham Maslow.
Yogyakarta: Peberbit Kanisius
- 106 -
DAFTAR PERATURAN
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri
Sipil
Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 34 Tahun
2011 tentang Pedoman Evaluasi Jabatan
Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 14 Tahun
2014 tentang Pedoman Evaluasi Reformasi Birokasi Instansi Pemerintah
Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun
2015 tentang Roadmap Reformasi Birokrasi Nasional Tahun 2015-2019
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi
Kerja Pegawai Negeri Sipil
Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pedoman
Penilaian Kompetensi Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman
Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan
Makanan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Strategis Badan Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2015-2019