Download - STEMI case 2 new 1
IDENTITAS
Nama : Tn S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 56 tahun
Tanggal Lahir : 25 Mei 1955
Alamat : Cinere
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Pendidikan : SMA
No CM : 331808
Tanggal masuk RS : 14 Januari 2011
A. ANAMNESIS
Dilakukan anamnesis secara auto anamnesis pada hari Minggu, tanggal 16 Januari 2011.
Keluhan Utama
Nyeri dada sejak 4 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri dada sejak 4 hari SMRS Fatmawati muncul tiba-tiba ketika pasien sedang berada di kamar mandi,
nyeri terus-menerus dan tidak reda dengan istirahat. Nyeri dirasakan seperti terbakar dan tertekan.
Nyeri menjalar ke tangan kiri, punggung, leher dan rahang. Saat nyeri pasien mengeluh berkeringat
dingin, nyeri ulu hati, pusing seperti berputar dan tidak dipengaruhi posisi, rasa berdebar-debar, mual
dan muntah satu kali saja yang berisi air dan makanan. Pasien juga mengeluh batuk berdahak berwarna
putih, tidak ada darah dan mudah dikeluarkan. Pada saat serangan, pasien langsung menuju ke klinik 24
jam, tetapi diinstruksikan untuk ke IGD RS. Kemudian pasien dirujuk ke RS Prikasih. Menurut pasien
perjalanan menuju IGD lebih dari 30 menit dan selama itu pula serangan terus berlanjut. Selama 3 hari
dirawat di RS Prikasih pasien diberikan pengobatan tetapi pasien tidak ingat nama obatnya, hanya ingat
bahwa obatnya diletakan di bawah lidah. Setelah diberikan obat tersebut pasien merasa lebih enak dan
nyeri dada berkurang tetapi pasien masih merasa sesak sewaktu-waktu terutama saat makan dan saat
buang air besar, sesak tidak dipengaruhi oleh posisi dan membaik saat istirahat. Karena alasan finansial,
pasien dirujuk ke RS Fatmawati untuk dirawat. Sejak 1 bulan sebelum serangan pasien sering mengeluh
nyeri dada ringan seperti terbakar tetapi hilang dengan istirahat, yang timbul apabila pasien ada beban
pikiran dan kelelahan. Riwayat sakit maag diakui pasien, batuk-batuk kecil sering dirasakan apabila
merokok, riwayat kolesterol tinggi sejak 6 bulan yang lalu, pasien minum obat selama 4 hari dan setelah
itu tidak kontrol lagi.
Riwayat penyakit dahulu
Tekanan darah tinggi (-), penyakit jantung (-), kencing manis (-), asma (-), alergi obat (-), alergi makanan
(-)
Riwayat penyakit keluarga
Tekanan darah tinggi (-), penyakit jantung (-), kencing manis (-), asma (-), alergi obat (-), alergi makanan
(-).
Riwayat kebiasaan
Pasien merokok sejak 18 tahun yang lalu, sehari menghabiskan 2 bungkus rokok. Mengkonsumsi kopi
setiap hari minimal 2 gelas. Pasien sering makan daging kambing, dan makanan bersantan.
Sosial & Ekonomi
Pasien seorang pensiunan PNS, memiliki 1 istri dan 2 orang anak. Setiap hari pasien hanya melakukan
tugas rumah yang ringan.
B. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Berat badan : 65kg
Tinggi badan : 170cm
BMI : 22,49(normal)
Tanda Vital : TD = 100/60 mmHg
: N = 100x/m
: S = 36,5 C
: P = 18x/m
Kepala : normocephali, distribusi rambut merata, tidak ada jejas.
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
THT : dalam batas normal
Leher : JVP 5-2cmH20, KGB tidak teraba membesar, tiroid tidak teraba membesar
Pulmo : Inspeksi : simetris statis dan dinamis, retraksi supraklavikula (-), retraksi subcostal(-)
Palpasi : vocal fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : Inspeksi : punctum maximum tidak terlihat
Palpasi : punctum maximum teraba di ICS 5 midclavikularis sinistra
Perkusi : batas jantung kanan di ICS 3,4,5 sternalis dextra
batas jantung kiri di ICS 5 midcklavikularis kiri
batas atas jantung di ICS 2 sternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung 1, 2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : Datar, supel, turgor kulit baik, pelebaran vena (-), nyeri tekan (-), bising usus (+)
normal, hepatosplenomegali (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT < 2”
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hematologi(15 januari 2011)
Hb : 14,7 gr/dL (13,2-17,3)
Ht : 44% (33-45)
Leukosit : 16. 400/ul (5000-10.000)
Trombosit : 276.000/ul (150.000-440.000)
LED : 15,0 mm (<10)
VER : 91,1 fl (80,0-100,0)
HER : 30,3 pg (26,0-34,0)
KHER : 33,3 gr/dl (32,0-36,0)
RDW : 13,6 % (11,5-14,5)
Fungsi hati
SGOT : 97 u/l (0-34)
SGPT : 53 u/l (0-46)
Protein total : 7,8 gr/dL (6,00-8,00)
Albumin : 4,00gr/dL (3,4-4,25)
Globulin : 3,8dL (2,5-3,5)
Bilirubin tot : 3,1mg/dL (0,00-1,00)
Bil direct : 1,7mg/dL (<0,2)
Bil indirect : 1,4mg/dL (<0,6)
Alkali fosfatase : 93IU (32-92)
Fungsi Ginjal
Asam Urat : 6,2 mg/dL (<7)
Ureum : 36 mg/dl (20-40)
Kreatinin : 1,2 mg/dl (0,6-1,5)
Kimia darah (13 januari 2011)
CK : 4,065u/l (<=175)
CKMB : 689u/l (7-25)
LDH : 1,617u/l (140-300)
Kolesterol lengkap (13 januari 2011)
Kolesterol : 225 mg/dL (<200)
Trigliserid : 210 mg/dL (<150)
HDL : 36 mg/dL (36-77)
LDL : 147 mg/dL (<130)
Kimia darah ( 14 januari 2011)
CK : 1,123u/l (<=175)
CKMB : 49u/l (7-25)
LDH : 2,240u/l (140-300)
Foto Thorax (12 januari 2011) :
jantung normal bentuk dan ukurannya
aorta normal
corakan bronkovaskular normal di kedua lapang paru
tidak terdapat lesi parenkim/spesifik
hillus tidak prominen
pleura tidak menebal
diafraghma bilateral normal
tidak tampak deviasi trakhea
mediastinum superior tidak melebar
tulang-tulang dan jaringan lunak tak tampak kelainan
Kesan : tak tampak kelainan radiologis jantung paru
Elektro Kardio Grafi
Rythm : sinus rhythm
Axis : normoaxis
Rate : 85x/menit
P wave : normal 0,08 detik
P-R interval : normal 0,12 detik
QRS complex : normal 0,08
LVH : tidak ada
RVH : tidak ada
ST elevasi : I, aVL, V1, V2, V3, V4, V5, V6
Q wave : I, aVL, V1, V2, V3, V4, V5, V6
RBBB : tidak ada
LBBB : tidak ada
Kateter Jantung (26 januari 2011)
Laporan : prosedur dimulai pukul 10.05 WIB s.d 10.30 WIB. Dipasang sheath 6 Fa di a.femoralis kanan
tanpa hambatan. Dimasukan diagnostic catheter judgkins left 4/6 FR dan judgkins right 3,5/6 FR dengan
guide wire 0,035” berjalan lancar sampai ke aorta ascendens. Dilakukan kanulasi ke LCA dan RCA. Fluoro
time 1,19 menit
LM : normal
LAD : stenosis 70% proximal (aneurisma) dan medial stenosis 90%
LCX : stenosis 90% setelah OMI (old myocardial infark)
RCA : irreguler, besar
E. Resume
Pasien, laki-laki, usia 56 tahun dengan keluhan angina, dengan durasi lebih dari 30 menit,
palpitasi (+), diaforesis (+), mual (+), muntah (+), nyeri ulu hati (+), vertigo (+), batuk (+) berdahak warna
putih, mudah dikeluarkan. Demam (-), sesak (+) saat aktifitas ringan, tidak dipengaruhi posisi, dan reda
saat istirahat. Riwayat merokok(+), konsumsi kopi(+) dan makanan tinggi lemak. Pada lab darah
didapatkan, leukositosis(+), LED meningkat, peningkatan SGOT/SGPT(+), hiperbilirubinemia. Peningkatan
enzim darah CK, CKMB dan tropinin T(+) dan dislipidemia(+). Pada EKG didapatkan ST elevasi pada lead I,
aVL, V1, V2, V3, V4, V5 dan V6, dan Q patologis pada I, aVL, V1, V2, V3, V4, V5 dan V6. Pada kateterisasi
jantung didapatkan stenosis 70% proximal (aneurisma) dan medial stenosis 90% pada LAD, stenosis 90%
setelah OMI pada LCX dan RCA irregular dan besar.
F. Diagnosis kerja
1. Sindroma Koroner Akut tipe STEMI anterior ekstensif
2. Dislipidemia
3. Community acquired pneumonia
G. Perencanaan
1. Rencana diagnosa : (-)
2. Rencana terapi
a. medika mentosa :
- Vometason 10mg 3 x 1
- Mertigo 1-2 tab 3 x 1
- Plavix 75mg 1 x 2
- Simvastatin 10mg 1 x 10 mg
- Laxadin 1 x 1 C
- Diazepam 2 x 5 mg
- Antasid sirup 3 x 1 C
- Ascardia 1 x 160 mg
- Captopril 2 x 6,25 mg
- OBH 3 x 1 C
- Profenid supp k/p
- Lovenox 2 x 0,6
- Ceftriaxone 1 x 2 gr
b. non-medikamentosa
- Diet rendah lemak
- Berhenti merokok
- Kurangi konsumsi kopi / berhenti
- Olahraga ringan minimal 2 x seminggu
3. Pembedahan
- Percutaneus Coronary Invasive
- Coronary Artery Bypass Graft
H. Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad fungtionam : Bonam
3. Ad sanationam : Dubia Ad Bonam
TINJAUAN PUSTAKA
Infark Miokard Akut
Pendahuluan
Penyakit jantung iskemik adalah kondisi di mana tidak cukupnya suplai darah dan
oksigen ke sejumlah otot jantung. Hal ini biasanya timbul saat tidak adanya keseimbangan antara
kebutuhan dan suplai oksigen ke otot jantung. Penyebab tersering iskemia otot jantung adalah
penyakit aterosklerotik pada arteri koroner epikardial.1
Pasien dengan penyakit jantung iskemik dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
penyakit arteri koroner kronik, kebanyakan timbul sebagai angina pektoris stabil dan pasien
sindrom koroner akut. Kelompok yang terakhir ini dibagi lagi menjadi infark miokard akut
dengan elevasi segmen ST (STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)
dan angina pektoris tidak stabil (UAP).2
Pada makalah ini akan dibahas mengenai infark miokard akut dengan elevasi segmen ST
(STEMI) dan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)
Epidemiologi
Penyakit kardiovaskular menyebabkan 12 juta kematian setiap tahunnya di dunia. Infark
miokard menjadi masalah yang serius di negara industri dan akan menjadi masalah serius juga di
negara berkembang. Di Amerika Serikat, infark miokard adalah penyebab morbiditas dan
mortalitas terbanyak. Sekitar 1,3 juta kasus infark miokard non fatal dilaporkan setiap tahun,
angka insiden tahunan sekitar 600 kasus per 100.000 penduduk. Sekitar 500.000 – 700.000
kematian yang disebabkan penyakit jantung iskemik terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya.
Sepertiga pasien yang mengalami STEMI meninggal dalam waktu 24 jam setelah onset iskemia
dan banyak pasien yang bertahan dari kematian mengalami morbiditas yang nyata. Kebanyakan
kematian pasien dengan penyakit arteri koroner disebabkan oleh disritmia ventrikular maligna.
Proporsi pasien dengan NSTEMI dibandingkan STEMI mengalami peningkatan.3
Di Indonesia, berdasarkan laporan hasil riset kesehatan dasar RISKESDAS Indonesia
tahun 2007 yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008 di
Jakarta, bahwa prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2 %. Proporsi angka kematian
berdasarkan daerah perkotaan dalam kelompok umur 45 – 54 tahun, penyakit jantung iskemik
menduduki urutan ketiga (8,7%) sebagai penyebab kematian.4
Klasifikasi RekomendasiAsas kemanfaatan yang didukung oleh tingkat bukti penelitian menjadi dasar
rekomendasi dalam tatalaksana sindrom koroner akut. Klasifikasi rekomendasi tersebut, sebagai
berikut:5
Kelas I : Bukti dan/atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut
bermanfaat/efektif.
Kelas II : Bukti dan/atau kesepakatan yang berbeda tentang manfaat pengobatan
tersebut.
Kelas IIa : Bukti dan pendapat lebih mengarah kepada manfaat atau kegunaan,
sehingga beralasan untuk dilakukan.
Kelas IIb : Manfaat atau efektivitas kurang didukung oleh bukti atau pendapat,
namun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan.
Kelas III : Bukti atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut tidak
berguna atau tidak efektif, bahkan pada beberapa kasus kemungkinan membahayakan.
Tingkat Bukti A: Data berasal dari beberapa penelitian klinik acak berganda atau meta
analisis
Tingkat Bukti B: Data berasal dari satu penelitian acak berganda atau beberapa penelitian
tidak acak.
Tingkat Bukti C : Data berasal dari konsensus opini para ahli dan/atau penelitian kecil,
studi retrospektif atau registri.
Patogenesis Lebih dari 90 % sindrom koroner akut disebabkan oleh pecahnya plak aterosklerosis yang
kemudian terjadi agregasi trombosit dan pembentukan trombus intrakoroner. Trombus
menyebabkan oklusi dan mengakibatkan aliran darah menjadi berkurang yang nantinya membuat
ketidakseimbangan antara suplai oksigen otot jantung dan kebutuhannya. Oklusi trombus yang
parsial berhubungan dengan angina tidak stabil dan NSTEMI. Jika trombus membuat oklusi
total, hasilnya adalah iskemia yang ditimbulkan lebih berat dan nekrosis otot jantung yang terjadi
lebih banyak. Manifestasi dari keadaan ini adalah STEMI. Yang bertanggung jawab terhadap
pembentukan trombus adalah plak aterosklerotik, endotel koroner, platelet, dan tonus vasomotor
dinding pembuluh darah.6
Patogenesis Pembentukan Trombus
Aterosklerosis memberi kontribusi terhadap pembentukan trombus melalui (1) pecahnya
plak yang menyebabkan plak bereaksi terhadap substansi trombogenik dan (2) disfungsi endotel
yang menyebabkan hilangnya kemampuan antitrombogenik normal dan vasodilatasi. Pecahnya
plak aterosklerotik dipercaya menjadi pencetus trombosis koroner. Penyebab pecahnya plak
adalah faktor kimia yang menstabilkan lesi aterosklerotik dan stres fisik. Plak aterosklerotik
terdiri dari inti lipid yang dikelilingi oleh kapsul eksternal yang fibrotik. Substansi yang
dikeluarkan oleh sel inflamasi dalam kapsul bertanggung jawab terhadap integritas kapsul.
Kapsul plak yang tipis dan lemah sangat mudah untuk ruptur terutama dibagian bahu (shoulder
region). Plak dapat pecah secara spontan atau akibat faktor fisik seperti tekanan darah intralumen
dan torsi akibat detak jantung. Sindrom korener akut timbul akibat adanya pencetus seperti
aktivitas fisik dan emosi. Hal ini menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis yang kemudian
menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan kontraktilias ventrikel. Akibat
adanya keadaan tersebut terjadi stres pada lesi aterosklerotik yang dapat menyebabkan plak
pecah.6
Setelah plak atreosklerotik pecah, terjadi pembentukan trombus. Terpaparnya inti
ateromatous terhadap tissue faktor mencetus jalur koagulasi. Trombosit yang teraktivasi
mengeluarkan isi granulanya yang berisi substansi yang dapat memfasilitasi agregasi trombosit
seperti ADP dan fibrinogen, aktivator kaskade koagulasi dan vasokonstriksi. Perkembangan
trombus intralumen, perdarahan intra plak dan vasokonstriksi menyebabkan lumen menyempit.
Akibat lumen yang sempit ini, aliran darah menjadi turbulen yang kemudian mengakibatkan
aktivasi trombosit lebih lanjut.6
Disfungsi endotel yang biasa timbul pada aterosklerotik ringan juga meningkat pada
kejadian pembentukan trombus. Akibat penurunan pengeluaran vasodilator, mekanisme inhibisi
agregasi trombosit menjadi terganggu. Tidak saja disfungsi endotel gagal mencegah agregasi
trombosit, tetapi juga gagal mencegah meakanisme vasokonstriksi dari produk trombosit. Selama
pembentukan trombus, vasokonstriksi terjadi akibat produk trombosit (tromboksan dan
serotonin) dan akibat thrombin yang berperan dalam pembentukan clot lebih lanjut.6
Pembentukan trombus intrakoroner menyebabkan beberapa dampak. Sebagai contoh
ruptur plak biasanya terjadi superfisial, minor dan sembuh sendiri. Hal ini hanya menyebabkan
pembentukan trombus non oklusi. Namun demikian, ruptur plak yang dalam menyebabkan
terpaparnya lebih banyak isi plak terhadap tissue factor dan kolagen subendotel yang
mengakibatkan pembentukan trombus yang lebih besar dan berpotensi menutup lumen
intrakoroner. Jika trombus menutup lumen pembuluh darah secara total, aliran darah akan
tertahan dan timbul iskemia berkepanjangan yang menyebabkan timbulnya infark miokard
(biasanya STEMI). Sebaliknya, jika pembentukan trombus hanya menutupi sebagian lumen
vaskular atau menutupi total tetapi terjadi rekanalisasi, keparahan dan durasi iskemia menjadi
ringan dan mengakibatkan terjadinya NSTEMI atau angina tidak stabil. 6
Penyebab Sindrom Koroner Akut Non-aterosklerotik
Walaupun jarang, terdapat mekanisme lain pembentukan trombus yang dapat
mencetuskan sindrom koroner akut. Mekanisme ini dapat dicurigai pada penderita sindrom
koroner akut usia muda atau orang tanpa faktor risiko koroner. Sebagai contoh, emboli koroner
dari infeksi katup jantung atau akibat mekanis katup jantung atau dari proses inflamasi vaskulitis
akut dapat mencetuskan oklusi koroner. Spasme koroner transien juga dapat menurunkan suplai
darah miokard dan mengakibatkan timbulnya angia tidak stabil atau infark.6
Penyebab lain sindrom koroner akut adalah penggunaan kokain. Kokain menyebabkan
peningkatan tonus simpatis dengan menghambat ambilan kembali norepinefrin presinap dan
meningkatkan pelepasan katekolamin adrenal. Hal ini dapat mengakibatkan vasospasme yang
dapat berakibat penurunan suplai oksigen.6
Faktor RisikoBerikut ini adalah faktor risiko pembentukan plak aterosklerotik:3
Umur
Pria
Merokok
Hiperkolesterolemia dan Hipertrigliseridemia
Diabetes mellitus
Hipertensi yang tidak terkontrol
Riwayat pada keluarga
Obesitas
Definisi Infark Miokard Infark miokard adalah kematian sel miosit jantung yang disebabkan iskemia sebagai hasil
perfusi yang tidak seimbang antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen. Secara patologi,
infark miokard adalah kematian sel miokard yang disebabkan keadaan iskemia berkepanjangan.7
Kriteria Infark Miokard AkutTerminologi infark miokard sebaiknya digunakan jika terdapat bukti adanya nekrosis otot
jantung yang dalam keadaan klinik berhubungan dengan adanya iskemia. Dibawah ini adalah
kriteria universal infark miokard akut.7
Adanya peningkatan dan/atau penurunan enzim jantung (Troponin) setidaknya melewati
batas referensi atas (upper reference limits) bersamaan dengan ditemukanya setidaknya
satu tanda iskemia sebagai berikut:
o Gejala iskemia
o Perubahan EKG yang terindikasi adanya iskemia baru (perubahan segmen ST dan
gelombang T atau adanya left bundle branch block yang baru)
o Perkembangan gelombang Q pada EKG
o Pada pemeriksaan imaging ditemukan kematian miokard baru atau pergerakan
abnormal dinding jantung regional yang baru.
Kematian yang tiba-tiba dan tidak terduga melibatkan henti jantung, sering dengan
adanya gejala iskemia. Ditandai juga oleh elevasi segmen ST yang baru atau left bundle
branch block (LBBB) yang baru dan atau adanya bukti trombus baru pada pemeriksaan
angiografi koroner dan atau pada otopsi, tetapi kematian terjadi sebelum sampel darah
diambil atau sesaat sebelum timbulnya cardiac biomarkers di darah.
Saat tindakan percutaneus coronary intervention (PCI) pada pasien dengan nilai troponin
yang normal, peningkatan enzim jantung melebihi batas referensi atas (lebih dari 3 kali
presentil 99 batas referensi atas) diduga adanya nekrosis miokard peri-prosedural.
Saat tindakan coronary artery bypass grafting (CABG), peningkatan enzim jantung
melebihi batas referensi atas (lebih dari 5 kali presentil 99 batas referensi atas) ditambah
adanya gelombang Q patologis yang baru atau left bundle branch block LBBB yang baru
atau adanya oklusi pembuluh darah graft atau pembuluh darah jantung yang lama atau
pada pencitraan terlihat adanya kematian miokard. Hal ini disebut sebagai infark miokard
terkait CABG.
Penemuan secara patologi adanya infark miokard akut.
Berikut ini adalah criteria infark miokard terdahulu:7
Perkembangan gelombang Q patologis yang baru dengan atau tanpa gejala.
Pada pencitraan ditemukan hilangnya miokard hidup regional, tanpa adanya penyebab
non iskemik.
Penemuan secara patologi adanya tanda-tanda infark miokard yang sembuh atau dalam
penyembuhan.
Kategori Infark Miokard AkutInfark miokard akut dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan kriteria elektrokardiografi
(EKG) yaitu, Infark Miaokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan infark miokard akut
tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI). Selain itu, secara tradisional, infark miokard dibagi
berdasarkan ada atau tidak adanya gelombang Q.8
STEMI ditandai oleh elevasi segmen ST yang baru di dua atau lebih sadapan EKG
dengan kenaikan segmen ST ≥ 0,1 mV, kecuali pada infark miokard posterior dengan penurunan
segmen ST ≥ 0,1 mV di sadapan V1 dan V2. Sebaliknya NSTEMI ditandai adanya nekrosis otot
jantung (peningkatan kadar troponin atau creatinin kinase myocardial band (CKMB)) tanpa
adanya elevasi segmen ST. Gelombang Q timbul akibat tidak adanya reperfusi. Pasien dengan
NSTEMI atau STEMI dapat berkembang menjadi Infark tanpa gelombang Q atau infark dengan
gelombang Q. Sebagian besar pasien STEMI dapat berkembang menjadi infark dengan
gelombang Q.8,9
Gambar 1. Pembagian Sindrom Koroner Akut
Infark Miokard Akut Dengan Elevasi Segmen ST (STEMI)Anamesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina
tipikal) atau atipikal. Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,
menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini
dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (> 20 menit). Keluhan angina tipikal
sering disertai dengan diaforesis, kulit yang dingin, mual, muntah, lemas, demam ringan,sesak
dan sinkop.5,6
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai, yaitu nyeri didaerah penjalaran angina
tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas, yang tidak dapat dijelaskan atau
mendadak rasa lemah yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien
usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal
menahun, atau demensia. Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak
prediktif terhadap diagnosis infark miokard.5
Pemeriksaan FisikKebanyakan pasien terlihat cemas dan lelah, sebagai usaha mengilangkan nyerinya,
pasien sering terlihat mengubah posisinya di tempat tidur. Pada kulit sering terasa dingin.
Kombinasi adanya nyeri dada substernal yang persisten dan adanya diaforesis merupakan
indikasi kuat STEMI. Walaupun kebanyakan pasien mempunyai frekuensi denyut nadi dan
tekanan darah yang normal dalam jam-jam pertama kejadian STEMI, sekitar seperempat pasien
dengan infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktifitas saraf simpatis (takikardia dan atau
hipertensi) dan sampai setengahnya, pasien dengan infark inferior menunjukan hiperaktifitas
saraf parasimpatis (bradikardia dan atau hipotensi). Daerah prekordium biasanya tenang dan
impuls apeks mungkin sulit untuk dipalpasi. Pada pasien dengan infark miokard anterior, pulsasi
sistolik abnormal yang disebabkan dyskinetik bulging dari miokard yang infark mungkin
berkembang ke area periapikal pada hari-hari pertama dan kemudian terjadi penyembuhan. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda disfungsi ventrikel termasuk adanya bunyi jantung
ketiga dan keempat, menurunnya intensitas bunyi jantung satu dan adanya splitting paradok dari
bunyi jantung dua. Adanya disfungsi katup mitral dapat timbul, ditandai murmur mid-diastolik
sementara atau murmur sistolik apeks yang terlambat. Pericardial friction rub dapat timbul pada
banyak pasien dengan STEMI transmural pada saat tertentu pada periode perjalanan peyakitnya.
Volume nadi karotis sering menurun, mencerminkan penurunan volume sekuncup. Kenaikan
temperature sampai 380C dapat terjadi selama minggu pertama setelah STEMI. Tekanan arteri
bervariasi, pada kebanyakan pasien tekanan sistolik menurun kira-kira 10-15 mmHg dari saat
sebelum infark.10
Pemeriksaan fisik juga ditujukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia dan penyakit penyerta. Hipertensi, tirotoksikosis, dan anemia dapat
mencetuskan iskemia akut pada pasien penyakit jantung koroner. Regurgitasi katup mitral akut,
bunyi jantung tiga (S3), ronki basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentifikasi adanya komplikasi iskemia.5
Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sandapan sesegera mungkin sesampainya di ruang
gawat darurat. Sebagai tambahan, sandapan V3R dan V4R, serta V7 – V9 sebaiknya direkam
pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.
Sementara itu, sandapan V7 – V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit
sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap
keluhan angina timbul kembali.5
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi
yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (left bundle branch block) baru/persangkaan baru, elevasi
segmen ST yang persisten (≥ 20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan
atau tanpa inversi gelombang T. Pasien sindrom kororner akut dengan elevasi segmen ST
dikelompokan bersama dengan LBBB (komplet) baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat
terapi reperfusi. Perubahan segmen ST (elevasi atau depresi atau inversi gelombang T
mempunyai arti diagnostik jika terdeteksi di ≥ 2 sandapan yang berdekatan atau berurutan.5
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.
Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak
total. Obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pektoris tidak stabil atau
NSTEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi segmen ST berkembang tanpa menunjukkan
gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya intilah infark miokard transmural digunakan
jika EKG menunjukan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non
transmural jika EKG hanya menunjukan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T,
namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark sehingga
terminologi infark miokard akut gelombang Q dan non Q menggantikan infark miokard akut
transmural/nontransmural.11
Pemeriksaan Marka Jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Walaupun dapat menunjukan adanya nekrosis miosit,
marka jantung tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut
(penyebab koroner/non koroner). Dalam keadaan pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukan kadar yang normal dalam 6 jam awitan angina, pemeriksaan hendaknya diulang 8-
12 jam setelah awitan angina. Jika awitan angina tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka
pemeriksaan hendaknya diulang 6 -12 jam setelah pemeriksaan pertama.5
Troponin
Troponin (Tn) adalah protein regulator di sel otot yang mengontrol interaksi antara
myosin dan aktin. Troponin terdiri dari 3 sub unit: TnC, TnI dan TnT. Walaupun sub unt ini dapat
ditemukan di otot skeletal dan otot jantung, bentuk TnI dan TnT dari otot jantung sangat unik
dan spesifik. Karena pada orang normal, troponin tidak ada dalam serum, adanya peningkatan
sedikit kadar troponin cTnI atau cTnT dapat menjadi penanda yang kuat adanya nekrosis miosit.6
Gambar 2. Onset Tropnin dan CKMB
Troponin jantung mulai naik kadarnya dalam darah 3 – 4 jam setelah onset infark
miokard, kadar puncaknya dapat dicapai dalam waktu 18 – 36 jam dan kemudian kadarnya
menurun perlahan selama 10 – 14 hari. Sehingga pemeriksaan troponin masih membantu untuk
mendeteksi infark miokard dua minggu yang lalu. Karena tingginya sensitivitas dan
spesifisitasnya, troponin jantung adalah penanda untuk mendeteksi nekrosis miokard.6
Kreatinin Kinase
Terdapat tiga isoenzim dari kretinin kinase (CK) yang meningkatkan spesifistias
diagnosis yaitu: CK-MM (Terutama ditemukan di otot skeletal), CK-BB (berlokasi terutama di
otak, CK-MB (terdapat terutama di jantung). Harus dicatat bahwa kadar kecil CK-MB ditemukan
di jaringan selain jantung termasuk uterus, prostat, usus, diafragma dan lidah. Peningkatan CK-
MB sangat sugestif adanya kerusakan otot jantung. Untuk memudahkan pemakaian CK-MB
untuk diagnosis, perhitungan rasio CK-MB dan CK total. Rasionya biasanya > 2,5 % pada
keadaan kerusakan otot jantung.6
Serum CK-MB meningkat 3 – 8 jam setekah infark, mencapai kadar puncaknya dalam 24
jam dan kembali turun dalam 48 – 72 jam.6
Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium, disamping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawat
darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal,
dan lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menuda terapi infark miokard akut.5
Pemeriksaan Foto Polos Dada
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk
tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat
portable. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi
dan penyakit penyerta.5
Tatalaksana
Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu
: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure).11
Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih
dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain :11
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis
dokter dan perawat yang terlatih
Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama
transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi
kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.11
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedik di ambulan
yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali komando
medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian
trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.11
Panel A : Pasien dibawa oleh EMS (Emergency Medical Sistem) setelah memanggil 9-1-1 :
Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau
pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi
pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari
kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemia total adalah 120 menit. Terdapat 3
kemungkinan :11
Jika EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memenuhi syarat
terapi, fibrinolitis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS tiba.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien
dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital-door-to-needle-time harus
dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien
dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon-time harus dalam
waktu 90 menit.
Gambar 3. Tranpostasi Pasien Dengan STEMI
Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup :
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi
reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.11
Tatalaksana Umum
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri < 90 %.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.11
Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, nitrogliserin
juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena
infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan nitrogliserin
intravena. Nitrogliserin intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan edema
paru.11
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (Infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). 11
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah terjadinya pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan
tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi
tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan
efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien
dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg.11
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat sikloogsigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg
di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral.11
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif.11
Terapi Fibrinolitik
Indikasi Kontra Absolut11
o Stroke hemoragik atau stroke yang penyebabnya belum diketahui dengan onset
kapanpun
o Stroke iskemik 6 bulan terakhir
o Kerusakan sistem saraf sentral dan neoplasma
o Trauma operasi/Trauma kepala yang berat dalam 3 minggu terakhir
o Perdarahan saluran cerna dalam 1 bulan terakhir
o Penyakit perdarahan
o Diseksi aorta
Indikasi Kontra Relatif11
o Transient Ischaemic Attack (TIA) dalam 6 bulan terakhir
o Pemakaian antikoagulan oral
o Kehamilan atau dalam 1 minggu post partum
o Tempat tusukan yang tidak dapat dikompresi
o Resusitasi traumatik
o Hipertensi refrakter (Tekanan darah sistolik >180 mmHg)
o Penyakit hati lanjut
o Infeksi endokarditis
o Ulkus peptikum yang aktif
Tabel berikut ini memuat regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut.
Tabel 1 Regimen fibrinolitik untuk infark Miokard akut5
Jenis Obat Dosis Awal Ko Terapiantitrombin
Kontraindikasispesifik
Streptokinase 1,5 juta U dalam 100 ml D5atau larutan salin 0,9%dalam waktu 30-50 menit
Heparin iv selama24-48 jam
Sebelum SK atauanistreplase
Alteplase (tPA) Bolus 15 mg intravena 0,75mg/kg selama 30 menit,kemudian 0,5 mg/kg selama60 menit. Dosis total tidaklebih dari 100 mg
Heparin iv selama24-48 jam
Reteplase (rPA) 10 U + 10 U diberikanselang waktu 30 menit
Heparin iv selama24-48 jam
Tenecteplase (TNK-tPA)
Bolus iv tunggal30 mg jika BB <60 kg35 mg jika BB 60-<70 kg
Heparin iv selama24-48 jam
30 mg jika BB70- <80 kg30 mg jika BB 80-<90 kg30 mg jika BB >90 kg
Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan atau stenting tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika
dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari
fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis
jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih
dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat,
atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan
kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian, PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa
rumah sakit.11
Penatalaksaan baik STEMI maupun NSTEMI dapat dilihat dengan lebih jelas pada
algoritma tatalaksana sindrom koroner akut (Bagan 1) yang dikeluarkan oleh American Heart
Association pada tahun 2010.
Tatalaksana di Rumah Sakit
ICCU11
Aktivitas: Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama.
Diet : karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau
hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30% kalori
total dan kandungan kolesterol < 300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang
kaya serat, kalium, magnesium, dan rendah natrium.
Bowel: Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan nyeri sering
mengakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di samping tempat tidur. Diet
tinggi serat dan penggunaan pencahar secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat
(200mg/hari).
Sedasi : Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode inaktivasi
dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg atau lorazepam 0,5 – 2 mg, diberikan 3
atau 4 kali sehari biasanya efektif.
Komplikasi STEMI11
Disfungsi Ventrikular
Gangguan Hemodinamik
Syok Kardiogenik
Infark Ventrikel Kanan
Aritmia pasca STEMI
Komplikasi Mekanik
Perikarditis
Bagan 1. Algoritma Sindrom Koroner Akut12
INFARK MIOKARD AKUT TANPA ELEVASI SEGMEN ST (NSTEMI)
Anamnesis
Gejala klinis dari angina tidak stabil / NSTEMI adalah nyeri dada, biasanya berlokasi di
region substernal atau kadang-kadang di epigastrium yang menyebar ke leher, bahu kiri dan
lengan kiri. Rasa tidak nyaman yang hebat ini dirasakan oleh pasien sebagai rasa nyeri. Gejala
seperti sesak napas dan rasa tidak nyaman di epigastrium dapat timbul biasanya sering pada
perempuan.2
Pemeriksaan fisik
Pada pasien NSTEMI dengan area infark yang luas, pemeriksaan fisiknya bisa didapatkan
diaforesis, kulit yang dingin dan pucat, sinus takikardia, terdengarnya bunyi jantung 3 dan 4,
ronki di basal paru dan sesekali terdapat hipotensi.2
Pemeriksaan Elektrokardiografi
Gambaran EKG secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting
menentukan risiko pada pasien. Pada thrombolysis in myocardial (TIMI) III registry, adanya
depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor keluaran yang buruk. Kaul et al
menunjukkan peningkatan risiko keluaran yang buruk meningkat secara progresif dengan
memberatnya depresi segmen ST, dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin T
keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.13
Pemeriksaan Marka Jantung
Penggunaan troponin I/T untuk diagnosa NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria
lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosa NSTEMI ditegakkan jika marka
jantung meningkat sedikit melampui nilai normal atas. Dalam menentukan kapan marka jantung
hendak diulang sebaiknya mempertimbangkan ketidak pastian dalam menentukan awitan angina.
Tes negative pada satu pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosa
infark miokard jantung.5
Kadar troponin, pada pasien infark miokard akut, meningkat di dalam darah perifer 4-3
jam setelah awitan dan menetap sampai 2 minggu. Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi di
dalam aliran darah orang sehat, nilai ambang peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit
diatas nilai normal yang ditetapkan oleh laboratorium setempat.5
Stratifikasi Risiko
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi pada sindrom koroner
akut. Beberapa cara stratifikasi risiko yang akan dibahas adalah stratifikasi risiko jangka pendek,
TIMI (thrombolysis in Myocardial Infarction), Killip dan GRACE (Global Registry of Acute
Coronary Events).5
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang dijumpai saat
pasien tiba di ruang gawat di mana tiap table setara dengan 1 poin. Dari semua variabel TIMI,
stenosis koroner ≥ 50 % merupakan variabel yang sangat mungkin tidak terdeteksi. Jumlah skor
0-2: risiko rendah; skor 3-4: risiko menengah dan skor 5-7: risiko tinggi.5
Tabel 2. Skor TIMI5
Variabel Nilai/SkorUsia ≥ 65 tahun 1Stenosis Koroner ≥ 50 % 1Deviasi Segmen ST 1Terdapat 2 keluhan Angina Dalam 24 jam yang lalu 1Mempunyai 3 faktor risiko (Riwayat keluarga, Pria, Hipertensi, Hiperlipidemia,DM, Merokok, Kegemukan)
1
Peningkatan Marka Jantung 1Penggunaan Aspirin Dalam 7 hari terakhir 1
Stratifikasi risiko berdasarkan killip merupakan klasifikasi berdasarkan indikator klinis
gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut dan ditujukan untuk memperkirakan
tingkat mortalitas dalam 30 hari. Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel
dalam klasifikasi GRACE.5
Tabel 3. Killip5
KelasKillip
Temuan Klinis Mortalitas
I Tidak terdapat gagal jantung (tidak terdapat ronki maupun S 3) 6 %II Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan ronki basah di
setengah lapangan paru17 %
III Terdapat edema paru ditandai oleh ronki basah di seluruhlapangan paru
38 %
IV Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh tekanan sistolik < 90mmHg dan tanda hipoperfusi jaringan.
81 %
Klasifikasi GRACE mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas Killip, tekanan
darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang gawat darurat, kreatinin
serum, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk
memprediksi mortalitas saat perawatan rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah
sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤ 108
dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian < 1%). Sementara itu, pasien dengan skor
risiko GRACE 109-140 dan > 140 berurutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan
tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien
dengan skor risiko GRACE ≤ 88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian < 3%).
Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan > 118 berurutan mempunyai risiko
kematian menengah (3-8%) dan tinggi (> 8%).5
Tabel 4. Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE)5
Riwayat Medis Temuan Saat Presentasi Awal Temuan SelamaPerawatan
Umur (Tahun)≤ 29
30-3940-4950-5960-6970-7980-89> 90
Riwayat gagaljantung
Riwayat Infark
Poin00
1836557391100
24
12
Denyut Jantung> 49,9
50-69,970-89,990-109,9110-149,9150-199,9
> 200
Tekanan darah sistolik(mmHg)
≤ 79,980-99,9
100-119,9120-139,9140-159,9160-199,9
>200
Depresi segmen ST
Poin039
14233543
242218141041
11
Kreatinin serum0-0,39 mg/dl
0,4-0,79 mg/dl0,8-1,19 mg/dl1,2-1,59 mg/dl1,6-1,99 mg/dl2-3,99 mg/dl
> 4 mg/dl
Enzim Jantungmeningkat
Tidak dilakukan PCIdi Rumah Sakit
Tatalaksana
Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi
segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap
pasien NSTEMI, yaitu:13
Terapi antiiskemia
Terapi antiplatelet/antikoagulan
Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi)
Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS
Berdasarkan keadaan pasien, pilihan waktu untuk melakukan tindakan invasif
revaskularisasi awal, yakni
1. Segera (Urgent). Indikasi melakukan tindakan invasif terutama pada pasien dengan
diagnosa UAP/NSTEMI yang mengalami:5
Angina menetap maupun berulang, tanpa memperhatikan adanya perubahan EKG,
walaupun telah mendapat terapi antiangina.
Gagal Jantung
Instabilitas hemodinamik yang progresif
Aritmia mengancam jiwa (takikardia ventrikel.fibrilasi ventrikel)
2. Selekti (Early). Dilakukan dalam kurun waktu 72 jam pertama perawatan. Hal ini
terutama pada pasien UAP/NSTEMI yang tidak mempunyai indikasi tindakan invasif
yang bersifat segera, tetapi mengalami:5
Kadar penanda jantung yang meningkat
Perubahan segmen ST atau gelombang T yang dinamik, tanpa memperhatikan
keluhan yang menyertai.
Diabetes Mellitus
Disfungsi ginjal (GFR < 60 ml/menit/1,73 m2)
Fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40 %
Angina pasca infark
Infark miokard sebelumnya
Riwayat PCI dalam 6 bulan terakhir
Riwayat CABG sebelumnya
Skor risiko GRACE menengah atau tinggi
3. Terjadwal (Elektif)
Terapi Antiiskemia
1. Penyekat Beta5
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1
yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan
pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikuler yang signifikan, asma bronkial, dan
disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan
injeksi.
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien, terutama jika terdapat hipertensi atau
takikardia, dan selama tidak terdapat kontraindikasi (kelas I-B). Penyekat beta oral hendaknya
diberikan dalam 24 jam pertama (kelas I-B).
2. Nitrat5
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang
normal maupun yang mengalami aterosklerosis.
Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode
angina (Kelas I-C).
Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya
mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah
itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada kontra indikasi
(Kelas I-C).
Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau
hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat
intravena tidak boleh menghalangi menghalangi pengobatan yang terbukti
menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau ACE inhibitor. (Kelas I-B).
Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau > 30
mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (< 50 kali per menit), takikardia tanpa
simtom gagal jantung atau infark ventrikel kanan. (Kelas III-C).
Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiestrase (sildenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam). Waktu yang tepat
untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan (Kelas III-C).
3. Calcium Channel Blockers (CCBs)5
Nifedipin dan amlodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa
efek pada SA node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap
SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut
diatas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan
dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik.
CCB nondihidropiridin sebaiknya diberikan pada pasien UAP/NSTEMI dengan
iskemia berlanjut yang mempunyai indikasi kontra terhadap penyekat beta, selama
tidak terdapat disfungsi ventrikel kiri yang signifikan. (Kelas I-B).
CCB nondihidropiridin (Long-acting) beralasan jika diberikan pada pasien
UAP/NSTEMI yang mengalami iskemia berulang setelah diberikan terapi penyekat
beta dan nitrat adekuat (Kelas IIa-C).
CCB nondihidropiridin (Long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi
penyekat beta (Kelas IIb-B).
Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (Immediate-release) dapat
dipertimbangkan pada pasien UAP/NSTEMI yang mengalami keluhan iskemia
berkelanjutan atau hipertensi, selama terapi tersebut diberikan bersama penyekat beta
dengan dosis yang adekuat (Kelas IIb-B).
Antiplatelet
1. Antiplatelet Tunggal5
a. Aspirin 160-320 mg (nonenterik) direkomendasikan bagi semua pasien
UAP/NSTEMI selama tidak terdapat kontra indikasi (Kelas I-A). Dosis pemeliharaan
aspirin adalah sebagai berikut:
i. Diberikan aspirin 80-160 mg/hari bagi pasien dengan terapi medikal tanpa
pemasangan sten, diberikan jangka panjang (Kelas I-A).
ii. Diberikan aspirin 160-320 mg/hari selama 1 bulan (Kelas I-B) dilanjutkan 80-
160 mg untuk jangka panjang (Kelas I-A) bagi pasien yang mendapatkan bare
metal stent.
iii. Diberikan aspirin 160-320 mg/hari selama 3 bulan setelah implantasi
serolimus-sluting stent dan selama 6 bulan setelah implantasi paclitaxel
eluting sten; kemudian dilanjutkan dengan dosis 80-160 mg/hari untuk jangka
panjang (Kelas I-B).
iv. Diberikan aspirin 80-160 mg/hari, bagi pasien dengan risiko perdarahan,
beralasan diberikan pada pasca-PCI (Kelas IIa-C).
b. Clopidogrel 300 mg dilanjutkan dengan 75 mg/hari diberikan pada pasien yang
hipersensitif atau intoleransi gastrointestinal terhadap aspirin (kelas I-A). Dosis
pemeliharaan clopidogrel (pilihan pertama) dapat diganti dengan tiklopidin (pilihan
kedua)(Kelas I-A).
Pada keadaan pasien hendak menjalani bedah pintas koroner elektif, hentikan:
Clopidogrel 5-7 hari sebelum operasi (Kelas I-B)
Inhibitor GP IIb/IIIa ntravena (Eptifibate atau tirofiban) 4 jam sebelum operasi (Kelas
I-B)
2. Kombinasi Dua Platelet5
Bagi pasien yang menjalani terapi konservatif awal (noninvasif), clopidogrel (dosis awal
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan) harus ditambahkan pada terapi aspirin selama
minimum 1 bulan (Kelas I-A), yang idealnya sampai 1 tahun (Kelas I-B). Clopidogrel
300 mg diberikan bagi pasien yang ditetapkan mendapat terapi medikal setelah
angiografi, jika dosis tersebut tidak diberikan sebelum angiografi diagnostik (Kelas I-
A).5
Bila PCI merupakan pilihan tatalaksana setelah angiografi diagnosis, berikan clopidogrel
300 mg, atau 600 mg jika belum diberikan sebelum angiografi diagnosis (Kelas I-A).
Dosis 600 mg terbukti lebih efektif.5
Terapi medical tanpa stent harus mendapatkan clopidogrel 75 mg/hari (Atau Tiklopidin
250 mg dua kali per hari jika alergi terhadap clopidogrel) selama minimum 1 bulan
(Kelas I-A) yang idealnya sampai 1 tahun (Kelas I-B).
Bagi pasien yang mendapat bare-metal stent, clopidogrel 75 mg/hari harus diberikan
selama minimum 1 bulan dan idealnya sampai 1 tahun. Jika risiko perdarahan meningkat,
clopidogrel diberikan minimum 2 minggu (Kelas I-B).
Bagi Pasien yang mendapat drug-eluting stent, clopidogrel 75 mg/hari harus diberikan
selama minimum 12 bulan (Kelas I-B). Tidak dianjurkan menghentikan terapi kombinasi
aspirin dan clopidogrel sebelum 12 bulan (Kelas I-C).
Tambahan clopidogrel (dosis awal dilanjutkan dosis pemeliharaan) atau tambahan
inhibitor GP IIb/IIIa terhadap aspirin harus diberikan sebelum dilakukan angiografi
diagnosis. Abciximab adalah pilihan terapi inhibitor GP IIb/IIIa jika diperkirakan tidak
ada jeda waktu antara angiografi dan PCI; jika diperkirakan aka nada jeda waktu, maka
eptifibatide atau tirofiban lebih terpilih (Kelas I-B). Bagi pasien yang menjalani strategi
invasif awal, beralasan untuk memulai terapi antiplatelet berupa clopidogrel atau
inhibitor GP IIb/IIIa (Kelas IIa-B).
Tidak dianjurkan menghentikan aspirin, clopidogrel, atau keduanya secara temporer
maupun permanen, kecuali terdapat indikasi klinis. Penghentian terapi harus
mempertimbangkan risiko iskemia berulang, jenis stent yang dipasang, dan lamanya
terapi yang telah diberikan sejak kejadian UAP/NSTEMI dan/atau revaskularisasi (Kelas
I-C).
Pasien UAP/NSTEMI dengan riwayat perdarahan gastrointestinal yang mendapat terapi
aspirin, clopidogrel atau keduanya harus diterapi dengan inhibitor pompa proton untuk
mencegah perdarahan berulang (Kelas I-B).
3. Kombinasi Tiga Platelet5
Pada keadaan PCI merupakan pilihan sebagai strategi tatalaksana setelah angiografi,
lanjutkan terapi aspirin (Kelas I-A), berikan lagi clopidogrel 300 mg atau 600 mg bila
tidak diberikan sebelum angiografi koroner (Kelas I-A) dan berikan inhibitor GP IIb/IIIa
jika tidak diberikan sebelum angiografi diagnosis bagi pasien dengan infark atau pasien
risiko tinggi lainnya (Kelas I-A).
Bagi pasien yang menjalani strategi invasif awal, antiplatelet lain yang ditambahkan pada
aspirin harus diberikan sebelum dilakukan angiografi diagnosis, yaitu clopidogrel dan
inhibitor GP IIB/IIIa intravena (Kelas I-A). Abciximab adalah pilihan terapi inhibitor GP
IIb/IIIa jika diperkirakan tidak ada jeda waktu antara angiografi dan PCI, jika
diperkirakan aka nada jeda waktu maka eptifibatide atau tirofiban lebih terpilih (Kelas I-
B).
Beralasan untuk menambahkan terapi inhibitor GP IIb/IIIa sebelum angiografi diagnortik
bagi pasien yang menjalani strategi terapi konservatif awal (Non Invasif) dan masih
mengalami keluhan iskemia berulang dengan terapi aspirin, clopidogrel dan antikoagulan
(Kelas IIa-C).
Bagi pasien yang menjalani strategi terapi konservatif awal (noninvasif), beralasan untuk
menambahkan eptifibatide atau tirofiban pada terapi antiplatelet oral dan antikoagulan
(Kelas Iib-B).
Antikoagulan5
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin.
Pilihan antikoagulan bagi pasien yang menjalani strategi invasif urgent adalah
unfractionated heparin (UFH) (Kelas I-A), enoxaparin (Kelas IIa-B), atau bivalirudin
(Kelas I-B).
Pilihan antikoagulan bagi pasien yang tidak menjalani strategi anvasif urgent (sebelum
dipastikan apakah akan menjalni strategi invasif awal atau strategi konservatif) adalah
fondaparinux (Kelas I-A), enoxaparin (Kelas IIa-B) atau UFH (Kelas IIa-B).
Dalam keadaan pasien mempunyai risiko perdarahan yang tinggi, fondaparinux lebih
terpilih daripada antikoagulan lain (Kelas I-B).
Dalam keadaan pasien akan menjalani strategi invasif awal dan telah mendapat terapi
fondaparinux maka berikan tambahan UFH 50-60 iu/kg iv bolus sebelum tindakan PCI
(Kelas IIa-C).
Terapi UFH diberikan 48 jam, fondaparinux atau enoxaparin diberikan selama masa
perawatan atau hingga 8 hari (Kelas I-A)
Bagi pasien yang menjalani PCI, antikoagulan dihentikan maksimum 24 jam setelah
tindakan PCI (Kelas I-B).
Bila tidak direncanakan CABG, enoxaparin dan fondaparinux lebih terpilih dari pada
UFH (Kelas IIa-B). Bila akan menjalani CABG:
o Lanjutkan UFH dan hentikan sesuai kebijakan institusi (Kelas I-B)
o Hentikan enoxaparine (12-24 jam) atau fondaparinux (24 jam) atau bivalirudin (3
jam) sebelum CABG (Kelas I-B)
Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan5
Pengsunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko
perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A).
Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat
diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih target INR terendah
yang masih efektif (Kelas IIa-C).
Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua
atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2-2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B).
Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin5
Inhibitor angiotemsin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi remodeling
dan menurunkan angka kematian penderita pasca infark miokard yang disertai gangguan fungsi
sistolik jantung dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada pasien
dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah
terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
Inhibitor ACE hendaknya diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali
ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40% dan pasien
dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (Kelas I-A).
Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas
(Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan
berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C).
Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark miokard yang intoleran
terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan atau
tanpa gejala klinis gagal jantung (Kelas I-B)
Kesimpulan Infark miokard menjadi masalah yang serius di negara industri dan akan menjadi masalah
serius juga di negara berkembang.
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST mempunyai morbiditas yang tinggi dalam
24 jam setelah onset iskemia.
Kebanyakan kematian pasien dengan penyakit arteri koroner disebabkan oleh disritmia
ventrikular maligna.
Lebih dari 90 % sindrom koroner akut disebabkan oleh pecahnya plak aterosklerosis yang
kemudian terjadi agregasi trombosit dan pembentukan trombus intrakoroner.
Infark miokard akut dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan kriteria elektrokardiografi
(EKG) yaitu, Infark Miaokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan infark
miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI).
Diagnosis Infark miokard akut ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan elektrokardiogram dan pemeriksaan marka jantung.
Penanganan infark miokard akut harus dilakukan dengan cepat dengan memperhatikan
waktu iskemia total selama 120 menit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Antman EM, Braunwald E, Loscalzo J, Selwyn AP. Ischemic Heart Disease. Dalam:
Braunwald, Fauci ,et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. USA. The
McGraw-Hill Companies, Inc. 2008. Hal. 1514 – 27.
2. Brauwald E, Cannon CP. Unstable Angina and Non ST-Elevation Myocardial Infarction.
Dalam: Braunwald, Fauci ,et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.
USA. The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008. Hal. 1527 – 32.
3. Fenton DE. Myocardial Infarction diunduh dari http://www.emedicine.medscape.com pada
tanggal 7 Oktober 2010.
4. Karo-Karo S, Rahajoe AU, Sulistyo S. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Jakarta. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler (PERKI). 2008.
5. Karo-Karo S, Kaunang DRD. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2010
6. Lilly LS, Naik H, Sabatine MS. Acute Coronary Syndrome. Dalam: Pathophysiology of
Heart Disease. USA. Lippincott Williams & Wilkins, A Wolters Kluwer Business. 2007. Hal.
168 – 96.
7. Alpert JS, Thygesen K, White HD. Universal Definition of Myocardial Infarction. Diunduh
dari http://www.circ.ahajournals.org pada tanggal 4 Oktober 2010.
8. Mollterno DJ, Saw J. Differences Between Unstable Angina and Acute Myocardial
Infarction: Pathophysiological and Clinical Septrum. Dalam: Topol EJ, Acute Coronary
Syndrome. New York. Marcel Dekker,Inc. 2005. Hal. 129 – 56.
9. Van de Werf F, et al. Management od Acute Myocardial Infarction In Patients Presenting
With Persisten ST Segment Elevation. Dalam European Heart Jornal. 2008 (29). Hal. 2909 –
45.
10. Antman EM, Braunwald E. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. Dalam:
Braunwald, Fauci ,et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. USA. The
McGraw-Hill Companies, Inc. 2008. Hal. 1532 – 44.
11. Alwi I. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B,
Simadibrata M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II. Jakarta. Interna Publishing.
2009. Hal. 1741 – 56.
12. Robert E, et al. Part 10: Acute Coronary Syndromes: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Care. Dallas. American Heart
Association. 2010. Diunduh dari http://www.circ.ahajournals.org pada tanggal 19 oktober
2010.
13. Alwi I, Harun S. Infark Miokard Tanpa Elevasi ST. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B,
Simadibrata M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II. Jakarta. Interna Publishing.
2009. Hal. 1757 – 66.
CaSE
Sindroma koroner akut
Disusun oleh :
Hawa Fatihah (030. 05. 257 )
Dwi Putri Arlina (030. 06. 077)
Pembimbing :
Dr. Rini Pramesti, Sp. JP
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan case yang berjudul “ Sindroma Koroner Akut” ini.
Referat ini dibuat dalam rangka melengkapi tugas kepaniteraan klinik di SMF Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Fatmawati. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada Dr. Rini Pramesti, Sp.JP. selaku dokter pembimbing, serta tak lupa penulis
ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang ikut membantu memberikan kontribusi
dalam penyelesaian case ini.
LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan judul “Sindroma Koroner Akut”
telah diterima dan disetujui pada tanggal .... Februari 2011
sebagai salah satu syarat kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam
Periode 03 Januari 2011 – 13 Maret 2011 di SMF Penyakit Dalam RSUP Fatmawati
Jakarta, ..... Februari 2011
( Dr. Rini Pramesti, Sp.JP. )