Download - Short Bowel Syndrome (Fix)
BAB I
PENDAHULUAN
Short Bowel Syndrome (SBS) merupakan suatu keadaan malabsorpsi sebagai akibat dari
reseksi masif usus halus. Keadaan ini memiliki karakteristik sebagai ketidakmampuan tubuh
dalam menjaga keseimbangan energi-protein, cairan, elektrolit, dan mikronutrien dengan asupan
biasa. (Uko V. et al, 2012) Bagian usus yang mengalami cedera menentukan jenis mikronutrien
yang akan berkurang di dalam darah oleh karena malabsorpsi. Gejala utama SBS adalah diare.
Diare ini bila berkelanjutan akan berdampak luas pada fisiologi tubuh penderita, yaitu dapat
menimbulkan dehidrasi, malnutrisi dan penurunan berat badan. Gejala lain yang mungkin terjadi
adalah kram perut, kembung, rasa panas di dada, dan kelelahan. (National Digestive Diseases
Information Clearinghouse, 2009)
Insiden dan prevalensi dari SBS sangat sulit diestimasi. Meskipun demikian sebuah
laporan oleh Lennard dan Jones pada tahun 2009, menyatakan bahwa di negara Inggris,
diestimasikan insiden dari SBS yang membutuhkan terapi adalah 2 pasien untuk tiap juta jiwa.
Sedangkan data yang dilaporkan oleh Byrne dkk. menunjukkan bahwa di negara Amerika
terdapat sekitar 10.000 hingga 20.000 pasien SBS yang dirawat dengan nutrisi parenteral.
Penyebab utama SBS adalah hilangnya segmen usus halus oleh karena tindakan
pembedahan. Pemotongan segmen usus ini merupakan tindakan terapi pada beberapa penyakit
usus, jejas pada usus, maupun defek usus yang muncul sejak lahir. Pada bayi baru lahir, SBS
dapat terjadi pasca reseksi usus oleh karena berbagai kondisi seperti necrotizing enterocolytis
(NEC), defek congenital dari usus seperti volvulus midgut, omfalokel dan gastroschisis, atresia
jejunoileal, hernia interna, dan keadaan lain seperti mekoneum ileus. Sedangkan pada anak-anak
dan orang dewasa, SBS dapat terjadi pasca reseksi usus oleh karena berbagai keadaan seperti
intususepsi, penyakit inflamasi usus seperti penyakit Chron, jejas traumatik pada usus, kanker
usus dan kerusakan pada usus oleh karena terapi kanker usus. SBS juga dapat disebabkan oleh
penyakit atau jejas pada usus yang dapat mengganggu fungsi normal usus, dalam keadaan ini,
panjang usus dapat normal.
1
Tatalaksana SBS yang utama ialah terapi nutrisi yang baik dan benar. Tatalaksana SBS
dapat berupa terapi rehidrasi cairan per oral, nutrisi parenteral, nutrisi enteral, dan obat. Terapi
rehidrasi cairan per oral adalah pemberian larutan yang terdiri dari gula dan garam. Nutrisi
parenteral terdiri dari cairan, elektrolit, dan nutrisi yang diberikan secara intravena. Nutrisi
parenteral memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan SBS, namun memiliki
beberapa komplikasi dalam pelaksanaannya termasuk penyakit hati kolestatik. Sedangkan
nutrisi enteral adalah cara memberikan nutrisi ke lambung atau ke usus halus melalui pipa
makanan. Dalam tatalaksana SBS perlu dipertimbangkan tingkat keparahan penyakit. Untuk
SBS yang ringan, tatalaksananya terdiri dari pemberian makanan dalam jumlah sedikit namun
sering, pemberian cairan dan suplemen nutrisi, dan obat antidiare. Sedangkan untuk SBS yang
sedang, tatalaksananya hampir sama dengan SBS yang ringan hanya saja ada tambahan berupa
pemberian nutri parenteral yang berisi cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan. Untuk SBS yang
berat, pasien dapat tetap diberikan nutrisi enteral atau makanan secara kontinu meskipun banyak
nutrien yang tidak diabsorpsi. Hal ini digunakan untuk merangsang segmen usus yang masih
tersisa untuk dapat segera kembali berfungsi dengan normal sehingga diharapkan pemberian
cairan secara parenteral dapat dihentikan. Transplantasi usus dapat menjadi pilihan terapi untuk
beberapa pasien yang gagal dengan terapi konvensional dan pasien yang menderita berbagai
keluhan akibat komplikasi pemberian nutrisi parenteral dalam waktu yang lama. Komplikasi
tersebut dapat berupa sepsis, pengentalan darah, dan gagal hati yang dapat mengarah pada
kemungkinan dibutuhkannya transplantasi hati. (National Digestive Diseases Information
Clearinghouse, 2009) Selain transplantasi, masih ada terapi bedah yang dapat dilakukan dengan
tujuan untuk memperlambat transit usus seperti membalik segmen usus halus, interposisi segmen
kolon di antara segmen usus halus, pembuatan katub usus halus, dan pemasangan pacu elektrik
pada usus halus, prosedur longitudinal intestinal lengthening and tailoring (LILT), serial
transverse enertoplasty procedure (STEP). Namun efektifitas dari berbagai tindakan
pembedahan ini masih dipertanyakan efektifitasnya sehingga masih jarang dilakukan secara rutin
sebagai terapi SBS. (Brunicardi C. et al, 2006)
Akhir-akhir ini, penekanan pada rehabilitasi usus adalah dengan tim multidisipliner
sebagai pendekatan komprehensif untuk pengelolaan pasien dengan SBS. Pada beberapa
institusi, tim tersebut terdiri dari ahli bedah, ahli gastroenterologi, terapis okupasi, ahli bedah
2
transplantasi, dan pekerja sosial. (Uko V. et al, 2012) Oleh karena itu bagi seorang ahli bedah,
diperlukan pengetahuan yang baik dalam menangani kasus SBS dengan komprehensif.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Short Bowel Syndrome
Short Bowel syndrome adalah kumpulan gejala akibat kondisi malabsorbsi berat yang terjadi
setelah dilakukannya tindakan reseksi luas pada usus halus. Short Bowel Syndrome juga dapat
didefinisikan sebagai sisa panjang usus halus 100-120 cm tanpa kolon, atau sisa panjang usus
halus 50 cm dan kolon masih intak. Pasien dengan SBS akan mengalami gejala klinis seperti
diare kronis, dehidrasi, kelainan akibat kekurangan elekrolit, malnutrisi yang kesemua hal
tersebut disebabkan adanya gangguan pencernaan dan gangguan penyerapan. Tatalaksana SBS
bervariasi, dapat dilakukan dengan hanya memberikan manipulasi diet hingga pasien-pasien
yang memerlukan nutrisi parenteral, bahkan hingga transplantasi usus halus. Short Bowel
syndrome lebih banyak terjadi pada pasien wanita dibandingkan pria, kemungkinan disebabkan
wanita yang pada awalnya memang memiliki panjang usus yang relative lebih pendek daripada
pria ( Parish Carol S. 2005 ).
Panjang usus halus pada orang dewasa berkisar antara 365-600 cm, apabila reseksi luas pada
usus halus akan dilakukan, reseksi <50% usus halus dapat ditoleransi dengan baik tanpa perlu
dilakukan intervensi, reseksi 50-75% sering memerlukan manipulasi diet, suplementasi oral, dan
pengobatan untuk meningkatkan absorbsi pada usus halus, dan reseksi >75% sering memerlukan
nutrisi parenteral yang berkepanjangan. Berdasarkan panjangnya usus halus yang tersisa, pasien
dengan panjang usus halus ±150 cm berakhir pada stoma atau 60-90 cm teranastomose pada
panjang kolon yang adekuat, nutris parenteral dapat secara bertahap dihentikan. Namun perlu
diingat bahwa harus dipertimbangkan fungsi keseluruhan dari usus halus, bukan hanya pada sisa
panjang usus halus yang menentukan intensitas terapi yang diperlukan. Reseksi pada bagian
proximal lebih dapat ditoleransi dengan baik dari pada reseksi pada distal. Reseksi pada jejunum
lebih dapat ditolerir daripada reseksi ileum.
Reseksi pada jejunum lebih ditoleransi dibandingkan reseksi pada ileum dengan panjang reseksi
yang sama, dikarenakan ileum lebih mudah beradaptasi dan berfungsi mengabsorbsi asam
amino, karbohidrat, asam lemak, dan vitamin. Ileum yang lengkap dapat membantu
4
mempertahankan kekentalan garam empedu dan absorbs vitamin B12. Masa transit usus halus
dapat dipertahankan bila ileum, ileocaecal dan colon masih dapat diselamatkan. Penyerapan
cairan dapat berlangsung dengan baik pada reseksi jejunum oleh karena mukosa ileum
mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi lebih baik dibandingkan bagian usus halus
proximal, sedangkan kolon dapat meningkatkan kemapuan penyerapannya hingga tiga kali lipat.
Meskipun kolon mampu meningkatkan kemampuannya pada reseksi usus halus, restriksi diet
sering diperlukan untuk meningkatkan fungsi optimal penyerapan
2. Etiologi dan Gejala Klinis Short Bowel Snydrome
Short Bowel Snydrome dapat terjadi pada pasien dewasa maupun pasien anak-anak dan
mempunyai gejala klinis yang hamper sama. Short bowel syndrome terjadi oleh karena tindakan
reseksi luas pada usus halus, penyebab dilakukannya reseksi pada pasien dewasa dan anak-anak
antara lain
a. Pasien dewasa
- crohn’s disease,
- iskemi akut mesenterika,
- volvulus (obstruksi usus halus),
- Kerusakan saluran cerna sebagai akibat dari trauma
- Keganasan dan kerusakan pada saluran cerna yang disebabkan terapi pada keganasan
- Emboli / thrombus pembuluh darah pada usus
- Hernia strangulate
- Fistula pada usus halus
- Iatrogenic pada terapi pembedahan obesitas
b. Pasien bayi dan anak-anak
5
- necrotizing enterocolitis, suatu kondisi yang terjadi pada bayi-bayi premature dan
menyebabkan kematian jaringan usus.
- Kelainan congenital pada usus, seperti volvulus, omphaocele, dan gastrochisis, atresia
yeyunoileal, hernia internal, intussusepsi, hirschprung dan congenital short bowel
syndrome.
- Ileus mekonium, suatu kondisi dengan cystic fibrosis
Tanda dan Gejala
Diare adala gejala utama dari short bowel syndrome. Diare dapat memicu timbulnya dehidrasi,
malnutrisi, dan turunnya berat badan. Masalah-masalah ini dapat memburuk dan menyebabkan
kematian jika tidak ditangani dengan tepat.
Gejala yang lain melingkupi :
- Kram
- Kembung
- Rasa panas di dada ( heartburn )
- Lemas dan kelelahan
Tingkat atau stadium SBS :
1. Ringan, apabila SBS masih dapat diatasi dengan pemberian nutrisi secara oral dan
pengaturan diet
2. Sedang, apabila pemenuhan nutrisi SBS harus sudah melalui enteral.
3. Berat , apabila pemenuhan nutrisi SBS hanya dapat dilakukan secara parenteral.
Kekurangan nutrisi tertentu dapat terjadi tergantung pada daerah mana dari usus halus yang
direseksi atau yang tidak berfungsi dengan baik. Absorbsi nutrisi pada usus halus tergantung
pada tempatnya, yaitu:
- Duodenum, area pertama pada usus halus, dimana zat besi diserap
6
- Yeyunum, area pertengahan pada usus halus, dimana karboidrat, protein, lemak, dan vitamin
diserap
- Ileum, area terakhir pada usus halus, dimana asam empedu dan vitamin B12 diserap.
Pasien dengan short bowel syndrome juga berisiko untuk mengalami alergi pada makanan.
3. Mekanisme Fisiologis terhadap Reseksi Usus Halus
Sepanjang 150 cm awal dari usus halus yang merupakan duodenum dan jejunum proximal
mempunyai peranan yang sangat besar dalam proses penyerapan nutrisi. Sehingga apabila terjadi
reseksi atau pemotongan pada usus halus akan menyebabkan hilangnya sejumlah permukaan
usus halus dan hilangnya kemampuan usus halus untuk melakukan penyerapan nutrisi., elektrolit
dan cairan. Reseksi usus halus menyebabkan berbagai macam perubahan fisiologis, yang
kebanyakan mengakibatkan gangguan penyerapan dan pencernaan. Reseksi usus halus juga
memicu terjadinya rangkaian perubahan morfologis dan fungsional pada usus, yang turut
membantu proses penyembuhan fungsi usus dikenal sebagai adaptasi usus halus ( intestinal
adaptation ). Perubahan morfologis meliputi hipertrofi vili usus untuk meningkatkan area
permukaan penyerapan, meningkatnya panjang dan diameter usus yang tersisa, sedangkan
perubahan fisiologis berupa menurunkan kecepatan transit makanan pada usus. Bagian ini akan
membahas proses pencernaan dan absorbsi yang normal, dan perubahan-perubahan fisiologis
yang terjadi sebagai konsekuensi tindakan reseksi usus halus.
Reseksi pada usus halus akan menyebabkan penurunan masa transit ( transit time ) saat makanan
melewati usus dan menyebabkan gangguan pencernaan makanan oleh enzim-enzim pencernaan,
serta masa kontak antara makanan dengan permukaan mukosa usus. Bagian distal usus
mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan transit time dari chyme ( bahan makanan
setengah tercerna ) yang melewati bagian proximal dari usus. Pada usus halus, hal ini sangat
nyata terlihat pada ileum, fenomena ini dikenal sebagai ileal brake. Fenomena ileal brake ini
dimungkinkan karena tingginya kadar peptide YY dan glucagon like peptide-2 ( GLP-2 ) pada
ileum dan colon. Sehingga reseksi yang dilakukan pada jejunum tidak akan mempengaruhi
pergerakan usus bila dibandingkan panjang reseksi yang sama pada ileum. Katub ileocaecal dan
kolon mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk meningkatkan transit time.
7
Pencernaan terutama terjadi pada duodenum dimana chyme ( bahan makanan yang setengah
tercerna ) yang secara bertahap dikeluarkan oleh lambung, bercampur dengan bahan-bahan
sekresi dari pancreas dan kantong empedu. Pada reseksi usus halus, proses ini terganggu oleh
karena peningkatan waktu pengosongan lambung dan pengosongan usus.
Duodenum juga merupakan tempat penyerapan kalsium, besi, dan asam folat. Selain itu pada
reseksi jejunum proximal, sekresi enzim pancreas ( yang sekresinya dipengaruhi oleh makanan )
dan sekresi empedu menurun sebagai akibat sel enterochromaffin ( mensekresi secretin dan
cholecystokinin ) banyak terdapat pada jejunum proximal. Sebagai tambahan peningkatan asam
lambung terjadi 3-6 bulan setelah tindakan reseksi luas usus halus, yang dapat menyebabkan
ulserasi pada usus halus proximal dan dapat memicu malabsorbsi akibat inaktivasi enzim
pancreas dan garam empedu, dimana kedua enzim tersebut bekerja paling baik pada pH netral.
Fungsi normal usus juga bergantung pada kemampuan ileum terminal untuk menyerap vitamin
B12 dan garam empedu. Sepanjang 100cm bagian akhir dari ileum adalah satu-satunya area
untuk penyerapan vitamin B12. Pencernaan dan penyerapan vitamin B12 juga tergantung sekresi
sel parietal lambung dan hidrolisis vitamin B12 oleh protease pancreas. Garam empedu
terkonjugasi membantu lemak pada makanan dan vitamin larut lemak bercampur dengan air dan
meningkatkan pencernaan dan penyerapannya. Kekentalan garam empedu dipertahankan oleh
sirkulasi enterohepatic ( sirkulasi garam empedu pada usus, lalu diserap oleh reseptor spesifik
pada sepanjang 100 cm ileum distal, kemudian dikirim kembali lagi ke hepar melalui vena portal
dan disekresi lagi oleh liver ke usus. Sehingga apabila dilakukan reseksi pada sepanjang 100 cm
ileum distal, garam empedu yang tidak terserap akan digantikan oleh sintesis hepar. Namun
garam empedu yang tidak terserap tersebut mengadakan kontak dengan mukosa kolon dan
menyebabkan diare sekretorik, yang dikenal sebagai cholerrheic diarrhea. Sedangkan apabila
sepanjang >100 cm ileum distal mengalami reseksi maka kekentalan garam empedu tidak dapat
dipertahankan oleh karena kompensasi liver tidaklah cukup. Steatorrhea akan menjadi lebih berat
pada kasus ini, dan diare sekretorik terjadi sebagai akibat tidak terabsorbsinya rantai panjang
asam lemak yang kontak dengan colon.
Reseksi usus halus, terutama reseksi yang melibatkan katub ileocaecal dapat menyebabkan
perubahan jenis dan jumlah bakteri pada usus halus dan akhirnya memicu pertumbuhan bakteri
8
yang berlebihan pada usus halus. Bakteri ini menginaktivasi garam empedu sehingga menjadi
kurang optimal dalam mengemulsi lemak pada makanan dan mempengaruhi penyerapan vitamin
B12. Komplikasi yang jarang sebagai akibat pertumbuhan bakteri adalah adanya d-lactic
asidosis. D-lactic acid dihasilkan dari fermentasi karbohidrat yang tidak terserap oleh bakteri
kolon tertentu. Manusia kurang mempunyai kemampuan untuk memetabolisme d-laktat, yang
dapat terbentuk pada tubuh dan memicu anion gap positive metabolic asidosis dan ensefalopati.
Tatalaksana yang diperlukan pada kasus ini adalah restriksi intake karbohidrat dan antibiotic
oral.
Sekresi dan absorbsi cairan oleh sistem gastrointestinal setelah reseksi usus halus menentukan
perlu tidaknya pasien tersebut mendapat cairan intravena. Pada keadaan normal, sejumlah 8-9
liter cairan memasuki usus halus setiap harinya dan hanya berkisar 2 liter yang berasal dari
intake oral. Sekresi ini menciptakan kondisi netral dan isotonic, yang diperlukan untuk
pencernaan dan penyerapan nutrisi yang optimal. Sekresi cairan tersebut paling banyak berasal
dari kelenjar air liur, lambung, saluran empedu, pancreas dan usus halus. Usus halus menyerap
80% dari total cairan, yaitu berkisar antara 1.5-2 liter. Kolon menyerap 90 % sisa cairan tersebut
dan meninggalkan 0,1 liter cairan pada kondisi pergerakan normal kolon. Pada reseksi usus,
kolon mampu meningkatkan kemampuan penyerapannya hingga mencapai 2-6 liter cairan per
hari.
Penyerapan cairan adalah sebuah proses yang pasif dimana terjadi akibat transport aktif elektrolit
dan nutrisi. Natrium diserap oleh permukaan enterocyte melalui pompa Na/K ATPase dan
melalui kotranspor monosakarida dan asam amino. Hal ini menyebabkan electrochemical
gradient sehingga air dapat mengalir secara pasif dari lumen ke interstitial space melalui
enterocyte. Penyerapan natrium ditentukan oleh “longgarnya” intracellular tight junction pada
epitel permukaan usus halus. Pada jejunum, ikatan tight junction ini relative longgar, sehingga
air dapat berdifusi kembali kedalam lumen. Inilah yang mempertahankan kondisi isotonic yang
merupakan kondisi ideal untuk pencernaan. Pada ileum dan colon ikatan tight junction lebih
ketat sehingga tidak memungkinkan adanya difusi kembali air ke dalam lumen, mengakibatkan
lumen lebih hipertonis dibandingkan plasma. Hal ini penting untuk mempertahankan cairan.
9
Sehingga kolon berperan sangat penting dalam mempertahankan garam dan air. Kolon juga
mampu menyimpan hampir 4,2 MJ/d ( 1000kcal/d ) energi berasal dari karbohidrat yang tidak
terabsorbsi dan serat pada makanan. Karbohidrat tersebut difermentasi oleh bakteri anaerob pada
kolon menghasilkan rantai pendek asam lemak, yang kemudian ditransport menuju liver melalui
sirkulasi portal.
Nephrolitiasis dan cholelitiasis merupakan 2 komplikasi yang juga dapat terjadi pada reseksi luas
usus halus. Nephrolitiasis oksalat terjadi pada reseksi usus halus dimana hanya tersisa sedikit
bagian dari kolon. Pada keadaan normal oksalat pada makanan melewati sistem pencernaan
sebagai garam kalsium yang tidak terlarut, namun keadaan steatorrhea konsentrasi kalsium
menurun dikarenakan kalsium berikatan dengan asam lemak dan oksalat berada dalam bentuk
bebas yang kemudian diserap oleh kolon. Pasien dengan SBS yang mengalami hiperoxaluria
dapat diterapi dengan restriksi lemak dan oksalat pada makanan dan menambahkan kalsium per
oral. Pasien dengan hyperoxaluria berulang dapat ditatalaksana dengan pemberian kolestiramin
( zat yang mengurangi dampak garam empedu pada kolon ), yang dapat meningkatkan absorbs
oksalat. Sebaliknya pada pasien SBS tanpa colon lebih peka terhadap batu asam urat.
Cholelitiasis pada SBS disebabkan berkurangnya jumlah aliran garam empedu, sehingga
menimbulkan stasis pada aliran empedu yang lama kelamaan akan menimbulkan batu saluran
empedu. Dikarenakan tatalaksana cholelitiasis pada pasien dengan SBS jauh lebih sulit, terdapat
banyak pendapat yang saling bertentangan tentang perlunya cholecystectomy pada pasien yang
menjalani reseksi usus halus. Beberapa ahli menyarankan perlunya reseksi kolesistektomi
profilaksis pada saat tindakan reseksi luas usus halus.
Proses adaptasi usus halus yang berlangsung sebagai akibat reseksi luas usus halus, dimana usus
halus yang tersisa mengadakan peningkatan kemampuan untuk mengabsorbsi nutrisi. Proses ini
dimulai segera setelah tindakan reseksi usus dan berlangsung hingga 2 tahun setelah tindakan.
Proses ini menghasilkan perubahan morfologis, terjadi peningkatan luas permukaan pada sisa
usus halus dengan cara pemanjangan vili-vili usus, dan perubahan fungsional berupa peningkatan
kapasitas penyerapan fungsional enterocyte dan colonocyte serta peningkatan transit time.
Mekanisme yang menyebabkan proses adaptasi usus halus masih belum diketahui, perubahan
yang sama terjadi pada studi eksperimental menggunakan berbagai macam zat dan neurohumoral
10
factors. Faktor-faktor yang mempercepat proses adaptasi antara lain : growth hormone,
epidermal growth factor, insulin-like growth factors I and II, keratinocyte growth factor, peptide
YY, glucagon-like peptide 2, soluble fiber, short-chain fatty acids, glutamine, polyamines,
interleukines 3, 11 and 15, and sekresi sistem pancreaticobiliary.
Senyawa kimia yang berperan paling besar dalam proses adaptasi usus halus adalah glucagon
like peptide-2 yang dihasilkan terutama oleh ileum. Selain itu mukosa ileum juga menghasilkan
beberapa trophic hormone, dan peptide lain seperti enteroglucagon, epidermal growth factor, dan
insulin like growth factor. Akhir-akhir ini ditemukan pula senyawa lain yaitu plasma citruline
sebagai biomarker potensial untuk memprediksi kemampuan adaptasi usus halus. Citruline
adalah senyawa asam amino esensial yang diproduksi oleh sel enterocyte, semakin tinggi kadar
nya di dalam plasma darah maka semakin tinggi kemungkinan parenteral independent.
Proses adaptasi usus dapat dipercepat dengan memberikan berbagai macam macronutrient pada
usus halus yang tersisa. Selain itu kompleksitas nutrisi yang diberikan juga mempengaruhi
proses adaptasi fungsional usus tersebut. Sebagai contoh pemberian karbohidrat monosakarida
yang tidak memerlukan proses pencernaan, menyebabkan proses hyperplasia pada usus lambat
dibandingkan usus yang mendapat nutrisi karbohidrat polisakarida. Oleh karena itu semakin
kompleksitas jenis makronutrisi yang diberikan mempunyai peranan penting dalam suksesnya
proses transisi pemberian nutrisi melalui enteral. Proses adaptasi usus memakan waktu hingga 1-
2 tahun, factor-faktor yang mempengaruhi proses adaptasi usus antara lain :
1. Stimulasi oleh nutrisi intra lumen
2. Stimulasi oleh sekresi pancreas dan empedu
3. Efek tropis dari hormon saluran pencernaan
4. Peningkatan aliran darah pada usus yang sebelumnya mengalami sumbatan
Faktor-faktor tersebut hendaknya diupayakan agar tercapai proses adaptasi usus yang maksimal
pada usus yang tersisa.
Penegakan Diagnosis
Anamnesis11
Diare adalah gejala utama pada short bowel syndrome. Diare dapat menyebabkan dehidrasi,
malnutrisi, dan penurunan berat badan.
Gejala-gejala lain yaitu :
Cramping abdominal pain
Bloating
Heartburn
Kelemahan dan fatigue
Defisiensi nutrien spesifik dapat terjadi tergantung bagian mana dari usus halus yang direseksi
atau yang tidak berfungsi dengan baik. Pembagian absorbsi nutrien pada usus halus :
duodenum, tempat absorbsi Fe
jejunum, tempat absorbsi karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin
ileum, tempat absorbsi asam empedu dan vitamin B-12.
Pasien dengan SBS juga berisiko mengalami hipersensitivitas terhadap makanan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan short-bowel syndrome dapat ditemukan beberapa petunjuk
diagnosis, tergantung lama dan beratnya malabsorbsi.
Pasien dengan malnutrisi protein dan energi yang berat mungkin datang dengan temporal
wasting, kehilangan massa otot jari-jari, dan edema perifer. Kulit mungkin kering dan
pecah-pecah, kuku menonjol ke atas dan atrofi papila lidah. Pada anak-anak, dapat terjadi
gangguan tumbuh kembang.
Pasien dengan defisiensi asam lemak esensial akan mengalami retardasi pertumbuhan,
dermatitis, dan alopecia.
Tampilan klinis defisiensi vitamin A, berupa ulkus kornea dan pertumbuhan yang
terlambat.
Pasien dengan kadar vitamin B kompleks yang rendah dapat mengalami stomatitis,
cheilosis, dan glossitis. Defisiensi vitamin B-1 berhubungan dengan edema, takikardi,
oftalmoplegia, dan penurunan reflek tendon. Defisiensi vitamin B-6 dapat menyebabkan
neuropati perifer dan kejang. Neuropati perifer juga dapat terjadi pada defisiensi vitamin
B-12.
12
Defisiensi vitamin D berhubungan dengan pertumbuhan ekstremitas yang jelek dan
bowed extremities.
Defisiensi vitamin E berat dapat menyebabkan ataxia, edema, dan penurunan refleks
tendon.
Tanda fisik defisiensi vitamin K berhubungan dengan gangguan hemostasis, yaitu
petekie, ekimosis, purpura, atau gangguan diatesis lainnya.
Tanda fisik adanya defisiensi besi yaitu anemis, spooned nail, dan glossitis.
Defisiensi Zinc menyebabkan stomatitis angular, penyembuhan luka yang jelek, dan
alopecia, serta rash eritematosa di sekitar mulut, mata, hidung, dan perineum.
Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap
Tujuan utama pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat anemia atau
tidak. Dua tipe anemia yang paling sering ditemukan adalah anemia defisiensi Fe dan
anemia defisiensi B-12.
Albumin
o Kadar albumin dalam plasma merupakan indikator yang penting untuk menilai
status nutrisi secara menyeluruh. Protein ini memiliki waktu paruh sekitar 21 hari.
Bukti menunjukkan bahwa penurunan kadar albumin yang berat, terutama
dibawah 2.5 g/dL, berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas
pada pasien bedah.
o Albumin juga indikator yang baik dari sintesis protein hepatic. Perlu diperhatikan
bahwa selama periode stress atau infeksi, liver akan cenderung lebih banyak
memproduksi reaktan-reaktan fase akut (contoh, C-reactive protein) dibandingkan
albumin.
Prealbumin
o Prealbumin adalah indikator yang baik untuk menilai status nutrisi akut. Waktu
paruhnya kira-kira 3-5 hari. Banyak praktisi yang menggunakan protein ini untuk
memonitor efikasi dari regimen nutrisi yang diberikan ke pasien mereka. Namun,
13
dikarenakan waktu paruhnya yang relative pendek, prealbumin bukan parameter
yang baik untuk skrining nutrisi. Untuk tujuan ini, lebih dipilih albumin.
o Kadar prealbumin juga dapat dipengaruhi oleh status hidrasi dan fungsi ginjal.
Enzim hepar
o Enzim hepatoseluler (aspartate aminotransferase [AST], alanine aminotransferase
[ALT]) penting untuk dimonitor, terutama pada pasien yang menerima nutrisi
parenteral jangka-panjang. Banyak pasien yang mendapatkan support nutrisi
parenteral jangka panjang, kadar enzim-enzim ini meningkat transient dan
kemudian menjadi normal, terutama saat mereka memulai intake makanan per
oral.
o Kewaspadaan perlu ditingkatkan ketika kenaikan kadar enzim ini menjadi
persisten, terutama jika kadarnya menjadi makin meningkat. Ini merupakan
kelompok pasien yang mungkin berkembang progresif menjadi kerusakan
hepatoseluler, sirosis, dan liver failure.
Bilirubin: Bilirubin serum adalah indikator yang baik untuk menilai fungsi hepar, tapi
sensitivitasnya untuk menilai kerusakan dini pada hepar lebih rendah dibandingkan
enzim-enzim hepatoseluler.
Elektrolit serum : elektrolit serum yang biasanya diukur, termasuk natrium, kalium,
klorida, dan CO2, sering bermanfaat terutama pada pasien yang diberikan nutrisi parental
jangka panjang. Nutrisi parenteral total biasanya berhubungan dengan gangguan
komponen ini, dan koreksi sederhana biasanya sudah cukup untuk mengatasi problem ini.
BUN: Mengetahui kadar BUN adalah penting untuk mengetahui fungsi renal. Lebih
penting lagi, pada kelompok pasien ini, peningkatan kadar BUN mungkin
mengindikasikan bahwa pasien mendapatkan diet protein yang berlebih. Sebagai
alternatif, jika kadar BUN meningkat tidak proporsional dalam hubungannya dengan
kreatinin (>20:1), pasien mungkin mengalami dehidrasi.
Kreatinin : kreatinin serum merupakan indikator yang baik untuk menilai fungsi renal.
Adanya peningkatan kreatinin, kita harus lebih mempertimbangkan kemungkinan
penurunan fungsi renal dan mungkin perlu merubah regimen suport nutrisi yang kita
berikan.
14
Kalsium, magnesium, dan fosfat serum: Kalsium dan magnesium berperan dalam fungsi
beberapa sistem enzim, regulasi stabilisasi membran dan eksitasi, dan memerankan
fungsi penting pada konduksi jantung dan area lain. Fosfat dan protein merupakan anion
intraseluler yang utama. Fosfat juga terlibat dalam pembentukan adenosine triphosphate
(ATP), sumber energi utama pada metabolisme aerob. Kekurangan ion-ion ini dapat
terjadi pada diare berat, terutama steatorrhea.
Kadar vitamin serum: Kadar vitamin serum dapat diukur. Hal ini dikerjakan jika pada
temuan klinis ditemukan gambaran khas defisiensi vitamin.
Faktor koagulasi : Defisiensi faktor-faktor koagulasi biasanya merupakan tanda penyakit
liver lanjut. Perlu dinilai international normalized ratio (INR), prothrombin time (PT),
dan activated partial thromboplastin time (aPTT) pada semua pasien yang menjalani
operasi, terutama pasien dengan disfungsi liver. Jika ditemukan defek, harus segera
diberikan terapi (contoh, vitamin K, fresh frozen plasma [FFP]).
Pemeriksaan radiologis:
Rontgen thorax: pemeriksaan foto rontgen thorax secara rutin dilakukan pada semua
pasien yang dipasang kateter vena sentral dalam waktu yang lama atau temporer untuk
tujuan hiperalimentasi atau tujuan lainnya. Selain itu juga dapat untuk memastikan posisi
kateter vena sudah pada tempatnya
Foto polos abdomen : Foto polos abdomen bertujuan untuk preliminary assessment status
usus.
Upper GI series with small bowel follow-through: Usus halus akan tampak mengalami
dilatasi karena ini merupakan mekanisme adaptasi utama dari usus halus. Area yang
mengalami striktur akan tampak menyempit secara signifikan. Hal ini biasanya
ditemukan pada daerah anastomosis. Secara keseluruhan, pola mukosa usus relatif tidak
berubah.
15
CT Scan abdomen: CT Scan abdomen dengan kontras dapat digunakan untuk
mengidentifikasi problem di enteral, seperti obstruksi usus. Pemeriksan ini juga berguna
untuk mengetahui gambaran hepar dan dapat menunjukkan jika terdapat perubahan ke
arah sirosis, atau tanda dini disfungsi liver seperti fatty liver.
16
USG abdomen: banyak pasien dengan short-bowel syndrome yang akhirnya mengalami
biliary sludge atau kolelitiasis. Gejala-gejala yang konsisten dengan kolik bilier atau
kolelitiasis dapat ditemukan pada USG abdomen. Pemeriksaan ini memberikan informasi
penting, seperti mengetahui ada tidaknya batu, penebalan dinding vesica fellea, dan
diameter ductus biliaris comunis. Choledocholithiasis dan fatty liver mungkin juga dapat
ditemukan
Pemeriksaan penunjang lain:
Bone densitometry
o Pasien dengan short-bowel syndrome, terutama dengan prolonged TPN, dapat
mengalami penyakit tulang metabolik. Mekanisme utamanya adalah karena
malabsorbsi kalsium dan vitamin D. Tulang dapat mengalami dekalsifikasi dan
mudah mengalami fraktur.
o Densitas tulang dapat diperkirakan dengan dual x-ray absorptiometry. Densitas
mineral tulang diukur dalam satuan g/cm2. Densitas tulang pasien diukur dan
dibandingkan dengan nilai normalnya. Kemudian ditentukan apakah pasien
termasuk osteopeni atau tidak. Pasien yang osteopeni dapat diberikan terapi
estrogen; kalsitonin; bisphosphonates; atau suplementasi kalsium, vitamin D, dan
magnesium. Pasien dapat diberi nasehat untuk meningkatkan tingkat aktivtitas
fisiknya secara bertahap.
Prosedur Diagnostik:
Biopsi hepar: Pasien dengan disfungsi hepar, yang dicurigai dengan modalitas
pemeriksaan kimia darah dan radiologi, pengambilan spesimen jaringan dianjurkan.
Biopsi hepar dapat dikerjakan percutaneus dengan panduan ultrasound atau CT.
Temuan Histologis : Beberapa keputusan terapetik, termasuk keputusan untuk melakukan
transplantasi, dibuat berdasarkan temuan pada gambaran histologis. Jenis tranplantasi yang
dilakukan juga berdasar pada kondisi hepar. Pasien dengan sirosis hepatik memerlukan
17
transplantasi hepar-intestinal. Pada pasien tanpa sirosis dapat melakukan transplantasi intestinal
saja.
18
Referensi sonny
Brunicardi Charles et al. Schwartz’s Manual of Surgery 8 ed. Mc Graw Hill, 2008. 729-731
Byrne TA, Persinger RL, Young LS, et al. A new treatment for patients with short-bowel
syndrome. Growth hormone, glutamine, and a modified diet. Ann Surg. Sep 1995;222(3):243-54;
discussion 254-5.
Lennard-Jones JE. Indications and need for long-term parenteral nutrition: implications for
intestinal transplantation. Transplant Proc. Dec 1990;22(6):2427-9
National Digestive Diseases Information Clearinghouse. Short Bowel Syndrome. NIH
Publication 2009; No. 09–4631
Uko Victor et al.. Short Bowel Syndrome in Children: Current Potential and Therapies. Pediatr
Drugs 2012; 14 (3): 179-188
Referensi FIL
Parish Carol R. the clinician guide to short bowel syndrome.2005
Nightingale J, Woodward J M. guideline for management of patient with short bowel.2006
National Digestive Disease Information Clearinghouse. Short Bowel Syndrome. NIH publication
2009
19