Download - RU CML (1)
BAB I
PENDAHULUAN
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh, yaitu berfungsi
melawan infeksi dan penyakit lainnya. Batas normal jumlah sel darah putih berkisar dari
4.000 sampai 10.000/mm.1
Berdasarkan jenis granula dalam sitoplasma dan bentuk intinya, sel darah putih
digolongkan menjadi 2 yaitu: granulosit (leukosit polimorfonuklear) dan agranulosit (leukosit
mononuklear). Granulosit merupakan leukosit yang memiliki granula sitoplasma.
Berdasarkan warna granula sitoplasma saat dilakukan pewarnaan terdapat 3 jenis granulosit
yaitu neutrofil, eosinofil, dan basofil. Agranulosit merupakan leukosit tanpa granula
sitoplasma. Agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit.2
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik pada satu atau
banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal akan tertekan pada waktu
sel leukemia bertambah banyak sehingga akan menimbulkan gejala klinis. Keganasan
hematologik ini adalah akibat dari proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada
berbagai tingkatan sel induk hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel
ganas tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik.1
Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk
leukosit yang lain daripada normal dengan jumlah yang berlebihan, dapat menyebabkan
kegagalan sumsum tulang dan sel darah putih sirkulasinya meninggi.1
Penggolongan utrama dibagi menjadi empat tipe leukemia akut dan kronik, dan
selanjutnya masing-masing dibagi menjadi limfoid dan myeloid2
1. Acute Myelogenous Leukemia (AML) disebut juga Leukemia Granulositik Akut (LGA)
yang di karakteristikkan oleh produksi berlebihan dari mieloblast. AML sering terjadi
pada semua usia, tetapi jarang terjadi pada anak-anak. Mieloblast menginfiltrasi sumsum
tulang dan ditemukan dalam darah. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya anemia,
perdarahan, dan infeksi, tetapi jarang disertai keterlibatan organ lain.
2. Acute Limfositik Leukemia (ALL) sering menyerang pada masa anak – anak dengan
presentase 75% - 80%. ALL menginfiltrasi sumsum tulang oleh sel limfoblastik yang
menyebabkan anemia, memar (trombositopeni), dan infeksi (neutropenia). Limfoblas
biasanya di temukan dalam darah tepi dan selalu ada di sumsum tulang, hal ini
mengakibatkan terjadinya limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali, tetapi 70%
anak dengan leukemia limfatik akut kini bisa disembuhkan.
1
3. Chronic Limfositik Leukemia (CLL) terjadi pada manula dengan limfadenopati
generalisata dan peningkatan jumlah leukosit disertai limfositosis, Perjalanan penyakit
biasanya jinak dan indikasi pengobatan adalah hanya jika timbul gejala.
4. Chronic Myelogenous Leukemia (CML) sering juga disebut leukemia granulositik kronik
(LGK), gambaran menonjol adalah adanya kromosom Philadelphia pada sel-sel darah.
Ini adalah kromosom abnormal yang ditemukan pada sel-sel sumsum tulang dan krisis
blast fase yang dikarakteristikkan oleh poroliferasi tiba-tiba dari jumlah besar mieloblast.
Leukemia jenis CML adalah penyakit yang tergolong dalam mieloproliferatif
menahun (MPD) dengan kelainan klonal yang disebabkan oleh perubahan genetik pada
pluripotent stem cell yang dikaitkan dengan kromosom Philadelphia (Ph). BCR/ABL fusion
gene dan P210.4
Keganasan CML menempati kasus terbanyak kedua dari semua tipe leukemia pada
orang dewasa, yaitu sekitar 20% insidensi CML terjadi antara 1-2 per 100.000 orang. CML
dapat menyerang semua umur tetapi sering ditemukan antara usia 40-60 tahun. Penderita
CML pada usia muda perkembangan penyakitnya akan lebih progresif.
National Center Institute (NCI) menyatakan bahwa frekuensi CML akan meningkat
dengan bertambahnya umur dimulai dari 1 per 1000.000 orang pada usia 10 tahun pertama, 1
per 100.000 orang pada usia 50 tahun dan 1 per 10.000 orang pada usia80 tahun.
Penyakit ini mencakup 15% leukemia. Penyakit ini dijumpai pada usia pertengahan
yaitu 50-60 tahun dan jarang pada usia muda. Angka kejadian pada pria:wanita adalah 3:2,
secara umum didapatkan 1-1,5/100.000 penduduk di seluruh negara.
Gejala klinis berupa gejala yang berhubungan dengan hiper metabolisme, misalnya
penurunan berat badan, kelelahan, anoreksia, atau keringat malam. Splenomegali hampir
selalu ada dan seringkali bersifat masif. Pada beberapa pasien, pembesaran limpa disertai
dengan rasa tidak nyaman, nyeri, atau gangguan pencernaan. Gambaran anemia meliputi
pucat, dispnea, dan takikardi. Memar, epistaksis, menorrhagia, atau perdarahan dari tempat-
tempat lain akibat fungsi abnormal trombosit Gout atau gangguan ginjal yang disebabkan
oleh hiperurukemia akibat pemecahan yang berlebihan.
Pada penyakit CML melalui tiga fase yaitu fase kronik, fase akselerasi, dan fase
blastik.
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus seorang pasien dengan diagnosis CML
suspek fase kronik yang dirawat di bagian Penyakit Dalam RSUP Prof.Dr. R.D. Kandou
Manado.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang pasien BM laki-laki berumur 65 tahun, nomor RM 45.36.57, alamat Desa
Tiberitas, pendidikan tamat SLTA, bangsa Indonesia,suku Minahasa, agama Protestan ,
pekerjaan ibu rumah tangga, dirawat di Irina C1 BLU RSUP Prof.Dr.R.D.Kandou Manado
melalui IRDM pada tanggal 28 Agustus 2015 dengan keluhan utama Perut membesar.
Perut terasa membesar dan muncul benjolan di perut sejak kurang lebih 4 bulan
SMRS di daerah kanan atas, tidak diarasakan nyeri pada benjolan dan perut. Demam dialami
penderita sejak kurang lebih 3 hari SMRS, lemah badan kurang lebih 1 minggu SMRS. Tidak
ada mual, muntah dan sesak napas. Penderita juga mengalami penurunan berat badan kurang
lebih 15 kilogram dalam 4 bulan terakhir, Nafsu makan menurun 1 minggu SMRS. Penderita
miliki riwayat pembesaran hati kurang lebih 1 tahun SMRS dan riwayat strip pendarahan dari
jalan lahir dan anus. Penderita tidak memiliki riwayat penyakil lain sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 94x/menit, respirasi 24x/menit, suhu badan
37,7 ˚C,tinggi badan 165 cm,berat badan 62 kg, IMT 21,9. Pada pemeriksaan kepala
didapatkan caonjunctiva anemis, sklera ikterik tidak ada,pupil bulat isokor dengan diameter
3mm, refleks cahaya positif, gerakan bola mata aktif. Pada pemeriksaan telinga tidak tampak
tophi,lubang normal,cairan tidak ada. Pada pemeriksaan hidung tidak didapat deviasi,tidak
ada sekret. Pada pemeriksaan mulut didapatkan bibir tidak sianosis,gigi tidak ada karies,
lidah beslag tidak ada,mukosa basah,pembesaran tonsil tidak ada, dan faring hiperemis tidak
ada. Pada pemeriksaan leher ditemukan pembesaran kelenjar getah bening di
submandibularis dengan diameter kurang lebih 2 cm dengan konsistensi lunak, trakea letak
tengah, tekanan vena jugularis 5+0 cmH2O.
Pada pemeriksaan thoraks, inspeksi dada terlihat simetris dan tidak ada kelainan
kulit. Pada inspeksi punggung terlihat simteris. Pada palpasi,stem fremitus kanan sama
dengan kiri dan perkusi paru kanan dan kiri sama terdengar sonor. Pada auskultasi didapatkan
suara pernapasan vesikuler, rhonki tidak ada, tidak ada mengi. Pada pemeriksaan inspeksi
iktus kordis ridak tampak. Pada palpasi iktus kordis tidak teraba. Pada perkusi didapatkan
batas jantung kana di sela iga IV 2 cm lateral dari garis sternalis dekstra, serta batas jantung
kiri di sela iga V 2 cm lateral dari dari garis midklavikularis sinistra. Pada auskultasi bunyi
jantung I dan II reguler, bising tidak ada.
Pada pemeriksaan abdomen, pada inspeksi cembung,dinding perut tegang, tidak ada
pelebaran pembuluh darah vena. Pada palpasi teraba tegang, lien teraba SVII, hepar teraba 6
3
cm di bawah arcus costa, ginjal tidak teraba. Pada perkusi timpani, nyeri ketuk angulus costo
vertebra tidak ada. Auskultasi bising usus normal.
Pada permeriksaan ekstremitas warna kulit sawo matang terdapat ruam, tidak ada
tremor, tidak ada deformitas pada jari- jari, waktu pengisian ulang kapiler kurang dari 2 detik,
tidak ada edema, tidak ada atropi otot, bengkak pada sendi tidak ada, gerakan aktif dan pasif
normal, kekuatan otot normal. Pada pemeriksaan refleks fisiologis normal, refleks patologis
tidak ditemukan.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukosit 32.600, eritrosit 3,67x106, Hb 8.6,
Hematokrit 27,9%,Trombosit 405x103, MCH 23, MCHC 31, MCV 76, SGOT 11, SGPT 5
Ureum 87, Creatinin 1,9, Gula darah sewaktu 90, Klorida darah 110, Kalium 5,1, Natrium
175. Kolestrol 121, HDL 24, LDL 65 Trigliserida 144, Asam Urat 14,4.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan pemunjang pasien
didiagnosa dengan suspek CML dan Anemia ec suspek malignacy.
Terapi yang diberikan adalah NaCl 0,9% : Aminofluid 2;1 21 gtt, Ranitidine inj 2x1
amp, Ceftriaxone 2x1 gr, Asam Folat 3x1 tab, Paracetamol 3x 500 mg tab, Sucralfat 3xC II,
lapor divisi hematologi. Direncanakan pemeriksaan Darah lengkap, Natrium, Kalium,
Klorida, Ureum, LED, Diff count, blood smear dan pemeriksaan Foro thoraks.
Perawatan hari kedua 29 Agustus 2015 Pasien masih mengeluhkan demam, bejolan di
perut dan lemah badan. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 100/60, respirasi 24, nadi 108, suhu 37,8. Pada mata
ditemukan conjuctiva anemis, pada thoraks tidak ditemukan rokhi di kedua lapangan paru.
Pada abdomen ditemukan pembesaran limpa SIV permukaan berbenjol, perkusi redup.
Diagnosis suspect CML, Anemia ec suspect malignancy, suspect ISK. Terapi yang diberikan
adalah NaCl 0,9% : Aminofluid 2;1 21 gtt, Ranitidine inj 2x1 amp, Ceftriaxone 2x1 gr, Asam
Folat 3x1 tab, Paracetamol 3x 500 mg tab, Sucralfat 3xCII. Direncanakan pemeriksaan blood
smear, urinalisis lengkap, EKG, DL, ureum, ceratinin, natrum, kalium, clorida, SGOT, SGPT,
profil lipid, protein total, albumin dan globulin.
Pada perawatan hari ketiga 30 Agustus 2015 Pasien masih mengeluhkan benjolan di
perut dan lemah badan. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 90/60, respirasi 22, nadi 90, suhu 36,5. Pada mata
ditemukan conjuctiva anemis, pada thoraks tidak ditemukan rokhi di kedua lapangan paru.
Pada abdomen ditemukan pembesaran hati 6 cm di bawah arcus costa, limpa SVII permukaan
berbenjol, perkusi redup. Diagnosis suspect CML, Anemia ec suspect malignancy, suspect
4
ISK. Terapi yang diberikan adalah NaCl 0,9% : Aminofluid 2;1 21 gtt, Ranitidine inj 2x1
amp, Ceftriaxone 2x1 gr, Asam Folat 3x1 tab, Paracetamol 3x 500 mg tab, Sucralfat 3xCII.
Pada perawatan hari keempat dan kelima 1 dan 2 September 2015, Pasien masih
mengeluhkan benjolan di perut dan lemah badan. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum
tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 90/60, respirasi 22, nadi 86,
suhu 36,5. Pada mata ditemukan conjuctiva anemis, pada thoraks tidak ditemukan rokhi di
kedua lapangan paru. Pada abdomen ditemukan pembesaran hati 6 cm di bawah arcus costa,
limpa SVII permukaan berbenjol, perkusi redup. Diagnosis suspect CML fase kronis, Anemia
ec suspect malignancy, ISK. Terapi yang diberikan adalah NaCl 0,9% : Aminofluid 2;1 21
gtt, Ranitidine inj 2x1 amp, Ceftriaxone 2x1 gr, Asam Folat 3x1 tab, Paracetamol 3x 500 mg
tab, Sucralfat 3xCII. Transfusi PRC 230cc . Pasien direncakan untuk USG abdomen.
Pada perawatan hari keenam 3 September 2015, Pasien masih mengeluhkan benjolan
di perut dan lemah badan. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 100/60, respirasi 22, nadi 88, suhu 36,7. Pada mata
ditemukan conjuctiva anemis, pada thoraks tidak ditemukan rokhi di kedua lapangan paru.
Pada abdomen ditemukan pembesaran hati 6 cm di bawah arcus costa, limpa SVII permukaan
berbenjol, perkusi redup. Diagnosis suspect CML fase kronis, Anemia ec suspect
malignancy, ISK. Terapi yang diberikan adalah NaCl 0,9% : Aminofluid 2;1 21 gtt,
Ranitidine inj 2x1 amp, Ceftriaxone 2x1 gr, Asam Folat 3x1 tab, Paracetamol 3x 500 mg tab,
Sucralfat 3xCII, Kalitake 3x1 sach.
Pada perawatan hari ke tujuh 4 September 2015. Pasien masih mengeluhkan benjolan
di perut dan lemah badan. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 90/60, respirasi 22, nadi 98, suhu 36,5. Pada mata
ditemukan conjuctiva anemis, pada thoraks tidak ditemukan rokhi di kedua lapangan paru.
Pada abdomen ditemukan pembesaran hati 6 cm di bawah arcus costa, limpa SVII permukaan
berbenjol, perkusi redup. Diagnosis suspect CML fase kronis, Anemia ec suspect
malignancy, ISK. Terapi yang diberikan adalah NaCl 0,9% : Aminofluid 2;1 21 gtt,
Ranitidine inj 2x1 amp, Ceftriaxone 2x1 gr, Asam Folat 3x1 tab, Paracetamol 3x 500 mg tab,
Sucralfat 3xCII, Kalitake 3x1 sach.
5
BAB III
PEMBAHASAN
Leukemia granulositik kronik atau Chronic Myelogenous Leukemia (CML)
merupakan kelainan myeloproliferative yang ditandai dengan peningkatan proliferasidari seri
sel granulosit tanpa disertai gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat
ditemukan berbagai tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan
mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai granulosit.2
Leukimia jenis CML adalah salah satu dari beberapa kanker diketahui disebabkan
oleh mutasi tunggal genetik tertentu. Lebih dari 90% kasus dihasilkan dari kelainan
sitogenetika dikenal sebagai kromosom Philadelphia.
Keganasan tipe ini menyumbang 20% dari semua leukemia yang mempengaruhi
orang dewasa. Leukemia jenis ini sering menyerang individu setengah baya. Penyakit ini
jarang terjadi pada individu yang lebih muda. Pasien yang lebih muda mungkin mengalami
bentuk yang lebih agresif dari CML, seperti pada fase akselerasi atau krisis blast. Leukemia
jenis ini dapat muncul sebagai penyakit onset baru pada orang tua.
Pada pasien ini, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang mengarah
pada diagnosis Leukimia Mielositik Kronik..
Penyebab CML adalah kelainan diperoleh yang melibatkan sel batang hematopoietik.
Hal ini ditandai oleh kelainan sitogenetika terdiri dari translokasi timbal balik antara lengan
panjang kromosom 22 dan 9. Hasil translokasi dalam kromosom, dipersingkat 22 pengamatan
pertama dijelaskan oleh Nowell dan Hungerford dan kemudian disebut kromosom
Philadelphia (Ph1).
Gambar 2.1 Kromosom Philadelphia
6
Seperti yang telah dijelaskan di atas, gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan
proliferasi yang berlebihan dari sel induk pluripoten pada system hematopoiesis. Klon-klon
ini, selain proliferasinya berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama disbanding sel
normal, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas
adalah terbentusknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak system hematopoiesis
lainnya.
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya
Ph sampai menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diketahui
secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat
pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Sejak tahun 1980
diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hybrid BCR-ABL pada
kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9.
Gen hybrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis
protein 210 kD yang berperan dalam lekemogenesis, sedangkan peran gen resiprokal ABL-
BCR tidak diketahui. Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu
terdapat pada semua pasien CML, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70%
pasien CML. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya
kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase
krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang
kromosom 17i (17)q. dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang
berperan dalam patofisiologi CML atau terjadi abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti
gen p53, p16, dan gen Rb.
Pada pasien ini telah direncanakan untuk pemeriksaan gen BCR-ABL.
7
Gambar 2.2 Patofisiologi Leukemia Mielositik Kronik
Manifestasi klinis CML adalah membahayakan. Penyakit ini sering ditemukan secara
kebetulan dalam fase kronis, ketika didapatkan hitung leukosit meningkat pada pemeriksaan
darah rutin atau adanya splenomegali pada pemeriksaan fisik umum. Gejala nonspesifik
meliputi kelelahan dan penurunan berat badan dapat terjadi lama setelah timbulnya penyakit.
Kehilangan energi dan penurunan toleransi latihan dapat terjadi selama fase kronis setelah
beberapa bulan.
Pasien sering memiliki gejala yang berkaitan dengan pembesaran limpa, hati, atau
keduanya. Limpa besar dapat mengganggu pada lambung dan menyebabkan cepat kenyang
sehingga asupan makanan berkurang. Nyeri perut kuadran kiri atas digambarkan sebagai
nyeri dengan kualitas "mencengkeram" mungkin terjadi akibat infark limpa. Limpa yang
membesar juga dapat dikaitkan dengan keadaan hipermetabolik, demam, penurunan berat
badan, dan kelelahan kronis. Hati yang membesar dapat menyebabkan penurunan berat badan
pasien.Beberapa pasien dengan CML memiliki demam ringan dan berkeringat berlebihan
terkait dengan hipermetabolisme.
8
Pada pemeriksaan fisik pasien ini ditemukan splenomegali dengan ukuran Schuffner VII dan
hepatomegali 6 cm di bawah arcus costa dan lemah badan.
Pada beberapa pasien yang ada dalam fase akselerasi, atau fase akut dari penyakit
(melewatkan fase kronis), perdarahan, petechiae, ekimosis dan mungkin merupakan gejala
menonjol. Dalam situasi ini, demam biasanya berhubungan dengan infeksi. Nyeri tulang dan
demam, serta peningkatan fibrosis sumsum tulang, merupakan pertanda dari fase blast.
Splenomegali adalah penemuan fisik yang paling umum pada pasien CML. Dalam lebih
dari 50% pasien dengan CML, limpa berukuran lebih dari 5 cm di bawah batas kosta kiri
pada saat penemuan ukuran limpa berkorelasi dengan hitungan granulocyte darah perifer,
dengan limpa terbesar yang diamati pada pasien dengan jumlah leukosit yang tinggi. Sebuah
limpa sangat besar biasanya pertanda transformasi menjadi bentuk krisis blast akut dari
penyakit.
Hepatomegali juga terjadi, meskipun kurang umum daripada splenomegali.
Hepatomegali biasanya bagian dari hematopoiesis extramedullary terjadi di limpa.Temuan
fisik leukostasis dan hiperviskositas dapat terjadi pada beberapa pasien, dengan ketinggian
luar biasa leukosit mereka penting, lebih dari 300,000-600,000 sel/uL. Setelah funduscopy,
retina dapat menunjukkan papilledema, obstruksi vena, dan perdarahan.
Krisis blast ditandai oleh peningkatan dalam sumsum tulang atau ledakan jumlah darah
perifer atau oleh perkembangan leukemia infiltrat jaringan lunak atau kulit. Gejala khas
adalah karena trombositopenia, anemia, basophilia, limpa cepat memperbesar, dan kegagalan
obat yang biasa untuk mengontrol leukositosis dan splenomegali.
Pemeriksaan untuk CML terdiri dari jumlah darah lengkap dengan hitung diferensial,
apusan darah tepi, dan analisis sumsum tulang. Meskipun khas hepatomegali dan
splenomegali dapat dicitrakan dengan menggunakan scan hati/limpa, kelainan ini sering
begitu jelas secara klinis sehingga pencitraan radiologis tidak diperlukan.Diagnosis CML
didasarkan pada temuan histopatologi dalam darah perifer dan Philadelphia (Ph) kromosom
dalam sel sumsum tulang.
Kelainan laboratorium lainnya termasuk hiperurisemia, yang merupakan refleksi dari
peningkatan selularitas sumsum tulang, dan peningkatan nyata serum vitamin B-12-binding
protein (TC-I). Yang terakhir ini disintesis oleh granulosit dan mencerminkan tingkat
leukositosis.
9
Tabel 2.1 Klasifikasi CML Berdasarkan WHO
Fase CML Definisi WHO
Fase Kronik Stabil Jumlah sel blast darah perifer kurang dari 10% pada darah dan sumsum
tulang
Fase Akselerasi Jumlah sel blasts 10-19% dari jumlah leukosit pada sel sumsum tulang
nucleated dan atau perifer; trombositopenia persisten (< 100 × 109/L)
tidak terkait dengan terapi atau trombositosis persisten (> 1000 × 109/L)
tidak responsive terhadap terapi; peningkatan jumlah leukosit dan ukuran
limpa tidak responsive terhadap terapi; bukti sitogenetik adanya clonal
evolution
Krisis Blast Jumlah sel blast perifer ≥ 20% dari leukosit darah tepi atau sel sumsum
tulang nucleated; proliferasi blast ekstrameduler; dan focus atau kluster
besar blast pada biopsy sumsum tulang
Hapusan Darah Tepi
Pada CML, peningkatan granulosit matang dan jumlah limfosit normal (persentase
rendah karena dilusi dalam hitungan diferensial) menghasilkan jumlah leukosit total 20,000-
60,000 sel/uL. Kenaikan ringan pada basofil dan eosinofil terjadi dan menjadi lebih menonjol
selama masa transisi ke leukemia akut.
Proses apoptosis neutrofil matang/granulosit mengalamipenurunan (kematian sel
terprogram), mengakibatkan akumulasi sel berumur panjangdengan enzim yang rendah atau
tidak ada, seperti alkalin fosfatase (ALP). Akibatnya, pada pengecatan alkali fosfatase
leukosit sangat rendah bahkan tidak ada pada sebagian besar sel, menghasilkan skor rendah.
Darah perifer pada pasien dengan CML menunjukkan gambaran darah khas
leukoeritroblastik, dengan sirkulasi sel dewasa dari sumsum tulang (Gambar 2.3).
10
Gambar 2.3 Hapusan Darah Tepi Pasien CML. fillm bloodpada perbesaran 400x menunjuk
kanleukositosis dengan kehadiran sel-sel prekursor dari garis keturunan myeloid.Selain itu,
basophilia, eosinofilia, dan trombositosisdapat dilihat. Courtesy of U.Woermann, MD, Divisi
Media Instruksional, Lembaga Pendidikan Kedokteran, Universitas Bern, Swiss.
Fase transisi atau akselerasi CML ditandai dengan penurunan respon terhadap terapi
obatm yelosuppressive, munculnya sel-sel blastperifer (≥ 15%), promyelocytes (≥30%),
basofil (≥20%), dan penurunan trombosit jumlahs ampai kurang dari 100.000sel/uL.
Promyelocytes dan basofil ditunjukkan padaGambar 2.4.
Gambar 2.4. Hapusan Darah Tepi Pasien CML Fase Transisi. Film Bloodpada perbesaran
1000X menunjukkan promyelocyte, eosinofil, dan basofil3. Courtesy of U.Woermann, MD,
Divisi Media Instruksional, Lembaga Pendidikan Kedokteran, Universitas Bern, Swiss.
11
Gambar 2.5 Hapusan Darah Tepi Pasien CML Fase Blast Film Blood pada perbesaran 1000X
menunjukkan garis keturunan granulocytic keseluruhan, termasuke osinofil dan
basofila.Courtesy of U.Woermann, MD, Divisi Media Instruksional, Lembaga Pendidikan
Kedokteran, Universitas Bern, Swiss.
Tanda-tanda transformasi atau fase akselerasi pada pasien dengan CML adalah
penurunan respon terhadap obat-obatan myelosupresi atau interferon, meningkatnya sel blast
dalam darah tepi dengan basophilia dan trombositopenia tidak berhubungan dengan terapi,
kelainan sitogenetika baru,dan meningkatnya splenomegali dan myelofibrosis.
Disekitar dua pertiga kasus, sel blast yang ditemukan adalah myeloid. Namun, pada
sepertiga kasus sisanya,sel blast yang ditemukan memperlihatkan fenotipe limfoid, bukti
lebih lanjut dari sifatsel induk penyakitasli. Kelainan kromosom tambahan biasanya
ditemukanpada saat fase blastkrisis, termasuk tambahan Phtranslokasi kromosom atau
lainnya.
Sel myeloid awal seperti myeloblasts, mielosit, metamyelocytes, dan berintisel darah
merah yang biasa hadir dalam hapusan darah, meniru temuan di sum sum tulang. Kehadiran
sel-sel progenitor yang berbeda midstage membedakan CML dari leukemia myelogenous
akut,di manaleukemic gap (maturation arrest) atau hiatus adadan menunjukkan adanya sel-
sel ini.
Anemia ringan sampai anemia sedang sangat umum pada saat diagnosis dan biasanya
normokromik normositik dan. Jumlah trombositpada diagnosisbisa rendah, normal, atau
bahkan meningkat pada beberapa pasien.
12
Analisis Sumsum Tulang
Sum sum tulang bersifat hyper cellular, dengan perluasan lini selmyeloid (misalnya,
neutrofil, eosinofil, basofil) dan sel progenitornya. Megakaryocytes yang menonjol dan dapat
ditingkatkan. Fibrosis ringansering terlihat pada pengecatan reticulin.
Gambar 2.6 Hapusan Sumsum Tulang Pasien CML. Sum sum tulang Film pada perbesaran
400x menunjukkan dominasi jelas granulopoiesis. Jumlah eosinofil dan megakaryocytes
meningkat.Courtesy of U.Woermann, MD, Divisi Media Instruksional, Lembaga Pendidikan
Kedokteran, Universitas Bern, Swiss.
Pemeriksaan sitogenetik pada sel sum sum tulang, dan darah bahkan perifer, harus
mengungkapkan kromosom khas Ph1, yang merupakan translokasi resiprokal antara
kromosomdari bahan kromosom 9 dan 22 (lihat gambar di bawah). Iniadalah ciri khas CML,
ditemukan di hampir semua pasien dengan penyakit dan terdapat sepanjang perjalanan
klinisseluruh CML.
Gambar 2.7 Philadelphia kromosom. Kromosom Philadelphia, yang merupakan kelainan
karyotypic diagnostik untuk leukemia myelogenous kronis, akan ditampilkan dalam gambar
ini dari kromosom banded 9 dan 22. Yang ditampilkan adalah hasil dari translokasi resiprokal
22q ke lengan bawah 9 dan 9q (c-ABL pada wilayah klaster breakpoint tertentu [bcr]
13
kromosom 22 ditandai dengan panah). Courtesy of Peter C. Nowell, MD, Departemen
Laboratorium Patologi dan Klinik dari University of Pennsylvania School of Medicine.
Selain itu, BCR chimeric/ABL messenger RNA (mRNA) yang menjadi ciri khas
CML dapat dideteksi oleh polymerase chain reaction (PCR) . Ini adalah tes sensitif yang
hanya memerlukan beberapa sel dan berguna dalam memantau penyakit sisa minimal (MRD)
untuk menentukan efektivitas terapi. BCR-ABL transkripmRNA juga dapat diukur dalam
darah perifer
Analisis karyotypic sel sum sum tulang memerlukan keberadaan sel yang membelah
tanpa kehilangan viabilitas karena bahan mensyaratkan bahwa sel masuk kemitosi suntuk
mendapatkan kromosom individu untuk identifikasi setelah banding.Proses pemeriksaan ini
merupakan pemeriksaan yang memerlukan keahlian analis.
Teknik baru fluoresensi hibridisasi in situ (IKAN) menggunakan probe yang berlabel
hibridisasi baik kromosom metafase atau intiinter fase, dan probehibri disasiter deteksi
dengan fluoro chromes. Teknik ini merupakan cara yang cepat dan sensitif untuk mendeteksi
kelainan struktural numerik dan berulang. (Lihatgambar di bawah.)
Gambar 2.8 Fluoresensi hibridisasi in situ menggunakan unik-urutan, DNA probe ganda fusi
untuk bcr (22q11.2) dengan warna merah dan c-ABL (9q34) gen daerah di hijau. Para bcr
normal / ABL fusi hadir di Philadelphia kromosom-positif sel-sel dalam kuning (kanan panel)
dibandingkan dengan kontrol (panel kiri). Courtesy of Emmanuel C. Besa, MD.
Dua bentuk mutasi BCR / ABL telah diidentifikasi. Ini bervariasi sesuai dengan lokasi
dari daerah mereka bergabung pada domain bcr 3 '. Sekitar 70% pasien yang memiliki 5
'breakpoint DNA memiliki pesan RNA b2a2, dan 30% pasien memiliki 3' breakpoint DNA
dan pesan RNA b3a2. Yang terakhir ini dikaitkan dengan fase kronis lebih pendek,
kelangsungan hidup lebih pendek, dan trombositosis.
CML harus dibedakan dari Ph1-negatif dengan hasil PCR negatif untuk BCR / ABL
mRNA. Penyakit ini termasuk gangguan myeloproliferative lain dan leukemia
14
myelomonocytic kronis, yang sekarang diklasifikasikan dengan sindrom myelodysplastic.
Kelainan kromosom tambahan, seperti kromosom Ph1-positif tambahan atau ganda atau
trisomi 8, 9, 19, atau 21, 17 isochromosome, atau penghapusan kromosom Y, telah
digambarkan sebagai pasien memasuki sebuah bentuk transisi atau fase percepatan krisis
blast.
Pasien dengan kondisi selain CML, seperti yang baru didiagnosis leukemia limfositik
akut (ALL) atau leukemia nonlymphocytic, mungkin juga mempunyai kromosom Ph1.
Beberapa menganggap pasien ini ada dalam fase blastic CML tanpa fase kronis. Kromosom
ini jarang ditemukan pada pasien dengan gangguan myeloproliferative lain, seperti
polisitemia vera atau thrombocythemia esensial, tetapi ini mungkin kondisi misdiagnosis
leukemia myelogenous kronis (CML). Hal ini jarang diamati dalam sindrom myelodysplastic.
CML memiliki 3 fase klinis: fase kronis awal, selama proses penyakit mudah
dikontrol, kemudian fase transisi dan tidak stabil (fase akselerasi), dan, akhirnya, tentu saja
lebih agresif (blast krisis), yang biasanya berakibat fatal. Dalam semua 3 fase, terapi suportif
dengan transfusi sel darah merah atau platelet dapat digunakan untuk meringankan gejala dan
meningkatkan kualitas hidup. Di negara-negara Barat, 90% pasien dengan CML didiagnosis
dalam tahap kronis. Jumlah sel darah putih pasien (WBC) biasanya dikontrol dengan obat-
obatan (remisi hematologi). Tujuan utama dari pengobatan selama fase ini adalah untuk
mengendalikan gejala dan komplikasi akibat anemia, trombositopenia, leukositosis, dan
splenomegali. Pengobatan standar pilihan sekarang mesylate imatinib (Gleevec), yang
merupakan molekul kecil inhibitorspesifik BCR / ABL dalam semua tahap CML.
Fase kronis bervariasi dalam durasi, tergantung pada terapi pemeliharaan yang
digunakan, biasanya berlangsung 2-3 tahun dengan terapi HU (Hydrea) atau busulfan, tetapi
dapat berlangsung selama lebih dari 9,5 tahun pada pasien yang merespon dengan baik untuk
terapi interferon-alfa. Selain itu, munculnya mesylate imatinib telah secara dramatis
meningkatkan durasi hematologi dan, memang, remisi sitogenetik. Beberapa pasien dengan
kemajuan CML pada fase transisi atau cepat, yang bisa berlangsung selama beberapa bulan.
Kelangsungan hidup pasien yang didiagnosis pada tahap ini adalah 1-1,5 tahun. Fase ini
ditandai dengan penurunan respon remisi dari jumlah darah dengan obat myelosuppressive
dan munculnya sel blast perifer (≥ 15%), promyelocytes (≥ 30%), basofil (≥ 20%), dan
jumlah trombosit kurang dari 100.000 sel / uL tidak berhubungan dengan terapi. Untuk
15
mencapai remisi hematologis diperlukan obat mielosupresif. Begitu tercapai remisi
hematologis dilanjutkan dengan terapi interferon dan cangkok sumsum tulang.
Terapi myelosuppressive dulunya adalah andalan pengobatan untuk mengkonversi
pasien dengan CML dari presentasi awal yang tidak terkendali untuk satu dengan remisi
hematologi dan normalisasi dari pemeriksaan fisik dan penemuan laboratorium. Namun, agen
baru terbukti lebih efektif, dengan efek samping yang lebih sedikit dan kelangsungan hidup
lebih lama.
HU
HU (Hydrea), penghambat sintesis deoksinukleotida, adalah agen myelosuppressive
paling umum digunakan untuk mencapai remisi hematologi. Hitungan darah awal sel
dimonitor setiap 2-4 minggu, dan dosis disesuaikan tergantung pada jumlah WBC dan
platelet. Kebanyakan pasien mencapai remisi hematologi dalam waktu 1-2 bulan. Obat ini
hanya menyebabkan durasi singkat myelosupresi, dengan demikian, bahkan jika jumlah sel
lebih rendah daripada yang dimaksudkan, menghentikan pengobatan atau mengurangi dosis
biasanya mengontrol jumlah darah. Dosis terapi pemeliharaan dengan HU jarang
menghasilkan remisi sitogenetik.
Busulfan
Busulfan (Myleran) merupakan agen alkylating yang secara tradisional telah
digunakan untuk menjaga jumlah WBC di bawah 15.000 sel / uL. Namun, efek
myelosuppressive dapat terjadi jauh di kemudian hari dan bertahan lama, yang membuat
mempertahankan angka dalam batas normal lebih sulit. Penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan fibrosis paru, hiperpigmentasi, dan penekanan sumsum berkepanjangan yang
berlangsung berbulan-bulan.
Imatinib mesylate (Gleevec)
Mesylateimatinib (Gleevec) adalah inhibitor tirosinkinase yang menghambat tirosin
kinasebcr-abl yang dihasilkan oleh Philadelphia (Ph1) kromosom. Imatinib menghambat
proliferasi dan menginduksi apoptosis pada selpositif BCR/ABL. Dengan imatinib pada
400mg / harisecara oralpada pasien denganyang baru didiagnosis Ph1-positif CML dalam
tahapkronis, tingkat responsito genetika lengkap adalah 70% dan tingkat kelangsungan hidup
3-tahun diperkirakan adalah 94%. Dengandosis tinggi800mg / hari, tingkat sitogenetika
16
lengkap respon meningkat menjadi 98%, tingkat respons utama molekula dalah 70%, dan
tingkat respon lengkap molekuler adalah 40-50%.
Gambar 2.9 Mekanisme Kerja Gleevec
Mekanisme molekuler untuk resistensi imatinib primer tidak diketahui. Mutasi kinase-
domain BCR / ABL merupakan mekanisme yang paling umum dari resistensi sekunder atau
diperoleh untuk imatinib, terhitung 50-90% kasus, 40 mutasi yang berbeda saat ini telah
dijelaskan. Karena imatinib mengikat ke domain kinase ABL di konformasi tertutup atau
tidak aktif untuk menginduksi perubahan konformasi, resistensi terjadi ketika mutasi
mencegah domain kinase dari mengadopsi konformasi spesifik terhadap ikatan.
Leukapheresis
Leukapheresis menggunakan pemisah sel dapat menurunkan jumlah WBC dengan
cepat dan aman pada pasien dengan jumlah WBC lebih dari 300.000 sel / uL, dan dapat
mengurangi gejala akut leukostasis, hiperviskositas, dan infiltrasi jaringan.
Leukapheresis biasanya mengurangi jumlah WBC hanya sementara. Dengan demikian, sering
dikombinasikan dengan kemoterapi Cytoreductive untuk efek lebih lama.
17
Interferon alfa
Di masa lalu, interferon alfa adalah terapi pilihan untuk sebagian besar pasien dengan
CML yang terlalu tua untuk transplantasi sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki
sumsum tulang donor yang cocok. Dengan munculnya inhibitor tirosin kinase, interferon alfa
tidak lagi dianggap terapi lini pertama untuk CML. Ini dapat digunakan dalam kombinasi
dengan obat-obat baru untuk pengobatan kasus-kasus refrakter.
Sebuah studi oleh Simonsson et al menemukan bahwa penambahan periode yang relatif
singkat bahkan alfa2b pegylated interferon untuk imatinib meningkatkan tingkat respon
utama molekul pada 12 bulan terapi. Dosis yang lebih rendah dari alfa2b pegylated interferon
dapat meningkatkan toleransi sementara tetap mempertahankan efikasi dan dapat
dipertimbangkan dalam penelitian selanjutnya.
Transplantasi
Sumsum tulang alogenik transplantasi (BMT) atau transplantasi sel induk saat ini
satu-satunya obat yang telah terbukti untuk CML. Idealnya, harus dilakukan dalam tahap
kronis dari penyakit daripada pada fase transformasi atau krisis blast. Calon pasien harus
ditawarkan prosedur ini jika mereka memiliki donor terkait cocok atau single-antigen-cocok
tersedia. Secara umum, pasien yang lebih muda umum lebih baik daripada pasien yang lebih
tua. BMT harus dipertimbangkan dini pada pasien muda (<55 y) yang memiliki donor
saudara kandung yang cocok. Semua saudara harus bertipe untuk antigen leukosit manusia
(HLA)-A, HLA-B, dan HLA-DR. Jika tidak cocok, jenis HLA dapat dimasukkan ke dalam
register sumsum tulang untuk donor yang tidak sepenuhnya cocok.
BMT alogenik dengan donor yang cocok tidak berhubungan telah menghasilkan hasil
yang sangat menggembirakan dalam penyakit ini. Prosedur ini memiliki tingkat yang lebih
tinggi dari kegagalan graft awal dan akhir (16%), penyakit host graft akut kelas III-IV (50%),
dan extensive chronic graft versus host disease(55%). Tingkat kelangsungan hidup secara
keseluruhan berkisar dari 31% menjadi 43% untuk pasien yang lebih muda dari 30 tahun dan
dari 14% menjadi 27% untuk pasien yang lebih tua.
18
Splenektomi
Splenektomi dan radiasi limpa telah digunakan pada pasien dengan splenomegali,
biasanya dalam tahap akhir dari CML. Ini jarang diperlukan pada pasien dengan CML yang
terjaga. Beberapa penulis percaya bahwa splenektomi mempercepat terjadinya metaplasia
myeloid di hati. Selain itu, splenektomi berhubungan dengan morbiditas perioperatif tinggi
dan tingkat kematian karena perdarahan atau komplikasi trombotik.
Prognosa
Secara historis, kelangsungan hidup rata-rata pasien dengan CML adalah 3-5 tahun
dari saat diagnosis. Saat ini, pasien dengan CML memiliki hidup rata-rata 5 tahun atau lebih
dan 5 tahun tingkat kelangsungan hidup 50-60%. Peningkatan tersebut telah dihasilkan dari
diagnosis dini, terapi ditingkatkan dengan interferon dan transplantasi sumsum tulang, dan
perawatan suportif yang lebih baik.
Sebagai pengobatan ditingkatkan, kebutuhan untuk tahap pasien menurut prognosis
mereka menjadi perlu untuk membenarkan prosedur dengan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi, seperti transplantasi sumsum tulang.Pementasan pasien didasarkan pada beberapa
analisis menggunakan analisis variate beberapa antara asosiasi dari host pretreatment dan
karakteristik sel leukemia dan tingkat kelangsungan hidup yang sesuai. Temuan dari studi ini
mengklasifikasikan pasien ke dalam kelompok berikut:
• Low-risk (kelangsungan hidup rata-rata 5-6 tahun)
• Moderate-risk (kelangsungan hidup rata-rata 3-4 tahun)
• High-risk (kelangsungan hidup rata-rata 2 tahun)
Satu banyak digunakan indeks prognostik, skor Sokal, dihitung untuk pasien berusia
5-84 tahun dengan persamaan berikut:
Tiga kategori dari skor Sokal adalah sebagai berikut:
1. Risiko rendah: skor <0,8
2. Menengah risiko: skor 0,8-1,2
3. Resiko tinggi: skor> 1,2
19
Hazard ratio = exp 0.0116 (age - 43) + 0 .0345 (spleen size [cm below costal margin] - 7.5
cm) + 0.188 [(platelet count/700)2 - 0.563] + 0.0887 (% blasts in blood - 2.1)
Skor Sokal berkorelasi dengan kemungkinan mencapai respon sitogenetika lengkap,
sebagai berikut:
• low-risk: 91%
• Intermediate-risk: 84%
• high-risk: 69%
Sebuah model prognostik gabungan, menggabungkan model-model sebelumnya
seperti nilai Sokal, telah dirancang menggunakan jumlah orang miskin-prognosis
karakteristik. Tahapan dalam model ini adalah sebagai berikut:
• Tahap 1: 0 atau 1 karakteristik
• Tahap 2: 2 karakteristik
• Tahap 3: 3 atau lebih karakteristik
• Tahap 4: diagnosis pada fase ledakan
Prognosis buruk terkait dengan karakteristik termasuk faktor-faktor klinis dan
laboratorium berikut:
• Usia yang lebih tua
• Simptomatis
• Performance status buruk
• Afrika Amerika keturunan
• Hepatomegali
• Splenomegali
• Kromosom Ph Negatif atau BCR / ABL
• Anemia
• Trombositopenia
• Trombositosis
• Penurunan megakaryocytes
• Basophilia
• Myelofibrosis (reticulin ditambah atau kolagen)
Terapi terkait faktor berikut mungkin menunjukkan prognosis buruk pada pasien
dengan CML:
• Lama waktu untuk remisi hematologi dengan terapi myelosupresi
• Durasi remisi pendek
20
• Dosis total tinggi dari HU atau busulfan
• Supresisel Ph-positif buruk dengan kemoterapi atau terapi interferon alfa
Sebuah penelitian di Jerman dari 139 pasien berisiko rendah dengan CML, menurut
skor Sokal, menunjukkan bahwa agen terapi baru telah membawa kemajuan dalam
kelangsungan hidup. Hidup rata-rata sesuai perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut:
• busulfan: 6 tahun (50 pasien)
• HU: 6,5 tahun (55 pasien)
• Interferon alfa: sekitar 9,5 tahun (34 pasien)
Beberapa pasien dengan remisi molekuler dari interferon alfa dapat disembuhkan, tapi
ini hanya dapat dibentuk dari waktu ke waktu.Para imatinib tirosin kinase inhibitor telah
menggantikan interferon sebagai terapi lini pertama, karena dikaitkan dengan tingkat respons
yang lebih tinggi dan toleransi yang lebih baik dari efek samping. Jangka panjang tindak
lanjut dari pasien yang menerima imatinib dalam pengobatan CML dan mencapai respon
cytogenic lengkap 2 tahun setelah awal pengobatan menunjukkan bahwa kelangsungan hidup
mereka secara statistik tidak signifikan berbeda dari masyarakat umum.
Manifestasi dari blast krisis serupa dengan leukemia akut. Hasil pengobatan tidak
memuaskan, dan kebanyakan pasien menyerah pada penyakit sekali fase ini berkembang.
Fase akut, atau krisis blast, mirip dengan leukemia akut, dan kelangsungan hidup adalah 3-6
bulan pada tahap ini.
21