Transcript

ASPEK KOMPLIKASI ENSEFALITIS DAN PENATALAKSANAANNYA

ASPEK KOMPLIKASI ENSEFALITIS DAN PENATALAKSANAANNYA

BAB I

Pendahuluan

I.1. Defenisi

Ensefalitis adalah proses inflamasi akibat infeksi pada susunan saraf pusat yang melibatkan parenkim otak yang dapat bermanifestasi sebagai gangguan neurofisiologis difus dan / atau fokal.1,2 Secara klinis ensefalitis dapat dijumpai muncul bersamaan dengan meningitis, disebut meningoensefalitis, dengan tanda dan gejala yang menunjukkan adanya inflamasi pada meninges seperti kaku kuduk, nyeri kepala, atau fotofobia.1 Namun, dari sudut pandang epidemiologis dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis.1 Dari sudut pandang terminologi, ensefalitis berasal dari kata ensefalon + itis yang bermakna inflamasi pada parenkim otak.1 Sedangkan meningitis berasal dari kata meninges + itis yang bermakna inflamasi pada selaput pembungkus jaringan otak (meninges).3

I.2 Etiologi

Ensefalitis biasanya timbul sebagai akibat proses inflamasi akut tapi dapat juga berupa reaksi inflamasi pasca infeksi penyakit lain (postinfeksius ensefalomyelitis), penyakit kronik degeneratif, atau akibat infeksi slow virus.4 Ensefalitis biasanya disebabkan oleh virus secara langsung melalui 2 jalur yakni hematogen atau secara neuronal ( saraf perifer atau saraf kranialis).4 Pada musim panas atau musim semi di Amerika Serikat, jenis patogen yang paling sering adalah arbovirus dan enterovirus.4

Ensefalitis yang disebabkan oleh arbovirus disebut juga arthropode-borne viral encephalitides.5 Kelompok virus ini menunjukkan gejala neurologis yang berat dan hampir mirip, disebabkan oleh beberapa jenis arbovirus.5 Berdasarkan dari berbagai taxa virusnya, maka ensefalitis arbovirus dibagi menjadi beberapa jenis, yakni:

1. Kelompok sero-group alphavirus dari family Togaviridae merupakan agen dari western equine encephalitis (WEE), eastern equine encephalitis (EEE), dan Venezuelan encephalitis.5,6 Alphavirus merupakan virus RNA strand-positif, dengan envelope, dan berukuran 69- nm.52. Kelompok sero-group California, family Bunyaviridae merupakan agen dari California encephalitis (CE) sedangkan dari family Reoviridae merupakan agen dari Colorado tick fever.5Sero-group Bunyavirus 16, merupakan virus RNA dengan 3 segmen strand-negatif, memiliki envelope, berukuran 75 115-nm.5 Reovirus merupakan sero-group virus RNA dengan strand-ganda, berukuran 60 80-nm.5

3. Kelompok sero-group flavivirus, yang paling sering menimbulkan penyakit adalah Japanese B encephalitis virus (menyebabkan Japanese B encephalitis) dan West Nile virus (menyebabkan West Nile encephalitis / WNE).6 Virus Japanese B encephalitis ditransmisikan melalui tick dan nyamuk sedangkan virus West Nile mempunyai siklus hidup yang melibatkan burung dan nyamuk.3 Vektor WNE pada manusia adalah nyamuk dari genus Culex, Anopheles, dan Aedes.3 Selain jenis ensefalitis yang telah disebutkan sebelumnya, sero-group flavivirus juga dapat menyebabkan St. Louis encephalitis.3Enterovirus termasuk dalam family picornavirus.3 Family picornavirus antara lain virus coxsackie A dan B, poliovirus, echovirus, enterovirus 68 dan 71, hepatitis A virus.3

Virus herpes simpleks tipe I (VHS tipe I) merupakan penyebab tersering dari ensefalitis sporadik.4 Sedangkan VHS tipe II lebih sering dijumpai pada neonatus dengan ensefalitis.4 VHS merupakan virus DNA yang dapat menyebabkan penyakit lokal maupun sistemik.2 Pada Anak dan bayi, VHS dapat menyebabkan ensefalitis yang dapat memburuk.2 Infeksi pada neonatus biasanya didapat selama atau sesaat sebelum bayi dilahirkan, bersumber dari organ genitalia eksterna ibu.3 Infeksi primer VHS tipe II selama proses persalinan memberikan faktor risiko yang lebih besar terhadap ensefalitis.2 Infeksi juga dapat terjadi melalui rekurensi, namun baik infeksi primer maupun rekurens keduanya dapat terjadi secara asimtomatik sehingga banyak para ibu yang tidak menyadari hal ini.2 Human herpesvirus 6 merupakan jenis VHS yang menjadi agen pada exanthema subitum, virus ini dihubungkan dengan terjadinya komplikasi neurologikus yang luas, termasuk pada ensefalitis viral (fokal).3

Virus mumps dan measles (campak Jerman), merupakan sero-group paramyxovirus yang sering menimbulkan gejala neurologis.3 Measles biasanya tidak menyebabkan ensefalitis pada fase akut, tetapi 1 dari 1000 kasus dapat meningkatkan risiko sindroma autoimun pasca-infeksi measles.3 Virus Nipah (family Paramyxoviridae) pertama kali dideteksi setelah terjadinya outbreak ensefalitis pada peternak babi di Malaysia.3 Virus ini merupakan agen penyakit zoonosis pada babi dan manusia.3

Arenavirus biasanya menginfeksi rodensia.3 Pada musim dingin biasanya tikus tinggal di dalam rumah (indoor) sehingga risiko kontak manusia dengan ekskret tikus meningkat.3 Oleh karena itu, lymphocytic choriomeningitis paling sering terjadi selama musim dingin.3 Meningitis atau meningoensefalitis dapat terjadi 5 sampai 10 hari setelah terinfeksi (masa inkubasi).3

Rabies masih merupakan patogen penting di negara berkembang, dimana enfeksi endemik akibat gigitan hewan masih ada.3 Agen rabies merupakan virus RNA yang dikelompokkan dalam rhabdovirus.2 Di negara negara Eropa dan U. S. A. rabies biasanya ditransmisikan dari gigitan hewan liar seperti srigala, kelelawar, musang.3 Penyakit ini juga pernah dilaporkan terjadi setelah transplantasi kornea, yang tidak diketahui sebelumnya bahwa donor kornea tersebut meninggal karena rabies.2 Masa inkubasinya berlangsung selama 20-60 hari setelah gigitan, atau dapat berlangsung seumur hidup.3

Citomegalovirus juga dapat menyebabkan ensefalitis, biasanya bersifat kongenital.2 Infeksi juga bisa didapat pada masa perinatal melalui kontak dengan sekret maternal selama proses persalinan atau dari ASI, tapi jenis infeksi yang didapat pada masa post-natal ini jarang melibatkan susunan saraf pusat.2

Varicella-zostervirus (VZV) jarang sebagai agen penyebab ensefalitis.2 Jika terjadi ensefalitis oleh VZV maka sering melibatkan serebelum dan biasanya menghilang secara spontan.2 Keterlibatan serebral pada infeksi VZV jarang terjadi dan sering berhubungan dengan defisit neurologis yang signifikan dan angka mortalitas yang lebih tinggi, tergantung dari respon host.2 Malaria serebral merupakan jenis ensefalitis yang dapat terjadi akibat komplikasi terberat pada malaria oleh Plasmodium falciparum.2 Dibandingkan orang dewasa malaria serebral lebih cenderung terjadi pada anak anak.2 Biasanya terjadi pada anak berusia kurang dari 6 tahun di daerah endemik malaria.2 Ensefalitis pasca-infeksi merupakan penyebab yang relatif sering pada kasus ensefalitis yang tidak didapatkan agen penyebabnya dari parenkim otak, sehingga dipikirkan mungkin sebagai akibat dari respon imunologis terhadap infeksi sebelumnya.2 Agen yang dapat menjadi pencetus respon imunologis tersebut antara lain measles, rubella, mumps, VZV, dan infeksi M pneumoniae.2 Juga dapat terjadi setelah imunisasi dengan vaksin dari agen agen tersebut.2Infeksi slow-virus baru bermanifestasi setelah berbulan-bulan hingga bertahun-tahun pasca infeksi.4 Agen yang dapat menjadi penyebab antara lain HIV, measles akibat vaksinasi atau secara alamiah (pada subakut sklerosing panensefalitis), rubella, VHS ( pada meningitis Mollaret), dan papovavirus (pada leukoensefalopati multifokal progresif).4 Ensefalitis oleh bukan virus dapat disebabkan oleh ricketsia, Mycoplasma pneumoni, Mycobacterium tuberculosis, Spirochaeta (sifilis), protozoa (Plasmodium, Trypanosoma), dan fungi (Histoplasmosis, Cryptococcus, Aspergillosis, Mucormycosis, Moniliasis, Coccidiomycosis).8

Ensefalitis yang diasosiasikan dengan vaksin biasanya oleh rabies, pertusis, morbili, influensa, vaccinia, yellow fever, dan typhoid.8I.3. Epidemiologi

!.3.1 Frekuensi

Secara internasional, angka insiden dari ensefalitis oleh virus sepertinya lebih rendah dari yang diperhitungkan, terutama di negara berkembang, disebabkan hambatan pada deteksi patogen.3 Japanese B encephalitis stidaknya menyerang 50.000 individu per tahun.3 Dari penelitian terakhir di Finlandia, angka insiden ensefalitis viral pada orang dewasa sebesar 1,4 per 100.000 per tahun.6 Penyebab utama adalah VHS (16 %), VZV (5 %), mumps (4 %), virus influenza A (4 %).3 Dari penelitian epidemiologi terakhir di U. S. A angka insiden ensefalitis viral sebesar 3,5-7,4 per 100.000 penduduk per tahun.3 The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan angka insiden ensefalitis viral sebesar 20.000 kasus baru ensefalitis di U. S. A dan sebagian besar bersifat ringan.3 Dua penyebab utama ensefalitis endemik di U. S. A. adalah VHS dan rabies.3 ensefalitis akibat infeksi VHS merupakan yang paling sering terjadi dan mempunyai insiden 2 kasus per 1 juta populasi per tahun, merupakan 10 % dari seluruh kasus ensefalitis di U. S. A.3 Ensefalitis oleh arbovirus berkisar 150-3000 kasus per tahun tergantung pada kejadian dan intensitas dari transmisi epidemik.3 Pada tanggal 28 Agustus 2002, WNE menyerang 480 individu dan mengakibatkan 24 kematian.3 Pada tahun 1975 Ensefalitis St. Louis menyerang 3000 individu.3 Sejak tahun 1964 EEE pernah dilaporkan sebanyak 153 kasus dan WEE sebanyak 639 kasus.3

I.3.2 Mortalitas dan morbiditas

Angka mortalitas sebagian besar tergantung dari agen ensefalitis tersebut.3 Ensefalitis oleh VHS menyebabkan mortalitas sebesar 70 % pada pasien yang tidak mendapat terapi, dengan morbiditas berupa sekuele berat pada individu yang dapat bertahan.3 EEE mempunyai angka mortalitas 50-75 % dengan morbiditas tinggi berupa sekuele neurologis sedangkan WEE sebesar 10 %.6 Japanese B encephalitis merupakan penyebab ensefalitis viral terpenting di seluruh dunia dengan 50.000 kasus baru dan 15.000 kematian per tahun, telah dilaporkan terjadi di China, Asia Tenggara, Daratan India, Filipina, New Guinea, Guam, dan Australia.3 WNE dilaporkan endemik di Afrika, Timur Tengah, Russia, India, Indonesia, dan beberapa bagian daratan Eropa.3 WNE pertama kali dilaporkan terdeteksi di negara barat (Western) selama terjadi outbreak ensefalitis pada akhir musim panas 1999 di New York City.3.6 St. Louis encephalitis (SLE) pernah menjadi penyakit paling sering yang disebabkan oleh flavivirus di U. S. A., outbreak-nya terjadi dari bulan Agustus-Oktober di seluruh negeri.3 Suseptibilitas individu meningkat bersama dengan usia, dan ensefalitis dapat disertai dengan hiponatremia, karena sindrom pelepasan hormon anti diuretik yang tak sesuai.3 Angka mortalitasnya tergantung pada usia, berkisar dari 2 hingga 20 % dan sekuele terjadi pada 20 % individu yang dapat bertahan.3 Arenavirus dapat menyebabkan ketulian unilateral maupun bilateral dalam masa ensefalitis, angka fatalitasnya berkisar 8-52 %.6 Outbreak terakhir dari ensefalitis oleh enterovirus 71 dilaporkan terjadi di Jepang, Malaysia, dan Taiwan.3 I.3.3. Jenis kelamin

Tidak terdapat perbedaan predileksi dalam hal jenis kelamin, kecuali pada subakut sklerosing panensefalitis, prevalensinya 2-4 kali lebih besar pada anak laki-laki.6

I.3.4 Usia

Individu dengan usia yang ekstrim berisiko paling tinggi, terutama pada ensefalitis oleh VHS (ensefalitis herpes simpleks / EHS).6 EHS pada neonatus merupakan manifestasi infeksi yang meluas.6 Pada bayi, anak, dan orang dewasa lebih cenderung terjadi infeksi yang terlokalisir (paling sering VHS tipe I).6 SLE dan WNE lebih sering dan lebih berat pada individu berusia lebih dari 60 tahun.6 EEE dan WEE secara disproporsional menyerang bayi, EEE secara disproporsional menyerang anak dan individu yang lebih tua.6

I.4 Patofisiologi

Patofisiologinya bervariasi sesuai dengan family virus tersebut.3 Virus masuk ke sistem saraf pusat melalui 2 jalur yang berbeda yakni secara hematogen atau menyebar secara retrograd melalui jalur neuronal.3 Jalur hematogen merupakan jalur yang paling sering.3 Manusia biasanya merupakan host insidental dari banyak virus penyebab ensefalitis.3 Ensefalitis arbovirus merupakan penyakit zoonosis, virus yang dapat survive pada siklus infeksi melibatkan arthropoda dan beberapa vertebrata, terutama burung dan rodensia.3 Virus dapat ditransmisikan melalui gigitan serangga kemudian mengalami replikasi lokal di kulit.3

Viremia yang berlangsung sesaat (transient viremia) menyebarkan virus ke sistem retikuloendotelial dan otot.3 Setelah mengalami replikasi terus-menerus, viremia sekunder tejadi dan menyebarkan virus ke lokasi tubuh yang lain, diantaranya sisten saraf pusat. Dalam kasus yang fatal, perubahan histopatologis didapatkan terjadi di luar sistem saraf.3 Pada SLE terjadi pengecualian, kadang kadang terjadi keterlibatan ginjal.3

Pada pemeriksaan secara menyeluruh pada otak, derajat variasi meningitis, edema serebri, kongesti, dan perdarahan diamati.3 Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan terjadi leptomeningitis dengan infiltrasi round-cell, perdarahan kecil dengan perivaskular cuffing, dan nodul leukosit atau sel mikroglia.3 Demyelinisasi dapat terjadi mengikuti kerusakan dari oligodendroglia, dan keterlibatan sel ependim dapat menuju pada keadaan hidraensefali.3

Kerusakan neuron terlihat sebagai kromatolisis dan neurofagia.3 Dapat terjadi daerah nekrosis yang luas, terutama pada EEE dan Japanese B encephalitis.3 Penelitian eksperimental terakhir menunjukkan bahwa arbovirus dapat menginduksi terjadinya apoptosis pada sel otak host.3 Pasien yang dapat bertahan menunjukkan derajat penyembuhan yang bervariasi, yang diantaranya terjadi proses kalsifikasi pada jaringan otak.3

Bentuk lain dari penyebaran virus ke sistem saraf pusat adalah melalui penyebaran retrograd secara neuronal.3 Virus rabies biasanya cenderung memiliki tropisme di lobus temporalis, menyerang kornu Ammonis.3 Salah satu dari jalur yang mungkin dilalui oleh VHS adalah melalui jalur nervus olfaktorius.3 EHS pada bayi biasanya merupakan bagian dari infeksi yang menyebar luas yang membentuk lesi nekrotik fokal dengan badan inklusi intranuklear yang khas di banyak organ.3 Pada orang dewasa dan beberapa anak, lesi terbatas di otak.3 Fokus nekrosis mungkin dapat terlihat secara makroskopis berupa perlunakan jaringan.3 Badan inklusi ditemukan pada batas daerah nekrosis, selain itu terjadi infiltrasi perivaskular fokal dan kerusakan neuron.3 VHS memiliki tropisme di korteks lobus temporalis dan pons, tapi lesinya dapat saja menyebar luas.3

I.5 Diagnosis klinis

I.5.1 AnamnesisDari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat febris dengan onset akut.3 Pasien dengan ensefalitis viral biasanya secara umum mengalami adanya nyeri kepala, demam, dan kaku kuduk sebagai gejala dari iritasi leptomeningeal.3 Dari heteroanamnesis bisa didapatkan adanya tanda defisit neurologikus fokal, kejang, dan perubahan kesadaran yang dimulai dengan letargia yang progresif menuju disorientasi, stupor, dan koma.3 Seringkali didapatkan perubahan tingkah laku dan bicara.3 Pergerakan abnormal dapat diperoleh dari cerita orang yang merawatnya.3 Selain adanya febris yang dapat mengarah ke hipertermia dapat juga terjadi poikilotermia akibat keterlibatan aksis hipotalamus-hipofisis.3

Petunjuk yang spesifik pada anamnesis/ heteroanamnesis tergantung dari agen yang menjadi etiologinya.3 Penderita dapat memiliki riwayat digigit hewan yang mungkin tidak diterapi dengan antirabies.1 Masa prodormal virus secara umum berlangsung selama berhari-hari dan terdiri dari adanya riwayat febris, nyeri kepala, mual, muntah, letargia, dan myalgia.1 Riwayat prodormal yang spesifik didapatkan pada VZV, EBV, CMV, Measles, dan mumps antara lain berupa rash, lymphadenopati, hepatosplienomegali, dan pembesaran kelenjar parotis.1 Pada SLE bisa terdapat riwayat dysuria dan pyuria.1 Pada WNE disa didapatkan riwayat letargia yang ekstrim.1 Bentuk ensefalitis klasik adalah dengan gejala defisit neurologis difus atau fokal.1 Berdasarkan hal tersebut bisa didapatkan riwayat perubahan tingkah laku dan kepribadian, penurunan kesadaran, kaku kuduk, fotofobia, letargia, kejang fokal atau general terdapat pada 60 % anak yang menderita California encephalitis, disorientasi dengan onset akut, atau keadaan amnesia, kelumpuhan yang bersifat flaksid terjadi pada 10 % dari kasus WNE.1 Riwayat yang jarang dijumpai adalah nyeri kepala dan keluhan lain yang berhubungan dengan meningismus.1 Pada EHS neonatal bisa didapatkan riwayat lesi pada kulit, mata, dan mulut pada masa masa awal penyakit, perubahan derajat kesadaran, irritable, kejang, dan sukar menyusu, hingga syok jika terjadi infeksi yang menyebar luas.1 Pada ensefalitis akibat toksoplasma (terjadi pada 40 % dari pasien positif HIV), bisa didapatkan riwayat nyeri kepala subakut, ensefalopati, dan sering ada keluhan defisit neurologis fokal.1I.5.2 Pemeriksaan fisik

Dalam pemeriksaan fisik diamati adanya tanda infeksi virus.1 Tanda ensefalitis dapat berupa defisit neurologis fokal maupun difus (80 % pasien EHS datang dengan tanda defisit neurologis fokal) sebagai berikut:1

1. Perubahan status mental dan/ atau kepribadian.

2. Defisit neurologis fokal, seperti hemiparesis, kejang fokal, dan disfungsi organ yang dipersarafi saraf otonom.

3. Gangguan pergerakan (SLE, EEE, WEE).

4. Ataksia.

5. Defisit nervus kranialis.

6. Disfagia (pada rabies dapat tampak mulut yang berbusa dan hydrophobia).

7. Meningismus (lebih jarang terjadi dibandingkan pada meningitis).

8. Disfungsi sensorik-motorik unilateral.

Adapun ensefalitis herpes simpleks pada neonatus dapat menunjukkan gejala dan tanda sebagai berikut:1

1. Lesi kulit herpetik sejak lahir.

2. Keratokonjungtivitis.

3. keterlibatan orofaring, terutama mukosa bukal dan lidah.

4. gejala ensefalitis, seperti kejang, irritable, perubahan derajat kesadaran, dan fontanela yang cembung.

5. Tanda tambahan dari VHS yang menyebar berupa syok, ikterus, dan hepatomegaly.

Ensefalopati akibat toksoplasma yang terjadi pada pasien imunosupresif, 75 % datang dengan gejala defisit neurologikus fokal, sekitar satu setengah pasien tersebut mengalami perubahan ensefalopatik.1

I.6 Diagnosis banding

Anamnesis yang diperoleh dapat menunjukkan eksposur yang mungkin apakah dari individu lain, hewan dengan penyakit rabies, nyamuk, hingga tick.4 Anamnesis juga sebaiknya menanyakan riwayat bepergian ke daerah yang dianggap berisiko.4 Adapun beberapa keadaan yang dapat dipertimbangkan dalam mendiagnosis pasien dengan anamnesis dan gejala yang mengarah ke ensefalitis adalah berbagai penyakit yang dapat menyebabkan ensefalopati, yakni:6

1. Infeksi (meningitis, ensefalitis, abses otak).

2. Trauma.

3. penyakit pembuluh darah (hipertensive encephalopathy, stroke, vaskulitis, aneurisma, arteriovenous malformasi).

4. Akibat toksin, misalnya salisilat6, hipervitaminosis A4.

5. Hidrosefalus.

6. Gangguan metabolisme, seperti uremia, ensefalopati hepatik, inborn error of metabolism, sindroma Reye, ketoasidosis diabetik (KAD), hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia.

7. Ensefalopati anoksik.

8. Status epileptikus: post-iktal.

I.7 Pemeriksaan penunjang

1. Analisis likuor serebrospinalis, meliputi:6

a. Hapusan dan kultur bakteri.

b. Kultur virus.

c. PCR untuk VHS dan enterovirus.

d. Hapusan dan kultur untuk acid-fast bakteria.

e. Preparat khusus untuk fungi dan protozoa.

f. Hitung leukosit (hungga beberapa ribu sel, sering berupa PMN predominan pada masa awal infeksi).

g. Protein yang normal atau meningkat secara moderat.

h. Glukosa yang normal.

2. Darah, feses, dan hapusan tenggorok

a. Kultur virus.

b.Metode imunologis, yakni: uji fiksasi komplemen, uji inhibisi hemaglutinasi, uji netralisasi.7 Bahan: darah pada fase akut dan fase konvalesen. Positif bila titer antibodi pada fase konvalesen meningkat lebih dari atau sama dengan 4 kali.7 c. Deteksi antigen virus.

3. Elektroensefalogram

4. CT scan.

5. MRI.

6. Biopsi otak.

I.8 Penatalaksanaan

1. Perawatan intensif

a. Jaga keadekwatan jalan nafas untuk pertukaran gas dan mencegah aspirasi (pada pasien koma).6 b. Intubasi endotrakeal untuk menjaga jalan nafas tetap adekwat (jika perlu).6c. Ventilasi mekanik untuk mengkoreksi hipoventilasi atau hipoksemia (jika perlu).6

d. Antikonvulsan untuk mengatasi kejang (jika perlu).6

e. Observasi keseimbangan cairan dan elektrolit.6

f. Monitoring output urin setiap jam melalui kateter vesika urinaria.6 2. Pemakaian obat obatan.

a. Dosis obat penurun panas dan anti kejang sesuai dengan kejang demam.8

b. Antibiotika, diberikan untuk mencegah infeksi sekunder seperti Ampisilin dosis 50-100 mg/kgbb/hari, dibagi 3 dosis secara i.v..7

c. Untuk menghilangkan edema otak diberikan:

* Deksametason: Dosis 0,5 mg/kgbb/hari, i.v. atau i.m., dosis diturunkan perlahan setelah beberapa hari bila ada perbaikan.7

* Manitol: Dosis 1,5-2 g/kgbb, i.v. dalam 30-60 menit dapat diulang setiap 8-12 jam dengan menggunakan larutan 15-20 %.7

* Gliserol: Dosis 0,5-1,0 ml/kgbb, dengan sonde hidung, diencerkan 2 kali dan dapat diulang setiap 6 jam.7

* Glukosa 20 %, 10 ml i.v. beberapa kali sehari, dimasukkan ke dalam pipa giving set.7

3. Pengobatan suportif

a. Pemberian cairan i.v. (glukosa 10 %). Pemberian cairan i.v. dimaksudkan untuk mempertahankan keseimbangan air-elektrolit, mencakup kalori dan pemberian obat-obatan.7

b. Pemberian vitamin.7

c. Pemberian oksigen untuk mencegah kerusakan jaringan otak akibat hipoksia.7

BAB II

Komplikasi Ensefalitis dan Penatalaksanaannya

II.1 Komplikasi ensefalitis

Komplikasi jangka panjang dari ensefalitis berupa sekuele neurologikus yang nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik, dan penanganan selama perawatan.8 Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya sekuele secara dini.8

Walaupun sebagian besar penderita mengalami perubahan serius pada susunan saraf pusat (SSP), komplikasi yang berat tidak selalu terjadi.8 Komplikasi pada SSP meliputi tuli saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia muskulorum, ataksia, epilepsi, retardasi mental dan motorik, gangguan belajar, hidrosefalus obstruktif, dan atrofi serebral.8

Hidrosefalus dapat timbul sebagai akibat adanya bendungan LCS di saluran aquaduktus.7 Bisa terjadi pada meningoensefalitis oleh virus mumps dan sering timbul pada fase perbaikan.7 Jika terjadi sekuele motorik, penatalaksanaannya meliputi pelayanan fisikal, okupasional, dan rehabilitasi.8 Hal ini dilakukan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan meningkatkan status fungsi organ yang optimal.8

II.2 Penatalaksanaan komplikasi ensefalitis

1. Tuli saraf

Gangguan pendengaran dapat terjadi dalam taraf ringan hingga berat dan terdapat pada 20-30 % anak dengan ensefalitis.8 Pemberian deksametason sejak awal perjalanan penyakit dapat mengurangi insiden komplikasi audiologis akibat H influenzae tipe b.8 Gangguan pendengaran berat mempengaruhi perkembangan kemampuan bicara yang normal.8 Oleh karena itu evaluasi audiologis dan penilaian perkembangan anak harus dilakukan pada setiap kunjungan penderita.82. Hidrosefalus

Pada hidrosefalus obstruktif, pengalihan LCS adalah satu-satunya cara yang dapat menghentikan terus membesarnya kepala bayi.9 Pada hidrosefalus dengan stenosis aquaduktus Sylvii hal ini dapat dicapai dengan menghubungkan ventrikulus lateralis dengan sisterna serebello-medularis (prosedur Torkildsen).9 Hasil yang lebih baik dapat dicapai dengan mengalihkan aliran LCS dengan menghubungkan ruang subarakhnoideal di daerah lumbal dengan rongga peritoneum (spino-peritoneal shunt) atau dengan menghubungkan ventrikulus tertius dengan vena kava superior (ventriculo-caval shunt / rongga peritoneum atau ventriculo-peritoneal shunt).9 Untuk kedua tindakan yang terakhir ini diperlukan suatu katup yang dapat mengatur aliran agar tetap ventrikulofugal.9 Saat ini terdapat dua macam katup (valve) yang dapat digunakan dalam operasi shunt, yaitu:9

1. Katup Spitz-Holter.

2. Katup Pudenz-Heyer

3. Epilepsi

Terapi pada kasus epilepsi meliputi 2 hal yakni pemberian nasihat dan pemberian obat anti konvulsan.9

a. Pemberian nasihat (advis)

Jika penderita menjadi dewasa dan timbul epilepsi di kemudian hari sebagai akibat dari sikatriks yang tersisa di parenkim otak maka dapat terjadi epilepsi.9 Tujuan dari segala nasihat kita adalah agar penderita dapat hidup dalam keadaan yang senormal mungkin.9 Penderita baik yang masih sekolah maupun yang sudah bekerja dinasehati supaya melakukan kegiatannya seperti biasa.9 Hanya bila penderita seorang pekerja yang pekerjaannya dapat membahayakan dirinya barulah dinasihati agar penderita pindah ke lapangan pekerjaan lain.9 Penderita tidak diperkenankan untuk menjadi supir mobil dan hendaknya jangan diberikan surat izin mengemudi, karena hal itu dapat membahayakan dirinya, para penumpangnya, dan para pengguna jalan lain.9 Pada dasarnya penderita dilarang mengemudikan kendaraan bermotor selama penderita masih minum obat-obatan anti konvulsan.9 Penderita tidak dilarang berolahraga, tetapi kepadanya supaya tetap menjaga diri dan hendaknya jangan sampai kelelahan.9 Olah raga berenang pun tidak dilarang asal ada yang menjaganya.9 Psikoterapi memegang peranan yang sangat penting dalam menambah kepercayaan dan membantu mengurangi/ menghilangkan rasa rendah diri pada penderita.9 Makanan penderita harus teratur, penderita dijaga agar jangan sampai merasa lapar.9 Bila penderita merasa lapar hendaknya segera makan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia.9 Jika dewasa kelak penderita epilepsi tidak diperbolehkan minum-minuman beralkohol seperti bir dan lain lainnya.9 Tidak ada larangan terhadap rokok atau kopi, asal jangan berlebihan.9 Buang air besar harus teratur, bila ada obstipasi, hendaknya kepada penderita diberikan laksansia ringan.9

Tidur harus teratur, penderita tidak diperbolehkan bergadang.9 Tidak jarang bangkitan epilepsi timbul setelah penderita kurang tidur.9 Pada penderita epilepsi pasca meningoensefalitis yang kelak dewasa dan gravidae, lebih mudah terjadi bangkitan-bangkitan epilepsi.9 Hal ini disebabkan karena wanita yang hamil akan mengalami retensi natrium, hidrasi dan berat badan yang bertambah, yang menimbulkan perubahan-perubahan metabolisme dalam tubuh wanita tersebut, yang pada akhirnya menurunkan ambang myokloni.9 Dalam keadaan demikian, sebaiknya dosis obat antikonvulsan ditingkatkan untuk mencegah timbulnya bangkitan epilepsi.9 Bila penderita hendak bepergian jauh, maka dinasihati agar penderita meminum obat anti-konvulsan secara teratur.9 Jangan sampai kelelahan, tidur harus baik, dan diingatkan bahwa perubahan udara sewaktu waktu memang dapat mengganggu.9 b. Pemberian obat-obat anti konvulsan

Obat-obat anti-konvulsan yang dapat diberikan adalah:

1. Fenobarbital

Obat anti-konvulsan yang terbaik dan termurah adalah fenobarbital (luminal).9 Obat ini untuk pertama kali dipergunakan sebagai anti-konvulsan dalam tahun 1912 oleh Hauptmann.9 Pemberian luminal pada anak-anak disesuaikan dengan indikasinya.10 Untuk tindakan preventif diberikan luminal sebesar 1 mg/kgbb/x secara i.v..10 Untuk Kejang lama diberikan luminal 8 mg/kgbb/hr (2x, 2 hari), lalu dilanjutkan luminal dosis 5 mg/kgbb/hr, dibagi dalam 2 dosis.10 untuk epilepsi umum pada anak berusia > 4 tahun tidak digunakan luminal tapi valproic acid.10

2. Difenilhidantoin

Sebagai anti-konvulsan, obat ini pertama kali dipergunakan dalam tahun 1938 oleh Merritt dan Putnam.9 Kelebihan dari obat ini adalah oleh karena tidak bersifat sedatif.9 Dilantin tidak digunakan untuk mengobati Petit Mal, tapi hanya untuk mencegah timbulnya bangkitan epilepsi pada penderita Grand Mal dan Epilepsi Psikomotor.9 Digunakan untuk terapi epilepsi pada anak > 4 tahun yang tidak boleh diberikan luminal.10 Dosis pada anak-anak: maksimum 6 mg/kgbb/hari.10

3. Valium (diazepam)

Khusus disebutkan di sini kegunaan valium bila disuntikkan secara intravena, pada terapi penderita dengan status epileptikus.9 Dosis 0,5 mg/kgbb/x i.v. dan pada anak dengan berat badan 10 kg diberikan sebanyak ampul per kali.10

4. Clonazepam

Clonazepam berkhasiat bila digunakan pada terapi penderita dengan Petit Mal dan bangkitan akinetik dan mioklonik.9 Diberikan dengan dosis 2,5 mg per hari, dibagi dalam 3 dosis.9

5. Tridione/Paradione

Obat-obatan ini berasal dari kelompok oksazolidinedione.9 Paradione ternyata kurang toksik dibandingkan tridione.9 Obat-obatan ini dapat dipergunakan pada anakanak dengan Petit Mal.9 Dosis: 3 x 150-300 mg per hari, dosis ini dapat ditingkatkan hingga 3 g per hari.9 Efek samping dari obat golongan ini adalah mengantuk, fotofobia, akne, agranulosis dan anemia aplastik.9 6. Zarontin (Ethosuximide)

Zarontin sangat baik pada penderita dengan Petit Mal. Dosis pada anak anak < 6 tahun adalah 2 atau 3 x 250mg-500mg per hari.9 Efek sampingnya adalah anoreksia, nausea, muntah-muntah, dan depresi sumsum tulang.9

7. Valproic acid (Depakene)

Depakene dapat dipergunakan dalam pengobatan Petit Mal dan pada myoclonic epilepsy dan bangkitan akinetik.9 Dosis pada anak-anak sebesar 30-40 mg/kgbb/hari (2x sehari).10 Efek samping dapat berupa badan terasa capai, mual, muntah, dan diare, berat badan bertambah, tremor, trombositopenia ringan, dan peningkatan enzim enzim hepatik.9 Sewaktu terapi dengan depakene hendaknya dipantau jumlah trombosit dan fungsi hati.9 Pemberian obat-obat anti-konvulsan dipertimbangkan untuk dihentikan bila penderita telah 1 tahun bebas dari bangkitan epilepsi dan memperlihatkan E.E.G. yang normal.9

4. Retardasi mental

Retardasi mental yang timbul tergolong sebagai akibat brain damage maka proses organis sebenarnya telah lampau.9 Tetapi terdapat beberapa hal yang masih dapat dilakukan yaitu:

1. Fisioterapi

Bila keterampilan motorik dapat ditingkatkan maka dapat pula dilihat bahwa output yang lain seperti misalnya ketangkasan lokomotorik, selfhelp, berbahasa dan lain-lain dapt meningkat pula.9

2. Untuk menghilangkan spastisitas yang dapat menghalangi gerakan penderita dapat diberikan diazepam.9Bila kita berhadapan dengan retardasi mental fungsional, maka mungkin akan tampak tanda-tanda:1. Autismus.92. Hiperiritabilitas.93. Hiperaktivitas, yang mungkin dapat berupa:

a. Hiperaktivitas karena perkembangan

Hiperaktivitas karena perkembangan tidaklah memerlukan terapi apa-apa.9

b. Hiperaktivitas neurologik.

Hiperaktivitas neurologik dapat diobati dengan amfetamin, Melleril atau dengan Halloperidol.9

c. Hiperaktivitas psikogenik.

Hiperaktivitas psikogenik dapat menjadi:

i. Hiperaktivitas maternal

Dalam hal ini ibu penderitalah yang harus diberikan psikoterapi.9

ii. Hiperaktivitas stress situasi

Dalam hal ini penderita hendaknya dipindahkan ke lingkungan yang lain.9

BAB III

Ringkasan

Ensefalitis adalah proses inflamasi akibat infeksi pada susunan saraf pusat yang melibatkan parenkim otak yang dapat bermanifestasi sebagai gangguan neurofisiologis difus dan / atau fokal.1,2 Ensefalitis biasanya timbul sebagai akibat proses inflamasi akut tapi dapat juga berupa reaksi inflamasi pasca infeksi penyakit lain (postinfeksius ensefalomyelitis), penyakit kronik degeneratif, atau akibat infeksi slow virus.4 Ensefalitis biasanya disebabkan oleh virus secara langsung melalui 2 jalur yakni hematogen atau secara neuronal ( saraf perifer atau saraf kranialis).4 Komplikasi jangka panjang dari ensefalitis berupa sekuele neurologikus yang nampak pada 30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik, dan penanganan selama perawatan.8 Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan penderita dari dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya sekuele secara dini.8 Walaupun sebagian besar penderita mengalami perubahan serius pada susunan saraf pusat (SSP), komplikasi yang berat tidak selalu terjadi.8 Komplikasi pada SSP meliputi tuli saraf, kebutaan kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia muskulorum, ataksia, epilepsi, retardasi mental dan motorik, gangguan belajar, hidrosefalus obstruktif, dan atrofi serebral.8 Melalui uraian tersebut maka penatalaksanaan komplikasinya tergantung dari komplikasi yang ditimbulkan.8

Daftar Pustaka

1. Lazoff M. Encephalitis. Emedicine 2004, Aug. 10. Available from: URL:http://www.emedicine.com/emerg/topic163.htm. Accessed Aug. 30, 2004.

2. Lau AS, Uba A, Lehman D, Geertsman F, Supattapone S. Rudolphs fundamentals of pediatrics. Ed.2nd. Stamford, Connecticute. Appleton & Lange; 1998.p.287-88.

3. Gondim F de AA. Viral encephalitis. Emedicine 2002, Aug. 30. Available from: URL:http://www.emedicine.com/NEURO/topic393.htm. Accessed Aug. 30, 2004.

4. Prince A. Nelson essentials of pediatrics. Ed. 4th. Philadelphia, Pennsylvania. W. B. Saunders Company; 2002.p.386-88.

5. Halstead SB. Nelson textbook of pediatrics. Ed. 17th. Philadelphia, Pennsylvania. W. B. Saunders Company; 2002.p.1086-91.

6. Steele RW. Pediatric infectious disease. Ed. 2nd. New York. Parthenon Publishing;p.6-8.

7. Suraatmaja S, Soetjiningsih. Pedoman diagnosis dan terapi ilmu kesehatan anak RSUP Sanglah Denpasar. Cetakan ke-2. Denpasar. Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/ RSUP Sanglah; 2000.hal.205-8.

8. Kumar A. Meningitis bacterial. Emedicine 2003, May 19. Available from: URL:http://www.emedicine.com/ped/topic198.htm. Accessed Aug. 30, 2004.

9. Ngoerah GNGde. Dasar-dasar ilmu penyakit saraf. Cetakan pertama. Surabaya. Penerbit Universitas Airlangga; 1990.hal.259-263.

10. Buku sakti. Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/ RSUP Sanglah.

LAPORAN KASUS

I. Identitas Penderita

Nama

: Yoga Adi Pratama

Tempat/ tanggal lahir: Badung, 1 September 1994 (10 tahun)

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Br. Sengguan, Sibang Gede, Abiansemal, Badung.

Agama

: Hindhu

Suku

: Bali

Pendidikan

: Belum tamat SD

Pekerjaan orang tua: Wiraswasta (pengusaha money changer)

MRS tanggal

: 12 September 2004, Pk: 08:04 WITA.

II. Heteroanamnesis (Ibu)

Keluhan Utama: Penurunan Kesadaran

Perjalanan penyakit:

Penderita rujukan dari RSUD Kapal, dengan diagnosis meningoensefalitis. Penderita dikeluhkan dengan sedaran menurun sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit (MRS) (12/9/1994). Penderita yang semula bisa diajak bicara, tiba-tiba diam, tidak menyahut ketika ditanya. Dari keterangan perawat RSUD Kapal yang mengantar, terdapat kekakuan pada leher yang diketahui saat kesadaran mulai turun.

Penderita juga dikeluhkan panas badan sejak 5 hari sebelum MRS (7/9/04). Panas badan dikatakan mendadak tinggi dan tidak pernah turun dengan obat penurun panas. Tidak ada kejang maupun menggigil.

Penderita pernah mengeluh nyeri kepala sejak 5 hari sebelum MRS (7/9/04). Nyeri kepala timbul mendahului panas badan. Nyeri kepala dirasakan diseluruh kepala seperti menusuk-nusuk.

Pada hari MRS, penderita dikeluhkan muntah sebanyak 5 kali dengan volume sekitar seperempat gelas aqua setiap kali muntah. Isi muntahan berupa makanan atau minuman yang dikonsumsi. Muntah tidak menyemprot.

Makan dan minum penderita terganggu sejak sakit. Penderita tidak buang air besar sejak 2 hari sebelum MRS. Buang air kecil terganggu sehingga dipasang kateter.

Penderita dikatakan tidak menderita influenza, batuk, maupun mencret pada sejak 1 bulan terakhir. Penderita juga tidak bepergian ke luar daerah sejak 1 bulan terakhir. Tidak ada teman penderita yang sakit campak, gondong, cacar dan penyakit lain yang dicurigai.

Riwayat pengobatan:

- Tanggal 8/9/04 penderita dibawa berobat ke bidan karena panas badan. Oleh bidan diberi obat penurun panas dan antibiotik, tetapi panas badan tidak turun.

- Tanggal 11/9/04 penderita dibawa berobat ke RSUD Kapal kemudian diopname, namun karena fasilitas RS kurang memadai maka penderita dirujuk ke RS Sanglah. Di RSUD Kapal penderita mendapat pengobatan sebagai berikut:

1. O2 2 L/ menit.

2. IVFD NaCl 0,9 % 15 tetes makro/ menit.

3. Injeksi Taxegram 2x1 g i.v..

4. Injeksi dexamethasone i.v..

Riwayat penyakit sebelumnya:

Penderita tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat penyakit dalam keluarga:

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit serupa.

Riwayat persalinan:

Penderita lahir ditolong bidan, spontan, segera menangis. Berat badan lahir 3150 gram, panjang badan lahir ibu penderita lupa.

Riwayat imunisasi:

Penderita dikatakan mendapat imunisasi lengkap sesuai umur.

Riwayat nutrisi:

ASI

: 0 hari 1 tahun

Bubur susu: 6 bulan -1 tahun

Bubur nasi: 1 tahun - 1,5 tahun

Nasi

: 1,5 tahun sekarang.

III. Pemeriksaan Fisik

Status Present:

III.1 Vital sign:

Keadaan umum: Penderita tampak lemah

Kesadaran

: GCS E3V3M4

Nadi

: 110 kali/ menit, reguler, isi cukup.

RR

: 36 kali/ menit, reguler.

T ax.

: 38,9 derajat C

III.2 Status generalis:

Kepala

: Normocephali

Mata

: Conj. An. -, ict. -, RP +/+ isokor.

Deviation conjugee -, strabismus -/-, Dolls eyes movement +.

THT

: NCH -, cyanosis , kesan tenang.

Tonsil: T1/ T1, hiperemis -.

Leher

: Kaku kuduk +

Thoraks

: Cor: S1S2, Normal, Reguler, murmur -.

Po: Vesikuler +/+, Rh: -/- wh-/-.

Abdomen

: Distensi

Bising usus + Normal

Hepar/ Lien Tak teraba

Tympani dominan.

Ekstremitas: Akral hangat +

Oedema

Cyanosis

III.3 Status neurologikus:

I. Nervus kranialis (I-XII): belum dapat dievaluasi.

II. Motorik

Tenaga

: Lateralisasi -

Tonus

: Ekstremitas superior: N/N

Ekstremitas inferior: flaccid/ flaccid

Reflek fisiologis

: Ekstremitas superior: +/+

Ekstremitas inferior: menurun/ menurun

Refleks patologis

: Ekstremitas superior: -/-

Ekstremitas inferior: -/-

III. Sensorik

: belum dapat dievaluasi

IV. Fungsi Luhur

: belum dapat dievaluasi

V. Tanda iritasi meningeal

Kernigs sign

: +

Brudzinskis neck sign (I)

: +

Brudzinskis contralateral leg sign (II): +

IV. Resume

Seorang penderita anak laki-laki berusia 10 tahun, suku Bali, agama Hindu, berasal dari Abiansemal Badung, dirujuk dari RSUD Kapal dengan diagnosis meningoensefalitis. Penderita dikeluhkan mengalami penurunan kesadaran sejak 8 jam SMRS. Panas badan yang mendadak tinggi sejak 5 hari SMRS dan tidak reda dengan obat penurun panas. Nyeri kepala seperti ditusuk-tusuk yang dirasakan diseluruh kepala sejak 5 hari SMRS. Nyeri kepala timbul mendahului panas badan. Penderita muntah sekitar 5 kali pada hari MRS, volume sekitar gelas aqua setiap kali muntah, berisi makanan atau minuman yang dikonsumsi. Dari keterangan perawat didapatkan kaku kuduk yang diketahui saat kesadaran mulai turun. BAK terganggu sehingga penderita dipasang kateter. Penderita tidak BAB sejak 2 hari SMRS. Nafsu makan dan minum terganggu sejak sakit.

Dari hasil pemeriksaan vital sign nampak penderita sangat lemah dengan kesadaran yang menurun (GCS E3 V3 M4), takikardia, takipneu, dan febris. Status generalis dalam batas normal kecuali didapatkan tanda kaku kuduk pada leher. Pada pemeriksaan neurologikus didapatkan:

1. Hipotonia flaksid ekstremitas inferior D et S.

2. Hiporefleksia ekstremitas inferior D et S.

3. Tanda tanda iritasi meningeal.

IV. Diagnosis Kerja

Meningoensefalitis DD/ et causa:

1. Meningoensefalitis aseptik.

2. Meningoensefalitis bakterial.

V. Pemeriksaan Penunjang

DL (12/9/04):

WBC: 15,2 K/uL

Lym : 1,3

8,4 %L

Gran : 13,991,6 % G

RBC: 4,27 M/uL

HGB: 11,5 g/ dL

HCT : 33,7 %

MCV: 79. fL

MCH : 26,9 pg

MCHC : 34,1 g/dL

PLT: 271. K/uL

Kimia Darah (12/9/04):

Glu : 118 mg/ dL

Elektrolit: Na+ :131,2 mEq/ L

K+ : 4,63 mEq/ L

Cl- : 88,8 mEq/ L

Analisis LCS (12/9/04):

Warna

: Artifisial

Kejernihan

: Agak keruh

Protein None Apelt: -

Protein Pandy

: -

Juml. Leukosit

: 46

Poli

: 17 = 37 %

Mono

: 29 = 63 %

Juml. Eritrosit

: 2-3/ LPB

Keadaan

: utuh

Total protein

: 34

Glukosa

: 62

VDRL

: -

V. Diagnosis Klinis

Meningoensefalitis aseptik

VI. Penatalaksanaan

1. Perawatan intensif

a. Menjaga keadekwatan jalan nafas dengan posisi leher slight ekstensi.

b. Cegah terjadinya aspirasi.

c. O2 2 L/ menit.

d. Mx/: Vital sign, keseimbangan cairan, dan produksi urine.

e. Pasang NGT (diit per sonde): 100 cc/ 4 jam.

2. Terapi medikamentosa

a. IVFD D 10 % (1650 cc/ hari 600 cc per NGT) = 14 tetes/ mnt.

b. Antipiretik: Dumin supp 250 mg (S. PRN)

c. Antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder: Ampicillin 3x1 g i.v..

d. Anti oedema otak:

a. Dexamethasone 3 x 4,3 mg i.v.

b. Mannitol 20 % 0,5 cc/ kg BB/ x = 13 g/ x

= 65 cc manitol 20 % dalam 30 menit

= 44 tetes/ menit.

Diulang setiap 8 jam, hingga ada perbaikan.

e. Nicholin 1 x 250 mg

f. Sanvita B 2 x Cth IPAGE 11


Top Related