Download - referat forensik 2003
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SEMARANG
REFERATASPEK MEDIKOLEGAL HUBUNGAN DOKTER DAN PASIEN DALAM
PELAYANAN MEDIS
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinikdi Bagian Ilmu Forensik dan Studi Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang
Disusun Oleh :Alaa ‘Ulil Haqiyah H2A009001Dhamaningrum puspitasari H2A009014Diphda Satria Risolawati H2A009015Ghariza Pramitaningrum H2A009021Ina Alfatah H2A009024Laras Shafia Sari H2A008027
Diajukan Kepada :dr. Santosa, Sp.F, MHKes
Residen Pembimbing:dr. Abdul Hakim
KEPANITERAAN SENIORBAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
DAN STUDI MEDIKOLEGALFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP DR. KARIADI SEMARANG2014
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam era global yang terjadi waktu ini, profesi kedokteran merupakan
salah satu profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat. Masyarakat
banyak yang menyoroti profesi dokter, baik sorotan yang disampaikan
secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia sebagai induk organisasi para
dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak maupun media
elektronik. Ikatan Dokter Indonesia menganggap sorotan-sorotan tersebut
sebagai suatu kritik yang baik terhadap profesi kedokteran, agar para dokter
dapat meningkatkan pelayanan profesi kedokterannya terhadap masyarakat.
Ikatan Dokter Indonesia menyadari bahwa kritik yang muncul tersebut
merupakan “puncak suatu gunung es”, artinya masih banyak kritik yang
tidak muncul ke pemukaan karena keengganan pasien atau keluarganya
menganggap apa yang dialaminya tersebut merupakan sesuatu yang wajar.
Bagi Ikatan Dokter Indonesia, banyaknya sorotan masyarakat terhadap
profesi dokter menggambarkan bahwa masyarakat belum puas dengan
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh para dokter.1
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi dokter merupakan satu
pertanda bahwa saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap
pelayanan medis dan pengabdian profesi dokter di masyarakat. Pada
umumnya ketidakpuasan para pasien dan keluarga pasien terhadap
pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat dipenuhi oleh para
dokter atau terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang
didapatkan oleh pasien.2
Memperoleh pelayanan kesehatan adalah hak asasi setiap manusia.
Pemerintah menyadari rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama
dalam mencapai masyarakat adil makmur. Penyelenggaraan upaya
2
kesehatan dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah,
masyarakat dan swasta.3
Mula-mula profesi dokter dianggap sebagai suatu profesi yang sangat
disanjung-sanjung karena kemampuannya untuk mengetahui hal-hal yang
tidak tampak dari luar. Dewasa ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuwan
yang pengetahuannya sangat diperlukan untuk menyembuhkan berbagai
penyakit. Kedudukan dan peran dokter tetap dihormati, tetapi tidak lagi
disertai unsur pemujaan. Dari dokter dituntut suatu kecakapan ilmiah tanpa
melupakan segi seni dan artistiknya.2,3
Kesenjangan yang besar antara harapan pasien dengan kenyataan yang
diperolehnya menyusul dilakukannya merupakan predisposing faktor.
Kebanyakan orang kurang dapat memahami bahwa sebenarnya masih
banyak faktor lain di luar kekuasaan dokter yang dapat mempengaruhi hasil
upaya medis, seperti misalnya stadium penyakit, kondisi fisik, daya tahan
tubuh, kualitas obat dan juga kepatuhan pasien untuk mentaati nasehat
dokter. Faktor-faktor tadi dapat mengakibatkan upaya medis (yang terbaik
sekalipun) menjadi tidak berarti apa-apa. Oleh sebab itu, tidaklah salah jika
kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya medis penuh dengan
uncertainty dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik.4
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan ini adalah menjelaskan mengenai aspek
medikolegal hubungan dokter dan pasien dalam memberikan
pelayanan medis.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui aspekmedikolegal pelayanan medis dari
norma-norma yang mengikat dokter dalam memberikan
pelayanan medis.
b. Untuk mengetahui hak dan kewajiban dokter maupun
pasien serta sanksi apabila terjadi suatu pelanggaran .
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Profesi Kedokteran
Profesi kedokteran merupakan profesi yang memiliki keluhuran
karena tugas utamanya adalah memberikan pelayanan untuk memenuhi
salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan kesehatan.
Dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai dokter terikat oleh
norma disiplin, norma etika, norma hukum, yang bila ditegakkan akan
menjamin mutu asuhan medis sehingga terjaga martabat dan keluhuran
profesinya. Norma merupakan patokan atau pedoman atau ukuran untuk
berperilaku bagi seseorang. Dalam memberikan pelayanan di bidang
kedokteran, dokter harus disiplin menerapkan keilmuannya dan bertindak
sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, kode etik, kode perilaku
profesional standar prosedur operasional, ketentuan-ketentuan lainnya
yang berlaku, dan kebiasaan umum (common practice) di bidang
kedokteran. Dokter yang tidak disiplin dalam penerapan keilmuannya dan
melakukan pelanggaran Dislplin Profesional Dokter dapat dikenakan
sanksi disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.1-4
Dalam hal penegakan disiplin dan pengenaan sanksi disiplin bagi
dokter yang melakukan pelanggaran disiplin profesional dokter
makalembaga yang berwenang menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran adalah MKDKI (Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia).5
I. Norma Disiplin
Dalam menjalankan profesi, para profesional harus mematuhi norma-
norma disiplin yang memfokuskan penerapan keilmuannya dalam
praktek. Dalam praktiknyanorma-norma ini diuraikan dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri kesehatan,
4
peraturan Konsil Kedokteran Indonesia ataupun dalam ketentuan
yangdibuat dibuat dalamguidelines atau bahkan common practices yang
dibuat oleh organisasi profesi.1
Disiplin kedokteran adalah norma kepatuhan aturan-aturan/ketentuan
penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan atau atau lebih
khusus kepatuhan menerapkan kaidah-kaidah penatalakasanaan klinis
yang mencakup: penegakan diagnosis, tindakan pengobatan, dan
menetapkan prognosis. Pelanggaran disiplin dapat dikelompokan dalam
3 hal, yaitu2:
1. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak
dilaksanakan dengan baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi
kedokteran.
Sesuai UU no 29 tahun 2004, MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia) adalah Majelis yang berwewenang menentukan
ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan ilmu kedokteran gigi dan
menetapkan sanksi.4
BENTUK PELANGGARAN DISIPLIN KEDOKTERAN
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang
memiliki kompetensi lain yang sesuai (rujukan bisa tidak dilakukan
bila: kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk, keberadaan
tenaga medis lain atau sarana kesehatan yang lebih tepat sulit
dijangkau atau didatangkan, atas kehendak pasien).
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang
tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut
(delegasi kepada tenaga kesehatan harus sesuai kompetensi dan
ketrampilan mereka, tanggung jawab tetap pada dokter).
5
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak
memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak
melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut.
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan
fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan
dapat membahayakan pasien.
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak
dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai
dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau
pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai kepada
pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari
pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya.
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik,
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika
profesi, dan lain sebagainya.
Sanksi disiplin yang diberikan MKDKI sesuai UU no 29 Tahun 2004
pasal 69 ayat (3):
1. Pemberian peringatan tertulis.
2. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP(rekomendasi pencabutan
STR atau SIP sementara selama-lamanya 1 tahun, atau rekomendasi
pencabutan STR atau SIP tetap atau selama-lamanya).
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi (dapat berupa:
pendidikan formal, pelatihan dalam pengetahuan dan atau
ketrampilan, magang, sekurang-kurangnya 3 bulan dan paling lama 1
tahun).
6
II.Norma Etika
Etik profesi kedokteran mulai dikenal dalambentuk Code of
Hammurabi dan Code of Hittites. Selanjutnya etik kedokteran muncul
dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi
yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates. Sumpah
tersebut berisikan kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap,
atau semacam code of conduct bagi dokter. World Medical Association
dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter
(dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran
Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap
pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri.
Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu
kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.1-4
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan
penilaian etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat,
wilayah dancabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit)
didirikanKomite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya. Bahkan di
tingkat perhimpunan rumah sakitdidirikan pula Majelis Kehormatan
Etik Rumah Sakit (Makersi).4
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila
dilanggar “hanya” akan membawa akibat sanksi moral bagi
pelanggarnya. Namun suatu pelanggaranetik profesi dapat dikenai
sanksi disiplin profesi. Sanksitersebut diberikan oleh MKEK setelah
dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwadokter tersebut melanggar etik
(profesi) kedokteran.4,5
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari
prosespersidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena
domain danjurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi
dilakukan oleh MKEK IDIsedangkan gugatan perdata dan tuntutan
pidana dilaksanakan di lembagapengadilan di lingkungan peradilan
7
umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaranstandar dapat diperiksa
oleh MKEK, dapat puladiperiksa di pengadilan tanpa adanya keharusan
saling berhubungan di antarakeduanya. Seseorang yang telah diputus
melanggar etik oleh MKEK belum tentudinyatakan bersalah oleh
pengadilan, demikian pula sebaliknya.Persidangan MKEK bersifat
inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dananggota) bersikap
aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atauperorangan
sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel
tidakmenggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam
hukum acarapidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya
melakukan pembuktianmendekati ketentuan-ketentuan pembuktian
yang lazim.5
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang
memperoleh5:
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari
pihak-pihak terkait dan para ahli di bidangnya yang dibutuhkan.
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk
berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi,
bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan
rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah
sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan
surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
III. Norma Hukum
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku
norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan
adanya kesalahan praktik sudah seharusnyalah diukur atau dilihat
dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut
pandang etika disebut ethical malpracticedan dari sudut pandang
hukum disebut yuridical malpractice.Antara etika dan hukum ada
perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas,
tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk
8
menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice
dengan sendirinya juga berbeda.Yang jelas tidak setiap ethical
malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua
bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice.2
Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam
3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal
malpractice, Civil malpractice dan Administrativemalpractice.4-7
1. Criminal malpractice.
Dikategori criminal malpracticebila perbuatan tersebut memenuhi
rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act)
merupakan perbuatan tercela. Dilakukan dengan sikap batin
yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang
berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness)
atau kealpaan (negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)
misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka
rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan
palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi
medis pasal 299 KUHP).
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien
informed consent.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya
kurang hati-hati mengakibat kan luka,cacat atau meninggalnya
pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan
operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal
malpractice adalah bersifat individual dan oleh sebab itu tidak
9
dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit
sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil
malpracticeapabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak
memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati.Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan
civil malpractice antara lain :
a. Tidak melakukan menurut kesepakatan wajib dilakukan.
b. Melakukan kesepakatan yang wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan. Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat
individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain
berdasarkan principle of vicarius liability.
Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya
(tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam
rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice
manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum
administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police
power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai
ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi
tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja,
Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga
perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga
kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar
10
hukum administrasi. Dalam kasus atau gugatan adanya civil
malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
a. Cara langsung, Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian
memakai tolok ukur adanya 4 D, yakni :
i. Dutty (kewajiban). Dalam hubungan perjanjian tenaga
dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak
berdasarkan:
Adanya indikasi medis.
Bertindak secara hati.
Hati dan teliti.
Bekerja sesuai standar profesi.
Sudah ada informed consent
ii. Dereliction of duty (penyimpangan dari kewajiban). Jika
seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa
yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukan menurut standar profesinya, maka dokter dapat
dipersalahkan.
iii. Direct cause (penyebab langsung)
iv. Damage (kerugian). Dokter untuk dapat dipersalahkan
haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab
(causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh
karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela
diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas.
Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar
menyalahkan dokter.
b. Cara tidak langsung, cara tidak langsung merupakan cara
pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan
fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan
perawatan (doktrinres ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur
dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi
kriteria:
11
Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai.
Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab
dokter.
Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan
perkataanlain tidak ada contributory negligence
B. Prinsip Dasar Etika Kedokteran
Prinsip dasar etika harus dijalankan bersama dengan prinsip-
prinsip lainnya tetapi pada beberapa kasus, satu prinsip menjadi lebih
penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain.
Keadaan terakhir disebut dengan Prima Facie. Konsil Kedokteran
Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan
bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada kepada 4 kaidah
dasar moral yang sering juga disebut kaidah dasar etika kedokteran atau
bioetika, antara lain5,6:
1. Beneficence(berbuat baik)
Dalam arti prinsip bahwa seorang dokter berbuat baik,
menghormati martabat manusia, dokter tersebut juga harus
mengusahakan agar pasiennya dirawat dalam keadaan kesehatan.
Dalam suatu prinsip ini dikatakan bahwa perlunya perlakuan yang
terbaik bagi pasien. Ciri-ciri prinsip ini, yaitu;
Mengutamakan Alturisme
Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak
hanya menguntungkan seorang dokter
Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak
dibandingkan dengan suatu keburukannya
Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
Menerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik
seperti yang orang lain inginkan
Memberi suatu resep
12
2. Non-malficence
Suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak melakukan
perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang
paling kecil resikonya bagi pasien sendiri. Pernyataan kuno Fist, do no
harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Non-malficence mempunyai ciri-
ciri:
Menolong pasien emergensi
Mengobati pasien yang luka
Tidak membunuh pasien
Tidak memandang pasien sebagai objek
Manfaat pasien lebih banyak daripada kerugian dokter
Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
Tidak melakukan White Collar Crime
3. Justice(Keadilan)
Suatu prinsip dimana seorang dokter memperlakukan sama rata
dan adil terhadap pasien tersebut. Justice mempunyai ciri-ciri :
Memberlakukan segala sesuatu secara universal
Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia
lakukan
Menghargai hak sehat pasien
Menghargai hak hukum pasien
4. Otonomi
Dalam prinsip ini seorang dokter menghormati martabat manusia.
Dalam hal ini pasien diberi hak untuk berfikir secara logis dan
membuat keputusan sendiri. Otonomi mempunyai ciri-ciri:
Menghargai hak menentukan nasib sendiri
Berterus terang menghargai privasi
Menjaga rahasia pasien
Melaksanakan Informed Consent
13
Etika lainnya yang berkenaan dengan hubungan dokter-pasien
meliputi:
1. Veracity :Menyampaikan kebenaran pada setiap klien
2. Fidelity :Menghargai janji serta kerahasiaan klien
3. Avoidance of killing :Menghindari terjadinya kesalahan
menghilangkan nyawa seseorang
4. Gratitude :Rasa terima kasih
5. Reparation :Masalah kompensasi atau ganti rugi
6. Confidentiality :Menjaga
C. Upaya Kesehatan
Upaya Kesehatan adalah bentuk dan cara penyelenggaraan upaya
kesehatan yang paripurna, terpadu, dan berkualitas, meliputi upaya
peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan,
yangdiselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Unsur-unsur upaya kesehatan
meliputi2:
a. Upaya Kesehatan
Pelayanan kesehatan meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan,
dan pemulihan, baik pelayanan kesehatan konvensional maupun
pelayanan kesehatan yang terdiri dari pengobatan tradisional dan
komplementer melalui pendidikan dan pelatihan dengan selalu
mengutamakan keamanan dan efektifitas yang tinggi.
b. Sumber Daya Upaya Kesehatan
Hal ini terdiri dari SDM kesehatan, biaya, sarana dan prasarana,
termasuk fasilitas pelayanan kesehatan, sediaan farmasi dan alat
kesehatan, serta manajemen dan sistem informasi kesehatan yang
memadai guna terselenggaranya upaya kesehatan.
14
c. Pembinaan dan Pengawasan Upaya Kesehatan
Pelayanan kesehatan harus diberikan berdasarkan standar pelayanan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan
masukan dari organisasi profesi
d. Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan
Pelaksanaan penelitian dan pengembangan didasarkan pada masalah
kesehatan prioritas, sumber daya kesehatan, serta aspek terkait
lainnyadengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sesuai.
Upaya kesehatan mencakup kesehatan fisik, mental, termasuk
intelegensia dan sosial. Terdapat tiga tingkatan upaya, yaitu upaya
kesehatan primer, upaya kesehatan sekunder, dan upaya kesehatan tersier.2
Upaya kesehatan primer adalah upaya kesehatan dimana terjadi
kontak pertama secara perorangan atau masyarakat dengan pelayanan
kesehatan melalui mekanisme rujukan timbal-balik, termasuk
penanggulangan bencana dan pelayanan gawat darurat.Upaya kesehatan
sekunder dan tersier adalah upaya kesehatan tingkat rujukan maupun
rujukan tingkat lanjut.2
D. Hubungan Dokter Pasien
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum
yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu,
seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran,
profesionalisme, dan lain-lain. Bahkan di dalam praktek kedokteran,
aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh
karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum,
atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.1,5,6
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban
memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik
seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian
perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur
15
dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat
administratif.4
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap
bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai
domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi
standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan
demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran
etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.4,5
I. Etika Profesi Kedokteran
Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban
umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan
kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran
Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran
Internasional.6
Praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral
kedokteran yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan
bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya
suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral.
Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut
sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para
tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical
ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.4,5
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat
dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan
sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak
pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat
keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya),
beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non
maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien)
dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian
profesi).5
16
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi
dan prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun
pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke
arah toolsdalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan
dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik
tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan
menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-
hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat
mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang
diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam
pendidikan.5
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika
kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil
dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI
untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi).
Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas,
profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-
satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran
etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian
hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),
lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 tahun 2004,
akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin
profesi kedokteran.4,5
Kode Etik Kedokteran Indonesia6
Kewajiban Umum
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2
17
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang
bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya
tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan
kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam
mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau
pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya,
memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis
dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan
penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan
pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya
yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi,
18
atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani
pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak
sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga
kepercayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus
memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua
aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang
kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling
menghormati.
Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal
ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan,
maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten
yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam
beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
19
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai
suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
bersedia dan mampu memberikannya.
Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman
sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang
etis.
Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat
bekerja dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.
Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika
profesi kedokteran, sebagai konsekuensi dari kewajiban profesi yang
memberikan batasan hubungan tersebut.6
Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat
paternalistik hingga ke sifat kontraktual dan fiduciary. Pada masa
sebelum tahun 1950-an paternalistik dianggap sebagai sifat hubungan
20
yang paling tepat, dimana dokter menentukan apa yang akan dilakukan
terhadap pasien berdasarkan prinsip beneficence. Prinsip ini telah
mengabaikan hak pasien untuk turut menentukan keputusan. Sampai
kemudian pada tahun 1970-an dikembangkanlah sifat hubungan
kontraktual antara dokter dengan pasien yang menitikberatkan kepada
hak otonomi pasien dalam menentukan apa-apa yang boleh dilakukan
terhadapnya. Kemudian sifat hubungan dokter-pasien tersebut dikoreksi
oleh para ahli etika kedokteran menjadi hubungan ficuiary (atas dasar
niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang menitikberatkan nila-
nilai keutamaan (virtue ethics). Sifat hubungan kontraktual dianggap
meminimalkan mutu hubungan karena hanya melihatnya dari sisi
hukum dan peraturan saja, dan disebut sebagai bottom line ethicts.5,6
Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Declaration of
Lisbon dari World Medical Association (WMA) adalah “the rights to
accept or to refuse treatment after receiving adequate information”.
Secara implisit amandemen UUD 45 pasal 28G ayat (1) juga
menyebutkannya demikian “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi,... dst”.4
Selain itu, hak pasien beserta kewajiban pasien juga tertuang
dalam Undang-undang no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran,
pada pasal 52 yang mengatuur tentang hak pasien antara lain1,6,7:
a. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri, dan hak untuk mati
secara wajar.
b. Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai
prosedur.
c. Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter
yang mengobatinya.
d. Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan
dapat menarik diri dari kontrak terapeutik.
e. Memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan
diikutinya.
21
f. Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran.
g. Dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukam, dan
dikembalikan kepada dokter yang merujuknya setelah selesai
konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan atau
tindak lanjut.
h. Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi.
i. Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit.
j. Berhubungan dengan keluarga, penasihat, atau rohaniawan, dan
lain-lain yang diperlukan selama perawatan di rumah sakit.
k. Memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap, obat
serta pemeriksaan penunjang.
Pasal 53 UU no. 29 tahun 2004 juga mengatur tentang kewajiban pasien
antara lain1,6,7:
a. Memeriksakan diri sedini mungkin pada dokter.
b. Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang
penyakitnya.
c. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter.
d. Menandatangani surat-surat persetujuan tindakana medik, surat
jaminan dirawat di rumah sakit, dan lain-lainnya.
e. Yakin pada dokternya, dan yakin akan sembuh.
f. Melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pemeriksaan dan
pengobatan serta honorarium dokter.
II.RAHASIA KEDOKTERAN
Penggunaan kata privasi, kerahasiaan dan keamanan seringkali
tertukar. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan yang penting,
diantaranya2:
1. Privasi adalah "hak individu untuk dibiarkan sendiri, termasuk
bebas dari campur tangan atau observasi terhadap hal-hal pribadi".
2. Kerahasiaan merupakan "pembatasan pengungkapan informasi
pribadi tertentu. Dalam hal ini mencakup tanggungjawab untuk
22
menggunakan, mengungkapkan, atau mengeluarkan informasi
hanya dengan sepengetahuan dan ijin individu". Informasi yang
bersifat rahasia dapat berupa tulisan ataupun verbal.
3. Keamanan meliputi “perlindungan fisik dan elektronik untuk
informasi berbasis komputer secara utuh, sehingga menjamin
ketersediaan dan kerahasiaan”
Kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik Kedokteran
pasal 47 ayat 2 yang menyatakan bahwa "rekam medis harus disimpan
dan dijaga kerahasiannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan
sarana kesehatan". Hal yang sama dikemukakan dalam pasal 11
Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran. Selanjutnya, pasal 1 PP yang sama menyatakan bahwa
"yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang
diketahui oleh orang-orang".1,3,5,6,7
Selanjutnya UU Praktik Kedokteran memberikan peluang
pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal
48 ayat (2)5:
a. Untuk kepentingan kesehatan pasien
b. Untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam
rangka penegakan hukum
c. Permintaan pasien sendiri
d. Berdasarkan ketentuan undang-undang
Sedangkan pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa:
a. Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter
yang merawat pasien dengan ijin tertulis pasien.
b. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam
medis tanpa seijin pasien berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Di bidang keamanan rekam medis, Permenkes No 749a/
MENKES/PER/XII/1989 menyatakan dalam pasal 13, bahwa
pimpinan sarana kesehatan bertanggungjawab atas (a) hilangnya,
23
rusaknya, atau pemalsuan rekam medis, (b) penggunaan oleh orang /
Badan yang tidak berhak.5,6
RAHASIA JABATAN DAN PEMBUATAN SKA / V ET R
Rahasia jabatan pembuatan SKA atau visum et repertum
berdasarkan Peraturan Pemerintah No 26 tahun 1960 tentang lafal
sumpah dokter, peraturan Pemerintah no 10 tahun 1966 tentang wajib
simpan rahasia Kedokteran dan Pasal 322 KUHP.7
Rahasia Kedokteran berdasarkan pasal 48 yang berbunyi:
1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.
2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum
dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau
berdasarkan ketentuan perundangundangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri.
ASPEK HUKUM
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 seorang
dokter wajib menyimpan rahasia kedokteran tersebut terhadap orang
lain bahkan isterinya, kecuali: karena daya paksa, diatur dalam pasal 48
KUHP :“Barang siapa melakukan suatu perbuatan karena pengaruh
daya paksa,tidak dapat dipidana”, karena menjalankan UU pasal 50
KUHP serta menjalankan perintah jabatan, diatur dalam pasal 51 KUHP
“Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang, tidak dipidana”.
Tetapi apabila dokter membuka rahasia kedokteran tersebut, dapat
dikenai sanksi pidana penjara paling lama sembilan bulan berdasarkan
pasal 322 KUHP. Berdasarkan PP. No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 21, setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya
berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan. Dalam
pasal 33, dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan
24
disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan
berupa teguran atau pencabutan ijin untuk melakukan upaya
kesehatan.6,8,9
Menurut pasal 24 UU yang sama, perlindungan hukum diberikan
kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan
standar profesi tenaga kesehatan.6,8,9
E. HUBUNGAN hukum ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN
DALAM UPAYA PELAYANAN MEDIS
1. Pola Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien telah terjadi sejak
dahulu (zaman Yunani kuno), dokter sebagai seorang yang
memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya.
Hubungan ini juga disebut dengan transaksi terapeutik. Transaksi
terapeutik adalah perjanjian antara dokter dan pasien berupa hubungan
hukum yang melahirkan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Objek
dari perjanjian ini adalah berupa upaya atau terapi untuk
menyembuhkan pasien.1,2
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari
pola hubungan vertikal paternalistik seperti antara bapak dengan anak
yang bertolak dari prinsip “father knows best” yang melahirkan
hubungan yang bersifat paternalistik. Hubungan hukum timbul bila
pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang
dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya
memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini
dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan memberikan
bantuan pertolongan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi
oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien.1
Dalam praktik sehari-hari, dapat dilihat berbagai hal yang
menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter,
25
hubungan itu terjadi terutama karena beberapa sebab antara lain
karena pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta
pertolongan mengobati sakit yang dideritanya. Dalam keadaan seperti
ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, artinya para
pihak sudah sepenuhnya setuju untuk mengadakan hubungan hukum.
Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan pasien terhadap
dokter sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan
medis (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk
menerima upaya medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini
dilakukan setelah ia mendapat informasi dari dokter mengenai upaya
medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk
memperoleh informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi.
Di Indonesia informed consent dalam pelayanan kesehatan, telah
memperoleh pembenaran secara yuridis melalui Peraturan Mentri
Kesehatan Republik Indonesia No.585/Menkes/1989. Walaupun dalam
kenyataannya untuk pelaksanaan pemberian informasi guna
mendapatkan persetujuan itu tidak sesederhana yang dibayangkan,
Namun setidaknya persoalan telah diatur secara hukum, sehingga ada
kekuatan bagi kedua belah pihak untuk melakukan tindakan secara
hukum.1-7
Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjadi seperti ini
merupakan salah satu ciri transaksi terapeutik yang membedakannya
dengan perjanjian biasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.
Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien
dengan dokter adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak
untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter, misalnya karena
terjadi kecelakaan lalu lintas, terjadi bencana alam, maupun karena
situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat, sehingga
sangat sulit bagi dokter yang menangani untuk mengetahui dengan
pasti kehendak pasien. Dalam keadaan seperti ini dokter langsung
melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming sebagai mana
26
diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk hubungan
hukum yang timbul karena adanya “persetujuan tindakan medis”
terlebih dahulu, melainkan karena keadaan yang memaksa atau
keadaan darurat.3-6
Dari hubungan pasien dengan dokter yang demikian tadi, timbul
persetujuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam pasal 1601 KUHPerdata. Bagi seorang dokter hal ini
berarti bahwa ia telah bersedia untuk berusaha dengan segala
kemampuannya memenuhi isi perjanjian itu, yakni merawat atau
menyembuhkan pasien. Sedang pasien berkewajiban untuk mematuhi
aturan-aturan yang ditentukan oleh dokter termasuk memberikan
imbalan jasa.8,9
2. Saat Terjadinya Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien
Hubungan hukum kontraktual yang terjadi antara pasien dan dokter
tidak dimulai dari saat pasien memasuki tempat praktek dokter tetapi
sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan
(oral statement) atau yang tersirat (implied statement) dengan
menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan
kesediaan.Dengan kata lain hubungan terapeutik juga memerlukan
kesediaan dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan
berkontrak.9
Hubungan antara pasien dengan rumah sakit, dalam hal ini
terutama dokter, memang merupakan hubungan antara penerima
dengan pemberi jasa. Hubungan antara dokter dan pasien pada
umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Namun
perlu disadari bahwa dokter tidak bisa disamakan dengan
pemberi/penjualan jasa pada umumnya. Hubungan ini terjadi pada saat
pasien mendatangi dokter pada saat pasien bertemu dengan dokter dan
dokter pun memberikan pelayanan maka sejak itulah terjadi suatu
hubungan hukum. Pasien umumnya hanya dapat menerima saja segala
sesuatu yang dikatakan dokter tanpa dapat bertanya apapun. Dengan
27
kata lain, semua keputusan sepenuhnya berada ditangan dokter.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak-
haknya, maka pola hubungan demikian ini juga mengalami perubahan
yang sangat berarti. Pada saat ini secara hukum dokter adalah partner
dari pasien yang sama atau sederajat kedudukannya, pasien
mempunyai hak dan kewajiban teertentu seperti halnya dokter.8,9
Hubungan pasien dengan dokter adalah suatu Perikatan Berusaha
(Inspannings-verbintenia) yaitu dimana dalam melaksanakan tugasnya
dokter berusaha untuk mnyembuhkan atau memulihkan kesehatan
pasien. Dalam memberikan jasa ini dokter tidak boleh dan tidak
mungkin dapat memberikan garansi kepada pasiennya. Dan dokter
juga tidak dapat dipersalahkan begitu saja apabila hasil usahanya itu
tidak sesuai dengan yang diharapkan, sepanjang dalam melakukannya
dokter telah mematuhi standart profesi dan menghormati hak-hak
pasien.2,5,9
Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban
sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter yang tercantum pada
undang-undang no.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal
50sebagai berikut4-6:
1. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan
sejujur-jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi
kepentingan diagnosis maupun terapeutik.
2. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang
diberikannya kepada pasien.
3. Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam
melaksanakan transaksi terapeutik.
4. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas
pelayanan kesehatan yang diberikannya.
5. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien
atau keluarganya.
28
Disamping hak-hak tersebut, dokter juga mempunyai kewajiban
yang harus dilaksanakan yaitu sebagai berikut6,7:
1. kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan
standar profesi, yaitu dengan cara melakukan tindakan medis
dalam suatu kasus yang konkret menurut ukuran tertentu yang
didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman.
2. Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien, antara lain rahasia
atas kesehatan pasien bahkan setelah pasien meninggal dunia.
3. Kewajiban untuk memberikan informasi pada pasien dan/atau
keluarganya tentang tindakan medis yang dilakukannya dan risiko
yang mungkin terjadi akibat tindakan medis tersebut.
4. Kewajiban merujuk pasien untuk berobat ke dokter lain yang
mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih baik
5. Kewajiban untuk memberikan pertolongan dalam keadaan darurat
sebagai tugas perikemanusiaan.
Dokter sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam
setiap tindakan medis yang dilakukan terhadap pasien. Dalam
menjalankan tugas profesionalnya didasarkan pada niat baik yaitu
berupaya dengan sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya yang
dilandasi dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar
profesinya untuk menyembuhkan atau menolong pasien. Antara lain
adalah2-5:
1. Tanggung Jawab Etis
Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari seorang
dokter adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah
Dokter. Kode etik adalah pedoman perilaku. Kode Etik
Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan no. 434 / Men.Kes/SK/X/1983. Kode Etik
Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang
mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter
29
dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan
kewajiban dokter terhadap diri sendiri.
Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran
Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan
ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus
pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti
pelanggaran hukum, sebaliknya pelanggaran hukum tidak selalu
merupakan pelanggaran etik kedokteran.
a. Pelanggaran etik murni:
Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan
jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi.
Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.
Memuji diri sendiri di depan pasien.
Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran yang
berkesinambungan.
Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
b. Pelanggaran etikolegal
Pelayanan dokter di bawah standar.
Menerbitkan surat keterangan palsu.
Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter.
Abortus provokatus.
Perlunya dipergunakan pemeriksaan dengan menggunakan
pemeriksaan penunjang, apabila dari hasil pemeriksaan luar kurang
didapatkan hasil yang akurat sehingga diperlukan pemeriksaan
menggunakan bantuan alat. Namun tidak semua pasien bersedia untuk
diperiksa dengan cara ini, hal ini terkait erat dengan biaya yang harus
dikeluarkan bagi pasien golongan ekonomi lemah.
2. Tanggung Jawab Hukum
Pengertian wanprestasi ialah suatu keadaan dimana seseorang telah
lalai memenuhi kewajibannya yang diharuskan oleh Undang-undang
30
perikatan hukum. Jadi Wanprestasi merupakan akibat dari pada tidak
dipenuhinya perikatan hukum.
Ada 4 macam bentuk Wanprestasi yaitu:
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
b. Terlambat memenuhi prestasi
c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sempurna
d. Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban atau isi
perikatan
Wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dari tindakan dokter.
Menurut pasal 1426 KUHPerdata ganti rugi yang dapat dibebankan
jika terjadi Wanprestasi adalah:
a. Kerugian yang nyata-nyata diderita kreditur yang disebut dengan
Damnun Emergens
b. Keuntungan yang seharusnya diperoleh yang disebut Lucrum
Cegans
Gugatan untuk membayar ganti rugi atas dasar persetujuan atau
perjanjian yang terjadi hanya dapat dilakukan bila memang ada
perjanjian dokter dengan pasien. Perjanjian tersebut dapat digolongkan
sebagai persetujuan untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Perjanjian
itu terjadi bila pasien memanggil dokter atau pergi ke dokter, dan
dokter memenuhi permintaan pasien untuk mengobatinya. Dalam hal
ini pasien akan membayar sejumlah honorarium. Sedangkan dokter
sebenarnya harus melakukan prestasi menyembuhkan pasien dari
penyakitnya. Tetapi penyembuhan itu tidak pasti selalu dapat
dilakukan sehingga seorang dokter hanya mengikatkan dirinya untuk
memberikan bantuan sedapat-dapatnya, sesuai dengan ilmu dan
ketrampilan yang dikuasainya. Artinya, dia berjanji akan berdaya
upaya sekuat-kuatnya untuk menyembuhkan pasien. Dalam gugatan
atas dasar wanprestasi ini, harus dibuktikan bahwa dokter itu benar-
benar telah mengadakan perjanjian, kemudian dia telah melakukan
wanprestasi terhadap perjanjian tersebut (yang tentu saja dalam hal ini
31
senantiasa harus didasarkan pada kesalahan profesi). Jadi di sini pasien
harus mempunyai bukti-bukti kerugian akibat tidak dipenuhinya
kewajiban dokter sesuai dengan standar profesi medis yang berlaku
dalam suatu kontrak terapeutik. Tetapi dalam prakteknya tidak mudah
untuk melaksanakannya, karena pasien juga tidak mempunyai cukup
informasi dari dokter mengenai tindakan-tindakan apa saja yang
merupakan kewajiban dokter dalam suatu kontrak terapeutik. Hal ini
yang sangat sulit dalam pembuktiannya karena mengingat perikatan
antara dokter dan pasien adalah bersifat inspaningsverbintenis.
3. Tanggung Jawab Perdata Dokter Karena Perbuatan Melanggar Hukum
(onrechtmatige daad)
Tanggung jawab karena kesalahan merupakan bentuk klasik
pertanggungjawaban perdata. Berdasar tiga prinsip yang diatur dalam
Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu
sebagai berikut: Pasien dapat menggugat seorang dokter oleh karena
dokter tersebut telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum,
seperti yang diatur di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Didalam Pasal 1365 dinyatakan bahwa “Setiap perbuatan
yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian.”
Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum
masyarakat dalam perkembangan selanjutnya timbul permasalahan
tanggung jawab pidana seorang dokter, khususnya yang menyangkut
dengan kelalaian, hal mana dilandaskan pada teori-teori kesalahan
dalam hukum pidana. Tanggung jawab pidana di sini timbul bila
pertama-tama dapat dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya
kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara pengobatan
atau perawatan.
4. Tanggung jawab Hukum Dokter Dalam Bidang Hukum Pidana
32
Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice
apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu: Perbuatan tersebut
harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang
salah yaitu berupa kesengajaan, kecerobohan atau kelapaan. Kesalahan
atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum pidana,
diatur antara lain dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322,
344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Ada perbedaan penting antara tindak pidana biasa dengan ‘tindak
pidana medis’. Pada tindak pidana biasa yang terutama diperhatikan
adalah ‘akibatnya’, sedangkan pada tindak pidana medis adalah
‘penyebabnya’. Walaupun berakibat fatal, tetapi jika tidak ada unsur
kelalaian atau kesalahan maka dokternya tidak dapat dipersalahkan.
Dalam literatur hukum kedokteran negara Anglo-Saxon antara lain dari
Taylor dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan
digugat menurut hukum apabila dia sudah memenuhi syarat 4-D, yaitu:
Duty (Kewajiban), Derelictions of That Duty (Penyimpangan
kewajiban),Damage (Kerugian),Direct Causal Relationship(Berkaitan
langsung). Beberapa contoh dari criminal malpractice yang berupa
kesengajaan adalah melakukan aborsi tanpa indikasi medis,
membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan
seseorang yang dalam keadaan emergency, melakukan eutanasia,
menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar, membuat visum
et repertum yang tidak benar dan memberikan keterangan yang tidak
benar di sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli. Duty atau
kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius contractu) atau menurut
undang-undang (ius delicto) adalah kewajiban dokter untuk bekerja
berdasarkan standar profesi serta kewajiban dokter untuk memperoleh
informed consent, dalam arti wajib memberikan informasi yang cukup
dan mengerti sebelum mengambil tindakannya. Informasi itu
mencakup antara lain : risiko yang melekat pada tindakan,
33
kemungkinan timbul efek sampingan, alternatif lain jika ada, apa
akibat jika tidak dilakukan dan sebagainya. Peraturan tentang
persetujuan tindakan medis sudah diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 585 Tahun 1989.
Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis
(Dereliction of The Duty) adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-
fakta secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli dan
saksi ahli. Namun sering kali pasien mencampur adukkan antara akibat
dan kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien yang
tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian. Kelalaian
itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan dahulu bahwa
dokter itu telah melakukan ‘breach of duty’.Damage berarti kerugian
yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik, finansial,
emosional atau berbagai kategori kerugian lainnya di dalam
kepustakaan dibedakan: Kerugian umum (general damages) termasuk
kehilangan pendapatan yang akan diterima, kesakitan dan penderitaan
dan kerugian khusus (special damages) kerugian finansial nyata yang
harus dikeluarkan, seperti biaya pengobatan, gaji yang tidak diterima.
Sebaliknya jika tidak ada kerugian, maka juga tidak ada penggantian
kerugian. Direct causal relationship berarti bahwa harus ada kaitan
kausal antara tindakan yang dilakukan dengan kerugian yang diderita.
5. Tanggung jawab Hukum Dokter Dalam Bidang Hukum Administrasi
Dikatakan pelanggaran administrative malpractice jika dokter
melanggar hukum tata usaaha negara. Contoh tindakan dokter yang
dikategorikan sebagai administrative malpracticeadalah menjalankan
praktek tanpa izin, melakukan tindakan medis yang tidak sesuai dengan
izin yang dimiliki, melakukan praktek dengan menggunakan izin yang
sudah daluwarsa dan tidak membuat rekam medis. Tindakan administratif
dapat berbentuk teguran (lisan atau tertulis), mutasi, penundaan kenaikan
34
pangkat, penurunan jabatan, skorsing bahkan sampai pemecatan. Menurut
peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan diwisuda sebagai
dokter tidak secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Ia harus
lebih dahulu mengurus lisensi agar memperoleh kewenangan, dimana
tiap-tiap jenis lisensi memerlukan basic science dan mempunyai
kewenangan sendiri-sendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medis
yang melampaui batas kewenangan yang telah ditentukan. Meskipun
seorang dokter ahli kandungan mampu melakukan operasi amandel namun
lisensinya tidak membenarkan dilakukan tindakan medis tersebut. Jika
ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat dianggap telah
melakukanadministrative malpractice dan dapat dikenai sanksi
administratif, misalnya berupa pembekuan lisensi untuk sementara
waktu. Pasal 11 Undang-Undang No. 6 Tahun 1963, sanksi administratif
dapat dijatuhkan terhadap dokter yang melalaikan kewajiban, melakukan
suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang dokter, baik
mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai dokter,
mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh dokter dan
melanggar ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-Undang No. 6
Tahun 1963.
Sebagai pihak penerima pelayanan kesehatan pasien dapat
dikategorikan sebagai konsumen pengguna jasa yang diberikan oleh
tenaga kesehatan (dalam hal ini dokter). Sementara itu, dokter dapat
dikategorikan sebagai pelaku usaha dibidang jasa, yaitu jasa dalam
pelayanan kesehatan.
6. Tanggung Jawab Hukum Dokter
Menurut UU Praktik Kedokteran pasal 85 UU Praktik Kedokteran
mencabut berlakunya Pasal 54 UU Kesehatan sebagai berikut:
a.Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian
dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
35
b. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan.
c.Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, dan tata kerja Majelis Disiplin
Tenaga Kesehatan ditetapkan dengan keputusan presiden.
Pasal 63 UU Praktik Kedokteran menentukan bahwa pimpinan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dipilih dan ditetapkan
oleh rapat pleno anggota. Tugas Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia ditentukan dalam pasal 64 UU Praktik Kedokteran sebagai
berikut:
a. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus
pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan.
b. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran
disiplin dokter atau dokter gigi. Berdasarkan ketentuan pasal 64 UU
Praktik Kedokteran, apabila terjadi kesalahan yang melibatkan
pelayanan kesehatan oleh dokter maka pengaduan diajukan kepada
Majelia Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Disamping dapat mengadukan kerugian yang dideritanya kepada
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, pihak yang dirugikan
atas kesalahan pelayanan dokter juga dapat melaporkan tentang adanya
dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat
kerugian secara perdata ke pengadilan.Langkah-langkah yang dapat
dilakukan menurut UU Praktik Kedokteran berhubungan dengan
kesalahan pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter terhadap pasien
adalah sebagai berikut:
a. Pengaduan dapat dilakukan oleh setiap orang, yaitu orang yang secara
langsung mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran,
termasuk korporasi yang dirugikan kepentingannya.
b. Pengaduan ditujukan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia secara tertulis, namun apabila pihak pengadu
36
tudak dapat mengajukan pengaduan secara tertulis maka pengaduan
dapat dilakukan secara lisan.
c. Pengajuan pengaduan kepada Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran dapat dilakukan bersamaan dengan penuntutan hukum
secara pidana maupun digugat secara perdata ke pengadilan.
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran berwenang untuk memeriksa
dan memberikan keputusan atas pengaduan yang diterima. Apabila
ditemukan adanya pelanggaran etika berdasarkan kode etik maka Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran yang akan meneruskan pengaduan pada
organisasi profesi. Meskipun demikian dugaan kesalahan yang dilakukan
oleh dokter dalam menjalankan profesi tidak sekaligus menghilangkan
proses verbal yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik secara
perdata maupun pidana.2-7
37
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam upaya pelayanan
medis yang didasarkan atas rasa kepercayaan pasien terhadap dokter
dimulai sejak saat pasien mengajukan keluhannya yang ditanggapi
oleh dokter
2. Tanggung jawab hukum dokter terhadap pasien dalam upaya
pelayanan medis :
a. Tanggung jawab etik yaitu yang menyangkut moral profesi yang
terangkum dalam Lafal Sumpah Dokter dan dijabarkan dalam
Kode Etik Kedokteran Indonesia.
b. Tanggung Jawab Profesi yaitu tanggung jawab yang berkaitan
dengan profesi dokter yang menyangkut kemampuan dan keahlian
dokter dalam menjalankan tugas profesinya.
c. Tanggung jawab hukum yang meliputi 3 (tiga) bidang hukum,
yaitu:
i. Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum perdata
yang terkait dengan aturan-aturan / pasal-pasal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang mencakup 2 (dua) hal
yaitu :
Tanggung jawab hukum perdata dokter kepada pasien
karena wanprestasi terkait dengan syarat sahnya suatu
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dimana syarat ke-3 (tiga)
mengenai obyeknya harus tertentu tidak dapat terpenuhi,
mengingat obyek perikatan antara dokter dengan pasien
berupa upaya dokter untuk menyembuhkan pasien secara
cermat, hati-hati dan penuh ketegangan
38
(inspanningsverbintenis) sehingga Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat serta merta
diterapkan dalam perikatan antara dokter dengan pasien.
Tanggung jawab hukum perdata dokter karena perbuatan
melawan hukum. Tanggung jawab hukum perdata dokter
karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)
ini diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yaitu bahwa dokter harus
bertanggung jawab atas kesalahannya yang merugikan
pasien dan untuk mengganti kerugian, selain itu dokter
harus bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan
oleh kelalaian dan kurang hati-hati dalam menjalankan
tugas profesionalnya serta dokter harus bertanggung jawab
terhadap kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya yang
atas perintahnya melakukan perbuatan tersebut.
ii. Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum pidana
Tanggung jawab ini timbul bila karena ada kesalahan
profesional yaitu kesalahan baik dalam diagnosa dan terapi
maupun tindakan medik tertentu yang harus memenuhi 4
(empat) syarat, yaitu Dutyof Care (kewajiban perawatan),
Derelictionof That Duty (penyimpangan kewajiban), Damage
(kerugian), Direct Causal Relationship (ada kaitannya dengan
penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang timbul) yang
terdiri dari baik kesengajaan maupun kealpaan.
iii.Tanggung jawab hukum dokter dalam bidang hukum
administrasi
Yaitu tanggung jawab dokter yang berkaitan dengan
persyaratan administrasi yang menyangkut kewenangan dokter
dalam menjalankan tugas profesinya.
39
B. Saran
1. Untuk dapat mengurangi sengketa medis antara dokter dengan pasien,
dokter dalam menjalankan tugas profesinya jangan menjamin hasil
pengobatan; dokter diharapkan dapat memberikan pelayanan yang
sesuai dengan harapan pasien yaitu perawatan yang informatif,
manusiawi dan bermutu sesuai dengan standar profesi, dan dokter
harus senantiasa meningkatkan keahliannya melalui kursus-kursus,
seminar dan simposium serta dalam memberikan penjelasan terhadap
pasien agar menggunakan bahasa yang sederhana (jangan
menggunakan istilah kedokteran) agar mudah dimengerti oleh pasien
yang awam terhadap profesi kedokteran.
2. Pasien agar lebih memahami bahwa hubungan hukum antara dokter
dengan pasien itu melahirkan aspek hukum inspanningsverbintenis
karena obyek dari hubungan hukum itu adalah upaya maksimal yang
dilakukan oleh dokter secara hati-hati dan penuh ketegangan
berdasarkan pengetahuannya untuk menyembuhkan pasien. Jadi, tidak
menjanjikan suatu hasil yang pasti.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampurna Budi, et all. 2007. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta:
Jakarta: FKUI.
2. Endang Kusumah Astuti. 2003. Hubungan Hukum Antara Dokter Dan
Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis. Semarang.
3. Bahder Johan Nasution. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggung Jawaban
Dokter. Jakarta:Rineka Cipta.
4. Chrisdiono M. Achadiat. 2006. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran
Dalam Tantangan Zaman. Jakarta:EGC.
5. Ninik Maryati. 2007. Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana
Dan Perdata. Jakarta:PT Bina Aksara.
6. Hanafiah J. 2008. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Ed 4.
Jakarta:EGC.
7. Suharto, G. 2013. Peraturan Perundangan yang Berkaitan dengan Bidang
Kedokteran. Semarang: FK UNDIP.
8. Komariah. 2008. Hukum Perdata. Malang:UMM Press.
9. J.Satrio. 2008. Hukum Perikatan. Bandung:PT Citra Aditya Bakti.
41