Download - Referat Dr Fitriah
HIDUNG
Embriologi Hidung
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan
anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala
berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian
dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal
dengan konka (turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus.
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan embrional
anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang
terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah
frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung
pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang
hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan
perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terebentuk,
yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia
kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah
konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus
maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media. Dan pada saat yang bersamaan
terbentuknya prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang
lebar disebut hiatus semilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan
pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media
dan sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya
pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk dengan baik
dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan
tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang
spesifik. Yang pertama berkembang adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris,
sfenoid , dan sinus frontal.
Anatomi Hidung
Hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah
adalah sebagai berikut :
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Batang hidung (dorsum nasi)
c. Puncak hidung (tip)
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Dan lubang hidng (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidng. Kerangka tulang terdiri dari :
a. Os nasal
b. Prosesus frontalis os maksila
c. Prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung :
a. Sepasang kartiloago nasalis lateralis superior
b. Sepasang kartilago nasalin lateralis inferior (kartilago ala mayor)
c. Tepi aterior kartilago septum
Rongga hidung atau kavum nasi kanan dan kiri dipisahkan oleh septum nasi. Pintu
atau lubang cavum nasi bagian depan disebut dengan nares anterior dan lubang bagian
belakang disebut dengan nares posterior (koana), yang menghubungkan nares posterior
dengan nasofaring. Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
di belakang nares anterior disebut vestibulum nasi. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise.
Setiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu :
a. Dinding medial : septum nasi (dibentuk oleh tulang rawan), bagian tulang adalah :
lamina prependikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis
os palatina. Bagian tulang rawan adalah : kartilago septum dan kolumela
b. Dinding lateral : 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling bawah adalah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebiih kecil lagi ialah
konka superior sedangkan yang terkecil adalah konka suprema (rudimenter)
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian darii
labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 letak meatus yaitu
meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung, pada meatus ini terdapat
muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media
dan dinding lateral rongga hidung, pada meatus ini terdapat muara sinus frontal, sinus
maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.
c. Dinding inferior : merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan
os palatum
d. Dinding superior : sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina krobroformis merupakan
lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa =
saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap
rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Komplex Osteomeatal (KOM)
Merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan
lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang mebentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus
frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase
dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan
frontal.
Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis
yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.
Vaskularisasi
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid anterior dan a.etmoid
posterior yang merupakan cabang dari a. Oftalmika dari a.carotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. Maksilaris interna,
diantaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang a.facialis. bagian depan septum
terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis
superior, a.palatina mayor yang disebut plaksus kiesselbach (little’s area). Pleksus ini
letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis, terutama pada anak.
Vena-vena hisung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena hidnung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predidposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.
Persarafan
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dan n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang daro n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1)
Ronngga hidung lainnya, sebaian besar mendapat persarafan sensoris dan n.maksila
melalui ganglion sfenopalatina. Selain memberikan persarafan sensoris, ganglion
sfenopalatina juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n. Maksila (N.V-2), serabut parasimpatis
dari n.petrosus superfisialis mayor, dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus.
Ganglion ini terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh
palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan
pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan
hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang
berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia
(pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel,
yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna
coklat kekuningan.
Fisiologi hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah
melalui hidung kurang lebih 37oC.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.
SINUS PARANASAL
Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan rongga-rongga yang terdapat di dalam maxilla os frontale,
os sphenoidale, dan os ethmoidale. Dindingnya terdiri atas tulang kompakta dengan
dilapisi muco-endosteum yang berhubungan dengan mucosa respiratoria pada cavitas
nasi. Sinus paranasal diinervasi oeleh cabang-cabang n.ophthalmicus dan n.maxillaris.
Sinus merupakan penonjolan/evaginasi dari cavitas nasi sehinga drainage keluar dari
cairannya menuju cavitas nasi secara langsung atau tidak langsung. Dengan adanya
hubungan ini maka rhinitis atau radang pada cavitas nasi dapat menjalar ke sinus
menyebabkan sinusitis. Sinus pada waktu lahir kecil tapi mengalami perkembangan pada
waktu pubertas atau dewasa.
Embriologi Sinus Paranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung,
berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan, resesus
inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus
paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal.
Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, saat itu sinus maksila sudah
terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas meatus
inferior. Setelah usia 7 tahun perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa
berlangsung dengan cepat. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak
yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 –
10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.
1. Sinus Maxillaris
Merupakan sinus paranasal yang terbesar. Terdapat dalam corpus maxillae.
Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut
terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml,
yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. Berbentuk piramid berbaring dengan basis
di sebelah medial sedang apex di processus zygomaticus maxillae. Dinding
medialnhya merupakan dinding lateral cavitas nasi. Atapnya merupakan lantai
orbita. Sedangkan alasnya merupakan processus alveolaris.
Muara sinus maxillaris pada meatus nasi medius yaitu pada hiatus
semilunaris. Saluran ini terdapat pada dinding medial sebelah anterosuperior.
Innervasi oleh n.alveolaris superior dan n.infraorbitalis. Vaskularisasi oleh
a.maxillaris interna, a.infraorbitalis, a.palatina mayor.
2. Sinus Ethmoidalis
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Terdiri atas beberapa ruangan (4-17 pada tiap sisi), terletak di
dalam labyrinthus ethmoidalis di antara orbita dan cavitas nasi. Sel-sel etmoid,
mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus superior dan
suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan posterior. Sinus
etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai dengan
bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk
sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior
dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.
Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid
dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus
etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus
etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan
dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.
Bagian-bagian dari sinus ethmoidalis disebut cellulae ethmoidales.
Dindingnya dibentuk oleh os frontale, maxilla, os lacrimale, os sphenoidale, dan os
palatina.
Berdasarkan muaranya, cellulae ethmoidales digolongkan menjadi:
1. Cellulae ethmoidales anterior yang bermuara di meatus nasi medius
2. Cellulae ethmoidales posterior yang bermuara di meatus nasi superior dan
suprema
Inervasi oleh n.ethmoidalis posterior dan n.ethmoidalis anterior. Vaskularisasi oleh
a.ethmoidalis posterior dan a.ethmoidalis anterior.\
3. Sinus Frontalis
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada
sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris,
satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis
tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal :
tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini. Sinus frontalis bermuara ke meatus nasi medius secara
langsung atau melalui saluran yang disebut duktus frontonasalis.
Inervasi: n.supraorbitalis cabang dari n.ophthalmicus. Vaskularisasi: a.supraorbitalis
4. Sinus Sphenoidalis
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan
evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya
berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak
berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak
berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada
usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta
bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum
tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus
akan lebih besar daripada sisi lainnya. Terdapat di dalam corpus sphenoidale dan
dapat meluas ke os occipitale. Bermuara pada recessus sphenoethmoidalis.
Sinus sphenoidalis terbagi menjadi belahan kanan dan kiri oleh septum tulang
yang biasanya mengalami deviasi ke salah satu pihak. Dinding depannya
merupakan dua keping tulang tipis disebut conchae sphenoidale. Letak os sfenoid
adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi
dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm,
dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml.
Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan
menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada
dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa
serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring,
sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering
tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
serebri posterior di daerah pons. Inervasi n.ethmoidalis posterior. Vaskularisasi
a.maxillaris.
Fisiologi Sinus Paranasal
Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam. Bartholini
adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini adalah organ yang
penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku Maori dari Selandia Baru
memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki rongga sinus paranasal
yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara
yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari
Proetz, bahwa kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu
dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai
fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai
fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah :
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak
didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung. Volume
pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada
tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total
dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar
yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-
organ yang dilindungi
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan
tingkat rendah
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Hidung dan Sinus Paranasal
Keluhan utama penyakit atau kelainan di hidung adalah :
a. Sumbatan hidung
b. Sekret di hidung dan tenggorok
c. Bersin
d. Rasa nyeri di daerah muka dan kepala
e. Perdarahan dari hidung
f. Gangguan penghidu
Sumbatan hidung, dapat terjadi oleh beberapa faktor. Oleh karena itu perlu anamnesis yang
teliti seperti apakah keluhan sumbatan ini terjadi terus menerus atau hilang timbul,pada satu
atau kedua lubang hidung atau bergantian. Adakah sebelumnya riwayat kontak dengan bahan
alergen seperti debu, tepung sari, bulu binatang, trauma hidung, pemakaian obat tetes hidung
dekongestan untuk jangka waktu yang lama, perokok atau peminum alkohol berat. Apakah
mulut dan tenggorok merasa kering.
Sekret hidung, pada satu atau kedua rongga hidung, bagaimana konsistensi sekret tersebut,
encer, bening seperti air, kental, nanah, atau bercampur darah. Apakah sekret ini keluar hanya
pada waktu-waktu tertentu misalnya pada musim hujan. Sekret hidung yang disebabkan
karena infeksi hidung biasanya bilateral, jernih sampai purulent. Sekret yang jernih seperti air
dan jumlahnya banyak khas untuk alergi. Bila sekretnya kuning kehiajauan biasanya berasal
dari sinusitis hidung dan bila bercampur darah dan hanya satu sisi, hati-hati adanya tumor
hidung. Pada anak sekret yang hanya pada satu sisi dan berbau, kemungkinan terdapat benda
asing di hidung. Sekret dari hidung yang turun ke tenggorokan disebut post nasal drip
kemungkinan berasal dari sinus paranasal.
Bersin, yang berulang merupakan keluhan khas alergi. Perlu ditanyakan apakah bersin itu
timbul setelah menghirup sesuatu yang diikuti keluar sekret yang encer dan jernih serta rasa
gatal di hidung, tenggorok, mata dan telinga.
Rasa nyeri di daerah muka dan kepala, yang ada hubungannya dengan keluhan di hidung,
nyeri di daerah dahi, pangkal hidung, pipi dan tengah kepala dapat merupakan tanda-tanda
infeksi sinus (sinusitis). Rasa nyeri atau rasa berat ini dapat timbul bila menundukkan kepala
dan dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari.
Perdarahan dari hidung, yang disebut epistaksis dapat berasal dari bagian anterior rongga
hidung ataupun dari bagian posterior rongga hidung. Perdarahn dapat berasal dari satu atau
kedua rongga hidung, sudah berapa kali dan apakah mudah dihentikan dengan cara memencet
hidung saja, adakah riwayat trauma hidung atau muka sebelumnya, menderita penyakit
kelainan darah, hipertensi, dan pemakaian obat-obatan antikoagulan.
Gangguan penghidu, dapat berupa hilangnya penciuman (ansomnia) atau berkurang
(hiposmia). Perlu ditanyakan apakah sebelumnya ada riwayat infeksi hidung, infeksi sinus,
trauma kepala dan keluhan ini sudah berapa lama.
Pemeriksaan Hidung :
Bentuk luar hidung diperatikan apakah ada deviasi atau depresi tulang hidung. Adakah
pembengkakan di daerah hidung dan paranasal. Dapat dipalpasi dengan jari adanya krepitasi
tulang hidung pada fraktur os nasal atau rasa nyeri tekan pada peradangan hidung dan sinus
paranasal.
Dengan menggunakan spatula lidah yang terbuat dari metal dapat memeriksa kedua lubang
hidung dengan cara menghembuskan udara diatas spatula dan dapat dibandingkan
pengembunan dari hembusan udara pada kedua lubang hidung.
Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depang yang disebut rinoskopi anterior, dengan
menggunakan spekulun hidung. Pada anak dan bayi kadang-kadang tidak diperlukan
spekulum tapi bisa menggunakan otoskopi, terutama untuk mencari benda asing. Spekulum
dimasukan hati-hati ke lubang hidung dan dikeluarkan dengan keadaan spekulum masih
terbuka, hati-hati menjepit bulu hidung. Yang harus diperhatikan pada pemeriksaan rinoskopi
anterior adalah vestibulum hidung, septum bagian anterior, konka inferior, konka media,
konka superior, serta meatus sinus paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung. Bila
terdapat udem pada rongga hidung, bisa digunakan tampon kapas adrenalin pantokain
beberapa menit untuk mengirangi udem mukosa dan menciutka konka sehingga rongga
hidung lebih lapang.
Untuk menilai bagian belakang hidung dilakukan pemeriksaan rinoskopi posterior sekaligus
untuk melihat nasofaring. Untuk melakukan pemeriksaan ini diperlukan spatula lidah dan
kaca nasofaringyang telah dihangatkan dengan api lampu spiritus terlebih dahulu untuk
mencegah udara pernapasan berembun pada kaca, sebelum kaca ini dimasukan ke dalam
mulut harus dites terlebih dahulu dengan menempelkannya pada kulit belakang tangan kiri
pemeriksa. Pasien diminta membuka mulut, lidah 2/3 anterior ditekan dengan spatula lidah,
pasien diminta bernapas melalui mulut agar uvula terangkat ke atas dan kaca nasofaring
dimasukkan ke mulut dengan posisi menghadap ke atas, ke bawah uvula sampai nasofaring.
Setelah sampai di nasifaring pasien diminta bernapas biasa melalui hidung, uvula akan turun
kembali dan rongga nasofaring akan terbuka. Mula-mula perhatikan septum bagian posterior
dan koana. Kemudian kaca diputar ke lateral sedikit untuk melihat konka superior, media dan
inferior serta meatus superior dan meatus media. Kaca diputar lebih ke lateral lagi sehingga
dapat melihat muara torus tubarius, Tuba Eustachius dan fosa Rossenmuler.
Pemeriksaan Sinus Paranasal :
Dengan inspeksi, palpasi dan perkusi daerah sinus paranasal serta pemeriksaan rinoskopi
anterior dan posterior saja, diagnosis kelainan sinus sulit ditegakkan. Pemeriksaan
transiluminasi mempunyai manfaat yang sangat terbatas dan tidak dapat menggantikan
peranan pemeriksaan radiologi.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus maksila dan sinus frontal, dipakai lampu khusus
sebagai sumber cahaya dan pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang gelap. Transiluminasi
sinus maksila dilakukan dengan memasukan sumber cahaya ke rongga mulut dan bibir
dikatupkan sehingga sumber cahaya tidak tampak lagi. Setelah beberapa menit tampak daerah
infraorbita terang seperti bulan sabit.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1) dasar sinus
maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar
(M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar
gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar
kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-
kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif
yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah
atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus
yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi
orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau
alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis
Untuk pemeriksaan sinus frontal, lampu diletakkan didaerah bawah sinus frontal dekat kantus
medius dan daerah sinus frontal tampak cahaya terang.
Pemeriksaan radiologi untuk menilai sinus maksila dengan posisi water, sinus frontalis dan
sinus etmoid dengan posisi posteroanterior dan sinus sfenoid dengan posisi lateral.
Untuk menilai KOM dilakukan pemeriksaan dengan CT scan.
SINUSITIS
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari,
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau
dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinositis. Penyebab utamanya addalah salesma
(common cold) yang merupakan infeksi virus yang selanjutnya diikuti oleh infeksi bakteri.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai seluruh sinus
disebut pansinusitis.
Yang paling sering terkena adalah sinus etmoidalis dan maksilaris, sedangkan sinus frontal
lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahan atas, maka
infeksi gigi rahang atas mudah menyebab ke sinus disebut sinusitis dentogen.
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.
Etiologi dan faktor predisposisi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rhinitis
seperti rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi
seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan KOM, infeksi tonsil, infeksi gigi,
kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada syndrome Kartagener dan di luar negeri
adalah penyakit fibrosis kistik
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebabsinusitis sehingga perlu
dilakukan adnoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyebuhkan rinosinusitisnya.
Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta
kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak
silia.
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosilier (muccocilliary clearence) di dalam KOM. Mukus juga mengandung sustansia
antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahan tubuh terhadap kuman
yang masuk bersama udara pernafasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa
yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-
bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan,
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasinya bakteri. Sekret menjadi purulen, keadaan ini disebut
sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerluka terapi antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut,
terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin makin membengkak dan ini
merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa manjadi
kronik atau hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin
diperlukan tindakan operasi.
Klasifikasi dan Mikrobiologi
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai 8
minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu.
Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara
4 minggu sampai 3 bulan dan kronik lebih dari 3 bulan.
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut
yang tidak terobati secar adekuat. Pada sinusitis kronik adalah faktor predisposisi harus dicari
dan diobati secara tuntas.
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah
Streptoccuc Pneumonia (30-50%), Hemophylus Influenzae (20-40%), Moraxella catarrhalis
(4%). Pada anak M.catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%)
Pada sinusiti skronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umunya bakteri yang lebih
condong adalah kearah bakteri gram negatif dan anaerob.
Sinusitis Dentogen
Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah
pressesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya
terpisahkan oleh tualng tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas.
Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal
mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi
dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitis, gigi yang
terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri
anaerob. Sering kali dilakukan irigasi sinus maksila.
Gejala Sinusitis
Keluhan utam rhinosinositis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada
muka dan ingus purulen, yang sering kali turun ke tenggorok (post nasal drip), dapat disertai
gejala sistemik seperti demam dan lemas.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis
akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa ditempat lain (reffered pain). Nyeri pipi
menandakan sinusitis maksilaris, nyeri diantara atau dibelakang kedua bola mata
menandakan sinusitis etmoid. Nyeri dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontalis.
Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di vertex, ocipital, belakang bola mata dan daerah
mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak napas pada anak.
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosa, kadang hanya 1 atau 2 dari
gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan
tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik di tuba Eustachius, gangguan ke paru
seperti brokhitis (sino-bronkhitis), bronkietasis dan yang penting adalah serangan asma yang
meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan
gasteroenteritis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi
sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di
meatus media (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior
(pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid)
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan
dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi water,
PA dan lateral. Umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus
maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat sebagai perselubungan, batas udara-cairan (air
fluid level) dan penebalan mukosa. CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis
sinusitis, karena mampu melihat anatomi dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya,
namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang
tidak membaik dengan pengobatan atau pra-oparasi sebagai panduan operasi sebagai panduan
panduan operator saat melakukan operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap,
pemeriksaan ini sudah jarang karena sangat terbatas kegunaanya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan test resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari
meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat. Lebih baik lagi bila diambil
sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus
inferior dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya,
selanjutnya bisa dilakuaka irigasi untuk terapi.
Terapi
Tujuan terapi sinusitis adalah :
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik
Perinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi
sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk
menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.
Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoxisilin. Jika diperkirakan kuman
telah resistens atau telah memproduksi beta laktamase, maka dapat diberikan amoxicillin-
klavulanat atau jenis sefalosporin generasi 2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14
hari meskipun gejala klinik telah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif fan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan bila diperlukan seperti
analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat
menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin
generasi 2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi
tambahan yang dapat bermanfaat.
Imunoterapi juga dapat dipertimbangkan bila pasen menderita kelainan alergi yang berat.
Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BESF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis
kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini menggantikan hampir semua jenis bedah
sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan
tidak radikal.
Indikasinya berupa : sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis
kronik disertai kista atau kelainan yang irreversible, polip ekstensif, adanya komplikasi
sinusitis serta sinusitis jamur.
Komplikasi
Komplikasi telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat
biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis eksaserbasi akut, berupa
komplikasi orbita atau intrakranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita),
yang paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat
timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya
dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak
dan trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga bisa terjadi bila sinusitis kronis berupa :
a. Osteomielitis dan abses subperiosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan
biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul
fistula oroantral atau fistula pada pipi.
b. Kelainan paru, seperti bronkhitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan paru ini
disebut sino-brokhitis. Selain itu dapat menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang
sulit dihilangkan sebelum sinusitis disembuhkan.
Daftar Pustaka
• Arsyad, Efiaty dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jakarta. FKUI
• Liston stephen L, at all. 2007. Boies ; Embriologi Anatomi dan Fisiologi Telinga. EGC jakarta.