PENGARUH SALES GROWTH TERHADAP P/E RASIO YANG DIMEDIASI OLEH
OPERATING INCOME GROWTH DAN EARNINGS PER SHARE GROWTH PADA
PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERCATAT DI BEI
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Magister Manajemen
Minat Utama: Manajemen Keuangan
Oleh :
MUHAMMAD SYAHRUL ALIM
NIM : S 4108028
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan, capital gain dan dividen adalah keuntungan-keuntungan yang
diharapkan oleh para investor pada waktu melakukan investasi. Untuk mewujudkan
keuntungan tersebut, investor harus terlebih dahulu melakukan penilaian. Bagi para
fundamen penilaian ini akan lebih tertuju kepada prospek jangka panjang perusahaan yang
tercermin dari kegiatan core operasionalnya bukan kepada data pergerakan saham di pasar
ataupun dari hasil kegiatan finansial perusahaan.
Basik penilaian perusahaan berdasar core operasional atau yang disebut juga
Accounting-based Valuation sekarang menjadi kajian yang banyak diminati baik oleh para
praktisi maupun akademisi (Lee, 1999). Dalam penilaian saham, pendekatan Accounting-
based Valuation memiliki kelebihan dibandingkan pendekatan finansial, khususnya jika
terkait dengan isu share repurchases, LBOs, IPOs, mergers dan acquisitions (Lee, 1999).
Cara penilaian berbasis akuntansi ini kemudian berkembang yang salah satunya
dikenal dengan nama Residual Earning valuation Model. Model REV ini bekerja
berdasarkan residual income (Penman, 2005). Walaupun penilaian dengan basis REV ini
memiliki banyak kelebihan namun dalam melakukannya seringkali memerlukan time
consuming yang relatif lama serta sangat memerlukan pemahaman akuntasi yang dalam.
Oleh karena itu muncullah teknik baru yang bekerja berdasarkan pertumbuhan earning yang
disebut Abnormal Earning Growth Model (AEG). Teknik AEG yang dikembangkan oleh
Ohlson dan Juettner-Nauroth (2005) ini bekerja dengan basis earning per share, sehingga
lebih mudah dilakukan.
Dalam penelitian ini ingin dilakukan penilaian sekuritas sesederhana model AEG
namun dengan tetap mempertimbangkan basis kegiatan operasional perusahaan. Penelitian
penilaian saham berdasarkan operasional basis telah banyak dilakukan, terutama penelitian
yang dilakukan oleh Kumar (2003). Kumar (2003) meneliti pengaruh sales growth (SG) dan
operating income growth (OIG) terhadap price earning (P/E) rasio. Penelitian Kumar (2003)
ini menarik perhatian, ini disebabkan karena dalam penelitiannya, selain melakukan penilaian
berdasarkan operasional basis juga berdasarkan growth valuation. Dari hasil penelitian
tersebut didapatkan permasalahan yaitu ditemukan bahwa pengaruh SG dan OIG terhadap
P/E rasio secara parsial tidak signifikan, meskipun R2-nya nilainya besar dalam menjelaskan
model. Hal ini berbeda dengan teori yang seharusnya signifikan. Dalam teori diketahui P/E
rasio berperan sebagai evaluator growth, sedang Price Book (PB) rasio sebagai evaluator
residual earning (Penman, 2005). Sehingga pengaruh SG dan OIG terhadap P/E rasio yang
kurang signifikan tersebut menarik untuk diinvestigasi lebih lanjut.
Menurut Nissim dan Penman (2001) earning perusahaan selain dipengaruhi oleh laba
juga dipengaruhi karena adanya pertumbuhan aset operasional. Pertumbuhan aset ini berguna
untuk menopang pertumbuhan penjualan, yang selanjutnya dari penjualan yang telah tumbuh
ini akan dihasilkan laba yang lebih besar lagi kedepannya, sehingga SG ini seharusnya
berpengaruh signifikan terhadap P/E rasio. Berangkat dari teori tersebutlah kemudian timbul
praduga jawaban bahwa pengaruh SG terhadap P/E rasio ini kemungkinan adalah pengaruh
yang tidak langsung, yang harus melewati variabel intervening OIG terlebih dahulu.
Hipotesis ini didasari atas teori dan juga intuisi yang menyebutkan bahwa pada umumnya
perusahaan akan memiliki pertumbuhan earning jika penjualannya mengalami peningkatan.
Akan tetapi meningkatnya penjualan ini juga harus diikuti oleh peningkatan positif operating
income sebagai wujud telah didapatkannya laba operasional, sedang perusahaan belum dapat
dikatakan memiliki earning yang tumbuh jika earning per share-nya belum diketahui, dan
ahirnya, bukti yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa pasar telah meyakini bahwa
perusahaan telah benar-benar mengalami pertumbuhan dapat diketahui dari peningkatan nilai
P/E rasionya. Dari teori dan pemikiran inilah penulis selanjutnya ingin melakukan
pembuktian secara empiris bahwa pengaruh SG terhadap P/E rasio adalah pengaruh yang
tidak langsung, dan harus melewati variabel OIG terlebih dahulu, dan dengan diketahui
bahwa OIG belum menginformasikan laba bersih perusahaan, maka pengaruh SG dan OIG
pun kemungkinan juga harus melewati variabel intervening earning per share growth
(EPSG) terlebih dahulu sebelum mempengaruhi P/E rasio.
Naiknya earning seringkali tidak diikuti oleh respon positif pasar, yaitu dengan
naiknya P/E rasio. Fenomena tersebut menjadi salah satu pertimbangan tersendiri dalam
penilaian saham pada penelitian ini. Fenomena berkebalikan ini dalam kajian akuntansi
disebut dengan fenomena karena adanya praktik Conservative Accounting. Dalam praktik
conservative accounting, diketahui bahwa earning yang rendah menunjukkan adanya
kecenderungan dari pihak manajemen dalam mengestimasi earning kedepan lebih rendah dari
pada nilai sebenarnya. Persepsi konservatism dalam akuntansi ini mengindikasikan bahwa
earning yang besar secara temporal menunjukkan kepada adanya kualitas laporan keuangan
yang kurang baik, dan sebaliknya bahwa earning yang rendah menunjukkan adanya kualitas
laporan keuangan yang lebih baik. Sehingga naiknya earning akan direspon negatif oleh
pasar, yaitu dengan turunnya P/E rasio dan sebaliknya turunnya earning akan direspon positif
oleh pasar, yaitu dengan naiknya P/E rasio (Penman dan Zang, 2002).
Dari latar belakang di atas kemudian digunakan untuk memberi judul dalam
penelitian ini. Adapun judul yang diberikan dalam penelitian ini adalah: “Pengaruh Sales
Growth Terhadap P/E rasio yang Dimediasi oleh Operating Income Growth dan Earning
Per Share Growth pada Perusahaan Manufaktur yang Tercatat di BEI”
B. Rumusan Masalah
Dari penelitian sebelumnya, yaitu adanya pengaruh yang tidak signifikan secara
parsial dari SG dan OIG terhadap P/E rasio yang diteliti Kumar (2003), yang seharusnya
menurut teori signifikan, maka dalam penelitian ini akan diteliti lebih lanjut lagi dengan
merubah OIG serta menambahkan EPSG sebagai variabel interveningnya. Dalam penelitian
ini, Accounting-based valuation dan conservative accounting digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk penilaian saham. Adapun rumusan permasalahan penelitian ini, dapat
dituliskan sebagi berikut;
1. Apakah sales growth, operating income growth, dan earnings pershare growth
berpengaruh signifikan pada P/E Rasio?
2. Apakah pengaruh sales growth terhadap P/E rasio dimediasi oleh operating income
growth, atau oleh earnings pershare growth, atau oleh kedua-duanya?
C. Tujuan Penelitian
Riset ini akan menjelaskan secara empiris tentang masing-masing pengaruh variabel
SG, OIG dan EPSG terhadap P/E rasio berdasarkan kajian accounting-based valuation dan
conservative accounting. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menguji secara empiris pengaruh sales growth, operating income growth, dan
earnings pershare growth terhadap P/E Rasio.
2. Untuk menguji secara empiris pengaruh sales growth terhadap P/E rasio dengan variabel
mediasi operating income growth atau dengan earnings pershare growth, atau dengan
kedua-duanya?
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk praktisi maupun
untuk akademisi dalam penelitian serupa. Manfaat yang dimaksudkan antara lain:
1. Dapat menambah pemahaman atas reaksi dari pertumbuhan penjualan, pertumbuhan
operating income growth serta pertumbuhan earnings pershare terhadap P/E rasio.
2. Selain manfaat di atas, dengan mengetahui kedudukan dari masing-masing pengaruh
variabel SG, OIG, dan EPSG terhadap P/E rasio para pemodal dan manajer perusahaan
akan memperoleh pemahaman lebih jauh lagi dalam berinvestasi saham ataupun dalam
meningkatkan nilai perusahaannya berdasarkan dari penilaian core operasional juga
berdasarkan conservative accounting.
E. Orisinalitas Penelitian
Penelitian mengenai pengaruh pertumbuhan perusahaan terhadap P/E rasio dan
determinan P/E rasio telah banyak dilakukan, antara lain seperti: Ohlson dkk (2005) dan
Kumar (2003). Penelitian ini akan menginvestigasi determinan P/E rasio berdasarkan
variabel pertumbuhan dan variabel akuntansi, namun demikian penelitian ini berbeda dengan
penelitian sebelumnya dalam beberapa hal:
1. Penelitian ini berbeda dari penelitian Kumar (2003) yang meneliti pengaruh SG dan OIG
terhadap P/E rasio. Penelitian ini menambahkan variabel EPSG dan menginvestigasi
lebih dalam mengenai pengaruh variabel OIG jika dijadikan variabel intervening.
2. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Ohlson, dkk. (2005) yang meneliti pengaruh
EPS, EPSG terhadap P/E rasio. Penelitian ini menggabungkan penilaian saham selain
berdasarkan earning per share tetapi juga berdasarkan pada pertumbuhan dari hasil
kegiatan operasional perusahaan.
3. Penelitian ini selain menggunakan pertimbangan berdasarkan accounting-based valuation
juga berdasarkan conservative accounting.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Penilaian Perusahaan
Investasi sekuritas khususnya saham merupakan satu pilihan dari sederet pilihan
investasi yang tetap dan akan terus menarik. Berinvestasi dalam saham sering kali akan
memberikan keuntungan yang abnormal, dan sebaliknya tidak jarang pula dapat
menjadikan kebangrutan karena capital lost yang besar bagi investor. Saham adalah
sekuritas yang sulit diukur dan susah diprediksikan nilainya kedepan, hal inilah yang
menjadikan kajian penilaian sekuritas saham terus menjadi sebuah objek penelitian yang
menarik. Sungguh menjadi sebuah keinginan jikalau mendapatkan capital gain yang
abnormal, tetapi bagaimanakah caranya untuk dapat memprediksikannya?, ini adalah
kajian klasik yang tetap menarik, yang juga menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.
Kondisi perusahaan sebagai bentuk riil dari nilai saham adalah cerminan utama
dari seberapa menariknya tawaran keuntungan yang akan didapatkan kedepan bagi calon
investor (Penman, 2007). Berbagai macam teori dan faktor penentu telah ditemukan dan
diteliti baik oleh akademisi maupun praktisi untuk digunakan sebagai pedoman dalam
penilaian sekuritas saham. Faktor-faktor ini meliputi faktor-faktor fundamental
perekonomian seperti gdp, interest rate, serta inflasi ataupun faktor yang disebabkan oleh
internal pasar seperti beta maupun berdasarkan besarnya permintaan dan penawaran.
Adapun faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap harga saham tidak lain adalah
proksi dari kegiatan internal perusahaan itu sendiri yang terkait dengan performa laba
perusahaan, jikalau perusahaan mampu menghasikan laba yang positif kedepan, tentunya
harga saham akan cenderung naik (Penman, 2007).
Beberapa strategi finansial seperti optimalisasi WACC terhadap keuntungan pajak
dalam trade off theory, pemecahan dan pembelian saham kembali, ataupun pembagian
deviden dalam signaling theory serta birds in the hand theory, juga menjadi langkah-
langkah para manajer keuangan ataupun chief financial officer (CFO) perusahaan untuk
dapat meningkatkan nilai bagi para shareholders mereka (Brigham dan Daves, 2003).
Langkah-langkah tersebut terbilang relatif lebih mudah dan lebih cepat membawa hasil
dari pada harus meningkatkan tingkat penjualan produk, ataupun mengoptimalkan profit
margine, atau pengoptimalan reduksi biaya, atau bahkan kalau bisa melakukan ketiga-
tiganya sekaligus untuk meningkatkan wealth of shareholder-nya.
Sebagai seorang investor teknikal atau pemain jangka pendek, tentu hal-hal
fudamental tersebut tidaklah menjadi bahan pertimbangan yang serius, karena, para
spekulan ini lebih melihat pada suplay and demand serta pada data-data pergerakan
saham sebelumnya. Berbeda halnya dengan investor fundamen yang lebih menitik
beratkan pada keuntungan jangka panjang, karena faktor-faktor tersebut memang menjadi
pertimbangan yang sangat penting bagi mereka.
Nilai saham memang dapat ditingkatkan dengan langkah-langkah strategis
keuangan (Lee, 1999) atau sebaliknya, yang juga dapat ditingkatkan dari core kegiatan
operasional perusahaan, yaitu seperti bagaimana mendapatkan sumber row material,
penggolahannya dan kemudian bagaimana cara menjual produk-produk utamanya
tersebut bukan pada aset finansialnya. Apabila melihat lebih lanjut, diketahui bahwa pada
dasarnya perusahan didirikan bukan lain adalah untuk tujuan memproduksi dan menjual
produk-produk utama manufakturnya, jika kegiatan ini sehat serta memiliki prospek
cerah kedepan, maka perusahaan akan dan telah benar-benar menjadi tujuan investasi
yang sempurna. Tetapi berbeda halnya jika return besar yang didapatkan oleh
shareholder berasal dari kegiatan financial, atau bahkan dari hasil penjualan asset-asset
perusahaan, maka keuntungan ini hanya bersifat sementara, tidak establish dan
kedepannya mungkin akan suram (Bajaj, Denis, dan Sarin, 2004).
Perusahaan yang core operasionalnya sehat dan memiliki prospek yang baik,
tentu dia akan memiliki return yang tinggi, dan dengan return yang tinggi itulah
perusahaan membiayai assets requirement-nya, sehingga perusahaan akan mampu
tumbuh dan berkembang (Penman dkk, 2002). Penilaian berdasar core operasional atau
yang disebut Accounting-Based Valuation (Lee, 1999) inilah yang dapat
menginformasikan serta memprediksikan kinerja kedepan dari sebuah perusahaan seperti
apa yang telah dijelaskan di atas, yang juga menjadi landasan dalam penelitian ini.
Return yang tinggi seharusnya menjadikan harga saham naik, tetapi pada
kenyataannya seringkali tidak demikian. Hal ini mungkin disebabkan karena investor
melihat perusahaan tidak memiliki prospek yang cerah, atau bisa saja disebabkan karena
industri atraktivenesnya rendah, atau mungkin juga karena spekulan pasar di posisi
bearing atau ada kejanggalan dalam laporan keuangannya atau mungkin juga laba
tersebut berasal dari kegiatan noncore operasionalnya (Bajaj, dkk., 2004). Kemungkinan-
kemungkinan tersebut bisa saja memang benar, akan tetapi dalam jangka panjang dan
global tentulah para fundamen akan tetap mengabaikan hal itu semua jikalau perusahaan
memang mempunyai prospek kedepan yang gemilang (Penman, dkk., 2002).
Berbeda dengan obligasi, dalam investasi saham selain mengharapkan return yang
tinggi, sebenarnya juga mengharapkan tingkat pertumbuhan yang besar kedepan.
Terlepas dari teori birds in the hand yang lebih menyukai dividen dari pada laba ditahan,
perusahaan yang baik tentunya dituntut untuk dapat membiayai assets requirement-nya
sendiri sebagai akibat adanya posisi market share, peluang dan prospek pertumbuhan di
industri yang baik. Inilah yang mungkin menjadi penyebab bahwa return temporal yang
tinggi tidak selalu menjadikan harga saham naik, yaitu karena perusahaan tidak
mempunyai prospek tumbuh kedepan yang besar (Bajaj dkk., 2004).
Asset yang besar tentu akan menghasilkan laba yang besar pula, sehingga
penambahan investasi untuk menopang pertumbuhan asset menjadi hal penting bagi
sebuah perusahaan, terlebih jika investasi itu berasal dari internal perusahaan. Karena
pembiayaan dari internal tentunya memiliki cost yang lebih rendah dari pada pembiayaan
eksternal, sehingga pembiayaan internal lebih disukai. Penambahan investasi asset
tersebut dapat digunakan untuk pengembangan produk baru, pencapaian skala ekonomi,
perluasan pasar dan jaringan distribusinya ataupun juga untuk perbaikan tingkat efisiensi
perusahaan dengan pelaksanaan six sigma misalnya, karena dengan pelaksanaan itu
semua diharapkan return akan menjadi lebih besar, lagi dan lagi. Hal ini sesuai dengan
teori pecking order yang lebih menghendaki pembiayaan dari internal perusahaan sendiri
dari pada dari luar perusahaan, yaitu yang berupa residual earning. Karena dengan
earning residu yang besar ini perusahaan dapat membiayai tingkat pertumbuhannya,
sehingga perusahaan akan mampu untuk tumbuh dan tumbuh lagi (Brigham, dkk., 2003).
Teori AEG menjelaskan bahwa peningkatan harga saham karena adanya
pertumbuhan dapat dievaluasi dengan melihat P/E rasionya. P/E rasio merupakan
multiple seberapa besar earning perusahaan dihargai oleh pasar. Jikalau pasar menilai
earning kedepan akan lebih besar dari earning sekarang maka rasio P/E akan tinggi, dan
sebaliknya (Ohlson dkk., 2005). Dengan demikian adanya pertumbuhan ini, diharapkan
akan direspon positif pasar, yaitu dengan meningkatnya P/E rasio (Penman, 2005).
2. Pertumbuhan Penjualan (Sales Growth)
Sales growth adalah bentuk pertumbuhan yang langsung yang berhubungan
dengan pertumbuhan asset operasional perusahaan. SG dapat juga ditafsirkan sebagai
wujud langsung dari pertumbuhan asset yang dilakukan pada periode sebelumnya.
Menurut Nissim, dkk. (2001) driver residual earning adalah laba penjualan dan juga
karena adanya pertumbuhan penjualan yang selanjutnya akan menjadi pencetak return
kedepan.
Penambahan asset tentu didasari pertimbangan bahwa asset yang ditanam akan
memberikan net present value (npv) yang positif, dengan demikian maka dapat pula
diharapkan tingkat return kedepan yang lebih besar. Adanya kemungkinan perubahan
tingkat return positif inilah yang kemudian menjadi pembentuk abnormal earnings
growth bagi perusahaan. Adanya kemungkinan abnormal earnings yang tumbuh di
tahun-tahun mendatang menjadikan nilai perusahaan dipandang oleh investor bertambah
besar, sehingga harga saham pun naik. Naiknya harga saham ini menyebabkan price
earning ratio juga naik, tentunya dengan asumsi bahwa investor memandang earnings
kedepan akan lebih besar dari sekarang. Asumsi ini didasari karena asset yang ditanam
benar-benar diupayakan oleh manajemen untuk memperkuat pondasi operasionalnya,
bukan untuk tujuan penambahan other income melalui asset-asset finansial, sehingga
operating income yang diharapkan untuk didapatkan kedepan tercapai, yaitu lebih besar,
lebih berkesinambungan dan lebih stabil. Dengan demikian variabel pertumbuhan
penjualan ini diharapkan dapat berpengaruh terhadap price earning ratio.
Penelitian Kumar (2003) menunjukkan bahwa pengaruh SG terhadap P/E rasio
tidak langsung, yang ditunjukkan dengan nilai t yang tidak signifikan namun nilai R2
modelnya besar. Adapun penelitian Pari, Carvell, dan Sullivan (1989) menemukan bahwa
PE dipengaruhi oleh pertumbuhan perusahaan, dan proksi pertumbuhan ini adalah
bertumbuhnya penjualan, dengan demikian dari penelitian ini didapatkan bahwa SG
berpengaruh terhadap P/E rasio. Hasil dari penelitian Nissim dkk., (2001) juga
menyebutkan bahwa driver AEG adalah pertumbuhan penjualan, sedangkan earning
dalam AEG sendiri adalah EPS, sehingga penelitian ini juga memperkuat dugaan bahwa
SG juga berpengaruh terhadap EPSG. Dalam literatur akuntansi hasil dari penjualan
adalah operating income (Nissim dkk., 2001), sehingga jika penjualan meningkat centeris
paribus maka operating income-pun juga meningkat, dengan demikian SG mempunyai
pengaruh langsung terhadap OIG. Jika net income dibagi dengan jumlah share
outstanding yang ada, maka OIG yang positif akan menghasilkan earning per share
positif juga. Dengan demikian secara teori SG juga berpengaruh secara tidak langsung
terhadap EPSG, karena harus melewati variabel OIG terlebih dahulu (Penman., 2005).
Dengan demikian karena OIG dipengaruhi oleh SG, EPSG dipengaruhi oleh OIG, dan
P/E rasio dipengaruhi oleh EPSG maka dalam mempengaruhi P/E rasio SG juga harus
melewati OIG dan EPSG.
3. Pertumbuhan Operating Income (Operating Income Growth)
Operating income adalah pure profits yang hanya mengukur keuntungan yang
dihasilkan dari kegiatan operasi dengan mengesampingkan berbagai penambahan dari
governments dan financial activities (Kumar, 2003). Jikalau ada sebuah keinginan dari
para investor, tentulah keinginan ini terkait dengan income. Demikian pula oleh para
manajer perusahaan ketika bekerja dan berinvestasi pada sebuah atau beberapa asset,
maka sudah menjadi barang tentu return atau labalah yang menjadi harapan dan tujuan
utamanya. Meskipun para investor juga menyukai mendapatkan tambahan laba yang
berasal dari other operational income maupun unusual income lainnya, tetapi jika
menilik kembali kepada dasar penilaian perusahaan berdasarkan core operasionalnya,
maka yang menjadi indikasi utama keberhasilan perusahaan adalah return atau laba dari
kegiatan utamanya, yaitu operating income atau operating profitnya.
Menurut Nissim dkk., (2001) return dari kegiatan operasional didapatkan melalui
penjualan produk perusahaan yang diproduksi melalui asset-assetnya, jikalau profit
margin perusahaan tinggi maka laba yang dihasilkannya pun juga tinggi. Laba yang
dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan inilah yang dinamakan operating
income. Akan tetapi laba profit margin ini baru baik jika hasilnya positif dan tentunya
hasil ini melebihi efficiency turn over ratio-nya. Efficiency turn over ratio ini adalah
efisisiensi operasional perusahaan dalam mempergunakan net operating asset (NOA)
untuk memproduksi penjualan, relatif terhadap required rate of return dari penggunaan
asset tersebut, atau rasio ini dapat dikatakan juga sebagai seper asset turn over. Jika
efisiensi penggunaan NOA dalam melakukan penjualan lebih besar dari required rate of
return NOA, maka ATO dan profit margin telah sesuai dengan apa yang diharapan.
Dengan demikian, dapat diringkas bahwa return dari kegiatan operasional ini dapat
dihasilkan yaitu selain melalui banyaknya penjualan (Sales), juga didasarkan pada
seberapa besar kemampuan manajemen untuk memperoleh profit margin (PM), juga dari
seberapa mampukah manajemen dalam memutar assetnya selama satu tahun dalam
menghasilkan penjualan (ATO).
Sebenarnya, selain dari ketiga driver di atas, return dari kegiatan operasional juga
dapat dihasilkan dari startegi pemanfaatan operating liability leverage (Ollev). Jikalau
Ollev ini spread-nya positive, yaitu return on operating asset-nya melebihi short-term
borrowing rate (after tax), maka ollev ini akan memberikan leverage positif terhadap
return on net operating asset yaitu dengan mengurangi kebutuhan terhadap penambahan
operating assetnya. Jikalau perusahaan dapat memiliki return yang sama besar tetapi
dengan asset yang lebih kecil tentu ini diperoleh karena manajemen selain mampu
mengolah ATO juga karena kepiawaiannya dalam memanfaatkan Ollev yang positif.
Contoh perusahaan yang memiliki RNOA yang tinggi karena manajemen Ollev yang
baik adalah Dell corporation (Ohmae, 2005). Perusahaan ini mampu menghasilkan laba
besar tetapi dengan asset yang relatif kecil. Perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai
Ollev yang baik dengan cara memiliki kemampuan yang lebih dalam hal memperoleh
kredit dari suplayernya, serta memiliki customer relationships yang baik. Dengan
demikian perusahaan mampu memperoleh delay dalam pembayaran ke suplayernya,
sedang mereka mampu mendapatkan pembayaran cepat dari para costumernya. Jadi
perusahaan mampu melakukan penjualan tanpa lebih dahulu melakukan pembayaran ke
suplayer. Dengan demikian sangat dapat dipahami kenapa investor lebih menitik beratkan
penilaian sekuritas berdasarkan kegiatan operasionalnya bukan pada other activities atau
financial activities-nya (Nissim dkk., 2001).
Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan bukanlah RNOA akan tetapi
operating income atau yang pada penelitian Kumar (2003) disebut sebagai operating
profit. Ini dikarenakan operating income adalah variabel yang mewakili hasil utama dari
semua kegiatan utama perusahaan. Data yang digunakan untuk memperoleh RNOA
sering kali memerlukan time consuming yang lama. Data tersebut juga sukar untuk
didapatkan kecuali investor benar-benar mengetahui dasar-dasar akuntansi. Berbeda
dengan operating income, data ini dapat diperoleh dengan mudah, baik dari laporan
keuangan sendiri maupun dari hasil ringkasan informasi yang tertera dalam IDX report.
Dengan demikian, walaupun operating income belum menunjukkan seberapa besar
tingkat pengembalian terhadap Common Equity, tetapi perubahan operating income ini
dapat memberikan sekian banyak informasi terkait dengan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba.
Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan operating income
sebagai variabel utama dalam penilaian sekuritas saham bukan return on asset ataupun
dari return on invesment, ini tidak lain karena variabel ini adalah variabel yang mewakili
variabel laba yang dihasilkan langsung dari kegiatan utama perusahaan yaitu kegiatan
penjualan produk-produk utama perusahaan yang terhindar dari kegiatan financing dan
goverment action. Berbeda dengan operating income, return on equity (ROE) dan juga
return on common equity (ROCE) dapat ditingkatkan nilainya melalui metoda finansial
seperti pelaksanaan stock repurchase (Lee, 1999), yaitu dengan asset yang sama, tetapi
karena melakukan leverage buy out (LBO) maka jumlah shareoutsanding-pun dapat
dikurangi, sehingga dengan earning yang sama seperti sebelum LBO, maka nilai return
on common equity (ROCE) pun dapat ditingkatkan.
Sebagai bentuk REV yang telah disesuaikan dengan operasional basis valuation,
Residual Income Valuation menjadikan operating income sebagai variabel yang
menghasilkan residual income. Jika residual income ini mengalami pertumbuhan karena
operasional profit bertambah centeris paribus, maka EPSG pun akan didapatkan sehingga
pada ahirnya juga meningkatkan P/E rasio. Dengan demikian secara teori didapatkan
bahwa OIG berpengaruh terhadap earning per share growth secara langsung juga
terhadap P/E rasio (Penman, 2005). Adapun dari penelitian Kumar (2003) yang
mendapatkan adanya pengaruh yang tidak signifikan dari OIG terhadap P/E rasio
meskipun dalam penelitian itu diketahui keberadaan OIG menambah kuat model PEM,
ini menunjukkan bahwa OIG mempunyai pengaruh yang tidak langsung terhadap P/E
rasio.
4. Pertumbuhan Earning Per Share (Earning Per ShareGrowth)
Informasi kemampuan profitabilitas perusahaan secara keseluruhan sebenarnya
telah tercermin dalam laporan keuangan pada bagian earning per share-nya. Jikalau EPS
ini tinggi, maka perusahaan menginformasikan bahwa pihaknya benar-benar memiliki
kemampuan besar dalam menghasilkan laba, tentunya ini akan direspon positif oleh
pasar, dan jika dari tahun-ke tahun EPS perusahaan meningkat maka saham perusahaan
ini akan menjadi primadona bagi investor dan P/E rasionya pun akan tinggi (Ohlson dkk.,
2005).
Earning per share adalah laba atau return yang dihasilkan dari kegiatan
operasional serta dari non-operasional. Adapun return yang berasal dari kegiatan
operasional atau operating income, inilah yang selanjutnya dinamakan return on net
operating asset. Jika RNOA ini tinggi, perusahaan dapat dikatakan sehat dan produktif,
dan sebaliknya. Kemudian jika RNOA ini melebihi required return assetnya tentu ini
akan lebih baik lagi dan inilah yang diharapkan. Apabila RNOA ini melebihi cost of
capital, maka perusahaan akan memiliki cukup dana untuk melakukan pertumbuhan
asset. Ahirnya dari asset yang tumbuh ini akan dapat mewujudkan bertambahnya
kesejahteraan stakeholders perusahaan, bukan hanya shareholder-nya saja.
Dengan adanya kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pertumbuhan laba
atau return kedepan yang lebih besar dari cost of capital-nya, menjadikan perusahaan
memiliki kemungkinan yang positif untuk dapat dikatakan sebagai perusahaan yang
bertumbuh, yaitu perusahaan yang mampu menjadikan berlipat-lipat kali besarnya jumlah
investasi yang dahulu pernah ditanamkan. Dari dasar pemikiran inilah AEG valuation
Ohlson dkk. (2005) dikembangkan. Dengan semua kelebihan dan kekurangan yang ada
pada AEG valuation menjadikan teknik ini patut untuk dipertimbangkan dalam security
valuation. Berbeda dari residual income valuation, AEG ini dievaluasi dengan P/E rasio
sedangkan RIV dengan price to book rasio. Jika RIV lebih menitik beratkan pada residual
income, AEG valuation lebih mendasarkan pada pertumbuhan earning per share,
sehingga lebih mudah penggunaannya, biarpun keduanya dikembangkan dari kajian yang
sama, yaitu akuntansi.
P/E rasio dalam penelitian Ohlson dkk.(2005) dipengaruhi oleh EPS, EPSG, dan
cost of capital. Dengan demikian hubungan antara EPSG dan P/E rasio ini adalah
pengaruh yang langsung, yaitu meningkatnya P/E rasio dipengaruhi secara langsung oleh
peningkatan pada EPS.
5. Price Earning Rasio (PE Ratio)
Evaluator kinerja perusahaan yang berkaitan dengan pertumbuhan earning dari
tahun-ketahun adalah price earning rasio (Olhson dkk., 2005). Adanya kemungkinan
return perusahaan kedepan lebih besar dari return sekarang menjadikan para investor
menghargai harga saham lebih tinggi. Bertambahnya harga saham karena espektasi
earning kedepan dan tetapnya current earning sebagai pembagi dalam persamaan P/E
rasio inilah yang mengakibatkan price earning saham naik. Hal ini berbeda dengan faktor
yang berpengaruh terhadap price to book rasio, rasio ini dipengaruhi oleh besarnya
residual earning. Earning atau return yang melebihi required return-nya akan disebut
sebagai residual earning. Adanya residual earning yang positif mengakibatkan nilai
perusahaan melebihi nilai bukunya. Hal inilah yang kemudian direspon oleh pasar dengan
naiknya harga saham. Kenaikan harga saham ini mengakibatkan nilai P/B rasio sekarang
lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Shirvani dan Wilbratte (2003), didapatkan
bahwa P/E rasio dapat digunakan untuk memprediksi return perusahaan kedepan.
Sedangkan dari penelitian lain yang dilakukan oleh Stathoulis (1994) diketahui bahwa
P/E rasio sangat berkaitan dengan pertumbuhan earning per share. Demikian pula hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pari, dkk. (1989) yang mendapatkan hasil bahwa
determinan P/E rasio adalah RNOA, EPS, cost of capital dan Debt to equity rasio.
Penelitian lainnya juga mendapati bahwa (Bajaj, dkk., 2004) PE dipengaruhi oleh return.
Sedangkan untuk kajian yang dilakukan oleh Ohlson, dkk. (2005) didapatkan bahwa P/E
rasio dipengaruhi oleh EPSG. Dengan demikian telah tepat jika dalam penelitian ini
penulis menggunakan P/E rasio sebagai evaluator kinerja dan juga evaluator
pertumbuhan perusahaan.
6. Conservative Accounting
Dalam literatur akuntansi, terdapat praktik akuntansi yang disebut conservative
accounting. Praktik akuntansi konserfatif ini adalah praktik mengestimasi nilai buku
lebih rendah dari nilai yang sebenarnya atau menjadikan ekspektasi return on equity lebih
besar dari pada cost of capital-nya (Chan, Lin, dan Strong, 2009). Akibat pelaksanaan
akuntansi konserfatif ini mengakibatkan turunnya residual income, tetapi juga menaikkan
RNOA dan ROCE. Naiknya RNOA dan ROCE ini didapatkan dengan cara membukukan
net asset lebih kecil dari pada nilai buku yang sebenarnya. Metode pembukuan yang
termasuk kedalam praktek ini antara lain adalah menghitung persediaan dengan cara Last
in First Out (LIFO), membukukan R&D juga biaya advertising serta investasi intelektual
dan human capital sebagai pengeluaran. Selain itu, melakukan underestimate pada
piutang dagang serta melakukan overestimate pada accrual dan pendapatan tertunda
adalah bentuk lain dari pelaksanaan praktik ini (Penman, 2007).
Praktik akuntansi konserfatif tidak berdampak pada operating income. Hal ini
terjadi jika level investasi secara permanen tidak meningkat, sehingga pendapatan dan
biaya akan selalu dalam jumlah yang sama. Akan tetapi jika net asset tumbuh maka
operating income akan menjadi menurun sebagai dampak dilakukannya praktik akutansi
konserfatif ini (Penman dkk, 2002).
Berbeda dengan operating income, P/B rasio akan bernilai lebih besar jika praktik
akuntansi konserfatif ini dilakukan. Ini terjadi baik pada kondisi asset tumbuh maupun
pada kondisi tidak tumbuh, tetapi meningkatnya P/B pada kondisi tidak tumbuh tidak
sebesar pada kondisi asset sedang tumbuh. Penggunaan praktik akuntansi konserfatif
akan mengurangi nilai buku. Turunnya nilai buku ini selanjutnya akan meningkatkan
premium, sehingga P/B rasio meningkat (Penman dkk, 2002).
Sepertihalnya operating income, jika investasi pada net asset tidak mengalami
peningkatan maka P/E rasio juga tidak terimbas oleh adanya praktik akuntansi
konserfatif. Akan tetapi pada kondisi terjadi pertumbuhan pada asset, P/E rasio menjadi
lebih tinggi. Akuntansi konserfatif tidak berimbas pada nilai investasi tetapi berimbas
pada penurunan earning yang selanjutnya meningkatkan P/E rasio. Peningkatan P/E rasio
ini diartikan sebagai cerminan dari tingginya forecast pada AOIG kedepan akibat
pelaksanaan akuntansi konserfatif. Sehingga dengan adanya pelaksanaan akuntansi
konserfatif ini, secara umum telah diterima bahwa akuntansi konserfatif akan
mengakibatkan turunnya keuntungan yang selanjutnya mengakibatkan naiknya P/E rasio.
Akan tetapi menurut Penman dkk, (2003) kondisi ini tidak selalu benar, kecuali hanya
jika investasi mengalami peningkatan. Lebih konsistennya P/E rasio dibanding dengan
P/B rasio ini jugalah yang menjadi alasan digunakanya P/E rasio sebagai evaluator
kinerja perusahaan dalam penelitian ini.
Lebih lanjut, karena adanya cadangan earning yang tersembunyi (Hidden reserve)
dan pembuatan earning dalam laporan keuangan sebagai akibat praktik conservatism dan
liberalism dalam akuntansi, ini selanjutnya akan mengindikasikan bahwa earning yang
besar secara temporal diterima sebagai representasi rendahnya kualitas laporan keuangan,
dan sebaliknya bahwa earning yang rendah menunjukkan tingginya kualitas laporan
keuangan. Sehingga naiknya earning akan direspon negatif oleh pasar, yaitu dengan
turunnya P/E rasio dan sebaliknya turunnya earning akan direspon positif oleh pasar,
yaitu dengan naiknya P/E rasio (Penman dkk, 2002).
B. Kerangka Pemikiran
Adapun kerangka pemikirannya adalah sebagai berikut; pertumbuhan earning
perusahaan dievaluasi dengan price earning rasio, jika pertumbuhan earning adalah positif
maka P/E rasio akan naik dan sebaliknya (Ohlson dkk., 2005). Perusahaan dapat
menghasilkan pertumbuhan earning disebabkan karena tingkat penjualannya bertambah
(SG). Akan tetapi peningkatan ini belum dapat dikatakan memberikan efek pertumbuhan jika
penjualan belum menghasilkan penambahan pada income (OIG). Begitu pula dengan OIG,
OIG inipun belum menunjukkan hasil yang memuaskan terhadap pertumbuhan perusahaan
secara total jika belum diketahui apakah earning perusahaan telah meningkat (EPSG). Jika
kesemua variabel yang berkaitan tersebut diketahui informasinya dan menandakan adanya
pertumbuhan maka kemungkinan besar menjadikan harga saham naik, sehingga price earning
rasiopun meningkat.
Berbeda dengan teori pertumbuhan earning di atas, naiknya earning seringkali tidak
diikuti oleh respon positif pasar yaitu naiknya P/E rasio, tetapi malah diikuti oleh turunnya
P/E rasio. Hal ini disebabkan karena adanya fenomena praktik conservative accounting, yaitu
praktik pembukuan dari pihak manajemen dengan estimasi earning lebih rendah dari pada
nilai sebenarnya, yang selanjutnya pelaksanaan praktik ini mengakibatkan terjadinya
penurunan pada earning. Dengan demikian, earning yang besar secara temporal akan
direspon sebagai bentuk dari kualitas laporan keuangan yang kurang baik, dan sebaliknya,
bahwa earning yang rendah menunjukkan adanya kualitas laporan keuangan yang lebih baik.
Sehingga naiknya earning akan direspon negatif oleh pasar, yaitu dengan turunnya P/E rasio
dan sebaliknya turunnya earning akan direspon positif oleh pasar, yaitu dengan naiknya P/E
rasio (Penman dkk, 2002).
Adapun bagan kerangka pemikiran dari penelitian ini, dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 1.
Kerangka Pemikiran
C. Hipotesis
Berdasarkan uraian tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat
disusun hipotesis sebagai berikut;
H1 : Sales growth berpengaruh positif signifikan terhadap P/E rasio.
H2 : Sales growth berpengaruh positif signifikan terhadap operating income growth.
H3 : Sales growth berpengaruh positif signifikan terhadap earnings pershare growth.
H4 : Operating income growth berpengaruh positif signifikan terhadap P/E rasio
H5: Operating income growth berpengaruh positif signifikan terhadap earnings
pershare growth.
H6 : Earnings pershare growth berpengaruh positif signifikan terhadap P/E rasio.
H7 : Pengaruh sales growth terhadap P/E rasio dimediasi oleh operating income
growth.
H8: Pengaruh sales growth terhadap P/E rasio dimediasi oleh earnings pershare
growth.
SG
OIG
EPSG
PE
H9: Pengaruh sales growth terhadap P/E rasio dimediasi oleh operating income
growth dan earning pershare growth.
H10: Pengaruh operating income growth terhadap P/E rasio dimediasi oleh earning
pershare growth.
H11: Pengaruh sales growth terhadap earning pershare growth dimediasi oleh
operating income growth.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian konfirmatori yaitu penelitian yang
bertujuan mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel yang telah dikembangkan
dari penelitian-penelitian sebelumnya dengan fakta atau kejadian yang sesungguhnya di
lapangan. Lebih lanjut, studi ini merupakan jenis penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan sektor manufaktur di Bursa Efek
Jakarta. Pelaksanaan penilitian ini dilakukan pada bulan April 2010.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang listing
di Bursa Efek Jakarta dan aktif melaksanakan perdagangan selama periode 2006 - 2009.
Namun dalam perjalanannya sampel yang sesuai untuk disain penelitian ini hanya
didapatkan sebanyak 66 laporan keuangan dari 33 perusahaan saja. Teknik pengambilan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive random sampling yaitu
teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu.
Adapun pertimbangan yang digunakan untuk memilih sampel dalam penelitian ini
didasarkan pada kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Perusahaan telah go publik dan tercatat di Bursa Efek Jakarta.
2. Perusahaan telah tercatat di Bursa Efek Jakarta minimal sejak tahun 2005.
3. Saham aktif diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta selama 2006–2009.
4. Perusahaan memiliki earning positif.
5. Perusahaan tidak melakukan leverage buy out (LBO) ataupun share repurchase.
D. Sumber Data
Data dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder yang diambil dari
Indonesian Capital Market Directory (ICMD) dan Jakarta Stock Exchange Statistic (JSX
Statistic).
E. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode dokumentasi dari
laporan keuangan perusahaan sampel serta data-data dokumen lainnya yang terkait
dengan penelitian.
F. Devinisi Operasional
1. Sales Growth (SG), adalah perubahan tingkat penjualan perusahaan selama dua tahun
tutup buku. Variabel ini dicari dengan cara membagi tingkat penjualan tahun t dengan
tingkat penjualan tahun t-1. Sales growth dalam penelitian ini adalah variabel
independen dengan skala data rasio. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut ;
Sales growth = (sales)t / (sales)t-1 (Kumar, 2003)
2. Operating Income Growth (OIG), menyatakan pertumbuhan operating income dari
tahun t dengan tahun sebelumnya. Variabel ini adalah variabel independent sekaligus
variabel intervening antara SG dengan P/E rasio. Skala data variabel OIG adalah
skala rasio. Rumusnya,
OIG = (Operating Income)t / (Operating Income)t-1 (Kumar, 2003)
3. Earnings Per Share Growth (EPSG), adalah tingkat pertumbuhan earnings pershare
tahun t dibandingkan dengan tahun t-1. Dalam penelitian EPSG merupakan variabel
independen sekaligus intervening yang menjembatani pengaruh SG dan OIG terhadap
P/E rasio. Skala data dari variabel EPSG adalah skala rasio, adapun rumusnya adalah
sebagai berikut:
EPSG = (EPS)t / (EPS)t-1 (Kumar, 2003)
4. P/E Rasio, adalah jumlah per rupiah earning yang harus dibayar oleh investor untuk
setiap sahamnya, atau dapat diartikan juga sebagai alat komparasi nilai earning yang
diharapkan dimasa yang akan datang dengan nilai earning sekarang. P/E rasio adalah
variabel dependen dengan skala data skala rasio. Rumus P/E adalah:
P/E = (Price)t / (EPS)t (Penman, 2007).
G. Metode Analisis Data
1. Teknik Uji Hipotesis
Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis jalur
(Ghozali, 2001). Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan path analysis
dengan struktur jalur sebagai berikut ;
P/E = a2 + b6.sg + b2.oig + b4.epsg + e2...................................................(1)
OIG = a1 + b1.sg + e1.................................................................................................(2)
EPSG = a3 + b5. sg + b3.oig + e3…………………………………………………(3)
Keterangan :
SG = sales growth
OIG = operating income growth
EPSG = earning per share growth
P/E = price earning rasio
a1…a3 = konstanta
e1...e3 = standart error, e =1- R2
b1 …b6 = koefisien regresi variabel independen.
Adapun perhitungan pengaruh total pengaruh variabel SG dan OPG adalah
sebagai berikut.
1. Pengaruh total SG terhadap P/E
Pengaruh langsung SG terhadap P/E, A1 = P6
Pengaruh tidak langsung SG-OIG-P/E, B1 = P1 x P2
Pengaruh tidak langsung SG-OIG-EPSG-P/E, C1 = P1 x P3 x P4
Pengaruh tidak langsung SG-EPSG-P/E, D1 = P5 x P4
Sehingga pengaruh total SG terhadap P/E = A1+B1+C1+D1
2. Pengaruh total OIG terhadap P/E adalah,
Pengaruh langsung OIG terhadap P/E, A2 = P2
Pengaruh tidak langsung OIG-EPSG-P/E, B2 = P3 x P4
Sehingga pengaruh total OIG terhadap P/E = A2 + B2
3. Pengaruh total SG terhadap EPSG adalah,
Pengaruh langsung SG terhadap EPSG, A3 = P5
Pengaruh tidak langsung SG-OIG-EPSG, B3 = P1 x P3
Sehingga pengaruh total SG terhadap EPSG = A3 + B3
Adapun untuk uji hipotesis, uji yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Pengujian secara individual (Uji t)
Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen. Jika nilai signifikan < 0,05 maka dapat
dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel independen
dengan variabel dependen secara individu. Sebaliknya jika nilai signifikan >
0,05 maka tidak terdapat pengaruh yang signifikan (Santosa, 2001).
Sedangkan untuk perhitungan nilai t adalah :
bSb
bBetat
Keterangan :
Beta (b) : Kemiringan
Sb(b) : Kesalahan baku
b. Pengujian Model (Uji F)
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan
antara variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen.
Apabila nilai signifikan < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti
variabel independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap
variabel dependen, dan apabila nilai signifikan > 0,05 maka Ho diterima dan Ha
ditolak yang berarti variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh
signifikan terhadap variabel dependen (Santosa, 2001). Sedangka perhitungan
nilai F adalah :
2
2
1
1
Rm
mNRFreg
Dimana :
Freg = harga F garis regresi.
N = cacah kasus.
M = cacah prediktor.
R = koefisien korelasi antara kriterium dengan prediktor-prediktor.
c. Uji koefisien determinansi (R2)
Uji koefisien determinan (ketepatan pikiran) dilakukan untuk mengetahui
seberapa besar prosentase pengaruh dari semua variabel bebas yang diteliti dan
variabel lain yang tidak diteliti. Hal ini ditunjukan oleh besarnya koefisien
determinan (R2) yang besarnya antara 0 sampai 1 atau 0 R
2 1, jika R
2 semakin
tinggi prosentasinya maka semakin kuat model tersebut (Gujarati, 1995).
Rumus Koefisien Determinan (R2), yaitu :
2
22 1
yi
etR
Keterangan :
R2 = koefisien determinansi.
Ei2 = nilai kuadrat regrasi.
yi2
= nilai kuadrat variabel residual.
2. Pengujian Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dapat dikatakan sebagai uji kriteria ekonomi untuk
mengetahui bahwa hasil estimasi memenuhi asumsi dasar linier klasik. Dengan
terpenuhinya asumsi-asumsi ini, maka diharapkan koefisien-koefisien yang diperoleh
menjadi penaksir mempunyai sifat efisiensi, linier, dan tidak bias.
a. Autokorelasi
Autokorelasi adalah keadaan ditemukannya korelasi hubungan antara
sesama variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependennya. Untuk
mengetahui ada tidaknya autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin Watson
Test. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hasil-hasil estimasi suatu
model regresi tidak mengandung korelasi serial diantara error term-nya.
Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:
Dw =
nt
t
nt
t
et
etet
2
2
2
21
(Gujarati, 1995)
Langkah-langkah menguji autokorelasi:
1) Meregres OLS
2) Menghitung DW
3) Untuk ukuran sampel tertentu dan banyaknya variabel yang menjelaskan
didapat nilai taksiran dL dan dU.
Gambar II.
Uji Durbin Watson (DW-Watson)
4) Jika Ho adalah ujung yaitu bahwa tidak ada serial autokorelasi positif atau
negatif maka:
d < dL = Ho ditolak (ada autokorelasi positif)
d> 4-dL = Ho ditolak (ada autokorelasi negatif)
dU < d < 4-dU = Ho diterima (tidak ada autokorelasi)
dL d dU atau 4-dU d 4-dL = Ho pengujian tidak dapat disimpulkan.
b. Multikolineritas
Uji ini dilakukan guna memastikan tidak terjadinya lebih dari satu hubungan
linier yang nyata diantara variable-variabel penjelas (tidak ada kolineritas). Jikalau
terjadi lebih dari satu hubungan linier, maka model perlu diperbaiki lagi.
Uji Muitikolinieritas dilakukan dengan cara meregresikan model analisis
dan melakukan uji korelasi antar variabel independent dengan menggunakan nilai
tolerance dan varians inflating factor (VIF). Apabila nilai tolerance masing-masing
variable lebih dari 0,1 dan nilai VIF (varian inflation factor) masing-masing
variabel kurang dari 10, maka tidak terjadi gejala multikolinieritas (Ghozali, 2001).
c. Heteroskedastisitas
Uji heteroskedasitas muncul apabila kesalahan atau residual dari model yang
diamati tidak memiliki varians yang konstan dari satu observasi ke observasi
lainnya. Pada bagian ini, cara mendeteksi ada tidaknya gejala heteroskedastisitas
dilakukan dengan uji Glejser dengan bantuan SPSS
Pengujian heteroskedastisitas dengan menggunakan uji Glejser dilakukan
dalam dua tahap, yaitu menghitung residual absolutnya terlebih dahulu baru
menghitung korelasi antara nilai variabel independen dengan nilai residual model.
Kriteria yang digunakan untuk menyatakan apakah terjadi heteroskedastisitas atau
tidak diantara data-data pengamatan dapat dilihat nilai koefisien signifikansi dari
persamaan regresi varabel independen terhadap AbsResnya (dalam hal ini
ditetapkan alfa = 5%). Jika koefisien signifikansi lebih besar dari alfa (5%), maka
dapat dinyatakan tidak terjadi heteroskedastisitas diantara data pengamatan tersebut.
d. Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam variabel
yang akan digunakan dalam penelitian (Nugroho, 2005). Uji normalitas dilakukan
dengan uji Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program SPSS for windows. Jika
masing – masing konstruk memiliki nilai signifikansi jauh di atas 0.05, berarti data
terdistribusi secara normal atau memenuhi asumsi klasik.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan data dari laporan tahunan perusahaan-perusahaan yang
dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Sampel yang
digunakan dan sesuai dengan penelitian ini adalah sebanyak 33 perusahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis jalur untuk mengetahui
pengaruh Sales Growth, terhadap P/E rasio yang dimediasi oleh Operating Income Growth dan
Earnings PerShare Growth pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
H. Pengujian Asumsi KIasik
1. Uji Autokorelasi
Pengujian autokorelasi dimaksudkan untuk mengetahui terjadinya korelasi antara
anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (time series) atau secara
ruang (cross sectional). Terdapat korelasi atas data time series ini mempunyai arti bahwa
hasil suatu tahun tertentu dipengaruhi tahun sebelumnya atau tahun berikutnya. Terdapat
korelasi atas data cross section apabila data di suatu tempat dipengaruhi atau
mempengaruhi di tempat lain. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi ini dapat
dilakukan dengan menggunakan uji statistik Durbin-Watson.
Adapun dasar pengambilan keputusan dalam uji Durbin – Watson ini dilakukan
dengan mengadopsi argumen Gujarati (1995), sebagai berikut:
a. Bila angka Durbin - Watson berada di bawah dL maka ada autokorelasi positif.
b. Bila angka Durbin - Watson di atas 4-dL, ada autokorelasi negatif
c. Bila angka Durbin - Watson di antara dU dan 4- dU, berarti tidak ada autokorelasi.
Tabel. 4.1
Hasil Uji Autokorelasi Berdasar Durbin-Watson
Data Periode Rata-Rata Selama Tahun 2006 - 2009 Model
Regresi
Variabel
dependen
Jumlah variabel
independent (k) dL dU 4- dU dw Keputusan
Ke-1 P/E rasio 3 1,346 1,534 2,466 2,139 Tidak terjadi
autokorelasi
Ke-2 OIG 1 1,377 1,500 2,500 2,120 Tidak terjadi
autokorelasi
Ke-3 EPSG 2 1,407 1,467 2,533 2,042 Tidak terjadi
autokorelasi Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Berdasarkan hasil uji autokorelasi dalam tabel di atas, selanjutnya diketahui
bahwa nilai statistik Durbin-Watson hasil perhitungan di atas adalah sebesar 2,139 untuk
model regresi ke-satu, 2,120 untuk model regresi ke-dua, serta 2,042 untuk model regresi
ke-tiga dimana nilai ini berada di atas nilai dU dan di bawah nilai 4-dU tabel. Adapun nilai
dU tabel untuk tiga variabel independent dengan jumlah sampel data di antara 65-70 buah
sampel adalah 1,534, sedangkan nilai dU tabel untuk satu dan dua variabel independent
dengan jumlah sampel data sama seperti di atas masing-masing adalah 1,500, dan 1,467.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa hasil penelitian ini tidak mendapat gangguan
autokorelasi pada data.
2. Uji Multikolinieritas
Suatu model dikatakan bebas adanya multikolinieritas jika antar variabel
independen tidak boleh saling berkorelasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai VIF (varian
inflationfactor) tidak melebihi 10 dan mempunyai nilai tolerance lebih besar 0,1. Pada
tabel di bawah ini menunjukkan bahwa angka tolerance umumnya lebih besar dari 0,1
dan mempunyai nilai VIF tidak melebihi 10, sehingga model regresi dapat dikatakan
bebas multikolinieritas. Adapun rangkuman uji multikolinieritas dalam penelitian ini
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.2
Uji Multikolinieritas Periode Rata-rata
Selama Tahun 2006 – 2009
Tolerance VIF Keputusan
Variabel
dependen
Variabel
independen Nilai Kriteria Nilai Kriteria
Model Regresi Ke-1
P/E rasio
SG 0.642 0.1 1.601 10
Tidak terjadi
multikolinieritas
OIG 0.507 0.1 1.971 10
Tidak terjadi
multikolinieritas
EPSG 0.760 0.1 1.315 10
Tidak terjadi
multikolinieritas
Model Regresi Ke-2
OIG
SG 1 1 10
Tidak terjadi
multikolinieritas
Model Regresi Ke-3
EPSG
SG 0.628 0.1 1.592 10
Tidak terjadi
multikolinieritas
OIG 0.628 0.1 1.592 10
Tidak terjadi
multikolinieritas
Sumber: data sekunder diolah, 2010
Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa nilai variance inflation factor (VIF) semua
variabel independen dari ketiga persamaan regresi tidak melebihi nilai 10 yaitu masing -
masing sebesar 1,601; 1,971 dan 1,315 pada model regresi pertama 1 pada persamaan
regresi kedua karena terdiri dari satu variabel saja, serta 1,592 dan 1,592 pada persamaan
regresi ketiga. Dari tabel di atas juga didapatkan bahwa nilai tolerance lebih besar dari
0,1 yaitu masing-masing sebesar 0,624; 0,507 dan 0,760 pada persamaan regresi pertama,
1 pada persamaan regresi kedua, serta 0,628 dan 0,628 pada persamaan regresi ketiga.
Sehingga dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh data dalam penelitian ini
tidak mengalami gejala multikolinieritas.
3. Uji Heteroskedastisitas
Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan uji Glejser, menggunakan
bantuan SPSS, dan dilakukan dalam dua tahap, yaitu menghitung residual absolutnya
terlebih dahulu, baru menghitung korelasi antara nilai variabel independennya dengan
nilai residual model. Kriteria yang digunakan untuk menyatakan apakah terjadi
heteroskedastisitas atau tidak diantara data-data pengamatan dapat dilihat nilai koefisien
signifikansinya (dalam hal ini ditetapkan alfa = 5%).
Apabila koefisien signifikansi lebih besar dari alfa (5%), maka dapat dinyatakan
tidak terjadi heteroskedastisitas diantara data pengamatan tersebut. Hasil pengolahan data
menggunakan SPSS for windows untuk masing-masing variabel dapat dilihat pada table
4.3 berikut ini:
Tabel 4.3
Hasil Uji Heteroskedastisitas
Regresi Variabel Sig
SG, OIG, dan EPSG pada absresPE Sales Growth 0,311
Operating Income Growth 0,422
Earning PerShare Growth 0,940
SG dan OIG pada absresEPSG Sales Growth 0.936
Operating Income Growth 0.057
SG pada absresOIG Sales Growth 0.519 Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Tabel 4.3. di atas menunjukkan hubungan antara SG, OIG, dan EPSG pada P/E
rasio tidak terjadi heteroskedastisitas karena tingkat signifikansi masing-masingnya
adalah 0,311, 0,422, dan 0,940 masing-masing > 5%. Hal itu juga terjadi pada SG, OIG,
terhadap EPSG dengan tingkat signifikansi 0,936 dan 0,059 yang masing-masing lebih
dari > 5%, serta pada model regresi pada SG terhadap OIG 0,519 yang juga lebih dari >
5%, maka dapat disimpulkan bahwa semua model regresi yang digunakan tidak didapati
adanya heteroskedastisitas.
4. Uji Normalitas
Tujuan uji normalitas adalah ingin mengetahui apakah distribusi sebuah data
mengikuti atau mendekati distribusi normal. Data yang baik adalah data yang mempunyai
pola distribusi normal. Untuk mendeteksi normalitas data dapat dilakukan dengan uji
Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program SPSS for windows sehingga diperoleh
hasil uji Kolmogorov – Smirnov berikut ini.
Tabel 4.4
Hasil Uji Normalitas dengan Uji Kolmogorov – Smirnov
Variabel Asymp.Sig (2-tailed) Kriteria Keterangan
SG 0,720 > 0,05 Terdistribusi normal
OIG 0,251 > 0,05 Terdistribusi normal
EPSG 0,842 > 0,05 Terdistribusi normal
P/E rasio 0,081 > 0,05 Terdistribusi normal
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
Berdasarkan Tabel 4.4 di atas terlihat bahwa masing – masing konstruk memiliki
nilai signifikansi jauh di atas 0.05 yang berarti data terdistribusi secara normal atau
memenuhi asumsi klasik.
I. Analisis Data
1. Analisis Regresi
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi. Hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen dalam penelitian ini dituliskan
dalam model sebagai berikut
P/E = a2 + b6.sg + b2.oig + b4.epsg + e2.................................................(1)
OIG = a1 + b1.sg + e1................................................................................................(2)
EPSG = a3 + b5.sg + b3.oig + e3………………………………………………...(3)
Keterangan :
SG = sales growth
OIG = operating income growth
EPSG = earning per share growth
P/E = price earning rasio
a0…a2 = konstanta
e1...e3 = standart error, e =1- R2
b1 …b6 = koefisien regresi variabel independen.
Perhitungan dilakukan dengan analisis regresi yang dihitung dengan bantuan
Program SPSS for Windows Release 13.0 dan perhitungan selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran. Adapun hasilnya dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tabel. 4.5
Hasil Analysis Regresi
Persamaan Koefisien Standardized
Coefficients
Beta
Sig. Fhitung FSig. R2 e
P/E = a2 + b6.sg +
b2.oig +
b4.epsg + e2
a2 = 23,675
b6 = -8,926
b2 = 2,892
b4 = -4,170
-0,242
0,172
-0,299
0,115
0,309
0,033
2,598
0,063
0,112
0,789
OIG= a1 + b1.sg + ei a1 = -0,278
b1 = 1,340
0,610
0,000
9,924 0,000
0,240
0,578
EPSG= a3 + b5. sg +
b3.oig + e3
a3 = 0,555
b5 = -0,224
b3 = 0,644
-0,085
0,537
0,542
0,000
37,885 0,000
0,372 0,394
Sumber: Data primer yang diolah, 2010
2. Uji t
Uji t untuk pengaruh SG terhadap P/E rasio pada analisis regresi sederhana
diperoleh nilai p-value sebesar 0,115. Dikarenakan p-value pada taraf signifikansi 5%
lebih besar dari pada 0,05, maka sales growth tidak berpengaruh signifikan terhadap P/E
rasio. Demikian juga pengaruh OIG terhadap P/E rasio serta pengaruh SG terhadap
EPSG, didapatkan bahwa nilai p-value keduanya lebih besar dari 0,05 yaitu sebesar 0,309
dan 0,542, sehingga OIG tidak berpengaruh signifikan terhadap P/E rasio dan SG juga
tidak berpengaruh signifikan terhadap EPSG.
Adapun untuk pengaruh EPSG terhadap P/E rasio diperoleh adanya pengaruh
yang signifikan, yaitu dengan nilai sebesar 0,033. Nilai ini berada di bawah angka 0,05
sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruh EPSG terhadap P/E rasio adalah signifikan.
Nilai p-value yang lebih kecil dari 0,05 juga didapatkan pada pengaruh SG terhadap OIG
dan pada pengaruh OIG terhadap EPSG dengan nilai p-value masing-masing sebesar
0,000.
3. Uji F
Uji F pada analisis regresi berganda pada persamaan SG, OIG, dan EPSG
terhadap P/E rasio tidak signifikan pada taraf signifikansi sebesar 5%, tetapi signifikan
pada taraf 10%. Nilai Fhitung diperoleh sebesar 2,598 dengan nilai p-value sebesar 0,06
sehingga SG, OIG, dan EPSG secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap P/E rasio
pada taraf 5% tetapi secara bersama-sama berpengaruh terhadap P/E rasio pada taraf
10%. Adapun untuk pengaruh SG dan OIG terhadap EPSG nilai F masing-masing
sebesar 37,885 dengan p-value sebesar 0,000. Sehingga didapatkan bahwa secara
bersama-sama SG dan OIG berpengaruh pada EPSG. Begitu pula halnya dengan model
pengaruh SG terhadap OIG yang diketahui nilai F-nya sebesar 9,924 dengan nilai
signifikansi 0,000.
4. Uji R2 (Koefisien Determinasi)
Hasil uji koefisien determinasi pada pengaruh SG, OIG dan EPSG terhadap P/E
rasio diperoleh nilai R2 sebesar 0,112. Pada model persamaan regresi pengaruh SG dan
OIG pada EPSG didapatkan nilai R2 sebesar 0,372 sedang pada pengaruh SG pada OIG
diperoleh nilai R2 sebesar 0,240. Hal ini menunjukkan bahwa 11,2% variasi dari P/E
rasio dapat dijelaskan oleh variabel SG, OIG dan EPSG. Kemudian 37,2 % variasi EPSG
dapat dijelaskan oleh SG dan OIG, serta 24 % variasi OIG dijelaskan oleh SG.
Sedangkan sisa pada persamaan pertama sebesar 88,8 %, 62,% pada persamaan kedua,
dan 76% pada persamaan ketiga dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
5. Analisis Jalur
Pengujian hipotesis kedua dengan Path Analysis. Berdasarkan hasil analisis, maka
diperoleh nilai koefisien beta yang dapat disusun sebagai berikut (lihat Lampiran 8):
Tabel 4.6
Pengujian Koefisien Path Analysis
Pengaruh Koefisien Beta Standardized Sig.
Persamaan Pertama
SG P/E rasio -0,242 0,115
OIG P/E rasio 0,172 0,309
EPSG P/E rasio -0,299 0,033*
Persamaan Kedua
SG EPSG -0,085 0,542
OIG EPSG 0,537 0,000*
Persamaan Kedua
SG OIG 0,610 0,000*
Keterangan: * = signifikan pada taraf 5% (p<0,05)
Berdasarkan hasil-hasil analisis regresi di atas, maka hasil path analysis dapat
dinterpretasikan dengan gambar sebagai berikut:
Gambar 3
Hasil Path Analysis
Berdasarkan gambar di atas, maka dapat ditabulasikan hubungan langsung dan
tidak langsung sebagai berikut:
Tabel 4.7
Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Path Analysis
Pengaruh
Langsung
Pengaruh Tidak Langsung
1. Pengaruh SG terhadap P/E
rasio
SG P/E rasio -0,242
SG OIG P/E rasio 0,610 x 0,172 = 0,105
SG EPSG P/E rasio -0,085 x -0,299 = 0,025
SG
OIG
EPSG
P/E -0,242 (sig. 0,115)
Ket : * signifikansi 5% diterima
0,610 (sig. 0,000)*
e1 = (1 – 0,240)2
= 0,578
e2 = (1 – 0,112)2
= 0,789
e3 = (1 – 0,372)2
= 0,394
-0,085 (sig. 0,542)
0,172 (sig. 0,309)
0,537 (sig. 0,000)*
-0,299 (sig. 0,033)*
SG OIG EPSG P/E
rasio
0,610 x 0,573 x -0,299 = -0,098
Total Pengaruh
-0,242 + 0,105 – 0,098 + 0,025=
-0,215
Tabel 4.7. Lanjutan
2. Pengaruh OIG terhadap
P/E rasio
OIG P/E rasio 0,172
OIG EPSG P/E rasio 0,573 x -0,299 = -0,161
Total Pengaruh 0,172 – 0,161 = 0,011
3. Pengaruh SG terhadap
EPSG
SG EPSG -0,085
SG OIG EPSG 0,610 x 0,537 = 0,328
Total Pengaruh -0,085 + 0,328 = 0,240
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa pengaruh SG terhadap P/E rasio melalui variabel
intervening OIG sebesar 0,105, dan tidak diterima pada taraf signifikansi 5% (p>0,05),
sehingga hipotesis ketuju (H7) dinyatakan ditolak atau pengaruh SG terhadap P/E rasio
tidak dimediasi oleh variabel OIG. Adapun nilai pengaruh SG terhadap PE dengan
melewati EPSG didapatkan sebesar 0,025 dan tidak signifikan pada taraf signifikansi 5%
(p>0,05), sehingga hipotesis kedelapan (H8) juga dinyatakan ditolak atau pengaruh SG
terhadap P/E rasio tidak dimediasi oleh variabel EPSG. Akan tetapi pengaruh tidak
langsung SG terhadap P/E rasio yang melalui variabel intervening OIG dan EPSG secara
beruntut memiliki nilai pengaruh sebesar -0,098 ternyata diterima pada taraf signifikansi
5% (p<0,05), sehingga hipotesis kesembilan (H9) dinyatakan diterima, yang berarti
bahwa pengaruh SG terhadap P/E rasio adalah pengaruh yang tidak langsung yang harus
melalui OIG dan EPSG secara beruntut terlebih dahulu.
Pengaruh OIG terhadap P/E rasio melalui variabel intervening EPSG sebesar -
0,161, diterima pada taraf signifikansi 5% (p<0,05). Maka hipotesis kesepuluh (H10)
dinyatakan juga diterima, atau pengaruh OIG terhadap P/E rasio dimediasi oleh EPSG.
Pengaruh SG terhadap EPSG melalui variabel intervening OIG sebesar 0,328, diterima
pada taraf signifikansi 5% (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh tidak
langsung SG terhadap EPSG adalah signifikan, sehingga hipotesis kesebelas (H11)
dinyatakan diterima, yaitu pengaruh SG terhadap EPSG dimediasi oleh OIG.
Semua pengaruh tidak langsung yang didapatkan di atas hampir semuanya
memiliki nilai pengaruh yang lebih kecil dari pada pengaruh langsungnya. Namun
demikian, signifikansi pengaruh tidak langsung ini adalah signifikan, sedangkan
pengaruh langsungnya tidak signifikan, sehingga hasil yang dapat disimpulkan dari
penelitian ini adalah pengaruh tidak langsung lebih diterima sebagai hasil penelitian dari
pada pangaruh langsungnya.
J. Pembahasan
H1 : Sales growth berpengaruh positif signifikan terhadap P/E rasio.
Hasil perhitungan regresi didapatkan bahwa nilai koefisien SG terhadap P/E rasio
sebesar -0,242 dengan signifikansi 0,115. karena nilai signifikasi lebih besar dari 0,05 dan
arah pengaruhnya negative maka ho diterima dan H1 ditolak, atau dengan kata lain SG tidak
berpengaruh positif signifikan terhadap P/E rasio. Temuan ini sesuai dengan penelitian
Kumar (2003) bahwa SG tidak berpengaruh secara signifikan terhadap P/E rasio.
H2 : Sales growth berpengaruh positif signifikan terhadap operating income growth.
Hasil perhitungan regresi didapatkan bahwa besarnya koefisien pengaruh SG
terhadap OIG sebesar 0,610 dengan signifikansi sebesar 0,000 diterima pada taraf
signifikansi 5% (p<0,05) dan berarah pengaruh positif, dengan demikian dapat diketahui
bahwa pengaruh SG terhadap OIG adalah positif dan signifikan, sehingga Ho ditolak dan H2
diterima. Hal ini sesuai dengan kajian Nissim dkk., (2002) yang menyebutkan bahwa
pertumbuhan operating income sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penjualan.
H3 : Sales growth berpengaruh positif signifikan terhadap earnings pershare growth.
Nilai koefisien SG terhadap EPSG adalah sebesar -0,085 dengan signifikansi sebesar
0,542. Karena signifikansi SG terhadap EPSG lebih besar dari 0,05 sehingga tidak diterima
pada taraf signifikansi 5% (p>0,05) dan berarah pengaruh negative maka pengaruh SG
terhadap EPSG adalah negatif tidak signifikan, sehingga H3 ditolak dan Ho diterima.
H4 : Operating income growth berpengaruh positif signifikan terhadap P/E rasio.
Dalam penelitian ini didapatkan bahwa pengaruh OIG terhadap P/E rasio adalah tidak
signifikan. Hal tersebut diketahui dari besarnya nilai signifikansi sebesar 0,309 yang lebih
besar dari 0,05 sehingga tidak diterima pada taraf signifikansi 5% (p>0,05). Adapun nilai
koefisiennya adalah sebesar 0,172 sehingga Ho diterima dan H4 ditolak atau OIG
berpengaruh positif tidak signifikan terhadap P/E rasio. Temuan ini ternyata tetap sama
dengan penelitian Kumar (2003) yang menyebutkan bahwa OIG tidak berpengaruh secara
individu terhadap P/E rasio.
H5 : Operating income growth berpengaruh positif signifikan terhadap Earning PerShare
Growth.
Nilai koefisien OIG terhadap EPSG adalah sebesar 0,537 dengan signifikansi sebesar
0,000. Karena signifikansi OIG terhadap EPSG jauh lebih kecil dari 0,05 sehingga diterima
pada taraf signifikansi 5% (p<0,05), maka pengaruh OIG terhadap EPSG adalah positif dan
signifikan, sehingga Ho ditolak dan H5 diterima. Hasil ini sesuai dengan penelitian Nissim
dkk., (2002) yang menyebutkan bahwa peningkatan operating income berpengaruh terhadap
peningkatan earning pershare.
H6 : Earning pershare growth berpengaruh positif signifikan terhadap P/E rasio.
Dari hasil perhitungan regresi didapatkan nilai koefisien pengaruh EPSG terhadap
P/E rasio sebesar -0,299 dengan signifikansi sebesar 0,033 karena nilai signifikansi lebih
kecil dari 0,05 sehingga diterima pada taraf signifikansi 5% (p<0,05) dan pengaruhnya
negative maka Ho diterima dan H6 ditolak atau pengaruh EPSG terhadap P/E rasio adalah
negatif signifikan. Temuan ini sesuai dengan penelitian Penman dkk. (2003) dan Bajaj dkk
(2005), bahwa pengaruh EPSG terhadap P/E rasio adalah negatif signifikan.
H7 : Pengaruh sales growth terhadap P/E rasio dimediasi oleh operating income growth.
Koefisien standarized beta menunjukan bahwa pengaruh langsung SG terhadap P/E
rasio sebesar -0,242. Sedang pengaruh tidak langsung SG terhadap P/E rasio dengan
melewati OIG adalah sebesar 0,105 hasil ini didapatkan dari perkalian standarised beta SG
terhadap OIG sebesar 0,61 dengan standarized beta OIG terhadap P/E rasio sebesar 0,172.
Karena signifikansi pengaruh OIG terhadap P/E rasio sebesar 0,309, sehingga tidak diterima
pada taraf signifikansi 5% (p>0,05) maka pengaruh tidak langsung SG terhadap P/E rasio
dengan melewati OIG tidak signifikan, dengan demikian maka Ho diterima dan H7 ditolak,
atau pengaruh SG terhadap P/E rasio tidak dimediasi oleh OIG.
H8 : Pengaruh sales growth terhadap P/E rasio dimediasi oleh earning pershare growth.
Pengaruh secara langsung SG terhadap P/E rasio ditunjukkan oleh nilai standarized
beta sebesar -0,242. Adapun nilai pengaruh SG terhadap P/E rasio dengan melewati EPSG
didapatkan sebesar 0,025. Nilai pengaruh tidak langsung ini didapatkan dari perkalian
standarised beta SG terhadap EPSG sebesar -0,085 dengan standarized beta EPSG terhadap
P/E rasio sebesar -0,299. Karena signifikansi pengaruh SG terhadap EPSG sebesar 0,542,
sehingga tidak diterima pada taraf signifikansi 5% (p>0,05) maka pengaruh tidak langsung
SG terhadap P/E rasio dengan melewati EPSG tidak signifikan, sehingga hipotesis kedelapan
(H8) dinyatakan ditolak atau pengaruh SG terhadap P/E rasio tidak dimediasi oleh variabel
EPSG.
H9 : Pengaruh sales growth terhadap P/E rasio dimediasi oleh operating income growth dan
earning pershare growth.
Pengaruh secara langsung SG terhadap P/E rasio ditunjukkan oleh nilai standarized
beta sebesar -0,242. Adapun pengaruh tidak langsung SG terhadap P/E rasio dengan
melewati OIG dan EPSG secara beruntun sebesar -0,098. Hasil pengaruh tidak langsung ini
didapatkan dari perkalian standarised beta SG terhadap OIG sebesar 0,610 dengan
standarized beta OIG terhadap EPSG sebesar 0,537 dan standarized beta EPSG terhadap P/E
rasio sebesar -0,299. Signifikansi dari ketiga pengaruh yaitu pengaruh SG terhadap OIG,
OIG terhadap EPSG, dan EPSG terhadap P/E semuanya adalah signifikan karena berada di
bawah angka 0,05 sehingga diterima pada taraf signifikansi 5% (p<0,05), sehingga pengaruh
tidak langsung SG terhadap P/E rasio dengan melewati OIG dan EPSG secara beruntun ini
adalah signifikan. Dengan demikian maka Ho ditolak dan H9 diterima, atau pengaruh SG
terhadap P/E rasio ini dimediasi oleh OIG dan EPSG.
H10 : Pengaruh operating income growth terhadap P/E rasio dimediasi oleh earning pershare
growth.
Koefisien standarized beta menunjukan hasil bahwa pengaruh langsung OIG terhadap
P/E rasio adalah sebesar 0,172. Sedang pengaruh tidak langsung OIG terhadap P/E rasio
dengan melewati EPSG adalah sebesar -0,161. Hasil ini didapatkan dari perkalian standarised
beta OIG terhadap EPSG sebesar 0,537 dengan standarized beta EPSG terhadap P/E rasio
sebesar -0,299. Karena signifikansi pengaruh OIG terhadap EPSG dan pengaruh EPSG
terhadap P/E adalah signifikan pada taraf signifikansi 5% (p<0,05), sehingga pengaruh tidak
langsung OIG terhadap P/E dengan melewati EPSG pun signifikan, maka dengan demikian
maka Ho ditolak dan H10 diterima, atau pengaruh OIG terhadap P/E rasio ini dimediasi oleh
EPSG.
H11 : Pengaruh sales growth terhadap earning pershare growth dimediasi oleh operating
income growth.
Koefisien beta pengaruh SG terhadap EPSG melalui variabel intervening OIG sebesar
0,328, diterima pada taraf signifikansi 5% (p<0,05). Nilai ini didapatkan dari perkalian
standarised beta SG terhadap OIG sebesar 0,610 dengan standarized beta OIG terhadap
EPSG sebesar 0,537. Nilai koefisien pengaruh langsung SG terhadap EPSG adalah sebesar -
0,085. Adapun nilai pengaruh tidak langsung SG terhadap EPSG melalui OIG sebagai
variabel intervening sebesar 0,328, sehingga hipotesis kesebelas (H11) dinyatakan diterima
atau pengaruh SG terhadap EPSG memang benar dimediasi oleh OIG.
Temuan di atas juga memberikan informasi bahwa investor BEI dalam berinvestasi
saham ternyata juga mempertimbangkan akan adanya fenomena pelaksanaan pembukuan dengan
metoda conservative accounting. Ini dibuktikan dengan pengaruh negatif EPSG terhadap P/E
rasio dengan tingkat signifikansi tinggi, yaitu sebesar 0,033. Angka ini menunjukkan bahwa
dalam seratus kejadian, pengaruh EPSG terhadap P/E rasio sebanyak 96,7%-nya mempunyai
arah pengaruh negatif dan hanya 3,3% kejadian saja yang memiliki arah pengaruh berbeda
terhadap P/E rasio. Naiknya EPSG sebesar satu kali akan menyebabkan penurunan P/E rasio
sebesar 0,299 kali. Dengan demikian selama tahun 2006-2009, di BEI didapatkan bahwa investor
cenderung merespon negatif terhadap adanya peningkatan EPS, yang ditandai dengan penurunan
nilai P/E rasionya. Respon ini mungkin sebagai bentuk dari adanya indikasi kurang
berkualitasnya laporan earnings perusahaan yang listing di BEI, atau mungkin sebagai bentuk
berjaga-jaga terhadap penurunan earning kedepan sebagai upaya untuk menyikapi adanya efek
negatif dari persaingan dagang atau penurunan kondisi makro perekonomian serta industri
attractiveness perusahaan bersangkutan. Sebaliknya, penurunan EPSG akan menjadi indikasi
adanya earning reserve, yaitu earning sesungguhya lebih besar dari pada earning yang
dilaporkan, yang selanjutnya hal ini akan direspon positif oleh pasar yaitu dengan naiknya P/E
rasio (Penman dkk, 2002).
Selanjutnya dalam penelitian ini diketahui pula bahwa hasil pengaruh SG terhadap OIG,
pengaruh OIG terhadap EPSG adalah positif signifikan, maupun pengaruh EPSG terhadap P/E
rasio yang negatif signifikan, serta didapatkan pula bahwa pengaruh SG terhadap EPSG yang
ternyata dimediasi oleh OIG dan pengaruh OIG terhadap P/E rasio yang juga dimediasi oleh
EPSG, serta pengaruh SG terhadap P/E rasio yang juga dimediasi oleh OIG dan EPSG secara
beruntutan dan tidak secara sendiri-sendiri, ini menunjukkan bahwa para investor dalam
melakukan penilaian saham ternyata berfikir berdasarkan accounting-based valuation. Harga
saham akan naik jikalau kinerja operasional perusahaan membaik, dan sebaliknya, harga saham
akan turun jika kinerja operasional perusahaan juga mengalami penurunan.
Adapun pengaruh OIG yang bernilai positif sendiri dibandingkan nilai SG dan EPSG
terhadap P/E rasio yang semuanya negatif, dan meskipun pengaruh ini tidak signifikan, tetapi ini
mengindikasikan bahwa investor BEI menilai perusahaan yang listing berdasarkan pada kajian
kegiatan operasional, yaitu dari adanya peningkatan operating income. Perusahaan yang
menghasilkan pertumbuhan income akan dihargai pasar lebih tinggi dari pada perusahaan yang
income-nya tidak bertumbuh. Hal ini tercermin pada peningkatan OIG setiap satu kali akan
memberi efek peningkatan pada P/E rasio sebesar 0,172 kalinya.
Pembahasan pada paragrap di atas menunjukkan bahwa investor BEI berfikir berdasarkan
accounting-based valuation. Namun dilain hal, jika pengaruh positif OIG terhadap P/E rasio
diatas dibahas berdasarkan pendekatan conservative accounting, maka hasil penelitian ini sekilas
akan nampak bertentangan dengan teori. Conservative accounting akan menyebabkan profit
turun dan menghasilkan naiknya P/E rasio, bukan menurunkan P/E rasio akibat penurunan profit.
Akan tetapi, jika dilihat kembali bahwasannya operating income bukanlah net income, maka
hasil ini akan sesuai dengan teori. Untuk mendapatkan net income, operating income harus
dikurangi terlebih dahulu dengan biaya selain harga pokok penjulan (HPP) seperti biaya
depresiasi, amortirisasi, pemasaran dan yang sejenisnya. Setelah itupun, operating income harus
dikurangi lagi dengan interest dan pajak, centeris paribus barulah didapatkan net income (jika
struktur biaya atau pendapatan yang lain tidak ada dan konstan). Di sisi lain, diketahui bahwa
bentuk conservative accounting antara lain adalah pembukuan depresiasi yang agresif, atau
dibukukannya biaya pemasaran atau R&D yang lebih besar dari pada nilai sebenarnya, yang
selanjutnya semua itu akan menyebabkan net income dan eps menjadi kecil serta memberikan
hasil ahir dengan naiknya P/E rasio. Dengan demikian jika dalam mendapatkan net income,
tingginya operating income harus dikurangi terlebih dahulu dengan pengeluaran dan biaya
berdasarkan metode conservative accounting, maka centeris paribus net income serta eps akan
menjadi mengecil, dan dengan harga perlembar saham yang sama maka P/E rasio akan tinggi.
Dengan demikian maka naiknya OIG dalam conservative accounting tidaklah selalu
menyebabkan P/E rasio turun akan tetapi bisa jadi malah menyebabkan P/E rasio naik, sebagai
respon investor akan bukti kemampuan manajemen dalam mencetak laba dan juga sebagai
bentuk antisipasi pasar akan tingginya expected return kedepan. Dengan kalimat yang lain,
ternyata selain berfikir berdasarkan accounting-based valuation investor di BEI juga berfikir
berdasarkan pelaksanaan conservative accounting.
Pengaruh tidak langsung dan pengaruh langsung SG terhadap P/E rasio dalam penelitian
ini didapati berarah negatif. Ini menjadi suatu hasil yang cukup membingungkan. Pengaruh
negatif EPSG terhadap P/E rasio dapat dijelaskan oleh fenomena conservative accounting,
demikian juga pengaruh positif OIG terhadap P/E rasio yang dapat dijelaskan sebagai indikasi
bahwa investor BEI dalam melakukan penilaian saham berfikir berdasarkan basis penilaian
akuntansi (accounting-based valuations), akan tetapi pengaruh negatif SG terhadap P/E rasio ini
berbeda dari pandangan teori. Dalam teori disebutkan bahwa karena adanya conservative
accounting, earning perusahaan akan menurun, penurunan earning ini akan direspon positif oleh
pasar dengan naiknya P/E rasio, akan tetapi ini dapat terjadi jika investasi operasional asset
mengalami peningkatan, dan peningkatan investasi ini dapat dilihat hasilnya dari peningkatan
tingkat penjualan (Penman dkk, 2002). Akan tetapi jika dilihat lebih lanjut, ternyata hasil
penelitian pengaruh negatif peningkatan SG terhadap P/E rasio ini sebenarnya juga tidaklah
bertentangan dengan teori yang ada. Oleh investor, mungkin peningkatan SG ini dipandang
belum mengindikasikan kemampuan sesungguhnya perusahaan dalam menghasilkan return,
kemampuan ini perlu dibuktikan dahulu dengan terwujudnya peningkatan hasil ahir laba
operasional, yaitu peningkatan operating income. Jika peningkatan operating income positif
maka investor baru percaya bahwa perusahaan benar-benar mampu menjeneralisir return dengan
baik, sehingga alasan ini sangat sesuai dengan hasil lain dari penelitian ini, yaitu diketahui
adanya pengaruh positif OIG terhadap P/E rasio, serta mengindikasikan bahwa hasil yang
didapat tidak bertentangan dengan teori accounting-based valuation maupun conservative
accounting.
Penman (2007) mengatakan bahwa… “conservative accounting reduce profit, and
result in higher p/e ratio... not always...only if, investment is growing.” penelitian ini pun sesuai
dengan pernyataan ini. Pengaruh positif OIG terhadap P/E rasio yang selanjutnya diikuti oleh
pengaruh negatif dari EPSG terhadap P/E rasio, mengindikasikan bahwa operating income yang
naik akan menyebabkan P/E rasio naik, tetapi karena adanya requirement investasi untuk
pertumbuhan perusahaan maka operating income ini akan menyusut jumlahnya sehingga net
income dan EPSG akan turun. Turunnya EPSG ini kemudian akan direspon positif oleh pasar
dengan naiknya P/E rasio sebagai bentuk adanya indikasi pertumbuhan investasi. Jadi meskipun
hasil penelitian ini dalam beberapa variabel pengaruh yang didapatkan kurang signifikan, namun
hasil penelitian ini adalah sesuai dengan literatur penilaian perusahaan, baik berdasarkan
accounting based valuation maupun berdasarkan pendekatan karena adanya praktek conservative
accounting. Hal ini ditandai dengan diketahuinya adanya signifikansi pengaruh tidak langsung
SG terhadap P/E rasio dengan melewati OIG dan EPSG dahulu secara beruntut dengan tingkat
signifikansi yang tinggi, serta signifikansi pengaruh tidak langsung OIG terhadap P/E rasio
dengan melewati EPSG. Hal ini juga menandakan bahwa hasil penelitian ini benar-benar sesuai
dengan teori akuntansi, rumusan permasalahan, judul, harapan, serta dugaan jawaban
permasalahan yang ada, bahwa pengaruh SG terhadap P/E rasio adalah pengaruh tidak langsung
yang harus melewati OIG dan EPSG terlebih dahulu.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian, analisis data, dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil analisis path menunjukkan bahwa pengaruh sales growth (SG) terhadap price
earning rasio (P/E rasio) tidak dimediasi oleh operating income growth (OIG) atau oleh
earning per share growth (EPSG), akan tetapi dimediasi oleh keduanya secara bersama-
sama dan beruntun.
2. Karena hasil analisi path menunjukan bahwa pengaruh SG terhadap P/E rasio ternyata
dimediasi oleh OIG dan EPSG secara bersama-sama dan beruntut maka otomatis
pengaruh OIG terhadap P/E rasio juga dimediasi oleh EPSG, demikian juga pengaruh SG
terhadap EPSG yang juga dimediasi oleh OIG. Hal ini menunjukkan bahwa hasil
penelitian ini memiliki tingkat keberhasilan tinggi.
3. Hasil analisis regresi, didapatkan bahwa pengaruh SG terhadap OIG, pengaruh OIG
terhadap EPSG, dan pengaruh tidak langsung SG terhadap EPSG adalah positif dan
signifikan. Hasil ini mengindikasikan bahwa hasil penelitian sesuai dengan accounting-
based valuation.
4. Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa pengaruh EPSG terhadap P/E rasio adalah
signifikan dan memiliki arah pengaruh negatif. Hal ini menunjukkan bahwa investor BEI
dalam melakukan penilaian saham didasari pada pertimbangan akan adanya praktik
conservative accounting. Praktik conservative accounting akan menyebabkan penurunan
earning, yang selanjutnya akan menyebabkan P/E rasio naik. Naiknya P/E rasio akibat
praktik conservative accounting ini dipercaya sebagai representasi dari adanya “earning
hidden reserve” dan sebagai respon akan baiknya kualitas laporan keuangan. Sebaliknya,
naiknya EPSG akan menurunkan P/E rasio, hal ini dipercaya sebagai respon dari
buruknya kualitas laporan keuangan.
B. Keterbatasan
Penelitian ini dirancang dan dilaksanakan sebaik-baiknya, namun masih terdapat
beberapa keterbatasan, antara lain :
1. Sampel penelitian terbatas hanya pada perusahaan yang mengalami laba positif dengan
tahun yang terbatas pula yaitu 2006-2009, sehingga jumlah sampel hanya sedikit.
2. Variabel independen yang diteliti hanya sales growth, operating income growth, dan
earning pershare growth, sedangkan masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi P/E
rasio, misalnya net operating assets growth, growth in RNOA, ataupun residual earning
growth.
3. Berdasarkan kajian accounting-based valuation hasil yang didapatkan dapat dijelaskan
dengan baik, akan tetapi kinerja perusahaan ada baiknya juga jika dilihat lebih lanjut lagi
berdasarkan sudut pandang struktur industri dan industry attractiveness-nya.
C. Saran
Berdasarkan kajian accounting-based valuation hasil yang didapatkan dapat dijelaskan
dengan baik, akan tetapi kinerja perusahaan ada baiknya juga jika dilihat lebih lanjut lagi
berdasarkan sudut pandang struktur industri dan industry attractiveness-nya.
1. Penelitian ini sebenarnya sangat terkait dengan pertumbuhan investasi dalam net
operating assets, sehingga akan sangat membantu sekali jika dalam penelitian
selanjutnya variabel tersebut dimasukkan sebagai variabel independent dari determinan
pertumbuhan perusahaan dan P/E rasio.
2. Dalam menganalisa tingkat pertumbuhan earning perusahaan, RNOA adalah salah satu
variabel pengukurnya, sehingga sebaiknya juga dimasukkan sebagai variabel independen
dalam penelitian berikutnya.
3. Selain menambah variabel independen, penelitian selanjutnya hendaknya juga
memberikan pembahasan lebih lanjut lagi dengan cara mensinkronkan tingkat
pertumbuhan perusahaan dengan struktur industri dan industry attractiveness yang ada,
sehingga hasil yang didapatkan tidak bias dan lebih dapat diaplikasikan lagi.
4. Untuk penelitan sejenis selanjutnya diharapkan menggunakan sampel yang lebih besar
lagi jumlahnya, baik dari segi luasnya sumber maupun dari runtut waktunya. Dengan
demikian diharapkan hasil penelitian yang lebih valid akan didapatkan.
D. Implikasi Manajerial
Meskipun hasil yang didapatkan masih dipenuhi dengan keterbatasan, namun hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa data yang diperoleh di pasar adalah sesuai dan dapat
digunakan untuk memahami fenomena yang ada dipasar saham itu sendiri, terkait dengan
laporan keuangan, dengan kajian literatur, maupun intuisi. Hal ini sebenarnya telah
memberikan informasi yang lebih jelas lagi baik bagi praktisi maupun akademisi dalam
memahami fenomena earnings reverse, accounting based valuation, maupun conservative
accounting. Dengan demikian dengan memahami perilaku dan perubahan dari sales growth,
operating income growth, dan earning per share growth pada P/E rasio maka akan lebih
mudah lagi bagi para fund manajer, ataupun para investor untuk pengambilan keputusan
dalam investasi saham, terkait hold, buy or sell.
1. Jika SG naik, OIG naik sedangkan EPSG turun dan P/E rasio turun maka ini adalah
indikasi undervalue, maka saham tersebut sebaiknya dibeli.
2. Jika SG naik, OIG naik, EPSG turun dan P/E rasio naik, ini adalah pertanda hold.
3. Selanjutnya jika SG turun, OIG turun, EPSG naik, dan P/E rasio naik ataupun turun maka
ini adalah pertanda overvalue, dan sebaikya sell.
Sales growth yang naik mengindikasikan bahwa pasar telah tumbuh. Pertumbuhan
penjualan yang positif yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan operating income, ini
mengindikasikan bahwa pengelolaan core bisnis telah dilakukan dengan baik oleh pihak
manajemen, sehingga kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba juga berada pada
kategori yang baik pula. Jika SG dan OIG naik sedang EPSG turun dengan asumsi bahwa
peningkatan cost dan expense normal, maka secara implisit hal ini menunjukkan telah terjadi
adanya penambahan investasi yang besar pada aset.
Driver RNOA (Nissim dkk, 2001) adalah pertumbuhan penjualan (SG) dan penambahan
investasi. Dengan demikian, adanya penambahan investasi aset operasional akan
mengakibatkan RNOA kedepan menjadi lebih besar dan akan mengakibatkan adanya
pertumbuhan perusahaan, sehingga dengan adanya penambahan investasi ini nilai perusahaan
akan menjadi lebih tinggi. Jika peningkatan investasi ini tidak diikuti oleh kenaikan P/E
rasio, ini mengindikasikan bahwa pasar saham perusahaan bersangkutan adalah undervalue.
Implikasi manajerial di atas meskipun sangat dapat diaplikasikan, namun
sebaiknya juga diikuti dengan pemahaman akan industry attractiveness dan struktur industri
yang baik pada saham perusahaan yang bersangkutan. Jikalau rata-rata perusahaan dalam
satu industri mengalami kenaikan tingkat pertumbuhannya dan perusahaan yang dianalisis
mengalami kemunduran maka dapat diketahui bahwa perusahaan tersebut harus dimasukan
dalam daftar gawat darurat, dan sebaiknya sahamnya jangan dibeli karena bisa jadi akan
mengalami default, apalagi jika perombakan Corporate Goverment pada perusahaan
bersangkutan tidak dilakukan dengan baik, maka kemungkinan pailit akan semakin besar.
Sebaliknya, jika dalam satu industri, rata-rata perusahaan mengalami penurunan dan
perusahaan yang diamati bertumbuh, maka kemungkinan besar sedang terjadi perubahan
struktur industri yang bersangkutan menjadi berbentuk monopoli, sehingga perusahaan
bersangkutan berperan sebagai market leader serta berprospek besar kedepan, atau bahkan
sebaliknya, penurunan kinerja perusahaan-perusahaan dalam satu industri tersebut mungkin
mengindikasikan adanya industri atractivenes yang jelek, maka hal ini perlu ditindak lanjuti
lebih dahulu sebelum investor melakukan keputusan beli atau jual. Demikian beberapa
implikasi manajerial yang dapat digunakan, serta menjadi suatu permasalahan tersendiri yang
perlu diteliti untuk penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bajaj, Mukesh., Denis, David J., dan Sarin, Atulya. 2004. Mean Reversion in Earnings and
the Use of E/P Multiples in Corporate Valuation. Journal of Applied Finance. Spring
2004; 14, 1. pg. 4.
Chan, Ann L.-C., Lin, Stephen W.J. dan Strong, Norman. 2009. Accounting Conservatism
and The Cost of Equity Capital: UK Evidence. Managerial Finance Vol. 35 No. 4,
2009 pp. 325-345
Ghozali, Imam. 2001, Aplikasi Analisis Multivariate dengan SPSS. BP UNDIP: Semarang.
Gujarati. 1995. Ekonometrika Dasar. Erlangga: Jakarta.
Lee, Charles M. C. 1999. Commentary: Accounting-Based Valuation: impact on Business
Practices and Research. Accounting Horizons Vol. 13 No. 4 December 1999. pp. 413-
425.
Brigham, Eugene F and Daves, Phillip R., 2004. Intermediate Financial Management, Eight
Edition. South-Western: Ohio.
Kumar, SSS. 2003. Some Refinements to the Stock Valuation Models Based on Accounting
Variables. South Asian Journal of Management. Vol. 10. no. 2. Apr-jun.
Nugroho, Bhuono Agung. 2005. Strategi Jitu: Memilih Metode Statistik Penelitian dengan
SPSS. Andi Offset: Yogyakarta.
Ohlson, James A. and Juettner-Nauroth, Beate E. 2005. Expected EPS and EPS Growth as
Determinants of Value. Review of Accounting Studies, 10, 349–365, 2005.
Ohmae, Kenichi. 2005. The Next Global Stage: Tantangan dan Peluang di Dunia yang Tidak
Mengenal Batas Kewilayahan. PT Indeks Kelompok Gramedia: Jakarta.
Nissim, Doron. Dan Penman, Stephen H. 2001. Ratio Analysis and Equity Valuation: From
Research to Practice. Review of Accounting Studies; Mar 2001; 6, 1; pg. 109.
Pari, Robert., Carvell, Steven., dan Sullivan, Timothy. 1989. Analyst Forecasts And
Price/Earnings Ratios. Financial Analysts Journal; Mar/Apr 1989; 45, 2. pg. 60
Penman, Stephen H. 2007. Financial Statement Analysis and Security Valuation. Third
edition, International edition. Mcgraw Hill Companies, inc.: New York.
Penman, Stephen H. 2005. Discussion of „„On Accounting-Based Valuation Formulae‟‟ and
„„Expected EPS and EPS Growth as Determinants of Value‟‟. Review of Accounting
Studies, 10, 367–378,
Penman, Stephen H., and Zhang, Xiao-Jun. 2002. Accounting conservatism, the quality of
earnings, and stock returns. The Accounting Review; Apr 2002; 77, 2;pg. 237.
Santoso, Singgih. 2001. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik, Cetakan Kedua. Elex
Media Komputindo: Jakarta.
Shirvani, Hassan., dan Wilbratte, Barry. 2003. Valuation Ratios As Stock Market Predictors.
The Journal of Applied Business Research Volume 19, Number 3.
Stathoulis, M Ward. 1994. An Analysis of Price/Earnings Ratio of the Industrial Sector of
the JSE. Investment Analysts Journal. No. 38 summer 1993/1994.