Download - PRESUS MATA.docx
Definisi
Ruptur bulbi didefinisikan sebagai putusnya integritas dari membran luar mata; dalam kondisi akut, cedera yang mengenai seluruh lapis kornea atau sklera juga termasuk dalam cedera bulbi terbuka (Doyle, 2009).
Etiologi
1. Cedera tumpul pada kecelakan kendaraan bermotor, olahraga, atau trauma lain.2. Penetrasi atau perforasi bulbi, akibat luka tembak dan tusuk, kecelakaan pada tempat
kerja, dan kecelakaan lain yang melibatkan proyektil atau benda tajam.
(Acerra, 2012)
Patofisiologi
Ruptur bulbi dapat terjadi ketika suatu benda tumpul membentur orbita, menekan bulbi pada aksis anterior-posterior yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler pada sebuah titik dimana sclera dapat menjadi robek. Ruptur dari trauma tumpul sering terjadi pada tempat dimana sclera mempunyai lapisan paling tipis, pada insersi musculus ekstraokuler, pada limbus, dan pada tempat dimana sebelumnya pernah dilakukan tindakan bedah intraokuler. Benda tajam atau benda tertentu yang membentur bulbi dengan kecepatan tinggi dapat langsung membuat perforasi bulbi. Benda asing berukuran kecil dapat menembus bulbi, dan tertinggal didalam bulbi. Kemungkinan ruptur bulbi perlu dipertimbangkan dan diperhatikan selama pemeriksaan pada semua jenis trauma orbita tumpul dan tembus, juga pada kasus yang melibatkan proyektil berkecepatan tinggi yang kemungkinan menimbulkan penetrasi okuler (Acerra, 2012).
Diagnosis
Gejala Klinis
1. Nyeri mata yang hebat2. Penurunan ketajaman penglihatan3. Keluar cairan atau darah dari mata4. Riwayat trauma, jatuh, atau adanya benda asing yang masuk kedalam bulbi.
(Gerstenblith dan Rabinowitz, 2012; Schueler et al., 2011)
Gejala lainnya dari ruptur bulbi:
1. Nyeri wajah2. Pembengkakan wajah, di sekitar mata3. Mata yang memar4. Penglihatan ganda, ketika melihat keatas5. Pupil abnormal6. Gejala hifema; perdarahan di dalam mata, darah menutup pupil7. Mata merah; perdarahan menutup conjunctiva bulbi
(Schueler et al., 2011).
Pemeriksaan Fisik
1. Laserasi seluruh lapisan sklera atau kornea, subconjunctiva hemoragik berat (terutama seluruh conjunctiva bulbi), COA yang dalam atau dangkal jika dibandingkan dengan mata kontralateral, pupil yang runcing atau ireguler, iris TIDs, material lensa maupun vitreous di COA, benda asing atau katarak pada lensa, atau keterbatasan gerakan ekstraokuler. Isi intraiokuler dapat berada di luar bulbi.
2. Tekanan intraokuler yang rendah (walaupun dapat pula normal atau meningkat, tapi jarang(, iridodyalisis, hifema, ekimosis periorbital, vitreous hemoragik, dislokasi atau subluksasi lensa, dan TON. Commotio retinae, ruptur koroid, dan putusnya retina dapat dijumpai namun sering disamarkan oleh vitreous hemoragik (Gerstenblith dan Rabinowitz, 2012)
Jika ruptur bagian anterior, dapat mudah dikenali dengan COA yang dangkal atau mendatar dan pupil umumnya berpindah kearah lokasi penetrasi. Pembengkakan dan kekeruhan lensa dapat timbul (katarak traumatik), perdarahan pada COA (hifema) dan badan vitreous (vitreous hemoragik) dapat timbul. Hipotonus dari bulbi akan timbul pada ruptur bulbi. Pada ruptur bulbi posterior, hanya tanda tidak langsung yang akan muncul, seperti tekanan intaokuler yang rendah, dan asimetri kedalaman COA (John, 2011).
Pemeriksaan
Langkah pemeriksaan fisik:
1. Terkadang diagnosis ruptur bulbi jelas. Mata terlihat tidak beraturan dengan jaringan uvea prolaps keluar kearah anterior dari luka skleral atau korneal. Terkadang, benda asing masih dapat ditemukan ketika pasien datang ke IGD.
2. Ruptur bulbi sering sulit dilihat hanya dengan mata. Lokasi tempat ruptur sering terjadi tidak mudah dilihat, dan adanya cedera superfisial lain dapat menghalangi pemeriksaan segmen posterior. Benda asing yang sangat kecil dapat masuk ke dalam mata melalui luka kecil yang sulit untuk divisualisasikan.
3. Pemeriksaan pada mata yang cedera sebaiknya dilakukan secara sistematis dengan tujuan mengidentifikasi dan melindungi bulbi yang ruptur.
4. Penting untuk menghindari tekanan pada bulbi yang ruptur untuk menghindari adanya pengeluaran isi intraokuler dan menghindari kerusakan lebih lanjut.
5. Pada anak yang sulit dilakukan pemeriksaan, dapat dilakukan dengan sedasi.
Ketajaman Penglihatan dan Gerakan Mata
1. Visus sebaiknya diperiksa pada kedua mata, baik yang terkena cedera maupun yang tidak. Dapat dipermudah dengan menghitung jari atau hanya dapat mengenali persepsi cahaya.
2. Gerakan ekstraokuler sebaiknya diperiksa untuk mengetahui apakah terdapat fraktur dasar orbita.
Orbit
1. Orbita sebaiknya diperiksa, untuk mencari adanya deformitas tulang, benda asing, dan perpindahan bulbi.
Fraktur tepi orbita dapat dipalpasi, dan memperkuat dugaan adanya ruptur bulbi Krepitus orbita menandakan adanya subcutaneous emfisema dari fraktur sinus
yang berhubungan Benda asing dalam orbita yang menusuk atau melubangi bulbi sebaiknya
dibiarkan sampai dilakukan operasi. Ruptur bulbi dapat disertai dengan enoftalmos Retrobulbar hemoragik yang timbul juga dapat menyebabkan eksoftalmos, bahkan
ruptur sklera yang tidak terlihat.
(Acerra, 2012).
Palpebra
1. Cedera palpebra dan lakrimal sebaiknya diperiksa dengan tujuan mengidentifikasi dan melindungi cedera bulbi dalam yang mungkin terjadi.
2. Bahkan laserasi kecil pada palpebra dapat memunculkan perforasi bulbi yang mengganggu penglihatan.
3. Repair palpebra sebaiknya tidak dilakukan hingga telah ditegakkan ruptur bulbi.
Conjunctiva
1. Laserasi conjunctiva dapat menunjukkan cedera sklera lain yang lebih serius.2. Hemoragik conjunctiva berat dapat menandakan ruptur bulbi.
Kornea dan sklera
1. Laserasi pada semua lapis kornea atau sklera yang terdapat perforasi bulbi terbuka, sebaiknya dilakukan di ruang operasi
2. Prolaps iris melalui laserasi semua lapis kornea dapat terlihat sebagai warna yang berbeda pada lokasi cedera.
3. Sklera yang melipat merupakan tanda ruptur dengan ekstrusi isi okuler.4. Tekanan intraokuler biasanya rendah, tetapi pengukuran TIO merupakan
kontraindikasi, untuk menghindari tekanan pada bulbi.5. Luka kornea yang halus mungkin memerlukan pewarna flourescent. Pada laserasi
semua lapisan, dengan aliran aquaeous dari COA, aliran yang terpisah jelas dengan pewarna flourescent warna kuning terlihat melalui iluminasi dengan lampu Wood (Seidel test positif)
Pupil
1. Pupil sebaiknya diperiksa bentuk, ukuran, refleks cahaya, dan defek pupil aferen.2. Pupil yang berbentuk meruncing, bentuk air (teardrop) atau bentuk ireguler dapat
menandakan adanya ruptur bulbi.
COA
1. Pemeriksaan slitlamp dapat menunjukkan cedera yang berkaitan, seperti defek transiluminasi iris (red reflex yang dapat dikaburkan oleh vitreous hemoragik); laserasi kornea; prolaps iris; hifema dari kerusakan badan silier, dan cedera lensa, termasuk dislokasi atau subluksasi.
2. COA yang dangkal dapat menjadi satu-satunya tanda pada ruptur bulbi yang tidak terlihat, yang dihubungkan dengan prognosis yang buruk. Ruptur posterior dapat muncul dengan COA yang lebih dalam karena ekstrusi vitreous humor dari segmen posterior.
Temuan lain
1. Vitreous hemoragik setelah trauma menandakan adanya robekan retina atau koroid, nervus optik, atau benda asing.
2. Robekan, edema, ablasio dan hemoragik retina dapat menyertai ruptur bulbi.
(Acerra, 2012).
Terapi
1. Pemberian antibiotik spektrum luas parenteral untuk mengurangi risiko endoftalmitis.2. Pemberian alat pelindung pada mata untuk menghindari trauma dan tekanan lebih
lanjut3. Jika pasien belum menerima imunisasi tetanus dalam 5 tahun terakhir, perlu diberi
imunisasi tetanus.4. Tindakan bedah, jika persepsi cahaya pasien nol (0) dan temuan yang ada mengarah
pada trauma okuler ekstrim (misalnya ruptur korioretinal ekstensif, posterior, atau multipel dengan kelainan yang mengancam integritas bulbi, enukleasi primer perlu dipertimbangkan.
5. Pada kasus dengan benda asing yang masih terdapat dalam bulbi, langkah yang umumnya dilakukan adalah penutupan primer dari laserasi korneoskleral. Hal ini dilakukan dengan mengabaikan adanya vitreous hemoragik berat, ablasio retina, atau disrupsi kapsul lensa. Tindakan bedah termasuk penutupan bagian kornea yang ruptur.
(Smiddy, 2002).
Daftar Pustaka
Acerra J.R. 2012. Globe Rupture. http://emedicine.medscape.com/article/798223-overview#a0104
Acerra J.R. 2012. Globe Rupture Clinical Presentation. http://emedicine.medscape.com/article/798223-clinical#a0217
Doyle J. 2009. Patient options after a ruptured globe in Journal of Ophthalmic Medical Technology Vol 5 Number 2 August 2009.
Gerstenblith A.T dan Rabinowitz M.P. 2012. The Wills eye manual: office and emergency room diagnosis and treatment of eye disease sixth edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pp: 46-7
John T. 2011. The Chicago Eye and Emergency Manual. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher. P: 371
Schueler, S.J. Beckett J.H. Gettings D.S. 2011. Ruptured Globe Symptoms. http://www.freemd.com/ruptured-globe/symptoms.htm
Smiddy W.E. 2002. Ruptured Globe in Singh K. Smiddy W.E. Lee A.G. Ophthalmology Review: A Case-Study Approach. New York: Thieme Medical Publishing. Pp: 223-6.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mata merupakan salah satu indra dari pancaindra yang sangat penting untuk
kehidupan manusia. Terlebih-lebih dengan majunya teknologi, indra penglihatan yang baik
merupakan kebutuhan yang tidak dapat diabaikan. Mata merupakan bagian yang sangat peka.
Walaupun mata mempunyai sistem pelindung yang cukup baik seperti rongga orbita,
kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar selain terdapatnya refleks memejam atau mengedip,
mata masih sering mendapat trauma dari dunia luar. Trauma dapat mengakibatkan kerusakan
pada bola mata dan kelopak, saraf mata dan rongga orbita. Kerusakan mata akan dapat
mengakibatkan atau memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi penglihatan. Trauma
pada mata memerlukan perawatan yang tepat untuk mencegah terjadinya penyulit yang lebih
berat yang akan mengakibatkan kebutaan.
Kemajuan mekanisasi dan teknik terlebih-lebih dengan bertambah banyaknya
kawasan industri, kecelakaan akibat pekerjaan bertambah banyak pula, juga dengan
bertambah ramainya lalu lintas, kecelakaan di jalan raya bertambah pula, belum terhitung
kecelakaan akibat perkelahian, yang juga dapat mengenai mata. Pada anak-anak kecelakaan
mata biasanya terjadi akibat kecelakaan terhadap alat dari permainan yang biasa dimainkan
seperti panahan, ketapel, senapan angin, tusukan dari gagang mainan dan sebagainya.
Trauma okular adalah penyebab kebutaan yang cukup signifikan, terutama pada
golongan sosioekonomi rendah dan di negara-negara berkembang. Kejadian trauma okular
dialami oleh pria 3 sampai 5 kali lebih banyak daripada wanita. Trauma pada mata dapat
mengenai jaringan di bawah ini secara terpisah atau menjadi gabungan trauma jaringan mata.
Trauma dapat mengenai jaringan mata: palpebrae, konjungtiva, cornea, uvea, lensa, retina,
papil saraf optik, dan orbita. Trauma mata merupakan keadaan gawat darurat pada mata.
Trauma okular, terutama yang berat dan mengakibatkan penurunan penglihatan
bahkan kehilangan penglihatan. Dari data WHO tahun 1998 trauma okular berakibat
kebutaan unilateral sebanyak 19 juta orang, 2,3 juta mengalami penurunan visus bilateral, dan
1,6 juta mengalami kebutaan bilateral akibat cedera mata. Menurut United States Eye Injury
Registry (USEIR), frekuensi di Amerika Serikat mencapai 16 % dan meningkat di lokasi
kerja dibandingkan dengan di rumah. Lebih banyak pada laki-laki (93 %) dengan umur rata-
rata 31 tahun.
Bentuk kelainan pada mata yang terkena trauma (trauma oculi) bisa hanya berupa
kelainan ringan saja sampai kebutaan. Trauma oculi dapat dibedakan atas trauma tumpul,
trauma akibat benda tajam/trauma tembus, ataukah trauma fisis. Kelainan yang diakibatkan
oleh trauma mata sesuai dengan berat ringannya serta jenis trauma itu sendiri yang dapat
menyerang semua organ struktural mata sehingga menyebabkan gangguan fisiologis yang
reversibel ataupun non-ireversibel. Trauma oculi dapat menyebabkan perdarahan, adanya
laserasi, perforasi, masuknya benda asing ke dalam bola mata, kelumpuhan saraf, ataukah
atrofi dari struktur jaringan bola mata.
Anamnesis dan pemeriksaan fisis oftamologi yang dilakukan secara teliti untuk
mengetahui penyebab, jenis trauma yang terjadi, serta kelainan yang disebabkan yang akan
menuntun kita ke arah diagnosis dan penentuan langkah selanjutnya. Selain itu dapat pula
dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti: slit lamp, oftalmoskopi direk maun indirek, tes
fluoresensi, tonometri, USG, maupun CT-scan. Penatalaksanaan pada trauma mata
bergantung pada berat ringannya trauma ataupun jenis trauma itu sendiri.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana Anatomi mata ?
2. Bagaimana Definisi Trauma Tumpul Mata?
3. Bagaimana Etiologi Trauma Tumpul Mata?
4. Bagaimana Tanda dan Gejala Trauma Tumpul Mata?
5. Bagaimana Manifestasi Klinis Trauma Tumpul Mata?
6. Bagaimana Patofisiologi Trauma Tumpul Mata?
7. Bagaimana Pathway Trauma Tumpul Mata?
8. Bagaimana Pemeriksaan Diagnostik Trauma Tumpul Mata?
9. Bagaimana Penatalaksanaan Trauma Tumpul Mata?
10. Bagaimana Asuhan Keperawatan Trauma Tumpul Mata?
1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Anatomi mata.
2. Untuk Mengetahui Definisi Trauma Tumpul Mata
3. Untuk Mengetahui Etiologi
4. Untuk Mengetahui Tanda dan Gejala
5. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinis
6. Untuk Mengetahui Patofisiologi
7. Untuk Mengetahui Pathway
8. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Diagnostik
9. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan
10. Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan
1.4 Manfaat
Penelitian ini dapat digunakan sebagai pengalaman dalam penerapan ilmu
keperawatan gawat darurat khususnya tentang trauma tumpul pada mata.
1.4.1 Bagi Institusi
1. Digunakan sebagai buku bacaan di perpustakaan agar bisa bermanfaat bagi para pembaca.
2. Sebagai bahan bandingan persepsi tentang penatalaksanaan trauma tumpul pada mata.
1.4.2 Bagi Profesi
1. Perawat lebih mengetahui tentang konsep pengertian, manfaat, dampak, penatalaksanaan
untuk trauma tumpul pada mata.
2. Perawat lebih memahami tantang manajemen keperawatan yang dilakukan pada
penatalaksanaan trauma tumpul pada mata.
1.4.3 Bagi Penyusun
1. Sebagai ilmu pengetahuan tentang penatalaksanaan trauma tumpul pada mata.
2. Sebagai aplikasi, dan manajemen keperawatan saat melakukan penatalaksanaan trauma
tumpul pada mata.
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Anatomi Mata
Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari
luar ke dalam, lapisan–lapisan tersebut adalah : (1) sklera/kornea, (2) koroid/badan
siliaris/iris, dan (3) retina. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan
kuat di sebelah luar, sklera, yang membentuk bagian putih mata. Di anterior (ke arah depan),
lapisan luar terdiri atas kornea transparan tempat lewatnya berkas–berkas cahaya ke interior
mata. Lapisan tengah dibawah sklera adalah koroid yang sangat berpigmen dan mengandung
pembuluh-pembuluh darah untuk memberi makan retina. Lapisan paling dalam dibawah
koroid adalah retina, yang terdiri atas lapisan yang sangat berpigmen di sebelah luar dan
sebuah lapisan syaraf di dalam. Retina mengandung sel batang dan sel kerucut, fotoreseptor
yang mengubah energi cahaya menjadi impuls syaraf
Struktur mata manusia berfungsi utama untuk memfokuskan cahaya ke retina. Semua
komponen–komponen yang dilewati cahaya sebelum sampai ke retina mayoritas berwarna
gelap untuk meminimalisir pembentukan bayangan gelap dari cahaya. Kornea dan lensa
berguna untuk mengumpulkan cahaya yang akan difokuskan ke retina, cahaya ini akan
menyebabkan perubahan kimiawi pada sel fotosensitif di retina. Hal ini akan merangsang
impuls–impuls syaraf ini dan menjalarkannya ke otak.
Struktur Mata Tambahan, Mata dilindungi dari kotoran dan benda asing oleh alis,
bulu mata dan kelopak mata. Konjungtiva adalah suatu membran tipis yang melapisi kelopak
mata (konjungtiva palpebra), kecuali darah pupil. Konjungtiva palpebra melipat kedalam dan
menyatu dengan konjungtiva bulbar membentuk kantung yang disebut sakus konjungtiva.
Walaupun konjungtiva transparan, bagian palpebra tampak merah muda karena pantulan dari
pembuluh – pembuluh darah yang ada didalamnya, pembuluh – pembuluh darah kecil dapat
dari konjungtiva bulbar diatas sklera mata. Konjungtiva melindungi mata dan mencegah mata
dari kekeringan
Kelenjar lakrimalis teletak pada sebelah atas dan lateral dari bola mata. Kelenjar
lakrimalis mengsekresi cairan lakrimalis. Air mata berguna untuk membasahi dan
melembabkan kornea, kelebihan sekresi akan dialirkan ke kantung lakrimalis yang terletak
pada sisi hidung dekat mata dan melalui duktus nasolakrimalis untuk ke hidung.
http://huntingdollar.com/8231b
Gambar 1: anatomi mata
2.1.1 Bola Mata
Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun terpisah darinya oleh
selubung fascia bola mata. Bola mata terdiri atas tiga lapisan dari luar ke dalam, yaitu :
1. Tunica Fibrosa
Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opaque atau sklera dan bagian
anterior yang transparan atau kornea. Sklera merupakan jaringan ikat padat fibrosa dan
tampak putih. Daerah ini relatif lemah dan dapat menonjol ke dalam bola mata oleh
perbesaran cavum subarachnoidea yang mengelilingi nervus opticus. Jika tekanan intraokular
meningkat, lamina fibrosa akan menonjol ke luar yang menyebabkan discus menjadi cekung
bila dilihat melalui oftalmoskop.
Sklera juga ditembus oleh n. ciliaris dan pembuluh balik yang terkait yaitu
vv.vorticosae. Sklera langsung tersambung dengan kornea di depannya pada batas limbus.
Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama merefraksikan cahaya yang masuk ke
mata. Tersusun atas lapisan-lapisan berikut ini dari luar ke dalam sama dengan: (1) epitel
kornea (epithelium anterius) yang bersambung dengan epitel konjungtiva. (2) substansia
propria, terdiri atas jaringan ikat transparan. (3) lamina limitans posterior dan (4) endothel
(epithelium posterius) yang berhubungan dengan aqueous humour.
2. Lamina vasculosa
Dari belakang ke depan disusun oleh sama dengan : (1) choroidea (terdiri atas lapis
luar berpigmen dan lapis dalam yang sangat vaskular) (2) corpus ciliare (ke belakang
bersambung dengan choroidea dan ke anterior terletak di belakang tepi perifer iris) terdiri
atas corona ciliaris, procesus ciliaris dan musculus ciliaris (3) iris (adalah diafragma
berpigmen yang tipis dan kontraktil dengan lubang di pusatnya yaitu pupil) iris membagi
ruang diantara lensa dan kornea menjadi camera anterior dan posterior, serat-serat otot iris
bersifat involunter dan terdiri atas serat-serat sirkuler dan radier.
3. Tunica sensoria (retina)
Retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di dalamnya. Permukaan
luarnya melekat pada choroidea dan permukaan dalamnya berkontak dengan corpus vitreum.
Tiga perempat posterior retina merupakan organ reseptornya. Ujung anterior membentuk
cincin berombak, yaitu ora serrata, di tempat inilah jaringan syaraf berakhir. Bagian anterior
retina bersifat non-reseptif dan hanya terdiri atas sel-sel pigmen dengan lapisan epitel
silindris di bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi procesus ciliaris dan bagian
belakang iris.
Di pusat bagian posterior retina terdapat daerah lonjong kekuningan, macula lutea,
merupakan daerah retina untuk penglihatan paling jelas. Bagian tengahnya berlekuk disebut
fovea sentralis.
Nervus opticus meninggalkan retina lebih kurang 3 mm medial dari macula lutea
melalui discus nervus optici. Discus nervus optici agak berlekuk di pusatnya yaitu tempat
dimana ditembus oleh a. centralis retinae. Pada discus ini sama sekali tidak ditemui coni dan
bacili, sehingga tidak peka terhadap cahaya dan disebut sebagai bintik buta. Pada pengamatan
dengan oftalmoskop, bintik buta ini tampak berwarna merah muda pucat, jauh lebih pucat
dari retina di sekitarnya.
2.1.2 Ruang Mata
Bagian dalam bola mata terdiri dari 2 rongga, yaitu anterior dan posterior. Rongga
anterior teletak didepan lensa, selanjutnya dibagi lagi kedalam dua ruang, ruang anterior
(antara kornea dan iris) dan ruang posterior antara iris dan lensa ). Rongga anterior berisi
cairan bening yang dinamakan humor aqueous yang diproduksi dalam badan ciliary, mengalir
ke dalam ruang posterior melewati pupil masuk ke ruang anterior dan dikeluarkan melalui
saluran schelmm yang menghubungkan iris dan kornea ( sudut ruang anterior).
Iris struktur berwarna, menyerupai membran dan membentuk lingkaran ditengahnya.
Iris mengandung dilator involunter dan otot – otot spingter yang mengatur ukuran pupil.
Pupil adalah ruangan ditengah – tengah iris, ukuran pupil bervariasi dalam merespon
intensitas cahaya dan memfokuskan objek ( akomodasi ) untuk memperjelas penglihatan,
pupil mengecil jika cahaya terang atau untuk penglihatan dekat. Lensa mata merupakan suatu
kristal, berbentuk bikonfek ( cembung ) bening, terletak dibelakang iris, terbagi kedalam
ruang anterior dan posterior. Lensa tersusun dari sel – sel epitel yang dibungkus oleh
membran elastis, ketebalannya dapat berubah – ubah menjadi lensa cembung bila refraksi
lebih besar.
2.1.3 Orbita dan Otot-otot Ekstra-okular
Volume rongga orbita orang dewasa 30 mL, sedangkan bola mata hanya mengisi 1/5
rongga orbita. Rongga orbita berbentuk limas segi empat dengan puncak ke arah dalam.
Dinding orbita terdiri dari :
1. Atap orbita, yaitu tulang frontal (terdapat sinus frontalis)
2. Dinding lateral, yaitu tulang sphenoidal dan tulang zygomatikus
3. Dinsing medial, yaitu tulang eithmoidal yang tipis (terdapat sinus eitmoidal dan sphenoidal)
4. Dasar orbita, yaitu tulang maksilaris dan Zygomatukus. Pada tulang maksilaris terdapat sinus
maksilaris. Kelenjar makrinalis terdapat dalam fossa lakrimalis dibagian anterior atap orbita.
Otot-otot ekstraokular terdiri dari empat muskuli yang berorigo pada dinding
belakang dan m. Oblukus superior yang berorigo pada tepi foramen optikum menempel pada
dinding depan atas orbita. Seluruh otot-otot tersebut berinsersi pada dinding sklera.
2.2 Trauma Tumpul Bola Mata
Struktur wajah dan mata sangat sesuai untuk melindungi mata dari cedera. Bola mata
terdapat di dalam sebuah rongga yang dikelilingi oleh bubungan bertulang yang kuat.
Kelopak mata bisa segera menutup untuk membentuk penghalang bagi benda asing dan mata
bisa mengatasi benturan yang ringan tanpa mengalami kerusakan.
Meskipun demikian, mata dan struktur di sekitarnya bisa mengalami kerusakan akibat
cedera, kadang sangat berat sampai terjadi kebutaan atau mata harus diangkat. Cedera mata
harus diperiksa untuk menentukan pengobatan dan menilai fungsi penglihatan.
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan
mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, dan dapat juga sebagai kasus polisi.
Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan
kehilangan mata. Alat rumah tangga sering menimbulkan perlukaan atau trauma mata.
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak disengaja yang menimbulkan
perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata. Perlukaan yang
ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata.
Trauma tumpul, meskipun dari luar tidak tampak adanya kerusakan yang berat, tetapi
transfer energi yang dihasilkan dapat memberi konsekuensi cedera yang fatal. Kerusakan
yang terjadi bergantung kekuatan dan arah gaya, sehingga memberikan dampak bagi setiap
jaringan sesuai sumbu arah trauma. Trauma tumpul dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Kontusio, yaitu kerusakan disebabkan oleh kontak langsung dengan benda dari luar terhadap
bola mata, tanpa menyebabkab robekan pada dinding bola mata
2. Konkusio, yaitu bila kerusakan terjadi secara tidak langsung. Trauma terjadi pada jaringan di
sekitar mata, kemudian getarannya sampai ke bola mata.
Baik kontusio maupun konkusio dapat menimbulkan kerusakan jaringan berupa
kerusakan molekular, reaksi vaskular, dan robekan jaringan. Menurut Duke-Elder, kontusio
dan konkusio bola mata akan memberikan dampak kerusakan mata, dari palpebra sampai
dengan saraf optikus.
Pasien Dengan Trauma Tumpul Mata dapat mengakibatkan hifema. Hifema adalah
darah dalam bilik mata depan sebagai akibat pecahnya pembuluh darah pada iris, akar iris
dan badan silia.
2.3 Etiologi
Gejala yang ditimbulkan tergantung jenis trauma serta berat dan ringannya trauma,
Trauma tumpul dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu penurunan penglihatan sementara
sampai berat, yaitu perdarahan didalam bola mata, terlepasnya selaput jala (retina) atau
sampai terputusnya saraf penglihatan sehingga menimbulkan kebutaan menetap.
Trauma Tumpul, misalnya: terpukul, kena bola tenis, atau shutlecock, membuka tutup
botol tidak dengan alat, ketapel.
2.4 Tanda dan gejala
1. subyektif yaitu: Penderita mengeluh nyeri disertai penglihatan yang menurun.
2. obyektif yaitu: (1) pelebaran pembuluh darah perikornea, (2) visus menurun, (3) hifema,
(4) darah yang menempel pada endotel kornea, dan (5) tes fluoresin dapat (+) atau (-).
2.5 Manifestasi Klinis
Berbagai Kerusakan Jaringan Mata Akibat Trauma diantaranya:
1. Orbita
Trauma tumpul orbita yang kuat dapat menyebabkan bola mata terdorong dan
menimbulkan fraktur orbita. Fraktur orbita sering merupakan perluasan fraktur dari maksila
yang diklasifikasikan menurut Le Fort, dan fraktur tripod pada zygoma yang akan mengenai
dasar orbita. Apabila pintu masuk orbita menerima suatu pukulan, maka gaya-gaya penekan
dapat menyebabkan fraktur dinding inferior dan medial yang tipis, disertai dengan prolaps
bola mata beserta jaringan lunak ke dalam sinus maksilaris (fraktur blow-out). Mungkin
terdapat cedera intraokular terkait, yaitu hifema, penyempitan sudut, dan ablasi retina.
Enoftalmos dapat segera terjadi setelah trauma atau terjadi belakangan setelah edema
menghilang dan terbentuk sikatrik dan atrofi jaringan lemak.
Pada soft-tissue dapat menyebabkan perdarahan disertai enoftalmus dan paralisis otot-
otot ekstraokular yang secara klinis tampak sebagai strabismus. Diplopia dapat disebabkan
kerusakan neuromuskular langsung atau edema isi orbita. Dapat pula terjadi penjepitan otot
rektus inferior orbita dan jaringan di sekitarnya. Apabila terjadi penjepitan, maka gerakan
pasif mata oleh forseps menjadi terbatas.
2. Palpebra
Meskipun bergantung kekuatan trauma, trauma tumpul yang mengenai mata dapat
berdampak pada palpebra, berupa edema palpebra, perdarahan subkutis, dan erosi palpebra.
3. Konjungtiva
Dampak trauma pada konjungtiva adalah perdarahan sub-konjungtiva atau khemosis
dan edema. Perdarahan subkonjungtiva umumnya tidak memerlukan terapi karena akan
hilang dalam beberapa hari. Pola perdarahan dapat bervariasi, dari ptekie hingga makular.
Bila terdapat perdarahan atau edema konjungtiva yang hebat, maka harus diwaspadai
adanya fraktur orbita atau ruptur sklera.
4. Sklera
Ruptur sklera ditandai oleh adanya khemosis konjungtiva, hifema total, bilik depan
yang dalam, tekanan bola mata yang sangat rendah, dan pergerakan bola mata terhambat
terutama ke arah tempat ruptur. Ruptur sklera dapat terjadi karena trauma langsung mengenai
sklera sampai perforasi, namun dapat pula terjadi pada trauma tak langsung.
5. Koroid dan korpus vitreus
Kontusio dan konkusio bola mata menyebabkan vitreus menekan koroid ke belakang
dan dikembalikan lagi ke depan dengan cepat (contra-coup) sehingga dapat menyebabkan
edema, perdarahan, dan robekan stroma koroid. Bila perdarahan hanya sedikit, maka tidak
akan menimbulkan perdarahan vitreus. Perdarahan dapat terjadi di subretina dan suprakoroid.
Akibat perdarahan dan eksudasi di ruang suprakoriud, dapat terjadi pelepasan koroid dari
sklera.
Ruptur koroid secara oftalmoskopik terlihat sebagai garis putih berbatas tegas,
biasanya terletak anterior dari ekuator dan ruptur ini sering terjadi pada membran Bruch.
Kontusio juga dapat menyebabkan reaksi inflamasi, nekrosis, dan degenerasi koroid.
6. Kornea
Edema superfisial dan aberasi kornea dapat hilang dalam beberapa jam. Edema
interstisial dalah edema yang terjadi di substania propria yang membentuk kekeruhan seperti
cincin dengan batas tegas berdiameter 2 – 3 mm.
Lipatan membrana Bowman membentuk membran seperti lattice. Membrana
descement bila terkena trauma dapat berlipat atau robek dan akan tampak sebagai kekeruhan
yang berbentuk benang. Bila endotel robek maka akan terjadi inhibisi humor aquous ke
dalam stroma kornea, sehingga kornea menjadi edema. Bila robekan endotel kornea ini kecil,
maka kornea akan jernih kembali dalam beberapa hari tanpa terapi.
Deposit pigmen sering terjadi di permukaan posterior kornea, disebabkan oleh adanya
segmen iris yang terlepas ke depan. Laserasi kornea dapat terjadi di setiap lapisan kornea
secara terpisah atau bersamaan, tetapi jarang menyebabkan perforasi.
7. Iris dan Korpus Siliaris
Segera setelah trauma, akan terjadi miosis dan akan kembali normal bila trauma
ringan. Bila trauma cukup kuat, maka miosis akan segera diikuti dengan iridoplegi dan
spasme akomodasi sementara. Dilatasi pupil biasanya diikuti dengan paralisis otot
akomodasi, yang dapat menetap bila kerusakannya cukup hebat. Penderita umumnya
mengeluh kesulitan melihat dekat dan harus dibantu dengan kacamata.
Konkusio dapat pula menyebabkan perubahan vaskular berupa vasokonstriksi yang
segera diikuti dengan vasodilatasi, eksudasi, dan hiperemia. Eksudasi kadang-kadang hebat
sehingga timbul iritis. Perdarahan pada jaringan iris dapat pula terjadi dan dapat dilihat
melalui deposit-deposit pigmen hemosiderin. Kerusakan vaskular iris, akar iris, dan korpus
siliaris dapat menyebabkan terkumpulnya darah di kamera okuli anterior, yang disebut
hifema.
Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya
kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut kamar okuli anterior. Tetapi
dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak
dalam kamera anterior, mengotori permukaan dalam kornea.
Perdarahan dalam kamera okuli anterior, yang berasal dari pembuluh darah iris atau
korpus siliaris, biasanya di sertai odema kornea dan endapan di bawah kornea, hal ini
merupakan suatu keadaan yang serius. Pembagian hifema:
1) Hifema primer, timbul segera oleh karena adanya trauma.
2) Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.
3) Hifema ringan tidak mengganggu visus, tetapi apabila sangat hebat akan mempengaruhi visus
karena adanya peningkatan tekanan intra okuler.
Tanda dan gejala hifema, antara lain:
1) Pandangan mata kabur
2) Penglihatan sangat menurun
3) Kadang – kadang terlihat iridoplegia & iridodialisis
4) Pasien mengeluh sakit atau nyeri
5) Nyeri disertai dengan efipora & blefarospasme
6) Pembengkakan dan perubahan warna pada palpebra
7) Retina menjadi edema & terjadi perubahan pigmen
8) Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan
9) Pupil tetap dilatasi (midriasis)
10) Tidak bereaksi terhadap cahaya beberapa minggu setelah trauma.
11) Pewarnaan darah (blood staining) pada kornea
12) Kenaikan TIO (glukoma sekunder )
13) Sukar melihat dekat
14) Silau akibat gangguan masuknya sinar pada pupil
15) Anisokor pupil
16) Penglihatan ganda (iridodialisis)
Hifema primer dapat cepat diresorbsi dan dalam 5 hari bilik mata depan sudah bersih.
Komplikasi yang ditakutkan adalah hifema sekunder yang sering terjadi pada hari ke-3 dan
ke-5, karena viskositas darahnya lebih kental dan volumenya lebih banyak. Hifema sekunder
disebabkan lisis dan retraksi bekuan darah yang menempel pada bagian yang robek dan
biasanya akan menimbulkan perdarahan yang lebih banyak.
Penanganan: Istirahat, dan apabila karena peningkatan tekanan intra okuli yang di
sertai dengan glaukoma maka perlu adanya operasi segera dengan di lakukannya parasintesis
yaitu membuat insisi pada kornea dekat limbus, kemudian di beri salep mata antibiotik dan di
tutup dengan verband.
Gambar 2: hifema
8. Lensa
Kerusakan yang terjadi pada lensa paska-trauma adalah kekeruhan, subluksasi dan
dislokasi lensa. Kekeruhan lensa dapat berupa cincin pigmen yang terdapat pada kapsul
anterior karena pelepasan pigmen iris posterior yang disebut cincin Vosslus. Kekeruhan lain
adalah kekeruhan punctata, diskreta, lamelar aau difus seluruh massa lensa.
Akibat lainnya adalah robekan kapsula lensa anterior atau posterior. Bila robekan
kecil, lesi akan segera tertutup dengan meninggikan kekeruhan yang tidak akan mengganggu
penglihatan. Kekeruhan ini pada orang muda akan menetap, sedangkan pada orang tua dapat
progresif menjadi katarak presenil. Dengan kata lain, trauma dapat mengaktivasi proses
degeneratif lensa.
Subluksasi lensa dapat aksial dan lateral. Subluksasi lensa kadang-kadang tidak
mengganggu visus, namun dapat juga mengakibatkan diplopia monokular, bahkan dapat
mengakibatkan reaksi fakoanafilaktik. Dislokasi lensa dapat terjadi ke bilik depan, ke vitreus,
subskleral, ruang interretina, konjungtiva, dan ke subtenon. Dislokasi ke bilik depan sering
menyebabkan glaukoma akut yang hebat, sehingga harus segera diekstraksi. Dislokasi ke
posterior biasanya lebih tenang dan sering tidak menimbulkan keluhan, tetapi dapat
menyebabkan vitreus menonjol ke bilik depan dan menyebabkan blok pupil dan peninggian
TIO.
9. Retina
Edema retina terutama makula sering terjadi pada kontusio dan konkusio okuli. Bila
hebat dapat meninggalkan bekas yang permanen. Edem retina bisa terjadi pada tempat
kontusio, tetapi yang paling sering terjadi mengenai sekeliling diskus dan makula. Dapat pula
terjadi nekrosis dan perdarahan retina yang pada proses penyembuhan akan meninggalkan
atrofi dan sikatrik.
Pada edem makula, tampak retina di sekeliling makula berwarna putih ke abu-abuan
dengan bintik merah di tengahnya, menyerupai gambaran oklusi arteri retina sentralis. Edema
dapat berkembang menjadi kistik atau macular hole. Bila edema tidak hebat, hanya akan
meninggalkan pigmentasi dan atrofi. Segera setelah trauma, terjadi vasokonstriksi yang
diikuti oleh vasodilatasi, menyebabkan edema dan perdarahan. Perdarahan dapat terjadi di
retina, subhyaloid, atau bahkan dapat ke vitreus, sehingga pada penyembuhannya
menyebabkan retinopati proliferatif.
Robekan retina jarang terjadi pada mata sehat. Biasanya robekan retina terjadi pada
mata yang memang telah mengalami degenerasi sebelumnya, sehingga trauma yang ringan
sekalipun dapat memicu robekan. Ruptur retina sering disertai dengan ruptur koroid. Dialisis
ora serata sering terjadi pada kuadran inferotemporal atau nasal atas, berbentuk segitiga atau
tapal kuda, disertai dengan ablasio retina. Ablasio retina pada kontusio dan konkusio dapat
terjadi akibat:
1) Kolaps bola mata yang tiba-tiba akibat ruptur
2) Perdarahan koroid dan eksudasi
3) Robekan retina dan koroid
4) Traksi fibrosis vitreus akibat perdarahan retina atau vitreus.
5) Adanya degenerasi retina sebelumnya, trauma hanya sebagai pencetus.
10. Nervus Optikus
Kontusio dan konkusio dapat menyebabkan edem dan inflamasi di sekitar diskus
optik berupa papilitis, dengan sekuele berupa papil atrofi. Keadaan ini sering disertai pula
dengan kerusakan koroid dan retina yang luas. Kontusio dan konkusio yang hebat juga
mengakibatkan ruptur atau avulsi nervus optikus yang biasanya disertai kerusakan mata berat.
2.6 Patofisiologi
Trauma tumpul pada kornea atau limbus menimbulkan tekanan sangat tinggi dalam
waktu singkat didalam bola mata sehingga terjadi penyebaran tekanan kecairan badan kaca
dan jaringan skelera yang tidak elastis yang mengakibatkan peregangan dan robekan jaringan
pada kornea dan skelera, sudut irido-kornea, badan siliari sehingga terjadi perdarahan.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan paska-cedera bertujuan menilai ketajaman visus dan sebagai prosedur
diagnostik, antara lain:
1. Kartu mata snellen (tes ketajaman pengelihatan) : mungkin terganggu akibat kerusakan
kornea, aqueus humor, iris dan retina.
2. Lapang penglihatan : penurunan mungkin disebabkan oleh patologi vaskuler okuler,
glukoma.
3. Pengukuran tonografi : mengkaji tekanan intra okuler ( TIO ) normal 12-25 mmHg.
4. Tes provokatif : digunakan untuk menentukan adanya glukoma bila TIO normal atau
meningkat ringan.
5. Pemerikasaan oftalmoskopi dan teknik imaging lainnya (USG, CT-scan, x-ray): mengkaji
struktur internal okuler, edema retine, bentuk pupil dan kornea.
6. Darah lengkap, laju sedimentasi LED : menunjukkan anemia sistemik/infeksi.
7. Tes toleransi glokosa : menentukan adanya /kontrol diabetes
Pada hifema Cara Pemeriksaan yaitu: (1) anastesi lokal bila ada blefarospasme, (2) tes
fluoresin, dan (3) pemeriksaan anterior dengan: lampu senter, loupe, dan slite lamp
biomicroscope.
Penyulit yaitu: glaukoma sekunder, uveitis, hefema sekunder, dan hemosiderosis.
2.9 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan trauma tumpul bola mata adalah apabila tampak jelas adanya
ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat
anestesi umum. Sebelum pembedahan, tidak boleh diberikan sikloplegik atau antibiotik
topikal karena kemungkinan toksisitas obat akan meningkat pada jaringan intraokular yang
terpajan. Antibiotik dapat diberikan secara parenteral spektrum luas dan pakaikan pelindung
fox pada mata. Analgetik, aneiemetik, dan antitoksin tetanus diberikan sesuai kebutuhan,
dengan restriksi makan dan minum. Induksi anestesi umum harus menghindari substansi yang
dapat menghambat depolarisasi neuromuskular, karena dapat meningkatkan secara transien
tekanan bola mata, sehingga dapat memicu terjadinya herniasi isi intraokular.
Pada trauma yang berat, ahli oftalmologi harus selalu mengingat kemungkinan
timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu berusaha
melakukan pemeriksaan mata lengkap. Anestetik topikal, zat warna, dan obat lainnya yang
diberikan ke mata yang cedera harus steril.
Kecuali untuk cedera yang menyebabkan ruptur bola mata, sebagian besar efek
kontusio-konkusio mata tidak memerlukan terapi bedah segera. Namun, setiap cedera yang
cukup parah untuk menyebabkan perdarahan intraokular sehingga meningkatkan risiko
perdarahan sekunder dan glaukoma memerlukan perhatian yang serius, yaitu pada kasus
hifema.
Kelainan pada palpebra dan konjungtiva akibat trauma tumpul, seperti edema dan
perdarahan tidak memerlukan terapi khusus, karena akan menghilang sendiri dalam beberapa
jam sampai hari. Kompres dingin dapat membantu mengurangi edema dan menghilangkan
nyeri, dilanjutkan dengan kompres hangat pada periode selanjutnya untuk mempercepat
penyerapan darah. Pada laserasi kornea , diperbaiki dengan jahitan nilon 10-0 untuk
menghasilkan penutupan yang kedap air. Iris atau korpus siliaris yang mengalami inkarserasi
dan terpajan kurang dari 24 jam dapat dimasukkan ke dalam bola mata dengan viskoelastik.
Sisa-sisa lensa dan darah dapat dikeluarkan dengan aspirasi dan irigasi mekanis atau
vitrektomi. Luka di sklera ditutup dengan jahitan 8-0 atau 9-0 interrupted yang tidak dapat
diserap. Otot-otot rektus dapat secara sementara dilepaskan dari insersinya agar tindakan
lebih mudah dilakukan.
Prognosis pelepasan retina akibat trauma adalah buruk, karena adanya cedera makula,
robekan besar di retina, dan pembentukan membran fibrovaskular intravitreus. Vitrektomi
merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kondisi tersebut.
Pada hifema, bila telah jelas darah telah mengisis 5% kamera anterior, maka pasien
harus tirah baring dan diberikan tetes steroid dan sikloplegik pada mata yang sakit selama 5
hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma,
atau bercak darah di kornea akibat pigmentasi hemosiderin.
Penanganan hifema, yaitu :
1. Pasien tetap istirahat ditempat tidur (4-7 hari ) sampai hifema diserap.
2. Diberi tetes mata antibiotika pada mata yang sakit dan diberi bebat tekan.
3. Pasien tidur dengan posisi kepala miring 60º diberi koagulasi.
4. Kenaikan TIO diobati dengan penghambat anhidrase karbonat. (asetasolamida).
5. Di beri tetes mata steroid dan siklopegik selama 5 hari.
6. Pada anak-anak yang gelisah diberi obat penenang
7. Parasentesis tindakan atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan bila ada
tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila
setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang.
8. Asam aminokaproat oral untuk antifibrinolitik.
9. Evakuasi bedah jika TIO lebih 35 mmHg selama 7 hari atau lebih 50 mmH selama 5 hari.
10. Vitrektomi dilakukan bila terdapat bekuan sentral dan lavase kamar anterior.
11. Viskoelastik dilakukan dengan membuat insisi pada bagian limbus.
12. anastesi lokal dengan pentocain tetes mata 2% tiap menit selama 5 menit.
13. kelopak mata atas dan bawah dibuka dengan spekulum untuk mencari benda asing.
14. pengeluaran benda sing dengan: kapas lidi steril, ujung jarum suntik tumpul
15. salep mata antibiotik 3 kali perhari dan mata dibebat selama 2 hari.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas
Nama, Umur, jenis kelamin,TB,BB, Alamat, status perkawinan, Agama, Suku, Pendidikan,
Pekerjaan.
2. Riwayat Penyakit
1) Keluhan Utama (saat masuk Rumah Sakit)
Keluhan utama pada pasien dengan trauma tumpul pada mata adalah Nyeri pada
matanya
2) Riwayat Kesehatan sekarang
Selama kurang lebih 3 hari sebelum masuk rumah sakit, klien merasa nyeri pada
kedua matanya, Kemudian klien memberi obat tetes tetapi tidak ada efeknya juga.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah menderita penyakit tersebut
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga tidak memiliki penyakit seperti yang di alami klien
3. Pengkajian Fungsional
1) Pola persepsi-pemeliharaan kesehatan
Ketika pasien merasa pusing,sesak nafas,jantung berdebar-debar pasien langsung
pergi berobat ke pukesmas
2) Pola nutrisi dan metabolic
Sebelum sakit, intake makanan : frekuensi 3x sehari dan minum : 6-8 gelas /hari tetapi
selama sakit, intake makanan berkurang menjadi : 2x sehari dengan syarat bebas
lemak/kolesterol dan Minum : 5-7 gelas /hari
3) Pola eliminasi
Eliminasi Buang Air Besar (BAK) dan Buang Air Besar (BAB) tidak ada perubahan
yaitu Frekuensi BAK : 4-5x sehari dan BAB : 2x sehari. Tidak ada keluhan terkait dengan
pola eliminasi
4) Pola istirahat dan tidur
Sebelum sakit klien Tidur jam 21.00-05.00 WIB Lama tidur 8 jam, siang hari 2 jam
dan Selama sakit klien Tidur jam 23.00-03.00 WIB Lama tidur hanya 4 jam, siang hari 1 jam.
5) Pola aktivitas latihan
Kemampuan perawatan diri, Makan/minum, Mandi, Toileting, Berpakaian,
Mobilitas di tempat tidur dan Berpindah.
6) Persepsi sensorik / perceptual
Klien mengatakan penglihatannya berkurang karena nyeri pada mata, pendengaran
baik
7) Pola konsep diri
Pasien mengatakan meras sedih karena tidak dapat melakukan aktivitas seperti biasa,
8) Pola seksual-reproduksi
Pasien mengatakan mempunyai 3 orang anak dan selama berkeluarga tidak pernah
menggunakan alat kontrasepsi
9) Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan anak-anaknya, suami dan dengan pasien lain serta perawat lain
baik
10) Pola koping dan stress
Pasien selalu terbuka atas segala masalah pasrah kepada petugas kesehatan dan juga
menyerahkan kesembuhannya pada tuhan YME
11) Pola nilai dan keyakinan
Klien sering mengikuti pengajian di musola di tempat tinggalnya dan juga setiap
sholat kadang-kadang membaca al quran, sekarang hanya bisa berdoa dengan tiduran di
tempat tidur.
4. Pemeriksaan Fisik (Head to toe)
Bentuk kepala : mesosopal
Rambut : hitam, tidak berketombe, sedikit beruban
Mata : kondisi konjungtiva, sclera,palpebra,iris,dll.
Hidung : tidak ada polip, bersih
Mulut : mukosa kering dan pecah-pecah, tidak berbau, dan
tidak Caries
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan limfe
Dada : sebelah kiri terjadi pembesaran, dan tidak ada kelainan
Abdomen : terdapat asites, nyeri abdomen
Ekstremitas : terpasang kateter, tidak ada udem
Anus : bersih, tidak ada haemorhoid
Tanda-tanda Vital : T : 110/70 MMhG
N : 75x/MENIT
RR : 20x/MENIT
S : 37ºC
5. Data Penunjang Lain
1) Kartu snellen: pemeriksaan penglihatan dan penglihatan sentral mungkin mengalami
penurunan akibat dari kerusakan kornea, vitreous atau kerusakan pada sistem suplai untuk
retina.
2) Luas lapang pandang: mengalami penurunan akibat dari tumor/ massa, trauma, arteri cerebral
yang patologis atau karena adanya kerusakan jaringan pembuluh darah akibat trauma.
3) Pengukuran tekanan IOL dengan tonography: mengkaji nilai normal tekanan bola mata
(normal 10-20 mmHg).
4) Pengkajian dengan menggunakan optalmoskop: mengkaji struktur internal dari okuler,
papiledema, retina hemoragi.
6. Program Terapi
1. Terapi farmakologi
2. Terapi invasive
3.2 Diagnosa Keperawatan (sesuai prioritas)
1. Nyeri akut berhubungan dengan imflamasi pada kornea atau peningkatan tekanan intraokular.
2. Gangguan Sensori Perseptual : Penglihatan b/d gangguan penerimaan sensori / status organ
indera. Lingkungan secara terapetik dibatasi.
3. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan peningkatan kerentanan sekunder terhadap
interupsi permukaan tubuh.
4. Kurangnya pengetahuan (perawatan) berhubungan dengan keterbatasan informasi.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak disengaja yang menimbulkan
perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata. Perlukaan yang
ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata.
Pasien Dengan Trauma Tumpul Mata (Hifema). Hifema adalah darah dalam bilik mata
depan sebagai akibat pecahnya pembuluh darah pada iris, akar iris dan badan silia.
Trauma Tumpul, misalnya: terpukul, kena bola tenis, atau shutlecock, membuka tutup
botol tidak dengan alat, ketapel.
Tanda subyektif yaitu: Penderita mengeluh nyeri disertai penglihatan yang menurun
dan tanda obyektif yaitu: (1) pelebaran pembuluh darah perikornea, (2) visus menurun, (3)
hifema, (4) darah yang menempel pada endotel kornea, dan (5) tes fluoresin dapat (+) atau
(-).
Penanganan: Istirahat, dan apabila karena peningkatan tekanan intra okuli yang di
sertai dengan glaukoma maka perlu adanya operasi segera dengan di lakukannya parasintesis
yaitu membuat insisi pada kornea dekat limbus, kemudian di beri salep mata antibiotik dan di
tutup dengan verband.
4.2 Saran
Dari kesimpulan diatas organ mata merupakan organ yang penting bagi manusia
karena dengan mata kita dapat mengetahui apa saja yang kita lihat dan melakukan sesuatu
yang kita inginkan diantaranya belajar, membaca, lihat TV dll.
Untuk itu penulis menyarankan agar kita selalu menjaga alat indra kita. Sebagai
mahasiswa keperawatan kita harus mengetahui tentang kegawat daruratan mata agar kita
dapat melakukan tindakan untuk mengatasi hal tersebut terutam trauma tumpul pada mata.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2. Jakarta : EGCDoengoes, Marylin E., 1989, Nursing Care Plans, USA Philadelphia: F.A Davis Company.Darling, V.H. & Thorpe, M.R. (1996). Perawatan Mata. Yogyakarta : Yayasan Essentia Media.Ilyas, Sidarta. (2000). Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FKUI Jakarta.
Wijana, Nana. (1983). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FKUI JakartaSoemarsono. 1999. Contusio Oculi. Cermin Dunia Kedokteran;15:32-4
Colby K. Blunt injuries to the eye. The Merck Manuals.2007 (diakses dari website www.merckmanuals.com, pada tanggal 8 Juli 2009
Rubsamen PE. 2004.Trauma in Ophthalmology. Edisi II. Editor: Yanoff M, Duker JS, Augsburger JJ. Mosby,
Sidarta, Ilyas. 1998.Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Tucker, Susan Martin et al. 2003. Standar Perawatan Pasien : proses keperawatan, diagnosis dan evaluasi. Alih bahasa Yasmin Asih dkk. Ed. 6. Jakarta : Egc
Asbury T, Sanitato JJ. 2000. Trauma dalam Oftalmologi Umum edisi 14. Editor Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Alih Bahasa: Tambajong J, Pendit BU. Jakarta: Widyamedika,
Sjukur BA, Yogiantoro M. Lensa. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Penyakit Mata. Surabaya, RSUD Dokter Soetomo: 1994; 37 – 4
Prihatno AS. Cedera Mata. 2007 (Diakses dari website www.medicastore.com, pada tanggal 8 Juli 2009)
Hilman H. Setyowati EE, Hamdanah. Ilmu Penyakit Mata I. SMC press, 1998.Jalilah NH. Hifema. STIKES Ngudi Waluyo, Ungaran 2007 (diakses dari website www.indoskripsi.com, pada tanggal 8 Juli 2009)
Khaw PT, Shah P, Elkington AR. 2004.Injury to the eye. Br Med J;328:36-8
Berke SJ. 2004.Post-traumatic glaucoma in Ophthalmology. Edisi II. Editor: Yanoff M, Duker JS, Augsburger JJ. Mosby,
1. Penatalaksanaan Trauma Tumpul Bola Mata
Prinsip penanganan trauma tumpul bola mata adalah apabila tampak jelas adanya ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat anestesi umum. Sebelum pembedahan, tidak boleh diberikan sikloplegik atau antibiotik topikal karena kemungkinan toksisitas obat akan meningkat pada jaringan intraokular yang terpajan. Antibiotik dapat diberikan secara parenteral spektrum luas dan pakaikan pelindung fox pada mata. Analgetik, aneiemetik, dan antitoksin tetanus diberikan sesuai kebutuhan, dengan restriksi makan dan minum. Induksi anestesi umum harus menghindari substansi yang dapat menghambat depolarisasi neuromuskular, karena dapat meningkatkan secara transien tekanan bola mata, sehingga dapat memicu terjadinya herniasi isi intraokular.3,6
Pada trauma yang berat, ahli oftalmologi harus selalu mengingat kemungkinan timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu berusaha melakukan pemeriksaan mata lengkap. Anestetik topikal, zat warna, dan obat lainnya yang diberikan ke mata yang cedera harus steril.6
Kecuali untuk cedera yang menyebabkan ruptur bola mata, sebagian besar efek kontusio-konkusio mata tidak memerlukan terapi bedah segera. Namun, setiap cedera yang cukup parah untuk menyebabkan perdarahan intraokular sehingga meningkatkan risiko perdarahan sekunder dan glaukoma memerlukan perhatian yang serius, yaitu pada kasus hifema.
Kelainan pada palpebra dan konjungtiva akibat trauma tumpul, seperti edema dan perdarahan tidak memerlukan terapi khusus, karena akan menghilang sendiri dalam beberapa jam sampai hari. Kompres dingin dapat membantu mengurangi edema dan menghilangkan nyeri, dilanjutkan dengan kompres hangat pada periode selanjutnya untuk mempercepat penyerapan darah. Pada laserasi kornea , diperbaiki dengan jahitan nilon 10-0 untuk menghasilkan penutupan yang kedap air. Iris atau korpus siliaris yang mengalami inkarserasi dan terpajan kurang dari 24 jam dapat dimasukkan ke dalam bola mata dengan viskoelastik. Sisa-sisa lensa dan darah dapat dikeluarkan dengan aspirasi dan irigasi mekanis atau vitrektomi. Luka di sklera ditutup dengan jahitan 8-0 atau 9-0 interrupted yang tidak dapat diserap. Otot-otot rektus dapat secara sementara dilepaskan dari insersinya agar tindakan lebih mudah dilakukan.
Prognosis pelepasan retina akibat trauma adalah buruk, karena adanya cedera makula, robekan besar di retina, dan pembentukan membran fibrovaskular intravitreus. Vitrektomi merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kondisi tersebut.
Pada hifema, bila telah jelas darah telah mengisis 5% kamera anterior, maka pasien harus tirah baring dan diberikan tetes steroid dan sikloplegik pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat pigmentasi hemosiderin. Penanganan hifema, yaitu :
1. Pasien tetap istirahat ditempat tidur (4-7 hari ) sampai hifema diserap.2. Diberi tetes mata antibiotika pada mata yang sakit dan diberi bebat tekan.3. Pasien tidur dengan posisi kepala miring 60º diberi koagulasi.4. Kenaikan TIO diobati dengan penghambat anhidrase karbonat. (asetasolamida).5. Di beri tetes mata steroid dan siklopegik selama 5 hari.6. Pada anak-anak yang gelisah diberi obat penenang
7. Parasentesis tindakan atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan bila ada tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang.
8. Asam aminokaproat oral untuk antifibrinolitik.9. Evakuasi bedah jika TIO lebih 35 mmHg selama 7 hari atau lebih 50 mmH selama 5
hari.10. Vitrektomi dilakukan bila terdapat bekuan sentral dan lavase kamar anterior.11. Viskoelastik dilakukan dengan membuat insisi pada bagian limbus.
Pada fraktur orbita, tindakan bedah diindikasikan bila:
1. Diplopia persisten dalam 30 derajat dari posisi primer pandangan, apabila terjadi penjepitan
2. Enoftalmos 2 mm atau lebih3. Sebuah fraktur besar (setengah dari dasar orbita) yang kemungkinan besar akan
menyebabkan enoftalmos.
Penundaan pembedahan selama 1 – 2 minggu membantu menilai apakah diplopia dapat menghilang sendiri tanpa intervensi. Penundaan lebih lama menurunkan kemungkinan keberhasilan perbaikan enoftalmos dan strabismus karena adanya sikatrik. Perbaikan secara bedah biasanya dilakukan melalui rute infrasiliaris atau transkonjungtiva. Periorbita diinsisi dan diangkat untuk memperlihatkan tempat fraktur di dinding medial dan dasar. Jaringan yang mengalami herniasi ditarik kembali ke dalam orbita, dan defek ditutup dengan implan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soemarsono. Contusio Oculi. Cermin Dunia Kedokteran 1999;15:32-4
2. Colby K. Blunt injuries to the eye. The Merck Manuals.2007 (diakses dari website http://www.merckmanuals.com, pada tanggal 8 Juli 2009
3. Rubsamen PE. Trauma in Ophthalmology. Edisi II. Editor: Yanoff M, Duker JS, Augsburger JJ. Mosby, 2004
4. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 1998
5. Tucker, Susan Martin et al. Standar Perawatan Pasien : proses keperawatan, diagnosis dan evaluasi. Alih bahasa Yasmin Asih dkk. Ed. 6. Jakarta : Egc ; 2003
6. Asbury T, Sanitato JJ. Trauma dalam Oftalmologi Umum edisi 14. Editor Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Alih Bahasa: Tambajong J, Pendit BU. Jakarta: Widyamedika, 2000.
7. Sjukur BA, Yogiantoro M. Lensa. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Penyakit Mata. Surabaya, RSUD Dokter Soetomo: 1994; 37 – 4
8. Prihatno AS. Cedera Mata. 2007 (Diakses dari website http://www.medicastore.com, pada tanggal 8 Juli 2009)
9. Hilman H. Setyowati EE, Hamdanah. Ilmu Penyakit Mata I. SMC press, 1998.10. Jalilah NH. Hifema. STIKES Ngudi Waluyo, Ungaran 2007 (diakses dari website
http://www.indoskripsi.com, pada tanggal 8 Juli 2009)11. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. Injury to the eye. Br Med J 2004;328:36-812. Berke SJ. Post-traumatic glaucoma in Ophthalmology. Edisi II. Editor: Yanoff M,
Duker JS, Augsburger JJ. Mosby, 2004.13. Untuk unduh materi klik link berikut Trauma tumpul bola mata
dapat dilakukan dengan menjahit melalui garis bulu mata, sejajar glandula meibom dangaris abu-abu
(13)
.
I.
KOMPLIKASI
(1,2)
•
Ekimosis, Black eye
o
Pada perdarahan yang hebat, palpebra menjadi bengkak, berwarna kebiru- biruan, Karena jaringan ikat halus. Perdarahan dapat menjalar kebagian yanglain dimuka juga dapat menyebrang ke mata yang lain menimbulkan hematomakacamata (brilhematoma) atau menjalar kebelakang menyebabkan eksoftalmus.Ekimosis yang segera tampak setelah trauma, menunjukkan bahwa traumanyakuat.
•
Endoftalmitis
o
Endoftalmitis merupakan komplikasi tersering pada kasus benda asinginraokular. Terdapat sekitar 7 % sampai 48 % kasus pada mata yang dilaporkan,dimana endoftalmitis terjadi setelah kasus benda asing intraokular dialami.Resiko terkena endoftalmitis berhubungan dengan bagaimana kecelakaan terjadidan ‘kotornya’ benda asing yang masuk.3
•
Hifema
o
Perdarahan ini berasal dari iris atau badan siliar (corpus ciliaris). Adanya darahdi dalam bilik mata depan, dapat menghambat aliran humor aqueus kedalamtrabekula, Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak. Perdarahan yang mengisisetengah bilik mata depan, dapat menyebabkan gangguan visus dan kenaikantekanan intraocular.
•
Dislokasi Lensa
o
Dislokasi lensa biasanya disebabkan karena rupture dari zonula zinnia. Dapatsebagian (subluksasi), dapat pula total (luksasi). Lepasnya dapat kedepan, dapat pula kebelakang.
•
Katarak traumatic
o
Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi ataupun tumpulterlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun. Pada trauma tumpul akan terlihatkatarak subkabsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkankatarak seperti bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak tercetak
(imprinting)
yang disebut cincin Vossius.
15
|
Page
•
Glaukoma sekunder
o
Trauma dapat menyebabkan timbulnya hipotoni, yang disusul hipertoni, yangdisebabkan pengaturan cairan mta yang terganggu, ada subluksasi atau luksasilensa dan hifema.
•
Pupil Midriasis
o
Biasanya di sebabkan oleh iridoplegia. Akibat parase serabut saraf yangmengurus otot sfingter pupil. Iridoplegia dapat terjadi temporer 2-3 minggu.Dapat juga permanen, tergantung adanya parase atau paralise dari otototersebut. Dalam waktu ini terasa silau.
J.PROGNOSIS
Prognosis trauma okuli perforans bergantung pada banyak faktor, seperti:
13
- Besarnya luka tembus, makin kecil makin baik - Tempat luka pada bola mata- Bentuk trauma apakah dengan atau tanpa benda asing- Benda asing magnetik atau non magnetik - Dalamnya luka tembus, apakah tumpul atau luka ganda- Sudah terdapat penyulit akibat luka
tembus
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ilyas, Sidarta. 2004. Trauma mata :
Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga.
FKUI; jakarta.Hal.;3-6, 259-276.
2.
Khurana AK, g. 2007,2003,1996. Ocular Injuries ;
Ophthalmology Fourth Edition.
Rohatk;India. Page 403-415.
3.
Tandiarrang A.
Trauma oculi non perforans
. Avilable fromhttp:// prematuredoctor.blongspot.comAccesed ; 15 maret 2010.4.Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J, Pocket Atlas; ophthalmology. GeorgThieme Verlag;Stuttgart-New York. Hal.;32-33
16
|
Page
5.
Rahmawan A.
Trauma tumpul bola mata (occular contussio)
. Available from;http:// oncardio/trauma-tumpul-bola-mata .htm. Accesed; 15 maret 2010.
6.
Ilyas, Sidarta. 2004. Anatomi dan Fisiologi Mata:
Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga.
FKUI; jakarta. Hal.;1-3,
7.
Ilyas, Sidarta. 2004. Trauma mata :
Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga.
FKUI; Jakarta.Hal.;259-260.
8.
Richard A, 2008-2009. Orbit Eyelids and Lacrimal System :
American Academy of Ophthalmology
. San Francisco. Chapter; 7
9.
John H. Sullivan, MD.
Surgical Anatomy of The Lids
. Available From;http://.Vaughan.and.Asbury.edu//cc/General/Ophthalmology.chm. Accesed; 15 maret 2010
10.
Ilyas, Sidarta. 2004. :
Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran edisi ke -2.
Sagung Seto; Jakarta. Hal.;12-13.
11.
Vaughan, daniel, g. 2000. Anatomi dan Embriologi Mata ;
Oftalmologi Umumedisi ke-14.
Widya medika; Jakarta, hal;17-29.
12.
James, Bruce.. 2006. Trauma :
Oftalmologi edisi kesembilan
. Erlangga; Jakarta,Hal.;176-83.
13.
Trauma okuli perforans. Available from :http://www.trauma- okuliperforans/YuyunMedicalDiary/.htm
.
Accesed; 15 maret 2010.
14.
Edsel Ing. Laceration Eyelid. Avilable fromhttp://.eMedicineSpecialties/Ophthalmology/Lid.htm. Accesed ; 30 maret 2010.
15.
Daniel jacome-Roca,MD. Trauma ocular prolapse del iris. Available from :www.encolombia.com/medicina. accessed : 4 April 2010.
16.
James William, Threat with the whole-hearted. Available fromhttp://doctorcayoo.blogspot.com. Accessed : 4 April 201