Download - PRESKAS obgin plasenta previa.docx
Presentasi Kasus
POST SCTP EMERGENCY ai APH EC PLASENTA PREVIA TOTALIS PADA
MULTIGRAVIDA HAMIL PRETERM INPARTU DENGAN
RIWAYAT SECTIO CAESARIA
Disusun Oleh :
Tenri G.99131015
Fitria G.99131078
Isfalia Muftiani G.99131045
Pembimbing :
Hermawan, dr., Sp OG
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
ABSTRAK
Seorang G1P0A0, 33 tahun, UK 35 +4 minggu, riwayat fertilitas baik, riwayat
obstetri belum diketahui. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 190/100 mmHg
dengan hasil laboratorium, proteinuria +3 yang merupakan dasar diagnosis pre
eklamsia berat.
Pemeriksaan abdomen teraba janin tunggal, intra uterin, memanjang, puka,
preskep, his (+) 2x/10 menit/30 detik, portio lunak, mendatar 1cm, eff 20%, kepala
turun di H-II, KK dan penunjuk belum dapat dinilai, AK (-), STLD (+), TBJ : 1701
gram. DJJ 110/90/105 (+) ireguler mengarah pada keadaan fetal distress
Dari hasil USG diperoleh HC 26,37 cm dan AC 26, 38 cm (HC/AC =1)
yang mengesankan IUGR simetris, AFI 4,54 mengindikasikan adanya
oligohidramnion.
Riwayat mondok sebelumnya, pada tanggal 6 Januari 2015 karena tekanan
darah tinggi dan B 20 serta diberikan pengobatan ARV.
Berdasarkan keterangan di atas pasien didiagnosis dengan fetal distress,
IUGR, PEB, pada primigravida hamil preterm dalam persalinan kala 1 fase laten dan
oligohidramnion dengan B20. Pasien dimondokkan serta dilakukan protap PEB dan
terminasi dengan SCTP emergency ai fetal distress.
_____________________________________________________________________
Kata kunci : PEB, IUGR, fetal distress, prematur
1
BAB I
PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah kelainan multisistem spesifik pada kehamilan yang ditandai oleh
timbulnya hipertensi dan proteinuria setelah umur kehamilan 20 minggu.
Faktor Risiko Pre-eklampsia meliputi kondisi-kondisi medis yang berpotensi
menyebabkan penyakit mikrovaskuler (misal, Diabetes Melitus, Hipertensi kronik, kelainan
vaskuler dan jaringan ikat), antifosfolipid antibody syndrome, dan nefropati. Faktor-faktor
resiko lain dihubungkan dengan kehamilan itu sendiri atau lebih spesifik terhadap ibu dan
ayah janin.
Fetal distress adalah adanya suatu kelainan pada fetus akibat gangguan oksigenasi dan
atau nutrisi yang bisa bersifat akut (prolaps tali pusat), sub akut (kontraksi uterus yang terlalu
kuat), atau kronik (plasenta insufisiensi). Penyebab dari fetal distress diantaranya hipotensi
atau syok yang disebabkan oleh apapun, penyakit kardiovaskuler, anemia, penyakit
pernafasan, malnutrisi, asidosis dan dehidrasi, kontraksi uterus yang telalu kuat atau terlalu
lama, degenerasi vaskuler, hipoplasi plasenta, kompresi tali pusat, infeksi, malformasi dan
lain-lain.
Pertumbuhan janin terhambat merupakan suatu bentuk deviasi atau reduksi pola
pertumbuhan janin. Yang terjadi pada IUGR adalah proses patologi yang menghambat janin
mencapai potensi pertumbuhannya. Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) merupakan
suatu keadaan dimana janin tidak mampu berkembang sesuai dengan ukuran normal akibat
adanya gangguan nutrisi dan oksigenase, atau dengan kata lain suatu keadaan yang dialami
bayi dengan berat badan lahir dibawah batasan tertentu dari umur kehamilannya. IUGR
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu IUGR tipe 1/simetris dan IUGR tipe 2/asimetris.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Sindrom/ Sindrom imunodefisiensi didapat),
adalah stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang yang dikenal
sebagai spektrum infeksi HIV. HIV yang dulu disebut sebagai HTLV-III (Human T cell
Lymphotropic Virus III) atau LAV (Lymphadenophaty Virus) adalah virus sitopatik dari
famili retrovirus
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GAWAT JANIN INTRAUTERIN (FETAL DISTRESS)
1. Definisi
Fetal distress adalah adanya suatu kelainan pada fetus akibat gangguan
oksigenasi dan atau nutrisi yang bisa bersifat akut (prolaps tali pusat), sub akut
(kontraksi uterus yang terlalu kuat), atau kronik (plasenta insufisiensi) (Bisher and
Mackay, 1986).
2. Etiologi
Penyebab dari fetal distress diantaranya (Hariadi, 2004) :
a. Ibu : hipotensi atau syok yang disebabkan oleh apapun, penyakit kardiovaskuler,
anemia, penyakit pernafasan, malnutrisi, asidosis dan dehidrasi.
b. Uterus : kontraksi uterus yang telalu kuat atau terlalu lama, degenerasi vaskuler.
c. Plasenta : degenerasi vaskuler, hipoplasi plasenta.
d. Tali pusat : kompresi tali pusat.
e. Fetus : infeksi, malformasi dan lain-lain.
3. Pembagian gawat janin
a. Gawat janin sebelum persalinan
Gawat janin sebelum persalinan biasanya merupakan gawat janin yang
bersifat kronik berkaitan dengan fungsi plasenta yang menurun atau bayi sendiri
yang sakit (Hariadi, 2004).
1). Data subyektif dan obyektif
Gerakan janin menurun. Pasien mengalami kegagalan dalam
pertambahan berat badan dan uterus tidak bertambah besar. Uterus yang lebih
kecil daripada umur kehamilan yang diperkirakan memberi kesan retardasi
pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion. Riwayat dari satu atau lebih
faktor-faktor resiko tinggi, masalah-masalah obstetri, persalinan prematur atau
lahir mati dapat memberikan kesan suatu peningkatan resiko gawat janin
(Hariadi, 2004).
3
2). Faktor predisposisi
Faktor-faktor resiko tinggi meliputi penyakit hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit jantung, postmaturitas, malnutrisi ibu, anemia, dan lain-
lain(Hariadi, 2004).
3). Data diagnostik tambahan
Pemantauan denyut jantung janin menyingkirkan gawat janin sepenjang
(a) denyut jantung dalam batas normal (b) akselerasi sesuai dengan gerakan
janin (c) tidak ada deselerasi variabel dengan adanya kontraksi uterus.
Ultrasonografi : Pengukuran diameter biparietal secara seri dapat
mengungkapkan bukti dini dari retardasi pertumbuhan intrauterin. Gerakan
pernafasan janin, aktifitas janin dan volume cairan ketuban memberikan
penilaian tambahan kesekatan janin. Oligihidramnion memberi kesan
anomali janin atau retardasi pertumbuhan (Hariadi, 2004).
Kadar estriol dalam darah atau urin ibu memberikan suatu pengukuran
fungsi janin dan plasenta, karena pembentukan estriol memerlukan
aktifitas dari enzim-enzim dalam hati dan kelenjar adrenal janin seperti
dalam plasenta (Hariadi, 2004).
HPL (Human Placental Lactogen) dalam darah ibu : kadar 4 mcg/ml atau
kurang setelah kehamilan 3 minggu member kesan fungsi plasenta yang
abnormal (Hariadi, 2004).
Amniosintesis : adanya mekonium di dalam cairan amnion masih
menimbulkan kontroversi. Banyak yang percaya bahwa mekonium dalam
cairan amnion menunjukkan stress patologis atau fisiologis, sementara
yang lain percaya bahwa fasase mekonium intrauterin hanya menunjukkan
stimulasi vagal temporer tanpa bahaya yang mengancam. Penetapan rasio
lesitin sfingomielin (rasio L/S) memberikan suatu perkiraan maturitas
janin (Hariadi, 2004).
4). Penatalaksanaan
Keputusan harus didasarka pada evaluasi kesehatan janin inutero dan
maturitas janin. Bila pasien khawatir mengenai gerakan janin yang menurun
pemantauan denyut jantung janin atau dimiringkan atau oksitosin challenge test
sering memberika ketenangan akan kesehatan janin. Jika janin imatur dan
keadaan insufisiensi plasenta kurang tegas, dinasehatkan untuk mengadakan
observasi tambahan. Sekali janin matur, kejadian insufisiensi plasenta biasanya
4
berarti bahwa kelahiran dianjurkan. Persalinan dapat diinduksi jika servik dan
presentasi janin menguntungkan. Selama induksi denyut jantung janin harus
dipantau secara teliti. Dilakukan sectio secaria jika terjadi gawat janin, sectio
sesaria juga dipilih untuk kelahiran presentasi bokong atau` jika pasien pernah
megalami operasi uterus sebelumnya (Hariadi, 2004).
b. Gawat janin selama persalinan
Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia janin. Tanpa oksigen
yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan
menunjukkan deselerasi variabel pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap,
glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH janin yang menurun
(Hariadi, 2004).
1). Data subyektif dan obyektif
Gerakan janin yang menurun atau berlebihan menandakan gawat
janin. Tetapi biasanya tidak ada gejala-gejala subyektif. Seringkali
indikator gawat janin yang pertama adalah perubahan dalam pola denyut
jantung janin (bradikardia, takikardia, tidak adanya variabilitas, atau
deselerasi variabel) (Hariadi, 2004).
Hipotensi pada ibu, suhu tubuh yang meningkat atau kontraksi uterus
yang hipertonik atau ketiganya secara keseluruhan dapat menyebabkan
asfiksia janin (Hariadi, 2004).
2). Faktor-faktor etiologi (Hariadi, 2004),
a. Insufisiensi uteroplasental akut
aktivitas uterus berlebihan.
hipotensi ibu.
solutio plasenta.
plasenta previa dengan pendarahan.
b. Insufisiensi uteroplasental kronik
penyakit hipertensi.
diabetes mellitus.
isoimunisasi Rh.
postmaturitas atau dismaturitas
c. Kompresi tali pusat
d. Anestesi blok paraservikal
5
3). Data diagnostik tambahan
Pemantauan denyut jantung janin : pencatatan denyut jantung janin
yang segera dan kontinu dalam hubungan dengan kontraksi uterus
memberika suatu penilaian kesehatan janin yang sangat membantu dalam
persalinan (Hariadi, 2004).
Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin adalah:
1. bradikardi : denyut jantung janin kurang dari 120 kali permenit.
2. takikardi : akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (> 160)
dapat dihubungkan dengan demam pada ibu sekunder terhadap
terhadap infeksi intrauterin. Prematuritas dan atropin juga
dihubungkan dengan denyut jantung dasar yang meningkat.
3. variabilitas: denyut jantung dasar yang menurun, yang berarti depresi
sistem saraf otonom janin oleh mediksi ibui (atropin, skopolamin,
diazepam, fenobarbital, magnesium dan analgesik narkotik).
4. pola deselerasi: Deselerasi variabel menunjukan hipoksia janin yang
disebabkan oleh insufisiensi uteroplasental. Deselerasi yang bervariasi
tidak berhubungan dengan kontraksi uterus adalah lebih sering dan
muncul untuk menunjukan kompresi sementara waktu saja dari
pembuluh darah umbilikus. Peringatan tentang peningkatan hipoksia
janin adalah deselerasi variabel, penurunan atau tiadanya variabilitas,
bradikardia yang menetap dan pola gelombang sinus.
Contoh darah janin (pH darah kepala janin) memberikan
informasi objektif tentang status asam basa janin. Pemantauan janin
secara elektronik dapat menjadi begitu sensitif terhadapt perubahan-
perubahan dalam denyut jantung janin dimana gawat janin dapat
diduga bahkan bila janin dalam keadaan sehat dan hanya menber
reaksi terhadap stess dari kontraksi uterus selama persalianan. Contoh
darah janin diindikasikan bila mana pola denyut jantung janin
abnormal atau kacau memerlukan penjelasan (Hariadi, 2004).
Mekonium dalam cairan ketuban : arti dari mekoneum dalam
cairan ketuban adalah tidak pasti dan kontroversial sementara
beberapa ahli berpendapat bahwa pasase mekoneum intrauterun
adalah suatu tanda gawat janin dan kemungkinan kegawatan, yang
lainya merasakan bahwa adanya mekoneum tanpa kejadian asfiksia
6
janin lainnya tidak menunjuka bahaya janin. Tetapi, kombinasi
asfiksia janin dan mekoneum timbul untuk mempertinggi potensi
asfirasi mekoneum dan hasil neonatus yang buruk (Hariadi, 2004).
4). Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip umum
a. bebaskan setiap kompresi tali pusat.
b. perbaiki aliran darah uteroplasental.
c. menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau terminasi
kehamilan merupakan indikasi. Rencana kelahiran didasarkan pada
faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetri pasien, dan jalannya
persalinan (Hariadi, 2004).
Langkah-langkah khusus (Hariadi, 2004):
a. posisi ibu diubah dari posisi terlentang menjadi miring, sebagai usaha
untuk memperbaiki aliran darah balik, curah jantung, dan aliran darah
uteroplasental. Perubahan dalam posis juga dapat membebaskan
kompresi tali pusat.
b. oksigen diberikan 6 liter/menit, sebagai usaha meningkatkan
penggantian oksigen fetomaternal.
c. oksitosin dihentikan karena kontraksi uterus akan mengganggu
sirkulasi darah keruang intervilli.
d. hipotensi dikoreksi dengan infus IV D5% dalam RL. Transfusi darah
dapat diindikasikan pada syok hemorragik.
e. pemeriksaan pervaginam menyingkirkan prolaps tali pusat dan
menentukan perjalana persalinan. Elevasi kepala janin secara lembut
dapat merupakan suatu prosedur yang bermanfaat.
f. pengisapan mekoneum dari jalan nafasi bayi baru lahir mengurangi
resiko asfirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi lahir, hidung
dan mulut dibersikan dari mekoneum dengan kateter penghisap.
Segera setelah kelahiran, pita suara harus dilihat dengan laringoskopi
langsung sebagai usaha untuk menyingkirkan mekoneum dengan pipa
endotrakeal (Melfiawati, 1994)
B. OLIGOHIDRAMNION
1. DEFINISI
7
Marks dan Divon (1992) mendefinisikan oligohidramnion bila pada
pemeriksaan USG ditemukan bahwa index kantong amnion 5 cm atau kurang dan
insiden oligohidramnion 12% dari 511 kehamilan pada usia kehamilan 41
minggu.Oligohidramnion adalah suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari
normal, yaitu kurang dari 500 cc (manuaba, 2007), atau juga didefinisikan dengan
indeks cairan amnion 5 cm atau kurang dari 12% dari 511 kehamilan dengan usia
kehamilan 41 minggu atau lebih (Dexa Media no.3 tahun 2007).
Cairan ketuban diproduksi oleh buah kehamilan, yaitu sel-sel trofoblas,
kemudian akan bertambah dengan produksi cairan janin, yaitu air seni janin. Sejak
usia kehamilan 12 minggu, janin mulai minum air ketuban dan mengeluarkannya
kembali dalam bentuk air seni. Jadi ada pola berbentuk lingkaran atau siklus yang
berulang. Dengan bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion
didominasi oleh kulit janin dengan cara difusi membran (Kapita Selekta, 2000).
Normal volume cairan amnion bertambah dari50 ml pada saat usia kehamilan
12 minggu sampai 400 ml pada pertengahangestasi dan 1000 – 1500 ml pada saat
aterm. Pada kehamilan postterm jumlahcairan amnion hanya 100 sampai 200 ml
atau kurang. Menurut Lehn, jumlah air ketuban yang normal pada primigravida
adalah 1 liter, pada multigravida sebanyak 1,5 liter, dan sebanyak – banyaknya
yang masih dalam batas normal adalah 2 liter (Dexa Media no.3 tahun 2007).
2. ETIOLOGI
Etiologi yang pasti belum jelas, tetapi disangka ada kaitannya dengan renal
agenosis janin. Etiologi primer lainnya mungkin oleh karena amnion kurang baik
pertumbuhannya dan etiologi sekunder lainnya, misalnya pada ketuban pecah dini
( premature rupture of the membrane = PROM ).
Penyebab sekunder biasanya dikaitkan dengan :
a. Pecahnya membran ketuban
b. Penurunan fungsi ginjal atau terjadinya kelinan ginjal bawaan
c. Kehamilan post-term sehingga terjadinya penurunan fungsi plasenta.
d. Gangguan pertumbuhan janin
e. Penyakit yang diderita ibu seperti Hipertensi, Dibetes mellitus, gangguan
pembekuan darah, serta adanya penyakit autoimmune seperti Lupus.
Jika dilihat dari segi Fetal, penyebabnya bisa karena :
a. Kelainan Kromosom
8
b. Cacat Kongenital
c. Hambatan pertumbuhan janin dalam rahim
d. Kehamilan postterm
e. Premature ROM (Rupture of amniotic membranes)
Jika dilihat dari sisi Maternal, penyebabnya :
a. Dehidrasi
b. Insufisiensi uteroplasental
c. Hipertensi / Preeklamsia
d. Diabetes Mellitus
e. Hypoxia kronis
Induksi Obat : seperti obat antihipertensi
3. PATOFISIOLOGI
Sindroma Potter dan Fenotip Potter adalah suatu keadaan kompleks yang
berhubungan dengan gagal ginjal bawaan dan berhubungan dengan
oligohidramnion (cairan ketuban yang sedikit). Kelainan yang utama adalah gagal
ginjal bawaan, baik karena kegagalan pembentukan ginjal (agenesis ginjal
bilateral) maupun karena penyakit lain pada ginjal yang menyebabkan ginjal gagal
berfungsi. Dalam keadaan normal, ginjal membentuk cairan ketuban (sebagai air
kemih) dan tidak adanya cairan ketuban menyebabkan gambaran yang khas dari
sindroma Potter.
Ginjal janin mengeluarkan urin sejak usia 12 minggu dan setelah mencapai
usia 18 minggu sudah dapat mengeluarkan urin sebanyak 7-14 cc/hari. Janin
aterm mengeluarkan urin 27 cc/jam atau 250 cc dalam sehari.Sirkulasi air ketuban
sangat penting, sehingga jumlahnya dapat dipertahankan dengan tetap.
Pengaturannya dilakukan oleh tiga komponen penting berikut:
a. Produksi yang dihasilkan oleh sel amnion.
b. Jumlah produksi air kencing.
c. Jumlah air ketuban yang ditelan janin.
Produksinya akan berkurang jika terjadi insufisiensi plasenta, kehamilan post
term, gangguan organ perkemihan, janin terlalu banyak minum, sehingga dapat
menimbulkan makin berkurangnya jumlah air ketuban intrauteri
“ologohidramnion” dengan kriteria:
a. Jumlah kurang dari 200 cc
9
b. Kental.
c. Bercampur mekonium. (Kapita selekta, 2000)
4. GAMBARAN KLINIS
a. Uterus tampak lebih kecil dari usia kehamilan dan tidak ada ballotemen.
b. Ibu merasa nyeri di perut pada setiap pergerakan anak.
c. Sering berakhir dengan partus prematurus.
d. Bunyi jantung anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengar lebih
jelas.
e. Persalinan lebih lama dari biasanya.
f. Sewaktu his akan sakit sekali.
g. Bila ketuban pecah, air ketuban sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. USG ibu (menunjukkan oligohidramnion serta tidak adanya ginjal janin atau
ginjal yang sangat abnormal)
b. Rontgen perut bayi
c. Rontgen paru-paru bayi
d. Analisa gas darah.
6. KOMPLIKASI
a. Dari sudut maternal
1) Sebagian persalinannya dilakukan dengan induksi
2) Persalinan dilakukan dengan sc
b. Komplikasi terhadap janin
Oligohidramnion menyebabkan tekanan langsung pada janin:
1) Deformitas janin
2) Leher telalu menekuk miring
3) Bentuk tulang kepala janin tidak bulat
4) Deformitas ekstremitas
5) Talipes kaki terpelintir keluar
6) Kompresi tali pusat langsung sehingga dapat menimbulkan fetal distress.
7) Amniotic band
10
7. TINDAKAN KONSERVATIF
a. Tirah baring.
b. Hidrasi.
c. Perbaikan nutrisi.
d. Pemantauan kesejahteraan janin (hitung pergerakan janin, NST).
e. Pemeriksaan USG yang umum dari volume cairan amnion.
f. Amnion infusion.
g. Induksi dan kelahiran.
C. PRE-EKLAMPSI
1. Definisi
Preeklampsia adalah kelainan multisistem spesifik pada kehamilan yang ditandai
oleh timbulnya hipertensi dan proteinuria setelah umur kehamilan 20 minggu.
Kelainan ini dianggap berat jika tekanan darah dan proteinuria meningkat secara
bermakna atau terdapat tanda-tanda kerusakan organ (termasuk gangguan
pertumbuhan janin) (Wagener, 2004).
2. Etiologi
Penyebab pasti Preeklampsia masih belum jelas (Wagener, 2004). Hipotesa
faktor-faktor etiologi Preeklampsia bisa diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu :
genetik, imunologik, gizi dan infeksi serta interaksi antara faktor-faktor tersebut
(Mignini dkk, 2006).
Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan
tersebut sehingga kelainan ini sering dikenal dengan “The disease of theory” adapun
teori-teori tersebut antara lain (Mignini dkk, 2006):
a. Peran prostasiklin dan tromboksan S
Pada Preeklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler sehingga
terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI-2) yang pada kehamilan normal
meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis. Aktivasi trombosit
menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin sehingga terjadi
vasospasme dan kerusakan endotel.
b. Peran faktor imunologis
11
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama, hal ini dihubungkan
dengan pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta yang tidak
sempurna. Beberapa wanita dengan Preeklampsia mempunyai kompleks imun
dalam serum. Beberapa studi yang mendapati aktivasi komplemen dan system
imun humoral pada Preeklampsia.
c. Peran faktor genetik / familial
Beberapa bukti yang mendukung faktor genetik pada Preeklampsia antara
lain:
1) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia
2) Terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia pada
anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia.
3) Kecenderungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia pada anak-anak
cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia dan bukan ipar mereka.
4) Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron-System (RAAS)
3. Faktor Resiko
Faktor Risiko Preeklampsia meliputi kondisi-kondisi medis yang berpotensi
menyebabkan penyakit mikrovaskuler (misal, Diabetes Melitus, Hipertensi kronik,
kelainan vaskuler dan jaringan ikat), antifosfolipid antibody syndrome, dan nefropatin
(Mignini dkk, 2006). Faktor-faktor resiko lain dihubungkan dengan kehamilan itu
sendiri atau lebih spesifik terhadap ibu dan ayah janin (Wagener, 2004).
Faktor Resiko Preeklampsia
Faktor yang
berhubungan dengan
kehamilan
Faktor yang
berhubungan dengan
kondisi maternal
Faktor yang
berhubungan dengan
pasangan
Abnormalitas
kromosom
Mola hidatidosa
Hidrops fetalis
Kehamilan ganda
Donor oosit atau
inseminasi donor
Anomali struktur
Usia > 35 tahun
atau <20 tahun
Ras kulit hitam
Riwayat
Preeklampsia pada
keluarga
Nullipara
Preeklampsia
Partner lelaki
yang pernah menikahi
wanita yang kemudian
hamil dan mengalami
preeklampsia
Pemaparan
terbatas terhadap sperma
12
kongenital
ISK
pada kehamilan
sebelumnya
Kondisi medis
khusus : DM, HT
Kronik, Obesitas,
Penyakit Ginjal,
trombofilia
Stress
Antibody
antifosfolipid syndrom
Primipaternity
4. Patofisiologi
Walaupun penyebab pasti Preeklampsia tetap tidak jelas, banyak teori
memusatkan masalah pada impantasi plasenta dan level invasi trofoblas. Penting
diingat bahwa walaupun hipertensi dan proteinuria adalah kriteria diagnostik
Preeklampsia, kedua hal ini hanyalah symptom / gejala dari perubahan-perubahan
patofisiologi yang muncul pada kelainan ini. Salah satu perubakan patofisiologi yang
paling menonjol adalah vasospasme sistemik yang sangat nyata yang bertanggung
jawab terhadap penurunan perfusi semua system organ. Perfusi juga berkurang karena
hemokonsentrasi vaskuler dan pengeluaran cairan ke rongga ketiga. Selain itu,
Preeklampsia disertai oleh respon inflamasi berlebihan dan aktivasi endotel yang tidak
tepat. Aktivasi kaskade pembekuan dan resultan dari pembentukan thrombin lebih
lanjut menghalangi aliran darah organ (Wagener, 2004).
Tanda-tanda utama pada Preeklampsia adalah (Wagener, 2004):
a. Penurunan perfusi uteroplasental
b. Peningkatan vasokonstriktor dan penurunan vasodilator dengan akibat
vasokonstriksi local dan sistemik.
c. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
Hipotesa perubahan patofisiologis Preeklampsia sangat banyak antara lain :
kegagalan invasi trofoblas, stress oksidatif, disfungsi endotel, perubahan hormone-
hormon kalsiotrofik, pelepasan faktor-faktor pertumbuhan dan protein antiangiogenik
(Mignini dkk, 2006).
Skema patofisiologi Preeklampsia
13
5. Klasifikasi
Preeklampsia termasuk kelainan hipertensi dalam kehamilan. Penggolongan
kelainan hipertensi dalam kehamilan antara lain : hipertensi kronis, Preeklampsia,
14
Faktor Predisposisi Preeklampsia( imun, genetik, dll )
Obstruksi mekanik dan fungsional dari arteri spiralis
Perubahan plasentasi
Penurunan perfusi uteroplasental
Renin/angiotensin II Tromboksan
Vasokonstriksi arteri
Disfungsi endotel endotelin, NO
Hipertensi sistemik
Aktivasi intravascular koagulasi
SSP
DIC
Ginjal Hati Organ lainnya
Proteinuri kejang LFT abnormal iskemi GFR koma fibrin, trombin
PGE2/PGI2
Kerusakan endotel
superimposed eklampsia pada hipertensi kronis dan hipertensi gestasional (Wagener,
2004).
Hipertensi kronik adalah peningkatan tekanan darah yang timbul sebelum
kehamilan, terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau menetap setelah 12
minggu post partum. Sebaliknya, Preeklampsia didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan darah dan proteinuria yang muncul setelah usia kehamilan 20 minggu.
Eklampsia, komplikasi berat preeklampsia adalah munculnya kejang pada wanita
dengan preeklampsia. Kejang eklampsia relatif jarang dan muncul <1% wanita dengan
eklampsia (Wagener, 2004).
Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik ditandai dengan proteinuria
(atau dengan peningkatan tiba-tiba level protein jika sebelumnya sudah ada
proteinuria), peningkatan mendadak hipertensi ( dengan asumsi telah ada proteinuria)
atau terjadi HELLP Syndrome (Wagener, 2004).
Hipertensi gestasional didiagnosa jika terjadi kenaikan tekanan darah tanpa
proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu dan tekanan darah kembali normal
dalam 12 minggu post partum. Seperempat wanita dengan hipertensi gestasional
mengalami proteinuria dan belakangan berkembang menjadi preeklampsia (Wagener,
2004).
Wanita hamil dengan tekanan darah
>140/90 mmHg
Pre eklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu (POGI, 2005):
a. Pre eklampsia ringan
15
Sebelum usia kehamilan 20 minggu Setelah usia kehamilan 20 minggu
Proteinuria (-) / stabil
Proteinuria (+) / meningkat, TD meningkat, HELLP Syndroma
Proteinuria (+) /
Proteinuria (-) /
Preeklampsia / Hipertensi Gestasional
Hipertensi kronik
Preeklampsia superimposed
pada Hipertensi kronik
Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang; atau
kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik 15 mmHg.
Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan dengan
jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
Oedem umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat badan 1
kg per minggu.
Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada urin
kateter atau mid stream.
b. Pre eklampsia berat
Tekanan darah 160/110 mmHg.
Proteinuria 5 gram/liter.
Oligouria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc/24 jam.
Adanya gangguan serebral, gangguan visus dan nyeri epigastrium.
Terdapat oedem paru dan sianosis.
Thrombosytopenia berat
Kerusakan hepatoseluler
Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat
Klasifikasi pre-eklampsia lain , yaitu (Marjono, 1999):
a. Genuine pre-eklampsia
Gejala pre-eklampsia yang timbul setelah kehamilan 20 minggu disertai
dengan oedem (pitting) dan kenaikan tekanan darah 140/90 mmHg sampai
160/90. Juga terdapat proteinuria 300 mg/24 jam (Esbach)
b. Super imposed pre-eklampsia
Gejala pre-eklampsia yang terjadi kurang dari 20 minggu disertai
proteinuria 300 mg/24 jam (Esbach), dan bisa disertai oedem. Biasanya
disertai hipertensi kronis sebelumnya.
6. Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk preeklampsia (Manoe dkk, 2006) :
Preeklampsia
16
Tekanan darah : sistolik > 140 mmHg atau diastolic > 90 mmHg setelah
kehamilan 20 minggu yang sebelumnya memiliki tekanan darah yang
normal.
Proteinuria : 0,3 gr atau lebih protein 24 jam
Preeklampsia berat
Tekanan darah : sistolik > 160 mmHg atau diastolic > 110 mmHg
Proteinuria : 5 gr atau lebih protein 24 jam
Gejala lain : oliguria ( < 500 ml urin dalam 24 jam), gangguan pandangan,
edema paru dan sianosis, nyeri epigastrik kuadran atas, gangguan fungsi
liver, trombositopenia, gangguan pertumbuhan janin.
7. Pencegahan
Tidak ada alat ukur yang pasti untuk mencegah preeclampsia (Wagener, 2004).
Walaupun demikian, beberapa usaha untuk mencegah preeklampsia telah dilakukan,
antara lain :
a. Pencegahan non medikal
1) Restiksi garam
Tidak terbukti dapat mencegah terjadinya preeclampsia
2) Suplementasi diet yang mengandung :
a) Minyak ikan yang kaya dengan asam lemak tidak jenuh,
misalnya Omega-3 PUFA.
b) Antioksidan : vit C, vit E, B karoten, CoQ1o-N-Acethyl
cysteine, zinc, magnesium, calcium.
3) Tirah baring tidak terbukti :
a) Mencegah terjainya preeklampsia
b) Mecegah persalinan preterm
Di Indonesia tirah baring masih diperlukan pada mereka yang
mempunyai resiko tinggi terjadinya preeklampsia.
b. Pencegahan dengan Medikal
1) Diuretik : tidak terbukti mencegah terjadinya preeclampsia bahkan
memperberat hipovolemia.
2) Anti hipertensi tidak terbukti mencegah terjadinya preeklampsia
17
3) Kalsium : 1500-2000 mg/ hari, dapat dipakai sebagai suplemen pada
resiko tinggi terjadinya preeklampsia, meskipun belum terbukti bermanfaat
untuk mencegah preeklampsia.
4) Zinc : 200 mg / hari
5) Magnesium 365 mg / hari
6) Obat anti thrombotik :
a) Aspirin dosis rendah : rata-rata di bawah 100 mg / hari, tidak terbukti
mencegah terjadinya preeklampsia.
b) Dipyridamol
7) Abat-obatan antioksidan : vit C, vit E, B karoten, CoQ1o-N-Acethyl
cysteine, asam lipoik-6.
Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah, banyak kematian akibat kelainan ini
dapat dicegah. Deteksi awal, monitoring ketat dan terapi preeklampsia sangat penting
dalam mencegah mortalitas akibat kelainan ini (Amirudin dkk, 2007).
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pre-eklapsi, antara lain (Manoe dkk, 2006):
a. HELLP syndrome
b. Perdarahan otak
c. Gagal ginjal
d. Hipoalbuminemia
e. Ablatio retina
f. Edema paru
g. Solusio plasenta
h. Hipofibrinogenemia
i. Hemolisis
j. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin
9. Penatalaksanaan Pre-eklampsia Berat
18
Penatalaksanaan Pre-eklampsia Berat (Marjono, 1999) :
a. Perawatan Aktif
Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap penderita
dilakukan pemeriksaan fetal assesment (NST & USG).
1) Indikasi (salah satu atau lebih)
a) Ibu
- Usia kehamilan 37 minggu atau lebih
- Adanya tanda-tanda atau gejala impending eklampsia, kegagalan terapi
konservatif yaitu setelah 6 jam pengobatan meditasi terjadi kenaikan
desakan darah atau setelah 24 jam perawatan medisinal, ada gejala-
gejala status quo (tidak ada perbaikan).
b) Janin
- Hasil fetal assesment jelek (NST & USG)
- Adanya tanda IUGR
c) Laboratorium
- Adanya "HELLP syndrome" (hemolisis dan peningkatan fungsi hepar,
trombositopenia).
2) Pengobatan Medisinal
Pengobatan medisinal pasien pre eklampsia berat yaitu :
a) Segera masuk rumah sakit
b) Tirah baring miring ke satu sisi. Tanda vital diperiksa setiap 30 menit,
refleks patella setiap jam.
c) Infus dextrose 5% dimana setiap 1 liter diselingi dengan infus RL (60-125
cc/jam) 500 cc.
d) Antasida
e) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
f) Pemberian obat anti kejang : magnesium sulfat
g) Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru, payah
jantung kongestif atau edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40mg/im.
h) Antihipertensi diberikan bila :
Desakan darah sistolis lebih 180 mmHg, diastolis lebih 110 mmHg atau
MAP lebih 125 mmHg. Sasaran pengobatan adalah tekanan diastolis
kurang 105 mmHg (bukan kurang 90 mmHg) karena akan menurunkan
perfusi plasenta.
19
Dosis antihipertensi sama dengan dosis antihipertensi pada umumnya.
Bila dibutuhkan penurunan tekanan darah secepatnya, dapat diberikan
obat-obat antihipertensi parenteral (tetesan kontinyu), catapres injeksi.
Dosis yang biasa dipakai 5 ampul dalam 500 cc cairan infus atau press
disesuaikan dengan tekanan darah.
Bila tidak tersedia antihipertensi parenteral dapat diberikan tablet
antihipertensi secara sublingual diulang selang 1 jam, maksimal 4-5
kali. Bersama dengan awal pemberian sublingual maka obat yang sama
mulai diberikan secara oral.
i) Kardiotonika
Indikasinya bila ada tanda-tanda menjurus payah jantung, diberikan
digitalisasi cepat dengan cedilanid D.
j) Lain-lain :
- Konsul bagian penyakit dalam / jantung, mata.
- Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal lebih 38,5 derajat celcius
dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau
xylomidon 2 cc IM.
- Antibiotik diberikan atas indikasi (Mignini dkk, 2006). Diberikan
ampicillin 1gr/6jam/IV/hari.
- Anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus.
Dapat diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2
jam sebelum janin lahir.
3) Pemberian Magnesium Sulfat (POGI, 2005)
Cara pemberian magnesium sulfat :
a) Dosis awal sekitar 4 gram MgSO4 IV (20 % dalam 20 cc) selama 1 gr/menit
kemasan 20% dalam 25 cc larutan MgSO4 (dalam 3-5 menit). Diikuti
segera 4 gr di bokong kiri dan 4 gram di bokong kanan (40 % dalam 10 cc)
dengan jarum no 21 panjang 3,7 cm. Untuk mengurangi nyeri dapat
diberikan 1 cc xylocain 2% yang tidak mengandung adrenalin pada suntikan
IM.
b) Dosis ulangan : diberikan 4 gram intramuskuler 40% setelah 6 jam
pemberian dosis awal lalu dosis ulangan diberikan 4 gram IM setiap 6 jam
dimana pemberianMgSO4 tidak melebihi 2-3 hari.
20
c) Syarat-syarat pemberian MgSO4 (POGI, 2005):
- Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10%, 1 gram (10%
dalam 10 cc) diberikan intravenous dalam 3 menit.
- Refleks patella positif kuat
- Frekuensi pernapasan lebih 16 kali per menit.
- Produksi urin lebih 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam).
d) MgSO4 dihentikan bila :
o Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi, refleks
fisiologis menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP, kelumpuhan
dan selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot-
otot pernapasan karena ada serum 10 U magnesium pada dosis adekuat
adalah 4-7 mEq/liter. Refleks fisiologis menghilang pada kadar 8-10
mEq/liter. Kadar 12-15 mEq terjadi kelumpuhan otot-otot pernapasan
dan lebih 15 mEq/liter terjadi kematian jantung.
o Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat :
Hentikan pemberian magnesium sulfat
Berikan calcium gluconase 10% 1 gram (10% dalam 10 cc) secara IV
dalam waktu 3 menit.
Berikan oksigen.
Lakukan pernapasan buatan.
o Magnesium sulfat dihentikan juga bila setelah 4 jam pasca persalinan
sudah terjadi perbaikan (normotensif).
b. Penanganan konservatif
1) Indikasi : Bila kehamilan preterm kurang 37 minggu tanpa disertai tanda-
tanda inpending eklampsia dengan keadaan janin baik.
2) Pengobatan medisinal : Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan
aktif. Hanya loading dose MgSO4 tidak diberikan intravenous, cukup
intramuskuler saja dimana 4 gram pada bokong kiri dan 4 gram pada
bokong kanan.
3) Pengobatan obstetri :
a) Selama perawatan konservatif : observasi dan evaluasi sama seperti
perawatan aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.
21
b) MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda pre eklampsia
ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam.
c) Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap pengobatan
medisinal gagal dan harus diterminasi.
d) Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih dahulu
MgSO4 20% 2 gram intravenous.
4) Penderita dipulangkan bila :
a) Penderita kembali ke gejala-gejala / tanda-tanda pre eklampsia ringan dan
telah dirawat selama 3 hari.
b) Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan pre eklampsia ringan :
penderita dapat dipulangkan dan dirawat sebagai pre eklampsia ringan
(diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu).
D. IUGR
1. Definisi
Pertumbuhan janin terhambat merupakan suatu bentuk deviasi atau reduksi
pola pertumbuhan janin. Yang terjadi pada IUGR adalah proses patologi yang
menghambat janin mencapai potensi pertumbuhannya. Intra Uterine Growth
Restriction (IUGR) merupakan suatu keadaan dimana janin tidak mampu berkembang
sesuai dengan ukuran normal akibat adanya gangguan nutrisi dan oksigenase, atau
dengan kata lain suatu keadaan yang dialami bayi dengan berat badan lahir dibawah
batasan tertentu dari umur kehamilannya (Hasibuan, 2009).
Definisi IUGR yang sering digunakan adalah bayi yang mempunyai berat
badan lahir dibawah persentil ke-10 dari kurva berat badan normal yang disesuaikan
dengan usia kehamilan (Hasibuan, 2009).
2. Klasifikasi
Terjadinya IUGR dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok (Hasibuan, 2009):
a. IUGR tipe-1 (simetris atau proporsional)
Pada IUGR tipe-1 dijumpai tubuh janin secara keseluruhan berukuran kecil
akibat berkurangnya potensi pertumbuhan janin dan berkurangnya proliferasi
seluler semua organ janin. IUGR tipe-1 ditandai dengan berat badan, lingkar
kepala dan panjang badan berada dibawah persentil 10. IUGR simetris ini terjadi
22
selama kehamilan trimester ke-1 dan trimester ke-2 dan angka kejadian kira – kira
20 – 30 % dari seluruh bari IUGR.
b. IUGR tipe-2 (asimetris, diproporsional)
IUGR tipe-2 terjadi karena janin kurang mendapat nutrisi dan energi, sehingga
sebagian besar energi digunakan langsung untuk mempertahankan pertumbuhan
organ vital (seperti otak dan jantung). Hal ini umumnya terjadi akibat insufisiensi
plasenta. IUGR asimetris mempunyai ukuran kepala normal tetapi lingkar perut
kecil. IUGR tipe-2 memiliki berat badan yang kurang dari persentil ke-10,
sedangkan ukuran kepala dan panjang badan normal. IUGR asimetris terjadi pada
trimester terakhir, yang disebabkan karena terjadinya penurunan kecepatan
pertumbuhan.
Simetris Asimetris
Insidensi 20 – 30 % Insidensi 70 – 80 %
Terjadi pada trimester ke-1 &
ke-2
Terjadi pada trimester ke-3
Semua bagian tubuh kecil Kepala lebih besar dari abdomen
Penyakit genetik, infeksi Insufisiensi pembuluh darah
plasenta
Komplikasi neonatus, prognosis
buruk
Biasanya keadaan neonatus agak
buruk dan membaik bila
komplikasi dihindari atau
diterapi secara adekuat.
Lin dan Santolaya Forgas (1998), melaporkan proses pertumbuhan sel – sel
secara mitosis cepat pada organ – organ janin dan plasenta, dapat dibagi kedalam 3
fase, yakni :
a. Fase hiperplasia atau proliferasi (penambahan jumlah sel)
Terjadi penggandaan sel – sel secara mitosis cepat pada organ – organ janin dan
peningkatan kandungan DNA. Hal ini terjadi sejal permulaan perkembangan janin
sampai usia kehamilan 16 minggu.
b. Fase Hiperplasia dan Hipertropi
23
Terjadi penurunan mitosis sel dan peningkatan ukuran sel. Hal ini berlangsung
sampai usia 32 minggu.
c. Fase Hipertropi
Terjadi peningkatan kecepatan pertambahan ukuran sel, akumulasi jaringan
lemak, otot, dan jaringan ikat, dimana puncak kecepatan pertambahan ukuran sel
terjadi pada usia kehamilan 33 minggu.
Fase hiperplasia dimulai pada awal perkembangan janin, kemudian secara
bertahap terjadi pergeseran ke fase hipertopi. Gangguan pertumbuhan pada malnutrisi
yang terjadi selama fase hiperplasia akan menyebabkan berkurangnya jumlah sel yang
sifatnya permanen (IUGR simetris). Malnutrisi yang terjadi selama fase hipertropi
akan menyebabkan berkurangnya ukuran sel, yang sifatnya reversibel (IUGR
asimetris). Apabila malnutrisi terjadi pada fase hiperplasia dan hipetropi akan
menyebabkan berkurangnya jumlah dan ukuran sel (IUGR kombinasi) (Hasibuan,
2009).
3. Faktor Resiko dan Etiologi
a. Faktor Resiko (Hasibuan, 2009)
1) Lingkungan sosio-ekonomi rendah
2) Riwayat IUGR dalam keluarga
3) Riwayat obstetri yang buruk
4) Berat badan sebelum hamil dan selama kehamilan yang rendah
5) Komplikasi obstetrik dalam kehamilan
6) Komplikasi medik dalam kehamilan
24
b. Etiologi (Hasibuan, 2009)
MATERNAL PLASENTAL FETAL
Gangguan Vaskular
(25-30%)
Hipertensi
Diabetes Melitus
Penyakit Ginjal
Gangguan hiperkoagulasi
Thrombophilia
Syndromea antibodi
Antiphospholipid
Hipoksia persisten
(penyakit paru atau jantung,
anemia yang berat)
Malnutrisi, toksin (alkohol,
rokok, obat-obatan,dll)
Malformasi uterus atau
adanya massa
Invasi trofoblast
abnormal
Infark plasenta
Plasenta previa
Plasenta
sirkumvallate
Anomali vaskular
umbilikal – plasental
Insersi tali pusat
velamentosa
Genetik (20%)
Kelainan kromososm
Kelainan kongenital
Kehamilan ganda (5%)
Infeksi Intrauterine
Cytomegalovirus
Malaria
Parvovirus
Rubella
Toxoplasmosis
Herpes virus
HIV
4. Patofisiologi
Penyebab multifaktor dari IUGR ini disebabkan oleh tiga kemungkinan yaitu
gangguan fungsi plasenta, faktor ibu ; dimana berkurangnya suplai oksigen atau
asupan gizi, faktor janin; dimana penurun kemampuan janin untuk menggunakan
asupan gizi. Plasenta memainkan peranan penting dalam dua kategori yang pertama.
Perkembangan abnormal, berkurangnya perfusi, dan disfungsi vili – vili plasenta
sering mengakibatkan IUGR, khususnya pada tipe simetris (Hasibuan, 2009).
Pada plasenta dari ibu dengan hipereklamsi terjadi invasi sitotrofoblas yang
dangkal pada rahim dan diferensiasi sitotrofoblas yang abnormal. Kegagalan invasi
sitotrofoblas ini akan mencegah remodeling desidual distal menyebabkan
berkurangnya perfusi maternal-vili plasenta, hipoksia plasenta setempat yang akan
mengakibatkan terjadinya IUGR. Disfungsi vili plasentayang disebabkan oleh
apoptosis pada trofoblas, stress oksidatif, infark dan kerusakan sitokinin akan
25
mengakibatkan terjadinya angiogenesis yang tidak menentu pada plasenta, sehingga
menghambat pemulihan dari plasenta (Hasibuan, 2009).
5. Skrining Janin
Walaupun pemeriksaan tunggal dengan biometri atau doppler dapat secara
tepat dalam membantu penegakkan diagnosa IUGR, skrining dari IUGR sangat
penting untuk mengidentifikasi janin dengan resiko tinggi. Secara umum skrinng
dilakukan dengan cara mengukur tinggi fundus uteri (TFU), yang dilakukan secara
rutin pada waktu pemeriksaan antenatal (PAN) sejak usia kehamilan 20 minggu
sampai aterm (Cunningham dkk, 2001).
Pada wanita yang mempunyai resiko untuk terjadinya IUGR sebaiknya
dilakukan pemeriksaan USG serial sepanjang kehamilannya. Pemeriksaan skrining
IUGR terutama dilakukan pada kehamilam trimester ke-2 (18 minggu – sampai 20
minggu) untuk evaluasi ada tidaknya malformasi, dan kehamilan multipel.
Pemeriksaan ulang sebaiknya dilakukan pada usia kehamilan 28 minggu smpai 32
minggu untuk mendeteksi gangguan pertumbuhan, pertumbuhan asimetris dan
retribusi darah ke organ penting, antara lain otak, jantung dan kelenjar adrenal
(Karsono, 2002).
Pengukuran TFU, secara normal dilakukan dalam 3 minggu, pada usia
kehamilan 20 minggu sampai 38 minggu. Jika TFU kurang dari atau sama dengan 3
cm lebih rendah dari yang diharapkan pada usia kehamilan tertentu, maka kita mulai
mencurigai adanya IUGR (POGI, 2008).
6. Diagnosis
Diagnosis pasti IUGR baru dapat diketahui setelah janin dilahirkan. Syarat
utama utama untuk mengetahui apakah pertumnuhan janin berjalan normal atau tidak,
adalah keharusan utnuk mnegetahui usia kehamilan secara tepat. Tanpa diketahui usia
kehamilan, ketepatan pertumbuhan janin tidak dapat ditentukan dan kekeliruan yang
serius dalam penatalaksanaan pasien bisa saja terjadi (Hasibuan, 2009).
Usia kehamilan dapat dihitung dari tanggal hari pertama haid terakhir (HPHT)
pada wanita yang siklus haidnya teratur. Sebelum USG berkembang, IUGR di
diagnosa dengan berkurangnya penambahan berat badan ibu dimana pertambahan
berat badan kurang dari 5 kg pada usia kehamilan 24 minggu atau kurang dari 8 kg
pada kehamilan 32 minggu ( untuk ibu dengan BMI kurang dari 30) ; pemeriksaan
palapsi (leopold), dimana akurasinya terbatas dalam mendeteksi janin kecil masa
26
kehamilan (KMK) sebesar 30 %, sehingga perlu pemeriksaan tambahan biometri
janin; dan pengukuran tinggi fundus uteri (TFU) yang sampai saat ini masih bayak
digunakan (Hasibuan, 2009).
TFU akan sesuai dengan jumlah minggu usia kehamilan 22 minggu sampai 32
minggu dengan syarat kandung kemih dalam keadaan kososng. Jika diperoleh hasil
pengukuran tinggi fundus uteri ≤ 3 cm lebih rendah dari yang diharapkan pada usia
kehamilan lebih dari 34 minggu, maka perlu dicurigai adanya IUGR. Namun
pengukuran ini tidak dapat dilakukan bila usia kehamilan lebih dari 35 minggu. Hasil
pengukuran ini tidak bisa diterapkan pada kehamilan multipel, hidramnion atau janin
dnegan letak lintung, obesitas dan ukuran plasenta yang besar (Hasibuan, 2009).
Data yang paling akurat dalam menentukan usia kehamilan dengan melakukan
pemeriksaan USG. Pada usia kehamilan 4 minggu sampai 6 minggu, parameter yang
dipakai untuk menetukan usia kehamilan adalah diameter kantong gestasi. Pada usia
kehamilan 7 minggu sampai 12 minggu, parameter yang dipakai adalah jarak kepala –
bokong (crown-rump length atau CRL) dengan kesalahan sekitar 3 0 4 hari (Hasibuan,
2009).
Pada usia kehamilan 12 minggu sampai 20 minggu, parameter yang dipakai
adalah diameter biparietal (DBP) dengan kesalahan sekitar 7 hari. Pada kehamilan
trimester ke-2 dan trimester ke-3, penentuan usia kehamilan dapat juga dilakukan
dengan menggunakan parameter biometri lainnya, seperti lingkar kepala, femur,
humerus, dan sebagainya. Penentuan HPHT, pengukuran besar uterus pada awal
kehamilan, dan deteksi DJJ merupakan cara yang paling bermanfaat dalam menetukan
usia kehamilan (Hasibuan, 2009).
Cara yang paling umum digunakan dalam penetuan pertumbuhan janin adalah
dengan memperkirakan BB janin pada usia kehamilan tertentu. Disini dianggap bahwa
usia kehamilan sudah diketahui dengan tepat. Dugaan IUGR adalah apabila pada usia
kehamilan tertentu BB janin yang diobservasi ternyata lebih kecil dari BB janin yang
diharapkan dalam normogram (Hasibuan, 2009).
27
Gambar 1. Persentil Berat Badan Janin sesuai dengan Usia Kehamilan
Taksiran berat badan Janin (TBJ) yang paling banyak digunakan yakni
pengukuran berdasarkan ukuran diameter biparietal (BPD), head sircumference (HC),
abdominal sircumference (AC) dan femur length (FL) (Hasibuan, 2009).
Beberapa parameter lain dari USG untuk mendiagnosis IUGR adalah rasio
berbagai variasi pengukuran seperti lingkar kepala dibagi dengan lingkar perut
(HC/AC) normal sama dengan 1.0 sebelum usia kehamilan 32 minggu sampai 34
minggu dan kurang dari 1.0 setelah usia kehamilan 34 minggu (Hasibuan, 2009).
Pada IUGR asimetrikal , HC tetap lebih besar dibanding AC karena otak
merupakan organ yan gpaling sedikit terpengaruh ukurannya oleh hambatan
pertumbuhan janin dibanding dengan hepar yang paling banyak mengalami gangguan.
Sedangkan IUGR simetrikal, HC dan AC kedua–duanya sama–sama lebih kecil,
karenanya rasio HC/AC tidak membantu, rasio lainnya yang berguna adalah rasio
panjang femur per lingkar perut (FL/AC) (Hasibuan, 2009).
Hasil pengukuran AC kurang dari persentil ke-10 dibawah rata-rata dapat
diperkirakan suati pertumbuhan asimetris. Baschat dan Weiner mengatakan bahwa
persentil AC yang rendah mempunyai nilai sensitivitas yang tinggi yakni 98.1 %
dalam mendiagnosa IUGR, sedangkan TBJ mempunyai nilai sensitivitas 85.7%
(Hasibuan, 2009).
7. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam menangani IUGR adalah mengenali pasien-pasien
yang mempunyai resiko tinggi untuk mengandung janin kecil. Langkah kedua adalah
28
membedakan janin IUGR atau malnutrisi dengan janin yang kecil tetapi sehat.
Langkah ketiga adalah menciptakan metode adekuat untuk pengawasan janin pada
pasien-pasien IUGR dan melakukan persalinan di bawah kondisi optimal (POGI,
2008).
Tatalaksana kehamilan dengan IUGR bertujuan, karena tidak ada terapi yang
paling efektif sejauh ini, adalah untuk melahirkan bayi yang sudah cukup usia dalam
kondisi terbaiknya dan meminimalisasi risiko pada ibu (POGI, 2008). Tatalaksana
yang harus dilakukan adalah :
a. Tatalaksana umum :
1) Istirahat
Mungkin merupakan satu-satunya terapi yang paling sering
direkomendasikan. Secara teori istirahat akan menurunkan aliran darah ke
perifer dan meningkatkan aliran darah ke sirkulasi uteroplasenta, yang diduga
dapat memperbaiki pertumbuhan janin. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Laurin Dkk, menunjukkan bahwa rawat inap di rumah sakit tidak bermanfaat,
tidak terdapat perbedaan berat badan lahir antara pasien yang dirawat inap
dengan rawat jalan.
2) Suplementasi Nutrisi Ibu
Pada suatu penelitian ditemukan bahwa kurangnya nutrisi ibu memilki
sedikit efek pada berat lahir. Kekurangan kalori yang berat hingga lebih kecil
1500 kalori per hari dihubungkan dengan penurunan berat bayi lahir rata-rata
hampir 300 gram. Terdapat data yang menunjukkan bahwa suplementasi
nutrisi dalam bentuk asupan kalori oral dan atau suplemen protein memilki
sedikit efek dalam meningkatkan berat badan lahir. Defisiensi beberapa logam
pada asupan makanan ibu juga dihubungkan dengan IUGR. Walles Dkk.
membuktikan bahwa kadar seng pada leukosit perifer, yang merupakan
indikator sensitif keadaan seng jaringan, menurun pada ibu dengan janin
dengan IUGR (Cunningham dkk, 2001).
Asam eikosapentanoid yang terdapat pada minyak ikan, diduga dapat
meningkatkan berat lahir dan dapat digunakan dalam pencegahan dan terapi
IUGR. Asam ini bekerja secara kompetisi dengan asam arakhidonat yang
merupakan substrat dari enzim siklooksigenase. Zat vasoaktif, tromboksan A2
(TxA2) dan prostasiklin I2 (PGI2) telah diteliti sebagai mediator yang dapat
menurunkan aliran uteroplasenta pada IUGR idiopatik. Prostasiklin merupakan
29
vasodilator, dan tromboksan merupakan vasokonstriktor yang kuat.
Keseimbangan antara dua zat ini menghasilkan tonus vaskuler pada
uteroplasenta. Konsumsi minyak ikan diduga menghasilkan penurunan sintesis
tromboksan dan meningkatkan konsentrasi prostasiklin. Perubahan rasio ini
akan menghasilkan vasodilatasi yang menyebabkan peningkatan aliran darah
utreroplasenta dan meningkatkan berat lahir, sehingga berguna dalam
pencegahan dan terapi IUGR.
b. Tatalaksana farmakologis :
1) Aspirin dan Dipiridamol
Aspirin atau asam asetilsalisilat, menghambat enzim siklooksigenase
secara ireversibel. Pemberian aspirin dosis rendah 1-2 mg/kg/hari
menghambat aktifitas siklooksigenase dan menghasilkan penurunan sintesis
tromboksan. Pemberian aspirin dosis rendah berkaitan dengan peningkatan
berat lahir rata-rata sebesar 516 gram. Juga ditemukan peningkatan yang
bermakna pada berat plasenta.
Dipiridamol, merupakan inhibitor enzim fosfodiesterase, dapat
menghambat penghancuran cyclic adenosine monophosphate (cAMP). Ini akan
meningkatkan konsentrasi cAMP yang dapat menyebabkan trombosit lebih
sensitif terhadap efek prostasiklin dan juga merangsang sintesis prostasiklin
yang menghasilkan vasodilatasi.
2) Beta mimetik
Obat ini memilki berbagai efek pada aliran daerah uteroplasenta. Salah
satunya adalah merangsang adenilat siklase miometrium yang menyebabkan
relaksasi uterus. Relaksasi ini akan menurunkan resistensi aliran darah uterus
dan meningkatkan perfusi. Efek vasodilatasi langsung pada arteri uterina juga
meningkatkan perfusi uterus. Secara teori hal ini bermanfaat pada pengobatan
IUGR.
8. Persalinan pada IUGR
Beberapa keadaan dimana janin dengan IUGR harus dilahirkan, adalah
(Hasibuan, 2009):
a. Janin dengan kromosom normal dengan usia kehamilan lebih dari 36 minggu
lengkap
b. Oligohidramnion pada kehamilan 36 minggu atau lebih
30
c. Deselerasi lambat berulang pada usia kehamilan berapapun
d. Tidak terdapat pertumbuhan pada pemeriksaan USG dalam jangka waktu 3
minggu
Sedangkan pada usia kehamilan kurang dari 36 minggu, persalinan harus
dipikirkan pada keadaan berikut ini (POGI, 2008):
a. Tidak terdapatnya pertumbuhan janin dalam jangka waktu 3 minggu dan memiliki
paru yang matang
b. Anhidramnion pada kehamilan 30 minggu atau lebih
c. Terdapat AEDF (absent umbilical artery end diastolic flow) dan REDF (reversed
umbilical artery end distolic flow)
d. Pola denyut jantung janin yang abnormal menetap
9. IUGR Pada Janin Mendekati Aterm
Persalinan secepatnya merupakan cara untuk mendapatkan hasil terbaik bagi
janin yang dicurigai IUGR pada atau mendekati aterm. Persalinan juga harus
dilakukan pada keadaan janin dengan IUGR dengan kromosom yang normal dengan
usia kehamilan lebih dari 36 minggu, terdapat oligohidramnion pada usia kehamilan
telah mencapai 34 minggu atau lebih, gambaran deselerasi lambat berulang denyut
jantung janin pada usia kehamilan berapapun, kehamilan di atas 36 minggu dengan
dugaan adanya gangguan tali pusat, atau bila tidak terdapat pertumbuhan janin pada
pemeriksaan USG dalam jarak 3 minggu. Bila gambaran denyut jantung janin baik,
dapat dilakukan persalinan pervaginam. Seringkali janin dengan IUGR memiliki
toleransi yang lebih buruk dibandingkan dengan janin yang tumbuh normal, sehingga
persalinan perabdominam dibutuhkan bila terjadi gangguan pada saat persalinan
(POGI, 2008).
10. IUGR Pada Janin Jauh Aterm
Bila IUGR didiagnosis sebelum usia kehamilan mencapai 34 minggu, cairan
amnion dan pengawasan antenatal menunjukkan hasil normal, maka dianjurkan untuk
dilakukan observasi. Pemeriksaan USG dilakukan setiap 2-3 minggu. Selama terdapat
pertumbuhan janin dan evaluasi terhadap janin normal, kehamilan dapat dilanjutkan
hingga paru janin matang. Amniosentesis untuk menilai kematangan paru janin sering
menolong untuk membuat keputusan (POGI, 2008).
Oligohidramnion merupakan petunjuk penting adanya IUGR, walaupun
volume air ketuban yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan adanya IUGR.
31
Pada IUGR jauh dari aterm, tidak ada pengobatan khusus yang dapat memperbaiki
kondisi. Tidak terdapat bukti yang cukup yang menunjukkan bahwa istirahat dapat
mempercepat pertumbuhan janin atau memperbaiki keadaan janin dengan IUGR.
Walaupun demikian, para ahli menyarankan istirahat pada posisi miring, dimana curah
jantung dan mungkin juga perfusi plasenta menjadi maksimal (POGI, 2008)
11. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada IUGR, antara lain (POGI, 2008):
a. Anomali janin
b. Asfiksia perinatal
c. Persalinan operatif
d. Kematian perinatal
e. Hipoglikemia dan hipokalsemia neonatal
f. Enterokolitis nekrotikan
g. “longterm handicap”
12. Pencegahan
Beberapa penyebab dari IUGR tidak dapat dicegah. Bagaimanapun juga, faktor
seperti diet, istirahat, dan olahraga rutin dapat dikontrol. Untuk mencegah komplikasi
yang serius selama kehamilan, sebaiknya seorang ibu hamil mengikuti nasihat dari
dokternya; makan makanan yang bergizi tinggi; tidak merokok, minum alkohol dan
menggunakan narkotik; mengurangi stress; berolahraga teratur; serta istirahat dan tidur
yang cukup. Suplementasi dari protein, vitamin, mineral, serta minyak ikan juga baik
dikonsumsi. Selain itu pencegahan dari anemia serta pencegahan dan tatalaksana dari
penyakit kronik pada ibu maupun infeksi yang terjadi harus baik (Karsono, 2002).
E. KEHAMILAN PRETERM
A. Definisi
Kehamilan preterm adalah suatu kehamilan yang terjadi pada seorang wanita
dengan usia kehamilan antara 20 minggu sampai 37 minggu, sedangkan persalinan
preterm atau kurang bulan didefinisikan sebagai masa kehamilan yang terjadi sesudah
20 minggu dan sebelum genap 37 minggu. Persalinan yang terjadi di antara usia
gestasi ini didefinisikan sebagai persalinan kurang bulan (Abadi, 2004).
32
Dalam literature yang digunakan adalah kriteria yang didasarkan pada berat
badan kelahiran kurang bulan yakni bobot lahirnya kurang dari 2500 gram.
Keuntungan dari parameter ini adalah kita mudah menentukan usia kehamilan, tetapi
cara ini kurang tepat, dimana berat badan lahir denagn berat badan rendah dengan
umur gestasi aterm (Abadi, 2004).
B. Etiologi
Penyebab untuk kelahiran kurang bulan biasanya tidak diketahui. Di bawah ini
tercantum sebagian kejadian yang menjadi predisposisi untuk persalinan preterm
(Abadi, 2004):
1. Ruptura spontan selaput ketuban
Persalinan spontan yang jauh sebelum aterm umumnya didahului oleh ruptura
spontan selaput ketuban. Penyebab ruptura selaput ketuban ini jarang diketahui,
tetapi infeksi setempat semakin sering terlibat dalam tahun-tahun belakangan ini
(Abadi, 2004).
2. Infeksi cairan ketuban
Meskipun insiden yang tepat bagi terjadinya persalinan preterm tidak diketahui,
terdapat semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa kemungkinan sepertiga
darikasus-kasus persalinan preterm berkaitan infeksi membran koriamnion.
Kasus-kasus ini mempunyai hubungan dengan ruptura preterm selaput ketuban di
samping dengan persalinan idiopatik (Abadi, 2004).
3. Anomali hasil pembuahan
Malformasi janin atau plasenta bukan hanya merupakan faktor predisposisi
terjadinya retardasi pertumbuhan janin, tetapi juga meningkatkan kemungkinan
persalinan preterm (Abadi, 2004).
4. Persalinan preterm sebelumnya atau abortus lanjut
Wanita yang pernah melahirkan jauh sebelum aterm, lebih besar kemungkinan
untuk mengalami hal yang sama sekalipun tidak ditemukan faktor predisposisi
lainnya (Abadi, 2004).
5. Uterus yang overdistensi
Hidramnion, khususnya kalau bersifat akut atau mencolok, atau keberadaan dua
janin atau lebih, akan meningkatkan resiko persalinan preterm yang mungkin
disebabkan oleh overdistensi uteri (Abadi, 2004).
33
6. Kematian janin
Kematian janin yang terjadi sebelum aterm umumnya, tapi tidak selalu diikuti oleh
persalinan preterm spontan (Abadi, 2004).
7. Inkompetensi serviks
Pada wanita dalam presentasi kecil dengan kehamilan yang jauh dari aterm, serviks
yang inlompeten dapat menipis dan berdilatasi bukan sebagai akibat dari
peningkatan aktivitas uterus, melainkan akibat dari kelemahan intrinsik serviks
(Abadi, 2004).
8. Anomali uterus
Sangat jarang terjadi, anomali uterus ditemukan pada kasus-kasus persalinan
preterm (Abadi, 2004).
9. Plasentasi yang salah
Solusio plasenta dan plasenta previa besar kemungkinan berkaitan dengan
persalinan preterm (Abadi, 2004).
10. Retensio IUD
Kemungkinan persalinan preterm meningkat secara nyata kalau kehamilan terjadi
sementara pasien menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) (Abadi, 2004).
11. Kelainan maternal yang serius
Penyakit sistemik pada ibu kalau berat dapat menyebabkan persalinan preterm
(Abadi, 2004).
12. Induksi persalinan elektif
Perkiraan usia gestasional yang keliru dapat menyebabkan kekhawatiran yang tidak
semestinya mengenai kemungkinan kehamilan posterm, atau menimbulkan desakan
yang cukup besar dari pasien agar melakukan tindakan. Induksi persalinan pada
sebagian kasus terutama dilakukan demi kenyamanan ibu namun menggunakan
oksitosin khusus (Abadi, 2004).
13. Sebab-sebab yang tidak diketahui
Sayangnya terlalu banyak penyebab yang harus digolongkan ke dalam kategori ini
(Abadi, 2004).
C. Diagnosis
Diagnosis persalian kurang bulan harus didasarkan pada adanya kontraksi
rahim teratur pada kehamilan kurang bulan yang berkaitan dengan perubahan serviks
akibat dilatasi atau pembukaan (Abadi, 2004).
34
Pada umumnya seperti Inggris, Amerika juga Indonesia tidaklah lazim untuk
memeriksakan serviks pada kunjungan antenatal. Beberapa peneliti melaporkan
manfaat pemeriksaan tersebut untuk meramalkan kemungkinan persalinan preterm.
Papiernik menemukan untuk bahwa indikator yang paling sensitive ialah servik yang
pendek < 2 cm dan pembukaan (tanda servik yang matang) mempunyai resiko relatif
persalinan preterm mencapai 3-4x. Meskipun masih terdapat kendala, yakni
kuantifikasi penilaian dan perbedaan antar pemeriksa (Abadi, 2004).
D. Pencegahan Persalinan Preterm
1. Pendidikan masyarakat melalui media yang ada tentang bahaya dan kerugian
kelahiran preterm atau berat lahir rendah. Masyarakat diharapkan untuk
menghindari faktor resiko diantaranya ialah dengan menjarangkan kelahiran
menjadi lebih dari 3 tahun, menunda usia hamil sampai 22-23 tahun .
2. Menggunakan kesempatan periksa hamil dan memperoleh pelayanan antenatal
yang baik.
3. Mengusahakan makanan lebih baik pada masa hamil agar menghindarkan
kekurangan gizi dan anemia.
4. Menghindarkan kerja berat selam hamil. Dalam hal ini diperlukan peraturan yang
melindungi wanita hamil dari sangsi pemutusan hubungan kerja (Abadi, 2004).
E. Kriteria persalinan premature antara lain :
- kontraksi yang teratur dengan jarak 7-8 menit atau kurang dan adanya pengeluaran
lendir kemerahan cairan pervaginam diikuti salah satu berikut ini
- periksa dalam :
· pendataran 50-80% atau lebih
· pembukaan 2 cm atau lebih
- mengukur panjang servik dengan vaginal probe USG
· panjang servik kurang dari 2 cm pasti terjadi persalinan premature (Abadi,
2004)
F. Penanganan
Tujuan utama adalah bagaimana mengetahui dan menghalangi terjadinya
persalinan premature.
35
Ketika mendiagnosis persalinan kurang bulan, beberapa keputusan penanganan
perlu dilakukan tentang (Abadi, 2004) :
- umur kehamilan, karena lebih bisa dipercaya untuk penentuan prognosis dari berat
janin
- pemeriksaan dalam
penilaian ini dilakukan bila tidak ada kontraindikasi seperti plasenta previa.
Penilaian awal harus dilakukan untuk memastikan panjang dan dilatasi servikal
serta kedudukan dan sifat dan bagian yang berpresentasi.
- apakah ada demam atau tidak
- kondisi janin (jumlahnya, letaknya, presentasi, taksiran berat badan janin,
hidup/gawat janin/mati, kelainan kongenital dan sebagainya dari USG).
- letak plasenta perlu diketahui untuk antisipasi seksio seksaria
- fasilitas dan petugas yang mampu menangani calon bayi terutama adanya seorang
neonatologi
- pada pasien ini juga diperiksa untuk mencari ada tidaknya setiap masalah yang
mendasari yang dapat dikoreksi, misalnya infeksi saluran kencing. Pasien harus
ditempatkan pada posisi lateral dekubitus dipantau untuk mendeteksi adanya
frekwensi aktifitas rahim, dan diperiksa ulang untuk mencari ada tidaknya
perubahan servik setelah selang waktu yang tepat. Selama periode observasi hidrasi
oral dan parental harus dilakukan.
F. HIV/ AIDS
B. Definisi HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency Sindrom/ Sindrom imunodefisiensi
didapat), adalah stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis
yang yang dikenal sebagai spektrum infeksi HIV. HIV yang dulu disebut sebagai
HTLV-III (Human T cell Lymphotropic Virus III) atau LAV (Lymphadenophaty Virus)
adalah virus sitopatik dari famili retrovirus (Price, 2005). HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus dengan materi genetik asam
ribonukleat (RNA). Retrovirus mempunyai kemampuan yang unik untuk mentransfer
informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang
disebut reverse transcriptase, setelah masuk ke tubuh penjamu (Lan, 2006). Virus ini
menyerang dan merusak sel- sel limfosit T-helper (CD4+) sehingga sistem imun
penderita turun dan rentan terhadap berbagai infeksi dan keganasan (Murtiastutik,
36
2008). Genom HIV mengandung sembilan protein yang esensial untuk siklus
hidupnya.
C. Penularan
HIV ditularkan selama kontak seksual (termasuk seks genital-oral), melalui
paparan parenteral (pada transfusi darah yang terkontaminasi dan pemakaian bersama
jarum suntik / injecting drugs use (IDU)) dan dari ibu kepada bayinya selama masa
perinatal. Seseorang yang positif- HIV asimtomatis dapat menularkan virus, adanya
penyakit seksual lainnya seperti sifilis dan gonorhoe meningkatkan resiko penularan
seksual HIV sebanyak seratus kali lebih besar, karena peradangan membantu
pemindahan HIV menembus barier mukosa. Sejak pertama kali HIV ditemukan,
aktivitas homoseksual telah dikenal sebagai faktor resiko utama tertularnya penyakit
ini. Resiko bertambah dengan bertambahnya jumlah pertemual seksual dengan
pasangan yang berbeda. Transfusi darah atau produk darah yang terinfeksi merupakan
cara penularan yang paling efektif. Pengguna obat-obat terlarang dengan seringkali
terinfeksi melalui pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi. Paramedis dapat
terinfeksi HIV oleh goresan jarum yang terkontaminasi darah, tetapi jumlah infeksi
relatif lebih sedikit. Angka penularan ibu ke anaknya bervariasi dari 13 % sampai 48%
pada wanita yang tidak diobati. Bayi bisa terinfeksi di dalam rahim, selama proses
persalinan atau yang lebih sering melalui air susu ibu (ASI). Tanpa penularan melalui
ASI, sekitar 30% dari infeksi terjadi di dalam rahim dan 70% saat kelahiran. Data
menunjukkan bahwa sepertiga sampai separuh infeksi HIV perinatal di Afrika
disebabkan oleh ASI. Penularan selama menyusui biasanya terjadi pada 6 bulan
pertama setelah kelahiran (Jawetz, 2001).
D. Gejala Klinis
Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam
kulit, nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai dengan supresi
yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat yang sangat
bervariasi atau neoplasma yang tidak umum (terutama Sarkoma Kaposi). Gejala yang
lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala prodormal (diare dan
penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam, napas pendek, diare
kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala
penyakit pada saluran pencernaan, dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab
utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan
timbulnya penyakit klinis pertama kali pada orang dewasa biasanya panjang, rata-rata
37
sekitar 10 tahun (Jawetz, 2005). WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien
yang terinfeksi HIV/AIDS, sebagai berikut :
Di negara berkembang, tes serologi maupun antigen HIV belum memadai.
Untuk memudahkan diagnosis, WHO menetapkan kriteria diagnosis HIV/AIDS
apabila terdapat dua gejala mayor dan satu gejala minor di bawah ini (Murtiastutik,
2008).
a. Gejala Mayor
- Penurunan berat badan > 10% berat badan
- Diare kronis > 1 bulan
- Demam > 1 bulan
- Kesadaran menurun dan gangguan neurologis
- Demensia
b. Gejala Minor
- Batuk > 1 bulan
- Pruritus Dermat itis menyeluruh
- Infeksi umum yang rekuren
- Kandidiasis Orofaringeal
- Infeksi Herpes Simpleks yang meluas atau menjadi kronik progresif
- Limfadenopati generalisata
Tabel 1.1. Stadium klinik HIV
38
39
(Sumber: WHO, 2008)
E. Diagnosis
Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium meliputi
uji imunologi dan uji virologi.
a). Diagnosis klinik
Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus klinik dan sistem
stadium klinik untuk infeksi HIV. WHO telah mengeluarkan batasan kasus infeksi
HIV untuk tujuan pengawasan dan merubah klasifikasi stadium klinik yang
berhubungan dengan infeksi HIV pada dewasa dan anak. Pedoman ini meliputi kriteria
diagnosa klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk mempertimbangkan
memulai terapi antiretroviral lebih cepat (Read, 2007).
Tabel 1.2. Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
40
[Sumber : Dep Kes, 2007]
b). Diagnosis Laboratorium
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV
dibagi dalam dua kelompok yaitu :
1). Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap HIV-1 dan
digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme –
linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji
Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk
memperkuat hasil reaktif dari test krining. Uji yang menentukan perkiraan
abnormalitas sistem imun meliputi jumlah dan persentase CD4+ dan CD8+ T-
limfosit absolut. Uji ini sekarang tidak digunakan untuk diagnose HIV tetapi
digunakan untuk evaluasi.
Deteksi antibodi HIV
41
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah terinfeksi HIV.
ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus diulang dengan sampel darah yang
sama, dan hasilnya dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect
Immunofluorescence Assays). Sedangkan hasil yang negatif tidak memerlukan tes
konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang terinfeksi pada masa jendela
(window period), tetapi harus ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada
tanggal berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang yang
terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi melawan HIV-1 (yaitu,
dalam 6 (enam) minggu pertama dari infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik
dan gejala dari sindrom retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada
individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita hamil, dan
transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibodi anak baru lahir dari ibu yang
terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu hasil positif ELISA pada seorang anak usia
kurang dari 18 bulan harus di konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum
anak dianggap mengidap HIV-1.
Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi
terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot
(dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif harus
dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid
tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan
keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan
enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining
berulang (ELISA atau rapid test). Hasil negatif Western blot menunjukkan
bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsu
dan pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif
menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18
bulan.
Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih
sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan
42
penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada
sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif
(reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
Penurunan sistem imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit,
sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah
terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah
CD4 menurun secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan
penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun.
2). Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk
menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan test untuk
komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24)).
Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam
plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan
menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse
transcriptase virus atau untuk antigen spesifik virus.
NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak dilakukan untuk
diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan. Karena asam nuklet virus mungkin
berada dalam jumlah yang sangat banyak dalam sampel. Pengujian RNA dan
DNA virus dengan amplifikasi PCR, menggunakan metode enzimatik untuk
mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA HIV merupakan petanda prediktif
penting dari progresi penyakit dan menjadi alat bantu yang bernilai untuk
memantau efektivitas terapi antivirus.
Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan antibodi p24 atau
dalam keadaan bebas dalam aliran darah indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada
umumnya uji antigen p24 jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA
atau DNA HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat dengan
peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan antigen p24 dari antibodi
anti-p24 (Read, 2007).
43
F. Infeksi Oportunistik
Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien HIV tahap lanjut adalah
infeksi oportunistik, yaitu infeksi berat yang diinduksi oleh agen-agen yang jarang
menyebabkan penyakit serius pada individu dengan kemampuan imun baik. Oleh
karena itu pengobatan ditujukan untuk mengatasi beberapa agen patogen oportunistik
sehingga memungkinkan pasien AIDS bertahan hidup lebih lama. Infeksi oportunistik
yang paling sering terjadi pada pasien AIDS meliputi infeksi dari:
(1). Protozoa- spesies Toxoplasma gondii, Isospora belli
(2). Jamur – Candida albicans, Cyyptococcus neoforman, Coccidioides immitis,
Histoplasma capsulatum, Pneumonitis carinii
(3). Bakteri – Mycobacterium avium-intraseluler, Mycobacterium tuberculosis,
Lysteria monocytogen, Nocardia asteroids, spesies Salmonella, spesies
Streptokokus
(4).Virus- Cytomegalovirus, virus Herves Simpleks, virus Varicella-Zoster,
Adenovirus, virus hepatitis (Jawetz, 2001).
G. Obat Antiretroviral
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (DepKes, 2006). Pengobatan infeksi HIV dengan
antiretroviral digunakan untuk memelihara fungsi kekebalan tubuh mendekati keadaan
normal, mencegah perkembangan penyakit, memperpanjang harapan hidup dan
memelihara kualitas hidup dengan cara menghambat replikasi virus HIV. Karena
replikasi aktif HIV menyebabkan kerusakan progresif sistem imun, menyebabkan
berkembangnya infeksi oportunistik, keganasan (malignasi), penyakit neurologi,
penurunan berat badan yang akhirnya mendorong ke arah kematian (McEvoy, 2004).
Terdapat lebih dari 20 obat antiretroviral yang digolongkan dalam 6 golongan
berdasarkan mekanisme kerjanya, terdiri dari :
• Nucleoside/ nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTI)
NRTIs bekerja dengan cara menghambat kompetitif reverse transcriptase
HIV-1 dan dapat bergabung dengan rantai DNA virus yang sedang aktif dan
menyebabkan terminasi. Obat golongan ini memerlukan aktivasi intrasitoplasma,
difosforilasi oleh enzim menjadi bentuk trifosfat. Golongan ini terdiri dari : Analog
deoksitimidin (Zidovudin), analog timidin (Stavudin), analog deoksiadenosin
(Didanosin), analog adenosisn (Tenovir disoproxil fumarat/TDF), analog sitosin
(Lamivudin dan Zalcitabin) dan analog guanosin (Abacavir) (Katzung, 2004).
44
• Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs)
NNRTIs bekerja dengan cara membentuk ikatan langsung pada situs aktif
enzim reverse transcriptase yang menyebabkan aktivitas polimerase DNA terhambat.
Golongan ini tidak bersaing dengan trifosfat nukleosida dan tidak memerlukan
fosforilasi untuk menjadi aktif. Golongan ini terdiri dari: Nevirapin, Efavirenz,
Delavirdine (Katzung, 2004).
• Protease inhibitors (PIs)
Selama tahap akhir siklus pertumbuhan HIV, produk-produk gen Gag-Pol dan
Gag ditranslasikan menjadi poliprotein dan kemudian menjadi partikel yang belum
matang . Protease bertanggung jawab pada pembelahan molekul sebelumnya untuk
menghasilkan protein bentuk akhir dari inti virion matang dan protease penting untuk
produksi virion infeksius matang selama replikasi. Obat golongan ini menghambat
kerja enzim protease sehingga mencegah pembentukan virion baru yang infeksius.
Golongan ini terdiri dari: Saquinavir, Ritonavir, Nelfinavir, Amprenavir (Katzung,
2004).
• Fusion inhibitors (FIs)
FIs menghambat masuknya virus ke dalam sel, dengan cara berikatan dengan
subunit gp 41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke sel target dihambat.
Obat golongan ini terdiri dari : Enfuvirtide (T-20 atau pentafuside).
• Antagonists CCR5
Bekerja dengan cara mengikat CCR5 (reseptor kemokin 5) di permukaan sel
CD4 dan mencegah perlekatan virus HIV dengan sel pejamu. Golongan ini terdiri dari
: Maraviroc, Aplaviroc, Vicrivirox (Tsibris, 2007).
• Integrase strand transfer inhibitors (INSTI)
Bekerja dengan cara menghambat penggabungan sirkular DNA (cDNA) virus
dengan DNA sel inang (hospes). Golongan ini terdiri dari: Raltegravir dan elvitegravir
(Evering H, 2008).
45
Tabel 1.3. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa
(Sumber : DepKes, 2007)
Pada pasien dengan infeksi opotrunistik aktif, jangan memulai terapi ARV bila
masih terdapat IO yang aktif. Pada dasarnya IO harus diobati atau diredakan dulu,
kecuali Mycobacterium avium Complex (MAC), dimana terapi ARV merupakan
pilihan yang lebih baik, terutama apabila terapi spesifik untuk MAC tidak tersedia.
Keadaan lain yang mungkin akan membaik ketika dimulai terapi ARV adalah
kandidosis dan kriptosporidosis.
46
Tabel 1.4. Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik
47
48
(Sumber : DepKes, 2007)
H. Evaluasi terapi Antiretroviral
Setelah pengobatan dengan ARV dimulai, diperlukan pemantauan klinis dan
laboratorium, meliputi :
• Penilaian tanda/gejala toksisitas obat yang potensial
• Konseling dan penilaian kepatuhan penilaian respon terapi dan tanda-tanda
kegagalan pengobatan
• Pengukuran berat badan
• Pengujian CD4 paling sedikit setiap 6 bulan
• Pemantauan Hb bagi pasien yang menggunakan AZT
Pemantauan dilakukan 2,4,8,12 dan 24 minggu setelah pengobatan dimulai dan
kemudian setiap enam bulan sekali untuk pasien yang telah stabil pada terapi
(DepKes, 2007).
49
Candida merupakan jamur yang dapat hidup sebagai saprofit di saluran
pernapasan, saluran cerna, dan kotoran di bawah kuku orang sehat. Selain sebagai
komensal jamur tersebut juga dapat menyebabkan infeksi atau kandidosis baik
superfisial maupun sistemik. Perubahan dari bentuk saprofit menjadi patogen terjadi
bila ada faktor predisposisi yang biasanya merupakan penurunan imunitas tubuh.
Salah satu keadaan dengan penurunan sistem imunitas adalah HIV/AIDS yang dapat
mengubah sifat jamur yang semula komensal menjadi patogen. Pada penderita AIDS
biasanya terjadi kandidosis oral atau esofagitis (DepKes, 2007).
Pasien yang terinfeksi HIV pada tingkat klinik II biasanya mengalami infeksi
jamur pada rongga mulut yang berulang dan kelainan kulit yang ringan. Pada tingkat
klinik III, penderita sering mengalami kandidosis rongga mulut, tenggorok dan
esofagus serta diare kronik dengan penyebab yang tidak diketahui. Banyak tulisan
menunjukkan bahwa gejala awal dari AIDS berupa kelainan pada rongga mulut seperti
sarcoma kaposi, herpes simpleks dan kandidosis. Infeksi Candida di rongga mulut dan
esofagus dapat menjalar ke saluran pencernaan dan menimbulkan keluhan berupa
diare dengan tinja lembek sampai cair tanpa darah, nyeri perut bahkan kontraksi perut,
mual atau muntah. Infeksi jamur pada saluran pencernaan umumnya disebabkan oleh
genus Candida dan kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh golongaan khamir
lainnya, seperti Geotrichum. Jenis Candida yang tersering ditemukan menginfeksi
manusia adalah Candida albicans kemudian diikuti oleh spesies Candida yang lainnya
(DepKes, 2007).
No. Spesimen Candida Jumlah1 Candida albicans 22 (52,38%)2 Candida tropicalis 7 (16,67%)3 Candida guilliermondii 4 (9,52%)4 Candida krusei 7 (16,67%)5 Candida glabrata 2 (4,76%)6 Candida lusitaniae 2 (4,76%)7 Candida pseudotropicalis 1 (2,38%)
Jumlah 45 (100%)
Tabel 2.1. Isolat spesies Candida dari tinja pasien HIV/AIDS pada penelitian di RS
Cipto Mangunkusumo, 2002 (Mulyati,dkk., 2002)
Pendekatan diagnostik diare kronis pada pasien HIV/AIDS meliputi
pemeriksaan dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan tinja, urin, darah
50
kemudian pemeriksaan lanjutan jika diperlukan. Anamnesis yang perlu digali pada
pasen diare kronis adalah waktu dan frekuensi diare, bentuk, keluhan lain yang
menyertai diare, riwayat penggunaan obat, makanan/minuman, dan keluhan lain yang
mendukung seperti pada sindrom usus iritatif (IBS) didapatkan banyak keluhan yang
menyertai diare, antara lain: perut begah, nyeri daerah anus setelah defekasi, mual atau
sendawa. Pada pemeriksaan fisik, kebanyakan gejala klinik tidak spesifik dan
menunjukkan adanya malabsorbsi nutrien dan defisiensi vitamin/mineral. Pemeriksaan
tinja pada pasien HIV/AIDS harus diperhatikan apakah tinja berbentuk air/cair,
setengah cair/lembek, berlemak atau bercampur darah. Contoh tinja harus segera
diperiksa untuk melihat adanya leukosit, eritrosit, parasit, maupun jamur. Pemeriksaan
laboratorium lain, yaitu darah dan urin. Pemeriksaan lanjutan yang bias dilakukan
adalah pemeriksaan BNO (foto polos abdomen), barium enema, dan sigmoidoskopi
(DepKes, 2007).
Prinsip penatalaksaan pasien diare kronis pada HIV/AIDS meliputi modifikasi
diet, intervensi psikologis, dan farmakologis. Modifikasi diet terutama untuk
peningkatan konsumsi makanan dan minuman. Intervensi psikologis terutama pasien
HIV/AIDS dengan sindrom usus iritatif karena biasanya pasien-pasien memiliki
kecenderungan stress akibat penyakitnya. Intervensi farmakologis terutama untuk
menghilangkan rasa nyeri abdomen, konstipasi, maupun untuk mengatasi infeksi
jamur (DepKes, 2007).
H. SECTIO CAESARIA
a. Definisi
Kelahiran fetus melalui incisi dinding perut pada usia kehamilan lebih dari
28 minggu. Definisi ini tidak termasuk pengeluaran fetus dari rongga abdomen
dalam kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan abdominal. Newnham and
Hobel menyebutkan bahwa sektio caesaria sebagai kelahiran janin melalui insisi
pada dinding perut dan rahim anterior. Pembedahan sektio caesaria dapat
merupakan tindakan emergency ataupun tindakan elektif (yang direncanakan).
Seksio cecarea emergency, biasanya dilakukan pada keadaan: fetal distress,
distokia atau persalinan yang tak maju, perdarahan plasenter. Seksio sesarea
emergency selalu mempunyai resiko yang lebih tinggi daripada yang direncanakan
(Marjono, 1999).
51
b. Indikasi (Abadi, 2004)
i. Indikasi Maternal
1. Disporposi Kepala Panggul
2. Plasenta Previa
3. Abnormalitas Jalan Lahir (tumor jalan lahir)
4. Abnormalitas uterus
5. Pre Eklampsia Berat
6. Eklampsia
7. Riwayat SC (2x/lebih, SC Corporal,Incisi bentuk huruf T)
8. Ruptur Uteri Imminens
ii. Indikasi Fetal (Abadi, 2004)
1. Fetal Distress
2. Prolaps Tali pusat
3. Makrosomia
4. Kelainan letak, misal : letak lintang, letak sungsang.
5. Kelainan kongenital, misal : hidrosefalus
6. Infeksi jalan lahir ibu, misal : herpes
iii. Indikasi Persalinan (Abadi, 2004)
1. Persalinan tak maju atau distosia.
c. Komplikasi (Abadi, 2004)
i. Terhadap ibu
1. Infeksi puerperal, seperti infeksi rahim atau endometriosis
2. ISK
3. Perdarahan, Anemia
4. Komplikasi Obat Bius, misal: gangguan saluran pencernaan, gangguan
pernafasan
5. Tromboemboli
ii. Resiko Janin (Abadi, 2004)
1. APGAR Score yang rendah
2. Gangguan pernafasan
d. Seksio cecarea digolongkan menurut tipe incisi dari rahim, yaitu (Abadi, 2004):
1. Segmen bawah
Incisi pada isthmus atau bagian servikal rahim
a. Tranverse (Munro-Kerr)
52
b. Vertical (Beck atau Kronig)
2. Klasik
Incisi pada fundus uteri
a. Longitudinal
b. Tranverse
3. Ekstraperitoneal
Incisi segmen rendah tanpa masuk ke cavum abdominal
a. Tranverse (Waters)
b. Vertical (Latzko)
4. Post mortem
Incisi uterus pada fundus, yang dilakukan setelah ibu meninggal
I. IUD
a. Pengertian IUD
Pengertian IUD adalah salah satu alat kontrasepsi modern yang telah
dirancang sedemikian rupa (baik bentuk, ukuran, bahan, dan masa aktif fungsi
kontrasepsinya), diletakkan dalam kavum uteri sebagai usaha kontrasepsi,
menghalangi fertilisasi, dan menyulitkan telur berimplementasi dalam uterus
(Hidayati, 2009).
Pengertian AKDR atau IUD atau Spiral adalah suatu benda kecil yang
terbuat dari plastic yang lentur, mempunyai lilitan tembaga atau juga mengandung
hormone dan di masukkan ke dalam rahim melalui vagina dan mempunyai benang
(Handayani, 2010).
IUD adalah suatu alat kontrasepsi yang dimasukkan ke dalam rahim yang
bentuknya bermacam-macam, terdiri dari plastik (polythyline), ada yang dililit
tembaga (Cu) ada pula yang tidak, tetapi ada pula yang dililit dengan tembaga
bercampur perak (Ag). Selain itu ada pula yang batangnya berisi hormon
progesterone. (Kusmarjati, 2011).
Kontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah dan konsepsi
yang berarti pertemuan antara sel telur dengan sel sperma yang mengakibatkan
kehamilan, sehingga kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya
kehamilan dengan cara mengusahakan agar tidak terjadi ovulasi, melumpuhkan
sperma atau menghalangi pertemuan sel telur dengan sel sperma (Wiknjosastro,
2003).
53
b. Jenis – Jenis IUD
Jenis - jenis IUD yang dipakai di Indonesia antara lain :
a. Copper-T
Menurut Imbarwati,(2009). IUD berbentuk T, terbuat dari bahan
polyethelen dimana pada bagian vertikalnya diberi lilitan kawat tembaga halus.
Lilitan tembaga halus ini mempunyai efek anti fertilitas (anti pembuahan) yang
cukup baik. Menurut ILUNI FKUI (2010). Spiral jenis copper T (melepaskan
tembaga) mencegah kehamilan dengan cara menganggu pergerakan sperma
untuk mencapai rongga rahim dan dapat dipakai selama 10 tahun.
b. Progestasert IUD (melepaskan progesteron)
Progestasert IUD hanya efektif untuk 1 tahun dan dapat digunakan
untuk kontrasepsi darurat Copper-7. Menurut Imbarwati (2009). IUD ini
berbentuk angka 7 dengan maksud untuk memudahkan pemasangan. Jenis ini
mempunyai ukuran diameter batang vertikal 32 mm dan ditambahkan gulungan
kawat tembaga luas permukaan 200 mm2, fungsinya sama dengan lilitan
tembaga halus pada IUD Copper-T.
c. Multi load
Menurut Imbarwati (2009), IUD ini terbuat dari plastik (polyethelene)
dengan dua tangan kiri dan kanan berbentuk sayap yang fleksibel. Panjang dari
ujung atas ke ujung bawah 3,6 cm. Batang diberi gulungan kawat tembaga
54
dengan luas permukaan 250 mm2 atau 375 mm2 untuk menambah efektifitas.
Ada tiga jenis ukuran multi load yaitu standar, small, dan mini.
d. Lippes loop
Menurut Imbarwati (2009), IUD ini terbuat dari polyethelene,
berbentuk huruf spiral atau huruf S bersambung. Untuk memudahkan kontrol,
dipasang benang pada ekornya Lippes loop terdiri dari 4 jenis yang berbeda
menurut ukuran panjang bagian atasnya. Tipe A berukuran 25 mm (benang
biru), tipe B 27,5 mm (benang hitam), tipe C berukuran 30 mm (benang
kuning) dan tipe D berukuran 30 mm dan tebal (benang putih). Lippes loop
mempunyai angka kegagalan yang rendah. Keuntungan dari pemakaian IUD
jenis ini adalah bila terjadi perforasi, jarang menyebabkan luka atau
penyumbatan usus, sebab terbuat dari bahan plasti.
a. Cara Kerja IUD
Menurut Saifudin (2010), Cara kerja IUD adalah:
Menghambat kemampuan sperma untuk masuk ketuba falopi
Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri.
AKDR bekerja terutama mencegah sperma dan ovum bertemu, walaupun
AKDR membuat sperma sulit masuk kedalam alat reproduksi perempuan dan
mengurangi kemampuan sperma untuk fertilisasi.
Memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus.
b. Efektivitas
Keefektivitasan IUD adalah: Sangat efektif yaitu 0,5 – 1 kehamilan per100
perempuan selama 1 tahun pertama penggunaan (Sujiyantini danArum, 2009).
c. Keuntungan (Imbarwati, 2009)
Sebagai kontrasepsi, efektifitasnya tinggi Sangat efektif → 0,6 - 0,8 kehamilan /
100 perempuan dalam 1 tahun pertama ( 1 kegagalan dalam 125 – 170
kehamilan).
AKDR dapat efektik segera setelah pemasangan.
55
Metode jangka panjang ( 10 tahun proteksi dari CuT – 380A dan tidak perlu
diganti)
Sangat efektif karena tidak perlu lagi mengingat –ingat
Tidak mempengaruhi hubungan seksual
Meningkatkan kenyamanan seksual karena tidak perlu takut untuk hamil
Tidak ada efek samping hormonal dengan Cu AKDR ( CuT -380A)
Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI
Dapat dipasang segera setelah melahirkan atau sesudah abortus (apabila tidak
terjadi infeksi)
Dapat digunakan sampai menopause ( 1 tahun atau lebih setelah haid terakhir)
Tidak ada interaksi dengan obat – obat
Membantu mencegah kehamilan ektopik.
d. Kerugian (Imbarwati, 2009)
Efek samping yang mungkin terjadi:
- Perubahan siklus haid ( umum pada 3 bulan pertama dan akan berkurang
setelah 3 bulan)
- Haid lebih lama dan banyak
- Perdarahan ( spotting ) antar menstruasi
- Saat haid lebih sakit
Komplikasi Lain (Imbarwati, 2009):
- Merasakan sakit dan kejang selama 3 sampai 5 hari setelah pemasangan
- Merasa sakit dan kejang selama 3 – 5 hari setelah pemasangan
- Perdarahan berat pada waktu haid atau di antaranya yang memungkinkan
penyebab anemia
- Perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila pemasangannya benar)
Tidak mencegah IMS termasuk HIV/AIDS
Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau perempuan yang sering
berganti pasangan
Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan dengan IMS memakai
AKDR. PRP dapat memicu infertilitas
Tidak mencegah terjadinya kehamilan ektopik terganggu karena fungsi AKDR
untuk mencegah kehamilan normal
e. Peralatan Pemasangan IUD (Imbarwati, 2009)
56
- Bivalue speculum ( speculum cocor bebek )
- Tampontang
- Tenakulum
- Gunting
- Mangkuk untuk larutan antiseptic
- Sarung tangan dan barakscort
- Duk steril
- Kapas cebok
- Cairan antiseptic ( betadin )
f. Perlengkapan Pemasangan IUD (Imbarwati, 2009)
- Meja ginekologi
- Lampu sorot / lampu senter
- Kursi duduk
- Tempat klorin 0,5 %
- Tempat sampah basah
g. Pemasangan IUD (Imbarwati, 2009)
a. Sewaktu haid sedang berlangsung
Karena keuntungannya pemasangan lebih mudah oleh karena servik
pada waktu agak terbuka dan lembek. Rasa nyeri tidak seberapa keras,
perdarahan yang timbul sebagai akibat pemasangan tidak seberapa dirasakan,
kemungkinana pemasangan IUD pada uterus yang sedang hamil tidak ada
(Imbarwati, 2009).
b. Sewaktu post partum
Pemasangan IUD setelah melahirkan dapat dilakukan:
57
- Secara dini yaitu dipasang pada wanita yang melairkan sebelum
dipulangkan dari rumah sakit
- Secara langsung yaitu IUD dipasang dalam masa 3 bulan setelah partus
atau abortus
- Secara tidak langsung yaitu IUD dipasang sesudah masa tiga bulan setelah
partus atau abortus
c. Sewaktu abortus
d. Beberapa hari setelah haid terakhir
58
BAB III
STATUS PENDERITA
A. ANAMNESIS
Tanggal 14 April 2015
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. K
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Ngemplak Boyolali
Status Perkawinan : Menikah
HPMT : 29 Agustus 2014
HPL : 5 Juni 2015
UK : 32 +4 minggu
Tanggal Masuk : 14 April 2015 jam 21.00
No.CM : 01297515
2. Keluhan Utama
Pasien mengeluarkan darah dari jalan lahir
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G6P1A4 usia 35 tahun datang rujukan dari RSUD Nipang Surakarta
dengan keterangan plasenta previa letak rendah. Pasien mengeluh mengeluarkan
darah dari jalan lahir sejak 4 jam SMRS. Darah berwarna merah segar sebanyak satu
pembalut penuh. Pasien tidak mengeluh nyeri perut. Pasien merasa hamil 8 bulan,
gerakan janin masih dirasakan, kenceng-kenceng teratur sudah dirasakan, air kawah
belum dirasakan keluar, lendir darah (+).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mondok : (+) di RSUD Nipang 1 minggu yang
lalu dengan keluhan yang sama,mengeluarkan darah dari jalan lahir.
Riwayat Sectio Caesaria : (+) di RB Assalam, 5,5 tahun yang lalu.
59
Riwayat sesak nafas : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Alergi Obat/makanan : Disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Alergi Obat/makanan : Disangkal
6. Riwayat Fertilitas
Baik
7. Riwayat Obstetri
I : Abortus, dilakukan kuretase
II : KET
III : Laki-laki/ 5,5 tahun. Lahir secara SC dengan berat bayi 3800gr
IV : Abortus, kuretase
V : Abortus, kuretase
VI : Sekarang
8. Riwayat Ante Natal Care (ANC)
Teratur, pertama kali periksa ke Puskesmas/ bidan pada usia kehamilan 1 bulan.
9. Riwayat Haid
- Menarche : 13tahun
- Lama menstruasi : 6-7 hari
- Siklus menstruasi : 28 hari
10. Riwayat Perkawinan
60
Menikah 1 kali, selama 9 tahun.
11. Riwayat Keluarga Berencana
(-)
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Interna
Keadaan Umum : Baik, CM, Gizi kesan cukup
Tanda Vital :
Tensi : 100/70 mmHg
Nadi : 88 x / menit
Respiratory Rate : 20 x/menit
Suhu : 36,5 0C
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjuctiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, Pharinx hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax : Normochest, retraksi (-)
Cor :
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Ronki basah kasar (-/-)
Abdomen:
Inspeksi : Dinding perut > dinding dada
Stria gravidarum (+)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Palpasi : Supel, NT (-), hepar lien tidak membesar
61
Perkusi : Tympani pada bawah processus xiphoideus, redup pada daerah
uterus
Genital : Lendir darah (+), air ketuban (-)
Ekstremitas : Oedema
- -
- -
Akral dingin
- -
- -
2. Status Obstetri
Inspeksi
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Wajah : Kloasma gravidarum (-)
Thorax : Glandula mammae hipertrofi (+), aerola mammae
hiperpigmentasi (+)
Abdomen :
Inspeksi : Dinding perut > dinding dada, striae gravidarum (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal intrauterin,
memanjang, puka preskep, kepala belum masuk panggul. HIS
(+) 2x/10 menit/30 detik
.
Perkusi :Tympani pada bawah processus xipoideus
Auskultasi : DJJ (+) 151 x/menit, reguler
Genital: Inspekulo : Vulva/uretra tidak ada kelainan, dinding vagina dbn, porsio livide,
OUE kesan terbuka, tampak jaringan plasenta keluar dari OUE, lendir
darah (+)
62
Ekstremitas :
Oedema
- -
- -
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah tanggal 14 April 2015 :
Hemoglobin : 12,1 gr/dl
Hematokrit : 37 %
Eritrosit : 3,86 x 103/uL
Leukosit : 20,1 x 103/uL
Trombosit : 212 x 103/uL
Golongan Darah : O
PT : 11,5
APTT : 31,5
HbS Ag : negatif
2. Ultrasonografi (USG) tanggal 14 April 2015:
Tampak janin tunggal, intrauterin, memanjang, puka, preskep, DJJ (+) reguler,
dengan biometri :
BPD : 7,89 cm
AC : 27,27 cm
FL : 6,48 cm
EFBW : 1800 gram
Plasenta berinsersi di SBR meluas ke OUI
Air ketuban kesan cukup
Tak tampak kelainan kongenital mayor
Kesan : saat ini janin dalam keadaan baik
D. KESIMPULAN
Seorang G6P1A4, 35 tahun, UK 32 +4 minggu, mengeluarkan darah secara pervaginam
sejak 4 jam SMRS, sebanyak satu pembalut penuh, berwarna merah segar. Pasien
memiliki riwayat perdarahan pervaginam 1 minggu sebelum masuk RSDM. Riwayat
fertilitas baik, riwayat obstetri I : Abortus, dilakukan kuretase; II : KET; III : Laki-laki/
5,5 tahun. Lahir secara SC dengan berat bayi 3800gr; IV : Abortus, kuretase; V :
63
Abortus, kuretase; VI : sekarang. Pemeriksaan fisik abdomen didapatkan teraba janin
tunggal, intra uterin, memanjang, puka, preskep, his (+) 2x/10 menit/30 detik, DJJ
151x/menit reguler. Pemeriksaan Inspekulo : Vulva/uretra tidak ada kelainan, dinding
vagina dbn, porsio livide, OUE kesan terbuka, tampak jaringan plasenta keluar dari
OUE, lendir darah (+). Pada pemeriksaan USG TBJ : 1800 gram dengan AC 27,27 cm
dan plasenta berinsersi di SBR meluas ke OUI.
E. DIAGNOSA AWAL
APH ec Plasenta previa totalis pada multigravida hamil preterm inpartu dengan
riwayat SC 5,5 tahun yang lalu.
F. PROGNOSA
Dubia
G. TERAPI
1. Usul SCTP emergency + insersi IUD
2. Cek lab lengkap
3. Injeksi Vicilin 1gr/8 jam skin test
4. Pasang DC
5. Inform consent
6. Dexamethasone 10 mg/12 jam
7. Awasi KU dan vital sign
8. Awasi tanda-tanda perdarahan
H. LAPORAN OPERASI SCTP EMERGENCY (14 April 2015, 21.30)
A. Outcome :
Neonatus, jenis kelamin perempuan, BB 1700 g, PB 41 cm, LK/LD : 30/28 cm,
APGAR score 6-7-8, anus (+), cacat (-)
B. Laporan operasi :
Perdarahan selama operasi 300 cc.
C. Diagnosis post operasi :
Post-Re SCTP emergensi dan insersi IUD a.i APH ec Plasenta previa totalis pada
multigravida hamil preterm inpartu dengan riwayat SC 5,5 tahun yang lalu
Follow up tanggal 14 April 2015, 2 Jam Post Partus
P2A4, 35 tahun
64
Kel : -
KU : baik, CM, gizi kesan cukup
VS : T : 120/70 mmHg Rr : 20x/ menit
N : 84 x/ menit t : 36,60C
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Thorax : cor/pulmo dbn
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), tampak luka OP tertutup perban
Genital : darah (-), lochea (+)
Dx. : Post-Re SCTP emergensi dan insersi IUD a.i APH ec Plasenta previa totalis
pada multigravida hamil preterm inpartu dengan riwayat SC 5,5 tahun yang
lalu.
P : - Awasi tanda perdarahan dan infeksi
- Awasi KUVS/BC
- Puasa sampai dengan peristaltik (+)
- Cek Lab lengkap post SC
- Mobilisasi bertahap
- Inj Vicilin 1gr/8 jam
- Inj Metronidazol 500mg/8jam
- Inj Ketorolac 1 amp/8 jam
Follow up tanggal 15 April 2015
P2A4, 35 tahun
Kel : -
KU : baik, CM, gizi kesan cukup
VS : T : 100/70 mmHg Rr : 20x/ menit
N : 74 x/ menit t : 36,60C
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Thorax : cor/pulmo dbn
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), tampak luka OP tertutup perban
Genital : darah (-), lochea (+)
Hasil Lab Darah 15 April 2015 : Hb 10,4 ; Ht 32 ; AL 27,6; AT 169 ; AE 3,48
Dx. : Post-Re SCTP emergensi dan insersi IUD a.i APH ec Plasenta previa totalis
pada multigravida hamil preterm inpartu dengan riwayat SC 5,5 tahun yang
lalu dengan Leukositosis (27,6)
65
P : - Diet TKTP
- Medikasi luka bekas op / hari
- Awasi tanda perdarahan dan infeksi
- Mobilisasi bertahap
- Inj Vicilin 1gr/8 jam
- Inj Metronidazol 500 mg/8jam
- Inj Ketorolac 1 amp/8 jam
Follow up tanggal 16 April 2015
P2A4, 35 tahun
Kel : -
KU : baik, CM, gizi kesan cukup
VS : T : 100/70 mmHg Rr : 20x/ menit
N : 74 x/ menit t : 36,60C
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Thorax : cor/pulmo dbn
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), tampak luka OP tertutup perban
Genital : darah (-), lochea (+)
Dx. : Post-Re SCTP emergensi dan insersi IUD a.i APH ec Plasenta previa totalis
pada multigravida hamil preterm inpartu dengan riwayat SC 5,5 tahun yang
lalu dengan Leukositosis (27,6)
P : - Diet TKTP
- Medikasi luka bekas op / hari
- Awasi tanda perdarahan dan infeksi
- Mobilisasi bertahap
- Inj Vicilin 1gr/8 jam
- Inj Metronidazol 500 mg/8jam
- Inj Ketorolac 1 amp/8 jam
- Edukasi pasien : mengenai tanda infeksi dan hygiene vulva
66
Follow up tanggal 17 April 2015
P2A4, 35 tahun
Kel : -
KU : baik, CM, gizi kesan cukup
VS : T : 100/70 mmHg Rr : 20x/ menit
N : 74 x/ menit t : 36,60C
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Thorax : cor/pulmo dbn
Abdomen : supel, nyeri tekan (-), tampak luka OP tertutup perban
Genital : darah (-), lochea (+)
Hasil Lab Darah 17 April 2015 : Hb 11,1 ; Ht 37 ; AL 18; AT 192 ; AE 3,92
Dx. : Post-Re SCTP emergensi dan insersi IUD a.i APH ec Plasenta previa totalis
pada multigravida hamil preterm inpartu dengan riwayat SC 5,5 tahun yang
lalu dengan Leukositosis (20,1)
P : - BLPL
- Cefadroxil 2x500mg
- Metronidazol 3x500 mg
- Asam mefenamat 3x500 mg
- SF 1x1
- Vit C 2x1
Edukasi pasien : - Mengenai tanda infeksi,
- Kebersihan vulva dan luka bekas operasi
- Mengenai pola makan dan keteraturan minum obat
- Kontrol 3 hari
67
BAB IVANALISA KASUS
A. Analisa Status
1. Pre-eklampsia Berat
Kriteria diagnostik untuk preeklampsia :
Preeklampsia
Tekanan darah : sistolik > 140 mmHg atau diastolic > 90 mmHg setelah
kehamilan 20 minggu yang sebelumnya memiliki tekanan darah yang normal.
Proteinuria : 0,3 gr atau lebih protein 24 jam
Preeklampsia berat
Tekanan darah : sistolik > 160 mmHg atau diastolic > 110 mmHg
Proteinuria : 5 gr atau lebih protein 24 jam
Gejala lain : oliguria ( < 500 ml urin dalam 24 jam), gangguan pandangan, edema
paru dan sianosis, nyeri epigastrik kuadran atas, gangguan fungsi liver,
trombositopenia, gangguan pertumbuhan janin.
Pada kasus ini kriteria yang mendukung ke arah pre-eklampsia berat (PEB ) yaitu :
a) Pemeriksaan fisik, vital sign Tensi : 190/100 mmHg
b) Pemeriksaan laboratorium proteinuria ( Ewitz ) +1
Faktor Risiko Pre-eklampsia 1,2
Faktor Resiko Preeklampsia
Faktor yang berhubungan
dengan kehamilan
Faktor yang berhubungan
dengan kondisi maternal
Faktor yang berhubungan
dengan pasangan
68
Abnormalitas
kromosom
Mola hidatidosa
Hidrops fetalis
Kehamilan ganda
Donor oosit atau
inseminasi donor
Anomali struktur
kongenital
ISK
Usia > 35 tahun atau
<20 tahun
Ras kulit hitam
Riwayat Preeklampsia
pada keluarga
Nullipara
Preeklampsia pada
kehamilan sebelumnya
Kondisi medis khusus :
DM, HT Kronik,
Obesitas, Penyakit
Ginjal, trombofilia
Stress
Antibody
antifosfolipid syndrom
Partner lelaki yang
pernah menikahi
wanita yang kemudian
hamil dan mengalami
preeklampsia
Pemaparan terbatas
terhadap sperma
Primipaternity
Pada kasus ini faktor resiko terjadinya pre-eklampsia berat adalah primigravida.
Penyebab pasti preeklampsia tetap tidak jelas, banyak teori memusatkan masalah pada
implantasi plasenta dan level invasi trofoblas. Penting diingat bahwa walaupun hipertensi
dan proteinuria adalah kriteria diagnostik Preeklampsia, kedua hal ini hanyalah symptom /
gejala dari perubahan-perubahan patofisiologi yang muncul pada kelainan ini. Salah satu
perubakan patofisiologi yang paling menonjol adalah vasospasme sistemik yang sangat
nyata yang bertanggung jawab terhadap penurunan perfusi semua system organ. Perfusi
juga berkurang karena hemokonsentrasi vaskuler dan pengeluaran cairan ke rongga ketiga.
Selain itu, Preeklampsia disertai oleh respon inflamasi berlebihan dan aktivasi endotel yang
tidak tepat. Aktivasi kaskade pembekuan dan resultan dari pembentukan thrombin lebih
lanjut menghalangi aliran darah organ.
Fetal distress pada pasien ini ditegakkan berdasarkan DJJ yang ireguler dengan
frekuensi 110/90/105. Sedangkan penyebab fetal distress yang mungkin pada pasien ini
adalah karena adanya insufisiensi uteroplasental kronik akibat penyakit hipertensi.
Definisi IUGR yang sering digunakan adalah bayi yang mempunyai berat badan
lahir dibawah persentil ke-10 dari kurva berat badan normal yang disesuaikan dengan usia
kehamilan. Berdasarkan hasil USG didapatkan BPD 8,21 cm; FL 6,26 cm; HC 26,37 cm;
69
AC 26,38 cm; EFBW 1701 gram mengesankan IUGR simetris. Berat badan lahir pada
pasien ini 1400 g, pada usia kehamilan 35+4 minggu berada di bawah persentil 10.
Oligohidramnion ditegakkan bila pada pemeriksaan USG ditemukan bahwa index
kantong amnion 5 cm atau kurang. Pada pasien ini berdasarkan hasil USG didapatkan AFI
4,54. Etiologi yang pasti belum jelas, tetapi disangka ada kaitannya dengan renal agenosis
janin. Etiologi primer lainnya mungkin oleh karena amnion kurang baik pertumbuhannya
dan etiologi sekunder yang mungkin pada pasien ini dari sisi fetal adalah IUGR,
sedangkan dari sisi maternal adalah pre eklampsia.
B. Analisa Kasus Penatalaksanaan
Pada pasien ini umur kehamilan 35+4 minggu dengan fetal distress, IUGR, PEB pada
primigravida hamil preterm dalam persalinan kala 1 fase laten dan oligohidramnion dengan
B20. Pasien dimondokkan serta dilakukan protap PEB dan terminasi dengan SCTP
emergency ai fetal distress, IUGR, dan PEB. Pada kasus fetal distress yang terjadi dalam
persalinan dimana pembukaan serviks belum lengkap maka terminasi kehamilan dilakukan
dengan section caesarea emergency.
C. Saran untuk ibu dan bayi
Bayi Ny. Y direncanakan untuk pemeriksaan HIV RNA pada usia 6 minggu, selama
status HIVnya belum diketahui, pemilihan makanan pada bayi memiliki beberapa alternatif
namun sangat tidak dianjurkan mencampur ASI dengan susu formula. Ibu dapat memilih ASI
tetapi pemberian ASI harus secara ekslkusif selama 6 bulan. Pilihan ini mengharuskan ibu
untuk mendapatkan konseling laktasi dengan baik sejak perawatan antenatal pertama sesuai
pedoman ibu dengan HIV. Pilihan kedua, ibu dapat memberikan susu formula jika seluruh
terpenuhi (affordable/terjangkau, feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima,
sustainable/berkesinambungan dan safe/aman).
Apabila bayi dinyatakan HIV positif setelah pemeriksaan HIV RNA keluar, ibu
sangat dianjurkan memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Setelah 6 bulan diberikan
MP ASI dan ASI sampai usia 2 tahun.
70
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Agus. 2004. Persalinan Preterm. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Surabaya. Pp: 364-7
Anthonius Budi Marjono. 1999. Hipertensi pada Kehamilan Pre-Eklampsia/Eklampsia. Kuliah Obstetri/Ginekologi FKUI. http://www.geocities.com/yosemite/rapids/1744/cklobpt 2. html
Abdul Bari Saifuddin, Triatmojo Rachimhadhi ,Wikojosastro H. Gulardi. Ilmu Kebidanan, edisi ke 4. Jakarta; Balai Penerbit PT. BINA PUSTAKA SARWANO PRAWIROHARDJO. 2010: 696 – 700
Cunningham FG, Mac Donald PC et al. Williams Obstetrics. 21st ed. Prentice Hall Inc, USA, 2001 : 1111-39
Haryono Roeshadi. (2004). HELLP syndrome dalam Ilmu Kedokteran Maternal. Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Surabaya.
Hasibuan, Dessy S. Volume dan Sekresi Ginjal pada Pertumbuhan Janin Terhambat dan Normal dengan Pemeriksaan Ultrasonografi. Departemen Obstetri dan Ginekologi FK USU. Medan . 2009
Ketut Sudhaberata. 2001 Profil Penderita Preeklampsia-Eklampsia di RSU Tarakan, Kaltim. Bagian Kebidanan dan Kandungan, RSU Tarakan, Kaltim. http://www.tempo.co.id/medica/arsip/022001/art-2.htm
Kelompok Kerja Penyusunan “Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia” Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. 2005. Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia. Edisi Kedua.
Karsono B. Pertumbuhan Janin Terhambat. Kursus dasar Ultrasonografi dan Kardiotokografi. Pra PIT XIII. Malang, Juni 2002.
Lana K. Wagener, M.D. 2004. Diagnosis and Management of Preeklampsia. American Family Physician. Volume 70, Number 12 Pp : 2317-24. http://www. Aafp.org
Luciano E. Mignini, MD, Jose Villar, MD, Khalid S, Khan, MD. 2006. Mapping the Theories of Preeclampsia : The Need for Systemetic reviews of Mechanism of Disease. American Journal of Obstetrics and Gynecology 194. Pp: 317-21 http://www.ajog.org
71
Manoe, M, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin Makasar. http://www.geocities.com/klinikobgin/kelainankehamilan/preeklamsia-eklampsia.htm
Obstetri William : panduan ringkas / Kenneth J. Lereno, Egi Komara Yudha, Nike Budhi Subekti, Jakarta EGC 2009.
POGI. Panduan pengelolaan kehamilan Dengan Pertumbuhan Janin Terhambat di Indonesia. Kelompok kerja Penyusunan Panduan Pengelolaan Kehamilan Dengan pertumbuhan Janin terhambat di Indonesia. Edisi I. Himpunan FM POGI, 2008, 1 – 24.
Ridwan Amirudin, dkk. 2007. Issu Mutakhir Tentang Komplikasi Kehamilan (Preeklampsia dan Eklampsia). Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanudin Makasar.
72