Download - Preskas Ifan
Presentasi Kasus Bedah Anak
Periode 8 Januari 2015 – 10 Januari 2015
SEORANG BAYI LAKI-LAKI USIA 12 HARI DENGAN
SUSPEK MEGACOLON KONGENITAL
Disusun Oleh:
Ifanemagasaro Mendrofa
G99141139
Pembimbing :
dr. Guntur Surya Alam, Sp.B, Sp.BA
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2014
BAB I
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : By. Ny. SL
Umur : 12 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Plosorejo, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah
Tanggal Masuk : 29 Desember 2014
Tanggal Periksa : 8 Januari 2014
No. RM : 01228658
II. Keluhan Utama
Perut kembung dan sulit buang air besar.
III. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Bersalin Dr. Fatti Hastono Matesih
dengan suspek megacolon kongenital. Sejak umur 2 hari pasien belom bisa BAB.
Pasien dibawa dengan keluhan utama muntah sejak 1 hari SMRS. Muntah setiap
minum susu dengan frekuensi lebih dari 10 x/ hari, berwarna putih, berupa susu yang
diminum, sebanyak + ¼ gelas belimbing setiap kali muntah. Muntah tanpa disertai
demam, batuk, maupun pilek. Pasien dapat BAK, BAK warna kuning . Keadaan
umum pasien saat masuk RS di IGD, pasien menangis keras, namun tidak tampak
rewel.
IV. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
V. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir aterm secara spontan di klinik dibantu oleh bidan. Pasien lahir dengan
berat badan 2900 gram. Saat lahir pasien langsung menangis keras.
Kebiruan : ( - )
Mukoneum : ( - )
Anus : ( - )
VII. Riwayat Kehamilan dan Prenasi
Riwayat ANC : rutin di bidan setempat
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
Riwayat ketuban pecah dini : disangkal
Riwayat hipertensi kehamilan : disangkal
Riwayat konsumsi jamu saat hamil : disangkal
VIII. Genogram
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
B. PEMERIKSAAN FISIK
a.Keadaan umum : compos mentis, tampak sakit sedang
BB : 2900 gram
b. Vital sign :
S : 37,8 C per aksilar
N : 140 kali per menit, regular, simetris, isi dan tegangan cukup
RR : 50 x/menit
SO2 : 98%
b. Kepala : mesocephal
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), cekung (-/-)
d. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tragus (-/-).
e. Hidung : bentuk asimetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar darah (-).
f. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), lidah kotor (-), jejas (-).
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
h. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-).
i. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi :bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising (-).
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).
k. Abdomen
Inspeksi : Distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, metalic sound (-)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, massa (-), nyeri tekan (-), defance muscular (-)
l. Genitourinaria : BAK pada pangkal penis, BAK darah (-), BAK nanah (-),
nyeri BAK (-).
m. Muskuloskletal : nyeri pada anggota gerak(-) , kelemahan pada anggota
gerak(-), ROM terbatas pada anggota gerak(-)
n. Ekstremitas
Akral dingin Oedema
- -
- -
II. Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) batas normal
Perkusi : tympani (+)
- -
- -
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Regio Anal
Rectal Toucher : TMSA normal, mukosa licin, tidak teraba massa, produk
(-)
C. ASSESMENT I
1. Suspek megacolon kongenital dd hipotiroid kongenital
D. PLAN I
1. HCU Neonatus
2. Pasang OGT, alirkan
3. Jaga Kehangatan
4. D ¼ NS 430 cc + D 40% 70 cc kecepatan 12 cc/jam
5. Cek DR2, GDS, elektrolit
6. Cek TSH, FT4, bilirubin total/direct/indirect
7. Foto Baby Gram
E. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM (5 Januari 2015 di RSUD
Dr.Moewardi)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi
Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Index Elektrolit
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
PDW
Hitung Jenis
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Golongan Darah
Kimia Klinik
GDS
Bilirubin total
Homeostasis
PT
APTT
12.3
38
15.5
104
3,68
102,7
33,5
32,6
14,8
10,3
67
0,90
1,10
53,80
34,60
7,60
B
74
9,73
15,7
38,7
g/dl
%
Ribu/ul
Ribu/ul
Juta/ul
/um
pg
g/dl
%
fl
%
%
%
%
%
%
mg/dl
mg/dl
detik
detik
14,9-23,7
47-75
5,0-19.5
150-450
3,70-6,50
80,0-96,0
28,0-33,0
33,0-36,0
11,6-14,6
7,2-11,1
25-65
0,00-4,00
0,00-1,00
18,00-74,00
60,00-66,00
0,00-6,00
50-80
6,00-10,00
10 - 15
20 - 40
F. HASIL PEMERIKSAAN BABY GRAM (29 Desember 2014 di
RSUD.Dr.Moewardi)
Foto Baby Gram:
Foto Thorax AP :
Cor: besar dan bentuk normal
Pulmo: Tak tampak infiltrat dikedua lapang paru, corakan bronkovaskular normal
Sinus Phrenicocostalis kanan kiri tajam
Hemidiafragma kanan kiri normal
Trakhea ditengah
Sistem tulang baik
Foto BNO :
Bayangan gas usus tampak prominen bercampur feses material
Bayangan hepar dan klien tak tampak membesar
Contour ginjal kanan kiri dalam batas normal
Tak tampak bayangan radiopaque sepanjang traktus urinarius
Psoas shadow kanan kiri simetris
Corps, pedicle, dan spatium intervertebralis tak tampak kelainan
Kesimpulan:
Meteorismus
Cor dan pulmo tak tampak kelainan
G. ASSESSMENT II
Suspek megacolon kongenital
H. PLAN II
Pro Colon in loop
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Megakolon kongenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasi kolon karena
tidak adanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar segmen distal (aganglionosis).
Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi ritmik yang diperlukan untuk
mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi motorik dari segmen ini menyebabkan
dilatasi hypertropik massive kolon proximal yang normal sehingga terjadi kesulitan
defekasi dan feses terakumulasi menyebabkan Megakolon. Kondisi ini dapat segera
terlihat segera setelah lahir ditandai dengan gagalnya penundaan pasase awal dari
mekonium sehingga terjadi distensi abdominal, yang disertai dengan muntah dalam waktu
48 jam sampai 72 jam. Pada banyak kasus, segmen aganglionic terdapat pada rectum dan
kolon sigmoid. Ancaman terhadap hidup yang utama pada kelainan ini adalah terjadinya
enterocolitis, dengan gangguan cairan dan elektrolit serta perforasi pada kolon yang
membesar dan tegang atau pada apendiks dengan peritonitis.1,6,7
Gambar 2.1 Perbedaan normal kolon dan enlarged kolon pada megakolon
kongenital
Beberapa literatur menamakan penyakit ini sebagai ultrashort-segment
Hirschsprung, Kongenital aganglionosis, aganglionic Megakolon, dilatasi kolon
Kongenital, aganglionic Megakolon dan pelvirectal achalasia.
B. Etiologi
Sekitar 10% kasus penyakit Hirschsprung timbul secara herediter melalui mutasi
sporadik di dalam gen, angka ini dapat lebih tinggi pada pasien dengan segmen penyakit
yang lebih panjang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang dengan riwayat
keluarga terpapar penyakit Hirschsprung beresiko lebih tinggi.
Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan Kongenital sebagai
berikut:
1. Sindroma Down
2. Sindroma Neurocristopathy
3. Sindroma Waardenburg-Shah
4. Sindroma buta-tuli Yemenite
5. Piebaldism
6. Sindroma Goldberg-Shprintzen
7. Neoplasia endokrin multiple tipe II
8. Sindroma hypoventilasi Kongenital terpusat
9. Cartilage-hair hypoplasia
10. Sindroma hypoventilasi entral primer (Ondine’s curse)
11. Penyakit Chagas, pada penyakit ini tripanosoma menginvasi langsung dinding usus
dan menghancurkan pleksus.
Penyakit Hirschsprung juga bisa timbul karena ibu polyhidramnion saat hamil ;
adanya obstruksi usus organik karena neoplasma dan penyempitan usus karena
inflammasi; toxic Megakolon komplikasi dari colitis ulceratif atau penyakit Crohn ; dan
gangguan psychosomatic fungsional. Kondisi-kondisi ini tidak berhubungan dengan
berkurangnya ganglia dinding usus.1
C. Patofisiologi
Penyakit Hirschsprung timbul karena adanya aganglioner Kongenital pada saluran
pencernaan bagian bawah. Aganglioner diawali dari anus, yang merupakan bagian yang
selalu terlibat, dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang bervariasi. Plexus
myenterik (Auerbach) dan submucosal (Meissner) yang tidak terbentuk mengakibatkan
berkurangnya fungsi dan kemampuan usus untuk melakukan gerakan peristaltik. Hingga
saat ini, mekanisme pasti tentang perkembangan penyakit Hirschsprung masih belum
diketahui.7
Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang apabila
berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada minggu ke 7 kehamilan dan
mencapai usus besar pada minggu ke 12 kehamilan. Salah satu etiologi penyakit
Hirschsprung ini adalah adanya gangguan migrasi dari neuroblast yang menuju ke distal
usus. Adapun etiologi lain mengatakan bahwa migrasi tersebut berjalan normal, namun
ada kegagalan dari neuroblast untuk bertahan, berproliferasi atau berdifferensiasi di
bagian distal aganglionik segmen. Distribusi abnormal menyebabkan usus dan
komponen-komponennya membutuhkan pertumbuhan dan perkembangan secara
neuronal, seperti fibronectin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan
faktor-faktor neurotropik.1
Tiga plexus neuronal yang menginervasi usus: plexus submucosal (Meissner),
plexus intermuscular (Auerbach) dan plexus mucosal yang lebih kecil. Ketiga plexus ini
akhirnya tergabung dan berpengaruh pada segala aspek dari fungsi bowel, termasuk
absorpsi, sekresi, motilitas dan aliran darah.
Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron intrinsic.
Fungsi bowel tetap adequate, meskipun innervasi ekstrinsik hilang. Ganglia ini
mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan dominasi relaksasi.
Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat kolinergik dan adrenergik. Serat
kolinergik menimbulkan kontraksi, dan serat adrenergik utamanya menimbulkan inhibisi.
Pada pasien penyakit Hirschsprung, sel-sel ganglion tidak terbentuk, sehingga
terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik. Kedua innervasi, baik kolinergik maupun
adrenergik berjalan 2-3 kali normal. Sistem adrenergik (excitator) diduga lebih
mendominasi dari pada sistem kolinergik (inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja
otot polos. Dengan hilangnya nerves inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang
meningkat tidak tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot
polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi fungsional.6
D. Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :
1. Megakolon kongenital ultra short-segmen
Bila segmen aganglionik meliputi rektum distal-anus
2. Megakolon kongenital segmen pendek (short-segment)
Bila segmen aganglionik meliputi rektum
3. Megakolon kongenital tipikal
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
4. Megakolon kongenital segmen panjang (long-segment)
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%), dapat mencapai colon
descenden atau flexura hepatica.
5. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%)
F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala
klinis mulai terlihat :
Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang
terlambat, distensi abdomen, dan muntah berwarna hijau. Pengeluaran mekonium yang
terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Muntah
hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat
dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang
serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan
saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada
usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan
disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi. 1,3,5
Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis
dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding
abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang
air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.
Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian hari.3
G. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
Anamnesis
Pada neonatus :
1. mekonium keluar terlambat, > 24 jam
2. tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
3. perut cembung dan tegang
4. muntah
5. feses encer
Pada anak :
1. Konstipasi kronis
2. Failure to thrive (gagal tumbuh)
3. Berat badan tidak bertambah
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit seluruhnya,
didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus melemah atau jarang.
Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan
sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang
banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang untuk sementara.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit
Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak
rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung
adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi;
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah
dilatasi;
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.1
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah
24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah
terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan
pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis,
maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
Gambar 2.2. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum
yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.
2. Manometri anus yaitu pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara
mengembangkan balon di dalam rektum
3. Biopsi rektum menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf.
H. Diagnosis Banding
1. Meconium plug syndrome
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus, tapi
setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya normal.
2. Akalasia recti
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip dengan
Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya ganglion
Meissner dan Aurbach.1
I. Penatalaksanaan
1. Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah serta komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita
sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah
diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya
overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah
terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah
pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik,
lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi.1
2. Tindakan Bedah.
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen
dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion
normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi
usus dan mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab
utama terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung. Manfaat
lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan
tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita
Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan
anastomose.3,5
b. Tindakan Bedah Definitif
1. Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi penyakit
Hirschsprung dengan metode “pull-through”. Tehnik ini diperkenalkan
pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang
aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis
mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar rongga
peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai
akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal
ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini
disebut prosedur Swenson I.1, 9
Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana
setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, puntung
rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian
posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung.
Ternyata prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani
dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan
pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding
dengan prosedur Swenson I. 1,9
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen,
melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga
dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum,
kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke
dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik
terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian
kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan
pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian
anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan
anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos
tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-
muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum
pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum
abdomen ditutup.1,5
2. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur
ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui
bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior
rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to
side.3
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya
sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam
puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu
dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :
a. Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah
klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah
inkontinensia;
b. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian
stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;
c. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;
d. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal
dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak
langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong
kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas
5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititikberatkan pada
fungsi hemostasis.1
3. Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein
tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi.
Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah
definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa
rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal
yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas
tersebut.3
4. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum
pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan
jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca
operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah
stenosis.3
J. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung
dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan
fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit
pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat
operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah,
jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi
sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur
atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Kartono
mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan menggunakan
prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur Duhamel
modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasuspun mengalami kebocoran.1
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam.
Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh,
terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat terjadi demam
tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila
dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal. 1,3,4
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan terbentuknya
jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler
biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior
berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang
biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit,
distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat
dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga
sfinkterektomi posterior.3,4
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat
berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat
enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5%
masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan
angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur
Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-
tanda enterokolitis adalah :
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur operasi
yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi posterior untuk spasme
spingter ani dapat juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Prosedur Swenson
biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu spinkterektomi
posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi, penyebab enterokolitis
biasanya adalah pemotongan septum yang tidak sempurna sehingga perlu dilakukan
pemotongan ulang yang lebih panjang.1,3
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada pasien
dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan dan
kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut
Swenson adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah disebabkan
oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih
spastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen diikuti tanda
obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar eksplosif cair dan berbau
busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah dapat terjadi
nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada megakolon kongenital adalah
terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan
pada konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca bedah.1
4. Gangguan Fungsi Sfinkter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima universal
untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit merupakan
parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal
pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah
suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita,
keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur dan lamanya
pasca operasi sangatlah menentukan (Heikkinen dkk,1997; Lister,1996; Heij
dkk,1995). Swenson memperoleh angka 13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan
Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur yang sama. Kartono
mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk prosedur
Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga memberikan angka
0%.Pembedahan dikatakan berhasil bila penderita dapat defekasi teratur dan
kontinen.1
K. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi, 90% pasien dengan
penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan
dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya
sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari
tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20% .1
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
1. Kartono D. 1993. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan
Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI
2. Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. 1997. Longterm anal spincter performance after
surgery for Hirschsprung’s disease. J Pediatr Surg; 32: 1443-6.
3. Fonkalsrud. 1997. Hirschsprung’s disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H, editors.
Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall intl.inc.;p.2097-105.
4. Swenson O. 2002. Hirschsprung’s disease : A Review. J Pediatr;109:914-918.
5. Swenson O, Raffensperger JG. 1990. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger
JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton & Lange: 555-77.
6. Farid Nur Mantu. 1993. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC
7. Sjamsuhidajat dan Wim de jong. 2004. Tindakan Bedah: organ dan sistem organ, usus
halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan, In: Buku Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta: EGC; 908-10.
8. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC
9. Lee, Steven L. 2005. Hirschprung disease,
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview