Download - Pr Infeksi2
Immunopatogenesis
Bila Salmonella typhi yang ada di jaringan RES (seperti hepar dan limpa), keluar
dari makrofag dan menjadi basil ekstraseluler, maka basil tersebut akan segera
difagositosis oleh sel fagosit, seperti neutrofil, monosit, dan histiosit. Lipopolosakarida
yang merupakan komponen dari dinding sel Salmonella typhi dapat mengaktifkan jalur
alternatif (C3 convertase) dari sistem komplemen yang berakhir dengan lisisnya bakteri.
Pada proses ini endotoksin akan dikeluarkan sehingga dapat merangsang makrofag,
endothel pembuluh darah dan sel imunokompeten yang lain untuk mensekresi sitokin
seperti IL-1, IL-6 TNF-α dan kemokin. Sitokin tersebut kemudian menginduksi proses
adhesi terhadap sel neutrofil dan monosit ke endothel vaskuler di tempat terjadinya
infeksi yang diikuti dengan terjadinya migrasi, akumulasi local dan aktivasi sel radang.
Pengumpulan sel radang mampu mengeliminasi basil dengan risiko terjadinya nekrosis
jaringan normal dan membentuk ulkus, dengan komplikasi perdarahan atau perforasi.
Di samping itu beberapa sitokin tersebut dapat menyebabkan demam dan merangsang
sintesis dari dari protein fase akut, seperti CRP.
Komponen imunogen dari dinding Salmonella typhi, yaitu Lipopolisakarida (LPS)
merupakan antigen T cell independent yang dapat langsung merangsang limfosit B
melalui immunoglobulin permukaan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang mensekresi antibody (agglutinin O). Sebaliknya antigen H (flagella dan
fimbriae) dan antigen Vi (kapsul) merupakan antigen yang T cell dependent. Jadi dia
hanya dapat merangsang limfosit B melalui limfosit T helper 2 (Th2) untuk berproliferasi
dan berdiferensiasi menjadi sel plasma untuk memproduksi agglutinin H dan Vi. Atas
dasar ini maka dapat dimengerti mengapa aglutini O akan diproduksi lebih awal (akhir
minggu pertama) daripada aglutinin H dan Vi (minggu kedua).
Kadar aglutinin akan mencapai pumcaknya pada minggu kelima sejak timbulnya
febris dan dipertahankan selama beberapa bulan kemusian akan menurun perlahan.
Aglutinin O dapat bertahan di atas ambang normalnya sampai 5 bulan, sedangkan
aglutinin H dapat bertahan sampai 2 tahun. Bila oleh karena suatu sebab, penderita
menjadi carrier yang sehat, maka agglutinin Vi akan dipertahankan terus selama dia
masih menjadi pembawa kuman yang sehat.
IgM hanya dapat ditemukan pada beberapa hari pertama kesakitan. IgM diproduksi
sebagai respon awal terhadap antigen. Oleh karena itu IgM biasanya mengindikasikan
pajanan antigen atau terjadinya infeksi yang aktif atau baru saja terjadi. Sedangkan IgG
muncul cukup lama setelah gejala klinis termanifestasikan.
Metode Diagnostik Kultur & Serologis
Kultur
Basil Salmonella typhi dapat ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam
minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan di urin dan feses, dan mungkin
akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu, pemeriksaan positif dari
sampel darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan pemeriksaan dari
sample urin dan feses 2 kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita
telah benar-benar sembuh dan tidak menjadi karier.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman Salmonella typhi pada
salah satu biakan darah, feses, urin, sumsum tulang maupun cairan duodenum. Waktu
pengambilan sample sangat menentukan keberhasilan pemeriksaan bakteriologis tersebut,
misalnya biakan darah biasanya positif pada minggu pertama perjalanan penyakit, biakan
feses dan urin biasanya positif pada minggu kedua atau ketiga. Biakan sumsum tulang
paling baik karena tidak dipengaruhi waktu pengambilan maupun pemberian antibiotik
sebelumnya. Kemungkinan ditemukannya biakan yang positif pada sumsum tulang (80-
95%), pada darah (44%), feses (65%), cairan duodenum (42%).
Walaupun kultur mempunyai spesifisitas sangat tinggi, namun sensitivitasnya
sedikit lebih rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7
hari). Namun begitu, sensitivitas kultur adalah yang tertinggi (50-70%) selama minggu
pertama kesakitan. Keakuratan pemeriksaan kultur darah dipengaruhi oleh volume darah
yang dikultur, rasio darah terhadap broth agar, penggunaan antibiotik sebelum dilakukan
isolasi, waktu pengambilan spesimen (posivisitas tertinggi adalah demam 7-10 hari).
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella typhi adalah empedu (gall)
dari sapi. Hal ini dapat meningkatkan positivitas karena hanya S. typhi dan S. paratyphi
yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Berdasarkan tujuan kulturnya, media kultur dibagi menjadi media untuk isolasi,
media selektif/penghambat, media diperkaya (enrichment), media untuk peremajaan
kultur, media untuk menentukan kebutuhan nutrisi spesifik, media untuk karakterisasi
bakteri dan media diferensial. Dalam penelitian ini digunakan media agar selektif SS
(Salmonella-Shigella) dan media agar diperkaya BHIB (Brain-Heart Infusion Broth).
Idealnya spesimen dibawa ke laboratorium dalam waktu 30 menit dan diletakkan
dalam wadah yang tertutup rapat. Spesimen diberi label agar tidak tertukar. Antikoagulan
yang biasa dipakai adalah Sodium polyanethol sulfonate, walaupun pada konsentrasi
yang tinggi akan berpengaruh pada beberapa bakteri anaerob. Heparin juga biasa dipakai,
walaupun dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan jamur. EDTA
(Ethylenediaminetetraacetic acid), sitrat dan antikoagulan lain tidak biasa digunakan pada
pemeriksaan mikrobiologi. Apabila tidak akan segera dikerjakan, spesimen serum untuk
pemeriksaan serologis sebaiknya disimpan paling lama 1 minggu dalam suhu -20o C.
Hampir semua bakteri diinkubasi pada suhu 37oC, dengan kadar O2 yang cukup tinggi
untuk bakteri aerob dan kondisi kadar O2 yang rendah untuk bakteri anaerob.
Serologis
Di Indonesia, di mana kebanyakan rumah sakit dan puskesmas di daerah pedesaan
tidak memiliki fasilitas laboratorium, diagnosa demam tifoid ditegakkan hanya
berdasarkan diagnosa klinis, kadang didukung dengan tes Widal. Di Jawa Tengah hanya
11 dari 115 rumah sakit yang memiliki fasilitas pengkulturan. Tes Widal banyak
digunakan di Indonesia, akan tetapi kurang bernilai dan sulit diinterpretasikan pada
daerah endemik salmonellosis, apalagi apabila hanya satu sampel yang diuji. Oleh karena
itu, pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
akan memberikan keuntungan besar, terutama dimana sutau tempat tidak didukung oleh
laboratorium yang canggih. Beberapa metode diagnostik baru untuk menggantikan tes
Widal konvensional dan kultur darah masih kontroversial dan diperlukan penelitian lebih
lanjut. Metode diagnostik terbaru seperti TUBEX®, Typhidot-M® dan dipstick test yang
cepat, mudah dan relatif terjangkau di negara-negara berkembang mulai dipertimbangkan
untuk digunakan di Indonesia.
Jenis-jenis pemeriksaan serologis:
Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin yang digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibody agglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen
somatic (O) dan flagella (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi
aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan
antibody dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test)
atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan
dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit
tetapi dapat digunakan untuk informasi hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H ≥1/40 dengan nilai prediksi
positif sebesar 34,2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99,2%. Beberapa penelitian pada
kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan
sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, stadium penyakit, faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang
dapat mempengaruhi pembentukan antibodi, gambaran imunologis dari masyarakat
setempat (daerah endemis atau non-endemis), faktor antigen, teknik serta reagen yang
digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid, akan tetapi uji Widal yang positif akan memperkuata dugaan pada
tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan
secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cutt-off point).
Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer)
pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibody O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh
Darmowanto di RSU Dr. Sutomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan
titer ≥1/200 pada 89% penderita.
Tes TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang dari 2 menit) dengan menggunakan paertikel yang berwarna untuk
menungkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan titer O9 yang
benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat
akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibody IgM dan
tidak mendeteksi antibody IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan TUBEX® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan
yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di Negara berkembang.
Metode Enzym Immonoassay (EIA) dot
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibody spesifik IgM dan
IgG terhadap antigen OMP 50Kd Salmonella typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut, sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana
didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi
IgG spesifik, akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan
reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot®
telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif
dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap IgM spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa
spesifisitas uji ini sebesar 76,74% dengan sensitivitas sebesar 93,16%, nilai prediksi
positif sebesar 85,06% dan nilai prediksi negative sebesar 91,66%. Sedangkan penelitian
oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan efisiensi uji
ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan Salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan
uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam
tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit
demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang
hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia saran biakan kuman.
Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang
belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C
dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
Metode Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibody IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibody terhadap antigen Vi Salmonella typhi. Uji ELISA yang
sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis
adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada
sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan Salmonella typhi pada darahnya,
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan
95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004)
terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan
antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian
lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada
minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai
positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
kontrol. Dengan mengikatkan antigen zat warna khusus yaitu colloidal red atau palanil
red dan selanjutnya zat warna khusus yang telah mengikat antigen tadi ditempelkan pada
kertas nilon. Bila serum penderita mengandung antibodi IgM Salmonella typhi akan
memperlihatkan reaksi positif, yang mana akan terlihat pada kertas nilon berupa pita
berwarna merah. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69,8%
bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86,5% bila dibandingkan dengan
kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88,9% dan nilai prediksi positif sebesar 94,6%.
Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan
sensitifitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk
(2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65,3% yang makin meningkat pada
pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan, dan mungkin
lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan
hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
tersedia perangkat kultur secara luas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gillespie S. Salmonella Infections. Dalam: Conk G, Zamia A (Eda.) Manson’s Tropical
Disease. London : ELST; 2003. Hal. 937-943).
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Salmonellosis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta; 1995. Hal. 593-
598
3. Derliana T. Gambaran Karakteristik Pasien Demam Tifoid yang Menjalani Rawat
Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Samarinda: Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman; 2006.
4. Rampengan TH, Laurents IR, Demam Tifoid. Dalam: Penyakit Infeksi Tropik pada
Anak. Jakarta: EGC; 1993. Hal. 53-71.
5. Pegnes DA, Ohl ME, Miller SI. Salmonella Species, Including Salmonella Typhi.
Dalam: Mandell, Douglas and Bennett’s Principles and Practice of Infection Disease
Edisi 6 Volume 2. United States of America: Elsevier Churchill Livingstone; 2005. Hal.
220-2650.
6. Keutsch GT. Salmonellosis. Dalam : Asdie A (Ed.), Harisson Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam Volume 2 E/13. Jakarta : EGC;1999. Hal 755-758.
7. World Health Organisation. Background Document: The Diagnosis, Treatment and
Prevention of Typhoid fever. Initiative for Vaccine Research of the Departement of
Vaccine and Biologicals in Collaboration with Epidemic Disease of the Control
Department of Communicable Disease Surveilans and Response. (online); 2003,
(http://www.who.int/vaccines-documents/, diakses 4 Desember 2008)
8. Novianti T. Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM untuk Diagnosis Demam Tifoid.
Bandung : Prodia; 2006. Hal 1-4.
9. Karsinah, M Lucky, Suharto, HW Mardiastuti. Batang Negatif Gram. Dalam: Buku
Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: PT.Binarupa Aksara; 1993. Hal. 168-173.
10. Handojo I. Imunoassai untuk Penyakit Infeksi Bakterial. Dalam: Imunoasai Terapan
pada Beberapa Penyakit Infeksi. Surabaya : Airlangga University Press; 2004. Hal. 1-8.
11. Wolfgang K, Joklic dkk. Enterobacteriaceae: Salmonella and Shigella, Intestinal
Pathogens. Dalam: Kinsser Microbiology. USA: Appleton & Large; 1992. Hal: 559-563.
12. Ostrow B. Typhoid Fever. Surgery in Africa-Monthly Review. (online); 2006.
(http://www.utoronto.ca/ois/SIA/2006/typhoid_fever.htm, diakses 20 Oktober 2008)
13. Prasetyo RV, Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak. (online);
2006. (http://www.pediatrik.com/buletin/06224114418-53zji.doc, diakses 4 Desember
2008)
14. Masyhudi. Validasi Pemeriksaan Dipstik dengan Kultur untuk Diagnosis Suspek
Penderita Demam Typoid. Majalah Kedokteran Universitas Mulawarman Volume 2;
2007, no.1.
15. Rasmillah. Thypus. (online); 2001.
(http://els.fk.umy.qc.id/file.php/1/moddata/forum/171/7532/fkm_rasmaliah5.pdf, diakses
9 November 2008)
16. Hatta M, Goris MGA, Heerkens E, Gooskens J, Smits HL. Simple Dipstick Assay for
the Detection of Salmonella typhi-Spesific IgM Antibodies and the Evolution of the
Immune Response In Patients with Typhoid Fever. The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene. (online); 2002;
(http://www.ajtmh.org/cgi/content/abstract/66/4/416, diakses pada 4 Desember 2008)
17. Muliawan SY, Surjadwijaja JE. Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal sebagai Alat
Diagnostik Penyakit Demam Tifoid di Rumah Sakit. Cermin Dunia Kedokteran
No.124. (online); 1999, (http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/06/html, diakses 4
Desember 2008)
18. Pastoor R, Hatta M, Abdoel TH, Smith HL. Simple Rapid and Affordable Point of
Care Test of the Serodiagnosis of Typhoid Fever. Elsevier. (online); 2007,
(http://www.elsevier.com/locate/diagmicrobio, diakses pada 4 Desember 2008)
19. Gasem MH, Smith HL, Goris MGA, Dolmans WMV. Evaluation of A Simple and
Rapid Dipstick Assay for the Diagnosis of Typhoid Fever in Indonesia. Journal
Medicine Microbiology. (online); 2002;
(http://jmm.sgmjournals.org/cgi/content/short/51/2/173, diakses 4 Desember 2008)
20. Laporan Bulanan Data Kesakitan Tahun 2007. Dinas Kesehatan Kota Samarinda
Bagian Pelayanan Kesehatan: Samarinda; 2008.
21. Widodo D. Demam Typhoid. Dalam : Sudoyo AW dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Keempat Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Peyakit Dalam FKUI;
2006, Hal. 1774-1779.
22. Forbes BA, Sahm DF, Weissfeld AS. Serologic Diagnosis of Infectious Disease. Dalam:
Baley & Scott’s Diagnostic Microbiology Eleventh Edition. USA: Mosby; 2002. Hal.
202-213.
23. Pradhika. Mikro-ba nget. (online); 2009,
(http://ekmon-saurus.blogspot.com/2008/11/bab-2-media-pertumbuhan.html., diakses
pada 15 Juni 2009)
24. Forbes BA, Sahm DF, Weissfeld AS. General Issues and Role of Laboratorians.
Dalam: Baley & Scott’s Diagnostic Microbiology Eleventh Edition. USA: Mosby; 2002.
Hal. 2-18.
25. Hatta M. Pendekatan Biologi Molekuler dan Imunologi di Bidang Infeksi dalam Era
Globalisasi dan Peluang bagi Ilmuwan Indonesia. Dalam: Suplement Vol 26 No 3.
Makassar: Bagian Ilmu Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin;
2005. Hal: 16-18.