MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL
HAM dan HUKUM HUMANITER serta HUKUM LINGKUNGAN
Diajukan sebagai Syarat Pemenuhan Nilai Mata KuliahHukum Internasional
DISUSUN OLEH:
Army Anggara 110110080085
Liely Noor Qadarwati 110110080092
Lasma Natalia 110110080096
Mayang Kemulandari Yamin 110110080122
Vicky Veronika Aruan 110110080128
Gita Santika Amalia 110110080131
Tri Nurul Widia Wardhani 110110080134
Saskia Wahyu Riani 110110080135
Mulyana 110110080138
DOSEN PENGAJAR:
Prof. Dr. Eddy Damian, S. H.
Idris, S. H., M. A.
Diajeng Wulan Christianti, S. H., LL. M
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG2010
DAFTAR ISI i
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Identifikasi Masalah 1
1.3 Tujuan 2
1.4 Kegunaan Penulisan 2
1.5 Metode Penulisan 2
BAB II LANDASAN TEORI 3
2.1 Hak Asasi Manusia 3
2.2 Hukum Humaniter 17
2.3 Hukum Lingkungan 28
BAB III PEMBAHASAN 35
3.1 Kasus Hak Asasi Manusia (Torture In Guantanamo Bay) 35
3.2 Kasus Hukum Humaniter ( Agresi Israel Ke Libanon ) 41
3.3 Kasus Hukum Lingkungan (Gabcikovo-Nagymaros Project) 51
BAB IV PENUTUP 62
4.1 Simpulan 62
4.2 Saran 62
DAFTAR PUSTAKA 64
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang
Pelaksanaan kehidupan bermasyarakat memang pada dasarnya
diperlukan suatu aturan sehingga antara kepentingan yang satu dengan
yang lain setidaknya dapat diminimalisir tidak terjadi. Manusia sebagai
subjek hukum merupakan bagian penting dalam suatu negara yang dikenal
sebagai subjek hukum internasional. Kendati demikian, aturan atau hukum
yang ada belum tentu secara keseluruhan dapat menjawab kepentingan
semua orang. Untuk itu diperlukan lagi pengetahuan atas aturan yang
mengatur hak yang melekat pada diri individu tersebut. Dalam makalah ini
dibahaslah mengenai Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter yang
mungkin dalam dunia akademis Hukum Internasional sendiri masih
dianggap baru.
Sementara menyadari kondisi dunia yang juga menjadi tanggung
jawab manusia secara tidak langsung mesti ada aturan yang membatasi
kewenangan manusia dalam mengelolahnya. Hal ini tentu tidak menjadi
tanggung jawab sebagian orang atau untuk lebih luas menjadi tanggung
jawab beberapa negara besar. Namun sudah selayaknya setiap negara
memandang isu-isu global sebagai tanggung jawab bersama guna
menciptakan bumi yang aman untuk dihuni generasi mendatang.
1.6 Identifikasi Masalah
Dalam membuat makalah ini, kami membatasi rumusan masalah yang
menjadi kajian landasan teori dan pembahasan kelompok kami yaitu pada
hal-hal berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter
dalam ranah Hukum Internasional ?
2. Bagaimanakah hubungan teori yang dipelajari dalam Hak Asasi Manusia
dan Hukum Humaniter dengan kasus yang terjadi?
1.7 Tujuan Pembahasan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional
2. Untuk dapat mengetahui dan memahami teori – teori :
Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter
Hubungan teori dalam Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter bila
dihubungkan dengan kasus
1.8 Kegunaan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan
masalah serta maksud dan tujuan penulisan, maka manfaat yang akan
diperoleh dari penulisan ini adalah: kegunaan secara akademis, diharapkan
hasil penulisan ini dapat menambah wawasan dan sebagai referensi
tambahan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum
internasional khususnya mengenai hak Asasi Manusia dan Hukum
Humaniter.
1.9 Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah
tinjauan kepustakaan melalui web research dan analisis data dan teori dari
buku.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Hak Asasi Manusia
Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu
dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat
kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup
sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia,
bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi
manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau
Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching
Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan
bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya
manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. John Locke menyatakan bahwa
HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta
sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994). Dalam pasal 1 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu,
bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat
diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan
martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul
atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia,
ada juga kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi
terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak
Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak
asasi yang juga dimiliki oleh orang lain. Kesadaran akan hak asasi manusia , harga
diri, harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di muka bumi.
Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak manusia itu
dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia. Sejarah
mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk
menegakkan hak asasi manusia.
Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia di Yunani
Filosof Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM)
meletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak – hak asasi
manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol
kepada penguasa yang zalim dan tidak mengakui nilai – nilai keadilan dan
kebenaran. Aristoteles (348-322 SM) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan
kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negaranya.
Pengalaman Inggris
Inggris sering disebut–sebut sebagai negara pertama di dunia yang
memperjuangkan hak asasi manusia. Tonggak pertama bagi kemenangan hak-hak
asasi terjadi di Inggris. Perjuangan tersebut tampak dengan adanya berbagai
dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen
tersebut adalah sebagai berikut :
MAGNA CHARTA
Pada awal abad XII Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana telah diganti
oleh Raja John Lackland yang bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat dan
para bangsawan. Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut mengakibatkan
rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja John
untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung.
Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat
pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada
kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau
dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas
hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu
menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah
diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya
perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan
undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja.
Isi Magna Charta adalah sebagai berikut :
Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak,
dan kebebasan Gereja Inggris.
Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-
hak sebagi berikut :
a. Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-
hak penduduk.
b. Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan
saksi yang sah.
c. Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap,
dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan
hukum sebagai dasar tindakannya.
d. Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan,
raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.
BILL OF RIGHTS
Bill of Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689
dan diterima parlemen Inggris, yang isinya mengatur tentang :
a. Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen.
b. Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
c. Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus seizin
parlemen.
d. Hak warga Negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-
masing .
e. Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja.
3. Pengalaman di Amerika Serikat
Pemikiran filsuf John Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak
alam,seperti hak atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property)
mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat Amerika sewaktu memberontak
melawan penguasa Inggris pada tahun 1776. Pemikiran John Locke mengenai hak –
hak dasar ini terlihat jelas dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang
dikenal dengan Declaration Of Independence Of The United States.
Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4 Juli
1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13
negara bagian, merupakan pula piagam hak – hak asasi manusia karena
mengandung pernyataan “Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama
derajat oleh Maha Pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya
hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati kebhagiaan.
Declaration of Independence di Amerika Serikat menempatkan Amerika
sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia
dalam konstitusinya, kendatipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dulu
memulainya sejak masa Rousseau. Kesemuanya atas jasa presiden Thomas
Jefferson presiden Amerika Serikat lainnya yang terkenal sebagai “pendekar” hak
asasi manusia adalah Abraham Lincoln, kemudian Woodrow Wilson dan Jimmy
Carter.
4. Pengalaman di Prancis
Perjuangan hak asasi manusia di Prancis dirumuskan dalam suatu naskah
pada awal Revolusi Prancis. Naskah tersebut dikenal dengan Declaration Des Droits
De L’homme Et Du Citoyen yaitu pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga
negara. Pernyataan yang dicetuskan pada tahun 1789 ini mencanangkan hak atas
kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan atau kesetiakawanan (liberte, egalite,
fraternite).
Tahun 1791, semua hak-hak asasi manusia dicantumkan seluruhnya di dalam
konstitusi Prancis yang kemudian ditambah dan diperluas lagi pada tahun 1793 dan
1848. Juga dalam konstitusi tahun 1793 dan 1795. revolusi ini diprakarsai pemikir –
pemikir besar seperti : J.J. Rousseau, Voltaire, serta Montesquieu
5. Hak Asasi Manusia oleh PBB
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam
hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi
hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan
januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian,
tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana
Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa Universal
Declaration Of Human Rights atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi
Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang
umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2
negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati
sebagai hari Hak Asasi Manusia.
Majelis umum memproklamirkan Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi
Manusia itu sebagai tolak ukur umum hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa dan
menyerukan semua anggota dan semua bangsa agar memajukan dan menjamin
pengakuan dan pematuhan hak-hak dan kebebasan- kebebasan yang termasuk
dalam pernyataan tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua
anggota PBB secara moral berkewajiban menerapkannya.
6. Hak Asasi Manusia di Indonesia
Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila.
Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni
Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi
manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam
ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi
manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup
bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak
ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang
lain.
Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak,
kita tidak memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau
kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat
dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan
demi peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan
kecerdasan serta keadilan.
Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik
Indonesia,yakni:
- Undang – Undang Dasar 1945
- Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
- Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional
Dalam konteks hak asasi manusia, hukum internasional mempunyai kualitas
ganda sebab ia menciptakan penghalang bagi proteksi hak asasi yang efektif dan
sekaligus juga menyediakan sarana untuk mengatasi rintangan-rintangan.
Brwonlie menggambarkan “kedaulatan” sebagai doktrin konstitusional yang
pokok dari hukum negara. Pada hakikatnya, kedaulatan mewakili totalitas hak-hak
negara dalam menjalankan hubungan luar negrinya dan menata urusan-urusan
dalam negrinya.tetapi ini tidak berarti bahwa semua negara bebas sepenuhnya
menjalankan kedaulatan dan kemerdekaannya ke luar negri maupun di dalam negri
mengingat mereka tunduk pada berbagai pembatasan yang dikenakan terhadap
kegiatan mereka oleh hukum internasional. Semua negara sama-sama berdaulat,
mak masing-masing negara tidak diwajibkan untuk tunduk pada keputusan
Mahkamah Internasional, kecuali negara tersebut memberitahukan terlebih dahulu
persetujuannya untuk mematuhi keputusan itu. Sehingga begitu hak asasi manusia
diangkat menjadi masalah yang menjadi perhatian hukum internasional danbukan
lagi nasional, negara-negara yang bersangkutan tidak lagi dapat mengatakan bahwa
hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan masalah yang berada dalam
yurisdiksi domestiknya.
Lalu individu sebagai subjek hukum internasional. Menurut hukum
internasional, individu secara pribadi dapat dianggap bertanggung jawab terhadap
kejahatan perang, genosida, penganiayaan dan apartheid. Namun oleh Prof.nguyen
Quoc Din individu hanya sebagai subjek hukum buatan. Karena kehendak negara-
negaralah yang menjadikan individu-individu tersebut dalam hal-hal tertentu sebagai
subjek hukum internasional. Hukum internasional masih tetap mengatur hubungan
antar negara dan subjek-subjek hukum lainnya, sedangkan individu dalam hal-hal
tertentu.
Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia dalam Kerangka Universal
Pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi berkembang dengan cepat
bersamaan dengan perkembangan yang melaju hubungan antar bangsa dan
proliferasi organisasi-organisasi regional dan multilateral global. PBB telah membagi
kegiatan dalam beberapa periode sebagai berikut:
1. Periode pembentukan sistem, dari piagam PBB ke deklarasi Universal HAM
(1945-1948).
2. Periode perbaikan sistem, yang menuju kepada pengesahan berbagai
konvensi dan instrument HAM internasional (1949-1966).
3. Periode pelaksanaan sistem, yang dimulai dari pengesahan instrumen hingga
konferensi Wina (1967-1993).
4. Periode perluasan sistem, dari konferensi Wina hingga pelaksanaan tindak
lanjut (1993-1995).
5. Periode menuju perlindungan HAM baru (1996-2000).
Dalam berbagai ketentuan yang terdapat dalam Piagam, berkali-kali diulang
penegasan bahwa PBB akan mendorong, mengembangkan, dan mendukung
penghormatan secara universal dan efektif hak-hak asasi dan kebebasan-
kebebasan pokok bagi semua tanpa membedakan suku, kelamin, bahasa, dan
agama. Ketentuan ini diulang dalam pasal 1 ayat 3 Piagam, pasal 13 ayat 1b, pasal
55c, pasal 62 ayat 2, pasal 68, dan pasal 76c.
Semua permasalahan hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok ini
dibahas oleh salah satu Komite Utama Majelis, yaitu Komite Tiga yang menangani
masalah-masalah HAM, kemanusian, social, dan kebudayaan. Majelis utama juga
dibantu oleh salah satu organ utama PBB yaitu dewan ekonomi dan social yang
dapat membuat rekomendasi agar terlaksananya penghormatan yang efektif
terhadap hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok. Dewan ekonomi dan
social dapat membentuk komisi, salah satunya adalah Komisi hak-hak asasi
manusia (KHAM) dan komisi mengenai Status Wanita. Kedua komisi ini dibentuk
pada tahun 1946. Komisi hak-hak manusia beranggotakan 53 negara, dan komisi
status Wanita beranggotakan wakil-wakil dari 45 negara.
Ada dua badan khusus PBB yang juga menangani HAM yaitu Organisasi buruh
Sedunia (ILO), didirikan tahun 1946. Bertugas untuk memperbaiki syarat-syarat
bekerja dan hidup para buruh melalui penerimaan konvensi-konvensi internasional
mengenai buruh dan membuat rekomendasi standar minimum di bidang gaji, jam
kerja, syarat-syarat pekerjaan dan jaminan social.
Badan khusus kedua adalah UNESCO yang didirikan pada tahun 1945, untuk
mencapi tujuan meningkatkan kerjasama antar bangsa melalui pendidikan , ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan dan untuk meningkatkan secara universal
penghormatan terhadap peraturan hukum, hak-hak asasi dan kebebasan-kebasan
pokok.
Menurut sistem PBB, dalam upaya pemajuan dan peningkatan HAM dikenal
tiga bidang utama yakni:
a. Upaya Pembakuan standar internasional
b. Kegiatan monitoring/pemantauan pelaksanaan HAM
c. Jasa nasehat dan kerja sama teknik
Dalam upaya pemantauan konvensi yang telah diratifikasi oleh negara, maka
terdapat enam Badan Pemantauan Instrumen, yakni:
a. Komite HAM: memantau hak-hak sipil dan politik.
b. Komite Ekonomi dan Sosial Budaya: memantau pelaksanaan hak-hak
tersebut.
c. Komite Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi: khusus memantau
mengenai bentuk diskriminasi.
d. Komite Anti penyiksaan: yang memantau pelaksanaan konvensi anti
penyiksaan.
e. Komite penghapusan diskriminasi terhadap wanita: memantau diskriminasi
wanita.
f. Komite hak-hak Anak: khusus memantau pelaksanaan konvensi hak-hak
anak.
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
Majelis umum PBB mencanangkan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi
Manusia (universal declaration of human rights) tanggal 10 desember 1948. Deklarsi
ini terdiri dari 30 pasal yang mengumandangkan seruan agar rakyat mengalakkan
dan menjamin pengakuan yangefektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan yang telah ditetapkan dalam deklarasi.
Pasal 1 dan 2 menegaskan bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat
dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana
yang ditetapkan oleh deklarasi tanpa membeda-bedakan baik dari segi ras, warna
kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, ma yang lain, maupun yang lain, asal-
usul kebangsaan atau social, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang lain.
Pasal 3 sampai 21 menempatkan hak-hak sipil dan politik yang menjadi hak
semua orang. Hak-hak itu antara lain:
Hak untuk hidup
Kebebasan dan keamanan pribadi
Bebas dari perbudakan dan penghambaan
Bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak
berprikemanusiaan ataupun yang merendahkan derajat kemanusiaan.
Hak untuk memperoleh pengakuan hukum diman saja sebagai pribadi
Hak untuk pengampunan hukum yang efektif
Bebas dari penangkapan, penahan, atau pembuangan yang sewenang-
wenang
Hak untuk peradilan yang adil dan dengar pendapat yang dilakukan oleh
pengadilan yang independen dan tidak memihak
Hak praduga tidak bersalah.
Bebas dari campur tangan sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi,
keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat
Bebas dari serangan kehormatan dan nama baik
Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu
Bebas bergerak hak untuk memperoleh suaka, hak atas suatu kebangsaan,
hak untuk menikah dan membentuk keluarga, hak untuk mempunyai hak
milik.
Bebas berpikir berkesadaran dan beragama dan menyatakaan pendapat
Hak untuk menghimpun dan berserikat, hak untuk ambil bagian dalam
pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan
masyarakat.
Pasal 22-27 berisikan hak-hak ekonomi social dan kebudayaan, hak ini antar lain:
hak atas jaminan social, hak untuk bekerja, hak untuk membentuk dan bergabung
pada serikat-serikat buruh, hak atas istirahat, dan waktu senggang, hak atas standar
hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan, hak atas pendidikan, hak
untuk berpartisipasi dalam kebudayaan masyarakat.
Dari segi hukum deklarasi ini tidak mempunyai daya ikat seperti deklarasi-
deklarasi lainnya yang diterima Majelis Umum PBB. Sebaliknya ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam deklarasi tersebut banyak yang dimasukkan ke dalam legislasi
nasional masing-masing dan dijadikan tolak ukur untuk menilai sejauh mana suatu
negara melaksanakan hak-hak asasi manusia. Banyak ketentuan dalam deklarasi ini
dapat diangap sebagai hukum kebiasaan Internasional (Customary International
Law).
Setelah diterimanya Deklarasi Universal pada tahun 1948, timbullah pemikiran
untuk mengukuhkan pemajuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
dalam dokumen-dokumen yuridik yang mengikat negara-negara yang menjadi pihak.
Pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum menerima dua perjanjian mengenai
hak-hak asasi manusia yaitu Inetrnatonal Covenant on Economics, Social and
Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Yang baru
dalam perjanjian itu adalah disebutkannya hak rakyat untuk menentukan nasib
sendiri termasuk hak untuk mengatur kekayaan dan sumber-sumber nasional secara
bebas seperti tercantum dalam pasal 1 perjanjian.
Perjanjian internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, da Budaya mulai
berlaku tanggal 3 Januari 1976 dan sampai bulan Desember 2003 sudah diratifikasi
oleh 148 negara perjanjian internasional ini berupaya meningkatkan dan melindungi
3 kategori hak yaitu:
Hak untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan;
Hak atas perlindungan sosial, standar hidup yang pantas, standar
kesejahteraan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai;
Hak atas pendidikan dan hak untuk menikmati manfaat kebebasan
kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya tahun 1985, Dewan Ekonomi dan Sosial melengkapi Perjanjian dengan
membentuk Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang terdiri dari 18 pakar
independen di masing-masing bidang.
Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan Protokol Opsional Pertama
mulai berlaku bulan Maret 1976. Perjanjian hingga Desember 2003 telah diratifikasi
151 negara, dan protokol Opsional Pertamanya telah diratifikasi 104 negara.
Tanggal 15 Desember 1989, PB mengesahkan Protokol Opsional Kedua yang
secara khusus mengatur upaya-upaya yang ditujukan untuk menghapus hukuman
mati. Mulai berlaku tangal 11 Juli 1991. Kovenan ini juga mempunyai suatu Komite.
Deklarasi Universal bersama dengan Perjanjian mengenai Hak-hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya beserta Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik bersama
Protokol Opsionalnya dinamakan International Bill of Human Rights.
Deklarasi Unversal meberikan inspiras terhadap sekitar 80 konvensi, deklarasi
atau dokumen lainnya mengenai hak-hak asasi manusia antara lain:
Konvensi tentang pencegahan dari penghukuman terhadap kejahatan
pemusnahan ras (convention on the protection and punishment of the crime of
genocide) tahun 1948. Konvensi ini menjadi jawaban terhadap kekejaman-
kekejaman selam perang dunia II dan mengkategorikan kejahatan
pemusnahan ras sebagai perbuatan untuk menghancurkan kelompok-
kelompok nasional etnis atau agama serta meminta negara-negara untuk
mengadili para pelaku kejahatan tersebut.
Convention Relating to The status of refugees (konvensi tentang status
pengungsi) tahun 1951. Menjelaskan mengenai hak-hak dan kewajiban
pengungsi.
International convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
tahun 1966, dan hingga bulan desember 2003 telah diratifikasi lebih dari 169
negara. Konvensi ini menentang segala bentuk diskriminasi rasial dan meminta
negara-negara mengambil tindakan-tindakan untuk menghapuskan
diskriminasi tersebut baik dari segi hukum maupun praktiknya.
Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination againts Women
1979. Diratifikasi 175 negara. Konvensi ini memberikan jaminan hak yang
sama di depan hukum antara wanita dan pria dan menjelaskan tindakan-
tindakan untuk mengahppuskan diskriminasi terhadap wanita sehubungan
dengan kehidupan politik dan publik, kewarganegaraan,pendidikan, lapangan
kerja, kesehatan, perkawinan, dan keluarga.
Convention againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment
or Punishment tahun 1984, dan hingga Desember 2003 telah diratifikasi 134
negara. Konvensi ini mengkategorikan penyiksaan sebagai kejahatan
internasional dan meminta negara bertanggung jawab untuk mencegah
penyiksaan dan menghukum para pelaku.
Konvensi mengenai hak-hak Anak (Convention on The Rights of Child) tahun
1989. Menegaskan hak-hak anak untuk memperoleh perlindungan dan
kesempatan serta fasilitas khusus bagi kesehatan dan pertumbuhan mereka
secara normal. Diratifikasi 192 negara.
Kendala-kendala Universalitas Hak-hak Asasi Manusia
Pengembangan pandangan mengenai hak-hak asasi manusia untuk semua
orang dan di seluruh dunia bukanlah merupakan suatu hal yang mudah mengingat
keanekaragaman latar belakang bangsa-bangsa baik dari segi sejarah, kebudayaan,
sosial, latar belakang politik, agama, dan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Perbedaan pandangan mengenai hak-hak asasi manusia paling tidak
menampilkan dua konsepsi yang saling berbeda yaitu mengenai individu dalam
masyrakat dan hubungan antara orag-perorangan dan kekuasaan. Bila konsepsi
barat lebih mengutamakan penghormatan terhadap hak-hak pribadi, sipil, politik.
Konsepsi sosialis yang sampai akhir-akhir ini masih dipertahankan secara gigih oleh
negara-negara sosialis Eropa Timur lebih menonjolkan perana negara. Walaupun
secara prinsip tidak menolak hak-hak individu, konsepsi sosialis ini pertama-tama
menempatkan individu dalam hubunganya dengan masyarakat dimana individu
tersebut adalah anggotanya.
Pengembangan dan perlindungan hak-hak asasi manusia tidak begitu
menimbulkan masalah di negara-negara perekonomian yang cukup maju. Di negara-
negara berkembang terutama yang paling ketinggalan, untuk kebutuhan pokok saja
sulit dipenuhi sehingga sedikit sekali tersedia peluang untuk mengembangkan hak-
hak sipil dan politik.
Kendala lainnya adalah kendala teknis. Kenyataaan menunjukkan bahwa di
antara konvensi-konvensi hak-hak asasi manusia yang berlaku sekarang ada yang
diratifikasi banyak negara dan ada pula yang masih sedikit jumlah ratifikasinya.
Selain itu terdapat pula ketidaksamaan waktu dan material. Ketidaksamaan waktu
adalah karena berbeda-bedanya tanggal mulai berlaku konvensi-konvensi yang
sama oleh negara-negara pihak. Ketidaksamaan material adalah banyak negara
yang menunda-nunda atau membatalkan penerimaan pengawasan pelaksanaan
ketentuan-ketentuan konvensi.
Namun kendala-kendala tersebut tidak menghalangi perkembangan dan
perlindungan hak-hak asasi di berbagai pelosok dunia walaupun tidak secepat dan
semulus seperti yang diingikan.
2.2 Hukum Humaniter
A. Pengertian Hukum Humaniter
Dalam kepustakaan hukum internasional istilah hukum humaniter merupakan
istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun 1970-an, ditandai
dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and
Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Selanjutnya, pada tahun 1974,
1975, 1976, dan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation and
Development of International.
Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict. Sebagai bidang baru dalam hukum
internasional, maka terdapat berbagai rumusan atau definisi mengenai hukum
humaniter dari para ahli, dengan ruang lingkupnya. Rumusan-rumusan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Menurut Jean Pictet:
“International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal
promosion, whether written and customary, ensuring respect for individual and
his well being”.1
2. Geza Herzegh merumuskan hukum humaniter internasional sebagai berikut:
“Part of the rules of public international law which serve as the protection of
individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is
1 Pictet, The Principles of International Humanitarian Law, dalam Haryomataram, op. cit. hlm. 15
closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and
spirit being different”.2
3. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter adalah:
“Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban
perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan
segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri”.3
4. Esbjorn Rosenbland, merumuskan hukum humaniter internasional dengan
mengadakan pembedaan antara:
The Law of Armed Conflict, berhubungan dengan:
a. Permulaan dan berakhirnya pertikaian;
b. Pendudukan wilayah lawan;
c. Hubungan pihak bertikai dengan negara netral;
Sedangkan Law of Warfare, ini antara lain mencakup:
a. Metoda dan sarana berperang;
b. Status kombatan;
c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang, dan orang sipil.
5. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-
undangan merumuskan sebagai berikut :
“Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan
internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang
dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap
harkat dan martabat seseorang”.
Dengan mencermati pengertian dan atau definisi yang disebutkan di atas,
maka ruang lingkup hukum humaniter dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok,
yaitu aliran luas, aliran tengah, dan aliran sempit. Jean Pictet misalnya, menganut
pengertian hukum humaniter dalam arti pengertian yang luas, yaitu bahwa hukum
humaniter mencakup baik Hukum Jenewa, Hukum Den Haag, dan Hak Asasi
Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, menurutnya hukum
humaniter hanya menyangkut Hukum Jenewa. Sedangkan Starke dan
2 Geza Herzegh, Recent Problem of International Humanitarian Law, dalam ibid, hlm. 17.
3 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan
Penerapannya di Indonesia, 1980. hlm. 5.
Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter
terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag.4
Istilah Hukum Humaniter
Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian
Law Applicable in Armed Conflict berawal dari istilah hukum perang (Laws of War),
yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (Laws of Armed
Conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter
(International Humanitarian Laws). Haryomataram membagi hukum humaniter
menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu:5
1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk
berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws);
2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan
penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws).
Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai
berikut:6
1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal
bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua)
yaitu:
a) Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (condact of war). Bagian ini
biasanya disebut The Hague laws.
b) Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban
perang. Ini lazimnya disebut The Genewa Laws.
Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari
dua aturan pokok, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Semula istilah yang
digunakan adalah hukum perang. Tetapi karena istilah perang tidak disukai, yang
terutama disebabkan oleh trauma Perang Dunia II yang menelan banyak korban,7
4 Penjelasan lebih lengkap mengenai ruang lingkup ini lihat Haryomataram, op.cit., hlm. 15 – 25.
5 Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta.
1994, hlm. 1.
6 Haryomataram, Hukum Humaniter, C.V. Radjawali, Jakarta, 1994, hlm. 2-3.
maka dilakukan upaya-upaya untuk menghindarkan dan bahkan meniadakan
perang. Upaya-upaya tersebut adalah melalui:8
1. Pembentukan LBB (Liga Bangsa-Bangsa). Karena para anggota organisasi ini
sepakat untuk menjamin perdamaian dan keamanan, maka para anggota
menerima kewajiban untuk tidak memilih jalan perang, apabila mereka terlibat
dalam suatu permusuhan.
2. Pembentukan Kellog-Briand pact atau disebut pula dengan Paris Pact 1928.
Anggota-anggota dari perjanjian ini menolak atau tidak mengakui perang
sebagai alat politik nasional dan mereka sepakat akan mengubah hubungan
mereka hanya dengan jalan damai.
Sikap untuk menghindari perang berpengaruh dalam perubahan penggunaan
istilah, sehingga istilah hukum perang berubah menjadi Hukum Sengketa Bersenjata
(Laws of Armed Conflict).9 Mengenai hal ini Edward Kossoy menyatakan:10
“The term of armed conflict tends to replace at least in all relevant legal formulation,
the older notion of war. On purely legal consideration the replacement for war by
‘armed conflict’ seems more justified and logical”.
“Hukum perang” terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum
internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh
7 Dalam Perang Dunia II terdapat lebih dari 60 juta orang terbunuh. Dalam abad 18 jumlah korban
mencapai 5,5 juta jiwa, abad 19 mencapai 16 juta jiwa; Perang Dunia I 38 juta jiwa dan pada konflik-
konflik yang terjadi sejak tahun 1949-1995 jumlah korban telah mencapai angka 24 juta jiwa. Lihat
Defence Nationale, hlm. 217 seperti dikutip dalam ICRC-IPU, Respect for International
Humanitarian Law, Handbook for Parliamentarians No. 1, 19999, hlm. 10.
8 Haryotaram, Hukum Humaniter, op. cit., hlm. 6. Lihat Mukadimah Covenant LBB; lihat pula pasal 12
Covenant LBB menyatakan bahwa apabila timbul perselisihan, maka negara anggota LBB sepakat
untuk menyelesaikannya dengan jalan arbitrase, judicial settlement, dan mereka tidak akan memulai
perang sebelum lewat tiga bulan sesudah keputusan arbitrer atau keputusan hukum diterima; lihat
Haryomataram, op.cit., hlm. 7.
Lihat pasal 1 Paris Pact 1928 yang berbunyi:’…that they condemn recourse to war for the solution of
international controversies…’; dan pasal 2 nya yang berbunyi:’…that the settlement or solution of all
disputes or conflicts,…, shall never be sought except by pacific means’:
9 Hans Peter Gasser, International Humanitarian Law, Henry Dunant Instiute, 1993, hlm. 3.
10 Edward Kossoy, Living with Guerilla, 1976, hlm. 34 seperti dikutip oleh Haryomataram, op. cit., hlm.
10.
boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-
individu pada saat berlangsungnya perang dan konflik-konflik bersenjata.
Istilah hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict) sebagai pengganti
hukum perang (law of war) banyak dipakai dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949
dan kedua Protokol Tambahannya.11 Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada
permulaan abab ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang, yang
konsepsikonsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (humanity
principle). Dengan adanya perkembangan baru ini, maka istilah hukum sengketa
bersenjata mengalami perubahan lagi, yaitu diganti dengan istilah Hukum Humaniter
Internasional yang Berlaku dalam Sengketa Bersenjata (International Humanitarian
Law Applicable in Armed Conflict) atau biasa disebut Hukum Humaniter
Internasional (International Humanitarian Law). Walaupun istilah yang digunakan
berbeda-beda, yaitu Hukum Perang, Hukum Sengketa Bersenjata, dan Hukum
Humaniter, namun istilah-istilah tersebut memiliki arti yang sama.
Asas-Asas Hukum Humaniter
Dalam hukum humaniter dikenal ada tiga asas utama, yaitu :
1. Asas kepentingan militer (military necessity)
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan
kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan
perang.
2. Asas Perikemanusiaan (humanity)
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk
memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan
kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderiataan yang
tidak perlu.
3. Asas Kesatriaan (chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan.
Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-
cara yang bersifat khianat dilarang.
11 Lihat pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol Tambahan I dan II tahun 1977.
Dalam penerapannya, ketiga asas tersebut dilaksanakan secara seimbang,
sebagaimana dikatakan oleh Kunz.:
“Law of war, to be accepted and to be applied in practice, must strike the correct
balance between, on the one hand the principle of humanity and chivalry, and on the
other hand, military interest”.12
Tujuan Hukum Humaniter
Tujuan pokok dari kaidah-kaidah hukum ini adalah bukan untuk menjadi
semacam kitab hukum yang mengatur “permainan perang”, melainkan untuk alasan-
alasan perikemanusiaan guna mengurangi atau membatasi penderitaan individu-
individu, serta untuk membatasi kawasan di dalam mana kebiasaan konflik
bersenjata diizinkan. Karena alasan inilah, ketentuan-ketentuan ini kadang disebut
sebagai “hukum perang humaniter” (humanitarian of law) atau kaidah-kaidah hukum
“perang yang berperikemanusiaan” (humanitarian warfare).
Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai
kepustakaan, antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari
penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh
ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan
dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini,
yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.13
B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER
12 Joseph Kunz, The Changing Law of national, dalam ibid., hlm. 34.
13 Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of the War for Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987,
hlm. 2, yang menyatakan bahwa: “The Law of War aims at limiting and alleviating as much as
possible the calamities of war. Therefor, the law of conciliates military needs and requirements of
humanity”.
Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan di mana
aturan-aturan hukum humaniter itu timbul, dan lebih sulit lagi untuk menyebutkan
“pencipta” dari hukum humaniter tersebut.14 Sekalipun dalam bentuknya yang
sekarang relatif baru, hukum humaniter internasional atau hukum sengketa
bersenjata, atau hukum perang, memiliki sejarah yang panjang.15 Hukum ini sama
tuanya dengan perang itu sendiri, dan perang sama tuanya dengan kehidupan
manusia di Bumi.16
Sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional
telah mengalami perkembangan yang sangat panjang. Dalam rentang waktu yang
sangat panjang telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan
perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan
perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan
semenamena dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang.17
Upaya-upaya tersebut, yang acap kali mengalami pasang surut, mengalami
hambatan dan kesulitan sebagaimana akan tergambar dalam uraian-uraian
berikutnya. Upaya-upaya tersebut dapat kita bagi dalam tahapan-tahapan
perkembangan hukum humaniter berikut ini :
1. Zaman Kuno
Pada masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk
menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik,
menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan
maka pihak-pihak yang berperang biasanya bersepakat untuk memperlakukan
tawanan perang dengan baik.18 Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan
diberi peringatan terlebih dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan maka
ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh
dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam
14 Hans-Peter Gasser, Internatioanal Humanitarian Law, an Introduction, Paul haupt Publisher,
Berne-Stuttgart-Vienna, 1993, hlm. 6.
15 Lihat Frits Kalshoven, Constraint on the Waging of War, ICRC, 1991, hlm. 7.
16 Jean Pictet, Development and Principles of International Humanitarian Law, Martinus Nijhoff
Publisher, 1985, hlm. 6.17 Ibid., hlm. 6.
18 Frits Kalshoven, loc. cit.; lihat juga Jean Pictet, op.cit., hlm. 6.
ini sangat dihormati, sehingga para prajurit di kedua pihak ditarik dari medan
pertempuran.19
Juga, dalam berbagai peradaban besar selama tahun 3000-1500 SM upaya-
upaya seperti itu berjalan terus. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai
berikut:20
1) Di antara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang
terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemudian
mengadakan arbitrasi kekebalan utusan musuh dan perjanjian perdamaian.
2) Kebudayaan Mesir Kuno sebagaimana disebutkan dalam “Seven Works of True
Mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan,
minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk
merawat yang sakit, dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu
menyatakan, “anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”.
Seorang tamu, bahkan musuh pun tak boleh diganggu.
3) Dalam kebudayaan bangsa Hittite, perang dilakukan dengan cara-cara yang
sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan
integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para
penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota di
mana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun
hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan
penduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda
dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman.
4) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan
undang-undang Manu,21 para satria dilarang membunuh musuh yang cacat,
yang menyerah; yang luka harus dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati.
Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan
panah api dilarang, penyitaan hal milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan
19 Jean Pictet, loc. cit.
20 Lihat ibid., hlm. 6-12.
21 Dikatakan oleh Viswanath dalam bukunya International Law in Ancient India, bahwa dalam hukum
internasional India kuno terdapat ketentuan mengenai hak-hak tentara pendudukan, senjata
terlarang, dan perlakuan tawanan perang yang mirip dengan ketentuan-ketentuan Peraturan-
peraturan Den Haag mengenai Peperangan di Darat 1907; lihat Mochtar Kusumaatmadja,
Konvensi-konvensi palang Merah th. 1949, Binacipta, Bandung, 1986, hlm. 10.
para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat
tinggal dilarang.
Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan
beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra-
sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dari kebiasaan dan hukum
perang yang dilakukan antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan
perang serta larangan menjadikan wanita dan anak-anak sebagai sasaran serangan,
dan juga tentang pengakhiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera
Selatan (Prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berita Raja yang memuat
tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah
Raja, akan diserang oleh bala tentara Raja. Begitu pula pada masa Kerajaan Gowa
diketahui adanya perintah Raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang
dengan baik.22
2. Zaman Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari
agama Kristen, Islam, dan prinsip kesatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya
memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” atau just war, Ajaran
Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Qur’an surah al Baqarah: 190,
191, al Anfal: 39, at Taubah: 5, al Haj: 39,23 yang memandang perang sebagai
sarana pembelaan diri, dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip
kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan
tentang pentingnya pengumuman perang dan larangan penggunaan senjata-senjata
tertentu.
3. Zaman Modern
Kemajuan yang menentukan terjadi mulai abad ke- 18, dan setelah
berakhirnya perang Napoleon, terutama pada tahun 1850 sampai pecahnya Perang
22 Mengenai penjelasan lebih lanjut tentang praktek hukum dan kebiasaan perang pada masyarakat
Indonesia pada jaman dahulu lihat dalam Fadillah Agus Et.al., Hukum Perang Tradisional di
Indonesia, Pusat Studi Hukum Humaniter FH-USAKTI dan ICRC, Jakarta, 1999.
23 Masjhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasardasar Hukum
Internasional, IKIP Malang, 1995, hlm. 16.
Dunia I. Praktek-praktek negara kemudian menjadi hukum dan kebiasaan dalam
berperang (jus in bello).
Salah satu tonggak penting dalam perkembangan hukum humaniter adalah
didirikannya organisasi Palang Merah dan ditandatangani Konvensi Jenewa tahun
1864.
pada waktu yang hampir bersamaan di Amerika Serikat Presiden Lincoln meminta
Lieber, seorang pakar hukum imigran Jerman, untuk menyusun aturan berperang.
Hasilnya, adalah Instructions for Government of Armies of the United States atau
disebut Lieber Code, dipublikasikan pada tahun 1863.24 Kode Lieber ini memuat
aturan-aturan
rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan
terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok orang-orang tertentu seperti
tawanan perang yang luka, dan sebagainya.25
Konvensi 1864, yaitu Konvensi bagi perbaikan Keadaan Tentara yang luka di
Medan Perang Darat, 1864 dipandang sebagai Konvensi yang mengawali Konvensi-
konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan Perlindungan Korban Perang.
Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan
perang di darat.26 Berdasarkan Konvensi ini, maka unit-unit dan personil kesehatan
bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan
tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan
bagi yang luka dan mati baik kawan maupun lawan tak boleh dihukum. Konvensi
memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal
bagi bangunan dan personil kesehatan.27 Tanda Palang Merah ini merupakan
lambang dari International Committee of the Red Cross yang sebelumnya bernama
International Committee for the Aid of the Wounded, yang didirikan oleh beberapa
orang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863.28
Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi
melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa ini perkembangan-
24 Ibid., hlm. 9.
25 Frits Kalshoven, op. cit., hlm. 11.
26 Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas maret University Press, 1994, hlm.
16.
27 Jean Pictet, op.cit., hlm. 29.
28 Frits Kalshoven, op.cit., hlm. 9.
perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter internasional,
dikembangkan melalui traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh mayoritas
negara-negara setelah tahun 1850. Jauh sebelumnya, setelah tahun 1850 telah
dihasilkan berbagai Konvensi yang merupakan perkembangan hukum humaniter
internasional, yang terdiri dari berbagai konvensi yang dihasilkan pada Konferensi
Perdamaian I dan II di Den Haag, serta berbagai konvensi lainnya di bidang hukum
humaniter.
2.3 Hukum Lingkungan
Perkembangan Hukum Internasional mengenai Lingkungan
Berakhirnya era Perang Dingin telah mencuatkan isu lingkungan sebagai salah satu
agenda baru dalam hubungan internasional yang paling dinamis. Isu Lingkungan itu
sendiri merupakan isu yang sangat luas karena kompleksitas permasalahannya
menyangkut aspek-aspek krusial dan beraneka ragam dari multidisiplin ilmu
ekonomi, politik, sosial dan budaya dan tentunya dari kelompok ilmu-ilmu eksata
yang berkaitan langsung dengan studi physical environment itu sendiri, seperti:
biology, chemistry, geology, forestry dan sebagainya. Pendefinisian masalah
lingkungan hidup dalam tataran hubungan internasional memiliki definisi tersendiri.
Menurut Porter dan Brown (1997:13), untuk masuk dalam kategori “global
environmental politics”, kualitas persoalan lingkungan yang dimaksud harus
mengandung ancaman terhadap daya dukung alam sebagai sebuah ekosistem (the
global commons) yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan umat manusia, yang
tidak hanya terbatas dalam wilayah jurisdiksi negara tertentu.
Perlindungan dan Perbaikan Lingkungan Hidup Manusia
Krisis dalam proporsi global sedang dan telah mempengaruhi lingkungan hidup
manusia, melalui pencemaran atmosfer, perairan laut,perairan pantai dan perairan
pedalaman, melalui degradasi tanah-tanah pedesaan, rusaknya keseimbangan
ekologis al, akibat dari sampingan biocide terhadap kehidupan hewan dan tumbuhan
dan melalui penipisan dan pembinasaan sumber-sumber daya alam dunia. Hal ini
sebagai akibat dari pesatnya pertumbuhan penduduk dan sebagai akibat dari
tuntutan teknologi industri. Persoalan-persoalan yang terkait dalam krisis lingkungan
hidup ini dan berbagai macam penyebab dan faktor yang menimbulkannya telah
dianalisis secara saksama sejak 20 tahun lalu oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam Laporan tentang Persoalan-Persoalan Lingkungan Hidup
Manusia, tanggal 26 Mei 1969 (Dokumen E/4667) yang dipersiapkan dalam kaitan
penyelenggaraan Konferensi Stockholm Juni 1972 tentang Lingkungan Hidup
Manusia, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 3 Desember 1968.
Dalam resolusi selanjutnya yaitu tanggal 15 Desember 1969, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan Laporan, menyerahkan kepada
Sekretaris Jenderal tanggung jawab secara keseluruhan untuk mengatur dan
mempersiapkan konferensi dan membentuk Komite Persiapan beranggotakan 27
anggota untuk membuatnya.
Laporan tersebut mengidentifikasi tiga penyebab utama yang bertanggungjawab
atas memburuknya kondisi lingkungan, yaiu pesatnya pertumbuhan penduduk,
meningkatnya urbanisasi, berkembangnya dan dihasilkannya teknologi baru yang
menyebabkan meningkatnya tuntutan akan ruang, pangan, dan sumber-sumber
daya alam. Laporan Sekretaris Jenderal tersebut jugan merinci beragam aktivitas
dari badan-badan yang terkait dengan atau badan-badan khusus PBB yang ada
hubungannya dengan lingkungan hidup manusia. Dari laporan Sekretaris Jenderal
itu terlihat bahwa tindakan pengaturan internasional pada prinsipnya sesuai untuk
hal-hal yang berikut :
Persoalan-persoalan pencemaran dan kontaminasi samudera-samudera dan
atmosfer karena hal ini mungkin merupakan obyek dari pemanfaatan umum,
sebagian lagi karena ketidakmungkinan dalam ha-hal tertentu melokalisisr
pengaruh-pengaruh dari zat-zat perantara pencemaran atau kontaminasi.
Spesies-spesies yang dilindungi dan suaka-suaka alam dengan alasan bahwa
hal ini merupakan warisan bersama umat manusia. Perjanjian-perjanjian
internasional mungkin perlu untuk mengawasi ekspor-impor dan jaul-beli spesies-
spesies yang terancam kepunahan.
Penipisan sumber-sumber daya laut, mengingat ketergantungan manusia
terhadap laut sebagai sumber protein.
Pemantauan perubahan-perubahan dalam atmosfer bumi, iklim, dan kondisi-
kondisi musim.
Penentuan standar-standar internasional terhadap baku mutu lingkungan.
Pengawasan timbal-balik dan pengendalian atas operasi-operasi industri tertentu
di semua negara, dimana operasi-operasi tersebut dapat membahayakan
lingkungan, untuk menghilangkan rangsangan-rangsangan guna memperoleh
keuntungan kompetitif dengan mengabaikan akibat-akibat dari proses-proses
yang membahayakan lingkungan. Prosedur-prosedur untuk tindakan
internasional dalam kasus ini telah diberikan oleh Konvensi-Konvensi Buruh
Internasional, yang mana salah satu tujuannya adalah untuk menjamin bahwa
kompetisi ekonomi antara negara-negara tidak menghalangi realisasi standar-
standar yang layak bagi kondisi-kondisi kerja.
Konferensi Stocholm 1972 tentang Lingkungan Hidup Manusia
Konferensi PBB yang bersejarah mengenai Lingkungan Hidup Manusia yang
berlangsung di Stockholm tanggan 5-16 Juni 1972, sesuai dengan Resolusi tanggal
3 Desember 1968 dari Majelis Umum PBB , merupakan usaha penting pertama
untuk memecahkan persoalan global mengenai perlindungan dan perbaikan
lingkungan hidup manusia melalui perjanjian internasional sedapat mungkin
berdasarkan pada level universal.
Tugas utama Konferensi dikerjakan melalui tiga komite utama yang terbuka bagi
semua negara yang berpartisipasi, yaitu : Komite Pertama, berkaitan dengan
pemukiman-pemukiman manusia dan aspek-aspek non-ekonomis; Komite Kedua,
berkenaan dengan sumber-sumber daya alam dan aspek-aspek pembangunan;
Komite Ketiga, berkenaan dengan zat-zat atau bahan penyebab pencemaran dan
aspek-aspek organisasional. Selain dari ketiga Komite Konferensi tersebut,
Konferensi juga membentuk sebuah Kelompok Kerja untuk mengkaji dan
mempertimbangkan rancangan deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia yang
diajukan pada Konferensi.
Keputusan-keputusan, resolusi-resolusi dan rekomendasi-rekomendasi dari
Konferensi adalah sebagai berikut :
1. Resolusi dalam sidang pleno yang mengecam percobaan-percobaan sejata
nuklir, khususnya yang dilakukan di atmosfer dan menyerukan kepada negara-
negara yang bermaksud melakukan uji coba demikian untuk menahan diri dari
tindakan itu karena hal tersebut dapat menyebabkan kontaminasi lebih jauh
kepada lingkungan.
2. Suatu rekomendasi dengan suara bulat bahwa Hari Lingkunagn Dunia diperingati
setiap tanggal 5 Juni.
3. Suati “Action Plan” bagi perlindungan dan perbaikan lingkungan. Sumbangan
utama dari “Action Plan” ini terletak dalam penekanannya pada tindakan dan
kerja sama nasional dan internasional untuk mengidentifikasi dan menilai
bahaya-bahaya lingkungan dan persoalan-persoalan lingkungan yang memiliki
arti global.
4. Pengesahan Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia. Deklarasi ini
dipandang sebagai tindakan untuk perlindungan lingkungan bumi yang
menyempurnakan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1948 untuk
perlindungan hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar manusia, yaitu
pada intinya merupakan suatu manifesto yang dinyatakan dalam bentuk kode
etik. Meskipun deklarasi tersebut telah disahkan secara aklamasi oleh
Konferensi, namun nasibnya terletak kesesuaian sampai hari terakhir sidang-
sidang pada saat pengesahan itu berlangsung. Harus diakui bahwa Deklarasi ini
merupakan sebuah dokumen yang ganjil sehingga memberi alasan bagi
ketidakpuasan yang dilontarkan pada saat berlangsung Konferensi.
5. Rekomendasi-rekomendasi yang ditujukan kepada Majelis Umum PBB untuk
menciptakan perangkat sarana internasional baru. Konferensi tidak menyepakati
pembentukan suatu organisasi internasional utama yang baru, tetapi sebaliknya
menetapkan sebuah Dewan Pelaksana untuk Program-Program Lingkungan,
yang dipilih sekali tiga tahun oleh Majelis Umum PBB berdasarkan pembagian
geografis yang adil.
Dewan yang diusulkan itu akan mendukung kerja sama lingkungan diantara
pemerintah-pemerintah dan memberi arah serta mengkoordinasikan tugas-tugas
bidang lingkungan yang ada yang diselenggarakan oleh beragam organisasi
internasional, yang secara kontinu akan melanjutkan pelaksanaan seperti yang
sebelumnya dalam lingkup tanggung jawab mereka. Dewan ini akan didukung
oleh Sekretariat Lingkungan.
6. Konferensi merekomendasikan bahwa rancangan pasal-pasal Konvensi
mengenai Dumping Samudera diserahkan untuk disahkan kepada Konferensi
yang diselenggarakan oleh Inggris menjlang akhir tahun 1972. Delegasi Inggris
telah menekankan perlunya suatu Konvensi untuki mencegah pencemaraan laut
oleh limbah-limbah dumping samudera dan untuk program dunia guna lebih
membersihkan sungai-sungai.
7. Direkomendasikan bahwa Majelis Umum PBB harus memutuskan untuk
menyelenggarakan Konferensi PBB Kedua tentang Lingkungan Hidup Manusia.
Dalam Prinsip 21 dan 22 Deklarasai Lingkungan Hidup Manusia disebutkan tiga
prinsip hukum internasional, yaitu :
a. Negara-negara memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber-sumber
daya yang mereka miliki sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaa bidang
lingkungan mereka.
b. Negara-negara bertanggungjawab untuk menjamin bahwa aktivitas-aktivitas
yang berlangsung didalam yurisdiksi atau kontrol mereka tidak menimbulkan
kerugian terhadap lingkungan negara-negara lain, atau kawasan-kawasan
diluar batas-batas yurisdiksi nasional.
c. Negara-negara berkewajiban untuk bekerja sama guna mengembangkan
lebih lanjut hukum internasional mengenai tanggung jawab dan ganti rugi
terhadap korban-korban pencemartan dan kerusakan lingkungan lain yang
disebabkan oleh aktivitas-aktivitas terhadap kawasan-kawasan diluar
yurisdiksi nasional.
Untuk memperingati ulang tahun kesepuluh Konferensi Stockholm 1972, maka 105
negara berkumpul di Nairobi tanggal 10-18 Mei 1982 dan mengeluarkan sebuah
Deklarasi khusus yang disebut sebagai Deklarasi Nairobi pada tanggal 18 Mei 1982.
Selain dari deklarasi ini, resolusi-resolusi penting lainnya telah dikeluarkan termasuk
satu resolusi untuk menciptakan suatu komisi khusus untuk mengusulkan strategi-
strategi bidang lingkungan jangka panjang guna mencapai pembangunan
berkelanjutan sampai tahun 2000 dan sesudahnya. Sejumlah hal penting telah
dimuat dalam Deklarasi Nairobi tersebut, yaitu :
Dinyatakan bahwa prinsip-prinsip Stockholm tetap valid saat ini sebagaimana
halnya di tahun 1972 dan menjadikannya tata tertib utama bidang lingkungan
untuk tahun-tahun mendatang, serta negara-negara yang berkumpul juga
dengan sungguh-sungguh menegaskan kembali komitmen mereka pada
Deklarasi Stockholm dan Rencana Kegiatan (alenia 1 dan 10).
Disepakati bahwa Rencana Kegiatan hanya terlaksana sebagian dan
dikemukakan beberapa keadaan buruk yang mengkhawatirkan, termasuk
penggundulan hutan, degradasi tanah dan air, proses penggurunan,
perubahan pada lapisan ozon, meningkatnya konsentrasi karbondioksida dan
hujan asam, pencemarean, serta punahnya spesies-spesies hewan dan
tumbuhan (alinea 2).
Dikemukakan tentang munculnya presepsi-presepsi baru, seperti “perlunya
manajemen dan analisis mengenai dampak lingkungan” dan “saling
hubungan yang erat dan kompleks antara lingkungan, pembangunan,
penduduk dan sumber-sumber daya” (alinea 3).
Negara-negara harus mendorong pengembangan progresif hukum
lingkungan internasional, termasuk konvensi-konvensi serta perjanjiann-
perjanjian (alinea 6).
Harus diberikan perhatian khusus terhadap peranan inovasi teknik dalam
rangka penggantian sumber-sumber daya, pendaurulangan dan konservasi.
Lingkungan hidup manusia akan memperoleh keuntungan besar dari suasana
internasional yang damai dan aman, bebas dari ancaman-ancaman
peperangan, khususnya perang nuklir (alinea 5).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kasus Hak Asasi Manusia (Case of International Violation of
Human Right )
Torture In Guantanamo Bay
Tingkat kekerasan di Guantanamo bertambah buruk pasca
diangkatnya Barack Obama secara resmi sebagai Presiden Amerika Serikat
menggantikan Bush. Hal tersebut diungkap oleh Ahmed Ghappour salah satu
pengacara yang mewakili para tahanan di kamp Guantanamo. "Menurut para
klien saya, tindak kekerasan di kamp makin meningkat sejak pelantikan
Presiden Obama," kata pengacara keturunan Inggris-Amerika yang bekerja
untuk Reprieve, sebuah organisasi amal yang mewakili 31 tahanan di kamp
Guantanamo.
Menurut Ghappour, para penjaga penjara bertambah bengis pada para
tahanan, seolah-olah ingin memuaskan kekejiannya sebelum kamp penjara
itu ditutup seperti yang dijanjikan Obama. Tindakan keji yang dilakukan para
penjaga kamp Guantanamo antara lain, pemukulan, siksaan fisik sehingga
menyebabkan terjadinya dislokasi tulang para tahanan, menyemprotkan air
lada ke lubang toilet dan ke tisu toilet dan menjejalkan makanan ke mulut
para tahanan yang sedang melakukan aksi mogok makan.
Ghappour mengatakan, tindakan sewenang-wenang yang dilakukan
penjaga penjara terhadap para tahanan bukan perintah dari atasan tapi
inisiatif para penjaga sendiri, terutama dari kalangan tentara angkatan darat
dan angkatan laut AS yang merasa frustasi dan pernah mengalami cedera
dalam medan pertempuran di Irak. Para penjaga ini melampiaskan
kekesalannya atas apa yang pernah dialaminya di medan pertempuran pada
para tahanan. "Seakan-akan para tahanan itulah yang telah membuat trauma
dan telah hidup mereka susah," ujar Ghappour.
Ia mengungkapkan, dirinya sudah mengajukan dua pengaduan atas
kasus penyiksaan serius di kamp tersebut sejak bulan Desember 2002, tapi
hingga sekarang belum mendapat respon dari otoritas berwenang di AS.
Salah satu kasus yang dilaporkannya adalah penyiksaan yang dilakukan oleh
sekelompok penjaga penjara yang menyebabkan kliennya menderita dislokasi
tulang di bagian lutut, bahu dan ibu jari.
Kasus lainnya terjadi di salah satu blok dari enam blok utama kamp di
Guantanamo. Di satu blok itu, para tahanan yang melakukan aksi mogok
makan, dipaksa makan makanan yang sudah dibubuhi bahan laksatif
sehingga membuat para tahanan mengalami diare kronis.
Dalam beberapa kasus, ada sejumlah bukti bahwa para tahanan
diperlakukan sewenang-wenang dalam perjalanan ke ruang pertemuan,
tempat mereka bertemu dengan kuasa hukum mereka. Perlakuan para
penjaga penjara sedemikian kejamnya sehingga sejumlah tahanan enggan
bertemu lagi dengan pengacaranya karena khawatir mendapatkan
penyiksaan.
Laporan Ghappour mematahkan laporan aparat berwenang AS yang
menyebutkan bahwa kondisi kamp penjara Guantanamo sudah lebih
manusiawi. Laporan pejabat AS itu dibuat setelah Presiden Obama pada
tanggal 22 Januari kemarin memerintahkan Departemen Pertahanan AS
untuk melakukan kajian selama dua minggu atas kondisi di kamp
Guantanamo sebagai bagian dari rencana penutupan kamp yang terletak di
negara Kuba itu.
Laksamana Patrick Walsh yang menyusun laporan tersebut hari Senin
kemarin mengatakan, ia menerima laporan masih adanya tindak kekerasan,
tapi semua tahanan sudah diperlakukan sesuai aturan dalam Konvensi
Jenewa.
"Kami sudah mendapat laporan kasus kekerasan ... pada titik ini kami
kembali melakukan investigasi. Kami memang menemukan dalam beberapa
kasus ada bukti bahwa penjaga penjara sudah bertindak sewenang-wenang,"
ujar Walsh.
Sementara itu sejumlah organisasi hak asasi manusia di AS juga
menyatakan bahwa kondisi para tahanan Guantanamo masih sangat
memprihatinkan. Center for Constitutional Rights yang berbasis di New York
mengungkapkan bahwa para tahanan masih dalam kondisi yang tidak
manusiawi, yang melanggar aturan Konvensi Jenewa, Konstitusi AS serta
hukum hak asasi manusia internasional.
Mayoritas tahanan, kata organisasi itu, disekap dalam ruang-ruang
isolasi. Kondisi kurang tidur, manipulasi lingkungan dan melemahnya
kemampuan sensori membuat kondisi fisik dan mental para tahanan berada
pada titik terendah
American Civil Liberties Union mendesak agar kajian atas kondisi
Guantanamo dilakukan tim independen dan bukan dilakukan pihak militer AS
yang mengelola penjara itu.
ANALISIS
Penjara Guantanamo Bay Guantanamo Bay adalah sebuah pangkalan
angkatan laut Amerika Serikat yang letak di Guantánamo, Kuba. Sebagian
dari pangkalan angkatan laut tersebut adalah penjara (sering disebut Gitmo),
yang sejak tahun 2001 digunakan untuk tahanan dalam perang lawan teroris,
asal memenuhi syarat:
1. Berkewarganegaraan asing
2. Telah mendapat latihan dari Al-Qaeda, atau
3. Memimpin tiga ratus lebih orang.
Di tempat tersebut, pernah ada laporan di berita bahwa hak-hak
tahanan itu dilanggar oleh penjaga. Oleh karena tahanan disebut unlawful
enemy combatants dan bukan prisoners of war, Amerika Serikat mengatakan
bahwa mereka tidak dilindungi dalam Perjanjian Geneva. Dengan demikian,
tahanan dapat ditahan tanpa didakwa atau mendapatkan pengadilan.
Pada awal Gitmo buka sampai pada tahun 2005 ada laporan bahwa
penjaga telah merusak Al-Quran dengan berbagai cara, di antara lain
menyobek, mencoretcoret, menendang, dan memasuki ke toilet. Dalam
penelitian yang dilaksanakan oleh komandan landasan Jay Hood,
dikemukakan bahwa ada lima kasus perusakan Al-Quran yang terbukti,
termasuk satu kasus tendangan pada Februari 2002 dan satu kasus
penginjakan pada 25 Juli 2003. Pada tahun 2005 muncullah tuduhan dalam
pers bahwa saat interrogation tentara wanita berpakaian tank top dan
menunjukkan pakaian dalam agar tahanan tidak sanggup dan menjawab
semua pertanyaan. Ada pula tuduhan bahwa tahanan disentuh dan didekati
oleh wanita, disentuh oleh payudara, dan dilempari tinta merah yang
dikatakan darah menstrual.
Pada tahun 2006 dilaporkan bahwa tiga tahanan ditemukan meninggal,
tampaknya dari menggantung diri. Menurut laporan yang diterbitkan dalam
majalah Harper pada tahun 2010, ketiga tahanan itu dibunuh setelah disiksa;
ini didukung dengan laporan beberapa mantan penjaga. Namun, pemerintah
Amerika Serikat mengatakan bahwa fakta yang dilaporkan oleh Harper’s
hanyalah cerita buatan.
Perbuatan militer Amerika Serikat di Gitmo melanggar beberapa HAM
dasar, di antara lain hak untuk tidak ditahan sembarangan, hak untuk bebas
beragama, dan hak untuk hidup. Dengan mengeksploitasi agama Islam
tahanan untuk keperluan pemerintah, Amerika Serikat telah mengasingkan
sebagian besar negara I slam dan namanya sudah tidak harum lagi.
Ham ialah seperangkat hak yang melengkat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat.
Esensi HAM :
Inheren; secara kodrati melekat pada diri manusia
Universal; berlaku untuk semua tanpa diskriminasi
Inalienable; tidak dapat diingkari
Indivisible; tidak dapat dibagi
Interdependent; saling tergantung
Harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan
Tidak boleh dikurangi/dirampas oleh siapapun
Hak-hak yang tidak dapat dikurangi:
Hak untuk hidup
Hak untuk tidak disiksa
Hak kebebasan pribadi, pikiran & hati nurani
Hak beragama
Hak untuk tidak diperbudak
Hak untuk diakui sebagai pribadi & persamaan di hadapan hukum
Hak untuk tidak dituntut hukum yang berlaku surut
Pelanggaran HAM :
Setiap perbuatan seseorang / sekelompok orang termasuk aparat
negara baik sengaja / tidak / karena kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang
yang dijamin oleh UU ini, dan tidak. mendapatkan / dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil & benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
Kekerasan dalam investigasi memang bukanlah hal yang asing terjadi
baik di tingkat nasional maupun internasional. Yang menarik, kekerasan ini
sering kali dilakukan oleh aparat penegak hukum sendiri yang menyiksa para
tahanan dalam proses investigasi.
Dalam lingkup internasional berita yang paling sering tersiar perihal
adanya kekerasan yang terjadi dalam investigasi ini adalah berita penyiksaan
terhadap tahanan di penjara Guantanamo, kuba. Seperti yang diberitakan
dalam artikel di atas, maka kita dapat dengan jelas mengetahui adanya
tindakan kekerasan yang terjadi di Guantanamo, dimana para tahanan telah
diperlakukan secara keji dan tidak berperikemanusiaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, kekerasan investigasi yang terjadi di
Guantanamo telah melanggar beberapa konvensi internasional anti
penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment) yaitu:
1. Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 (Geneva Conventions of 12 August
1949)
2. Istanbul Protocol
Berkenaan dengan metode penyiksaan dalam investigasi yang berupa :
• Blunt trauma
• Positional torture
• Crush injuries
• Chemical exposure
• Sexual violence to genitals
• Pharmacological torture
• Conditions of detention
• Humiliation
• Psychological techniques
• Behavioral coercion
• Forced to witness torture
3. Art. 5 of UDHR (UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS,
1948)
Pasal 5 Deklarasi Universal hak Asasi Manusia, 1948
4. Art. 7 ICCPR (INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND
POLITICAL RIGHTS , 1966 : “No one shall be subjected to torture …”
Pasal 7 Perjanjian Internasional tentang Hak
5. European Convention for the Protection on Human Rights and
Fundamental Freedom (Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi
Manusia dan Kebebasan Asasi) berlaku sejak th. 1953
6. American Convention on Human Rights (Sistem Konvensi Amerika
tentang HAM) berlaku sejak th. 1978
7. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (Konvensi menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat),
8. UN CHARTER (PIAGAM PBB)
9. The International Bill of Rights (Rancangan Undang-Undang
Internasional berkenaan dengan Hak Asasi.
3.2 Kasus Hukum Humaniter
Agresi Israel ke Libanon
Serangan Israel dengan menggunakan pesawat tempur yang memuntahkan
bom-bom berdaya ledak besar terhadap objek-objek sipil di Libanon telah
berlangsung satu bulan sepanjang bulan Juli 2006 dan awal Agustus 2006.
Agresi Israel tampaknya masih terus berlanjut. Sasarannya bukan hanya sentra
kegiatan pasukan [milisi] Hizbullah di perbatasan Israel-Libanon, tetapi termasuk
pemboman ke ibukota Beirut dan beberapa kota lain. Pasukan Multinasional (Multi-
National Forces) untuk meredam pertempuran di Libanon sedang dipersiapkan
[termasuk kontingen tentara dari Indonesia], tetapi perlu menunggu keputusan dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang masih diwarnai standar ganda dalam sikap yang
ditunjukkan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS).
Israel pernah melakukan serangan besar-besaran seperti itu ke Libanon
Selatan pada 24 tahun lampau dengan tujuan untuk melemahkan perjuangan
Palestina. Kita ingat tahun 1982 tentara Israelmelakukan invasi ke Libanon,
menggempur dan memporak-porandakan kamp pengungsi Palestina di Shabra dan
Shatila. Namun tidak ada tindakan keras yang dikenakan terhadap
pemerintah Israel dan tidak ada petinggi militer Israel yang diajukan ke pengadilan
internasional. Jauh berbeda dengan kasus pelanggaran HAM berat (gross violation
of human rights) dan pelanggaran hukum berat (grave breaches)
di Bosnia danRwanda. [1]
Kini 2006 pemerintah Zionis Israel melakukannya lagi, tanpa alasan yang kuat
atau yang dapat dibenarkan menurut aturan hukum internasional dan hukum
humaniter (misalnya, ada alasan dan bukti bahwa keamanan Israel terancam).
Memang kemudian pasukan Hizbullah juga membalas dengan meluncurkan
beberapa kali serangan bom ke wilayah utara Israel, tetapi tindakan “bela diri” itu
sebenarnya dipicu oleh arogansi sikap dan aksi serangan brutal Israel ke Libanon
Selatan.
ANALISIS
Perikemanusiaan dan HAM dalam Peperangan
Perlunya penerapan aturan serta rasa kemanusiaan dalam perang sudah
dikenal sejak jaman dahulu kala. Namun ironisnya pelanggaran demi pelanggaran
masih saja terus berlangsung hingga jaman postmodern ini. Di India misalnya, sejak
dahulu kala telah dikenal peraturan-peraturan hukum perang yang bertujuan untuk
melindungi orang-orang yang tak berdaya, terluka, dan yang sakit; terdapat
ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak tentara pendudukan, senjata terlarang, dan
perlakuan tawanan perang. Cerita Mahabharata misalnya, mengandung aturan-
aturan perang yang berperikemanusiaan.
Demikian pula kitab Undang-undang Manu di India pada masa lampau
memuat ketentuan terperinci mengenai orang-orang [penduduk sipil] yang tidak
boleh diserang, barang-barang rampasan perang, dan larangan untuk melakukan
kekejaman. Salahudin Al- Ayubi pada masa kejayaan Islam juga telah menerapkan
aturan hukum humaniter berdasar ajaran Al-Qur’an dan Hadits Rasulllulah SAW.
Yunani Kuno dan Romawi juga mengenal ketentuan-ketentuan yang
melarang pemakaian racun, pembunuhan tawanan perang, dan penyerangan atas
tempat-tempat ibadah. Sumbangan yang berharga dari hukum Romawi terhadap
hukum perang modern adalah definisi “perang” dan pendapat yang mengatakan
bahwa peperangan harus dimulai dengan suatu pernyataan perang yang resmi.
Jelas bahwa rasa kemanusiaan merupakan suatu hal yang umum dan telah
dikenal oleh berbagai bangsa dan peradaban sejak dahulu kala. Tidakl benar
apabila ada yang berpendapat bahwa sebelum Rousseau merumuskannya dalam
“Du Contract Social”, prinsip perikemanusiaan itu belum dikenal. Perbedaannya
hanyalah bahwa sebelum itu perikemanusiaan dalam perang sering masih terbatas
pelaksanaannya pada musuh yang seagama atau satu kebudayaan sehingga pada
saat itu belum dapat dikatakan sebagai asas yang berlaku umum dan universal yang
melintasi batas keagamaan, kebudayaan, dan kebangsaan seperti di jaman modern.
Dasar-dasar hukum humaniter bertujuan melindungi masyarakat dan
membatasi akibat yang tidak perlu atau yang berlebihan, yang ditimbulkan oleh
peristiwa-peristiwa konflik dan perang. Hukum humaniter merupakan sejumlah
prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam
situasi konflik bersenjata.
Pada prinsipnya masyarakat internasional memang mengakui bahwa
peperangan antarnegara (international armed conflict) dan bahkan secara
internal/domestik dalam suatu negara (non-international armed conflict) dalam
banyak kasus yang pernah terjadi memang sukar atau tidak dapat dihindari.
Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan
jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan tetapi orang-orang
yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban.
Oleh karena itu semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam keadaan
damai maupun perang. Tidak benar bahwa dalam peperangan, aspek hukum akan
lenyap seperti yang digambarkan dalam peribahasa Romawi “inter arma silent leges”
(terjadinya perang membuat aturan-aturan hukum bisa diabaikan).
Hukum yang mengatur konflik bersenjata lazim disebut sebagai hukum
perang, kemudian setelah Perang Dunia II diubah menjadi hukum humaniter.
Penggantian istilah tersebut dalam rangka memanusiakan manusia dalam perang.
Perang biasanya ditandai oleh konflik di suatu wilayah dengan intensitas
penggunaan kekuatan bersenjata cukup tinggi dan terorganisasi. Tujuan hukum
humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai
berikut:
1. Untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam
suatu permusuhan (hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang
terdampar dari kapal, tawanan perang, dan penduduk sipil.
2. Untuk membatasi akibat buruk penggunaan senjata dan kekerasan
dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan terjadinya konflik
tersebut.
Israel jelas telah melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dalam berbagai tindakan
atau aksi militernya, baik selama kurang-lebih enam dasawarsa di Palestina maupun
kini di Libanon. Dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya, Israel telah
menggunakan cara-cara yang tidak berperikemanusiaan, melanggar HAM,
mengabaikan aturan hokum humaniter, dan tidak sesuai dengan doktrin “Just War”.
Doktrin-Doktrin Perang dan Hukum Humaniter
Berikut ini kita tinjau doktrin-doktrin masa lampau yang berlaku hingga kini
dalam hukum humaniter internasional a.l. doktrin mengenai dua kategori perang
yaitu “Just War” dan “Unjust War”. “Just War” bermakna bahwa ada justifikasi atau
alasan pembenaran untuk melaksanakan serangan, bahwa perang dilakukan
berdasarkan alasan-alasan yang logis dan dapat dibenarkan , bahwa perang
berlangsung secara adil dan seimbang, bahwa perang dilakukan terbatas untuk
mencapai tujuan tertentu dan bukan untuk menghancurkan atau memusnahkan
pihak lawan (suatu negara, suatu bangsa, etnis dan suku-bangsa, kelompok/oposisi/
pemberontak, dls).
Berlandaskan doktrin “Just War” ini, sepanjang perang tidak terhindarkan
dalam rangka memperjuangkan sesuatu atau mempertahankan sesuatu, dibolehkan
melakukan tindakan untuk mengalahkan/menaklukkan lawan, tetapi bukan untuk
menghancurkan. Boleh memperjuangkan sesuatu, mencakup hal-hal kepentingan
nasional atau mencegah berlanjutnya agresi, tetapi bukan dengan cara-cara teror
yang menimbulkan kesengsaraan bagi penduduk sipil. Contohnya “Just War” a.l.
membela hak-hak publik atau hak rakyat, menggulingkan pemerintah yang dzalim,
guna menghapus perbudakan seperti “civil war” di AS (1861-1865), guna
memberantas peredaran narkoba, dls. Untuk mempertahankan sesuatu, contohnya
mempertahankan keutuhan wilayah, mempertahankan sumber-sumber daya alam,
dls.
“Just War doctrine” meliputi lima kriteria yaitu: a) “Just Cause” [Sebab/Alasan
yang Wajar], b) “Right Authority” [Berdasar Kewenangan yang tepat/sesuai], c)
“Right Intention” [Tujuan/Niat dengan iktikad baik], 4) “Proportionality” [Berlangsung
secara wajar, proporsional, seperlunya saja], dan 5) “Last Resort” [Tidak ada jalan
lain, hanya ditempuh sebagai keputusan terakhir/pamungkas, karena cara lain
sudah buntu].
Selain yang diatur berdasar doktrin, dalam perkembangan di jaman modern
diadakan pula aturan-aturan berdasar konvensi/perjanjian internasional dan
ketetapan dari badan perlengkapan organisasi internasional. Sehingga ketentuan-
ketentuan Hukum Perang atau Hukum Humaniter ini dibagi ke dalam tiga cabang,
yaitu :
1. Hukum The Hague (Law of the Hague) lebih terkait dengan peraturan
mengenai cara dan sarana bertempur dan memusatkan perhatiannya pada
tindakan operasi militer. Oleh karena itu, maka jenis Hukum The
Hague sangat penting bagi komandan militer di darat, laut, dan udara. Hukum
ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di The
Haque (Den Haag, Belanda) pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya
menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan.
2. Hukum Jenewa (Law of Geneva), yang berkaitan dengan perlindungan
korban perang. Mereka yang dilindungi adalah militer maupun sipil, di darat
maupun di air. Hukum Jenewa melindungi semua orang yang hers de
combat, yakni yang luka-luka, sakit, korban karam/tenggelam, dan tawanan
perang. Hukum Jenewa ini mencakup Konvensi Jenewa 1929, Konvensi
Jenewa 1949, dan juga Protokol Jenewa 1977.
3. Hukum New York (New York Rules), yaitu aturan-aturan baru yang berkaitan
dengan hukum humaniter atau yang mengatur ketentuan yang berlaku dalam
peperangan/pertempuran. Ketentuan dihasilkan melalui mekanisme
Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Organization) yang bermarkas
besar di New York. Lazimnya yang digolongkan sebagai “New York Rules”
adalah yang dibuat setelah tahun 1980. Ada yang berupa konvensi, protocol,
maupun berupa resolusi a.l. Resolusi Majelis Umum dan Resolusi Dewan
Keamanan PBB. Contoh-contohnya a.l. : Convention on the prohibition of the
development, production, stock-pilling and the use of chemical weapons and
on their destructions (1993); Protocol on Binding Laser
Weapons (1995), Protocol on the Explosive Remnants of War (2003), dan
“New York Rules” juga mencakup yang sebelum tahun 1970-an yaitu
Konvensi PBB tentang Genosida (Genocide Convention) tahun 1948 yang
merupakan pengembangan dari Resolusi PBB No 96 (11Desember 1946),
serta Resolusi Majelis Umum PBB No 2444 Tahun 1968 (Respect for Human
Rights in Armed Conflict).
Pelanggaran HAM dan Hukum Humaniter (Grave Breaches)
Beberapa kategori tindakan kejahatan/pelanggaran berat (grave breaches)
dalam hukum humaniter yang bisa kita simpulkan dari isi Konvensi Jenewa 1949
adalah sbb :
1) Willful Killing (Pembunuhan yang direncanakan/disengaja)
2) Torture or Inhuman Treatment, including Biological Experiment.
(Penyiksaan atau perlakuan tidak berperikemanusiaan, termasuk bila
manusia digunakan untuk eksperimen biologik)
3) Wilfully Causing Great Suffering
4) Destruction of Property Unjustified by Military Necessity
5) Compelling Civilians or Prisoners of War to Serve the Hostile power
6) Wilfully Depriving Civilians or Prisonesrs of war of a Fair Trial
7) Unlawful Deportation of Confinement of Civilians
8) The Taking of Hostages
Dalam hal serangan udara yang berlanjut dengan agresi militer Israel ke wilayah
Libanon (Juli+Agustus2006), ketentuan yang secara faktual telah dilanggar
oleh Israel adalah Nomor 1 (pemboman yang membantai penduduk sipil), 3
(menimbulkan derita dan kesengsaraan berkelanjutan) , 4 (menghancurkan
pemukiman dan rumah-rumah).
Upaya internasional menghentikan pertempuran di Libanon
Sejak 12 Juli 2006, Israel melakukan Serangan udara dengan pesawat
tempur yang menjatuhkan bom-bom ke pemukiman penduduk di Libanon Selatan
(sebelah utara wilayah Israel). Serangan-serangan itu telah menewaskan serta
melukai penduduk sipil termasuk anak-anak. Alasannya untuk melumpuhkan
pasukan/milisi Hizbullah yang anti Zionis dan menentang pendudukan Israel atas
wilayah Palestina. Namun yang ternyata menjadi korban adalah penduduk sipil,
termasuk wanita dan anak-anak.
Hal seperti ini sesungguhnya bukan hanya tergolong kejahatan perang (war
crimes) tetapi juga kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
Banyak bangunan, rumah, dan sarana pelayanan publik hancur di Libanon,
penduduk meninggal dan luka-luka, ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal.
Serangan pesawat tempur Israel ke kota Qana (29 Juli 2006) saja telah
menewaskan tidak kurang dari 54 orang penduduk sipil, 37 diantaranya adalah
anak-anak. Belum lagi di berbagai kota lainnya. Sekitar 800 orang tewas [3], belum
termasuk yang luka-luka, kehilangan tempat tinggal, dan yang mengungsi.
Hal ini tentunya disorot tajam oleh dunia internasional dan bukan hanya oleh
negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. Unjukrasa mengecam Israel,
berlangsung di berbagai negara, termasuk di negara-negara Eropa Barat. Namun
pemerintah Zionis Yahudi itu tidak bergeming dan terus melanjutkan aksi pemboman
yang tidak berperikemanusiaan serta tegas menolak himbauan gencatan senjata.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukannya tidak memperhatikan hal yang
mengenaskan itu. Dewan Keamanan PBB telah bersidang membahasnya, tetapi
Amerika Serikat (AS) memveto Rancangan Resolusi Dewan Keamanan PBB (yang
isinya mengutuk kekejaman Israel dan mendesak Israel untuk menghentikan aksi
pemboman). Tidak aneh dan bukan hal baru bahwa AS hampir selalu menyatakan
penolakan (veto) di DK-PBB dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan Israel.
Upaya lebih lanjut yang dapat dilakukan oleh negara-negara anggota PBB
adalah melalui Majelis Umum PBB, karena dalam MU-PBB tidak berlaku hak veto.
Cara ini dikenal sebagai pola “Uniting for Peace”, yang justru pernah ditempuh oleh
AS pada tahun 1950 untuk menghasilkan Resolusi PBB menyangkut pecahnya
Perang Korea. Ketika itu AS berhasil dalam upayanya mengalihkan rancangan
Resolusi melalui DK-PBB yang diveto oleh Uni Soviet (Rusia), untuk dibahas oleh
Sidang Istimewa (Sidang Darurat) Majelis Umum PBB.
Resolusi MU-PBB yang dikeluarkan pada tahun 1950 itu dikenal sebagai “Uniting
for Peace Resolution No. 377A / 1950”. Selanjutnya MU-PBB belum pernah
mengeluarkan lagi resolusi semacam itu dan tampaknya bisa saja cara seperti itu
ditempuh lagi pada tahun 2006 ini. Untuk menembus kebuntuan di DK PBB. Cuma
masalahnya kemudian apakah Resolusi MU-PBB itu bisa cukup efektif untuk
menekan pemerintah Israelmenghentikan aksi-aksi brutalnya di Libanon dan
Palestina.
Lalu jika PBB tidak mampu bertindak untuk mengendalikan serta
mendamaikan situasi “perang” di Libanon melalui himbauan atau resolusi, apa yang
bisa dilakukan dalam waktu dekat ini ? Pilihannya adalah mengirimkan Pasukan
Multi-Nasional (Multi-National Forces) untuk memisahkan pihak-pihak yang bertikai
itu atau Gencatan Senjata di antara kedua pihak yang sama-sama berjanji tidak
akan melakukan serangan.
Pemerintah AS, sebagai adidaya yang kini memegang hegemoni dunia,
cenderung ke arah pembentukan pasukan multinasional (MNF) untuk segera
dikirim/ditempatkan ke Libanon. Sedangkan Perancis dan negara-negara anggota
Uni Eropa menyokong upaya Gencatan Senjata terlebih dulu, untuk kemudian
dilanjutkan dengan perundingan. Jadi perlu ada penghentian serangan dan
pertempuran lebih dulu, terutama penghentian pemboman oleh Israel. Barulah
kemudian berlanjut dengan upaya penyelesaian konflik (penyelesaian sengketa dan
permusuhan) melalui perundingan bilateral/trilateral antara Israel dengan Libanon
dan pasukan Hizbullah.
Pola perundingan (setelah gencatan senjata) bisa langsung oleh para pihak
yang bertikai dan bisa pula berlangsung melalui adanya mediasi oleh negara lain
yang bersikap netral. Lalu hasil kesepakatan dari perundingan itu agar dilaksanakan
secara konsekuen dengan adanya pengawasan internasional. Usulan yang
dikemukakan oleh Uni Eropa ini tampaknya lebih ideal dan adil untuk diterapkan,
selain bahwa yang terpenting adalah untuk menyelamatkan penduduk sipil agar
tidak menjadi korban pertempuran.
Sedangkan usulan pemerintah AS untuk mengirimkan “Multi-National Forces”
ke Libanon, berkemungkinan hanya akan menguntungkan Israel. Bisa jadi Pasukan
pejuang Hizbullah saja yang bukan tentara resmi suatu negara yang akan dilucuti
persenjataannya dan dibubarkan struktur komandonya (oleh Pasukan Multi-
Nasional). Sedangkan pihak militer Israel hanya disuruh menghentikan serangan
dan mundur dari wilayah Libanon.
Belum lagi masalah dalam hal menentukan tentara dari negara-negara mana
yang akan menjadi inti Pasukan Multi-Nasional itu. Jangan-jangan akan didominasi
struktur pimpinannya dan jumlah personilnya oleh tentara AS, seperti dalam kasus
Irak. Jelas AS perlu diragukan kenetralan dan keobjektifannya dalam penanganan
konflik Israel dan Hizbullah yang sedang berlangsung di Libanon dewasa ini.
Yang terbaik adalah gencatan senjata terlebih dulu (sampai
sekarang Israel terus menolak usulan gencatan senjata) yang dilanjutkan dengan
upaya perundingan menuju perdamaian. Sejalan dengan hal itu dilakukan
penempatan “Peace Keeping Operation” (PKO) oleh PBB di perbatasan Libanon-
Israel, termasuk untuk membantu rekonstruksi pemulihan kehidupan sosial-ekonomi
penduduk di Libanon. Perlu kita pahami di sini bahwa tugas-tugas “Multi-National
Forces” (MNF) adalah memukul-mundur pihak yang bertikai yang saling
menggempur, berbeda dengan “Peace Keeping Operation” (PKO) yang bertujuan
melindungi penduduk setelah adanya penghentian pertempuran.
Hal lain yang perlu dipahami berkait dengan konflik Palestina serta
pertempuran Israel dan Hizbullah adalah bahwa hal ini bukan “perang agama” dan
bukan bermotif keagamaan (antara Kristen dan Islam). Sekitar 25-30 persen bangsa
Palestina beragama Kristiani/Nasrani, walau mayoritas 70-75 persen beragama
Islam. Sekitar 35-40 persen penduduk Libanon beragama Kristen (Maronit) dan oleh
karena itu ada pola pembagian kekuasaan dalam Konstitusi Libanon, jika kepala
negara (presiden) dipilih dari tokoh yang beragama Kristen maka kepala
pemerintahan (Perdana Menteri) dari tokoh yang beragama Islam.
Konflik dan pertempuran di kawasan itu adalah semata-mata bermotif
perjuangan Israel menegakkan hegemoni dan sebaliknya penentangan pihak lain
(Palestina, Syria, Libanon) terhadap dominasi Israel. Jelas konflik kepentingan
nasional masing-masing bangsa dan bukan bermotif konflik keagamaan. AS juga
dalam banyak hal cenderung berpihak kepada Israel karena ideologi dan
kepentingan nasional untuk mengendalikan kawasan Timur Tengah yang kaya
sumber energi minyak, selain kuat dan luasnya lobby Yahudi di dalam perpolitikan
nasional AS.
3.3 Kasus Hukum Lingkungan
Hukum Lingkungan adalah badan hukum yang kompleks terdiri dari global,
internasional, nasional, negara bagian dan lokal hukum, perjanjian, konvensi,
peraturan dan kebijakan yang berusaha untuk melindungi lingkungan dan sumber
daya alam yang terkena dampak - dampak atau terancam oleh aktivitas manusia.29
Perkembangan hukum lingkungan internasional sebagai ruang lingkup yang
terpisah dari hukum internasional publik dimulai pada tahun 1970-an dengan adanya
Konferensi Stockholm tentang Lingkungan Hidup pada tahun 1972. Sejak itu
masalah lingkungan meningkat dan merupakan salah satu lingkup yang paling
cepat berkembang dalam hukum internasional. Saat ini perhatian internasional
terhadap masalah hukum lingkungan adalah mengenai penipisan lapisan ozon dan
pemanasan global, penggurunan, perusakan hutan hujan tropis, polusi laut plastik
dari kapal, perdagangan internasional spesies terancam punah (perdagangan
gading yaitu), pengiriman limbah berbahaya ke negara-negara Dunia Ketiga,
deforestasi di Brazil dan Filipina, perlindungan lahan basah, tumpahan oli, lintas
batas polusi udara nuklir (yaitu Chernobyl), pembuangan limbah berbahaya dan
beracun, penipisan air tanah , perdagangan internasional dalam pestisida, dan hujan
asam. Hukum lingkungan juga masuk pada area lain dalam hukum internasional,
seperti komersial / hukum bisnis, perdagangan, dan hak asasi manusia.
Kerjasama internasional dalam bentuk perjanjian, kesepakatan dan resolusi
yang dibuat oleh organisasi-organisasi antar pemerintah serta hukum dan peraturan
nasional yang digunakan untuk melindungi lingkungan. Peneliti biasanya mencari
dokumen dari organisasi besar terkait dengan perlindungan lingkungan seperti
29 Lihat,http//www.wikipedia.com
Program Lingkungan Hidup PBB[ (UNEP), dengan Uni Eropa, dengan OECD, dan
Dewan Eropa. Karena tanggung jawab utama untuk melindungi lingkungan hidup
tetap di tingkat nasional dan lokal, kota dan peraturan hukum terkait dengan
lingkungan semakin sering dicari.
Prinsip 4 Deklarasi Stockhlom (Stockhlom Declaration on Human
Environment 1972) menyatakan :
“Manusia bertanggung jawab untuk menyelamatkan dan mengelola secara bijaksana
warisan margasatwa dan habitatnya yang kini terancam oleh kombinasi faktor-faktor
yang bertentangan.”
Prinsip dalam Deklarasi diatas ternyata telah menyebutkan adanya ancaman
dari penyalahgunaan bentuk teknologi baru (ex: bioteknologi). Hanya saja deklarasi
ini tidak menyebutkan secara tegas, namun pernyataan “kombinasi faktor-faktor
yang bertentangan” telah menunjukkan adanya perhatian terhadap perkembangan
sesuatu hal yang bertentangan dengan berbagai tatanan dalam kehidupan
masyarakat.
Perkembangan hukum internasional khususnya mengenai pengajuan kasus-
kasus ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam lima tahun
terakhir telah menghadapi babak baru. Paling tidak perhatian terhadap kasus-kasus
yang menyangkut persoalan lingkungan hidup khususnya sumberdaya alam telah
menjadi agenda penting, walaupun dalam kasus-kasus terdahulu hanya merupakan
bagian dari kasus mengenai sengketa perbatasan. Hal ini dapat diketahui bahwa
Mahkamah International telah menerima dua kasus penting yang berkaitan dengan
masalah lingkungan hidup khususnya mengenai pengelolaan sumberdaya alam
yaitu Case concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v Australia)
dan Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia). Mengingat kedua
kasus ini memiliki karakteristik tersendiri maka dengan pertimbangan Pasal 26
Piagam Mahkamah Internasional telah dibentuk the Chamber of Environmental
Disputte pada tanggal 19 Juli 1993.
KASUS-KASUS LINGKUNGAN
A. Kasus Certain Phosphat di Nauru
Gugatan terhadap Australia diajukan karena sebagai anggota Dewan Perwalian
PBB yang ditugaskan untuk menangani persiapan kemerdekaan Nauru, Australia
dianggap telah gagal melaksanakan tugasnya. Bahkan kewajibannya untuk
memperbaiki kondisi ekonomi dan pembangunan justru menimbulkan kerusakan
lingkungan hidup dengan tidak merehabilitasi kerusakan akibat proyek
penambangan posphat.
B. Kasus Gabcikovo-Nagymaros Project
Sengketa mengenai proyek pembangunan suatu bendungan khususnya
menyangkut soal pelaksanaan perjanjian pembangunan telah menimbulkan dampak
lingkungan dengan terancamnya sumberdaya alam hayati yang ada di sekitar
Sungai Danube.
C. Chorfu Channel Case
Kasus ini merupakan sengketa antara Albania dan Inggris yang cara
pengajuannya melalui pengadilan yaitu ke Mahkamah Internasional pada tahun
1949. Peristiwanya terjadi pada tanggal 15 Mei 1946 pada saat kapal-kapal Inggris
berlayar memasuki selat Chorfu wilayah Albania. Ketika memasuki laut teritorial
Albania kapal-kapal tersebut ditembaki dengan meriam-meriam yang ada di pantai
Albania. Albania ketika itu sedang dalam keadaan perang dengan Yunani. Tanggal
22 Oktober 1949 sebuah kapal Inggris telah menabrak ranjau yang berada di selat
tersebut yang kemudian menimbulkan korban jiwa. Atas kejadian tersebut Inggris
kemudain melakukan pembersihan terhadap ranjau-ranjau yang ada di selat
tersebut tanpa adanya izin dari pemerintah Albania. Kemudian sengketa timbul dan
diajukan ke Mahkamah Internasional. Keputusan mahkamah Internasional
menyatakan bahwa Albania bertenggungjawab atas kerusakan kapal Inggris dan
Inggris telah melanggar kedaulatan Albania karena tindakannya menyapu ranjau.
Persoalan ini sebenarnya tidak berkaitan dengan masalah lingkungan hidup secara
langsung. Namun dalam kasus ini telah diterapkan suatu prinsip yang mirip dengan
Prinsip 21 Deklarasi Stockhlom 1972 yaitu dalam salah satu keputusannya
menyatakan bahwa setiap negara tidak diperbolehkan melakukan tindakan-tindakan
yang mengganggu atau merugikan negara lainnya.
D. Gulf of Maine Case
Kasus ini mengenai masalah perbatasan antara Amerika Serikat dan Kanada.
Pengajuan perkara diajukan melalui cara ke pengadilan internasional yaitu
Mahkamah Internasional. Dalam sengketa ini untuk pertama kalinya Mahkamah
Internasional membentuk Kamar Penyelesaian Sengketa (Chamber of Disputte
Settlement) berdasarkan pasal 26 (1). Persoalan pokok yang diajukan adalah
mengenai penetapan perbatasan tunggal (single maritime boundary) yang
digunakan. Batas Kanada yang diajukan adalah equidistance line tapi Amerika
Serikat menginginkan bahwa perbatasan tergantung dari keadaan yang relevan di
wilayah tersebut. Selain itu menurut Kanada, Teluk Maine beserta wilayah yang
berdekatan termasuk bagian penting karena memunyai hubungan yang kompleks
dan memiliki proses biologis yang penting. Juga wilayah ini merupakan eksosistem
laut yang penting di wilayah utara. Dilain pihak Amerika Serikat menyatakan bahwa
wilayah ini memiliki karakteristik berdasarkan 3 prinsip rezim ekologi. Dalam hal ini
ternyata Teluk Maine juga membentuk komunitas flora dan funa dalam semua siklus
jaring makanan dari yang terkecil hingga ikan yang terbesar. Mahkamah
Internasional kemudian mempelajari kasus ini.
Selain kasus-kasus diatas ada beberapa kasus lagi yang berhubungan
dengan hukum lingkungan internasional. Seperti kasus pengelolaan sumberdaya air
di antara negara-negara yang berkepentingan yaitu Diversion of the Waters from
the River Meuse Case (Netherland v. Belgium) dan Territorial Jurisdiction of
the International Commission of the River Oder Case 1929. Kasus-kasus
tersebut sangat erat persoalannya dengan masalah perbatasan negara yang kaya
akan sumber daya alam hayati maupun non hayati. Dalam kasus perebutan wilayah
perairan yang kaya akan sumberdaya perikanan ada dua kasus yang terkenal yaitu
Anglo-Norwegian Fisheries Case (United Kingdom v. Norway)(1951) dan
Fisheries Jurisdiction (UK v. Iceland v. Federal Republic Germany) (1974).
Selain itu ada juga kasus Gulf of Maine Case (USA v. Canada) 1984. Kasus-kasus
perbatasan yang menyangkut landas kontinen yang kaya akan sumberdaya alam
non hayati ada kasus seperti North Sea Continental Shelf (1969), Continental
Shelf (Libyian Arab Jamahiriya v. Malta) (1985) dan Continental Shelf ( Tunisia
v. Libya)(1982). Sementara itu beberapa kasus lainnya juga muncul seperti gugatan
Australia untuk kedua kalinya terhadap Perancis atas percobaan nuklir sedang
diupayakan.
BADAN INTERNASIONAL
Menghadapi kasus-kasus lingkungan hidup Mahkamah Internasiona; telah
membentuk Kamar Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup (Chamber of
Environmnetal Disputte Settlement) pada tanggal 19 Juli 1993.
Sebenarnya kasus lingkungan hidup dalam arti luas pernah ditangani oleh
Mahkamah Internasional Permanen (PICJ) seperti dalam Diversion of the Waters of
the River Meuse dan Territorial Jurisdiction of the International Commission of the
River Oder Case 1929. Demikian juga dengan Mahkamah yang telah beberapa kali
menangani sengketa yang bersinggungan dengan masalah lingkungan hidup.
Sebagai contoh dalam Chorfu Channel Case (UK v. Albania) 1949, Nuclear Test
Cases, Gulf of Maine Case (USA v. Canada) 1984, Fisheries Jurisdiction Case.
Namun secara spesifik makalah ini akan membahas kasus gabcikovo – Nagymaros
project sebagai kajian dalam Hukum Lingkungan.
Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia)
Dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros Project, dimana adanya sengketa
mengenai pembangunan bendungan khususnya mengenai proyek perjanjian
pembangunan antara dua negara yakni Hungaria dan Slovakia yang ternyata
mengalami dampak lingkungan dengan tercemar sumber daya alam hayati
sekitar sungai Danube untuk produksi listrik, penanganan banjir dan
peningkatan navigasi.
Hal ini diprakarsai oleh Budapest Treaty pada September 16, 1977
antara Cekoslowakia dan Hongaria. Tujuannya adalah untuk mencegah
bencana banjir, untuk meningkatkan kualitas berlayar dan menghasilkan listrik
yang bersih. Hanya bagian dari proyek tersebut telah selesai di Slowakia -
dengan nama Gabčíkovo Bendungan / PDAM, karena konstruksi Hungaria
ditinggalkan secara sepihak. Hal ini menyebabkan sengketa internasional
jangka panjang antara Slovakia dan Hongaria, yang masih belum tertutup.
Perjanjian perbatasan bendungan membayangkan sebuah sistem-
silang antara kota Gabčíkovo , Slowakia (Setelah 1 Januari 1993 Republik
Slovakia independen) dan Nagymaros , Hungaria. Bendungan-bendungan
akan menghilangkan banjir biasa (seperti bencana yang pada tahun 1954 dan
1965) dan menyediakan sumber daya listrik yang bersih. Mereka juga akan
memungkinkan dilayari sepanjang tahun sungai dan berfungsi sebagai bagian
dari Rhine-Main-Danube Canal .
Rencananya adalah untuk mengalihkan bagian sungai itu menjadi
kanal buatan di Dunakiliti (sebuah desa di Hungaria) untuk pembangkit listrik
tenaga air dekat Gabčíkovo (delapan turbin, 720 MW. Kanal itu akan kembali
air ke dalam memperdalam asli sungai dan di Nagymaros bendungan kecil
dan kekuatan-tanaman (158 MW) akan dibangun. Pabrik di Gabčíkovo adalah
sebagai pembangkit puncak-daya dan bendungan di Nagymaros, sekitar 100
km hilir, adalah membatasi fluktuasi tingkat air.
Karena sebagian besar konstruksi dirancang untuk berdiri di wilayah
Slowakia, Hongaria pemerintah wajib mengambil bagian juga di beberapa
konstruksi di Slovakia, untuk mengamankan investasi yang sama untuk kedua
belah pihak.. Diproduksi listrik seharusnya untuk mengalihkan 01:01 antara
kedua negara.
Pada tahun 1989 Hungaria meninggalkan situs dan pada bulan Mei
1992 mencoba untuk mengakhiri 1977 perjanjian. Setelah Ceko-Slowakia
berpisah pada 1993 , yang baru-didirikan Republik Slovakia , sebagai seorang
pewarisan proyek, mengajukan sengketa kepada Mahkamah Internasional di
Den Haag .. Pada 1994 , Sosialis kembali menjadi kekuatan di Hungaria tapi
hampir tidak bisa kembali keluar dari kasus pengadilan, yang dipuji sebagai
tengara: untuk pertama kali, pengadilan akan memerintah atas suatu
sengketa lingkungan. Sidang kasus itu diadakan antara 3 Maret dan 15 April
1997 , dan Mahkamah mengunjungi situs (yang pertama dalam sejarah) ke
lokasi konstruksi. Dalam perselisihan tersebut, wakil Hungaria ingin, selain
masalah lain, pengadilan untuk memutuskan apakah atau tidak Cekoslowakia
berhak untuk memulai dengan Varian C dan bahwa perjanjian 1977 tidak
pernah berlaku antara Slovakia dan Hongaria. diturunkan keputusan pada
tahun 1997:
Hungaria tidak diizinkan pada tahun 1989 untuk menghentikan dan
kemudian meninggalkan bagiannya atas bekerja di PDAM sesuai dengan
perjanjian tahun 1977 dan menerapkan yang terpasang;
Cekoslowakia diizinkan untuk memulai persiapan alternatif solusi
sementara nya, Varian C, pada bulan November 1991 , tapi tidak diizinkan
secara sepihak mulai Varian C pada bulan Oktober 1992 ;
Hungaria pemberitahuan penarikan dari perjanjian 1977 pada 19 Mei 1992
sebenarnya tidak mengakhiri perjanjian, dan perjanjian itu karena itu
masih berlaku dan mengikat kedua belah pihak;
Slovakia, sebagai pengganti Cekoslowakia, menjadi pihak dalam
perjanjian 1977; dan
Dalam hal Hongaria dan Slowakia tidak bisa menemukan solusi melalui
negosiasi, Hungaria diminta untuk membayar kerugian ke Slovakia.
Sementara itu, 4 bulan perundingan antara Slovakia dan Hongaria
menyebabkan perjanjian antara kedua negara tentang penghakiman
Mahkamah Internasional.. Pada Maret 1998 pemerintah Slowakia menyetujui
perjanjian ini, tetapi pemerintah Hungaria, yang seharusnya untuk
membangun Nagymaros atau cadangan Perairan Pilismarót, tertunda untuk
menyetujui perjanjian dan menyatakan kompetisi untuk proyek tersebut.
Setelah pemilihan umum di Hongaria, pemerintah baru membatalkan
kompetisi ini. Pada 1998 , setelah dua banding ke Hungaria, pemerintah
Slovakia beralih ke Mahkamah Internasional, menuntut bagian Nagymaros
dibangun. Pada 2006 , perselisihan internasional masih tidak diselesaikan.
Konsekuensi Lingkungan yang dikhawatirkan terjadi pada daerah
Sunga Danube oleh WWF yakni kualitas air sungai yang menurun dan
menyebabkan matinya hewan dan tumbuhan yang ada di dalam air serta
sekitar sungai Danube tersebut dan masalah pasokan air di Budapest.
ANALISIS
Kasus ini merupakan tonggak sejarah perkembangan hukum
lingkungan internasional. Karena masalah lingkungan hidup ini tidak lagi
menjadi permasalahan dalam suatu negara itu sendiri tapi, menjadi masalah
untuk internasional, dan kasus ini dibawa ke Mahkamah Internasional. Dalam
proses penyelesaian sengketa Mahkamah Internasional bersifat pasif artinya
hanya akan bereaksi dan mengambil tindakan-tindakan bila ada pihak-pihak
berperkara mengajukan ke Mahkamah Internasional. Dengan kata lain
Mahkamah Internasional tidak dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk
memulai suatu perkara. Dalam mengajukan perkara terdapat 2 tugas
mahkamah yaitu menerima perkara yang bersifat kewenangan memberi
nasihat (advisory opinion) dan menerima perkara yang wewenangnya untuk
memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh negara-negara
(contensious case). Dalam menghadapi kasus-kasus lingkungan hidup
Mahkamah juga telah membentuk Kamar Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Hidup (Chamber of Environmnetal Disputte Settlement) pada tanggal 19 Juli
1993.
Pengadilan menyatakan bahwa baru dikembangkan norma hukum
lingkungan hidup relevan untuk pelaksanaan Perjanjian dan bahwa Pihak
dapat, dengan persetujuan, menggabungkan mereka melalui penerapan
beberapa artikel tersebut. Ditemukan bahwa Para Pihak, untuk mendamaikan
pembangunan ekonomi dengan perlindungan lingkungan, "akan terlihat lagi
pada dampaknya terhadap lingkungan pengoperasian pembangkit listrik
Gab ... íkovo. Secara khusus mereka harus menemukan solusi yang
memuaskan untuk volume air akan dilepaskan ke tempat tidur tua dari
Danube dan ke dalam tangan-sisi sungai. "
Banyak model penyelesaian sengketa internasional yang telah dikenal
baik secara teori maupun praktek. Tahun 1907 pernah ditandatangani Hague
Convention on the Pacific Settlement of International Disputes. Mengenai
penyelesaian sengketa secara damai, Starke membagi menjadi 4 model
yaitu :
Arbitrasi
Penyelesaian yudisial
Perundingan, mediasi, perdamaian atau penyelidikan
Penyelesaian di bawah PBB
Mengenai cara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa Pasal
33 (1) Piagam PBB menyatakan :
“ Pihak-pihak yang tersangkut dalam suatu pertikaian yang jika
berlangsung terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaan
perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari
penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, dengan mediasi,
konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau
pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih
mereka sendiri.”
Sehingga berdasarkan pasal diatas, Perserikatan Bangsa-bangsa
menggunakan beberapa model atau cara penyelesaian sengketa yaitu :
a. Perundingan
b. Penyelidikan
c. Mediasi
d. Konsiliasi
e. Arbitrasi
f. Hukum internasional regional
g. Pengaturan badan-badan regional
h. Cara lainnya yang dipilih para pihak.
Untuk kasus yang telah dipaparkan diatas, PBB menggunakan
penyelesaian sengketa dengan melalui pengadilan. Hal ini disebabkan karena
proses pengadilan kadang-kadang memakan waktu yang lama serta biaya
yang tinggi. Penyelesaian sengketa yang diajukan ke pengadilan akan
memiliki konsekuensi yaitu keputusannya akan mengikat secara hukum bagi
para pihak yang bersengketa. Dan ICJ untuk [ertama kalinya menangani
masalah lingkungan hoidup . Dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros Project,
sengketa mengenai proyek pembangunan suatu bendungan khususnya
menyangkut soal pelaksanaan perjanjian pembangunan. Juga perlu
diperhitungkan dampak yang timbul terhadap masalah lingkungan akibat
pembangunan bendungan ini.
Kasus ini tentu bertentangan dengan deklarasi Stpckholm mengenai
konfensi lingkungan dalam penjagaan lingkungan hidup dengan aspek
pembangunan serta mengkhawatirkan sumber daya alam di dalamnya namun
demikian, seharusnya untuk penghentian kerja sama pembangunan
bendungan ini, Hungaria sepantasnya memdiskusikan hal ini dengan Slovakia
terlebih dahulu. Dan pada akhirnya, Hungaria lah yang harus mengganti rugi
penghentian bendungan ini.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Ketimpangan pelaksanaan hukum dapat muncul dari pihak penegaknya
sendiri sehingga terkadang tidak sedikit pula masyarakat dunia mengabaikan hal
yang cukup esensi dengan latar belakang kepentingan pihak manakah yang ingin
dicapai. Padahal perbuatan tersebut memiliki efek yang cukup besar dalam menjaga
dunia dan menghormati hak subjek hukum lainnya.
Keberadaan hukum internasional memang menjadi nyata saat terjadi
beberapa kasus yang menimpa. Maka benar bila ada pakar yang berpendapat
bahwa terkadang sesuatu yang abstrak dapat terlihat bila terjadi ‘usikan’ di
dalamnya. Eksistensi Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter menjadi harapan
bagi mereka yang teraniaya hak-haknya. Demikian pula dengan keberadaan Hukum
Lingkungan yang secara nyata menjadi isu penting yang disoroti dunia. Terkait
kelangsungan hidup baik generasi sekarang maupun yang akan datang.
4.2 Saran
Dalam pelaksanaan hukum apapun bentuknya dan sifatnya diperlukan suatu
penegakan yang konkret yang dalam pengertiannya ditujukan demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka selayaknya dimulai dengan
menjunjung tinggi moral. Dasar keberhasilan suatu hukum dimulai dari diri sendiri
yang merasa butuh untuk menghormati hak yang dimiliki orang lain dan mengerti
bagaimana kewajiban yang diembankan pada diri sendiri. sehingga saat kita
diperhadapkan dengan fakta untuk menjaga lingkungan tidak lagi saling melempar
kesalahan. Akan tetapi mulai bergerak dan meninggalkan ‘ego’ masing-masing –
tentu dalam hal ini yang dimaksud negara baik negara berkembang maupun negara
maju - untuk sama – sama memiliki visi yang ingin menjaga bumi demi generasi
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Boermauna, Dr. 2008. Hukum Internasional “ Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam
Era Dinamika Global”. PT Alumni : Bandung
Davidson, Scott . 1993 . Hak Asasi Manusia “Sejarah, Teori, dan Praktek dalam
Pergaulan Internasional”. PT Temprint : Jakarta
Starke, J.G. 1992 . Pengantar Hukum Internasional . Sinar Grafika : Jakarta
Web :
www.google.com
www.wikkipedia.com