PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM TINJAUAN
HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA
(Studi Terhadap Pasangan Suami Istri Pelaku
Perkawinan Lintas Agama di Kelurahan Bugel Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam
Oleh
SRI NIKMAH
NIM 21106001
JURUSAN SYARI‟AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2011
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi Saudara:
Nama : Sri Nikmah
NIM : 211 06 001
Jurusan : Syari‟ah
Program Studi : Ahwal Al Syakhsiyyah
Judul : PERKAWINAN LINTAS AGAMA DALAM TINJAUAN
HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA (Studi Terhadap Pasangan Suami Istri Pelaku
Perkawinan Lintas Agama Di Keluraha Bugel)
telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga, 28 Februari 2011
Pembimbing
Ilyya Muhsin, S.H.I., M.Si.
NIP. 19790930 200312 1 001
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Sri Nikmah
NIM : 211 06 001
Jurusan : Syari‟ah
Program Studi : Ahwal Al Syakhsiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 26 Februari 2011
Yang menyatakan,
Sri Nikmah
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Hidup bermanfaat untuk orang lain….
PERSEMBAHAN
Untuk ayah-ibuku,
Untuk suamiku,
Untuk abi-umi,
Untuk permata hatiku “RAJWA NAILAL AMNI”
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat
pada waktunya. Skripsi ini berjudul “PERKAWINAN LINTAS AGAMA
DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA (Studi Terhadap Pasangan Pelaku Perkawinan Lintas Agama Di
Kelurahan Bugel Salatiga)”, yang merupakan hasil dari studi lapangan di
Kelurahan Bugel.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Imam Sutomo, M. Ag selaku Ketua STAIN Salatiga
2. Drs. Mubasirun, M. Ag selaku Ketua Jurusan Syari‟ah
3. Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Sekretaris Jurusan Syari‟ah
4. Ilyya Muhsin, S.H.I., M. Si, selaku Kaprogdi AS dan pembimbing dalam
penulisan skripsi ini.
5. Moh. Khusen, M. Ag., MA dan Evi Ariyani, SH, MH yang turut
memberikan masukan-masukan.
6. Teman-teman AS angkatan 2006 dan pihak-pihak lain yang turut
membantu dalam penulisan skripsi ini.
Penelitian yang penulis lakukan ini tentu belum sempurna, masih banyak
kekurangan di dalamnya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak khususnya
pembaca selalu penulis harapkan demi kemajuan bagi penulis dikemudian hari.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Salatiga, 28 Februari 2011
Penulis
vii
ABSTRAK
Nikmah, Sri. 2011. Perkawinan Lintas Agama Dalam Tinjauan Hukum Islam Dan
Perundang-Undangan Di Indonesia (Studi Terhadap Pasangan Suami
Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama Di Kelurahan Bugel Salatiga).
Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah. Sekolah
TinggiAgama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Ilyya Muhsin, S.H.I.,
M.Si.
Kata Kunci: Perkawinan, Lintas Agama, Hukum Islam
Penelitian ini dilakukan guna mengetahui kehidupan masyarakat pelaku
perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel Salatiga. Pertanyaan yang ingin
dijawab adalah (1) bagaimanakah praktek perkawinan lintas agama dilakukan di
Kelurahan Bugel? (2) mengapa perkawinan lintas agama dapat terjadi di
Kelurahan Bugel? (3) bagaimana cara pasangan suami istri pelaku perkawinan
lintas agama mempertahankan perkawinan mereka, sehingga mampu bertahan
hingga saat ini? (4) bagaimanakah pandangan para tokoh agama yang tinggal di
wilayah Kelurahan Bugel? (5) bagaimana tinjauan hukum Islam dan perundang-
undangan di Indonesia terhadap praktek perkawinan lintas agama?
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif
sosiologis. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara
dan dokumentasi. Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode
triangulasi. Selama pengumpulan data, data sudah mulai dianalisis dengan cara
mengklasifikasikan data sehingga dapat diketahui kekurangan data dan segera
berusaha untuk melengkapinya. Setelah semua data terkumpul, dipaparkan
berdasarkan klasifikasi sehingga tergambar pola atau struktur dari fokus masalah
yang dikaji kemudian diinterpretasikan sehingga mendapatkan jawaban dari fokus
penelitian tersebut.
Dalam penelitian ini ada dua pola perkawinan lintas agama di Kelurahan
Bugel, yaitu perkawinan yang dilakukan di KUA dan di KCS. Faktor yang
mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel meliputi,
pandangan tertentu tentang agama dan keberagamaan, perempuan tidak memiliki
kemandirian hidup, tradisi perkawinan lintas agama, kurangnya pengetahuan
agama dan kristenisasi pihak luar.
Kehidupan rumah tangga beda agama di Kelurahan Bugel ternyata
harmonis dan ada toleransi yang tinggi antar keluarga. Meskipun menurut para
tokoh agama di Kelurahan Bugel perkawinan lintas agama tidak sah karena
hubungan mereka dianggap zina. Menurut hukum Islam, praktek perkawinan
lintas gama yang terjadi di Kelurahan Bugel adalah tidak sah karena perkawinan
yang dilakukan secara Islam kemudian salah satu pasangan murtad dianggap tidak
sah. Begitu juga perkawinan yang dilakukan dengan cara Kristen yang kemudian
pihak perempuan masuk Islam, dianggap tidak sah dan perkawinan tersebut dapat
diputuskan.
viii
Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan
pertimbangan pemerintah dalam menetapkan hukum. Selain itu dengan adanya
penelitian ini diharapkan mampu membuka paradigma baru tentang perkawinan
lintas agama.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ .... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... .... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... .... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN........................................................ .... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... .... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... .... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... .... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... .... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ .... xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... …xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... .... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. .... 1
B. Fokus Penelitian .......................................................................... .... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ .... 6
D. Kegunaan Penelitian.................................................................... .... 6
E. Penegasan Istilah ......................................................................... .... 7
F. Kajian Pustaka ............................................................................. .... 9
G. Metode Penelitian........................................................................ .... 12
H. Sistematika Penulisan.................................................................. .... 18
x
BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN LINTAS AGAMA
A. Perkawinan Lintas Agama Perspektif UU No. 1 Tahun 1974 .... .... 20
B. Perkawinan Lintas Agama Perspektif KHI ................................. .... 28
C. Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Islam .................. .... 33
BAB III PERKAWINAN LINTAS AGAMA DI KELURAHAN BUGEL
A. Letak Geografis dan Kondisi Lingkungan Kelurahan Bugel ... ... 42
B. Struktur Sosial dan Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama
Masyarakat Kelurahan Bugel ................................................... .... 44
C. Profil Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama.... 47
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA TERHADAP PERKAWINAN LINTAS AGAMA DI
KELURAHAN BUGEL
A. Praktek Perkawinan Lintas Agama .......................................... .... 74
B. Faktor-Faktor Terjadinya Perkawinan Lintas Agama .............. .... 82
C. Konflik dan Akomodasi Nilai Keluarga Pelaku Perkawinan Lintas
Agama ...................................................................................... .... 89
D. Pandangan Tokoh Masyarakat/ Tokoh Agama Terhadap Praktek
Perkawinan Lintas Agama ....................................................... .... 97
E. Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-Undangan Di Indonesia
Terhadap Perkawinan Lintas Agama ....................................... 105
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 113
xi
B. Saran ......................................................................................... 115
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Bugel, Sidorejo Salatiga ................... .... 45
Tabel 3.2 Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Bugel ................................ .... 46
Table 3.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Bugel Sidorejo Salatiga Berdasarkan
Agama ............................................................................................. .... 46
Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Lintas Agama ........................ .... 75
Tabel 4.2 Latar Belakang Keluarga Subjek Penelitian .................................... .... 82
Tabel 4.3 Anak-Anak Pasangan Perkawinan Lintas Agama yang Mengikuti
Agama Ibu ..................................................................................... .... 90
Tabel 4.4 Anak-Anak Pasangan Perkawinan Lintas Agama yang Mengikuti
Agama Ayah................................................................................... .... 90
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Kelurahan Bugel .......................................... .... 44
Gambar 3.2 Kartu Keluarga Untung-Mutiah ................................................... .... 50
Gambar 3.3 Kartu Keluarga Rusdi-Sugini ....................................................... .... 54
Gambar 3.4 Kartu Keluarga Kasbiyantoro-Siti ................................................ .... 60
Gambar 3.5 Formulir Kartu Keluarga Masal-Supratini ................................... .... 65
Gambar 3.6 Kartu Keluarga Tri-Darwati ......................................................... .... 70
Gambar 4.1 Akta Nikah Untung Subiyanto dan Mutiah .................................. .... 76
Gambar 4.2 KTP Untung dan Muntiah Sekarang ............................................ .... 76
Gambar 4.3 Akta Perkawinan Kasbiyantoro dan Siti Suryati .......................... .... 77
Gambar 4.4 KTP Kasbiyantoro Sekarang ........................................................ .... 77
Gambar 4.5 Akta Perkawinan Tri Antara Ryadi dan Darwati ........................ .... 78
Gambar 4.6 KTP Darwati dan Tri Sekarang ................................................... .... 78
Gambar 4.7 Akta Perkawinan Rusdi dan Sugini .............................................. .... 80
Gambar 4.8 KTP Rusdi dan Sugini Sekarang .................................................. .... 80
Gambar 4.9 Akta Perkawinan Masal dan Supratini ......................................... .... 81
Gambar 4.10 KTP Masal dan Supratini Sekarang ........................................... .... 81
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Surat Tugas Pembimbing
Lampiran 3 Lembar Konsultasi
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah salah satu tahap kehidupan yang ingin dilalui setiap
manusia setelah lahir dan menjadi dewasa. Sudah menjadi kodrat bagi setiap
makhluk untuk bisa mempertahankan diri dalam kehidupan. Perkawinan
merupakan salah satu upaya untuk melanjutkan keturunan, bahkan ada
ungkapan bahwa wujud cinta manusia yang paling beradab adalah
perkawinan.
Pada hakikatnya perkawinan dilakukan untuk menghalalkan hubungan
seksual antara dua insan manusia, laki-laki dan perempuan. Walaupun
demikian yang diharapkan dari sebuah perkawinan bukan hanya sekedar
kehalalan semata, namun juga sebuah kebahagiaan seumur hidup.
Membangun rumah tangga yang harmonis dan hidup di lingkungan
masyarakat yang sehat merupakan dambaan setiap orang. Sebuah perkawinan
merupakan satu peristiwa penting dalam masyarakat, selain menyangkut
pribadi suami-istri juga menyangkut keluarga dan masyarakat (Asmin,
1986:11). Dalam kacamata agama perkawinan merupakan langkah awal untuk
membentuk keluarga sebagai asas masyarakat (Nuruddin dan Tarigan,
2006:57).
2
Perkawinan menurut agama Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah (KHI Pasal 2). Sedangkan perkawinan
menurut agama Hindu adalah sakral dan hanya sah bila sudah dilakukan
menurut agama tersebut. Perkawinan seorang Kristen diartikan sebagai suatu
ikatan cinta kasih tetap dan taat yang menggambarkan, melahirkan dan
mewujudkan cinta Kristus dan Gerejanya (Sosroatmodjo dan Aulawi,
1981:30-31).
Dari beberapa pengertian di atas nampak bahwa perkawinan erat
kaitannya dengan ibadah keagamaan, sehingga tata cara atau aturan
pelaksanaannya sangat perlu diperhatikan untuk bisa dikatakan sah. Menurut
Dr. Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh Sosroatmodjo dan Aulawi, jika
ada pengaruh suatu agama pada isi dan perkembangan suatu peraturan hukum,
maka layak apabila pengaruh agama yang paling nampak terdapat pada hukum
perkawinan dan kekeluargaan (1981:14).
Karena perkawinan akan mengakibatkan hubungan hukum yang baru
antara seseorang dengan negaranya maka aturan tentang perkawinan juga
diatur oleh negara. Dengan demikian secara administratif kenegaraan,
perkawinan memiliki status legal di mata hukum. Di Indonesia aturan tentang
perkawinan muncul dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Dalam pasal 1 undang-undang ini disebutkan bahwa perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
3
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk menuju sebuah keluarga yang bahagia dan kekal tentu dibutuhkan
persamaan pandangan hidup. Mengingat agama sebagai wahyu Tuhan
mengandung kebenaran mutlak, yang diyakini paling benar oleh para
pemeluknya, agama dijadikan sebagai landasan, pegangan dan pedoman baik
dalam melakukan hubungan dengan Tuhan maupun hubungan antar sesama
manusia, termasuk dalam masalah perkawinan (Asmin, 1986:8).
Seperti yang kita ketahui bahwa Islam menghendaki perkawinan
dilakukan oleh orang yang seagama, secara teoritis perbedaan agama akan
berpotensi menimbulkan konflik (Pamungkas, 2008:44). Dalam Al Qur‟an
surat Al Baqoroh:221 ditegaskan,
….
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga….
Pada umumnya setiap agama melarang umatnya melangsungkan
perkawinan dengan umat dari agama lain, bila terjadi hal demikian, si pelaku
4
akan mendapat sanksi baik dari kalangan seagama maupun keluarganya.
Sanksi tersebut dapat berupa sanksi ringan yaitu celaan sampai sanksi berat
berupa pengucilan dari keluarga (Asmin, 1986:8).
KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang notabene merupakan hukum positif
bagi umat Islam di Indonesia melarang adanya praktik perkawinan lintas
agama. Pasal 40 KHI menyebutkan dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: (c)
seorang wanita yang tidak beragama Islam. Seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam
(pasal 44 KHI). Begitu juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak megatur
adanya perkawinan lintas agama, namun secara tersirat melarang adanya
praktek perkawinan lintas agama yang tertuang dalam pasal 2 ayat 1
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Walaupun sudah ada aturan tegas yang melarang adanya perkawinan
lintas agama hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa praktek perkawinan
lintas agama terjadi dalam masyarakat, bahkan mereka memiliki akta nikah
sebagai bukti legalisasi dari negara. Teknologi komunikasi yang berkembang
pesat memungkinkan tidak terbatasnya pergaulan manusia, baik antar ras,
golongan, suku maupun agama.
Begitu pula yang terjadi dalam pasangan suami istri pelaku perkawinan
lintas agama di Kelurahan Bugel. Walaupun sudah ada aturan yang melarang
terjadinya perkawinan lintas agama, ternyata dalam masyarakat Kelurahan
5
Bugel ada yang melakukan perkawinan lintas agama tersebut, bahkan dari
mereka sudah menjalani kehidupan rumah tangganya bertahun-tahun dengan
perbedaan agama yang ada dalam keluarga mereka. Kesenjangan yang muncul
dalam masyarakat inilah yang menarik minat penulis untuk meneliti
perkawinan lintas agama khususnya di Kelurahan Bugel.
B. Fokus Penelitian
Adanya peraturan yang melarang perkawinan lintas agama ternyata
belum mampu mencegah praktek perkawinan lintas agama dalam masyarakat.
Aturan dalam KHI dan UU Perkawinan yang merupakan hukum positif
perkawinan di Indonesia seharusnya mampu menjadi pedoman bagi lembaga
pencatat nikah untuk tidak mencatat perkawinan lintas agama, namun
kenyataan dalam masyarakat berkata lain.
Kesenjangan yang muncul antara peraturan hukum dengan praktek yang
terjadi dalam masyarakat Kelurahan Bugel inilah yang menarik minat peneliti
untuk meneliti perkawinan lintas agama. Bagaimanakah praktek perkawinan
lintas agama dilakukan di Kelurahan Bugel. Mengapa perkawinan lintas
agama dapat terjadi di Kelurahan Bugel? Bagaimana cara pasangan suami istri
pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan perkawinan mereka,
sehingga mampu bertahan hingga saat ini? Dengan adanya praktek
perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel, bagaimanakah pandangan para
tokoh agama yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel? Bagaimana tinjauan
hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia terhadap praktek
6
perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel? Berbagai pertanyaan di atas
adalah hal-hal yang ingin peneliti cari jawabannya dari penelitian ini.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan guna mengetahui proses terjadinya praktek
perkawinan lintas agama di kelurahan Bugel, faktor-faktor yang mendorong
terjadinya perkawinan lintas agama, baik faktor eksternal maupun faktor
internal. Cara pasangan suami istri mempertahankan perkawinan mereka, cara
mereka menyelesaikan masalah, cara mereka mempraktekkan agama mereka
masing-masing dalam kehidupan rumah tangga, cara mereka mendidik anak
juga merupakan tujuan adanya penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga
ingin mengetahui pandangan tokoh agama maupun tokoh masyarakat yang
tinggal di wilayah Kelurahan Bugel tentang adanya praktek perkawinan lintas
agama di wilayah mereka. Pandangan hukum Islam dan perundang-undangan
di Indonesia tentang perkawinan lintas agama pun menjadi penting untuk
diketahui dalam rangka menganalisis praktek perkawinan lintas agama.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan ditemukan fakta-fakta baru yang
mampu memberi pemahaman bagi peneliti pada khususnya dan pembaca pada
umumnya untuk menyikapi praktek perkawinan lintas agama.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritik
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
bagi peneliti pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya
tentang bagaimana praktek perkawinan lintas agama terjadi, mengapa
7
perkawinan tersebut bisa terjadi, bagaimana cara pasangan suami istri
pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan perkawinan mereka
serta bagaimana pandangan tokoh agama di sekitar mereka. Selain itu juga
diharapkan menemukan fakta-fakta baru yang sesuai dengan keadaan
masyarakat pelaku perkawinan lintas agama, sehingga hasil penelitian ini
nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau usulan dalam
membuat kebijakan-kebijakan hukum yang berkaitan dengan perkawinan.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi KUA dan Catatan Sipil
Hasil dari penelitian tentang perkawinan lintas agama ini
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi KUA dan Kantor
Catatan Sipil sebagai lembaga pencatat perkawinan untuk mengambil
kebijakan-kebijakan yang tepat ketika menghadapi calon mempelai
yang akan mencatatkan perkawinannya yang dilakukan secara lintas
agama.
b. Bagi Program Studi Al Ahwal Al Syakhsiyyah
Dengan adanya penelitian terhadap pelaku perkawinan lintas
agama ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi Program Studi
Ahwal Al Syakhsiyyah sehingga dari Program Studi dapat
menjadikannya sebagai bahan diskusi dan memantau perkembangan
produk hukum mengenai perkawinan lintas agama tersebut.
E. Penegasan Istilah
8
Perkawinan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974).
Perkawinan menurut KHI adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah, bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah (KHI Pasal 2). Perkawinan yang dimaksud peneliti
dalam penelitian ini adalah akad antara pria dan wanita untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang sah menurut agama baik dicatatkan di
KUA/Kantor Catatan Sipil ataupun tidak.
Lintas agama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah antar agama
yang berbeda.
Jadi perkawinan lintas agama yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah perkawinan yang dilakukan antara pria dan wanita yang berbeda agama
sejak sebelum perkawinan dilangsungkan hingga penelitian ini dilakukan dan
salah satunya beragama Islam.
Hukum Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fiqh yang
digunakan di Indonesia.
Perundang-undangan di Indonesia yang dimaksud adalah aturan yang
berlaku di Indonesia mengenai perkawinan, meliputi UU Perkawinan No.
1/1974 dan KHI.
9
Dengan demikian perkawinan lintas agama dalam tinjauan hukum
Islam dan perundang-undangan di Indonesia adalah perkawinan yang
dilakukan antara pria dan wanita yang berbeda agama sejak sebelum
perkawinan dilangsungkan hingga penelitian ini dilakukan dan salah satunya
beragama Islam yang dipandang/dinilai menggunakan sudut pandang fiqh dan
perundang-undangan di Indonesia.
F. Kajian Pustaka
Fenomena perkawinan lintas agama memang bukan hal yang baru,
namun tetap menarik untuk dikaji. Tidak menutup kemungkinan tema
penelitian ini sudah ada yang mengkaji, seperti halnya skripsi yang disusun
oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama Perspektif Ulil Abshar
Abdalla. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana
pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang nikah beda agama. Menurut Fuadi,
dalam beragama, Ulil Abshar Abdalla tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi.
Keyakinan dan praktek keislaman yang dianut oleh orang-orang yang
menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan formal, menurutnya
yang pokok adalah nilai yang terkandung di dalamnya. Setiap agama
menunjuk pada nilai keadilan, oleh karena itu setiap agama sama. Karena
setiap agama sama maka dihalalkan nikah beda agama (Fuadi, 2006).
Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran Dalam
Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i
Tentang Perkawinan Campuran) menjelaskan dua hal pokok pemikiran Imam
Syafi‟i tentang perkawinan campuran. Pertama, perkawinan antara perempuan
10
muslim dan laki-laki bukan muslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki
muslim diharamkan mengawini perempuan bukan muslim. Pendapat ini lebih
didasarkan pada pertimbangan menolak mafsadat demi menjaga keutuhan
umat dari akibat buruk yang ditimbulkan oleh perkawinan campuran (Fauzi,
2004).
Kedua karya di atas merupakan kajian secara pustaka terhadap
pendapat seorang tokoh tentang praktek perkawinan lintas agama, sehingga
dapat dikatakan sebagai kajian teoritik. Dalam hal ini tentu hanya
mempertimbangkan boleh atau tidaknya praktek kawin lintas agama dengan
pertimbangan-pertimbangan secara teori dan tidak melihat fakta yang terjadi
dalam masyarakat.
Suhadi dalam bukunya Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar
Islam mencoba mengajak mengkaji kawin lintas agama dengan konsep kritik
nalar Arkoun. Menurut Suhadi ideologi dan kepentingan dari konstruksi
larangan kawin lintas agama di Indonesia adalah sebagai suatu upaya preventif
mengurangi perpindahan agama (Suhadi, 2006:145). Hal ini dibangun dalam
suasana perebutan jumlah pemeluk agama, khususnya antara Islam dan
Kristen. Konstruksi larangan kawin lintas agama yang berawal dari diskursus
sipil bergeser menjadi diskursus kekuasaan, setelah berlangsungnya
kontestasi-kontestasi antara Islam politik dan Kristen politik untuk menjadikan
Negara sebagai lokus kontestasi (Suhadi, 2006:145). Harapan Suhadi dalam
bukunya ini (2006:152) adalah menunjukkan kritik nalar Islam terhadap suatu
ketentuan hukum yang tak terkatakan dengan sendirinya oleh cara berpikir
11
nalar Islam yang linear. Dalam masalah kawin lintas agama, umat Islam telah
lama terkungkung dalam „nalar politik-agama” dalam waktu yang panjang,
sehingga sulit untuk menuju “nalar religi” yang lebih jernih. Tidak jauh
berbeda dengan kedua karya di atas, buku ini hanya membahas sebatas cara
memandang adanya aturan larangan kawin lintas agama di Indonesia. Dengan
begitu diharapkan pembaca mampu menilai adanya praktek kawin lintas
agama dari sisi yang lain, namun sayangnya dalam buku ini Suhadi belum
menjelaskan makna dari “nalar religi” yang ditawarkan olehnya guna
menganalisis praktek kawin lintas agama tersebut.
Penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian lapangan.
Peneliti terjun ke masyarakat untuk melihat dan mempelajari bagaimana
perkawinan lintas agama dipraktekkan para pelakunya. Dengan demikian,
peneliti dapat mengetahui fenomena riil yang terjadi di masyarakat. Peneliti
terinspirasi oleh penelitian yang dilakukan Wahyu Pamungkas dkk yang
melakukan penelitian perkawinan lintas agama di Dukuh Banjaran Salatiga.
Hanya saja penelitian yang akan dilakukan peneliti berada di Kelurahan Bugel
Salatiga. Wahyu Pamungkas dkk dalam penelitiannya menemukan bahwa
praktek perkawinan lintas agama ini dilakukan karena adanya dorongan faktor
eksternal seperti faktor ekonomi serta status sosial dan faktor internal seperti
pandangan agama serta kebutuhan akan perlindungan (Pamungkas, 2008:59).
Akad dalam perkawinan lintas agama yang terjadi di Banjaran dilakukan
dengan cara hillah atau salah satu pihak berpindah agama menurut agama
pasangannya, walaupun demikian dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap
12
mempraktekkan agama semula masing-masing dan mereka mengaku rumah
tangga mereka tetap harmonis walaupun berada dalam perbedaan ini.
Tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas,
peneliti mencoba untuk memfokuskan pada masalah yang telah peneliti
jabarkan di latar belakang masalah di atas. Penelitian Pamungkas di atas hanya
dilakukan selama satu bulan sehingga belum begitu mendalam penggalian
fakta-faktanya dan penelitian tersebut hanya sebagai tugas mata kuliah, untuk
itu peneliti berani mengambil tema yang sama. Peneliti berharap dalam
penelitian ini nanti dapat menemukan fakta-fakta yang lebih mendalam,
sehingga penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian yang
pernah dilakukan oleh Pamungkas. Tidak menutup kemungkinan hasil yang
didapat akan berbeda mengingat lokasi penelitian yang berbeda pula.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian kualitatif,
karena penelitian ini bertujuan untuk mengungkap semaksimal mungkin
data dari kasus yang akan diteliti, menggunakan pendekatan normatif dan
sosiologis. Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui status
hukum perkawinan lintas agama dan pendekatan sosiologis digunakan
untuk mengetahui bagaimana perkawinan lintas agama dipraktekkan di
dalam masyarakat dan bagaimana kehidupan rumah tangga mereka.
2. Kehadiran Peneliti
13
Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama
karena peneliti secara langsung mengumpulkan data di lapangan. Status
peneliti dalam mengumpulkan data diketahui oleh informan secara jelas
guna menghindari kesalahpahaman antara peneliti dan informan.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Bugel, Kecamatan
Sidorejo Kota Salatiga. Peneliti memilih lokasi ini karena di wilayah
Kelurahan Bugel cukup banyak terjadi praktek perkawinan lintas agama,
ada sekitar lima pasangan suami istri. Kelurahan Bugel merupakan
wilayah yang cukup maju meskipun berada di tepian kota Salatiga. Hal ini
ditandai dengan pola kehidupan yang modern, seperti halnya bangunan
rumah yang sebagian besar sudah terbuat dari bata, mata pencaharian
penduduk sudah beragam bahkan agama yang ada sudah mulai beragam.
Di wilayah Keluraha Bugel ini agama Islam adalah agama mayoritas,
agama selain Islam biasanya dianut oleh para pendatang baru. Praktek
keberagamaan masih sangat kental sehingga menjadi menarik ketika di
wilayah Kelurahan Bugel ini ternyata ada pelaku perkawinan lintas agama.
4. Sumber Data
Subjek yang diteliti adalah pasangan suami istri pelaku perkawinan
lintas agama yang tinggal di wilayah Kelurahan Bugel. Informasi-
informasi yang berkaitan dengan praktek perkawinan lintas agama penulis
gali dari beberapa informan terkait, yaitu pasangan suami istri pelaku
perkawinan lintas agama, orang tua atau keluarga pelaku perkawinan lintas
14
agama yang tinggal serumah serta tokoh masyarakat/ tokoh agama yang
tinggal di wilayah kelurahan Bugel. Untuk mendukung penelitian ini,
penulis juga mengumpulkan data berupa dokumen-dokumen penting yang
terkait dengan praktek perkawinan lintas agama di kelurahan Bugel, yaitu
kutipan akta nikah dll.
Tabel 1.1 Informan sekaligus Subjek Penelitian
Tabel 1.2 Informan Lain
Informan Agama Ket.
M. Sungaidi Islam Ketua NU Ranting Bugel
Nur Salim Islam Tokoh Agama
M.Toha Islam Tokoh Muhammadiyah
M. Roji Islam Tokoh Agama
Wawan Islam Anak Kasbiyantoro & Siti
Suryati
Widi Islam Anak Rusdi & Sugini
Ernawati Islam Menantu Untung & Tiah
5. Prosedur Pengumpulan Data
a. Metode Observasi
Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan
pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian. Metode ini
penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui kondisi
subjek penelitian.
Informan Suami Agama Istri Agama
I Kasbiyantoro Katholik Sri Suryati Islam
II Rusdi Kristen Sugini Islam
III Untung Kristen Mutiah Islam
IV Tri Islam Darwati Kristen
V Masal G.S Kristen Supratini Islam
15
Teknik observasi ini merupakan upaya memperoleh data
dengan melihat atau mengamati obyek yang diteliti serta melakukan
pencatatan terhadap kejadian yang penulis ketahui pada masyarakat
Kelurahan Bugel khususnya pasangan pelaku perkawinan lintas
agama.
b. Metode Wawancara
Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(Arikunto,1998:115).
Di sini penulis melakukan wawancara terhadap pasangan
pelaku perkawinan lintas agama dan anggota keluarga yang tinggal
satu rumah dengan mereka untuk mendapatkan informasi sebanyak-
banyaknya sesuai fokus penelitian, yang sebelumnya sudah
dipersiapkan daftar pertanyaan yang ingin ditanyakan.
Wawancara juga dilakukan dengan tetangga dekat pasangan
perkawinan lintas agama guna mendapatkan informasi tentang
kehidupan pasangan perkawinan lintas agama tersebut menurut
mereka. Tokoh masyarakat / tokoh agama yang tinggal di wilayah
Kelurahan Bugel juga menjadi terwawancara guna mendapatkan
informasi tentang pandangan/ pendapat mereka mengenai adanya
pasangan pelaku perkawinan lintas agama di sekitar mereka.
16
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan
sebagainya. Metode ini sumber datanya masih tetap, dan belum
berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati bukan benda
hidup tetapi benda mati (Arikunto, 1998 : 236).
Dokumen-dokumen yang dimaksudkan misalnya kutipan akta
nikah, kartu keluarga, KTP, data demografi dari kelurahan dan
dokumen-dokumen lain yang menunjang penelitian ini.
6. Analisis Data
Selama pengumpulan data, data sudah mulai dianalis dengan cara
mengklasifikasikan data sehingga dapat diketahui kekurangan data dan
segera berusaha untuk melengkapinya. Setelah semua data terkumpul,
dipaparkan berdasarkan klasifikasi secara lebih rinci sehingga tergambar
pola atau struktur dari fokus masalah yang dikaji kemudian
diinterpretasikan sehingga mendapatkan jawaban dari fokus penelitian
tersebut.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode
triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek
penelitian (Moloeng, 2004 : 330). Pengecekan keabsahan data dilakukan
17
karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan yang
terlewati oleh penulis.
Pengecekan dilakukan dengan cara membandingkan hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang
dikatakan informan satu dengan yang informan lain, maupun
membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.
8. Tahap-Tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai
berikut:
a. Sebelum melakukan penelitian penulis menentukan ide atau tema yang
akan diteliti yaitu perkawinan lintas agama.
b. Penulis mencari informasi dari masyarakat dan kerabat yang tinggal di
wilayah Kelurahan Bugel tentang ada atau tidaknya pelaku perkawinan
lintas agama.
c. Berdasar informasi yang didapatkan ada cukup banyak pelaku
perkawinan lintas agama di wilayah Kelurahan Bugel, maka penulis
menetapkan Kelurahan Bugel sebagai lokasi penelitian.
d. Kemudian penulis menyusun proposal penelitian.
e. Setelah proposal disetujui, maka penulis baru terjun ke lapangan untuk
mengumpulkan data dengan melakukan observasi, wawancara dan
dokumentasi.
f. Analisis data dilakukan sejak pengumpulan data dimulai sampai
seluruh data terkumpul.
18
g. Analisis data dilakukan dengan cara: pertama, membuat rekap data
berdasar klasifikasi. Kedua, menyusun pola-pola perilaku masyarakat
pelaku perkawinan lintas agama berdasar klasifikasi dan ketiga,
menginterpretasikan hasil penelitian untuk mendapatkan kesimpulan
hasil dari fokus penelitian.
h. Penyusunan laporan penelitian.
H. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, fokus
penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, kajian
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan umum perkawinan lintas agama, dalam bab ini
memaparkan perkawinan lintas agama perspektif UU No. 1 Tahun 1974,
perkawinan lintas agama perspektif KHI dan perkawinan lintas agama
perspektif Hukum Islam.
BAB III Perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel memaparkan
seluruh hasil penelitian yang peneliti lakukan yang meliputi letak geografis
dan kondisi lingkungan Kelurahan Bugel, struktur sosial dan kehidupan sosial,
budaya dan agama masyarakat Kelurahan Bugel dan profil pasangan suami
istri pelaku perkawinan lintas agama.
BAB IV Tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia
terhadap perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel. Bab ini menganalisis
praktek perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel, faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas agama, konflik dan akomodasi
19
nilai keluarga pelaku perkawinan lintas agama, pandangan tokoh masyarakat /
tokoh agama terhadap praktek perkawinan lintas agama dan tinjauan hukum
Islam dan perundang-undangan di Indonesia terhadap perkawinan lintas
agama di Kelurahan Bugel.
BAB V Penutup berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang
diberikan penulis kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini.
20
BAB II
TINJAUAN UMUM PERKAWINAN LINTAS AGAMA
A. Perkawinan Lintas Agama Perspektif UU No. 1 Tahun 1974
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 lahir sebagai jawaban atas
kegelisahan terhadap keragaman hukum perkawinan yang ada di Indonesia.
Sebelum diundangkannya undang-undang ini, di Indonesia berlaku bermacam-
macam hukum perkawinan menurut golongan masing-masing. Bagi orang
Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Islam, bagi golongan
penduduk Indonesia Asli beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie
Christen Indonesia, bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku hukum
adat dan bagi orang-orang Timur Asing Cina, Timur Asing lainnya, Eropa dan
warga Negara Indonesia keturunan mereka berlaku undang-undang Hukum
Perdata/BW (Asmin, 1986:11). Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini
merupakan unifikasi hukum perkawinan di Indonesia sehingga sejak undang-
undang ini diundangkan (tanggal 2 Januari 1974) maka setiap warga negara
Indonesia dalam melakukan perkawinan tunduk pada undang-undang ini.
1. Pengertian Perkawinan
Pengertian perkawinan dalam undang-undang ini dapat kita lihat
dalam anak kalimat pasal 1 yang berbunyi: perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu
diperhatikan: pertama, ikatan lahir diartikan keterikatan antara kedua
21
belah pihak secara formal baik dalam hubungan antara satu sama lain
maupun mereka dengan masyarakat luas. Ikatan batin diartikan adanya
satu tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu dalam sebuah perkawinan tidak bisa dipisahkan antara ikatan
lahir dan ikatan batin, karena memang keduanya merupakan satu kesatuan
yang utuh. Kedua, digunakan kata “seorang pria dengan seorang wanita”
mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin
yang berbeda. Hal ini menolak adanya perkawinan sesama jenis yang telah
dilegalkan oleh beberapa orang Barat. Ketiga, digunakan ungkapan
“sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah
bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga,
bukan hanya dalam istilah “hidup bersama” (Syarifuddin, 2006:40).
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam undang-undang perkawinan ini tertuang
dalam anak kalimat kedua pasal 1 yang berbunyi: dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Rumusan tujuan perkawinan di atas menunjukkan bahwa dalam
setiap perkawinan mengandung harapan besar untuk mendapatkan
kebahagiaan baik secara materiil maupun spiritual. Kebahagiaan yang
diharapkan tentu kebahagiaan untuk selamanya dan kekal, yang menafikan
sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam
perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil (Syarifuddin, 2006:40). Setiap
22
pasangan suami istri tentu berharap bahwa pasangan yang dipilih hari ini
adalah pasangan untuk seumur hidup dan mereka hanya berharap berpisah
karena kematian.
Masih dalam rumusan tujuan perkawinan tersebut, kita dapat
melihat bahwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal harus
berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Pandangan ini sejalan dengan sifat
religius dari bangsa Indonesia yang mendapatkan realisasinya di dalam
kehidupan beragama dan bernegara (Asmin, 1986:20).
3. Sahnya Perkawinan
Adanya undang-undang yang mengatur perkawinan memperjelas
bahwa perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, sehingga sah atau
tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh undang-undang yang
mengaturnya yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini.
Menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, “perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu”. Penjelasan pasal 2 ayat (1) ini menyebutkan
bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang
dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan
agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau
ditentukan lain dalam undang-undang ini.
23
Sahnya perkawinan harus sesuai dengan hukum
agama/kepercayaannya masing-masing, sehingga tidak ada kemungkinan
untuk orang yang beragama Islam melakukan perkawinan dengan
melanggar aturan agamanya, begitu pula orang-orang yang beragama
Kristen, Hindu, Budha ataupun penganut kepercayaan.
4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga mengatur
syarat-syarat sahnya suatu perkawinan yang meliputi syarat formil dan
materiil. Syarat formil adalah syarat-syarat yang menyangkut formalitas-
formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat
perkawinan dilangsungkan. Syarat materiil adalah syarat mengenai diri
pribadi calon mempelai.
Syarat formil terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 tantang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang
meliputi:
a. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada
pegawai pencatat perkawinan (pasal 3 ayat 1).
b. Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal 8).
c. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya masing-masing (pasal 10 ayat 2).
d. Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal 11).
Syarat materiil yang berlaku umum tertuang dalam UU No.
1/1974, meliputi:
24
a. Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 6 ayat 1).
b. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah
mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1).
c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal
diijinkan oleh pasal 3 (2) dan pasal 4 (pasal 9).
d. Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu:
130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal 90 hari
bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang bulan, 90
hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan tidak datang
bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan hamil, tidak ada
waktu tunggu jika belum pernah berhubungan kelamin, penghitungan
waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap bagi suatu perceraian, dan sejak
hari kematian bila perkawinan putus karena kematian (pasal 11 UU
No. 1/1974 dan pasal 39 PP No. 9/1975).
Syarat materiil yang berlaku khusus dalam UU No. 1/1974,
meliputi:
a. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal
8,9 dan 10 UU No. 1/1974, yaitu larangan perkawinan antara dua
orang yang:
1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau
pun ke atas;
2) berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping;
25
3) berhubungan semenda;
4) berhubungan susuan;
5) berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau
kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari
seorang;
6) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin;
7) masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam
hal tersebut pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 (pasal 9).
8) telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain
(pasal 10).
b. Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21
tahun.
5. Perkawinan Lintas Agama Perspektif UU No. 1 Tahun 1974
Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, aturan
tentang perkawinan campuran dipersempit. Pasal 57 undang-undang ini
memberikan pengertian perkawinan campuran sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-
undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.
Jadi dapat kita lihat bahwa dalam undang-undang ini hanya
membatasi perkawinan campuran pada perkawinan warga negara
26
Indonesia dan warga negara asing. Nampak bahwa perkawinan antar
sesama warga negara Indonesia yang tunduk pada hukum yang berbeda,
termasuk agama yang berbeda bukan termasuk dalam pengaturan
perkawinan campuran dalam undang-undang ini.
Pasal 58 UU No. 1/1974 selanjutnya mengatakan, bagi orang-orang
yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran,
dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan
dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang
berlaku. Sedangkan dalam pasal 59 menyatakan, bahwa kewarganegaraan
yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan
menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun
mengenai hukum perdata (ayat 1), dan perkawinan campuran yang
dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-undang
perkawinan ini (pasal 2).
Dalam hal perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia
ini berarti bahwa untuk perkawinan campuran juga berlaku syarat-syarat
perkawinan pada umumnya menurut undang-undang ini, yaitu bahwa
sahnya suatu perkawinan digantungkan kepada hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan masing-masing pemeluknya. Jika ia seorang
Islam maka harus mengikuti aturan agama Islam, jika ia beragama Kristen
maka harus mengikuti agama Kristen, begitu juga untuk agama-agama
yang lainnya.
27
Jadi dalam undang-undang ini tidak ada aturan yang tegas
mengenai perkawinan lintas agama, karena yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara
dua orang yang berbeda kewarganegaraan dan salah satunya
berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini
menyatakan, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari ayat tersebut
tersirat bahwa adanya larangan perkawinan lintas agama yang kemudian
dikuatkan dengan pasal 40 poin c dan pasal 44 KHI.
KHI secara tegas melarang adanya perkawinan lintas agama namun
di sisi lain KHI juga membuka peluang untuk perkawinan lintas agama
tersebut. Hal ini nampak pada bab xvi tentang putusnya perkawinan
terutama pasan 116 dalam poin h menjelaskan bahwa perceraian dapat
terjadi karena alasan: peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Jadi ketika ada peralihan
agama dalam rumah tangga namun tidak menimbulkan “ketidakrukunan”
maka secara tidak langsung KHI juga memperbolehkan adanya
perkawinan lintas agama. Adanya pasal ini yang bertentangan dengan
pasal 75 yang menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan karena
salah satu dari suami atau istri murtad. Selain itu juga KHI secara tidak
langsung mendukung adanya pemurtadan.
28
B. Perkawinan Lintas Agama Perspektif KHI
1. Pengertian Perkawinan
Pasal 2 KHI menyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholiidhan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholiidhan
merupakan penjelasan dari ungkapan lahir batin yang terdapat dalam
rumusan UU No. 1/1974 yang mengandung arti bahwa akad perkawinan
bukan semata perjanjian yang bersifat keperdataan.
Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah merupakan penjelasan dari ungkapan berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam UU Perkawinan. Dari ungkapan di atas
menyatakan bahwa dalam Islam, perkawinan merupakan peristiwa agama
dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan
perbuatan ibadah.
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam KHI dijelaskan dalam pasal 3. Pasal
tersebut menyatakan, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Dari rumusan tujuan di atas mengandung pengharapan bahwa
setiap rumah tangga yang akan dibangun akan menjadi rumah tangga yang
bahagia lahir batin dan kekal serta diridhai oleh Allah SWT.
29
3. Sahnya Perkawinan
Pasal 4 menyatakan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi KHI juga menganggap sahnya
perkawinan jika dilakukan menurut aturan agama masing-masing atau
aturan kepercayaan yang dianut pihak-pihak yang akan melangsungkan
perkawinan.
4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan
Pada dasarnya syarat sah perkawinan dalam KHI sama dengan
syarat sah yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinan,
hanya saja ada beberapa pasal yang dirinci dalam KHI. Selain mengatur
syarat perkawinan, KHI juga mengatur masalah rukun perkawinan. Rukun
adalah segala sesuatu yang harus ada dalam sebuah perkawinan.
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon
istri, wali, dua orang saksi serta ijab dan kabul (pasal 14).
Syarat bagi calon mempelai meliputi:
a. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita sudah
mencapai 16 tahun sesuai ketetapan dalam pasal 7 UU No. 1/1974
(pasal 15 ayat 1).
b. Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 16 ayat 1).
c. Tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam BAB
VI (pasal 18). BAB VI tentang larangan kawin menyebutkan:
30
Pasal 39, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita disebabkan:
1) karena pertalian nasab;
2) karena pertalian kerabat semenda;
3) karena pertalian sesusuan.
Pasal 40, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1) karena wanita tersebut masih terikat satu perkawinan dengan orang
lain;
2) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria
lain;
3) seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 41, ayat (1) seorang pria dilarang memadu istrinya dengan
seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau
sesusuan dengan istrinya.
Pasal 42, seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat)
orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau
masih dalam iddah raj‟I ataupun salah seorang di antara mereka masih
terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah raj‟i.
Pasal 43, ayat (1) dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria: a) dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali, b)
dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili‟an.
31
Pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
d. Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu:
130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal 90 hari
bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang bulan, 90
hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan tidak datang
bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan hamil, tidak ada
waktu tunggu jika belum pernah berhubungan kelamin, penghitungan
waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap bagi suatu perceraian, dan sejak
hari kematian bila perkawinan putus karena kematian (pasal 153).
Syarat wali nikah tertuang dalam pasal 20, yaitu (1) yang bertindak
sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni muslim, akil dan baligh.
Syarat saksi nikah tertuang dalam pasal 25, yaitu yang dapat
ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim,
adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah
serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah
dilangsungkan.
Syarat akad nikah terdapat dalam pasal 27, ijab dan kabul antara
wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu.
32
5. Perkawinan Lintas Agama Perspektif KHI
KHI mengatur secara tegas larangan perkawinan lintas agama, hal
ini tertuang dalam pasal 40, dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita karena dalam keadaan tertentu: c.
seorang wanita yang tidak beragama Islam. Juga tertuang dalam pasal 44,
seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
pria yang tidak beragama Islam.
Sehingga jelas dengan adanya pasal di atas, seharusnya bagi
pemeluk agama Islam di Indonesia tidak ada sedikitpun kemungkinan
untuk dapat melakukan perkawinan dengan orang yang tidak beragama
Islam. Dengan demikian di KUA hanya dapat menerima perkawinan
antara orang Islam. Untuk orang selain Islam perkawinan harus dicatatkan
di KCS.
Perkawinan yang dilangsungkan secara Islam, namun setelah
perkawinan salah satu pasangan keluar dari agama Islam atau murtad
status perkawinannya menjadi batal. Hal ini ditegaskan dalam KHI pasal
75 poin a yaitu perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau
istri murtad. Sehingga tidak ada sedikit pun toleransi yang diberikan KHI
untuk seseorang melakukan perkawinan lintas agama. Untuk orang-orang
yang melakukan perkawinan secara non Islam dan dikemudian hari salah
satu dari mereka masuk agama Islam, dalam KHI tidak ada aturan atau
penjelasan tentang hal tersebut.
33
C. Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Islam
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan dalam bahasa arab sering disebut
dengan kata nikah (نكاح) atau zawaj (زواج). Dua kata tersebut yang banyak
terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadis Nabi. Secara arti kata nikah berarti
bergabung, hubungan kelamin, dan juga akad (Syarifuddin, 2006:36).
Secara terminologi pengertian perkawinan menurut Dr. Ahmad
Ghandur yang dukitip oleh Syarifuddin (2006:39) sebagai berikut:
Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan
perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan,
dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan
kewajiban-kewajiban.
Dari pengertian di atas, perkawinan dilakukan guna memenuhi naluri seks
manusia secara legal, sepakat untuk mengarungi hidup bersama, sehingga
dalam perkawinan tersebut muncul hak dan kewajiban antara suami dan
istri yang harus dipenuhi.
2. Tujuan Perkawinan
Ada beberapa tujuan perkawinan yang disyariatkan atas umat
Islam, diantaranya:
a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan
generasi yang akan datang. Dengan adanya perkawinan naluri seksual
manusia dapat tersalurkan sesuai jalan yang diridhoi Allah, selain itu
dapat menjaga nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan (Sabiq,
1980:19).
34
b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup
dan rasa kasih sayang (Syarifuddin, 2006:47)
3. Sahnya Perkawinan
Dalam Islam, rukun dan syarat menentukan sah atau tidaknya suatu
perbuatan hukum, begitu juga dalam perkawinan. Rukun adalah segala hal
yang harus terwujud atau ada dalam suatu perkawinan.
Rukun yang pokok dalam perkawinan adalah ridhanya laki-laki
dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga
(Sabiq, 1980:53). Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang
tidak dapat terlihat dengan mata kepala, karena itu harus ada
perlambangan yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan
ikatan bersuami istri. Perlambangan itu diutarakan dengan kata-kata oleh
kedua belah pihak dengan adanya sebuah akad. Menurut ulama Syafi‟iyah,
rukun perkawinan secara lengkap adalah sebagai berikut:
a. calon mempelai laki-laki
b. calon mempelai perempuan
c. wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan
d. dua orang saksi
e. ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.
4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat perkawinan adalah segala hal yang harus dipenuhi sebelum
perkawinan dilangsungkan. Untuk sahnya suatu perkawinan, selain
memenuhi rukun juga harus memenuhi syarat-syarat yang mendahuluinya.
35
Syarat suatu akad dalam perkawinan, meliputi:
a. Akad harus dimulai dengan ijab yaitu penyerahan dari pihak
perempuan kepada pihak laki-laki kemudian dilanjutkan dengan qabul
yaitu penerimaan dari pihak laki-laki;
b. Materi ijab dan qabul tidak boleh berbeda;
c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus
walaupun sesaat;
d. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang
bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena
perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup;
e. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
Syarat bagi kedua calon mempelai, meliputi:
a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya,
baik nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lainnya;
b. Keduanya sama-sama beragama Islam;
c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan;
d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan
pihak yang akan mengawininya;
e. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan
perkawinan.
Syarat bagi wali nikah, meliputi:
a. Dewasa dan berakal sehat;
b. Laki-laki;
36
c. Muslim;
d. Merdeka;
e. Tidak berada dalam pengampuan;
f. Berpikiran baik;
g. Adil;
h. Tidak sedang melakukan ihram.
Syarat bagi saksi, meliputi:
a. Berjumlah minimal dua orang;
b. Kedua saksi beragama Islam;
c. Kedua saksi adalah orang merdeka;
d. Kedua saksi adalah laki-laki;
e. Kedua saksi bersifat adil;
f. Kedua saksi dapat mendengar dan melihat.
5. Perkawinan Lintas Agama Perspektif Hukum Islam
Dalam Islam terdapat perbedaan pendapat mengenai perkawinan lintas
agama. Para ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak halal kawin dengan
perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq, perempuan keluar dari
Islam, penyembah sapi, perempuan beragama politeisme (Sabiq, 1980:152).
Pendapat-pendapat ulama tentang perkawinan lintas agama adalah
sebagai berikut:
a. Pendapat pertama, Islam tidak mengenal perkawinan antar pemeluk
agama. Pendapat ini berdasar atas Q.S Al Baqarah:221
37
221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Menurut pendapat ini, perkawinan lintas agama merupakan suatu
proses yang bersifat laten, mendangkalkan keyakinan beragama masing-
masing yang menyebabkan hilangnya arti nilai-nilai dan peranan hukum
agama dalam hidup dan kehidupan rumah tangga (Ramulyo, 2006:62).
Menurut beberapa ulama, perkawinan lintas agama diasumsikan
akan menimbulkan banyak permasalahan yang sangat fundamental
menyangkut keselamatan keimanan, rentan konflik, mengancam
keharmonisan rumah tangga dan menjauhkan nilai-nilai sakral perkawinan
(Syafi‟i dan Ulfiah, 2004:53).
Larangan perkawinan lintas agama dalam ayat di atas juga
mencakup perempuan muslim yang hendak mengawini laki-laki musyrik.
Seorang wanita yang menikah dengan pria non muslim, kemungkinan
terbesar adalah dia akan mengikuti suaminya. Karena suami adalah kepala
keluarga yang memiliki otoritas dalam rumah tangga maka dia dapat
38
membawa istri dan anak-anaknya untuk mengikuti agamanya. Begitu juga
apabila seorang laki-laki muslim yang menikahi perempuan non muslim,
ancaman keteguhan tauhid dapat terjadi. Perempuan non muslim akan
membawa tradisi dan mengajarkan tradisi-tradisi hidup kepada
keluarganya. Selain itu, seorang laki-laki apabila sudah mencintai istrinya,
dia bisa melakukan apa pun yang diminta sang istri.
Dalam Islam memelihara keselamatan keluarga adalah tanggung
jawab besar yang harus dipikul dan tanggung jawab yang diberikan Allah
ini tidak dapat dilaksanakan jika dalam satu keluarga terdapat dua agama
berbeda.
Adanya ayat Q.S Al Maidah:5 yang menerangkan bahwa
dihalalkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita ahli kitab, tidak
menyebabkan ulama yang melarang perkawinan lintas agama menarik
pendapatnya. Berkaitan dengan perempuan ahli kitab yang halal untuk
dinikahi, menurut ulama yang menganut pendapat tersebut, pada zaman
sekarang sudah tidak ada, yang ada hanya keturunan ahli kitab yang sudah
menjadi musyrik.
Menurut Qaul Mu‟tamad yang disadur oleh Syafi‟i dan Ulfiah,
(pendapat yang kuat) dalam madzhab Syafi‟i, golongan ahli kitab yang
halal menikah dengan orang Islam adalah perempuan yang menganut
agama Nasrani dan Yahudi sebagaimana agama yang ada semenjak masa
sebelum Nabi Muhammad SAW (2004:69). Mereka yang memeluk agama
Yahudi dan Nasrani setelah Al Qur‟an diturunkan tidak dianggap sebagai
39
ahli kitab. Hal ini karena terdapat perkataan miin qoblikum (di masa
sebelum kamu) dalam surat Al Maidah ayat 5, perkataan ini menjadi
batasan bagi ahli kitab yang dimaksud.
b. Pendapat kedua, dalam Islam dikenal adanya perkawinan lintas agama,
yaitu laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab. Menurut
pendapat ini ada pengecualian yang diatur dalam Q.S Al Maidah:5
5. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-
gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)
maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Alasan para ulama yang membolehkan nikah beda agama karena
nikah beda agama secara doktrinal tidak dilarang oleh Allah SWT. Karena
sebenarnya persoalan krusial nikah beda agama adalah ganjalan yang lebih
bersifat kultural dan struktural yang selama ini dianggap sebagai persoalan
teologis. Persoalan yang bersifat kultural dan struktural adalah persoalan
yang bisa dihindari.
40
Semua ulama sepakat bahwa menikah dengan orang musyrik
adalah dilarang, berarti tidak bisa ditujukan kepada semua orang di luar
Islam, karena ternyata orang-orang yang berasal dari golongan ahli kitab
diperbolehkan menikah dengan orang Islam. Keempat imam mazhab juga
sepakat bahwa seorang laki-laki muslim boleh mengawini perempuan ahli
kitab, yakni perempuan-perempuan Yahudi dan Nasrani dan tidak
sebaliknya (Mughniyah, 1994:43).
Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan, keterangan dalam surat Al
Baqarah 221 adalah pengharaman oleh Allah perihal menikah dengan
orang musyrik, yaitu mereka yang menyekutukan Allah, menyembah
kepada selain Allah seperti menyembah berhala, api, dll (Katsir,
2002:427). Yang dimaksud ahli kitab adalah orang yang beragama Nasrani
dan Yahudi, asalkan mereka perempuan yang menjaga kehormatannya
maka boleh dinikahi.
Demikian pula yang disebutkan dalam tafsir Al Misbah karangan
Quraish Shihab (2000:29), larangan menikah yang dijelaskan dalam surat
Al Baqarah:221 adalah menikahi orang musyrik, bukan orang yang
berbeda agama. Musyrik dan orang yang di luar Islam haruslah
dipisahkan, karena golongan ahli kitab, meskipun secara institusi bukan
orang Islam dibolehkan menikah.
c. Pendapat ketiga, perkawinan yang dilakukan secara Islam dan dikemudian
dari salah satu dari mereka keluar dari agama Islam/ murtad, maka
perkawinannya dianggap fasakh atau batal (Sabiq, 1981:133). Yang
41
disebut dengan memfasakh akad nikah berarti membatalkan dan
melepaskan ikatan pertalian antara suami-istri. Fasakh bisa terjadi karena
syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena hal-hal lain
datang kemudian yang membatalkan kelangsungan perkawinan. Dalam hal
ini murtad termasuk dalam alasan fasakh yang kedua.
Fasakh, baik karena hal-hal yang terjadi belakangan ataupun karena ada
syarat-syarat yang tidak terpenuhi, ia mengakhiri ikatan perkawinan
seketika itu (Sabiq, 1981:133)
d. Pendapat keempat, perkawinan yang dilakukan dengan cara agama lain
selain Islam, namun di kemudian hari, salah satu pasangan mereka masuk
Islam, maka menurut Sabiq (1981:192), ada dua hukum yang
diberlakukan. Pertama, jika yang masuk Islam perempuannya, perkawinan
diputuskan dan ia wajib beriddah. Jika kemudian suami menyusul masuk
Islam, selama perempuan dalam masa iddah maka suami masih bisa
berkumpul dengan istrinya kembali. Kedua, jika yang masuk Islam suami,
maka setelah masa iddah istri habis ataupun dalam waktu yang lama, maka
mereka tetap berada dalam ikatan perkawinan semula jika mereka tetap
memilih melangsungkan ikatannya itu dan istri belum kawin dengan orang
lain.
42
BAB III
PERKAWINAN LINTAS AGAMA DI KELURAHAN BUGEL
A. Letak Geografis dan Kondisi Lingkungan Kelurahan Bugel
Kelurahan Bugel terletak di tepi Kota Salatiga bagian utara.
Wilayahnya termasuk dalam wilayah Kecamatan Sidorejo, luas wilayahnya
tidak terlalu luas dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan lain di Kecamatan
Sidorejo. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pabelan, sebelah
selatan berbatasan dengan Kelurahan Salatiga, sebelah barat berbatasan
dengan Kelurahan Sidorejo Lor dan sebelah timur berbatasan dengan
Kelurahan Kauman Kidul. Wilayahnya terdiri dari 6 (enam) RW (Sawo,
Bugel, Kebonsamas, Candiwesi, Nogosari dan Sembir) yang terbagi menjadi
20 (dua puluh) RT. Di antara wilayah-wilayah Kelurahan Bugel membentang
cukup luas perkebunan karet milik PTP yang memisahkan wilayah RW II
(Bugel) dengan wilayah RW VI (Sembir) dan wilayah RW V (Nogosari).
Letak wilayah Kelurahan Bugel juga tidak jauh dari Universitas
Kristen Satya Wacana yang merupakan satu-satunya universitas dan
merupakan yang terbesar di Salatiga. Di wilayah Kelurahan Bugel ini juga ada
sebuah yayasan Kristen yaitu Yayasan Bina Darma yang terletak di RW I
(Sawo). Ada hal yang sering membuat orang tidak melupakan Kelurahan
Bugel atau merasa familiar dengan Kelurahan Bugel, yaitu adanya tempat
karaoke di dekat wilayah Kelurahan Bugel, yaitu “Sembir”. Tempat Karaoke
tersebut sebenarnya termasuk dalam wilayah Kelurahan Sidorejo Lor dan
43
wilayahnya bernama Sarirejo bukan Sembir. Nama “Sembir” sebenarnya
adalah nama salah satu wilayah Kelurahan Bugel (RW VI), hanya saja
wilayah Sembir berbatasan langsung dengan wilayah Sarirejo. Entah mengapa
orang-orang lebih suka menyebut tempat karaoke tersebut dengan nama
“Sembir”.
Masyarakat Kelurahan Bugel menunjukkan ciri pergaulan masyarakat
desa yang masih dominan. Ada sebagian kecil wilayah di Kelurahan Bugel
yang masyarakatnya nampak individualis, hal ini tampak pada sebagian
masyarakat yang tinggal di wilayah RT 04 RW II dan RT 04 RW I. Hal ini
dikarenakan di wilayah tersebut banyak pendatang dari kota, walaupun
demikian masyarakat aslinya tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan
seperti gotong royong.
Permasalahan yang muncul dalam masyarakat, yang menyangkut
kepentingan umum diselesaikan dengan jalan musyawarah, sedangkan
masalah pribadi atau yang muncul dalam rumah tangga diselesaikan secara
pribadi oleh yang bersangkutan dan tidak ada campur tangan pihak lain.
Masalah-masalah pribadi yang dihadapi anggota masyarakat seolah-olah
masyarakat secara luas tidak mempedulikannya.
Pada saat ada peristiwa-peristiwa tertentu misalnya hajatan, kematian
atau peristiwa lain yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum,
masyarakat di wilayah Kelurahan Bugel senantiasa bergotong royong.
Kegiatan lain seperti kerja bakti dan ronda malam (siskamling) masih terus
berjalan di wilayah-wilayah Kelurahan Bugel.
44
B. Struktur Sosial dan Kehidupan Sosial, Budaya dan Agama Masyarakat
Kelurahan Bugel
Sebelum tahun 2004 Bugel merupakan sebuah Desa yang dipimpin
oleh seorang Kepala Desa yang berasal dari penduduk asli Bugel dan Carik
sebagai sekretaris desa. Pada masa ini di wilayah-wilayah yang sekarang
disebut RW ada yang disebut Bayan yang bertugas sebagai penghubung antara
Pemerintah Desa dengan RK (Rukun Kampung). Setelah tahun 2004, struktur
tersebut diganti dengan struktur yang baru. Bugel yang dahulu sebuah Desa
berubah status menjadi Kelurahan yang dipimpin oleh seorang Lurah dan
Sekretaris. Tidak ada lagi yang namanya Bayan. Hierarki kepemimpinan dan
alur pemerintahan dalam masyarakat hanya Lurah, Ketua RW kemudian
Ketua RT.
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Kelurahan Bugel
Orang-orang yang menjabat di kantor kelurahan tidak lagi penduduk
asli Bugel, akan tetapi para PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang penempatannya
ditentukan oleh pemerintah kota.
Lurah
Herjuno Soedasmoro, SH
Seksi Pemerintahan
Sigit Sudomo, SE
Seksi Trantib
Sardjono
Seksi Pembangunan
Agus Ariyadi W, SE
Seksi Kesra
Bambang Hartono, SE
Kelompok Jabatan
Fungsional
Sekretaris
Bambang Indarto
45
Table 3.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Bugel, Sidorejo Salatiga
No. Jenis Kelamin Jumlah Penduduk
1. Laki-laki 1.361
2. Perempuan 1.399
Jumlah Total 2.760
Sumber: Monografi Data Dinamis Bulan November 2010 Kelurahan Bugel
Penduduk Kelurahan Bugel seluruhnya merupakan WNI yang sebagian
besar bersuku Jawa. Orang yang bersuku selain Jawa pada umumnya
merupakan pendatang yang menetap di Kelurahan Bugel. Bahasa pergaulan
yang digunakan dalam masyarakat adalah Bahasa Jawa. Upaya pelestarian
budaya Jawa masih dilakukan di Kelurahan Bugel. Contohnya adalah kesenian
Karawitan, Reog dan ada yang oleh masyarakat disebut Lera-lere.
Mata pencaharian penduduk Kelurahan Bugel cukup beragam, mulai
dari petani, buruh tani, pengusaha, buruh industri, pedagang, buruh bangunan,
pengangkutan, pegawai negeri (sipil/ABRI) maupun pegawai swasta.
Walaupun berbeda profesi masyarakat Kelurahan Bugel bisa berinteraksi dan
bekerja sama dengan baik. Sebagian besar di wilayah Kelurahan Bugel,
kondisi rumah cukup baik dan layak huni. Bangunan rumah sudah permanen
yang terbuat dari batu bata maupun batako. Hal ini mencerminkan bahwa
sebagian besar masyarakat kelurahan Bugel berkecukupan dalam memenuhi
kebutuhan pokok yang berupa sandang, pangan dan papan.
46
Tabel 3.2 Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Bugel
No. Mata Pencaharian Jumlah
Penduduk
1. Petani 24 orang
2. Buruh Tani 65 orang
3. Pengusaha 3 orang
4. Buruh Industri 15 orang
5. Pedagang 196 orang
6. Buruh Bangunan 59 orang
7. Pengangkutan 18 orang
8. Pegawai Negeri (Sipil/ABRI) 95 orang
9. Pensiunan 21 orang
10. Lain-lain 1.795 orang
Sumber: Monografi Data Dinamis Bulan November 2010 Kelurahan Bugel
Pendidikan masyarakat Kelurahan Bugel tergolong cukup baik, 8,25%
penduduk di Kelurahan Bugel tamat Akademi/Perguruan Tinggi, 24.5% tamat
SLTA, 15% tamat SLTP dan 34% tamat SD.
Agama yang dianut penduduk Kelurahan Bugel cukup beragam yaitu
Islam, Kristen Katholik dan Kristen Protestan. Agama Islam masih menjadi
agama mayoritas di Kelurahan Bugel.
Table 3.3 Jumlah Penduduk Kelurahan Bugel Sidorejo Salatiga Berdasarkan
Agama
No. Agama Jumlah Penduduk
1 Islam 2.455
2 Kristen Katholik 50
3 Kristen Protestan 218
Jumlah Total 2.723
Sumber: Monografi Data Dinamis Bulan November 2010 Kelurahan Bugel
47
Agama Islam menjadi dominan di Kelurahan Bugel karena merupakan
agama yang turun temurun. Kegiatan keagamaan masih aktif dilakukan baik di
Masjid, Mushola ataupun Rumah warga. Di wilayah Kelurahan Bugel terdapat
5 masjid yang terletak di 5 RW yaitu Masjid Al Ikhlas (RW I), Masjid Baitul
A‟la (RW II), Masjid Al Huda (RW IV), Masjid Al Mutazam (RW V) dan
Masjid Al Amin (RW VI). Contoh kegiatan keagamaan yaitu Istighosah NU
dilakukan setiap malam selasa kliwon, pengajian rutin remaja dilakukan
secara rolling antar RW setiap malam jum‟at kliwon. Masih ada juga jama‟ah
dzikir yang dilaksanakan pada malam jum‟at legi. Kegiatan di TPA/TPQ juga
masih aktif di seluruh wilayah kelurahan Bugel, Yasinan, Al Berjanji dan
pengajian rutin ibu-ibu juga masih dilaksanakan secara rutin oleh warga
Kelurahan Bugel.
Untuk kegiatan keagamaan bagi umat Kristen/Katholik berpusat di
gereja-gereja yang ada di wilayah Bugel maupun gereja di wilayah yang dekat
dengan Kelurahan Bugel, karena di Bugel hanya ada 2 gereja yang terletak di
wilayah RW I di dekat yayasan Bina Darma.
C. Profil Pasangan Suami Istri Pelaku Perkawinan Lintas Agama
1. Pasangan Untung Subiyanto dan Mutiah
Tempat kerja yang berhadapan mengawali perkenalan antara
Untung dan Mutiah, waktu itu mereka sama-sama bekerja sebagai pelayan
toko di Jl. Taman Makam Pahlawan Salatiga. Butuh waktu kurang lebih
satu tahun setelah perkenalan mereka untuk melanjutkan hubungan mereka
ke jenjang perkawinan.
48
Pada waktu itu tidak ada halangan yang mendalam untuk
melangsungkan perkawinan walaupun mereka berasal dari latar belakang
agama yang berbeda, Untung berasal dari keluarga Kristen sedangkan
Mutiah berasal dari keluarga Muslim. Menurut pengakuan Mutiah,
sebelum berkenalan dengannya, Untung sudah beragama Islam sesuai
dengan KTP yang dimiliki. Ketika Mutiah memperkenalkan Untung
kepada keluarganya sebagai calon suami, tidak ada seorang pun dari
keluarga Mutiah menentang hubungan mereka. Pihak keluarga Mutiah
juga sudah mengetahui bahwa orang tua Untung beragama Kristen. Bagi
orang tua Mutiah, selama anaknya sudah merasa cocok dan mantap untuk
membina rumah tangga dengan Untung maka restu senantiasa diberikan.
Hubungan yang didasari rasa cinta dan masing-masing pihak sudah
merasa pasangan mereka adalah jodoh yang diberikan Tuhan, akhirnya
Untung dan Mutiah memutuskan menikah secara resmi pada tahun 1986.
Prosesi akad perkawinan mereka dilakukan secara Islam di KUA
Kecamatan Pabelan oleh wali hakim. Menurut pengakuan Mutiah, akad
nikah berjalan dengan lancar, bahkan ketika Untung diminta membaca
syahadat juga dilakukan dengan baik.
Setelah resmi menjadi suami istri mereka tinggal di Karang Kepoh,
Argmulyo, bersama orang tua Untung. Selama Mutiah tinggal di sana,
orang tua Untung menerima Mutiah dengan baik, tidak pernah ada
larangan bagi Mutiah untuk tetap menjalankan agamanya. Entah sejak
kapan tepatnya setelah perkawinan mereka, Untung memutuskan kembali
49
memeluk agamanya yang lama yaitu Kristen. Untung memang lahir dan
besar dengan didikan agama Kristen. Di wilayah Untung tinggal yaitu
Karang Kepoh penduduknya heterogen, panganut agama Islam dan Kristen
jumlahnya hampir sama banyak dan mereka hidup berdampingan.
Sehingga ketika Untung dan Mutiah hidup dalam keadaan berbeda agama
dalam satu rumah tangga, masyarakat di sekitar mereka bisa menerima
mereka dengan baik.
Setelah beberapa waktu tinggal bersama orang tua Untung,
akhirnya keluarga Untung dan Mutiah mampu membangun rumah sendiri
yang berada tidak jauh dari rumah orang tua Untung di tanah yang mereka
sewa. Pekerjaan Untung yang hanya seorang buruh serabutan tidak
mengurangi kebahagiaan keluarga mereka sehingga membuahkan empat
orang anak. Anak pertama bernama Robi (1986), anak kedua Cantika
(1989), anak ketiga Deni (1997) dan anak keempat bernama Novia (2000).
Pengaruh lingkungan tempat mereka tinggal cukup besar terhadap
perkembangan keberagamaan anak-anak Untung dan Mutiah. Di masa
kecilnya, Robi dan Cantika ternyata lebih sering pergi ke Gereja bersama
orang tua Untung, sedangkan Deni dan Novia lebih cenderung mengikuti
agama ibunya. Kebebasan yang diberikan oleh Untung dan Mutiah
membuat anak-anak mereka menentukan pilihan mereka sendiri.
50
Gambar 3.2 Kartu Keluarga Untung-Mutiah
Sejak awal perkawinan mereka memang agama tidak menjadi sekat
di antara hubungan mereka. Kebebasan beragama pun ditanamkan kepada
anak-anak mereka. Walaupun dalam hati kecil Mutiah tersimpan harapan
agar suami dan anak-anak mereka memiliki agama yang sama dengannya.
Pada tahun 2008 keluarga Untung dan Mutiah memutuskan pindah
ke kelurahan Bugel untuk menempati rumah orang tua Mutiah. Di tahun
itu juga anak pertama Untung dan Mutiah yaitu Robi akan melangsungkan
perkawinan dengan seorang gadis bernama Ernawati. Pernikahan anaknya
tersebut dilakukan secara Islam karena calon mempelai wanita beragama
Islam sehingga Robi memutuskan untuk menjadi mualaf. Menurut
pengakuan Erna (istri Robi) walaupun menjadi mualaf namun sampai saat
51
ini Robi masih belum menjalankan agama Islam. Setelah perkawinan
anaknya tersebut mereka tinggal satu atap di Kelurahan Bugel.
Keberadaan keluarga mereka yang berbeda agama dalam satu
keluarga di wilayah Kelurahan Bugel tidak menimbulkan masalah yang
serius. Masyarakat di sekitar mereka tinggal menerima keluarga mereka
dengan baik. Bagi keluarga Mutiah, yang penting mereka tidak mengusik
orang lain. Mutiah dan Untung termasuk orang yang aktif mengikuti
kegiatan sosial yang ada di wilayah mereka tinggal seperti kumpulan RT,
kerja bakti maupun kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya.
Sebagai umat beragama Mutiah juga aktif mengikuti kegiatan
pengajian ibu-ibu yang diadakan setiap malam minggu. Berbeda dengan
Untung yang sejak menikah dan kembali memeluk Kristen, dia sudah
tidak lagi aktif ke Gereja. Deni dan Novia juga belajar mengaji di rumah
Ustadz di dekat rumah mereka.
Meski hidup dalam perbedaan agama, keluarga Mutiah tetap rukun
dan tidak pernah mengungkit-ungkit masalah agama jika ada masalah.
Wujud saling menghormati di antara mereka tampak ketika menghadapi
perayaan keagamaan, khususnya di bulan Ramadhan. Ketika menghadapi
Ramadhan Mutiah dan anak-anaknya melaksanakan ibadah puasa, anak-
anak Mutiah yang beragama Kristen pun ikut berpuasa untuk menghormati
ibu mereka. Untung juga sering mengingatkan Mutiah untuk makan sahur,
pergi tarawih maupun pergi ke pengajian.
52
Dalam pengambilan keputusan didominasi oleh Untung sebagai
kepala keluarga, sebagai contoh dalam penamaan anak, semua dilakukan
oleh Untung. Walaupun tidak menutup kemungkinan dilakukan diskusi
antara anggota keluarga dalam masalah-masalah tertentu. Dominasi di
dalam rumah tidak nampak begitu jelas karena melihat keadaan rumah
tidak ada simbol-simbol tertentu yang menunjukkan adanya sebuah
dominasi.
2. Pasangan Rusdi dan Sugini
Rusdi dan Sugini adalah contoh lain pasangan pelaku perkawinan
lintas agama di Kelurahan Bugel. Pertemuan mereka diawali dengan
hubungan pekerjaan juga. Pada tahun 1979 di usianya yang masih muda
(16 Th), Sugini sudah merantau ke Salatiga meninggalkan kampungnya
yaitu Simowalen Boyolali. Sugini bekerja pada pemilik kantin di SMP
Kristen 4 Salatiga. Sedangkan Rusdi bekerja sebagai penjaga sekolah di
SMEA Kristen Salatiga yang letaknya berdampingan dengan SMP Kristen
4 Salatiga.
Karena pekerjaannya, Sugini sering mengantarkan makanan kecil
ke kantin SMEA Kristen Salatiga. Dari seringnya Sugini mengantarkan
makanan kecil tersebut, akhirnya Sugini bertemu dengan Rusdi dan
akhirnya berkenalan dan menjadi dekat. Hanya dalam waktu tiga bulan
setelah kedekatan mereka, mereka memutuskan untuk mengakhiri
hubungan mereka ke jenjang perkawinan.
53
Sebelum bekerja di Salatiga, sebenarnya Sugini sudah dijodohkan
oleh orang tuanya dengan orang kampungnya. Namun Sugini menolak
perjodohan itu karena orang yang dijodohkan masih saudara dengannya.
Oleh karena itu ketika Sugini membawa Rusdi untuk dikenalkan kepada
orang tuanya sebagai calon suaminya, orang tua Sugini pasrah dengan
keputusan anaknya. Setelah Rusdi menjelaskan bahwa Rusdi berbeda
keyakinan dengan Sugini, namun serius ingin hidup bersama Sugini maka
tidak ada alasan lagi menghalangi perkawinan mereka. Bagi orang tua
Sugini pada waktu itu yang penting anaknya yang menjalani tidak
keberatan dan jika perkawinannya dapat berlangsung dengan mudah maka
silahkan saja. Orang tua Sugini tidak ingin lagi memaksakan kehendaknya
kepada anaknya karena berdasarkan pengalaman yang telah terjadi
ternyata hal tersebut tidak membuat anaknya bahagia.
Perkawinan dilakukan pada Juli 1983 di Kantor Catatan Sipil
(KCS). Berdasarkan akta perkawinan mereka Sugini tercantum beragama
Kristen, jadi dalam proses perkawinan tersebut Sugini yang mengikuti
agama suami. Yang menikahkan mereka adalah Pendeta, sebelum adanya
akad perkawinan Sugini dan Rusdi juga mengucapkan janji-janji sesuai
yang diajarkan dalam Kristen. Hal terberat yang diperjanjikan sebelum
perkawinan terjadi adalah apapun masalah yang dihadapi, sebesar apapun
masalah tersebut tidak ada kata perceraian bagi keduanya.
Setelah menikah, Sugini berterus terang kepada Rusdi bahwa ia
tidak bisa mengikuti agama Rusdi dan ingin menjalankan agama yang
54
sebelumnya dipeluk. Bagi Rusdi hal tersebut tidak masalah baginya, yang
penting ketika seseorang sudah memilih satu agama maka dia harus
bersungguh-sungguh menjalaninya. Rusdi memang terlahir dari pasangan
lintas agama (ayahnya Islam dan ibunya Kristen) sehingga ia sudah
terbiasa dengan sikap-sikap terbuka dan kebebasan dalam beragama.
Setelah perkawinan, mereka tinggal bersama orang tua Rusdi di
Kemiri hingga kelahiran anak pertamanya Adi Rusgiyono (1983). Selama
tinggal bersama orang tua, tidak ada tekanan dari pihak keluarga Rusdi
kepada Sugini untuk mengikuti agamanya maupun menghalangi Sugini
beribadah.
Setelah kelahiran anak pertama mereka memutuskan untuk
mengontrak sebuah rumah untuk keluarga kecil mereka. Dengan
penghasilan yang jauh dari cukup keluarga kecil ini mencoba bertahan
hidup meski harus berpindah rumah kontrakan. Rusdi dan Sugini pun
dikarunia dua orang putri Agustin Rusgiyani (1985) dan Widi
Setioningsih(1989).
Gambar 3.3 Kartu Keluarga Rusdi-Sugini
55
Masalah agama bagi anak-anaknya, Rusdi dan Sugini
membebaskan mereka untuk menentukan pilihannya sendiri. Pendidikan
keagamaan sudah diberikan kepada anak-anak mereka sejak kecil. Pada
waktu itu, ketika anak ingin ikut ayahnya pergi ke Gereja dipersilahkan
dan jika ingin ikut ibunya mengaji juga dipersilahkan. Jujur dari
pengakuan Rusdi anak-anaknya pernah pergi ke Gereja semua, hanya saja
ketika sudah paham untuk memilih, mereka lebih memilih agama ibunya,
kecuali Agustin yang lebih memilih agama ayahnya karena suaminya juga
seorang Kristen.
Bagi Rusdi Islam atau pun Kristen tidak ada bedanya, yang penting
kita mau menjalaninya dengan baik. Meskipun dalam hati kecil Rusdi
tetap menginginkan suatu saat nanti istri dan anak-anaknya berada dalam
satu keyakinan yang sama dengannya.
Keluarga Rusdi mulai pindah dan menetap di Kelurahan Bugel
sejak tahun 1996/1997. Penerimaan masyarakat Bugel cukup baik, hal ini
karena Rusdi merasa selama saya tidak mengganggu orang lain, orang lain
tidak akan mengganggu saya. Selain itu Rusdi juga aktif mengikuti
kegiatan-kegiatan sosial maupun keagamaan yang diadakan di wilayah dia
tinggal. Meski beragama Kristen, jika mendapatkan undangn acara
keagamaan di lingkungan ia tinggal sebisa mungkin Rusdi tetap hadir.
Sugini juga termasuk aktif dalam mengikuti kegiatan sosial
maupun keagamaan seperti pengajian rutin ibu-ibu setiap malam minggu.
Selain itu Sugini juga aktif mengikuti pengajian di Masjid Kauman setiap
56
hari minggu. Praktek keberagamaan dalam keluarga ini cukup baik,
walaupun pasca menikah Rusdi tidak lagi aktif mengikuti kegiatan Gereja,
karena hingga saat ini Rusdi adalah salah satu pegawai di Gereja Baptis
Indonesia. Menurutnya sama saja, toh saya juga ada di Gereja setiap
harinya. Sedangkan Sugini dalam menjalani sholat lima waktu jarang ikut
jama‟ah di Masjid, hal ini lebih disebabkan karena medan rumah Sugini
dan Rusdi tidak bagus. Sehingga Sugini hanya mengikuti sholat jama‟ah
ketika sholat tarawih atau sholat idul fitri/kurban.
Antara Rusdi dan Sugini tidak pernah ada pihak yang melarang
satu sama lain untuk menjalankan ibadah, bahkan mereka saling
mendukung dan saling mengingatkan ketika lupa. Rusdi misalnya sering
mengingatkan Sugini untuk sholat atau pergi mengaji. Begitu juga di
masa-masa Ramadhan, sebisa mungkin Rusdi tidak makan dan minum di
dalam rumah ketika anak dan istrinya menjalankan ibadah puasa. Begitu
juga sebaliknya ketika Rusdi ingin merayakan natal hanya akan dirayakan
di Gereja saja. Pada saat Rusdi ingin menyantap makanan yang
diharamkah oleh Al Qur‟an, daging anjing misalnya, maka rusdi akan
memasaknya sendiri dan memakannya sendiri.
Ketika di rumah mereka digunakan sebagai tempat pengajian sikap
Rusdi terbuka bahkan mau menemani nghobrol para tamu. Rusdi selalu
mendukung kegiatan yang dijalani istrinya, tetapi Rusdi tidak pernah
mengadakan kegiatan keagamaannya di rumahnya. Setiap ada acara
kumpulan pengurus gereja, Rusdi selalu mengajak Sugini dengan
57
penampilannya berjilbab. Teman-teman Rusdi pun sudah paham dan tidak
pernah mempermasalahkan hal tersebut.
Pengertian akan kekurangan atau kelebihan yang dimiliki pasangan
adalah kunci kelanggengan keluarga Rusdi dan Sugini. Selain itu
bersyukur atas apa yang telah dikaruniakan kepadanya dan tidak
menyalahkan takdir. Dalam kehidupan berrumah tangga, dominasi Rusdi
dalam setiap mengambil keputusan nampak dalam proses wawancara yang
peneliti lakukan. Rusdi lebih banyak mendominasi percakapan. Dilihat
dari simbol-simbol yang ada di rumah mereka nuansa Kristen lebih
dominan, Hal itu nampak pada pemasangan kalender dari gereja di ruang
tamu mereka. Fakta dalam praktek Rusdi memeluk agama Kristen namun
dalam administrasi (dalam KK/KTP) Rusdi ditulis sebagai pemeluk Islam.
Rusdi tidak ingin mengubahnya karena terlalu repot dalam pengisian
blangkonya. Menurutnya itu hanya formalitas di atas kertas saja tidak
begitu penting baginya.
3. Pasangan Kasbiyantoro dan Siti Suryati
Kasbin dan Siti sudah saling kenal sejak di sekolah dasar, yang
kemudian bertemu kembali di masa remaja. Awal pertemuan mereka
kembali disebabkan oleh kakak Siti adalah teman Kasbin sejak SD hingga
ST (setingkat SMP), sehingga ketika Kasbin bermain ke rumah Muslim
(kakak Siti) mereka bertemu kembali. Sebelumnya Kasbin sudah sering
melihat Siti lewat di depan rumah kakaknya pada saat Siti berjualan.
Waktu itu Kasbin tinggal bersama kakaknya di Plumpungan.
58
Kasbin juga sudah pernah mengutarakan keinginannya kepada
kakaknya untuk menikahi Siti, kakak Kasbin pun belum begitu
mendukung mengingat Siti berasal dari keluarga santri sedang Kasbin
adalah orang Katholik yang tidak bisa sholat dan mengaji. Namun
keinginan Kasbin cukup kuat, ia meyakinkan kakaknya bahwa ia akan
mencoba, karena dia yakin kalau sudah jodoh tidak akan ke mana.
Keyakinannya dikuatkan oleh pengalaman teman-teman Kasbin yang juga
melakukan perkawinan lintas agama.
Orang tua Kasbin sebenarnya pemeluk agama Islam, hanya saja
Kasbin memilih Katholik. Hal ini disebabkan karena Kasbin sejak kecil
dirawat oleh orang Katholik yaitu Romo Sadiwan. Masa kecil Kasbin
terkenal sebagai anak yang nakal dan susah diatur, hal ini mendorong
Romo Sadiwan untuk mendekati Kasbin dan mengajarinya banyak hal
tentang kebaikan. Dari situlah Kasbin merasa dirinya menjadi lebih baik
dan berminat untuk memeluk Katholik. Kasbin mengutarakan
keinginannya untuk memeluk Katholik kepada Romo Sadiwan, tidak ada
unsur paksaan sedikitpun dari Romo. Kasbin mengikuti pendidikan agama
Katholik sebelum akhirnya dibaptis sebagai seorang Katholik pada tahun
1963.
Kasbin terpisah dengan ayahnya sejak ia kecil, sehingga ia tidak
pernah mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya. Ibu Kasbin hanya
mendukung pilihan anaknya, bahkan ia sering mengingatkan Kasbin untuk
pergi ke Gereja. Karena memang di wilayah Kauman Kidul pemeluk Islam
59
dan Katholik hampir sama besar. Tidak ada keanehan lagi bahwa banyak
keluarga campuran di wilayah Kauman Kidul, orang tua muslim tetapi
anak-anaknya Katholik ataupun orang tua Katholik anak-anak mereka
memeluk Islam.
Pada saat Kasbin mengutarakan niatnya untuk mengawini Siti,
pihak keluarga Siti agak keberatan dengan perbedaan agama tersebut.
Kakek Siti dahulu adalah seorang Bayan, sedangkan ayahnya adalah
seorang RK (rukun kampung). Pihak keluarga Siti hanya mengijinkan
perkawinan dapat dilangsungkan asal Kasbin mau memeluk Islam.
Ternyata syarat tersebut diterima oleh Kasbin hingga akhirnya setelah
melalui proses selama dua bulan mereka melangsungkan akad secara Islam
pada 6 Juli 1977 di KUA Kecamatan Pabelan. Bagi Kasbin perpindahan
agama itu dilakukan demi mempermudah proses perkawinan. Akad nikah
dilakukan dengan bahasa Indonesia. Ketika akad nikah tersebut Kasbin
tampak lancar, bahkan ketika harus membaca surat fatihah. Hal ini
disebabkan karena Kasbin pernah mempelajarinya ketika merantau di
Jakarta. Teman-teman Kasbin kebanyakan adalah orang Islam, dari
mereka Kasbin sering tukar pengalaman dan tukar pikiran. Sempat juga
teman-teman Kasbin mengajak Kasbin masuk Islam, namun Kasbin
menolak karena ketaatannya sebagai seorang Katholik yang sudah
dibaptis.
Sejak saat itu Kasbin tinggal di rumah Siti. Kasbin berusaha aktif
mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada seperti pengajian, sholat
60
jum‟ah maupun Yasinan. Cukup lama Kasbin belajar menjalankan agama
Islam, hingga lahir kedua buah hatinya Hesti Mahayani (1978) dan Adi
Kuriawan (1984).
Gambar 3.4 Kartu Keluarga Kasbiyantoro-Siti
Pergolakan batin Kasbin mulai memuncak pada tahun 1986, hal itu
ditandai dengan kembalinya Kasbin memeluk Katholik. Sebagai seorang
Katholik yang sudah dibaptis Kasbin merasa harus kembali ke agamanya
semula. Dalam ajaran Katholik sebenarnya menikah dengan orang yang
berbeda agama, namun dalam keadaan terpaksa hal tersebut dapat
dilakukan. Namun menurut Kasbin, meninggalkan Katholik tidak boleh
dilakukan selamanya, bahkan kalau bisa si Katholik mengajak seluruh
anggota keluarganya untuk memeluk Katholik juga. Menurut pengakuan
Kasbin tidak pernah sedikitpun terselip harapan agar istri dan anaknya
mengikuti agamanya yaitu Katholik.
Bagi Kasbin, agamanya adalah agama yang benar, selain itu
Kasbin merasa tidak bisa mengikuti ajaran Islam dengan baik seperti
mengaji atau sholat. Sejak saat itu Kasbin jarang terlihat pergi ke Masjid.
61
Siti sempat merasa kecewa atas perubahan tersebut. Ketika Siti berusaha
mencari penjelasan akan perubahan tersebut, Kasbin hanya menjawab “wis
kowe ki menengo wae, nak sing Kuasa urung ngersakke ki ya ngene ki”.
Siti hanya berharap dalam hati agar suatu saat nanti Kasbin mau
menjalankan agama Islam.
Sepengetahuan Siti dan orang-orang di sekitar mereka, Kasbin
hanya berpindah kembali ke Katholik namun tidak pernah pergi ke Gereja,
tetapi pada kenyataannya Kasbin masih aktif mengikuti kegiatan di Gereja
minimal 1 bulan sekali. Kasbin tidak pernah memberi tahu Siti ketika
Kasbin hendak pergi ke Gereja.
Siti tetap rajin mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada
seperti Al Berjanji atau Yasinan. Bahkan Kasbin sering mengingatkan Siti
untuk pergi mengikuti acara tersebut. Saat bulan Ramadhan hanya Kasbin
yang tidak berpuasa, namun demikian dia selalu mengingatkan istri dan
anak-anaknya untuk makan sahur atau berbuka. Saat ingin tidak berpuasa
Kasbin berharap mereka mau jujur dari awal, sehingga tidak muncul
kebohongan di antara mereka. Sejak kecil Kasbin selalu menganjurkan
anak-anak mereka untuk berpuasa.
Walau sudah kembali ke agamanya semula, Kasbin masih tetap
aktif mengikuti kegiatan sosial di lingkungan ia tinggal. Ketika dia
mendapatkan undangan untuk menghadiri acara tahlilan, sebisa mungkin
ia menghadiri. Baginya perbedaan agama tidak harus memecah kerukunan
dalam masyarakat. Kasbin juga mersa sikap masyarakat sekitar tidak
62
berubah kepadanya meski mereka tahu ia sudah kembali memeluk
Katholik.
Pendidikan keagamaan sudah ditanamkan Kasbin dan Siti sejak
anaknya masih kecil, hal itu dilakukan dengan cara menyuruh anak-anak
mereka pergi TPA. Kasbin maupun Siti tidak pernah memberitahu secara
langsung bahwa mereka berada dalam agama yang berbeda. Mereka
membiarkan anak-anak mereka mengetahui dengan sendirinya, baru ketika
anak mereka menanyakan hal tersebut mereka menjelaskan alasannya.
Kasbin merasa anak-anaknya nanti mampu memilih apa yang terbaik
untuk mereka, untuk itulah Kasbin tidak pernah memaksakan agamanya
kepada anak-anak mereka.
Dalam keluarga mereka, peran Kasbin memang cukup dominan
daripada Siti. Nampak ketika kelahiran anak-anak mereka, Kasbin lebih
berperan memberikan nama kepada mereka. Bahkan Kasbin
mencantumkan nama Theresia kepada nama anak pertamanya. Hanya saja
nama tersebut diminta dihapus oleh pembantu pegawai pencatat nikah saat
anak pertama mereka hendak melakukan akad nikah. Kasbin hanya
menuruti hal tersebut tanpa berpikir panjang apa alasannya, baginya yang
penting urusan anaknya cepat selesai. Selain itu Kasbinlah yang
menentukan di mana anak-anaknya akan bersekolah. Bahkan ketika
Kasbin memutuskan untuk kembali ke Katholik ia tidak
memberitahukannya kepada Siti ataupun anak-anak mereka. Siti pun tidak
63
mampu berbuat apa-apa ketika mengetahui Kasbin kembali ke Katholik,
hanya diam dan diam.
4. Pasangan Masal Guru Singa dan Supratini
Ada hal yang membedakan pasangan ini dengan pasangan yang
lain. Pasangan Masal dan Supratini ini merupakan pasangan lintas agama
dan lintas suku karena Masal berasal dari Medan beragama Kristen
sedangkan Supratini asli Jawa beragama Islam.
Awal perkenalan mereka melalui hubungan pekerjaan juga. Pada
waktu itu Supratini bekerja di Wartel Batas Kota sedangkan Masal baru
saja ditempatkan di Salatiga pada awal tahun 1997. Pada waktu itu di
Salatiga belum ada internet sehingga Masal harus mengirimkan laporan
pekerjaannya ke kantor melalui fax, sehingga Masal menggunakan jasa fax
di Wartel tempat Supratini bekerja. Karena seringnya Masal mengirimkan
fax di Wartel tersebut akhirnya mereka pun berkenalan dan menjadi dekat.
Butuh waktu kurang lebih 6 bulan bagi mereka untuk saling
mengenal keluarga masing-masing dan akhirnya memutuskan menikah.
Keputusan itu diambil setelah kedua pihak merasa cocok, saling mencintai
dan merasa sudah jodoh.
Dari pihak keluarga Masal tidak ada masalah dengan hubungan
yang dijalani, karena orang tua Masal berada di Medan maka yang
bertindak mewakili orang tuanya melamar Supratini adalah saudaranya
yang tinggal di Salatiga. Ada dua orang yang satu beragama Islam dan
yang satu beragama Kristen. Dari pihak Supratini sempat ayahnya
64
meragukan Masal karena keluarga Masal berada di Medan. Yang
ditakutkan oleh orang tua Supratini adalah ketakuan apakah anaknya
dibohongi atau tidak. Namun setelah Supratini berhasil meyakinkan orang
tuanya akhirnya orang tua Supratini merestui hubungan mereka. Agama
Masal yang berbeda dengan Supratini itu tidak menjadi masalah. Latar
belakang orang tua Masal maupun Supratini adalah Pejuang/Tentara
sehingga mereka memiliki pemahaman yang nasionalis. Ibu Masal yang
merupakan pengurus gereja dan ada saudaranya yang menjadi Pendeta
tidak menjadikan mereka melarang hubungan Masal dan Supratini. Pernah
juga kakak Supratini menanyakan apakah sudah siap Supratini membina
rumah tangga dengan orang yang berbeda agama. Bagi Supratini agamaku
ya agamaku dan agamamu ya agamamu, hal itu tidak akan mempengaruhi
kebahagian dalam berumah tangga.
Akad nikah dilakukan di Gereja di Yogyakarta pada tahun 1998,
dihadiri keluarga besar Masal maupun Supratini. Meskipun mereka
menikah secara Kristen namun setelah perkawinan tersebut dilangsungkan
Masal tidak bisa memaksa Supratini untuk beribadah menurut agamanya,
jadi jika Supratini ingin kembali ke kepercayaannya semula Masal
membebaskan.
Setelah 12 tahun lamanya mereka membina rumah tangga dengan
perbedaan, kebahagiaan mereka bertambah dengan hadirnya dua orang
putra, Dimas (1998) dan Aditya (2005). Setelah perkawinan mereka,
mereka tinggal di rumah orang tua Supratini di wilayah kelurahan Bugel.
65
Hubungan Masal dengan ayah Supratini cukup baik, walaupun Masal tidak
sempat mengenal ibu mertuanya karena sudah meninggal sebelum mereka
melakukan perkawinan.. Bahkan menurut Masal, meskipun muslim
mertuanya sering juga mendengarkan lagu-lagu rohani. Orang tua Masal
pun merasa senang dan tidak membatasi diri dengan Supratuni. Setiap
tahun Masal mengajak seluruh keluarganya pergi ke Medan untuk
menjenguk orang tuanya.
Gambar 3.5 Formulir Kartu Keluarga Masal-Supratini
Masyarakat setempat juga menerima keberadaan Masal dengan
baik. Masal beranggapan bahwa semua adalah saudara tanpa melihat latar
belakang suku, status sosial maupun agama. Apalagi Masal adalah seorang
perantau, untuk itu ia berprinsip mencari saudara sebanyak-banyaknya.
Apalagi keberadaan Masal di masyarakat cukup dibutuhkan, pekerjaan
Masal sebagai wartawan yang memiliki akses ke beberapa instansi
66
membuatnya menjadi orang yang dicari masyarakat yang membutuhkan
bantuannya.
Masal dan Supratini juga memberikan kebebasan kepada anak-
anaknya untuk memilih agama yang dianggap cocok bagi mereka. Dari
kebebasan yang diberikan dan karena intensitas pertemuan ibu dengan
anak lebih besar mendorong anak-anak mereka mengikuti kepercayaan
ibunya yaitu Islam. Supratini termasuk orang yang aktif mengikuti
kegiatan sosial maupun keagamaan di wilayah ia tinggal. Acara
keagamaan yang rutin diikuti adalah Yasinan yang diadakan setiap malam
Jum‟at secara bergilir dari rumah ke rumah. Ketika rumah Supratini
mendapat giliran sebagai tempat Yasinan, Masal juga tidak keberatan.
Begitu juga Supratini tidak keberatan ketika Mahasiswa UKSW sering
main ke rumah mereka dan merayakan Paskah di rumah mereka.
Wujud toleransi antara mereka tidak hanya sebatas itu saja, ketika
Ramadhan Masal sering mengingatkan saat sahur maupun buka,
mencarikan makanan untuk buka, mengingatkan Supratini dan anak-
anaknya untuk pergi ke Masjid dsb. Masal mengakui bahwa sejak tinggal
di Kelurahan Bugel dia jarang pergi ke Gereja. Hal ini disebabkan karena
Gereja yang dekat dengan rumahnya pada minggu ke-1 sampai ke-3
menggunakan bahasa Jawa, sehingga Masal tidak bisa mengikuti. Sedang
pada minggu ke-4 barulah menggunakan bahasa Indonesia. Sikap Masal
yang seperti itu mampu memancing pendapat anak pertamanya yang
mengatakan, “Papa itu agamanya apa? Kalau Islam kok tidak pernah pergi
67
ke Masjid, tapi kalau Kristen kok ya gak pernah pergi ke Gereja”. Masal
masih aktif menghadiri acara-acara besar seperti Natal di Pancasila,
bahkan ketika anak dan istrinya masih tertidur Masal berangkat
merayakannya sendirian.
Bagi Masal tidak ingin memperuncing perbedaan menjadi sebuah
pembatas hubungan. Menurutnya semua agama adalah sama dan
tergantung dari para pemeluknya.
5. Pasangan Tri Antara Riyadi dan Darwati
Pasangan ini pertama kali bertemu di Tangerang, mereka sama-
sama perantau yang bekerja di sana. Tri yang bersal dari Bantul merantau
ke Tangerang bekerja sebagai buruh di pabrik keramik. Darwati yang
berasal dari Bedono bekerja sebagai buruh di pabrik sepatu. Tempat kost
yang dekat membuat Tri dan Darwati sering bertemu hingga akhirnya
berkenalan dan berpacaran. Dua tahun lamanya mereka saling mengenal
hingga akhirnya memutuskan untuk hidup bersama dan mengikatkan diri
dalam suatu perkawinan.
Dari awal perkenalan mereka, Darwati sudah bersikap terbuka
terhadap pasangannya. Memang sempat ada sedikit kesalahpahaman
antara Tri dan Darwati. Pada awalnya Tri mengira Darwati adalah seorang
muslim karena di waktu sahur dan buka, Darwati ikut makan sahur/buka
bersama teman-temannya. Namun pada suatu hari minggu Tri bertemu
Darwati pergi ke Gereja, baru di saat itulah Tri mengetahui bahwa Darwati
68
ternyata seorang Kristen. Di lubuk hati Darwati sempat ada ketakutan
akankah keluarga Tri bisa menerima dirinya yang seorang Kristen.
Pada tanggal 15 Maret 1996 Tri dan Darwati melaksanakan akad
perkawinan di rumah kontrakan keluarga Darwati di Pringsari, Kemiri.
Akad dilakukan secara Islam dihadiri keluarga besar Tri dan keluarga
besar Daryati. Pak Giyono adalah kakak ipar Darwati yang menikahkan
mereka. Setelah akad selesai dilanjutkan dengan resepsi dan hari itu juga
(sore) langsung diboyong ke Bantul.
Pihak keluarga Darwati menerima Tri apa adanya, bahkan hingga
saat ini Tri merupakan menantu yang paling disayang oleh orang tua
Darwati. Pada saat Darwati menyatakan kehendaknya untuk menikah
dengan Tri yang notabene seorang Muslim, orang tua Darwati menerima
secara ikhlas. Karena orang tua Darwati juga menyadari bahwa agamanya
dan agama anaknya juga berbeda. Kedua orang tua Darwati beragama
Budha sedang Darwati memilih untuk menjadi seorang Kristen.
Di masa kecilnya, orang tua Darwati tidak terlalu keras
menanamkan agama Budha kepadanya. Sejak kecil hingga kelas 6 SD,
Darwati sering diajak pergi do‟a oleh kedua orang tuanya, namun pada
saat itu Darwati tidak mengerti apa itu Budha. Darwati hanya paham kalau
agama itu hanya ada dua, Islam dan Kristen. Menginjak usia SMP,
Darwati sekolah di SMP Kristen. Dari pelajaran yang diterima di sekolah
tersebut keimanan Darwati sebagai seorang Kristen mulai tumbuh, hal itu
dikuatkan ketika Darwati masuk ke SMEA Kristen. Bagi orang tua
69
Darwati, yang penting anaknya menjalani agamanya dengan baik. Jadi
ketika Darwati memperkenalkan Tri yang seorang Muslim, tidak ada
masalah, yang penting mereka bisa saling memahami, saling terbuka dan
hidup berdampingan.
Begitu juga ketika Tri mengutarakan kehendaknya untuk menikah
kepada orang tuanya dan mengatakan bahwa calon istrinya adalah seorang
Kristen. Ayah Tri pernah menyarankan untuk mencari istri yang Islam,
namun Tri meyakinkan bahwa Darwati adalah jodoh yang diberikan Tuhan
untuknya. Karena Tri sudah merasa cocok dan mantap dengan pilihannya,
maka ayah Tri hanya menyarankan akad nikah dilakukan secara Islam. Tri
juga meyakinkan ayahnya bahwa akad nikah akan dilakukan secara Islam
karena Darwati bersedia mengikuti agama Tri.
Sebenarnya Tri juga berasal dari keluarga Katholik. Kakek dan
Nenek Tri adalah seorang Katholik, ayah dan saudara-saudaranya juga
terlahir dan dididik secara Katholik. Namun ketika bertemu dengan bu
Asih (ibu Tri) dan memutuskan menikah dengannya, ayah Tri pindah ke
agama Islam hingga saat ini.
Setelah perkawinannya Tri dan Darwati tinggal bersama orang tua
Darwati di Kemiri. Pasca kelahiran anaknya yang pertama (18 Agustus
1996), Tri dan Darwati kembali ke Tangerang untuk bekerja, sedangkan
anaknya tetap tiggal bersama orang tua Darwati.
70
Gambar 3.6 Kartu Keluarga Tri-Darwati
Kerusuhan pada tahun 1998 membuat keadaan perekonomian di
Tangerang tidak stabil, hal tersebut membuat Darwati memutuskan untuk
keluar dari pekerjaannya dan pulang ke Salatiga. Selang beberapa waktu
Tri juga diminta kembali ke Salatiga oleh keluarganya. Setelah
kepulangannya, Tri bekerja serabutan. Hingga suatu hari Tri ditawari
pekerjaan oleh salah satu pegawai UKSW sebagai penjaga caffe. Setelah
empat tahun lamanya, Tri dipindah ke Posnet yaitu warnet di wilayah
kampus UKSW.
Pada tahun 2001 Darwati ditawari bekerja sebagai cleaning service
di UKSW. Lama kelamaan karir Darwati semakin meningkat, dari
cleaning service menjadi pegawai kontrak. Pada tahun 2004 Daryati
diusulkan menjadi pegawai tetap, namun dengan syarat Darwati masuk
71
agama Kristen. Kebingungan dan kebimbangan melanda Darwati yang
hingga saat itu masih memeluk Islam. Darwati pun meminta pertimbangan
Tri sebagai suaminya. Setelah mempertimbangkan banyak hal, termasuk
demi masa depan anak-anak mereka, Tri merelakan istrinya untuk kembali
memeluk Kristen. Tri hanya berharap jika Darwati ingin kembali ke
Kristen Darwati mampu menjadi orang Kristen yang baik. Dan akhirnya
Darwati kembali memeluk Kristen demi pekerjaannya tersebut. Darwati
dibaptis kembali di GKJ depan UKSW.
Pada tahun itu juga (2004), Tri mendaftar menjadi satpam di
UKSW dan diterima. Pernah selama dua kali bekerja di lingkungan
UKSW, Tri ditawari untuk masuk Kristen agar mendapatkan pekerjaan di
sana. Namun Tri masih bisa mempertahankan keimanannya sehingga tidak
sampai meninggalkan agamanya.
Perkawinan Tri dan Darwati dikaruniai dua orang putra, anak I
bernama Danang Guswantoro (18 Agustus 1996) dan anak II bernama
Enggal Junian Bagas Catur (24 Juni 2000). Kedua anaknya lahir di
Kemiri. Setelah kontrakan di Kemiri habis, mereka pindah kontrakan ke
Soka hingga akhirnya pada 18 Oktober 2009 pindah ke rumahnya sendiri
yang baru selesai dibangun yang berada di wilayah Kelurahan Bugel.
Selama tinggal di Kemiri, penerimaan masyarakat cukup baik.
Karena mereka menikah di sana secara Islam sehingga dalam menjalankan
agama tidak ada masalah. Setelah pindah ke Soka, masyarakat yang
mayoritas beragama Kristen juga menerima mereka dengan baik. Pak Tri
72
cukup aktif mengikuti kegiatan keagamaan di wilayah Soka seperti
Yasinan. Bahkan pernah sekali rumah mereka mendapat jatah ditempati
untuk kegiatan Yasinan tersebut. Pada waktu itu Darwati masih seiman
dengan Tri sehingga tidak ada masalah.
Tri juga sudah mulai mengajari anak pertamanya yang masih
duduk di TK untuk pergi ke Masjid untuk sholat Jum‟at dan mengarahkan
anaknya pergi TPA. Namun sejak tahun 2004 yaitu setelah Darwati
kembali memeluk Kristen, anaknya mulai tertarik mengikuti agama
ibunya. Menurut pengakuan Darwati anaknya terlalu sulit belajar
membaca al qur‟an dan ingin pergi ke Gereja saja seperti ibunya.
Memang sejak anak-anaknya masih kecil, Tri dan Darwati
berusaha semaksimal mungkin untuk memperkenalkan anak-anak mereka
dengan Tuhan. Tri dan Darwati hanya mengarahkan anak-anaknya untuk
menemukan yang terbaik.
Walaupun Tri dan Darwati hidup dalam perbedaan agama namun
mereka menjalaninya dengan baik. Ketika Tri melaksanakan ibadah puasa,
Darwati tetap memenuhi kebutuhan suaminya di saat sahur maupun buka.
Meski agama mereka berbeda Darwati tetap harus bertanggung jawab
terhadap suaminya. Darwati berharap suaminya menjalankan agamanya
100%, menjadi penganut Islam yang taat. Untuk itulah Darwati sering
mengingatkan waktu sholat, sholat jum‟at maupun pada saat pengajian.
Begitu juga Tri yang setia mengantarkan istri dan anak-anak mereka ke
73
Gereja. Ketika kedua anak mereka dibaptis pun dengan suka rela Tri
mengantarkan mereka ke Gereja.
Terselip harapan di dalam hati kecil mereka suatu saat nanti
keluarga mereka berada dalam satu keimanan. Bagi Tri keinginan tersebut
sangat besar karena Tri adalah kepala keluarga yang harus bertanggung
jawab akan keluarganya dunia dan akhirat. Begitu juga Darwati yang
mengharapkan suaminya mengikuti keimanannya. Namun karena keadaan
yang tidak memungkinkan dan dari mereka tidak ingin memaksakan
kehendak maka mereka hidup dalam perbedaan yang ada. Agama
merupakan hak asasi manusia, selain itu jika tidak ada yang mengalah
tentu rumah tangga yang dibangun tidak akan mampu bertahan lama.
Dalam hidup berumah tangga dengan adanya perbedaan yang ada,
yang penting mereka saling menghormati, saling menghargai, saling
memahami dan jujur kepada pasangan masing-masing. Itulah kunci yang
selalu dipegang kuat oleh keluarga Darwati danTri.
74
BAB IV
PERKAWINAN LINTAS AGAMA TINJAUAN HUKUM ISLAM
A. Praktek Perkawinan Lintas Agama
Perkawinan lintas agama memang tidak mudah ketika masing-masing
pihak mempertahankan keyakinan mereka. Hal ini terbukti dari penelitian
yang peneliti lakukan di wilayah Kelurahan Bugel. Pasangan yang berbeda
keyakinan tidak bisa melangsungkan perkawinan mereka tanpa didahului
dengan menyamakan keyakinan mereka.
Ironis memang, ketika melihat seseorang yang ingin bersatu membina
bahtera rumah tangga tetapi terhalangi oleh tembok agama. Adanya aturan
dari masing-masing agama dan dikuatkan oleh aturan pemerintah yang
mengharuskan perkawinan dilakukan dalam keadaan satu keyakinan membuat
para pelaku perkawinan lintas agama harus “berpura-pura” demi menyatukan
cinta mereka.
Demi mendapatkan pengakuan dari pemerintah (memperoleh akta
perkawinan) salah satu pihak harus rela mengikuti agama pasangannya,
meskipun terasa berat, sehingga setelah perkawinan berlangsung mereka
memutuskan untuk kembali ke agamanya semula.
75
Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Lintas Agama
No Nama Pasangan Proses Perkawinan Tahun Keterangan
1 Untung-Mutiah Islam di KUA 1986 Untung
pindah Islam
2 Rusdi-Sugini Kristen di KCS 1983 Sugini pindah
Kristen
3 Kasbiyantoro-Siti
Suryati
Islam di KUA 1977 Kasbiyantoro
pindah Islam
4 Masal Guru S-
Supratini
Kristen di Gereja/KCS 1998 Supratini
pindah
Kristen
5 Tri Antara R-
Darwati
Islam di KUA 1996 Darwati
pindah Islam
Dari hasil penelitian, peneliti menemukan dua pola praktek perkawinan
lintas agama di Kelurahan Bugel. Pertama, mereka yang meresmikan
perkawinan mereka di Kantor Urusan Agama (KUA). Dengan begitu mereka
melakukan akad secara Islam sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam
agama Islam.
Pasangan Untung dan Mutiah melangsungkan akad perkawinannya di
KUA Kecamatan Pabelan. Hal ini disebabkan karena sebelum akad
dilangsungkan atau tepatnya sebelum mengenal Mutiah, Untung sudah
beragama Islam, sehingga akad perkawinan mereka dilakukan di KUA.
Untung berasal dari keluarga/ orang tua yang memeluk agama Kristen, dan
Untung kembali memeluk Kristen setelah berumah tangga cukup lama dengan
Mutiah.
76
Gambar 4.1 Akta Nikah Untung Subiyanto dan Mutiah
Gambar 4.2 KTP Untung dan Muntiah Sekarang
Hal yang sama juga terjadi pada pasangan Kasbiyantoro-Siti dan Tri-
Darwati. Perkawinan Kasbiyantoro dan Siti juga dilakukan di KUA
Kecamatan Pabelan. Dalam hal ini Kasbiyantoro yang merelakan diri untuk
pindah agama menjadi Islam demi kelancaran perkawinannya. Perpindahan
agama Kasbiyantoro ini memang menjadi syarat yang ditetapkan oleh kedua
orang tua Siti dan keluarganya yang harus ditepati oleh Kasbiyantoro. Jika
Kasbiyantoro tidak mau berpindah agama maka perkawinan tidak akan
mendapat restu orang tua Siti dan tidak akan dapat dilaksanakan perkawinan
tersebut. Selain itu aturan pemerintah yang ada juga tidak memungkinkan
untuk melakukan akad dengan mempertahankan agama masing-masing di
77
KUA. Karena KUA mutlak hanya akan menikahkan orang yang sama-sama
beragama Islam.
Gambar 4.3 Akta Perkawinan Kasbiyantoro dan Siti Suryati
Gambar 4.4 KTP Kasbiyantoro Sekarang
Kasus pasangan Tri dan Darwati tidak jauh berbeda dengan kasus
perkawinan Kasbiyantoro-Siti. Namun di sini yang berpindah agama adalah
Darwati, ia mau mengikuti agama calon suaminya. Karena memang
sebelumnya ayah Tri sudah bepesan, meskipun calon istri Tri adalah seorang
Kristen, sebisa mungkin akad harus dilakukan dengan cara Islam dan
dicatatkan di KUA. Karena keadaan yang mendesak akhirnya Darwati rela
pindah agama mengikuti agama suaminya. Darwati tidak mempertahankan
78
agamanya pada waktu akad nikah karena pada saat itu Darwati tidak tahu di
mana tempat yang bisa mengawinkan orang yang berbeda agama namun
bersikeras dengan agamanya masing-masing.
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa tidak ada kemungkinan
sedikitpun untuk dapat melakukan perkawinan dengan akad mempertahankan
agama masing-masing di KUA.
Gambar 4.5 Akta Perkawinan Tri Antara Ryadi dan Darwati
Gambar 4.6 KTP Darwati dan Tri Sekarang
Kedua, yaitu pola praktek perkawinan lintas agama yang dilaksanakan
di Kantor Catatan Sipil (KCS) atau yang dilaksanakan di Gereja namun tetap
79
dicatatkan di KCS. Praktek perkawinan ini dilakukan oleh pasangan Rusdi-
Sugini dan Masal-Supratini. Perkawinan Rusdi dan Sugini dilakukan di KCS
Kota Salatiga. Akad perkawinannya tersebut dihadiri oleh orang tua Rusdi,
orang tua Sugini, Kepala SMEA Kristen tempat Rusdi bekerja, majikan Sugini
dan juga seorang pendeta.
Sebelum akad dimulai Sugini diminta untuk mengakui agama Kristen,
walaupun Sugini tidak menjalankan agama tersebut. Setelah itu mereka
disumpah untuk sehidup hingga mati. Jadi tidak boleh ada kata perceraian di
antara mereka meski berada dalam masalah yang besar. Dengan adanya
pengakuan yang dilakukan oleh Sugini tersebut maka dalam akta perkawinan
mereka agama Sugini yang tercantum adalah Kristen.
Mereka memutuskan untuk menikah di KCS karena Rusdi tidak mau
menikah di KUA. Pertimbangan Rusdi tersebut diambil setelah berkonsultasi
pada Ketua Majelisnya. Karena pada saat itu Sugini sudah berbadan dua maka
perkawinan harus segera dilangsungkan, menurut Ketua Majelis perkawinan
dengan orang yang tidak seagama tidak dapat dilakukan di Gereja, maka
Ketua Majelis menyarankan perkawinan dilangsungkan di KCS. Perkawinan
mereka dihadiri oleh Kepala majelis, Kepala Sekolah SMEA Kristen tempat
dimana Rusdi bekerja, Pendeta dari Gereja Rusdi dan orang tua masing-
masing pihak.
80
Gambar 4.7 Akta Perkawinan Rusdi dan Sugini
Gambar 4.8 KTP Rusdi dan Sugini Sekarang1
Setelah perkawinannya tersebut Rusdi tetap menjalankan agama
Kristen dan Sugini tetap menjalankan agama Islam, namun sejak pindah ke
Kelurahan Bugel, dalam KK maupun KTP status agama Rusdi ditulis Islam.
Pada prakteknya Rusdi tetap seorang Kristen.
Begitu juga dengan Masal dan Supratini yang melangsungkan
perkawinan mereka di Gereja. Sebenarnya Supratini sudah sempat
menanyakan syarat-syarat perkawinan melalui KUA, Masal juga siap jika
1 Rusdi dan Sugini menikah di KCS secara Kristen, sejak pindah ke Kelurahan Bugel dalam KK
dan KTP agama Rusdi tertulis Islam walaupun pada kenyataannya ia menjalankan agama Kristen.
81
hendak melakukan akad perkawinan secara Islam. Namun dari pihak keluarga
Masal meminta agar akad perkawinan dilakukan di Gereja Batak yang ada di
Yogyakarta. Mengingat ibu Masal adalah Ketua Majelis dalam agama Kristen
dan salah satu kakaknya ada yang menjadi Pendeta maka demi menjaga nama
baik keluarga Masal, Supratini diminta untuk mengalah dan melakukan
perkawinan di Gereja secara Kristen.
Gambar 4.9 Akta Perkawinan Masal dan Supratini
Gambar 4.10 KTP Masal dan Supratini Sekarang
82
B. Faktor-Faktor Terjadinya Perkawinan Lintas Agama
Table 4.2 Latar Belakang Keluarga Subjek Penelitian
Subjek Pend.
Agama Pekerjaan
Ket. Subjek
Ayah Ibu Ayah Ibu
Untung
Mutiah
SD K K Buruh - K sejak kecil
SD I I Ternak - I sejak kecil
Rusdi
Sugini
SD I K Buruh Tukang Pijit K sejak kecil
BA I I Buruh - I sejak kecil
Kasbin
Siti S
ST I I Buruh Buruh Kt sejak SD
SD I I Buruh Buruh I sejak kecil
Masal
Suprat
S1 K K TNI PNS K sejak kecil
SMA I I TNI Karyawan I sejak kecil
Tri
Darwati
STM I I Karyawan - I sejak kecil
SMEA B B Tk. Kayu - K sejak SMP
Keterangan:
Pend. = Pendidikan Terakhir
K = Kristen
I = Islam
Kt = Katholik
B = Budha
Secara khusus memang tidak nampak faktor yang paling dominan yang
mempengaruhi perkawinan lintas agama. Faktor umum yang diungkapkan
semua pasangan pelaku perkawinan lintas agama adalah “jodoh” dan “cinta”.
Dari penelitian lapangan tersirat berbagai faktor yang menyebabkan seseorang
memutuskan untuk melakukan perkawinan lintas agama. Beberapa faktor
tersebut adalah:
1. Pandangan tertentu tentang agama dan keberagamaan
Pandangan keagamaan merupakan faktor pertama yang mendorong
perkawinan lintas agama. Ada dua macam pandangan keagamaan yang
83
dijadikan sebagai pembenar dan alasan seseorang melakukan perkawinan
lintas agama. Pertama, mereka yang berpandangan bahwa pada dasarnya,
semua agama adalah benar dan baik, tergantung dari yang menjalaninya.
Dengan demikian, melakukan perkawinan lintas agama bukan menjadi
soal, yang penting saling mencintai dan bisa saling memahami satu sama
lain. Seperti yang diungkapkan oleh Masal dan Rusdi, ia tidak mau
menjadikan perbedaan agama untuk memperuncing hubungan antar
sesama. Bagaimana caranya membuat perbedaan tersebut menjadi sesuatu
yang indah.
Kedua, pelaku perkawinan lintas agama berpendapat bahwa agama
yang dipeluknyalah agama yang benar. Sehingga dari mereka melakukan
perkawinan lintas agama mempunyai misi keagamaan. Seperti halnya
Kasbiyantoro yang memiliki keyakinan bahwa agama yang dipeluknya
adalah agama yang paling benar, sehingga ketika ia mengalah untuk
berpindah agama ketika melakukan akad nikah, baginya mengalah itu
tidak untuk selamanya. Dalam ajaran agamanya, kalau bisa setelah
melakukan perkawinan tersebut istri dan anak-anaknya bisa diajak masuk
agamanya. Namun Kasbiyantoro tidak berani mengajak istri dan anak-
anaknya untuk mengikuti agamanya, sehingga setelah sekian lama
menjalani perkawinannya, dalam suatu titik jenuh ia memutuskan untuk
kembali memeluk agamanya tanpa mengajak anak ataupun istrinya. Hal
ini disebabkan Kasbiyantoro tinggal di rumah istri dan lingkungan tempat
84
ia tinggal beragama mayoritas Islam, selain itu keluarga Siti termasuk
keluarga terpandang dalam masyarakat.
2. Perempuan tidak memiliki kemandirian hidup
Kemajuan zaman memang berimbas pada semua aspek. Para
perempuan sudah banyak yang menjadi wanita karir, bahkan mereka
menjadi tulang punggung bagi keluarga. Keadaan ekonomi global
membuat persaingan semakin ketat dalam memperoleh pekerjaan. Untuk
mendapatkan sebuah pekerjaan para perempuan pun rela merantau ke
negeri orang.
Kehidupan di perantauan tanpa adanya sanak saudara membuat
seorang perempuan merasakan kesepian. Hal tersebut menimbulkan
pengharapan adanya seorang pendamping yang mampu menjadi tempat
berbagi dalam senang maupun susah. Fenomena ini nampak pada Darwati
yang bekerja di Tangerang. Tri adalah orang pertama yang dekat dengan
Darwati selama di perantauan yang akhirnya menjadi suaminya sekarang.
Sugini juga termasuk dalam kategori ini, keputusasaannya setelah gagal
dijodohkan oleh orang tuanya membuat Sugini pergi merantau ke Salatiga
untuk bekerja. Dari sini lah Sugini bertemu dengan Rusdi yang
menurutnya pantas dijadikan sosok yang mampu melindunginya.
3. Tradisi perkawinan lintas agama
Faktor lain yang mendukung terjadinya praktek perkawinan lintas
agama adalah tradisi perkawinan lintas agama dalam keluarga. Dengan
adanya praktek perkawinan lintas agama yang sudah menjadi tradisi maka
85
bagi mereka perkawinan lintas agama dianggap tidak ada masalah yang
serius. Seperti halnya yang terjadi pada Rusdi, kedua orang tuanya
termasuk pelaku perkawinan lintas agama, sejak kecil ia mendapatkan
pelajaran bahwa perkawinan lintas agama boleh dan bisa dilakukan. Untuk
itulah ketika Rusdi hendak mengawini Sugini yang seorang Muslim, tidak
ada tentangan dari pihak keluarga. Perkawinan lintas agama juga menurun
kepada anak kedua Rusdi, yaitu Agustin Rusgiyani. Di masa kecilnya
Agustin Rusgiyani mengikuti agama ibunya yaitu Islam, karena calon
suami Agustin adalah seorang Kristen maka Agustin memutuskan untuk
memeluk agama Kristen.
Sebenarnya tradisi seperti ini juga terjadi dalam keluarga
Kasbiyantoro dan Tri. Perbedaannya adalah dari keluarga mereka
perbedaan agama hanya sampai pada saat sebelum perkawinan. Setelah
perkawinan berlangsung, pasangan mereka memutuskan untuk mengikuti
agamanya ataupun sebaliknya.
Dalam keluarga Kasbiyantoro yang melakukan perkawinan lintas
agama adalah kakak dan dua adiknya. Kakak Kasbin yang dahulu seorang
Katholik menikah dengan perempuan muslim sehingga akhirnya ia
mengikuti agama istrinya. Adik Kasbin yang pertama beragama Katholik
dan memiliki suami seorang Islam, namun akhirnya suaminya yang
mengikuti agamanya. Adik Kasbin kedua juga beragama Katholik
menikah wanita Islam dan ia memutuskan untuk mengikuti agama istrinya
yaitu Islam.
86
Sejarah perkawinan lintas agama keluarga Tri dimulai dari ayahnya
yang awalnya beragama Katholik kemudian bertemu ibunya Tri yang
beragama Islam. Meski berbeda usia dan keyakinan mereka memutuskan
untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan. Ayah Tri yang kemudian
mengalah mengikuti agama Islam hingga sekarang.
4. Kurangnya pengetahuan agama
Sebagian besar dari pasangan pelaku perkawinan lintas agama
tidak mengetahui adanya larangan melakukan perkawinan lintas agama.
Hal ini disebabkan sebagian besar dari mereka berpendidikan rendah,
selain itu dari pihak muslim kurang mendalami ilmu fikih munakahat.
Ironis ketika mendengar jawaban dari Mutiah, Siti, Sugini dan
Supratini bahwa mereka tidak pernah mendengar adanya aturan agama
Islam yang melarang praktek perkawinan lintas agama tersebut. Hal itu
disebabkan kerena orang tua mereka tidak mendidik mereka secara ketat,
atau bahkan orang tua mereka juga tidak memahami secara mendalam
aturan tersebut. Sehingga ketika anak-anak mereka hendak melakukan
perkawinan dengan orang yang berbeda agama, mereka memberi ijin
dengan syarat proses akad perkawinan dilakukan secara Islam. Sama
halnya denga Darwati yang tidak memahami betul aturan boleh atau
tidaknya melakukan perkawinan lintas gama. Bahkan Darwati sempat
merasa hanya dirinya yang melakukan perkawinan lintas agama. Sempat
terlintas pula rasa ingin tahunya tentang perkawian lintas agama yang
dilakukan dengan mempertahankan agama masing-masing pihak.
87
5. Kristenisasi pihak luar
Upaya kristenisasi juga mewarnai rumah tangga Tri dan Darwati.
Tri dan Darwati bekerja di UKSW yang notabene berada dalam wilayah
yayasan Kristen. Kasus ini dimulai ketika Tri memutuskan untuk meraup
rejeki di Salatiga setelah sekian lama bekerja di Tangerang. Selama
menetap di Salatiga, Tri tinggal bersama mertuanya di Kemiri Raya dan
bekerja serabutan. Suatu ketika Tri ditawari oleh tetangganya yang bekerja
di UKSW, untuk bekerja di UKSW sebagai penjaga café. Tanpa pikir
panjang Tri menerima tawaran tersebut.
Setelah kurang lebih empat tahun Tri bekerja sebagai penjaga café,
akhirnya Tri pndah kerja di Posnet, yaitu warnet di wilayah UKSW.
Selama bekerja di Posnet tersebut Tri ditawari oleh salah satu karyawati
UKSW yang juga tetangganya untuk mengajak istrinya bekerja di UKSW
sebagai cleaning service. Setelah mengkonfirmasi pada istrinya dan
istrinya setuju maka pada tahun 2001 Darwati mulai bekerja di UKSW.
Pada tahun itu juga ada lowongan sebagai satpam UKSW, menurut
informasi yang di dengar Tri salah satu syarat untuk mendaftar adalah
masuk agama Kristen dahulu, jika tidak mau maka tidak bisa ikut
mendaftar. Akhirnya Tri tidak jadi mendaftar sebagai satpam dan tetap
bekerja di Posnet.
Lama kelamaan karir Darwati, istri Tri meningkat, dari seorang
cleaning service naik menjadi pegawai kontrak dari pegawai kontrak
Darwati ditawari akan diangkat menjadi pegawai tetap di yayasan UKSW
88
asalkan mau masuk Kristen. Dari sini mulai muncul kegundahan dalam
hati Darwati, akankah ia harus pindah lagi ke Kristen atau tetap memeluk
agama suaminya yaitu Islam. Di sisi lain diangkat menjadi pegawai tetap
adalah masa depan yang menjanjikan bagi kehidupan anak-anak mereka.
cukup lama Darwati bergulat dengan suara hatinya, akhirnya Darwati
meminta saran dari Tri, suaminya. Tri sempat bingung, antara tanggung
jawabnya sebagai seorang Islam dengan tanggung jawabnya sebagai
kepala keluarga. Tri paham bahwa pegawai tetap adalah masa depan yang
menjanjikan bagi keluarganya. Akhirnya Tri memutuskan memberi ijin
Darwati untuk pidah Kristen lagi dengan alasan demi masa depan anak-
anak mereka.
Setelah Darwati mendapat persetujuan suaminya, ia menemui
pimpinan yayasan dan menyatakan kesediaannya. Setelah itu ia pergi ke
Gereja untuk mengikuti pendalaman agama Kristen selama tiga bulan
kemudian Darwati dibaptis di GKJ depan UKSW. Pada tahun 2004
Darwati resmi diangkat menjadi pegawai tetap di UKSW.
Di tahun 2004 ini juga ada lowongan sebagai satpam UKSW, oleh
Kepala Bagian juga menerapkan bahwa yang boleh mendaftar harus
beragama Kristen atau mau memasuki agama Kristen. Tri sempat kecewa,
karena ia masih ingin mempertahankan agamanya. Kemudian ia mendapat
info dari seniornya dan diberi saran jika mau mendaftar satpam dan
diharuskan masuk Kristen, Tri disuruh menjawab “ya Pak, saya akan
coba”. Karena jika tidak dengan cara tersebut sulit untuk mendapatkan
89
pekerjaan di UKSW. Setelah mendaftar dan diterima sebagai satpam, Tri
tetap mempertahankan agamanya, ketika ditanya oleh Kepala Bagiannya
Tri hanya menjawab “saya sudah mencoba Pak, tetapi tetap tidak bisa.”
Ternyata tidak ada tindakan atau sanksi apapun dari Kepala Bagian
tersebut, sehingga Tri masih memeluk Islam hingga saat ini.
Pihak luar tersebut membidik tepat sasaran pada titik
kelemahannya yaitu ekonomi. Jika tidak didasari iman yang kuat,
seseorang akan mudah menukar agamanya dengan alasan kebutuhan
ekonomi.
Di masa kecil Darwati pun demikian. Darwati berasal dari keluarga
Budha, namun karena orang tuanya tidak menanamkan agama Budha
secara ketat dan ia sekolah di sekolah Kristen dan mengikuti pelajaran
agama Kristen, maka hal tersebut mampu menyeret Darwati ke dalam
agama Kristen itu sendiri.
C. Konflik dan Akomodasi Nilai Keluarga Pelaku Perkawinan Lintas
Agama
Keluarga pelaku perkawinan lintas agama pada umumnya
membebaskan anak-anak mereka untuk memilih agama yang diminatinya.
Agama ayah atau agama ibu tidak ada masalah yang penting mereka mau
menjalaninya dengan baik dan sungguh-sungguh. Adanya kebebasan tersebut
diharapkan suatu saat nanti anak-anak mereka mengetahui apa yang terbaik
bagi mereka sehingga dapat memutuskan dan memilih agama yang tepat
dengan hati nuraninya.
90
Peran ibu sebagai sosok yang mengatur dalam rumah tangga memang
sangat besar terhadap perkembangan anak-anak mereka. Hal ini disebabkan
karena intensitas pertemuan ibu dan anak lebih besar daripada dengan sang
ayah. Namun tetap saja sosok ayah yang merupakan penaggung jawab dalam
rumah tangga tidak bisa dipungkiri pengaruhnya.
Table 4.3 Anak-Anak Pasangan Perkawinan Lintas Agama yang Mengikuti
Agama Ibu
Nama Umur
(Th) Agama
Agama Ortu Orang Tua
Ayah Ibu Ayah Ibu
Denni 14 I K I Untung Tiah
Novia 10 I K I
Adi 27 I K I Rusdi Sugini
Widi 21 I K I
Hesti 32 I Kt I Kasbin Siti
Adi K 26 I Kt I
Dimas 12 I K I Masal Suprat
Aditya 5 I K I
Danang 14 K I K Tri Darwati
Enggal 10 K I K
Keterangan:
I = Islam
K = Kristen
Kt = Katholik
Table 4.4 Anak-Anak Pasangan Perkawinan Lintas Agama yang Mengikuti
Agama Ayah
Nama Umur
(Th) Agama
Agama Ortu Orang Tua
Ayah Ibu Ayah Ibu
Robi 24 K K I Untung Tiah
Cantik 21 K K I
Agustin 25 K K I Rusdi Sugini
91
Dalam menentukan agama anak, peran orang tua sangat penting untuk
mengarahkan. Meskipun demikian tetap ada kebebasan yang diberikan kepada
anak-anaknya untuk memilih agama yang sesuai dengan hati nurani mereka
karena tanpa bimbingan orang tua anak-anak akan mengalami kesulitan
Seperti yang tampak pada hasil penelitian ternyata arahan seorang ibu
lebih menentukan pilihan anaknya. Sugini, Mutiah, Siti, Supratini maupun
Darwati mengaku memberikan pelajaran keagamaan kepada anak-anak
mereka sejak kecil. Salah satu cara sederhana dengan mengajari anak-anak
mereka berdo‟a sebelum melakukan sesuatu, mengantarkan mereka pergi TPA
atau dengan mengajak mereka pergi ke Masjid untuk sholat berjama‟ah.
Supratini dan Sugini mulai mengajarkan anak-anak mereka untuk
sholat sejak anak mereka TK dan mulai membiasakan anaknya untuk berpuasa
sejak SD. Pernah juga anak-anak mereka diajak pergi ke gereja oleh ayah
mereka. Menurut pengakuan Supratini, sejak SD anak pertamanya sudah
merasa memiliki Islam, hal ini tampak pada penolakannya ketika diajak
ayahnya pergi ke gereja, bahkan ia sudah berpendapat tidak ingin menjadi
murtad, karena ia seorang muslim. Sedangkan anak-anak Sugini ketika diajak
ke gereja tidak ada penolakan.
Darwati juga sejak kecil sudah mengarahkan anaknya untuk mengenal
Tuhannya. Dimulai dari mengikutkan anak pertamanya TPA, Tri juga sering
mengajak anaknya pergi sholat jum‟ah namun setelah Darwati kembali
memeluk agama Kristen, anak mereka lebih tertarik untuk pergi ke gereja
92
bersama ibunya. Setelah anak kedua mereka mulai mengerti, anak kedua
mereka juga mengikuti kakaknya pergi ke Gereja bersama Ibunya.
Dua dari anak Sugini akhirnya memutuskan untuk mengakui Islam
sebagai agamanya. Sebenarnya anak kedua mereka pernah ikut TPA di masa
kecilnya, namun setelah dewasa dan atas peran ayahnya yang sering
mengajaknya ke gereja membuat anak kedua Sugini tersebut memutuskan
memeluk Kristen.
Sejak kecil anak-anak Rusdi-Sugini sudah diberikan pemahaman
bahwa agama ayah dan ibu mereka berbeda. Tidak ada paksaan mereka mau
mengikuti agama ibu atau agama ayah, yang penting dijalani dengan sungguh-
sungguh. Pernah suatu ketika anak mereka menanyakan kepada ayahnya
kenapa bisa terjadi perbedaan agama tersebut dan Rusdi menjawab karena ia
bekerja di yayasan Kristen. Dengan alasan tersebut anak-anak mereka sudah
bisa menerima keadaan keluarga mereka.
Tri-Darwati dan Masal-Supratini pun melakukan hal yang sama seperti
Rusdi-Sugini. Mereka sudah memberikan pengertian perbedaan agama antara
ayah dan ibu mereka sejak mereka kecil. Dengan demikian mereka berharap
anak-anak mereka dapat mempersiapkan diri untuk mempelajari agama yang
sekiranya sesua dengan dirinya. Anak pertama Masal-Supratini sudah kritis
sejak kecil. Di usianya SD ia sudah mengharapkan ayahnya untuk mengikuti
agama ibunya. Bahkan ketika diajak pergi ke Gereja oleh ayahnya, ia sudah
mampu menjawab bahwa ia adalah seorang Islam dan tidak ingin menjadi
orang yang murtad.
93
Berbeda dengan keluarga pasangan Kasbiyantoro-Siti dan Untung-
Mutiah, mereka tidak pernah memberikan pemahaman kepada anak-anaknya
bahwa agama orang tua mereka berbeda. Dengan harapan suatu saat nanti
anak-anak mereka akan mengerti dengan sendirinya. Pada keluarga ini,
pendidikan agama diserahkan sepenuhnya kepada sang ibu, dan sang ayah
hanya bersifat mendukung dan mengarahkan saja.
Praktek keberagamaan di dalam keluarga perkawinan lintas agama
sangat variatif, sebagai contoh. pasangan Rusdi-Sugini, sebelum perkawinan
dilangsungka Rusdi termasuk orang yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan
Gereja. Setelah kawin dengan Sugini dan bekerja di Gereja sebagai petugas
kebersihan, Rusdi tidak seaktif dulu lagi. Hal ini dikarenakan sekarang Rusdi
bekerja di Gereja sehingga setiap ada kegiatan di Gereja Rusdi merasa secara
tidak langsung ia sudah mengikuti kegiatan di Gereja. Sedangkan Sugini
termasuk seorang yang aktif mengikuti kegiatan-kegiatan pengajian, tidak ada
perubahan sebelum ataupun setelah melakukan perkawinan dengan Rusdi.
Hanya saja Sugini jarang mengikuti sholat berjama‟ah di Mushola, hal ini
disebabkan dari pagi hingga sore Sugini bekerja, sedangkan ketika menjelang
Maghrib/ Isya medan rumah Sugini yang tidak memungkinkan Sugini untuk
sering-sering pergi berjama‟ah di Mushola.
Seperti halnya dengan Untung, di masa kecilnya ia aktif mengikuti
kegiatan di Gereja, namun setelah melakukan perkawinan dengan Mutiah ia
tidak lagi pergi ke gereja. Di lingkungan Mutiah tinggal, ia termasuk orang
yang aktif mengikuti pengajian ibu-ibu yang dilaksanakan setiap malam
94
minggu. Untuk masalah sholat berjama‟ah di Mushola, Mutiah juga jarang
melakukannya.
Kasbiyantoro termasuk orang yang taat agama Katholik. Sejak ia
menyatakan untuk masuk agama Katholik dan dibabtis, Kasbiyantoro rajin
pergi ke gereja. Setelah perkawinannya dengan Siti ia sempat belajar agama
Islam, namun akhirnya hati Kasbiyantoro tetap mantap menjadi seorang
Katholik. Ia pergi ke Gereja di Kauman Kidul paling tidak satu bulan sekali
tanpa sepengetahan istri dan anak-anaknya. Siti juga termasuk orang yang
aktif mengikuti pengajian seperti Yasinan, Al Berjanji dan pengajian-
pengajian lain yang dilaksanakan di wilayah ia tinggal.
Pergi ke Gereja menjadi aktifitas yang jarang dilakukan Masal sejak
melakukan perkawinan dengan Supratini dan tinggal di rumah Supratini. Hal
ini disebabkan karena Masal kesulitan mencari gereja yang menggunakan
bahasa Indonesia di sekitar wilayah ia tinggal. Kebanyakan Gereja yang ada
adalah GKJ, jadi masal sulit untuk mengikutinya. Supratini juga termasuk
aktif pergi sholat berjama‟ah ke Masjid walaupun di waktu Maghrib/Isya saja.
Kegiatan Yasinan yang dilakukan di wilayah ia tinggal juga rutin diikuti
olehnya. Akhir-akhir ini Supratini juga pergi mengaji ke Kyai Semowo untuk
mendalami agama Islam.
Sejak kecil hingga sekarang berumah tangga, Tri aktif mengamalkan
ajaran Islam. Termasuk di dalamnya mengikuti kegiatan keagamaan seperti
pengajian. Namun sekarang setelah bekerja sebagai satpam di UKSW, Tri
lebih sering diberi tugas jaga malam, sehingga selama tinggal di wilayah
95
Kelurahan Bugel belum ada kesempatan mengikuti pengajian. Sejak diangkat
menjadi pegawai tetap di UKSW dan berpindah agama menjadi Kristen lagi,
Darwati aktif pergi ke Gereja setiap hari minggu.
Meski hidup dalam perbedaan agama, toleransi terhadap pasangan
masing-masing cukup besar. Mereka memberikan kesempatan dan kebebasan
kepada pasangan dan anak-anak mereka untuk beribadah sesuai kepercayaan
yang dianut. Tidak pernah di antara mereka ada yang melarang pasangan atau
anak-anaknya untuk beribadah. Bahkan setiap dari mereka saling
mengingatkan pasangan atau anak-anaknya untuk beribadah.
Rusdi, Kasbiyantoro, Masal atau pun Untung sering mengingatkan
istrinya untuk pergi sholat atau mengaji ketika sudah tiba waktunya. Merka
juga mendukung anaknya yang ingin pergi mengaji atau pergi sholat
berjama‟ah di Masjid. Bahkan sebagai ayah yang baik, mereka mengharuskan
anaknya untuk beribadah dengan tekun dan sungguh-sungguh meskipun
agama yang dianut anaknya tidak sama dengan agama yang dianutnya. Begitu
juga yang dilakukan Darwati terhadap suaminya. Darwati juga merasa
bertanggung jawab terhadap keberagamaan suaminya. Meskipun berbeda
agama Darwati mengharapkan suaminya bisa menjalani agamanya dengan
tekun dan menjadi orang yang taat.
Pada saat bulan Ramadhan misalnya, Darwati tetap menyiapkan
kebutuhan bagi suaminya untuk makan sahur atau buka. Masal juga sering
membantu menyiapkan kebutuhan buka untuk anak dan istrinya. Sedangkan
sikap toleransi Rusdi diwujudkan dengan tidak makan atau minum di rumah
96
ketika anak dan istrinya menjalankan ibadah puasa. Dalam keluarga Mutiah
anak-anaknya yang beragama non Islam pun ikut berpuasa menemani ibunya.
Tidak dipungkiri bahwa tetap ada keinginan terpendam bagi setiap
orang untuk memiliki pasangan hidup dan keluarga yang seiman dengannya.
Begitu juga yang diungkapkan oleh pasangan Rusdi-Sugini, Masal-Supratini,
Untung-Tiah, Tri-Darwati maupun Kasbiyantoro-Siti. Namun mereka tidak
ingin memaksakan kehendaknya, karena mereka menyadari betul agama
adalah hak bagi setiap orang. Mereka juga menyadari jika tidak ada yang
mengalah maka mereka tidak akan bisa hidup bersama.
Pemegang dominasi dalam keluarga lebih ke ayah, hal ini ditunjukkan
dalam memutuskan hal-hal yang penting, suami lebih berperan banyak.
Misalnya dalam memberikan nama anak-anak mereka lebih banyak dilakukan
oleh sang suami. Dalam menentukan pendidikan sang anak suami juga lebih
berperan walaupun tetap ada komunikasi dengan istri dan anak-anaknya. Ada
juga kebijakan kebijakan suami yang diterapkan tanpa harus didiskusikan
dengan keluarga yang lain. Walaupun demikian, dominasi dalam mengurus
rumah tangga tetap berada di tangan ibu. Hal ini tampak sekali pada proses
pendidikan dasar terhadap anak, baik berupa pendidikan budi pekerti ataupun
keagamaan. Dapat kita lihat dari hasil penelitan ini anak-anak lebih banyak
yang mengikuti agama ibunya daripada agama anaknya.
Dalam menjalani kehidupan, setiap manusia pasti tidak pernah luput
dari masalah. Dalam menghadapi masalah yang menimpa keluarga rumah
tangga lintas agama mereka mengaku tidak pernah mengungkit-ungkit
97
masalah agama. Yang menjadi pokok permasalahan biasanya adalah masalah
ekonomi, karena dari hasil penelitian ini penulis menemukan bahwa
perkawinan lintas agama yang dilakukan di kelurahan Bugel ternyata
dilakukan oleh orang dari kelas menengah ke bawah. Untuk mampu bertahan
hingga saat ini mereka mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan dalam
membina rumah tangga lintas agama adalah saling pengertian, saling
menghargai dan kejujuran.
Bagi Sugini, manusia tidak ada yang sempurna, pasti mempunyai
kekurangan. Menurutnya dalam membina rumah tangga masing-masing
pasangan harus bisa memahami dan menerima dengan ikhlas kekurangan yang
ada pada pasangannya. Hal itu juga yang disampaikan oleh Darwati, baginya
denga adanya saling menghormati dan jujur satu sama lain segala masalah
akan bisa dihadapi dengan baik.
D. Pandangan Tokoh Masyarakat/ Tokoh Agama Terhadap Praktek
Perkawinan Lintas Agama
Adanya praktek perkawinan lintas agama yang terjadi di kelurahan
Bugel tentu menimbulkan wacana baru bagi masyarakat dan para tokoh agama
yang tinggal di wilayah tersebut. Pembahasan perkawinan lintas agama
menimbulkan pro-kontra pada masyarakat.
Menurut para tokoh agama yang tinggal di wilayah kelurahan Bugel,
perkawinan lintas agama tidak boleh dilakukan, bahkan haram hukumnya.
Menurut M. Sungaidi (55), Rois Suriah NU Ranting Bugel sekaligus Ta‟mir
Masjid Baitul A‟la Bugel, mengatakan bahwa menurut agama Islam,
98
perkawinan lintas agama haram hukumnya. Hal ini didasari oleh ketentuan al
qur‟an surat al baqarah ayat 221, dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik….Begitu juga sebaliknya, wanita muslim juga
diharamkan menikah dengan laki-laki musyrik.
Dengan pengecualian diperbolehkan perkawinan antara laki-laki
muslim dengan perempuan ahli kitab. Yang dimaksud dengan ahli kitab
adalah orang yang murni atau keturunan asli (orang tua)nya masuk ke dalam
agama tersebut sebelum dinasakh (ubah) dengan kerasulan Nabi Muhammad
Saw.
Dengan adanya perkawinan lintas agama dikhawatirkan akan
membawa pasangannya melakukan kemusyrikan yang akan membawa
seorang muslim tersebut masuk neraka.
Menurut Sungaidi, perkawinan yang ideal dalam Islam tentu
perkawinan yang dilakukan antar pemeluk agama Islam. Seperti hadis
Rasulullah bahwa seorang perempuan dipilih karena 4 hal, rupa, harta, nasab
dan agama. Namun dari keempat hal tersebut yang paling utama adalah
agamanya.
Melihat kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, sebagai tokoh
agama M. Sungaidi merasa tidak punya kekuasaan untuk mengusik mereka
karena beliau menyadari bahwa agama adalah hak seseorang, selain itu ketika
pelaku perkawinan merasa bahagia, kita tidak punya hak untuk memisahkan
mereka. Hanya upaya pencegahan yang bisa dilakukan, dengan cara
99
menanamkan nilai-nilai keagamaan dan pemahaman kepada para pemuda
yang belum kawin.
Pendapat di atas juga dibenarkan oleh Nur Salim (43), beliau yang
seorang Wakil Tanfidziah NU dan sekaligus Ta‟mir masjid Ar Ridlo. Dia
menyatakan ketidaksetujuannya dengan adanya perkawinan lintas agama.
Perkawinan lintas agama mampu merusak tatanan dan keturunan pelakunya.
Bagaimana tidak, ketika anak mendapati orang tua yang berbeda agamanya
akan menimbulkan suatu kebingungan pada anak untuk memilih agama mana
yang hendak dipeluknya.
Selain itu hubungan suami istri antara seorang muslim dan seorang
yang non muslim dianggap zina, sedangkan zina termasuk salah satu dosa
besar. Dalam kitab Safinah dijelaskan bahwa sebagai seorang muslim tidak
diperbolehkan memberi makan/minum kepada anjing yang galak.
Sesungguhnya anjing yang seperti itu dianggap najis dan tidak perlu
dikasihani. Di dalam kitab tersebut, orang kafir diibaratkan lebih hina dari
anjing yang galak tersebut.
Meskipun dalam Al Qur‟an ada pengecualian untuk laki-laki muslim
menikahi perempuan ahli kitab, menurut Nur Salim zaman sekarang ini sudah
tidak ada yang disebut ahli kitab. Karena pedoman/kitab suci yang mereka
pegang saat sudah tidak murni lagi seperti saat diturunkan kepada nabi Isa,
dalam kitab tersebut sudah ada perubahan-perubahan yang dilakukan manusia.
Melihat kenyataan dalam masyarakat yang ternyata ada pelaku
perkawinan lintas agama, tidak banyak upaya yang bisa dilakukan untuk
100
mencegahnya. Karena hal tersebut sudah menjadi urusan rumah tangga
masing-masing dan menjadi pilihan hidup orang tersebut. Solusi yang
ditawarkan mungkin bisa dilakukan pendekatan kepada pasangan pelaku
perkawinan lintas agama tersebut, diberikan pemahaman secara pelan-pelan
tentang hakikat sebuah perkawinan. Dengan demikian diharapkan bisa
menggerakkan hati pasangan pelaku perkawinan lintas agama terutama yang
beragama Islam untuk kembali semangat mempertahankan agamanya dan bisa
mengajak pasangannya untuk masuk Islam. Sehingga dapat tercapai tujuan
perkawinan seperti yang diharapkan dalam Islam, yaitu sakinah, mawadah wa
rohmah. Jika hal seperti di atas tidak bisa dilakukan, dapat dilakukan upaya
pencegahan dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat terutama
para pemuda yang belum melakukan perkawinan. Upaya tersebut dilakukan
melalui forum-forum kecil dan fokus membahas hal tersebut.
Seirama dengan kedua pendapat di atas, M. Roji (47) juga menyatakan
bahwa perkawinan lintas agama tidak boleh dilakukan. Ketika seseorang yang
beragama Islam hendak mengawini orang yang beragama non Islam maka
sebelum akad terjadi harus ada pembicaraan serius diantara keduanya dan
keluarganya. Perlu diingat bahwa seorang laki-laki Muslim boleh menikahi
perempuan non Islam dengan syarat perempuan tersebut mau masuk Islam
terlebih dahulu, begitu juga sebaliknya. Jika tidak ada kesepakatan seorang
non Islam tersebut untuk masuk Islam, maka menurut Penasihat Al Hikmah
Salatiga ini, mau tidak mau perkawinan harus digagalkan. Sesuai syari‟at
101
Islam, perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan koridor agama Islam
disebut zina, dan hal tersebut merusak aqidah.
Perkawinan lintas agama dilarang dalam Islam karena Islam ingin
menjaga aqidah. Adanya perbedaan agama dalam satu rumah tangga
dikhawatirkan akan menimbulkan perang batin dalam keluarga. Bagaimana
tidak, sadar atau tanpa disadari akan terjadi saling mempengaruhi antara
keduanya, bahkan ketika sudah memiliki anak, akan menimbulkan
kebingungan pada sang anak dalam menentukan agama.
Pada hakikatnya, nikah dalam Islam merupakan ibadah, jadi tidak
hanya sekedar memburu nafsu belaka. Jadi ketika ada dua orang berbeda
agama hendak melakukan perkawinan dengan asumsi salah satu dari mereka
mengalah demi keabsahan akad perkawinan dan setelah itu mereka kembali ke
agamanya semula, perkawinan tersebut dianggap hanya sebagai pemburu
nafsu belaka. Dalam Islam, jika salah satu pasangan murtad maka hubungan
yang dilakukan termasuh zina, dan perkawinan yang telah dilakukan
sebelumnya menjadi batal. Ada tujuh golongan manusia yang akan
mendapatkan pertolongan dari Allah ketika di Padang Mahsyar, salah satunya
adalah orang yang berkumpul dengan seorang wanita karena ridlo Allah.
Berkumpul yang dimaksud adalah bertemu, menikah maupun berpisah hanya
karena Allah.
Melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat bahwa para pelaku
perkawinan lintas agama mengatasnamakan jodoh dan takdir sebagai alasan
mereka. Menurut Roji, yang dinamakan takdir dan jodoh adalah ketika kita
102
sudah berusaha semaksimal mungkin dan tidak dapat menemukan lagi /
mentok maka itulah yang disebut dengan takdir. Ketika kita masih mampu
untuk mengusahakan sesuatu, hal tersebut belum disebut sebagai takdir yang
ditetapkan Allah. Seperti firman Allah yang menyatakan bahwa Allah tidak
akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut mengubahnya sendiri.
Kebersamaan di dunia belum tentu disebut jodoh, karena menurut mantan
pengurus NU ini, jodoh adalah ketika di dunia bersama hingga akhir hayat dan
bertemu kembali saat di akhirat.
Selain berpengaruh terhadap kritisnya keimanan pelaku perkawinan
lintas agama, perkawinan lintas agama dilarang untuk menjaga aqidah
manusia. Kebebasan memilih agama bagi anak-anak hasil perkawinan lintas
agama merupakan pikiran orang yang tidak berilmu. Dalam fikih, orang tua
memiliki kewajiban untuk mendidik agama anak-anaknya baik secara
langsung ataupun tidak langsung. Jika berbicara Pancasila mungkin bebas
ketika ada fenomena perbedaan agama dalam sebuah keluarga, dan itu sah-sah
saja. Karena sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, selama agama
yang dianut masih mengesakan Tuhan tidak ada masalah. Akan tetapi ketika
yang dibicarakan adalah fikih maka orang tua wajib mendidik agama anaknya.
Sebagai tokoh agama, Roji mengaku tidak berani untuk
menyampaikan hal seperti di atas di muka umum. Karena masalah perbedaan
agama adalah masalah yang sensitive dan menyinggung SARA. Kita juga
tidak tahu apakah Allah akan menerima perkawinan yang seperti itu atau
103
tidak, yang jelas Allah sudah memberikan rambu-rambu melalui Al Qur‟an
dan Hadis.
Berbicara masalah hukum, menurutnya hukum Islam sudah jelas,
perkawinan lintas agama dilarang dalam Al Qur‟an. Satu-satunya jalan untuk
menindaklanjuti kasus-kasus seperti ini mungkin melalui PA yang memiliki
kewenangan. Bahkan seorang Kyai pun jika ia bukan Kyai yang keras tidak
akan berani menyampaikan masalah perbedaan agama tersebut di muka
umum, karena agama merupakan hal yang sangat sensitive.
Hukum merupakan kewenangan dari pemerintah. Aturan dalam
undang-undang maupun KHI cukup jelas bahwa perkawinan lintas agama
dilarang. Namun pada kenyataannya implementasi hukum tersebut dalam
masyarakat tidak ada. Sehingga hal ini membuat kasus seperti ini bahkan
kasus-kasus pidana yang terjadi di Indonesia tidak pernah selesai, dan hukum
masih nampak sangat lemah.
Solusi yang ditawarkan berupa tindakan pra nikah yaitu dengan
memberikan pengetahuan dan pemahaman kaidah-kaidah perkawinan melalui
pengajian/ majelis taklim dalam lingkup kecil.
Sebenarnya ada toleransi dalam ayat yang menjelaskan “…jangan
dinikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman…” Jika perempuan
tersebut mau masuk Islam maka silahkan dinikah namun jika tidak mau masuk
Islam lebih baik tidak usah. Kata „silahkan‟ merupakan kata yang tidak kuat,
jadi di dalam kata tersebut mengandung konsekuensi/tanggung jawabnya.
104
Jika pada awalnya perempuan musyrik, kemudian menjadi muslim
karena dinikahi maka ada tanggung jawab bagi laki-laki setelah perkawinan
tersebut terjadi. Tanggung jawab yang berupa upaya untuk mendidik istrinya
agar tetap berjalan dalam koridor Islam. Jadi ada tanggung jawab bagi seorang
laki-laki muslim yang menikahi perempuan musyrik untuk mempertahankan
perkawinannya agar tetap sah menurut Islam.
Demikian juga menurut M. Toha (62) yang aktif sebagai sie pelayanan
masyarakat di Muhammadyah cabang Salatiga, dia menyatakan bahwa
perkawinan lintas agama itu haram hukumnya dan bisa disebut dengan zina.
Menurutnya orang yang beragama selain Islam berarti kafir, sedangkan
perkawinan yang dilakukan dengan orang kafir tidak sah dan hubungannya
dianggap zina. Hal ini berdasarkan ayat dalam surat Al Baqarah:221 yang
menyatakan bahwa dilarang menikahi wanita musyrik sebelum mereka
beriman. Hal ini juga berlaku sebaliknya.
Menurutya aturan yang ada dalam Q.S Al Maidah:5 tersebut
menjelaskan bahwa ahli kitab yang dilaksud adalah ahli kitab zaman dahulu,
sebelum adanyan ajaran Nabi Muhammad SAW. Nasrani dan Yahudi saat ini
sudah dianggap musyrik, karena dalam agama Nasrani dianggap sudah
mentuhankan Isa.
Upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya perkawinan
lintas agama adalah dengan penanaman aqidah untuk anak-anak sejak kecil.
Jika sudah terjadi praktek perkawinan lintas agama tersebut maka perlu
dilakukan pembinaan oleh lingkungan terutama tokoh agama.
105
Perkawinan dua orang yang berbeda agama dengan cara pasangnnya
pidah agama Islam, secara hukum Negara memang sah. Namun secara Islam
hal tersebut tidak sah. Menurut pendapatnya, seseorang yang ingin menikah
dengan cara masuk Islam dahulu maka harus belajar menjalani agama Islam
selana 3 bulan atau lebih baru bisa melangsungkan perkawinan. Jadi
perkawinan tersebut dilakukan dengan kemauan orang tersebut untuk masuk
Islam secara serius bukan hanya sekedar mempercepat proses akad
perkawinan supaya dianggap sah oleh Negara. Jika dari awal perkawinan
mereka sudah didasari niat yang salah maka ke depannya tidak akan berjalan
dengan baik.
E. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Lintas Agama di
Kelurahan Bugel Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga
Pada dasarnya ada dua peraturan perundang-undangan yang digunakan
sebagai acuan dalam melangsungkan perkawinan, yaitu UU No.1/1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang berlaku khusus untuk
orang-orang Islam di Indonesia.
Di dalam KHI terdapat aturan yang tegas tentang larangan perkawinan
lintas agama, namun tidak menutup kemungkinan masih ada praktek
perkawinan lintas agama yang dilakukan. Lalu bagaimana hukumnya? Apakah
perkawinan mereka sah?
Perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel pada umumnya diawali
dengan adanya perbedaan agama sebelum perkawinan dilangsungkan. Dari
hasil penelitian peneliti, ada dua pola perkawinan yang terjadi di Kelurahan
106
Bugel, mereka yang melakukan perkawinan secara Islam di KUA dan mereka
yang melakukan perkawinan secara Kristen di KCS.
Pertama, perkawinan yang dilakukan secara Islam di KUA dilakukan
oleh pasangan:
1. Untung dan Muntiah, mendapatkan keabsahan perkawinan dengan cara
Untung pindah agama Islam.
2. Kasbiyantoro dan Siti Suryati, mendapatkan keabsahan perkawinan
dengan cara Kasbiyantoro pindah agama Islam
3. Tri Antara Riyadi dan Darwati, mendapatkan keabsahan perkawinan
dengan cara Darwati pindah agama Islam.
Secara agama Islam, akad perkawinan yang mereka lakuakan adalah
sah karena sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang ditentukan
dalam agama Islam terutama melakukan akad dengan sesama muslim.
Pada kenyataannya, setelah menjalani kehidupan berumah tangga
cukup lama, pasangan mereka memutuskan untuk kembali memeluk agama
mereka yang lama. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan tersendiri terkait
status perkawinan yang mereka jalani setelah salah satu pasangan mereka
murtad atau kembali ke agama semula. Berdasarkan aturan yang ada dalam
KHI dan hukum Islam, jika salah satu pasangan murtad, maka status
perkawinan mereka menjadi fasakh (batal) seketika itu juga.
Kedua, perkawinan yang dilakukan secara Kristen di KCS dilakukan
oleh pasangan:
107
1. Rusdi dan Sugini, mendapatkan keabsahan perkawinan dengan cara Sugini
pindah Kristen.
2. Masal Guru Singa dan Supratini, mendapatkan keabsahan perkawinan
dengan cara Supratini pindah Kristen.
Secara agama Kristen, perkawinan yang mereka lakukan adalah sah.
Secara Islam, seluruh Mazhab kecuali Maliki menyatakan bahwa perkawinan
yang diselenggarakan oleh orang-orang non muslim adalah sah seluruhnya,
sepanjang perkawinan itu dilaksanakan sesuai dengan ajaran yang mereka
yakini. Sedangkan menurut Maliki, perkawinan yang diselenggarakan oleh
orang-orang non muslim tidak sah, karena kalau perkawinan mereka itu
diterapkan bagi orang-orang muslim pasti tidak sah hukumnya (Mughniyah,
1994:44-45).
Karena dari awal sebelum perkawinan mereka memiliki agama yang
berbeda maka akhirnya setelah perkawinan berlangsung mereka kembali pada
agamanya semula yaitu Islam. Menurut Sabiq dalam Fikih Sunnah
(1981:192), menjelaskan bahwa perkawinan yang demikian, pertama, jika
yang masuk Islam perempuannya, perkawinan diputuskan dan ia wajib
beriddah. Jika kemudian suami menyusul masuk Islam, selama perempuan
dalam masa iddah maka suami masih bisa berkumpul dengan istrinya kembali.
Kedua, jika yang masuk Islam suami, maka setelah masa iddah istri habis
ataupun dalam waktu yang lama, mereka tetap berada dalam ikatan
perkawinan semula jika mereka tetap memilih melangsungkan ikatannya itu
dan istri belum kawin dengan orang lain.
108
KHI tidak menjelaskan secara rinci mengenai perkawinan yang
dilakukan secara non Islam yang kemudian salah satu pasangannya masuk
Islam. Sedangkan dalam UUP No. 1/1974 perkawinan yang dilakukan secara
non Islam dianggap sah selama sesuai peraturan agama tersebut, sesuai dengan
pasal 2 UU No. 1/1974, namun setelah perkawinan salah satu pindah agama
tidak ada aturan yang menerangkan hal tersebut.
Dengan demikian praktek perkawinan yang dilakukan oleh Rusdi-
Sugini dan Masal-Supratini, sah di mata hukum, namun menurut hukum Islam
perkawinannya dapat diputuskan. Karena dari perkawinan mereka yang
memutuskan untuk masuk Islam hanyalah si perempuan saja.
Banyak cara yang diupayakan untuk dapat menyatukan cinta yang
dilandasi perbedaan agama dalam suatu perkawinan yang sah menurut hukum
agama dan Negara. Perpindahan agama yang dilakukan oleh Sugini dan
Supratini hanya untuk mendapatkan keabsahan perkawinan mereka. Bahkan
sebelum adanya perkawinan sudah ada perjanjian di antara mereka, bahwa
Sugini dan Supratini boleh memeluk Islam lagi setelah perkawinan, asal pada
waktu akad mau mengalah dengan cara mengikuti agama Kristen.
Memang sudah ada semacam kepura-puraan yang disengaja oleh para
pelaku perkawinann lintas agama hanya untuk mendapatkan keabsahan
belaka. Dalam KHI praktek perkawinan lintas agama seperti di atas
merupakan praktek perkawinan yang salah dan perkawinan mereka menjadi
fasakh (batal) ketika salah satu dari mereka keluar dari Islam dan kembali ke
agamanya semula. Namun kenyataan dalam lapangan berkata lain, meskipun
109
salah satu pasangan mereka kembali pada agamanya yang semula, tidak
mendapatkan perhatian yang serius bagi mereka. Seolah-olah tidak ada beban
yang perlu dipertanggungjawabkan di muka agama. Hal ini didukung dalam
KHI pasal 116 yang secara tersirat menyatakan bahwa jika salah satu
pasangan kembali ke agamanya namun tidak menyebabkan
ketidakharmonisan, maka bukan menjadi alasan perceraian. Jadi dapat
dikatakan KHI melarang dengan tegas adanya praktek perkawinan lintas
agama namun secara tersirat mendukung terjadinya murtad selama hal tersebut
tidak menjadi pemicu ketidakharmonisan.
Mereka menjalani kehidupan perkawinan lintas agama dengan alasan
kebebasan individu dalam memeluk agama, maka tidak ada hak untuk
memaksakan agama kepada pasangannya. Selain itu tidak ada tindakan
apapun yang dapat dilakukan oleh masyarakat maupun penegak hukum.
Karena perkawinan merupakan masalah perdata dan penyelesaian jika terjadi
sengketa hanya dapat dilakukan jika ada pihak yang mengajukan masalah
tersebut ke pihak yang berwenang (Pengadilan Agama).
Hal ini menimbulkan suatu kekhawatiran baru, yakni aturan yang
melarang perkawinan lintas agama di Indonesia ini hanya akan membuka
dosa-dosa besar lain bagi para pemeluk agama Islam pada khususnya dan
agama lain pada umumnya. Bagaimana tidak, ketika tetap dipaksakan
perkawinan berada dalam satu agama maka suatu saat, mereka yang berlatar
belakang agama berbeda akan memaksakan diri untuk mendapatkan
pengesahan dari agama dengan cara berpura-pura mengikuti agama
110
pasangannya. Namun setelah pengesahan tersebut didapatkan maka mereka
akan kembali ke agamanya semula/murtad bahkan bagi kalangan tertentu
mereka akan berusaha mengajak keluarganya untuk memasuki agamanya
tersebut.
Melihat fenomena dalam masyarakat ini mungkin bisa menjadi wacana
dan pertimbangan bahwa perkawinan lintas agama perlu ditinjau kembali
status hukumnya. Jika memang perkawinan lintas agama hendak dilarang,
maka aturan-aturan tentang pelarangan tersebut harus jelas. Karena ketika
muncul aturan yang melarang namun di pasal yang lain secara tersirat
menunjukkan kebolehannya maka akan menimbulkan celah yang
menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan hukum yang mereka
anggap benar (lihat KHI pasal 40 poin c, 44, 75 dan 116).
Solusi lain yang mungkin bisa dikaji adalah dengan mereka yang
berbeda agama bisa melakukan akad dengan memeluk agama mereka masing-
masing, tanpa ada kepura-puraan dari salah satu pihak untuk mengikuti pihak
lain, maka tidak akan pernah muncul kata kemurtadan sebagai hasil dari
perkawinan lintas agama.
Seperti halnya yang dijelaskan dalam ayat QS. Al Maidah:5, yaitu
…
111
... Dan dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-
orang merugi.
Dari ayat di atas nampak adanya kebolehan laki-laki muslim
mengawini perempuan ahli kitab yang jelas berbeda agama. Dalam ayat ini
perkawinan antar pemeluk agama dianggap sah menurut Islam. Melihat
praktek yang terjadi di Kelurahan Bugel maka dapat dikatakan bahwa
perkawinan antara Tri dan Darwati lah yang termasuk dalam kategori ini.
Namun sayangnya perkawinan Tri dan Darwati dilakukan secara Islam
dan setelah itu Darwati murtad, sehingga perkawinan mereka dianggap fasakh.
Meninjau dari kenyataan dalam lapangan, jalan keluar yang mungkin bisa
ditempuh untuk memperoleh keabsahan perkawinan mereka, perlu dilakukan
akad yang baru dengan menggunakan agama masing-masing, sehingga nanti
tidak ada kemurtadan pada salah satunya. Adanya akad kedua ini hanya
digunakan untuk mencari keabsahan di mata agama (terutama Islam dengan
dasar ayat di atas), karena keabsahan menurut Negara sudah dilakukan melalui
akad yang pertama.
Lalu bagaimanakah perkawinan yang dilakukan keempat pasangan
lainnya menurut Islam? Dalam masalah ini tidak ada teks Al Qur‟an maupun
Hadis yang membolehkan perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-
laki non muslim. Tetapi juga tidak ada larangan yang secara tegas
terhadapnya. Larangan wanita muslim menikahi laki-laki non muslim
112
dilakukan dengan alasan yang berkaitan dengan penjagaan iman. Dilihat
aspek psikologi wanita mudah terpengaruh daripada psikologi laki-laki, jadi
ketika dibolehkan seorang wanita muslim menikah dengan laki-laki non
muslim dikhawatirkan keimanan si wanita luntur dan berbalik mengikuti
keimanan suami.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat Kelurahan Bugel menunjukkan
bahwa kehidupan perkawinan lintas agama dapat berjalan dengan harmonis
dan saling menghargai satu sama lain. Tidak pernah ada larangan bagi
pasangan atau anak-anak mereka untuk beribadah sesuai agama yang diyakini.
Mereka juga tidak pernah memaksakan agama orang tua terhadap anak.
Bahkan kekhawatiran akan seorang perempuan yang mengikuti agama suami
tidak terbukti di sini.
Memang ada dua orang perempuan yang ketika melakukan akad
perkawinan mengikuti agama suami yaitu Kristen, hanya saja setelah itu
mereka tetap menjalankan agama Islam dengan baik dan tekun. Bahkan peran
mereka sangat besar dalam hal mendidik anak. Dapat dilihat bahwa sebagian
besar anak-anak dari perkawinan lintas agama yang terjadi di kelurahan Bugel
mengikuti agama Islam seperti agama ibunya. Ada 10 anak dari pasangan
pelaku perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel yang mengikuti agama
ibunya, 8 di antara mereka beragama Islam. Sedangkan jumlah anak yang
mengikuti agama ayahnya hanya ada 3 orang yang semuanya beragama
Kristen.2
2 Lihat table 4.3 dan 4.4 halaman 90
113
Untuk itu melihat kenyataan yang ada harus ada pemaknaan hukum
yang lebih sesuai dengan keadaan masyarakat saat ini. Karena kedudukannya
sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila
dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita muslim boleh menikah dengan laki-
laki non muslim, atau perkawinan lintas agama secara lebih luas amat
diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya (Madjid dkk,
2004:164).
114
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan
mengenai perkawinan lintas agama yang dilakukan oleh pelaku perkawinan
lintas agama di kelurahan Bugel Salatiga. Meliputi:
1. Ada dua pola proses perkawinan lintas agama yang terjadi di kelurahan
Bugel Salatiga. Pertama, perkawinan dilakukan secara Islam dan
dicatatkan di KUA. Kedua, perkawinan dilakukan secara Kristen di
Gereja/KCS.
2. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas
agama di Kelurahan Bugel Salatiga, yaitu pandangan tertentu tentang
agama dan keberagamaan, perempuan tidak memiliki kemandirian
hidup, tradisi perkawinan lintas agama, kurangnya pengetahuan agama
dan kristenisasi pihak luar.
3. Dalam rumah tangga keluarga pelaku perkawinan lintas agama, nilai-
nilai keagamaan sudah diterapkan sejak anak-anak mereka kecil
sehingga mereka mampu hidup harmonis dan penuh toleransi sesama
anggota keluarga. Tidak pernah ada paksaan terhadap anggota keluarga
dalam hal memilih agama yang tepat untuk diri mereka.
4. Sebagian besar tokoh agama di wilayah kelurahan Bugel menyatakan
bahwa perkawinan lintas agama haram hukumnya karena jelas
115
hukumnya dalam Q.S Al Baqarah:221 selain itu perkawinan lintas
agama bisa menjadikan erosi keimanan bagi pelakunya.
5. Ada empat pendapat menurut hukum Islam mengenai perkawinan lintas
agama, yaitu:
a. Pendapat yang menyatakan keharaman secara mutlak perkawinan
lintas agama. Baik laki-laki muslim yang mengawini perempuan
musyrik/ahli kitab maupun perempuan muslim yang mengawini laki-
laki non muslim. Mereka menggunakan dasar Q.S Al Baqarah:221.
Ditinjau dari hukum ini maka seluruh praktek perkawinan lintas
agama yang terjadi di Kelurahan Bugel adalah tidak sah.
b. Pendapat yang menyatakan bahwa ada pengecualian terhadap laki-
laki muslim boleh mengawini perempuan ahli kitab
(Yahudi&Nasrani) yang menjaga kehormatannya. Dari sini pasangan
Tri-Darwati sajalah yang dapat dianggap sah perkawinannya
menurut pendapat ini. Sedangkan keempat pasangan lainnya
perkawinannya dianggap tidak sah.
c. Pendapat yang menyatakan bahwa ketika akad dilakukan dengan
cara Islam namun di kemudian hari salah satu murtad maka
perkawinan dianggap fasakh atau batal seketika itu juga. Ini berarti
seluruh praktek perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel dapat
disebut fasakh.
d. Pendapat yang menyatakan bahwa ketika akad dilakukan secara non
Islam namun dikemudian hari suami masuk Islam maka perkawinan
116
tetap dianggap sah selama kedua pasangan tersebut menghendaki.
Namun jika yang masuk Islam adalah istri, maka perkawinan mereka
dapat diputuskan selama suami tidak segera mengikuti istri untuk
masuk Islam. Berdasar teori ini juga menganggap perkawinan Rusdi-
Sugini dan Masal-Supratini dapat diputuskan karena pihak istri
sajalah yang pindah masuk Islam.
Menurut UUP No. 1 Tahun 1974 tidak ada larangan yang tegas
mengenai perkawinan lintas agama, yang diatur dalam undang-undang
tersebut hanya mengenai perkawinan campuran. Larangan perkawinan
lintas agama tersirat dalam pasal 2 yang menyatakan bahwa perkawinan
adalah sah jika dilakukan menurut aturan agama dan kepercayaannya
masing-masing.
KHI secara tegas melarang adanya perkawinan lintas agama yang
tertuang dalam pasal 40 poin c yang menyatakan bahwa dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
yang tidak beragama Islam dan pasal 44, seorang wanita dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama
Islam.
B. Saran
Melihat dalam kenyataan bahwa perkawinan lintas agama semakin
marak dilakukan, maka pihak pemerintah perlu meninjau ulang kajian
hukum terhadap perkawinan lintas agama agar sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Terutama KHI yang melarang sekaligus membuka peluang
117
adanya perkawinan lintas agama malah menjadi pemicu terjadinya dosa-
dosa besar bagi umat Islam. Nampak ketika seseorang harus berpura-pura
menjadi Islam untuk mengesahkan perkawian mereka. Kemudian setelah
itu muncul kemurtadan-kemurtadan dalam agama Islam. Seperti yang telah
diketahui, murtad adalah salah satu dosa dan jelas dilarang dalam agama
Islam, namun KHI membuka peluang bahwa kemurtadan yang dilakuakn
tidak menjadi alasan untuk dapat bercerai/ putusnya sebuah perkawinan
selama kemurtadan tersebut tidak menimbulkan ketidakharmonisan.
Semoga kenyataan-kenyataan yang terjadi di lapangan dapat menjadi
pertimbangan bagi pemerintah dalam menetapkan dan menerapkan sebuah
hukum.
Bagi orang yang hendak membangun bahtera rumah tangga
diharapkan tidak terburu-buru dalam memilih pasangan hidup. Karena
tujuan perkawinan adalah membangun keluarga bahagia untuk selama-
lamanya. Selain itu diharapkan memulai perkawinan dengan niat mencari
ridlo Allah semata bukan karena hawa nafsu belaka.
Pendidikan dalam keluarga maupun lewat instansi pendidikan
adalah modal penting bagi anak untuk melanjutkan kehidupan di luar
rumah. Dengan pendidikan agama yang kuat maka diharapkan mampu
membekali anak dalam menghadapi masalah yang akan ditemuinya kelak.
Untuk itulah peran orang tua sangat penting dalam perkembangan
pendidikan anaknya terutama pendidikan agama.
118
Selain itu masyarakat tempat kita tinggal juga berpengaruh besar
terhadap perkembangan anak, untuk itu sebagai orang tua harus berhati-
hati dalam memilih lingkungan sebagai tempat tinggal dan tempat
pendidikan anak.
119
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang
Perkawinan No. 1/1974. Jakarta: PT Dian RAkyat
Bahreisj, Husein. 1992. Himpunan Fatwa. Surabaya: Al Ikhlas
Departemen Agama RI. 1995. Al-‘Aliyyi Al-Quran Dan Terjemahan.
Bandung: CV Penerbit Diponegoro
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. 1995. Pedoman
Penyuluhan Hukum: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam. Departemen Agama
Fauzi, Auwenda. 2004. Perkawinan Campuran Dalam Perspektif Hukum
Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’I Tentang
Perkawinan Campuran). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan
Syari‟ah STAIN Salatiga
Fuadi, Maftuhul. 2006. Nikah Beda Agama Perspektif Ulil Abshar Abdalla.
Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga
Katsir, Ismai Ibn. 2002. Tafsir Ibnu Katsir. Terjemahan oleh Dr. Abdullah bin
Muhammad dan Abdurrahman bin Ishhaq. Pustaka Imam Syafi‟I
Madjid, Nurcholish dkk. 2004. Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis. Jakarta: Paramadina
Moloeng, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda
120
Mughniyah, Muhammad Jawad. 1994. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta:Basrie
Press
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan UU No 1/1974 sampai KHI.
Jakarta: Kencana
Pamungkas, Muhammad Wahyuning. 2008. Pernikahan Beda Agama: Studi
terhadap Pasangan Suami Istri Beda Agama di Banjaran Salatiga.
Inferensi, 2(1):43
Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka
Shihab, Quraish. 2000. Tafsir Al Misbah. Ciputat: Lentera Hati
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Yogyakarta: UII
Press
Subekti dan Tjitrosidibio. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Jakarta: PT Pradnya Paramita
Suhadi. 2006. Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam.
Yogyakarta: LKiS
Syafi‟I, Nasrul Umam dan Ufi Ulfiah. 2004. Ada Apa Dengan Nikah Beda
Agama. Depok: Qultum Media
121
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Sri Nikmah
TTL : Kab. Semarang, 14 Oktober 1988
Riwayat Pendidikan : 1. TK Tunas Bhakti Bugel lulus tahun 1994
2. SD N Bugel 01 Salatiga lulus tahun 2000
3. SMP N 2 Salatiga lulus tahun 2003
4. SMA N 1 Salatiga lulus tahun 2006
Pengalaman Organisasi : 1. MENWA MAHADIPA Sat. 953
KALIMOSODO STAIN Salatiga
2. HMI Cabang Salatiga
3. Karang Taruna “Sandi Candra Taruna”
Kelurahan Bugel
Nama Suami : Faisal Asif
Nama Anak : Rajwa Nailal Amni
(Sri Nikmah)
122
123