i
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK METANOL DAUN
ZAITUN (Olea europaea L.) SEBAGAI ANTI-INFLAMASI
TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT PARU MENCIT GALUR
DDY YANG TELAH DIINDUKSI OVALBUMIN
SKRIPSI Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran (S. Ked)
Di susun Oleh :
Maudy Rahmi
NIM : 11151030000084
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1 . Skirpsi ini benar-benar hasil kaya sendiri dan belum pernah diajukan /
dipublikasi sebagai skripsi atau karya tulis iLniah di instansi / lembaga
rnanapr-)n.
2. Semua sumber bacaan yang saya gunakan dalam penyusunan skripsi
ilmiah ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di UIN
Syarif Hidayatullah .
3. Jika di kemudian hari terbukti bahiva karya ini bukan karya asli saya dan
menjiplak hasil karya, maka saya bersedia menerima sanksi yang hasil
yang berlaku di LltN SyariiHidavaF.rllah Jakarta
Ciputat, 15 Oktober 2018
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK METANOL DAUN ZAITUN (OICA
europaeo L.) SEBAGAI ANTI INFLAMASI TERIIADAP JUMLAH
LIMFOSIT PARU MENCIT GALUR DDY YANG TELAH DIINDUKSI
OVALBUMIN
Laporan PenelitianDiajukan Kepada Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran untuk
Memenuhi Persyarataa Memperoleh Gelar Sarjana (S. Ked)
Oleh' Maudy Rahmi
NIM: 11151030000084
PEMBIMBING I PEMBIN{BING II
dr. NuruI Hiedayati, Ph. DNrP. t9'.7 1 022820080 I 220 1 4
Nurlaelv Mida R.,M. Biomed, DMSNIP. 19671 1 192005012001
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF' HIDAYATULLAHJAKARTA
1440 rV2018 M ,
t
4!#
PENGESAIIAN PANITIA UJIAN
Laporan Penelitian berjudul PENGARUH PEMBERIAN EKSTRA'KMETANOL DAUN ZAITUN (Olea europaed L.) SEBAGAI ANTIINFLAMASI TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT PARU MENCIT GALURDDY YANG TELAH DIINDUKSI OVALBUMIN vang diajukan oleh Maudy
Rahmi (NIM: 11151030000084), telah diajukan dalam sidang di Fakultas
Kedoktelan pada 15 Oktober 2018. Laporan ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S. Ked) pada Program Studi
Kedokteran
Ciputat, I 5 Oktober 201 8
DEWAN PENGUJIKETUA SIDANG
PEMBIMBING I
Nurlaely Mida R.,M. Biotned, DMSNrP. 19671 I 192005012001
NIP. I 973040520 1 10 12002
PENGUJI II
,[,.J*,1or. dr.lr,tuu.'tar tkhsu,r. sp. piliaeRs. rms
NIP. 19540406198 I 1 1 1001
PIMPINAN FAKULTAS
DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI KEDOKERAN
dr. Achmad Zaki, Sp.OT, M.EpidNrP. 19780s07200s01 1005
dr. Nurul HiedavaYi-Ph. DNIP. 1 9710228200801 220 l4
dr. Nurul Hiedar/ati, Ph. DNIP. 197 10228200801 220 14
9\ di. trzK,hffi
\." . -i'232003 l2 1003
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Esa, karena atas segala
limpahan rahmat dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini yang berjudul “PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK
METANOL DAUN ZAITUN (Olea europaea L.) SEBAGAI ANTI
INFLAMASI TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT PARU MENCIT GALUR
DDY YANG TELAH DIINDUKSI OVALBUMIN”
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk menempuh
ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) Program Studi
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Secara umum skripsi ini berisi tentang latar belakang, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, prosedur penelitian serta hasil dan pembahasan dari pengujian
efek ekstrak metanol daun zaitun (Olea europaea L.) sebagai anti-inflamasi yang
dilihat dari jumlah limfosit di parenkim paru mencit galur DDY.
Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis mendapat bantuan, arahan dan
bimbingan dari banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis
ingin mengucapkan banyak rasa terimakasih kepada :
1. dr. Hari Hendarto Sp.PD-KEMD,Ph.D, FINASIM. selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid selaku Ketua Program Studi Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. dr. Nurul Hiedayati, PhD. dan Ibu Nurlaely Mida R M.Biomed, DMS
selaku dosen pembimbing I & II yang telah membantu dalam pengerjaan
skripsi, memberikan arahan, nasihat serta masukan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
4. dr. Devy Ariany, M. Biomed sebagi penguji sidang I dan Dr. dr. Mukhtar
Ikhsan, Sp.P(K)., FiRS, MARS. sebagai penguji sidang II atas waktu,
saran dan tambahan pada penelitian ini.
5. Dosen-dosen pengajar Program Studi Kedokteran dan FK UIN Jakarta
yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi saya.
6. Orang tua, ibu dan ayah saya yang selalu memberikan nasihat, dukungan
serta doa. Serta seluruh keluarga besar saya yang selalu memberikan
semangat dan dukungan kepada saya dalam menempuh pendidikan di FK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta rnendukung penulis dalam menyelesaikanskripsi ini.
1 . drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggung jawab (PJ) moduiriset Program Studi Kedokteran angkatan 2015, dr. Nurul Hiedayati, Ph.Dselaku PJ Laboratorium Farmakologi, Ibu Nurlaely Mida R M. Biomed,DMS selaku PJ Laboratorium MPR, Ibu Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomedselaku PJ Laboratoriun'r Histologi yang teiah merlberikan izin yang telah
memberikan izrn atas penggunaan laboratorium pada penelitian ini8. Teman-teman "Arnigdala" Program Studi Kedokteran angkatan 2015,
khusnya Haseena H, Shoffira F, Alfa K, Arrafie, dan M. Fahmi selakuteman seklompok riset saya yang telah membantu dan member dukunganbagi saya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Mbak Din selaku Laboran Histologi, Pak Rahmadi selaku LaboranFarmakologi, dan Mba A1.i seiaku Laboran Laboratorium MPR yang telahmembantu kami dalam penggunaan laboratorium.
10. Semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsungyang namanya tidak penulis sebutkan dalam pengerjaan skripsi ini
Harapan penulis semoga skripsi ini dapat dipergunakar, sebagai salah satuacuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Penulis menyadari bahr.va masihbanyak terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan skripsi ini. Olehkarena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan masukan dari para pembaca
derni kesempurnaan skripsi ini.
Demikian laporan penelitian ini saya tulis, Semoga hasil penelitian ini dapatbermanfaat bagi kita semua.
Cuputat, l5 Oktober 201 8
vii
ABSTRAK
Maudy Rahmi. Program Studi Kedokteran. Pengaruh Pemberian Ekstrak
Metanol Daun Zaitun (Olea europaea L.) Sebagai Anti Inflamasi Terhadap
Jumlah Limfosit Paru Mencit Galur DDY yang Telah Diinduksi Ovalbumin.
Latar Belakang. Zaitun (Olea europaea L.) adalah tanaman herbal yang
memiliki aktifitas anti-inflamasi. Komposisi utama zaitun yaitu fenol dan
oleuropein yang dapat menurunkan titer sitokin pada saluran napas. Sitokin dapat
menimbulkan manifesitasi asma berupa peningkatan sel inflamasi yang salah
satunya adalah limfosit.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian ekstrak
metanol daun zaitun (EMDZ) terhadap jumlah limfosit paru.
Matode. Mencit galur DDY dibagi menjadi enam grup (n=3), K1 (PBS), K2
(PBS+NaCMC), K3 (OVA), B (OVA+Budesonid), P1 (OVA+EMDZ
100mg/KgBB), P2 (OVA+EMDZ 200mg/KgBB), E1(EMDZ 100mg/KgBB), dan
E2 (EMDZ 200mg/KgBB). Mencit kelompok K3, B, P1, dan P2 disensitisasi
dengan 50 µg OVA dalam Aluminium hidroksida 10% ip. Pada hari ke-0 dan ke-
14. Pada hari ke 15-21, kelompok P1 dan P2 diberi EMDZ secara berurutan
sebanyak 100mg/KgBB dan 200mg/KgBB oral. Pada hari ke 19 dan 20,
kelompok K3, P1, P2, dan B diberi booster OVA 2% selama 10 menit. Hari ke 21,
kelompok tersebut (kecuali kelompok B) diberi stimulasi OVA 5% inhalasi
masing-masing selama 30 menit dan kelompok B diberikan budesonid sebanyak
0,5 mg. Pada hari ke-23, semua mencit dinekropsi untuk diambil paru dan dibuat
preparat dengan pewarnaan H&E dan diamati dibawah mikroskop Olympus.
Hasil. Perhitungan rerata jumlah limfosit paru kelompok K1, K2, K3, B, P1, P2,
E1, dan E2, secara berurutan, adalah 51, 54, 116, 54, 32, 35, 44 dan 48.
Kesimpulan. Jumlah rerata limfosit kelompok P1 berbeda signifikan dari
kelompok K3 (p<0.05) dan kelompok B (p<0.05).
Kata Kunci : Olea europaea L, EMDZ, anti-inflamasi, OVA, sel limfosit
parenkim paru
viii
ABSTRACT
Maudy Rahmi. Department of Medicine. Effects of Methanol Olive (Olea
europea L.) Leaf Extract (MOLE) as Anti-Inflammatory Agent to
Lymphocyte Count on Male DDY Strain Mice-induced Ovalbumin
Background. Olive is a herbal plant that is well-known for its capability as anti-
inflammatory agent. Primary compositions of olive are phenol and oleuropein
which are able to reduce cytokine, the substance that is causing asthma by
increasing inflammatory cells in airway. One of those cells is lymphocyte.
Objective. The objctive of this study is to analize the effect of MOLE to
lymphocyte in lung.
Method. Male DDY Strain Mice were divided into 6 groups (n=3), K1 (PBS), K2
(PBS+NaCMC), K3 (OVA), B (OVA+Budesonide), P1 (OVA+MOLE
100mg/kgBW), P2 (OVA+ MOLE 200mg/kgBW), E1 (MOLE 100mg/kgBW),
dan E2 (MOLE 200mg/kgBW). On 0d-14d, group K3, B, P1, and P2 were
sensitized by giving 50 µg OVA in Al(OH)3 10% interperitoneally. On day 15-21,
group P1 and P2 were given MOLE 100 mg/kgBW for P1 and 200mg/kgBW for
P2 orally. On 19d and 20d, group K3, B, P1 and P2 were given OVA booster
inhalation 2% for 10 minutes each. On 21d, those groups (exclude group B) were
given stimulation of inhaling OVA 5% for 30 minutes each and group B is
inhaling budesonide 0,5 mg. On 23d, all mice were dissected to take the lung
organ. Each lung tissue was stained with H&E and examined microscopically
with Olympus microscope.
Result. Means of lymphosyte counting of group K1, K2, K3, B, P1, P2, E1, and
E2 are, in order, 51, 54, 116, 54, 32, 35, 44 and 48.
Conclusion. MOLE 100mg/KgWB has significant difference compared with both
K3 (p<0,05) and group B (p<0,05).
Keyword : Olea europaea L, MOLE, Anti-Inflammation, OVA, lymphosyte of
lung parenchymal
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL……………………………………………………………………….. i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ v
ABSTRAK ........................................................................................................................ vii
ABSTRACT ..................................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. xii
DAFTAR GRAFIK .......................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................. xv
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 3
1.3. Hipotesis ............................................................................................................. 3
1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 3
1.4.1. Tujuan Umum ............................................................................................. 3
1.4.2. Tujuan Khusus ............................................................................................ 3
1.5. Manfaat ............................................................................................................... 3
1.5.1. Bagi Institusi ............................................................................................... 3
1.5.2. Bagi Masyarakat ......................................................................................... 4
1.5.3. Bagi Peneliti ................................................................................................ 4
BAB II ................................................................................................................................. 5
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 5
2.1. Zaitun (Olea Europein) ............................................................................................ 5
2.1.1. Karakteristik Umum .......................................................................................... 5
2.1.2. Zaitun di Indonesia............................................................................................ 7
2.1.3. Kandungan dan Efek Daun Zaitun sebagai Anti-Inflamasi .............................. 7
2.1.3. Zaitun dan Asma ............................................................................................... 9
2.2. Asma ...................................................................................................................... 10
x
2.2.1. Paru Mencit ..................................................................................................... 10
2.2.2. Paru Mencit pada Kondisi Asma .................................................................... 11
2.3. Sel Limfosit ............................................................................................................ 12
2.4.Ovalbumin (OVA) .................................................................................................. 14
2.4.1. Struktur ........................................................................................................... 14
2.4.2. Ovalbumin Terhadap Proses Inflamasi dan Asma .......................................... 15
2.5. Budesonid Inhalasi untuk Asma ............................................................................ 16
2.5.1. Struktur ........................................................................................................... 16
2.5.2. Farmakologi Klinis Budesonid ....................................................................... 17
2.5.3. Glukokortikoid Inhalasi .................................................................................. 18
2.6. Mencit GalurDDY ................................................................................................. 18
2.7. Pelarut Metanol ...................................................................................................... 19
2.8. Natrium Cabrboxymethyl Cellulose (NaCMC) ..................................................... 19
2.9. Alumunium Hidroksida ( ) sebagai Adjuvan ........................................... 19
2.10. Kerangka Teori .................................................................................................... 21
2.11. Kerangka Konsep ................................................................................................ 22
BAB III ............................................................................................................................. 23
METODE PENELITIAN .................................................................................................. 23
3.1. Desain Penelitian ................................................................................................... 23
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 23
3.3. Populasi dan Sampel ......................................................................................... 23
3.3.1. Populasi ..................................................................................................... 23
3.3.2. Sampel ....................................................................................................... 23
3.4. Variabel Penelitian ................................................................................................. 25
3.4.1 Variabel Bebas ................................................................................................. 25
3.4.2 Variabel Tergantung ........................................................................................ 25
3.5. Alat dan Bahan Penelitian ..................................................................................... 26
3.5.1. Alat ................................................................................................................. 26
3.5.2. Bahan .............................................................................................................. 26
3.6. Cara Kerja .............................................................................................................. 26
3.6.1. Penyiapan Ekstrak ........................................................................................... 26
3.6.2. Determinasi Daun Zaitun ................................................................................ 26
3.6.3. Pembuatan Ekstrak .......................................................................................... 27
xi
3.6.4. Pemeliharaan Mencit....................................................................................... 27
3.6.5. Sensitisasi Hewan Coba .................................................................................. 27
3.6.6. Pemberian Ekstrak Metanol Daun Zaitun (EMDZ) ........................................ 27
3.6.7. Booster dan Challenge Mencit ........................................................................ 28
3.6.8. Gambaran Umum sampel Penelitian ............................................................... 28
3.6.9. Pengambilan Jaringan Paru ............................................................................. 29
3.6.10. Pembuatan Preparat....................................................................................... 29
3.6.11. Pengambilan Gambar Preparat Histologi Paru dan Perhitungan Limfosit ... 29
3.7. Definisi Operasional .............................................................................................. 30
3.8 Analisis Statistik ..................................................................................................... 30
3.9. Alur Penelitian ....................................................................................................... 31
BAB IV ............................................................................................................................. 32
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................................... 32
4.1. Zaitun dalam Konteks Keislaman .......................................................................... 32
4.2. Limfosit pada Parenkim Paru Mencit .................................................................... 33
4.4. Keterbatasan Penelitian .......................................................................................... 40
BAB V .............................................................................................................................. 42
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................... 42
5.1. Kesimpulan ............................................................................................................ 42
5.2. Saran ...................................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 43
Lampiran 1 ........................................................................................................................ 49
Lampiran 2 ........................................................................................................................ 50
Lampiran 3 ........................................................................................................................ 51
Lampiran 4 ........................................................................................................................ 52
Lampiran 5 ........................................................................................................................ 56
Lampiran 6 ........................................................................................................................ 60
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Kelompok Perlakuan ................................................................................... 25
Tabel 6.1. Uji Normalitas .............................................................................................. 56
Tabel 6.2. Uji Kruskal Wallis ....................................................................................... 56
Tabel 6.3. Uji Mann-Whitney Kelompok K1 dengan K2 ......................................... 56
Tabel 6.4. Uji Mann-Whitney Kelompok P1 dengan P2 .......................................... 56
Tabel 6.5. Uji Mann-Whitney Kelompok E1 dengan E2 .......................................... 57
Tabel 6.6. Uji Mann-Whitney Kelompok K2 dengan E1 ......................................... 57
Tabel 6.7. Uji Mann-Whitney Kelompok K2 dengan E2 ......................................... 57
Tabel 6.8. Uji Mann-Whitney Kelompok K3 dengan P1 ......................................... 58
Tabel 6.8. Uji Mann-Whitney Kelompok K3 dengan P2 ......................................... 58
Tabel 6.9. Uji Mann-Whitney Kelompok K3 dengan B ........................................... 58
Tabel 6.10. Uji Mann-Whitney Kelompok P1 dengan B .......................................... 58
Tabel 6.11. Uji Mann-Whitney Kelompok P2 dengan B .......................................... 59
xiii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1. Grafik Rerata Limfosit Paru ........................................................................... 36
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.Olea Europaea ................................................................................................. 6
Gambar 2.2. Efek Anti-inflamasi Utama Komposisi Fenol Dalam Minyak Zaitun ........... 9
Gambar.2.3. Fotomikrograf parenkim dan bronkiolus respiratorius paru mencit ............. 11
Gambar 2.4. Fotomikrograf (×100) potongan histologis paru .......................................... 12
Gambar 2.5. Limfosit yang dikelilingi oleh eritrosit......................................................... 13
Gambar 2.6. Struktur Tersier Ovalbumin ......................................................................... 15
Gambar 2.7. Struktur Kinia Budesonid. ............................................................................ 17
Gambar 4.1. Gambaran Limfosit Paru Mencit Dengan Perbesaran 4x dan 40x ............... 34
Gambar 6.1. Daun Zaitun (Olea europaea L.) .................................................................. 52
Gambar 6.2. Pembuatan Ekstrak Metanol Daun Zaitun ................................................... 52
Gambar 6.3. Aklimatisasi Hewan Coba ............................................................................ 53
Gambar 6.4. Sensitisasi Hewan Coba ............................................................................... 53
Gambar 6.5. Penyondean Mencit ...................................................................................... 54
Gambar 6.6. Nebulisasi Hewan Coba ............................................................................... 54
Gambar 6.7. Nekropsi Hewan Coba ................................................................................. 54
Gambar 6.8. Buldesonid Pulmikort................................................................................... 55
xv
DAFTAR SINGKATAN
APC : Antigen Presenting Cell
B : Boron
BCR : B Cell Reseptor
COX-2 : Siklooksigenase-2
CYP19 : Sitokrom 19
DDY : Deutch democratic Yokohama
EMDZ : Ekstrak Metanol Daun Zaitun
H&E : Hematoksilin-Eosin
IL : Interleukin
IgA : Imunoglobulin A
IgE : Imunoglobulin E
K : Kalium
MHC : Major Histocompatibility Complex
MLI : Mean Linear Intercept
N : Natrium
NaCMC: Natrium Cabrboxymethyl Cellulose
NF-κB :Nuclear Factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells
NK cell : Natural Killer cell
NTB : Nusa Tenggara Barat
NTT : Nusa Tenggara Timur
OVA : Ovalbumin
PBS : Phosphate Buffered Saline
PGE3 : Prostaglandin E2
ROS : Reactive Oxygen Species
sPLA 2 : secretory Phospholipase A2
Th-1 : sel T-helper 1
TLR : T Cell Reseptor
TNF-α : Tumor Necrosis Factor-α
TLC : Total Lung Capacity
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tumbuhan herbal adalah tumbuhan atau tanaman obat yang dapat
dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional terhadap penyakit.1 Jamu, yang
merupakan obat tradisional Indonesia, telah menjadi budaya masyarakat Indonesia
sejak berabad silam sebagai bagian dari upaya menjaga kesehatan, menambah
kebugaran, dan merawat kecantikan.2
Salah satu tanaman herbal yang sedang dikembangkan saat ini di Indonesia
adalah Zaitun (Olea europaea L.). Tanaman zaitun umumnya tersebar di daerah
pesisir Mediterania Timur, terusan pesisir dari Eropa Tenggara, Iran Utara, Asia
Barat, dan Afrika Utara.3 Beberapa wilayah di Indonesia seperti Dieng, Malang,
Lembang dan Brastagi berpotensi untuk dijadikan tempat budidaya zaitun karena
wilayah tersebut memiliki kondisi yang sama atau mendekati wilayah
Mediterania.4
Indonesia merupakan salah satu negara dengan permintaan tinggi zaitun dan
minyak zaitun, namun budidaya zaitun di Indonesia masih sedikit dikarenakan
pembibitan yang masih dilakukan secara manual.5 Tanaman zaitun dan buahnya
sangat penting dalam konteks keagamaan. Zaitun disebutkan sebagai tanaman
dan buah yang diberkahi dalam Al-Quran surah An-Nur ayat 35.3
Banyak
penelitian mengenai penggunaan daun zaitun dalam kesehatan. Daun zaitun
sangat penting karena kandungan metabolit sekundernya seperti oleacein dan
oleuropein.6 Fenol zaitun memiliki kemampuan sebagai anti-inflamasi dan
menjadikannya sebagai pengobatan alternatif untuk mencegah dan/atau mengobati
penyakit inflamasi kronik. Mekanisme anti-inflamasi pada polifenol zaitun
meliputi inhibisi enzim dan sitokin pro-inflamasi seperti kemokin, Tumor
Necrosis Factor-α (TNF-α), interleukin (IL)-1β, IL-6, dan IL-8 dan monocyte
chemotatic protein-1 (MCP-1).7 Produksi IL-8 telah diteliti secara in-vitro
memicu produksi monosit, limfosit T dan neutrofil.8 Penelitian Parveen Yacoob et
2
al. (1998) menyebutkan bahwa diet minyak zaitun dapat mensupresi aktivitas sel
Natural Killer, yang merupakan salah satu jenis sel limfosit.9
Asma adalah penyakit yang paling sering disebabkan oleh infeksi virus
alergen (kutu debu, serbuk sari dan kecoa), asap rokok, olahraga dan stres.10
Di
Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,
prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur adalah 4,5 %. Dengan
prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%). Kejadian asma
terbanyak pada kelompok umur 25-34 tahun, dan mulai menurun pada kelompok
umur ≥45 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, perempuan cenderung lebih tinggi
dari pada laki-laki dan berdasarkan status pekerjaan, kejadian asma lebih banyak
pada petani, nelayan, dan buruh.11
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas
yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.12
Penyempitan saluran napas
yang terjadi pada asma terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang
banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di
bawah membran basal. Selain sel mast, sel lain yang juga dilepaskan mediator
adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, neutrofil, platelet,
limfosit dan monosit.13
Berdasarkan uraian di atas telah jelas bahwa zaitun memiliki efek yang baik
untuk kesehatan, namun hanya sedikit penelitian mengenai efek ekstrak daun
zaitun menggunakan pelarut metanol sebagai anti-inflamasi khususnya dalam
penurunan jumlah limfosit dan belum adanya penelitian mengenai kaitan jumlah
limfosit paru dengan zaitun yang tumbuh di Indonesia. Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk membuktikan efek ekstrak metanol daun zaitun terhadap mencit
galur DDY yang telah diinduksi ovalbumin dengan menghitung limfosit pada
sediaan histopatologis bronkoalveolar paru.
3
1.2.Rumusan Masalah
Apakah terdapat efek anti-inflamasi ekstrak metanol daun zaitun (Olea
europaea L.) terhadap jumlah limfosit di paru pada mencit galur DDY yang
diinduksi ovalbumin?
1.3.Hipotesis
Terdapat efek anti-inflamasi ekstrak metanol daun zaitun (Olea europaea L.)
dengan menurunkan jumlah limfosit di paru pada mencit galur DDY yang
diinduksi ovalbumin.
1.4.Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui anti-inflamasi ekstrak metanol daun zaitun (Olea
europaea L.) dengan menurunkan jumlah limfosit di paru pada mencit galur DDY
yang diinduksi ovalbumin.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui aktivitas anti inflamasi yang terdapat pada ekstrak
metanol daun zaitun dengan menghitung jumlah limfosit pada paru.
2. Untuk mengetahui perbedaan jumlah limfosit pada sediaan
histopatologis paru pada mencit yang diinduksi ovalbumin dan diberi
ekstrak daun zaitun dan pada mencit yang tidak diberi ekstrak daun
zaitun.
3. Untuk mengetahui perbedaan jumlah limfosit pada sediaan
histopatologis paru mencit yang diberikan PBS dan PBS dengan
penambahan NaCMC.
4. Untuk mengetahui perbedaan jumlah limfosit paru mencit pada
pemberian ekstrak metanol daun zaitun dengan dosis yang berbeda.
1.5. Manfaat
1.5.1. Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mewujudkan visi
Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa menjadikan program
4
Studi Kedokteran dan Program Studi Pendidikan Profesi Dokter yang otonom dan
unggul dalam riset integrasi kedokteran dan keislaman di Indonesia.
1.5.2. Bagi Masyarakat
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat terkait kandungan ekstrak
daun zaitun yang dapat digunakan sebagai obat anti-inflamasi yang berpotensi
sebagai anti asma setelah melalui penelitian lebih lanjut.
1.5.3. Bagi Peneliti
Memberikan pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian observasional
serta dapat mengamalkan pengetahuan yang sudah dipelajari di Program Studi
Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Zaitun (Olea Europein)
2.1.1. Karakteristik Umum
Salah satu tanaman herbal yang sedang dikembangkan sekarang adalah
zaitun (Olea europaea L.). Tanaman zaitun umumnya tersebar di daerah pesisir
Mediterania Timur, terusan pesisir dari Eropa Tenggara, Iran Utara pada ujung
selatan dari Laut Caspia. Asia Barat, dan Afrika Utara.3 Taksonomi zaitun dapat
diklasifikasikan sebagai berikut14
:
Kingdom : Plantae
Superdivision : Spermatofita
Division : Magnoliofita
Kelas : Magnoliopsida
Subklas : Asteridae
Famili : Oleaceae
Subfamili: Oleoideae
Genus : Olea
Spesies : Olea europaea
Zaitun adalah tanaman berukuran sedang dan berdaun warna hijau yang
tumbuh pada kondisi tanaman yang kering dan kasar dengan cuaca Mediterania.
Buahnya yang kecil banyak digemari karena rasa dan manfaat kesehatan yang
dimilikinya.15
Tanaman zaitun dapat tumbuh sampai 8-15 m. Zaitun tumbuh
sangat lambat dan memiliki umur yang panjang sampai lebih dari 1000 tahun.
Batang pohon zaitun pendek dan terdapat cabang-cabang dengan ranting yang
menghadap ke bawah. Daun zaitun berwarna hijau mengkilat, seperti kulit, dan
susunannya berseberangan. Daun zaitun tumbuh lebih dari 2-3 tahun sebelum
gugur. Bunga zaitun bertangkai dan tumbuh pada bagian aksial dari setiap daun.
Susunan bunga zaitun terdiri dari 15-30 bunga kecil, tidak mencolok, berbau, dan
6
berwarna putih kekuningan. Buah yang dimiliki zaitun adalah buah berbiji dengan
panjang 2-2,5 cm, berwarna hitam ketika matang.16
(b) (d)
(a) (c)
Gambar 2.1.Olea Europaea : (a) pohon, (b) daun, (c) bunga, (d) buah matang3
Zaitun tumbuh pada daerah yang memiliki iklim relatif dingin, bersalju
yang diikuti oleh iklim musim panas yang panas dan kering. Pohon zaitun tahan
terhadap angin yang dapat merusak tanaman jika dibandingkan dengan tanaman
lain. Curah hujan tahunan yang sesuai untuk zaitun antara 650 dan 900 mm3 yang
cocok untuk produksi pada tanah kering. Zaitun bisa ditumbuhkan pada tanah
yang kering, akan tetapi produksinya tidak terlalu baik. Maka dari itu, zaitun
membutuhkan tanah yang mengandung jumlah air dan udara yang cukup.
Pembudidayaan zaitun pada tanah yang basah dan diairi secara terus
menerusdapat merusak pohon. Level pH harus di atas 5,0 dan dianjurkan
mendekati 6,0. Nitrogen (N), kalium (K), dan boron (B) adalah nutrisi yang
penting untuk tanaman zaitun.17
7
2.1.2. Zaitun di Indonesia
Jika ditinjau dari posisi lintang dan kondisi temperatur, wilayah di
Indonesia yang memiliki kondisi yang tepat untuk budidaya zaitun adalah
Provinsi Nusa Tenggara barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Keadaan
lingkungan yang kering dan hangat, serta kemiripan posisi lintang dan
karakteristik temperatur menjadikan budidaya zaitun dimungkinkan untuk
dilakukan di Provinsi NTB dan NTT. Dari hasil data temperatur, curah hujan, dan
tekstur tanah didapati bahwa wilayah yang berpotensi untuk dilakukan budidaya
zaitun adalah bagian barat Pulau Flores di bagian tengah pulau, meskipun ada
sebagian kecil wilayah pesisir yang juga berpotensi. Sedangkan luas wilayah yang
berpotensi untuk dilakukan budidaya zaitun sekitar 92.121,68 ha.18
Namun,
budidaya tanaman zaitun di Indonesia masih sedikit karena pembibitan masih
dilakukan secara tradisional. Cara tradisional diketahui masih kurang efektif dan
membutuhkan waktu yang lama. Selain itu bibit tanaman zaitun sensitif terhadap
perubahan lingkungan sehingga harus berhati-hati dalam pembibitannya.
Pembibitan yang masih sulit tersebut membuat Indonesia masih harus mengimpor
bibit zaitun dari negara asalnya.4
2.1.3. Kandungan dan Efek Daun Zaitun sebagai Anti-Inflamasi
Pola makan orang Mediterania diketahui memiliki manfaat kesehatan yang
melimpah, hal ini dikarenakan penambahkan jumlah polifenol yang berasal dari
buah-buahan, sayur-sayuran, biji minyak, dan minyak zaitun. Minyak zaitun
virgin diproduksi dari buah zaitun yang kaya akan polifenol dan memiliki
kemampuan antioksidan. Akan tetapi, daun zaitun mangandung jumah polifenol
yang lebih besar dari minyak zaitunnya. Sebagai contoh, jumlah oleuropein
terdapat dalam minyak zaitun adalah 0,005%-0,12% sedangkan dalam daun zaitun
terdapat 1-14%.19
Mekanisme aksi polifenol sangat dikaitkan dengan aktifitas antioksidannya.
Polifenol diketahui dapat menurunkan kadar spesies oksigen reaktif (ROS) dalam
tubuh manusia. Lebih dari itu, kemampuan menjaga kesehatan yang dimiliki
8
polifenol yaitu sebagai anti-inflamasi, anti-alergi, anti-aterogenik, anti-trombotik,
anti-mutagenik.20
Komposisi fenol dalam daun zaitun sangat berlimpah dan beragam. Mereka
dikelompokkan sesuai sifat molekul utamanya seperti fenol sederhana dan asam,
lignin, sekoiridoid dan flavonoid, termasuk flavon (luteolin-7-glukosida, apigenin-
7-glukosida, diosmetin-7-glukosida, luteolin, dan diosmetin), flavonol, flavan-3-ol
(katekin), pengganti fenol (tirosol, hidroksitirosol, vanillin, asam venilat, dan
asam kafeat) dan oleuropein.21
Kandungan tersebut dikenal bermanfaat ketika
digunakan sebagai obat herbal tradisional. 3
Percobaan pada sel hewan model dan sel manusia menunjukkan polifenol
zaitun memiliki efek anti-inflamasi yaitu menginhibisi Nuclear Factor kappa-
light-chain-enhancer of activated B cells (NF-κB). Siklooksigenase-2 (COX-2)
merupakan produk turunan NF-κB. Pada tikus model, ekspresi prostaglandin E2
(PGE2), yang diatur COX-2, pada jaringan mammae menyebabkan peningkatkan
sitokrom aromatase (CYP19) dan biosintesis aromatase yang dikatalisis
estrogen.22
Ekspresi PGE2 mendorong sistem imun dari sel T-helper-1 (Th1) (meliputi
sel NK), Th2 dan Th17. Dengan menurunkan aktivasi COX-2, kesimbangan akan
berbalik ke Th1, yang dapat memperbaiki sistem imun.22
Kandungan
hidroksitirosol dalam ekstrak daun zaitun menghambat sintesis PGE2 dengan
memblok enzim yang menginduksi produksi COX-2. Hidroksitirosol dalam zaitun
juga berperan sebagai anti-inflamasi dengan menginhibisi ekspresi sitokin
proinflamasi (TNF-β) dan IL-1β.7
Pada penelitian Nahid Fakhraeiet. al. (2014) pemberian ekstrak daun zaitun
pada hewan coba yang memiliki radang usus menunjukkan bahwa terjadi
penurunan jumlah sitokin inflamasi, TNF-α dan IL-2. TNF-α dan sitokin lainnya
disekresikan oleh limfosit dan makrofag pada usus yang meradang dan bisa
menyebabkan fibrosis pada usus. Pada penelitian ini juga menyebutkan bahwa
esktrak daun zaitun dapat menurunkan kerusakan usus yang diperbaiki oleh efek
9
antioksidan dan anti-inflamasi yang dimiliki oleh polifenol zaitun, terutama
oleuropein dan hidroksitirosol.23
Bukti menunjukkan bahwa konsumsi secara teratur makanan yang kaya
akan kandungan fenol dapat menurunkan resiko berkembangnya penyakit kronis,
terutama karena kemampuannya memodulasi mekanisme inflamasi yang dapat
meningkatkan efek anti-inflamasi, terutama penyakit kardiovaskular, meliputi: (1)
aktifitas antioksidan; (2) modifikasi kaskade pensignalan dan transkripsi ekspresi
NF-κB (3) menurunkan adhesi sel imun (limfosit T dan monosit); (4)
memperbaiki fungsi endotel.24
Gambar 2.2. Efek Anti-inflamasi Utama Komposisi Fenol Dalam Minyak Zaitun24
2.1.3. Zaitun dan Asma
Berdasarkan hasil penelitian Sheemin, et al. (2016) diketahui bahwa
refleksologi kaki dan pijat kaki menggunakan minyak zaitun meningkatkan
kemampuan untuk mengontrol asma. Penggunakan intervensi ini didampingi
dengan pengobatan rutin yang menghasilkan hasil yang lebih baik dibandingkan
hanya dengan pengobatan asma rutin saja.25
10
2.2. Asma
2.2.1. Paru Mencit
Pada hewan pengerat, paru kanan dibagi menjadi empat lobus, sedangkan
paru kiri hanya memiliki satu lobus. Keempat lobus tersebut dinamakan bagian
kranial, media, caudal dan tambahan. Pada skema nomenklatur, lobus tambahan
dibagi lagi menjadi lobus tambahan intemediet dan lobus diafragmatik. Saluran
udara pada parenkim paru hewan pengerat hanya melalui bronkiolus, dikarenakan
kurangnya kartilago. Sedangkan pada manusia saluran udara dapat melalui
bronkus dan bronkiolus.26
Pengamatan mikroskopis potongan paru mencit
menunjukkan bahwa paru mencit dianggap memiliki struktur yang berbeda dari
paru manusia, tetapi secara morfologi memiliki sedikit kesamaan dengan paru
manusia dari segi bentuk dibandingkan spesies lainnya. Kapasitas total paru
(TLC) mencit adalah sekitar 1 ml sedangkan kapasitas total paru manusia adalah
6000 ml. Parenkim paru mencit menampung fraksi udara yang lebih kecil jika
dibandingkan tikus tetapi lebih besar jika dibandingkan paru manusia (mencit:
18%, tikus: 24%, manusia: 12%). Alveolus paru mencit lebih kecil (rata-ratagaris
tengah(MLI)nya 80 µm) dibandingkan dengan tikus (MLI=100 µm) dan manusia
(MLI=210 µm). Paru mencit memiliki turunan bronkiolus dan saluran udara yang
lebih sedikit (13-17 cabang) jika dibandingkan dengan manusia (17-21 cabang)
dengan bentuk percabangan monopodial yang berlawanan dengan dikotominya.27
Lihat gambar 2.3.
Secara histologis, alveolus paru mencit memiliki dinding yang tipis dengan
ruang polihedral dan dikelilingi oleh epitel selapis squamosa. Di antara alveolus,
terdapat sebuah lapisan penghubung. Septum alveolus bisa dibedakan menjadi dua
bagian yaitu bagian tebal dan tipis. Septum alveolus dibentuk oleh sel alveolar I,
yang juga dikenal pneumosit tipe I, dan sel alveolar tipe II, atau pneumosit tipe II.
Sel alveolar tipe I tipis, skuamosa, datar, dan terdapat pada permukaan alveolus,
sementara sel tipe II berbentuk kuboid, berselang-seling di antara sel tipe I.
makrofag alveolus juga terdapat pada dinding alveolus, yang juga bergerak ke
lumen.28
11
Gambar.2.3. Fotomikrograf parenkim dan bronkiolus respiratorius paru mencit;
Bronkiolus (B), Duktus Alveolus (DA), Sakus Alveolus (SA), Alveoulus
(A). (Pewarnaan H&E dengan perbesaran 5x.27
2.2.2. Paru Mencit pada Kondisi Asma
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai induksi asma pada
mencit. Secara umum, alur induksi berdasarkan pada sensitisasi sistemik melalui
injeksi alergen untuk menghasilkan respon imun yang diikuti oleh paparan alergen
lokal pada sistem respirasi. Selama sensitisasi terkadang alergen dimasukkan
bersamaan dengan adjuvan atau kandungan penguat imun nonspesifik untuk
memastikan respon imun yang kuat.29
Sensitisasi antigen dipertimbangkan
menjadi prasyarat untuk memulai kaskade inflamasi pada asma bronkial, paparan
alergen yang berulang dan berkelanjutan menyebabkan inflamasi mukosa dan
submukosa saluran napas, yang ditandai peningkatan sel Th2.30
Sebagian besar limfosit merekrut sel T helper CD4+ subtipe sel yang
dikaitkan dengan proses patologis dari alergen yang sesekali mengaktivasi dan
menstimulasi eosinofil. Pengamatan pada mencit model menunjukkan bahwa sel
memori bertanggung jawab terhadap terjadinya asma pada hewan yang
disensitisasi. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya infiltrasi limfosit T pada
parenkim paru.29
12
Gambar.2.4. Fotomikrograf (×100) potongan histologis paru dari (a) mencit kontrol
(parunormal) dan (b) mencit yang diinduksi asma oleh ovalbumin.29
Perekrutan dan pengaktifan eosinofil, sel mast makrofag pulmonar dan sel
epitel lainnya dari mukosa pernapasan bertanggung jawab terhadap kerusakan dan
perubahan bentuk jaringan. Sel mast dianggap menjadi sel efektor utama
penyebab patogenesis asma pada fase awal.31
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel mast juga berperan pada asma
kronik fase akhir. Sel mast memproduksi sitokin seperti IL-4 dan IL-3 yang dapat
mengaktivasi Th2 yaitu respon imun khas asma. Sel mast berperan dalam
perekrutan sel inflamasi, terutama limfosit Th2 dan eosinofil, melalui pengaktifan
PGE2 yaitu, mediator yang dikaitkan dengan asma pada hewan coba.32
2.3. Sel Limfosit
Limfosit adalah leukosit tanpa granula sitoplasma. Jumlah limfosit
mencapai 30% jumlah total leukosit dalam darah. Sebagian besar limfosit dalam
tubuh ditemukan di jaringan limfatik. Rentang hidupnya dapat mencapai beberapa
tahun. Limfosit mengandung nukleus berwarna gelap yang mengelilingi lapisan
tipis sitoplasma. Ukurannya bervariasi; ukuran terkecil 5 µm sampai 8 µm dan
terbesar 15 µm.33
Secara mikroskopik, pada sediaan hapusan darah tepi menggunakan
pewarnaan Wright, limfosit normal memiliki nukleus besar, berwarna gelap
dengan sedikit sitoplasma sampai tidak ada. Pada kondisi normal, nukleus yang
13
kasar dan tebal dari limfosit memiliki ukuran yang sama dengan sel darah merah
(berdiameter sekitar 7µm). Beberapa limfosit menunjukkan zona perinuklear yang
bersih (atau halo) di sekitar nukleus atau dapatberupa zona bening pada satu sisi
dari nukleus. Poliribosom adalah bagian penting pada limfosit dan bisa dilihat
dengan mikroskop elektron.34
Gambar. 2.5. Limfosit yang dikelilingi oleh eritrosit.35
Limfosit adalah sel darah putih yang memiliki penampilan uniform tetapi
memiliki fungsi yang beragam dan meliputi sel T, B, dan natural killer (NK). Sel
T dan B adalah efektor dari imunitas adaptif. Sel T, B, NK dan turunannya berasal
dari sel progenitor yang terdapat pada sumsum tulang. Sel progenitor yang
bermigrasi ke timus dan menerima sinyal melalui reseptor bertanggung jawab
terhadap pembelahan sel T. Pada manusia, pembelahan limfosit sangat bergantung
pada IL-7 untuk sel T danIL-15 untuk sel NK. Spesifitas dan keberagaman
limfosit diperoleh selama proses pembentukan reseptor sel T (TCR) atau reseptor
sel B (BCR) pada sistem sel imun adaptif.36
Hipotesis yang sudah ada sejak lama menyatakan bahwa sitokin Th2
berpengaruh pada patofiologi asma melalui sintesis IgE, maturasi dan aktivasi sel
mast dan basofil, dan melalui infirtrasi eosinofil yang dimediasi IL-5 yang
memulai kerusakan epitel dan hiperresponsif saluran napas. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terdapat sitokin Th1 pada sputum cairan bronkoalveolar dari
pasien asma selama eksaserbasi, dan sebagian penelitian menunjukkan bahwa Th2
yang mendominasi. Data dari penelitian menggunakan hewan coba menunjukkan
14
bahwa jalan napas yang hiperresponsif dapat dimulai oleh sel T melalui
mekanisme yang tidak bergantung pada IgE dan eosinofil.37
2.4.Ovalbumin (OVA)
2.4.1. Struktur
Ovalbumin adalah protein terbesar yang terdapat pada putih telur unggas
dan termasuk protein pertama yang berhasil diisolasi dalam bentuk murni.
Ketersediaannya dalam jumlah besar menjadikannya digunakan sebagai protein
standar di beberapa penelitian mengenai struktur, kegunaan protein, dan alergi
pada hewan coba. Hal yang menarik mengenai struktur dan fungsi OVA adalah
bahwa OVA termasuk dalam serpin superfamily. Serpin adalah kumpulan lebih
dari 300 protein homolog dengan fungsi beragam yang ditemukan di hewan,
tumbuhan, serangga dan virus, tetapi tidak pada prokariot.38
OVA adalah glikoprotein dengan massa molekul relatif 45.000 sma.
Berdasarkan urutan mRNA yang dilakukan McReynolds et al. (1978), putih telur
ayam betina terdiri dari 386 asam amino.39
Urutan DNA-nya meliputi 6 sistein
dengan ikatan tunggal disulfida antara Cys74 dan Cys121. Ujung amino dari
protein ini terasetilasi. OVA tidak memiliki sekuens utama N-terminal, walaupun
ovalbumin adalah protein yang tersekresi. Urutan asam amino hidrofobik antara
residu asam amino ke-21 dan -47 bisa berperan sebagai urutan sinyal dalam yang
berada di daerahtransmembran. Dua polimorfisme genetik dari OVA telah
dilaporkan yaitu perubahab Glu→Gln pada residu 290 dan Asn→Asp pada residu
312. Struktur kristal OVA telur ayam betina adalah struktur pertama dari serpin
yang tidah membelah dan loop pusat reaktif yang utuh ditemukan mengambil
bentuk dari tiga putaran yang tereskpos α-heliks yang menonjol keluar dari badan
utama molekul pada batang 2 peptida.38
15
Gambar.2.6. Struktur Tersier Ovalbumin38
2.4.2. Ovalbumin Terhadap Proses Inflamasi dan Asma
Protein telur ayam, seperti OVA, terkadang dapat menimbulkan gejala
hipersensitivitas pada orang yang memiliki alergi terhadap telur. OVA, 58%
terkandung dalam putih telur, menjadi penyebab utama pada 5 alergen besar yang
ada pada hewan coba asma. Epitop alergenik dari OVA ditentukan berdasarkan
struktur primer dan tergantung pada rantai panjang peptida. Diantara protein pada
putih telur, OVA 323-339 dan OVA 1-10, begitu juga OVA intak, dilaporkan
dapat mengontrol epitop sel yang disebut juga sebagai antibodi IgE. OVA 323-
339 mengaktifkan gen epitop sel T CD4+, pada mencit berada pada gen MHC
kelas I-A dan dianggap dapat mengaktifkan paling tidak satu epitop sel B. OVA
323-339 telah digunakan secara luas untuk mempelajari aktifasi MHC-peptida
kelas II dan sel T. Telah dilaporkan bahwa OVA peptida 323-339 bertanggung
jawab pada 25-35% respon sel T pada BALB/c.40
Asma dapat dikategorikan sebagai atopik (dibuktikan adanya sensitisasi
alergen, seringkali pada pasien dengan riwayat rinitis alergika, eksema) dan non-
atopik. Pada kedua tipe, episode bronkospasme dapat dipicu oleh berbagai
mekanisme, seperti infeksi saluran napas, pajanan lingkungan terhadap iritan,
udara dingin, stres, dan olahraga. Faktor etiologi utama asma adalah predisposisi
genetik terhadap hipersensitifitas tipe I (atopik), inflamasi akut dan kronik pada
jalan napas, dan hiperresponsif bonkus terhadap berbagai rangsang. Inflamasi
melibatkan berbagai tipe sel dan banyak mediator inflamasi. Bentuk atopi klasik
dari asma berhubungan dengan reaksi Th2 yang berlebihan terhadap antigen
lingkungan. Sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 berperan dalam sebagian besar
16
gambaran klinis asma, IL-4 menstimulasi produksi IgE, IL-5 mengaktifkan
eosinofil dan IL-13 merangsang produksi mukus dan juga mempromosikan
produksi IgE oleh sel B. IgE melapisi sel mast submukosa, yang pada pajanan
alergen melepaskan isi granul. Hal ini akan menginduksi dua gelombang reaksi
yaitu fase awal (cepat) dan fase lanjut. Reaksi fase awal didominasi oleh
bronkokosntriksi, peningkatan produksi mukus, dan berbagai derajat vasodilatasi.
Reaksi fase lanjut terdiri atas inflamasi disertai pengaktifan eosinofil, neutrofil
dan sel T.41
IgE pada plasma yang meningkat akan berikatan dengan sel mast dan sel
basofil. Pada pajanan berikutnya oleh alergen yang sama, alergen tersebut akan
dengan cepat ditangkap oleh IgE yang terdapat pada sel mast. Selanjutnya, alergen
akan merangsang sel mast untuk memproduksi histamin, leukotrien, dan
prostaglandin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos saluran pernapasan,
penigkatan produksi mukus, edema mukosa yang menyebabkan penyempitan
saluran pernapasan.42
Patofisiologi asma meliputi kerja dari mediator inflamasi/alergen yang
menyebabkan hidrolisis membran fosfolipid oleh fosfolipase A2 (PLA2). Sistein
leukotrien dianggap sebagai penginduksi poten bronkokonstriksi dan peubahan
bentuk saluran napas. Bronkokonstriksi yang diinduksi OVA pada tikus dikaitkan
dengan peningkatan aktivasi PLA2 sekretori (sPLA2) dan produksi sistein
leukotrien, bersamaan dengan penekanan PLA2 sistolik dan prostaglandin E2.
Proses ini tidak terjadi jika hewan coba ditangani terlebih dahulu secara sistemik
menggunakan inhibitor sPLA2 ekstraselular tidak permiabel yang juga menekan
reaksi alergi awal dari OVA.43
2.5. Budesonid Inhalasi untuk Asma
2.5.1. Struktur
Budesonid, komponen aktif Pulmicort Respules®, adalah kortikosteroid
buatan yang secara kimia sebagai (RS)-11β, 16 α, 17, 21-tetrahidroksipregna-1, 4-
diene-3, 20dione cyclic 16, 17-asetal dengan butyraldehide. Budesonid tersedia
17
sebagai campuran dari dua epimer (22R dan 22S). Struktur formula budesonid
adalah sebagai berikut:
Gambar.2.7. Struktur Kinia Budesonid.44
Budesonid adalah bubuk putih sampai putih pucat, tidak berbau dan tidak
berasa. Budesonid tidak larut dalam air dan heptana tetapi larut dalam etanol dan
kloroform. Pulmicort respules adalah suspensi steril untuk inhalasi menggunakan
alat nebulasi jet. Jumlah pemberian tergantung pada faktor pasien, alat nebulasi
yang digunakan dan keadaan kompresor.44
2.5.2. Farmakologi Klinis Budesonid
Budesonid adalah kortikosteroid anti-inflamasi memiliki aktivitas
glukokortikoid yang kuat dan mineralokortikoid yang lemah pada in vitro dan
hewan coba. Budesonid memiliki potensi afinitas 200 kali lebih tinggi untuk
glukokortikoid reseptor dan 1000 kali lebih tinggi untuk anti-inflamasi topikal
diandingkan kortisol. Untuk ukuran aktivitas sistemik budesonid 40 kali lebih
poten dibandingkan kortisol ketika diberikan secara subkutan dan 25 kali lebih
poten jika diberikan oral pada uji pada timus tikus.44
Inflamasi adalah kompenen utama dari patogenesis asma. Kortikosteroid
telah menunjukkan aktivitas inhibisi dengan jangkauan luas melawan tipe sel
multipel (sel mast, neurofil, makrofag, dan limfosit) dan mediator (histamin,
ekosanoid, leukotrien, dan sitokin) yang topikal dan terlibat dalam inflamasi alergi
dan non alergi. Kemampuan anti-inflamasi dari kortikosteroid berperan pada
pengobatan asma.45
Budesonid adalah suatu analog prednisolon sintetik poten yang memiliki
afinitas tinggi terhadap reseptor glukokortikoid, tetapi mengalami metabolisme
18
lintas-pertama yang cepat di hati (sebagian oleh CYP3A4) sehingga
bioavailabilitas oralnya rendah. Tersedia formulasi oral lepas-terkendali
budesonid (Entocort) yang membebaskan obat di ileum distal dan kolon. Tempat
penyerapan kapsul budesonid lepas-terkendali adalah sekitar 70%.45
2.5.3. Glukokortikoid Inhalasi
Glukokortikoid telah lama diketahui efektif dalam mengendalikan asma,
tetapi pengobatan dengan glukokortikoid sistemik ternyata disertai dengan efek-
efek samping yang sangat tidak diinginkan. Salah satu kemajuan besar dalam
terapi asma adalah pengembangan glukokortikoid yang dapat dihantarkan ke paru-
paru dengan cara inhalasi. Hal ini memungkinkan untuk menargetkan obat secara
langsung ke lokasi terjadinya radang. Dengan demikian, indeks terapeutik obat ini
dapat sangat ditingkatkan dengan banyak menghilangkan jumlah dan derajat efek
samping, tanpa mengorbankan efikasi klinisnya.46
2.6. Mencit GalurDDY
Mencit galur DDY dibesarkan dari turunan mencit galur ddY yang
dibiakkan di Jerman dan dibawa ke Jepang pada sebelum tahun 1920.47
Mencit
galur ddY dibesarkan dan dipertahankan sebagai koloni yang tertutup. Hanya
terdapat satu pusat pengembangbiakan galur ini di Jepang yang menunjukkan
reproduksi yang baik dan pertumbuhan superior. Mencit galur ddY berasal dari
koloni mencit pada Institut penyakit infeksi Universitas Tokyo. Nama galur ddY
diambil dari singkatan Deutschland, Denken, dan Yoken. Beberapa model
penyakit telah dikembangkan dari galur ddY, meliputi mencit HIGA (hewan coba
nefritis IgA) dan mencit obese/diabetes.48
Mencit galur ddY adalah hewan coba
yang tepat untuk menginduksi IgA nefropati spontan, dengan adanya
glomerulonefritis dan deposit IgA dalam mesangium yang bersamaan dengan
deposit IgG, IgM, dan C3.49
19
2.7. Pelarut Metanol
Metanol sering disebut metil alkohol, mempunyai rumus kimia CH3OH
dan merupakan pelarut yang tak berwarna. Menurut sejarahnya, metanol disebut
alkohol kayu.50
Berat molekul pelarut metanol termasuk rendah sehingga mampu
membuat ikatan hidrogen dan bisa bercampur dan larut dengan H2O sampai
dengan kelarutan yang tak terhingga.51
Metanol merupakan pelarut yang bersifat
universal sehingga dapat melarutkan analit yang bersifat polar dan nonpolar.
Metanol dapat menarik alkaloid, steroid, saponin, dan flavonoid dari tanaman.51
Metanol dapat mengekstrak senyawa fitokimia dalam jumlah yang lebih banyak.
Tingginya rendemen yang terdapat pada pelarut metanol menunjukkan pelarut
tersebut mampu mengekstrak lebih banyak komponen bioaktif yang memiliki sifat
kepolaran yang lebih tinggi.52
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Reveny
(2011) dengan mengekstrak daun sirih merah (Piper betle) hasil uji fitokimia
menunjukan ekstrak dengan menggunakan pelarut metanol positif terhadap
glikosida, steroid, flavonoid, tanin dan antrakinon.53
2.8. Natrium Cabrboxymethyl Cellulose (NaCMC)
Salah satu eksipien yang biasa digunakan sebagai bahan mentah untuk obat
atau produk farmasetik lain adalah NaCMC. NaCMC adalah derivat selulosa yang
sering digunakan pada industri makanan dan obat. NaCMC adalah bubuk
berwarna putih atau kekuningan, tidak berbau dan higroskopik. NaCMC mudah
larut dalam air panas atau dingin dan stabil pada pH 2 sampai 10.55
NaCMC
banyak digunakan sebagai emulsifying agent, gelling agent dan tablet binder.56
NaCMC adalah bahan non-toksik dan non-iritan yang digunakan luas pada
formulasi oral dan topikal yang berfungsi sebagai penstabil, peningkat viskositas
dan pengontrol. NaCMC yang didapatkan dari proses eterifikasi gula selulosa
digunakan sebagai polimer hidrofilik dengan komposisi yang berbeda yang
digunakan untuk memperpanjang umur buah dan menjaga kualitasnya.57
2.9. Alumunium Hidroksida ( ) sebagai Adjuvan
Kata adjuvan diambil dari bahasa latin ‘Adiuvare’; berarti membantu atau
memperbaiki, yang dikembalikan kepada bahan apapun yang meningkatkan
20
respon selular atau hormonal kepada antigen. Mereka dipisahkan menjadi
kelompok yang berbentuk molekul atau formulasi yang lebih kompleks dan telah
digunakan sejak awal abad 20 untuk meningkatkan imunogenitas.58
Adjuvan dapat
memperlambat proses penghancuran antigen dalam tubuh serta merangsang
pembentukan kekebalan, sehingga akan terjadi kontak lebih lama dengan
makrofag dan limfosit. Hal ini meningkatkan kualitas respon imun dari antibodi
yang dihasilkan.59
Adjuvan jenis (alum) berbentuk kristal amorf dengan permukaan
yang luas. Alum ini akan berikatan dengan antigen kemudian antigen akan
dilepaskan secara perlahan-lahan seiring dengan adanya perubahan pH. Adjuvan
ini dapat mengikat antigen melalui gaya elektrostatik. Alum merupakan jenis
adjuvan yang cepat dibersihkan setelah disuntikkan dan dapat meningkatkan titer
antibodi hingga 3-4 minggu setelah disuntikkan namun akan menurun setelahnya.
Dengan penyuntikan ulang (booster) dapat memperpanjang respon antibodi.60
Alum termasuk adjuvan tradisional yang berperan membentuk kantong atau depo
antigen sehingga antigen vaksin dikeluarkan secara perlahan-lahan untuk memicu
respon imun yang lebih lama.61
21
2.10. Kerangka Teori
Sensitisasi Ovalbumin
Produksi
histamin dan
leukotrien
Aktivasi sel mast
Merangsang
Produksi Mukus
Aktivasi
Eosinofil
IL-13 IL-5 IL-4
Aktivasi interleukin
Produksi IgE di
bronkoalveolar
Aktivasi Sel B
Inflamasi
saluran napas
dan paru
Aktivasi sel Th2 (Limfosit)
di bronkoalveolar
Pemberian
ekstrak zaitun
oral
Fenol dan
oleuropein
Masuk ke saluran
napas
Menuju bronkoalveolar
Supresi
Budesonide
Glukokortikoid
Penurunan NF-κB
Menurunkan
diferensiasi,
maturasi dan
proliferasi sel
inflamasi
22
2.11. Kerangka Konsep
Mencit DDY
Ovalbumin
Pemberian Ekstrak
Metanol Daun Zaitun
(Olea europaea L.)
Inflamasi
saluran napas
dan paru
Peningkatan sel
Limfosit
Supresi
Glukokortikoid
Budesonide
Supresi
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah desain eksperimental.
Penelitian ini menggunakan mencit galur DDY, yang akan melalui fase induksi,
sonde, dan sensitisasi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan melihat
gambaran histo-patologi dari paru mencit galur DDY pada semua perlakuan.
3.2.Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari hingga September 2018.
Penelitian ini sebagian besar dilakukan di Laboratorium FK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pembuatan ekstrak daun zaitun dilakukan oleh Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pemeliharaan dan beberapa perlakuan pada
mencit dilakukan di Laboratorium Animal House FK UIN Jakarta. Beberapa
perlakuan lainnya (nebulisasi mencit dan nekropsi jaringan dilakukan di
Laboratorium Farmakologi FK UIN Jakarta sedangkan pembuatan preparat
dilakukan di Laboratorium Sitologi, Depok. Dokumentasi preparat jaringan paru
dilakukan di Laboratorium Histologi dan Biologi FK UIN Jakarta.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit
putih galur DDY yang didatangkan dan telah diverifikasi sebelumnya oleh Institut
Pertanian Bogor (IPB)
3.3.2. Sampel
Pada penelitian ini digunakan rumus Mead untuk menghitung jumlah sampel.
Rumus Mead sering digunakan untuk memperkirakan ukuran sampel pada
penelitian menggunakan hewan coba.62
Rumus Mead sebagai berikut:
24
E = N-B-T
Dengan :
E = Derajat kebebasan komponen kesalahan, (10 –20)
N = Jumlah sampel dalam penelitian (dikurangi 1)
B= blocking component mengambarkan pengaruh lingkungan yang diperbolehkan
dalam penelitian (dikurangi 1)
T =Jumlah kelompok perlakuan ( dikurangi 1) 63
10 ≤ E ≤ 20
E = N – B – T E = N – B – T
10 ≥ (N – 1) – 0 – (8 – 1) 20 ≤ (N–1) – 0 – (8 – 1)
10 ≥ N – 1 – 7 20 ≤ N – 1 – 7
10 ≥ N – 8 20 ≤ N – 8
N ≥18 N ≤ 28
Berdasarkan rumus tersebut, total sampel mencit yang digunakan adalah
berjumlah 18-28 ekor. Pada penelitian ini keseluruhan sampel yang digunakan
adalah 48 ekor dengan jumlah sampel tiap kelompok berjumlah 6 ekor mencit.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya kematian sampel selama penelitian
berlangsung.
3.3.2.1 Kriteria Inklusi
1. Mencit putih jantan galurDDY
2. Berat badan 25-35 gram
3. Sehat terutama ditandai dengan bergerak lincah
3.3.2.2 Kriteria Eksklusi
1. Mencit sakit dan mati selama penelitian berlangsung
2. Mencit mengalami deformitas anatomi selama perlakuan
25
Tabel 3.1. Kelompok Perlakuan
3.4. Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian ekstrak metanol daun
zaitun (Olea europaea L.) per oral.
3.4.2 Variabel Tergantung
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah jumlah limfosit pada
jaringan paru mencit galurDDY.
Kelompok Perlakuan
K1
(PBS)
1. Phosphate Buffered Saline (PBS) (+Alum) i.p
2. PBS (-NaCMC) oral
3. Inhalasi PBS
K2
(PBS + NaCMC)
1. (PBS) (+Alum) i.p
2. PBS (+NaCMC) oral
3. Inhalasi PBS
K3
OVA+Alum (kontrol positif)
1. OVA(+Alum) 50 μg/ml i.p
2. PBS (+NaCMC) oral
3. Inhalasi ovalbumin 2% dan 5%
B
OVA + Budesonid
1. OVA(+Alum) 50 μg/ml i.p
2. PBS (+NaCMC) oral
3. Inhalasi Budesonid pulmikort 0,5 mg/50 ml
4. OVA 2% dan 5% inhalasi
E1
Dosis Ekstrak 1
1. EMDZ(100mg/kgBB) i.p
2. EMDZ(100mg/kgBB) (+NaCMC) oral
3. Inhalasi EMDZ (100mg/KgBB)
E2
Dosis Ekstrak 2
1. Ekstrak EMDZ(200mg/kgBB) i.p
2. Ekstrak EMDZ (200mg/kgBB) (+NaCMC) oral
3. Inhalasi EMDZ (200mg/KgBB)
P1
OVA+Dosis Zaitun 1
1. OVA(+Alum) 50 μg/ml i.p
2. EMDZ (100 mg/KgBB) oral
3. Inhalasi OVA 2% dan 5%
P2
OVA+Dosis Zaitun 2
1. OVA(+Alum) 50 μg/ml i.p
2. EMDZ (200 mg/KgBB) oral
3. Inhalasi OVA 2% dan 5%
26
3.5. Alat dan Bahan Penelitian
3.5.1. Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain: kandang tikus,
tempat makan dan minuman tikus, sekam, perlengkapan kebersihan kandang tikus
(spatula pembersih kandang, tissue, sabun cuci, spons, dan lain-lain), penanda
perlakuan tikus (label, spidol, ballpoint, gunting), neraca hewan, sonde, spuit 1 cc
dan 3 cc, gelas ukur, tabung reaksi untuk menampung darah tikus, kandang kaca
untuk nebulisasi, alat nebulisasi jet, perlengkapan nebulisasi (pipa dispossable,
selotip, sterofoam, dan lain-lain), alat bedah minor set, lampu penerang untuk
nekropsi, lemari pendingin dengan suhu -80ºC dan mikroskop Olympus untuk
pengamatan.
3.5.2. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak daun zaitun,
aluminium hidroksida (Sigma-Aldrich, batch#239186-35G), OVA (Sigma-
Aldrich, batch#A5503-10G), Pulmicort Budesonide (0,5 mg/2ml), aquades,
makanan mencit (pur 512), PBS (MP Biomedicals) tablet, eter untuk membius
mencit, formaldehid, dan Natrium Cabrboxymethyl Cellulose (NaCMC).
3.6. Cara Kerja
3.6.1. Penyiapan Ekstrak
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstrak daun zaitun.
Sebelum dilakukan ekstraksi, tumbuhan terlebih dahulu di determinasi untuk
mengidentifikasi ketepatan spesies. Determinasi dilakukan di LIPI Serpong pada
bulan Februari tahun 2018.
3.6.2. Determinasi Daun Zaitun
Determinasi daun zaitun dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menunjukkan bahwa
27
daun yang digunakan sebagai ekstrak pada penelitian ini adalah daun zaitun
dengan nama latin Olea europaea L. dari family Oleaceae (lampiran 1).
Daun zaitun yang digunakan adalah daun zatunsegaryang dibeli di Kebun
Al-Qur’an, Depok sebanyak 500 gram. Daun zaitun tersebut kemudian dikirim ke
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Serpong untuk dilakukan ekstraksi
menggunakan pelarut metanol. Hasil dari ekstraksi tersebut didapatkan serbuk
ekstrak zaitun sebanyak 16,3 gram dengan kadar rendemen ekstrak adalah 21,54%
(w/w) (lampiran 2).
3.6.3. Pembuatan Ekstrak
Pembuatan ekstrak daun zaitun menggunakan metode ekstraksi cara dingin
yaitu dengan metode maserasi. Serbuk simplisia yang diperoleh dari LIPI,
Serpong akan dimaserasi dengan pelarut metanol.
3.6.4. Pemeliharaan Mencit
Penelitian ini menggunakan mencit jantan galur DDY berjumlah 24 ekor
dengan berat 25-35 gram. Mencit diadaptasikan selama tujuh hari disertai
pemberian pakan dan minum standar.
3.6.5. Sensitisasi Hewan Coba
Setelah diadaptasikan, mencit memasuki fase sensitisasi. Sensitisasi
dilakukan pada kelompok K3, B, P1 dan P2 dengan cara injeksi secara i.p. 50 µg
OVAdalam alumunium hidroksida (alum) 10%. Kelompok E1 dinjeksi Ekstrak
Metanol Daun Zaitun (EMDZ) 100 mg/KgBB dan kelompok E2 diinjeksi
(EMDZ) 200 mg/KgBB secara i.p. Kelompok K1 dan K2 diinjeksi dengan
PBS+Al(OH)3 sebanyak 160µl. Sensitisasi dilakukan pada hari ke-0 dan hari ke-
14.
3.6.6. Pemberian Ekstrak Metanol Daun Zaitun (EMDZ)
Setelah mencit melewati fase sensitisasi, objek penelitian dilakukan
pemberian ekstrak daun zaitun selama tujuh hari dari hari ke-15 sampai hari ke-21
dengan dua macam dosis, 100mg/kgBB hari (untuk P1 dan E1) dan 200mg/kgBB
28
(untuk P2 dan E2) pemberian secara oral dengan menggunakan alat sonde. Pada
kelompok perlakuan K1 diberikan PBS secara oral sedangkan kelompok
perlakuan K2, K3, dan B diberikan PBS dengan NaCMC secara oral.
3.6.7. Booster dan Challenge Mencit
Mencit dilakukan booster dengan memberikan OVA 2% secara inhalasi
selama 10 menit terhadap kelompok K3, P1, P2, dan B pada hari ke 19 dan 20.
Setelah itu kelompok tersebut (kecuali kelompok B) dilakukan challenge dengan
inhalasi OVA 5% selama 30 menit pada hari ke-21. Kelompok perlakuan B
dilakukan challenge dengan inhalasi dengan budesonide 0,5mg/50 ml selama 30
menit setelah 4 jam dilakukan booster pada hari ke-21. Pada kelompok E1 dan E2
dilakukan booster dengan inhalasi EMDZ (+NaCMC) 100 mg/KgBB pada E1 dan
200mg/KgBB pada E2 selama 10 menit pada hari ke-19 dan 20. Pada hari ke-21,
kelompok E1 dilakukan challenge dengan EMDZ (+NaCMC) 100 mg/KgBB dan
E2 dengan dosis 200 mg/KgBB, masing-masing selama 30 menit.
3.6.8. Gambaran Umum sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan sampel hewan coba mencit galur DDY (Deutch
democratic Yokohama) berusia 8-9 minggu dengan berat badan 25-35 gram yang
didatangkan dan telah diverifikasi oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) (lampiran
2). Pada penelitian ini terdapat 8 kelompok perlakuan dengan jumlah sampel yang
dihitung menggunakan rumus Mead.
Pada akhir penelitian ini, didapatkan jumlah mencit yang berbeda pada
masing-masing kelompok. Jumlah sampel pada K1, K2, K3, B, P1, P2, E1, dan
E2 secara berurutan adalah 3, 5, 6, 5, 4, 4, 6 dan 5 ekor mencit. Hal ini disebabkan
banyaknya mencit yang mati saat perlakuan. Mencit yang mati umumnya karena
kesalahan melakukan teknik menyonde sehingga banyak mencit yang tersedak.
Pada penelitian ini hanya mengugunakan tiga sampel dari masing-masing
kelompok.
29
3.6.9. Pengambilan Jaringan Paru
Setelah dilakukan inhalasi pada semua kelompok, mencit dipuasakan
selama satu hari agar organ yang diambil bersih dari sisa makanan dan keesokan
harinya dilakukan nekropsi pada mencit. Sebelum melakukan nekropsi, alat-alat
sudah harus dipersiapkan seperti Minor set yang minimal terdiri dari pinset,
gunting jaringan dan pisau bedah dan gabus sebagai alas nekropsi.
Sebelum proses dilakukan, mencit dimasukkan kedalam toples yang telah
diberikan eter dan sudah dijenuhkan sampai mencit lemas sehingga memudahkan
untuk proses nekropsi. Proses nekropsi dilakukan dengan membuka bagian
abdomen dan bagian toraks dengan hati-hati agar organ yang ada tidak rusak.
Setelah itu, dilakukan pengambilan paru. Paru yang telah diambil kemudian dicuci
menggunakan larutan PBS organ. Paru yang sudah bersih dari darah kemudian
direndam dalam formalin 10 % atau Buffer Neutral Formalin (BNF) sebagai
pengawet. Organ disimpan di dalam plastik klip yang sudah diberi formalin dan
diberi label. Selanjutnya organ akan disimpan di freezer dengan suhu -70˚C.
3.6.10. Pembuatan Preparat
Pembuatan preparat dilakukan di Laboratorium Sitologi, Depok. Preparat
dibuat menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (H&E).
3.6.11. Pengambilan Gambar Preparat Histologi Paru dan Perhitungan Limfosit
Preparat histologi diamati menggunakan mikroskop Olympus BX41 di
Laboratorium Histologi dan Biologi FK UIN Jakarta. Setiap preparat diambil
dalam 10 lapang pandang untuk menghitung jumlah limfosit yang ada pada setiap
mencit. Limfosit yang diambil adalah sel sel leukosit yang berbentuk bulat tanpa
granula sitoplasma, nukleus besar, berwarna gelap dengan sitoplasma sedikit
sampai tidak ada, berada di parenkim paru dan tidak menonjol ke lumen ataupun
berada di lumen alveolus.
30
3.7. Definisi Operasional
Untuk memudahkan peneliti agar penelitian tidak menjadi terlalu luas,
maka dibuatlah definisi operasional seperti yang tertera pada tabel berikut :
Tabel 2.1. Defisini Operasional Variabel
Variabel Definisi Pengukuran Skala
Jumlah
limfosit
Limfosit yang berada
pada parenkim
paru,bentuk sel bulat
tanpa granula sitoplasma,
nukleus besar, berwarna
gelap dengan sitoplasma
sedikit sampai tidak ada,
dan tidak menonjol ke
lumen ataupun berada di
lumen alveolus.
Menghitung jumlah
limfosit parenkim paru
pada 10 lapang
pandang setiap ekor
mencit dengan
perbesaran mikroskop
40x.
Numerik
3.8. Analisis Statistik
Setelah dilakukan perhitungan sel limfosit, hasil perhitungan dilakukan
pengolahan statistik dengan program SPSS versi 22.0. Uji statistik yang
digunakan adalah Uji One Way Annova bila berdistribusi normal dan
homogen.Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuh maka dilakukan uji
Kruskal Wallis.
31
3.9. Alur Penelitian
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Zaitun dalam Konteks Keislaman
Zaitun merupakan pohon tertua di dunia dan penuh berkah. Di Palestina
pernah ditemukan pohon zaitun berumur 2000-an tahun. Informasi tersebut
diperoleh dari sumber arkeologi yang menunjukkan bahwa buah zaitun ditemukan
sekitar 5.000-3.000 tahun SM. Buah zaitun dapat ditemui di Mesir, Yunani dan
beberapa negara Asia. Sejarah pohon zaitun merupakan bagian dari sejarah
pertanian bangsa Mediterania. Minyak zaitun terkenal di kalangan bangsa Arab
karena cahayanya yang jernih yang kaya akan unsur mineral dan unsur-unsur yang
jarang ditemukan di minyak lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah
SWT.64
Yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api,
(QS. An Nur: 35)
Cahaya minyak zaitun termasuk cahaya yang paling bening dan bersih.
Tetapi, bukan hanya alasan itu saja yang membuat zaitun dipilih sebagai contoh
ayat tersebut. Selain itu, dikarenakan adanya naungan yang diberikan kepada
pohon yang penuh berkah itu. Yang dimaksud adalah naungan lembah Thur.
Lembah Thur merupakan lembah suci tempat pohon zaitun ditemukan, tempat itu
berada di dekat dengan Jazira Arab.64
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan zaitun adalah buah yang dapat
menghasilkan minyak yang dapat dijadikan sebagai pelezat makanan dan
memiliki manfaat. Hal ini dikarenakan Rasulullah menganjurkan menggunakan
minyak dari buah zaitun karena berasal dari pohon yang diberkahi.64
Hasil penelitian ini menunjukkan ekstrak daun zaitun memiliki manfaat
sebagai anti-inflamasi yang berpotensi sebagai anti asma, sehingga sesuai dengan
pernyataan dalam Al-Quran bahwa zaitun merupakan tanaman yang diberkahi
33
yang salah satunya tercantum dalam surah An-Nur ayat 35. Dalam beberapa tafsir
yang telah disebutkan di atas memang benar bahwa zaitun merupakan tanaman
yang sangat bermanfaat lagi diberkahi.
4.2. Limfosit pada Parenkim Paru Mencit
Data jumlah limfosit yang diambil adalah hasil jumlah rerata limfosit dari
10 lapang pandang parenkim paru pada setiap ekor mencit yang didasarkan dari
penelitian Titiek S. (2011).65
Gambaran limfosit pada sediaan paru di semua
kelompok dapat dilihat pada gambar 4.1.
Pada gambar 4.1 dengan perbesaran 4x terlihat bahwa kelompok K1 masih
terdapat alveolus yang intak dengan lumen yang normal dan bersih. Begitu pula
dengan kelompok K2, terlihat alveolus yang masih intak. Pada perbesaran 40x,
gambar K1 dan K2 hanya terdapat sedikit limfosit dengan lumen alveolus yang
bersih. Hal ini disebabkan karena PBS merupakan larutan garam yang seimbang
yang sering digunakan dalam penelitian biologis, yang biasa digunakan menjaga
keutuhan dan osmolatitas sel sehingga dihasilkan sel yang masih dalam keadaan
normal.PBS telah banyak digunakan karena sifatnya yang isotonis dan tidak
toksik bagi sel.66 Sedangkan NaCMC hanya sebagai penambah kelarutan air
terhadap PBS.Na-CMC akan terdispersi dalam air, kemudian butir-butir Na-CMC
yang bersifat hidrofilik akan menyerap air sehingga keadaan larutan lebih mantap
dan terjadi peningkatan viskositas.67
Pada kelompok K3 didapatkan gambaran parenkim paru yang penuh dengan
sel radang yang salah satunya adalah limfosit. Pada kelompok ini, alveoulus
masih terlihat intak tetapi dengan lumen yang penuh karena terjadi sebukan sel
radang dan juga eritrosit. Adanya eritrosit pada sediaan ini bisa disebabkan karena
saat penyucian organ yang kurang bersih sehingga eritrosit terdapat banyak pada
kelompok ini.
34
Gambar 4.1. Gambaran Limfosit Paru Mencit Dengan Perbesaran 4x dan 40x. K1:
Kelompok kontrol negatif(PBS), K2: Kelompok kontrol negatif K2(PBS+NaCMC), K3:
Kelompok kontrol positif K3 (OVA), B:Kelompok OVA+Budesonid, P1: Kelompok
OVA+EMDZ 100mg/KgBB, P2: Kelompok OVA+EMDZ 200mg/KgBB, E1: Kelompok EMDZ
100mg/KgBB, E2: KelompokEMDZ 200mg/KgBB. Ujung panah merah menunjukkan limfosit.
35
Pada kelompok B dengan perbesaran 4x, terlihat gambaran paru seperti
kelompok kontrol negatif yaitu K1 dan K2. Hal ini disebabkan oleh efek anti-
inflamasi dari budesonid yang menghentikan proses inflamasi yang disebabkan
oleh induksi OVA terhadap mencit. Sehingga pada kelompok ini terlihat jumlah
sel limfosit yang sedikit dan lumen tidak menyempit dikarenakan sedikitnya sel-
sel radang jika dibadingkan dengan kelompok K3 sehingga terlihat keadaan paru
yang normal.
Pada kelompok perlakuan P1 dan P2, terlihat sedikit sekali sel radang dan
lumen yang bersih. Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak daun zaitun memiliki
efektifitas yang baik dalam menurunkan sel limfosit paru.
Pada kelompok perlakuan E1 dan E2 dengan perbesaran 4x, terlihat
gambaran paru yang masih intak seperti pada kelompok kontrol negatif. Pada
perbesaran 40x, hanya terlihat sedikit jumlah sel limfosit yang terdapat pada
parenkim paru, sehingga secara kualitatif bisa disimpulkan bahwa pemberian
EMDZ dengan dosis 100 mg/KgBB dan 200 mg/KgBB tidak menimbulkan reaksi
inflamasi pada paru.
Data rerata jumlah limfosit pada parenkim paru yang diperoleh dari
perhitungan limfosit pada 10 lapang pandang di setiap mencitnya pada kelompok
K1 (pemberian PBS tanpa NaCMC), kelompok K2 (pemberian PBS dengan
NaCMC), kelompok K3 (induksi OVA), kelompok B (induksi OVA dan inhalasi
budesonid, kelompok P1 (induksi OVA dan pemberian EMDZ 100mg/KgBB per
oral), kelompok P2 (induksi OVA dan pemberian EMDZ 200mg/KgBB per oral),
kelompok E1 (pemberian EMDZ 100mg/KgBB), dan kelompok E2 (EMDZ
200mg/KgBB) dapat dilihat pada grafik 4.1.
Pada grafik 4.1. kelompok kontrol K1 memiliki rerata jumlah limfosit paru
sebanyak 51 sel, kelompok kontrol K2 memiliki rerata jumlah limfosit 54 sel,
kelompok perlakuan K3 memiliki rerata jumlah limfosit tertinggi yaitu sebanyak
116 sel, kelompok perlakuan P2 memiliki rerata jumlah limfosit 32 sel, kelompok
perlakuan P2 memiliki rerata jumlah limfosit 35 sel, kelompok perlakuan E1
memiliki rerata jumlah limfosit 44 sel, kelompok perlakuan E2 memiliki rerata
36
jumlah limfosit 48 sel, dan kelompok perlakuan B memilki rerata jumlah limfosit
54 sel.
Grafik 4.1. Grafik Rerata Limfosit Paru. K1 (perlakuan PBS), K2 (perlakuan
PBS+NaCMC), K3 (induksi OVA), B (perlakuan OVA+Budesonid), P1 (perlakuan
OVA+EMDZ 100mg/KgBB), P2 (perlakuan OVA+EMDZ 200mg/KgBB), E1
(perlakuan EMDZ 100mg/KgBB), E2 (perlakuan EMDZ 200mg/KgBB) ( =
perbedaan signifikan p<0,05)
Pada grafik 4.1. kelompok kontrol K1 memiliki rerata jumlah limfosit paru
sebanyak 51 sel, kelompok kontrol K2 memiliki rerata jumlah limfosit 54 sel,
kelompok perlakuan K3 memiliki rerata jumlah limfosit tertinggi yaitu sebanyak
116 sel, kelompok perlakuan P2 memiliki rerata jumlah limfosit 32 sel, kelompok
perlakuan P2 memiliki rerata jumlah limfosit 35 sel, kelompok perlakuan E1
memiliki rerata jumlah limfosit 44 sel, kelompok perlakuan E2 memiliki rerata
jumlah limfosit 48 sel, dan kelompok perlakuan B memilki rerata jumlah limfosit
54 sel.
Selanjutnya dari hasil perhitungan tersebut dilakukan analisis data
menggunakan SPSS 22.0. Uji mormalitas menggunakan uji Shaphoro wilk
menunjukkan bahwa distribusi data tidak normal sehingga analisis data
37
menggunakan uji Kruskal wallis. Pada Uji Kruskal wallis didapatkan bahwa
p=0,004 yang berati adanya perbedaan jumlah limfosit paru pada dua kelompok.
Kemudian dilakukan post hoc untuk membandingkan jumlah limfosit pada
beberapa kelompok.
Pada grafik 4.1.kelompok kontrol negatif dengan pemberian PBS (K1) dan
PBS dengan NaCMC (K2) menunjukkan rerata jumlah limfosit yang hampir
serupa dengan hanya sedikit perbedaan pada kelompok K2 dengan rerata limfosit
yang sedikit lebih tinggi. Begitu pula dengan hasil uji post hoc pada kedua
kelompok ini menghasilkan nilai p=0.5 (p>0,05) yang berarti kedua kelompok ini
identik. Hal ini sesuai dengan fungsi penambahan NaCMC yang hanya sebagai
penstabil larutan. NaCMC merupakan zat pensuspensi yang bersifat non toksik
dan aman digunakan sebagai zat pensuspensi. NaCMC dapat larut dengan mudah
dalam air panas atau dingin membentuk larutan kental.68
Berdasarkan penelitian
Fardiaz et al. (1987) ada empat sifat fungsional yang penting dari Na-CMC yaitu
untuk pengental, stabilisator, pembentuk gel dan beberapa hal sebagai
pengemulsi. Di dalam sistem emulsi hidrokoloid (Na-CMC) tidak berfungsi
sebagai pengemulsi tetapi lebih sebagai senyawa yang memberikan kestabilan.69
Pada kelompok dengan perlakuan induksi menggunakan OVA (K3) terlihat
peningkatan sel limfosit yang signifikan. Rerata jumlah limfosit pada kelompok
ini paling tinggi di antara kelompok lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa OVA
dapat memicu reaksi inflamasi pada mencit. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Anthony T dan Sorif U., (2008) menunjukkan bahwa OVA yang diambil dari
telur ayam sering digunakan sebagai alergen yang dapat menginduksi inflamasi
pulmonar akibat alergi. Paparan OVA pada hewan model menunjukkan tanda
klinis terjadinya asma seperti peningkatan IgE, inflamasi saluran napas,
hiperplasia sel golet, hipertrofi epitel dan hiperresponsif saluran napas pada
stimulus spesifik dan pada beberapa hewan model, terjadi fase awal dan fase
lanjut bronkokonstriksi. Penambahan adjuvan seperti aluminium hidroksida
memicu perkembangan fenotipe Th2 oleh sistem imun ketika dipaparkan dengan
antigen.70
38
Pada kelompok perlakuan dengan induksi OVA dan pemberian EMDZ
dengan dosis 100mg/KgBB (P1) menunjukkan rerata jumlah limfosit yang lebih
sedikit dibandingkan dengan kelompok perlakuan menggunakan EMDZ dosis
200mg/KgBB (P2). Hal ini menunjukkan bahwa efek anti-inflamasi yang dimiliki
oleh EMDZ dosis 100mg/KgBB lebih baik dibandingkan dengan dosis
200mg/KgBB. Pada uji post hoc, kelompok P1 dan P2 memiliki nilai p=0,2
(p>0,05) yang berarti tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Akan tetapi jika
membandingkan kelompok perlakuan P1 dan P2 dengan kelompok K3 terdapat
perbedaan yang sangat berarti dimana jumlah sel limfosit pada kelompok P1 dan
P2 jauh lebih sedikit dari K3. Pada uji statistik untuk kelompok P1 dan K3
menghasilkan nilai p=0,05 (p>0.01) yang berarti kedua kelompok tersebut
berbeda secara signifikan. Hal yang sama juga terjadi pada uji statistik kelompok
P2 dan K3 memiliki nilai p yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun
zaitun memiliki efek anti-inflamasi yang baik untuk mencit setelah diinduksi oleh
OVA. Menurut penelitian Amira B dan Dalia F, (2016) efek toksisitas dan
inflamasi yang diinduksi oleh cisplatin dihentikan oleh ekstrak daun zaitun
melalui inhibisi ekspresi NF-κB dan produksi TNF-α. TNF-α diketahui sebagai
sitokin pro-inflamasi yang mempengaruhi respon inflamasi seperti diferensiasi,
maturasi, dan aktivasi dari sel inflamasi seperti neutrofil, sel T, makrofag dan sel
NK.71
Pada penelitian yang dilakuan oleh Wafa L et al. (2016) terdapat efek anti-
udematogenesis dari ekstrak daun zaitun yang diberikan secara oral pada tikus
yang diinjeksikan histamin. Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak yang
diberikan memiki mekanisme anti-histamin. Efek anti-inflamasi yang dimiliki
oleh ekstrak daun zaitun berasal dari kompenenya yaitu ekstrak fenol (15w/w) dan
hidroksitirosol (2w/w).7
Pada kelompok perlakuan dengan hanya menggunakan EMDZ dosis
100mg/KgBB (E1) dan 200mg/KgBB (E2) menunjukan rerata sel limfosit yang
hampir serupa, hanya saja terlihat rerata sel limfosit pada kelompok E1 lebih
sedikit dibandingkan dengan kelompok E2. Sehingga dapat diketahui bahwa
EMDZ dosis 100mg/KgBB lebih baik dalam menurunkan jumlah sel inflamasi
39
dibandingkan dengan dosis 200mg/KgBB. Uji post hoc pada kedua kelompok
tersebut menghasilkan nilai p=0,2 (p>0,05) yang berarti kedua kelompok tersebut
identik. Jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan dengan PBS dengan
NaCMC (K2) terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam rerata jumlah
limfosit dimana pada kelompok E1 dan E2 jumlah limfosit lebih sedikit daripada
kelompok K2. Pada pengujian dengan uji post hoc, kelompok K2 dan P1
menghasilkan nilai p=0,05 (p>0,01) yang berarti memiliki perbedaan yang
bermakna sedangkan pada pengujian kelompok K2 dengan E2 menghasilkan nilai
p=0,1 (p>0,05) yang berarti kelompok tersebut identik. Hal ini menguatkan bahwa
EMDZ 100mg/KgBB memiliki kemampuan untuk menurunkan sel limfosit paru
lebih baik dari dosis 200mg/KgBB.
Pada kelompok perlakuan induksi OVA dan pemberian Budesonid
pulmikort (B) menunjukkan hasil terapi yang ditimbulkan budesonid setelah
induksi asma menggunakan OVA. Jumlah sel limfosit yang terdapat pada
kelompok B jauh dibawah kelompok K3, begitu pula dengan uji post hoc yang
menghasilkan nilai p=0,046 (p>0,01) yang berarti berbeda secara bermakna.
Budesonid merupakan kortikosteroid dengan substansi aktifnya yaitu
glukokortikoid. Pada peneltian yang dilakukan oleh Stanley JS, (1999)
kortikoteroid seperti budesonid memiliki aktivitas inhibisi melawan banyak tipe
sel inflamasi (seperti limfosit, eosinofil, sel mast, neutrofil, dan makrofag) dan
mediator yang terlibat dalam inflamasi alergi dan non alergi (seperti sitokin,
histamine, ekosanoid, dan leukotrien). Kortikosteroid meningkatkan sintesis
protein anti-inflamasi seperti lipokortin-1, secretory leukocyte protease inhibitor,
dan IL-10, dan meningkatkan ekspresi reseptor β2-adrenergik. Kemampuan anti-
inflamasi ini menjadikan kortikosteroid sebagai obat asma. Penelitian ini juga
menyebutkan bahwa budesonid secara signifikan menurunkan jumlah sel
inflamasi pada epitel saluran napas (termasuk limfosit, sel mast, eosinofil,
neutrofil, dan makrofag).72
Inflamasi saluran napas bronkial adalah tanda
patologis paling penting dari asma. Kostikosteroid inhalasi, melalui efek anti-
inflamasinya telah menjadi tatalaksana utama untuk asma. Pada sistematik review
40
yang dilakuakn menggunakan delapan penelitian terandomisasi dengan
membandingkan kemampuan kortikosteroid inhalasi dengan placebo pada asma
eksaserbasi akut menunjukkan bahwa kortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>1mg
budesonid atau flutikason) memiliki efek yang lebih baik dari placebo.73
Pada uji post hoc, hubungan antara kelompok B dengan P1 memiliki nilai
p=0,05 (p>0,01) yang berarti memiliki perbedaan yang bermakna, begitu pula
hubungan dengan P2 memilki nilai yang sama. Pada grafik 4.1. memperlihatkan
perbedaan rerata jumlah limfosit paru pada kelompok B dengan kelompok P1 dan
P2 yang cukup mencolok. Berdasarkan rerata jumlah sel limfosit paru dan uji
analisis menunjukkan bahwa EMDZ memiliki kemampuan lebih baik dalam
penurunan sel limfosit dibandingkan budesonid dengan EMDZ dosis
100mg/KgBB lebih baik dari dosis 200mg/KgBB.
Pada kelompok perlakuan K2 dengan E1 dan E2 terlihat adanya perbedaan
rerata jumlah sel limfosit, dimana pada kelompok E1 dan E2 memiliki limfosit
yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok K2. Namun pada analisis uji
post hoc, menghasilkan nilai signifikan yaitu p=0,05 (p>0,01) antara kelompk K2
dan E1. Hal ini membukatikan bahwa EMDZ memliki aktivitas anti-inflamasi
yang cukup baik.
Jika membandingkan kelompok perlakuan dengan hanya pemberian EMDZ
(kelompok E1 dan E2) dengan kelompok pemberian OVA dan EMDZ (kelompok
P1 dan P2) terlihat perbedaan yang signifikan, dengan nilai uji post hoc p=0,05
(p>0,01). Hal ini belum bisa disimpulkan apakah perbedaan tersebut disebabkan
karena efek protektif dan supresi dari EMDZ pada kelompok mecit yang telah
mengalami inflamasi atau adanya proses remodeling jaringan paru pada kelompok
P1 dan P2 akibat paparan alergen yang berulang.
4.4. Keterbatasan Penelitian
1. Adanya ketidaksempurnaan dalam pembuatan preparat sehingga beberapa
preparat didapatkan gambar yang kurang bagus (terlipat, overstain pada
pewarnaan hematoksilin).
41
2. Banyaknya mencit yang mati selama penelitian berlangsung.
3. Lingkungan Animal House yang kurang mendukung pemeliharaan mencit
dalam waktu yang lama dan tidak terstandarisasi.
42
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan uji statistik yang dilakuan, peneliti
menyimpulkan bahwa:
1. Terdapat penurunan jumlah limfosit paru pada mencit yang diberikan
EMDZ.
2. Terdapat penurunan jumlah limfosit paru yang signifikan (p<0,05) pada
mencit yang diberikan EMDZ dibandingkan mencit yang tidak
diberikan EMDZ.
3. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) pada rerata jumlah
limfosit antara kelompok K1 dan K2.
4. Pemberian EMDZ dengan dosis 100mg/KgBB lebih baik dalam
menurunkan jumlah limfosit paru dibandingkan dosis 200mg/KgBB.
5.2. Saran
1. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek samping dari
konsumsi ekstrak metanol daun zaitun.
2. Perlu dilakukan variasi dosis ekstrak daun zaitun untuk mengetahui efektifitas
dari masing-masing dosis.
3. Perlu adanya penambahan jumlah sampel pada masing-masing kelompok.
4. Mencit yang digunakan sebaiknya adalah mencit yang sensitif terhadap
paparan alergen seperti BALB/c.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Hesti M, Sri Harti W, dan Venny I. Tumbuhan Herbal Sebagai Jamu Pengobatan
Tradisional Terhadap Penyakit Dalam Serat Primbon Jampi Jilid I. Yogyakarta;
Jurnal Penelitian Humanior. 2016; 21(2):73-91.
2. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Obat Herbal Tradisional. Jakarta.
Warta Ekspor. 2014 Available from:
http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/admin/docs/publication/4651421058307.p
df [Accessed20 May 2018].
3. Muhammad A, Afsar K, dan Muhammad H, Umar F, danShagufta P. Review
Article: Traditional Uses, PhytoChemistry, and Pharmacology of Olea europaea
(Olive). Hindawi Publishing Corporation. Januari 2015; 1-29.
4. Sari AP, others. Karakter Vegetatif Tanaman Zaitun (Oleo Europaea L.) Pada
Kondisi Tanam Yang Berbeda Serta Konsentrasi Oleuropein Dan Asam Askorbat
Pada Daunnya. Institut Pertanian Bogor (IPB). 2016.
5. Prasetyo KA. Efektivitas Beberapa Auksin (NAA, IAA dan IBA) Terhadap
Pertumbuhan Tanaman Zaitun (Olea europaea L.) Melalui Teknik Stek Mikro.
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 2016.
6. Omar M, M. Sabry. Review: Beneficial Health Effects of Olive Leaves Extracts.
Cairo. Journal of Natural Sciences Research. 2014; 19: 1-4.
7. Wafa L, Jamal G, Hala A, Mohamed M, dan Mohamed B. Anti-Inflmmatory and
Analgetic Activities of Olive Tress Extract. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. 2016; 8(7): 414-419.
8. Imen samet, Junkyu H, Lobna J, Sami s, dan Hiroko I. Olive (Olea europaea) Leaf
Extract Induces Apoptosis and Monocyte/Macrophage Differentiation in Human
Chronic Myelogenous Leukemia K562 Cells: Insight into the Underlying
Mechanism. Hindawi Publising Corporation. April 2014: 2014; 13.
9. Yaqoob, P., Knapper, J. A., Webb, D. H., Williams, C. M., Newsholme, E. A. and
Calder, P. C.Effect of olive oil on immune function in middle-aged men. American
Journal of Clinical Nutrition. 1998; 67 (1): 129-135.
10. Global Initiative for Asthma (GINA). Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. 2018. Available from: https://ginasthma.org/2018-pocket-guide-for-
asthma-management-and-prevention/ [Accessed 15 Agustus 2018].
44
11. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin: Asma. Available from:
www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-
asma.pdf infodatin asma [Accessed 20 May 2018].
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia; 2003. p. 6-7.
13. Menteri Kesehatan Repulik Indonesia. Keputusan Kesehatan Republik Indonesia
Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma; 2008.p. 4-5.
14. Bartolini G dan Petrucelli R. Classification, Origin, Diffusion and History of the
Olive. FAO; 2002.
15. Hava F, Andrea F, dan Luca S. The Olive Tree Genome: Olive Biology. Italy:
Springer International Publishing; 2016. p.13-25.
16. N. Guerrero Maldonado, M. J. López, G. Caudullo, D. de Rigo. Olea europaea:
Distribution, Habitat, Usage, and Threats. Luxemburg; Europaean atlas of Forest
Tree Species. 2016: 11.
17. Department of Agricalture, Forestry & Fisheries. OLIVE: Production Guidelines.
Republic of South Africa. 2010: 5-8.
18. Aryo Cokrowati anto dan Joko Wiratmo. Kajian Potensi Budidaya Zaitun Ditinjau
dari Kondisi Temperatur dan Curah Hujan (Studi Kasus: Provinsi NTB dan NTT).
Program Studi Meteorologi ITB. 2006; 1:1-2.
19. Patricia V, Isabel K, Juliano G, Valdeni T, Daiana d S, dan Simone. Poliphenols
Benefits of Olive Leaf (Olea europapea L.) to Human Health. Nutricion
Hospitalaria. 2015; 31(3):1427-1433.
20. Monica G, Paulina P, Francesco C,Alicja K, Antonella M, Narcyz K, et al. Potential
Health Benefits of Olive Oil and Plant Polyphenols. Interinational Journals of
Molecular Sciences. Maret 2018;19(3): 686.
21. Leila A, Amani T, Houda N, dan Mokhtar Z. Olive Tree (Olea europaea L) Leaves:
Impotance and Advances in The Analysis of Phenolic Compounds. MDPI Journals.
2015; 4: 682-698.
22. Anna B, Karen S, Gareth M, Matthew P, dan Lynnette R Evidence to Support the
Anti-Cencer Effect of Olive Leaf Extract and Future Directions. MDPI Nutrients.
Agustus 2016; 8(8): 513.
23. Nahid F, Adolghaffari A, Delfan B,Abbasi A, Rahimi N, Khansari A, et al.
Protective Effect of Hydroalcoholic Olive Leaf Extract on experimental Model of
45
Colitis in Rat: Involvement of Nitrergic and Opioidergic Systems. Wiley Online
Library. September 2014; 28(9):1367-73.
24. Priscilla A, Aline M, Vera L. Effects of Olive Oil Phenolic Compoundson
Inflammation in the Prevention and Treatment of Coronary Artery Disease. MDPI
Nutrients Journals. Oktober 2017; 9(10): 1087.
25. Seemin Dashti, et. al. Effect of Foot Reflexology and Olive Oil Foot Massageon
Asthma Control. Global Journal of Health Science. 2016; 8(12): 53-59.
26. Piper T, Suzanne MD, Kathleen SM. Comparative anatomy and Histology: A
Mouse, Rat and Human Atlas. 2nd
Ed. USA: Academic Press; 2017. p.151-152.
27. Charles I dan Jason B. Measuring the Lung Function In The Mouse: The Challenge
of Size. Respiratory Research BioMed Central. May 2003; 4: 1-9.
28. Nadeem S, Saira J, Asmatullah, Khawaja A, Tahir A, dan Javid I. Histological
Changes in The Lung and Liver Tissues in Mice Exposed To Pyrethroid Inhalation.
Walailak Journal of Health Sciences. 2014; 11(10): 843-849.
29. R. Torres, C. Picado, dan F. de Mora. Use of the Mouse to Unravel Allergic Asthma:
a Review of the Pathogenesis of Allergic Asthma in Mouse Models and Its
Similarity to the Condition in Humans. Elsevier.2005;41(3):141-52.
30. D. Olmez, A Babayigit, G Erbil, O Karaman, A agriyanik, O Yilmaz,et al.
Histopathologic Changes in Two Mouse Models of Asthma.Esmon Publicidad.
2009; 19(2): 132-138.
31. Mojtabavi N, Dekan G, Stingl G, Epstein M. Long-lived Th2 memory in
experimental allergic asthma. J Immunol. 2002;169:4788-96.
32. Hirai H, Tanaka K, Yoshie O, Ogawa K, Kenmotsu K, Takamori Y, et al.
Prostaglandin D2 selectively induces chemotaxis in T helper type 2 cells,
eosinophils, and basophils via seven-transmembrane receptor CRTH. J Exp Med.
2001; 193:255-61.
33. Ethel S. Anatomi dan Fisisoligi. Jakarta: Penerbit EGC; 2003. p. 224.
34. AbbasK. Lichtman,H, dan Shiv P. Cellular and Molecular Immunology. 5th Ed.
Philadelphia: Saunders; 2003.
35. Kristine K. How To Identify Lymphocytes in A Blood Smear. Pathology Student.
2010 Available from: https://www.pathologystudent.com/pesky-lymphocytes
[Accessed 4 September 2018].
36. David L dan Jordan O. Lymphocite. Journal of Allergy Clinical Immunology.
Februari 2007; 121(2): 364-369.
46
37. Barry K. The Role of T Lymphosyte in Asthma. Journal of Chemical Immunology
and Allergy. 2006; 91: 59-75.
38. James H dan Penelope S. Structure and Properties of Ovalbumin. Elsevier Journal
of Chromatography. 2001; 56(1-2):189-98.
39. L. McReynolds, B.W. O’Malley, A.D. Nisbet, J.E. Fothergill, D. Givol, S. Fields, M.
Robertson, G.G. Brownlee. Sequeence of Chicken Albumin mRNA. Nature273.
1978; 273 (5665):723-8.
40. L-Z Sun, S. Elsayed, T.B. Aasen, T. Van Do, N.P. Aardals, E. Florvaag, K. Vaali.
Comparison between Ovalbumin and Ovalbumin Peptide 323-339 Responses in
Allergic Mice: Humoral and Cellular Aspects. Blackwell Publishing. Scandinavian
Journal of Immunology . 2010; 71: 329–335.
41. Vinay Kumar, Abdul K. Abbas, and John C. Aster. Buku Ajar Patologi Robbins.
Edisi 9. Singapore: Elsevier; 2013. p.461-462.
42. Gerd B dan Antonio P. Color Atlas of Immunology. Stuttgart; Thieme. 2003.
43. D. Shoseyov, H. Hibi, S. Offer, O Schwob, M. Krimsky, M. Kleiman, et al.
Treatment of Ovalbumin-Induced Experimental Allergic Bronchitis in Rats by
Inhaled Inhibitor of Secretory Phospholipase A2. Thorax BMJ. 2005; 60(9): 747–
753.
44. Food and Drug Administration. Pulmicort Respules® (budesonide inhalation
suspension). FDA. 2009 Available
at:https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2009/020929s043lbl.pdf
(Accessed 20 Juni 2018).
45. Bertram GK, Susan BM, Anthony JT. Farmakologi Dasar & Klinik. Vol.2. Jakarta;
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013. p.1252.
46. Alfred GG, Joel GH, and Lee EL. Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi
Vol.2, 10th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2015. p.716-717.
47. The Jackson Laboratory. Mouse Train Data Sheet: DDY. Available at:
www.jax.org/strain/002243 (Accessed 1 Agustus 2018).
48. Tomomi Y, Kyoko K, dan Osamu E.The ddY Mouse: A Model of Postprandial
Hypertriglyceridemia In Response To Dietary Fat. Japan; Journal of Lipid Japan.
2012; 53: 2024-2037.
49. P. Michael C. Animal Models for The Study of Human Disease. Second Edition.
USA: Acdemic Press; 2017. P. 404.
47
50. Ralph J. Fessenden, Joan S. Fessenden. Kimia Organik Jilid 1. Jakarta; Penerbit
Erlangga; 1997.
51. Mohammad S. Pengaruh Perbedaan Metode Ekstraksi, Bagian dan Jenis Pelrut
Terhadap Rendemen dan Aktivitas Antioksidan Bumbu Laut (Iris hippuris).
Technology Science and Engineering Journal. 2017; 1(3) : 166-174.
52. Thompson EB. 1985. Drug Bioscreening. America: Graceway Publishing
Company,Inc; 1985. p. 40, 118.
53. Romadanu, Siti Hanggita Rachmawati, Shanti Dwita Lestari. Pengujian Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Bunga Lotus (Nelumbo nucifera). FishTech Universitas
Sriwijaya. 2014; 3.
54. Reveny J. Daya Antimikroba Ekstrak dan Fraksi Daun Sirih Merah (Piper betle).
Journal Ilmu Dasar. 2011; 12(1): 6-12.
55. Ida M, Aliya NH, dan Iman B. The Optimization of Sodium Carboxymethyl
Cellulose (NA-CMC) Synthesized from Water Hyacinth (Eichhornia crassipes
(Mart.) Solm) Cellulose. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and
Chemical Sciences. 2013; 4(4): 1092.
56. Wiwiek I, Ida M, Rembulan K, Sriwidodo, Aliya NH. Karakterisasi Carboxymethyl
Cellulose Sodium (Na-CMC) dari Selulosa Eceng Gondok (Eichhornia crassipes
(Mart.) Solms.) yang Tumbuh di Daerah Jatinangor dan Lembang. IJPST. 2016;3(3):
99-110.
57. Kendar Ravindra Kumtekhar. Studies in Muxed Surfactant Systems and Vegetable
Oil Emulsions; Chapter 2 - Effect of Carboxymethyl Cellulose Sodium Salt (CMC-
Na) on the Rheological Properties of Almond Oil in Water Emulsions Obtained by
Required HLB Method. India; A Thesis for Doctoral Degree, Institute of Chemical
Technology. 2009: 72-93.
58. Aiyer H, Ashok K, Gupta P, dan Shivakumar N. An Overview of Immunologic
Adjuvants -A Review. Journal of Vaccine and Vaccination. 2013; 4: 1.
59. Hadie, W., Angela, M. L., Sularto, dan Evi, T. Imunitas Maternak Terhadap
Aeromona shydrophila: Pengaruhnya Terhadap Fekunditas dan Daya Tetas Ikan
Patin Siam (Pangasionodon hypophthalmus). Pusat Riset Perikanan Budidaya:
Jakarta Selatan. J. Ris. Akuakultur. 2010; (8): 229-235.
60. Stills, H. F. Adjuvants and Antibodi Production: Dispelling The Myths Associated
With Freund’s Complete and Other adjuvant’s. ILAR Journal. 2015; 293 (46): 280-
293.
48
61. I Nyoman Suartha, et al. Pemilihan Adjuvant untuk Vaksin Avian Influenza. Bali;
Jurnal Kedokeran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.2011;
5(2): 49-52.
62. Kirkwood J dan Robert H.The UFAW Handbook on the Care and Management of
Laboratory and Other Research Animals. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2010.
p.29.
63. Singh ASdan Masuku MB. Sampling Techniques & Determination Of Sample Size
In Applied Statistics Research: An Overview. International Journal of Economics,
Commerce and Management. 2014; 2(11): 1-22.
64. Khilyatun Nisak. Keistimewaan Zaitun dalam Perspektif Quran dan Sains (Analisis
Penafsiran Surah Al-Mukminun Ayat 20). UIN Sunan Ampel. 2018:1-3 .
65. Titiek S. The Effect of Garlic Extract on the Amount Cell Producing Interferon γ in
White Male BALB/c Mice. Jurnal Medika Planta. 2011; 3(1): 15-20.
66. Phosphate Buffered Saline. Protocol Online. 2016. Available from :
www.protocolsonline.com/recipes/phosphate-buffered-saline-pbs/ [Accessed 20
September 2018.
67. Fennema OR, M. Karen, and D. B. Lund. Principle of Food Science. Connecticut:
The AVI Publishing; 1996.
68. Anief. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek. Cetakan ke Sembilan.
Yogyakarta:Gadjah Mada University Press; 2000. p. 110.
69. Fardiaz, Srikandi, Ratih D, Slamet B. Risalah Seminar ; Bahan Tambahan Kimiawi
(Food Additive) Institut Pertanian Bogor. 1987.
70. Anthony T dan Sorif U. Mouse Models of Allergic Asthma: Acute and Chronic
allergen Challenge. Dis Model Mech. 2008; 1(4-5): 213–220.
71. Amira B dan Dalia F. Anti-apoptotic and Anti-inflammatory Effects of Olive Leaf
Extract Against Cisplatin-induced Nephrotoxicity in Male Rats. International
Journal of Pharmacology; 12: 675-688.
72. Stanley JS. Pharmacodynamics and Pharmacokinetics of Budesonide: A New
Nebulized Corticosteroid. Journal of Allergy Clinical Immunology. 1999; 104(4):
175-183.
73. Abdullah A. Corticosteroid in The Treatment of Acute Asthma. Annals of Thoracic
Medicine.2014; 9(4): 187–192.
49
Lampiran 1
Surat Determinasi Daun Zaitun
50
Lampiran 2
Surat Rendemen Ekstrak Daun Zaitun
51
Lampiran 3
Surat Keterangan Sehat Hewan Coba
52
Lampiran 4
Dokumentasi Penelitian
Gambar 6.1. DaunZaitun (Olea europaea L.)
Gambar 6.2. PembuatanEkstrakMetanolDaunZaitun
53
Gambar 6.3. AklimatisasiHewanCoba
Gambar 6.4. SensitisasiHewanCoba
54
Gambar 6.5. Penyondean Mencit
Gambar 6.6. NebulisasiHewanCoba
Gambar 6.6. NekropsidanPengambilan Organ Trakea
Gambar 6.7. Nekropsi Hewan Coba
55
Gambar 6.8. Buldesonid Pulmikort
56
Lampiran 5
Analisis Data
Tabel 6.1. Uji Normalitas
Tabel 6.2. Uji Kruskal Wallis
Tabel 6.3. Uji Mann-Whitney Kelompok K1 dengan K2
Tabel 6.4. Uji Mann-Whitney Kelompok P1 dengan P2
57
Tabel 6.5. Uji Mann-Whitney Kelompok E1 dengan E2
Tabel 6.6. Uji Mann-Whitney Kelompok K2 dengan E1
Tabel 6.7. Uji Mann-Whitney Kelompok K2 dengan E2
58
Tabel 6.8. Uji Mann-Whitney Kelompok K3 dengan P1
Tabel 6.8. Uji Mann-Whitney Kelompok K3 dengan P2
Tabel 6.9. Uji Mann-Whitney Kelompok K3 dengan B
Tabel 6.10. Uji Mann-Whitney Kelompok P1 dengan B
59
Tabel 6.11. Uji Mann-Whitney Kelompok P2 dengan B
60
Lampiran 6
Riwayat Penulis
Nama : Maudy Rahmi
NIM : 1115103000084
Tempat Tanggal Lahir: Jakarta, 28 Juli 1996
Alamat : Jl. Chairil Anwar Rt 03/05 No. 40 Kreo, Larangan , Tangerang
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan:
2001-2002 : TK Islam An-Nurmaniyah Jakarta
2002-2004 : SD 04 Pagi Srengseng
2004-2005 : SD Islam Terpadu Bina Insan Mandiri
2005-2008 : MI Al-Husna
2008-2011 : MTs. Negeri 27 Jakarta
2011-2014 : SMA Negeri 63 Jakarta
2014-2015 : Program Studi Farmasi, FKIK UIN Jakarta
2015-sekarang : Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran UIN Jakarta