PENGARUH JENIS KAPANG TERHADAP
AKTIVITAS FERMENTASI TEMPE SAGA POHON
(Adenanthera pavonina L.)
RADHITYA AGUS BUDIONO
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/1437 H
PENGARUH JENIS KAPANG TERHADAP
AKTIVITAS FERMENTASI TEMPE SAGA POHON
(Adenanthera pavonina L.)
Oleh
RADHITYA AGUS BUDIONO
NIM 109095000045
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Sains Bidang Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/1437 H
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN
Jakarta, Maret 2016
Radhitya Agus Budiono
NIM : 109095000045
ABSTRAK
Radhitya Agus Budiono. Pengaruh Jenis Kapang Terhadap Aktivitas Fermentasi
Tempe Saga Pohon (Adenanthera pavonina L.). Dibawah bimbingan Dr. rer nat
Abu Amar dan Dr. Nani Radiastuti, M.Si.
Saga pohon merupakan salah satu alternatif kedelai sebagai bahan baku tempe.
Jenis kapang yang digunakan menghasilkan penampilan dan tekstur tempe yang
berbeda-beda karena aktivitas fermentasi yang terjadi selama pembuatan tempe.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan dari aktivitas fermentasi
tempe saga pohon yang dibuat menggunakan kapang R. oligosporus LIPIMC
0387 dan R. oryzae LIPIMC 0135. Sebelumnya dilakukan penelitian pendahuluan
untuk mengetahui pada umur berapakah kapang mencapai 107
spora/ml suspensi
sebagai jumlah minimal untuk digunakan dalam pembuatan tempe. Pembuatan
tempe menggunakan 4 perlakuan, yaitu kontrol tanpa menggunakan kapang, lalu
kultur R. oligosporus LIPIMC 0387 kemudian R. oryzae LIPIMC 0135 serta
campuran dari keduanya dengan perbandingan 1:1, masing-masing perlakuan
dilakukan 3 kali ulangan. Sampel diletakkan pada suhu ruang. Pengamatan
dilakukan pada jam ke 0, 12, 24, dan 36 dengan cara pengamatan visual tempe
saga pohon, pengamatan mikroskopis, mengukur pH, kadar air dan total asam.
Analisis data diambil dari pH, kadar air dan total asam. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada aktivitas fermentasi tempe saga
pada sampel yang menggunakan kapang R. oligosporus, R. oryzae maupun
campuran dari keduanya berdasarkan parameter kadar air, pH dan total asam serta
didukung dengan pengamatan mikroskopis. Perbedaan dari masing-masing
sampel hanya dapat dilihat melalui pengamatan visual, yaitu dari kerapatan dan
warna miselium kapang. Tempe saga pohon yang menggunakan kapang R.
oligosporus memiliki penampilan paling mirip seperti tempe kedelai.
Kata Kunci: Aktivitas Fermentasi, Tempe, Adenanthera pavonina L., Rhyzopus
oligosporus, Rhyzopus oryzae
ABSTRACT
Radhitya Agus Budiono. The Effect of various types of Mould on Tempe Saga
Pohon (Adenenthera pavonina L.) Fermentation activity. Advisor Dr. rer nat
Abu Amar and Dr. Nani Radiastuti, M.Si.
Saga pohon is one of the alternative soybean as main ingredient of tempe.
Differenttype of mould produced different appearences and textures because of
the fermentation activity during production of tempe. The aim of this study is to
find the differences of tempe saga pohon fermentation activity between using R.
oligosporus LIPIMC 0387 and R. oryzae LIPIMC 0135. The preliminary study
was conducted to determine the phase of the mould that has reached 107 spore/ml
suspension as the minimum phase to be used to make tempe. Tempe was made by
4 treatments. Control, without using mould; using R. oligosporus LIPIMC 0387
culture ; using R.oryzae LIPIMC 0135; and the combination of both with ratio
1:1. Each treatment was done in 3 replications. Sample was incubated in room
temperature 25oC. The sample was observed visually, microscopic, and also
measured pH, water content and total acid in 0,12,24 and 36 hours. The study
result showed there was no difference of tempe saga pohon fermentation activity
on sample which use either R. oligosporus, R. oryzae, or combination of both
based on water content, pH, total acid and along with microscopic observation.
Visual observation showed there are differences between samples in density and
mycelium color. Tempe saga pohon used with R. oligosporus looks the most
similar to soybean tempe.
Keyword: Fermentation Activity, Tempe, Adenanthera pavonina L., Rhyzopus
oligosporus, Rhyzopus oryzae
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas nikmat dan
karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Jenis Kapang terhadap
Aktivitas Fermentasi Tempe Saga Pohon (Adenanthera pavonina L.)” ini dapat
terselesaikan. Penelitian ini dilakukan dalam rangka sebagai tugas akhir sebagai
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biologi di
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan selama
pengambilan data dan penyusunan skripsi ini, antara lain:
1. Kedua orangtua, Budiono Karyanto dan Dewi Hendarwati yang senantiasa
membimbing dan selalu mendukung penulis, serta adik-adik penulis yang
memberikan keceriaan dan semangat.
2. Dr. rer nat Abu Amar selaku pembimbing I yang memberikan bimbingan,
saran, nasihat dan pengarahan tentang penelitian dan penulisan skripsi.
3. Dr. Nani Radiastuti, M.Si. selaku pembimbing II yang senantiasa memberikan
informasi-informasi serta saran dan pengarahan dalam melakukan penelitian
dan penulisan skripsi.
4. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Dasumiati, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh Dosen-Dosen Program Studi Biologi yang telah memberi ilmu yang
bermanfaat bagi Penulis.
7. Ibu Darti selaku kepala laboratorium biologi Kampus ITI serta Pak Saryadi
selaku laboran yang telah banyak membantu selama penelitian.
ii
8. Akhmad, Arina, Dinda dan Laili yang banyak memberikan masukan dan saran
serta teman-teman Biologi 2009 yang lain atas dukungan, bantuan dan
semangat yang diberikan kepada penulis.
9. Semua pihak yang telah terlibat hingga penulisan ini dapat terselesaikan yang
tidak dapat dituliskan satu persatu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat
lebih baik lagi.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Maret 2016
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. vii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 3
1.3. Hipotesis .......................................................................................... 3
1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................. 4
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Saga Pohon (Adenanthera pavonina) .............................................. 5
2.2. Fermentasi........................................................................................ 9
2.3. Tempe .............................................................................................. 10
2.4 Kapang ………... ............................................................................. 12
2.4.1. Rhyzopus oligosporus ………... ........................................... 14
2.4.2. Rhyzopus oryzae ………... ................................................... 16
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat ........................................................................... 18
3.2. Bahan dan Alat ................................................................................ 18
3.3. Metode Kerja .................................................................................. 18
3.3.1. Penelitian Pendahuluan.......................................................... 19
3.3.2. Pembuatan Tempe Saga Pohon ............................................. 20
3.3.3. Pengamatan Visual Tempe Saga Pohon ............................... 21
3.3.4. Pengamatan Mikroskopis Kapang ........................................ 21
3.3.5. Penentuan Nilai pH ............................................................... 21
iv
3.3.6. Analisis Kadar Air ................................................................. 21
3.3.7. Analisis Total Asam ............................................................. 22
3.4. Analisis Data ................................................................................... 22
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penelitian Pendahuluan .................................................................... 23
4.2. Pengamatan Visual Tempe Saga Pohon ......................................... 24
4.3. Pengamatan Mikroskopis Kapang .................................................. 29
4.4. Analisis Kadar Air .......................................................................... 35
4.5. Penentuan Nilai pH ......................................................................... 38
4.6. Analisis Total Asam ....................................................................... 40
4.7. Analisis Data Statistik...................................................................... 43
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 44
5.2. Saran ............................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 45
LAMPIRAN ................................................................................................... 49
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbandingan Produktivitas Saga Pohon dengan Beberapa
Tanaman Kacang-Kacangan. ........................................................... 8
Tabel 2. Komposisi Nutrisi Saga Pohon, Kedelai, Kacang Hijau, Kacang
Tanah dan Kecipir. ........................................................................... 8
Tabel 3. Jumlah Spora/ml Suspensi. .............................................................. 23
Tabel 4. Deskripsi Visual Tempe Saga Pohon pada Jam ke 0. ...................... 25
Tabel 5. Deskripsi Visual Tempe Saga Pohon pada Jam ke 12. .................... 26
Tabel 6. Deskripsi Visual Tempe Saga Pohon pada Jam ke 24. .................... 26
Tabel 7. Deskripsi Visual Tempe Saga Pohon pada Jam ke 36. .................... 27
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Saga Pohon (Adenanthera pavonina L.). ..................................... 6
Gambar 2. Rhizopus oligosporus. .................................................................. 15
Gambar 3. Rhizopus oryzae............................................................................ 16
Gambar 4. R. oligosporus Pengamatan Jam ke 12 pada Tempe Saga Pohon
Perbesaran 500x. ......................................................................... 30
Gambar 5. R. oligosporus Pengamatan Jam ke 24 pada Tempe Saga Pohon
Perbesaran 500x ............................................................................ 30
Gambar 6. R. oligosporus Pengamatan Jam ke 36 pada Tempe Saga Pohon
Perbesaran 500x. ......................................................................... 31
Gambar 7. R. oryzae Pengamatan Jam ke 12 pada Tempe Saga Pohon
Perbesaran 500x. ......................................................................... 31
Gambar 8. R. oryzae Pengamatan Jam ke 24 pada Tempe Saga Pohon
Perbesaran 500x. ......................................................................... 32
Gambar 9. R. oryzae Pengamatan Jam ke 36 pada Tempe Saga Pohon
Perbesaran 500x. ......................................................................... 32
Gambar 10. Kultur Campuran Pengamatan Jam ke 12 pada Tempe Saga
Pohon Perbesaran 500x. ............................................................ 33
Gambar 11. Kultur Campuran Pengamatan Jam ke 24 pada Tempe Saga
Pohon Perbesaran 500x. .............................................................. 34
Gambar 12. Kultur Campuran Pengamatan Jam ke 36 pada Tempe Saga
Pohon Perbesaran 500x. ............................................................ 34
Gambar 13. Grafik Kadar Air pada Tempe Saga Pohon terhadap Waktu
Pengamatan. .............................................................................. 36
Gambar 14. Grafik Nilai pH pada Tempe Saga Pohon terhadap Waktu
Pengamatan. .............................................................................. 39
Gambar 15. Grafik Total Asam pada Tempe Saga Pohon terhadap Waktu
Pengamatan. .............................................................................. 41
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Primer Penelitian Ulangan 1. ............................................ 49
Lampiran 2. Data Primer Penelitian Ulangan 2. ............................................ 50
Lampiran 3. Data Primer Penelitian Ulangan 3. ............................................ 51
Lampiran 4. Analisis Data Statistik. .............................................................. 52
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian Pendahuluan. ...................................... 54
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian. ............................................................ 62
Lampiran 7. Dokumentasi Pengamatan Visual Tempe Saga Pohon. .................... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tempe adalah makanan yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Makanan
ini sudah sejak lama populer sebagai lauk pauk yang murah namun bergizi tinggi.
Menurut SNI 3144:2009 tempe didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dari
fermentasi biji kedelai dengan menggunakan kapang Rhizopus sp., berbentuk
padatan kompak, berwarna putih sedikit keabu-abuan dan berbau khas tempe.
Menurut Widianarko (2002), secara kuantitatif nilai gizi tempe sedikit
lebih rendah daripada nilai gizi kedelai, namun secara kualitatif nilai gizi tempe
lebih tinggi karena tempe mempunyai nilai cerna yang lebih baik. Hal ini
disebabkan kadar protein yang larut dalam air akan meningkat akibat aktivitas
enzim proteolitik.
Banyaknya permintaan akan tempe turut meningkatkan kebutuhan kedelai
sebagai bahan baku produksi tempe, akan tetapi permintaan yang tinggi ini tidak
diikuti dengan ketersediaannya. Menurut data Badan Pusat Statistik (2012),
produksi kedelai Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun 2009 hingga
tahun 2012. Untuk menutupi kekurangan produksi, maka dilakukan impor kedelai.
Sebenarnya bahan baku untuk membuat tempe tidak hanya dari biji kedelai, salah
satunya tempe bongkrek yang menggunakan bahan baku ampas kelapa, namun
seringkali beracun sehingga tidak aman untuk dikonsumsi. Untuk itu perlu dicari
alternatif sumber protein nabati yang potensial untuk digunakan dalam pembuatan
2
tempe, salah satu contohnya adalah biji saga pohon (Adenanthera pavonina L.).
Penggunaan biji saga pohon dalam pembuatan tempe diharapkan dapat
mengurangi ketergantungan terhadap biji kedelai impor.
Saga pohon banyak tumbuh di Indonesia. Saga pohon umumnya dipakai
sebagai pohon peneduh di pinggir jalan-jalan besar. Kayunya yang keras banyak
dipakai sebagai bahan bangunan serta mebel dan rantingnya untuk bahan kayu
bakar. Daunnya dapat digunakan di bidang farmasi sebagai anti oksidan
(Rizatullah, 2010). Selain itu, keping bijinya, kulit ari dan kulit luarnya dapat
digunakan sebagai pakan ternak. Melalui proses pengolahan (disangrai dan
ditepungkan), biji saga pohon dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak (Hau
et al., 2006).
Saga pohon memiliki beberapa kelebihan dibandingkan kedelai,
diantaranya adalah perawatannya yang mudah. Tanaman saga pohon tidak
memerlukan perawatan khusus, dapat ditanam langsung begitu saja. Saga pohon
juga dapat tumbuh pada segala jenis tanah, dari tanah bersifat asam maupun basa,
dari tanah gembur hingga lahan gambut. Karena mudahnya dalam budidaya saga
pohon, maka tanaman ini dapat ditanam di seluruh wilayah Indonesia. Saga pohon
memiliki biji yang jumlahnya cukup banyak dalam satu tanaman, sehingga lebih
menghemat lahan (Amar et al., 2001). Oleh karena itu, dari sisi ekologis tanaman
saga pohon lebih unggul dibandingkan dengan kedelai. Selain itu melalui
penggunaan biji saga pohon diharapkan dapat mengurangi impor kedelai yang
cukup tinggi. Bahri (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kandungan
gizi biji saga pohon lebih tinggi bila dibandingkan dengan biji kedelai.
3
Biji saga pohon belum banyak diolah masyarakat untuk dikonsumsi.
Menurut Amar et al. (2001), salah satu kendala yang dihadapi adalah kulit biji
saga pohon yang tebal dan keras sehingga menghambat pemanfaatannya sebagai
sumber protein nabati. Selain itu, timbul bau langu yang tidak enak pada produk
olahan biji saga pohon. Untuk itu diperlukan proses pengolahan yang tepat
sehingga dapat memudahkan untuk dijadikan bahan konsumsi.
Untuk menghasilkan tempe yang baik diperlukan kapang yang sesuai.
Umumnya yang sering digunakan dalam pembuatan tempe diantaranya adalah
Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Setiap kapang memiliki kelebihan
masing-masing dalam menghasilkan tempe. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas
fermentasi yang terjadi selama proses pembuatan tempe. Aktivitas fermentasi
dapat diamati secara visual dan mikroskopis serta melalui pengukuran pH, suhu,
analisis total asam serta analisis kadar air. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh dari kapang R. oligosporus dan R. oryzae terhadap aktivitas
fermentasi yang terjadi dalam pembuatan tempe dari biji saga pohon.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah pengaruh kapang R. oligosporus dan R. oryzae terhadap
aktivitas fermentasi pada tempe saga pohon?
1.3 Hipotesis
Aktivitas fermentasi pada tempe saga pohon yang ditunjukkan dengan
pengukuran pH, suhu, analisis total asam dan analisis kadar air serta pengamatan
4
visual dan pengamatan mikroskopis memberikan hasil yang berbeda tergantung
dari jenis kapang yang digunakan. Berdasarkan uji daya terima penampilan tempe
saga pohon yang dilakukan Safrine (2012), tempe saga pohon dengan kapang R.
oligosporus memiliki penampilan paling mirip dengan tempe kedelai.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan dari aktivitas
fermentasi tempe saga pohon yang dibuat menggunakan kapang R. oligosporus
dan R. oryzae serta mengetahui tempe dengan kapang manakah yang
menghasilkan tempe yang paling mirip dengan tempe kedelai secara visual dilihat
dari penampilan dan teksturnya.
1.5 Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh data mengenai perbedaan dari
aktivitas fermentasi tempe biji saga pohon dari beberapa jenis kapang sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Saga pohon (Adenanthera pavonina Linn)
Saga pohon merupakan tanaman yang berasal dari India tetapi sudah lama
beradaptasi dengan iklim di Indonesia. Saga pohon dapat hidup dengan baik di
tempat-tempat yang terbuka dan terkena sinar matahari secara langsung baik di
dataran rendah maupun dataran tinggi, yakni pada ketinggian 1-600 mdpl.
Tanaman ini tumbuh optimal pH sedikit asam, dapat tumbuh di seluruh daerah
dataran rendah beriklim tropis dengan curah hujan 3000-5000 mm per tahun.
Umumnya tinggi pohon yang tua bisa mencapai 20-30 m (Suryowinoto, 1997).
Saga pohon termasuk ke dalam kingdom Plantae dan divisi
Spermatophyta. Subdivisinya Angiospermae yang merupakan tumbuhan biji
tertutup. Kelasnya adalah Magnoliopsida sedangkan ordonya adalah Fabales.
Famili dari saga pohon adalah Fabaceae dengan genus Adenanthera, sedangkan
nama spesiesnya adalah Adenanthera pavonina L. (Rizatullah, 2010).
Saga pohon termasuk tanaman deciduos atau berganti daun setiap tahun.
Tipe daun saga pohon adalah majemuk menyirip genap berseling, jumlah anak
daun bertangkai 2-6 pasang, helaian daun 6-12 pasang, panjang tangkainya
mencapai 25 cm, daun berwarna hijau muda. Bunga kecil-kecil berwarna
kekuning-kuningan, korola 4-5 helai, benang sari berjumlah 8-10. Polong
berwarna hijau, panjangnya mencapai 15-20 cm, polong yang tua akan kering dan
pecah dengan sendirinya, berwarna coklat kehitaman. Setiap polong berisi 10-12
6
butir biji. Biji dengan garis tengah 5-6 mm, berbentuk segitiga tumpul, keras dan
berwarna merah mengkilap (Rizatullah, 2010).
Gambar 1. Saga Pohon (Adenanthera pavonina L.) (sumber: http://www.
ethnoplants.com/Adenanthera-pavonina/)
Biji tersusun oleh adanya kulit, kotiledon, dan hipokotil. Kulit merupakan
bagian yang lebih besar yaitu sebesar 52,13% dengan kisaran 51,8-52,5%,
sedangkan kotiledon dan hipokotil sebesar 47,87% dengan kisaran 46,2-48,91%.
Tanda-tanda biji saga yang sudah tua adalah adanya polong pecah dan terbelah
dan tangkupan kulit polong membentuk susunan spiral, biji sangat keras, kulit biji
berwarna merah cemerlang, serta keping biji berwarna kuning kecoklatan
(Theresia, 1986).
Biji saga pohon berbentuk segitiga tumpul berwarna merah tua polos.
Garis tengah biji 5-6 mm, kedua sisinya berbentuk cembung dan berat satu butir
biji kira-kira 0.267 g (Safrine, 2012). Menurut Bahri (2011), terdapat zat anti
7
nutrisi yang ada didalam biji saga pohon. Beberapa diantaranya adalah antitripsin
dan anti imotripson, fitohemaglutin dan saponin.
Biji saga mengandung saponin pada kulit bijinya yang berwarna merah.
Menurut Bahri (2011), saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan
dalam tumbuhan. Saponin memiliki karakteristik berupa buih, sehingga ketika
direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat
bertahan lama.
Antitripsin dan antikimotripsin termasuk ke dalam golongan antiprotease.
Antiprotease merupakan senyawa protein yang mempunyai kemampuan untuk
menghambat aktivitas enzim proteolitik. Akibat terhambatnya aktivitas enzim
proteolitik menyebabkan rendahnya nilai gizi dan daya cerna protein kacang-
kacangan, hipertrophi pankreas dan menghambat pertumbuhan hewan percobaan
(Muchtadi dalam Bahri, 2011)
Bahri (2011), dalam penelitiannya mengatakan bahwa antitripsin dan
antikimotripsin serta fitohemaglutinin dapat dihentikan aktivitasnya dengan
proses pemanasan. Khusus saponin dilakukan perlakuan perebusan untuk
menurunkan kadarnya sehingga terlarut ke dalam air rebusan.
Produktivitas tanaman saga pohon cukup tinggi (Tabel 1) dan memiliki
potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Pohon saga mampu
memproduksi biji kaya protein serta memiliki ongkos produksi yang murah. Hal
tersebut karena penanaman pohon saga tidak memerlukan lahan khusus karena
dapat tumbuh pada lahan yang kritis, tidak perlu dipupuk atau perawatan yang
intensif. Selain itu, hama dan gulmanya minim sehingga tidak memerlukan
8
pestisida, jadi bersifat ramah lingkungan karena dapat ditanam bersama tumbuhan
lain (Haryoko & Kurnianto, 2009).
Tabel 1. Perbandingan produktivitas saga pohon dengan beberapa tanaman
kacang-kacangan
No. Tanaman Produktivitas (kg/Ha)
1. Saga pohon 2000-5000
2. Gude 1112
3. Kecipir 720-946
4. Kedelai 2730
5. Kacang tanah 2184
6. Kacang hijau 1482
7. Kacang tunggak 1800
Sumber: Soemartono (1979) dalam Bahri (2011)
Tabel 2. Komposisi nutrisi saga pohon, kedelai, kacang hijau, kacang tanah dan
kecipir
No. Biji Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Air (%)
1. Saga pohon 48,2 22,6 10,0 9,1
2. Kedelai 34,9 14,1 34,8 8,0
3. Kacang hijau 22,2 1,2 62,9 10,0
4. Kacang tanah 25,3 42,8 21,1 4,0
5. Kecipir 32,8 17,0 36,5 10,0
Sumber: Haryoko (2009)
Kandungan gizi biji saga pohon sangat baik, mirip dengan kandungan gizi
biji kedelai bahkan kandungan proteinnya lebih tinggi dibandingkan dengan
kedelai (Tabel 2). Hal ini karena kandungan asam amino biji saga pohon mirip
dengan asam amino yang terdapat pada kacang kedelai, yaitu asam glutamat yang
merupakan komponen asam amino paling tinggi pada kedua komoditi tersebut
(Bahri, 2011).
9
Perawatan tanaman saga pohon tidak terlalu sulit. Untuk mendapatkan
tanaman yang tumbuh dengan baik dan sehat, media tanam atau lahan yang akan
ditanami harus subur, gembur, dan drainase diatur dengan baik (Juniarti et al.,
2009).
2.2 Fermentasi
Fermentasi mulai menjadi ilmu pada tahun 1857 ketika Louis Pasteur
menemukan bahwa fermentasi merupakan sebuah hasil dari sebuah aksi
mikroorganisme yang spesifik. Fermentasi sebagai industri dimulai awal 1900,
dengan produksi dari enzim mikroba, asam organik dan yeast. Fermentasi secara
kontinyu digunakan oleh industri farmasi yang didirikan pada sekitar tahun 1950
(Riadi, 2007).
Fermentasi memiliki arti yang berbeda bagi ahli biokimia dan industrial
microbiologist. Menurut ahli biokimia, fermentasi berhubungan dengan
pembangkitan energi dengan proses katabolisme senyawa-senyawa organik, yang
berfungsi sebagai donor elektron dan terminal electron acceptor. Sedangkan dari
sisi industrial microbiologist, fermentasi berhubungan dengan proses produksi
produk dengan menggunakan mikroorganisme sebagai biokatalis (Riadi, 2007).
Fermentasi merupakan kegiatan mikroba pada bahan pangan sehingga
dihasilkan produk yang dikehendaki. Mikroba yang umumnya terlibat dalam
fermentasi adalah bakteri, khamir dan kapang. Contoh bakteri yang digunakan
dalam fermentasi adalah Acetobacter xylinum pada pembuatan nata de coco,
Acetobacter aceti pada pembuatan asam asetat. Contoh khamir dalam fermentasi
10
adalah Saccharomyces cerevisae pada pembuatan alkohol sedang contoh kapang
adalah Rhizopus sp. pada pembuatan tempe, Monascus purpureus pada
pembuatan angkak dan sebagainya (Bahri, 2011).
Fermentasi dibedakan atas fermentasi solid state dan submerged.
Fermentasi solid state adalah metode menumbuhkan mikroorganisme pada
kondisi yang kandungan airnya terbatas tanpa memiliki aliran air yang mengalir
bebas. Mikrorganismenya tumbuh pada permukaan padatan yang lembab, tetapi
juga dapat berhubungan dengan udara secara langsung. Fermentasi solid state
banyak diaplikasikan di negara-negara Cina, Jepang dan Korea, yang dikenal
dengan fermentasi koji, untuk produksi produk-produk soya seperti tempe, soya
sauce dan lain-lain. Akhir-akhir ini telah dikembangkan beberapa terobosan baru
untuk fermentasi solid state yang mengurangi biaya manufaktur karena
menggunakan limbah pertanian padat dan juga mengurangi biaya aerasi.
Fermentasi submerged adalah proses fermentasi yang mikroorganisme dan
substrat berada menjadi satu dalam submerged state dalam media cair dalam
jumlah yang besar (Riadi, 2007).
2.3 Tempe
Tempe merupakan makanan tradisional yang telah lama dikenal di
Indonesia. Menurut SNI 3144:2009 tempe didefinisikan sebagai produk yang
diperoleh dari fermentasi biji kedelai dengan menggunakan kapang Rhizopus sp.,
berbentuk padatan kompak, berwarna putih sedikit keabu-abuan dan berbau khas
tempe.
11
Menurut Suciati (2012), tempe merupakan salah satu produk olahan
kacang-kacangan yang sangat popular di masyarakat. Tempe adalah sumber
protein yang penting dalam menu makanan Indonesia yang merupakan bahan
makanan lauk pauk nabati atau sebagai sumber protein nabati. Tempe umumnya
dibuat dari bahan kedelai.
Tempe dibuat dengan cara fermentasi atau peragian dengan menggunakan
bantuan kapang golongan Rhizopus. Pembuatan tempe umumnya membutuhkan
bahan baku kedelai. Melalui proses fermentasi, komponen-komponen nutrisi
yang kompleks pada kedelai dicerna oleh kapang dengan
reaksi enzimatis dan dihasilkan senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Cahyadi,
2006).
Wipradnyadewi (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tempe
mempunyai ciri-ciri putih, tekstur kompak. Pada dasarnya cara pembuatan tempe
meliputi tahapan sortasi dan pembersihan biji, hidrasi atau fermentasi asam,
penghilangan kulit, perebusan, penirisan, pendinginan, inokulasi dengan ragi
tempe, pengemasan, inkubasi dan pengundukan hasil. Tahapan proses yang
melibatkan jamur dalam pembuatan tempe adalah saat inokulasi atau fermentasi.
Kualitas tempe amat dipengaruhi oleh kualitas starter yang digunakan
untuk inokulasinya. Inokulum tempe disebut juga sebagai starter tempe, dan
banyak pula yang menyebutkan dengan nama ragi tempe. Starter tempe adalah
bahan yang mengandung biakan jamur tempe, digunakan sebagai agensia
pengubah kedelai rebus menjadi tempe akibat tumbuhnya jamur tempe pada
12
kedelai dan melakukan kegiatan fermentasi yang menyebabkan kedelai berubah
sifat/karakteristiknya menjadi tempe (Wipradnyadewi, 2005).
Wipradnyadewi (2005) juga menyatakan bahwa fermentasi pada tempe
dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang disebabkan oleh aktivitas dari
enzim lipoksigenase. Jamur yang berperanan dalam proses fermentasi tersebut
adalah Rhizopus oligosporus.
Kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa komplek
menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia. Tempe kaya akan
serat, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe
mempunyai nilai seperti antibiotika untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan
pencegah penyakit degeneratif (Astawan dalam Suciati, 2012).
2.4 Kapang
Kapang (Mold) adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen, dan
pertumbuhannya pada substrat mudah dilihat karena penampakannya yang
berserabut seperti kapas. Pertumbuhannya mula-mula berwarna putih, tetapi jika
spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang
(Ali, 2005).
Menurut Fardiaz (1992) dan Waluyo (2004), kapang dapat dibedakan
menjadi 2 kelompok berdasarkan struktur hifa, yaitu hifa tidak bersekat atau
nonseptat dan hifa bersekat atau septat. Septat akan membagi hifa menjadi bagian-
bagian, dimana setiap bagian tersebut memiliki inti (nukleus) satu atau lebih.
Kapang yang tidak memiliki septat maka inti sel tersebar di sepanjang hifa.
13
Dinding penyekat pada kapang disebut dengan septum yang tidak tertutup rapat
sehingga sitoplasma masih dapat bebas bergerak dari satu ruang ke ruang lainnya.
Kapang yang bersekat antara lain kelas Ascomycetes, Basidiomycetes dan
Deuteromycetes. Sedangkan kapang yang tidak bersekat yaitu kelas Phycomycetes
(Zygomycetes dan Oomycetes).
Koloni kapang mudah dibedakan dari koloni khamir atau bakteri, karena
umumnya kapang tumbuh berupa benang-benang halus, sedangkan koloni khamir
atau bakteri tampak berupa bulatan kental dengan permukaan yang umumnya
licin, redup atau kasar. Bagian tubuh kapang yang mencolok adalah miselium
yang terbentuk dari kumpulan hifa yang bercabang-cabang membentuk suatu jala
yang umumnya berwarna putih. Hifa berisi protoplasma yang dikelilingi oleh
suatu dinding yang kuat (Gandjar, 2006).
Waluyo (2004) menyatakan bahwa secara alamiah kapang berkembang
biak dengan berbagai cara, baik aseksual dengan pembelahan, penguncupan, atau
pembentukan spora. Dapat pula secara seksual dengan peleburan nukleus dari
kedua induknya. Pada pembelahan, suatu sel membelah diri untuk membentuk
dua sel anak yang serupa. Pada penguncupan suatu sel anak tumbuh dari
penonjolan kecil pada sel inangnya.
Pertumbuhan kapang pada medium padat dan tidak digoyang dapat dilihat
pada pembuatan tempe kedelai. Pada keping-keping kedelai masak tanpa kulit
yang sesudah diinokulasi 24 jam akan terlihat ada benang-benang putih yang
mengelilingi keping-keping tersebut menjadi suatu bentuk yang padat karena
terjalin kuat oleh hifa-hifa miselium (Gandjar, 2006).
14
Makanan dan minuman fermentasi tradisional di Indonesia yang
mempunyai rasa dan aroma yang khas karena peran fungi juga sudah tidak asing,
misalnya peran Rhizopus oryzae, R. arrhizus, R. microsporus var. Oligosporus, R.
microsporus var. Chinensis pada aneka tempe (tempe kedelai, tempe benguk,
tempe ampas kacang tanah, atau tempe bungkil); Rhizopus oryzae pada tahap
proses penempean fermentasi tauco; Aspergillus oryzae pada tahap proses
penempean pembuatan kecap; Amylomyces rouxii, Mucor sp., Rhizopus oryzae,
Endomycopsis butonii, Saccharomycopsis fibuligera pada fermentasi tapai, baik
dari ketan, nasi ataupun singkong; Saccharomyces cerevisiae pada aneka cider
buah – buahan; S. cerevisiae pada minuman susu yang disebut kefir. Kapang-
kapang yang dapat dijadikan inokulum dalam pembuatan tempe diantaranya
adalah Rhyzopus oligosporus dan Rhyzopus oryzae.
2.4.1 Rhizopus oligosporus
Rhizopus oligoporus adalah jamur dari kelas Zygomycetes yang memiliki
miselium tak bersekat. Perkembangbiakannya dilakukan secara aseksual dan
seksual. Secara aseksual dengan sporangiospora yang tidak mampu mengembara
dan secara seksual melalui dua gametangium yang serupa untuk membentuk
Zigospora (Sarwono, 2000).
15
Gambar 2. Rhizopus oligosporus (dokumentasi pribadi, 2015)
Rhyzopus oligosporus dimanfaatkan dalam pembuatan tempe dari proses
fermentasi kacang kedelai, karena R. oligosporus menghasilkan enzim fitase yang
memecah fitat membuat komponen makro pada kedelai dipecah menjadi
komponen mikro sehingga tempe lebih mudah dicerna dan zat gizinya lebih
mudah terserap tubuh (Dewi et al., 2011).
Rhizopus oligosporus membentuk koloni berwarna abu-abu kecoklatan
yang pucat dan merupakan kapang utama dalam fermentasi tempe. Suhu
minimum untuk tumbuh adalah 12˚C, suhu optimumnya 30-35˚C dan suhu
maksimumnya 42˚C (Bahri, 2011).
Wipradnyadewi (2005), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa R.
oligosporus mempunyai koloni abu-abu kecoklatan dengan tinggi 1 mm atau
lebih. Sporangiofor tunggal atau dalam kelompok dengan dinding halus atau agak
sedikit kasar, dengan panjang lebih dari 1000 μm dan diameter 10-18 μm.
16
Sporangia globosa yang pada saat masak berwarna hitam kecoklatan, dengan
diameter 100-180 μm. Suhu optimum, minimum, maksimum berturut-turut adalah
30-35˚C, 12˚C dan 42˚C. R.oligosporus ditemukan di Jepang, China dan
Indonesia yang berasal dari hasil isolasi tempe. R.oligosporus memiliki panjang
sporangiosfor pada media Malt Extract Agar (MEA) 150-400 μm lebih pendek
dari R. oryzae yaitu lebih dari 1500 μm. R. oligosporus biasanya memiliki rhizoid
yang pendek, sporangium dengan diameter 80 –120 μm dan pada saat 7 hari akan
pecah yang menyebabkan spora keluar kolumela dengan diameter 25-75 μm.
Beberapa sifat penting dari R. oligosporus antara lain meliputi aktivitas
enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitamin-vitamin
B, kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen, perkecambahan
spora, dan penetrisi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai.
2.4.2 Rhizopus oryzae
Gambar 3. Rhizopus oryzae (dokumentasi pribadi, 2015)
17
Bahri (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Rhyzopus oryzae
memiliki hifa yang panjang dan membentuk miselium yang kompak. Koloninya
berwarna putih yang akan berubah menjadi abu-abu kecoklatan dengan
meningkatnya usia isolat. Temperatur optimal untuk pertumbuhannya yaitu pada
suhu 35˚C, suhu minimal 7-5˚C dan suhu maksimal pada 44˚C. Diantara kapang-
kapang tempe lainnya, R. oryzae memiliki aktifitas enzim amilase terkuat yang
memecah pati menjadi gula sederhana yang kemudian akan diubah secara
fermentasi menjadi asam-asam organik, termasuk rasa dan aroma yang tidak
disukai, warna yang gelap dan dalam kondisi yang sesuai akan memproduksi
sejumlah kecil alkohol.
Menurut Soetrisno (1996) sifat-sifat jamur Rhizopus oryzae yaitu koloni
berwarna putih berangsur-angsur menjadi abu-abu, stolon halus atau sedikit kasar
dan tidak berwarna hingga kuning kecoklatan, sporangiosfor tumbuh dari stolon
dan mengarah ke udara, baik tunggal atau dalam kelompok (hingga 5
sporangiofora), rhizoid tumbuh berlawanan dan terletak pada posisi yang sama
dengan sporangiosfor, sporangium globus atau sub globus dengan dinding
berspinulosa (duri-duri pendek), yang berwarna coklat gelap sampai hitam bila
telah masak, kolumela oval hingga bulat, dengan dinding halus atau sedikit kasar,
spora bulat, oval atau berbentuk elips atau silinder, suhu optimal untuk
pertumbuhan 35˚C.
18
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2014 hingga Maret 2015.
Lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi & Laboratorium
Biologi Program Studi Teknologi Industri Pertanian Kampus Institut Teknologi
Indonesia (ITI), Serpong.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah biji saga pohon
(Adenanthera pavonina L.) yang didapat dari pekarangan Kampus ITI dan
Kampus 2 UIN Syarif Hidayatullah, kapang (Rhizopus oligosporus LIPIMC 0387
dan R. oryzae LIPIMC 0135) dari koleksi LIPI Cibinong, media PDA (Potato
Dextrose Agar), akuades, NaOH 0,1 N, serta larutan PP (Phenilptialin) 1%.
Sedangkan alat yang digunakan adalah tabung reaksi, cawan petri, ose, gelas
beaker, mikroskop, autoklaf, oven, cawan porselen, desikator, vortex, erlenmeyer,
labu ukur, penangas air dan kertas saring.
3.3 Metode Kerja
Metode dalam penelitian ini terbagi menjadi dua tahap utama. Pertama
penelitian pendahuluan, untuk menentukan pada hari keberapakah isolat kapang
19
dapat digunakan. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian utama yang terdiri dari
pengamatan dan analisis data.
3.3.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini dilakukan untuk menentukan pada hari
keberapakah kultur kapang dapat digunakan untuk pembuatan tempe saga pohon.
Penelitian pendahuluan ini dilakukan hingga diketahui pada hari keberapakah
kapang mencapai jumlah 107 spora/ml.
Kultur kapang yang telah disiapkan sebelumnya ditambahkan dengan
akuades steril sebanyak 9 ml. Kemudian diambil sebanyak 1 ml lalu dimasukkan
ke dalam tabung reaksi 1 yang berisi 9 ml akuades steril (pengenceran 10-1
).
Setelah itu dari tabung reaksi 1 tersebut diambil 1ml lalu dimasukkan ke dalam
tabung reaksi 2 yang berisi 9 ml akuades steril (pengenceran 10-2
). Dilakukan
seterusnya hingga tabung ke 9 (pengenceran 10-9
). Kemudian diambil dari empat
tabung terakhir masing-masing 0,1 ml lalu diinokulasikan pada cawan petri yang
telah berisi medium PDA masing-masing sebanyak dua. Setelah diinokulasikan,
isolat suspensi disebarkan pada permukaan agar hingga rata. Kemudian di
inkubasi pada suhu ruang selama 24 jam. Setelah itu dihitung jumlah koloni yang
tumbuh per 1 ml sampel dari tiap cawan dengan cara membagi jumlah kapang
yang tumbuh dengan volume sampel yang diinokulasi dan pengenceran yang
digunakan, lalu dicari nilai rata-rata dari jumlah cawan yang dihitung.
20
3.3.2 Pembuatan Tempe Saga Pohon
Tahap-tahap yang dilakukan dalam pembuatan tempe saga pohon adalah
menyiapkan kultur kapang yang berumur 9 hari. Hasil ini didapat dari penelitian
pendahuluan yang terlebih dahulu dilakukan. Kultur kapang dalam media agar
miring ditambahkan dengan 9 ml akuades lalu divortex hingga tercampur rata.
Hasil suspensi kapang siap untuk digunakan.
Selanjutnya menyiapkan biji saga pohon yang akan digunakan. Biji saga
pohon direbus selama 2 jam kemudian ditiriskan hingga dingin. Biji saga pohon
yang telah dingin kemudian dikupas kulitnya hingga bersih, lalu direndam dalam
akuades semalaman. Biji saga pohon dicuci kembali lalu dikukus selama 30 menit
lalu dikering-anginkan dan siap untuk diinokulasikan.
Suspensi kapang yang telah siap kemudian diinokulasikan pada cawan
petri yang berisi biji saga pohon yang telah disiapkan sebelumnya dengan
ketentuan sebagai berikut: suspensi kapang berisi minimal 107 spora/ml, setiap 0,5
ml suspensi dicampur dengan 70 gr biji saga pohon, pembuatan tempe
menggunakan 4 perlakuan, yaitu kontrol tanpa menggunakan kapang, lalu kultur
R. oligosporus LIPIMC 0387 kemudian R. oryzae LIPIMC 0135 serta campuran
dari keduanya dengan perbandingan 1:1, masing – masing perlakuan dilakukan 3
kali ulangan.
Pengamatan dilakukan pada jam ke 0, 12, 24, dan 36 untuk melihat
aktivitas fermentasi pada tempe saga pohon. Pengamatan dilakukan dengan cara
pengamatan visual tempe saga pohon, pengamatan mikroskopis, mengukur pH,
kadar air dan total asam.
21
3.3.3 Pengamatan Visual Tempe Saga Pohon
Biji saga pohon yang telah diinokulasikan diamati perkembangannya
hingga menjadi tempe. Setiap perubahan-perubahan yang terjadi pada biji saga
maupun kapang dicatat pada saat pengamatan.
3.3.4 Pengamatan Mikroskopis Kapang
Pada tempe saga pohon yang telah dibuat, diambil sedikit kapang yang
menempel menggunakan ose lalu diletakkan pada kaca objek. Setelah itu
diteteskan akuades steril lalu ditutup dengan kaca penutup dengan perlahan,
kemudian preparat diamati menggunakan mikroskop. Bagian-bagian kapang yang
dapat diamati diambil gambarnya menggunakan kamera.
3.3.5 Penentuan Nilai pH (AOAC 1999)
Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan tahapan sebagai
berikut: sebanyak lebih kurang 5 gram sampel yang sudah dihaluskan dimasukkan
ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahan 60 ml akuades, kemudian dipanaskan
diatas penangas air selama 5 menit lalu didinginkan. Setelah dingin ditambahkan
lagi akuades sampai tanda tera dan disaring. Filtrat diambil dan ditentukan nilai
pHnya dengan pH meter.
3.3.6 Analisis Kadar Air (AOAC 1999)
Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan
dalam desikator selama ±10 menit. Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan ke
22
dalam cawan kering yang telah ditimbang sebelumnya. Cawan yang telah berisi
sampel kemudian dimasukkan ke dalam oven 100-105˚C selama 6 jam. Cawan
yang berisi sampel kering dikeluarkan dari oven dan dimasukkan kedalam
desikator untuk didinginkan kemudian ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali
sampai diperoleh berat konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.0003 gram).
Kadar air dihitung berdasarkan berat basah dengan rumus:
3.3.7 Analisis Total Asam (AOAC 1999)
Sebanyak 10 ml filtrat ditambahkan dengan 20 ml akuades dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml kemudian dipanaskan di atas penangas
air selama 5 menit. Setelah itu didinginkan dan ditambahkan 2-3 tetes indikator
Phenolphtalein (PP) 1 %, lalu dititrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 N
hingga berwarna merah muda dan dicatat volume NaOH yang terpakai.
Total asam dihitung sebagai asam laktat dengan rumus:
3.4 Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA
dengan bantuan software SPSS utuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
perlakuan. Jika ada beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf
signifikasi α = 0,05.
23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan perlu dilakukan untuk mengetahui pada hari
keberapakah isolat kapang dapat digunakan. Kapang yang dapat digunakan
memiliki ketentuan, yaitu kapang harus memiliki jumlah minimal 107 spora/ml.
Berdasarkan penelitian Muchtadi (1983), kebutuhan biji saga pohon untuk dapat
ditumbuhi kapang sehingga menjadikannya tempe adalah sebesar 2 x 107 spora/ml
suspensi. Setelah dilakukan penelitian pendahuluan didapatkan hasil yang dapat
dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, dapat disimpulkan bahwa kapang dapat
mencapai jumlah minimal pada hari ke 9, baik pada R. oligosporus maupun R.
oryzae.
Tabel 3. Jumlah Spora/ml Suspensi
Kapang Hari ke -
3 5 7 9
R. oligosporus 4,5x105 6,4x10
5 7,9x10
5 8,4x10
7
R. oryzae - 3,6x106 3,7x10
6 8,5x10
7
Umur kapang untuk dapat mencapai jumlah minimal yang dibutuhkan
dalam pembuatan tempe saga sangat bervariasi, bahkan pada satu jenis kapang
memiliki waktu yang berbeda-beda. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian
pendahuluan untuk mengetahui jumlah spora/ml suspensi pada setiap kapang.
Umumnya, dibutuhkan waktu tiga hingga lima hari untuk mencapai jumlah 107
spora/ml. Bahri (2011) dalam penelitiannya membutuhkan waktu 7 hari untuk R.
oligosporus mencapai jumlah minimal dan untuk R. oryzae membutuhkan waktu
24
6 hari. Sementara itu, dalam penelitian Safrine (2012) membutuhkan waktu 7 hari
untuk R. oligosporus mencapai jumlah minimal dan untuk R. oryzae
membutuhkan waktu hanya 3 hari. Tiap kapang meskipun dari jenis yang sama
bahkan asal yang sama namun jika memiliki nomor kode yang berbeda hasilnya
juga akan berbeda dalam mencapai jumlah minimal 107.
4.2 Pengamatan Visual Tempe Saga Pohon
Pengamatan visual dilakukan dengan cara mengamati setiap perubahan
yang terjadi pada tempe saga pohon yang terlihat mata serta mendeskripsikannya.
Pengamatan visual meliputi pertumbuhan kapang, penampilan tempe serta tekstur
tempe. Pertumbuhan kapang dapat diamati dengan melihat adanya miselium yang
muncul mengelilingi biji saga pohon, apakah miselium sudah terlihat serta
bagaimana bentuknya, rapat atau renggang. Penampilan tempe dilihat dari
perkembangan sampel pada setiap pengamatan, apakah biji saga pohon saling
terpisah, sudah saling menempel atau saling menempel erat. Diamati juga keadaan
yang terjadi pada sampel, seperti munculnya uap air atau terjadi perubahan warna.
Untuk tekstur tempe diamati dengan melihat apakah tempe bertekstur keras, agak
lunak atau lunak.
Berdasarkan tabel 4, antara kontrol, R. oligosporus, R. oryzae, maupun
kapang campuran pada pengamatan jam ke 0 tidak menunjukkan adanya
perbedaan. Semua masih terlihat sama satu sama lain. Belum terlihat adanya tanda
pertumbuhan kapang, biji saga masih saling terpisah satu sama lain serta tekstur
tempe masih keras.
25
Tabel 4. Pengamatan Visual Tempe Saga Pohon pada Jam ke 0
Kapang Pertumbuhan
Kapang Penampilan Tempe
Tekstur
Tempe
Kontrol Tidak terlihat
pertumbuhan kapang biji saga saling terpisah Keras
R. oligosporus Belum terlihat
pertumbuhan kapang biji saga saling terpisah Keras
R. oryzae Belum terlihat
pertumbuhan kapang biji saga saling terpisah Keras
Campuran R.
oligosporus dan
R. oryzae
Belum terlihat
pertumbuhan kapang biji saga saling terpisah Keras
Pada jam ke 12 mulai terlihat adanya aktivitas fermentasi pada tempe yang
ditandai dengan adanya uap air yang terlihat pada semua sampel (Tabel 5). Uap
air yang terlihat selama proses pembentukan tempe menurut Steinkrauss dalam
Nurhikmat (2008) dihasilkan sebagai hasil dari pemecahan karbohidrat oleh
mikrobia. Sedangkan Rochmah (2008) mengatakan bahwa air merupakan salah
satu produk hasil fermentasi aerob. Selama fermentasi tempe, mikrobia mencerna
substrat dan menghasilkan air, karbondioksida dan sejumlah besar energi (ATP).
Selama fermentasi, kapang Rhizopus akan menghancurkan matriks antara sel
bakteri dimana pada hari ke tiga untuk kedelai akan menjadi empuk, tapi pada
fermentasi selanjutnya antara sel pada kedelai hancur ditambah air hasil
pemecahan karbohidrat yang menyebabkan tempe menjadi lembek dan berair
(Syarief,1999). Sementara itu, pertumbuhan kapang serta tekstur tempe belum
terlihat adanya perubahan yang terjadi jika dibandingkan dengan jam ke 0.
26
Tabel 5. Pengamatan Visual Tempe Saga Pohon pada Jam ke 12
Kapang Pertumbuhan
Kapang Penampilan Tempe
Tekstur
Tempe
Kontrol Tidak terlihat
pertumbuhan kapang
biji saga saling terpisah,
terlihat ada uap air Keras
R. oligosporus Belum terlihat
pertumbuhan kapang
biji saga saling terpisah,
terlihat ada uap air Keras
R. oryzae Belum terlihat
pertumbuhan kapang
biji saga saling terpisah,
terlihat ada uap air Keras
Campuran R.
oligosporus dan
R. oryzae
Belum terlihat
pertumbuhan kapang
biji saga saling terpisah,
terlihat ada uap air Keras
Sebagian sampel mulai terlihat adanya pertumbuhan miselium pada jam ke
24 (Tabel 6). Pada R. oligosporus dan campuran miselium tampak jelas dan rapat
menutupi biji saga pohon sehingga biji saga pohon saling menempel erat satu
sama lain dan penampilannya mulai tampak seperti tempe kedelai. Pada R. oryzae
pertumbuhan kapang juga terlihat dengan adanya miselium yang menyelubungi
biji saga pohon, namun tidak rapat melainkan tumbuh dengan renggang sehingga
tidak menyerupai tempe kedelai.
Tabel 6. Pengamatan Visual Tempe Saga Pohon pada Jam ke 24
Kapang Pertumbuhan
Kapang Penampilan Tempe
Tekstur
Tempe
Kontrol Tidak terlihat
pertumbuhan kapang
biji saga saling terpisah,
terlihat ada uap air Keras
R. oligosporus
Miselium tampak
rapat menutupi biji
saga
biji saga menempel erat
satu sama lain, terlihat
ada uap air
Agak lunak
R. oryzae Miselium tampak
menutupi biji saga
biji saga agak
menempel satu sama
lain, terlihat ada uap air
Agak lunak
Campuran R.
oligosporus dan
R. oryzae
Miselium tampak
rapat menutupi biji
saga pohon
biji saga menempel erat
satu sama lain, terlihat
ada uap air
Agak lunak
27
Tekstur tempe pada sampel R. oligosporus, R. oryzae dan campuran
berubah menjadi agak lunak dibandingkan dengan pengamatan pada jam ke 12.
Pada sampel kontrol tidak terdapat perubahan tekstur tempe, sehingga masih tetap
sama dengan pengamatan sebelumnya.
Pada jam ke 36 (Tabel 7), tekstur tempe pada sampel kontrol mulai
berubah menjadi agak lunak tanpa terlihat adanya pertumbuhan kapang.
Sedangkan pada sampel R. oligosporus, R. oryzae dan campuran berubah menjadi
lunak. Pertumbuhan kapang pada R. oryzae meningkat ditandai dengan miselium
yang mulai rapat menutupi biji saga pohon. Sampel R. oligosporus dan campuran
memiliki miselium yang sangat rapat sehingga terlihat memadat dan memiliki
tampilan menyerupai tempe kedelai.
Tabel 7. Pengamatan Visual Tempe Saga Pohon pada Jam ke 36
Kapang Pertumbuhan
Kapang Penampilan Tempe
Tekstur
Tempe
Kontrol Tidak terlihat
pertumbuhan kapang
biji saga saling terpisah,
terlihat ada uap air Agak lunak
R. oligosporus
Miselium tampak
rapat dan padat
menyelubungi biji
saga
biji saga menempel erat
satu sama lain, terlihat
ada uap air
Lunak
R. oryzae
Miselium tampak
rapat menyelubungi
biji saga
biji saga menempel erat
satu sama lain, terlihat
ada uap air
Lunak
Campuran R.
oligosporus dan
R. oryzae
Miselium tampak
rapat dan padat
menyelubungi biji
saga
biji saga menempel erat
satu sama lain, terlihat
ada uap air
Lunak
Secara umum, pada sampel kontrol tidak terdapat adanya perubahan yang
berarti dimulai dari pengamatan jam ke 0 hingga pengamatan jam ke 36. Tidak
nampak adanya pertumbuhan kapang dan tidak ada perubahan pada biji saga
28
pohon selama pengamatan berlangsung, kecuali pada jam ke 36 tekstur pada
tempe berubah menjadi agak lunak. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
metabolisme bakteri asam laktat yang tumbuh pada biji saga pohon. Bakteri asam
laktat muncul disebabkan karena proses perendaman biji saga pohon sebelum
diinokulasi (Bahri, 2009).
Sampel R. oligosporus adalah sampel yang paling cepat perkembangannya
dalam membentuk tempe. Pada jam ke 24 sampel sudah dipenuhi oleh miselium
yang lebat dan mengikat rapat antar biji saga pohon. Sementara itu R. oryzae dan
kultur campuran tumbuh lebat pada jam ke 36.
Berdasarkan hasil akhir ketiga sampel yaitu R. oligosporus, R. oryzae dan
kultur campuran, yang memiliki penampilan menyerupai tempe kedelai hanya
dapat ditemui pada sampel yang menggunakan kapang R. oligosporus yang dapat
dilihat setelah pengamatan pada jam ke 36. Sementara itu, pada sampel yang
menggunakan kapang R. oryzae dan kultur campuran memiliki miselium yang
lebat seperti R. oligosporus, namun tidak kompak dan terlihat tumbuh
mengembang sehingga tidak mengikat kuat biji saga pohon menjadi satu
kesatuan. Hal ini sesuai dengan penelitian Safrine (2012) yang berdasarkan uji
daya terima penampilan, tempe saga pohon dengan kapang R. oligosporus
memiliki penampilan paling mirip dengan tempe kedelai. Tempe yang ideal
adalah tempe yang kompak, warna miseliumnya normal yaitu putih dan memiliki
aroma normal tempe (Karsono et al., 2008).
Tempe yang dibuat menggunakan R. oligosporus menghasilkan struktur
tempe yang paling kompak karena miseliumnya tersusun dengan panjang dan
29
rapat, sedangkan tempe dengan kultur R. oryzae yang memiliki miselium yang
pendek dan renggang menghasilkan tempe dengan bentuk yang kurang kompak.
Sementara itu pada kultur campuran R. oligosporus dan R. oryzae menghasilkan
struktur tempe seperti R. oryzae.
Kemiripan yang terjadi antara tempe yang menggunakan kultur R. oryzae
dan kultur campuran dapat dilihat dari miseliumnya yang renggang dan terlihat
mengembang tidak seperti R. oligosporus yang padat dan kompak. Warna
miselium antara kultur R. oryzae dan kultur campuran juga mirip, yaitu berwarna
putih sedikit keabu-abuan. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh R. oryzae yang
tumbuh lebih dominan dibandingkan dengan R. oligosporus pada kultur campuran
sehingga memiliki kemiripan miselium seperti kultur R. oryzae meskipun
perbandingan keduanya adalah 1:1. Sebagai perbandingan, pada penelitian Safrine
(2012) kultur campuran R. oligosporus dan R. oryzae dengan perbandingan 1:1
terlihat miselium kapang terlihat lebat dan merata. Ini menunjukkan pertumbuhan
kultur campuran seimbang. Sementara itu pada kultur R. oligosporus dan R.
oryzae masing-masing memiliki hasil yang mirip dengan hasil penelitian ini.
4.3 Pengamatan Mikroskopis Kapang
Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan cara melihat perubahan dan
perkembangan kapang yang terjadi pada tempe saga pohon dengan menggunakan
mikroskop dari waktu ke waktu. Terlebih dahulu dibuat preparat cair dari sampel
yang akan diamati. Pengamatan dimulai dari jam ke 12 lalu dilanjutkan pada jam
ke 24 dan 36.
30
Gambar 4. R. oligosporus pengamatan jam ke 12 pada tempe saga pohon
perbesaran 500x
Pada pengamatan R. oligosporus jam ke 12 (Gambar 4) kapang sudah dapat
diamati. Hanya hifa vegetatif yang dapat dilihat dan tidak ditemukan adanya
spora. Sporangium juga belum terbentuk.
Gambar 5. R. oligosporus pengamatan jam ke 24 pada tempe saga pohon
perbesaran 500x
Pada pengamatan jam ke 24 (Gambar 5) bagian-bagian kapang yang lain
sudah mulai terlihat jelas, tidak hanya hifa-hifa vegetatif. Bagian-bagian kapang
yang dapat diamati seperti sporangiofor dan spora yang menempel pada
spora
sporangiofor
31
sporangiofor ataupun tersebar. Hifa tumbuh panjang dibandingkan pada
pengamatan jam ke 12.
Pada pengamatan jam ke 36 (Gambar 6) kapang semakin terlihat jelas dan
besar. Gambar 6 dibawah ini menunjukan cukup banyak sporangiofor yang
saling bertumpukan tanpa adanya spora yang kemungkinan telah lepas.
Gambar 6. R. oligosporus pengamatan jam ke 36 pada tempe saga pohon
perbesaran 500x
Gambar 7. R. oryzae pengamatan jam ke 12 pada tempe saga pohon perbesaran
500x
R. oryzae pada pengamatan jam ke 12 (Gambar 7) tidak jauh berbeda
dengan R. oligosporus, yaitu hanya terlihat adanya hifa vegetatif. Hifa pada R.
spora
sporangiofor
32
oryzae berbentuk sedikit berbeda dibandingkan dengan R. oligosporus, yaitu
lebih panjang dan lebih sedikit cabangnya sehingga berbentuk seperti tumpukan
benang.
Gambar 8. R. oryzae pengamatan jam ke 24 pada tempe saga pohon perbesaran
500x
Pada jam ke 24 (Gambar 8), R. oryzae sudah mulai terlihat dengan jelas
bagian-bagiannya. Gambar 8 menunjukkan sporangiofor dengan spora yang
mulai terlepas dari sporangium.
Gambar 9. R. oryzae pengamatan jam ke 36 pada tempe saga pohon perbesaran
500x
sporangiofor
spora
sporangium
spora
sporangiofor
sporangium
33
Pada sampel R. oryzae pengamatan jam ke 36, gambar 9 menunjukkan
adanya sporangium yang berisi spora yang nampak mulai terbuka. Nampak pula
spora yang bertebaran serta sporangium yang sporanya sudah terlepas.
Pada sampel dengan kultur campuran pun pada pengamatan jam ke 12
(Gambar 10) tidak jauh berbeda dengan sampel R. oligosporus maupun R. oryzae,
yaitu belum menunjukkan bagian-bagian kapang dengan jelas. Hanya terlihat
adanya hifa vegetatif tanpa bagian lain.
Gambar 10. Kultur campuran pengamatan jam ke 12 pada tempe saga pohon
perbesaran 500x
Pada pengamatan jam ke 24 (Gambar 11) bagian-bagian kapang sudah
mulai dapat diamati. Terlihat tumpukan sporangiofor yang cukup banyak dengan
spora yang masih menempel diujungnya. Ada juga yang sporanya sudah mulai
terlepas dan menyebar di sekitar sporangiofor.
Berdasarkan ciri-ciri yang terdapat pada penelitian Wipradnyadewi (2005)
dan Soetrisno (1996), sulit ditemukan perbedaan antara kapang R. oligosporus dan
R. oryzae dalam kultur campuran ini karena secara mikroskopis kedua jenis
kapang ini mirip satu sama lain.
34
Gambar 11. Kultur campuran pengamatan jam ke 24 pada tempe saga pohon
perbesaran 500x
Pada pengamatan jam ke 36 (Gambar 12) hifa pada kapang terlihat
berwarna kecoklatan. Gambar 12 (a) menunjukkan sporangiofor yang masih
terdapat beberapa spora yang menempel sedangkan pada gambar 12 (b) terlihat
hanya ada sebuah sporangiofor dengan spora yang tersebar disekitarnya.
Gambar 12. Kultur campuran pengamatan jam ke 36 pada tempe saga pohon
perbesaran 500x
Secara umum, pertumbuhan kapang R. oligosporus, R. oryzae serta kultur
campuran mirip satu sama lain. Pada jam ke 12 sampel ketiganya hanya terdapat
sporangiofor
spora
spora
sporangiofor
35
hifa vegetatif seperti benang-benang yang panjang dan bercabang. Pada jam ke 24
mulai terlihat adanya spora, baik yang tersebar maupun yang masih menempel
pada sporangiofor. Lalu pada jam ke 36 hifa-hifa mulai berubah warna menjadi
kecokelatan.
4.4 Analisis Kadar Air
Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan, dimana dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Air juga akan
mempengaruhi daya tahan bahan pangan terhadap serangan mikroba yang
dinyatakan dengan Aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Fardiaz, 1989).
Suciati (2012) berpendapat bahwa mutu dari suatu produk ditentukan oleh
kadar airnya, semakin tinggi kadar air suatu bahan pangan maka semakin rendah
mutu bahan pangan tersebut. Tingginya kadar air pada produk dapat membantu
berlangsungnya kerusakan baik itu secara mikrobiologis, kimiawi, maupun
enzimatis.
Metode pengeringan dengan cara oven yang digunakan pada penelitian ini
merupakan salah satu metode pemanasan langsung dalam penetapan kadar air
suatu bahan pangan. Dalam metode ini bahan dipanaskan pada suhu tertentu
sehingga semua air menguap yang ditunjukkan oleh berat konstan bahan setelah
periode pemanasan tertentu. Kehilangan berat bahan yang terjadi menunjukkan
jumlah air yang terkandung. Metode ini terutama digunakan untuk bahan-bahan
yang stabil terhadap pemanasan yang agak tinggi, serta produk yang tidak atau
36
rendah kandungan sukrosa dan glukosanya seperti tepung-tepungan dan serealia
(AOAC 1984).
Gambar 13. Grafik kadar air pada tempe saga pohon terhadap waktu pengamatan
Berdasarkan grafik diatas (Gambar 13), kadar air terlihat fluktuatif.
Sampel kontrol dan R. oligosporus terlihat menurun pada jam ke 12 lalu naik pada
jam ke 24 kemudian turun kembali pada jam ke 36. Untuk sampel R. oryzae dan
campuran berat basah pada jam ke 12 lebih tinggi dari jam ke 0 lalu terus
menurun pada jam ke 24 dan 36. Perubahan kadar air terjadi karena selama
fermentasi terjadi proses metabolisme dan perombakan senyawa makromolekul
menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Naiknya kadar air disebabkan dari air yang dihasilkan selama proses
fermentasi. Menurut Steinkrauss dalam Nurhikmat (2008), selama fermentasi
tempe, air dihasilkan sebagai hasil dari pemecahan karbohidrat oleh mikroba.
Sedangkan menurut Rochmah (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
air merupakan salah satu produk hasil fermentasi aerob. Selama fermentasi tempe,
54
55
56
57
58
59
60
61
62
0 12 24 36
Kad
ar A
ir (
%)
Jam ke-
Grafik Kadar Air pada Tempe Saga Pohon
kontrol
R. oryzae
R. oligosporus
Kultur campuran
37
mikroba mencerna substrat dan menghasilkan air, karbondioksida dan sejumlah
besar energi (ATP). Selama fermentasi, kapang Rhizopus akan menghancurkan
matriks antara sel bakteri dimana pada hari ke tiga untuk biji akan menjadi
empuk, tapi pada fermentasi selanjutnya antara sel pada biji hancur ditambah air
hasil pemecahan karbohidrat yang menyebabkan tempe menjadi lembek dan
berair (Syarief,1999). Sementara itu, penurunan kadar air terjadi karena air dapat
dimanfaatkan dalam proses metabolisme oleh mikroba pada tempe saga. Seperti
yang telah dijelaskan oleh Tobing (2009) dalam penelitiannya yang menyebutkan
bahwa penurunan kadar air terjadi karena semakin tinggi konsentrasi mikroba
maka akan semakin banyak air yang digunakan oleh mikroba untuk berkembang
dan mengakibatkan terjadinya penurunan kadar air. Penurunan kadar air juga
dapat disebabkan dari lama waktu fermentasi. Penurunan kadar air ini terjadi
karena semakin lama proses fermentasi berlangsung, terjadi kenaikan suhu,
dimana aktivitas mikroba meningkat dan aktivitas enzim menjadi lebih aktif
sehingga kandungan air akan menguap dan menyebabkan kadar air menurun.
Kadar air dari sampel R. oligosporus terlihat lebih rendah dibandingkan
dengan R. oryzae. Hal ini ada hubungannya dengan aktivitas fermentasi yang
lebih cepat. Safrine (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa selama
fermentasi, senyawa kompleks (karbohidrat, protein dan lemak) akan dihidrolisis
menjadi senyawa – senyawa yang lebih sederhana. Proses hidrolisis akan
mengubah sebagian air bebas menjadi air dalam bentuk terikat yang
mengakibatkan terjadinya penurunan kandungan air bebas dalam bahan, sehingga
semakin sedikit air yang dapat diuapkan pada saat analisis kadar air. Semakin
38
cepat aktivitas fermentasi, maka semakin sedikit air bebasnya sehingga semakin
sedikit air yang menguap dan terhitung semakin rendahnya kadar air.
Kadar air pada setiap isolat R. oligosporus, R. oryzae serta kultur
campuran dan pada semua pengamatan mulai dari jam ke 0, 12, 24 hingga 36
yang dilakukan telah sesuai dengan kriteria pada SNI 3144:2009 yaitu maksimal
65%.
4.5 Penentuan Nilai pH
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor penting yang perlu
untuk diperhatikan pada saat proses fermentasi. Nilai pH dipengaruhi oleh produk
yang dihasilkan selama proses fermentasi (Azizah, 2012). Derajat keasaman (pH)
merupakan salah satu dari beberapa faktor penting yang mempengaruhi
fermentasi. Derajat keasaman optimum untuk proses fermentasi adalah antara 4 -
5. Pada pH di bawah 3, proses fermentasi akan berkurang kecepatannya (Buckle
et al., 2007). Menurut Setyohadi (2006), hampir semua mikroba hidup pada
tingkat pH yang berbeda. Sebagian besar mikroba tumbuh pada pH mendekati
netral (pH 6,5 – 7,5). Pada pH dibawah 5 dan di atas 8 bakteri tidak dapat tumbuh
dengan baik, kecuali bakteri asam asetat (Acetobacter suboxydans) yang dapat
tumbuh pada pH rendah dan bakteri Vibrio sp. yang dapat tumbuh pada pH tinggi.
Khamir dan kapang umumnya menyukai pH 4,5 – 5 dan dapat tumbuh dengan
baik pada pH 2,5 – 8,5.
39
Gambar 14. Grafik nilai pH pada tempe saga pohon terhadap waktu pengamatan
Berdasarkan gambar 14 dapat dilihat bahwa pH pada semua sampel baik
kontrol, R. oligosporus, R. oryzae, maupun kapang campuran menunjukkan nilai
pH yang menurun dari waktu ke waktu. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi proses
fermentasi pada tempe saga pohon oleh kapang dan mikroba lainnya yang
memecah biji saga pohon menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana
sehingga tempe menjadi semakin asam. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Sutari, (2010) yang menyatakan bahwa semakin lama proses fermentasi, nilai pH
akan menunjukan penurunan dan tingkat keasamannya semakin meningkat.
Makin lama proses fermentasi berlangsung, semakin banyak bagian padatan yang
terdekomposisi. Sedangkan Aruben (2009) dalam penelitiannya menyebutkan
bahwa penurunan pH disebabkan karena selama proses fermentasi dihasilkan
asam – asam organik seperti asam laktat, asam asetat dan lain – lain.
Dwianingsih (2010) berpendapat bahwa penurunan pH biji kedelai tidak
menghambat pertumbuhan kapang tempe, tetapi dapat menghambat pertumbuhan
0
1
2
3
4
5
6
7
0 12 24 36
pH
Jam ke-
Grafik pH pada Tempe Saga Pohon
kontrol
R. oryzae
R. oligosporus
Kultur campuran
40
bakteri-bakteri kontaminan yang bersifat pembusuk. Proses fermentasi selama
perendaman yang dilakukan bakteri mempunyai arti penting ditinjau dari aspek
gizi, apabila asam yang dibentuk dari gula stakhiosa dan rafinosa. Keuntungan
lain dari kondisi asam dalam biji adalah menghambat kenaikan pH sampai di atas
7,0 karena adanya aktivitas proteolitik jamur yang dapat membebaskan amonia
sehingga dapat meningkatkan pH dalam biji. Pada pH di atas 7,0 dapat
menyebabkan penghambatan pertumbuhan atau kematian kapang tempe. Proses
hidrasi terjadi selama perendaman dan perebusan biji. Makin tinggi suhu yang
dipergunakan makin cepat proses hidrasinya, tetapi bila perendaman dilakukan
pada suhu tinggi menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri sehingga
tidak terbentuk asam.
4.6 Analisis Total Asam
Total asam merupakan salah satu pengamatan yang penting dalam
menentukan mutu produk olahan dengan asam. Penggunaan bahan baku yang
telah mengandung asam yang cukup sehingga tidak perlu lagi ditambahkan asam
sitrat, akan tetapi apabila bahan baku yang sedikit mengandung asam, perlu
ditambahkan asam sehingga kesegaran dan nilai pH yang diinginkan dapat
tercapai (Safitri, 2012).
Menurut Simbolon (2008), pada saat terjadi proses fermentasi akan
dihasilkan asam – asam yang mudah menguap, diantaranya asam laktat, asam
asetat, asam formiat, asam butirat dan asam propionat. Asam asetat lebih banyak
diproduksi pada konsentrasi gula yang tinggi, sedangkan asam butirat, asam
41
formiat dan asam propionat dijumpai dalam jumlah kecil. Jumlah asam asetat
yang diperoleh tergantung jenis dan kondisi fermentasi.
Pada analisis total asam semua sampel baik kontrol, R. oligosporus, R.
oryzae, maupun kapang campuran menunjukkan presentase asam laktat yang
meningkat dari waktu ke waktu (Gambar 15). Hal ini sesuai dengan nilai pH yang
semakin menurun yang berarti sampel semakin bertambah asam. Sampel kontrol
memiliki total asam paling rendah sedangkan total asam yang paling tinggi
berbeda-beda tiap pengamatan.
Gambar 15. Grafik total asam pada tempe saga pohon terhadap waktu pengamatan
Kapang memiliki aktivitas enzim amilase yang kuat yang dapat memecah
pati menjadi gula sederhana yang kemudian akan diubah secara fermentasi
menjadi asam – asam organik, sehingga nilai total asamnya semakin tinggi (Bahri,
2011). Kenaikan total asam yang diikuti dengan penurunan pH disebabkan oleh
adanya bakteri asam laktat yang tumbuh pada proses pembuatan tempe saga, yaitu
pada saat perendaman selama semalaman. Menurut Karsono et al. (2009), proses
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0 12 24 36
Tota
l Asa
m (
%)
Jam ke-
Grafik Total Asam pada Tempe Saga Pohon
kontrol
R. oryzae
R. oligosporus
Kultur campuran
42
perendaman menyebabkan larutnya oligosakarida (gula majemuk) pada biji yang
terutama terdiri dari stakiosa dan rafinosa sehingga bakteri asam laktat dapat
memfermentasi gula tersebut menjadi asam organik. Asam organik ini akan
menciptakan kondisi asam sehingga pertumbuhan mikroorganisme pengganggu
fermentasi yang tidak dikehendaki dapat dicegah.
Buckle et al. (1987) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa bakteri
asam laktat merupakan bakteri penghasil sejumlah besar asam laktat sebagai hasil
akhir dari metabolisme gula (karbohidrat). Asam laktat yang dihasilkan dengan
cara tersebut akan menurunkan nilai pH lingkungan pertumbuhannya dan
menimbulkan rasa asam. Sedangkan menurut Dwinaningsih (2010) ketika
perendaman berlangsung proses fermentasi oleh bakteri yang terdapat di air
terutama oleh bakteri asam laktat. Pada proses perendaman juga memberikan
kesempatan kepada keping-keping kedelai menyerap air sehingga menjamin
pertumbuhan kapang menjadi optimum. Keadaan ini tidak mempengaruhi
pertumbuhan kapang tetapi mencegah berkembangnya bakteri yang tidak
diinginkan.
Grafik pH jika dibandingkan dengan grafik total asam terlihat sedikit
berbeda. Pada grafik pH (Gambar 14) terlihat dari jam ke 0 hingga jam ke 24
turun lalu dari jam ke 24 hingga jam ke 36 turun tetapi mendekati konstan.
Berbeda dengan grafik total asam (Gambar 15) yang pada jam ke 0 hingga jam ke
12 terlihat sedikit naik (kecuali pada R. oligosporus) dan pada jam ke 12 hingga
jam ke 36 meningkat tajam. Hal ini disebabkan karena pada pH yang diukur
berdasarkan ion H+ yang berarti hanya asam-asam kuat saja yang dapat diukur,
43
padahal dalam fermentasi tempe tidak hanya asam kuat yang terbentuk tetapi
terdapat juga asam-asam lemah. Pada analisis total asam yang dilakukan
menggunakan titrasi tidak hanya asam kuat saja yang dapat diukur, asam-asam
lemah juga termasuk sehingga grafik pada gambar 15 terlihat meningkat tajam.
4.7 Analisis Data Statistik
Analisis data statistik dilakukan untuk membandingkan antar perlakuan
apakah terlihat adanya perbedaan atau tidak. Analisis data menggabungkan data
parameter kadar air, pH serta total asam untuk mempermudah dalam mengambil
kesimpulan.
Berdasarkan uji ANOVA yang dilakukan didapat hasil bahwa nilai
probabilitas diatas 0,05 baik pada parameter kadar air, pH maupun total asam. Hal
ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara sampel kontrol, R.
oligosporus, R. oryzae dan kultur campuran. Karena hasil uji menunjukkan tidak
ada perbedaan maka uji Duncan tidak dilakukan.
Hasil ini didukung dengan pengamatan mikroskopis yang juga tidak
menunjukkan perbedaan yang cukup jelas antara R. oligosporus dan R. oryzae.
Sedangkan pada pengamatan visual perbedaan antara R. oligosporus, R. oryzae
dan kultur campuran dapat diamati dari kerapatan miseliumnya dalam menutupi
biji saga pohon, dimana R. oligosporus memiliki miselium yang tersusun rapat
dan kompak sedangkan R. oryzae dan kultur campuran memiliki miselium yang
tampak renggang sehingga biji saga pohon tidak saling menempel dengan erat.
44
BAB V
KESIMPULAN & SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah berdasarkan parameter yang ada,
yaitu kadar air, pH dan total asam serta didukung dengan pengamatan
mikroskopis menunjukkan bahwa aktivitas fermentasi tempe saga pohon pada
sampel yang menggunakan kapang R. oligosporus, R. oryzae maupun
campuran dari keduanya adalah sama, tidak terlihat adanya perbedaan.
Perbedaan dari masing-masing sampel hanya dapat dilihat melalui
pengamatan visual, yaitu dari kerapatan dan warna miselium kapang. Tempe
saga pohon yang memiliki bentuk paling mirip dengan tempe kedelai adalah
tempe yang dibuat menggunakan kultur R. oligosporus.
5.2 Saran
Untuk penelitian lebih lanjut dapat menggunakan lebih banyak lagi
jenis kapang dan perbandingan campuran kapang serta menambah parameter
yang menunjukkan adanya aktivitas fermentasi dalam pembuatan tempe saga,
seperti suhu, kandungan protein, dan lain-lain.
45
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A., 2005. Mikrobiologi Dasar Jilid I. UNM Press. Makassar.
Amar, A., M.M. Koeswardhani & Muhami. 2001. Saga Pohon (Adenanthera
pavonina, L): Sifat-Sifat dan Aplikasinya, Sebagai Sumber Protein
Potensial di Indonesia. Jurnal IPTEK. 6(3): 132-138.
Anggraini, N. 2007. Solusi Alternatif Pengganti Tempe Kedelai: 10 hlm.
http://images.angjun.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/Slw1K
QoKCEYAAF0ZN2c1/SOLUSI%20ALTERNATIF%20PENGGANTI%
20TEMPE%20KEDELAI.pdf?key=angjun:journal:2&nmid=266669255,
5 Maret 2013, pk. 12.22 WIB.
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis Association of Official Analytical
Chemist. Washington DC.
Aruben, Novita W. 2009. Peningkatan Konsentrasi Senyawa Fenolik Antioksidan
dari Dedak dengan Cara Fermentasi. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Azizah, N., A.N. Al-Baarri & S. Mulyani. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi
terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas pada Proses Fermentasi
Bioetanol dari Whey dengan Substitusi Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan. 1:2 (72-77).
Badan Pusat Statistik. 2012. Data Stategis BPS. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Bahri, S. 2011. Profil Asam Lemak dan Daya Terima Tempe Biji Saga Pohon
(Adenanthera pavonina Linn) yang Difermentasi Menggunakan Kapang
Lokal. Skripsi. Program Ekstensi Kuliah Karyawan Program Studi
Teknologi Industri Pertanian Institut Teknologi Indonesia Serpong.
Bartnicki-Garcia, S. & W.J. Nickerson. 1962. Nutrition, Growth, and
Morphogenesis of Mucor rouxii. J. Bacteriol. 84(1): 841-858.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wotton, 1987. Ilmu
Pangan.Penerjemah H Purnomo dan Adiono.UI – Press, Jakarta.
Cahyadi, W. 2006. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara: Bandung.
Dewi, Ratna S. dan Saefuddin ‘Aziz. 2011. Isolasi Rhizopus oligosporus pada
Beberapa Inokulum Tempe di Kabupaten Banyumas. Molekul. 6(2): 93-
104.
46
Dwinaningsih, E. A. 2010. Karakteristik Kimia dan Sensori Tempe dengan
Variasi Bahan Baku Kedelai/Beras dan Penambahan Angkak serta
Variasi Lama Fermentasi. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Fardiaz, S., 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Gandjar, I., W.Sjamsuridzal & A.Oetari. 2006. Mikologi: Dasar dan Terapan.
Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Haryoko, M. & N.Kurnianto. 2009. Pembuatan Tempe Saga (Adenanthera
pavonia L) Menggunakan Ragi Tepung Tempe Dan Ragi Instan. Skripsi.
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Hau, D.K., J.Nulik & H.Lay. 2006. Biji Saga Pohon (Adenanthera pavonina,
Linn) Sebagai Sumber Protein Alternatif Bagi Ternak Ayam. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 5-6 September 2006,
Bogor.
Juniarti, Delvi & Yuhernita. 2009. Kandungan Senyawa Kimia, Uji Toksisitas
(Brine Shrimp Lethality Test) dan Antioksidan (1,1-diphenyl-2-
pikrilhydrazyl) dari Ekstrak Daun Saga (Abrus precatorius L). Jurnal
Sains. 13(1): 50-54.
Karsono Y., A. Tunggal, A. Wiratama, P. Adimulyo. 2008. Pengaruh Jenis Kultur
Starter Terhadap Mutu Organoleptik Tempe Kedelai. www.
repository.ipb.ac.id. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut
Pertanian Bogor.
Legowo, A.M. & Nurwantoro. 2004. Diktat Kuliah Analisis Pangan. UNDIP
Press: Semarang.
Lukman, A. 1982. Pengaruh Perajangan dan Lama Pengukusan Biji Saga Pohon
(Adenanthera pavonina L) terhadap rendemen dan mutu minyak yang
dihasilkan pada proses ekstraksi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Nurhikmat, A.. 2008. Pengaruh Suhu dan Kecepatan Udara terhadap nilai
Konstanta pengeringan tempe kedelai. Thesis. UGM.Yogyakarta.
Pelczar, M.J & E.C.S. Chan., 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi I. UI Press:
Jakarta.
Riadi, L. 2007. Teknologi Fermentasi. Graha Ilmu: Yogyakarta.
47
Rizatullah, M. 2010. Susu Saga (Adenanthera pavonina) Instan Berprotein
Berdasarkan Suhu Pengovenan. Skripsi. Departemen Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Rokhmah, L. N. 2008. Kajian Kadar Asam Fitat dan Kadar Protein Selama
Pembuatan Tempe Kara Benguk (Mucuna Pruriens) dengan Variasi
Pengecilan Ukuran dan Lama Fermentasi. Skripsi. Fakultas Pertanian
UNS. Surakarta.
Safitri, Anisa A. 2012. Studi Pembuatan Fruit Leather Mangga-Rosella. Skripsi.
Program Studi Ilmu Dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Pertanian
Universitas Hasanuddin.
Safrine, Annisa. 2012. Formulasi Inokulum Kapang Lokal R. oligosporus dan R.
oryzae pada fermentasi tempe biji saga pohon (Adenanthera pavonina
Linn). Skripsi. Program Studi Teknologi Industri Pertanian Institut
Teknologi Indonesia Serpong.
Sarwono, B. 2000. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya: Jakarta.
Sinaga, L.M., 2012. Sifat Antirayap Ekstrak Kulit Biji Saga (Adenanthera
pavonina Linn). Skripsi. Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
Simbolon, Karlina. 2008. Pengaruh Persentase Ragi Tape dan Lama Fermentasi
terhadap Mutu Tape Ubi Jalar. Skripsi. Departemen Teknologi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
SNI. 2009. Tempe Kedelai. Badan Standarisasi Nasional SNI 3144:2009. Jakarta.
Soetrisno, N.S. 1996. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Yayasan Tempe
Indonesia: Jakarta
Suciati, A. 2012. Pengaruh Lama Perendaman dan Fermentasi Terhadap
Kandungan HCN pada Tempe Kacang Koro (Canavalia ensiformis L).
Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.
Suryowinoto, S.M. 1997. Flora Eksotika Tanaman Peneduh. Penerbit Kanisius:
Yogyakarta.
Sutari, S. N.W., 2010. Pengujian Kualitas Biourine Hasil Fermentasi dengan
Mikroba yang Berasal dari Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Sawi Hijau (Brassica juncea L.). Tesis. Program Pascasarjana.
Universitas Udayana.
48
Syarief, R. 1999. Wacana Tempe Indonesia. Universitas Katolik Widya Mandala
Press. Surabaya.
Theresia. 1986. Karakterisasi Biji Saga (Adenanthera pavonina Linn). Skripsi.
Institut Pertanian Bogor.
Tobing, Imelda M.L. 2009. Pengendalian Fermentasi dengan Pengaturan
Konsentrasi Ragi dan Lama Fermentasi terhadap Mutu Kopi Instan
Secara Mikroenkapsulasi. Skripsi. Departemen Teknologi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Waluyo, L. 2004. Mikrobiologi Umum. UMM Press: Malang.
Widianarko. 2002. Tips Pangan Teknologi, Nutrisi, dan Keamanan Pangan.
Grasindo: Jakarta.
Wipradnyadewi, P.A.S. 2005. Isolasi dan Identifikasi Rhizopus oligosporus pada
Beberapa Inokulum Tempe. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.
49
Lampiran 1. Data Primer Penelitian Ulangan 1
Berat Akhir pH NaOH
Jam ke 0
kontrol 1,821 gr 6,33 0,2 ml
R. oryzae LIPIMC0135 1,894 gr 6,15 0,3 ml
R. oligosporus LIPIMC0387 1,827 gr 6,37 0,2 ml
Kultur campuran 1,874 gr 6,43 0,2 ml
Jam ke 12
kontrol 1,778 gr 5,38 0,4 ml
R. oryzae LIPIMC0135 1,806 gr 5,46 0,3 ml
R. oligosporus LIPIMC0387 1,819 gr 5,36 0,3 ml
Kultur campuran 1,863 gr 5,44 0,3 ml
Jam ke 24
kontrol 1,770 gr 4,95 1,0 ml
R. oryzae LIPIMC0135 1,817 gr 4,95 0,7 ml
R. oligosporus LIPIMC0387 1,849 gr 4,79 1,3 ml
Kultur campuran 1,857 gr 4,72 1,0 ml
Jam ke 36
kontrol 1,778 gr 4,47 1,1 ml
R. oryzae LIPIMC0135 1,845 gr 4,34 1,4 ml
R. oligosporus LIPIMC0387 1,815 gr 4,45 1,6 ml
Kultur campuran 1,804 gr 4,56 1,6 ml
50
Lampiran 2. Data Primer Penelitian Ulangan 2
Berat Akhir pH NaOH
Jam ke 0
kontrol 2,058 gr 6,39 0,9 ml
R. oryzae LIPIMC0135 2,045 gr 6,81 1,1 ml
R. oligosporus LIPIMC0387 2,147 gr 6,40 1,1 ml
Kultur campuran 2,195 gr 6,69 0,9 ml
Jam ke 12
kontrol 2,190 gr 6,39 1,0 ml
R. oryzae LIPIMC0135 2,072 gr 6,69 0,7 ml
R. oligosporus LIPIMC0387 2,104 gr 6,32 2,0 ml
Kultur campuran 1,936 gr 6,73 1,2 ml
Jam ke 24
kontrol 2,134 gr 5,28 2,5 ml
R. oryzae LIPIMC0135 2,195 gr 5,33 2,3 ml
R. oligosporus LIPIMC0387 2,140 gr 5,49 2,1 ml
Kultur campuran 2,206 gr 5,52 2,6 ml
Jam ke 36
kontrol 2,204 gr 5,36 3,1 ml
R. oryzae LIPIMC0135 2,184 gr 5,42 2,8 ml
R. oligosporus LIPIMC0387 2,510 gr 5,46 2,5 ml
Kultur campuran 2,325 gr 5,63 3,4 ml
51
Lampiran 3. Data Primer Penelitian Ulangan 3
Berat Akhir pH NaOH
Jam ke 0
kontrol 1,932 gr 6,69 0,7 ml
R. oryzae LIPIMC0135 2,013 gr 6,70 1,2 ml
R. oligosporus LIPIMC0387 1,982 gr 6,40 1,1 ml
Kultur campuran 2,153 gr 6,70 1,2 ml
Jam ke 12
kontrol 2,115 gr 6,34 0,7 ml
R. oryzae LIPIMC0135 1,913 gr 6,70 1,4 ml
R. oligosporus LIPIMC0387 2,132 gr 6,35 1,3 ml
Kultur campuran 2,025 gr 6,70 1,4 ml
Jam ke 24
kontrol 2,104 gr 5,29 1,0 ml
R. oryzae LIPIMC0135 2,068 gr 5,34 2,0 ml
R. oligosporus LIPIMC0387 1,996 gr 5,50 1,9 ml
Kultur campuran 2,164 gr 5,51 2,3 ml
Jam ke 36
kontrol 2,136 gr 5,32 1,9 ml
R. oryzae LIPIMC0135 2,283 gr 5,41 2,6 ml
R. oligosporus LIPIMC0387 2,184 gr 5,48 2,8 ml
Kultur campuran 2,313 gr 5,65 2,8 ml
52
Lampiran 4. Analisis Data Statistik
53
H0 : tidak terdapat perbedaan antar perlakuan
H1 : terdapat perbedaan antar perlakuan
Berdasarkan nilai probabilitas dengan α = 0,05 :
Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima
Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic df1 df2 Sig.
Kadar air (%) .463 3 44 .710
pH .319 3 44 .812
Total Asam (%) .163 3 44 .920
H0 : varians keempat perlakuan homogen
H1 : varians keempat perlakuan heterogen
Berdasarkan nilai probabilitas dengan α = 0,05 :
Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima
Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak
54
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian Pendahuluan
R. oligosporus hari ke 3 pengenceran 10
-2 R. oligosporus hari ke 3 pengenceran 10
-3
R. oligosporus hari ke 3 pengenceran 10
-4 R. oligosporus hari ke 3 pengenceran 10
-5
R. oligosporus hari ke 3 pengenceran 10
-6 R. oligosporus hari ke 3 pengenceran 10
-7
55
R. oligosporus hari ke 5 pengenceran 10
-2 R. oligosporus hari ke 5 pengenceran 10
-3
R. oligosporus hari ke 5 pengenceran 10
-4 R. oligosporus hari ke 5 pengenceran 10
-5
R. oligosporus hari ke 5 pengenceran 10
-6 R. oligosporus hari ke 5 pengenceran 10
-7
56
R. oligosporus hari ke 7 pengenceran 10
-4 R. oligosporus hari ke 7 pengenceran 10
-4
R. oligosporus hari ke 7 pengenceran 10
-5 R. oligosporus hari ke 7 pengenceran 10
-5
R. oligosporus hari ke 7 pengenceran 10
-6 R. oligosporus hari ke 7 pengenceran 10
-7
57
R. oligosporus hari ke 9 pengenceran 10
-4 R. oligosporus hari ke 9 pengenceran 10
-4
R. oligosporus hari ke 9 pengenceran 10
-5 R. oligosporus hari ke 9 pengenceran 10
-5
R. oligosporus hari ke 9 pengenceran 10
-6 R. oligosporus hari ke 9 pengenceran 10
-7
58
R. oryzae hari ke 3 pengenceran 10
-2 R. oryzae hari ke 3 pengenceran 10
-3
R. oryzae hari ke 3 pengenceran 10
-4 R. oryzae hari ke 3 pengenceran 10
-5
R. oryzae hari ke 3 pengenceran 10
-6 R. oryzae hari ke 3 pengenceran 10
-7
59
R. oryzae hari ke 5 pengenceran 10
-2 R. oryzae hari ke 5 pengenceran 10
-3
R. oryzae hari ke 5 pengenceran 10
-4 R. oryzae hari ke 5 pengenceran 10
-5
R. oryzae hari ke 5 pengenceran 10
-6 R. oryzae hari ke 5 pengenceran 10
-7
60
R. oryzae hari ke 7 pengenceran 10
-4 R. oryzae hari ke 7 pengenceran 10
-4
R. oryzae hari ke 7 pengenceran 10
-5 R. oryzae hari ke 7 pengenceran 10
-5
R. oryzae hari ke 7 pengenceran 10
-6 R. oryzae hari ke 7 pengenceran 10
-7
61
R. oryzae hari ke 9 pengenceran 10
-4 R. oryzae hari ke 9 pengenceran 10
-4
R. oryzae hari ke 9 pengenceran 10
-5 R. oryzae hari ke 9 pengenceran 10
-5
R. oryzae hari ke 9 pengenceran 10
-6 R. oryzae hari ke 9 pengenceran 10
-7
62
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian
Isolat R. oligosporus Isolat R. oryzae
Biji Saga Pohon Biji Saga Pohon setelah direbus
Biji Saga Pohon setelah dikupas kulitnya Pengukuran pH
63
Proses Pengovenan Pendinginan di Desikator
64
Lampiran 7. Dokumentasi Pengamatan Visual Tempe
Pengamatan Kontrol Jam ke 0 Pengamatan R. oligosporus Jam ke 0
Pengamatan R. oryzae Jam ke 0 Pengamatan Kultur Campuran Jam ke 0
Pengamatan Kontrol Jam ke 12 Pengamatan R. oligosporus Jam ke 12
65
Pengamatan R. oryzae Jam ke 12 Pengamatan Kultur Campuran Jam ke 12
Pengamatan Kontrol Jam ke 24 Pengamatan R. oligosporus Jam ke 24
Pengamatan R. oryzae Jam ke 24 Pengamatan Kultur Campuran Jam ke 24
66
Pengamatan Kontrol Jam ke 36 Pengamatan R. oligosporus Jam ke 36
Pengamatan R. oryzae Jam ke 36 Pengamatan Kultur Campuran Jam ke 36