PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG
FILSAFAT PERENIAL
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Romansah
NIM:1111033100020
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
i
PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG
FILSAFAT PERENIAL
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Romansah NIM:1111033100020
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi yang berjudul “Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Filsafat
Perenial” ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
PENGESAHAN PANITIA SIDANG
Skripsi yang berjudul “PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG
FILSAFAT PERENIAL” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 Juni 2017 Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam
Jakarta, 20 Juni 2017
v
ABSTRAK
Judul skripsi “Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Filsafat Perennial”
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan data, guna memperoleh jawaban secara konseptual mengenai bagaimana pemikiran Nurcholish Madjid tentang filsafat perenial, yang memberikan gagasan akan pentingnya pemikirannya tentang perennial ini dalam menanggapi kemajemukan yang sudah menjadi fitrah manusia dengan positif.
Kajian ini menggunakan metode dokumentasi baik di perpustakaan ataupun di luar perpustakaan dalam mengumpulkan data. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode hermeneutik dan metode diskriptif. Dengan kedua metode tersebut dimaksud untuk menguraikan masalah yang sedang dibahas secara teratur mengenai seluruh konsepsi dalam pemikiran Nurcholish Madjid. Adapun analisis datanya adalah analisis isi (content analysis) digunakan untuk menganalisis pemikiran Nurcholis Madjid tentang filsafat perenialnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran perenial dari seorang cendekiawan Muslim terkemuka di Indonesia yaitu Nurcholis Madjid, ini menghadirkan sebuah penafsiran yang mempunyai relevansi dengan konteks kebangsaan dan keragaman. Nurcholish Madjid menekankan filsafat perenial di atas intelektualisasi terhadap esoterisme dalam agama-agama, inklusifisme dalam perspektif perenial dan agama jalan menuju Tuhan. Filsafat perenial dalam kehidupan beragama berusaha mencari titik temu beragamnya pemahaman yang ada sehingga common platform yang menunjukkan bahwa keberagaman tersebut merupakan hal yang niscaya dan justru memberikan makna bagi kesatuan dan kebersamaan. al-Qur’ān dan Sunnah merupakan sumber inklusivisme. Adapun dalam memahami al-Islam selama ini sebagian kaum Muslim memahami Islam secara eksklusif. Namun, Nurcholish Madjid merujuk pada ayat-ayat al-Qur’ān, bahwa makna yang lebih tepat tentang al-Islam ini adalah agama yang dibawa oleh Nabi Ibrāhīm hingga Nabi Muḥammad. Di mana al-Islam (sikap pasrah) sebagai kalimah sawā’ (kesatuan agama-agama) dengan pendekatan esoteris maka semua agama mendapatkan “cahaya abadinya” mengaliri semua agama yang berasal dari Tuhan, di sini mempunyai penekanan dalam memahami pesan Tuhan. Asal-usul agama adalah Islam yaitu pasrah yang mempunyai ajaran untuk beribadah hanya kepada TuhanYang Maha Esa. Inti sari dari Islam bahwasanya ajaran tentang toleransi atau kelapangdadaan yang bisa disebut sebagai al-ḥanīfiyyah al-samḥah.
vi
KATA PENGANTAR
Takhenti-hentinya penulis bersyukur kepada Allah SWT bahwa atas
pertolongan dan petunjuk-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. �alawat dan salam
teruntuk Nabi Agung Muḥammad Saw. yang telah membimbing manusia menuju
jalan Ri ā-Nya.
Penulisan skripsi ini melalui serangkaian upaya dan kajian yang melibatkan
banyak pihak yang membantu penyelesaian skripsi ini baik secara langsung
maupun tidak langsung. Karena itu terimakasih yang sebesar-besarnya pertama
kepada pembimbing skripsi penulis Dr. Edwin Syarif, MA.yang dengan penuh
teliti dan telaten memberikan bimbingan, wawasan dan solusi kesulitan penulis
serta terus memotivasi agar program S1 ini terselesaikan dengan sempurna.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada segenap civitas akademika
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terutama pimpinan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama Prof. Dr. Masri
Mansoer (Dekan Fakultas Ushuluddin), Dra. Tien Rohmatin, M. Ag (Ketua
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam) dan Abdul Hakim Wahid, SHI. MA
(Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam), Prof Dr. Dede Rosyada, MA.
(Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) serta jajaran pimpinan seluruh dosen
yang telah mentransformasikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas dan penuh
perhatian.
Sejumlah senior sekaligus teman yang juga turut mendorong terselesainya
skripsi ini yang ada Markas IAA (Ikatan Alumni Annuqayah) seperti Bang Faizal,
Bang Adi Prayitno, Bang Faiq, Bang Muhdlari, Bang Wasil, Kiyai Kholilullah
dan Bang Kholil. Teman-teman Jurusan Akidah dan Filsafat seperjuangan
vii
angkatan 2011 seperti, teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam yang
memberikan inspirasi seperti Bang Dani Ramdani, Bang Bahrur Rosi, Bang Roni,
Bang Muhlih, Bang Roni dan Bang Tuki, Bang Sulaiman, Bang Abdi Negara,
Bang Kholil Bei. Terimakasih juga kepada Feby Ayu Darmayanti S. Ag yang
memberikan semangat dan telah setia menemani penulis dalammenyelesaikan
skripsi ini. Tidak lupa kepada teman-teman yang tetap kompak dan memberikan
semangat seperti teman-teman diskusi FORMAD, FORSSA dan Penghuni IAA
Jakarta Raya.
Penghargaan dan terimakasih yang tiada tara kepada kedua orang tua; H.
Ibrahim dan Hj. Maryam. Kepada adik-adik saya, Ummu Kulsum, Naemah, dan
Sulaiman. Serta kepada Paman Mohammad Nabil dan Tante Misnawati. Kasih
sayang, doa dan restu mereka yang selalu mengiringi langkah penulis demi
keberhasilan studi dan kemanfaatan ilmu yang penulis peroleh. Kepada keluarga
tercinta skripsi ini penulis persembahkan.
Kepada semuanya semoga Allah menerima amal kebaikannya.
Jazākumullāhkhairānkatsirān. Penulis menyadari dalam penulisan ini masih
belum mencapai kesempurnaan, namun penulis telah berusaha semaksimal
mungkin. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan demi
lebih baiknya skripsi ini. Kepada Allah berserah diri dan berharap tulisan ini
berguna bagi siapapun yang membaca dan berkah untuk penulis. Amin.
Jakarta, 21 November 2016
Penulis
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris ā ā آ ī ī ٳى ū ū ٲو
Arab indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
‘ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
’ ’ ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. i LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... iv ABSTRAK ......................................................................................................... v KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi DATAR ISI ........................................................................................................ viii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1 B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 6 C. Batasan Masalah ............................................................................ 6 D. Rumusan Masalah ......................................................................... 6 E. Tujuan Penelitian ........................................................................... 7 F. Manfaat Penelitian ......................................................................... 7 G. Metodologi Penelitian .................................................................... 8
1. Metode Penelitian .................................................................... 8 2. Sumber Data ............................................................................ 9 3. Tekhnik Pengumpulan Data ..................................................... 9 4. Tekhnik Analisis Data .............................................................. 10 5. Tekhnik Penulisan .................................................................... 11
H. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 11 I. Sistematika Pembahasan ................................................................ 13
BAB II BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
A. Latar Belakang Keluarga .............................................................. 15 B. Pendidikan .................................................................................... 23 C. Karya-Karya ................................................................................. 29 D. Kiprah dan Wafat ......................................................................... 32
BAB III SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT PERENIAL A. Akar Historis Kemunculannya ...................................................... 41 B. Tokoh-Tokoh ................................................................................ 44 C. Definisi dan Objek Kajian............................................................. 52
BAB IV PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG FILSAFAT PERENIAL A. Esoterisme dalam Agama-Agama .................................................. 59 B. Inklusivisme .................................................................................. 62 C. Agama Jalan Menuju Tuhan .......................................................... 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 78 B. Saran-Saran .................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama1diyakini dan dirasakan oleh pemeluknya sebagai sumber
ketenangan karena agama memberi arah serta makna hidup yang pasti. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa pada zaman modern seperti sekarang ini sebagian
orang membenci bahkan mencaci agama karena disinyalir sebagai pemicu bahkan
sumber pertikaian, dan dalam eksistensinya pun telah tersaingi oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknik modern.
Berbagai “ketergelinciran” manusia dalam menyikapi agama terus terjadi
dengan berbagai variasinya yang terus berkembang, dengan “bias” pemahaman
dari pluralitas agama dan munculnya beberapa golongan yang berusaha men-
senkritik ajaran-ajaran tertentu dari setiap agama yang ada.2
Disadari atau tidak, bahwa teologi masyarakat selama ini seperti sudah di-
set up dalam kerangka teologi ekslusif, yang menganggap bahwasanya, kebenaran
dan keselamatan (truth and salvation) suatu agama, menjadi monopoli agama
tertentu. Sementara pada agama lain, diberlakukan dan bahkan ditetapkan standar
lain yang sama sekali berbeda “tersesat di tengah jalan”. Hal ini sudah masuk di
state of mind, cara pandang suatu komunitas agama terhadap agama lain. Dengan
1Agama secara gramatikal adalah tidak kacau, lebih lengkap Quraish Shihab dalam kata
pengantar buku Agama Punya Seribu Nyawa, mendifinisikan agama sebagai hubungan manusia dengan satu kekuatan yang jauh melebihinya di mana manusia patuh kepada kekuatan itu yang kemudian makna “kekuatan” ditekankan kepada Sang Pencipta Alam, yaitu Tuhan. Lihat Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Book, 2012), h. vi.
2Alwi Sihab, Islam Inklusif! Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999), h. 43.
2
menggunakan cara pandang agamanya sendiri, tanpa sedikit pun menyisakan
ruang toleransi untuk berempati, apalagi simpatik: “bagaimana orang lain
memandang agamanya sendiri”.3
Lembaran hitam yang menyertai kehadiran agama di masa lalu,
nampaknya dewasa ini muncul kembali dalam bentuk dan format yang lain.
Seperti dengan munculnya berbagai sikap destruktif dalam menyikapi dinamika
keberagamaan yang pluralis. Mulai dari adanya berbagai kelompok yang rela
terlibat konflik, bahkan berperang dan saling membunuh dengan berbagai
penganut agama lain yang disebabkan hanya karena kekurangfahaman mereka
dengan fenomena pluralitas agama, begitupun dengan munculnya kultus-kultus
individual dan sikap fundamental serta truth claim (klaim kebenaran) yang serba
“overdosis” dan pemonopolian kebenaran oleh satu agama tertentu.4 Hampir
semua agama formal (organized relegion) juga memiliki klaim keselamatan
serupa. Klaim-klaim seperti itu bersifat laten, dan terkadang juga manifes,
terekspresikan ke luar, ke berbagai tradisi agama-agama.
Melihat realitas yang terjadi, peneliti sengaja mengangkat pemikiran
Nurcholish Madjid tentang filsafat perennial, Nurcholish Madjid menawarkan
alternatif yang jitu untuk merespon atau menjawab persoalan konflik yang
mengatas namakan agama.
3Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2001), h.
XXXii. 4Budhi Munawar-Rachman dalam bukunya banyak mengutip kasus-kasus kultus dan
fundamentalisme yang sangat merugikan umat manusia, seperti Unification Church, Divine Light Mission, Here Krisna, The Way, People Temple’s, Yahweh ben Yahweh, ARYAN Nation, Cristion Identity, The Order Scientology, Jehove Witnesses, Children of God,Bhagawan Shri Rajneesh, Branch Davidian, dan sebagainya, selanjutnya lihat Budhi Munawawr Rachman, Islam Pluralis; Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet, I., h. 264.
3
Melihat kenyataan ini, Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur
merespon permasalahan tersebut di atas sebagai berikut:
Agama itu adalah sesuatu Yang Mutlak karena ia berasal dari Tuhan Yang Mutlak, sedangkan paham agama cara manusia memahami agamanya mengandung unsur-unsur yang berbeda dalam lingkungan dan kemampuan manusia untuk melaksanakannya.5
Jadi, pemikiran Nurcholish Madjid tentang hubungan agama-agama
penekanannya untuk memahami pesan Tuhan. Semua Kitab Suci (Injil, Taurat,
Zabur dan Al-Qur’an) itu pesan Tuhan. Salah satunya adalah pesan taqwa yang
terdapat dalam Al-Qur an Surat an-Nisa’ 131:
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.
Takwa di sini bukan sekadar tafsiran klasik, seperti sikap patuh kehadiran
Tuhan, melainkan sebagai istilah Muhammad Asad “God Conciousness”
(Kesadaran Ketuhanan) yaitu kesadaran bahwa Tuhan Maha Hadir (omnipresent
dalam keseharian manusia).6
Pesan ini bersifat universal dan merupakan kesatuan esensial semua agama
samawi, yang mewarisi Abrahamic Religion, yakni Yahudi (Nabi Musa), Kristen
5Nurcholish Madjid, Islam Doktrin danPeradaban(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 338.
6Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, h. 4.
4
(Nabi Isa), dan Islam (Nabi Muhammad). Lewat firman-Nya, Tuhan menekankan
agar manusia berpegang teguh kepada agama itu, karena hakikat dasar agama itu
(sebagai pesan Tuhan) adalah satu dan sama. Agama Tuhan pada esensinya sama,
baik yang diberikan kepada Nabi Nuh, Isa, atau kepada Nabi Muhammad.
Kesamaan ini terletak pada kesamaan dalam pesan besar, yang meminjam istilah
al-Qur’an disebut washiyyah, yakni paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau
monoteisme.
Inilah inti ajaran para nabi dan rasul Tuhan, sehingga semuanya akan
bertumpu pada suatu “titik temu” atau dalam istilah al-Qur’an kalimah sawa’
yang dijelaskan di dalam Q.S. Al-Imran:64 sebagai berikut:
Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa “para nabi itu bersaudara,
ibu-ibu mereka berlainan, namun agama mereka satu”.7 Menurut Nurcholish
Madjid agama tentunya bisa berlaku universal dalam arti inklusif bagi semua
penganut agama dan tradisi religius lain yang otentik, maka diperlukan perspektif
7Sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhori bahwasanya Rasulullah pernah bersabda, “Aku lebih berhak atas Isa Putera Maryam di dunia dan akhirat. Para nabi adalah saudara satu ayah dan ibu yang berbeda-beda, dan agama mereka adalah satu”.
5
the perennial philoshopy (sophia perennis) yaitu suatu pengetahuan yang ada dan
akan selalu ada. Karena hal ini berkaitan langsung dengan “Yang Absolut” atau
“Gnostik” dalam tradisi Krisitiani atau al-Hikmah dalam tradisi spritualitas Islam.
Filafat tradisonal ini selalu membicarakan mengenai Yang Suci (The Secred) atau
Yang Satu (The One) dalam seluruh manifestasinya, sepeti dalam agama, filsafat,
sains dan seni.8
Filsafat perenial bisa diketahui di antara adat dan tradisi pada suku-suku
primitif di setiap belahan dunia dan dalam bentuk yang berkembang secara penuh.
Ia memiliki tempat khusus dalam agama-agama besar.9
Realitas pengetahuan seperti ini, hanya bisa dicapai melalui “intelek”, yang
“jalannya” pun hanya bisa ditempuh lewat tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-
simbol dan sarana-sarana yang memang bersifat atau berasal dari Yang Ilahi
(maka bersifat surgawi). Pengetahuan ini ada dalam setiap tradisi religius yang
otentik. 10
Di sinilah, melalui perspektif filsafat perennial yang bersifat transhistoris,
para penganut teologi inklusif memungkinkan tercapainya ekumenisme otentik,
abadi, dan perennial. Namun, ini hanya bisa dijalani secara esoterik, batini, karena
8Budhi Munawar Rachman, Islam Pluralis; Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, h. 76-
98. Budhi Munawar Rachman yang mengutip pendapat Huston Smith, menyebutkan beberapa aliran baru dalam filsafat. Seperti Epistemologi Genetik dari Jean Pieget, yang berdasarkan epitemologi tidak lagi pada filsafat dalam arti lama, tetapi justru didasarkan pada sains, dalam hal ini biologi. Contoh lain adalah teori perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg, yang menjadikan psikologi sebagai dasar perkembangan etika. Bagitupun dengan Eric Fromm, dalam karyanya Man for Himself, yang mengembangkan teori etika berdasarkan psikonalisis.
9Kuswanjono, Ketuhanan dalam Talaah Filsafat Perenial, h. 10. 10Sukidi, Teologi Inklusif, Cak Nur, h. VI.
6
memang harmoni agama-agama hanya bisa dicapai dalam "langit ilahi", bukan
dalam “atmosfir bumi”.
Dari latar belakang tersebut, penulis berasumsi bahwa patut dijadikan
penelitian dengan maksud untuk mengkaji pemikiran Nurcholish Madjid tentang
filsafat perennial, tentunya merupakan lahan kajian dan penelitian yang sangat
esensial dan menarik. Tertarik akan beberapa kenyataan ilmiah dan mengingat
pemikirannya mengenai filsafat perennial yang masih dirasakan saat ini.
B. Identifikasi Masalah
Dari beberapa penjelasan di atas, maka permasalahan yang terkait dengan
penelitian ini dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud filsafat perennial?
2. Bagaimana pandangan perenialisme Nurcholish Madjid tentang hubungan
agama-agama?
C. Batasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan antara lain seperti yang telah
diidentifikasi di atas, maka ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada
pembahasan mengenai Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Filsafat Perennial.
D. Rumusan Masalah
7
Bertitik tolak dari pembatasan masalah tersebut di atas, maka dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana pemikiran
Nurcholish Madjid tentang filsafat perenial?”.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui, membahas dan
menganalisa secara sistematis pemikiran Nurcholish Madjid tentang filsafat
perennial demi menjawab persoalan keterbelakangan dan kemunduran ummat
yang selama ini selalu terjadi konflik lintas iman.
Apabila tujuan utama di atas dapat tercapai, maka secara teoritis kegunaan
dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Dapat memberikan kontribusi ilmiah, khususnya dalam rangka untuk
memperkaya khazanah keilmuan Islam.
2. Filsafat perenial sebagai pisau bedah terhadap pemikiran Nurcholish Madjid
tentang agama-agama sebagai ijtihad dan solusi dalam mengatasi
problematika antar agama.
3. Dapat menjadi bahan bacaan bagi siapa saja yang memiliki minat untuk
mendalami lebih lanjut kajian pemikiran Islam dan menginventarisasi
khazanah ilmu pengetahuan, yang memang diakui saat ini sangat minim.
F. Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan cara pandang masyarakat, khususnya umat Islam dalam
memahami agama
8
2. Memperkenalkan pandangan pemikiran Nurcholish Madjid tentang
inklusifisme dalam perspektif filsafat perennial kepada kalangan akademisi di
lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Metode Penelitian
Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan kualitatif
dengan menggunakan metode hermeneutik dan metode deskriptif. Hermeneutik
merupakan rancangan yang berawal dari teologi, filsafat dan sastra.11 Metode
hermeneutik adalah metode yang berkenaan dengan pemaknaan suatu analogi
teks. Pertanyaan mendasarnya adalah apa arti teks itu? Maka objek harus dalam
bentuk teks, atau analog teks yang biasanya samar-samar, kabur ataupun
bertentangan.12 Kemudian metode deskriptif. Metode deskriptif tidak hanya
berhenti pada menggambarkan kondisi objek penelitian, tetapi juga
menganalisanya berdasarkan metode, teori dan kemampuan peneliti.13
Dengan kedua metode tersebut, penulis akan mencoba memahami
biografi dan maksud dari pemikiran Nurcholish Madjid tentang inklusivisme
agama dalam perspektif perennial seutuhnya. Kemudian penulis akan menganalisa
untuk menemukan letak perbedaan dan persamaan pemikiran inklusivesme agama
Nurcholish Madjid tersebut dengan perspektif filsafat perennial.
11Dede Oetomo, Penelitian Kualitatif Aliran & Teman (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007), cet. III, h. 12. 12Lexi J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosyda
Karya, 2012), cet. 39, h. 278. 13Pedoman Penulisan Skripsi (Ciputat: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 52.
9
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah Api
Islam Nurcholish Madjid Jalan Hidup Seorang Visioner karya Ahmad Gaus Af,
Islam, Doktrin dan Peradaban karya Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju
Tuhan editor Elza Peldi Taher, dan didukung oleh karya-karya Nurcholish lainya
seperti: Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Politik
Kontenporer, Tradisi Islam (Peran dan Fungsinya dalan Pembangunan di
Indonesia). Adapun sumber sekundernya adalah karya orang lain yang
mendukung isi penelitian seperti: Teologi Inklusif Nurcholish Madjid karya
Sukidi, Satu Tuhan Banyak Agama, Karya Media Zainul Bahri, Pluralitas Agama
Kerukunan dalam Keragaman karya Nur Achmad, Pendidikan Agama Islam
dalam Perspektif Multikulturalisme karya Zainal Abidin dan Neneng Habibah,
Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontenporer, karya Syamsul Arifin
dan sumber-sumber yang dikarang oleh penulis lain yang berkaitan dengan
pembahasan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Demi mempermudah dalam pengumpulan data atau informasi-informasi
terkait penelitian, penulis akan menggunakan metode dokumentasi pada penelitian
ini. Lexi mengutip pendapat Guba dan Lincoln mendefinisikan bahwa dokumen
adalah setiap bahan berupa tulisan atau film berbeda dengan record, yang tidak
dipersiapkan karena permintaan seorang penyidik.14 Sementara itu, Suharsimi
14Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 216-217.
10
Arikunto mendefinisikan bahwa metode dokumentasi adalah metode dengan cara
pengumpulan data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku,
majalah, surat kabar, prasasti, notulen rapat, lengger agenda dan sebagainya.
Metode ini cenderung lebih mudah, kerena karena jika terjadi kekeliruan sumber
datanya masih tetap, sebab data yang diteliti oleh metode dokumentasi adalah
benda mati.15
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggali informasi mengenai data
yang berkaitan dengan penelitian penulis dari berbagai sumber buku baik buku
yang bersifat primer dan buku yang bersifat sekunder. Baik dari perpustakaan atau
kajian kepustakaan (library research),16 ataupun di luar perpustakaan. Selain dari
buku, penulis juga akan mengambil data dari sumber-sumber dokumentasi lainnya
yang berhubungan dengan penelitian penulis.
Setelah data-data dikumpulkan seluruhnya, kemudian penulis melakukan
pengolahan data dengan cara membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi dan
mengklasifikasi data-data yang sesuai dan mendukung pembahasan, kemudian
penulis melakukan analisis, lalu disimpulkan sehingga menjadi satu kesatuan
pembahasan yang utuh.
4. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang dilakukan penulis adalah teknik analisis isi
(content analysis), dalam bentuk deskriptif, yaitu mencatat informasi yang faktual
yang menggambarkan suatu apa adanya juga menggambarkan secara rinci dan
15Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian;Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2010), cet, IVX, h. 274 16Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008), Cet. I, h. 1-2.
11
akurat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan segala bentuk yang diteliti.
Oleh karena itu, penulis dalam penelitian ini mendeskripsikan permasalahan yang
dibahas dan menggali materi-materi yang sesuai dengan pembahasan atau
penelitian, kemudian dilakukan analisis, lalu dipadukan sehingga membuahkan
suatu kesimpulan.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh FUF Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
H. Tinjauan Pustaka
Sebagai seorang pemikir dan pembaharu di Indonesia, Nurcholish Madjid
mempunyai karya-karya yang menjadi bahan penelitian oleh orang-orang yang
tertarik dengan beliau. Salah satunya adalah Sutisna dalam skripsinya Pluralisme
dalam Pandangan Nurcholish Madjid (Skripsi, Aqidah Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2004). Dalam skripsinya tersebut, Sutisna menjelaskan
gagasan-gagasan pluralisme sangat dominan dalam pemikiran Nurcholish
Mandjid. Jika dipahami lebih komprehensif tentang gagasan pluralisme yang
dilontarkan Nurcholish Madjid, akan didapati pemahaman yang sarata dengan
nuansa inklusif. Inti dari gagasan pluralisme Nurcholish Madjid adalah untuk
memandang positif terhadap kemajemukan.
12
Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukakn dalam skripsi ini adalah
kajianpenelitian ini menjelaskna pemahaman agama-agama supaya bisa berlaku
universal. Dengan hal seperti ini tentunya harus melalui pengetahuan yang ada
dan akan selalu ada karena berkaitan langsung dengan “Yang Absolut” dalam
tradisi Kristiani, atau al-Hikmah dalam tradisi spiritual Islam.
Kemudian, Fauzi yang membahas Hubungna Islam dan Negara perspektif
Nurcholish Madjid (Skripsi, Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2008). Dalam skripsi tersebut, Fauzi menjelaskan bahwa hubungan Islam dan
Negara ada sejak adanya Islam. Selama menjelaskan bahwa hubungan antara
keduanya menunjukkan pola beragama. Di era Nabi dan para sahabatnya khulafa
al-Rasyidin, hubungan Islam dan negara bersifat integral. Pada dasarnya Islam
adalah aturan-aturan dan hukum yang mengikat seluruh ummatnya. Sedangkan
negara adalah bagian sarana untuk menjalankan hukum-hukum dan aturan itu.
Setelah era Nabi dan sahabatnya berlalu, hubungan yang bersifat integral sudah
tidak ditemui lagi, termasuk Indonesia.
Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan dalam skripsi ini adalah
kajian yang berusaha untuk mencapai pengetahuan yang absolut di berbagai
agama-agama. Untuk mencapai hal tersebut tentunya harus melalui “intelek” yang
“jalannya” pun hanya bisa ditempuh oleh tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol,
dan sarana-sarana yang memang bersifat atau berasal dari Yang Ilahi. Kajian ini
untuk spiritual mendekati “Yang Ilahi”.
Selanjutnya, Anwar Sodiq dengan judul Tauhid dan Nilai-Nilai Kemanusiaan
dalam Pandangan Nurcholish Madjid (Skripsi. Aqidah Filsafat UIN Syarif
13
Hidayatullah jakarta, 2008). Dalam skripsinya tersebut, dapat disimpulkan bahwa
seseorang tidaklah dikatakan bertauhid, kecuali disertai dengan sikap pasrah
(Islam) dan keimanan yang murni. Yaitu tidak menyekutukan Tuhan kepada
sesuatu yang pada dirinya tidak memiliki kualitas ilahiah. Dengan model
pemahaman dan sikap bertauhid semacam itu, maka secara inheren akan
berdampak pada kualitas makna tauhid itu sendiri, yang sarat dengan nilai-nilai
kemanusiaan.
Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan dalam skripsi ini adalah
kajian yang berusaha untuk mencapai pengetahuan yang absolut di berbagai
agama-agama. Untuk mencapai hal tersebut tentunya harus melalui “intelek” yang
“jalannya” pun hanya bisa ditempuh oleh tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol,
dan sarana-sarana yang memang bersifat atau berasal dari Yang Ilahi. Kajian ini
untuk spiritual mendekati “Yang Ilahi”.
Pada pembahasan kali ini, peneliti mencoba untuk membahas pemikiran
Nurcholish Madjid tentang filsafat prenial. Hal ini dilakuakan, karena tema ini
belum pernah dibahas sebelumnya dalam skripsi atau tesis terdahulu.
I. SistematikaPembahasan
Adapun sistematikan pembahasan yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini dijelaskan dengan pokok permasalahan yang dibahas, yang dituangkan dalam
bentuk beberapa bab dan sub-sub sebagai berikut:
Bab pertama merupakan sistematika penelitian yang berisikan latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan
14
masalah, tujuan penelitian, metode yang digunakan dalam penelitian, dan diakhiri
dengan teknik dan sistematika penulisan.
Bab kedua adalah biografi Nurcholish Madjid sebagai salah seorang
pemikir yang melipuri riwayat hidup, latar belakang pendidikan dan beberapa
karya tulis.
Bab ketiga berisikan tentang: pengertian perennialisme, tokoh-tokoh
perennialis medan filsafat perennialisme sebagai metode kajian. Sub-sub bahasan
tersebut merupakan teori umum dalam penelitian di atas.
Bab keempat berisikan tentang: esoteris medan hubungan agama-agama,
Inklusifisme dalam perspektif filsafat perennial, dan agama jalan menujuTuhan.
Pembahasan pada bab ini dipandang sangat penting untuk melihat peikiranya
secara tajam dan radikal, selanjutnya merupakan inti dari pembahasan dalam
penelitian ini.
Pada bab kelima merupakan penutup dari seluruh rangkaian pembahasan
dari permasalahan yang diteliti, yang memuat sub bab kesimpulan dan implikasi.
15
BAB II
BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
Dalam bab ini, membahas mengenai biografi dari Nurcholish Madjid
meliputi: latar belakang keluarga, pendidikan, karya-karya, kiprah dan wafatnya
Nurcholish Madjid.
A. Latar Belakang Keluarga
Cak Nur, panggilan mashur bagi Nurcholish Madjid, seorang anak yang
lahir dari pasangan H. Abdul Madjid dan Hj. Fathonah. Nurcholish Madjid lahir
pada 17 Maret 1939 dari keluarga pesantren di Jombang, Jawa Timur. Berasal dari
keluarga NU (Nahdlatul Ulama) tetapi berafiliasi politik modernis, yaitu
Masyumi.1
Nurcholish Madjid dibesarkan di lingkungan keluarga kiyai terpandang,
ayahnya, KH. Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Nurcholish
Madjid adalah anak pertama dari lima bersaudara. Adik Nurcholish Madjid
berturut-turut adalah Radliyah atau Mukhlisah, Qoni’ah (meninggal pada usia 15
tahun), Syaiful Madjid dan Saiful Adnan.2 Nama awal Nurcholish
Madjidsebenarnya Abdul Malik bukan Nurcholish Madjid. Perubahan nama itu
terjadi ketika Nurcholish Madjidberusia 6 tahun, karena Nurcholish Madjidwaktu
itu sering sakit yang menurut anggapan Jawa disebabkan oleh “kebotan jeneng”
(keberatan nama), oleh karena itu perlu diganti. Alasan lain dari perubahan nama
1Budy Munawar-Rachman, Ensiklopedia Nurcholish Madjid; Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi “Edisi Digital”, 2011), h. iv.
2Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas, 2010), cet. I, h. 3.
16
adalah karena Nurcholish Madji dsemasa kecil sering menolak untuk membaca
“Maliki Yaumiddin” saat ibunya mengajari Nurcholish Madjid surat Al-Fatihah,
Nurcholish Madjid berkata: “Mak Nggak atik Maliki-Maliki Mak!” (ga usah
maliki-maliki Mak!). Perubahan menjadi Nur Cholish sendiri belum jelas asalnya,
selain dari makna “Nur” adalah cahaya dan “Cholish” berarti murni. Sementara
nama Madjid adalah diambil dari nama ayahnya. Abdul Madjid (ayah Nurcholish
Madjid) adalah santri dari pendiri NU (Nahdlatul ‘Ulama) yaitu Hadrlatusy
Syaikh Hasyim Asy’ari di pesantren Tebu Ireng Jombang. Abdul Madjid sangat
dekat dengan Hasyim Asy’ari, karena prestasi belajarnya terutama dalam bidang
Nahwu, Shorrof dan Ilmu Hisab. Ketika belajar di Tebu Ireng, Abdul Madjid
diberikan nama Muhammad Thohir, nama Abdul Madjid digunakan setelah
berangkat haji. Kaena kedekatannya tersebut, akhirnya Syeh menikahkan Abdul
Madjid dengan cucunya sendiri, Halimah. Setelah 12 tahun, Halimah tidak juga
dikaruiniai keturunan, akhirnya Abdul Madjid dinikahkan lagi oleh Hasyim
Asy’ari dengan Fathonah, puteri kiyai Abdullah Sa’ad pendiri pesantren
Gringging, Kediri Jawa Timur. Fathonah merupakan adik dari Imam Bahri, Santri
Kiyai Hasyim di Tebu Ireng. Melalui ikatan pernikahannya dengan Fathonah
inilah, Abdul Madjid dikaruniai putera cerdas (Nur Cholish Madjida atau
Nuurcholish Madjid) dan empat orang adiknya.3
Ketika Nurcholish Madjid masih kecil, permainan yang disukainya adalah
membuat saluran air dari sawah, membuat pesawat mainan dan menelusuri rel
kereta api. Nurcholish Madjid membedakan kontruksi pesawat Inggris, Jepang
3Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 1-2.
17
dan Amerika. Pesawat Inggris ukurannya besar dan diberi warna merah,
sementara pesawat Jepang lebih kecil kemudia peawat Amerika jauh lebih besar
dan dilumuri kapur putih. Disuatu hari, ketika lelah dan berhenti di stasiun kereta
api, Nurcholish Madjid sangat tertarik dengan masinis yang mampu membawa
banyak gerbong, sehingga ketika ditanyain apa cita-citanya Nuurcholish Madjid,
Nurcholish Madjid menjawab ingin menjadi masinis. Hal ini merupakan cita-cita
yang langka bagi anak kecil waktu itu, karena biasanya mereka bercita-cita
menjadi guru dan tentara. Jika sedang tidak berkeinginan bermain, Nurcholish
Madjid duduk di bawah pohon dan membawa kertas yang berisi mata pelajaran.
Ketika teman-temannya satu persatu mendekat, Nurcholish Madjid memberikan
mereka pertanyaan satu persatu dan menjelaskan jawaban yang sebenarnya jika
ada yang salah dalam menjawab.4
Masa muda Nurcholish Madjid dihabiskan untuk menuntut ilmu dan aktif
di berbagai organisasi (lebih terperinci akan dijelaskan pembahasan selanjutnya).
Setelah Nurcholish Madjid menginjak dewasa, ketika usianya sudah genap 30
tahun (tahun 1996), Nurcholish Madjid berniat untuk melaksanakan kewajibannya
yaitu menikah. Tiga tahun sebelumnya, Nurcholish Madjid pernah meminta
kepada Ustadzanya di Gontor yaitu Abdullah Mahmud, untuk dicarikan
pendamping hidup. Abdullah Mahmud mengiyakan kemudian beliau
membicarakan dengan H. Kasim (salah satu donatur PII dan pengusaha bioskop di
Madiun) dan tentunya Nurcholish Madjid mendapatkan respon dari H.Kasim yang
kebetulan beliau mempunyai banyak anak perempuan, lalu beliau mengirimkan
4Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 8.
18
salah satu foto puterinya yang bernama Qomarijah. Tahun itu juga Nurcholish
Madjid berkunjung ke Madiun untuk melihat secara langsung orang yang ada di
foto tersebut. Sebagaimana biasa, ketika ayahnya kedatangan tamu Qomarijah
menyajikan teh. Dia itu tidak tahu kalau tamu yang datang adalah yang sedang
melihat dirinya, dan sekiranya cocok akan menjadikannya sebagai pendamping
hidup. Namun karena usianya yang pada waktu itu masih terlalu muda,
Nurcholish Madjid menunda lamarannya dan meminta izin kepada H, Kasim
untuk berjuang terlebih dahulu, barulah H. Kasim pun menyetujuinya. Setelah
Nurcholish Madjid pulang, barulah H. Kasim memberi tahu Qomarijah bahwa
tamu yang tadi datang adalah calonya. Qomarijah (gadis kelahiran 25 Januari)
yang baru menignjak SMA kelas dua itu menangis. Mengetahui hal itu H. Kasim
menepuk bahu Qomarijah lalu beliau menasehati agar Qomarijah jangan
menangis, Jika Nurcholish Madjid adalah jodohmu dia akan kembali, tetapi jika
bukan jodohnya maka Nurcholish Madjid tidak akan kembali. Karena yang
menetukan jodoh adalah Tuhan, bukan Bapak atau Ibu. 5
Dua tahun kemudian yaitu pada akhir 1968, Nurcholish Madjid
menghubungi kembali ustadz Abdullah Mahmud bahwa ia akan melanjutkan
lamarannya melalui surat, lalu ustadz Abdullah Mahmud menyampaikan pesan
tersebut pada H, Kasim. Karena Qomarijah sedang di Solo (waktu itu sudah
kuliah di Fakultas kedokteran Universitas Islam Indonesia), maka ibunyalah yang
mengantarkan surat itu ke Solo dan menyerahkan keputusannya kepada
Qomarijah. Qomarijahpun tertegun sejenak setelah membaca isi surat tersebut, air
5Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 55.
19
matanya mengalir membasahi pipi, kemudian ia bersujud di hadapan ibunya
sambil berkata: “terima saja lamaran itu, Ibu”. Ada dua alasan mengapa
Qomarijah menerima lamaran tersbut, pertama untuk membahagiakan orang
tuanya, dan kedua adalah mimpi yang diterimanya setelah sholat istikhoroh, ia
bermimpi melihat banyak bintang dan melihat satu bintang dengan cepatnya
bergerak ke arab barat.6
Karena sudah lupa dengan wajah Qomarijah, Nurcholish Madjid pun
meminta bantuan koleganya yang waktu itu menjadi Ketua Umum HMI Cabang
Solo. Sebebanrnya Qomarijah tidak mengetahui kalau yang ada di hadapannya
adalah orang yang memintanya beberapa hari yang lalu, karena kedatangan ke
kantor HMI adalah mengambil titipan dari Madiun sebagaimana yang
diberitahukan Miftah sebelumnya, dan titipan itu adalah Nuurcholish Madjid.
Nurcholish Madjid dan Miftah pun mengajak Qomarijah jalan-jalan. Pada
awalnya Qomarijah menolak kaerna pukul 11.00 wib, namun karena dikeroyok
dua orang akhirnya Qomarijah mengalah. Di tengah perjalanan, Miftah pamit
pulang karena masih ada keperluan, nantinya ia mengaku kalau itu siasat
Nurcholish Madjidsaja biar tidak terganggu. Dalam satu perjalan antara Madiun-
Solo, Nurcholish Madjid memberikan nama kesayangan kepada calon Isterinya. Ia
memanggil Qomarijah dengan Omi yang lengkpanya Omi Komaria. 7
Pada kongres ke-9 di Kota Malang, Nurcholish Madjid yang sebelumnya
menjabat sebagai ketua Umum PB HMI kembali terpilih untuk menjadi ketua
umum untuk kedua kalinya. Jelas kondisi ini membingungkan Nurcholish Madjid
6Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 56. 7Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 56.
20
yang sudah merencanakn pernikahan setelah ia selesai menjabat di HMI. Setelah
berkomunkasi dengan calon istrinya, Nurcholish Madjid rupanya tidak ingin
menunda pernikahannya kendatipun kini ia harus menjabat sebagai ketua lagi.
Maka pada tanggal 30 Agustus 1969, Nurcholish Madjid menuju pelaminan
bersama Qomarijah dengan sebuah pesta yang diadakan di Gedung Bioskop milik
H. Kasim. Saat akan dilangsungkan acara akad, Nurcholish Madjid dan keluarga
belum juga datang. Akhirnya Nurcholish Madjid sampai juga ke tempat istrinya,
sesampainya di sana dihujani banyak pertanyaan oleh teman-temannya di PB
HMI: kenapa terlambat sekali? Nurcholish Madjid sambil kekeh menjawab:
Desanya nun jauh diudik! Kemudian ia menceritakan kondisi desanya tersebut.8
Nurcholish Madjidkembali ke Jakarta dan baru memboyong istrinya setelah ia
hamil lima bulan.
Kehidupan Nurcholish Madjid dan istrinya sangatlah sederhana, untuk
sementara mereka menempati rumah Hartono seorang aktivis PERSIS dan juga
seorang pengusaha. Nurcholish Madjid yang sibuk dengna amanahnya di HMInya
tidak memiliki luang untuk bekerja, ia hanya menulis di berbagai media yang
tentu saja tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, untuk waktu itu Hartono selalu
mengirimnya beras dan kebutuhuan pokok setiap bulannya kepada para aktifis
pergerakan yang dianggap berbuat untuk rakyat. Nurcholish Madjid dan
Komarijah dikaruniai dua orang anak, yang pertama, Nadia, lahir pada 26 Mei
1970 dan yang kedua adalah Ahmad Mikail, lahir pada 10 Agustus 1974.
Kehidupan yang sederhana tidak membuat keduanya risau dengan keuangan,
8Marwan Saridjo, Nurcholish Madjid: di antara Sarung dan Dasi dan Musdah Mulia
Tetap Berjilbab (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005), cet, II, h. 2.
21
namun hal itu berbeda ketika Nadia jatuh sakit dan Nurcholish Madjid tidak
memiliki uang untuk mengobati anaknya. Qomarijah pun mengumpulkan koran
bekas dan memungut botol untuk dijual yang uangnya untuk berobat Nadia dan
jika ada sisa untuk beli telur untuk Nadia. Nurcholish Madjid sangat terpukul
dengan kondisi tersebut, ia pun mengajak istrinya ke Kalimantan dan menjanjikan
akan mengajar sambil bertani agar kehidupannya membaik. Namun Qomarijah
tidak setuju, siapa tahu kelak keadaan kita membaik.
Ketika kedua anaknya lahir, mereka masih menempati rumah Hartono,
namun karena rumah tersebut mau dipakai, mereka harus pindah dan mencari
kontrakan yang sesuai dengan uang saku, untung saja Hartono pun memberi
mereka bekal untuk sementara. Dengan uang secukupnya, Nurcholish Madjid dan
istrinya menempati rumah kecil. Mereka pun menyesal karena rumah itu lembab
dan sumpek, sehingga anak-anaknya kerap jatuh sakit. Ketika koleganya, Utomo
Dananjaya bersilaturrahmi ke rumah tersebut, Utomo kaget melihat kondisi
rumah.ia geram sambil berujar: “Ya Allah, Cak, ente ngga pantas tinggil di sini,
mestinya irang seperti ente ini ada yang mikirin”.9
Kondisi memprihatinkan juga masih dirasakan Nurcholish Madjid ketika
ia berangkat ke Chicago untuk mengambil program P.h.D. Salah satu alasan
Nurcholish Madjid pindah dari departemen politik adalah beasiswa tidak
mencukupi kehidupan keluarganya. Nurcholish Madjid berangkat sendiri ke
Chicago, keluarganya menyusul 4 bulan kemudian. Setelah 3 bulan di Chicago,
uang yang dibawa habis, merekapun harus meminjam untuk menutupi kebutuhan,
9Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 60-
61.
22
terlebih mereka waktu itu belum mengenal betul situasi dan kondisi di sana.
Dalam kondisi terjepit biasanya senang istri mencari pekerjaan tambahan seperti
babby sitter, cleaning-service dan menjahit. Ketika liburan musim panas
Nurcholish Madjidtidak bisa membawa anaknya berlibur, maka istrinya pun
kembali mencari pekerjaan “cleaning-service” dari rumah ke rumah. Titik
klimaksnya adalah ketika Mikail sakit, mereka butuh uang enam dollar untuk
membeli obat, di saat seperti itu Qomarijah mendapat pekerjaan menjahit celana
dan mendapatkan uang delapan dollar.
Sementara berbagai kesulitan yang menimpanya, Nurcholish Madjid harus
menghabiskan waktu selama delapan tahun untuk menyelesaikan gelar studinya di
departemen ilmu politik kaerna belum memegang gelar master. Baginya
menderita delapan tahun tidak masalah, tapi sebabai seorang ayah, jelas tidak tega
hal tersebut menimpa kedua anaknya. Karena pertimbangan tersebut Nurcholish
Madjid mengajak istrinya pulang, dia rela tidak emndapatkan gelar P.h.D karena
tidak tahan dengan kondisi kedua anaknya.10
“Setelah emosi Nurcholish Madjid reda dalam beberapa hari, barulah Qomarijah menjawab: “kalau kita pulang kita mau kemana? Kan rumah kita masih ditempatin orang. Apakah kita mau ke Madiun?”, Nurcholish Madjidpun menjawab: “Ya, bagaimana lagi, soalnya Papa tidak bebrbuat apa-apa Ma. Kalau Mama sanggup, Papa berani terus. Kalau Mama tidak sanggup, kita pulang saja. Yang bisa Papa usahakan ialah pindah jurusan yang memperpendek kita di sini, enam tahun, karena bisa tanpa semester”. Qomarijah pun menjawab: “Insya Allah Mama bisa, kita bisa tinggal di sini sampai Papa selesai, tapi ada satu syarat, Papa harus nurut Mama”. Nurcholish Madjid pun tertawa lalu ia
10Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
141.
23
tanyakan syarat tersebut. “kita pindah ke apartemen yang lebih kecil”.11
Sebenarnya Nurcholish Madjidmasih ragu untuk pindah ke apartement
yang lebih kecil, kaena ada peraturan bahwa keluarga dengan anak dua harus
tinggal di apartement yang memiliki dua kamar. Memang masuk akal, tetapi itu
terlalu memberatkan bagi mereka. Walaupun kondisi demikian, namun berkat
bantuan istrinya, akhirnya merekapun diperoleh untuk menempati apartement
yang lebih kecil.
B. Pendidikan
Nurcholish Madjidtumbuh dalam dunia pesantren sejak kecil, Nurcholish
Madjid berada di bawah naungan keluarga yang religius. Ayahnya adalah tokoh
Masyumi yang bercorak keagmaan NU, ayah Nurcholish Madjid (Abdul Madjid)
berhasil mendirikan Madrasah Wathoniyyah pada tahun 1946 (kelak Nurcholish
Madjid menuai pendidikan dasar di dalamnya). Mulanya madrasah ini
menjalankan program belajar mengajarnya di dalam mushollah. Baru sekitar
tahun 1947 berdirilah bangunan al-Wathaniyyah di atas lahan kosong miliknya di
bawah naungan wakaf Umat Sejahtera, yang didirikan bersama Kiyai Abdul
Mukti. Ibu Nurcholish Madjidjuga berjasa dalam membangkitkan pengajian ibu-
ibu di Mojo Anyar. Selain di Madrasah Wathaniyah, Nurcholish Madjid juga
menimba ilmu di SR (sekolah rakyat) untuk guru di SR tempat Nurcholish Madjid
belajar secara keseluruhan beragama Kristen.12
11Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
143. 12Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 6-
7.
24
Setelah menginjak remaja (sekitar usia 14 tahun), pada tahun 1953,
Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Darul Ulum
Rejoso yang termasuk pesantren besar di Jombang.13 Pada waktu itu dipimpin
oleh Kyai Romli Tamim (sahabat Abdul Madjid ketika berguru pada Syehk
Hasyim Asy’ary di Jombang) dan K. H. Dahlan Cholil (putera Kyai Cholil
sebagai salah satu pendiri Pesantren Rejoso). K.H. Dahlan juga pernah belajar
kepada Syekh Hasyim Asy’ary Pesantren Tebuireng, lalu beliau melanjutkan
belajar ke Mekkah. Sebagai pondok yang sudah berdiri sejak 1885, tentu saja
sudah memiliki khazanah keilmuan yang mapan. Di sana Nurcholish Madjid
menambah pengetahuannya terutama dalam khazanah-khazanah klasik yang telah
diperolehnya di Madrasah al-Wathaniyyah.14
Karena polemik yang sedang berjalan antara Masyumi dan NU menjelang
politik 1955, Nurcholish Madjid yang dikenal sebagai anak dari tokoh Masyumi
mendapat cemoohan dari teman-temannya. Mereka sering menuduh Nurcholish
Madjid sebagai anak Masyumi yang nyasar di NU yang santri dan guru-gurunya
memakai sarung.15 Karena Pesantren Rejoso pada waktu itu memang berbasis
NU.
Kondisi demikian diadukan Nurcholish Madjid kepada kedua orang tuanya
yag merespon pengaduan itu dengan memindahkan Nurcholish Madjid ke Pondok
Pesantren Gontor. Peantren Gontor yang berdiri pada 1926 ini satu-satunya di
13Marwan Saridjo, Nurcholish Madjid: di antara Sarung dan Dasi dan Musdah Mulia
Tetap Berjilbab, h. 3. 14 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
12-13. 15 Marwan Saridjo, Nurcholish Madjid: di antara Sarung dan Dasi dan Musdah Mulia
Tetap Berjilbab, h. 3.
25
Pulau Jawa yang telah menerapkan sistem modern. 16 di pesantren inilah
Nurcholish Madjid melengkapi keilmuannya. Selain sudah menggunakan sistem
kelas, menggunakan Bahasa Arab dan Inggris, pondok ini juga mengajarkan
“berfikir bebas”. Sebagai konsekuensinya, santri di pondok ini tidak diarahkan
pada satu madzhab, tetapi diberikan bekal agar kelak meeka memilih sendiri
madzhab yang menjadi pijakannya.
Di Gontor sebenarnya telah dilengkapi juga degan berbagai fasilitas
olahraga dan kesenian, namun Nurcholish Madjid kurang berminat, sesekali saja
dia ikut bermain sepak bola dengan spesialis garda belakang karena dirasanya
malas untuk berlari-larian. Nurcholish Madjid lebih banyak belajar,
panguasaannya terhadap Bahasa Arab membuat Nurcholish Madjid sering
diminnta tolong untuk menggantikan gurunya mengajar Ballaghoh mata pelajaran
yang cukup sulit dan biasanya diajarkan oleh guru-guru senior. Selain penguasaan
Bahasa Arab dan Inggris, Nurcholish Madjid juga menguasai Bahasa Prancis,
hasil prifatnya di Gontor terhadap guru bahasa yaitu Muhammad Syarif. Belajar
Bahasa Prancis dilanjutkan Nurcholish Madjid di Alliance Francais, ketika ia
belajar di IAIN (sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).17
Nurcholish Madjid adalah salah saut murid kesayangan K. H. Iman
Zarkasyi. Kiyai Zarkasyi selalu berusaha membesarkan hari Nurcholish Madjid
bermaksud melanjutkan jenjang pendidikan ke FKIP Muhammadiyah di Solo,
namun karena persyaratannya harus memiliki ijazah SMA maka bermaksud untuk
16 Marwan Saridjo, Nurcholish Madjid: di antara Sarung dan Dasi dan Musdah Mulia
Tetap Berjilbab, h. 4. 17Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
15-20.
26
kuliah belum terwujud. Kyai Zarkasyi pun berusaha membesarkan hati muridnya
tersebut. Beliau juga berjanji akan mengupayakan agar Nurcholish Madjid bisa
kuliah di Mesir, dan beilau menyarankan Nurcholish Madjid untuk mengajar dulu
di Gontor. Nurcholish Madjid pun mengikuti saran dari gurunya tersebut.
Kabar tentang Nurcholish Madjid akan kuliah di Mesir cepat tersebar di
tempat kelahirannya, tetangga-tetangganya gembira dan berharap Nurcholish
Madjid menjadi orang pertama di daerahnya sebagai lulusan Mesir.
Mempertimbangkan akan belum juga adanya kejelasan mengenai
keberangkatannya ke Mesir dan dikhawatirkan keluarganya menanggung malu
jika pada kenyataannya Nurcholish Madjidtidak berangkat ke Mesir, Nurcholish
Madjid memutuskan untuk pulang dan menyampaikan bahwa ia tidak jadi
melanjutkan studi ke Mesir dengan alasan di sana ada aturan untuk
memanjangkan jenggot.
Berdasarkan saran dari Kyai Zarkasyi, pada tahun 1961 Nurcholish Madjid
akhirnya daftar di IAIN Jakarta pada Fakultas Adab (Sastra Arab). Disamping
karena memang minatnya dalam Bahasa Arab, juga karena untuk mempermudah
masuk IAIN. Sebagaimana pengalamannya ketika mendaftar ke FKIP
Muhammiyah Solo, di IAIN juga disyaratkan memiliki ijazah SMA atau PGA
bukan pondok. Tetapi akhirnya Nurcholish Madjid pun bia diterima dengan
perantara sutar Kyai Zarkasyi dan alumni yang sudah di IAIN Jakarta. 18
Nurcholish Madjid merasa miris dengan keadaan tersebut, ia berfikir
semestinya IAIN sadar bahwa potensi-potensi lulusan pondoklah yang akan
18Dedy Jamaluddin Malik dan Idi Subaidi Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia; Pemikiran dan Aksi Plotik Abdurrahman Wahid M. Amin Rais Nurcholish Madjid Jalaluddin Rahmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulya, 1998), cet, I, h. 124.
27
menjadi mahasiswa-mahasiswa terbaik di IAIN karena korelasi keduanya
sangatlah jelas. Kalau tidak segera menyadari, maka IAIN akan menjadi
keranjang sampah yang menampung mahasiswa-mahasiswa buangan dari
sekolah-sekolah umum karena tujuan mereka sebenarnya bukan ke IAIN.
Nurcholish Madjidmengadukan keresahannya tersebut kepada gurunya Kyai
Zarkasyi. Kyai hanya manggut-manggut mendengar keresahan muridnya tersebut,
kemudian dengan tenang beliau mengatakan bahwa kalau Nur Cholish ingin
keluar dari IAIN baik-baik saja, karena sekarang sudah ada tawaran dari Mesir,
dan Nurcholish Madjid bisa berangkat. Mendengar penjelasan gurunya
Nurcholish Madjid terharu, ternyata dia menepati janjinya yang ia tunggu selama
ini. Namun, mengingat dirinya sudah terlambat lima tahun dalam pendidikan
(Nurcholish Madjid dua tahuan terlambat ketika sekolah di SR karena revolusi,
satu tahun untuk mengajar di Gontor, dan sekarang sudah dua tahun di IAIN,
berarti dia harus mulai dari awal) Nurcholish Madjid keberatan menerima tawaran
tersebut. Ketika ditanya siapa yang akan menggantikannya, Nurcholish
Madjidmengusulkan putera Kyai Zarkasyi sendiri yaitu Abdullah Syukri, dan
Kyai Zarkasyi pun mengamininya.19
Pada tahun 1965 Nurcholish Madjid berhasil meraih gelasr sarjana muda
(BA) pada bidang Sastra Arab di IAIN Jakarta. Pada tahun 1968, “Al-Qur’an,
‘Arabiyyun Lughatan Wa ‘Alamiyyun Ma’nan”.20Pada bulan Maret 1978
Nurcholish Madjidke Universitas Chicago untuk melanjutkan studinya. Dia
19Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
20-26. 20Junaidi Idrus, Rekotruksi Pemikiran Nurcholish Madjid: Membangun Visi dan Misi
Baru Islam Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pusataka, 2004), cet, I, h. 29-30.
28
berangkat dengan beasiswa dan ford foundationsesuai dengan janji mentornya
Prof. Binder ketika mengikuti loka karya “Islam and Social Change” pada tahun
1973 yang dibiayai Ford Foubdation.
Sebagaimana fasilitas yang disediakan, mahasiswa boleh mengambil
materi apa saja asal tidak melebihi dua pertiga, maka pertama Nurcholish Madjid
masuk ke dalam Departement Ilmu Politik tapi ia juga mengambil Falsafah Islam
pada departement Ilmu-Ilmnu Bahasa dan Peradaban Timur Dekat. Kemudian
pada tahun 1980 Nurcholish Madjid pindaj ke Departement Ilmu-Ilmu Bahasa dan
Peradaban Timur Dekat. Di samping karena efesiensi waktu (harus menghabiskan
delapan tahun di Departement Ilmu Politik karena dia belum memegang gelar
Master) juga karena efesiensi biaya (Nurcholish Madjiddi Chicago bersama anak
dan istrinya yang menyusul empat bulan kemudian). Nurcholish Madjid dibiayai
oleh Ford Foudation selama empat tahun, lantas dilanjutkan oleh Asia Fondation.
Namun karena tidak semuanya dibiayai ditutupi oleh Asia Fondation, Nurcholish
Madjid mengajukan beasiswa ke Universitas. Sistem beasiswa di Universitas
seperti sistem anak asuh. Pada mulanya mahasiswa tidak tahu siapa ayah asuh
mereka, namun setelah selesai belajar merekan akan diundang pada sebuah
undangan coffe-morning, mereka baru akan mengetahui siapa Ayah asuh yang
telah membiayai mereka.21
Di departement ilmu-ilmu bahasa dan peradaban timur Nurcholish Madjid
mendapat bimbingan langsung dari “Fazlurrahman” seorang pembaharu dan
21Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
141.
29
dikenal sebagai tokoh utama neomodernis. 22 dalam bimbingan Fazlurrahman,
pada tahun 1984 Nurcholish Madjidberhasil menyelesaikan disertasi yang
dikerjakannya selama satu tahun degan judul Ibnu Taymiya on Kalam and
Falsafah: A Problem of Reaso and Revelation in Uslam.23
C. Karya-Karyanya
Karya-karya Nurcholish Madjid telah memeberikan angin segar kepada
para cendikiawan Muslim, di Indonesia sendiri misalnya karya tentang Nilai-Nilai
Dasar Perjuangan (NDP) tulisan menjadi acuan dasar ideology bagi organisasi
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang pertama dimulai:
Pintu-pintu Menuju Tuhan. Buku ini merupakan kumpulan sebagian besar
tulisan Nurcholish Madjiddi harian Pelita dan Tempo. Menurut penulisnya, buku
ini merupakan penjelesan lebih sederhana dan “ringan” (populer) dari gagasan
Islam inklusif dan Universal yang menjadi tema besar buku Islam Doktrin dan
Peradaban.
Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam dalam Sejarah. Dalam buku ini pemikiran Nurcholish Madjidlebih terarah
pada makna dan implikasi penghayatan Iman terhadao perilaku sosial yang
senantiasa mendatangkan dampak posisitif bagi kemajuan peradaban
kemanusiaan.
22Abd A’la. Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), cet. I.
h. 34. 23Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
147.
30
Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia. Buku ini sama dengan karya monumentalnya, hanya saja, Nurcholish
Madjidmenyajikan dengan wawasan yang lebih kosmopolit dan univesal sekaligus
mempertimbangkan aspek spesial dan kultural paham-paham keagamaan yang
berkembang.
Masyarakat Religius. Buku ini mengetengahkan konsep Islam tentang
kemasyarakatan, antara komintmen pribadi dan komitmen sosial serta konsep
tentang eskatologi dan kekuatan adi-alami.
Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia.
Dalam buku ini Nurcholish Madjidmengetengahkan tentang peran dan fungsi
Pancasila, organisasi politik, demokrasi dan konsep oposisi loyal.
Kaki Langit Peradaban Islam, mengetengahkan tentang wawasan
peradaban Islam, kontribusi tokoh intelektual Islam semisal Al-Shafi’i dalam
bidang hukum, Al-Ghazali dalam bidang tasawuf, Ibn Rusyd dalam bidang
Filsafat dan Ibn Khaldun dalam bidang filsafat sejarah dan sosiologi.
Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, yang membahas tentang
dinamika pesantren serta kontribusinya dalamperadaban Islam di Indonesia.
Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer. Buku yang merupakan transkrip wawancara yang pernah dilakukan
ole Nurcholish Madjidmemiliki mainstream bagaimana nilai-nilai universal dan
kosmopolit Islam diaktualisasikan dalam praktik politik kontemporer.
Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid
“Tekad”. Dalam buku ini Nurcholish Madjidberusaha menjelaskan pemikiran-
31
pemikirannya tentang keterkaitan antara dimensi keislaman dengna dimensi
keindonesiaan dan kemodernan seklaigus.
Cita-Cita Politik di Era Reformasi. Buku ini merupakan perjalanan
panjang politik Nurcholish Madjid dalam wacana perpolitikan di Indonesia.
Dalam buku ini prototype negara Madinah yang telah didirikan Nabi Muhammad
sedemikian ditekankan oleh Nurcholish Madjidsebagai sesuatu yang sangat cocok
untuk diterapkan kini, mengingat nilai-nilainya sedemikian modern bahkan terlalu
modern untuk masanya sehingga tidak bertahan lama.
Indonesia Kita. Dalam buku ini yang merupakan karya tulis terakhirnya
Nurcholish Madjid berusaha memahami secara labih luas dan mendalam tentang
hakikat dan persoalan bangsa dan negara Republik Indonesia sejak dari masa
lampau sampai sekarang yang menantang. Dalam buku ini dimuatkan pokok
pemikiran Nurcholish Madjidkatika mencalonkan dirisebagai Presiden RI yang
meskipun kandas melalui konvensi Partai Golkar yang terkenal dengan sepuluh
Platfom Membangun Kembali Indonesia. Dan masih banyak karya-karya
intelektual yang datang dari pemmikiran Nurcholish Madjid yang lain. Dalam
bentuk buku, jurnal ataupun surat kabar atau media online. Disini penulis bisa
menulis semua karya dari beliau karena sangat banyak sekali karya-karya
Nurcholis Madjid.
Karya yang paling berhubungan dengan titik temu agama atau filsafat
perenial adalah Inslam Doktrin dan Peradaban, Masyarakat religius dan Dialog
Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer.
Penulis melihat esensi yang dijabarkan dalam buku tersebut tentang
32
perkembangan keagamaan yang berawal dari konflik sampai menemukan titik
temu antar agama-agama.
D. Kiprah dan Wafat
Pertama adalah kiprah Nurcholish Madjiddalam organisasi
kemahasiswaan. Kiprah yang paling banyak dirintis Nurcholish Madjiddalam
organisasi kemahasiswaan adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), hal ini bisa
dilihat bahwa Nurcholish Madjidberproses mulai dari awal kaderisasi komisariat
hingga sampai menjadi Ketua Umum PB HMI dua periode. Proses Nurcholish
Madjiddi HMI beraswal dari penasarannya terhadap sosok A. M. Fatwa yang
sudah dikenal sebagai aktifis PII dan HMI pada waktu itu. Sebelum berangkat ke
IAIN Jakarta, ayahnya (Abdul Madjid) berpesan agar Nurcholish Madjidakrab
dengan tokoh-tokoh Masyumi. Nurcholish Madjidberharap bahwa melalui A. M.
Fatwa, perkenalannya dengan para tokoh Masyumi akan lebih mudah, terelebih
HMI pada waktu itu sering dikatakan sebagai anak Masyumi.
HMI Cabang Ciputat pada awalnya adalah salah satu komisariat dari
Cabang Jakarta. Komisariat didirikan oleh A. M. Fatwa dan tiga orang kawannya
yaitu: Abu Bakar, Ibnu Khaldun dan Komaruddin. Setelah mendirikan
Komisariat, mulailah diadakan perpeloncoan terhadap mahasiswa baru dengan
melihat potensi yang emreka miliki. Fatwa mengakui bahwa sejak pertama kali
melihat Nurcholish Madjiddan memperhatikan gaya bicaranya, Fatwa sudah bisa
menebak bahwa Nurcholish Madjidorang cerdas.
33
Pada awal perkuliahannya di IAIN, Nurcholish Madjidsering berpindah-
pindah tempat tinggal, petama ia pindah ke tempat Rahman Partosentoso bersama
teman-teman sekelasnya di komplek IAIN. Setelah dirasa uangnya cukup untuk
kos, Nurcholish Madjidpindah ke daerah Legoso. Karena kondisi kos yang kurang
baik untuk kesehatannya (Nurcholish Madjidpernah sakit demam), akhirnya
Nurcholish Madjidmemilih untuk pindah tempat tinggal lagi. Kali ini tempat
tinggalnya agak jauh dari kampus, yaitu di daerah Ulujumi Kebayoran Lama.
Nurcholish Madjidtinggal bersama Mahrus Amin adik kelasnya di Gontor dan
ikut mengajar di Madrasah yang kelak menjadi Pondok Darun Najah dan Mahrus
menjadi pengasuhnya. 24
Pada awalnya Nurcholish Madjidmerasa cocok di tempat tersebut, namun
lama-kelamaan Nurcholish Madjidharus memperhitungkan juga ongkos yang
harus pergi ke kampus. Suatu hari Nurcholish Madjidbertemu dengan Zarkasyi
(seniornya di Gontor). Zarkasyi menawarkan Nurcholish Madjiduntuk
menggantikan menempati kosnya di Jalan Ahmad Dahlan Kebayoran Baru.
Tempat tinggalnya sebenarnya adalah garasi otlet yang dibagi dua (untuk otlet dan
untuk dirinya) dengan alas todur kasur yang sudah sangat tipis kapuknya. Untuk
lebih memperindah tempatnya, Nurcholish Madjidmeminta izin ibu kos untuk
mengecat kosnya tersebut dengan warna biru. Setelah selesai dicat, ibu kost
merasa heran karena Nurcholish Madjidmengecatnya dengan warna ungu,
sadarlah Nurcholish Madjidbahwa ia sebenarnya buta warna, ia sulit membuat
garis pemisah antara orange dan kuning, biru dongker dan hita, ungu dan biru
24Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
26-28.
34
kemudian pink dengan merah. Karena merasa terganggu dengan kebiasaan
Nurcholish Madjidyang suka pulang larut malam, akhinrya ibu kos menawarkan
kosan tersebut kepada orang lain.
Setelah kembali ke Jakarta, Nurcholish Madjid hanya tertegun melihat
kosannya udah menjadi milik orang. Ketika sedang tertegun, Nurcholish
Madjidingat pesan pamannya bahwa:”hanya orang yang kuat dan tahan menderita
yang bisa tinggal di Jakarta, jika tidak pulang kampung saja atau jadi pengemis di
Jakarta”. Nurcholish Madjidtidak mau menjadi pengemis, kemudian ia bertekad
menemui Fatwa. Namun Fatwa ternyata masih ada di kampung halamannya, maka
selama seminggu, Nurcholish Madjidpun menginap secara bergantian di kos
temannya, terlebih Nurcholish Madjidingat pesan Nabi bahwa kalau bertamu
jangan lebih dari tiga hari.25
Sekembalinya dari rumah, Fatwa merasa kasihan mendengar cerita
Nuurcholish Madjid, akhirnya Nurcholish Madjiddiajak Fatwa untuk tinggal di
rumah Prawoto Mangkusasmito mantan Ketua Masyumi sebelum akhirnya
dibubarkan, sementara Prawoto sendiri masih dalam tahanan Orde Baru.
Sebenarnya rumah tersebut tidak layak dihuni, namun karena tidak ada pilihan
lain, Nurcholish Madjidpun tinggal bersama Fatwa di rumah tersebut selama satu
tahun. Selama tinggal bersama Fatwa, Fatwa selalu menyaksikan Nurcholish
Madjidakrab dengan buku bacaan bahkan sampai ketika ia di kamar mandi
sekalipun. Fatwa sering meminta Nurcholish Madjidmenerjemahkan beberapa
bagian referensi berbahasa Inggris untuk dipakai di berbagai training
25Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
29.
35
pengkaderan. Fatwa melihat bahwa hampir semua buku yang dipinjam Nurcholish
Madjidberbahasa Inggris.
Melihat kualitas Nurcholish Madjid ketika status HMI Ciputat akan
ditingkatkan dari komisariat menjadi Cabang, Fatwa yang pada waktu itu mejadi
salah satu formateurnya mengusulkan Nurcholish Madjid menjadi sekretarisnya.
Tentu saja banyak tidak sepakat karena mereka banyak yang belum mengenal
Nuurcholish Madjid, namun Fatwa berhasil meyakinkan mereka. Kurang dari dua
tahun, Nurcholish Madjid terpilih menjadi ketua Umum HMI Cabang Ciputat dan
pada tahun yang sama (1963) ia diankat menjadi ketua VI Badko (Badan
Koordinasi) HMI Jawa Barat, yang membidangi salah pengkaderan.26
Pada September 1996, Kongres HMI di Solo mengalami perang pendapat
yang angat alot. PB HMI diserang oleh cabang-cabang HMI se-Indonesia sebagai
buah dari pernyataan Mar’ie Muhammad atas nama PB HMI, agar Kasman
Singodimedjo diganjar dengan hukuman seberat-beratnya oleh pemerintah Orde
Lama. Pada waktu itu, sesungguhnya HMI sedang terjepit oleh Komunis yang
selalu mempengaruhi Orde Lama agar membubarkan HMI, sementara Kasman
adalah tokoh Masyumi yang selalu melontarkan pendapat yang dinilai Kontra
Revolusi. Kondisi demikian bukan hanya berpengaruh terhadap Kasman, tapi juga
terhadap HMI yang semakin terpojokka, terlebih HMI dianggap sebagai anak
Masyumi. Jadi sebenarnya pernyataan Mar’ie bukanlah bermaksud menyerang
Kasman, tetapi hanya retorika untuk membentengi HMI dari akibat pernyataan
Kasman agar HMI tetap eksis. Namun hanya segelintir yang tahu kalau
26Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h. 30-
31.
36
pendapatnya untuk meyelamatkan HMI, karena buktinya pada Kongres tersebut
PB dihantam habis-habisan, dianggap tidak mengedepankan idealisme,
perjuangan dan sebagainya. PB HMI sangat terpojokkan, sampai Sulastomo
sebagai ketua umumnya pun menangis karena tidak sanggup untuk memberikan
penjelasan duduk permasalahan yang sebenarnya.
Kondisi seperti itu, Nurcholish Madjid menyadari bahwa logosentrisme
sangat memainkan peran. Nuurcholish Madjid, dengan kafasihan dalam bahasa
Arab dan Ingrris menjadi sangat percaya diri menjelaskan duduk permasalahan
dengan mengutip referensi-referensi berbehasa Arab dan Inggris, terlebih masih
sedikit pengurus PB dan Cabang yang menguasai kedua bahasa tersebut.
Nurcholish Madjidmenjelaskan betapa pentingnya membedakan antara strategi
jangka panjang dan taktik jangka pendek. Rupanya penjelasan tersebut dapat
meredam kemarahan para peserta masih tetap semangat mendengarkan penjelasan
Nurcholish Madjid malah meneriakkan “terus, terus!”. Akhirnya penjelasan PB
diterima kemudian peserta kongres meneriakkan “Nurcholish Madjid!!!”27, di
mata peserta, Nurcholish Madjid menjadi bintang. Begitulah akhirnya Nurcholish
Madjid terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI periode 1966-1969.
Pada Kongres HMI ke-9 di Malang pada 3-10 Mei 1969, muncul isu
politik primordial Jawa dan luar Jawa dalam menetapkan kepemimpinan.
Beberapa aktivis HMI dari luar Jawa kemudian mendatangi Nurcholish Madjid
dan menyampaikan bahwa jika Nurcholish Madji dtidak menjadi ketua umum
lagi, HMI akan terpecah dengan gari primitive antara Jawa dan luar Jawa.
27Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
39-41.
37
Menimbang permasalahan tersebut, satu jam sebelum pemilihan, barulah
Nurcholish Madjid menyatakan kesediaannya kembali untuk dicalonkan sebagai
ketua umum. Maka ia pun kembali terpilih menjadi ketua PB HMI periode 1969-
1971. Dalam sejarah, sejak HMI didirikan, sejak periode 1947 hingga 2010, baru
Nurcholish Madjid yang terpilih menjadi ketua Umum PB sebanyak dua kali.28
Kiprah Nurcholish Madjid berikutnya dalam organisasi kemahasiswaan
adalah di Persatuan Mahasiswa Asia Tenggara (PERMIAT). Organisasi ini
muncul sebagai salah satu bentuk normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia yang
mengalami persengketaan sejak 1961/1962. Ide organisasi ini muncul dari Mentri
Luar Negeri Adam Malik yang pada tahun 1967 meminta Nurcholish Madjid
selaku Ketua Umum PB HMI agar aktif dalam pembentuka organisasi.
Nurcholish Madjid juga ikut berpartisipasi dalam pembentukan ICMI
(Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) dan Nurcholish Madjid tercatat sebagai
salah satu pendiri ICMI. ICMI sendi pada mulanya adalah Imaduddin setelah lulus
study doktoralnya dari Universitas Lowa Amerika Serikat, pada tahun 1986
Imanuddin kembali ke tanah air.
Nurcholish Madjid penah menjabat sebagai anggota MPR-RI (1987-1992
dan 1992-1997) dan bahkan Nurcholish Madjidpernah bersedia untuk dicalonkan
menjadi presiden RI yang waktu itu disandingkan dengan Susilo Bambang
Yodhoyono, kesediaannya untuk dicalonkan menjadi RI I dimumkannya pada 28
April 2003.29 Hal ini menunjukkan bahwa Nurcholish Madjid tidaklah anti politik,
28Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
58-59. 29Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Nurcholish Madjid: Komitmen Moral Seorang
Guru Bangsa(Jakarta: KPP Kelompok Paramadina, 2004), h. 194.
38
tetapi ia sangat anti mencedrai kesakralan hakikat Islamdengan simbol partai
politik yang bersifat profane dan sangat bahkan mungkin tercedrai oleh ambisi
manusia. Singkatnya, Nurcholish Madjid tidak ingin Islam ternodai hanya karena
lahirnya banyak partai yang mengatasnamakan dan melampaui Islam itu sendiri.30
Selain yang disebutkan di atas masih banyak karier yang mewadahi
intelektualnya yang belum penulis tuliskan dalam penelitian ini, salah satunya
adalah sebagai salah satu Guru Besar Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) sejak 1985-2005.
Begitulah sisi kehidupan Nurcholish Madjidyang penuh dengan harapan
besarnya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Nurcholish Madjid di penghujung
pengabdiannya, mengidap penyakit kelainan hati dan ginjal, penyakit ini membuat
kondisi kesehatan Nurcholish Madjid kian hari kian menurun, dan penyakit ini
pula yang menghantarkan Nurcholish Madjidmenghadap. Sebelum kepergiannya,
Nurcholish Madjid memberikan isyarat terakhirnya kepada sang istri (Qomarijah).
Qomarijah menunggui sang suami pada sabtu pagi dengan penuh kegelisahan,
namun ia tidak tahu apa penyebabnya. Qomarijah semakin gelisah saat
memandikan sang suami sekitar pukul 07.00 pagi, terlebih ketika Nurcholish
Madjid menyampaikan agar bersiap-siap karena seorang muhtadin (orang pilihan)
akan datang. Setelah ditanyakan kepadanya siapa orang pilihan itu, Nurcholish
Madjid menjawab bahwa muhtadin itu adalah kyai dari Gontor. Lalu siapa nama
Kiyai Gontor itu? “Almarhum Nurcholish Madjidbilang kyai Gontor itu bernama
30Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
54.
39
Zarkasyi” lanjutnya. Jelas saja membuat istrinya kaget, karena Kyai Zarkasy
sudah wafat. Qomarijah merasa bahwa ajal suaminya sudah dekat.31
Selain pesannya mengenai kedatangan seorang muhtadin, Nurcholish
Madjid juga menyampaikan bahwa ia melihat terowongan besar yang kondisinya
tidak terurus dan harus diperbaiki. Nurcholish Madji djuga mengatakan kalau ia
melihat daging, dia meminta agar daging itu diberikan kepada irang lain saja.
Pihak keluargapun menyimpulkan bahwa Nurcholish Madjid ingin bersedekah,
namun mereka bingung dengan apa Nurcholish Madjid ingin bersedekah, dengan
uang atau barang. Sebelum pertanyaan terjawab, Nurcholish Madjid sudah
terlebih dahulu menjelaskan makna sedekah. Menurutnya sedekah diambil dari
kara shodaqoh, caranya bisa dengan menanamkan rasa benar kepada orang lain
bisa juga dengan menanamkan rasa suci kepada orang lain. Nurcholish Madjid
pun menambahkan bahwa hal seperti itu relevan dengan kehidupan. Keluargapun
memahami bahwa sedekah yang dimaksud Nurcholish Madjid tidaklah mesti
berupa uang ataupun barang, yang penting ikhlas.
Sebelum meninggal, Nurcholish Madjid sempat berpesan agar putra-
putrinya, Nadia dan Mikail, memperdalam bahasa Arab karena pentiong untuk
memahmi al-Qur’an. Nurcholish Madjid pun meminta agar dibimbing membaca
sural al-Fatihah dan al-Ikhlas. Kemudian Nuurcholish Madjid, mengatakan ikhlas.
Lalu, dia tersenyum lima kali sebelum kepergiannya yaitu pada tanggal 25
Agustus 2005. Nurcholish Madjid menghembuskan nafas terakhirnya pukul 14.05
31Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
294.
40
WIB di RS Pondok Indah dalam usia 66 tahun dan dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta.32
32Ahmad Gaus AF, Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, h.
295.
41
BAB III
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT PERENIAL
Pada bagian ini penulis akan menguraikan sejarah dan perkembangannya
filsafat perenial mengenai akar historis munculnya filsafat perenial, tokoh-tokoh
filsafat perenial, definisi dan objek kajian filsafat perenial demikian juga filsafat
perenial bagi Nurcholish Madjid.
A. Akar Historis Munculannya
Para filosof dewasa ini, cenderung membagi filsafat menjadi dua bagian,
Husthon Smith membuat distingsi khusus tentang adanya dua tradisi besar filsafat
yang sangat kontras, yaitu filsafat perenial dan filsafat modern.1
Filsafat tradisional yang lebih populer dengan istilah the perenial
philoshopy selalu membicarakan mengenai adanya Yang Suci (The Secred) atau
Yang Satu (The One) dalam seluruh manifestasinya, seperti dalam agama, filsafat,
sains dan seni.2 Garis besar filsafat barat modern ditandai oleh desakralisasi atas
pengetahuan yang bersifat ketuhanan. Dengan begitu, intuisi yang menjadi sarana
membawa manusia kepada Tuhan Yang Suci sekarang ditinggalkan. Filsafat telah
1Sayyed Hossein Nasr dan William Sroddart, Religion of the Heart, Essay Presented to
Frithkof Schoun, on His Eightien birtheday ( Wahington Dc: Foundation For Tradicional Studies, 1991), h. 178-296.
2Budhi Munawar Rachman, Islam Pluralis; Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, h. 76-98. Budhi Munawar Rachman yang mengutip pendapat Huston Smith, menyebutkan beberapa aliran baru dalam filsafat. Seperti Epistemologi Genetik dari Jean Pieget, yang berdasarkan epitemologi tidak lagi pada filsafat dalam arti lama, tetapi justru didasarkan pada sains, dalam hal ini biologi. Contoh lain adalah teori perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg, yang menjadikan psikologi sebagai dasar perkembangan etika. Bagitupun dengan Eric Fromm, dalam karyanya Man for Himself, yang mengembangkan teori etika berdasarkan psikonalisis.
42
benar-benar menjadi sekuler dan alam pun selanjutnya dikosongkan dari
kebenaran Tuhan. Masyarakat Barat telah memasuki the post-Chrisistian era dan
berkembangnya faham sekularisme. Sekularisasi meminjam pendapat Peter L.
Berger, dapat dibedakan menjadi dua bentuk; dalam proses pemisahan institusi
agama dan poltitik, dan yang lebih penting dalam konteks agama ialah “adanya
proses-proses penerapan dalam pikiran manusia berupa sekularisasi kesadaran”.
Diperjelas oleh Harvey Cox tentang makna sekularisasi ini, dengan mengutip
pendapat CA. Van Peursen, yaitu: terbebaskannya manusia dari metafisika atas
aktifitas sehari-hari, yakni alam pikiran dan bahasanya.3
Sekularisasi terjadi ketika manusia berpaling dari “dunia sana” dan hanya
memusatkan perhatiannya pada “di sini”. Itulah gambaran perkembangan
masyarakat modern (Barat) yang telah kehilangan visi keilahiannya, telah tumpul
penglihatan intelectus-nya dalam melihat realitas hidup dan kehidupan. Istilah
intelectus mempunyai konotasi kapasitas mata hati, satu-satunya elemen yang
adapada diri manusia, yang sanggup menangkap bayang-bayang Tuhan yang
diisyaratkan oleh alam semesta. Pemikiran para cendikian agama saat ini banyak
yang menganjurkan untuk dikembangkannya dialog antar agama yang
menggunakan pendekatan atau perspektif filsafat perenial, seperti ditujukan oleh
Paul. F. Knitter yang mengatakan bahwa “Anda tidak dapat mengatakan agama
yang satu lebih baik dari agama yang lain.” Maka dengan membuka wawasan
yang lebih luas – bahwa pada dasarnya semua agama relativelly absolute sesuai
bahasa filsafat perenial atas klaim-klaim kebenaran yang secara tradisional
3Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis
Modernisme(Jakarta: Paramadina, 1998), h. 268.
43
memang inheren dalam agama, maka agama bisa diharapkan kembali mengambil
peranan pembebasan (interior dan eksterior) atas kemanusiaan.
Hal senada diungkapkan oleh tokoh lainnya seperti, ungkapan Bhagavan
Das Gita dalam bukunya The Essential Unity of All Relegion (1966) sebagaimana
dikutip oleh Budhi Munawar Rachman:
“Kita semua para penganut agama akan bertemu dalam the road of life (jalan kehidupan) yang sama yang datang dari jauh, yang datang dari dekat, semua kelaparan dan kehausan; semua membuthkan roti dan air kehidupan, yang hanya bisa didapati melalui kesatuan dengan The Supreme Spirit.”4 Dalam dunia Islam, tradisi perenial begitu kental terdapat dalam hampir
seluruh bidang kajian tasawuf. Menurut Nasr, tasawuf dalam Islam banyak
dipengaruhi oleh orang-orang suci terdahulu semisal Phitagoras, Empedocles dan
Plato. Dalam pandangan Islam banyak orang suci yang hidup sebelumMuhammad
dan mungkin juga paska Muhammad, termasuk orang yang bertauhid meskipun
secara literal kebahasaan tidak mengucapkannya dalam bahasa al-Qur’an. Bahkan
dengan tegas al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa setiap umat itu pasti ada
nabinya, sekalipun al-Qur’an tidak menyebutkannya secara eksplisit, sehingga
kajian historis tidak mampu menjangkau untuk membuktikan data tersebut.
Mereka itu juga banyak memberikan pengaruh terhadap aliran sufisme Islam yang
di dalamnya sarat dengan hikmah primordial kenabian.
Kajian kaum perenialis juga mamasukkan doktrin tentang tauhid dalam
agama Islam sebagai ruang lingkup kajiannya. Doktrin tentang tauhid dalam
Islam, menurut pendukung perenialis ternyata tidak secara ekslusif esensi
4Budhi Munawar Rachman, Islam Pluralis; Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, h. xii.
44
pesannya hanya milik Islam, melainkan terlebih merupakan hatinya setiap agama
(the heart of religion). Konsep pewahyuan dalam Islam dimaknai sebagai
penegasan mengenai doktrin tentang tauhid dan oleh karenanya, dalam setiap
agama doktrin tentang tauhid akan ditemukan.5
B. Tokoh-Tokoh
Filsafat perenial adalah filsafat yang tetap bertahan kesejatiannya diyakini
dapat diwariskan dari generasi ke generasi, serta dapat melampaui kecenderungan
dan corak filsafat yang silih berganti. Khususnya untuk kurun waktu tujuh puluh
tahun belakangan ini istilah filsafat pernial menjadi sedemikian pupuler, di mana
banyak buku-buku artikel-artikel, yang telah mencoba membahas maknanya
secara mendetail. Apa makna sebenarnya filsafat perenial bukanlah hal yang
mudah untuk ditemukan, dan jawaban dari pertanyaan tersebut menjadi semakin
sulit ketika dalam kenyataannya. Banyak filosof dari berbagai aliran dan zaman
mencoba mengemukakan jawabannya, serta menyatakan bahwa filsafatnya adalah
filsafat perenial.
Dalam beberapa literatur atau diskusi sering menemukan adanya orang
yang mengira bahkan menisbatkan istilah dan konsep filsafat perenial berasal dari
Leibniz, karena ia memang sering menggunakan dalam surat untuk temannya,
Remundo, yang banyak dikutip orang, pada tanggal 26 Agustus 1714. Namun
sebuah penelitian yang lebih cermat membuktikan bahwa istilah philoshopia
perennis sudah digunakan orang jauh sebelum Leibniz, bahkan menjadi judul
5Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realitiy of Islam (London: George Allen & Unwin
Ltd., 1975), h. 32-33.
45
sebuah buku yang terbit tahun 1540, ditulis oleh seorang penganut Agustinus, dari
Italia. Meskipun besar kemungkinan Steuco adalah orang pertama yang
memunculkan istilah ini dan dengan demikian secara pasti beliau adalah orang
pertama yang memberinya makna yang kompleks dan sistematis, namun ia
berangkat dari sebuah tradisi filsafat yang sudah berkembang mapan. Dari tradisi
tersebut kemudian ia mencoba memformulasikan sintesis terhadap filsafat, agama
dan sejarah, yang ia beri nama dengan philoshopia perennis. Pencarian terhadap
sejarah filsafat perenial harus kembali ke zaman sebelum kedua tokoh, yaitu
Leibniz dan Steuco. Meskipun Steuco ditengarai sebagai orang pertama yang
melakukan penggunaan secara signifikan istilah tersebut, namun model filsafat
yang oleh Steuco dinamai dengan ‘perenial’ memiliki sejarah panjang. Steuco
menulis bukunya dengan judul De Perenni Philoshopy, yang ia maksudkan
dengan judul tersebut ialah filsafat yang mempunyai daya tahan (enduring) atau
tahan lama (lasting).6Adapun tokoh-tokoh filsafat perenial adalah:
1. Marcilio Ficino
Marcilio Ficino (1433-1499) adalah pendiri Platonic Academy di Florenzy
Italia. Sekaligus penerjemah karya-karya Plato, Plotinus serata filsuf Neo-
Platonisme lainnya. Karnyanya yang terkenal adalah Theologia Platonica, suatu
karya yang menunjukkan dirinya sebagai seorang Platonis.
Salah satu di antara tema sentral filsafat Ficino adalah adanya kesatuan
dan keutuhan dunia ini yang secara mendalam lebih bersifat riil daripada
keragaman yang muncul pada penampakannya. Ficino membicarakan tentang
6Ahmad Norma Pernama, Perenialisme; Melacak Jejak Filsafat Abadi (Yogyakarta:
Tiara wacana. 1996), cet. I, h. 33.
46
kesatuan dengan berbagai cara. Dalam bukunya Commentary in the Symposium,
Ficino berpendapat bahwa cinta merupakan kekuatan pengikat yang menata dan
menyatukan dunia. Dalam Theologia Platonica, ia mengajarkan bahwa jiwa
sebagai vingculum universal (sentral penghubung antara dunia atas dengan dunia
bawah). Kesatuan metafisik dari dunia ini memiliki perkembangan yang paralel
dalam sejarah filsafat yang teologi yang dikenal dengan “persaudaraan”.7
Ia menyakini adanya suatu Puncak Kesejatian (the fountain of truth), yang
merupakan sumber, darinya mengalir dua arus sejarah yaitu filsafat dan teologi.
Bagi Ficino filsafat sejati adalah Platonisme, sedangkan teologi sejati adalah
Kristen. Kedua kebenaran ini memiliki kesatuan secara ultim dan ia menerima
ungkapan Nominous bahwa Plato adalah “Musa berbahasa Yunani”. Ficino
menekankan bahwa filsafat dari orang-orang masa lampau (prisci) tidak lain dari
agama yang diwahyukan (dogta religio).8 Prisci theologi telah mengembangkan
kesejatian esensial dan pada puncak perkembangannya merkar sebagai sebuah
sistem filsafat yang menyatu dan komprehensif dalam noster Plato. Begitu
pentingnya filsafat Plato dan tradisi yang lahir darinya bagi Ficino, sehingga ia
membuat ungkapan “siapapun yang ingin merasakan kesegaran paling nikmat dari
air hikmah, haruslah meminumnya langsung dari puncak perenialnya.”9
2. Giovani Pico della Miradola
Pico (1463-1494) mengatakan bahwa kesejatian tidak muncul pada tradisi
filsafat, teologi maupun keilmuan tertentu saja, melainkan semuanya memiliki
sesuatu yang dapat dikontribusikan pada kesejatian yang utuh. Dari sini dapat
7Ahmad Norma Pernama, Perenialisme; Melacak Jejak Filsafat Abadi, h. 36. 8Ahmad Norma Pernama, Perenialisme; Melacak Jejak Filsafat Abadi, h. 36. 9Ahmad Norma Pernama, Perenialisme; Melacak Jejak Filsafat Abadi, h. 37.
47
dilihat bahwa Pico tidaklah mengambil sumbernya pada suatu ajaran tertentu
ataupun beberapa diantaranya, melainkan mengambilnya dari sumber yang sangat
luas, baik dalam sejarah maupun agamanya.10
Pandangan ini tentunya sangat berbeda dengan Ficino yang mengarahkan
berbagai ragam tradisi filsafat pada filsafat Plato dan agama Kristen. Kesejatian
menurut Pico tidak hanya berasal dari dua sumber saja, melainkan berasal dari
berbegai sumber. Prisca theologia versi Pico tidak memiliki sumber ambilan
khusus. Aspek-aspek kesejatian tersebut dapat juga ditemukan dalam tulisan-
tilisan Ibn Rusyd, Al-Qur’an; tradisi kaballa dan lain-lain. Pandangan Pico
mempunyai tendensi sinkretisme dan elektik yang sangat tinggi, yang kemudian
semakin populer dan menyebar pada abad XVI.11
3. Agustino Steuco
Agustino Steuco lahir di kota pegunungan Umbrian di daerah Gubbio
antara tahun 1497 atau awal 1498. Ia mulai memasuki jamaat Augutiani di kota
kelahirannya tahun 1512 atau 1513 dan menetap hingga tahun 1517. Selanjutnya
pada tahun 1518-1551 sebagai guru besar waktunya digunakan untuk mengikuti
pekuliahan di Universitas Bologna. Disitulah ia mulai tertarik pada bidang bahasa
dengan banyak belajar tentang bahasa Aram, Syiria, Arab dan Etiopia disamping
bahasa Yahudi dan Yunani. Kemudian ia menjadi pustakawan koleksi yang cukup
terkenal milik kardinalDominico Gri mani di Venesia selama beberapa tahun
(15529-1533) dan ke Gubbio (1533-1534) untuk melaksanakan misi dakwah yang
diberikan oleh atasannya. Akhirnya ia sampai di Roma pada tahun 1534, menjadi
10Ahmad Norma Pernama, Perenialisme; Melacak Jejak Filsafat Abadi, h. 39. 11Ahmad Norma Pernama, Perenialisme; Melacak Jejak Filsafat Abadi, h. 40.
48
Bishop Kisamos di Krete (1538) dan menjadi pustakawan Vatikan pada tahun
yang sama. Pada tahun 1546 dan meninggal di kota tersebut beberapa bulan
kemudian.12
Agustino Steuco adalah salah seorang di antara defender prisca theologia
paling kokoh. Pada diri Steuco pulalah barangkali akan menemukan usaha paling
cermat untuk mengembangkan tema-tema tentang harmoni, konsonansi dan
peresetujuan universal (Universal Agreement) ke arah sebuah sistem filsafat yang
koheren, dan tampaknya ia memang benar-benar mampu melakukannya. Ini
terutama dapat di lihat dalam karyanya De Perennia Philosophia (1540).
Sebagaimana yang akan di lihat, bahwa gerakan yang telah dijalankan oleh
Ficino, Pico, Nicolas Cusa yang akarnya juga sudah ada pada Plutrach, Neo-
Platonisme, para pendeta dan teolog kuno lainnya, mencapai puncak realisasinya
pada diri Steuco. Lebih lanjut, meskipun dapat di lihat bahwa Steuco
menggabungkan semua tradisi yang ada ke dalam sistemnya sendiri, bukan berarti
hal itu ia lakukan tanpa kritik sama sekali. Karena, pada kenyataannya, ia juga
telah melakukan penyingkiran-penyingkiran terhadap ajaran-ajaran tertentu yang
menurutnya tidak memiliki tempat yang sesuai dalam sistem yang ia susun dalam
bentuk konkordasi. Steuco sebenarnya adalah seorang sarjana al-Kitab dan
seorang teolog.
Banyak karya-karyanya yang meunnjukkan keterkaitan dirinya dengan
masalah ini, meskipun ia juga banyak menulis permasalahan yang lain. Dalam
banyak hal, sebagaimana diungkapkan oleh DP. Walker, Steuco mewakili sayap
12Ahmad Norma Pernama, Perenialisme; Melacak Jejak Filsafat Abadi, h. 41.
49
liberal teolog Katolik dan Studi Skriptural abad XVI. Karya-karyanya seperti
Cosmopoeiadan De Perenni Philosophia jelas menunjukkan pandangan seorang
liberal – yang mencoba untuk mensejajarkan antara berbeaagai tradisi filsafat
pagan dengan tradisi ortodoks. Di sisi lain ia juga menunjukkan kecendrungan
seorang konservatif. Di mana ia pernah menulis sebuah karangan untuk
menentang pembuktian Valla yang terkenal tentang “donation of Constantine”
dan meskipun ia tetap bertahan dengan ketegaran batu karang terhadap
penolakannya atas ajaran Calvin dan terutama Luther. Ia menganggap ajaran
tradisi agama-agama pagan dan non-Kristen lebih dapat diterima dari pada ajaran
para pembaharu. Filsafat Stoa, sebagai contoh, lebih dapat diterima, dibandingkan
Lutherianisme yang tidak lebih dapat diterima, dibandingkan Lutherianisme yang
tidak lebih dari “wabah penyakit” berupa “penolakan terhadap kesalehan,
keruntuhan, kejatuhan atau bahkwan, penentangan terhadap agama”. Karya paling
tersohor dari Steuco adalah De Perenni Phlosophia, yang didekasikan kepada
sahabat sekaligus pelindungnya, Paulus III, dan sempat mengalami cetak ulang
sebanyak empat kali sebelum berakhirnya abad XVI. Meskipun karya ini sempat
mendapat sambutan hangat di liangnya yang tidak lebih dari “gerak ke depan”,
atau “perkembangan” waktu.
Dalam banyak hal, pada kenyataannya Steuco kembali kepada ide-ide
Yunani tentang degradasi terus menerus dan sejarah manusia. Beberapa tokoh
Plato, Plutrach, Plotinus, Jamblichus, Proclus, Psellus, Pletho, Cusanus, Ficino,
Pico, Champhier dan Giogio, adalah pendahulu langsung di jalur Steuco. Kata
priscus sendiri, yang barangkali paling tepat diterjemahkan dengan “selalu
50
diwariskan” (venerable), merupakan tema yang paling tepat sering diulang-ulang
oleh Steuco. Ia berbicara tentang prisci seaculis, abad-abad awal, prisci
philosophy, prisca merujuk kepada “para filsuf dan teolog yang saling
berkesinambungan”.
Hal ini terjadi sama sekali tidak karena kebetulan. Karena memang
kesejatian berasal dari sumber mata air yang sama, namun muncul dalam bentuk
manifestasi yang beragam. Pewahyuan kesejatian sudah berlangsung sejak zaman
yang paling kuno, mulai dari prisca seacula, dan kita dapat menemukan kesejatian
tersebut dalam tulisan-tulisan yang datang dari periode tersebut. Hikmah tersebut
sudah ada semenjak zaman awal dan kemudian ditransmisikan kepada generasi-
generasi selanjutnya. Oleh karena itu, sebenarnya Hikmah dan Kesejatian sama
tuanya dengan sejarah manusia.13
Leibniz adalah pendukung paling utama tradisi yang oleh Steuco dinamai
philosophia perennis. Lebih dari itu usaha Leibniz untuk merumuskan Kesatuan
Agama-Agama – dalam kurun yang memang penuh dengan semangat ekuminisme
– mengingat kembali kepada sejarah Cusanus, dan juga Ficino dan Pico. Leibniz
sama sekali bukanlah pencetus ide Filsafat Perennial. Jauh dari itu, Ia hanyalah
pewaris tradisi Konkordisme yang sudah berkembang dan memiliki sejarah yang
panjang. Leibniz sendiri sebenarnya juga sudah mengenal Steuco pada tahun
1687, ketika ia menyebut namanya dalam surat untuk Simon Foucher (1644-
1696). Meskipun Leibniz merasa bahwa karya Steuco memberikan point yang
cukup baik berkaitan dengan persamaan antara agama-agama pagan dengan
13Ahmad Norma Pernama, Perenialisme; Melacak Jejak Filsafat Abadi, h. 43.
51
Kristen, namanya ia tepat menganggap bahwa karya yang terbaik dalam hal ini
adalah dari du Plessis Mornay berjudul De la verite de la religion chretienne.
Leibniz memang sudah mengenal Steuco dan jejak-jejak pengaruh Steuco dapat
ditemukan dalam keseluruhan karyanya.
4. Frithjof Schoun
Frithjof Schoun dilahirkan di Basel, Swiss tahun 1907 dan mendapat
pendidikan di Prancis. Semenjak tahun 1936 ia tercatat sebagai penulis tetap di
jurnal berbahasa Prancis Etude Traditionelles dan jurnal Connaisace des
Religion, Corporativ Religion. Dalam kata pengantar atas buku Schoun yang
berjudul Islam and the Perenial Philoshopy (Islam dan Filsafat Perenial) Sayyed
Hussein Nasr mengatakan bahwa pandangan Schoun adalah pandangan
menyangkut metafisika universal, menyangkut religio perenis atau religio cordis
yang telah dikemukakan untuk menusia melalui berbagai tradisi samawi. Dengan
menggabungkan wawasan metafisika dengan pengetahuannya yang luas mengenai
berbagai agama dan aspek doktrinal, etika dan artistik mereka, Schoun telah
menyelidiki intisari tradisi-tradisi yang berlainan serta mengkritik peradaban
modern dengan berbagai penyimpangan denan tuntutan kebenaran-kebenaran
abadi dari tradisi itu.14
Menurut Frithjof Schoun, metafisika keagamaan atau filsafat perenial
tidak terpisah sama sekali dari tradisi dan transmisi (nama rantai) tradisional
termasuk dalam realisasi spiritual. Metafisika inilah yang menjadikan setiap
agama bersifat religioperenis, agama yang bersifat abadi. Filsafat perenial
14Frithjof Schoun, Islam dan Filsafat Perenial, ter. Rahman Astuti (Bandung: Penerbit
Mizan, 1998), h. 8.
52
menaruh perhatian pada agama dalam realitasnya yang paling transenden atau
metafisika yang bersifat transenden historis, bukan hanya agama dalam kenyataan
faktual saja.15
5. Sayyed Hussein Nasr
Sayyed Hussein Nasr adalah seorang filosoff dan mistikus yang dilahirkan
pada tahun 1933 di Teheran, ia dikenal sebagai salah satu cendikiawan Muslim
yang berwawasan kaya akan khasanah Islam. karyanya yang sangat terkenal
adalah “Science and Civilization in Islam”, sebuah buku yang diangkat dari
disertasinya tentang sejarah sains.
Nasr mengatakan bahwa filsafat perenial adalah pengetahuan yang selalu
ada dan akan ada yang bersifat universal. “Ada” yang dimkasud adalah berada
pada setiap jaman dan setia tempat karena prinsipnya yang universal. pengatahuan
yang diperoleh melalui intelek ini terdapat dalam inti semua agama dan tradisi.
realisasi dan pencapaiannya hanya mungkin dilakukan melalui metode-metode,
ritus-ritus, simbol-simbol, gambar-gambar dan sarana lain yang dilakukan oleh
perintah suci dari Surga (Heaven) atau alas Ilahiah (divine origin) yang
menciptakan setiap tradisi.16
C. Definisi dan Objek Kajian
Kata “perennial” merupakan kosa kata yang berasal dari bahasa Inggris.
Kata terebut memiliki makna yang sama dengan kata perennis dalam bahasa
15Komaruddin Hidayat & Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perpektif Filsafat
Perenial (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 22. 16Arqom Kuswanjono, Ketuhanan Dalam Telaah Filsafat Perenial; Refleksi Pluralisme
di Indonesia(Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2006), h. 20-21.
53
Latin. Dari kelaziman yang berlangsung selama ini dalam dunia keilmuan, maka
diperkirakan kata “perenial” yang telah menjadi pembendaharaan kata dalam
bahasa Inggris pun berasal dari kosa kata latin.
Dalam kamus bahasa Inggris, kata “perenial” berarti; 1) “berlangsung
sepanjang tahun”, 2) abadi atau kekal. Misalnya kalimat the perenial snow of
Everest, berarti salju abadi gunug Everest.17 Sedangkan kata filsafat sendiri sedah
umum diketahui dari kosa kata Yunani yang berasal dari dua kata “Philo” dan
“Sophia” yang berarti “cinta kebijaksanaan”.18 Oleh sebab itu ditinjau dari kedua
makna “perenial” yang tertulis di atas, dalam konteks pembahasan ini, maka
pengertian yang paling relevan untuk digunakan adalah pengertian yang kedua
(yang berarti abadi atau kekal). Ketika kata filsafat dan perenial digabung, maka
berarti filsafat atau kebijaksanaan yang bersifat abadi.
Dasar-dasar filsafat perenial dapat ditemukan di antara adat dan tradisi
pada suku-suku primitif di setiap belahan dunia dan dalam bentuk yang
berkembang secara penuh. Ia memiliki tempat khusus dalam agama-agama
besar.19 filsafat perenial oleh Nasr juga dikatakan sebagai tradisi, namun bukan
tradisi dalam arti secara umum, tradisi ini berisi pengertian tentang kebenaran
yang merupakan alas ilahi. ia juga mengimplikasikan suaru kebenaran batin yang
terdapat bentuk-bentuk kesucian yang berbeda dan unik, yang kebenarannya itu
adalah satu.20
17Peter Slim, Advanced Esglish – Indoensia Dictionary (Jakarta: Modern English Press,
1988), h. 610. 18K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani(Yogyakarta: Kanisus, 1981), h. 13. 19Kuswanjono, Ketuhanan Dalam Talaah Filsafat Perenial, h. 10. 20Sayyed Hussein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian (knowlwdgw an the Secred). terj.
Suharsono, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1997), h. 81.
54
Pengertian sederhana filsafat perenial merupakan suatu pandangan yang
sudah menjadi pegangan hidup bagi orang-orang yang menyebut dirnya
“penganut hikmah” seperti para gnosis dalam Kristen dan para sufi dala Islam,
cikal bakal filsafat perenial sudah ada dalam ajaran para nabi terdahulu, yang
ajarannya meliputi dua aspek yaitu gnostik (ma’rifah atau irfan) dan filsafat atau
teosofi (falsafah-hikmah). nasr menjelaskan ajaran ini dikembangkan oleh Nabi
Idris yang dalam tradisi filsafat Yunani diidentikan dengan Hermes sebagai
“Father of Philoshopy”. Dari Hermes ini lahirlah istilah hermeneutika yang
intinya merupakan suatu kajian filosofis untuk mengenal inti pesan Tuhan yang
berada di balik ungkapan bahasa.21
Huston Smith menyatakan bahwa terdapat doktrin-doktrin primordial dan
universal, namun dalam sejarah manusia muncul dalam bentuk yang beragam.
Dan doktrin primordial itu tidak lain adalah filsafat perenial. Smith membagi
filsafat perenial menjadi tiga cabang utama: pertama, metafisika, yang bertugas
menemukan adanya dasar imanen dan transenden dari segala sesuatu. Kedua,
psikologi, yang mengenali adanya sesuatu dalam diri manusia yang sama, atau
bahkan identik dengan dasar tadi. Dan ketiga, etika yang membuat tujuan akhir
manusia adalah pengenalan terhadap dasar tersebut.22
Filsafat perenial didekati secara metafisis menjelaskan adanya sumber dari
segala yang ada, membiacarakan tentang Realitas Absolut. Secara etimologis,
filsafat perenial memberikan jalan menuju pencapaian kepada Yang Absolut
tersebut melalui pendekatan mistik, yaitu melalui intelek yang lebih tinggii di
21Sayyed Hussein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian (knowlwdgw an the Secred). terj. Suharsono, h. 81-82.
22Norma Pernama, Perenialisme; Melacak Jejak Filsafat Abad,. h. 5-6.
55
dalam memahami secara langsung tentang Tuhan. Pendekatan mistik yang
dilakukan oleh filsafat perenial tidak hanya melalui perenungan reflektif semata,
tapi tetap menggunakan sarana-sarana yang telah ada pada setiap agama berupa
ritus-ritus, simbol-simbol maupun tradisi yang secara esensial berasal dari Yang
Satu. Pemahaman ketuhanan filsafat perenial tidak hanya mementingkan pada
aspek isi saja melainkan juga aspek bentuk, dua hal yang tidak dapat saling
dipisahkan di dalam memahami aspek ketuhanan secara komprehensif.23
Aspek aksiologis dari filsafat perenial menunjukkan begitu berharganya
nilai ketuhanan di dalam kehidupan manusia. Nilai ketuhanan memberikan
berbagai dampak sosiologis maupun psikologis dalam menentukan pola tindakan,
hakikat dan tujuan hidup yang sebenarnya pada manusia. Sehingga, hidup tidak
dimaknai secara materil bendawai tapi ada unsur ruhaniah yang memberikan nilai
lebih, di balik keberadaan benda-benda tersebut. Filsafat perenial dalam konteks
kehidupan beragamampun berusaha mencari titik temu beragamnya pemahaman
yang ada sehingga common platform yang menunjukkan bahwa keberagaman
tersebut adalah hal yang niscaya dan justru memberikan makna bagi kesatuan dan
kebersamaan.24
Filsafat perenial memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada dalam
semesta ini, dengan realitas yang terakhir itu. Realisasi pengetahuan tersebut
dalam diri manusia hanya dapat dicapai melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-
simbol dan sarana-sarana yang memang diyakini sepenuhnya oleh kalangan
perennial sebagai berasal dari Tuhan. Dasar-dasar teoritis pengetahuan tersebut
23Kuswanjono, Ketuhanan Dalam Talaah Filsafat Perenial, h. 13. 24Kuswanjono, Ketuhanan Dalam Talaah Filsafat Perenial, h. 13.
56
ada dalam setiap tradisi keagamaan yang otentik, yang dikenal dengan berbagai
konsep- misalnya dalam agama Hindu disebut Sanathana Dharma, dalam
Taoisme disebut Tao, dalam agama Budha dengan Dharma yang merupakan
ajaran untuk sampai kepada The Budha-Nature, atau dalam Islam kuat dalam
konsep al-Din, dalam filsafat abad pertengahan disebut sophia perennis, dan
sebagainya. Dengan caya yang filsafat perenial disebut sebagai “transenden” itu,
semuna ritus-ritus, doktrin-doktrin dan simbol-simbol keagamaan yang dipakai
untuk mencapai pengertian menganai dasar keagamaan itu, mendapatkan
penjelesan yang menyeluruh melewati bentuknya yang formal, atau terpaku dalam
satu tradisi keagamaan, atau dalam Islam: terpaku dalam satu syari’ah terntu.25
Disinilah filsafat perenial menguraikan keaneragaman jalan keagamaan
yang ada dalam kenyataan historis ini bisa diterima dengan lapang dada, dan
penuh toleransi. Pada hakikatnya ajaran perenial Tuhan-seperti Tuhan itu sendiri-
hanya Satu, tapi dikatakan dengan banyak nama dan ajaran. “Yang Satu” ini
dalam pandangan perenial adalah “Yang Tidak Berubah”, Yang merupakan
Fitrah.
Mengembalikan keanekaragaman yang ada dalam kehidupan sehari-hari
ini kepada “ Yang Tidak Berubah” merupakan pesan dasar filsafat perenial yang
ada pada dasarnya adalah pesan keagamaan, sepeti yang disebut sebagai dalam
terminologi Islam al-din-u ‘I-nashihah (Agama itu adalah pesan).26 Pesan ini yang
terbuat dalam Q. S. al-Rum/30:30.
25Komaruddin Hidayat & Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perpektif Filsafat
Perenial, h. 20-21. 26Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perpektif Filsafat
Perenial. h. 21.
57
Artinya:“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Dengan cara transendental ini ditemukan adanya norma-norma abadi yang
hidup dalam jantung setiap agama-agama besar maupun tradisi-tradisi speritual
kuno. The heart og religion inilah yang bersifat Ilahi dari agama-agama itu, yang
selalu disampaikan dan diajarkan oleh kalangan perenialis. Mereka menganggap
mengerti mengenai hal tersebut adalah cara untuk mengerti “pesan ketuhanan”
kepada manusia, sekaligus cara manusia kembali kepada Tuhannya.27
Dalam membicarakan objek telaah filsafat perenial selalu mengarah
kepada esensi, “noumena”, yang terletak dibalik gambar atau fenomena. Realitas
metafisis yang ada dibalik format lahiriah agama itulah yang merupakan daya
tarik dan ujung dari perjalanan filsafat perenial. Pengertian metafisika dan filsafat
perenial adalah suatu pengetahuan tentang Realitas Tertinggi, yang merupakan
“pengetahuan ilahiah” yang sesungguhnya, bukan suatu konstruksi mental yang
akan berubah dengan berubahnya gaya budaya suatu zaman, atau dengan
munculnya penemuan-penemuan baru dari pengetahuan dunia meterial.28Namun,
walaupun kajian filsafat perenial adalah persoalan-persoalan metafisika, bukan
berarti persoalan bentuk agama-agama diabaikan. Filsafat perenial memiliki
27Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perpektif Filsafat
Perenial. h. 22. 28Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif
Filsafat Perenial, h. 49.
58
perhatian serius terhadap bentuk agama-agama yang ada. Sebab aspek
eksoterisme suatu agama tersebut merupakan hal yang sudah menjadi bagian
kehendak Ilahi. Oleh sebab itu, aspek eksoterisme itu bukan saja tidak boleh
dipersalahkan, bahkan malah dibutuhkan.29
29Komaruddin Hidayat & Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat
Perenial,h. 49-50.
59
BAB VI
PANDANGAN PERENIALISME NURCHOLISH MADJID TENTANG
HUBUNGAN AGAMA-AGAMA
Pada bab ini akan membahas bagaimana pandangan perenialisme
Nurcholis Madjid tentang hubungan agama-agama mengenai esoterisme dalam
agama-agama, inklusivisme dalam perspektif perennial dan agama jalan menuju
Tuhan.
A. Esoterisme Dalam Agama-Agama
Secara etimologis, esoteris berasal dari kata Yunani esoteros lalu mejadi
esoterikos, yang kata dasarnya adalah eso, berarti di dalam atau suatu hal yang
bersifat batin bahkan mistik.1 Dictionary of Philosopy menjelaskan bahwa kata
esoterik (Yunani, esoterik: di dalam) bermakna ritual, doktrin atau puasa.2
Secara terminologis, kamus Webster menjelaskan bahwa esoterik
ditujukan kepada atau dipahami hanya oleh murid-murid terbatas, terpilih, dan
yang telah diinisiasi. Dalam nada yang sama, The Oxford Companion to English
Literature juga menunjukkan bahwa kata ini digunakan untuk menunjukkan
ajaran Pytagoras kepada beberapa muridnya yang terpilih.3 Menurut Mautner,
ajaran mengenai hal-hal yang bersifat esoterik hanya diberikan bagi yang telah
1Jean L. Mckechine, ed. Webste’s New Twentieth Century Dictionary of The English
Language: Unabridged(USA: Williyam Collins Publishers. Inc.,1980), h. 624. 2Thomas Mautner, Dictinary of Philosophy: The Languages and Concepts of Philosophy
Exsplained (England: Penguin Books, 2005), h. 198. 3Margareth Drabble. Ed. The Oxford Companion to English Literature (Oxford: Oxford
University Press, 1998), h. 321.
60
diinisiasi atau yang termasuk dalam kelompok ekslusif inti. Dulu ada tradisi
Aristoteles membicarakan perihal doktrin esoterik kepada sekelompok kecil
muridnya seperti yang terekam pada salah satu karyanya yang masih ada.
Phytagoras dan Plato disebut-sebut juga telah mengajarkan doktrin-doktrin
esoterik.4
Esoterisme sebagai pengetahuan khusus dan ekslusif yang diajarkan oleh
para filosof agung seperti Aristoteles, Plato, Phytagoras, hanya kepada murid-
muridnya yang terpilih dan ekslusif, kiranya melalui pertimbangan matang dari
filosof tersebut bahwa tidak semua orang memiliki bakat dan kemampuan
intelektual tertentu untuk dapat menerima pengajaran-pengajaran khusus dan
tinggi tentang metafisika.5 Dalam diskursus filsafat perenial, esoterisme adalah
dimensi dalam atau inti agama.
Dalam esoterisme itu mengalir apa yang disebut spritualitas agama-agama.
Melalui sisi esoterisme dari agama atau ajaran spiritual, maka manusia akan
dibawa kepada apa yang merupakan hakikat dari panggilan manusia. Dengan
melihat aspek esoterisme agamanya, manusia mengalami penerangan batin dan
mencapai pencerahan. Karena itu tujuan dari esoterisme agama adalah pencapaian
penerangan batin. Ini dicapai melalui pengalaman kerohanian yang bersifat rasa,
yang berjenjang. Jenjang kesadaran rohani itu dengan maqamat.6
4Thomas Mautner,Dictionary of Philosophy: The Languages and Concapts of Philosophy
Explained, h. 198. 5Menurut Shcoun sendiri, pada hakikatnya esoterisme ditujukan untuk segelintir elit
intelektual yang terbatas jumlahnya, namun pada perkembangannya terdapat berbegai organisasi keruhanian, yang menganut paham esoterisme, memiliki anggota cukup banyak, misalnya kelompok Phytagorean atau jumlah organisasi (tarikat) sufi dalam Islam yang memiliki ribuan bahkan ratusan ribu pengikut. Frithjof Schoun, The Trancendent Unity of Religions, h. 33.
6Maqamat yaitu stasiun-stasiun spiritual yang harus dilalui manusia untuk sampai pada penerangan batin seperti zuhd, mahabbah, ma’rifat,wahdat al-wujud, dan lain-lain.
61
Ide-ide Nurcholish Madjid terutama berkenaan dengan monoteisme
(tauhid) dan sikap pasrah (al-Islam) sebagai kalimah sawa’ (kesatuan agama-
agama), sangat penting dipertimbangkan dalam diskursus teologi kesatuan agama-
agama dan dialog antar iman yang belakangan ini amat ramai disuarakan oleh
berbagai kalangan ahli agama. “sikap pasrah” yang dijelaskan di atas adalah titik
tolak pandangan tentang kesatuan kenabian (wihdat al-nubuwah, the unity of
prophecy), dan kesatuan kemanusiaan (wihdat al-insaniyah, the unity of
humanity), yang berangkat dari konsep Ke-maha-esa-an Tuhan
(wahdaniyah/tauhid atau the unity of God).7 Kesatuan agama-agama di sini sangat
mungkin tercapai, karena semua agama bertemu dengan Tuhan dan dengan
pendekatan esoteris, suatu agama akan mendapatkan “cahaya abadinya” yang
mengaliri semua agama yang berasal dari Tuhan. Ini dijelaskan dalam QS. an-
Nur/24:35.
“Allah adalah (pemberi) cahaya (bagi) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lobang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah
7Budy Munawar Rachman, Islam Pluralis (Jakarta: Paramadina 2001), h. 62.
62
timur dan tidak pula di sebalah baratnya, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya berlapis-lapis, Allah membimbing cahaya-Nya siapa yang Dianya kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Lewat penghayatan kepada “cahaya” manusia dapat menjadi sungguh-
sungguh bijaksana (al-insan al-kamil), karena manusia yang sudah mengalami
penerangan batin, tahu bahwa untuk membuat dunia yang bahagia, manusia perlu
mengubah hati.
Maka dari itu pentingnya melihat agama dari sudut pandang esoterisme
sangatlah perlu. Karena dari sudut pandang esoterisme ini akan dapat memahami
lalu mengalami sifat impersonalitas Ilahi itu yang sangat penting untuk
mendapatkan kedalaman hidup. Sifat personalitas ilahi itu dapat diperoleh dari
ego manusia yang mengalami trasnformasi ke dalam “non-ego” (Allah), sehingga
manusia dapat membawa citra Allah dalam kehidupan di dunia ini.
B. Inklusifisme
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa titik temu atau kalimah sawa adalah
ide utama dari pemikiran inklusif Nurcholish Madjid. Titik temu agama-agama itu
terletak pada pesan Tuhan yang bersifat universal. Oleh karena itu, ide utama
Nurcholish Madjid dalam inklusifisnya adalah penekanannya dalam memahami
pesan Tuhan.8 Yaitu sebuah pesan yang diterima oleh semua agama besar yang
mewarisi Abrahamic religion seperti Islam, Yahudi dan Nashrani. Semua kitab
8Sukidi,Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001) Cet. I , h. 16.
63
suci (al-Quran, Injil, Zabur dan Taurat) adalah pesan Tuhan. Lantas apakah pesan
yang bersifat universalitas itu? kemudian apakah titik temunya?
Pesan yang universal itu digali dari salah satu kitab suci tersebut (al-
Quran). Hal ini barangkali yang membuat Dawam Raharjo menganggap bahwa
Nurcholish Madjid lebih tepat dikatakan sebagai seorang inklusif daripada
pluralis, karena ia melihat kebenaran agama lain hanya dalam perspektif
agamanya sendiri. Sementara seorang pluralis akan melihat dari perspektif agama
lain pula. Adapun pesan itu tertuang dalam QS. ali-Imran: 64 adalah:
Artinya: “Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimah sawa) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula mempersekutukan-Nya kepada apapun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai ‘tuhan-tuhan’ selain Allah”... (QS. ali- Imran: 64).9
Kalimah sawa, titik temu atau common platform itu menurut Nurcholish
Madjid adalah al-Islam. Karena ada paralelisme bahkan identik antara makna
tidak menyembah selain Tuhan dan al-Islam, sebagaimana pengertian generik atau
pengertian dasar dari al-Islam yang dikemukakan oleh Ibn Taymiyah sebelum
Islam menjadi proper name bagi agama Nabi Muhammad SAW. Al-Islam dalam
pandangan Nurcholish Madjid sejalan dengan pandangan tokoh yang selalu ia
sebutkan dalam bukunya yaitu Ibnu Taymiyah. Menurut Ibnu Taymiyah
mengatakan bahwa Islam berasal dari kata-kata al-Istislam dan al-Inqiyad yang
9Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2008), h. 181
64
semuanya mengacu pada sikap penuh pasrah dan berserah diri serta tunduk dan
juga patuh kepada Dzat Yang Maha Esa yang tiada sekutu bagi-Nya.10
Nurcholish Madjid menegaskan bahwa sikap pasrah dengan setulus hati
kepada Tuhan, tanpa mengasosiasikan atribut ketuhanan adalah satu-satunya sikap
merupakan keagamaan yang tertolak. Nurcholish Madjid memperkuat
argumennya dengan surat Ali Imran: 85.
Artinya: “Barangsiapa menganut agama selainal-Islam (sikap berserah diri kepada Tuhan), maka tidak akan diterima daripadanya, dan di akhirat dia termasuk mereka yang menyesal.” (QS. ali-Imran: 85).11
Nurcholish Madjid memperkuat argumennya mengenai pentingnya
menjadikan sikap berserah sepenuhnya kepada Dzat Yang Maha Esa (al-Islam)
sebagai sikap keberagamaan yang benar dengan QS. al-Baqarah: 62:
Artinya: “Sesungguhnya mereka kaum beriman (kaum Muslim), kaum Yahudi, kaum Nasrani, kaum Shabiin, siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berbuat kebaikan, maka tiada rasa takut menimpa mereka dan merekapun tidak perlu khawatir.” (Q. S. Al-Baqarah: 62).12
10Nurcholis Madjid,Islam Doktrin dan Peradaban, h. 178. 11Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 182. 12Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 182.
65
Kembali kepada Islam, sikap pasrah atau berserah diri (al-Islam) yang
menjadi inti dasar inklusif Nurcholish Madjid bertitik tolak dari pandangan:
kesatuan kenabian (The Unity of prophecy) dan kesatuan kemanusiaan (The Unity
of humanity), yang berangkat dari kesatuan Ke-Maha Esaan Tuhan (The Unity of
God).13 Nurcholish Madjid juga memperkuat argumennya dengan beberapa ayat
yang berkaitan dengan the unity, kesatuan atau kebenaran “universal” dalam
bahasa Nurcholish Madjid. The unity of God dapat dilihat pada QS. al-Baqarah:
213.
Artinya: “Semula manusia adalah umat yang tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi yang membawa kabar gembira dan memberi peringatan, dan Dia menurunkan bersama para nabi itu kita suci untuk menjadi pedoman bagi menusia berkenaan dengan hal-hal yang mereka perselisihkan; dan tidaklah berselisih tentang hal itu, kecuali mereka yang telah menerima kitab suci itu sesudah datang kepada mereka berbegai keterangan, karena persaingan antara mereka. Kemudian Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman, dengan izin Nya, berkenaan dengan kebenaran yang mereka perselisihkan itu. Allah memebri petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya ke arah jalan yang lurus.”14
13Sukidi.Teologi Inklusif Cak Nur, h. 18. 14Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 176.
66
Berdasarkan pada ayat tersebut, menurut Nurcholish Madjid yaitu semua
umat manusia itu pada mulanya adalah tunggal karena berpegang pada kebenaran
yang tunggal, kemudian mereka berselisih satu sama lain justru karena mereka
mencoba memahami kebenaran yang tunggal itu berdasarkan kemampuan
masing-masing. Kondisi demikian dipertajam dengan adanya wested interest
akibat nafsu untuk memenangkan sebuah persaingan.
Nurcholish Madjid tidak bermaksud menyatukan persepsi manusia karena
menurut Nurcholish Madjid, salah satu fitrah yang parennial itu ialah manusia
akan tetap selalu berbeda-beda sepanjang waktu. Tidak mungkin membayangkan
manusia menjadi satu dan sama dalam segala hal sepanjang waktu, konsep
kesatuan umat manusia adalah hal yang berkenaan dengan harkat dan martabat
manusia karena menurut asal muasalnya manusia adalah satu dikarena berasal dari
jiwa yang satu.15
Berkenaan dengan the unity of God dan the unity of prophecy bisa dilihat
dari pendapat Nurcholish Madjid dalam pemahamannya mengenai QS. al-Anbiya:
25 dan 92. Dalam QS. al-Anbiya: 25 dijelaskan:
Artinya: “Dan Kami (Tuhan) tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum engkau (Wahai Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya:“Bahwa tiada Tuhan sselain Aku, oleh karena itu, sembahlah olehmu (wahai manusia) sekalian akan daku saja.”16 Kemudian dalam QS. al-Anbiya: 92 Allah menegaskan:
15Nurcholish Madjid. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam
Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: paramadina, 2000), h. 25. 16Nurcholis Madjid,Islam Doktrin dan Peradaban, h. 177.
67
Artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian Daku saja.”17 Dalam memahami ke dua ayat di atas Nurcholish Madjid menjelaskan
bahwa tugas dari para rasul adalah menyampaikan ajaran tentang Tuhan Yang
Maha Esa, juga ajaran agar manusia tunduk dan patuh hanya kepada-Nya (The
unity of God). Oleh karena prinsip ajaran para rasul sama, maka semua pengikut
para rasul dan nabi adalah umat yang satu (The unity of prophecy), atau dalam
kata lain konsep kesatuan dasar ajaran menghantarkan pada konsep kesatuan
kenabian dan kerasulan, lalu konsep kesatuan kerasulan kemudian menghantarkan
pada konsep kesatuan umat yang beriman. Lebih jelas, mengenai kesatuan pesan
itu (al-islam) Nurcholish Madjid menjelaskan dalam salah satu bukunya:
“Islam artinya pasrah sepenuhnya (kepada Allah), sikap pasrah yang menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah. Karena itu semua agama yang benar disebut Islam. begitulah kitab suci mengatakan bahwa Nuh mengajarkan Islam (QS. Yunus/10:27). Nabi Ibrāhīm pun membawa ajaran Islam, dan mewasiatkan ajaran itu kepada anak turunannya termasuk anak turunan Ya’kub atau Israil (QS. al-Baqarah/2:1130-132). Di antara anak Ya’kub itu ialah Yusuf berdoa kepada Allah kelak mati sebagai seorang Muslim (seorang yang ber Islam) (Q. S. Yusuf/12:101). Kitab suci juga menuturkan bahwa para ahli sihir Mesir yang semula mendukung Fir’aun tapi akhirnya beriman kepada nabi Sulaiman juga akhirnya tunduk patuh kepada Nabi itu dan menyatakan bahwa dia bersama Sulaiman pasrah sempurna atau Islam kepada Tuhan seru sekalian alam (QS. al-Naml/27:44). Dan semua para nabi dari Bani Isra’il (anak turunan Ya’kub) ditegaskan dalam kitab suci sebagaimana diterangkan dalam kitab suci sebagai orang-orang yang menjalankan Islam kepada Allah (QS. al-Maidah/5:44). Lalu Isa Al-Masih juga mendidik para pengikutnya
17Nurcholis Madjid,Islam Doktrin dan Peradaban, h. 178.
68
(al-Hawariyyun) sehingga mereka menjadi orang-orang muslim, pasrah kepaa Allah (QS. ali-Imron/3:52-53) dan (al-Maidah/5:111)”.18
Dari berbagai pemaparan pendapat Nurcholish Madjid mengenai tafsir al
Islam, maka dapat dipahami bahwa Islam dalam pemahaman Nurcholish Madjid
terhadap ayat-ayat tersebut bukanlah sebuah nama bagi komunitas agama tetapi
sebuah sikap keberagamaan bagi agama yang benar. Ketika ditanya oleh
wartawan Tempo, Wahyu Muryadi: ‘apa salahnyna jika Islam kini menjadi
sebuah agama komunal dan formal?’ Nurcholish Madjid menjawab bahwa orang
kemudian serta-merta mengikuti kebenaran hanya karena masuk dalam komunitas
terebut. Sementara pencarian kebenaran sendiri tidak ada. Tiket surga menjadi
semacam kategori historis-sosiologis padahal itu kan pencarian kebenaran. Kata
al-Islam sebenarnya bukan dama agama tapi sikap. Buya Hamka menurut
Nurcholish Madjid juga menerjemahkan demikian. Coba lihat tafsir-tafsir Buya
Hamka dan uraiannnya. Barangkali tidak membaca atau tidak mengerti
implikasinya.19
Walaupun demikian bukan berarti Nurcholis Madjid tidak mengakui akan
adanya agama Islam sebagai ajaran yang bawakan oleh Rasulullah SAW,
Nurcholish Madjid mengakui dan bahkan mengagumi agamanya sebagai agama
yang paling unggul dan paling sempurna. Kekaguman Nurcholish Madjid
terhadap agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW juga bisa dilihat ketika
Nurcholish Madjid menjelaskan kepada majalah Tempo bahwa diantara semua
18Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina. 1999), cet. v, h.
2. 19Nurholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nila Islam dan Wacana Politik
Kontenporer (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet. I, h. 255.
69
agama hanya Islam yang mengakui agama-agama lain. Ini menujukkan bahwa
agama Islam adalah agama yang paling unggul dan paling sempurna karena Islam
bersifat ngemong dan mengayomi semnua agama yang ada, tuturnya. Ketika
wartawan itu bertanya “apakah mereka yang diemong dan diayomi itu juga
termasuk dalam kategori Islam?” Nurcholish Madjid menjawab, bahwa mereka
tidak termasuk Islam dalam ketegori nabi penutup, tetapi ajaran mereka
mengandung unsut tawhid, yang menjadi persoalan adalah bagaimana meerka
membawa tawhid yang benar dalam agama mereka sendiri. 20
Jawaban Nurcholish Madjid senada dengan penjelasan Ajat Sudrajat dalam
bukunya Tafsir Inklusif Makna Islam. ajat Sudrajat menjelaskan bahwa penamaan
al-Islam menjadi sebuah nama agama bagi ajaran yang dibawakan nabi
Muhammad merupakan produk sejarang yang telah menghasilkan sebuah
peradaban manusia sejak nabi Muhammad hingga berabad-abad berikutnya.
Momentum terpenting dalam penamaan tersebut adalah ketika diturunkannya QS.
Al-Maidah: 3. Penaman tersebut dalam konteks sosio-historis telah mendapatkan
legitimasi dari Allah dan sebagian pegnikut golongan yang lain (Yahudi)
mengakui penamaan tersebut. Adapun al-Islam yang berupa ketundukan dan
kepatuhan serta penyerahan diri kepada Tuhan adalah sisi esoteris, pada aspek ini
semua agama bisa beremu khususnya pada rumpun agama semitik maka hal itu
dilandasi oleh ketwhidan sebagai landasan keimananya.21
Berbicara iman dan Islam, ada tiga hal lagi yang penting dijelaskan dalam
faham keberagamaan Nurcholish Madjid, yaitu takwa, tawakkal dan ikhlas.
20Nurholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nila Islam dan Wacana Politik Kontenporer, h. 268.
21Ajat Sudrajat,Tafsir Inklusif Makna Islam (Yogyakarta: AK Group, 2004). cet. I, h. 159.
70
Menurut Nurcholish Madjid beragama tanpa sikap pasrah itu tidak bermakna,
maka korelasi antara kualitas takwa, tawakkal dan ikhlas dengan kesadaran
ketuhanan adalah mutlak. Ketiga hal tersebut adalah bagian penting dari wujud
nyata dari al-Islam. Taqwa dalam pengertian Nurcholish Madjid “kedaran
ketuhanan” (God-Conciousness), yaitu kesadaran tentang adanya Tuhan Yang
Mahahadir (Omnipresent), dengan demikian maka taqwa berhubungan dengan
kesadaran akhlak manusia dalam kiprahnya hidup di dunia. Kemudian tawakkal
dalam perspektif Nurcholish Madjid adalah implikasi langsung dari iman, karena
tawakkal berarti mempercayakan diri pada Allah dan Iman adalah menaruh
kepercayaan kepada Allah.
Tawakkal menurut Nurcholish Madjid tidaklah berkonotasi pasif atau lari
dari kenyataan, tetapi tawakkal adalah sikap aktif yaitu semangat harapan kepada
Allah yang Maha bijaksana. Adapaun ikhlas dalam pandangan Nurcholish Madjid
yaitu tindakan yang tulus terhadap diri sendiri (true to one’s self) dalam
komunikasinya dengan sanag Pencipta, oleh karena itu ketulusan dalam beragama
juga bermakna ketulusan pada keutuhan (integritas) diri yang paling mendalam,
yang kemudian diaplikasikan dalam akhlaq mulia yaitu berbuat baik (ihsan)
kepada sesama.22
Adapun kesimpulan dari pemikiran Nurcholish Madjid dari pemikiran
keberagamaan inklusif dalam perspektif perennial bisa dilihat dari gagasan
Nurcholish Madjid yaitu, ibaratkan agama pada roda sepeda, semakin jauh dari
asal (pusatnya) maka akan semakin renggang dan semakin dekat pusatnya maka
22Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 42-51.
71
akan semakin dekat bahkan bersatu. Secara filosofis Nurcholish Madjid bahwa
barang siapa melihat perbedaan sebagai sesuatu yang sangat penting, maka
diibaratkan orang dalam lingkaran roda itu berada pada posisi pinggiran, tetapi
jika orang sudah mampu membuka tabir The Heart of religio atau The religion of
heart maka semua umat beragama akan bertemu.23
Dalam hal ini, diingatkan dengan pendapat Schoun mengenai esoteris dan
eksoteris agama. Menurutnya hidup ada tingkatan-tingkatannya, kesadaran
kognitif juga ada tingkatannya. Dari segi metafisik, hanya kepada Tuhanlah yang
berada pada tingkatan tertinggi, terdapat titik temu berbagai agama.24
Jika divisualisasikan dalam sebuah gambar yang sangat sederhana,
barangkali inti pemikiran keberagamaan inklusif dalam perspektif perennial
Nurcholish Madjid bisa disederhanakan seperti pada gambar berikut:
23Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur, h. xxxix. 24Fritzjof Schoun, Mencari Titik Temu Agama-Agama, Terj. Dari The Transcendent
Unity of Religions. Oleh Safrudin Bahar, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1994), Cet. II, h. x.
Agama yang berbeda-beda diibaratkan dengan jari-jari
Inti dari setiap agama (The heart of religion) diibaratkan dengan as sepeda
72
Titik tengah itu adalah inti semua agama yaitu sikap pasrah berserah diri secara
tota; (al-Islam) hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa (tauhid), yang tidak ada
sama sekali sekutu baginya-Nya. Kemudian jari-jari itu adalah syari’ah, minhaj,
thoriqoh, shiroth ajaran-anjaran yang dibawa oleh masing-masing Rasul (utusan
Allah) atau agama-agama yang dipahami hari ini, dengan warna yang berbeda-
beda menuju pada tujuan yang sama (tauhid) dan al-Islam. Jika melihat menjahui
pusatnya, maka akan semakin terasa jauh dan besar perbedaannya, tetapi jika
melihat mendekati pusatnya, makan akan semakin terasa dekat, semakin kecil
perbedaan bahkan berhenti pada titik yang sama.
C. Agama Jalan Menuju Tuhan
Agama adalah sebuah sistem yang mengatur keimanan atau kepercayaan
ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan yang
Maha kuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang bertalian dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu.25 Sebaik-baik
agama dari sisi Tuhan ialah semangat mencari kebenaran yang lapang, tidak
sempit, toleran; tanpa kefanatikan,tidak membelenggu jiwa dan terbuka.
Agama di sini sangat penting bagi kehidupan manusia karena agama
merupakan dasar moral, sebagai petunjuk sebuah kebenaran, dasar informasi
mengenai yang metafisika dan sebagai bimbingan ruh terhadap manusia baik suka
maupun duka. Fungsi dari agama dalam kehidupan adalah membawa manusia ke
jalan kebaikan dan menghindari dari jalan keburukan.
25Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), h. 18.
73
Dalam buku Pintu-Pintu Menuju Tuhan karya Nurcholish Madjid. Beliau
berargumen bahwasanya asal-usul agama adalah Islam yaitu pasrah (kepada
Tuhan) yang mempunyai ajaran untuk beribadah hanya kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Sikap yang menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah. Karena itu
semua agama yang benar disebut Islam. Semua agama yang dibawa Nabi adalah
sama dan satu, yaitu Islam, meskipun syariatya berbeda-beda sesuai dengan
zaman dan tempat khusus masing-masing Nabi.26
Dari argumen Nurcholish madjid di sini terlihat bahwasannya “sikap
pasrah” sebagai titik temu semua ajaran yang benar (ajaran para ahli kitab), dan
Tuhan telah mengirimkan utusan-Nya (nabi) sebagai pembawa berita dan yang
mengajarkan untuk setiap bangsa dan umat. Mereka menyampaikan pesan yang
sama meskipun dieksprsikan ke dalam ungkapan bahasa yang berbeda-beda.
Dalam surat QS. Yusuf/12:
“Wahai anak-anakku: kamu janganlah masuk dari satu pintu, melainkan, masuklah dari berbagai pintu yang berbeda.” Yang dimaksud dengan “Pintu” yang majemuk itu ditafsirkan sebagai
seruan untuk pendekatan apapun yang tidak tunggal itu membuka kesempatan
untuk mendatangi-Nya tidak hanya dari satu pintu. “Mendatangi” di sini menurut
26Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 2.
74
Nurcholish Madjid bahwasannya Islam mempunyai makna dasar sebagai “jalan”,
ini berarti sebagai sebuah proses menuju jalan kebenaran yang mutlak.
Agama dimaknai sebagai jalan menuju Tuhan. Jalan-jalan yang ditempuh
manusia menuju Tuhan berimplikasi bahwa jalan dalam beragama tidak hanya
satu tetapi beragam. Jalan menuju Tuhan memang hanya satu yaitu jalan yang
lurus (al-sirat al-mustaqim), tetapi jalurnya banyak. Karena itu ada banyak jalan
menuju Tuhan. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan agama
yang mempunyai sikap pasrah (al-Islam) tidak berdiri sendiri melainkan
kelanjutan dengan agama-agama lain. Namun, dari sejarah dan perkembangannya
hingga mencapai kesempurnaan dalam agama Nabi Muhammad. Akan tetapi
dalam kesadaran akan kesatuan asal agama-agama, manusia diwajibkan beriman
kepada semua Nabi, tanpa membeda-bedakan dan pasrah kepada Allah.27
Terkait mengenai hal ini Ibn Taymiyah memberikan komentar bahwa,
Sebenarnya, hakikat agama yaitu agama Tuhan Seru sekalian alam, ialah apa (inti ajaran) yang disepakati (ajaran yang sama) antara pada Nabi dan Rasul, sekalipun setiap Nabi dan Rasul itu ada syar’ah atau minhaj (tersendiri). Syar’ah adalah syari’ah. Firman Allah Ta’ala “untuk setiap (kelompok) dari antara kamu sekalian telah kami tetapkan syari’ah dan minhaj (QS. al-Maidah/5:48). Dan Allah berfirman, “Kemudian Kami tetapkan engkau (Muhammad) di atas sebuah syari’at dari perkara (agama) itu, maka ikutilah dia dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka yang tidak mengerti. Mereka itu tidak akan membuatmu lepas dari (adzab) Allah sedikitpun, dan sesungguhhnya orang-orang dzalim itu menjadi pelindung sesama mereka sendiri, dan Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. al-Jatsiyah/45:18). Dan minhaj itu artinya adalah thariq, seperti firman Allah, “Kalau saja mereka itu teguh berjalan di atas thariq, maka pasti bakal kami limpahkan pada mereka air (rahmat) yang melimpah ruah agar Kami uji mereka dengan rahmat itu. Barangsiapa berpaling dari peringatan
27Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 3.
75
Tuhannya,maka Dia akan mendorongnya ke adzab yang berat” (QS. al-Jin/72:16). Syir’ah adalah sebanding dengan syari’ah (air mengalir) pada sungai, dan minhaj adalah jalan yang dilalui air itu. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai itulah hakikat agama, yaitu penyembahan (ibadah) hanya kepada Allah semata tanpa sekutu. Itulah hakikat Islam, yaitu hendaknya seorang hamba berpasrah diri hanya kepada Allah Seru Sekalian alam. Dan tidak berpasrah kepada yang lain, maka ia adalah orang musyrik. Dan Allah tidak mengampuni jika Dia dipersekutukan. Barangsiapa tidak pasra kepada Allah, bahkan ia menjadi sombong dari bebribadah kepada-Nya, maka ia termasuk yang difirmankan Allah, sesungguhnya mereka yang sombong dari beribadah kepada-Ku, mereka akan masuk jahanam dalam keadaan terhina (QS. al-Mukmin/40:60).28
Di dalam agama sudah pasti menyangkut iman. Menurut pandangan
Nurcholish Madjid bahwasannya iman tidak cukup hanya percaya kepada adanya
Allah atau Tuhan tetapi harus pula mempercayai Allah atau Tuhan itu dalam
kualitas-Nya sebagai satu-satunya yang bersifat ketuhanan dan tidak memandang
adanya kualitas serupa kepada sesuatu apa pun yang lain.29 Maka manusia harus
bersandar sepenuhnya kepada-Nya, berpandangan positif kepada-Nya dan
bertawakal kepada-Nya. Apabila manusia berhasil mewujudkan itu semua, maka
manusia itu benar-benar bertauhid. Oleh sebab itu, manusia juga harus menjaga
kemurniannya tidak mengotorinya dengan perbuatan dosa untuk dapat membawa
kepada kebahagiaan sejati lahir dan batin.
Sikap terbuka merupakan bagian dari iman. Ini dipertegas dalam QS. al-
An’am/ 6:125, “Dan barang siapa Allah menghendaki untuk diberikan-Nya
hidayah, maka Dia lapangkan dada orang itu untuk (atau karena) Islam: dan
barang siapa Allah menghendakinya sesat, maka Dia jadikan dada orang itu
28Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, h. 14. 29Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 4.
76
sempit dan sesak, seolah-olah naik ke langit.” Ini terlihat jelas bahwasannya sikap
terbuka adalah bagian dari iman. Sebab seseorang, seperti yang ternyata dalam
firman Allah Ta’ala yang berkenaan dengan sikap orang kafir yang mana mereka
mengatakan “hati kami telah tertutup” jika didatangkan kebenaran kepaada
mereka. Tidak mungkin menerima kebenaran jika ia tidak terbuka, karena itu
difirmankan bahwa sikap tertutup ini akan membawa kepada kesesatan. Adapun
kualitas kaum beriman terdapat dalam QS. al-Hajj/22:24 bahwasannya
“Dibimbing ke arah tutur kata yang baik, serta dibimbing ke arah jalan (Allah)
yang maha terpuji.”
Menurut Nurcholish Madjid, iman menghasilkan harapan. Maka tidak
adanya harapan adalah indikasi tidak adanya iman. Orang yang tidak
berpengharapan adalah orang yang tidak menaruh kepercayaan kepada Allah. Dan
orang yang tidak menaruh kepercayaan kepada Allah akan tidak mempunyai
harapan kepada-Nya.30 Ini tercantum dalam QS. Yusuf/12:87 bahwa “Janganlah
kamu berputus asa dari kasih Allah, sebab sesungguhnya tidaklah berputus asa
dari kasih Allah kecuali kaum yang kafir.
Adapun mengenai takdir. Menurut Nurcholish Madjid, takdir ialah dalam
kaitannya dengan suatu ketentuan Ilahi yang tidak dapat manusia lawan. Manusia
dikuasai oleh takdir tanpa mampu mengubahnya dan tanpa ada pilihan lain,
karena takdir adalah ketentuan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka, manusia
harus menerimanya yang baik maupun yang buruk. Hanya saja, jika sikap percaya
kepada takdir ini diterapkan secara salah atau tidak pada tempatnya, maka dia
30Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 14.
77
akan melahirkan sikap fatalis.31 Padahal didalam QS. al-Najm/53:39 di jelaskan
bahwasannya “Manusia tidaklah mendapatkan sesuatu kecuali yang dia
usahakan: dan bahwa hasil usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya),
kemudian akan dibahas dengan balasan yang setimpal.” Dari sini telah jelas
bahwa percaya takdir tidak sama dengan fatalisme, sebab fatalisme itu sebagai
sikap menyerah kalah kepada nasib oleh karena itu yang dikehendaki oleh Islam
yang mengajarkan amal-usaha tentu mustahil mempunyai makna menentang
aktivitas dan amal perbuatan. Menganai hal ini menurut Nurcholish Madjid
bahwasannya percaya kepada takdir itu, jika seseorang lakukan dan terapkan
dengan benar-benar mengikuti petunjuk al-Quran, justru dapat menjadi bekal bagi
keberhasilan hidup dan percaya kepada takdir bukan mengakibatkan fatalisme,
justru itu akan menjadikan pribadi dengan jiwa seimbang.
31Sikap fatalis adalah sikap yang mengandung semangat menyerah kalah terhadap nasib
(fate), tanpa usaha dan tanpa kegiatan kreatif.
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini penulis berkesimpulan bahwa pandangan
filsafat perenialisme Nurcholis Madjid tentang hubungan agama-agama dilihat
dalam pemikirannya mengenai esoterisme dalam agama-agama, inklusivisme
dalam perspektif perennial dan agama jalan menuju Tuhan.
Pemikiran Nurcholish Madjid terutama berkenaan dengan monoteisme
(tauhid) dan sikap pasrah (al-Islam) sebagai kalimah sawa’ (kesatuan agama-
agama), “sikap pasrah” ini adalah titik tolak pandangan tentang kesatuan kenabian
(wihdat al-nubuwah, the unity of prophecy), dan kesatuan kemanusiaan (wihdat
al-insaniyah, the unity of humanity), yang berangkat dari konsep Ke-maha-esa-an
Tuhan (wahdaniyah/tauhid atau the unity of God). Kesatuan agama-agama di sini
sangat mungkin tercapai, karena semua agama bertemu dengan Tuhan dan dengan
pendekatan esoteris, suatu agama akan mendapatkan “cahaya abadinya” yang
mengaliri semua agama yang berasal dari Tuhan.
Titik temu atau kalimah sawa adalah ide utama dari pemikiran inklusif
Nurcholish Madjid. Ini terletak pada penekanannya dalam memahami pesan
Tuhan. Pemikiran keberagamaan inklusif dalam perspektif perennial Nurcholish
Madjid ini dibaratkan dengan agama pada roda sepeda, semakin jauh dari asal
(pusatnya) maka akan semakin renggang dan semakin dekat pusatnya maka akan
semakin dekat bahkan bersatu.
79
Agama dimaknai sebagai jalan menuju Tuhan. Jalan-jalan yang ditempuh
manusia menuju Tuhan berimplikasi bahwa jalan dalam beragama tidak hanya
satu tetapi beragam. Jalan menuju Tuhan memang hanya satu yaitu jalan yang
lurus (al-sirat al-mustaqim), tetapi jalurnya banyak. Karena itu ada banyak jalan
menuju Tuhan. Dalam buku Pintu-Pintu Menuju Tuhan karya Nurcholish Madjid.
Beliau berargumen bahwasannya asal-usul agama adalah Islam yaitu pasrah
(kepada Tuhan) yang mempunyai ajaran untuk beribadah hanya kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Sikap yang menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah.
Karena itu semua agama yang benar disebut Islam. Semua agama yang dibawa
Nabi adalah sama dan satu, yaitu Islam, meskipun syariatya berbeda-beda sesuai
dengan zaman dan tempat khusus masing-masing Nabi. Akan tetapi dalam
kesadaran akan kesatuan asal agama-agama, manusia diwajibkan beriman kepada
semua Nabi, tanpa membeda-bedakan dan pasrah kepada Allah.
B. Saran Penelitian
Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan analisa yang lebih mendalam
mengenai bagaimana masyarakat terutama yang mempunyai pemahaman agama
secara eksklusif itu terbuka dengan konsep perenial Nurcholish Madjid.
80
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd. Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal. Jakarta: Dian Rakyat, 2009, cet. I. h. 34.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010, cet, IVX.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisus, 1981.
Drabble, Margareth. The Oxford Companion to English Literature (Oxford: Oxford University Press, 1998.
Gaus, Ahmad. Api Islam Nur Chloish Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Kompas, 2010, cet. I.
Hidayat, Komaruddin.Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta: Noura Book, 2012.
________________. Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1998.
________________ & Wahyuni Nafis. Agama Masa Depan, Perpektif Filsafat Perenial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Idrus, Junaidi. Rekotruksi Pemikiran Nurcholish Madjid: Membangun Visi dan Misi Baru Islam Indonesia. Jogjakarta: Logung Pusataka, 2004, cet, I.
Kuswanjono, Arqom. Ketuhanan Dalam Telaah Filsafat Perenial; Refleksi Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2006.
Madjid, Nurholish. Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nila Islam dan Wacana Politik Kontenporer. Jakarta: Paramadina, 1998, cet. I.
________________. Islam Doktrin danPeradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
________________. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 2008.
________________. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam Jakarta: Paramadina, 2000.
________________. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina, 1995.
81
________________. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina. 1999, cet. V.
Malik, Dedy Jamaluddin dan Idi Subaidi Ibrahim. Zaman Baru Islam Indonesia; Pemikiran dan Aksi Plotik Abdurrahman Wahid M. Amin Rais Nurcholish Madjid Jalaluddin Rahmat. Bandung: Zaman Wacana Mulya, 1998, cet, I.
Mautner, Thomas. Dictinary of Philosophy: The Languages and Concepts of Philosophy Exsplained. England: Penguin Books, 2005.
Mckechine, Jean L. ed. Webste’s New Century Dictionary of The English Language: Unabridged (USA: Williyam Collins Publishers. Inc.,1980.
Moleong, Lexi J., Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosyda Karya, 2012, cet. 39.
Nasr, Seyyed Hossein. Ideals and Realitiy of Islam. London: George Allen & Unwin Ltd., 1975.
________________. Pengetahuan dan Kesucian (knowledge and the Secred). terj. Suharsono. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1997.
________________ dan William Sroddart. Religion of the Heart, Essay Presented to Frithkof Schoun, on His Eightien birtheday. Wahington Dc: Foundation For Tradicional Studies, 1991.
Oetomo, Dede. Penelitian Kualitatif Aliran & Tema. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, cet. III.
Pedoman Penulisan Skripsi (Ciputat: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Pernama, Ahmad Norma. Perenialisme; Melacak Jejak Filsafat Abadi Yogyakarta: Tiara wacana. 1996, cet. I,
Rachman, Budhi Munawar, Ensiklopedia Nurcholish Madjid; Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi “Edisi Digital”, 2011.
________________. Islam Pluralis; Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina, 2001.
Saridjo, Marwan. Cak Nur: di antara Sarung dan Dasi dan Musdah Mulia Tetap Berjilbab Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005, cet, II.
82
Schoun, Frithjof. Islam dan Filsafat Perenial, ter. Rahman Astuti. Bandung: Penerbit Mizan, 1998.
________________. Mencari Titik Temu Agama-Agama, Terj. dari The Transcendent Unity of Religions Oleh Safrudin Bahar, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1994), cet. II.
Sihab, Alwi. Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung: Mizan, 1999.
Slim, Peter. Advanced Esglish – Indoensia Dictionary. Jakarta: Modern English Press, 1988.
Sudrajat, Ajat. Tafsir Inklusif Makna Islam. Yogyakarta: AK Group. 2004, cet. I.
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2001.
Tebba, Sudirman. Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa. Jakarta: KPP Kelompok Paramadina, 2004.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, cet. I.