PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM
NOVEL PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR,
DAN WASRIPIN DAN SATINAH
(Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh :
Giyato
S 840908012
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ii
PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM
NOVEL PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR,
DAN WASRIPIN DAN SATINAH
(Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)
Disusun oleh :
Giyato
S 840908012
Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. __________ ________ NIP 19440315 197804 1 001 Pembimbing II Dr. E. Nugraheni Eko Wardani, Hum. __________ ________ NIP 19700716 200212 2 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP 19440315 197804 1 001
iii
PANDANGAN PROFETIK KUNTOWIJOYO DALAM
NOVEL PASAR, MANTRA PEJINAK ULAR,
DAN WASRIPIN DAN SATINAH
(Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)
Disusun oleh :
Giyato
S 840908012
Telah Disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. _________ _______ Sekretaris Dr. Retno Winarni, M.Pd. _________ _______
Anggota Penguji Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. _________ _______
Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. _________ _______ Mengetahui, Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP 131427192 NIP 19440315 197804 1 001
iv
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini
nama : Giyato
NIM : S 840908012
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Pandangan
Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin
dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)” adalah betul-
betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis ini diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Januari 2010
Yang Membuat Pernyataan,
Giyato
v
MOTO
Verba volant, scripta manent;
Kata-kata mudah sirna, namun tulisan mengabadikannya
(Pepatah)
Bukan apa yang sudah, melainkan apalagikah?
(Timur Sinar Suprabana)
Bukan sekadar apa yang terjadi, tetapi bagaimana bisa menjadi?
(Penulis)
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku, Parto Wiyono dan Ginah,
serta kakakku Mbak Gentik sekeluarga yang
selalu mencurahkan cinta, kasih sayang, dan doa
untukku.
2. Istriku, Ita Nurdevi yang memberi semangat di
setiap langkahku. Mengingatkanku di saat aku
lalai dan menyemangatiku di saat aku malas.
3. Dixie Arunnisa Sarwanto, Tafiqoh Izza Tazkia,
Alif Ardhiansyah Budi Husada, dan Aryaditya
Nurwahid, keponakan-keponakanku yang lucu
dan selalu memberi keceriaan
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme
Genetik dan Nilai Pendidikan)” akhirnya dapat diselesaikan untuk memenuhi
sebagian persyaratan mendapatkan gelar Magister Pendidikan Bahasa Indonesia.
Banyak hambatan dalam penyelesaian penulisan tesis ini, namun berkat
bantuan dari berbagai pihak akhirnya semua hambatan dapat diatasi. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Ketua Prodi Pendidikan Bahasa
Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan arahan
dan persetujuan serta pengesahan laporan penyusunan tesis ini
3. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. selaku Sekretaris Prodi Pendidikan Bahasa
Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta
4. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Pembimbing I dan selaku
Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memberikan arahan
dengan sabar hingga tesis ini dapat terselesaikan.
5. Dr. E. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum., selaku Pembimbing II yang dengan
sabar membimbing dan menasihati penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
viii
6. Bapak dan Ibu Dosen Pragram Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia
yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmunya kepada peneliti sehingga
dapat menjadi bekal untuk penyusunan tesis.
7. Bapak dan Ibu, Papi dan Mami, kakak-kakak, dan istri tercinta yang telah
memberikan doa dan semangat untuk menyelesaikan laporan penyusunan
tesis ini.
8. Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah
memberi semangat, keceriaan, dan motivasi dalam proses penelitian ini;
9. Saudara-saudara seperjuangan di Komunitas Tarbiyah, LP2R Bina Insan
Cendekia, Thulabiy Club, dan Komunitas Pembaca Karanganyar yang telah
memicu dan memacu semangat dalam menempuh studi.
Peneliti menyadari bahwa laporan penyusunan tesis ini masih belum
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat peneliti
harapkan guna kesempurnaan laporan penyusunan tesis ini dan demi menambah
wawasan pengetahuan peneliti.
Akhirnya, peneliti berharap semoga laporan penyusunan tesis ini dapat
bermanfaat bagi dunia kesusastraan, khususnya pengembangan kajian
strukturalisme genetik dan nilai-nilai pendidikan dalam novel.
Surakarta, Januari 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman JUDUL ........................................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................ ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS...................................................... iii
PERNYATAAN........................................................................................... iv
MOTTO...................................................................................................... . v
PERSEMBAHAN........................................................................................ vi
KATA PENGANTAR................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiii
ABSTRAK................................................................................................... xiv
ABSTRACT................................................................................................ . xv
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 4
D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 5
BAB II. LANDASAN TEORETIS ............................................................. 6
A. Landasan Teoretis ............................................................................ 6
1. Hakikat Novel ........................................................................... 6
a. Pengertian Novel ................................................................... 6
b. Jenis-jenis Novel................................................... ................. 8
c. Unsur-unsur Novel ................................................................. 10
2. Hakikat Strukturaisme Genetik ................................................. 25
a. Pengertian Strukturaisme Genetik ........................................ 34
b. Struktur Sosial Budaya.......................................................... 26
c. Pandangan Dunia Pengarang ................................................ 27
x
d. Kuntowijoyo sebagai Pengarang .......................................... 32
3. Hakikat Nilai Pendidikan dalam Novel ........................................ 35
a. Pengertian Nilai……………………………………………. ............... 35
b. Nilai-nilai Pendidikan………………….…………………. . 37
1) Nilai Pendidikan Agama .................................................. 39
2) Nilai Pendidikan Moral ................................................... 39
3) Nilai Pendidikan Adat/Budaya ........................................ 41
4) Nilai Pendidikan Sosial ................................................... 42
5) Nilai Pendidikan Kepahlawanan ..................................... 43
c. Cara Mengukur Adanya Nilai Pendidikan dalam Novel ...... 44
B. Penelitian Lain yang Relevan .......................................................... 50
C. Kerangka Berpikir ............................................................................ 51
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 52
A. Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 52
B. Metode Penelitian ............................................................................ 53
C. Pendekatan Penelitian ...................................................................... 53
D. Sumber Data ..................................................................................... 53
E. Teknik Cuplikan .............................................................................. 54
F. Prosedur Penelitian ......................................................................... 54
G. Validitas Data .................................................................................. 55
H. Analisis Data .................................................................................... 56
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ........................... 57
A. HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Pandangan Profetik Kuntowijoyo ........... ......................... 57
2. Deskripsi Struktur Teks Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan
Wasripin dan Satinah ..... .................................................................. 73
3. Deskripsi Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar,
Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ........................... 148
xi
4. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak
Ular, dan Wasripin dan Satinah ..................................................... 162
B. PEMBAHASAN
1. Religius Profetik sebagai Pandangan Kuntowioyo........... ............... 167
2. Struktur Teks Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan
Wasripin dan Satinah ..... .................................................................. 179
3. Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar,
Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah ........................... 182
4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular,
dan Wasripin dan Satinah ............................................................... 199
BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. ................................... 201
A. Simpulan.................................................................................. ......... 201
B. Implikasi............................................................................................ 203
C. Saran................................................................................................ .. 209
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 210
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian .......................................................... 52
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Kerangka berpikir ........................................................................................ 51
Bagan Model Interaktif Miles & Huberman .............................................. 57
xiv
ABSTRAK
Giyato. S 840908012. “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2010. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : (1) pandangan dunia Kuntowijoyo dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; (2) struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; (3) struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah; dan (4) nilai pendidikan novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah;.
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau analisis isi. Sumber data penelitian ini adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, karya-karya Kuntowijoyo yang lain, biografi penulis, komentar pengarang-pengarang lain, dan artikel dari buku , surat kabar, internet yang menunjang permasalahan penelitian. Teknik analisis cuplikan penelitian ini menggunakan purposive sampling. Validitas data penelitian ini menggunakan metode triangulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis) yang meliputi tiga komponen, yaitu : (1) reduksi data (data reduction); (2) sajian data (data display); dan (3) penarikan simpulan (conclution drawing). Prosedur penelitian yang peneliti lakukan melalui tiga tahap mencakup: (1) tahap eksplorasi dan memperoleh gambaran umum, (2) tahap eksplorasi fokus, (3) tahap pengecekan dan keabsahan data.
Berdasarkan analisis data melalui pendekatan strukturalisme genetik, dapat disimpulkan: (1) Pandangan dunia Kuntowijoyo meliputi pandangan religius profetik yang meliputi misi profetik kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan moral; (2) struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah yang meliputi tema, alur, tokoh, latar, dan sudut pandang; (3) struktur sosial budaya masyarakat novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah yang meliputi proses kreatif, latar sosial budaya masyarakat (religiusitas dalam masyarakat Jawa, seni budaya Jawa, mitos masyarakat Jawa, perilaku dan kesenangan masyarakat Jawa, penggunaan bahasa dalam masyarakat, prinsip hidup masyarakat Jawa, interaksi sosial dalam masyarakat Jawa, pewarisan kepemimpinan, penyampaian kritik), penokohan sebagai perwujudan sosok masyarakat Jawa; (4) dan nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah yang meliputi nilai pendidikan agama, moral, adat/budaya, sosial, dan kepahlawanan.
xv
ABSTRACT
Giyato. S840908012. The World Vision of Kuntowijoyo in Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah (A Study of Genetic Structuralism and Education Value). Thesis: Indonesian Language Education Program, the Postgraduate of the University of Sebelas Maret.
The aim of this research is to describe : (1) the world vision of Kuntowijoyo in in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (2) the Text Structure of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (3) sociocultural structure of society in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah; (4) education value of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah.
The qualitative descriptive research was done using content analysis method. Data source of this research is novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah written by Kuntowijoyo, other literatures of Kuntowijoyo, Kuntowijoyo’s biography, comments from other authors, articles from books, newspapers, and internet which is supported to research problem. Sampling technique of this research was purposive sampling. Validity of research data was done using triangulation theory. The technique of data analyze in the research is using flow model of analyze that cover three components, that is: (1) data reduction; (2) data display; (3) conclusion drawing. Data analysis technique was done by dialectical model. The research was done in 3 steps, including : (1) exploration and general description, (2) focused exploration, (3) data validity checking.
Based on data analysis by genetic structuralism approach, concluded that : (1) Kuntowijoyo’s world vision comprises prophetical religious vision includes art, social, culture, politic, economy, education, and moral value; (2) text structure of novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah includes theme, plot, figure, background, and point of view; (3) sociocultural structure of society in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah which includes creative process, sociocultural background of society (religiousness in Javanese society, Javanese art and culture, Javanese society’s myth, attitude and pleasure of Javanese society, language practice in society, life principal of Javanese society, social interaction in Javanese society, leadership inheritance, critic telling) characterization as figure realization of Javanese society; (4) education value in novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, and Wasripin dan Satinah comprises religion education value, moral, tradition, social, and heroic.
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pendidikan, nilai estetik dan puitik sastra selama ini diyakini
mampu memompa dan membangun karakter manusia. Bahkan mendiang Presiden
Amerika Serikat John F Kennedy begitu yakin bahwa sastra mampu meluruskan
arah kebijakan politik yang bengkok. Sehingga politikus yang mati tertembak ini
mengatakan, “Ketika Politik Bengkok, Sastra akan Meluruskannya”.
Begitu pentingnya sastra bagi kehidupan sehingga Seno Gumira Ajidarma
kemudian mengafirmasi pernyataan John F. Kennedy dengan membuat adagium
“Ketika Jurnalisme Dibungkam, maka Sastralah yang akan Berbicara”. Seno
Gumira Adjidharma tidak main-main dengan statement-nya, kumpulan Cerpen
“Saksi Mata” terbitan Bentang Budaya Yogyakarta adalah “saksinya”. Seluruh
cerpen dalam kumpulan ini merupakan “pembocoran” fakta peristiwa kekerasan
yang terjadi di Dili, Timor Lorosai saat itu. (Teguh Trianton, 2008: 3)
Keberadaan karya sastra di tengah-tengah masyarakat adalah hasil
imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya.
Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan
pandangan dunianya (world vision) kepada subjek kolektifnya. Signifikasi yang
dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya
1
xvii
menunjukkan bahwa sastra berakar pada kultur dan masyarakat tertentu.
Keberadaan sastra yang demikian mengukuhkan sastra sebagai dokumentasi
sosiobudaya (Iswanto, 2001: 61).
Latar belakang sejarah, zaman, dan sosial masyarakat memiliki andil yang
signifikan terhadap karya sastra baik dalam segi isi maupun bentuk. Keberadaan
pengarang dalam lingkungan sosial masyarakat tertentu, ikut mempengaruhi karya
yang dibuatnya. Dengan demikian suatu masyarakat tertentu yang ditempati
pengarang akan dengan sendirinya mempengaruhi jenis sastra tertentu yang
dihasilkan pengarang.
Kecenderungan ini didasarkan pada pendapat bahwa tata kemasyarakatan
bersifat normatif. Hal ini berarti terdapat paksaan bagi masyarakat mematuhi
nilai-nilai yang berada di masyarakat. Hal ini merupakan faktor yang harus ikut
diperhatikan dan menentukan terhadap jenis tulisan pengarang, objek karya sastra,
pasar karya sastra, maksud penulisan, dan tujuan penulisan.
Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya
masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang
ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara
adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan
dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan
sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi
permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.
Karya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang
melingkupi penciptanya. Jamal T. Suryanata (1999: 8) menyatakan bahwa sifat-
xviii
sifat sastra menuntut orang untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan
melihat apa yang seharusnya terjadi, sehingga sastra yang baik merupakan
cermin realitas masyarakat zamannya. Oleh karena itu, muncullah pendekatan
sastra dengan cara pandang yang berbeda yaitu strukturalisme genetik.
Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) memberikan rumusan
penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yaitu: (1) penelitian terhadap
karya sastra yang dilihat sebagai suatu gagasan; (2) karya sastra yang diteliti
mengandung tegangan (tension) antara keragaman dan kesatuan dalam suatu
keseluruhan (a coherent whole); (3) jika kesatuan telah ditemukan, kemudian
dianalisis dalam hubungannya dengan latar belakang sosial.
Karya sastra yang dipilih sebagai objek kajian dengan pendekatan
strukturalisme genetik adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin
dan Satinah karya Kuntowijoyo dengan alasan: (1) Kuntowijoyo seorang
sastrawan besar pencetus sastra profetik, (2) novel-novel tersebut merupakan
cermin realitas masyarakat; dan (3) kajian strukturalisme genetik dan nilai
pendidikan terhadap ketiga karya sastra tersebut belum pernah dilakukan
Judul yang diambil dalam penelitian ini adalah “Pandangan Profetik
Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan
Satinah (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
xix
1. Bagaimana pandangan dunia pengarang yang melatarbelakangi novel Pasar,
Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?
2. Bagaimana struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan
Satinah karya Kuntowijoyo?
3. Bagaimana struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra
Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?
4. Bagaimana nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular,
dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan umum penelitian ini adalah
untuk mengetahui pandangan profetik Kuntowijoyo dan totalitas makna novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah.
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan pandangan dunia pengarang yang melatarbelakangi novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
2. Mendeskripsikan struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan
Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
3. Mendeskripsikan struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar,
Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
4. Mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak
Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
xx
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun
praktis. Adapun manfaat tersebut sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah
penelitian ilmu sastra, khususnya pengkajian prosa fiksi (novel) dengan
pendekatan strukturalisme genetik.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini yaitu:
a. Menambah pengetahuan pengkajian prosa fiksi para pembaca khusunya
pada novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah Karya
Kuntowijoyo.
b. Menjadi rujukan bagi para peneliti yang berniat menganalisis lebih lanjut
karya sastra khususnya melalui pendekatan strukturalisme genetik.
c. Menjadi pengalaman yang cukup berarti bagi peneliti dan hasilnya dapat
digunakan dalam usaha pembinaan apresiasi sastra di sekolah terutama
dengan penanaman nilai-nilai pendidikan
xxi
BAB II
LANDASAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN,
DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teoretis
1. Hakikat Novel
a. Pengertian Novel
Bentuk novel dianggap sama dengan bentuk roman, walaupun
sebenarnya berbeda. Episode yang diceritakan dalam novel tidak sepanjang
yang terdapat pada roman. Novel hanya menceritakan episode yang dianggap
penting saja dari kehidupan tokoh utama, misalnya masa remaja hingga
berumah tangga, masa kanak-kanak hingga menikah, masa berumah tangga,
dan lain-lain. Isi, cara penceritaan, dan bahasa dalam novel juga lebih
beragam. Ada novel-novel yang romantis (misalnya karya N.H. Dini, Marga
T., Mira W., ataupun Pramoedya Ananta Toer), tetapi banyak pula yang
bersifat lebih dinamis dan tidak bertendensi mengharu-biru perasaan pembaca
(misalnya karya Ayu Utami, Putu Wijaya, serial “Lupus”, dan lain-lain).
Istilah tentang novel antara negara satu dengan negara lain beragam.
Dalam bahasa Jerman disebut Novelle. Sedangkan dalam bahasa Prancis
disebut Nouvelle. Kedua istilah tersebut dipakai dalam pengertian yang sama
yaitu prosa yang agak panjang dan sederhana karena hanya menceritakan
6
xxii
maksud kejadian yang memunculkan suatu konflik yang mengakibatkan
adanya perubahan nasib pelakunya.
Berdasarkan asalnya kata novel berasal dari kata Latin novellus yang
berarti diturunkan pula dari kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan “baru”
karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi,
drama, dan lain-lain, maka novel muncul setelahnya. Menurut Robert Liddell
(dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 164) novel Inggris yang pertama kali
lahir adalah Famela pada tahun 1740.
Beberapa pendapat mengenai novel dikemukakan oleh para ahli sastra.
Namun sampai saat ini belum ada patokan yang dapat diterima oleh semua
pihak. Novel dalam arti umum berarti cerita berbentuk prosa dalam ukuran
yang luas yaitu cerita dengan plot dan tema yang kompleks, karakter yang
banyak dan setting cerita yang beragam. Novel merenungkan dan melukiskan
realitas yang dilihat, dirasakan dalam bentuk tertentu dengan pengaruh
tertentu atau ikatan yang dihubungkan dengan tercapainya gerak-gerik hasrat
manusia.
Goldmann (dalam Faruk, 2003: 29) mendefinisikan novel sebagai
cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik
dalam dunia yang terdegradasi pula. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa
novel merupakan suatu genre sastra yang bercirikan keterpecahan yang tidak
terdamaikan dalam hubungan antara sang hero dengan dunia.
Robert Stanton (2007: 90) berpendapat bahwa novel mampu
menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang sangat rumit,
xxiii
hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai
peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail.
Itulah yang membedakan novel dengan dengan cerpen. Yang lebih menarik
lagi dari novel adalah kemampuannya menciptakan satu semesta yang lengkap
sekaligus rumit.
Sebagai karya yang kompleks, novel memiliki karakteristik yang
menjadi ciri novel tersebut. Herman J. Waluyo (2002: 37) mengungkapkan
bahwa di dalam novel terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita, ada
beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya, dan biasanya tokoh
utama tidak sampai mati.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
novel adalah karya sastra yang kompleks dan memiliki unsur pembangun
berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
b. Jenis-jenis Novel
Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman
J. Waluyo (2002: 38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel
serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra
(tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan
(rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya.
Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 2003: 31)
membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel
psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero
yang penuh optimisme dalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas
xxiv
dunia. Dalam novel jenis kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan
kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Sedangkan dalam novel
jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang
otentik.
Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 126),
yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas
kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil
merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu
dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan
tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam
usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal,
termasuk peristiwa-peristiwa historis (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 127).
Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk
memahaminya, khususnya novel. A. Teeuw (dalam Herman J. Waluyo, 2002:
59-60) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama
eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa
pengarang terikat oleh bahasa yang dipakainya; kedua interne strukturrelation,
yaitu struktur dalam bagian-bagiannya saling menentukan dan saling
berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun
oleh pengarang, dunia fantasi atau dunia imajinasi.
Berdasarkan uraian A. Teeuw tersebut, Herman J. Waluyo (2002: 60)
memberikan pandangan pada karya sastra terdapat adanya faktor ekstinsik,
faktor intrinsik, dan dunia pengarang. Dunia pengarang dapat dimasukkan
xxv
juga dalam faktor ekstrinsik, yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu
sendiri.
Meskipun tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup
berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena
itu, sebenarnya banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Wellek
dan Warren (1990: 75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang
saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang,
psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis.
Untuk memahami sebuah novel, harus dilakukan pembedahan
struktur yang dimiliki. Kenney (1966: 6-7) berpendapat,
“To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up (this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces), to determine the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts, to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the literary work as a unified and complex whole”.
Berpijak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan
novel pendidikan.
c. Unsur-unsur Novel
Penelitian terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam
novel itu. Berkenaan dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (2002: 23)
menyebutkan beberapa unsur, yaitu peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema,
latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa.
xxvi
Berikut ini dipaparkan beberapa unsur intrinsik novel yang berkaitan
erat dengan pengkajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik.
1) Tema
Tema sering dimaknai sebagai inti cerita novel. Semua cerita yang
dibangun berpusat dari satu tema. Definisi yang disampaikan Robert
Stanton (207: 147) memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh
sebuah cerita.
Tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih,
ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya
(Herman J. Waluyo, 2002: 142). Masalah hakiki manusia tersebut berasal
dari rasa kejiwaan manusia secara pribadi maupun sebagai manifestasi
interaksi dengan manusia lain. Karena itu, gagasan utama dari suatu novel
biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan tertentu mengenai
kehidupan.
Dalam karya sastra, tema senantiasa berkaitan dengan nilai-nilai
kehidupan dan pola tingkah laku. Tema yang banyak dijumpai pada karya
sastra yang bersifat didaktis adalah pertentangan antara nilai baik - buruk,
misalnya dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kezaliman
melawan keadilan, korupsi melawan kerja keras, dan sebagainya.
Tema cerita kadang-kadang dinyatakan secara eksplisit oleh
pengarangnya, baik melalui dialog, pemaparan, maupun judul karya,
sehingga pembaca mudah memahami. Dari membaca judulnya saja,
misalnya Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Dua Dunia dan lain-
xxvii
lain, dengan mudah pembaca dapat menebak temanya. Meskipun
demikian, harus disadari bahwa tidak semua judul menunjukkan tema
cerita. Ada pula judul-judul yang bersifat simbolik, misalnya Layar
Terkembang, Belenggu dan lain-lain. Dengan demikian, untuk menggali
tema cerita tidak selalu mudah karena banyak pula yang bersifat implisit
(tersirat), sehingga seseorang perlu membaca lebih dahulu seluruh cerita
dengan tekun dan cermat.
Menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantara,
2009:68), tema merupakan gagasan dasar umum yang menopamg sebuah
karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan
yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia bersifat
menjiwai seluruh bagian cerita itu. Namun, tema merupakan makna
keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan
”tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.
Sayuti (Wiyatmi, 2006: 43) mengungkapkan fungsi tema, yaitu
untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap pengalaman dan
hubungan totalnya dengan jagad raya. Jadi, tema dapat berfungsi sebagai
penyatu unsur-unsur cerita dan juga sebagai penghubung visi pengarang
dengan kehidupan nyata.
Berkenaan dengan jenis tema, Burhan Nurgiyantoro (2002: 77-84)
menggolongkan tema tradisional yang menunjuk pada tema yang ’itu-
itu” saja dan tema nontradisional yang bersifat tidak lazim. Ia juga
xxviii
mengungkapkan adanya tema pokok atau tema mayor sebagai makna
pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya, dan
tema tambahan atau tema minor.
Di samping itu Burhan Nurgiyantoro (200: 77-84) juga mengutip
tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: (1) tema tingkat fisik, yaitu
manusia sebagai (atau dalam tingkatan kejiwaan) molekul; (2) tema
tingkat organik, yaitu manusia sebagai protoplasma; (3) tema tingkat
sosial, yaitu manusia sebagai makhluk sosial; dan (4) tema tingkat egoik,
yaitu manusia sebagai individu.
Namun Herman J Waluyo(2002:12) mengklasifikasikan tema
menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik;
(3) tema sosial; tema egoik(reaksi probadi); dan tema devine
(Ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang
bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia. Tema yang bersifat
organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia. Tema
yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema
egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada
ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu.
Sedangkan tema divine (Ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat
religius hubungan manusia dengan sang khalik.
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema
menyangkut masalah hakiki manusia dan dapat diklasifikasikan
berdasarkan sifat fisik, organik, sosial, egoik, dan tema ketuhanan.
xxix
2) Alur/Plot
a). Pengertian alur
Plot memegang peranan penting dalam cerita. Fungsi plot
memberikan penguatan dalam proses membangun cerita. Menurut
Herman J. Waluyo (2002: 146-147) plot memiliki fungsi untuk
membaca ke arah pemahaman cerita secara rinci dan menyediakan
tahap-tahap tertentu bagi penulis untuk melanjutkan cerita berikutnya.
William Kenney (1966: 13-14) menyatakan:
“ plot reveals event to us, not only in their temporal, but also in relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in temporal series, but also as an intricate pattern of cause and effect”. “The structure of plot to recognize this much, however. Is only a beginning. We must consider in more specific terms the form this “arrangement” we call plot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, we may discern certain recurring patterns”.
Foster (Budi Darma, 2004: 13) mengungkapkan bahwa plot
adalah rangkaian peristiwa yang diikat oleh hubungan sebab-akibat.
Jika rangkaian peristiwa itu tidak diikat oleh hubungan kausalitas
maka itu bukanlah plot.
Ada pula yang mengumpamakan alur sebagai sangkutan,
tempat menyangkutnya bagian-bagian cerita, sehingga terbentuklah
suatu bangun yang utuh. Dalam fungsinya yang demikian dapat
dibedakan peristiwa-peristiwa utama yang membentuk alur utama, dan
peristiwa-peristiwa pelengkap yang membentuk alur bawahan atau
pengisi jarak antara dua peristiwa utama.
xxx
Peristiwa yang dialami tokoh disusun sedemikian rupa menjadi
sebuah cerita, tetapi tidak berarti semua kejadian dalam hidup tokoh
ditampilkan secara lengkap. Peristiwa-peristiwa yang dijalin tersebut
sudah dipilih dengan memperhatikan kepentingannya dalam
membangun alur. Peristiwa yang tidak bermakna khas (signifikan)
ditinggalkan, sehingga sesungguhnya pengaluran selalu
memperhatikan hubungan kausalitas/sebab-akibat.
Memang, hubungan kausalitas ini tidak selalu segera tampak
dalam sebuah novel yang tersusun rapi karena kadang-kadang
tersembunyi di balik peristiwa yang meloncat-loncat, atau di dalam
ucapan maupun perilaku tokoh-tokohnya. Walaupun begitu pembaca
harus dapat menangkap hubungan kausalitas tersebut. Untuk itu
pengarang yang baik hanya menampilkan lakuan dan cakapan yang
bermakna bagi hubungan keseluruhan alur, sebab jika banyak digresi
(lanturan) dapat mengalihkan perhatian pembaca dari peristiwa utama
ke peristiwa pelengkap
Herman J. Waluyo (2008: 21) mengemukakan pengertian
tentang plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator
sebagai berikut:
1). Plot adalah kerangka atau struktur crita yang merupakan jalin-
menjalinnya cerita dari awal hingga akhir;
2). Dalam plot terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari
peristiwa-periatiwa, baik dari tokoh, ruang, maupun waktu;
xxxi
3). Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan perjalanan cerita
tokoh-tokohnya;
4). Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot yang
berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita;
5). Plot berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh
antagonis dengan tokoh protagonis.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan definisi alur
adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita yang
menunjukkan adanya hubungan kausalitas.
b). Penahapan Alur
Secara teoretis plot biasanya dikembangkan dalam urut-urutan
tertentu. Herman J. Waluyo (2002: 147-148) membedakan plot
menjadi tujuh tahapan: (1) exposition, yaitu paparan awal cerita; (2)
inciting moment, yaitu peristiwa mulai adanya problem-problem yang
ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau ditingkatkan;
(3) rising action, yang penanjakan konflik; (4) complication, yaitu
konflik yang semakin ruwet; (5) klimaks, yaitu puncak dari seluruh
cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat
menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; (6) falling action, yaitu
konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai
klimaksnya; (7) denovement, yaitu penyelesaian.
xxxii
Bertolak dari pendapat di atas, tahapan alur adalah exposition,
inciting moment, rising action, complicatipn, klimaks, failing action,
dan denovement
c) Jenis Plot
Alur atau plot memegang peranan penting dalam sebuah cerita
rekaan. Selain sebagai dasar bergeraknya cerita, alur yang jelas akan
mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang disajikan.Alur
berdasarkan kriteria urutan waktu dibedakan menjadi tiga, yaitu:
- Alur maju. Alur maju atau progresif dalam sebuah novel terjadi jika
cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa.
- Alur mundur, regresif atau flash back. Alur ini terjadi jika cerita
dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian menuju awal
cerita.
- Alur campuran yaitu gabungan antara alur maju dan alur mundur.
Untuk mengetahui alur campuran maka harus meneliti secara
sintagmatik dan paradigmatik semua peristiwa untuk mengetahui kadar
progresif dan regresifnya (Burhan Nurgiyantoro, 1995:153-155).
Selain itu, Burhan Nurgiyantoro membagi alur berdasarkan
kepadatannya menjadi dua, yaitu:
- Alur padat yaitu cerita disajikan secara cepat, peristiwa terjadi
secara susulmenyusul dengan cepat dan terjalin erat, sehingga
apabila ada salah satu cerita dihilangkan maka cerita tersebut tidak
dapat dipahami hubungan sebab akibatnya.
xxxiii
- Alur longgar yaitu alur yang peristiwa demi peristiwanya
berlangsung dengan lambat (Burhan Nurgiyantoro, 2002:159-160).
Plot dapat dikategorikan dalam beberapa jenis berdasakan
sudut tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (2002:
153-163) mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada
tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepedatan, dan isi.
Plot sebuah novel dikatakan progresif jka peristiwa-
peristiwa yang dikisahkanbersifat ideologis, peristiwa oertama
diikuti oleh (atau; menyebabkan) terjadinya peristiwa yang
kemuddian. Jika cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan
mungkin dari tahap akhir baru kemudian tahap awal cerita
dikisahkan, maaka berplot sorot balik atau flash-back.
Istilah plot tunggal atau subplot digunakan pada menilik
plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal
biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan
seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah
karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang
dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan
perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya.
Alur semacam itu mmenandakan adanya subplot.
Plot berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot
padat atau rapat dan plot longar atau renggang. Novel yang berplot
padat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain tidak
xxxiv
dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunya . Sedangkan
dalam novel yang berplot longgar, antara peristiwa penting yang
satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa tambahan
atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan
suasana.
Pembedaan plot berdasar kriteria isi dibagi menjadi tiga
golongan besaar, yaitu plot peruntungan, plot tokohan, dan plot
pemikiran. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang yang
mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh. Plot
tokohan mengarah pada adanya sifat pementingan tokoh. Plot
pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran,
keinginan, dan perasaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis
plot antara lain plot maju, mundur, dan campuran. Selain itu juga
ada plot rapat dan renggang.
3) Tokoh dan Penokohan
a) Pengertian Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting
dalam cerita novel. Istilah “tokoh” digunakan untuk menunjuk pada
orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan istilah “penokohan” untuk
melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan
dalam sebuah cerita. Wahyu Wibowo (2003: 46-47) mengungkapkan
xxxv
bahwa novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan
berasal, berpijak, dan berujung pada sang tokoh.
The characters of a book are the fictional figures who move through the plot. They are invented by the author and are made of words rather than of flesh and blood. Therefore they cannot be expected to have all the attributes of real human beings. Nevertheless, novelists do try to create fictional people whose situations affect the reader as the situations of real people would. (http://encarta.msn.com/encyclopedia_761560384_5/Novel.html)
Pernyataan di atas senada dengan pendapat Herman J. Waluyo
(2002: 165) yang menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang
pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan
tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak tokoh-tokoh itu. Dengan
penggambaran watak-watak yang terdapat pada pelaku maka cerita
tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidupdan mewakili
tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat.
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh
dan penokohan adalah cara pandang pengarang menampilkan tokoh
dan penggambaran tokoh yang sesuai dengan kehidupan nyata.
b). Teknik Penokohan
Berkenaan dengan pengarang untuk menggambarkan watak
tokoh-tokohnya, Robert Humpre (dalam Herman J. Waluyo, 2002:
32) menyebutkan ada empat cara, yaitu: (1) teknik monolog interior
tak langsung; (2) teknik interior langsung; (3) teknik pengarang
serba tahu; dan (4) teknik solilokui.
xxxvi
Teknik monolog interior artinya cerita yang kehadirannya
tidak ditujukan kepada siapa pun, baik pembaca maupun tokoh lain.
Teknik pengarang serba tahu artinya pengarang menjelaskan semua
tentang diri tokoh-tokoh dan mencampuri segala tindakan seolah-
olah pada diri setiap tokoh, pengarang ada di dalamnya. Sedangkan
teknik solilukui atau percakapan batin artinya penggambaran watak
melalui percakapan tokoh itu sendiri.
Sedangkan Kenney (1966:34) menyebutkan ada lima teknik
penampilan watak tokoh cerita, yaitu: (1) secara diskursif yaitu
pengarang menyebutkan watak tokoh-tokohnya satu demi satu; (2)
secara dramatik artinya penampilan watak melalui dialog dan
tingkah laku (actino); (3) melalui tokoh lain yang berarti tokoh lain
menceritakan tokoh tersebut atau sebaliknya; (4) secara kontekstual
artinya penampilan watak tokoh dari konteks atau lingkungan atau
dunia yang dipilih oleh tokoh tersebut; (5) dengan metode
campuran(mixing methods) hádala metode penampilan watak
melalui pencampuran teknik-teknik yang sudah dikemukakan
terdahulu.
Herman J Waluyo (2002: 40) menggenapi beberapa cara
pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokoh menjadi
tujuh, yaitu: (1) penggambaran secara langsung; (2) secara langsung
dengan diperindah; (3) melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri;
(4) melalui dramatisasi; (5) melalui pelukisan terhadap keadaan
xxxvii
sekitar pelaku; (6) melalui analisis psikis pelaku; (7) melalui dialog-
dialog pelakunya.
Apabila tokoh-tokoh dalam suatu cerita dilihat berdasarkan
perannya dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Selain itu,
jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu
sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, dan pembaca. tokoh
antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik (Burhan Nurgiyantoro,
2002:178-179).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik
penokohan terdiri atas teknik monolog interior tak langsung, teknik
interior langsung, teknik pengarang serba tahu, dan teknik solilokui.
4) Latar
a) Pengertian Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran
pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Ada empat bagian
penyusun setting menurut William Kenney(1966:40), yaitu:
(1) the actual geographical location, including topography scenery, even the details of a room’s interior; (2) the accupations and modes of day-to-day existence of the characters; (3) the time in which the action takes plece,e.g, historical period, season of the year; (4) the religious, moral, intellecctual, social, and emotional environment of the characters.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar membentuk
suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang ada di
xxxviii
lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita
tersebut.
b) Fungsi Latar
Latar disebut juga setting, memiliki fungsi yang penting karena
kedudukannya tersebut berpengaruh dalam cerita novel. Berkaitan
dengan ini, Kenney (1966:40) menyebutkan tiga fungsi latar, yaitu:
1. Membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu,
tempat watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi.
2. Sebagai atmosfer atau kreasi yang lebih memberi kesan tidak hanya
sekadar memberi tekanan pada sesuatu. Penggambaran terhadap
sesuatu dapat ditambahkan dengan ilustrasi tertentu.
3. Sebagai unsur yang dominan yang mendukung plot dan perwatakan,
dapat dalam hal waktu dan tempat.
Selain ketiga fungsi tersebut Herman J Waluyo (2002: 35)
menambahkan dua fungsi lagi, yaitu: mempertegas watak pelaku dan
memberi tekanan pada tema cerita.
Bertolak dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi
latar sangat penting karena kedudukannya berpengaruh dalam cerita
novel.
c) Unsur Latar
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: (1)
Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi; (2) Latar waktu, berhubungan dengan maslaah “kapan”
xxxix
peristiwa itu terjadi dan diceritakan dalam novel; dan (3) Latar sosial,
menyangkut status sosial seorang tokoh, penggambaran keadaan
masyarakat, kebiasaan hidup, pandangan hidup, adat-istiadat dan cara
berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan.
(Burhan Nurgiyantoro, 2002: 227–333).
5) Sudut Pandang
Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 248) mendefinisikan
sudut pandang itu sendiri sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sementara itu Booth (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2002: 249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah
teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan
menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan
berhubungan dengan pembaca.
Percy Lubbock (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 113)
mengatakan dalam pengertian ilmu sastra modern, sudut pandang
dianggap sebagai cara yang paling halus untuk memahami hubungan
antara penulis dengan struktur narativitas, yaitu dengan memanfaatkan
mediasi-mediasi variasi narator. Sudut pandang menyangkut tempat
berdirinya pengarang dalam sebuah cerita, sekaligus menentukan struktur
gramatikal naratif.
Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak
pakar sastra. Namun, pandangan para pakar tersebut pada dasarnya
xl
memiliki pendapat yang sama, berkisar pada posisi pengarang sebagai
orang pertama, orang ketiga atau bahkan campuran. Sebagaimana
penggolongan yang dikemukakan Herman J. Waluyo (2002: 184-185),
yaitu (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya
sebagai “aku” dan disebut teknik akuan; (2) pengarang sebagai orang
ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”, dan disebut sebagai
teknik diaan; (3) teknik yang disebut omniscient narratif atau pengarang
serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran
secara bebas; pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di
dalam bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan.
Shipley dalam Herman J. Waluyo (2002, 37) menyebutkan adanya
dua jenis sudut pandang, yaitu: internal point of view dan external point of
view. Iinternal point of view meliputi tokoh yang bercerita, pencerita
menjadi salah satu pelaku, sudut pandang akuan, dan pencerita sebagai
tokoh sampingan bukan tokoh hero. Pengarang memakai tokoh ‘aku’
sebagai penutur cerita, sehingga seolah-olah kisah yang dituangkan adalah
pengalaman hidupnya sendiri. Tidak jarang pembaca salah duga dan
menganggap tokoh ‘aku’ dalam cerita sebagai gambararan pribadi
pengarang. Tentu saja ini menyesatkan dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Point of view jenis ini terbagi dua, yaitu orang pertama mayor dan
orang pertama minor. Sudut pandang orang pertama mayor adalah cerita
dengan tokoh utama ‘aku’ atau ‘saya’; sedangkan sudut pandang orang
xli
pertama minor, tokoh utamanya orang ketiga (‘dia’, ‘ia’ atau nama orang).
Cerita dengan sudut pandang ini menghadirkan tokoh ‘aku’ atau ‘saya’
hanya sebagai penutur kisah yang menceritakan kehidupan tokoh utama.
External point of view meliputi gaya diam dan gaya penampilan
gagasan dari luar tokohnya. Tokoh utama cerita dengan point of view ini
adalah ‘dia’, ‘ia’, atau seseorang dengan nama tertentu. Di sini pengarang
bisa bertindak sebagai yang mahatahu (omniscient point of view), bisa pula
mendudukkan diri di luar cerita (objective point of view).
Pada cerita dengan sudut pandang omniscient, pengarang bertindak
sebagai pencipta segalanya. Karya sastra lama umumnya menggunakan
teknik point of view ini.
Berdasarkan pendapat di atas, sudut pandang adalah teknik yang
dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna
karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.
2. Hakikat Strukturalisme Genetika
a. Pengertian Strukturalisme Genetik
Jamal T. Suryanata (1999: 8) menyatakan bahwa sifat-sifat sastra
menuntut orang untuk melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan melihat
apa yang seharusnya terjadi, sehingga sastra yang baik merupakan cermin
realitas masyarakat zamannya. Oleh karena itu, muncullah pendekatan sastra
dengan cara pandang yang berbeda yang dikenal dengan pendekatan
strukturalisme genetik.
xlii
Pendekatan strukturalisme genetik merupakan salah satu bentuk
pendekatan sosiologi sastra yang dicetuskan oleh Lucien Goldmann.
Menurutnya, pendekatan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pandangan dunia
pengarang, stuktur teks, dan struktur sosial. Karya sastra dipandang sebagai
fakta kemanusiaan sehingga karya sastra tidak dapat dilepaskan dari ciri-ciri
dasar perilaku manusia.
The first basic principle of genetic structuralism is that human facts must be related to the behavior of a subject in order to be understood. Human facts are the result of human behavior and can be very precisely defined. Man transforms the world arround him in order to archive a better balance between himself (as subject) and the world. (Goldmann, 1981: 40) Goldmann, dengan pendekatan strukturalisme genetik,
mengembangkan konsep tentang pandangan dunia. Sebagaimana dikatakan
Faruk (2003: 43) bahwa teori strukturalisme genetik Goldmann mengukuhkan
adanya hubungan antara sastra dengan masyarakat melalui pandangan dunia
atau ideologi yang diekspresikannya.
Atas dasar hal-hal di atas, Goldmann (dalam Suwardi Endraswara,
2003: 57) memberikan rumusan penelitian strukturalisme genetik ke dalam
tiga hal, yaitu: (1) penelitian terhadap karya sastra seharusnya dilihat sebagai
suatu gagasan; (2) karya sastra yang diteliti mestinya karya sastra yang
bernilai sastra, yaitu karya yang mengandung tegangan (tension) antara
keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan (a coherent whole); (3) jika
kesatuan telah ditemukan, kemudian dianalisis dalam hubungannya dengan
latar belakang sosial.
b. Struktur Sosial Budaya
xliii
Pandangan mengenai sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat
(literature is an expression of society) memberikan asumsi bahwa sastra
sebagai cermin masyarakat. George Lukacs (dalam Sangidu, 2004: 44)
mengungkapkan teorinya tentang sastra sebagai pencerminan masyarakat. Ia
menyatakan bahwa seni (sastra) yang sejati tidak hanya merekam kenyataan
bagaikan sebuah tustel foto, tetapi melukiskan kenyataan dalam
keseluruhannya. Maksud mencerminkan berarti menyusun sebuah struktur
mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi lebih dari itu,
lebih lengkap, lebih hidup dan lebih dinamik yang mungkin melampaui
pemahaman umum.
Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial
budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang
yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap,
upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan
kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu,
dan sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi
permasalahan yang diangkat dalam cerita novel.
Uraian dalam karya sastra tentang latar belakang sosial budaya dan
kenyataan berhubungan erat dengan warna lokal. Cerita rekaan akan
senantiasa menampilkan warna lokal agar ceritanya kuat dan meyakinkan.
Warna lokal dapat berupa keadaan alam, jalan, perumahan, paparan tentang
kesenian, upacara adat, dan dialog (cakapan) yang diwarnai dengan dialek.
(Herman J. Waluyo, 2002 : 54).
xliv
Konteks karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan
masyarakat menjadikan karya sastra sebagai saksi yang zaman (Suwardi
Endraswara, 2003: 89). Dalam kaitan ini sebenarnya karya sastra, melalui
kreatif pengarang, ingin berupaya untuk mendokumetnasikan zaman sekaligus
alat sebagai alat komunikasi dengan pemacanya (masyarakat itu sendiri).
Sastra yang ditulis pada suatu kurun tertentu pada umumnya berkaitan dengan
norma-norma dan adat-istiadat zaman itu (Luxemburg dalam Sangidu, 2004:
40).
c. Pandangan Dunia Pengarang
Menurut Lucien Goldmann pandangan dunia pengarang merupakan
istilah yang paling tepat dan cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-
gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara
bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial yang lain. Sebagai
suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia berkembang sebagai hasil situasi
sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang
memilikinya.
World views are historical and social facts. They are totalities of ways of thinking, feeling, and acting which in given conditions are imposed on men finding themselves in a similar economic and social situation, that is, imposed on certain social groups. Through these latter, it is clear that new world views do not appear all at once. (Goldmann: 1981: 112)
Dari pandangan ini tampak bahwa pandangan dunia merupakan sebuah
sintesis akumulatif kehidupan yang sangat abstrak. “ia” akan menggerakkan
aktivitas hidup dan besar pengaruhnya terhadap kehidupan sosial.
xlv
Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan
pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya.
Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di
sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan
masyarakat tertentu (Iswanto, 2001: 59).
Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat problematic hero
merupakan struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini akan semata-
mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan,
aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial
masyarakat. Pandangan dunia ini tidak memiliki eksistensi objektif, tetapi
merupakan ekspresi teoretis dari kondisi dan kepentingan suatu golongan
masyarakat tertentu (Iswanto, 2001: 61).
Pandangan dunia itu merupakan kesadaran yang munkgin yang tidak
setiap orang dapat memahaminya. Dalam hal ini kesadaran yang mungkin
dibedakan dari kesadaran yang nyata. Kesadaran yang nyata adalah kesadaran
yang dimiliki oleh individu-individu yang ada dalam masyarakat. Individu-
individu itu menjadi anggota berbagai pengelompokkan dalam masyarakat,
seperti keluarga, kelompok sekerja, dan sebagainya. Ditambah dengan
kompleksnya kenyataan masyarakat, individu-individu itu jarang sekali
mempunyai kemampuan untuk menyadari secara lengkap dan menyeluruh
mengenai makna dan arah keseluruhan dari aspirasi-aspirasi, perilaku-
perilaku, dan emosi-emosi kolektifnya (Faruk, 2003: 16).
xlvi
Dalam esainya yang berjudul “The Epistemology of Sociology”
Godlmann (1981: 55-74) mengemukakan pendapat mengenai karya sastra
pada umumnya yakni (1) karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia
secara imajiner, dan (2) dalam usahanya mengekspresikan pandangan dubia
pengarangnya itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek,
dan relasi-relasi secara imajiner. Selanjutnya Goldmann mengemukakan
bahwa pandangan dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu
mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dengan alam semesta.
Hal ini menunjukkan bahwa pandangan dunia adalah sebuah kesadaran
hakiki masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Namun, dalam karya sastra,
hal ini amat berbeda dengan kedaan nyata. Kesadaran tentang pandangan
dunia ini adalah kesadaran mungkin, atau kesadaran yang telah ditafsirkan.
Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa karyawa sastra sebenarnya merupakan
ekspresi pandangan dunia yang imajiner.
Secara garis besar, ciri-ciri genetis karya seni, khususnya karya sastra,
yang melekat pada struktur sosial, dapat ditunjukkan dengan adanya sejumlah
persamaan, antara lain: (1) sama-sama dicirikan oleh adanya totalitas dan
unsur, (2) persamaan dalam eksplorasi tokoh-tokoh dan peristiwa, (3)
persamaan dalam penggunaan simbol-simbol sebagai alat, (4) persamaan
tujuan, yaitu transedensi dan transformasi, dan (5) persamaan hakikat, yaitu
abstraksi dari rekonstruksi ide-ide, sastra dalam bentuk rekonstruksi naratif,
struktur sosial dalam bentuk rekonstruksi perilaku. Di sinilah analisis sosiologi
sastra menunjukkan kelebihannya di antara ilmu sosial yang lain, yaitu dalam
xlvii
menunjukkan fungsi-fungsi pandangan dunia sebagai mediasi, sehingga
memungkinkan terjadinya dialog antardisiplin (Nyoman Kutha Ratna, 2003:
233)
d. Kuntowijoyo sebagai Sastrawan Pencetus Sastra Profetik
Kuntowijoyo telah melahirkan karya-karya luar biasa, baik dalam
kajian keislaman, sejarah, mau pun cerita pendek dan novel. Lebih dari 50
judul buku ia hasilkan selama masa sakitnya, 1992-2005. Belum lagi
kolomnya di berbagai media. Karya sastranya, antara lain Hampir Sebuah
Subversi (1999) Pasar (2000), Fabel Mengusir Matahari (2000), dan
Wasripin dan Satinah (2003).
Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas,
Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah
Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), 2001. Tiga kali berturut-turut
Cerpen-cerpennya menjadi Cerpen Terbaik Kompas, yiatu “Laki-laki yang
Kawin dengan Peri” (1995), “Pistol Perdamaian” (1996), dan “Anjing-anjing
yang Menyerbu Kuburan” (1997). Hingga ia pernah menelepon redaksi
Kompas untuk meminta agar dirinya tidak lagi dimenangkan, seandai memang
layak untuk menang lagi.
Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalencana
Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997),
Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari
Menristek (1999) dan SEA Write Award (1999) dari Pemerintah Thailand.
xlviii
Memang, ia mudah lelah. Mengikuti pertemuan atau membaca 2 jam
sudah sangat melelahkan baginya. Sewaktu masih bugar, ia membaca 8 jam
dalam sehari. Sebelum sakit, konon 200 halaman buku dilalapnya tiap hari,
kebanyakan pada pagi hari sebelum dan sesudah shubuh, serta malam hari
menjelang tidur.Tapi, tetap, dengan keadaan sakit pun, hasilnya begitu
optimal.
Bila kita membaca dengan cermat karya-karya Kuntowijoyo—
Kumpulan Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Mantra Penjinak Ular,
Wasripin dan Satinah, dll— maka setidaknya dapatlah kita memiliki sebuah
gambaran tentang sikap pengarang terhadap karya yang dihasilkannya. Dalam
sastra, misalnya, Kuntowijoyo memetakan dua macam sastra yang
bertentangan; pertama, sastra universal humanistik-emansipatoris-liberasi.
Kedua, sastra religius-transendental-spiritual. Melihat peta semacam ini, maka
sastra yang dipilih dan dicita-citakan oleh Kuntowijoyo adalah jenis sastra
(Islam) profetik, yang menggabungkan keduanya.
Karena itu, Kuntowijoyo menyatakan, kekuasaan Tuhan itu berbeda
dengan kekuasaan manusia. Kekuasaan Tuhan itu membebaskan, ikatan yang
membebaskan. Menurut Kuntowijoyo, itu “sebuah kebenaran paradoksal”.
Iman, transendensi, ruh selalu menjadi perhatian Kuntowijoyo. Kesadaran itu
dipeluknya dengan kuat, berdasarkan ayat suci, ia meyakini perjanjian dengan
Tuhan di alam azali bahwa sebelum manusia lahir ke dunia telah menyatakan
beriman kepada Allah. Karena itu, kelahiran ke dunia untuk tetap memelihara
kesaksian itu dengan menjaga kesucian fitrah. (Ibnu Anwar, 2008: 2)
xlix
Bagaimanapun, maklumat tentang ”Sastra Profetik” Kuntowijoyo
benar-benar memiliki ruh, yang seolah-olah mewakilinya untuk membenarkan
bahwa karya-karya yang dihasilkan oleh Kuntowijoyo. Di dalamnya terdapat
strukturisasi pengalaman yang cukup tinggi, beserta strukturisasi imajinasi
yang melebihi kognisi pengalamannya. Kuntowijoyo (2005: 80) menegaskan
idealismenya tentang sastra, “Keinginan saya dengan sastra adalah sastra
sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi
dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi
tangkapan saya atas realitas, “objektif” dan universal.”
Penulis novel Pasar dan Khotbah di Atas Bukit ini terus berkarya
sampai detik-detik terakhir hayatnya. Ia masih sempat memberi kata
pengantar kumpulan puisi Taufik, Malu Aku Jadi Orang Indonesia.
Kuntowijoyo meninggalkan dua naskah yang belum sempat diedit, yaitu
Pengalaman Sejarah (Historical Experience) dan Sejarah Eropa Barat
(pengembangan skripsinya pada 1969), serta ide tulisan untuk
Muhammadiyah dalam rangka muktamarnya. Kunto sudah meninggal pada
hari Selasa, 22 Februari 2005. Tapi ide dan semangatnya masih hidup. (Ekky,
2009: 4)
Kuntowijoyo sebagai pencetus maklumat sastra profetik tentu
mempunyai pandangan yang khas. Sastra profetik adalah sastra demokratis. Ia
tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya (style), baik
yang bersifat pribadi maupun baku. Dahulu, di negeri-negeri yang terpengaruh
komunisme, sastra memilih realisme sosialis dengan agresif dan berusaha
l
mematikan aliran lain. Keinginan sastra profetik hanya sebatas bidang etika,
itu pun dengan sukarela, tidak memaksa. (Kuntowijoyo, 2005: 10)
Etika tersebut disebut profetik karena ingin meniru perbuatan nabi, Sang
Prophet. Kuntowijoyo terinspirasi kutipan ungkapan sufi dalam buku
Muhammad Iqbal, sang sufi mengagumi peristiwa Isra’-Miroj. Meskipun Nabi
Muhammad telah mencapai tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli
mistik, tapi kembali ke dunia juga untuk menunaikan tugas-tugas
kerasulannya.
Menurut Kuntowijoyo (2005: 10-11) konsep etika profetik ditemukan
dalam Al-Quran surat Al-Imron ayat 110. ”Kamu adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, danmencegah
kemungkaran, dan beriman kepada Allah.”
Etika profetik berisi tiga hal yaitu humanisasi (’amar ma’ruf), Liberasi
(nahi munkar), dan transendensi (tu’minunna billaah). Liberalisme memilih
humanisasi, Marxisme memilih liberasi, dan kebanyakan agama memilih
transendensi. Etika profetik menginginkan ketiga-tiganya.
Keikutsertaan Kuntowijoyo dalam Muhammadiyah juga mempengaruhi
pemikirannya. Apa yang disampaikannya senada dengan khitah perjuangan
Muhammadiyah. Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah
menghembuskan jiwa pembaruan islam, menentang bid’ah dan khurafat.
(Sabili, 2003: 134)
Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai persyarikatan
memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam ’amar-ma'ruf nahi
li
mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk
keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah.
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan
perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar
ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang
sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha
Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung
tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur
yang diridlai Allah SWT.” (www.muhammadiyah-online.com)
Menurut Suminto A. Sayuti, (2005: 5) Etika profetik yang digagas
Kuntowijoyo merupakan perwujudan strukturalisme transendental. Dalam
kaidah sastra profetik harus ada kesadaran bahwa sastra dimaknai sebagai
ibadah. Kuntowijoyo pun menyatakan idealismenya dalam bersastra, “Inilah
cara bagi saya untuk mengabdi pada Tuhan dan tanah air.”
Menurut Moh. Wan Anwar (2005: 29) persoalan manusia dan
kehidupan masyarakat modern ditampilkan Kuntowijoyo dalam atmosfer
budaya Jawa dan pemikiran Islam. Hantu, takhayul, jin, peri, firasat,
kepercayaan orang-orang Jawa yang irasional dan emosional dihayati
Kuntowijoyo dalam perspektif Islam. Ia menghadapkan dua wawasan tersebut,
tanpa membenturkannya.
Sastra Profetik memiliki kaidah-kaidah yang memberi dasar
kegiatannya. Kaidah-kaidah tersebut adalah:
lii
1. Epistemologi Strukturalisme Transendental (berdasar kitab suci yang
transenden dan mempunyai struktur yang utuh, khususnya dalam
terminologi Islam)
2. Sastra sebagai ibadah (Islam adalah agama yang utuh, kaffah, (QS. Al-
Baqarah: 208. Seorang muslim tidak dikatakan Islamnya kaffah jika dia
mengamalkan rukun Islam dengan tertib, tetapi pekerjaannya tidak
diniatkan sebagai ibadah)
Keterkaitan antar-kesadaran (Tugas kemanusiaan sastra profetik adalah
memperluas ruang batin, menggugah kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan.
Hablumminallah dan hablumminannas.)
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa etika profetik
Kuntowijoyo mengarah pada pandangan religius. Pandangan religius tersebut
bukan religius sufistik, melainkan religius profetik yakni mengarah pada
keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama.
3. Nilai Pendidikan dalam Novel
a. Pengertian Nilai
Menurut Max Scheler (dalam Paulus Wahana, 2004: 5) manusia tidak
dapat hidup tanpa nilai. Nilai sebagai sesuatu yang membuat berharga layak
diingini, dijunjung tinggi, dicita-citakan sebagai pemandu dan pengarah dalam
kehidupan manusia. Filsafat nilai Max Scheler memberi kontribusi dalam
mengelola realitas pluralitas yang ada untuk dilihat sebagai perbedaan bukan
pertentangan.
liii
Realitas dalam karya sastra yang baik sebagai hasil imajinasi dan
kreativitas pengarang terkadang dapat memberikan pngalaman total pada
pembaca. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa, seorang pengarang bukan
saja mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, melainkan juga mampu
memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama,
filasafat, serta beraneka ragam pengalaman tentang problema hidup dan
kehidupan.
Bermacam-macam wawasan itu disampaikan pengarang lewat
rangkaian kejadian, tingkah laku dan perwatakan para tokoh, ataupun
komentar yang diberikan pengarangnya.
Dengan adanya bermacam-macam wawasan yang dikandung dalam
karya sastra, pada dasarnya suatu karya sastra yang bermutu dan berbobot
akan selalu mengandung bermacam nilai didik tentang kehidupan yang
bermanfaat bagi pembaca. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun
secara fungsional mempunyai ciri yang mampu membedakan antara satu
dengan yang lain. Suatu nilai jika dihayati seseorang, maka akan sangat
berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, maupun cara bertindakdemi
mencapai tujuan hidupnya.
Nilai selalu menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan
keadilan, sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya yaitu berupa
ajaran agama, logika, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Menurut Wiyatmi (2006: 73), nilai berarti suatu penghargaan atau kualitas
terhadap sesuatu hal yang dapat dijadikan dasar penentu tingkah laku
liv
seseorang, karena suatu yang menyenangkan (profitable) atau merupakan
suatu sistem keyakinan (believe).
Nilai-nilai berarti tidak melanggar norma-norma, menjunjung budi
pekerti, sedangkan pelanggaran terhadap nilai-nilai merupakan pelanggaran
norma atau susila. Nilai-nilai ditunjukkan oleh perilaku baik yang sesuai
dengan norma-norma atau aturan yang ada dan pelanggaran nilai-nilai
berkaitan dengan hal-hal yang tidak baik serta melanggar norma atau aturan
yang ada. Nilai atau nilai-nilai merupakan suatu konsep, yaitu pembentukan
mentalita yang dirumuskan dari tingkah laku manusia sehingga menjadi
sejumlah anggapan yang hakiki, baik dan perlu dihargai sebagaimana
mestinya. Nilai-nilai menyediakan prinsip umum dan yang menjadi acuan
serta tolok ukur standar dalam membuat keputusan, pilihan tindakan, dan
tujuan tertentu bagi para anggota suatu masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah
adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang
diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam
hidupnya yang tidak melanggar norma-norma, menjunjung budi pekerti,
sedangkan pelanggaran terhadap nilai-nilai merupakan pelanggaran norma
atau susila.
b. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Sastra
Nilai-nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya sastra.
Setiap karya sastra yang baik (termasuk novel) selalu mengungkapkan nilai
lv
pendidikan moral, agama, sosial, kepahlawanan maupun estetis (keindahan).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Herman J. Waluyo (1990:27) bahwa nilai
sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan.
Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang
dikejar seseorang), nilai kultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama.
Ahmadi dan Uhbiyati (1991: 69) berpendapat bahwa nilai dalam sastra
dapat menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Mudji Sutrisno (1997: 63) juga menyatakan bahwa nilai-nilai dari
sebuah karya sastra dapat tergambar melalui tema-tema besar mengenai siapa
manusia, keberadaannya di dunia dan di dalam masyarakat; apa itu
kebudayaannya dan proses pendidikannya; semua ini dipigurakan dalam
refleksi konkret fenomenal berdasar fenomena eksistensi manusia dan
direfleksi sebagai rentangan perjalanan bereksistensi.
Nilai yang terdapat dalam karya sastra sangat bergantung pada persepsi
dan pengertian yang diperoleh pembaca. Pembaca perlu menyadari bahwa
tidak semua karya sastra dengan mudah dapat diambil nilai pendidikannya.
Nilai yang terdapat dalam karya sastra dapat diperoleh pembaca jika karya
yang dibacanya itu menyentuh dirinya, maksudnya menyentuh perasaannya.
Berdasar pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan nilai sastra, yaitu sifat-sifat (hal-hal) atau merupakan
sesuatu yang positif yang berguna dalam kehidupan manusia dan pantas untuk
lvi
dimiliki tiap manusia. Dalam pengertian ini nilai adalah sesuatu yang
berhubungan dengan etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), estetika
(indah dan jelek).
Kehadiran karya sastra sebagai hasil cipta sastrawan tidak saja lahir
dari fenomena-fenomena kehidupan nyata, tetapi dating adri kesadaran bahwa
karya sastra sebagai suatu yang imajinatif dan fiktif. Di samping itu juga
adanya pengembangan ekspresi sehingga tercipta karya sastra. Seorang
sastrawan dalam menciptakan keindahan juga berkeinginan untuk
menyampaikan pikiran, pendapat, dan saran terhadap sesuatu. Apa yang
hendak disampaikan pengarang itu merupakan nilai-nilai pendidikan.
Berbagai nilai pendidikan dapat ditemukan dalam karya sastra. Nilai
didik di dalamnya tidak hanya terbatas soal kebajikan dan moral saja, tetapi
ada nilai lain yang lebih khas sastra. Walaupun masih banyak nilai lain, tetapi
jika berbicara tentang nilai didik, orang langsung berasosiasi kepada moral,
etika dan kebajikan. Hal ini wajar sebab sesuatu yang baik merupakan inti
pendidikan. Sastra memiliki nilai didik kesusilaan, mengandung nilai estetika,
dan memperjuangkan hal-hal yang baik dan benar.
Dari beberapa pendapat tentang nilai pendidikan yang terdapat dalam
karya sastra di atas ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa nilai pendidikan
yang bisa diperoleh dari sebuah cerita (dalam hal ini novel). Nilai pendidikan
itu diantaranya adalah yang berhubungan dengan moral, agama, budaya,
sosial, and sebagainya.
1) Nilai Pendidikan Agama
lvii
Agama adalah hal yang mutlak dalam kehidupan manusia sehingga
dari pendidikan ini diharapkan dapat terbentuk manusia religius.
Mangunwijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:327) menyatakan:
“Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada tuhan hukum-hukum resmi. Religius, di pihak lain melihat aspek yang di lubuk hati, riak getar nurani, totalitas ke dalam pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi.”
Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Koentjaraningrat (1985:145) bahwa makin ia taat menjalankan syariat
agama, maka makin tinggi pula tingkat religiusitasnya. Di lain pihak,
Dojosantoso (dalam Tirto Suwondo, dkk, 1994:63) menyatakan bahwa
“religius” adalah “keterkaitan antara manusia dengan Tuhan sebagai
sumber ketentraman dan kebahagiaan”. Keterkaitan manusia secara sadar
terhadap Tuhan merupakan cermin sikap manusia religius.
Berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap agama
tertentu, Darsono Wisadirana (2004: 60) memberikan pernyataan bahwa
orang-orang zaman dahulu, terutama orang-orang pedesaan, bersifat sangat
religious. Sifat ini tampak atau ditandai dengan berbagai kegiatan
keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat. Upacara-upacara keagamaan
atau ritual biasanya dilakuakan bersamaan dengan upacara tradisi leluhur,
yaitu berupa selamatan, bersih desa, melakukan sesaji untuk roh-roh
penunggu atau leluhur yang telah meninggal. Doa bersama juga dilakukan
dalam rangka meminta hujan ketika musim kering yang dipimpin oleh
seseorang tokoh atau tokoh agama
lviii
Nilai pendidikan agama atau keagamaan dalam karya sastra
sebagian menyngkut moral, etika, dan kewajiban. Hal ini menunjukkan
adanya sifat edukatif (Burhan Nurgiantoro, 2002:317). Dasar dari
pendidikan agama adalah hakikat makhluk yang beragama. Tujuan
pendidikan keagamaan adalah membentuk manusia yang beragama atau
pribadi yang religius. Di samping itu, sesuai Undang-Undang Dasar 1945
pasal 29 ayat 1 dan 2 dan Pancasila sebagai dasar falsafah Negara
Republik Indonesia, pendidikan merupakan segi utama yang mendasari
semua segi pendidikan lainnya. Norma-norma pendidikan kesusilaan
maupun pendidikan kemasyarakatan atau sosial, sebagian besar bersumber
dari agama. Betapa pentingnya pendidikan agama itu bagi setiap warga
Negara, terbukti dari adanya peraturan pemerintah yang mengharuskan
pendidikan agama itu diberikan kepada anak-anak sejak pendidikandi
taman kanak-kanak sampai tingkat pendidikan tinggi.
2) Nilai Pendidikan Moral
Pada dasarnya, moral dapat dimaknai sebagai ajaran tentang
kebaikan dan keburukan. Franz Magnis Suseno (2000: 143) menyatakan
bahwa moralitas merupakan kesesuaian sikap, perbuatan, dan norma
hokum batiniah yang dipandang sebagai suatu kewajiban. Moral seringkali
dikaitkan dengan perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, susila, dan
lain-lain. Seorang tokoh dalam cerita dikatakan bermoral tinggi apabila ia
mempunyai pertimbangan baik dan buruk. Namun, pada kenyataannya
pandangan mengenai moral dalam hal-hal tertentu bersifat relatif.
lix
Sering kita menjumpai karya sastra yang menampilkan cerita-cerita
dan kisah-kisah yang penuh nilai didik. Karya sastra demikian itu sungguh
potensial untuk digunakan sebagai sarana mengajarkan budi pekerti yang
luhur dan teladan-teladan yang terpuji.
Moral merupakan laku perbuatan manusia dipandang dari nilai-
nilai baik dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebisaaan di
mana individu berada. (Burhan Nurgiantoro, 202:319). Moral diartikan
sebagai norma dan konsep kehidupan yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat. Nilai-nilai pendidikan moral tersebut dapat mengubah
perbuatan, perilaku, sikap serta kewajiban moral dalam masyarakat yang
baik, seperti budi pekerti, akhlak, dan etika (Joko Widagdo, 2001:30).
Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra juga bertujuan
untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika dan budi pekerti.
Nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan
adat istiadat seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku,
tata karma yang menjunjung budi pekerti dan nilai susila.
Nilai moral dalam karya sastra bisaanya bertujuan untuk mendidik
manusia agar mengenal nilai-nilai estetika dan budi pekerti. Nilai
pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat
istiadat seorang inividu atau dari suatu kelompok yang meliputi perilaku,
tata karma yang menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.
3) Nilai Pendidikan Adat/Budaya
lx
Koentjaraningrat (1985:18) mengemukakan bahwa sistem nilai
buaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka
anggap amat bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya bisaanya
berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai
budaya yang terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui
penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.
Cerita (dalam hal ini adalah novel) sebagai salah satu bentuk karya
sastra dapat memberikan gambaran yang jelas tentang sistem nilai atau
sistem budaya masyarakat pada suatu tempat alam suatu masa. Nilai-nilai
itu mengungkapkan perbuatan yang dipuji atau dicela, pandangan hidup
manusia yang dianut atau yang dijauhi, dan hal-hal apa yang dijunjung
tinggi.
Lebih jauh Koentjaraningrat (1985:10-11) mengatakan bahwa:
Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap, wujud itu disebut adat tata kelakuan. Suatu contoh dari adat yang memiliki nilai sosial budaya yang tinggi adalah gotong royong. Konsepsi bahwa hal itu bernilai tinggi ialah bila manusia itu suka bekerjasama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar.
Nilai-nilai budaya yang berakar pada adat local atau adat daerah
yang dimaksud dalam novel ini adalah adat daerah yang bernuansa
kejawaan. Nilai budaya kejawaan ini kadang dibalut sekaligus berbenturan
dengan nilai-nilai agama yang dipegang oleh tokoh utama.
4) Nilai Pendidikan Sosial
lxi
Karya sastra juga mengungkapkan nilai pendidikan sosial. Dengan
memabca banyak karya sastra, diharapkan perasaan pembaca lebih peka
terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan lebih dalam penghayatan
sosialitasnya, sehingga lebih mencintai keadilan dan kebenaran.
Nilai Sosial menjadi pedoman langsung bagi setiap tingkah laku
manusia sebagai anggota masyarakat yang di dalamnya memuat sanksi-
sanksi siapa saja yang melanggar. Dengan demikian, nilai sosial
merupakan nilai yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat dan
usaha menjaga keselarasan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, dapat
dianggap bahwa nilai sosial merupakan gagasan-gagasan dan pola ideal
masyarakat yang dipandang baik dan berguna, yang telah dituangkan
dalam bentuk norma-norma, aturan-aturan, dan hukum. Secara garis besar,
persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam
persoalan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia
dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan
lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya.
Burhan Nurgiyantoro (2002: 233-234) menjelaskan bahwa tata cara
kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup
yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-
lain yang tergolong latar spiritual.
5) Nilai Kepahlawanan (Heroik)
lxii
Menurut Anis Matta (2004: 4) pahlawan selalu muncul di saat-saat
yang sulit, atau sengaja dilahirkan di tengah situasi yang sulit. Mereka
datang untuk membawa beban yang tidak dipikul oleh manusia-manusia di
zamannya. Para pahlawan adalah orang yang rela mengorbankan
kepunyaannya demi membela kebenaran. dan berusaha mewujudkan
keyakinan tersebut. Kepahlawanan yang dimaksud adalah sifat atau
karakter tokoh-tokoh yang diceritakan dalam novel, berjuang mewujudkan
cita-citanya. Dengan demikian tokoh yang menjadi pahlawanan dalam
konteks pembahasan ini adalah perjuangan tokoh yang diceritakan dalam
novel untuk membela keyakinannya.
c. Cara Mengukur Adanya Nilai Pendidikan dalam Novel
Nilai pendidikan dalam karya sastra adalah sebuah solusi atas
sebagian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat
penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan
dan menolongnya mengambil suatu keputusan apabila Ia menghadapi
masalah. Nilai pendidikan dalam sastra mengandung beberapa nilai antara
lain nilai agama, moral, adat, dan sosial.
Cara mengukur atau menganalisis nilai pendidikan yang ada di
dalam novel adalah dengan membaca novel-novel tersebut secara berulang-
ulang, memahami sacara mendalam, dan mencatat kalimat-kalimat mana
sajakah yang penting dan dianggap dapat mendukung sebuah nilai
pendidikan di dalamnya. Setalah dapat memahami isi teks novel tersebut,
kemudian dikaji tema dan amanat yang ada di dalam ketiga novel tersebut.
lxiii
Dengan adanya tema yang dimunculkan di dalamnya, dapat diketahui
apakah nilai-nilai yang ada di dalam novel tersebut dapat digunakan sebagai
landasan pendidikan atau tidak.
Nilai yang dimaksud adalah sebuah ukuran tentang bagaimana
sebuah novel dapat memberikan solusi dalam memecahkan masalah-
masalah sosial yang ada di dalam masyarakat. Apabila nilai yang terkandung
sudah banyak memunculkan hal positif untuk masyarakat, maka dapat kita
ambil nilai didik di dalamya.
Ukuran yang digunakan selanjutnya adalah sebuah amanat yang ada di
dalam novel-novel tersebut. Dengan amanat yang terkandung di dalamnya,
berbagai pola pikir, sikap, dan akhlak/perilaku yang menyimpang di
masyarakat dapat diluruskan.
Sastra dikenal dapat menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan
berbagai penyakit dalam masyarakat. Dengan membaca sastra, diharapkan
masyarakat menjadi lebih bermoral dan beradab karena sastra banyak
mengajarkan nilai positif. Dulce nt utile, indah dan banyak pesan yang
terkandung di dalam sebuah sastra. Sama halnya dengan novel yang
merupakan bagian dari sastra, novel-novel Kuntowijoyo tentu mengandung
nilai pendidikan yang penting bagi masyarakat.
B. Penelitian Lain yang Relevan
Dalam rangka mencapai langkah penyusunan kerangka teoretis peneliti
juga melakukan pengkajian terhadap penelitian yang relevan. Hal ini dilakukan
lxiv
untuk menghindari adanya duplikasi yang sia-sia dan memberikan perspektif yang
jelas mengenai hakikat dan kegunaan penelitian dalam perkembangan secara
keseluruhan. Di samping itu, juga dikemukakan bahwa salah satu kesimpulan
penelitian yang telah dilakukan atau sintesis dari beberapa penelitian yang
dipublikasikan dapat dijadikan titik tolak dari penelitian ini dalam mencoba
melakukan pengulangan, revisi, modifikasi, dan sebagainya.
Penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni Eko Wardani dengan judul
Makna Totalitas Novel Para Priyayi dan Novel Jalan Menikung Karya Umar
Kayam dengan Pendekatan Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann dan telah
diterbitkan oleh LPP UNS bekerjasama dengan UNS Press (2009). Nugraheni Eko
Wardani dalam penelitian tersebut menyimpulkan bahwa makna totalitas dalam
novel tersebut merupakan kritik Umar Kayam sebagai priyayi cendekiawan
terhadap budaya priyayi yang tidak sesuai dengan esensi makna priyayi yang
luhur. Pandangan dunia Umar Kayam berkaitan dengan kelompok sosialnya
sebagai priyayi cendekiawan yang mempertahankan fungsi integritas cendekiawan
untuk menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
Pandangan dunia Umar Kayam adalah humanisme sosial. Struktur teks
berpusat pada tokoh hero yang mengalami degradasi nilai dunia priyayi untuk
menemukan nilai otentik berupa makna luhur priyayi dalam kondisi sosial yang
memburuk. Nilai otentik ini berkaitan dengan pandangan dunia humanisme sosial
Umar Kayam. Struktur sosial berkaitan dengan struktur sosial masyarakat Jawa.
Prinsip-prinsip sosial dalam kehidupan masyarakat Jawa pada dasarnya bernilai
universal.
lxv
Pandangan dunia humanisme sosial sesungguhnya dapat diaplikasikan
dalam pembelajaran hidup dan kehidupan sosial masyarakat Jawa priyayi. Namun,
banyak nilai-nilai luhur priyayi telah menyimpang karena banyak kaum priyayi
lebih mengutamakan status sosial, gaya hidup, dan nilai-nilai yang bersifat materi.
Selain itu, juga disimpulkan bahwa pendekatan strukturalisme genetik merupakan
pendekatan yang memadai untuk meneliti karya sastra Indonesia. Pendekatan
strukturalisme genetik juga memperbaharui kritik sastra Abrams, pendekatan
strukturalisme, dan pendekatan sosiologi sastra positivisme.
Penelitian lainnya adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Wemmy
Al-Fadhli (2005: 1-4) dengan judul “Analisis Strukturalisme Genetik-Semiotik
Faruk terhadap Roman Siti Nurbaya”. Wemmy Al-Fadhli dalam penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa dengan metode dialektik dan landasan teoritik
semiotik plus strukturalisme genetik terhadap “Siti Nurbaya” dapat mengungkap
faktor-faktor semiotik maupun referensi sosio-kultural teks yang mendukung
roman tersebut.
Novel tersebut memiliki struktur teks yang lengkap dan stuktur sosial yang
berisi kritik terhadap budaya Minangkabau. Dalam budaya Minangkabau terdapat
semacam konsepsi pandangan hidup sekaligus tatanan sosio kemasyarakatan yang
paradoksial (di satu sisi, sekaligus) juga ada harmonisasi.
Wemmy Al-Fadhli mengungkapkan bahwa ketepatan mengekspresikan
pandangan dunia masyarakatnya merupakan salah satu faktor yang menentukan
kebesaran dan popularitas roman tersebut. Sementara kunci keberhasilan karya itu
sendiri terdapat pada kajian semiotik yang berhasil mengungkapkan konsep
lxvi
disharmoni maupun harmonisasi dan kajian sosio-kulturtal yang memperlihatkan
sikap demitifikasi karya terhadap nilai-nilai yang berlaku sebelumnya.
Relevansi penelitian ini dengan kedua penelitian tersebut adalah mengenai
metode yang digunakan yaitu strukturalisme genetik, terutama pada penelitian
yang dilakukan Nugraheni Eko Wardani. Metode dan teknik analisis yang
dilakukan menjadi panduan dalam penelitian ini karena ada kesamaan objek
kajian yaitu novel.
Perbedaan dengan penelitian Nugraheni Eko Wardani dan Wemmy Al-
Fadhli terletak pada objek kajian yakni novel-novel Kuntowijoyo yang berlatar
belakang sejarawan dan aktivis Muhammadiyah. Selain itu dalam penelitian ini
terdapat tambahan analisis nilai pendidikan dalam novel.
Kajian strukturalisme genetik ini telah dipakai untuk mengkaji hubungan
antara masyarakat dengan novel. Tremanie (1978: 34-35) mengaitkan relevansi
novel dan masyarakat dalam novel Sunday Anoize yang berlatar budaya Afrika:
An initial attempt, however, to provided the much needed theoretical and methodological integration of text and context has been undertaken by Sunday Anozie. Anoize describe his own critical perspective as a genetic-structuralism sociology of literature. While he is obviously not the first to suggest the relevance of a sociological orientation to African literature, he is the first to attempt to lend serious methodological substance to such an orientation. Novel dapat digunakan sebagai sarana untuk membentuk karakter.
Pembentukan karakter ini disebabkan adanya nilai-nilai didik dalam novel. Hal ini
selaras dengan apa yang disampaikan oleh Stamm dalam Journal of College &
Character Volume X, NO. 7, November 2009:
The possibilities of using this novel in courses on student development to make the understanding of identity development become more alive than through the more usual scholarly analyses. Given the
lxvii
emerging understanding of today’s millennium generation of college students, are particularly appropriate. Pop culture has played an educative role in the lives of the Millennial Generation. In thinking about novels as ethnographies of the college experience, both that of faculty as well as students, the possibilities are even more extensive, as exemplified by the previous illustrations. Comparison of academic novels from different time periods, for example, might serve to amplify other studies of the history and foundations of higher education. (Stamm, 2009: 2) Diharapkan novel mampu memberikan pencerahan dan penyadaran kepada
pelajar agar mereka dapat hidup bermasyarakat dengan baik, saling menyadari
perbedaan, dan lebih toleran. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Orr dalam
Journal of European Studies. Volume, 9 No. 36 bahwa tujuan novel adalah
penyadaran terhadap realitas.
Intended as an original contribution to the sociology of the novel. It is polemical and a response to a vacuum in literary theory and finally it is concerned with the destiny of the modern novel itself. This destiny would appear to the needful resuscitation of tragic realism after its demise with or around, Orwell. (Orr, 1977: 304-305) Nilai pendidikan dalam karya sastra penting untuk membangun
masyarakat yang berkarakter kuat. Nilai pendidikan yang tergambar dalam
interksi antar tokoh dan kebiasaan-kebiasaan tokoh dalam novel sesuai dengan
konsep pendidikan kontekstual John Dewey. Hal ini senada dengan kajian Carver
and Richard P. Enfield (2006: 66) dalam Journal education and culture, Vol 22
berikut ini:
Offering an introduction to both John Dewey’s philosophy of education and the 4-H Youth Development Program, this paper draws clear connections between these two topics. Concepts explored include Dewey’s principles of continuity and interaction, and contagion with respect to learning. Roles of educational leaders (including teachers) are investigated in the context of a discussion about the structuring of opportunities for students to develop habits of meaningful and life-long learning. Specific examples are described in depth to demonstrate, from a Deweyan perspective, the educational process and value of 4-H
lxviii
participation. Brief comments are made about the place of 4-H in the U.S. system of public education.
Selain itu, pendidikan yang disampaikan melalui cerita (dalam hal ini
novel) dapat menjaga dan memelihara suatu nilai pendidikan budaya seperti tidak
mengagungkan dirinya di atas orang lain. Hal ini dapat dilihat pada pemaparan
Black (1999: 35) dalam Journal Of Culture Education, Volume 75 berikut ini:
Teaching Through Nature The ancient Polynesians lived close to nature; nature was the measure of, as well as the predominant influence in, their lives. Consequently, many of the legends and fables of Polynesia are concerned with nature's creatures and phenomena. Some nature stories were created to preserve and transmit a cultural value, such as not exalting oneself above one's peers.
C. Kerangka Berpikir
Novel sebagai salah satu karya sastra memiliki nilai guna dan indah, dulce
et utile. Novel dapat merekam berbagai realitas sosial di masyarakat. Novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah merupakan novel yang
merekam berbagai pemikiran orang Jawa kejadian-kejadian sosial politis di Jawa.
Novel tersebut tidak akan ditemukan maknanya secara utuh jika hanya
dianalisis unsur-unsur intrinsiknya. Diperlukan berbagai unsur untuk menganalisis
novel tersebut. Dengan demikian perlu ada pendekatan yang cocok untuk
menganalisis novel tersebut. Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan
adalah strukturalisme genetik.
Adapun yang dianalisis meliputi : pandangan dunia pengarang, struktur
teks, struktur sosial budaya masyarakat, dan nilai-nilai pendidikan dalam novel
tersebut. Dengan berbagai analisis tersebut, diharapkan totalitas makna dapat
lxix
dipahami secara utuh. Kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir
Realitas Kehidupan
Karya Sastra Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan
Wasripin dan Satinah
Strukturalisme Genetik
Aspek-Aspek Struktural: Tema, Seting, Alur, Penokohan, dan Sudut Pandang
Latar Belakang
Sosial Budaya
Masyarakat
Penokohan
Totalitas Makna Novel
Pandangan dunia pengarang
Nilai Pendidikan:
Agama, moral, adat, sosial
lxx
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis data dokumen
berupa novel yaitu novel Pasar, Mantra Pejinak Ular (MPU), dan Wasripin dan
Satinah (WS) sebagai objek penelitiannya, maka Penelitian ini berupa kajian
novel, maka objek kajian penelitiannya adalah novel itu sendiri. Adapun rincian
penelitian ini tidak terpancang waktu dan tempat.waktu dan pelaksanaan jenis
kegiatan dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan tabel berikut:
Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
No Waktu
Jenis Kegiatan
Bulan
Juni Juli Agust Sept.
Okt. Nov Des Jan Feb
1. Persiapan xx
2. Pembuatan Proposal
xx
3. Revisi Proposal xx
4. Pengumpulan Data
xx xxxx xx xx
xx xx
5. Pengolahan dan Analisis Data
xx xx
xx xx
xx
6. Penyusunan Laporan Hasil Penelitian
xx xx
7. Revisi Laporan Hasil Penelitian
xx
lxxi
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode content
analysis atau analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan apa
yang menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada.
Metode content analysis atau analisis isi yang digunakan untuk menelaah isi dari
suatu dokumen, dalam penelitian ini dokumen yang dimaksud adalah novel
Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah. Selain itu, penelitian ini
juga menggunakan strategi tinjauan strukturalisme genetik dan menganalisis nilai
didik yang ada di dalam ketiga novel tersebut.
Penelitian ini akan mendeskripsikan pandangan dunia pengarang
Kuntowijoyo, struktur novel, struktur sosial budaya masyarakat, dan nilai
pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah.
C. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis dalam menganalisis novel adalah
pendekatan strukturalisme genetik. Pendekatan strukturalisme genetik merupakan
suatu disiplin ilmu yang menaruh perhatian kepada teks sastra dan latar belakang
sosial budaya serta subjek yang melahirkannya (Sangidu, 2004; 29). Hakikat
pendekatan strukturalisme genetik ialah menganalisis unsur instrinsik yang
tedapat di dalam novel dan unsur ekstrinsik yang ada di luar novel (Suwardi
Endraswara, 2003: 56).
52
lxxii
D. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan
Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo, karya-karya Kuntowijoyo yang lain,
biografi penulis, komentar pengarang-pengarang lain, dan artikel dari buku , surat
kabar, internet yang menunjang permasalahan penelitian.
E. Teknik Cuplikan
Pada teknik cuplikan, peneliti mendasarkan pada landasan kaitan teori
yang digunakan, keingintahuan pribadi, karakteristik empiris yang dihadapi, dan
sebagainya. Teknik cuplikan yang diterapkan adalah purposice sampling, yaitu
sumber data yang digunakan di sini tidak sebagai yang mewakili populasinya,
tetapi cenderung mewakili informasinya (H.B. Sutopo, 2002: 56). Peneliti
mencuplik bagian-bagian dalam cerita novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan
Wasripin dan Satinah yang mewakili informasi penting agar bisa digunakan untuk
analisis serta diperbandingkan dalam rangka mengetahui totalitas makna novel.
Pada sisi lain, peneliti juga mencuplik bagian pokok artikel majalah dan artikel
internet yang bisa memberikan informasi tentang pandangan dunia pengarang.
F. Prosedur Penelitian
Berdasarkan masalah yang diteliti, prosedur penelitian yang peneliti
lakukan meliputi beberapa tahap sesuai arahan Lexy J. Moleong (2006: 389-390)
sebagai berikut:
1. Tahap orientasi untuk memperoleh gambaran umum
lxxiii
Tujuan tahap ini ialah untuk memperoleh latar yang nantinya diikuti
dengan tahap merinci yang diperoleh pada tahap berikutnya. Peneliti
melakukan tahap pertama ini berdasarkan bahan yang dipelajari dari berbagai
sumber kepustakaan. Pada tahap ini peneliti mengadakan eksplorasi awal
terhadap objek yang diteliti.
2. Tahap eksplorasi fokus
Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan dengan urutan sebagai berikut:
a. Mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang mendukung kegiatan
penelitian, meliputi buku-buku referensi dan artikel-artikel sastra yang
menunjang penelitian.
b. Menganalisis data-data yang terkumpul berdasarkan teori dan pendekatan
yang digunakan dalam penelitian.
c. Mengalisis pandangan dunia Kuntowijoyo sebagai subjek yang melahirkan
karya sastra.
d. Menganalisis struktur teks novel, struktur sosial masyarakat, dan nilai
pendidikan dalam novel Pasar, MPU, dan WS
e. Merumuskan hasil penelitian
3. Tahap pengecekan dan keabsahan data
Pada tahap ini peneliti melakukan penelaahan terhadap laporan yang
telah disusun untuk mengecek kembali kekurangan yang ada terutama
mengadakan triangulasi, pengecekan anggota dan auditing. Penelaahan ini
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekeliruan dalam mengungkapkan
fakta atau interpretasi serta mengecek kembali apakah ada hal-hal yang
lxxiv
terbuang sehingga perlu diadakan perbaikan. Perbaikan ini dimaksudkan untuk
membangun derajat kepercayaan yang telah diperoleh.
G. Validitas Data
Validitas atau keabsahan data merupakan kebenaran data dari proses
penelitian. Untuk mendapatkan keabsahan data, dalam penelitian ini peneliti
menggunakan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu (Lexy J. Moleong, 2006:
330). Adapun triangulasi yang digunakan adalah triangulasi teori, yaitu cara
penelitian terhadap topik yang sama dengan menggunakan teori yang berbeda
dalam menganalisis data.
Menurut Lincoln dan Guba (dalam Lexy J. Moleong, 2006: 331),
berdasarkan anggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya
dengan satu atau lebih teori. Menurut Sutopo (2002: 82) triangulasi teori
dilakukan dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas
permasalahan yang dikaji.
H. Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian
karena dengan menganalisis data yang diteliti akan dapat diketahui makna atau
jawaban pemecahan masalahnya. Menurut Bogdan dan Biklen dalam Lexy J.
Moleong (2006: 248), analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan
jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, menyintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
lxxv
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang
dapat diceritakan kepada orang lain. Adapun teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik analisis model interaktif, seperti yang
dikemukakan oleh Matthew B. Miles & A. Michael Huberman (Sutopo, 2002: 69-
-70), yang terdiri dari tiga komponen analisis, yaitu: reduksi data, sajian data, dan
penarikan simpulan atau verifikasi. Aktivitas ketiga komponen itu dilakukan
dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data. Langkah-langkah di
dalam analisis data tersebut dapat dilihat di dalam bagan berikut ini.
Gambar 2. Bagan Model Interaktif Miles & Huberman (Sutopo, 2006: 70)
Analisis data dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data.
Adapun prosedur analisis data dalam penelitian ini setelah pengumpulan data
dilakukan analisis data awal yang dilakukan bersamaan dengan pengamatan serta
Pengumpulan Data
Reduksi
Data
Penyajian
Data
Penarikan Simpulan/ Verifikasi
lxxvi
wawancara. Selama pengumpulan data berlangsung proses analisis awal telah
dilakukan, yaitu dengan melakukan reduksi data, mengidentifikasi data, dan
mengklasifikasi data. Reduksi data merupakan proses seleksi data, pemfokusan,
penyederhanaan data dengan cara memilih data yang banyak, kemudian dipilah
dan dipilih dalam rangka menemukan fokus penelitian. Data yang setipe dan yang
direduksi tersebut untuk menemukan sistem atau kaidah yang dicari sesuai dengan
objek kajian.
Setelah data direduksi dengan identifikasi dan klasifikasi, langkah
selanjutnya adalah dengan menyajikan data. Sajian data merupakan proses
menyusun informasi yang ditemukan dalam rangka menjawab dari permasalahan
penelitian. Artinya, data yang diperoleh dari lapangan disajikan untuk
menunjukkan bukti-bukti dan menjawab masalah yang diteliti. Analisis terhadap
kesantunan berbahasa bentuk tuturan direktif yang dikaji secara sosiopragmatik
tidak terlepas dari adanya penelitian kontekstual. Artinya, dari data lingual yang
diperoleh di lapangan akan dianalisis dengan memperhatikan aspek nonlingual
yang menyertai tuturan.
Langkah terakhir yang dilakukan adalah penarikan simpulan. Penarikan
simpulan ini adalah proses analisis yang cukup penting yang didasarkan atas
penyusunan informasi yang diperoleh dalam analisis data (Sutopo, 2002: 91—93).
Penarikan simpulan disusun berdasarkan temuan-temuan selama proses penelitian
berlangsung dan dalam tahap penulisan atau penyusunan laporan. Dari
penyusunan tersebut kemudian dilakukan penafsiran intelektual terhadap
simpulan-simpulan yang diperoleh.
lxxvii
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di depan, maka akan
dibahas secara berturut-turut mengenai pendekatan strukturalisme genetik dan
nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan
Satinah karya Kuntowijoyo. Analisis tersebut meliputi: (1) analisis pandangan
dunia pengarang, (2) analisis struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan
Wasripin dan Satinah, (3) analisis struktur sosial budaya masyarakat novel Pasar,
Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah, dan (4) analisis nilai-nilai
pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah.
A. Hasil Penelitian
Sebelum dilakukan analisis dan pembahasan, berikut ini dipaparkan
temuan penelitian yang menyangkut aspek pandangan dunia pengarang, struktur
teks, struktur sosial, dan nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra
Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
1. Deskripsi Pandangan Profetik Kuntowijoyo
Menurut Kuntowijoyo, disadari atau tidak, ternyata cara berpikir
masyarakat saat ini tak jauh berbeda dengan sistem pengetahuan nenek moyang;
sejarah sepertinya berjalan di tempat. Nenek moyang dulu berpikir berdasarkan
mitos. Kuntowijoyo melihat sebagai bangsa, masyarakat kita pun rupanya
sekarang masih hidup dalam mitos. Masyarakat lebih suka menghindar dari
realitas dan bukan menghadpinya, persis seperti nenek moyang dulu yang
57
lxxviii
menghindar menggunakan ruwatan, petung, dan sesaji yang dijadikan sebagai
simbol yang dapat menghindarkan orang dari malapetaka. Pandangannya tersebut
tertuangkan dalam kutipan berikut:
Abu Kasan Sapari berjalan hilir mudik di rumah. Ia pusing, secara resmi Lurah memintanya untuk mendalang dalam selamatan desa. Ia ingat, Eyangnya saja telah menebang pohon-pohon keramat tanpa upacara. Sekian ratus tahun kemudian cucunya akan mendalang untuk selamatan karena pohon tumbang. “Ini benar-benar kemunduran,” pikirnya. Kepada Lurah dikatannya bahwa dia minta waktu, soalnya rapat LKMD menolak selamatan. Akan dicobanya minta pendapat Lastri. (Kuntowijoyo, 2000: 196).
Mereka memutuskan untuk sowan orang pintar itu dan minta nama baru lagi. Sial bagi mereka, orang pintar itu sudah meninggal. Usaha sang ayah untuk menyepi malam-malam dikuburan oran pintar dengan harapan ada nama baru yang dipesankannya tidak berhasil. … Maka, saudara dekat suami-istri mengusulkan untuk mengadakan kenduri dan lek-lekan (semalam suntuk tidak tidur) guna membuang sial. Maka empat puluh santri dari sebuah pondok diundang untuk mengaji di rumahnya. (Kuntowijoyo, 2003: 44)
“Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-Nya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai washilah. Itu syirik. (Kuntowijoyo, 2003: 246) Kuntowijoyo adalah budayawan yang mengerti nilai keluhuran seni.
Apalagi sebagai orang Jawa Kuntowijoyo memahami hakikat seni Jawa. Seni
Jawa merupakan perpaduan antara olah rasa masyarakat jawa dan keyakinan
kepada Sang Pencipta. Kuntowijoyo menekankan pentingnya seni sebagai ruh
pencerahan yang selaras dengan pandangan profetiknya. Pemahamannya ini
dinampakkan melalui tokoh Abu ketika diwawancarai seorang wartawan media
massa dalam kutipan novel di bawah ini:
AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya, kalau ada yang benjol-benjol dalam masyarakat seni akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni akan menyiraminya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS berpendapat bahwa seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi
lxxix
tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni. (Kuntowijoyo, 2000: 153).
“Kesenian itu berbeda dengan kekuasaan. Kesenian membujuk, kekuasaan memaksa. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-leh.. Kesenian itu sinamun ing samudana, tersamar, tidak langsung. Semua ada tempatnya. Orang Jawa itu tanggap, Pak. Jangan blak-blakan, jangan menggurui, jangan dikatakan semuanya.” (Kuntowijoyo, 2000: 83).
“Ya kalau tidak, ya diulang-ulang sampai orang mengerti.
Kesadaran itu datangnya harus dari dalam, tidak bisa dipaksakan dari luar.” (Kuntowijoyo, 2000: 83). Kuntowijoyo menyesalkan krisis kultural dalam bentuk politisasi dan
komersialisasi kesenian. Politisasi dan komersialisasi kesenian berakibat buruk
pada masyarakat. Komersialisasi misalnya menimbulkan pembodohan dan
dehumanisasi. Dehumanisasi merupakan penempatan manusia seperti mesin robot
sebagai objek yang bisa diperalat untuk kepentingan kekuasaan. Berikut kutipan
yang menggambarkan hal di atas:
Lalu dia menjelaskan bahwa esok hari akan ada pernyataan pers dari Mesin politik bahwa mereka sudah mengumpulkan para dalang untuk keperluan Bapilu (Badan Pemenangan Pemilu) se-Kodya Surakarta sebanyak 150 orang. Mereka memutuskan untuk menggunakan media tradisional pedalangan untuk kampanye. Dalang-dalang akan diterjunkan di seluruh eks-Karesidenan Surakarta selama masa kampanye. (Kuntowijoyo, 2000: 144). Fenomena adanya kelas sosial digambarkan Kuntowijoyo dalam kutipan
cerita berikut:
“Lagi pula yang penting, ingatlah bahwa kau orang Jawa. Ketika engkau gembira, ingatlah pada suatu kali kau akan mendapat kesusahan. Apalagi menertawakan nasib buruk orang lain, Nak. Jangan, sekali-kali jangan. Orang yang berpangkat harus berbuat baik, suka menolong. Kalau ada yang kesusahan, harus bisa membantu. Jangan malah menertawakan. Kalau tidak bisa membantu, menyesallah. Dan berjanjilah suatu kali kau akan membantu. Sebaliknya ikutlah berduka cita atas kemalangan orang lain. Engkau boleh tertawa apabila saudaramu beroleh kesukaan.
lxxx
Bersusahlah bersama orang yang susah, bergembiralah bersama orang yang bergembira. Renungkanlah, Nak.” (Kuntowijoyo, 2002: 344).
“Segala sesuatu dapat dirundingkan. Musyawarah untuk mufakat. Mari!” (Kuntowijoyo, 2003: 74).
Berdasarkan kutipan di atas, nampak bahwa Kuntowijoyo memberikan
gambaran peran intelektualitas dalam membangun interaksi sosial dengan
melandaskan pada pandangan religius profetik.
Kuntowijoyo meyakini budaya Jawa yang telah mengakar di dalam
masyarakat Jawa selama ratusan tahun sebagai sesuatu yang memiliki nilai luhur.
Kuntowijoyo memperlihatkan hal itu dalam kutipan cerita Pasar sebagai berikut:
Tidak ada orang Jawa yang lain. Juga camat, juga kepala polisi. Ah, tahunya apa camat-camat sekarang. Adu jago saja patohan, membuat candrasengkala mesti ke Pak Mantri. Inilah kelirunya. Zaman dulu pegawai itu mesti tahu sastra. Bukan sekadar bisa baca tulis. (Kuntowijoyo, 2002: 63-64).
“Dan kalau aku mati. Itulah warisanku, Nak. Pewarisnya, siapa saja yang bisa menyebut diri orang Jawa. Aku akan menghubungi ini.” Lalu Pak Mantri mengeluarkan majalah bahasa Jawa. (Kuntowijoyo, 2002: 346).
Itulah kebudayaan kota, sebab toko-toko menempelekan harga, hingga orang tidak perlu menawar. Pasar itu ramai, orang-orang yang sedang menawarkan dagangan. (Kuntowijoyo, 2000: 46).
Sedikit berbeda dengan novel Pasar dan Mantra Pejinak Ular,
Kuntowijoyo dalam novel Wasripin dan Satinah menyoroti budaya Jawa
masyarakat pantura. Dia menyebutkan bahwa orang pantura lebih suka selawatan
daripada wayang. Hal ini dapat dilihat dari penggalan berikut ini.
Wayangan dan ruwat yang diselenggarakan oleh Babinsa sepi pengunjung. Di siskamling orang-orang rerasan, “maklum pendatang”, “Orang akan lebih suka selawatan daripada wayang dan ruwat.” (Kuntowijoyo, 2003: 83)
lxxxi
Politik yang mengarah pada kebersamaan tujuan disatukan dalam
perwujudan demokrasi. Kunto mengingatkan, kebudayaan bersifat unik dan
particular. Karena itu, demokrasi kebudayaan harus hati-hati jangan sampai
demokrasi menyebabkan hilangnya kepribadian. Dalam demokrasilah hak-hak
semua masyarakat dapat disampaikan. Berkenaan dengan itu maka harus dijaga
jangan sampai demokrasi berarti anarki, artinya terdapat tindakan untuk menekan
dan memaksanakan agar hak individu atau golongan lebih diakui daripada
kepentingan umum. Kuntowijoyo mengungkapkannya dalam cerita MPU, dalam
kutipan berikut:
Randu, botoh, dukun, dan tokoh-tokoh lokal berusaha memengaruhi jalannya pemilihan lurah dengan berbagai cara. Kemenangan dalam pemilihan lurah mempunyai makna sendiri bagi yang berkepentingan. Bagi Mesin Politik kemenangan pilkades berarti kemenangan dalam pemilu nanti, uang bagi botoh, prestise bagi dukun, dan sekadar rezeki bagi orang-orang lain. (Kuntowijoyo, 2000: 94) Pak Mantri Pasar menjadi contoh peran intelektual dalam menyelesaikan
masalah di pasar, seperti digambarkan dalam kutipan berikut:
Beberapa kali ia memegang pensil. Beberapa kali direnung-renungkan. Setiap kali akan menulis direnungkannya kembali. Tidak ragu-ragu lagi, bahasanya pasti yang terbaik. Bahasa Jawanya sempurna belaka. Cepat dicoretnya judul-judul yang sudah dibuat. Dan dengan tegas saja ia mengulang menulis “Pemberontakan orang pasar”. Apalagi! Tidak ada yang lebih cepat. Dan lagi sebuah “Kerja uler kambang”. Ini untuk memberi istilah pada cara kerja polisi dan camat itu. Sekarang ialah baris-baris yang pertama. Pokoknya yang mengenai pasar didahulukan. Dan baru kemudian tentang alat-alat pemerintah di kecamatan itu. (Kuntowijoyo, 2002: 145).
Maka loyalitas tertinggi intelektual ialah pada masa depan bangsa, tidak
pada elite (kekuasaan, bisnis) dan massa (budaya, voting behaviour). Tindakan
Abu Kasan Sapari ketika menolak dijadikan sebagai alat politik praktis yang tidak
lxxxii
mengedepankan kebersamaan dan kejujuran pada kutipan cerita MPU berkut
merupakan bentuk tindakan intelektualitas yang tepat:
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” (Kuntowijoyo, 2000: 145) Selain itu, menurut Kunto politik adalah pengejawantahan moral bukan
sekadar kendaraaan menuju kekuasaan. Berikut ini kutipan yang menggambarkan
pandangan tersebut:
“Wah, sampai di mana penataran politikmu? Politik itu the art of possible.”
“Itu PKI, Pak. Katanya, politik itu pengejawantahan moral.” (Kuntowijoyo, 2003: 222)
“Rakyat berjasa tak dihargai!” “Penggede korupsi malah jadi pahlawan!” “Ini demokrasi pancasila. Yang gedhe diemuk-emuk, yang kecil
dikerasi” (Kuntowijoyo, 2003: 188)
Dalam pandangan Kuntowijoyo, masalah pokok yang dihadapi bangsa
Indonesia adalah kemiskinan dan kesenjangan. Kuntowijoyo melontarkan
menurut persepsi intelektual bahwa dalam masyarakat terdapat kemiskinan
struktural. Masyarakat miskin bukan karena kemalasan, tetapi karena dimiskinkan
oleh sistem dan struktur yang pincang.
Dengan mudah investor mendapatkan tanah. Karena hotel dibangun dalam hubungannya dengan agrowisata, maka sawah, kebun, tegal, dan tanaman jeruk harus ditata. Selain sedap dipandang, juga diharapkan bahwa turis (wisman, wisnu) dapat ke kebun, ikut memanen tanaman…… Yang menjadi heboh ialah pasar dan terminal harus dipindah. (Kuntowijoyo, 2000: 87) Kesenjangan antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas bawah
yang lazim adalah monopoli. Hal itu tidak hanya menggeser eksistensi pasar
lxxxiii
tradisional, tetapi juga mengubah tatanan sosial budaya yang telah terbentuk
sekian ratus tahun pada masyarakat Jawa. Kuntowijoyo menyampaikannya
melalui cerita MPU dalam kutipan berikut:
Itulah kebudayaan kota, sebab toko-toko menempelkan harga, hingga orang tidak perlu menawar. Pasar itu ramai, orang-orang yang sedang menawarkan dagangan. (Kuntowijoyo, 2000: 46)
“Hari ini semua soal akan beres. Tidak usah menghadapkan
kedatangan penabung dari luar pasar.” Berhenti sebentar, melihat perangai Zaitun. “Aku menuntut pengesahan itu dari camat dan polisi. Soalnya Bank Pasar dimaksudkan untuk menolong rakyat kecil. Bukan untuk jatuh dalam monopoli orang kaya. Itu tidak sesuai dengan undang-undang negara kita. Apalagi orang-orang yang kayanya entah dengan cara apa itu” (Kuntowijoyo, 2002: 120).
Kuntowijoyo juga memandang bahwa dalam kegiatan ekonomi pelaku
utama adalah rakyat kecil. Tanpa mereka, kegiatan perekonomian tidak berjalan
dan dapat mengganggu stabilitas negara.
Telepon rumah dan Kantor Bupati mendapat keluhan bahwa harga ikan-ikan di kota-kota Jawa Barat naik berat. Minta supaya bupati menggunakan seluruh kekuasaan untuk memaksa para nelayan melaut. (Kuntowijoyo, 2003: 246)
Maka terjadilah peristiwa yang tidak ada duanya di dunia. Nelayan dipaksa melaut. Seorang polisi pilihan (kekar, atletis, dan sehat) berada di atas perahu. Sehabis subuh, lima belas perahu nelayan berangkat bersamalima belas polisi. Para polisi berdiri tegar, tangan menyelempang ke belakang, pistol di pinggang. (Kuntowijoyo, 2003: 251-252)
Dalam paradigma pendidikan, Kuntowijoyo juga mengkhawatirkan
mengenai gejala “refeodalisasi” atau “feodalisme baru” yang menyebabkan
simbol-simbol kebudayaan sering dipakai sebagai sarana dominasi dari status
yang lebih tinggi. Dia juga mencemaskan kemungkinan sarana mobilitas sosial.
Sebagai contoh yang nyata kini sekolah-sekolah kian mahal dan eksklusif
sehingga semakin menutup peluang bagi kalangan masyarakat bawah. Di sini
lxxxiv
komersialisasi pendidikan sama berbahaya dengan indoktrinasi dalam pendidikan.
Komersialisasi pendidikan berakibat pembodohan dan kemiskinan. Kutipan
berikut menunjukkan bahwa pendidikan menjadi sesuatu prestise yang hanya bisa
diperoleh oleh kalangan masyarakat kaya:
Maka anak-anak semua “jadi orang”, kecuali dalang. Ada yang jadi insinyur gula, ada yang jadi pegawai tinggi, ada yang jadi perwira tinggi, ada yang kerja di bank, ada yang jadi dosen, dan ada yang jadi bisnismen. (Kuntowijoyo, 2000: 14).
“Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan. (Kuntowijoyo, 2003: 1)
Kuntowijoyo memandang bahwa industrialisasi telah mengakibatkan
dekadensi nilai dan moral. Awal dari krisis nilai dan moral disebabkan oleh tidak
adanya keteladanan. Kuntowijoyo juga berkali-kali mengingatkan bahwa bangsa
kita berkali-kali mengalami krisis keteladanan. Yaitu, sirnanya tokoh-tokoh
anutan yang bisa dijadikan rujukan nilai dalam berperilaku dan bertindak.
Ah, kepala polisi, pada jam kerja sempat masuk pasar dan menawar burung! Keterlaluan! Tidak sudi Pak Mantri melanjutkan omong tentang yang bukan urusan dinas di kantor macam ini. Mesti ditertibkan. (Kuntowijoyo, 2002: 83).
Bahkan sebaliknya, para pejuang dituduh melakukan penyimpangan-
penyimpangan yang sebenarnya hanyalah direkayasa belaka:
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” (Kuntowijoyo, 2000: 145)
“Celaka, Pak!” Katanya mendahului. “Apa yang celaka, Paijo?” “Kita dituduh!” “Dituduh apa?” “Mengorupsi uang pasar!” “Siapa bilang itu?”
lxxxv
“Ada pegawai kecamatan kesini!” “Lah, betul tidak. Ada kau korupsi?” “Tidak, pak. Terang tidak.” “Ah, kalau kau memang begitu boleh susah. Tetapi tidak, bukan?”
(Kuntowijoyo, 2002: 250) “Menculik Wasripin?” “Iya.” “Jangan, Pak. Seperti kata peribahasa itu namanya ‘air susu dibalas
dengan air comberan’.” (Kuntowijoyo, 2003: 219)
Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dapat dipetik inti dari pemikiran
profetik Kuntowijoyo yakni pentingnya peran agama dalam memperbaiki
berbagai bidang kehidupan manusia. Selain itu, Peran intelektual dalam
membangun interaksi sosial hendaknya berlandaskan pandangan religius
profetik, bukan religius sufistik yang menafikkan keberadaan manusia lain
sebagai objek dakwah. Hal ini bertujuan agar terbentuk masyarakat utama adil
makmur yang diridaiAllah dan terwujudnya negara yang baldatun thoyibatun
wa robbun ghofur.
1. Kelompok Sosial Kuntowijoyo
a. Kelompok Cendekiawan Muslim Muhammadiyah
Lucien Goldmann (dalam Nugraheni, 2009: 190) berpendapat
bahwa pengarang merupakan anggota kelompok sosial tertentu dalam
masyarakat, ia merupakan wakil masyarakatnya. Oleh karena itu
pengarang berfungsi untuk menyuarakan pendapat dan pemikirannya atas
kondisi sosial kemasyarakatan dalam karya-karyanya. Kelompok
cendekiawan mengacu pada sekelompok orang dalam masyarakat yang
memainkan peran kecendekiawanan. Kelompok sosial Kuntowijoyo dapat
dikatakan sebagai kelompok cendekiawan muslim.
lxxxvi
Kuntowijoyo aktif dalam organisasi Islam Muhammadiyah.
Keikutsertaan Kuntowijoyo dalam Muhammadiyah juga mempengaruhi
pemikirannya. Apa yang disampaikannya senada dengan khitah
perjuangan Muhammadiyah. Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi
yang telah menghembuskan jiwa pembaruan islam, menentang bid’ah dan
khurafat. (Majalah Sabili, 2003: 134)
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang membawa paham
pembaharuan (tajdid). Oleh karena itu, gerak pemahaman dan pengamalan
Islam bagi Muhammadiyah selalu mempunyai tiga maksud, yaitu sebagai
pemahaman Islam, sebagai ajakan kepada seluruh umat manusia untuk
memahami dan mengamalkan ajaran Islam, dan sebagai koreksi atau
evaluasi terhadap berbagai pemikiran yang telah dilakukan.
Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8
dzulhijah 1330 H atau bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M.
Muhamadiyah ikut berperan dalam pergerakan nasional baik sebelum
kemerdekaan, pada saat merdeka, dan pascakemerdekaan.
Peran aktivis-aktivis Muhammadiyah dalam proses kemerdekaan
tidak dapat diragukan lagi. Tokoh-tokoh nasional seperti Mas Mansur,
Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, Kahar Mudzakkir adalah
sejumlah nama tokoh pergerakan nasional yang besar dari rahim
Muhammadiyah. Peran Muhammadiyah pascakemerdekaan terlihat pada
penumpasan G30S/PKI, peran dalam politik praktis, dan kepedulian
terhadap pendidikan. (Ibnu Salimi, 1995: 111).
lxxxvii
Menurut Amien Rais, Kuntowijoyo menyimpan banyak
keteladanan. "Kehidupan almarhum penuh keteladaan, seorang yang arif,
bijaksana dan saleh sehingga dicintai oleh banyak orang," kata Amien Rais
saat menyampaikan pidato melepas kepergian Kuntowijoyo di rumah
duka, Jl. Ampelgading 429 Condongcatur Depok Sleman, Rabu
(23/2/2005) pukul 12.30 WIB. Menurut Amien, Kunto adalah seorang
kepala keluarga yang berhasil membangun keluarga sakinah. Ketika
mengajar dikampus pun, Kunto juga dicintai oleh mahasiswa dan sesama
dosen karena kepandaiannya. Saat menjadi pengurus Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah sejak tahun 1990,
pemikiran-pemikirannya sangatlah cemerlang. "Dia adalah seorang
pemikir yang menguasai ilmu sejarah, sosiologi, budaya dan sastra
sehingga karya-karyanya pun banyak dipuji orang. (www.detikNews.com)
Menurut Haedar Nasir (PP Muhammadiyah), Kuntowijoyo adalah
pencari kebenaran sejati, yang mampu menangkap tafsir Al Manar dan
mengkontekstualisasikan dalam kehidupan modern. Kuntowijoyo meirntis
Muhammadiyah untuk mengintegrasikan iman dan kemajuan telah
melahirkan generasi muslim terpelajar yang tidak saja memiliki
kepribadian kokoh, namun juga berorientasi untuk maju.
Kelompok cendekiawan muslim Kuntowijoyo terdiri dari kaum
cendekiawan muslim yang aktif menyuarakan kebenaran ilahiyah,
membebaskan diri dari kesyirikan, dan aktif dalam amar ma’ruf nahi
lxxxviii
munkar, mengajak masyarakt kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran.
b. Kelompok Sejarawan
Kelompok sosial Kuntowijoyo juga dikatakan sebagai kelompok
sejarawan. Sebagai sejarawan dia sangat menghargai kearifan dan budaya
Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah mengajarkan kearifan itu.
Baginya, belajar sejarah adalah proses belajar kearifan. Dia
mengimplementasikan dlam kesehariannya yakni dengan sikap rendah hati
dan bisa bergaul dengan semua orang.
Menurut Sejarawan Prancis March Bloch, “Sejarah di atas
segalanya, adalah tentang ilmu perubahan.” Historiografi atau penulisan
sejarah Indonesia pun berkembang dari masa ke masa. Semula menurut
Kuntowijoyo ada segelintir sejarawan yang merekayasa sejarah untuk
kepentingan penguasa. (www.rumahbacacendekia.wordpress.com)
Melalui buku Penjelasan Sejarah (2008) Kuntowijoyo menegaskan
bahwa ilmu sejarah adalah ilmu yang mandiri, dalam arti memiliki filsafat
ilmu sendiri, persoalan sendiri, serta penjelasan tersendiri. Argumen
filosofisnya adalah serangkaian upaya untuk menafsirkan, memahami, dan
mengerti. Dikatakan juga bahwa ilmu sejarah bersifat khas baik pada
ruang lingkup maupun penjelasannya. Secara eksplisit hal tersebut dapat
dipahami sebagai tonggak warisan dalam rangka mendorong kreativitas
riset bagi generasi sejarawan sesudahnya. Harapannya kebenaran sebuah
sejarah tidak lagi mudah untuk dimanipulasi atau dikamuflase hanya demi
lxxxix
sebuah kepentingan kekuasaan. Karya-karya Kuntowijoyo tentang sejarah
masyarakat dalam bingkai hegemoni penguasa sangat banyak, termasuk
desertasinya yang mengangkat Masyarakat Petani Madura.
Karya-karya beliau banyak dijadikan rujukan serta contoh berbagai
karya tulis, terlebih tulisan beliau mengenai kebudayaan dan persejarahan.
Tidak heran jika Prof.. Sartono Kartodirdjo menyebutkan bahwa karya-
karya beliaulah yang paling lengkap mengupas tentang pelbagai
kebudayaan dan persejarahan Indonesia. Dia merekam berbagai kondisi
perpolitikan Indonesia di saat pemerintahan Soeharto. Kuntowijoyo
berusaha meluruskan sejarah yang dibengkokkan rezim orde baru.
(www.rumahbacacendekia.wordpress.com)
Ahmad Mansyur Suryanegara (Sabili, 2003: 36) mengatakan
bahwa usaha untuk meluruskan sejarah bukan pekerjaan yang mudah. Dia
pernah diancam akan dihadapkan pada regu tembak oleh seorang
pembesar era orde baru ketika ia mau meluruskan catatan sejarah
perjuangan Kiai Caringin. Sayangnya, upaya-upaya para sejarawan
mengungkap sejarah tidak diimbangi oleh kemauan generasi muda untuk
menjaga sejarah tersebut. Para sejarawan merasa prihatin pada generasi
muda yang abai pada sejarah.
Jika dilihat dari lingungan sosial dan pergulatan pemikiran
kesejarahannya, kelompok sosial kuntowijoyo adalah kelompok sejarawan
yang berwawasan ktitis dan intensif berjibaku dalam upaya pelurusan
sejarah bangsa Indonesia.
xc
c. Kelompok Budayawan
Kelompok sosial Kuntowijoyo yang lain adalah kelompok
budayawan, termasuk para sastrawan dan seniman. Kuntowijoyo
merupakan salah satu begawan kebudayaan Indonesia. Budayawan Emha
Ainun Najib (Cak Nun) mengatakan bahwa selama berkenalan dan
berkawan akrab selama 35 tahun dengan Kuntowijoyo, sebagai seorang
sastrawan dan budayawan, Kuntowijoyo adalah seorang intelektual yang
jujur, obyektif dan cemerlang. "Pak Kunto tidak pernah mati, karena itu
dia tidak bisa digantikan siapa pun. Namun kita juga tidak boleh
kehilangan dia," kata cak Nun. (www.rumahbacacendekia.wordpress.com)
Cak Nun mengatakan bahwa Kuntowijoyo itu hidup dengan penuh
kearifan, tidak pernah marah, tidak pernah punya hati jahat dengan siapa
pun. "Dia itu cocok menjadi malaikat, tidak pernah punya ambisi, tidak
pernah berbuat dosa dan maksiat. Tekun memikir dan orang yang luar
biasa," katanya.
Misi profetik berkaitan tersebut dilaksanakan di tengah-tengah
manusia, tentu dengan memerhatikan konteksnya. Untuk saat ini, harus
diakui bahwa peradaban dunia, termasuk Indonesia, tengah berada dalam
hegemoni Barat. Kita semua telah memasuki, atau dimasuki, modernitas
(bahkan pasca-modernitas) dengan segala eksesnya. Perkembangan
teknologi mengubah struktur masyarakat yang tadinya agraris menjadi
industrial. Tenaga manusia yang sebelumnya dominan diganti oleh mesin.
Di samping manfaatnya, keadaan ini menjadikan dehumanisasi: manusia
xci
hidup seperti robot, serba mekanis dan otomatis. Sistem pasar dan
globalisasi memerlakukan manusia sebagai gejala abstrak tanpa wajah
kemanusiaan.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
Kuntowijoyo merupakan salah satu begawan kebudayaan Indonesia yang
pemikirannya berlandaskan pandangan religius profetik. Kuntowijoyo
mengingatkan pentingnya agama dan kemanusiaan agar terhindar bahaya
globalisasi dan hegemoni budaya barat
2. Pemikiran Tokoh-Tokoh yang Berada dalam Satu Kelompok Sosial
dengan Kuntowijoyo
Salah satu komponen pandangan dunia pengarang adalah menyebutkan
tokoh-tokoh yang memiliki pandangan dunia sama dengan Kuntowijoyo.
Tidak semua tokoh yang memiliki pandangan dunia sama dengan
Kuntowijoyo diuraikan di sini. Ada dua tokoh cendekiawan yang memiliki
memiliki pandangan dunia religius profetik berlandaskan budaya Jawa yaitu:
Amien Rais, Muhammad Diponegoro, dan Buya Hamka.
a. Amien Rais
Amien Rais pernah dijuluki King Maker karena perannya dalam
reformasi 1998 yang menyebabkan kejatuhan Soeharto dan perannya
dalam menentukan presiden pada tahun 1999 yakni dengan strategi poros
tengah. Sebelum dikenal sebagai politisi, ia telah lama malang melintang
di dunia pendidikan dan organisasi Islam Muhammadiyah.
xcii
Keterlibatannya dalam Muhammadiyah inilah yang menjadikan Amien
Rais dan Kuntowijoyo memiliki kesamaan pandangan religius profetik.
Ketika ia terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah ia
melemparkan ide untuk menuju suksesi nasional. Hal ini merupakan
keberanian yang luar biasa mengingat waktu itu Soeharto beghitu otoriter.
Karena keberaniannya itu ia berhasil mengangkat pamor Muhammadiyah
di tingkat nasional. Ketika kejatuhan Soeharto, ia adalah Cendekiawan
yang berdiri paling depan. (www.isai.or.id, 2008)
b. Muhammad Diponegoro
Muhammad Diponegoro adalah salah seorang sastrawan Indonesia
yang telah banyak memberi sumbangsih dalam dunia sastra tanah air.
Cerpen-cerpen Muhammad Diponegoro penuh dengan nilai-nilai moral
dan hakikat hidup yang diciptakan dengan ilustrasi sederhana namun
sangat mengena. (Nuri, 2010: 2)
Muhammad Diponegoro merupakan orang yang memiliki
pemikiran sama dengan Kuntowijoyo. Kesamaan ini disebabkan
keterlibatannya dalam Muhammadiyah yakni sebagai wakil pemimpin
redaksi Suara Muhammadiyah. Pandangan Islam modern tertuang dalam
karya-karyanya yang dibacakan di Radio Australia. Bahkan dia menulis
puitisasi terjemahan Alquran sebagai bentuk kecintaannya pada Alquran.
Dia juga mendirikan teater Muslim Yogyakarta dan selalu
menekankan pentingnya religiusitas dalam hidup karena manusia hidup
harus mempunyai tujuan dan harus memegang ajaran agama.
xciii
2. Deskripsi Struktur Teks Novel Pasar, Novel Mantra Pejinak Ular, dan
Novel Wasripin dan Satinah
Salah satu analisis dari penelitian ini yaitu mengkaji struktur teks novel
Pasar, novel Mantra Pejinak Ular (MPU), dan Wasripin dan Satinah (WS). Setiap
novel terdapat unsur-unsur intrinsik yang membangun cerita. Pembahasan dalam
bab ini dilakukan melalui pemaparan aspek struktur yang meliputi tema, alur,
tokoh dan penokohan, latar, dan sudut pandang. Analisis tersebut dijabarkan
sebagai berikut:
1. Tema
Tema adalah gagasan utama yang menjalin struktur isi karangan, Maka,
tema merupakan pokok permasalahan yang menjadi bahan utama atau latar
belakang cerita. Dari seluruh cerita novel Pasar, MPU, dan WS tampak
permasalahan yang menonjol yaitu masyarakat Jawa yang harus menghadapi
realita transisi kehidupan sosial budaya dan politik. Permasalahan sosial yang
menjadi sejarah kemanusiaan itulah yang tidak lepas dari latar belakang cerita
novel Pasar.
Novel Pasar mengungkapkan proses pewarisan nilai-nilai Jawa dan
transisi perubahan sosial budaya masyarakat. Cerita Pasar menampilkan
bagaimana semestinya budaya Jawa yang dianut dan diwariskan masyarakat
bertransformasi dalam kehidupan modern. Tokoh Pak Mantri dalam novel itu
dijadikan sebagai andaian ideal yang seharusnya dimiliki para pemimpin di
masyarakat. Dalam konteks Jawa yang harus dimiliki para pemimpin itu adalah
filosofi orang Jawa yang dengan tetap menstransformasikan sari-sari akar budaya
xciv
dalam mengelola kehidupan modern. Fakta tersebut dalam novel Pasar dapat
dilihat pada ujaran Pak Mantri kepada Paijo seperti berikut:
“Rumusnya adalah kebahagiaan bagi orang banyak. Sesuaikanlah kepentinganmu dengan kepentingan yang lebih besar. Inilah yang diperbuat Arjuna ketika menghadapi Resi Bima. Tidak salah lagi, pahlawan itu mencintai musuhnya, yang juga moyangnya. Tetapi layapkanlah dirimu bersama tujuan yang mulia. Muliakanlah dirimu bersama dengan kepentingan manusia. Mungkin itu menyiksamu. Menyedihkanmu. Menyengsarakanmu. Tetapi apa arti setitik air dalam samudera luas? Dan siapakah sangkamu Adipati Karna itu? Ia tahu Pandawa itu saudaranya sendiri. Tetapi ia memihak Kurawa, padahal sudah jelas bahwa ia akan hancur? Mengapa? Ia seorang pemberani. Dia itu menempatkan dirinya sebagai bagian dari warga yang hidup di Astina. Ia adalah bagian dari negara itu. Ia hanya satu bagian yang harus ikut dalam arus besar yang hidup di Astina. Ia adalah bagian dari negara itu. Ia hanya satu bagian yang harus ikut dalam arus besar yang disebut Perang Baratayuda.” (Kuntowijoyo, 2002: 270-271).
Persoalan utama yang diangkat dalam kisah MPU yaitu upaya perlawanan
terhadap proses dehumanisasi dan objektivasi yang berlangsung di masyarakat,
baik secara material maupun spiritual. Cerita MPU menampilkan masalah
perjuangan seorang pegawai biasa yang tidak mau menjadi alat politik kekuasaan.
Benturan-benturan kepentingan yang harus dialami sang tokoh baik sebagai
dalang dengan lingkungan sosialnya maupun posisinya sebagai Pegawai Negeri
Sipil (PNS), oleh pengarang dijadikan peranan yang baik untuk menyuguhkan
tema yang bermakna itu kepada pembaca.
Abu Kasan Sapari, seorang pegawai rendahan di kecamatan, menolak
menjadi pegawai lebih tinggi untuk menunjukkan sikap penolakannya menjadi
pengikut partai pemerintah yang berkuasa kala itu. Sang tokoh menganggap
bahwa sistem mesin politik yang diterapkan partai tersebut merupakan bentuk
dehumanisasi modern yang harus dilawan. Kesadaran yang kuat untuk tetap teguh
xcv
pada hati nurani siap menghadapi risiko penekanan bahkan penyingkiran atas
dirinya. Baginya, itu lebih baik daripada menjadi pejabat atau anggota legislative
tetapi tunduk pada sistem politik kepentingan. Berikut ini kutipan yang
menggambarkan masalah tersebut:
“Terimalah ucapan selamat kami. Kami dari DPD telah memilih Pak Abu sebagai caleg jadi,” kata Ketua Badan Seleksi. “Pak Abu lolos ketimbang sembilan calon lain.”
Abu bingung. Ia tak pernah menghubungi atau dihubungi siapa-siapa. Kejadian itu sangat tiba-tiba.
“Saya-saya tidak tahu apa-apa!” “Ya, Pak Abu tidak tahu. Tapi kami punya banyak telinga. Ini
kehormatan. Jangan ditolak. “Tapi saya tak pernah mengharapkan.” “Banyak memang peristiwa di dunia ini yang berada di luar
harapan.” Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?” (Kuntowijoyo, 2000: 144) Sang tokoh juga menentang dehumanisasi tradisional yang masih ada di
dalam masyarakatnya. Bentuk-bentuk dehumanisasi tradisional tersebut dalam
masyarakat Jawa di antaranya ialah pemujaan pohon besar, mantra tahayul, jimat,
sesaji, tapa, kekeramatan kuburan, dan lain-lain. Sang tokoh mewujudkan
penolakan dehumanisasi tradisional tersebut dengan membuang ularnya, memutus
mata rantai mantra pejinak ular dan tidak menggunakan sesaji waktu mendalang.
Secara halus sang tokoh berusaha bersikap kritis terhadap gejala mitologisasi
dengan mengajak masyarakatnya cara berpikir lebih rasional. Kutipan berikut ini
menggambarkan sikap yang diambil sang tokoh:
Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah
xcvi
itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung. (Kuntowijoyo, 2000: 242) Sebagaimana ditunjukkan dalam novel MPU, budaya tradisi dan modern
dalam novel Pasar pun dihadirkan dalam konteks sejarah dan kemanusiaan.
Tokoh Pak Mantri yang mencoba dan berhasil mengatasi persoalan yang muncul
di pasar merupakan satu tipe ideal pemimpin modern dibandingkan dengan camat,
kepala polisi, dan pemimpin umumnya sekarang yang tidak mengerti baik akar
tradisi sendiri maupun semangat modernitas. Di tangan orang yang tidak mengerti
hakikat masa lalu dan masa kini, tradisi dan modernitas, manusia dan Tuhan,
kehidupan modern akan tampil dalam bentuk-bentuknya yang melemahkan
spiritualitas manusia. Sikap itulah yang ditunjukkan Pak Mantri sebagaimana
kutipan berikut:
Biarlah perempuan itu keheranan. Begitulah kalau mau tahu watak Pak Mantri. Itulah sikap ksatria, perwira. Dipandangnya burung-burungnya yang berkeliaran. Ditinggalakannya Zaitun dalam keadaan bertanya-tanya. Memang, dirasanya juga, bahwa burung-burung itu mengganggu para pedagang. Ah, selama ini ia tidak tahu itu. Untunglah datang juga petunjuk itu. Ia menempatkan diri pada pihak pedagang, dan ia bisa jengkel juga. Pantaslah, saya memahami kalian, saudara-saudara. Ia bisa menghitung, kalau setiap ekor burung dara makan beras segenggam setiap hari, berapa kuintal dalam sebulan. Ah, lebih baik beras itu diberikan pada fakir miskin daripada burung! (Kuntowijoyo, 2002: 254)
Pasar sebagai simbol tempat bertemunya manusia dengan segala
karakternya yang melakukan interaksi sehingga membentuk komunitas sosial
yang spesifik. Pasar di saat sekarang merupakan saksi sejarah atas proses
perubahan sosial budaya pada masyarakat yang terus berlangsung.
Dalam Novel WS yang diangkat adalah ketidakberdayaan dalam
menghadapi proses marjinalisasi yang berlangsung di masyarakat pesisir yang
xcvii
disebut sebagai ekstrem kanan, subversive, dan dedengkot golput. Novel WS
menampilkan seorang modin dan satpam TPI yang tidak mau menjadi alat politik
kekuasaan. Berbagai konflik yang dialami tokoh oleh pengarang dijadikan
peranan yang baik untuk menyuguhkan tema yang bermakna itu kepada pembaca.
“Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkanbila partai ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat (“disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan”) (Kuntowijoyo, 2003: 137)
Pagi TVRI dan Koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat menimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia komandan DI/TII Pantura, anti-Pancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. (Kuntowijoyo, 2003: 231)
“Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.” “Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.” “Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani.
Disaksikan dua kopral bersenjata lengkap.” (Kuntowijoyo, 2003: 255)
Jika dalam novel Pasar dan MPU tokoh mampu menjadi pioneer dalam
perubahan, tokoh novel WS tidak demikian. Tokoh dalam novel WS pada akhirnya
tidak berdaya menghadapi kekuasaan politik dan militer. Meskipun demikian,
perlawanan yang dilakukan Pak Modin dan Wasripin telah membakar semangat
masyarakat pesisir untuk berani melawan meskipun risikonya besar.
Bupati menugaskan kepala Dinas Perikanan untuk menemui para nelayan dan mengatakan bahwa melaut adalah untuk kepentingan nelayan sendiri, sambil menyampaikan ancaman itu.
“Kami mau melaut, tapi pulangkan Pak Modin.” (Kuntowijoyo, 2003: 247)
2. Alur
Novel Pasar, MPU, dan WS dibangun di atas alur yang menarik.
Kontinuitas struktur cerita yang ditunjukkan dibentuk oleh peristiwa-peristiwa
yang tersusun secara berurutan menjadi karakter alur novel Pasar. Secara jelas
xcviii
novel Pasar memiliki alur maju. Agak berbeda, cerita novel MPU dan WS
memiliki struktur sastra konvensional roman yang kuat. Cerita MPU dan WS
mengisahkan perjalanan hidup tokoh sejak kecil hingga menjadi sosok manusia
dewasa. Alur dalam cerita MPU dan WS bersifat campuran karena gaya
penceritaan waktu peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh tidak selamanya linear
ke depan, tetapi juga terdapat kilas peristiwa yang bersifat flashback “mundur ke
masa belakang”. Studi analisis tahapan alur dalam novel Pasar, MPU, dan WS
dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Eksposisi
Cerita novel Pasar, MPU, dan WS diawali dengan menampilkan
tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita bersama kedudukannya masing-
masing. Di samping itu juga dipaparkan kondisi pembentuk latar cerita.
Kutipan novel Pasar berikut mendeskripsikan tokoh-tokoh yang terlibat di
dalam cerita:
Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi, dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri Pasar itu. Begini!” Segala yang baik bagi hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri memupuk padanya. (Kuntowijoyo, 2002: 1) Kutipan di atas memunculkan tokoh Pak Mantri Pasar sebagai sentra
cerita dan tokoh Kasan Ngali sebagai kontra. Tokoh Pak Camat dan Pak
Kepala Polisi diperlihatkan sebagai pejabat pemerintah yang memiliki
interaksi formal dan informal terhadap tokoh Pak Mantri Pasar. Di samping itu
juga terdapat tokoh Siti Zaitun (hal. 3) sebagai pegawai Banak Pasar dan
xcix
tokoh Paijo (hal.6) sebagai pegawai pasar yang membantu Pak Mantri Pasar
serta tokoh para pedagang pasar (hal. 2).
Peristiwa dalam kutipan novel MPU di bawah ini digunakan untuk
memperkenalkan karakter sang tokoh utama. Berikut ini kutipan yang
memperlihatkan hal tersebut:
Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu. Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orangtuanya, “Hati-hati memelihara anak ini. Besok dia akan jadi pujangga. Aku mendapat firasat, ketika aku keluar dari makam ada rombongan orang membarang, menyanyi, dan menabuh gamelan. Anak itu memiringkan telinganya, seperti mendengar sinden dan klenengan.” (Kuntowijoyo, 2000: 2) Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa sang tokoh, yang
kemudian dikenal dengan Abu Kasan Sapari, diperkenalkan masih keturunan
pujangga besar Ronggowarsito, meskipun masih bayi memiliki karakter yang
dewasa Abu Kasan Sapari pun membawanya untuk menjadi dalang,
sebagaimana nampak dalam kutipan berikut:
Pada tahun ketiga, kalau ada permintaan mendalang, Ki Lebdo selalu menanyakan pada yang datang, “Apa bisa diwakilkan?” Kalau orang yang datang setuju, pekerjaan itu akan diserahkan pada Abu. (Kuntowijoyo, 2000: 14)
Pada tahap ini terdapat deskripsi cerita mundur dalam alur novel MPU.
Deskripsi tersebut terlihat pada proses penceritaan pada peristiwa yang terjadi
di masa lalu, yaitu deskripsi tentang Desa Palar di masa lalu dan kisah
pertemuan antara ayah Abu dengan ibu Abu masa sebelum menikah. Berikut
kutipan yang mendeskripsikan hal tersebut.
c
Dulu Palar adalah desa perdikan, desa yang dibebaskan dari pajak dengan maksud supaya seluruh penghasilan desa diperuntukkan guna keperluan makam. Praktis, lurahnya sama dengan juru kunci makam. Tetapi ketika desa perdikan itu dihapuskan pada 1915, juru kunci makam tidak lagi otomatis menjadi lurah desa. Waktu pilihan lurah, juru kunci cum lurah pada waktu itu suka ma-lima, yaitu madon, minum, madat, main (“wanita, minuman keras, mengisap candu, judi”) sehingga tidak terpilih jadi lurah. (Kuntowijoyo, 2000: 4)
Waktu itu ibu (calon) Abu berdagang pakaian dari pasar ke pasar dengan sepeda merek Releigh yang bisa bunyi ck-ck-ck dan ayah (calon) Abu menjalankan ternak apa saja milik para tetangga. Maka bertemulah ayah-ibu Abu. Ayah Abu suka membeli soto dekat ibu Abu berjualan. (Kuntowijoyo, 2000: 8) Peristiwa dalam kutipan novel WS di bawah ini digunakan untuk
memperkenalkan karakter sang tokoh utama. Berikut ini kutipan yang
memperlihatkan hal tersebut:
“Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan. … Lalu Wasripin meloncat keluar, melambaikan tangan untuk mengucapkan terima kasih. Lambaian tangan itu juga berarti bahwa dia mengucapkan selamat tinggal untuk dunianya yang lama. “Inilah tumpah darah ibuku”, katanya dalam hati. Ia berjalan ke kiri, ke mana pun kaki melangkah, tanpa tahu tempat yang dituju. Pokoknya, pantai, pantai! (Kuntowijoyo, 2003: 1) Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa sang tokoh diperkenalkan
sebagai keturunan orang pantai dan sudah lama berada di Jakarta.
b. Inciting Moment
Pada tahap ini baik novel Pasar, MPU, maupun WS mulai nampak
permasalahan yang mengenai tokoh cerita. Gambaran permasalahan yang
muncul pada tokoh novel Pasar, Pak Mantri, nampak dalam peristiwa berikut:
Ternyata, lebih banyak pedagang yang berjualan di jalanan muka pasar daripada masuk los-los. Pak Mantri Pasar sudah berusaha
ci
menggiring mereka ke dalam, tetapi sia-sia. Makin hari los-los makin sepi. Dengan bermacam-macam alasan. Seperti: “lebih baik di jalan”, “lebih dekat dengan pembeli” sampai “peruntungan saya di jalan, bukan di pasar”, itu membuat jengkel Pak Mantri Pasar saja. Akhirnya orang tua itu menyerah. Bahkan akhir-akhir ini orang yang telah menjual kambing di jalanan juga dan bukanya di pasar hewan. Semakin hari semakin parah dengan pedagang itu. Dan sialan, Pak Mantri Pasar pula yang disalahkan! Soalnya ialah karena burung-burung dara itu. Tunggulah duduk perkaranya. (Kuntowijoyo, 2002: 4)
“Coba. Mereka membunuh burung daraku. Seberani itu.” “Siapa?” “Orang pasar.” ….. “Juga Bank Pasar akan rugi. Burung-burung itu membunuh
bank.” (Kuntowijoyo, 2002: 29) “Menabung, Ning?” Ah, untungnya saja habis dimakan burung
dara! (Kuntowijoyo, 2002: 32) “Hitunglah, Pak, “kata perempuan itu pada polisi. “Tiga ekor
burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi! Mestinya aku minta ganti rugi! Orang mengangguk-angguk. Rugi, rugi itu! Betul tak mau bayar! (Kuntowijoyo, 2002: 35) Berdasarkan kutipan-kutipan di atas permasalahan yang muncul
disebabkan oleh keberadaan burung-burung dara. Munculnya permasalahan
terlihat ketika sebagian besar para pedagang berjualan di jalanan, bukan di los-
los pasar yang telah ada. Di antara para pedagang itu beralasan karena
terganggu oleh keberadaan burung-burung dara di pasar dalam jumlah yang
sangat banyak. Mereka pun menyalahkan Pak Mantri karena burung-burung
dara tersebut dianggap milik Pak Mantri.
Permasalahan berkembang saat para pedagang yang masih berjualan di
dalam pasar pun mengalami emosi sehingga mereka berani membunuh burung
dara Pak Mantri. Peristiwa itu kemudian diketahui oleh Pak Mantri dan
disampaikannya kepada Siti Zaitun, pegawai Banak Pasar. Namun Siti Zaitun
cii
ternyata juga menyalahkan Pak Mantri. Siti Zaitun beranggapan bahwa
kemunduran Bank Pasar karena tidak adanya para pedagang yang menabung
lagi disebabkan oleh keberadaan burung-burung dara di pasar. Keberadaan
burung-burung dara tersebut dianggap telah mengakibatkan berkurangnya
penghasilan para pedagang, sehingga mereka pun enggan untuk menabung
lagi. Permasalahan lain muncul ketika para pedagang juga tidak mau lagi
membayar retribusi pasar. Mereka beralasan karena dagangannya telah
dimakan burung-burung dara.
Pada tahap ini, dalam novel MPU, tokoh Abu Kasan Sapari mulai
tersentuh dengan permasalahan ketika Abu mendapatkan mantra pejinak ular
yang harus dipegangnya semasa dia hidup. Berikut ini kutipan yang
memaparkan peristiwa tersebut:
“Apa itu?” “Mantra pejinak ular.” Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan
membisikkan sebuah kalimat. “Paham?” Kemudian orang itu kembali berbisik di telinga kanan Abu. “Sudah, ya? Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah
ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular.” (Kuntowijoyo,
2000: 19)
Permasalahan yang juga dialami oleh Abu ialah ketika ia terlibat dalam
perpolitikan. Abu memanfaatkan wayang untuk melakukan pendidikan politik
kepada masyarakat. Abu mendalang dengan mengambil cerita partisipasi
rakyat dalam pemerintahan sebagai wujud kedaulatan dalam demokrasi.
Di bawah ini adalah scenario wayangan yang dibuat oleh dalang Ki Abu Kasan Sapari. Judulnya “Bambang Indra Gentolet
ciii
Takon Bapa” atau “Bambang Indra Gentolet Menanyakan Sang Ayah”. (Kuntowijoyo, 2000: 61) Permasalahan berkembang ketika keterlibatan Abu dengan politik
semakin jauh. Ia mendalang untuk mendukung salah satu calon dalam
pemilihan lurah. Padahal saat itu di samping sbagai dalang, kedudukan Abu
juga sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini berarti ia mulai konflik
berhadapan dengan Mesin Politik yang pada saat itu mempunyai kekuatan
politik besar. Gambaran tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Kabar mengenai pemilihan lurah di Kemuning sudah didengar oleh media massa yang telaten nongkorng di Pemda. Seorang wartawan dari Suara Bengawan menemuni Pak Camat dan oleh camat diverwijs pada Abu Kasan Sapari. Abu mengatakan bahwa banyak hal menarik perlu diberitakan. Kemudian dia bercerita tentang campur tangan Mesin Politik, adanya botoh, dan peran dukun dalam Pilkades. Wartawan itu diberi kebebasan untuk meliput. Dia juga memberikan jadwal dia akan mendalang untuk mendukung calon. Wartawan itu berjanji akan datang nonton, untuk mengetahui efektivitas kesenian dalam politik, (Kuntowijoyo, 2000: 93-94)
Dalam novel WS, tokoh Wasripin mulai tersentuh dengan
permasalahan ketika dia menjadi satpam dan memergoki pencurian kayu. Saat
itulah Wasripin kena pukul sampai pingsan dan mulai dibenci oleh para
prnguasa. Berikut ini kutipan yang memaparkan peristiwa tersebut:
“Tiba-tiba saja orang menggebukku dengan kayu.” “Kayu-kayu?” “Bukan itu saja.” “Kau pasti mengurus yang bukan urusanmu. Itu urusan polisi.” (Kuntowijoyo, 2003: 65) Masalah berkembang ketika kepala TPI (Tempat Pelelangan Ikan)
mendapat surat ancaman. TPI akan dibakar jika orang-orang TPI mencapuri
civ
urusan mereka. Ternyata ancaman itu bukan omong kosong. Pada suatu
malam TPI memang dibakar habis, sampai ludes.
c. Rising Action
Peristiwa-peristiwa yang terjadi terus berkembang mengalami
penajakkan konflik cerita. Pengarang berusaha mengembangkan konflik
dengan melibatkan tokoh-tokoh lain yang memiliki peran penting dalam
kedudukan tokoh memacu peningkatan konflik. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut:
“Pasar ialah satu pendekatan negara terpenting. Pajak yang ditarik melalui pasar seyogyanya mendapat perhatian pula.”
“Ya, Ya.” “Tahukah Pak Camat,” ah napasnya tak begitu teratur sudah.
“Akhir-akhir ini di pasar terjadi pemogokan. Pemogokan! Pembangkangan!” (Kuntowijoyo, 2002: 65)
“Coba, Nak. Saya memelihara burung-burung saya sendiri. Itu sudah berjalan sejak lama. Burung-burung itu kubeli dengan uang saya sendiri. Dikandangkan di pasar sendiri. Tetapi mereka telah memukulinya. Membunuhnya!” Kepala Polisi itu hanya mengangguk-angguk. Cepat mengeluarkan catatan dari saku celananya, lalu menulis itu. (Kuntowijoyo, 2002: 84)
Kutipan di atas menerangkan ketika Pak Mantri melaporkan masalah
para pedagang yang tidak mau membayar retribusi kepada Pak Camat sebagai
bentuk upaya pembangkangan terhadap pemerintah. Sedangkan peristiwa
matinya burung dara dilaporkannya kepada Pak Kepala Polisi sebagai tragedy
pembunuhan. Tindakan yang dilakukan Pak Mantri tersebut secara tidak
langsung membawa tokoh lain terlibat dalam permasalahan yang terjadi. Pak
Mantri berkeinginan agar Pak Camat dan Pak Kepala Polisi, selaku abdi
negara, turut menyelesaikan permasalahan yang terjadi di pasar.
cv
Tekanan konflik pun semakin terasa saat Pak Mantri menuduh
keterlibatan Kasan Ngali, tokoh yang selama ini dikenal selalu bertentangan
dengan Pak Mantri, dalam permasalahan yang terjadi. Hal tersebut dapat
diketahui dari kutipan berikut:
“He, Jo. Aku tahu sekarang. Ini semua tentu ada biang keladinya. Tidak ada asap tanpa api. Tentu ada yang di belakang. Siapa, coba?”
“Siapa, Pak?” “Orang itu, tentu.” “Ya, orang itu!” Ah, pantang bagi mulutku menyebut namanya. “Kasan Ngali, Pak?” “Siapa lagi!” “Terus bagaimana, Pak?” “Aku akan menggugatnya.” (Kuntowijoyo, 2002: 92-91)
Bahkan hal yang tidak terduga terjadi, yaitu Pak Mantri harus berseteru
dengan orang yang selama ini dianggapnya dekat, Siti Zaitun. Berikut kutipan
yang memperlihatkan fakta tersebut:
“Mengerti bagaimana, Pak? Pak Mantrilah sekarang yang bertanggung jawab untuk tutupnya bank ini. Setiap hari saya mencatat peristiwa burung dara itu. Mereka tak mau menabung karena untungnya habis dimakan burung dara itu. Tetapi syukurlah. Itu kebetulan. Makin cepat bank bangkrut makin baik. Segera saya dipindahkan dari kota gurem di gunung begini. Daerah setandus ini!” (Kuntowijoyo, 2002: 107)
Dalam novel MPU, konflik terjadi antara Abu dengan Mesin Politik
menyebabkan ia harus menerima segala konsekuensi yang berat. Abu
dipindahtugaskan ke daerah lain. Kala itu Mesin Politik bisa dikatakan
berkuasa terhadap tatanan pemerintahan.
Camat Tegalpandan tahu belaka sebab-sebab kepindahan Abu. Maka ketika ada waktu dikatakannya, “Jangan menyalahgunakan kesenian.” “Yam Pak. Tetapi,” lalu ia pun berhenti. Sebenarnya Abu
cvi
ingin menerangkan panjang lebar, tapi dipikirnya itu namanya mencari-cari musuh. (Kuntowijoyo, 2000: 105) Di samping itu, permasalahan lainnya muncul ketika Abu memelihara
ular karena keterikatannya dengan mantra pejinak ular yang telah dimilikinya/
pasalnya tindakan Abu itu mendapat tentangan dari warga karena dianggap
membahayakan keselamatan warga setempat. Dalam hal ini Abu pun
melibatkan Lastri, seorang wanita yang berarti bagi hidupnya, ke dalam
konflik yang dialaminya.
Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri. “Bagaimana, Yu Las?” Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya. Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti
tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. (Kuntowijoyo, 2000: 122)
Dia dilaporkan bahwa telah membuat takut dan resah dengan memelihara ular. Bahkan orang banyak berkesimpulan bahwa kedatangan Abulah penyebab dari banyaknya ular. (Kuntowijoyo, 2000: 131)
Permasalahan yang dihadapi Abu semakin berkembang pada
pananjakan konflik. Konflik antara Abu dengan Mesin Politik menyebabkan ia
harus menerima segala konsekuensi yang berat. Abu dipindahtugaskan ke
daerah lain. Kala itu Mesin Politik bisa dikatakan berkuasa terhadap tatanan
pemerintahan.
Camat Tegalpandan tahu belaka sebab-sebab kepindahan Abu. Maka ketika ada waktu dikatakannya, “Jangan menyalagunakan kesenian.” “Ya, Pak. Tetapi,” lalu ia pun berhenti. Sebenarnya Abu ingin menerangkan panjang lebar, tapi dipikirnya itu namanya mencari-cari musuh. (Kuntowijoyo, 2000: 105) Di samping itu, permasalahan lainnya muncul ketika Abu memelihara
ular karena keterikatannya dengan mantra pejinak ular yang telah dimilikinya.
cvii
Pasalnya tindakan Abu itu mendapat tantangan dari warga karena dianggap
membahayakan keselamatan warga setempat. Dalam hal ini Abu pun
melibatkan Lastri, seorang wanita yang berarti bagi hidupnya, ke dalam
konflik yang dialaminya.
Abu sangat peduli dengan pendapat Lastri. “Bagaimana, Yu Las?” Lastri mengangkat bahu, “terserah,” katanya. Abu mengerti dari nada bicaranya (‘terserah’-nya kok seperti
tidak rela) Lastri tidak senang dengan kenyataan bahwa ular praktis dalam rumahnya juga. Itu menggelisahkannya. Akan tetapi, Abu nekad. (Kuntowijoyo, 2000: 122)
Dia dilaporkan bahwa telah membuat takut dan resah dengan
memelihara ular. Bahkan orang banyak berkesimpulan bahwa kedatangan
Abulah penyebab dari banyaknya ular. (Kuntowijoyo, 2000: 131)
Tokoh Wasripin dan Pak Modin dalam novel WS mendapat teror
berkali-kali karena tidak mau menuruti keinginan Militer dan partai penguasa
yaitu, Partai Randu. Ketika Pak Modin terpilih menjadi kepala desa, dia tidak
dilantik karena diduga ekstrem kanan alias golput. Pak Modin kemudian
dituduh subversif dan dibawa ke Semarang. Hal itu terlihat dalam kutipan
berikut:
Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra Partai Randu setempat.(Kuntowijoyo, 2003: 137)
Danramil lapor Dandim. Dandim lapor Danrem. Danrem lapor pada Laksudda (Pelaksana Khusus Daerah, mengurusi soal subversi). Maka Pak Modin pun dipanggil ke Semarang. (Kuntowijoyo, 2003: 89)
Nasib Wasripin tidak jauh berbeda, diapun ditangkap karena
dituduh mengajarkan agama sesat. Penyebabnya adalah para nelayan
cviii
memasang foto Wasripin pada kapal mereka. Ketika kepala polisi
membebaskannya, militer memfitnah Wasripin dengan tuduhan mau
memperkosa. Tuduhan ini juga tidak terbukti dan gagal memenjarakan
Wasripin karena Wasripin menantang pihak pelapor untuk melakukan sumpah
pocong. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:
Di pengadilan jaksa menuduhnya dengan perkosaan yang berhasil digagalkan korban. Wasripin menolak tuduhan itu, dan meminta diadakan sumpah pocong. (Kuntowijoyo, 2003: 166)
d. Complication
Perkembangan masalah yang terjadi dalam cerita menjadi lebih
kompleks pada tahap ini. Dalam novel Pasar konflik yang terjadi semakin
ruwet. Interaksi antara tokoh Pak Mantri dengan tokoh-tokoh lain menjadi
friksi atau benturan sehingga membuat jalinan masalah semakin rumit.
Tindakan Kasan Ngali mendirikan pasar merupakan bentuk pertentangan
secara terang-terangan bagi Pak Mantri.
Paijo melihat pasar itu. Benar-benar Kasan Ngali ingin menyaingi pasar yang sah.
“Lebih bersih. Lebih strategis. Tidak bayar karcis. Kita berlomba dalam memberi servis masyarakat. Itulah ilmu dagang. Pegawai tak punya ilmu itu. Kau anggap pedagang-pedagang di pasar mesti melayanimu, dan bukan sebaliknya. Kalau ingin jadi feudal jangan kerja macam begini. Masyarakat tak butuh lagi semangat itu!” (Kuntowijoyo, 2002: 110-111)
Konflik dengan Pak Mantri tidak hanya dengan Kasan Ngali. Di awal
Pak Mantri sudah melibatkan Pak Camat dan Pak Kepala Polisi, apalagi
terhadap para pedagang yang menuntut banyak hal. Perkara itulah yang
membuat kepercayaan dan harga diri Pak Mantri dipertaruhkan. Lebih-lebih
terhadap Paijo, orang paling dekat yang selama ini telah membantunya.
cix
Pak Mantri sudah mengancm camat pula! Dengan polisi belum beres. Dengan pedagang-pedagang belum selesai. Dengan Kasan Ngali apalagi! Pak Mantri terlalu banyak punya musuh. Dan Paijo harus berdiri pada Pak Mantri! Itulah susahnya. (Kuntowijoyo, 2002: 143) Kesusahan yang dialami Pak Mantri semakin bertambah. Pak Mantri
digugat oleh dua perempuan yang dikenalnya baik. Karena kesalahpahaman
Pak Mantri dilabrak Marsiyah, perempuan yang dikenalnya pada masa muda.
Pertemuan kembali dengan Marsiyah tidak pernah oleh Pak Mantri. Pak
Mantri dilabrak oleh Marsiyah karena laporan anaknya yang telah dimarahi
dianggap memusuhinya. Peristiwa itu membuka kenangan lama yang dialami
Pak Mantri terhadap Marsiyah.
Seperti tersayat hati Pak Mantri. Ia tak tahan dengan adegan itu. Pelan ia melangkah. Tidak berani menoleh lagi. Sangat kecewa menyimpan muntahan pikiran yang tak jadi keluar. Oh, Marsiyah. Sampai hati kau! (Kuntowijoyo, 2002: 154)
Di samping itu Zaitun, pegawai bank itu, menggugat Pak Mantri. Pak
Mantri dianggap bertanggungjawab atas kepemilikan burung dara yang telah
menyebabkan kemunduran Bank Pasar tempat ia bekerja. Berikut ini kutipan
yang menggambarkan peristiwa tersebut:
Mata Pak Mantri Pasar terbelalak. Orang bersalah mestinya minta maaf, itu yang betul. Siti Zaitun yang menurut Pak Mantri bersalah, malahan membentaknya. Darah melonjak ke kepala. Suara perempuan itu keras, menusuk-nusuk. Berani-beraninya! Apa urusan Pak Mantri, sungguh kurang ajar mengatakan itu. Di tengah pasar, merendahkan kekuasan Mantri Pasar! Urusan lain boleh saja ia singkirkan, tetapi soal-soal pasar dan burung-burung adalah haknya. Hidupnya tidak terpisahkan dengan kedua hal itu. Jatuh pasar, jatuh Pak Mantri. Jatuh burung dara, jatuh Pak Mantri. Untung dia cukup menghargai diri sendiri dengan memelihara adab pergaulan yang beradab. (Kuntowijoyo, 2002: 162)
cx
Dalam novel MPU pemasalahan yang dihadapi Abu semakin rumit
ketika Abu mendalang lagi untuk mendukung salah satu calon, kali ini dalam
pemilihan kepala desa. Hal ini menandakan pertentangannya terhadap Mesin
Politik semakin kuat, meskipun ia tahu risiko yang akan dihadapinya. Sikap
ini pun telah melibatkan lagi Lastri. Kutipan berikut menggambarkan
peristiwa tersebut:
Lastri menyerahkan hal itu pada Abu. Abu cenderung menerima tawaran cakades itu, meski sebenarnya berat hatinya. Itu akan berarti bahwa ia sudah nekad. Risiko paling kecil ialah dimarahi, diskors, dipindah lagi, atau paling-paling dipecat, ya biar saja. Kepalang basah. Namun petang harinya ada tamu yang sudah dikenalnya, seorang fungsionaris Mesin Politik Tegalpandan. (Kuntowijoyo, 2000: 135)
Kekalahan Abu pada pertarungan pemilihan kepala desa tidak
membuatnya jera. Malah pada pemilu nasional ia mengambil sikap lain untuk
menyatakan ketidaksepakatannya dengan Mesin Politik. Pernyataan Abu
tentang sikap independensi dalang sebagai seni dalam pemilu nasional
dipublikasikan media massa. Bahkan akhirnya ia membentuk Paguyuban
Dalang Independen dan dibertakan media dengan wacana “Para Dalang
Menolak Politisasi Kesenian”. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
Koran yang memuat interviu dengan Abu Kasan Sapari kebanjiran surat. Pada umumnya mreka mengatakan bahwa intervieu itu menunjukkan visi dan misi pedalangan yang jelas sebagai sebuah profesi yang mandiri. Mereka juga menyatakan akan bergabung seandainya didirikan sebuah paguyuban. (Kuntowijoyo, 2000: 138-139)
Anehnya, pemberitaan di Koran pagi harinya menyatakan bahwa di Karangmojo sudah terbentuk Paguyuban Pedalangan Independen. Berita itu diberi judul, “Para Dalang Menolak Politisasi Kesenian”. (Kuntowijoyo, 2000: 143)
cxi
Permasalahan tersebut tampak jelas semakin bertambah ketika Mesin
Politik membuat respon negative terhadap sikap Abu. Mesin Politik berusaha
menekan Abu agar tidak melakukan aktivitas yang merugikan Mesin Politik.
“Maksudnya, mm, Pak Abu jangan mengerjakan apa-apa dan jangan bicara apa-apa menjelang pemilu ini. Dan untuk itu kami akan memberikan kompensasi.” (Kuntowijoyo, 2000: 139)
Permasalahan-permasalahan yang dialami Abu belum mencapai
klimaksnya. Peristiwa-peristiwa dari seluruh cerita yang terjadi ditahan untuk
memperlihatkan proses menuju puncak klimaks cerita tersebut. Abu
mengalami peristiwa yang semakin besar lagi terhadap permasalahan yang
dihadapinya. Klimaksnya ketika Abu menolak tawaran Mesin Politik yang
hendak mencalonkannya menjadi calon anggota legislative. Sikap
pertentangannya tersebut menyebabkan Abu sempat ditahan pula dengan
tuduhan tindakan subversi anti-Pancasila. Kutipan berikut menggambarkan
peristiwa tersebut:
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. (Kuntowijoyo, 2000: 145)
Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. Mereka menemui Camat, menuju ke kamar kerja Abu Kasan Sapari, menunjukkan sebuah surat. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,” kata Abu seperti sudah mengharapkan. (Kuntowijoyo, 2000: 148)
Dalam novel WS, Wasripin diceritakan ditahan oleh kelompok geng
yang kemudian disergap oleh geng lain. Meskipun dihajar, namun Wasripin
masih bertahan.
“Begitulah hukumannya jika kamu bohong. Nama?” “Wasripin” “Pekerjaan?”
cxii
“Satpam.” “Bohong!” sebuah tinju bersarang di kepalanya. (Kuntowijoyo,
2003:184)
e. Klimaks
Pada tahap ini rangkaian-rangkaian peristiwa yang terjadi mencapai
klimaks. Puncak dari seluruh cerita atau peristiwa sebelumnya ditahan untu
dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut. Pada novel Pasar
permasalahan yang dihadapi Pak Mantri tidak kunjung menemui titik
solusinya, bahkan semakin bertambah besar. Klimaks cerita tejadi ketiak Pak
Mantri sedang berusaha keras menyelesaikan masalahnya, tetapi pada saat itu
Paijo malah mencabut laporan yang pernah disampaikannya kepada Pak
Camat berkenaan dengan pasar baru yang didirikan oleh Kasan Ngali.
“Anu, Pak. Dulu itu ada yang salah. Ini, tentang pasar baru punya Kasan Ngali itu. Yang benar ialah, bahwa di pasar baru itu tidak ditarik karcis. Jadi salah dulu itu. Sudah, Pak. Permisi.” (Kuntowijoyo, 2002: 210)
Pak Mantri marah atas perbuatan yang dilakukan Paijo. Apalagi,
setelah itu ia mendapat kabar bahwa Kasan Ngali telah mendirikan bank
kredit.
Tidak terkiarakan bencinya pada orang itu. Kasan Ngali telah mendirikan pasar. Sekarang mendirikan bank. Ia tahu mendirikan bank itu bukan gampang beigut saja asal mempunyuai papan nama. Mesti ada urusan dengan hukum! Rasanya kalau ia buka orang yang arif, tentu sudah memutuskan bahwa Kasan Ngalilah sejahat-jahatnya orang di muka bumi. Atau sebenarnya ia telah menuruti hawa nafsu dengan membenci orang lain itu? Camat, polisi, semua sudah dihubunginya. Ah, orang itu semoga pendek umurnya! Semoga disambar petir! Pak Mantri mengurut-urut dada. Tidak pantas ia berdoa yang seburuk itu, sebenarnya. (Kuntowijoyo, 2002: 226)
cxiii
Akumulasi permasalahan yang dialami Pak Mantri memuncak ketika
dalam kegagalannya menarik retribusi pasar dari para pedagang sehingga tidak
bisa menyetorkan uang ke negara, ia malah dituduh melakukan tindak pidana
korupsi uang pasar. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
“Celaka, Pak!” Katanya mendahului. “Apa yang celaka, Paijo?” “Kita dituduh!” “Dituduh apa?” “Mengorupsi uang pasar!” “Siapa bilang itu?” “Ada pegawai ke camatan kesini!” (Kuntowijoyo, 2002: 250) Dalam novel MPU permasalahan-permasalahan yang dialami Abu
mencapai klimaksnya ketika Abu menolak tawaran Mesin Politik yang hendak
mencalokannya menjadi calon anggota legislative. Sikap pertentangannya
tersebut menyebabkan Abu sempat ditahan pula dengan tuduhan tindakan
subversi anti-Pancasila. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut:
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain tersebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka. (Kuntowijoyo, 2000: 145)
Tiga orang polisi berseragam turun, masuk kantor. Mereka
menemui Camat, menuju ke kamar kerja Abu Kasan Sapari, menunjukkan sebuah surat. “Kami dari Polres, Anda kami tahan,” kata seorang. “Boleh-boleh, silakan,” kata Abu seperti sudah mengharapkan. (Kuntowijoyo, 2000: 148) Wasripin dalam novel WS difitnah menyembunyikan senapan dan
granat tangan. Dia kemudian ditahan. Peristiwa tersebut diceritakan sebagai
berikut:
Seorang tentara memadamkan listrik yang terang benderang. Lapangan jadi gelap. Dalam gelap itu Wasripin diantar oleh enam orang bersenjata ke rumahnya di samping surau. Tangan Wasripin diborgol. …. Seorang tentara menggeledah ruangan itu, tidak
cxiv
menemukan apa-apa, lalu menengok kolong tempat tidur Wasripin. Ia menunjuk ke seonggok senapan dan granat tangan. (Kuntowijoyo, 2003: 228)
Pak Modin ditahan pula dengan tuduhan tindakan subversi anti-
Pancasila. Kutipan berikut menggambarkan peristiwa tersebut:
Keesokan paginya sehabis dari surau, sebuah jip hijau dating ke rumah. Tentara menghormat. Katanya, “Aku diperintahkan komandan untuk menjemput Pak Modin. Mari ikut kami.” Bu Modin yang punya firasat buruk berteriak-teriak, “Jangan! Jangan!” teriakan itu membuat orang keluar rumah. Tapi, mereka hanya sempat melihat jip itu semakin jauh. Bu Modin ingat Wasripin; dibawa tentara selalu berarti mati. (Kuntowijoyo, 2003: 246)
f. Falling Action
Setelah mencapai klimaks dengan pengungkapan masalah-masalah
yang menimpa tokoh, kemudian pada tahap tertentu konflik cerita mulai
menurun. Dalam novel Pasar, Pak Mantri mulai menemukan solusi terhadap
masalah-masalah yang dihadapinya. Pak Mantri mencoba untuk bersikap
tenang. Ketenangan batinnya membawa ia berpikir jernih untuk memulihkan
situasi pasar serta mengembalikan kepercayaan warga pasar. Pak Mantri
mengajurkan kepada para pedagang agar mereka kembali berjualan ke pasar.
Bahkan dengan pertimbangannya para pedagang tidak dipungut retribusi.
Gambaran tersebut tercantum dalam kutipan berikut:
“Kita anjurkan mereka ke pasar. Anak-anak nakal akan pulang juga ke orang tuanya. Kerbau mesti pulang ke kandang. Pedagang mesti pulang ke pasar. Dan satu lagi.”
Pak Mantri diam. Agak susah ia mengatakan ini. Ada pertimbangan-pertimbangan. Lama menanti, Paijo menyela.
“Dan apa, Pak?” “Hm. Dan katakana mereka tidak akan dipungut pajak.”
(Kuntowijoyo, 2002: 252)
cxv
Malam hari Pak Mantri selalu tidur dengan tenang. Kemenangan batinnya membuat ia tenteram. Itulah saat-saat paling besar paling besar dalam hidupnya. Tidak lagi diingatnya Kasan Ngali, Siti Zaitun, orang-orang pasar. Ia melihat diri sendiri. Penemuannya sungguh mengagumkan, sangat jarang ditemukan orang macam itu dalam sejarah. Ternyata, ia mampu mengorbankan dirinya sendiri. Dan hal itu akan ditambahnya lagi. Sesuatu yang tak terjangkau oleh gagasan orang lain. Sambil tiduran ia memikirkan, kalau perlu burung-burung daranya bisa saja ditangkap. Supaya orang-orang pasar itu selamat. Tentang caranya bisa dierahkan pada Paijo. Keputusannya yang luar biasa itu memberi harapan, bakan baginya sendiri. Dan ia yang setua itu mempunyai kerelaan yang demikian besar. Semoga diterima amalnya! (Kuntowijoyo, 2002: 253)
Di sinilah kemudian nampak jiwa kepemimpinan yang dimiliki Pak
Mantri. Pak Mantri menyadari bahwa solusi dari semua permasalahan terdapat
di dalam dirinya. Solusi tersebut akan dapat dimunculkan dan diwujudkan
dengan keberanian mengambil sikap diri tanpa harus bergantung pada orang
lain. Jiwa ksatira seorang pemimpin dinyatakan dengan kemampuan
mengorbankan dirinya untuk sesuatu yang lebih besar, bahkan tanpa harus
diketahui banyak orang, maka respon kebaikanlah yang akan diterimanya.
Keberhasilan dari hasil perjuangan Pak Mantri tersebut dapat kita lihat
pada kutipan berikut”
Aksi penertiban itu dijalankan dengan berhasil, tanpa pertengkaran polisi dan teriak-teriak keras. “Kalau mau negara teratur, pasar harus diatur. Pasar memegang peranan penting dalam Negara. Tanpa pasar ekonomi tidak jalan. Ayo los-los masih luang. Kesempatan bagi yang pandai. Tanpa tempat yang tetap, pedagang akan rugi. Tidak dikenal pembeli. Tidak dikenal pembeli, tidak dikenal rezeki. Iya, to Kang? Betul, to Yu?” Dia berjalan-jalan sambil mengomel. “Sebentar lagi musim hujan. Kalau hujan, mana enak, di jalanan atau di los pasar. Tidak hujan, tidak panas, tidak angina.” Maka bergeser sedikit-sedikit orang-orang masuk los. Sangat cemerlang pekerjaan itu dilakukan. Hanya tukang karcis Pak Mantri sanggup mengerjakan itu. Paijo sudah meningkat satu taraf lebih pandai. (Kuntowijoyo, 2002: 340)
cxvi
Dengan kembalinya para pedagang berjualan di los-los pasar
merupakan tanda kepercayaan mereka kepada negara. Kepercayaan warga
pasar dengan sistem perbaikan yang digalakkan, yang berarti kepercayaan
kepada Paijo juga Pak Mantri Pasar. Lebih-lebih kepercayaan itu juga
terwujud dengan kemauan para pedagang untuk membayar kembali retribusi
pasar yang lama tidak dipungut.
Dengan diam, Paijo memuntahkan uang dari saku bajunya di meja. Pak Mantri heran. Apa pula ini? Ah, sudah mulai lagi karcis itu! Ya, hanya senyumlah yang keluar pada bibirnya. (Kuntowijoyo, 2002: 342)
Pada tahap ini terjadi kilas balik peristiwa dalam cerita MPU. Kilas
balik peristiwa masa lalu tersebut terlihat ketika Kakek Abu bercerita kepada
Abu tentang kisah hidup leluhurnya (hal. 175-189). Fakta tersebut sedikit
dapat diketahui dari kutipan berikut:
(Abu Kasan Sapari pulang ke desa tempat ia dibesarkan. Kakek bercerita).
Eyang pendiri desa kita waktu masih muda menjadi prajurit keratin. Dia berhasil menyelamatkan raja Pakubuwana II dari Surakarta dari perampok waktu raja menyamar untuk melihat-lihat kerajaannya. Maka ia mendapat hadiah sebuah hutan gung liwang-liwung, hutan lebat. (Kuntowijoyo, 2000: 175) Setelah mencapai klimaks dengan pengungkapan masalah-masalah
yang menimpa tokoh, kemudian pada tahap tertentu konflik cerita mulai
menurun. Abu tidak lagi mendalang untuk mendukung calon yang berhadapan
dengan Mesin Politik. Oleh karena itu sebutan dalang politik anti-Randu yang
semula melekat pada dirinya sudah hilang.
Buktinya, para bakul di pasar tidak lagi menambahkan kata ‘dalang politik’ ketika Abu mendalang untuk juragan bis di Tegalpandan. Kenyataan itu dikabarkan Lastri pada Abu Kasan Sapari,
cxvii
“Soal ‘dalang politik’ sudah beres. Sampeyan bebas sekarang. (Kuntowijoyo, 2000: 206) Perihal lain yang menjadi menurunnya cerita ialah semakin
harmonisnya hubungan antara Abu dengan Lastri. Dalam hal ini, Abu
memastikan apakah Lastri mau kalau ia nantinya menjadi istrinya. Peristiwa
tersebut diwujudkan melalui dialog wayang ‘Cangik Bertanya pada Limbuk”
sebagai berikut:
Cangik : Aku sudah bilang Mas Petruk. Katanya, tidak ting-ting tidak apa. Malah sudah pengalaman, bisa ngajari Mas Petruk.
Limbuk : Jadi biyung sudah menerima lamaran Mas Petruk? Cangik : Sekarang ini bukan zamannya anak menurut orang tua, tapi
orang tua menurut anak. Limbuk : Aku konservatif kok yung. Cangik : Artinya? Limbuk : Artinya, monat-manut saja. Mas Petruk yam au, Mas
Gatokaca ya mangga. (Kuntowijoyo, 2000: 226)
Dalam novel WS, menurunnya cerita ditandai dengan kematian Wasripin
dan sikap pasrah masyarakat pada takdir Tuhan. Pak modin sebagai sesepuh di
perkampungan nelayan memberi nasihat untuk menenangkan masyarakat. Hal itu
terlihat dalam kutipan berikut:
“Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-Nya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai washilah. Itu syirik.” (Kuntowijoyo, 2003: 246)
g. Denovement
Setelah cerita melalui proses pemecahan masalah dari semua peristiwa,
maka mengarah pada penyelesaian. Dalam novel Pasar, Pak Mantri telah
kembali pada keluhuran sikap dan ketenangan batin. Keseluruhan sikapnya
membawa ia berpikir jernih untuk memulihkan situasi pasar dan memulihkan
cxviii
kepercayaan warga pasar. Lebih dari itu, ketenangan batinnya membawa pada
pandangan bahwa semua peristiwa dan permasalahan yang dialaminya
merupakan jaring-jaring menuju pemahaman kesempurnaan makna
kehidupan.
Masalah-masalah yang ada telah terselesaikan dengan solusi yang
tepat. Pak Mantri memulihkan kembali kepercayaan warga pasar terhadap
dirinya. Para pedagang berpindah menempati los-los. Uang karcis mulai
ditarik kembali. Tidak ada lagi persaingan dengan Kasan Ngali. Bahkan ia
bisa membebaskan perasaannya terhadap Siti Zaitun. Kutipan berikut
menjelaskan deskripsi tersebut:
Siti Zaitun masih berdiri di tangga. Ia menatap semua orang. Ada Pak Mantri, Paijo, ibu-ibu, camat, kepala polisi. Dan Kasan Ngali! Ah! Terlalu banyak yang dikenangnya atau yang harus dilupakan. Ia telah memaafkan semua. Pak Mantri terpaku. Ia berbisik: Saya cinta kepadamu, Nak.” (Kuntowijoyo, 2002: 362)
Pak Mantri selalu tahu tindakan apa yang harus dilakukannya. Dengan
keyakinan yang mantap ia mewariskan nilai-nilai luhur kepemimpinan kepada
generasi penerusnya, yaitu Paijo. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
“Dan kalau aku mati. Itulah warisanku, Nak. Pewarisnya, siapa saja yang menyebut diri orang Jawa. Aku akan menghubungi ini.” Lalu Pak Mantri mengeluarkan majalah bahasa Jawa. “Akan kurikulum ke sini. Tetapi ketahuilah, engkaulah yang sebenarnya pewaris. Maukah, Nak?” Paijo mengangguk. Kertas-kertas disusunnya. “Kalau macam mati meninggalkan belangnya. Kalau Pak Mantri mati meninggalkan tembang.” Lalu ia pun tertawa, terkekeh. Paijo tertawa. Tertawa yang sopan dan ringan. Paijo berkeringat. Tembang-tembang itu dibacanya. Bisa saja, tetapi lebih baik waktu lain. (Kuntowijoyo, 2002: 346)
“Hari-hari terakhir untukku, Nak. Hari-hari pertama untukmu. Sebentar lagi saya akan meniggalkannya. Tetapi saya percaya padamu.
cxix
“Kemudian suara itu tidak jelas, serak, berakhir dengan isak. Mereka masuk lingkungan kantor. (Kuntowijoyo, 2002: 363)
Pada tahap ini, dalam novel MPU, semua peristiwa telah mengarah
pada proses pemecahan masalah sebagai penyelesaian. Tokoh Abu telah
mencapai kesadaran terhadap realitas kehidupan yang dialaminya dengan
berinteraksi di masyarakat. Ia meyakini bahwa kemampuan manusia
diwujudkan karena berusaha keras bukan karena mantra. Oleh karena itu, Abu
rela melepas mantra yang pernah melekat dalam dirinya sehingga ia terikat
pada pemahaman dan perilaku yang irasional sampai merugikan diri sendiri
dan orang lain. Deskripsi tersebut dapat diketahui dalam kutipan berikut:
Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia bermaksud memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung. (Kuntowijoyo, 2000: 242)
Pada tahap ini, dalam novel WS, semua peristiwa telah mengarah pada
proses pemecahan masalah sebagai penyelesaian. Tokoh Wasripin telah
meninggal dan Pak Modin menjadi gila karena siksaan yang biadab. Berikut
kutipan yang menjelaskan hal tersebut:
“Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.” “Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.” “Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani.
Disaksikan dua kopral bersenjata lengkap.” (Kuntowijoyo, 2003: 255)
Selain itu, masalah berakhir ditandai dengan pulangnya emak angkat
Wasripin. Setelah menyatakan bertaubat di depan kyai, Emak mencari
Wasripin dan Paman Satinah. Namun kedua orang itu telah meninggal.
cxx
Akhirnya Emak mencium tanah dua kali sebagai permohonan maaf untuk
Wasripin dan Paman Satinah. Berikut ini kutipannnya:
Perempuan itu mencium tanah dua kali. “Maafkan, emakmu. Maafkan, Mas.” (Kuntowijoyo, 2003: 254)
3. Tokoh dan Penokohan
Sebuah cerita novel berjalan seiring dengan peran tokoh dan penokohan
yang terdapat dalam cerita tersebut. Analisis struktur tokoh dan penokohan dalam
novel Pasar, MPU, dan WS dilakukan dengan melihat penggambaran watak tokoh
dari beberapa sisi, yaitu melalui metode deskripstif maupun dramatik.
a. Deskripsi Tokoh-Tokoh dalam Novel Pasar, MPU, dan Wasripin dan Satinah
Novel Pasar karya Kuntowijoyo menampilkan tokoh utama Pak
Mantri, Paijo, Kasan Ngali, dan Siti Zaitun. Nama tokoh kemudian
berkembang dengan nama-nama Pak Camat, Pak Kepala Polisi, Marsinah,
pedagang pasar, anak-anak kecil, anak buah Kasan Ngali, Darmokendang,
Jenal, pegawai kecamatan, dan pegawai kepolisian.
Novel MPU memiliki tokoh dan penokohan yang menarik karena tidak
semua tokoh diwujudkan dengan sosok tunggal manusia. Cerita MPU
menampilkan tokoh utama Abu Kasan Sapari, Sulastri, dan Mesin Politik.
Perkembangan cerita kemudian melibatkan tokoh tambahan seperti orang tua
Abu, kakek nenek abu, wartawan, Haji Syamsudin, Ki Lebdocarito, Ki Manut
Sumarsono, polisi, rakyat atau masyarakat desa, Kismo Kengser dan laki-laki
tua. Tokoh-tokoh tambahan tersebut hanya muncul sekali atau beberapa kali
dalam jalannya cerita.
cxxi
Sedangakan novel WS memiliki menampilkan tokoh utama Wasripin,
Satinah, Emak, dan Paman Satinah. Nama tokoh kemudian berkembang
dengan nama-nama Pak Modin, Bu Modin, Danramil, Kapolsek, Perwira Pati,
Camat, Sekdes, Nelayan, dan warga perkampungan nelayan.
Novel Pasar menempatkan tokoh Pak Mantri sebagai pusat bagi
pengarang untuk mengungkapkan ceritanya. Pak Mantri merupakan tokoh
sentral yang mengalami banyak peristiwa dalam keterlibatannya di dalam
cerita Pasar. Fakta tokoh Pak Mantri sebagai tokoh sentral dapat dilihat dari
banyaknya hubungan yang dimiliki dengan tokoh-tokoh lain di dalam cerita.
Tokoh Pak Mantri berhubungan dengan tokoh pedagang pasar.
Sebagai pengelola pasar tentu Pak Mantri sangat dekat dengan para pedagang
yang setiap harinya mencari penghidupan di pasar. Oleh karena itu tokoh Pak
Mantri tidak hanya memiliki hubungan strata dengan tokoh pedagang pasar.
Tokoh Pak Mantri juga membangun hubungan persahabatan dengan mereka.
Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Biasanya, pada hari pasar macam begini Pak Mantri akan berkeliling, sekadar berbicara dengan orang-orang, terutama dengan penjual obat yang dari jauh. Sekadar bersahabat. Hari pasar sekali ini benar-benar kehilangan selera untuk berkelakar. Ia terpaksa duduk-duduk di kantor. Tak ada minat. (Kuntowijoyo, 2002: 101)
Tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh Siti Zaitun. Secara
fisik tokoh Pak Mantri bertetangga dekat dengan tokoh Siti Zaitun karena Siti
Zaitun bekerja sebagai pegawai bank yang letaknya bersebelahan dengan
kantor pasar. Oleh karena itu mereka memiliki kedekatan emosional satu sama
lain.
cxxii
Tobat! Alangkah malu. Siti Zaitun yang berkantor di sebelah itu sudah datang. Sepanjang hidupnya, mantra pasarlah yang membuka kantor paling pagi di kecamatan pelosok itu. Kebetulan mereka bertatapan. Perempuan itu tidak tersenyum, hanya mengangguk dingin. “Selamat pagi, Pak.” Itu di luar kebiasaan. (Kuntowijoyo, 2002: 7) Tokoh Pak Mantri berhubungan erat dengan Tokoh Paijo sebagai
rekan kerja, meskipun kedudukan mereka berbeda. Tokoh Pak Mantri
berkedudukan lebih tinggi daripada tokoh Paijo. Tokoh Paijo merupakan
pegawai yang membantu kerja tokoh Pak Mantri dalam mengelola pasar, yaitu
menarik retribusi pasar. Hubungan mereka dekat.
Paijo telah membuka pintu dan jendela. Pak Mantri masuk, menghela napas, duduk di kursi sambil melemparkan tas dan topi di meja. Nampaknya Paijo tergesa pergi. Pak Mantri ingat ketela itu, tegurnya: “Kau membakar sampah lagi, ya? Disapu dulu kantor ini. Sudah kerja seumur hidup, belum tahu tugasnya.” (Kuntowijoyo, 2002: 9)
Tokoh Pak Mantri memiliki hubungan yang kurang baik dengan tokoh
Kasan Ngali. Tokoh Kasan Ngali sebagai pedagang kaya merupakan rival bagi
tokoh Mantri Pasar baik dalam pengaruh di pasar maupun persaingannya
dalam menarik hati tokoh Siti Zaitun. Dalam novel Pasar, tokoh Pak Mantri
tidak pernah berbicara langsung kepada tokoh Kasan Ngali. Kutipan berikut
menjelaskan hubungan tersebut.
Kasan Ngali? Huh. Hanya dia belum juga punya alasan yang tepat untuk mengumumkan permusuhannya dengan laki-laki kurang sopan itu. Mungkin ia bisa menuntut atas dasar kucing itu? Nah ini bisa dipikir. Akal tuanya tak membenarkan hal seremeh itu dibesar-besarkan. Lagi pula Kasan Ngali bukan kucing dan kucing bukan Kasan Ngali. Ia bisa memaafkan kucing, tetapi memaafkan Kasan Ngali tidak mungkin. (Kuntowijoyo, 2002: 57)
Tokoh Pak Mantri sebagai tokoh berpengaruh juga berhubungan
dengan tokoh Pak Camat. Kedekatan hubungan antara Pak Mantri dengan Pak
cxxiii
Camat merupakan penghormatan antartokoh berpengaruh di kota kecamatan.
Adanya kepentingan masing-masing sangat memengaruhi hubungan mereka.
Hal tersebut nampak pada kutipan berikut:
Pak Camat datang juga. Pak Mantri mendahului memberi selamat: “Selamat siang, Pak.” Keduanya termasuk orang-orang penting dalam kota kecil itu. Kalau ada orang kawin merekalah duduk paling muka, mendapatkan penghormatan yang pertama. Juru tulis menyodorkan buku tamu. Pak Camat memeriksanya. (Kuntowijoyo, 2002: 61) Di samping itu tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh
Kepala Polisi sebagai penanggung jawab keamanan di kota kecamatan
tersebut. Hubungan antara tokoh Pak Mantri dan tokoh Kepala Polisi pun
terkait masalah kebutuhan dan tanggung jawab satu sama lain sebagaimana
dalam kutipan berikut:
Sekarang baru itulah yang disebut polisi. Pak Mantri menghapus keringatnya. Sapu tangan itu wangi. Kepala Polisi mengantarnya sampai luar. Tidak ada orang lain di kecamatan itu yang diantar sampai pelataran oleh Kepala Polisi. (Kuntowijoyo, 2002: 86) Tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh anak-anak. Pak
Mantri memandang anak-anak adalah kehidupan masa lalu yang pernah
dialaminya pula. Oleh karena itu, Pak Mantri sangat sayang kepada anak-anak.
Hubungan Pak Mantri dan anak-anak tersebut dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
Pak Mantri mengelus-ngelus anak itu. Dan tangan yang dipegang anak itu dilihatnya. Ah, ada yang salah di sini. Anak itu ketakutan. Anak ini perlu ditolong. Ia harus mengangkatnya kuat-kuat, kalau mau menolongnya mengantar pulang. Ia tak bisa, ia terlalu lemah. Terpaksa ia melambai pada anak-anak yang diketahuinya menunggu di luar pagar. Ah, ia ingin menangis untuk anak itu. Ia sendiri senakal itu pula waktu kecil. Barangkali anak itu sangat patut
cxxiv
menjadi cucunya. Anak-anak yang di luar pagar itu ragu-ragu datang. Ia memanggil-manggil. Mereka datang juga. (Kuntowijoyo, 2002: 147)
Di samping itu, tokoh Pak Mantri juga berhubungan dengan tokoh
Marsiyah. Bagi Pak Mantri, Marsiyah merupakan seorang wanita yang pernah
dicintainya, tapi ia menerima takdir yang berbeda yang menurutnya itu lebih
baik. Hubungan Pak Mantri dan Marsiyah tersebut nampak pada kutipan
berikut:
Lho! O, tentu salah urus, ini. Bagaimana memulai omong yang baik pada Marsiyah. Untunglah dia tak kawin dengan perempuan ini. Syukurlah. Akhirnya ia membenarkan nasib juga bagaimana keterangannya sampai perempuan itu melabraknya. Ini yang ingin diketahuinya. (Kuntowijoyo, 2002: 150 – 151) Tokoh Abu Kasan Sapari merupakan tokoh sentra yang digunakan
pengarang untuk mengungkapkan ceritanya dalam novel MPU. Tokoh Abu
paling banyak mengalami peristiwa atau paling banyak diceritakan pengarang.
Fakta tersebut menjadikan tokoh Abu sebagai tokoh sentra yang memiliki
masalah kompleks juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lain.
Waktu kecil tokoh Abu sudah dipelihara oleh kakeh neneknya karena
ikatan janji keluarga (hal. 6). Padahal tokoh Abu baru satu tahun diasuh kedua
orangtunya. Menginjak masa pendidikannya juga untuk mengembangkan karir
dalangnya tokoh Abu tinggal bersama tokoh Ki Lebdocarito (hal.13) bahkan
kemudian tokoh Abu diangkat sebagai anak. Kutipan berikut menunjukkan
adanya hubungan tokoh Abu dengan tokoh Ki Lebdocarito:
Dalam musyawarah keluarga ketika anak-anak berkumpul, Ki Lebdo mengutarakan maksud untuk mewariskan gamelan dan wayang kepada Abu, semuanya setuju. Kemudian ditulislah wasiat. (Kuntowijoyo, 2000: 15)
cxxv
Sebagai dalang tokoh Abu juga berinteraksi dengan tokoh Ki Manut
Sumarsono. Selain sebagai dalang senior, tokoh Ki Manut Sumarsono juga
merupakan guru yang harus dihormati baginya. Berikut kutipan yang
menunjukkan hubungan tokoh Abu dengan tokoh Ki Manut Sumarsono:
Ia dipercaya untuk mendalang pada peringatan hari lahir Ki Manut Sumarsono. Selain itu, Ki Manut Sumarsono punya cara sendiri untuk mempromosikannya. Mula-mula Ki Manut akan memulai, kemudian dia melanjutkan. Sesudah itu kadang-kadang orang yang datang pada Ki Manut akan di-verwijs padanya. (Kuntowijoyo, 2000: 106) Posisi tokoh Abu yang memiliki pandangan berbeda menyebabkan
tokoh Abu terlibat masalah dengan tokoh Mesin Politik dan warga. Berikut ini
kutipan yang memperlihatkan interaksi pertentangan tokoh Abu dengan tokoh
Mesin Politik juga warga:
Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala desa (cakades) yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat Tegalpandan sejak duluan lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik. (Kuntowijoyo, 2000: 133)
Masalah Abu dan ular itu telah membagi warga menjadi dua:
yang mendukung Abu dan yang menentang. (Kuntowijoyo, 2000: 131)
Di samping itu, tokoh Abu juga memiliki hubungan cinta kasih dengan
tokoh Sulastri. Berikut ini kutipan yang memperlihatkan fakta tersebut:
Di luaran, di kecamatan, di pasar, dan di terminal telah berkembang rerasan bahwa Abu akan mengawini Lastri. Orang-orang akan berhenti bekerja dan diam-dia memerhatikan Abu dan Lastri, kalau mereka sedang lewat. “Wajahnya sudah mirip,” kata orang. (Kuntowijoyo, 2000: 116) Tokoh Wasripin merupakan tokoh sentra yang digunakan pengarang
untuk mengungkapkan ceritanya dalam novel WS. Tokoh Wasripin paling
cxxvi
banyak mengalami peristiwa atau paling banyak diceritakan pengarang. Fakta
tersebut menjadikan tokoh Wasripin sebagai tokoh sentra yang memiliki
masalah kompleks juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lain.
Dalam novel WS, tokoh Wasripin mulai tersentuh dengan
permasalahan ketika dia menjadi satpam dan memergoki pencurian kayu. Saat
itulah Wasripin kena pukul sampai pingsan dan mulai dibenci oleh para
prnguasa. Berikut ini kutipan yang memaparkan peristiwa tersebut:
“Tiba-tiba saja orang menggebukku dengan kayu.” “Kayu-kayu?” “Bukan itu saja.” “Kau pasti mengurus yang bukan urusanmu. Itu urusan polisi.” (Kuntowijoyo, 2003: 65)
Wasripin ditangkap dengan tuduhan mau memperkosa. Tuduhan ini
juga tidak terbukti dan gagal memenjarakan Wasripin karena Wasripin
menantang pihak pelapor untuk melakukan sumpah pocong. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut:
Di pengadilan jaksa menuduhnya dengan perkosaan yang berhasil digagalkan korban. Wasripin menolak tuduhan itu, dan meminta diadakan sumpah pocong. (Kuntowijoyo, 2003: 166)
Di bagian akhir, Wasripin akhirnya mati ditembak karena dituduh
sebagai komandan DI/TII. Berikut petikan cerita yang menunjukkan hal
tersebut:
Pagi TVRI dan Koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat menimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia komandan DI/TII Pantura, anti-Pancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. (Kuntowijoyo, 2003: 231)
cxxvii
b. Penggolongan Tokoh dalam Novel Pasar dan Novel MPU
Dalam novel Pasar, tokoh Pak Mantri merupakan tokoh yang
melakukan segala tindak tokoh utama sebagaimana diamanatkan oleh
pengarang. Karena itu tokoh Pak Mantri memenuhi syarat disebut sebagai
tokoh protagonist. Tokoh protagonist memiliki watak yang baik sehingga
disenangi oleh pembaca.
Tokoh Kasan Ngali tidak disenangi karena sebagai seorang pedagang
kaya, dalam bertindak selalu mendahulukan kepentingan pribadi juga
memperhitungkan masalah keuntungan materi. Ketika pasar dalam keadaan
kacau, sebagai orang yang mampu ia tidak mau ikut serta dalam memberikan
solusi malah membuat kondisi semakin kacau. Di awal ia membantu orang
menabung di bank pasar karena ingin mendekati tokoh Siti Zaitun. Bahkan
karena keangkuhannya ia mendirikan bank kredit untuk membuat keadaan
pasar menjadi labil. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Pasar baru Kasan Ngali telah mengacaukan pikirannya benar. Keparat! Kepada orang banyak yang lewat di jalan ia ingin mengatakan, bahwa mantra pasar sedang lewat, minggir, beri jalan! Tetapi ia tidak suka dengan penonjolan diri, justru dialah yang mencari-cari jalan di sela-sela orang. Mereka yang berbudi mesti mengalah, tidak berebutan jalan. Kalau berbuat baik boleh berebut, kalau berjalan tak usahlah berebut. Maka bukannya ia sengaja mengutuki Kasan Ngali, tetapi Kasan Ngali telah merugikan pasar yang dipegangnya. Karena tanggung jawablah ia berbuat. Sedang dia lupa membicarakan dengan polisi. Itu saja sayangnya. (Kuntowijoyo, 2002: 87)
Dari sisi pandang lain, dapat diketahui kalau tokoh pedagang
merupakan tokoh datar atau tokoh sederhana karena tokoh pedagang dan
tokoh anak-anak kecil merupakan tokoh yang mudah dikenali tanpa perlu
cxxviii
analisis. Dari dulu dimana pun dan sampai kapan pun yang namanya pedagang
dan anak-anak kecil memiliki karakter yang jelas. Sedangkan tokoh Pak
Mantri, Paijo, Siti Zaitun, dan Kasan Ngali merupakan tokoh bulat karena
dapat dimaklumi pembaca setelah dilakukan analisis mendalam tentang tokoh.
Tokoh-tokoh tersebut diketahui setelah ada deskripsi fisik yang ditampilkan
oleh pengarah juga dapat melalui analisis tindakan, pemikiran, dan interaksi
dengan tokoh lainnya. Berikut ini gambaran tokoh pedagang yang selalu
memperhitungkan segala sesuatu dengan perhitungan uang:
“Hitunglah, Pak, “kata perempuan itu pada polisi. “Tiga ekor burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi! Mestinya aku minta ganti rugi!” Orang mengangguk-angguk. Rugi, rugi itu! Betul tak mau bayar! (Kuntowijoyo, 2002: 35)
Sedangkan tokoh anak-anak memiliki watak nakal, suka berbuat iseng.
Hal tersebut dapat dicermati dalam kutipan berikut:
Yah, suara anak-anak. Ah, sebagai lelaki tua yang pernah jadi anak-anak ia tahu apa kerja mereka di luar. Bersembunyilah dulu! Jangan usik mereka. Lalu tangkap basah! Dari rebut-ribut itu ia tahu, anak-anak itu sedang mencuri burung-burung dara dari paguponnya. (Kuntowijoyo, 2002: 146)
Dalam penyebutan lain, kecuali tokoh Pak Mantri, semua tokoh-tokoh
yang disebut dalam novel Pasar merupakan tokoh statis karena tokoh-tokoh
tersebut secara esensial dari awal hingga akhir cerita tidak mengalami
perubahan dan atau perkembangan perwatakan yang diakibatkan oleh adanya
pengaruh peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sedangkan tokoh Pak Mantri
disebut sebagai tokoh dinamis karena tokoh tersebut mengalami perubahan
dan perkembangan perwatakan akibat pengaruh peristiwa-peristiwa yang
cxxix
terjadi. Perubahan tokoh Pak Mantri tersebut dapat dicermati melalui jalan
pikiran tokoh Pak Mantri dalam berusaha menyelesaikan permasalahan yang
terjadi di pasar. Pak Mantri mengalami perkembangan pola piker yang
mencerdaskan dalam mengambil keputusan-keputusan untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi di pasar.
“Coba, Nak. Saya memelihara burung-burung saya sendiri. Itu sudah berjalan sejak lama. Burung-burung itu kubeli dengan uang saya sendiri. Dikandangkan di pasar sendiri. Tetapi mereka telah memukulinya. Membunuhnya!” (Kuntowijoyo, 2002: 84)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa Pak Mantri
memiliki sikap keras perlakuan tokoh pedagang pasar terhadap burung-burung
daranya. Sikap tersebut kemudian berubah setelah tokoh Pak Mantri mencapai
kesadaran akal dan pikirannya. Tokoh Pak Mantri merubah sikap egois yang
telah dimilikinya dulu menjadi sikap empati. Hal tersebut dapat dicermati
dalam kutipan berikut:
Begitulah kalau mau tahu watak Pak Mantri. Itulah sikap ksatria, perwira. Di pandangnya burung-burung yang berkeliaran. Ditinggalkannya Zaitun dalam keadaan bertanya-tanya. Memang, diarasanya juga, bahwa burung-burung itu mengganggu para pedagang. Ah, selama ini ia tidak tahu itu. Untunglah datang petunjuk itu. Ia menempatkan diri pada pihak pedagang, dan ia bisa jengkel juga. Pantaslah, saya memahami kalian, Saudara-saudara. Ia bisa menghitung, kalau setiap ekor burung dara makan beras segenggam setiap hari, berapa kuintal dalam sebulan. Ah, lebih baik beras itu diberikan pada fakir miskin daripada burung! (Kuntowijoyo, 2002: 254)
Deskripsi yang ditampakkan pengarang dalam novel MPU kepada
tokoh Abu mencakup watak dan sikap tokoh tersebut merupakan hal-hal yang
disenangi pembaca. Tokoh Abu menghadapi dan menyelesaikan problema
cxxx
hidup diri juga masyarakat dengan sikap yang berani. Oleh karena itu tokoh
Abu Kasan Sapari dikategorikan sebagai tokoh protagonis.
Sedangkan tokoh yang menentang sikap tokoh Abu Kasan Sapari ialah
tokoh Mesin Politik. Tokoh Mesin Politik memiliki watak dan sikap yang
buruk sering melakukan tindakan yang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Oleh
karena itu, tokoh Mesin Politik mempunyai konflik dengan tokoh Abu Kasan
Sapari. Tokoh Mesin Politik ini dikategorikan sebagai tokoh antagonis.
Kutipan berikut mendeskripsikan tokoh-tokoh tersebut:
Bahwa Abu Kasan Sapari suka mendalang untuk calon kepala desa (cakades) yang bermusuhan dengan calon Mesin Politik sudah diketahui pegawai kecamatan dan Camat Tegalpandan sejak duluan lewat jalur birokrasi dan Mesin Politik. (Kuntowijoyo, 2000: 133) Berdasarkan pandangan lain, tokoh Abu Kasan Sapari, tokoh Mesin
Politik, dan tokoh Lastri merupakan tokoh bulat karena tokoh-tokoh tersebut
baru dapat diketahui karakternya setelah memahami benar sikap dan perilaku
tokoh, tidak serta merta dapat diketahui secara langsung. Sedangkan tokoh-
tokoh lain seperti tokoh wartawan, tokoh warga kampung, tokoh-tokoh rakyat,
dan tokoh mahasiswa digolongkan sebagai tokoh datar. Tokoh-tokoh tersebut
memiliki karakter umum yang khas, mudah dikenali dan bersifat permanent.
Kutipan berikut menunjukkan watak tokoh wartawan yang suka menggunakan
bahasa jurnalistik sebagai persepsi kebenarannya juga tokoh rakyat yang
memiliki watak suka bertindak dengan emosi, tidak mengindahkan logika
rasional:
“Aku tahu kau heran. Aku telah menyulap angka.” (Kuntowijoyo, 2000: 143 – 144)
cxxxi
Rakyat dari dua desa yang merasa calon lurahnya kalah oleh calon yang dijagoi Mesin Politik datang memprotes Camat baru. Mereka datang membawa spanduk dengan tulisan seadanya. (Kuntowijoyo, 2000: 197 – 198)
Penyebutan lain tokoh dalam cerita MPU terdapat tokoh statis dan
tokoh dinamis. Tokoh Abu Kasan Sapari dapat disebut tokoh dinamis karena
tokoh Abu mengalami perkembangan sikap yang diakibatkan adanya
keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sikap keras yang
dimiliki tokoh Abu pada masa awal berubah menjadi moderat dan strategik
dalam menyikapi masalah yang dialaminya. Begitu pula pandangannya
terhadap pengaruh mantra yang dimilikinya terhadap kehidupannya menjadi
tidak percaya hal takhayul. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut:
Betul, ia pergi pada Pak Camat dan menyatakan niatnya untuk mendalang menggantikan Ki Manut. Pak Camat keheranan, dia adalah Pembina Randu di kecamatannya, dan Abu ‘dalang politik anti-Randu’. (Kuntowijoyo, 2000: 205)
Pada waktu itu terdengar azan Subuh. Abu mendengar suara di samping. Itu Lastri. Ia mengerjakan rencananya. Sembahyang dan memasukkan ular ke dalam kotak kayu. Ternyata mantranya bikin susah orang lain dan dirinya sendiri! Ia bermaksud memutus mata-rantai mantra itu, tidak mengajarkan mantra pada siapa pun. Kalau ada sanksinya, dia sanggup menanggung. (Kuntowijoyo, 2000: 242)
Sedangkan tokoh-tokoh lain tergolong sebagai tokoh statis karena
tokoh-tokoh tersebut tidak mengalami perkembangan perwatakan secara
esensial. Tokoh-tokoh tersebut tidak ikut berubah sejalan dengan plot yang
dikisahkan.
Deskripsi yang ditampakkan pengarang dalam novel WS kepada tokoh
Wasripin dan Satinah mencakup watak dan sikap tokoh yang disenangi
pembaca. Tokoh Wasripin dan Satinah menghadapi dan menyelesaikan
cxxxii
problema hidup diri dengan sikap yang lugu dan berani. Oleh karena itu tokoh
Wasripin dan Satinah dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Tokoh lain
yang juga dikategorikan dalam tokoh protagonis adalah tokoh Pak Modin.
Sedangkan tokoh yang menentang sikap tokoh protagonist ialah tokoh
Ketua Partai Randu, orang-orang militer, dan Presiden Sadarto. Tokoh-tokoh
tersebut memiliki watak dan sikap yang buruk sering melakukan tindakan
yang jauh dari nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu, tokoh-tokoh tersebut
mempunyai konflik dengan tokoh Wasripin, Satinah, dan Pak Modin. Tokoh
Ketua Partai Randu ini dikategorikan sebagai tokoh antagonis. Kutipan berikut
mendeskripsikan tokoh-tokoh tersebut:
“Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat (“disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan”) (Kuntowijoyo, 2003: 137)
Berdasarkan pandangan lain, tokoh Wasripin, Satinah, Pak Modin, dan
Ketua Partai Randu merupakan tokoh bulat karena tokoh-tokoh tersebut baru
dapat diketahui karakternya setelah memahami benar sikap dan perilaku
tokoh, tidak serta merta dapat diketahui secara langsung. Sedangkan tokoh-
tokoh lain seperti tokoh Danramil, tokoh warga kampong nelayan, dosen,
Satgas, dan tokoh mahasiswa digolongkan sebagai tokoh datar. Tokoh-tokoh
tersebut memiliki karakter umum yang khas, mudah dikenali dan bersifat
permanen.
Penyebutan lain tokoh dalam cerita WS terdapat tokoh statis dan tokoh
dinamis. Tokoh Wasripin dan Pak Modin dapat disebut tokoh dinamis karena
tokoh Abu mengalami perkembangan sikap yang diakibatkan adanya
cxxxiii
keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sedangkan tokoh-
tokoh lain tergolong sebagai tokoh statis karena tokoh-tokoh tersebut tidak
mengalami perkembangan perwatakan secara esensial. Tokoh-tokoh tersebut
tidak ikut berubah sejalan dengan plot yang dikisahkan.
c. Perwatakan Tokoh
Salah satu hal yang menjadi karakteristik novel yaitu perwatakan yang
dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Setiap tokoh yang ditampilkan dalam
novel Pasar memiliki watak yang berbeda yang menjadi karakteristik masing-
masing tokoh. Meskipun begitu tokoh-tokoh tersebut saling melakukan
interaksi sosial satu sama lain. Selanjutnya akan diuraikan tentang bagaimana
pengarang mendeskripsikan tokoh-tokoh ceritanya.
Deskripsi watak tokoh Pak Mantri seperti dalam kutipan berikut:
Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi , dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri Pasar itu. Begini! Segala yang baik bagi hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri menumpuk padanya. Siapa tidak percaya kebaikan budi Pak Mantri Pasar, baik bertanya pada diri sendiri apakah keputusan itu sepantasnya. (Kuntowijoyo, 2002: 1)
Habis, memang tak akan ada orang lain. Dalam hal membuat
candrasengkala, Pak Mantri tak ada duanya. (Kuntowijoyo, 2002: 63) Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Pak Mantri
dideskripsikan sebagai tokoh utama yang dikenal karena interaksi sosialnya
yang baik kepada masyarakat baik pedagang maupun pejabat pemerintah.
Tokoh Pak Mantri diwujudkan sebagai sosok yang jujur, setia sopan, dan tahu
cxxxiv
diri. Di samping itu tokoh Pak Mantri adalah guru yang baik bagi tokoh Paijo
(hal. 155 – 159). Tokoh Pak Mantri senantiasa memberikan nasehat dan
teladan mengenai hakikat hidup kepada tokoh Paijo. Tokoh Pak Mantri juga
sosok yang bertanggung jawab (hal. 252). Ia senantiasa
mempertanggungjawabkan hasil perbuatan yang telah dilakukannya. Hal itu
bisa dilihat ketika Pak Mantri memperbolehkan burung daranya untuk
ditangkap dan dimiliki, juga berjiwa besar ketika dituduh telah menggunakan
uang pasar. Pak Mantri pun memiliki sifat sabar (hal. 273) dalam menghadapi
tantangan hidup yang dialaminya. Hal lain yang melekat dalam diri tokoh Pak
Mantri ialah ia merupakan orang yang telah berumur dengan pemahaman ilmu
kejawen yang baik. Dapat dikatakan tokoh Pak Mantri merupakan sosok
kawulo Jawa yang hidup di jamannya.
Deskripsi watak tokoh Paijo seperti dalam kutipan berikut:
Paijo telah membuka pintu dan jendela. Pak Mantri masuk, menghela napas, duduk di kursi sambil melemparkan tas dan topi di meja. Nampaknya Paijo tergesa pergi. Pak Mantri ketela itu, tegurnya: “Kau membakar sampah lagi, ya? Disapu dulu kantor ini. Seumur hidup, belum tahu tugas-tugasnya.” Paijo menggapai sapu ijuk di pojok kamar. (Kuntowijoyo, 2002: 9)
Itulah Paijo yang tak mengerti benar. Dan perasaan itu
berlainan sama sekali bila yang menepuk pundak adalah Kasan Ngali. Seperti Kasan Ngali menjanjikan pekerjaan dan uang, sedangkan Pak Mantri menjanjikan yang lain. Hanya Paijo tidak tahu persis, apa yang telah membuatnya terikat dengan laki-laki tua itu. Di samping Pak Mantri, ia merasa kecil. Sekalipun kadang-kadang ia kurang ajaran. Namun jauh dalam hatinya ada yang menyuruhnya hormat. Tidak dimengerti apa sebabnya, tetapi begitulah. Maka siang ia menurut saja pulang sampai larut siang, sambil kadang-kadang merasa kasihan pada laki-laki tua yang dihadapannya. Ah, Pak Mantri! (Kuntowijoyo, 2002: 116)
cxxxv
Paijo kembali ke pasar. Dengan dua orang polisi! Bagaimana ia berhasil membawa polisi, itu luar biasa. Persahabatan telah menolongnya. Ah, sedikit terlambat ia punya pikiran itu. E, Paijo juga punya polisi! Keuntungan dari main bola. (Kuntowijoyo, 2002: 316)
Pengarang mendeskripsikan tokoh Paijo sebagia juru karcis, pegawai
bawahan tokoh Pak Mantri, yang penurut, meskipun terkadang harus
diperingatkan dalam menjalankan tugasnya. Tokoh Paijo juga merangkap
tukang sapu, mengurusi burung-burung peliharaan Pak Mantri serta pekerjaan-
pekerjaan lain (hal. 6). Tokoh Paijo memiliki watak yang lugu sehingga jalan
pikirannya senantiasa diarahkan oleh hati nuraninya yang jujur, bukan oleh
nafsu dan emosi. Tokoh Paijo sangat menghormati tokoh Pak Mantri sebagai
atasnnya juga orang yang memiliki teladan dan kharismatik lebih baginya.
Tokoh paijo juga termasuk orang yang sabar dalam menghadapi pertentangan
dengan tokoh lain, seperti tokoh pedagang dan tokoh Kasan Ngali (hal. 275).
Bagaimanapun juga tokoh Paijo memiliki relasi yang bagus dengan tokoh-
tokoh yang mempunyai kekuasaan, seperti tokoh polisi. Sebagai sosok
pegawai, ia termasuk orang yang cukup cerdas dalam menangani
permasalahan tertentu.
Deskripsi watak tokoh Kasan Ngali seperti dalam kutipan berikut:
Kasan Ngali jelas tak pernah bercermin. Aduh, biasanya pakai celana komprang kolor. Sekarang bukan main. Lihatlah, he ada babi pakai baju! Sekarang orang itu pakai topi betul, berkacamata putih, celana panjang, dan baju kotak-kotak. Pak Mantri tahu saja, topi itu adalah untuk menutupi botaknya di gundul itu! Hanya tongkat itu! Pakai tongkat segala. Kenapa tidak naik kuda sekalian? Itu menimbulkan tertawaa Pak Mantri. (Kuntowijoyo, 2002: 94)
Kasan Ngali di tokonya. Orang kaya akan selalu memenangkan
pertandingan, Bung! Ia akan menunjukkan bahwa uang itu berkuasa. Akan ditunjukkannya siapa Kasan Ngali sebenarnya. Bahwa dengan
cxxxvi
uang itu, sebenarnya orang bisa berbuat banyak. Ya, biar orang tahu. Ia tersenyum melihat kemungkinan-kemungkinan itu. (Kuntowijoyo, 2002: 267) Berdasarkan kutipan di atas secara fisik tokoh Kasan Ngali
dideskripsikan bertubuh gemuk dengan analogi “hewan babi” dan “celana
komprang kolor” serta berkepala botak. Tokoh Kasan Ngali adalah sosok
pedagang kaya. Namun, cara berdagang yang dilakukannya menunjukkan
bahwa ia bukan pedagang yang jujur karena senang menimbun bahan pokok
untuk dijual kemudian hari. Tokoh Kasan Ngali menampakkan watak suka
bergaya pamer atas kekayaan yang ia miliki seperti uang, busana mahal, dan
mobil. Dengan kekayaan yang dimilikinya tokoh Kasan Ngali menjadi
sombong karena ia merasa dapat berbuat sesuai keinginannya. Tokoh Kasan
Ngali tidak memiliki interaksi sosial yang bagus dengan tokoh-tokoh yang
lain, seperti tokoh Pak Mantri, tokoh Paijo, tokoh Siti Zaitun, tokoh Pak Polisi
bahkan kepada pegawainya sendiri yang sering diperlakukan kasar. Oleh
karena itu, tokoh Kasan Ngali tidak disukai tokoh lain.
Deskripsi watak tokoh Siti Zaitun seperti dalam kutipan berikut:
Kabar kepergian Siti Zaitun itu sudah meluas. Di pondoknya Siti Zaitun sibuk menerima tamu-tamu. Pak Camat, polisi, ibu-ibu, tetangga-tetangga, guru-guru. Hadiah menumpuk di meja. Zaitun tidak bermaksud meramaikan kepergiannya itu. Tetapi tercium juga. Gadis itu sengaja akan pergi diam-diam, maka ia sengaja pula tidak berpamitan. Besok, setibanya di kota, dia akan menulis surat atau datang lagi berpamitan. Tetapi orang datang juga. Dan hadiah-hadiah mengalir. Ah, kota itu menyenangkannya juga. Tidak disangkanya orang-orangnya yang ramah. Sampai ia menangis terisak setiap menerima tamu. (Kuntowijoyo, 2002: 350)
Siti Zaitun, gadis cantik, pegawai bank, yang sosial, suka membantu, yang peramah, yang menyenangkan, yang matanya bercahaya, yang kulitnya kuning itu, yang selalu rapi pakaiannya. (Kuntowijoyo, 2002: 361)
cxxxvii
Deskripsi tokoh Siti Zaitun dinampakkan dengan jelas yaitu sosok
gadis cantik yang matanya bercahaya, kulitnya kuning dan memerhatikan
penampilan yang rapi. Tokoh Siti Zaitun juga seorang pegawai bank yang
berjiwa sosial, suka membantu, ramah dan menyeyangkan. Watak tokoh Siti
Zaitun membuat ia disenangi oleh tokoh-tokoh lain sehingga keberadaannya
begitu terasa bagi tokoh-tokoh lain. Di samping itu, tokoh Siti Zaitun juga
memiliki sikap berani menentang pikiran dan perilaku tidak baik dari tokoh
lain terhadap dirinya, seperti yang dilakukannya terhadap tokoh Pak Mantri
(hal. 106-107) dan tokoh Kasan Ngali (hal. 139).
Deskripsi watak tokoh Pak Camat seperti dalam kutipan berikut:
Hari sudah siang waktu itu. Pak Camat tahu juga kesopanan, ia minta maaf pada Pak Mantri karena ada sedikit keperluan. Ya, nonton adu jago. Itu Mantri Pasar sudah tahu. Lalu Camat itu juga membisikkan bahwa ia baru saja nonton adu jago. (Kuntowijoyo, 2002: 62) Pengarang mendeskripsikan tokoh Pak Camat sebagai sosok pegawai
pemerintah yang kental dengan budaya-budaya feodal. Dalam hal birokrasi
misalnya, tokoh Pak Camat masih menggunakan aturan formal janji temu,
tetapi kepada tokoh-tokoh tertentu yang dihormati ia lebih fleksibel. Dalam
interaksi sosial, tokoh Pak Camat membedakan keeratan terhadap siapa orang
yang dihadapi, terutama dipandang dari status sosial di masyarakat. Tradisi
terlambat dan tidak hadir dalam acara tertentu pun melekat dalam diri tokoh
Pak Camat karena menimbang aspek kepentingan bagi dirinya (hal. 143). Di
samping itu, tokoh Pak Camat juga menyukai perilaku nonton adu jago.
Perilaku tersebut sebenarnya bagi kapasitas tokoh masyarakat dipandang
cxxxviii
kurang tidak layak, bahkan jika sampai meninggalkan tugasnya sebagai abdi
negara dan masyarakat.
Deskripsi tokoh Pak Kepala Polisi seperti dalam kutipan berikut:
Ah, kepala polisi, pada jam kerja sempat masuk pasar dan menawar burung! Keterlaluan! Tidak sudi Pak Mantri melanjutkan omong tentang yang bukan urusan dinas di kantor macam ini. Mesti ditertibkan (Kuntowijoyo, 2002: 83)
“Ya, ya. Sekarang begini saja, Pak. Bapak bisa pulang. Dan
urusan ini kami tampung. Akan kami pertimbangkan, tindakan apa yang bisa dilakukan.”
“Nah, itulah!” Pak Mantri lega sebentar. Kemudian timbul pikirannya yang
lain. “Coba gambarkan, perbuatan apa yang akan dilakukan oleh
polisis?” “Kita pikir dulu.” “Tanggap saja!” “Pendek kata yang setimpal,” kata kepala polisi “Pendek kata yang setismpal,” kata Pak Mantri Sekarang baru itulah yang disebut polisi. Pak Mantri
menghapus keringatnya. Saputangan itu wangi. Kepala Polisi mengantarnya sampai luar. Tidak ada orang lain di kecamatan itu yang diantar sampai pelataran oleh Kepala Polisi. (Kuntowijoyo, 2002: 86)
Pengarang mendeskripsikan watak tokoh Pak Kepala Polisi mirip
dengan watak tokoh Pak Camat, yaitu kenal dengan budaya-budaya feudal.
Pak Kepala Polisi membedakan sikap dalam berinteraksi dengan memberi
penghormatan lebih kepada tokoh yang memiliki status tinggi di masyarakat.
Di samping itu, tokoh Pak Kepala Polisi juga biasa melakukan sesuatu
kesenangan dalam waktu dinas. Dalam kutipan di atas, perbuatan tersebut
dicontohkan dengan masuk pasar dan menawar burung pada jam dinas. Pak
Polisi juga bertindak tidak gagabah dalam sesuatu masalah dan ia pandai
melakukan komunikasi yang birokratif dengan tokoh lain.
cxxxix
Deskripsi watak tokoh Marsiyah seperti dalam kutipan berikut:
Bening matanya! Putih wajahnya! Terurai rambutnya! Ada yang memancar-mancar pada muka itu! Dulu ia berpendapat bahwa Marsiyah ini pasti keturunan kerabat kerajaan yang terlempar dari desa. Ada yang lain padanya, yang tak ditemukan pada perempuan desa biasa. (Kuntowijoyo, 2002: 152)
“Engkau salah paham, Marsiyah.” “Cukup,” kata perempuan itu sengetah membentak. Hilanglah kalimat-kalimat yang tersusun di kepala Pak Mantri.
Tinggal potongan-potongan. “Saya datang kemari…..” “Tidak butuh orang!” (Kuntowijoyo, 2002: 152 – 153)
Deskripsi tokoh Marsiyah dinampakkan secara jelas. Secara fisik,
tokoh Marsiyah adalah seorang wanita paruh baya (hal. 152) yang memiliki
tubuh terawat dengan mata bening, wajah putih, dan rambut terurai serta muka
yang bersinar-sinar. Watak tokoh Marsiyah digambarkan sebagai sosok penuh
emosi dan tidak mau menerima penjelasan tokoh lain.
Deskripsi watak tokoh pedagang pasar seperti dalam kutipan berikut:
“Hitunglah, Pak,” kata perempuan itu pada polisi. “Tiga ekor burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi! Mestinya aku minta ganti rugi!” Orang mengangguk-angguk. Rugi, rugi itu! Betul tak mau bayar! (Kuntowijoyo, 2002: 35)
Umpatan, teriakan, kegemasan. Sebuah tenggok dagangan,
entah apa isinya, tertumbuk. “Hati-hati, e!” “Awas!” “Bajingan!” “Anjing”! “Dagangan! Dagangan!” “Wo!” “Kurang ajar, dagangan disusun baik-baik, tumpah.” (Kuntowijoyo, 2002: 38)
Tokoh pedagang memiliki pendeskripsian watak yang jelas. Tokoh
pedagang pasar merupakan tokoh yang memiliki watak selalu
memperhitungkan dengan uang segala sesuatunya. Di samping itu, tokoh
pedagang pasar juga tokoh yang suka berbicara dengan bahasa kasar dengan
berbagai umpatan-umpatan sehingga dikenal adanya bahasa pasar.
cxl
Deskripsi watak tokoh anak-anak kecil sebagai berikut:
Yah, suara anak-anak. Ah, sebagai lelaki tua yang pernah jadi anak-anak ia tahu apa kerja mereka di luar. Bersembunyilah dulu! Jangan usik mreka. Lalu tangkap basah! Dari rebut-ribut itu ia tahu, anak-anak itu sedang mencuri burung-burung dara dari dari peguponnya. (Kuntowijoyo, 2002: 146) Tokoh anak-anak memiliki watak nakal, suka berbuat iseng. Mereka
bertindak belum mempertimbangkan baik buruk nilai perbuatannya tersebut.
Berdasarkan kutipan di atas contoh dari perbuatan yang dilakukan tokoh anak-
anak kecil ialah berusaha akan mencuri burung-burung dara milik tokoh Pak
Mantri.
Deskripsi watak anak buah Kasan Ngali seperti dalam kutipan berikut:
Kebetulan bagi mereka. Ketika mereka lewat tergesa-gesa di muka Paijo, tukang karcis itu bertanya, mau kemana mereka. Lalu mereka berteriak keras. Supaya Kasan Ngali mendengar.
“Beli kambing benggala. Beli kambing bandot! Yang besar! Yang gemuk!
“Untuk apa?” “Apalagi! Kita mau pesta! Hi-hu!” (Kuntowijoyo, 2002: 321)
Tokoh anak buah Kasan Ngali dideskripsikan mewakili watak penurut
buta, yaitu selalu menuruti segala perintah majikannya, tokoh Kasan Ngali,
tanpa pengetahuan karena rasa takut kepada majikannya. Tokoh anak buah
Kasan Ngali juga suka mencari muka di hadapan majikannya agar majikannya
tersebut merasa senang.
Deskripsi watak tokoh Darmokendang seperti dalam kutipan berikut:
Sebenarnya tidak sampai di rumah Sri Hesti. Hanya berbicara sedikit dengan ketua perkumpulan, lalu minta diantar kembali. Ada pikirannya, sudah.
“Dia mau main juga,” katanya “Kalau sudah jadi biniku?”
cxli
Kalau Paka Kasan sanggup memberi pekerjaan untuk semua rombongan, ia mau berhenti.”
“Mati! Wong ayu mahal harganya! Maksudnya bagaimana?” “Ya, itu permintaannya, Pak!” “Tidak mungkin!” “Lalu bagaimana?” (Kuntowijoyo, 2002: 356)
Tokoh Darmokendang adalah salah satu anggota rombongan ketoprak.
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa watak tokoh
Darmokendang ialah suka berbohong. Tokoh Darmokendang juga suka
melakukan perbuatan dengan pertimbangan keuntungan bagi dirinya. Tokoh
Darmokendang pandai berdebat kata untuk mencapai keinginannya tersebut.
Deskripsi watak tokoh Jenal seperti kutipan berikut:
Jenal berbisik juga, “Pak, wah saya mau bicara.” Dan Jenal menarik tangan Kasan Ngali. “Wah, seperti yang punya rumah kau saja!” Tetapi Kasan Ngali menurut juga.
“Saya punya firasat tak baik tentang perempuan itu, Pak. Untunglah menjadi tukang cukur itu banyak faedahnya. Waktu dicukur, semua omongan bisa keluar. Sungguh, Pak. Jangan kawin dengan dia.”
“Mengapa tidak?” “Semua orang tahu! Tidak seorang pun lupa bahwa ia main
ketoprak!” “Itu jelas. Apa soalnya?” “Pak Kasan itu kaya, terhormat. Mengapa harus kawin dengan
dia?” (Kuntowijoyo, 2002: 353)
Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Jenal adalah
seorang tukang cukur. Tokoh Jenal memiliki watak merasa dekat dengan siapa
saja yang pernah berinteraksi dengannya, termasuk kepada tokoh terpandang
Kasan Ngali. Dari pekerjaannya itu tokoh Jenal menjadi orang yang suka
mendengarkan informasi dan menyampaikan informasi tersebut bilamana
perlu. Hal tersebut dapat dicermati ketika tokoh Jenal memberikan saran
kepada tokoh Kasan Ngali.
cxlii
Deskripsi tokoh pegawai kecamatan dan pegawai kepolisian seperti
dalam kutipan berikut:
“Maaf, Nak. Apa Pak Camat ada?” Tukang ketik itu mengangkat muka dan menjawab. “Coba tulis di buku tamu,” menunjuk ke meja buku tamu.
(Kuntowijoyo, 2002: 58) “Kantor ini sepi saja. Di mana Pak Camat?” Kecurigaannya
diusahakannya untuk dilupakan. “Tunggu saja, di sana.” Juru tulis menunjuk deretan kursi.
(Kuntowijoyo, 2002: 59)
Ketika Kepala Polisi sudah kembali dan Pak Mantri sendirian membenarkan letak pakaiannya di depan kantor itu, seorang agen menegur.
“Pasti perkara burung dara!” Kurang ajar, pikir Pak Mantri. Sedangkan kepalanya saja
menghormati. (Kuntowijoyo, 2002: 86)
Berdasarkan deskripsi dialog di atas dapat diketahui bahwa tokoh
pegawai kecamatan memiliki watak pragmatis, hanya menjalankan tugas apa
adanya karena tidak merasa kepentingan pribadinya. Sikap pegawai tersebut
ditunjukkan dengan acuh tak acuh kepada yang memerlukan pelayanan
darinya. Sedangkan watak tokoh pegawai kepolisian cenderung apatis
terhadap kepentingan orang lain.
Tokoh-tokoh dalam cerita MPU juga memiliki perwatakan yang
berbeda satu sama lain. Pengarang menampilkan para tokoh cerita untuk
memerankan peran sesuai dengan watak dalam rangka menyampaikan
amanatnya. Pengarang menguraikan peran watak tokoh-tokoh cerita dengan
mendeskripsikan setiap aktivitas dan fisik para tokoh yang dapat diketahui
melalui bacaan dalam cerita.
cxliii
Deskripsi watak tokoh Abu Kasan Sapari seperti dalam kutipan
berikut:
Ketekunannya nyantrik di rumah Notocarito sudah menghasilkan bukti. Di SD kelas V ia jadi dalang cilik yang punya nilai tertinggi di Festival Dalan Cilik se-Kabupaten Klaten. Di SMP ia menjadi juara dalang cilik se-eks Karesidenan Surakarta. Di SMP ia mewakili sekolahnya menjuarai Festival Dalang Pelajar se-Jawa Tengah. (Kuntowijoyo, 2000: 12)
Ketika dia berkeliling desa, dengan kuda inventaris, topi
pedagang krupuk, tas sekolah yang digantung menyilang pundak, tiba-tiba tangan kanannya ke udara, ibu jarinya bergeser dengan telunjuknya, berbunyi “cetit”, “Aku tahu!” Ya, ia tahu: orang-orang desa harus diajak membangun saluran air dari sumber dekat sendang sampai desa. Langkah pertama, menurut kursus, ialah sosialisasi gagasan. (Kuntowijoyo, 2000: 16)
Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Abu Kasan Sapari
sejak kecil telah memiliki watak baik. Ia adalah seorang yang tekun belajar
dan berprestasi. Masa dewasanya menunjukkan ia dapat menggunakan
kecerdasannya untuk membantu masyarakat di tempat ia tinggal. Kepiawaian
utama yang dimilikinya ialah sebagai seorang dalang. Sebagai dalang ia juga
termasuk orang yang menghindari perbuatan tabu bagi seorang muslim Jawa,
yaitu kepercayaan terhadap hal takhayul. Hal itu dapat dicermati pada kutipan
berikut:
“Soal lakon, Pak, saya lebih suka ‘Semar Boyong’. Artinya kira-kira pemimpin itu butuh rakyat.”
“Bagus, ternyata kau diam-diam nggembol watu item. Diam di luar, tapi penuh isi di dalam.” (Kuntowijoyo, 2000: 30)
“Tidak akan ada sesajen,” kata Abu. “Itu tidak termasuk permintaan dalam mimpi.” (Kuntowijoyo, 2000: 86) Tokoh Abu juga memiliki watak yang lugu, mengatakan sesuai dengan
apa yang terjadi (hal. 28). Di samping itu ia juga ia aadalah warga yang peduli
cxliv
terhadap lingkungan hidup (hal. 54) serta pandai bersosialisasi dengan
masyarakat (114). Bahkan sisi lain seorang tokoh Abu, ia adalah sosok yang
romantis. Tokoh Abu pandai membuat syair lagu Jawa (hal. 113 – 114) dan
geguritan bernuansa cinta kasih (hal. 163 -174).
Watak utama yang dimiliki tokoh Abu ialah ia seorang yang tidak bisa
berlaku diam terhadap ketidakadilan. Tokoh Abu adalah seorang yang tegar
dengan prinsip kebenaran yang dimilikinya. Fakta tersebut ditunjukkan ketika
ia menentang tindakan-tindakan tokoh Mesin Politik yang semena-mena
terhadap rakyat. Bahkan ia menolak saat ditawari menjadi jabatan prestise
sebagai calon anggota legislative. Berikut ini kutipan yang mendeskripsikan
hal tersebut:
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?”
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. Satu-satunya keinginan saya ialah kalian tidak mengganggu kesenian.” (Kuntowijoyo, 2000: 145)
Tokoh antagonis dalam cerita MPU adalah tokoh Mesin Politik. Tokoh
ini tergolong unik karena tidak berupa sosok seseorang. Tokoh Mesin Politik
merupakan perwujudan dari sikap, perilaku, dan pemikiran sebuah sistem
kelompok. Jadi, tokoh ini dalam perannya bisa diwakili seseorang atau pun
kelompok dengan membawa tindakan dan pemikiran sistem komunitas. Tokoh
Mesin Politik bisa berupa Randu bisa berupa personel sistem atau pun sistem
komunitas itu sendiri. Deskripsi watak tokoh Mesin Politik seperti dalam
kutipan berikut ini:
cxlv
Camat tidak bisa berbuat apa-apa ketika Mesin Politik berusaha memindahkan sebelum waktunya, dan rasanan itu sudah beredar di Kemuning jauh sebelumnya. Pasalnya, lurah-lurah yang dijagoi Randu banyak yang kalah di kecamatannya. Gara-gara itu ia dinilai tidak serius memperjuangkan Randu. (Kuntowijoyo, 2000: 90)
Ada perbedaan pendapat antara Mesin Politik dan Pak Bupati.
Dalam pertemuan dengan para camat sekabupaten Bupai memberi “Petunjuk Politik” agar jarak antara pengumuman dan pemilihan dipanjangkan kira-kira-kira dua minggu. “Itu baru fair kepada rakyat”, katanya. Mesin politik menghendaki agar jarak waktu antara pengumuman dan pelaksanaan itu singkat saja, umpanya tiga hari, sehingga hanya orang-orang pilihan Mesin Politik akan menang, sebab merekalah yang paling siap, paling terorganisir, orang-orangnya pasti lulus ujian, dan Mesin Politik itu weruh sakdurunge winarah (tahu sebelum kejadian) karena ada rekayasa. (Kuntowijoyo, 2000: 91)
Fungsionaris Mesin Politik datang lagi. “Nah, apa kata saya?” “Apa boleh buat.” “Berpolitik itu jangan tanggung-tanggung.” “Saya tidak berpolitik.” “Tidak berpolitik itu politik maut idak mau, suka tidak suka,
kita semua berpolitik. Dalam politik ada ungkapan ‘kalau kau kalah, bergabunglah dengan yang menang’. Kedatangan saya kemari untuk mengajak Pak Abu bergabung. Bagaimana?” (Kuntowijoyo, 2000: 136)
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Mesin
Politik merupakan sistem komunitas yang berpengaruh dan memiliki kekuatan
besar dari tingkat negara sampai tingkat kelurahan atau desa. Watak yang
dominant ditunjukkan tokoh Mesin Politik ialah arogan. Tokoh Mesin Politik
sering menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk berbuat semena-mena
terhadap orang lain yang tidak sejalan, menyimpang dari aturan yang tidak
menguntungkan, maupun menekan kaum lemah. Tindakan yang dilakukan
Mesin Politik tersebut kerap dilakukan dengan manipulasi, terror, maupun
kekerasan.
cxlvi
Deskripsi watak tokoh Lastri atau Sulastri seperti dalam kutipan
berikut:
Itu karena dulu Lastri seorang primadona di Tegalpandan. Membuka jatihan di pasar Tegalpandan, setelah tamat SKK (Sekolah Kesejahteraan Keluarga). Ia adalah penyanyi keroncong di sebuah klub amatir, yang pasti muncul di pesta-pesta di kecamatan itu. Ia menikah, suaminya meninggal, belum punya anak. Jadi, janda kembanglah. Setahun setelah suaminya meninggal, ia memutuskan untuk kembali ke pasar. Mertuanya berusaha mencarikan suami, tapi ditolaknya. Dikatakannya bahwa ia ingin hidup sendiri tanpa kesibukan rumah tangga. Meskipun mertuanya, Pakdenya, dan orang tuanya menyuruhnya tinggal di tempat mereka, ia berkeras untuk kembali ke pasar. Maka Pakdenya memberikan tempat itu. Akhir-akhir ini, setelah menikah, kesibukannya bertambah: banyak orang memintanya jadi juru rias temanten. (Kuntowijoyo, 2000: 108)
Jadi Lastri juga merias temanten, pikir Abu. Penjemput
mengatakan bahwa orang memilih Lastri karena pengantin selalu tampak lebih cantik, barangkali saja kena imbas Lastri. Abu tahu bahwa Lastri ramah, tetapi bahwa dia cantik ia baru mendengarnya, namun ia sangat setuju. (Kuntowijoyo, 2000: 112)
Lastri tersinggung dikatakan ‘janda’, lalu menyela, “Tapi, Pak.
Maaf, saya masih ingin sendiri.” “Ya, jangan begitu. Pikirlah yang panjang.” Setelah Lurah pergi, dia membawa kaleng-kaleng biskuit ke
tempat sebelah. Matanya berkaca-kaca. Abu Kasan Sapari terkejut melihat dia membik-membik mau menangis. Lastri melempar kaleng-kaleng ke dipan. (Kuntowijoyo, 2000: 201)
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Lastri
merupakan seorang janda yang belum punya anak. Tokoh Lastri merupakan
tokoh serba bisa karena memiliki banyak kepiawaian profesi: seorang penjahit
di Pasar Tegalpandan, juru rias pengantin, juga pernah menjadi penyanyi
keroncong primadona.
Watak tokoh Lastri dideskripsikan sebagai sosok yang cantik, mandiri.
Telaten, cekatan dan ramah. Tokoh Lastri memiliki interaksi yang baik,
cxlvii
terlihat dari hubungan dengan keluarganya juga dengan masyarakat. Tokoh
Lastri juga mempunyai sikap kepedulian terhadap orang lain seperti dengan
tokoh Abu. Di samping itu tokoh Lastri juga bisa marah apabila perasaannya
tersinggung atas sikap orang lain.
Deskripsi watak tokoh orang tua Abu seperti dalam kutipan berikut:
“Diapakan saja kau,” tanya ayah. “Ya disuruh makan kenyang, tidur cukup, olahraga.” “Tidak disiksa, to?” “Mana ada orang berani menyiksa saya?” “Jangan kemaki. Saya dengar ditahan itu artinya disiksa.
Diestrum, disulut rokok, disuruh merangkak di atas kedelai?” “Tapi, alhamdulillah anak Bapak-Ibu tidak.” “Lha iya. Wong ditahan di kantor polisi kok tidak nampak
susah, kok malah mrusuh (gemuk bercahaya)?” kata ibu Abu. (Kuntowijoyo, 2000: 154-155)
“Klangenan ya boleh. Tapi jangan ular, jangan harimau, jangan
buaya. Kakek-kakek kita paling-paling pelihara kucing, lutung, perkutut, dan kuda. Soalnya ibu takut kalau kau syirik.”
“Syirik? Ya boleh jadi, meskipun sedikit,” “Kalau syirik jangan, lho.” (Kuntowijoyo, 2000: 155)
Lastri mengulurkan tangan, mencium tangan Ibu, yang segera
menarik tangannya. Demikian juga ayah Abu. Penolakan itu sepertinya mengejutkan Lastri. Suasana jadi kaku. (Kuntowijoyo, 2000: 155)
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas tokoh orang tua Abu memiliki
watak yang perhatian dan peduli terhadap anaknya. Hal ini diperlihatkan
ketika tokoh orang tua Abu merasa cemas kemudian menengok anaknya saat
sesuatu hal terjadi pada anaknya tersebut. Tokoh orang tua Abu juga
merupakan sosok masyarakat Jawa yang taat terhadap keyakinan agama yang
kuat, seperti tampak pada penolakannya terhadap perbuatan syirik dan kehati-
hatian atas interaksi fisik non keluarga.
cxlviii
Deskripsi watak tokoh kake nenek Abu seperti dalam kutipan berikut:
Kemudian, kakek meminta bayi itu. Di bawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu. (Kuntowijoyo, 2000: 2)
Sesampai di desa baru, kakek nenek tahu bahwa kelahiran Abu belum disambut dengan akikah. Maka dipotonglah dua ekor kambing Jawa. (Kuntowijoyo, 2000: 6)
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui kakek nenek Abu
memiliki rasa sayang kepada cucunya. Tokoh kakek dari ayah masih
memercayai ritual tradisional masyarakat Jawa, begitu klenik. Sedangkan
tokoh kakek nenek Abu dari ibu memercayai ritual religius agama yang
dianutnya.
Deskripsi watak tokoh wartawan seperti dalam kutipan berikut:
Sejak saat itulah Abu Kasan Sapari akrab dengan kawan wartawannya. Wartawan itu anggota AJI (Asosiasi Jurnalistik Indonesia). Masih muda bersemangat. Ia mengatakan pada Abu bahwa jurnalisme dipilihnya sebagai profesi, dan sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Ia hanya mengandalkan hati nurani, tidak segan-segan melakukan kritik kepada siapa pun. (Kuntowijoyo, 2000: 94)
Sore hari teman wartawan itu datang di Tegalpandan. Belum sempat ditanya dia bilang:
“Aku tahu kau heran. Aku telah menyulap angka.” (Kuntowijoyo, 2000: 143 – 144)
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan tokoh wartawan berinteraksi
baik dengan tokoh Abu. Tokoh wartawan didskripsikan sebagai sosok muda
bersemangat yang memiliki jiwa idealisme profesi tinggi. Sebagaimana
seorang wartawan, tokoh wartawan pun berkata dan bertindak sesuai karakter
jurnalis. Tokoh wartawan kerap menyampaikan informasi dalam bentuk berita
di media yang ia tulis dengan memberikan keterangan-keterangan tambahan
cxlix
yang sesuai dengan pikiran pribadinya. Fakta tersebut dapat ditunjukkan
dalam kutipan berita yang ditulis tokoh wartawan berikut:
Sumber yang tak mau disebut namanya mengatakan bahwa ada konspirasi politik di balik penahanan AKS. Akhir-akhir ini sebuah kekuatan politik ingin merekrutnya untuk keperluan kampanye tapi ditolaknya. (Kuntowijoyo, 2000: 153)
Deskripsi watak tokoh Haji Syamsudin seperti dalam kutipan berikut:
Sore hari Haji Syamsuddin datang juga untuk menyalakan lampu dan menutup jendela. Kucni pintu diserahkan Haji Syamsuddin, dan buka pada Lastri. Itu pasti kesengajaan Abu supaya ia tidak terpaksa melihat kandang ular. Ketika melihat Lastri, Haji Syamsyuddin yang tahu perasaan Lastri berkata ringan, “Itulah politik, Jeng. Nanti juga selesai. Tengan saja.” Ia berkata demikian karena pamannya pernah ditahan Polisi pada tahun 1960 selama sebulan karena menjadi pengurus Masyumi. (Kuntowijoyo, 2000: 150) Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Haji
Syamsuddin memiliki watak yang baik, mengerti perasaan orang, dan
bijaksana. Haji Syamsuddin adalah sahabat dekat tokoh Abu juga warga
masyarakat yang baik. Tokoh Haji Syamsuddin juga tokoh yang pandai
memetik pengalaman hidup.
Deskripsi watak tokoh haji camat seperti dalam kutipan berikut:
Benar, Pak Camat benar. Desanya memenangkan Lomba Desa. Beberapa wartawan datang dan Pak Camat dengan jujur mengatakan bahwa semuanya berkat kerja Abu. (Kuntowijoyo, 2000: 28)
Abu menilai camat baru adalah seorang professional tulen,
bukan “orang baik” macam camat lama. Umurnya masih sangat muda disbanding camat lama, namun jauh lebih bersemangat. Setidaknya, ia bukan tipe “camat santai”. (Kuntowijoyo, 2000: 75)
Kutipan-kutipan di atas menunjukkan watak tokoh camat
dideskripsikan seorang yang jujur. Berdasarkan pengamatan tokoh lain tokoh
camat dinilai sebagai sosok muda yang bersemangat dan professional. Tokoh
cl
camat juga memiliki pengetahuan tinggi dilihat dari cara berbicara dan istilah
kata yang digunakan ketika melakukan pidato di depan warganya (hal. 77). Di
samping itu diketahui tokoh camat juga akrab dengan tokoh Abu (hal. 78).
Deskripsi watak tokoh Ki Lebdocarito seperti dalam kutipan berikut:
Ki Lebdo sendiri selalu memilih yang berdasar pakem, lakon yang aneh-aneh akan diserahkannya pada Abu. Ia menyimpulkan bahwa enak yang punya uang, daripada dalangnya. “Jadilah yang punya uang, jangan jadi dalang”, nasihatnya pada anak-anak. Maka anak-anak semua “jadi orang”, kecuali dalang. (Kuntowijoyo, 2000: 14)
Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Ki Lebdo adalah
seorang dalang yang menggunakan cerita konvensional. Sebagai sosok Jawa
tokoh Ki Lebdo memiliki pemikiran yang berkembang dengan memerhatikan
pendidikan anak-anaknya sampai ke tingkat tinggi, bahkan tokoh Ki Lebdo
tidak ingin anak-anaknya tersebut mewarisi profesi yang digelutinya.
Kedudukan Ki Lebdo sebagai dalang di wilayahnya terhitung sebagai sesepuh
dalang (hal. 211). Ki Lebdo seorang yang baik, ia mengangkat tokoh Abu
sebagai anak (hal.13) bahkan sampai mewariskan semua perangkat gamelan
dan wayahnya kepada tokoh Abu (hal. 15).
Deskripsi watak tokoh Ki Manut Sumarsono seperti dalam kutipan
berikut:
Ki Manut Sumarsono tahu belaka rencana itu. Kedudukannya sebagai dalang senior membuat dalang dari luar Karangmojo terpaksa kulanuwun minta restu padanya sebelum mendalang di wilayahnya. Dia memanggil Abu Kasan Sapari. Katanya, “Intuisi saya mengatakan bahwa sudah tiba waktunya Rahwana dipecundangi kera-kera. ‘Rama Tambak’ adalah lakon yang pas saat ini. (Kuntowijoyo, 2000: 210)
Taktik Ki Manut Sumarsono cespleng. Ibarat panas setahun
terhapus hujan sehari, julukan sebagai ‘dalang politik anti-Randu’,
cli
julukan sebagai ‘dalang politik non-Randu’, bahkan julukan ‘dalang politik’ lenyap. (Kuntowijoyo, 2000: 206)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Ki Manut adalah seorang
dalang senior di wilayahnya yang berpengaruh dan dihormati oleh dalang-
dalang lainnya. Tokoh Ki Manut juga memiliki karakter baik dan cerdas. Hal
ini dapat dicermati ketika membantu tokoh Abu memperoleh persepsi positif
di masyarakat. Tokoh Ki Manut juga menentang sikap tokoh Mesin Politik
dengan cara yang bijaksana tanpa menimbulkan permusuhan dan pertikaian.
Deskripsi watak tokoh polisi seperti dalam kutipan berikut:
Kepala Polisi merundingkan soal Abu Kasan Sapari dengan Kepala Bagian Penyelidikan, “Sudah kuduga. Kita dijadikan tukang pukulnya, centengnya. Kita diperalat. Kita tidak mau demikian, kita netral, kita tidak ke kanan tidak ke kiri.” Mereka bersepakat untuk mengeluarkannya dari tahanan. (Kuntowijoyo, 2000: 157)
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa polisi merupakan
tokoh yang memiliki kekuatan dalam menegakkan hukum. Oleh karena itu
tokoh polisi terkadang dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk
kepentingannya. Fakta di atas menunjukkan sikap Kepala Polisi dan Kepala
Bagian Penyelidikan yang jujur dalam menjalankan hukum dan tidak mau
diperalat pihak lain. Meskipun di lain hal terkadang aparat kepolisian
melakukan tindak kesewenangan dengan menangkap orang tanpa adanya
proses hukum yang benar, seperti penangkapan yang dialami oleh tokoh Abu
(hal. 148) dan tokoh Kismo Kengser (hal.192).
Deskripsi watak tokoh rakyat atau warga desa seperti dalam kutipan
berikut:
clii
Rakyat dari dua desa yang merasa calon lurahnya kalah oleh calon yang dijagoi Mesin Politik datang memprotes Camat baru. Mereka datang membawa spanduk dengan tulisan seadanya. (Kuntowijoyo, 2000: 197 – 198)
Kutipan di atas menunjukkan watak rakyat atau warga desa yang
cenderung menggunakan emosi dan mudah memberikan reaksi terhadap hal-
hal yang terjadi. Hal ini dapat dilihat ketika tokoh rakyat atau warga mudah
terpancing provokasi untuk memprotes camat baru dalam merespon peristiwa
hasil pilihan lurah.
Deskripsi watak tokoh laki-laki tua atau Kismo Kengser seperti dalam
kutipan berikut:
“Kismo Kengser meramal bahwa pemerintahan sekarang akan segera ambruk, sebab ketakadilan sudah ada dimana-mana. Para penguasa bukan lagi pamong, tapi maling betulan, maling berdasi, maling berbintang, maling berpendidikan. Persengkokolah penguasa, pengusaha, tentara, dan Randu untuk memeras rakyat…..” (Kuntowijoyo, 2000: 1991 – 1992) Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh laki-laki tua yang
mengaku bernama Kismo Kengser memiliki watak yang berani. Tokoh Kismo
Kengser juga mengaku pandai meramal. Hal tersebut dapat dilihat ketika
tokoh Kismo Kengser mengungkapkan ramalannya tentang keruntuhan
pemerintahan saat itu di hadapan banyak orang sampai ia akhirnya ditangkap
polisi karena tuduhan tindakan subversive.
Deskripsi watak tokoh laki-laki tua misterius seperti dalam kutipan
berikut:
Orang tua itu menjauh, sambil memukul jidatnya dikatakannya: “O, ya. Kau tidak akan mati, kalau tidak mewariskan ilmu ini.” Orang itu tertawa panjang, lega. Kemudian menghilang dalam
gelap. (Kuntowijoyo, 2000: 20)
cliii
Berdasarkan kutipan di atas diketahui bahwa tokoh laki-laki tua
merupakan sosok yang misterius, tidak dikenal, datang dan pergi dengan tiba-
tiba. Pakaian dan tingkah lakunya aneh (hal. 2) karena tidak seperti orang pada
umumnya. Laki-laki tua misterius itulah yang memberikan mantra pejinak ular
kepada tokoh Abu.
Tokoh-tokoh dalam cerita WS juga memiliki perwatakan yang berbeda
satu sama lain. Pengarang menampilkan para tokoh cerita untuk memerankan
peran sesuai dengan watak dalam rangka menyampaikan amanatnya.
Pengarang menguraikan peran watak tokoh-tokoh cerita dengan
mendeskripsikan setiap aktivitas para tokoh yang dapat diketahui melalui
bacaan dalam cerita.
Deskripsi watak tokoh Wasripin digambarkan sebagi anak pungut yang
dijadikan budak nafsu Emak dan wanita-wanita pinggiran (h. 3) kemudian ia
sadar dan pergi meninggalkan kampungnya (h.5-6). Wasripin pergi menuju
pantura, tempat yang diyakini sebagai tanah kelahirannya. Setibanya di
pantura, dia diyakini telah menjadi murid Nabi Khidir dengan berbagai
kelebihan. Wasripin menjadi tukang pijat yang mampu menyembuhkan
berbagai penyakit.
Tukang cat medekat. Wasripin memijat leher, kepala, dan semua bagian atas. Ia hanya mencoba-coba memijat. Ia heran tangannya seperti bergerak sendiri. Ia sendiri tidak yakin dengan pijatannya. (Kuntowijoyo, 2003: 37)
Ketika Wasripin menjadi satpam, ia menjadi satpam yang sangat jujur
dan memegang teguh prinsip. Berikut ini kutipannya:
“Jangan urus aku. Uruslah pencuri yang besar-besar.”
cliv
“Besar atau kecil sama saja. Mencuri ya pencuri.” (Kuntowijoyo, 2003: 62) Wasripin adalah orang yang sederhana dan tidak suka berlebihan.
Ketika ia akan menerima penghargaan karena berhasil megungkap mafia
pedagangan kayu illegal, ia merasa apa yang akan dia terima terlalu
berlebihan. Berikut ini kutipannya:
“Dari stadion kita terus ke SDN. Ada sedikit upacara bendera untuk menghormat bintang itu.”
“Tapi itu terlalu berlebihan,” kata Wasripin “Biar, berlebihan tak apa. Kata Bung Karno, kita bukan bangsa
tempe tapi bangsa yang besar.” (Kuntowijoyo, 2003: 226)
Tokoh Pak Modin digambarkan sebagai seorang yang bijak, religius,
dan disegani masyarakat. Kuntowijoyo menjadikan Pak Modin sebagai tokoh
yang menyampaikan amanat pengarang. Keikutsertaan Kuntowjoyo dalam
organisasi Muhammadiyah mempengaruhi pemikirannya yang disampaikan
melalui tokoh Pak Modin. Meskipun kebanyakan masyarakat pantura adalah
Nahdlatul Ulama, tetapi pemikiran dan perilaku Pak Modin yang menentang
keyakinan manusia sebgai washilah (sarana/perantara terkabulnya doa) jelas
menunjukkan bahwa ia adalah Muhammadiyah. Berikut kutipannya:
Sebelum waktu diberikan pada kiai, Pak Modin –sebagaimana selalu demikian- diminta menyambut selaku sesepuh surau. Orang-orang dari desa sekitar berdatangan.
“Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-Nya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai washilah. Itu syirik. (Kuntowijoyo, 2003: 245-246)
“Sudahlah, Bu. Memang sudah takdir. Mau punya anak dan
menantu saja gagal.” (Kuntowijoyo, 2003: 233) “Apapun yang terjadi, Bu, beristighfarlah dan ucapkan
Alhamdulillah.” Ia menarik nafas panjang. (Kuntowijoyo, 2003: 234)
clv
Tokoh Emak digambarkan sebagai wanita yang mudah bersyukur.
Meskipun dia meminta Wasripin sebagai budak nafsunya dan menjadikan
Wasrpin sebagai pemuas nafsu wanita-wanita lainnya demi mendapatkan
uang.
“Kita sungguh beruntung, jelek-jelek kita punya rumah. Coba, kalau tidak kita akan tidur di tepi jalan, di bawah jemabtan, di emperan toko. (Kuntowijoyo, 2003: 3)
Suatu sore Emak angkatnya berkata, “Yu Mijah butuh tenagamu.” Adegan penyekat di dipan pun terjadi, sementara emak angkatnya dengan enak gentian tidur di dinap Wasripin. Ia menguras tenaganya.” (Kuntowijoyo, 2003: 4)
Tokoh Satinah yang dulunya bernama Waliyem (h. 43) dan Satiyem
(h. 45) digambarkan sebagai seorang wanita yang pandai menyanyi dan
pemaaf. Masa lalunya yang pernah diperkosa pamannya menjadiakan ia
merasa tidak pantas menjalin hubungan dengan lelaki. Berikut ini kutipan
yang menyatakan watak Satinah:
“Kasihan dia, Lik.” Katanya pada paman yang buta,bersarung, bersurjan, berikat kepala dengan bundar-bundar ke belakang. ((Kuntowijoyo, 2003: 14)
“Jangan begitu, Paklik. Tidak ada dosa, tak ada yang harus ditebus.” (Kuntowijoyo, 2003: 48) Tokoh Paklik atau Paman Satiyem digambarkan sebagai orang yang
nakal namun bertaubat setelah memerkosa keponakannya. Berikut ini kutipan
yang menyatakan watak Paklik:
Paman mendapat gagasan. Disautnya sendok di meja, lalu cicungkilnya kedua matanya. Bola mata itu jatuh ke tanah.
“Aku bersumpah demi Tuhan, Mas-Mbakyu! Saksikan, bahwa seumur hidup aku tidak akan menyentuh perempuan lagi!” (Kuntowijoyo, 2003: 47)
“Aku bersedia jadi budakmu, Yem. Untuk menebus dosaku padamu. (Kuntowijoyo, 2003: 48)
clvi
Tokoh ayah dan ibu Satinah diceritakan sebagai orang desa yang
sangat pasrah pada keputusan Tuhan. Mereka juga bisa memaafkan kesalahan
orang lain. Ketika Paklik meratapi kesalahannya, kedua orang tua Satinah pun
memaafkannya.
“Yang sudah ya sudah. Jangan dipikir terus.” (Kuntowijoyo, 2003: 48)
Tokoh antagonis dalam cerita WS adalah tokoh Ketua Partai Randu.
Deskripsi watak tokoh tersebut seperti dalam kutipan berikut ini:
Upacara pemberian bintang itu membuat gelisah Ketua Partai Randu Kabupaten. Di tengah-tengah musim kampanye, hal itu merupakan kampanye gratis dan besar-besaran bagi partai lain dan golput…. Maka wewenang itu diserahkan kepada Departemen Khusus. Kapolri perlu dibuat berhalangan dan protocol ngoceh seperti burung. Itu bukan perkara sulit baginya. Ia bekerja cepat. Ditemuinya seorang dukun yang bisa membuat niatnya kesampaian. (Kuntowijoyo, 2003: 215-216)
“Satgas saya tugaskan menculik Wasripin, sampai besok siang pukul 12.00. sudah itu boleh kau lepas dia. Tapi jangan sampai orang tahu.” (Kunowijoyo, 2003: 217)
“Pak Modin dedengkot golput harus disingkirkan bila partai ingin menang,” kata renstra yang dibuat Ketua Partai Randu setempat (“disingkirkan” artinya “dimusnahkan”, “dipenjara”, atau “ditahan”) (Kuntowijoyo, 2003: 137)
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas diketahui bahwa Watak yang
dominan ditunjukkan tokoh Ketua Partai Randu ialah arogan dan
menghalalkan segala cara. Tokoh ini sering menggunakan kekuatan yang
dimilikinya untuk berbuat semena-mena terhadap orang lain yang tidak
sejalan, menyimpang dari aturan yang tidak menguntungkan, maupun
menekan kaum lemah. Tindakan yang dilakukan sama dengan tokoh Mesin
Politik dalam MPU yaitu melakukan manipulasi, teror, dan kekerasan.
clvii
Tokoh-tokoh lain yang membangun cerita menjadi utuh adalah germo
(h. 57), pedagang, pemilik koplakan, dan anaknya (h. 52), jamaah surau ,
lurah, dan tentara (h. 11), pencuri (h. 62) jin penunggu laut atau peri laut (h
64), kepala TPI (h. 66), pelacur (h. 67), Camat, Danramil, dan Kapolsek (H.
84), Kapten dan Pati berbintang satu (h. 90), hakim, mahasiswa, jaksa (h.104),
Pendekar Tingkat II dan Pendekar Tingkat Desa (h. 115), Anggota Gerakan
Pemuda Liar (h. 120), pemuda desa (h. 131), Legiun Veteran (h. 149)
Presiden Sadarto dan Menteri Penerangan (h. 160) tokoh-tokoh lain yang tidak
disebutkan secara detail wataknya.
4. Latar
a. Latar Waktu atau Masa
Setiap novel memilki latar waktu untuk mendukung cerita. Apalagi
dalam novel karya Kuntowijoyo terbentuk dari sejarah kemanusiaan, tentu
memerhatikan hal tersebut. Peristiwa dalam novel Pasar terjadi pada masa
perubahan sosial akhir tahun 50-an. Kala itu merupakan era pascakolonialisme
penjajahan bangsa barat di Indonesia. Pada masa itu pula bangsa Indonesia
tengah memulai melakukan pembangunan di berbagai aspek dan wilayah.
Keberadaan berbagai sarana fisik maupun pranata sosial seperti kantor pasar,
kantor kecamatan, kantor polisi, bank pasar juga sarana pendidikan dan
informasi menjadi gambaran fakta dalam novel Pasar berikut:
Kantor pasar itu bergandeng dengan kantor Bank Pasar, Ada bedanya, kantor Bank Pasar sedikit lebih putih temboknya, hanya tidak lepas dari rumah-rumah burung dara. Ada pula usaha mengecat jendela
clviii
dan pintunya. Kalau saja tanpa burung dara, di bagian kantor Bank Pasar itu akan sangat bagus jadinya. (Kuntowijoyo, 2002: 3)
Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota itu,
berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun kecuali Kasan Ngali, tentu yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi, dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri Pasar itu. Begini!” Segala yang baik bagi hidup jujur, setia, sopan santun, tahu diri menumpuk padanya. (Kuntowijoyo, 2002: 1). Dalam cerita MPU secara eksplisit peristiwa disebutkan terjadi pada
tahun 1997 di masa pemilihan umum nasional. Dari penyebutan tersebut dapat
diketahui waktu antara terjadinya peristiwa dalam cerita MPU. Serangkaian
peristiwa yang melatari cerita MPU terjadi dalam rentang masa panjang di
antara tahun 90-an, mulai di awal kemunculan tokoh Abu Kasan Sapari,
kemudian perjalanan Abu bekerja sebagai PNS, aktivitas mendalang hingga,
keterlibatan dalam konflik politik. Kutipan berikut ini memaparkan latar
waktu tersebut:
Pemilu, 1997. Abu Kasan Sapari memilih di Rutan (Rumah Tahanan) Karangmojo. Mesin Politik menang di Karangmojo, tetapi hanya dengan enam puluh persen suara. Bahkan, di kompleks perumahan kepolisian dan tentara Mesin Politik kalah. (Kuntowijoyo, 2000: 156)
Dalam cerita WS tidak secara eksplisit peristiwa disebutkan terjadi
pada tahun berapa tetapi secara implisit latar waktu dapat diketahui dari
berbagai peristiwa yang terjadi. Cerita tersebut berlatar waktu masa orde baru.
Hal ini dapat diketahui dari adanya peristiwa penculikan orangng yang
dianggap subversive, ekstem kanan maupun kiri, dan golput. Selain itu juga
ada pernyataan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah tahun 1965.
Kutipan berikut ini memaparkan latar waktu tersebut:
clix
Menyadari apa yang terjadi, seorang berteriak di tengah lapangan, “Allahuakbar! Allahuakbar!” sebentar kemudian pintu-pintu di sekitar lapangan terbuka, orang-orang keluar dengan senjata di tangan: golok, linggis, tangkai besi, cangkul, dan sabit. Pada tahun 1965 teriakan itu berarti bahaya dating. (Kuntowijoyo, 2003: 229)
b. Latar Tempat
Latar tempat memberikan deskripsi imajinasi tempat terjadinya
peristiwa dalam novel. Latar cerita Pasar terjadi di kota kecil bernama
Gemolong, secara geografis termasuk wilayah Kabupaten Sragen, yang baru
mulai mengalami kemajuan pembangunan di berbagai bidang. Hal ini dapat
diketahui dari kutipan berikut:
Koran itu dipinjamnya dari kantor kecamatan. Dan ketahuilah hanya lingkungan terpelajar di Kecamatan Gemolong itu suka membaca Koran. (Kuntowijoyo, 2002: 11) Namun begitu, secara dominan peristiwa dalam novel Pasar terjadi di
area pasar. Dalam penceritaan tempat lainnya juga terjadinya di area sekitar
pasar, seperti kantor kecamatan, kantor polisi, bank pasar, rumah Kasan Ngali,
rumah Pak Mantri, dan rumah Marsiyah. Kutipan berikut ini menunjukkan
tempat-tempat peristiwa yang terjadi dalam cerita Pasar.
Kantor pasar itu bergandengan dengan kantor Bank Pasar. Ada bedanya, kantor Bank Pasar sedikit lebih putih temboknya, hanya tidak lepas dari rumah-rumah burung dara. (Kuntowijoyo, 2002: 3)
Benarlah! Ketika Paijo keluar dari rumah Kasan Ngali, ia
terkejut. Di pekarangan Kasan Ngali sudah berdiri los-los pasar! Dan pedagangnya sekali. Tentu saja Kasan Ngali sengaja menggiring mereka ke pekarangannya. (Kuntowijoyo, 2002: 77)
Kutipan di atas menunjukkan latar kantor pasar, tempat Pak Mantri
bekerja, dan kantor bank pasar yang letaknya berdampingan. Rumah Kasan
clx
Ngali ditunjukkan dengan pekarangannya yang luas karena bisa dijadikan
tempat berdagang. Di samping itu, terdapat pula penunjukkan peristiwa yang
terjadi dengan latar di kantor-kantor pemerintah. Secara geografis letak
kantor-kantor pemerintah tersebut digambarkan tidak jauh karena masih atau
kompleks dengan pasar. Kutipan berikut ini menunjukkan adanya latar kantor
kecamatan dan kantor polisi.
Di kota kecil itu kantor kecamatan punya gaya tersendiri. Tobat, hanya ada seorang juru tulis sedang menghadapi mesin tulis besar. Muka orang itu tenggelam di belakang mesin tulis yang keras bunyinya. Gaduhnya mesin itu. O, ya ada pegawai-pegawai wanita di ruangan lain. Ia mendekat dan juru tulis itu berhenti bekerja. (Kuntowijoyo, 2002: 58)
Setiba di kantor, ia menjauhkan diri ke kursi yang terdekat, dan
sebentar memejamkan mata. Asal bisa tenang, segalanya akan selesai. Untunglah kantor polisi itu sepi. Jadi ia dapat agak lama berbaring ya begitulah sebenarnya di kursi itu. (Kuntowijoyo, 2002: 82)
Dalam cerita Pasar ditunjukkan tempat sarana publik sebagai latar,
yaitu stasiun dan stanplat. Kutipan berikut memperlihatkan latar stasiun:
Sudah jam! Kereta api ke kota akan tiba! Kabarnya Zaitun akan pergi dengan kereta pagi itu! (Kuntowijoyo, 2002: 361)
Novel MPU memiliki deskripsi latar yang luas. Hal ini karena cerita
MPU itu sendiri memiliki alur dengan masa yang panjang. Namun demikian,
deskripsi latar ditunjukkan dengan jelas secara spatial ‘kewilayahan’. Kutipan
berikut mendeskripsikan latar pada masa kecil Abu. Desa Palar, tempat
makam Ronggowarsito, merupakan wilayah Klaten.
Sejak di SMP, dan dia sudah biasa bersepeda ke rumah ibunya, ia tahu bahwa Ronggowarsito dikubur di sana. Tetapi kuburan itu tidak berarti apa-apa. Baru sejak SMA-lah ia sadar apa arti Ronggowarsito, dia masih sedarah. Mula-mula sosok pujangga itu kabur, tapi makin
clxi
lama makin jelas. Ia makin mengerti arti Palar baginya, dan nama pujangga itu pun masuk dalam doanya. (Kuntowijoyo, 2000: 12) Masa dewasa Abu, masa ia sudah bekerja, tinggal di daerah Kemuning.
Kutipan di bawah ini mendskripsikan latar Kemuning, sebuah kecamatan di
kaki Gunung Lawu (hal. 15). Kemuning dideskripsikan sebagai latar yang
terletak di daerah pegunungan danmemiliki pemandanga yang indah, namun
dengan saran air yang sulit meskipun terdapat mata air. Saat itu Abu menjadi
pegawai lokal yang ditempatkan di Bangdes (Pembangunan Desa). Berikut ini
deskripsi Kemuning sebagai latar cerita:
Di Kemuning, Abu Kasan Sapari menyewa rumah. Kandang kuda dibuatnya di depan. Tapi satu hal yang menyulitkannya, betul sewa rumah di tempat itu murah, tapi untuk mandi orang harus ke sendang di atas yang jauhnya dua kilometer. Ada sumur, tetapi sangat dalam, dan tak ada air bila musim kering. Air itu masih harus dibagi dengan tetangga, kadang-kadang habis, dan bisanya hanya untuk mengisi gentong atau padasan. Dia beruntung, bisa naik kuda ke sendaang, dan kembali membawa air. Jadi, diputuskannya hanya mandi sekali sehari di sendang sepuas-puasnya seperti semua orang. (Kuntowijoyo, 2000: 16) Peristiwa cerita MPU juga terjadi di daerah lain, Kecamatan
Tegalpandan. Latar Tegalpandan dimulai setelah Abu dipindahtugaskan ke
daerah tersebut. Berikut kutipan-kutipan yang mendeskripsikan Tegalpandan
sebagai latar cerita:
Tegalpandan –kota kecamatan yang juga kota tempat Pembantu Bupati– lebih kota dari Kemuning, tetapi lebih desa dari Karangmojo. Ada pasar dengan los-los, warung, kios, dan di sekitar terminal ada toko-toko. Pohon beringin tua tumbuh di terminal, tidak seorang pun tahu kapan ditanam dan siap menanam. Begitu tua pohon itu, sehingga dulu ada orang yang menganggapnya bertuah. (Kuntowijoyo, 2000: 104)
clxii
Kutipan di atas mendeskripsikan latar Tegalpandan yang
diperbandingkan dengan latar Kemuning. Diketahui bahwa Tegalpandan
merupakan kota kecamatan yang lebih berkembang daripada Kemuning
karena faktor letak geografis, meskipun tergolong masih daerah gunung.
Sarana kemajuan yang disebutkan yaitu adanya pasar dengan los-los, warung,
kios, dan terminal dengan toko-toko di sekitarnya.
Di samping itu, peristiwa dalam cerita MPU juga terjadi di tempat
rekreasi. Kebon binatang yang bertempat di Solo diperlihatkan dengan
keterangan latar lain berupa jalan raya antarkota dan Sungai Bengawan Solo.
Latar tempat tersebut memperkuat latar suasana yang ada berupa deskripsi
aktivitas di tempat wisata, semisal adanya panggung hiburan sebagai bentuk
tontonan masyarakat. Berikut ini kutipan yang memaparkan latar tersebut:
Bonbin itu terletak di pinggir jalan Solo-Karangmojo di tepi Bengawan Solo. Untuk menarik wisatawan domestic, kebon binatang itu setiap Minggu mengundang artis lokal untuk menyuguhkan atraksi, di hari-hari besar artis-artis nasional juga didatangkan. Sebuah panggung dibangun secara khusus untuk keperluan itu. (Kuntowijoyo, 2000: 125) Latar cerita WS dimulai dari Jakarta. Hal itu terlihat dalam kutipan
berikut:
“Wasripin naik bus dari sebuah jalan tol di Jakarta pagi-pagi sekali. Ia tidak bodoh, ia juga makan sekolahan.”(Kuntowijoyo, 2003: 1)
Latar tempat lebih banyak terjadi di perkampungan nelayan, secara
geografis termasuk wilayah Pantura, yang baru mulai mengalami kemajuan
pembangunan di berbagai bidang. Secara spesifik latar yang digambarkan
clxiii
meliputi Tempat Pelelangan Ikan, Surau, Pasar, Sungai, dan Lapangan. Hal ini
dapat diketahui dari kutipan berikut:
Ia merasa tidur sangat nyenyak di emperan surau sampai Ashar, sampai Maghrib, sampai Isya’. Jamaah Isya’ berkerumun di sekitarnya. (Kuntowijoyo, 2003: 8)
Lapangan itu sudah berubah menjadi pasar. Para pedagang measang tenda-tenda sendiri yang dengan mudah mereka bongkar. (Kuntowijoyo, 2003: 16)
“Sungai itu panjang, berkelok-kelok, bermuara di teluk dan mengairi sawah yang luas. Sungai yang pada ujungnya akan bermuara di teluk TPI.” (Kuntowijoyo, 2003: 23)
c. Latar Sosial
Dalam novel Pasar, MPU, dan WS latar sosial juga diperlihatkan
beiringan dengan latar tempat dan waktu. Ruang pasar dengan ditunjukkan
dengan lingkungan yang mengelilingnya lengkap beserta masyarakatnya,
pedagang dan pegawai pemerntahan setempat. Latar ruang tersebut juga
membentuk latar suasana dari hasil kultur sosial yang dimiliki oleh tokoh-
tokoh pembentuk yang ada di situ. Aktivitas para pedagang didukung latar
waktu di pagi hari yang tidak nampak ramai menjadi latar kehidupan
masyarakat di pasar. Di samping itu, diperlihatkan pula unsure budaya Jawa,
yaitu dikenalnya hari pasar sebagai puncak aktivitas pasar. Berikut ini
gambaran dasar cerita Pasar, MPU, dan WS sebagai tempat berlangsungnya
cerita:
Hari masih pagi di pasar itu. Matahari kunng kemerahan, berbinar-binar menyentuh gumpalan-gumpalan daun asam di atas los-los pasar. Di bawah pohon-pohon asam itu masih dingin. Los-los pasar dari besi dengan atap yang lumutan berjajar sepi. Sedikit orang saja. Mereka membuka bungkus-bungkus dagangan menggelarnya di lantai, di bawah los-los pagar atau di emper, atau di jalanan. Hari itu hari
clxiv
Pahing yang biasa, kalau mencari keramaian di pasar, pada Kliwon-lah. Namun, mereka pun bersabar menunggu datangnya kesibukan. Juga orang hilir mudik di jalanan berbatu di muka pasar. Sekelompok orang berdiri, atau duduk-duduk di bawah pohon waru di pojok stanplat bis di seberang pasar. (Kuntowijoyo, 2002: 2)
Hari masih pagi, agak dingin di tempat itu, tetapi pasar itu
sudah hidup sejak subuh. Hari itu hari Pasar. Orang membawa kambing, kerbau, dan sapi di pasar ternak di sebelah selatan pasar, yang ada kayu-kayu tempat orang menalikan ternaknya. Los-los pasar juga sudah penuh. Mulai terdengar orang tawar-menawar, kumandang pasar itu. (Kuntowijoyo, 2000: 46)
Hari Pasar di pasar TPI. Hari pasar yang dulu seekor sapi hilang. Tidak ada yang protes dari orang banyak, sebab pemiliknya memang dikenal pelit pada tetangga. Dan hari itu seekor sapi lagi, padahal pemiliknya dikenal pemurah. Maka, para belantik menolak untuk membayar pajak. Mereka marah kepada pasar TPI. Ketika petugas penarik pajak dating, mereka menuding-nudingnya. (kuntowijoyo, 2003: 110)
Kutipan di bawah ini memperlihatkan latar sosial masyarakat dalam
deskripsi novel MPU:
Kemuning dapat jadi tempat agrowisata. Lebih indah dari Tawangmangu, tempat peristirahatan itu. Dari Kemuning orang dapat menikmati matahari kemerahan waktu terbit dan tenggelam. Ditambah dengan adanya jalan-jalan yang mulus sampai puncak-puncak bukit-untuk itu Pemerintah Order Baru patut mendapat acungan jempol- Kemuning bisa berkembang. (Kuntowijoyo, 2000: 86)
Ada suasana sosial yang diperlihatkan dalam kutipan di atas yaitu
gambaran warga yang mencari air ke sendang juga aktivitas mandi yang hanya
sekali sehari. Di samping itu diperlihatkan juga kemajuan peradapan sosial
budaya dari fakta Kemuning dijadikan sebagai tempat agrowisata juga adanya
pembangunan jalur transportasi yang sudah baik.
Latar dalam novel MPU berupa perkantoran pada kutipan sebelumnya,
sebenarnya juga menunjukkan suasana modernitas di zamannya yang sedang
berlangsung dikota kecil itu. Berdasarkan gambaran di atas diketahui kultur
clxv
interaksi antarpegawai dan aktivitas kerja di perkantoran. Latar tersebut juga
didukung adanya peradaban budaya berupa perlengkapan teknologi mesin
tulis serta adanya penataan ruang kantor. Bahkan media surat kabar kala itu
sudah mulai bisa dinikmati sebagian masyarakat.
Latar sosial lain dalam cerita MPU digambarkan dari latar Kemuning
juga bisa kita cermati dari komunal sosial antarmasyarakatnya. Kutipan di
bawah ini menunjukkan interaksi strata sosial masyarakat Kemuning. Sebuah
daerah yang dipimpin oleh pejabat pemerintah dengan budaya pengaruh
masyarakat feodalisme. Hal itu nampak pada fakta kebiasaan pejabat desa
yang menyatakan sepakat tanpa pertimbangan ilmu.
Seorang lurah menunjukkan jari. “Kalau semua pemimpin, siapa yang rakyat?” “Ya kita semua. Jadi sekaligus kita semua adalah pemimpin
dan rakyat. Misalnya lurah adalah pemimpin di desanya, tapi sekaligus bagian dari desanya, dan bagian dari rakyat Indonesia.
“Setuju, Bapak-bapak?” “Setujuuu!” kata mereka. Seperti diketahui, para lurah biasa bersama-sama bilang
“setuju!” pada pidato pimpinan. (Kuntowijoyo, 2000: 76)
Sebagai latar sosial, Tegalpandan masih memiliki keamanan mandiri
yang menggunakan sistem keamanan keliling (siskamling). Latar sosial
ditunjukkan dengan adanya interaksi sosial warga kaum laki-laki melalui
perbincangan ringan di gardu. Sebuah kultur sosial yang memperat hubungan
antarwarga. Berikut ini kutipan yang mendeskripsikan latar tersebut:
Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan, dan cagak lek (membuat terbangun) hidup. Sebutan tukang dongeng itu didapatnya karena dia suka bercerita Ramayana dan Mahabarata yang belum pernah didengar orang, karena karangannya sendiri. (Kuntowijoyo, 2000: 114)
clxvi
Dalam cerita Pasar, interaksi sosial terpengaruh oleh budaya
feodalisme. Penghargaan status sosial sangat memengaruhi interaksi sosial.
Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut:
Pak Camat datang juga. Pak Mantri mendahului memberi selamat: “Selamat siang, Pak.” Keduanya termasuk orang-orang penting dalam kota kecil itu. Kalau ada orang kawin merekalah duduk paling muka, mendapatkan penghormatan yang pertama. Juru tulis menyodorkan buku tamu. Pak Camat memeriksanya. (Kuntowijoyo, 2002: 61)
Dalam cerita WS, interaksi sosial terpengaruh oleh budaya pesantren yang
begitu menghormati imam sebuah masjid atau surau. Pak Modin tidak bisa
digantikan siapapun. Masyarakan pesisir begitu menghormati pemimpin agama.
Dan rupanya Pak Modin cukup dihormati orang-orang desa. Kematian, sedekah laut, dan upacara-upacara resmi selalu memerlukan kehadirannya.kepercayaan orang melebihi Kaur Agama yang resmi.(Kuntowijoyo, 2003: 73)
Sebelum waktu diberikan pada kiai, Pak Modin –sebagaimana selalu demikian- diminta menyambut selaku sesepuh surau. Orang-orang dari desa sekitar berdatangan. (Kuntowijoyo, 2003: 245)
5. Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan cara pengarang memosisikan diri dalam cerita.
Setiap pengarang memiliki kekhasan masing-masing dalam menyajikan cerita
olahannya. Dalam novel Pasar, MPU, dan WS, pengarang menggunakan teknik
penceritaan yang disebut “omniscient narrative” atau pengarang serba tahu yang
menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bercerita, tetapi
semua tokoh mendapatkan penonjolan. Berikut kutipan novel Pasar yang
menunjukkan sudut pandang pengarang tersebut:
Lagi, Pak Mantri datang terlambat di kantor hari itu. Meskipun ia tiba dengan kereta terpagi dari kota. Maka segala pekerjaan Paijo sudah
clxvii
selesai. Burung-burung dan ruangan terpelihara semua. Rupanya tukang karcis itu ingin menunjukkan kesetiaannya yang akan luntur. “Bagus,” kata Pak Mantri. “Meski begitu. Selayaknya engkau menjadi pegawai.” Paijo senang. Pujian yang sangat jarang keluar dari kepalanya itu. Baru saja ia terancam akan pemecatan sekarang sudah dipuji-puji. Ada kegembiraan pada wajah tua itu. Pujian untuk Paijo sebagian disebabkan kegirangan pada Pak Mantra sendiri juga. Ada yang baru dikerjakan di kota. Sekali pergi ke kota. Paijo menebak-nebak. Alangkah cepatnya perubahan. Sekali pergi ke kota dan bereslah semua. Pak Mantri sadar juga bahwa perubahannya diketahui oleh tukang karcisnya. (Kuntowijoyo, 2002: 117)
Dalam novel MPU, fakta tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut:
“Keluguanmu ternyata membawa berkah. Duduklah,” kata Pak Camat begitu dia muncul di pintu. Pak Camat mengatakan bahwa ia mendapat pujian dari Bupati. ‘Sudah jatah Kemuning’ itu artinya ada pemerataan pembangunan. Jangan sampai pembangunan hanya membangun desa yang sudah makmur. Yang tidak diketahui oleh Pak Camat dan Abu ialah kebijaksanaan Bupati menggilirkan pemenang lomba itu mendapat pujian dari Gubernur. (Kuntowijoyo, 2000: 28-29)
Dalam novel WS, dapat diketahui dalam kutipan berikut:
Keesokan paginya sehabis dari surau, sebuah jip hijau dating ke rumah. Tentara menghormat. Katanya, “Aku diperintahkan komandan untuk menjemput Pak Modin. Mari ikut kami.” Bu Modin yang punya firasat buruk berteriak-teriak, “Jangan! Jangan!” teriakan itu membuat orang keluar rumah. Tapi, mereka hanya sempat melihat jip itu semakin jauh. Bu Modin ingat Wasripin; dibawa tentara selalu berarti mati. (Kuntowijoyo, 2003: 246)
Berdasarkan kutipan di atas, pengarang menempatkan diri benar-benar di
luar cerita. Pengarang tidak memerankan diri menjadi salah satu tokoh pelaku
cerita. Meski begitu, dalam posisi demikian pengarang seolah-olah mengetahui
segala tindakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita. Pengarang tidak hanya
tahu tindakan tokoh cerita, tetapi juga mengetahui perasaan yang dialami tokoh
cerita. Pengarang menjelaskan secara detail tindakan dan perasaan yang dialami
clxviii
tokoh. Hal ini menunjukkan adanya penguatan terhadap cara pandang suatu
permasalahan cerita. Pengarang seolah-olah meletakkan tokoh-tokohnya sebagai
sarana berkomunikasi dengan pembaca dalam menjadikan tokoh-tokoh cerita
tersebut sebagai saksi mata dan pelaku sejarah.
Menilik pada penggunaan sudut pandang seperti di atas pada proses cerita
pengarang memiliki maksud tertentu. Pengarang dalam hal ini Kuntowijoyo
seolah-olah ingin mengusulkan kepada khalayak tentang gagasan-gagasan dan
pikiran-pikirannya melalui pendekatan setiap tokoh cerita. Pengarang bisa
memberikan pemahaman setelah ia tersublim dengan tokoh-tokoh tersebut dari
segala kedudukannya, sebagai pemimpin, pejabat pemerintah, satpam, modin,
pegawai swasta, bahkan pedagang. Inilah sudut pandang yang unik dari
pengolahan empati rasa yang ingin ditunjukkan kepada pembaca.
3. Deskripsi Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar,
Novel Mantra Pejinak Ular, dan Novel Wasripin dan Satinah
1. Proses Kreatif Novel Pasar, Novel Mantra Pejinak Ular,
dan Wasripin dan Satinah
Novel Pasar dikarang oleh Kuntowijoyo pada tahun 1972. Pada tahun itu
era kolonial baru saja berakhir dengan penjajahan yang dilakukan bangsa barat.
Masa itu merupakan mas-masa negara dalam asa penataan struktur fisik dan
mental bangsa. Bangsa Indonesia tengah melaksanakan pembangunan di berbagai
sektor dan wilayah. Akulturasi dan asimilasi budaya telah terjadi dalam
clxix
masyarakat Indonesia. Khususnya dalam masyarakat Jawa, kultur dan nilai-nilai
luhurnya berusaha untuk bertahan di masa pembangunan dilakukan karena
pembangunan berarti kemajuan di segala aspek yang dapat mengubah tatanan
yang ada. Oleh karena itu novel Pasar lahir di masa transisi pasca kolonialisme di
Indonesia yang mulai mengalami perkembangan zaman semakin maju.
Kuntowijoyo memang sastrawan sekaligus sejarawan produktif. Sudah
lebih 50 judul buku tulisnya. Memang, menulis telah menjadi aktivitas
kesehariannya. Ia menulis dari fajar sampai waktu subuh. Setelah subuh ia
meneruskan menulis lagi. Kegiatan menulis juga dilanjutkan lagi setelah jalan
pagi. Siang hari tidur siang. Sorenya, ia kembali menulis. Beristirahat sejenak dan
sehabis isya, menulis lagi sampai tengah malam, bahkan kadang-kadang hingga
pukul 02.00.
Karya-karya sastra lain yang dikarangnya pada masa-masa itu yaitu:
Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (novel, 1966), Rumput-rumput Danau
Bento (naskah drama, 1968), Topeng Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan
Cartas (naskah drama, 1972), Topeng Kayu (naskah drama, 1973), Suluk Awang-
Uwung (kumpulan puisi, 1975), Isyarat (kumpulan puisi, 1976), dan Khotbah di
Atas Bukit sebagai karya master piece (novel, 1976).
Novel Mantra Pejinak Ular (MPU) sendiri ditulis pada tahun 2000,
setelah cukup lama mengidap meningo enchepalitis di tahun 1992. Novel MPU
diterbitkan pertama kali sebagai cerita bersambung di harian Kompas. Masa
pembuatan novel MPU merupakan masa zaman mencapai modernisasi, yang
dikenal dengan awal millennium ketiga. Pada masa itu era keterbukaan,
clxx
demokrasi, liberasi, dan kemajuan teknologi telah berkembang demikian pesat.
Maka, dikatakan bahwa lahirnya novel MPU pada masa transisi kemajuan zaman
ke arah yang lebih modern.
Tahun 1992, tepatnya pada 6 Januari, Kuntowijoyo menderita sakit akibat
serangan virus meningo enchepalitis. Sejak saat itu saraf motoriknya mengalami
gangguan serius, hingga sulit berbicara. Untuk mengatakan satu kata saja, ia
seperti harus mengerahkan seluruh kekuatannya. Meski dalam usia yang jelas tak
lagi muda, bahkan dalam kondisi fisik yang belum pulih, di tahun-tahun terakhir
hidupnya Kuntowijoyo masih tetap menulis. Dalam sakit panjangnya itu “sang
Begawan”, begitu dikenalnya, lebih produktif dibandingkan teman-temannya yang
sehat. Otaknya tetap bekerja normal untuk mengalirkan karya-karya sastra. Ini
terbukti dengan berupa karya-karya sastranya yang dikarang setelah masa
sakitnya, seperti: Makrifat Daun-Daun Makrifat (kumpulan saja, 1995), Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen, 1993), Hampir Sebuah Subversi
(kumpulan cerpen, 1999), Wasripin dan Satinah (novel, 2003).
Novel Wasripin dan Satinah ditulis pada tahun 2003. novel ini merupakan
karya sastranya yang terakhir. Novel berlatar budaya masyarakat pantura ini sarat
dengan nuansa politik yang menggambarkan betapa kekuasaan politik dan militer
di segala lini kehidupan. Nuansa politik yang digambarkan mirip dengan novel
MPU yaitu dengan adanya Partai Randu. Presiden Sadarto merupakan gambaran
Presiden Suharto yang melanggengkan kekuasaan dengan prinsip “Senyum dalam
penampilan, namun keras dalam tindakan.” Masyarakat pesisir yang miskin
clxxi
dijadikan media untuk berkuasa. Kalau ada yang mau melawan, dia akan
dimusnahkan dengan tuduhan ekstrem kanan.
2. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar, Mantra
Pejinak Ular, dan Wasrpin dan Satinah
Latar belakang sosial budaya dalam novel Pasar, MPU, dan WS
menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa. Latar belakang sosial budaya dalam
cerita novel Pasar dan novel MPU ditampilkan berkenaan dengan warna lokal
berupa tatacara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan
agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam
masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, keadaan alam, jalan,
perumahan, dan paparan tentang kesenian. Berikut penjabarannya:
a. Masa Peristiwa
Pada cerita Pasar ditunjukkan kehidupan masyarakat Jawa yang
sedang mengalami perkembangan sosial budaya atas pengaruh kemajuan
perkembangan zaman yang berlangsung pascakolonial. Sedangkan pada cerita
MPU menampilkan kehidupan masyarakat Jawa ketika kemajuan zaman
mencapai masa demokrasi dan modernitas. Perkembangan sosial budaya pada
cerita MPU diperlihatkan sebagai berikut:
Listrik PLN sudah masuk, jalan antarkecamatan beraspal membentang di tengah desa. Desa itu menjadi desa Pelopor P-4. Jalan-jalan desa sudah dikeraskan dengan batu, berkat AMD (ABRI Masuk Desa) tahun sebelumnya. Jumlah radio tak terhitung, pesawat tv lebih dari sepuluh. Orang-orang desa suka menonton acara-acara TV yang dipasang di ruang tamu untuk tontonan umum. Selain itu ada beberapa orang berlangganan Koran. (Kuntowijoyo, 2000: 95)
clxxii
Perkembangan sosial budaya pada cerita WS diperlihatkan sebagai
berikut:
Dengan sebuah megafon keesokan harinya sebuah jip polisi keliling perkampungan nelayan. “Halo! Halo! Nelayan wajib mencari ikan. Kalau tidak, izin kapal dicabut.” (Kuntowijoyo, 2003: 251)
b. Strata Sosial dalam Masyarakat Jawa
Novel Pasar, MPU, dan WS juga memperlihatkan adanya pengakuan
terhadap strata sosial dalam masyarakat. Pengakuan kelas atas diperlihatkan
dengan kepemilikan kekayaan, jabatan, dan kekuasaan atau wewenang.
Sebagai pelaku sosial para tokoh pun melakukan interaksi, baik secara
struktural maupun kultural. Bahkan interaksi tersebut meluas pada pelaku
sosial lain.
Pengakuan terhadap strata sosial dalam masyarakat digambarkan
sebagai berikut:
Pak Camat datang juga. Pak Mantri mendahului memberi selamat: “Selamat siang, Pak.” Keduanya termasuk orang-orang penting dalam kota kecil itu. Kalau ada orang kawin merekalah duduk paling muka, mendapatkan penghormatan yang pertama. Juru tulis menyodorkan buku tamu. Pak Camat memeriksanya. (Kuntowijoyo, 2002: 61)
Berbeda dengan apa yang diperlihatkan novel Pasar, dalam novel
MPU dan WS pengakuan masyarakat terhadap strata sosial tidak terlalu
berpengaruh pada interaksi antarmasyarakat.
Fungsionaris Mesin Politik datang lagi. “Nah, apa kata saya?” “Apa boleh buat.” “Berpolitik itu jangan tanggung-tanggung.” “Saya tidak berpolitik.”
clxxiii
“Tidak berpolitik itu. Politik. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita semua berpolitik. Dalam politik ada ungkapan ‘kalau kau kalah, bergabunglah dengan yang menang’. Kedatangan saya kemari untuk mengajak Pak Abu bergabung. Bagaimana?” (Kuntowijoyo, 2000: 136)
Kepala Polisi bilang pada bawahannya. “Kalian akan kami usulkan dapat bintang produksi. Besok
diluang lagi. Sampai mereka sadar.” “Ya, tugas dan bintang itu berikan saja kepada orang lain.”
(Kuntowijoyo, 2003: 252)
c. Religiusitas dalam Masyarakat Jawa
Novel Pasar memperlihatkan masyarakat Jawa yang berpegang pada
ajaran Islam Kutipan berikut ini memberikan fakta tersebut:
Segala puji bagi-Mu. Petunjuk yang cemerlang. Ada untungnya ia menjadi orang Jawa, membaca surat-surat, dan riwayat para nabi juga! (Kuntowijoyo, 2002: 256)
Novel MPU memperlihatkan perilaku hidup masyarakat Jawa banyak
dipengaruhi unsur Arab atau Islam
Sesampai di desa baru, kakek-nenek tahu bahwa kelahiran Abu belum disambut dengan akikah. Maka dipotonglah dua ekor kambing jawa. (Kuntowijoyo, 2000: 6-7)
Dalam kutipan lain diperlihatkan juga adanya sinkretisme ajaran, yaitu
kebiasaan masyarakat Jawa ketika memanjatkan doa kepada Sang Pencipta.
Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut:
Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu. Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orang tuanya, “Hati-hati memelihara anak ini. Besok dia akan jadi pujangga. Aku mendapat firasat, ketika aku keluar dari makam ada rombongan orang membarang, menyanyi, dan menabuh gamelan, anak itu memiringkan telinganya, seperti mendengar sinden dan klenengan.” (Kuntowijoyo, 2000: 2)
clxxiv
Dalam novel WS nuansa islam lebih terasa karena memang
masyarakat pantura mayoritas Islam yang senang menampilkan simbol
keislaman. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:
Anak-anak yang mengaji di surau belajar sholawatan bersama dua orang gadis nelayan. Orang-orang laki-laki dewasa mengiringi dengan menabuh rebana. (Kuntowijoyo, 2003: 207)
d. Seni Budaya Jawa
Kesenian juga menjadi warna dalam memberikan gambaran karakter
sosial budaya masyarakat. Dalam novel Pasar dan novel MPU diperlihatkan
bentuk seni syair dan tembang Jawa Kuna, candrasengkala, dan ketoprak
sebagai seni yang hampir hilang di masyarakat. Sedangkan dalam novel WS,
seni nembang dan shalawatan yang lebih dominan.
Ia menemukan kejanggalan. “Hh,” katanya, “Darmo Kondo ini mesti Koran Cina! Apa ini: Dandanggula bukan, Kinanti buka, macapat bukan, tembang gedhe bukan. Tak ada bahasa Kawi-nya. Mana bisa. Mana jadi. Orang tak tahu sastra menulis sastra. (Kuntowijoyo, 2002: 11)
“Apalagi. Candrasengkala sebuah kalimat untuk menandai tahun dibangunnya pompa itu, Pak.” (Kuntowijoyo, 2002: 63)
Pak Mantri suka nonton ketoprak, hanya saja ia kurang suka dengan cara penonton-penonton yang suka menyoraki pelaku-pelaku perempuan yang cantik, terutama kepada Sri Hesti itu. (Kuntowijoyo, 2002: 17)
Kutipan dalam novel Pasar di atas menunjukkan bahwa seni tambang
jawa Kuna, candrasengkala, ataupun ketoprak telah mulai tergeser oleh
budaya baru sebagai salah satu efek perkembangan zaman.
clxxv
Fakta yang sama juga diperlihatkan dalam novel MPU. Pertunjukkan
wayang sekarang ini kerap menampilkan cerita yang telah mengalami proses
kreativitas karena pengaruh modernitas zaman.
Yang punya rumah bisa pesan lakon apa saja: Dari “Gatotkaca Krama” kalau yang punya hajat mantu, “Wahyu Makuta Rama” untuk perayaan 17 Agustus, sampai yang aneh-aneh, seperti “Petruk Sunat”. Dari yang sangat pakem (baku) sampai yang paling carangan (cabang). (Kuntowijoyo, 2000: 14)
Menurut pengalamannya 85% dari konsumen wayang ialah
konsumen kolektif (kepanitiaan), sedangkan konsumen individual hanya 15%. Makin ke kota makin besar konsumen kolektifnya, hanya di desa masih ada satu dua konsumen individual. (Kuntowijoyo, 2000: 214)
Yang punya rumah bisa pesan lakon apa saja: Dari “Gatotkaca Krama” kalau yang punya hajat mantu, “Wahyu Makuta Rama” untuk perayaan 17 Agustus, sampai yang aneh-aneh, seperti “Petruk Sunat”. Dari yang sangat pakem (baku) sampai yang paling carangan (cabang). (Kuntowijoyo, 2000: 14)
Dalam novel MPU diperlihatkan bahwa ilmu seni juga sudah dapat
diperoleh melalui pendidikan formal yang lebih tinggi. Perkembangan zaman
membutuhkan peran sosial lain untuk melengkapi satu aspek kehidupan,
termasuk seni. Kutipan berikut ini menggambarkan fakta tersebut di tahun 90-
an:
STSI menghasilakn sarjana atau seniman. Sarjana hanya perlu menulis “teori”, dan seniman hanya perlu ‘praktik’. Abu ingin jadi kedua-duanya. (Kuntowijoyo, 2000: 219-220)
Bahkan dalam cerita MPU juga diperlihatkan terjadi pergeseran yang
bersifat negatif dalam kesenian. Kesenian saat ini juga dimanfaatkan untuk
kepentingan politik golongan. Kutipan di bawah ini memperlihatkan adanya
clxxvi
pertunjukkan kesenian wayang yang diselenggarakan karena kepentingan
politik partai:
Musim Agustusan tiba. Randu sekali ini ingin mengesakan bahwa ia punya perhatian besar pada sebangsa kebudayaan tradisional. Itulah sebabnya ia mengerahkan dalang dari luar Karangmojo untuk merayakan Agustusan di tingkat daerah dan cabang-cabang. (Kuntowijoyo, 2000: 209)
Sedangkan dalam novel WS, tokoh Satinah dan paman menyampaikannya
melalui nyanyian yang diiringi siter dan seruling untuk mbarang. Berikut ini
cuplikan seni budaya Jawa dalam WS :
Kata Satinah lagi, “Karena Paklik juga akan meninggalkan kalian, ia sudah menggubah lagu ‘Maskumambang Selamat Berpisah’ dan ‘Megatruh Selamat Tinggal’. ‘Maskumambang’ artinya emas yang mengapung di air, sebuah keajaiban, dan ‘megatruh’ artinya pisahnya roh dari badan, tanda bahwa perpisahan ini ibarat kematian. Silakan Paklik.” Satinah memasukkan kaset, merekam tembang pamannya. (Kuntowijoyo, 2003: 206)
Dalam novel ini juga diceritakan bahwa masyarakat pantura lebih
menyukai sholawat daripada wayang orang. Hal ini tidak berarti masyarakat Jawa
bagian pesisir kehilangan seni budaya Jawa.
Anak-anak yang mengaji di surau belajar sholawatan bersama dua orang gadis nelayan. Orang-orang laki-laki dewasa mengiringi dengan menabuh rebana. (Kuntowijoyo, 2003: 207)
e. Mitos Masyarakat Jawa
Novel Pasar, MPU, dan WS memperlihatkan posisi pasar menjadi
sentra tempat aktivitas sosial bagi masyarakat Jawa dan meyakini hari pasar
sebagai hari baik. Selain untuk penjadwalan agar tertata, hal ini diyakini
mempermudah rizki. Mengenai hari pasar dapat dilihat dalam kutipan ketiga
novel berikut:
clxxvii
Mereka membuka bungkus-bungkus dagangan menggelarnya di lantai, di bawah los-los pagar atau di emper, atau di jalanan. Hari itu hari Pahing yang biasa, kalau mencari keramaian hari pasar, pada Kliwonlah. (Kuntowijoyo, 2002: 2)
Hari masih pagi, agak dingin di tempat itu, tetapi pasar itu
sudah hidup sejak subuh. Hari itu hari Pasar. Orang membawa kambing, kerbau, dan sapi di pasar ternak di sebelah selatan pasar, yang ada kayu-kayu tempat orang menalikan ternaknya. Los-los pasar juga sudah penuh. Mulai terdengar orang tawar-menawar, kumandang pasar itu. (Kuntowijoyo, 2000: 56)
Petugas dari kecamatan dengan tas di pinggang mendekati para
pedagang dan menarik pajak. Hari ni bukan hari pasar biasa, tapi Hari Pasar. Itulah sebabnya Satinah dan Pamannya dating. Pasar akan segera selesai. (Kuntowijoyo, 2003: 16)
f. Perilaku Kesenangan Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa memiliki banyak perilaku yang khas sebagai
indentitas masyarkat. Hal tersebut juga menjadi perhatian yang digambarkan
dalam novel Pasar dan novel MPU. Sebagaimana digambarkan dalam kutipan
berikut:
Burung-burung itu mengharap padanya, bahkan puter di sangkar yang bulat itu mengepakkan sayap. Pak Mantri bersiul lagi, mengacungkan tangannya, menggeserkan ibu jari ke jari tengah. (Kuntowijoyo, 2002: 10)
“Saya akan memeliharanya sebagai klangenan,” kata Abu. Hampir setiap rumah memelihara klangenan. Burung dara, kucing, jalak, kutilang, parkit. Ada yang suka tosan aji, batu mulia, bonsai. Orang kaya memelihara kuda, kapal pesiar, mobil balap. Negeri akan tenang bila semua orang punya klangenan. (Kuntowijoyo, 2000: 120)
g. Penggunaan Bahasa dalam Masyarakat
Keberadaan masyarakat dengan berbagai budaya yang melekat tentu
tidak lepas dari aspek kebahasaan sebagai salah satu bentuk budaya
masyarakat. Hal itulah yang juga diperlihatkan dalam novel Pasar, MPU, dam
clxxviii
WS. Ketiga novel tersebut memperlihatkan penggunaan bahasa dalam
masyarakat Jawa yang sudah mengalami campur kode. Kutipan dalam kedua
novel berikut menunjukkan hal itu:
Rokok-rokok dilempar ke panggung. Lalu, suit-suit! Ai laf yu darling! Wah nek ngene aku emoh! Sewengi gak iso bubuk, rek! Aku wegah mulih, yu! Kowe gelem po karo aku! Dan, di antara orang yang melemparkan rokok ke panggung itu ialah Kasan Ngali. (Kuntowijoyo, 2002: 336)
Masak lupa, peristiwa sepenting ini biasanya dipakai alasan untuk
show up.” (Kuntowijoyo, 2000: 233) “Tahu saja. Itu kan cover girl di tabloid itu, to?” “Ya, kalau mau. Kalau tidak, bagaimana?” “Jadi laki-laki yang pede, jangan ingah-ingih begitu.”
(Kuntowijoyo, 2000: 231) “Saru itu nyasarnya kalau turu (tidur)” (Kuntowijoyo, 2003: 225)
h. Prinsip Hidup Masyarakat Jawa
Filosofi lama yang menjadi konsep hidup masyarakat Jawa pun
menjadi gambaran dalam novel Pasar, MPU, dan WS. Dalam novel Pasar
terdapat semboyan yang menunjukkan cara berpikir dan mentalitas
masyarakat Jawa yang senang berusaha keras. Berikut merupakan pandangan
masyarakat Jawa dalam novel Pasar, MPU, dan WS yang banyak berupa
semboyan Jawa:
Sekarang memang sedang musim tanam. Jangan mengharapkan panen. Jer basuki mawa beya. Tidak ada kemakmuran masa depan tanpa ada pengorbanan. (Kuntowijoyo, 2002: 238-239)
Sak bejo-bejone, wong kang lali Isih bejo, wong kang eling lan waspodo (semujur-mujurnya orang yang lupa diri masih mujur orang
yang ingat dan waspada) (Kuntowijoyo, 2000: 24) Rerasan yang tersebar dari mulut ke mulut, makin lama makin besar seperti kata ungkapan Sak dawa-dawane lurung ish dawa gurung
clxxix
(sepanjang-panjangnya lorong, masih panjang tenggorokan): ada agama sesat di lingkungan nelayan! (Kuntowijoyo, 2003: 101-102)
Dalam novel MPU diperlihatkan juga terjadinya pergeseran
masyarakat Jawa dalam memandang sebagian semboyan Jawa. Misalnya
dalam kutipan novel MPU berikut:
“Bicara baik-baik dengan dia. Yakinkanlah bahwa mangan ora mangan waton ngumpul itu sudah kuno,” pinta orang itu.(Kuntowijoyo, 2000: 27)
i. Interaksi Sosial dalam Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa mempunyai interaksi sosial yang bagus, yaitu berupa
sifat kekeluargaan satu sama lain. Kutipan dalam novel Pasar, MPU,dan WS
berikut memperlihatkan suasana efek harmonis dari interaksi kekeluargaan
yang dibangun:
Kabar kepergian Siti Zaitun itu sudah meluas. Di pondoknya Siti Zaitun sibuk menerima tamu-tamu. Pak Camat, polisi, ibu-ibu, tetangga-tetangga, guru-guru. Hadiah menumpuk di meja. Zaitun tidak bermaksud meramaikan kepergiannya itu. Tetapi tercium juga. Gadis itu sengaja akan pergi diam-diam, maka ia sengaja pula tidak berpamitan. Besok, setibanya di kota, dia akan menulis surat datang lagi berpamitan. Tetapi orang datang juga. Dan hadiah-hadiah mengalir. Ah, kota itu menyenangkannya juga. Tidak disangkanya orang-orangnya yang ramah. Sampai ia menangis terisak setiap menerima tamu. (Kuntowijoyo, 2002: 350)
Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli filsafat
kecil-kecilan, dan cagak lek (membuat terbangun) hidup. (Kuntowijoyo, 2000: 114)
Wasripin ketika mau menikah dalam keadaan miskin sehingga
masyarakat secara sukarela membantunya. Berikut kutipan yang merupakan
interaksi masyarakat di perkampungan nelayan.
clxxx
Sebuah panitia sudah dibentuk. Para nelayan patungan menanggung biaya. (Kuntowijoyo, 2003: 207)
j. Pewarisan Kepemimpinan
Novel Pasar, MPU, dan WS menampilkan peralihan kepemimpinan
sebagai tradisi yang senantiasa eksis dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa.
Tetapi ketahuilah, engkaulah yang sebenarnya pewaris. Maukah, Nak?” Paijo mengangguk. (Kuntowijoyo, 2002: 346)
Di Kemuning ada sembilan lurah yang habis masa jabatannya dan pilkades akan dilaksanakan serentak di seluruh kecamatan. (Kuntowijoyo, 2000: 91)
Maka dalam sebuah upacara yang diramaikan dengan selawatan mereka melantik Modin sebagai Kepala Rakyat alias Karak. Pembawa acara mengatakan bahwa yang melantik adalah rakyat, jadi rakyatlah yang bertanggung jawab. Kalau ada apa-apa rakyatlah yang akan maju. (Kuntowijoyo, 2003: 87)
k. Penyampaikan Kritik
Pengungkapan komunikasi di era yang sudah maju difasilitasi dengan
perangkat teknologi lain. Seperti diperlihatkan dalam novel Pasar, MPU, dan
WS bahwa penyampaian kritik dilakukan melalui sarana atau media.
O, ya. Ada di bawanya surat kabar. Mungkin ada contohnya di sana. Ia mengeluarkan selembar surat kabar dari tas. Bagaimana modelnya. Judulnya? Ia ingin menulis sesuatu tentang keburukan cara kerja di kecamatan itu. Juga tentang apa yang disebutnya sebagai pemberontakan orang pasar. Ini tentu akan menarik pembaca. Tulisan jangan sampai hanya luapan perasaan saja. Harus sesuatu yang meyakinkan, penuh bukti-bukti. Bukan isapan jempol. (Kuntowijoyo, 2002: 145)
Ini agak luar biasa, tidak pernah ada demo mahasiswa sejak 1966 ketika mahasiswa mendemo Bupati yang PKI. Demo belum umum, apalagi di kota kabupaten itu. (Kuntowijoyo, 2000: 157)
Lima puluhan nelayan ke Kodim. Mereka berboncengan sepeda motor dan sepeda ontel. Membawa bendera merah putih. (Kuntowijoyo, 2003: 142).
clxxxi
3. Penokohan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan
Satinah sebagai Perwujudan Sosok Masyarakat Jawa
Kuntowijoyo juga membangun konsep latar sosial budaya melalui
karakteristik tokoh-tokohnya yang kuat. Karakteristik serta interaksi tokoh dengan
berbagai simbol yang melekat dalam dirinya memberikan perwujudan aspek latar
sosial budaya novel. Tokoh Mantri Pasar dalam novel Pasar merupakan sosok
orang Jawa tradisional yang memiliki andaian ideal yang seharusnya dimiliki para
pemimpin di masyarakat. Dalam novel MPU, tokoh Abu Kasan Sapari, menjadi
simbol orang Jawa modern yang telah berinteraksi dengan kemajuan zaman di
masa hidupnya. Pikiran dan tindakannya merupakan perwujudan manusia Jawa
modern.
Sedangkan dalam WS, tokoh Wasripin dan Pak Modin menjadi simbol
masyarakat pesisir yang telah megalami berbagai kemelut hidup. Tokoh Pak
Modin adalah mantan pejuang yang memiliki kemampuan agama lebih, disegani,
dihormati, dan dicintai penduduk. Wasripin adalah tokoh berlumur dosa yang
bertaubat dan dapat memberi manfaat pada banyak orang karena keahliannnya.
Karakter tokoh wanita, Siti Zaitun dalam novel Pasar, Sulastri dalam
novel MPU, dan Satinah dalam novel WS menjadi ikon sebagai sosok wanita
Jawa modern. Tokoh antagonis Kasan Ngali dalam novel Pasar, Mesin Politik
dalam novel MPU, dan militer/pemerintah dalam novel WS merupakan gambaran
watak yang kontrapositif terhadap harmonisasi kehidupan sosial masyarakat Jawa.
clxxxii
4. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak
Ular, dan Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo
Deskripsi nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak
Ular (MPU), dan Wasripin dan Satinah (WS) meliputi deskripsi nilai pendidikan
: (a). agama; (b) moral; (c). Adat/budaya; dan (d) sosial. Berikut peneliti
kemukakan deskripsi terhadap masing-masing nilai pendidikan tersebut.
a. Nilai Pendidikan Agama
Dalam novel Wasripin dan Satinah (WS) pengarang menyampaikan
nilai pendidikan agama dengan ungkapan tokoh-tokohnya. Tokoh Wasripin
bertaubat dan ingin mendekatkan diri pada Tuhan.
Pada tahun kelima ia merasa harus menghentikan semua kegiatannya membantu para tetangga dengan tenaganya (memuaskan nafsunya). “Aku tak mau mati dengan cara begini,” katanya. (Kuntowijoyo, 2003: 5)
Selain itu, Wasripin ketika mengobati orang sakit ia mengajarkan doa
minta kesembuhan kepada Allah.
Wasripin memijat-mijat bagian perut, dan memberikan botol Aqua yang sudah diberi doa. Kemudian juga mengajarkan doa Nabi Ibrahim untuk dicaba sesering mungkin, Wa idza maridhtu, fahuwa yasyfiin (Dan ketika aku sakit, Dia menyembuhkanku). (Kuntowijoyo, 2003: 97) Paklik/Paman Satinah mengisyaratkan kepada pembaca pentingnya
bertaubat dan pasrah pada Tuhan.
“Aku bersumpah demi Tuhan, Mas-Mbakyu! Saksikan, bahwa seumur hidup aku tidak akan menyentuh perempuan lagi!” (Kuntowijoyo, 2003: 47)
“Ya kalau ya, kalau tidak bagaimana. Umur orang itu sudah ditetapkan, tidak bisa dimajukan ataupundiundurkan sedikitpun”. (Kuntowijoyo, 2003: 213)
clxxxiii
Nilai pendidikan agama dalam novel WS juga dapat diperoleh dari
ucapan-ucapan Pak Modin, seperti kutipan berikut ini:
“Bapak-bapak, sudah waktunya sembahyang ashar. Bagaimana kalau pertemuan ditutup?” kata Pak Modin. (Kuntowijoyo, 2003: 33)
“Orang-orang syahid tidak mati, tapi diangkat Tuhan ke sisi-Nya” kata Pak Modin “Dan Wasripin telah syahid. Negara Mendzalimi anaknya sendiri yang seharusnya dilindungi. Jangan menjadikan ia sebagai washilah. Itu syirik. (Kuntowijoyo, 2003: 246)
“Sudahlah, Bu. Memang sudah takdir. Mau punya anak dan menantu saja gagal.” (Kuntowijoyo, 2003: 233)
“Apapun yang terjadi, Bu, beristighfarlah dan ucapkan Alhamdulillah.” Ia menarik nafas panjang. (Kuntowijoyo, 2003: 234)
Dalam novel MPU, Kuntowijoyo juga memberi amanat agar manusia
tidak berlaku syirik.
Abu Kasan Sapari berjalan hilir mudik di rumah. Ia pusing, secara resmi Lurah memintanya untuk mendalang dalam selamatan desa. Ia ingat, Eyangnya saja telah menebang pohon-pohon keramat tanpa upacara. Sekian ratus tahun kemudian cucunya akan mendalang untuk selamatan karena pohon tumbang. “Ini benar-benar kemunduran,” pikirnya. Kepada Lurah dikatannya bahwa dia minta waktu, soalnya rapat LKMD menolak selamatan. Akan dicobanya minta pendapat Lastri. (Kuntowijoyo, 2000: 196).
Dalam novel Pasar, Kuntowijoyo juga memberi amanat agar manusia
pasrah, bersahaja, (samadya), dan tidak menuruti hawa nafsunya. Hal itu
terungkap dari deskripsi pemikiran Pak Mantri berikut ini:
Pak Mantri mencoba menerima nasibnya. Kalau nafsu sudah menguasai budi, nasihat tak ada gunanya. (Kuntowijoyo, 2002: 6).
Orang itu harus samadya jangan berlebihan, jangan makan terlalu panas atau terlalu dingin. (Kuntowijoyo, 2002: 10).
b. Nilai Pendidikan Moral
Sikap tanggung jawab terhadap perbuatan adalah sikap moral yang
wajib dilakukan. Hal itu terungkap dalam novel WS melalui pernyataan
Pendekar Tingkat Desa ketika dirinya hamil karena ulah Pendekar Tingkat II.
clxxxiv
Ketika Pendekar Tingkat Desa ada tanda-tanda hamil, Pendekar Tingkat II mengusulkan seorang dukun yang bisa menggugurkan. Tapi Pendekar menolak, “Ini bayi, bayiku sendiri. Jangan gelem mangan nangkane, emoh pulute (mau enaknya, tak mau susahnya). (Kuntowijoyo, 2003: 115)
Selain itu, sikap moral yang biak juga terlihat dari pernyataan
kader Partai Randu yang disuruh menculik Wasripin.
“Menculik Wasripin?” “Iya.” “Jangan, Pak. Seperti kata peribahasa itu namanya ‘air susu
dibalas dengan air comberan’.” (Kuntowijoyo, 2003: 219)
Begitu pula dalam novel Pasar, Kuntowijoyo mengkritisi sikap pejabat
(camat dan kepala polisi) yang masih hobi adu jago dan keluyuran pada saat
jam kerja. Padahal mereka adalah figur yang dijadikan panutan.
Hari sudah siang waktu itu. Pak Camat tahu juga kesopanan, ia minta maaf pada Pak Mantri karena ada sedikit keperluan. Ya, nonton adu jago. Itu mantri pasar sudah tahu. Lalu camat juga membisikkan bahwa ia baru saja nonton adu jago. (Kuntowijoyo, 2002: 62)
Ah, kepala polisi, pada jam kerja sempat masuk pasar dan menawar burung! Keterlaluan! Tidak sudi Pak Mantri melanjutkan omong tentang yang bukan urusan dinas di kantor macam ini. Mesti ditertibkan (Kuntowijoyo, 2002: 83). Sikap Abu Kasan Sapari dalam novel MPU juga merupakan
pendidikan moral. Dia menolak dijadikan caleg karena ada maksud lain yang
tersembunyi. Yaitu agar Abu tidak menghalang-halangi usaha kotor (politik
uang dan pemaksaan) Mesin Politik mendapat suara terbanyak.
Abu mengerti duduk soalnya. Ia menolak. Tentu saja itu di luar
harapan para tamunya. Sebab, orang lain berebut menjadi caleg jadi. Karenanya penolakan itu aneh bagi mereka.
“Aneh! Lalu apa maumu? Kalau bukan pangkat, kalau bukan jabatan?”
clxxxv
“Tidak semua garam sama kadar asinnya, Pak. (Kuntowijoyo, 2000: 145)
c. Nilai Pendidikan Adat/Budaya
Nilai-nilai budaya yang berakar pada adat lokal atau adat daerah dalam
novel ini adalah adat daerah yang bernuansa kejawaan. Kutipan novel Pasar
berikut merupakan salah satu nilai pendidikan adat:
Tidak ada orang Jawa yang lain. Juga camat, juga kepala polisi. Ah, tahunya apa camat-camat sekarang. Adu jago saja patohan, membuat candrasengkala mesti ke Pak Mantri. Inilah kelirunya. Zaman dulu pegawai itu mesti tahu sastra. Bukan sekadar bisa baca tulis. (Kuntowijoyo, 2002: 63-64).
Dalam novel MPU, ada nilai pendidikan adat yang dapat diambil yaitu
berupa kritik terhadap budaya Jawa.
“Bicara baik-baik dengan dia. Yakinkanlah bahwa mangan ora mangan waton ngumpul itu sudah kuno,” pinta orang itu (Kuntowijoyo, 2000: 27)
Sedikit berbeda dengan novel Pasar dan Mantra Pejinak Ular,
Kuntowijoyo dalam novel Wasripin dan Satinah nilai pendidikan adat/budaya
budaya Jawa masyarakat pantura dapat dilihat dari penggalan berikut ini.
Wayangan dan ruwat yang diselenggarakan oleh Babinsa sepi pengunjung. Di siskamling orang-orang rerasan, “maklum pendatang”, “Orang akan lebih suka selawatan daripada wayang dan ruwat.” (Kuntowijoyo, 2003: 83)
d. Nilai Pendidikan Sosial
Nilai pendidikan sosial mencakup kebutuhan hidup bersama,
seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Kutipan
novel Pasar berikut ini merupakan penggalan nilai pendidikan sosial.
clxxxvi
“Lagi pula yang penting, ingatlah bahwa kau orang Jawa. Ketika engkau gembira, ingatlah pada suatu kali kau akan mendapat kesusahan. Apalagi menertawakan nasib buruk orang lain, Nak. Jangan, sekali-kali jangan. Orang yang berpangkat harus berbuat baik, suka menolong. Kalau ada yang kesusahan, harus bisa membantu. Jangan malah menertawakan. Kalau tidak bisa membantu, menyesallah. Dan berjanjilah suatu kali kau akan membantu. Sebaliknya ikutlah berduka cita atas kemalangan orang lain. Engkau boleh tertawa apabila saudaramu beroleh kesukaan. Bersusahlah bersama orang yang susah, bergembiralah bersama orang yang bergembira. Renungkanlah, Nak.” (Kuntowijoyo, 2002: 344).
Kabar kepergian Siti Zaitun itu sudah meluas. Di pondoknya Siti
Zaitun sibuk menerima tamu-tamu. Pak Camat, polisi, ibu-ibu, tetangga-tetangga, guru-guru. Hadiah menumpuk di meja. Zaitun tidak bermaksud meramaikan kepergiannya itu. Tetapi tercium juga. Gadis itu sengaja akan pergi diam-diam, maka ia sengaja pula tidak berpamitan. Besok, setibanya di kota, dia akan menulis surat datang lagi berpamitan. Tetapi orang datang juga. Dan hadiah-hadiah mengalir. Ah, kota itu menyenangkannya juga. Tidak disangkanya orang-orangnya yang ramah. Sampai ia menangis terisak setiap menerima tamu. (Kuntowijoyo, 2002: 350)
Kutipan di atas menggambarkan adanya hubungan sosial yang sangat
harmonis. Adanya kasih sayang sesama masyarakat dan kerelaan untuk
berbagi dalam keadaan susah dan senang patut diteladani oleh siapapun.
Dalam novel MPU, Abu sering ikut ronda atau siskamling. Berikut ini
kutipan yang menjadi bukti adanya nilai pendidikan sosial:
Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng, ahli filsafat kecil-kecilan, dan cagak lek (membuat terbangun) hidup. (Kuntowijoyo, 2000: 114) Sementara itu, dalam novel WS, nilai pendidikan sosial ini berupa
gotong royong yang dilakukan warga ketika Wasripin mau menikah. Hal ini
mengisyaratkan betapa pentingnya gotong royong dalam masyarakat. Berikut
ini kutipan yang menjadi bukti adanya nilai pendidikan sosial:
Sebuah panitia sudah dibentuk. Para nelayan patungan menanggung biaya. (Kuntowijoyo, 2003: 207)
clxxxvii
B. PEMBAHASAN
Berdasarkan Deskripsi dan temuan yang telah diuraikan di atas, maka akan
dikemukakan pembahasan yang meliputi pandangan dunia pengarang, struktur
teks, stuktur sosial, dan nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak
Ular,dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo.
1. Religius Profetik sebagai Pandangan Dunia Kuntowijoyo
Gagasan Kuntowijoyo yang paling terkenal adalah pemikirannya tentang
ilmu sosial profetik. Menurut keyakinan Kuntowijoyo diperlukan upaya
mengembalikan kesadaran manusia. Sebuah gerakan kebudayaan yang mengolah
dimensi kedalaman manusia (trasendensi, pendidikan moral, pengembangan
estetika) dalam jangka panjang diyakini akan dapat memulihkan kembali
kesadaran itu. Inilah inti pemikiran yang menjadi pemahaman dari kerangka
pemikiran Kuntowijoyo di atas.
Etika profetik memang sangat penting. Apalagi di tengah perkembangan
sosial budaya yang begitu mengedepankan aspek material. Bukanlah dalam
konstelasi semacam itu manusia perlu pegangan dalam kehidupannya. Konteks
inilah yang memberi signifikasi kehadiran etika profetik. Ilmu sosial profetik yang
ditawarkan Kuntowijoyo merupakan alternative terhadap kondisi status quo teori-
teori sosial positivis yang kuat pengaruhnya di kalangan intelektual dan akademisi
di Indonesia. Ilmu sosial profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah
fenomena sosial. Tetapi juga memberikan interpretasi, mengarahkan, serta
membawa perubahan bagi pencapaian nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat
berupa emansipasi atau humanisasi, liberasi, dan transendensi.
clxxxviii
Oleh karena itu etika profetik menjiwai seorang intelektual berpegang
pada nilai-nilai yang universal mencakup: keadilan, kemanusiaan, dan kebenaran.
Itulah gagasan Kuntowijoyo yang memperkenalkan pemikirannya tentang ilmu
sosial profetik. Menurut keyakinan Kuntowijoyo, krisis ilmu sosial sekarang ini
tidak bisa diatasi hanya dengan penolakan-penolakan tetapi dengan mengubah
komitmennya, yaitu pada masyarakat yang konkret, dan kaidahnya, yaitu
profetisme. Perhatian utama yang dibangun adalah emansipasi masyarakat, yang
konkret dan histories, dengan mengaitkannya dengan problem-problem actual
yang dihadapi umat. Problem sekarang ini bagaimana mengantarkan masyarakat
dalam transformasi menuju masyarakat rasional, dan budaya yang manusiawi
dengan mengikatkan hubungan kemanusiaan dalam nilai-nilai spiritual.
Konsepsi pemikiran holistik tidak bisa dipisahkan dari kepribadian
Kuntowijoyo, termasuk di dalamnya ketika ia menawarkan paradigma
kecendekiaan baru yang ditajukinya sebagai ilmu sosial profetik. Baginya,
paradigma tersebut tidaklah cukup jika sekedar diposisikan sebagai sebuah
kerangka teoritik dan metodologis demi penjelasan dan pengubahan fenomena
sosial yang ada. Upaya interpretasi, refleksi, dan aksi harus selalu ada, dan
bersifat konkomitan. Muara akhirnya, untuk mengarahkan, mendorong,
mengubah, dan merekontruksi berbagai kenyataan sosial sesuai dengan nilai-nilai
keagamaan.
Sosok keteladanan itu, kita juga diwariskan dengan sejumlah karya
Kuntowijoyo yang penuh inspirasi, yang tampaknya lahir dari kontemplasi dan
renungannya yang mendalam akan problem kebudayaan yang tidak hanya
clxxxix
dihadapi oleh bangsanya, tetapi juga oleh umat manusia. Sebagai penulis,
Kuntowijoyo bisa dibilang komunikator yang jenius dan istimewa. Ini terlihat dari
kepiawaiannya meracik buah pikirannya dalam bentuk puisi, drama, novel, dan
cerita pendek yang memungkinkannya gagasannya mencapai khalayak yang lebih
luas dan digemari.
Di samping sebagai sejarawan, Kuntowijoyo juga seorang aktivis
Muhammadiyah. Dia sangat lekat dengan Muhammadiyah bahkan sampai pernah
menjadi anggota PP Muhammadiyah. Latar belakang keterlibatannya sebagai
aktivis di organisasi Islam Muhammadiyah mempengaruhinya untuk berpikir
secara rasional dan menentang cara berpikir irasional. Kuntowijoyo mengingatkan
perlunya demitologisasi alam pikiran kita dalam memandang sejarah dan realitas
masa lalu dan realitas kontemporer. Menurut Kuntowijoyo, mitos merupakan
bentuk pikiran yang irasional. Masyarakat yang hidup dalam mitos tak akan bisa
menangani permasalahan realitas. Akar permasalahannya terletak dalam cara
berpikir sebagai bangsa.
Kuntowijoyo merupakan sosok yang menentang mitos kesyirikan berupa
sesaji, kepercayaan terhadap binatang, menyepi di kuburan, dan yang lainnya
karena memang hal tersebut bertentangan dengan keyakinan agamanya. Meski
begitu Kuntowijoyo mengambil sikap moderat dengan tidak secara konfrontatif
melakukan penentangan, tetapi melalui pemberian pemahaman ilmu yang arif dan
bijak. Kuntowijoyo memaparkan keyakinan terhadap mitos sebagai suatu yang
tidak benar, tetapi ia juga melihat bahwa hal tersebut sebagai realitas yang
menjadi fenomena yang hidup di masyarakat.
cxc
Dalam novel Mantra Pejinak Ular (MPU), Kuntowijoyo menggunakan
tokoh utama Abu Kasan Sapari untuk menyampaikan pandangannya tentang
kekeliruan masyarakat dalam menyelesaikan masalah dengan mitos. Sedangkan
dalam novel Wasripin dan Satinah (WS), Kuntowijoyo menggunakan tokoh
saudara orangtua Satinah agar tidak menyepi di kuburan untuk sekadar mengganti
nama. Mereka mengusulkan mengadakan kenduri di rumah dan mengundang para
santri untuk mengaji.
Dengan begitu masyarakat diajak untuk berpikir lebih maju dan rasional.
Kuntowijoyo menyodorkan sebuah sikap yang solutif dengan dasar keyakinannya,
seperti melalui peran tokoh Abu dan Wasripin dalam mengganti keyakinan mitos
dengan nilai budaya yang lebih luhur. Selamatan leluhur dialihkan menjadi
ceramah keagamaan dan ruwat bumi dilakukan tanpa menggunakan sesajian.
Intelektualitas muslimnya membawa Kuntowijoyo menggunakan dasar-
dasar wahyu sebagai landasan bertindak dan berpikir bijak untuk meluruskan
perilaku masyarakat yang bertentangan dengan pandangannya. Dalam cerita
Pasar Kuntowijoyo menyampaikannya melalui tokoh Pak Mantri yang senantiasa
memegang ajaran cinta kasih sebagai warisan para nabi. Pak Mantri menjadi
teladan yang baik di masyarakat telah kehilangan rasionalitas dalam
menyelesaikan masalah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia
Kuntowijoyo adalah pandangan religius profetik. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan Kuntowijoyo dalam maklumat sastra profetik. Dikatakannya bahwa
sastra adalah sebagai bagian dari ibadah. Ini adalah bukti pandangan religiusnya.
cxci
Akan tetapi, pandangan religius tersebut bukanlah religius sufistik yang hanya
mengedepankan hubungan manusia dengan Tuhan. Pandangannya adalah religius
profetik karena ada humanisasi, leiberasi, dan transendensi. Cara pandang inilah
yang menurut Moh. Wan Anwar mampu menjejak bumi (hubungan dengan
manusia) dan menjangkau langit (hubungan dengan Tuhan).
1. Misi Profetik Kesenian
Kuntowijoyo mengatakan bahwa keluhuran seni bersifat profetik,
artinya memiliki dasar nilai keagungan ajaran yang religius. Seni memiliki
tanggung jawab menempatkan diri sebagai unsur keseimbangan terhadap
unsur yang lainnya. Dalam hal ini seni tidak boleh menyimpang dari hakikat
intinya. Di sisi lain, Kuntowijoyo membandingkan kesenian dengan
kekuasaan, Kuntowijoyo memaparkan bahwa kesenian dengan kekuasaan
memiliki batas yang berbeda. Oleh karena itu, kesenian dalam perannya
memberikan kesadaran di masyarakat dilakukan dengan keluhuran yang
dimilikinya.
Kuntowijoyo menyesalkan krisis kultural dalam bentuk politisasi dan
komersialisasi kesenian. Komersialisasi misalnya menimbulkan pembodohan
dan dehumanisasi. Dehumanisasi merupakan penempatan manusia seperti
mesin robot sebagai objek yang bisa diperalat untuk kepentingan kekuasaan.
Dalam hal ini Kuntowijoyo memberikan peringatan agar kaum
cendekiawanlah yang berperan aktif menjalankan misi profetik kesenian.
Dalam novel Pasar, tokoh Pak Mantri telah menyampaikannya melalui
candrasengkala dan tembang Jawa. Dalam novel MPU tokoh Abu
cxcii
menyampaikannya melalui seni wayang. Sedangkan dalam novel WS, tokoh
Satinah dan paman menyampaikannya melalui nyanyian yang diiringi siter
dan seruling untuk mbarang.
2. Misi Profetik Sosial
Dalam pandangan Kuntowijoyo, terjadinya pelapisan sosial
berdasarkan kelas menjadi hal yang tidak terhindarkan. Kepemilikan harta,
jabatan, dan wewenang menjadi pengakuan terhadap strata sosial di
masyarakat. Permasalahan konflik sosial pastilah berpotensi muncul dalam
kondisi seperti itu. Tetapi hal yang perlu diperhatikan adalah adanya
keseimbangan interaksi sosial yang memiliki timbale balik positif.
Kuntowijoyo menyarankan agar kaum intelektual harus memulai
dengan gerakan kesadaran untuk melawan kecenderungan-kecenderungan
sosial yang dekaden. Kaum intelektual dan budayawan itu seharusnya bisa
melihat secara komprehensif pada masyarakatnya. Sebab, menurut
Kuntowijoyo, di samping sangat mobile pemikirannya, kaum intelektual dan
budayawan dituntu pula untuk secara partisipatif mengubah persepsi
masyarakat. Kalau misalnya sistem sosialnya akan menjadi sistem sosial yang
depresif (menindas), maka kaum intelektual dan budayawan harus melawan
kecenderungan itu dengan kearifan.
Kuntowijoyo memberikan gambaran peran intelektualitas dalam
membangun interaksi sosial dengan melandaskan pada etika profetik. Etika
profetik akan mengarahkan cendekiawan untuk memberikan sikap keteladanan
dan tanggung jawab dalam proses interaksi. Proses interaksi antarmanusia
cxciii
harus dibangun di atas landasan humanisme dan trasendental. Artinya
interaksi dilakukan dalam rangka mencapai kebersamaan tanpa saling
mencederai dan senantiasa memerhatikan nilai-nilai luhur religius sebagai
kontrol hubungan transendental.
3. Misi Profetik Budaya
Sebagai seorang sejarawan, Kuntowijoyo sangat menghargai kearifan
dan budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah seolah-olah
memang mengajarkannya kearifan itu. Bagi Kuntowijoyo, belajar sejarah
adalah proses belajar kearifan. Kuntowijoyo meyakini budaya Jawa yang telah
mengakar di dalam masyarakat Jawa selama ratusan tahun sebagai sesuatu
yang memiliki nilai luhur. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam budaya
sangat penting bagi keseimbangan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai luhur
budaya Jawa memberikan arahan bagi manusia dalam berpikir dan berperilaku
sebagai manusia yang alim. Kuntowijoyo melihat bahwa masyarakat Jawa
sekarang telah melupakan dan meninggalkan budaya Jawa. Hal itu berarti
telah melupakan dan meninggalkan nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalamnya.
Sebagian masyarakat telah melupakan dan meninggalkan
candrasengkala, seni sastra Jawa, yang berisi nilai luhur kehidupan
berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Efek yang bisa timbul yaitu
terjadinya penyimpangan perilaku oleh masyarakat, apalagi sebagai pejabat
negara, jauh dari kearifan dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, Kuntowijoyo
menyarankan agar budaya Jawa harus diwariskan dari generasi ke generasi
cxciv
sepanjang masa agar keteladanan terhadap nilai-nilai luhur tersebut dapat
lestari.
Kuntowijoyo juga memandang bahwa masa sekarang telah terjadi
kemajuan budaya yang luar biasa. Kemajuan budaya telrihat dari
pembangunan dari sector fisik yang sangat berperan mempengaruhi
keberadaan budaya yang ada. Dalam kutipan di bawah ini Kuntowijoyo
mengkhawatirkan adanya pergeseran budaya karena pengaruh pesatnya
kemajuan yang tak terbendung efeknya. Maka, kemajuan sarana fisik haru
diimbangi denga penanaman nilai-nilai luhur budaya yang tidak luntur meski
zaman semakin berkembang.
Hal lain yang diperlihatkan Kuntowijoyo ialah kenyataan pada budaya
yang terkait cara berpikir masyarakat. Masyarakat sekarang sudah mulai
menerima wujud keterbukaan pikiran terhadap pola hidup, bahkan mungkin
sampai mengubah kultur yang telah ada. Kutipan berikut ini menunjukkan
pergeseran kultur pernikahan dari cara Siti Nurbaya, dijodohkan, menjadi
keleluasaan pihak yang akan menikah. Di samping itu juga pergeseran
terhadap pemikiran hidup selalu berkumpul dalam masyarakat terpengaruh
program transmigrasi.
4. Misi Profetik Politik
Politik yang mengarah pada kebersamaan tujuan disatukan dalam
perwujudan demokrasi. Kuntowijoyo mengingatkan, kebudayaan bersifat unik
dan partikular. Karena itu, demokrasi kebudayaan harus hati-hati jangan
sampai demokrasi menyebabkan hilangnya kepribadian. Dalam demokrasilah
cxcv
hak-hak semua masyarakat dapat disampaikan. Berkenaan dengan itu maka
harus dijaga jangan sampai demokrasi berarti anarki, artinya terdapat tindakan
untuk menekan dan memaksanakan agar hak individu atau golongan lebih
diakui daripada kepentingan umum.
Dalam gerakan politik menuju sistem politik yang rasional itulah kaum
intelektual dapat berperan. Peran yang harus dimainkan intelektual dalam
masyarakatnya adalah salah satu isu yang menjadi kepedulian Kuntowijoyo.
Peran intelektual ialah menggerakkan dan menggunakan potensi ilmunya
sebagai kritik sosial. Kaum intelektual harus berani melontarkan kritik kepada
masyarakat dan melakukan kontrol terhadap sistem yang sedang berjalan. Pak
Mantri Pasar menjadi contoh peran intelektual dalam menyelesaikan masalah
di pasar.
Maka loyalitas tertinggi intelektual ialah pada masa depan bangsa,
tidak pada elite (kekuasaan, bisnis) dan massa (budaya, voting behaviour).
Tindakan Abu Kasan Sapari ketika menolak dijadikan sebagai alat politik
praktis yang tidak mengedepankan kebersamaan dan kejujuran pada kutipan
cerita MPU merupakan bentuk tindakan intelektualitas yang tepat. Selain itu,
menurut Kuntowijoyo politik adalah pengejawantahan moral bukan sekadar
kendaraaan menuju kekuasaan.
5. Misi Profetik Ekonomi
Dalam pandangan Kuntowijoyo, masalah pokok yang dihadapi bangsa
Indonesia adalah kemiskinan dan kesenjangan. Kuntowijoyo melontarkan
menurut persepsi intelektual bahwa dalam masyarakat terdapat kemiskinan
cxcvi
struktural. Masyarakat miskin bukan karena kemalasan, tetapi karena
dimiskinkan oleh sistem dan struktur yang pincang.
Keberadaan pasar tradisional tergeser oleh ego pembangunan yang
mendasarkan capital semata, seperti pembangunan hotel, pabrik, atau pun
yang mengatasnamakan penataan geografis. Masyarakat ekonomi sekarang
tidak bisa dibayangkan tanpa ekonomi pasar, demikian juga ekonomi pasar
hanya dapat berfungsi dalam sebuah masyarakat pasar. Pasar sebagai sentra
aktivitas perekonomian rakyat, menopang ekonomi bagi masyarakat kecil.
Padahal yang terjadi gejala tersebut tidak hanya menggeser eksistensi pasar
tradisional, tetapi juga mengubah tatanan sosial budaya yang telah terbentuk
sekian ratus tahun pada masyarakat Jawa.
Kesenjangan antara masyarakat kelas atas dengan masyarakat kelas
bawah yang lazim adalah monopoli. Kesenjangan itu terjadi sebagai akibat
dari tidak terkendalinya fasilitas yang diberikan oleh mekanisme ekonomi.
Dengan demikian perilaku para kapital atau pemilik modal dapat bertindak
sesuai kepentingannya dengan menguasai perekonomian sedangkan rakyat
kecil tidak mendapatkan kesempatan yang sama karena selalu ditekan.
Kuntowijoyo juga memandang bahwa dalam kegiatan ekonomi pelaku utama
adalah rakyat kecil. Tanpa mereka, kegiatan perekonomian tidak berjalan dan
dapat mengganggu stabilitas negara.
6. Misi Profetik Pendidikan
Dalam paradigma pendidikan, Kuntowijoyo juga mengkhawatirkan
mengenai gejala “refeodalisasi” atau “feodalisme baru” yang menyebabkan
cxcvii
simbol-simbol kebudayaan sering dipakai sebagai sarana dominasi dari status
yang lebih tinggi. Dia juga mencemaskan kemungkinan sarana mobilitas
sosial. Sebagai contoh yang nyata kini sekolah-sekolah kian mahal dan
eksklusif sehingga semakin menutup peluang bagi kalangan masyarakat
bawah. Di sini komersialisasi pendidikan sama berbahaya dengan indoktrinasi
dalam pendidikan. Komersialisasi pendidikan berakibat pembodohan dan
kemiskinan. Kutipan berikut menunjukkan bahwa pendidikan menjadi sesuatu
prestise yang hanya bisa diperoleh oleh kalangan masyarakat kaya:
Kuntowijoyo mengatakan demokrasi kebudayaan dalam aspek
pendidikan justru berusaha supaya setiap warga negara punya akses yang
sama terhadap sumber-sumber kebudayaan, seperti akses terhadap pendidikan.
Oleh karena itu, peran intelektualitas harus menempatkan diri bukan sebagai
pembatas jenjang yang telah ada, tetapi memberikan keseimbangan dengan
membuka saluran bagi pendidikan rakyat. Dalam contoh konkret, hal tersebut
dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan dengan standar yang tidak
membeda-bedakan pelayanan dalam rangka ketercapaian kualitas. Dengan
inilah pendidikan dapat dinikmati oleh masyarakat kalangan manapun.
7. Misi Profetik Moral
Kuntowijoyo memandang bahwa industrialisasi telah mengakibatkan
dekadensi nilai dan moral. Awal dari krisis nilai dan moral disebabkan oleh
tidak adanya keteladanan. Kuntowijoyo juga berkali-kali mengingatkan bahwa
bangsa kita berkali-kali mengalami krisis keteladanan. Yaitu, sirnanya tokoh-
cxcviii
tokoh anutan yang bisa dijadikan rujukan nilai dalam berperilaku dan
bertindak.
Pada saat yang sama, kita juga sedang mengalami krisis pengalaman,
dan kebijakan. Semua yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan
pribadi akan dianggap sia-sia. Kejujuran seorang pejabat dianggap sebagai
kebodohan. Kesederhanaan dapat dianggap sebagai kemewahan yang tak
terjangkau. Orang senang hidup dalam alam ilusi dan gaya hidup serta simbol.
Untuk sukses dalam kehdupan dan “budaya serba-instan” ini, perjuangan dan
kerja keras tidak ada artinya. Di tengah arus pragmatisme kebudayaan, ikhlas
telah digantikan oleh sikap pamrih, altruisme digantikan oleh individualisme.
Yang dulu pejuang bisa tetap tidak punya apa-apa; tidak kekuasaan, tidak
kekayaan, tidak juga kehormatan. Bahkan sebaliknya, para pejuang dituduh
melakukan penyimpangan-penyimpangan yang sebenarnya hanyalah
direkayasa belaka.
Di tengah potret dunia kehidupan yang kontradiktif ini, Kuntowijoyo
lantas mengingatkan pentingnya pendidikan nilai dan moral. Salah satu aspek
pendidikan nilai dan moral adalah perlunya identifikasi diri dalam
mengembangkan konsep baik dan buruk. Tapi dengan adanya anomi (tidak
ada norma, kekacauan nilai, perasaan tidak percaya pada nilai) selama
dasawarsa di bawah Orde Baru bangsa Indonesia telah kehilangan begitu
banyak teladan (exemplary center). Kuntowijoyo sendiri mengatakan generasi
muda sudah menjadi yatim piatu, menghadapi dunia sendirian, tanpa contoh
dari orang tua. Seolah-olah dia dilemparkan ke dunia asing. Tidak heran jika
cxcix
mereka menjadi pemberang yang agresif. Mereka tidak sadar bahwa perilaku
mereka merugikan orang lain.
2. Struktur Teks Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular,
dan Wasripin dan Satinah
Stuktur teks dalam pendekatan stukturalisme genetik yang dicetuskan oleh
Goldmann berpusat pada tokoh yang disebut sebagai tokoh hero. Tokoh hero ini
menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampaikan pandangan dunianya. Tokoh
hero mengalami problematik dengan tokoh lain dan dengan dunia. Tokoh hero
inilah yang dipergunakan pengarang untuk menyampaikan pandangan dunia
religius profetik.
Tokoh hero dalam novel Pasar adalah Pak Mantri Pak Mantri merupakan
tokoh sentral yang mengalami banyak peristiwa dalam keterlibatannya di dalam
cerita Pasar. Fakta tokoh Pak Mantri sebagai tokoh sentral dapat dilihat dari
banyaknya hubungan yang dimiliki dengan tokoh-tokoh lain di dalam cerita. Pak
Mantri dideskripsikan sebagai tokoh hero yang dikenal karena interaksi sosialnya
yang baik kepada masyarakat baik pedagang maupun pejabat pemerintah. Tokoh
Pak Mantri diwujudkan sebagai sosok yang religius, jujur, setia sopan, dan tahu
diri.
Tokoh Abu Kasan Sapari merupakan tokoh hero yang digunakan
pengarang untuk mengungkapkan pandangan religius profetik dalam novel
Mantra Pejinak Ular. Tokoh Abu paling banyak mengalami peristiwa atau paling
banyak diceritakan pengarang. Fakta tersebut menjadikan tokoh Abu sebagai
cc
tokoh sentra yang memiliki masalah kompleks juga berhubungan dengan tokoh-
tokoh lain. Abu Kasan Sapari sejak kecil telah memiliki watak baik. Ia adalah
seorang yang tekun belajar dan berprestasi. Masa dewasanya menunjukkan ia
dapat menggunakan kecerdasannya untuk membantu masyarakat di tempat ia
tinggal. Kepiawaian utama yang dimilikinya ialah sebagai seorang dalang.
Sebagai dalang ia juga termasuk orang yang menghindari perbuatan tabu bagi
seorang muslim Jawa, yaitu kepercayaan terhadap hal takhayul.
Tokoh Wasripin dan Pak Modin merupakan tokoh sentra yang digunakan
pengarang untuk menyampaikan pandangan religius profetiknya dalam novel
Wasripin dan Satinah. Tokoh Wasripin dan Pak Modin paling banyak mengalami
peristiwa atau paling banyak diceritakan pengarang. Fakta tersebut menjadikan
tokoh Wasripin dan Pak Modin sebagai tokoh sentra yang memiliki masalah
kompleks juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Wasripin adalah orang
yang sederhana dan tidak suka berlebihan. Tokoh Pak Modin digambarkan
sebagai seorang yang bijak, religius, dan disegani masyarakat.
Stuktur teks pada pendekatan strukturalisme menekankan kajian pada
tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang. Kajian strukturalisme berkaitan
dengan kualitas suatu karya sastra. Hal ini diperkuat oleh pendapat Teeuw (1984:
121) yang mengatakan bahwa dalam konsep strukturalisme, karya sastra yang
baik harus memiliki kepaduan (unity) dalam hal tema, alur, penokohan, latar, dan
sudut pandang; urutan cerita yang teratur dan memiliki logika cerita (order);
cerita harus memiliki kemungkinan perkembangan kisah yang masuk akal
cci
(complexity); dan cerita berisi kisah yang masuk akal atau harus terjadi
berdasarkan tuntutan konsistensi dan logika cerita (coherence).
Teori mengenai strukturalisme menurut Teeuw memiliki persamaan
dengan William Kenny (1984: 19). Keduanya berpendapat bahwa kualitas suatu
karya sastra dilihat dari unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.
Perbedaannya, Kenny mengatakan bahwa suatu karya sastra harus memiliki
kemungkinan terjadi dalam kehidupan nyata (plausibility); penciptaan suasana
yang berdaya tarik tinggi, (suspense); kejutan (surprise); dan watak tokoh
memiliki kemiripan dengan watak manusia dalam kehidupan nyata (lifelikeness).
Berdasarkan penelitian dari segi strukturalisme, maka novel Pasar, MPU,
dan WS merupakan novel yang berkualitas dari segi struktur karya sastra yang
memiliki uniyt, order, complexity, dan coherence. Novel tersebut juga memiliki
plausibility, suspense, surprise, dan lifelikeness
Berdasarkan perbandingan antara struktur teks pada pendekatan
strukturalisme dan struktur teks pada pendekatan strukturalisme genetik dapat
dikemukakan bahwa pada pendekatan strukturalisme menekankan kajian pada
tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang. Struktur teks pada penelitian
dengan pendekatan strukturalisme genetik menekankan kajian pada tokoh hero.
Ada benang merah antara struktur teks berdasarkan pendekatan strukturalisme
genetik dengan pandangan dunia pengarang dan struktur sosial. Kajian struktur
teks pada pendekatan strukturalisme dapat meperkaya dan melengkapi kajian
struktur pada pendekatan strukturalisme genetik. Kualitas intrinsik suatu karya
sastra perlu diteliti melalui pendekatan strukturalisme.
ccii
3. Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar,
Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah
Struktur sosial budaya masyarakat dalam cerita novel Mantra Pejinak
Ular (MPU), dan Wasripin dan Satinah(WS) berkaitan erat dengan kenyataan
sosial budaya masyarakat Jawa. Kenyataan tersebut ditampilkan berkenaan
dengan warna lokal berupa tatacara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap,
upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan
kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu,
keadaan alam, bahasa, perumahan, dan paparan tentang kesenian.
Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari kebudayaan dan salah satu
bentuk ekspresi manusia dalam menyikapi realitas kehidupan dengan
menggunakan bahasa simbol. Sastra Indonesia mestinya difungsikan untuk
meninggikan derajat kemanusiaan dan membawa pembaca pada pengumbaran
jiwa manusia dengan ekspresi yang rendah. Oleh karena itu perlunya diimbangi
dengan sastra yang bercorak lebih bagus secara makna dan isinya, yang
berdasarkan pada nilai-nilai agama.Sastra yang bercorak pada nilai-nilai agama
merupakan pengungkapan jiwa dan sarana untuk melakukan Ibadah pada
Pencipta. Sebagaimana sastra Islam merupakan sastara yang bersifat multi fungsi
dimana bukan pengungkapan jiwa semata tetapi mengajarkan nilai-nilai
transenden.
Kuntowijoyo merupakan sosok yang fenomenal pada masa itu karena
konsep yang ia tawarkan dalam melihat realitas. Dilihat dari latar belakang
pendidikannya ia merupakan seorang yang ahli sejarah. Sejarah yang ia
ungkapkan dengan menggunakan pendekatan sosial, hal ini dapat dilihat dari
disertasinya yang membahas tentang perubahan sosial masyarakat Madura.
Walaupun ia seorang sejarawan tetapi apa yang dilakukan oleh Kuntowijoyo lebih
dari sejarawan. Hal ini disebabkan ia banyak sekali memberikan konstribusi pada
cciii
bidang yang lain seperti sastra, ilmu sosial dan pengintegrasian ilmu agama
dengan pengetahuan dengan konsep pengilmuan Islam.
Struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, MPU, dan WS
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Proses Kreatif Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular (MPU), dan Wasripin dan
Satinah (WS)
Penulisan Novel Pasar, MPU, dan WS sama-sama ditulis pada saat
terjadi perubahan sosial budaya karena perkembangan zaman. Dalam
proses kreatifnya Kuntowijoyo tidak pernah melepaskan latar sejarah
kemanusiaan yang sedang berlangsung. Ketiga novel tersebut terwujud
sebagai bentuk perenungan dan pencerahan Kuntowijoyo terhadap
fenomena yang terjadi di dalam masyarakat.
Dalam proses kreatifnya Kuntowijoyo tidak pernah melepaskan
latar sejarah kemanusiaan yang sedang berlangsung. Dalam pengantar
Hampir Sebuah Subversi (1999) dikatakan Kuntowijoyo bahwa ia
merenungkan kembali kegiatannya menulis cerpen. Ia mengaku menulis
begitu saja, yang dirasanya baik, tanpa resep-resep. Meskipun begitu
karya-karya Kuntowijoyo penuh dengan gagasan, penuh dengan renungan
hakikat manusia dalam kehidupan modern ini. Dengan kata lain, instuisi
diri Kuntowijoyo yang telah berpadu dengan kecerdasan intelektualnyalah
yang akhirnya menghasilkan karya-karya tersebut.
Penulisan dengan cara semacam itu dapat dilihat dalam hampir
setiap tulisan karya sastra Kuntowijoyo. Novel Pasar diceritakan alurnya
berangkat dari yang serba sederhana, yaitu dari kekaguman atas “misteri
cciv
kehidupan”. Dalam novel Pasar Kuntowijoyo mengungkapkan soal
perubahan sosial di kota kecil pada akhir tahun 50-an. Dua orang yang
sudah berumur, seorang priyayi Jawa kecil-kecilan, Pak Mantri Pasar,
bersaing dengan seorang pedagang, Kasan Ngali, memperebutkan “cinta”
seorang gadis pegawai Bank Pasar. Tidak seorang pun yang memenangkan
persaingan karena gadis itu dipindahtugaskan.
Kuntowijoyo mengatakan bahwa cerita Pasar ditulis karena ia
mengagumi tokoh-tokohnya, ia mengagumi pasar yang semasa kecil
menajdi tempat bermain, ia mengagumi tokoh-tokohnya, ia mengagumi
burung dara, ia mengagumi ketoprak dan ludruk yang pemain-pemainnya
mandi di sumurnya, ia mengagumi para penjual obat di lapangan depan
pasar. “Semua waktu itu adalah realitas keseharian bagi anak-anak, lima
belas tahun kemudian – ketika saya sudah dewasa, waktu saya menulis
ternyata semua itu berubah jadi misteri yang mengagumkan. Adapun pasar
itu sendiri sekarang berubah menjadi pasar modern dengan kios-kios di
sekitarnya,” katanya.
Novel MPU pun menampilkan pesoalan manusia dalam konteks
sejarah kemanusiaan. Melalui novel MPU, Kuntowijoyo melakukan kritik
terhadap proses dehumanisasi yang berlangsung di masyarakat,
terkungkung dalam mesin birokrasi (negara) dan mesin politik (partai)
yang dapat menjerumuskan manusia ke jurang ketertindasan, baik secara
material maupun spiritual.
ccv
Kuntowijoyo sudah mencoba mengisahkan perlawanan terhadap
dehumanisasi dan objektivasi olehmesin birokrasi bernama negara dengan
mesin politik berupa parti pemerintah dalam novel MPU. Seorang pegawai
rendahan di kecamatan menolak menjadi pegawai lebih tinggi di
kabupaten untuk menunjukkan penolakannya menjadi pengikut partai
pemerintah. Atau, dalam istilah etika profetik disebut tokoh ingin menjadi
pribadi yang utuh.
Di samping dehumanisasi “modern” di atas, ada lagi dehumanisasi
“tradisional”. Dehumanisasi tradisional yang masih ada dalam masyarakat
kita ialah pemujaan terhadap benda keramat, kekeramatan kuburan, sesaji,
mantra, jimat. Dan sebagainya. Tokoh Abu Kasan Sapari menolak
dehumanisasi “tradisional” yang disimbolkan dengan membuang ularnya,
memutus mata-rantai mantra pejinak ular, dan tidak memakai sesaji waktu
mendalang. Fakta-fakta yang ditampilkan dalam cerita MPU merupakan
fakta sejarah yang menjadi fenomena di masyarakat Jawa.
Kuntowijoyo juga membangun cerita novelnya dengan internalisasi
tokoh yang berjalan atau ia menyebutnya dengan sastra dari dalam. Sastra
dari dalam, artinya peristiwa-peristiwa dipahami sebagaimana tokoh-
tokohnya memahami dunianya sendiri. Pengarang harus membiarkan
tokoh-tokoh imajinernya mereaksi-mereaksi peristiwa-peristiwanya
sendiri. Dengan katalain, the I tokoh imajinerlah yang berpikir, berbicara,
dan berbuat, bukan sang pengarang. Kalau tokoh-tokoh imajiner itu orang
sederhana, pikiran, perkataan, dan perbuatannya juga harus sederhana.
ccvi
Tokoh Abu Kasan Sapari dalam novel MPU tak pernah tahu-
menahu soal objektivasi modern dan tradisional, padahal objektivasi itulah
tema dari tema novel itu. Ia hanya bereaksi sewajarnya atas peristiwa yang
dihadapi. Mendalang, menolong, seorang cakades, menolak tawaran
partai, mencari rumah kontrakan, dan jatuh cinta. Pengarang sama sekali
“tidak berbicara” lewat tokoh-tokohnya. Satu-satunya privilis saya adalah
teknik “apa-apa ada”.
Tokoh Pak Mantri yang telah berusaha dan berhasil mengatasi
pesoalan yang muncul di pasar merupakan satu tipe ideal pemimpin
modern dibandingkan dengan cermat, bupati, dan pemimpin umumnya
sekarang yang tidak mengerti baik akar tradisi sendiri maupun semangat
modernitas. Di tangan orang yang tidak mengerti hakikat masa lalu dan
masa kini, tradisi dan modernitas, bumi dan langit, manusia dan Khalik,
kehidupan modern akan tampil dalam bentuk-bentuknya yang
melemahkan spiritualitas manusia. Tokoh tersebut menjalankan misi yang
ada dalam karakter miliknya tanpa harus mengetahui modernitas apa yang
tengah terjadi di masanya.
Dalam novel WS, masing-masing tokoh mempunyai sifat yang
menggambarkan secara nyata sifat orang pantura. Tokoh Pak Modin
sebagai orang yang punya banyak pengalaman dijadikan Kuntowijoyo
sebagai media untuk menyampaikan pesan moral. Pak Modin adalah
pemimpin yang diharapkan oleh rakyatnya, tetapi dianggap
membahayakan kekuasaan di atasnya. Pada akhirnya ia diculik dan disiksa
ccvii
hingga menjadi gila. Tipikal pemimpin yang diharapkan rakyat adalah
orang yang memiliki kemampuan sebagai rohaniwan/ulama dan manajer.
Kuntowijoyo memang memiliki landasan yang jelas dalam
merambah proses kreatifnya; sebuah bukti lain bahwa dirinya merupakan
sosok pribadi yang konsisten. Proses-proses kreatif bersastra, baik dalam
ranah produktif, reproduktif maupun reseptif, memang harus
dikembangkan dalam sebuah landasan yang jelas. Kuntowijoyo melihat
bahwa masyarakat tidak dicetak oleh ruh masyarakat, tetapi dikemas oleh
pabrik, birokrasi, kelas sosial dan kekuasaan, maka kita menemukan wajah
manusia yang otentik. Manusia terikat pada yang semata-mata konkret dan
empiris yang dapat ditangkap indra. Kesaksian manusia pada aktualitas
dan sastra adalah sebuah kesaksian lahiriah jadi sangat terbatas. Maka
pertama-tama manusia harus membebaskan diri dari aktualitas, dan kedua,
membebaskan diri dari peralatan inderawi.
Selanjutnya, pada saat teks-teks sastra semacam ini realitasnya
memang ada, dan memang eksis, ia kemudian memperkenalkan apa yang
kemudian dikenal sebagai sastra profetik. Untuk melihat konsep-konsep
etika profetik dalam sebuah karya sastra dilalui dengan melihat struktur
sastranya. Bagi Kuntowijoyo, sastra adalah struktur alisasi dari
pengalaman, imajinasi, dan nilai. Imajinasi selalu ada dalam setiap struktur
sastra sehingga struktur itu terdiri dari dua atau tiga unsure. Pengalaman
bisa berupa pengalaman sendiri, pengalaman orang lain, dan hasil riset.
Imajinasi ialah kemampuan mental untuk membayangkan sesuatu secara
ccviii
urut, sadar, dan aktif. Nilai itu bisa apa saja: agama, filsafat, ilmu, adapt,
dan gugon-tuhon.
Dalam karya-karya mutakhirnya, Kuntowijoyo lebih
mengedepankan dimensi profetik yang bersifat liberasi. Hal ini sejalan
dengan pandangannya bahwa sastra adalah sebuah dunia symbol, yang
sifat dan proses komunikasinya berbeda dengan sifat dan komunikasi
sehari-hari. Karena sebagai krator ia harus menciptakan dunia simbol
sebagai sesuatu yang baru, proses kreatif menjadi berpeluang lebih luas
dalam mengeksplorasi gagasan dan konsep, baik dalam tataran tradisi,
budaya maupun keagamaan. Dan Kuntowijoyo tidak tanggung-tanggung
dalam hal ini. Karena itu karya-karyanya bergerak dalam kemungkinan
tersebut. Pengarang hanya dituntut untuk konsisten dalam pelukisannya
dan koheren dengan tema (konsep etika profetik) dan plotnya (penuturan
yang runtut, jalan cerita yang masuk akal). Intuisilah yang akan
membimbing pengarang menuju koherensi itu.
2. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Pasar,
Mantra Pejinak Ular, dan Wasrpin dan Satinah
Cerita Pasar dilatari oleh sebuah deskripsi kehidupan masyarakat Jawa
yang tinggal di sebuah kota kecil pada akhir tahun 50-an yang sedang mengalami
pembangunan di banyak bidang. Kutipan berikut menunjukkan bahwa pada masa
itu kota kecil tersebut telah memiliki perangkat-perangkat kemasyarakatan, yaitu
mantri pasar, camat, juga polisi tentunya beserta perangkat fisik perkantoran
pemerintahannya, yaitu kantor pasar, kantor kecamatan, dan kantor kepolisian.
ccix
Perkembangan sarana-sarana fisik tersebut menandakan adanya kemajuan budaya
manusia.
Perkembangan sosial budaya pada cerita MPU diperlihatkan sebagai masa
kemajuan pembangunan di era akhir tahun 90-an. Semakin terjangkaunya sarana
fisik yang merambah wilayah pedesaan mendorong perilaku budaya dan gaya
hidup baru bagi masyarakat Jawa. Kutipan di bawah ini memperlihatkan
perkembangan budaya membaca dan mencari informasi dari radio dan televise
merupakan salah satu perkembangan perilaku budaya yang fenomenal di
masyarakat yang lebih maju. Hal itu pun menunjukkan bahwa kondisi latar yang
ditunjukkan dalam latar cerita MPU lebih modern daripada latar dalam cerita
Pasar
Perkembangan sosial budaya pada cerita WS diperlihatkan sebagai masa
kemajuan masyarakat pesisir. Kegiatan politik modern mewarnai seluruh
kehidupan masyarakt Indonesia, tak terkecuali masyarakat pesisir. Dengan
menggunakan samaran nama dan peristiwa, digambarkan bahwa pelatiahan kader
partai sudah dengan manajemen yang modern dan peralatan yang modern pula.
Pengakuan terhadap strata sosial dalam masyarakat mempengaruhi
terhadap interaksi sosial diperlihatkan dalam novel Pasar. Kultur feodalisme yang
masih melekat dalam masyarakat pascasosial menyebabkan adanya interaksi
sosial yang bersifat terbatas antaranggota masyarakat karena implikasi dari
pengakuan terhadap strata sosial. Hal ini diperlihatkan dengan komunikasi top
down atas pengaruh yand dimiliki dari anggota tokoh strata lebih tinggi kepada
tokoh dengan strata lebih rendah. Persepsi terhadap strata dalam masyarakat Jawa
ccx
memberikan perlakuan istimewa pada orang-orang berstrata tinggi di masyarakat.
Perlakuan tersebut berupa dalam banyak hal, seperti dalam diawalkan mendapat
kesempatan atau diberikan tempat terdepan dalam acara-acara masyarakat.
Berbeda dengan apa yang diperlihatkan novel Pasar, dalam novel MPU
dan WS pengakuan masyarakat terhadap strata sosial tidak terlalu berpengaruh
pada interaksi antarmasyarakat. Masyarakat dalam novel MPU sudah tersentuh
modernisasi sehingga hal itu melemahkan interaksi yang bersifat top down, malah
sebaliknya modernisasi mengakibatkan terbukanya sistem feudal dalam
komunikasi. Komunikasi yang terjadi dalam novel MPU, yang bisa dianggap
menampilkan masyarakat modern, berlangsung dua arah yang saling timbale
balik. Namun begitu, perubahan lain yang timbul ialah adanya tekanan dari
kekuatan dari strata tinggi karena faktor capital atau pemilikan modal dan
kekuasaan.
Novel Pasar memperlihatkan masyarakat Jawa yang berpegang pada
ajaran Islam. Keyakinan Islam yang dijalankan dalam segala tindakan merupakan
perbauran antara ajaran Islam dan kepercayaan masyarakat Jawa yang diwariskan
turun-temurun. Sebagian dari masyarakat Jawa sangat taat dalam melaksanakan
keyakinan yang kuat dipegangnya
Novel MPU memperlihatkan perilaku hidup masyarakat Jawa banyak
dipengaruhi unsur Arab atau Islam. Pada kalangan penganut Islam taat, kebiasaan
ritual yang dituntutkan agama dilakukan secara baik. Masyarakat dalam novel
MPU dideskripsikan menjalankan keyakinan Islam yang menganjurkan
mengadakan selamatan dengan menyembelih kambing atas kelahiran anak.
ccxi
Selain itu, diperlihatkan juga adanya sinkretisme ajaran, yaitu kebiasaan
masyarakat Jawa ketika memanjatkan doa kepada Sang Pencipta dilakukan
dengan mengunjungi tempat-tempat tertentu, seperti makam para leluhur. Ritual
keyakinan tersebut menunjukkan adanya sinkretisme budaya antara Islam dan
Hindu. Di samping itu, masyarakat Jawa juga sering menggunakan cara berpikir
pralogik, yaitu pemikiran yang menghubungkan sesuatu hal dengan hal lain yang
tidak secara ilmiah, hanya atas dasar pewarisan menurut kebiasaan atau tuturan
nenek moyang.
Dalam novel WS nuansa islam lebih terasa karena memang masyarakat
pantura mayoritas Islam yang senang menampilkan simbol keislaman. Pada
kalangan penganut Islam taat, kebiasaan ritual yang dituntutkan agama dilakukan
secara baik. Masyarakat dalam novel WS dideskripsikan menjalankan keyakinan
Islam yang menganjurkan mengadakan acara pernikahan dengan sebutan
walimahan dan menggunakan hiburan rebana.
Novel Pasar menunjukkan adanya seni tembang Jawa Kuna,
candrasengkala, ataupun ketoprak telah mulai tergeser oleh budaya baru sebagai
salah satu efek perkembangan zaman. Dalam novel Pasar disebutkan bahwa
hanya Pak Mantrilah yang pandai menulis tembang Jawa Kuna dan
candrasengkala. Dikatakan bahwa generasi muda sudah tidak lagi memerhatikan
ilmu seni apalagi untuk berusaha melestarikannya.
Kesenian Jawa yang telah ada sejak puluhan tahun silam mengalami
perkembangan yang besar di masa sekarang diperlihatkan dalam novel MPU.
Masa yang modern menjadikan novel MPU memperlihatkan bahwa cerita wayang
ccxii
tidak lagi harus mendasarkan pada cerita baku dunia pewayangan. Pertunjukkan
wayang sekarang ini kerap menampilkan cerita yang telah mengalami proses
kreativitas karena pengaruh modernitas zaman.
Di samping itu, cerita MPU juga memperlihatkan bahwa eksistensi
pergelaran kesenian wayang saat ini telah mengalami pergeseran. Pertunjukkan
kesenian wayang lebih banyak diselenggarakan karena permintaan konsumen
kolektif atau kepanitiaan daripada permintaan konsumen individu. Masyarakat
sekarang lebih memilih “menangkap” kesenian modern daripada kesenian
wayang.
Dalam novel MPU diperlihatkan bahwa ilmu seni juga sudah dapat
diperoleh melalui pendidikan formal yang lebih tinggi. Perkembangan zaman
membutuhkan peran sosial lain untuk melengkapi satu aspek kehidupan, termasuk
seni. Bahkan dalam cerita MPU juga diperlihatkan terjadi pergeseran yang bersifat
negatif dalam kesenian. Kesenian saat ini juga dimanfaatkan untuk kepentingan
politik golongan. Kutipan di bawah ini memperlihatkan adanya pertunjukkan
kesenian wayang yang diselenggarakan karena kepentingan politik partai
Sedangkan dalam novel WS, tokoh Satinah dan paman menyampaikan
kesenian melalui nyanyian yang diiringi siter dan seruling untuk mbarang. Dalam
novel ini juga diceritakan bahwa masyarakat pantura lebih menyukai sholawat
daripada wayang orang. Hal ini tidak berarti masyarakat Jawa bagian pesisir
kehilangan seni budaya Jawa.
Novel Pasar, MPU, dan WS memperlihatkan posisi pasar menjadi sentra
tempat aktivitas sosial bagi masyarakat Jawa. Setiap pagi semarak para pedagang
ccxiii
sudah memulai aktivitas mempersiapkan barang-barang dagangannya. Setelah itu
terjadilah aktivitas sosial berupa jual beli antaranggota masyarakat. Selain itu,
masyarakat Jawa juga memiliki keyakinan terhadajp mitologi dalam kehidupan
masyarakatnya. Salah satu mitologi yang ditunjukkan dalam novel Pasar, MPU,
dan WS adalah adanya keyakinan terdapat “hari baik” untuk melakukan aktivitas.
Hal tersebut berupa “hari baik” yang dijadikan Hari Pasar. Konon setiap pasar
memiliki hari yang baik untuk melakukan transaksi jual beli. Misalnya pasar A
memakai hari paaran “Kliwon”, Pasar B “Legi” dan seterusnya. Selain untuk
penjadwalan agar tertata, hal ini diyakini mempermudah rizki.
Masyarakat Jawa memiliki kebiasaan umum memelihara sesuatu yang
menjadi kesukaannya. Fakta di atas memperlihatkan orang Jawa suka memelihara
binatang atau benda-benda yang dianggapnya bertuah.
Perbedaan masa memperlihatkan perbedaan terhadap sesuatu yang
menjadi peliharaan. Dalam novel MPU, dalam masa medernisasi, orang Jawa
sudah tidak hanya memelihara binatang dan benda pusaka, tetapi juga mulai
memelihara barang-barang berupa mobil, kapal pesiar, atau yang lainnya yang
menjadi kesenangan hati. Di samping kemajuan zaman, faktor utama perubahan
tersebut karena tingkat ekonomi sebagian masyarakat Jawa yang telah mencapai
ekonomi tinggi.
Berbeda dengan kedua novel tersebut, novel WS menceritakan masyarakat
pesisir yang tidak gemar memelihara binatang. Baginya setiap hari adalah waktu
untuk mengangkap ikan.
ccxiv
Keberadaan masyarakat dengan berbagai budaya yang melekat tentu tidak
lepas dari aspek kebahasaan sebagai salah satu bentuk budaya masyarakat. Dari
ketiga novel tersebut, penggunaan bahasa yang paling mudah dipahami adalah
bahasa pada novel Pasar. Penggunaan bahasa pada Mantra Pejinak Ular lebih
sulit dipahami dan pada novel Wasripin dan Satinah paling sulit dipahami karena
banyak menggunakan istilah-istilah asing, terutama dari bahasa Arab.
Sebagai seorang cendekiawan muslim Kuntowijoyo kadang melupakan
bahwa yang membaca karyanya bukan hanya kalangan akademisi. Meskipun
demikian, ketiga novel tersebut memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak
dimiliki oleh novel lain yakni pada aspek kesesuaian dengan kondisi masyarakat
dan misi yang hendak disampaikannya.
Filosofi lama yang menjadi konsep hidup masyarakat Jawa pun menjadi
gambaran dalam novel Pasar, MPU, dan WS. Dalam novel Pasar terdapat
semboyan yang menunjukkan cara berpikir dan mentalitas masyarakat Jawa yang
senang berusaha keras. Masyarakat Jawa memandang bahwa sesuatu hasil tidak
akan datang dengan sendirinya, tetapi harus dengan melakukan usaha untuk
memperolehnya. Dalam usahanya tersebut manusia harus selalu mengasu pada
kewaspadaan agar tidak menyimpang dari kejujuran.
Pandangan masyarakat terhadap filosofi Jawa tentang hidup bersama
dalam kekerabatan sudah mulai luntur. Keluarga masyarakat Jawa tidak lagi hidup
bersama dalam satu atap atau area wilayah, tetapi sebagian yang lainnya telah
merantau ke wilayah lain. Fenomena perubahan pandangan hidup masyarakat
Jawa tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan kemajuan zaman.
ccxv
Masyarakat Jawa mempunyai interaksi sosial yang bagus, yaitu berupa
sifat kekeluargaan satu sama lain. Setiap anggota masyarakat akan memberikan
respon timbal balik yang positif. Di gardu Abu terkenal sebagai tukang dongeng,
ahli filsafat kecil-kecilan, dan cagak lek (membuat terbangun) hidup. Sebutan
tukang dongeng itu didapatnya karena dia suka bercerita Ramayana dan
Mahabarata yang belum pernah didengar orang, karena karangannya sendiri.
Sampai-sampai ada yang berkomentar kalau jadi dalang kok masih mau ronda.
Wasripin ketika mau menikah dalam keadaan miskin sehingga masyarakat
secara sukarela membantunya. Berikut kutipan yang merupakan interaksi
masyarakat di perkampungan nelayan.
Berdasarkan gambaran tersebut tampak bahwa masyarakat Jawa masih
memegang kuat interaksi kekeluargaan antaranggota masyarakat. Masyarakat satu
sama lain akan saling menolong dan membantu orang lain dalam rangka mengisi
aspek hidup kemasyarakatan. Kultur seperti itu biasanya didukung karena
komunikasi antarwarga masyarakat yang baik melalui perangkat yang ada. Dalam
novel Pasar perangkat itu adalah pertemuan ibu-ibu, dalam novel MPU perangkat
itu adalah sistem ronda, dan dalam novel WS adalah jamaah masjid yang
bergotong royong.
Kultur yang menjadi karakteristik dalam masyarakat Jawa yaitu peralihan
kepemimpinan dari generasi ke generasi selanjutnya. Novel Pasar, MPU, dan WS
menampilkan peralihan kepemimpinan sebagai tradisi yang senantiasa eksis
dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. Pada novel Pasar peralihan
kepemimpinan diperlihatkan melalui pewarisan sedangkan pada novel MPU dan
ccxvi
WS diperlihatkan melalui sistem demokrasi. Kutipan berikut menggambarkan Pak
Mantri mewariskan kepemimpinan kepada Paijo sebagai penerusnya (dalam novel
Pasar) dan peralihan kepemimpinan yang dilakukan melalui pemilihan oleh
rakyat secara demokrasi (dalam novel MPU dan WS).
Pengungkapan komunikasi di era yang sudah maju difasilitasi dengan
perangkat teknologi lain. Seperti diperlihatkan dalam novel Pasar, MPU, dan WS
bahwa penyampaian kritik dilakukan melalui sarana atau media. Dalam novel
Pasar orang sudah bisa melakukan penyampaian gagasan melalui surat kabar
sedangkan dalam novel MPU dan WS lebih vulgar lagi yaitu berupa aksi masa
secara langsung atau dikenal dengan isiltah demo. Kedua pola di atas merupakan
perkembangan yang timbul sebagai implikasi perkembangan teknologi atau sosial
lainnya. Di latar cerita MPU dan WS terjadi era keterbukaan karena efek
demokrasi dalam sistem masyarakatnya.
3. Penokohan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan
Satinah sebagai Perwujudan Sosok Masyarakat Jawa
Kuntowijoyo juga membangun konsep latar sosial budaya melalui
karakteristik tokoh-tokohnya yang kuat. Karakteristik serta interaksi tokoh dengan
berbagai simbol yang melekat dalam dirinya memberikan perwujudan aspek latar
sosial budaya novel.
Tokoh Mantri Pasar dalam novel Pasar merupakan sosok orang Jawa
tradisional yang memiliki andaian ideal yang seharusnya dimiliki para pemimpin
di masyarakat. Dalam konteks Jawa yang harus dimiliki para pemimpin itu adalah
ccxvii
filosofi orang Jawa yang ada dalam teks-teks sastra Jawa lama. Tentu bukan
berarti seorang pemimpin harus berpedoman kepada tradisi lama dalam mengelola
organisasi dan kehidupan modern. Yang harus mereka lakukan adalah mengelola
kehidupan modern dengan tetap menstransformasikan sari-sari akar tradisi
budaya. Budaya tradisi dan modern dalam novel ini dihadirkan dalam konteks
kesejahteraan.
Dalam novel MPU, tokoh Abu Kasan Sapari, menjadi simbol orang Jawa
modern yang telah berinteraksi dengan kemajuan zaman di masa hidupnya.
Pikiran dan tindakannya merupakan perwujudan manusia Jawa modern. Tokoh
Abu memang orang Jawa yang mengenyam pendidikan maju, sarana mobilitas,
kemajuan teknologi di era demokrasi dan modernisasi. Meski begitu tokoh Abu
berprinsip tidak semua tindakan yang mengatasnamakan modernisasi bisa
diterima begitu saja. Demokrasi yang otoriter dan industrialisasi yang
meminggirkan rakyat kecil harus ditentang karena tidak sesuai dengan etika
kemanusiaan.
Sedangkan dalam WS, tokoh Wasripin dan Pak Modin menjadi simbol
masyarakat pesisir yang telah megalami berbagai kemelut hidup. Tokoh Pak
Modin adalah mantan pejuang yang memiliki kemampuan agama lebih, disegani,
dihormati, dan dicintai penduduk. Wasripin adalah tokoh berlumur dosa yang
bertaubat dan dapat memberi manfaat pada banyak orang karena keahliannnya.
Karakter tokoh wanita, Siti Zaitun dalam novel Pasar, Sulastri dalam
novel MPU, dan Satinah dalam novel WS menjadi ikon sebagai sosok wanita
Jawa modern. Gambaran wanita Jawa masa lalu yang senantiasa teguh pada
ccxviii
pandangan tradisi tradisional masyarakat Jawa dideskripsikan terbalik dalam
cerita. Siti Zaitun, Sulastri, dan Satinah memiliki perwujudan wanita yang
berwatak mandiri. Mereka sama-sama menjadi wanita karir yang produktif. Siti
Zaitun adalah gadis yang bekerja sebagai pegawai bank pasar. Sulastri adalah
janda kembang yang berkarya menjadi penjahit dan perias pengantin. Satinah
adalah penyanyi dan penjahit. Di samping itu mereka memiliki sikap yang berani
menentang pandangan wanita Jawa kuno yang pasrah terhadap tindakan
ketertindasan atas perilaku terhadap wanita. Oleh karena itu, Siti Zaitun, Sulastri,
dan Satinah membuktikan bahwa tempat wanita di masyarakat sosial berada
dalam posisi sejajar. Artinya memiliki peran nyata dan bisa berprestasi dalam
kehidupan bermasyarakat.
Tokoh antagonis Kasan Ngali dalam novel Pasar, Mesin Politik dalam
novel MPU, dan militer/pemerintah dalam novel WS merupakan gambaran watak
yang kontrapositif terhadap harmonisasi kehidupan sosial masyarakat Jawa. Kasan
Ngali adalah pedagang besar sebagai simbol kapitalis. Kapitalis menjadi
pengganggu keseimbangan ekonomi kerakyatan karena penguasaan terhadap
modal digunakannya sebagai penindas rakyat kecil. Sedangkan Mesin Politik,
Militer, dan Penguasa adalah simbol arogansi yang menggunakan kekuasaan,
wewenang, dan kekayaan untuk melakukan penekanan terhadap rakyat kecil.
ccxix
4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular,
dan Wasripin dan Satinah Karya Kuntowijoyo
Nilai agama merupakan sudut pandang yang mengikat manusia dengan
Tuhan. Manusia senantiasa akan membutuhkan Tuhan karena secara naluri,
manusia akan selalu membutuhkan perlindungan dan pertolongan dari-Nya. Oleh
karena itu, selalu mengingat Tuhan merupakan pencerminan pribadi yang
bertakwa dan menjunjung tinggi fitrah manusia. Manusia senantiasa akan
membutuhkan Tuhan dalam berbagai masalah yang dihadapinya.
Nilai moral sering disamakan maknanya dengan nilai etika. Nilai moral
atau etika merupakan suatu nilai yang menjadi ukuran pantas atau tidaknya
tindakan seorang manusia dalam kehidupan sosialnya. Moral atau etika juga
menyangkut baik dan buruknya, benar dan salahnya, dan pantas tidaknya perilaku.
Nilai tersebut biasanya dibangun dari kebiasaan yang berkembang dalam
masyarakat tertentu.
Begitu pula dalam novel Pasar, Kuntowijoyo mengkritisi sikap pejabat
(camat dan kepala polisi) yang masih hobi adu jago dan keluyuran pada saat jam
kerja. Padahal mereka adalah figur yang dijadikan panutan.
Sikap Abu Kasan Sapari dalam novel MPU juga merupakan pendidikan
moral. Dia menolak dijadikan caleg karena ada maksud lain yang tersembunyi.
Yaitu agar Abu tidak menghalang-halangi usaha kotor (politik uang dan
pemaksaan) Mesin Politik mendapat suara terbanyak.
Budaya Jawa yang telah mengakar di dalam masyarakat Jawa selama
ratusan tahun sebagai sesuatu yang memiliki nilai luhur. Nilai-nilai luhur yang
ccxx
terkandung di dalam budaya sangat penting bagi keseimbangan kehidupan
masyarakat. Nilai-nilai luhur budaya Jawa memberikan arahan bagi manusia
dalam berpikir dan berperilaku sebagai manusia yang alim. Masyarakat Jawa
sekarang telah melupakan dan meninggalkan budaya Jawa. Hal itu berarti telah
melupakan dan meninggalkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Dalam novel MPU, ada nilai pendidikan adat yang dapat diambil yaitu
berupa kritik terhadap budaya Jawa. Nilai-nilai budaya yang berakar pada adat
lokal atau adat daerah dalam novel ini adalah adat daerah yang bernuansa
kejawaan. Nilai budaya kejawaan ini kadang dibalut sekaligus berbenturan dengan
nilai-nilai agama yang dipegang oleh tokoh utama.
Nilai pendidikan sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti kasih
sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Nilai pendidikan sosial yang
dimaksud adalah kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Kepedulian tersebut
dapat berupa perhatian maupun gotong royong. Dalam novel MPU, Abu sering
ikut ronda atau siskamling. Dalam novel Pasar perangkat itu adalah pertemuan
ibu-ibu, dalam novel MPU perangkat itu adalah sistem ronda, dan dalam novel
WS adalah jamaah masjid yang bergotong royong. Hal ini adalah wujud hubungan
sosial yang baik.
Nilai kepahlawanan dalam ketiga novel tersebut tampak pada perjuangan
Pak Mantri untuk membela para pedagang dari kapitalisme Kasan Ngali,
perjuangan Abu Kasan Sapari dalam melawan hegemoni Mesin Politik, serta
perjuangan Wasripin dan Pak Modin dalam menegakkan kebenaran meskipun itu
berakibat pada kematian.
ccxxi
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Penelitian ini mengkaji novel Pasar, Mantra Pejinak Ular (MPU), dan
Wasripin dan Satinah (WS) melalui pendekatan strukturalisme genetik. Analisis
yang dilakukan meliputi: (a) pandangan dunia pengarang Kuntowijoyo; (b)
struktur novel Pasar, MPU, dan WS; (c) struktur sosial budaya masyarakat dalam
novel Pasar, MPU, dan WS, (d) nilai-nilai pendidikan dalam Novel novel Pasar,
MPU, dan WS. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pandangan dunia Kuntowijoyo adalah pandangan religius profetik. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Kuntowijoyo dalam maklumat sastra profetik.
Dikatakannya bahwa sastra adalah sebagai bagian dari ibadah. Ini adalah bukti
pandangan religiusnya. Akan tetapi, pandangan religius tersebut bukanlah religius
sufistik yang hanya mengedepankan hubungan manusia dengan Tuhan.
Pandangannya adalah religius profetik karena ada humanisasi, leiberasi, dan
transendensi. Kuntowijoyo menolak mitologi dan menyarankan demitologisasi
agar masyarakat berpikir secara rasional dengan melandaskan pada ajaran yang
sesuai wahyu ketuhanan. Pandangan religius profetiknya mencakup segala aspek
kehidupan. Misi profetik kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan,
dan moral.
Kuntowijoyo memandang etika profetik menjiwai seorang intelektual
berpegang pada nilai-nilai yang universal mencakup: keadilan, kemanusiaan, dan
201
ccxxii
kebenaran. Kuntowijoyo menekankan bahwa ilmu, budaya, ekonomi, politik,
sosial, seni dan segala aspek hidup harus membawa misi profetik. Paradigma etika
profetik tidak sekadar diposisikan sebagai sebuah kerangka dan metodologis demi
penjelasan dan pengubahan fenomena sosial yang ada, tetapi muara akhirnya
untuk mengarahkan, mendorong, mengubah, dan merekonstruksi berbagai
kenyataan sosial yang sesuai dengan nilai-nilai spiritual.
Berdasarkan penelitian dari segi strukturalisme, maka novel Pasar, MPU,
dan WS merupakan novel yang berkualitas dari segi struktur karya sastra yang
memiliki unity, order, complexity, dan coherence. Novel tersebut juga memiliki
plausibility, suspense, surprise, dan lifelikeness
Tokoh hero dalam novel Pasar adalah Pak Mantri Pak Mantri merupakan
tokoh sentral yang mengalami banyak peristiwa dalam keterlibatannya di dalam
cerita Pasar. Fakta tokoh Pak Mantri sebagai tokoh sentral dapat dilihat dari
banyaknya hubungan yang dimiliki dengan tokoh-tokoh lain di dalam cerita. Pak
Mantri dideskripsikan sebagai tokoh hero yang dikenal karena interaksi sosialnya
yang baik kepada masyarakat baik pedagang maupun pejabat pemerintah. Tokoh
Pak Mantri diwujudkan sebagai sosok yang religius, jujur, setia sopan, dan tahu
diri.
Struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Pasar, Mantra Pejinak
Ular (MPU), dan Wasripin dan Satinah(WS) berkaitan erat dengan kenyataan
sosial budaya masyarakat Jawa. Kenyataan tersebut ditampilkan berkenaan
dengan warna lokal berupa tatacara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap,
upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan
ccxxiii
kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu,
keadaan alam, jalan, perumahan, dan paparan tentang kesenian.
Analisis nilai-nilai pendidikan dalam novel Pasar, Mantra Pejinak Ular,
dan Wasripin dan Satinah meliputi analisis nilai pendidikan : (a). agama; (b)
moral; (c). adat/budaya; (d) sosial; dan (e) kepahlawanan.
B. Implikasi
Penelitian ini melakukan pengkajian terhadap karya sastra novel berjudul
Pasar, novel berjudul Mantra Pejinak Ular (MPU), dan novel berjudul Wasripin
dan Satinah (WS). Hasil penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain
yang relevan memiliki hubungan positif. Implikasi tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Menjadi alternatif bahan materi pengajaran sastra
Pada aspek pendidikan, penelitian ini dapat memberikan alternatif
bahan materi pengajaran sastra. Pengajaran sastra seharusnya difokuskan pada
upaya untuk memiliki kemampuan apresiasi, kemampuan untuk memiliki
sikap dan nilai, tidak terbatas hanya pada pengetahuan atau menghafal judul
dan pengarang karya sastra. Di dalam hal tersebut tercakup masalah
pemberian tanggapan terhadap karya sastra. Dalam pengajaran sastra, siswa
harus diarahkan pada penilaian karya sastra secara objektif. Maka, hal ini akan
membentuk jiwa sastra yang tidak hanya menampilkan prestasi akademis,
tetapi juga mengembangkan karakter diri yang potensial.
2. Pencapaian dalam proses pengajaran sastra
ccxxiv
Penelitian ini mengkaji objek karya sastra berbentuk novel berjudul
Pasar, MPU, dan WS karya Kuntowijoyo. Memang, karya novel memiliki
jumlah halaman yang banyak sehingga diperlukan waktu banyak dalam proses
apresiasi karya. Meskipun demikian, hasil analisis pada aspek struktur pada
ketiga novel tersebut telah memberikan gambaran awal yang sederhana
terhadap kandungan novel Pasar, MPU, dan WS. Pemahaman struktur
merupakan tahapan kelanjutan atas pengenalan aspek fisik sastra berupa
wujud buku. Struktur sastra terbentuk di dalam karya sastra, bukan di luar
karya sastra. Oleh karena itu, pendidik harus memberikan arahan jelas
terhadap aspek pencapaian pembelajaran apresiasi sastra. Dengan begitu ada
persiapan berupa bahan materi yang telah disederhanakan sehingga dapat
dipahami siswa secara baik.
3. Pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
Bagi guru, pengkajian terhadap karya sastra novel melalui pendekatan
strukturalisme genetik bisa dikembangkan dalam pola pengajaran apresiasi
karya sastra kepada siswa. Kajian ini memberikan fakta sastra dari dalam
karya itu sendiri juga dari luar karya sastra, berupa pengarang kreatifnya dan
latar sosial budaya masyarakat pembentuknya. Dalam hal ini patokan
pengajaran bukan hanya pada aspek kognitif, melainkan juga pada aspek
afektif bahkan psikomotoriknya. Hal tersebut dapat dicapai dengan peran
pendidik yang tidak hanya menyampaikan kaidah pemahaman struktur, tetapi
juga pada aspek nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut.
Artinya, pendidik juga menggugah kesadaran siswa sebagai manusia dengan
ccxxv
memberikan gambaran keteladanan dari nilai-nilai edukatif cerita sastra
tersebut.
4. Sebagai salah satu pendidikan nilai moral
Media pembelajaran dapat diambil dari berbagai sumber, termasuk dari
sebuah kisah atau cerita. Cerita novel Pasar dan novel MPU merupakan cerita
yang mengandung nilai pendidikan, terutama nilai moral. Novel Pasar, MPU,
dan WS menceritakan manusia dalam menghadapi kehidupan. Tokoh-tokoh
yang ditampilkan dalam ketiga novel tersebut menggambarkan karakteristik
manusia dengan sisi kemanusiaan yang dimiliki. Manusia merasakan suka dan
duka, tertawa dan menangis, juga emosi dan pemaaf. Hal itu merupakan
cerminan bagi pembaca dalam menjalani hidup dalam kehidupan masyarakat
juga dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat. Ketiga novel tersebut
memberikan gambaran lengkap sosok manusia dengan realitas masalah yang
dihadapi dalam hidup. Sikap dan perilaku yang dilakukan dalam menangani
masalah yang terjadi menjadi contoh yang bisa diteladani. Oleh karena itu,
novel Pasar, MPU, dan WS dapat dijadikan sebagai sumber pengajaran.
5. Aspek keteladanan
Bagi siswa, materi dengan objek novel yang menggambarkan realitas
masyarakat memberikan variasi materi belajar terhadap apresiasi karya sastra.
Siswa juga akan merasa terdorong aspek kesadarannya jati dirinya sebagai
insane cendekia. Cerita yang bermakna dalam dan menggugah dari novel
Pasar, MPU, dan WS memberikan kedalaman arti tersendiri bagi siswa. Pada
ccxxvi
akhirnya siswa akan menemukan keteladanan yang utuh saat mereka
menghadapi realitas kehidupan yang mereka jalani.
6. Aspek pelestarian seni budaya Jawa melalui pendidikan
Wujud lain dari implikasi penelitian ini yaitu pada pelestarian budaya,
khususnya dalam hal ini seni budaya Jawa sebagaimana menjadi cerita novel
Pasar, MPU, dan WS. Aktivitas penelitian yang dilakukan penulis merupakan
bentuk kepedulian yang secara sederhana dari tindakan yang bisa dilakukan
dalam aspek pelestarian seni budaya Jawa. Sebagai hal sederhana penulis akan
mencapai pemahaman dasar terhadap seni budaya yang memang harus
dilestarikan yang ditampilkan dalam karya sastra tersebut.
Keluhuran seni budaya Jawa perlu diwariskan dari generasi ke
generasi. Aspek awal yang bisa dilakukan yaitu dengan proses show up
“menunjukkan” eksistensi seni budaya tersebut. Hal itu bisa dicapai dengan
pelaksanaan penelitian ini. Meluasnya efek ini ketika terjadi akumulasi dari
pengaruh positif yang diperoleh oleh masyarakat pembaca karya sastra ini.
Setiap pembaca akan memberikan pengaruh yang lebih luas dengan
penyebaran terhadap nilai-nilai seni budaya yang terkandung dalam karya
sastra manakala terjadi proses interaksi yang lebih meluas.
Oleh karena itu, proses pelestarian seni budaya Jawa kemudian dapat
lebih dikembangkan, bahkan bisa dilakukan secara lebih sistematis. Aplikasi
yang lebih mudah mengarah pada media pendidikan. Penyelenggaraan
pengajaran sastra menjadi salah satu sarana yang bisa diandalkan. Sistematika
yang dimiliki proses pengajaran bisa menempatkan karya sastra ini sebagai
ccxxvii
bahan ajar apresiasi karya sastra. Diharapkan proses pengajaran menjadi
sarana pelestarian seni budaya yang efektif. Penanaman nilai-nilai luhur seni
budaya Jawa dapat dilakukan terprogram, kontinyu, terarah, terpantau secara
baik.
7. Pengembangan kualitas dan kompetensi penelitian sastra
Pada aspek penelitian ilimiah, hasil penelitian ini menambah kuantitas
dan kualitas penelitian ilmiah, khususnya kajian di bidang karya sastra. Secara
kuantitas, penelitian ini akan menjadi dokumen sastra yang dapat dijadikan
sebagai bahan referensi dalam penelitian yang akan dilakukan di masa datang.
Oleh karena itu, penelitian ini juga mendorong kegiatan ilmiah karena akan
memberikan motivasi mahasiswa untuk melakukan kegiatan penelitian.
Tumbuhnya motivasi kegiatan ilmiah juga akan meningkatkan kompetensi
atau kualtas kajian terhadap penelitian. Para peneliti lain akan melakukan
peningkatan kualitas penelitian mulai dari materi yang dikaji sampai ke
metodologi sehingga penelitian pada masa selanjutnya akan lebih berkembang
dan bervariasi.
8. Memberikan paradigma positif sastra kepada masyarakat pembaca
Kajian sastra merupakan alternative bagi mahasiswa atau peneliti yang
memiliki sense kecenderungan terhadap dunia sastra. Paradigma pengkajian
terhadap karya sastra sendiri akan mengubah persepsi masyarakat yang
cenderung memandang sastra sebagai sesuatu yang abstrak dan imajinatif
belaka. Fakta yang bisa dimunculkan yaitu dengan peningkatan kualitas
ccxxviii
penelitian serta hasil penelitian yang ternyata menyodorkan solusi dalam
menyelesaikan masalah kemanusiaan di masyarakat.
9. Pengembangan sastra profetik
Sastra yang dikembangkan Kuntowijoyo adalah sastra profetik. Sastra
profetik yaitu sastra yang tidak hanya mengandung nilai kemanusiaan, tetapi
juga nilai religius. Hadirnya aliran sastra yang dikembangkan oleh
Kuntowijoyo menjadi warna tersendiri dalam dunia sastra. Dengan demikian,
masyarakat sastra bisa memberikan apresiasi yang lebih luas terhadap
perkembangan munculnya karya-karya sastra dengan cara pandang yang
beragam.
10. Intelektualitas profetik
Dasar pandangan dunia Kuntowijoyo yang menjadi hasil penelitian ini
menjadi pemikiran baru yang dapat dikembangkan sebagai satu konsep
pemikiran yang dapat diterapkan dalam berbagai kajian. Konsep pemikiran
intelektual profetik memberikan cakrawala bagi para cendekiawan untuk
mengambil peran yang lebih dalam menyelesaikan permasalahan umat
manusia. Etika profetik yang telah dikembangkan ke arah interaksi sosial akan
membuka demarkasi sosial yang telah menjadi kecenderungan saat ini.
Elemen dari kelas mana pun semestinya memberikan kemanfaatan bagi yang
lainnya. Para cendekiawan, yang menjadi sasaran Kuntowijoyo, merupakan
ikon yang diharapkan menjadi motor untuk memelopori gerakan social
profetik ini ke masyarakat. Paradigma sosial profetik membangun hubungan
humanisme dan transsendental. Konsep dasar yang membangun pemikirannya
ccxxix
ialah rasionalisme berpikir dalam menyelesaikan problematika kehidupan,
bukan dengan mitologi.
11. Cermin edukasi masyarakat
Pada aspek sosial masyarakat penelitian terhadap novel Pasar, MPU,
dan WS ini dapat menjadi cermin bagi masyarakat pembaca. Pembaca
merupakan pribadi-pribadi yang hidup di masyarakat. Demikian juga tokoh-
tokoh dalam novel merupakan perwujudan pribadi manusia dalam media
cerita. Pengalaman-pengalaman peristiwa yang terjadi pada tokoh bisa
menjadi teladan yang bijak tanpa dengan menggurui. Masyarakat pembaca
pun dapat belajar dari interaksi social yang positif dari cerita yang
diperlihatkan dalam novel tersebut.
Dengan akal pikiranya, masyarakat pembaca akan dapat bertindak dan
berperilaku dengan baik melalui hikmah yang diambil dari deskripsi peristiwa
dalam cerita novel tersebut karena pada hakikatnya karya sastra merupakan
wujud realitas yang dituangkan dalam sebuah cerita. Perwujudan sikap dan
perilaku yang santun di dalam masyarakat akan membentuk sistem
kemasyarakatan yang baik.
C. Saran
Pada penelitian ini penulis menyampaikan saran sebagai berikut:
1. Pada aspek pendidikan, pendidik bahasa dan sastra sebaiknya melakukan
pengajaran dengan sistematika yang runtut dan detail agar mudah dipahami
dan mendapatkan makna novel yang mendalam. Pencapaian maksimal
ccxxx
terhadap pengajaran apresiasi sastra harus diwujudkan secara baik, mencakup
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu, pengajaran tidak
terpatok pada hafalan, tetapi pada proses apresiasi yang mendalam. Di
samping itu, pendidik tidak boleh melupakan berkenaan penanaman nilai
moral serta kesadaran pelestarian seni budaya kepada siswa.
2. Siswa sebaiknya melakukan pengalaman belajar sastra yang lebih intens
karena dengan hal ini maka pencapaian prestasi siswa tidak hanya pada
akademis, tetapi juga pada perubahan behaviour.
3. Peneliti yang memiliki sense terhadap kajian sastra sebaiknya senantiasa
melakukan peningkatan kompetensi dan kualitas pengkajian sastra. Pengkajian
sastra bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan yang ada juga dengan objek
karya sastra mutakhir yang memiliki tingkat kerumitan yang kompleks.
4. Masyarakat pembaca sebaiknya melakukan implementasi yang positif sebagai
hasil interaksinya dengan sastra sehingga menjadi fakta nyata yang bisa
menjadi pengaruh meluas terhadap perwujudan efek-efek potensial di
masyarakat.
5. Para cendekiawan sebaiknya meneladani sosok Kuntowijoyo berkenaan
pandangan positifnya tentang etika profetik dengan mengembangkannya
dalam berbagai aspek kehidupan dalam rangka memberikan solusi efektif
terhadap permasalahan yang muncul di masyarakat.
ccxxxi
DAFTAR PUSTAKA
Adian Husaini. 2003. ”Muhammadiyah: Meretas Jalan Baru untuk Indonesia” dalam Majalah Sabili edisi khusus Sejarah Emas Muslim Indonesia Edisi November
Ahmadi dan Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineke Cipta.
Anis Matta. 2004. Mencari Pahlawan Indonesia. Jakarta: The Tarbawi Center
Anonim. 2009. “Technique Novel” dalam http://www.victorianweb.org diunduh tanggal 1 Agustus 2009 pukul 16.13 WIB
Black, Sharon. 1999. “Using Polynesian Legends and Folktales to Encourage Culture Vision and Creativity”, Journal Of Culture Education, Vol. 75
Budi Darma. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Burhan Nurgiyantoro. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: GMU Press
Carver, Rebecca L. and Richard P. Enfield.2006. “Philosophy of Education Is Alive and Well”, Journal education and culture, Volume 22
Darsono Wisadirana. 2004. Sosiologi Pedesaan: Kajian Kultural dan Struktural Masyarakat Pedesaan. Malang: UMM Press.
Ekky. 2008. “Berprestasi dengan Satu Jari”. Dalam http://ekkyij.multiply.com diunduh tanggal 22 Agustus 2009 pukul 15.45 WIB
Faruk.. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Franz Magnis Suseno. 2000. 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Goldman, Lucien. 1977. Towards A Sociology of The Novel. London: Tavistock Publication Limited
Gunawan. 2010. ”Syafi’i Ma’arif dan Pembaharuan Pemikiran Islam.” dalam www.gunawan.multiply.com diunduh tanggal 23 Februari 2010 pukul 15.00 WIB
Henry Guntur Tarigan. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
Herman J. Waluyo. 2002. Apresiasi dan Pengkajian Prosa Fiksi. Salatiga: Widya Sari Press
Ibnu Salimi, dkk. 1995. Studi Kemuhammadiyahan. Surakartal: Pusat Studi Kemuhammadiyahan.
ccxxxii
Ibnu Anwar. 2008. “Sastra Profetik Kuntowijoyo” dalam http://ibnuanwar.wordpress.com diunduh tanggal 20 Agustus 2009 pukul 16.05 WIB
Iswanto. 2001. “Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme Genetik” dal Jabrohim dan Ari Wulandari (Ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya
Jamal T. Suryanata. 1999. “Sastra yang Tercerahkan: Optimisme Menatap Kegamangan Abad ke-21” dalam Horison Edisi April 1999”
Joko Widagdo. 2001. Sosiologi Sastra. Jakarta: Departemen P dan K
Jujun S. Sumantri. 2001. Filasafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Kenney, William. 1966. How to Analyze Fiction. New York: Monarch Press
Koentjaraningrat. 1985. Budaya, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Kundera, Milan. 2009. “The Art of Novel” dalam http://encarta.msn.com diunduh tanggal 1 Agustus 2009 pukul 14.43 WIB
Kuntowijoyo. 2000. Mantra Pejinak Ular. Jakarta: Kompas
_______. 2002. Pasar. Yogyakarta: Bentang Budaya
_______. 2003. Wasripin dan Satinah. Jakarta: Kompas
_______. 2005. “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra” dalam Majalah Horison edisi XXXIX/5/2005
Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Moh. Wan Anwar. 2005. “Kuntowijoyo: Menjejak Bumi, Menjangkau Langit” dalam Majalah Horison edisi XXXIX/5/2005
Mudji Sutrisno. 1997. Sari-sari pencerahan. Yogyakarta: Kanisius.
Muhammadiyah: Meretas Jalan Baru untuk Indonesia dalam Majalah Sabili edisi khusus Sejarah Emas Muslim Indonesia bulan November 2003
Nugragheni Eko Wardani. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra. Surakarta: UNS Press
211
ccxxxiii
Nuri. 2010. ”Apa dan Bagaimana Cerpen-cerpen Mohammad Diponegoro” dalam www.disiniakuada.multiply.com diakses tanggal 23 Februari 2010 pukul 16.00 WIB
Nyoman Kutha Ratna. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Orr, John. 1977. “Tragic Realism and Modern Society: Studies in the Sociology of the Novel” Journal of European Studies. Volume, 9 No. 36
Paulus Wahana. 2004. Nilai: Etika Aksiologis Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat FIB UGM
Stamm, Liesa. 2009. ”A Novel Window on the Academy” Journal of College & Character Volume X, NO. 7, November 2009
Robert Stanton. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suminto A. Sayuti. 2005. “Selamat Jalan Kuntowijoyo” dalam Majalah Horison edisi XXXIX/5/2005
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar, Teori, dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Uns Press
Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teguh Trianton. 2008. “Problem Pengajaran Sastra di SMK” dalam www.antonaktualita.blogspot.com diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 10.40 WIB
Tirto Suwondo, dkk. 1994. Nilai Budaya Sastra Jawa. Jakarta: Depdikbud
Tremanie, Louis. 1978. “Literary Sociology and the African Novel: The Theories of Sunday Anozie and Lucien Goldmann” Journal African Literatures Volume, 9 No. I
Wahyu Wibowo. 2003. Sihir Iklan: Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Urban Kosmopolitan. Jakarta: Gramedia
Wemmy Al-Fadhli. 2005. “Analisis Strukturalisme Genetik-Semiotik Faruk terhadap Roman Siti Nurbaya” dalam www.bohewimian.com diunduh tanggal 21 April 2009 pukul 20.08 WIB
ccxxxiv
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
www.detikNews.com 23/2/2005 diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 15.45 WIB
www.isai.or.id, diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 14.00 WIB
www.muhammadiyah-online.com diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 14.45 WIB
www.rumahbacacendekia.wordpress.com diunduh tangga 28 Oktober 2008 pukul 13.45 WIB
www.sinarharapan.co.id 2/2/2005 diunduh tanggal 28 Oktober 2008 pukul 14.45 WIB
Zurmailis. 2008. “Dadaisme: Mencari JalanPulang.” Dalam Jurnal Studi Islam dan Budaya, IBDA Vol. 6 No. 1. Purwokerto : P3M STAIN Purwokerto