sosial profetik

21
1 KAJIAN ILMU SOSIAL PROFETIK A. PENDAHULUAN Agama Islam yang merupakan agama terakhir samawi dengan Muhammad saw, sebagai pembawa ajarannya, memberi perhatian yang besar tentang cara interaksi ummatnya, baik interaksi sesama manusia bahkan interaksi dengan sang pencipta, dalam hubungan manusia dengan manusia dapat kita lihat dari ayat Al-Quran, sebagaiman firman Allah: َ ل اَ بَ قَ ا وً وبُ عُ شْ مُ ك ا َ نْ لَ عَ جَ وٰ ىَ ! ث نُ َ وٍ ر َ كَ ذ) ن م مُ ك ا َ نْ قَ لَ خ ا َ ب 0 ُ اس َ ن ل ا َ هُ 4 يَ ا َ 4 ب وُ فَ ار َ عَ ت ل ْ مُ ك ا َ قْ تَ َ َ د ن عْ مُ كَ مَ ر ْ كَ َ ) ن 0 ٌ ر4 ي G بَ خٌ م4 ي لَ عَ َ َ ) ن 0 [ ٤٩:١٣ ] “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S: Al-Hujarat: 13)

Upload: muhammad-thala

Post on 24-Jul-2015

122 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sosial Profetik

1

KAJIAN ILMU SOSIAL PROFETIK

A. PENDAHULUAN

Agama Islam yang merupakan agama terakhir samawi dengan Muhammad

saw, sebagai pembawa ajarannya, memberi perhatian yang besar tentang cara

interaksi ummatnya, baik interaksi sesama manusia bahkan interaksi dengan sang

pencipta, dalam hubungan manusia dengan manusia dapat kita lihat dari ayat Al-

Quran, sebagaiman firman Allah:

�م� اك �ن��� ع�ل �ى� و�ج� �نث ر� و�أ �م م�ن ذ�ك��� اك �ق�ن��� ل ا خ� �ن��� �اس� إ "ه�ا الن ي� �ا أ ي

ف�وا �ع�ار� �ت �ل� ل �ائ ,ا و�ق�ب ع�وب �م� ش� اك �ق��� �ت �ه� أ �م� ع�ند� الل م�ك �ر� ك� �ن� أ إ

�ير5 ب �يم5 خ� �ه� ع�ل �ن� الل [٤٩:١٣]إ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S: Al-Hujarat: 13)

Dari ayat di atas sangat jelas bahwa agama Islam menyuruh ummatnya

untuk saling kenal-mengenal, yang pada akhirnya menghasilkan hubungan

interaksi sosial antar sesama baik muslim atau non muslim, yang dalam istilah

Agama Islam disebutkan dengan “Mu’amalah”.

Selanjutnya jika kita bandingkan antara Mu’amalah dan Ta’abbudiyah,

mungkin kita akan mendapatkan bahwa perhatian Islam lebih besar kepada

Mu’amalah, bahkan keimanan seorang muslim belum sempurna jika dia belum

bisa menghormati tetangganya.

Keterkaiatan agama dengan masalah kemanusiaan sebagaimana tersebut

menjadi penting jika dikaitkan dengan masalah kemanusiaan di zaman sekarang,

betapa banyak masalah-masalah sosial yang timbul di tengah-tengah masyarakat

Page 2: Sosial Profetik

2

yang membutuhkan kepada suatu kajian ilmu sosial yang berasaskan kepada nilai-

nilai dan mempunyai kaitan dengan agama, dan ilmu itu diistilahkan dengan Ilmu

Sosial Profetik.

Ilmu sosial profetik merupakan suatu ilmu yang tidak hanya menjelaskan

dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana

transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu, ilmu sosial

profetik tidak hanya sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah

berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam hal ini, maka ilmu sosial

profetik sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan

masyarakatnya.

Islam adalah agama transformatif1 yang mengajarkan kepada umatnya

untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Rasulullah saw dalam

Sirah Nabawiahnya menggambarkan betapa agama Islam melakukan transformasi

sosial secara benar-benar pada masyarakat Mekkah yang Jahiliyyah (bodoh)

menjadi masyarakat yang beradab (berperadaban).

Umat Islam senantiasa harus melakukan perubahan dan menjadi pionir

untuk melakukan perubahan itu (agent of social). Perubahan dalam masyarakat

sering di sebut sebagai transformasi sosial. Transformasi memang jalan yang

paling manusiawi untuk mengubah sejarah kehidupan umat manusia. Sebab dalam

proses ini yang berlaku adalah pendampingan dan bukan pengarahan apalagi

pemaksaan. Transformasi pada dasarnya adalah gerakan kultural yang didasarkan

pada liberalisasi, humanisasi dan transendensi yang bersifat profetik, yaitu

perubahan sejarah kehidupan masyarakat yang masyarakat itu sendiri menuju ke

arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansipatoris.2

1Istilah Islam transformatif atau teologi transformatif sering di ungkapkan oleh Mouslim Abdurrahman, Kuntowijoyo dan M. Dawam Raharjo. Mereka menilai bahwa pada dasarnya Islam adalah agama humanisme yang akan mengantar manusia pada perubahan yang lebih baik. Untuk melakukan itu, umat Islam harus melakukan perubahan sosial (social change). Perubahan itu di aplikasikan dalam gerakan-gerakan sosial seperti pendidikan, pemberdayaan sosial ekonomi umat, penyadaran hak-hak politik dan sebagainya. Lihat Moeslim Abdurrahman , Islam Transformatif, Cet III, ( Jakarta:Pustaka Firdaus, 1999), hal. 40. Bandingkan dengan Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Cet VIII,( Bandung: Mizan,1999),hal.166. dan M.Syafi`I Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam di Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde baru, Cet I, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 162.

2Moeslim Abdurrahman, Islam…,

Page 3: Sosial Profetik

3

Pemikiran transpormatik bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam

yang utama adalah kemanusiaan. Untuk itu Islam harus menjadi kekuatan yang

dapat memotivasi secara terus menerus, dan mentransformasikan masyarakat

dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar yang bersifat praksis

maupun teoritis. Pada transformasi yang bersifat praksis, perhatian utama para

pemikir transformatif bukanlah pada aspek-aspek dokrinal dari teologi Islam,

tetapi pada pemecahan masalah-masalah empiris dalam bidang sosial-ekonomi,

pengembangan masyarakat, penyadaran hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan

sosial, dan sebagainya.

B. Tokoh Ilmu Sosial Profetik

Istilah profetik pertama kali didengungkan oleh Kuntowijoyo, beliau

adalah salah seorang intelektual dan akademisi ia menghasilkan telaah-telaah

kritis terhadap berbagai masalah sosial, budaya dan sejarah. Kuntowijoyo

dilahirkan di kota Bantul, Yogyakarta pada tanggal 18 September 1943 dan

meninggal dunia di rumah sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, hari selasa tanggal 22

Februari 2005.

Pendidikan Kuntowijoyo dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah di

kampungnya, dan jenjang Doktoral (S3) di Columbiya Universty Amerika

Serikat, pada masa kecil Kunto–panggilan akrab Kuntowijoyo-pernah belajar cara

mendongeng, ketika SMP dia juga suka membaca karya Buya Hamka, H.B Jassin,

Pramoedya Ananta Toer, Nuggroho Noto Susanto, dan juga sastra-sastra dunia.

Kegemarannya pada dunia sastra semakin mantap ketika dia berada di UGM

(Universitas Gajah Mada) dan bahkan sempat mendirikan Lembaga Kebudayaan

dan Seniman Islam (Leksi)3 bersama para budayawan lainnya.

Kualitas dan produktivitas Kuntowijoyo menulis sastra budaya, sebanding

dengan kekuatannya menulis karya ilmiah dalam bidang sejarah atau pemikiran

sosial, dalam setiap karyanya ia lebih cenderung melihat keterkaitan suatu ilmu

dengan agama, bahkan dalam sastrapun dia menginginkan adanya nilai-nilai

3 Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), hal. 4.

Page 4: Sosial Profetik

4

agama yang dimunculkan, sebagaimana karya Helvy Tiana Rosa dengan Forum

Lingkar Pena-nya.

Kuntowijoyo mencoba memperkenalkan Ilmu Sosial Profetik melalui

tulisannya di Harian Republika pada kisaran tahun 1997, yang mana ini

merupakan respon terhadap gagasan yang dilontarkan oleh Moeslim

Abdurrahman yakni mengenai pentingnya merumuskan teologi baru yang

disebutnya sebagai Teologi Transformatif.4 Kemudian istilah ‘Teologi

Transformatif” menjadi “Ilmu Sosial Profetifk”, perkembangan tersebut

mengandung dua penggantian yang sangat menentukan bagi definisi Ilmu Sosial

Profetik itu sendiri.

C. Ilmu Sosial Profetik

Bagi August Comte,5 sang pencipta istilah “sosiologi”, sosiologi adalah

puncak perkembangan positivisme. Tak heran jika kemudian ilmu yang satu ini

berkembang dengan corak yang sangat positivistik. Di masanya, positivisme

menjadi ukuran sahih tidaknya ilmu pengetahuan. Proses-proses sosial tidak lagi

dianggap sebagai produk kegiatan manusia yang bebas, tapi sebagai suatu

peristiwa alam.

Dalam ilmu sosial positiv terdapat tiga pengandaian; Pertama, prosedur-

prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan dalam ilmu-

ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-

hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat

teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni, netral

dan bebas nilai.6

Ketiga dasar positivisme itu pun kemudian terbukti rapuh. Fenomena

sosial tidak sama dengan fenomena alam sehingga pemakaian metode ilmu alam

untuk mengkaji fenomena sosial adalah salah arah. Demikian pula, dalam

kenyataannya, ilmu sosial ternyata tidak pernah mampu melepaskan diri dari

4 http://omperi.wikidot.com/ilmu-sosial-profetik:antara-teori-kritis-teologi-pembebasan, diakses pada tanggal 23 Desember 2011.

5 http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte, diakses pada tanggal 23 Desember 2011.6 http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_Sosial_Profetik#cite_note-1, diakses pada tanggal 23

Desember 2011.

Page 5: Sosial Profetik

5

keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu, maka dari itu Kuntowijoyo menggagas

Ilmu Sosial Profetik yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena

berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.7

Munculnya gagasan tersebut selain yang sudah tersebutkan di atas juga

ada faktor lain, yaitu kemandekan para sosiolog pada saat itu dalam memecahkan

masalah-masalah masyarakat pada saat itu, sebagaimana Prof Abuddin Nata

mengatakan “Kita butuh ilmu sosial yang tidak hanya berhenti pada menjelaskan

fenomena sosial, tetapi dapat memecahkannya secara memuaskan. Menurut

Kuntowijoyo, kita butuh ilmu sosial profetik.”8

Maka dengan adanya ilmu sosial profetik ini, kita tidak perlu menghidap

kekhawatiran berlebihan terhadap dominasi sains barat selama ini, betapapun

dalam proses theory-building, mau tidak mau kita masih harus melirik ke

khazanah ilmu barat.9

Dengan ilmu sosial profetik ini, kita ingin melakukan reorientasi

terhadap epistimologi, serta reorientasi terhadap pemikiran barat yang mengatakan

ilmu berasal dari rasio, sedangkan dalam Islam ilmu juga berasal dari wahyu.

D. Pilar Ilmu Sosial Profetik

Kuntowijoyo menetapkan tiga pilar dalam ilmu sosial profetik, tiga pilar

ini terkandung dalam dalam ayat 110 surat Ali ‘imran sebagai berikut:

�وف �م�ع�ر� �ال ون� ب م�ر�� �أ �اس� ت �لن �خ�ر�ج�ت� ل م�ة� أ

� �ر� أ ي �م� خ� �نت ك��ه �الل �ون� ب �ؤ�م�ن �ر� و�ت �م�نك �ه�و�ن� ع�ن� ال �ن �ه�ل� و�ت �و� آم�ن� أ و�ل

�ه�م ا ل �ر, ي �ان� خ� �ك �اب� ل �ت �ك ه�م� ال �ر� �ث ك� �ون� و�أ �م�ؤ�م�ن �ه�م� ال م�ن

ق�ون� ��ف�اس [٣:١١٠]ال“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka

7Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam, Cet 18, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 55.

8Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam,..., hal. 55. 9Kuntowijoya, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, cet. I, edisi baru, (Jakarta: PT

Mizan Pustaka, 2008, hal. 484

Page 6: Sosial Profetik

6

ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS: Ali Imran: 110)

Ketiga pilar dimaksud adalah; Humanisasi “Amar ma’ruf”, Liberasi

“Nahy Munkar” dan Transendensi “iman kepada Allah”.10 Tiga muatan nilai

inilah yang mengarakterisasikan ilmu sosial profetik. Dengan kandungan nilai-

nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi ilmu sosial profetik diarahkan untuk

rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan.11 Tujuan

humanisasi adalah memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa kita sekarang

mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial kita menjadikan

kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita

mengalami objektivasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan

mesin-mesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah membantu kecenderungan

reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial.

Tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan,

keangkuhan teknologi, dan pemerasan pelimpahan. Kita menyatu rasa dengan

mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan

mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin sama-sama

membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang kita bangun sindiri. Tujuan

transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita

sudah banyak mengalah pada arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang

dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan yaitu membersihkan diri

dengan mengingatkan kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah

dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat

Tuhan. Kita ingin hidup kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu,

ketika kita bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.

M. Dawam Raharjo dan Ali Sasono sebagai pemikir Islam yang

transformatif yang bersifat praksis, perhatian utama mereka bukanlah pada aspek-

aspek dokrinal dari teologi Islam, tetapi pada pemecahan masalah-masalah

empiris dalam bidang sosial-ekonomi, pengembangan masyarakat, penyadaran

10Kuntowijoya, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi,... hal. 2811 Kuntowijoyo, Paradigma..., hal. 288-289.

Page 7: Sosial Profetik

7

hak-hak politik rakyat, orientasi keadilan sosial dan sebagainya. Bahkan bagi

mereka, terdapat kecenderungan kuat untuk memberikan ajaran-ajaran agar bisa

menjadi kekuatan yang membebaskan manusia dan masyarakat dari belenggu

ketidakadilan, kebodohan dan keterbelakangan. Mereka menghendaki teologi

bukan sekedar sebagai ajaran yang absurd dan lateral, tetapi sebagai suatu ajaran

yang “memihak” dan membebaskan masyarakat Islam dari berbagai kelemahan.

Demikian pula proses Islamisasi dalam pemikiran dan kaum transformatif

tidaklah diartikan dalam kerangka lateral dan formal. Tetapi direfleksikan dalam

karya-karya produktif yang berorientasi pada perubahan sosial-ekonomi dan

politik menuju tercapainya masyarakat adil dan demokratis.12

Refleksi transformatif praksis kemudian diimplementasikan ke dalam

gerakan-gerakan pengembangan masyarakat (community develoment) dengan

pendekatan praksis: kesatuan dialektika antara refleksi dan aksi teori dan praktek

serta iman dan amal. Adapun basis sosial yang dimanfaatkannya adalah lembaga

swadaya masyarakat (LSM). Dawam mendirikan LP3S, LSAF (Lembaga Studi

Agama dan Filsafat), Jurnal umum al-Qur’an, sedangkan mendirikan Lembaga

penelitian sosial (CIDES).13

Sementara itu, Kuntowijoyo dalam beberapa tulisannya selalu

mendasarkan paradigma pemikirannya kepada masyarakat sebagai sebuah

perubahan (social change). Dengan menggunakan ilmu sosial profetik sebagai

kekuatan yang sangat mendesak. Perubahan sosial dalam masyarakat boleh jadi

membawa umat Islam terombang-ambing jika tidak mempunyai pegangan. Ilmu

sosial profetik merupakan rumusan teori ilmu sosial Islam agar kita mampu

mengaktualisasikan iman kita pada realitas obyektif dan mampu

memanifestasikan amal kita secara efektif pada kondisi-kondisi dan kenyataan-

kenyataan sosial yang baru.14

Menurut Syafi`i Anwar bagi mereka yang akrab dengan karya-karya

Kuntowijoyo benang merah dari pemikirannya amat jelas. Ia adalah ilmuwan

sosial Muslim yang pertama kali memperkenalkan ilmu sosial profetik

12M. Syafi`I Anwar, Pemikiran…, hal. 16213M. Syafi`I Anwar, Pemikiran…, hal. 16214Kuntowijoyo, Paradigma…, hal. 345.

Page 8: Sosial Profetik

8

berdasarkan pandangan dunia Islam. Ada dua ciri pokok ilmu sosial profetik yang

di konsep nilainya didasarkan pada dua hal yaitu transformasi dan perubahan dan

al-Qur’an sebagai paradigma.15

Ilmu sosial profetik ditawarkan Kuntowijoyo merupakan alternatif

terhadap kondisi status quo dan hegemoni teori-teori sosial praktis (yang kuat

pengaruhnya di kalangan intelektual dan ilmuwan Indonesia). Ilmu ini tidak hanya

menjelaskan dan mengubah temuan-temuan sosial, tetapi juga memberikan

interpretasi, mengarahkan serta membawa perubahan bagi pencapaian nilai-nilai

yang dianut oleh kaum Muslim sesuai dengan petunjuk al-Qur’an yaitu

emansipasi atau humanisme, liberasi dan transendensi.16

Bagi Kuntowijoyo Islam adalah agama yang menganjurkan humanisme.

Yaitu ajaran yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral. Inilah

dasar Islam. Karena itu, untuk melakukan perubahan sosial harus melakukan

transformasi. Ilmu sosial profetik sebagai alat dalam transformasi itu, lalu

Kuntowijoyo menulis:

Konsep tentang agama di dalam Islam bukan semata-mata teologi, sehingga sebuah pemikiran teologi bukanlah karakteristik Islam. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat all-embracing bagi anutan sistem kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai itu. Pertama-tama kita harus memperhatikan apa sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-nilai Islam, yaitu al-Qur’an. Al-Qur’an mengajarkan untuk beriman, kemudian beramal dan aksi...Tauhid harus diaktualisasikan. Pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasi adalah manusia. Dengan demikian Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam itu disebut sebagai rahmatan lil `alamin, untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan.17

Untuk melakukan transformasi, umat Islam menurut Kuntowijoyo harus

mengedepankan dua metode, yaitu:

1. Nilai-nilai normatif itu diaktualkan langsung menjadi prilaku. Untuk jenis

aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan Al-Qur’an untuk

15M. Syafi`i Anwar, Pemikiran Politik Dengan Paradigma Alquran :Sebuah Pengantar dalam Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Cet III, (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix

16M. Syafi`i Anwar, Pemikiran…, hal. xix17Kuntowijoyo, Paradigma…, hal.167.

Page 9: Sosial Profetik

9

menghormati orang tua. Seruan ini langsung dapat diterjemahkan dalam

praktek dan prilaku. Pendekatan semacam ini telah dikembangkan melalui

ilmu fiqih, ilmu ini cenderung menunjukkan secara langsung.

2. Mentransformasikan nilai-nilai normatif menjadi teori ilmu. Sebelum

ditransformasikan ke dalam prilaku. Agaknya cara kedua ini lebih relevan

terhadap masyarakat Islam. Industri suatu restorasi yang membutuhkan

pendekatan yang lebih menyeluruh daripada sekedar pendekatan legal. Metode

untuk mentransformasikan nilai melalui teori nilai. Untuk kemudian

diaktualisasikan dalam praksis memang membutuhkan beberapa fase

formulasi: Teolog----Filsafat Sosial---Teori sosial---Perubahan sosial.

Sebagaimana yang telah penulis singgung di atas, namun dalam hal ini lebih

lanjut Kunto menulis;

Reorientasi kesadaran dari tingkat normatif ke tingkat ilmiah adalah salah satu prasyarat intelektual untuk memulai usaha perumusan teori sosial dari paradigma Islam. Kita menyadari bahwa dewasa ini kebutuhan akan adanya suatu perspektif, teoritis mengenai transformasi sosial Islam merupakan suatu kebutuhan yang mendesak. Hal ini karena tanpa adanya teori semacam itu kita bukan saja tidak akan dapat memahami kenyataan-kenyataan sosial yang ada dari pandangan Islam, tetapi juga akan membuat kita terombang-ambing dalam arus perubahan sosial yang besar tanpa dapat melakukan upaya apapun untuk mengarahkannya. Menjadi jelas bahwa salah satu urgensi mengapa dewasa ini kita mampu mengaktualisasikan iman kita pada realitas objektif, agar kita mampu memanifestasikan amal kita secara efektif pada kondisi-kondisi dan kenyataan-kenyataan sosial yang baru.18

Sampai sekarang kita belum melakukan usaha semacam ini, bagaimana

mungkin kita akan dapat mengatur perubahan masyarakat jika tidak punya teori

sosial?, tanya Kuntowijoyo. Dengan menyadari kekurangan ini, kita memang

sudah didesak untuk segera memikirkan metode transformasi nilai Islam pada

level yang empiris melalui di ciptanya ilmu-ilmu sosial Islam. Tanpa melakukan

ini, tanpa mentransformasikan Islam normatif menjadi Islam teoritis; agaknya kita

akan mengalami kebingungan besar–jika bukan kesulitan besar–dalam mengatasi

dampak perkembangan masyarakat industrial.19

18Kuntowijoyo, Paradigma…, hal. 345. Lihat juga M. Syafi`i Anwar, Pemikiran..., hal. 172.

19Kuntowijoyo, Paradigma…, hal. 170.

Page 10: Sosial Profetik

10

Pertimbangan lain yang perlu dikemukakan adalah bahwa tampaknya kita

harus mentransformasikan nilai-nilai Islam yang subjektif menjadi objektif.

Jelaslah bahwa selalu ada sisi objektif dari semua nilai Islam. Objektivikasi nilai-

nilai Islam sangat diperlukan jika kita ingin mengaktualisasikan Islam secara

empiris. Dengan mentransformasikan nilai-nilai Islam yang normatif menjadi

sistem yang teoritis, dan dengan mentransformasikan nilai-nilai Islam yang

subjektif ke dalam kategori-kategorinya yang objektif, maka Islam akan siap

menghadapi pelbagai bentuk tantangan struktural dari perkembangan masyarakat

industri.

Lebih lanjut Kuntowijoyo mempertanyakan ilmu sosial bagaimana yang

mampu dipakai untuk melakukan transformasi? Pertama-tama kita menyadari

bahwa dewasa ini ilmu sosial yang ada sedang mengalami kemandekan. Itu

sebabnya muncul gagasan tentang ilmu sosial profetik yang tidak seperti ilmu

sosial akademis maupun ilmu sosial kritis, tidak berhenti hanya untuk

menjelaskan fenomena sosial, namun juga berusaha untuk

mentransformasikannya.20 Lahirnya ilmu sosial profetis ini bertolak dari

pandangan bahwa dalam perkembangan sekarang ini, umat Islam perlu mengubah

cara berpikir dan bertindaknya, dari menggunakan pola ideologi ke pola keilmuan.

Islam, sebagai konsep normatif memang dapat dijabarkan sebagai ideologi, seperti

yang selama ini telah dilakukan. Akan tetapi Kunto menawarkan alternatif untuk

menjabarkan Islam normatif menjadi teori-teori. Di sini, Islam perlu dipahami

sebagai dan dalam kerangka ilmu. Sebab dengan kerangka ilmu itu, terutama yang

empiris, umat Islam dapat memahami realitas. Dengan cara itu, umat akan dapat

melakukan transformasi atau perubahan seperti yang ditunjukkan oleh al-Quran,

yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Melalui metode transformasi itu pula Kunto mengkaji konsep ummah

(umat) sebagai kesatuan religio-politik, sebagaimana konsep baldah thoyyibah

(negara yang makmur), atau qaryah thoyyibah (masyarakat yang sejahtera)

sebagai konsep-konsep normatif yang berada dalam struktur kesadaran subjektif.

Konsep-konsep itu merupakan proyeksi dari cita-cita masyarakat Muslim

20Kuntowijoyo, Paradigma…, hal. 288.

Page 11: Sosial Profetik

11

mengenai apa yang disebut sebagai “umat yang terbaik” di sebuah “negeri yang

baik, di bawah ampunan Tuhan”. QS. Saba` ayat 15.

ة5 �ه�م� آي��� �ن ك � ف�ي م�س��� �إ ب ان� ل�س��� د� ك��� �ق��� �م�ين� ل ان� ع�ن ي �ت��� ن ج�م�ال� ��ه� و�ش وا ل �ر� ك �م� و�اش� �ك ب ق� ر� ز� �وا م�ن ر� �ل ة5 ك �ب��� �د�ة5 ط�ي �ل ب

بS غ�ف�ور5 [٣٤:١٥]و�ر�“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun". (QS. Saba` ayat 15)

Dengan cita-cita normatif seperti itu, umat Islam merupakan suatu

kelompok yang akan terus menerus dimotivasi oleh kesadaran subjektifnya dalam

membela keadilan sosial-ekonomi dan politik yang emansipatoris. Tetapi sikap

normatif ini hanya akan menjadi aktual jika umat dapat melakukan pemihakan

kepada mereka yang tertindas, karena proses-proses struktural merampas hak-hak

dan peluangnya. Ini berarti umat harus mendefinisikan siapa yang dirugikan itu, di

dalam struktur apa mereka dirugikan, dan dengan cara bagaimana hal-hal tersebut

bisa diatasi.

E. Kesimpulan

Ilmu sosial sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat, karena

dengan ilmu sosiallah kita bisa mengetahui masalah dan solusi yang ada dalam

masyarakat tertentu, namun sayangnya kebanyakan sosiolog pada zaman sekarang

mandek dalam memberikan solusi-solusi masalah sosial kemasyarakatan. Ilmu

sosial profetik hadir ketengah masyarakat dengan mengandeng serta nilai-nilai

keagaamaan di dalamnya, dengan tidak mengabaikan pengaruh luarnya.

Bagi Kuntowijoyo Islam sangat concern transformasi sosial, bahkan

agama ini datang untuk manusia, bukan untuk Allah swt, walau seorang Islam

harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang berasal dari Allah swt, atau tauhid.

Page 12: Sosial Profetik

12

Karena menurutnya, manusia selalu melakukan perubahan sosial dan al-Qur’an

harus menjadi paradigma pemikiran.

Ilmu sosial profetik merupakan suatu ilmu yang tidak hanya menjelaskan

dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana

transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu, ilmu sosial

profetik tidak hanya sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah

berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam hal ini, maka ilmu sosial

profetik sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan

masyarakatnya.

Gagasan mengenai ilmu sosial profetik, kita tidak perlu mempunyai

kekhawatiran yang berlebihan terhadap dominasi sains Barat dewasa ini.

Betapapun, dalam proses theory- building, kita memang tidak dapat menghindari

terjadinya peminjaman dari dan sintesis dengan khazanah ilmu Barat. Islamisasi

ilmu pengetahuan dengan proses peminjaman dan sintesis ini, tidaklah kita perlu

khawatirkan sebagai westernisasi Islam. Tanpa harus mengecilkan arti analisis-

analisisnya yang fundamental mengenai imperialisme epistemologi dan

subordinasi Islam pada pandangan dunia Barat. Dalam hal ini alangkah baiknya

kita tidak menganggap itu sebagai warning system. Akan sangat tidak realistis bila

kita memandang pengaruh-pengaruh Barat dalam hal Islamisasi sains ini dalam

perspektif yang dikotomis. Sekalipun pada tujuan finalnya kita memang harus

berusaha untuk mendekati cita-cita Islam yang otentik, karena kita yakin bahwa

Islam merupakan sebuah alternatif, akan tetapi dalam proses globalisasi dan

universalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang dewasa ini, kita harus

membuka diri terhadap seluruh warisan peradaban.

Sebagai konsekuensi agama transformatif, maka Islam menjadikan

pemeluknya sebagai agen of sosial dalam melakukan perubahan sosial (social of

change). Untuk melakukan transformasi sosial, maka agenda selanjutnya adalah

mencari perangkat dan alat untuk mengerahkan dinamika sosial, pada saat itu

diperlukan ilmu sosial profetik yang mempunyai landasan epistemologi pada al-

Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Page 13: Sosial Profetik

13

Moeslim Abdurrahman , Islam Transformatif, Cet III, Jakarta:Pustaka Firdaus, 1999.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Cet VIII, Bandung: Mizan,1999.

M. Syafi`i Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam di Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde baru, Cet I, Jakarta: Paramadina, 1995.

Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, Jakarta: PT. Grasindo, 2007.

http://omperi.wikidot.com/ilmu-sosial-profetik:antara-teori-kritis-teologi-pembebasan, diakses pada tanggal 23 Desember 2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte, diakses pada tanggal 23 Desember 2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_Sosial_Profetik#cite_note-1, diakses pada tanggal 23 Desember 2011.

Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam, Cet 18, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.

M. Syafi`i Anwar, Pemikiran Politik Dengan Paradigma Alquran :Sebuah Pengantar dalam Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Cet III, Bandung: Mizan, 1999