1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penuaan merupakan suatu proses yang tidak dapat dihindari dan pasti
dialami setiap individu. Manusia lahir, berkembang dewasa, menjadi tua dan
akhirnya meninggal merupakan suatu siklus kehidupan yang tidak terpisahkan.
Umur panjang dan hidup sehat merupakan impian setiap individu, keinginan ini
juga diiringi dengan harapan agar kualitas hidup pada hari tuanya tidak terlalu
berkurang oleh kemunduran fisik dan mental. Namun perubahan lingkungan dan
gaya hidup yang buruk dapat mempercepat terjadinya proses penuaan. Untuk
memperoleh kualitas hidup yang baik, penerapan pola hidup sehat merupakan hal
yang sangat penting. Karenanya, kita akan tampak lebih muda dari usia yang
sesungguhnya, dapat memperpanjang usia harapan hidup dan memungkinkan kita
menjalani masa tua dengan kualitas hidup yang lebih baik.
Saat ini jumlah populasi penduduk usia lanjut di kawasan Asia Pasifik
meningkat secara signifikan, dari 410 juta orang pada tahun 2007, diperkirakan
akan mencapai jumlah 733 juta orang pada tahun 2015 dan 1,3 miliar orang pada
tahun 2050. Pada tahun 2025, diperkirakan 15% populasi dunia adalah penduduk
usia lanjut. Indonesia sebagai negara dengan populasi terpadat ke-empat, dan pada
tahun 2020 diperkirakan akan memiliki 11% populasi penduduk usia lanjut atau
28,8 juta orang (Amri, 2009).
2
Setelah mencapai usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh
manusia tidak dapat berkembang lagi, sebaliknya akan mengalami penurunan
karena proses penuaan. Namun anggapan bahwa bertambahnya usia harus disertai
dengan segala kekurangan dan ketidakberdayaan semestinya dihilangkan. Usia
boleh bertambah tetapi kemampuan fisik dan psikis harus tetap baik sehingga
manusia dapat menjalani hidup dengan kualitas yang lebih baik. Mengingat angka
harapan hidup semakin meningkat, maka pada tahun 1993 dicetuskan konsep baru
Anti Aging Medicine (AAM). Ada 3 pokok penting dalam konsep baru yang
memberi harapan baru bagi umat manusia. Pertama, bahwa penuaan dapat
dianggap sama dengan suatu penyakit yang dapat dicegah, diobati, dan bahkan
dikembalikan ke keadaan semula. Dengan demikian, manusia tidak lagi harus
membiarkan begitu saja proses penuaan dengan segala keluhannya, dan bila perlu
mendapatkan pengobatan atau perawatan. Kedua, manusia bukanlah semacam
orang hukuman yang terperangkap dalam takdir genetiknya. Ketiga, manusia
mengalami keluhan atau gejala penuaan karena kadar hormonnya menurun, bukan
kadar hormon menurun karena manusia menjadi tua (Pangkahila, 2011).
Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua, dan dengan
semakin bertambahnya usia, maka akan terjadi penurunan berbagai fungsi organ
tubuh dan terjadi perubahan fisik, baik tingkat seluler, organ, maupun sistem pada
tubuh (Baskoro and Konthen, 2008). Pada dasarnya penyebab penuaan
dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal
ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi,
apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan genetik. Faktor eksternal yang
3
utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi
lingkungan, stres dan kemiskinan (Fowler, 2003; Pangkahila, 2011).
Proses penuaan menyebabkan penurunan berbagai fungsi organ tubuh
sehingga dapat memicu munculnya penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif
adalah suatu penyakit yang timbul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh,
dari keadaan normal menjadi lebih buruk. Penyakit degeneratif dapat dikatakan
pula sebagai penyakit yang mengiringi proses penuaan (Karyani, 2003).
Salah satu penyakit degeneratif yang sering terjadi adalah diabetes mellitus.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), sekitar 23 juta orang
atau sekitar 8% dari total populasi orang di Amerika Serikat menderita diabetes.
Prevalensi diabetes total ini meningkat sebesar 13,5% dari tahun 2005 sampai
tahun 2007. Saat ini diperkirakan ada sekitar 24% dari populasi menderita
diabetes yang tidak terdiagnosis (Anonim, 2011).
Di Indonesia, yang memiliki jumlah penduduk melebihi 200 juta jiwa, sejak
awal abad ini telah menjadi negara dengan jumlah penderita diabetes mellitus
terbanyak ke-4 di dunia, setelah Amerika Serikat, India dan China (Suyono,
2005). Menurut laporan nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
prevalensi diabetes mellitus tertinggi di daerah perkotaan yang ada di Indonesia
terdapat di Kalimantan Barat dan Maluku (11,1%) dan di beberapa kota seperti
Jakarta mencapai 6,6 % dan Bali mencapai 3,0 % (Depkes, 2008).
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis, yang disebabkan adanya
kelainan metabolisme karbohidrat, dimana glukosa darah tidak dapat digunakan
dengan baik dan menumpuk dalam pembuluh darah karena pankreas tidak cukup
4
memproduksi insulin untuk metabolisme glukosa darah dan tubuh yang tidak
dapat secara efektif menggunakan insulin yang diproduksi tersebut, sehingga
menyebabkan keadaan hiperglikemia (Wijaya et al., 2011). Diabetes mellitus
ditandai dengan sekumpulan gejala karena gangguan metabolik dengan
karakterisik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (Masharani et al., 2004).
Tipe diabetes yang banyak dialami adalah non-insulin dependent diabetes
mellitus (NIDDM / Tipe 2). Adanya kegagalan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan resistensi penggunaan insulin di tingkat perifer menjadi penyebab
terjadinya diabetes mellitus tipe 2 ini. Peningkatan glukosa darah sewaktu adalah
salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya penyakit
diabetes (Bhat et al., 2011).
Penatalaksanaan diabetes mellitus selalu dimulai dengan pendekatan non
farmakologis, berupa perencanaan makan / terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani,
dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila
dengan langkah-langkah tersebut sasaran pengendalian diabetes belum tercapai,
maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau terapi farmakologis dengan
pemberian obat hipoglikemik oral (OHO). Pada kasus tertentu, dokter akan
memberikan injeksi insulin yang harganya cukup mahal. Penggunaan terapi
farmakologis baik dengan OHO seperti Glibenklamid, maupun dengan injeksi
insulin tidak boleh sembarangan. Hal ini dikhawatirkan apabila penggunaannya
tidak terkontrol, penderita dapat mengalami hipoglikemik, sehingga perlu dicari
5
obat alternatif lain yang diharapkan memiliki efek sama seperti obat antidiabetik,
dengan efek samping yang minimal (Suyono, 2005).
Penelitian yang dilakukan Marles dan Farnworth tahun 1996 menunjukkan
bahwa ada lebih dari 1200 spesies tanaman obat yang dapat digunakan untuk
pengobatan terhadap diabetes dan 50% dari tanaman tersebut telah dibuktikan
secara ilmiah memiliki efek antihiperglikemi (Wijaya et al., 2011).
Mengkudu (Morinda citrifolia) merupakan tumbuhan yang termasuk dalam
keluarga kopi-kopian (Rubiaceae). Mengkudu mulanya berasal dari wilayah
daratan Asia Tenggara, terpusat di Polinesia, India, dan Cina, kemudian menyebar
sampai ke Malaysia, Australia, New Zealand, Kepulauan Pasifik, Tahiti, Hawai,
Puerto Rico, Karibia, Kanada, sampai ke Indonesia. Semua bagian mengkudu
digunakan sebagai obat sejak jaman dahulu. Bahkan para tabib di Kepulauan
Pasifik menganggap mengkudu sebagai tanaman suci. Hal itu disebabkan khasiat
obat yang dimilikinya dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Tanaman
mengkudu dikenal sebagai raja dari jenis buah yang ada (Bangun, 2002; Dewi,
2012).
Tanaman mengkudu ini tumbuh di dataran rendah hingga pada ketinggian
1500m. Tinggi pohon mengkudu mencapai 3-8 m, memiliki bunga bongkol
berwarna putih. Buah yang masih muda berwarna hijau mengkilap dan memiliki
totol-totol, dan ketika sudah tua berwarna putih dengan bintik – bintik hitam. Di
berbagai daerah mengkudu sering digunakan sebagai bahan obat-obatan dan
dipercaya dapat mengobati berbagai macam penyakit (Bangun, 2002; Dewi,
2012).
6
Riset medis tentang khasiat mengkudu dimulai pada tahun 1950, dengan
ditemukannya zat anti bakteri terhadap Escherichia coli, M. pyrogenes dan P.
aeruginosa. Pada tahun 1972, Heinicke menemukan senyawa xeronin dan
proxeronin dalam jumlah besar pada buah mengkudu, senyawa ini merupakan zat
penting dalam tubuh yang mengatur fungsi dan bentuk protein spesifik sel-sel
tubuh. Pada tahun 1980, mengkudu terbukti dapat menurunkan tekanan darah.
Pada tahun 1993, peneliti menemukan zat anti kanker (Damnacanthal) dalam buah
mengkudu (Bangun, 2002; Dewi, 2012).
Mengkudu mengandung banyak zat aktif yang sangat berguna bagi
kesehatan tubuh, antara lain : asam kaproat, asam asperulosidik, asam askorbik,
asam kaprilik, etil kaproat, asam heksanoat, asam oktanoat, etil kaprilat,
glukopiranosa, flavonoid, proxeronin dan xeronin. Zat aktif yang memiliki khasiat
untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah xeronin dan flavonoid (Blanco et
al., 2005).
Xeronin berfungsi untuk meregenerasi sel dan reseptor sel tubuh, termasuk
pankreas yang menghasilkan insulin sebagai regulator glukosa darah (Wang et
al., 2002; Heinicke, 2008). Sedangkan flavonoid berperan sebagai antioksidan
sehingga produksi radikal bebas dalam tubuh berkurang. Flavonoid juga berperan
dalam memperbaiki kerusakan pada sel beta pankreas sehingga pankreas dapat
kembali mensekresi insulin, yang berefek pada penurunan kadar glukosa darah
(Mahendra, 2007; Choi et al., 2009; Oben, 2009).
7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dirumuskan
rumusan masalah sebagai berikut :
Apakah pemberian ekstrak buah mengkudu secara oral dapat menurunkan
kadar glukosa darah tikus diabetes mellitus?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pemberian ekstrak buah mengkudu secara oral dapat
menurunkan kadar glukosa darah tikus diabetes mellitus.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Manfaat Ilmiah : memberikan informasi mengenai efektivitas
konsumsi ekstrak buah mengkudu terhadap penurunan kadar
glukosa darah tikus diabetes mellitus.
2) Manfaat Klinis : mungkin bisa digunakan sebagai suplementasi
terapi diabetes mellitus.
3) Manfaat Sosial : sebagai acuan bagi masyarakat untuk memahami
kemungkinan manfaat konsumsi ekstrak buah mengkudu bagi
kesehatan, terutama bagi penderita diabetes mellitus.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
Penuaan merupakan suatu proses yang tidak dapat dihindari dan pasti
dialami setiap individu. Manusia lahir, berkembang dewasa, menjadi tua dan
akhirnya meninggal merupakan suatu siklus kehidupan yang tidak terpisahkan.
Setelah mencapai usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh manusia
tidak dapat berkembang lagi, sebaliknya akan mengalami proses penuaan. Namun
anggapan bahwa bertambahnya usia harus disertai dengan segala kekurangan dan
ketidakberdayaan semestinya dihilangkan. Usia boleh bertambah tetapi
kemampuan fisik dan psikis harus tetap baik sehingga manusia dapat menjalani
hidup dengan kualitas yang lebih baik (Pangkahila, 2011).
Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua, dan dengan
semakin bertambahnya usia, maka akan terjadi penurunan berbagai fungsi organ
tubuh dan perubahan fisik baik tingkat seluler, organ, maupun sistem tubuh
(Baskoro and Konthen, 2008). Pada dasarnya penyebab penuaan dikelompokkan
menjadi faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas,
hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan
yang menurun dan genetik. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak
sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres dan kemiskinan
(Fowler, 2003; Pangkahila, 2011).
9
Proses penuaan yang disertai dengan penurunan berbagai fungsi organ tubuh
dapat memicu munculnya penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif adalah suatu
penyakit yang timbul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh, dari keadaan
normal menjadi lebih buruk. Penyakit degeneratif dapat dikatakan pula sebagai
penyakit yang mengiringi proses penuaan (Karyani, 2003).
2.2 Penyakit Degeneratif
Penyakit degeneratif adalah istilah medis untuk menjelaskan suatu
penyakit yang muncul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh, dari keadaan
normal menjadi lebih buruk. Dari berbagai hasil penelitian modern diketahui
bahwa munculnya penyakit degeneratif memiliki hubungan yang cukup kuat
dengan bertambahnya usia seseorang. Penyakit degeneratif dapat dikatakan pula
sebagai penyakit yang mengiringi proses penuaan (Karyani, 2003).
Penyakit degeneratif dapat terjadi karena adanya proses penuaan, tidak
termasuk penyakit menular dan berlangsung kronis seperti penyakit jantung
koroner, hipertensi, diabetes mellitus, obesitas dan lainnya (Powers, 2008).
2.2.1 Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit kronis, yang disebabkan
adanya kelainan metabolisme karbohidrat, dimana glukosa darah tidak dapat
digunakan dengan baik dan menumpuk dalam pembuluh darah karena pankreas
tidak cukup memproduksi insulin untuk metabolisme glukosa darah dan tubuh
tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang diproduksi tersebut, sehingga
10
menyebabkan keadaan hiperglikemia (Wijaya et al., 2011). Diabetes mellitus
ditandai dengan sekumpulan gejala karena gangguan metabolik dengan
karakterisik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya (Masharani et al., 2004).
Menurut World Health Organization (WHO), definisi diabetes mellitus
adalah kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL (7 mmol/L) dan kadar glukosa darah
sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L), dimana kadar glukosa darah antara 100 dan
125 mg/dL (6,1 sampai 7,0 mmol/L) dapat dikatakan suatu keadaan pre diabetes
(Perkeni, 2011).
2.2.2 Epidemiologi Diabetes Mellitus
Prevalensi penyakit diabetes melitus telah mencapai tingkat atau proporsi
epidemik di beberapa negara dan menjadi sebuah perhatian yang penting dalam
dunia kesehatan. Di Amerika Serikat, diabetes diderita oleh 8% dari populasi
penduduk usia dewasa pada tahun 2005. Berbagai penelitian epidemiologi
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi
diabetes melitus di berbagai penjuru dunia (Anonim, 2011).
World Health Organization (WHO) telah memprediksi adanya peningkatan
jumlah penderita diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang. Untuk
Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia yang mempunyai
jumlah penduduk melebihi 200 juta jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara
dengan jumlah penderita diabetes mellitus terbanyak ke-4 di dunia, setelah
11
Amerika Serikat, India dan China (Suyono, 2005). Menurut laporan nasional Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi diabetes mellitus tertinggi di
daerah perkotaan yang ada di Indonesia terdapat di Kalimantan Barat dan Maluku
(11,1%) dan di beberapa kota seperti Jakarta mencapai 6,6 % dan Bali mencapai
3,0 % (Depkes, 2008).
2.2.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes mellitus
diklasifikasikan menjadi 4 kategori berdasarkan etiologinya. Klasifikasi ini telah
disahkan oleh WHO dan telah dipakai di seluruh dunia (Powers, 2008; Perkeni,
2011).
1. Diabetes Mellitus tipe 1 (IDDM - insulin dependent diabetes mellitus)
Destruksi sel β, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut, melalui
proses imunologik maupun idiopatik.
2. Diabetes Mellitus tipe 2 (NIDDM - non-insulin dependent diabetes mellitus)
Bervariasi, mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang terutama dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin.
3. Diabetes Mellitus tipe lain
- Defek genetik fungsi sel β
- Defek genetik kerja insulin
- Penyakit eksokrin pankreas
- Endokrinopati
12
- Karena obat atau zat kimia
- Infeksi
- Sebab imunologi yang jarang
- Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
4. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes yang terjadi selama kehamilan.
2.2.4 Patofisiologi Diabetes Mellitus
Patogenesis diabetes mellitus, terutama tipe 2 sangatlah kompleks dan
berhubungan juga dengan faktor genetik dan faktor lingkungan (Buse et al.,
2003).
Pada orang normal, insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas
meregulasi transport glukosa darah untuk digunakan, dengan berikatan dengan
reseptor – reseptor yang ada di jaringan perifer, sebagian jaringan lemak dan
jaringan otot. Pada penderita diabetes mellitus tipe 2, terjadi resistensi dari
aktivitas insulin, sehingga tidak dapat berikatan dengan reseptor – reseptornya di
jaringan perifer, sebagian jaringan lemak dan jaringan otot, sehingga insulin tidak
dapat digunakan (Chew and Leslie, 2006).
Pada awalnya, kondisi resistensi insulin ini dikompensasi oleh peningkatan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Namun dengan bertambahnya usia, respon
dari sel beta pankreas akan semakin menurun dan tidak mampu lagi
mempertahankan kemampuannya dalam mensekresi insulin. Pada fase berikutnya,
produksi insulin semakin menurun, menyebabkan produksi glukosa hati yang
13
berlebihan, mengakibatkan peningkatan glukosa dalam darah dan keadaan ini
yang disebut dengan hiperglikemia (Vail, 2004).
2.2.4.1 Penurunan Sekresi Insulin
Dalam keadaan normal, perangsangan sel beta pankreas menstimulasi
sintesis insulin yang kemudian disekresikan ke dalam darah untuk meregulasi
glukosa darah. Sintesis insulin dimulai dari pre-proinsulin (prekursor insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta pankreas. Dengan bantuan enzim peptidase, pre-
proinsulin akan dipecah menjadi proinsulin yang kemudian dihimpun dalam
secretory vesicles dalam sel. Dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin akan
diurai menjadi insulin dan C-peptide yang siap disekresikan secara bersamaan
melalui membran sel apabila diperlukan (Weyer et al., 2000).
Produksi dan sekresi insulin oleh sel beta pankreas terutama dipengaruhi
oleh meningkatnya kadar glukosa darah. Untuk masuk ke dalam sel, glukosa harus
berikatan dengan senyawa lain sebagai kendaraan pembawanya. Senyawa ini
disebut GLUT atau Glucose Transporter. Pada sel beta pankreas, terdapat GLUT2
yang diperlukan untuk membawa glukosa dalam darah melewati membran sel dan
masuk ke dalam sel. Proses tersebut merupakan langkah yang penting karena
glukosa yang masuk ke dalam sel beta pankreas akan mengalami glikolisis dan
fosforilasi sehingga menghasilkan ATP yang dibutuhkan untuk mensekresikan
insulin ke dalam darah (Sugiharto, 2010).
Di samping glukosa, beberapa jenis asam amino dan obat-obatan juga
memiliki efek yang sama dalam merangsang sel beta. Penurunan sekresi insulin
umumnya disebabkan oleh kerusakan pada sel beta pankreas (Gerich, 1998).
14
2.2.4.2 Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah kondisi di mana jumlah normal insulin tidak
memadai untuk menghasilkan respon insulin normal dari sel lemak, sel otot dan
sel hati. Resistensi insulin pada sel lemak akan menurunkan efek insulin,
mengakibatkan peningkatan hidrolisis cadangan trigliserida, dan meningkatkan
konsentrasi asam lemak bebas dalam darah. Resistensi insulin pada sel otot
mengurangi ambilan glukosa dan menurunkan penyimpanan glukosa sebagai
glikogen. Sedangkan resistensi insulin pada sel hati menyebabkan gangguan
sintesis glikogen dan kegagalan untuk menekan produksi glukosa. Peningkatan
konsentrasi asam lemak bebas dalam darah, berkurangnya ambilan glukosa otot,
dan peningkatan produksi glukosa hati berkontribusi terhadap peningkatan kadar
glukosa darah (Weyer et al., 2000).
Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan
dengan reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran
sel. Pada diabetes melitus tipe 2, yakni jenis diabetes yang paling sering
ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama
yakni sekresi insulin tidak adekuat dan resistensi insulin di perifer (Weyer et al.,
2000).
Resistensi insulin dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain gaya
hidup tidak sehat, diet dengan gizi tidak seimbang, kegemukan, dan kurang
olahraga. Usaha memperbaiki hal di atas dapat meningkatkan kepekaan sel
terhadap insulin sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel untuk dimetabolisme
(Weyer et al., 2000).
15
2.2.5 Gejala Klinis Diabetes Mellitus
Gejala klinis diabetes mellitus (Babar and Skugor, 2009; Perkeni 2011) :
1) Gejala khas penderita diabetes antara lain:
a. Poliuria
b. Polidipsia
c. Polifagia
d. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
2) Gejala tidak khas penderita diabetes antara lain :
a. Lemas
b. Kesemutan
c. Luka yang sulit sembuh
d. Gatal
e. Mata kabur
f. Disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulva pada wanita
Apabila ditemukan gejala khas diabetes, pemeriksaan darah abnormal satu
kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak
ditemukan gejala khas diabetes, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa
darah abnormal untuk menegakkan diagnosis diabetes (Purnamasari, 2005).
2.2.6 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria saja. Untuk
menegakkan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
16
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer (Perkeni,
2011).
Diagnosis untuk penderita diabetes dapat ditegakkan berdasarkan beberapa
kriteria dan pemeriksaan. Kriteria diagnosis yang ditetapkan menurut The
American Diabetes Assosiation (ADA) antara lain (Hoogwerf, 2009; Perkeni
2011) :
1. Gejala klasik diabetes + glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa
diartikan pasien tidak mendapat asupan kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
2. Gejala klasik diabetes + glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL. Penilaian
glukosa darah sewaktu ini adalah cara yang sering dilakukan untuk
mendiagnosis diabetes. Glukosa darah sewaktu merupakan hasil
pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan
terakhir.
3. Hasil pemeriksaan glukosa darah pada test toleransi glukosa darah oral
(TTGO) ≥ 200 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan 2 jam setelah pemberian 75
gram glukosa pada orang dewasa atau 1,75 gram/kgBB pada anak – anak
yang dilarutkan dalam 250 ml air.
Menurut ADA tahun 2011, Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) sudah
dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana
laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik. Penggunaan nilai HbA1c
dianggap sensitif untuk digunakan sebagai screening bagi penderita diabetes.
17
HbA1c merupakan hasil glikosilasi Hb, yang berikatan dengan glukosa /
karbohidrat pada gugus asam amino. Mekanisme pembentukan HbA1c pada
penderita diabetes dapat terjadi karena adanya reaksi non enzimatik glukosa dan
Hb di dalam sel darah merah (reaksi Maillard). Reaksi Maillard adalah reaksi
antara karbohidrat terutama gula pereduksi dengan gugus amino primer yang
hasilnya berupa produk berwarna cokelat (Buse et al., 2003; Perkeni 2011).
Peningkatan nilai HbA1c lebih dari 6.5% selalu berhubungan dengan
diagnosis diabetes mellitus, tetapi penderita diabetes dapat memiliki nilai HbA1c
di bawah range. Peningkatan nilai HbA1c merupakan tes yang spesifik untuk
mendiagnosis diabetes tetapi bukan merupakan tes yang sensitif (Hoogwert,
2009). Namun bagaimanapun HbA1c merupakan metode yang paling efektif
untuk mengawasi efektivitas pengobatan diabetes (Buse et al., 2003).
2.2.7 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Penatalaksanaan diabetes mellitus dapat dibagi menjadi 2, yaitu
(Soegondo, 2005) :
1. Pendekatan non farmakologis, yaitu dengan pemberian edukasi,
perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, aktivitas fisik atau kegiatan
olah raga dan penurunan berat badan bila didapatkan berat badan lebih
atau obesitas.
2. Penatalaksanaan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi
Apabila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologik tersebut
belum mampu mencapai sasaran terapi, yaitu glukosa darah darah yang
18
terkontrol dengan baik, maka dilanjutkan dengan penatalaksanaan terapi
medikamentosa atau intervensi farmakologi, disamping tetap menerapkan
pengaturan makan dan aktivitas fisik yang sesuai.
Terapi medikamentosa terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan (Perkeni,
2011).
1. Golongan Pemicu Insulin (Insulin Secretagogue)
1) Golongan Sulfonilurea (Glibenklamid)
Glibenklamid merupakan antidiabetik oral derivat sulfonilurea
generasi kedua dimana rantai samping alifatik digantikan oleh
cyclohexyl group dan mempunyai struktur lebih kompleks dibanding
generasi pertama.
Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian
sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin dari
pankreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh
glukosa karena ternyata pada saat hiperglikemi gagal merangsang
sekresi insulin dalam jumlah yang cukup, obat-obat tersebut masih
mampu merangsang sekresi insulin pada dosis tinggi (Tony dan
Suharto, 2005). Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk menurunkan
kadar glukagon dalam darah, meningkatkan pengikatan insulin pada
jaringan target dan reseptor, dan menghambat penghancuran insulin
oleh hati (Mycek et al., 2001).
Absorpsi derivat sulfonilurea melalui usus baik sehingga dapat
diberikan per oral. Setelah absorpsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan
19
ekstrasel. Dalam darah sebagian terikat dalam protein darah terutama
albumin (70-90%). Glibenklamid dimetabolisme dalam hati, hanya
25% metabolit diekskresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui
empedu dan tinja. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih dari
serum sesudah 36 jam (Tony dan Suharto, 2005).
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, yaitu dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh sel
beta pankreas. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid
(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan dieksresi
dengan cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.
2. Golongan Peningkat Sensitivitas Insulin (Insulin Sensitizing)
1) Biguanid (Metformin)
Bekerja dengan cara menurunkan glukosa darah darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin di tingkat seluler dan menurunkan
produksi glukosa darah hati. Metformin tidak memiliki efek stimulasi
pada sel beta pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia
dan penambahan berat badan (Babar and Skugor, 2009).
20
2) Thiazolidinedione (TZD)
TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar
terhadap insulin baik endogen maupun eksogen. Data mengenai efek
TZD dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pemakaian
monoterapi adalah penurunan A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping
yang paling sering dikeluhkan adalah penambahan berat badan dan
retensi cairan sehingga terjadi edema perifer dan peningkatan kejadian
gagal jantung kongestif.
3. Golongan Penghambat Glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.
Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-
vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus
diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal
penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping
obat tersebut (Perkeni, 2011).
21
4. Golongan Penghambat α – Glukosidase
Acarbose
Bekerja secara lokal dan hampir tidak diabsorbsi. Penghambat α-
glukosidase bekerja menghambat kerja enzim α-glukosidase di saluran
pencernaan, sehingga pemecahan polisakharida di usus halus menjadi
monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang, dengan demikian
peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat. Monoterapi dengan
penghambat α-glukosidase tidak mengakibatkan hipoglikemia.
Golongan ini tidak se-efektif metformin dan sulfonilurea dalam
menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun sebesar 0,5 – 0,8%.
Meningkatnya karbohidrat di usus besar mengakibatkan peningkatan
produksi gas dan keluhan gastrointestinal.
5. Insulin
Insulin merupakan obat tertua untuk diabetes, dan paling efektif
dalam menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis
adekuat, insulin dapat menurunkan kadar A1C sampai mendekati target
terapeutik. Tidak seperti obat hipoglikemik lain, insulin tidak memiliki
dosis maksimal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan
dan hipoglikemia (Nathan et al., 2008).
22
2.2.8 Mekanisme Streptozotocin Menginduksi Diabetes Mellitus
Induksi percobaan diabetes menggunakan streptozotocin sangat mudah
untuk dilakukan. Penyuntikan streptozotocin menyebabkan degradasi pulau
langerhans sel beta pankreas (Abeeleh et al., 2009). Streptozotocin secara selektif
terakumulasi di dalam sel beta pankreas melalui transporter glukosa GLUT2 yang
infinitasnya rendah, yang ada di dalam membran darah (Lenzen, 2008).
Mekanisme dari streptozotocin adalah terjadinya perpindahan gugus methyl dari
streptozotocin menuju molekul DNA, sehingga menyebabkan rantai DNA pada
sel beta pankreas terputus. Dalam upaya untuk memperbaiki DNA, poli (ADP-
ribose) polymerase distimulasi secara berlebihan sehingga menurunkan kadar
NAD+ dan ATP. Dengan menipisnya energi yang disimpan pada sel menyebabkan
kematian pada sel beta, sehingga menghambat sintesis pro-insulin dan
menginduksi terjadinya keadaan hiperglikemia. Streptozotocin menghambat
sekresi insulin dan menyebabkan insulin dependent diabetes mellitus (IDDM)
(Lenzen, 2008). Secara klinis, gejala dari diabetes pada tikus akan terlihat jelas
dalam 2-4 hari setelah penyuntikan secara intraperitoneal dengan dosis tunggal
(Abeeleh et al., 2009).
Streptozotocin juga mengaktivasi spesies oksigen reaktif seperti
superoksida (O2-), radikal hidroksil (
-OH) dan hidrogen peroksida (H2O2) (Li,
2001).
23
Gambar 2.1 Struktur Kimia Streptozotocin
2.3 Tanaman Obat
2.3.1 Definisi Tanaman Obat
Tanaman rempah dan obat sudah lama dikenal banyak mengandung
senyawa fitokimia yang bermanfaat dalam pencegahan maupun pengobatan
penyakit (Winarti dan Nurjanah, 2005). Tanaman obat adalah tanaman yang
memiliki khasiat obat karena mengandung zat aktif yang berfungsi mengobati
penyakit tertentu atau jika tidak mengandung zat aktif tertentu tetapi mengandung
efek resultan / sinergi dari berbagai zat yang berfungsi untuk mengobati dan
mencegah terjadinya penyakit (Esha Flora Plants and Tissue Culture, 2008).
Senyawa fitokimia yang terkandung dalam tanaman obat mempunyai
peranan yang sangat penting bagi kesehatan termasuk fungsinya dalam
pencegahan penyakit degeneratif (Esha Flora Plants and Tissue Culture, 2008).
24
2.3.2 Penggunaan Tanaman Obat
1. Waktu Pengumpulan
Untuk memperoleh bahan terbaik dari tanaman obat, perlu
diperhatikan waktu pengumpulan atau pemetikan bahan berkhasiat.
Pedoman waktu pengumpulan bahan secara umum :
a. Daun : dikumpulkan sewaktu tanaman berbunga dan sebelum
buah menjadi masak.
b. Bunga : dikumpulkan sebelum atau segera setelah mekar
c. Buah : dipetik dalam keadaan masak
d. Biji : dikumpulkan dari buah yang masak sempurna
e. Akar, rimpang (rhizome), umbi (tuber), dan umbi lapis (bulbus) :
dikumpulkan sewaktu proses pertumbuhan berhenti.
2. Pencucian dan Pengeringan
Bahan obat yang sudah dikumpulkan segera dicuci bersih,
sebaiknya dengan air yang mengalir. Setelah bersih, dapat segera
dimanfaatkan bila diperlukan pemakaian yang segar. Namun, bisa pula
dikeringkan untuk disimpan. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi
kadar air dan mencegah pembusukan oleh bakteri. Bahan kering juga
mudah dihaluskan bila ingin dibuat serbuk.
Pengeringan bahan obat :
a) Bahan berukuran besar dan banyak mengandung air dapat
dipotong-potong terlebih dahulu.
25
b) Pengeringan dapat langsung dibawah sinar matahari atau memakai
pelindung seperti kawat halus jika menghendaki pengeringan tidak
terlalu cepat.
c) Pengeringan juga dapat dilakukan dengan mengangin-anginkan
bahan di tempat yang teduh atau di dalam ruang pengering yang
aliran udaranya baik (Tanaman obat, 2012).
2.4 Mengkudu
2.4.1 Ciri Umum Mengkudu
Mengkudu (Morinda citrifolia) merupakan tumbuhan yang termasuk
dalam keluarga kopi-kopian (Rubiaceae). Mengkudu mulanya berasal dari
wilayah daratan Asia Tenggara, terpusat di Polinesia, India, dan Cina, kemudian
menyebar sampai ke Malaysia, Australia, New Zealand, Kepulauan Pasifik,
Tahiti, Hawai, Puerto Rico, Karibia, Kanada, sampai ke Indonesia. Semua bagian
mengkudu digunakan sebagai obat sejak jaman dahulu. Bahkan para tabib di
Kepulauan pasifik menganggap mengkudu sebagai tanaman suci. Hal itu
disebabkan khasiat obat yang dimilikinya dapat menyembuhkan berbagai jenis
penyakit. Tanaman mengkudu dikenal sebagai raja dari jenis buah yang ada
(Bangun, 2002; Dewi, 2012).
Tanaman mengkudu ini tumbuh di dataran rendah hingga pada ketinggian
1500m. Tinggi pohon mengkudu mencapai 3-8 m, memiliki bunga bongkol
berwarna putih. Buah yang masih muda berwarna hijau mengkilap dan memiliki
26
totol-totol, dan ketika sudah tua berwarna putih dengan bintik – bintik hitam
(Bangun, 2002; Dewi, 2012).
Gambar 2.2 Buah Mengkudu
Pohon mengkudu tidak begitu besar, tingginya antara 4-6 m. batang
bengkok-bengkok, berdahan kaku, kasar, dan memiliki akar tunggang yang
tertancap dalam. Kulit batang cokelat keabu-abuan atau cokelat kekuning-
kuningan, berbelah dangkal, tidak berbulu, anak cabangnya bersegai empat. Kayu
mengkudu mudah sekali dibelah setelah dikeringkan. Bisa digunakan untuk
penopang tanaman lada (Bangun, 2002; Dewi, 2012).
Gambar 2.3 Pohon Mengkudu
27
Berdaun tebal mengkilap. Daun mengkudu terletak berhadap-hadapan.
Ukuran daun besar-besar, tebal, dan tunggal. Bentuknya jorong-lanset, berukuran
15-50 x 5-17 cm. tepi daun rata, ujung lancip pendek. Pangkal daun berbentuk
pasak. Urat daun menyirip. Warna hijau mengkilap, tidak berbulu. Pangkal daun
pendek, berukuran 0,5-2,5 cm. ukuran daun penumpu bervariasi, berbentuk segi
tiga lebar. Daun mengkudu dapat dimakan sebagai sayuran. Nilai gizi tinggi
karena banyak mengandung vitamin A (Bangun, 2002; Dewi, 2012).
Gambar 2.4 Daun Mengkudu
Kelopak bunga tumbuh menjadi buah bulat lonjong sebesar telur ayam
bahkan ada yang berdiameter 7,5-10 cm. Permukaan buah seperti terbagi dalam
sel-sel poligonal (segi banyak) yang berbintik-bintik dan berkutil. Mula-mula
buah berwarna hijau, menjelang masak menjadi putih kekuningan. Setelah
matang, warnanya putih transparan dan lunak. Daging buah tersusun dari buah-
buah batu berbentuk piramida, berwarna cokelat merah. Setelah lunak, daging
buah mengkudu banyak mengandung air yang aromanya seperti keju busuk. Bau
itu timbul karena pencampuran antara asam kaprik dan asam kaproat (senyawa
28
lipid atau lemak yang gugusan molekulnya mudah menguap, menjadi bersifat
seperti minyak atsiri) yang berbau tengik dan asam kaprilat yang rasanya tidak
enak. Diduga kedua senyawa ini bersifat aktif sebagai antibiotik (Bangun, 2002;
Dewi 2012).
Klasifikasi botani Mengkudu menurut Nelson (2006) sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Filum : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Gentinales
Famili : Rubiaceae
Subfamili : Rubiaceae
Genus : Morinda
Species : Morinda Citrifolia
2.4.2 Komposisi Mengkudu
Kandungan mengkudu dapat dijelaskan sebagai berikut (Nayak, 2007;
Dewi, 2012) :
Terpenoid, senyawa hidrokarbon isometrik yang juga terdapat pada lemak
/ minyak esensial (essential oils), membantu tubuh dalam proses sintesis
organik dan pemulihan sel-sel tubuh.
29
Zat asam, seperti asam askorbat yang terdapat dalam buah mengkudu
merupakan sumber Vitamin C, antioksidan kuat yang berfungsi untuk
menetralisir radikal bebas.
Nutrisi, mengkudu dikatakan sebagai bahan makanan bergizi lengkap. Zat
nutrisi yang dibutuhkan tubuh, seperti karbohidrat, protein, vitamin, dan
mineral penting, tersedia dalam jumlah cukup pada buah dan daun
mengkudu.
Scopoletin, berfungsi untuk memperlebar pembuluh darah yang
mengalami penyempitan dan melancarkan peredaran darah. Selain itu juga
terbukti dapat membunuh beberapa tipe bakteri, bersifat fungisida,
berfungsi sebagai anti-peradangan dan anti-alergi.
Zat anti kanker, damnacanthal yang terdapat pada mengkudu diyakini
paling efektif melawan sel-sel abnormal.
Zat pewarna, kulit akar mengkudu mengandung zat pewarna merah yang
diberi nama morindon dan morindin.
Selenium, salah satu mineral yang banyak terdapat pada mengkudu dan
merupakan antioksidan yang hebat.
Flavonoid, golongan senyawa fenolik yang berfungsi sebagai antioksidan.
Antioksidan melindungi jaringan terhadap kerusakan oksidatif akibat
radikal bebas, yang berasal dari proses-proses dalam atau dari luar tubuh,
dan memiliki hubungan sinergis dengan vitamin C (meningkatkan
efektivitas vitamin C).
30
Zat anti bakteri, yang terkandung dalam buah mengkudu telah terbukti
dapat mematikan bakteri penyebab infeksi, seperti Pseudomonas
aeruginosa, Proteus morganii, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis,
dan Escherichia coli. Penelitian lebih lanjut menunjukkan zat anti bakteri
dalam mengkudu dapat mengontrol bakteri pathogen (mematikan) seperti
Salmonella dan Shigella.
Xeronin dan Proxeronin, merupakan salah satu alkaloid penting yang
terdapat dalam buah mengkudu. Xeronin juga dihasilkan oleh tubuh
namun dalam jumlah yang terbatas. Xeronin berfungsi untuk
mengaktifkan enzim yang mengatur fungsi protein dalam sel. Buah
mengkudu hanya mengandung sedikit xeronin, tetapi mengandung bahan
pembentuk (prekursor) xeronin, yaitu proxeronin dalam jumlah besar. Di
dalam tubuh manusia (usus) enzim proxeronase dan zat-zat lain akan
mengubah proxeronin menjadi xeronin. Fungsi utama xeronin adalah
mengatur bentuk dan rigiditas (kekerasan) protein-protein spesifik yang
terdapat di dalam sel. Hal ini penting mengingat bila protein-protein
tersebut berfungsi abnormal maka tubuh kita akan mengalami gangguan
kesehatan.
2.4.3 Manfaat Mengkudu
Berdasarkan penelitian secara seksama yang telah dilakukan oleh banyak
peneliti, terdapat lebih dari 61 senyawa berkhasiat yang dikandung dalam buah
mengkudu. Senyawa-senyawa ini bekerja secara sinergis satu sama lain. Beberapa
31
senyawa dalam buah mengkudu berperan aktif dalam pengobatan penyakit
tertentu secara bersamaan (Dalimartha, 2001; Vaillant et al., 2007).
Riset medis tentang khasiat mengkudu dimulai pada tahun 1950, dengan
ditemukannya zat anti bakteri terhadap Echerchia coli, M. pyrogenes dan P.
aeruginosa. Pada tahun 1972, Heinicke menemukan senyawa xeronin dan
proxeronin dalam jumlah besar pada buah mengkudu, senyawa ini merupakan zat
penting dalam tubuh yang mengatur fungsi dan bentuk protein spesifik sel-sel
tubuh. Pada tahun 1980, mengkudu terbukti dapat menurunkan tekanan darah.
Pada tahun 1993, peneliti menemukan zat anti kanker (Damnacanthal) dalam buah
mengkudu (Bangun, 2002; Dewi, 2012).
2.4.4 Efek Buah Mengkudu terhadap Kadar Glukosa Darah
Keadaan hiperglikemia pada DM dapat meningkatkan konsentrasi radikal
bebas dalam tubuh, melalui beberapa mekanisme yaitu jalur autooksidasi glukosa,
jalur glikosilasi protein, dan jalur aktivasi poliol. Pada jalur Poliol, glukosa diubah
menjadi sorbitol dengan bantuan enzim aldose reduktase, selain itu terjadi
pembentukan advance glucosylation end products (AGEPs) dari fruktosa-3-fosfat
dan 3-deoksiglucosone yang mana jika berikatan dengan reseptor AGEPs akan
terbentuk radikal bebas. Sel beta pankreas akan mengalami kerusakan bila sering
terpapar radikal bebas dan hal tersebut akan berefek pada penurunan produksi
insulin (Soegondo, 1999).
32
Mengkudu mengandung banyak zat aktif yang sangat berguna bagi
kesehatan tubuh. Zat aktif yang memiliki khasiat untuk menurunkan kadar
glukosa darah adalah xeronin dan flavonoid (Blanco et al., 2005).
Buah mengkudu mengandung sedikit xeronin, tetapi banyak mengandung
proxeronin yang berfungsi sebagai prekursor xeronin (Blanco et al., 2005).
Xeronin berfungsi untuk meregenerasi sel dan reseptor sel tubuh, termasuk
pankreas yang menghasilkan insulin sebagai regulator glukosa darah (Wang et
al., 2002; Heinicke, 2008).
Buah mengkudu juga mengandung flavonoid yang berperan sebagai
antioksidan sehingga dapat mencegah komplikasi atau progresifitas DM dengan
cara membersihkan radikal bebas yang berlebih, memutuskan rantai radikal bebas
(Soewonto, 2001) dan memblokade jalur poliol dengan menghambat enzim aldose
reduktase (Mills and Bone, 2002). Dengan peran flavonoid sebagai antioksidan
maka produksi radikal bebas dalam tubuh berkurang. Flavonoid juga berperan
dalam memperbaiki kerusakan pada sel beta pankreas sehingga pankreas dapat
kembali mensekresi insulin, yang berefek pada penurunan kadar glukosa darah
(Mahendra, 2007; Choi et al., 2009; Oben, 2009).
2.4.5 LD50 Ekstrak Etanol Buah Mengkudu
Efek toksik suatu bahan obat dapat ditentukan dengan menghitung LD50
(Lethal Dose 50), artinya dosis yang dapat membunuh 50% binatang percobaan.
Semakin tinggi nilai LD50, berarti bahan obat tersebut semakin aman untuk
dikonsumsi. Dalam literatur didapatkan bahwa LD50 ekstrak buah mengkudu
33
adalah 5,39 gr/kgBB tikus putih jantan. Hal ini berarti LD50 ekstrak buah
mengkudu cukup tinggi sehingga aman untuk dikonsumsi (Waspodo, 2000).
34
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Penuaan merupakan suatu proses yang tidak dapat dihindari dan pasti
dialami setiap individu. Proses penuaan yang disertai dengan penurunan berbagai
fungsi organ tubuh dapat memicu munculnya penyakit degeneratif, salah satu
yang akhir-akhir ini meningkat prevalensinya adalah penyakit diabetes mellitus.
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis, yang disebabkan adanya
kelainan metabolisme karbohidrat, dimana glukosa darah tidak dapat digunakan
dengan baik dan menumpuk dalam pembuluh darah karena pankreas tidak cukup
memproduksi insulin untuk metabolisme glukosa darah dan tubuh yang tidak
dapat secara efektif menggunakan insulin yang diproduksi tersebut, sehingga
menyebabkan keadaan hiperglikemia.
Faktor internal berupa genetik, metabolisme tubuh yang lambat dan
hormonal maupun faktor eksternal berupa asupan makanan tinggi karbohidrat dan
kurangnya olahraga berperan pada peningkatan kadar glukosa darah.
Mengkudu adalah tanaman obat yang mengandung zat aktif xeronin dan
flavonoid yang berkhasiat menurunkan kadar glukosa darah. Xeronin berfungsi
untuk meregenerasi sel dan reseptor sel tubuh, termasuk pada pankreas.
Sedangkan flavonoid berperan sebagai antioksidan sehingga produksi radikal
bebas dalam tubuh berkurang, selain itu juga berperan dalam memperbaiki
35
kerusakan pada sel beta pankreas sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah.
3.2 Konsep
Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka maka disusun
kerangka konsep sebagai berikut :
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
Keterangan Gambar :
Diteliti
------------------ Tidak diteliti
FAKTOR EKSTERNAL
Asupan makanan
(diet tinggi KH)
Kurang olahraga
FAKTOR INTERNAL
Genetik
Metabolisme tubuh
yang lambat
Hormonal
Ekstrak Buah
Mengkudu
Kadar Glukosa Darah
Tikus DM
36
3.3 Hipotesis Penelitian
Pemberian ekstrak buah mengkudu secara oral dapat menurunkan kadar
glukosa darah tikus diabetes mellitus.
37
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah eksperimental, dengan
pretest posttest control group design (Pocock, 2008). Pengambilan sampel
dilakukan secara random, kemudian dibagi menjadi 2 kelompok.
Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :
O1 P0 O2
P S R
O3 P2 O4
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian
Keterangan :
P = Populasi
S = Sampel
R = Random
O1 = Observasi kadar glukosa darah sewaktu kelompok kontrol pre test
O2 = Observasi kadar glukosa darah sewaktu kelompok kontrol post test
O3 = Observasi kadar glukosa darah sewaktu kelompok perlakuan pre test
O4 = Observasi kadar glukosa darah sewaktu kelompok perlakuan post test
P0 = diberi perlakuan dengan plasebo (aquades 2 cc)
P1 = diberi perlakuan dengan 1000 mg/kgBB ekstrak etanol buah mengkudu
dengan volume 2 cc
38
Volume cairan maksimal yang dapat diberikan per oral pada tikus adalah
5 ml per ekor tikus yang beratnya ± 200 gr (Ngatidjan, 2006).
Perhitungan dosis yang digunakan selama penelitian adalah sebagai berikut :
- Dosis Streptozotocin untuk menimbulkan keadaan diabetik pada tikus
putih adalah 50 mg/kgBB;
Dosis untuk tikus 200 gr = (200/1000) x 50 mg = 10 mg / ekor
- Dosis ekstrak etanol buah mengkudu sebagai antidiabetik pada tikus
adalah 1000 mg/kgBB;
Dosis untuk tikus 200 gr = (200/1000) x 1000 mg = 200 mg / ekor
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 60 hari pada bulan Mei – Juli 2013.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah tikus putih jantan sesuai dengan sampel
yang telah ditentukan dalam penelitian, yang dikondisikan dalam keadaan
diabetes.
39
4.3.2 Kriteria Subjek
4.3.2.1 Kriteria Inklusi :
Tikus putih jantan Rattus norvegicus dari galur wistar
Kondisi diabetes, dengan kadar glukosa darah sewaktu ≥200mg/dL
Umur 2 – 3 bulan
Berat badan tikus ± 200 gr
4.3.2.2 Kriteria Drop Out :
Apabila tikus mati pada saat penelitian
4.4 Penentuan Besar dan Cara Pengambilan Sampel
4.4.1 Penentuan Besar Sampel
Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung dengan rumus
(Pocock, 2008)
2 σ2
Rumus : n = x f (α,β)
(µ2 - µ1)2
Keterangan :
n = jumlah sampel
σ = simpangan baku (SD) = 21,068
α = tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05)
tingkat kemaknaan (1- α) = 0,95
β = tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,1)
f (α,β) = nilai pada tabel (= 10,5)
40
µ1 = rerata glukosa darah puasa sebelum perlakuan = 137,5
µ2 = rerata glukosa darah puasa setelah perlakuan = 89,8
(Henri, 2010)
Berdasarkan rumus di atas didapatkan sampel tiap kelompok sebesar 4,1
ekor, dibulatkan menjadi 5 ekor. Untuk menghindari drop out maka ditambah
10% sehingga sampel menjadi 5,5 ekor dibulatkan menjadi 6 ekor / kelompok,
sehingga total jumlah sampel menjadi 12 ekor.
4.4.2 Cara Pengambilan Sampel
Diambil 12 ekor tikus putih jantan sesuai kriteria inklusi, kemudian
dikelompokkan menjadi 2 kelompok secara random, yaitu :
- kelompok kontrol yang diberi aquades.
- kelompok perlakuan yang diberi 200 mg ekstrak etanol buah mengkudu.
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Klasifikasi Variabel
a. Variabel bebas : ekstrak etanol buah mengkudu
b. Variabel tergantung : kadar glukosa darah sewaktu
c. Variabel kendali : strain, jenis kelamin, umur dan BB tikus
4.5.2 Definisi Operasional Variabel
1. Tikus jantan diabetes mellitus adalah tikus yang dibuat menjadi
diabetes dengan pemberian dosis tunggal Streptozotocin 10 mg/ekor,
41
disuntikkan secara intraperitoneal, sehingga kadar glukosa darah
sewaktu menjadi ≥ 200 mg/dL (Animalarticle, 2011).
2. Streptozotocin adalah suatu nitrosourea analog, yang disintesis oleh
bakteri Streptomycetes archromogenes, yang memiliki efek
diabetogenik dengan menyebabkan kerusakan sebagian sel beta
pankreas, disuntikkan secara intraperitoneal, dengan dosis tunggal 10
mg/ekor.
3. Kadar glukosa darah sewaktu adalah kadar gula darah tikus putih yang
diukur 2 jam setelah makan. Pengukuran kadar gula darah dilakukan
dengan cara mengambil darah tikus putih diabetes melalui medial
canthus sinus orbitalis dengan menggunakan tabung mikro kapiler
sebanyak 1 ml tiap ekor. Kemudian diperiksa kadar gula darahnya
pada laboratorium klinik dengan metode glucose oxidase.
4. Ekstrak etanol buah mengkudu adalah ekstrak yang dibuat dari buah
mengkudu yang sudah masak, diekstraksi dengan larutan etanol 96%,
dan dilarutkan dalam aquades, diberikan satu kali sehari, dengan
menggunakan sonde, sebanyak 2 cc yang setara dengan dosis
200mg/200grBB, kepada tikus diabetes selama 7 hari.
5. Placebo adalah cairan aquades yang diberikan satu kali sehari dengan
menggunakan sonde, sebanyak 2 cc kepada tikus diabetes selama 7
hari.
42
4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian
Bahan :
1. Makanan ternak (sentrat 594)
2. Plasebo (aquades)
3. Streptozotocin
4. Ekstrak etanol buah mengkudu
Instrumen :
1. Kandang tikus
2. Tabung mikrohematokrit
3. Spuit injeksi 3cc
4. Sonde lambung
5. Alat fiksasi tikus
6. Alat timbangan
7. Mixer Maserasi - Homogizer
8. Kertas saring Whatman
9. Rotary evaporator
10. Buku dan alat pencatatan data
Hewan Percobaan :
- Tikus jantan galur Wistar, usia 2 - 3 bulan dan berat ± 200 gr
43
4.7 Prosedur Pembuatan Ekstrak Etanol Buah Mengkudu
Prosedur pembuatan ekstrak etanol buah mengkudu (Dewi, 2012) :
1. Buah mengkudu yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah
mengkudu segar yang diperoleh dari daerah Bogor pada bulan Mei 2013.
2. Buah mengkudu diseleksi, dibersihkan, dan diambil zat aktifnya dengan
cara ekstraksi.
3. Ekstraksi dilakukan dengan memotong kecil-kecil buah mengkudu yang
telah bersih.
4. Potongan buah mengkudu dikeringkan selama 2–3 hari dalam oven.
5. Potongan buah mengkudu yang sudah kering, dihaluskan, kemudian
dimaserasi dalam pelarut etanol 96% dengan perbandingan 1:5
(berat/volume) selama 24 jam, kemudian disaring dengan kertas saring.
6. Residu dimaserasi sekali lagi dengan cara yang sama, dengan tujuan untuk
memaksimalkan penarikan zat aktif pada bahan yang akan diekstraksi.
7. Ekstrak atau filtrat hasil maserasi ditampung menjadi satu, kemudian
diuapkan dengan menggunakan vaccum rotary evaporator pada suhu 45-
50ºC, sampai pelarut habis menguap, sehingga diperoleh ekstrak kasar
buah mengkudu.
44
4.8 Prosedur Penelitian
4.8.1 Pemeliharaan Tikus Percobaan
Pemeliharaan tikus percobaan dilakukan di Laboratory Animal Unit
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan
memperhatikan hal berikut :
1. Tikus dipelihara dalam ruangan yang berventilasi cukup,
dikandangkan masing-masing secara individu.
2. Suhu ruangan berkisar 28o-32
o C.
3. Makanan dan minuman diberikan secara ad libitum dalam bentuk
pellet dan pakan tikus.
4. Setiap hari dilakukan pembersihan kandang, untuk menjaga kesehatan
tikus percobaan.
5. Penerangan diatur dengan siklus 12 jam terang dan 12 jam gelap
(siklus terang dimulai jam 06.00 pagi sampai dengan 18.00 petang).
4.8.2 Pelaksanaan Pemeriksaan
1. Diambil 15 ekor tikus putih jantan galur wistar yang berumur 2 – 3
bulan dengan berat ± 200 gram
2. Semua tikus diadaptasikan selama 7 hari terlebih dahulu sebelum
diberi perlakuan
3. Pada hari ke-8, semua tikus dipuasakan selama 8 jam, lalu diberi
suntikan streptozotocin dosis tunggal 10 mg/ekor secara intraperitoneal
45
untuk membuat keadaan diabetes mellitus (DM), dengan kadar glukosa
darah sewaktu ≥ 200 mg/dL.
4. Setelah 3 hari, semua tikus diambil darahnya sebanyak 1 ml melalui
medial canthus sinus orbitalis, untuk diperiksa kadar glukosa darah
sewaktu sebelum perlakuan.
5. Diambil 12 ekor tikus dengan diabetes mellitus (glukosa darah ≥
200mg/dL)
6. Semua tikus diabetes dengan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200
mg/dL kemudian dibagi menjadi 2 kelompok secara random, yaitu :
- kelompok 1 sebagai kelompok kontrol (PO)
- kelompok 2 sebagai kelompok perlakuan (P1)
7. Semua kelompok tikus diberi perlakuan menurut kelompoknya, yaitu :
a) Kelompok 1
Selama periode perlakuan (7 hari) tikus diberi makanan standar
secara ad libitum.
Di samping pemberian makanan standar tikus juga diberikan
aquades 2 cc secara sonde.
Setelah 7 hari perlakuan (hari ke-19 sejak penelitian dimulai),
semua tikus dari kelompok 1 diambil serum darahnya untuk
diperiksa kadar glukosa darah sewaktu setelah perlakuan.
b) Kelompok 2 :
Selama periode perlakuan (7 hari) tikus diberi makanan standar
secara ad libitum.
46
Di samping pemberian makanan standar tikus diberikan ekstrak
etanol buah mengkudu (200mg/200grBB) sebanyak 2 cc secara
sonde.
Setelah 7 hari perlakuan (hari ke-19 sejak penelitian dimulai),
semua tikus dari kelompok 2 diambil serum darahnya untuk
diperiksa kadar glukosa darah sewaktu setelah perlakuan.
8. Dilakukan analisis data untuk membandingkan hasil dari kedua
kelompok tikus tersebut.
4.8.3 Cara Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah Sewaktu
a. Darah vena diambil melalui medial canthus sinus orbitalis sekitar 1 ml
dengan menggunakan tabung mikro kapiler.
b. Darah kemudian diperiksa di laboratorium klinik dengan
menggunakan metode glucose oxidase, yaitu 1 ml darah tikus putih di
centrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit kemudian
diambil serumnya. Kurang lebih 0,5 ml serum dimasukkan ke dalam
sample cup, kemudian dimasukkan ke dalam alat pemeriksa (stardust)
dan didapatkan kadar gula darah tikus putih dengan satuan mg/dL.
47
4.9 Alur Penelitian
Tikus jantan sehat 15 ekor, BB ± 200gr, 2-3 bulan
Adaptasi 7 hari
Hari ke-8, tikus dipuasakan selama 8 jam, lalu disuntikkan streptozotocin
10mg/200grBB tikus, dilihat 3 hari kemudian
Hari ke-11, diperiksa kadar glukosa darah sewaktu pre test
Dipilih 12 ekor tikus dengan kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dL, lalu dibagi ke
dalam 2 kelompok, masing-masing 6 ekor
7 hari
Setelah pelakuan 7 hari (hari ke-19) diperiksa kadar glukosa darah sewaktu post test
Gambar 4.2. Alur penelitian
Kontrol
(Aquades)
Ekstrak Etanol
Buah Mengkudu
48
4.10 Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan langkah – langkah sebagai
berikut :
1. Analisis deskriptif
2. Uji normalitas dengan Uji Shapiro-Wilk.
Data berdistribusi normal karena (p) > 0,05.
3. Uji homogenitas varian dengan Uji Levene (Uji F).
Varian data homogen karena (p) > 0,05.
4. Uji komparasi. Data menyebar normal maka digunakan Uji t untuk
menguji hipotesis.
5. Data diolah dengan program SPSS Version 20 for windows.
49
BAB V
HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 12 ekor tikus putih jantan Rattus
norvegicus dari galur wistar yang berumur 2-3 bulan, berat badan ± 200gram, dan
diinduksi diabetes sebagai sampel, yang terbagi menjadi 2 kelompok masing-
masing berjumlah 6 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol yang diberi 2 cc aquades
dan kelompok perlakuan yang diberi 2 cc ekstrak etanol buah mengkudu. Dalam
pembahasan ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji
komparabilitas, dan uji efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data
Data kadar glukosa darah sewaktu baik sebelum perlakuan maupun sesudah
perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji
Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada
Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas Data Kadar Glukosa Darah Sewaktu masing-masing Kelompok
Sebelum dan Sesudah Diberikan Perlakuan
Kelompok perlakuan n p Keterangan
50
Kadar Glukosa Darah Kontrol pre
Kadar Glukosa Darah Ekstrak Mengkudu pre
Kadar Glukosa Darah Kontrol post
Kadar Glukosa Darah Ekstrak Mengkudu post
6
6
6
6
0,774
0,479
0,178
0,133
Normal
Normal
Normal
Normal
5.2 Uji Homogenitas Data antar Kelompok
Data kadar glukosa darah sewaktu antar kelompok baik sebelum perlakuan
maupun sesudah perlakuan diuji homogenitasnya dengan menggunakan Levene’s test.
Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Hasil Uji Homogenitas antar Kelompok Data Kadar Glukosa Darah Sewaktu Sebelum
dan Sesudah Diberikan Perlakuan
Variabel F p Keterangan
Kadar Glukosa Darah Sewaktu pre
Kadar Glukosa Darah Sewaktu post
2,72
2,23
0,130
0,166
Homogen
Homogen
5.3 Uji Komparabilitas Kadar Glukosa Darah Sewaktu
5.3.1 Analisis Efek antar Kelompok Sebelum Perlakuan
Uji komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata kadar glukosa darah
sewaktu antar kelompok sebelum diberikan perlakuan berupa ekstrak etanol buah
51
mengkudu. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.3
berikut.
Tabel 5.3
Rerata kadar glukosa darah sewaktu antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan
Kelompok subjek n
Rerata
kadar glukosa darah
sewaktu (mg/dL)
SB t
p
Aquades
Ekstrak mengkudu
6
6
319,33
320,49
12,66
18,11
0,129 0,900
Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata kadar glukosa darah sewaktu
kelompok kontrol (aquades 2 cc) adalah 319,3312,66 mg/dL dan rerata kelompok
perlakuan dengan ekstrak etanol buah mengkudu adalah 320,4918,11 mg/dL. Analisis
kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 0,129 dan nilai p =
0,900. Hal ini berarti bahwa kedua kelompok sebelum diberikan perlakuan berupa
ekstrak etanol buah mengkudu, rerata kadar glukosa darah sewaktunya tidak berbeda
secara bermakna (p > 0,05).
5.3.2 Analisis Efek Perlakuan
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar glukosa darah sewaktu
antar kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa ekstrak etanol buah mengkudu.
Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.4 berikut.
52
Tabel 5.4
Rerata Kadar Glukosa Darah Sewaktu antar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan
Kelompok subjek n
Rerata
kadar glukosa darah
sewaktu (mg/dL)
SB t
p
Aquades
Ekstrak Mengkudu
6
6
321,01
272,70
12,08
39,16
2,89 0,016
Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata kadar glukosa darah sewaktu
kelompok kontrol (aquades 2 cc) adalah 321,0112,08 mg/dL dan rerata kelompok
perlakuan dengan ekstrak etanol buah mengkudu adalah 272,7039,16 mg/dL. Analisis
kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 2,89 dan nilai p =
0,016. Hal ini berarti bahwa rerata kadar glukosa darah sewaktu kedua kelompok
sesudah diberikan perlakuan berupa ekstrak etanol buah mengkudu berbeda secara
bermakna (p < 0,05).
53
Ka
da
r
glu
ko
sa
d
ar
ah
m
g/
dL
Gambar 5.1 Perbedaan Kadar Glukosa Darah Sewaktu Sebelum dan Sesudah
Pemberian Ekstrak Etanol Buah Mengkudu pada Kedua Kelompok
Gambar 5.1 menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar glukosa darah
sewaktu pada kelompok perlakuan dengan ekstrak etanol buah mengkudu, sedangkan
pada kelompok kontrol tidak terjadi penurunan kadar glukosa darah sewaktu.
54
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Subyek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
jantan Rattus norvergicus galur wistar, usia 2-3 bulan, dengan berat badan ± 200
gram, yang diinduksi diabetes. Penggunaan tikus jantan sebagai subjek
disebabkan karena sifatnya lebih stabil, tidak dipengaruhi oleh siklus menstruasi
dan kehamilan seperti pada tikus betina. Tikus usia 2,5 bulan memiliki persamaan
dengan manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan
intrinsik (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Jumlah sampel yang digunakan adalah 12 ekor tikus, yang dibagi menjadi
2 (dua) kelompok masing-masing 6 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol (aquades 2
cc) dan kelompok perlakuan dengan ekstrak etanol buah mengkudu.
6.2 Pemberian Streptozotocin
Streptozotocin merupakan zat diabetogenik yang biasanya digunakan pada
hewan percobaan. Induksi percobaan diabetes menggunakan streptozotocin sangat
mudah untuk dilakukan. Penyuntikan streptozotocin menyebabkan degradasi
sebagian dari pulau Langerhans sel beta pankreas (Abeeleh et al., 2009).
Streptozotocin secara selektif terakumulasi di dalam sel beta pankreas melalui
transporter glukosa GLUT2 yang infinitasnya rendah, yang ada di dalam membran
darah. Streptozotocin menghambat sekresi insulin dan menyebabkan insulin
55
dependent diabetes mellitus (IDDM) (Lenzen, 2008). Secara klinis, gejala dari
diabetes pada tikus akan terlihat jelas dalam 2-4 hari setelah penyuntikan secara
intraperitoneal dengan dosis tunggal. Pada penelitian ini kedua kelompok tikus
wistar disuntikkan streptozotocin secara intraperitoneal, dengan dosis tunggal 10
mg/200grBB tikus, setelah sebelumnya tikus dipuasakan selama 8 jam. Setelah
menunggu 3 hari, tikus kembali diambil darahnya untuk diukur kadar glukosa
darah sewaktu. Tikus dapat dikatakan diabetes jika kadar glukosa darah sewaktu
di atas 200 mg/dL (Animalarticle, 2011).
6.3 Ekstrak Mengkudu Menurunkan Kadar Glukosa Darah Sewaktu
Pada penelitian ini kelompok perlakuan diberi ekstrak buah mengkudu
1000 mg/kgBB selama 7 hari. Pengambilan dosis 1000 mg/kgBB didasarkan atas
penelitian yg sudah pernah dilakukan sebelumnya dimana dosis 500 mg/kgBB
tidak menurunkan kadar glukosa darah secara bermakna.
Pada penelitian ini terdapat penurunan kadar glukosa darah sewaktu yang
signifikan pada tikus wistar yang diinduksi diabetes dengan streptozotocin dosis
tunggal secara intraperitoneal setelah diberikan ekstrak etanol buah mengkudu
secara oral.
Hal ini disebabkan karena mengkudu mengandung banyak zat aktif yang
sangat berguna bagi kesehatan tubuh, antara lain: asam kaproat, asam
asperulosidik, asam askorbik, asam kaprilik, etil kaproat, asam heksanoat, asam
oktanoat, etil kaprilat, glukopiranosa, flavonoid, proxeronin dan xeronin. Zat aktif
56
yang memiliki khasiat untuk menurunkan kadar glukosa darah adalah xeronin dan
flavonoid (Blanco et al., 2005).
Buah mengkudu mengandung sedikit xeronin, tetapi banyak mengandung
proxeronin yang berfungsi sebagai prekursor xeronin (Blanco et al., 2005).
Xeronin berfungsi untuk meregenerasi sel dan reseptor sel tubuh, termasuk
pankreas yang menghasilkan insulin sebagai regulator glukosa darah (Wang et
al., 2002; Heinicke, 2008).
Buah mengkudu juga mengandung flavonoid yang berperan sebagai
antioksidan sehingga dapat mencegah komplikasi atau progresivitas DM dengan
cara membersihkan radikal bebas yang berlebih, memutuskan rantai radikal bebas
(Soewonto, 2001) dan memblokade jalur poliol dengan menghambat enzim aldose
reduktase (Mills and Bone, 2002). Dengan peran flavonoid sebagai antioksidan
maka produksi radikal bebas dalam tubuh berkurang. Flavonoid juga berperan
dalam memperbaiki kerusakan pada sel beta pankreas sehingga pankreas dapat
kembali mensekresi insulin, yang berefek pada penurunan kadar glukosa darah
(Mahendra, 2007; Choi et al., 2009; Oben, 2009).
Keadaan hiperglikemia pada DM dapat meningkatkan konsentrasi radikal
bebas dalam tubuh, melalui beberapa mekanisme yaitu jalur autooksidasi glukosa,
jalur glikosilasi protein, dan jalur aktivasi poliol. Pada jalur Poliol, glukosa diubah
menjadi sorbitol dengan bantuan enzim aldose reduktase, selain itu terjadi
pembentukan advance glucosylation end products (AGEPs) dari fruktosa-3-fosfat
dan 3-deoksiglucosone yang mana jika berikatan dengan reseptor AGEPs akan
terbentuk radikal bebas. Sel beta pankreas akan mengalami kerusakan bila sering
57
terpapar radikal bebas dan hal tersebut akan berefek pada penurunan produksi
insulin (Soegondo, 1999).
Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa ekstrak etanol buah mengkudu
memiliki efek penurunan kadar glukosa darah sewaktu lebih besar daripada
kelompok kontrol. Penurunan kadar glukosa darah ini diduga disebabkan oleh
peningkatan sekresi insulin yang mungkin terjadi akibat adanya proses regenerasi
sel beta pankreas dengan bantuan bahan aktif yang terkandung dalam buah
mengkudu. Hal ini dapat dibuktikan lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan
terhadap kadar C-peptide yang diproduksi bersamaan dengan insulin dari
proinsulin (Weyer et al., 2000). Faktor lain yang diduga menurunkan kadar
glukosa darah adalah terjadinya penurunan resistensi insulin oleh adanya
kandungan antioksidan kuat dalam ekstrak buah mengkudu. Pada kondisi
hiperglikemia, pembentukkan ROS meningkat disertai dengan ekspresi Tumour
necrosis factor-α (TNF-α) yang kemudian memperparah stres oksidatif. Stres
oksidatif dapat menyebabkan terjadinya komplikasi diabetes dan akan semakin
memperparah kondisi penderita diabetes. Untuk itu normalisasi kadar ROS di
dalam mitokondria sangat penting untuk mencegah terjadinya kerusakan oksidatif
lebih lanjut. Namun bagaimana mekanisme kerjanya secara pasti masih belum
diketahui dengan jelas sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
58
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian pemberian ekstrak etanol
buah mengkudu pada tikus jantan galur wistar didapatkan simpulan sebagai
berikut : Pemberian ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) secara oral dapat
menurunkan kadar glukosa darah tikus diabetes mellitus.
7.2 Saran
Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pembanding kontrol positif
berupa obat hipoglikemik oral.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dosis optimal
ekstrak etanol buah mengkudu terhadap penurunan kadar glukosa darah
dan mekanisme kerja ekstrak mengkudu secara lebih detail.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada manusia untuk mendapatkan
data yang lebih terpercaya sehingga penggunaannya lebih efektif dan
tepat guna.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abeeleh, M.A., Ismail, Z.B., Alzaben, K.R., Abu-halaweh, S.A., Al-Essa, M.K., Abuabeeleh, J., Alsmady, M.M. 2009. Induction of Diabetes Mellitus in Rats Using Intraperitoneal Streptozotocin : A Comparison between 2 Strains of Rats. European Journal of Scientific Research. Vol 32(3) : 398-402.
Amri, A.B. 2009. UI Bangun Pusat Studi Penelitian. Available from : http://nasional.vivanews.com/news/read/76514ui_bangun_pusat_studi_penuaan. Accessed at 10/11/2012.
Animalarticle. 2011. Normal Rat Blood Glucose Level. Available at : www.animalarticle.info/Normal-Rat-Blood-Glucose-Level. Accessed at 06/21/2012.
Anonim. 2011. Diabetes Mellitus Type 2. Available at : www.newsmedical.net/health/Diabetes-Mellitus-Type-2-Pathophysiology. Accessed at 02/08/2012.
Babar, T., and Skugor, M. 2009. Diabetes Mellitus Treatment. Current Clinical Medicine. 2nd Edition. Philadelphia : Saunders Elsevier. p. 358-363.
Bangun, A.P. 2002. Khasiat dan Manfaat Mengkudu. Jakarta : Agromedia Pustaka.
Baskoro, A., and Konthen, P.G. 2008. Basic Immunology of Aging Process. Naskah Lengkap pada 5th Bali Endrocrine Update 2nd Bali Aging and Geriatric Update Symposium. Bali 11-13 April 2008.
Bhat, M., Zinjarde, S.S., Bhargava, S.Y., Kumar, A.R., Joshi, B.N. 2011. Antidiabetic Indian Plants : A Good Source of Potent Amylase Inhibitors. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. Vol 2011.
Blanco, Y.C., Vaillant, F., Perez, A.M., Reynes, M., Brilloute, J.M., Brat, P. 2005. The Noni Fruit (Morinda citrifolia L.): A review of agricultural research, nutritional and therapeutic properties. Available from : www.personal.psu.Edu/szn109/MARDI/noni1.pdf. Accessed at 10/11/2012.
Buse, J.B., and Polonsky, K.S. 2003. Disorders of Carbohydrate and Lipid Metabolism – Type 2 Diabetes Mellitus. William Texbook of Endrocrinology. 10th Edition. Philadelphia : Elsevier Saunders. p.805-832.
Chew, S.L., and Leslie, D. 2006. Diabetes Mellitus. Clinical Endrocrinology and Diabetes. London : Churchill Livingstone Elsevier. p.56-57.
Choi, S.J., Kang, S.W., Li, J., Kim, J.L., Bae, J.Y., Kim, D.S., Shin, S.Y., Jun,
J.G., Wang, M.H., Kang, Y.H. 2009. Blockade of Oxidized LDL-
Triggered Endothelial Apoptosis by Quercetin and Rutin through
Differential Signaling Pathways Involving. Journal of Agricultural and
Food Chemistry. Vol 57(5) : 2079-86.
60
Dalimartha, N.S. 2001. 36 Resep Tumbuhan untuk Menurunkan Kolesterol.
Jakarta : Penebar Swadaya.
Depkes. 2008. Laporan Nasional : Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Available at : www.ppid.depkes.co.id/index. Accessed at 10/11/2012.
Dewi, N. 2012. Budidaya, Khasiat & Cara Olah Mengkudu Untuk Mengobati Berbagai Penyakit. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Baru Press.
Esha Flora Plants and Tissue Culture. 2008. Tanaman Obat Indonesia Untuk Pengobatan. Available at : indonesia-herbal.blogspot.com/2008/11 /tanaman-obat-indonesia-untuk-pengobatan.html. Accessed at 10/11/2012.
Fowler, B.D. 2003. Anti-Aging Medical Teurapeutics : Functional and Biological Markers of Aging. American Academy of Anti Aging Medicine. Vol 5 : 43-52.
Gerich, J.E. 1998. The Genetic Basis of Type 2 Diabetes Mellitus: Impaired Insulin Secretion versus Impaired Insulin Sensitivity. Endocrine Reviews. Vol. 19: 491-503.
Heinecke, R. 2008. Xeronin and Cell Regeneration. Available from : www.resorthealth.com/research/heinecke.html. Accessed at 12/11/2012.
Henri, C. 2010. “Perbandingan Kombinasi Infusa Sambiloto, Mengkudu, Biji
Alpukat, Kumis Kucing, Kombinasi keji Beling, Lidah Buaya, Sambiloto,
Mahkota Dewa, serta Kombinasinya sebagai Anti Diabetik pada Mencit
yang diinduksi Aloksan” (tesis). Bandung: Universitas Kristen Maranatha.
Hoogwert, B.J. 2009. Diabetes Mellitus: Disease Management. Current Clinical Medicine. 2nd Edition. Philadelphia : Saunders Elsevier. p.350-354.
Karyani, I. 2003. Mencegah Penyakit Degeneratif Dengan Makanan. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta, Vol : 140.
Lenzen, S. 2008. Review : The Mechanisms of Alloxan and Streptozotocin- induced Diabetes. Diabetologia. Vol 51 : 216-226.
Li, L. 2001. Streptozotocin in Free Radical and Biology Program. Iowa : The
University of Iowa. p. 3-4.
Mahendra, B., Rachmawati, N.H., Evi. 2007. Atasi stroke dengan tanaman obat. Jakarta : Penebar Swadaya.
Masharani, U., Karam J.H., German M.S. 2004. Pancreatic hormones & diabetes mellitus. In : Greenspan F.S., Gardner D.G., editors. Basic & Clinical Endocrinology. 7th. Ed. USA : McGraw-Hill. p.658-63, 669-70, 683, 690, 693-7.
Mills, S. and Bone, K. 2002. Principle of phytotherapy modern herbal medicine :
Principle of herbal pharmacology. Toronto : Churchill Livingstone. p.32-
34.
61
Mycek, M.J., Harvey, R.A., Champe, P.C. 2001. Insulin dan obat-obat Hipoglikemik Oral. (Azwar Agoes, Pentj). Jakarta : Widya Medika. hal.259-65.
Nathan, M.N., Buse, J.B., Mayer, B.D., Ferrannini, E., Holman, R.R., Sherwin, R. 2008. Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consensus Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus statement of the American Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care. Vol 31 : 1-11.
Nayak, B.S., Isitor, G.N., Maxwell, A., Bhogadi, V., Ramdath, D.D. 2007. Wound
healing activity of Morinda Citrifolia fruit juice on diabetes-induced rat.
Journal of Wound Care. Vol 16 : 83-6
Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Yogyakarta : PAU Bioteknologi UGM. hal : 86.
Oben, J.E. 2009. Methods and Related Compositions Using Specifics Flavonoids and Indanes to Reduce Weight and Inhibit Lipase, Alpha-Amylase and Alpha-Glucosidase Activity in Mammals. Available from : http://www.faqs.org/patents/app/20090076129#ixzz2jQrNMJ0u. Accessed at 12/11/2012.
Pangkahila, W. 2011. Anti Aging Medicine : Tetap Muda dan sehat. Cetakan ke 1. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. hal : 1-3, 9-10, 36-40.
Perkeni. 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia 2011. Available at : www.perkeni.org. Accessed 05/01/2013.
Pocock, S. 2008. Clinical Trial : A Practical Approach. Chichester : John Willey & Sons. p.127-128.
Powers, A.C. 2008. Diabetes Mellitus. Harrisons Principles of Internal Medicine. 7th Edition. USA : McGraw-Hill. p.2275-2304.
Purnamasari. D. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. Jakarta : Internal Publishing. hal : 1880-1883.
Smith, J.B., dan Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). hal : 30-32 , 43-44, 54,57.
Soegondo, S. 1999. Naskah lengkap penyakit dalam PIT 99 : Mekanisme
komplikasi diabetes mellitus, aspek ilmu-ilmu dasar pada keadaan klinik.
Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. hal : 87-97.
Soegondo, S. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemia Diabetes Mellitus Tipe 2. Jakarta : Internal Publishing. hal : 1884-1890.
62
Soewonto, H. 2001. Kursus Penyegar 2001 Radikal bebas dan antioksidan dalam
kesehatan dasar, aplikasi, dan pemanfaatan bahan alam : Antioksidan
eksogen sebagai lini pertahanan kedua dalam menanggulangi peran
radikal bebas. Jakarta : Bagian Biokimia FKUI. hal : 1-25.
Sugiharto, P. 2010. Insulin : Mekanisme Sekresi. Available from :
http://puradini.wordpress.com/2010/06/15/insulin-mekanisme-sekresi/.
Accessed at 06/21/2012.
Suyono, S. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus di Indonesia. Jakarta : Internal Publishing. hal : 1873-1879.
Tanaman Obat. 2012. Petunjuk Penggunaan Tanaman Obat. Available at : www.tanaman-obat.com. Accessed at 02/21/2012.
The National Institute of Health Research and Development, Minister of Health, Republic of Indonesia. Report on result of National Basic Health research (RISKESDAS) 2007.
Tony, H., dan Suharto, B. 2005. Insulin, glukagon dan antidiabetik oral. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Bagian Farmakologi Universitas Indonesia. hal : 467-81.
Vail, B. 2004. Diabetes Mellitus. Current Diagnosis and Treatment in Family Medicine. USA : McGraw-Hill Companies. p.424-442.
Vaillant, F., Blanco, Y.C., Perez, A.M., Belleville, M.P., Zuniga, C., Brat, P.
2007. The ripening and aging of noni fruit (Morinda citrifolia L.) :
Microbiological flora and antioxidant compounds. Journal of The Science
of Food and Agriculture. Vol 87(9) : 1710-6.
Wang, M.Y., West, B.J., Jensen, C.J., Nowicki, D., Chen, S., Palu, A.K. 2002.
Morinda citrifolia (Noni): A literature review and recent advances in Noni
research. Acta Pharmacologica Sinica. Vol 23(12) : 1127-38.
Waspodo, I.S. 2000. Mengkudu : Si Noni Jelek Berkhasiat Obat. Available from :
http//www.deherba.com/intisari/2000/maret. Accessed at 10/11/2012.
Weyer, C., Bogardus, C., Mort, D.M., Tataranni, P.A., Pratley, R.E. 2000. Insulin
resistance and insulin secretory dysfunction are independent predictors of
worsening of glucose tolerance during each stage of type 2 diabetes
development. Diabetes Care. Vol 24: 89-94.
Wijaya, C.H., Rahminiwati, M., Wu, M.C., Lo, D. 2011. Inhibition of α-Glukosidase and α-Amylase Activities of some Indonesian Herbs : In Vitro Study. The 12th ASEAN Food Conference 2011. Bangkok 16-18 June.
Winarti, C., dan Nudjanah, N. 2005. Peluang Tanaman Rempah dan Obat Sebagai Sumber Pangan Fungsional. Jurnal Litbang Pertanian. Vol 24(2) : 47-55.
63
World Health Organization. 2005. Prevention of Blindness from Diabetes Mellitus: Report of a WHO consultation. Geneva, Switzerland.
World Health Organization. 2006. Definition and Diagnosis od Diabetes Mellitus and intermediate hyperglycemia : report of a WHO/IDF consultation. WHO Document Production services. Geneva, Switzerland.