i
NILAI-NILAI PENDIDIKAN TASAWUF
DALAM BUKU MUSYAWARAH BURUNG (MANTIQ AL-
TAYR) KARYA FARIDUDDIN ATTAR
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Disusun Oleh
MUHAMMAD FARIDUDDIN
111 12 027
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
ii
iii
iv
v
vi
vii
MOTTO
“Dunia ini dianyam oleh miliaran kehidupan, Setiap benang
melintasi benang yang lain.
Apa yang disebut dengan Filsafat hanya sebuah pergerakan kecil
dari sehelai benang.
Jika kau bisa menerjemahkan Setiap benang yang merajutnya,
Masa depan akan sepenuhnya bisa terbaca semudah
Matematika.”
viii
PERSEMBAHAN
Skripsi yang sederhana ini penulis persembahkan kepada:
Ayahku Muhammad Islami dan Ibuku Siti Amroh yang
memberikan segalanya, tanpa jerih payah dan kasih sayang
darinya tak akan pernah mampu kuberada dalam keadaan yang
sebaik ini.
Seluruh dosen IAIN Salatiga, Khususnya Dra. Djami‟atul
Islamiyah, M.Ag. yang telah memberikan pengarahannya
hingga titik akhir pembuatan skripsi ini.
Seluruh teman-teman angkatan 2012 terima kasih telah
memberikan warna-warni dalam kehidupanku dan semoga
kawilujengan dan bagas kewaran bersama kalian.
Teman-teman Ponpes Al-Islah, bersama kalian aku tempuh
masa muda untuk belajar kedewasaan
Dan kepada pembaca yang menyempatkan mengutip ataupun
menjadikan tulisan ini menjadi berguna.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun dalam wujud
yang sederhana dan jauh dari sempurna. Sholawat dan salam Allah Swt, semoga
senantiasa terlimpahkan kepada Sang Penyempurna akhlak manusia dan yang
selalu kuucap namamu sebagai bentuk kerinduan yang tak ada hentinya.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat
diselesaikan tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Pd. selaku Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga
4. Ibu Dra. Djami‟atul Islamiyah, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing yang telah
berkenan secara ikhlas dan sabar meluangakan waktu serta mencurahkan
pikiran dan tenaganya untuk memberi bimbingan dan pengarahan yang sangat
berguna sejak awal proses penyusunan dan penulisan hingga terselesaikannya
skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Jurusan PAI IAIN
Salatiga yang telah berkenan memberikan ilmu pengetahuan ketarbiyahan
kepada penulis dan pelayanan hingga studi ini dapat selesai.
x
xi
ABSTRAK
Fariduddin Muhammad. 2017. Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf dalam Buku
Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) Karya Fariduddin Attar.
Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan
Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing : Dra. Djami‟atul Islamiyah, M.Ag.
Kata Kunci: Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr), Pendidikan Tasawuf.
Penelitian yang berjudul Nilia-Nilai Pendidikan Tasawuf dalam Buku
Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar ini dimaksudkan
untuk menggali nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku musyawarah burung
(Mantiq Al-Tayr). dari segi judulnya buku ini memang tidak secara eksplisit
memuat tentang tasawuf, namun sesungguhnya isi dari buku ini mengandung nilai
pendidikan tasawuf secara alegoris. Dalam konteks sekarang nilai pendidikan
tasawuf menjadi sangat penting di tengah kemajuan teknologi dan informasi yang
semakin canggih dan global untuk di aplikasi dalam kehidupan sekarang kususnya
kaum remaja.
Pokok permasalahan dalam dalam skripsi ini adalah: 1) Bagaimana nilai-
nilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam buku Musyawarah Burung
(Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar? 2) Bagaimana relevansi nilai-nilai
pendidikan tasawuf dalam buku Musayawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya
Fariduddin Attar dengan Konteks sekarang?
Mengingat kajiannya merupakan penelitian literarur/studi pustaka
(library research) maka metode yang digunakan adalah Metode Hermeneutika
Teks dan Metode Content Analysis (Analisis Isi). Data yang terkumpul akan
dianalisi, dipelajari dan dideskripsikan. Selanjutnya memberikan gambaran,
penjelasan, dan diuraikan.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan tasawuf
dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr), Seperti nilai pendidikan
Tauhid, ajaran tentang kewaspadaan terhadap tipu daya dunia, hakikat penciptaan
manusia, tujuan hidup manusia, Ajaran tentang Zuhud, mahabbah, ma‟rifat,
istighna, faqir dan fana. Sementara relevansi nilai-nilai pendidikan tasawuf yang
terkandung dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) dalam konteks
sekarang, Misalnya seperti aplikasi zuhud dalam koteks kehidupan sekarang,
zuhud bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita tanpa harung menggunakan
metode-metode seperti orang-orang pada zaman dahulu, Selain zuhud konsep-
konsep seperti ma‟rifat dan mahabbah juga sangat relevan dalam konteks
kekinian. Kosep ma‟rifat misalnya dapat lebih mendekatkan pengenalan diri kita
kepada Allah dalam arti yang sesungguhnya. Demikian juga dengan konsep
mahabbah juga sangat relevan baik secara vertikal maupun secara horisontal
ditengah kondisi masayarakat yang serba plural.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN BERLOGO .......................................................................... ii
HALAMAN DEKLARASI ....................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................ iv
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ........................................................ v
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... vi
MOTTO .................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ..................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .............................................................................. ix
ABSTRAK ................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 6
C. Tujuan Penelitian .......................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ........................................................ 7
E. Metode Penelitian ......................................................... 8
F. Penegasan Istilah ........................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ................................................... 15
xiii
BAB II BIOGRAFI FARIDUDDIN ATTAR
A. Biografi Fariduddin Attar ............................................. 17
B. Karya Sastra Fariduddin Attar ...................................... 22
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Isi Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr)
Secara Umum ................................................................ 26
B. Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf dalam Buku
Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) Dengan
Konteks Sekarang ......................................................... 38
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisis Terhadap Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf
Dalam Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-
Tayr) ............................................................................. 55
B. Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf Dalam
Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr)
Dengan Konteks Sekarang ............................................ 93
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................... 96
B. Saran ............................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Surat Pembimbingan dan Asisten Pembimbingan Skripsi
Lampiran 3 Lembar Konsultasi Skripsi
Lampiran 4 Daftar SKK
Lampiran 5 Pernyataan Publikasi Skripsi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra bukanlah sekedar budaya tulis dan rangkaian kata-kata yang
tersusun dari beberapa bait, tetapi sastra adalah keindahan dan budaya
kelembutan, sastra adalah salah satu refleksi dari naluri manusia untuk
mencari kelembutan dan keindahan (estetika). karena Tuhan sendiripun
menyampaikan kitab suci Al Quran dengan bahasa sastra, kalimat-kalimat
Rasulullah sendiripun juga indah, bagai mana jadinya bila melakukan
sholat tanpa rasa khusuk dan banyak pertanyaan yang biasa anda teruskan
sendiri.
Tingkat sastra dalam Al-Quran begitu tinggi dan indahnya, bahkan
Allah SWT juga pernah memberi tantangan kepada manusia dan jin dalam
Al Quran, Allah berfirman:
مثههب يؤتىن نب انمسآن هرا بمثم يؤتىا أن عهى وانجه انإوس اجتمعت نئه لم
ظهيسا نبعض بعضهم كبن ونى
Artinya: “katakanlah, sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul
untuk membuat yang serupa Al-Quran ini, niscaya mereka tidak dapat
membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain.” (Al-Isra‟: 88).
2
Nuansa keindahan (estetik) dan kelembutan selau tercermin
disetiap zaman dan kebudayaan masing-masing bangsa, Esteika dalam
tradisi Islam dapat dikatakana sebagai jalan kerohanian, bentuk-bentuk
yang berhubungan denga spiritualitas dan religiusitas. Sebagaimana puisi-
puisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW, sebab yang di ungkap ialah
hakikat perjalanan rohani manusia menuju kebenaran yang tertinggi yaitu
Tauhid (Hadi, 2004:44).
Sastra sufi adalah sastra yang berasal dari ungkapan pengalaman
religiusitas sang pelaku suluk (pelaku tasawuf), seperti ungkapan
kerinduan seorang hamba kepada kekasih-Nya. Jalaluddin Rumi menulis
dalam sajak mistiknya:
Dengar alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu nadanya menusuk kalbu
Begitulah ia sejak bercerai dari batang pohon rimba
Dadanya sesak di penuhi cinta dan kepiluan
Api cintalah yng membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cinta mengawan
Inginkah kautahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan seruling bambu
Jalaluddin Rumi (Bagir, 2016: 4)
Dalam tradisi sufi estetika lebih jauh di kaitkana dengan metafisika
dan jalan kerohanian yang mereka tempuh di jalan ilmu tasawuf. Para sufi
berpendapat bahwa semua karya yang baik, mestilah dapat dirujuk pada
3
ayat-ayat Al-Quran, dan tidak jarang puisi-puisi mereka sebenarnya
merupakan tafsir spiritual terhadap ayat-ayat Al-Quran yang di
transformasikan ke dalam bahasa figurasi puisi (Hadi, 2004:38).
Segala bentuk keindahan dapat dijadikan sarana menuju
pengalaman religius, sesuai dengan cara seseorang menanggapi keindaha.
Dalam tradisi islam estetika juga menjelma menjadi ekpresi solidaritas
sosial dan sejarah, sebagai mana di manifestasikan dalam karya-karya
yang tergolong sastra adab, sejarah, epik, hikayat orang suci, kisah rakyat
jelata, kisah didaktik dan cerita binatang seperti musyawarah burung
(Mantiq Al-Tayar), atau karya-karya yang tergolong pelipur lara.
Renungan estetikus muslim tentang keindahan estetis (zahir) juga
dapat disikap melalui tamsil-tamsil yang mereka gunakan dalam
menggambarkan tahap-tahap perjalanan rohani (suluk) yang mereka
tempuh menuju Yang Satu. Karena perjalanan itu merupakan perjalanan
naik dari alam kewujudan yang lebih tinggi, maka digunakan tamsil
perjalanan mendaki puncak gunung. sering pula digunakan tamsil
penerbangan burung menuju puncak gunung yang tinggi seperti dalam
Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr). Burung merupaka tamsil bagi roh
yang senantiasa diusik kerinduan kepada asal usul kerohaniannya di alam
ketuhanan (Hadi, 2004:45).
Namun demikian, dalam penulisan ini, penulis akan membatasi diri
pada bentuk-bentuk ekspresi yang berhubungan dengan spiritualitas dan
4
religiusitas serta nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku sastra
Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar.
Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar
Sebuah puisi prosa dalam bait-bait bersajak, karya ini terdiri dari 4000
syair lebih yang dianggap sebagai tulisan paling berwawasan luas dan
menjadi masterpiece terpenting puisi sufi, juga sebagai sastra sufistik yang
diakui secara global. Masterpiece Fariduddin Attar ini mempunyai
kekuatan untuk berbicara kepada pelaku tasawuf itu sendiri maupun orang
awam.
Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) menceritakan penerbangan
burung-burung mencari raja diraja mereka yang bernama Simurgh (Raja
Burung) yang berada di puncak gunung Qaf yang sangat jauh dari tempat
mereka berada, perjalanan itu dipimpin oleh Hudhud, burung kesayangan
Nabi Sulaiman a.s. yang melambangkan guru sufi yang telah mencapai
tingkat makrifat yang tinggi. Sedangkan burung-burung melambangkan
jiwa atau roh manusia yang gelisah disebabkan kerinduannya kepada
hakikat ketuhanan. Simurgh (Raja Burung) sendiri merupakan lambang
diri hakikat mereka dan sekaligus lambang hakikat ketuhanan. Perjalanan
itu melalui tujuh lembah, yang merupakan lambang tahap-tahap perjalanan
sufi menuju cinta Ilahi. Dalam tiap tahap (maqam) seseorang penempuh
jalan akan mengalami keadaan-keadaan jiwa/ rohani (ahwal, kata jamak
dari hal). Uraian keadaan rohani yang disajikan Attar menarik karena
menggunakan kisah-kisah perumpamaan. Pada akhir cerita Attar
5
menyatakan bahwa ternyata hanya tiga puluh ekor burung yang mencapai
tujuan dan Simurgh (Raja Burung) tidak lain ialah hakikat diri mereka
sendiri (Hadi, 2004:137).
Dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karangan
Fariduddin Attar di gambarkan secara simbolik bahwa jalan kerohanian
dalam ilmu tasawuf ditempuh melalui tujuh lembah (wadi), yaitu :lembah
pencarian (talab), cinta („isyq), makrifat (ma‟rifah), kepuasan hati
(istighna), keesaan (tauhid), ketakjuban (hayrat), kefakiran (faqr) dan
hapus (fana‟). Namun Attar menganggap bahwa secara keseluruhan jalan
tasawuf itu sebenarnya merupakan jalan cinta, dan keadaan-keadaan
rohani yang jumlahnya tuju itu tidak lain adalah keadaan-keadaan yang
bertalian dengan cinta. Misalnya ketika seseorang memasuki lembah
pencarian. Cintalah sebenarnya yang mendorong seseorang melakukan
pencarian. Adapun kepuasan hati, perasaan atau keyakinan akan keesaan
Tuhan, serta ketakjupan dan persatuan mistik merupakan tahapan keadaan
berikutnya yang di capai di jalan cinta.
Dari uraian di atas, penulis ingin lebih jauh mengkaji tentang nilai
pendidikan tasawuf pemikiran Fariduddin Attar melalui sebagian karyanya
yaitu buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) yang di dalamnya
terdapat beberapa uraian tentang pendidikan tasawuf. Untuk itu, penulis
mencoba untuk menyusun sebuah skripsi yang berjudul: Nilai-Nilai
Pendidikan Tasawuf dalam Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-
Tayr) Karya Fariduddin Attar, dengan harapan semoga dapat
6
memberikan kontribusi dan manfaat bagi penulis dan umumnya bagi
pembaca.
B. Rumusan Masalah
Langkah selanjutnya setelah penegasan istilah adalah perumusan
pokok permasalahan yang akan dikaji. ”permasalahan yang paling baik
apabila permasalahan itu datang dari diri sendiri, karena hal itu didorong
oleh adanya kebutuhan untuk memperoleh jawabannya”. Pokok
permasalahan pengkajian dalam hal ini sebagai berikut.
1. Bagaimana nilai-nilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam buku
Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar?
2. Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku
Musayawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar
dengan Konteks sekarang?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
diperoleh dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan tasawuf yang terkandung
dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin
Attar.
2. Untuk mengetahui relevansi nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku
Musayawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar
dengan Konteks sekarang.
7
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, antara lain:
1. Secara Teoritis
a. Dapat mendiskripsikan konsep nilai-nilai pendidikan tasawuf
dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya
Fariduddin Attar
b. Dapat mendiskripsikan relevansi nilai-nilai pendidikan tasawuf
dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya
Fariduddin Attar.
c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai
tambahan wacana dalam metode pendidikan tasawuf bagi dunia
pendidikan Islam
2. Secara Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menginformasikan bahwa terdapat
banyak pelajaran, hikmah, dan metode pendidikan tasawuf yang
dapat dipetik dari buku musyawarah burung (Mantiq Al-Tayr) yang
bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Sebagai bahan pembelajaran bagi penulis serta tambahan
pengetahuan sekaligus untuk mengembangkan pengetahuan
penulis dengan landasan dan kerangka teoritis yang ilmiah atau
pengintegrasian ilmu pengetahuan dengan praktek serta melatih
diri dalam research ilmiah.
8
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang
menggunakan pendekatan kepustakaan (library research), karena
semua sumber yang digali adalah bersumber dari pustaka (Hadi,
1990:3). Penelitian kualitatif ini sebagai prosedur penilaian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
seseorang yang dapat diamati. Dalam hal ini objeknya adalah
pemikiran tasawuf yang terkandung dalam buku Musyawarag Burung
(Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
studi pustaka. Dalam tahapan ini, peneliti berusaha menyeleksi data-
data (buku) yang ada relevansinya dengan pendidikan tasawuf dan
buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) karya Fariduddin Attar.
Sumber Data Primer, yaitu data yang sangat mendukung dan
pokok dalam penelitian. Dalam hal ini, peneliti menggunakan buku
Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr).
Sumber data sekunder, yaitu data yang berorientasi pada data
yang mendukung secara langsung maupun tidak langsung yang
berkaitan dengan subjek penelitian. Data sekunder yang dimaksud
dalam hal ini adalah:
a. Fariduddin Attar : Tadzkiratul Auliya‟
9
b. Abdul Hadi : Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas Esai-Esai
Sastra Sufistik
c. Hamka : Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya
d. Sa‟id Hawa : Jalan Ruhani
e. Harun Nasution : Filsafat dan Mistisme dalam Islam
f. Annemarie Schimmel: Dimensi Mistik Dalam Islam dan buku-
buku lainya yang ada Relevansinya dengan objek pembahasan
penulis.
3. Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul diolah dengan Metode
a. Metode Hermeneutika Teks
Hermeneutika Teks pada dasarnya merupakan wahana
penelitian dengan cara interpretasi (penafsiran) terhadap teks.
Hermeneutika menurut pandangan kritik sastra ialah sebuah
metode untuk memahami teks yang di uraikan dan di peruntutkan
bagi penelaah teks karya sastra, apapun bentuknya, berkaitan
dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (Edraswara, 2013:74).
Hermeneutika teks dapat diartikan sebagai metode
penelitian untuk memahami teks yang diuraikan dengan
interpretasi (penafsiran). Karya tokoh diselami untuk menangkap
nuansa dan arti yang dimaksudkan tokoh secara khas. Dalam
memahami teks, Schleiermacher mengatakan bahwa seorang
penafsir harus memperhatikan apa yang disebut dengan
10
“Grammatical Hermeneutics” (Hermeneutika Grammatikal). (Al-
Mirzanah, Syamsuddin, 2011: ix).
Dari ungkapan Schleiermacher di atas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa “Grammatical Hermeneutics” (Hermeneutika
Grammatikal) adalah interpretasi yang melihat bahasa hingga pada
tingkat tertentu dimana bahasa menentukan pikiran seluruh
individu. (Al- Mirzanah, Syamsuddin, 2011: 12-13).
Semua langkah-langkah ini dimaksud untuk melakukan
interpretasi guna menangkap arti, nilai dan maksud pendidikan
tasawuf yang terkandung dalam buku Musyawarah Burung
(Mantiq Al-Tayr).
b. Metode Content Analysis (Analisis Isi)
Metode Content Analysis (analisis isi) menurut Weber
sebagaimana di kutip oleh Soejono dalam bukunya yang berjudul:
metode penelitian suatu pemikiran dan penerapan, adalah: “metode
penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk
menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen”.
(Soejono, 2005: 13). Dengan teknik analisis ini penulis akan
menganalisis terhadap makna atau pun isi yang terkandung dalam
ulasan-ulasan buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) dan
kaitannya dengan nilai-nilai pendidikan tasawuf.
11
F. Penegasan Istilah
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang masalah yang akan peneliti
kemukakan dan agar tidak terjadi perbedaan persepsi perlu dijelaskan dan
ditegaskan maksud serta batasan-batasan istilah yang digunakan. Adapun
istilah-istilah yang perlu ditegaskan pengertiannya di sini adalah sebagai
berikut:
1. Nilai-nilai
Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, disukai, dan paling
benar menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang sehingga
prefensinya tercermin dalam prilaku, sikap, dan perbuatan-perbuatanya
(Maslikhah, 2009:106).
Jadi nilai dapat diartikan sebagai entitas atau inti mutiara dari
sebuah hikmah yang berguna bagi manusia.
2. Pendidikan Tasawuf
a. Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata didik, kemudian mendapatkan
awalan pe- dan akhiran -an yang berarti pengukuhan sikap dan tata
perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewesakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan,
proses, cara dan perbuatan mendidik (Tim Pengembang Ilmu
Pendidikan, 2007: 27).
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi
12
pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh
anak.
Pendidikan adalah proses bantuan dan pertolongan yang
diberikan oleh pendidikan kepada peserta didik atas pertumbuhan
jasmani dan perkembangan rohaninya secara optimal (Munib,
2006: 32).
Jadi Pendidikan adalah upaya untuk membantu
mengoptimalkan pertumbuhan peserta didik baik secara Jasmani
maupun Rohani.
b. Tasawuf
Tasawuf atau sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam
Islam atau secara keilmuan ia adalah hasil kebudayaan Islam yang
lahir kemudian setelah Rasulullah SAW wafat.
Secara Etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab,
Tashawwafa, Yatashawwafu, Tashawwufan. Ulama berbeda
pendapat dari mana asal ushulnya. Ada yang mengatakan dari kata
“Shuf” (bulu domba), “Shaf” (jernih) dan dari kata “Shuffah”
(Suatu tempat di Masjid Nabawi yang di tempati oleh sebagian
sahabat Nabi Muhammad SAW). Pemikiran masing masing pihak
di latar belakangi obsesinya dan fenomena yang ada pada diri para
sufi (Syukur, 2004: 4).
Secata Terminologis banyak pula dijumpai definisi yang
berbeda-beda, diantara rumusan definisi tasawuf yang paling
13
menonjol adalah yang di gagas oleh Ibrahim Basuniy. Dari ribuan
definisi itu, dia menggolongkan menjadi tiga bagian, yaitu Al-
Bidayah, Al Mujahadah, Al-Madzaqat.
Sudut pandang pertama (Al-Bidayah), mempunyai arti
bahwa tujuan awal dari kemunculan tasawuf adalah sebagi
manifestasi (perwujutan) dari kesadaran spiritual manusia tentang
dirinya sebagai mahluk Tuhan.
Sudut pandang kedua (Al-Mujahadah) adalah seperangkat
amaliah dan latihan dengan cara bersungguh-sungguh untuk
memperoleh apa yang selama ini menjadi tujuan utamanya, yaitu
berjumpa dengan Allah, atau usaha diri yang sungguh-sungguh
agar bias berada sedekat-dekatnya dengan Allah.
Sudut pandang ketiga (Al-Madzaqat) bisa diartikan sebagai
apa dan bagaimana yang dialami dan dirasakan manusia dihadirat
Tuhannya. Apa ia melihat Tuhan, merasakan kehadiran Tuhan
dalam hatinya, atau ia merasa bersatu dengan Tuhan. Berdasarkan
pendekatan ini tasawuf dipahami sebagai al-ma‟rifatul haq, yakni
ilmu tentang hakikat realitas realitas intuitif yang terbuka bagi sufi
(Forum Karya Ilmiah Purna Siswa, 2011: 14-15).
Jadi tasawuf adalah perjalan atau lelaku untuk menyatu
kembali kepada Allah, dari Allah yang satu (Ahad) sampai pada
penyatuan kembali dengan mahluqnya yaitu (Wahid) Allah yang
sudah menyatu, dan dalam istilah Islam dikenal dengan kata
14
“Tauhid” secara sederhana dapat dikatakana Ilmu tasawuf adalah
ilmu yang menjelaskan tata cara pengembangan rohani manusia
dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
Berdasarkan keterangan di atas dapat kita tari gari bahwa
pendidikan tasawuf adalah uapaya untuk menigkatkan
pertumbuhan Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Intelektual,
Kecerdasan Spiritual, untuk mengenali siapa dirinya agar lebih
mengenali Tuhanya, mengerti tujuan hidupnya dan mengerti
peranya di dalam kehidupan ini.
3. Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr)
Musyawarah Burung menceritakan penerbangan burung-
burung mencari raja diraja mereka Simurgh (Raja Burung) yang
berada di puncak gunung Qaf yang sangat jauh dari tempat mereka
berada, perjalanan itu dipimpin oleh Hudhud, burung kesayangan
Nabi Sulaiman AS. yang melambangkan guru sufi yang telah
mencapai tingkat makrifat yang tinggi. Sedangkan burung-burung
melambangkan jiwa atau roh manusia yang gelisah di sebabkan
kerinduannya kepada hakikat ketuhanan. Simurgh (Raja Burung)
sendiri merupakan lambang diri hakikat mereka dan sekaligus
lambang hakikat Ketuhanan.
Perjalanan itu melalui tujuh lembah, yang merupakan lambing
tahap-tahap perjalanan sufi menuju cinta Ilahi. Dalam tiap tahap
15
(maqam) seseorang penempuh jalan akan mengalami keadaan-
keadaan jiwa/ rohani (ahwal, kata jamak dari hal). Uraian keadaan
rohani yang di sajikan Attar menarik karena menggunakan kisah-
kisah perumpamaan. Pada akhir cerita „Attar menyatakan bahwa
ternyata hanya tiga puluh ekor burung yang mencapai tujuan, dan
Simurgh (Raja Burung) tidak lain ialah hakikat diri mereka sendiri
(Hadi, 2004:137).
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab yang
perinciannya sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Biografi dan Karya Fariduddin Attar, yang terdiri dari:
Biografi Fariduddin Attar, dan Beberapa karya sastra Fariduddin Attar.
Bab III: Deskripsi Pemikiran, yang terdiri dari: isi buku
musyawarah burung (Mantiq Al-Tayr) secara umum, dan nilai-nilai
pendidikan tasawuf dalam buku musyawarah burung (Mantiq Al-Tayr)
dalam konteks sekarang.
Bab IV: Analisis Pendidikan Tasawuf, yang terdiri dari: Nilai
Pendidikan Tasawuf yang terkandung dalam Musyawarah Burung karya
Fariduddin Attar.
16
Bab V : Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi tentang
kesimpulan dari uraian yang telah dijelaskan dan saran-saran.
17
BAB II
BIOGRAFI FARIDUDDIN ATTAR
A. Biogarafi Fariduddin Attar
Ketiga ahli tasawuf besar Persia seperti Abu Sa‟id, Al-Ansari, dan
Sanai yang telah memberi jalan buat kedatangan seorang sufi yang sangat
mendalam, penyair kecintaan kepada Tuhan dan pengarang yang kaya akan
fisualisasinya yang bisa membawa niali-nilai tasawuf dalam bentuk sastra dan
puisi. Itulah fariduddin Al-Attar orang Naisabur, yang meninggal di
permulaan abad ke-Tujuh Hijriyah. Dia digelari orang “Sauthus Salikin”,
artinya cemeti orang-orang yang mengerjakan suluk (thoriqot tasawuf). Tidak
kurang dari 40 buah rangkaian syair karangan beliau, terdiri dari beribu bait,
ada yang pendek dan ada yang panjang. Diantaranya ialah “Kitab Nasehat”
(Bandinamah), dan sebuah kitab yang mendalam, bernama Mantiq Al- Tayr
(Musyawarah Burung). Buku Musyawarah Burung itulah yang berisi
perjalana untuk mencapai perjumpaan dengan khaliknya, dalam tulisan yang
sangat indah dan mendalam (Hamka 1984: 178).
Abdul Hamid bin abu bakr Ibrahim farid ad-din Attar lahir tahun
1145/1146 M. Ada perselisihan mengenai tanggal kelahiran dan kematiannya,
tapi beberapa sumber memastikan bahwa ia hidup hampir seratus tahun. Ada
cerita yang berbeda tentang kematian Attar. Salah satu cerita yang umum
18
adalah dia meninggal setelah ditangkap oleh orang Mongol. Suatu hari
seorang dating dan menawarkan seribu keping perak untuk membeli Attar.
Attar mengatakan kepada orang Mongol agar tidak menjual dirinya karena
harga itu tidak benar. Orang Mongol menerima kata-kata Attar dan tidak
menjualnya. Kemudian, orang lain datang dan menawarkan sekarung jerami
untuknya. Attar menasehati orang Mongol untuk menjual dirinya karena harga
itu sangat layak. Tentara Mongol itu menjadi sangat marah dan memenggal
kepala Attar. Jadi Attar mati untuk mengajarkan sebuah hikmah.
Attar terkenal sebagai seorang penyair sufi Persia. Fariduddin Attar
adalah seorang penyair persi dan sekaligus seorang sufi (mistik). Hidup
selama ketidak pastian politik, ia sering menyendiri, menjelajahi alam Allah
dan melangkah kejalan-Nya melalui puisi mistiknya. Hanya sedikit mengenai
diri Attar yang diketahui dengan pasti. Naman Attar dalam arti harfiahnya
(Wangi Mawar) menunjukan bahwa, ia seperti ayahnya, ia peramu obat dan
mengikuti panggilan hati seorang dokter. Sumber sejarah Persia menunjukan
perbedaan pada tahun kematiannya hingga rentan waktu 43 tahun. Salah satu
alasan ketidakpastian ini adalah bahwa, tidak seperti penyair islam lainnya,
dia tidak menulis catatan yang menyanjung kehidupan dan kebesarannya
sendiri. Hal ini menjadi kelebihan pribadi Attar, tetapi tidak menguntungkan
bagi sejarawan. Kebanyakan hanya meyakini fakta bahwa ia lahir di Nishapur,
timur laut Persia; ia melewatkan 13 tahun masa mudanya di mashad, dan
19
menghabiskan sebagian besar hidupnya mengumpulkan puisi mistik sufi
lainnya.
Attar adalah anak dari seorang ahli kimia yang makmur, dan mendapat
pendidikan yang sangat baik dalam bahasa Arab. Teosofi dan obat-obatan.
Dia membantu ayahnya di toko dan kematian ayahnya, membuatnya
mengambil alih kepemilikan toko itu. Orang-orang yang membantu di
tokonya sering mencurahkan masalah mereka kepada Attar dan ini
mempengaruhi dirinya secara mendalam. Akhirnya, ia meninggalkan tokonya
dan pergi ke kufah, Mekkah, Damaskus, Turkistan, dan India, bertemu dengan
Syeh-syeh sufi dan kembali memperkenalkan ide-ide tasawuf untuk kota
kelahirannya Nishapur (Attar, 2015: 362).
Awalmula perjalanan Attar menjadi seorang sufi menurut Dawlatshah,
suatu hari Attar sedang duduk dengan seorang kawannya di muka pintu
kedainya, ketika seorang darwis datang mendekat, singgah sebentar, mencium
bau wangi, kemudian menarik nafas panjang dan menangis. Attar mengira
darwis itu berusaha hendak membangkitkan belas kasihan mereka, lalu
menyuruh darwis itu pergi. Darwis itu berkata, "Baik, tak ada satu pun yang
menghalangi aku meninggalkan pintumu dan mengucapkan selamat tinggal
pada dunia ini. Apa yang kupunyai hanyalah khirka yang lusuh ini. Tetapi aku
sedih memikirkanmu, Attar. Mana mungkin kau pernah memikirkan maut dan
meninggalkan segala harta duniawi ini?" Attar menjawab bahwa ia berharap
akan mengakhiri hidupnya dalam kemiskinan dan kepuasan sebagai seorang
20
darwis. "Kita tunggu saja," kata darwis itu, dan segera sesudah itu ia pun
merebahkan diri dan mati.
Peristiwa ini menimbulkan kesan yang amat dalam dihati Attar
sehingga ia meninggalkan kedai ayahnya, menjadi murid Syaikh Bukn-ud-din
yang terkenal, dan mulai mempelajari sistem pemikiran Sufi, dalam teori dan
praktek. Selama tiga puluh sembilan tahun ia mengembara ke berbagai negeri,
belajar dipermukiman-permukiman para syaikh dan mengumpulkan tulisan-
tulisan para Sufi yang saleh, sekalian dengan legenda-legenda dan cerita-
cerita. Kemudian ia pun kembali ke Nisyapur di mana ia melewatkan sisa
hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam
pikiran Sufi dibandingkan dengan siapa pun di zamannya. Ia mengarang
sekitar dua ratus ribu sajak dan banyak karya prosa. Ia hidup sebelum Jalal-
uddin Rumi. Ditanya siapa yang lebih pandai di antara keduanya itu, seorang
Sufi mengatakan, "Rumi membubung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali
dalam sekejap mata; Attar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti
semut. Rumi mengatakan, "Attar ialah jiwa itu sendiri."
Garcin de Tassy menuturkan bahwa dalam tahun 1862 Nicholas
Khanikoff menemukan sebuah batu nisan di luar Nisyapur, yang didirikan
antara tahun 1469 dan 1506 (sekitar dua ratus lima puluh tahun sepeninggal
Attar). Di situ terukir inskripsi dalam bahasa Parsi. Terjemahan Tassy atas
inskripsi itu ke dalam bahasa Perancis dapat diterjemahkan pula sebagai
berikut:
21
Allah Kekal
Dengan nama Allah Yang Pengasih Yang Pengampun
Di sini di taman Adn bawah, Attar menebarkan wangi pada jiwa
orang-orang yang paling sederhana.
Inilah makam seorang yang begitu mulia sehingga debu yang terusik
kakinya akan merupakan kollirium di mata langit; makam syaikh Farid Attar
yang terkenal, yang menjadi ikutan orang-orang suci; makam penebar wangi
yang utama dengan nafasnya yang mengharumi dunia dari Kaf ke Kaf.
Di kedainya, sarang para malaikat, langit bagai botol obat semerbak
dengan wangi sitrun. Bumi Nisyapur akan terkenal hingga hari kiamat karena
orang yang termasyhur ini.Tambang emasnya terdapat di Nisyapur sebab ia
dilahirkan di Zarwand di wilayah Gurgan. Ia tinggal di Nisyapur selama
delapan puluh dua tabun, dan tiga puluh dua tahun dari waktu itu
dilewatkannya dalam ketenangan. Dalam usia yang sudah amat lanjut ia
dikejar-kejar pedang pasukan tentara yang menelan segalanya. Farid tewas
di zaman Hulaku Khan, terbunuh sebagai syahid dalam pembantaian besar-
besaran yang terjadi ketika itu … Semoga Tuhan Yang Maha Tinggi
mempersegar jiwanya! Tingkatkanlah, o Rabbi, kebajikannya.
Makam orang yang mulia ini terletak di sini dalam wilayah
pemerintahan Syah Alam, Seri Baginda Sultan Abu Igazi Hussein
22
Selebihnya, inskripsi itu menyatakan pujian terhadap Sultan. Agaknya
tak ada catatan tertulis dewasa ini tentang bagaimana, bila, dan di mana dia
meninggal dan dikuburkan. (Attar, 2015: 175-176).
B. Karya Sastra Fariduddin Attar
Setelah itu Attar kembali ke Nisapur, di mana ia melewatkan sisa
hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam
pikiran sufi dibandingkan dengan siapa pun di zamannya. Ia menulis sekitar
200.000 sajak, 114 buku, termasuk masterpiece-nya, Musyawarah Burung.
Semasa hidupnya, selain menulis Musyawarah Burung, ia juga
menulis prosa yang tak kurang tenarnya; Kenang-Kenangan Para Sufi dan
Buku Bijak Bestari. Musyawarah Burung yang ditulis dalam gaya sajak
alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum sufi.
Kendati Attar merupakan salah seorang guru sufi besar dalam literatur
klasik, dan pengilham Rumi, dongeng dan ajaran-ajaran guru-guru Sufi dalam
karyanya Kenang-Kenangan Para Sufi, harus menunggu hampir tujuh
setengah abad untuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Attar hidup sebelum Jalaluddin Rumi. Ketika ditanya siapa yang lebih
pandai di antara keduanya itu, seorang menjawab, “Rumi membubung ke
puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata. Attar mencapai
tempat itu juga dengan merayap seperti semut. Padahal Rumi sendiri berkata,
“Attar ialah jiwa itu sendiri.”
23
Ajaran-ajaran Attar banyak disertai gambaran-gambaran biografi,
fabel, pepatah dan apologi, yang tidak hanya mengandung ajaran moral tetapi
kiasan-kiasan yang menggambarkan tentang tahap-tahap khusus
perkembangan manusia. Misalnya dalam Musyawarah Burung, ia membuat
sketsa tahap-tahap individual dalam kesadaran manusia, meski hal ini
direpresentasikan sebagai kejadian terhadap individu yang berbeda atau
terhadap suatu komunitas seluruhnya. Attar menggunakan tema suatu
'perjalanan' atau 'pencarian' sebagai analogi dari tahap-tahap keberhasilan jiwa
manusia dalam mencari kesempurnaan.
Tradisi-tradisi sufisme menegaskan bahwa karya Attar sangat penting,
karena dengan membaca secara keseluruhan akan membantu menegakkan
struktur sosial dan standar etika Islam. Sementara seleksi-seleksi khususnya
mengandung materi inisiator yang tersembunyi oleh bagian-bagian teologikal
yang berat.
Karya sastra Attar baik dalam lirik-lirik ataupun dalam banyak karya
epiknya, Attar menunjukan bakat yang mengagumkan sebagai ahli cerita, ciri
ini juga terlihat dalam koleksi biografinya tentang para wali, tadzkiratul
auliya. Baginya biografi merupakan alat untuk mengisahkan cerita-cerita
tentang guru-gurunya yang terhormat, bakat keahlian bercerita dan bahkan
bakat dramanya diperlihatkan dengan indahnya dalam tadzkiratul auliya‟.
Banyak kisah dari tadzkiratul auliya‟ di selipkan ke dalam karya puisi‟Attar
24
pula. Memang, semua bukunya merupakan gudang kisah dan cerita yang
hidup.
Hellmut Ritter yang memusatkan perhatiannya kepada buku besarnya
Das Meer der Seele, Untuk menuliskan mistisisme dan seni persajakan „Attar,
membedakan tiga tahap dalam kehidupan penyairan itu. (Das Meer der Seele,
adalah karya lengkap tentang „Attar dan juga tentang masalah-masalah
pemikiran dan puisi sufi, buku ini sanggat di perlukan oleh setiap orang yang
mempelajari secara serius edisi karya-karya „Attar).
Periode pertama, ia adalah pujangga dalam bercerita, Mantiq Al-Tayar
„Musyawarah Burung-Burung‟, Ilahiname „kisah raja dan enam putranya‟ dan
Musibatname „buku tentang penderitaan‟. Dalam periode kedua bentuk-
bentuk lahiriah mulai menghilang dan anafora-anafora makin lama menjadi
makin panjang. „Attar seringkali begitu bergairah dalam menulis sehingga ia
berusaha memberikan rahasia illahi dengan rangkaian pengucapan yang
berulang-ulang atau kata-kata yang identik; ia terbawa hanyut, karena
kemabukannya, dari penalaran yang logis. Khas untuk periode ini bahwa
pahlawan dalam Ushturname- sebuah sajak yang berpusat disekitar toko
pemain boneka – bunuh diri dalam kegairahan mistik. Gagasan yang dulu
pernah tersebar luas bahwa „Attar menjadi orang syiah yang alim dalam
periode ketiga dalam hidupnya tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi;
karya-karya yang menunjukkan kecenderungan syiah yang kuat yang dulu
25
pernah di perkirakan karya dia sekarang dapat di katakana ditulis oleh penyair
lain dengan nama yang sama (Schimmel, 1985: 385-386).
26
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Isi Buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) Secara Umum
Terbangnya burung-burung dengan sayap-sayap mereka
merupakan simbol dari jiwa (Ruh) manusia yang sedang melakukan
perjalanan spiritual. Bahkan Al-Quran sendiri juga berbicara tentang
peran burung-burung sebagai pasukan intelejen dan sebagai bahasa
pengantar untuk menyampaikan rahasia wahyu Allah kepada Nabi
Sulaiman AS. Buku Mantiq Al-Tayr biasa diterjemahkan menjadi
Musyawarah Burung adalah kisah alegori tentang perjuangan dan
cobaan jiwa yang harus dihadapi seorang muslim untuk mencapai
pencerahan spiritual. Buku ini berisi kumpulan fable, kisah jenaka, dan
berbagai kisah dalam sebuah kisah, yang semuanya membentuk kisah
tunggal tentang pencarian spiritual yang dipimpin oleh Burung Hud-
hud yang melambangkan guru atau pembimbing spiritual.
Secara simbolik, Mantiq Al-Tayr menggambarkan bahwa jalan
kerohanian dalam ilmu Tasawuf ditempuh melalui tujuh lembah
(wadi), yaitu: lembah pencarian (talab), cinta (`isyq), makrifat
(ma`rifah), kepuasan hati dan kebebasan (istighna), keesaan (tawhid),
ketakjuban dan kebingungan (hayrat), kefakiran (faqr) dan hancur
(fana`). Namun Attar menganggap bahwa secara keseluruhan jalan
27
tasawuf itu sebenarnya merupakan jalan cinta, dan keadaan-keadaan
rohani yang jumlahnya tujuh itu tidak lain adalah keadaan-keadaan
yang bertalian dengan cinta (Hadi, 2004: 137).
Dalam hal ini ketika seseorang memasuki lembah pencarian.
Cintalah sebenarnya yang mendorong seseorang melakukan pencarian.
Adapun kepuasan hati, perasaan atau keyakinan akan keesaan Tuhan,
serta ketakjuban dan persatuan mistik (wahdatul wujud) merupakan
tahapan keadaan berikutnya yang dicapai dalam jalan cinta. Satu
persatu lembah-lembah itu memiliki kriteria-kriteria khas tersendiri.
Mantiq Al-Tayr karangan Fariduddin Attar ini secara umum
terdiri dari tiga bab, adapun penejelasan secara keseluruhan sebagai
berikut:
1. Isi Bab I Do‟a Pujian (Madad Do‟a)
Dalam bab ini berisi tentang Pujian-pujian kepada Allah
yang maha suci, yang telah menciptakan segala mahluk dibumi,
Dia tinggikan langit diatasa bumi bagai tenda tanpa tiang
penyangga. Dalam enam masa Dia ciptakan Sembilan kubah lagit
dan dengan berbagai sifat Dia anugerahi jaringan tubuh, dan telah
ditaruh-Nya debu pada ekor burung jiwa; burung jiwa: penyatuan
yang menghubungkan jiwa dengan raga (tubuh).
Dalam Bab ini juga berisi tetang kosmologi proses
penciptaan manusia. Tuhan mengambil tanah liat dan meremasnya
dengan air, setelah empat puluh pagi Dia menaruh di dalamnya ruh
28
yang menghidupkan tubuh. Tuhan memberinya kecerdasan agar
dapat membedakan benda-benda. Ketika dilihat-Nya kecerdasan itu
dapat membeda-bedakan, Dia berikan padanya pengetahuan agar
dapat menimbang dan berfikir.
Tetap ketika manusia berhasil memiliki berbagai
kecakapan, dia mengakui berbagai kelemahannya dan diliputi
keheranan, sementara badan jasmaniahnya menyerah pada
perbuatan-perbuatan lahiriah. Kawan atau lawan, semua
menundukan kepala di bawah palang kayu yang dipasang Tuhan
pada kearifannya; dan heran, Tuhan pun mengawasi kita semua
(Attar, 2015: 4).
Berikutnya fariduddin Attar menceritakan tetang keagungan
Tuhan dengan semua jagatraya dan isinya, serta mengajarkan
Tetang kosep Imanesi dan penyatuan hamba denga sang khaliq
(Wahdatul Wujud), puncak dari perjalanan manusia mengenali
dirinya dan memahami Alam Semesta bahwa diri yang sejati
adalah ketiadaan dan ketiadaan diri adalah kemengadaan bagi
Allah, maka segala yang ada tiada yang lain kecuali cermin atau
tajali dari sang pencipta itu sendiri.
Pada permulaan zaman Tuhan menggunakan gunung-
gunung selaku paku pasak bumi dan membasuh wajah bumi
dengan air lautan. Kagumilah buah karya Tuhan, meskipun Dia
sendiri memandang segalanya itu sebgai tiada. Dan menginggat
29
bahwa hanya Hakikat-Nya sendirilah yang ada, maka pastilah tiada
suatu pun selain Dia. Arasy-Nya di atas lautan dan Dunia ini
diudara. Tetapi tinggalkanlah air dan udara itu, karena segalanya
Tuhan: arasy dan Dunia itu hanya azimat. Tuhan adalah segalanya,
dan benda-benda hanya punya nilai dalam sebutan saja; dunia yang
terlihat dan tak terlihat hanya Dia sendiri jua.
Tiada siapapun kecuali dia. Tetapi juga, tak seorang pun
dapat melihat Dia. Mata ini buta, walaupun dunia diterangi dengan
matahari cemerlang. Andaikan kau dapat melihat Dia sekejap saja
pun, kau akan kehilangan akal, dan bila kau dapat melihatnya
sepenuhnya, kau akan kehilangan dirimu sendiri (Attar, 2015: 5).
2. Isi Bab II Burung-burung berkumpul
Bab ini berisi tentang berkumpulnya burung-burung di
seluruh dunia yang membicarakan perjalanan menuju Simurgh
(raja burung). Dalam perkumpulan ini dipimpim oleh Hud-hud
sebagi ketua dari kawanan Burung-burung. Di dalam bab ini juga
dijelaskan pengenalan tokok-tokoh yang akan ikut serta dalam
perjalan mencari Simurgh (raja burung).
3. Isi Bab III Musyawarah Burung
a. Musyawarah dibuka
Dalam bab ini menceritakan tentang musyawarah
burung-burung diseluruh dunia, mereka berkata, “Tiada negeri
di dunia ini yang tak punya raja. Maka bagaimana mungkin
30
kerajaan burung-burung tanpa penguasa! Keadaan demikian tak
bisa dibiarkan terus. Kita harus berusaha bersama-sama untuk
mencarinya; karena tiada negeri yang mungkin memiliki tata
usaha dan tata susunan yang baik tanpa raja (Attar, 2015: 15).
Burung Hud-hud tampil kemuka dan memperkenalkan
diri, dia memberitaukan kepada para burung-burung bahwa
dialah yang paling aktif dalam perjuanngan suci (perjalanan
mencari raja sejati) dan dia adalah utusan dari dunia yang tak
terlihat mata (dimensi setelah alam materi). “Aku memiliki
pengetahuan tentang Tuhan dan rahasia-rahasia ciptaan-Nya,
kukenal baik Rajaku, tetapi tak bisa aku pergi mencari
sendirian. Tinggalkan keengganan kalian, kesombongan kalian
dan keingkaran kalian, karena siapa yang tak mementingkan
hidupnya sendiri terbebas dari ikatan dirinya sendiri; ia
terbebas dari ikatan baik dan buruk demi yang dicintainnya
(Attar, 2015:16).
Dalam bab ini juga dibahas lebih jelas tentang karakter,
latar belakang, dan pola berfikirnya masing-masing tokoh yang
diperkenalkan dengan singkat dalam bab II. Karakter dan pola
berfikir para tokoh yang akan ikut dalam perjalanan menuju
Simurgh (raja burung) oleh Attar digambarkan dengan macam-
macam burung seperti:
31
Burung Bul-bul (sebagai lambang dari orang yang logis
rasionalis), Burung Nuri (orang yang sudah menemukan
ketenangan batin dan merasa puas dengan itu), Burung Merak
(lambang dari orang yang sudah dianut dan ditokohkan oleh
masyarakatnya), Itik (lambang dari orang yang alim dan suci
yang sudah merasa cukup dengan ibadahnya), Ayam Hutan
(orang yang terlena dengan kemewahan harta benda dunia),
Humay “berbadan singa, berkepala dan bersayap burung
rajawali. Mahluk imajiner bangsa Persia” (lambang dari
seorang Raja), dan Burung Hantu (lambang dari orang yang
memuja harta benda).
b. Perdebatan Burung-burung dengan Hud-hud
Dalam bab ini digambarkan terjadi perdebatan antara
Hud-hud dengan para burung-burung, kemudian semua burung,
satu demi satu, menyatakan alasan-alasan yang tak bijak untuk
menghidar dan berdalih dari perjalanan mencari raja sejati
(Simurgh) itu. Dalam perdebatan itu Hud-hud mengatakan
kepada para burung-burung.
Hud-hud: “Ia yang memilih Simurgh bagi hidupnya
sendiri harus melawan dirinya sendiri dengan berani. Jika urat
tembolokmu tak dapat mencerna sebutir gandum pun,
bagaimana kau akan ikut serta dalam pesta sang Simurgh ? Bila
kau ragu-ragu dengan seteguk anggur, bagaimana kau akan
32
minum sepiala besar, o bayangkara raja? Jika kau tak memiliki
tenaga sebutir zarrah, bagaimana kau akan menemukan
khazanah surya? Jika kau dapat terbenam dalam setetes air,
bagaimana kau akan dapat meninggalkan dasar laut ke puncak
langit? Ini bukan wangian biasa; dan bukan pula tugas bagi dia
yang tak bermuka bersih.” (Attar 2015: 35).
Setelah mendengar pernyataan itu burung-burung
merenungkannya. Kemudian burung-burung berkata kepada
Hud-hud: “Telah kau pikul sendiri tugas menunjukkan jalan
pada kami, kau yang terbaik dan terkuat diantara burung-
burung. Tetapi kami lemah, tanpa bulu halus maupun lar
(sayap), sehingga bagaimana kami pada akhirnya akan bisa
sampai ke hadapan Simurgh Yang Mulia? Kalau kami sampai
juga ke sana, tentulah suatu keajaiban. Ceritakan pada kami
tentang Wujud yang menakjubkan itu dengan suatu tamsil,
atau, karena sebuta ini keadaan kami, kami tak akan mengerti
samasekali rahasia ini. Jika ada suatu pertalian antara Wujud
ini dengan diri kami, tentulah akan jauh lebih mudah terperikan
bagi kami. Tetapi, sebagaimana kita ketahui, ia mungkin dapat
dibandingkan dengan Sulaiman, dan kami dengan semut-semut
yang meminta-minta. Bagaimana dapat serangga didasar sumur
memanjat naik ke tempat Simurgh yang besar? Akankah
kebangsawanan teruntuk bagi pengemis? (Attar 2015: 36).
33
Setelah mendengar pernyataan para burung-burung
yang mencoba berdalih dari perjalanan mencari raja sejati
(Simurgh) seperti tertulis di atas, maka Hud-hud menjawab
dalih mereka dengan pernyataan:
Hud-hud: “O burung-burung yang tak bercita-cita!
Bagaimana cinta akan bersemi indah dihati yang tak punya
kepekaan rasa? Mengajukan pertanyaan seperti ini, yang
seakan memaafkan kalian, tak akan ada gunanya. Siapa yang
bercinta berangkat dengan mata terbuka ke arah tujuannya
seraya membuat hidupnya sebagai barang permainan.
Ketika Simurgh mengejawantahkan dirinya di luar
tabir, gemilang bagai matahari, ia menimbulkan ribuan bayang-
bayang di bumi. Ketika ia melemparkan pandang pada bayang-
bayang ini, tampaklah di sana burung-burung begitu
banyaknya. Begitulah beragam jenis burung yang terlihat di
dunia ini hanyalah bayang-bayang Simurgh. Maka ketahuilah,
o burung-burung yang bodoh, bahwa setelah kalian mengerti
akan ini, kalian pun akan mengerti pula dengan sungguh-
sungguh pertalian kalian dengan Simurgh. Renungkan rahasia
ini, tetapi jangan singkapkan. Ia yang memperoleh pengetahuan
ini tenggelam dalam kemaharayaan Simurgh, sungguhpun ia
harus tak menganggap bahwa dirinya Tuhan dalam hal itu.
34
Bila kalian menjadi seperti yang kukatakan itu, tidaklah
akan berarti bahwa kalian Tuhan, tetapi kalian akan terendam
dalam Tuhan. Adakah makhluk yang terendam demikian
menjadi berubah wujudnya ? Bila kalian mengetahui bayang-
bayang siapa kalian ini, maka hidup atau mati tak akan menjadi
soal bagi kalian. (Attar, 2015: 36-37).
Demikianlah pernyataan Hud-hud kepada burung-
burung yang menjadi penutup cerita pada bab ini.
c. Burung-burung berangkat
Dalam bab ini secara umum menceritakan tentan awal
mula keberangkatan para burung-burung dalam perjalanannya
mencari raja sejati mereka yaitu (Simurgh). Perasaan takut dan
cemas yang menimbulkan jerit kepiluan burung-burung itu
ketika mereka memandang jalam yang akan mereka lalui tiada
berujung, dimana badai pembebasan dari segala yang berbau
duniawi membelah ruang langit.
Sebelum keberangkatan dimulai para burung-burung
meminta kepada Hud-hud untuk menceritakan tentang jalan
yang harus dilalui dan tentang istana Raja serta upacara-
upacara yang dilakukan disana. Setelah mendengar pertannya
itu kemudian Hud-hud mengenaka mahkota dikepalanya, maju
kemimbar dan berpidato dihadapa burung-burung. Ketika
pasukan burung-burung berjajar di depannya dalam barisan,
35
Bul-bul dan perkutut mendekat, dan seperti dua pembaca
dengan suara yang sama, mereka memancarkan lagu yang
begitu merdu sehingga segala yang mendengar merasa
terhanyut. Setelah itu kemudian satu demi satu, sejumlah
burung mendekat padanya untuk bicara tentang berbagai
kesulitan dan menyatakan alasan-alasan mereka (Attar 2015:
58).
Singkat cerita Hud-hud memberikan penggambaran
(lembah-lembah) jalan yang akan dilalui untuk bertemu dengan
raja mereka yaitu Simurgh. Attar menceritakan dalam bukunya
sebgai berikut:
Hudhud: “Kita harus melintasi tujuh lembah dan hanya
setelah kita melintasi lembah-lembah itu akan menemukan
Simurgh. Siapa yang telah menempuh jalan ini tiada akan
pernah kembali ke dunia, dan tak mungkin dikatakan berapa
mil jarak yang ada di muka kita. Bersabarlah, o penakut, sebab
semua mereka yang melintasi jalan ini sama halnya dengan
keadaanmu.
Lembah pertama ialah Lembah Pencarian, yang kedua
Lembah Cinta, yang ketiga Lembah Keinsafan, yang keempat
Lembah Kebebasan dan Kelepasan, yang kelima Lembah
Keesaan Murni, yang keenam Lembah Keheranan, dan yang
36
ketujuh Lembah Kemiskinan dan Ketiadaan, lebih dari itu tiada
yang dapat pergi lebih jauh lagi (Attar, 2015: 121).
Itulah tuju lembah (Station) yang harus dilewati untuk
bertemu dengan raja sejati mereka (Simurgh) yang dalam dunia
tasawuf kita kenal dengan “maqam” (Station).
d. Sikap Burung-burung
Setelah burung-burung mendengar perkataan Hud-hud,
dan kesedihan mencucuk-cucuk hati mereka. Kini mereka
mengerti betapa sulit bagi sekepul debu seperti mereka untuk
meregang busur sehebat itu. Begitu besar gairah mereka
sehingga banyak yang mati di tempat dan saat itu. Tetapi yang
lain-lain, betapa sengsaranya pun, memutuskan untuk
menempuh jalan panjang itu. Bertahun-tahun mereka
mengembara melintasi gunung demi gunung dan lembah demi
lembah, dan sebagian besar hidup mereka mengalir lalu di
perjalanan itu. Tetapi bagaimana mungkin menuturkan segala
yang telah terjadi pada mereka? Perlu berjalan bersama mereka
dan mengetahui kesulitan-kesulitan mereka, serta mengikuti
pengembaraan-pengembaraan di jalan panjang itu; barulah kita
dapat menyadari penderitaan burung-burung itu.
Pada akhirnya, hanya sejumlah kecil dari kawanan yang
besar itu dapat sampai ke tempat mulia yang ditunjukkan
Hudhud. Dari ribuan burung itu hampir semuanya telah lenyap.
37
Banyak yang hilang di lautan, yang lain binasa di puncak
gunung-gunung tinggi, disiksa dahaga; yang lain lagi terbakar
sayapnya, sedang hatinya mengering karena api matahari;
sebagian dimangsa macan dan macan tutul, sebagian lagi mati
kecapaian di gurun-gurun dan di hutan-hutan belantara, dengan
bibir kering dan tubuh kepanasan: ada yang menjadi gila dan
saling berbunuhan karena sebutir jawawut; ada pula yang
karena lemah oleh penderitaan dan keletihan, jatuh di jalan dan
tak kuat melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi; yang lain,
bingung karena apa-apa yang mereka lihat, berhenti di tempat
itu, tercengang-cengang; dan banyak, yang telah berangkat
lantaran ingin tahu atau senang, tewas tanpa mendapat
gambaran tentang apa yang mereka cari dalam perjalanan yang
telah mulai mereka tempuh itu. Karena itu, dari semua burung
yang beribu-ribu itu, hanya tiga puluh saja yang dapat sampai
ke tujuan perjalanan itu. (Attar, 2015: 159-160).
Segera sesudah itu, burung-burung itu akhirnya
meniadakan diri mereka sendiri dalam diri sang Simurgh -
bayang-bayang telah lenyap dalam cahaya surya, dan begitulah
adanya. Segala yang telah kau dengar, kau lihat atau kau
ketahui bukan pula awal dari apa yang harus kau ketahui, dan
karena permukiman yang bobrok di dunia ini bukan tempatmu,
maka kau harus meninggalkannya. Carilah pokok pohon itu,
38
dan jangan risaukan apakah cabang-cabangnya ada atau tidak
ada. (Attar, 2015: 164-165). Dan pada akhir kalimatnya Attar
mengatakan “Dan kini ceritakupun selesai, tak ada lagi yang
mesti kukatakan.
B. Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf Dalam Buku Musyawarah Burung
(Mantiq Al-Tayr) Dengan Konteks Sekarang
Nilai-nilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam buku
musyawarah burung tentunya bisa dikatakan semuanya memuat nilai
dan ajaran tasawuf, Karen buku musyawarah burung adalah buku
sastra sufistik yang berisi tentang ajaran tasawuf dan menceritakan
tentang bagaimana perjalanan batin seorang salik dalam menempuh
suluk untuk menempuh tauhid yang sejati, yaitu tauhid dengan
perjalanan pembuktian secara empiris dengan diri sendiri (melihat
denga mata kepala) serta sampai pada keadaan bahwa tidak ada
kemungkinan lain selain Allah SWT.
Dalam buku musyawarah burung juga di jelaskan bagaimana
keadaan dan kondisi jiwa seorang sufi ketika dalam perjalanan Tauhid
tersebut. Serta fase-fase atau tahapan-tahapan yang akan dilalui
seorang sufi dalam perjalanannya menuju perjumpaan angung dengan
raja yang sejati.
Buku musyawarah burung adalah buku sastra sufistik, dan
tentunya dalam penyampaian ajaran dan gagasannya penuh dengan
amsal-amsal, penggambaran-penggambaran, loncatan logika, bahasa
39
yang sangat halus tetapi padat akan muatannya, dimana setiap baris
dan bait mengandung inti kesadaran dari kehidupan.
Buku musyawarah burung terdiri dari tiga Bab. Bab yang
pertama berjudul Doa Pujian, Bab yang kedua berjudul Burung-
Burung Berkumpul, dan Bab yang ketiga berjudul Musyawarah
Burung. Berikut adalan gambaran secara rincinya.
1. Bab I Doa Pujian
Dalam bab 1 ini tertulis lembaran syair dan pujian kepada
Allah SWT, dan keagungan terhadap ciptaannya. Dalam bab ini
terdapat bebrapa nilai-nilai pendidikan tasawuf yang bisa kita
ambil antaralain yaitu sebagai berikut.
a. Ajaran Tauhid ( bukti kehadiran Alam Semesta sebaga ciptaan-
Nya)
Pada permulaan zaman Tuhan menggunakan gunung-
gunung selaku paku pengukuh bumi dan membasuh wajah
bumi dengan air lautan. Kemudian Ia tempatkan bumi di atas
punggung lembu jantan, dan lembu jantan itu di atas ikan, dan
ikan itu di atas udara. Tetapi di atas mana terletak udara? Di
atas yang tiada. Tetapi yang tiada itu tiada dan segalanya itu
pun tiada.
Kalau demikian, kagumilah buah karya Tuhan,
meskipun Ia sendiri memandang segalanya itu sebagai tiada.
Dan mengingat bahwa hanya Hakikat-Nya sendirilah yang ada,
40
maka pastilah tiada suatu pun selain Dia. Arasy-Nya di atas
perairan dan dunia ini di udara. Tetapi tinggalkanlah perairan
dan udara itu, karena segalanya Tuhan: arasy dan dunia itu
hanya azimat. Tuhan adalah segalanya, dan benda benda hanya
punya nilai dalam sebutan saja; dunia yang terlihat dan tak
terlihat hanya Dia Sendiri jua.
Tiada siapa pun kecuali Dia. Tetapi juga, tak seorang
pun dapat melihat Dia. Mata ini buta, meskipun dunia diterangi
dengan matahari cemerlang. Andaikan kau dapat melihat Dia
sekejap saja pun, kau akan kehilangan akal, dan bila kau dapat
melihat Dia sepenuhnya, kau akan kehilangan dirimu sendiri
(Attar, 2015: 4-5).
b. Penyatuan Roh (jiwa) dengan Raga
Ketika jiwa disatukan dengan raga, maka ia pun
merupakan bagian dari keseluruhan itu: belum pernah ada
pesona yang mengagumkan seperti itu. Jiwa punya peranan
dalam apa yang tinggi, dan raga punya peranan dalam apa yang
rendah; terbentuklah paduan antara tanah liat yang pekat dan
ruh yang murni. Karena paduan ini, maka insan pun menjadi
yang paling mengagumkan dari segala rahasia. Kita tak tahu
dan tak mengerti sedikit pun tentang ruh kita. Jika kau ingin
mengatakan sesuatu tentang ini, lebih baik kau diam. Banyak
yang tahu akan permukaan lautan ini, tetapi mereka tak
41
mengerti sedikit pun akan dasarnya yang terdalam dan dunia
lahiriah ini ialah pesona yang melindunginya.
Tetapi pesona yang berupa rintangan-rintangan jasmani
ini akhirnya akan rusak. Dan akan kau temukan harta itu bila
pesona itu lenyap; jiwa pun akan menyingkapkan dirinya
sendiri bila raga tersingkir. Tetapi jiwamu ialah suatu pesona
yang lain; dalam hal yang berhubungan dengan rahasia ini, jiwa
itu suatu kenyataan yang lain. Maka tempuhlah jalan yang akan
kutunjukkan, tetapi janganlah minta penjelasan (Attar, 2015: 7-
8).
c. Perjuangan perjalanan rohani para Nabi dalam bertauhid
Pikirkan mereka yang menempuh jalan ruhani. Lihat
apa yang terjadi pada Adam; ingat berapa tahun yang ia
lewatkan dalam berduka. Renungkan air bah di masa Nuh dan
sekalian kepala suku itu, yang menderita dalam cengkeraman
orang-orang yang jahat. Pikirkan Ibrahim yang penuh cinta
pada Tuhan: ia menderita penganiayaan dan dilemparkan ke
dalam api. Ingat Ismail malang, yang dikorbankan demi cinta
ilahiat. Tengok Ya,kub yang menjadi buta lantaran meratapi
putranya. Lihat Yusuf, yang mengagumkan baik ketika
berkuasa maupun ketika menghamba, ketika dalam sumur dan
dalam penjara. Kenangkan Ayub yang papa, yang menggeliat
di tanah menjadi mangsa cacing dan serigala. Ingat Yunus,
42
setelah tersesat dari Jalan itu, meninggalkan bulan ke perut
ikan. Lihat Sulaiman, yang kerajaannya dikuasai jin. Ingat
Zakaria, begitu menyala-nyala cintanya pada Tuhan sehingga ia
tetap diam ketika orang-orang membunuhnya; dan Yahya, yang
dihinakan di muka orang banyak, dan kepalanya diletakkan di
atas lempengan kayu. Tegak berdirilah di kaki tiang Salib
mengagumi Isa ketika ia menyelamatkan dirinya dari tangan-
tangan orang Yahudi. Dan akhirnya, renungkanlah segala yang
di derita oleh Pemimpin sekalian nabi itu, berupa penghinaan
dan penganiayaan dari orang-orang yang jahat (Attar, 2015: 8-
9).
2. Bab II Burung Burung Berkumpul
Seluruh burung-burng di dunia berkumpul menjadi satu,
mereka membentuk sebuah kelompok yang di pimpin oleh
Burung Hudhud, masing-masing burung disapa dan
diperkenalkan latarbelakangnya oleh Hudhud. Begitulah Attar
mengambarkan isi dari bab 2 ini. Adapun nilai pendidikan
tasawuf dalam bab ini adalah Ajaran tetang suatu kelompok
oraganisasi Tariqat
Selamat datang, O Hudhud! Kau yang menjadi
penunjuk jalan Raja Sulaiman dan menjadi utusan sejati dari
lembah, yang beruntung dapat pergi hingga ke batas-batas
Kerajaan Saba. Tutur siulmu dengan Sulaiman menyenangkan;
43
sebagai kawan baginya, kau pun mendapat mahkota
kehormatan. Kau harus membelenggu setan, si penggoda itu,
dan sesudah demikian, kau akan dapat masuk ke istana
Sulaiman (Attar, 2015: 11).
3. Bab III Musyawarah Burung
Segala burung-burung di dunia, yang dikenal dan tak
dikenal, dating berkumpul. Mereka berkata, “Tiada negeri di
dunia ini yang tak punya Raja. Maka bagaimana mungkin
kerajaan burung-burung tanpa penguasa.” Begitulah Attar
membuka kalimatnya dalam Bab 3 ini.
Dalam Bab ini berisi tetang dialok dan perdebatan
Hudhud sebagai pemimpin dengan para burung-burng. Adapun
nilai-nilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam Bab ini
akan penulis gambarkan sebagai berikut.
a. Musyawarah dibuka
Digambarkan bahwa segala burung di seluruh dunia
berkumpul. Mereka memikirkan tentang bagaimana hendak
mencari pemimpin. Tenjadi banyak percakapan mengenai
pencarian raja sejati. Adapun pendidika tasawuf yang
tekandung dalam bab ini adalah sebagai berikut.
1) Ajaran tentang Zuhud
Hudhud: Kukenal baik Rajaku, tetapi tak bisa
aku pergi mencarinya sendiri. Tinggalkan keengganan
44
kalian, kesombongan kalian dan keingkaran kalian,
karena siapa yang tak mementingkan hidupnya sendiri
terbebas dari ikatan dirinya sendiri; ia terbebas dari
ikatan baik dan buruk demi yang dicintainya (Attar,
2015: 16).
Hudhud: Janganlah kita menutup jiwa kita
terhadap yang kita kasihi, tetapi hendaklah kita ada
dalam keadaan yang serasi untuk menuntun jiwa kita ke
istana Raja kita itu. Cucilah tangan kalian dari
kehidupan ini bila kalian ingin disebut pengamal. Demi
yang kalian kasihi, tinggalkan kehidupan kalian yang
berharga ini, sebagai makhluk mulia. Bila kalian
menyerahkan diri dengan manis, sang kekasih pun akan
memberikan seluruh hidupnya pada kalian." (Attar,
2015: 18).
2) Kewaspadaan terhadap cinta yang berlebihan
Bulbul: “Bila aku berpisah dari mawarku
tercinta, aku pun merasa sunyi, aku tak lagi menyanyi,
dan tak kututurkan pada siapapun rahasiaku. Hanya
mawar yang mengetahuinya dengan pasti. Begitu dalam
aku terlibat dalam cinta dengan mawar hingga akupun
tak memikirkan hidupku sendiri dan hanya memikirkan
mawar. Perjalanan mendapatkan simurgh ada diluar
45
kekuasaanku, cinta dari Mawar itu cukup bagi Bulbul
ini” (Attar, 2015: 19).
3) Ajaran Tentang Surga Duniawi dan Surga Akhirat
Merak: “Namun aku selalu berharap agar ada
penunjuk jalan yang bermurah hati mau menuntun aku
keluar dari tempat yang gelap ini dan membawaku ke
rumah-rumah besar yang tinggal berdiri selamanya.
Aku tak mengharapkan akan sampai ke hadapan Raja
yang kausebutkan itu, cukuplah bagiku untuk sampai ke
gerbangnya. Bagaimana dapat kau harapkan diriku akan
berusaha untuk sampai ke hadapan Simurgh karena aku
telah tinggal di sorga dunia? Tak ada keinginanku yang
lain kecuali tinggal di sana lagi. Tiada yang lain lagi
yang berarti bagiku." (Attar, 2015: 23).
4) Orang yang menuhankan ibadahnya
Tiadalah kiranya yang pernah menyaksikan
makhluk yang lebih menarik dan lebih suci
daripadaku," katanya. "Setiap saat aku melakukan
sesuci yang menjadi kelaziman itu, lalu
membentangkan tikar sembahyang di air. Burung mana
dapat hidup dan bergerak di air seperti aku ? Dalam hal
ini aku punya kemampuan yang mengagumkan.
46
Di antara burung-burung aku petobat yang
berpenglihatan jernih, berpakaian bersih; dan aku hidup
dalam unsur yang suci. Tak ada yang lebih bermanfaat
bagiku kecuali air, karena di sana kudapat makananku
dan kumiliki permukimanku. Bila kesusahan-kesusahan
merisaukan diriku, maka kubasuh dan kuhilangkan
semuanya di air.
Air jernih memberikan zat-zatnya pada sungai di
mana aku hidup; aku tak suka akan tanah kering.
Begitulah, karena aku hanya berurusan dengan air,
mengapa pula aku harus meninggalkannya? Segala
yang hidup ini hidup dari air. Bagaimana aku akan
dapat melintasi lembah-lembah dan terbang
mendapatkan Simurgh? Mana mungkin macam aku ini
yang puas dengan permukaan air, merasa rindu untuk
bertemu dengan Simurgh ? (Attar, 2015: 24).
5) Pengemis kepadan Raja-aja (pemerintah)
Rajawali: “Aku yang senang menyertai para raja
dan tak mengacuhkan makhluk-makhluk lain. Kututup
mataku dengan peci agar aku dapat bertengger di tangan
raja. Aku amat terlatih dalam sopan-santun dan
menjalankan pertarakan seperti petobat agar bila dibawa
ke hadapan raja, aku dapat melakukan tugas-tugasku
47
dengan tepat seperti yang diharapkan. Mengapa pula
aku harus bertemu dengan Simurgh, meskipun dalam
mimpi? Mengapa begitu saja aku harus bergegas
kepadanya?
Aku tak merasa terpanggil untuk ikut serta
dalam perjalanan ini, aku puas dengan sesuap dari
tangan raja; istananya cukup bagus bagiku. Ia yang
bermain-main demi kesenangan raja, mendapatkan
segala keinginannya; dan agar berkenan di hati raja, aku
hanya harus terbang lewat lembah-lembah yang tak
bertepi. Tak ada keinginanku yang lain kecuali
melewatkan hidupku penuh kegembiraan dengan cara
begini baik dengan melayani raja maupun dengan
berburu menurut kesukaannya." (Attar, 2015: 29).
6) Kemunafikan “menyembunyikan kesombongan dan
keriya‟an di dalam kerendah hatian.”
Aku termenung bingung dan patah semangat.
Aku tak tahu bagaimana mesti hidup, dan aku rapuh
bagai rambut. Tak ada yang akan menolong diriku dan
aku tak bertenaga sekuat semut pun. Aku tak
mempunyai bulu halus maupun lar(1) -sedikit pun tidak.
Bagaimana mungkin makhluk lemah seperti aku ini
48
berusaha mendapatkan Simurgh? Burung Gereja tak
akan sanggup berbuat demikian.
Tak kurang mereka di dunia ini yang mencari
persatuan itu, tetapi bagi makhluk macam aku ini, itu
tak selayaknya. Aku tak ingin memulai perjalanan
sesusah itu untuk mencari sesuatu yang tak mungkin
kucapai. Jika aku mesti berangkat menuju ke istana
Simurgh, aku akan binasa di jalan. Maka karena aku
sama sekali tak layak untuk berusaha ke arah itu.”
(Attar, 2015: 34).
b. Tuju Maqom Dan Keadaan Para Sufi
Dalam bagian ini Attar mengambarkan bahwa orang
yang melakukan Suluk atau perjalanan Tasawuf harus
melewati tujuh lembah. Dalam dialog burung-burung
Hudhud mengatakan: “Kita harus melintasi tujuh lembah
dan hanya setelah kita melintasi lembah-lembah itu akan
menemukan Simurgh. Siapa yang telah menempuh jalan ini
tiada akan pernah kembali ke dunia, dan tak mungkin
dikatakan berapa mil jarak yang ada di muka kita.
Bersabarlah, o penakut, sebab semua mereka yang melintasi
jalan ini sama halnya dengan keadaanmu. (Attar, 2015:
121).
49
Adapun nilai pendidikan tasawuf dalam bagian ini
akan penulis kemukakan sebgai berikut:
1) Lembah pencarian
Bila kau memasuki lembah pertama, Lembah
Pencarian, seratus kesukaran akan menyergapmu; kau
akan mengalami seratus cobaan. Di sana, merak langit
tak lebih dari seekor lalat. Kau harus melewatkan
beberapa tahun di sana, kau harus melakukan upaya-
upaya besar, dan harus mengubah keadaanmu. Kau
harus meninggalkan segala yang tampak berharga
bagimu dan memandang segala milikmu sebagai tak
berarti apa-apa. Bila kau yakin bahwa kau tak memiliki
suatu apa, kau masih harus melepaskan dirimu dari
segala yang ada. Kemudian hatimu pun akan
diselamatkan dari kehancuran dan kau akan melihat
cahaya suci Keagungan Ilahi dan hasrat-hasratmu yang
sejati akan diperlipat gandakan menjadi tak terbatas.
(Attar, 2015: 121).
2) Lembah cinta (mahabbah)
“Di lembah ini, cinta dilambangkan dengan api,
dan pikiran dengan asap. Bila cinta datang, pikiran
lenyap. Pikiran tak bisa tinggal bersama kedunguan
cinta; cinta tak berurusan dengan akal pikiran insani.
50
Bila kau memiliki penglihatan batin, zarrah-zarrah dari
dunia yang kelihatan ini akan tersingkap bagimu. Tetapi
bila kau memandang segalanya dengan mata pikiran
biasa, kau tak akan pernah mengerti betapa perlunya
mencinta. Hanya dia yang telah teruji dan bebas dapat
merasakan ini. Ia yang menempuh perjalanan ini
hendaknya punya seribu hati sehingga tiap sebentar ia
dapat mengorbankan satu." (Attar, 2015: 126).
3) Lembah keinsyafan dan ke‟arifa (Ma‟rifat)
Hudhud: “Setelah lembah yang kubicarakan itu,
menyusul lembah yang lain - Lembah Keinsafan, yang
tak bermula dan tak berakhir. Tiada jalan yang sama
dengan jalan ini, dan jarak yang harus ditempuh untuk
melintasinya tak dapat diperkirakan. Keinsafan, bagi
setiap penempuh perjalanan itu, kekal sifatnya; tetapi
pengetahuan hanya sementara. Jiwa, seperti raga, ada
dalam perkembangan maju dan mundur; dan Jalan
Ruhani itu hanya menampakkan dirinya dalam tingkat
di mana si penempuh perjalanan itu telah mengatasi
kesalahan-kesalahan dan kelemahankelemahannya,
tidur dan kemalasannya dan setiap penempuh
perjalanan itu akan bertambah dekat dengan tujuannya,
masing-masing sesuai dengan usahanya. Meskipun
51
seekor lalat terbang dengan segala kemampuannya
dapatkah ia menyamai kecepatan angin? Ada berbagai
cara melintasi Lembah ini, dan semua burung tidaklah
sama terbangnya. Keinsafan dapat dicapai dengan
beragam cara-sebagian ada yang menemukannya di
Mihrab, yang lain pada arca pujaan. Bila matahari
keinsafan menerangi jalan ini, masing-masing akan
menerima cahaya sesuai dengan amal usahanya dan
mendapatkan tingkat yang telah ditetapkan baginya
dalam menginsafi kebenaran. (Attar, 2015:132-133).
4) Lembah kebebasan dan lembah kelepasan (istinghna)
Hudhud melanjutkan, “Kemudian menyusul
lembah di mana tak ada nafsu untuk memiliki atau
keinginan untuk menemukan. Dalam suasana jiwa yang
demikian, angin dingin pun bertiup, begitu hebat
sehingga dalam sejenak saja angin itu menimbulkan
kerusakan yang luas tak terhingga: ketujuh lautan tak
lebih dari sebuah lobang air, ketujuh kaukab hanya
setitik bunga api, ketujuh langit hanya sebuah bangkai,
ketujuh neraka hanya es yang hancur. Kemudian,
sesuatu yang mengherankan, tak masuk akal! Seekor
semut sama kuatnya dengan seratus gajah, dan seratus
52
kafilah tewas sementara seekor gagak sedang mengisi
temboloknya.”
Di Lembah ini tiada apa pun yang baru atau
yang lama akan berharga; kau boleh berbuat atau tidak
berbuat. Bila kaulihat seluruh dunia terbakar dan segala
hati tak lebih dari syisy kabab, itu baru impian saja
dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya. Jika
puluhan ribu jiwa harus tenggelam ke lautan yang tak
terbatas, itu akan seperti setitik embun belaka. (Attar,
2015: 136-137).
5) Lembah Keesaan Murni (Tauhid)
Hudhud melanjutkan: “Kau seterusnya harus
melintasi Lembah Keesaan. Di Lembah ini segalanya
pecah berkeping-keping dan kemudian menyatu. Segala
yang menegakkan kepala di sini menegakkan kepala
dari kerah yang satu itu juga. Meskipun kau seakan
melihat wujud yang banyak, namun pada hakikatnya
hanyalah satu. Semua merupakan esa yang sempurna
dalam keesaannya. Dan sekali lagi, yang kaulihat
sebagai keesaan tidaklah berbeda dengan yang tampak
sebagai banyak. Dan karena Wujud yang kubicarakan
itu mengatasi keesaan dan hitungan, jangan lagi
memikirkan keabadian sebagai yang dulu dan yang
53
kemudian, dan karena kedua keabadian ini telah lenyap,
jangan lagi membicarakannya. Bila segala yang tampak
menjadi tiada, apakah lagi yang tinggal untuk
direnungkan?" (Attar, 2015: 142).
6) Lembah keheranan dan Kebingungan (Al-Ittihad)
Setelah Lembah Keesaan menyusul Lembah
Keheranan dan Kebingungan, di mana kita menjadi
mangsa duka dan kesedihan. Di sana keluhan bagai
pedang, dan setiap nafas ialah keluhan pedih; di sana,
adalah duka dan ratapan, dan kerinduan yang menyala.
Siang dan malam pun serempak. Di sana, adalah api,
namun kita merasa tertekan dan tak berpengharapan.
Betapakah, dalam kebingungan ini, kita akan
meneruskan perjalanan? Tetapi bagi yang telah
mencapai keesaan, ia pun lupa akan segalanya dan lupa
akan dirinya sendiri. Jika ia ditanya, "Adakah kau, atau
tak adakah kau? Apakah kau merasa ada atau tidak?
Apakah kau ada di tengah atau di tepi? Apakah kau fana
atau kekal?" maka ia akan menjawab dengan kepastian,
"Aku tak tahu apa-apa, aku tak mengerti apa-apa. Aku
tak sadar akan diriku sendiri. Aku sedang dalam
bercinta, tetapi dengan siapa, tak tahu aku. Hatiku
54
penuh dan sekaligus juga hampa cinta." (Attar, 2015:
147).
7) Lembah Keterampasan (Faqir) dan Ketiadaan (Fana)
Hudhud melanjutkan: “Terakhir dari semua itu
menyusul Lembah Keterampasan dan Kematian, yang
hampir tak mungkin diperikan. Hakikat Lembah ini
ialah kelupaan, kebutaan, ketulian dan kebingungan;
seratus bayang-bayang yang melingkungimu
menghilang dalam sepancar sinar surya samawi. Bila
lautan kemaharayaan mulai bergelora, pola pada
permukaannya pun kehilangan bentuknya; dan pola ini
tak lain dari dunia kini dan dunia nanti.
Siapa yang menyatakan bahwa dirinya tak ada
mendapat keutamaan besar? Titik air yang menjadi
bagian dari lautan raya ini akan tetap tinggal di sana
selamanya dan dalam kedamaian. Dilaut yang tenang
ini, kita pada mulanya hanya akan mengalami kehinaan
dan keterbuangan; tetapi setelah terangkat dari keadaan
ini, kita akan memahaminya sebagai penciptaan, dan
banyak kerahasiaan akan tersingkap bagi kita. (Attar,
2015: 153).
55
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Terhadap Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf Dalam Buku
Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr)
Dalam perjalanan menuju tauhid yang sejati atau paling tidak
menemukan kehadira Allah dalam kehidupa kita ini. Seorang salik
membutuhkan seorang guru untuk membimbing perjalanannya, karena tanpa
guru perjalanan ini membutuhkan waktu yang lama.
Inti sebenarnya dari buku musyawarah burung ini terangkum dalam
bab tiga yang berjudul “Musyawarah di Buka”. Itu adalah titik awal sampai
dimulainya perjalanan burung-burung mencari raja sejati mereka yaitu
Simurgh. Adapun analisis secara keseluruhan, pada bagian ini akan penulis
gambarkan dalam dua hal yaitu: Analisis tek doa pujian dan Analisis tek
tentang rapat di buka dan Tuju Maqam (Stasion).
1. Analisis Teks Doa Pujian
Dalam teks doa pujian ini pertama-tama penulis Fariduddin Attar
memuji Allah SWT dengan segala keagungan ciptaannya. Adapun Analisi
nilai-nilai pendidikan tasawuf pada bagian ini antara lain sebagai berikut.
a. Ajaran Tauhid ( bukti kehadiran Alam Semesta sebaga ciptaan-Nya)
Pada permulaan zaman Tuhan menggunakan gunung-gunung
selaku paku pengukuh bumi dan membasuh wajah bumi dengan air lautan.
56
Kemudian Ia tempatkan bumi di atas punggung lembu jantan, dan lembu
jantan itu di atas ikan, dan ikan itu di atas udara. Tetapi di atas mana
terletak diudara? Di atas yang tiada. Tetapi yang tiada itu tiada dan
segalanya itu pun tiada.
Kalau demikian, kagumilah buah karya Tuhan, meskipun Ia sendiri
memandang segalanya itu sebagai tiada. Dan mengingat bahwa hanya
Hakikat-Nya sendirilah yang ada, maka pastilah tiada suatu pun selain
Dia. Arasy-Nya di atas perairan dan dunia ini di udara. Tetapi
tinggalkanlah perairan dan udara itu, karena segalanya Tuhan: arasy dan
dunia itu hanya azimat. Tuhan adalah segalanya, dan benda benda hanya
punya nilai dalam sebutan saja; dunia yang terlihat dan tak terlihat hanya
Dia Sendiri jua.
Tiada siapa pun kecuali Dia. Tetapi juga, tak seorang pun dapat
melihat Dia. Mata ini buta, meskipun dunia diterangi dengan matahari
cemerlang. Andaikan kau dapat melihat Dia sekejap saja pun, kau akan
kehilangan akal, dan bila kau dapat melihat Dia sepenuhnya, kau akan
kehilangan dirimu sendiri (Attar, 2015: 4-5).
Adanya lukisan adalah bukti bahwa ada Sang pelukis, begitulah
kiranya kalimat yang mampu mengambarkan tetang pencipta dan yang di
ciptakan. Segala yang selain Allah adalah mahluk, dan dengan mengenali
mahluknya maka kita dapat mengenali penciptanya. Pada dasarnya
manusia memang sudah diberi potensi dasar untuk mengenali Ayat-ayat
57
Allah, adapun Ayat-ayat Allah yaitu segala sesuatu yang ada di dalam diri
manusia dan segala sesuatau yang tersebar di alam semesta. Sedangkan
ayat Allah yang berupa tulisan disebut Al-Quran dan ditulis dalam kertas
disebut mushaf.
Alam Semesta sebagai bukti adanya Allah, Alam Semesta
diciptakan oleh Allah dan akan kembali kepada-Nya, Allah menciptakan
Alam Semesta dengan kekuasaan dan kesempurnaan, Allah menciptakan
Langit dan Bumi keduanya bertautan (bersatu), Allah menciptakan dan
menjaga Langit sebagai atap yang tidak roboh/lenyap, kejadian Langit dan
Bumi dan pergantian siang dan malam mejadi tanda kekuasaan-Nya.
Menurut sudut pandang Islam, dunia ini dicipitakan oleh Allah dan
dipelihara oleh-Nya serta akan kembali kepadan-Nya. Dunia diciptakan
oleh Allah sebagai bukti bahwa Allahlah yang menciptakannya. Seluruh
ciptaan Allah yang ada di jagat raya ini semuanya mempunyai awal dan
akhirnya. Dalam Al-Quran Allah memberi gambaran tentang penciptaan
Langit dan Bumi dalam Al-Bqarah, 117 yang berbunyi:
فيكىن كه نه يمىل فإومب أمسا لضى وإذا وانؤزض انسمبوات بديع
Artinya: Allah pencipta langit dan Bumi, dan bila dia berkehendak (untuk
menciptakan) sesuatu, maka (cukup) Dia hanya mengatakan kepadanya:
“Jadilah” lalu jadilah ia. (Al-Baqarah, 117).
58
Dalam banyak ayat Al-Quran. Allah bersumpah atas nama ciptaan-
Nya, seperti matahari, bulan, berbagai jenis buah-buahan, dan banyak ayat
Al-Quran yang menyuruh manusia agar memperhatikan kebijaksanaan
yang luar biasa yang terdapat dalam ciptaan-Nya. Dengan cara yang
serupa, islam memperuntukkan dirinya bagi alam primordial manusia
yang ada dalam pencaran pesan kosmis yang tertulis di atas dedaunan,
gunung-gunung dan bintang-bintang. Itulah sebabnya baik ayat-ayat Al-
Quran menyebut kedua ayat ini yang dalam jiwa manusia maupun dalam
ciptaan-Nya yang lain sebagai tanda-tanda atau isyarat Allah SWT
sebagaimana disebutkan:
يكف أونم انحك أوه نهم يتبيه حتى أوفسهم وفي انآفبق في آيبتىب سىسيهم
شهيد شيء كم عهى أوه بكبس
Artinya: kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga
jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup
bahwa sesungguhnya TuhanMu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Al-
Fushilat 53). (Maslihah 2009: 81-82).
b. Penyatuan Ruh (jiwa) dengan Raga (jasad)
Dalam Kosep penyatuan jasad dan Ruh Attar mengatakan. “Ketika
jiwa disatukan dengan raga, maka ia pun merupakan bagian dari
keseluruhan itu: belum pernah ada pesona yang mengagumkan seperti itu.
59
Jiwa punya peranan dalam apa yang tinggi, dan raga punya peranan dalam
apa yang rendah; terbentuklah paduan antara tanah liat yang pekat dan ruh
yang murni. Karena paduan ini, maka insan pun menjadi yang paling
mengagumkan dari segala rahasia. Kita tak tahu dan tak mengerti sedikit
pun tentang ruh kita. Jika kau ingin mengatakan sesuatu tentang ini, lebih
baik kau diam. Banyak yang tahu akan permukaan lautan ini, tetapi
mereka tak mengerti sedikit pun akan dasarnya yang terdalam dan dunia
lahiriah ini ialah pesona yang melindunginya.”
Tetapi pesona yang berupa rintangan-rintangan jasmani ini
akhirnya akan rusak. Dan akan kau temukan harta itu bila pesona itu
lenyap; jiwa pun akan menyingkapkan dirinya sendiri bila raga tersingkir.
Tetapi jiwamu ialah suatu pesona yang lain; dalam hal yang berhubungan
dengan rahasia ini, jiwa itu suatu kenyataan yang lain. Maka tempuhlah
jalan yang akan kutunjukkan, tetapi janganlah minta penjelasan (Attar,
2015: 7-8).
Kau sufi sefaham seluruhnya, termasuk Rumi, bahwa sanya Ruh
Insani ini datang dari alam lain ke dunia ini dan terkurung dalam badan
jasmani di dunia. dia laksana penjara di sini. Senantiasa nyawa yang
terpenjara itu ingin hendak kembali ketempat asalnya. (Hamka 1986: 190).
Dari keterangan di atas dapat kita tairk garis pemahaman bahwa
Ruhani dan Jasad memang sesuatu yang berbeda, jasad terbuat dari materi
sedangkan Ruh berasal dari Alam ketuhana ketika seorang hamba ingin
60
menemui Tuannya maka dia harus mensucikan dirinya atau ruhaninya.
Konsep penyatuan antara Jiwa dan Ruh juga di kemukakan oleh Syekh
Abd Qadir Jilani dalam bukunya yang berbunyi sebagai berikut.
“Manusia dapat dilihat dari dua sudut pandang: dalam
perwujudan jasad dan bentuk ruh. Dalam perwujudan jasad segala sesuatu
lebih kurang sama. Karena itu dalam pemahaman ini,orang bisa
menerapkan hukum-hukum umum ke manusia. Dalam bentuk ruh, dibalik
perwujutannya yang tersembunyi, setiap orang berbeda-beda. Karena itu,
hukum-hukum khusus dapat berlaku padanya.” (Al- Jilani, 2006: 13).
c. Perjuangan perjalanan rohani para Nabi dalam bertauhid
Lihat apa yang terjadi pada Adam; ingat berapa tahun yang ia
lewatkan dalam berduka. Renungkan air bah di masa Nuh dan sekalian
kepala suku itu, yang menderita dalam cengkeraman orang-orang yang
jahat. Pikirkan Ibrahim yang penuh cinta pada Tuhan: ia menderita
penganiayaan dan dilemparkan ke dalam api. Ingat Ismail malang, yang
dikorbankan demi cinta ilahiat. Tengok Yakub yang menjadi buta lantaran
meratapi putranya. Lihat Yusuf, yang mengagumkan baik ketika berkuasa
maupun ketika menghamba, ketika dalam sumur dan dalam penjara.
Kenangkan Ayub yang papa, yang menggeliat di tanah menjadi mangsa
cacing dan serigala. Ingat Yunus, setelah tersesat dari Jalan itu,
meninggalkan bulan ke perut ikan. Lihat Sulaiman, yang kerajaannya
dikuasai jin. Ingat Zakaria, begitu menyala-nyala cintanya pada Tuhan
61
sehingga ia tetap diam ketika orang-orang membunuhnya; dan Yahya,
yang dihinakan di muka orang banyak, dan kepalanya diletakkan di atas
lempengan kayu. Tegak berdirilah di kaki tiang Salib mengagumi Isa
ketika ia menyelamatkan dirinya dari tangan-tangan orang Yahudi. Dan
akhirnya, renungkanlah segala yang di derita oleh Pemimpin sekalian nabi
itu, berupa penghinaan dan penganiayaan dari orang-orang yang jahat.
(Attar, 2015: 8-9).
Kehidupan di dunia adalah perjuangan (Jihad). Sedangkan
perjuangan setiap manusia berbeda-beda tergantung letak maqam dan
kepekaannya terhadap firman Allah. Ada yang baru pada tahap mencari
kebenaran, ada yang baru tahap menyukai sesuatu yang bersifat materi,
kebesaran, popularitas, harta benda, ada juga yang sudah sampai pada
kesadaran tentang asal usul dirinya, tujuan akan kemanakah dirinya dan
tugasnya selama masih hidup di dunia. Dari berbagai titik keordinat
kesadaran manusia tersebut sebenarnya jika ingin memperoleh
kebahagiaan yang sejati mau tidak mau manusia harus melakukan
pencarian-pencarian dan perjuangan yang sifatnya lebih hakikat atau
substansi dari kehidupan ini. Karena kebahagiaan yang hakiki menag
sudah di set up oleh Allah pada perjumpaan akhir di akhirat nanti.
Hikmah tentang perjuangan Ruhani bisa kita mengambil dari
cerita-cerita dalam Al-Quran tentang perjuangan para Nabi-Nabi
terdahulu. Seperti Nabi Nuh dengan kesabaran dan ketabahan dalm
62
menghadapi umatnya, Nabi Ibrahim dengan pencariaan Tauhidnya dan
lain-lain. Tidak ada Nabi yang hidup dengan bahagia jika kita melihat dari
sudut pandang Materi, tetapi jika kita melihat dari sudut pandang batiniah
mereka mendapat ketenangan batin yang luarbiasa karena hidup mereka di
jamin oleh Allah, mereka juga mendapatkan kedudukan di sisi Allah
sebangai kekasihnya.
2. Analisi Bab II Burung Burung Berkumpul
Dalam analisis Bab dua ini di gambarkan suatu kelompok Burung-
burung yang berkumpul untuk tujuan yang sama. Dalam bab ini sebenarnya
Attar ingin mengambarkan suatu organisasi Tariqat, dan di dalam bab ini juga
di jelaskan tentang pengambaran sosok Hudhud sebagai pemimpin atau
mursid tariqat itu. Attar menuliskan dalam syairnya yang berbunyi.
Selamat datang, O Hudhud! Kau yang menjadi penunjuk jalan Raja
Sulaiman dan menjadi utusan sejati dari lembah, yang beruntung dapat pergi
hingga ke batas-batas Kerajaan Saba. Tutur siulmu dengan Sulaiman
menyenangkan; sebagai kawan baginya, kau pun mendapat mahkota
kehormatan. Kau harus membelenggu setan, si penggoda itu, dan sesudah
demikian, kau akan dapat masuk ke istana Sulaiman. (Attar, 2015: 11).
Adapun penjelasan mengenai Thariqat Hamka dalam bukunya
Tasawuf perkembangan dan pemurniannya menyatakan bahwa pertumbuhan
Thariqat-Thariqat atau suluk tidak berkurang. Thariqat ialah laksana pesantren
63
kita sekarang ini. Di suatu tempat tertentu duduklah murid menghadap
gurunya.
Guru itu di beri gelar Syaikh. Selain mempelajari syariat agama, yang
di pentingkan sangat di dalamnya ialah dengan perantara guru mempelajari
wirid tertentu di dalam menuju jalan Tuhan (Suluk). Thariqat-thariqat itu
berdiri sendiri, di bawah pimpinan seorang syaikh. Yang sangat terkenal ialah
thariqat “Qadiriyah” yang didirikan oleh Sayid Abdul Kadir Jailani di negeri
bagdad. (Hamka 1984: 166).
Dari penjelasan di atas telah jelas bahwa thaariqat-thariqat adalah
sebuah lembaga bagi orang-orang yang mengerjakan suluk. Sedang tugas sang
guru (Mursid) dalam hal ini adalah mengawasi setiap saat dalam pertumbuhan
rohani muridnya, ia mengawasinya khusus dalam masa meditasi.
Di bawah pimpinan guru terpercaya, murid dapat mengharapkan
kemajuan tingkatan dalam tariqat. Guru memberi petunjuk tentang kelakuan
yang tepat dalam setiap keadaan jiwa dan memerintahkan masa-masa khalwat,
bila di pandangnya perlu. (Schimmel, 1986: 107).
3. Analisi Bab III Musyawarah Burung
Segala burung-burung di dunia, yang dikenal dan tak dikenal, dating
berkumpul. Mereka berkata, “Tiada negeri di dunia ini yang tak punya Raja.
Maka bagaimana mungkin kerajaan burung-burung tanpa penguasa.”
Begitulah Attar membuka kalimatnya dalam Bab 3 ini.
64
Dalam Bab ini berisi tetang dialok dan perdebatan Hudhud sebagai
pemimpin dengan para burung-burng. Adapun Analisi nilai-nilai pendidikan
tasawuf yang terkandung dalam Bab ini akan penulis gambarkan sebagai
berikut.
a. Musyawarah di Buka
Dalam bagian ini di ceritakan bahwa segal burung-burung di
dunia, yang di kenal dan tak dikenal, datang berkumpul. Mereka mulai
memikirkan bagaimana hendak mencari pemimpin. Burung Hudhud,
dengan bersemangat tampil kemuka, menempatkan diri di tengah majelis
burung-burung itu. Di dadanya terdapat perhiasan yang melambangkan
bahwa ia telah mengikuti tarekat pengetahuan ruhani. Dan dalam keadaan
itu pula terjadi diskusi dan perdebatan antara Hudhud dengan burung-
burung yang lain tentang Perjalanan menuju Raja sejati dan Hambatan-
hambatannya. Adapun analisis nilai pendidikan tasawuf dalam bagian ini
adalah sebagai berikut.
1) Ajaran tentang Zuhud
Zuhud adalah salah satu pintu awal untuk memasuki dunia
tasawuf atau pengembaraan rohani karena jiwa yang masih terikat oleh
dunia materi dan kesenangan duniawi tidak akan mampu menembus
misteri ruhani. Dalam buku ini Hudhud mengatakan sebagai berikut.
Hudhud: Kukenal baik Rajaku, tetapi tak bisa aku pergi
mencarinya sendiri. Tinggalkan keengganan kalian, kesombongan
65
kalian dan keingkaran kalian, karena siapa yang tak mementingkan
hidupnya sendiri terbebas dari ikatan dirinya sendiri; ia terbebas dari
ikatan baik dan buruk demi yang dicintainya (Attar, 2015: 16).
Hudhud: Janganlah kita menutup jiwa kita terhadap yang kita
kasihi, tetapi hendaklah kita ada dalam keadaan yang serasi untuk
menuntun jiwa kita ke istana Raja kita itu. Cucilah tangan kalian dari
kehidupan ini bila kalian ingin disebut pengamal. Demi yang kalian
kasihi, tinggalkan kehidupan kalian yang berharga ini, sebagai
makhluk mulia. Bila kalian menyerahkan diri dengan manis, sang
kekasih pun akan memberikan seluruh hidupnya pada kalian." (Attar,
2015: 18).
Ajaran zuhud juga di kemukakan oleh Harun Nasution dalam
bukunya bahwa Zuhud adalah station yang terpenting bagi seorang
calon sufi. Zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup
kematerian. sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu
menjadi zahid, yang dalam istilah Inggris disebut ascetic. Sesudah
menjadi zahid barulah ia bisa meningkat menjadi sufi. Dengan
demikian tiap sufi adalah Zahid, tetapi sebaliknya bukanlah tiap zahid
merupakan sufi (Nasutio 1973: 64).
Akan tetapi dalam wacana yang lain para sufi tidak
menekankan pada zuhud tetapi lebih pada Hirs, atau “Keserakahan”,
dalam buku dimensi mistis dalam islam dikemukakan bahwa “Dalam
66
tulisan-tulisan sufi di zaman kemudian yang ditekankan bukanlah
zuhud, melainkan kebalikannya Hirs, atau keserakahan, suatu sifat
yang bertentangan dengan tindakan meninggalkan dunia serta
kemiskinan sejati. Sejarah menunjukan bahwa sifat ini tidak hanya
terdapat pada para pemimpin dunia, tetapi juga pada mereka yang
mengaku telah mencapai tingkat rohaniah yang tertinggi dan
menggunakan zuhud lahiriah untuk menutupi keserakahan batin
mereka. Banyak syair persi yang memperolok-olok zahid-zahir, yaitu
petapa yang masih memuja benda-benda lahir, artinya belum mencapai
sepi ing pamrih yang tulus serta kepasrahan penuh cinta kasih.
(Schimmei di terjemahkan oleh Darmono 1986: 115).
Dari kedua sudut pandang diatas dapat kita tarik kesimpulah
bahwa zuhud adalah bukan soal meninggalkan dunia atau menjauhi
Kemaksiatan, hidup dengan kekayaan atau kemiskinan tetapi tentang
penahlukan diri dan jiwa dari keserakahan dan ketertarikan kepada
dunia. Meskipun pada experiment awalnya para salik melakukan
Riyaadoh semacam latihan olah jiwa dan mental meniadakan yang
mapan. Seperti seorang yang memakai pakaian seperti glandangan,
asalkan jangan di jadikan tren atau mode bahwa seorang sufi harus
berpakaian dari karung atau bulu domba. Inti kesadaran dari zuhud
adalah kewaspadaan terhadap tipu daya Dunia.
67
2) Kewaspadaan Terhadap Cinta Yang Berlebihan
Cinta adalah anugrah dari yang maha kuasa, keindahan yang
tak mungkin dapat di tolak kedatangannya dan tak mungkin dapat
dicegah kepergiannya. Cinta adalah sesuatu yang hakiki. Tetapi
seberapakah kita meneguk anggur cinta di dunia ini hendaknya kita tau
ukuran-ukurannya, cinta yang tidak didasari oleh sang pencipta akan
cepat hilang dan pudar, karena cinta yang tidak berdasar pada sesuatu
yang kekal akan hilang seiring berjalannya waktu. Sebab akibat yang
jelas dari pola sunatullah atau hukum alam, sesuatu yang disandarkan
pada sesuatu yang tidak kekal akan hilang seiring keruntuhan
sandarannya. Begitulah nasehad hud-hud kepada Burung Bulbul yang
tengah terngelam oleh cinta dari mawar jelita mempesona.
Bulbul: “Bila aku berpisah dari mawarku tercinta, aku pun
merasa sunyi, aku tak lagi menyanyi, dan tak kututurkan pada
siapapun rahasiaku. Hanya mawar yang mengetahuinya dengan pasti.
Begitu dalam aku terlibat dalam cinta dengan mawar hingga akupun
tak memikirkan hidupku sendiri dan hanya memikirkan mawar.
Perjalanan mendapatkan simurgh ada diluar kekuasaanku, cinta dari
Mawar itu cukup bagi Bulbul ini” (Attar, 2015: 19).
Wanita sebagai penampakan Ilahi yang hampir layak sebagai
kontemplasi suci. Rumi menyatakan bahwa bentuk fisik sangatlah
penting, tidak ada yang bisa dilakukan tanpa kerja sama bentuk dan
68
esensi. Namun banyak diantara kamu menanam benih yang di kupas
kulitnya, sehingga tidak akan bisa tumbuh. Tanamlah benih itu dengan
kulitnya maka ia akan tumbuh menjadi pohon yang besar. Dari sudut
pandang ini bentuk zahir adalah fundamental dan penting bagi realisasi
tujuan Ilahi. Dalam keagungannya pada wanita Rumi menyatakan
dalam syairnya: Ia (wanita) yang dengan kecantikann wajahnya lelaki
diperbudak, bagaimana jadinya jika ia (wanita) mulai memainkan
peran sebagai budak yang tunduk? Ia (wanita) yang kepadanya
kesombongan hatimu tergetar, bagaimana kamu akan bersikap ketika
ia (wanita) luruh berurai air mata di hadapanmu? Oleh karena Ia
(Tuhan) menciptakannya (Wanita) supaya Adam menemukan
kedamaian padanya, bagaimana Adam bisa dipisahkan dari Hawa?
(Lewishon, 2003:425).
Cinta memang sesuatu yang hakiki tetapi dalam meneguk
Anggur Cinta hendaknya kita tau apa dan seberapakah ukuran dari
cawing itu. Ukuran-ukuran dalam kehidupan itulah yang disebut
dengan ilmu dan pengetahuan, karena cinta tanpa ilmu dia menjadi
naif dan ilmu tanpa cinta dia menjadi kering. Begitulah sekiranya
dalma perjalana rohani kedua sayap cinta dan ilmu pengetahuan kita
pakai untuk mengarumi hidup ini.
Cinta kepada sesuatu yang tidak hakiki maka akan hilang
seiring dengan hilangnya sesuatu yang dicintai. Itulah sebabnya para
69
sufi mengajarkan untuk tidak “Hubbu Dunya” cinta kepada dunia,
karena cinta dan terika kepada sesuatu yang tidak abadi dan hakiki
hanya akan menyesal pada akhirnya.
Attar memberikan nasehat dalam dialok para burung-burng
yang berbunyi: “kau yang tak mau ikut, silau karena bentuk lahiriah
dari segala ini, berhentilah menikmati keterikatan yang begitu
menyesatkan. Cinta Mawar itu banyak durinya; ia mengusik dan
menguasai dirimu. Meskipun Mawar itu jelita, namun keindahannya
akan segera lenyap. Siapa yang mencari kesempurnaan diri janganlah
menjadi budak cinta yang begitu cepat berlalu. Jika senyum Mawar itu
menimbulkan berahimu, maka itu hanya akan mengisi hari demi
harimu dan malam demi malammu dengan ratapan-ratapan kesedihan.
Tinggalkan Mawar itu dan hendaknya kau malu pada dirimu sendiri;
sebab, bersama tiap Musim Semi yang baru, ia menertawakanmu dan
kemudian ia pun tak tersenyum lagi." (Attar, 2015: 20).
3) Ajaran Tentang Surga Duniawi dan Surga Akhirat
Merak: “Aku selalu berharap agar ada penunjuk jalan yang
bermurah hati mau menuntun aku keluar dari tempat yang gelap ini
dan membawaku ke rumah-rumah besar yang tinggal berdiri
selamanya. Aku tak mengharapkan akan sampai ke hadapan Raja yang
kausebutkan itu, cukuplah bagiku untuk sampai ke gerbangnya.
Bagaimana dapat kau harapkan diriku akan berusaha untuk sampai ke
70
hadapan Simurgh karena aku telah tinggal di sorga dunia? Tak ada
keinginanku yang lain kecuali tinggal di sana lagi. Tiada yang lain lagi
yang berarti bagiku.”
Hudhud: “Kau tersesat dari Jalan yang benar. Istana Raja itu
jauh lebih bagus dari sorgamu. Tak ada yang lebih baik bagimu selain
berusaha untuk sampai ke sana. Istana itu tempat tinggal bagi jiwa, ia
keabadian, ia tujuan keinginan kita yang sebenarnya, permukiman hati,
tempat duduk kebenaran. Yang Maha Luhur itu lautan maha raya;
sorga rahmat duniawi hanyalah setitik kecil; segala yang bukan lautan
itu hanya sesuatu yang membingungkan. Bila kau dapat memiliki
lautan itu, mengapa kau ingin mencari setitik embun petang? Akankah
ia yang tahu akan rahasia surya iseng bermain dengan sejemput debu?
Adakah ia yang mempunyai segalanya berurusan dengan apa yang
hanya merupakan sebagian saja? Adakah jiwa berurusan dengan
anggota-anggota badan? Bila kau ingin sempurna, carilah
kesemestaan, pilihlah kesemestaan, jadilah kesemestaan.” (Attar,
2015: 23).
Cerita hudhud tentang Adam “Ketika Adam, yang termulia
dari segala makhluk, masuk sorga, didengarnya suara yang bergema
dari dunia yang tak tampak, 'O kau yang terikat pada sorga duniawi
dengan seratus ikatan, ketahuilah bahwa siapa pun di kedua dunia itu
dikenal karena apa yang terjadi antara dia dengan Aku, Kupisahkan
71
dari segala yang ada, agar ia hanya terikat padaKu saja, kawannya
sejati. “Bagi seorang pencinta, seratus ribu kehidupan pun tiada
artinya tanpa yang dikasihinya. Ia yang hidup untuk sesuatu yang lain
dari Dia, biar Adam sendirilah itu, telah terusir. Para penghuni sorga
tahu bahwa yang pertama mesti mereka serahkan ialah hati mereka.”
(Attar, 2015: 24).
Dunia memang bukanlah sesuatu yang harus dijauhi atau di
benci, tetapi ketika seluruh pikira dan jiwa terfokus dan terikat oleh
dunia tentu itu akan melenakan dan membuat kita lupa akan tujuan
hidup kita. Sedak zaman dahulu telah banyak filsafat-filsafat tentang
kehidupan yang menyatak bahwa kehidupan di dunia hanyalah
sementara.
Begitulah siklus waktu berjalan begitu cepat, Bayi lahir, Anak-
anak, Remaja, Dewasa, Tuwa dan Mati. Tetapi selama ini dalam
hidup, kita tetap merasa tidak pernah ada perubahan dalam suasana
jiwa kita. Itu adalah sesuatu bukti bahwa hakikat manusia atau diri kita
yang sejati ada didalam lubuk hati terdalam kita. Jangan takut menjadi
tuwa tetapi takutlah untuk tidak menjadi dewasa. Saya kira itu adalah
kalimat yang tepat untuk menyatakan jati diri manusia yang
sebenarnya.
Badan kita tidak abadi karena dia akan menua dan ketika kita
mati badan akan kembali menyatu dengan tanah, begitu juga dengan
72
waktu kehidupan kita di dunia, serta segala kebesaran dan keagunggan
yang akan segera kita tinggalkan. Saya kira itulah sebabnya para sufi
mengingatkan tentang taman hidup keabadian yaitu Akhirat.
4) Orang yang menuhankan ibadahnya
Bahaya kesombongan tidak hanya di lakukan oleh orang-orang
biasa tetapi kesombongan juga bisa di lakukan oleh orang-orang yang
sudah merasa dirinya Alim dan rajin beribadah kepada Allah SWT.
Begitulah kiranya nasihat yang akan di berika oleh Attar dalam
kalimatnya sebagai berikut.
Tiadalah kiranya yang pernah menyaksikan makhluk yang
lebih menarik dan lebih suci daripadaku," katanya. "Setiap saat aku
melakukan sesuci yang menjadi kelaziman itu, lalu membentangkan
tikar sembahyang di air. Burung mana dapat hidup dan bergerak di air
seperti aku? Dalam hal ini aku punya kemampuan yang
mengagumkan. Di antara burung-burung aku petobat yang
berpenglihatan jernih, berpakaian bersih; dan aku hidup dalam unsur
yang suci. Tak ada yang lebih bermanfaat bagiku kecuali air, karena di
sana kudapat makananku dan kumiliki permukimanku. Bila
kesusahan-kesusahan merisaukan diriku, kubasuhhilangkan semuanya
di air.
Air jernih memberikan zat-zatnya pada sungai di mana aku
hidup; aku tak suka akan tanah kering. Begitulah, karena aku hanya
73
berurusan dengan air, mengapa pula aku harus meninggalkannya?
Segala yang hidup ini hidup dari air. Bagaimana aku akan dapat
melintasi lembah-lembah dan terbang mendapatkan Simurgh? Mana
mungkin macam aku ini yang puas dengan permukaan air, merasa
rindu untuk bertemu dengan Simurgh?" (Attar, 2015: 24).
Dari penjelasan diatas bisa kita tarik pemahaman tentang
kesombongan dan lupa akan hakikat sebenarnya dari ibadah. Dalam
melakukan segala hal kita memang harus mengenali dulu asal usul dan
letak kordinat penempatan segala sesuatunya. Ketika segala sesuatu
yang di syariatkan oleh Allah kepada umat islam di anggap sebagai
tujuan maka ketika itulah banyak orang sibuk beribadah tetapi lupa
bertuhan, ibadah sudah tidak dijadikan sara atau wasilah untuk
mendekat kepada Tuhan tetapi ibadah di jadikan sebagai tujuan untuk
mencari keuntungan duniawi. Akhirnya setiap orang akan melakukan
segala sesuatu untuk keuntungan pribadi. Shalat Dhuha agar mendapat
uang yang banyak, bersedekah agar mendapat kembalian tigaratus
kalilipat, dan lain-lain.
Maka dari pada itu hendaknya kita harus kembali menegaskan
kedalam diri kita baik secara prisip maupn secara ilmu bahwa segala
yang kita lakukan di dalam kehidupan ini hanyalah untuk bertauhid
kepada Allah SWT.
74
5) Mengemis kepadan Raja-aja (Pemerintah)
Seorang Ulama atau para intelektual yang mengemis jabatan
kekuasaan dan harta kepada raja memang sudah terjadi seja dulu. Dan
untuk para ulama yang mengabdi kepada pemerintah para ulama
zaman dahulu sudah memberi istilah dengan ulama suk (ulama yang
buruk). Dalam hal ini Attar menuliskan:
Rajawali: “Aku yang senang menyertai para raja tak
mengacuhkan makhluk-makhluk lain. Kututup mataku dengan peci
agar aku dapat bertengger di tangan raja. Aku amat terlatih dalam
sopan-santun dan menjalankan pertarakan seperti petobat agar bila
dibawa ke hadapan raja, aku dapat melakukan tugas-tugasku dengan
tepat seperti yang diharapkan. Mengapa pula aku harus bertemu
dengan Simurgh, meskipun dalam mimpi? Mengapa begitu saja aku
harus bergegas kepadanya?
Aku tak merasa terpanggil untuk ikut serta dalam perjalanan
ini, aku puas dengan sesuap dari tangan raja; istananya cukup bagus
bagiku. Ia yang bermain-main demi kesenangan raja, mendapatkan
segala keinginannya; dan agar berkenan di hati raja, aku hanya harus
terbang lewat lembah-lembah yang tak bertepi. Tak ada keinginanku
yang lain kecuali melewatkan hidupku penuh kegembiraan dengan
cara begini baik dengan melayani raja maupun dengan berburu
menurut kesukaannya." (Attar, 2015: 29).
75
Fakta tentang kerjasama para peguasa dan tokoh masayarakat
yang bekerjasama untuk tetap melanggengkan kekuasaannya sudah
terjadi seja zaman pemerintahan ke khalifahan Islam, dimana banyak
fatwa-fatwa ulama di pergunakan untuk kepentingan raja agar rakyat
tidak melakukan pemberontakan, juga dengan berbagai argument
bahwa pemimpin adalah wakil Tuhan di bumi yang harus di taati. Dari
sekian perputaran sejarah manusia Attar sudah memberi gambaran
tetang godaan yang melenakan sehingga membuat manusia lupa akan
tujuannya di dunia adalah kekuasaan atau jabatan dan harta beda.
6) Kemunafikan “Menyembunyikan Kesombongan Dan Keriya‟an
Didalam Kerendah Hatian”
Aku termenung bingung dan patah semangat. Aku tak tahu
bagaimana mesti hidup, dan aku rapuh bagai rambut. Tak ada yang
akan menolong diriku dan aku tak bertenaga sekuat semut pun. Aku
tak mempunyai bulu halus maupun lar sedikit pun tidak. Bagaimana
mungkin makhluk lemah seperti aku ini berusaha mendapatkan
Simurgh? Burung Gereja tak akan sanggup berbuat demikian.
Tak kurang mereka di dunia ini yang mencari persatuan itu,
tetapi bagi makhluk macam aku ini, itu tak selayaknya. Aku tak ingin
memulai perjalanan sesusah itu untuk mencari sesuatu yang tak
mungkin kucapai. Jika aku mesti berangkat menuju ke istana Simurgh,
76
aku akan binasa di jalan. Maka karena aku sama sekali tak layak untuk
berusaha ke arah itu.
Hudhud, “O kau, yang dalam kehilangan harapan kadang
bersedih dan kadang gembira, aku tak akan terkecoh oleh alasan yang
dibuat-buat ini. Kau sedikit munafik. Juga dalam kerendahan hatimu
kau memperlihatkan seratus tanda keriyaan dan kesombongan. Tak
usah bicara lagi, jahit bibirmu dan langkahkan kaki. Jika kau terbakar,
kau akan terbakar bersama yang lain-lain. Dan jangan bandingkan
dirimu dengan Yusuf!” (Attar, 2015: 34).
Munafik adalah sifat ganda yang sangat sukar kita
mengindikasinya. Karena Rasulullah sendiri juga hampir tertipu oleh
orang munafik. Sifat munafik adalah sifat perang ganda yang bisa
bersembunyi di balik bayang-bayang kerendahatian. Dalam dialog
burung-burung diatas Attar mengambarkan bagaimana burng gereja
mengatakan dengan penuh kerendahtian kepada Hudhud dan
menunjukan kelemahan dan kekurangannya di banding dengan
burung-burung yang lain, tetapi pada akhinnya hanya di jadikan alasan
untuk tidak ikut dalam pengembaraannya menuju Simurgah (Raja para
burung). Dari beberap uraian diatas bisa kita simpulkan bahwa dalam
hidup ini ada Ribuan alasan untuk tetap melakukan keburukan tetapi
tidak perlu ada alasan untuk melakukan sebuah kebain, Karen
kebaikan akan tetap berdiri sebagai kebaikan tanpa sebuah alasan.
77
b. Tuju Maqam dan Keadaan Para Sufi
Dalam bagian ini Attar mengambarkan bahwa orang yang
melakukan Suluk atau perjalanan Tasawuf harus melewati tujuh lembah.
Dalam dialog burung-burung Hudhud mengatakan: “Kita harus melintasi
tujuh lembah dan hanya setelah kita melintasi lembah-lembah itu akan
menemukan Simurgh. Siapa yang telah menempuh jalan ini tiada akan
pernah kembali ke dunia, dan tak mungkin dikatakan berapa mil jarak
yang ada di muka kita. Bersabarlah, o penakut, sebab semua mereka yang
melintasi jalan ini sama halnya dengan keadaanmu.
Lembah pertama ialah Lembah Pencarian, yang kedua Lembah
Cinta, yang ketiga Lembah Keinsafan, yang keempat Lembah Kebebasan
dan Kelepasan, yang kelima Lembah Keesaan Murni, yang keenam
Lembah Keheranan, dan yang ketujuh Lembah Kemiskinan dan
Ketiadaan, lebih dari itu tiada yang dapat pergi lebih jauh lagi. (Attar,
2015: 121).
Tuju maqam di atas sejalan dengan yang di kemukakan oleh Harun
Nasution dalam buku Filsafat dan Mistisisme dalam islam yang
mengatakan bahwa: “Untuk berada dekat pada Tuhan, seorang sufi harus
menempuh jalan panjang yang berisi Stasion-stasion, yang disebut
maqamat atau stages dan stasion dalam istilah inggris. Buku tasawuf tidak
selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang stasion-
stasion ini. Tetapi secara keseluruhan yang biasa disebut ialah: “Tobat –
78
Zuhud – Sabar – Tawakal – Kerelaan.” Di atas stasion-stasion ini masih
ada lagi yaitu: “Cinta – Ma‟rifat – Fana‟ dan Baka – persatuan.” Dan
dalam persatuan dapat mengambil bentuk Al-Hulul atau Wahdat Al-
Wujud. (Nasution 1973: 62).
Di dalam dunia tasawuf selain ada istilah Maqam (Stasion) tahap-
tahap yang harus ditempuh oleh para sufi kita juaga akan mengenal istilah
Hal. Hal adalah suatu keadaan mental atau kondisi jiwa seorang sufi yang
tidak bisa diperoleh atas usaha melainkan suatu anugrah dan rahmat dari
Allah SWT.
Dalam bukunya Harun Nasution mengemukakan tentang Hal
sebagai berikut. “Di samping istilah Mqam itu terdapat pula dalam
literature tasawuf istilah Hal. Hal merupakan keadaan mental, seperti
perasaan senang, sedih, takut dan sebagainya. Hal yang bisa disebut
adalah: “Takut – Rendah Hati – Patuh – Iklas – Rasa Berteman – Gembira
Hati – Syukur”
Hal, berlainan dengan Maqam, bukan di peroleh atas usaha
manusia, tetapi di dapat sebagai anugrah dan rahmat dari Tuhan. Dan
berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi
bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan. (Nasution 1973:
63).
Adapun analisi nilai pendidikan tasawuf dalam bagian ini akan
penulis kemukakan sebgai berikut:
79
1) Lembah Pencarian (Zuhud)
Dalam lembah pencarian ini, Attar menuliskan dalam
bukunya sebagai berikut.
Bila kau memasuki lembah pertama, Lembah Pencarian,
seratus kesukaran akan menyergapmu; kau akan mengalami seratus
cobaan. Di sana, merak langit tak lebih dari seekor lalat. Kau harus
melewatkan beberapa tahun di sana, kau harus melakukan upaya-
upaya besar, dan harus mengubah keadaanmu. Kau harus
meninggalkan segala yang tampak berharga bagimu dan memandang
segala milikmu sebagai tak berarti apa-apa. Bila kau yakin bahwa kau
tak memiliki suatu apa, kau masih harus melepaskan dirimu dari
segala yang ada. Kemudian hatimu pun akan diselamatkan dari
kehancuran dan kau akan melihat cahaya suci Keagungan Ilahiat dan
hasrat-hasratmu yang sejati akan diperlipatgandakan menjadi tak
terbatas. (Attar, 2015: 121).
Lembah pencarian atau lembah Talab. Di lembah ini banyak
kesukaran, rintangan dan godaan di jumpai oleh seorang salik
(penempuh jalan). Untuk mengatasinya seorang salik harus melakukan
berbagai ikhtiar besar dan harus mengubah diri sepenuhnya dengan
membalikkan nilai-nilai yang dia peganginya selama ini. Kecintaannya
kepada Dunia harus dia lepaskan dan tingalkan. Baru setelah itu ia
80
dapat di selamatkan dari kehancuran diri dan setelah itu dia akan dapat
menyaksikan cahaya kudus keagungan Ilahi.
Abdul Hadi dalam bukunya “Hermeneutika, Estetika dan
Religiusita” memberi tafsir tentang lembah pencarian sebagi berikut.
“Seorang yang berhasil mengatasi diri jasmani dan dunia akan
dipenuhi kerinduan kepada yang di cintai dan benar-benar
mengabdikan diri kepada kekasinya.” Kata Attar, “Apabila kau gemar
memilih di antara segala sesuatu yang datang dari Tuhan, maka kau
bukanlah penempuh jalan yang baik. Apabila kau suka memadang
dirimu sendiri dimuliakan karena memiliki intan dan emas segudang,
dan merasa di hinakn karena hanya memiliki setumpuk batu, maka
Tuhan tidak akan menyertaimu. Ingatlah, jangan kau sanjung intan dan
kau tolak batu, karena keduannya berasal dari Tuhan. Batu yang
dilempar oleh kekasih yng setia lebih baik daripada intan yang di
jatuhkan oleh seorang perempuan perusak rumah tangga.
Di lembah pencarian seseorang harus memiliki cinta dan
harapan. Dengan cinta dan harapan orang dapat bersabar. Kata Attar,
“Bersabarlah dan berusahalah terus dengan harapan memperoleh
petunjuk jalan (Hidayah). Kuasailah dirimu dan jangan biarkan
kehidupan lahiriah dan jasmaniah menawan serta menyesatkanmu.
(Hadi 2004: 149).
81
2) Lembah Cinta
Didalam lembah ke dua ini Attar mengambarkan cinta sebagai
penglihatan batin yang terang, sehingga tembus pandang, artinya dapat
menemus bentuk-bentuk formal kemudian menyikap rahasia-rahasian
terdalam dari ciptaan.
Di lembah ini, cinta dilambangkan dengan api, dan pikiran
dengan asap. Bila cinta datang, pikiran lenyap. Pikiran tak bisa tinggal
bersama kedunguan cinta; cinta tak berurusan dengan akal pikiran
insani. Bila kau memiliki penglihatan batin, zarrah-zarrah dari dunia
yang kelihatan ini akan tersingkap bagimu. Tetapi bila kau
memandang segalanya dengan mata pikiran biasa, kau tak akan pernah
mengerti betapa perlunya mencinta. Hanya dia yang telah teruji dan
bebas dapat merasakan ini. Ia yang menempuh perjalanan ini
hendaknya punya seribu hati sehingga tiap sebentar ia dapat
mengorbankan satu." (Attar, 2015: 126).
Perhentian-perhentian berikutnya di jalam mistik ialah
Mahabbah atau Cinta. Salah satu ciri cinta sejati ialah penglihatan
batin yang terang dan dengan itu ia mampu menembus bentuk zahir
segala sesuatu sehingga mencapai hakikatnya yang terdalam. Karena
dapat melihat dari arah hakikat orang yang cinta tidak memandang
segala sesuatu dengan mata pikiran biasa, melainkan dengan mata
batin. Hanya dia yang terpuji dan bebas dari dunia serta kungkungan
82
benda-benda, berpeluang memiliki penglihatan terang. Caranya ialah
dengan penyucian diri.
Iama Ghazali menulis dalam kitabnya mengenai mahabbah
atau cinta sebagai berikut.
Allah SWT berfirman:
وانهه ذوىبكم نكم ويغفس انهه يحببكم فبتبعىوي انهه تحبىن كىتم إن لم
زحيم غفىز
Artinya: katakanlah, “jika kalian (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku.” (Al-Imron 31).
Ayat ini turun ketika Nabi saw. Menajak ka‟ab ibn al-Asyraf
dan sahabat-sahabatnya masuk islam. Mereka berkata, “Kami berada
dalam kedudukan sebagai anak-anak Allah dan kami sangat mencintai
Allah.”
Lalu Allah SWT berfirman kepada Nabi-Nya: Katakan, “jika
kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (dalam agamaku)
sebab aku adalah utusan Allah yang menyampaikan risalah dalam
Hujjah-Nya kepadamu, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Kecintaan orang-orang mukmin kepada Allah adalah mereka
mematuhi perintah-Nya, mengutamakan ketaatan kepada-Nya, dan
mencari keridhaan-Nya. Sedangkan kecintaan Allah kepada orang-
83
orang mukmin adalah dia memuji mereka serta memberi pahala,
ampunan, kenikmatan, rahmat, pemeliharaan, dan taufik kepada
mereka. (Al-Ghazali, 2006: 45).
3) Lembah keinsyafan dan kearifan (Ma‟rifat)
Lembah adalah suatu keadaan diman tidak ada perbedaan
antara kondisi tejaga dan kondisi tidur, karena dalam keadaan tidur,
karena dalam kondisi tidur, ruh mampu menemukan kesempatan untuk
keluar kerumah yang sebenarnya, alam semua ruh, dan kembali
dengan membawa banyak berita. Inilah yang kita sebut dengan mimpi
sejati.
Adapun mengenai pengertian tentang lembah keinsyafa Attar
memberi gambaran sebagai berikut:
Hudhud: “Setelah lembah yang kubicarakan itu, menyusul
lembah yang lain - Lembah Keinsafan, yang tak bermula dan tak
berakhir. Tiada jalan yang sama dengan jalan ini, dan jarak yang harus
ditempuh untuk melintasinya tak dapat diperkirakan.
Keinsafan, bagi setiap penempuh perjalanan itu, kekal
sifatnya; tetapi pengetahuan hanya sementara. Jiwa, seperti raga, ada
dalam perkembangan maju dan mundur; dan Jalan Ruhani itu hanya
menampakkan dirinya dalam tingkat di mana si penempuh perjalanan
itu telah mengatasi kesalahan-kesalahan dan kelemahan-
kelemahannya, tidur dalam kemalasannya dan setiap penempuh
84
perjalanan itu akan bertambah dekat dengan tujuannya, masing-masing
sesuai dengan usahanya.
Meskipun seekor lalat terbang dengan segala kemampuannya
dapatkah ia menyamai kecepatan angin? Ada berbagai cara melintasi
Lembah ini, dan semua burung tidaklah sama terbangnya. Keinsafan
dapat dicapai dengan beragam cara-sebagian ada yang menemukannya
di Mihrab, yang lain pada arca pujaan. Bila matahari keinsafan
menerangi jalan ini, masing-masing akan menerima cahaya sesuai
dengan amal usahanya dan mendapatkan tingkat yang telah ditetapkan
baginya dalam menginsafi kebenaran.
Bila rahasia hakikat segala makhluk menyingkapkan dirinya
dengan jelas padanya, maka perapian dunia pun menjadi taman
mawar. Ia yang berusaha akan dapat melihat buah badam yang
terlindung dalam kulitnya yang keras itu.
Ia tak akan lagi sibuk memikirkan dirinya sendiri, tetapi akan
menengadah memandang wajah sahabatnya. Pada setiap zarrah ia akan
dapat melihat keseluruhan; ia akan merenungkan ribuan rahasia yang
cemerlang (Attar, 2015:132-133).
Kearifa atau ma‟rifat. Kearifan berbeda dengan pengetahuan
biasa. Pengetahuan biasa bersifat sementara, sedangkan kearifan ialah
pengetahuan yang abadi, sebab isinya ialah tetang yang abadi.
Kearifan ialah maqam yang di peroleh seseorang setelah mata batinnya
85
terbuka, dimana ia mengenal dengan pasti hakikat tunggal segala
sesuatu. Kearifan menyebabkan seseorang selalu terjaga kesadarannya
akan yang Satu, dan waspada terhadap kelemahan, kekurangan dan
keabaian dirinya.
Syekh abd Qadir Jilani mengemukakan cara atau metode dan
tahap untuk sampai pada maqam Marifat. Adapun pernyataannya
sebagai berikut:
Manusia sesuai dengan hukum-hukum umum, dengan
mengikuti sejumlah langkah dapat kembali ke asal-usulnya. Untuk
mengambil langkah seperti ini, manusia mengikuti ketentuan-
ketentuan nyata dari agama kita sebagai suatu pedoman, mengikuti
turan-aturan agama, manusia melangkah maju naik dari satu tingkat ke
tingkat yang lainnya. Manusia dapat dapat mencapai maqam jalan
spiritual melangkah menuju alam hakikat (kearifan).
Untuk mencapai tingkat ini, orang orang pertama-tama harus
meninggalkan penampakan-penampakan palsu dan kemunafikan
dalam perbuatan sedemikian rupa sehingga yang lainnya dapat melihat
atau mendengar.
Kemudian orang-orang harus menjalani tiga tahap ilmu
pengetahuan secara berturut-turut: usaha dalam mengikuti ajaran-
ajaran agama (Syari‟ah), usaha dalam mengendalikan nafsu-nafsu
yang bersarang dalam dirinya. Melawan penyebab munculnya nafsu-
86
nafsu rendahan yang ada dalam ego, agar tercapai kesatuan maqam
dan datang mendekat ke penciptanya (Tariqah) dan akhirnya, dalam
usahanya mencapai maqam marifat dengan mana manusia akan datang
mengenal Tuhannya. (Al-Jilani, 2006: 14).
4) Lembah Kebebasan dan Lembah Kelepasan (Al-Hulul)
Di lembah ini tidak adalagi nafsu memenuhi jiwa seseorang
atau keingginan mencari sesuatu yang mudah di dapat dengan ikhtiar
biasa. Karena pandangan telah tercerahkan oleh kehadiran yang abadi,
maka seseorang tidak pernah melihat ada yang baru atau ada yang
lama didunia ini. Adapun mengenai lembah ini Attar mengambarkan
sebagai berikut:
Hudhud melanjutkan, “Kemudian menyusul lembah di mana
tak ada nafsu untuk memiliki atau keinginan untuk menemukan.
Dalam suasana jiwa yang demikian, angin dingin pun bertiup, begitu
hebat sehingga dalam sejenak saja angin itu menimbulkan kerusakan
yang luas tak terhingga: ketujuh lautan tak lebih dari sebuah lobang
air, ketujuh kaukab hanya setitik bunga api, ketujuh langit hanya
sebuah bangkai, ketujuh neraka hanya es yang hancur. Kemudian,
sesuatu yang mengherankan, tak masuk akal! Seekor semut sama
kuatnya dengan seratus gajah, dan seratus kafilah tewas sementara
seekor gagak sedang mengisi temboloknya.”
87
Di Lembah ini tiada apa pun yang baru atau yang lama akan
berharga; kau boleh berbuat atau tidak berbuat. Bila kaulihat seluruh
dunia terbakar dan segala hati tak lebih dari syisy kabab, itu baru
impian saja dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya. Jika
puluhan ribu jiwa harus tenggelam ke lautan yang tak terbatas, itu
akan seperti setitik embun belaka. (Attar, 2015: 136-137).
Di dalam lembah ini mengambarkan suatu kondisi para sufi
setelah melewati maqam marifat. Ketika ruh sang sufi dapat pergi
berkelana ke tempat asalnya bertemu dengan Raja sejati wujud dari
segala wijud. Sehingga apa yang dia lihat di dunia menjadi tidak lebih
dari setitik embun di bandingkan dengan Wujud-Nya. Suatu kondisi
dimana Lautan tampak sebagai setitik air ditengah wujid-Nya yang tak
terhingga luasnya, dan dadanya selalu lapang sebab dia mengetahui
bahwa rahmad Tuhan tidak akan pernah menyusut atau berkembang.
Tujuan hidup menjadi tak berguna dan seseorang sudah merasa cukup
dengan rahmad yang dilimpahkan oleh Tuhan.
Hulul menurut Abu Nasr al-Tursi mengatakan bahwa hulul
ialah faham yang mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh
manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-
sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu di lenyapkan (Nasution
1973: 88).
88
Jadi kelepasa atau Al-Hulul adalah suatu kondisi dimana
terlepasnya sifat-sifat kemanusiaan dan berganti atau di isi dengan
sifat-sifat ketuhanan.
5) Lembah Keesaan Murni (Tauhid)
Di dalam lembah ini semuanya pecah berkeping-keping, dan
kemudian menyatu kembali. Semuanya yang tampak berlainan dan
berbeda kelihatannya berasal dari hakikat yang sama. Begitulah
kiranya Attar akan mengambarkan keadaan pada lembah keesaan
murni ini. Adapun uraiannya sebagai berikut.
Hudhud melanjutkan: “Kau seterusnya harus melintasi
Lembah Keesaan. Di Lembah ini segalanya pecah berkeping-keping
dan kemudian menyatu. Segala yang menegakkan kepala di sini
menegakkan kepala dari kerah yang satu itu juga. Meskipun kau
seakan melihat wujud yang banyak, namun pada hakikatnya hanyalah
satu. Semua merupakan esa yang sempurna dalam keesaannya. Dan
sekali lagi, yang kaulihat sebagai keesaan tidaklah berbeda dengan
yang tampak sebagai banyak. Dan karena Wujud yang kubicarakan itu
mengatasi keesaan dan hitungan, jangan lagi memikirkan keabadian
sebagai yang dulu dan yang kemudian, dan karena kedua keabadian ini
telah lenyap, jangan lagi membicarakannya. Bila segala yang tampak
menjadi tiada, apakah lagi yang tinggal untuk direnungkan?" (Attar,
2015: 142).
89
Di dalam lembah keesaan ini semua yang terlihat berbeda dan
berlainan ternyata berasal dari hakikat yang sama. Dilembah ini
seseorang menyadari bahwa hakikat wujud yang banyak itu
sebenarnya satu, maksudnya manifestasi cinta Yang Satu, yaitu
Rahman dan Rahim-Nya.
6) Lembah keheranan dan Kebingungan (Ekstase)
Seorang sufi yang telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan
melambankan bahwa dia sudah berada dalam maqam Al-Ittihad.
Dalam maqam ittihad ini Attar menggambarkan keadaan seorang sufi
sebagai berikut.
Setelah Lembah Keesaan menyusul Lembah Keheranan dan
Kebingungan, di mana kita menjadi mangsa duka dan kesedihan. Di
sana keluhan bagai pedang, dan setiap nafas ialah keluhan pedih; di
sana, adalah duka dan ratapan, dan kerinduan yang menyala. Siang dan
malam pun serempak. Di sana, adalah api, namun kita merasa tertekan
dan tak berpengharapan.
Betapakah, dalam kebingungan ini, kita akan meneruskan
perjalanan? Tetapi bagi yang telah mencapai keesaan, ia pun lupa akan
segalanya dan lupa akan dirinya sendiri. Jika ia ditanya, "Adakah kau,
atau tak adakah kau? Apakah kau merasa ada atau tidak? Apakah kau
ada di tengah atau di tepi? Apakah kau fana atau kekal?" maka ia akan
menjawab dengan kepastian, "Aku tak tahu apa-apa, aku tak mengerti
90
apa-apa. Aku tak sadar akan diriku sendiri. Aku sedang dalam
bercinta, tetapi dengan siapa, tak tahu aku. Hatiku penuh dan sekaligus
juga hampa cinta." (Attar, 2015: 147).
Di dalam keadaan ini seorang sufi menjadi terngelam dalam
kebingungan dan timbul rasa duka yang tak terkirakan. Siang berubah
jadi malam, malam berubah menjadi siang. Kemalangan tampak
sebagai keberuntungan dan keberuntungan tampak sebagai
kemalangan. Orang yang mencapai lembah Tauhid akan lupa
segalanya, kemudian tersadar bahwa dia bersama yang Satu. Ketika
orang yang ada di lembah ini ditannya, dia akan menjawab: “Aku tak
tahu apakah ini fana‟ (lenyap) atau baqa‟ (hidup kekal) dalam dia. Aku
tak tahu apa ini nyata atau tidak. Aku sedang bercinta, tetapi tidak tahu
dengan siapa.” (Hadi 2004: 157).
Dalam keadaan inilah sangsufi merasaak perasaan antara adan
dan tiada, sedang bercinta tetapi tidak tau dengan siapa. Persatuan
dalam maqam ini dalam tasawuf di sebut dengan maqam ittihad.
Al-Ittihad ialah suatu tingkatan dalam tasawuf dimana seorang
sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhannya. Dalam ittihad,
kata al-Badawi yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya
ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat
dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad bisa terjadi
pertukaran antara yang dicintai dengan yang mencintai atau secara
91
tegasnya antara sufi dan Tuhan. Sufi yang bersankutan Karena
kefanaannya telah tak mempunyai kesadaran lagi, dan berbicara
dengan nama Tuhan. (Nasution 1973: 83).
7) Lembah Keterampasan (faqir) dan Ketiadaan (fana)
Hudhud melanjutkan: “Terakhir dari semua itu menyusul
Lembah Keterampasan dan Kematian, yang hampir tak mungkin
diperikan. Hakikat Lembah ini ialah kelupaan, kebutaan, ketulian dan
kebingungan; seratus bayang-bayang yang melingkungimu
menghilang dalam sepancar sinar surya samawi. Bila lautan
kemaharayaan mulai bergelora, pola pada permukaannya pun
kehilangan bentuknya; dan pola ini tak lain dari dunia kini dan dunia
nanti.
Siapa yang menyatakan bahwa dirinya tak ada mendapat
keutamaan besar? Titik air yang menjadi bagian dari lautan raya ini
akan tetap tinggal di sana selamanya dan dalam kedamaian. Di laut
yang tenang ini, kita pada mulanya hanya akan mengalami kehinaan
dan keterbuangan; tetapi setelah terangkat dari keadaan ini, kita akan
memahaminya sebagai penciptaan, dan banyak kerahasiaan akan
tersingkap bagi kita. (Attar, 2015: 153).
Kefakiran adalah bahwa ia tidak memiliki apa-apa lagi,
semuanya sudah terhapus dari dirinya, kecuali cintanya kepada yang
92
satu. Karena jiwanya hanya terisi oleh-Nya, maka dia sanggup
mengorbankan dirinya asal di perintahkan oleh kekasihnya.
Sedangkan fana‟ ialah persatuan mistik, Manunggaling
kawulo dan Gusti atau Union-Mystical. Keadaan ini di susul dengan
baqa‟ yaitu pengalaman hidup kekal dalam Tuhan. Apabila seseorang
telah mencapai tahap ini, dia akan menemukan dirinya yang hakiki,
dirinya yang universal, dan sungguh-sungguh mengenal asal muasal
kerohaniannya. Hadis yang mengatakan, “Barang siapa mengenal
dirinya, akan mengenal Tuhannya” dapat dijelaskan melalui uraian
tersebut.
Dalam penyatuan diri yang di sebut Wahdat Al-Wujud Harun
Nasution menjelaskan dalam bukunya sebagai berikut.
Wahdat al Wujud berarti kesatuan wujud, dalam faham
wahdat al Wujud, tiap-tiap yang adan mempunyai dua aspek. Aspek
luar, merupakan „ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan,
dan aspek dalam yang merupakan jawhar and haq yang mempunyai
sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu
terdapat sifat ketuhanan atau haq dari sifat kemakhlukan atau khaliq.
Harun Nasuton dalam bukunya menyatakan: Falsafat ini
timbul dari faham bahwa Allah ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya
dan oleh karena itu di jadikan-Nya alam ini. Maka Alam ini
merupakan cermin bagi Allah. Dikala ia ingin melihat diri-Nya, ia
93
melihat kepada alam, pada benda-benda yang ada dalam alam, karena
dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan, Tuhan melihat diri-
Nya. Dari sini timbullah faham kesatuan. Yang ada dalam alam ini
kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. (Nasution 1973: 93).
B. Relevansi Nilai-Nilai Pendidikan Tasawuf Dalam Buku Musyawarah
Burung (Mantiq Al-Tayr) Dengan Konteks Sekarang
Buku Musyawarah Burung karya Fariduddin Attar ini memang tidak
membahas pendidikan tasawuf secara eksplisit. Namun dari deretan bab per
bab hampir semuanya mengilhami penulis tentang pernak pernik kehidupan
tasawuf secara implisit.
Buku yang berisi bait-bait sastra dan beberapa kumpulan hikayat,
terangkum dalam satu susunan dialog panjang perjalanan Burung-burung
untuk bertemu dengan Raja yang sejati. Buku ini secara umum membahas
tentang asal muasah kehidupan manusia, hakikat perjalanan hidup manusia,
tujuan kehidupan manusia dan jalan menuju kesempurnaan hidup. Dalam
buku ini Attar mampu menyajikan dialok sastra sufisti yang tidak hanya
mampu berbicara kepada kaum sufi tetapi juga pada orang biasa.
Lalu apa sesungguhnya relevansi pemikiran Attar dengan kondisi
sekarang? Mencermati kondisi sekarang yang serba global, dimana kebebasan
tanpa batas menjadi ideologi yang di agung-agungkan oleh banyak orang.
Bebas bicara semaunya dengan dalil kebebasan berbicara, bebas melakukan
apa saja dengan dalil demokrasi dan hak asasi manusia. Semuanya menjadi
94
serba absud karena manusia hidup di dalam kebebasan tanpa mengenal batas-
batasnya. Kebebasan bukanlah tujuan hidup melainkan kendaraan untuk
memahami batas-batas dalam hidup ini. Kebebasan yang tak mengenal batas
akan menghancurkan manusia itu sendiri.
Kita hidup pada zaman, dimana segala sesuatu diukur berdasarkan
materi, selama ini manusia tidak pernah dilihat, yang dilihat hanya Presiden,
Gubernu, Artis, Bintang Film, Pemulung, Pengemis, tukang Becak tetapi
pemulung tidak pernah dipahami bahwa dia juga manusia. Sekiranya itulah
yang membuat manusia lupa tentang hakiat siapa dirinya. Sehingga
menyebabkan manusia kering akan spiritualitas dan jauh dari Tuhan. Karena
Tuhan sendiri bukanlah sesuatu yang bisa dilihat secara kasatmata.
Bedasarkan itu semua, maka nilai pendidikan tasawuf sangatlah tepat
dan relevan untuk di aplikasikan dalam kondisi sekarang. Nilai-nilai
pendidikan tasawuf mampu membawa manusia memasuki dimensi-dimensi
spiritual dalam hidup ini.
Misalnya seperti aplikasi zuhud dalam koteks kehidupan sekarang.
zuhud bukanlah soal meninggalkan dunia dalam arti menyepi di hutan,
menjauh dari kehidupan sosial karena menghindari kemaksiatan, Tetapi zuhud
pada hakikatnya adalah tidak terikatnya hati pada dunia. Harun Nasution
dalam bukunya mengatak bahwa zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia
dan hidup kematerian. Tentang zuhud, Hasan al-Basri mengatakan: “Jauhilah
95
dunia ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan
tetapi racunnya membunuh (Nasution 1973: 64).
Jadi berdasarkan pengertian di atas, zuhud bisa kita aplikasikan
dalam kehidupan kita tanpa harung menggunakan metode-metode seperti
orang-orang pada zaman dahulu, karena inti dari kesadaran zuhud bukanlah
soal menyepi dan meninggalkan dunia, tetapi zuhud adalah selalu waspada
terhadap tipu daya dunia dan penempata diri (posisi) kita di dihadapan Tuhan
dalam segala kejadian dalam hidup kita.
Selain zuhud konsep-konsep seperti ma‟rifat dan mahabbah juga
sangat relevan dalam konteks kekinian. Kosep ma‟rifat misalnya dapat lebih
mendekatkan pengenalan diri kita kepada Allah dalam arti yang
sesungguhnya. Demikian juga dengan konsep mahabbah adalah juga sangat
relevan baik secara vertikal maupun secara horizontal ditengah kondisi
masayarakat yang serba plural.
96
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian buku Musyawarah
Burung (Mantiq Al-Tayr) dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Nilai-nilai pendidikan tasawuf dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq
Al-Tayr) berisi tentang nilai pendidikan Tauhid, ajaran tentang
kewaspadaan terhadap tipu daya dunia, hakikat penciptaan manusia,
tujuan hidup manusia, Ajaran tentang Zuhud, mahabbah, ma‟rifat
(mengenal Allah), istighna, faqir dan fana.
2. Adapun Relevansi nilai-nilai pendidikan tasawuf yang terkandung dalam
buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr) dalam konteks sekarang,
Misalnya seperti aplikasi zuhud dalam koteks kehidupan sekarang, zuhud
bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita tanpa harung menggunakan
metode-metode seperti orang-orang pada zaman dahulu, karena inti dari
kesadaran zuhud bukanlah soal menyepi dan meninggalkan dunia, tetapi
zuhud adalah selalu waspada terhadap tipu daya dunia dan penempata diri
(posisi) kita di hadapan Tuhan dalam segala kejadian dalam hidup kita.
Selain zuhud konsep-konsep seperti ma‟rifat dan mahabbah juga sangat
relevan dalam konteks kekinian. Kosep ma‟rifat misalnya dapat lebih
97
mendekatkan pengenalan diri kita kepada Allah dalam arti yang
sesungguhnya. Demikian juga dengan konsep mahabbah adalah juga
sangat relevan baik secara vertikal maupun secara horisontal ditengah
kondisi masayarakat yang serba prular.
B. SARAN
1. Segi hikmah yang terdapat dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-
Tayr) ini, penulis menyarankan agar penggalian dan penanaman ajaran
tasawuf tersebut terus dilakukan/disosialisasikan kepada masyarakat
sebagai salah satu langkah perbaikan aqidah dalam jiwa manusia untuk
menjalani kehidupan di dunia ini yang semata-mata untuk beribadah dan
menggapai ridho Allah SWT, agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
2. Penelitian selanjutnya, kajian dalam penelitian tentang nilai-nilai
pendidikan tasawuf dalam buku Musyawarah Burung (Mantiq Al-Tayr)
ini belum dikatakan sempurna, untuk itu harapan peneliti akan ada banyak
peneliti baru yang berkenan meneliti lebih luas dan komprehensif terhadap
buku tersebut.
55
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Yogyakarta: Matahari
Munib, Achmad. 2006. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT MKK UNNES
Maslikhah. 2009. Ensiklopedia Pendidikan. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Syamsuddin, Sahiron, Dkk. 2011. Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Schimmel, Annemarie. 1975. Dimensi Mistik Dalam Islam. Edisi Ke 1.
Diterjemahkan oleh: Djoko Darmono, Sapardi dan Ikram, Achadiati. 1986.
Jakarta: Pustaka Firdaus
Attar, Fariduddin. 1986. Musyawarah Burung. Edisi Ke 1. Diterjemahkan oleh:
Azizi, Rizal Qomaruddin. 2015. Yogyakarta: Tinta Surga
Nasution, Harun. 1989. Filsafat Dan Mistisme Dalam Islam. Edisi Ke 6. Jakarta:
Bulan Bintang
Lewisohn, Leonard. 1999. WARISAN SUFI Warisan Sufi Persia Abad Pertengahan.
Edisi Ke 1. Diterjemahkan oleh: Alimah, Ade dan Robani, Shobir. 2003.
Jogjakarta: Ustaka Sufi
Jilani, Abd Al-Qadir. 2006. Menyikap Tabir Rahasia Ilahi. Edisi Ke 1.
Diterjemahkan oleh: Abdullah Mudhofir. Yogyakarta: Suluh Press
Al-Ghazali. 2006. Menyikap Hati Menghampiri Ilahi. Edisi Ke 1. Diterjemahkan
oleh: Kurniawan, Irwan. Bandung: Pustaka Hidayah
Solihin, dan Anwar. 2005. AKHLAK TASAWUF Manusia, etika, dan makna hidup.
Edisi ke 1. Bandung: Penerbit Nuansa
Syukur Amin. 2004. Tasawuf Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tim Karya Ilmiah Purna Siswa 2011 Raden (Refleksi Anak Muda Pesantren). 2011.
Jejak Sufi Membangun Moral Berbasis Spiritual. Kediri: Lirboyo Press Kediri
Soejono dan Abdurrahman. 2005. METODE PENELITIAN Suatu Pemikiran dan
Penerapan. Jakarta: PT. Bina Adiakasara
56
Maslikhah dan Peni Susanti. 2009. Modul Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta: Mitra
Cendekia
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung:
PT Imperial Bhakti Utama.
Lutfia Zeni dan Mujahidin Farhan. 2011. Pendidikan Agama Islam. Surakarta: Yuma
pustaka
Bagir Haidar. 2016. Belajar Hidup Dari Rumi. Jakarta: Mizan Publika
Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Bantet: Kalim, 2011
57
58
59
60
61
62
63
64