Download - MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA
MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA
KONFLIK SARA
Disusun oleh :
Agnesia Brilianti Kananlua (128114129)
Vicky Wijoyo (128114131)
Stephanie (128114145)
Siti Sisca Audya (128114151)
Edward Christian (128114156)
Sona Karisnata Inriano (128114167)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural. Pluralisme dalam bangsa
Indonesia terlihat dari budaya, suku, bahasa, agama, dan golongan yang beraneka ragam.
Pluralisme ini sebenarnya menjadi suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia di mata
dunia. Tetapi di lain sisi, kemajemukan (pluralisme) ini menjadi suatu pemicu konflik
antarwarga masyarakat.
Dewasa ini, kehidupan masyarakat Indonesia di beberapa daerah mulai tidak
kondusif. Hal ini disebabkan terjadinya beberapa konflik antarwarga daerah tertentu.
Konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) marak terjadi di Indonesia.
Konflik ini didasarkan oleh sentimen identitas yang menyangkut agama, suku, golongan,
bahasa, dan ras. Sungguh sangat memprihatinkan bahwa di zaman yang sudah modern
seperti ini, masyarakat Indonesia tidka dapat terbuka terhadap suatu perbedaan.
Masyarakat masih terjebak dalam pola pikir primitif yang mana menganggap
kepunyaannya adalah yang paling baik.
Suatu perbedaan itu sudah selayaknya dipandang sebagai suatu anugerah. Dengan
adanya perbedaan masyarakat dapat saling mengisi dan melengkapi. Seharusnya
masyarakat dapat membandingkan dan mengambil nilai positif dari setiap perbedaan
yang ada. Sifat-sifat positif tersebut kemudian dapat pula diterapkan di dalam kehidupan
masing-masing golongan. Sehingga masyarakat Indonesia dapat berkembang.
Keprihatinan ini yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat Konflik SARA
sebagai judul makalah ini. Sebagai generasi muda, kitaseharusnya dapat meredam
konflik SARA yang sering terjadi tersebut. Banyak cara yang dapat dilakukan generasi
muda untuk dapat mengubah pikiran masyarakat yang primitif terhadap pluralisme
menjadi pola pikir yang terbuka terhadapat pluralisme.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, pemulis mengangkat
beberapa permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini. Adapun masalah yang
akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Apa penyebab terjadinya konflik SARA?
2. Bagaimana hubungan nilai-nilai Pancasila dengan konflik tersebut?
3. Apa saja tindakan konkret yang dapat dilakukan generasi muda untuk mengatasi
konflik tersebut?
I.3. Tujuan
Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa saja penyebab terjadinya konflik SARA.
2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan nilai-nilai Pancasila dengan konflik
tersebut.
3. Untuk mengetahui apa saja tindakan konkret yang dapat dilakukan generasi
muda untuk mengatasi konflik tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Faktor Penyebab Konflik SARA
Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan suatu hal yang patut dibanggakan
di mata dunia. Indonesia memiliki harta yang paling berharga yang tidak dapat dimiliki
oleh bangsa-bangsa lain, yaitu kemajemukan. Kemajemukan di Indonesia meliputi
agama, ras, suku, budaya, dan adat istiadat. Apabila dilihat dengan kacamata positif, hal
ini merupakan suatu anugerah yang sangat besar yang patut disyukuri. Kemajemukan
yang seharusnya mempersatukan bangsa Indonesia, dapat saja menjadi pemicu dari
munculnya suatu perpecahan antar warga masyarakat. Hal ini disebabkan karena pola
pikir masyarakat yang masih primitif mengenai golongannya masing-masing. Sifat
mengagung-agungkan golongan masing-masing menjadi salah satu faktor utama
terjadinya suatu konflik.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang
atau lebih dimana satu pihak berusaha menghancurkan pihak lainnya atau membuatnya
tidak berdaya.Konflik ini bisa disebabkan oleh perbedaan antar individu atau
kelompok, di antaranya adalah perbedaan latar belakang seperti agama, suku, atau ras.
Faktor-faktor terjadinya konflik antara lain:
1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk karakter yangberbeda
3. Perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam suatu masyarakat
Konflik bukanlah sesuatu yang mudah untuk dihindari dalam suatu kehidupan
bermasyarakat. Konflik kepentingan yang kita angkat dalam kelompok ini adalah
konflik mengenai SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). SARA adalah
berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang
menyangkut keturunan, kebangsaan, agama atau kesukuan. Setiap tindakan yang
melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri
dan golongan dapat digolongkan sebagai SARA. SARA dapat digolongkan menjadi 3
golongan yaitu :
1. Individual : merupakan tindakan SARA yang dilakukan oleh individu maupun
kelompok. Termasuk di dalamnya tindakan maupun pernyataan yang bersifat
menyerang, mengintimidasi, menghina, atau melecehkan identitas diri maupun
golongan.
2. Institusional : merupakan tindakan SARA yang dilakukan oleh suatu
institusi, termasuk negara, yang telah membuat suatu peraturan ataupun kebijakan
yang secara langsung maupun tidak langsung, daisengaja maupun tidak,
merupakan suatu peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun
kebijakannya.
3. Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi, dan ide-ide
diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.
Di Indonesia, akhir-akhir ini sering terjadi konflik yang berkaitan dengan SARA
(Suku, Agama, Ras, Antar Golongan). SARA merupakan pandangan atau tindakan
yang didasarkan pada sentimen identitas masyarakat yang meliputi suatu suku, agama,
ras, budaya, keturunan, dan golongan. Konflik mengenai SARA selalu diwarnai dengan
aksi kekerasan, pengucilan, diskriminasi, serta pelecehan antar golongan. Pemicu dari
konflik ini sendiri adalah adanya salah satu pihak yang mudah tersinggu karena merasa
dilecehkan nama golongannya oleh kelompok lain. Masyarakat yang terlibat konflik
SARA merupakan masyarakat yang masih terjebak dalam pola pikir yang masih
primitif terhadap perbedaan. Artinya, masyarakat ini tidak mau atau menolak adanya
perbedaan. Mereka merasa golongan mereka adalah yang paling bagus dan paling
utama.
Konflik-konflik SARA mungkin memanglah sudah menjadi konsumsi umum
dan tidak jarang lagi kita temui di Indonesia. Perselisihan antar agama yang sudah
menjadi fenomena umum. Diskriminasi antar ras dalam suatu institusi atau
kepengurusan dari yang sederhana sampai di tingkat DPR. Konflik dan perang antar
suku, atau bahkan intern suatu suku atau golongan. Semua masalah ini berakar dari
keegoisan masing-masing golongan atau kelompok yang tidak mau mengalah dan
senantiasa bersaing satu sama lain. Nampaknya juga tidak ada suatu tindakan yang
berarti yang mampu menyadarkan masyarakat kita dan menghentikan rentetan konflik
ini.
Selain karena kepentingan pribadi, konflik SARA juga disebabkan oleh adanya
kesenjangan ekonomi. Kesenjangan ekonomi ini yang menyebabkan kecemburuan
sosial terhadap suatu golongan. Kecemburuan sosial itu diperparah dengan adanya
tindakan anarkis dari masing-masing pihak. Misalnya saja dapat dilihat dari kasus
konflik kecemburuan sosial antara pribumi dengan keturunan Tiong Hua. Masyarakat
Tiong Hua dianggap sebagai pendatang, namun mereka terlihat lebih sukses
dibandingkan dengan pribumi. Maka muculah sentimen negatif pada pribumi terhadap
masyarakat Tiong Hua. Masyarakat pribumi lebih cenderung mudah tersinggung
dengan perlakuan masyarakat Tiong Hua. Masyarakat pribumi mudah untuk memprotes
atau melakukan tindakan yang anarkis untuk membela golonganya. Begitu juga dengan
masyarakat Tiong Hua yang akan terus membela kepentingan golongannya.
Stigmatisasi merupakan salah satu hal yang berkaitan erat dengan konflik
SARA. Stigmatisasi ini yang terkadang menjadi pemicu adanya konflik tersebut.
Stigmatisasi merupakan suatu anggapan negatif terhadap suatu golongan. Di sini
berarti, suatu golongan memiliki anggapan yang negatif terhadap golongan lain.
Bahkan saat golongan yang menjadi objek stigmatisasi melakukan perbuatan baik,
misalnya membantu, golongan yang melakukan stigmatisasi akan merasa mudah
tersinggng. Stigmatisasi ini juga tidak lepas dari adanya etnosentisme. Etnosentisme
merupakan suatu anggapan bahwa golongannya merupakan yang paling hebat dan
utama. Apabila setiap golongan hidup dalam stigmatisasi dan etnosentisme maka
konflik SARA dipastikan akan terus terjadi, mengingat Indonesia memiliki banyak
suku dan golongan. Contohnya saja peristiwa sampit yang terjadi di Kalimantan antara
suku Dayak dan suku Madura.
Selain itu, konflik SARA juga dapat terjadi karena kebijakan-kebijakan
pemerintah yang hanya menguntungkan satu golongan saja. Misalnya saja undang-
undang mengenai penodaan agama. Undang-undang ini menimbulkan banyak
pertentangan karena ada pasal-pasal yang dapat diinterpretasikan dalam segala hal yang
menguntungkan penganut agama yang sedang berkuasa. Hal ini memicu terjadinya
konflik atas dasar ketidakadilan. Penganut agama lain tentu merasa dirugikan dengan
adanya kebijakan ini. Sehingga muncul anggapan negatif terhadap penganut agama
yang diuntungkan serta timbul suatu kebencian di antara mereka. Sehingga konflik
SARA dapat saja mudah terjadi.
II.2. Konflik SARA dan Hubungannya dengan Pancasila
Era globalisasi yang sedang melanda masyarakat dunia, cenderung melebur
semua identitas menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru.Masyarakat Indonesia ditantang
untuk makin memperkokoh jati dirinya.Bangsa Indonesia pun dihadapkan pada
problem krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. Hal ini didukung
dengan fakta sering dijumpai masyarakat Indonesia yang dari segi perilaku sama sekali
tidak menampakkan identitas mereka sebagai masyarakat Indonesia. Padahal bangsa ini
mempunyai identitas yang jelas, yang berbeda dengan kapitalis dan fundamentalis,
yaitu Pancasila. Krisis identitas yang mulai tergerus itulah yang menyebabkan
banyaknya perbedaan diantara golongan dan berdampak timbulnya konflik ataupun
permusuhan.
“Bangsa Indonesia krisis identitas. Pluralisme yang menjadi alasan berdirinya
NKRI (Negara KesatuanRepublik Indonesia), terancam,” ucap Gus Dur. Beliau
kemudian menjelaskan sejarah Indonesia yang sejak abad ke-18 telah menunjukkan
kultur bangsa dan semangat yang berkobar. Meskipun demikian bangsa Indonesia pada
tataran selanjutnya masih banyak terjadi konflik yang berbau SARA, seperti konflik
yang terjadi antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Ahmadiyah.
Konflik tersebut menjadi konflik yang struktural, artinya konflik tersebut
berlanjut dan dengan adanya tindakan nyata dari kedua belah pihak untuk saling
memenangkan argumen mereka. Menurut MUI, pemerintah kurang tegas dalam
menangani masalah tersebut sehingga menimbulkan masalah baru yang bersifat
struktural dan berkelanjutan.
Jika dihubungkan dengan prinsip moral dan ajaran nilai-nilai Pancasila yang ada
dianut oleh masyarakat Indonesia, konflik SARA ini jelas sangat bertenangan dengan
prinsip dasar yang dijunjung tinggi oleh bangsa kita ini. Konfik SARA yang
berhubungan dengan agama dan menentang suatu agama atau kepercayaan lain telah
melawan prinsip Ketuhanan yang dijunjung jelas di sila pertama. Suatu konflik jelas
telah menyingkirkan nilai Kemanusiaan yang ada di sila kedua (Kemanusiaan yang adil
dan beradab). Suatu konflik antar golongan juga berdampingan dengan timbulnya suatu
perpecahan yang bertentangan dengan sila ketiga (Persatuan Indonesia). Belum lagi
dampak dari konflik SARA yang bisa mengakibatkan suatu pihak yang merasa
dirugikan juga bertentangan dengan prinsip keadilan di sila kelima.
Pada dasarnya, agama merupakan pondasi hidup setiap manusia, tanpa adanya
agama manusia tidak bisa berpikir secara naluri dan tidak bisa membedakan mana yang
benar dan mana yang salah. Indonesia merupakan negara yang meyakini keberadaan
agama. Sebagai bukti, ada 6 keyakinan yang terdapat di Indonesia dan masing-masing
keyakinan mempunyai dasar atau pun pedoman sesuai dengan keyakinannya.
Pancasila khusus nya Sila ke-1 berbunyi “Ketuhanan Yang MahaEsa”, sudah
jelas dan tidak diragukan lagi, setiap manusia pasti mempunyai Tuhan dan percaya
bahwa Tuhan itu ada. Keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat yang berbeda
kepercayaan merupakan wujud nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam
bentuk keharmonisan, kebersamaan, ketentraman, dan sebagainya. Perbedaan
keyakinan yang terdapat di dalam masyarakat itu merupakan multikulturalisme bangsa
Indonesia. Namun, tidak jarang hal tersebut justru mendorong berbagai keributan atau
pun kerusuhan. Substansi kerusuhan tersebut sangat sempit dan kecil, tapi bisa juga
menjadi kerusuhan berskala besardansulituntukmenemukanjalantengahnya, dan bahkan
bisa membawa nama masing-masing kelompok tersebut dalam ranah konflik yang
bersifat SARA (Suku, Agama, Ras, danAntarGolongan).
Krisis agama yang bersifat kerusuhan tersebut tidak hanya terdapat pada
masyarakat yang berbedakeyakinan, bahkan tak jarang dari mereka yang mempunyai
keyakinan dan tujuan yang sama justru malah mengalami konflik internal. Hal tersebut
dikarenakan rendah nya jiwa nasionalisme bangsa, yaitu jiwa yang mengikat kita pada
satu rasa dan satu tujuan. Modal sosial terbentuk karena trust (kepercayaan) masyarakat
terhadap apa yang mereka dengar dan lihat. Pancasila berperan penting dalam segala
hal, begitu pula dalam keagamaan.
Fundamentalismeseperti yang telahdikemukakanoleh Karen Armstrong,
merupakansalahsatufenomena yang sangatmengejutkanpadaabad ke-
20.Begitumengerikanekspresidarifundamentalismeini, peristiwa paling
menghebohkandunia yang terjadipadaSeptember 2001
silamyaitupenghancurangedung World Trade Center (WTC) di New York,
AmerikaSerikat, kejadiantersebutdihubungkandenganfundamentalisme. Sementara di
Indonesia terjadiperistiwabombunuhdiri di berbagaitempatsepertiBom Bali I, Bom
Bali II, BomKedutaanBesar Australia di Jakarta, dan lain sebagainya. Motif
dariperistiwaitutidakjauhdarifundamentalisme agama yaitumenghalalkansegalacara
demi mencapaitujuandengandilandasifanatisme agama yang berlebihan.
Fenomena yang disebut sebagai fundamentalisme agama tersebut memang tidak
dapat dilepaskan dari situasi sosial, politik, dan ekonomi
masyarakatkita.Kegagalanpemerintahmengatasikemiskinandanmasalah-
masalahekonomiselalumembuatmasyarakattergodauntukmelakukankekerasandalammen
yalurkanaspirasinya. Di sampingitu,
ketidaktegasanaparatjugaturutmemberiandilbagikelangsunganhiduporganisasi yang
identikdengankekerasandalammengemukakanpendapatnya.Sehinggadapatdikatakanbah
waselamatidakadaperubahandarikondisisosial, politik,
danekonomimasyarakatdanselamaaparattidaktegasdalammenindakkejadian-
kejadiansepertiitu, hal-halitutetapakanterusberlangsung.
Contoh konflik SARA lainnya ialah perang salib. PerangSalib (1069-1291)
merupakanperangantarumat Kristen Eropadenganumat Islam yang memperebutkan
Yerussalem atau Palestina. Perang Salib berlangsung hinggatujuh kali (PerangSalib VII
tahun 1270-1291) status Yerusalem atau Palestinatidakberubah, yaitutetapdikuasaiumat
Islam. Bahkan kedudukan bangsa Barat atau Kristen di SyiradanPalestinahilang.
II.3. Solusi
Konflikberlatar SARA (suku, agama, ras,
danantargolongan)seringsekalimerebutnyawa-
nyawatidakbersalahsebagaikambinghitamdaripelampiasan ego merekamasing-
masing.Perbedaanaliran yang
menjadifaktorpemicumembuatinsidenberdarahtersebutmenjadiisunasional.Semua media
cetakdanelektroniktertarikuntukmenyajikannyasebagaiberitautamaselamabeberapahari.
Beragamkomentardanaksisimpatik
punmengalirdarisegenapkomponenbangsamulaidaripresidensampaimasyarakatbiasa.Na
mun, yang diharapkandisinitidakhanyasekedaraksisimpatik yang
terucapbelakasaja.Perbuatanatautindakansekecilapapun yang
mendukunguntukterciptanyapersatuandankesatuan yang kokohmerupakantindakan yang
berharga.
Sebenarnya konflik berbau SARA ini tidak harus terjadi dan bisa ditanggulangi
dengan jalan kesadaran dan keterbukaan antar golongan sehingga bersedia
mengesampingkan egonya masing-masing demi kebaikan dan kerukunan antar
golongan. Prinsip keterbukaan ini memang klise dan telah sangat sering digembor-
gemborkan namun memang inilah prinsip dasar yang masih perlu dipertahankan.
Sebagai generasi muda, sudahlah menjadi kewajiban bagi kita untuk merubah “tradisi”
dan cara pandang kolot dari masyarakat negri kita yang masih saja mengkotak-
kotakkan masyarakatnya yang multikultur ini.
Banyakpihak yang menyayangkanataumengutukperistiwatersebut, tetapi yang
paling positifadalahresponscepatmasyarakatlainuntukikutbertanggungjawabataskonflik
yang terjadikarenakesadaranmerekasebagaibagiandaribangsa Indonesia.
Meskipunberasaldarisuku, agama, maupunras yang
berbeda,kelompokmasyarakatiniberusahauntukmenyatukanperbedaanmerekamenjadise
buahharmoni yang membangkitkan rasa persatuandankesatuan yang kokoh,
sehinggadiharapkanmasyarakat yang
sedangbertikaitersebutdapatmelihatdarisudutpandang lain
mengenaimasalahperbedaantersebut. Padatitikini,
semualapisanmasyarakatdiharapkandapatberperanaktifdalam proses recovery yang
sedangberlangsung, agar masalahpertikaian yang disebabkanolehkonflik SARA
dapatsegeraterselesaikandantidakberkepanjangan.
Proses recovery iniharusdilaksanakandenganbaikagar dapatterciptakehidupan
yang harmonis di masadepan.Namun, bukanberartidenganadanya proses recovery
pascakonflikmakakonflik SARA yang seringterjadi di Indonesia dapatdianggapremeh.
Supaya proses recovery tersebuttidakmenjadirutinitaspascakonflik,
perluketerlibatansemuaelemenbangsa,
baikstructuralmaupunculturaldalamproyekrekonsiliasidanrekonstruksi yang
komprehensif.
Langkahkrusial yang harussegeradilakukanadalahmengusuttuntassemuapihak
yang
berusahauntukmemecahbelahkesatuanbangsakitadenganmemprovokasipihaktertentume
ngenaiperbedaan yang terjadidalammasyarakat yang seharusnyabukanmerupakanhal
yang negativemelainkanpositifbilakitamaumenelusurinyalebihjauh.
Di sampingitu, pemerintahharuslebihseriusmenjalankan amanah UUD 1945 Pasal
28 dan 29, supayatiapwargabenar-benarmendapatkanhaknyadalammemeluk
agamadanmelaksanakankeyakinanmereka.Pemerintahtidak
bolehraguuntukmengerahkansetiapinstrumen yang dimiliki demi
tegaknyapelaksanaanundang-undangini, termasukBadanIntelijen Negara (BIN).
Secara teoritis hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi konflik SARA ini antara
lain:
1. Pencegahan konflik
Langkah ini merupakan perwujudan tindakan-tindakan preventif untuk
mencegah terjadinya suatu perbedaan pendapat atau hal-hal yang dapat menjadi
pemicu terjadinya konflik. Membentuk suatu kehidupan yang saling rukun dan
membantu satu sama lain tanpa memandang perbedaan yang ada merupakan suatu
langkah kecil yang dapat mengawali tahap ini.
2. Penyelesaian konflik
Apabila konflik telah terjadi, maka suatu penyelesaian harus secepat mungkin
dibuat agar tidak terjadi hal-hal lain yang tidak diinginkan. Suatu mediasi dari
petinngi atau pihak yang dipercaya mungkin dibutuhkan, dan yang paling penting
adalah kesiapan hati dari masing-masing pihak untuk menyelesaikan konflik
tersebut.
3. Pengelolaan konflik
Selama terjadi suatu ketegangan antar golongan, baiklah supaya tiap pihak
mampu mengelola emosi nya dan tidak menimbulkan suatu pertikaian yang
mampu merugikan pihak-pihak yang tidak bersalah. Pengelolaan dan kontrol
konflik ini juga membutuhkan suatu keterbukaan antar golongan.
4. Resolusi konflik
Resolusi konflik merupakan upaya untuk menganalisa sebab-sebab terjadinya
konflik dalam upaya membangun suatu hubungan dan pemikiran baru dari tiap-tiap
golongan atau kelompok yang terlibat konflik.
5. Transformasi konflik
Adalah suatu upaya mengatasi sumber-sumber konflik dengan mengalihkan
kekuatan negatif dari sumber perbedaan kepada kekuatan positif.
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
1. Faktor yang menyebabkan konflik SARA di Indonesia, yaitu:
Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk karakter yangberbeda
Perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam suatu masyarakat
2. Hubungan konflik SARA dengan Pancasila, yaitu konfik SARA yang berhubungan
dengan agama dan menentang suatu agama atau kepercayaan lain telah melawan
prinsip Ketuhanan yang dijunjung jelas di sila pertama. Suatu konflik jelas telah
menyingkirkan nilai Kemanusiaan yang ada di sila kedua (Kemanusiaan yang adil
dan beradab). Suatu konflik antar golongan juga berdampingan dengan timbulnya
suatu perpecahan yang bertentangan dengan sila ketiga (Persatuan Indonesia).
Belum lagi dampak dari konflik SARA yang bisa mengakibatkan suatu pihak yang
merasa dirugikan juga bertentangan dengan prinsip keadilan di sila kelima.
3. Solusi untuk mengatasi konflik SARA yaitu dengan pencegahan konflik,
penyelesaian konflik, pengelolahan konflik, resolusi konflik, dan transformasi
konflik.
III.2. Saran
Agar konflik SARA ini terjadi secara terus-menerus, masyarakat sebaiknya saling
menghargai dan menghormati setiap perbedaan yang ada. Dengan begitu kerukunan
antarwarga dapat tercapai sehingga tidak terjadi konflik SARA yang berkepanjangan.