Download - Makalah Ksfk Gangguan Hepar
MAKALAHGANGGUAN HEPAR
Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Kapita Selekta Farmasi Klinik
Disusun oleh:
Niken Indriyani ( 1061511065 )
Ninik Risa Widyawati ( 1061511066 )
Nurizka Febrian N ( 1061511071 )
Oky Yusmikawati ( 1061511073 )
Yesi Pri Hatining Tyas ( 1061421056 )
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI”
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hati merupakan organ intestinal paling besar dalam tubuh manusia. Beratnya rata-
rata 1,2-1,8 kg atau kira-kira 2,5% dari berat badan orang dewasa. Di dalamnya terjadi
pengaturan metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks dan juga proses-proses
penting lainnya, bagi kehidupan, seperti penyimpanan energi, pembentukan protein dan asam
empedu, pengaturan metabolisme kolesterol dan detoksifikasi racun atau obat yang masuk
dalam tubuh.
Hepar atau hati merupakan proses dari pusat metabolisme obat terutama obat dengan
pemberian oral. Metabolisme obat terjadi di mikrosom sel hati dan enzim yang terlibat adalah
sitokrom C-reduktase dan P 450.Tujuan dari metabolism obat adalah mengubah bahan larut
dalam air sehingga dapat dibuang melalui urin. Penyakit pada hati bisa disebabkan oleh
beberapa hal antara lain: pola hidup yang tidak sehat, adanya infeksi virus atau bakteri,
kecanduan alkohol, adanya efek samping dari obat-obat tertentu yang dapat merusak hati,
kelainan bawaan, kurang gizi dan masih banyak lagi. Apabila pasien menderita gangguan
fungsi hati mudah sekali untuk dikenali, yaitu dengan melihat perubahan warna daerah
sekitar bola mata dan kulit. Kedua daerah tersebut biasanya berwana kekuningan atau yang
sering disebut dengan jaundice.
Kebanyakan kasus yang terjadi pada pasien di rumah sakit yaitu mereka mendapatkan
berbagai macam obat yang sehubungan dengan penyakit yang dideritanya, sehingga
menyebabkan interaksi obat yang mana terjadi perubahan pada efek pengobatan dan
kemungkinan terjadi toksisitas.Interaksi obat ini biasanya tidak berhubungan dengan hati
saja, misalnya perubahan yang terjadi dalam absorbsi obat atau pengikatan dengan protein
serum, tetapi ada juga yang berhubungan dengan hati.Akibat pemakaian dari obat perangsang
enzim mikrosom hati dapat menghasilkan eliminasi obat yang bertambah cepat sehingga
konsentrasi dalam darah dan efek terapi berkurang, sehingga diperlukan dosis obat yang lebih
tinggi. Sebaliknya, bila pemberian obat mengurangi mikrosom enzim hati maka aktivitas
obatnya bertambah (Sulaiman, dkk., 1997: 241-242) yang dapat menyebabkan gangguan
pada hati, apabila hati mengalami gangguan maka akan timbul penyakit seperti
hepatitis.Hepatitis adalah istilah umum dari radang hati. “Hepa” yang berarti dengan hati, dan
“it is” yang berarti peradangan (James,dkk. 2005).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Etiologi dan Patogenesis
Hati merupakan organ intestinal paling besar dalam tubuh manusia. Beratnya rata-
rata 1,2-1,8 kg atau kira-kira 2,5% dari berat badan orang dewasa. Di dalamnya terjadi
pengaturan metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks dan juga proses-proses
penting lainnya, bagi kehidupan, seperti penyimpanan energi, pembentukan protein dan asam
empedu, pengaturan metabolisme kolesterol dan detoksifikasi racun atau obat yang masuk
dalam tubuh.
Gangguan fungsi hati seringkali dihubungkan dengan beberapa penyakit hati tertentu.
Beberapa pendapat membedakan penyakit hati menjadi penyakit hati akut dan kronis.
Dikatakan akut apabila kelainan-kelainan yang terjadi berlangsung sampai dengan 6 bulan,
sedangkan penyakit hari kronis berarti gangguan yang terjadi sudah berlangsung lebih dari 6
bulan. Ada satu bentuk penyakit hati akut yang fatal, yakni kegagalan hati fulminan, yang
berarti perkembangan mulai dari timbulnya penyakit hati hingga kegagalan hati yang
berakibat kematian (fatal) terjadi kurang dari 4 minggu.
Beberapa penyebab penyakit hati antara lain :
1. Infeksi virus hepatitis, dapat ditularkan melalui selaput mukosa, hubungan seksual
atau darah (parenteral)
2. Zat-zat toksik, seperti alkohol atau obat-obat tertentu.
3. Genetik atau keturunan, seperti hemochromatosis
4. Gangguan imunologis, seperti hepatitis autoimun, yang ditimbulkan karena adanya
perlawanan sistem pertahanan tubuh terhadap jaringan tubuhnya sendiri. Pada
hepatitis autoimun, terjadi perlawanan terhadap sel-sel hati yang berakibat timbulnya
peradangan kronis.
5. Kanker, seperti hepatocelluler Carcinoma, dapat disebabkan oleh senyawa
karsinogenik antara lain aflatoksin, polivinil klorida (bahan pembuat plastik), virus,
dan lain-lain. Hepatitis B dan C maupun sirosis hati juga dapat berkembang menjadi
kanker hati.
2.2. Klasifikasi Penyakit Hati
Penyakit hati dibedakan menjadi berbagai jenis, berikut beberapa macam penyakit
hati yang sering ditemukan yaitu (Depkes RI, 2007) :
1. Hepatitis
Hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh banyak hal namun
yang terpenting diantaranya adalah karena infeksi virus-virus hepatitis. Virus ini selain dapat
memberikan peradangan hati akut, juga dapat menjadi kronik.
A. Patofisiologi hepatitis (Iso Farmakoterapi, 2008) :
1. Hepatitis Virus Akut
Hepatitis virus adalah penyakit yang biasanya sembuh dengan sendirinya,
dengan kasus rendah sampai tingkat yang fatal.
Virus dapat masuk ke sirkulasi (biasanya melalui inokulasi oral atau parenteral
atau oleh hubungan sex) dan terakumulasi pada sinusoid hati dan bagian
dalam dari hepatosit.
Virus bereplikasi di hepatosit dan menyebar masuk kedalam darah empedu
dan cairan tubuh yang lain.
Durasi pada tingkat inkubasi spesifik dan bervariasi. Pada penjamu (host)
tidak ada gejala selama masa inkubasi tersebut.
Virus hepatotropik menyebabkan luka pada hati dikarenakan respon imun
penjamu/host atau dari virus secara langsung melukai hepatosis seluler dan
respon imun humoral secara langsung melewati antigen virus ditentukan pada
membran hepatosit penjamu dan atau sirkulasinya dengan bagian vascular.
2. Hepatitis Kronik Karena Virus (Hepatitis Virus Kronik)
Hepatitis virus kronik merupakan penyebab sakit hati kronik, sirosis, gagal
hati dan hepatoselullar karsinoma (HCC) atau kanker sel hati di seluruh tubuh.
Hepatitis virus kronik tersebut dapat berkembang dalam bentuk tetap.
Beberapa berkembang menjadi fibrosis hati dan serrosis dan beberapa
berkembang menjadi gagal hati atau HCC.
Pasien dengan hepatitis virus kronis memiliki limfosit sitotoksik dan respon
limfosit CD4 yang lemah. Pasien dengan infeksi kronis HBC mengalami
kekurangan produksi limfosit sitotoksik atau respon interferon (IFN) lemah,
yang menyebabkan limfosit tidak tepat dapat mengarah ke sel target yang
terinfeksi.
Jika replikasi virus terus terjadi dan kerusakan hepatosit tidak dapat dihambat,
maka hepatosit yang berfungsi akan menurun bertahap. Fibrosis yang terjadi
pada mekanisme perbaikan sel akan merusak arsitektur dasar sel dan terjadilah
nodul hepatik.
Fibrosis hati dengan nodul yang menyebar disebut sirosis.
B. Etiologi
Penyebab hepatitis adalah virus hepatitis yang dibagi menjadi:
a. Hepatitis A
Termasuk klasifikasi virus dengan transmisi secara enterik. Tidak memiliki selubung
dan tahan terhadap cairan empedu. Virus ini ditemukan di dalam tinja. Berbentuk kubus
simetrik dengan diameter 27-28 nm, untai tunggal (single stranded), molekul RNA linier : 7,5
kb; termasuk picornavirus, sub klasifikasi hepatovirus. Menginfeksi dan bereplikasi pada
primata non-manusia dan galur sel manusia.
Sering kali infeksi hepatitis A pada anak-anak tidak menimbulkan gejala, sedangkan pada
orang dewasa menyebabkan gejala mirip flu, rasa lelah, demam, diare, mual, nyeri perut,
mata kuning dan hilangnya nafsu makan. Gejala hilang sama sekali setelah 6-12 minggu.
Penderita hepatitis A akan menjadi kebal terhadap penyakit tersebut. Berbeda dengan
hepatitis B dan C, infeksi hepatitis A tidak akan berlanjut menjadi kronik.
Masa inkubasi 15–50 hari, (rata-rata 30 hari). Tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas
yang tinggi terdapat di negara-negara berkembang. Penularan terjadi melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi tinja penderita hepatitis A, misalnya makan buah-buahan atau
sayur yang tidak dikelola / dimasak sempurna, makan kerang setengah matang, minum es
batu yang prosesnya terkontaminasi. Faktor resiko lain, meliputi : tempat-tempat
penitipan/perawatan bayi atau batita, institusi untuk developmentally disadvantage,
bepergian ke negara berkembang, perilaku seks oral anak, pemakaian jarum bersama pada
IDU (Injecting Drug User).
Saat ini sudah ada vaksin hepatitis A yang memberikan kekebalan selama 4 minggu setelah
suntikan pertama. Untuk kekebalan yang lebih panjang diperlukan suntikan vaksin beberapa
kali.
b. Hepatitis B
Manifestasi infeksi hepatitis B adalah peradangan kronik pada hati. Virus hepatitis B
termasuk yang paling sering ditemui. Distribusinya tersebar di seluruh dunia, dengan
prevalensi karier di USA < 1%, sedangkan di Asia 5 - 15%. Masa inkubasi berkisar 15-180
hari, (rata-rata 60-90 hari).
Sebagian penderita hepatitis B akan sembuh sempurna dan mempunyai kekebalan seumur
hidup, tapi sebagian lagi gagal memperoleh kekebalan. Sebanyak 1–5% penderita dewasa,
90% neonatus dan 50% bayi akan berkembang menjadi hepatitis kronik dan viremia yang
persisten. Orang tersebut akan terus-menerus membawa virus hepatitis B dan bisa menjadi
sumber penularan. Penularannya melalui darah atau transmisi seksual. Dapat terjadi lewat
jarum suntik, pisau, tato, tindik, akupunktur atau penggunaan sikat gigi bersama yang
terkontaminasi, transfusi darah, penderita hemodialisis dan gigitan manusia. Hepatitis B
sangat berisiko bagi pecandu narkotika dan orang yang mempunyai banyak pasangan seksual.
Gejala hepatitis B adalah lemas, lesu, sakit otot, mual dan muntah. Kadang-kadang timbul
gejala flu, faringitis, batuk, fotofobia, kurang nafsu makan, mata dan kulit kuning yang
didahului dengan urin berwarna gelap. Gatal-gatal di kulit, biasanya ringan dan sementara.
Jarang ditemukan demam. Untuk mencegah penularan hepatitis B adalah dengan imunisasi
hepatitis B terhadap bayi yang baru lahir, menghindari hubungan badan dengan orang yang
terinfeksi, hindari penyalahgunaan obat dan pemakaian bersama jarum suntik. Menghindari
pemakaian bersama sikat gigi atau alat cukur, dan memastikan alat suci hama bila ingin
bertato melubangi telinga atau tusuk jarum.
c. Hepatitis C
Hepatitis C adalah penyakit infeksi yang bisa tak terdeteksi pada seseorang selama
puluhan tahun dan perlahan-lahan tapi pasti merusak organ hati. Penyakit ini sekarang
muncul sebagai salah satu masalah pemeliharaan kesehatan utama di Amerika Serikat, baik
dalam segi mortalitas maupun segi finansial.
Biasanya orang-orang yang menderita penyakit hepatitis C tidak menyadari bahwa dirinya
mengidap penyakit ini, karena memang tidak ada gejala-gejala khusus. Beberapa orang
berfikir bahwa mereka hanya terserang flu. Gejala yang biasa dirasakan antara lain demam,
rasa lelah, muntah, sakit kepala, sakit perut atau hilangnya selera makan.
d. Hepatitis D
Virus Hepatitis D (HDV) atau virus delta adalah virus yang unik, yakni virus RNA yang tidak
lengkap memerlukan keberadaan virus hepatitis B untuk ekspresi dan patogenisitasnya, tetapi
tidak untuk replikasinya. Penularan melalui hubungan seksual, jarum suntik dan transfusi
darah. Gejala penyakit hepatitis D bervariasi, dapat muncul sebagai gejala yang ringan (ko-
infeksi) atau sangat progresif.
e. Hepatitis E
Gejala mirip hepatitis A, demam, pegal linu, lelah, hilang nafsu makan dan sakit perut.
Penyakit ini akan sembuh sendiri (self-limited), kecuali bila terjadi pada kehamilan,
khususnya trimester ketiga, dapat mematikan. Penularan hepatitis E melalui air yang
terkontaminasi feces.
f. Hepatitis F
Baru ada sedikit kasus yang dilaporkan. Saat ini para pakar belum sepakat hepatitis F
merupakan penyakit hepatitis yang terpisah.
g. Hepatitis G
Gejala serupa hepatitis C, seringkali infeksi bersamaan dengan hepatitis B dan/atau C. Tidak
menyebabkan hepatitis fulminan atau hepatitis kronik. Penularan melalui transfusi darah dan
jarum suntik.
2. Sirosis
Sirosis adalah proses difus yang ditandai oleh fibrosis dan perubahan struktur hepar yang
normal menjadi nodula- nodula yang abnormal. Hasil akhirnya adalah destruksi hepatosit dan
digantikan oleh jaringan fibrin serta gangguan atau kerusakan vaskular (Dipiro et al, 2006).
Progevisitas sirosis akan mengarah pada kondisi hipertensi portal yang bertanggung jawab
terhadap banyak komplikasi dari perkembangan penyakit sirosis ini. Komplikasi ini meliputi
spontaneous bacterial peritonitis (SBP), hepatic encephalophaty dan pecahnya varises
esophagus yang mengakibatkan perdarahan (hematemesis dan atau melena) (Sease et al,
2008).
A. Patofisiologi
Pada kondisi normal, hati merupakan sistem filtrasi darah yang menerima darah yang
berasal dari vena mesenterika, lambung, limfe, dan pankreas masuk melalui arteri hepatika
dan vena porta. Darah masuk ke hati melalui triad porta yang terdiri dari cabang vena porta,
arteri hepatika, dan saluran empedu. Kemudian masuk ke dalam ruang sinusoid lobul hati.
Darah yang sudah difilter masuk ke dalam vena sentral kemudian masuk ke vena hepatik
yang lebih besar menuju ke vena cava inferior (Sease et al, 2008).
Pada sirosis, adanya jaringan fibrosis dalam sinusoid mengganggu aliran darah normal
menuju lobul hati menyebabkan hipertensi portal yang dapat berkembang menjadi varises
dan asites. Berkurangnya sel hepatosit normal pada keadaan sirosis menyebabkan
berkurangnya fungsi metabolik dan sintetik hati. Hal tersebut dapat memicu terjadinya
ensefalopati hepatik dan koagulopati (Sease et al, 2008).
B. Etiologi
Etiologi sirosis antara lain sebagai berikut (Sease et al, 2008):
Konsumsi alkohol jangka panjang
Hepatitis kronis yang disebabkan oleh virus (tipe B dan C).
Penyakit liver metabolik (hemokromatosis, wilson disease, nonalcoholic
steatohepatitis atau “fatty liver”)
Penyakit liver kolestasis
Obat-obatan dan bahan alam (Isoniazid, metildopa, methotrexate, estrogen,
anabolik steroid, Jamaican bush tea)
Salah satu penyebab terjadinya sirosis hati adalah infeksi kronik virus hepatitis B dan
Hepatitis C. Transmisi virus Hepatitis B dan C dapat melalui rute parenteral (transfusi darah,
injeksi dari jarum suntik yang terkontaminasi), dan kontak personal (hubungan seksual,
kontak tenaga kesehatan dengan pasiennya, hubungan vertikal ibu dengan bayi yang
dikandungnya). Hepatitis B merupakan penyebab terbesar berkembangnya penyakit sirosis di
dunia secara umum. (Dipiro, 2008; Goldman, 2007). Hepatitis B merupakan virus DNA
dengan masa inkubasi dalam tubuh 30-150 hari. Diagnosa hepatitis B melalui HBsAg positif
dalam serum pasien. Bila HBsAg dinyatakan positif maka pasien termasuk dalam kelompok
hepatitis virus akut atau hepatitis virus kronik bila dinyatakan HBsAg positif (Goldman,
2007). Bila tidak ditangani dengan baik pasien hepatitis B virus akut akan mengarah pada
keadaan kronik dan perjalanan penyakit jangka panjang akan berkembang menjadi sirosis dan
kanker hati (PDT, 2008).
Manifestasi klinis dari sirosis bersumber dari dua kegagalan fundamental yaitu:
Kegagalan parenkim hati yang ditandai dengan produksi protein yang rendah,
gangguan mekanisme pembekuan darah, gangguan keseimbangan hormonal.
Hipertensi portal yang umumnya timbul bila tekanan sistem portal > 10 mmHg (PDT,
2008).
Gambaran klinis sirosis hati dibagi dalam dua stadium:
Sirosis kompesata dengan gejala klinis yang belum tampak dan diagnosis ditegakkan
pada saat mengevaluasi faal hati pasien hepatitis kronik
Sirosis dekompesata dengan gejala klinis yang jelas (asites, jaundice, encephalophaty,
perdarahan esofagus) (PDT, 2008).
C. Komplikasi Sirosis
a. Variceas Esophageal Hemorrhage (Perdarahan varises esofagus)
Komplikasi dari hipertensi portal yang paling penting adalah perkembangan dari
varises atau rute alternative aliran darah dari portal ke sirkulasi sistemik, melewati liver.
Varises menekan sistem vena portal dan mengembalikan darah ke sirkulasi sistemik. Pasien
dengan sirosis memiliki resiko untuk terjadi perdarahan varises ketika tekanan vena portal 12
mmHg lebih besar dari tekanan vena cava. Perdarahan dari varises terjadi pada 25% hingga
40% pasien dengan sirosis, dan setiap episode perdarahan membawa resiko kematian antara
25% hingga 30%. Perdarahan ulang biasanya mengikuti dari setiap kejadian perdarahan awal,
terutama 72 jam dari perdarahan awal (Sease et al, 2008).
b. Hepatic Encephalophaty
Patofisiologi dari penyakit ini masih belum jelas sampai sekarang, namun ada
beberapa teori yang mengatakan bahwa mekanisme perkembangan penyakit sirosis menjadi
hepatic encephalopathy adalah :
Metabolisme produk nitrogen di saluran pencernaan menjadi produk metabolit yang toksik
bagi SSP. Degradasi urea dan protein ini akan menjadi produk ammonia yang melalui aliran
darah akan menembus sawar darah otak dan mengakibatkan perubahan neuropsikiatrik di
SSP.
Gamma-aminobutyric-acid (GABA) yang bekerja sebagai inhibitor neurotransmitter
yang diproduksi juga di dalam saluran pencernaan terlihat mengalami peningkatan jumlah
dalam darah pada pasien dengan sirosis hati.
Meningkatnya asam amino aromatik yang menembus sawar darah otak, hal ini
mengakibatkan meningkatnya sintesis false neurotransmitter (seperti octopamine dan
phenylephrine, dan menurunnya produksi dopamine dan norepinephrine) (Goldman, 2007).
Faktor yang mempengaruhi timbulnya HE adalah:
a. Faktor endogen yaitu memburuknya fungsi hati misalnya pada hepatitis fulminan akut.
b. Faktor eksogen, antara lain :
Protein berlebih dalam usus
Perdarahan massif/ syok hipovolemik
Sindrom alkalosis hipovolemik akibat diuretik atau parasentesis yang cepat
Pengaruh obat-obatan (penenang, anestetik/narkotika)
Infeksi yang berat
Konstipasi
Pasien dengan hepatic encephalopathy menunjukkan adanya perubahan mental dan
status motorik dimana derajat keparahannya meliputi:
Stage I
Euphoria /depresi, kebingungan ringan dan berfluktuasi, gangguan pembicaraan,
gangguan ritme tidur.
Stage II
Lambat beraksi, mengantuk, disorientasi, amnesia, gangguan kepribadian, asteriksis,
reflex hipoaktif, ataksia
Stage III
Tidur yang dalam, sangat pusing, reflex hiperaktif, flapping tremor.
Stage IV
Tidak bereaksi pada rangsangan apapun, reflex okuler yang lemah, kekauan otot, kejang
menyeluruh.
c. Hipertensi Portal
Hipertensi portal paling sering disebabkan oleh peningkatan resistensi aliran darah
portal. Karena sistem vena porta tidak memiliki katup, resistensi di setiap ketinggian antara
sisi kanan jantung dan pembuluh splanknikus menyebabkan tekanan yang meninggi
disalurkan secara retrograd. Peningkatan resistensi dapat terjadi pada presinusoid, sinusoidal
dan postsinusoid (Sudoyo, 2006). Peningkatan tekanan ini menyebabkan aliran darah
dikembalikan ke vena portal. Darah dari vena portal tidak dapat masuk kedalam hepar karena
terjadi pengerasan sehingga aliran darah tidak terpenetrasi menyebabkan tekanan portal
meningkat, kompensasinya terbentuk sistem kolateral menembus aliran lain yang dapat
ditembus. Karena sifat vena (termasuk vena porta) yang berbentuk katup dan jarangnya katup
maka kenaikan tekanan akan diteruskan kembali ke vascular bed sehingga terjadi shunting
portal ke sistemik (McPhee, 1995).
d. Asites
Asites adalah terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan dalam rongga peritonium.
Akumulasi cairan mengandung protein tersebut terjadi karena adanya gangguan pada struktur
hepar dan aliran darah yang disebabkan oleh inflamasi, nekrosis fibrosis atau obstruksi
menyebabkan perubahan hemodinamis yang menyebabkan peningkatan tekanan limfatik
dalam sinusoid hepar, mengakibatkan transudasi yang berlebihan cairan yang kaya protein ke
dalam rongga peritonium. Peningkatan tekanan dalam sinusoid menyebabkan peningkatan
volume aliran ke pembuluh limpatik dan akhirnya melebihi kapasitas drainage sehingga
tejadi overflow cairan limpatik kedalam rongga peritonium (McPhee, 1995). Ciran asites
merupakan cairan plasma yang mengandung protein sehingga baik untuk media pertumbuhan
bakteri patogen, diantaranya enterobacteriaceae (E. Coli), bakteri gram negatif, kelompok
enterococcus (Sease et al, 2008).
D. Gejala Klinik dan Kelainan Laboratorium
Gejala klinik dan Data Laboratorium Pasien Sirosis Hati (Dipiro et al, 2006)
Sign and symptomps (percent patients) :
Fatigue (65%), pruritus (55%)
Hyperpigmentation (25%), jaundice (10%)
Hepatomegaly (25%), splenomegaly (15%)
Palmar erythema, spider angiomegaly, gynecomastia
Ascites, edema, pleural effusion, and respiratory difficulties
Malaise, anorexia, and weight loaa
Encephalopathy
Laboratory test :
Hypoalbuminemia
Elevated prothrombin time
Thrombocytopenia
Elevated alkaline phosphatase
Elevated aspartase transaminase (AST), alanine transaminase (ALT), And γ-glutamyl
transpeptidase (GGT)
2.3. Penatalaksanaan Terapi (Sease et al, 2008)
1. Hipertensi Portal dan perdarahan varises
a. Profilaksis primer
Pada pasien diberikan β-blocker seperti propanolol (10 mg 3 kali sehari) dan nadolol (20
mg sehari sekali). Golongan nitrat diberikan apabila pasien kontraindikasi atau intoleran
terhadap β-blocker.
b. Profilaksis Sekunder
Pada pasien diberikan β-blocker seperti propanolol (20 mg 3 kali sehari) dan nadolol (20-
40 mg sehari sekali).
Untuk perdarahan varises ditangani dengan pemberian octreotid. Octreotid diberikan IV
bolus 50-100 mcg dan diikuti dengan infus kontinyu 25 mcg/jam dan maksimum pemberian
50 mcg/jam. Vasopressin merupakan first line therapy untuk mengatasi perdarahan varises.
Untuk pengontrol perdarahan maka pada pasien dilakukan prosedur endoskopi (Dipiro, 2006;
Dib et. al., 2006).
2. Asites
a. Terapi non farmakologi : Semua pasien dengan asites harus mengurangi asupan Na.
b. Terapi farmakologi :Pemberian diuretik, diuretik yang dipilih yaitu spironolakton
(5-20 mg per hari, maksimum 400 mg) atau amilorid (5-10 mg per har) serta
furosemid (20-40 mg per hari, maksimum 160 mg per hari). Penanganan akhir pasien
asites adalah parasintesis (Gines, et al., 2004).
3. Hepatik Ensefalopati
a. Terapi non farmakologi : Pasien harus membatasi asupan protein.
b. Terapi farmakologi : Pada pasien dengan kronik hepatik ensefalopati diberikan
laktulosa 30-60 ml/hari. Pada keadaan akut, laktulosa diberikan 45 ml/jam, dosis
dapat diturunkan 15-30 ml secara oral 4 kali sehari (Dipiro, 2006). Antibiotika dapat
diberikan pada pasien yang tidak merespon makanan dan laktulosa (Metronidazol,
Neomisin).
4. Kanker Hati
Kanker hati yang banyak terjadi adalah Hepatocellular carcinoma (HCC). HCC
merupakan komplikasi akhir yang serius dari hepatitis kronis, terutama sirosis yang terjadi
karena virus hepatitis B, C dan hemochromatosis. Pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendeteksi terjadinya kanker hati adalah AFP dan PIVKA II.
5. Perlemakan Hati
Perlemakan hati terjadi bila penimbunan lemak melebihi 5% dari berat hati atau
mengenai lebih dari separuh jaringan sel hati. Perlemakan hati ini sering berpotensi menjadi
penyebab kerusakan hati dan sirosis hati. Kelainan ini dapat timbul karena mengkonsumsi
alkohol berlebih, disebut ASH (Alcoholic Steatohepatitis), maupun bukan karena alkohol,
disebut NASH (Non Alcoholic Steatohepatitis). Pemeriksaan yang dilakukan pada kasus
perlemakan hati adalah terhadap enzim SGOT, SGPT dan Alkali Fosfatase.
6. Kolestasis dan Jaundice
Kolestasis merupakan keadaan akibat kegagalan produksi dan/atau pengeluaran
empedu. Lamanya menderita kolestasis dapat menyebabkan gagalnya penyerapan lemak dan
vitamin A, D, E, K oleh usus, juga adanya penumpukan asam empedu, bilirubin dan
kolesterol di hati.
Adanya kelebihan bilirubin dalam sirkulasi darah dan penumpukan pigmen empedu
pada kulit, membran mukosa dan bola mata (pada lapisan sklera) disebut jaundice. Pada
keadaan ini kulit penderita terlihat kuning, warna urin menjadi lebih gelap, sedangkan feses
lebih terang. Biasanya gejala tersebut timbul bila kadar bilirubin total dalam darah melebihi 3
mg/dl. Pemeriksaan yang dilakukan untuk kolestasis dan jaundice yaitu terhadap Alkali
Fosfatase, Gamma GT, Bilirubin Total dan Bilirubin Direk.
7. Hemochromatosis
Hemochromatosis merupakan kelainan metabolisme besi yang ditandai dengan adanya
pengendapan besi secara berlebihan di dalam jaringan. Penyakit ini bersifat genetik atau
keturunan. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi terjadinya hemochromatosis adalah
pemeriksaan terhadap Transferin dan Ferritin.
8. Abses Hati
Abses hati dapat disebabkan oleh infeksi bakteri atau amuba. Kondisi ini disebabkan karena
bakteri berkembang biak dengan cepat, menimbulkan gejala demam dan menggigil. Abses
yang diakibatkan karena amubiasis prosesnya berkembang lebih lambat. Abses hati,
khususnya yang disebabkan karena bakteri, sering kali berakibat fatal.
2.4 Tanda-Tanda dan Gejala Klinis
Adapun gejala yang menandai adanya penyakit hati adalah sebagai berikut:
1. Kulit atau sklera mata berwarna kuning (ikterus).
2. Badan terasa lelah atau lemah.
3. Gejala-gejala menyerupai flu, misalnya demam, rasa nyeri pada seluruh tubuh.
4. Kehilangan nafsu makan, atau tidak dapat makan atau minum.
5. Mual dan muntah.
6. Gangguan daya pengecapan dan penghiduan.
7. Nyeri abdomen, yang dapat disertai dengan perdarahan usus.
8. Tungkai dan abdomen membengkak.
9. Di bawah permukaan kulit tampak pembuluh-pembuluh darah kecil, merah dan
membentuk formasi laba-laba (spider naevy), telapak tangan memerah (palmar
erythema), terdapat flapping tremor, dan kulit mudah memar. Tanda-tanda tersebut
adalah tanda mungkin adanya sirosis hati.
10. Darah keluar melalui muntah dan rektum (hematemesis-melena).
11. Gangguan mental, biasanya pada stadium lanjut (encephalopathy hepatic).
12. Demam yang persisten, menggigil dan berat badan menurun. Ketiga gejala ini
mungkin menandakan adanya abses hati.
2.5. Perangkat Diagnostik
Untuk mendeteksi adanya kelainan patologis pada hati dapat dilakukan dengan
evaluasi fungsi hati.
a. Evaluasi laboratorium
Biasanya meliputi beberapa pemeriksaan penapisan untuk fungsi hati. Pemeriksaan
biokimiawi bisa mencakup: Enzim-enzim serum termasuk aminotransferase, alkaline
phosphatase dan 5’-nukleotidase.
b. Evaluasi radiographic
1. Ultrasonography (USG)
USG paling baik digunakan sebagai alat penapis untuk memperlihatkan dilatasi
percabangan-percabangan saluran empedu dan memperlihatkan batu empedu. Alat ini juga
dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit parenkim.
2. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
CT-Scan dengan kontras intravena paling baik digunakan untuk evaluasi penyakit
parenkim hati namun dapat pula digunakan untuk memeriksa dilatasi percabangan saluran
empedu. Dalam pemeriksaan terhadap lesi desak ruang (Space-occupying lesion/SOL) seperti
misalnya abses dan tumor, CT-Scan mempunyai keunggulan berupa kontras yang lebih baik.
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI mempunyai kegunaan yang serupa dengan CT-Scan. Keunggulannya terletak pada
kemampuannya memperlihatkan pembuluh darah tanpa perlu menggunakan bahan kontras.
Pada pemeriksaan MRI diperlukan sikap kooperatif dari penderita.
4. Scintigraphy hati-limpa
Merupakan teknik lama yang terutama digunakan untuk mendeteksi kelainan
penangkapan koloid yang terjadi pada disfungsi sel-sel hati.
5. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC) dan Endoscopic Retrogade
Cholangio-pancreatography (ERCP)
Teknik-teknik ini dilakukan dengan cara memasukkan bahan kontras ke dalam
percabangan saluran empedu dan paling bermanfaat jika dilakukan setelah penapisan awal
dengan USG, CT-scan atau MRI yang hasilnya memperlihatkan kelainan pada percabangan
saluran empedu.
2.6. Terapi
A. Tujuan Terapi
Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
liver tahap akhir dengan cara menghilangkan HCV/HBC.
Sasarannya meliputi meminimalisasi infeksi lainnya, normalisasi aminotransferase
dan menghentikan replikasi DNA.
B. Pendekatan Umum
Penanganan infeksi HAV yang terutama adalah terapi suportif termasuk diet sehat,
istirahat, mempertahankan keseimbangan cairan, menghindari obat hepatotoksik dan
alkohol.
Terapi obat tidak memperlihatkan manfaat yang jelas.
Terapi Non Farmakologi
Istirahat yang cukup
Diet tanpa lemak selama 4-8 minggu
Menghindari pemakaian alkohol /obat-obatan.
Pasien harus menjaga pola hidup, dengan cara berhenti merokok, dan
menghindari alkohol serta obat terlarang.
Terapi Farmakologi
Obat-obat yang digunakan untuk terapi pengobatan hepatitis yaitu :
1. Interferon
Indikasi : Hepatitis B kronik, hepatitis C kronik.
Dosis :
a. Hepatitis B kronik
Interferon α-2a
SC/IM, 4,5 x 106 unit 3 kali seminggu. Jika terjadi toleransi dan tidak menimbulkan
respon setelah 1 bulan, secara bertahap naikkan dosis sampai dosis maksimum 18 x 106 unit 3
kali seminggu. Pertahankan dosis sampai dosis minimum terapi selama 4-6 bulan kecuali
dalam keadaan intoleran.
Interferon α-2b
SC, 3 x 106 unit 3 kali seminggu. Tingkatkan dosis 5-10 x 106 unit 3 kali seminggu
setelah 1 bulan jika terjadi toleransi pada dosis lebih rendah dan tidak berefek. Pertahankan
dosis diminum terapi selama 4-6 bulan kecuali dalam keadaan intoleran.
b. Hepatitis C kronik
Gunakan bersama Ribavirin (kecuali kontraindikasi). Kombinasi interferon α dengan
Ribavirin lebih efektif.
Interferon α-2a dan α-2b
SC, 3 x 106 unit 3 x seminggu selama 12 minggu. Lakukan tes Hepatitis C RNA dan
jika pasien memberikan respon, lanjutkan selama 6-12 bulan.
Peginterferon α-2a
SC, 180µg/kg 1 x seminggu
Penginterferon α-2b
(1 µg/kg digunakan untuk infeksi genotif 1) 1 x seminggu.
Sediaan beredar : Intron A (Schering Plough), interferon alfa 2b, vial 2mL 3 MIU,
5 MIU, 10 MIU, 30 MIU. Alfanative (Farenheit), injeksi interferon alfa 6 juta UI/mL.
Penatalaksanaan:
- Peginterferon α-2a dengan Ribavirin untuk infeksi
- Peginterferon α dengan Ribavirin, Interferon α dengan Ribavirin untuk infeksi
genotip 2 dan 3.
- Peginterferon α tunggal untuk pasien dengan kontraindikasi terhadap Ribavirin
- Peginterferon α tunggal : tes hepatitis C RNA selama 12 minggu jika ada respon,
lanjutkan pengobatan selama 48 minggu. Jika tidak ada respon (positive HCV RNA)
hentikan pengobatan.
2. Lamivudine
Indikasi : Hepatitis B kronik.
Dosis : Dewasa, anak > 12 tahun : 100 mg 1 x sehari.
Anak usia 2-11 tahun : 3 mg/kg 1 x sehari (maksimum 100mg/hari)
Efek samping : Diare, nyeri perut, ruam malaise, lelah, demam, anemia, neutropenia,
trombositopenia, neuropati, jarang pankreatitis.
Interaksi obat : Trimetroprim menyebabkan peningkatan kadar Lamivudine dalam plasma.
Perhatian : Pankreatitis, kerusakan ginjal berat, penderita sirosis berat, hamil dan laktasi.
Penatalaksanaan :
- Tes untuk HBeAg dan anti HBe di akhir pengobatan selama tahun dan kemudian setiap 3 -6
bulan.
- Durasi pengobatan optimal untuk hepatitis B belum diketahui terapi pengobatan dapat
dihentikan setelah 1 tahun jika ditemukan adanya serokonversi HBeAg.
- Pengobatan lebih lanjut 3 – 6 bulan setelah ada serokonversi HBeAg untuk mengurangi
kemungkinan kambuh.
- Monitoring fungsi hati selama paling sedikit 4 bulan setelah penghentian terapi dengan
Lamivudine.
3. Ribavirin dengan Interferon
Untuk Hepatitis C kronik pada pasien penyakit liver > 18 tahun yang mengalami
kegagalan dengan monoterapi menggunakan interferon α-2a atau α-2b.
4. Ribavirin dengan peginterferon A-2A atau A-2B
Indikasi : Untuk Hepatitis C kronik pada pasien > 18 tahun yang mengalami
relaps setelah mendapat terapi dengan interferon α.
Kontraindikasi : Wanita hamil dan suami dari ibu hamil, pasangan yang berencana
memiliki anak kandung, mempunyai reaksi alergiterhadap ribavirin,
penyakit jantung berat 6 bulan yang lalu, haemoglobinopati, hepatitis,
autoimun, sirosis hati yang tidak terkompensasi, penyakit tiroid, adanya penyakit atau
riwayat kondisi psikiatrik berat, terutama depresi, keinginan atau ada upaya bunuh diri.
Perhatian : - wanita subur dan pria harus menggunakan kontrasepsi efektif
selama terapi 6 bulan sesudahnya, tes hamil harus dilakukan tiap 6
bulan selama terapi.
-Riwayat penyakit paru atau diabetes mellitus yang cenderung
ketoasidosis, gangguan pembekuan darah atau mielosupresi berat.
-Tes daya visual dianjurkan sebelum terapi pada pasien diabetes
mellitus atau hipertensi.
-Monitor fungsi jantung pada pasien dengan riwayat penyakit jantung
kongestif, miokard infark dan gangguan aritmia.
-Dapat menimbulkan kekambuhan penyakit psoriasis.
Efek samping : Hemolysis, Anemia, Neutropenia, Hyperhidrosis, Berat badan
menurun, Gangguan gastrointestinal, Insomnia, Batuk dan faringitis
Interaksi obat : Zidovudine, Stavudine
Dosis :
a. Ribavirin dengan Interferon α-2b
Interferon α-2b : 3 x seminggu dan Ribavirin per hari berdasarkan berat badan :
- < 75 kg, Ribavirin 400 mg pagi dan 600 mg sore hari.
- 75 kg, Ribavirin 600 mg pagi dan sore hari
b. Ribavirin dengan Peginterferon α-2a
Peginterferon α-2a : 180 µg SC 1 x seminggu dengan Ribavirin per hari berdasarkan berat
badan dan genotip HCV.
- Genotip 1, < 75 kg, 400 mg pagi dan 600 mg malam hari.
- > 75 kg, 600 mg pagi dan malam hari.
- Genotip 2 dan 3, 400 mg pagi dan malam hari.
c. Ribavirin dengan Peginterferon α-2b
Peginterferon α-2b : 1,5 µg/kg SC 1 x seminggu dan Ribavirin berdasarkan berat badan.
- < 65 kg, SC peginterferon α-2b 100 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi dan
malam hari.
- 65-80 kg, SC peginterferon α-2b 120 µg/kg 1 x seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi dan
600 mg malam hari.
- > 80-85 kg, SC Peginterferon α-2b 150 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi dan
600 mg malam hari.
- 85 kg, SC Peginterferon α-2b 150 µg 1 x seminggu, oral Ribavirin 600 mg pagi dan 600
mg malam hari.
Penatalaksanaan : • Ribavirin tidak efektif jika digunakan tunggal.
• Ribavirin dengan Peginterferon α untuk infeksi genotip 1.
• Ribavirin dengan Peginterferon α atau Ribavirin dengan
Interferon α untuk infeksi genotip 2 dan 3.
• Terapi untuk infeksi 1 dan 4 selama 48 minggu.
• Terapi untuk infeksi 2 dan 3 selama 24 minggu.
5. Vaksin Hepatitis A
Imunoglobulin untuk pencegahan hepatitis A : Ig anti HAV pemberian Ig pada
hepatitis A dapat menurunkan insiden sampai 90%, tetapi harus sering diulang karena hanya
memberi proteksi selama 6 bulan. Pemberian bersama dengan vaksin, berikan selang waktu 3
bulan untuk MMR dan 5 bulan untuk varisella. Vaksin virus hepatitis A yang dilemahkan
dapat memberikan proteksi panjang (20 tahun).
Dapat diberikan bersamaan dengan beberapa vaksin seperti DPT dan hepatitis B.
6. Vaksin Hepatitis B
Pemberian vaksin hepatitis B dilakukan pada bayi secara rutin dan pada orang
dewasa. Vaksin yang tersedia dibuat secara DNA rekombinan.
Efek samping dari vaksin adalah radang pada tempat suntikan, sakit kepala lelah dan demam.
(Iso Farmakoterapi, 2008).
BAB III
KASUS DAN PENYELESAIAN
I. KASUS
Bpk FL usia 75 th BB 70 kg
Diagnosa: sirrhosis hepatis, HT pulmoner, melena, BPH, Asites
Riwayat penyakit: DM, HT
TERAPI
Nama Obat DosisTanggal Pemberian Obat
6/7 7/7 8/7 9/7 10/7
PARENTERAL
Comafusin hepar 41 ml/jam -
D5% 1000 ml/hr
Octalbin 20% 100 cc -
INJEKSI
Cefotaxim 3x1 g
Fosmidex/100
NaCl
2x1 g -
Onetic 2 x 4 mg -
Vit K 3x 1 amp
Mersitropil 4 x 3 g - -
Furosemide 2x1 amp.
Ranitidin 2x1 amp. - -
ORAL
Curcuma cps 3 x 1
Kanamycin cps 4x1
Spirolactone 1-0-0
Aricept 1x1
Serolin 10 3x1
Avodart 1 x 1 - -
Dor ner 3x1
Pralax syrup 3 x 1 C
Recolfar 1x1
Chana 4x1
Glikuidon 1-0-0
HP pro 3 x 1
Edotin 3x1
Hepamerz 1x1
Fordesia 1x1
Geriavita 1x1
Inf PRC 2 kolf tgl 6 dan 8
Tanda -Tanda Vital
ParameterTanggal Pemeriksaan
6/7 7/7 8/7 9/7
HR 110x/ menit - - -
Tekanan darah (mmHg) 140/90 130/90 140/90 130/80
Data Lab
Hb 8,9 g/dL
RDW 16,8
Albumin 2,7 g/dL
Protrombin time 14 det
Trombosit 145 /mm3
SGOT 34 U/L
SGPT 50 U/L
Lekosit 14000/mm3
Kreatinin 1,44 mg/dL
BUN 45 mg/dL
LED 43 mm/jam
HbsAg +
Hematokrit 24%
Bilirubin 3,4
Na 162 mg/dL
Ca 8,0 mg/dL
II. Analisis SOAP
1. Subyektif
Identitas : Tuan FL
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 75 tahun
BB : 70 kg
Diagnosa : sirrhosis hepatis, hipertensi pulmoner, melena, BPH, asites
Riwayat penyakit : diabetes mellitus, hipertensi.
2. Obyektif
Tanda-tanda vital
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Keterangan
Hb 8,9 g/dL 14,0 – 18,0 Rendah
RDW 16,8 10,0-15,0 Tinggi
Albumin 2,7 g/dL 3,8-5,0 Rendah
Protrombin time 14 det 11,0-12,5 Tinggi
Trombosit 145/mm3 150.000-
450.000/mm3
Rendah
SGOT 34 U/L 0-35 Normal
SGPT 50 U/L 5-41 Tinggi
Leukosit 14.000/mm3 4.000-11.000 Tinggi
Kreatinin 1,44 mg/dL 0,5-1,5 Normal
BUN 45 mg/dL 15-40 Tinggi
LED 43 mm/jam 0-10 mm/jam Tinggi
HbsAg + (positif) Negatif
Hematokrit 24% 40-54% Rendah
Bilirubin 3,4 0,2-1 Tinggi
Na 162 mg/dL 135-153 Tinggi
Ca 8,0 mg/dL 8,5-10,5 Normal
3. Assesment
1. Tingkat Hb menurun, maka pasokan oksigen ke berbagai bagian tubuh berkurang
sehingga fungsi tubuh akan terhambat dan mengalami anemia. Penurunan nilai Hb dapat
terjadi pada anemia (terutama anemia karena kekurangan zat besi), sirosis, hiprtiroidisme,
pedarahan, peningkatan asupan cairan dan kehamilan.
2. RDW (), koefisien variasi dari volume eritrosit, berguna untuk memperkirakan terjadinya
anemia dini. Kadar RDW yang tinggi menunjukkan ukuran eritrosit yang heterogen,
biasanya terjadi pada anemia.
3. Albumin, protein darah yang diproduksi di hati, albumin berfungsi untuk mengikat
komponen darah sehingga memastikan cairan darah tidak terpisah atau bocor ke jaringan
tubuh.
4. Protrombin time, pengukuran waktu yang dibutuhkan bagi darah untuk membeku.
Pembekuan darah membutuhkan vitamin K dan beberapa faktor pembekuan darah yang
dibuat di dalam hati. Nilai protrombin yang tinggi menunjukkan darah membutuhkan
waktu yang lama untuk membeku.
5. Trombosit, keping darah, merupakan sel darah kecil yang ada di dalam darah, berfungsi
untuk membantu pembentukan bekuan darah, sehingga dapat menghentikan pendarahan
yang terjadi. Rendahnya nilai trombosit menunjukkan adanya kelainan dalam pembekuan
darah.
6. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase), merupakan enzim yang terdapat di
dalam sel parenkim hati. Kadar SGOT dalam darah akan meningkat jika terdapat
kerusakan sel hati. Namun SGOT tidak hanya terdapat dalam sel hati. SGOT juga dapat
ditemukan di sel darah, sel jantung, dan sel otot, karena itu peningkatan SGOT tidak
selalu menunjukkan adanya kelainan di sel hati.
7. SGPT (Serum Glutamic Piruvate Transaminase) merupakan enzim yang banyak
ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi hepatoseluler. Enzim
ini dalam jumlah kecil dijumpai pada otot jantung, ginjal dan otot rangka. Pada umumnya
nilai tes SGPT lebih tinggi daripada SGOT pada kerusakan parenkim hati akut,
sedangkan pada proses kronis didapat sebaliknya.
8. Leukosit, merupakan respon fisiologis untuk melindungi tubuh dari mikroorganisme,
peningkatan nilai leukosit pada pasien disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan
akibat adanya infeksi.
9. Kreatinin, berasal dari masa otot, tidak dipengaruhi oleh diet atau aktivitas dan diekskresi
seluruhnya melalui glomerolus. Tes kreatinin berguna untuk mendiagnosa fungsi ginjal
karena nilainya mendekati glomerular filtration rate (GFR). Konsentrasi kreatinin serum
meningkat pada gangguan fungsi ginjal baik karena gangguan fungsi ginjal disebabkan
oleh nefritis, penyumbatan saluran urin, penyakit otot atau dehidrasi akut.
10. BUN (Blood urea nitrogen) / Kadar urea nitrogen, biasa digunakan bersamaan dengan
kreatinin untuk menilai fungsi ginjal. Kadar kreatinin dan ureum darah yang meningkat
dapat disebabkan oleh beberapa kondisi seperti gagal jantung kongestif, diabetes mellitus,
infeksi glomeorolus, gagal ginjal.
11. LED ( Laju Endap Darah), dapat digunakan sebagai indikator suatu penykit. Laju endap
darah tinggi menunjukkan gejala seperti demam, infeksi jantung ( endokarditis), nyeri
sendi.
12. HbsAg, antigen hepatitis B. Nilai positif menunjukkan pasien terinfeksi hepatitis B.
13. Hematokrit, penurunan nilai hematokrit merupakan indikator anemia (karena berbagai
sebab). Nilai hematokrit biasanya sebanding dengan jumlah sel darah merah pada ukuran
eritrosit normal, kecuali pada kasus anemia makrositik atau mikrositik. Pada pasien
anemia karena kekuragan besi (ukuran sel darah merah lebih kecil), nilai hematokrit akan
terukur lebih rendah karena sel mikrositik terkumpul pada volume yang lebih kecil,
walaupun jumlah sel darah merah terlihat normal. Nilai normal hematokrit adalah sekitar
3 kali nilai hemoglobin.
14. Bilirubin, pigmen kekuningan yang dilepaskan ketika sel-sel darah merah pecah. Blirubin
diproses dan dikeluarkan oleh hati. Tingkat bilirubin yang tinggi mengidikasikan adanya
kerusakan hati.
15. Natrium, sebuah mineral yang ditemukan dalam tubuh dan dalam banyak makanan.
Natrium merupakan nutrisi penting untuk mempertahankan volume darah, mengatur
keseimbangan air di dalam sel dan menjaga fungsi syaraf. Nilai natrium tinggi
menunjukkan kadar natrium dalam darah tinggi sehingga menyebabkan hipertensi.
16. Kalsium, mineral penting yang paling banyak dibutuhkan manusia. Kalsium membantu
pembentukan tulang dan gigi dan diperlukan untuk pmbekuan darah, transmisi sinyal
pada sel araf dan kontraksi otot. Kalsium juga berperan dalam menurunkan pembekuan
darah, dan terbukti mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler pada wanita pasca
menopouse.
III. Analisis Drug Related Problem
a. Indikasi yang tidak ditangani ( Untreated indication) : Tidak ada
b. Pilihan obat yang kurang tepat (Unproper Drug Selection) :
1. Ranitidin merupakan obat gangguan gastrointestinal golongan antagonis H2 yang
dimetabolisme di hati sedangkan pasien mengalami sirosis atau kerusakan sel-sel hati
jadi sebaiknya diganti dengan sukralfat yang bekerja dengan melapisi mukosa lambung.
Sukralfat merupakan pilihan yang aman untuk pasien usia lanjut.
c. Penggunaan obat tanpa indikasi ( Drug Use Without Indication) :
1. Fosmidex/100 ml NacL (Fosmisin Na.) untuk pengobatan perdarahan abdomen pasca
bedah. Pasien tidak ada indikasi pembedahan abdomen.
2. Mersitropil (Piracetam) untuk pengobatan infark cerebral. Pasien tidak ada indikasi
infark cerebral.
3. Recolfar (Kolkisin) untuk pengobatan arthritis gout namun pasien tidak ada indikasi
arthritis gout.
4. Fordesia (Donepezil HCl) untuk pengobatan alzheimer namun pasien tidak ada indikasi
alzheimer atau gangguan sistem saraf pusat lainnya.
5. Edotin (Erdostein) untuk mukolitik gangguan saluran pernafasan akut dan kronik
sedangkan pasien tidak ada indikasi gangguan saluran pernafasan.
d. Dosis terlalu rendah ( Sub Therapeutic Dose) : Tidak ada
e. Dosis terlalu tinggi (Over Dosage) :
1. Onetic (Ondansetron) 2 x 4 mg
Pengobatan mual muntah : injeksi 1 x 4 mg
2. Vitamin K (Menadion) 3 x 1 ampul
Hipoprotrombinemia : 1 x1 ampul 10 mg/mL tiap 12-48 jam
f. Reaksi obat yang tidak dikehendaki (Adverse Drug Reaction) :
1. Hepa-merz, ES : mual muntah, namun tidak diperlukan penghentian terapi, cukup
kurangi dosis. Dalam kasus diberikan obat anti emetik yaitu ondansetron untuk
mengurangi efek muntah. Dalam kasus, hepa-merz diberikan satu kali sehari sedangkan
dosis lazim hepa-merz adalah 3 kali sehari 1-2 sachet.
2. Kanamycin, ES : defisiensi vitamin K sehingga perlu ditambahkan injeksi vitamin K
untuk mencegah hipoprotrombinemia.
g. Interaksi obat (Drug Interaction) :
1. Furosemid + Vitamin K : menurunkan efek vitamin K.
Jadi penggunaan obat tersebut diatur waktu minumnya. Furosemid diberikan 2 kali sehari
pada pagi dan siang hari sedangkan vitamin K diberikan 1 kali sehari pada malam hari.
2. Furosemid + Spironolakton : Furosemid menurunkan kadar kalium dan spironolakton
meningkatkan kadar kalium.
3. Kanamycin + Furosemid : meningkatkan toksisitas kedua obat dan meningkatkan resiko
nefrotoksik.
4. Kanamycin + spironolakton : meningkatkan efek kanamycin.
h. Gagal menerima obat (Failure to receive indications) : Tidak ada.
4. Plan
Nama Obat Dosis Dosis Seharusnya Keterangan
PARENTERAL
Comafusin hepar 41 ml/jam 1000-1500 ml/ hari
dengan kecepatan
Digunakan
infus 40-50 ml/ jam
atau 15-20 tetes/
menit
D 5% 1000 ml/hr Digunakan
Octalbin 20 % 100 cc 2 gram/kgBB untuk
24 jam
Tidak digunakan
INJEKSI
Cefotaksim 3x1 g Dewasa dan anak
>12 tahun 1-2
gram/hari,maksimal
12 gram/hari
Digunakan
Fosmidex/100 mL 2x1 g Infusdewasa : 2-4 g.
anak 200 mg/kg.
Keduanya dengan
drip infus terbagi
dalam 2 dosis.
Pembedahan akut
dan infektif dewasa
dan anak > 12 tahun
dosis tunggal 8 gram
infusi.v ½ - 1 jam
sebelum
pembedahan.
Tidak digunakan
Onetic 2x4 mg Injeksi pengobatan
mual dan muntah
pasca operasi : 4 mg
i. m. sebagai dosis
tunggal atau
diberikan injeksi i.v
secara lambat
Digunakan
Vitamin K 3x1 amp Injeksi 5-10 mg
dosis tunggal i.m.
Digunakan
Mersitropil 4x3 g Ampul : dewasa,
dosis rata-rata 3x
Tidak digunakan
sehari 1 ampul
secara i.v atau i.m.
Furosemid 2x1 amp 1 x sehari. Anak:
2mg/kgBB
maksimum 40 mg
sehari.
Digunakan
Ranitidin 2x1 amp injeksi : 50 mg iv
atau im suntikan
lambat / iv infus tiap
6-8 jam.
Penggantian obat
ORAL
Curcuma cps 3x1 Hepatoprotektor 3
kali sehari 500 mg
Digunakan
Kanamycin cps 4x1 Sterilisasi usus :
dewasa : 1 g per jam
selama 4 jam,
kemudian 1 g tiap 6
jam selama 36-72
jam. Terapi
tambahan pada
koma hepatica :
dewasa : sehari 8-12
g dalam dosis
terbagi, diberikan
sehari 4x .
Digunakan
Spirolactone 1-0-0 dewasa : 50-100 mg
sehari dalam dosis
bagi, selanjutnya
dapat ditingkatkan
sampai 400 mg.
Digunakan
Aricept 1x1 5mg/hari sebagai
dosis tunggal
diberikan pada
malam hari
Tidak digunakan
menjelang tidur,
diberikan minimal 1
bulan sebelum
respon klinis daapat
dinilai, dosis dapat
ditingkatkan hingga
10mg/hari sebagai
dosis tunggal, dosis
maksimum 10
mg/hari.
Serolin 10 3x1 3 kali 1-2 tablet Tidak digunakan
Avodart 1x1 1 kapsul sehari 0,5
mg
Digunakan
Dor ner 3x1 120 mcg dalam 3
kali dosis terbagi,
HT pulmonar : 60
mcg dalam 3 dosis
terbagi
Digunakan
Pralax syrup 3x1 C Digunakan
Recolfar 1x1 artritis gout, artritis
akut : dosis awal :
0,5-1,2 mg diikuti
dengan 0,5 mg
setiap 2 jam sampai
rasa sakit hilang.
Serangan akut : 4-8
mg. profilaksis
gout : pencegahan
0,5 mg diberikan
sekali seminggu
sampai sekali sehari.
Tidak digunakan
Chana 4x1 Hipoalbumin : 3x2
kapsul dilanjutkan
3x1. Untuk
Digunakan
suplemen : 1x1
Glikuidon 1-0-0 Awal, ½ tablet
(15mg) pada waktu
makan pagi, dosis
harian lebih dari 4
tablet (120mg) tidak
selalu memberikan
perbaikan
Tidak digunakan
HP Pro 3x1 3x1-2 kapsul Digunakan
Edotin 3x1 2-3x sehari satu
kapsul
Tidak digunakan
Hepamerz 1x1 3 x 1-2 sachet,
minimal 2 mg/g.
Digunakan
Fordesia 1x1 5 mg/hari atau
dapatdinaikkan 10
mg/hari
Tidak digunakan
Geriavita 1x1 dewasa : sekali
sehari 1 kaplet.
Digunakan
Keterangan :
1. Comafusin hepar digunakan untuk berat pada insufisiensi hati engan koma endogen atau
prekoma hepatik
2. Dekstrose 5% digunakan untuk nutrisi parenteral karena pasien mengalami gangguan
nafsu makan karena rasa tidak nyaman pada gastrointestinal sehingga diberikan nutrisi
parenteral.
3. Octalbin 20% tidak digunakan karena ada kontraindikasi pada pasien sirosis hati oleh
karena itu tidak digunakan. Untuk meningkatkan kadar albumin diberikan Chana yang
mengandung ekstrak ikan gabus.
4. Cefotaksim digunakan untuk infeksi saluran nafas bawah, saluran kemih, ginekologi,
kulit, tulang dan rawansendi, saluran pencernaan dan SSP. Bakteremia dan septicemia.
Cefotaksim merupakan antibiotik yang digunakan untuk terapi peritonitis bakterial
spontan pada pasien sirosis hati.
5. Fosmidex/100 mL NaCl (Fosmisin Na.) tidak digunakan karena pasien tidak mengalami
pembedahan abdomen yang menyebabkan perdarahan.
6. Onetic (Ondansetron HCl digunakan untuk mual muntah akibat sitotoksik, radio terapi
dan pasca operasi, tetap digunakan karena pasien sirosis akan mengalami gangguan
gastrointestinal yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada gastrointestinal seperti mual
dan muntah, selain itu penggunaan obat hepamerz dapat menimbulkan efek samping mual
dan muntah.
7. Vitamin K digunakan untuk mencegah dan mengobati perdarahan pada neonates,
hipoprotrombinemia. Tetap digunakan karena pasien mengalami perdarahan abdomen
yang menyebabkan melena yaitu feses berwarna hitam karena bercampur darah. Selain itu
penggunaan antibiotik makrolida dapat menimbulkan efek samping defisiensi vitamin K.
8. Mersitropil (Piracetam) tidak digunakan karena pasien tidak ada indikasi infark serebral.
Biasanya digunakan untuk penyakit penyerta sirosis yaitu ensefalopati hepatik, namun
pasien tidak ada indikasi ensefalopati hepatik.
9. Furosemid digunakan untuk edema, liver asites, hipertensi ringan sampai
sedang :dosisawal 2 x sehari, pemeliharaan : 1 x sehari. Anak : 2mg/kgBB maksimum 40
mg sehari. Pasien mengalami asites yaitu akumulasi cairan di dalam rongga perut
sehingga diperlukan terapi diuretik utuk mengeluakan cairan yang tertahan di dalam
tubuh. Furosemid adalah terapi tambahan setelah pemberian diuretik hemat kalium yaitu
spironolakton.
10. Ranitidin diganti dengan sukralfat karena ranitidin dimetabolisme di hati dengan ikatan
protein yang rendah kadar obat bebas di dalam darah meningkat sehingga kemungkinan
efek toksiknya meningkat. Sukralfat merupakan obat gastrointestinal pilihan untuk lansia
digunakan untuk pengobatan jangka pendek tukak duodenum aktif, tukak lambung aktif,
mengurangi gejala refluks esophagitis, terapi pemeliharaan setelah penyembuhan tukak
duodenum dan lambung.
11. Curcuma cps menambah nafsu makan, membantu mengobati gangguan fungsi hati,
memelihara kesehatan
12. Kanamycin cps digunakan untuk supresi bakteri usus sebelum pembedahan usus, terapi
tambahan pada koma hepatica, disentri basiler, diare akut dan infeksi lainnya pada usus.
Kanamycin tetap digunakan karena pada pasien sirosis hati dan asites, rongga abdomen
tidak mampu melawan infeksi secara normal. Antibiotik tersebut merupaka antibiotik
yang digunakan pada abses hati.
13. Spirolactone (spironolakton) digunakan untuk hipertensi esensial, edema pada payah
jantung kongestif, edema yang disertai dengan peningkatan kadar aldosterone dalam
darah, misalnya pada sindrom nefrotik atau sirosis hati, juga digunakan dalam diagnosis
maupun pengobatan pada hiperaldosteronisme primer. Spironolakton merupakan diuretik
hemat kalium yang menjadi pilihan utama pada pasien asites. Jika penggunaan
monoterapi spironolakton tidak mengalami perubahan dapat dikombinasi dengan
furosemid.
14. Aricept (donepezil HCl) tidak digunakan karena pasien tidak ada indikasi demensia atau
alzheimer.
15. Serolin 10 (nicergoline) tidak digunakan karena tidak ada indikasi gangguan vaskulo
metabolik serebral.
16. Avodart (dutasterid) merupakan terapi BPH golongan 5-alpha reductase inhibitor.
17. Dor ner (beraprost natrium) digunakan untuk terapi hipertensi pulmonar.
18. Pralax syrup (laktulosa) tidak digunakan karena pasien tidak ada indikasi konstipasi. Jika
terjadi konstipasi akibat obat maka dapat diberikan terapi nonfarmakologi dengan
makanan tinggi serat seperti buah dan sayur.
19. Recolfar (kolkisin) tidak digunakan karena pasien tidak ada indikasi arthritis gout.
20. Chana (ekstrak kutuk) digunakan untuk terapi tambahan albumin karena kadar albumin
pasien rendah. Karena octalbin tidak digunakan jadi digunakan chana untuk terapi
peningkatan albumin.
21. Glikuidon tidak digunakan karena pasien memiliki riwayat diabetes mellitus namun data
klinik tidak mencantumkan kadar gula darah pasien.
22. HP Pro (ekstrak siccum) digunakan untuk nekroinflamasi hepar, meningkatkan kemampuan
detoksifikasi (menetralkan racun) sel hepar terhadap bahan toksik, mencegah kerusakan sel hepar
akibat lipid peroksida, mencegah kerusakan sel hepar akibat radikal bebas, meningkatkan salah
satu enzim anti oksidan fisiologi sel hepar yang penting yaitu super oxide dismutase (SOD),
menstimulasi sintesa albumin & glikogen oleh sel hepar.
23. Edotin (erdostein) diindikasikan untuk mengatasi gejala sesak nafas pada pasien akan
tetapi obat tersebut kontraindikasi dengan pasien sirosis hepatik sehingga tidak digunakan
dan pasien tidak mengalami gangguan pernafasan. Pasien mengalami hipertensi pulmonal
yang dapat diikuti dengan gejala sesak nafas namun sudah diterapi dengan antihipertensi
golongan diuretik dan tekanan darah pasien mendekati normal sehingga gejala sesak
nafas diharapkan tidak terjadi.
24. Hepamerz (L-ornitin-L-aspartat) digunakan untuk terapi detoksifikasi amini pada
penyakit hati kronik misalnya sirosis hati, perlemakan hati, hepatitis, terapi prakoma
hepatic atau hepatic ensefalopati ringan-berat
25. Fordesia (donepezil HCl) tidak digunakan karena pasien tidak ada indikasi demensia dan
alzheimer.
26. Geriavita (Vitamin dan suplemen) digunakan untuk kekurangan vitamin dan mineral
disebabkan kekurangan makanan, masa penyembuhan pada usia lanjut.
27. Infus PRC (Packed Red Cell) digunakan untuk terapi anemia dan trombositopenia.
IV. KIE
Berikut ini ada beberapa cara sederhana dalam menangani penyakit sirosis hati, sebagai
berikut :
1. Dalam masa pengobatan, diet cocok diterapkan oleh penderita sirosis hati. Diet dilakukan
dalam dua tahapan terapi. Pada tahap ini, penderita sirosis hati hanya bisa inum-
minuman, seperti teh, sirup, dan sari buah. Penderita sirosis hati juga boleh
mengkonsumsi makanan halus atau mudah ditelan, tetapi harus dibawah pengawasan
dokter atau ahli gizi. Lamanya melakukan diet dilakukan tergantung pada tahapan gejala
sirosis hati.
2. Diet rendah protein dan natrium.
3. Pemilihan makanan bagi penderita sirosis hati. Dalam memilih menu makanan bagi
penderita sirois hati, sebaiknya diperhatikan hal-hal berikut ini :
a. Hindari konsumsi makanan yang dapat menimbulkan penimbunan gas dala lambung
seperti ubi, singkong, kacang merah, kol, sawi, lobak, nangka, dan durian.
b. Hindari konsumsi makanan yang telah diawetkan, serti hamburger, sosis, ikan asin, dan
kornet. Usahakan selalu mengkonsumsi makanan segar.
c. Pilih bahan makanan yang mengandung lemanya tidak banyak seperti daging yang tidak
berlemak, ikan segar, atau ayam tanpa kulit.
d. Pilih sayuran rendah serat, seperti bayam, wortel, bit labu siam, kacang panjang muda,
buncis muda, an daun kangkung,
e. Hindari konsumsi bumbu-bumbu masakan jangan terlalu banyak dan gunakan bumbu
maskan dlam batas norma, seperti slam, lengkuas, kunyit, bawang merah, bawang putih,
dan ketumbar asal tidak terlalu banyak.
f. Hindari bahan makanan yang terlalu berlemak seperti daging, usus, otak, sumsum atau
santan kental.
g. Jika pasien mengalami sesak nafas dapat digunakan terapi bantuan pernafasan seperti
oksigen.
h. Istirahat yang cukup
i. Diet tanpa lemak selama 4-8 minggu
j. Pasien harus menjaga pola hidup, dengan cara berhenti merokok, dan
menghindari alkohol serta obat terlarang.
Obat – Obat Yang Digunakan
PARENTERAL
1. Comafusin Hepar
Komposisi : Amino acid 43%. xilitol, vitamin dan elektrolit
Indikasi : semua kasus berat pada insufisiensi hati engan koma endogen atau
prekoma hepatik
Dosis : 1000-1500 ml/hari dengan kcepatan infus 40-50 ml/jam atau 15-20
tetes/menit
Kontraindiksi : insufisiensi ginjal berat
Perhatian : defisiensi Kalium
2. D5%
Komposisi : glukosa 5 g dalam 100 mL /50 g dalam 1 L
Indikasi : nutrisi parenteral
3. Octalbin 20%
Komposisi : Albumin
Indikasi : Memperbaikidanmemeliharasirkulasi volume darah
Kontraindikasi : Hipersensitifterhadap albumin, hipertensi, edema paru, anemia
INJEKSI
1. Cefotaksim
Komposisi : cefotaksim
Indikasi : infeksi saluran nafas bawah, saluran kemih, ginekologi, kulit, tulang
dan rawan sendi, saluran pencernaan dan SSP. Bakteremia dan
septicemia
Kontraindikasi : Hipersensitifterhadapsefotaksim
Efeksamping : ruam makulo papula, urtikaria, eosinfika dan demam otot,
neutropenia reversible, elevasi transien untuk SGOT, SGPT dan nilai
alkali fosfat, diare.
Dosis : 2-4 gram seharidalam 2 dosistiap 12 jam, infeksiparah, dosis dapat
ditingkatkan hingga total 8 gram sehari. Dewasa dan anak >12 tahun
1-2 gram/hari, maksimal 12 gram/hari
2. Fosmidex/100 NaCl
Komposisi : Fosmisin Na.
Indikasi : Pencegahan infeksi pada pembedahan abdomen
Perhatian : Gangguan fungsi hati, pemeriksaan secara periodic tes fungsi ginjal,
hati dan hematologi pada pemakaian jangka panjang. Pasien dengan
gagal jantung, hipertensi yang perlu mengurani intake Na, kehamilan.
Efeksamping : sakitkepala, vertigo, mulut kering, rasa tidak nyaman pada dada.
Dosis : Infusdewasa : 2-4 g. anak 200 mg/kg. Keduanya dengan drip infuster
bagi dalam 2 dosis. Pembedahan akut dan infektif dewasa dan anak >
12 tahun dosis tunggal 8 gram infusi.v ½ - 1 jam sebelum pembedahan.
Kontraindikasi : hipersensitif terhadap fosmisin.
3. Onetic
Komposisi : OndansetronHCl
Indikasi : mualmuntahakibatsitotoksik, radioterapidanpascaoperasi
Perhatian : Hamil trimester 1, laktasi
Dosis : Injeksipengobatanmualdanmuntahpascaoperasi : 4 mg i.m. sebagai
dosis tunggal atau diberikan injeksi i.v. secara lambat.
4. Vitamin K
Komposisi : MenadionHCl 10 mg
Indikasi : mencegah dan mengobati perdarahan pada neonates,
hipoprotrombinemia
Dosis : Injeksi 5-10 mg dosis tunggal i.m.
5. Mersitropil
Komposisi : Piracetam 400 mg/kaps, 800 mg, 1200 mg/ kap salut selaput,
50mg/5ml sirup, injeksi 3 g/15 ml. 1 g/5 ml ampul, 200 mg/ml infus.
Indikasi : Untukpengobatabinfarkserebral
Kontraindikasi : Penderita dengan kerusakan ginjal parah, hipersensitif terhadap
piracetam.
Perhatian : hati-hati pemberian pada penderita gangguan fungsi ginjal.
Penghentian obat secara mendadak harus dihindari karena dapat
menyebabkan mioklonik atau serangan yang tiba-tiba pada pasien
mioklonik.
Efeksamping : hiperkinesia, insomnia, kenaikanberatbadan, somnolen, gugup,
depresi, diare, rash, iritabilitas, ansietas, tremor, kelelahan, mual,
muntah, vertigo, sakit kepala.
Dosis : Ampul :dewasa, dosis rata-rata 3 x sehari 1 ampul secara i.v atau i.m.
6. Furosemid
Komposisi : Furosemid 10 mg/ml injeksi
Indikasi : edema, edema jantung, paru, ginjal, hepar, hipertensi
Kontraindikasi : gangguanfunsiginjal, hematologi, hepatic koma, hypokalemia
Dosis : edema, liver asites, hipertensi ringan sampai sedang : dosis awal 2 x
sehari, pemeliharaan : 1 x sehari. Anak : 2mg/kgBB maksimum 40 mg
sehari.
7. Ranitidin
Komposisi : Ranitidin 150 mg/tablet, 25 mg/ampul
Indikasi : pengobatan jangka pendek tukak duodenum aktif, tukak lambung
aktif, mengurangi gejala refluks esophagitis, terapi pemeliharaan
setelah penyembuhan tukak duodenum dan lambung.
Dosis : injeksi: 50 mg iv atau i.m suntikan lambat /iv infuse tiap 6-8 jam.
Penggantian obat
Sukralfat
Komposisi : sukralfat
Indikasi : untuk mengobati duodenum ulcer jangka pendek (sampai 8 minggu)
Perhatian : hati-hati pada pasien gagal ginjal kronis dan dialisis, hati-hati pada
wanita menyusui
Dosis : 4 x sehari 2 sendok teh sewaktu lambung kosong (1 jam sebelum
makan dan tidur).
Efek samping : konstipasi, mulut kering, mual, muntah
ORAL
1. Curcuma cps
Komposisi : serbuk rhizome curcuma 500 mg
Indikasi : menambah nafsu makan, membantu mengobati gangguan fungsi hati,
memelihara kesehatan
2. Kanamycin cps
Komposisi : Kanamycin monosulfat
Indikasi : supresi bakteri usus sebelum pembedahan usus, terapi tambahan pada
koma hepatica, disentri basiler, diare akut dan infeksi lainnya pada
usus.
Kontraindikasi : hipersensitifterhadap antibiotic golonganaminoglikosida.
Perhatian : gangguanginjaldanpendengaran, ulserasi intestinal, nutrisi oral dan
parenteral buruk, usia lanjut
Efeksamping : gangguan GI, defisiensivit K dan B.
Dosis : sterilisasiusus :dewasa : 1 g per jam selama 4 jam, kemudian 1 g tiap
6 jam selama 36-72 jam. Terapi tambahan pada koma hepatica :
dewasa : sehari 8-12 g dalam dosis terbagi, diberikan sehari 4x .
3. Spironolakton
Komposisi : spironolakton 25 mg, 100 mg
Indikasi : hipertensiesensial, edema pada payah jantung kongestif, edema yang
disertai dengan peningkatan kadar aldosterone dalam darah, misalnya
pada sindrom nefrotik atau sirosis hati, juga digunakan dalam
diagnosis maupun pengobatan pada hiperaldosteronisme primer.
Kontraindikasi : tidak boleh diberikan pada penderita hyperkalemia atau kegagalan
ginjal yang berat.
Dosis : dewasa : 50-100 mg sehari dalam dosis bagi,selanjutnya dapat
ditingkatkan sampai 400 mg.
4. Aricept
Komposisi : Donepezil HCl
Indikasi : terapi demensa ringan atau sedang pada penyakit Alzheimer.
Kontraindikasi : penderita alergi terhadap donepezil HCl, derivate piperidin atau zat
lainnya.
Dosis : 5mg/hari sebagai dosis tunggal diberikan pada malam hari menjelang
tidur, diberikan minimal 1 bulan sebelum respon klinis dapat dinilai,
dosis dapat ditingkatkan hingga 10mg/hari sebagai dosis tunggal, dosis
maksimum 10 mg/hari.
5. Serolin 10
Komposisi : Nicergoline
Indikasi : gangguan vaskulo-metabolik serebral akut dan kronik, gangguan
vaskulo-metabolik perifer akut.
Dosis 3x1-2 tablet perhari, diminum sebelum makan
Kontraindikas i : hipersensitif
Efek samping : mual, muntah, hipotensi, gangguan tidur
Perhatian : meningkatkan kerja obat antihipertensi, tidak dianjurkan pada wanita
hamil kecuali sangat diperlukan
6. Dorner
Komposisi : Beraprost Natrium
Indikasi : memperbaiki luka, nyeri, dan keadaan rasa dingin berkaitan dengan
penyumbatan arteri kronis. Hipertensi paru-paru primer
Kontraindikasi : pasien haemorrhage, kehamilan
Dosis : memperbaiki luka, nyeri, dan keadaan rasa dingin berkaitan dengan
penyumbatan arteri kronis. Dewasa : 120 mcg sehari dalam 3 dosis
terbagi. Hipertensi paru-paru primer : 60 mcg sehari terbagi dalam 3
dosis. Naikkan dosis jika dibutuhkan sampai maksimal 180 mcg sehari
dalam 3-4 dosis terbagi.
7. Pralax syrup
Komposisi : Lactulose 3,35 g/5 ml sirup
Indikasi : konstipasi kronik
Kontraindikasi : galaktosemia
Perhatian : kehamilan trimester 1, laktasi, anak, diabetes
Efeksamping : kembung, diare, mual, muntah
Dosis : 1-2 sdm/hari( 15-30ml), jika perlu dapat ditingkatkan sampai
60ml/hari. Dapat diberikan untuk 24-58 jam sampai terjadi defekasi
normal.Dapat diberikan bersama makanan untuk mengurangi rasa
tidakn yaman pada GI.
8. Recolfar
Komposisi : kolkisin 0,5 mg
Indikasi dan dosis :artritis gout, arthritis akut : dosisawal : 0,5-1,2 mg diikuti dengan 0,5
mg setiap 2 jam sampai rasa sakit hilang. Serangan akut : 4-8 mg.
profilaksis gout : pencegahan 0,5 mg diberikan sekali seminggu sampai
sekali sehari.
Kontraindikasi : penyakit saluran kemih dan jantung parah, hipersensitif, diskrasia
darah, wanita hamil.
Efek samping : kemungkinan peningkatan toksisitas kolkisisn pada kasus disfungsi
hati harus dipertimbangkan, kelemahan otot, mual, muntah, nyeri perut
atau diare, urtikaria, anemia aplastik, agranulositosis, dermatitis,
purpura, alopesia, padatoksis menyebabkan diare berat, kerusakan
umum pembuluh, kerusakan ginjal berat disertai hematuria dan
oliguria
9. Chana
Komposisi : ekstrak ikan gabus 500 mg
Indikasi : meningkatkn kadar albumin dan meningkatkan daya tahan tubuh,
mempercepat penyembuhan luka dalam dan luar, membantu proses
penyembuhan hepatitis, TBC atau infeksi paru, nefrotik sindrom,
tonsilitis, tyhpus, DM, patah tulang, gastritis, HIV, sepsis, stroke,
talasemia minor, menghilangkan udem.
Dosis : 3x sehari 2-4 kapsul sesudah makan.
10. Glikuidon
Komposisi : Glikuidon 30 mg
Indikasi : diabetes mellitus usia lanjut dan setengah umur
Kontraindikasi : diabetes mellitus remaja dan masa pertumbuhan, koma dan prakoma
diabetik, disbetes disertai asidosis, wanita hamil.
Efeksamping : kadang-kadang timbul reaksi hipoglikemik, reaksi alergi pada kulit
dan gangguan pada saluran cerna.
Dosis : Awal, ½ tablet (15mg) pada waktu makan pagi, dosis harian lebih
dari 4 tablet (120mg) tidak selalu memberikan perbaikan.
11. HP-Pro
Komposisi : extract siccum 7,5mg
Indikasi : menghentikan nekroinflamasi hepar, meningkatkan kemampuan
detoksifikasi (menetralkan racun) sel hepar terhadap bahan toksik,
mencegah kerusakan sel hepar akibat lipid peroksida, mencegah
kerusakan sel hepar akibat radikal bebas, meningkatkan salah satu
enzim anti oksidan fisiologi sel hepar yang penting yaitu super oxide
dismutase (SOD), menstimulasi sintesa albumin & glikogen oleh sel
hepar.
Dosis : Sehari 3 kali 1-2 kapsul selama 1-3 bulan. Bila SGPT & SGOT sudah
kembali normal, penggunaan dapat dihentikan
12. Edotin
Komposisi : Erdosteine
Indikasi : sebagai mukolitik pada gangguan saluran pernafasan akut dan kronik
Kontraindikasi : Sehari 3 kali 1-2 kapsul selama 1-3 bulan. Bila SGPT & SGOT sudah
kembali normal, penggunaan dapat dihentikan
Dosis : 1 kapsul 2-3 x sehari
13. Hepamerz
Komposisi : L-ornitin-L-aspartat
Indikasi : terapi detoksifikasia minia pada penyakit hati kronik misalnya sirosis
hati, perlemakan hati, hepatitis, terapi prakoma hepatic atau hepatic
ensefalopati ringan - berat.
Kontraindikasi : gangguan fungsi ginjal berat dengan nilai kreatinin serum > 3mg/dl.
Perhatian : monitor kadar urea serum dan urin.
Efeksamping : mual dan muntah tetapi tidak diperlukan penghentian terapi, cukup
kurangi dosis atau kecepatan infuse dikurangi, sensasi panas atau
palpitasi.
Dosis : 3 x 1-2 sachet, minimal 2 mg/g.
14. Fordesia
Komposisi : Donepezil Hcl
Indikasi : gejala demensia ringan atau sedang pada penyakit Alzheimer
Kontraindikasi : Hipersensitiv
Perhatian : Pemberian obat anesthesia seperti suksinilkoline dapat meningkatkan
relaksasi otot, bersama obat jantung mengakibatkan bradikardia atau
blok jantung. Berpotensi menimbulkan kejang menyeluruh sekresi
asam lambung meningkat akibat aktivitas kolinergik, beresiko tinggi
menderita ulkus. Hati-hati diberikan pada pasien dengan riwayat
asma/paru obstruktif. Tidak aman bagi ibu hamil, ibu menyusui (belum
diketahui ekskresinya di air susu ibu dan anak).
15. Geriavita
Komposisi : betakaroten, vit E, vit C, asamfolat, vit B, Vit B1, nikotinamid,, vit
B12, biotin, kalsium, besi, selenium seng.
Indikasi : kekurangan vitamin dan mineral disebabkan kekurangan makanan,
masa penyembuhan pada usia lanjut.
Kontraindikasi : hipersensitif
Perhatian : keamanan penggunaan pada wanita belum diketahui.
Efek samping : pada pemakaian berlebih dapat menyebabkan hiperkarotenemia,
alopesia, kelemahan, mual, muntah, malaise, sakit kepala,
hiperkalsemia, fesesberwarnahitam, diareataukonstipasi, demam.
Dosis : dewasa :sekali sehari 1 kaplet.
DAFTAR PUSTAKA
Abeysinghe, M.R.N., Almeida, R., Fernandopulle, M., Karunatiluka, H., Ruwanpathirana, S., 2005. Guidlines on Clinical Management of Dengue Fever/Dengue Haemorrhagic Fever. Sri lanka : SLMH, p. 1- 44
Anonim, 2009, MIMS Indnesia Petunjuk Konsultasi, Jakarta: PT Infomaster, lisensi CMPMedia.
Dib, N., Oberti, F., Cales, P., 2006. Current management of the complications of portal hypertension : Variceal bleeding and ascites. CMAJ
Fauci, et al., 2008, Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. United States:The Mcgraw-Hill Companies.
Garcia-Tsao, et al., 2007, Prevention and Management of Gastroesophageal Varices and Variceal Heorrage in Cirrhosis. AASLD Practice Guidelines.
Gines, P., M.D., Cardenas, A., M.D., Arroyo, V., M.D., and Rodes, J., M.D., 2004,Management of Cirrhosis and Ascites. The New England Journal of Medicine.
Goldman, et al., 2007, Cecil Medicine 23rd Edition, Saunders:Elsevier.
Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M.P. and Lance, L.L., 2008, Drug Information Handbook, 17 th ed., Ohio : Lexi-Comp.
McPhee, S.J., Lingappa, V.R., Ganong, W.F. and Lange, J.D. (Eds.), 1995. Pathophysiology of Disease An Introduction to Clinical Medicine, 21st Edition, Stamford: Appleton & Lange.
PMFT RSU Dr.Soetomo, 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam,Edisi 3. Surabaya: RSU Dr. Soetomo.
Schwinghammer, T.L., 2009. In: Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Hamilton, C.W.,Pharmacotheraphy Handbook, USA: Mcgraw-Hill Comapanies, Inc.
Tatro, D.S., 2003. A to Z Drug Fact. Books Ovid: Fact&Comparison CopyrightBell, B. 2009.Chronic Hepatitis C.http://www.digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/p.
Chris W. Green, 2005. Hepatitis Virus & HIV. ISBN: Spiritia.
Depatemen Kesehatan. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hati. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan.
Elin Yulinah Sukandar dkk, 2008, ISO Farmakoterapi, Jakarta: PT ISFI.
H. Ali Sulaiman dkk, 1997, Gastroenterologi Hepatologi, Jakarta: CV. SAGUNG SETO.
Hajiani Eskandar. 2010. A review on epidemiology, diagnosis and treatment of hepatitis D virus infection. Departmen of International Medicine.
PPHI. 2003. Konsensus PenatalaksanaanHepatitis C kronik. Jakarta: Balai PenerbitFKUI.
Price dan Wilson. 2005. Patofisiologi :Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Sulaiman,HA. Julitasari.2004. Selayang Pandang Hepatitis C. Jakarta.
Tim Horn dan James Learned. 2005. Hepatitis Virus dan HIV. Jakarta: Spiritia.
Baughman, Diane C, 2000, Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku Untuk Brunner danSuddart, alih bahasa oleh Yasmin Asih, EGC, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pendoman Interprestasi Data Klinik. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Dipiro, Joseph T., Robert .L., Talbert, Gary C., Yee, Gary. R., Matzke, B.G., Wells, Posey, L.M. 2009. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 7th Ed., New York: McGraw-Hill.
Ketut Adnyana, I. Kusnandar. dkk. 2008. Iso Farmakoterapi. Jakarta: PT.ISFI Penerbitan
Priyanto, 2009, Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Depok: Leskonfi.
Pramudianto, A. 2014. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 15. Jakarta. PT. Bhuana Ilmu Poluler.
Tjay, TH, Rahardja Kirana. 2007. Obat-obat Penting. Kompas Gramedia: Jakarta
www.medscape.com