Download - Lapsus Decomp Cordis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama pada
beberapa Negara industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia
(Hess OM, 2007). Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia
belum ada, namun ada Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa
penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab kematian utama di Indonesia
(26,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa
penyakit jantung berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit
penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia (Darmojo B,
2004). Di antara 10 penyakit terbanyak pada sistem sirkulasi darah, stroke
tidak berdarahah atau infark menduduki urutan penyebab kematian utama,
yaitu sebesar 27 % (2002), 30%( 2003) , dan 23,2%( 2004). Gagal jantung
menempati urutan ke-5 sebagai penyebab kematian yang terbanyak pada
sistim sirkulasi pada tahun 2005 (Hardiman A, 2007).
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya
gagal jantung di Negara Barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi
mempunyai kontribusi untuk terjadinya gagal jantung sebesar 75% yang
termasuk didalamnya bersamaan dengan penyakit jantung koroner. Gagal
jantung dengan sebab yang tidak diketahui sebanyak 20 – 30% kasus
(Hardiman A, 2007).
Penegakkan diagnosis yang baik sangat penting untuk penatalaksanaan
gagal jantung baik akut maupun kronik. Diagnosis gagal jantung meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan modal dasar untuk
menegakkan diagnosis.
Penatalaksanaan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara umum/
non farmakologi, farmakologi dan penatalaksanaan intervensi.
Penatalaksanaan ini tergantung penyebab gagal jantung yang terjadi, dan
2
fasilitas yang tersedia. Dengan penatalaksanaan yang baik diharapkan akan
terwujud pengurangan angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan
gagal jantung.
1.2 Tujuan
Tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui lebih
dalam mengenai congestive heart failure serta untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Malang di RSUD Kanjuruhan kepanjen.
3
BAB II
STATUS PENDERITA
2.1 Identitas Penderita
Nama : Ny. N
Umur : 63 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Bantur
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Suku/asal : Jawa
Tanggal periksa : 26 Juli 2013
2.2 Anamnesis
√ : sendiri √ : orang lain
4
1. Keluhan Utama: Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan dengan keluhan sesak
nafas yang dirasakan sejak ± 2 minggu yang lalu dan memberat sejak 1
minggu ini. Sesak bertambah berat jika digunakan beraktifitas. Dipakai
jalan sebentar pasien sudah kelelahan dan sesak nafas, dan 3 hari ini
istirahat pun pasien juga sesak sehingga pasien sulit tidur, pasien
membutuhkan 3 – 4 bantal saat tidur agar tidak sesak. Pasien juga
mengeluh dada kirinya terasa berdebar-debar, nyeri sampai menembus
punggung kiri terus menerus dan batuk kering hilang timbul terutama
pada malam hari sejak 2 minggu ini. Selain itu juga kedua kakinya tiba-
tiba membengkak sudah 3 hari ini. BAB dan BAK pasien dalam batas
normal. Selama sakit pasien sudah pernah berobat ke puskesmas tetapi
tidak ada perbaikan, sehingga pasien dibawa ke Rumah sakit oleh
keluarganya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.
- Riwayat hipertensi (+) dan tidak minum obat
- Riwayat asma (-)
- Riwayat alergi makanan (-)
- Penyakit diabetes melitus (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Hipertensi (+) dari ayah
- Asma (-)
- Penyakit jantung (-)
- Penyakit paru (-)
- DM (-)
- Alergi obat/makanan (-)
- Sakit maag (-)
- Tipes (-)
5. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok (-)
5
- Minum kopi (+)
- Minum alkohol (-)
- Olah raga (+)
- Suka makan yang asin-asin dan jeroan (+)
2.3 AnamnesisSistemik
1. Kulit: kulit gatal (-)
2. Mata: pandangan mata berkunang-kunang (-), penglihatan kabur (-),
ketajaman penglihatan berkurang (-)
3. Hidung: tersumbat (-), mimisan (-)
4. Telinga: pendengaran berkurang (-), berdengung (-), cairan (-)
5. Mulut: sariawan (-), lidah terasa pahit (-)
6. Ternggorokan: sakit menelan (-), serak (-)
7. Leher: sakit tengkuk (-), kaku (-), gondok (-)
8. Mammae: nyeri (-), benjolan (-)
9. Pernafasan: sesak nafas (+), batuk (+), mengi (-)
10. Jantung & peredaran darah: berdebar-debar (+), nyeri dada (+),
ortopneu (-), paroxysmal nocturnal dipsneu (-), dipsnue d’effort (+)
11. Gastrointestinal: nyeri (+), mual (-), muntah (-), diare (-), nafsu
makan menurun (+), kembung (-)
12. Genitourinaria: BAK spontan (+),BAB spontan (+)
13. Neurologik: kejang (-), lumpuh (-), kaki kesemutan (-), sakit kepala (-),
pusing (-)
14. Psikiatrik: emosi stabil (+), mudah marah (-)
15. Muskuluskeletal: kaku sendi (-), nyeri sendi pinggul (-), nyeri tangan
dan kaki (-), nyeri otot (-), lemah (+)
16. Ekstremitas atas dan bawah: bengkak (+), sakit (-), ujung jari, telapak
tangan dan kaki dingin (-)
17. Endokrin: polidipsi (-), polifagi (-), poliuri (-)
18. Darah: kepucatan (-), mudah kebiruan (-)
19. Penyakit yang pernah diderita: TBC (-), alergi (-), asma (-), hipertensi
(+)
6
20. Makanan: nasi/jagung (+), sayur (+), tahu (+), tempe (+), ikan (+),
telur (+), susu (-)
kwantitas: cukup
2.4 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum: kesadaran compos mentis ( GCS E4V5M6), status gizi
kesan cukup, tampak sesak nafas dan kesakitan
2. Tanda Vital:
Tensi : 150/100 mmHg
Nadi : 110 x / menit
Pernafasan : 30 x /menit
Suhu : 36,5oC
3. Kepala: bentuk mesocephal, luka (-), rambut mudah dicabut, keriput (-),
macula (-), atrofi m. temporalis (-), papula (-), nodula (-)
4. Mata: conjunctiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+),
reflek kornea (+/+), warna kelopak (-), radang (-), mata cowong (-)
5. Telinga: nyeri tekan mastoid (-), secret (-), pendengaran berkurang (-),
cuping telinga dalam batas normal
6. Hidung: napas cuping hidung (-), secret (-), epistaksis (-), deformitas
hidung (-), hiperpigmentasi (-)
7. Mulut: bibir hiperemis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), papil lidah
atrofi (-), tremor (-), gusi berdarah (-), mukosa kering (-)
8. Tenggorokan: tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-)
9. Leher: trakea di tengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran
kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)
10. Thoraks: normochest, simetris, pernapasan abdominothorakal,
retraksi (+), spidernevi (-), sela iga melebar (-)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas : SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
batas kanan atas : SIC II Linea Para Sternalis Dextra
7
batas kiri bawah :SIC VI 1 cm lateral Linea
midclavicula sinistra
batas kanan bawah: SIC V Linea Para Sternalis Dextra
pinggang jantung : SIC II Linea Para Sternalis Sinistra
(batas jantung terkesan membesar)
Auskultasi :Bunyi jantung I–II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : vesikuler, suara tambahan ronki (+/+), wheezing (-/-)
11. Abdomen:
Inspeksi : bekas luka (-) , stria (-), bentuk cembung
Palpasi : nyeri tekan (-), tumor (-), hepar: sulit dievaluasi lien:
sulit dievaluasi
Perkusi : meteorismus (-), shifting dullness (-)
Auskultasi : peristaltik usus BU (+) Normal
12. Sistem collumna vertebralis: inspeksi: deformitas (-), skoliosis (-),
kiphosis (-), lordosis (-)
13. Ekstremitas: palmar eritema (-), jari tabuh (-)
- - Odem + + Reflek Fisiologis
+ + + +
+ + Akral hangat - - Reflek Patologis
+ + - -
14. Sistem genetalia: dalam batas normal.
2.5 Pemeriksaan penunjang
1. Foto thoraks
8
Cor : size (> 50%), site di tengah, shape tidak ada
Lapang paru ada peningkatan radio opaq berbentuk garis
linear
Kesimpulan : Cardiomegali dengan odem pulmonum
2. EKG : LAD LVH, sinus takikardi
9
3. Laboratorium
Tanggal 26 Juli 2013
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
Hemoglobin 15,7 L.13,5-18 P.12-16 g/dl
Hitung Lekosit 14.700 4.000 - 11.000 sel/cmm
Hitung Eritrosit 5,02 4,0 - 5,5 Juta/cmm
Hitung Trombosit 267.000 150.000 - 450.000 sel/cmm
Hematokrit 48,3 L. 40-54 P. 35-47 %
10
GDS 145 <140 Mg/dl
SGOT 133 L. <43 P. <36 U/l
SGPT 178 L. <43 P. <36 U/l
Ureum 41 20 – 40 mg/dl
Kreatinin 0,72 L. 0,6 - 1,1 P.0,5 - 0,9 mg/dl
LDH 1.088 230 – 460 mmol/L
2.6 Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan dengan keluhan sesak nafas
yang dirasakan sejak ± 2 minggu yang lalu dan memberat sejak 1 minggu
ini. Sesak bertambah berat jika digunakan beraktifitas. Dipakai jalan
sebentar pasien sudah kelelahan dan sesak nafas, dan 3 hari ini istirahat pun
pasien juga sesak sehingga pasien sulit tidur, pasien membutuhkan 3 – 4
bantal saat tidur agar tidak sesak. Pasien juga mengeluh dada kirinya terasa
berdebar-debar, nyeri sampai menembus punggung kiri terus menerus dan
batuk kering hilang timbul terutama pada malam hari sejak 2 minggu ini.
Selain itu juga kedua kakinya tiba-tiba membengkak sudah 3 hari ini.
Riwayat Penyakit dahulunya, pasien menderita Hipertensi yang tidak
tercontrol. Riwayat penyakit keluarga didapat ayahnya juga menderita
Hipertensi. Riwayat kebiasaan pasien didapat pasien suka mengkonsumsi
kopi, jarang berolah raga, serta suka makan makanan yang asin dan
berlemak.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan tekanan darah 150/100 mmHg, nadi
110 x/menit, RR: 30 x/mnt. Thorax: pada jantung ditemukan batas jantung
kesan membesar. Pada ekstremitas didapatkan pembengkakan pada kedua
tungkai kaki. Pada pemeriksaan penunjang foto thorak didapatkan
kardiomegali dengan odem pulmonum, pada EKG didapatkan LAD dan
LVH, pada pemeriksaan darah didapatkan leukosit (↑), SGOT (↑), SGPT
(↑), LDH (↑).
2.7 Diagnosis
Decompensatio Cordis grade IV + Hipertensi stage I
11
2.8 Diagnosa Banding
- Penyakit paru : pneumonia, PPOK, infeksi paru berat, emboli paru.
- Penyakit ginjal : gagal ginjal kronik, syndrome nefrotik.
- Penyakit hati : sirosis hepatis.
2.9 Penatalaksanaan
1. Non Medika mentosa
a. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya
b. Tirah baring
c. Posisi setengah duduk (semi fowler)
d. Kurangi intake cairan dan garam
2. Medikamentosa
- O2 2 liter/menit
- IVFD RL 15 tpm
- Inj Furosemide 2 x 1 amp
- Captopril 3 x 12,5 mg (po)
- ISDN 3 x 5 mg (po)
- Spironolacton 2 x 25 mg (po)
- Digoxin 1 x 0,25 mg (po)
2.10 Follow Up
Nama : Ny. N
Diagnosis : Decompensatio Cordis grade IV + Hipertensi stage I
Tanggal S O A P
1. 27/7/2013 Sesak nafas (+), nyeri dada (+), batuk kering (+)
T : 150/80N : 80 x/mntS : 36.8oCRR: 28x/mntThorax:Rh : +/+Extremitas:Edema - - + +
Decompensatio Cordis + Hipertensi
Planning therapyO2 2 liter/menit Infus RL15 tpmParenteral• Furosemid 2 x1 amp
Oral:• Captopril 3x12,5 mg• ISDN 3 x 5 mg• Spironolacton 2x25mg • Digoxin 1 x 0,25 mg
2. 28/47/2013 Sesak nafas (+), batuk kering (+)
T : 130/80N : 85 x/mntRR:
Decompensatio
Planning therapyO2 2 liter/menit Infus RL15 tpm
12
24x/menitS : 36,3 oCThorax:Rh : + /+Extremitas:Edema - - + +
Cordis + Hipertensi
Parenteral• Furosemid 2 x1 amp• Omeprazol 1 x 1 amp
Oral:• Captopril 3x12,5 mg• ISDN 3 x 5 mg• Spironolacton 2x25mg• Digoxin 1 x 0,25 mg
3. 29/7/2013 Sesak nafas berkurang, batuk kering berkurang, kaki bengkak berkurang
T : 140/90N : 88 x/mntRR: 22 x/mntS : 36,5 oCThorax:Rh : -/ -Extremitas:Edema - - - -
Decompensatio Cordis + Hipertensi
Planning therapyO2 2 liter/menit Infus RL15 tpmParenteral• Furosemid 2 x1 amp• Omeprazol 1 x 1 amp
Oral:• Captopril 3x12,5 mg• ISDN 3 x 5 mg• Spironolacton 2x25mg• Digoxin 1 x 0,25 mg
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan
darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuhatau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan
tekanan pengisian jantung yang tinggi atau kedua-duanya (Shah RVet al.,
2007).
Secara singkat menurut Sonnenblik (1989) gagal jantung terjadi apabila
jantung tidak mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang normal, meskipun
aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal.
3.2 Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
penting untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di Negara maju penyakit
arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan di
Negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit
katup jantung dan penyakit jantung akibat malnutrisi.7 Secara garis besar
penyebab terbanyak gagal jantung adalah penyakit jantung koroner 60-75%,
dengan penyebab penyakit jantung hipertensi 75%, penyakit katup (10%)
serta kardiomiopati dan sebab lain (10%) (Lip GYHet al., 2000).
Faktor resiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang
dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan
serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan
sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung (Lip GYHet
al., 2000).
Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat
diklasifikasikan dalam enam kategori utama:
1. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat
disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak
14
terkoordinasi (left bundle branch block), berkurangnya kontraktilitas
(kardiomiopati).
2. Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
3. Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.
4. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
5. Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard
(tamponade).
6. Kelainan kongenital jantung.
Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus:
• Faktor Predisposisi: hipertensi, penyakit arteri koroner, kardiomiopati,
penyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis mitral,
dan penyakit perikardial.
• Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain:
meningkatnya asupan (intake) garam, ketidak patuhan menjalani
pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut, hipertensi, aritmia
akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan,
dan endokarditis infektif (Prasetyanto H, 2010).
3.3 Patogenesa Gagal Jantung
15
Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang
dimulai setelah adanya “index event” atau kejadian penentu, hal ini dapat
berupa kerusakan otot jantung, yang kemudian mengakibatkan
berkurangnya miosit jantungyang berfungsi baik, atau mengganggu
kemampuan miokardium untuk menghasilkan daya. Hal ini pada akhirnya
mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi secara normal. Pasien
dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu kesamaan, yaitu
penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari berbagai penyebab
gagal jantung.
Patogenesis pada gagal jantung dapat diterangkan pada Gambar 1.
Gagal jantung dimulai setelah adanya index event yang menghasilkan
penurunan pada kemampuan pompa jantung. Seiring dengan menurunan
pada kapasitas pompa jantung, beragam mekanisme kompensasi diaktifkan
termasuk sistem syaraf adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistim
sitokin. Pada jangka pendek hal ini dapat mengembalikan fungsi jantung
pada batas homoestatik sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun dengan
aktivasi berkelanjutan mekanisme kompensasi ini dapat mengakibatkan
kerusakan organ terminal sekunder pada ventrikel, dengan remodelling
ventrikel kiri yang memburuk dan dekompensasi jantung. Sebagai akibatnya
secara klinis pasien mengalami transisi dari gagal jantung yang tidak
bergejala ke gagal jantung yang bergejala.
Gambar 3.1. Patofisiologi Gagal Jantung (Mann DL, 2008)
Mekanisme Neurohormonal
16
Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor
arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi
meningkat. Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan
aktifitas pada sistem simpatis, berkurangnya kemampuan sistem
parasimpatik dan simpatik dalam mengontrol denyut jantung, dan
terganggunya regulasi reflek simpatis pada resistensi vaskular. Iskemia
dinding anterior juga memiliki efek tambahan pada eksitasi sistem saraf
simpatik efferent. Gambaran sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada
gagal jantung dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif
ataupun maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat
memelihara tekanan perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung.
Sistem ini menjadi maladaptif apabila menimbulkan peningkatan
hemodinamik melebihi batas ambang normal, menimbulkan peningkatan
kebutuhan oksigen, serta memicu timbulnya cedera sel miokard. Adapun
pengaturan neurohormonal sebagai berikut:
A. Sistem Saraf Adrenergik
Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal
iniakan dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcusaorta,
kemudian dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X,yang akan
mengaktivasi sistem saraf simpatis. Aktivasi systemsaraf simpatis ini akan
menaikkan kadar norepinefrin (NE). Hal iniakan meningkatkan frekuensi
denyut jantung, meningkatkankontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri
dan vena sistemik (Hess OM, 2007).
Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan
tekanan darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang
dapat menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam
jangka pendek aktivasi sistem adrenergic dapat sangat membantu, tetapi
lambat laun akan terjadi maladaptasi (Hess OM, 2007).
Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan
konsentrasi norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas,
17
mungkin berhubungan dengan “exhaustion phenomenon” yang berasal dari
aktivasi sistem adrenergik yang berlangsung lama (Hess OM, 2007).
Keterangan: Ach:asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat, E=epinephrine, Na+=Natrium, NE=norepinephrine.
Gambar 3.2. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik
pada gagal jantung (Floras JS, 2004)
B. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-
angiotensin aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal,
berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal,
dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan
renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino
dari angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting enzyme akan
melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II.
Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1
(AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses rennin angiotensin aldosteron ini dapat
tergambar pada Gambar 2.2. Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan
vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan
katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi
pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin (Hess OM, 2007).
18
Gambar 3.3 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (Weber KT dkk, 2001)
Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam
mempertahankan sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika
terjadi ekspresi lama dan berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif
yang dapat menyebabkan fibrosis pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain
itu, juga akan mengakibatkan peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi
korteks adrenal zona glomerulosa untuk memproduksi aldosteron (Hess
OM, 2007).
Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi
dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung
relatif lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan
fibrosis vaskuler dan miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance
vaskuler dan meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron
memicu disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake
norepinefrin yang akan memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi
aldosteron pada sistem kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif
dengan hasil akhir inflamasi pada jaringan (Hess OM, 2007).
19
C. Stres Oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen
species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari
ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II,
aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi
(tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi
hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan
mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara menurunkan bioavailabilitas
NO (Shah RV et al.,2007).
D. Bradikinin
Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam
pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan
reseptor B1 dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat
ikatan dengan reseptor B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan
vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh ACE
(Shah RV et al.,2007).
E. Remodeling Ventrikel Kiri
Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal menjelaskan
progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif
berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel
kiri di kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting pada
miosit jantung, perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit pada
miokard serta geometri dan arsitektur ruangan ventrikel kiri. Proses
remodeling jantung ini dapat dijelaskan pada gambar 3.3. Remodeling
berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan meningkatkan
rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang overload dengan
tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta,
mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara parallel
menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung,
yang menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban jantung didominasi
dengan peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada
diastolik, yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi
20
pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang
mengakibatkan hipertrofi eksentrik (Hess OM, 2007).
Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam
perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan
relaksasi jantung. Jalur kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada
jantung yang paling penting. Jalur ini akan terbuka saat depolarisasi
membran sewaktu fase upstroke potensial aksi. Akibatnya terjadi influk
kalsium kedalam sel yang menyebabkan fase plateu dan meningkatnya
kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya proses fosforilasi
pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas pada influks
kalsium dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh retikulum
sarkoplasmadimana hal ini akan menurunkan kecepatan pengambilan
kalsium sehingga menyebabkan konstraksi dan pengisian jantung
menurun(Hess OM, 2007) dan (Shah RV et al.,2007).
Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung
pada energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses
kontraksi-eksitasi merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi
membran plasma dengan pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga
dapat berikatan dengan troponin C. Saluran ion kalsium dan natrium pada
membran plasma berperan dalam memulai proses kontraksi-eksitasi. Proses
membuka dan menutup saluran kedua ion ini yang akan menjaga potensial
membran (Shah RV et al.,2007).
Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan
saluran ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform
yang terjadi akan mengganti miosin ATPase yang tinggi dan mempengaruhi
struktur membran sehingga mengakibatkan penurunan dalam pompa
kalsium ATPase. Selain itu, adanya kebutuhan energi juga menyebabkan
gangguan pada proses kontraksi-eksitasi pada gagal jantung.
Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada gagal
jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel pada
gagal jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka pada
21
sel, peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang
berlebih. Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian
menjadi fibrosis. Hal-hal ini memperburuk gagal jantung (Shah RV et
al.,2007).
Gambar 3.3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena
respon terhadap hemodinamik berlebih (Hunter JJ, 1999)
3.4 Klasifikasi
Kemampuan fungsional penderita dengan gagal jantung didapat melalui
anamnesa yang cermat, atau jika memungkinkan melalui test saat aktivitas.
Analisis udara ekspirasi saat beraktivitas adalah pemeriksaan gold-standard
untuk mengukur keterbatasan fisik seseorang. Test ini tidak umum
dilakukan diluar senter-senter transplantasi jantung. Untuk mempermudah
hal klasifikasi fungsional NYHAmengklasifikasikan gagal jantung menjadi
4 kelas fungsional yang dapat ditentukan melalui anamnesa, klasifikasi ini
dapat dilihat pada tabel 1.1.
22
Berdasarkan klasifikasi NYHA pasien yang dapat berjalan beberapa
ratus meter tanpa gejala namun kesulitan menaiki tangga 2 lantai memiliki
gagal jantung kelas II, sementara pasien yang tidak mampu berjalan jauh
atau kesulitan saat menaiki beberapa anak tangga dapat dimasukan kedalam
kelas III. Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut NYHA tidak dapat
dicampur-adukkan dengan stadium gagal jantung menurut ACC/AHA yang
sebelumnya dibahas. Klasifikasi NYHA didasarkan pada limitasi
fungsional, sementara stadium gagal jantung menurut ACC/AHA
didasarkan pada progresi gagal jantung, terlepas dari status fungsionalnya.
Tabel 1.1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA)
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan struktural
dan kerusakan otot jantung.
Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan
aktivitas fisik.
Stage
A
Memiliki risiko tinggi
mengembangkan gagal jantung.
Tidak ditemukan kelainan struktural
atau fungsional, tidak terdapat
tanda/gejala.
Kelas
I
Aktivitas fisik tidak terganggu, aktivitas
yang umum dilakukan tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau
sesak nafas.
Stage
B
Secara struktural terdapat kelainan
jantung yang dihubungkan dengan
gagal jantung, tapi tanpa tanda/gejala
gagal jantung.
Kelas
II
Aktivitas fisik sedikit terbatasi. Saat
istirahat tidak ada keluhan. Tapi
aktivitas fisik yang umum dilakukan
mengakibatkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas.
Stage
C
Gagal jantung bergejala dengan
kelainan struktural jantung. Kelas
III
Aktivitas fisik sangat terbatasi. Saat
istirahat tidak ada keluhan. Tapi
aktivitas ringan menimbulkan rasa lelah,
palpitasi, atau sesak nafas.
Stage
D
Secara struktural jantung telah
mengalami kelainan berat, gejala
gagal jantung terasa saat istirahat
walau telah mendapatkan pengobatan.
Kelas
IV
Tidak dapat beraktivitas tanpa
menimbulkan keluhan. Saat istirahat
bergejala. Jika melakukan aktivitas
fisik, keluhan bertambah berat.
Dikutip dari: Mann DL, 2008
3.5 Diagnosis
Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan
secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria
mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor
23
dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan
kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau
sindroma nefrotik (Hess OM, 2007).Kriteria mayor dan minor dari
Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal JantungKriteria Mayor:Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopneaDistensi vena leherRales paruKardiomegali pada hasil rontgenEdema paru akutS3 gallopPeningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kananHepatojugular refluxPenurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan gagal jantungKriteria Minor:Edema pergelangan kaki bilateralBatuk pada malam hariDyspnea on ordinary exertionHepatomegaliEfusi pleuraTakikardi ≥ 120x/menitDikutip dari: Mann DL, 2008
3.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Rontgen Thorax
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet
jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena
pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena
pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura
horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus.Dapat pula
tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih
banyak terkena adalah bagian kanan (Davies MK, 2000; Nieminen MS,
2005).
Tabel 3. Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis
Kelainan Penyebab Implikasi Klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri,
ventrikel kanan, atria, efusi
perikard
Ekhokardiografi,
doppler
Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta,
kardiomiopati hipertropi
Ekhokardiografi,
doppler
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian Gagal jantung kiri
24
ventrikel kiri
Edema interstisial Peningkatan tekanan pengisian
ventrikel kiri
Gagal jantung kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan
peningkatan pengisian tekanan
jika ditemukan bilateral,
infeksi paru, keganasan
Pikirkan diagnosis
non kardiak
Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik Mitral stenosis atau
gagal jantung kronis
Dikutip dari : Mann DL, 2008
b. EKG
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkangambaran abnormal pada
hampir seluruh penderitadengan gagal jantung, meskipun gambaran
normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yangsering
didapatkan antara lain gelombang Q,abnormalitas ST – T, hipertrofi
ventrikel kiri,bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bilagambaran
EKG dan foto dada keduanyamenunjukkan gambaran yang normal,
kemungkinangagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat
kecil kemungkinannya (Davies MK, 2000).
c. Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif
yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi
dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur
dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan
ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal
jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan
murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium,
serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri
(infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau
aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan
fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya
gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli (Davies
MK, et al., 2000).
Tabel 4. Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung
TEMUAN UMUM DISFUNGSI SISTOLIK DISFUNGSI DIASTOLIK
25
Ukuran dan bentuk ventrikel
Ejeksi fraksi ventikel kiri
(LVEF)
Gerakan regional dinding
jantung, synchronisitas
kontraksi ventrikular
Remodelling LV (konsentrik
vs eksentrik)
Hipertrofi ventrikel kiri atau
kanan (Disfunfsi Diastolik :
hipertensi, COPD, kelainan
katup)
Morfolofi dan beratnya
kelainan katup
Mitral inflow dan aortic
outflow; gradien tekanan
ventrikel kanan
Status cardiac output
(rendah/tinggi)
Ejeksi fraksi ventrikel kiri
berkurang <45%
Ventrikel kiri membesar
Dinding ventrikel kiri tipis
Remodelling eksentrik
ventrikel kiri
Regurgitasi ringan-sedang
katup mitral*
Hipertensi pulmonal*
Pengisian mitral berkurang*
Tanda-tanda meningkatnya
tekanan pengisian ventrikel*
Ejeksi fraksi ventrikel kiri
normal > 45-50%
Ukuran ventrikel kiri
normal
Dinding ventrikel kiri tebal,
atrium kiri berdilatasi
Remodelling eksentrik
ventrikel kiri.
Tidak ada mitral
regurgitasi, jika ada
minimal.
Hipertensi pulmonal*
Pola pengisian mitral
abnormal.*
Terdapat tanda-tanda
tekanan pengisian
meningkat.
Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.
Dikutip dari: Mann DL, 2008
d. Darah lengkap
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk
menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan
untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal
jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air
sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya
hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat.
Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui
adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis
apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian
angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada
gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria.Hipokalemia dapat terjadi
pada pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat
26
potassiumsparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantungberat dengan
penurunan fungsi ginjal, penggunaanACE-inhibitor serta obat potassium
sparring. Padagagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin,AST dan
LDH) gambarannya abnormal karenakongesti hati. Pemeriksaan profil
lipid, albuminserum fungsi tiroid dianjurkan sesuai
kebutuhan.Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penandabiologis gagal
jantung dengan kadar BNP plasma100pg/ml dan plasma NT-proBNP
adalah 300 pg/ml (Santoso A, 2007; Davies MK, et al., 2003;
Watson RDS,et al. 2000;Gillespie ND, 2005; Abraham WT
dan Scarpinato L, 2002).
3.6 PenatalaksanaanGagal Jantung
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditunjukkan pada 5 aspek
(Ganiswarna, 2005).
1. Mengurangi beban kerja jantung
2. Memperkuat kontraktilitas miokard
3. Mengurangi kelebihan garam dan cairan
4. Melakukan tindakan dan pengobatan khusus terhadap penyebab
5. Faktor-faktor pencetus kelainan yang mendasari.
3.6.1 Terapi
Pendekatan terapi pada gagal jantung dapat berupa terapi tanpa obat-
obatan, pemakaian obat-obatan, pemakaian alat dan tindakan bedah.
T erapi non farmakologi
• Edukasi mengenal gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenal
serta upaya bila timbul keluhan dan dasar pengobatan
• Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari
• Edukasi pola diet, control asupan garam, air dan kebiasaan alcohol
• Monitoring berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan secara
tiba-tiba
• Mengurangi berat badan pada obesitas
• Hentikan kebiasaan merokok
• Konseling mengenai obat.
27
Terapi Farmakologi
Terdapat 3 obat yang menunjukkan efektifitas klinik dalam mengurangi
gejala insufisiensi jantung tapi tidak mengembalikan kondisi patologik yang
asli (Ganiswarna, 1995). Tiga golongan tersebut adalah :
Vasodilator
Vasodilator dapat menurunkan secara selektif beban jantung sebelum
kontraksi, sesudah kontraksi atau keduanya (vasodilator yang seimbang)
Vasodilator Parental hendaknya diberikan kepada pasien dengan
kegagalan jantung berat atau tidak dapat diminum obat-obatan oral
misalnya pada pasien setelah operasi.
- Nitrogliserin adalah vasodilator kuat dengan pengaruh pada vena
dan pengaruh yang kuat pada jaringan pembuluh darah arteri.
Penumpukan vena paru dan sistemik dipulihkan melalui efek
tersebut. Obat ini juga merupakan vasodilator koroner yang efektif
sehingga merupakan vasodilator yang lebih disukai untuk terapi
kegagalan jantung pada keadaan infark miokard akut atau angina
tak stabil.
- Natrium nitropusida adalah vasodilator kuat dengan sifat-sifat
venodilator kurang kuat. Efeknya yang menonjol adalah
mengurangi beban jantung setelah kontraksi dan ini terutama
efektif untuk pasien kegagalan jantung yang menderita hipertensi
atau reguitasi katub berat (Kelly dan Fry, 1995).
Vasodilator Oral
- Penghambat ACE
Mengeblok sistem renin angiotensin aldosteron dengan
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,
memproduksi vasodilator dengan membatasi angiotensin II,
menginduksi vasokonstriksi dan menurunkan retensi sodium
dengan mengurangi sekresi aldosteron (Massie dan Amidon, 2002).
Obat yang serba guna tersebut menurunkan tahanan perifer
sehingga menurunkan afterload, menurunkan resistensi air dan
28
garam (dengan menurunkan sekresi aldosteron) dan dengan jalan
menurunkan preload (Katzung, 1992).
- Angiotensin reseptor bloker (ARB)
Merupakan pendekatan lain untuk menghambat system RAA
adalah yang akan mengeblok atau menurunkan sebagian besar efek
sistem. Namun demikian agen ini tidak menunjukkan efek
penghambat ACE pada jalur potensial lain yang memproduksi
peningkatan bradikinin, prostaglandin dan nitrit oksida dalam
jantung pembuluh darah dan jaringan lain. Karena itu, ARB dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif pendapat ACE pada pasien yang
tidak dapat menerima pendapat ACE (Massie dan Amidon, 2002).
Contoh obat pada golongan ARB yang digunakan dalam terapi
gagal adalah losartan, valsartan, dan kondensartan. Ketiga obat
tersebut tidak memiliki interaksi yang berarti dengan obat-obat lain
(Stokley, 1996).
Beta-Bloker
Untuk terapi kegagalan jantung bersifat kontroversial namun dapat
efek-efek yang merugikan dari katekolamin pada jantung yang
mengalami kegagalan termasuk menekan reseptor beta pada otot jantung
situasi kegagalan jantung (Kelly dan Fry, 1995). Beta bloker digunakan
pada pasien gagal jantung stabil ringan, sedang atuau berat (Massie dan
Amidon, 2002). Obat ini digunakan untuk terapi gagal jantung adalah
karvedilol, bisoprolol dan metoprolol succinate (Hunt et al., 2005).
Antagonis kanal kalsium
Secara langsung menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah
dan penghambat pemasukan kalsium kedalam sel otot jantung. Kegunaan
pokok obat ini dalam terapi gagal jantung adalah berasal dari
pengurangan iskemia pada pasien dengan penyakit jantung koroner yang
mendasari. Semua antagonis kalsium mempunyai sifat inotropik negatif
sehingga digunakan secara berhati-hati pada pasien dengan difungsi
ventrikal kiri (Kelly dan Fry, 1995). Obat-obat golongan tersebut
sebaiknya dihindari kecuali untuk dipakai dalam terapi hipertensi dan
29
anginadan untuk indikasi tersebut hanya amlodipin yang boleh digunakan
pada pasien gagal jantung (Hunt et al., 2005)
Nitrat
Terutama berkhasiat venodilator dan oleh karena ini bermanfaat
untuk menyembuhkan gejala-gejala penumpukan vena dan paru-paru.
Obat-obat golongan ini mengurangi iskemia otot dengan menetralkan
tekanan pengisian ventrikel dan dengan melebarkan arteri koroner secara
langsung (Kelly dan Fry, 1995). Contoh obat golongan ini adalah
Isosorbit mono nitrat (ISMN) dan dinitrat (ISND).
Hidralazin
Hidralazin adalah obat yang murni mengurangi beban jantung
setelah konstraksi yang bekerja langsung pada otot polos arteri untuk
menimbulkan vasodilatasi. Hidralazin terutama berguna dalam
pengobatan reguitasi mitral kronis dan insufisiensi aorta (Kelly dan Fry,
1995). Hidralazin oral merupakan dilator arterioral poten dan
meningkatkan output kardiak pada pasien gagal jantung kongestif
(Massie dan Amidon, 2002).
Diuretik
Tujuan dari pemberian diuretik adalah mengurangi gejala retensi
cairan yaitu meningkatkan tekanan vena jugularis atau edema ataupun
keduanya. Diuretik menghilangkan retensi natrium pada CHF dengan
menghambat reabsorbsi natrium atau klorida pada sisi spesifik di tubulus
ginjal. Bumetamid, furosemid, dan torsemid bekerja pada tubulusdistal
ginjal (Hunt et al., 2005).Pasien dengan gagal jantung yang lebih berat
sebaiknya diterapi dengan salah satu loop diuretik, obat-obat ini memiliki
onset cepat dan durasi aksinya yang cukup singkat. Manfaat dari terapi
diuretik yaitu dapat mengurang edema pulmo dan perifer dalam beberapa
hari bahkan jam. (Hunt et al., 2005).
Obat-obat Inotropik
Obat-obat inotropik positif meningkatkan kontraksi otot jantung dan
meningkatkan curah jantung. Meskipun obat-obat ini bekerja melalui
mekanisme yang berbeda, dalam tiap kasus kerja inotropik adalah akibat
30
penigkatan konsentrasi kalsium sitoplasma yang memicu kontraksi otot
jantung (Mycek et al., 2001).
• Digitalis
Obat golongan digitalis ini memiliki berbagi mekanisme kerja sebagi
berikut
(a) Pengaturan konsentrasi kalsium sitosol
Terjadi hambatan pada aktivitas pompa proton. Hal ini
menimbulkan peningkatan konsentrasi natrium intra sel, yang
menyebabkan kadar kalsium intra sel yang meningkat
menyebabkan peningkatan kekuatan kontraksi sistolik.
(b) Peningkatan kontraktilitas otot jantung
Pemberian glikosida digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi
otot jantung menyebabkan penurunan volume distribusi aksi, jadi
meningkatkan efisiensi kontraksi. Efek-efek ini menyebabkan
reduksi kecepatan jantung dan kebutuhan oksigen otot jantung
berhenti (berkurang) (Mycek et al., 2001).
Terapi digoksin merupakan indikasi pada pasien dengan disfungsi
sistolik ventrikel kiri yang hebat setelah terapi diuretic dan
vasodilator. Digoksin tidak diindikasikan pad pasien dengan gagal
jantung sebelah kanan atau diastolik. Obatyang termasuk dengan
golongan ini adalah digoksin dan digitoksin. Glikosida jantung
mempengaruhi semua jaringan yang dapat dirangsang, termasuk otot
polos dan susunan saraf pusat. Mekanisme efek ini belum diselidiki
secara menyeluruh tetapi mungkin melibatkan hambatan Na+ K+ -
ATPase di dalam jaringan ini (Katzung, 1992).
Agonis β- adrenergic
Stimuli β- adrenergic memperbaiki kemampuan jantung dengan efek
inotropik spesifik dalam fase dilatasi. Hal ini menyebabkan masuknya
ion kalsium ke dalam sel miokard meningkat, sehingga dapat
meningkatkan kontraksi. Contoh obat ini adalah dopamine dan
dobutamin (Mycek et al., 2001).
Inhibitor fosfodiesterase
31
Inhibitor fosfodiesterase memacu konsentrasi intrasel siklik –AMP.
Ini menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung.
Obat yang termasuk dalam golongan inhibitor fosfodiesterase adalah
amrinon dan mirinon (Mycek et al., 2001).
Antagonis aldosteron
Antagonis aldosteron termasuk spironolakton dan inhibitor konduktan
natrium diktus kolektifus (triamteren dan amilorid). Obat-obat ini sangat
kurang efektif bila digunakan sendiri tanpa kombinasi dengan obat lain
untuk penatalaksanaan pada gagal jantung. Meskipun demikian, bila
digunakan kombinasi dengan Tiazid atau diuretika Ansa Henle, obat-obat
golongan ini efektif dalam mempertahankan kadar kalium yang normal
dalam serum (Kelly dan Fry, 1995). Spironolakton merupakan inhibitor
spesifik aldosteron yang sering meningkat pada gagal jantung kongestif dan
mempunyai efek penting pada retensi potassium. Triamteren dan Amilorid
bereaksi pada tubulus distal dalam mengurangi sekresi potassium (Massie
dan Amidon, 2000).
32
33
3.6.2 Algoritma Terapi
Algoritma penatalaksanaan gagal jatung menurut ACC/AHA pratice
Guidelines 2005 berdasarkan stage dapat dilihat pada gambar 1. Pasien
stage A belum mengalami gagal jantung dan tidak memiliki penyakit
jantung struktural, namun beresiko tinggi mengalami gagal jantung. Pasien
stage B memiliki penyakit jantung struktural yang mendasari namun belum
mengalami gagal jantung serta belum ada tanda dan gejala gagal jantung.
Pasien stage C sudah mengalami gagal jantung dilihat dari adanya penyakit
jantung struktural serta tanda dan gejala gagal jantung. Pasien stage D
merupakan perkembangan dari stage C yang bertambah parah karena pasien
mengalami refraktosi gagal jantung pada saat istirahat. Dilihat dari kategori
pasien berdasarkan stage tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasien
didiagnosa gagal jantung jika telah mengalami stage C dan D. Algoritme
penatalaksanaan gagal jantung menurut ACC/AHA practice Guidelines,
34
2005 terdiri dari 4 stage yaitu stage A, B, C, dan D (Gb.1) (Hunt, et al.,
2005). Sedangkan menurut NYHA (New York Heart Assosiation), gagal
jantung dibagi dalam 4 kelas yaitu 1, 2, 3, dan 4 (Walker and Edwards,
2003)(Susilo F, 2010).
35
3.7 Hipertensi Menyebabkan Gagal Jantung
Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi
dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti
ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut agar
ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai
sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan
tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left
ventricle hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih
kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi tahanan
terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi tersebut
tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi.
Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh
penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan
darah. Semua hal tersebut akan merangsang mekanisme kompensasi
neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem RAA
(renin-angiotensin-aldosteron).
Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas
jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis
mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan
permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan
memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu,
stimulasi simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan
mencegah penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan
curah jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh
lainnya. Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal
merangsang ginjal untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi.
Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Penurunan
perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus untuk mensekresi
renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin
I yang selanjutnya oleh angiotensin converting enzyme (ACE) akan diubah
menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya
36
di pembuluh darah (vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi. Bila
angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1)
maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian
diikat oleh reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC (epithelial
Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+
bersifat retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O.
Hasil akhir semua proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke
jantung akibat adanya peningkatan volume intravaskuler.
Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi
neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium
lanjut, mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang
terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama pada
beberapa Negara industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia,
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya gagal
jantung di Negara Barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi mempunyai
kontribusi untuk terjadinya gagal jantung sebesar 75% yang termasuk
didalamnya bersamaan dengan penyakit jantung koroner.
Penatalaksanaan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara umum/
non farmakologi, farmakologi dan penatalaksanaan intervensi.
Penatalaksanaan ini tergantung penyebab gagal jantung yang terjadi, dan
fasilitas yang tersedia. Dengan penatalaksanaan yang baik diharapkan akan
37
terwujud pengurangan angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan
gagal jantung.
4.2 Saran
Kami sadar bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna, maka dari
itu kami memerlukan kritik dan kontruksif guna tercapainya kesempurnaan
dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: investigation. BMJ;320:297-300
Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. 2000. ABC ofheart failure: History and epidemiology. BMJ;320:39-42.
Fauci, S Anthony, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th
ed. United states of America: McGraw-Hill,
Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system in Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to Braunwald's Heart Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.
Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2007. h. 2-9.
38
Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease. Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.
Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and failure. N Engl J Med. 1999; 341:1276
Maggioni AP. 2005. Review of the new ESCguidelines for the pharmacologicalmanagement of chronic heart failure.European Heart Journal Supplements;7(Supplement J):J15-J20.
Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.
Nieminen MS. 2005. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure. Full text the task force on acute heart failure of the european society of cardiology. Eur Heart J.
Prasetyanto H, dkk. 2010. Gagal Jantung Kiri Dengan Gejala Awal Hipertensi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007. Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut.
Setiawati A dan Nafrialdi. 2007. Obat gagal Jantung. Farmakologi Dan Terapi Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. pp: 299-300.
Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.
Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure.
Role of angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 :
88-91.
Sudoyo. W. Aru. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: FK UI
Susilo F. 2010. Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode Tahun 2008. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001; 345:1689
39