Download - Laporan Modul 2 Blok Xiii
LAPORAN MODUL 2 BLOK XIII
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2009
Disusun oleh : Kelompok III
Tatik HandayaniNurul salamahRetnaningtyas
Febrian JuventiantoLidya Allodatu Turupadang
Nanik Herlina HPRizal Lutfi AuliaRestya Meisya
Siti Mu’awannah
Tutor : dr. Yudanti R,M.kes
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
anugrah dan kasih-Nyalah laporan “Penyakit Paru Obstruksi Kronik” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah
sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami. Laporan ini secara garis besar
berisikan tentang Penyakit Paru Obstruksi Kronik dan diagnose diferensialnya.
Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada:
1. dr. Yudanti,M.kes selaku tutor kelompok III yang telah
membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil pada
modul 2 ini.
2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada
kami sehingga dapat membantu dalam penyelesaian laporan hasil
diskusi kelompok kecil ini.
3. Teman-teman kelompok III yang telah mencurahkan pikiran, tenaga
dan waktunya sehingga diskusi kelompok kecil (dkk) 1 dan 2 dapat
berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi
kelompok kecil (dkk) ini.
4. Teman-teman mahasiswa kedokteran Universitas Mulawarman
angkatan 2007 yang telah bersedia untuk sharing bersama mengenai
materi yang kita bahas.
Dan tentunya kami sebagai penyusun mengharapkan agar laporan ini dapat
berguna baik bagi penyusun maupun bagi para pembaca di kemudian hari.
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, tentunya laporan ini sangat jauh dari
sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun
harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok
kecil (dkk) ini.
Hormat Kami,
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman judul………………………………………………………………. 1
Kata pengantar……………………………………………………………… 2
Daftar isi……………………………………………………………………. 3
I. Pendahuluan
Latar belakang………………………………………………………..4
Manfaat………………………………………………………………4
II. Isi
Step 1 ……………………………………………………………….5
Step 2………………………………………………………………..5
Step 3………………………………………………………………..6
Step 4………………………………………………………………..8
Step 5………………………………………………………………..9
Step 6………………………………………………………………..9
Step 7………………………………………………………………..9
III. Penutup
Kesimpulan dan Saran………………………………............…….. 33
Daftar pustaka………………………………………………….….. 34
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia kebiasaan merokok masih merupakan perilaku hidup
yang sulit dihentikan, disamping polusi udara dan masalah kebersihan
lingkungan. Kebiasaan ini sudah terlihat sejak usia muda, bahkan sudah mulai
masuk di kalangan anak sekolah dasar. Padahal rokok dan polusi udara lainnya
merupakan faktor penting terjadinya penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).
PPOK sebenarnya merupakan penyakit yang preventable dan
treatable. Pada penyakit ini terjadi kelainan paru sebagai respon inflamasi
kronis terhadap partikel gas yang menyebabkan terjadinya hambatan jalan
nafas yang tidak sepenuhnya bisa reversibel dan bersifat progresif. Selain itu
kelainan ini juga memberi dampak gangguan di luar paru secara bermakna
sehingga memperberat derajat penyakit. Hambatan jalan nafas tersebut terjadi
akibat obstruksi jalan nafas kecil (obstructive bronchiolitis) dan destruksi
parenkim (emfisema). Proses inflamasi juga menyebabkan hilangnya alveolar
attachment terhadap jalan nafas kecil dan menurunnya elastic recoil paru
sehingga kemampuan jalan nafas tetap membuka saat ekspirasi menjadi
terganggu.
Oleh karena dibutuhkan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai
penyakit ini, terutama penanganannya, karena PPOK merupakan penyakit
yang menjadi tantangan di masa akan datang.
B. Manfaat
Setelah menyelesaikan pembelajaran dan diskusi pada modul ini,
mahasiswa lebih mengerti dan memahami tentang penyakit paru obstruksi
kronik, terlebih mengenai penegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya,
sehingga kedepannya dapat mengatasi dan mencegah penyakit ini.
BAB II
ISI
STEP 1
Terminologi asing
1. Wheezing (mengi): merupakan bunyi bernada tinggi abnormal pada saluran
pernapasan yang terdengar saat ekspirasi, disebabkan oleh obstruksi parsial
saluran napas. Biasanya disebabkan bronkospasme, edema, hilangnya
penyokong elastic, dan berliku-likunya saluran pernapasan.
2. Ronki : bunyi singkat yang tidak kontinu, timbul karena adanya
cairan, di bronkus dan terdapat kolaps saluran napasdistal dan bronkus,
biasanya pada edema, gagal jantung kongestif, dll.Ronki ada dua yaitu:
Ronki basah, yang terdengar putus-putus karena terdapat lendir. Dibagi
menjadi ronki basah kasar (terjadi di saluran napas besar), ronki basah
sedang (terjadi si saluran napas kecil), dan ronki halus (krepitasi)
terjadi di saluran napas kecil karena terbukanya asinus.
Ronki kering, terdengar tidak terputus-putus. Dibagi menjadi ronki
kering nada tinggi (wheezing), dan nada rendah.
3. Emfisema :suatu keadaan dimana paru berisi banyak udara, hal ini
dikarenakan adanya destruksi parenkim paru bagian alveoli, pelebaran air
space abnormal di bagian bronkiolus distal, dimana sifatnya irreversible.
Terbagi menjadi emfisema panacinar (pada defisiensi α antitrypsin) dan
sentrolobuler (pada perokok).
STEP 2
Identifikasi masalah
1. Apa hubungan merokok dengan keluhan-keluhan pak Dori?
2. Apa hubungan lingkungan pekerjaan dan usia dengan penyakit/ keluhan Pak
Dori?
3. Hubungan riwayat penyakit dahulu (alergi debu dan cuaca dingin) dengan
keluhan penyakit sekarang?
4. Interpretasi pemeriksaan fisik dan foto thorax?
5. Mengapa Pak Dori tidak sembuh-sembuh (3 tahun) dan apakah bisa sembuh?
6. Apa diagnosa penyakitnya berdasarkan keluhan-keluhan yang dialami Pak Dori?
7. Bagaimana penatalaksanaannya?
8. Komplikasi apa yang mungkin terjadi?
9. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk penyakit yang di derita Pak Dori?
STEP 3
Brain storming
1. Rokok mengandung berbagai zat berbahaya (tar, nikotin, dan CO) yang bila
dihirup melalui saluran pernapasan menyebabkan terjadi reflex batuk untuk
membersihkan saluran napas dari zat-zat/ partikel yang dianggap asing oleh
tubuh. Karena adanya paparan yang terlalu sering ( merokok sejak usia muda)
menyebabkan kerusakan system pertahanan saluran napas, berupa kekakuan
silia, perubahan epitel saluran napas, dan gangguan enzim saluran napas,
sehingga terjadi reaksi radang kronis di saluran napas (bronchitis kronik)
yang menyebabkan penumpukan sel radang untuk penyembuhan yang
ujungnya bisa menyebabkan peningkatan otot polos di bronkus, sehingga
terjadi obstruksi saluran napas, paparan asap rokok juga menyebabkan ketidak
seimbangan antara enzim protease dan enzim α-antitripsin (anti protease),
dimana protease yang dihasilkan oleh neutrofil meningkat, sedangkan
inhibitornya tetap, dan ditambah adanya efek oksidatif oleh asap rokok,
sehingga menghancurkan enzim inhibitor, hal-hal ini menyebabkan jaringan
elastis alveoli mengalami destruksi, sehingga kehilangan daya recoilnya.
Dengan tidak ada daya recoil, paru sulit untuk mengeluarkan CO2. Udara
terperangkap di alveoli yang melebar (emfisema) dan paru menjadi besar
terisi udara ( tampak pelebaran ICS), dan diikuti dengan penurunan
diafragma yang terorong oleh paru, dengan demikian posisi jantung pada foto
thorax juga berubah mengikuti pendesakan paru dan penurunan diafragma.
Dengan adanya obstruksi pada jalan napas ditambah terisinya paru oleh udara
yang banyak, sehingga daya tampungnya semakin sedikit, sedangkan difusi
O2 dan CO2 dan kebutuhan O2 tetap, menimbulkan sesak pada penderita.
2. Dengan lingkungan pekerjaan (pabrik semen) yang sering terpapar dengan
debu, menyebakan banyak partekel asing (debu) yang memperberat keadaan
system imun yang telah rusak oleh rokok, apalagi bila saat bekerja tidak
menggunakan APD (alat perindungan diri). Usia yang semakin tua juga
mempengaruhi keadaannya, karena daya tahan/ system imun juga mulai
menurun.
3. Riwayat penyakit dahulu (alergi terhadap cuaca dingin dan debu)
menyebabkan proses radang semakin berat di saluran pernapasan, sehingga
memperberat keadaan umumnya
4. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan foto thorax
BB turun : akibat penurunan nafsu makan, karena rokok
mempengaruhi system syaraf, sehingga pengosongan lambung
semakin lama, nafsu semakin turun.
Tekanan darah normal
RR meningkat : karena tubuh merasa membutuhkan oksigen,
sedangkan daya tampung di paru sedikit, karena sudah terpenuhi
dengan udara.
Suhu normal
Suara napas menurun : pertukaran udara sedikit, sehingga suara napas
menurun
Wheezing +/+ : kedua paru terdengar suara wheezing, berarti terjadi
obstruksi di saluran napas kedua paru.
ICS melebar : karena peningkatan volume paru
Gambaran jantung Tear drops : karena adanya pendesakan dari paru
yang berisi banyak udara dan adanya penurunan diafragma ( diafragma
mendatar)
Paru tampak emfisema : volume udara banyak, paru membesar dan
panjang, berwarna hitam, sinus tumpul, jantung tear drops, diafragma
datar.
5. Penyakit Pak dori menjadi kronis, dan sulit sembuh, karena daya recoil paru
sudah tidak ada (destruksi alveoli permanent). Selain itu, faktor resiko juga
tidak dihilangkan (perokok aktif, pekerjaan), dan mungkin selama ini
keluhannya dibiarkan saja karena masih keluhan ringan, namun saat sesak
napas baru terasa berat.
6. Diagnosis
Berdasarkan lamanya ,keluhan, dan pemeriksaan fisik, diagnosis yang
mungkin adalah:
3 tahun (penyakit kronis) : PPOK, asma bronkial
Ada hubungan dengan rokok : PPOK, penyakit jantung, dan tumor
paru
Sesak napas : PPOK,asma, emfisema, pneumothorax, penyakit jantung
Batuk kronis : PPOK
Wheezing : PPOK, asma, tumor
Gambaran jantung tear drops : emfisema
ICS melebar : PPOK, emfisema, asma, pneumothorax
Berdasarkan keterangan tersebut diagnosis sementara adalah PPOK.
7. Penatalaksanaan
Suportif : nutrisi dan oksigen
Medicamentosa : bronkodilator
Edukasi : hindarkan FR ( rokok, debu, cuaca dingin,dll)
Rehabilitasi
8. Komplikasi yang mungkin terjadi :
Gagal napas
Kor pulmonal/Gagal jantung
9. Pencegahan :
Hindari FR
Edukasi untuk hidup sehat (olahraga, dll)
Mengkonsumsi suplemen ( meningkatkan daya tahan tubuh)
Step 4
Strukturisasi
Step 5
Penentuan learning objective
Adapun LO yang kami rumuskan adalah
Mengetahui :
- Definisi
- Etiologi
- Patogenesa
- Gejala & Tanda
- Diagnosa
- Diagnosa Banding
- Pemeriksaan Penunjang
- Penatalaksanaan, dan
- Komplikasi
Dari
- PPOK (bronchitis kronik, emfisema)
- Asma bronkial
- Bronkiektais
- Fibrosis kistik
- Gagal jantung
- SOPT (sindrom obstruksi pasca TB)
STEP 6
Belajar mandiri
Pada tahap ini masing- masing mahasiswa mencari materi yang menjadi learning
objective dari berbagai sumber referensi dan akan di diskusikan pada step selanjutnya.
STEP 7
Sintesis Masalah
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
Definisi
PPOK adalah penyakit paru yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang
bersifat non reversibel atau reversibel parsial. Hambatan aliran udara biasanya
progresif dan ada hubungan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap noxius
dan gas.
Faktor risiko
Meliputi faktor-faktor host dan paparan lingkungan dan penyakit biasanya
muncul dari interaksi antara kedua faktor tersebut.
Faktor host:
Genetik
Faktor risiko genetik yang telah diketahui adalah: defisiensi alfa 1 anti tripsin.
Suatu kelainan herediter yang jarang ditemukan. Gen lain yang terlibat
patogenesis PPOK sampai saat ini belum ditemukan
Hiperreaktivitas bronkus
Asma dan hiperreaktivitas bronkus saluran nafas merupakan faktor risiko
yangmemberi andil timbulnya PPOK. Bagaimana pengaruh kedua kelainan
tersebut mempengaruhi timbulnya PPOK tidak diketahui.
Faktor lingkungan:
Asap tembakau
Merokok merupakanfaktor risiko utama. Perokok sigaret mempunyai prevalensi
yang tinggi kelainan faal paru, keluhan respirasi dan penyakit obstruksi saluran
nafas kronis. Pada perokok pipa dan cerutu dijumpai mortalitas dan morbiditas
PPOK > dari bukan perokok, tetapi < dari perokok sigaret. Tidak semua perokok
timbul PPOK secara klinis. Hal ini mengesankan bahwa faktor-faktor genetik
harus memodifikasi tiap-tiap risiko individu.
Occupational dusts and chemicals
Paparan yang cukup intens dan lama dari occupational dust dan chemical dapat
menyebabkan PPOK tidak tergantung faktor rokok dan meningkatkan risiko
PPOK dengan adanya merokok sigaret.
Polusi udara
Peranan polusi udara outdoor tidak jelas, nampaknya pengaruh < dari merokok
sigaret. Poluis udara indoor dari bahan bakar biomasa, asap dapur dan pemanasan
pada ruangan dengan ventilasi jelek merupakan faktor risiko untuk PPOK.
Infeksi
Riwayat infeksi saluran nafas berat sewaktu anak-anak menyebabkan penurunan
faal paru dan keluhan respirasi sewaktu dewasa.
Status sosial
Mortalitas dan morbiditas PPOK berbanding terbalik dengan status sosial dan
lebih tinggi pada blue colar daripada white colar worker.
Patogenesis
Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran nafas,
parenkim paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Di berbagai bagian paru dijumpai
peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8+) dan neutrofil. Sel-sel radang yang
teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF, dan
lain-lain yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi
neurofilik. Di samping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting yaitu imbalance
proteinase dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif.
Patologi
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai di saluran nafas besar
(central airway), saluran nafas kecil (peripheral airway), parenkim paru, dan vaskuler
pulmonal.
Saluran nafas besar
Dijumpai infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang
mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini
menyebabkan hipersekresi mukus.
Saluran nafas kecil
Inflamasi kronis menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding
saluran nafas. Proses repair akan menghasilkan struktural remodeling dari dinding
saluran nafas dengan peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan
ikat yang menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi saluran nafas
permanen.
Parenkim paru
Dekstruksi parenkim paru secara khas terjadi emfisema sentrilobuler. Kelainan
tersebut lebih sering di bagian atas pada kasus ringan namun bila lanjut bisa
terjadi di seluruh lapangan paru dan juga terjadi dekstruksi pulmonary capillary
bed.
Perubahan vaskuler pulmonal
Ditandai oleh penebalan dinding pembuluh darah yang dimulai sejak awal
perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang pertama kali adalah penebalan
intima diikuti peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding pembuluh darah oleh
sel-sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos, proteoglikans
dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal.
Manifestasi klinis
Dua keluhan utama adalah sesak nafas dan batuk.
Sesak nafas
Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan lebih
lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak nafas bertambah berat
mendadak menandakan adanya eksaserbasi.
Suara mengi (wheezing)
Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini menunjukan
komponen reversibel penyakitnya. Bronkospasme bukan satu-satunya penyebab
wheezing. Banyak pasien PPOK mengeluh mengi pada pengerahan tenaga
(exertion) mungkin oleh karena udara lewat saluran nafas yang sempit oleh radang
atau sikatrik.
Batuk kronis
Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memperberat waktu pagi.
Dahak biasanya mukoid tetapi berubah purulen bila eksaserbasi.
Batuk darah
Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran nafas
yang radang dan khasnya “blood-streaked purulen sputum”. Penyebab batuk darah
yang lain seperti tumor, bronkiektasis, tuberkulosis, dan dekompensasi kordis
perlu dicari.
Nyeri dada
Nyeri dada biasanya bukan oleh karena PPOK. Nyeri dada bisa oleh karena
pleuritis, pneumothoraks, dan emboli paru.
Anoreksia dan penurunan berat badan
Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek.
Karakteristik PPOK adalah adanya eksaserbasi. Bila penyakit progresif, interval di
anratara eksaserbasi akut makin dekat.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung derajat hambatan aliran udara, berat
ringan hiperinflasi paru dan bentuk tubuhnya. Awalnya hanya ekspirasi
memanjang dan wheezing pada ekspirasi paksa. Bila obstruksi lanjut akan tanpak
hiperinflasi dan barrel chest.suara nafas menurun, ekspirasi memanjang, suara
jantung terdengar jauh, ronki basah basal. Penggunaan otot pernafasan tambahan
atau pursed-lips breathing menandakan obstruksi aliran udara berat. Oedem
tungkai, JVP meningkat, hepar teraba, dan tanda hipertensi pulmonal adalah tanda
kor pulmonal kronikum dekompensata.
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis berupa riwayat penyakit, faktor
risiko, dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang rutin serta khusus. PPOK
harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan batuk dengan dahak atau sesak
nafas dan atau riwayat terpapar faktor risiko. Diagnosis dipastikan dengan
pemeriksaan objektif adanya hambatan aliran udara (dengan spirometri).
Pemeriksaan penunjang rutin:
Faal paru; spirometri merupakan pemeriksaan gold standar. Parameternya adalah
FEV1 dan ratio FEV1/FVC. Hasil post bronkodilator FEV1 < 80% prediksi dan
FEV1/FVC < 70% menunjukan obstruksi yang tidak reversibel penuh. Bila
spirometri tidak tersedia dapat digunakan PEF (Peak Expiratory Flow).
Uji bronkodilator; menggunakan spirometri atau PEF. Setelah pemberian
bronkodilator inhalasi 8 isap, 15-20 menit dilihat perubahan FEV1 atau PEF.
Perubahan FEV1 atau PEF < 20% atau 200 ml menunjukan obstruksi saluran nafas
tidak reversibel.uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. Uji bronkodilator
reversibilitas umumnya dikerjakan satu kali waktu diagnosis.
Darah rutin yang meliputi hemoglobin, hematokrit, dan leukosit.
Foto thoraks posisi PA dan lateral. Pada PPOK ringan foto thoraks normal. Bila
lanjut pada emfisema akan dijumpai: diafragma datar, volume paru tambah besar,
bayangan jantung ramping (tear drops), ruang retrosternal melebar, dan
bronkovaskuler patern meningkat (pada bronkitis kronis)
Pemeriksaan penunjang khusus:
Faal paru: RV meningkat, FRC meningkat, TLC meningkat, DLCo menurun, dan
variabilitas harian PEF < 20%
Uji latih kardio pulmonal: sepeda statis dan treadmil
Uji provokasi bronkus, untuk menilai derajat hiperreaktivitas bronkus. Sebagian
kecil penderita PPOK dijumpai hipereaktivitas bronkus
Tes kortikosteroid, untuk menilai perbaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid oral; yaitu: FEV1 meningkat > 20% dan minimal 250 ml post
bronkodilator
Analisa gas darah; untuk menilai gagal nafas
Radiologi: HR CT scan dada
EKG
Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan kadar alfa 1 antitripsin
Diagnosis banding
Asma bronkiale
Gagal jantung kronis
Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain seperti bronkiektasis
Penatalaksanaan
Tujuan
Mengurangi gejala
Mencegah eksaserbasi berulang
Menperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kwalitas hidup
Modalitas terapi terdiri :
Edukasi
Obat-obatan
Oksigen
Ventlasi mekanik
Nutrisi
Rehabilitasi
Penatalaksanaan PPOK Stabil
Secara umum Karakteristiknya : intensitasnya terapi ditingkatkan berdasarkan
berat penyakit
1. Edukasi
Tidak memperbaiki exercise performance atau faal paru tetapi dapat :
Memperbaiki skill, kemampuan untuk menanggulangi penyakitnya dan status
kesehatan
Efektif untuk mencapai tujuan khusus seperti berhenti merokok
2. Obat-obatan
Tidak ada obat-obatan untuk PPOK yang telah terbukti mampu merubah
penurunan faal paru jangka panjang. Jadi obat-obatan digunakan untuk mengurangi
keluhan dan atau kompikasi.
Terdiri dari :
a. Bronkodilator agonis beta 2 : salbutamol,terbutalin, fenoterol
Antikolinergis : patropium bromide
Derivat santin : aminofilin, teofilin
Terapi inhalasi lebih dianjurkan
Pemilihan antara agonis beta 2, antikolinergik dan santin atau terapi
kombinasi tergantung dari obat yang tersedia dan respon individu terhadap
terapi dan ESO ( efek samping obat).
Diberikan kalau perlu atau kontinyu untuk mencegah atau mengurangi
gejala
Obat kombinaso dapat meningkatkan efikasi dan menurunkan resio ESO di
banding peningkatan dosis obat tunggal.
b. Kortikosteroid
Terapi rutin kortikosteroid inhalasi hanya diberikan :
Bila terbukti responnya yang diukur dengan faal paru atau
PPOK dengan FEV1<50 % prediksi
Atau eksaserbasi berulang yang memerlukan antibiotika atau kortikosteroid
berulang.
Dose-response relationship dan keamanan jangka panjang kortikosterod
untuk PPOK tidak diketahui.
Kortikosteroid oral jangka panjang tidak dianjurkan.
c. Mukolitik
Pada beberapa pasien dengan sputum yang kental mukolitik bermanfaat,
namun secara keseluruhan manfaatnya kecil. Oleh seba itu sampai saat ini
penggunaan secar luas tidak dianjurkan
d. Antioksidan – N Asetil sistein
Telah menunjukan manfaatnya menurunkan frekwensi dan beratnya
eksaserbasi dan mempunyai peran dalam terapi ada penderita dengan
eksaserasi berulang. Perlu penilaian lebih lanjut sebelum direkomendasikan
untuk digunakan secara rutin.
3. Oksigen
Oksigen jangka panjang (>15 jam/hari) pada PPOK dengan gagal nafas kronis
terbukti dapat meningkatkan survival
Indikasi : Pa02< 55 mmHg (7,3 kPA) atau SaO2 88 % dengan atau tanpa
hiperkapni atau
Pa02 antara 55 mmHg (7,3 kPA) dan 60 mmHg (8,0 kPA) atau SaO2 89
% tetapi ada hipertensi pulmonal. Udem perifer yang dicurigai karena
congestive heart failure atau polisitemia ( Hct > 55 % )
4. Ventilator
Sampai saat ini belum ada data yang membuktikan bahwa ventilator punya
peranan pada penatalaksanaan rutin PPOK stabil
5. Rehabilitasi medik
Dengan reha medik semua pasien menunjukan manfaat dari exercise training
progam. Ada perbaikan exercise tolerance dan keluhan sesak nafas dan capek.
Rehab paru komprehensif terdiri atas : - exercise training
- Konsultasi nutrisi
- Edukasi
-
6. Operasi
Bulektomi
Pada pasien-pasien tertentu tindakan operasi ini efektif menurunkan sesak
nafas dan memperbaiki faal paru.
Transplantasi paru
Pada PPOK stadium lanjut yang terseleksi dengan tepat, transplantasi
terbukti memperbiki kwalitas hidup dan kapasitas fungsional.
BRONKITIS KRONIK
Penyakit dan gangguan saluran napas masih merupakan masalah terbesar di
Indonesia pada saat ini. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit saluran napas
dan paru seperti infeksi saluran napas akut, tuberkulosis asma dan bronkitis masih
menduduki peringkat tertinggi. Infeksi merupakan penyebab yang tersering.
Kemajuan dalam bidang diagnostik dan pengobatan menyebabkan turunnya
insidens penyakit saluran napas akibat infeksi. Di lain pihak kemajuan dalam bidang
industri dan transportasi menimbulkan masalah baru dalam bidang kesehatan yaitu
polusi udara. Bertambahnya umur rata-rata penduduk, banyaknya jumlah penduduk
yang merokok serta adanya polusi udara meningkatkan jumlah penderita bronkitis
kronik.
Bronkitis kronik termasuk kelompok penrakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Di negara maju penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar, karena
bertambahnya jumlah penderita dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 di Amerika
Serikat ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan pada tahun 1977 kematian yang
disebabkan oleh PPOK berjumlah 45.000 orang. Penyakit ini merupakan penyebab
kematian urutan ke lima.
Penyakit paru obstruktif kronik ialah penyakit saluran napas yang bersifat
ireversibel dan progresif. Bila penyakit telah terjadi, maka akan berlangsung seumur
hidup dan memburuk dari waktu ke waktu. Perburukan akan lebih cepat terjadi bila
timbul fase-fase eksaserbasi akut. Usaha untuk menegakkan diagnosis lebih dini,
pencegahan eksaserbasi akut, serta penatalaksanaan yang baik akan bermanfaat
memperlambat perjalanan penyakit sehingga penderita dapat hidup lebih baik.
Definisi
Penyakit ini mempunyai berbagai definisi tergantung dari penulis yang
mengemukakannya. Brinkman mendefinisikan penyakit ini sebagai suatu gangguan
batuk berdahak yang terjadi tiap hari selama paling kurang enam bulan dan jumlah
dahak minimal satu sendok teh. Definisi yang banyak dipakai adalah definisi dari
American Thoracic Society, yaitu penyakit dengan gangguan batuk kronik dengan
dahak yang banyak terjadi hampir tiap hari minimal tiga bulan dalam setahun selama
dua tahun berturut-turut. Produksi dahak yang berlebihan ini tidak disebabkan oleh
penyakit tuberkulosis atau bronkiektasis. Penyakit bronkitis kronik sering terdapat
bersama-sama emfisema dan dikenal dengan nama bronkitis emfisema.
Bronchitis kronik dapat dibagi atas:
1) Simple chronic bronchitis: bila sputum bersifat mukoid.
2) Chronic atau recurrent mucopurulent bronchitis: bila sputum bersifat
mukopurulen.
3) Chronic obstructive bronchitis: bila disertai obstruksi saluran napas yang
timbul apabila terpajan zat iritan atau ada infeksi saluran napas akut.
Epidemiologi
Bronchitis kronik lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita. Hal
ini kemungkinan disebabkan karena penyebab utamanya sampai saat ini adalah
merokok, dan laki-laki lebih banyak yang merokok dibandingkan dengan wanita. Di
Indonesia jumlah perokok menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga 1996 adalah
53% laki-laki dan 4% wanita.
Saat ini diperkirakan 20% laki-laki dewasa menderita bronchitis kronik, dan
pada wanita dewasa lebih sedikit. Namun karena wanita yang merokok terus
meningkat maka angka bronchitis kronik pada wanita akan meningkat pula.
Patogenesis
Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan bahan-bahan
iritan dan oksidan yang menyebabkan terjadinya bronkitis kronik. Dari semua ini,
asap rokok merupakan penyebab yang paling penting. Tidak semua orang yang
terpapar zat ini menderita bronkitis kronik, hal ini dipengaruhi oleh status imunologik
dan kepekaan yang bersifat familial. Hipereaktivitas bronkus memang ditemukan
pada sebagian penderita PPOK, dan persentasenya bervariasi.
Di dalam asap rokok terdapat campuran zat yang berbentuk gas dan partikel.
Setiap hembusan asap rokok mengandung 10 radikal bebas yaitu radikal hidroksida
(OH-). Sebagian bebas radikal bebas ini akan sampai ke alveolus. Partikel ini
merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Kerusakan parenkim paru oleh oksidan
ini terjadi karena:
1) Kerusakan dinding alveolus.
2) Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.
Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan menyebabkan fungsi
ini terganggu sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus.
Partikulat yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang terpolusi
mempunyai dampak yang besar terhadap pembersihan oleh sistem mukosilier.
Sebagian besar partikulat tersebut mengendap di lapisan mukus yang melapisi mukosa
bronkus, sehingga mengharnbat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi
mukosa bronkus akan sangat berkurang, mengakibatkan meningkatnya iritasi pada
epitel mukosa bronkus. Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk
menghasilkan mukus yang lebih banyak, hal ini ditambah dengan gangguan aktivasi
silia menyebabkan timbulnya batuk kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus yang
berlebihan memudahkan terjadinya infeksi dan memperlambat proses penyembuhan.
Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Di
samping itu terjadi penebalan dinding saluran napas sehingga dapat timbul mucous
plug yang menyumbat jalan napas, tetapi sumbatan ini masih bersifat reversibel.
Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi
epitel serta pembentukan jaringan parut. Di samping itu terjadi pula metaplasia
skuamosa dan penebalan lapisan submukosa. Keadaan ini mengakibatkan stenosis dan
obstruksi saluran napas yang bersifat ireversible.
Skema Patogenesis Bronkitis Kronik
Pada orang dewasa normal dengan bertambahnya umur akan terjadi penurunan
faal paru, yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) sebanyak rata-rata 28
ml per tahun. Pada penderita PPOK penurunan ini lebih besar yaitu antara 5080 ml
setiap tahun. Perburukan fungsi paru akan cepat terjadi bila timbul fase-fase
eksaserbasi akut. Berbagai faktor dapat memperburuk perjalanan penyakit. Faktor itu
adalah:
1) Faktor risiko, yaitu faktor yang dapat menimbulkan serta memperburuk penyakit
seperti merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi dan perubahan cuaca.
2) Derajat obstruksi saluran napas yang terjadi dan identifikasi komponen yang
memungkinkan terdapatnya reversibilitas.
3) Tahap perjalanan penyakit.
4) Penyakit lain yang memudahkan timbulnya infeksi saluran napas bawah seperti
sinusitis dan faringitis kronik.
5) Keteraturan penderita berobat.
Patologi
Kelainan utama pada bronkus yaitu hipertrofi dan hyperplasia kelenjar mucus
bronkus. Terjadi sekresi mucus yang berlebihan dan lebih kental. Secara histologist
Iritasi bronkus (asap rokok, polusi)
Paralisis silia Bronkospasme Hipertrofi, hiperplasi kelenjar mukus
Produksi mucus bertambah
Obstruksi saluran napas yang reversible
Statis mukus
Infeksi kuman (sekunder)
Erosi epitel, pembentukan jaringan parut, metaplasi skuamosa serta penebalan lapisan skuamosa
Obstruksi saluran napas yang ireversible
dapat dibuktikan dengan membandingkan tebalnya kelenjar mucus dan dinding
bronkus (indeks Reid).
Selain itu terdapat juga peradangan difus, penambahan sel mononuclear di
submukosa trakeobronkial, metaplasia epitel bronkus dan silia berkurang. Pada pasien
yang sering mengalami bronkospasme otot polos saluran napas bertambah dan timbul
fibrosis peribronkial. Yang penting juga adalah perubahan pada saluran napas kecil
(small airways) yaitu hyperplasia sel goblet, sel radang di mukosa dan submukosa,
edema fibrosis peribronkial, penyumbatan mucus intraluminal dan penambahan otot
polos.
Manifestasi Klinis
Bronchitis kronik merupakan penyakit menahun, yang mana terjadi sedikit
demi sedikit selama bertahun-tahun. Biasanya mulai pada seorang pasien perokok
berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun kemampuan kerja beratnya mulai
menurun dan mulai timbul perubahan pada saluran napas kecil serta fungsi paru juga
mulai berubah antara lain berupa kenaikan closing volume. Umur 35-45 tahun timbul
batuk yang produktif dan VEP1 (volume ekspirasi paksa selama 1 detik) atau FEV1
(forced expiratory volume 1 second) menurun. Sesak napas, hipoksemia dan
perubahan spirometri sudah terjadi pada umur 45-55 tahun. Pasien sering sering
mendapat infeksi saluran napas bagian atas berulang-ulang sehingga sering atau sama
sekali tidak dapat bekerja. Pada umur 55-65 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang
dapat menyebabkan kegagalan napas dan meninggal dunia.
Diagnosis
1) Anamnesis
Keluhan utama pada bronchitis kronik adalah batuk berdahak dan sesak.
Menurut Burrows dkk 75% bronchitis kronik dimulai dengan batuk, 22% dimulai
dengan sesak.
Pasien dengan bronchitis kronik dominan mempunyai riwayat batuk-batuk
dengan sputum produktif yang sering dikatakannya karena merokok. Pasien
sendiri tidak menganggap sebagai keluhan, kecuali bila kita tanya langsung.
Makin lama batuk makin sering, berlangsung lama dan makin berat, timbul siang
maupun malam, sehingga pasien terganggu tidurnya. Bila timbul infeksi saluran
napas, batuk-batuk bertambah hebat dan berkurang bila infeksi teratasi.
2) Pemeriksaan fisik
Pada stadium dini tidak ditemukan kelainan fisis. Hanya kadang terdengar
ronki pada waktu ekspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar
ronki pada saat ekspirasi maupun inspirasi, kadang disertai bising mengi. Selain
itu, didapatkan juga tanda overinflasi paru seperti barrel chest, kifosis, diameter
anteroposterior dada bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan
supra sterna kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subcostal bertambah.
Pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru
hati lebih ke bawah, pekak jantung berkurang, suara napas dan suara jantung
lemah. Bila sudah ada kenaikan tekanan pulmonal, suara jantung kedua akan lebih
keras, terutama di ruang interkostal dua dan tiga sebelah kiri.
Pasien dengan bronchitis kronik, pada stdium lanjut biasanya terlihat
gemuk dan sianosis. Sesak tidak begitu berat dan otot-otot pernapasan
tambahannya pun tidak digunakan. Sering disertai tanda payah jantung kanan.
PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau naik. Penurunan PaO2 menstimulasi
eritropoesis dan vasokonstriksi pembuluh darah paru, sehingga kor-pulmonalnya
bertambah berat.
3) Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan radiologis
Menurut Fraser dan Pare > 50% pasien bronchitis kronik mempunyai
foto dada yang normal. Tetapi secara radiologis ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
a. Tubular shadows atau tram lines tarlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apex paru. Bayangan tersebut adalah
bayangan bronkus yang menebal.
b. Corak paru bertambah.
- Pemeriksaan faal paru
Terdapat VEP1 dan KV menurun, VR yang bertambah dan KTP yang
normal.
- Analisis gas darah
Pasien bronchitis kronik tidak dapat mempertahankan ventilasi dengan
baik, sehingga PaCO2 naik, saturasi Hb menurun dan timbul sianosis. Terjadi
juga vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoesis.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki kondisi
tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor risiko dan
mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk dalam penatalaksanaan umum
ini adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal penyakitnya lebih baik,
menghindari polusi, menghentikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi saluran
napas, hidup dalam lingkungan yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi
kebutuhan cairan.
Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan komplikasi.
Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan rehabilitasi.
Bronkodilator merupakan obat utama pada bronkitis kronik. Obat ini tidak saja
diberikan pada keadaan eksaserbasi akut tetapi juga untuk memperbaiki obstruksi
yang terjadi. Adanya respons sesudah pemberian bronkodilator merupakan petunjuk
penggunaan bronkodilator. Pemberian bronkodilator hendaklah selalu dicoba pada
penderita bronkitis kronik. Obat yang diberikan adalah golongan antikolinergik agonis
beta-2 dan golongan xanthin.
Golongan antikolinergik merupakan pilihan pertama, obat ini diberikan secara
inhalasi yaitu preparat ipratropium bromid. Obat ini mempunyai beberapa keuntungan
dibandingkan go-
longan agonis beta-2, yaitu efek bronkodilatornya lebih besar, tidak menimbulkan
fenomena takifilaksis, tidak mempunyai efek samping tremor dan palpitasi, tidak
mempengaruhi sistem pembersihan mukosilier, masa kerjanya cukup lama yaitu 68
jam dan theurapetic margin of safety nya cukup panjang oleh karena obat ini tidak
diabsorpsi.
Obat golongan agonis beta-2 yang diberikan secara oral bisa menimbulkan
efek samping tremor, palpitasi dan sakit kepala. Pemberian obat secara inhalasi
mengurangi efek samping ini, selain itu dapat memobilisasi pengeluaran dahak. Obat
ini bekerja dengan mengaktifkan adenilsiklase dengan akibat meningkatnya produksi
siklik AMP dan menimbulkan relaksasi
otot polos saluran napas.
Golongan xanthin merupakan bronkodilator paling lemah, bekerja dengan
menghambat aksi enzim fosfodiesterase, yaitu enzim yang menginaktifkan siklik
AMP. Selain sebagai bronkodilator, obat ini mempunyai efek yang kuat dan
berlangsung lama dalam meningkatkan daya kontraksi otot diafragma dan daya tahan
terhadap kelelahan otot pada penderita PPOK.
Bronkodilator hendaklah diberikan dalam bentuic kombinasi, tiga macam obat
lebih baik dari dua macam obat, oleh karena mereka mempunyai efk sinergis.
Pemberian secara kombinasi memberikan efek yang optimal dengan dosis yang lebih
rendah dibandingkan pemberian monoterapi, selain itu dosis yang rendah memberikan
efek samping yang minimal.
Bila terjadi perubahan warna sputum dengan peningkatan jumlah dahak dan
pertambahan sesak napas, diberikan antibiotika. Pada keadaan demikian antibiotika
diberikan walaupun tidak ada demam, leukositosis dan infiltrat yang baru pada foto
toraks. Diberikan antibiotika golongan ampisilin, eritromisin atau kotrimoksasol
selama 710 hari. Bila pemberian antibiotika tidak memberi perbaikan perlu dilakukan
pemeriksaan mikroorganisme. Bila infeksi terjadi selama perawatan di rumah sakit
diberikan antibiotika untuk gram negatif.
Pada keadaan dekompensasi kordis diberikan digitalis. Pemberian dilakukan
secara hati-hati, oleh karena intoksikasi dapat terjadi pada keadaan hipoksemi.
Diuretik diberikan apabila terdapat edema paru.
Pemberian kortikosteroid secara oral manfaatnya masih diperdebatkan. Pada
penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian steroid secara inhalasi
menunjukkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Pemberian steroid inhalasi jangka
lama memperlambat progresivitas penyakit. Pada serangan akut pemberian steroid
jangka pendek mempunyai manfaat. Diberikan prednison 60 mg selama 47 hari,
kemudian diturunkan secara bertahap selama 710 hari. Pemberian dosis tinggi kurang
dari 7 hari dapat dihentikan tanpa menurunkan dosis secara bertahap.
Pemberian oksigen pada penderita PPOK yang mengalami hipoksemi kronik
dapat menghilangkan beberapa gejala akibat hipoksemi. Pada eksaserbasi akut dengan
hipoksemi sebagai gambaran yang karakteristik, pemberian oksigen merupakan
keharusan. Pada keadaan hipoksemi (PaQ2 < 55 mmHg) pemberian oksigen
konsentrasi rendah 13 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis,
koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur.
Terdapatnya gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala merupakan petunjuk
dibutuhkannya oksigen pada waktu malam. Pada penderita hipoksemi dan retensi
CO2, pemberian oksigen konsentrasi tinggi dapat berbahaya, karena pada penderita ini
rangsangan terhadap pusat pernapasan yang terjadi tidak lagi disebabkan oleh
peninggian CO2 di dalam darah tetapi karena adanya hipoksemi. Pemberian oksigen
tinggi dapat menghilang-kan hipoksemi ini, sehingga rangsangan terhadap pusat
napas menurun dan akibatnya terjadi hipoventilasi dan diikuti oleh asidosis
respiratorik.
Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi
pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk mobilisasi dahak, latihan bernapas
menggunakan otot-otot dinding perut sehingga didapatkan kerja napas yang efektif.
Latihan relaksasi berguna untuk menghilangkan rasa takut dan cemas dan mengurangi
kerja otot yang tidak perlu. Rehabilitasi psikis perlu untuk menghilangkan rasa cemas
dan takut. Pemakaian obat-obat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan
pusat napas.
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan agar penderita dapat melakukan pekerjaan
sesuai dengan kemampuannya. Program rehabilitasi bertujuan mengembalikan
penderita pada tingkat
yang paling optimal secara fisik dan psikis. Tindakan ini secara subjektif bermanfaat
buat penderita dan dapat mengurangi hari perawatan di rumah sakit serta biaya
perawatan dan pengobatan, tetapi tidak mempengaruhi fungsi paru dan analisis gas
darah.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan penyakit
adalah :
· Menghentikan kebiasaan merokok.
· Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko terjadinya
iritasi saluran napas.
· Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak terjadi
eksaserbasi akut.
· Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih reversibel dapat
dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari penyakit berlanjut menjadi
kelainan yang ireversibel dapat dilakukan.
· Melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur agar dapat diberikan obat-obat
yang tepat sehingga didapatkan keadaan yang optimal.
· Evaluasi faal paru secara berkala. Pemeriksaan faal paru pada PPOK selain berguna
sebagai penunjang diagnostik juga bermanfaat untuk melihat laju penyakit serta
meramalkan
prognosis penderita
.
Peranan N-Asetilsistein pada bronchitis kronik
Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang terpolusi
mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik.
Anti oksidan melindungi dan mempertahankan paru dari radikal-radikal anion
superoksid, hidrogen peroksid, radikal hidroksil dan anion hipohalida yang diproduksi
oleh sel radang. Anti oksidan dapat mengubah oksidan menjadi molekul yang tidak
berbahaya terhadap jaringan paru dan menekan efek radikal bebas dari asap rokok.
N-asetilsistein merupakan suatu antioksidan, yaitu sumber glutation.
Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan parenkim paru
oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di samping sebagai anti oksidan,
obat ini bersifat mukolitik yaitu mengencerkan sekret bronkus sehingga mudah
dikeluarkan.
Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada penderita bronkitis kronik
memberikan perbaikan dalam hal jumlah sputum, purulensi sputum, banyaknya
eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna.
EMFISEMA
Definisi
Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru – paru yang ditandai dengan
melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkhiolus terminal,
disertai kerusakan/destruksi dinding alveolus. Emfisema dapat didiagnosis dengan
menggunakan CT scan resolusi tinggi. Emfisema yang menyeluruh adalah dilatasi
permanent berbagai bagian asinus pernafasan dengan destruksi jaringan tanpa
jaringan parut. Emfisema menyebabkan hilangnya recoil elastic jaringan paru dan
menurunkan kekuatan ekspirasi.
Etiologi
1. Faktor idiopatik (tidak diketahui)
2. Predisposisi genetic
3. Merokok
4. Polusi udara
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya emfisema paru :
1. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya bronchitis kronik dan emfisema paru.
Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP (Volime
Ekspirasi Paksa) 1 detik. Secara patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia
kelenjar mucus bronkus dan metaplasoia sel skuamus saluran pernafasan. Juga
dapat menyebabkan bronkikonstriksi akut. Merokok juga dapat menimbulkan
inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofag alveolar, dan surfaktan.
2. Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya pun lebih
bertambah. Infeksi saluran nafas bagian atas pada seirang pasien bronkitis
hampi selalu menuebabkan infeksi paru bagian bawah, serat menyebabkan
kerusakan paru bertambah.
3. Polusi udara dapat menyebabkan emfisema karena menyebabkan obstruksi
saluran nafas.
4. faktor genetuk
faktor genetik mermpunyaiu peran pada PPOK, terbukti bahwa pada survei
terakhir didapatkan bahwa anak-anak dari orang tua yang merokok mempunyai
kecendeungan mengalami PPOK lebih sering dan berat, serta insiden PPOK pada
grup tersebut tinggi.
Faktor genetik tersebut di antaranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya
eosinofilia atau peningkatan kadar IgE serum, adanya hiperresponsif bronkus,
riwayat penyakit PPOK dalam kjeluarga, dan defisiensi protein alga 1 antitriopsin.
Penyakit dengan defisiensi alfa 1 antitripsin (ATT) yaitu suatu kelaianan yang
diturunkan secara autosom resesif, terutama pada pasien dengan gen S atau Z
sering menderita emfisema paru. ATT merupakan suatu protein yang menetralkan
enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada inflamasi dan merusak jaringan,
termasuk jaringan paru. Dengan demikian, AAT dapat meilindungi paru dari
kerusakan jaringan yang disebabkan enzim proteolitik. Orang yang punya nilai
AAT kurang dari 35% normal, tidak mampu memberikan perlindumgan yang
sadekuat dan kerusakan parenkim paru dapat terjadi.
5. Hipotesis Elastase – anti Elastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan
antielastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.perubahan keseimbangan akan
menimbulkan kerusakan jaringan elastic pru. Arsitektur paru akan berubah dan
timbul emfiseama. Sumber elastase penting adalah pankreas, sel PMN, dan
makrofag alveolar. Perangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan
infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem antielastase
yaniti sistem alfa 1 protease inhibitor terutama env\zim alfa 1 antitripsin (alfa 1
globulin) menjadi menurun. Akibat tidsak ada lagi keseimbangan antara elastase
dan antielastase akan terjadi kerusakan jaringan elastik paru dan kemudian
emfisema.
Patofisiologi
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan
saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas
yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu
protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan
dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari
kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru
antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan.
Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur
paru akan berubah dan timbul emfisema.Sumber elastase yang penting adalah
pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah
banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease
inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada
lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan
jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal
terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang
disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang
menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru. Pada orang normal sewaktu
terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang
sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup.Pada pasien emfisema
saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya
saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi
dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli
dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara
pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul
hipoksia dan sesak nafas.
Pembagian Emfisema
Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola
morfologik dari emfisema yaitu:
1. CLE (emfisema sentrilobular) CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian
bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung
dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris yang lebih
distal dapat dipertahankan penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas
paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada
pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang
tidak merokok(Sylvia A. Price 1995).
2. PLE (emfisema panlobular) Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang,
dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami
pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu
tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil
penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia
tua dan bronchitis kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah
diketahui adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti
protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap
protease yang terbentuk secara alami( Cherniack dan cherniack, 1983). PLE dan CLE
sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak.Biasanya bula timbul
akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen
bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan
mukosa dan banyaknya mucus.. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut
kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.
Manifestasi Klinis
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-
bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun.
Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi
paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55
tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60
tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan
meninggal dunia.
Diagnosa
1. Pemeriksaan fisik :
Inspeksi:
- Paru hiperinflasi, ekspansi dada berkurang, kesukaran inspirasi, dada berbentuk
barrel chest, dada anterior menonjol, punggung berbentuk kifosis dorsal.
Palpasi :
- Ruang antar iga melebar, taktik vocal fremitus menurun,
Perkusi :
- Terdengar hipersonor, peningkatan diameter dada anterior posterior.
Auskultasi :
- Suara napas berkurang, ronkhi bisa terdengar apabila ada dahak
2. Pemeriksan radiologis
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru
Terdapat dua bentuk kelainan foto dada pada emfisema paru, yaitu :
* Gambaran defisiensi arteri
- overinflasi Terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf.
- oligoemia Penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan
kedistal.
* corakan paru yang bertambah Sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema
sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.
3. Pemeriksaan fungsi paru
Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi
berkurang.
4. Analisis Gas Darah
Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien
emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien
hampir mencukupi.
5. Pemeriksaan EKG
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat
kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III,
dan aVF. Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S
kurang dari 1.
Penatalaksanaan
Penata laksanaan emfisema paru terbagi atas :
1. penyuluhan
2. pencegahan
3. terapi farmakologi
4. fisioterapi dan rehabilitasi
5. Pemberian O2 dalam jangka panjang
Penyuluhan
Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal
yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
Pencegahan
1. menghindari rokok
Merokok harus dihentikan meskipun sukar. Penyuluhan dan usaha yang optimal harus
dilakukan
2. menghindari lingkungan polusi
Sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada
pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran
nafas
3. Vaksin
Dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan
infeksi pneumokokus.
TERAPI FARMAKOLOGI
Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai
komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan :
1. pemberian bronkodilator
2. pemberian kortikosteroid
3. mengurangi sekresi mucus
1. Pemberian bronkodilator
a. golongan teofilin
Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan
kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L
b. golongan agonis B2
Biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi
menghilang dengan pemberian agak lama.
2. Pemberian kortikosteroid
Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi
saluran nafas.Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian
kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan.
3. Mengurangi sekresi mucus
- Minum cukup,supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine tetap
kuning pucat.
- Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan
amonium klorida.
- Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan
mengencerkan sputum.
- Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.
Fisioterapi dan Rehabilitasi
Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan
kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan
vokasional.
Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :
- Mengeluarkan mucus dari saluran nafas.
- Memperbaiki efisiensi ventilasi.
- Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
Pemberian O2 jangka panjang
Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan
toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu
tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan
mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.
ASMA BRONKIAL
Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik yang melibatkan berbagai sel
inflamasi dengan akibat penyempitan saluran nafas yang bervariasi, ditandai dengan
wheezing, sesak napas, rasa berat di dada, batuk terutama pada malam atau pagi hari.
Penyempitan dan gejala dapat bersifat reversible baik secara spontan.
Etiologi
1. Rangsangan alergi. Pada penderita asma alergi timbul dapat akibat menghirup
allergen atau setelah mengkonsumsi bahan alergik tersebut.
2. Rangsangan bahan toksik dan iritan. Kelompok ini meliputi asap rokok,
polutan, pembuangan pabrik, gasoline dan uap cat.
3. Infeksi. Pada umunya infeksi virus, jamur dan bakteri dapat memicu
timbulnya serangan asma namun dapat pula bertindak sebagai allergen.
Sinusitis bacterial dan infeksi virus (common cold) merupakan factor
terjadinya serangan asma.
4. Obat. Banyak obat yang dikonsumsi menimbulkan serangan asma. Golongan
terbanyak adalah penisilin dan golongan vaksen. Penderita yang sensitive
terhadap aspirin umumnya 20 menit setelah konsumsi timbul serangan.
5. Penyebab lainnya. Factor fisik dan psikologis. Misalnya kelelahan, perubahan
cuaca dan kesedihan.
Faktor Resiko
Resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara factor host dengan factor
lingkungan. Interaksi factor denetik /penjamu dengan lingkungan dipikirkan melalui
kemungkinan :
Pajanan lingkungan hanya meningkatkan resiko asma pada individu
genetic sama
Lingkungan maupun genetic masing-masing meningkatkan resiko penyakit
asma.
1. Faktor pejamu
Asma adalah penyakit yang diturunkan. Fenotip yang berkaitan dengan
asma, dikaitkan dengan ukuran subjectif (gejala) dan objectif (hipereaktiviti
bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Banyak gen yang terlibat dalam
pathogenesis asma antara lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R, reseptor
beta agonis : dan gen yang telibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu
IRF2,IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2, GRL1, CD14, HLAD, TMOD, dan
sebagainya.
Genetik mengontrol respons imun
Gen yang berlokasi pada kompleks HLA mempunyai cirri dalam
memberikan respons imun terhadap aeroallergen. Kompleks gen HLA
berlokasi pada kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I,II dan III dan lainnya
seperti gen TNF-α.
Genetic mengontrol sitokin proinflamasi
Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalamm
berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom
11, kromosom 12 mengandung gen yang mengkode IFN-, niast cell growth
factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase. Studi
berkesinambungan menunjukkan ada ikatan postif antara petanda-petanda
pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.
Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam
menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE pleh sel
B. Gen IL-4 dan gen-gen lain yang mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen
yang berpredisposisi untuk terjadi asma dan atopi.
Faktor lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan
adalah penyebab utama asma, dengan perngertian factor lingkungan tersebut
pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan memperthankan kondisi asma
tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya
gejala.
Patogenesis Asma
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel
inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag ,
neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai factor lain berperan
sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.
Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma
seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang di cetuskan
aspirin.
INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah factor antara
lain allergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut
terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma
tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan
terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamine, protease dan newly generated mediator
seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot
polos bronkus, sekresi mucus dan vasodilatasi.
Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi allergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan
makrofag.
INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot
polos bronkus
Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtype
Th2. Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-
sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE, IL-3, IL-5 serta GM-
CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.
Epitel
Sel epitel yang terkativasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran m arkers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya
masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil
granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym
dan metaloprotease sel epitel.
EOSINOFIL
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi
tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma
adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan
mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa
serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan
GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan
hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil
cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase
(EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel
saluran napas.
Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-
linking reseptor IgE dengan ‘’factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast.
Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti
histamine dan protease serta newly generated mediators antara lain
prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara
lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada
orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh
percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara
lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses
inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran
melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF
dan TGF-β.
AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan
jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing
process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel sel
mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan
regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim
yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan
penyambung yang menghasilkan jaringan skar.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan
remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen
lainnya seperti maktriks ekstraselular, membrane reticular basal, maktriks
interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya pembuluh
darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
Hipertrofi dan hyperplasia otot polos jalan napas
Hipertrofi dan hyperplasia kelenjar mucus
Penebalan membrane reticular basal
Pembuluh darah meningkat
Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
Perubahan struktur parenkim
Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan
tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah
distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga
pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma
terutama pencegahan dan pengobata dari proses tersebut.
Gambaran Klinik
Umumnya penderita asma mengeluh sesak napas kumat-kumatan, dada terasa
berat, sukar bernapas disertai batuk tanpa dengan dahak. Gejala demikian mungkin
timbul satu tahun sekali atau dua kali. Atau tiap bulan sekali, atau satu minggu sekali
atau setiap hari.
Keluhan timbul setelah melakukan aktifitas, paska menghirup bahan allergen,
makan,minum,marah,ketawa, batuk, olahraga, atau kecewa.
Pada serangan suara nafas berbunyi “wheezing”, kedua tapak tangan tertumpu
ke kursi, wajah berkeringat dan flushing, pergerakan cuping hidung, bibir dan ujung
jari kebiruan (cyanosis).
Diagnosis Asma
Umumnya, diagnosis asma tidaklah sulit, tetapi pada kasus tertentu kadang-
kadang sukar dibedakan dengan penyakit lain yang memberikan gejala yang serupa.
Ada kalanya gejala yang muncul hanya batuk atau sesak atau mungkin hanya rasa
berat di dada. Maka untuk kasus-kasus seperti ini diperlukan pemeriksaan yang lebih
cermat dan mungkin perlu beberapa pemeriksaan penunjang.
Rangkaian pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis penyakit asma,
terdiri dari: anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis pada penderita asma sangatlah penting. Tujuannya, selain untuk
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, anamnesis juga
berguna untuk menyususn srategi pengobatan pada penderita asma. Pada anamnesis
akan kita jumpai adanya keluhan, batuk, sesak, mengi dan atau rasa berat di dada
yang timbul secara tiba-tiba dan hilang secara spontan atau dengan pengobatan.
Tetapi adakalanya juga penderita hanya mengeluhkan batuk-batuk saja yang
umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani ataupun hanya pada
musim-musim tertentu saja. Disamping itu, mungkin adanya riwayat alrgi baik pada
penderita maupun pada keluarganya, seperti rhinitis alergi, dermatitik atopic dapat
membantu menegakakan diagnosis.
Yang perlu juga diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan, dengan
mengetahui factor pencetus kemudian menghindarinya, diharapkan gejala asma dapat
dicegah. Faktor-faktor pencetus pada asma, terdiri dari:
•Allergen, baik yang berupa inhalasi seperti debu rumah, tungau, serbuk sari, bulu
binatang, kapas, debu kopi atau the, maupun yang berupa makanan seperti udang,
kepiting, zat pengawet, zat pewarna dan sebagainya.
•Infeksi saluran napas, terutama oleh virus seperti Respiratory syncitial, parainfluensa
dan sebagainya.
•Kegiatan jasmani/ olahraga, seperti lari.
•Ketegangan atau tekanan jiwa.
•Obat-obatan, seperti penyekat beta, salisilat, kodein, AINS dan sebagainya.
•Polusi udara atau bau yang merangsang, seperti asap rokok, semprot nyamuk, parfum
dan sebagainya.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka seseorang dicurigai menderita asma apabila:
•Sesak atau batuk yang berkepanjangan setelah menderita influenza
•Batuk-batuk setelah olahraga, terutama pada anak-anak atau rasa berat atau tercekik
pada dada sehabis olahraga (yang terbukti tidak ada kelainan jantung)
•Sesak atau batuk-batuk pada waktu ruang berdebu atau berasap
•Batuk-batuk setelah mencium bau tertentu
•Batuk-batuk atau sesak yang sering timbul pada malam hari dan tidak berkurang
sesudah duduk.
Dengan kata lain, bila seseorang mengeluh sesak, batuk atau mengi yang tidak
bisa diterangkan penyebabnya, kita perlu mencurigai itu suatu asma. Atau yeng
membedakan asma dengan penyakit paru lain yaitu pada asma serangan dapat hilang
dengan atau tanpa obat. Artinya, serangan asma ada yang hilang dengan sendirinya
tanpa pengobatan. Tetapi, membiarkan penderita asma dalam srangan tanpa obat
selain tidak etis, juga bisa membahayakan nyawa penderita.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, selain berguna untuk menegakkan diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding, juga berguna untuk mengetahui penyakit-penyakit
yang mungkin menyertai asma. Pemeriksaan fisik meliputi seluruh badan, mulai dari
kepala sampai ke kaki.
Kelainan fisik pada penderita asma tergantung pada obstruksi saluran napas
(beratnya serangan) dan saat pemeriksaan. Pada saat serangan, tekanan darah bisa
naik, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, mengi (wheezing) sering
dapat terdengar tanpa statoskop, ekpirasi memanjang (lebih dari 4 detik atau 3 kali
lebih panjang dari inspirasi) disertai ronki kering dan mengi. Hiperinflasi paru yang
terlihat dengan peningkatan diameter anteroposterior rongga dada, dimana pada
perkusi akan terdengan hipersonor. Pernapasan cepat dan susah, ditandai dengan
pengaktifan otot-otot bantu pernapasan, sehingga tanpak retraksi suprasternal,
supraklavicula dan sel iga dan pernapasan cuping hidung.
Dalam praktek, jarang dijumpai kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma,
tetapi batuk, sesak ataupun mengi (wheezing) tidak hanya dijumpai pada penderita
asma, untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi untuk menegakkan
diagnosis.
Pemeriksaan Penunjang
1.Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah tepi, terutama jumlah eosinofil total sering meningkat
pada pasien asma, dan hal ini dapat membantu untuk membedakan asma dengan
bronchitis kronik. Jumlah eosinofil menurun dengan pemberian kortikosteroid,
sehingga dipakai juga untuk patokan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang
dibutuhkan pada pasien asma.
Pada pemeriksaan sputum, dimana sputum eosinofil sangat karakteristik untuk
asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk
melihat adanya eosinofil, Kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann,
pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigates.
Pemeriksaan analisis gas darah, hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada
fase awal serangan terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg)
kemudian pada fase yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai
normokapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia
(PaCO2 > 45 mmHg), hipoksemia dan asidosis respiratorik.
2.Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis dada ditujukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang
memberikan gejala serupa, seperti ggal jantung kiri, atau menemukan penyakit lain
yang menyertai asma seperti tuberculosis, atau mendeteksi adanya komplikasi asma
seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis dan lain-lain.
3.Uji Kulit
Tujuan tes ini adalah untuk mengetahui adanya antibody IgE yang spesifik pada
kulit, yang secara tidak langsung menggambarkan adanya antibody yang serupa pada
saluran napas penderita asma. Tes ini hanya menyokong anamnesis, karena allergen
yang menunjukkan tes kulit positif tidak selalu merupakan pencetus serangan asma,
demikian pula sebaliknya.
4.Pemeriksaan Spirometri
Spirometri merupakan alat yang digunakan untuk mengukur faal ventilasi paru.
Pemeriksaan ini sangat penting baik dalam diagnostic dan penilaian beratnya asma
maupun dalam pengololaan dan penilaian keberhasilan pengobatan, sama dengan
tensimeter dalam diagnostic dan pengelolaan hipertensi atau glukometer pada diabetes
mellitus.
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah
dengan melihat respons pengobatan dengan bronkodilator.
Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat
dinilai dengan meningkatnya FEV1 dan atau FVC sebanyak 20% atau lebih sesudah
pemberian bronkodilator. Tetapi tidak adanya peningkatan sebesar 20% tidak berarti
bukan asma. Hal ini dapat dijumpai pada penderita yang sudah normal atau mendekati
normal. Respons mungkin juga tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang
berat oleh karena dosis tunggal aerosol tidak cukup memberikan efek seperti yang
diharapkan mungkin perlu pemberian obat kombinasi (agonis beta 2, teofilin dan
kortikosteroid).
Penilaian beratnya obstruksi dapat dilihat pada rendahnya FEV1 dan FEV1/FVC
atau perbandingan FEV1 yang diukur dengan FEV1 yang prediktif.
Derajat obstruksi FEV1 (liter) FEV1/FVC FEV1/FEV1p
Apabila tes spirometri dengan bronkodilator hasilnya diragukan dapat dilakukan tes
pemantauan faal paru untuk jangka waktu 1-3 minggu dengan Miniright Peak
Flowmeter, dimana APE diukur tiga kali sehari ditambah ekstra pada saat munculnya
sesak. Apabila selisih APE yang tertinggi dengan yang terendah 20% atau lebih
merupakan petanda asma.
5.Tes Provokasi Brokial
Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperaktivitas
bronkus dilakukan tes provokasi bronkus. Tes ini tidak dilakukan apabila tes
spirometri menunjukkan resersibilitas 20% atau lebih.
Ada beberapa cara yang dilakukan untuk tes provokasi bronchial seperti tes
provokasi histamine, metakolin, allergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan
udara dingin bahkan inhalasi dengan aqua destila. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau
lebih setelah tes provokasi merupakan pertanda adanya hiperaktivitas bronkus.
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan asma :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversible
7. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan
terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan factor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Control secara teratur
7. Pola hidup sehat
Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dangan bahasa yang
mudah dan dikenal dengan 7 langkah mengatasi asma. Yaitu :
1. Mengenal seluk beluk asma
2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan menghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan cepat dan tepat
6. Memeriksa diri dengan teratur
7. Menjaga kebugaran dan olahraga
OBAT ASMA
Pada prinsipnya pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan yaitu antiinflamasi
merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol penyakit serta mencegah
serangan dikenal dengan pengontrol dan bronkodilator yang merupakan pengobatan
saat serangan untuk mengatasi eksaserbasi/serangan, dikenal dengan pelega.
Obat asma yang tersedia di Indonesia :
golongan nama genetik bentuk/kemasan obat
flutikason propionat IDT
steroid inhalasi budesonide IDT, TURBUHALER
kromolin IDT
Nedokromil IDT
sodium kromoglikat Zafirlukast Oral
nedokromil metilprednison oral, injeksi
antileukotrien prednisolon oral
kortikosteroid sistemik prokaterol oral
agonis beta-2 kerja lama bambuterol oral
formoterol turbuhaler
salbutamol oral, IDT
agonis beta-2 kerja
singkat terbutalin
oral, IDT,
TURBUHALER,
SOLUSIO,
AMPUL(INJEKSI)
prokaterol IDT
fenoterol IDT, solusio
ipratropium bromide IDT, solutio
antikolinergik teofilin oral
metilsantin aminofilin oral, injeksi
teofilin lepas lambat oral
formoterol turbuhaler
agonis beta-2 kerja lama metilprednison oral, injeksi
kortikosteroid sistemik prednison oral, injeksi
BRONKIEKTASIS
Definisi
Adalah pelebaran menetap bronkus dan bronkiolus akibat kerusakan otot dan jaringan
elastic penunjang, yang disebabkan oleh atau berkaitan dengan infeksi nekrotikans
kronis.
Bronkiektasis merupakan kelainan saluran nafas yang seringkali tidak berdiri sendiri,
akan tetapi dapat merupakan sebagian dari suatu syndrome atau sebagai akibat
(penyulit) dari kelainan paru yang lain. Sekali terbentuk, bronkiektasis menimbulkan
kompleks gejala yang didominasi oleh batuk dan pengeluaran sputum purulen dalam
jumlah besar. Diagnosis bergantung pada riwayat yang sesuai dan pembuktian adanya
dilatasi bronkus pada radiografi. Insidens bronkiektasis cenderung menurun dengan
adanya kemajuan pengobatan antibiotika. Akan tetapi perlu diingat bahwa insidens ini
juga dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, polusi udara, dan kelainan congenital.
Etiologi
1. sebagai gejala sisa infeksi paru
Pneumonia nekrotikans atau supuratif, terutama akibat organisme virulen, seperti
staphylococcus aureus atau klebsiella spp, dapat mempermudah bronkiektasis.
Dahulu, bronkiektasis pascainfeksi kadang-kadang menjadi sekuele dari
pneumonia pada anak yang menjadi penyulit campak, batuk rejan, dan influenza,
tetapi hal ini telah jauh berkurang berkat keberhasilan imunisasi. Bronkiektasis
pascatuberkulosis masih merupakan penyebab morbiditas yang bermakna di
daerah endemic.
2. obstruksi bronkus. Penyebab yang sering adalah tumor, benda asing, dan
kadang-kadang sumbatan mucus. Pada keadaan ini, bronkiektasis terletak di
segmen paru yang tersumbat. Bronkiektasis juga dapat menjadi penyulit asma
atopik dan bronchitis kronis.
3. kelainan congenital atau herediter
o pada fibrosis kistik, terjadi bronkiektasis berat yang luas akibat obstruksi dan
infeksi karena sekresi mucus yang terlalu kental. Ini adalah penyulit yang
penting dan serius.
o Pada keadaan imunodefisiensi, terutama defisiensi immunoglobulin,mudah
terjadi bronkiektasis karena meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri
berulang,dapat terjadi bronkiektasis local atau difus.
o Syndrome Kartagener, suatu gangguan resesif autosomal, sering berkaitan
dengan bronkiektasis dan sterilitas pasa laki-laki. Kelainan structural silia
menghambat pembersihan jalan nafas oleh mukosilia sehingga terjadi infeksi
persisten dan berkurangnya mobilitas spermatozoa. Syndrome kartagener
terdiri dari trias : bronkiektasis, sinusitis, dan dekstro kardi/ situs inversus.
4. Atelektasis
Patogenesis
1. Faktor Radang dan Nekrosis
Radang pada saluran pernapasan menyebabkan silia dari epitel bronkus tidak
berfungsi. Epitel kolumnar mengalami degenerasi dan diganti menjadi epitel
bertatah. Selanjutnya elemen kartilago muskularis mengalami nekrosis dan
jaringan elastis yang terdapat di sekitarnya mengalami kerusakan sehingga
berakibat dinding bronkus menjadi lemah, melebar tidak beraturan dan permanent.
Bila ulserasi mengenai pembuluh darah, dapat terjadi batuk darah berulang. Selain
itu, timbul hipertrofi dari pembuluh darah serta terbentuk banyak anastomosis
antara vena bronkialis dengan vena pulmonalis (right to left shunt) dengan akibat
timbul hipoksemia kronis dan berakhir dengan kor pulmonal kronis.
2. Faktor Mekanik
o Distensi mekanik sebagai akibat dinding bronkus yang lemah, secret yang
menumpuk dalam bronkus, adanya tumor atau pembesaran kelenjar limfe.
o Peningkatan tekanan intra bronchial distal dari penyempitan akibat batuk.
o Penarikan dinding bronkus oleh karena fibrosis jaringan paru, sebagai akibat
timbulnya perlekatan local yang permanent dari dinding bronkus
Factor intrinsik juga mempuyai peranan, sebab tidak semua penderita dengan
infeksi disertai obstruksi bronkus akan berakibat menjadi bronkiektasis. Pelebaran
bronkus dapat mmbentuk sakuler,tubuler dan varikosis
Terdapat dua proses penting yang saling terkait dalam patogenesis bronkiektasis:
obstruksi dan infeksi persisten kronis .salah satu dari keduanya dapat terjadi lebih
dahulu. Mekanisme pembersihan normal terhambat oleh obstruksi, sehingga
segera terjadi infeksi sekunder, sebaliknya, infeksi kronis pada saatnya
menyebabkan kerusakan dinding bronkus sehingga terjadi perlemahan dan
dilatasi. Sebagai contoh, obstruksi akibat karsinoma bronkogenik atau benda asing
mengganggu pembersihan sekresi sehingga terbentuk lahan yang subur bagi
infeksi. Peradangan yang terjadi merusak dinding bronkus dan eksudat yang
tertimbun semakin melebarkan jalan napas sehingga terjadi dilatasi irreversible.
Sebaliknya, peradangan nekrotikans persisten di bronkus atau bronkiolus dapat
menghasilkan sekresi obstruktif, peradangan diseluruh dinding (disertai fibrosis
peribronkus dan traksi jaringan parut terhadap dinding ) dan akhirnya rangkaian
kejadian yang telah dijelaskan di atas. Pada kasus yang biasa, dapat dibiakan
beragam flora dari bronkus yang terkena, termasuk stafilokokus, streptokokus,
pneumokokus, organisme enteric, bakteri anaerob dan mikroaerofilik dan
(terutama pada anak) Haemophilus influenzae dan Pseudomonas aeruginosa.
Manifestasi klinis
Gejala klinis timbul sabagai akibat gangguan fungsi silia dan adanya stasis secret
sehingga memungkinkan secret terkumpul di segmen yang mengalami dilatasi.
Penderita bronkiektasis mengeluh batuk hebat persisten disertai pengeluaran sputum
mukopurulen, kadang-kadang berbau busuk. Sputum mungkin mngandung bercak-
bercak darah, dapat terjadi hemoptoe. Gejala sering episodic dan dipicu oleh infeksi
saluran nafas atas tau masuknya patogen baru. Pada kasus bronkiektasis parah dan
luas, disetai hipoksemia, hiperkapnea, hipertensi pulmonalis dan (jarang) kor
pulmonal. Dahak yang dihasilkan pada penyakit ini bila ditampung dalam gelas
transparan dan di diamkan akan tampak tiga lapisan yaitu:
o Ekspektorasi timbal dengan perubahan posisi tubuh yang memungkinkan
pengaliran sputum dari segmen bronkiektasis misalnya waktu bangun tidur,
miring kekiri tau kekanan.
o Batuk darah
Timbal pada 50% penderita, sering perdarahan cukup banyak tetapi jarana fatal.
Kebanyakan abtuk darah pada anak disebabkan oleh brokiektasis.
o Penderita tampak kurus,astenia dan anorexia
o Panas badan timbal sebagai akibat infeksi seunder
o Sesak nafas timbal bila ada stegnasi sputum yang luas pada saluran napas dan
keradangan akut
o Foetor ex ore memberikan efek psikologis yang kurang baik
Diagnosis
1. Anamnesis
2. pemeriksaan fisik
penderita tampak kurang Gizo, anemia, dipsnue, kadang-kadang sianosis dan
sering di dapatkan jari tabú pada tangan dan kaki. Ronki basah persisten pada
lobus interior paru seringkali merupakan kelainan yang Amat penting. Gejala
tersebut lebih jelas terdengar bila pemeriksaan dilakukan sebelum dan sesudah
posisi drainase postural dan penderita disuruh batuk. Gejala pneumonia mingkin
ditemukan bila ada infeksi akut.
3. pemeriksaan laboratorium
tidak khas, Hb dapat rendah (anemia), dapat pula tinggi bila tidak ada polisitemia
sekunder sebagai akibat dari insufisiensi paru. Lekositosis dengan laju endap
darah yang tinggi sering dijumpai bila ada infeksi sekunder.
4. pemeriksaan radiologi
o foto torak PA dan lateral : tampak infiltrat pada paru bagian basal dengan
daerah radiolusen yang multiple menyerupai sarang lebah (Honey Comb
Appearance)
o bronkografi : merupakan sarana diagnosis pasti untuk bronkiektasis, karena
dengan bahan kontras yang dimasukan kedalam saluran napas atas akan
tampak kelainan ektasis
5. bronkoskopi
tidak dapat digunakan intuk melihat ektasis, akan tetapi dapat untuk mengetahui
adanya tumor atau benda asing, sumber batuk darah, sputum dan perdarahan.
6. pemeriksaan faal paru
untuk melihat kelainan retriksi dan atau obstruksi
Diagnosis banding
1. Bronkitis kronis
Bronkitis kronis menunjukan gambaran bronkus yang normal pada pemeriksaan
bronkografi
2. tuberkulosis paru
tampak gambaran radiologis yang berbeda dengan bronkiektasis, terlebih lagi
dijumpai basil tuberkulosis dan sputum. Akan tetapi perlu dingat bahwa
bronkiektasis dapat merupakan penyulit dari tuberkulosis paru
3. abses paru
pada radiologis tampak gambaran abses yang dapat dibedakan dari gambaran
bronkiektasis
4. tumor paru
tampak gambaran masa yang padat pada paru, bila proses keganasan memberi
gambaran infiltrat, maka perlu dibedakan dengan proses pneumonia
Penyulit
1. batuk darah masif
2. kor pulmonal kronikum dekompensa
3. infeksi sekunder : pneumonia dan abses
Terapi
- konservatif
1. mengobati penyakit dasar
2. drainase postural
3. pemggunaan entibiotika yang tepat dan segera
4. mukolitik dan ekspektoran, terutama bila sputum kental sehunnga sukar
dikeluarkan.dibatukkan
- suportif
1. memperbaiki keadaan umum
2. psikoterapi agar tidak menarik diri dari lingkungan
- pembedahan
paling ideal dilakuakn reseksi pada bagian yang sakit
indikasi : batuk darah berulang,proses ektasis yang lokal/soliter
kontraindikasi: pada bronkiektasis yang difus, faal paru yang jelek
Prognosis
Tergantung dari penyebab, lokasi, luas proses, derajat gangguan faal paru dan adanya
penyulit. Penggunaan antibiotika yang tepat dan tindakan bedah sangat berpengaruh
trhadap prognosis. Tanpa pengobatan penderita ektasis jarang dapat hidup melewati
umur 10-15 thn. Kebanyakan penderita meninggal pada umur < 40 tahun, karena
adanya penyulit.
Pencegahan
1. vaksinasi terhadap pertusis dan morbili
2. bila ada obstruksi bronkus =, harus dihilangkan
3. higiene saluran nafas : udara pernapasan bebas polusi termasuk rokok
GAGAL JANTUNG KONGESTIF (CHF)
A. Pengertian
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai
pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.
Ciri-ciri yang penting dari defenisi ini adalah pertama defenisi gagal adalah relatif
terhadap kebtuhan metabolic tubuh, kedua penekanan arti gagal ditujukan pada
fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan
spesifik pada fungsi miokardium ; gagal miokardium umumnya mengakibatkan
gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulai dapat menunda atau
bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi pompanya.
Istilah gagal sirkulasi lebih bersifat umum dari pada gagal jantung. Gagal
sirkulasi menunjukkan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskuler untuk
melakukan perfusi jaringan dengan memadai. Defenisi ini mencakup segal
kelainan dari sirkulasi yang mengakibatkan perfusi jaringan yang tidak memadai,
termasuk perubahan dalam volume darah, tonus vaskuler dan jantung. Gagal
jantung kongetif adlah keadaan dimana terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal
jantung dan mekanisme kompenstoriknya. Gagal jantung kongestif perlu
dibedakan dengan istilah yang lebih umum yaitu. Gagal sirkulasi, yang hanya
berarti kelebihan beban sirkulasi akibat bertambahnya volume darah pada gagal
jantung atau sebab-sebab diluar jantung, seperti transfusi yang berlebihan atau
anuria.
B. Etiologi dan Patofisiologi
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis
penyakit jantung kongestif maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang
menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan
beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-
keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan cacat
septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun
pada imfark miokardium dan kardiomiopati.
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik dan
infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Pennganan yang efektif terhadap gagal
jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap
mekanisme fisiologis dan penykit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap faktor-
faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.
C. Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal
jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan
ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi
curah sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel.
Tekanan rteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap
peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan
tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seprti yang terjadi
pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, dimana akhirnya akan
terjdi kongesti sistemik dan edema.
Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat
dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dan katub-katub trikuspidalis atau
mitralis bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari
annulus katub atrioventrikularis atau perubahan-perubahan pada orientasi otot
papilaris dan kordatendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang.
Sebagai respon terhadap gagal jantung ada tiga meknisme primer yang
dapat dilihat; meningkatnya aktifitas adrenergik simpatik, meningkatnya beban
awal akibat aktivasi istem rennin-angiotensin-aldosteron dan hipertrofi ventrikel.
Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curh jantung.
Meknisme-meknisme ini mungkin memadai untuk mempertahnkan curah jantung
pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini, pada keadaan
istirahat. Tetapi kelainan pad kerj ventrikel dan menurunnya curah jantung
biasanya tampak pada keadaan berktivitas. Dengn berlanjutny gagal jantung
maka kompensasi akan menjadi semakin luring efektif.
D. Penanganan
Gagal jantung ditngani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban
kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi
miokardium, baik secar sendiri-sendiri maupun gabungan dari : beban awal,
kontraktilitas dan beban akhir.Penanganan biasanya dimulai ketika gejala-gejala
timbul pad saat beraktivitas biasa. Rejimen penanganan secar progresif
ditingkatkan sampai mencapai respon klinik yang diinginkan. Eksaserbasi akut
dari gagal jantung atau perkembangan menuju gagal jantung yang berat dapat
menjadi alasan untuk dirawat dirumah sakit atau mendapat penanganan yang
lebih agresif .
Pembatasan aktivitas fisik yang ketat merupakan tindakan awal yang
sederhan namun sangat tepat dalam pennganan gagal jantung. Tetapi harus
diperhatikan jngn sampai memaksakan lrngan yng tak perlu untuk menghindari
kelemahan otot-otot rangka. Kini telah dikethui bahwa kelemahan otot rangka
dapat meningkatkan intoleransi terhadap latihan fisik. Tirah baring dan aktifitas
yang terbatas juga dapat menyebabkan flebotrombosis. Pemberian
antikoagulansia mungkin diperlukan pad pembatasan aktifitas yang ketat untuk
mengendalikan gejala.
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san
kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial.
Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard
menunjukkan adanya aneurime ventricular.
2. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam
fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.
3. Skan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan
dinding.
4. Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau
insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan
kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan
kontrktilitas.
FIBROSIS KISTIK
Pendahuluan
Fibrosis kistik adalah kelainan genetic yang bersifat resesif heterogen dengan
gambaran patobiologik yang mencerminkan mutasi pada gen regulator
transmembrana fibrosis kistik (CFTR). Penyakit ini ditandai dengan infeksi saluran
napas kronik yang akhirnya menimbulkan bronkiektasis serta bronkiolektasis,
insufisiensi kelenjar eksokrin pancreas dan disfungsi intestinal, fungsi kelenjar
keringat yang abnormal dan disfungsi urogenital.
Patogenesis
Dasar genetika. Fibrosis kistik merupakan penyakit autosomal resesif akibat
mutasi gen yang terletak pada kromosom 7. Mutasi gen tersebut menyebabkan
hilangnya fenilamin pada rantai asam amino 508 gen fibrosis kistik, yang dikenal
sebagai regulator transmembrana fibrosis kistik (CFTR).
Protein CFTR merupakan rantai asam amino yang berfungsi sebagai saluran
Cl- diatur AMP siklik. Proses pembentukan CFTR seluruhnya ditemukan pada
membrane plasma epitel normal. Mutasi DF508 menyebabkan proses yang tidak
benar dan pemecahan protein CFTR intraseluler, sehingga tidak ditemukannya protein
CFTR pada lokasi selular.
Epitel yang dirusak oleh fibrosis kistik memperlihatkan fungsi yang berbeda.
Dimana pada kelenjar keringat konsentrasi Na+ dan Cl- disekresikan ke lumen kelenjar
normal, tetapi epitel yang melapisi duktus kelenjar tidak permeable terhadap Cl-.
Keringat bergerak menuju permukaan reabsorbsi normal Cl- melalui CFTR yang
diikuti kation Na+ terjadi kegagalan. Ini proses yang menjelaskan mengapa
konsentrasi NaCl yang tinggi di keringat pasien fibrosis kistik.
Penyebab utama karena obstruksi mukosa kelenjar eksokrin. Terdapat secret
yang tebal dan lengket menyumbat saluran napas distal dan kelenjar submukosa pada
paru manusia. Gambaran patologi yang khas yaitu pelebaran dari saluran kelenjar
(sumbatan mucus) dan ditutupinya permukaan saluran napas oleh debris yang tebal,
kental, dan berupa mukopurulen yang mengandung banyak neutrofil. Hiperflasia
kelenjar submukosa sangat menonjol dan dikelilingi oleh inflamasi peribronkial dan
jaringan parut.
Manifestasi Klinis
Pasien mengeluh batuk yang kronik dan berdahak, dan sering berulang,
menggambarkan infeksi saluran napas yang memburuk. Selama fase eksaserbasi ini,
batuk menjadi lebih parah dan dahak makin banyak dan purulen dan kadang-kadang
bercampur darah. Juga dijumpai anoreksia, berat badan menurun, dan demam. Faal
paru terganggu dan dijumpai sesak napas. Akhirnya, keadaan ini menyebabkan
hipertensi paru dan kor pulmonal, diikuti gagal napas dan kematian.
Terdapat juga pneumotoraks dan hemoptisis. Adanya mengi dan bukti adanya
obstruksi saluran napas yang reversible pada tes faal paru merupakan kunci penting
adanya ABPA ( Allergic bronchopulmonary aspergilosis ). Komplikasi pada pasien
dewasa yaitu sinusistis dan polip hidung.
Manifestasi di luar paru adalah malabsorbsi oleh karena kekurangan eksokrin
pancreas, diabetes mellitus, pancreatitis, obstruksi usus, intususepsi, kolelitiasis,
sirosis bilier, dan azoospermia.
Pemeriksaan fisis. Pasien biasanya kurus. Toraks berbentuk tong (barrel
chest), menggambarkan keadaan paru yang hiperinflasi. Terdapat ronki pada
auskultasi terutama pada bagian apex. Terdapat juga mengi yang disebabkan karena
sumbatan mekanis saluran napas oleh mucus atau oleh karena spasme bronkus. Pasien
juga terlihat memakai otot-otot bantu pernapasan, sianosis, bukti adanya hipertensi
paru dan tanda dari gagal jantung kanan, menunjukkan kelainan paru lanjut.
Diagnosis Fibrosis Kistik
Criteria diagnostic yang baku untuk fibrosis kistik yang klasik telah
dibakukan, yakni: peningkatan konsentrasi yang menetap dari elektrolit pada kelenjar
keringat ditambah dengan gambaran klinis yang khas (tipe gastrointestinal atau tipe
paru dan kadang-kadang azoosperma obstruktif) atau adanya riwayat family.
Uji laboratorium
1. Uji keringat. Uji yang menunjukkan positif kuat (Cl3 80 mmol/l), dengan
manifestasi klinis yang khas, memastikan diagnose. Harus dibedakan denagn
keadaan lain yang juga meningkatkan elektrolit keringat, antara lain
hipotiroid, insufisiensi adrenal, dan malnutrisi.
2. Foto toraks. Menunjukkan hiperinflasi, dengan diafragma yang mendatar.
Dinding bronkus menebal, dalam potongan melintang terlihat seperti cincin,
dalam posisi longitudinal terlihat seperti garis yang parallel. Pada penyakit
lebih lanjut, perubahan-perubahan kistik akan dijumpai dan sering pada lobus
atas. Jika kista penuh berisi pus, gambaran kista akan terlihat sebagai nodul.
3. Uji faal paru. Gambaran khasnya berupa gambaran obstruktif. Volume residu
meningkat, mencerminkan udara yang terperangkap. Kapasitas difusi tetap
normal dan menurun pada tahap lanjut. Analisa gas darah arteri normal pada
keadaan ringan, tapi muncul hipoksemia yang progresif oleh karena gangguan
faal paru; hiperkapnia dijumpai dalam fase lanjut.
4. Analisa semen. Azoosperma obstruktif adalah bukti yang kuat dari fibrosis
kistik. Harus dikonfirmasi dengan biopsy testis, dan harus tidak ada penjelasan
lain untuk keadaan azoosperma tersebut (misalnya vasektomi)
5. Foto sinus. Pansinusitis sering dijumpai. Keadaan ini sangat kuat menyokong
diagnosis. Sinus yang normal pada foto adalah sangat kuat walau bukan
absolute, bukti bahwa tidak dijumpainya fibrosis kistik.
6. Uji fungsi kelenjar eksokrin. Respon pasien yang memiliki keluhan dan
tanda malnutrisi sangat baik terhadap pemberian enzim pancreas.
Membuktikan adanya kekurangan eksokrin pancreas. Hasil uji tidak langsung
(absorbsi asam paraaminobenzoat, kadar enzim dalam feses, kadar karoten
serum, kadar kuantitatif lemak dalam feses, dan USG pancreas) dapat
menolong diagnosis. Tapi standar emas (intubasi, isolasi saluran pancreas dan
analisa dari sekresi sebelum dan sesudah perangsangan dengan secretin dan
cholecystokinin) mungkin diperlukan untuk mendeteksi kelainan yang lebih
detail.
7. Bronchoalveolar Lavage (BAL). BAL selalu menunjukkan persentase yang
tinggi dari neutrofil (≥ 50 % pada pasien fibrosis kistik) dan jumlah neutrofil
sangat tinggi. Tidak diperlukan pada keadaan yang berat. Pada pasien yang
klinisnya tidak khas tetapi tanpa penyakit paru yang nyata, adanya neutrofil
dalam jumlah besar dalam cairan lavage, walau tidak ada bakteri pathogen,
adalah bukti kuat adanya penyakit ini. Termasuk ditemukannya Pseudomonas
aeroginosa, juga menyokong diagnosis. Kadar antibody terhadap
pseudomonas yang meninggi dalam serum dapat dipakai untuk menduga
adanya infeksi walau kultur negative.
8. Pengukuran beda potensial nasal. Dilakukan dengan mengukur beda
potensial antara electrode yang dipasang di lengan dan di cavum nasi. Tidak
boleh dilakukan bila ada infeksi akut. Normal -24,7 ± 0,9 mV; abnormal -53 ±
1,8 mV. Pengukuran beda potensial nasal (termasuk respons terhadap
amiloride, cairan bebas Cl, dan isoproterenol) yang menunjukkan CFTR yang
tidak normal lebih dipercaya daripada uji keringat.
Pengobatan
Antibiotika. Terdiri dari 2 antibiotika diberikan secara parenteral selama 14-
21 hari, ditambah pembersihan saluran napas dan pemberian bronkodilator.
Antibiotika pilihannya adalah kombinasi penisilin semi sintetik atau sefalosporin
generasi III dan aminoglikosida. Antibiotika diberikan secara oral dan siprofloksasin
sering dipakai.
Bronkodilator. Β2-agonis dan anti-kolinergik memperbaiki ekspirasi, lebih
baik diberikan bersamaan. Diberikan juga pada keadaan eksaserbasi.
Steroid. Pada anak usia 1-2 tahun, diberikan prednisone dosis tinggi (3
mg/kgBB). Diberikan selama 12 minggu dapat memperbaiki faal paru. Tidak dapat
diberikan dalam jangka panjang karena efek samping seperti gangguan pertumbuhan
dan lain-lain.
Menurunkan kekentalan dahak. Recombinant human desoxyribonuclease I
(rhDNase I) yang dapat memakan DNA ekstraselulare menurunkan kekentalan
sputum secara in vitro.
Pengobatan gen. hasil uji klinisnya belum memuaskan.
Modulasi farmakologi dari transport ion. Amiloride bekerja menghambat
absorbsi Na, diberikan secara aerosol untuk mencapai apeks (kerja maksimal) dan
diberikan paling sedikit 4 kali sehari untuk mempertahankan konsentrasi efektif di
permukaan saluran napas apeks paru. Pemberian nucleotide triphospate (UTP =
uridine triphospat dan ATP) merangsang sekresi Cl dengan mengaktifkan reseptor P2.
Pemberian amiloride pada selaput hidung yang diikuti peningkatan konsentrasi UTP
dan ATP akan menginduksi sekresi Cl dan meningkatkan beda potensial transepitel.
Fisioterapi. Membersihkan secret pada saluran napas dengan cara drainase
postural, perkusi dinding dada, latihan napas dan olahraga. Memerlukan waktu yang
lama dan tenaga yang terlatih.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Dikutip dari Buku Penatalaksanaan Asma Bronkhial, Diagnosis Asma; karangan
Samsu. Hal 22.
Amin Z. dan Bahar A. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III ed IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Laboratorium Parasitologi. 2006. Diktat Parasitologi. Malang : FK Unibraw
Diktat Parasitologi FK Unmul.
Gandahusda S. 1998. Parasitologi Kedokteran ed III. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Tjokroprawiro A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : FK Unair
dan RS Pendidikan Dr.Soetomo.
www.depkes.go.id
Robbins & Kumar. 2007. Patologi volume 1 edisi 7. Jakarta : EGC