Download - Laporan ANFIS 3 Denny
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Sistem saraf merupakan sel yang sangat khusus yang dapat
menghantarkan dan memicu rangsangan listrik secara hayati. Mereka
berkomunikasi dengan sel saraf lain melalui jaringan kerja yang rumit dan
dapat mengatur semua jaringan dan organ. Sel saraf dapat terangsang atau
di hambat karena membran sel saraf permeabilitasnya atau
kepermeabelannya mudah berubah karena pengaruh neurotrasmitter
endogen atau obat.
Kolenergik atau parasimpatomimetik adalah sekelompok zat yang
dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis
(SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung
neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan
dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila
neuron SP dirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan
istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi
pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah
dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, dan lain-lain, memperkuat
sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan
penurunan tekanan darah, memperlambat pernafasan, antara lain dengan
menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot
mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan
intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih
dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh
dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan
menstimulasinya.
I.2. MAKSUD DAN TUJUAN PERCOBAAN
I.2.1 MAKSUD PERCOBAAN
Mengetahui dan memahami efek pilokarpin dan adrenalin pada
hewan coba mencit (Mus musculus)
I.2.2 TUJUAN PERCOBAAN
a. Mengetahui efek pilokarpin pada mencit (Mus musculus)
b. Mengetahui efek adrenalin pada mencit (Mus musculus)
c. Mengetahui efek NaCl pada mencit (Mus musculus)
I.III PRINSIP PERCOBAAN
Perlakuan terhadap hewan coba mencit (Mus musculus) untuk
mengetahui efek pilokarpin dan adrenalin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 TEORI UMUM
Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadar dan sistem saraf
tak sadar (sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas
yang kerjanya diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol
aktivitas yang tidak dapat diatur otak antara lain denyut jantung, gerak
saluran pencernaan, dan sekresi keringat. Di dalam sistem saraf otonom
disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun dari sumsum
tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini
terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis
yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat
pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada
pada ujung ganglion disebut urat saraf post ganglion (4).
Sistem saraf otonom dapat dibagi atas sistem saraf simpatik dan
sistem saraf parasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan
parasimpatik terletak pada posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai
ganglion yang terletak di sepanjang tulang belakang menempel pada
sumsum tulang belakang sehingga mempunyai urat pra ganglion pendek,
sedangkan saraf parasimpatik mempunyai urat pra ganglion yang
panjang karena ganglion menempel pada organ yang dibantu (4).
Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan
(antagonis). Sistem saraf parasimpatik terdiri dari keseluruhan “nervus
vagus” bersama cabang-cabangnya ditambah dengan beberapa saraf
otak lain dan saraf sumsum sambung. Selain itu, fungsi saraf otonom
pada sistem saraf simpatik, diantaranya sebagai berikut :
1.memperbesar pupil.
2.menghambat aliran ludah.
3.mempercepat denyut jantung.
4.mengecilkan bronkus.
5.menghambat sekresi kelenjar pencernaan.
6.menghambat kontraksi kandung kemih.
Sedangkan, fungsi saraf otonom pada sistem saraf parasimpatik,
diantaranya sebagai berikut :
1.mengecilkan pupil.
2.menstimulasi aliran ludah.
3.memperlambat denyut jantung.
4.membesarkan bronkus.
5.menstimulasi sekresi kelenjar pencernaan.
6.mengerutkan kantung kemih (4).
Kelenjar saliva merupakan salah satu kelenjar dalam sistem
pencernaan yang akan meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem
saraf parasimpatik atau oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi
sebaliknya, jika diberikaan obat-obat yang aktivitasnya berlawanan
dengan sistem parasimpatik atau bersifat parasimpatolitik, maka aktivitas
kelenjar saliva akan menurun. System saraf otonom adalah system saraf
yang bekerja tanpa mengikuti kehendak dan kemauan kita. Misalnya
detak jantung, mata berkedip, kesadaran, pernafasan maupun
pencernaan makanan. Menurut fungsi dan tanda – tanda morfologinya
system saraf otonom dibedakan menjadi dua yaitu, system saraf simpatik
dan system saraf parasimpatik (4).
Pada umumnya system saraf simpatik dan system saraf
parasimpatik bekerja berlawanan tetapi dalam beberapa hal bersifat
sinergis. Rangsangan dari susunan saraf pusat untuk sampai ke ganglion
efektor memerlukan suatu penghantar yang disebut dengan
neurotransmiter. Bila rangsangan tersebut berasal dari saraf simpatis
maka neurohormon yang bekerja adalah noradrenalin (adrenalin) atau
norepinephrin (epinefrin). Sebaliknya apabila rangsangan tersebut
berasal dari saraf parasimpatis, maka neurohormon yang bekerja adalah
asetilkolin (4).
Untuk menghindari akumulasi dari neurohormon yang dapat
mengakibatkan perangsangan saraf terus menerus maka neurohormon
harus diuraikan oleh enzim khusus yang terdapat dalam darah maupun
jaringan..Efek samping dosis tinggi pada jantung adalah berdebar,
gelisah, gemetaran dan muka merah. Turunan yang paling sering
digunakan adalah feneterol, terbutalin dan salbutamol. Simpatolitik /
adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf parasimpatis ditekan
atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol,
dll.
· Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatis:
Para simpatomimetik / kolinergik Kolenergik atau parasimpatomimetik
adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan
stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon
asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah
mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat penggunaannya,
singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SP dirangsang, timbullah
sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek
kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan
memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung
(HCl), juga sekresi air mata, dan lain-lain, memperkuat sirkulasi, antara
lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan
tekanan darah, memperlambat pernafasan, antara lain dengan
menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot
mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan
intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung
kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi
pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada
permulaan menstimulasinya (4).
Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron
postganglioner dari SP, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian
Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal (4).
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula
muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun
tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah
terhadap nikotin. Dengan menggunakan study ikatan dan panghambat
tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik
seperti M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia
sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti jantung, otot polos,
otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun kelima subtipe
reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1
ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat
dalam otot polos dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin
dan otot polos. Obat-obat yang bekerja muskarinik lebih peka dalam
memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar
tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula (5).
Sejumlah mekanisme molekular yang berbeda terjadi dengan
menimbulkan sinyal yang disebabkan setelah asetilkolin mengikat
reseptor muskarinik. Sebagai contoh, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan,
maka reseptor ini akan mengalami perubahan konformasi dan
berinteraksi dengan protein G, yang selanjutnya akan mengaktifkan
fosfolipase C. Akibatnya akan terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)-
bifosfat (PIP2) menjadi diasilgliserol (DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat
(IP3) yang akan meningkatkan kadar Ca++ intrasel. Kation ini selanjutnya
akan berinteraksi untuk memacu atau menghambat enzim-enzim atau
menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi
subtipe M2 pada otot jantung memacu protein G yang menghambat
adenililsiklase dan mempertinggi konduktan K+, sehingga denyut dan
kontraksi otot jantung akan menurun (5).
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal
nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin
memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyekat
reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem saraf
pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan
neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu reseptor
nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia
otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada sambungan
neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif
dihambat oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan
neuromuskular secara spesifik dihambat oleh turbokurarin (5).
Stimulasi reseptor ini oleh kolenergika menimbulkan efek yang
menyerupai efek adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama sekali.
Misalnya vasokonstriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan
jantung, juga stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi
otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan blokade
neuromuskuler (4).
Kolinergika dapat dibagi menurut cara kerjanya, yaitu zat-zat
dengan kerja langsung dan zat-zat dengan kerja tak langsung.
Kolinergika yang bekerja secara langsung meliputi karbachol, pilokarpin,
muskarin, dan arekolin (alkaloid dari pinang, Areca catechu). Zat-zat ini
bekerja secara langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja utama
yang mirip efek muskarin dari ACh. Semuanya adalah zat-zat amonium
kwaterner yang bersifat hidrofil dan sukar larut memasuki SSP, kecuali
arekolin (4).
Sedangkan kolinergika yang bekerja secara tak langsung meliputi
zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin, dan
piridogstimin. Obat-obat ini merintangi penguraian ACh secara reversibel,
yakni hanya untuk sementara. Setelah zat-zat tersebut habis diuraikan
oleh kolinesterase, ACh segera akan dirombak lagi. Disamping itu, ada
pula zat-zat yang mengikat enzim secara irreversibel, misalnya parathion
dan organofosfat lainnya. Kerjanya panjang, karena bertahan sampai
enzim baru terbentuk lagi. Zat ini banyak digunakan sebagai insektisid
beracun kuat di bidang pertanian (parathion) dan sebagai obat kutu
rambut (malathion). Gas saraf yang digunakan sebagai senjata perang
termasuk pula kelompok organofosfat ini, misalnya Sarin, Soman, dan
sebagainya 4).
Salah satu kolinergika yang sering digunakan dalam pengobatan
glaukoma adalah pilokarpin. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier
dan stabil dari hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan
asetilkolin dan turunannya, senyawa ini ternyata sangat lemah. Pilokarpin
menunjukkan aktivitas muskarinik dan terutama digunakan untuk
oftamologi. Penggunaan topikal pada kornea dapat menimbulkan miosis
dengan cepat dan kontraksi otot siliaris. Pada mata akan terjadi suatu
spasme akomodasi, dan penglihatan akan terpaku pada jarak tertentu,
sehingga sulit untuk memfokus suatu objek. Pilokarpin juga merupakan
salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat,
air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud
demikian. Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang
dapat menurunkan tekanan bola mata baik glaukoma bersudut sempit
maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman
trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turun
dengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini
dapat berlangsung sekitar sehari dan dapat diulang kembali. Obat
penyekat kolinesterase, seperti isoflurofat dan ekotiofat, bekerja lebih
lama lagi. Disamping kemampuannya dalam mengobati glaukoma,
pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat
mencapai otak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang
keringat dan salivasi yang berlebihan (5).
2. Parasimpatolitik / anti kolinergik
yaitu obat yang meniru bila saraf parasimpatis ditekan atau melawan efek
kolinergik. Semua antikolinergik memperlihatkan kerja yang hampir sama
tetapi daya afinitasnya berbeda terhadap berbagai organ, misalnya
atropin hanya menekan sekresi liur, mukus bronkus dan keringat pada
dosis kecil, tetapi pada dosis besar dapat menyebabkan dilatasi pupil
mata, gangguan akomodasi dan penghambatan saraf fagus pada
jantung. Antikolinergik juga memperlihatkan efek sentral yaitu
merangsang pada dosis kecil tetapi mendepresi pada dosis toksik (5)
Penggunaan Senyawa ini mengandung Nitrogen bervalensi bersifat basa
kuat dan terionisasi baik, maka sulit melewati sawar darah otak sehingga
tidak memiliki efek sentral. Khasiat antikolinergiknya lemah dengan kerja
spasmolitik yang lebih kuat dari atropin dan efek samping lebih ringan.
Penggunaan untuk meredakan peristaltik lambung-usus dan meredakan
organ dalam. Yang termasuk dalam golongan ini adalah: propantelin,
oksifenium, mepenzolat, isopropamida dan ipratropium (5)
II.2 URAIAN HEWAN COBA
II.2.1. Karakteristik hewan coba
1. Mencit (Mus musculus)
a. Masa pubertas : 4 – 5 hari (poliestrus)
b. Masa beranak : 7 – 18 bulan
c. Masa hamil : 19 – 21 hari
d. Jumlah sekali lahir : 10 – 12 ekor
e. Masa hidup : 1,5 – 3,0 tahun
f. Masa tumbuh : 50 hari
g. Masa menyusui : 21 hari
h. Frekuensi kelahiran : 6 – 10 kali kelahiran
i. Suhu tubuh : 36,5 -38,0 0 C
j. Laju respirasi : 163 x / mn
k. Tekanan darah : 113-147/81-106 mm Hg
l. Volume darah : 76 – 80 mg/kg
m. Luas permukaan tubuh : 20 g : 36 cm
II.2.2. Klasifiasi hewan coba
a. Mencit (Mus musculus)
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Subfamily : Murinae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
II.3 URAIAN BAHAN
1. Aquadest (FI edisi III hal 96)
Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain : Air suling
Rumus Kimia : H2O
Berat molekul : 18,02
Pemeriaan : Cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak mempunyai rasa.
Penyimpanan : dalam wadah yang tertutup baik
K/P : Pelarut
BAB III
METODE KERJA
III.1. ALAT DAN BAHAN
A. ALAT YANG DIGUNAKAN
Adapun alat yang digunakan pada percobaan ini adalah papan datar
bulat,alat kasar, gelas kimia, spoit 1 cc, labu ukur 10 ml, dan gelas
ukur
B. BAHAN YANG DIGUNAKAN
Adapun nahan yang di gunakan pilokarpin, adrenalin dan larutan
NaCl fisiologis steril
III.2. CARA KERJA
III.2.1. PENGENCERAN LARUTAN PILOKARPIN
a. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan
b. Dihitung dosis parenteral
c. Diambil 1 ml larutan pilokarpin dengan menggunakan spoit
kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur 4 ml lalu di
cukupkan hingga 4 ml dengan menggunakan aquadest
d. Diambil 1 ml larutan pilokarpin dari gelas ukur dengan
menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam labu
ukur 10 ml lalu di cukupkan hingga 10 ml dengan
menggunakan aquadest
e. Diambil 1 ml larutan pilokarpin dari labu ukur dengan
menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam labu
ukur 10 ml lalu di cukupkan hingga 10 ml dengan
menggunakan aquadest
f. Larutan siap digunakan
III.2.2. PENGENCERAN LARUTAN ADRENALIN
a. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan
b. Dihitung dosis parenteral adrenalin
c. Diambil 1 ml larutan adrenalin dengan menggunakan spoit
kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur 4 ml lalu di
cukupkan hingga 4 ml dengan menggunakan aquadest
d. Diambil 1 ml larutan adrenalin dari gelas ukur dengan
menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam labu
ukur 10 ml lalu di cukupkan hingga 10 ml dengan
menggunakan aquadest
e. Diambil 1 ml larutan adrenalin dari labu ukur dengan
menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam labu
ukur 10 ml lalu di cukupkan hingga 10 ml dengan
menggunakan aquadest
f. Larutan siap digunakan
III.2.3. PENGENCERAN LARUTAN NaCl FISIOLOGIS STERIL
a. Disiapkan alat dan bahan yang digunakan
b. Dihitung dosis parenteral
c. Diambil 1 ml larutan NaCl dengan menggunakan spoit
kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur 4 ml lalu di
cukupkan hingga 4 ml dengan menggunakan aquadest
d. Diambil 1 ml larutan NaCl dari gelas ukur dengan
menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam labu
ukur 10 ml lalu di cukupkan hingga 10 ml dengan
menggunakan aquadest
e. Diambil 1 ml larutan NaCl dari labu ukur dengan
menggunakan spoit kemudian dimasukkan kedalam labu
ukur 10 ml lalu di cukupkan hingga 10 ml dengan
menggunakan aquadest
f. Larutan siap digunakan
III.2.4. PEMBERIAN PARENTERAL PILOKARPIN,ADRENALIN DAN
NaCl PADA MENCIT
a. Diambil larutan pilokarpin 1 ml dengan menggunakan spoit
1cc
b. Disuntikkan pada mencit (Mus musculus) jantan dan betina
larutan pilokarpin sesuai dengan perhitungan dosis
berdasarkan berat badan mencit
c. Diamati gejala yang timbul pada hewan percobaan seperti
miosis,midriasis,vasokonstriksi,vasodilatasi,tremor,grooming,
saliva,straub dan diare
d. Diberi perlakuan yang sama pada mencit betina dan jantan
dengan menggunakan larutan adrenalin dan NaCl
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV.1. TABEL HASIL PENGAMATAN
Efek pilokarpin NaCl Adrenalin
5’ 10 ‘ 15’ 5’ 10’ 15’ 5’ 10’ 15’
Mioisis - - + - - - - - -
Midriasis - - - - - - - - +
Vasokonstriks
i
- - - - - - - - -
Vasodilatasi - - + - - - - - +
Tremor - + + - - - - + +
Grooming + + + + + + - + +
Saliva - - - - - - + - -
Straub - + + + - - - + +
Diare - - - + + + - - -
BAB V
PEMBAHASAN
Adapun percobaan yang akan dilakukan pada praktikum kali ini adalah
untuk mengetahui efek pilokarpin dan adrenalin pada mencit serta
menggunakan larutan NaCl sebagai larutan pembanding, pertama – tama
yang dilakukan adalah menimbang hewan coba mencit jantan dan mencit
betina kemudian di hitung dosis parenteral pilokarpin, adrenalin dan NaCl
untuk pemberian parenteral, penggunaan mencit betina dan jantan bertujuan
sebagai hewan pembanding
Dilakukan pengenceran pilokarpin dengan mengambil 1cc cairan
pilokarpin dengan menggunakan spoit kemudian memasukkannya kedalam
gelas ukur 4 ml dicukupkan dengan menggunakan aquadest selanjutnya
cairan yang berada didalam gelas ukur di ambil 1cc kemudian dimasukkan
kedalam labu ukur 10 ml dan dicukupkan lagi dengan menggunakan
aquadest untuk yang terakhir larutan pilokarpin yang sudah diencerkan 2 kali
ini diambil lagi 1cc kemudian dimasukkan kedalam labu ukur yang terakhir
kemudian dicukupkan hingga 10 ml, perlakuan yang sama di lakukan pada
bahan yang lain seperti adrenalin dan NaCl.
Untuk penimbangan pada hewan coba terlebih dahulu diberi tanda
untuk mencit betina pertama di beri tanda pada ekor satu garis dengan
menggunakan spidol, hewan betina kedua diberi tanda dua garis dan begitu
seterusnya begitu juga pada hewan coba jantan pemberian tanda ini
dilakukan agar hewan coba lebih mudah di tandai bobotnya sehingga dalam
pemmberian parenteral volume yang akan diberikan telah diketahui
berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan perhitungan berat
badan mencit
Selanjutnya pemberian parenteral perlakuan sedapat mungkin di
lakukan secara steril karena sediaan-sediaan yang digunakan adalah
sediaan steril dan bertujuan penggunaan secara parenteral setelah mencit
jantan dan mencit betina di suntik hewan coba diamati gejala-gejala yang
ditimbul dari efek efek pemberiaan sediaan pilokarpin, adrenalin, dan NaCl
Berdasarkan hasil pengamatan gejala yang timbul berbeda-beda pada menit
kelima,kesepuluh dan kelima belas data dapat dilihat pada table hasil
pengamatan
BAB VI
PENUTUP
VI.1. KESIMPULAN
Berdasarkan data pengamatan dapat disimpulkan bahwa terjadi
perbedaan gejala pada hewan percobaan mencit setelah pemberian
pilokarpin, adrenalin dan larutan NaCl fisiologis steril pada menit 5’10’
dan 15’ hal ini disebabkan adanya efek farmakodinamik system saraf
otonom mencit jantan dan betina setelah pemberiaan ketiga sediaan
VI.2. SARAN
Diharapkan agar asisten selalu mendampingi praktikan saat
praktikum dilaksanakan, agar kesalahan menjadi sekecil mungkin saat
praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim: system saraf otonom: http://khairulanas. blogspot. com/2012/03/ sistem syara fotonom.html#ixzz0VGzVxRIE diakses tanggal 8/4/11
2. Pratiwi, DA. Biologi 2. Jakarta: Erlangga..1996.
3. Pearce,Evelyn. Anatomi dan fisiologis untuk paramedis. jakarta: PT.gramedia pustaka utama.2006
4. Jay,than hoon dkk. Obat-obat penting. Jakarta: Gramedia.2002
5. Mursyidi achmad. 1989. Analisis metabolit sekunder. UGM. Yogyakarta. 2002.
6. Dirjen POM.1979. Farmakope Indonesia Edisi III.Jakarta: Depkes RI.