i
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DOSEN PEMULA
ANALISIS PERAN KOPERASI DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI
MASYARAKAT
(STUDI KASUS: KOPERASI WANA LESTARI MENOREH KULON PROGO)
TAHUN KE-1 DARI RENCANA 1 TAHUN
KETUA/ANGGOTA TIM
Chandra Fitra Arifianto, S.Psi.,M.M 0429068402 (Ketua)
Veritia,S.E.,M.M 0411087804(Anggota)
Dibiayai oleh:
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
Direktorat Penguatan Riset dan Pengembangan KementrianRiset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Sesuai dengan kontrak penelitian
Nomor: 121/A5/SPKP/LPPM/UNPAM/III/2018
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
NOVEMBER 2018
iii
RINGKASAN
ANALISIS PERAN KOPERASI DALAM PENGEMBANGANEKONOMI
MASYARAKAT
(STUDI KASUS: KOPERASI WANA LESTARI MENOREH KULON
PROGO)
Chandra Fitra Arifianto
Manajemen, Fakultas Ekonomi,Universitas Pamulang
Veritia
Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang
Abstrak
Sektor kehutanan perlu melakukan sertifikasi untuk menciptakan hutan yang
lestari, maka perlu peranan pihak ketiga, yakni koperasi. Tujuan penelitian untuk
melihat peran Kopersi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dalam pelaksanaan
sertifikasi FSC, peran KWLM dalam Pengembangan Ekonomi Masyarakat dan
peran pihak eksternal dalam Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Kulon
Progo, DIYogyakarta.
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode studi kasus pada KWLM.
Wawancara dilakukan secara mendalam dengan responden penelitian sejumlah 10
subyek (5 anggota dan 5 non anggota KWLM).Keakuratan data dan informasi
diperkuat dengan beberapa narasumber utama, dan direview oleh beberapa ahli.
Sumber data terdiri dari dokumen, arsip, wawancara, pengamatan langsung,
observasi partisipan dan perangkat fisik. Untuk mengukur validitasnya, penelitian
ini menggunakan face validity. Hasil jawabanselanjutnya dicrosscheck kembali
oleh ahlinya.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa, pertama, KWLM sudah memenuhi
standar sertifikasi FSC sesuai dengan tuntutan permintaan pasar dan konsumen
dunia. Terkait pengembangan ekonomi masyarakat, terdapat beberapa prinsip
menurut Bruce (2001) yang perlu diperbaiki diantaranya: kebutuhan strategi
komprehensif, membangun SDM, membangun kapasitas lokal, integrasi tujuan
ekonomi, dan memberdayakan masyarakat. Terakhir, peranan pihak eksternal
yakni PT. SOBI diperlukan bagi kelanjutan KWLM. Terutama dalam
menjembatani proses sertifikasi (FSC dan SVLK) produk hasil hutan dan
memasarkan kayu anggota KWLM.
Kata Kunci: Koperasi, Hutan, Pengembangan Ekonomi
Masyarakat,KWLM
iv
ANALYSIS COOPERATIVE ROLE IN COMMUNITY ECONOMIC
DEVELOPMENT
(CASE STUDY: KOPERASI WANA LESTARI MENOREH KULON
PROGO)
Chandra Fitra Arifianto
Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang
Veritia
Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang
Abstract
The forestry sector needs to be certified to create sustainable forests,
so it needs a third party role, namely cooperatives. The purpose of this
research is to see the role of Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) in
implementing FSC certification, the role of KWLM in Community
Economic Development and the role of external parties in Community
Economic Development in Kulon Progo, DIYogyakarta.
This research is qualitative with a case study method at KWLM.
Interviews were conducted in depth with research respondents totalling 10
subjects (5 members and 5 non-KWLM members). Data and information
accuracy was strengthened with several key informants, and reviewed by
several experts. Data sources consist of documents, archives, interviews,
direct observation, participant observation and physical devices. To measure
its validity, this study uses face validity. The results of the next answer are
crosschecked again by the experts.
This study concludes that, first, KWLM has met FSC certification
standards in accordance with the demands of the world market and
consumers. Regarding community economic development, there are several
principles according to Bruce (2001) that need to be improved including:
the need for a comprehensive strategy, building human resources, building
local capacity, integrating economic objectives, and empowering
communities. Finally, the role of external parties, namely PT. SOBI is
needed for the continuation of KWLM. Especially in bridging the
certification process (FSC and SVLK) forest products and marketing
KWLM membertimber.
Keywords: Cooperative, Forestry, Community Economic
Development, KWLM
v
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil'aalamin,
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha
Penyayang. Tanpa karunia-Nya, mustahillah laporan penelitian ini terselesaikan
tepat waktu mengingat tugas dan kewajiban lain yang bersamaan hadir. Penulis
benar-benar merasa tertantang untuk mewujudkan laporan penelitian ini
sebagai bagian kecil peran penulis dalam mengembangkan khasanah keilmuan
dan pengembangan perekonomian masyarakat. Penelitian ini disusun atas dasar
kegundahan penulis terhadap ketidakmaksimalannya peran koperasi dalam
meningkatkan perekonomian masyarakat. Sangatlah miris, dimana banyak
koperasi yang hanya difungsikan tempat pengepul uang. Sehingga diharapkan
hasil penelitian ini mampu untuk dijadikan referensi pilihan di dalam
mengembangkan ekonomi masyarakat. Terselesaikannya penyusunan laporan
penelitian ini juga tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak. Karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi karena telah memberikan dana penelitian ini. Dengan
kepercayaan tersebut, penulis berkeyakinan bahwa itu dapat mendukung penulis
dalam upaya meningkatkan kualitas penelitian dan mampu mengembangkan ke
arah penelitian yang lebih baik lagi. Penulis juga menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Universitas Pamulang dan juga Lembaga Penelitian dan
Pengmbangan Masyarakat (LPPM) Universitas Pamulang yang telah secara
berkala membimbing penulis di dalam merencanakan, mempersiapkan, hingga
melaporkan hasil penelitian ini. Semua bentuk kemudahan yang telah diberikan
benar-benar bermanfaat bagi penulis untuk belajar menjadi pribadi yang lebih
baik. Selain itu, penulis juga perlu untuk menyampaikan rasa terima kasih yang
mendalam kepada Telapak, Koperasi Wana Lestari Menoreh dan PT Sosial Bisnis
yang telah menyediakan sekelumit waktunya untuk bersedia menjadi obyek
penelitian. Tak lupa juga, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada
segenap pihak yang telah memberikan semua bantuan, motivasi, dan saran-
sarannya. Meskipun telah berusaha untuk menghindarkan kesalahan, penulis
menyadari juga bahwa laporan ini masih mempunyai kelemahan dan
kekurangannya. Karenanya, penulis berharap agar pembaca berkenan
menyampaikan kritikan. Dengan segala pengharapan dan keterbukaan, penulis
menyampaikan rasa terima kasih dengan setulus-tulusnya atas kritik yang akan
diberikan. Ini merupakan perhatian agar penulis dapat menuju kesempurnaan.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan penelitian ini dapat membawa manfaat
kepadapembaca.Secarakhusus,penulisberharapsemogapenelitianinidapat
vi
menginspirasi koperasi-koperasi yang ada untuk dapat berkembang menjadi
lebih baiklagi.
Tangerang Selatan, September 2018
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMANSAMPUL ........................................................................................................ i
HALAMANPENGESAHAN ............................................................................................ ii
RINGKASAN ................................................................................................................... iii
PRAKATA ......................................................................................................................... v
DAFTARISI.................................................................................................................... vii
DAFTARTABEL ............................................................................................................. x
DAFTARGAMBAR ......................................................................................................... xi
DAFTARLAMPIRAN .................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakangMasalah ................................................................................ 1
1.2 BatasanMasalah ........................................................................................... 5
1.3 PerumusanMasalah ...................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LandasanTeori ............................................................................................. 7
2.1.1 Hutan ............................................................................................... 7
2.1.2 Kehutanan ....................................................................................... 8
2.1.3. ManajemenHutan .............................................................................. 9
2.1.4 SertifikasiKayu .............................................................................. 11
2.1.5 Koperasi ........................................................................................ 13
2.1.6 Pengembangan Masyarakat(CommunityDevelopment) ................ 15
2.1.7 Pengembangan Ekonomi Masyarakat (Community Economic
Development) ................................................................................ 16
2.1.8 Keterkaitan Koperasi Dan Pengembangan Ekonomi
Masyarakat .................................................................................... 19
viii
2.2 KerangkaPemikiran ................................................................................... 20
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 TujuanPenelitian ...................................................................................... 22
3.2 ManfaatPenelitian ..................................................................................... 22
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 DesainPenelitian ....................................................................................... 24
4.2 Populasi Sampel Dan MetodePengumpulan Data.....................................24
4.3 Variabeldan Pengukurannya ..................................................................... 27
BAB V HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
5.1 Koperasi Wana LestariMenoreh ............................................................... 29
5.1.1 GambaranKWLM ......................................................................... 29
5.1.2 Visi danMisi KWLM .................................................................... 32
5.1.3 StrukturOrganisasi KWLM ........................................................... 32
5.1.4 KarakteristikResponden ................................................................ 35
A. AnggotaKWLM ....................................................................... 34
B. BukanAnggota KWLM ............................................................ 37
C. Narasumber Ahli ...................................................................... 38
5.2 Analisis Peran KWLM Pada Proses Sertifikasidari FSC .......................... 39
5.2.1 Peran KWLM Dalam Proses Sertifikasi Kayu .............................. 39
5.2.1.1 Hak dan KewajibanAnggotaKWLM.................................42
5.2.1.2 KegiatanKWLM ................................................................ 45
5.2.2 FSC
5.2.2.1 Latar BelakangFSC ........................................................... 45
5.2.2.2 Visidan Misi ...................................................................... 48
5.2.2.3 Prinsipdan Kriteria ............................................................ 49
ix
5.2.2.4 Aktor Yang Terlibat DalamSertifikasiHutan .................... 50
5.2.2.5 KlasifikasiSertifikasiHutan ............................................... 50
5.2.2.6 Jenis SertifikasiKayuFSC ................................................. 52
5.2.3 PembahasandanKesimpulan .......................................................... 54
5.3 Analisis Peran KWLM Dalam PengembanganEkonomiMasyarakat ....... 61
5.3.1 AnggotaKWLM ............................................................................ 61
5.3.2 BukanAnggotaKWLM .................................................................. 92
5.3.3 Pembahasandan Kesimpulan ......................................................... 95
5.4 Analisis Peran Pihak Eksternal Dalam Pengembangan Ekonomi
Masyarakat .............................................................................................. 103
5.4.1 GambaranPT.SOBI ..................................................................... 105
5.4.2 VisidanMisi ................................................................................. 105
5.4.3 StrukturOrganisasi ...................................................................... 106
5.4.4 Model BisnisBaruBerkelanjutan ................................................. 107
5.4.5 Pembahasandan Kesimpulan ....................................................... 111
BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
6.1 Rencana PenelitianTahunKedua ............................................................. 113
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan ............................................................................................ 114
7.2 Saran ...................................................................................................... 114
DAFTARPUSTAKA ....................................................................................... 116
LAMPIRAN ..................................................................................................... 122
x
DAFTAR TABEL
Tabel
Keterangan
Hal
5.1 Karakteristik Anggota KWLM 36
5.2 Karakteristik Bukan Anggota KWLM 37
5.3 Narasumber Para Ahli 38
5.4 10 Prinsip FSC 49
5.5 Analisis Hasil Temuan 98
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Keterangan Hal
1.1 Peta BadanTeritoriTelapak 03
2.1 KerangkaPemikiran 20
4.1 TahapanPenelitian 28
5.1 StrukturOrganisasi KWLM 32
5.2 StrukturManajemen 34
5.3 StrukturKaryawan Wilayah 35
5.4 Sertifikasi Kelompok FSCUntuk KWLM 63
5.5 StrukturOrganisasi PT.SOBI 106
5.6 Model SistemKerjaPT.SOBI 109
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Keterangan
1 Dokumentasi Penelitian
2 Transkrip Wawancara AnggotaKWLM
3 Transkrip Wawancara Bukan AnggotaKWLM
4 JobdeskPT.SOBI
5 Sertifikat FSCKWLM
6 RAT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Keberadaan hutan sangat penting bagi kehidupan di muka bumi ini.
Kehidupan generasi mendatang sangat bergantung dengan keberadaan hutan
tersebut. Agar keberadaaan dan manfaat hutan terus lestari, diperlukan
pengelolaan hutan yangbaik.
Hampir setengah dari area daratan di Indonesia dikelilingi oleh hutan,
yaitu sekitar 90 juta hektar hutan. Indonesia sendiri adalah salah satu negara
pengekspor kayu tropis terbesar di seluruh dunia, mengekspor berbagai produk
kayu dengan berbagai jenisnya, termasuk plywood, furniture, pulp and paper.
Pasar terbesar untuk ekspor hasil kayu tersebut adalah Cina, Eropa, Jepang, dan
Korea (https://www.illegal-logging.info, 2017).
Mirisnya, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah kasus
pembalakan liar (Illegal Logging) yang tinggi. Akibatnya, negara berpotensi
merugi ratusan triliun rupiah. Sejak 2004 hingga 2012 telah terjadi 2.494 kasus
pembalakan liar. Hutan yang rusak di Indonesia akibat pembalakan liar dan
pertambangan ilegal mencapai 41 juta hektar dari total 130,68 juta hektar secara
nasional. Sementara luas areal kebakaran hutan dan lahan mencapai kisaran
40.000 hektar. Dalam laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
mencatat ada 90 kasus perusakan kehutanan sejak tahun 2014
(http://www.pikiran-rakyat.com, 2016).
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup, di Indonesia saat ini diperkirakan
lebih dari 51 juta m³ kayu bulat per tahun dihasilkan dari kegiatan pencurian kayu.
Pencurian kayu tersebut terjadi di berbagai lokasi hutan, terutama di lokasi bekas
areal tebangan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang sudah tersedia jaringan jalan
angkutan kayu. Setiap tahun bisa dikatakan volume pencurian kayu meningkat.
Semakin meningkatnya volume pencurian tersebut, deforestasi hutan Indonesia
2
diperkirakan sudah mencapai lebih dari 2,4 juta hetkar per tahun
(http://www.menlh.go.id,2017).
Untuk itu, Pemerintah melalui Kementrian Kehutanan bekerja sama
dengan kementrian lainnya seperti Perdagangan, Perindustrian, Keuangan, Luar
negeri dan Koordinator Perekonomian resmi memberlakukan adanya sertifikat
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sejak Januari 2013 lalu kepada para
pelaku usaha sektor kehutanan. Jika tidak dilakukan akan dikenakan sanksi pidana
(http://www.mongabay.co.id, 2013). Hal ini dilakukan agar bisa menekan
pembalakan liar, perdagangan ilegal, serta mewujudkan tata kelola kehutanan
menuju hutan yang lestari. Legalitas asal usul kayu penting untuk masuk ke pasar
dunia seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Cina maupun Australia dimana
negara-negara tersebut sangat mementingkan adanya “FairTrade”.
Hasil penelitian Guan dan Gong (2015) menyatakan bahwa kebijakan/
regulasi memiliki efek signifikan dan positif dalam perdagangan bilateral untuk
seluruh produk kehutanan antara Cina dan rekan negara-negaranya. Banyak
pengawasan rantai pasokan, baik dari publik maupun swasta, menggunakan
sistem sertifikasi kesukarelaan, seperti Forest Stewardship Council (FSC) dan
Program Pendukungan Sertifikasi Hutan (Program Endorsement of Forest
Certification/PEFC) untuk mengidentifikasi keberlanjutan atau legalnya produk
tersebut (Brack dan Bailey, 2013 dalam Guan dan Gong,2015).
Brack (2014 dalam Guan dan Gong, 2015) juga menyatakan bahwa
sertifikasi sistem tersebut hampir sulit untuk dilaksanakan di negara berkembang
dan akhirnya banyak bermunculan skema sistem sertifikasi legal yang lebih
mudah dikembangkan untuk memenuhi permintaan secara hukum (walaupun
tidak benar-benar lestari/keberlanjutan) produk-produk baik itu dari sektor publik
danswasta.
Oleh karena itu, keberhasilan pelaksanaan sertifikat Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu (SVLK) ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri. Bantuan
dari berbagai pihak, terutama pihak ketiga yakni Lembaga Swadaya Masyarakat
3
(LSM), Masyarakat dan Koperasi sangat diperlukan untuk keberhasilan program
sertifikasi ini. Salah satu LSM yang berjuang misalnya adalah LSM yang
bergerak di sektor lingkungan, Telapak. Telapak adalah sebuah perkumpulan yang
terdiri dari individu-individu mulai dari aktivis, pemimpin kelompok masyarakat,
petani, nelayan, dan masyarakat yang memiliki visi dan misi menuju
keberlanjutan danintegritas.
Organisasi ini melakukan aktivitasnya melalui koperasi dan
mengembangkan perusahaan atau usaha komunitas lokal seperti percetakan,
media masa, pertanian organik, kehutanan, dan perikanan yang berkelanjutan.
Misinya adalah memengaruhi kebijakan publik terkait dengankonservasi,
mendirikan komunitas dengan pengelolaan sumber daya alam dan menghentikan
perusakan lingkungan serta juga ikut dalam proses penguatan komunitas yang
tinggal di sekitar sumber daya alam (www.telapak.org,2017).
Keberadaan dan aktivitas anggota Telapak tersebar di berbagai wilayah di
Indonesia dan bekerja bersama komunitas di Sumatera, Jawa, Bali Nusra,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Berikut peta badan teritori Telapak
pada gambar 2.1 di bawah ini:
Gambar 1.1
Peta Badan Teritori Telapak
Sumber : (www.telapak.org, 2017)
4
Kegiatan aktivitas Telapak dilakukan dengan membantu mendirikan
koperasi di berbagai wilayah. Perbedaannya dengan koperasi pada umumnya
adalah koperasi binaan Telapak difasilitasi dalam pembuatan sertifikasi Sistem
Verifikasi Legal Kayu (SVLK). Salah satunya adalah Koperasi Wana Lestari
Menoreh (KWLM) di Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia. Koperasi ini awalnya
dibentuk melalui program Community Logging.
Koperasi di Kulon Progo merupakan alternatif penggerak naiknya
perekonomian dan koperasi ini tetap diminati oleh masyarakat di Kabupaten
Kulon Progo. Data BPS tahun 2014 menyatakan terdapat 365 unit koperasi
dengan jumlah anggota sebanyak 85.870 orang dengan mampu melakukan
simpanan yang mencapai Rp. 144,57 Milyar dan volume usahanya mencapai Rp.
210,39 Milyar (BPS, 2016). Kekayaan koperasi terlihat dari besarnya cadangan,
dana yang tersedia dan hutang. Secara umum, tahun 2015 koperasi di Kulon
Progo mengalami stagnasi dibandingkan tahun 2014. Besarnya cadanganmenurun
3 persen, dana yang tersedia meningkat 62,47 persen dan hutang yang
menunjukkan masyarakat yang semakin paham menggunakan fasilitas koperasi
meningkat 4,23 persen (BPS, 2016).
Koperasi merupakan cara yang paling efektif untuk meningkatkan
kehidupan ekonomi masyarakat selama lebih dari 160 tahun. Dogarawa (2005)
menjelaskan bahwa koperasi telah dipertimbangkan memiliki mekanisme yang
berguna untuk mengelola risiko para anggotanya di pertanian atau koperasi yang
sejenis, membantu gaji/upah penerimanya aman untuk masa depan lewat iuran
yang ringan yang dikurangi dari sumber daya, menguatkan masyarakat lewat
penyediaan pekerjaan dan pembayaran pajak lokal. Secara umum, koperasi
menyediakan peningkatan ekonomi dan juga meningkatkan kehidupan masyarakat
juga.
Pentingnya peranan koperasi dalam membantu meningkatkan ekonomi
masyarakat lokal menjadikan KWLM perlu untuk didirikan. Khususnya untuk
masyarakat petani hutan di kawasan hutan rakyat pegunungan Menoreh,
5
Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. KWLM memiliki visi untuk
mewujudkan alam sekitar yang lestari dan berkelanjutan serta meningkatkan
pendapatan masyarakat secara adil. Sedangkan misinya ialah menciptakan
lapangan pekerjaan dan memberdayakan masyarakat sesuai fungsi aspek
kelestarian yakni fungsi produksi, ekologi dan sosial.
Mewujudkan alam yang lestari berarti harus patuh dengan hukum. Untuk
memenuhi itu, pengusaha atau petani hutan harus memiliki sertifikasi untuk
produknya. Sertifikasi kayu ini tidaklah mudah dan memerlukan biaya yang besar.
Sehingga masih banyak pengusaha hutan atau petani hutan yang masih
mengabaikan sertifikasi pada produk mereka. Padahal legalitas kayu ini dituntut
oleh para buyer di pasar perdagangan dunia untuk mempertanggungjawabkan
produk kayu yang dijual tidak merusak lingkungan dan kekayaan alam. Sesuai
visi dan misinya, KWLM tentu diharapkan membantu meringankan para petani
hutan untuk mendapatkan sertifikasi kayu dan mengembangkan pembangunan
masyarakat lokal khususnya Petani HutanMenoreh.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat sektor kehutanan perlu
melakukan sertifikasi untuk menciptakan hutan yang lestari dan mengembangkan
masyarakat lokal perlu peranan dari pihak ketiga, seperti koperasi. Dengan
demikian peneliti sangat tertarik untuk mengambil judul: ANALISIS PERAN
KOPERASI DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT
(STUDI KASUS: KOPERASI WANA LESTARI MENOREH KULONPROGO)
1.2 BatasanMasalah
Agar penelitian ini tidak melebar terlalu jauh, maka peneliti melakukan
pembatasan masalah. Pembatasan ini dilakukan agar penelitian fokus dan hasil
penelitiannya sesuai dengan yang diharapkan. Berikut beberapa pembatasan
masalah yang dilakukan pada penelitian ini:
1. Obyek penelitian hanya dilakukan pada Koperasi Wana Lestari Menoreh,
Kulon Progo,Yogyakarta
6
2. Responden terdiri dari anggota Koperasi Wana Lestari Menoreh dan yang
bukan anggotakoperasi
3. Penelitian ini hanya membahas sektorkehutanan.
4. Pihak eksternal yang di teliti hanya dari LSM: Telapak dan PT. SOSIAL
BISNIS Indonesia (SOBI)
5. Penelitian ini hanya melihat 9 prinsip pengembangan ekonomi masyarakat
dari Bruce (2001)
6. Sertifikasi yang digunakan berdasarkan acuan dari sertifikasi internasional
yaitu dari Forest Stewardship Council(FSC)
1.3 PerumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) Kulon
Progo dalam menjalankan sertifikasi kayu dari Forest Stewardship
Council (FSC)?
2. Bagaimanakah peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dalam
pengembangan ekonomimasyarakat?
3. Bagaimanakah peran Pihak Eksternal dalam pengembangan ekonomi
masyarakat?
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. LandasanTeori
2.1.1 Hutan
Berbagai definisi mengenai hutan dari para pakar dengan sudut pandang
berbeda-beda. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, hutan adalah komunitas
hidup yang terdiri dari asosiasi pohon dan vegetasi secara umum serta hewan lain.
Lebih khusus, hutan adalah komunitas tumbuhan yang lebih didominasi oleh
pohon dan tumbuhan berkayu dengan tajuk yang rapat (Wanggai, 2009).
Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 juga menyebutkan beberapa
terminologi yang berkaitan dengan pengertian hutan, yakni:
a. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap.
b. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak atastanah.
c. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak
atastanah.
d. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah hukum
adat
e. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
dalam memproduksi kayu dan hasil hutanlainnya.
f. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan untuk mengatus tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut,
dan memelihara kesuburantanah.
g. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khastertentu,
8
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa sertaekosistem.
h. Hutan konversi adalah areal hutan yang ditunjuk untuk dikonversi
menjadi areal pertanian, industri, perkebunan, dan pemukiman. Hasil
hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya serta jasa
yang berasal darihutan.
i. Kawasan hutan suaka alam, adalah hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistem, yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyanggakehidupan.
j. Kawasan hutan pelestarian alam, adalah hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati
danekosistem.
2.1.2 Kehutanan
Dengan berkembangnya peradaban manusia yang diiringi dengan semakin
meningkatnya kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan atau kayu bakar telah
memacu penebangan hutan yang semakin intensif. Dengan meningkatnya
kebutuhan kayu bakar, kebutuhan lahan untuk bercocok tanan dan bermukim,
diiringi kekurangan akan kayu yang kian hari kian terasa memacu manusia
memanfaatkan hutan untuk mencukupi kebutuhan hidup (Wanggai, 2009).
Kemudian akhirnya timbul perusakan dan penebangan hutan secara liar
dan beralihnya fungsi hutan yang dilakukan manusia untuk mencukupi
kebutuhannya. Kerusakan hutan dan komoditas kayu menjadi penting dalam
kehidupan sehari-hari untuk mendorong manusia mengelola hutan sehingga dapat
mencukupi kebutuhan hidup. Sehingga muncul konsep kehutanan (Wanggai,
2009).
9
Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 kehutanan adalah sistem
pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan
yang diselenggarakan secara terpadu. Dalam pasal 2 Undang-Undang Kehutanan
juga disebutkan penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk mengatur hutan agar
bermanfaat sebesa-besarnya bagi kemakmuran rakyat, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan, dan keterpaduan.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan berkeadilan,
dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang
kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuan sehingga dapat
meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Penyelenggaraan kehutanan juga
harus memperhatikan asas kebersamaan. Maksudnya agar dalam penyelenggaraan
kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan
dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat, pemerintah
dan pengusaha untuk pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi. Sama
halnya dengan penyelenggaraan kehutanan dengan asas keterbukaan,
dimaksudkan agar setiap kegiatan kehutanan, mengikut sertakan masyarakat dan
memperhatikan aspirasi masyarakat (Wanggai, 2009:36).
2.1.3 ManajemenHutan
Praktik –praktik manajemen hutan secara asal-asalan bisa menimbulkan
berbagai kerusakan lingkungan hutan yang sangat parah, seperti punahnya
biodiversifitas, sumber plasma nutfah, lembaga adat setempat, mata pencaharian
penduduk sekitar hutan, dan sebagainya. Padahal kita tahu hutan tropis yang kita
miliki merupakan salah satu paru-paru dunia, sehingga negara-negara lain sangat
menekankan upaya pelestarian hutan tropis dan pembangungan yang
berkelanjutan (Salikin, 2003).
Sekarang pengelolaan hutan diarahkan untuk mengelola hutan secara
berkelanjutan agar hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan yang
akan datang. Kebijakan pembangunan kehutanan telah mengalami pergeseran
10
paradigma dan penyesuaian dalam kebijakan, yang awalnya adalah
menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi kehutanan, kini diarahkan pada: 1)
Pelestarian fungsi-fungsi lingkungan hidup, 2) Keuntungan pengusaha atau
perusahaan bergeser kepada keuntungan sosial, 3) Kelestarian produksi bergeser
pada kelestarian ekosistem dan 4) produksi kayu bergeser pada produksi non kayu
(Salikin, 2003: 89).
Ada berbagai definisi dan pemahaman tentang pengelolaan hutan secara
berkelanjutan, di antaranya Organisasi Perdagangan Kayu Tropik Internasional
(ITTO) menyatakan bahwa: “Pengelolaan hutan secara berkelanjutan adalah
proses mengelola hutan permanen untuk mencapai satu atau beberapa tujuan,
yang dikaitkan dengan prosukdi hasil dan jasa hutan secara terus-menerus dengan
mengurangi dampak lingkungan fisik dan sosial yang tidak diinginkan” (Coto dan
Tarumingkeng, 1995 dalam Pongtuluran,2015).
Sedangkan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dalam Salikin (2003)
mendefinisikan bahwa: “Pengelolaan hutan secara berkelanjutan sebagai bentuk
pengelolaan hutan yang memiliki sifat „hasil yang lestari‟ ditunjukkan oleh
terjaminnya keberlangsungan fungsi produksi hutan, fungsi ekologis hutan dan
fungsi sosial ekonomi budaya hutan bagi masyarakat lokal”.
Hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam manajemen hutan untuk
menghasilkan kayu Wanggai (2009: 54) menambahkan adalah hubungan antara
komponen hayati dan lingkungan yang dikaitkan dengan keputusan tentang
teknik-teknik pengelolaan yang ditujukan untuk menghasilkan sejumlah volume
kayu dengan mutu tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Jadi dalam
pengelolaan hutan harus juga memikirkan tahapan yang harus dilakukan dalam
sistem pengelolaan hutan yang baik, seperti 1) tahap regenerasi baik di
persemaian atau dalam hutan, 2) tahap penanaman dan pemeliharaan, 3) tahap
penebangan, (4) tahap konversi kayu menjadi bahan jadi dan 5) tahap pemasaran,
termasuk transportasi dan penjualan hasil kepada konsumen.
11
2.1.4 SertifikasiKayu
Isu-isu global warming (pemanasan global), climate change (perubahan
iklim) merupakan isu penting dunia yang tidak bisa dihindarkan. Hal-hal tersebut
bisa terjadi di antaranya karena banyaknya kerusakan hutan, seperti akibat
pembalakan liar (illegal logging) dan penggundulan hutan tropis.
Tujuan sertifikasi pada umumnya adalah sebagai perangkat untuk
pemenuhan kepuasan pelanggan/pasar, yang membutuhkan jaminan atas kualitas
produk dan jasa, yang dicerminkan oleh suatu standar. Di Indonesia, sertifikasi
mempunyai tujuan yang lebih dari sekedar pemenuhan kebutuhan pasar.
Sertifikasi di Indonesia dimanfaatkan juga sebagai piranti membina pelaku
industri untuk lebih meningkat di dalam daya saing produk dan jasanya (Setyarso,
2009).
Di kehutanan, sertifikasi produk kayu sudah ada sejak lama sebagai
persyaratan standar perdagangan, tetapi sertifikasi hutan baru ramai di
perkenalkan sejak tahun 1990 dengan munculnya standar pengelolaan hutan
lestari yang dikeluarkan oleh International Tropical Timber Organisations(ITTO).
Namun Setyarso (2009) menambahkan, sertifikasi hutan tidak selalu dapat
segera dimengerti dan diterima. Sertifikasi hutan selalu melibatkan audit atau
pemeriksaan oleh pihak ketiga secara ketat, dan untuk melewatinya, pengelola
hutan harus mengeluarkan energi ekstra.
Upaya-upaya sertifikasi melalui mekanisme pasar telah menunjukkan hasil
yang signifikan. Hingga akhir tahun 2008 telah terdapat sekitar 325 juta hektar
hutan bersertifikat ekolabel, 102 juta ha mengikuti skema FSC, dan 223 juta ha
mengikuti skema PEFC, CSA dan SFI. Ini setara dengan 20 % luas hutan di dunia
dan sekitar USD 70 milyar bisnis dari perdagangan internasional setiap tahunnya.
Di tingkat internasional, lembaga pengembang sistem sertifikasi hutan
FSC (Forest Stewardship Council) dibentuk oleh konstituen-nya. Beberapa
lembagapengembangsistemsertifikasiintenasionallainnyasepertiPEFC(Pan
12
European Certification Council), SFI (Sustainable Forest Initiative) dan CSA
(Canadian Standard Association) juga berperan penting. Jaringan GTFN maupun
market lingkages international dikembangkan pula diantaranya oleh WWF-
Indonesia, TFF (Tropical Forest Foundation) dan TFT (Tropical Forest Trust).
Di Indonesia, menurut Setyarso (2009) perjalanan sertifikasi hutan tidak
begitu lancar. Hal ini dikarenakan hampir semua operasi hutan berada di kawasan
hutan negara dan para pengusaha harus memenuhi semua persyaratan wajib yang
diterapkan oleh aturan nasional maupun daerah, dan sifat sukarela dari sertifikat
ekolabel menjadikan pengusaha menempatkan isu ini menjadi bukan prioritas.
Kelestarian pengelolaan hutan dikalahkan oleh jaminan keamanan berusaha yang
banyak diperankan oleh pemerintah.
Inisiatif sertifikasi untuk pengelolaan hutan lestari ditandai dengan
bekerjanya Kelompok Kerja Ekolabel pada tahun 1994. Tahun 1998, dibentuk
Yayasan Lembaga Ekolabel Indonesia yang menjalankan implementasi sertifikasi
ekolabel di Indonesia. Hingga saat ini telah bersertifikat sekitar 1.7 juta ha hutan
di Indonesia, baik melalui skema LEI maupun skema internasional seperti FSC,
baik yang berskala besar maupun yang bersifat pengelolaan hutan berbasis
masyarakat.
Mulai tahun 2002, diberlakukan aturan verifikasi oleh LPI (Lembaga
Penilai Independen) terhadap HPH/IPUHHK yang berlaku wajib dari pemerintah,
sebagai bagian dari pembinaan pemerintah terhadap pemegang ijin pemanfaatan
atas kawasan hutan negara. Selain itu, atas hasil diplomasi internasional,
disepakati untuk menyusun kembali definisi mengenai kayu legal, standar
legalitas kayu, dan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK atau SVSK). Verifikasi
legalitas kayu diperlukan untuk merespon kebutuhan perdagangan internasional
yang telah diterapkan oleh beberapa Negara Konsumen (Due dilligent dari Uni
Eropa, Green Konyuho dari Jepang dan Lacey Act dari Amerika Serikat). Di
Indonesia, SVLK dipergunakan sebagai salah satu perangkat untuk meningkatkan
keamanan berusaha dan kinerja pemerintah di bidangkehutanan.
13
2.1.5 Koperasi
Koperasi mengandung arti “kerja sama”. Koperasi (cooperative)
bersumber dari kata co-operation yang artinya “kerja sama”. Arti kerja sama bisa
berbeda-beda tergantung dari cabang ilmunya (Sitio dan Tamba, 2001). Koperasi
berkenaan dengan manusia sebagai individu dan kehidupan dalam masyarakat.
Manusia tidak dapat melakukan kerja sama sebagai satu unit, dia memerlukan
orang lain dalam suatu kerangka kerja sosial (social framework). Karakter
koperasi berdimensi ganda (ekonomi dan sosial). Menurut Sitio dan Tamba
(2001) koperasi berkaitan dengan fungsi-fungsiberikut:
● Fungsi sosial, yaitu cara manusia hidup, bekerja dan bermain dalam
masyarakat.
● Fungsi ekonomi, yaitu cara manusia membiayai kelangsungan hidupnya
dengan bekerja dalammasyarakat.
● Fungsi politik, yaitu cara manusia memerintah dan mengatur diri mereka
sendiri melalui berbagai hukum danperaturan.
● Fungsi etika, yaitu cara manusia berperilaku dan meyakini kepercayaan
mereka, falsafah hidup mereka dan cara berhubungan dengan Tuhan
mereka.
Untuk pengembangan koperasi biasanya memerlukan suatu prinsip-prinsip
dimana merupakan sumber dari norma-norma hukum yang dianut setiap koperasi.
Setiap koperasi di berbagai negara memiliki kriteria hukum sendiri sehingga
belum tentu setiap koperasi memiliki prinsip koperasi yang sama. Biasanya
koperasi dikaitkan dengan upaya kelompok-kelompok individu, yang ingin
mewujudkan tujuan-tujuan umum atau sasaran-sasaran konkritnya melalui
kegiatan-kegiatan ekonomis, yang dilaksanakan secara bersama bagi kemanfaatan
bersama.
Berikut terdapat beberapa definisi koperasi, seperti ILO (International
Labour Organization) dalam Sitio dan Tamba (2001), yaitu: sebuah asosiasi dari
orang-orang yang biasanya memiliki keterbatasan arti, dimana seseorang tersebut
14
sudah sukarela bergabung bersama untuk menerima suatu ekonomi lewat formasi
demokrasi untuk mengontrol suatu bisnis organisasi, membuat kontribusi yang
adil melalui modal yang diminta dan menerima laba yang adil dari suatu risiko
dan keuntungan yang diambil. Sedangkan Wibowo dan Subagyo (2017)
mendefinisikan koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang sorang
atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas
kekeluargaan.
Prinsip koperasi merupakan suatu satu kesatuan sebagai landasan
kehidupan koperasi, di Indonesia menurut Wibowo dan Subagyo (2017: 17)
prinsip koperasi terdiri dari:
a. Keanggotaan bersifat sukarela danterbuka
Maksudnya setiap anggota secara sukarela memberikan modalnya
sendiri-sendiri untuk digabungkan sebagai usaha bersama berdasarkan
asas kekeluargaan dan keanggotaan bersifat terbuka. Keanggotaan
koperasi tidak boleh ada unsur paksaan. Sedangkan sifat terbuka
berarti dalam keanggotaan tidak dilakukan pembatasan atau
diskriminasi dalam bentuapaun.
b. Pengelolaan dilakukan secarademokratis
Karena setiap keanggotaan koperasi bebas berpendapat, dengan aturan
yang jelas berdasarkan prinsip koperasi sebagai gerakan ekonomi
rakyat berdasarkan asas kekeluargaan.
c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan
besarnya jasa usaha masing-masinganggota.
Setiap hasil usaha (SHU) adalah jasa dari masing-masing anggota dan
modal dari masing-masing anggota, sehingga pembagian SHU setiap
anggota harus dibayar secara tunai. Pembagian SHU kepada anggota
dilakukan tidak semata-mata berdasarkan modal yang dimiliki
seseorang tetapi juga berdasarkan perimbangan jasa usaha anggota
15
terhadap koperasi. Ketentuan ini merupakan perwujudan nilai
kekeluargaan dan keadilan.
d. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadapmodal
Pemberian balas jasa di dalam anggota koperasi terbatas oleh besarnya
modal yang tersedia. Apabila modal sedikit pembelian balas jasanya
juga sedikit dan begitu pulasebaliknya.
e. Kemandirian
Setiap anggota mempunyai peran, tugas dan tanggung jawab masing-
masing atas setiap usaha itu sendiri, selain itu anggota koperasi
dituntut berperan secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas dan
bisa mengelola koperasi dan usaha itusendiri.
f. PendidikanPerkoperasian
Maksudnya pendidikan perkoperasian memberikan bekal kemampuan
organ koperasi dan anggota, melalui usaha-usaha pendidikan
perkoperasian dan partisipasi anggota sangat berharga dan dianjurkan
dalam berkehidupan koperasi.
g. Kerjasama AntarKoperasi
Adanya hubungan kerjasama antar koperasi satu dengan koperasi
lainnya untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian
nasional yang merupakan usaha bersama dan dengan adanya kerjasama
antar koperasi dapat mewujudkan kesejahteraan koperasi di Indonesia.
2.1.6 Pengembangan Masyarakat (CommunityDevelopment)
Berbagai definisi mengenai Pengembangan masyarakat (Community
Development). Langkah awal dari pengertian pengembangan masyarakat adalah
berasal dari kata “community” atau komunitas/masyarakat. Masyarakat bisa
16
merujuk untuk kata tempat (tempat komunitas/masyarakat) atau kumpulan dari
beberapa individu dengan memiliki minat yang sama (Philips dan Pittman, 2009).
Mattessich dan Monsey (2004: 56) dalam Philips dan Pittman (2009)
mendeskripsikan pengembangan masyarakat adalah orang-orang yang tinggal di
dalam wilayah yang didefinisikan secara geografis dan memiliki hubungan sosial
dan psikologis satu sama lain dan dengan tempat dimana mereka tinggal.
Sedangkan National Research Council (1975, dalam Mattessich dan Monsey,
2004: 56 dalam Philips dan Pittman, 2009) menyatakan pengembangan
masyarakat adalah pengelompokan orang yang tinggal berdekatan satu sama lain
dan disatukan oleh kepentingan bersama dan saling membantu.
Dari berbagai definisi tersebut, pengembangan masyarakat fokus kepada
modal sosial atau kapasitas sosial. Modal sosial atau kapasitas sosial
menggambarkan kemampuan warga untuk mengatur dan memobilisasi sumber
daya mereka untuk mencapai tujuan telah ditentukan oleh konsensus (Christenson
dan Robinson, 1989 dalam Mattesich dan Monsey, 2004: 61 dalam Philips dan
Pittman, 2009). Atau sumber daya yang disematkan dalam hubungan sosial
diantara orang-orang dan organisasi yang memfasilitasi kerjasama dan kolaborasi
di masyarakat (Committee for Economic Development 1995 dalam Mattesich dan
Monsey, 2004: 62 dalam Philips dan Pittman, 2009).
2.1.7 Pengembangan Ekonomi Masyarakat (Community Economic
Development)
Seperti pengembangan masyarakat, pembangungan ekonomi telah
berkembang menjadi bidang yang luas dan multidisiplin. Asosiasi nasional para
profesional pembangunan ekonomi memberikan definisi berikut (AEDC,
1984:181 dalam Philips dan Pittman, 2009): pembangunan ekonomi adalah proses
menciptakan kekayaan melalui membilisai manusia, keuangan, modal, fisik, dan
sumber daya alam untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat dipasarkan.
Peran pengembang ekonomi adalah memengaruhi prosesuntuk keuntungan
17
masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan basis pajak. Tujuan
pengembangan masyarakat adalah untuk menghasilkan aset yang dapat digunakan
untuk memperbaiki masyarakat dan tujuan pembangunan ekonomi adalah
memobilisasi aset-aset ini untuk memberi manfaat bagi masyarakat. Kedua
definisi tersebut mengacu pada aset modal masyarakat yang sama; sumber daya
manusia, keuangan dan fisik (lingkungan atau sumber dayaalam).
Strategi Pengembangan Ekonomi Masyarakat (CED) yang umum seperti
revitalisasi kota, pengembangan bisnis dan pengembangan usaha sosial. Douglas
(1994, dalam Gibson, 2005) menambahkan bahwa Pengembangan Ekonomi
Masyarakat telah berpengalaman dalam berbagai tujuan selama lebih dari 4
dekade yang lalu. Tidak seperti disiplin ilmu tradisional, Pengembangan Ekonomi
Masyarakat tidak perlu adanya penggabungan ilmu yang luas. Jadi hal ini dapat
dipelajari sebagai proses oleh anggota masyarakat lokal sehingga dapat
menghasilkan kekuatan untuk mengubah kondisi sosial, ekonomi atau budayanya.
Di dalam proses tersebut, perlu adanya keterlibatan masyarakat lokal dalam
berusaha untuk mencapai prioritas atau tujuan yang disusunnya sendiri. Tujuan
tersebut umumnya didasarkan dari kondisi geografis, pengalaman dan nilai –nilai
yang dianut (Cabaj, 2004; Ketilson dkk., 1992; Brown, 1997 dalam Gibson,
2005).
Berikutnya, Bruce (2000 dalam Gibson, 2005) menentukan agar
Pengembangan Ekonomi Lokal tersebut dapat bekerja efektif, perlu tersusun atas
9 (sembilan) prinsip, antaralain:
1. Kebutuhan untuk mempunyai strategi multi-pandang dankomprehensif
2. Kebutuhan untuk memperkuat kepemilikanmasyarakat
3. Kebutuhan untuk akses yang aman dalam memperoleh kredit untuk bisnis
lokal
4. Kebutuhan untuk membangun sumber daya manusia (pengembangan
kepemimpinan, penghapusan buta huruf, dukungan dalam penempatan
kerja,dsb.)
18
5. Kebutuhan untuk meningkatkan kapasitaslokal
6. Kebutuhan untuk mengintegrasikan tujuan sosial danekonomi
7. Kebutuhan untuk memperluas pemberdayaanmasyarakat
8. Kebutuhan untuk memiliki kemampuan manajemenkeuangan
9. Kebutuhan proses untuk selalu diarahkan dengan perencanaan strategis
dananalisis
Jika Pengembangan Ekonomi masyarakat mencakup 9 prinsip di atas, Bruce
(2000 dalam Gibson, 2005) meyakini bahwa kinerjanya akan lebih berhasil
daripada yang tidak memedulikan 9 prinsiptersebut.
Selain itu, terdapat beberapa jenis pengembangan ekonomi masyarakat
menurut Henderson dan Vercseg (2010) yang diistilahkan sebagai “Perusahaan
sosial” yang lebih sering digunakan untuk merujuk semua istilah ekonomi
berbasis masyarakat dan dapat dilihat dari kerangka seperti berikutini:
● Community Business (Bisnis komunitas): organisasi ini berbasis
masyarakat yang memiliki tujuan sosial. Didirikan kebanyakan di daerah
tertinggal, mereka menjual barang dan jasa; setiap keuntungan
diinvestasikan kembali ke dalam bisnis masyarakat. Bisnis ini
dikendalikan oleh orang-orang lokal dan juga dijalankan olehmereka.
● Social enterprise (Usaha sosial): digunakan untuk pengembangan
ekonomi masyarakat. Perusahaan sosial telah menggantikan istilah
“bisnis komunitas”. Komitmen terhadap tujuan sosial dan lingkungan
tetap ada, namun lebih banyak perhatian diberikan kepada peran sentral
para pemimpin secaraindividu.
● Development Trust (Pengembangan kepercayaan): organisasi ini menjual
tujuan sosial dan mengelola kepemilikan bangunan dan lahan (aset)
untuk mewujudkan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan jangka
panjang dimasyarakat.
● Asset based community (Pengembangan komunitas berbasis aset):
pendekataninirelatifbaruuntukpengembanganmasyarakat.
19
Pengembangan terjadi ketika orang-orang memahami potensi semua aset
lokal mereka. Dorongan utama dari pendekatan ini adalah pada aset fisik
dan potensi mereka untuk menghasilkan pendapatan.
● Cooperatives (Koperasi): selama 50 tahun terakhir, koperasi terutama
koperasi perumahan telah menjadi bagian penting dalam ekonomi sosial
di Eropa. Inti dari pembentukan koperasi adalah kepemilikan anggota.
Namun sama pentingnya dalam konteks pengembangan masyarakat yaitu
adanya komitmen untuk berkontribusi terhadap manfaatmasyarakat.
● Credit Unions (Serikat kredit): serikat kredit memberikan kesempatan
untuk penghematan dan pinjaman berbunga rendah kepada anggota.
Mereka berbasis masyarakat, menjalankan koperasi secara demokratis.
Mereka murah murah untuk dijalankan dan uang dapat disimpan di
masyarakat. Credit Unions adalah alternatif untuk menghindarirentenir.
● Local Exchange Trading Schemes (LETS); skema perdagangan valuta
asing: jaringan kerjasama ini saling menguntungkan dimana barang dan
jasa dipertukarkan tanpa memerlukanuang.
● Perbankan memegang peranan penting dalam pengembangan ekonomi
masyarakat.
2.1.8 Keterkaitan Koperasi dan Pengembangan EkonomiMasyarakat
Menurut Mutis (2004) Pertumbuhan koperasi berbeda-beda di tiap
koperasi. Ada koperasi yang bertumbuh dengan angka pertumbuhan yang tinggi.
Ada juga yang kecil karena manajemennya tidak baik sehingga pertumbuhan rill
negatif. Koperasi yang mempunyai angka pertumbuhan tinggi tentu dapat
memberikan aneka bentuk pemerataan kepada para anggotanya. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa koperasi yang baik dan efisien dapat menggerakkan aspek
pertumbuhan dan pemerataan. Aneka angka pertumbuhan juga menunjukkan
koperasi yang baik akan selalu memacu produktivitas tertentu.
Tumbuhnya Koperasi yang positif secara tidak langsung akan terjadi
pengembangan ekonomi di masyarakat di sekitar koperasi berada.
20
Sehingga agar koperasi menumbuhkan pertumbuhan ekonomi, koperasi
harus mempunyai pertumbuhan yang rill, dilihat dari angka pertumbuhan aset
(hartanya), pertumbuhan sisa hasil usaha, volume usaha seperti simpan pinjam,
produksi, penyaluran barang-barang atau jasa serta cadangan dan modal sendiri
perlu bertumbuh tinggi dari pada angka inflasi tahunan. Sebaiknya juga angka
pertumbuhan anggotanya dalam setahun sebaiknya lebih tinggi dari angka
pertumbuhan tenaga kerja di sekitar koperasi (Mutis, 2004).
2.2. Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini, peneliti memberikan gambaran kerangka pemikiran
sebagai berikut:
Sumber: data olahan (2017)
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) memiliki peran penting di
dalam pengembangan ekonomi masyarakat di Desa Gerbosari, Kulon Progo. Di
dalam upayanya untuk membantu meningkatkan pengembangan ekonomi
masyarakat tersebut, KWLM didukung oleh pihak eksternal (seperti PT Sosial
Bisnis Indonesia/SOBI) dalam kasus sertifikasi kayu. Lewat proses sertifikasi
tersebut, anggota KWLM dan masyarakat sekitar memperoleh manfaatnya. PT
21
SOBI membantu dan memonitor keberlangsungan sertifikasi. Tak hanya itu, PT
SOBI juga berperan untuk memasarkan produk kayu bersertifikasi milik KWLM.
Secara tidak langsung, keberadaan PT SOBI memiliki pengaruh terhadap
pengembangan ekonomi masyarakat. Sehingga harapan terjaganya nilai-nilai
sosial dan kearifan lokal yang telah dijalankan masyarakat, terciptanya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mendukung pelestarian
sumber daya alam.
Gibson (2005) menyepakati bahwa saat ini, koperasi siap berperan lebih di
dalam pengembangan ekonomi pada masyarakat lokal. KWLM yang didirikan
atas swadaya masyarakat sendiri pada tahun 2008 memang berhasil dalam
mengembangkan masyarakat sekitarnya. Gibson (2005) juga merasakan bahwa
prinsip-prinsip koperasi dirasa memiliki pengaruh yang terintegrasikan di dalam
masyarakat tersebut. Sehingga Pengembangan Ekonomi Lokal serta merta dapat
tumbuh seiring dengan berkembangnya koperasi itusendiri.
22
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 TujuanPenelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis tentang peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM)
dalam membuat dan menjalankan proses sertifikasi kayu dari Forest
Stewardship Council(FSC).
2. Menganalisis tentang peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM)
dalam pengembangan ekonomimasyarakat.
3. Menganalisis tentang peran Pihak Eksternal dalam pengembangan
ekonomimasyarakat.
3.2 ManfaatPenelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
a. Bagi Koperasi Wana Lestari Menoreh
Memberikan informasi peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM)
dalam proses pembuatan dan menjalankan sertifikasi Forest Stewardship
Council (FSC) dan juga dampak yang dilihat dari aspek (sosial, ekonomi
dan lingkungan) yang berguna untuk evaluasi ke depannya. Serta hasil
penelitian ini bisa dijadikan bahan informasi untuk pembelajaran koperasi
lain yang sejenis.
b. BagiPemerintah
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi, pembelajaran dan
masukan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan terkait sektor
kehutanan.
23
c. BagiAkademisi
Sebagai bahan keilmuan untuk menambah khasanah pengetahuan,
referensi dan menyajikan informasi mengenai peranan Koperasi dan
dampak sertifikasi kayu bagi pengembangan masyarakat khususnya
masyarakat di sekitarhutan.
d. BagiPeneliti
Hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan dan memperluas
pengetahuan peneliti dalam riset ekonomi tentang peranan koperasi dalam
sertifikasi kayu dalam pengembangan masyarakat di sekitar hutan.
e. PenelitiBerikutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk
digunakan sebagai acuan dasar dalam penelitian selanjutnya.
24
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah studi kasus. Yin
(2000) menjelaskan bahwa studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang (1)
menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, (2) batas-batas antara
fenomena di dalam konteks tak tampak tegas, (3) multi sumber bukti
dimanfaatkan. Penelitian ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan penelitian
yang digunakan, yaitu “bagaimana” dan “mengapa”. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut pada dasarnya lebih bersifat eksplanatoris dan lebih mengarah ke
penggunaan strategi-strategi studikasus.
4.2 Populasi Sampel dan Metode PengumpulanData
Metode penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah
purposive sampling yaitu penarikan sampel berdasarkan pertimbangan dimana
sampel yang dipilih didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu. Sampel yang dipilih
yaitu masyarakat sekitar pegunungan Menoreh, baik yang menjadi anggota
Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dan bukan anggota KWLM di
Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta. Selain itu peneliti juga perlu untuk
mendapatkan informasi dan data dari stakeholder eksternal (Telapak, supplier, PT
Sosial Bisnis Indonesia (SOBI), dan konsumen).
Di dalam keperluan penelitian studi kasus, data atau bukti bisa berasal dari
enam sumber, yaitu: dokumen, arsip, wawancara, pengamatan langsung, observasi
partisipan dan perangkat fisik. Namun tidak semua sumber akan relevan pada
semua studi kasus (Yin, 2000). Berkenaan dengan masalah pemilihan data mana
yang akan dipakai, Yin (2000) memberikan prinsip yang harus diperhatikan. Hal
ini mencakup penggunaan: (1) berbagai sumber bukti, yaitu bukti dari dua atau
lebihsumber,tetapimenyatudenganserangkaianfaktaatautemuanyangsama,
(2) data dasar, yaitu kumpulan formal bukti yang berlainan dengan laporan akhir
25
studi kasus tersebut, (3) keterkaitan bukti, yaitu keterkaitan yang eksplisit antara
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, data yang dikumpulkan, dan konklusi yang
ditarik. Pengacuan pada prinsip tersebut akan meningkatkan kualitas sebuah studi
kasus.
Penelitian ini menggunakan metode pengumpul data berupa wawancara
mendalam (depth interview) dan observasi dengan atau terhadap subjek penelitian
yang terpilih. Penelitian ini juga akan didukung oleh foto-foto atau dokumentasi.
Observasi
Observasi merupakan metode yang paling dasar dan paling tua dari ilmu-
ilmu sosial karena dalam cara-cara tertentu kita selalu terlibat dalam proses
mengamati. Semua bentuk penelitian psikologis, baik itu kualitatif maupun
kuantitatif mengandung aspek observasi di dalamnya. Istilah observasi diarahkan
pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan
mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.
Wawancara
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu. Wawancara dilakukan untuk memperoleh pengetahuan
tentang makna-makna subyektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik
yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu-isu lain yang
ampuh untuk mengungkapkan kenyataan hidup, apa yang dipikirkan atau
dirasakan orang tentang berbagai aspek kehidupan (Nasution, 1982; Pawito,2007)
Nasution (1982) menjelaskan keuntungan dari wawancara, antara lain: (1)
memperoleh keterangan sedalam-dalamnya tentang suatu masalah, (2) peneliti
dapat dengan cepat memperoleh informasi yang diinginkannya, (3) peneliti dapat
memastikan bahwa respondenlah yang memberi jawaban, (4) di dalam proses
wawancara, peneliti dapat berusaha agar pertanyaan benar-benar dipahami oleh
responden, (5) wawancara memungkinkan fleksibilitas dalam cara-cara bertanya
(Gulö, 2000), (6) peneliti dapat menilai validitas jawaban berdasarkangerak-
26
gerik, nada dan air muka responden, (7) informasi yang diperoleh melalui
wawancara akan lebih dipercayai kebenarannya karena salah tafsiran dapat
diperbaiki sewaktu wawancara dilakukan, dan (8) responden lebih bersedia
mengungkapkan keterangan-keterangan yang tidak sudi diberikannya dalam
angket tertulis.
Selain itu, wawancara juga memiliki kelemahan seperti diungkapkan
Nasution (1982): (1) adanya kesangsian tentang validitas jawaban yang diperoleh
melalui wawancara, khususnya bila mengandung unsur nilai-nilai, (2) perubahan
pada diri interviewer akan mempengaruhi validitas dan reliabilitas data, (3) data
dipengaruhi ketrampilan interviewer, (4) membutuhkan usaha lebih di dalam
pengolahan hasil wawancara, (5) belum ada sistem tertentu tentang cara mencatat
hasil wawancara, (6) membutuhkan lebih banyak biaya dan waktu apabila
responden berada di lokasi yang jauh, dan (7) menemui responden tidak mudah.
Penelitian ini sendiri menggunakan jenis wawancara dengan pedoman
terstandar yang terbuka karena memudahkan peneliti dalam melihat isu-isu yang
diliput secara runtut. Sehingga peneliti dapat terbantu menyalurkan ide-ide dengan
mempersiapkan pertanyaan wawancara terlebih dahulu secara rinci.
Untuk mengukur validitasnya, penelitian ini menggunakan face validity
dimana pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada subyek terlebih dahulu
dipelajari oleh Telapak selaku penginisiasi kemunculan KWLM tersebut.
Pimpinan Telapak telah melakukan pengabsahan terhadap pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Mereka ditetapkan oleh peneliti sebagai panelahli.
Foto
Di dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan foto sebagai
kelengkapan sumber bukti. Dipilihnya foto sebagai salah satu cara untuk menutupi
kekurangan pada observasi terhadap lingkungan fisik subyek. Hingga pada taraf
tertentu, foto dianggap mewakili hal-hal yang tidak dapat dituliskan dengan kata-
kata dan juga dapat menggambarkan situasi yang sebenarnya dimana kita
27
kemudian akan mendapatkan sebuah deskripsi atau gambaran yang lebih bersifat
visual.
4.3 Variabel DanPengukurannya
Penelitian ini dilakukan karena peneliti melihat bahwa pengembangan
ekonomi masyarakat sangat diperlukan bagi keberlanjutan (sustainability).
Keberadaan hutan rakyat seharusnya memang untuk kesejahteraan masyarakat
tersebut. Meskipun begitu, kebanyakan pihak kurang tahu bagaimana melihatnya
dan mengukurnya. Lalu alat atau indikator apakah yang tepat untuk digunakan.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan 9 prinsip CED sebagai indikatornya.
Vazquez dkk. (2014) menekankan bahwa di dalam penelitian kualitatif
perlu adanya panel ahli di dalam meninjau awal indikator yang ditujukan
penelitian tersebut. Setelah tahapan tersebut, analisis terhadap respons akan
dilakukan, penelusuran kuesioner tahap awal yang kemudian dilakukan
penelusuran kuesioner kedua yang lebih pokok terhadap persoalan. Jadi peneliti
tidak serta merta melakukan pencarian data tanpa didukung atau divalidasi oleh
panel ahli. Berikut tahapan-tahapan yang akan dijalankan dapat dilihat pada
gambar 3.1 di bawah ini:
29
BAB V
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
5.1 Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM), KulonProgo.
5.1.1. Gambaran Koperasi Wana Lestari Menoreh, KulonProgo.
Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM), yang anggotanya terdiri dari
masyarakat petani hutan di kawasan hutan rakyat Pegunungan Menoreh,
Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, didirikan pada tanggal 2
Agustus 2008, di balai desa Gerbosari. KWLM sendiri disahkan secara hukum
yaitu pada tanggal 3 April 2009, yaitu Badan Hukum Nomor: 29/BH/XV.3/2009.
Koperasi KWLM adalah koperasi yang berbasis masyarakat. Koperasi ini berdiri
atas inisiasi dari organisasi Telapak.
Organisasi Telapak adalah salah satu organisasi Lembaga Swadaya
Masyarakat yang sangat peduli dengan kelestarian hutan. Sebelum
mengembangkan koperasi hutan di Jawa, Telapak telah mengembangkan koperasi
hutan di daerah Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang bernama Koperasi
Hutan Jaya Lestari (KHJL). Koperasi KHJL dibentuk berdasarkan adanya
permasalahan terkait dengan maraknya kasus illegal logging, agak berbeda
dengan KWLM yang dibentuk karena ingin mengembangkan adanya pengelolaan
hutan yang ramah lingkungan. Namun kedua koperasi tersebut di bentuk melalui
program CommunityLogging.
30
Untuk menjalankan program Community logging tersebut, pada bulan
April 2007, Telapak bersama lembaga lokal setempat yaitu Yayasan Bina Insan
Mandiri (YABIMA) dan lembaga Credit Union (CU) Kharisma bertemu dan
sepakat untuk melakukan sosialisasi Community Logging di desa-desa dengan
melibatkan pemerintahan Desa. Sosialisasi community logging tersebut
mendapatkan respon yang baik oleh masyarakat, maka pada tanggal 1-6 April
2007 disepakati diadakan pelatihan fasilitator di Boro, Kalibawang. Pelatihan
yang dilakukan berupa simulasi dalam suatu workshop tentang materi pelatihan
community logging dan sertifikasi hutan. Lokasi sosialisasi ditetapkan di
kecamatan Kalibawang dan Samigaluh yang terdiri dari sebelas desa. Sosialisasi
tersebut dilakukan selama delapan bulan di dusun-dusun di sebelas desa tersebut.
Sosialisasi ini juga dihadiri kader dusun yang didampingi oleh kepaladesa.
Pertemuan dan diskusi diadakan kembali pada tanggal 12-19 Juni 2008.
Saat itu para kader dusun memutuskan untuk membentuk suatu Lembaga
Koperasi dengan nama “Wana Lestari Menoreh”. Pertemuan selanjutnya
dilakukan untuk menyusun draf AD/ART Koperasi Wana Lestari Menoreh dan
membentuk pengurus dan perwakilan kader dari sebelas desa dilakukan pada
tanggal 3-12 Juli 2008. Pada 2 Agustus 2008 terbentuklah koperasi Wana Lestari
Menoreh dengan badan pendiri terdiri 20orang.
Saat ini, pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan untuk proses menuju
sertifikasi diprioritaskan di 3 Kecamatan yaitu Kecamatan Samigaluh,
Kalibawang, dan Giripurwo, yang terdiri dari 15 desa dengan total potensi luas
31
hutan rakyatnya 8.300 ha. Saat ini koperasi telah melakukan pengelolaan hutan
rakyat seluas 827 ha. Dengan jumlah anggota koperasi sebanyak 1.530 orang
(Wawancara Pribadi, 2018). Adapun pengelolaan hutan dan pengolahan kayu
yang disepakati di koperasi Wana Lestari Menoreh terdapat 4 jenis pohon
yaitu Jati, Mahoni, Sengon, danSonokeling.
5.1.2. Visi dan Misi Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM), Kulon
Progo.
Berikut adalah visi Koperasi Wana Lestari Menoreh:
Membangun Kulon Progo secara bersama untuk mewujudkan lingkungan alam
sekitar yang lestari dan berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
secara adil.
Sedangkan Koperasi WanaLestari Menoreh memiliki misi sebagai
berikut:
1. Menciptakan lapanganpekerjaan.
2. Memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan pendapatan dengan budi
daya kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan danperikanan.
Misi tersebut dilakukan dengan memperhatikan 3 aspek, yakni:
a. Fungsi Ekologi, mengutamakan aspek kelestarian alam, menebang kayu dengan
menetapkan Jatah Tebangan Tahunan (JTT) dan mengeksplorasi sumber daya
alam tegakan berdasarkan kearifan lokal, serta melindungi hewan atau satwa
langka, situs dan mataair.
32
b. Fungsi Ekonomi, mengupayakan kenaikan harga potensi-potensi sumber daya
alam dengan jalan membangun jaringan pasar baik lokal, nasional, maupun
internasional dengan jalan memperpendek jalurpasar.
c. Fungsi Sosial, meningkatkan nilai tawar, menumbuhkan kewirausahaan sosial
dan mengembangkan jiwa enterpreneurship serta kesetaraan gender yang taat
pada peraturan perundang-undangan (KWLM,2018).
5.1.3. Struktur Organisasi Koperasi Wana Lestari Menoreh, KulonProgo.
Berikut adalah struktur organisasi KWLM dapat dilihat pada gambar 5.1
di bawahini:
Sumber: KWLM, 2018
Gambar.5.1
Struktur Organisasi KWLM
Berdasarkan struktur tersebut, maka: Rapat Anggota Tahunan (RAT)
merupakan struktur tertinggi dalam koperasi yang berhak atas amandemen
Anggaran Dasar (AD)/ Anggaran Rapat Tahunan (ART) koperasi, memilih dan
menetapkan pengurus dan pengawas.
33
Pengurus dipilih dan ditetapkan dalam RAT dan berkewajiban mengontrol
manajemen, rapat pengurus minimal satu kali dalam sebulan, dan juga membuat
laporan pertanggung jawaban pengurus yang dsampaikan dalam RAT. Sedangkan
pengawas dipilih dan ditetapkan saat RAT. Pengawas berkewajiban mengawasi
jalannya koperasi termasuk kinerja pengurus, menilai keberhasilan atau kegagalan
manajemen, dan juga membuat laporan yang disampaikan dalam RAT.
Terdapat juga pengurus wilayah dalam struktur koperasi karena KWLM
akan ditingkatkan menjadi berbadan hukum nasional. Untuk memudahkan
pelayanan dan pelaporan maka dibentuklah koperasi wilayah, cakupan wilayah
bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Bisa saja menjadi perkabupaten (jika dirasa
mampu mandiri) tapi bisa saja luasannya 2/3 kabupaten terdekat, tergantung
kebutuhan. Koperasi Wilayah akan dipimpin oleh kepala wilayah. Kepala
Wilayah ditetapkan oleh pengurus atas usulan anggota di wilayah masing-masing
dan sekaligus bisa diangkat menjadi manajer wilayah.
Berdasarkan pertanggungjawabannya, maka Karyawan akan dibagi
menjadi 2 yaitu karyawan koperasi dan karyawan di tingkat wilayah. Karyawan
koperasi dipimpin oleh seorang direktur dan dibantu oleh beberapa manajer.
Sedangkan staf bisa saja diangkat tergantung dengan kebutuhan. Karyawan di
tingkat wilayah akan dipimpin oleh manajer wilayah dan dibantu oleh beberapa
staf.
Selanjutnya berikut adalah struktur manajemen koperasi yang ada di
KWLM, dapat dilihat pada gambar 5.2 di bawah ini:
34
Sumber: KWLM,2018.
Gambar 5.2.
Struktur Manajemen
Dalam struktur manajemen koperasi ini akan dikelola oleh karyawan yang
nantinya akan disebut karyawan pusat. Karyawan pusat mendapatkan sumber
pembiayaan seberapa persen dari bagian fee yang didapat koperasi dari PT. SOBI.
Karyawan Pusat akan diangkat dan diperhentikan oleh pengurus dan nantinya
akan ditetapkapkan dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT). Besaran gaji/honor
akan ditetapkan oleh pengurus dengan mempertimbangkan Upah Minimum
Provinsi (UMP).
Sedangkan untuk karyawan wilayah, maka akan ditetapkan dan
diberhentikan pengurus atas usulan kepala wilayah. Biaya operasional untuk
tingkat wilayah (honor karyawan wilayah dll) akan ditanggung oleh besaran
pembagian fee yang didapat dari wilayah masing-masing. Untuk honor harus
mempertimbangkan UMP di wilayah tersebut.
35
Terkait adanya penambahan wilayah baru berdasarkan atas kepentingan
Telapak dan PT. SOBI, maka pembiayaan awal menjadi tanggung jawab
organisasi Telapak dan PT. SOBI sampai dipandang wilayah itu mampu.
Bantuan/pinjaman wilayah akan menjadi tanggung jawab masing- masing wilayah
yang pengajuannya dapat diajukan melalui kantor pusat koperasi. Berikut adalah
struktur karyawan wilayah, dapat dilihat pada gambar di bawahini:
Sumber: KWLM, 2018
Gambar 5.3.
Struktur Karyawan Wilayah
5.1.4. Karakteristik Responden
A. Anggota Koperasi Wana Lestari Menoreh Kulonprogo
Berikut adalah karakteristik subyek penelitian yang merupakan anggota
KWLM dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut ini:
36
Tabel 5.1
Karakteristik Anggota KWLM
Subyek Initial Jenis
Kela
min
Usia
(Tahun)
Pendidikan Pekerjaan Lama
Menjadi
Anggota
KWLM (Tahun)
1 SY L 51 S-1 Petani/Kary.K WLM
10
2 SH L 51 SLTA Petani 9
3 BT L 42 SLTA Petani 6
4 SW P 56 SLTA Petani 9
5 SD L 62 SLTA Petani/Pensiun Dep.Peternakan
3
Sumber: Wawancara Pribadi, 2018
Berdasarkan tabel 5.1, dapat dilihat bahwa narasumber mayoritas
berkelamin laki-laki. Hanya ada subyek berjenis kelamin perempuan, yakni SW.
Apabila dilihat dari usia, usia tertua adalah SD, yakni 62 Tahun, sedangkan
termuda adalah subyek 3, BT, berumur 42 tahun. Mayoritas narasumber
berpendidikan SLTA, hanya subyek 1, yakni SY yang telah berpendidikan S-1.
Dilihat dari pekerjaan, hampir semua narasumber adalah seorang petani. Namun
SY selain menjadi anggota KWLM juga menjadi karyawan KWLM. SY juga
yang paling lama menjadi anggota KWLM, yakni sudah 10 tahun. Diikuti subyek
2 dan 4 yang telah menjadi anggota selama 9 tahun. Sedangkan hanya SD yang
baru bergabung dengan KWLM kurang lebih 3tahun.
37
B. Bukan Anggota Koperasi Wana Lestari MenorehKulonprogo
Berikut adalah subyek dari penelitian ini yang terdiri dari bukan anggota
KWLM dapat dilihat pada tabel 5.2 di bawah ini:
Tabel 5.2
Karakteristik Bukan Anggota KWLM
Subyek Initial Jenis
Kelamin
Usia
(Tahun)
Pendidikan Pekerjaan Alasan
Belum
Menjadi
Anggota KWLM
6 ST L 40 SD Petani Lahan Sedikit
7 GN L 57 SLTA Petani Belum Tertarik
8 LS L 47 SLTA Petani Belum Tertarik
9 NW P 39 SLTA Petani Belum Tertarik
10 PT L 43 STM Petani&
Kepala Dusun K
Belum
Tertarik
Sumber: Wawancara Pribadi, 2018.
Berdasarkan tabel 5.2 di atas, bisa dilihat bahwa narasumber terdiri dari
empat laki-laki dan satu perempuan. Jadi mayoritas narasumber adalah laki-laki.
Untuk usia, paling tua adalah subyek 7, yakni GN, berusia 57 tahun. Sedangkan
yang termuda adalah subyek 9, yakni NW, berusia 39 tahun. Dari tingkat
pendidikan 3 narasumber merupakan lulusan SLTA, namun ada satu lulusan STM
yakni subyek 10 (PT) dan satu narasumber hanya berpendidikan lulusan SD,
yakni ST (subyek 6). Dari pekerjaan, semua subyek merupakan petani, hanya
subyek 10 yang juga menjadi kepala dusun. Dari empat subyekmenyatakan
38
alasan belum bergabung dengan KWLM adalah karena belum ada ketertarikan,
hanya satu yakni subyek 6 yang meyatakan hanya memiliki lahan sedikit sehingga
belum mau bergabung dengan KWLM.
C. Narasumber Para Ahli
Berikut adalah narasumber para ahli dalam penelitian ini dapat dilihat pada
tabel 5.3 di bawah ini:
Tabel 5.3
Narasumber Para Ahli
No Nama Organisasi Metode
Komunikasi
Waktu
1 David Bruce Mount Allison University
Email 14-02-2018
2 Astan Jaya Telapak Wawancara Pribadi
16-02-2018
3 B.Sad Windratmo
PT.SOBI wilayah Wawancara Pribadi
19-02-2018
4 R.Damarsono Ketua KWLM Wawancara Pribadi
20-02-2018
5 Silverius Oscar Unggul
PT.SOBI Pusat Wawancara Pribadi
06-06-2018
Sumber: Wawancara Pribadi, 2018.
Sebelum melakukan penelitian ini, penulis sudah berkonsultasi dengan
para ahli. Misalnya saja, untuk memantapkan teori, penulis melakukan
komunikasi lewat surat elektronik kepada ahlinya, yakni David Bruce dari Mount
Allison di Kanada. Sambil melengkapi teori-teori yang ada, penulis juga
melakukan wawancara pribadi yang sangat intens, dengan Bapak Astan Jaya
Tamburaka mewakili organisasi LSM lingkungan Telapak. Lalu penulis juga
melakukan wawancara pribadi yang mendalam dengan Bapak B. Sad Windratmo,
padatanggal19Februari2018diKWLM,Kulonprogo.Demikianjugapenulis
39
melakukan wawancara pribadi yang mendalam dengan ketua koperasi Wana
Lestari Menoreh saat itu, yakni Bapak R. Damarsono, pada tanggal 20 Februari
2018. Terakhir, penulis melakukan wawancara dengan Bapak Silverius Oscar
Unggul, sebagai komisaris dari PT. SOBI tanggal 06 Juni 2018 di Jakarta Selatan.
5.2 Analisis Peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) Dalam
Proses Sertifikasi Kayu dari Forest Stewardship Council (FSC)
5.2.1. Peran KWLM Dalam Proses SertifikasiKayu
Hingga saat ini KWLM telah beranggotakan 1.530 orang yang tersebar di
18 desa di Kecamatan Samigaluh, Kecamatan Kalibawang, dan Kecamatan
Girimulyo,Nanggulan. Total luas Kelola hutan rakyat KWLM saat ini sebesar
827 hektar. Anggota KWLM hampir semua adalah petani hutan yang menetap di
kawasan hutan rakyat Pegungungan Menoreh (Wawancara Pribadi,2018).
Harapan terbentuknya KWLM adalah; Terjaganya nilai-nilai sosial dan
kearifan lokal yang telah dijalankan masyarakat, terciptanya peningkatan
kesejahteraan masyarakat petani hutan untuk mendukung pelestarian sumber
daya alam di Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta melalui pengembangan
usaha pengelolaan hutan dan pengolahankayu.
Pengelolaan hutan yang baik agar terus bisa menjaga kelestarian hutan
sangatlah penting, oleh karena itu bagi KWLM pengelolaan hutan bertujuan
untuk:
40
1. Meningkatkan mutu pengelolaan lahan hutan rakyat anggota KWLM di
KabupatenKulonprogo.
2. Memfasilitasi akses pasar bagi para anggota dimana pasar yang dituju
adalah yang mampu membeli kayu dengan harga yang lebihbaik.
3. Meningkatkan kesejahteraananggota.
4. Membina anggota agar memiliki kemampuan melakukan pengelolaan
hutan secaralestari.
5. Menjembatani tukar pengalaman dan wawasan di antara paraanggota.
6. Mendapatkan Sertifikat FSC untuk semua anggota hutan rakyat untuk
pengelolaan yang lestari dan memiliki pasar dengan permintaan yang
sangattinggi.
Untuk bisa menjadi anggota KWLM haruslah memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a) Menandatangani surat pernyataan kesanggupan anggota untuk
melaksanakan visi dan misikoperasi.
b) Membayar iuran pokok sebesar Rp 50,000 (bisa dicicil sebanyak 4 kali)
dan simpanan wajib sebesar Rp 5,000 setiapbulannya.
c) Memiliki lahan atau mengelola lahan yang ditumbuhi pohon kayu, yang
dibuktikan dengan surat kepemilikan berupa salinan (fotocopy) sertifikat,
letter C, letter D atau SPPT. Bila lahan yang dikelola bukan atasnamanya
41
sendiri, maka harus dilengkapi dengan surat keterangan dari kepala dusun
setempat.
d) Menyerahkan database inventarisasi potensi di lahannya yang meliputi
data pohon kayu, produksi pertanian, produksi ternak, dan produksi
perikanan.
KWLM akan selalu memperbarui rencana manajemen secara berkala
untuk mengetahui perubahan-perubahan penting yang terjadi di area yang
dikelola oleh anggota Koperari Wana Lestari Menoreh. Paling tidak, rencana
manajemen akan dievaluasi setiap limatahun.
Namun dua tahun setelah berdirinya KWLM, terjadi perkembangan pesat
pada penjualan kayu lestari dan keberlanjutan hutan. Dimana konsumen atau
calon buyer lokal maupun internasional menginginkan kayu dari pengelolaan
yang lestari. Maka di tahun 2010, KWLM mengundang kelompok-kelompok
petani hutan untuk menyosialisasikan sertifikat FSC (Forest Stewardship
Council). Disini KWLM dibantu oleh LSM Telapak untuk mengaplikasikan
sertifikasi seperti yang telah dilakukan di Koperasi Hutan Jaya Lestari
(KHJL), Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. KWLM mendapatkan
sertifikasi FSC pada tanggal 15 Maret2011.
Untuk proses sertifikasi FSC pada satu koperasi memerlukan biaya yang
lumayan besar, yakni sekitar 150 juta rupiah. Maka untuk mengatasi masalah
tersebut, di tahun 2016, KWLM menjadi bagian dari PT.SOBI (Sosial Bisnis
Indonesia) yang akan menaungi beberapa koperasi untuk memiliki sertifikat
42
kayu lestari. Sertifikat FSC grup itu sendiri sudah dimiliki KWLM pada
tanggal 11 Mei 2017 dan berlaku hingga tahun 2022. (Wawancara pribadi,
2018).
5.2.1.1. Hak dan Kewajiban AnggotaKWLM
Anggota Koperasi Wana Lestari Menoreh memiliki hak sebagai berikut:
1.Mendapatkan informasi tentang PT.SOBI, RPH, FSC, SLA dan SOP.
2.Mendapatkan bimbingan pengelolaan hutan lestari.
3.Mendapatkan SHU dari kegiatanKWLM.
4. Mengajukankeluhan.
5. Menegosiasikan harga wajar untuk biaya pemeliharaan danpenanaman,
6.Mendapatkan 10 bibit untuk setiap 1 pohon yangditebang.
Adapun para anggota KWLM memiliki kewajiban sebagai berikut:
Kewajiban yang bersifat keanggotaan:
1. Membayar iuran rutin dan iuran keanggotaan serta iuran lainnya kepada
KWLM.
2. Memberikan informasi yang benar mengenai data keanggotaan dan lahan milik
kepada manajemen PT. SOBI dan pihak lain seijinPT.SOBI.
3. Menunjukkan bukti kepemilikan lahan yang sah dan bersedia menyerahkan
salinannya.
4. Melaporkan kepada KWLM jika ada perubahan datakeanggotaan.
43
5. Melaporkan kepada KWLM apabila menebang atau menjual pohon secara
pribadi atau bila hendak mengalihfungsikan lahanmilik.
6. Menghadiri pertemuan, rapat, sosialisasi /pelatihan, dan undangan kegiatan
lainnya yang diadakanKWLM.
7. Mengikuti aturan lain yang ditetapkan anggota PT. SOBI selama menjadi
bagianKWLM.
Sedangkan anggota KWLM juga memiliki kewajiban untuk pengelolaan
hutan, berikut adalah diantara kewajibannya:
1. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan milik sesuai ketentuan yang diberikan
oleh KHJ.
2. Mengikuti petunjuk teknis yang diberikan oleh PT.SOBI dalam hal kegiatan
pemanenan dan pengangkutan kayutebangan.
3. Hanya menebang pohon yang sudah mencapai diameter minimum yang telah
ditentukan olehRPH.
4. Melakukan pemanenan kayu sesuai dengan jatah tebang tahunanPT.SOBI.
5.Tidak melakukan tebanghabis.
6. Melakukan penanaman kembali tanaman yang ditebang,
7. Tidak melakukan penebangan pohon di sekitar sumber air/mata airtersebut.
8. Tidak mengganggu keberadaan tanaman dan satwa liar yang ditemukan di lahan
milik, terutama yang dilindungi olehUndang-Undang.
44
9. Mengikuti seluruh standar kriteria dan indikator yang berkaitan dengan segala
konsekuensi dan sanksi apabila di kemudian hari melanggar standar sertifikasi
ekolabeltersebut.
10. Memberikan akses kepada FSC atau Forest Stewardship Council (FSC) atas
informasi data dan dokumen berkaitan dengan sistem sertifikasi dalam bentuk
assesment, monitoring dan evaluasi.
Persyaratan lain ketika ingin mendaftarkan diri menjadi anggota KWLM
adalah calon anggota harus menyerahkan dokumen resmi kepemilikan lahan yang
diakui dan didaftarkan. Dokumen tersebut diantaranya:
1. Sertifikat tanah
2. Girik
3. SPPT
4. Surat keterangan kepala desa
5. Dokumen pendukung lain seperti ahliwaris.
Selain dokumen tersebut di atas, batas letak lahanpun harus cukup jelas.
Sehingga prinsip tentang hak tenur dan hak guna serta tanggung jawab seperti
yang disyaratkan dapat terpenuhi. Keterlacakan asal usul sumber bahan bakunya
dapat dipertanggungjawabkan dan berkelanjutan, dengan adanya kepastian
kepemilikan lahan anggota yang dikelola. Kepastian kepemilikan lahan dalam
pengelolaan hutan jati, mahoni, sonokeling dan sengon yang nantinya akan
menjadi berbagai produk kayu, dapat dipertanggungjawabkan dan berkelanjutan
dengan mudahnya terlacak terkait asal usul sumber bahan baku tersebut.
45
5.2.1.2. Kegiatan Koperasi Wana LestariMenoreh
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Koperasi Wana Lestari Menoreh
(KWLM) berbeda dengan Koperasi Serba Usaha pada umumnya. Karena KWLM
sangat memprioritaskan pada beberapa kegiatan untuk membangun pengelolaan
hutan rakyat serta persiapan untuk sertifikasi pengelolaan hutan secara lestari.
Kegiatan sebelum terbentuknya koperasi yang dilakukan adalah
diantaranya: adanya sosialisasi community logging yang dilakukan bersama
organisasi Telapak, lalu setelah terbentuknya koperasi maka diadakan pelatihan
inventarisasi hutan rakyat.
Adapun kegiatan – kegiatan yang dilakukan setelah KWLM terbentuk,
diantaranya: 1) Pembuatan dokumen Standar Operasional Prosedur, Rencana
Kerja dan Rencana Pengelolaan Hutan Rakyat, 2) Pelatihan Inventarisasi potensi
pohon milik anggota, 3) Inventarisasi potensi pohon milik anggota, 4) Pelatihan
manajemen koperasi dan keuangan, 5) Pembuatan dan penjualan pupukkompos,
6) Pelatihan pembibitan, 7) Pembuatan pembibitan, dan 8)Pemanenan.
5.2.2. Forest Stewardship Council (FSC)
5.2.2.1. Latar BelakangFSC
Sejak tahun 80-an, organisasi non-pemerintah internasional dibantu oleh
media melancarkan aksi kampanye yang menunjukkan keprihatinan publik
terhadap kehancuran hutan terutama di daerah Amazon dan daerah tropis lainnya,
serta tebang habis besar-besaran yang terjadi di Amerika belahan utara. Upaya-
upaya kampanye tersebut semakin besar dan difokuskan untuk mempengaruhi dua
46
sektor sekaligus, yakni sektor kepemerintahan dan sektor bisnis atau pasar
(Setyarso, 2009).
Keprihatinan akan maraknya kegiatan deforestasi tersebut, meluasnya
dampak degradasi lingkungan serta meningkatnya konflik sosial di berbagai
belahan dunia sehingga berbagai pihak khususnya para kalangan bisnis di bidang
perkayuan dan kehutanan, perwakilan asosiasi dan organisasi hak asasi manusia
dan lingkungan mengadakan pertemuan di California di tahun 1990,
melatarbelakangi berdirinya Forest Stewardship Council (FSC).
(https://id.fsc.org/id-id/about-fsc/latar-belakang-fscakses 17 Pebruari 2018).
Kelompok multipihak ini menyepakati adanya kebutuhan untuk
membangun sistem yang dapat mengidentifikasi hutan yang dikelola secara
bertanggung jawab sehingga menghasilkan produk yang dapat
dipertanggungjawabkan pula secara lingkungan, sosial dan ekonomi. Konsep dan
nama FSC muncul untuk pertama kalinya pada pertemuan ini. Dua tahun
berselang setelah pertemuan tersebut, yaitu pada tahun 1992, barulah PBB
menyelenggarakan Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (KTT
Bumi) yang diadakan di Rio de Janeiro.(https://id.fsc.org/id-id/about-fsc/latar-
belakang-fscakses 17 Pebruari 2018).
KTT Bumi menghasilkan komitmen terkait pengelolaan hutan, yaitu
Agenda 21 dan Prinsip Pengelolaan Hutan yang meskipun tidak mengikat secara
hukum namun menyediakan platform yang penting bagi banyak organisasi non-
pemerintah untuk hadir dan memberikan dukungan bagi munculnya konsep
inovatif terkait skema sertifikasi hutan non-pemerintah yang independen dan
47
berskala internasional (https://id.fsc.org/id-id/about-fsc/latar-belakang-fsc, akses
17 Pebruari 2018).
Di sisi lain menurut Setyarso (2009) advokasi dilakukan secara gencar
melalui badan-badan internasional, dan untuk produk kayu tropis, ITTO menjadi
sasaran utama. Hingga saat ini, upaya advokasi tersebut telah menjadikan negara-
negara Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat mengumumkan berlakunya
persyaratan sertifikat legalitas kayu untuk perdagangan internasionalnya, dan
diimbangi oleh konvensi negara-negara adikuasa yang tergabung di dalam
kelompok G8.
Kemudian di tahun 1993, sebuah kongres pendirian FSC diadakan di
Toronto, Kanada. Sekretariat FSC dibuka di Oaxaca, Meksiko dan FSC didirikan
sebagai badan hukum di Meksiko pada bulan Februari 1994. Sekretariat FSC
pindah ke Bonn,Jerman pada tahun 2003 (https://id.fsc.org/id-id/about-fsc/latar-
belakang-fsc akses 17 Februari 2018).
Upaya-upaya sertifikasi melalui mekanisme pasar telah menunjukkan hasil
yang signifikan. Hingga akhir tahun 2008 telah terdapat sekitar 325 juta hektar
hutan bersertifikat ekolabel, 102 juta ha mengikuti skema FSC, dan 223 juta ha
mengikuti skema PEFC, CSA dan SFI. Ini setara dengan 20% luas hutan di dunia
dan sekitar USD 70 milyar bisnis dari perdagangan internasional setiap tahunnya
(Setyarso, 2009).
Jumlah sertifikat FSC di seluruh dunia yang telah diterbitkan baik untuk
skema pengelolaan hutan (FSC-FM) maupun lacak balak (FSC-COC) juga terus
48
meningkat melewati total 30.000 sertifikat di tahun 2016; 1000 sertifikat
pengelolaan hutan untuk hutan rakyat telah dikeluarkan pada tahun 2011
(https://id.fsc.org/id-id/about-fsc/latar-belakang-fscakses 17 Pebruari 2018).
5.2.2.2. Visi danMisi
FSC memiliki visi dan misi sebagai berikut:
a. Melindungi LingkunganHidup
Pengelolaan hutan dan lingkungan yang tepat, penting untuk memastikan
pengelola hutan serta pengusaha produk kayu dan non-kayu mampu
mempertahankan keanekaragaman hayati hutan, menjaga fungsi hutan dan proses
ekologi yang berkelanjutan.
b. Bermanfaat SecaraSosial
Pengelola hutan membantu masyarakat lokal dan masyarakat luas untuk dapat
menikmati manfaat jangka panjang hutan, menyediakan insentif yang layak untuk
masyarakat lokal agar masyarakat terlibat dalam mempertahankan sumber daya
hutan dan mengikuti rencana manajemen jangkapanjang.
c. Menguntungkan SecaraEkonomis
Pengelolaan hutan yang menguntungkan secara ekonomis berarti pengelolaan
hutan dilakukan sedemikian rupa agar menguntungkan secara ekonomis tanpa
mengorbankan ekosistem, keanekaragaman sumber daya hutan, maupun
masyarakat yang terkena dampak. Tarik menarik kepentingan antara
menghasilkan keuntungan finansial dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan
yang bertanggung jawab dapat diatasi melalui upaya pemasaran produkyang
49
variatif dan promosi nilai lebih produk yang dihasilkan (https://id.fsc.org/id-
id/about-fsc/visi-misi-01akses 16 Maret 2018).
5.2.2.3. Prinsip dan Kriteria
FSC menawarkan 10 prinsip yang kemudian dijabarkan dalam 56 kriteria.
Prinsip dan kriteria tersebut mengandung unsur-unsur penting dan norma umum
dalam pengelolaan hutan yang mengutamakan aspek ramah lingkungan,
bermanfaat secara sosial dan menguntungkan secara ekonomis bagi para petani
hutan kayu. 10 prinsip FSC tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5.4
10 Prinsip FSC
No Prinsip
1 Kepatuhan akan hukum dan prinsip FSC
2 Penguasaan dan penggunaan hak dan tanggung jawab
3 Hak-hak masyarakat adat
4 Hubungan masyarakat dan hak pekerja
5 Manfaat dari Hutan
6 Dampak lingkungan
7 Rencana Manajemen
8 Pemantauan dan penilaian
9 Pemeliharaan hutan bernilai konservasi tinggi
10 Perkebunan
Sumber: www.fsc.org, 2018.
50
5.2.2.4. Aktor Yang Terlibat Dalam SertifikasiHutan
Menurut Setyarso (2009), terdapat aktor-aktor yang terlibat di dalam
sertifikasi dapat secara umum dapat dipilah ke dalam pihak atau lembaga sebagai
berikut:
1. Lembaga pengembang sistem sertifikasi (atauverifikasi)
2. Lembaga akreditasi terhadap lembaga asesor/penilai/verifikasiindependen
3. Lembaga asesor/penilai/verifikasiindependen
4. Asesor/penilai/verifikasi independen danprofesional
5. Lembaga penyelesaian keberatan atas hasilsertifikasi/verifikasi
6. Lembaga lain, misalnya Lembaga Pemantau Independen, Forum
Komunikasi Daerah
7. (FKD), Lembaga Pelatihan Kompetensi, dan Lembaga Pemberi Sertifikat
(pada skema verifikasiwajib)
8. Unit manajemen/usaha kehutanan yang menjadi pemohon atau obyek
sertifikasi/verifikasi
5.2.2.5. Klasifikasi SerifikasiHutan
Sertifikasi hutan diklasifikasikan sebagai berikut (Setyarso,2009) :
1. Klasifikasi Menurut Pihak PemberiSertifikat
a) Sertifikasi oleh pihak pertama (self-declaration); pengelola atau
pemilik pabrik mengeluarkanpernyataan bahwa produk (kayu) atau
jasa (misalnya wisata) yang dihasilkan telah melalui skema
pengelolaan yang baik. Contoh: sebagian pengelola hutanatau
51
pabrik menuliskan pernyataan bahwa kinerjanya telah mengikuti
visi dan misi perusahaan.
b) Sertifikasi oleh Pihak Kedua (second-party verification); pihak
kedua (pemerintah atau industri konsumen) menyatakan bahwa
produk atau jasa yang dihasilkan oleh pemegang ijin/lisensinya
telah memenuhi standar kinerja tertentu. Contoh:pemberian
serttifikat pengelolaan hutan alam oleh Depertemen Kehutanan
kepada pemegang IUPHHK yang kinerjanya baik. Pemerintah
dapat mewajibkan seluruh IUPHHK untuk menjalani sertifikasi ini,
dan oleh karenanya disebut sertifikasi wajib (mandatory
verification)
c) Sertifikasi pihak ketiga (third-party certification): pihak ketiga
yang independen diminta untuk melakukan asesmen dan memberi
(atau tidak memberi) sertifikat yang menyatakan bahwa suatu
pengelola (hutan) telah memenuhi standar kinerja tertentu. Contoh:
pemberian sertifikat ekolabel oleh lembaga sertifikasi (misalnya
Smartwood, SGS, MAL, TUV), yang menyatakan bahwa unit
manajemen yang bersangkutan telah memenuhi standar
pengelolaan hutan lestari tertentu (LEI, FSC). Sertifikasi ini
bersifat sukarela dan oleh karenanya sering diklasifikasikan
sebagai voluntary certification.
2. Klasifikasi Menurut PosisiProduk
a) Sertifikasi kinerja hutan, dengan obyek unit manajemenhutan
52
b) Sertifikasi produk (standard quality), dengan obyek hasilhutan.
Standard produk biasanya dikeluarkan oleh Badan Standardisasi
Nasional (BSN) dengan kode Standar Nasional Indonesia (SNI)
c) Sertifikasi lacak balak untuk hasil hutan di dalam perpindah-
tanganan
d) Sertifikasi menyeluruh (life-cycle certification) yang menyangkut
baik unit manajemen maupun lacak balak hasilhutan
3. Klasifikasi menurut penguasaan dan asal-usul hasilhutan
a) Sertifikasi asal lokasi panenan (legal origin verification), yang
menyatakan bahwa hasil hutan (kayu) berasal dari petak tebang
yangsah
b) Sertifikasi pemenuhan legalitas kayu (legal compliance
verification) yang menyatakan bahwa hasil hutan (kayu) berasal
dari hutan, dan ditebang, dan atau diperoleh, atau dan dikuasai, dan
atau dipindah-tangankan dengan telah memenuhi seluruh syarat
legal yangberlaku
c) Sertifikasi lacak balak ekolabel (ecolabel chain of custody), yang
menyatakan bahwa hasil hutan (kayu) diperoleh dari unit
manajemen yang lestari (bersertifikatekolabel).
5.2.2.6. Jenis SertifikasiFSC
Sistem sertifikasi FSC berfungsi untuk memastikan hutan untuk dikelola
secara bertanggung jawab. Oleh karena itu dibuatlah beragam sertifikasi sebagai
bentuk kehati-hatian untuk menjamin dan memastikan asal usul sumber bahan
53
baku kayu yang digunakan dalam proses produksi, mulai dari ditebang, dipotong,
dibentuk, diolah, dikemas, dan diangkut sampai ke tangan konsumen.
Dalam proses rantai produksi sangat dimungkinkan adanya pencampuran
bahan baku kayu yang berasal dari sumber yang baik dan yang tidak. Sumber
yang baik adalah dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab
(https://id.fsc.org/id-id/sertifikasi-fsc/jenis-sertifikasi-di-fscakses 16 Maret2018).
Berikut penjelasan sistem sertifikasi FSC dan pengembangannya:
1.) Sertifikasi Pengelolaan Hutan atau dikenal dengan FM-FSC. FM merupakan
singkatan dari Forest Management. Sertifikat FM-FSC diberikan kepada
pengelola konsesi hutan atau pemilik lahan yang telah diverifikasi dengan sistem
sertifikasi FM-FSC menggunakan Prinsip dan Kriteria FSC untuk praktik
pengelolaan hutan.
2.) Sertifikasi Lacak Balak, atau dikenal dengan CoC-FSC. CoC merupakan
singkatan dari Chain of Custody. CoC-FSC berlaku untuk produsen, manufaktur,
dan pedagang hasil hutan bersertifikat FSC. Chain of Custody memastikan bahan
baku produk berasal dari sumber/hutan yang bersertifikat FSC dan proses
produksi di sepanjang rantai supply tidak tercampur bahan baku lain yang tidak
bersertifikat, kecuali ControlledWood.
3.) FSC Controlled Wood dikembangkan agar perusahaan/manufaktur yang belum
bersertifikat FSC tidak mengambil kayu dari sumber yang tidak
diterima (unacceptable). Kayu bersertifikat Chain of Custody hanya dapat
dicampur dengan FSC Controlled Wood, untuk produk berlabel FSCMix.
54
4.) Sertifikasi untuk hutan berbasis masyarakat (Small, Low Intensity, Forest
Community Based Operation).
5.) FSC Recycle.
6.) Ecosystem Services
(https://id.fsc.org/id-id/sertifikasi-fsc/jenis-sertifikasi-di-fscakses 17 Maret 2018)
5.2.3. Pembahasan dan Kesimpulan
Sertifikasi pada umumnya memiliki tujuan sebagai perangkat untuk
pemenuhan kepuasan pelanggan/pasar, yang membutuhkan jaminan atas kualitas
produk dan jasa, yang dicerminkan oleh standar tertentu. Di Indonesia sertifikasi
mempunyai tujuan lebih dari sekedar pemenuhan kebutuhan pasar.
Menurut Jurgens (2006) Kebutuhan pasar akan produk hutan yang
bersertifikat dan legal dipicu oleh beberapa faktor, termasuk di dalamnya adalah
kebijakan pembelian dari perusahaan dan kebijakan pemerintah terkait dengan
peraturan impor.
Kebijakan pemerintah memiliki pengaruh besar terhadap permintaan baik
langsung maupun tidak langsung. Pertama,Pengaruh langsung terhadap kebijakan
pembelian publik yang mempengaruhi penggunaan kayu pada proyek konstruksi
publik. Pada beberapa negara, hal ini menggambarkan besarnya impor produk
perkayuan dari Indonesia. Kebijakan pembelian publik yang mensyaratkan
penggunaan kayu legal atau kayu dengan sumber yang lestari untuk kontrak-
kontrak konstruksi publik mengakibatkan banyaknya perusahaan mencari sumber
55
kayu yang legal dan berasal dari sumber yang lestari. Contohnya, Pemerintah
Inggris, Belanda dan Belgia memiliki persyaratan yang ketat untuk dalam aspek
legalitas dan kelestarian dari produk kayu yang digunakan pada kontrak-kontrak
mereka. Hal ini menggambarkan adanya persyaratan pembelian publik telah
berpengaruh besar terhadap pasar kayu Indonesia dan sangat mungkin untuk
berkembang (Jurgens, 2006).
Kedua, Pengaruh tidak langsung terhadap larangan perdagangan produk
kayu dari sumber ilegal, dimana peraturan-peraturan tersebut berpengaruh
terhadap pembeli swasta dan publik secara bersamaan. Sebagai usaha untuk
merespon kebijakan pembangunan dan mempromosikan kegiatan lebih lanjut,
Aliansi telah bekerja sama dengan pemerintah di negara-negara importer (Jurgens,
2006).
Akhirnya Para pembeli mencari kayu yang dapat memberikan bukti
legalitas atau kelestarian sumbernya dapat juga dialihkan pada pemasok kayu
dengan resiko yang lebih rendah, atau melakukan tekanan terhadap para pemasok
mereka untuk melakukan sertifikasi atau verifikasi legalitas (Jurgens,2006)
Jurgens (2006) juga memberikan contoh beberapa perusahaan Eropa dan
Amerika Utara telah memilih untuk mengalihkan pembelian dari Indonesia
sebagai akibat dari tekanan LSM lokal. Mengingat sebagian besar produk
perkayuan dari Indonesia dapat digantikan dengan produk perkayuan dari negara
lain, banyak perusahaan memelihara reputasi mereka di bidang lingkungan
denganmemilihpemasokdarinegara-negarayangmemilikikontroversirendah.
56
Sebagai contoh, berkaitan dengan skorsing FSC terhadap Perhutani, banyak
pedagang Jerman mengalihkan pembelian furnitur ke bahan Eucalyptus yang
memiliki sertifikasi dari FSC di Amerika Latin. Hal ini juga terjadi setelah
kampanye Greenpeace di tahun 2004, empat pembeli besar produk perkayuan dari
Indonesia di Inggris menghentikan pembelian kayu dari Indonesia. Saat itu B&Q
membeli melakukan pembelian plywood dalam skala besar dari Brasil dan Travis
Perkins, pembeli utama untuk kayu tropis, mengalihkan pembeliannya dari
Indonesia ke Ghana yang memiliki sumber kayu legal yang terverifikasi.
Sertifikasi di Indonesia dimanfaatkan juga sebagai piranti membina pelaku
industri untuk lebih meningkat di dalam daya saing poduk dan jasanya (Setyarso,
2009). Di Indonesia, perjalanan sertifikasi hutan tidak begitu lancar. Ini
dikarenakan hampir semua operasi hutan berada di kawasan hutan negara dan
para pengusaha harus memenuhi semua persyaratan wajib yang diterapkan oleh
aturan nasional maupun daerah, dan sifat sukarela dari sertifikasi ekolabel
menjadikan pengusaha menempatkan isu ini menjadi bukan prioritas. Kelestarian
pengelolaan hutan dikalahkan oleh jaminan keamanan berusaha yang banyak
diperankan oleh pemerintah (Setyarso,2009).
Inisiatif sertifikasi untuk pengelolaan hutan lestari ditandai dengan
bekerjanya Kelompok Kerja Ekolabel pada tahun 1994. Kelompok ini bertugas
mempersiapkan sistem dan perangkat kelembagaannya, dan pada tahun 1998
akhirnya terbentuk Yayasan Lembaga Ekolabel Indonesia yang menjalankan
implementasi sertifikasi ekolabel di Indonesia. Hingga saat ini telah tersertifikat
sekitar 1.7 juta ha hutan di Indonesia, baik melalui skema LEI maupun skema
57
internasional seperti FSC, baik yang berkala besar maupun yang bersifat
pengelolaan hutan berbasis masyarakat.Kemudian diberlakukan aturan verifikasi
(penilaian) oleh LPI (lembaga penilai independen) terhadap HPH/IPUHHK yang
berlaku wajib dari pemerintah, sebagai bagian dari pembinaan pemerintah
terhadap pemegang ijin pemanfaatan atas kawasan hutan Negara, di tahun 2002.
Kemudian dilanjutkan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) yang
dipergunakan sebagai salah satu perangkat untuk meningkatkan keamanan
berusaha dan kinerja pemerintah di bidang kehutanan (Setyarso, 2009). Jadi di
Indonesia, selain harus memiliki sistem sertifikasi wajib dari pemerintah seperti
SVLK, juga perlu memiliki standar sertfikasi yang internasional seperti FSC
(wawancara pribadi PT. SOBI Kulonprogo, 19 Pebruari2018).
Dalam awal perjalanan skema sertifikasi hutan, terdapat pandangan bahwa
sertifikasi yang diberlakukan di atas hutan-hutan yang dikelola berbasis
masyarakat dapat lebih mudah dan murah untuk diterapkan. Ini ditandai dengan
standar dan proses assessment /penilaian /verifikasi yang lebih ringkas. Tetapi di
dalam kenyataannya, sertifikasi untuk hutan yang dikelola berbasis masyarakat ini
tidak terlalu lancar. Ini dikarenakan bahwa harus ada perubahan kelembagaan
masyarakat yang tadinya tidak tertulis menjadi sepenuhnya harus
terdokumentasikan, proses pengelolaan sejak perencanaan sampai dengan
pengaturan hasil yang harus dikemas ke dalam standar operasi, dan kapasitas
pelaku-pelaku di dalam kelompok yang sangat beragam (Setyarso, 2009).
Pendampingan- pendampingan yang dilakukan biasanya memakan waktu
lebih dari dua tahun sebelum suatu hutan berbasis kelola masyarakat lulus
58
sertifikasi. Meskipun biaya pelaksanaan sertifikasi telah diupayakan seringan
mungkin (melalui sertifikasi kelompok, bukan individual, dan perpanjangan masa
berlaku sertifikat), tetapi biaya pendampingan masih dirasakan terlalu mahal.
Oleh karena itu, biaya-biaya untuk pendampingan harus digali dari sumber-
sumber eksternal, bukan dari hasil usaha masyarakat (Setyarso, 2009).
Hal ini juga terjadi di KWLM, dimana beberapa narasumber
menginginkan pendampingan bukan hanya sekadar memberikan bibit pohon. Tapi
juga mendampingi hingga bibit tersebut bisa tumbuh dan hidup. Namun memang
kendala teknis di lapangan, seperti perlu biaya lebih dan tenaga ekstra dari para
pengelola membuat kurangnya pendampingan di KWLM. Sejalan dengan Jurgens
(2006) maka KWLM berada di bawah PT.SOBI agar bisa meringankan biaya
pendampingan-pendampingantersebut.
Namun Jurgens (2006) menyatakan bahwa Permintaan produk hutan
lestari tidak secara langsung menjadi sebuah kemauan untuk membayar harga
tambahan dari ongkos produksi secara lestari. Faktanya menunjukkan bahwa
sebuah harga premium sampai dengan 15% bahkan telah dibayar oleh para
pembeli secara tidak langsung untuk kayu hutan alam yang bersertifikatFSC.
Contohnya adalah PT. Irma Sulindo menunjukkan minat untuk mencapai
standar sertifikasi sebagai persyaratan pada para pembeli yang dikoordinasi oleh
WWF bersedia membayar sekitar US $ 1.250/m3 untuk produk bersertifikat. Bisa
dikatakan harga nilai jual kayu yang bersertifikasi memiliki harga jauh di atas
kayu-kayu yang tidak lestari. Berdasarkan contoh tersebut, bisa dikatakan dengan
59
memiliki standar sertifikasi kayu internasional, dapat membuat masyarakat sekitar
Gunung Menoreh ingin bergabung menjadi bagian dari anggota koperasi KWLM.
Setyarso (2009) menyatakan di tingkat internasional, lembaga
pengembang sistem sertifikasi hutan FSC (Forest Stewardship Council) dibentuk
oleh konstituennya dan peran Organisasi Non Pemerintah/LSM/ornop sangat
besar di sini. Beberapa lembaga pengembang sistem sertifikasi internasional yang
lain misalnya PEFC (Pan European Certification Council), SFI (Sustainable
Forest Initiative), CSA (Canadian Standard Association) mempunyai intensitas
konsultasi yang tinggi terhadap aspirasi yang dibawakan olehOrnop.
Di Indonesia, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) disiapkan oleh suatu
kelompok kerja yang terdiri atas unsur-unsur non-pemerintah, dan kemudian
berdiri sebagai yayasan pada tahun 1998. Sejak tahun 2004 LEI berubah menjadi
organisasi berbasis konstituen yang independent. Jaringan GFTN maupun market
linkages internasional dikembangkan di Indonesia antara lain oleh WWF-
Indonesia, TFF (Tropical Forest Foundation) dan TFT (Tropical Forest Trust)
(Setyarso, 2009).
Di dalam menyusun standar legalitas kayu (legal compliance) dan
membangun SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu), atau SVSK (Sistem
Verifikasi Sahnya Kayu) di Indonesia, diterapkan proses dialog multi-pihak.
Peran ornop menjadi sangat penting di dalam penyiapan standar maupun sistem
verifikasi untuk timber legal compliance ini (Setyarso,2009).
60
Lebih lanjut, Setyarso (2009) juga menyatakan bahwa Ornop memberikan
peran dalam bentuk: a. Memberikan informasi tambahan yang menyangkut
kondisi dan kinerja unit manajemen yang dinilai; b. Memantau proses dan sistem
verifikasi; c. Mengajukan keberatan jika dimiliki bukti-bukti yang valid atas
kekurangan yang melekat pada hasilverifikasi.
Hal ini sudah dilakukan oleh organisasi Telapak, dimana Telapak berperan
penting dalam berdirinya Koperasi Hutan Lestari terutama di KWLM, Kulon
Progo. Telapak telah melakukan sosialisasi berupa memfasilitasi seminar,
kunjungan kerja dan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman komunitas lokal.
Telapak juga menginisiasi terbentuknya koperasi dan juga memfasilitasi
sosialisasi yang dipimpin oleh perwakilan masyarakat sekitar gunung Menoreh.
Tahapan fasilitasi juga melibatkan perluasan anggota dan bantuan operasional
teknis terkait manajemen hutan berdasarkan standar FSC
(https://www.telapak.org/id/dampak/bisnis-berkelanjutan-terkini/akses 5Maret
2018).
Sehingga bisa dikatakan Telapak sebagai ornop atau LSM lingkungan
yang telah menginisiasi, mendampingi KWLM hingga mendirikan koperasi dan
memiliki sertifikasi kayu memiliki peranan yang sangat penting. KWLM
menggunakan sertivikasi kayu SVLK dimana diwajibkan oleh pemerintah dan
memilih sertifikasi kayu standar Internasional yakni FSC sudah tepat. Hal ini bisa
dibuktikan dengan meningkatnya pengguna sertifikasi FSC secara global. Di
tahun 2017 saja, terdapat 84 negara dengan total sertifikasi 1.526. Sedangkan total
sertifikasi FSC area hutan berjumlah 195.170.660. Untuk sertifikasi Chainof
61
Custody secara global, total negara yang bergabung adalah 121 negara, dan
seluruh total sertifikasi adalah 33.550.(https://id.fsc.org/id-id/sertifikasi-fsc/fsc-
dalam-angka akses 5 Maret 2018).
5.3. Analisis Peran Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) Dalam
Pengembangan EkonomiMasyarakat
5.3.1. Anggota KWLM, KulonProgo.
Pengembangan ekonomi masyarakat (Community Economic Development
/CED) dalam penelitian ini dilihat dari sembilan kebutuhan yang diperlukan
masyarakat untuk mengembangkan ekonominya menurut Bruce (2001). Para
subyek penelitian ini berjumlah 5 orang anggota dari KWLM, berikut
penjelasannya:
1. Kebutuhan Memiliki Strategi yangKomprehensif
KWLM adalah koperasi serba usaha yang khusus didirikan untuk menjaga
kelestarian hutan disekitar gunung Menoreh, Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Koperasi ini berdiri benar-benar dari masyarakat. Mereka dilibatkan dari awal
untuk berdirinya koperasi ini, sehingga ada rasa memiliki untuk kekuatan koperasi
ini.
Sesuai visinya KWLM ingin mewujudkan lingkungan alam sekitar yang
lestari dan berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat secara adil.
Maka KWLM mengikuti standar pengelolaan hutan lestari sesuai yang diminta
Pemerintah Indonesia dan juga tuntutan dari pasar dunia, yakni perlu adanya
62
sertifikasi Kayu Internasional. Agar pembeli tahu bahwa kayu yang dibelinya
berasal dari hutan yang dikelola secara lestari dan bertanggung jawab, tidak
merusak lingkungan.
Dengan demikian KWLM mematuhi kewajibannya kepada pemerintah
Indonesia dengan memiliki Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Sertifikat SVLK sudah dimiliki KWLM yang akan berakhir di tahun 2022
(Wawancara pribadi, 2018). Sedangkan sebagai tindakan sukarela, KWLM
mengikuti sertifikasi standar internasional yakni Forest Stewardship Council
(FSC). Sertifikat FSC sudah dimiliki dari tahun 2011 dan berakhir di tahun 2016.
Seiring jalan, karena mahalnya biaya sertifikasi, maka KWLM menjadi bagian
dari PT. SOBI, yang mengusahakan certification group. Sehingga KWLM bisa
bergabung dengan koperasi-koperasi lain untuk mendapatkan sertifikasi kayu. Hal
ini dilakukan untuk meringankan biaya dan bisa menaikkan skala produksi
permintaan pembeli kayu. Sekitar awal 2017, KWLM sudah mendapatkan
sertifikasi group (Wawancara pribadi, 2018). Berikut adalah sertifikasi kelompok
FSC terbaru untuk koperasiKWLM:
63
Gambar 5.4
Sertifikasi Kelompok FSC KWLM
Banyak kegiatan yang sudah dilakukan KWLM untuk meningkatkan
kinerja koperasi. Hal ini diketahui dan dianggap sebagai strategi dari KWLM bagi
anggotanya. Tiga subyek KWLM menyatakan hal yang sama bahwa dengan
menebang satu pohon dan diberikan tiga bibit baru merupakan salah satu strategi
KWLM. Berikut salah satu kutipannya:
64
“Aada. Karena gini, dulu kami bertanam kayu hutan rakyat itu tanamnya kalau misalkan
ada penanaman kembali itu karena kami punya dana untuk membeli bibit, lalu KWLM
kan mensupport bibit sehingga kami selalu ada tanaman baru di lahan. Itu akan selalu
regenerasi terus jadi petani itu punya tanaman terus. Terus KWLM juga memberikan dari
koperasi ada pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas misalkan, kalau di petani
itu kan kalau sudah tanam dibiarkan toh.” (Subyek 1, 2018)
Selain pemberian bibit tanaman, dua subyek juga menyatakan bahwa
pelatihan yang diberikan KWLM juga merupakan strategi. Misalnya saja ada
pelatihan penanaman, penyiraman dan lainnya. Strategi KWLM lainnya adalah
mencarikannya pembeli kayu, subyek merasakan adanya kenaikan harga kayu
dengan harga bersaing di pasaran, Sedangkan tiga subyek menyatakan bahwa
sertifikasi kayu merupakan strategi KWLM. Berikut salah satu kutipannya:
“Sertifikasi, cari pembeli, perubahan kenaikan harga kayu, sempat beberapa kali naik,
lebih baik daripada lokal” (Subyek 3, 2018)
Strategi–strategi perencanaan program kegiatan KWLM tersebut sudah
dibicarakan dan direncanakan oleh para pengurus dan pengelola koperasi.
Perencanaan yang baik adalah yang melibatkan para anggotanya terutama
pengurus dan pengelola koperasi, dua anggota yang hanya merasa anggota biasa
merasakan tidak pernah ada pelibatan anggota untuk menyusun perencanaan
strategi terkait program di KWLM.
Efek yang dirasakan para subyek dengan dijalankannya strategi tersebut
diantaranya dua subyek menyatakan pemahaman tentang nilai kayu dan harga
kayu meningkat, lalu petani akan mendapatkan harga kayu yang bagus
dibandingkan membeli dari pedagang biasa, dan juga petani bisa menanam kayu
dengan baik.
65
Berdasarkan temuan di atas bisa dikatakan bahwa KWLM mempunyai
strategi yang komprehensif. Hal ini sesuai dengan Bruce (2001) bahwa
pengembangan ekonomi masyarakat harus multi fungsi, memiliki strategi yang
komprehensif atau selalu ada pengembangan sistem.
Strategi KWLM tersebut bisa dilihat dari visi, misi, dan tujuan dari
terbentuknya KWLM yang berkelanjutan dan lestari. Kemudian, untuk jangka
panjang, KWLM telah memikirkan perlunya sertifikasi kayu bagi petani hutan.
KWLM memenuhi kewajibannya dengan memenuhi standar sertifikasi kayu yang
diwajibkan pemerintah yakni SVLK dan sertifikasi standar internasional yakni,
FSC. Dengan menggandeng pemerintah yakni dinas Koperasi, Ornop seperti
Telapak dan Pihak swasta, yakni PT.SOBI, akan mempermudah KWLM
menjalankan kegiatannya sesuai visi dan misinya. Strategi, pemberian bibit gratis
untuk penebangan satu pohon bagi para petani hutan dan pemberian beberapa
pelatihan untuk para anggota sangat memberikan manfaat untuk anggota KWLM.
Hal tesebut juga didukung oleh Nielsen (2006) yang meneliti tentang
program kesehatan dan keamanan berbasis masyarakat. Sallis & Owen (1997)
Coggan dkk. (2000) dalam Nilsen (2006) menyatakan bahwa CED membutuhkan
strategi yang bertujuan untuk memaksimalkan dampak dari program melalui
masyarakat dengan mengambil keuntungan dari sinergi mereka. Nielsen (2006)
juga menambahkan bahwa program tersebut perlu ada intervensi yang beragam.
66
2. Kebutuhan Memperkuat KepemilikanKomunitas
Suatu organisasi atau komunitas akan menjadi kuat bila anggotanya
memiliki rasa memiliki yang dalam. Terutama akan terlihat, jika ada
permasalahan-permasalahan atau isu-isu terutama negatif yang bisa memicu
perpecahan atau ketidakharmonisan organisasi atau komunitas. Salah satu cara
agar anggota merasa memiliki adalah dengan keikutsertaannya dalam
pengambilan suatu keputusan dari segala masalah.
Dua subyek menyatakan tidak pernah mendengar isu negatif di KWLM,
semua berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan mereka bukanlah pengurus
koperasi sehingga tidak tahu banyak mengenai apa yang terjadi di koperasi.
Sedangkan yang lainnya menyatakan ada beberapa isu, namun semua bisa
diselesaikan di koperasi yakni pada rapat-rapat pengurus. Berikut contoh
kutipannya:
“Isu ya nanti dirapatkan tapi cuma ditingkat koperasi saja anggota tidak ikut, karena itu
bukan kasus yang berat gitu loh, itu cuma pengurus saja.” (Subyek 1, 2018)
Isu-isu yang pernah ada di KWLM hanyalah isu atau masalah yang masih
dalam kategori ringan dan bisa diselesaikan secara musyawarah. Isu-isu yang
pernah ada tersebut diantaranya, pertama, masalah pembebanan biaya pungli
pengambilan kayu yang ditebang. Jika membeli dengan pedagang, biaya pungli
seperti membuka portal agar bisa jalan adalah tanggung jawab pedagang. Jika
menjual dengan koperasi, awalnya anggota tidak tahu. Namun akhirnya anggota
koperasi paham juga dengan isu tersebut. Jika kayu dibeli secara publikasi berarti
67
yang membayar adalah koperasi, kalau dibeli secara putus di kebun berarti
anggota sendiri yang membayar (Wawancara pribadi,2018).
Yang kedua, adalah masalah pohon yang tumbuh di wilayah lahan
perbatasan milik orang lain. Yang ketiga, isu terkait telatnya pembayaran
penjualan kayu dan hasil tebangan kayu mengenai lahan tetangga. Lalu ada juga
isu telatnya pembayaran hasil penjualan kayu, namun semua diselesaikan dengan
baik dan musyawarah. KWLM akan selalu menyelesaikan semua permasalahan
atau isu yang ada bersama-sama dengan para anggota khususnya para pengurus.
Kepemilikan koperasi akan semakin kuat, jika anggota tahu untuk apa
mereka menanam pohon. Semua subyek mengerti bahwa menanam pohon adalah
investasi untuk mereka di masa depan. KWLM sudah memberikan pemahaman
pentingnya investasi terutama pohon, pada saat melakukan sosialisasi. Berikut
salah satu contoh kutipan tersebut:
“Paling kita ke anggota jelasinnya lebih mudah dengan menanam pohon itu menabung,
jadi kalau menabung ada yang konvensional pake celengan bambu, koperasi menjelaskan
tentang kayu itu, kita akan tau persis dan detil dengan edukasi dari koperasi, petani akan
tahu rinciannya berapa, akan dapat duit berapa, tapi kalo misalnya hanya dijual tanpa
hitungan ya bisa dibohongi, tetapi tidak semua anggota dapat memahami,” (Subyek 3,
2018)
Berdasarkan temuan di atas, anggota KWLM sudah memahami bahwa
menanam pohon itu adalah menabung atau investasi untuk masa yang akan
datang. Jika mereka sudah memahami hal tersebut, tentu akan memberikan
kekuatan dalam bagian dari KWLM. Kekuatan terus semakin bertambah, di kala
koperasi diterpa berbagai isu atau masalah, ketika permasalahan tersebut
diselesaikan secara musyawarah dan mufakat, serta banyak anggota yang terlibat
di dalamnya, maka para anggota akan merasa salingmemiliki.
68
Hal tersebut dikuatkan oleh Laverack (2007) dalam Laverack and
Mohammadi (2011) bahwa proses kepemilikan perlu isu-isu dimana akan muncul
kepedulian dari anggota komunitasnya. Resolusi dari isu-isu atau masalah tersebut
bisa lewat partisipasi, membangun kapasitas, dan perencanaan dimana akan
mempermudah aksi yang spesifik untuk mendapatkan tujuan mereka. Bruce
(2001) menambahkan dengan adanya penguatan kepemilikan masyarakat akan
menciptakan masyarakat yang adil dan bisa mengembangkan investasi dan
properti masyarakat golongan pendapatan rendah, dalam hal ini para petani hutan
di sekitar Gunung Menoreh, Daerah IstimewaYogyakarta.
3. Kebutuhan Akses Kredit Yang Aman Untuk BisnisLokal
Koperasi Wana Lestari Menoreh masuk ke dalam jenis kopersi Serba
Usaha (KSU) dimana usaha fokus ke penjualan kayu dari hutan masyarakat.
Karena KWLM bukan koperasi simpan pinjam, maka tidak ada kegiatan simpan
pinjam keuangan bagi anggotanya.
Namun KWLM memahami, para petani hutan memiliki permasalahan
kehidupan terutama terkait keuangan yang beragam. Maka untuk menjebatani hal
tersebut, KWLM menggandeng Koperasi Cukata (Cukat, tanpa Batas) untuk
membantu anggota KWLM menyelesaikan permasalahan keuangan. Koperasi
Cukata merupakan koperasi simpan pinjam.
Kedua koperasi ini bersinergi untuk membangun masyarakat khususnya
wilayah Samigaluh, Kalibawang dan Girimulyo. Dalam usahanya, koperasi ini
lebih mengedepankan nilai sosial yang dibangun dengan mengangkat kearifan
69
lokal yang selama ini sangat dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini sangat efektif
dalam kegiatan pengelolaan hutan secara lestari, dan secara umum dapat
mempertahankan budaya lokal dalam upaya melestarikan hutan.
(http://www.plutjogja.com/koperasi-wana-lestari-menoreh-dan-koperasi-cukata/
akses 1 April 2018).
Berdasarkan wawancara, dari lima subyek, empat subyek mengetahui
bahwa KWLM membantu akses simpan pinjam atau kredit kepada lembaga
koperasi lain yaitu Cukata. Berikut salah satu kutipannya:
“Saya kira belum pernah, belum pernah bantuan finansial nya, atau kalau dalam bentuk
yang ada hubungannya dngan finansial mungkin pinjaman dari kayu yang saya punya
memberikan jaminan untuk pinjaman. Kayu sebagai jaminan pinjaman untuk meminjam
di lembaga lain simpan pinjam. Itu saya pernah, Cukata itu loh.” (Subyek 1, 2018)
Namun ada satu subyek yang tidak mengetahui adanya koperasi simpan
pinjam Cukata. Hal ini dikarenakan beliau belum pernah menggunakan akses
kredit tersebut. Berikut pernyataannya:
“Belum pernah denger Cukata, jadi belum tau maksudnya.” (Subyek 5, 2018)
Bantuan yang dilakukan KWLM terkait akses kredit adalah, KWLM akan
menjamin kayu yang akan diagunkan untuk pinjaman uang anggotanya. Jika
sudah ada penjaminan, maka Cukata baru akan mengeluarkan bantuan pinjaman
uang tersebut. Kayu yang dijaminkan adalah kayu yang sudah layak tebang
berukuran diameter 25-30Cm.
Dua subyek sudah menggunakan akses tersebut dan merasakan
manfaatnya. Salah satu manfaatnya adalah anggota dipermudah meminjam uang
70
dengan jaminan kayu, di lembaga simpan pinjam lain belum ada yang mau
menerima kayu sebagai jaminannya. Berikut kutipannya:
“Belum pernah pak, itu dikoperasi lain di Kulon Progo belum pernah, itu hanya ada di
koperasi KWLM yg memberikan jaminan pohon miliknya itu.” (Subyek 1, 2018)
Sedangkan tiga subyek belum pernah menggunakan akses bantuan
keuangan tersebut, sehingga belum merasakan manfaatnya. Namun mereka
mengetahuinya.
Dapat disimpulkan KWLM sudah memenuhi kebutuhan akses kredit untuk
para anggotanya. Walau KWLM merupakan koperasi serba usaha, tetapi
berinisiatif untuk bekerjasama dengan koperasi credit union karena KWLM
memahami permasalahan keuangan para petani hutan beragam. Tidak ada
koperasi simpan pinjam atau lembaga keuangan lain yang mau memberikan kredit
dengan kayu sebagai jaminannya. Tetapi CU Cukata percaya dan mau
bekerjasama dengan KWLM. Hal ini bisa jadi karena adanya kepercayaan yang
tinggi dari Cukata kepadaKWLM.
Hal ini sejalan dengan Bruce (2001) yang menyatakan masyarakat harus
mendapatkan akses kredit yang aman untuk bisnis, untuk pengembangan usaha
dan rumah yang terjangkau. Sedangkan Mashigo (2007); Zeller (1994); Islam dan
Maitra (2012); Vicarelli (2010); Morduch (1995); Gertler, Levine dan Moretti
(2009), dalam Biyase dan Fisher (2017) menyepakati bahwa akses ke kredit dapat
memainkan peran penting dalam kehidupan berpenghasilan rendah atau rumah
tangga miskin karena memungkinkan mereka untuk mengatasi lebih baik dengan
berbagai jenis guncangan (seperti sakit, kekurangan gizi, kelaparan, kejahatan,
71
pengangguran, krisis keuangan dan alam bencana), sehingga memperbaiki
masalahsosio-ekonomi.
4. Kebutuhan Membangun Sumber DayaManusia
Sumber Daya Manusia (SDM) bagi suatu organisasi atau komunitas sangat
penting keberadaannya. SDM merupakan aset berharga bagi suatu organisasi,
begitu juga SDM bagi Koperasi Wana Lestari Menoreh. Anggota koperasi yang
terdiri dari pengurus, pengelola dan anggota biasa ini adalah petani hutan. Jadi
KWLM perlu membangun kemampuan, keahlian dan pengetahuan mereka terkait
dengan bidang mereka yakni kehutanan.
Apalagi sesuai dengan visi KWLM adalah ingin mewujudkan lingkungan
alam yang lestari dan berkelanjutan dan misinya memberikan lapangan pekerjaan,
memberdayakan masyarakat serta meningkatkan pendapatan masyarakat dengan
memperhatikan ekologi, sosial dan ekonomi maka sudah pasti kegiatan atau
program yang dibuat KWLM adalah untuk memenuhi hal tersebut.
Kegiatan pelatihan yang telah diselenggarakan diantaranya adalah: 1)
Pelatihan inventarisasi hutan rakyat, 2) Pembuatan dokumen Standar Operasional
Prosedur, Rencana Kerja dan Rencana Pengelolaan Hutan Rakyat, 3) Pelatihan
Inventarisasi potensi pohon milik anggota, 4) Pelatihan Manajemen Koperasi dan
Keuangan, 5) Pembuatan dan Penjualan Pupuk Kompos, 6) Pelatihan pembibitan,
7) Pembuatan pembibitan, 8) Pemanenan, 9) Pengecetan Furnitur, 10)Pelatihan
K3, 11) Pelatihan penggunaan HP android (Wawancara Pribadi,2018).
72
Semua subyek mengetahui ada pelatihan yang diberikan kepada para
anggota koperasi. Satu subyek menyatakan bahwa pelatihan sudah
diselenggarakan KWLM secara rutin tiap tahun, namun satu subyek menyatakan
sebaliknya bahwa pelatihan yang diselenggarakan KWLM belum rutin dalam
setahun. Rata-rata subyek menyatakan pelatihan masih dirasakan kurang bagi
mereka. Berikut salah satu kutipannya:
“Hmmm,, sebetulnya enggak cukup pelatihan yang diberikan. Tapi kami gini sebetulnya
pelatihan itu kan bukan mesti dikumpulkan di koperasi lalu di beri pelatihan. Kadang-
kadang kami kan pas penebangan itu kami anggota di ikutkan. Gini loh cara penebangan
yang baik yang bagus, misalkan anggota kan jadi.. lalu kami ajak ke tempat penebangan
ini loh kalau mau nebang harus pakai alat pelindung diri ada talinya, jadi ribet pak harus
pakai topi harus ini tapi anggota jadi paham karena itu dilakukan kalau ketemu dan
kegiatan jadi anggota gak harus di kantor.” (Subyek 1, 2018)
Dari pernyataan di atas juga bisa terlihat bahwa subyek menginginkan ada
perubahan terkait metode penyampaian materi pelatihan. Misalnya saja beberapa
pelatihan yang diselenggarakan KWLM diadakan di ruang kantor KWLM,
contohnya saja pelatihan K3 terkait Alat Pelindung Diri (APD). Satu subyek
mengharapkan bukan hanya teori di kantor namun bisa juga pelatihan diadakan di
lokasi lapangan dan dipraktikkan. Sehingga anggota pelatihan tidak merasakan
bosan, apalagi mayoritas anggota KWLM sudah tidak muda lagi. Subyek lain
menginginkan setelah pelatihan, misalnya saja penanaman bibit pohon ada
pendampingan, minimal pengawasan dari hasil pelatihan. Karena kenyataannya
dari penanaman bibit pohon yang ditanam, banyak yang tidak hidup alias gagal.
Beberapa pelatihan yang diberikan KWLM juga dirasakan kurang
manfaatnya, misalnya saja anggota diberikan pelatihan pengecatan furnitur.
Memang bagus tujuan KWLM agar mendorong petani hutan juga bisa
73
berwirausaha bukan hanya menjual kayu saja tapi juga memproduksi suatu
produk dari kayu. Namun ternyata, kurang berguna bagi anggota karena mayoritas
mereka hanya menanam pohon dan menabungnya untuk investasisaja.
Namun secara keseluruhan bisa dikatakan pelatihan-pelatihan yang
diberikan KWLM bermanfaat. Karena anggota merasakan dampaknya seperti
meningkatnya pemahaman anggota terkait standar operasional dan prosedur
terkait pengelolaan hutan lestari dan bertanggung jawab. Hampir semua subyek
juga menyatakan hal yang sama bahwa warga masyarakat yang ikut menjadi
anggota KWLM memiliki peranan penting untuk pengembangan KWLM. Tanpa
warga yang bergabung di koperasi tentu koperasi KWLM tidak bisa berdiri dan
berkembang. Berikutkutipannya:
“Penting, karena gini kalau anggota tidak mengembangkan KWLM misalkan dalam
mengelola hutan itu tidak di tekuni sebaik-baiknya nanti koperasi mau nebang apa?
Gituloh, kalau koperasi tidak nebang punya anggota berarti koperasi kan tidak punya
keuntungan juga, tidak punya data kegiatan-kegiatan juga keuntungan. Makanya anggota
itu penting harus bisa mengelola lahan sendiri dngan sebaik-baiknya, lalu
mengembangkan apa yaa pengelolaan lahannya itu menjadi supaya berkesinambungan
supaya dari tahun ke tahun itu tetap ada hasil.” (Subyek 1, 2018)
Selain mengadakan pelatihan-pelatihan, untuk mengembangkan SDM di
koperasi itu sendiri juga diperlukan kepemimpinan yang baik. Empat subyek
menyatakan hal yang sama kepemimpinan di KWLM sudah baik misalnya saja,
memiliki gaya kepemimpinan yang demokrasi, tidak ada unsur paksaan,
komunikasi terbuka dan lancar, serta tidak ada korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Hanya satu subyek yang meyatakan tidak paham dengan kepemimpinan
yang ada saat itu. Berikut kutipannya:
74
“Kurang jelas.. gak tau ya dengan yang baru. Dulu kan pernah ada pembentukan
pengurus baru. Gak ada masalah ya bagus bagus aja yaa.. bisa menjalankan tugas
tugasnya.” (Subyek 5,2018)
Pengembangan ekonomi dan sosial membutuhkan organisasi. Tetapi
organisasi itu juga menuntut kehadiran adanya ketrampilan khusus untuk
memajukan organisasi, dikenal dengan kepemimpinan. Ketrampilan ini mencakup
wujud seperti mengusulkan visi dan tujuan kepada orang yang mengikuti,
menempatkan nilai-nilai etis dan ikut membangun agar organisasi bisa terus abadi
(Anglin, 2011).
Pemimpin di koperasi dalam hal ini adalah ketua koperasi tidak terlalu
berperan dalam hal operasional, karena untuk pelaksanaan operasional koperasi
banyak dilakukan oleh pengurus dan pengelola koperasi. Jadi ketua koperasi
berperan sebagai pengambil keputusan dan pengawasan pelaksanaan semua
kegiatan koperasi. Saat penelitian ini masa kepemimpinan ketua Koperasi KWLM
yakni bapak R. Damarsono berakhir di bulan Maret 2018.
Berdasarkan hal tersebut di atas, sebaiknya penyusunan program
pelatihan-pelatihan yang akan diadakan oleh KWLM dipetakan atau dibuat
prioritas. Pelatihan apa saja yang dibutuhkan oleh para petani. Bahkan bisa
didiskusikan ke semua anggota. Jadi pelibatan anggota dalam penyusunan
program kegiatan KWLM sangat diperlukan. Tiga subyek menyatakan ada
pelibatan anggota dalam penyusunan, biasanya dalam rapat anggota tahunan
(RAT). Sedangkan dua subyek tidak merasa adanya pelibatan dalam penyusunan
programdiKWLM.Halinidimungkinkankarenakurangnyainformasidan
75
mereka bukan pengurus atau pengelola koperasi yang lebih aktif dalam seluruh
kegiatan koperasi.
Bruce (2001) menyatakan membangun sumber daya manusia bisa
melalui pengembangan kepemimpinan, keaksaraan dan dukungan pra-pekerjaan,
pekerjaan pelatihan keterampilan dan layanan pengembangan karir, dukungan
pengembangan kewirausahaan, dll. Sedangkan Bharti (2014) menyatakan perlu
mempengaruhi kinerja organisasi (masyarakat) melalui intervensi sumber daya
manusia. Sumber daya manusia dan kepemimpinan yang kuat pada tingkat yang
lebih tinggi dianggap sebagai salah satu faktor internal terpenting yang
mempengaruhi kinerja organisasi (masyarakat). Kepemimpinan yang kuat di
tingkat yang lebih tinggi memberikan stabilitas kepada organisasi (masyarakat)
dan membantu dalam mengembangkan intervensi yang berkelanjutan yang
membantu organisasi (komunitas) menjadi menguntungkan. Pekerja juga
memainkan peran penting dalam desain dan implementasi intervensi di semua
organisasi ini sendiri.
5. Kebutuhan Membangun KapasitasLokal
Suatu organisasi, manusia, atau pemerintah perlu menunjukkan
keberhasilan, keberlanjutan dari suatu proses yang mereka hasilkan. Untuk
menunjukkan keberhasilan itu maka diperlukan mengembangkan kapasitas lokal.
Membangun kapasitas lokal memerlukan pelaku/pemeran yang saling
berhubungan untuk mencapai kesuksesan tersebut, bisa saja dari pemerintah,
akademisi dari universitas, dari pihak swasta atau bahkan masyarakat/ komunitas
itu sendiri.
76
Empat subyek menyatakan hal yang sama bahwa mereka memiliki
kemampuan yang berkembang setelah bergabung dengan KWLM. Dalam hal ini
adalah kemampuan dalam bidang kehutanan, seperti: mengukur volume kayu,
menaksir harga kayu, dan dapat bertukar pengalaman serta informasi terkait
kehutanan dengan sesama anggota. Berikut salah satu contoh kutipannya:
“Bisa. Kemampuan misalkan Ilmu bertambah tentang ngukur kayu, volume kayu.”
(Subyek 2, 2018)
Adapun satu subyek menyatakan belum tahu perkembangan kemampuan
yang dia miliki. Berikut kutipannya:
“ Gak punya kemampuan hehehe”. (Subyek 5, 2018)
Rata-rata subyek paham dan percaya bahwa kemampuan yang telah
mereka miliki dapat meningkatkan kinerja KWLM. Namun dua subyek
menyatakan hal yang sama bahwa para petani hutan tetap memerlukan
pendampingan setelah diberikan pelatihan. Misalnya saja ketika ada pelatihan
penanaman bibit. Karena tidak ada nya pendampingan, banyak bibit yang tidak
berhasil. Tetapi hal ini dibantah oleh satu subyek yang menyatakan tidak perlu
ada pendampingan dari KWLM karena sudah ada pendampingan dari pemerintah
dalam hal ini dinas kehutanan, pertanian dan dinaskoperasi.
“Tidak , tidak ada tenaga seperti itu, itu sudah banyak dilakukan pihak lain, seperti dinas
pertanian, kita lebih ke kayu, kalau bagus, berarti mahal. Setelah saya gabung menurut
saya tidak perlu ada pendampingan.” (Subyek 3, 2018)
Selama KWLM beroperasi, belum pernah menghadapi masalah besar
hingga ke ranah hukum. Semua permasalahan masih bisa diselesaikan dengan
musyawarah.
77
Untuk membantu keberhasilan anggota KWLM, koperasi KWLM juga
memikirkan pengembangannya. Salah satunya adalah menggandeng para
pemangku kepentingan dari pihak luar KWLM untuk bersama-sama membangun
KWLM lebih baik lagi. Misalnya saja KWLM sudah bekerjasama dengan
pemerintah; Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian dan Departemen
Koperasi dan UMKM, lalu ada juga pihak swasta yakni PT. Sosial Bisnis
Indonesia (SOBI), cartens untuk sistem Informasi dan Teknologi (IT), NGO
seperti Telapak, dan lembaga-lembaga pendidikan seperti Institut Pertanian Bogor
(IPB) dan Universitas Gajah Mada (UGM) juga Sekolah vokasi sekitar Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Tiga subyek mengetahui bahwa KWLM sudah bekerjasama dengan pihak
lain namun dua subyek lainnya tidak mengetahui tentang kerjasama tersebut. Hal
ini terjadi karena tiga subyek yang mengetahui kerjasama merupakan anggota
aktif sedangkan dua subyek lainnya tidak. Menurut McPhee dan Bare (2001)
dalam Owen (2004) kapasitas terkait dengan kemampuan seseorang. Kemampuan
ini adalah kemampuan untuk mencapai apa yang individu butuhkan atau institusi
inginkan untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian kapasitas mengacu kepada
kemampuan organisasi untuk menerjemahkan misi mereka untuk mencapai
sasaran yang tepat.
Berdasarkan Anglin (2011) bisa dikatakan kebutuhan membangun
kapasitas masyarakat atau anggota merupakan fokus dari kegiatan pengembangan
ekonomi masyarakat. Lembaga tersebut harus mampu (1) merencanakan dan
memutuskan skala proyek/ kegiatan, (2) melaksanakan dan mengelola program
78
pengembangan Sumber Daya Manusianya secara efektif. Hal ini juga sudah
dilakukan oleh KWLM untuk terus melakukan pengembangan dalam membangun
kapasitas anggotanya.
Pada saat sosialisasi, KWLM sudah menyampaikan visi, misi dan tujuan
serta pemahaman mengenai penanaman kayu lestari. Setelah sosialisasi, Anggota
juga mendapatkan pelatihan. Sehingga dirasakan oleh para anggota kemampuan
anggota bertambah terutama terkait kehutanan. Ada kerjasama dengan beberapa
pemangku kepentingan, seperti pemerintah, universitas, sekolah vokasi atau pihak
swasta, yakni PT.SOBI. Namun, sosialisasi dan pelatihan serta kerjasama dengan
pihak luar dirasakan masih kurang. Terutama perlu adanya pendampingan
minimal mengawasi apakah praktik dari pelatihan yang diberikan berhasil atau
tidak. Bruce (2001) sendiri menyatakan bahwa membangun kapasitas lokal bisa
dilakukan dengan perencanaan, penelitian, advokasi, kerjasama strategis, dan
pengembangan kemitraan. Semua itu sudah dilakukan olehKWLM.
6. Kebutuhan Mengintegrasikan Tujuan Sosial danEkonomi
Sesuai misinya, KWLM sudah mengintegrasikan kegiatannya sesuai
fungsinya yakni fungsi produksi, sosial dan ekologi. Fungsi ekologi sangat
penting dimana KWLM adalah koperasi hutan dan anggota adalah para petani
hutan maka KWLM harus mengintegrasikan seluruh programnya dengan
memenuhi kebutuhanekologi.
Fungsi Produksi meliputi kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya
alam,hasilhutanrakyat,danusahaproduktif.Makafungsiinisesuaidengan
79
tujuan secara ekonomi dimana diharapkan anggota dapat menikmati hasil hutan
lebih baik.
Fungsi sosial meliputi kegiatan-kegiatan melestarikan kepastian hak
kepemilikan tanah, menjamin kesempatan, hak dan kewajiban perkembangan
ekonomi masyarakat, dan kesetaraan gender di masyarakat. Selanjutnya fungsi
Ekologi meliputi kegiatan-kegiatan pengelolaan ekosistem, memelihara dan
melindungi hewan langka, situs yang dilindungi masyarakat, danmenjaga
kelestarian mata air.
Semua subyek mengetahui bahwa KWLM memiliki program yang
mengintegrasikan dengan tujuan sosial dan ekonomi bahkan ekologi. Tujuan
sosial menurut para subyek adalah para anggota bisa mendapatkan banyak teman,
bisa belajar berorganisasi, gotong royong, mendapatkan informasi yang
diperlukan bahkan bisa menambah jaringan pertemanan dan lapangan pekerjaan.
Berikut salah satu contohkutipannya:
”Kita melibatkan banyak orang untuk menyediakan lapangan kerja. Dengan ikut koperasi
kan kita merekrut orang, kita punya tim tebang, gotong royong.” (Subyek 3, 2018)
Secara Ekonomi, subyek menyatakan KWLM memiliki tujuan ekonomi
seperti: nilai harga jual kayu tinggi karena bersertifikasi internasional, sehingga
menaikkan pendapatan petani hutan. Berikut contoh salah satu kutipannya:
“Secara ekonomi, itu tadi, saya sebagai anggota jadi tau bahwa nilai kayu itu mahal
gituloh. Kalau dengan pedagang kan tidak peduli sertifikat atau ndak pokoknya saya beli
saya uangnya segini mau ndak? Gitu. Kalau dengan koperasi kan gini loh ternyata kan
kalau kayu kamu itu sekarang mahal karena bersertifikat FSC harga jual nya tinggi.
Ranting nya aja di beli kok kalau pas ada orderan nya, tapi ranting jati sampai ranting
yang sebesar diameter 3cm.” (Subyek 1, 2018)
80
Sedangkan secara ekologi, masyarakat petani hutan kayu sudah tahu
bahwa sesuai misi KWLM harus menjalankan fungsi ekologi, yaitu tidak merusak
lingkungan alam sekitar dan menjaga mata air agar airnya terus ada dan mengalir,
serta memelihara hewan yang ada di sekitar lokasi ladang pohon mereka. Tentu
keberhasilan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut memerlukan keterlibatan
anggota-anggotanya secara langsung untuk menjalankan fungsi-fungsi yang ada
sesuai misiKWLM.
Setelah bergabung dengan KWLM para narasumber menyatakan memiliki
keuntungan ekonomi seperti: Bisa mendapatkan kemudahan simpan pinjam
dimana ada jaminan harga kayu, mendapatkan harga yang jual yang tinggi karena
bersertifikasi dan tidak pusing mencari pembeli karena KWLM bersama PT.SOBI
akan mencarikan pasar untuk membeli kayu-kayu mereka. Satu subyek belum
merasakan keuntungan sejak bergabung dengan KWLM dikarenakan belum
pernah menjual kayu-kayunya. Berikut kutipannya:
“Belum, belum pernah merasakan keuntungan karena belum jual kayu nya..” (Subyek 5,
2018)
Bisa disimpulkan KWLM sudah mengintegrasikan tujuan sosial, ekonomi
bahkan lingkungan untuk pengembangan ekonomi anggotanya. Secara sosial,
anggota bisa mendapatkan manfaat seperti menambah jaringan pertemanan.
Secara ekonomi, walau harga jual kayu dari KWLM berbeda dengan pedagang
biasa, sehingga petani anggota KWLM bisa menikmati harga jual kayu yang lebih
tinggi. Namun, secara ekonomi belum memenuhi seluruh kebutuhanmereka.
81
Secara lingkungan, anggota sudah menjaga lingkungan sekitar sesuai standar FSC
dan SVLK.
Bruce (2001) menyatakan pengembangan ekonomi masyarakat perlu
mengintegrasikan secara spesifik dan menyatukan tujuan-tujuan ekonomi dan
sosial agar dapat memberikan dampak yang kuat kepada perubahan dan
penggiatan masyarakat. Pengembangan ekonomi masyarakat memberikan
kesempatan untuk mengintegrasikan pembangunan manusia, sosial dan ekonomi
untuk mengatasi kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial dan partisipasi ekonomi.
Partisipasi tersebut dapat menciptakan pemberdayaan ekonomi. (Clark, 2006:21
dalam Lombard,2006).
7. Kebutuhan MemberdayakanKomunitas
Kelima subyek menyatakan hal yang sama bahwa mereka mengetahui
KWLM memiliki program atau kegiatan koperasi yang berbeda dari koperasi lain.
Diantara kelebihan KWLM adalah: 1) KWLM berbeda karena menjual kayu yang
memiliki nilai harga jual lebih tinggi dibanding pedagang biasa; 2) KWLM
menyediakan sertifikasi kayu baik itu SVLK, sertifikat wajib dari pemerintah
maupun sertifikasi standar internasional yaitu FSC; 3) Anggota Koperasi Wana
Lestari Menoreh adalah para petani hutan; 4) KWLM bekerja sama dengan PT.
SOBI memasarkan kayu anggota koperasi; 5) selain mendapatkan SHU seperti
koperasi lain KWLM juga membantu mempermudah akses simpan pinjam untuk
anggotanya; 6) sering ada pertemuan rutin (Wawancara pribadi, 2018).
82
Berikut salah satu contoh pernyataan bahwa KWLM memiliki sistem atau
program yang berbeda dengan koperasi lain:
“Berbeda, kalo koperasi lain itu cuma pertemuan rutin tiap bulannya ada. Kalo KWLM
itu di wahana lestari, disini juga ada pertemuan koperasi rutin yang anggota wakturabu
legi. Anggota dari kelompok tani”. (Subyek 5, 2018)
“Kayu nya, koperasi lain ya Cuma uang, kalo dari wahana lestari ya ada kayunya ituu..”
(Subyek 5, 2018)
Untuk memberdayakan masyarakat sekitar terutama anggota koperasi,
tentu memerlukan peranan orang-orang yang ahli di bidangnya. Berdasarkan
jawaban responden, tiga subyek menyatakan bahwa KWLM belum banyak
memiliki pengurus yang ahli dibidangnya. KWLM mengalami kesulitan untuk
perekrutan anggota baru. Pemilihan pengurus sendiri tidak ada paksaan, jadi yang
mau saja sudah bisa menjadi pengurus. Sedangkan ada dua subyek lainnya
menyatakan bahwa KWLM sudah ditangani dengan pengurus-pengurus yang ahli.
KWLM perlu menginventarisasi pohon-pohon anggota koperasi lebih
banyak lagi untuk mengantisipasi karena banyaknya permintaan kayu di pasar
lokal maupun internasional dan terus menambah anggota-anggota baru. Terlebih
sulitnya menemukan pemuda-pemudi yang mau aktif menjadi pengurus koperasi,
maka KWLM perlu membuat suatu program untuk meningkatkan kesadaran agar
masyarakat mau berpartisipasi di KWLM. Bukan hanya sekadar sosialisasi.
Saat ini KWLM sudah berusaha meningkatkan kesadaran masyarakat
sekitar gunung Menoreh, Kulon Progo, DI Yogyakarta. Misalnya saja lewat
sosialisasi program KWLM ke dusun-dusun dengan berbarengan acara
masyarakat misalnya saja saat arisan, lalu dari mulut ke mulut (Word of Mouth),
pernah juga lewat website dan tweeter. Sangat disayangkan website KWLMsudah
83
tidak aktif lagi. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan SDM yang mau
mengelola website dan tweeter tersebut dan masyarakat sendiri masih belum
banyak yang terbiasa membuka website serta menggunakan tweeter bahkan
Facebook. Berikut salah satu pernyataan:
“Ada, tapi kan kita sudah membuka web hutan menoreh gitu tapi tidak update, gimana
nggih calon anggotanya itu bukan orang-orang yg senang buka web gitu-gitu-an kan anak
muda tuh web nya lain yg di buka toh. tidak berkembang meskipun lewat web sudah,
sosialisasikan lewat desa, dusun sudah.” (Subyek 1, 2018)
“Seperti Facebook, dulu pernah awal berdiri ada admin yang nungguin, tapi jarang,
sekarang tidak ada yang ngurus, malas. Kadang kita informasikan ke mitra-mitra
koperasi, atau buyer dengan menggunakan WA. “ (Subyek 3,2018)
Namun tidak bisa dipungkiri perkembangan teknologi seperti handphone
android yang menyediakan berbagai aplikasi untuk mempermudah berkomunikasi
berdampak juga di KWLM. Sekarang, KWLM lebih mudah untuk berkoordinasi
dan berkomunikasi dengan anggota-anggotanya via aplikasi Whatsapp. Mungkin
ke depannya jika anggota sudah sangat banyak dan mayoritas sudah memiliki HP
android, bisa juga dibuat suatu aplikasi khusus untuk anggota KWLM dimana
semua anggota bisa saling berkomunikasi, berdiskusi dan mendapatkan informasi
detail terkait isu-isu yang ada di KWLM. Sebisa mungkin KWLM
memperkenalkan programnya ke berbagai media, bisa lewat cetak seperti surat
kabar lokal maupun radio lokal, agar semakin banyak menarik masyarakat untuk
bergabung dengan KWLM.
Sosialisasi umumnya dilakukan satu kali oleh KWLM, hal tersebut dirasa
masih kurang. Contohnya adalah sosialisasi yang dilakukan di daerah
Kalibawang. Di sana sangat berpotensi sekali, dimana banyak terdapat petani
hutan rakyat. Namun sayang, pasca sosialisasi, tidak ada kelanjutan dari
masyarakat yang ingin bergabung dengan KWLM. Sedangkanmenjadi anggota
84
KWLM tidak pernah ada paksaan, memang harus dari kemauan masyarakat itu
sendiri. Maka sebaiknya perlu bekerja sama lagi dengan ornop seperti Telapak
untuk melakukan pendekatan sosial pasca sosialisasi, untuk mengetahui masalah
sebenarnya.
Menurut Bruce (2001) CED perlu memberdayakan komunitas lebih luas
lagi, proses tersebut harus dipandu dengan perencanaan dan analisis yang
strategis, sangat berbeda dengan pilihan yang opportunistik dan taktik yang tidak
sistematis, orientasi yang kuat untuk mencapai hasil, baik kualitatif maupun
kuantitatif.
Berdasarkan temuan, belum banyak anggota atau pengurus yang ahli dan
kompeten. KWLM mengalami kesulitan untuk perekrutan anggota baru. Hal ini
bisa disebabkan karena koperasi sifatnya sukarela, jadi tidak pernah memaksa
seseorang untuk menjadi anggota koperasi. Lalu, koperasi masih mengalami
kesulitan untuk mendapatkan anggota lebih banyak lagi dari generasi muda.
Padahal kehadiran mereka sangat dinantikan.
Kegiatan KWLM sekarang sudah banyak menggunakan teknologi internet,
untuk promosi sudah lewat medsos dan lainnya. Namun tidak berjalan dengan
baik, karena kekurangan SDM yang bisa menangani hal tersebut. KWLM bisa
lebih memberdayakan anggota untuk menangani masalah tersebut.
Kurangnya minat masyarakat menjadi anggota bisa juga disebabkan
karena setelah sosialisasi, tidak ada kelanjutannya. Seharusnya KWLM bisa
bekerjasamadenganpihakluar,sepertiLSMuntukbisamenindaklanjuti
85
permasalahan dasar yang menyebabkan mereka tidak berminat menjadi anggota
KWLM. Karena KWLM didirikan dari bottom-up maka memang memerlukan
strategi yang tepat untuk masalah perekrutan anggota koperasi.
Menurut Adamson dan Bromiley (2013), Pemberdayaan masyarakat
membutuhkan pelatihan yang memadai untuk membangun staf dan mendukung
mekanisme untuk peserta komunitas. Peran organisasi sektor publik menghadiri
kemitraan masyarakat perlu didefinisikan secara jelas. Di tingkat organisasi,
insentif, termasuk pendanaan, dan sanksi diperlukan untuk mengubah cara kerja.
8. Kebutuhan Memiliki Manajemen Keuangan YangBaik
Empat subyek menyatakan bahwa mereka tahu ada pencatatan keuangan
seperti pencatatan di buku anggota dan buku setoran, dan ada pengawasan atau
audit juga. Hanya satu subyek yang tidak mengetahui tentang pengelolaan
keuangan di KWLM. Namun semuanya tahu bahwa ada laporan keuangan yang
dilaporkan KWLM saat RAT.
Menjadi anggota di KWLM sebenarnya tidak mahal juga. Mereka
membayar iuran Pokok satu kali Rp. 50.000.- di awal mendaftar menjadi anggota.
Lalu kemudian iuran wajibnya adalah Rp. 60.000.- setiap bulan. Berarti tiap
bulannya, anggota wajib membayar Rp. 5000.-. Semua iuran tersebut ada
pencatatan oleh KWLM. Namun berdasarkan temuan, masih ada masyarakat yang
enggan bergabung dikarenakan banyaknya kebutuhan mereka, jika menambah
menjadi anggota KWLM akan ada pembebanan biaya mereka.
86
Mengenai pengelolaan keuangan, KWLM perlu melaporkan hal tersebut
ke pihak eksternal seperti Dinas Koperasi, namun karena omzet KWLM masih
dibawah 1 Milyar maka belum perlu diaudit keuangan. Tetapi untuk lingkungan,
KWLM sudah diaudit untuk kepentingan persyaratan FSC. Dalam hal ini bekerja
sama denganPT.SOBI.
KWLM merupakan koperasi serba usaha bukan koperasi simpan pinjam.
Jadi KWLM tidak memiliki program simpan pinjam. Hanya saja KWLM bekerja
sama dengan credit union CUKATA, untuk memberikan akses simpan pinjam
bagi anggota KWLM. Pemberian simpan pinjam tersebut harus ada jaminan dari
KWLM. Yang dijaminkan oleh anggota KWLM adalah kayu mereka. Biasanya
untuk 1-5 tahun. Setelah diameter atau volume kayu pohon mereka layak tebang,
maka akan dijual dan hasilnya untuk membayar pinjamanmereka.
KWLM tidak pernah mengalami kredit macet, karena memang tidak
memberikan program simpan pinjam. Namun karena ada masa peralihan sekitar
tahun 2015 hingga Mei 2017 terkait perpindahan kepemilikan sertifikasi individu
menjadi kelompok membuat KWLM tidak mendapatkan keuntungan karena tidak
bisa memasarkan kayunya. Sudah pasti akan mempengaruhi pendapatan, dimana
anggota tidak mendapatkan SHU. Di tahun 2018, sejak KWLM memperoleh
sertifikasi FSC kelompok, penjualan kayu mulai stabil dan mengalami kenaikan.
Berikut contoh kutipannya:
“ Gak ada.. lancar lancar ajaa, kecuali tahun 2016 gak ada untung, ga jualan..” (Subyek 4,
2018)
87
Empat subyek mengetahui bahwa KWLM banyak mengeluarkan anggaran
atau dana untuk membeli kayu, membayar operasional kegiatan, dan pembayaran
gaji karyawan. Berikut salah satu contoh kutipannya:
“Dana KWLM yang paling besar kalau yang sebelum bergabung dengan SOBi itu yg
paling besar untuk membeli kayu sama untuk operasional pengiriman gitu loh.”
(Subyek1, 2018)
Sedangkan satu subyek menyatakan tidak tahu dana paling banyak untuk
apa, berikut kutipannya:
“ Kurang tau anggaran untuk apa ya..” (Subyek 5, 2018)
KWLM sudah memiliki kepedulian terhadap kegiatan yang dilakukan
oleh masyarakat sekitar terutama para anggotanya. KWLM memiliki anggaran
untuk kegiatan terutama kegiatan sosial. Tapi memang bantuan keuangan KWLM
masih dikategorikan sederhana. Misalnya saja, KWLM membantu menyediakan
minuman untuk masyarakat saat sosialisasi di acara mereka, atau KWLM
menyumbang membantu kegiatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Usaha
yang lain adalah membantu pencairan uang penjualan kayu lebih cepat. Hal ini
harus dilakukan, karena anggota ketika butuh uang ingin langsung
mendapatkannya. Jika mereka jual ke pedagang biasa, pedagang biasanya
langsung membayar uang cash. Namun di KWLM memerlukan proses agak lama
bisa satu mingguan. Sekarang KWLM bisa mempercepat waktu pembayaran hasil
kayu ke anggota 1-3 hari masa kerja.
Berdasarkan temuan diatas dapat disimpulkan bahwa KWLM sudah
mengelola keuangan dengan baik. Hal ini bisa dilihat bahwa KWLM telah
mencatat keuangannya. Walau belum ada laporan ke uangan kepada pihak terkait
88
dikarenakan omzet masih dibawah 1 Milyar, namun KWLM telah melaporkan
kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan. KWLM tidak pernah mengalami
kredit macet, karena KWLM bukan koperasi kredit/simpan pinjam. Semua
pencatatan keuangan banyak dikeluarkan untuk operasional dan pembelian kayu,
hal tersebut dilaporkan kepada anggota di saat RAT. KWLM juga melakukan
evaluasi, seperti ada keluhan dari anggota terkait lamanya proses pencairan
pembayaran kayu. Dulu, petani bisa mendapatkan hasil penjualan kayu mereka
lebih dari seminggu. Namun sekarang kurang dari seminggu, uang penjualan kayu
para petani sudah bisa diterima.
Menurut Bruce (2001) ketika menjalankan pengembangan ekonomi
masyarakat perlu memiliki sistem manajemen keuangan yang sehat. Menurut
Bruce (2001) juga CED perlu menggunakan pendekatan manajemen keuangan
bisnis yang membangun kepemilikan aset dan berbagai mitra keuangan dan para
pendukung.
Crowley (1999) juga menyatakan bahwa perlu pelacakan yang teliti dan
pengelolaan sumber daya keuangan dan arus kas yang hati-hati. Dengan
manajemen keuangan yang baik, organisasi dapat memahami biaya dan
pendapatannya; tanpanya, sebuah organisasi akan menimbulkan masalah
operasional dan mengundang pengawasan tambahan dari luar.
Masalah-masalah dalam manajemen keuangan yang tidak sehat dapat
dilihat ketika adanya ketidak nyamanan dengan informasi keuangan yang ada.
Bisa jadi karena kurangnya latihan dan cara menyajikan informasi yang sulit
dimengerti (McChlery, Godfrey dan Meechan,2005).
89
9. Kebutuhan Perencanaan dan AnalisisStrategis
KWLM memiliki tujuan, strategi, visi dan misi yang mudah dipahami. Hal
ini selaras dengan 3 subyek yang menyatakan hal sama. Berikut kutipannya:
“Iya mudah dipahami. Karena sudah dijelaskan pd saat sosialisasi saat masuk juga sudah
ada perjanjian nya gampang dipahami.” (Subyek 1, 2018)
Namun ada satu subyek yang menyatakan strategi, tujuan, visi dan misi
KWLM agak sulit dipahami masyarakat awam terutama generasi tua. Berikut
pernyataannya:
“Kalau bagi masyarakat awam mungkin susah, tapi kalo kita ngomong ikut koperasi,
harganya tinggi, langsung masuk, atau dapat bibit langsung, kita punya metode sendiri
juga, karena yang tua-tua sulit mengerti dan tidak paham android, makanya sekarang kita
ngajaknya yang muda. koperasi beli nya pakai harga jepara itu akan mudah diterima, kita
juga harus jelasin secara runtut, tapi mereka tidak mau bertele-tele, butuh waktu lama,
kuncinya kita kerjasama dengan mitra pedagang, jadi kalau butuh uang cepat, kita
datangkan pedagang langsung ditawar di koperasi.” (Subyek 3, 2018)
Empat subyek menyatakan hal yang sama bahwa KWLM melakukan
evaluasi di setiap kegiatannya. Satu subyek tidak mengetahui adanya evaluasi.
Umumnya evaluasi kegiatan atau program ada saat rapat-rapat dan saat kordinasi
kegiatan, juga pada perencanaan RAT. Pada saat evaluasi tersebutlah seluruh
masalah diselesaikan dicari solusi dan alternatif penyelesaian masalah. Sampai
saat ini, jika ada masalah selalu terselesaikan. Biasanya akan ada laporan
penyelesaian dan dicatat dalam berita acara.
Seluruh kegiatan atau program KWLM sepatutnya bisa terukur. Menurut
empat subyek, kegiatan KWLM bisa diukur dari: laporan banyaknya jumlah bibit
tanaman yang hidup, bertambahnya jumlah anggota koperasi dan lahan hutan, lalu
90
juga dari target-target seperti target penjaringan anggota baru, jumlah penjualan
dan penebangan kayu, pembibitan dan sosialisasi. Berikut kutipannya:
“Diukur dari target inventarisasi, penjaringan anggota, penjualan, penebangan,
pembibitan, sosialisasi kita punya jadwal punya target”. (Subyek 3, 2018)
Sedangkan satu subyek meyatakan kegiatan KWLM tidak bisa terukur.
Namun semua subyek mengetahui bahwa KWLM memiliki target dalam
pencapaian suatu program atau kegiatan. Tiga subyek menyatakan kegiatan
KWLM belum mencapai target 100%, satu orang menyatakan tidak paham dan
satu orang lainnya menyatakan sudah mencapai target.
Sistem pengawasan KWLM sudah baik. Tiga subyek mengetahui bahwa
di KWLM ada pengawasan. Misalnya ada pengawasan dari PT. SOBI dan FSC
juga Dinas Koperasi. Sedangkan dua subyek lainnya, tahu ada pengawasan tapi
tidak tahu siapa yang melakukannya. Untuk pengurus sendiri akan diawasi oleh
anggota didalam RAT atau rapat-rapat yangada.
Berdasarkan temuan di atas dapat disimpulkan bahwa KWLM memiliki
tujuan, visi, misi dan strategi yang mudah dipahami oleh anggotanya. Namun
sayang, mayoritas yang menjadi angoota KWLM adalah generasi tua, sehingga
terdapat juga anggota yang tidak memahaminya. Perencanaan program kegiatan di
KWLM sudah ada, biasanya ada dalam perencanaan RAT. Dari perencanaan
tersebut, hasil kegiatan KWLM dapat terukur, lalu ada evaluasi kegiatan hingga
pengawasan antar anggota.
Menurut Bruce (2001) prinsip terakhir yang dibutuhkan CED adalah perlu
adanya proses perencanaan dananalisis strategis. Menurut Walzer dan Hamm
91
(2010), proses tersebut bisa dilakukan dengan pendekatan yakni merancang
strategi jangka panjang bagi masyarakat dan pembangunan ekonomi melibatkan
visi/perencanaan berdasarkan masukan dari masyarakt itu sendiri. Visi dan
perencanaan tersebut, umumnya akan melibatkan pemangku kepentingan dan
akan dievaluasi. Proses tersebut membantu angota merancang perspektif atau visi
jangka panjang dengan sasaran, strategi, dan garis waktu untuk mencapai hasil
yang terukur. Proses yang berhasil biasanya akan mencakup prosedur tindak
lanjut untuk memantau apakah target terpenuhi dan perubahan diperlukan untuk
menjagaprogram.
Ruben dan Hoebink (2015) menyatakan bahwa dimensi kelembagaan dari
penguatan kinerja koperasi merupakan elemen penting dalam strategi sertifikasi.
Kuncinya adalah dengan meningkatkan skala produksi, menjaga standar kualitas
dan menjamin kepercayaan. Berikut kutipan pernyataannya:
“ Institutional dimension of strengthening cooperative performance represents an
important element in the certification strategy. Cooperatives or farmers associations are
consider key for increasing the scale of production, to maintain the quality standards,
and to guarantee the reliability of smallholders as preferred suppliers in the value chain.
In practice, it appears sometimes difficult to disentangle theeffects of cooperation (i.e.
reaching scale) from the effects of certification since both mechanisms are highly
intertwined.” (Ruben & Hoebink,2015).
Pengembangan ekonomi masyarakat semakin dibutuhkan karena adanya
desentralisasi kekuatan pemerintah, globalisasi dan kekuatan pasar maka koperasi
bisa dijadikan sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan dan visi masyarakat.
(Gibson, 2005).
92
5.3.2. Bukan Anggota KWLM, KulonProgo.
Sedangkan berikut adalah analisis jawaban narasumber yang belum
menjadi anggota KWLM sesuai sembilan prinsip kebutuhan untuk pengembangan
ekonomi masyarakat (Bruce, 2001) dalam :
1. Kebutuhan Memiliki Strategi yangKomprehensif
Semua subyek yang dilakukan wawancara adalah calon anggota yang
hingga proses wawancara masih belum bergabung dengan KWLM. Dari 5 subyek
yang diinterview 3 orang telah mengikuti proses sosialisasi yang dilakukan oleh
pihak KWLM sebelumnya. Sosialisasi tersebut dilakukan secara terpisah
mengingat lokasi tempat tinggal subyek terpisah di 4 kecamatan di Kulonprogo.
Jadi hampir semua subyek tersebut memahami visi, misi serta strategi yang
dibangun oleh KWLM untuk pemberdayaan masyarakat melalui manajemen
hutan secara keberlanjutan. Berikutkutipannya:
“Kalau Koperasi wana lestari tahu? Apa Koperasi wana lestari?
Tau pas sosialisasi. Yang kemaren? Setahu saya kalo mau jual kayu bisa” (Subyek 8,
2018)
“Pak S9 tau KWLM (koperasi wana lestari menoreh)? Pernah ikut di sosialisasi ya
pak ya?
...iya pernah
yang di sosialisasikan apa itu pak waktu itu pak? yaa nganu, apa itu cara masuk ke koperasi.” (Subyek 9, 2018)
“Kalau wana lestari apa pak?
Koperasiwanalestari? ....... itu kan yang saya tau koperasi itu dulu berkembang dirumah
bapak itu loh, sekarang gak tau dimana” (Subyek 10, 2018)
2. Kebutuhan Memperkuat KepemilikanKomunitas
Dikarenakan subyek bukanlah anggota KWLM, menjadikan mereka tidak
mengetahui isu atau permasalahan yang dihadapi anggota KWLM. Mereka hanya
93
pernah tahu tentang keterlibatan anggota di dalam setiap pengambilan kebijakan
KWLM. Biasanya informasi tersebut diperoleh melalui tetangga mereka yang
sudah bergabung ke dalam KWLM. Termasuk halnya bahwa kayu mereka
sebenarnya bisa dijadikan investasi. Hal ini pernah disinggung oleh KWLM,
namun hanya 1 subyek yang menyadarinya. Berikut kutipannya:
“Menurut bapak kayu investasi juga?
iyalah kan kayu bisa diputer” (Subyek 10, 2018)
3. Kebutuhan Akses Kredit Yang Aman Untuk BisnisLokal
Hanya satu subyek yang mengetahui bahwa adanya kerjasama antara
KWLM dengan KSP (mis: CUKATA) untuk memenuhi kebutuhan finansial
anggota KWLM. Pemberian akses tunda tebang dari CUKATA memang sangat
membantu anggota KWLM. Namun seperti halnya Koperasi Simpan Pinjam
(KSP) lainnya, CUKATA memberikan akses kepada subyek untuk meminjam
dana. Hanya saja pemberian bantuan dana ini tidak bisa dengan tunda tebang
untuk petani hutan yang bukan anggota KWLM. Berikutpetikannya:
“Bapak pernah denger kalau di wana lestari itu kerjasama dengan KSP simpan
pinjam? Diinformasikangak?
... yaa di informasikan jadi kalau butuh uang, kayunya belum standar jual bisa pinjam.
Nanti perhitungannya kalau kayu nya sudah standar” (Subyek 8, 2018)
4. Kebutuhan Membangun Sumber DayaManusia
Semua subyek tidak mengetahui adanya pelatihan yang diberikan oleh
KWLM kepada anggotanya.
“Bapak pernah tau koperasi wana lestari memberikan pelatihan pak?
Belum”. (Subyek 8, 2018)
94
Namun ada satu subyek yang memahami bahwa koperasi akan
memberikan pelatihan pada anggotanya. Subyek 7 mengetahuinya karena dia
pernah menjadi anggota koperasi simpan pinjam sebelumnya.
“Pernah denger ada pelatihan?
Cuma tahu ada.
Tahunya apa?
Cuma nama tapi tidak tahu koperasi apa, saya orang baru disini” (Subyek 7, 2018)
5. Kebutuhan Membangun KapasitasLokal
Di dalam hal membangun kapasitas KWLM, tidak satupun subyek yang
mengetahui bahwa KWLM telah menjalin kerjasama dengan pihak lain.
Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama antara KWLM dengan Telapak,
selaku inisiator. Selain itu kerjasama yang dijalin KWLM dengan dinas kehutanan
untuk pengadaan bibit serta kerjasama dengan dinas koperasi dan UKM.
6. Kebutuhan Mengintegrasikan Tujuan Sosial danEkonomi
Dari sosialisasi KWLM yang pernah subyek ikuti, nampak jelas bahwa
KWLM bertujuan untuk meningkatkan ekonomi para anggotanya. Meskipun
tetangga mereka yang bergabung dengan KWLM sudah terlihat ada perubahan
dari sisi ekonominya, itu tidak serta merta menarik mereka untuk bergabung ke
KWLM. Ada beberapa alasan mereka. Yang paling sering dilontarkan oleh
subyek adalah tanah yang bermasalah (milik saudara, tanah warisan dan tanah
orang lain). Tidak dapat dinafikkan, dari beberapa subyek mereka menjawab
tertarik untuk bergabung ke KWLM asal tanah tersebut terselesaikan kasusnya.
Berikutkutipannya:
“Ketika bapak lihat itu bapak tertarik gak pak untuk bergabung? Ketika bapak ikut
sosialisasi itu yg ada dipikiran bapak gimana, tertarik atau tidak tertarik?
95
Kalau sebetulnya sih tertarik, neng karena ada kewajiban yg harus dipenuhi kalo
koperasi kan belum masuk sampai sekarang...
....Jadi bapak kendalanya kenapa belum bergabung itu hanya karena masih tanah
orangtua ya pak?
Iya...” (Subyek 8, 2018)
7. Kebutuhan MemberdayakanKomunitas
Subyek merasa bahwa apa yang dilakukan oleh KWLM tidak berbeda
dengan koperasi lainnya. Sehingga dirasa kurang menarik bagi mereka. Di lain
sisi, ada subyek yang mengenal sosok di balik KWLM yang dianggap kompeten.
Berikut kutipannya:
“Kalau gak salah dulu pak Damar itu yg mengsosialisasikan.
pak Damarsono, ketua koperasi yg sekarang” (Subyek 10)
8. Kebutuhan Memiliki Manajemen Keuangan YangBaik
Semua subyek tidak mengetahui apakah KWLM bisa meminjamkan
bantuan keuangan. Namun mereka meyakini bahwa KWLM itu adalah Koperasi
yang menjualkan kayu. Kayu mereka dihargai lebih tinggi dibandingkan
tengkulak. Jadi mereka tidak mengetahui tata kelola keuangan KWLM.
9. Kebutuhan Perencanaan dan Analisis YangStrategis
Dikarenakan hampir semua subyek hanya mengenal KWLM sebatas
sosialisasi, jadi mereka tidak mengetahui KWLM secara mendalam. Sehingga
segala kegiatan KWLM yang mendetail, subyek tidak banyak tahu. Terlebih lagi
sistem pengawasan KWLM, para subyek tidak pernah tahu tentang hal tersebut.
4.3.3. Pembahasan dan Kesimpulan
Pengembangan ekonomi masyarakat merupakan suatu alat yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan ekonomi
96
masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah jika dilihat dari kegiatan dan
fungsi lembaga yang menjadi aktornya. Sedangkan dilihat dari prosesnya,
Pengembangan ekonomi masyarakat membantu masyarakat itu sendiri untuk
membangun dan memobilisasi aset yang mereka miliki untuk meningkatkan
masa depanmereka.
Kehadiran /ketidakhadiran dari kekuatan suatu lembaga akan menentukan
kecepatan perkembangan dari suatu institusi atau lembaga tersebut ketika
menjalankan kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat, seperti yang
dinyatakan dalam World Bank‟s 2003 World Development report states (Anglin,
2011) seperti berikut:
They are the rules and organizations, including informal norms, that coordinate human behavior.
They are important for sustainable and equitable development. When they function well, they
enable people to work with each other to plan a future for themselves, their families, and their
larger communities. But when they are weak and unjust, the result is mistrust and uncertainty.
This encourages people to take rather than “make,” and it undermines jointpotential
Bisa dikatakan bahwa aturan-aturan dan pengorganisasian termasuk
aturan-aturan tidak formal yang mengoordinasikan perilaku manusia merupakan
hal yang sangat penting untuk keberlanjutan dan pemerataan pembangunan.
Ketika hal tersebut berfungsi dan berjalan dengan baik, memungkinkan orang
saling bekerja dengan baik untuk mewujudkan rencana masa depan mereka
sendiri, untuk keluarga mereka dan bahkan untuk komunitas yang lebih besar lagi.
Tetapi ketika lembaga/institusi tersebut lemah dan tidak adil, hasilnyaadalah
ketidakpercayaan danketidakjelasan.
Keberadaan Koperasi Wana Lestari Menoreh, Kulon Progo sebagai
institusi atau lembaga untuk mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar
97
Gunung Menoreh, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan
istilah Anglin (2011) yakni Community Economic Development Institutions
(CEDIs). Menurut Anglin (2011), CEDIs berusaha untuk mengatasi kegagalan
pasar dan hambatan non-pasar yang terjadi untuk pengembangan ekonomi.
Zeuli dan Radel (2005) menambahkan koperasi dipandang sebagai
kendaraan untuk pengembangan komunitas karena koperasi bisa memobilisasi
sumber daya lokal menjadi lebih berorientasi kepada komunitasnya. Sedangkan
Gibson (2005) menyatakan bahwa koperasi bisa sebagai agen untuk suatu proses
pengembangan komunitas.
Bruce (2001) berpendapat bahwa agar pengembangan ekonomi
masyarakat efektif maka membutuhkan 9 prinsip. Berdasarkan temuan berikut
adalah rangkuman analisa hasil temuan yang dapat dilihat pada tabel 4.5 sebagai
berikut:
98
Tabel 5 .5
Analisis Hasil Temuan
PRINSIP
DEFINISI
ANALISIS HASIL TEMUAN
TEMUAN ANALISIS
1)Visi lestari
berkelanjutan dan
meningkatkan
pendapatanMasyarakat
Belum bekerjasama secara
optimal dengan pihakekternal
AN
GG
OT
A
Kebutuhan
Strategi
Komprehensif
Perlu melihat
progam jangka
untuk panjang,
intervensi yang
beragam dan
memenuhi
Sumber daya yg
diminta
2) Standar sertifikasi
kayu wajib (SVLK) dan
internasional(FSC)
3) Bekerja sama dengan
eksternal, Pemerintah,
NGO danswasta
4) Pemberian bibitpohon
5) Pelatihan
Mayoritas subyek
mengetahui visi dan misi
KWLM
Tidak satupun masyarakat
yang mengetahui visi dan
misi yang tertarik untuk
bergabung
NO
N
AN
GG
OT
A
Kebutuhan
Memperkuat
Kepemilikan
Komunitas
Perlu ada
isu/masalah agar
sesama anggota
memiliki
1) Isu dan masalah
diselesaikan musyawarah
pada rapat rapat
anggota/pengurus
2) Anggota paham
investasikayu
Investasi kayu dibicarakan
saat sosialisasi, anggota
paham. Isu atau masalah yang
ada selalu dibicarakan dengan
musyawarah danmufakat.
AN
GG
OT
A
Subyek tidak mengetahui
adanya konflik internal
maupun eksternal di
KWLM
Tidak ada inisiasi/ketertarikan
dari masyarakat untuk
mengetahui lebih lanjut
tentang KWLM
NO
N
AN
GG
OT
A
99
Kebutuhan
Akses Kredit
Yang Aman
Untuk Bisnis
Lokal
Perlu kredit yang
aman. Akses
kredit dapat
mengatasi
guncangan
masyarakat
berpenghasilan
rendah
1) KWLM adalah KSU
bukanCU
2) KWLM bekerjasama
dengan CU Cukata
untuk sedia kredit
anggota
3) kemudahan akses
kredit dengan kayu
jaminannya
KWLM menjalankan sistem
Tunggu Tebang, sebagai
jaminan untuk pengajuan
kredit
AN
GG
OT
A
Tidak ada yang mengetahui adanya
kerjasama antara KWLM
denganCukata
Masyarakat lebih memahami
KSP dibandingkan Koperasi
Hutan (KWLM)
NO
N
AN
GG
OT
A
1) Pelatihan untuk
anggota danpengurus
2) Metode penyampaian
materimonoton
1) Pelatihan dirasakankurang
2) Metode Penyampaian
materi pelatihan lebih
bervariasi
A
NG
GO
TA
Kebutuhan
Membangun
SDM
Membangun
SDM bisa lewat
pengembangan
kepemimpinan,
pelatihan dan
pengembangan
usaha.
3) Beberapa pelatihan
kurangbermanfaat
4) Kepemimpinan sudah
baik
5) Sudah ada pelibatan
anggota dalam
penyusunanprogram
3) KWLM harus bisa
menentukan program
pelatihan yang tepat
4) Pelibatan anggota dalam
menyusun program
ditingkatkan
Tidak ada satupun
pelatihan oleh KWLM
yang diketahui oleh
subyek
Program pelatihan KWLM
belum terdengar luas di
masyarakat
NO
N
AN
GG
OT
A
Kebutuhan
Membangun
kapasitas Lokal
Kapasitas terkait
kemampuan.
Dapat dibangun
dengan
perencanaa,
penelitian,
advokasi,
kerjasama
strategis dan
pengembangan
kemitraan.
1) Pengetahuan Anggota
berkembang terkait
kehutanan
2) Pendampingan pasca
pelatihan masihkurang
3) Sudah bekerjasama
dengan pihaklain
Sosialisasi dirasakan kurang
dan perlu peningkatan
kerjasama dengan pihak lain
A
NG
GO
TA
Tidak ada subyek yang
mengetahui KWLM
bekerjasama dengan
pihaklain
Informasi kerjasama antara
KWLM dengan pihak lain
tidak pernah dipublikasikan
NO
N
AN
GG
OT
A
100
Kebutuhan
Integrasi tujuan
sosial dan
ekonomi
CED perlu
mengintegrasikan
tujuan ekonomi
dan sosial agar
memberikan
dampak kuat pada
masyarakat
1) Kegiatan KWLM
sesuai fungsi produksi,
sosial danekologi
2) Secara sosial,
menambah jaringan
pertemanan
3) Secara ekonomi,
menaikkan pendapatan
petanihutan
4) Secara Ekologi, tidak
merusaklingkungan
Peningkatan ekonomi
masyarakat belum optimal,
belum memenuhi seluruh
kebutuhan hidup Anggota
KWLM
A
NG
GO
TA
Subyek mengetahui
manfaat bergabung
dengan KWLM hanya
dari sisiekonomi
Masyarakat merasa masih
belum perlu bergabung
denganKWLM
NO
N
AN
GG
OT
A
Kebutuhan
Memberdayaka
n Komunitas
Pemberdayaan
masyarakat perlu
pelatihan
memadai dan juga
peran sektor
publik untuk
bermitra dgn
masy. Pendanaan
dan sanksi
diperlukan
transparan.
1) Belum banyakanggota
/pengurus yang
kompeten
2) Kesulitan perekrutan
anggotabaru
3) Sudah menggunakan
medsos, mulut ke mulut,
website untuk promosi
KWLM
4) Sosialisasi satu kali
5) kesulitan teknologi
baru (Internet,android)
6) Kesulitan SDM paham
teknologi
1) Memberikan pelatihan agar
kompeten
2) Mencari strategi perekrutan
anggota yangtepat
3) Menggiatkan media
informasi kegiatanKWLM
4) Mencari dan melatih SDM
terkait teknologi yang
digunakan
A
NG
GO
TA
KWLM tidak jauh
berbeda dengan
koperasi-koperasi
lainnya
KWLM belum memberikan
gambaran secara jelas tentang
perbedaan KWLM dengan
koperasi lainnya
NO
N
AN
GG
OT
A
101
Kebutuhan
Manajemen
Keuangan yang
baik
Perlu ada
pendekatan
manajemen
keuangan yang
membangun
kepemilikan aset
dan bermitra
dengan pihak lain
1) Ada pencatatan
keuangan
2) Laporan Keuangan ke
pemerintah belum,
laporan lingkungan ke
SOBI dan FSCsudah
3) Tidak ada kreditmacet
4) Anggaran banyak
untuk operasional dan
pembelian kayu
5) Pembayaran kayu lebih
cepat
1) Sudah ada pencatatan
keuangan, walau tampilan
laporan masihsederhana.
2) Sudah bermitra dengan
pihaklain.
A
NG
GO
TA
Masyarakat hanya tahu
tentang peminjaman
kredit uang melalui
koperasi
Masyarakat belum memahami
tentang manajemen keuangan
KWLM
NO
N
AN
GG
OT
A
1)Tujuan, visi,misi dan
strategi mudah dipahami
anggota
Sudah memiliki perencanaan
dan rancangan strategi jangka
panjang.
A
NG
GO
TA
Kebutuhan
Perencanaan
dan Analisis
Strategis
Ada rancangan
strategi jangka
panjang dengan
melihat
visi/perencanaan,
ada evaluasi,
pengawasan,
target dan hasil
yg terukur.
2) Anggota KWLM
mayoritas generasi tua,
sulitpaham
3) Evaluasi kegiatanada
4) Perencanaan RAT juga
ada
5) Hasil kegiatan KWLM
bisadiukur
6) KWLM punya target
penjualan dananggota
7) Ada pengawasan di
KWLM
Penyampaian visi, misi,
strategi dan perencanaa dibuat
semudah mungkin agar
anggota generasi tua
mengerti.
Masyarakat tidak
mengetahui rancangan
strategi jangka panjang
KWLM
KWLM hanya melakukan
sosialisasi tanpa adanya
sosialisasi lanjutan
NO
N
AN
GG
OT
A
Sumber: Hasil Penelitian (2018)
Namun hal pelik yang dialami oleh KWLM di lapangan ialah belum
banyaknya anggota baru, meskipun sosialisasi kerap kali dikukan di semua
102
kecamatan di Kabupaten Kulon Progo. Dari kelima subyek yang telah
diwawancarai, belum ada ketertarikan untuk bergabung dengan KWLM. Hal ini
dimungkinkan belum adanya kepercayaan terhadap Koperasi. Harga beli kayu
yang mahalpun belum juga menarik mereka untuk segera bergabung dengan
KWLM.
Di sisi lain, KWLM tentu diberikan target oleh PT. SOBI untuk selalu
meningkatkan hasil produksi kayunya. Seiring dengan umur tanam pohon yang
lama, tentu saja hal yang sulit bagi KWLM apabila mengandalkan anggota yang
ada dengan keterbatasan hasil produksi kayu. Sehingga pencarian anggota baru,
tentu saja perlu dilakukan. Hanya saja, hal terpenting yang perlu difokuskan
adalah meyakinkan calon anggota untuk bergabung denganKWLM.
Banyaknya orang yang tidak mudah untuk bergabung dengan koperasi
dikarenakan faktor perilaku penghindaran terhadap risiko yang akan terjadi (risk
aversion), kurangnya informasi dan faktor sosio-kultural. Seringkali mereka pada
umumnya menunggu faktor motivasi dari luar. Bisa jadi itu adalah rekan mereka
yang telah bergabung dengan KWLM. Sehingga Nugusse dkk. (2012)
menyebutkan bahwa yang membedakan anggota dengan non anggota ialah
kesadaran dan perbedaan informasi yang diperoleh.
Penghindaran risiko tersebut muncul dikarenakan begitu berartinya
kekayaan (kayu) yang mereka miliki. Sehingga tidak mudah bagi mereka untuk
mempercayakan manajemen kayunya kepada KWLM. Rabin (2000) menjelaskan
bahwa sikap seperti itu merupakan intuitif secara psikologis yang tentunya
munculkeengganandalamdiriuntukmengambilrisikodenganskalalebihbesar.
103
Selain itu, Lewis (1959, 1970) yang digambarkan oleh Hamilton dkk. (2014)
menjabarkan bahwa orang yang kekurangan (secara ekonomi) biasanya akan lebih
berorientasi pada saat ini dan akan selalu menunda-nunda keputusan yang
sebenarnya akan dapat mengubah situasi ekonomi yang lebih baik. Inilah
dinamika struktural sosiokultural yang muncul di dalam masyarakat petani hutan
di sekitar KWLM. Ketika belum adanya pembuktian secara nyata pada salah satu
komunitasnya, dinamika seperti itu akan terus berlanjut. Jadi perlu untuk dapat
membuktikan riil bahwa anggota mereka berhasil mengubah perekonomiannya
menjadi lebihbaik.
5.4. Analisis Peran Pihak Eksternal Dalam Pengembangan Ekonomi
Masyarakat.
Guna menunjang pengembangan ekonomi masyarakat, keberadaan
koperasi niscaya perlu diberlakukan. Namun koperasi tidak bisa hanya
mengandalkan kekuatan dari internal (anggota), dukungan dari pihak eksternal
dinilai perlu untuk meningkatkan fungsi dari koperasi itu sendiri. Perubahan
kondisi global memaksa koperasi untuk ikut juga dalam perubahan. Apabila tidak
ingin tergerus oleh waktu, banyak koperasi telah bertransformasi untuk
berkolaborasi dengan sektor privat.
Perubahan tersebut bisa dimulai dengan ikhtiar membangun koperasi
multistakeholder sebagai tata kelola. Koperasi model ini dikelola oleh perwakilan
dari beberapa stakeholder, dari mulai petani yang menjadi produsen, pekerja,
104
distributor, para voluntir, community supporter hingga konsumen dengan
berbasiskan solidaritas. Selanjutnya, model seperti ini membuka ruang partisipasi
dialog antar anggota untuk membicarakan agenda-agenda bersama, pemilihan
pengurus dan badan pengurus, pengangkatan manajemen hingga sharing usaha
yang adil di antara kelompok. Keragaman tersebut terintegrasi ke dalam single
organization. Rantai-rantai yang sebelumnya terpisah satu sama lain, yang tak
jarang menjauhkan para petani dengan para konsumen, dalam proyek koperasi
multistakholderini bisa dijembatani (Hansen, 2015 dalam IndoPROGRESS,
2015).
Termasuk di dalam kasus Koperasi Wana Lestari Menoreh, tiap-tiap
anggota memiliki kebebasan untuk berpendapat. Dari sosialisasi yang dilakukan
di awal, prospek kayu di daerah mereka, hingga penentuan bagi hasil, tidak ada
satupun yang ditutup-tutupi. Peran serta pembentukan KWLM dari inisiatif petani
hutan merupakan ikhtiar awal yang tepat untuk memulai koperasi. Dukungan
Telapak dan PT Sosial Bisnis Indonesia (PT. SOBI) menyatukan rantai-rantai
yang oleh koperasi lain kebanyakan terpisah atau bahkan tidak ada samasekali.
Inilah keunggulan yang dirasakan KWLM, dimana anggota hanya cukup
mengelola hutan kayu mereka, sedangkan pemasaran dipercayakan kepada PT.
SOBI. Di sisi yang lain, Telapak membantu di dalam melakukan intevensi sosial
ketika KWLM mengalami kemacetan, misal: kurangnya pasokan kayu
dikarenakan belum banyaknya petani hutan yang belum bergabung ke KWLM.
Kolaborasi inilah yang mampu memicu keberhasilan KWLM di dalam
menyejahterakan anggotanya. Kepastian pembelian kayu, kemudahan
105
mendapatkan pinjaman uang, penyediaan bibit, hingga harga jual kayu yang
tinggi dirasakan semua anggota. Inilah juga yang termaktub ke dalam misi PT.
SOBI.
5.4.1. Gambaran PT.SOBI
PT Sosial Bisnis Indonesia (PT. SOBI) merupakan perusahaan berbasis
masyarakat yang didirikan pada Februari 2016. Lalu pada bulan September 2016,
tim PT. SOBI dibentuk. Sehingga dapat memfokuskan pada persiapan perusahaan
dan berikutnya penandatanganan dengan kemitraan dan juga menjalankan fungsi
audit internal terhadap dua koperasi: KHJL dan KWLM.
Bulan berikutnya, PT. SOBI melakukan pengujian utama FSC (Forest
Stewardship Council) dan juga menerima CAR minor dan mayor. Lalu di mei
2017, PT. SOBI mendapatkan sertifikasi FSC secara grup. Bulan depannya, PT.
SOBI mulai menjalin kerjasama dengan pembeli kayu (industri kayu). Selama
beroperasi secara penuh dalam jangka waktu 6 bulan, PT. SOBI mengalami
peningkatan total dan volume penjualan, margin penjualan dan total pembeli.
5.4.2. Visi dan Misi PT.SOBI
Berikut adalah visi dari PT. SOBI:
Visi PT. SOBI adalah untuk menjadi perusahaan berbasis masyarakat yang
mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan terbesar di Asia Tenggara pada
tahun 2030.
Sedangkan Misinya adalah:
106
1. Menjalankan bisnis kehutanan dengan mengacu pada prinsip dan kriteria
FSC (Forest StewardshipCouncil).
2. Mengelola bisnis pertanian, peternakan dan perikanan secara berkelanjutan
melalui pencapaian sertifikasi produk yang lestari danberkelanjutan.
3. Menumbuhkan jiwa wirausaha pada anggota (petani, nelayan dan
masyarakat adat) secaraberkelompok.
4. Menjadi perusahaan yang mendorong upaya pelestarian lingkungan dan
pemberdayaanmasyarakat.
5.4.3 Struktur Organisasi PT.SOBI
Berikut adalah gambar struktur organisasi yang ada di PT.SOBI dapat
dilihat pada gambar 5.5 di bawah ini:
Gambar 5.5
Struktur Organisasi PT.SOBI
107
PT. SOBI memiliki gambaran struktur organisasi seperti di atas. Seorang
direktur memimpin PT. SOBI, yang dibantu oleh 8 departemen: Partnership
Management (Expansion), Partnership Management, Forest System & Audit,
Forest Planning & Operation, Sales & Marketing, General Affairs, IT
Development, dan Business Development. Kedelapan departemen itu berada di
Jakarta Selatan.
Guna mendukung kinerja PT. SOBI, dibukalah sub departemen yang ada
di luar Jakarta. Kebanyakan ditempatkan di lokasi mitra (koperasi) itu berada.
Yang menarik adalah PT. SOBI juga memasukkan NGO/ornop sebagai bagian
dari organisasi itu. Jadi dapat dibilang bahwa PT. SOBI menyadari bahwa
NGO/ornop tidak bisa dilepaskan dari fungsi kerja PT. SOBI sendiri yang
memang memiliki core business terkait dengan lingkungan dan sosial. Inilah
fungsi NGO untuk menjaga kestabilan lingkungan dengan sosialmitranya.
5.4.4 Model Bisnis BaruBerkelanjutan
Keberadaan koperasi tentu saja membantu peningkatan perekonomian
masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan koperasi itu sendiri. Jadi dengan
berdirinya koperasi diharapkan mampu untuk menjalankan mandat ekonomi dan
sosial di anggota itu sendiri. Terlebih untuk koperasi yang dibentuk secara bottom
line, dimana anggota berinisiatif sendiri untuk mendirikan koperasi.
Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) yang diinisiasi oleh Telapak
secara bertahap telah melakukan sertifikasi FSC secara mandiri untuk
meningkatkan potensi kayu anggotanya. Mengingat FSC adalah bentuksertifikasi
108
yang dianggap mampu meningkatkan harga jual kayu. Namun seiring berjalannya
waktu, muncullah konflik antara KWLM dengan KHJL (di Konawe Selatan)
dalam memperebutkan pembeli. Mengingat keduanya adalah koperasi yang
dibangun oleh Telapak, kejadian tersebut tentulah miris.
Sebagai solusi adalah perlu dibentuknya suatu korporasi untuk mengelola
kedua koperasi tersebut dan koperasi-koperasi lain yang akan bergabung. Di tahun
2016, Telapak bersama beberapa donor mendirikan PT. Sosial Bisnis Indonesia
(PT. SOBI). PT. SOBI inilah cikal bakal perusahaan privat yang mengelola kedua
koperasi tersebut. Strategi yang dibangun PT. SOBI tentu saja lebih bagaimana
mengoptimalisasikan kinerja kedua kopersai tersebut. Salah satu keputusan yang
diambil ialah penerapan sertifikasi grup. Hal ini bertujuan untuk mengefisiensikan
biaya untuk sertifikasi FSC. Selanjutnya hingga saat ini, sertifikasi grup ini yang
diimplementasikan. Tak hanya itu, strategi lain yang dijalankan PT. SOBI seperti
pembagian dan penentuan kayu dan pembeli antara KWLM dan KHJL,
meminimalisasikan konflik persaingan antar kedua koperasi tersebut.
PT. SOBI membangun model sistem kerja yang menjelaskan strategi dan
posisi PT. SOBI di antara koperasi-koperasi (termasuk anggotanya). Jadi PT.
SOBI bukanlah menjadi penguasa/pemilik dari koperasi-koperasi tersebut,
melainkan memilih untuk menjembatani antar koperasi dengan pembeli. Sistem
seperti ini dirasa adil (fair) karena PT. SOBI yang akan membagi dan menentukan
koperasi mana yang berhak untuk memproduksi hasil kayunya. Model sistem
kerja tersebut digambarkan sebagaiberikut:
109
Sumber: sobi.co.id (2018)
Gambar 5.6
Model Sistem Kerja PT.SOBI
PT. SOBI berperan sebagai penghubung pasar yang menempatkan diri di
antara pedagang kecil (smallholders) dengan pasar yang memiliki kepedulian
dalam bekerlanjutan (sustainable-concerned market). PT. SOBI akan secara
konsisten menangkap strategi yang lebih baik dalam upaya memberikan akses
yang lebih baik bagi petani kayu lokal dengan menghubungkan permintaan pasar
bagi sumber daya alam yang dikelola secara berkelanjutan. Strategi yang
dilakukan berupa penerapan IT dalam manajemen sumber daya alam, pembukaan
akses ke pasar dan sertifikasi serta memperkuat pemberdayaan komunitas.
Dengan menerapkan IT dalam manajemen sumber daya alam, maka akan
meningkatkan efisiensi pengoperasian sumber daya alam (hutan). Implementasi
110
IT tersebut membantu para mitra (koperasi) dalam penyimpanan data, pengecekan
data dengan sistem lacak dan pendokumentasian proses rantai pengawasan (chain
of custody). PT. SOBI mengetahui jenis, jumlah, umur hingga lokasi kayu yang
dikelola oleh KWLM. Hal ini tentu saja membantu KWLM terkait efisiensi
tenaga, biaya serta waktu dalam mengelola hutan. Selama ini PT SOBI yang
menentukan kayu mana dan berlokasi dimana yang harusditebang.
Skema kolaborasi yang dibangun PT SOBI ialah memadukan konsep
penjualan dan pemasaran beserta konsolidasi usaha peningkatan modal agar
produk hasil alam yang dijual dapat mencapai harga eceran tertinggi di pasar yang
lebih luas. Untuk itulah PT SOBI membuka akses kepada KWLM untuk
mendapatkan sertifikasi FSC. Meskipun di awalnya sertifikasi dilakukan atas
nama koperasi, namun saat ini PT SOBI sudah menjalankan sertifikasi FSC secara
grup. Jadi baik KWLM maupun KHJL (di Konawe Selatan) tidak perlu bersaing
lagi untuk mendapatkan pembeli. Selain itu, pasokan produk secara konsisten itu
akan mencegah keterlibatan pihak tengkulak dalam meraup untung lebih banyak
dari skema perdagangan. Karena keterbukaan yang dijalankan PT. SOBI,
memudahkan untuk mitra (petani hutan) untuk mengetahui harga pasar dari hasil
produksi kayunya tersebut. Inilah bentuk dari meminimalisasikan keberadaan
tengkulak di dalam rantai penjualantersebut.
Untuk pemberdayaan komunitas, PT. SOBI menjembatani proses
sertifikasi (FSC dan SVLK) produk hasil hutan dengan biaya yang lebih
terjangkau. Untuk itulah, sejak 2017 mulai diterapkannya sertifikasi grup. Namun
111
secara berkala PT. SOBI akan melakukan audit internal untuk memastikan dan
menjamin kualifikasi sertifikasi selalu terpenuhi dan terstandardisasi.
5.4.5. Pembahasan dan Kesimpulan
Sebuah koperasi yang hidup di derasnya persaingan usaha, diharuskan
untuk melakukan transformasi. Memang tidak bisa dikesampingkan bahwa
banyak koperasi masih bersifat tradisional, dengan hanya mengandalkan keaktifan
anggotanya. Baik koperasi top down ataupun bottom up. Semakin banyak anggota
akan berdampak terhadap kinerjakoperasi.
Namun agar tidak tergerus oleh jaman dan berumur panjang, koperasi saat
ini perlu dapat beradaptasi dengan terhadap tantangan apa yang sedang
dihadapinya (Giagnocavo dkk., 2018), seperti bisa berubah menjadi sebuah
korporasi sosial untuk memperoleh nilai lebih (laba) keutamaan koperasi dan
kesejahteraan anggotanya. Koperasi saat ini bisa mempunyai korporasi untuk
kesinambungan produksi ataupun pemasarannya. Sejalan dengan hal tersebut,
KWLM yang awal didirikannya memang untuk menjual kayu yang bersertifikasi
FSC, mengalami kesulitan ketika dihadapkan dengan permasalahan modal dan
pemasaran.
Tergerak menyelesaikan permasalahan itu, Telapak berinisiasi mendirikan
PT SOBI sebagai korporasi yang bertugas mengatur arus produksi dan pemasaran
kayu baik di KWLM dan KHJL. Kepemilikan sahamnya terbagi atas: 20%
dimiliki oleh manajemen, 40% milik investor dan 40% sisanya milik koperasi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa PT SOBI dimiliki oleh koperasidan
112
keuntungannya dapat dirasakan anggota koperasi itu sendiri. Lalu pada tahap
selanjutnya ialah melakukan efisiensi untuk sertifikasi, dimana PT. SOBI
mengubah dari sertifikasi FSC untuk masing-masing koperasi, menjadi sertifikasi
grup atas nama PT. SOBI.
Auer (2012) juga menegaskan bahwa manfaat adanya sertifikasi grup ini
tentu saja akan dirasakan anggota di dalamnya, antara lain: peningkatan
pendapatan dari kehutanan, peningkatan kemampuan dalam mengelola hutan,
serta keuntungan dari sisi lingkungan dimana proses penanaman,
pengembangbiakan dan pemanenannya telah menjalankan prinsip-prinsip
keberlanjutan, dan tentu saja terbentuknya kerjasama antara petani hutan,
pemerintahan dan sektor privat.
Bukti nyata dari skema kerjasama tersebut akhirnya diakui oleh negara.
BLU P2H (Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan dan Pembangunan Hutan)
memercayakan skema tersebut untuk tetap dijalankan oleh PT. SOBI dengan
Telapak. Dimana PT. SOBI tetap berperan sebagai pengelola Koperasi-koperasi di
bawahnya yang didukung oleh Telapak, selaku pendamping sosial. Sedangkan
BLU P2H berperan dalam sosialisasi dan perekrutan petani ke dalam Koperasi
Tani Hutan. Dalam skema kerjasama ini, diharapkan petani hutan rakyat mampu
memenuhi tuntutan ekonomi dan memepertahankan daya dukung hutan dengan
tetap mengadopsi standar FSC yang telah dibangun.
(http://www.telapak.org/sosialisasi-skema-kerjasama-blu-sobi-dan-telapak/
diakses 8 Juli 2018).
113
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
6.1 Rencana Penelitian TahunKedua
Penelitian tahun kedua sebagai lanjutan penelitian tahun pertama, akan
direncanakan sebagai berikut:
1. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sehingga diharapkan sudah
mampu menggambarkan kondisi riil subyek secara mendalam. Untuk
berikutnya, dapat dilakukan dengan metode penelitian kuantitatif yang
dapat memperluas gambaran kondisi koperasi-koperasi yang ada di
Indonesia sehingga akan mendapatkan hasil penelitian yang lebihluas.
2. Penelitian berikutnya akan dilakukan dengan memperbanyak variabel lain
untuk mendapatkan gambaran secara luas dan mendalam dari
permasalahan di Koperasi Wana Lestari Menoreh. Semakin banyaknya
variabel tersebut, kompleksitas permasalahan akan tergambarkan dan
berikutnya akan dapat diberikan solusi atas permasalahan-permasalahan
tersebut.
3. Dirasa perlu dilakukan kolaborasi penelitian antar jurusan untuk
memperkaya analisis penelitian di luar sektorekonomi.
114
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. KESIMPULAN
1. KWLM dalam mengembangkan sertifikasi FSC berperan untuk memenuhi
standar sertifikasi FSC sesuai dengan tuntutan permintaan pasar dan
konsumen dunia. Sedangkan yang memfasilitasi proses sertifikasi adalah
pihakeksternal.
2. KWLM sudah melakukan pengembangan ekonomi masyarakat sesuai
Bruce (2001). Namun, dari 9 prinsip yang ditawarkan Bruce, masih ada
kebutuhan yang perlu ditingkatkan, yakni: kebutuhan strategi
komprehensif, membangun SDM, membangun kapasitas lokal, integrasi
tujuan ekonomi, dan memberdayakanmasyarakat.
3. PT SOBI tetap diperlukan untuk menjembatani proses sertifikasi (FSC
dan SVLK) produk hasil hutan dan memasarkan kayu anggotaKWLM.
7.2. SARAN
1. Sosialisasi terkait sertifikasi FSC perlu ditingkatkan lagi, agar pemahaman
anggota semakin meningkat dan tujuan, visi, misi KWLM
tercapai.Keanggotaan adalah bersikap sukarela, maka sosialisasi bisa
bekerjasama kembali dengan pihak lain seperti Ornop/LSM untuk
mengetahui permasalahan dilapisan masyarakat terkait keengganan
mereka menjadi anggotaKWLM.
115
2. KWLM agar terus memaksimalkan dalam mengembangkan 9 prinsip yang
ditawarkan Bruce (2001) da lam pengembangan ekonomimasyarakat.
3. PT. SOBI sebagai pihak eksternal yang telah membantu pemasaran kayu
dan pencarian investor untuk modal kegiatan KWLM serta mengurusi
proses terbentuknya sertifikasi grup di KWLM, sebaiknya juga perlu untuk
mengawasi kinerja koperasi melalui audit internalberkala.
116
DAFTAR PUSTAKA
Adamson, Dave & Bromiley, Richard. (2013). Community Empowerment:
Learning From Practice in Community Regeneration. International Journal
of Public Sector Management. Vol.26 No.3,pp 190-201. Emerald Group
Publiciy.
Anglin, Roland V.(2011): Promoting Sustainable Local and Community
Economic Development: American Society For Public Administration-
Series in Public Administration and Public Policy. CRC Press,NewYork.
Arief, A. (2010). Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius
Auer, Matthew. (2012). Group Forest Certification for Smallholder in Vietnam:
An Early Test and Future Prospects. Hum Ecol 40:5-14.Springer Science &
Business Media, LLC.
Bharti, Nisha.(2014). Design and Implementation of Organisational Intervention
In Microenterprise Development: Comparative Study From Maharashtra.
Journal of Organisation & Human Bheaviour. Vol.3.Issue 4. October 2014.
Biro Pusat Statistik. (2016). Kabupaten Kulon Progo dalam Angka 2016.
Yogyakarta: BPS Kabupaten Kulon Progo.
Biyase, Mduduki & Fisher, Bianca. (2017). Determinant of Access to Formal
Credit by The Poor Households. Studia Universitatis Babes-Bolyai
Oeconomica.Vol.62. Issue-1, 2017, pp. 50-60.
Bruce, David. (2001). Building A CED Movement in Canada: A Policy
Framework to Scale Up CED in Canada. Rising Tide: Community
Development Tools, Models and Processes. Edited by David Bruce and
Gwen Lister. Sackville NB: Mount Allison University
Crowley, David. (1999). Sound Financial Management: an Overview of Basic
Accounting and Financial Principle for Non Profit Community
117
Development Organizations. The enterprise Foundation,Inc. ISBN 0-
942901-55-x.
Dogarawa, A. (2005). The Role of Cooperative Societies in Economic
Development. Zaria: Ahmadu BelloUniversity.
FSC-STD-001 (version 4.0) EN (1996). FSC Principles and Criteria for Forest
Stewardship. FSC Nation Center. . www.fsc.orgakses 16 Januari 2018.
FSC-STD-20-001. Version 3.0 EN (2009). General Requirements for FSC
Accredited Certification Bodies: Application of ISO/ IEC Guide G5: 1996
(E). . www.fsc.orgakses 16 Januari 2018.
FSC-STD-60-006 (V1-2) EN. (2009). Process Requirements for The Development
and Maintenance of National Forest Stewardship Standards. .
www.fsc.orgakses 16 Januari 2018.
FSC-STD-IDN-01-01-2013. (2013). Harmonised CBS‟ Forest Stewardship
Standard For The Republik of Indonesia. www.fsc.orgakses 16 Januari
2018.
FSC-STD-01-001 VS-2 EN (2015). FSC Principles and Criteria For Forest
Stewardship. Forest Stewardship Council. . www.fsc.orgakses 16 Januari
2018.
FSC-STD-40-004 V3.0 (2016). Chain of Custody Certification. Forest
Stewardship Council,AC. . www.fsc.orgakses 16 Januari 2018.
Giagnocavo, Cynthia dkk. (2018). Cooperative Longevity and Sustainable
Development in A Family Farming System. Sustainability, 10, 2198
Gibson, R. (2005). The Role of Co-Operatives in Community Economic
Development. Rural Development Institute Brandon University.
118
Guan, Z. dan Peichen Gong. (2015). The Impacts of International Efforts to
Reduce Illegal Logging on China’s Forest Products Trade Flow. China
Agricultural Economic Review Vol. 7 No. 3
Gulö, W. (2000). Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo
Hamilton, Kathy dkk. (2014). Poverty in Consumer Culture: Towards A
Transformative Social Representation. Journal of Marketing Management
Vol. 30 No. 17-18
Henderson, P. dan Ilona Vercseg. (2010). Community Development and Civil
Society, Making Connections in The European Context. Bristol: The Policy
Press.
Hidayat, Herman. (2016). Forest Resources Management in Indonesia (1968-
2004) a Political Ecology Approach. Springer Singapore. ISBN 978-981-
287-745-1.
Hoyt, A. (2004). Consumer Ownership in Capitalist Economies: Approaches of
Theory to Consumer Cooperation. In C.D. Merret dan N. Walzer (Eds.).
Cooperatives and Local Development: Theory and Applications for The 21st
Century (pp. 265-286). New York: M.E. Sharpe
https://id.fsc.org/id-id/about-fsc/latar-belakang-fsc(diakses 02-07-2018)
https://menorehwood.wordpress.com/kwlm/(diakses 26-06-2018)
https://www.illegal-logging.info/regions/indonesia(diakses pada 04-06-2017)
http://www.menlh.go.id/penebangan-hutan-dan-deforestasi-fakta-dan-
angka/(diakses pada 04-06-2017)
http://www.mongabay.co.id/2013/03/21/perusahaan-sulit-penuhi-deadline-
sampai-maret-baru-58-miliki-svlk/(diakses pada 04-06-2017)
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2016/08/23/pembalakan-liar-rugikan-
negara-rp-2764-triliun-378071(diakses pada 04-06-2017)
119
https://www.telapak.org/badan-tritorial/(diakses pada 04-06-2017)
Indoprogress. (2015). Koperasi Sebagai Alternatif Tata Kelola Agraria. 14 Juni
2015 di Indoprogress.
Jurgens, Emile. (2006). Proses Pembelajaran (Learning lesson) Promosi
Sertifikasi Hutan dan Pengendalian Penebangan Liar di Indonesia. Sep
2003- Juni 2006.Bogor: CIFOR. ISBN 979-24-4661-3.
Laverack, Glenn & Mohammadi, Nastaran K,(2011). What Remains For The
Future: Strengthenning Community Actions To Become an Integrated Part
Of Health Promotion Practice. Health Promotion International. Vol.20
No.52. Oxford University Press.
Lombard, Antoinette.(2006). Social Change Throuh Integrated Socia and
Economic Development. University of Pretoria. Faculty of Humanities. Dept
of Social Work and Criminology.
McChlery, Stuart.,Godfrey, Alan D., Meechan, Lesley. (2005). Barriers and
Catalysts to Sound Financial Management Systems in Small Sized
Enterprises. Journal of Applied Accounting Research, Vol.7. Issue 3, pp.1-
26.
Mutis, T. (2004). Pengembangan Koperasi Kumpulan Karangan. Jakarta:
Grasindo
Nasution, S. (1982). Metode Research. Bandung: Jemmars
Nielsen,P. (2006): The Theory of Community Based Health and Safety Programs:
a Critical Examination.Injury Prevention. 12:140-145
doi:10.1136/IP.2005.011239.
Nugusse, Woldegebrial dkk. (2012). Determinnats of Rural People to Join
Cooperatives in Northern Ethiopia. International Journal of Social
Economics Vol. 40 No.12.
Owens, Michael Leo dalam Anglin, Roland V.(2004): Building The Organization
That Build Communities: Capacity Building: The case of Faith-Based
120
Organizations. Center for Faith-Based and Community Initiatives. US.
Dept, of Housing and UrbanDevelopment.
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS
Pittman, R.P. (2009). An Introduction to Community Development. New York:
Routledge
Pongtuluran, Y. (2015). Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
Yogyakarta: CV Andi Offset
Rabin, Matthew. (2000). Risk Aversion and Expected-Utility Theory: A
Calibration Theorem. Econometrica Vol. 68 No. 5.
Ruben, Ruerd & Hoebink, Paul. (2015). Coffee Certification in East Africa Impact
on Farmers, Families and Cooperatives. Wageningen Academic Publisher.
E-ISBN: 978-90-8686-805.6
Salikin, K.A. (2007). Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius
Setyarso, A. (2009). Sertifikasi Hutan dan Peran Organisasi Non Pemerintah
(ORnop). LEI.
Sitio, A. dan Halomoan Tamba. (2001). Koperasi Teori dan Praktik. Jakarta:
Erlangga
Vazquez, D. et al. (2014). Theoretical and Methodological Framework for The
Qualitative Validation of An Explanatory Model of Social Responsibility in
Cooperatives Societies. Management Research: The Journal of the
Iberoamerican Academy of Management Vol. 12.
Walzer, Norman & Hamm, Gisele F.(2010). Community Visioning Programs:
Processes and Outcomes. Journal of the Community Dev.Society.
Vol.41,No.2.2010.152-155. ISSN: 1557-5330.
Wanggai, F. (2009). Manajemen Hutan, Pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara
Berkelanjutan. Jakarta: Grasindo.
121
Wibowo, M. dan Ahmad Subagyo. (2017). Tata Kelola Koperasi Yang Baik.
Yogyakarta: Deepublish.
Yin, R. (2000). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Zeuli, Kimberly dan Jamie Radel. (2005). Cooperatives as A Community
Development Strategy: Linking Theory and Practice. The Journal of Regional
Analysis and Policy Vol. 35 No. 1.
127
TRANSKRIP WAWANCARA ANGGOTA KOPERASI
A= Pak chandra
B= Narsum
C= Bu Veritia
A= Pak bambang sudah 6 th di KWLM?
B= Iya
C= Strategi KWLM apa yang mampu mengembangkan usaha bapak?
B= Sertifikasi, cari pembeli, kenaikan harga kayu, sempat beberapa kali naik,
lebih baik daripada lokal
A= Tiap tahun naik pak?
B= Iya, hampir tiap tahun ada perubahan
A= Di infokan?
B= Iya didatangkan petani, dikasih tahu
C= Bapak sebagai apa?
B= Pengelola
C= 6 tahun juga?
B= Dulu anggota, pengurus juga, sekarang pengelola
A= Bedanya apa?
B= kalo pengurus kan umum, Pengelola kita langsung menangani kegiatan
koperasi
A= Misal?
B= Saya ditugasi bidang pembibitan, menyiapkan pembibitan untuk mengganti
pohon, kalo pengurus nggak sampe situ
C= Bapak diajak untuk ngobrolin sertifikasi dan strategi itu pak?
128
B= Ikut
A= Bisa Tahu pak?
B= Bisa, saat rapat koordinasi, saat rapat untuk pengambilan keputusan ya kita
obrolin, misal tentang spesifikasi kayu tertentu
A= Ada dampak buat bapak dari strategi itu?
B= Ada
A= Misalnya?
B= Ada harapan, saya petani akan peda jual di luar dengan disini, jadi beda yang
ikut dengan yang tidak ikut, karna saya tahu harga penawaran pabrik
A= Apakah ada ruginya?
B= Kalo gak terjual ya rugi
A= Pernah tidak terjual?
B= Pernah, dulu sebelum bergabung dengan sogi
A= Misalnya?
B= Ranting yang tidak terjual lama kelamaan mau tidak mau dijual dengan harga
yang murah,
A= Kalo d anggota ada kerugian?
B= Tidakada
A= Kalau masalah perawatan?
B= Waktu nanem hanya di awal awal saja kan, biaya juga sedikit, tidak rugi
C= Pernah ada isu di dalam anggota?
B= Paling Cuma anggapan saja, kalau kita tidak menginvetarisasi, kalau sudah
menginventarisasi di anggap di ambil koperasi, terus kesulitan sosialisasi karna
orang orang tua,
C= Untuk penyelesaian anggota diikutkan tidak?
129
B= Iya, tapikan itu Cuma salah paham yang bisa di klarifikasi, ketika sudah ikut
transaksi jual beli baru mereka tahu bahwa mereka bisa dapat uang len=bih
banyak daripada ditawar, meskipun kalo di tawar dia dapat uang cash, beda
dengan koperasi yang melalui proses perbankan, terus mereka sadar bahwa
bagus ikut koperasi
A= Selisihnya berapa banyak?
B= Kalo pedagang lokal tahu persis tentang kayu, makanya dia nawarnya sampai
setengah harga.
Kalo yang jual tidak tahu, yang penting sudah nawar ya sah gitu saja, pedagang
jarang rugi, paling kalo ada kayu bolong, kalo petani tidak tahu dan tidak mau
ambil pusing, kalo koperasi kan menanggulangi hal seperti itu, supaya petani
tahu bahwa sebenarnya harganya bisa lebih mahal, terus diberikan pendidikan
tentang kayu supaya tidak dibohong bohongi
C= Inventaris pohon tadi kalo ada isu gimana cara penyelesaian
B= di rembug, penyelesaiannya sama dengan ditempat lain
C= Kalo koperasinya gimana?
B= Kita ketemu sama pihak pihak yang terkait, kalo koperasi tidak bermasalah,
yang penting maslah tidak merugikan masyarakat
C= Bapak tahu Tentang Investasi? Kalau jual beli kayu investasi tidak?
B= itu termasuk investasi , yang mengharapkan keuntungan
C= pernah dijelaskan tidak tentang Investasi?
B= paling kita jelasinnya lebih mudah dengan menanam pohon itu menabung,
jadi kalau menabung ada yang konvensional pake celengan bambu, koperasi
menjelaskan tentang kayu itu, kita akan tau persis dan detil dengan edukasi dari
koperasi, petani akan tahu rinciannya berapa, akan dapat duit berapa, tapi kalo
misalnya hanya dijual tanpa hitungan ya bisa dibohongi, tetapi tidak semua
anggota dapat memahami,
C= Apakah yang paham pasti mau?
B= tidak juga, karna kepemilikan kadang bukan tanah sendiri, saudara atau orang
tua
130
A= Bantuan dari KWLM ada?
B= Waktu itu kita pernah pinjam ke bank
C= Kalau Anggota pernah?
B= Kita menjaminkan keuangan, untuk pemenuhan keuangan kita arahkan ke
koperasi kredit, Kita kasih tau ke koperasi bahwa dia anggota KWLM dan punya
kayu sekian, sebagai jaminan
C= tidak semua orang percaya juga ya
B= Pohon yg di jual juga belum layak pakai, makanya kita jaminkan
A= Pernah menggunakan akses itu?
B= Belum
C= apakah bermannfaat?
B= Bermanfaat
A= Yang bapak ketahui perubahan selama ini?
B= Berubah, karna dia akan memelihara sampai layak tebang
A= Sering ada pelatihan?
B= Sering, praning, pembibitan, pemangkasan, finishing furniture
C= Kalau untuk pengelola ada pak?
B= Penebangan dan pengurus
C= berapa kali pelatihan per tahun?
B= Minimal 1x
C= rutin kah?
B= Tidak, Kalau ganti orang ada training lagi
C= Ada dampak nya?
B= Ada, kita tau prosedur, SOP, Standar di lapangan
C= Percaya jika warga berperan penting bagi kemajuan koperasi
131
B= Percaya, Kalo gak ada orang gimana koperasi
C= Kapan sosialisasi?
B= Sering, dimana mana , ketika orang mudah menerima pengertian dari pembeli
lokal maka mereka berfikir ngapain harus ke koperasi, tapi kalau yang sadar
meskipun lama tapi hasilnya banyak kalau di koperasi, apalagi kalau dia butuh
uang cepat
A= Di KWLM kepemimpinannya seperti apa?
B= Semuanya terbuka, kita sama sama tau alasannya,
C= Kepemimpinan nya sudah bagus kah?
B= Mungkin ada yang lebih bagus, kalau buat nyari pembanding sulit, kita
terbuka sama sama tahu, komunikasi lancar
C= Mau nerima usul?
B= Tidak masalah, ada yang bisa diselesaikan sendiri, ada yang memang harus
dirembukan
C= Dilibatkan Rapat RAT?
B= Kita sering rapat koordinasi, sebagai anggota ada RAT, tapi kalau hal yang
kekcil yang bisa diselesaikan secar langsung ya tidak nunggu RAT
A= Usulan contoh?
B= Penambahan anggota, penebangan, mau jual kayu, maslahnya itu sih
C= Usul buat pelatihan boleh?
B= Boleh
A= Yang bikin RAT siapa pak?
B= Kebanyakan pengelolo, Bareng bareng, kita koordinasi, kita gak mungkin
sendiri, harus minta tolong sama anggota,
A= Ada Perubahan?
132
B= Ada lah, banyak pengurus tidak digaji, kalo pengelola digaji, pengurus tinnggal
nanya pengelola, sistem pengurus adalah satu tahun usaha, lha pengurus dapat
dari sisa hasil usaha, jadi pengurus lebih pakai rasas sosial
C= Pengurusnya datang terus?
B= Jarang, makanya kita cari yang rumahnya dekat, apalagi anak anak muda,
tidak pernah
A= KWLM menambah kemampuan nggak?
B= Bisa pembibitan,
A= Lahannya luas pak?
B= Seribu meter
C= Nanam Apa pak?
B= Padi
C= Dijual?
B= Buat sendiri
A= Pendapatannya darimana?
B= Ada kambing buat sehari hari, gak tau juga, tau kalau butuh uang ada saja,
buat byar bayar, tidak dapat pendapatan, beda sama pegawai, saya pernah sewa
lahan,rugi atau untung,
A= KWLM ngasih bantuan pendampingan?
B= Tidak , tidak ada tenaga seperti itu, itu sudah banyak dilakukan pihak lain,
seperti dinas pertanian, kita lebih ke kayu, kalau bagus, berarti mahal
C= kira kira perlu gak didampingi?
B= Setelah saya gabung menurut saya tidak perlu
A= Ada sengketa?
B=Tidak pernah, kan lahannya milik anggota yang sah, bukti kepemilikan tanah
kita cek, jadi tidak ada sengketa, kita tidak ganggu milik negara
A= Pemasarannya dibantu nggak sama KWLM?
133
B= Mau tidak bantu ya harus bembantu
A= Menurut bapak bagus gak ada sobi?
B= Bagus, ada kerjaan yang dulu dikerjakan koperasi sekarang dibantu ssobi
A= Tau gak kalau ada kerjasama?
B= Tau, ada saja kalau kerjasama, dengan dinas, pernah dapat alat dari dinas
koperasi, masih ada alatnya, tapi tidak dipaiakai
A= Kenapa?
B= Karna kita kan glondongan jualnya, itukan untuk kayu yang diolah, maunya
ninas kita bisa ngolah, tapi kan kita harus bersertifikasi COC
C= Yang pelatihan siapa yang ngisi?
B= Universitas, UGM, Sekolah vokasi paling sering
C= Sosialisasi?
B= Pelatihan , IPB juga pernah penelitian
C= Setahun terakir kerjasama apa saja?
B= Dari UGM, 3 orang, tentang hutan,
C= Punya tujuan untuk meningkatkan ekonomi dan sosial nggak pak?
B= Iya itu memang
A= Yang ekonomi apa?
B= Meningkatkan nilai jual kayu
A= Kalau sosisal?
B= Kita melibatkan banyak orang untuk lapangan kerja, kita punya tim tebang,
gotongroyonng
A= Dimanapak?
B= Di tempat tebang, kalau kita tebang sendiri kan tidak ada biaya, beda sama
tim tebang, kebutuhan bisa lebih banyak
134
C= Kalau keuntungannya gabung kwlm?
B= Jaminan Harga kayu, marketnya, dan dikasih tau , beda dengan diluar yang di
jelek jelekin
A= Siapa yang nentuin harga?
B= Sogi tawar menawar dengan buyer, kita haru bisa lebih tinggi, buyer pun
nggak dapat kayu
A= KWLM bisa menuhi kebutuhan bapak?
B= Bisa, saya juga pernah menjual kayu disini
A= Secarasosial?
B= Bisa, jaringnnya makin banyak
A= Apakah beda KWLM dengan yanglain?
B= Kalau kita jualan kayu, kalau yang jual kayu di kulon progo tidak ada lagi,
banyaknnya simpan pinjam , ada di kulon progo,, disana mau digabungjuga
dengan sogi, tapi kalo pionernya yaKWLM
C= ada sertifikasi juga?
B= Tapi yg FSC ya, soalnya ada sertifikasi yang SPLK kulon progo tapi tidak bisa
jualan, kita juga FSC meski juga punya SPLK
C= Pengurusnya ada yang ahli?
B= Menurut saya tidak, kalau kredit ada, kalau kita kan bisa dipelajari karna
terlihat, banyak yg bisa ngukur, dan jualan sebelum masuk koperasi, tinggal
nglengkapi saja,
C= mereka ahli pengalaman, apa pendidikan, kalau disini kan gak ada pendidikan,
kita Cuma kenalkan SOPnya, dan kelengkapan administrasinya
C= Cara meningkatkan kesadaran koperasi gimana?
B= Sosialisasi
C= Selain itu?
135
B= Kita datang per rumah, Dinas juga bikin pertemuan dengan kelompok
kelompok, pengetahuan lewat media,
C= Seperti apa?
B= Seperti Facebook, dulu pernah awal awal yang nungguin, tapi jarang,
sekarang tidak ada yang ngurus, malas,
C= tidak pakai radio?
B= Belum pernah
C= Brati cukup dengan sosialisasi?
B= Saya rasa cukup, sudah banyak yang tau juga,
FB twiter ada?
B= Ada, tapi untuk masuk tidaknya kurang, apalagi sekarang sudah ada sogi, dan
tidak semua petani punya kayu mau dijual, kalo orang jawa yang ayem , tidak
semua orientasinya di uangkan, ada yang jadi anggota punya kayu besar besar
tapi tidak di jual, Cuma pengen kumpul sama orang orang, orientasi berbeda
beda,
C= FB aktif?
B= Dulu aktif
C= Adminnya gak ada?
B= Iya, sekarang kan kontak langsun,
A= Ada grup WA?
B= Ada, karna sekarang era digital, komunikasi bisa langsung, tidak perlu datang
ke rumah, bisa langsung ke lokasi ke tempat sasaran dll, kita tidak banyak
kumpul sekarang, koordinasi disini juga bisa, kalo sogi yang penting kan
outputnya,
C= Sekarang gak ada sistem absen pak ya?
B= Tidak ada, sekarang pendataan juga pake sistem poto, kirim gitu saja
A= Kendalanya apa pak ?
136
B= Untuk inventarisasi kalo hhujan tidak bisa dilaksanakan, karena beresiko, jadi
nunggu terang,
A= Kalau untuk masukin data?
B= Semua bisa sih, aplikasinya mudah, yg penting ada internet, tapi kadang
dilahan tidak ada koneksi jadi memperlambat pekerjaan, seperti di gunung2,
kalau seperti itu ya disimpan dulu, nanti baru dikerjakan
C= Ada bantuan keuangan paket data?
B= Tidak ada, kalau disini ada wifi gratis, kita langganan
C= Ada pencatatan untuk pengelolaan KWLM?
B= Ada , pernah di audit juga,
A= Untuk apa?
B= Keperluan sertifikasi ulang, laporan laba rugi
C= Kalau ke eksternal ?
B= Kita laporan ke dinas koperasi juga
C= Dana paling banyak dipakai untuk apa?
B= Gaji kariawan KWLM
C= Pernah ada masalah keuangan?
B= Pernah, tidak ada income, transport aja, gak ada gaji, soalnya harga lokal saja,
jadi untungnya sedikit,
C= Menerima saja?
B= Kalau undang2 ketenaga kerjaan ya melanggar, tapi inikan koperasi, jadi ya
mau gimana kalo memang gak ada duit, mereka juga memaklumi, beda sama
perusahaan ya di demo
A= KWLM mendukung kegiatan anggotanya?
B= Iya, iuran wajib, pokok, tidak semua aktif, kalo yang jual kayu ya pas ada duit,
A= Nunggak?
137
B= Iya
C= Koperasi mendukung keuangan anggota seperti apa?
B= Dengan kegiatan perayaan 17 an, kebersihan lingkungan ditempat sekitar
mata air
C= Banyak sosialnya ya?
B= Iya, seperti juga bantuan bibit, tapi bukakn berupa uang
C= Dari mana dapatnya?
B= Dari pos pembibitan, Pernah terjasi, seperti anggota baru dikasih 10 bibit
C= Pernah laba tinggi di KWLM taun berapa?
B= Saya tidak ingat, tapi ada kok laporannya, Pernah untung juga pernah rugi, ya
itu tadi kadang orang itu ngelihat koperasi lagi ada uang nggak?kalo ada ya
dijual,
C= Koperasi ini punya visi dan misi mudah atau susah dipahai ?
B= Kalau baggi masyarakat mungkin susah, tapi kalo kita ngomong ikut koperasi
harganya tinggi, langsung masuk, atau dapat bibit langsung, kita punya metode
sendiri juga, karna yang tua tua sulit mengerti, makanya sekarang kita ngajaknya
yang muda, koperasi beli nya pakai harga jepara itu akan mudah diterima, kita
juga harus jelasin secara runtut, tapi mereka tidak mau bertele tele, butuh waktu
lama, kuncinya kita kerjasama dengan mitra pedagang, jadi kalau butuh uang
cepat, kita datangkan pedagang langsung ditawar di koperasi
A= Harganya gimana?
B= Sama, harga pedagang dan anggota sama, pedagang ya sudah ambil untung
A= Harga gak pakek standar?
B= Pake, karna untuk mengetahui volum ya harus dipotong dulu, pedagang lebih
tau, petani juga ngerti sebenarnya masalah untung rugi itu tapi ya saling rela,
A= Harganya lebih tinggi kalo jual d luar?
B= Tergantung tawar menawar, dengan cara yang umum, selama ini harga
koperasi harganya lebih bagus daripada diluar, kalau petani biasanya gak sabar,
138
dia maunya uangnya cepat, makanya kita kerjsama dengan pedagang, mereka
sudah paham, kalau tegakan segini harga segini, dia tau marginnya
A= KWLM mengadakan evaluasi buat perencanaan strategi tidak?
B= Iya, kita sering koordinasi,sidang pengurus, pengawas, kalau misalnya ada
yang berjalan tidak sesuai rencana kita sering buat proyeksi, kadang kena
kendala, kita undang pengurus pengawas atau buyer untuk nego harga dll
C= Sering ada masalah gak di KWLM?
B= Konfik internal antara KWM dengan anggota, sebenernya sudah di hati hati
tapi kadang masih ada masalah, seperti tebang pohon kena tetangga, kita buat
laporan penyelesaiannya, berita acaranya, biasanya masalah penebangan yang
mengakibatkan kerusakan, ad yang bisa diselesaikan dengan baik baik, ada yang
minta ganti rugi
C= Hasil kegiatan di KWLM bisa diukur nggak?
B= Bisa
C= Dilihat darimana?
B= Dari target
C= Misalnya?
B= Inventarisasi, penjaringan anggota, penjualan, penebangan, pembibitan,
sosialisasi kita punya jadwal punya target
A= Sudah mencapai target blum?
B= Belum
A= Berapa persen yang sudah tercapai?
B= Kalau yang seriing update itu pak win, seperti auditor itu ada yang tahunan,
kan ada pekerjaan yang harus selesai dan sudah terpenuhi, untuk awal tahun ini
10%
A= Kalau tahun lalau?
B= Kalau prosentasinya gak tau persis, sekitar 80%, dari sogi biasanya ada
pencatatannya
139
C= Sisitim Pengawasannya seperti apa pak?
B= Kita punya pengawas yg secara periodik kita ajak koordinasi
C= Dari mana?
B= Pengawas dari koperasi
C= Kalau pengawas penguruS?
B= Anggota, perwakilannya namanya pengawas
A= Berapa orang?
B= 5 orang
A= Dari anggota?
B= Semua itu, Cuma ganti ganti
A= Tidak ada eksternal?
B= Tidak ada
C= Dinas koperasi?
B= Mereka pengawas, atau ngajak kegiatan dari dinas koperasi seperti perayaan
hari koperasi atau sosialisasi, lebih ke situ sih, kalau dulu kita laporan ke dinas
berapa yang kita jual, tapi kalo sekarang nggak mintak
C= Kenapa sertifikasinya SFC ?
B= Karna arahnya kesana, banyak sebenarnya sertifikasi Cuma yang diminta SFC,
banyak yang pake seperti alat tulis
C= Kalau kayunya sudah jadi furniture sertifikatnya gimana?
B= Tetap ada SFC nya, itu yang dipakai pihak perusahaan untuk memberikan
keterangan asalnya dari hutan yang bersertifikasi
C= Apakah ikut SFC sudah mendukung tata kelola hutan lestari?
B= Sebenernya itu Cuma instrumen saja, bukan berarti yang tidak ikut tidak
lestari, menurut saya pelestarian itu yang bisa menghasilkan nilai ekonomi yang
lebih baik, karna masyarakat pasti menjaganya supaya tidak punah karna bakal
laku, dia rela mengorbankan yang lalin
140
C= Tidak lestarinya gimana, apakah yang tebang sembarangan, belum waktunya
ditebang?
B= Itukan Cuma pandangan kita dari luar, itukan kebutuhan dia, apakahyang
menegor mau nyukupi?kan tidak, pemerintah juga tidak, punynya satu itu ya
habis, kalo dibilang sembarangan dia pasti tidak terima karna punyasendiri
C= kecuali mafia ya?
B= Kecuali menjarah atau mencuri, kalau hutan milik kan atas perintah pemilik,
ya dibalik saja,kenapa masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan, apakah
kebutuhan terlalu tinggi, pendapatan kurang, itukan bukan Cuma tanggung
jawab koperasi tapi banyak pihak,
C= Semoga jalan terus pak ituk percontohan, semoga bisa terus mengelola,
terimakasih.
141
TRANSKRIP WAWANCARA NON ANGGOTA KOPERASI
A= Pak chandra
B= Narsum
C= Bu Veritia
A=Bu Nur tahu koperasi?
B=Simpanpinjam?
C=Pernahdenger?
B=Setahu saya Cuma simpan pinjam
A=Pernah jadi anggota ?
B=Belum
A=Kalau Koperasi wana lestari tahu?
B=Tau pas sosialisasi
C=Apa Koperasi wana lestari
B=Yang kemaren? Setahu saya kalo mau jual kayu bisa
C=Tau manfaatnya kopeerasi wana lestari?
B=Umpama di jual tengkulak lebih murah, kalau di wana lestari lebih tinggi,
selisih harga jualnya
A=Pernah tahu?
B=Cuma dari Brosur, belum tahu bukti, belum pernah jual, Cuma nguli punya
saudara
A=Berapa hektar?
B=Tidak sampai hektaran
C=Berapa bu?
B=Seribu meter lebih
142
C=Saudaranya disini?
B=Iya tapi tidak mau ngelola karna jadi guru
A=Nanam apa bu?
B=Kayu jati
C=Banyak?
B=Lumayan
C=Berapa pohon?
B=Tidak ngitung
C=Nanam sudah dari kapan?
B= Tidak tahu, Cuma nguli, Cuma nerusin
A= Tau Koperasi?
B=Tidak
A= Tujuannya apa?
B= Tidak tahu, tahunya simpan pinjam, tahunya kumpulan kumpulan arisan,
tidak ikut koperasi
C= Tau bedanya antara wana lestari sama simpan pinjam?
B= Kalau wana lestari Cuma jual beli kayu
C=Tau kayu yamg bersertifikat?
B=Tidak
C=Tau gak kalau kayu yang di KWLM sudah bersertifikasi?
B=Tidak
C=Tidak dijelaskan pas sosialisasi kah?
B=Lupa, sooalnya ndak punya lahan sendiri jadinya cuek saja, hanya nguli jadi gak
berhak jual
C=Kalau ibu punya lahan, kira kira penting tidak?
143
B=Mungkin ya penting
C=Tau gak wana lestari ada kerjasama dengan KSP?
B=Belum tau
C=Pernah dengar investasi?
B=Pernah
C=Apa?
B=Tabungan
C=Investasinya apa?
B=Tidakpunya
C=Kayunya bukan punya ibu?
B=Tidak
C=Pernah tau KWLM buat pelatihan?
B=Nggak, baru 2 kali kesini nanyain kayu
C=Pernah dengar anggota KWLM yang kayunya di beli
B=Tidak tahu, kalau katanya dijual di koperasi lebih mahal
C=Kalo yang kemarin sosialisasi siapa?
B=Nggak tahu, Cuma bapak ini
C=Tertarik gak dengan koperasi?
B=Ya tertarik, tapi tidak punya lahan
C=Kalau koperasi yang lain?
B=Tidak, tertarik tapi tidak jadi anggota
C=Kenapa? Takut iuran?
B=Kalo iuran gak sanggup
C=Kalau mau jadi anggota koperasi harus ke kelurahan lain?
144
B=Di kelurahan ada koperasi, tapi tidak ikut
C=Kenapa?
B=Tidak papa
CKalau ketemu sama orang lain , minat ngomongin koperasi ke yang lain tidak?
B=Tidak
C=Terimakasih banyak ya bu